Anda di halaman 1dari 3

NAMA : NURJANNA

NIM : 20900122041

KELAS : PIAUD B

KISAH IMAM MAZHAB

(Abu Hanifah dan Kisah Kewarakannya)

Biografi Singkat Abu Hanifah

Abu Hanifah, yang bernama asli Nu’man bin Tsabit bin Zutha adalah seorang ulama besar
pendiri mazhab Hanafi. Ia termasuk imam mazhab kawakan di antara tiga mazhab muktabar
lainnya (mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan Hanbali). Lahir di kota Kufah, Irak pada tahun 80
H bertepatan dengan tahun 699 M, dan wafat di Baghdad pada 150 H atau tahun 767 M.

Mengutip Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami (hal. 104), bahwa sang
promotor golongan rasionalis ini, namanya masuk dalam daftar atba’ at-tabi’in (pengikut para
tabiin), generasi ketiga setelah Nabi. Sebab, kabarnya ia hanya sempat semasa—walaupun tak
lama—dengan empat orang sahabat; Anas bin Malik yang tinggal di Bashrah, Abdullah bin Abi
Aufa di Kufah, Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi di Madinah, dan sahabat Abu Thufail Amir bin Watsilah
di Makkah. Tapi sayang, tak satu pun pernah ditemuinya.  

Sedangkan, dalam riwayat lain-kendati tergolong lemah-Abu Hanifah masuk dalam daftar tabiin,
santrinya para sahabat Nabi. Karena menurut riwayat ini, ia pernah bertemu dengan sahabat
Anas bin Malik, dan meriwayatkan satu hadist tentang kewajiban menuntut ilmu darinya.
Ditambah lagi, pada tahun 96 H, Nu’man remaja pernah dibawa ayahnya menunaikan ibadah
haji. Saat di Masjidilharam, ia sempat bertemu dengan seorang sahabat bernama Abdullah bin al-
Harst bin Juzu’ az-Zabidi, dan berhasil meriwayatkan satu hadist lagi.  

Tanah Kufah menjadi tempat tinggal terlama bagi Abu Hanifah. Ia menghabiskan sebagian besar
hidupnya di sana. Sebelum masuk ke dunia santri, putra Nu’man ini adalah seorang wiraswasta.
Hari-harinya selalu di pasar, membantu sang ayah berjualan sutra. Saat di rumah, ia sibuk
memikirkan bagaimana memproduksi kain-kain sutra pilihan. Karena itu, wajar dirinya dikenal
sebagai ulama entrepreneur.

Setelah sekian lama menjadi wiraswasta, bahkan sampai menghabiskan separuh masa mudanya,
Abu Hanifah pun akhirnya bertolak dari dunia pasar menuju dunia intelektual atas saran seorang
ulama bernama as-Sya’bi. Wajar saja bila dia termasuk satu dari sekian ulama yang telat belajar.
Namun, hal itu bukan persoalan besar di mata Abu Hanifah. Berkat ketekunan dan kecerdasan
yang dimilikinya, mampu mengalahkan orang-orang yang belajar jauh sebelum dirinya.

Guru-Guru Abu Hanifah

Setelah memutuskan untuk mengikuti saran as-Sya’bi, meninggalkan hiruk pikuk dunia
perdagangan dan mencurahkan lebih banyak simpati kepada para ulama, ‘santri baru’ itu sudah
mulai jarang tampak di pasar. Ia mulai menjauh dari kebisingan di tempat itu. Walaupun,
sesekali juga menyempatkan diri menyambangi para pelanggan setia dan teman-temannya di
sana. Tapi itu bisa dihitung jari. Dalam sepekan, mungkin sekali atau bahkan tidak sama sekali.
Kesehariannya sibuk dengan mengaji, menghadiri halakah demi halakah para ulama di Kufah.

Di antara para ulama, tempat simpuh Abu Hanifah mengambil hadist adalah imam ‘Atha’ bin
Abi Rabah, imam Nafi’ (mantan budaknya Ibnu Umar), imam Qatadah, dan syekh Hammad bin
Abi Sulaiman (tempat mulazamah terlama, selama 18 tahun). Dari syekh Hammad ini pula, ia
belajar fiqih secara mendalam dengan transmisi keilmuan yang sampai pada Rasulullah. Sebab,
gurunya itu merupakan murid dari Ibrahim al-Nakha’i dan al-Sya’bi, yang mana keduanya
adalah santri tiga ulama besar; imam al-Qhadli, Alqamah bin Qais dan Masruq bin Ajda’.
Mereka semua belajar fikih kepada Abdullah bin Mas’ud dan Imam Ali bin Abi Thalib, gerbang
keilmuan baginda Nabi. Keterangan ini ditulis oleh Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-
Fiqih al-Islami.

Kisah Warak Abu Hanifah

Suatu ketika, Jubarah bin al-Mughallis bercerita tentang dirinya yang pernah mendengar Qais bin
ar-Rabi’ memuji Abu Hanifah. Qais berkata: ‫ كان أبو حنيفة ورعا تقيا مفضال على إخوانه‬  Artinya, “Abu
Hanifah adalah seorang amat warak dan benar-benar taat beragama, ia juga gemar menebar
kebaikan kepada sesama.”   Sebenarnya, ada banyak pengakuan serupa terkait kewarakan imam
Nu’man bin Tsabit. Pengakuan itu juga muncul dari orang-orang elit, sekelas imam as-Syafi’i,
imam Malik dan seterusnya. Belum lagi pengakuan yang muncul dari para murid dekatnya;
orang-orang yang langsung mengaji, satu majelis dengan Abu Hanifah. Seperti imam Abu Yusuf
al-Hanafi (wafat 183 H) dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani (wafat 198 H).

Di antara kisah kewarakan Abu Hanifah yang ditulis imam al-Hafidh Abu Abdillah Muhammad
bin Ahmad bin Utsman ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam bukunya Manaqib al-Imam Abi
Hanifah wa Shahibaihi; Abu Yusuf wa Muhammad bin al-Hasan (hal. 41), yaitu saat Abu
Hanifah menyedekahkan hasil penjualan baju yang dinilainya syubhat. Suatu ketika, ulama yang
juga entrepreneur itu menyuruh salah seorang partner bisnisnya yang bernama Hafsh untuk
menjual baju komoditas miliknya. Tapi sayang, barang yang hendak dijual itu tidak utuh,
ّ
terdapat cacat pada bagian baju tersebut. Karena itu, Abu Hanifah berpesan:   ‫إن في ثوب كذا عيبا فإذا‬
‫ه فَبَيِّن‬k‫ بعت‬  Artinya, “Di baju ini terdapat cacat, kalau ada yang ingin membelinya, beritahulah
dahulu di mana bagian cacatnya.”

Namun sialnya, Hafsh ini malah lupa pesan Abu Hanifah. Ia langsung menjual baju itu tanpa
menunjukkan celanya. Sedangkan, untuk menemukan si pembeli tadi sudah tidak mungkin.
Bayangkan saja, di tengah pasar yang sangat ramai, dipadati orang-orang tak dikenal datang dari
segala penjuru. Mengetahui hal itu, Abu Hanifah langsung menyedekahkan uang hasil penjualan
baju tersebut. Kerennya, ia tidak marah atas keteledoran itu. Jangankan sampai marah, komentar
pun tidak. Malahan, Abu Hanifah menyikapinya dengan senyum ramah. Sungguh luar biasa, ia
mampu meneladani akhlak baginda Nabi.

Anda mungkin juga menyukai