BAB II
Tinjauan Pustaka
Karya Ilmiah Sejenis Sebelumnya
Penyusunan laporan tugas akhir ini memiliki persamaan dan perbedaan
dengan
kajian terdahulu yang pernah dikerjakan oleh mahasiwa Politeknik Negeri
Bandung seperti terlihat pada Tabel II.1
Dasar Teori
Menurut UU No. 38 Tahun 2004 (hal 2) tentang jalan, menjelaskan bahwa
jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu
lintas,
yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, dan
jalan kabel Jalan sesuai peruntukannya terdiri dari jalan umum dan jalan khusus.
1. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukan bagi lalu lintas umum
2. Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha,
perseorangan, atau sekelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri
Pengertian Jalan
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk banguanan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan
lori dan jalan kabel. (UU No 38 tahun 2004, hal 2)
Rencana Pengembangan Infrastruktur
Rencana pengembangan infrastruktur di Kabupaten Tasikmalaya
disebutkan dan dijelaskan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Tasikmalaya. Bagian ketiga sistem jaringan prasarana paragraf 1 sistem prasarana
utama pasal 12
(1) Pengembangan jaringan jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b berupa pengembangan jalan kolektor primer 2 (dua) meliputi :
a. ruas jalan Ciawi – Singaparna;
b. ruas jalan Manonjaya – Salopa;
c. ruas jalan Sukaraja – Karangnunggal - Cipatujah;
d. ruas jalan Papayan -Cikalong; dan
e. ruas jalan Mangunreja - Sukaraja.
Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan adalah bagian jalan raya yang diperkeras dengan lapis
konstruksi tertentu, yang memiliki ketebalan, kekuatan, dan kekakuan, serta
kestabilan tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu lintas diatasnya ke tanah
dasar secara aman. Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak
di antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi memberikan
pelayanan kepada sarana transportasi, dan selama masa pelayanannya diharapkan
tidak
terjadi kerusakan yang berarti. (Silvia Sukirman, 2003).
II.2.3.1
Lapisan Perkerasan
Lapisan konstruksi perkerasan yang biasa digunakan di Indonesia secara
umum menurut Sukiman (1999) terdiri atas:
a. Lapisan permukaan (surface course)
b. Lapisan pondasi atas (base course)
c. Lapisan pondasi bawah (subbase course)
d. Lapisan tanah bawah (subgrade)
Perkerasan jalan digunakan pada saat sekarang ini umumnya terdiri atas
tiga jenis, yaitu Perkerasan Lentur, Perkerasan Kaku, dan Perkerasan Komposit.
Secara umum bahwa perkerasan jalan ini terdiri dari beberapa lapis, seperti:
A. Konstruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Perkerasan lentur yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan
pengikatnya. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan
beban lalu lintas ke tanah dasar.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum, perkerasan kaku merupakan suatu
susunan konstruksi perkerasan dimana sebagai lapisan atas dipergunakan pelat
beton, yang terletak di atas pondasi atau langsung di atas tanah dasar pondasi
atau
langsung di atas dasar (sub-grade).
Gambar II.2 Struktur Perkerasan kaku
Sumber: Anas Aly, Perkerasan Beton Semen (2004)
C. Konstruksi Perkerasan Komposit (Composite Pavement)
Perkerasan komposit yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan
perkesaran lentur dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku, atau
perkerasan kaku diatas perkerasan lentur.
Tabel II.2 Perbedaan perkerasan Kaku dan Perkerasan lentur. (lanjutan)
3. Umumnya sulit bertahan pada cuaca ekstrim dan Dapat bertahan dalam keadaan cuaca seburuk
kondisi drainase yang buruk. apapun, bahkan dengan kondisi drainase yang
buruk sekalipun.
4. Umur rencana lebih pendek; sekitar 5-19 tahun. Umur rencana dapat mencapai 15-40 tahun.
Namun jika terjadi kerusakan, kerusakan tersebut Namun jika terjadi kerusakan, maka
tidak menyebar secara singkat kecuali jika kerusakan tersebut lebih cepat menyebar luas
perkerasan terendam air. dalam waktu singkat.
5. Pelayanan terbaik hanya pada saat selesai Pelayanan yang diberikan tetap baik hampir
pelaksanaan konstruksi, setelah itu berkurang terus sampai umur rencana terutama jika pengerjaan
menerus seiring waktu dan frekuensi beban lalu- dan pemeliharaannya baik.
lintas yang meningkat.
6. Biaya konstruksi awal relatif lebih rendah. Biaya konstruksi awalnya lebih tinggi, namun
karena umur rencananya jauh lebih lama,
biaya perawatannya tidak terlalu tinggi.
7. Biaya pemeliharaan yang dikeluarkan akan sangat Pemeliharaan rutin terhadap sambungan akan
besar mencapai kurang lebih dua kali lipat dari sangat penting, namun biayanya tidak akan
perkerasan kaku. semahal perawatan pada perkerasan lentur.
Sumber: IR. Hamirhan Saodang MSCE. Konstruksi Jalan Raya 2004
Penentuan Strategi Penanganan Kerusakan
Pemilihan bentuk pemeliharaan jalan dilakukan dengan memberikan
penilaian terhadap kondisi permukaan jalan didasari oleh jenis kerusakan yang
ditetapkan
secara visual maupun analisa lalu-lintas. Ada beberapa metode pendekat
yang
dapat digunakan dalam melakukan penilaian kondisi jalan. Salah satunya
adalah mencari nilai kondisi pekerasan dengan metode Pavement Condition Index
(PCI).
Metode Pavement Condiiton Index (PCI)
Penentuan strategi pemeliharaan jalan untuk ruas Ciawi – Singaparna dipilih
metode
PCI, yaitu pemberian rating untuk kondisi perkerasan dengan
mengidentifikasi kondisi eksisting daerah yang diberikan pemeliharaan,
berdasarkan jenis, tingkat dan luas kerusakan yang terjadi, dan dapat digunakan
untuk menjadi acuan dalam pemeliharaan. Untuk menentukan nilai Pavement
Conditional Index (PCI), maka diperlukan survei langsung di lokasi untuk penilaian
kondisi perkerasan jalan raya tersebut. Tipe kerusakan, tingkat keparahan, dan
ukurannnya diidentifikasikan saat survey kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel
II.3
Tabel II.3 Nilai PCI
Nilai PCI Kondisi
0-10 Gagal (Failed)
11-25 Sangat Buruk (Very poor)
26-40 Buruk (poor)
41-55 Sedang (Fair)
56-70 Baik (Good)
71-85 Sangat Baik (Very good)
86-100 Sempurna (Excelent)
Sumber:Vivian, 2016
A. Jenis-jenis Kerusakan Perkerasan Jalan
Dalam metode PCI, tingkat keparahan kerusakan perkerasan merupakan
fungsi dari tiga faktor utama, yaitu: Tipe Kerusakan, tingkat keparahan, dan jumlah
atau kerapatan kerusakan.
7. Edge Cracking (Cacat Tepi Perkerasan) 17. Slippage Cracking (Retak Bulan Sabit)
8. Joint Reflection Cracking 18. Swell (Mengembang)
9. Lane Shoulder Drop-off (Penurunan pada bahu jalan) 19. Weathering and Ravelling (Pelapisan butir)
𝑨𝒕𝒂𝒖
𝐿𝑑
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 = × 100% …………………..… Rumus ( II.2) Demsity (Kadar Kerusakan)
𝐴𝑠
Dimana :
Ad = Luas satu sampel/Luas total jenis kerusakan untuk tiap tingkat
kerusakan (m²)
Ld = Panjang Total jenis kerusakan untuk tiap tingkat kerusakan (m)
- Menentukan nilai total deduct value dengan mejumlahkan tiap nilai deduct
- Menentukan CDV dari perhitungan [a] dan [b] dengan menggunakan kurva
koreksi nilai deduct.
- Nilai
deduct terkecil dikurangkan terhadap [2] kemudian ulangi langkah [a]
sampai
[c] hingga memperoleh nilai q = 1.
- CDV Maksimum adalah CDV terbesar pada proses iterasi diatas.
e. Mengitung Nilai PCI
Kisaran nilai untuk metoda PCI bernomor diantara 0 untuk kondisi
perkerasan gagal (failed) sampai dengan angka 100 untuk perkerasan yang sangat
baik sekali (excellent). Rating penilaian untuk PCI terdapat pada Guidelines and
Procedures or Mintenance of Airport Pavement (1982) seperti yang terlihat pada
Gambar II.4 Perhitungan PCI didasarkan atas hasil survey kondisi jalan secara
visual yang teridentifikasi dari tipe kerusakan, dan kuantitasnya.
merupakan adopsi dari AUSTROADS, Pavement Design, A Guide to the structural
Design of Pavement (1992), sehingga dengan di terbitkannya pedoman ini, maka
pedoman tedahulu tidak berlaku lagi.
Pedoman ini mencakup dasar-dasar ketentuan perencanaan perkerasan
jalan,
yaitu : Analisis Kekutan Tanah Dasar dan Lapis Pondasi, Perhitungan beban
dan komposisi lalu-lintas dan Analisa kekuatan beton semen untuk perkerasan.
Pedoman ini menguraikan prosedur perencanaan tebal perkerasan.
Pedoman ini dimaksudkan untuk merencanakan perkerasan beton semen
untuk
jalan yang melayani lalu-lintas rencana lebih dari satu juta sumbu kendaraan
niaga
Metoda perencanaan didasarkan pada:
1. Perkiraan lalu-lintas dan komposisinya selama umur rencana
2. Kekuatan tanah dasar yang dinyatakan dengan CBR (%)
3. Kekuatan beton yang digunakan
4. Jenis bahu jalan
5. Jenis perkerasan
6. Jenis penyaluran beban
Langkah-langkah perencanaan tebal perkerasan beton semen terdapat pada
Tabel II.5
Tabel II.5 Langkah-langkah perencanaan tebal perkerasan beton semen.
Langkah Uraian Kegiatan
Pilih jenis perkerasan beton semen, bersambung tanpa ruji, bersambung dengan
1
ruji, atau menerus dengan tulangan.
2 Tentukan apakah menggunakan bahu beton atau bukan.
Tentukan jenis dan tebal pondasi bawah berdasarkan nilai CBR rencana dan
3 perkirakan jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana sesuai dengan
Gambar 2*
Tentukan CBR efektif bedasarkan nilai CBR rencana dan pondasi bawah yang
4
dipilih sesuai dengan Gambar 3*,
5 Pilih kuat tarik lentur atau kuat tekan beton pada umur 28 hari (fcf)
6 Pilih faktor keamanan beban lalu lintas (FKB)
Taksir tebal pelat beton (taksiran awal dengan tebal tertentu berdasarkan
pengalaman atau menggunakan contoh yang tersedia atau dapat menggunakan
7
Gambar 24* sampai dengan
Gambar 31*
Tentukan tegangan ekivalen (TE) dan faktor erosi (FE) untuk STRT dari Tabel
8
8 atau Tabel 9
Tentukan faktor rasio tegangan (FRT) dengan membagi tegangan ekivalen (TE)
9
oleh kuat tarik-lentur (fcf).
Untuk setiap rentang beban kelompok sumbu tersebut, tentukan beban per roda
dan kalikan dengan faktor keamanan beban (Fkb) untuk menentukan beban
10 rencana per roda.
Jika beban rencana per roda 65 kN (6,5 ton), anggap dan gunakan nilai tersebut
sebagai batas tertinggi pada Gambar 19* sampai Gambar 21*
Dengan faktor rasio tegangan (FRT) dan beban rencana, tentukan jumlah repetisi
11 ijin untuk fatik dari Gambar 19*, yang dimulai dari beban roda tertinggi dari jenis
sumbu STRT tersebut.
Hitung persentase dari repetisi fatik yang direncanakan terhadap jumlah repetisi
12
ijin.
Dengan menggunakan faktor erosi (FE), tentukan jumlah repetisi ijin untuk
13
erosi, dari Gambar 20 atau 21*.
Hitung persentase dari repetisi erosi yang direncanakan terhadap jumlah repetisi
14
ijin.
Ulangi langkah 11 sampai dengan 14 untuk setiap beban per roda pada sumbu
tersebut
15
sampai jumlah repetisi beban ijin yang terbaca pada Gambar 19 dan Gambar 20
atau Gambar 21* yang masing-masing menapai 10 juta dan 100 juta repetisi.
Hitung jumlah total fatik dengan menjumlahkan persentase fatik dari setiap beban
roda
16
pada STRT tersebut. Dengan cara yang sama hitung jumlah total erosi dari setiap
beban roda pada STRT tersebut.
Ulangi langkah 8 sampai dengan langkah 16 untuk setiap jenis kelompok sumbu
17
lainnya.
Hitung jumlah total kerusakan akibat fatik dan jumlah total kerusakan akibat
18
erosi untuk seluruh jenis kelompok sumbu.
Ulangi langkah 7 sampai dengan langkah 18 hingga diperoleh ketebalan tertipis
yang
19
menghasilkan total kerusakan akibat fatik dan atau erosi 100%. Tebal tersebut
sebagai tebal perkerasan beton semen yang direncanakan.
II.2.7.1 Tanah Dasar
Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai
dengan SNI 03-1731-1989 atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 03-1744-
1989,
masing-masing untuk perencanaan tebal perkerasan lama dan perkerasan
jalan
baru. Apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2 %, maka
harus dipasang pondasi bawah yang terbuat dari beton kurus (Lean-Mix Concrete)
setebal 15 cm yang dianggap mempunyai nilai CBR tanah dasar efektif 5 %.
Gambar II.5 Tebal pondasi bawah minimum untuk perkerasan beton semen
Gambar II.6 CBR tanah dasar efektif dan tebal pondasi bawah
Sumber : PdT 14-2003
II.2.7.2 Pondasi Bawah
Bahan pondasi bawah dapat berupa :
- Bahan berbutir.
- Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled Concrete)
- Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete).
Lapis pondasi bawah perlu diperlebar sampai 60 cm diluar tepi perkerasan
beton semen. Untuk tanah ekspansif perlu pertimbangan khusus perihal jenis dan
penentuan lebar lapisan pondasi dengan memperhitungkan tegangan
pengembangan
yang mungkin timbul. Pemasangan lapis pondasi dengan lebar
sampai
ke tepi luar lebar jalan merupakan salah satu cara untuk mereduksi prilaku
tanah ekspansif.
Tebal lapisan pondasi minimum 10 cm yang paling sedikit mempunyai mutu
sesuai dengan SNI No. 03-6388-2000 dan AASHTO M-155 serta SNI 03-1743-
1989.
Bila direncanakan perkerasan beton semen bersambung tanpa ruji, pondasi
bawah
harus menggunakan campuran beton kurus (CBK). Tebal lapis pondasi
bawah minimum yang disarankan dapat dilihat pada Gambar II.5 dan CBR tanah
dasar efektif didapat dari Gambar II.6
Pondasi bawah material berbutir
Material berbutir tanpa pengikat harus memenuhi persyaratan sesuai dengan
SNI-03-6388-2000. Persyaratan dan gradasi pondasi bawah harus sesuai dengan
kelas B. Sebelum pekerjaan dimulai, bahan pondasi bawah harus diuji gradasinya
dan harus memenuhi spesifikasi bahan untuk pondasi bawah, dengan
penyimpangan ijin 3% - 5%. Ketebalan minimum lapis pondasi bawah untuk tanah
dasar dengan CBR minimum 5% adalah 15 cm. Derajat kepadatan lapis pondasi
bawah minimum 100 %, sesuai dengan SNI 03-1743-1989.
Pondasi bawah dengan bahan pengikat (Bound Sub-base)
Pondasi bawah dengan bahan pengikat (BP) dapat digunakan salah satu dari
a. Stabilisasi material berbutir dengan kadar bahan pengikat yang sesuai
dengan hasil perencanaan, untuk menjamin kekuatan campuran dan
ketahanan terhadap erosi. Jenis bahan pengikat dapat meliputi semen, kapur,
serta abu terbang dan/atau slag yang dihaluskan.
b. Campuran beraspal bergradasi rapat (dense-graded asphalt).
c. Campuran beton kurus giling padat yang harus mempunyai kuat tekan
karakteristik pada umur 28 hari minimum 5,5 MPa (55 kg/cm2 ).
Pondasi bawah dengan campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete)
Campuran Beton Kurus (CBK) harus mempunyai kuat tekan beton
karakteristik pada umur 28 hari minimum 5 MPa (50 kg/cm2) tanpa menggunakan
abu terbang, atau 7 MPa (70 kg/cm2) bila menggunakan abu terbang, dengan tebal
minimum 10 cm.
II.2.7.3 Lapis pemecah ikatan pondasi bawah
dan pelat
Perencanaan ini didasarkan bahwa antara pelat dengan pondasi bawah tidak
ada ikatan. Jenis pemecah ikatan dan koefisien geseknya dapat dilihat pada Tabel
II.6
Tabel II.6 Nilai koefisien gesekan
Lapis pemecah ikatan Koefisien gesekan (µ)
Lapis resap ikat aspal di atas permukaan pondasi bawah 1,0
Laburan paraffin tipis pemecah ikat 1,5
Karet kompon ( A chlorinated rubber curing compound ) 2,0
fcf = K (f’c)0,50 dalam MPa ….……...………….. Rumus ( II.5) Kuat Tarik-Lentur Beton
Atau
fcf = 3,13 K (f’c)0,50 dalam kg/cm2 ….….............. Rumus ( II.6) Kuat Tarik-Lentur Beton
Dengan pengertian :
fc’ : kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2)
fcf : kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)
K : konstanta, 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 untuk agregat pecah.
Kuat tarik lentur dapat juga ditentukan dari hasil uji kuat tarik belah beton
yang dilakukan
menurut
SNI 03-2491-1991 sebagai berikut :
Tabel II.7 Konfigurasi Sumbu
No Konfigurasi Sumbu Gambar
1 Sumbu tunggal roda tunggal (STRT).
4 Sumbu tridem roda ganda (STrRG)
Sumber analisis
A. Lajur rencana dan koefisien distribusi
Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan
raya yang menampung lalu-lintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan tidak
memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefsien distribusi (C)
kendaraan niaga dapat ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel 11.8
Tabel II.8 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan dan koefisien distribusi (C) kendaraan niaga
pada lajur rencana
Jumlah Koefisien distribusi
Lebar perkerasan (Lp) lajur
1 arah 2 arah
(ni)
Lp < 5,50 m 1 lajur 1 1
5,50 m ≤ Lp < 8,25 m 2 lajur 0,70 0,50
8,25 m ≤ Lp < 11,25 m 3 lajur 0,50 0,475
11,25 m ≤ Lp < 15,00 m 4 lajur - 0,45
15,00 m ≤ Lp < 18,75 m 5 lajur - 0,425
18,75 m ≤ Lp < 22,00 m 6 lajur - 0,40
B. Umur rencana
Umur rencana pekerasan jalan ditentukan atas pertimbangan klasifikasi
fungsional jalan, pola lalu-lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan, yang
dapat ditentukan antara lain dengan metode Benefit Cost Ratio, Internal Rate of
Return, kombinasi dari metode tersebut atau cara lain yang tidak terlepas dari pola
pengembangan wilayah. Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan
dengan umur rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun.
C. Pertumbuhan Lalu Lintas
Volume lalu-lintas akan bertambah sesuai dengan umur rencana atau sampai
tahap di mana kapasitas jalan dicapai denga faktor pertumbuhan lalu-lintas yang
dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut :
(1 + 𝑖)𝑈𝑅 − 1 …………...…… Rumus ( II.7) Faktor Perumbuhan Lalu-Lintas
𝑅 =
𝑖
Dengan pengertian :
R : Faktor pertumbuhan lalu lintas
i : Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %.
UR: Umur rencana (tahun)
Faktor pertumbuhan lalu-lintas ( R ) dapat juga ditentukan berdasarkan
Tabel II.9
Tabel II.9 Faktor pertumbuhan lalu lintas.
Umur Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%)
Rencana
0 2 4 6 8 10
(Tahun)
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6
Jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana dihitung dengan
rumus berikut :
JSKN = JSKNH x 365 x R x C …………...…………………….... Rumus ( II.8) JSKN
Dengan pengertian :
JSKN : Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana .
JSKNH : Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan
dibuka.
R : Faktor pertumbuhan komulatif dari Tabel II.9, yang besarnya
II.2.7.6 Bahu
Bahu dapat terbuat dari bahan lapisan pondasi bawah dengan atau tanpa
lapisan penutup beraspal atau lapisan beton semen. Perbedaan kekuatan antara bahu
dengan jalur lalu-lintas akan memberikan pengaruh pada kinerja perkerasan. Hal
tersebut dapat diatasi dengan bahu beton semen, sehingga akan meningkatkan
kinerja perkerasan dan mengurangi tebal pelat. Yang dimaksud dengan bahu beton
semen
dalam pedoman ini adalah bahu yang dikunci dan diikatkan dengan lajur
lalu-lintas
dengan lebar minimum 1,50 m, atau bahu yang menyatu dengan lajur
lalu-lintas selebar 0,60 m, yang juga dapat mencakup saluran dan kereb.
II.2.7.7 Sambungan
Sambungan
pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :
dan
Dengan pengertian :
At = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan (mm2).
b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan dengan tepi
perkerasan (m).
C. Sambungan susut memanjang
Sambungan susut memanjang dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara
ini, yaitu menggergaji atau membentuk pada saat beton masih plastis dengan
kedalaman
sepertiga dari tebal pelat.
D. Sambungan susut dan sambungan pelaksanaan melintang
Ujung sambungan ini harus tegak lurus terhadap sumbu memanjang jalan dan
tepi
perkerasan. Untuk mengurangi beban dinamis, sambungan melintang harus
dipasang
dengan kemiringan 1 : 10 searah perputaran jarum jam.
E. Sambungan susut melintang
Kedalaman sambungan kurang lebih mencapai seperempat dari tebal pelat
untuk
Perkerasan dengan lapis pondasi berbutir atau sepertiga dari tebal pelat untuk
lapis pondasi stabilisasi semen sebagai mana diperlihatkan pada Gambar II.9. dan
II.10. Jarak sambungan susut melintang untuk perkerasan beton bersambung tanpa
tulangan sekitar 4 - 5 m, sedangkan untuk perkerasan beton bersambung dengan
tulangan 8 - 15 m dan untuk sambungan perkerasan beton menerus dengan tulangan
sesuai dengan kemampuan pelaksanaan.
Sambungan ini harus dilengkapi dengan ruji polos panjang 45 cm, jarak
antara ruji 30 cm, lurus dan bebas dari tonjolan tajam yang akan mempengaruhi
gerakan bebas pada saat pelat beton menyusut.
Setengah panjang ruji polos harus dicat atau dilumuri dengan bahan anti
lengket untuk menjamin tidak ada ikatan dengan beton.
Diameter ruji tergantung pada tebal pelat beton sebagaimana terlihat pada
Tabel II.11
Tabel II.11 Diameter ruji
No Tebal pelat beton, h (mm) Diameter ruji ( mm)
1 125 < h ≤ 140 20
2 140 < h ≤ 160 24
3 160 < h ≤ 190 28
4 190 < h ≤ 220 33
5 220 < h ≤ 250 36
Gambar II.9 Sambungan susut melintang tanpa ruji
Gambar II.11 Sambung pelaksanaan yang direncanakan dan yang tidak direncanakan untuk
pengecoran per lajur
Gambar II.12 Sambungan pelaksanaan yang direncanakan dan yang tidak direncanakan untuk
pengecoran seluruh lebar perkerasan
G. Sambungan isolasi
Sambungan isolasi memisahkan perkerasan dengan bangunan yang lain,
misalnya
manhole, jembatan, tiang listrik, jalan lama, persimpangan dan lain
sebagainya. Contoh persimpangan yang membutuhkan sambungan isolasi
diperlihatkan pada Gambar II.13.
Sambungan isolasi harus dilengkapi dengan bahan penutup (joint sealer) setebal
5 – 7 mm dan sisanya diisi dengan bahan pengisi (joint filler) sebagai mana
diperlihatkan pada Gambar II.14
Gambar II.16 Tampak atas penempatan sambungan isolasi pada lubang masuk saluran
cukup dengan panjang minimum lebar sambungan isolasi ditambah 6 mm seperti
diperlihatkan pada Gambar 14a. Ukuran ruji dapat dilihat pada Tabel II.11.
Sambungan isolasi pada persimpangan dan ram tidak perlu diberi ruji tetapi
diberikan
penebalan tepi untuk mereduksi tegangan. Setiap tepi sambungan
ditebalkan
20% dari tebal perkerasan sepanjang 1,5 meter seperti diperlihatkan pada
Gambar II.14b.
Sambungan isolasi yang digunakan pada lubang masuk ke saluran, manhole,
tiang listrik dan bangunan lain yang tidak memerlukan penebalan tepi dan ruji,
ditempatkan
di sekeliling bangunan tersebut sebagai mana diperlihatkan pada
Gambar
II.11c, II.14 dan II.15.
H. Pola sambungan
Pola sambungan pada perkerasan beton semen harus mengikuti batasan-
batasan sebagai berikut :
- Hindari bentuk panel yang tidak teratur. Usahakan bentuk panel sepersegi
mungkin. Perbandingan maksimum panjang panel terhadap lebar adalah 1,25.
- Jarak maksimum sambungan memanjang 3 - 4 meter.
- Jarak maksimum sambungan melintang 25 kali tebal pelat, maksimum 5,0
meter.
- Semua sambungan susut harus menerus sampai kerb dan mempunyai
kedalaman seperempat dan sepertiga dari tebal perkerasan masing-masing
untuk lapis pondasi berbutir dan lapis stabilisasi semen.
- Antar sambungan harus bertemu pada satu titik untuk menghindari terjadinya
retak refleksi pada lajur yang bersebelahan.
- Sudut antar sambungan yang lebih kecil dari 60 derajat harus dihindari dengan
mengatur 0,5 m panjang terakhir dibuat tegak lurus terhadap tepi perkerasan.
- Apabila sambungan berada dalam area 1,5 meter dengan manhole atau
bangunan yang lain, jarak sambungan harus diatur sedemikian rupa sehingga
antara sambungan dengan manhole atau bangunan yang lain tersebut
membentuk sudut tegak lurus. Hal tersebut berlaku untuk bangunan yang
berbentuk bundar. Untuk bangunan berbentuk segi empat, sambungan harus
berada pada sudutnya atau di antara dua sudut.
- Semua bangunan lain seperti manhole harus dipisahkan dari perkerasan
dengan sambungan muai selebar 12 mm yang meliputi keseluruhan tebal
pelat.
- Perkerasan yang berdekatan dengan bangunan lain atau manhole harus
I. Penutup sambungan
Penutup sambungan dimaksudkan untuk mencegah masuknya air dan atau
benda lain ke dalam sambungan perkerasan. Benda-benda lain yang masuk ke
dalam sambungan dapat menyebabkan kerusakan berupa gompal dan atau pelat
beton yang saling menekan ke atas (blow up)
II.2.7.8 Perkerasan beton semen untuk
kelandaian yang curam
Untuk jalan dengan kemiringan memanjang yang lebih besar dari 3%,
perencanaan serta prosedur mengacu pada Butir 6 dan harus ditambah dengan
angker panel (panel anchored) dan angker blok (anchor block). Jalan dengan
kondisi ini harus dilengkapi dengan angker yang melintang untuk keseluruhan lebar
pelat sebagaimana diuraikan pada Tabel II.12 dan diperlihatkan pada Gambar II.19
dan II.20.
Tabel II.12 Penggunaan Angker Panel dan Angker blok pada jalan dengan kemiringan memanjang yang
curam
Catatan: panjang panel adalah jarak antara sambungan melintang
II.2.7.9 Prosedur perencanaan
Prosedur perencanaan perkerasan beton semen didasarkan atas dua model
kerusakan
yaitu :
Penilaian CBR
Tanah dasar
ya
Apakah kerusakan
tidak
fatik > 100%
Tebal Rencana
Gambar II.22 Analisis fatik dan beban repetisi ijin berdasarkan rasio tegangan, dengan/tanpa bahu
beton
Gambar II.23 Analisis erosi dan jumlah repetisi beban ijin, berdasarkan faktor erosi, tanpa bahu
beton
Gambar II.24 Analisi erosi dan jumlah repetisi beban berdasarkan faktor erosi, dengan bahu beton
A. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan
Pada perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan, ada
kemungkinan penulangan perlu dipasang guna mengendalikan retak. Bagian-
bagian
pelat yang diperkirakan akan mengalami retak akibat konsentrasi tegangan
yang
tidak dapat dihindari dengan pengaturan pola sambungan, maka pelat harus
diberi tulangan.
Penerapan tulangan umumnya dilaksanakan pada :
a. Pelat dengan bentuk tak lazim (odd-shaped slabs),
Pelat disebut tidak lazim bila perbadingan antara panjang dengan lebar
lebih besar dari 1,25, atau bila pola sambungan pada pelat tidak benar-
benar berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang.
b. Pelat dengan sambungan tidak sejalur (mismatched joints).
c. Pelat berlubang (pits or structures)
B. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan
Luas penampang tulangan dapat dihitung dengan persamaan berikut :
𝜇. 𝐿. 𝑀. 𝑔. ℎ…………...
𝐴𝑠 = Rumus ( II.11) Luas Penampang Tulangan Baja
2. 𝑓𝑠
Dengan pengertian:
As : luas penampang tulangan baja (mm2/m lebar pelat)
fs : kuat-tarik ijin tulangan (MPa). Biasanya 0,6 kali tegangan leleh.
g : gravitasi (m/detik2).
h : tebal pelat beton (m)
L : jarak antara sambungan yang tidak diikat dan tepi bebas pelat (m)
M : berat per satuan volume pelat (kg/m3)
μ : koefisien gesek antara pelat beton dan pondasi bawah pada
Tabel II.6
Luas penampang tulangan berbentuk anyaman empat persegi panjang dan
bujur sangkar ditunjukkan pada Tabel II.13.
Dengan pengertian :
Ps : persentase luas tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap luas
penampang beton (%)
fct : kuat tarik langsung beton = (0,4 – 0,5 fcf) (kg/cm2)
fy : tegangan leleh rencana baja (kg/cm2)
n : angka ekivalensi antara baja dan beton (Es/Ec), dapat dilihat pada Tabel
2.10 atau dihitung dengan rumus
μ : koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya
Es : modulus elastisitas baja = 2,1 x 106 (kg/cm2)
Ec : modulus elastisitas beton = 1485 √ f’c (kg/cm2)
Tabel II.14 Hubungan kuat tekan beton dan angka ekivalen baja dan beton ( n )
f’c (kg/cm2) N
175 – 225 10
235 – 285 8
290 – keatas 6
Persentase minimum dari tulangan memanjang pada perkerasan beton
menerus adalah 0,6% luas penampang beton. Jumlah optimum tulangan
memanjang, perlu dipasang agar jarak dan lebar retakan dapat dikendalikan. Secara
teoritis
jarak antara retakan pada perkerasan beton menerus dengan tulangan
dihitung
dari persamaan berikut :
𝑓𝑐𝑡2
𝐿𝑐𝑟 =
𝑛. 𝑝2 . 𝑢. 𝑓𝑏 . (𝜀𝑠 . 𝐸𝑐 − 𝑓𝑐𝑡 ) ………… Rumus ( II.13) Jarak antara Retakan
Dengan pengertian :
Lcr : jarak teoritis antara retakan (cm).
P : perbandingan luas tulangan memanjang dengan luas penampang beton.
u : perbandingan keliling terhadap luas tulangan = 4/d.
fb : tegangan lekat antara tulangan dengan beton = (1,97√f’c)/d. (kg/cm2)
εs : koefisien susut beton = (400.10-6).
fct : kuat tarik langsung beton = (0,4 – 0,5 fcf) (kg/cm2)
n : angka ekivalensi antara baja dan beton = (Es/Ec).
Ec : modulus Elastisitas beton =14850√ f’c (kg/cm2)
Es : modulus Elastisitas baja = 2,1x106 (kg/cm2)
Untuk menjamin agar didapat retakan-retakan yang halus dan jarak antara retakan
yang optimum, maka :
- Persentase tulangan dan perbandingan antara keliling dan luas tulangan
harus besar
- Perlu menggunakan tulangan ulir (deformed bars) untuk memperoleh
tegangan lekat yang lebih tinggi.
Jarak retakan teoritis yang dihitung dengan persamaan di atas harus
memberikan hasi antara 150 dan 250 cm. Jarak antar tulangan 100 mm - 225 mm.
Diameter batang tulangan memanjang berkisar antara 12 mm dan 20 mm.
b. Penulangan melintang
Luas tulangan melintang (As) yang diperlukan pada perkerasan beton menerus
dengan tulangan dihitung menggunakan persamaan (8).
Tulangan melintang direkomendasikan sebagai berikut:
a. Diameter batang ulir tidak lebih kecil dari 12 mm.
b. Jarak maksimum tulangan dari sumbu-ke-sumbu 75 cm.
c. Penempatan tulangan
Penulangan melintang pada perkerasan beton semen harus ditempatkan pada
kedalaman lebih besar dari 65 mm dari permukaan untuk tebal pelat ≤ 20 cm dan
maksimum
sampai sepertiga tebal pelat untuk tebal pelat > 20 cm. Tulangan arah
memanjang
dipasang di atas tulangan arah melintang.
II.2.7.10 Perencanaan lapis tambah
Pelapisan tambahan pada perkerasan beton semen dibedakan atas :
a. Pelapisan tambahan perkerasan beton semen di atas perkerasan lentur.
b. Pelapisan tambahan perkerasan beton semen di atas perkerasan beton
semen.
c. Pelapisan tambahan perkerasan lentur di atas perkerasan beton semen.
a. Pelapisan tambahan perkerasan beton semen di atas perkerasan
beton aspal
Tebal lapis tambahan perkerasan beton semen di atas perkerasan lentur
dihitung dengan cara yang sama seperti perhitungan tebal pelat beton semen pada
perencanaan baru yang telah diuraikan sebelumnya.
Modulus reaksi perkerasan lama (k) diperoleh dengan melakukan pengujian
pembebanan pelat (plate bearing test) menurut AASHTO T.222-81 di atas
permukaan perkerasan lama yang selanjutnya dikorelasikan terhadap nilai CBR
menurut Gambar II.25.
Bila nilai k lebih besar dari 140 kPa/mm (14 kg/cm3), maka nilai k dianggap
sama dengan 140 kPa/mm (14 kg/cm3) dengan nilai CBR 50%.
Gambar II.25 Hubungan antara CBR dan Modulus Reaksi Tanah Dasar
a) Umur rencana (UR) menurut Bina Marga, 2013, adalah jumlah waktu dalam
tahun dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka sampai saat diperlukan
perbaikan berat atau dianggap perlu untuk diberi lapis permukaan yang baru.
Untuk menentukan umur rencana perkerasan dapat dilihat dengan Tabel II.15
Tabel II.15 Umur Rencana Pekerasan Jalan Baru (UR)
Jenis Pekerasan Elemen Pekerasan Umur Rencana (tahun)(1)
Pekerasan Lentur Lapisan aspal dan lapisan berbutir(2) 20
Fondasi Jalan
Semua pekerasan untuk daerah yang
Pemilihan jenis perkerasan akan bervariasi berdasarkan volume lalu lintas, umur
rencana, dan kondisi fondasi jalan. Batasan pada Tabel II.17 tidak mutlak,
perencana harus mempertimbangkan biaya terendah selama umur rencana,
keterbatasan dan kepraktisan pelaksanaan. Pemilihan alternatif desain
berdasarkan manual ini harus didasarkan pada discounted lifecycle cost terendah.
CBR ≥ 2,5%)
Tabel II.16II.17 Pemilihan Jenis Perkerasan (lanjutan)
Perkerasan
kaku dengan lalu
lintas rendah (daerah pedesaan 4A - 1, 2 - - -
dan perkotaan)
AC WC
modifikasi atau SMA
modifikasi dengan CTB (ESA 3 - - - 2 2
pangkat 5)
AC dengan CTB - 2 2
3 - -
(ESA pangkat 5)
AC tebal ≥ 100 mm dengan
lapis fondasi berbutir (ESA 3B - - 1, 2 2 2
pangkat 5)
AC atau HRS tipis diatas
3A - 1, 2 - - -
lapis fondasi berbutir
c) Perkerasan Kaku
Discounted lifecycle cost perkerasan kaku umumnya lebih rendah untuk
jalan dengan beban lalu lintas lebih dari 30 juta ESA4. Pada kondisi tertentu
perkerasan kaku dapat dipertimbangkan untuk jalan perkotaan dan pedesaan.
Keuntungan perkerasan kaku antara lain adalah:
Struktur perkerasan lebih tipis kecuali untuk area tanah lunak.
Pelaksanaan konstruksi dan pengendalian mutu lebih mudah.
Biaya pemeliharaan lebih rendah jika mutu pelaksanaan baik.
Pembuatan campuran lebih mudah.
Kerugiannya antara lain:
Biaya konstruksi lebih mahal untuk jalan dengan lalu lintas rendah.
Rentan terhadap retak jika dilaksanakan di atas tanah lunak, atau tanpa
daya dukung yang memadai, atau tidak dilaksanakan dengan baik
1
1. Survei lalu lintas, dengan durasi minimal 7 x 24 jam . Survei dapat
dilakukan secara manual mengacu pada Pedoman Survei Pencacahan Lalu
Lintas (Pd T-19-2004-B) atau menggunakan peralatan dengan pendekatan
yang sama.
2. Hasil – hasil survei lalu lintas sebelumnya.
3. Nilai perkiraan dari Tabel II.17 untuk jalan dengan lalu lintas rendah.
Dalam analisis lalu lintas, penentuan volume lalu lintas pada jam sibuk dan lalu
lintas harian rata – rata tahunan (LHRT) mengacu pada Manual Kapasitas Jalan
Indonesia (MKJI). Penentuan nilai LHRT didasarkan pada data survei volume
lalu
lintas dengan mempertimbangkan faktor k.
Perkiraan volume lalu lintas harus dilaksanakan secara realistis. Rekayasa data
lalu lintas untuk meningkatkan justifikasi ekonomi tidak boleh dilakukan untuk
kepentingan apapun. Jika terdapat keraguan terhadap data lalu lintas maka
perencana harus membuat survai cepat secara independen untuk memverifikasi
data tersebut.
f) Data Lalu lintas
Akurasi data lalu lintas penting untuk menghasilkan desain perkerasan yang
efektif. Data harus meliputi semua jenis kendaraan komersial. Apabila diketahui
atau diduga terdapat kesalahan data, harus dilakukan penghitungan lalu lintas
khusus sebelum perencanaan akhir dilakukan.
g) Jenis kendaraan
Sistem klasifikasi kendaraan dinyatakan dalam Pedoman Survei Pencacahan
Lalu Lintas (Pd T-19-2004-B). Beban gandar kendaraan penumpang dan
kendaraan ringan sampai sedang cukup kecil sehingga tidak berpotensi
menimbulkan kerusakan struktural pada perkerasan. Hanya kendaraan niaga
dengan jumlah roda enam atau lebih yang perlu diperhitungkan dalam analisis.
Laporan Tugas Akhir
Tabel II.18 Perkiraan Lalu Lintas untuk Jalan Lalu Lintas Rendah.
Kendaraan Faktor pengali kelompok Kumulatif Beban lalu
LHRT dua Umur Pertumbuha Faktor
berat (% Pertumbuhan Sumbu/ HVAG lintas desain
Deskripsi Jalan arah Rencana n lalu Lintas ESA/HVAG
dari lalu kumulatif Lalu Kendaraan (Kelompok (aktual)
(Kend/hari) (Th) (%) (overloaded)
lintas) lintas berat sumbu) (ESA4)
h) Faktor pertumbuhan Lalu Lintas
Faktor pertumbuhan lalu lintas berdasarkan data–data pertumbuhan series
(historical growth data) atau formulasi korelasi dengan faktor pertumbuhan lain
yang
berlaku. Jika tidak tersedia data maka Tabel II.10 dapat digunakan (2015
– 2035).
Tabel II.19 Faktor Laju Pertumbuhan Lalu Lintas (i) %)
Jawa Sumatera Kalimantan Rata-rata
Indonesia
Arteri dan perkotaan 4,80 4,83 5,14 4,75
Rumus ( II.15)
Dengan
R : faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif
i1 : laju pertumbuhan tahunan lalu lintas periode1(%)
i2 : laju pertumbuhan tahunan lalu lintas periode 2(%)
UR : total umur rencana (tahun)
UR1 : umur rencana periode 1 (tahun)
Formula
di atas digunakan untuk periode rasio volume kapasitas (RVK) yang
belum
mencapai tingkat kejenuhan (RVK ≤ 0.85).
Apabila kapasitas lalu lintas diperkirakan tercapai pada tahun ke (Q) dari umur
rencana (UR), faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif dihitung sebagai
berikut:
Rumus ( II.16) Faktor Pertumbuhan Lalu-Lintas
Kumulatif
Pengaruh Pengalihan Lalu Lintas (Traffic Diversion)
Analisis lalu lintas harus memperhatikan faktor pengalihan lalu lintas yang
didasarkan pada jaringan jalan dan harus memperhitungkan proyeksi
peningkatan kapasitas ruas jalan eksisting dan pembangunan ruas jalan baru.
i) Lalu Lintas pada lajur rencana
lintas kendaraan niaga (truk dan bus) paling besar. Beban lalu lintas pada lajur
rencana dinyatakan dalam kumulatif beban gandar standar (ESA) dengan
memperhitungkan faktor distribusi arah (DD) dan faktor distribusi lajur
kendaraan niaga (DL).
Untuk jalan dua arah, faktor distribusi arah (DD) umumnya diambil 0,50 kecuali
pada lokasi- lokasi yang jumlah kendaraan niaga cenderung lebih tinggi pada
satu arah tertentu.
Untuk jalan dua arah, faktor distribusi arah (DD) umumnya diambil 0,50 kecuali pada
lokasi- lokasi yang jumlah kendaraan niaga cenderung lebih tinggi pada satu arah
tertentu.
Faktor distribusi lajur digunakan untuk menyesuaikan beban kumulatif (ESA)
pada jalan dengan dua lajur atau lebih dalam satu arah. Pada jalan yang
demikian, walaupun sebagian besar kendaraan niaga akan menggunakan lajur
luar, sebagian lainnya akan menggunakan lajur-lajur dalam. Faktor distribusi
jalan yang ditunjukkan pada Tabel II.11
Beban desain pada setiap lajur tidak boleh melampaui kapasitas lajur selama
umur rencana. Kapasitas lajur mengacu Permen PU No.19/PRT/M/2011 tentang
Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan berkaitan rasio
antara volume dan kapasitas jalan yang harus dipenuhi.
Tabel II.20 Faktor Distribusi Lajur (DL)
Jumlah Lajur Kendaraan niaga pada lajur desain
setiap arah (% terhadap populasi kendaraan niaga)
1 100
2 80
3 60
4 50
Laporan Tugas Akhir
Tabel II.22 Nilai VDF masing-masing jenis kendaraan niaga
Bali, Nusa Tenggara,
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi
Maluku dan Papua
Jenis Beban Beban Beban Beban Beban
Normal Normal Normal Normal Normal
kenderaan aktual aktual actual actual aktual
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
5B 1.0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1.0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
6A 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5
6B 4,5 7,4 3,4 4,6 5,3 9,2 4,0 5,1 4,8 8,5 3,4 4,7 4,9 9,0 2,9 4,0 3,0 4,0 2,5 3,0
7A1 10,1 18,4 5,4 7,4 8,2 14,4 4,7 6,4 9,9 18,3 4,1 5,3 7,2 11,4 4,9 6,7 - - - -
7A2 10,5 20,0 4,3 5,6 10,2 19,0 4,3 5,6 9,6 17,7 4,2 5,4 9,4 19,1 3,8 4,8 4,9 9,7 3,9 6,0
7C1 15,9 29,5 7.0 9,6 11,0 19,8 7,4 9,7 11,7 20,4 7,0 10,2 13,2 25,5 6,5 8,8 14,0 11,9 10,2 8,0
7C2A 19,8 39,0 6,1 8,1 17,7 33,0 7,6 10,2 8,2 14,7 4,0 5,2 20,2 42,0 6,6 8,5 - - - -
7C2B 20,7 42,8 6,1 8,0 13,4 24,2 6,5 8,5 - - - - 17,0 28,8 9,3 13,5 - - - -
7C3 24,5 51,7 6,4 8,0 18,1 34,4 6,1 7,7 13,5 22,9 9,8 15,0 28,7 59,6 6,9 8,8 - - - -
Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 04/SE/Db/2017
Laporan Tugas Akhir
Tabel II.23 Nilai VDF masing-masing jenis kendaraan niaga
Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Konfigurasi Kelompok Beban
Uraian
Sumbu Sumbu Semua Kendaraan Semua Kendaraan Bermotor
Klasifikasi
Alternatif Muatan-muatan yang di VDF 4 VDF 5
Lama Bermotor Kecuali Sepeda Motor
Angkut
1 1 Sepeda Motor 1.1 2 30,4
2,3,4 2,3,4 Sedan/Angkot/Pick-up/Station wagon 1.1 2 51,7 74,3
5a 5a Bus kecil, 1.2 2 3,5 5 0,3 0,2
5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,2 1 1
6a,1 6,1 Truk 2 sumbu cargoringan 1.1 Muatan Umum 2 0,3 0,2
4,6 6,6
6a,2 6,2 Truk 2 sumbu ringan 1.2 Tanah, Pasir, Besi, Semen 2 0,8 0,8
6b1,1 7,1 Truk 2 sumbu cargosedabg 1.2 Muatan Umum 2 0,7 0,7
- -
6b1,2 7,2 Truk 2 sumbu sedang 1.2 Tanah, Pasir, Besi, Semen 2 1,6 1,7
6b2,1 8,1 Truk 2 sumbu berat 1.2 Muatan Umum 2 0,9 0,8
3,8 5,5
6b2,2 8,2 Truk 2 sumbu berat 1.2 Tanah, Pasir, Besi, Semen 2 7,3 11,2
KENDARAAN NIAGA
7a1 9,1 truk 3 sumbu ringan 1.22 Muatan Umum 3 7,6 11,2
3,9 5,6
7a2 9,2 Truk 3 sumbu sedang 1.22 Tanah, Pasir, Besi, Semen 3 28,1 64,4
7a3 9,3 Truk 3 sumbu berat 1.1.2 Muatan Umum 3 0,1 0,1 28,9 62,2
7b 10 Truk 2 sumbu dan trailer penarik 2 sumbu 1.2-2.2 Tanah, Pasir, Besi, Semen 4 0,5 0,7 36,9 90,4
7c1 11 Truk 4 sumbu trailer 1.2-22 4 0,3 0,5 13,6 24
7c2.1 12 Truk 5 sumbu trailer 1.22-22 5 19 33,2
0,7 1
7c2.2 13 Truk 5 sumbu trailer 1.2-222 5 30,3 69,7
7c3 14 Truk 6 sumbu trailer 1.22-222 5 0,3 0,5 41,6 93,7
Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 04/SE/Db/2017
Catatan: Data didasakan pada survei beban lalu lintas Arteri Pulau Jawa-2011. Lihat survei WIM 2011 untuk informasi lebih lanjut.
Laporan Tugas Akhir
Khusus untuk jalan di kawasan industri, pelabuhan besar, quarry dan
pertambangan disarankan menggunakan nilai VDF yang dihitung berdasarkan
data survey penimbangan beban gandar tersendiri.
k) Sebarana Kelompok Sumbu Kendaraan Niaga
Berdasarkan
pedoman desain perkerasan kaku (Pd T-14-2003), beban lalu lintas
desain didasarkan pada distribusi kelompok sumbu kendaraan niaga (heavy
vehicle axle group, HVAG) dan bukan pada nilai ESA. Karakteristik proporsi
sumbu dan proporsi beban setiap kelompok sumbu dapat menggunakan data
hasil survey jembatan timbang atau mengacu pada Lampiran D.
l) Beban
Sumbu Standar Kumulatif
Beban sumbu standar kumulatif atau Cumulative Equivalent Single Axle Load
(CESAL) merupakan jumlah kumulatif beban sumbu lalu lintas desain pada lajur
desain selama umur rencana, yang ditentukan sebagai berikut:
Menggunakan VDF masing-masing kendaraan niaga
ESATH-1 = (ΣLHRJK x VDFJK) x 365 x DD x DL x R …......... Rumus ( II.17)
Kumulatif ESA
Bagan desain 4. Pekerasan kaku Untuk Jalan Dengan dengan Beban Lalu Lintas
Berat. ( Persyaratan desain pekerasan kaku dengan sambungan dan ruji (dowel)
serta bahu beton (tied shoukder) dengan atau tanpa tulangan distribusi retak).
Tabel II.24 Pekerasan Kaku Untuk Jalan dengan Beban Lalu Lintas Berat
Struktur Pekerasan R1 R2 R3 R4 R5
Kelompok sumbu <4.3 <8.6 <25.8 <43 <86 x
kendaraan berat (overload) 6 6 6 6
x10 x10 x10 x10 106
(10E6)
Dowel dan bahu beton Ya
STRUKTUR PEKERASAN (mm)
Tebal Pelat Beton 265 275 285 295 305
Lapisan Fondasi LMC 100
Lapisan Drainase (dapat
150
mengalir dengan baik)