Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Studi Terdahulu


Dalam menyusun proposal tugas akhir ini diperlukan referensi
pendukung yang sesuai dan dan relevan mengenai evaluasi keselamatan
jalan sebagai acuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dibahas.
Berikut studi terdahulu yang berkaitan dengan proposal tugas akhir ini :

1. Muhammad Azizi Nasution, Nanda Fajarriani, Muhammad Idham, 2019


Dengan Judul Perbandingan Tebal Perkerasan Terhadap Kelas
Jalan. Peneliti melakukan studi perbandingan tebal perkerasan jalan
menggunakan Metode Pd-T-14-2003 dan Metode MDPJ 2017. Data yang
digunakan oleh peneliti yaitu Data Primer yang meliputi Data Lalulintas
Harian Rata-rata (LHR), Data Tanah (CBR), Data Geometrik , dan Umur
Rencana 20 Tahun. Kesimpulannya semakin tinggi kelas jalan maka tebal
perkerasan jalan makin tebal, sedangkan untuk penggunakan metode
menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode MDPJ 2017 akan lebih
tebal dibandingkan metode PD T 14 Tahun 2003 untuk kedua kelas jalan
yang diuji. (Nasution, Fajarriari, Idham, 2019)

2. Desi Kurniawan, Marhadi Sastra, 2021


Dengan Judul Perancangan Tebal Perkerasan Kaku Menggunakan
Metode Manual Desain Perkerasan Jalan 2017 Dan Pd T- 14-2003
(Studi Kasus : Jalan Sudirman Km 36,4 – Km 39,4 Desa Bantan Timur
– Muntai Barat). Peneliti melakukan Perbandingan Perencanaan tebal
Rigid Pavement menggunakan MDPJ 2017 dan Pd-T-14-2003. Data yang
digunakan peneliti yaitu Data LHR, Data CBR, dan umur rencana 40 tahun.
(Kurniawan & Sastra, 2021)
3. M. Arif, Muhammad Idham, 2022
Dengan Judul Perencanaan Perkerasan Kaku Dengan
Menggunakan Menggunakan Metode Pd-T-14-2003 (Studi Kasus Pos
Retribusi Terminal Angkutan Barang). Peneliti melakukan Studi
Perencanaan Rigid Pavement menggunakan Methode Pd-T-14-2003. Data
yang digunakan adalah data Primer yang meliputi Data LHR, Data DCP
untuk Nilai CBR, dan Umur rencana 20 tahun. Berdasarkan hasil
perencanaan tebal perkerasan kaku metode Pd-T-14-2003 didapatkan tebal
perkerasan sebesar 41 cm (Base B 15 cm, dan pelat beton K-350 26 cm).
(Arif, M, Idham Muhammad, 2022)

4. Fatchur Rochman, Mochammad Ichwan Nur Effendie, Yuda Indra Permana,


2021
Dengan Judul Perencanaan Perkerasan Jalan Raya Cariu Km Bdg
79 – Km Bdg 81 Menggunakan Metode Perencanaan Perkerasan Jalan
Beton Semen Pd T-14-2003. Peneliti melakukan perencanaan perkerasan
beton atau Rigid Pavement menggunakan Methode Pd-T-14-2003. Data
yang diambil peneliti yaitu data LHR, Data CBR, Data Geometrik existing,
dan Umur rencana 20 tahun. (Rochman et al., 2021)

5. Sumina, Kusdiman Joko Priyanto, 2020


Dengan judul Perbandingan Perencanaan Perkerasan Jalan Rigid
Pavement Dengan Menggunakan Metode Sni Pd T-14-2003 Dan Naasra
(Studi Kasus: Jalan Ringroad Utara Kota Surakarta). Peneliti
melakukan Studi Perbandingan Perencanaan Rigid Pavement menggunakan
Methode Pd-T-14-2003 dan Methode Naasra. Data yang digunakan peneliti
yaitu Data Primer (Data LHR, Data Kondisi Perkerasan, Dimensi Jalan),
Data Sekunder (Data CBR, Data Curah Hujan, Kontur Tanah) dan umur
rencana 30 tahun. (Sumina & Priyanto, 2020)
Tabel 1. Perbandingan Studi Literatur

Nama Penulis, dan


No Studi Terdahulu Studi yang dilakukan
Judul Jurnal
(Nasution,
Fajarriari, Idham,
2019).
1 Perbandingan Tebal
Perkerasan
Terhadap Kelas
Jalan.
(Kurniawan &
Sastra, 2021).
Perancangan Tebal
Perkerasan Kaku
Menggunakan
Metode Manual
Desain Perkerasan
2
Jalan 2017 Dan Pd
T- 14-2003 (Studi
Kasus : Jalan
Sudirman Km 36,4
– Km 39,4 Desa
Bantan Timur –
Muntai Barat).
(Arif, M, Idham
Muhammad, 2022).
Perencanaan
Perkerasan Kaku
Dengan
Menggunakan
3
Menggunakan
Metode Pd-T-14-
2003 (Studi Kasus
Pos Retribusi
Terminal Angkutan
Barang).
4 (Rochman et al.,
2021). Perencanaan
Perkerasan Jalan
Raya Cariu Km Bdg
79 – Km Bdg 81
Menggunakan
Metode
Perencanaan
Perkerasan Jalan
Beton Semen Pd T-
14-2003.
(Sumina &
Priyanto, 2020).
Perbandingan
Perencanaan
Perkerasan Jalan
Rigid Pavement
Dengan
5
Menggunakan
Metode Sni Pd T-
14-2003 Dan
Naasra (Studi
Kasus: Jalan
Ringroad Utara
Kota Surakarta).
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Klasifikasi Jalan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 (Solomon
et al., 2004 pasal 8 hal 5) disebutkan bahwa jalan adalah suatu prasarana
transportasi yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang
berada di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air,
serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan
kabel. Berikut klasifikasi jalan berdasarkan fungsi jalan di antaranya :
a. Jalan arteri
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah
jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
b. Jalan kolektor
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c. Jalan lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah,
dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d. Jalan lingkungan
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata
rendah.
2.2.2. Kelas Jalan

Kelas jalan diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009, Pasal


19 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. (UU No 22, 2009, Pasal 19 : 16
). Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:

a. Fungsi dan intensitas lalu lintas guna kepentingan pengaturan


penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas angkutan jalan.
b. Daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi
kendaraan bermotor.

Pengelompokan jalan menurut Kelas Jalan terdiri dari:


a. Jalan Kelas I
Jalan Kelas I adalah jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, ukuran
paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 ton.

b. Jalan Kelas II
Jalan Kelas II adalah jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan
yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu
terberat 8 ton.

c. Jalan Kelas III


Jalan Kelas III adalah jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan
yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2.100 meter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter,
ukuran paling tinggi 3.500 milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 ton.
Dalam keadaan tertentu daya dukung Jalan Kelas III dapat ditetapkan
muatan sumbu terberat kurang dari 8 ton.
d. Jalan Kelas Khusus
Jalan Kelas Khusus adalah jalan arteri yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 milimeter,
ukuran panjang melebihi 18.000 milimeter, ukuran paling tinggi 4.200
milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 ton.
Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan yang dinyatakan dengan
Rambu Lalu Lintas dilakukan oleh:
a. Pemerintah Pusat, untuk jalan nasional
b. Pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi
c. Pemerintah Kabupaten, untuk jalan kabupaten
d. Pemerintah kota, untuk jalan kota.

2.3. Jenis Perkerasan Jalan


1. Perkerasan Lentur (Flexibel Pavement)
Perkerasan lentur pada umumnya adalah perkerasan jalan yang
menggunakan bahan aspal sebagai pengikatnya. Dimana, pada lapisan
atasnya menggunakan aspal dan bawahnya bahan berbutir (agregat) pada
lapisan bawahnya yang dihamparkan di atas tanah dasar (subgrade).
(Sukirman, 2007a)

2. Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
Perkerasan kaku bisa diartikan sebagai perkerasan yang
menggunakan kombinasi dari semen dan agregat yang dicampur secara
tepat dan kemudian diletakkan lalu dipadatkan di atas lapisan pondasi
(base course). Konstruksi perkerasan kaku tidak memerlukan lapisan
pondasi bawah (sub-base). Perkerasan ini juga lebih dikenal sebagai jalan
beton. (Sukirman, 2007b)
3. Perkerasan Komposit
Perkerasan komposit adalah kombinasi antara perkerasan kaku
dengan perkerasan lentur. Perkerasan lentur di atas perkerasan kaku, atau
perkerasan kaku di atas perkerasan lentur. Supaya perkerasan mempunyai
daya dukung dan keawetan yang memadai, tetapi tetap ekonomis, maka
perkerasan jalan raya dibuat berlapis-lapis. (Sukirman, 2007b)

2.4. Rigid Pavement (Perkerasan Kaku)


Rigid pavement atau perkerasan kaku adalah jenis perkerasan jalan
yang menggunakan beton sebagai bahan utama perkerasan tersebut,
merupakan salah satu jenis perkerasan jalan yang digunakan selain dari
perkerasan lentur (asphalt). Perkerasan ini umumnya dipakai pada jalan
yang memiliki kondisi lalu lintas yang cukup padat dan memiliki distribusi
beban yang besar, seperti pada jalanjalan lintas antar provinsi, jembatan
layang (fly over), jalan tol, maupun pada persimpangan bersinyal. Jalan-
jalan tersebut umumnya menggunakan beton sebagai bahan perkerasannya,
namun untuk meningkatkan kenyamanan biasanya diatas permukaan
perkerasan dilapisi asphalt. (Kementerian-PUPR, 2003)

Perkerasan kaku direncanakan untuk memikul beban lalu lintas secara


aman dan nyaman serta dalam umur rencana tidak terjadi kerusakan yang
berarti. Untuk dapat memenuhi fungsi tersebut perkerasan kaku (rigid
pavement) harus :
1. Mereduksi tegangan yang terjadi pada tanah dasar (akibat beban lalu
lintas) sampai batas-batas yang masih mampu dipikul tanah dasar
tersebut, tanpa menimbulkan perbedaan penurunan atau lendutan yang
dapat merusak perkerasan.
2. Mampu mengatasi pengaruh kembang susut dan penurunan kekuatan
tanah dasar, serta pengaruh cuaca dan kondisi lingkungan.
2.4.1. Distribusi Perkerasan Kaku
Keunggulan dari perkerasan kaku sendiri disbanding perkerasan lentur
(asphalt) adalah bagaimana distribusi beban disalurkan ke subgrade.
Perkerasan kaku karena mempunyai kekakuan dan stiffnes, akan
mendistribusikan beban pada daerah yangg relatif luas pada subgrade, beton
sendiri bagian utama yangg menanggung beban struktural. Sedangkan pada
perkerasan lentur karena dibuat dari material yang kurang kaku, maka
persebaran beban yang dilakukan tidak sebaik pada beton. Sehingga
memerlukan ketebalan yang lebih besar.

Gambar2.3.2a. Distribusi Pembebanan pada perkerasan kaku dan lentur

Pada konstruksi perkerasan kaku, perkerasan tidak dibuat menerus


sepanjang jalan seperti halnya yang dilakukan pada perkerasan lentur. Hal
ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pemuaian yang besar pada
permukaan perkerasan sehingga dapat menyebabkan retaknya perkerasan,
selain itu konstruksi seperti ini juga dilakukan untuk mencegah terjadinya
retak menerus pada perkerasan jika terjadi keretakan pada suatu titik pada
perkerasan. Salah satu cara yang digunakan untuk mencegah terjadinya hal
diatas adalah dengan cara membuat konstruksi segmen pada perkerasan
kaku dengan sistem joint untuk menghubungkan tiap segmennya.
2.4.2. Joint (Sambungan)
Joint atau sambungan adalah alat yang digunakan pada perkerasan
kaku untuk menghubungkan tiap segmen pada perkersan. Berfungsi untuk
mendistribusikan atau menyalurakan beban yang diterima plat atau segment
yang satu ke saegment yang lain, sehingga tidak terjadi pergeseran pada
segmen akibat beban dari kendaraan.

Gambar 2.3.3a. Pengaruh Joint Pada Perkerasan Akibat Beban

Ada beberapa jenis joint yang digunakan pada perkerasan beton yaitu,
constraction, construction dan isolasi joint, disain yang diperlukan untuk
setiap jenis tergantung pada orientasi joint terhadap arah jalan (melintang
atau memanjang). Faktor yg penting pada joint adalah berarti secara
mekanis menyambungkan plat, kecuali pada isolasi joint, dengnn
penyambungan membantu penyebaran beban pada satu plat kepada plat
lainnya. Dengan menurunnya tegangan didalam beton akan meningkatkan
masa layan ada join dan plat.
1. Sambungan Dowel dan Tie Bar
Sambungan Dowel diperlukan untuk mengendalikan retak alamiah
akibat beton mengkerut, kontraksi termal dan kadar air dalam beton.
Contraction joint umumnya melintang tegak lurus as jalan, tetapi ada
juga yg menggunakan menyudut terhadap as jalan untuk mengurangi
beban dinamis melintas tidak satu garis.
Sambungan Tie Bar adalah bila perkerasan beton dilakukan dalam
waktu yang berbeda, transfer construction joint diperlukan pada akhir
segmen pengecoran, atau pada saat pengecoran terganggu, atau melintas
jalan dan jembatan. Longitudinal contruction joint adalah pelaksanaan
pengecoran yang dilakukan pada waktu yang berbeda atau joint pada
curb, gutter atau lajur berdekatan.

Gambar 2.3.3b. Sambungan Dowel dan Tie Bar


2.5. Dasar Perencanaan
2.5.1. Methode Pd-T-14-2003
Pedoman ini dimaksudkan untuk merencanakan perkerasan beton
semen untuk jalan yang melayani lalu-lintas rencana lebih dari satu juta
sumbu kendaraan niaga. Metode perencanaan didasarkan pada :
a. Perkiraan lalu-lintas dan komposisinya selama umur rencana.
b. Kekuatan tanah dasar yang dinyatakan dengan CBR (%).
c. Kekuatan beton yang digunakan
d. Jenis bahu jalan.
e. Jenis perkerasan.
f. Jenis penyaluran beban.

Perkerasan beton semen dibedakan ke dalam 4 jenis :


a. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan
b. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan
c. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan
d. Perkerasan beton semen pra-tegang

Perkerasan beton semen adalah struktur yang terdiri atas pelat beton
semen yang bersambung (tidak menerus) tanpa atau dengan tulangan, atau
menerus dengan tulangan, terletak di atas lapis pondasi bawah atau tanah
dasar, tanpa atau dengan lapis permukaan beraspal. Struktur perkerasan
beton semen secara tipikal sebagaimana terlihat pada Gambar 2.5.1a.

Gambar 2.5.1a. Tipikal Struktur Perkerasan Beton Semen


2.5.2. Tanah Dasar
Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu
sesuai dengan SNI 03- 1731-1989 atau CBR laboratorium sesuai dengan
SNI 03-1744-1989, masing-masing untuk perencanaan tebal perkerasan
lama dan perkerasan jalan baru. Apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR
lebih kecil dari 2 %, maka harus dipasang pondasi bawah yang terbuat dari
beton kurus (Lean-Mix Concrete) setebal 15 cm yang dianggap mempunyai
nilai CBR tanah dasar efektif 5 %. (Pd-T-14-2003, 2003)

2.5.3. Pondasi Bawah


Bahan pondasi bawah dapat berupa :
a. Bahan berbutir.
b. Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled
Concrete)
c. Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete).
Lapis pondasi bawah perlu diperlebar sampai 60 cm diluar tepi
perkerasan beton semen. Untuk tanah ekspansif perlu pertimbangan khusus
perihal jenis dan penentuan lebar lapisan pondasi dengan memperhitungkan
tegangan pengembangan yang mungkin timbul. Pemasangan lapis pondasi
dengan lebar sampai ke tepi luar lebar jalan merupakan salah satu cara untuk
mereduksi prilaku tanah ekspansif.
Tebal lapisan pondasi minimum 10 cm yang paling sedikit
mempunyai mutu sesuai dengan SNI No. 03-6388-2000 dan AASHTO M-
155 serta SNI 03-1743-1989. Bila direncanakan perkerasan beton semen
bersambung tanpa ruji, pondasi bawah harus menggunakan campuran beton
kurus (CBK). Tebal lapis pondasi bawah minimum yang disarankan dapat
dilihat pada Gambar 2.5.3a dan CBR tanah dasar efektif didapat dari
Gambar 2.5.3b.
Gambar 2.5.3a. Tebal Pondasi Bawah Minimum Untuk Perkerasan
Beton Semen.

Gambar 2.5.3b. CBR tanah dasar efektif dan tebal pondasi bawah.
2.5.4. Lalu Lintas
Penentuan beban lalu-lintas rencana untuk perkerasan beton semen,
dinyatakan dalam jumlah sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle),
sesuai dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana selama umur rencana.
Lalu-lintas harus dianalisis berdasarkan hasil perhitungan volume lalu-lintas
dan konfigurasi sumbu, menggunakan data terakhir atau data 2 tahun
terakhir. Kendaraan yang ditinjau untuk perencanaan perkerasan beton
semen adalah yang mempunyai berat total minimum 5 ton. Konfigurasi
sumbu untuk perencanaan terdiri atas 4 jenis kelompok sumbu sebagai
berikut :
 Sumbu tunggal roda tunggal (STRT).
 Sumbu tunggal roda ganda (STRG).
 Sumbu tandem roda ganda (STdRG).
 Sumbu tridem roda ganda (STrRG).

2.5.5. Lajur rencana dan koefisien distribusi


Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas
jalan raya yang menampung lalu-lintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan
tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefsien distribusi
(C) kendaraan niaga dapat ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel
2.5.5a.

Tabel 2.5.5a Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan dan koefisien


distribusi (C) kendaraan niaga pada lajur rencana
2.5.6. Umur Rencana
Umur rencana perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan
klasifikasi fungsional jalan, pola lalu-lintas serta nilai ekonomi jalan yang
bersangkutan, yang dapat ditentukan antara lain dengan metode Benefit
Cost Ratio, Internal Rate of Return, kombinasi dari metode tersebut atau
cara lain yang tidak terlepas dari pola pengembangan wilayah. Umumnya
perkerasan beton semen dapat direncanakan dengan umur rencana (UR) 20
tahun sampai 40 tahun.

2.5.7. Pertumbuhan Lalu Lintas


Volume lalu-lintas akan bertambah sesuai dengan umur rencana atau
sampai tahap di mana kapasitas jalan dicapai denga faktor pertumbuhan
lalu-lintas yang dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut :
(1+ i)UR−1
R= Dengan pengertian :
i
R : Faktor pertumbuhan lalu lintas
i : Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %.
UR : Umur rencana (tahun)

Faktor pertumbuhan lalu-lintas ( R ) dapat juga ditentukan berdasarkan


Tabel 2.5.7a.
Tabel 2.5.7a. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R)
Apabila setelah waktu tertentu (URm tahun) pertumbuhan lalu-lintas tidak
terjadi lagi, maka R dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
UR
(1+ i) −1
R= +(UR −URm) ¿
i
Dengan pengertian :
R : Faktor pertumbuhan lalu lintas
i : Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %.
URm : Waktu tertentu dalam tahun, sebelum UR selesai.

2.5.8. Lalu Lintas Rencana


Lalu-lintas rencana adalah jumlah kumulatif sumbu kendaraan niaga
pada lajur rencana selama umur rencana, meliputi proporsi sumbu serta
distribusi beban pada setiap jenis sumbu kendaraan. Beban pada suatu jenis
sumbu secara tipikal dikelompokkan dalam interval 10 kN (1 ton) bila
diambil dari survai beban. Jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur
rencana dihitung dengan rumus berikut :
JSKN =JSKNH x 365 x R x C
Dengan pengertian :
JSKN : Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana .
JSKNH : Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan
dibuka.
R : Faktor pertumbuhan komulatif dari Rumus (5) atau Tabel 3 atau
Rumus (6), yang besarnya tergantung dari pertumbuhan lalu lintas
tahunan dan umur rencana.
C : Koefisien distribusi kendaraan

2.5.9. LHR (Lalulintas Harian Rata-rata)


Perhitungan lalu-lintas harian rata-rata adalah volume lalu-lintas
ratarata dalam satu hari yang melalui satu ruas jalan tersebut dibagi dengan
lamanya pengamatan (lamanya survey kendaraan), biasanya dihitung
sepanjang tahun. LHR adalah istilah yang baku digunakan dalam
menghitung 6 beban lalu-lintas pada suatu ruas jalan dan merupakan dasar
dalam proses perencanaan transportasi ataupun dalam pengukuran polusi
yang diakibatkan oleh arus lalu-lintas pada suatu ruas jalan. LHR adalah
hasil bagi jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan dengan
lamanya pengamatan dalam perencanaan jalan dilokasi Ruas Jalan Nasional
Ngawi – Bojonegoro, Kabupaten Ngawi.

Jumlah Lalulintas Selama Pengamatin


LHR=
Lamanya Pengamatan

Data LHR ini cukup teliti jika pengamatan dilakukan pada


intervalinterval waktu yang cukup mengambarkan fluktuasi lalu-lintas
selama pengamatan.

Anda mungkin juga menyukai