NIM : 043969277
Prodi : Manajemen
UPBJJ : Kota Samarinda
Adanya sentralisasi kebijakan dan kuatnya dominasi pusat atas daerah telah
menimbulkan ketergantungan yang tinggi dari daerah-daerah kepada Pusat. Dalam
bidang keuangan atau anggaran, ketergantungan ini antara lain dapat dilihat pada
anggaran pemerintah daerah yang komponen sumbangan dan bantuan pusatnya sangat
tinggi, melampaui Pendapatan Asli Daerah-nya (PAD). Berkembangnya struktur
dominasi pusat atas daerah ini, di samping melahirkan ketergantungan, juga berakibat
pada munculnya pola hubungan “eksploitatif”, di mana pusat memegang hegemoni,
memompakan sistem dan mekanisme pemerintahan serta pengelolaan pembangunan
sentralistik, sektoral, departemental, secara “pukul rata” pada setiap daerah. Pendekatan
seperti ini tidak saja mematikan prakarsa-prakarsa daerah, tetapi juga memunculkan
persoalan-persoalan ekonomi politik yang kian kompleks yang berpotensi memicu
disintegrasi.
Privatisasi di Indonesia mulai dikaji secara serius pada pertengahan tahun 1980-an, yaitu
dengan gagasan untuk melakukan privatisasi pada BUMN yang kinerjanya kurang baik.
Ketika perekonomian dilanda krisis pada tahun 1997 maka gagasan tersebut mulai
dilaksanakan. Beberapa kondisi yang melatarbelakangi dilakukannya privatisasi antara
lain:
1) BUMN dianggap sebagai unit ekonomi yang boros dan kurang efisien;
2) BUMN diprivatisasi dengan tujuan membantu kesulitan keuangan negara;
3) BUMN dianggap potensial untuk menarik modal asing.
Sebagai contoh, Kasus privatisasi yang mengakibatkan pemindahan kepemilikan
mayoritas saham ke korporat asing antara lain dialami oleh PT. Semen Gresik, PT.
Indosat, dan PT. Telkomsel. Saham yang dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat
dalam negeri persentasenya lebih rendah dibandingkan dengan kepemilikan asing. Hal in
dapat mengganggu kestabilan perekonomian Indonesia karena biasanya perusahaan
multinasional tersebut memiliki kemampuan yang kuat dalam mempengaruhi kebijakan
perekonomian negara yang ditempati.
Menurut Baswir (2001:67) dalam BMP ESPA4314 Perekonomian Indonesia oleh Edy
(2021) Terdapat tiga solusi alternatif yang dapat ditempuh untuk mengurangi beban
utang luar negeri yang saat ini sedang melilit Indonesia. Diantaranya :
1. Penundaan pembayaran angsuran pokok utang (debt rescheduling).
2. Pengalihan kewajiban membayar angsuran pokok utang menjadi kewajiban
melaksanakan suatu program tertentu (debt swap)
3. pengurangan pokok utang melalui suatu mekanisme yang dikenal sebagai Inisiatif
untuk Negara-negara Miskin Yang Terjebak Utang (HIPC Inisiative)
Dari ketiga alternatif solusi tersebut, pemerintah Indonesia baru memanfaatkan alternatif
yang pertama. Sejak terjadinya krisis moneter tahun 1998, Indonesia telah tiga kali
mengajukan penundaan pembayaran utang kepada forum para kreditor dalam Paris Club.
Alternatif kedua telah ditawarkan oleh Amerika dan Jerman namun belum ditanggapi
secara serius oleh pemerintah. Alternatif ketiga belum dapat dijalankan karena Indonesia
tidak memenuhi persyaratan untuk itu. Alternatif ketiga dapat dilakukan jika rasio utang
luar negeri terhadap ekspor lebih besar dari 150 persen, rasio utang terhadap penerimaan
negara lebih besar dari 250 persen, rasio ekspor terhadap Produk Domestik Bruto lebih
kecil dari 30 persen, dan penerimaan negara terhadap PDB lebih kecil dari 15 persen.
Berbagai alternatif di atas adalah jalan keluar yang konservatif karena dianggap tetap
menguntungkan negara kreditur dan menekan negara debitur. Di beberapa negara seperti
Argentina dan Meksiko utang luar negeri diselesaikan dengan cara-cara yang lebih
revolusioner. Mereka tidak meminta penjadwalan ulang tetapi pemotongan utang
(haircut). Keberhasilan kedua negara tersebut untuk melakukan pemotongan utang
memang bukan tindakan tanpa resiko, tetapi jika memperhatikan jumlah utang yang
demikian besar bukan tidak mungkin negara Indonesia dapat mengambil resiko tersebut.
Sumber Referensi :
Hamid, Edy Suandi. (2021). ESPA4314 – Perekonomian Indonesia Edisi 3. Tangerang
Selatan: Universitas Terbuka