Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rilo Ramadhanu Purnomo

No : 28

Kelas : XII TKRO 2

Mapel : Bahasa Indonesia

Kerangka Membuat Cerpen:


• Tema : Jatuh Cinta
• Judul : Sepotong Kenangan di Musim Hujan
• Tokoh dan Karakter :
1. Amat : Baik
2. Nara : Tomboy dan baik
• Alur : Campuran
• Latar :
- Waktu : Pagi hari
- Tempat : Di rumah dan belakang rumah
- Suasana: Tenang dan romantis

• Sudut pandang : Orang ketiga

• Amanat : Terkadang orang menghilang begitu saja. Anda harus mencintai


dan menghargai mereka saat mereka berada di dekat Anda.
Sepotong Kenangan di Musim Hujan

Amat membuka pagi dengan segelas kopi dan sepotong roti. Tak peduli belum
gosok gigi dan mandi. Sebatang rokok dia ambil dari dalam bungkusnya. Korek
gas digesek pemantiknya. Ujung rokok disulutkan seiring dengan sedotan oleh
bibirnya. Kepulan asap dimuntahkan.
Ah, hujan. Pagi hari. Segelas kopi. Sepotong roti. Amat seperti sedang dejavu.
Jadi teringat akan Nara, wanita yang pernah menjadi pendamping hidupnya.
Amat menyandarkan tubuhnya ke kursi. Matanya menjaring ruang terbuka di
halaman belakang rumahnya. Uap air yang menjadi selendang udara
mengambang layar fatamorgana. Proyektor kenangan menyorot dari rongga
kepalanya. Flashback kisahpun berlangsung.
Bel berdering. Amat membuka pintu. Terlihat Nara sedang menguncupkan
payungnya yang berwarna biru tosca itu. Di punggungnya tergendong ransel
mini. Pakaian yang digunakan lelaki sekali. Nara memang gadis tomboy.
“ Kamu datang kok nggak ngabarin dulu sih?” Wajah Amat penuh bunga.
Diawali senyum Nara menjawab, “ Mau buat kejutan aja.”
“ Masuk yuk Nara.”
“ Baiklah Amat.” Keduanya tertawa kecil.
“ Kayak ngga ada kehidupan, pada kemana?” Tanya Nara setelah melewati
ruang tamu.
“ Papa sama Mama keluar kota. Kemarin sore berangkat.” Jawab Amat.
“ Kamu tadi lagi ngapain?” Tanya Nara lagi.
“ Lagi ngopi di belakang.” Jawab Amat sambil menggiring Nara ke belakang.
Memang setiap Nara berkunjung, mereka selalu menjalani kebersamaan di
belakang rumah sambil menikmati pemandangan.
Nara melihat di meja terserak remahan roti dan gelas yang berisi ampas kopi
juga bungkus rokok. Nara memulai kembali percakapan.
“ Dasar ya, kalau pagi sarapannya kopi sama rokok.”
“ Tadi sih mau beli nasi uduk di seberang. Eh, hujan. Jadi santap aja yang ada.
Hujannya mulai kecil. Awet sepertinya hujan ini.” Jawab Amat.
“ Belum mandi ya kamu, bau. Minta dibersihin tuh badan. Jorok ih! Mandi dulu
sana.” Perintah Nara.
“ Oke aku mandi dulu ya, kalau kamu mau tetap di sini atau pindah ke dalam
terserah, mau di ruang mana bebas.” Jawab Amat sambil mencubit pipi Nara
lalu bergegas menuju kamar mandi.
Nara meletakkan ranselnya di kursi belakang. Sedangkan payungnya dia
sangkutkan di cantolan yang terpaku di dinding. Setelah itu Nara bergegas
menghampiri kulkas yang berada di dapur. Nara membuka kulkas.
“ Buat Indomie aja deh, hujan hujan gini enaknya makan mi.” Ujarnya dalam
hati.
Dia raih dua bungkus Indomie. Tak lama Amat selesai dari mandinya.
Mendengar ada suara peralatan dapur sedang digunakan Amat segera menuju
dapur.
“ Ngapain Ra.” Sapa Amat.
“ Aku lagi masak Indomie. Berpakaian dulu sana dan tunggu aku di belakang.
Kita makannya di sana.” Jawab Nara.
Amat menurut dan langsung menuju kamarnya. Usai berpakaian dia datang ke
dapur lagi untuk menyeduh kopi. Setelah selesai dia segera menuju ruang
belakang. Duduk di kursi sebelah kiri dekat pintu masuk menuju dalam.
Sebatang rokok di keluarkan lagi dari bungkusnya. Dinyalakan. Asap rokok
bertebaran. Kopi diseruputnya. Akhirnya Nara datang dengan membawa
nampan yang berisi dua porsi Indomie dan dua gelas teh hangat. Amat segera
menyingkirkan benda-benda di meja untuk memberi ruang hidangan yang akan
disajikan Nara. Keduanya tak lama menikmati makanannya. Diselai dengan
obrolan dari biasa hingga luar biasa. Sesekali salah satunya memandang ke
hamparan halaman menelisik keberadaan satu persatu bunga. Bergantian dan
sesekali berbarengan. Hujan kembali deras lagi.
Teh hangat diminumnya. Amat melakukan hal serupa. Dan sekonyong-
konyong Amat menerobos derasnya hujan.
“ Lho kok pake ada acara hujan-hujanan sih.” Amat tak mengindahkan cegahan
Nara. Ia memetik sekuntum mawar merah lalu berlutut menghadap Nara.
“ Aku tahu, selama ini aku terlalu takut untuk mengatakan ini. Tapi hari ini, aku
ingin belajar kepada hujan. Hujan tidak pernah takut untuk jatuh ke bumi, meski
ia akan hancur saat sampai di bumi. Hari ini aku ingin seperti hujan. Aku ingin
kamu tahu, aku lelaki yang jatuh hati kepada sahabatku sendiri. Sejak lama,
entah kapan awalnya, tapi aku selalu takut untuk menyatakannya. Aku takut
kehilanganmu. Nara, bersediakah kau menjadi pendamping hidupku?” Ucap
Amat dengan tegas.
Hujan semakin menggila dengan berakhirnya ungkapan perasaan Amat kepada
Nara. Sontak Nara menerobos hujan dan menghampiri Amat. Dipeluknya Amat
setelah di dekatnya.
“ Aku ngga tau mau bilang apa. Aku bahagia banget setelah mengetahui bahwa
kamu mencintaiku. Aku bersedia menjadi pendamping hidupmu Amat.” Ucap
Nara dengan senyum merekah.
Menangis bahagia. Keduanya tak terlihat lagi seperti lenyap ditelan pusaran
hujan.
Halilintar menyadarkan Amat dari lamunan kenangannya. Hujan yang
semakin menggila memang nyata. Tapi Nara tak ada. Meninggalkan jejak
sebuah kisah cinta. Nara meninggalkan dunia untuk selamanya.

Anda mungkin juga menyukai