Anda di halaman 1dari 11

SEPEDA NARTI

Bencana adalah misteri alam yang kadang tak dapat diduga datangnya. Di banyak
peristiwa bencana yang terjadi, disamping meninggalkan derita, tak jarang bencana juga
menyisakan misteri lain yang sulit diterima akal sehat, seperti kisah berikut ini. Ada
banyak peristiwa yang tak dapat dijangkau oleh indera maupun ditalar dengan akal
manusia. Kematian adalah sebuah misteri Tuhan seperti bencana itu sendiri.

Narti masih tetap saja mengayuh sepedanya meski kakinya telah mulai terasa
pegal. Sepeda tua berwarna hitam peninggalan dari almarhum bapaknya yang ia tumpangi
itu adalah benda berharga yang menjadi kesayangannya. Betapa tidak? Kendaraan roda
dua tanpa bahan bakar itu adalah teman setianya yang selalu menemani dan menjadi satu-
satunya alat transportasi yang ia gunakan untuk pergi dan pulang sekolah. Penghasilan
ibunya yang menjanda dari berjualan warungan yang tak seberapa, tak memungkinkannya
menggunakan jasa kendaraan angkutan umum.
Butir-butir keringatnya berleleran membasahi kening dan sekujur badannya.
Namun ia tak terlalu mempedulikannya meski baju seragam yang ia kenakan juga basah
oleh keringat. Apa boleh buat, tak ada pilihan lain. Ia sudah terbiasa dengan kondisi seperti
itu.
Seperti pagi biasanya, selepas membantu ibunya di dapur dan menyiapkan barang
dagangannya, Narti segera bergegas menuju ke sekolah. Jarak ke sekolah dari Imogiri
tempat ia tinggal berdua bersama ibunya ditempuhnya sekitar empat puluh lima menit, dan
itu waktu yang normal yang biasa ia tempuh. Tapi pagi itu Narti sedikit agak terlambat
berangkat. Ban belakang sepedanya kempes. Mau tak mau ia harus mencari pinjaman
pompa angin ke tetangganya karena ia yakin tukang tambal ban di ujung jalan di pagi
seperti ini sudah pasti belum buka.

Jalanan masih belum begitu ramai. Lalu lalang kendaraan memang tidak seramai
hari-hari biasanya. Maklum hari itu adalah hari sabtu, sebagian pegawai kantoran libur.
Narti berusaha mengayuh lebih cepat laju sepedanya. Ia tak ingin terlambat masuk kelas.
Ia juga tak ingin peluang untuk mendapatkan bea siswa dari sekolahnya hilang gara-gara
sering terlambat. Dalam sebulan ini ia telah empat kali terlambat. Namun baru saja ia
menempuh setengah perjalanan, mendadak ban belakangnya kembali kempes.
“Wah, ada-ada saja. Apes tenan. Ban ini pasti bocor.” Narti bergumam, mengeluh
dalam hati.
Narti menghentikan laju sepedanya. Ia turun dan meminggirkannya ke sisi kiri
jalan. Setelah memeriksa sesaat ia lalu celingak-celinguk ke berbagai arah. Pandangannya
mencari-cari kalau-kalau ada tukang tambal ban di sekitarnya. Ia tampak sedikit putus asa
manakala tatapannya tak menemukan adanya tukang tambal ban. Perlahan Narti berjalan
menuntun sepedanya sambil mencoba mengingat-ngingat dimana tempat tukang tambal
ban yang terdekat dengannya?
Namun belum lagi sampai sepuluh meter ia beranjak, tiba-tiba tanah tempatnya
berpijak terasa bergoyang. Bumi bergetar hebat. Guncangan itu begitu kuat. Ia
sempoyongan kehilangan keseimbangan tubuhnya. Nartipun terjatuh, dan sepeda yang
dituntunnya menimpa tubuhnya. Ia merasakannya seperti benda besar yang jatuh
menghimpit badannya dengan suara yang berderak keras. Narti belum benar-benar sadar
terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Bersamaan dengan itu beberapa bangunan yang
berada disisinya dan juga rumah-rumah di seberang jalan ambruk porak-poranda. Suara
jerit tangis orang-orang terdengar disana-sini.
“Lindu.…. lindu........... Ono lindu...… Allahhu Akbar …..!!”
“Pakne ….. Tuluuung ……. Tuluuung ………. Adduuuuhhh…. biyuunngg….!!”
Narti mendengar berbagai macam teriakan dan suara jeritan orang mengaduh meminta
tolong. Orang-orang tampak lari berhamburan keluar rumah. Beberapa orang tampak
keluar merangkak dengan kepala dan badan dipenuhi bercak darah berusaha keluar dari
reruntuhan bangunan yang telah ambruk dan nyaris rata dengan tanah.
Narti masih terkesima. Ia tampak shock dan ketakutan. Tanpa sadar ia berteriak:
“Ibu…...…!!.” Lalu pada saat batas kesadarannya muncul, tangis Nartipun pecah. Ia
menangis sejadi-jadinya. Seumur hidupnya belum pernah ia melihat dan mengalami
kejadian yang mengerikan itu kecuali hanya lewat berita-berita di televisi. Berita-berita
yang menayangkan kejadian-kejadian bencana alam yang belakangan ini memang sering
melanda di banyak wilayah di negeri ini.
Kepala Narti terluka. Darah menetas dari bagian kepala lalu mengalir membasahi
dahi dan lehernya. Narti mengira luka itu mungkin akibat kepalanya terantuk batu atau
benturan besi stang sepeda yang menimpa tubuhnya. Ia tak terlalu mempedulikannya.
Dengan sapu tangan yang biasa ia selipkan di saku bajunya ia lalu berusaha mengusap
darah yang masih terus menetes. Namun belum lagi sempat ia membersihkan semuanya,
sayup-sayup ia mendengar seseorang memanggil namanya.
“Narti……! Narti……!!” Narti pun menoleh ke arah suara panggilan itu. Dari
kejauhan Prapto, teman sekelas di sekolahnya tampak berlari-lari kecil mendekatinya.
“Kamu tidak apa-apa Ti?” Tanya Prapto sambil memandangi sekujur tubuh Narti,
memeriksa kalau-kalau Narti terluka.
“Aku ndak apa-apa kok Prap. Hanya kepalaku sedikit terluka. Kamu sendiri
bagaimana?” Narti balas bertanya. Terdengar suaranya bergetar bercampur isakan tangis.
Butir-butir airmatanya tampak masih membasahi pipinya.
“Tidak. Aku tidak apa-apa. Waktu gempa tadi aku baru saja turun dari angkutan
kota, disuruh bapakku mampir dulu ke rumah nenekku, kebetulan aku tadi melihatmu.”
Jawab Prapto sambil tangannya berusaha meraih sepeda Narti.
“Sini aku bawakan sepedamu. Ban sepedamu kempes ya?” Prapto lalu mengambil
alih sepeda Narti.
“Sekarang bagaimana? Kita pulang naik apa?”
“Iya. Aku juga bingung Ti.” Jawab Prapto. Wajahnya tampak menerawang
mencoba berpikir mencari jalan keluar.
“Bagaimana kalau kita ke rumah nenekku saja dulu. Tidak jauh kok, nanti kita
pinjam motor pakdeku, mudah-mudahan ada.” Prapto meminta pendapat Narti sambil jari
telunjuknya menunjuk ke suatu tempat di ujung jalan.
“Itu dekat prapatan disana.”
“Tapi, ee... bagaimana ya? Aku khawatir dengan keadaan Ibuku. Jangan-
jangan…....” Narti tidak meneruskan ucapannya. Butir-butir airmatanya tampak kembali
menetes. Ia mencemaskan keadaan ibunya yang sendirian di rumah.
“Iya, sama. Aku juga khawatir dengan keadaan keluargaku. Kita berdo’a saja
mudah-mudahan mereka tidak apa-apa.” Mata Prapto juga berkaca-kaca. Ia juga tak kuasa
menahan perasaannya yang gundah gulana tak menentu. Mereka berdua lalu berjalan
menuju ke arah perempatan jalan yang ditunjuk Prapto.
Di sepanjang jalan yang mereka lalui suasana tampak hiruk pikuk dipenuhi oleh
orang-orang yang panik keluar dari rumah-rumah mereka yang rata-rata sudah tidak utuh
lagi bentuknya. Beberapa orang tampak membopong seseorang dari reruntuhan bangunan
yang agaknya telah tewas. Tiba-tiba dari arah ujung jalan muncul beberapa sepeda motor
yang melaju dengan cepat diiringi beberapa kendaraan terbuka dan truk yang dipenuhi
muatan orang.
“Tsunami! Tsunami! Ayo cepat ngungsi!!” Orang-orang diatas kendaraan itu
berteriak-teriak mengajak mereka yang ada di sepanjang jalan untuk segera pergi
mengungsi. Teriakan-teriakan yang mengabarkan akan terjadinya Tsunami membuat
orang-orang menjadi semakin panik. Keadaan menjadi semakin tak terkendali, suasananya
begitu kacau. Beberapa orang tampak berlarian ke jalan mencegat kendaraan yang lewat.
Mereka membayangkan bencana yang lebih parah akan menimpanya, seperti kejadian di
Aceh dan Nias.
Prapto dan Narti segera bergegas mempercepat langkah kakinya. Sampai di dekat
perempatan jalan mereka berjumpa dengan mas Dirman, kakak sepupu Narto, anak
pakdenya yang tinggal bersama neneknya.
“Mas bagaimana keadaan simbah dan pakde?” Prapto menanyakan keadaan nenek
dan pamannya kepada Dirman sambil menyandarkan sepeda Narti di pagar masjid yang
berada tak jauh dari rumah neneknya. Tak lupa ia juga mengenalkan Narti kepada
mas Dirman.
“Ini teman sekolahku mas, namanya Narti. Sekarang simbah dan pakde ada
dimana mas?”
“Simbah di rumah bersama pakdemu. Mereka selamat. Rumah simbah juga tidak
apa-apa, hanya retak-retak sedikit.”
Seperti tak sabar Prapto segera bergegas melangkah untuk menemui nenek dan pakdenya.
Rasa penasaran ingin segera melihat keadaan nenek dan pakdenya, membuat Prapto
spontan meninggalkan mas Dirman dan Narti begitu saja. Prapto seperti tak sadar kalau
saat itu ia sedang bersama Narti. Baru setelah beberapa meter melangkah Prapto menyadari
kalau ia meninggalkan Narti bersama mas Dirman begitu saja. Menyadari kekeliruannya
Prapto segera menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang, tapi ia tak melihat
Narti, begitupun mas Dirman, padahal ia belum berjalan terlalu jauh meninggalkannya.
“Narti! Narti…..!” Prapto memanggil-manggil sambil matanya mencari-cari Narti.
“Mas… mas Dirman!” “Kemana mereka? Cepat sekali menghilangnya?,” pikirnya. Prapto
berusaha mencari-cari mereka diantara hiruk pikuk kerumunan orang yang tengah panik. Ia
kembali mencari sampai ke perempatan jalan. Tapi ia tak menemukan keberadaan Narti
dan mas Dirman. Begitupun sepeda Narti yang tadi ia sandarkan di pagar masjid, tak
tampak lagi disana.
“Narti!! Narti……!! Dimana kamu?” Prapto kembali memanggil-manggil nama
Narti. Ia mencoba menanyakan kepada orang-orang yang ada disekitarnya, tapi semua
menggelengkan kepala.
“Apa mungkin dia marah karena aku tadi meninggalkannya begitu saja?” “Ah, tak
mungkin Narti pergi sendiri begitu saja dengan ban sepeda yang kempes.” Prapto mencoba
berargumen pada dirinya sendiri.
Setelah beberapa saat tak menemukan Narti dan juga mas Dirman, Praptopun
segera menuju ke rumah neneknya. Rumah itu terlihat retak-retak dibeberapa bagian
dindingnya. Beberapa perabotan rumah masih berserakan di lantai, berantakan. Rumah-
rumah dan bangunan lain yang berdekatan dengan rumah neneknya jauh lebih parah
keadaannya.
Orang-orang tampak berkerumun di luar rumah, sebagian tampak terluka. Prapto segera
memasuki rumah neneknya, tapi ia tak menemukan siapa-siapa di dalam. Mata Prapto
menelisik kesegenap penjuru ruangan. Tiba-tiba matanya terbelalak. Disudut ruangan
dekat pintu yang menuju ke dapur Prapto melihat sebuah sepeda hitam tua, mirip
kepunyaan Narti. Ia lalu mendekatinya. “Sejak kapan nenek punya sepeda hitam itu?”
Hatinya bertanya-tanya. Ban bagian belakang sepeda itu juga kempes, persis seperti
keadaan sepeda Narti saat ia bertemu dan akhirnya ia tinggalkan tadi. “Ah, mungkin saja
memang mirip. Di Jogja ini kan banyak orang memiliki sepeda.” Ia mencoba menjawab
sendiri pertanyaan hatinya, meski jawaban itu tetap meninggalkan rasa penasaran yang
mengganjal difikirannya. Sepeda hitam tua itu benar-benar mirip sekali dengan kepunyaan
Narti. “Atau jangan-jangan memang kepunyaan Narti? Ah, tak mungkin! Bukankah tadi
sepeda itu aku tinggalkan di pagar masjid.”
Prapto lalu bergegas menuju ke halaman belakang dan perasaannya menjadi lega
manakala melihat kondisi nenek dan pakdenya selamat. Nenek dan pakdenya tampak
tengah memeriksa pagar di halaman belakang rumah yang sebagian dindingnya ambruk
sehingga ia bisa melihat suasana di belakang rumah neneknya. Iapun segera sungkem dan
memeluknya.
Nenek dan pakdenya terlihat terkejut melihat kedatangan Prapto yang tiba-tiba dan
dalam situasi gempa seperti itu.
“Lha, kowe kok ning kene to le? Bapak, ibu lan adi-adimu piye?” Tanya neneknya
sambil memeluk erat cucunya. Keduanya lalu bertangisan.
“Prapto belum tahu keadaan mereka mbah. Prapto tadi disuruh bapak untuk mampir
dulu kesini sebelum ke sekolah.” Prapto menjelaskan kenapa pagi-pagi begini ia datang,
karena memang tak biasanya ia menyambangi neneknya saat berangkat ke sekolah.
“Prapto tadi kesini bersama teman sekolah mbah….., tapi sekarang entah kemana,
padahal tadi rasanya baru beberapa langkah Prapto meninggalkannya bersama mas
Dirman di dekat masjid.”
Belum sempat nenek dan pakdenya mengomentari penjelasan Prapto, berapa kali
tanah tempat mereka berdiri terasa kembali bergoyang. Gempa agaknya masih belum
berhenti. Mulut nenek dan pakdenya tampak komat-kamit membaca do’a.
Dari balik pagar Prapto melihat orang-orang masih memenuhi jalanan. Mereka
belum berani masuk ke rumah meski rumah mereka masih cukup utuh. Mereka masih
mengkhawatirkan kemungkinan akan ada gempa susulan. Di jalanan suara raungan sirine
mobil ambulan yang mondar mandir mengangkut para korban terdengar bersahut-sahutan.
Setelah berbicara sesaat dan tak lupa menyampaikan pesan dari bapaknya, Prapto
lalu berpamitan.
“Mbah, pakde…. kalau begitu Prapto pulang dulu ya. Prapto ingin memastikan
keadaan di rumah.” Prapto lalu mencium tangan simbah dan pakdenya.
“Kowe mau merene numpak opo le?” Tanya neneknya. Prapto baru sadar bahwa
tak mungkin ada kendaraan umum yang beroperasi dalam situasi seperti ini. Sesaat ia
memutar otak, berpikir. Ia lalu teringat bahwa tadi ia memang berencana bersama Narti
untuk meminjam sepeda motor pakdenya.
“Motor Pakde ada? Ndak rusak?” Prapto menanyakan sepeda motor milik
pakdenya.
“Di garasi le. Kuncinya ada di meja ruang tengah. Ambil saja.” Kata pakdenya
sambil menunjuk ke dalam rumah.
“Nanti langsung ngabari kesini ya. Pakde ndak bisa nelpon kesana, lha wong kabel
telponnya putus.”
Bergegas Prapto masuk ke ruangan dalam dan mencari kunci motor di tempat yang
ditunjukkan pakdenya. Ia tak menyadari jika sepeda hitam yang tadi dilihatnya tersandar di
dinding telah tak ada lagi ditempatnya. Pikirannya terfokus untuk segera menemukan
Narti. Dan setelah berhasil mendapatkan kunci motornya Prapto segera menuju ke ruang
garasi, mengeluarkan dan menghidupkan mesinnya.

***
Motor yang ditumpangi Prapto segera melaju diantara kerumunan orang-orang
yang ada di jalan. Pikiran dan hatinya gamang, ia harus memilih, apakah langsung menuju
ke rumahnya dulu menengok keadaan keluarganya atau langsung ke rumah Narti?. Siapa
tahu Narti tadi langsung pulang. Ia perlu memastikan keadaannya. Ia memang merasa
bersalah karena telah meninggalkannya tadi dalam situasi yang kacau.
Sepanjang perjalanan yang dipenuhi oleh orang-orang dan kendaraan yang hilir
mudik membawa para korban, Prapto kembali menimbang-nimbang antara langsung
pulang ke rumah atau mencari Narti terlebih dahulu. Namun rasa pertemanan yang kuat
membuat Prapto akhirnya memutuskan untuk mendahulukan mencari dan menemukan
Narti. Ia berharap siapa tahu diperjalanan ia bertemu dengannya, karena bisa jadi
kemungkinan tadi Narti langsung pulang sambil menuntun sepedanya yang kempes.
Sepeda motor yang dikendarai Prapto telah melewati beberapa blok pemukiman.
Rumah Narti tinggal sekitar dua blok lagi, tapi ia masih belum juga menjumpai Narti
diperjalanan.
”Ah rasanya tak mungkin Narti berjalan secepat itu dengan ban sepeda yang kempes.” Hati
dan pikirannya kembali bergulat.
Setelah melewati sederetan pertokoan lama yang juga telah hancur, tak berapa lama
kemudian Prapto melambatkan laju sepeda motornya. Ia membelokkan sepeda motornya
ke sebuah jalan buntu yang tak terlalu lebar seukuran gang dan hanya bisa dilewati oleh
sepeda motor. Gang itu adalah satu-satunya jalan untuk bisa menuju ke rumah Narti.
Dalam situasi seperti ini Prapto tak mungkin memasuki gang itu dengan sepeda motornya.
Gang itu dipenuhi oleh banyak orang dan juga puing-puing reruntuhan tembok pagar dan
bangunan yang berserakan disepanjang gang. Hampir tak ada satupun bangunan
disepanjang gang itu yang masih berdiri utuh. Suasana kampung itu mirip sebuah tanah
lapang yang dipenuhi dengan berbagai bongkaran bangunan, mirip sebuah kota yang baru
saja diluluh-lantakkan oleh sebuah bom berkekuatan super dahsyat. Beberapa warga
kampung yang terluka dan mungkin juga telah tewas tampak sedang ditidurkan berjajar di
atas hamparan tikar plastik di sebuah halaman yang cukup lapang.
Prapto yakin orang-orang itu telah tewas, karena tubuh mereka ditutupi dengan
lembaran kain hingga menutupi wajah mereka. Prapto lalu memarkirkan sepeda motornya
tak jauh dari tempat itu.
Dengan sopan santun dan tata krama jawa khas orang Jogja, Prapto berusaha
menyapa dan memberi salam kepada beberapa penduduk yang kelihatan sedang sibuk
mengurus para korban.
“Kulonuwun pak, mas….. saya mau ikut numpang parkir motor saya disini. Saya
mau menengok teman saya Narti yang tinggal di ujung sana.” Ujar Prapto memberi salam
dan meminta izin dari mereka. Jempol kanannya ia gunakan untuk menunjuk ke ujung
gang, tempat dimana rumah Narti berada.
“Narti…..? Narti anaknya bu Prawiro yang sekolah di SMEA itu? Nak ini siapa
dan dari mana?” Seseorang yang usianya sudah agak lanjut bertanya. Tatapan matanya
yang dalam tampak menyelidik.
“Inggih Mbah, Narti. Narti anaknya bu Prawiro yang buka warung di ujung sana
itu.” Prapto membenarkan penjelasan orang tua itu.
“Nama saya Suprapto mbah, teman sekolah Narti. Dia tadi bersama dengan saya.
Kebetulan kami bertemu di jalan. Kami sama-sama mau berangkat ke sekolah dan di
tengah jalan ban sepeda Narti kempes. Saat itulah gampa terjadi. Ehmm….. lalu saya
mengajaknya mampir ke rumah simbah saya yang rumahnya tak jauh dari situ. Tapi…..
ee… karena saya terburu-buru ingin segera melihat keadaan simbah saya, saya lupa dan
meninggalkan Narti begitu saja. Dan…… setelah itu saya tak melihatnya lagi.” Setelah
memperkenalkan namanya Prapto menjelaskan secara panjang lebar kronologis pertemuan
dan perpisahannya dengan Narti.
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan dahi mengernyit yang
membuat gurat-gurat wajahnya semakin tampak tua. Wajah dan sorot matanya terlihat
menyiratkan keraguan atas keterangan Prapto tadi.
“Saya khawatir dia kenapa-kenapa. Makanya saya sengaja segera menyusulnya
kemari mbah.” Prapto melanjutkan penjelasannya.
“Saya permisi dulu.” Prapto tampak sudah tak sabar untuk segera beranjak dari
tempat itu menuju ke rumah Narti.
“Tunggu dulu nak.” Orangtua itu berusaha menahan kepergian Prapto sambil
berjalan mendekati salah satu jenazah yang dibaringkan berjajar di dekatnya. Tangannya
yang kurus dan tampak sudah mulai keriput di makan usia membuka kain yang menutupi
sosok jenazah tadi.
“Maksud nak Prapto, Narti yang ini?” Tanya orang tua itu sambil memperlihatkan
tubuh salah satu jenazah yang tampak mengenaskan. Kepala mayat itu tampak terluka
parah. Darah yang mulai mengering di bagian wajah dan juga di beberapa bagian tubuh
lainnya agaknya belum sempat dibersihkan. Prapto terkesiap manakala melihat wajah di
balik kain penutup jenazah yang dibuka orang tua itu. Jangtungnya serasa berhenti. Ia
nyaris tak percaya. Sesaat ia lalu meneliti dengan seksama jenazah yang ada yang ada
dihadapannya. Hampir saja ia berteriak histeris karena terkejut luar biasa. Benar! Wajah itu
adalah wajah Narti. Tak mungkin ia salah mengenali. Jenazah itu adalah jenazah Narti.
Pakaian seragam sekolah yang dipakainyapun adalah pakaian seragam yang tadi dipakai
oleh Narti saat bersamanya. Tapi bagaimana mungkin Narti bisa berada diantara jenazah-
jenasah itu? Bukankah ia tadi masih bersamanya saat gempa terjadi? Batin Prapto terus
bertanya-tanya.
“Dia ditemukan tewas diantara tumpukan reruntuhan bangunan rumahnya yang
ambruk nak. Agaknya waktu gempa pertama tadi, dia pas hendak berangkat ke sekolah.
Tubuhnya ditemukan tertindih sepeda dan juga tembok serta atap rumah yang ambruk
menimpanya. Bu Prawiro juga ditemukan tewas di dalam warungnya yang juga ambruk.
Itu dia sepedanya.” Orangtua itu berusaha menjelaskan kepada Prapto kejadian yang
menimpa Narti dan Ibunya saat gempa terjadi tadi. Ia lalu menunjuk sebuah sepeda tua
berwarna hitam yang terparkir di dekat sebuah pos ronda tak jauh dari tempat Prapto
berdiri. Sepeda itu tampak masih utuh, namun ban belakangnya terlihat kempes.
Beberapa saat Prapto tak bisa berbicara. Ia bingung oleh kejadian-kejadian yang
baru saja dialaminya. Ia mencoba mengingat-ngingat peristiwa yang tadi dialaminya
bersama Narti. Ia yakin bahwa semua itu bukan mimpi atau halusinasinya. “Nyatanya aku
ada disini untuk mencarinya.” Prapto berusaha menyakinkan dirinya, bahwa apa yang ia
alami memang nyata.
“Tapi mbah ……?” Prapto tak melanjutkan ucapannya. Ia merasa percuma
menjelaskan rentetan peristiwa yang ia alami tadi bersama Narti. Orang-orang pasti tak
akan percaya.
Dalam keadaan bingung bercampur sedih karena teman yang sedari tadi dicarinya
ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa, Praptopun lalu segera teringat pada nasib
keluarganya yang belum sempat ia ketahui keadaannya. Setelah menyampaikan terima
kasih kepada orang tua itu dan juga ucapan belasungkawa kepada penduduk yang ada
disekitarnya, Praptopun meminta diri, berpamitan untuk menengok keluarganya.
“Nuwun sewu, saya mohon izin untuk pamit dulu. Saya belum sempat melihat
keadaan rumah dan keluarga saya.”
“Monggo, monggo……dik. Sebaiknya adik segera pulang saja menengok keadaan
di rumah. Hati-hati di jalan.” Seseorang yang tampaknya adalah tokoh masyarakat disitu
memberi saran kepada Prapto.
“Inggih. Matur nuwun pak. Monggo…...” Prapto berpamitan dan segera melangkah
ke arah sepeda motor yang tadi diparkirnya. Hatinya pedih. Ia tak lagi kuasa untuk
menyaksikan keadaan rumah, jasad orangtua Narti.

***
Beberapa kali getaran gempa dalam skala kecil masih terasa. Prapto lalu menuntun
sepeda motornya sampai ke ujung depan gang. Ia merasa tak enak menstarter sepeda
motornya di depan orang-orang dalam suasana yang seperti itu. Sampai di ujung gang
Prapto segera menaiki sepeda motornya, menghidupkan mesinnya dan segera
melajukannya kearah tempat tinggalnya dengan suasana hati yang gundah gulana,
kebingungan tak mengerti apa yang sedang dialaminya.
Sementara itu nun di sana, disisi pagar masjid dekat rumah neneknya, seorang gadis
remaja berpakaian Sekolah Lanjutan Atas tampak berdiri termangu sendirian dengan
tatapan mata yang kosong. Disisinya sebuah sepeda tua berwarna hitam tampak bersandar
di pagar masjid.
Sore menjelang maghrib gerimis kecil mulai turun perlahan membasahi bumi
Jogjakarta. Langit tampak kelam. Sekuntum bunga kemboja yang tumbuh di halaman
masjid melayang jatuh di atas tanah yang mulai basah, dan gadis remaja itu masih tetap
berdiri di sana dengan sepeda hitamnya, seperti tengah menanti seseorang.

***

Jakarta, 20 Februari 2010


Pudji Pamungkas

Anda mungkin juga menyukai