Anda di halaman 1dari 3

Matahari bulan Juni begitu terik menyinari kota metropolitan ini, memaksa

orang-orang berusaha mencari tempat teduh di tepi-tepi jalanan. Begitu juga Pak Narto,
pria paruh baya itu namPak tengah bersimpuh dibawah pohon asem yang rindang sambil
menikmati sebungkus nasi bekal buatan istrinya untuk sarapan. Sarapan, yang
sebenarnya terlalu siang untuk disebut sarapan.. Begitu Pak Narto selesai dengan suapan
terakhirnya, dia kembali meraih sapu dan melanjutkan pekerjaannya, menyapu jalanan
ibukota. Sudah nyaris 20 tahun lelaki itu menyusur jalanan untuk membersihkan sampah-
sampahnya dari dini hari hingga menjelang ashar.

“Srek… srek… srek…” suara ujung sapu Pak Narto mengelus aspal jalanan dengan
lincahnya. Sesekali terlihat Pak Narto mengelap cucuran keringat di keningnya dengan
lengan bajunya. Siang itu, entah mengapa udara begitu panas sehingga pak Narto
memutuskan untuk berteduh sejenak di bawah sebuah pohon. Disandarkannya
punggungnya ke batang pohon tua itu sambil mengipas-ngipaskan topinya untuk mengusir
gerah. Matanya menerawang menyapu jalanan yang telah dibersihkannya. Hanya
beberapa kendaraan lalu lalang, cukup legang karena memang belum jam orang-orang
pulang ke rumahnya.

Sampai kemudian Pak Narto menghentikan pandangannya pada sebuah benda yang
tergeletak di seberang jalan. Dipicingkannya mata tuanya untuk memperjelas
penglihatannya. Pria itu kemudian menghampiri benda tersebut dan nampaklah bahwa itu
adalah sebuah amplop coklat. Diambilnya amplop yang masih tersegel itu dan dibolak
baliknya. Tak ada keterangan apapun, tapi nampaknya ada sesuatu di dalam amplop itu.
Pak Narto pun membukanya, dan betapa terkejut lelaki itu melihat puluhan lembaran
merah tertata rapi didalamnya. Seketika tangannya gemetar dan jantungnya berdegup
kencang.

Pak Narto kembali ke tempatnya berteduh sambil merenungkan tentang apa yang
baru saja ditemukannya. Pikirannya mendadak penuh dengan berbagai tagihan dan hutang
yang menunggu untuk dilunasi. Satu sisi hatinya membisikkan bahwa uang temuannya itu
adalah rizki yang bisa menjadi jalan keluar dari semua permasalahan hidupnya. Namun,
sisi hatinya yang lain mengatakan itu bukanlah haknya dan harus dikembalikan kepada
pemiliknya. Pak Narto merasa kakinya begitu lemas, dia bersimpuh sambil mendekap
amplop itu erat ke dadanya.

Hampir setengah jam berlalu sebelum Pak Narto bisa menenangkan diri dan
memulai kembali tugasnya yang tertunda. Kali ini, gerak sapunya tak selincah tadi. Kepala
Pak Narto masih penuh dengan berbagai pertimbangan dan suara-suara dalam jiwanya
masih saling berbantahan. Hingga di ujung jalan ketika ia hendak menyudahi
pekerjaannya hari itu, Pak Narto melihat sebuah amplop putih. Ternyata ada secarik
surat berkop di amplop itu. Ada nama dan alamat yang tertera disana, juga tanda tangan
dan materai, seperti sebuah surat yang penting. Pak Narto pun berfikir, mungkin ini ada
hubungannya dengan amplop coklat yang ditemukannya tadi.

Pak Narto mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, menyudahi doa
panjang selepas dhuha. Hari ini ia mengambil cuti karena ingin mencari alamat pada surat
yang ditemukannya kemarin sore. Pak Narto sengaja tidak menceritakan apa yang
ditemukannya pada istrinya. Dia khawatir istrinya gelap mata lalu keputusannya untuk
mencari pemilik uang itu akan berubah karenanya.

“Maaf, Pak. Apa benar gedung ini alamatnya?.” Pak Narto bertanya pada satpam
sambil menunjukkan surat yang ditemukannya. “Oh iya, Pak. Bapak ada keperluan apa?”
tanya satpam tersebut ramah. “ eh Anu, Pak. Saya ingin mengembalikan sesuatu pada
bapak yang namanya ada di surat itu,” jawab Pak Narto. “ooh, kalau begitu mari saya
antar, Pak”. Pak Narto mengikuti langkah satpam tadi memasuki gedung yang megah itu.
“Mbak, ini ada bapak-bapak ingin bertemu Pak Andri,” ucap satpam tadi pada seorang
wanita cantik. “Ada janji?,” tanya wanita itu pada Pak Narto. “eehh... tidak ada mbak.
Saya Cuma mau mengembalikan sesuatu” jawab Pak Narto singkat. Wanita itu
mengernyitkan dahinya, nampak ragu-ragu, tapi kemudian dia berkata “tunggu sebentar
ya, Pak.” Tidak lama wanita itu keluar dan mempersilahkan Pak Narto masuk ke dalam
ruangan.

“Silahkan, Pak duduk disini?” sapa seorang lelaki muda pada Pak Narto baru
memasuki ruangannya. “Bapak mau mengembalikan apa?”. Diserahkan surat yang
ditemukannya kemarin pada lelaki itu. “Ini punya Bapak?” tanya Pak Narto datar. “Wah,
iya pak... bapak temukan dimana?. Syukurlah. Ini surat penting, Pak!.” Seru lelaki itu
dengan wajah berbinar. Pak Narto tersenyum, “di Jalan pak, saat saya menyapu jalanan
kemarin sore”. Lelaki itu kemudian menceritakan bahwa tasnya dicopet, “Untung saja
surat ini ketemu, Pak. Kalau uangnya mungkin sudah diambil sama mereka.”. Pak Narto
kemudian merogoh tasnya, “Ini uangnya, Pak. Saya juga menemukannya di jalan.” Ucap
Pak Narto sembari menyodorkan amplop berisi uang itu pada Pak Andri. “Hanya ini yang
saya temukan. Dan maaf, saya buka karena ingin tau apa isinya. Tapi saya tidak ambil
selembarpun. Mungkin amplopnya tak sengaja jatuh saat pencopet itu lari, Pak.” jelas Pak
Narto panjang lebar. Wajah Pak Andri terlihat heran, tapi kemudian dia tersenyum dan
melangkah menghampiri Pak Narto. “Mimpi apa saya semalam bisa bertemu orang sejujur
bapak” ucapnya sambil menjabat erat tangan Pak Narto.

Pak Narto melangkahkan kakinya keluar ruangan dengan hati ringan.


Dikantonginya belasan lembar merah yang dipaksakan oleh Pak Andri untuk dia terima.
Meski itu mungkin tak bisa menyelesaikan segala permasalahan yang tengah dihadapinya,
tapi yang pasti keputusan yang diambilnya ini akan menghindarkan dia dari permasalahan
di hari setelah kematiannya nanti. Pak Narto yakin, benih kejujuran yang ditanam akan
menumbuhkan buah kebaikan yang banyak.

Anda mungkin juga menyukai