Anda di halaman 1dari 7

KESENJANGAN EKONOMI SEBAGAI PENGHAMBAT PERTUMBUHAN

PEREKONOMIAN DIY
 
PENDAHULUAN
            Indonesia adalah Negara dengan sumber daya alam (SDA) yang
melimpah. Namun, sama halnya dengan Negara berkembang lainnya
Indonesia masih memiliki segumpal masalah yang menjadi penghambat
kemajuan Negara ini. Masalah – masalah tersebut dapat dikaji berdasarkan
daerah – daerah kecil. Salah satunya daerah yang terkenal dengan kemajuan
pariwisatanya, yaitu DI Yogyakarta. Namun, dibalik kemajuan sektor
pariwisatanya, Yogyakarta termasuk provinsi dengan tingkat kesenjangan
ekonomi tinggi di Indonesia bedasarkan berita TEMPO. Pada tahun 2011,
peneliti Dana Moneter Internasional menunjukkan bahwa kesetaraan
pendapatan yang lebih besar—berkurangnya kesenjangan—meningkatkan
durasi pertumbuhan ekonomi sebuah negara dengan lebih cepat
dibandingkan perdagangan bebas, korupsi pemerintah rendah, investasi
asing, atau utang luar negeri rendah. Hal ini nyatanya makin berkembang
dan menjadi masalah utama perekonomian di DIY itu sendiri. Berdasarkan
dampak yang timbul dari kesenjangan ekonomi di Yogyakarta. Terlihat
dengan sangat jelas sekali perbedaan diantara gambar-gambar di atas.
Fasilitas mewah yang dimiliki negara ataupun orang-orang mampu yang tentu
saja sangat berbanding terbalik dengan keadaan masyarakat yang kurang
mampu atau bahkan masyarakat yang tidak mampu. Di saat pinggiran kota
harus bergelap-gelapan karena tidak ada aliran listrik di kota besar
bergelimang cahaya, lampu berkelap-kelip di setiap sudut kota. Di saat
penduduk miskin harus membangun rumah seadanya dan bahkan tidak layak
huni di pinggiran kali, perumahan-perumahan dan kantor mewah sedang
berlomba-lomba dibangun.
Kesenjangan ini berkaitan dengan strategi pembangunan Indonesia yang
bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi sejak masa orde baru. Sasaran
pembangunan diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi
tinggi,namun tidak memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi di
seluruhwilayah Indonesia. Walaupun aspek pemerataan sempat
mendapatkan perhatian ketika urutan prioritas trilogi pembangunan diubah
dari pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas pada Pelita II (1974-1979)
menjadi pemerataaan, pertumbuhan, dan stabilitas dari pada Pelita III (1979-
1984), namun inti tumpuan pembangunan Indonesia tetap saja pertumbuhan
(growth bukan equity). Dalam praktiknya, pemerintah hanya menetapkan
target tingkat pertumbuhan yang hendak dicapai, namun tidak menetapkan
target mengenai tingkat kemerataan. (Dumairy, 1996). Tidak teratasinya
masalah tersebut menjadi salah satu faktor penghambat perekonomian
daerah dan berpengaruh terhadap aspek – aspek kehidupan lainnya. Kondisi
ini memerlukan perhatian khusus tidak hanya dari pemerintah namun dari
setiap anggota masyarakat yang diharuskan untuk sadar dengan lingkungan
ekonominya. Kinerja pemerintah yang cepat dan tepat sangat diperlukan. Dan
dengan bantuan rakyat bersama-sama memberantas kemiskinan untuk
mencapai kesejahteraan sosial.
ISI
A. Permasalahan Utama Perekonomian DIY Dewasa ini.
Salah satu permasalahan di negri ini adalah kesejahteraan yang tidak merata.
Capaian pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terkahir hanya dirasakan
kalangan atas. Sebaliknya, permasalahan perekonomian di negri ini dirasakan
oleh rakyat – rakyat kecil. Hal yang sama yang terjadi di Yogyakarta ini.
Didukung dengan data jumlah penduduk miskin yang mencapai setengah juta
jiwa menambah kemungkinan terjadinya kesenjangan ekonomi.
Kesenjangan ekonomi merupakan permashlahan yang akan terus
berkembang jika tidak diatasi. Kesenjangan ekonomi juga berakibat
berkepanjangan karena  kesenjangan pendapatan dan pemusatan kekayaan
mampu menghambat pertumbuhan jangka panjang. Jika hal ini tidak segera
diatasi akan berpengaruh ke aspek kehidupan lainnya.
      Kondisi DIY saat ini dapat dibilang tenang dan tidak terlihat kemungkinan
akan ada terjadinya masalah sosial. Budaya Jawa yang masih tertanam
berupa sabar dan ikhlas menerima semuanya, memberikan efek baik
ditengah – tengah kesenjangan ekonomi yang belum muncul ke permukaan.
Namun, seiring berkembangnya kesenjangan ekonomi tersebut tanpa ada
solusi yang terealisasikan, lama – lama akan menumpuk dan menimbulkan
masalah baru yang dapat menghambat perkembangan perekonomian
Yogyakarta.
Ekonomi mengkaji kesenjangan ekonmi dalam beberapa teori. Joseph E.
Stiglitz dalam bukunya The Great Devide: Unequal Societies and What We
Can Do About Them menyimpulkan bahwa sesungguhnya kesenjangan
ekonomi adalah sebuah “choices” (pilihan-pilihan). Peraih Nobel Ekonomi
tahun 2011 ini, menyebut kesenjangan ekonomi sebagai gejala sadar yang
dibentuk para elite yang sekaligus penerima manfaat paling besar dari
tatanan ekonomi. Jadi, secara singkat dapat dikatakan bila kesenjangan
ekonomi adalah “produk” dari proses politik yang berulang dan menjadi
struktur, sehingga akibatnya sulit diubah. Pemahaman secara mendalam
tentang pola konsumsi sangat penting. Sebab, lewat pengenalan pola
konsumsi, para pembuat kebijakan bisa meluncurkan produk kebijakan yang
tepat sehingga konsumen tidak dirugikan alias tidak menjadi miskin. Deaton
telah banyak menginspirasi banyak peneliti dan periset tentang dahsyatnya
efek (pola-pola) konsumsi terhadap perekonomian. Sedangkan menurut Teori
Deaton aTerlebih karena konsumsi merupakan penyumbang terbesar
pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) yang erat berkaitan dengan
pendapatan perkapita (kesejahteraan) masyarakat. Penerapan analisis
Deaton, contohnya terjadi pada dampak kebijakan pajak pertambahan nilai
terhadap produk makanan. Pemberlakuan pajak pada makanan ini jelas
mempengaruhi konsumsi. Namun, pengaruh pajak ini sangat berbeda pada
setiap individu. Warga miskin akan mudah tertimpa beban sehingga
mengurangi konsumsi, sedangkan warga mapan relatif tidak begitu
terpengaruh.
Dapat diartikan dari teori tersebut bahwa kemungkinan menghilangkan
kesenjangan ekonomi di DIY terbilang sulit. Yang pertama dikarenakan
kondisi masyarakat kebudayaan DIY yang menerima semua apa adanya,
menimbulkan rasa tidak kepedulian terhadap lingkungan perekonomian luar
disekitarnya, dan apalagi pertumbuhan perkonomian. Yang kedua adalah
kurangnya lapangan pekerjaan, seperti data yang dilansir di BPS Yogyakarta
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di D.I Yogyakarta dari Agustus 2014-
Agustus 2016 berada dalam kisaran 2,7 – 4,1 persen dan fluktuatif cenderung
menurun. Pada Agustus 2016 TPT D.I. Yogyakarta mencapai 2,72 persen,
mengalami penurunan 1,35 poin dibanding TPT Agustus 2015 sebesar 4,07
persen. Angka ini lebih rendah dibanding TPT Nasional sebesar 5,49 persen
pada Agustus 2016. Berdasarkan data tersebut bisa dilihat bahwa tingkat
pengangguran masih terbilang tinggi. Lapangan pekerjaan memiliki pengaruh
yang sangat besar dalam perekonomian masyarakat, sedangkan
perekonomian menjadi faktor terjadinya kesenjangan sosial. Sempitnya
lapangan pekerjaan di Indonesia menjadikan pengangguran yang sangat
besar di Indonesia dan menyebabkan perekonomian masyarakat bawah
semakin rapuh. Salah satu karakteristik tenaga kerja di Indonesia adalah laju
pertumbuhan tenaga kerja lebih tinggi ketimbang laju pertumbuhan lapangan
kerja. Berbeda dengan negara-negara di Eropa dan Amerika, dimana
lapangan pekerjaan masih berlebih. Yang ketiga adalah rendahnya tingkat
penggunaan program KB di DIY. Keinginan masyarakat untuk memiliki anak
lebih dari dua dengan berbagai macam alasan/ perspektif lama yaitu “Banyak
anak banyak rejeki”. Apalagi hal itu tumbuh dikalangan menengah ke bawah,
dimana untuk menghidupi kebutuhan pokok saja belum memenuhi.
Yang keempat adalah angka kemiskinan yang terbilang tinggi. Mengutip
Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, dari enam provinsi di Pulau Jawa, tiga di
antaranya memiliki angka kemiskinan di atas ratarata nasional, yakni DIY
13,20 persen, Jawa Tengah (13,15 persen) dan Jawa Timur (12 persen).
Sedangkan, tiga provinsi lain tingkat kemiskinannya di bawah ratarata
nasional, yakni Jawa Barat (9,50 persen), Banten (7 persen), dan DKI Jakarta
(3,5 persen)
B. Keterkaitan dengan Aspek Kehidupan Lainnya
Kesenjangan ekonomi yanh terbilang tinggi akan sangat mempengaruhi
aspek kehidupan lainnya. Yang pertama adalah adanya kaitan antara faktor-
faktor ekonomi dengan kesehatan masyarakat. Makin banyak penelitian 
menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi yang makin lebar memiliki
pengaruh merugikan terhadap kesehatan perseorangan maupun kesehatan
masyarakat. Ketimpangan ekonomi adalah determinan sosial kesehatan yang
terlalu penting untuk tidak mendapat perhatian serius. Dalam laporan berjudul
“Does Income Inequality Cause Health and Social Problems?” (2011), Karen
Rowlingson melakukan review terhadap hasil-hasil penelitian yang menelaah
hubungan kesenjangan ekonomi dan kondisi kesehatan. Ia tegas
menyimpulkan bahwa meskipun tidak bersifat kausal, sulit diingkari adanya
korelasi antara keduanya. Review Rowlingson di atas dilakukan terutama
sebagai tindak lanjut debat antara para peneliti yang dipicu terbitnya tulisan-
tulisan penting mengenai pengaruh kesenjangan ekonomi terhadap kondisi
kesehatan yang ditulis Wilkinson dan Picket berjudul “The Spirit Level: Why
More Equal Society  Almost Always Do Better” (2009a) dan “Income
Inequality and Social Disfunction” (2009b). Wilkinson dan Picket menunjukkan
indikator-indikator kesehatan dan sosial seperti usia harapan hidup, angka
kematian ibu dan anak, angka kesakitan,  ataupun indikator-indikator seperti
angka kejadian depresi dan gangguan mental, tingkat ketergantungan pada
alkohol dan narkotika (beserta segala dampaknya), kehamilan remaja  dan
angka kekerasan (termasuk pembunuhan) yang hampir selalu lebih baik di
daerah dan masyarakat yang lebih setara atau yang rendah tingkat
kesenjangan ekonominya. Contohnya Angka Kematian Bayi. Pada Tahun
2013 angka kematian bayi sebesar 11,8 per 1000 kelahiran hidup dan
meningkat menjadi 14,19 per 1000 kelahiran hidup pada Tahun 2014 . Namun
demikian apabila dibandingkan dengan target MDGS sebesar 23 / 1000
kelahiran hidup pada tahun 2015 Kota Yogyakarta sudah dapat mencapainya.
Peningkatan angka kematian bayi merupakan gambaran bahwa upaya
menurunkan jumlah kematian bayi belum menunjukkan hasil yang optimal.
Penyebab kematian bayi sangat komplek , tidak hanya disebabkan dari faktor
medis atau faktor pelayanan kesehatan saja akan tetapi juga sangat di
pengaruhi oleh faktor sosial ekonomi kultural dan religious , sehingga sangat
di perlukan peningkatan peran lintas sektor dalam upaya penurunan kematian
bayi di Kota Yogyakarta. Menurut data yang dilansir oleh MetroTV News
(30/12/2015). Yang kedua dalam segi kriminalitas banyak rakyat miskin yang
terpaksa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, seperti
mencopet, mencuri, judi, dll. Tingkat kriminalitas menrurut data BPS di DI
Yogyakarta meningkat 16,55 persen pada 2015 ketimbang setahun lalu.
Polda DIY mencatat 6.619 kasus kriminalitas terjadi sepanjang 2015.
Sementara pada 2014, angka kriminalitas mencapai 5.679 kasus.
Yang ketiga adalah kesenjangan sosial yang pasti muncul dikalangan
masyarakat. Ketika melihat perbedaan yang sangat jauh antara masyarakat
menengah kebawah dan keatas dilingkungan masyarakat seperti sekolah dan
lingkungan pekerjaan. Hal ini juga didukung dengan kurangnya kepedulian di
kalangan masyarakat atas. Kalangan menengah bawah juga rasanya hanya
menerima saja dengan keadaan yang ada disini. Contohnya adalah di
lingkungan sekolah sendiri, jika salah seorang teman melihat fasilitas yang
digunakan mayoritas temannya, hal ini akan menimbulkan ketidak percaya
dirian individu tesebut. Sama halnya yang akan terjadi di situasi masyarakat
lainnya. Yang keempat adalah tingkat kemiskinan yang jika tidak segera
diberikan solusi akan terus meningkat setiap tahunnya. Seperti yang dilansir
dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),
angka kemiskinan di Yogyakarta hingga Maret 2015 mengalami kenaikan
dibanding tahun sebelumnya. Jika pada Maret 2014, angka kemiskinan
berada pada 544,9 ribu jiwa, maka pada Maret 2015 tercatat sebanyak
550,23 ribu jiwa atau naik 7,16 persen. Yang kelima hal ini juga secara kasat
mata menyebabkan pengaruh besar terhadapa pendidikan. Akan terjadi
banyak anak yang putus sekolah dikarenakan masalah biaya dan sosialnya
yang tidak menerima keadaan mereka. Menurut data Badan Pusat Statistik
dalam Data Strategis DIY 2015 menunjukkan, rerata lama sekolah di DIY naik
dari tahun ke tahun, namun masihlah jauh dari target Wajib Belajar 12 Tahun.
Rerata lama sekolah pada 2013 adalah 8,72 tahun, naik dari tahun
sebelumnya, yakni 8,63 tahun. Kemudian pada 2014 rerata lama sekolah naik
menjadi 8,84 tahun. Menurut kabupaten/kota, rerata lama sekolah terendah
pada 2014 masih Kabupaten Gunungkidul (6,45 tahun) disusul kemudian
Kabupaten Kulon Progo (8,20 tahun). Alih-alih mengurangi beban ekonomi
orang tua dengan tidak meneruskan sekolah, hal ini justru menjerat anak
dalam lingkaran kemiskinan. Ini jelas merupakan kerugian baik bagi anak,
orang tua, masyarakat maupun bangsa. Untuk itu, diperlukan penanganan
yang holistik atau menyeluruh di antara pemerintah, lingkungan, dan siswa.
Pertumbuhan yang tinggi diperlukan untuk memberikan lapangan kerja serta
menurunkan jumlah orang miskin dan mengatasi kesenjangan kemakmuran
yang semakin melebar. Keadilan antara orang miskin dengan orang kaya
dalam hal memanfaatkan sumber daya yang ada harus ditegakkan .Hal – hal
tersebutlah yang menyebabkan kesenjangan ekonomi memperhambat
pertumbuhan perekonomian DIY. Tidak hanya dari segi ekonomi, namun
sosialpun memberikan pengaruh yang besar (Kesenjangan Sosial).
C. Pentingnya Peran Generasi Muda
Setelah mengetahui beberapa hal yang dapat dibilang sudah mendesak,
masyarakat seharusnya memiliki tingkat kesadaran yang tinggi untuk
berpartisispasi dalam memperbaiki kondisi perkonomian DIY ini. Ada banyak
hal yang bisa dikembangkan dari banyak sektor khususnya pariwisata dan
perdagangan, dimana Yogyakarta memiliki peluang yang besar dalam bidang
tersebut.
Generasi muda adalah penerus bangsa dimasa yang akan mendatang. Ada
baiknya jika masalah yang sudah terlanjur terjadi dapat diselesaikan. Maka
peran generasi muda sangatlah dibutuhkan untuk masa depan. Fungsi
pendidikan seharusnya lebih menanamkan nilai – nilai yang akan mereka
gunakan di  masa depan agar bisa menjadi berguna untuk bangsa maupun
Negara.
Kesenjangan sosial semakin hari semakin memprihatinkan, khususnya di
lingkungan perkotaan. Memang benar jika dikatakan bahwa yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Hal ini jelas-jelas mencederai
rasa keadilan serta bertolak belakang dengan kebersamaan dan kesetaraan
sosial. 10 Selain itu, kesenjangan sosial tidak sesuai dengan pancasila sila
kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Inilah
tugas dan peran dari generasi muda di masa depan yang harus terus belajar
mengenai perekonomian khususnya generasi muda di Yoggyakarta ini yang
memiliki peluang besar menjadi penerus – penerus pemerintahan DIY untuk
menyelesaikan masalah – maslah yang sangat berkemungkinan terjadi di
masa depan dan menuntaskan maslah yang terjadi masa lalu.
Generasi muda saat ini harus mengetahui terlebih dahulu mengenai
perekonomian Yogyakarta yang terkecil dan perekonomian Negara yang
terbesar. Hal ini akan menjadi bekal mereka untuk menghadpai segala
macam persoalan yang ada. Masa depan bergantung sekali terhadap bibit
generasi masa sekarang. Hal ini dilakukan agar keadilan, dan kesejahteraan
bisa terwujud yaitu sebagai tanggung jawab kita bersama maka mulailah
dengan diri kita sendiri yang peduli dengan sesama.
PENUTUP
Kesenjangan sosial terjadi akibat banyaknya rakyat miskin dan pengangguran
di Indonesia. Banyaknya kemiskinan inilah yang menjadi tombak bagaimana
kesenjangan sosial bisa terjadi. Pemberantasan kemiskinan, memaksimalkan
pendidikan, dan membuka lapangan kerja adalah beberapa solusi
memberantas kesenjangan sosial di Indonesia. Maka diperlukan upaya dan
peranan generasi muda sekarang agar terciptanya perekonomian yang lebih
merata dan terstruktur.
DAFTAR PUSTAKA

 https://m.tempo.co/read/news/2015/12/12/058727170/bps-ungkap-
kesenjangan-ekonomi-di-yogyakarta-tinggi (22-11-2016 @14:20)
 https://id.wikipedia.org/wiki/Kesenjangan_ekonomi  (22-11-2016
@14:40)
 http://yogyakarta.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/6 (22-11-2016
@23:12)
 http://economy.okezone.com/read/2016/07/19/320/1441413/
yogyakarta-termiskin-di-pulau-jawa (22-11-2016 @23:20)
 http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/12/30/206297/sepanjang-
2015-angka-kriminalitas-di-yogyakarta-meningkat (23-11-2016
@15:30)
 http://cpps.ugm.ac.id/content/putus-sekolah-ketiadaan-biaya-masih-
jadi-alasan-utama#sthash.I8lDpIq1.dpuf (24-11-2016 @00:12)

Anda mungkin juga menyukai