Anda di halaman 1dari 33

PENATALAKSANAAN NYERI DALAM PERAWATAN PALIATIF

Wiwiek Indriyani Maskoep


Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri
RSU Dr. Soetomo – FK Unair Surabaya

PENDAHULUAN

Nyeri merupakan salah satu penyebab total suffering disamping problem


psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Pemahaman tentang patofisiologi, klasifikasi,
derajat nyeri dan implementasi the WHO four step anlgesic ladder, yang merupakan
perawatan interdisipliner dan multiprofesional (multimodalitas) secara komprehensif dan
holistik yang mengatasi problem dibidang biologis, psikologis, sosial dan spiritual akan
memberikan hasil terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Data WHO
menyatakan bahwa dengan penanganan tersebut dapat mengurangi nyeri sampai
80 - 90%. Penatalaksanaan nyeri kanker dibagi menjadi tiga kelompok : 1. Terapi
spesifik anti kanker yang bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi ukuran
tumor penyebab nyeri yang terdiri dari tindakan bedah, radioterapi, kemoterapi dan
terapi hormon; 2. Merupakan prosedur non invasif termasuk analgesik sistemik dan
obat-obat adjuvant, psychologic techniques, neurostimulation techniques dan terapi
fisik; 3. Interventional.

DEFINISI NYERI KANKER

Pain : an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or


potential tissue damage, or described in terms of such damage (IASP =
International Association The Study of Pain 1994).

1
PENYEBAB NYERI KANKER

A. Faktor Fisik (Jasmani) (1). Akibat tumor : terjadi pada 70% penderita kanker, (2).
Akibat pengobatan kanker: akibat tindakan bedah, kemoterapi dan radiasi (20%). (3)
Akibat dari penyebab yang tidak berhubungan langsung dengan tumor maupun
terapinya (10%).

B. Faktor Psikologis
Sesuai dengan teori Kubbler Ross, terdapat 5 fase keadaan psikologis pasien dalam
reaksinya terhadap penyakit yang dideritanya yaitu fase denial, angry, bargaining,
depression, acceptance.

C. Faktor sosial
Dapat berupa kesulitan dibidang finansial keterbatasan atau kehilangan aktifitas
sosial baik terhadap keluarga, teman maupun lingkungan kerja.

D. Faktor kultural
Pemahaman yang keliru tentang penyakit, nyeri dan kematian, faktor emosional
sesuai kulturnya.

E. Faktor spiritual
Berhubungan dengan eksistensi diri seperti perasaan bahwa kehidupannya sudah
tidak berarti, kehilangan integritas personal

KOMPONEN NYERI
Nyeri kanker, seperti nyeri nonkanker, adalah suatu proses subyektif yang
kompleks dan dipengaruhi oleh tiga komponen utama yaitu komponen dari sensory
discrimination, komponen afektif, komponen kognitif. Selain itu nyeri kanker juga
bersifat mutidemensional yang disebut sebagai Total Pain dimana faktor biologis,
psikologis sosial, kultural/ budaya dan spiritual saling terkait berpengaruh
terhadap persepsi dan respon terhadap nyeri yang timbul pada seseorang.

KLASIFIKASI NYERI
2
I. BERDASARKAN WAKTU :
1. Nyeri transient (sementara) :Berlangsung hitungan menit, misalnya nyeri akibat
cubitan atau pukulan ringan
2. Nyeri akut : Berlangsung hitungan jam – hari (kurang dari 1 bulan / 3 bulan).
3. Nyeri kronis: Berlangsung lebih dari satu bulan – tahun.
4. Breakthrough pain : yaitu nyeri yang terjadi / timbul pada saat pasien sedang dalam
jangka waktu pemberian obat analgesik (diantara dua jadwal pemberian obat). Nyeri
tersebut dibagi dua yakni:
4.1. Incident pain
Nyeri yang timbul hanya pada kondisi tertentu, misalnya nyeri timbul saat atau
setelah melakukan pergerakan, batuk, defikasi dan lainnya.
4.2. End-of-dose failure yaitu nyeri timbul beberapa saat sebelum atau mendekati
jadwal permberian obat analgesik berikutnya

II. BERDASARKAN PATOFISIOLOGI


1. Nyeri fisiologik : nyeri yang timbul akibat berbagai stimuli yang tidak menimbulkan
kerusakan jaringan.
2. Nyeri Nonsiseptif (akibat injuri atau nyeri inflamasi). Yaitu nyeri nosiseptif
somatik tulang dan bukan tulang, nyeri nosiseftif visceral) : nyeri yang timbul
akibat berbagai stimuli yang menimbulkan kerusakan jaringan dan dilepaskannya
mediator inflamasi.
3. Nyeri Neuropatik (perifer dan sentral) : nyeri yang disebabkan oleh injuri atau
keradangan yang menyebabkan disfungsi atau kerusakan saraf.
4. Nyeri psikogenik : nyeri dimana faktor psikogen merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap persepsi nyeri dan tanpa adanya kerusakan jaringan atau
kelainan patofisiologik sebagai penyebab.

3
III. BERDASARKAN INTENSITAS / DERAJAT NYERI (berdasarkan the WHO four
step analgesic ladder) :
1. Nyeri ringan : Nilai Nyeri 1 – 3
2. Nyeri sedang : Nilai Nyeri 1 – 6
3. Nyeri berat : Nilai Nyeri 1 – 10

PATOFISIOLOGI NYERI
Bagian saraf diseluruh jaringan tubuh yang menerima impuls dinamakan
reseptor yang merupakan kelompok ujung saraf aferen. Jenis reseptor ada yang peka
terhadap stimulus mekanis, temperatur, zat-zat kimia, ada yang peka terhadap berbagai
stimuli yaitu reseptor polimodal dan disebut nosiseptor yang kebanyakan berupa
akhiran serabut saraf C dan sebagian serabut saraf Aδ dan Aβ.
Stimulus ditangkap oleh nosiseptor kemudian stimulus termal, mekanikal dan
kemikal/ mediator inflamasi (MI) diubah menjadi arus listrik dan dihantarkan melalui
serabut saraf Aδ, Aβ, juga saraf C. Kemudian melalui ascending pathway sampai ke
cortex somatosensori (SS) dan association area sehingga timbul persepsi nyeri. Sinaps
yang terbentuk diantara neuron-neuron ini mempunyai neurotransmitter kemis yang
membawa pesan dari satu neuron ke neuron lain, meliputi, Substance P, neurokinin A,
Vasoactive Intestinal (VIP), beberapa asam amino seperti glutamate, aspartate dan
homocystein.
Sensitisasi sentral di dorsal horn cornu dorsalis dari spinal cord atau susunan
saraf pusat melibatkan calcium channels dan reseptor AMPA ( α-amino-3-hydroxy-5-
methyl-4-isoxazole propionic acid) juga NMDA (N-methyl-D-Asparate). Pelepasan dari
exitary neurotransmitters termasuk glutamat dan substance P dapat memproduksi
sensitisasi sentral dari neuron-neuron di kornu dorsalis. Sensitisasi sentral dimediasi
oleh calcium channels dan peningkatan transport calcium menyebabkan impuls-impuls
spontan (action potentials) membawa pesan nyeri ke otak (alodynia adalah suatu
indikasi bahwa sensitisasi sentral terjadi di kornu dorsalis).
Terdapat juga proses modulasi yang mengurangi proses transmisi melalui jalur
inhibisi (descending pathway). Sehingga rangsangan nyeri yang naik jadi kurang dan

4
persepsi intensitas nyeri turun. Neurotransmitter pada mekanisme ini adalah serotonin
(5-hydroxitriptamin). Noradrenalin, GABA (mempertahankan potensial membran
mendekati potensial istirahat), glycine, adenosine, acetylaholine dan somatostatin.
Pengaruh rasa takut, stress pada persepsi nyeri, dimulai dari pusat stress Amygdala
turun menghambat kerja Peri Aquaductal Gray sehingga terjadi disinhibisi jalur
modulasi yang menghambat transmisi nyeri sehingga persepsi nyeri menjadi lebih
besar. Penghayatan rasa nyeri terdiri dari 3 komponen yaitu sensory discrimination
yaitu penghayatan tempat, intensitas dan kwalitas nyeri, affective yaitu perasaan yang
timbul : cemas, takut dan menderita akibat nyeri, cognitive yaitu interpretasi terhadap
nyeri berbahaya atau tidak berbahaya.

5
MANIFESTASI KLINIS

I. NYERI NONSISEPTIF
I.1. Nyeri Nosiseptif Somatik
Disebut nyeri nosiseptif somatik tulang (berasal dari tulang), disebut nyeri
nosiseptif bukan tulang (berasal dari kulit, soft tissue, facia, tendon, otot).
I.2. Nyeri Nosiseptif viseral
Berasal dari organ dalam tubuh, nyeri sulit ditentukan lokasinya dan terasa
menyebar (area nyerinya lebih luas), sering menjalar kekulit jauh dari lesinya
(nyeri daerah bahu pada hepatoma).

II. NYERI NEUROPATIK


Akibat kerusakan (injury) saraf perifer (saraf sensorik perifer, radiks dan
ganglion dorsalis) atau system saraf sentral (medulla spinalis, batang otak,
thalamus sampai cortex cerebri).
Manifestasinya dapat berupa :
A. Nyeri spontan (tanpa rangsangan)
B. Nyeri timbul dengan rangsangan (stimulus dependent = stimulus evoked pain)
terdiri dari dua yakni Hiperalgesia dan alodyna.

6
TERAPI NYERI
I. Assesment Nyeri :
1. Anamnesis :
Hal yang perlu ditanyakan meliputi : Lokasi nyeri, penyebab nyeri, lamanya nyeri
diderita, beratnya nyeri, progresifitasnya, frekuensi, durasi, kualitas nyeri,
faktor pencetus, faktor yang memperberat nyeri, pengaruh nyeri terhadap

7
aktivitas, gangguan tidur, mengganggu perasaan, obat-obat atau terapi lain
yang digunakan sebelumnya (jenis obat, dosis, cara pemberian, frekuensi, berupa
lama sudah dikonsumsi, efek obat dan efek sampingnya), faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pemahaman/ persepsi nyeri pada seorang penderita
(faktor psikologis; faktor sosial; faktor kultural; faktor spiritual)

Penilaian nyeri : Intensitas / derajat nyeri kanker dapat diukur dengan


menggunakan alat bantu sebagai berikut :

I. Untuk penilaian nyeri secara subyektif (pasien sadar dan dapat berkomunikasi)
Penilaian nyeri alat bantu pengukuran derajat / intensitas nyeri
(paduan antara numerical rating scale dengan Wong-Baker face scale)

INTENSITAS / DERAJAT NYERI


Derajat nyeri kanker dapat digolongkan menjadi tiga ialah :
a. Ringan (VAS 1-3) : Tidak menggangu kegiatan sehari-hari dan penderita
dapat tidur
b. Sedang (VAS 4-6) : Menggangu kegiatan sehari-hari tetapi penderita dapat
tidur
c. Berat (VAS 7-10) : Menggangu kegiatan sehari-hari dan penderita tidak
dapat tidur

8
II. Penilian nyeri secara objektif antara lain :
A. FLACC Behavioral pain assessment scale (Face , Legs, Activity, Cry ,
Consolability) Behavioral pain assessment scale

Ada beberapa keadaan dimana penilaian nyeri secara subyektif tidak bisa
dilakukan seperti (pasien masih tersedasi atau dibawah pengaruh obat anastesi,
belum mempunyai kemapuan verbal yang baik seperti (neonatus, anak dibawah 3
tahun, geriatri), kesadaran berubah, pasien terintubasi ataupun pasien sakit keras
sehingga tidak bisa berespon). Skala nyeri ini terdiri dari 10 poin dan didasarkan
pada respon perilaku pasien, dan direkomendasikan untuk digunakan pada pasien
dewasa yang tidak kooperatif terhadap penilaian keperawatan. Instruksi : pada
pasien yang sadar baik lakukan observasi dan penilaian selama 5 menit pada kaki
atau bagian tubuh yang tidak tidak tertutup, pada pasien yang tidur, observasi nilai
kaki dan bigian tubuh yang tidak tertutup jika memungkinkan pasien dan sentuh
tubuhnya.
nilai 0 = tidak nyeri nilai 1 - 3 = nyeri ringan
nilai 4 - 6 = nyeri sedang nilai 7 – 1 = nyeri berat sekali

B. Functional activity score (FAS)


Selain penilaian dengan cara subyektif, kemampuan fungsional pasien harus
dipertimbangkan. Penanganan nyeri yang efektif seharusnya dapat meningkatkan
proses penyembuhan penyakitnya disebabkan hilangnya limitasi aktivitas.
Instruksinya pasien diminta untuk melakukan gerakan yang sesuai yang dapat
menimbulkan nyeri yang hebat atau yang membutuhkan tindakan rehabilitasi dan
kemudian dinilai seberapa besar nyeri dapat mempengaruhi kemampuan mereka
dalam melakukan gerakan tersebut.
Interprestasi :
1. Score A menunjukan pasien tidak ada limitasi aktivitas yang disebabkan oleh
nyeri atau factor lainnya
2. Score B menunjukan pasien mengalami limitasi aktivitas ringan sampai sedang
yang disebabkan oleh nyeri atau factor lainya

9
3. Score C menunjukan pasien mengalami limitasi aktivitas yang berat yang
disebabkan oleh nyeri atau factor lainya
4.
Penilaian nyeri ini dilakukan untuk menilai nyeri yang dialami pasien dalam
seminggu terakhir. Terdiri dari : nilai nyeri paling ringan, nilai nyeri paling berat dan
nilai rata-rata nyeri dalam 1 minggu terakhir.

Pemeriksaan problem - problem psikologis dan bila dinilai terdapat depresi,


maka dilakukan pemeriksaan psikologis pasien berdasarkan HDRS ( Hamilton
Depression Rating Scale) dengan nilai sbb:

Keterangan :
<6 = Tidak ada depresi
6 – 17 = Depresi ringan
18 – 24 = Depresi sedang
> 24 = Depresi berat
Depresi sedang dan berat perlu intervensi psikiatri khusus
Catat problem-problem faktor sosial, kultural dan spiritual

2. Pemeriksaan fisik
Umum Keadaan umum tanda vital, fungsi mental (psikologik), adanya kelainan
sistem organ atau kelainan yang terkait dengan nyerinya misalnya, adanya massa
tumor, deformitas, adanya luka, nyeri tekan, nyeri gerak, dan sebagainya.

Neurologik, sedangkan Pemeriksaan khusus nyeri neuropatik untuk hiperalgesia


dan alodyna.

10
10
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik digunakan pictorial record untuk
mencatat bagian tubuh yang dirasakan nyeri oleh penderita. Disamping itu juga
dinilai performance status berdasarkan karnofsky rating scale ( skala status
penampilan karnofsky), dan mencatat intensitas / derajad nyeri pasien pada grafik
intensitas nyeri.

Lokasi nyeri

Pictorial Record. The patient may be requested to mark or indicate the site of the
pain or it may be completed by the examining doctor or nurse
Mencatat intensitas / derajat nyeri pasien pada grafik intensitas nyeri
10
9
8
V
7

A 6
5
S 4
3
2
1
0
7 14 21
Tanggal evaluasi

11
11
Skala status penampilan karnofsky

A. Mampu 10 Normal tanpa


melaksanakan 0 keluhan, tidak
aktifitas ada kelainan
normal, tidak perlu
perawatan 90 Mampu
khusus. melaksanakan
kegiatan
normal, keluhan
dan gejala
meinimal

80 Melaksanakan
kegiatan normal
dengan
bantuan,
dijumpai
beberapa gejala
dan tanda-tanda
penyakit.

B.Tidak mampu 70 Mampu


bekerja tetapi merawat diri
dapat tinggal di sendiri, tak
rumah, mampu
memerlukan melaksanakan
berbagai tingkat kegiatan
bantuan normal/bekerja

60 Memerlukan
bantuan khusus,
tapi masih
sanggup
memenuhi
kebutuhan
pokok untuk
dirinya sendiri

12
50 Memerlukan
bantuan dan
pengobatan
medis

C.Tidak mampu 40 Memerlukan


merawat diri bantuan sosial
sendiri, baik di dan medis
institusi maupun
di rumah sakit,
penyakit dapat 30 Memerlukan
dengan cepat perawatan di
menjadi prograsif rumah sakit,
meskipun
kematian belum
mengancam

20 Harus dirawat di
rumah sakit,
diperlukan
pengobatan
suportif

10 Maribund
penyakit
menjadi
progresif
dengan cepat
dan fatal

0 Meninggal
Dunia

3. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan penunjang dilakukan secara selektif (sesuai kebutuhan) dengan
mempertimbangkan pentingnya hasil pemeriksaan untuk menunjang diagnostik
sehingga dapat memberikan terapi yang tepat akan tetapi sekecil mungkin
13
13
memberikan dampak yang memperberat penderitaan fisik, psikologis maupun
sosial. Pemeriksaan penunjang dapat berupa : x-foto, USG, CT Scan, MRI, EKG,
EMG, laboratorium, patologi anatomi, endoscopy, colonoscopy, MRCP, ERCP
dan lain-lain.

Berdasarkan anamnesis, penentuan jenis nyeri (berdasarkan waktu dan


patofisiologinya), penilaian intensitas/ derajad nyeri, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, maka assessment nyeri adalah sebagai berikut :
- Nyeri nosiseptik visceral atau somatik tulang/ bukan tulang kronis derajad
ringan/ sedang / berat.
- Nyeri neuropatik (perifer/ sentral) kronis derajad ringan / sedang / berat.

Psikologik

Jaringan lunak
Nyeri Nosiseptif Somatik Kulit bukan
Otot tulang

Psikogenik Neuropatik Viseral Tulang

II. Terapi nyeri kanker


- Terapi nyeri mengikuti kaidah etik dalam perawatan paliatif yaitu patient
autonomy (respect for the patient as a person), beneficence (do good), non
maleficence (minimize harm), dan justice(fair use of available resources).
- Terapi nyeri terbagi menjadi dua yakni terapi non farmakologis dan farmakologis.

A. Dasar-dasar terapi nyeri kanker


– Tujuan terapi adalah hilangnya nyeri dan mencegah timbulnya nyeri
Prinsip umum :
 Assessment nyeri merupakan dasar dari keberhasilan terapi. dan
assessment stadium penyakit dapat memberikan informasi tentang

14
14
penyebab nyeri dan juga membantu pemilihan modalitas terapi yang
sesuai
 Komunikasi yang baik antar anggota tim interdisiplin, pasien dan
keluarga.

Prinsip terapi :
 Terapi nyeri harus merupakan bagian yang tergabung dalam suatu
rencana keseluruhan perawatan dengan menggunakan modalitas terapi
yang sesuai dengan stadium penyakit dan berbagai modalitas terapi untuk
mengatasi nyeri digunakan secara bersama-sama dengan pendekatan
interdisipliner
 Assess problem psikososial, kultural dan spiritual dan segera diatasi.
 Memonitor kasiat dan efek samping pengobatan
 Menentukan hasil/ pencapaian pengobatan sehingga dapat mengurangi
nyeri yang diderita ditandai dengan perbaikan fungsi fisik, perbaikan
keadaan psikologis, perbaikan kualitas tidur sehingga dapat meingkatkan
kualitas hidup penderita.
B. Terapi
Penatalaksanaan nyeri kanker dibagi menjadi tiga kelompok :
1. Terapi spesifik anti kanker yang bertujuan untuk menghilangkan atau
mengurangi ukuran tumor penyebab nyeri yang terdiri dari tindakan bedah,
radioterapi, kemoterapi dan terapi hormone

2. Presedur non invasif


Yang termasuk dalam prosedur non invasif adalah penggunaan
a. analgesik sistemik ( terapi farmakologik ) yaitu analgesik non opioid,
analgesik opioid dan obat-obat adjuvant.

15
15
Prinsip penggunaan analgesik pada nyeri kanker adalah :
 Pemilihan obat : gunakan obat yang sesuai untuk jenis nyeri, dan
derajad nyeri, menggunakan obat sesuai the WHO four step analgesic
ladder (by the ladder).
 Cara pemberian : berikan dosis yang adekuat, berikan dosis secara
titrasi pada setiap individu dimulai dari dosis rendah, dinaikkan pelan-
pelan sampai tercapai dosis yang dapat menghilangkan nyeri, berikan
jadwal pemberian obat berdasarkan farmakologi obat, jadwal yang
tepat untuk mencegah nyeri, bukan bila perlu atau prn (by the clock),
gunakan peroral bila memungkinkan (by mouth), berikan jadwal /
instruksi pelaksanaan penggunaan obat secara tertulis, berikan
petunjuk terapi untuk breakthrough pain. Serta cegah efek sampingnya.
 Review dan Reassess (evaluasi dan simpulkan hasil terapi)

The WHO Four Step Analgesic Ladder


Step 1 Penderita dengan nyeri kanker ringan (Vas 1-3) diterapi dengan
analgesik non opioid yaitu paracetamol atau NSAID, ± obat adjuvant
yang diperlukan sesuai dengan jenis nyeri kanker berdasarkan
patofisiologi bila diperlukan.
Step 2 Bila mengalami nyeri sedang (Vas 4 - 6), atau nyeri tetap atau
meningkat setelah pemberian obat step 1, diterapi dengan opioid yang
digunakan untuk nyeri ringan-sedang (adalah codein, hydrocodon,
dihydrocodein atau propoxipene dan tramadol) ± nonpioid ± adjuvant
analgesik.
Step 3 Penderita dengan nyeri berat (Vas 7 – 10) atau nyeri tetap atau
meningkat setelah pemberian obat step 2, diberikan opioid untuk nyeri
sedang-berat (yaitu morphine diamorphine, fentanyl transdermal,
oxycodone, phenazocine, hydromorphine, methadone, levorphanol,
oxymorphine) ± obat non opioid ± ajuvand analgesik.

16
16
Step 4
 Merupakan tindakkan intervensional: Blocks (somatic, sympathetic),
Spinal medication, Spinal cords stimulation, Surgical berupa
beberapa teknik intervensi pada nyeri kanker antara lain: ablasi radio
frequency, pulsed radio frequency, cryo analgesia, neuromodulation
(spinal cord, saraf perifer), intrathecal drugs delivery system (IDDS),
neurolytic / intrathecal neurolysis, vertebraplasty, block simpatis (ganglion
stelatum, ganglion ciliac, plexus hypogastric, ganglion impar /
sacrococcygral dan lain-lain. dilaksanakan untuk nyeri yang sulit diatasi
(membandel = intractable)

Untuk terapi nyeri pada anak ( usia 0 – 12 th) menggunakan WHO Two Step Analgesic
Ladder: (WHO guidelines on the pharmacological treatment of persisting pain in
children with medical illnesses)

Step 1. Untuk nyeri ringan : paracetamol : neonatus ( usia 0 – 29 hr) : 5 – 10 mg/kg BB


/ 6 – 8 jam; bayi usia 30 hr – 3 bln : 10
mg/kg BB/ 4 – 6 jam; bayi usia 3 – 12 bln
atau usia 1 – 12 th : 10 – 15 mg/kg BB/
4 – 6 jam.
Ibuprofen : bayi usia 3 – 12 bln atau usi 1 – 12 th 5 – 10
mg/kg BB/ 6 – 8 jam. Dosis maximum per
hari untuk anak : 40 mg/kg BB/hr .
Untuk anak usia dibawah 3 bln pilihan
analgesik non opioid hanyalah paracetamol

Step 2. Untuk nyeri sedang – berat : obat pilihan untuk step 2 adalah obat pada step 1
ditambah Morphin : 1 bln – 1 thn : 0,08 – 0,02 mg/kg BB/ 4 jam, 1 – 2 thn : 0,2 –
0,4 mg/kg BB/ 4 jam, 2 – 12 th : 0,2 - 0,5 mg/kg BB/4 jam ( max 5 mg); neuntus

17
17
IV injection : 25 – 50 mcg / kg BB / 6 jam ( pemberian morfin IV pelan paling
tidak selama 5 menit.

Downing J. et al. (2015)

OBAT-OBAT ANALGESIK NON OPIOID


1. Paracetamol (Acetaminophen)
Paracetamol mempunyai efek analgesik dan antipiretik tapi tidak mempunyai
efek antiinflamasi. Kerjanya menghambat pembentukan prostaglandin terutama di
susunan saraf pusat daripada diperifer. Dosis : 500 – 1000 mg tiap 4-6 jam, do
anak 10-15 mg/kg/BB/4-6 jam.
2. Aspirin (Acetylsalicylic acid)
Mempunyai efek antiinflamasi, analgesik, antipiretik, menghambat pembentukan
prostaglandin dari asam arachidonat yang dihasilkan oleh jaringan inflamasi.
Mempunyai efek antipiretik sentral, indikasi untuk nyeri jaringan lunak dan nyeri
tulang (aspirin dan NSAID lain lebih efektif untuk mengatasi nyeri tulang

18
18
daripada opipoid analgesik) dosis : 10 – 15 mg/ kkg BB tiap 4-6 jam, pada
umumnya 600 – 900 mg tiap 4 jam digunakan dengan perhatian/ hati-hati pada
penderita dengan riwayat peptic ulcer, trombositopenia atau bleeding diathesis
3. NSAID (Non Steroid anti Inflamatory Drugs)
Penghambat cox nonselektif (Diklofenak, Diflunisal, Etodolax, Fenoprofen,
Flurbiprofen, Ibuprofen, Indometasin, Ketoprofen, Ketorolac, Mekofenamat dan
zasam mefenamat, Nabumetone, Naproxen, Oxaprozin, Phenylbutazone, Piroxicam,
Sulindax, Tenoxicam, Tiaprofen, Tolmeti); penghambat selektif cox-2 (Celecoxib,
Etoricoxib, Meloxicam, Valdecoxib)
Yang sering digunakan adalah golongan acetate, propionate, oxicam dan
fenamates. NSAID mempunyai efek analgesik, atiinflamasi dan antipiretik.
Kerjanya menghambat sintesis prostaglandin disentral maupun di perifer dan efek
antipiretiknya sentral. Digunakan untuk nyeri pada soft-tissue dan nyeri tulang
dan febris, gunakan secara hati-hati pada penderita dengan riwayat peptic ulcer,
gastric erosion, trombositopenia atau diathesis haemorhargic.

NSAID yang sering digunakan

Golongan acetat Diclofenac p.o pr 75 – 150 mg/hari indevided


Im Sc doses
Indomethacin p.o pr Tiap 8 – 12 mg
50 – 200 mg/hari indevided
doses
Tiap 6 – 12 jam
Golongan proprionat Ibuprofen p.o 400 mg tiap 6 – 8 jam
anak 10 mg/kg / 6-8 jam
Ketoprofen p.o pr 100 – 200 mg/hari indevided
doses
Tiap 6 – 12 jam
Ketorolac p.o 10 – 200 mg Sr tiap 24 jam

19
19
Im, Sc, 10 mg tiap 4 – 6 jam
iv do anak 0,5 mg/kg BB
10 mg tiap 4 – 6 jam
Golongan axicam Piroxicam p.o 20 mg tiap/hari 24 jam
Meloxicam p.o 7,5 – 15 mg/hari tiap 12 jam
Golongan Fenamat Asam p.o 500 mg/hari tiap 8 jam
mefenamat

Ketorolac : lama penggunaan p.o maksimum 1 minggu, dan bila secara parenteral
maksimum 2 hari, pada penggunaan im dosis perhari tidak boleh lebih dari 120 mg.

ADJUVANT ANALGESIC
Adjuvant analgesic adalah obat-obat yang secara farmakologis bukan analgesik murni
tetapi dapat menambah kuat efek pengurangan nyeri. Adjuvant analgesic juga disebut
co-analgesic karena obat-obat ini digunakan bersama-sama dengan analgesik utama.
1. Corticosteroid
Mekanisme kerjanya menghambat produksi prostaglandin, mengurangi inflamasi
dan peritumoral oedema.
Corticosteroid untuk terapi peningkatan tekanan intracranial dan kompresi
spinal cord, digunakan dexametason 16-24 mg/hari p.o/iv, do anak 0,05 – 0,2
mg/kg BB atau methylprednisolon 5,4 mg/kg / hari iv; untuk bowel obstruction
digunakan dexametason 8-16 mg/hari p.o, iv; untuk peregangan kapsul organ,
bone pain, limphoedema digunakan dexametason 2-4 mg/hari p.o, predinisolon
15-30 mg/hari p.o, triamcinolone 4-48 mg/hari p.o dan methylpredmisolone
4 - 48 mg/hari p.o.
2. Atidepressant
Menghambat reuptake serotonin (5HT), noradrenalin oleh reseptor presinaptik serta
menurunkan jumlah resptor 5HT (antireseptor) sehingga meningkatkan transmisi
kedua zat tersebut. Obat jenis ini digunakan untuk terapi nyeri neuropatik dan
nosiseptif. Golongan Tricyclic antidepressant yang sering digunakan adalah

20
20
amitriptillin, dosis awal 12,5-25 mg/hari dan dosis dapat ditingkatkan sampai
50-75 mg/hari, do anak 0,2 – 0,5 mg/ kg BB dapat dinaikkan tiap 2-3 hari
sampai 1-2 mg/kg BB. Efek samping sedasi, mulut kering, konstipasi, gangguan
kognitif (konsentrasi), hipotensi ortostatik, aritmia jantung, berkeringat, retensi urine.
3. Anticonvulsant
Gabapentin digunakan untuk nyeri neuropatik, dosis 300 – 3600 mg/ hari.
Pregabalin suatu anticonvulshant, carakerjanya seperti gabapentin, dosis dimulai
dengan 2 x 75 mg dapat ditingkatkan menjadi 2 x 150 sampai 2 x 300 mg
selama 3 sampai 7 hari. Carbamazepin digunakan untuk nyeri neuropatik,
dosis 100 – 1000 mg/hari, dosis anak 2 mg /kg BB/ 12 jam. Oxcarbazepin dapat
digunakan untuk nyeri inflamasi dan nyeri neuropatik, dosis 900-1800 mg/hari.
Phenytoin mengurangi hiperksitabilitas neuronal. Dosis 300 mg/hari, do anak 2,5-
3mg/kg BB/12 jam.
4. Beberapa obat lain yang juga digunakan sebagai adjuvant analgesic antara lain
a. Bensodiazepines seperti, diazepam kususnya untuk penderita dengan
spasme otot atau nyeri musculoskeletal, dosis 2-5 mg, 3 x /hari, dosis anak
0,05-0,1 mg/kg BB/4-6 jam. midazolam untuk nyeri neuropatik dosis 0,070 –
0,10 mg/kg BB (dosis lazim 5 mg);
b. Baclofen adalah suatu agonis reseptor gamma aminobutric acid type B (GABA
B) dosis 5 mg 2 sampai 3 x perhari pelan-pelan dinaikan sampai 30 sampai
90 mg/hari.
c. N-methyl-D-aspartate receptor blocker yaitu ketamin untuk nyeri neuropatik
dosis 0,1 sampai 0,15 mg/kg BB/hari dengan continous infusion.
d. Topical analgesic seperti, preparat capsaicin 0,025 dan 0,075 %, oleskan 3-
4 kali perhari minimum 4 minggu, preparat topikal lain mengandung obat
antiinflamasi seperti aspirin, indomethacin, diclofenac, benzydamin,
preparat anaestesi tipokal campuran prilocaine dan lignocaine atau
lignocain gel 5% dapat menembus kulit dan menghasilkan anestesi lokal;
e. Adjuvant analgesic untuk nyeri tulang antaralain bisphosphanates adalah
suatu analog dari anorganic phiprophosphat yang menghambat aktivitas

21
21
osteoclast yaitu pamidronate 60 mg tiap 2 smpai 4 minggu, zoledronate 4
mg iv tiap 3 – 4 minggu diberikan bersama dengan calcium tab 500 mg/hari
dan vit D 400 IU/hari.
f. Adjuvant analgesic untuk obstruksi usus antara lain adalah obat
anticholinergic yang mengurangi motilitas usus baik propulsive dan non
propulsive dan mengurangi sekresi intramural seperti hyocin N-
butylbronmide 1-2 tablet (10 mg) 3-5 x perhari atau 1 amp = 10 mg im/iv
dapat diulang setelah ½ jam.
g. Octreotide adalah analog somatostatin menghambat sekresi gaster,
pancreas dan intestinal dan mengurangi motilitas gastrointestinal juga
digunakan untuk diare berat akibat fistula enterocolic, high output
jejenostomes or ileostomes dan secretory tumors dari saluran
gastrointestinal, dosis 0,05 mg sc dapat ditingkatkan bertahap sampai 0,1
– 0,2 mg sc 3 x perhari atau 25 mcq/jam infus kontinyu.

ANALGESIK OPIOID
Opioid bekerja agonist terhadap reseptor opioid (mu = µ, kappa = κ, delta = δ), yaitu
mengikat reseptor sel yang menyebabkan perubahan dalam sel yang merangsang
aktivitas fisiologis yaitu menghambat transmisi pada sinaps-sinaps neuron
menimbulkan efek analgesia. Reseptor opioid terdapat diotak terutama diperiaquaductal
grey matter dan sepanjang spinal cord juga terdapat diperifer. Reseptor yang paling
berperan dalam analgesia adalah reseptor µ. Respon terhadap aktivasi reseptor opioid:
reseptor µ, analgesia, depresi respiratori, mosis, euforea, penurunan motilitas
gastrointestinal; reseptor κ, analgesia, disforia efek psikotomimetik, mosis, depresi
respirasi, δ analgesia. Efek samping penggunaan opioid adalah sentral : sedasi,
drowsiness, confusion, narcosis, koma, disforia dan efek psikotomimetik (takut, agitasi,
panic, perasaan tak menentu, depersonalisasi, vivid day dream, mimpi buruk,
halusinasi, disorientasi, delusi, psikosis, mioklonus, miosis; gastrointestinal : nausea,
vomiting, delayed gastric empyting, konstipasi, dry mouth, kolik biliar; respitarori :
depresi pernapasan, supresi reflek batuk; kardiovaskuler: hipotensi postural; urinary:

22
22
urgensi, retensi; kulit : flushing, berkeringat, pruritus; tolerance; ketergantungan fisik
dan psikologis. Penggunaan opioid dalam the WHO analgesic ladder dibagi
dalam opioid analgesic untuk nyeri ringan – sedang (weak opioid) dan untuk
nyeri sedang – berat (strong opioid).
Opioid untuk nyeri sedang (weak opioid) adalah codein phosphate
(methylmorphine), peroral diserap baik, lama kerja 4-6 jam dosis awal 30-60 mg/hari
dosis dapat ditingkatkan sampai 60 mg tiap 4 jam akan tetapi pada umumnya
digunakan 6 x 40 mg/hari (lebih dari itu efek samping yang timbul lebih berat),
bila terjadi breakthrough pain (BP) diberikan codein 50-100% dari dosis perkali
minum (misal codein 10 mg perkali minum maka dosis BP adalah 5-10 mg),
kemudian untuk menentukan kebutuhan dosis codein hari berikutnya adalah
jumlah dosis untuk BP perhari ditambah dosis codein perhari (misal codein
dibutuhkan untuk BP = 30 mg/hari + dosis codein perhari= 60 mg, naka
kebutuhan codein hari berikutnya adalah = 90 mg yaitu 6 x 15 mg/hari). Untuk
Incident pain (IP) bila dapat diprediksi, terapi dapat diberikan 30-60 menit
sebelum melakukan aktivitas untuk mencegah IP (dosis equivalent p.o : codein 240
mg = morphine 30 mg), do anak 0,5 – 1 mg/kg BB/4 jam maksimuk 3 mg/kg BB/hari;
Oxycodone lama kerja 4-6 jam, dosis 50-100 mg/ tiap 4-6 jam (dosis ekuivalen=
tramodal 80 mg i.m = morphine 10 mg i.m, tramodal 120 mg p.o = 30 mg morphine
p.o).
Opioid untuk nyeri berat (strong opioid) adalah morphine, cara pemberian
dapat p.o, sc, I.m, i.v, pr, dosis : tidak ada standard, dosis diberikan secara titrasi
setiap individu, terdapat sediaan oral yaitu : immediate release tablet dan elixir serta
controlled release tablet dan suspension di Indonesia terdapat immediate release
morphine tablet (MOIR) dan controled release morphine tablet yaitu MST
continus. Untuk MOIR tablet atau elixir dosis awal adalah 2 sampai 5 mg, untuk
penderita yang muda dapat digunakan 5-10 mg, tiap 4 jam atau bila sebelumnya
digunakan codein dengan dosis 240 mg/hari maka dosis MOIR adalah 30 mg /hari
(6 x 5 mg) adalah dosis equivalent, untuk penderita drug abuse diperlukan dosis
opioid yang lebih tinggi (perlu dibicarakan dengan penderita, keluarga dan

23
23
konselornya), do anak 6 bln – 1 thn : 0,08 mg/kg BB/ 6 jam, 1 – 2 thn : 0,2 – 0,4
mg/kg BB/ 4 jam, 2-12 thn : 0,5 mg/kg BB/4 jam. MST continus terdapat tiga
sediaan 10mg (kuning), 15 mg (hijau), 30 mg (ungu) yang diberikan bila dosis
secara titrasi dari MOIR tablet sudah tercapai (misalnya MOIR 6 x 5 mg maka MST
2 x 15 mg). Bila penderita tidak dapat diberikan peroral, misalnya gangguan menelan
dan gangguan penyerapan gastrointestinal, maka dapat diberikan morphine injeksi sc,
im atau iv, dengan dosis kebutuhan MOIR perhari dibagi tiga. Untuk breakthrough
pain (BP) digunakan 25-50% dari dosis yang digunakan tiap 4 jam (regular) dan
diberikan saat timbulnya nyeri, sedangkan jadual pemberian obat tiap 4 jam tetap
diberikan. Kemudian jumlah kebutuhan yang diperlukan untuk mengatasi BP
perhari dijumlah dan ditambahkan pada kebutuhan MOIR perhari sebelumnya (mo
6 x 5 mg = 30 mg/hari, terjadi BP 2 x/hari digunakan MOIR 2,5 mg tiap kali BP = 5
mg/hari; maka kebutuhan MOIR untuk hari berikutnya 35 mg/hari = 6 x 6 mg/hari);
Methadon adalah opioid sintetik,plasma half life pada awalnya 15 mg dan duration of
action 4-6 jam dan setelah 1-3 hari plasma half life-nya 2-3 hari dan duration of action-
nya 8-12 jam, dosis ekuivalen MOIR 30 mg = methadone 20 mg, dapat digunakan
pada penderita yang intoleran terhadap MOIR. Fentanyl adalah semisynthetic opioid
yang bekerja agonist pada reseptor µ di otak, spinal cord dan jaringan lain, potensinya
75-100kali latur dalam lemak. Fentanyl transdermal system adalah suatu sistem
trandermal yang melepaskan fentanil secara terus menerus dan sistemik. Setelah
penempelan pada kulit, serum konsentrasi fentanyl meningkat perlahan dalam 13
sampai 17 jam setelah penempelan dan kadar puncak tercapai setelah 24-72 jam,
karenanya penggunaan opioid sebelum penempelan harus tetap diberikan dan
dihentikan setelah 17 jam penempelan, penempelan fetanyl transdermal (path)
berikutnya dilakukan setelah 72 jam penempelan sebelumnya. Bila patch dilepas kadar
dalam serum akan turun sampai 50% dalam 17 jam (range 13-22 jam), sediaan fentanyl
transdermal (durogesic patch) adalah 25, 50, 75 dan 100 Mg/jam.

Fentanyl transdermal digunakan pada penderita yang tidak memungkinkan diberikan


morphine peroral (karena mual, muntah, gangguan menelan atau gangguan

24
24
penyerapan saluran cerna) atau penderita yang menggunakan mo dan sudah teratasi
nyerinya dapat dirubah dengan penggunaan fentanyl transdermal, bila dalam
pemakaian fentanyl transdermal terjadi breakthrongh pain berikan morphine
short acting (mo) dengan dosis 25 -50% dari dosis awal mo perkali pemberian bila
terjadi efek samping patch dapat dilepas dan tetap dimonitor dalam 24 jam karena
kadarnya dalam serum tetap ada sampai 24 jam, dosis : hitung kebutuhan oral /
parenteral opioid analgesic dalam 24 jam dan tentukan dosis dalam mg morphine
yaitu dosis oral morphine mg/24 jam = dosis opioid sebelumnya 24 jam x faktor
konversi.

Tabel converion factor


Previous opioid Conversion factor
Morfin (oral) 1
(parenteral) 3
Methadone (oral) 1,5
Oxycodone (oral) 1
Pethidine (parenteral) 0,4
Codein (oral) 0,15
Buprenorphine (sublingual 37,5

Setelah diketahui kebutuhan MOIR 24 jam kemudian dikoversikan ke dosis Fentanyl


transdermal
Recommended Durogesic dose based upon daily oral
morphine dose
Oral 24 hour Durogesic
Morphine Dose
(mg/day) (µg/h)
< 135 25
135-224 50

25
25
225-314 75
315-404 100
405-494 125
495-584 150
585-674 175
675-764 200
765-854 225
855-944 250
945-1034 275
1035-1124 300

Cara pemakaian fentanyl transdemal : ditempelkan pada bagian kulit yang tidak
mengalami iritasi/ radiasi, pada permukaan yang rata dan pergerakan kulit terbatas
seperti didada bagian atas, punggung daerah medline atau lengan atas, bila ada
rambut digunting jangan dicukur, bersihkan daerah yang akan ditempel dengan air
bersih tidak boleh dengan sabun, alcohol atau lotion yang dapat mengiritasi kulit, kulit
harus benar-benar kering sebelum penggunaan, tempelkan langsung setelah penutup
patch dibuka, tekan slema 2-3 detik, dipakai selama 3 x 24 jam (3 hari). Saat ini
terdapat preparat baru yaitu Oros Hydromorphone yang bekarja 24 jam.

OROS Hydromorphone
Tehnologi OROS Push-Pull merubah profil hydromorphone secara bermakna. Yaitu
pelepasan obat secara konstan memberikan efek analgesia dalam 24 jam Onset of
action oros hydromorphone adalah 6 jam.

26
26
Overview of jurnista ( “OROS” hydromorphone)

Trade name Jurnista

8 mg Cammon name OROS hydromorphone

16 mg Generic name Hydromorphone HCL extended -release

32 mg Active ingredient Hydromorphone HCL

Drug class Opioid analgesic

64 mg Indication Treatment of severe chronic pain

Tablet strengths 8 mg, 16mg, 32mg and 64mg

Penggunaan OROS hydromorphone pada nyeri kanker derajat berat:


dimulai dengan titrasi menggunakan Morphine Oral Immidiate Release (MOIR) , setelah
mencapai dosis optimal dapat di konversi ke OROS hydromorphone dengan dosis
ekuivalennya, tablet OROS hydromorphone harus diberikan dengan 1 gelas air dan
ditelan seluruhnya secara utuh, OROS hydromorphone diberikan pada waktu yang
sama setiap harinya

Konversi rasio dari beberapa opioid terhadap hydromorphone


pemberian oral (mg)

Morphine 5 - 7, 5 : 1

Oxycodone 4:1

Codein 27 : 1

Meperidine 40 : 1

Bila pasien menggunakan MOIR dan telah tercapai dosis optimal (tercapai efek
analgesik tertinggi dengan efek samping minimal), maka MOIR dapat diganti dengan

27
27
OROS hydromorphone. Contoh : seorang pasien sedang mendapatkan terpi MOIR 6
x 15mg maka cara konversi untuk menggunakan OROS hydromorphone adalah
sebagai berikut :
Kebutuhan MOIR per hari = MO 6 x 15 mg = 90 mg / hr, kebutuhan OROS
hydromorphone / hr adalah = 90 mg : 5 = 18 mg, Onset of action OROS
hydromorphone 6 jam, maka OROS hydromorphone diberikan 2 jam sebelum dosis
terakhir MOIR diberikan. Bila terjadi breaktrough pain (BP)  rescue dengan MOIR =
OROS hydromorphone 18 mg x 5 = 90 mg MOIR / hr : 6 = 15 mg . (Anjuran : jika terjadi
BP diberikan formulasi opioid imediate release tidak lebih dari 10% - 25% dosis
OROS hydromorphone / hr).
Evalusi terapi nyeri :
Bila nyeri berat dilakukan evaluasi 30 menit setelah pemberian obat, selanjutnya
sesuai dengan durasi atau masa kerja obat .
Bila nyeri sedang dilakukan evaluasi 60 menit setelah pemberian obat, selanjutnya
sesuai dengan durasi atau masa kerja obat .
Penggunaan opioid harus diawasi secara ketat karena dapat terjadi toleransi dan efek
samping yang merugikan.

Bila terjadi toleransi : pasien merasakan penurunan efektivitas analgesik morfin


maka perlu tindakan rotasi opioid (morphine dihentikan diganti dengan preparat
opioid lain), pasien sedang menggunakan MOIR 6 x 15 mg / hari setelah terjadi
toleransi dapat diganti dengan methadon dosis ekuivalen, MOIR 15 mg = methadon 10
mg (do awal methadon 20% do morphine harian ) 2 mg.

Bila dosis harus diturunkan / dihentikan


Contoh : pada pasien yang dilakukan terapi bedah, kemoterapi dan radioterapi paliatif
sehingga tumor hilang atau mengecil maka dosis opioid harus diturunkan kemudian
dihentikan. Cara penurunan dosis opioid (menurut WHO) yaitu diturunkan 25% dari
dosis per hari, selanjutnya diturunkan 25% setiap dua atau tiga hari, sampai dosis
optimal tercapai atau dihentikan.

28
28
Contoh : Bila seorang pasien sedang menggunakan MOIR 6 x 20mg maka dosis MOIR
perlu diturunkan 25% yaitu : 6 x 15 mg kemudian evaluasi 2 - 3 hari nyeri tidak timbul
/ tidak memberat  dosis diturunkan 25% lagi jadi 6 x 11,25mg kemudian evaluasi 2-
3 hari nyeri tidak timbul / tak memberat dosis turunkan 25% lagi jadi 6 x 8,45 mg
kemudian evaluasi 2 – 3 hari nyeri tidak timbul / tak memberat dosis diturunkan 25%
menjadi 6 x 6,33mg demikian seterusnya bila tidak diperlukan penggunaan MOIR dapat
dihentikan.
Pada nyeri neuropatik (adanya lesi saraf), mekanisme inhibisi menurun yang
disebabkan oleh penurunan GABA/ glycin juga terjadi penurunan fungsi opioid endogen
(β endorphin, enkephalin dan dynorphin) yang disebabkan penurunan reseptor opioid di
cornu dorsalis terutama dipresinaps serabut saraf C dan kolesistokhin meningkat
sehingga menurunkan efek analgesik opioid. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
opioid pada nyeri neuropatik bukan kurang efektif tapi kurang sensitif sehingga perlu
dosis yang lebih tinggi.

Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi efek samping penggunaan obat-obat


analgesik non opioid maupun opioid :
Mencegah timbulnya ulkus peptikum akibat penggunaan NSAID dapat digunakan ;
Cox-2 selective agent; Proton pump inhibitor (PPI) : Omeprazol/ rabeprazole 20
mg 1 x /hari, Lanzoprazol 30 mg/hari, Pantoprazole/ Esomeprazole 40 mg/hari;
Misoprostol adalah analog prostaglandin dosis 100 – 200 µg/ hari. Mencegah efek
sedative opioid dengan cara pemberian opioid bersama-sama dengan
dextroamfetamin po dosis 2,5 – 5 mg 2 x /hari. Terapi efek edepresi pernapasan
dengan naloxone dosis 0,1 – 0,2 mg iv tiap 3 menit sampai 5 dosis, untuk
mengatasi overdosis 0,4 – 2,0 mg iv tiap 3 menit sampai 5 dosis. Mengatasi efek
psikotomimetik seperti halusinasi confusion dan mimpi buruk digunakan haloperidol
0,5 – 2 mg 2 x/hari.
Mencegah efek samping gastrointestinal : mual, muntah dengan antiemetik
khususnya dopamine D2 antagonis yaitu golongan prokinetik antara lain
metoclopramide/ domperidon 10 mg 3 x/hari; konstipasi dengan pemberian laxant

29
29
untuk yang lebih bersifat stimulan peristaltic dibanding pelunak faeses antara lain
Senna, bisacodyl, phenolphthalein dikombinasi dengan pelunak faeses seperti
ducosate atau osmotic laxative seperti lakctulosa, magnesium sulfat. Terapi
billiary colic akibat spasme sphincter of oddi dengan naloxone dosis rendah. Bila
terjadi intoleransi terhadap morphine (opioid) akibat pelepasan histamin dapat
diberikan anti histamin atau dipilih terapi analgesik lain selain opioid.
b. Terapi non farmakologik : psychologic techniques (General psychological and
psychosocial support, progressive relaxation, respiration and dreaming therapy,
Deep breathing, progressive muscular relaxation, autogenic relaxation, imagery,
and other cognitive behavioural interventions : distraction, praying, meditation,
yoga, hypnosis, Biofeedback, psychotherapy); physical therapy (surgery,
Exercise, Positioning, Restriction of movement / resting, hot & cold therapy,
electrical therapy : TENS dan neurostimulatory treatment yaitu PNS : peripheral
nerve stimulation, DCS : dorsal column stimulation, Deep Brain Stimulation, Topical
counter – irritants, acupuncture & acupressure, Massage / reflexologi hydrotherapy,
Chiropractics, musical therapy), Terapi non farmakologik lain ( a. Reflexology, b.
herbal therapy dalam bentuk jamu, herbal terstandar atau tersertifikasi atau
fitofarmaka antara lain : opiate analgesic morphine, opium, heroin; acetylslicylic acid
yang berasal dari the bark of the willow tree genus salix ; capsaicin creme di
ekstraksi dari chili pepper genus capsium, c. aromatherapy, d. therapeutic touch
: external qigong, prana, chi, reiki).
3. Interventional, Blocks (somatic, sympathetic), Spinal medication, Spinal
cords stimulator, Surgical berupa beberapa teknik intervensi pada nyeri kanker
antara lain: ablasi radio frequency, pulsed radio frequency, cryo analgesia,
neuromodulation (spinal cord, saraf perifer), intrathecal drugs delivery system
(IDDS), neurolytic / intrathecal neurolysis, vertebraplasty, block simpatis
(ganglion stelatum, ganglion ciliac, plexus hypogastric, ganglion impar /
sacrococcygral dan lain-lain. dilaksanakan untuk nyeri yang sulit diatasi
(membandel = intractable)

30
30
Daftar pustaka
1. Asnawi C (2001). Analgetik ajuvan. Dalam : Nyeri Neuropatik Patofisiologi dan
Penatalaksanaan. Editor: Mekala L, Andradi S, Puba JS, Sadek HA, Kelompok Studi
Nyeri Perdosi, hlm 1-22.
2. Bhatnagar, S., dan Gupta, M., (2016). Integrated pain and palliative medicine model.
Ann Palliat Med. Vol 5 (3). Pp 196-208.
3. Burton, A.W. (n.d). Interventional Management of Cancer Pain. Medscape.[online]
available in https://www.medscape.org/viewarticle/467488_3 (Accessed 13 February
2018).
4. Cherny IN (2011). Pain assessment and cancer pain syndrome. In: Oxford textbook
of palliative medicine 4th ed. Editors: Hanks G, Cherny NI, Christakis NA, Fallon M,
Kaasa Stein, Portenoy RK. Oxford University Press Butler & Tanner Ltd, Great
Britain, pp. 599 – 626.
5. Downing, J. et al. (2015). Pediatric Pain Management in Palliative Care. Pain Manag
Vol 5 (1), Pp 23-35.
6. Gupta S, Sathyan G (2007). Andvances in the long Term management of chronic
pain : Recent evicence with OROS hydromorphone, a novel, once-daily, long acting
opioid analgesic. J Pain Simptom Mange ; 33 : pp. 519 - 524
7. Hanks G, Cherny N, Fallon M (2011). Opioid analgesic therapy. In: Oxford textbook
of palliative medicine 2rd ed. Editors: Hanks G, Cherny NI, Christakis NA, Fallon M,
Kaasa Stein, Portenoy RK. Oxford University Press Buther & Tanner Ltd. Great
Britain, pp. 661 – 698.
8. Hough SW; Portenoy RK (2004). Medical Management of Cancer Pain In: Principle
& Practice of Pain Medicine 2rd Editors: Warfield CA, Bajwa ZH. McGraw-Hill New
York, pp 465-476.
9. Indian Society of Anaesthesiologists. (2017). Cancer Pain Management. Isanagpur.
[online] available in http://www.isanagpur.org/cancer-pain-management/ (Accessed
13 Februari 2018).
10. Kaasa S, Elsner F, Sjogren P (2011). Non opioid analgesics. In: Oxford textbook of
palliative medicine 4th ed. Editors: Hanks G, Cherny NI, Christakis NA, Fallon M,

31
31
Kaasa Stein, Portenoy RK . Oxford University Press Butler & Tanner Ltd. Great
Britain, pp. 698 - 706.
11. Lipman AG, Jackson KC (2004). Opioid Pharmacolotherapy. In: Principles &
Practice of Pain Medicine 2rd Editors: Warfield Ca, Bajwa ZH., McGraw-Hill New
York, pp 583 – 600.
12. Manning DC (2000). Adjuvant analgesics. In: The pain clinic manual 2rd ed. Editors:
Abram SE, Haddor JD, Lippincott William & Wilkins, pp. 151 – 154.
13. Palliative expert Group (2005). Pain In: Therapeutic Guidelines Palliative Care 2rd
ed Editors: Palliative Expert Group. Therapeutic Guideline Limited, Melbourne, pp.
167 – 198.
14. Portenoy RK, Lussier D (2011). Adjuvant analgesic in pain management. In: Oxford
textbook of palliative medicine 4th ed. Editors: Hanks G, Cherny NI, Christakis NA,
Fallon M, Kaasa Stein, Portenoy RK. Oxford University Press Butler & Tanner Ltd.
Great Britain, pp. 706 – 734.
15. WHO (1996). Causes of Pain. In: Cancer Pain Relief 2rd ed. : WHO Geneva, pp. 5-
7.
16. WHO (2012). Persisting Pain in Children. Geneva: WHO, pp 1 - 19
17. WHO (2012). WHO Guidelines on the Pharmacological Treatment of Persisting Pain
in Children with Medical Illnesses. Geneva : WHO, pp 36 - 53
18. Wooddruff R (1993). Pain In: Palliative Medicine Symptomatic and Supportive Care
for Patients with advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editor: Woodruff R, Asperula
PTY Ltd Melbourne, pp. 39 – 49.
19. Woodruff R (1993). The non opioid analgesics. In: Palliative Medicine Symptomatic
and Supportive Care for Patients with Advance Cancer and IDS 2rd ed. Editors:
Woodruff R, Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 65 – 70.
20. Woodruff R (1993). Other opioid analgesics. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supprotive Case for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors:
Woodruff R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 92 – 100.

32
32
21. Woodruff R (1993). Adjuvant analgesics. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supprotive Case for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors:
Woodruff R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 101 – 107.
22. Woodruff R (1993). Physical therapies. In: Palliative Medicine Symptomatic and
Supprotive Case for Patients with Advance Cancer and AIDS 2rd ed. Editors:
Woodruff R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp. 113 – 115.
23. Woodruff R (1993). Psycholigical and psychosocial aspects of pain control. In:
Palliative Medicine Symptomatic and Supprotive Case for Patients with Advance
Cancer and AIDS 2rd ed. Editors: Woodruff R. Asperula Pty Ltd. Melbourne, pp.
116 – 118.

33
33

Anda mungkin juga menyukai