Disusun Oleh
Nama : MUHAMMAD KHUSNUL HIDAYAT
NIM : C1000190241
Fak : Hukum
1. Dasar hukum beracara di PTUN.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang melandasi praktek penyelesaian Sengketa
Proses dan Administrasi Pemilu di PTUN (dikenal sebagai sumber hukum formiil) dalam
menegakkan kebenaran hukum materiil adalah:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
3. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
5. Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Proses Pemilihan Umum, beserta perubahan-perubahannya.
6. Peratuan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum Di Mahkamah Agung.
7. PERMA Nomor 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses
Pemilihan Umum Di Pengadilan Tata Usaha Negara.
2. Beberapa istilah pada Sengketa Proses dan Administrasi Pemilu di PTUN.
Peristilahan yang diuraikan dalam makalah ini adalah beberapa istilah dalam praktek
penyelesaian Sengketa Proses dan Administrasi Pemilu di PTUN.
1.
1. Sengketa Proses Pemilu diartikan sebagai sengketa yang timbul dalam bidang
TUN Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD atau Partai politik calon
peserta Pemilu atau Bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
dengan KPU, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Propinsi
dan KPU Kab/ Kota (Pasal 470 Undang-Undang Pemilu).
2. Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum meliputi pelanggaran
terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan
administrasi
pelaksanaan Pemilihan Umum dalam setiap tahapan Penyelenggaraan
Pemilihan Umum yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif,
tidak termasuk tindak pidana Pemilihan Umum dan pelanggaran kode etik
(Pasal 1 angka 8 Perma Nomor 4 Tahun 2017).
3. Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum adalah
penyelesaian perselisihan antara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten/Kota atau Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden yang dikenai sanksi administratif
pembatalan melawan KPU sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU
tentang pembatalan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden atau
Keputusan KPU tentang pembatalan calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten /Kota (Pasal 1 angka
9 Perma Nomor 4 Tahun 2017).
4. Penggugat adalah Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupeten/Kota, atau Partai Politik Calon Peserta Pemilu, atau Bakal
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang keberatan yang keberatan
terhadap Keputusan KPU tentang Partai Politik Calon Peserta Pemilu,
Keputusan KPU/KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang DCT
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 1
angka 9 Perma Nomor 5 Tahun 2017).
5. Tergugat adalah KPU/KPU Povinsi atau KPU Kabupaten/Kota (Pasal 1 angka
10 Perma Nomor 5 Tahun 2017).
Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 1 Perma Nomor 4 Tahun 2017 yang pada
pokoknya menyatakan Mahkamah Agung yang berwenang menerima, memeriksa,
mengadili dan memutus perselisihan pelanggaran administrtif pemilihan umum, maka
pembahasan selanjutnya hanya difokuskan pada Sengketa Proses Pemilihan Umum
(SPPU) di PTUN.
3. Subjek dan Objek Sengketa Pada Sengketa Proses Pemilihan Umum
di Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 466 Undang-Undang Pemilu, mengkategorikan sengketa proses Pemilu mejadi dua
jenis yang meliputi sengketa yang terjadi antar Peserta Pemilu dan sengketa peserta
Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU,
keputusan KPU Provinsi, dan keputusan Kabupaten/Kota. Demikian juga ketentuan Pasal
3 Perbawaslu tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu, mengkategorikan
dua sengketa proses pemilu, yakni pertama: sengketa proses pemilu yang terjadi antar
peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu, dan kedua, sengketa proses pemilu yang
terjadi antar peserta pemilu.
Pasal 470 ayat (2) Undang-Undang Pemilu memberikan pemaknaan terhadap arti
sengketa proses pemilu sebagai sengketa yang terjadi antara:
a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173;
b. KPU dan Pasangan Calon yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan KPU tentang Penetapan Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 235; dan
c. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari DCT sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan DCT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 256 dan Pasal 266.
Sebelumnya ketentuan Pasal 469 ayat (1) telah menyebutkan bahwa Putusan Bawaslu
mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan
mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan:
a. verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu;
b. penetapan DCT anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan
c. penetapan Pasangan Calon.
Dalam hal penyelesaian sengketa proses pemilu sebagaimana dimaksud ketentuan
tersebut yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat
mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan TUN. Apabila rumusan undang-undang ini
dimaknai secara harafiah, maka sangat dimungkinkan KPU mengajukan upaya hukum
atas putusan Bawaslu ke PTUN. Oleh karena itu di dalam Pasal 1 angka 9 dan angka 10
Perma Nomor 5 tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu di
Pengadilan TUN, kedudukan pihak Penggugat dan Tergugat telah dipertegas
sebagaimana telah diuraikan pada poin peristilahan.
Pemaknaan KPU tidak dapat didudukan sebagai subjek Penggugat adalah karena yang
menjadi objek sengketa adalah Keputusan KPU/Keputusan KPU Provinsi dan Keputusan
KPU Kabupaten/Kota, maka kedudukan KPU/KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota
adalah sebagai pihak yang mempertahankan keabsahan keputusan yang dibuatnya.
Dengan penegasan kedudukan para pihak dalam Perma tersebut, maka
terhadap KPU/KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, apabila tidak menerima terhadap
putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota tidak dapat
mengajukan upaya hukum ke Pengadilan TUN dalam kedudukan sebagai Penggugat.
Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 11 Perma Nomor 5 Tahun 2017 menyebutkan objek
sengketa proses pemilu adalah Keputusan KPU tentang Partai Politik Calon Peserta
Pemilu, Keputusan KPU/KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang penetapan DCT
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, atau Keputusan KPU
tentang Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian, subyek dan objek sengketa proses pemilu apabila ditabulasi adalah
sebagai berikut:
Tergugat Penggugat Objek Sengketa