Anda di halaman 1dari 39

PERSELISIHAN HASIL

PEMILIHAN UMUM
Macam Permasalahan Hukum
Pemilu
• Tindak Pidana Pemilu, Ketentuan pidana yang terdapat di UU kepemiluan.
diselesaikan dengan mekanisme Hukum Acara Pidana berdasar KUHAP dan UU
Kepemiluan

• Pelanggaran Administratif, Pelanggaran Administrasi Pemilihan adalah


pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan
dengan administrasi pelaksanaan Pemilihan dalam setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilihan diputuskan oleh Bawaslu dan dilaksanakan oleh
KPU

• Sengketa proses hal Penyelenggaraan Pemilu, sengketa yang terjadi antar-


peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU),
keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota. diselesaikan
oleh Bawaslu

• Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu pelanggaran terhadap etika


penyelenggara Pemilu yang berpedomankan sumpah dan atau janji sebelum
menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu. Diselesaikan oleh DKPP

• Perselisihan Hasil Pemilu, diselesaikan melalui MK


Catatan:
Tidak hanya terbatas pada yg 5 di atas saja,
Misalnya terjadi tindak pidana umum,
- misalnya: Pemalsuan surat

- Pengujian P-KPU di MA, taua bahkan UU nya


PHPU dalam Konstitusi

Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD NRI 1945

a. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya


bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang


kewenangannya diberikan oleh UUD

c. Memutus pembubaran Parpol

d. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu (PHPU)

e. Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan


pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wapres
Catatan:
• Mengapa MK (2013) menolak mengadili
PILKADA ?
PHPU dalam Undang-Undang

1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011;

2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;

4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang


Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
undang
Pasal 74 ayat (2) UU MK memberikan
pengertian bahwa Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum (PHPU) adalah perselisihan mengenai
PERSELISIHAN “penetapan hasil pemilihan umum yang
HASIL PEMILIHAN dilakukan secara nasional oleh KPU” yang
mempengaruhi:
UMUM
1. Terpilihnya calon anggota DPD;
Menurut UU MK
2. Penentuan pasangan calon yang masuk
pada putaran kedua pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden serta terpilihnya
pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden;

3. Perolehan kursi partai politik peserta


Pemilu di suatu daerah pemilihan.
“Perselisihan Hasil”

• Pasal 74 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi mengatur


batasan tentang objek perselisihan (objectumlitis).
Perkara PHPU hanya terkait dengan penetapan hasil
pemilihan umum secara nasional oleh KPU yang
mempengaruhi perolehan kursi atau terpilih tidaknya
calon atau pasangan calon

• PENJELASAN Pasal 74 ayat (2) disebutkan bahwa


yang dimaksud dengan “penetapan hasil pemilihan
umum” adalah jumlah suara yang diperoleh peserta
Pemilu.
Pasal 473
PERSELISIHAN
(1) Perselisihan hasil Pemilu meliputi perselisihan
HASIL PEMILIHAN antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai
UMUM penetapan perolehan suara hasil Pemilu
secara nasional.
menurut UU Pemilu
(2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil
Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara
nasional meliputi perselisihan penetapan
perolehan suara yang dapat memengaruhi
perolehan kursi Peserta Pemilu.

(3) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil


Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara
nasional meliputi perselisihan penetapan
perolehan suara yang dapat memengaruhi
penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
Unsur PHPU

● Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) adalah


perselisihan antara Peserta Pemilu (parpol, perseorangan
calon anggota DPD, pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden, Paslon Kada) dan KPU atau KPU Provinsi atau
KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara Pemilu;

● Yang diperselisihkan adalah penetapan perolehan suara


hasil Pemilu oleh KPU;

● Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu


secara nasional dimaksud harus signifikan mempengaruhi
terpilihnya calon atau pasangan calon
MAHKAMAH KALKULATOR ?

PHPU pada awalnya hanya terkait dengan masalah


kuantitatif, tetapi dalam perkembangannya lahir Putusan
Nomor 062/PHPU-B-II/2004 yang diajukan saat Pilpres
2004.

Dalam Putusan ini dijelaskan bahwa MK tidak hanya


berwenang untuk menyelesaikan permasalahan hasil
Pemilu secara kuantitatif, tetapi juga terhadap
penyelenggaraan pemilu yang nelanggar asas-asas*
konstitusionalitas Pemilu (kualitatif) sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

*luber-jurdil
Putusan perkara nomor 062/phpu-b-ii/2004

• Menimbang bahwa MK sebagai pengawal


konstitusi berkewajiban menjaga agar secara
kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan
prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Pasal
22E ayat (1) dan (5) UUD 1945 yang intinya
menentukan bahwa Pemilu dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
serta diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri…
Putusan perkara nomor 062/phpu-b-ii/2004

• Menimbang bahwa kedudukan MK dalam sengketa Pemilu


bukanlah sebagai lembaga peradilan banding atau kasasi,
melainkan sebagai lembaga peradilan pada tingkat pertama
dan terakhir mengenai perselisihan hasil Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden yang ditetapkan dan diumumkan oleh KPU,
sehingga memang berkaitan dengan hal yang bersifat
kuantitatif, yaitu angka signifikan hasil akhir Pemilu.
Sedangkan yang bersifat kualitatif akan menjadi perhatian
(concern) MK hanya apabila prinsip-prinsip Pemilu yang
ditentukan oleh UUD 1945 sebagaimana telah dikemukakan
di atas dilanggar.
Kategori Pelanggaran
(Putusan MK No. 190/phpu.d-viii/2010)

• Pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir
pengaruhnya terhadap hasil suara pemilu atau pemilukada.
Ex:
pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang. Tidak dapat
dijadikan dasar pembatalan hasil penghitungan suara

• Pelanggaran dalam proses pemilu atau pemilukada.


Ex:
money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS. Pelanggaran yang seperti ini
dapatmembatalkan sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi
secara terstruktur, sistematis, dan massif

• Pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur
dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil pemilu atau pemilukada karena ada
pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal
Obyek Perselisihan Pemilukada
(Pasal 4 Peraturan MK No. 15/2008 )
• obyek perselisihan pemilukada adalah hasil perhitungan suara yang
ditetapkan oleh Termohon (KPU Provinsi/Kabupaten/Kota) yang
memengaruhi dua hal
– penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada
– terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.

• MK tidak hanya terpaku secara harfiah dalam memaknai Pasal 106 ayat (2)
UU 32/2004 juncto UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 4
PMK 15/2008, yang pada pokoknya menyatakan Mahkamah mengadili
perkara Pemilukada terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara.

• MK menyatakan, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, MK


tidak hanya mengacu pada undang-undang an sich, melainkan juga
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan nilai-nilai konstitusi. Nilai-nilai
keadilan dimaksud, menurut MK, adalah sesuatu yang telah ada sebelum
putusan diucapkan (“….to be already existent before his decision”). Hakim
Konstitusi bertindak “as a declarer of the community’s law”.
• Jika suatu pemilihan umum diselenggarakan bertentangan
dengan prinsip-prinsip konstitusi dan nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, bagi MK, pemilu yang demikian
telah mengabaikan prinsip konstitusi, khususnya asas
langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), jujur dan adil
(jurdil), serta rasa keadilan masyarakat. Karena itu, Pemilu
tersebut harus dibatalkan. Dengan demikian, MK telah
berperan memperluas keadilan berdasarkan konstitusi dan
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (boni judicis
est ampliare justitiam).
Jenis Putusan

• Pasal 77 ayat (1) sampai (4) Undang-Undang


Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi ditentukan putusan MK dalam kasus
perselisihan hasil pemilu hanya terdiri dari tiga
jenis yaitu (1) tidak dapat diterima, (2) dikabulkan,
atau (3) ditolak. Artinya MK hanya akan
menentukan penghitungan mana yang dinyatakan
benar, apakah penghitungan versi penyelenggara
ataupun penghitungan versi pihak yang
menyampaikan permohonan keberata
Perkembangan
Model Putusan Pilkada di MK

(1) Pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang;

(2) Menetapkan pasangan terpilih;

(3) Diskualifikasi calon yang tidak memenuhi syarat pemilukada;

(4) Pemilukada ulang mengikutsertakan calon yang tidak diloloskan


KPU;

(5) Pemungutan suara ulang mengikutsertakan pemilih yang berhak


memilih;

(6) Putusan sela melakukan verifikasi dan klarifikasi ulang.


PHPU KADA 2008-2018

230

200

149 152

138 138
132

112

87

72
60 61
57
50
42

27 26 29 27
25
12 12 13 11 14 13
10 9 7
3 3 4 3 5 3 6
2008 1
2009 1 2010 2011 2012 2013 2014
0 2016 2017 2
2018
Fenomena Putusan PHPU KaDa

• Tahun 2009 dan 2014 jumlah kasus yang masuk ke MK sedikit kerena
merupakan tahun pemilu sehingga volume pilkada juga kecil.

• Terdapat masa-masa antusiasme tinggi peserta pilkada sangat tinggi


mengajukan permohonan PHPU Kada (2010-2013), ada masa-masa
semakin menurunnya antusiasme tersebut (2016-2018).

• Putusan “tidak dapat diterima” awalnya selalu kecil. Lebih kecil dari
putusan “ditolak”, bahkan beberapa kali lebih kecil dari putusan
“dikabulkan. Namun sejak 2016-2018 putusan “tidak dapat diterima”
sangat besar. Pada umumnya kasus tidak dapat diterima

• Putusan dikabulkan awalnya sedikit kemudian cukup signifikan pada


2010-2013. Setelah itu putusan dikabulkan sangat sedikit.
Terstruktur, Sistematis, & Masif

• Pelanggaran yang dilakukan secara sistematis,


terstruktur dan masif merupakan pelanggaran
terhadap konstitusi khususnya Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945 yang mengharuskan
Pemilukada dilakukan secara demokratis dan
tidak melanggar asas-asas pemilu yang
bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil sebagaimana ditentukan Pasal 22E
ayat (1) UUD 1945.
Terstruktur, Sistematis, & Masif
(Maruarar Siahaan/ Mantan Hakim MK).

• Terstruktur diartikan pelanggaran yang dilakukan


dalam struktur pemerintahan atau struktur partai
politik dari tataran tertinggi sampai terendah untuk
memenangkan salah satu pasangan calon.

• Sistematis diartikan suatu sistem yang dirancang


dengan matang.

• Masif berarti dilakukan di wilayah luas dan


komprehensif di seluruh kecamatan di kabupaten
bersangkutan yang meliputi RT, RW, Desa, dan
Kelurahan secara merata.
Diantara Bentuk Pelanggaran TSM
dalam Putusan MK

• Perselisihan Hasil Pemilukada Kota Tebing Tinggi [Putusan No


12/PHPU.D-VIII/2010],
• Kabupaten Konawe Selatan [Putusan No. 22/PHPU.D-VIII/2010],
• Kabupaten Lamongan [Putusan No. 27/PHPU.D-VIII/2010],
• Kabupaten Sintang [Putusan No.25/PHPU.D-VIII/2010],
Kabupaten Gresik [Putusan No.28/PHPU.D-VIII/2010],
• Kota Surabaya [Putusan No.31/PHPU.D-VIII/2010],
• Kabupaten Mandailing Natal [Putusan No.41/PHPU.D-VIII/2010],
• Kabupaten Kotawaringin Barat [Putusan No.
45/PHPU.D-VIII/2010],
• Kota Tanjungbalai [Putusan No.166/PHPU.D-VIII/2010], dan
• Kabupaten Sumbawa [Putusan No.158/PHPU.D-VIII/2010].
Catatan:
• Sekarang TSM bukan Kewenangan MK lagi.
• Tapi ditangani oleh BAWASLU

(dan sekarang aturan ini sdh masuk UU


Pemilu yang baru)
AMBANG BATAS
PERMOHONAN PILKADA
PERSELISIHAN HASIL
PEMILIHAN KEPALA DAERAH
(Perkembangan Rezim Pemilu)
Melalui Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yang dimaksud
dengan Pemilu adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR,
DPD, dan DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden.

Rezim Pemilu
UU No. 24 / 2003 HUKUM ACARA
tentang
Mahkamah Konstitusi

 PHPU Anggota DPR,


Pasal 74
DPD, dan DPRD serta
s.d.  PHPU Presiden dan
Pasal 79 Wakil Presiden
Perkembangan
Rezim Pemilu

 Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004


menyatakan bahwa ‘rezim” pemilihan kepala
daerah langsung walaupun secara formal
ditentukan oleh pembentuk UU
bukan merupakan rezim Pemilu,
tetapi secara substantif adalah Pemilu sehingga
penyelenggaraannya harus memenuhi asas-asas
konstitusional Pemilu.
Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) UU 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah mengatur bahwa keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan
suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon diajukan ke
Mahkamah Agung.
Pasal 236C UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 mengatur bahwa, “Penanganan sengketa hasil
penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung
dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas)
bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Pengalihan mulai dilaksanakan sejak ditandatanganinya Berita Acara
Pengalihan Wewenang Mengadili oleh Ketua Mahkamah Agung dan
Ketua Mahkamah Konstitusi pada 29 Oktober 2008.
UU 22/2007 yang diubah dengan UU 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum memasukkan pemilihan kepala daerah sebagai bagian dari rezim pemilihan
umum.
Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa pemilihan kepala
daerah bukan rezim Pemilu sehingga penyelesaian perselisihannya bukan
kewenangan MK. Pilkada tidak diatur oleh Pasal 22E UUD 1945 (tentang pemilu)
melainkan diatur oleh Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 (tentang pemerintahan daerah).
UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) mengatur bahwa pemilihan
dilaksanakan serentak, dinyatakan bukan rezim Pemilu, dan disebut sebagai
“Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota”.
Pasal 157 ayat (3) dan ayat (4) UU Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota memberikan kembali kewenangan
menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah
kepada MK. Pasal 157 ayat (3) a quo menyatakan, “perkara
perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan
diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai
dibentuknya badan peradilan khusus”.
Badan peradilan khusus tersebut menurut Pasal 157 ayat (2)
juncto Pasal 201 ayat (7) UU a quo dibentuk sebelum
pelaksanaan Pemilu serentak nasional pada tahun 2027.
DPR, DPD, DPRD Presiden/Wakil Presiden Gubernur, Bupati/Walikota
Memahami masalah
Pemohon : Partai Politik Pemohon : Partai Politik Pemohon : Partai Politik

Termohon : KPU Pusat Termohon : KPU Pusat Termohon : KPU Provinsi

Pihak Terkait: Bawaslu, dll Pihak Terkait: Bawaslu, dll Pihak Terkait: Bawaslu, dll

Tenggat Waktu: 3 x24 jam Tenggat Waktu: 3 x24 jam Tenggat Waktu: 3 hari

Penyelesaian : 30 Hari Penyelesaian : 14 Hari Penyelesaian : 14 Hari


PHPU Legislatif Penetapan Perolehan Suara yang Benar
Hasil
2004
kerja yang diajukan
(014-027/PHPU.A-II/2004)
Pemilu sesuai budaya setempat di Yahukimo (47-81/PHPU.A-VII/2009)
PHPU Legislatif Pemungutan Suara Ulang/Penghitungan Suara Ulang , Penghitungan Kursi Tahap
Ketiga (59-74-80-94/PHPU.C-VII/2009)
2009 MK Berwenang Adili Sengketa Hasil Pemilu Internal Parpol (74/PHPU.C-VII/2009)

MK menolak Permohonan Pemohon untuk Seluruhnya dalam Permohonan


PHPU Eksekutif 2014 Sengketa hasil Pemilu Presiden dengan Pemohon Prabowo-Hatta
(1/PHPU.PRES-XII/2014)

Anda mungkin juga menyukai