Anda di halaman 1dari 6

Haji Guru Kitab Sibarani (1884 – 1957)

Mantan Penginjil yang Beralih Menjadi Penyebar Islam di Tanah Toba


---------------------------------------

Kehadiran pasukan Kolonial Belanda ke wilayah Tapanuli pada 1865 memberi ruang untuk kehadirat
misionaris kristen untuk mengembangkan agama itu di Tanah Batak. Dengan berbagai fasilitas yang
mereka tawarkan, secara perlahan masyarakat Batak Toba yang semula menganut aliran kepercayaan
Ugamo Malim atau Parmalim, perlahan-lahan berpindah menjadi penganut Kristen. Bahkan hingga
sekarang mayoritas masyarakat Batak yang tinggal di wilayah Toba merupakan pemeluk Agama Kristen.

Demikian juga keluarga Sibarani yang tinggal di Desa Lumban Sibarani, Porsea, Kabupaten Toba,
semuanya merupakan penganut Kristen yang taat. Di desa inilah Kitab Sibarani lahir pada 1884. Ia
merupakan satu-satunya anak laki-laki dari lima bersaudara dari keluarga mereka. Ayah Kitab Sibarani
dikenal masyarakat sebagai salah seorang tokoh yang cukup disegani.

Sebagai seorang anak tokoh desa, Kitab Sibarani juga cukup ditakuti warga desa di sekitarnya. Apalagi
posturnya tinggi dan berotot. Konon Kitab Sibarani disebut-sebut sebagai seorang jawara yang kebal
terhadap senjata tajam. Ia mampu memecahkan batu koral hanya dengan tangan kosong. Ia juga punya
kemampuan berlari yang cukup kencang sehingga mampu mengimbangi kecepatan seekor kuda.

Dalam usia muda, ia sudah dipanggil guru karena cukup banyak warga desa yang belajar ilmu kebal
kepadanya. Dengan kemampuan itu, tidak seorang pun warga desa yang berani melawannya.

Masa kecil hingga remaja Kitab Sibarani dihabiskan di desanya sebagai petani. Sebagai satu-satunya
anak laki-laki, Kitab harus membantu keluarga untuk mengelola sawah mereka. Kitab sempat bersekolah
di Sekolah Rakyat, Porsea, tapi hanya sampai kelas 4. Ia tidak sempat menyelesaikan pendidikan di
sekolah itu karena malas belajar. Bahkan saat sekolah pun Ia kerap bolos sehingga beberapa kali
mendapat teguran dari gurunya. Karena bosan ditegur terus, ia memutuskan keluar.

Sejak kecil Kitab Sibarani memang telah menunjukkan sikap yang tidak suka dikekang dan selalu kritis
terhadap lingkungan. Ia suka sekali bergaul sehingga lingkungan pergaulannya menyebar hingga ke
desa-desa lainnya di sekitar Toba. Perilakunya yang luwes bergaul membuat kemampuannya berbahasa
Belanda cukup bagus.

Sebagai anak yang lahir dari keluarga Kristen, ayahnya selalu menekankan Kitab agar rajin ke gereja
memperdalam ilmu agama Kristen. Ayahnya cukup memaklumi kalau Kitab tidak tertarik ke sekolah
umum, tapi untuk belajar di sekolah minggu gereja adalah sebuah keharusan.

Dibanding teman-teman sebayanya, Kitab tergolong sangat rajin ke gereja. Tidak jarang ia merupakan
jemaat pertama yang hadir ke gereja sebelum ceramah agama dimulau. Seiring perjalanan waktu, ia
pun dikenal sebagai aktivitas gereja.
Saat usia remaja Kitab kerap diberi tugas oleh pendeta untuk menyampaikan ceramah agama kepada
kelompok pemuda. Tidak jarang pula ia menggantikan peran pendeta untuk tampil di mimbar
menyampaikan khotbah.

Di usia 23 tahun ia menikah dengan seorang perempuan desa bermarga (boru) Simanjuntak. Dari
pernikahan itu ia mendapat seorang anak perempuan yang cantik. Tapi tidak disangka, saat dewasa,
putrinya kitu berkenalan dengan seorang pemuda muslim bermarga Pangaribuan. Kitab awalnya
menentang keras hubungan itu. Ia kerap marah kepada putrinya dan memaksa agar putrinya tidak
berhubungan lagi dengan si Pangaribuan.

Tapi sang putri tetap bersikukuh hingga akhirnya ia menikah dengan pemuda itu, sekaligus memutuskan
memeluk agama Islam. Pernikahan mereka menghadirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama
Muhammad Din Pangaribuan. Keluarga Pangaribuan ini menetap di Kota Porsea, sehingga interaksi
dengan Kitab Sirabani tetap tidak terputus karena jarak rumah mereka yang tidak terlalu jauh.

Walau awalnya pernikahan anaknya ini ditentang oleh Kitab Sibarani. Tapi perlahan-lahan hubungan
ayah dan anak ini mencair juga. Kitab Sibarani mulai menerima kenyataan bahwa anaknya telah
berpindah menjadi Muslimah.

Sampai memasuki usia 49 tahun, Kitab Sibarani masih dikenal warga Porsea sebagai tokoh penginjil yang
sangat taat pada ajaran Kristen. Ia kerap diundang menyampaikan ceramah di geraja lain di wilayah
Toba. Sesekali ia bertemu punya dengan cucunya Muhammad Din Pangaribuan yang ternyata cukup
rajin mengaji. Malah kepada cucunya ini, Kitab kerap bertanya soal ajaran Islam.

Karena sejak kecil dibesarkan dalam keluarga Kristen dan hidup di lingkungan orang Kristen pula, sudah
tentu pengetahuan Kitab tentang agama Islam sangat minim. Makanya ia cukup heran ketika melihat
ada sekelompok minoritas Islam di Porsea yang umumnya para pendatang melakukan sholat bersama
dengan terlebih dahulu mengambil wudhu. Pada waktu itu belum ada satupun masjid di Porsea sehingga
minoritas muslim di sana harus melaksanakan sholat di lapangan. Selain warga yang tinggal di Porsea,
beberapa musyafir yang kebetulan melintas di des aitu juga kerap sholat di lapangan yang sama.

Ironisnya tidak semua kegiatan sholat para umat muslim di lapangan itu berjalan mulus. Beberapa bus
yang membawa penumpang muslim ingin sholat di lapangan Porsea itu pernah diusir. Malah bus mereka
dilempari batu oleh warga sekitar. Namun hambatan itu tidak menyusutkan niat warga muslim untuk
sholat di lapangan tersebut.

Kitab Sibarani pernah mengimbau warga setempat untuk tidak menggangu umat Islam yang ingin sholat
di lapangan tersebut. Lapangan itu menjadi pilihan tempat sholat karena di sana tersedia sumber air
yang jernih untuk berwudhu.

Semakin sering Kitab Sibarani bermain-main dengan cucunya Muhammad din Pangaribuan, semakin
sering pula ia bertanya tentang Islam. Perlahan-lahan rasa penasarannnya tentang Islam mulai menguat.
Sampai suatu ketika ia bermimpin sedang berada di dalam pesawat dengan dikelilingi penumpang lain
yang memiliki wajah-wajah bersih bercahaya karena siraman wudhuk.
Entah mengapa, mimpi itu kemudian menjadi bahan renungan bagi dirinya. Ia pun mulai mencari tahu
apa makna berwudhu sebelum sholat. Keingintahuannya itu kemudian semakin membuat Kitab tertarik
mempelajari Islam.

Sampai akhirnya hatinya tidak sanggup lagi mampu menahan panggilan untuk memeluk Islam. Niat itu ia
sampaikan kepada salah seorang warga muslim yang kebetulan sedang berada di Porsea. Belakangan
terungkap kalau warga muslim itu merupakan seorang ulama bernama Haji Tuan Muda Simangunsong,
warga Toba yang lama tinggal di Tanjungbalai, Asahan.

Tuan Muda Simangunsong juga merupakan warga asli Porsea yang sudah lama merantau ke Asahan.
Pada 1920 ia memeluk Islam di Asahan dan kemudian berguru kepada sejumlah ulama di wilayah itu.
Pada 1930 ia mulai aktif mengembangkan islam di tanah kelahirannya Porsea, meski secara diam-diam.
Saat di Porsea inilah ia bertemu dengan Kitab Sibarani.

Niat Kitab Sibarani untuk memeluk Islam dikabakan Tuan Muda Simangunsong kepada sejumlah
sahabatnya di Kota Medan. Gayung bersambut, sejumlah ulama dari Medan turun ke Porsea untuk
mendampingi Tuan Muda Simangunsong meng-Islam-kan Kitab Sibarani. Bahkan Sultan Deli yang kala
itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Al-Rasyid juga turut berangkat ke Porsea dengan membawa sejumlah
Alquran dan peralatan sholat sebagai dukungan bagi Kitab Sibarani.

Akhirnya pada pertengahan 1934, Kitab Sibarani yang ketika itu berusia 50 tahun mengucapkan kalimah
syahadat di sebuah aula di sekitar lapangan Porsea di bawah bimbingan Tuan Muda Simangunsong.
Proses syahadat berlangsung di lapangan karena belum ada satu pun masjid yang dibangun di Porsea
pada waktu itu.

Di saat bersamaan, lembaga Al-Jamiatul Washliyah yang didirikan sekelompok ulama muda alumni
Maktab Islamiyah Tapanuli sedang gencar-gencarnya mengembangkan Islam di wilayah Sumatera Timur
dan Tapanuli. Saat tersiar kabar ada seorang penginjil memutuskan memeluk Islam di Porsea, dukungan
langsung diberikan para ulama Al-Washliyah ini. Tidak heran, setelah resmi memeluk Islam, Kitab
Sibarani begitu dekat dengan gerakan Al-Jamiatul Washliyah. Ia kemudian termasuk salah satu
penggerak dakwah di organisasi itu.

Masuknya Kitab menjadi pemeluk Islam tentu menghadirkan kegegeran di kalangan masyarakat Porsea,
terutama bagi para tokoh Kristen Tanah Toba. Betapa tidak, Kitab Sibarani adalah salah seorang penginjil
yang selama ini terkenal sangat militan dalam menyebarkan ajaran Kristen. Ia juga seorang jagoan yang
disegani sehingga tak seorang pun berani konfrontasi dengannya. Itu sebabnya tak seorang pun ada
pendeta yang mencoba mendekati Kitab untuk memintanya kembali ke ajaran Kristen. Mereka tahu
betul kalau Kitab sosok yang tegas dan selalu kuat dalam pendirian.

Meski demikian, tetap ada upaya untuk mempengaruhi Kitab melalui saudara-saudara kandungnya
yang kesemua masih memeluk agama Kristen. Tapi upaya itu selalu gagal. Kitab mengaku keputusannya
memeluk agama Islam sudah final. Tidak ada satupun yang boleh mengganggunya.
Ia justru mengajak debat saudara-saudaranya yang mencoba mengajaknya kembali ke ajaran Kristen.
Dalam debat itu, Kitab memaparkan sejumlah kejanggalan dan kontradiksi dalam Kitab Injil. Semua
argumen yang disampaikannya tidak bisa dijawab oleh saudaranya, sehingga mereka akhirnya mundur
teratur.

Istrinya boru Simanjuntak menuduh Kitab telah memilih jalan sesat. Ia pun bertekad akan mengajak
Kitab kembali tunduk kepada salib. Akibatnya Kitab tersinggung dan kemudian menceraikan wanita itu.
Sikap tegas Kitab itu yang membuat warga Porsea dan para tokoh Kristen di Tanah Toba hanya pasrah.
Sosok yang mereka andalkan untuk pengabaran injil justru telah berbulat tekad menjadi pengikut Nabi
Muhammad SAW.

Sejak itu Kitab Sibarani semakin bersemangat memperdalam ilmu Islam. Ia tidak segan untuk belajar
kepada cucunya Muhammad Din Pangaribuan. Selain itu, ia pun semakin rajin menggali ilmu dari kitab-
kitab yang ada. Pengetahuannya tentang injil dan ajaran Kristen menjadi modal sangat penting baginya
untuk tampil sebagai seorang ahli dalam ilmu perbandingan agama.

Dengan modal itu, Kitab mulai berani tampil di komunitas Islam Porsea untuk menjelaskan tentang
perbandingan Islam dan Kristen. Keberadaan Kitab di Porsea mendorong organisasi Al-Jamiatul
Washliyah semakin sering mengirim ulama ke Tanah Toba. Mereka tidak takut diganggu, sebab ada
Kitab, sosok yang disegani warga lokal yang siap membantu kegiatan dakwah para ulama di wilayah itu.
Al-Jamiatul Washliyah kemudian mendirikan cabang di Wilayah Porsea di mana Kita Sibarani duduk
sebagai salah seorang pengurusnya.

Tak lama setelah memeluk Islam, Kitab menikah dengan wanita lain bermarga Sitorus. Dari pernikahan
ini ia dikaruniai enam anak, dua laki-lali dan empat perempuan. Pernikahannya dengan boru Sitorus
membuatnya semakin aktif dalam gerakan Islam. Sejumlah keluarga dekatnya mengikuti jejak Kitab
untuk memeluk Islam. Kitab kemudian membuka pengajian di rumahnya untuk anak-anak Toba dari
keluarga muslim itu.

Ceramah Kitab mengenai perbandingan agama bisa dikatakan sangat tajam, sehingga membuat
sejumlah pendeta gerah. Betapa tidak, Kitab kerap mengulas tentang konsep ketuhanan dalam Kristen
yang dianggap membingungkan. Ada kalanya umat Kristen mengaku kalau tuhan mereka adalah Roh
Kudus, tapi banyak yang mengatakan Yesus sesungguhnya adalah Tuhan walaupun ia berasal dari
manusia. Tidak sedikit pula pandangan yang menganggap bahwa Tuhan dalam konsep Kristen itu adalah
penyatuan tiga wujud, yaitu Yesus, Roh Kudur dan anak Allah yang lebih dikenal dengan istilah Trinitas.

Ceramah Kitab ini cukup menarik sehingga perlahan-lahan mulai banyak warga Porsea yang beralih
memeluk Islam. Setelah jumlah pengakut Islam bertambah, pada 1936, Kitab Sibarani menginisiasi
pendirian masjid pertama di Porsea. Peresmian masjid itu diselenggarakan bersamaan dengan
peringatan Isra’ mi’raj yang menghadirkan ulama-ulama cerdas dari Al-Jamiatul Washliyah, Medan.
Dengan hadirnya masjid di Porsea, aktivitas Islam semakin marak.

Kitab kemudian memperluas wilayah dakwahnya hingga ke daerah Toba lainnya, seperti Dolok Sanggul,
Lumban Julu, Balige, Habinsaran, Pangaribuan dan Samosir. Ia berpindah dari satu desa ke desa lain
dengan berjalan kaki. Cucunya Muhammad Din Pangaribuan paling setia mendampingi kakeknya dalam
berdakwah. Di wilayah-wilayah yang didatanginya itu, Kitab cukup banyak meng-Islam-kan warga yang
semula belum beragama yang dalam istilah Batak disebut sipelebegu.

Tidak puas hanya di wilayah Toba, Kitab memperluas wilayah dakwahnya hingga Rantau Prapat, Medan,
dan Pangkalan Brandan. Ia juga kerap diundang menyampaikan ceramah tentang perbandingan agama
di Kutaradja (Banda Aceh), Kuala Simpang dan Sumatera Barat.

Saat berada di Sawah Lunto ( Sumatera barat) Kitab Sibarani pernah ditangkap polisi dengan tuduhan
terlibat dalam pembunuhan warga setempat. Tapi beberapa hari kemudian ia dibebaskan karena
tuduhan itu tidak benar adanya.

Untuk memperluas aktivitas dakwahnya, pada 1947 Kitab memutuskan menetap di Medan untuk
bergabung dalam gerakan Islam Al-jamiatul Washliyah. Pertemanannya dengan ulama-ulama Al-
Washliyah, seperti Muhammad Arsyah Thalib Lubis dan Abdurrahman Sjihab membuat cakrawala ilmu
agamanya kian terbuka, apalagi ulama -ulama itu juga menguasai ilmu perbandingan agama.

Saat menetap di Medan, Kitab bertemu dengan sejumlah tokoh Islam lainnya, seperti Teungku
Muhammad Daud Beureueh, ulama asal Aceh yang kala itu menjabat Gubernur Wilayah Aceh, Tanah
Karo dan Langkat dengan pangkat Mayor Jenderal (titular). Ia juga pernah bertemu dengan Wakil
Presiden Mohammad Hatta.

Sebagai umat Islam, Kitab Sibarani sangat berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji di tanah Suci,
Mekkah. Tapi hambatan finansial membuat niatnya terkendala. Kalaupun Kitab Sibarani punya uang,
biasanya lebih banyak disumbangkannya untuk pembangunan masjid di Tanah Batak melalui para
muridnya yang masih akfit mengembangkan Islam di sana.

Kitab lantas mengirim surat kepada Perdana Menteri Muhammad Natsir agar kiranya diberi kesempatan
berangkat ke tanah suci secvara gratis. Sebagai konsekuensinya, Kitab Sibarani bersedia menjadi tim
petugas haji. Kitab sengaja menawarkan diri untuk pekerjaan itu karena ia merasa punya kemampuan
khusus yang bisa diandalkan.

Bukannya mendapat jawaban melalui surat, malah Muhammad Natsir – dengan pengawalan khusus --
langsung mendatangi Kitab Sibarani di rumahnya yang berlokasi di Jalan Teladan, Medan. Natsir
langsung menawarkan fasilitas haji gratis kepada Kitab tanpa perlu bekerja sebagai petugas haji. Tidak
hanya itu, Natsir pun memberinya sebidang tanah di Jalan HM Joni Gang Aman plus sejumlah uang
untuk modal mendirikan bangunan pusat kegiatan Islam di atas lahan itu.

Tak pelak lagi, nama Kitab Sibarani sebagai mantan penginjil yang tampil sebagai mubaligh kian santer
menjadi pembicaraan banyak orang. Pada 1949, sekembali menunaikan ibadah di tanah Suci, Haji Kitab
Sibarani diundang menghadiri Kongres Umat Islam di Solo, di mana salah satu rekomendasinya adalah
memberi amanah kepada Kitab Sibarani memegang tanggungjawab mengembangan Islam di wilayah
Toba. Sejak itu Kitab semakin sibuk mengikuti perjalan dakwah dari Medan ke tanah Toba.
Perannya dalam Gerakan Al-Washliyah semakin menguat setelah pada 1951 ia mendirikan Yayasan
Pendidikan Panti Asuhan Zending Islam Indonesia di Jalan Sisingamangaraja, dekat Taman Pahlawan
Medan. Yayasan itu diperuntukkan menampung anak-anak miskin untuk disekolahkan di sekolah umum
maupun sekolah agama Islam.

Strategi Kitab Sibarani ini sangat jitu, karena banyak anak-anak dari Toba kemudian tinggal di sana.
Mereka yang sebelumnya beragama Kristen kemudian beralih memeluk agama Islam.

Memasuki awal tahun 1957, Kesehatan Kitab Sibarani mulai menurun. Ia lantas dibawah murid dan
keluarganya berobah di RS Pirngadi Medan. Para saudara kandungnya dari Porsea datang melihatnya
saat dirawat di rumah sakit itu. Mereka lalu menawrkan Kitab untuk menjalani pengobatan di RS
Elizabeth Medan dengan alasan sistem perawatan di rumah sakit itu lebih baik dan lebih modern.

Tapi Kita rupanya melihat ada yang janggal dari ajakan itu. Ia tegas menolak, karena melihat ada misi
Kristen dibalik ajakan itu. Apalagi saudara-saudarinya masih beragama Kristen.

Lalu ia pun mengatakan, “Saya tidak mau, di sana banyak palang salib. Aku tidak mau bersentuhan
dengan agamaku terdahulu.” Melihat penolakan itu, para keluarhgnya mundur langkah.

Tuan Guru Haji Kitab Sibarani menghembuskan nafasnya di RS Pirngadi Medan pada 31 Januari 1957
pada usia 74 tahun. Ribuan kaum muslimin mengiringi pemakaman ulama Batak Toba itu hingga ia
disholatkan di Masjid Raya Al-Ma’shum. Sebagaia penghormatan kepadanya, almarhum dimakamkan di
pemakaman raja-raja melayu yang ada di kawasan masjid terkenal itu. ***

Sumber:
 Dr Ali Imran Sinaga, Sag, Haji Guru Kitab Sibarani, Mubaligh dan Penyebar Islam di Tanah Batak, Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2016
 Rahmadinda Siregar, Peran Al-Jamiatul Washliyah dalam penyebaran Islam di Batak Toba, UIN Sunan
Kalijaga, Ygyakarta, 2019.

Anda mungkin juga menyukai