Anda di halaman 1dari 4

Sabang merupakan bagian dari provinsi Aceh yang terletak di wilayah

paling barat Indonesia. Provinsi yang kaya akan hasil alam ini memiliki
potensi yang cukup besar dalam menunjang perekonomian nasional.
Sabang atau yang lebih dikenal dengan Pulau weh mendapat julukan “The
Golden Island”, memiliki lokasi yang sangat strategis di Selat Malaka yang
merupakan jalur transportasi laut tersibuk di dunia sebelum kapal laut
beralih ke tenaga diesel.
Kawasan Sabang memiliki lokasi geografis yang strategis. Sejak zaman
penjajahan Belanda sudah menjadi jalur perdagangan dan pelayaran dunia
karena terletak pada jalur masuk bagian barat antara Kawasan Asia Pasifik
dan Asia Barat Daya.

Sebagai pintu masuk Selat Malaka, Sabang dilalui rata-rata 50,000 kapal
kontainer setiap tahunnya. Kedalaman laut secara alami di Pelabuhan
Sabang yang mencapai 22 meter membuat kawasan ini siap untuk
menerima kedatangan kapal raksasa generasi masa akan datang.
Pada tahun 2000, Pemerintah menetapkan Sabang sebagai kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas berdasarkan Undang-undang
No 37 Tahun 2000 yang terdiri dari Kota Sabang (Pulau Weh, Pulau Klah,
Pulau Rubiah, Pulau Seulako & Pulau Rondo) dan Kecamatan Pulau Aceh,
Aceh Besar (Pulau Breuh, Pulau Nasi dan Pulau Teunom) yang meliputi
luas wilayah 394 km2.
Kendati demikian, sektor pariwisata lebih menonjol di Sabang. Terbukti,
sektor ini menyumbang sebesar 70% Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada
tahun 2013. Sabang menawarkan sejumlah potensi pariwisata, seperti
pantai iboih, pantai sumur tiga, pantai pasir putih, pantai anoi itam, pantai
kasih yang berlaut biru jernih, danau air tawar bernama Danau Aneuk Laot,
pemandian air panas di Gunung Merapi Jaboi, sejumlah benteng sisa
Perang Dunia II, dan Tugu Titik 0 Kilometer. Pulau – pulau kecilnya pun
menawarkan sejumlah potensi, antara lain adalah lokasi snorkling (selam
permukaan) dan diving (menyelam) seperti di pulau rubiah yang memiliki
pemandangan bawah laut yang masih alami dihiasi terumbu karang dan
ikan laut berwarna-warni.

  
 
 
 
 
 
Dengan segala potensi pariwisata tersebut, Sabang pun menjadi tempat
tujuan wisata para pelancong lokal maupun mancanegara. Merujuk data
Badan Pusat Statistik Aceh 2013, ada 500.000-1 juta wisatawan yang
mengunjungi Sabang per tahun. Jumlah itu mencapai 50 persen dari total
jumlah wisatawan yang mengunjungi Aceh per tahun.
https://www.bcsabang.beacukai.go.id/sekilas-kawasan-bebas-sabang/potensi/

https://inet.detik.com/tips-dan-trik/d-5773850/5-cara-cek-hoax-jang

an-sampai-termakan/amp

https://www.kominfo.go.id/content/detail/8949/ini-cara-mengatasi-berita-hoax-di-dunia-maya/0/
sorotan_media

Mengapa Aceh mengembargo Jepang/NICA pada Oktober 1945?

Untuk menjawab pertanyaan Mengapa Aceh Mengembargo Jepang/NICA pada Oktober


1945, perlu diperjelas dulu bahwa Jepang dan NICA atau Nederlandsch Indië Civiele
Administratie atau Netherlands-Indies Civiele Administration adalah dua entitas yang
berbeda. Lalu bagaimana Resdien Aceh bisa mengembargo keduanya pada waktu
bersamaan?

Ok, kita lanjut, NICA merupakan organisasi semi militer yang dibentuk pada 3 April 1944
yang bertugas untuk mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum pemerintah Kolonial
Belanda di daerah-daerah bekas kolonial yang pernah direbut Jepang. Lalu pada 25
Agustus 1945 kekuasaan Jepang di Sabang, Pulau Weh, Aceh diambil alih oleh
Sekutu/NICA ditandai dengan pelucutan 10.000 tentara Jepang di sana.

Tapi dalam masa peralihan tersebut bukan serta merta Jepang kemudian kembali ke
negerinya, karena persoalan Aceh berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Bila di daerah
lain senjata-senjata Jepang dilucuti oelh Sekutu/NICA tidak dengan Aceh, persenjataan
Jepang termasuk pangkalan udara dan lima pabrik senjata Jepang direbut oleh Residen
Aceh.

Nah, inilah yang memusingkan kepala Sekutu/NICA dan Jepang sendiri. Meski Sekutu/NICA
sudah bercokol di Sabang, mereka tidak bisa masuk ke daratan Aceh. Sekutu/NICA
menginginkan agar Jepang mengambil kembali senjata-senjata yang telah direbut oleh
Residen Aceh. Karena itu pula, Residen Aceh Teuku Nyak Arief kemudian menjalankan
strategi perang logistik. Barang dan komoditi dari Aceh tidak diizinkan dibawa ke Sabang,
agar Sekutu/NICA dan Jepang yang masih ada di sana kelaparan.

Maklumat tentang embargo itu dikeluarkan Residen Aceh pada 27 Oktober 1945. Isi
maklumat tersebut seperti ini. Saya mengutipnya dari Batu Karang di Tengah Lautan yang
ditulis oelh Teuku Alibasjah Talsya, pejuang kemerdekaan di Aceh yang pernah menjabat
sebagai Kepala Seksi Publikasi pada Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Isi
maklumat "embargo" itu seperti di bawah ini:

Berhubung dengan keadaan ekonomi daerah Aceh akan diurus dengan baik, maka kita
sudah mengambil ketetapan sebagai berikut:

a. Segala rupa barang-barang makanan dan hewan untuk sementara waktu tidak boleh
dikeluarkan dari daerah Aceh ke lain daerah atau ke luar negeri (Sabang, Malaya).

b. Akan tetapi diizinkan membawa dari satu wilayah ke lain wilayah dalam daerah Aceh
dengan tiada perlu memakai surat izin.

Barang siapa melanggar peraturan tersebut dibagian (a) akan dijatuhkan hukuman
sebagaimana tersebut dalam peraturan pengeluaran barang hasil bumi daerah Aceh.

Kapal dan perahu-perahu dari daratan Aceh juga dilarang berlayar atau merapat ke
Pelabuhan Sabang, kecuali untuk kebutuhan tertentu saja. Hukuman berat akan dijatuhkan
kepada orang-orang yang melanggar aturan tersebut, semua barang yang dipergunakan
untuk itu akan dirampas.

Dalam maklumat nomor 2 tersebut, Residen Aceh Teuku Nyak Arief juga
mengintruksikan serta mewajibkan kepada Asisten Residen (Bunsyucho), kontelir, kepala
negeri, ambtenar pelabuhan, polisi dan penjaga pantai mengawal ketentuan-kententuan
dalam maklumat itu untuk dituruti oleh semua pihak.

Residen Aceh Teuku Nyak Arief salah satu dari sembilan pahlawan nasional asal Aceh [foto:
Teropong Aceh]

Dua hari kemudian yakni pada 29 Oktober 1945, Residen Aceh Teku Nyak Arief kembali
mengeluarkan peraturan serupa, melarang penduduk membawa barang-barang makanan
dan hewan dari Aceh ke Sabang dan Malaysia. Residen Aceh akan memberlakukan pajak
(bea cukai) untuk setiap barang yang masuk dan keluar dari Aceh ke luar negeri. Dalam
maklumat tersebut Teuku Nyak Arief menjelaskan, perekonomian Aceh akan diurus dengan
baik, maka aturan-aturan tegas harus diberlakukan.

Sehari kemudian, 30 Oktober 1945, para saudagar di Kota Sigli, Pidie, mengumumkan sikap
bersama, akan menyokong setiap kebijakan Residen Aceh untuk mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia sekuat tenaga. Para saudagar tersebut juga menegaskan,
akan menyumbang dan mengorbankan tenaga, harta benda mereka dan nyawa mereka
untuk tujuan tersebut.

Para saudagar dan pengusaha di Kota Sigli juga berjanji, tidak akan menjual satu apapun
kepada NICA dan kaki tangannya. Melihat sikap para saugadar Pidie tersebut, para
pedagang etnis Tionghoa di Pidie juga akhirnya menyatakan kesedian mereka membantu
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Untuk menjamin berjalankan pemerintahan di berbagai daerah, Residen Aceh Teuku Nyak
Arif pada 31 Oktober 1945 mengangkat Teungku Muhammad Daod Beureu’eh menjadi
Asisten Residen yang diperbantukan pada Pemerintahan Daerah Aceh dalam bidang
agama.

Selain itu juga diangkat Teuku Muhammad Ali Panglima Polem dalam jabatan yang sama
untuk urusan dalam bidang ekonomi. Sementara Teuku Muhammad Amin diangkat sebagai
asisten residen yang diperbantukan untuk urusan pemerintahan umum. Sedangkan untuk
posisi sebagai Sekretaris Pemerintah Daerah (Sekda) diangkat seorang pejabat bernama
Usman.

Embargo dari Resdien Aceh ini pula yang kemudian menjadi salah satu sebab Sekutu/NICA
tidak berhasil masuk ke Aceh. Demikian penjelasan saya, semoga bermanfaat.[]

Penyumbang bahan Iskandar Norman.

Anda mungkin juga menyukai