283-Article Text-431-1-10-20200113
283-Article Text-431-1-10-20200113
Saprillah
Peneliti Balai Litbang Agama Makassar
Jln. A.P. Pettarani Nomor 72 Makassar
Email: pepilitbang@gmail.com
Abstrak
Generasi muda adalah fondasi penting dalam membangun keberlangsungan spirit kebangsaan. Tulisan
yang merupakan refleksi dari penelitian tentang perspektif Siswa Kristen terhadap Kebangsaan dan
Keagamaan membahas tentang ‘narasi’ kebangsaan dalam pikiran para generasi muda khususnya yang
masih berusia sekolah. Penelitian ini dilakukan di Kota Jayapura, Papua. Dengan mengeksplorasi hasil
dari kuantifikasi perspektif para siswa, penelitian ini memastikan bahwa narasi kebangsaan siswa
Papua tidak berbeda dengan siswa lain di Indonesia. Spirit NKRI tertanam dengan baik di dalam jiwa
dan raga mereka yang terbangun melalui serangkaian tindakan paedagogik di sekolah.
sistem politik dan pembangunan di politik Belanda yang dinilai lebih baik
Indonesia. Isu nasionalisme ganda menempatkan identitas kepapuaan melalui
berhadap-hadapan dengan isu keadilan. Para berbagai mekanisme dan strategi
peneliti Papua menceritakan, nasionalisme kebudayaan. Sedangkan nasionalisme
Papua dan nasionalisme Indonesia bukan Indonesia disemaikan dengan cara yang
rajutan yang saling melengkapi, karena sporadis. Akibatnya, proses integrasi Papua
benang keadilan yang sulit ditemukan. Pada ke Indonesia tidak serta merta
saat yang sama, memori tentang sikap menghilangkan nasionalisme Papua yang
Belanda yang istimewa dimunculkan. telah dikonstruksi oleh Belanda. Lahirlah,
Pendekatan Belanda dianggap lebih nasionalisme ganda!
mengerti Papua ketimbang Indonesia.
Distribusi politik dalam pemerintahan SISWA PAPUA DAN NASIONALISME;
Belanda lebih baik ketimbang Indonesia. REFLEKSI HASIL RISET
‘Pemerintah Belanda menempatkan Pada 2018, BLAM (Balai Litbang
beberapa orang Papua dalam posisi strategis Agama Makassar) bidang Bimas Agama dan
pemerintahannya’, sedangkan ketika Layanan Keagamaan melakukan riset yang
menjadi Indonesia, tidak (Asyhari-Afwan, berjudul persepsi kebangsaan siswa Kriseten
2015:4). di Kawasan Timur Indonesia, dengan
Sulitnya nasionalisme Papua berlokasi di lima tempat, yaitu Poso, Toraja,
dihilangkan, karena nasionalisme Indonesia Papua, Ambon, dan Manado. Pertimbangan
tidak diperkenalkan secara matang seperti pemilihan lokasi adalah wilayah mayoritas
yang dilakukan oleh Belanda, sebelumnya. beragama Kristen. Riset ini memiliki sampel
1100 siswa yang dibagi lima wilayah.
Lemahnya nasionalisme Indonesia hingga
Masing-masing wilayah mendapatkan 220
tahun 1962, disebabkan karena; pertama,
prosesnya instan, tidak terencana, tanpa angket.
proses pendidikan, hanya melalui himbauan
Penelitian ini menggunakan metode mix
dan pembentukan partai politik. Kedua,
ketika para penggagas Indonesia ditangkap sequence analisis. Dimana metode kualitatif
dan dikembalikan ke luar Papua maka digunakan untuk memperdalam temuan-
pengindonesiaan bagi orang Papua lebih temuan kuantitatif. Data kuantitatif diperoleh
banyak diperankan oleh orang Papua dan
melalui penyebaran angket kepada 220
orang Indonesia lainnya yang masih dalam
tahap mendalami Indonesia. Ketiga, responden siswa kelas XI dan XII di sepuluh
penggunaan bahasa Melayu sejak kehadiran (220 adalah jumlah dari 1100). SMA/SMK
gereja dan pemerintah (Belanda) di Papua yang terpilih secara acak. Metode yang
ternyata bukanlah bibit yang tepat untuk
digunakan purposive random sampling.
membangkitkan keindonesiaan di Papua.
Keempat, proses pengindonesiaan orang Waktu penelitian dilakukan selama 18
Papua dilakukan melalui gerakan bawah
hari kerja, dengan waktu efektif 16 hari (di
tanah, karena sejak tahun 1945 hingga 1962,
Papua masih di bawah pemerintahan luar hari pulang pergi). Delapan hari
kolonial Belanda (Matreya, 2014:4). digunakan untuk pengumpulan data
kuantitatif plus analisis statistik dengan
Dari asumsi di atas, nasionalisme menggunakan bantuan program SPSS
Indonesia hingga 1962 (titik politik di mana (Statistic programme for Social Science).
Papua terintegrasi menjadi bagian dari Setelah itu, peneliti melakukan pendalaman
Indonesia) sangat lemah, karena faktor materi kebangsaan dengan melakukan
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 2 Tahun 2019
wawancara kepada kepala sekolah, guru, siswa Kristen di Papua sangat baik. Jumlah
tokoh pemuda, dan tokoh agama. persentasi respon positif siswa terhadap isu
kebangsaan “Sangat Tinggi”, antara 74,5%-
Responden penelitian ini adalah siswa
97,7%. Nilai tertinggi berisi harapan tentang
SMA/SMK dari 10 sekolah yang terpilih
Pancasila dan kesejahteraan dan paling
secara acak. Sekolah yang dimaksud adalah
rendah disfungsi Pancasila dan
SMAN 1 Papua, SMKN 2 Jayapura, SMKN
perkembangan zaman (74,5%).
3, SMKN 6, SMAN 4, SMA YPPK Taruna
Dharma, SMA YPPK Taruna Bhakti, SMA Temuan penelitian menunjukkan,
Mandala, SMK Ampari, dan SMA Yapis kecenderungan jawaban siswa pada aspek
Pembangunan 5. normatif sangat tinggi. Namun, pada aspek
aktual cenderung menurun. Sebagai contoh;
Seluruh siswa beragama Kristen. Jumlah
pada tabel b2 (setiap negara wajib membela
siswa yang berjenis kelamin lelaki sebanyak
dan mempertahankan NKRI, mayoritas
55.5% (122 siswa) dan jumlah siswa berjenis
siswa memberi respon positif, yaitu 97,7%
kelamin perempuan 44.5% (98 siswa). Usia
siswa memberi persetujuan. Bahkan, 75,5%
siswa berada pada rentang 15-19 tahun. Usia
yang menyatakan sangat setuju. Namun,
16 merupakan usia terbanyak (40,9%).
ketika diperhadapakan pada sikap
Siswa yang berusia 19 sebanyak 5.9%.
disintegrasi, jawaban siswa tidak sekuat
Siswa yang berusia 15 sebanyak 9.1%.
aspek sebelumnya. Yang setuju sebanyak
Responden berasal dari berbagai jurusan 76,9% (40,5% di antaranya sangat setuju).
yang berbeda. Jumlah terbanyak IPS sebesar Sedangkan yang memberi respon penolakan
28.2% (62 siswa), jurusan IPA sebanyak sebanyak 20,2% (6,4% di antaranya
26.8% (59 siswa), jurusan teknik sebanyak menyatakan sangat tidak setuju.
18.2% (40), jurusan Ekonomi sebanyak 10%
Menguatnya ketidaksetujuan responden
(22 siswa), jurusan kelautan sebanyak 10%
hingga mencapai 20% terhadap upaya
(22 siswa), jurusan Bahasa sebanyak 3.2%
tindakan kekerasan terhadap pegiat
(7 siswa), dan ada 3.6% (8) yang tidak
disintegrasi bisa dipahami dalam dua
menyebut jurusan.
konteks; 1) pelajaran kebangsaan di kelas
Mayoritas responden berasal dari suku dilakukan dengan pendekatan damai. 2).
Papua 54.5% (120 siswa), suku non-Papua, Pendekatan kekerasan adalah pengalaman
29.1% (64%), suku campuran Papua-non traumatik bagi warga Papua. Anak-anak
Papua, 2.3% (5 siswa), dan ada 14,1% (31 Papua memberi isyarat, bahwa pendekatan
siswa) tidak menyebutkan afiliasi sukunya. kekerasan bukanlah jawaban yang tepat
Afiliasi gereja siswa mayoritas berasal dalam mengatasi masalah disintegrasi.
dari GKI, 50,5% (111 siswa), ada 25.5% (56 Pendekatan kekerasan justru memicu
orang) siswa yang tidak menyebut menguatnya identitas kepapuaan dan
gerejanya. Sedangkan sisanya berasal dari sekaligus memicu perlawanan dari
GBI, GPI, GPdI, Gidi, GSJA, Kingmi, masyarakat Papua.
GBGP, dan Gereja Toraja. Demikian pula terhadap isu Pancasila.
Hasil riset ini menunjukkan, gejala Respon siswa sangat menggembirakan.
positif tentang nasionalisme di Papua. Riset Kepercayaan mereka terhadap pancasila
ini menyimpulkan, perspektif kebangsaan sangat tinggi. Namun demikian, siswa Papua
tampaknya cukup rasional dalam merespon
Saprillah
resonansinya terasa di Papua. Apatah lagi, diskusi tentang kemerdekaan Papua. Si guru
kelompok organisasi yang menginginkan segera memanggil siswi tersebut. Dari
kemerdekaan Papua masih ada dan bekerja pengakuannya, siswi tadi hanya ingin
di bawah tanah. Kasus di Surabaya berdiskusi dengan teman-temannya. Sang
tampaknya dikapitalisasi untuk melakukan guru melakukan investigasi dengan pura-
perlawanan kepada negara, dengan tujuan pura membawa buku rapor sang siswi ke
referendum. rumahnya. Dan, sang guru menemukan fakta
di ruang tamu rumah orang tua siswi tersebut
Jauh sebelum kasus 2019, kritik
terpampang bendera bintang kejora yang
kebangsaan melalui teriakan-teriakan M
berukuran cukup besar (Wawancara, Sabtu 4
(istilah popular untuk kata Merdeka) sangat
Agustus 2018).
jamak terjadi. Bahkan secara metafor, Y
(Wawancara Kepala Sekolah, 30 Juli 2018) Cerita tentang siswi ini merupakan
mengatakan, “anak TK pun bisa teriak M”. catatan pinggir yang tak boleh diabaikan.
Meski teriakan ini tidak bisa serta merta Jangan dianggap terlalu serius tetapi jangan
disebut sebagai histeria disintegrasi, namun diabaikan, kata pak Yo. Artinya, dukungan
kenyataannya ada organisasi bawah tanah publik Papua terhadap gerakan dan wacana
yang bekerja untuk mengkampanyekan Papua Merdeka selalu ada meski dengan
gerakan Papua merdeka dan teriakan ini volume yang kecil. Secara kuantitatif,
adalah modal sosial yang penting bagi dukungan terhadap disintegrasi semakin
mereka. kecil, sebagaimana yang terlihat pada hasil
analisa frekwensial di atas. Namun, secara
Sebagai contoh, munculnya isu
kualitatif suara bernada disintegrasi akan
deklarasi Papua Barat di Kampus
selalu ada di Papua terutama apabila
Universitas Cendrawasih pada 1 Agustus
kebijakan pemerintah tidak memuaskan atau
2018 melalui selebaran undangan terbuka.
tidak tepat untuk kepentingan Papua.
Kegiatan ini tampaknya batal karena
Bahkan dalam skala kecil. Misalnya
pengamanan yang cepat dari pihak
penerimaan beasiswa dianggap terhambat
keamanan. Dua hari kemudian, asrama yang
atau tidak adil, orang-orang tua siswa
berada di Universitas Cenderawasih
biasanya datang marah dengan
dirubuhkan. Asrama ini diduga menjadi
menggunakan idiom jarak sosial, bahwa
basis kelompok sipil yang diduga berjejaring
mereka adalah orang yang berhak atas tanah
dengan gerakan OPM (Organisasi Papua
Papua dan orang luar hanyalah tamu (diolah
Merdeka) (Wawancara Ibu L, Pegawai
dari berbagai hasil wawancara).1
Kemenag Kota Jayapura, Senin 6 Agustus
2018). Pada 1962 mulai Maret-Juli, Van der
Veur melakukan survey tentang masa depan
Siswa di Papua tidaklah bersih dari
Papua. Respondennya berjumlah 927 yang
pengaruh disintegrasi. Seorang guru SMA
bernama Yo, yang juga merupakan aktivis 1
Pengalaman seperti ini peneliti temukan ketika
pemuda Gereja menceritakan pertama kali ke Papua, medio 2008. Di salah satu
pengalamannya. Dia memiliki seorang siswi warung telekomunikasi terjadi keributan kecil.
Seorang Mace (sebutan ibu-ibu Papua) menyewa tel-
yang cukup menonjol di kelas dan cukup epon, tapi tidak membayarnya. Pemilik warung
aktif terlibat dalam kegiatan sekolah. Suatu (orang Bugis) menegurnya. Si Mace justru marah dan
hari, beberapa orang siswa mengadu mengatakan, bahwa kalian tidak punya hak di tanah
Papua, mending kalian kembali ke kampung kalian
kepadanya karena sang siswi mengajak saja!
Saprillah
yang terdiri dari siswa Lagere Technise 2018). Dialog guru-murid ini menjadi proses
Schol (LTS) di Holandia, Biak dan Merauke, penting dari penanaman semangat
siswa opleiding sekolah guru di Serui dan kebangsaan bagi para siswa. Setidaknya,
Merauke, siswa sekolah perawat di hasil analisis frekwensial di atas
Hollandia, siswa sekolah agama di Serui. menunjukkan fenomena yang
Hasil riset ini menunjukkan mayoritas menggembirakan bagi masa depan semangat
responden memilih tetap berada di bawah kebangsaan warga Papua, sebagai bagian
pemerintah Belanda. Hanya 0,9% responden dari NKRI.
yang ingin bergabung dengan Indonesia. Strategi formal melalui mekanisme
Riset ini setidaknya menunjukkan bahwa pembelajaran kebangsaan (khususnya
hingga 1962, siswa Papua lebih memilih PPKN) memang menjadi instrumen yang
berada di bawah Belanda.
penting. Sekolah menjadi semacam aparatus
Artinya, persoalan kepapuaan dan ideologis yang berfungsi untuk menanamkan
keindonesiaan memang persoalan yang tidak ideologi kebangsaan melalui generasi muda.
sederhana. Keberhasilan integrasi Papua Namun, diakui oleh Pak A (kepala sekolah)
menjadi bagian dari wilayah Indonesia bahwa, Papua membutuhkan pendekatan
menyertakan persoalan identitas kepapuaan yang berbeda dari wilayah lain dalam
yang sudah terbentuk secara mapan. konteks penanaman kebangsaan ini. Pak A
Persoalan menjadi semakin rumit ketika menginginkan adanya penambahan jam
kebijakan pemerintah RI cenderung pelajaran kebangsaan bagi siswa di Papua,
mengabaikan kepentingan masyarakat mengingat kesadaran kebangsaan di Papua
Papua. Pendekatan militer yang ditempuh memiliki sejarah yang berbeda dengan
oleh pemerintah Orde Baru tidak daerah lain di Indonesia.
menyelesaikan persoalan kebangsaan. Meski teriakan M tidak serta merta
Kelompok kecil yang menginginkan Papua merefleksikan keinginan disintegrasi tetapi
Merdeka hidup dan menggelorakan juga menunjukkan bahwa Papua memiliki
perlawanan terus menerus. idiom sosial yang mudah ditarik ke dalam
Di tengah situasi seperti ini, sekolah konfigurasi konflik kebangsaan di tanah
adalah tempat merajut harapan yang paling Papua. Sayangnya, sejauh ini tidak ada
strategis. Sekolah adalah tempat untuk political will dari pemerintah untuk
melakukan ‘proyek bersama’ nasionalisme memberikan pendekatan pembelajaran
seperti yang diusulkan Ben Anderson. formal yang spesifik untuk penguatan
Transformasi nalar dan semangat kebangsaan bagi siswa di Papua
kebangsaan bisa dilakukan di sekolah (Wawancara, 7 Agustus 2018).
melalui berbagai strategi oleh para guru. Upaya yang bisa dilakukan adalah
Salah seorang guru perempuan (H) di salah kegiatan ekstra melalui pramuka dan
satu SMA swasta Jayapura menceritakan program kemah kebangsaan. Kegiatan
pengalamannya ketika mengajarkan sejarah kepramukaan menjadi instrumen eksternal
kemerdekaan Indonesia di kelas. Selalu saja yang cukup penting menanamkan semangat
ada pertanyaan dari satu atau dua orang kebangsaan karena program-program
siswa yang mempertanyakan tentang pramuka salah satunya berorientasi pada
keadilan sejarah bagi masyarakat Papua penguatan spirit dan semangat kebangsaan.
sejak era integrasi 1962 (Wawancara, 31 Juli Upaya lain adalah beberapa sekolah menjadi
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 2 Tahun 2019
tempat sosialisasi empat pilar dari DPRD Solusi yang paling tepat adalah kebudayaan.
Provinsi Jayapura. Misalnya SMA Mandala Lokalitas Papua yang begitu khas harus
Trikora yang beberapa kali menjadi tempat diberi ruang yang sama dengan entitas
sosialisasi empat pilar (Pancasila, Bhinneka kebudayaan lainnya. Agar orang-orang
tunggal ika, NKRI, dan UUD 1945) Papua merasa setara kedudukannya sebagai
(Wawancara Kepala Sekolah SMA Mandala, warga negara Indonesia (Wawancara, 4
31 Juli 2018). Agustus 2018).
Pendekatan yang sama juga dilakukan PENUTUP
oleh pihak militer di Papua. Misalnya pada
25 September 2017, Korem 172 memberikan Perspektif kebangsaan siswa Papua
pembekalan kebangsaan dan nonton bareng (khususnya yang beragama Kristen) bisa
film G30S/PKI yang melibatkan 557 siswa dikategorikan sangat baik. Ini terlihat dari
SMKN 2 Kotaraja Jayapura. Menurut respon secara umum berada di atas angka
Kepala Staf Teritorial Korem 172, Mayor 90% kecuali pada aspek disfungsi pancasila,
Inf. J.D.P Manalu, materi wawasan dimana pertanyaan ini mendorong responden
kebangsaan yang diberikan bertujuan untuk untuk menggunakan rasionalitas, itu pun
membentuk generasi muda sebagai manusia dengan jumlah 20% lebih. Artinya, masa
berpancasila dan meningkatkan kecintaan depan kebangsaan di Papua sangat cerah.
kepada bangsa Indonesia (dikutip dari Siswa Papua yang sekarang berusia 16-19
student.cnnindonesia.com, diakses 2 tahun menjadi modal sumber daya yang
Agustus 2018). sangat baik untuk menegaskan eksistensi
NKRI dan pancasila sebagai landasan ide-
Cara lain yang digunakan oleh sekolah nya. Para generasi milenial Papua nantinya
adalah pendekatan kebudayaan. Kebudayaan yang menentukan apakah identitas
lokal Papua diberi ruang di sekolah untuk nasionalisme ganda di tanah Papua masih
ditampilkan pada even tertentu. Di YPPK kontekstual atau tidak. Apakah suara M yang
Taruna Bhakti, setiap generasi memiliki masih jamak diteriakkan akan kehilangan
pasukan koteka dan penari perempuan tempat hingga titik nol. Harapan itu bisa
dengan rumbai khas Papua yang ditampilkan terlihat dari hasil kuantifikasi di atas.
pada peringatan 17 Agustus-an atau festival
yang melibatkan para siswa (Wawancara Meski hasilnya terlihat positif, namun
Pak YK, guru PPKN, 30 Juli 2018). Strategi tetap terlihat adanya jawaban-jawaban
kebudayaan dimaksudkan agar anak-anak negatif dari beberapa gelintir siswa Papua,
Papua tetap dekat dengan kebudayaannya, misalnya keinginan untuk pindah warga
dan pada saat yang sama, anak-anak Papua negara. Jawaban ini boleh jadi tidak seserius
merasakan rekognisi kebudayaan mereka yang dibayangkan, namun tidak bisa
sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. diabaikan begitu saja. Bagaimana pun juga,
gerakan Papua Merdeka masih ada dan
Pendekatan kebudayaan adalah belum sirna. Harapan mereka tentu saja pada
pendekatan yang paling banyak generasi muda Papua yang kecewa dengan
direkomendasikan oleh masyarakat Papua. kebijakan pemerintah, yang memudahkan
Pendeta S, salah seorang tokoh Kristen di semangat kepapuaannya dikapitalisasi
Papua, mengatakan, pendekatan kekuasaan menjadi semangat perlawanan, bahkan lebih
dan pendekatan ekonomi tidak bisa menjadi ekstrim lagi semangat diistengrasi.
solusi bagi masalah kebangsaan di Papua.
Saprillah