Anda di halaman 1dari 122

Mozaik Humor Birokrasi:

Ketika Birokrat Menertawakan Dirinya Sendiri


Yogyakarta: 2020
iii + 110 hal

Hak Cipta @ 2020 pada Birokrat Menulis


Hak penerbitan pada Birokrat Menulis. Bagi mereka yang ingin
memperbanyak sebagian isi buku ini dalam bentuk atau cara apapun
harus mendapat izin tertulis dari Birokrat Menulis.

Penulis : Para Pegiat Brokrat Menulis


Editor : Tim Redaksi birokratmenulis.org
Penerbit : Birokrat Menulis

Sekretariat:
Jalan Ampel 18 Papringan, Sleman, Yogyakarta
Telp. (0274) 563976
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang.
email: redaksi@birokratmenulis.org

ISBN:
Daftar Candaan

Cubit dari Penerbit ...................................................................... i


Mozaik-Mozaik:

1. Siapa Lebih Beruntung? ...................................................... 1


Bergman Siahaan
2. Salah Kirim SMS Mesra pada Atasan ............................ 5
Mutiara Ramadhani
3. Salah Alamat ..........................................................................9
Dewi Utari
4. Kolega Penguasa dan Pengadaan ................................. 17
Atas Yuda Kandita
5. ASN Ideal: Wacana atau Realita? ................................... 21
Fani Heru Wimono
6. Njagong: Mau Jagung Bakar Atau Jagung Rebus? .. 28
Nugroho Kuncoro Yudho
7. Mantan Pejabat Wafat ........................................................ 31
Cak Bro
8. Nama Saya Lestari, Tapi Saya Laki-laki Loh .............. 33
Sri Rahayu Tresnawati
9. Gerhana Matahari dan Himbauan Pemerintah ......... 36
Desi Sommaliagustina
10. Staf Ahli ................................................................................ 40
Edrida Pulungan
11. Banyak Kebenaran, Tak Ada Kebenaran .................... 42
Ryan Agatha
12. Usia Berapa Sebaiknya Kita Pensiun? ......................... 46
Diyan Nur Rakhmah
13. Amplop Penuh Senyum ..................................................... 51
Hery Praja
14. Sendal, Sepatu, Alfabet .................................................... 56
Aisya Aviccena
15. NIP Punya Cerita ................................................................ 60
Sulistiowati
16. Perilaku Budaya Birokrat Zaman “Die-Hard” ............ 65
Marudut R. Napitupulu
17. Gara-gara Label ................................................................. 70
Andi P. Rukka
18. Oh CPNS, SPPD Disangka SKPD ................................... 75
Muhammad Kasman
19. Senyum Aneh Pak Polisi di Pagi itu ............................. 79
Ilham Nurhidayat
20. Nasihat Bang Sitorus ........................................................ 82
Rista Nur Farida
21. Sebuah Surat di Jumat Keramat ................................... 87
Sofia Mahardianingtyas
22. Punya Gelar itu Ternyata Nggak Enak ......................... 92
Nur Ana Sejati
23. Kisah Ajudan ....................................................................... 95
M. Isa Thoriq
24. Waktunya Spongebob! ...................................................... 99
Ahmad Hawe
25. Nasihat Atasan Kepada Anak Buah ............................ 103
M. Rizal

Profil Penulis................................................................................................109
Tim Editor ....................................................................................................... 114
Cubit Dari Penerbit
Terdapat hal yang menarik pada kebanyakan iklan rekrutmen tenaga
kerja di beberapa negara maju, seperti Selandia Baru dan Australia.
Iklan tersebut menyatakan bahwa calon pemberi kerja sedang
membuka rekrutmen untuk tenaga kerja baru.

Pada iklan tersebut, calon pemberi kerja biasanya


menginformasikan lingkungan kerja mereka. Mereka
menyatakan bahwa pegawai-pegawai mereka adalah orang-
orang yang sangat kreatif, energetik, dan sangat berorientasi
kinerja (performance-oriented). Karena itu, mereka berharap
tenaga kerja baru yang mendaftar bisa mengikuti cara kerja
pegawai- pegawai lama mereka itu.

Namun, ada hal yang lebih menarik lagi di iklan tersebut. Calon
pemberi kerja bilang, selain kreatif, energetik, dan berorientasi
kinerja, para pegawai mereka juga suka bergurau. Artinya, para
pegawai selain kreatif, energetik, dan berorientasi kinerja, mereka
juga mempunyai selera humor (sense of humor) yang tinggi.
Karenanya, di iklan tersebut calon pemberi kerja juga menekankan
bahwa pegawai baru yang akan mendaftar mesti memiliki selera
humor.

Pertanyaannya kemudian, kenapa calon pemberi kerja tersebut


mengharapkan pegawainya mempunyai selera humor? Apakah
ada hubungan pegawai yang kreatif, energetik, dan berkinerja
tinggi dengan selera humor?

Humor ternyata beragam jenisnya. Rod Martin and Patricia Doris


(2003) pernah mengenalkan humor itu ada empat tipe, yaitu afiliatif
(affiliative), penguatan diri (self-enhancing), agresif (aggressive), dan
pembelaan diri (self-defeating). Keempat jenis humor ini biasanya
digunakan oleh seseorang yang mempunyai selera humor ketika
menghadapi situasi tertentu.
Lihat misalnya humor afiliatif. Humor tipe ini biasanya digunakan
untuk menguatkan hubungan seseorang dengan orang lain. Ketika
ia ingin menjalin hubungan dengan pihak lain, seseorang yang
mempunyai selera humor akan mengajak pihak lain bergurau.
Humor penguatan diri biasanya digunakan untuk membuat
seseorang merasakan situasi lebih baik dari situasi yang ada.
Sebagai contoh, ketika dalam situasi miskin, kita sering
menertawakan kemiskinan kita sendiri.
Humor agresif biasanya dalam bentuk sindiran tajam (sarcasm),
menggoda (teasing), dan ejekan (ridicule). Sementara itu, homor
pembelaan diri biasanya digunakan untuk merendahkan diri kita
agar orang lain menerima kita.

Ternyata, berdasarkan telaahan literatur yang ada, Eric Romero and


Anthony Pescosolido dalam tulisannya di Human Relations tahun
2008 telah mengungkapkan bahwa selera humor itu mempunyai
potensi untuk meningkatkan proses dan hasil kelompok, termasuk
secara keseluruhan efektivitas kelompok (overall group
effectiveness). Lagi pula, selera humor juga ada hubungannya dengan
kecerdasan seseorang. Semakin cerdas seseorang, biasanya ia
semakin memiliki selera humor.

Hal itu tentu cukup dapat diterima logika. Sebab, tekanan yang begitu
kuat kepada pegawai untuk semakin kreatif, energetik, dan
berkinerja tinggi sangat penting untuk diimbangi dengan selera
humor yang tinggi. Hal ini diperlukan karena ketika mendapatkan
tekanan untuk semakin kreatif, energetik, dan berkinerja tinggi,
pegawai akan merasakan sedikit terlepas beban di pundaknya dan
segar kembali ketika mereka memiliki bergurau.

Selera humor itu juga sangat penting bagi para birokrat ketika
mereka menghadapi situasi belakangan ini. Sebagai birokrat,
mereka semakin mendapati tekanan yang begitu berat dari
masyarakat. Soalnya, masyarakat semakin membutuhkan
pelayanan yang cepat dan semakin berkualitas, tanpa peduli
keterbatasan sumber daya yang ada.
Tekanan masyarakat itu juga semakin tinggi ketika banyak
pemimpin organisasi sektor publik kini diisi oleh para politisi
muda ataupun para profesional yang bukan dari birokrasi. Para
pemimpin organisasi sektor publik ini sering sekali menjadikan
tekanan masyarakat sebagai pijakan untuk mendorong birokrat
semakin kreatif, energetik, dan berkinerja tinggi.

Hanya saja, tekanan tersebut sering sekali tidak didukung dengan


penyediaan sumber daya yang memadai. Malah, kadang, tekanan
dari masyarakat itu mereka gunakan sebagai modal untuk
menambah suara yang mendukung mereka ketika pemilihan umum.

Tekanan yang berat itu tidak selalu mesti dihadapi oleh birokrat
secara serius. Mereka perlu sekali-sekali bergurau agar
kehidupan pribadi mereka tetap berbahagia. Gurauan ini
sebenarnya sering mereka temukan dalam kehidupannya sehari-
hari ketika melayani masyarakat. Agar humor tersebut bisa
menggembirakan dan mencerahkan banyak pihak, kami
kemudian menerbitkan buku ini.
Kami berharap, buku ini bermanfaat bagi banyak pihak. Namun,
kami menyadari bahwa buku ini perlu ditingkatkan kembali
kualitasnya. Karena itu, kami berharap masukan dari semua pihak
agar bisa kami perbaiki pada edisi-edisi berikutnya.***

Rudy M. Harahap, Ph.D.


Editor in Chief
www.birokratmenulis.org
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 1 -

Siapa Lebih Beruntung?


Bergman Siahaan

T
ersebutlah seorang pegawai kerajaan sedang melepas lelah
di pinggir jalan sambil meminum air kelapa muda yang dijual
pedagang kaki lima. Tak lama, seorang petugas kebersihan—
penyebutan yang lebih elit dibanding ‘tukang sampah’—memarkirkan
gerobak sampahnya tak jauh dari tempat penjual kelapa lalu datang
mendekat. Rupanya ia juga membeli air kelapa.
Sebuah pohon berdaun lebat dan bercabang panjang pun jadi
tempat perteduhan mereka bertiga—pegawai kerajaan, penjual
kelapa, dan petugas kebersihan. Namun petugas kebersihan
mengambil tempat duduk agak jauh. Mungkin karena dia sangat tahu
diri.
Selain memarkirkan gerobak sampahnya—yang memang bau
busuk—agak jauh, dia sendiri menjaga jarak dengan pegawai kerajaan
yang berpakaian rapi dan bersih itu. Tak enak perasaannya kalau bau
tubuhnya—yang tak jauh beda dengan bau sampah yang dibawanya—
sampai mengganggu selera minum pegawai kerajaan. Tetapi pegawai
kerajaan ternyata tak ragu melempar senyum.
“Mari, Pak. Istirahat dulu...,” sapa petugas kebersihan menyambut
senyuman pegawai kerajaan.
“Ya, ya. Mari, Pak,” balas pegawai kerajaan.
Beberapa menit berlalu di sela-sela regukan minuman, petugas
kebersihan memulai obrolan,
“Enak ya, Pak, jadi pegawai kerajaan.” Gigi-gigi ompongnya
terpampang jelas kala dia tersenyum menggoda.
1
1
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Yah... Gimana ya, Pak. Hehehe...” Pegawai kerajaan tertawa kecil.


“Dibilang enak, ya enak. Dibilang enggak, ya enggak...”
“Ah, kok gitu, Pak? Sudah pasti enaklah...,” sahut petugas
kebersihan. “Gaji besar... Pensiun terjamin.”
“Besar apaan, Pak? Pas-pasan, iya...,” protes pegawai kerajaan
sambil tertawa kecil.
“Ya, cukup kan, Pak? Yang penting gak kekurangan seperti saya ini
yang hina ini. Hehehe...,” lanjut petugas kebersihan.
Pegawai kerajaan coba mengulum senyum tetapi air mukanya
menjadi masam.
Setelah diam beberapa saat, ia pun berkata, “Tau gak, Pak? Bapak
itu malah lebih beruntung dari saya.”
“Ah, si Bapak ada aja...,” Petugas kebersihan tertawa terkekeh.
“Nggak percaya, Pak? Saya ini justru lebih hina dari Bapak,” tukas
pegawai kerajaan dengan tersenyum lebar.
“Ah, ada-ada aja...”
“Iya. Bener lho, Pak. Gini ya, Pak...” Pegawai kerajaan menggeser
posisi duduknya agar mendekat kemudian melemparkan pandangan
serius ke arah jalan tanpa bermaksud benar-benar melihat jalan itu.
Air muka petugas kebersihan alias tukang sampah itu pun ikut
berubah menjadi beku menantikan penjelasan lawan bicaranya.
Pegawai kerajaan melanjutkan dengan raut wajah serius,
“Sekarang saya tanya... Setiap kali Bapak datang untuk menjalankan
tugas, seperti mendatangi rumah-rumah untuk mengangkut sampah
mereka, apakah mereka menyambut Bapak dengan senang atau
sebaliknya, curiga dengan tampang sinis?”
“Yah, kalo itu, mereka senanglah melihat saya,” jawab petugas
kebersihan sambil tertawa. “Kan sampahnya saya ambil... Malah kalo
saya telat atau tidak datang, saya dicari-cari, Pak!”

2
2
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Nah, itu...” Pegawai kerajaan mengangguk-angguk sambil


tersenyum dengan telunjuk yang diacung-acungkan. Kemudian ia
melanjutkan lagi, “Lalu, adakah orang yang mencerca Bapak? Yah,
menghina atau mengata-ngatai profesi Bapak ini, misalnya dengan
kata-kata, ‘Dasar tukang sampah! Menjijikkan!’?”
“Setau saya, tidak ada sih, Pak.” Wajah petugas kebersihan tampak
sedikit bingung.
“Tuh! Tidak ada ‘kan?” sambar pegawai kerajaan dengan seyuman
yang menggambarkan rasa puas.
“Kemudian...,” lanjut pegawai kerajaan lagi, “apakah Bapak pernah
menerima uang lebih dari besar iuran sampah yang ditetapkan?
Maksud saya, sengaja dilebihin sama warga?”
“Ya, sering, Pak.” Petugas kebersihan kembali tersenyum. Mungkin
dia mengingat uang-uang yang dilebihkan warga itu.
“Trus...kalau diberi THR dari pelanggan-pelanggan Bapak, gitu,
pernah tidak?”
“Tiap Hari Raya dong, Pak! Tiap tahun ada aja yang ngasih uang atau
bingkisan. Waktu Tahun Baru, ada juga yang ngasih. Imlek juga ada.”
“Ada yang larang nggak, Pak? Atau ada yang mencibir kalau Bapak
menerima itu?”
“Lha, ya nggak ada dong, Pak... Itu kan sukarela! Hadiah. Namanya
THR!” Petugas kebersihan terpingkal-pingkal. “Ada-ada aja, Bapak
ini.”
“Bapak diupah oleh kerajaan, ‘kan?”
“Iya, Pak.”
Pegawai kerajaan menyeringai seperti mendapat angin
kemenangan dalam obrolan itu.
“Nah, justru itu maksud saya, Pak… Bapak itu lebih beruntung dari
saya, hehehe....”

3
3
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Petugas kebersihan melongo. “Lho, kenapa, Pak? Kok begitu?”


“Lha, iya… Kami ini...di Hari Raya pun nggak boleh diberi hadiah-
hadiah, apalagi THR diluar yang resmi. Bisa-bisanya kami dicemooh
dan dihukum kalau sampai menerima yang seperti itu.”
Petugas kebersihan mengernyitkan dahi berusaha untuk paham.
“Kami juga nggak boleh diberi uang melebihi dari tarif yang sudah
ditetapkan. Kami harus siap dengan pendapatan yang ada walau
kecil.” Senyum pegawai kerajaan semakin lebar dengan pupil mata
membesar tanda bersemangat. Sementara itu si petugas kebersihan
menunduk sambil mencoba untuk mencerna perkataan demi
perkataan si pegawai kerajaan.
“Di kedai kopi, di kampus, di jalanan atau di sosial media, banyak
orang yang mengata-ngatai kami. Ada yang mencerca dan menghina
profesi kami ini. Sering kali kami dipandang sebelah mata karena
dianggap tidak punya kualitas dan pemalas,” imbuh pegawai kerajaan
dengan berapi-api.
“Yah...walaupun mereka tetap saja ikut tes masuk setiap kali ada
penerimaan pegawai kerajaan.” Pegawai kerajaan terkekeh sendiri
beberapa saat, kemudian melanjutkan lagi, “Bahkan setiap kami
menemui warga atau sebaliknya—warga yang mendatangi kami
karena sesuatu urusan—tampang mereka selalu curiga dan sinis.
Mereka was-was, kalau-kalau kami ini hendak menipu atau morotin
mereka.”
Petugas kebersihan terperangah sejenak, namun sejurus
kemudian dia tertawa terbahak-bahak setelah mengerti maksud
kalimat-kalimat si pegawai kerajaan itu. Membuktikan bahwa profesi
belum tentu mempengaruhi daya nalar.
“Benar ‘kan, Pak? Hahaha...” Pegawai kerajaan tertawa puas serasa
penuh kemenangan. “Siapa yang lebih beruntung? Siapa yang lebih
hina? ”

4
4
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 2 -

SMS Mesra Untuk Atasan


Mutiara Ramadhani

“ Halo! selamat pagi…,” sapaku riang.

“Pagi juga Mba Tiara! Ceria amat…” balas Pak Satpam.


“Iya, nih. Baru pulang dari kampung halaman,” sahutku.
Begitulah pertemuan singkatku dengan satpam Rumah Sakit,
tempatku bekerja.

Huuufffft…, kutarik nafas panjang ketika masuk ke dalam ruangan.


Aku bergumam, “Hmmmm, oke. Saatnya kembali bekerja setelah
liburan panjang.”
Aku pun mengambil laptop dari atas nakas yang ada di samping
jendela, sambil melongok ke bawah. Di sana, di sekitar tempat parkir,
ada sesuatu yang menarik perhatianku.
Sepertinya ada sedikit keributan karena mobil ambulans mogok
saat mau naik ke halaman UGD (Unit Gawat Darurat). Padahal ada
pasien yang sedang gawat di dalamnya.
Kenapa, ya? batinku. Apa karena kurang pemeliharaan, sehingga
ambulans rewel? Atau supirnya gugup kali ya, bawa pasien gawat?

5
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Aahh, harusnya ada yang memonitor kan ya, pikirku sambil berlalu
untuk siap-siap memulai pekerjaan.
Tiba-tiba aku teringat berkas penilaian angka kredit (PAK) yang
masih ada di kantor seberang—kantor Dinas Kesehatan (Dinkes).
Berkasku ada di sana karena saat itu peranku sebagai seorang
penyuluh kesehatan, sehingga yang memberi nilai adalah tim dari
Dinkes.
Kuraih handphone-ku untuk menanyakan kabar berkasku yang
berada di kantor seberang itu.
Assalamualaikum, Pak Indra. Ini saya, Mutiara, dari RS. Berkas
saya apakah sudah selesai? Kapan ya, Pak, bisa di ambil? Terima
kasih, begitu isi pesan yang kuketik. Lalu, send.
Pesan singkat pun sudah terkirim via BBM, karena pada saat itu
Whatsapp belum sepopuler sekarang, masih seru-seruan dengan
BBM Messenger.
Tak lama kemudian sebuah notifikasi masuk ke handphone-ku.
“Nah, ada jawaban,” kataku sambil buru-buru membuka pesan yang
masuk.
Sayang, selamat pagi. Lagi ngapain? Semangat yah, kerjanya!
Aku cukup kaget karena mengira si bapak yang menulis pesan
tersebut. Eh, ternyata… Hehehe, aku tersenyum-senyum sendiri.
Biasa lah, anak muda yang sedang dimabuk asmara. Tak peduli
waktunya sedang bekerja di kantor, malah asik chatting dengan pacar.
Iya, sayang. Aku lagi kerja nih, sambil beresin laporan yang belum
selesai. Kamu lagi apa? Sudah makan belum? balasku.
Sudah kok. Kamu juga jangan lupa makan ya... Mmuaachh!
Kubalas juga dengan mengetik “Mmuuaacch”. Bersamaan dengan
itu, masuklah pesan dari Pak Indra dan entah kenapa teks “mmuaach”
itu terkirim ke Pak Indra! Wajahku serasa memerah seketika saking
malunya!

6
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Sedetik kemudian aku langsung melakukan klarifikasi, Maaf pak


indra salah kirim, maaf pak sekali lagi mohon maaf, ketikku.
Gapapa, katanya, sambil membubuhkan emoticon tertawa, lalu
menyampaikan kalau siang ini aku dipersilakan untuk mengambil
berkas yang sudah di-ACC dan di tandatangani di kantor Dinkes.
Saat bertemu, Pak Indra cuma senyum-senyum. Aah…malunya
saya.
“Coba sekali-sekali jangan salah kirim pesan, tapi salah kirim
pulsa kek,” katanya berseloroh.
Di satu sisi, kalimat Pak Indra di atas mungkin dimaksudkan untuk
bercanda, tapi sisi lainnya membuatku berpikir. Guyonan Pak Indra
seolah-olah hal biasa, tapi menjadi pertanyaan, kenapa harus berupa
pulsa? Kenapa harus ada embel-embel sesuatu, padahal kita sedang
menjalankaan tugas sesuai peran dan tanggung jawab. Ah, gratifikasi
memang mudah sekali, gumamku.
Jika diingat-ingat, memang hampir seluruh pekerjaan yang biasa
dilakukan di lingkungan birokrasi ini UUD, alias Ujung-Ujungnya Duit.
Tidak hanya di lingkungan sekitarku, tapi kudengar itulah kenyataan
di birokrasi yang ada sekarang ini.
Supaya urusan lancar dan cepat, maka kadang-kadang terselip
amplop di dalam map, atau mungkin oleh-oleh yang terbungkus rapi
dengan kertas kado yang cantik.
Seandainya orientasi bekerja bukan terbatas dari sekedar
mendapatkan uang, namun bagaimana agar pekerjaan kita semakin
baik dan membawa kebaikan kepada semua pihak, maka kebaikan itu
akan kembali kepada diri kita sendiri, berupa kebaikan yang berlipat
ganda.
Bukankah bekerja adalah bagian dari ibadah? Dengan bekerja kita
bisa mencari pahala sebanyak-banyaknya, terutama karena
pekerjaan di birokrasi ini berurusan dengan negara dan masyarakat.
Satu hal juga yang perlu diingat bahwa kita ini abdi negara, pelayan
masyarakat.
7
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Jika kita merasa lelah dan kebingungan untuk terus mengejar


rezeki dengan susah payah, berarti kita harus mengubah cara kita
mendapatkan rezeki dengan cara yang mudah. Walaupun gaji atau
honor yang kita terima sedikit, tapi semoga yang sedikit itu membawa
keberkahan. Bukankah dengan begitu lebih baik? Kebahagiaan tidak
terletak pada harta melimpah maupun uang yang banyak, karena bisa
saja itu malah memberi keburukan.
Jangan pernah khawatir tentang rezekimu, karena Allah sudah
menjaminnya untuk semua yg hidup, tapi khawatirkan amalanmu
karena Allah tidak menjamin Anda masuk surga.

8
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 3 –

Salah Alamat
Dewi Utari

E
ntah sejak kapan, Pak Dirjen (Direktur Jenderal) setiap kali
datang ke kantor Balai di Semarang selalu dijemput oleh
Mbah Kodirin di Bandara Ahmad Yani. Sudah menjadi
kebiasaan kalau Pak Dirjen selalu datang satu hari sebelum acara
untuk bersilaturahmi kepada Sang Ibunda. Begitu pesawat mendarat,
berjalan menuju kedatangan, Mbah Kodirin sudah siap menunggu.
Setelah bertatap muka dan ber-say hello, Pak Dirjen secara
otomatis berjalan mengikuti Mbah Kodirin menuju lokasi di mana
mobil diparkir. Pernah dulu Mbah Kodirin meminta beliau untuk
menunggu di ruang duduk dekat tepian, selama dia berjalan ke tempat
parkir, namun selalu dijawab, “Nggak usah… Sudah kelamaan duduk
di bandara dan di pesawat, saatnya sekarang melemaskan otot
dengan jalan kaki sejenak”.
Sudah kebiasaan juga, begitu masuk mobil, beliau duduk dan
setelah melaju beberapa menit kemudian beliau tertidur selama
perjalanan hingga sampai ke rumah Ibunda, Eyang Nyoto, di Salatiga.
Beliau pun akan secara otomatis terbangun ketika sampai tujuan.
***

9
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Hari Minggu ini aku bersama rombongan teman-teman kantor


suamiku menghadiri undangan pernikahan teman kantor mereka di
Klaten—sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan dengan
provinsi DIY. Kami berangkat dari Semarang, ngepool di kantor
dengan rombongan tiga bus besar. Kemudian perjalanan
membutuhkan sekitar tiga hingga tiga setengah jam, tergantung
kemacetan. Karena undangan resepsi adalah jam 11.00-13.00 WIB,
maka kami memutuskan berangkat pada pukul 8.00 WIB.
Baru saja perjalanan keluar dari Kota Semarang, tiba-tiba telepon
genggamku berbunyi. Ternyata ada SMS masuk dari Pak Supri.
Mbak Dewi, minta tolong ancer-ancer alamat rumah ibunya Pak
Dirjen.
Ya, Pak Supri. Nanti kalau sudah masuk Salatiga saya telpon aja.
“Pi…, ini kok Pak Supri minta ancer-ancer alamat Eyang Nyoto,
kenapa?” tanyaku spontan ke suamiku.
“Oh, iya, Mi… Papi lupa… Mbah Kodirin sakit. Nggak bisa jemput Pak
Dirjen, gantinya Pak Supri. Makanya minta ancer-ancer alamat. Maaf,
lupa nggak ngasih tahu Mami. Pesawatnya nanti jam sembilan dari
Jakarta. Kira-kira sampai Semarang sekitar jam sepuluh, kalau nggak
delay...”
“Jadi sampai Salatiga sekitar jam 11.30, dong. Masih lama…,”
jawabku.
***
Tak terasa, kami pun telah tiba di Klaten. Pandangan mata mulai
awas mencari tempat lokasi perjamuan resepsi. Ahaaaa… akhirnya
nemu juga. Di depan gedung tertulis nama ‘Yani dan Budi’ yang
dirangkai dari bunga mawar, melati, bougenville dan chrysant dengan
warna-warni yang bagus dan tampak cantik. Terbayang dari sini
betapa harum wanginya.
Kami pun turun satu per satu dari bus lalu saling menunggu
seluruh rombongan turun. Ada yang merapikan riasan wajah,
10
Mozaik Humor Birokrat Menulis

menyiapkan jinjingan kado pernikahan, merapikan baju, bahkan ada


juga yang berganti baju.
Akhirnya kami siap untuk memasuki gedung. Menyerbu beramai-
ramai, berbaris berbanjar dua-dua, mengekor ke belakang dengan
rapi. Setelah antre untuk menulis buku tamu, kami menyerahkan kado
dan ada yang memasukkan amplop ke kotak berhias yang telah
disediakan. Setelah itu kami “ular-ularan” untuk bersalam-salaman
dengan penerima tamu. Hingga akhirnya kami semakin dekat dengan
panggung pelaminan. Terkesiap aku melihat ke depan.
“Bu Kris… Kok pengantinnya beda ya?”
“Iyaaa… Dua-duanya bukan,” jawab Bu Kris yang ada didepan
barisanku.
“Waduh, Bu... Kalau mbaleg 1 saya malu. Tapi kalau lanjut nanti
kasihan teman-teman lain yang di belakang.”
Spontan aku pun menarik tangan suamiku dan memberi kode
check out ke Bu Kris yang ada di depanku juga ke Mbak Anik yang
masih berdiri ternganga di belakangku, lalu memberi tanda kepada
pasukanku yang di belakang. “Ayoooo, mbaleg! Keliru... Pengantinnya
beda!” seruku.
Kami pun beramai-ramai keluar dari gedung. Dengan penuh rasa
malu, kami sampaikan ke penjaga buku tamu bahwa kami keliru. Aku
pun meminta izin untuk mengambil kembali bingkisan kadoku.
Alhamdulillah, mbaknya ingat kado yang kubawa, mungkin karena
lumayan mencolok saat kupegang. Kembaran dengan baju yang
kukenakan, atasan kuning kunyit dan roknya batik motif sidomukti.
Motif yang kurasa pas untuk menghadiri acara pernikahan.
Kado pun kubungkus serasi dengan kertas marmer warna kuning
kunyit dan dipojokan kutempel hiasan bunga hasil kriya dari bahan
sisa kain perca batik sidomuktiku. Meskipun secara fakta kami salah

1
Kembali
11
Mozaik Humor Birokrat Menulis

masuk gedung, tapi masih tak habis pikir, berapa persen peluang
kejadian nama mempelai yang sama pada hari yang sama pula!
“Mbak… Pengantinnya, Mbak Yani dan Mas Budi, kan?” tanyaku
memastikan.
“Bukan mbak... Mbak Yuni dan Mas Budi,” jawab penjaga buku tamu
itu.
“Kok bisaaa? Tadi saya bacanya ‘Yani dan Budi’, lho...,” bantahku
penuh yakin.
Aku pun menoleh ke tulisan rangkaian bunga besar di sebelah
pintu masuk. Memang tampak seperti ‘Yani dan Budi’. Kemudian
kulanjut berlari menyusul suamiku ke halaman depan juga. Masih tak
percaya dengan bacaan huruf pada rangkaian bunga di depan, yang
tadi menuntun kami memutuskan untuk memarkir bus di halaman
gedung ini. Kuamati tulisan yang dirangkai dari bunga-bunga tersebut.
“Mi… Ternyata ini huruf ‘u’ bukan ‘a’,” kata suamiku. “Gara-gara
distilir nih, Mi…”
“Oh iya, ya...,” jawabku terpana sambil memandangi rangkaian
tulisan tersebut.
Bak film Avengers “End Game”, serangan Thanos pun datang
beruntun. Masalah kami ternyata tak sampai di situ, banyak anggota
rombongan yang masih dalam pertentangan kronik soal mengambil
kembali amplop yang sudah terlanjur masuk kotak. Dan kotak
sumbangan ternyata dikunci oleh tuan rumah yang punya acara.
Meski kado bisa kuperoleh kembali, aku dan suamiku masih
menunggu teman-teman dalam bernegosiasi pengambilan amplop.
Kami lalu menunggu di bawah pohon besar yang rindang sambil
menyusun rencana selanjutnya untuk mencari lokasi resepsi yang
benar. Mbak Anik tampak sedang menelpon seseorang yang tahu
lokasi sesungguhnya, “Oooo…jadi masih terus ya? Baru belok kanan?
Ya, ya... Setelah Kantor Pengadilan? Makasih, ya, Mbak!”
“Sudah dapat, Mbak Anik?” tanyaku kemudian.
12
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Sudah. Aku sudah mudheng2 sekarang.”


“Alhamdulillah….. Tapi kita masih nungguin yang lain, Mbak”.
Could stay awake… Just to hear you breathing… nada dering
ponselku berbunyi. Kuabaikan, tak segera kuangkat. Biar bisa
kunikmati soundstrack-nya film “Armageddon” yang saat itu masih
ngehits. Saat itu nada dering handphone juga baru musim dengan lagu
format MP3.
Watch you smile while you are sleeping…
While you're far away dreaming…
I could spend my life in this sweet surrender…
I could stay lost in this moment forever…
Every moment spent with you is a moment I treasure…
Kulirik layar Nokiaku, tertulis Supriyadi DIALLING...
“Bagaimana, Pak Supri?”
“Sudah masuk Salatiga,” jawabnya.
“Terus saja, Pak… Njenengan masih ingat tho? Dulu pernah saya
tunjukin rumah besar bangunan Belanda di pojokan Jalan Diponegoro
itu, yang dulu pas tahun 1876 pernah untuk tinggal penyair besar
Perancis, Arthur Rimbaud?”
“Ya, ya… Paham.” Terdengar jawabannya dengan berbisik pelan.
Bisa kubayangkan suasana di dalam mobil. Pak Supri takut kalau
suaranya sampai membangunkan tidurnya Pak Dirjen.
Akupun ikut-ikutan menjawab dengan suara pelan tapi jelas,
“Deretan itu… Tapi kalau dari arah Semarang, rumah sebelum itu.
Selisih satu atau dua rumah. Nanti cari saja yang daun pintunya warna
coklat agak krem kekuningan”.

2
Paham
13
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Ya… Ya… Makasih ya, Mbak Dewi.”


“Oke.”
Telepon kututup. Rombongan kembali berkumpul kemudian masuk
ke dalam bis. Terdengar dari obrolan yang lain kalau amplop tidak
dapat diambil. Tuan rumah akan memutuskan kemudian saat mereka
usai resepsi dan setelah kotak dibuka di rumah kediaman mereka.
Sangat tak masuk akal jika kami harus menunggunya. Rombongan
“salah amplop” pun akhirnya mengikhlaskan. Hikmahnya, kami
menjadi lebih berhati-hati dan mencermati tiap-tiap rute jalan
berdasarkan petunjuk yang baru saja diterima. Dan tentu saja
memastikan siapa mempelainya, jangan sampai pengantinnya
tertukar lagi. Hihihihihiiiiii…
Setelah melanjutkan perjalanan kira-kira setengah kilometer,
kami pun menemukan tempat yang dimaksud. Kali ini, dengan sangat
yakin, tertulis nama mempelai “Yani dan Budi” bukan “Yuni dan Budi”.
I could stay awake… just to hear you breathing… nada dering HP-ku
bunyi lagi. Supriyadi DIALLING…
“Bagaimana, Pak Supri?”
“Rumahnya kok tampak kosong lama ya, Mbak? Rumput halaman
tinggi-tinggi.”
“Masak, sih….?! Nggak mungkin…! Wong baru saja dua hari yang lalu
ibuku tindak3 pengajian di situ kok. Pak Supri sudah masuk?”
“Belum bisa… Ini pintu gerbangnya gembokan. Pak Dirjen masih
tidur di dalam.”
“Ditutup dulu ya Pak… Kucari info dulu.”
***

3
pergi
14
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Yangputri… Eyang Nyoto nembe tindak mboten? Kok ndalemipun


kancingan?” 4
Terkadang aku memang memanggil ibuku dengan sebutan
Yangputri tapi terkadang juga Bu. Rasa-rasanya sejak ibuku
mempunyai cucu, sehingga kadang kata yang keluar Yangputri.
“Ora ki… Opo sare ya’e yo… Coba tak telpon ndaleme wae.” 5
“O, inggih sampun, Yang… Kula sanjangi tiyang rumiyin… Matur
sembah nuwun, Yang.” 6
Telepon kututup dan buru-buru kucari nama di phonebook. Belum
nemu nama Supriyadi, layar HP-ku beralih ke notifikasi, Supriyadi
DIALLING. Paaas……!
“Eyang Nyoto nggak tindakan7 kok, Pak Supri.”
“Iya… Tapi sekarang ada masalah lain. Pak Dirjen nggak ada!
Padahal pas tadi saya tinggal nelepon njenengan di luar, beliau masih
tidur di dalam mobil!” Nada suaranya meninggi. Mungkin Pak Supri
gusar. Tak bisa kubayangkan raut wajahnya saat ini.
“Sebentar Pak Supri, aku mau nanya ke ibuku dulu. Tutup dulu, ya?”
***
“Yangputri… Dospundi eyang Nyoto? Sampun saged nyambung?” 8
“Iyo, uwis... Malah putrane wis pinarak dibuka’i lawang.” 9
“O, inggih sampun, Yang… Nuwun...” 10

4Eyang putri, Apakah Eyang Nyoto sedang pergi? Kok pintuya terkunci?
5 Tidaklah… mungkin sedang tidur… Aku coba telepon rumahnya saja
6 Ya, sudah, Yang... Kusampaikan kepada orang lain terlebih dahulu… Terima kasih, Yang
7
Tidak pergi
8 Yangputri… Bagaimana eyang Nyoto? Apakah sudah dapat terhubung?
9 Oh, ya sudah. malah putranya sudah dibukakan pintu
10 Oh, baik Eyang. Terima kasih

15
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Kututup telepon. Seneng rasanya mendengar kepastian seperti ini.


Segera kutelepon pak Supri. Namun lagi-lagi dia sudah duluan
menelepon.
“Sudah ketemu, Mbak Dewi. Ternyata salah rumah. Warna daun
pintunya memang mirip. Yang sebelah yang rumah kosong tadi, coklat
muda. Ini coklat agak krem kekuningan dikiiit… Tak bawakan koper
masuk ke dalam dulu ya, Mbak.”
“Alhamdulillah… Silakan, Pak.”
Kututup telepon dengan rasa ploooong… Dari seberang, nada
suaranya Pak Supri juga terdengar lega. Ada-ada saja kejadian hari
ini.
Eiiiits…. Nyaris terlupa. Aku harus segera menyusul rombongan
memasuki gedung resepsi. Ternyata suamiku masih sabar
menungguku.
“Ayo, Mi… Sudah ‘kan? Nggak lagi salah alamat?” candanya.
“Wakakakakakaka……..!”

16
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 4 –

Kolega Penguasa dan Pengadaan


Atas Yuda Kandita

D
i Kantor Dinas Kerakyataan Provinsi Embuh Ora Weruh,
Sang Kepala Dinas tampak terpaku diam, mendengar
Kanjeng Gubernur akan memberikan santunan sembako
kepada rakyat yang kurang mampu. Niatan Sang Gubernur super
keren, bahkan sangat mulia. Sayangnya aturan Pengelola Keuangan
Provinsi menyebutkan pembelian barang senilai lebih dari 200 juta
rupees harus menggunakan kompetisi ala lelang terbuka alias lelang
umum. Jumlah masyarakat kurang mampu di provinsi tersebut
sekitar 600 orang sesuai data para Mantri Kawedanan, dengan
masing-masing paket senilai 500.000 rupees.
Jadi kalau ditotal maka:
600 orang x 500.000 rupees = 300.000.000 rupees.
Ternyata lebih besar atau di atas 200 juta rupees.
Pusing kepala Sang Kepala Dinas. Kalau sekedar beli barang, itu
gampang, tetapi kalau harus lelang terbuka atau lelang umum mana
dia tahu mana bakul sembako yang bonafide.
Kemudian, dipanggillah para pejabat eselon bintang.
“Wahai para eselon bintangku. Siapa yang mau untuk mengadakan
600 paket sembako ini?” tanya Sang Kepala Dinas.

17
17
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Lima orang eselon bintang itu saling melirik ke kanan dan ke kiri.
Selanjutnya, kepala mereka tertunduk.
“Wahai para eselon bintangku, tidakkah kalian mau penghargaan di
depan Kanjeng Gubernur?” tanya kepala dinas dengan sedikit lantang.
Hening… Semua masih terdiam. Tidak ada yang berani angkat
bicara.
Tiba-tiba, datang seorang Mantri Kawedanan dari Tlatah Kidul
(Wilayah Selatan).
“Izin menghadap, Bapak Kepala Dinas!” kata Sang Mantri sambil
tersenyum seolah-olah tanpa dosa. Semua pandangan mata tertuju
ke arahnya.
“Apa yang hendak kau sampaikan Pak Mantri?” tanya Sang Kepala
Dinas.
“Kemarin ada pesan dari kantor Kanjeng Gubernur, bahwa nanti
yang akan membelikan sembako adalah Mantri Kawedanan Tlatah Lor
(Wilayah Utara). Begitu pesan yang saya sampaikan, Bapak Kepala
Dinas,” ujar Mantri Kawedanan Tlatah Kidul.
Mantri Kawedanan Tlatah Lor sebetulnya adalah ipar dari Kanjeng
Gubernur. Mantri tersebut memiliki istri yang punya usaha jualan
sembako. Berarti yang akan menyuplai kebutuhan sembako tadi
adalah toko dari adik Sang Gubernur.
Duaaaaaarrr!!!
Bagaikan hantaman palu godam yang berdentum di dalam pikiran
Sang Kepala Dinas. Para eselon bintang pun semakin tertunduk lesu,
ibarat seperti menghadapi pertempuran hidup-mati. Mereka sadar,
mereka bukan David yang siap ketika akan bertempur dengan Goliath.
Wajah mereka pucat pasi.
Bagaimana tidak pusing tujuh keliling, tidak ada eselon bintang
yang bersedia untuk membeli sembako. Ditambah lagi dengan
18
18
Mozaik Humor Birokrat Menulis

informasi baru dari Mantri Kawedanan Tlatah Kidul tadi bahwa adik
Sang Gubernur yang akan menjadi kontraktornya.
Kalau tidak meladeni kemauan Gubernur untuk membeli sembako
maut ini, maka Kepala Dinas bisa dihukum oleh Gubernur. Sedangkan
untuk membeli ke adik Gubernur, sama dengan belanja dengan harga
selangit. Belum lagi upeti yang kelewatan besar, pikiran Kepala Dinas
berkecamuk.
“Baiklah, Mantri Tlatah Kidul. Informasimu sudah cukup. Silakan
kembali bertugas,” perintah Sang Kepala Dinas. Mantri itu akhirnya
meninggalkan ruang rapat.
Kepala Dinas kembali menatap para eselon bintangnya satu per
satu, kali ini lebih tajam. Semuanya hanya membalas dengan tatapan
iba lalu mereka kembali tertunduk.
“Ada yang mau menyampaikan unek-uneknya?“ tanya Kepala
Dinas.
Semua masih terdiam. Beberapa waktu kemudian seiring desiran
angin semilir di luar ruang rapat, seorang eselon bintang, Mandala
namanya, mengacungkan tangan.
“Bapak Kepala Dinas yang terhormat,” ucapnya dengan hati-hati.
“Apakah kau bersedia menjadi pejabat pembelian sembako ini?“
tanya Kepala Dinas.
“Tidak, Bapak,” jawab Eselon Bintang Mandala.
“Lantas, apa yang kau mau sampaikan?” tanya Kepala Dinas.
“Saya mohon izin Bapak. Mulai hari ini, saya mengundurkan diri
dari eselon bintang. Saya jadi prajurit biasa saja,” jawab Eselon
Bintang Mandala.
“Oh, jadi itu maksudmu! Eselon bintang yang lain, bagaimana?”
tanya Kepala Dinas dengan suara keras. “Apa kalian juga akan
mundur semua?“
19
19
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Ternyata para eselon bintang yang lain mengangguk pasrah.


“Baiklah, kalau begitu. Semua aku tunggu pengunduran diri
resminya besok pagi,” tandas sang Kepala Dinas. “Pengunduran diri
kalian nanti akan aku sampaikan ke Kanjeng Gubernur. Yakin kalian?”
Kepala Dinas menyapu pandangan kepada para eselon bintang yang
ada di ruangan.
“Siap, Bapak!” Para eselon bintang menjawab dengan nyaris
bersamaan.
Keesokan harinya, Sang Kepala Dinas Kerakyatan melapor ke
Kanjeng Gubernur dengan membawa surat pengunduran diri para
eselon bintang. Tetapi ada yang luar biasa saat itu. Bersamaan dengan
surat para eselon bintang itu, terselip juga surat pengunduran diri
resmi dari Sang Kepala Dinas! Benar-benar sembako maut!

20
20
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 5 –

ASN Ideal:
Wacana Atau Realita?
Fani Heru Wismono

C
urhatan ini tentu tidak untuk diperdebatkan. Hanya karena
dijalani oleh seorang ASN (Aparatur Sipil Negara), maka
jangan digeneralisasi akan mempunyai kemiripan dengan
jalan hidup ASN lainnya. Jika ada kemiripan jalan cerita, gue bilang,
“Kasihan deh, elo!”
Bagi gue, menjadi seorang ASN tentu bukan impian. Lebih tepatnya
hanya sebuah keterpaksaan saja. Sebagai alumni sebuah universitas
swasta yang lumayan terkenal, tidak pernah terlintas di kepala gue
untuk bekerja di sektor publik. Alasannya simpel, gak menantang
kerjaannya dan sudah jelas tidak bisa kaya. Maka, terjerumus menjadi
abdi negara seperti gue, jelas suatu degradasi cita-cita di kalangan
anak-anak kuliahan dari kampus swasta.
Namun, tak berapa lama pascaeuforia wisuda sarjana, gue
terhanyut dalam puluhan bahkan ratusan lembar lamaran kerja ke
berbagai perusahaan. Dari perusahaan bonafide yang berani gue
lamar di bulan-bulan pertama kelulusan hingga perusahaan ecek-
ecek atau bahkan mungkin abal-abal yang ditawarkan dari selebaran
di persimpangan traffic light, pernah gue coba.
Seperti misalnya, elo nembak cewek cakep, tapi elo tau kalo elo itu
jelek. Yah, semacam untung-untungan gitu deh, nembaknya. Tapi
ujungnya hanya akan berakhir pada cinta yang bertepuk sebelah
21
Mozaik Humor Birokrat Menulis

tangan. Sakit sih iya, tapi cuma sebentar aja. Selebihnya udah jadi
terbiasa patah hati tuh.
Hingga pada akhirnya tiba di satu titik, bahwa gue memastikan diri
menyerah nembak “cewek cakep”. Siapa aja yang nerima, pokoknya
gue mau. Begitulah kira-kira kondisi waktu itu. Jalan terakhir adalah
bekerja sebagai pegawai negeri yang gue anggap pilihan yang enggak
banget sebenarnya di hidup gue.
Mengabdi Untuk Bangsa dan Negara.
Sekali-kalinya daftar kerja, pas ada lowongan pegawai negeri, kok
pas diterima. Belum diterima kerja sih, itu baru lulus syarat
administratif. Busyet… Gue pikir habis itu langsung kerja, ternyata
masih ada beberapa tes lagi baru bisa dinyatakan lulus sebagai CPNS
(Calon Pegawai Negeri Sipil).
Jiper juga waktu harus menghadapi tes wawancara. Pernah sekali
ikut tes wawancara di sebuah bank dan hasilnya: gue tidak lolos. Gue
bisa pastikan kalo dulu itu tidak lolos karena emang tampang gue
yang jelek. Jadi mungkin enggak ada pantes-pantesnya kerja
sebelahan sama teller bank yang pastinya cantik-cantik.
Makanya kelempar pas sesi wawancara karena udah bikin bete
pengujinya lebih dulu. Nah, pas tes wawancara pegawai negeri ini, gue
udah kayak trauma gitu. Apa mungkin negara bakalan nolak orang
jelek juga kaya gue?
Perasaan di undang-undang bilang kalau orang miskin, anak
terlantar, dan orang jelek dipelihara oleh negara. Eh, gue ngaco, yak…
Klausul “orang jelek” itu gue yang masukin, ya. Jangan dilaporin ke
Pak Presiden!
Satu hal yang gue bakal inget sampai mati adalah ketika ditanya
“Kenapa kamu daftar jadi PNS?” Gitu kira-kira salah satu pertanyaan
di sesi wawancara. Sebagai orang yang sudah terlatih gagal, tentu gue
menyadari betapa perlunya melakukan riset kecil terlebih dahulu.

22
Mozaik Humor Birokrat Menulis

PNS itu kan kerja buat negara, jadi secara singkat gue simpulin
sekenanya saja.
Maka dengan sangat percaya diri gue jawab pertanyaan itu bahwa
kalau keterima jadi PNS, gue bakal mengabdi untuk bangsa dan
negara. Sangat klise dan tentu saja spontan menjadi bahan tertawaan
para penguji. Elaborasi selanjutnya tampak tidak bisa menghentikan
derai tawa akibat jawaban yang text book tadi. Gue inget peristiwa
tersebut sampai detik ini!
Setelah bertahun-tahun bekerja sebagai PNS yang sekarang
istilahnya menjadi ASN, gue menyadari begitu sulitnya menjalankan
omongan gue sendiri waktu dulu itu—untuk bisa mengabdi kepada
bangsa dan negara. Pergolakan kepentingan yang tiap hari hadir
seolah menantang gue buat membuktikan omongan gue bertahun-
tahun yang lalu.
Negara meminta ASN untuk bekerja secara benar, istilahnya
penuh integritas, profesional, dan netral. Setidaknya akhir-akhir ini,
di tengah perhelatan pemilu akbar, gue beneran bisa membuktikan
betapa beratnya jadi pihak yang netral. Gempuran informasi dari
simpatisan pasangan calon yang ikut pemilu begitu mengerikan.
Tidak banyak ASN yang bisa menahan diri untuk tidak
menunjukkan keberpihakan secara langsung maupun tidak langsung.
Gue masih mencoba setia untuk diam dalam kapasitas netral,
meskipun sebenarnya gue pingin gampar-gamparin itu orang-orang
yang berseberangan dengan pilihan politik gue. Omongan gue di masa
lalu tentang mengabdi kepada bangsa dan negara ternyata memang
berat konsekuensinya. Oooii, netral oiii…!
Itu baru contoh kecil saja dari posisi sebagai ASN yang diberi
perintah undang-undang untuk patuh. Contoh lain, meskipun bukan
gue yang ngalamin, adalah tentang “siap ditempatkan dimana saja”
sebagai bagian dari bentuk pengabdian kepada bangsa dan negara.
Sebagai ASN pusat yang ditempatkan di daerah, gue melihat
pergulatan teman-teman yang ditempatkan di daerah untuk bisa
23
Mozaik Humor Birokrat Menulis

kembali ke pusat. Sedangkan untuk teman-teman ASN daerah yang


ditempatkan di daerah terpencil, pada akhirnya mereka mencari tips
dan trik agar bisa kembali ditempatkan di ibukota kabupaten atau
kotanya.
Beberapa teman ASN pusat yang ditempatkan di daerah terpencil
harus terpisah dari keluarganya yang tetap tinggal di tempat asal.
Untuk bisa bertemu saja harus menunggu waktu yang tidak sebentar
dan dengan biaya yang tidak sedikit. Bagi pasangan yang tahan LDR-
an, yah, selamat, bagi yang tidak, yah, tentu sudah bubar jalan mencari
kebahagiaan masing-masing. Inilah dampak kesiapsediaan mengabdi
bagi bangsa dan negara.
Makanya bagi para pencari kerja di sektor publik, ingat-ingat pesan
gue kalau elo diwawancara. Jangan bilang akan mengabdi bagi
bangsa dan negara kalau elo tidak tulus ikhlas. Mengabdi untuk
bangsa dan negara itu berat, elo gak akan kuat, biar gue aja!
Bertahan Hidup Dari Bulan Ke Bulan
Keresahan yang muncul setelah bekerja sebagai ASN, seperti yang
pernah gue bayangin waktu masih muda, adalah susahnya menjadi
orang kaya. Bagi beberapa ASN, tentu teori “ASN susah kaya“ tidak
berlaku. Nyatanya banyak ASN yang kaya raya. Punya income sah lain
yang lebih banyak dari gaji ataupun tunjangannya.
Akan tetapi kondisi tersebut juga tidak sesuai bagi ASN lainnya.
Misalnya para ASN daerah dengan kondisi keuangan daerah yang
pas-pasan. Fakta ini bisa kita temui kalau kita berkunjung ke daerah-
daerah. Buat gue yang wilayah kerjanya di luar Jawa, gue menemukan
banyak sekali ASN level bawah dan menengah di daerah yang
hidupnya pas-pasan.
Sering kali ketika mendatangi sebuah daerah, gue dijemput dan
dijamu oleh para pejabat level menengah dengan membawa serta
anggotanya dengan jumlah yang lebih banyak dari sang tamu. Selidik
punya selidik, saat itulah para anggotanya bisa numpang ikut makan

24
Mozaik Humor Birokrat Menulis

enak, dibiayai uang kegiatan yang memang sudah dianggarkan


sedemikian rupa.
Bagi gue, itu situasi yang kocak banget. Gue makan ditemenin
sebegitu banyak orang yang ikut menyambut gue. Hitung-hitung,
paling tidak gue sudah merasakan jadi pejabat yang selalu dikelilingi
banyak orang.
Bagi gue, hidup dengan pendapatan besar tentu memiliki
konsekuensi pengeluaran yang juga ikut membesar. Walhasil, tetap
saja bagi gue yang ASN ini, tanpa ada pemasukan dari sumber lain
dan hanya mengandalkan gaji plus tunjangan kinerja setiap bulannya,
maka akan ada saat-saat metode survival dijalankan.
Pertanyaannya adalah: “Bagaimana dengan ASN lainnya yang di
bawah gue?” Mereka bisa jadi menerapkan prinsip jungle survival
untuk bisa bertahan hidup dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan
bulan ke bulan. Tidak heran kalau jabatan di daerah menjadi
primadona para ASN.
Jabatan struktural akan menaikkan status sosial dan bisa
mendatangkan pundi-pundi yang sesuai level jabatan yang dimiliki.
Tidak berarti itu melanggar, tetapi memang sudah dikondisikan agar
tidak melanggar aturan.
Itulah kreatifnya ASN kita ketika terbiasa menggunakan sistem
bertahan hidup dalam segala aspek kehidupannya. Jangan pula heran
bila KPK tetap sibuk sampai hari ini, menyambangi berbagai daerah
untuk menertibkan ASN yang kebablasan menyalahgunakan
kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri ataupun orang lain.
Maka gue salut untuk para ASN dan keluarganya yang mau hidup
bersahaja dan sederhana di tengah gempuran gaya hidup hedonis
saat ini.

25
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Diam Atau Melawan


Untuk institusi yang kering yang memang tidak dituntut
menghasilkan PNBP ataupun pendapatan bagi kas negara ataupun
daerah, maka ASNnya akan lebih sedikit terlibat konflik batin
terhadap sikap koruptif. Tentu berbeda tantangannya dengan institusi
yang dituntut menghasilkan pendapatan tertentu.
Bagi gue yang kerja di institusi dengan lahan kering, serasa aneh
kalau masih ada korupsi, karena memang tidak ada yang bisa
dikorupsi. Seperti orang saleh yang tinggal di atas gunung, akan
bingung ketika memandang perilaku rusak orang yang hidup di
bawahnya.
Melihat oknum di institusi lain yang terlibat korupsi juga jadi aneh.
Memang biasanya, sebagai orang saleh di atas gunung, gue dan
teman-teman lainnya yang ada di sini akan berkomentar kalau orang
yang korupsi itu adalah orang yang tidak pandai bersyukur dengan
apa yang dimiliki.
Sebagai komentator di luar lapangan, gue mana tahu pergulatan
batin apa yang orang-orang itu rasakan hingga memutuskan untuk
korupsi. Jika dihadapkan pada kondisi sebaliknya, mungkin gue baru
akan mengerti dan memahami bahwa ternyata tantangannya memang
berat.
Bujuk rayunya lebih maut daripada mbak-mbak SPG yang
menawarkan mobil, pas kita nonton pameran otomotif. Ada kondisi
dimana kita bisa bersiap menghadapi situasi yang mungkin berbalik.
Di sanalah idealisme kita akan teruji, apakah kita termasuk orang-
orang yang diam karena takut terbawa arus, atau melawan arus,
ataukah kita malah terbawa arus sistem koruptif yang ada di institusi
tersebut.
Rata-rata teman ASN gue yang bekerja di lahan basah tetap bisa
bertahan untuk tidak ikut arus meskipun katanya kesempatan untuk
korupsi bisa dilakukan dengan berbagai motif. Kasak-kusuk bergosip

26
Mozaik Humor Birokrat Menulis

sambil ngopi membicarakan para pejabat yang tamak yang pada


akhirnya memang terbukti, banyak yang masuk ke balik jeruji besi.
Namun di sisi lain, masih banyak ASN kita yang sadar diri untuk
tidak berlaku menyimpang dari aturan, apalagi korupsi. Mereka selalu
mensyukuri apa yang sudah diperolehnya saat ini. Apalagi ASN di
lahan basah yang tunjangan kinerjanya sudah tinggi. Kebangetan
kalau mereka masih saja korupsi.
Sedangkan bagi yang masih korupsi, bacalah tulisan ini dan
segeralah bertobat. Kata-kata juga bisa menjadi bentuk perlawanan.
Ingat, kiamat sudah dekat, Bro!
Takdir ASN Sampai Titik Darah Penghabisan
Mencari penghidupan di manapun itu, termasuk sebagai ASN, pada
akhirnya harus gue jalani dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
Istilah ideal ataupun sempurna itu hanyalah milik Tuhan Sang
Penguasa Jagat.
Kita ini hanyalah makhluk yang mencoba sekuat tenaga berusaha
dan kemudian mengharap ridho-Nya saja. Menjalani hidup sebagai
ASN dengan segala dinamikanya harus dinikmati dan dihiasi dengan
banyak senyuman. Gue nangis, tetap jadi ASN. Tertawa, apalagi. Tetap
saja statusnya masih ASN.
Syukur, masih banyak ketawanya dibanding menangisnya, selama
bekerja jadi ASN karena ketawa itu tanda kita mensyukuri nikmat
yang Tuhan berikan. Sudah merupakan takdir kalau setiap anggaran
tahunan menurun, maka efeknya adalah perjalanan dinas menjadi
lebih sedikit.
Udah takdir juga kalau selama jadi ASN elo tetap jomblo. Tapi se-
jomblo-nya elo, kan tetap ASN, ya, Mblo…
Ngomong-ngomong tanggal berapa, nih? Kapan tunkin (tunjangan
kinerja) masuk ya?

27
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 6 –

Njagong : Mau Jagung Bakar


Atau Jagung Rebus?
Nugroho Kuncoro Yudho

P
ada tahun 1997 saya diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil (CPNS) dengan pangkat Pengatur Muda golongan II/a
sebagai fungsional perawat. Maklumlah, latar belakang
pendidikan saya Sekolah Perawat Kesehatan, setara Sekolah
Menengah Atas. Saya ditempatkan di salah satu Unit Pemukiman
Transmigrasi (UPT) di pedalaman Kabupaten Kotawaringin Timur
Provinsi Kalimantan Tengah.
Sebagai seorang perawat—di kampung biasa dipanggil mantri—
tentunya ada beban berat yang harus ditanggung jika bertugas di
desa. Di daerah seperti ini, perawat harus mampu menyelesaikan
secara mandiri semua masalah kesehatan yang terjadi di tempat
tersebut. Parahnya lagi, saat itu belum ada telepon genggam. Jadi,
bisa dibayangkan bagaimana kami harus menangani permasalahan
dengan segala keterbatasan.
Sarana angkutan umum juga tidak ada. Tidak ada masyarakat
setempat yang mempunyai mobil. Hanya beberapa keluarga saja yang
mempunyai sepeda motor. Listrik masih dibangkitkan genset
(generator). Itu pun hanya beberapa rumah tangga yang mempunyai
kelebihan uang yang mampu membelinya. Susahnya lagi, jika setelah
28
28
Mozaik Humor Birokrat Menulis

selesai hujan, maka jalan akan menjadi licin dan kendaraan yang
melintasi jalan tersebut pada umumnya tergelincir.
Di pemukiman tersebut, mayoritas penduduknya adalah suku
Jawa. Selain itu ada Sunda, Dayak, Flores, Madura dan beberapa suku
lainnya. Walaupun demikian, tidak semua penduduk bisa
berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia. Beberapa orang
bahkan hanya bisa berbahasa Jawa.
Setahun setelah saya ditempatkan di pemukiman tersebut,
datanglah seorang bidan yang ditempatkan di UPT dimana saya
bekerja. Suatu kebetulan kalau dia adalah teman saya saat
bersekolah di SPK. Sebagai teman sekolah kami bisa berkomunikasi
dengan baik dan saling membantu yang mana biasanya terjadi
polemik antara bidan dan perawat seperti rebutan pasien karena
pasien diasosiasikan dengan uang. Tetapi saya dengan bidan tersebut
ternyata bisa saling melengkapi. Ketika ada pasien yang tidak mampu
saya tangani saya akan minta bantuan bidan tersebut. Begitu juga
sebaliknya, jika bidan tersebut tidak mampu menangani, dia pun akan
meminta bantuan saya.
Suatu malam, bidan tersebut diminta datang ke rumah warga untuk
menolong seorang ibu yang akan melahirkan. Sebagai seorang bidan
yang berdedikasi, dia berangkat menuju rumah warga tersebut.
Setelah melakukan pemeriksaan, bidan tersebut merasa tidak
mampu menangani ibu hamil itu.
Ada beberapa masalah yang mungkin akan terjadi karena risiko
tinggi yang ada pada ibu hamil tersebut. Tinggi ibu hamil tersebut
sekitar 133 cm, umurnya sudah lebih dari 30 tahun. Itu adalah
kehamilan kedua dengan jarak lebih dari 5 tahun dan berat badan
sudah ideal dengan tinggi badannya. Bidan tersebut pun tetap
menunggui ibu hamil tersebut sampai pagi.
Keesokan harinya, bidan tersebut menemui saya dan menceritakan
masalah yang dialaminya. Dia ingin merujuk pasien tersebut ke rumah
sakit di kota, tapi nggak enak menyampaikannya. Mau ditolong di
29

29
Mozaik Humor Birokrat Menulis

lokasi, kayaknya juga tidak memungkinkan. Setelah berunding


beberapa lama, saya memutuskan untuk ikut bidan tersebut ke rumah
si ibu hamil.
Ketika kami sampai, ibu hamil tersebut sedang ditunggui beberapa
orang ibu, tetangganya. Saya kemudian memberanikan diri
menyampaikan kemungkinan yang akan terjadi jika ibu hamil tersebut
tetap ditolong di rumahnya sehingga pilihannya adalah dirujuk ke
rumah sakit. Di luar dugaan, ibu tersebut menolak. Karena anaknya
yang pertama lahir secara normal tanpa operasi, dia yakin kali ini juga
akan melahirkan secara normal.
Setelah berunding cukup lama, akhirnya kami mengalah dan
bersedia mendampingi ibu tersebut bersalin di rumahnya.
Beberapa lama kemudian, ibu hamil tersebut bilang, ”Njagong,
isoh, ora?”
Salah satu ibu tetangga yang menungguinya menanyakan kepada
bidan, teman saya itu, “Gimana Bu Bidan, boleh nggak?”
Jawab bidan teman saya, “Boleh, boleh… Mau jagung rebus atau
jagung bakar?”
Sontak saja, si ibu tetangga tadi tertawa, kemudian berkata,
“Maksudnya Bu... Mau duduk11. Capek katanya.”
Mendengar itu, saya dan teman saya tersebut ikut tertawa karena
kami berdua sama-sama tidak begitu mengerti bahasa Jawa,
walaupun kami sama-sama keturunan Jawa.
Untung saja, ada ibu tetangga yang paham bahasa Jawa, jika tidak,
mungkin si ibu hamil akan terheran-heran, mau duduk malah dikasih
jagung, hahaha….

11
Njagong adalah isitilah bahasa jawa timuran yang berarti duduk.
30
30
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 7 –

Mantan Pejabat Wafat


Cak Bro

A
da seorang mantan pejabat yang terkenal dan kaya raya
meski nyata-nyata telah melakukan korupsi pada masa
jabatannya. Dia tidak pernah tertangkap atau terbukti di
pengadilan karena begitu lihainya melakukan pendekatan atau lobby
kepada pejabat-pejabat terkait maupun hakim-hakim.
Dia juga yang melicinkan izin perubahan fungsi lahan—yang
semula kawasan cagar alam menjadi kawasan hutan industri—
sehingga banyak hasil hutan yang ditebang tanpa memperhatikan
akibatnya. Begitu banyak orang membencinya, namun banyak juga
yang memujinya.
Entah karena usianya yang sudah tua, akhirnya mantan pejabat itu
meninggal dunia. Orang berduyun-duyun mengantar kepergiannya ke
tempat peristirahatan yang terakhir. Banyak yang berdatangan dan
sudah tidak diketahui lagi apakah ia datang ke sana karena rasa
terima kasih atas bantuan yang diberikan selama ini atau menghujat
serta mensyukuri atas kematiannya.
Berbagai macam karangan bunga duka cita berjejer sepanjang
jalan menuju makam beliau, tetapi ada pula poster-poster yang
mengecam kebijakan beliau semasa hidup.

31
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Begitu pula berita duka cita yang ada di surat-surat kabar. Mulai
dari instansi atau departemen, perusahaan negara maupun swasta
saling mengisi kolom duka cita di sana. Telepon di rumah beliau
berdering-dering karena banyak orang yang menanyakan kebenaran
berita tentang meninggalnya dia atau pun hanya mengucapkan
belasungkawa.
Akan tetapi, ada satu panggilan telepon yang agak unik. Penelepon
selalu melontarkan pertanyaan yang sama dan berulang-ulang
selama berminggu-minggu, “Halo… Bisakah saya bicara dengan
Bapak X?”
Pembantu di rumah pejabat itu menjawab, “Maaf… Beliau sudah
meninggal beberapa hari yang lalu.” Pembicaraan pun langsung
terputus.
Minggu berikutnya orang yang sama menelepon lagi, “Halo...
Bisakah saya bicara dengan Bapak X?”
Kemudian dijawab lagi, “Maaf… Beliau sudah meninggal minggu
yang lalu. Oh ya, dengan siapa saya bicara?” Seperti sebelumnya,
pembicaraan langsung terputus.
Karena berulang-ulang menerima telepon seperti itu, ketika suatu
saat menerima telepon dengan nada suara yang sama, si pembantu
langsung memotong pembicaraan, “Pasti Anda yang selalu bicara:
Bisa bicara dengan Bapak X?”.
Dari seberang, si penelepon menjawab, “Iya… Baru saja saya mau
ngomong itu.”
Dengan nada kesal si pembantu rumah pejabat tersebut berkata,
“Kenapa sih, Anda tanya-tanya terus? Apa Anda tidak mengerti akan
jawaban saya bahwa Bapak X sudah lama meninggal!?”
Dari seberang, si penelepon berkata dengan tenang, “Ah… Tidak
apa-apa. Saya hanya senang saja mendengar kata-kata itu…”

32
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 8 –

Nama Saya Lestari, Tapi Saya Laki-laki


Sri Rahayu Tresnawati

W
hat’s in a name?
A rose by any name would smell as sweet.
Apalah arti sebuah nama. Sekuntum mawar, apapun
namanya, akan selalu harum mewangi. Begitulah makna dari kata
Shakespeare di atas. Namun, dalam dunia persilatan, eh, maksudnya
di dunia manusia, nama memiliki fungsi tersendiri. Nama menjadi
pembeda antara satu orang dengan yang lain. Nama juga merupakan
sebuah rangkaian doa dan harapan orang tua pada si anak.

Nama peserta, di lingkungan pendidikan dan pelatihan, menjadi


sebuah petunjuk penting khususnya bagi pelatihan yang menyediakan
sarana asrama. Mengapa demikian?

Kegiatan pelatihan di lingkungan Kementerian Keuangan


dilaksanakan oleh 6 Pusdiklat, 11 balai diklat keuangan dan 1 balai
diklat kepemimpinan. Sebagian besar kegiatan pelatihan
mengasramakan peserta dengan beberapa tujuan, yaitu:

33
Mozaik Humor Birokrat Menulis

1. Peserta fokus pada materi pembelajaran karena tidak


kehabisan tenaga untuk menuju dan pulang dari tempat
pelatihan ke tempat penginapan.

2. Peserta tidak perlu mencari tempat menginap di luar


lingkungan pusdiklat dan balai diklat. Ketersediaan hotel atau
penginapan di dekat pusdiklat atau balai diklat tidaklah
merata di setiap daerah. Jika pelatihan diselenggarakan di
pusdiklat yang sebagian besar di Jakarta, maka lebih mudah
mencari tempat penginapan atau hotel, tetapi bayangkan jika
pelatihan diselenggarakan di Balai Diklat Keuangan Cimahi
yang sangat minim dengan tempat penginapan dan jauh dari
hotel, maka peserta harus mencari tempat penginapan di
seputaran Bandung yang jaraknya sekitar 10 kilometer.

3. Efisiensi biaya akomodasi dan konsumsi yang dikeluarkan


oleh unit pengirim karena seringkali keterbatasan biaya
perjalanan dinas menjadi kendala pengiriman peserta diklat.

4. Peserta bisa lebih saling mengenal dan diharapkan dapat


meningkatkan sinergi dalam bekerja di lingkup kementerian.

Salah satu tahapan dalam pelatihan yang diasramakan adalah saat


pembagian kamar. Karena jumlah kamar asrama di lingkungan
Kementerian Keuangan terbatas, maka peserta tidak bisa
mendapatkan kamar tersendiri. Para peserta harus berbagi kamar
dengan peserta lain, satu kamar diisi oleh 2 atau 3 peserta.

Biasanya panitia mendasarkan pembagian pada daftar nama yang


ada. Pada zaman di mana Nomor Induk Pegawai (NIP) didasarkan
pada unit kerja, maka panitia tidak mengetahui jenis kelamin (laki-
laki/perempuan) dari pegawai tersebut. Seringkali panitia membagi

34
Mozaik Humor Birokrat Menulis

kamar berdasarkan nama-nama yang umum bagi laki-laki atau


perempuan.

Namun tidak selamanya, pengetahuan tentang nama ini akurat.


Beberapa kesalahan pernah terjadi, terutama pada pegawai laki-laki
yang memiliki nama yang biasa disematkan pada kaum perempuan.
Misalnya nama Evi, Lestari, Sri, dan lainnya.

Kesalahan penempatan kamar pernah dialami teman sekantor.


Bukan hanya sekali tetapi berkali-kali. Nama yang diberikan orang
tuanya adalah: LESTARI DWI PRIBADI.

Nama Lestari tentu saja biasanya dimiliki oleh kaum perempuan,


maka dia sering sekali ditempatkan bersama para peserta pelatihan
yang wanita.

Kalau ditanya pernahkah marah atas kesalahan ini? Pasti dia


menjawab, “Jelas senang karena sekamar sama peserta wanita.”

Tapi peserta wanita jelas akan tidak senang dan komplain karena
mereka ditempatkan bersama peserta yang laki-laki. Lalu atas
kesalahan itu, biasanya peserta wanita menghubungi panitia untuk
menyampaikan ada kesalahan dalam penempatan kamar. Dan,
masalah terselesaikan dengan baik.

Namun sekarang, kesalahan seperti itu sudah tidak pernah terjadi


lagi ketika NIP yang baru memasukkan digit yang membedakan jenis
kelamin. Pada digit ke-15, angka 2 menunjukkan wanita dan 1
menunjukkan laki-laki. Sehingga pada saat pembagian kamar untuk
peserta pelatihan, panitia tinggal memperhatikan digit ke-15 dan
menempatkan sesuai dengan jenis kelamin dari peserta.

35
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 9 –

Gerhana Matahari dan Himbauan


Pemerintah
Desi Sommaliagustina

S
ejak pagi tadi terjadi keheningan mencekam di kota tempat
kami tinggal. Tidak ada suara bising lalu lalang kendaraan
sebagaimana biasanya melintas di depan rumah. Ayah juga
tidak menghangatkan mobil seperti pagi-pagi sebelumnya dengan
tergesa-gesa.

“Hari ini tidak ada satu pun yang boleh keluar rumah.” Begitu ucap
Ayah seperti petir di meja makan. Suara Ayah terdengar menggelegar
dan cemas. Sepotong roti di mulutku hampir melompat keluar.

“Kenapa?” tanyaku.

“Akan terjadi gerhana matahari total siang ini,” jelas Ayah.

“Lalu kenapa, Yah?”

Ayah diam, lalu menghela nafas. Aku, ibu dan kakak menunggu
lanjutan dari ucapan Ayah.

“Beberapa minggu lalu pejabat negara telah menyampaikan


himbauan agar masyarakat mewaspadai bahaya kebutaan yang akan
36
Mozaik Humor Birokrat Menulis

ditimbulkan akibat paparan cahaya matahari saat terjadinya gerhana


matahari total,” jelas Ayah.

Ayah adalah salah seorang pegawai pemerintah sehingga tidak


heran ayah bisa menyampaikan dengan detail apapun jenis himbauan
pemerintah—yang ayah dengar di kantornya—kepada kami.

Seperti ucapan ayah, seorang penyiar perempuan berambut


pendek di televisi menyampaikan kembali himbauan pemerintah agar
masyarakat tidak keluar rumah hari ini.

“Sebagaimana yang telah disampaikan oleh pemerintah, retina


mata yang terpapar sinar matahari secara langsung pada saat
gerhana matahari total akan berakibat kebutaan,” ujar penyiar
tersebut.

Setelah penyiar televisi meyampaikan himbauan yang sama untuk


kesekian kalinya, agar hari ini penduduk Indonesia dari Sabang
sampai Merauke tetap tinggal di dalam rumah, Ibu pun menutup erat
pintu dan jendela rumah.

Karena tidak boleh keluar rumah, aku mengisi hari hanya dengan
tidur-tiduran di depan televisi. Hampir seluruh siaran televisi
mengangkat berita tentang himbauan larangan menyaksikan gerhana
matahari secara langsung. Berita lainnya adalah pemerintah telah
menerjunkan aparat kepolisian dan militer untuk memastikan orang
tidak berkumpul di tempat terbuka menyaksikan gerhana.

“Dikabarkan bahwa pada sejumlah daerah aparat telah menyita


puluhan teropong yang mungkin akan digunakan untuk mengamati
gerhana.” Demikian ucap penyiar berita dengan lugas.

“Mengapa menggunakan teropong juga tidak boleh, Yah?” tanyaku


pada Ayah yang juga menonton televisi di sampingku.
37
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Karena retina mata manusia tidak akan terlindungi oleh teropong,”


jawab Ayah.

Aku hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan ayah.

“Tidak hanya manusia, pemerintah juga tidak memperbolehkan


hewan melihat gerhana matahari secara langsung.”

“Maksudnya, Yah?”

“Kepada masyarakat yang memiliki ternak pemerintah telah


menyuruh para pemilik ternak untuk menggiring hewan peliharaan
mereka ke kandang dan menutup mata hewan-hewan peliharaan
mereka dengan kain agar selamat dari kemungkinan kebutaan,” jelas
Ayah.

Aku terpaku mendengar penuturan Ayah.

***

Setelah seharian kemarin kami sekeluarga dan juga sekian juta


orang-orang Indonesia mengunci diri di dalam rumah dengan hati
cemas, siaran televisi hari ini menyampaikan informasi berbeda,
yakni informasi tentang ramainya turis asing berkunjung ke kota kami
dan daerah lainnya di Indonesia untuk menyaksikan gerhana matahari
total yang telah berlangsung kemarin.

“Turis asing yang datang untuk menyaksikan gerhana matahari


total tersebut terdiri dari para ilmuwan dan wartawan mancanegara,”
ujar penyiar berita di televisi. Mereka dikabarkan ramai berdatangan
ke Indonesia untuk meliput dan menyaksikan secara langsung
peristiwa gerhana.

“Indonesia memang menjadi tempat terbaik mengamati gerhana.


Sebagian dari mereka bahkan menyaksikan peristiwa gerhana
38
Mozaik Humor Birokrat Menulis

tersebut di candi-candi di Pulau Jawa dengan tujuan menambah


suasana magis dari gejala kosmis tersebut,” penyiar berita
menambahkan.

Selain informasi turis asing yang kemarin berdatangan ke


Indonesia, ada informasi lain yang disampaikan penyiar berita televisi
itu yakni sejumlah kaum terpelajar dan akademisi di kampus telah
menyampaikan kritik terhadap himbauan pemerintah terkait
pelarangan keluar rumah pada saat terhadinya gerhana matahari
total yang berlangsung kemarin.

“Sejumlah akademisi kampus menyebutkan bahwa himbauan


terkait larangan keluar rumah pada saat gerhana matahari total
sebagaimana yang telah disampaikan oleh pemerintah adalah
informasi keliru dan berlebihan dalam mengantisipasi gerhana.”
Demikian ucap penyiar berita.

Namun, saat aku menyakan hal tersebut pada ayah, ayah tidak
melihat adanya kesalahan pada himbauan pemerintah terkait
larangan keluar rumah pada saat gerhana matahari total yang terjadi
kemarin.

“Bagi Ayah yang seorang pegawai pemerintah, suara cerdik pandai


adalah suara yang terdengar sayup-sayup dibandingkan himbauan
atasan Ayah,” begitu jawab ayah yang juga terdengar sayup di
telingaku diantara suara gemuruh akademisi yang menyampaikan
kritiknya terkait himbauan pemerintah tentang gerhana matahari
kemarin di televisi.

Aku kemudian teringat ternak sapi nenek Minah di kampung,


apakah kemarin saat gerhana mata sapi-sapi peliharaan nenek
ditutup dengan kain atau sebaliknya, sehingga mata sapi-sapi itu telah
mengalami kebutaan? Aku akan menanyakannya pada nenek.
39
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 10 –

Staf Ahli
Edrida Pulungan

S
etelah bekerja selama dua puluh lima tahun, seorang Ibu
bernama Nani bertemu dengan seorang staf baru di
ruangan rapat komite. Lalu dia memberanikan diri bertanya
pada pemuda itu yang kebetulan duduk di sampingnya.

“Wah, baru kelihatan rapat ya, Mas… Staf khusus anggota dewan
baru ya?” tanya Bu Nani.

Pemuda tersebut tersenyum sambil mengangguk. “Iya bu, saya staf


ahli baru. Bulan kemarin direkrut. Senang bertemu dengan ibu, nama
saya Heru.”

“Oh, baik mas Heru. Semoga betah kerja disini ya… Karena kalau
staf ahli harus siap memberi masukan kapan saja kepada anggota
dewan.”

“Siap, Bu. Itulah tugas saya. Ibu sendiri disini bekerja di bagian
apa?”

40
40
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Oh saya sudah dua puluh lima tahun bekerja disini Mas. Sebentar
lagi juga pensiun. Pekerjaan kita beda tipis. Kalau Mas bekerja
sebagai staf ahli, saya bekerja sebagai ahli staf, Mas. Selama bekerja
disini saya jadi staf terus tak pernah dapat jabatan. Maklum saja disini
harus adu kuat relasi dan kuat lobi. Tapi tak apa Mas, saya begini-
begini doktor juga, lho”.

Sang pemuda tersenyum simpul sambil membenarkan


kacamatanya minusnya.

4141
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 11 –

Banyak Kebenaran,
Tak Ada Kebenaran
Ryan Agatha

P
ada suatu zaman, terdapat sebuah desa yang sedang sibuk
dengan penyelenggaraan pemilihan kepala desa. Para
sukarelawan desa dihimbau untuk bersikap netral dalam
berkomunikasi sehari-hari melalui internet. Hal ini dicita-citakan
untuk membentuk sukarelawan desa yang “adil sejak dalam pikiran”.

Sukarelawan desa diharapkan selalu mementingkan kepentingan


desa di atas kepentingan kelompok. Tetapi di lain sisi, sebagai petugas
negara, sukarelawan juga dihimbau untuk tidak memberitahukan
segala kekurangan sistem desa serta memberitahukan segala berita
kebaikan. Pemberhentian sebagai sukarelawan pun dapat
dimunculkan atas nama kebaikan desa. Semua ini atas dasar nama
baik desa dan kepentingan masyarakat desa.

Aturan-aturan tentang ini akan menimbulkan tanya, mengapa


pembagian informasi menjadi hal yang perlu dirisaukan dalam cerita
di atas ?

Tanpa kita sadari, informasi merupakan salah satu hal yang


membuat realitas manusia terus tumbuh dan berkembang, tapi

42
Mozaik Humor Birokrat Menulis

terkadang hal itu juga yang sering menimbulkan pertentangan


diantara manusia. Bukan tentang realita yang diberitakan dalam
informasi tersebut, tetapi bagaimana realita tersebut diberitakan.

Tapi perdebatan ini bukan tanpa alasan, karena dewasa ini setiap
orang punya suara untuk membunyikan apa yang mereka lihat dan
rasakan terkait sebuah realita. Setiap orang bersuara, setiap orang
membunyikan informasinya masing-masing. Ini tidak terlepas dari
gagapnya manusia menghadapi kebebasan yang diberikan oleh
internet.

Semua orang berjarak atas konsekuensi langsung dari apa yang


mereka utarakan. Lempar batu, sembunyi tangan, membunyikan apa
yang ada di kepalanya terkait sebuah realita. Bukan hanya manusia
saja yang gagap menghadapi kebebasan yang diberikan oleh
“kelahiran internet”, tetapi juga institusi-institusi. Jika sebelum
zaman internet, informasi pendidikan diproduksi oleh institusi
universitas, saat ini manusia dapat dengan bebas memperoleh apa
yang mereka ingin ketahui.

Jika sebelum zaman internet, hanya negara yang paling vokal


membunyikan suara atas sebuah realita, saat ini setiap orang bisa
bersuara atas sebuah realita dan bagaimana membunyikannya. Hal
ini membuat institusi-institusi tersebut terkena degradasi kuasa atas
produksi informasi. Tak jarang untuk menanggapi gagapnya manusia
dalam menggunakan internet, institusi-institusi tersebut menyindir
hadirnya internet dalam menyebarkan sebuah informasi.

Jadi perbedaan apa yang terjadi akibat internet?

Perbedaannya adalah siapa yang bisa memproduksi sebuah


informasi. Jika zaman sebelum internet, institusi-institusi yang
memproduksi dengan nyaris dalam satu arah, maka ketika zaman
43
Mozaik Humor Birokrat Menulis

internet lahir, institusi mulai kehilangan kuasa penuh atas produksi


informasi atas sebuah realita.

Jadi tidak heran jika desa di atas memberlakukan peraturan


pembatasan informasi, karena institusi mencoba mempertahankan
kuasa atas produksi informasi seperti yang selama ini ada. Tapi
kenapa institusi terdorong untuk melakukan hal tersebut ?

Teknologi mau tidak mau juga turut andil merumitkan segala


situasi informasi yang ada, manusia dibentuk sedemikian rupa untuk
menerima informasi yang terpersonifikasi. Manusia yang menjadi
banyak berbicara tentang apa yang mereka rasakan akan dibenturkan
dengan pilihan informasi yang telah dipilihkan (terpersonifikasikan)
oleh teknologi.

Saat manusia menggunakan google/bing/yahoo untuk mencari


sebuah informasi, maka informasi yang muncul adalah informasi dari
perspektif sipengguna teknologi tersebut. Ada banyak mata. Bahkan
Sphinx pun memiliki mata, lalu timbul banyak kebenaran yang ada,
begitu juga tidak ada kebenaran yang timbul.

Kegagapan manusia dalam memaknai informasi yang ada sudah


digambarkan oleh Friedrich Nietzsche dalam buku “Beyond Good and
Evil”, bahwa manusia merasa maha besar atas kebenarannya, tetapi
juga maha sempit atas segala yang dia percayai.

Manusia kehilangan pijakan atas memaknai sebuah informasi,


bukan perihal banyak informasi salah yang lahir tapi bagaimana
manusia terlalu mudah terombang-ambing oleh informasi tersebut.
Dan akhirnya mengaburkan prinsip bahwa informasi tidak selalu
sama dengan kenyataan.

Mungkin kisah Nasrudin Hoja berikut, dapat menggambarkan


sedikit mengenai kerumitan situasi tadi.
44
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Suatu hari tetangga Nasrudin Hoja datang ke rumah Nasrudin


untuk meminjam keledai milik Nasrudin untuk mengembara. Tepat
berada didepan rumah Nasrudin Hoja, percakapan ini terjadi.

Tetangga Nasrudin : “Nasrudin bolehkan ku meminjam keledaimu?”

Nasrudin : “Keledaiku kemarin kabur dari rumah!”

Kemudian terdengar bunyi pekikan suara keledai


Tetangga Nasrudin : “Lho, itu suara keledaimu? Katamu keledaimu
kabur?”

Nasrudin : “Lho, kamu percaya sama aku apa keledaiku?”

Jika pada akhirnya tetangga Nasrudin mempercayai bahwa keledai


tersebut kabur, maka itulah gambaran manusia zaman sekarang.
Memercayai apa yang dikatakan Nasrudin dibanding paparan fakta
yang didengarnya.

Hal ini juga yang membuat perangkat desa di cerita awal tadi,
ketakutan jika berita buruk tentang desa tersebar walaupun hal buruk
tak pernah terjadi dalam sistem desa.

45
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 12 –

Usia Berapa Sebaiknya


Kita Pensiun?
Diyan Nur Rakhmah

G
rup Whatsapp katering di kantor saya seketika riuh rendah.
Jumlah jatah makan siang yang disediakan oleh penyedia
tidak sesuai dengan jumlah orang yang memesan. Seorang
pegawai, yang sebenarnya memesan makan siang, nyatanya tidak
mendapatkan jatah makan siang yang dipesannya. Artinya, ada satu
pegawai yang sebenarnya tidak memesan makan siang, tetapi
mengambil jatah makan siang pegawai lain.

Setelah dikonfirmasi kepada penyedia jasa katering, jumlah paket


makan siang yang mereka kirim sudah sesuai dengan paket makan
siang yang dipesan. Alih-alih menemukan siapa “penunggang gelap”
makan siang tersebut, grup Whatsapp katering kantor saya malah
semakin riuh dengan kelakaran beberapa teman yang menyelipkan
candaan receh seputar “penunggang gelap“ dalam makan siang kami
hari ini.

Setelah beberapa waktu, seorang teman akhirnya dapat


“menangkap basah“ biang dari keriuhan grup katering kami siang itu.
Pegawai tersebut memang mengambil jatah makan orang lain, karena
ia makan pada hari itu meski tidak memesan.
46
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Ketika ditanya, sang Bapak tidak merasa bersalah. Seingatnya, ia


memesan makan siang, yang dibantah habis-habisan oleh teman saya
yang bertugas sebagai penanggung jawab pemesanan katering
makan siang. Ternyata, sang Bapak salah mengingat pesanan. Ia
merasa telah memesan makan siang untuk hari tersebut, yang
sebenarnya merupakan pemesanan untuk hari sebelumnya. Owalah!

Awalnya sang Bapak berusaha membela diri. Dengan logat Jawa-


nya yang kental ia menjelaskan bahwa ia memang memakan jatah
makan siang yang telah dipesannya. Setelah ditunjukkan bukti
pemesanan yang tidak mencantumkan namanya, barulah sang Bapak
sadar dan mengaku salah, yang kemudian disambut tawa riuh teman-
teman menertawakan kekonyolan sang bapak.

Sang Bapak adalah seorang pejabat fungsional di tempat saya


bekerja. Dalam beberapa bulan terakhir ini, ia sudah beberapa kali
melakukan kesalahan serupa dan menimbulkan kehebohan. Salah
satunya, misalnya, ketika ia tak menyadari sandalnya tertukar dengan
sandal orang lain hingga terbawa pulang ke rumahnya.

Saya menduga, sang Bapak memang mengalami gejala


Demensia—penurunan fungsi otak yang ditandai dengan kesulitan
mengingat dan berpikir, mengingat beberapa peristiwa yang terjadi
satu tahun belakangan ini.

Di usianya yang menginjak lima pulih sembilan tahun, beberapa


kali saya menyaksikan penurunan produktivitas kerja sang Bapak.
Waktu bekerjanya banyak dihabiskan untuk berjalan berkeliling
kantor, entah ke mana. Kalaupun ditemukan di kursinya, ia sedang
mengakses video-video lucu dari situs berbagi video.

Saya bersepakat dengan penelitian yang dilakukan ilmuwan


University of California dan Brandeis University Amerika serikat yang
47
Mozaik Humor Birokrat Menulis

menyatakan bahwa ada korelasi antara daya ingat dan usia manusia.
Semakin renta usia seseorang, maka daya ingat seseorang akan juga
semakin menurun.

Kajian yang dilakukan oleh para peneliti dari Melbourne Institute of


Applied Economic and Social Research pada Februari 2016 juga
menegaskan anggapan tersebut. Kajian tersebut menemukan bahwa
pada usia 40 tahun kebanyakan orang akan mengalami penurunan
performa saat melakukan tes daya ingat, penalaran pola, dan
kecerdasan mental.

Hal tersebut terjadi karena sejak usia 20 tahun, penurunan fungsi


kemampuan otak untuk memproses informasi (fluid intelligence),
akan mulai berkurang, yang pada puncaknya terjadi di usia 30 tahun.
Kemudian, secara umum, manusia akan mulai kehilangan
kemampuan untuk menggunakan keahlian, pengetahuan, dan
pengalaman yang mereka miliki, dan berlanjut hingga memasuki usia
40 tahun. Fungsi biologis dan emosional seseorang pun mulai
menurun sejak usia itu.

Hal ini berarti bahwa fungsi fisik seseorang akan semakin


menurun pada usia di atas 40 tahun, dan memberikan dampak secara
langsung kepada kualitas kerja yang diberikannya.

Menariknya, terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017


tentang Manajemen Pegawai Negeri sipil dalam pasal 239,
menyebutkan bahwa Batas Usia Pensiun Pegawai Negeri Sipil
dinaikkan dari sebelumnya 56 (lima puluh enam) tahun, yaitu: 58 (lima
puluh delapan) tahun bagi pejabat administrasi, pejabat fungsional
ahli muda, pejabat fungsional ahli pertama, dan pejabat fungsional
keterampilan; 60 (enam puluh) tahun bagi pejabat pimpinan tinggi dan
pejabat fungsional madya; dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS
yang memangku jabatan fungsional jenjang Utama.
48
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Kebijakan penambahan Batas Usia Pensiun para Pegawai Negeri


Sipil yang dinaikan sebesar 2 tahun, menjadi 58 tahun tersebut, bagi
saya memang kurang efektif, mengingat beberapa kelemahan muncul
dari kebijakan tersebut.

Perlu dipahami bahwa pada awalnya keberadaan kebijakan


tersebut bertujuan untuk menekan laju beban anggaran belanja
negara karena jumlah pegawai negeri yang harus diregenerasi.
Dengan meningkatkan Batas Usia Pensiun PNS menjadi 58 tahun,
menyebabkan pemerintah dapat melakukan moratorium terhadap
penerimaan PNS untuk beberapa tahun. Artinya, penghematan
anggaran negara untuk belanja pegawai, dapat dilakukan.

Berkaca pada beberapa kasus yang terjadi pada PNS kita, memang
tidak adil jika kualitas kinerja seorang pegawai dikorelasikan dengan
usia yang dimiliki pegawai itu sendiri. Karena dari kenyataan yang
tergambar, seringkali terlihat bahwa pegawai-pegawai dengan usia
dan masa kerja yang lebih lama, nyatanya juga masih dapat dikatakan
produktif.

Pengamalan bekerja dengan keseharian menghadapi rutinitas


pekerjaan, menjadi salah satu alasan, mempertahankan pegawai di
rentang usia di atas 50 tahun atau pegawai dengan masa kerja di atas
30 tahun, adalah hal yang penting bagi keberlangsungan birokrasi
kita.

Di kantor tempat saya bekerja misalnya, keberadaan pegawai


senior penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem kantor agar
dapat berjalan dengan simbang dan harmonis. Kondisi ini, saya yakin
juga banyak terjadi di organisasi pemerintahan di negara ini.

Sistem pengangkatan pejabat struktural yang memasukkan unsur


pengalaman bekerja sebagai penyebutan lain dari istilah ‘pegawai
49
Mozaik Humor Birokrat Menulis

senior’, menjadi seperti kesepakatan tidak tertulis pada setiap


pengalaman pengangkatan seseorang dalam jabatan struktural.

Sama halnya pada kasus penunjukan jabatan-jabatan non


struktural layaknya Pejabat Pembuatan Komitmen, hingga Ketua Tim
Penelitian. Lamanya pengabdian seseorang sebagai PNS menjadi
salah satu pembuktian betapa berpengaruhnya faktor senioritas
dalam sistem kepegawaian kita.

Saya memang tidak menafikan bahwa pegawai-pegawai muda kita


juga tidak seluruhnya berkualitas, kompeten, dan memiliki
pengalaman bekerja yang cukup mumpuni. Khusus untuk faktor
terakhir tersebut, pegawai-pegawai muda kita, memang “kalah telak”.

Namun, memberikan penambahan batas usia pensiun pegawai kita


hingga menjadi 58 tahun, bagi saya pribadi, tidak banyak memberikan
keuntungan ekonomis, karena malah menambah beban anggaran
belanja negara, dengan membiarkan para pegawai yang seharusnya
sudah dapat beristirahat di rumah, dengan lebih dulu membagikan
ilmu dan pengalaman bekerjanya kepada pegawai lain yang lebih
muda, ternyata sulit berjalan optimal.

Buktinya? Bisa dilihat pada sebagian pengalaman melihat kinerja


teman-teman pegawai kita yang di antaranya, seperti sang Bapak
yang saya ceritakan di awal tulisan ini, pejabat fungsional yang
sayangnya tidak mengoptimalkan fungsinya bagi lembaga ini.

Jadi, buat apa kita bersepakat mempertahankan kebijakan


(penambahan) Batas Usia Pensiun pegawai kita, jika ternyata kita
malah membantu memelihara Kerentaan Birokrasi Kita?

50
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 13 –

Amplop Penuh Senyum


Hery Praja

H
ubungan antar ASN di kantor seyogyanya tidak terbatas
pada hubungan kerja semata. Tidak melulu hanya berkisar
tentang pembagian tugas sesuai tugas pokok dan fungsi,
rentang kendali atasan kepada bawahan, koordinasi baik internal
maupun eksternal, dan sebagainya, dan sebagainya.

Hal-hal birokratis yang kaku dan rutin, yang dilakukan setiap hari
seperti itu, cenderung membosankan dan membuat birokrasi seolah-
olah robot yang berjalan. Supaya dinamis, hubungan antar ASN di
sebuah kantor perlu juga dibumbui dengan cita rasa kekeluargaan
yang bersifat non formal sehingga suasana kerja menjadi dinamis dan
bergairah.

Syahdan, pada suatu ketika di tahun 2005, tersiar kabar bahwa


isteri Hidayat—salah seorang rekan kerja kami—melahirkan putera
keempat. Kabar itu beredar dengan cepat dari mulut ke mulut hingga
akhirnya seisi kantor mengetahuinya.

Sukarno adalah salah seorang pegawai yang kami tuakan. Ia lalu


mengajak saya, Agus dan Budi untuk menengok istri Hidayat dan
sekaligus memberi ucapan selamat.
51
51
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Nanti sore, kita berangkat ya,” ajak Sukarno. Kebetulan diantara


kami berempat, hanya Sukarno yang memiliki mobil pribadi. Sebuah
Suzuki Carry yang saat itu sudah kami anggap lumayan mewah.

“Ayuk!” Agus mengiyakan. “Pak Karno tahu rumahnya, kan?”

“Tentu… Saya sudah pernah ke sana.” Sukarno menjawab dengan


mantap.

“Insya Allah siap. Selesai sholat Ashar saja,” timpal Budi yang
memang biasanya penasaran ingin tahu rumah teman-teman
sekantor.

Saya Cuma mengangguk setuju. Deal!

Sekitar pukul 16.00 WIB, mobil Suzuki Carry yang dikemudikan


Sukarno meluncur menuju ke Kecamatan Kasemen Kota Serang.
Jarak kantor menuju rumah Hidayat sekitar 8 kilometer. Dari
Kawasan Kota Serang Baru melewati kawasan Niaga Pocis Royal.
Kemudian belok kanan melintasi Pertokoan Pasar Lama yang sering
macet. Selepas Pocis, langsung lurus menuju ke arah Masjid Agung
Banten Lama Kasemen.

Waktu itu, sepanjang perjalanan kanan dan kiri jalan, kami disuguhi
pemandangan rumah-rumah lama penduduk yang asri dengan
halaman yang luas. Berbeda dengan sekarang (2019) yang sudah
berubah menjadi barisan ruko-ruko yang sumpek dan kaku kesannya.
Memasuki batas kecamatan Kasemen, selepas terowongan tol,
hamparan sawah nan menghijau memanjakan mata.

“Rumahnya masih jauh, Pak?” tanya Budi yang tidak bisa


menyembunyikan rasa penasarannya.

“Sebentar lagi… Patokannya, dari pom bensin, tidak jauh lagi,” kata
Sukarno sambil melihat jarum indikator bahan bakar. Bicara tentang
52

52
Mozaik Humor Birokrat Menulis

pom bensin serta merta membawa perhatiannya ke penunjuk BBM


kendaraannya. Jarum menunjukkan posisi di tengah-tengah antara
huruf E dan F. Masih aman, pikirnya.

Asyik menikmati pemandangan, Budi tidak memperhatikan pom


bensin telah lewat. Dia baru tersadar ketika mobil merapat ke sisi
jalan tepat di depan sebuah warung. Dia pikir, Pak Sukarno mau beli
rokok.

“Eh, ngomong-ngomong, ada amplop gak, Pak?” tanya Budi.

Tiba-tiba kami tersadar bahwa kami butuh amplop sebagai tempat


angpaw buat bayi yang baru lahir.

“Waduh, habis. Kemarin kondangan ke dua lokasi,” jawab Sukarno


sambil melihat isi dashboard.

“Iya, ya. Saya juga lupa, padahal di kantor banyak,” kataku sedikit
menyesali kenapa lupa menyiapkan amplop.

“Sudah, beli aja di warung,” kata Agus.

Mendengar perintah Agus, Budi segera turun dari mobil dan


berjalan menuju ke warung kecil yang ada pinggir jalan.

“Pak Sukarno mau titip rokok, nggak?” tanyanya.

“Nggaklah, masih ada.”

Budi berdiri di depan warung dan mencoba melongok ke dalam.


“Assalamualaikum,” ucapnya memberi tahu keberadaannya kepada
pemilik warung.

“Waalaikumsalam.” Seorang Ibu setengah baya muncul dengan


kerudung kaos biru donker. “Mau beli apa, Pak?”

53
53
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Ada amplop, Bu?”

“Ada. Amplop surat atau amplop apa?”

“Amplop kecil, Bu. Yang suka dipakai kondangan.”

“Oh, ada Pak.”

“Bu, beli amplop seribu rupiah, dapat berapa, Bu?”

“Seribu dapat empat Pak.” Ibu warung menyodorkan empat amplop


yang diambil dari kotak kecil.

Melihat pembeli berbaju seragam Pemda, ibu pemilik warung


penasaran. “Memang mau ke mana, Pak?”

“Mau ke rumah Pak Hidayat, menengok bayi, Bu.” Budi menjelaskan


dengan mantap.

“Hmmmm...” Ibu warung senyum-senyum.

Setelah membayar, Budi bergegas menuju mobil lalu menyerahkan


amplop kepada kami.

“Ini amplopnya, Pak. Isinya masing-masing ya,” kelakar Budi.


Sukarno tampak menahan tawa.

Sejenak Budi masih penasaran dengan reaksi Sukarno tapi ia tidak


mengerti. Budi diam saja. Biarlah jadi misteri, pikirnya.

“Ayo jalan lagi,” kata Budi.

“Jalan ke mana, Mas? Kita sudah sampai, kok.”

“Mana rumah Hidayat?” tanya Budi heran.

Sukarno menunjuk warung yang menyambung dengan rumah.


Mulut Budi ternganga.
54
54
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Kami bertiga pun turun dari mobil. Ternyata mobil berhenti di


depan Warung yang menyambung menjadi satu dengan rumah
Hidayat. Depan rumah tidak menghadap ke jalan raya, namun
menyamping. Beliau memanfaatkan sisi depan rumah untuk
membuka warung yang dikelola isterinya.

“Assalamualaikum.”

“ Waalaikumsalam.”

Kami diterima oleh Hidayat sendiri.

“Terima kasih sudah datang menengok anak dan isteri saya yang
baru melahirkan,” kata Hidayat tulus. Kami lalu berbincang ringan
tentang pekerjaan, anak-anak dan keluarga.

Sekitar lima menit berlalu, seorang ibu berkerudung biru donker


muncul membawa nampan berisi empat gelas kopi hitam. Budi makin
melongo dan sepertinya mulai mengerti makna tawa Sukarno yang
tertahan sejak tadi.

“Mamah, perkenalkan ini teman-teman kantor papah, Pak Karno


yang berkacamata, Pak Agus yang berkumis, Pak Andi yang kalem,
dan yang paling muda Pak Budi.”

“Oh, iya. Tadi sudah bertemu di warung dengan Pak Budi.”

Kami tertawa terbahak-bahak. Sementara Budi menyeruput kopi


sambil tertunduk tersipu malu bagaikan komika yang tidak lucu.

Begitulah pentingnya mengenali rekan kerja bukan hanya di kantor


saja tetapi juga mengenal keluarganya.

55
55
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 14 –

Sandal, Sepatu, dan Alfabet


Aisya Avicenna

B
irokrasi identik dengan suasana yang kaku, ribet, dan
bertele-tele. Kalau sudah berhadapan dengan birokrasi,
rasanya sudah malas duluan.

Nah, berbicara soal Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai bagian


dari dunia birokrasi, maka ASN juga dikenal dengan stigma-stigma
negatif. ASN itu kerjanya cuma leyeh-leyeh, nonton Youtube, baca
koran, main game, plus yang penting absen datang dan pulang on
time. Begitulah anggapan orang.
Hmm, saya nggak setuju sih!

Tidak semua ASN seperti itu, bahkan banyak ASN berprestasi yang
berkontribusi besar untuk negeri. Mungkin hanya segelintir oknum
ASN yang memang punya penyakit kudis alias kurang disiplin. Ya,
‘kan?

Senyum adalah sebuah garis lengkung yang mampu mengubah


banyak hal. Nah, izinkan saya berbagi kisah yang semoga membuat
pembaca tersenyum. Alhamdulillah, saya diterima sebagai ASN di
bulan Desember 2009.

56
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Waktu itu saya baru lulus S1, fresh graduate gitu lah. September
2009 wisuda, Oktober 2009 daftar CPNS, Desember diterima. Banyak
kisah luar biasa selama saya jadi PNS sampai sekarang. Nano-nano
rasanya. Ada yang menyenangkan, ada yang ngenes alias
menyedihkan, sampai ada yang menggemaskan, eh, lucu maksudnya.

Sandal dan Sebuah Perjalanan

Jadi ASN itu harus mau bekerja apa saja. Apalagi kalau sudah
dapat disposisi atau perintah atasan. Multitasking, kalau istilah
kerennya. Meski saya seorang statistisi, yang setiap harinya berkutat
dengan data dan angka, tapi saya juga harus piawai urusan fotokopi,
scan dokumen, bikin surat undangan, telepon pihak lain, urus
konsumsi rapat, mengatur keuangan Subdit, bahkan sampai jadi kurir
untuk antar surat.

Tapi nggak jadi masalah sih buat saya untuk melakukan hal remeh-
temeh macam fotokopi gitu. Toh, saya juga baru tahu dan baru bisa
memfotokopi setelah jadi PNS. Hehehe...

Nah, suatu hari pimpinan meminta saya untuk mengantar surat


kepada eselon satu yang lokasinya di gedung yang berbeda. Kantor
saya terdiri dari tiga gedung dan saya berada di gedung paling
belakang, sedangkan ruangan eselon satu ada di gedung paling
depan.

Cuss, saya berangkat membawa dokumen penting itu. Turun dari


ruangan saya di lantai 9 menggunakan lift, kemudian jalan kaki ke
gedung depan. Sampai di gedung tengah saya menatap ke bawah, kok
rasanya tidak nyaman pakai sepatunya.

Ya ampun, ternyata saya pakai sepatu di kaki kiri dan pakai sandal
di kaki kanan. Langsung ngakak dalam hati dan ngacir balik kanan.
Untungnya pas kejadian itu, nggak ada orang yang melihat saya. Bisa
57
Mozaik Humor Birokrat Menulis

malu banget!. Akhirnya saya balik lagi ke ruangan. Sempat ditanya


pimpinan kenapa balik lagi, saya jawab saja kalau ada yang
ketinggalan. Benar juga kan, sepatu saya ketinggalan pasangannya.

Sandal dan Sebuah Pertemuan

Masih tentang sandal. Suatu hari di pertengahan tahun 2016, Pak


Menteri melakukan kunjungan ke tiap ruangan. Waktu itu beliau baru
dilantik menggantikan menteri sebelumnya. Jadi beliau keliling
ruangan untuk memperkenalkan diri sekaligus menyapa pegawainya.
Alhasil, hari itu kami sibuk membersihkan dan membereskan
ruangan sejak pagi. Pada siang harinya Pak Menteri datang
berkeliling, menyapa kami dan menyempatkan foto bersama.

Nah, pada sesi foto bersama ini, semua staf diminta untuk segera
keluar ruangan karena tempat yang muat untuk foto bersama hanya
di lobi dekat lift. Akhirnya kami pun keluar. saya berada di baris kedua
bersama ibu-ibu. Sedangkan bapak-bapak berfoto sambil jongkok.

Setelah berfoto bersama, Pak Menteri meninggalkan ruangan. Saat


hendak balik ke meja kerja, saya baru tersadar kalau ternyata saya
memakai sandal di kaki kanan dan sepatu di kaki kiri. Ya ampuuuun,
untungnya tadi saya berfoto di baris kedua jadi tidak terlihat kalau
saya salah pakai alas kaki.

Coba kalau pak menteri sampai tahu juga, bisa malu sepanjang hari
sampai tiba saatnya pensiun nanti. Hehehe...

Mengeja Alfabet

Awal-awal bekerja sebagai PNS, saya baru tahu cara mengeja


abjad atau alfabet dengan baik dan benar. Soalnya sebelumnya baru
sekadar tahu dan masih suka ngasal menyebutkannya, Alpha untuk A,
Beta untuk B, Charlie untuk C dan seterusnya.
58
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Nah, suatu hari saya menjadi contact person atau narahubung


acara sosialisasi kantor dan mendapat telepon dari salah satu
peserta. Kurang lebih seperti ini percakapan dengan salah satu calon
peserta sosialisasi.

“Selamat siang Bu, saya ingin mengirimkan lembar konfirmasi


keikutsertaan sebagai peserta sosialisasi tapi ternyata saat coba
mengirim melalui fax, gagal terus,” kata seseorang di seberang sana.

“Selamat siang, Pak. Lembar konfirmasi bisa dikirimkan ke email


saya di etika.aisya@gmail.com. Echo-tango-india-kilo-alpha-dot-
alpha-india-sierra-yankee-alpha-at-gmail-dot-com.” Begitulah saya
mengeja email saya.

Dari seberang beliau berkata, “Bu, panjang sekali emailnya.


Echotangoindiakilo apa tadi bu? Mohon bisa diulang? Terlalu panjang
soalnya.”

Sebelum lanjut teleponnya, saya tertawa terlebih dahulu. Hehehe...

Kemudian menjelaskan ke yang bersangkutan kalau saya sedang


mengeja nama email saya.

59
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 15 –

NIP Punya Cerita


Sulistiowati

S
aat penugasan hari kerja tidak berhasil ditunaikan, mau tak
mau hari libur akhir pekan pun terkadang harus direlakan
dengan menghabiskan waktu di kantor. Di sela-sela lembur
yang kurang tema ini, saya iseng melihat daftar nama-nama pegawai
dengan kolom NIP di sebelahnya.

Deretan angka sebanyak delapan belas karakter tersebut terkesan


sederhana, namun sarat makna bagi ASN. Angka tersebut sangat
dinantikan sesaat setelah lulus sekolah kedinasan. Angan saya pun
melayang pada peristiwa delapan tahun yang lalu, tepatnya di tahun
2011 saat pemerintah menerapkan moratorium penerimaan PNS yang
berimbas pada angkatan kami. Karena alasan itulah kami yang lulus
D3 STAN tahun 2011 tapi baru mendapat si NIP di tahun 2012.

Perlu waktu satu tahun menunggu dari tahun kelulusan sampai


kami resmi memiliki NIP. Selama setahun ini bukan berarti kami
hanya menunggu tanpa kegiatan. Kami sementara di tempatkan
sebagai pegawai magang.

60
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Meski belum ada NIP ataupun kepastian kapan ada pengangkatan,


di tempat magang, kami para ajun akuntan muda yang tak paham apa-
apa ini, diperlakukan dengan sangat baik. Saking baiknya, kami
langsung dianggap sebagai keluarga, bukan lagi sebagai pegawai
baru atau orang baru.

Di tempat magang, rentang usia antar pegawai bisa dibilang sangat


jauh karena sempat selama beberapa tahun tidak ada penerimaan
pegawai baru di instansi kami. Dengan kehadiran kami, tentu
menambah warna suasana kantor. Dari yang sebelumnya
pembahasannya seputar kerjaan dan masalah rumah tangga,
sekarang menambah topik obrolan, tentang persiapan membentuk
rumah tangga.

Sebagai pegawai titipan, saya juga sempat diajak untuk mengikuti


penugasan. Salah satu penugasan yang sangat berkesan adalah audit
di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Auditee kami waktu itu sempat
salah mengira tentang posisi saya di tim. Sebelum surat tugas
diserahkan, saya sempat dikira anak dari ketua tim penugasan.
Mungkin dikira saya anak SMP yang ikut bapaknya bekerja.

Apesnya kejadian salah tafsir itu tidak hanya terjadi di dinas itu
saja. Saat kami berkeliling melakukan cek fisik, kejadian serupa
terjadi lagi dan lagi. Awalnya kaget dan merasa tidak dianggap, tapi
lama-lama malah terasa lucu dan menyenangkan. Bukankah itu
artinya saya awet muda, yippiiie. Karena belum ada NIP pula di Surat
Tugas, makin lah dikira kalau saya anak-anak baru lulus SMP.

Setelah enam tahun mengabdi pun, ternyata kejadian serupa masih


terjadi. Bukan dianggap sebagai anak lagi karena wajah mirip, namun
dianggap sebagai anak CPNS kantor yang baru akan penempatan.

61
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Saat diklat di awal tahun ini pun, saat akan berkenalan dengan
senior atau ASN lain, saya selalu dikira angkatan CPNS 2018. Kalau
sedang iseng tidak akan saya jawab, biarlah dianggap seperti itu.
Kalau sedang serius akan saya jawab bukan, saya 2012. Setelah tahu
akan langsung dijawab, “Oh, stok lama ya? Tapi gak kelihatan.”

Bicara NIP, banyak yang bisa diintip-intip. Jarak dari pengangkatan


sampai dengan posisi sekarang perlu berapa tahun bisa kita hitung-
hitung. Jadi iseng-iseng bisa menggambarkan tentang jenjang karier
seseorang. Yah, meskipun tidak sepenuhnya valid.

Dari NIP kita lihat bagaimana gesture ASN tersebut. Apakah ada
yang bisa kita tiru atau harus kita hindari untuk yang serius berkarier
sebagai ASN. Apakah masuk kategori cepat, masuk kategori
berprestasi, punya koneksi bagus atau grup panjat sosial, hahaha...
Tiga kategori hasil pengelompokan netizen tentunya.

Kalau kita punya naluri sebagai pedagang, cukup dengan melihat


NIP para ASN di suatu instansi maka kita bisa melihat peluang bisnis.
Pada sebuah instansi, bila angkatan baby boomers menjadi mayoritas
tentu menyajikan peluang bisnis yang berbeda jika generasi Y sebagai
mayoritasnya. Baby boomer akrab dengan obat-obat herbalnya
sedang generasi Y dengan gadget nya. Pun dengan bagaimana cara
nantinya kita berinteraksi, mulai dari apakah “loe gue”, atau harus
“Anda” dan “saya”.

Dari sekian banyak informasi yang bisa didapat dari NIP, telintas
satu pikiran konyol, sepertinya NIP itu akan lebih indah dan informatif
kalau ditambah satu kode lagi, yaitu status. Dengan melihat NIP, tak
perlu ada pertanyaan: “Sudah berkeluarga atau belum?” dan
pertanyaan lanjutannya: “sudah punya anak berapa?”

62
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Di era birokrasi dengan mutasi yang cukup sering ini, saya yakin
dengan adanya kode itu akan sangat menolong para ASN single ketika
perkenalan di tempat baru. Kalau hanya ingin tahu, cukup lah
disebutkan NIP nya. Tanpa perlu ditanya lagi status-statusan yang
bikin pening.

Mengapa bikin pening? Sungguh, dalam hati terdalam, menjadi ASN


yang merantau, jauh dari orang tua dan keluarga, itu berat. Kalau kata
Dilan rindu itu berat, sepertinya lebih berat lagi status single dan
harus merantau. Bukan ingin mengeluh, toh memang seperti itu
adanya.

Saya sebenarnya sudah mulai menerima keadaan, namun saat


perkenalan dan harus dicecar dengan status yang kalau dijawab
berakhir dengan sorakan ramai, sungguh ini membebani pikiran.
Kalau dijawab sambil mesem, sorakan akan makin ramai. Kalau
dijawab jutek, pasti berakhir dengan judging “pantesan masih single”.
Seandainya bisa cukup dijawab dengan, “Silakan liat NIP saja”, betapa
sangat membantunya.

Karena sesungguhnya beradaptasi dengan lingkungan kerja baru


saja sudah cukup melelahkan dan mendebarkan. Belum lagi ditambah
dengan komentar penting tak penting dari orang yang tak benar-
benar penting. Jadi kalau dengan NIP saja orang sudah tahu status
kita, alangkah bahagianya.

Tanpa harus menjawab mengapa dan nanti bagaimana, percayalah,


terutama bagi ASN, dengan menatap deretan angka NIP, tentu kami
sudah sering memikirkan sudah berapa lama kami hidup, kapan
idealnya usia produktif, kapan dan dimana kami harus menentukan
untuk settle down, dan menikmati indahnya masa purna bakti, dan
tentunya didampingi orang-orang tersayang.

63
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Pikiran itu hampir selalu terlintas kok, saat melihat NIP kami
masing-masing. Jadi, NIP… Semoga kamu makin informatif demi
berkuranggnya beban kami—ASN single, di mana pun kami mengabdi.

64
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 16 –

Perilaku Budaya Birokrat


Zaman “Die-Hard”
Marudut R. Napitupulu

S
alah satu topik menarik setiap kali saya ketemuan dengan
senior pensiunan perencana anggaran adalah keunikan
dalam proses tata kelola anggaran zaman dulu dan
sekarang. Topik ini seolah tak pernah habis untuk diceritakan. Pun
ketika saya bertemu dengan seorang senior, yang masih tampak
muda dan energik, di salah satu kedai kopi di Kota Kembang, Bandung,
cerita menarik itu pun masih dapat saya nikmati kerenyahannya.

Setelah bertegur sapa, beliau pun bertanya kepada saya,


“Bagaimana sekarang, Bro, apa masih banyak honor tim di
tempatmu?”

“Beda sekarang, Bos. Sudah sangat efisien, hampir tidak ada lagi
tim,” jawabku.

Seakan setengah tidak percaya, beliau lanjut bertanya. “Lah, kok


bisa? Lupa itu teman-teman, honor tim itu kan satu-satunya indikasi
kalau kita bekerja dan dianggap mendukung pimpinan.”

“Maksudnya, Pak?” tanyaku sambil terheran-heran.

65
65
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Ya, iyalah. Di zamanku belakangan sebelum pensiun, sudah jadi


pemahaman bersama kalau gaji itu diterima karena punya SK PNS.
Tunjangan itu diterima karena mengisi daftar hadir, karena absen... Ya
kalau kita benaran kerja, ya dapat honor, hehehehe...,” jawabnya
sambil tertawa.

Saya pun ikut senyam-senyum menikmati pembicaraan kami


sambil menyeruput kopi. Tetapi menurut saya, kondisi birokrasi
sekarang sudah jauh berbeda dengan dekade sebelum reformasi.
Banyak praktik-praktik tata kelola manajemen publik yang sudah
diterapkan, meskipun di sana-sini masih perlu ditingkatkan.

“Bagaimana dengan perencanaan anggaran sekarang? Apa masih


kayak zaman dulu, setiap tahun usulkan naik dua puluh persen, nanti
dipotong sepuluh persen, ujung-ujungnya naik sesuai inflasi. Apa
sudah berubah?”

“Sekarang sudah berubah Pak. Semuanya menggunakan


pendekatan logic model. Harus jelas dari tujuan sampai cara
mencapai tujuannya kalau tidak proposal ditolak sama orang
anggaran,” jelasku.

“Logic model? Dari dulu juga sudah ada! Emangnya kalian kira
kami dulu tidak logic apa? Hehehe…,” tukas beliau agak sinis.

Saya pun lalu menjelaskan kerangka pendekatan anggaran yang


baru yang disebut Arsitektur dan Informasi Kinerja yang disingkat
ADIK. Saya menjelaskan perlunya hubungan logis sebab-akibat
antara outcome, output, process dan input di tengah-tengah
keterbatasan anggaran.

Mencari cara yang paling efektif mencapai tujuan menjadi holy


grail tata kelola modern yang profesional. Cara-cara lama,
mengerjakan sesuatu dengan rutinitas berulang-ulang sudah tidak
66
66
Mozaik Humor Birokrat Menulis

mendapatkan tempat. Inovasi birokrasi dituntut bersandingan dengan


era digitalisasi saat ini. Meskipun tidak semuanya berjalan mulus. Di
mana-mana aplikasi menjamur, seperti fenomena “demam aplikasi”.

Setelah saya jelaskan, beliau tetap tampak skeptis meskipun


berapa kali manggut-manggut seolah memahami.

Kemudian beliau bertanya agak serius, “Coba kau ulang lagi logic
model yang baru... Apa tadi? Input…terus?”

“Iya, Pak… input, process, output, outcome,” sahutku.

“Outcome, apa itu maksudnya?” balas beliau.

“Outcome itu hasil Pak… Hasil dari rangkaian input sampai output
yang tentunya harus bisa diukur dengan indikator.” Aku menjelaskan.

“Tetapi ada yang kurang itu… Kok hanya berhenti sampai outcome,
logic model-nya? Belum logis,” sanggahnya dengan nada suara agak
meninggi.

“Gak logis dimana Pak? Itu sudah kerangka baku berdasarkan


praktik di negara maju.”

“Tidak, Bro… Tetap ada yang kurang. Coba ya, saya ulang… Input,
process, output, outcome... lah income-nya mana?? Income, Income...
Pemasukan… Hahahahaha…” Beliau menjelaskan sambil terbahak-
bahak.

“Ah, Bapak ini, ada-ada aja….” Aku ikut tertawa.

Era birokrasi sekarang memang berbeda di tengah-tengah


perbaikan remunerasi. Birokrat milenial hampir sebagian besar
sudah tidak mengutamakan tambahan penghasilan menjadi semata-
mata faktor yang utama dalam berkarier.

67
67
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Mereka lebih menuntut adanya aktualisasi diri, pengembangan


karier serta suasana organisasi yang sehat. Setidaknya itu yang saya
amati di tempat saya bekerja. Misalnya, promosi sudah berdasarkan
merit-based bukan lagi karena urutan kepangkatan semata. Tak
jarang komunikasi dalam bekerja sudah lebih efektif dengan
menggunakan media komunikasi elektronik seperti Whatsapp. Lebih
cepat dan murah.

Ya, efisiensi birokrasi terus bergema ditempat saya bekerja,


terutama dalam hal membatasi honorarium tim, perjalanan dinas,
rapat di hotel, konsinyering, konsumsi, percetakan, penjilidan dan lain
sebagainya. Perubahan itupun saya jelaskan ke beliau sebagai senior
supaya mendapat gambaran adanya perbaikan yang signifikan dalam
birokrasi.

“Jadi sekarang perjalanan dinas sudah tidak bisa bohong-bohong


lagi, numpang stempel kayak zaman dulu?” tanya beliau.

“Benar, Pak. Sudah banyak berubah. Sudah pakai mekanisme at


cost. Jadi biaya yang di-SPJ-kan benar-benar biaya yang nyata
dikeluarkan oleh pegawai. Memang masih ada uang harian Pak. Cuma
jumlahnya kecil bahkan ada eselon I yang dipotong dua puluh persen,
ada yang dihemat lima puluh persen. Meskipun ada yang masih
memberikan full, tetapi mengurangi jumlah hari dan pegawai yang
melakukan perjalan dinas.” Aku menjelaskan sedikit panjang.

“Wah, gitu yah… Tapi, kok bisa beda-beda?” tanyanya


memperdalam.

“Wah, saya kurang tahu Pak. Mungkin tergantung komitmen


pimpinannya.”

“Aneh juga yah…. Kalau misalnya perjalan dinasnya gak benar, itu
yang dipotong lima puluh persen, nanti setengah hari masuk neraka,
68
68
Mozaik Humor Birokrat Menulis

setengah hari masuk surga kali, yah? Hehehe…,” tambah beliau


setengah jengkel.

“Kalau surga-neraka saya gak ikutan, Bos. Hehehehe…”

***

Demikianlah pembicaraan saya dengan salah seorang senior


pensiunan perencana keuangan. Memang, masih banyak praktik-
praktik unik di birokrasi meskipun Indonesia sudah memasuki era
modernisasi, reformasi bahkan transformasi.

Pengalaman negara maju mengajarkan bahwa reformasi birokrasi


itu tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. Setidaknya sekarang ini,
antar generasi birokrasi sudah terlihat perbaikan yang signifikan,
terutama pemanfaatan teknologi informasi. Namun, apapun
perubahan teknik birokrasi modern, tidak akan selaras jika tidak
diikuti perubahan pola pikir (mindset) yang menjadi roh budaya
birokrasi itu sendiri.

Para senior telah memberikan yang terbaik di zaman mereka,


ditengah-tengah keterbatasan banyak hal, termasuk minimnya
remunerasi yang menuntut teknik die-hard mencari sumber
penghasilan lain. Itupun harus kita apresiasi dan tidak mudah
menyalah-nyalahkannya.

Semoga label die-hard birokrat Indonesia zaman dulu bisa menjadi


redefinisi budaya die-hard baru untuk memberikan kepuasan
pelayanan yang terbaik bagi rakyat (outward-looking) bukan
kepuasan bagi dirinya sendiri (inward-looking).

69
69
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 17 –

Gara-Gara Label
Andi P. Rukka

P
ernah dipimpin oleh orang yang sebelumnya anak buah
sendiri?

Ngenes pastinya, ya? Tadinya biasa nyuruh-nyuruh, eh,


malah balik disuruh-suruh. Itulah yang dialami Ardin,
seorang pegawai dengan pangkat tertinggi yang
kemudian justru menduduki jabatan terendah di unit kerjanya, yaitu
pelaksana. Bawahannya tinggal pegawai tidak tetap yang umurnya
sepantaran dengan anak pertamanya.

Meski berada di titik terendah dalam perjalanan kariernya, Ardin


tetap enjoy. Sejujurnya, kadang-kadang dadanya terasa sesak jika ia
diperlakukan tidak adil oleh mantan bawahan yang kini jadi atasannya.
Kadang sudut mata wanita itu terlihat mencibir ke arahnya.

Ah, mungkin hanya perasaanku saja, pikir Ardin menghibur diri.


Tetapi ia tidak bisa benar-benar membuang perasaan itu dari hatinya
walau sudah berusaha husnuzan. Sehingga, agar menjauh dari
perasaan seperti itu, ia selalu berusaha menghindar dari atasannya
itu.
70
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Ardin tetap rajin masuk kantor dan sesekali ditugaskan ke luar


daerah untuk melaksanakan tugas remeh-temeh. Ia juga diberi tugas
khusus di kantor sebagai pengawas Kawasan Tanpa Rokok yang
diterimanya dengan setengah hati karena ia paham bahwa itu hanya
sebuah cara dari atasannya untuk tetap menghormatinya.

Seperti hari ini, Ardin kembali mendapat tugas menghadiri


pertemuan di ibukota provinsi. Awalnya ia enggan ikut karena
mengira bosnya juga akan hadir. Namun, setelah diyakinkan oleh
pengawasnya bahwa si bos menghadiri acara lain yang penting, dan
juga karena sudah tidak ada orang lain yang bisa menghadiri acara
tersebut selain dia, akhirnya Ardin menerima.

Berangkatlah ia menumpang mobil angkutan umum menuju


ibukota provinsi. Check in di hotel, registrasi dan akhirnya masuk
menempati tempat duduk yang cukup “berani”. Shaf kedua dari depan,
tepat di depan layar proyektor. Alasannya sederhana, acara seperti
ini biasa membosankan sehingga dibutuhkan upaya ekstra keras
untuk bisa bertahan dari serangan kantuk.

Di lain pihak, Ardin suka memanfaatkan kesempatan seperti ini


agar otaknya tidak membeku. Kalaupun ia terpaksa meninggalkan
ruangan pertemuan, itu hanya karena hajat yang sudah tak bisa
dibendungnya. Maklumlah, sejak resign dari jabatan terakhirnya,
Ardin sudah jarang menggunakan otaknya untuk memikirkan
pekerjaan.

Setelah acara itu berlangsung selama lebih dua jam, datanglah


serangan hajat dari dalam diri Ardin. Ia kebelet pipis. Meski berusaha
bertahan sekuat tenaga, ia tetap tidak berhasil. Hawa dingin dari
penyejuk ruangan turut berpartisipasi mempercepat metabolisme
tubuhnya. Setelah mengacungkan tangan ke arah nara sumber yang

71
Mozaik Humor Birokrat Menulis

dibalas dengan anggukan, Ardin dengan enggan beranjak dari tempat


duduknya.

Dalam perjalanan menuju pintu keluar, mata Ardin tiba-tiba


membentur sosok seorang pria yang sangat dikenalnya,
pengawasnya, yang berjanji tidak akan hadir di acara itu. Meskipun
terkejut dan heran, Ardin tetap menganggukkan kepala sambil
tersenyum. Pria yang usianya lebih muda 10 tahun dari Ardin itu duduk
di shaf paling belakang dan tampak lelah karena sepertinya baru tiba
di tempat itu.

“Baru datang?” bisik Ardin pada pengawasnya itu.

“Iya, Pak.”

“Sama siapa?”

“Bos.”

Ardin menelan ludah.

“Beneran?”

“Iya.”

“Mana?”

“Di luar. Belum mau masuk.”

“Kenapa?”

“Ndak tahu.”

“Katanya lagi ada acara?”

“Iya, tiba-tiba dia ingin ke sini,” jawab pengawas itu dengan nada
dongkol yang gagal dia sembunyikan.

72
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Ardin terdiam. Dalam hati ia menggerundel. Ingin rasanya kembali


ke tempat duduknya dan melihat ke layar sampai acara selesai agar
ia tidak perlu bertemu dengan bos perempuan bekas bawahannya itu.
Tetapi karena kebelet pipis, akhirnya ia mantapkan hati dan pamit
keluar. Diam-diam ia berharap tidak bertemu dengan wanita itu di
luar sana.

Dengan langkah ragu-ragu, Ardin menuju pintu keluar. Perlahan


dibukanya pintu itu sambil mengintip keluar. Paras yang amat
dikenalnya itu tidak terlihat. Daun pintu dibuka lebih lebar sehingga
ruang pandangnya juga melebar, wanita itu tetap tidak terlihat.
Semoga ia benar-benar tidak ada.

Ardin keluar dan menutup pintu di belakangnya. Ia mengedarkan


pandangan ke seputar lobi dan merasa lega karena orang yang
dicarinya tidak ada. Hmm, mungkin sedang ada urusan di luar,
pikirnya.

Satu urusan selesai. Sekarang tinggal menyelesaikan urusannya


dengan toilet. Pandangannya kembali mengitari ruangan. Begitu
matanya membentur tulisan toilet di salah satu pojok ruangan, Ia pun
bergegas menuju ke arah yang ditunjuk oleh tulisan itu. Tempat itu
adalah sebuah selasar yang merupakan akses ke tangga darurat. Di
sisi kirinya berjejer dua buah pintu almunium. Ini pasti toiletnya, bisik
hati Ardin.

Pada pintu sebelah kanan terpasang label “female” berukuran


kecil. Sedangkan di pintu kiri tidak ada label sama sekali. Perlu
sedetik dua detik bagi Armin untuk memastikan ia memegang handle
pintu yang tepat lalu memutarnya. Terkunci. Samar terdengar bunyi
percikan air di balik pintu. Pasti ada orang di dalam, batin Ardin
sambil berdiri menunggu.

73
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Ardin bersiap masuk ketika mendengar gerendel pintu toilet itu


bergerak. Di luar dugaan, di depan Armin berdiri sesosok perempuan
yang amat dikenalnya sekaligus ingin selalu dihindarinya. Hampir saja
jantung Ardin meloncat keluar karena kaget. Wanita itu pun sempat
terkesiap. Tetapi dengan cepat menguasai dirinya kembali.

“Silakan, Pak,” katanya.

Ardin meneliti kembali label “female” yang ada di pintu sebelah.

“Toilet wanita yang sebelah, Bu. Ini untuk pria,” kata Ardin dengan
nada memprotes. Sebenarnya itu hanya jurus menutupi
kegugupannya.

“Tidak ada labelnya,” jawab bosnya dengan enteng.

“O, iya. Tapi kan di sana ada label wanitanya, Bu. Berarti di sini
mestinya bukan untuk wanita.”

“Pokoknya tidak ada label prianya. Jadi saya pakai saja.”

“Okelah kalau begitu. Silakan, Bu…,” tukas Ardin sambil memberi


jalan. You’re the boss. Ardin teringat anekdot tentang pria yang masuk
ke toilet wanita dan mencari alasan pembenaran ketika ditegur bahwa
toilet ini untuk wanita, lalu menunjuk “miliknya” untuk wanita juga.
Mungkin ibu bosnya ini juga berpikir begitu. Ardin hanya tersenyum
kecut dan melampiaskan hajatnya di urinoir yang ada di toilet itu.

74
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 18 –

Oh CPNS,
SPPD Disangka SKPD
Muhammad Kasman

P
agi yang sibuk sekali. Sejak subuh, aku sudah mondar-
mandir dari kamar panitia ke aula tempat pelaksanaan
kegiatan yang akan berlangsung pada jam sembilan pagi ini.
Sebagai staf di Sub Bagian Perencanaan yang paling senior, saya
diberikan amanah sebagai Sekretaris Panitia. Maka demikianlah, saya
sudah super ripuh sepagi ini.

Untuk memudahkan jalannya acara, semua rekan panitia sudah


saya distribusi untuk menangani pernak-pernik kegiatan secara
spesifik. Ada yang mengurusi acara, ada yang mengurusi
administrasi, juga ada yang sibuk soal konsumsi.

Seorang pegawai baru yang masih berstatus CPNS, saya


tempatkan di tempat registrasi peserta dengan pertimbangan posisi
itulah yang paling sedikit beban tanggung-jawabnya. Semoga ini bisa
jadi media pembelajaran yang baik baginya.

Semua harus kupastikan tidak ada masalah, sebab rencananya,


kegiatan ini akan dibuka langsung oleh Gubernur Sulawesi Selatan.
Bila ditilik dari persiapan si anak baru, saya menyimpulkan bila tugas

75
Mozaik Humor Birokrat Menulis

itu akan mudah dia kerjakan, sepertinya dia pribadi yang lumayan
perfeksionis.

Lembar absensi dan pulpen sudah dia siapkan. Tanda pengenal dan
bahan kegiatan juga telah tertata rapi, tinggal dibagikan ke setiap
peserta yang telah mengisi absensi. Maka dengan tenang aku
meninggalkan Fahmi—pegawai baru itu—di belakang meja registrasi.
Masih banyak hal yang harus saya cek sekali lagi.

Ketika mengecek kesiapan paduan suara yang akan


mengumandangkan lagu Indonesia Raya dan Mars Sulawesi Selatan,
tiba - tiba terdengar suara dua orang yang bersitegang dari arah meja
registrasi. Kulihat, Fahmi berdiri dari kursinya dan mencoba
menjelaskan sesuatu kepada salah seorang peserta. Nampaknya
orang itu adalah Pak Iskandar, Inspektur Kabupaten Bone. Memang
terkadang dia bertindak berlebihan begitu bila dia merasa benar.

“Apa maksud Saudara menanyakan SKPD? Curiga, saya ini peserta


ilegal?” tanya Pak Iskandar dengan mata mendelik.

“Saya Cuma menjalankan tugas, Pak. Lagi pula saya tidak


menanyakan, Pak, saya meminta. Sesuai prosedur kami, SKPD
diserahkan di sini." Fahmi mencoba menjelaskan dengan tingkat
kepercayaan diri yang tinggi.

“Kamu tidak tahu ya? Saya ini Inspektur, berarti saya orang
Inspektorat!” Suara Pak Iskandar menaik, pertanda emosinya sudah
mulai terpancing.

"Betul, Pak. Saya cuma minta, SKPD Bapak tolong diserahkan di


sini."

Lagi-lagi Fahmi tak mau kalah, Pak Iskandar terlihat tersenyum


kecut.
76
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Bagaimana caranya SKPD dikumpul? Adakah SKPD lain yang


hadir? Setahuku, acara ini hanya dihadiri oleh utusan Inspektorat,"
ujar Pak Iskandar sambil berbalik, memandang ke arah peserta lain
yang mulai antri di belakangnya menanti giliran registrasi.

"Assalamualaikum, bagaimana kabar Pak Iskandar?" seruku


mencoba memecahkan ketegangan.

"Ah, Pak Mahmud… Untung kau datang." Pak Iskandar mendekat


dengan tersenyum lalu menjabat erat tanganku.

"Tolong kau jelaskan dulu ke anggotamu itu, mana ada SKPD


dikumpul?"

Serunya lagi sambil melirik ke arah Fahmi. Kulihat Fahmi mau


angkat bicara, tapi saya memberi kode agar dia diam saja dan tak
usah membantah.

"Oh, mungkin dia salah pengertian, Pak. Dia mau minta SPPD, tapi
dia bilang SKPD. Maklum, Pak, dia masih CPNS," terangku sambil
mencoba menenangkan Pak Iskandar.

Tiba-tiba Pak Iskandar mendekati meja registrasi. Kulihat Fahmi


duduk di kursi sambil bermain dengan telepon genggamnya.

“Anak muda, bukan SKPD yang seharusnya kau minta, tapi SPPD!
Tolong belajar yang baik ya, SKPD itu Satuan Kerja Perangkat Daerah,
sedang SPPD itu Surat Perintah Perjalanan Dinas. Bedakan, dong!
Jangan jadi PNS yang bisa membuat malu birokrasi," pungkas Pak
Iskandar sambil mengacungkan telunjuk ke arah Fahmi, seperti gaya
seorang guru menasehati murid yang terlambat.

Setelah puas melepas unek-unek, Pak Iskandar menyerahkan map


yang berisi SPPD-nya ke Fahmi, terus berlalu dengan tergelak,
mungkin suasana hatinya sudah membaik. Kulihat muka Fahmi
77
Mozaik Humor Birokrat Menulis

memerah bak buah naga, mungkin memendam malu yang


menggumpal. Kudekati ia, lalu aku berbisik, memberinya motivasi.

“Tenang, ini pelajaran berharga. Kejadian yang seperti inilah yang


bisa membuat kita menjadi pribadi PNS yang profesional.” Kutepuk
pundaknya, lalu aku berlalu dengan menahan tawa.

78
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 19 –

Senyum Aneh Pak Polisi


di Pagi itu
Ilham Nurhidayat

K
isah ini adalah cerita nyata. Kejadiannya lebih dari
seperempat abad yang lalu. Di suatu pagi yang sejuk karena
pada malam harinya hujan lebat mengguyur wilayah Tegal—
kota yang memiliki julukan Kota Bahari—seorang lelaki paruh baya
yang berprofesi sebagai pegawai negeri menjalani rutinitasnya
berangkat ke kantor.
Pak Djahoeri, begitu nama lelaki yang berseragam Korpri itu,
tampak tergesa-gesa mencoba menghidupkan mesin motor Vespa
tuanya. Setelah engkolan kelimanya, “Toktoktoktoktok..” terdengar
bunyi khas mesin skuter tua. Lelaki yang parasnya yang mulai menua
itu bergegas menaiki jok motor vespanya sampai-sampai uluran
tangan sang istri yang mencoba mencium tangannya pun disambut
tak sehangat biasanya.
Matahari mulai meninggi. Rupanya waktu telah menunjukkan pukul
06:30 WIB. Pak Djahoeri segera memacu Vespanya. Pagi itu ada
upacara di pendopo kabupaten tempat ia bekerja. Kantor Pemkab
Tegal berjarak hampir 20 kilometer dari kediamannya, Perumahan
Griya Mejasem Baru, kompleks perumahan yang saat ini terbilang
cukup padat untuk wilayah Tegal dan sekitarnya.

79
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Sebenarnya, jalur Mejasem—Slawi mulai ditempuhnya setiap hari


kerja baru selama empat tahun belakangan ini. Pasalnya, sejak
pertengahan 1989, perkantoran Pemkab Tegal berpindah lokasi dari
kawasan Pendopo Ki Gede Sebayu yang terletak di pusat kota Tegal
ke kota Slawi yang berada di daerah selatan Tegal.
Pagi itu, Pak Djahoeri harus menahan diri untuk memacu Vespanya
karena arus lalu lintas hari Senin begitu padat. Semua moda
kendaraan tumpah ruah di jalanan, mulai dari sepeda onthel yang
dikayuh anak-anak berseragam sekolah sambil bercengkerama,
hingga kendaraan umum sejenis mikrolet—masyarakat tegal
menyebutnya dengan istilah “taksi”—yang berebut saling mendahului.
Untuk menuju kantornya, Pak Djahoeri harus melalui beberapa
perempatan bangjo 12 . Biasanya, setiap kali melewati pos polisi,
beberapa polisi muda yang tengah mengatur lalu lintas memberikan
senyum sembari menyapa hormat dirinya, “Selamat pagi, Pak Bewok,
ngatos-atos 13 di jalan”. Pak Djahoeri dengan senyum khasnya pun
balas menyapa.
Panggilan Pak Bewok—istilah lain dari jenggot dalam bahasa
Jawa—menjadi sapaan akrab banyak orang kepada dirinya. Saking
lebatnya jenggot yang dimilikinya, banyak orang mengira beliau
adalah keturunan dari Timur Tengah.
Pak Djahoeri termasuk orang yang humble dan mudah bergaul.
Buktinya, banyak orang dari berbagai kalangan yang kenal baik
dengannya, mulai dari tukang becak, preman pasar dan terminal,
pekerja jalanan, hingga pejabat dan anggota DPRD.
Rasanya tidak begitu aneh, mengingat dalam kesehariannya, Pak
Djahoeri adalah pegawai di Bagian Hubungan Masyarakat (Humas).
Pak Djahoeri menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan
peliputan berbagai kegiatan yang dilakukan Pemkab Tegal.

12
traffict light
13
hati-hati
80
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Alhasil, pekerjaan tersebut membawa dirinya sering terjun


langsung ke lapangan untuk meliput berbagai kegiatan pembangunan
hingga ke desa-desa perbatasan dan lokasi-lokasi terpencil.
Diluar aktivitasnya sebagai pegawai Pemkab, Pak Djahoeri juga
dikenal sebagai tukang foto acara keluarga seperti resepsi
pernikahan. Ia juga merupakan seniman sekaligus wartawan
beberapa koran harian di wilayah Jawa Tengah.
Namun, pagi itu Pak Jahoeri merasakan ada kejanggalan yang
belum pernah dia rasakan pada hari-hari sebelumnya. Saat melintasi
perempatan maupun pertigaan, beberapa petugas polisi
memandangnya dengan tajam dengan senyuman yang tertahan.
Mereka bertingkah tak seperti biasa. Seperti hendak menyapa
sekaligus menyampaikan sesuatu kepada Pak Djahoeri sambil
memegang kepala namun urung mengungkapkannya.
Ada apa gerangan ya…? Kok mas-mas polisi itu berperilaku aneh?
Tidak seperti biasanya…, gumam Pak Djahoeri dalam hati.
Senyumnya tertahan, tidak seperti biasanya. Seperti mau ngomong
sesuatu tapi gak jadi, pikir Pak Djahoeri.
Setibanya di parkiran motor komplek pendopo Kabupaten Tegal,
perasaan aneh yang membuncah itu pada akhirnya terungkap.
Saat menengok kaca spion Vespanya, Pak Djahoeri pun tak tahan
melepas tawanya sambil berkata, Oalaaaahh, pantesan mas-mas
polisi pada senyum-senyum sendiri. Mau bilang ke saya tapi sungkan.
Rupanya sepanjang perjalanan tadi, dari rumah ke kantor yang
hampir dua puluh kilometer itu, saya tuh gak pakai helm!
Saya cuma pakai peci hitam ini, sampai-sampai mereka gak tega
menegur apalagi menilang saya. Matur nuwun atas senyum anehmu
di pagi ini, Mas Polisi, begitu kira-kira ungkapan perasaan Pak
Djahoeri.

81
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 20 –

Nasihat Bang Sitorus


Rista Nur Farida

J
oni menatap nanar layar handphone. Kedua jempolnya siap
menari di atas keyboard. Sudah lima menit berlalu, namun dia
belum berhasil memunculkan satu huruf pun di layar itu.
Dia membaca lagi. SMS yang diterimanya bukanlah pe er logaritma
yang kadang ditanyakan adiknya di kampung, melainkan sebuah
pesan singkat dari ibu.
Le, kirimi ibuk uang. Wis tiga bulan kami makan nasi-kecap thok.
Akhirnya dia memutuskan membalas, Nggih, Bu. Lalu beranjak
pergi untuk mengirim sejumlah uang dan membeli mie instan buat
dirinya sendiri. Sudah berhari-hari menu makannya hanya mie instan.
Itu pun dia makan sehari dua kali dan kalau tidak mau kena usus
buntu, maka dia harus melakukan sesuatu.
***
“Kau mau nawarin proposal? Ke pemerintah? Bah! Percuma. Gak
akan ada untungnya. Bakal kena pajak kau.”
“Ah, abang. Masa gitu amat sama kantor sendiri. Gak percayaan.”
“Kau yang tidak percaya sama Abang.”

82
82
Mozaik Humor Birokrat Menulis

“Tapi ini proposal bagus, Bang. Bayangin, dengan teknologi,


pelayanan publik bisa lebih cepat. Kan banyak tuh, keluhan
masyarakat. Saya baca di Facebook, di Twitter, katanya pelayanan di
kantor Abang itu lama, masih manual, nggak integrated. Bilang aja
kantor Abang butuh aplikasi kayak apa, nanti saya bikinin.”
“Kantor kami itu sudah kebanyakan aplikasi, Jon. Abang saja
pusing pakainya. Saking banyaknya, abang sampai gak hapal
namanya.”
“Mungkin karena itu belum terintegrasi, Bang. Mestinya cukup
pakai satu aplikasi saja. Istilahnya one stop system. Jadi satu aplikasi
untuk semua.”
Pria yang dipanggil Abang adalah tetangga Joni. Meskipun
rumahnya hanya beda satu pengkolan, tapi dari segi kualitas dan
status kepemilikan rumah jelas berbeda. Tetangganya adalah seorang
pegawai di instansi pemerintah, sementara dia hanya seorang pekerja
paruh waktu dari seorang klien yang sering telat membayar upah
untuk setiap milestone yang sudah berhasil dia kerjakan.
“Bisa bantu saya kan Bang? Kasih tau aja, saya harus ketemu siapa
di sana. Pokoknya hasil kerjaan saya gak akan ngecewain deh. Kalo
perlu saya kasih garansi servis sampai puas.”
Pria itu berpikir sejenak sebelum akhirnya buka suara.
“Gini, kalau kau datang ke kantor, ketemu satpam, bilang saja kau
mau bertemu Darmono. Dan kalau mereka tanya, coba bilang kau
saudara Sitorus. Sihar Sitorus. Saya gak tau Darmono itu kenal
Sitorus atau tidak, tapi siapa tau nama saya berguna.”
***
Di pagi berikutnya, Joni merapikan diri di depan kaca. Dia memang
bukan jebolan universitas ternama. Nama kampusnya tidak familiar
bagi sebagian orang, ditambah transkrip nilai yang tidak mumpuni.

83
83
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Mungkin itulah sebabnya belum ada perusahaan yang mau


menerimanya menjadi pegawai tetap.
Bermodalkan setelan terbaik yang dia punya dan juga
pengalamannya sebagai software designer, dia menenteng map berisi
proposal. Langkahnya mantap menuju lobi gedung salah satu instansi
pemerintah sambil terus merapal mantra, “Abang Sihar Sitorus
adalah saudara.” Entah kenapa kepercayaan dirinya meningkat
berkali lipat setiap dia merapal mantra.
Resepsionis di lobi mengarahkannya ke lift untuk menuju lantai
dua. Sebelum pintu lift tertutup, Joni sempat membaca tulisan di
sebuah standing banner di seberang pintu lift. Banner itu berbunyi:
“Terima Kasih Karena Tidak Melakukan KORUPSI, KOLUSI, dan
GRATIFIKASI di Kantor Ini”. Joni tersenyum. Tulisan di banner itu
membuat hatinya tenang.
Sesampainya di lantai dua, seorang wanita mengantarkannya ke
ruang Pak Darmono. Ternyata yang disebut Pak Darmono adalah
seorang pria berusia sekitar setengah abad dengan perawakan tinggi
besar. Joni dipersilakan duduk dan segera saja dia mengutarakan
maksud kedatangannya dan siapa yang membawanya kemari.
“Jadi, Mas Joni masih saudara sama Bapak Sitorus?”
“Nggih, Pak.”
“Masnya nawarin proposal...?”
“Proposal pembuatan aplikasi Pak, yang terintegrasi. Saya sering
menemukan keluhan masyarakat di sosial media tentang buruknya
pelayanan di instansi Bapak.”
“Hmm...Begitu?”
“Nggih, Pak. Mereka mengeluhkan tentang lamanya pelayanan dan
prosedur yang berulang. Dan kalau Bapak lihat review di Google,
instansi bapak itu ratingnya rendah, Pak.”

84
84
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Joni mengawasi Pak Darmono yang membolak-balik proposal


sambil sesekali manggut-manggut. Joni menunggu reaksi lain, atau
pertanyaan, atau apa saja selain reaksi manggut-manggut itu. Dan
setelah rasanya seabad, dia mendengar pintu luar diketuk.
Rupanya ada tamu datang, sekitar lima atau enam orang. Dua di
antara mereka mengenakan seragam yang sama seperti Pak
Darmono, sementara yang lainnya mengenakan batik atau setelan
formal. Kalau dilihat dari ramainya sambutan dan eratnya jabat
tangan, sepertinya mereka sudah sering bertemu. Karena tidak ada
yang menyuruhnya keluar, Joni memutuskan untuk duduk diam di
kursinya.
Kursi yang sedang diduduki Joni adalah kursi hadap, dengan meja
penuh berkas dan map. Sementara tamu yang baru saja datang
dipersilakan duduk di sofa di ujung ruang. Sofa itu terlihat empuk
dengan bantal kursi tebal, di depannya ada sebuah meja panjang
dengan deretan camilan. Meskipun antara Joni dan tamu-tamu itu ada
semacam penyekat ruang, Joni masih bisa mencuri dengar.
Joni tidak begitu paham apa yang sedang dibahas tapi sepertinya
tamu-tamu itu bukan software designer dan tidak sedang
menawarkan desain software seperti dirinya. Maka, untuk saat ini dia
merasa aman karena tidak ada saingan.
Saat Joni mulai terkantuk-kantuk menunggu, terdengar celetukan
yang membuat kantuknya seketika hilang.
“...ya gampanglah itu.”
“...asal ada lebihan.”
“...ya refreshing-lah.”
“...sawerannya gimana?”
Kemudian suara terbahak.

85
85
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Entah sudah berapa lama dia duduk diam menunggu. Kakinya


mulai kesemutan dan kata “saweran” sesekali masih juga terdengar.
Tak lama Joni menangkap bayangan bergerak yang menandakan
pembahasan saweran sudah selesai. Dia menyibukkan diri dengan
membolak-balik lembar proposal dan menunduk khusyuk saat tamu-
tamu itu melewati dirinya.
Terdengar salam perpisahan lalu suara pintu ditutup. Joni masih
saja menunduk khusyuk sampai sebuah suara menyapanya,
“Ah, mas Joni masih di sini rupanya. Jadi, mas Joni siap nyawer
berapa?”
***
Kepala Joni pening. Ingin sekali rasanya dia menekan tombol lift
dengan kepala, tetapi karena kepalanya terlalu besar untuk ukuran
tombol lift yang kecil berdempet, maka dia memutuskan menekan
tombol dengan telunjuk saja.
Pintu lift terbuka di lantai 1. Dia melangkahkan kakinya keluar dan
hampir tidak bisa membaca tulisan di standing banner seperti yang
dilihatnya pagi tadi. Karena sebagian besar banner tertutup
rombongan pegawai yang tangannya penuh menenteng bungkusan.
Kalau tercium dari aromanya, bungkusan itu pastilah berisi makanan.
Joni melirik jam tangannya, pukul sebelas.
Joni terus melangkah keluar lobi yang kemudian langsung
disambut teriknya matahari. Aroma bungkusan yang dibawa orang-
orang itu sungguh mengganggu cacing-cacing di dalam perutnya.
Asam lambungnya naik begitu dia ingat harus menyetok mie instan
lebih banyak lagi sekarang.
Dia tidak lagi melangkah, melainkan menyeret kakinya ke parkiran,
menyalakan motor bututnya dan mengendarainya dengan pelan.
Harusnya dari awal saya dengerin nasihat Bang Sitorus, batinnya
saat satpam di pintu gerbang mengangguk hormat kepadanya.
86

86
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 21 –

Sebuah Surat di Jumat Keramat


Sofia Mahardianingtyas

H
alo. Perkenalkan namaku Ahmad, seorang pegawai negeri
sipil di sebuah instansi pemerintah pusat.
Ini adalah ceritaku tentang suatu hari yang akan selalu
kuingat. Hari ini, satu di antara sekian hari yang bersejarah dalam
hidupku. Satu hari Jumat yang terpilih di antara 52 hari Jumat yang
Tuhan ciptakan pada tahun 2019.
Mengapa keramat? Karena pada hari-hari Jumat yang tak bisa
diprediksi tanggal persisnya dua atau tiga kali dalam setahun
semacam ini, tiba-tiba terbit surat sakti di kantor kami. Mengapa
sakti? Sebab dengan surat ini kehidupanku sekeluarga bisa jadi
berubah menjadi sangat bahagia atau sebaliknya, berada di ambang
kekacauan, berserakan tak tentu jalan.
Sebenarnya, hanya ada dua buah kalimat singkat yang tertuliskan
dalam surat itu. Lugas, jelas, tetapi sangat tegas.

Memindahkan pegawai berikut:

AHMAD

Dari penempatan semula di Jakarta ke Kantor ***** di


Papua Barat.

Demikian untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung


Sekian detik tanpa kata-kata.
jawab.
87
87
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Speechless.
Surat sakti itu telah membuatku panik. Surat keramat itu juga telah
berhasil memporakporandakan keceriaan yang kubangun sejak pagi
tadi ketika melihat anakku tersenyum sumringah di balik pintu
gerbang memasuki sekolahnya.
Rifat, anakku, berkata, “Makasih ya, Abi telah mengantarkan kakak
ke sekolah pagi ini. Semangat ya Bi, cari rizki halal dan berkah untuk
kami”.
Seketika terbayang beberapa kemungkinan buruk yang akan
terjadi padaku dan keluargaku sebagai kelanjutan dari sepucuk surat
dengan dua kalimat sakti itu. Rupanya, satu dekade berdinas di
ibukota telah membuatku berada dalam zona yang terlalu nyaman.
Jakarta yang macet, individualis, dan penuh dengan polusi udara
dan suara telah menancapkan rasa sayang yang mendalam pada kami
sekeluarga. Rifat, anakku, bahkan telah terdaftar jadi murid di salah
satu sekolah menengah atas (SMA) swasta terbaik di kota
metropolitan ini.
Betapa bangga tak terkira ketika dia lulus seleksi masuk sekolah
itu beberapa bulan yang lalu. Tagihan uang pangkal dan uang
bangunan yang puluhan juta rupiah besarnya tak lagi kupedulikan. Ini
adalah konsekuensi yang aku harus terima dari kebijakan zonasi yang
mempersulitnya masuk sekolah negeri.
Bolehlah kami ayah ibunya makan nasi dengan garam asalkan
anak-anak kami, Rifat dan kedua adiknya, mendapatkan sekolah yang
terbaik untuk mereka. Untunglah, koperasi kantor masih
menyediakan pilihan untuk mendapatkan pinjaman yang bisa kami
angsur dengan potongan tunjangan bulanan.
Umi, maaf ya karena Abi harus pergi, tidak bisa kalian jumpai setiap
hari. Tenang Mi, walopun nanti semakin bengkak pengeluaran kita
untuk beli tiket pesawat Abi menengok kalian ke Jakarta, tetapi
setidaknya Abi bisa mencari pekerjaan sambilan di luar jam kerja.
88
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Tenang mi, keluarga kita akan tetap baik-baik saja, hanya harus
sedikit lebih bersabar untuk berkumpul komplit kita berlima.
Sebulan atau dua bulan sekali ya.
Begitu kira-kira narasi penjelasan yang akan kuberikan pada
istriku nanti di rumah, seusai sembahyang maghrib berjamaah.
Sepertinya bijaksana dan legawa. Akan tetapi, baru membayangkan
untuk mengatakannya saja, mataku sudah berkaca-kaca.
Menambah sepuluh juta rupiah untuk membeli tiket pesawat pergi-
pulang sebulan sekali mungkin masih bisa diakali dengan kerja
lembur dan honor lain yang resmi, selain berjibaku menambah
penghasilan sebagai penulis lepas di surat kabar. Aku terbiasa
menulis untuk menghilangkan kegalauan sekaligus memanfaatkan
masa-masa ketika jauh dari keluarga. Ketika tugas ke luar kota
beberapa hari misalnya.
Akan tetapi, sejujurnya bukan lagi soal bengkaknya pengeluaran
bulanan ini yang kutakutkan. Lebih dari itu, aku adalah seorang
penganut paham bahwa keluarga itu seharusnya selalu bersama-
sama. Seperti yang selalu dikatakan oleh orang tuaku di masa kecil
dulu.
Sayangnya, kali ini aku harus melanggarnya. Sejak resmi diangkat
menjadi abdi negara di negeri ini, tanda tangan telah kutorehkan pada
sebuah surat pernyataan: “bersedia ditempatkan di mana saja di
seluruh Indonesia”.
Yang jadi masalah adalah ketakutanku akan sulitnya mendidik anak
dari kejauhan sementara Rifat dan adik-adiknya masih sangat
membutuhkan kehadiran seorang bapak. Selain itu, keutuhan rumah
tangga dalam sebuah pernikahan jarak jauh, yang akan kujalani,
dipertaruhkan dengan kehadiran sebuah surat mutasi.
Betapa banyak mahligai pernikahan yang dirajut puluhan tahun
hancur seketika hanya karena suami dan istri berbeda domisili, atas

89
Mozaik Humor Birokrat Menulis

nama pengabdian pada negara. Teman-temanku telah banyak


mengalami itu.
Sedih rasanya saat aku, yang kebetulan menjadi pengawas
kedisiplinan pegawai, harus terbang jauh dari Jakarta ke kantor di
daerah, menginterogasi temanku sendiri yang melanggar aturan
disiplin kepegawaian. Salah satu fakta yang paling sering kutemui
ialah ketidakharmonisan rumah tangga karena adanya orang ketiga.
Penyebabnya? Karena terlalu sering jauh dari keluarga. Miris.
Tak bisa diingkari, setiap lelaki membutuhkan kehadiran istri dan
buah hati untuk menyegarkan kembali segala lelah sepulang kerja,
mengantarkannya pada sebuah tempat peraduan yang nyaman
bernama rumah. Rumah adalah keluarga, seperti apapun bentuknya.
Baik rumah kontrakan maupun rumah milik sendiri yang dicicil
dengan kredit bulanan.
Belum lagi soal makanan dan segala sesuatu berkaitan dengan
kebutuhan harian. Bagi seorang lelaki sepertiku, menjadi single
fighter jauh dari istri bukannya memberikan kebebasan layaknya
bujangan. Akan tetapi, kembali menjadi single justru akan merusak
keseimbangan pola hidupku. Pada akhirnya, kombinasi antara
problematika jasmani dan psikis itu kemudian menjadi sebuah
kontradiksi bagi semangat kerja dan produktivitasku.
Hmmmmmmm.....
“Pak Ahmad, maaf, Pak. Silakan bangun, pesawat sudah mendarat
di Soekarno-Hatta sejak sepuluh menit yang lalu.”
Sebuah tepukan perlahan di bahuku disertai dengan suara seorang
pramugari muda membuatku terjaga. Ternyata, aku terlalu lelap tidur
selama penerbangan sejak dari Manokwari, hingga tak menyadari
bahwa seluruh penumpang lainnya telah turun dari pesawat yang
kami tumpangi.
Oh, rupanya surat sakti di Jumat Keramat itu tadi cuma mimpi.
Alhamdulillah.... Ini cuma perjalanan berkunjung empat hari dari
90
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Jakarta ke Manokwari, menggunakan surat tugas (ST) bukan surat


keputusan (SK) mutasi. Aku masih bisa bernafas lebih lega sekali lagi.
Besok Jumat, bisa jadi Jumat Keramat. Ah, aku tak peduli. Yang
penting saat ini aku masih di Jakarta bersama anak-anak dan istri.
Soal mutasi yang kapan saja bisa terjadi, kita pikirkan lagi nanti.
Lepas dini hari malam nanti, akan kupanjatkan doa kepada Yang
Mahakuasa supaya namaku tak muncul esok hari.
Sejujurnya, di sanubari ini masih kokoh terpatri semangat untuk
mengabdi kepada negeri. Tapi saat ini, kalau boleh aku menyampaikan
isi hati, akan kukatakan pada pimpinan: “mohon jangan pisahkan aku
dengan anak-istri”. Jika pada akhirnya memang aku harus mutasi, itu
pasti takdir pilihan ilahi. Ya, nanti ceritanya akan lain lagi.
Namaku Ahmad.
Duhai Jumat Keramat, segeralah lewat.
Jangan besok, suatu hari akan menyambutmu dengan hangat.

91
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 22 –

Punya Gelar itu


Ternyata Nggak Enak
Nur Ana Sejati

P
unya gelar itu ternyata nggak enak. Padahal waktu masih
SMA dulu sepertinya keren gitu, punya deretan gelar
dibelakang nama yang diberikan orang tua. Pokoke wow,
gitulah. Orang lain pasti jadi segen, atau minimal gumunlah ya.
Teryata setelah didapat, kok realitasnya super beda banget. Nggak
enak. Lha di mana enaknya, wong kita jadi nggak bisa bertingkah sak
karepe dewe.
Sebagai ASN di lembaga pengawasan, saya jadi tidak bisa kabur-
kaburan lagi seperti waktu masih berstatus lulusan D3 dulu. Saya
tidak bisa lagi duduk manis khusyuk mendengarkan dialog ketua tim
dengan petinggi instansi yang saya audit. Yang pasti lagi, saya juga
tidak bisa menulis kertas kerja audit seadanya karena ada ketua tim
yang akan me-review.
Membayangkan masa kebebasan itu rasanya indah sekali.
Ternyata saya termasuk ASN berstatus mbeling. Kala itu yang ada
hanyalah kebahagiaan menikmati hasil kerja, ubyang-ubyung dengan
teman seangkatan mencicipi kuliner di kota Anging Mammiri atau
sekedar asyik berdiskusi dengan teman senasib hingga pagi
menjelang.
Semua mulai berubah ketika satu per satu gelar diperoleh.
Kembali ke kota Makassar dengan membawa gelar Akuntan, saya

92
92
Mozaik Humor Birokrat Menulis

dianggap sebagai ahli ekonomi oleh teman-teman komunitas bahasa


Inggris saya. Jelas anggapan tersebut sungguh teramat keliru.
Begitu pulang, saya langsung disuruh membedah buku ekonomi
syariah. Saya coba berkelit dan menjelaskan kalau saya tidak
mendapatkan pelajaran tentang itu. Sayangnya, tidak ada yang
percaya. Malah saya dijadikan ketua divisi pengkajian ekonomi.
Saya hanya bisa menarik nafas panjaaaaaaang. Tak ada pilihan
lain. Dalam waktu seminggu terpaksa saya lahap satu buku tentang
ekonomi syariah. Gegara gelar, saya terpaksa melewatkan malam
untuk menekuri ekonomi syariah hingga mata saya terasa perih,
pikiran kliyeng-kliyeng, dan dada berdegup khawatir membayangkan
kegagalan presentasi.
Usai mendapat gelar Master, rasanya beban terasa lebih berat.
Kembali ke kantor saya malah dianggap sebagai orang yang tahu
segalanya, rak yo saya jadi makin mumet. Beberapa kali dalam rapat
saya selalu dipersilakan untuk berbicara meski posisi saya sebagai
staf. Saya sangat menghargai penghargaan kepala perwakilan saya
kala itu. Tapi kan, saya jadi harus konsentrasi penuh saat rapat.
Mungkin bagi orang lain, konsentrasi saat rapat itu mudah, tapi
bagi saya itu perjuangan yang sangat berat. Saya itu orangnya
ngantukan. Mudah terlelap saat rapat atau saat di kelas. Nah,
parahnya kadang seringkali dengan tiba-tiba nama saya dipanggil,
“Bagaimana menurut Bu Ana?”
Meski ngantukan begini, saya gengsilah kalau ditemukan dalam
kondisi terlelap saat nama saya dipanggil terus ditambah lagi kalau
gelagapan.
Pengalaman yang paling menyakitkan adalah saat saya satu tim
dengan teman seangkatan ditugaskan untuk melakukan suatu kajian
kebijakan pemda. Biasanya kalau satu tim dengan teman sendiri dan
posisi saya sebagai anggota tim, perasaan saya begitu lega dan
nyaman. Everything is gonna be alright, begitu pikir saya. Jadi, nyantai
sajalah, toh ada ketua tim.
93
93
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Tetapi ternyata tidak seindah yang saya bayangkan. Teman saya ini
malah demanding sekali, tuntutannya banyak. Dia selalu menyebut-
nyebut gelar saya, termasuk menyebut saya sebagai lulusan Master
Australia. Mangkel nggak sih kalau seperti itu?
Yang namanya manusia, tidak harus selalu muncul ide-ide keren.
Malah dalam banyak hal saya mengalami stuck, bingung memberikan
pendapat. Dalam kondisi ini, kalau tidak ada ide, dipaksa bagaimana
pun ya nggak akan berhasil.
Sayangnya, teman saya ini mungkin juga kesal dengan sikap saya
yang terlihat mengandalkannya dalam penyelesaian tugas. Kekesalan
yang sama yang saya rasakan saat dulu dia pernah menjadi anggota
tim saya. Dalam suatu pertemuan dengan pihak pemda, sempat dia
berbisik, “Ayoooo, masak lulusan Australia diam saja?”
Andai dia tahu, entah berapa pikiran yang sudah saya coba peras
tapi tetap tak menghasilkan ide cemerlang. Tanpa dia katakan, saya
sudah terbebani dengan gelar yang merepotkan ini.
Ah, tapi mungkin semua sangkaan betapa hebatnya orang yang
memiliki gelar ini sama dengan sangkaan saya di masa SMP saat
beberapa teman saya kursus bahasa Inggris.
Asumsi saya, mereka yang kursus bahasa Inggris, nilai bahasa
Inggrisnya pasti bagus, speaking-nya juga lancar. Nah, sekalinya
mendapati teman saya ini bahasa Inggrisnya biasa-biasa saja,
langsung mikir, kok kursus, hasilnya begini ya? Dan kini, karma atas
sangkaan itu kembali ke saya. Kok lulusan Australia bahasa
Inggrisnya plegak-pleguk?
Ya, wislah, gimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Tak mungkin
lagi gelar-gelar itu saya kembalikan ke penyedia jasa pendidikan.
Yang bisa saya lakukan adalah hanya dengan tidak menyematkannya
saat menulis nama saya, kecuali kalau dengan gelar itu saya
mendapat honor lebih.
Lha, kok penak temen rek?
94
94
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 23 –

Kisah Ajudan
M. Isa Thoriq A.

Dalam dunia birokrasi dan militer para pemimpin di Top Management


biasanya dibantu oleh orang-orang yang selalu melekat dalam
pekerjaan sehari-hari. Orang-orang ini bertugas khusus membantu
pimpinan mulai dari pekerjaan pokok hingga urusan pribadi. Dedikasi,
loyalitas dan profesionalisme adalah syarat mutlak bagi orang yang
berada pada posisi ini. Mereka disebut sebagai ajudan atau sekretaris
pribadi (sekpri). Terkadang ajudan dan sekpri dipegang oleh satu
orang, namun ada juga di level tertentu seorang pimpinan mempunyai
ajudan dan sekpri sendiri. Penulis pernah menjadi ajudan sekaligus
sekpri seorang pejabat Eselon II selama hampir 5 tahun. Banyak hal
lucu dan unik yang penulis alami, mau tahu?

Menjadi ajudan mungkin bukan cita-cita banyak orang, bahkan ketika


anak-anak SD ditanya tentang cita-cita hampir pasti tidak ada yang
menjawab ingin menjadi ajudan. Mungkin orang lebih kenal dengan
profesi pengawal pribadi, laki-laki tinggi berbadan tegap, rambut
95
Mozaik Humor Birokrat Menulis

cepak, dengan tatapan mata yang tajam. Lalu jika ditanya apa tugas
ajudan? Jawabanya banyak. Ajudan yang merangkap sekpri bisa
mengurus pekerjaan pimpinan dari hal memanggil anak buah hingga
memetik buah di pekarangan rumah pimpinan.

Biasanya ajudan dipilih dari pegawai muda, jomblo alias yang masih
anget atau fresh graduate, mungkin salah satu pertimbangnya dengan
kondisi itu dia dapat disuruh kerja tanpa mengenal waktu dan nggak
ada alasan jemput anak sekolah. Selain itu biasanya ajudan dipilih
dari pegawai yang menguasai komputer, kalau ini tidak lain karena
seorang pimpinan (terutama yang lahir dibawah 1960) belum dapat
mengikuti perkembangan teknologi. Di saat awal munculnya android,
beberapa pimpinan gagap untuk hanya sekedar mematikan atau
mengganti nada dering, disaat itulah ajudan berperan sebagai teknisi
hp.

Lalu apa aja SOP (Standart Operating Procedure) seorang ajudan?


Baiklah, kita mulai dari jam kerja, ajudan mempuya jam kerja yang
tidak normal, dia harus datang sebelum pimpinan datang dan pulang
setelah pimpinan pulang, jam nya? Tidak tentu. Pimpinan saat itu
termasuk orang yang rajin ke kantor, pukul 06.45 beliau sudah datang
di kantor. Ajudan menunggu di loby, saat melihat mobil pimpinan
datang, ajudan mendekat dan bersiap menyambut kedatangan
pimpinan dengan membuka pintu mobil dan memberi hormat atau
salam. Kita ambil berkas atau tas pimpinan kemudian jalan beriringan
96
Mozaik Humor Birokrat Menulis

menuju ruang pimpinan. Wah,, segitunya ya?, iya ini tergantung dari
gaya sang pemimpin, mungkin saat ini sudah jarang pemimpin yang
ingin diperlakukan seperti itu.

Setiba diruangan ajudan mengecek dokumen yang dibawa oleh


pimpinan, surat atau dokumen yang perlu ditandatangani, serta
menyampaikan jadwal kegiatan pimpinan selama satu hari. Ajudan
memastikan seorang pimpinan tidak ada kegiatan yang bersifat
penting atau strategis yang terlewat. Di meja pimpinan sudah siap
hidangan atau kopi panas beserta satu bungkus rokok kretek.

Tak jarang pimpinan mengajak ajudan saat pergi menghadiri kegiatan


kedinasan baik di dalam atau luar kota. Dalam mendampingi
pimpinan saat tugas di luar kota, ajudan bertugas untuk menyiapkan
dokumen administrasi dan berkoordinasi dengan tempat yang ingin
dituju. Yang paling utama ialah mengetahui permasalahan, siapa yang
bertanggungjawab dan hafal peta. Kalau ajudan tidak hafal peta, bisa-
bisa perjalanan jadi molor karena harus mencari alamat. Sebagai
tangan panjang pimpinan, ajudan bisa memanggil pegawai struktural
yang lain, bahkan saat itu hampir dipastikan tidak ada yang menolak
panggilan jika dilayar HP muncul nama “adc/ajudan”.

Sebagai orang yang paling dekat dengan pimpinan, hampir semua


sikap, sifat dari pimpinan diketahui oleh ajudan. Sederhananya berapa
takaran kopi dan gula untuk secangkir kopi ajudan pasti tahu,

97
Mozaik Humor Birokrat Menulis

bagaimana sikap pimpinan saat marah, mengeluh soal kondisi kantor


hingga dimana tempat favorit untuk menyalurkan hobi pasti tahu.

Disamping hal-hal rutin seperti diatas, seorang ajudan yang sudah


sangat dekat dengan pimpinan sering dilibatkan secara tidak
langsung dalam pengambilan keputusan penting atau rahasia.
Sebelum rapat disela –sela perjalanan atau saat mengambil dokumen
di ruangan , obrolan-obrolan sering terjadi, tak jarang menyangkut
tentang kondisi kantor. Obrolan itu jadi salah satu pertimbangan
untuk membaca situasi dan memutuskan masalah. Termasuk obrolan
yang biasa dilakukan di penghujung bulan Ramadhan, disaat banyak
pejabat yang datang berkunjung.

“Ting tong, ting tong” bel berbunyi tanda pimpinan memanggil.


Ajudan segera menghadap pimpinan
“tok, tok, tok, tok” Ajudan mengetuk pintu pimpinan dan masuk
ruangan.
“Siap, ada perintah Pak?” tanya Ajudan.
“Mas, ini amplop disimpan, dan jangan lupa teman-teman dibagi”
perintah Pimpinan sambil menyerahkan tas kertas yang berisi
puluhan amplop.
“Siap Bapak” jawab Ajudan sambil bergumam, alhamdulillah rejeki
di akhir Ramadhan...

98
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 24 –

Waktunya Spongebob!
Ahmad Hawe

Pada akhir tahun anggaran, di Bulan Desember, di hampir semua


institusi pemerintahan, sosok yang sering berkeliaran adalah
Spongebob Budgetplan. Spongebob yang satu ini sejenis dengan
Spongebob Squarepant, tokoh kartun di televisi kita.

Spongebob Squarepant, yang kita kenal di televisi, adalah sosok


tokoh animasi yang badannya mampu menyerap benda cair dan
menyimpannya. Sebanyak apapun cairan yang ada, mampu
diserapnya, seluruhnya! Meskipun kemudian badannya menjadi
tambun karena kelebihan volume, terseok-seok jalannya, tersengal-
sengal, dan bahkan tertumpahkan lagi sebagian cairan yang
tersimpan.

Perkenalkan, Spongebob Budgetplan!

Tidak berbeda dengan Spongebob Squarepant, Spongebob


Budgetplan adalah sosok problem solver and solution bagi kritisnya
realisasi anggaran. ‘Cairan’ angaran yang masih menggenang, harus
dapat dibersihkan, dan dioptimalkan – begitu bahasanya meskipun
sering menjadi terbaca dimaksimalkan-- untuk kepentingan
bersama.

99
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Sosok tersebut merupakan 'mahluk' cerdas yang sangat kreatif


sehingga mampu membersihkan genangan cairan dengan cara cepat
dan taktis. Solusinya pun jitu, dengan mengusulkan kegiatan warna-
warni rapat koordinasi di sana sini, kunjungan rombongan
berbarengan, peningkatan kapasitas, dan lain sebagainya.

Sosok yang memberi solusi tegas meskipun sebenarnya dijalankan


dengan malu-malu. Sosok yang tak tergantikan dan justru
dinantikan, meskipun para pemimpin silih berganti. Tidak terganti,
karena sosok yang mengerti dan memahami mental birokrasi yang
belum juga berganti. Iya, belum berganti.

Padahal, mungkin tidak salah jika kita semua berbesar hati bahwa
kita tidak mampu merealisasikan seluruh rencana pengeluaran yang
sudah ditetapkan akhir tahun lalu. Anggaran yang kita akui dilalui
dengan upaya ‘berdarah-darah’, berdiskusi dan berdebat
menentukan indikator dan target capaian dalam pertemuan segitiga,
melibatkan perencana dan penentu anggaran.

Belum berbagai pertanyaan dari para ‘yang mulia’, pengawas, dan


peneliti. Hmm, setengah mati kita menjawabnya. Namun, tetap saja
itu sebenarny hanyalah rencana para manusia, bukan dari Yang
Maha Kuasa. Dengan demikian, boleh dong sebenarnya kalau
ternyata meleset, tidak sesuai rencana, wong dunia juga berubah.

Sampai Kapan Spongebob Budgetplan Dinanti?

Ilmu perencanaan dasar, sebenarnya memaklumi sebuah deviasi


dan variabel lain yang tidak konstan. Suatu permakluman yang
lumrah karena kita semua mengenal pemahaman kapasitas yang
tentunya terbatas.

Bahkan, terkadang kita juga hampir meniadakan instrumen dan


jargon untuk menjaga realisasi anggaran harus sesuai realita, harus
100
Mozaik Humor Birokrat Menulis

sesuai dengan kebutuhan. Permakluman atas lupa yang ironisnya


justru dilakukan oleh para institusi penjaga batas-batas. Lepas!

Ironi, itulah sebuah kondisi, di negeri ini yang sudah terjadi berpuluh
tahun, belum saja berganti. Mirip tagline pada iklan minuman
rumahan dalam botol, “Apa pun kondisinya, siapa pun rezimnya,
kondisinya tetap sama!”

Berbagai pola perencanan, penganggaran, dan pengawasan yang


katanya selalu ter-up grade, pada kenyataannya belum bisa
menyentuh pola si Spongebob. Harus habis, biar kata tambun tak
berbentuk, tidak menggumpal menjadi badan, hanya menetes dan
pada akhirnya hilang, sumber daya pembangunan tersebut pada
akhirnya terbuang dengan sia-sia.

Mentalitas yang barangkali belum terbentuk kokoh, bahwa tidak


salah kalau anggaran tersisa karena memang seharusnya tersisa.
Bukan harus habis meskipun tragis karena semakin tahun sumber
daya alam sebagai penyokong anggaran negara semakin terkikis.
Semakin ironis karena negeri sering meringis terpapar kompetisi
ekonomi dunia yang semakin sadis.

Jadi sampai kapan Spongebob Budgetplan masih dinanti-nanti


birokrasi negeri ini?

Sementara itu, di negara tetangga dekat kita, indikasi keberhasilan


realisasi anggaran tidak hanya habis menipis. Salah satu
keberhasilan penting selain terwujudnya berbagai indikasi hasil
pembangunan yang terukur, juga tercermin dari seberapa
berhasilnya melakukan penghematan yang artinya adalah masih
adanya sisa dari perencanaan. Barangkali itu sikap mental yang jadi
pembeda, barangkali itu yang membuat Spongebob Budgetplan
mungkin tidak ada di sana.
101
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Saya tidak berani menduga keberhasilan itu akibat pengaruh dari


perencanan yang super presisi, karena pastinya selalu ada deviasi
secara alami. Selain itu, saya takut juga kalau dugaan saya dicatat
Spongebob Budgetplan kita untuk jadi target kunjungan dan
benchmarking basa-basi. Brrrr brrrr brrrr.
---

Getaran handphone di meja dekat PC (komputer) saat aku


menuliskan fiksi ini, menyadarkanku. Ketukan tuts keyboard di
komputer harus terhenti, ternyata banyak pesan dari teman hampir
dari seluruh penjuru negeri.

Mereka mengabarkan dan mengingatkan berbagai tanggungan


pekerjaan di akhir tahun sembari berbasa-basi menawarkan buah
tangan dari kawan-kawan seinstansi. Ya, merekalah para
rombongan Spongebob Budgetplan.

“Ha ha ha, tidak perlu kawan, tenang saja kalian”, kataku dalam hati.
“Meskipun aku tidak ikut rombongan sana-sini, kesetiaanku tidak
perlu kalian uji. Aman saja, terima kasih buah tangannya. Aku tidak
perlu ikut denganmu”.

Toh, honor kehadiran rapat dan nara sumber sana-sini setahun ini
cukuplah untuk kami berdua, aku dan istri cantikku, liburan ke
Negeri Itali.

102
Mozaik Humor Birokrat Menulis

- Mozaik 25 –

Nasihat Atasan
Kepada Anak Buah
M. Rizal

Saya tidak habis pikir mengapa banyak anak buah saya, akhir-akhir
ini begitu semangatnya ingin mengubah budaya birokrasi kita? Budaya
birokrasi mau diubah dari dilayani menjadi melayani, dari kurang
kreatif menjadi proaktif dan inovatif.
Wahai anak buah,
Kata siapa birokrasi kita kurang melayani? Kata siapa birokrasi kita
kurang kreatif? Kalau ada kalian yang kurang kreatif dalam melayani,
mungkin iya. Melayani siapa? Ya tentu saja melayani saya, pimpinan
kalian.
Masih saja kalian ada yang tanya, “Lalu masyarakat bagaimana? Apa
mereka tidak perlu dilayani?”
Begini ya anak buah, masyarakat itu sudah mandiri. Mereka tidak
perlu lagi kalian layani sepenuh hati. Kita pun tak perlu lagi serius
mendengar keluhan mereka. Hanya orang-orang baper saja yang
suka protes. Lagian hidup kok banyak mengeluh.

103
99
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Budaya Birokrasi Kita Sudah Mapan dan Nyaman, lho..


Bagaimana tidak mapan, kalian tahu kan, budaya ini warisan dari
zaman kerajaan, lalu diperkuat di zaman penjajahan, terus bertahan
sampai sekarang. Bukan main lamanya. Sesuatu yang sudah lama dan
dipertahankan itu pasti sudah mapan. Sudah penuk di posisinya.
Selain mapan, budaya birokrasi kita juga nyaman. Bagaimana tidak
nyaman? Kalian itu harus selalu ‘Nrima Ing Pandum’, itulah singkatan
dari NIP. Artinya menerima apa yang dibagikan. Kalian harus
membiasakan diri untuk menerima semua yang bisa saya berikan,
apapun itu, berapapun itu. Kebiasaan itu membuat perasaan kalian
jadi nyaman kan?
Wahai anak buah,
Budaya di birokrasi kita ini juga sudah nyaman dengan relasi hirarki
antara saya sebagai atasan dan kalian sebagai bawahan. Hirarki yang
kuat memang diperlukan untuk saya benar-benar bisa mengatur
kalian. Saya ini biasa disebut patron, sedang kalian, anak buah,
disebut client.
Hubungan patron-client kita ini dibilang budaya paternalistik, bagus
kan namanya? Bayangkan jika saya tidak bisa mengatur kalian, kalian
pasti akan mengatur diri kalian sendiri, dan akhirnya malah tidak
teratur. Pas, bukan?

Taukah kalian, hubungan kita ini bagaikan bapak-anak. Yang namanya


bapak itu punya hak mendidik dan membina anaknya. Begitu juga
anaknya, harus rela dididik dan dibina bapaknya. Anak harus
menghormati dan menuruti apa kata bapaknya. Hubungan kita ini
punya istilah, bapakisme. Jangan coba-coba ‘ngeyel’, bisa kualat nanti.
Saya heran, kok masih saja ada dari kalian yang ngeyel. Ada yang
bilang: “Bukankah kekuasaan itu tidak absolut, tidak bisa dipegang,
bahkan kekuasaan itu ada dimana-mana? Kekuasaan itu bersifat
produktif. Oleh sebab itu anak buah sebaiknya diakui otonominya”.

104
100
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Ah, itu kan kata Foucault, saya kenal orang itu. Sudahlah tidak usah
didengarkan. Dia itu ngawur. Di mana-mana kekuasaaan itu absolut,
dipegang oleh elite. Titik.
Wahai Anak Buah, Kalian Tidak Usah Iri..
Saya dan pimpinan lainnya itu memang disebut elite. Elite itu artinya
sekelompok orang eksklusif pemegang kekuasaan, punya kecakapan
lebih, dan berhak menentukan nasib kalian.
Bagaimana tidak eksklusif, saat pelantikan saja saya pakai setelan
jas, itu setelan pakaian yang melambangkan kedigdayaan. Saya dan
pimpinan lain itu dikumpulkan dalam ruangan khusus, dibacakan
‘mantera’, lalu diberi selamat. “Selamat, Anda sudah menjadi
pimpinan, sudah berbeda dengan pegawai kebanyakan,” begitu kata
orang yang melantik saya.
Keluar dari ruangan pelantikan, saya sudah disediakan ruangan yang
tak kalah eksklusif, ruangan tertutup, lengkap dengan sekretaris yang
mampu menyaring siapa saja tamu-tamu yang datang. Jangan coba-
coba kalian masuk ruangan tanpa sepengetahuan sekretaris saya,
bisa saya semprot air tajin nanti.
Oya, sebelum datang, kalian bisa telepon sekretaris lebih dulu untuk
dapat ‘nomor antrian’. Jika kadang sekretaris saya tidak bisa
dihubungi, ya cobalah lain waktu, karena terkadang sekretaris saya
lebih sibuk dibanding saya.
Taukah kalian, setelan jas, ucapan selamat, ruangan, dan sekretaris,
itu semua adalah bagian dari simbol eksklusivitas saya. Jangan ngiri
ya anak buah, namanya juga pimpinan. Sudah selayaknya saya
mendapat fasilitas itu.
Malah, saya juga dapat fasilitas yang lebih lengkap lagi, seperti rumah
dan mobil dinas dengan plat nomor khusus. Lha kok enak? Ya iya lah.
Coba kalian bayangkan, mosok saya harus ngontrak rumah? Apa kata
dunia? Mosok saya harus pesan gocar tiap mau ke kantor dan
menghadiri undangan? Apa kata driver gocar nanti?

105
101
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Kalian pasti paham kan, gaji saya pun lebih besar dari kalian karena
memang tugas saya berat. Kalau kalian kan tugasnya hanya
melaksanakan arahan. Lha kalau saya, selain memberi arahan, juga
kasih petunjuk dan juga perintah. Belum lagi kadang harus keluar
energi besar untuk memarahi kalian. Berat sekali bukan?
Lebih Enak Jadi Anak Buah, Tau..?
Ada yang bilang, kalau saya itu tidak percaya kalian. Siapa bilang?
Percaya kok. Buktinya saya sering terlihat santai saat kalian pontang-
panting bekerja, kan? Saya juga selalu percaya kalian pasti akan minta
petunjuk saya sebelum mengerjakan sesuatu.
Saking percayanya saya pada kalian, jika saya dapat teguran dari
pimpinaan saya karena hasil pekerjaan tidak sesuai harapannya, saya
seringkali mencari kalian untuk disalahkan. “Salah kamu nih, sudah
dipercaya kok masih kerja begitu”.
Semakin tinggi level saya, semakin berat lho tanggung jawabnya.
Tidak percaya? Coba saja lihat disaat ada masalah berat di lingkungan
kantor, saya selalu bertugas menjawab dan kalian, anak buah, cukup
menanggungnya. Enak kan kalian jadi anak buah?
Arahan, petunjuk, dan perintah saya itu juga ajaib. Semuanya benar,
karena saya selalu lebih tahu dibandingkan kalian. Nah, kalo sudah
begitu mosok kalian tidak nurut. Pengetahuan dan kebenaran saya itu
sungguh sudah di atas kalian. Ya namanya juga atasan, kan..
Pernahkah kalian dengar ada rekan kalian yang mengatakan, “Kita
tunggu petunjuk dari pimpinan?” Nah, kalian perhatikan itu, kalimat itu
menggambarkan kalau kalian hanya dapat melakukan sesuatu
berdasar petunjuk dan arahan saya. Artinya saya yang paling tahu
dan menentukan segalanya. Keren, kan?
Wahai anak buah,
Adakah di antara kalian yang masih merasa tertekan oleh saya
sebagai pimpinan kalian? Menurut saya itu perasaan yang aneh. Masih
ingat hukum Pascal, kan? Birokrasi ibarat ruang tertutup yang berisi

106
102
Mozaik Humor Birokrat Menulis

air, maka tekanan di dalam ruangan itu akan diteruskan sama besar
ke segala arah.
Jadi ya memang sudah hukum alam, tekanan itu selalu ada dari sang
penekan, kemana-mana pula. Meski begitu, tekanan Pascal tadi kalau
digunakan di sistem hidrolik bisa mengangkat benda yang ditekan
tadi. So, tidak usah baper lah.
Jadi Anak Buah Jangan Sok, ya..
Jangan kalian buru-buru merasa hebat kalau punya gagasan besar.
Gagasan kalian itu harus saya ‘stempel’ dulu, seperti anak kalau
punya usul harus disetujui orang tua dulu, kan? Saya harus setuju dan
itu dilakukan dengan cara saya.
Tidak sopan kalau kalian merasa jengkel. Jengkel karena gagasan
kalian, yang kalian rasa mungkin solusi masalah kantor selama ini,
saya akui sebagai buah pikiran saya. Lha memangnya kalian itu siapa?
Jangan heran kalau akhirnya nama kalian pun tidak saya sebut saat
saya menerima pujian atau dapat sepeda atas keberhasilan gagasan
tadi. Lha wong kalian, anak buah, kok minta disebut namanya. Itu
namanya caper.
Oya, masih adakah dari kalian yang merasa potensi kalian tidak
maksimal karena salah penempatan? Ini juga karena kalian sok yakin
saja. Sok yakin dan sok tahu dengan potensi kalian. Mosok ada anak
buah yang paham dengan dirinya sendiri tanpa campur tangan
pengetahuan saya. Ya jelas saya yang lebih tau lah.
Dialog? Untuk apa lagi? Ingat ya, kan sudah saya bilang, kebenaran
dan pengetahuan saya itu di atas rata-rata kalian. Sudahlah, ini demi
organisasi. Selalu ada hikmah dari semua ini. Nikmati saja dan suatu
saat nanti kalian akan tahu kenapanya.
Anak Buah, Sadarlah, Jangan Keterlaluan!
Kalian mau mengkritik kebijakan atau perilaku saya? Wah, kalau ini
benar-benar sudah kebangeten. Apalagi kalau kalian sok jago mau
jadi whistleblower melaporkan saya ke pihak lain. Tega sekali kalian
107
103
Mozaik Humor Birokrat Menulis

ini, saya sudah susah payah memikirkan nasib kalian, eh malah


dilaporkan.
Lalu, apanya yang mau dilaporkan? Tindakan wrongdoing? Walah,
masa sih saya bisa wrong. Bukannya sudah saya ingatkan kalau saya
itu selalu benar, lha kok malah mau mengkritik apalagi melaporkan.
Hanya kalian yang kurang piknik yang berani melakukannya.
Eh, kecuali kalian memang ingin tugas menetap di Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Tenggara, atau Papua. Kalau begitu, silakan saja.
Kalian nanti akan bahagia disana. Kalian bisa piknik sepuasnya
menikmati Labuan Bajo, Wakatobi, atau Raja Ampat.
Jadi Begini ya Anak Buah,..
Saya itu sudah setengah mati memberi perhatian dan perlindungan
kepada kalian. Saya juga repot sekali harus menilai kinerja kalian.
Mosok kalian masih ragu untuk loyal? Masih tidak ikhlas memuji saya?
Mau dinilai minus ‘DP3’-nya? Mau tidak saya teken lembar penilaian
kinerja-nya? Bisa peyok kalian. Sadarlah kalian mulai detik ini juga.
Sudahlah, saya itu seperti orang tua, harus dihormati dan
dibanggakan. Ikutilah kata-kata saya dan laksanakan perintah saya.
Kalian tidak usah terlalu repot berpikir bagaimana melayani
masyarakat. Mereka sudah cukup mandiri dan bisa mencukupi
kebutuhannya sendiri.
Lebih penting melayani saya. Nikmati saja peran kalian sebagai client
menghadapi patron kalian, niscaya hidup kalian akan selamat dan
sejahtera seperti yang kalian impikan setiap berangkat dan pulang
kerja. Bermimpilah terus, jangan pernah putus asa.
Bagaimana, sudah melek dengan budaya paternalistik di birokrasi
kita? Masih mau ngeyel mengubah budaya di birokrasi kita? Kurang
kerjaan saja!

108
104
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Profil Singkat
Para Penulis Mozaik

Bergman Siahaan
Pelayan publik di Kota Medan yang sering menghanyutkan
diri dalam pusaran seni yang luwes, alih-alih menyelam
dalam rigiditas birokrasi.

Mutiara Ramadhani
Anak pertama dari 2 bersaudara yang lahir di bulan April
tahun 1989. Penulis introvert yang menyukai warna biru laut
dan putihnya pasir pantai ini, sekarang bekerja di dunia
pengadaan barang/jasa pemerintah.

Dewi Utari
PNS pencinta lingkungan yang berhobi memasak dan
bertukang.

Atas Yuda Kandita


Konsultan independen pengadaan dan supply chain
management (SCM), #anotherprocurementjourneys

Fani Heru Wimono


Seorang penulis yang mencoba istiqomah menjadi peneliti
meskipun kadang suka stand up comedy.

109
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Nugroho Kuncoro Yudho


Promotor kesehatan yang perhatian terhadap masalah
sosial, berharap menjadi seorang penulis dan motivator.

Cak Bro
ASN dengan hobi menulis secara otodidak mengenai
permasalahan organisasi tentang SDM, audit, pengawasan,
dan korupsi.

Sri Rahayu Tresnawati


Seorang ASN yang suka humor tapi bukan humoris karena
sering kali humornya dinilai garing oleh teman-temannya

Desi Sommaliagustina
Dosen Prodi Ilmu Hukum, FH Universitas Muhammadiyah
Riau. Saat ini sedang melanjutkan studi di Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang
(desisommalia@umri.ac.id)

Edrida Pulungan
Lahir di Padang Sidimpuan, 25 April 1982. Staf Setjen Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Pendiri Lentera
Pustaka Indonesia dan Peraih " Melayu Award" dari Pusat
Kajian Peradaban Melayu tahun 2019.

110
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Ryan Agatha
Seseorang di kerumunan.

Diyan Nur Rakhmah


ASN Balitbang Kemendikbud. Ibu muda yang lebih sering
menulis dibandingkan memasak.

Hery Yulianto
Seorang pemerhati hukum dan pemerintahan.

Muhammad Kasman
PNS yang menyukai hujan dini hari, embun pagi, dan
petrikor. Sesekali menulis puisi, cerita pendek, dan esai.

Etika Aisya Avicenna


Statistisi di Kementerian Perdagangan yang saat ini juga
menjadi anggota FLP DKI Jakarta. Pemilik IG
@aisyaavicenna ini telah menulis lebih dari 20 buku baik
solo, duet, maupun antologi

Sulistiowati
SulisT. Ia adalah seseorang dengan kata-kata yang ingin
diutarakan, tapi tak bisa diucapkan.

111
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Marudut R Napitupulu
Seorang birokrat di sebuah kementerian, memiliki
ketertarikan tentang perencanaan strategis, reformasi
anggaran, terutama area efisiensi dan efektivitas kinerja
dan anggaran.

Andi P Rukka
Seorang ASN yang bekerja sebagai perencana. Mencintai
malam dan suka menulis untuk menyatakan keresahannya.

Ilham Nurhidayat
Seorang birokrat pembelajar yang tak akan pernah bosan
mencerna, mentadaburi dan memaknai ayat-ayat Nya, baik
yang tersurat (qauliyah) maupun yang tersirat (kauniyah)
untuk menjadikan dirinya pribadi yang lebih baik dan
bermanfaat serta memberikan inspirasi (ilham) sesuai doa
dan asa yang disematkan pada nama yang diberikan
almarhum/ah kedua orang tuanya.

Rista Nur Farida


Seorang PNS yang suka geregetan sama basi basi
reformasi birokrasi. Namun di satu sisi, sulit
menghilangkan perasaan bahwa dirinya hanyalah serpihan
bubuk kulit kuaci diantara para birokrat lainnya.

Sofia Mahardianingtyas
Auditor pemerintah yang suka menulis dan menganalisis.
Alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dan Universitas
Indonesia.

112
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Nur Ana Sejati


Seorang ASN yang bercita-cita memahami filsafat dan
mengadaptasinya dalam birokrasi.

M. Isa Thoriq
Tukang ketik yang kadang suka bikin teh atau kopi sambil
baca dokumen ini sempat bingung saat memutuskan jadi
ASN. Setelah mendapat wangsit dari juru kunci Gunung
Brintik Semarang, akhirnya ia yakin menjadi ASN adalah
bagian dari jalan hidupnya. Hingga kini ia lebih suka pakai
kaos oblong daripada baju kheki.
Siapa ia sebenarnya, silakan kepoin ke IG: @Isathoriq

Ahmad Hawe
Seorang backpacker birokrasi yang tinggal di emperan
lorong-lorong komunikasi publik

M. Rizal
Seorang birokrat yang selalu gemaz dengan gemuruh
budaya paternalistik di birokrasi.
Ikuti kegemasannya di IG posbirokrasi series
(@mutiarizal.insight)

113
Mozaik Humor Birokrat Menulis

Tim Editor

Rudy M
Harahap

Nur Ana Sejati Eko Hery W.

Andi P
Mutia Rizal
Rukka
Sofia
Mahardianingtyas

114

Anda mungkin juga menyukai