Anda di halaman 1dari 36

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DARURAT
NOMOR 12 TAHUN 1950
TENTANG
PAJAK PEREDARAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

Menimbang : bahwa dianggap perlu mengadakan pajak peredaran;


bahwa karena keadaan-keadaan yang mendesak Undang-undang Pajak tersebut perlu
segera ditetapkan;

Mengingat : pasal 68, 139, 143 dan 171 Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat;

Dengan persetujuan Dewan Menteri

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PAJAK PEREDARAN.

BAB I.

PERATURAN UMUM.

Pasal 1.

(1) Yang dimaksud Undang-undang ini dengan :


ke-1. Indonesia : daerah Republik Indonesia Serikat;
ke-2. barang-barang : barang-barang yang menurut sifatnya dianggap sebagai barang bergerak;
ke-3. penyerahan barang-barang :
a. penyerahan hak milik atas barang-barang karena sesuatu perjanjian;
b. pemberian barang-barang karena sesuatu perjanjian beli-sewa;
c. pemindahan hak milik atau barang-barang karena sesuatu tuntutan oleh atau dari pihak
pemerintahan;
ke-4. barang-barang yang berada dalam peredaran bebas : semua barang-barang yang berada di Indonesia,
terkecuali barang-barang yang berada dalam daerah-pabean berasal dari luar daerah itu, selama
syarat-syarat untuk memasukannya tidak dipenuhi ;
ke-5. jasa : semua perbuatan -selainnya penyerahan barang bergerak dan barang tetap -yang dilakukan
dengan penggantian, termasuk hal-hal berikut :
a. mengadakan, menyerahkan dan melepaskan hak, selainnya hak kebendaan atas barang tetap;
b. menyerahkan sesuatu borongan dalam keadaan tetap;
ke-6. harga-jual : nilai berupa uang yang dipenuhi oleh pembeli atau pihak ketiga karena penyerahan
barang-barang;
ke 7. penggantian : ini berupa uang yang dipenuhi oleh penerima jasa atau pihak ketiga karena jasa itu;
ke-8. peredaran umum : jumlah harga-jual dan penggantian, yang pajaknya terutang menurut Undang-
undang ini selama setahun takwim;
ke-9. peredaran setribulan : jumlah harga jual dan penggatian yang pajaknya terutang menurut Undang-
undang ini selama setribulan takwim.

(2) Dalam hal sesuatu barang diperdagangkan oleh lebih dari satu pengusaha, akan tetapi oleh pengusaha
pertama dengan langsung diserahkan kepada penerima terakhir, maka meskipun demikian barang itu
dianggap sebagai diserahkan oleh masing-masing pengusaha.

(3) Penyerahan hak milik semata-mata buat jaminan utang tidak dianggap sebagai penyerahan, dalam arti kata
Undang-undang ini.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-

(4) Dalam hal pengangkutan barang-barang, dengan atau tidak dengan perantaraan jurukirim, maka dianggap
sebagai tempat dan saat penyerahan, yaitu tempat di mana dan saat mana pengusaha itu memberikan
barang-barang itu pada jurukirim, pengusaha pengangkutan atau pengangkut untuk dikirimkan.

(5) Harga-jual dapat dikurangi dengan :


ke-1. harga alat pembungkus yang diambil kembali, sebanyak harga yang dibayar kembali pada penerima
barang;
ke-2. ongkos pengangkutan dan asuransi, sebanyak ongkos yang dibayar oleh pengusaha yang
menyerahkan barang-barang itu pada pengusaha lain.

(6) Penggantian dapat dikurangi dengan :


ke-1. pembayaran pajak -termasuk bea masuk -yang dilakukan terlebih dahulu untuk pemesan;
ke-2. ongkos pengangkutan yang termasuk dalam penggantian, sebanyak ongkos yang dibayar oleh
pengusaha pengangkutan yang melakukan jasa pengangkutan itu pada pengusaha pengangkutan
atau pengangkut lain.

Pasal 2.

(1) Yang dimaksud Undang-undang ini dengan :


ke-1. pengusaha : setiap yang menjalankan perusahaan atau pekerjaan bebas di Indonesia;
ke-2. inspektur : kepala inspeksi keuangan, di dalam daerah jabatan siapa pengusaha itu bertempat tinggal
atau berkedudukan;
ke-3. pembesar yang mengurus penetapan pajak : inspektur atau komisi penetapan pajak.
(2) Orang yang semata-mata menjalankan pekerjaan tertentu untuk kepentingan satu dua pengusaha dan atas
petunjuk-petunjuk mereka, tidak dianggap sebagai pengusaha dalam arti kata Undang-undang ini.

BAB II.

NAMA, OBJEK DAN JUMLAH PAJAK.

Pasal 3.

Dengan nama Pajak Peredaran dipungut pajak atas penyerahan barang-barang yang berada dalam peredaran
bebas dan dari jasa, yang dilakukan di Indonesia oleh pengusaha dalam kalangan perusahaan.

Pasal 4.

(1) Mengenai penyerahan barang-barang karena sesuatu perjanjian jual-beli atau beli-sewa, yang tidak
dipengaruhi oleh suatu perhubungan istimewa antara pihak bersangkutan, maka pajak dihitung atas dasar
harga-jual.
(2) Mengenai penyerahan barang-barang yang tidak termasuk dalam ayat pertama, maka pajak dihitung atas
dasar harga-jual yang dapat diminta pada ketika penjualan barang-barang itu seandainya tidak ada
perhubungan istimewa antara pihak bersangkutan.
(3) Mengenai jasa, terkecuali yang ditentukan dalam ayat berikut, maka pajak dihitung atas dasar penggantian.
(4) Mengenai jasa yang dilakukan karena suatu perjanjian yang dipengaruhi oleh suatu perhubungan istimewa
antara pihak bersangkutan, maka pajak dihitung atas dasar penggantian, yang dapat diminta, seandainya
tidak ada perhubungan itu.

Pasal 5.

(1) Jika melakukan penyerahan kepada suatu penerima untuk mendapat harga berupa uang atau berupa barang
lain dan juga jika membuat jasa, maka dalam hal-hal tersebut, pajak terhutang selama tahun takwim, dalam
mana penglunasan harga atau penggantian itu terjadi.
(2) Jika wesel, cek atau surat-surat-berharga seperti itu diterima sebagai pembayaran, maka menguangkan atau
menyerahkan surat-surat itu kepada pihak ketiga dianggap sebagai penglunasan.
(3) Inspektur, atas suatu permintaan, dapat menetapkan, bahwa dengan menyimpang dari ayat pertama,dalam
hal-hal dimaksud dalam ayat itu, pajak jadi terhutang selama tahun takwim, dalam tahun mana harga atau
penggantian jadi terhutang.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-

(4) Dengan menyimpang dari yang ditetapkan dalam ayat pertama dan ketiga, terhadap pengusaha yang
ditunjuk menurut pasal 17 ayat 1, maka pajak jadi terhutang bukan selama tahun-takwim, melainkan
selama tribulan takwim, dalam tribulan mana penglunasan harga atau penggantian terjadi dan selama
tribulan takwim, dalam tribulan mana harga atau penggantian jadi terhutang.

Pasal 6.

(1) Pajak itu besarnya tiga perseratus dari jumlah yang melebihi peredaran setahun sebesar f 4.000.- atau
peredaran setribulan sebesar f 1.000.-.
(2) Jika perusahaan atau pekerjaan tidak dijalankan selama tahun takwim atau setribulan takwim penuh, maka
jumlah yang disebut dalam ayat pertama dikurangi dengan ;
ke-1. sekian perduabelasnya, sebanyak bulan penuh yang kurang dari tahun takwim;
ke-2. sekian pertiganya, sebanyak bulan penuh yang kurang dari tribulan takwim.

Pasal 7.

(1) Pajak terhutang oleh pengusaha yang melakukan penyerahan atau membuat jasa, pada tempat ia bertempat
tinggal atau berkedudukan.
(2) Dalam hal-hal yang ditunjuk dalam atau dengan kuasa Peraturan Pemerintah, maka pajak terhutang oleh
pengusaha kepada siapa penyerahan itu dilakukan atau jasa itu diberikan, menggantikan pengusaha
termaksud dalam ayat pertama.

Pasal 8.

(1) Tempat tinggal atau kedudukan pengusaha ditentukan menurut keadaan.


(2) Pengusaha yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia dianggap bertempat tinggal atau
berkedudukan di tempat di mana ia di Indonesia semata-mata atau terutama menjalankan perusahaannya
atau pekerjaannya.

BAB III.

PEMBERITAHUAN.

Pasal 9.

(1) Untuk keperluan penetapan pajak pengusaha dapat diminta untuk melakukan pemberitahuan.
(2) Kewajiban untuk melakukan pemberitahuan terjadi karena penyerahan suatu surat pemberitahuan yang
surat-isiannya ditetapkan oleh kepala jawatan pajak.
(3) Menteri Keuangan memberi peraturan umum tentang :
ke-1. hal-hal, dalam mana penyerahan surat pemberitahuan harus diminta oleh atau atas nama pengusaha;
ke-2. hal-hal, dalam mana inspektur dapat menyerahkan surat-pemberitahuan kepada orang lain daripada
pengusaha;
ke-3. hal-hal lain yang bersangkutan dengan pemberitahuan, yang dianggapnya perlu untuk diatur.

BAB IV.

PENETAPAN PAJAK.

Pasal 10.

Pengusaha dikenakan ketetapan untuk pajak yang terutang selama setahun takwim.

Pasal 11.

(1) Pengusaha dikenakan pajak pada tempat ia bertempat tinggal atau berkedudukan pada awal tahun takwim.
(2) Barang siapa menjadi wajib pajak sesudahnya saat dimaksud dalam ayat pertama, dikenakan pajak di tempat
ia bertempat tinggal atau berkedudukan pada saat kewajiban membayar pajak bermula.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-

Pasal 12.

(1) Ketetapan pajak pengusaha, yang diwajibkan memasukkan pemberitahuan, ditetapkan oleh inspektur.
(2) Untuk menetapkan pajak pengusaha, yang tidak diwajibkan memasukkan pemberitahuan, dibentuk komisi
penetapan pajak.
(3) Menteri Keuangan memberi peraturan umum tentang :
ke-1. susunan, tempat kedudukan, daerah-urusan dan cara bekerja komisi penetapan pajak, dan juga
pengangkatan dan penyumpahan ketua dan anggotanya;
ke-2. golongan wajib pajak, untuk golongan mana komisi penetapan pajak dibentuk;
ke-3. lain-lain hal yang dianggapnya perlu untuk diatur guna melaksanakan yang disebut dalam ayat 2.

Pasal 13.

Pembesar yang mengurus penetapan pajak selekas mungkin menetapkan pajak sesudah akhir tahun takwim, jika
perlu dengan menyimpang dari pemberitahuan.

Pasal 14.

(1) Barangsiapa memasukkan pemberitahuan menurut pasal 9 ayat 2, jika diminta diwajibkan :
ke-1. memberi keterangan dengan lisan atau tulisan dalam tempoh yang ditetapkan oleh inspektur dengan
surat tercatat;
ke-2. memperlihatkan pembukuan, surat-surat yang menjadi dasar pembukuan itu atau lain-lain surat,
yang dapat menguatkan pemberitahuan atau lain-lain penuturan, kepada orang yang ditunjuk
menurut pasal 15 ayat 1, memberi kesempatan kepadanya untuk membuat salinan, petikan dan
catatan, memberi semua keterangan tentang itu yang diperlukannya dan mengizinkan supaya
pemeriksaan dilangsungkan selama dianggapnya perlu.
(2) Untuk memberi keterangan dengan lisan atau tulisan, sebagai tersebut dalam ayat pertama, ia dapat diwakili
oleh seorang kuasa atau dibantu oleh seorang ahli. Inspektur dapat menolak seseorang kuasa atau ahli
karena alasan yang berlaku dan berhak untuk menuntut supaya kuasa itu disertai pemberitahu.
(3) Orang yang diminta untuk memperlihatkan pembukuan dan surat-surat yang tersebut dalam ayat pertama
ke-2, dianggap mempunyai atau dapat menyediakannya, kecuali jika ia dapat menyatakan, bahwa hal
sebaliknya dapat masuk dalam akal.
(4) Kewajiban merahasiakan, walaupun berdasar atas peraturan Undang-undang, tidak menjadi alasan yang sah
bagi pengusaha untuk menolak memenuhi kewajibannya menurut ayat 1.
(5) Pajak yang ditetapkan dinaikkan dengan dua puluh lima perseratus, jika :
ke-1. peraturan bersandar pada pasal 9 ayat 3 ke-1, tentang kewajiban meminta penyerahan surat-
pemberitahuan, tidak dipenuhi;
ke-2. pemberitahuan tidak dimasukkan dalam tempo yang ditetapkan dalam surat tegoran yang dikirim
dengan surat tercatat;
ke-3. yang berkepentingan melakukan tempo dimaksud dalam ayat pertama ke-1 dengan tidak
dipergunakan;
ke-4. kewajiban tertera dalam ayat pertama ke-2 tidak dipenuhi segenapnya.
(6) Kepala jawatan pajak berkuasa mengurangi atau membatalkan kenaikan menurut ayat 5, berdasarkan
kekhilafan atau kelalain yang dapat dimaafkan, asal kekhilafan atau kelalaian itu dinyatakan dengan cukup
memuaskan oleh yang berkepentingan.

Pasal 15.

(1) Yang berhak untuk mengadakan pemeriksaan buku dan surat-surat yang menjadi dasar pembukuan dan
lain-lain surat menurut pasal 14 ayat 1, ialah inspektur, pegawai jawatan pajak dan jawatan akuntan pajak
dan ahli serta jurubahasa yang ditunjuk oleh kepala jawatan pajak, dan pegawai jawatan bea cukai yang
ditunjuk oleh kepala jawatan itu.
(2) Sebelum memulai tugasnya, ahli dan jurubahasa dimaksud dalam ayat pertama mengangkat sumpah atau
berjanji dihadapan inspektur, bahwa ia akan menjalankan pekerjaannya dengan jujur, teliti dan sungguh
hati dan akan merahasiakan apa yang harus dirahasiakan.
(3) Kepala jawatan pajak berkuasa mengadakan peraturan lebih lanjut berkenaan dengan pemeriksaan dan
tempat dimana pemeriksaan itu akan dilakukan, dan juga tentang penggantian kerugian untuk ahli dan juru
bahasa.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-

Pasal 16.

(1) Sambil menunggu ketetapan pajak ditetapkan pembesar yang mengurus penetapan pajak selekas mungkin
sesudahnya awal tahun takwim mengenakan ketetapan pajak sementara berdasar atas jumlah yang
dikiranya.
(2) Ketetapan pajak sementara ini dianggap sebagai suatu ketetapan pajak dalam arti kata Undang-undang ini
semata-mata berkenaan dengan peraturan dalam bab X dan pasal 46.
(3) Dari ketetapan pajak yang ditetapkan kemudian jumlah sebesar sama dengan ketetapan pajak sementara
tidak termasuk tagihan. Jika ketetapan pajak yang ditetapkan kemudian ada lebih rendah, maka ketetapan
pajak itu samasekali tidak ditagih dan ketetapan pajak sementara dikurangi dengan bedanya.
(4) Jika ketetapan pajak yang ditetapkan kemudian sama dengan ketetapan pajak sementara atau lebih rendah
daripada ini, maka kepada pengusaha dikirim suatu pemberitaan, dalam mana dinyatakan tanggal
pemberiannya.
(5) Surat isian pemberitaan itu ditetapkan oleh Kepala jawatan pajak.

BAB V

PENGUSAHA YANG DITUNJUK.

Pasal 17.

(1) Terhadap pengusaha yang ditunjuk oleh inspektur dengan surat keputusan peraturan dalam bab III dan
pasal 10 sampai dengan 13 tidak berlaku.
(2) Terhadap pengusaha yang memasukkan pemberitahuan menurut pasal 19 ayat 1 berlaku juga pasal 14 dan
15.

Pasal 18.

Pengusaha yang ditunjuk berdasar pasal 17 ayat 1 wajib melunaskan pajaknya dengan penyetoran di Kas Negeri
dalam dua puluh lima hari sesudah akhir tribulan takwim, selama mana pajak itu terutang.

Pasal 19.

(1) Pengusaha yang ditunjuk berdasar pasal 17 ayat 1 wajib memberitahukan jumlah yang harus dikenakan
pajak kepada inspektur dalam tempo satu bulan sesudah tribulan takwim berakhir, dengan mempergunakan
surat-isian yang ditetapkan oleh kepala jawatan pajak untuk itu tentang sebab-sebabnya dalam hal yang
terjadi di mana ia tidak berhutang pajak dan juga tentang segala hal-ikhwal yang diperlukan untuk
menjalankan Undang-undang ini.
(2) Dalam pemberitahuan disebutkan juga tempat dan tanggal pembayaran pajak, yang terutang menurut
keterangan dalam pemberitahuan.
(3) Surat pemberitahuan oleh pengusaha diisi dengan jelas, pasti dan dibuat dengan sebenarnya dengan tidak
bersyarat serta ditanda-tangani.
(4) Untuk koperasi dan lain-lain perkumpulan, yayasan dan perseroan tanda tangan salah satu anggota
pengurus atau pesero mengurus dapat dianggap cukup.
(5) Surat pemberitahuan dapat ditanda tangani oleh lain orang atas nama yang diwajibkan memasukkan
pemberitahuan, asalkan berdasar atas suatu surat kuasa yang dilampirkan pada surat pemberitahuan.
(6) Pemberitahuan dianggap tidak dimasukkan, jika pengusaha tidak atau tidak segenapnya memenuhi apa yang
ditentukan dalam ayat-ayat di atas.

Pasal 20.

(1) Pengusaha yang ditunjuk menurut pasal 17 ayat 1 diwajibkan membikin catatan dari hari ke hari tentang :
ke-1. barang-barang yang diserahkan dan jasa yang dibuat;
ke-2. jumlah yang diterima dan dibayar kembali untuk itu yang berupa uang atau berupa barang lain;
ke-3. barang-barang yang diterima dan diambil kembali dari orang lain.
(2) Catatan itu disusun sedemikian jelas dan tegasnya dengan menyebutkan segala hal-ikhwal, sehingga dari
catatan itu dapat dihitung pajak yang terhutang oleh pengusaha selama satu tribulan takwim dan dapat
ditetapkan pembebasan dan pengembalian pajak.
(3) Catatan dan surat-surat yang menjadi dasarnya itu harus disimpan selama lima tahun.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-

BAB VI.

PAJAK MASUK.

Pasal 21.

(1) Barang siapa memasukkan barang-barang untuk dipakai dari sesuatu daerah di Indonesia, yang tidak
termasuk daerah-pabean atau dari luar negeri, maka pajak masuk terhutang sejumlah tiga perseratus dari
nilai barang-barang itu.
(2) Pajak masuk tersebut tadi dipungut menurut cara seakan-akan pajak ini adalah bea masuk dengan kuasa
Undang-undang Tarip Indonesia (Indische Tariefwet) (Staatsblad 1924 No. 487) dengan pengertian,bahwa
pembebasan dan pengecualian yang diberikan dan/ atau dengan kuasa Undang-undang Tarip Indonesia
tidak berlaku untuk pajak ini.
(3) Yang dimaksud dengan nilai barang-barang ialah harga yang ditertibkan dalam pasal 31 dari Peraturan A
yang dilampirkan pada Ordonansi Bea (Staatsblad 1931 No. 471) ditambah dengan semua pajak dari
pemungutan Indonesia.
(4) Pajak masuk hanya terhutang pada waktu pemasukan barang-barang untuk pertama kalinya ke dalam
daerah-pabean di Indonesia.

BAB VII.

PENGECUALIAN DAN PENGEMBALIAN PAJAK.

Pasal 22.

Asalkan peraturan yang akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan diperhatikan, maka dikecualikan dari pajak :
ke-1. penyerahan kapal, bukan kapal-pesiar;
ke-2. penyerahan barang-barang untuk dikeluarkan langsung ke luar negeri;
ke-3. penyerahan barang-barang dengan percuma dalam hal-hal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan;
ke-4. a. penyerahan uang, juga penyerahan meterai dan merek pajak Indonesia yang dikeluarkan dari pihak
pemerintahan dan belum terpakai dan surat berharga-termasuk obligasi, surat sero dan lain-lain efek;
b. penyerahan emas pada atau oleh De Javasche Bank menurut cara peraturan yang ditetapkan dalam
atau dengan kuasa Ordonansi-Devisen.
ke-5. pengadaan, penyerahan dan pelepasan hak-turut dalam perseroan dan perkumpulan;
ke-6. pemberian kredit, penyerahan, penguangan dan pembayaran tagihan uang, termasuk peredaran-giro,
peredaran-cek dan peredaran rekening-koran;
ke-7. asuransi;
ke-8. undian;
ke-9. jasa dalam perhubungan pos, telegrap dan telepon dan jasa tertentu dari perusahaan pengangkutan
untuk kepentingan perhubungan tersebut;
ke-10. siaran radio pemerintahan dan dari perkumpulan dan badan yang berhak;
ke-11. pengangkutan orang dan barang-barang dari tempat di luar negeri melalui Indonesia ke tempat di luar
negeri, dan juga pengangkutan orang dan barang-barang dari tempat di Indonesia ke tempat di luar
negeri atau sebaliknya, satu dan lain jika ternyata dari surat pengangkutan ternyata bahwa tempat yang
dituju itu pada permulaan pengangkutan telah ditetapkan;
ke-12. persewaan dan penebasan, juga penyerahan dan pelepasan sewa dan tebasan dari barang tetap kecuali;
a. mesin dan alat perusahaan;
b. kamar yang telah diperaboti dalam hotel, pensiun dan rumah penginapan semacam itu;
ke-13. pemberian makan, tempat tinggal dan lain-lain upah berwujud barang menurut kebiasaan kepada orang
yang bekerja pada pengusaha;
ke-14. jasa yang dibuat oleh penjabat agama dalam jabatannya;
ke-15. pemberian pengajaran oleh yayasan dan perkumpulan yang mempunyai hak badan hukum, dalam hal-
hal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7-

Pasal 23.

(1) Dikecualikan dari pajak masuk ialah :


ke-1. semua hasil dalam arti kata Undang-undang Tarip Indonesia (Indische Tariefwet) keluaran dari
sesuatu daerah di Indonesia, baik daerah itu termasuk dalam maupun di luar daerah-pabean;
ke-2. kapal, bukan kapal-pesiar;
ke-3. uang, emas batangan dan potongan dan meterai dan merek pajak Indonesia yang dikeluarkan dari
pihak pemerintahan dan belum terpakai;
ke-4. barang-barang untuk mana tidak wajib dibayar bea masuk, yang termasuk dalam satu
pemberitahuan-masuk, dan yang berharga tidak lebih dari f.25.-;
ke-5. barang-barang yang dibawa orang dalam bepergian untuk dipakai sendiri selama bepergiannya;
ke-6. barang-barang yang dikecualikan dari pembayaran bea masuk atau bea masuknya dikembalikan,
berhubung dengan pemasukannya dilakukan untuk tujuan ilmu pengetahuan atau dianggap perlu
untuk perhubungan internasional;
ke-7. barang-barang yang terhadapnya sewaktu dimasukkan berlaku pasal 23 atau 23a dari Ordonansi Bea
(Staatsblad 1931 No. 471), maka mengenai pasal 23 jika syarat-syarat yang ditentukan dalam
pernyataan berlakunya itu dipenuhi, dan mengenai pasal 23a jika barang-barang itu dengan tidak
dipungut bea diperkenankan masuk;
ke-8. barang-barang yang didatangkan untuk atau atas tanggungan Negeri, jika barang-barang itu
menurut peraturan-Pemerintah dikecualikan dari bea masuk.
(2) Asalkan peraturan untuk itu yang akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan diperhatikan, maka pengecualian
atau pengembalian pajak masuk diberikan untuk hal-hal berikut :
ke-1. barang pindahan, jika terdiri dari barang yang telah dipakai;
ke-2. alat pembungkus kosong, jika dapat dinyatakan, bahwa alat itu bekas dipergunakan untuk
mengeluarkan barang-barang ke luar daerah-pabean;
ke-3. barang-barang yang dimaksudkan untuk disimpan dalam gedung arca umum atau pengumpulan;
ke-4. pengiriman hadiah terdiri dari obat-obatan dan keperluan sehari-hari dengan maksud untuk
dibagikan oleh badan amal dengan percuma kepada rakyat.

Pasal 24.

Peredaran setahun, atau dalam hal berlakunya bab V, peredaran setribulan, dikurangkan dengan jumlah yang
dikembalikan berhubung dengan :
ke-1. pengambilan kembali barang-barang yang belum dipakai;
ke-2. pemberian potongan atas harga-jual atau penggantian.

Pasal 25.

(1) Atas permohonan dengan tulisan oleh pengusaha, pajak yang menurut pasal 18 telah dibayar lebih atau
tidak semestinya, dapat dikembalikan.
(2) Surat permohonan harus disampaikan kepada inspektur dalam tempo tiga bulan setelah tribulan takwim
berlalu, selama mana telah terjadi pembayaran lebih atau pembayaran tidak semestinya.
(3) Pengembalian kepada pengusaha menurut ayat pertama ditetapkan dengan surat keputusan inspektur.
(4) Surat keputusan memuat alasan, jika permohonan tidak seluruhnya dikabulkan.
(5) Kutipan surat keputusan oleh inspektur dikirimkan kepada yang berkepentingan, setelah di dalamnya
dinyatakan tanggal pengirimannya.

BAB VIII.

TAGIHAN SUSULAN.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-8-

Pasal 26.

(1) Jika pajak telah ditetapkan terlalu rendah atau tidak semestinya telah diambil keputusan untuk tidak
mengenakan pajak ataupun jika pajak telah diturunkan atau dibatalkan tidak semestinya, begitu jika oleh
pengusaha yang ditunjuk menurut pasal 17 ayat 1, pada tidak atau tidak segenapnya dilunasi ataupun
dengan tidak semestinya telah dilakukan pengembalian pajak, maka masing-masing untuk pajak yang
kurang ditetapkan atau tidak semestinya tidak dibayar atau dikembalikan, dapat diadakan tagihan susulan
dengan jalan penetapan pajak oleh inspektur selama terhitung dari akhir masa pajak selama mana pajak
terutang, belum liwat tiga tahun.
(2) Pajak yang ditetapkan dalam tagihan susulan ini dinaikkan dengan dua ganda.
(3) Kenaikan itu tidak terhutang, jikalau tagihan susulan ini terjadi :
ke-1. sebagai akibat pemberitahuan tertulis oleh yang berkepentingan atas kemauan sendiri dan dalamnya
diberikan pula keterangan yang betul untuk menghitung kekurangan pajak yang harus dikenakan;
ke-2. untuk membetulkan kekeliruan dalam penyelenggaraan atau penetapan pajak;
ke-3. untuk membetulkan kesalahan dalam hitungan yang berkepentingan kesalahan mana dapat dianggap
telah dibuat dengan itikad baik.
(4) Kepala jawatan pajak berkuasa mengurangi atau membatalkan kenaikan menurut ayat dua, berdasarkan
kekhilafan atau kelalaian yang dapat dimaafkan, asal kekhilafan atau kelalaian itu harus dinyatakan dengan
cukup memuaskan oleh yang berkepentingan.
(5) Peraturan mengenai penetapan dan penagihan pajak berlaku juga terhadap penetapan tagihan susulan.

BAB IX.

KEBERATAN DAN PERTIMBANGAN.

Pasal 27.

(1) Barang siapa berkeberatan terhadap pajak yang dikenakan padanya menurut pasal 10 dapat memasukkan
surat keberatan kepada pembesar yang mengurus penetapan pajak yang menetapkan pajak itu atau kepada
pembesar lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dalam tempo tiga bulan setelah surat ketetapan
pajak atau pemberitaan dimaksud dalam pasal 16 ayat 4 diberikan.
(2) Sewaktu memasukkan surat keberatan diberikan tanda penerimaan, jika diminta.
(3) Jika pengiriman dilakukan dengan perantaraan pos, maka tanggal cap kantor pos yang mengirimkan
dianggap sebagai tanggal pemasukkan surat keberatan.
(4) Jika seseorang menerangkan tidak dapat menulis ia dapat memajukan keberatan dengan lisan dalam tempo
yang telah ditetapkan, kepada salah seorang pembesar dimaksud dalam ayat pertama, yang seketika itu
membikin atau menyuruh membikin surat yang dibubuhi tanggal tanda-tangan. Surat ini dianggap sebagai
surat keberatan.
(5) Tempo tiga bulan itu tidak mengikat, jika dapat dinyatakan, bahwa tempo itu tidak dapat diperhatikan
berhubung dengan keadaan istimewa.
(6) Penarikan kembali sesuatu surat keberatan yang telah dimasukkan hanya dapat dilakukan dengan sah
dengan mufakatnya inspektur.

Pasal 28.

(1) Atas surat keberatan diambil keputusan oleh inspektur.


(2) Pajak itu tidak diubah, selama tidak ternyata tidak benarnya :
ke-1. jika peraturan bersandar pada pasal 9 ayat 3 ke-1 tentang kewajiban meminta penyerahan surat
pemberitahuan tidak dipenuhi;
ke-2. Jika pemberitahuan, meskipun telah dikirim surat teguran sebagai dimaksud dalam pasal 14 ayat 5
ke-2, tidak dimasukkan dalam tempo yang ditentukan dalam surat tadi;
ke-3. jika kewajiban tertera dalam pasal 14 ayat 1 ke-1 dan ke-2 tidak dipenuhi segenapnya.
(3) Dalam mengambil keputusan atas surat keberatan yang dimasukkan dalam tempohnya, diperhatikan segala
sesuatu yang tidak benar dalam penyelenggaraan penetapan pajak.
(4) Dalam keputusan itu pajak dapat dinaikkan.
(5) Surat keputusan memuat alasan, jika keberatan seluruhnya atau sebagian ditolak, atau tidak dapat diterima.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-9-

(6) Kutipan surat keputusan dikirim kepada yang berkeberatan menurut cara yang ditetapkan oleh inspektur,
setelah di dalamnya dinyatakan tanggal pengirimannya.

Pasal 29.

Barangsiapa berkeberatan terhadap keputusan diambil atas surat keberatannya atau terhadap pajak yang
ditetapkan untuknya menurut pasal 26 ayat 1 atau terhadap keputusan diambil baginya menurut pasal 25, dapat
memasukkan surat permohonan pertimbangan kepada Majelis Pertimbangan Pajak menurut cara, yang
ditentukan dalam peraturan meminta pertimbangan dalam urusan pajak, dalam tempoh tiga bulan masing-
masing sesudah kutipan surat keputusan dikirim, setelah tanggal surat ketetapan pajak diserahkan dan setelah
tanggal surat keputusan dikirim.

Pasal 30.

Pajak, seperti telah ditetapkan terakhir, oleh Majelis Pertimbangan Pajak tidak diubah, jika kepada majelis tidak
ternyata tidak benarnya :
ke-1. jika peraturan bersandar pada pasal 9 ayat 3 ke-1 tentang kewajiban meminta penyerahan surat
pemberitahuan tidak dipenuhi;
ke-2. jika pemberitahuan, meskipun telah dikirim surat teguran sebagai dimaksud dalam pasal 14 ayat 5 ke-2,
tidak dimasukkan dalam tempo yang ditentukan dalam surat tadi;
ke-3. jika kewajiban tertera dalam pasal 14 ayat 1 ke-1 dan ke-2 tidak dipenuhi segenapnya.

BAB X.

PENAGIHAN.

Pasal 31.

(1) Ketetapan pajak, begitupun kenaikan pajak, juga kenaikan dimaksud dalam pasal 15 peraturan meminta
pertimbangan dalam urusan pajak, dimasukkan dalam kohir, kecuali ketetapan pajak yang ditetapkan
kemudian yang besarnya sama dengan atau lebih rendah dari pada penetapan sementara yang lebih dahulu.
(2) Kohir ditetapkan oleh inspektur.
(3) Surat-isian untuk kohir ditetapkan oleh kepala jawatan pajak.

Pasal 32.

(1) Segera setelah kohir ditetapkan, maka kepada tanggung pajak diberitahukan ketetapan yang dimasukkan
dalam kohir dengan jalan mengirim surat ketetapan pajak atau pemberitaan dimaksud dalam pasal 16 ayat
4.
(2) Penyelenggaraan pengiriman surat ketetapan pajak dan pemberitaan diatur oleh pembesar yang mengurus
penetapan pajak.
(3) Tanggal pengiriman dinyatakan, baik dalam kohir maupun dalam surat ketetapan pajak atau pemberitaan.
(4) Surat-isian untuk surat ketetapan pajak ditetapkan oleh kepala jawatan pajak.

Pasal 33.

(1) Ketetapan pajak dimaksud dalam pasal 10 dan pasal 26 ayat 1 ditagih seluruhnya sejak hari kesepuluh
setelah surat ketetapan pajak diserahkan.
(2) Ketetapan sementara dimaksud dalam pasal 16 ayat 1 ditagih dengan angsuran yang banyaknya sama
dengan banyaknya bulan yang masih tersisa dari tahun takwim sehabisnya bulan, dalam mana surat
ketetapan pajak diserahkan. Hari-pembayaran ialah pada tiap tanggal lima belas dari bulan-bulan itu.
(3) Jika penyerahan surat ketetapan pajak dimaksud dalam ayat dua terjadi sesudah tanggal 31 Juli dari tahun
takwim untuk mana pajak ditetapkan, maka pajak itu ditagih dengan lima angsuran yang sama besarnya,
dan hari pembayarannya berturut-turut pada tanggal lima belas dari tiap-tiap bulan, dimulai dengan bulan,
yang mengikuti bulan, dalam mana surat ketetapan pajak diserahkan.
(4) Dalam hal penurunan ketetapan pajak sementara, jumlah yang masih terhutang, dibagi atas angsuran yang
belum terbit.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 10 -

(5) Kepada pengusaha, yang dapat mengunjukkan, bahwa peredaran setahun, disebabkan oleh hal-hal terjadi
setelah pajak sementara ditetapkan, mungkin akan kurang dari pada tiga perempatnya dari peredaran
setahun, atas dasar mana ketetapan sementara dihitung, atas permintaannya dapat diberi penundaan
pembayaran untuk sejumlah dari pajak sementara itu, yang dikira akan melebihi banyaknya pajak yang akan
ditetapkan kemudian.
(6) Jumlah, untuk mana diberi penundaan pembayaran, dibagi rata atas angsuran ketetapan sementara, yang
belum dilunasi.
(7) Pemberian penundaan pembayaran sewaktu-waktu dapat ditarik kembali, jika pengiraan besarnya pajak
yang akan ditetapkan kemudian, memberi alasan untuk itu.

Pasal 34.

Pajak dapat ditagih seketika :


ke-1. jika jumlah yang tidak dibayar ada melebihi jumlah satu angsuran;
ke-2. jika tanggung pajak dinyatakan pailit atau berada dalam keadaan penglaksanaan pembayaran di bawah
pengawasan hakim begitupula dalam hal disitanya barang bergerak atau barang tetap oleh pihak Negeri
atau dalam hal penjualan barang itu disebabkan penyitaan atas nama pihak ketiga;
ke-3. jika tanggung pajak menghentikan atau sangat mengecilkan perusahaan atau pekerjaannya yang bebas di
Indonesia atau memindah-tangankan barang tetapnya yang terletak di Indonesia.

Pasal 35.

Kewajiban membayar tidak ditangguhkan oleh pemasukan surat keberatan terhadap pajak itu.

Pasal 36.

(1) Jika pajak dihutang oleh dua orang atau lebih atau oleh badan, maka mereka tanggung renteng atas
pembayaran pajak itu.
(2) Wakil pengusaha yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia juga turut bertanggung jawab atas
pembayaran pajak.
(3) Orang dan badan dimaksud dalam ayat satu dan dua wajib memenuhi segala kewajiban yang oleh Undang-
undang ini dibebankan kepada pengusaha.
(4) Tanggung jawab menurut pasal ini juga meliputi kewajiban membayar biaya tuntutan.

Pasal 37.

(1) Kas Negeri mempunyai hak mendahulu atas semua barang kepunyaan pengusaha tanggung pajak, juga atas
barang kepunyaan mereka, yang menurut pasal 36 bertanggung jawab atas pembayaran pajak.
(2) Hak mendahulu diberi dalam ayat pertama, mendahului segala hak mendahulu, kecuali terhadap piutang-
didahulukan tersebut dalam pasal 1139 No. 1 dan 4 dan pasal 1149 No. 1 Kitab Undang-undang Sipil dan
dalam pasal 80 dan 81 Kitab Undang-undang Perniagaan, terhadap gadai-hasil oogstver- band) dan
terhadap hak gadai dan hipotek diatur dalam Kitab Undang-undang Sipil, yang telah diadakan pada sebelum
saat pajak terutang, atau jika pengadaan itu terjadi sesudah saat itu, hanya jika guna keperluan itu diberikan
surat keterangan sebagai dimaksud dalam ayat 5.
(3) Mengenai tanah yang dimiliki menurut hukum Indonesia, hak mendahulu diberi dalam ayat pertama, tidak
mendahuhului pinjaman atas tanah hak milik Indonesia (credietverband) diadakan sebelum saat pajak
terhutang atau dalam hal diadakannya sesudah saat itu, hanya jika guna keperluan itu diberikan surat
keterangan sebagai dimaksud dalam ayat 5. Terhadap tanah dan barang digadaikan menurut hukum adat,
hak mendahulu Kas Negeri tidak mendahului hak pemegang gadai atas pembayaran jumlah uang gadai.
(4) Hak mendahulu tidak berlaku lagi setelah lewat dua tahun dihitung dari tanggal penyerahan surat ketetapan
pajak, atau jika dalam tempo ini telah diberitahukan surat paksa untuk membayar, setelah lewat dua tahun
terhitung dari tanggal pemberitahuan surat tuntutan terakhir. Jika pembayaran pajak ditunda, maka tempo
tersebut di atas diperpanjang dengan sendirinya menurut hukum dengan waktu selama penundaan.
(5) Sebelum atau sesudah mengadakan hipotek dalam arti kata Kitab Undang-undang Sipil, pemberi hipotek
dapat memohon surat keterangan bahwa hipotek itu didahulukan dari hak mendahulu yang diberi dalam
ayat 1. Surat keterangan itu diminta pada inspektur. Inspektur memberi surat keterangan itu, jika tidak ada
pajak yang mendahului hipotek itu atau menurut pendapatnya ada jaminan, bahwa pajak yang mendahului
hipotek itu akan dilunasi. Dalam surat keterangan itu masa yang bersangkutan harus disebut. Jika
permohonannya ditolak maka pemberi-hipotek dapat mengemukakan keberatannya kepada kepala jawatan
pajak yang akan menyuruh memberi surat keterangan itu juga, jika menurut pendapatnya ada alasan.
Peraturan ini berlaku juga terhadap pinjaman atas tanah hak-milik Indonesia (credietverband).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 11 -

(6) Peraturan tentang hak mendahului berlaku juga terhadap biaya tuntutan.
(7) Pajak yang terutang sesudah tanggal hari pengusaha dinyatakan pailit atau berada dalam keadaan
penglaksanaan pembayaran di bawah pengawasan hakim, masuk utang harta benda.

Pasal 38.

Tagihan-pembayaran pajak lewat waktu oleh karena lewat lima tahun dihitung dari akhir masa selama mana
pajak itu terhutang.

BAB XI.

IZIN PERUSAHAAN.

Pasal 39.

(1) Pengusaha tidak boleh memulai perusahaan atau pekerjaannya, ataupun meneruskannya, jika ia tidak
mempunyai izin atau izin sementara yang tiap tahun diberikan oleh atau atas nama pembesar yang
mengurus penetapan pajak.
(2) Pembesar yang mengurus penetapan pajak memutuskan tentang pemberian izin tersebut dalam ayat 1.
(3) Izin tidak diberi atau hanya diberi izin sementara kepada pengusaha yang tidak melunasi ketetapan pajak
peredarannya, jika ketetapan pajak itu dapat ditagih pada saat pemutusan pemberian izin itu.
(4) Pemasukan surat keberatan terhadap ketetapan pajak tidak memberikan hak atas pemberian izin sementara.
(5) Sesudah pajak tersebut dalam ayat tiga dilunasi, maka atas permintaan yang berkepentingan izin masih
dapat diberi.
(6) Jika semula izin sementara tidak diberi, maka izin sementara itu setiap waktu oleh pembesar yang mengurus
penetapan pajak atas permintaan yang berkepentingan masih dapat diberi, jika untuk itu menurut
pendapatnya ada alasan.

Pasal 40.

(1) Izin atau izin sementara diberi dengan memberikan kartu kepada pengusaha; contoh dan warna kartu
ditetapkan oleh kepala jawatan pajak.
(2) Pengusaha wajib menyimpan kartu itu selama tahun takwim yang bersangkutan dan jika diminta
memperlihatkannya kepada pegawai yang diserahi mengusut delik, juga termasuk yang dimaksud dalam
pasal 59 ayat 1; jika ia tidak dapat memperlihatkan kartu, maka ia dianggap tidak mempunyai izin yang
diwajibkan itu.

Pasal 41.

(1) Izin sementara setiap waktu dapat ditarik kembali oleh pegawai yang berhak untuk mengeluarkan surat
paksa untuk ketetapan pajak peredaran yang dikenakan kepada pengusaha.
(2) Izin dapat ditarik kembali oleh pegawai tersebut dalam ayat 1, segera apabila ketetapan pajak peredaran
yang dikenakan kepada pengusaha sejak pemberian izin sama sekali dapat ditagih dan belum dibayar lunas.
(3) Penarikan kembali itu ia nyatakan dengan membubuhkan catatan pada kartu dimaksud dalam pasal 40.
(4) Pengusaha wajib memberi kesempatan kepada pegawai yang diserahi membuat catatan dimaksud dalam ayat
tiga untuk melakukannya.
(5) Oleh penarikan kembali dimaksud dalam ayat 1 dan 2 maka kartu dimaksud dalam pasal 40 kehilangan
sahnya sebagai bukti izin atau izin sementara, meskipun seandainya yang dimaksud dalam ayat 3 tidak
dilakukan.

Pasal 42.

Yang ditentukan dalam pasal 39 ayat 1 tidak berlaku untuk :


ke-1. golongan pengusaha yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan;
ke-2. pengusaha yang ditunjuk menurut pasal 17 ayat 1.

BAB XII.

PERATURAN KHUSUS.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 12 -

Pasal 43.

(1) Pengusaha dilarang memasukkan pajak sebagai jumlah tersendiri dalam rekening kepada penerima
penyerahan barang-barang atau penerima jasa.
(2) Larangan dimaksud dalam ayat 1 tidak berlaku terhadap jumlah harga-jual atau penggantian ditetapkan
menurut tarip tersebut dalam Undang-undang.
(3) Syarat dalam perjanjian yang bertentangan dengan pasal ini, adalah batal.

Pasal 44.

(1) Siapapun dilarang mengumumkan lebih lanjut apa yang ternyata atau diberitahukan kepadanya dalam
jabatan atau pekerjaannya dalam menjalankan Undang-undang ini atau bersangkutan dengan itu, selain
dari pada yang perlu untuk melakukan jabatan atau pekerjaan itu.
(2) Larangan itu juga berlaku terhadap ahli dan jurubahasa bukan pegawai dimaksud dalam pasal 15 ayat 1.

Pasal 45.

(1) Setiap orang wajib memberikan keterangan yang diminta dari padanya untuk menjalankan Undang-undang
ini dengan jelas dan dengan sebenarnya kepada pegawai, ahli dan jurubahasa yang ditunjuk menurut atau
dengan kuasa pasal 15 ayat 1.
(2) Keterangan harus diberikan baik dengan tulisan, maupun dengan lisan, ataupun dengan memperlihatkan
buku dan lain-lain surat, terserah pada pilihan peminta keterangan itu, dalam bentuk dan dalam tempo yang
ditetapkannya.
(3) Barang siapa diminta untuk memperlihatkan buku dan lain-lain surat untuk diperiksa, dianggap
mempunyainya, kecuali jika hal sebaliknya dapat masuk dalam akal.
(4) Kewajiban merahasiakan, walaupun berdasar atas peraturan Undang-undang tidak menjadi alasan yang sah
bagi siapapun untuk menolak memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya menurut atau dengan kuasa
pasal ini.
(5) Keluarga-sedarah dan semenda menurut keturunan lurus dan sampai dengan derajat kedua menurut
keturunan menyimpang, begitu juga suami (isteri) dan bekas suami (isteri) mereka, yang diminta
keterangan, dapat menolak dengan sah kewajiban memberi keterangan.

Pasal 46.
(1) Inspektur karena jabatannya atau atas permohonan wajib-pajak dapat membetulkan kesalahan tulisan dan
kesalahan hitungan sewaktu membuat kohir atau surat ketetapan pajak dan mengurangkan atau
membatalkan pajak yang salah ditetapkan karena kekeliruan dalam peristiwa penetapan pajak.
(2) Kekuasaan tersebut dalam ayat 1 tidak berlaku lagi karena lewatnya dua tahun sesudah tanggal hari
pemberian surat ketetapan pajak, kecuali jika dalam tempo itu oleh yang bersangkutan dimajukan surat
permohonan supaya kekuasaan tersebut di atas dilaksanakan.

Pasal 47.
(1) Kepala jawatan pajak dapat mengurangi atau membatalkan ketetapan pajak yang salah, jika oleh
terlambatnya memasukkan surat keberatan atau surat permohonan atau oleh alasan lain yang bersifat formil
yang berkeberatan atau pemohon tidak dapat diterima dan ia menurut pendapat kepala jawatan pajak
sepatutnya masih berhak akan pengurangan atau pembatalan atas ketetapan pajak itu.
(2) Pengurangan atau pembatalan tidak diberi :
ke-1. jika sejak awal tahun takwim, yang bersangkutan dengan ketetapan pajak, telah lewat lima tahun,
kecuali jika dalam masa itu dimasukkan permohonan untuk itu;
ke-2. jika harus dianggap, bahwa yang berkeberatan atau pemohon dengan sengaja mengabaikan tempo
untuk memasukkan surat keberatan atau surat permohonan.

Pasal 48.
(1) Untuk memasukkan surat keberatan, surat pertimbangan dan surat permohonan maka dapat diwakili :
ke-1. koperasi dan perkumpulan lain, yayasan dan perseroan oleh salah seorang anggauta pengurus atau
pesero pengurus;
ke-2. ahli waris wajib pajak oleh salah satu dari mereka, penjalankan surat wasiat atau penguasa warisan
itu;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 13 -

ke-3. orang di bawah umur, orang-gila dan orang di dalam hajar oleh wakilnya menurut Undang-undang.
(2) Surat keberatan, surat permohonan pertimbangan dan surat permohonan yang ditandatangani oleh kuasa
semata-mata dianggap sah, jika surat kuasa dilampirkan.

Pasal 49.
Untuk ketetapan tagihan susulan yang ditetapkan sesudah meninggalnya wajib pajak, dan untuk kenaikan
ketetapan tersebut dalam pasal 15 dari Peraturan minta pertimbangan dalam urusan pajak maka setiap ahli waris
menanggung hanya hingga jumlah bagiannya dalam warisan itu ditambah dengan jumlah wasiat istimewa yang
diberikan padanya.

Pasal 50.

Menteri Keuangan berhak :


ke-1. menetapkan peraturan umum untuk menjalankan Undang-undang ini;
ke-2. dalam hal-hal yang tertentu atau kumpulan hal menghapuskan ketidak adilan yang menyolok, yang
mungkin timbul dalam menjalankan Undang-undang ini.

BAB XIII.

PERATURAN YANG BERSIFAT HUKUM PIDANA.

Pasal 51.

(1) Barang siapa dengan sengaja memasukkan surat pemberitahuan seperti dimaksud dalam bab III dan pasal 19
ayat 1, yang tidak benar atau kurang lengkap untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, jika oleh karena
itu mungkin diderita kerugian oleh Negeri, dihukum penjara setinggi-tingginya setahun atau didenda
sebanyak-banyaknya tiga puluh ribu rupiah.
(2) Peraturan dalam ayat 1 tidak dilakukan, jika pengusaha, selama kejaksaan belum diberitahukan, dengan
kemauan sendiri memasukkan surat pemberitahuan lagi yang benar dan lengkap, asalkan :
ketetapan pajak belum ditetapkan dan pengusaha belum lagi diminta untuk memberi keterangan atau
memperlihatkan pembukuan atau surat-surat lainnya menurut pasal 14; ataupun ketetapan pajak itu
terlampau rendah ditetapkan.

Pasal 52.

Dengan hukum penjara setinggi-tingginya dua tahun dihukum :


ke-1. barang siapa dengan sengaja memberikan atau memperlihatkan buku palsu atau dipalsukan atau surat-
surat lainnya yang palsu atau dipalsukan seakan-akan buku dan surat-surat itu adalah benar dan tidak
dipalsukan, kepada pembesar yang mengurus penetapan pajak atau kepada pegawai, ahli atau
jurubahasa, menurut pasal 15 ayat 1 ditunjuk untuk memeriksa pembukuan dan surat-surat lain yang
menjadi dasar pembukuan;
ke-2. barang siapa, berhubung dengan suatu tuntutan dimaksud dalam pasal 45, dengan sengaja memberikan
keterangan palsu atau dipalsukan seakan-akan keterangan itu adalah benar dan tidak dipalsukan;
ke-3. barang siapa, ketika pemeriksaan apakah peraturan bab XI diturut, dengan sengaja memperlihatkan
kartu dimaksud dalam pasal 40 ayat 1 yang palsu atau dipalsukan kepada pegawai yang berkewajiban
memeriksanya.

Pasal 53

(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar kewajiban menyimpan rahasia, dimaksud dalam pasal 44, dihukum
penjara setinggi-tingginya enam bulan atau didenda sebanyak-banyaknya dua ribu rupiah.
(2) Barang siapa dipersalahkan melanggar kewajiban menyimpan rahasia dihukum kurungan setinggi-tingginya
tiga bulan atau didenda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.
(3) Penuntutan tidak diadakan selain dari pada atas pengaduan orang, terhadap siapa kewajiban menyimpan
rahasia dilanggar.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 14 -

Pasal 54.

Barang siapa dengan sengaja tidak atau tidak selengkapnya memenuhi sesuatu kewajiban tersebut dalam pasal 45
atau dengan sengaja oleh tindakan atau oleh tak-bertindaknya mengakibatkan atau dengan sengaja turut
mengakibatkan, bahwa kewajiban itu tidak atau tidak selengkapnya dipenuhi, dihukum penjara setinggi-
tingginya tiga bulan atau didenda sebanyak-banyaknya lima belas ribu rupiah.

Pasal 55.

(1) Barang siapa tidak, tidak selengkapnya atau tidak pada temponya membayar pajak menurut pasal 18,
dihukum denda sebanyak-banyaknya sepuluh kali jumlah pajak yang kurang dibayar.
(2) Penuntutan hukuman karena pelanggaran tersebut dalam ayat pertama tidak diadakan, jika inspektur
menganggap ada alasan untuk menetapkan pajak menurut pasal 26 ayat 1.

Pasal 56.

Dengan denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah dihukum;


ke-1. barang siapa tidak atau tidak segenapnya memenuhi sesuatu kewajiban tersebut dalam pasal 20 dan 45;
ke-2. barang siapa melanggar sesuatu larangan tersebut dalam pasal 39 ayat 1 dan pasal 43 ayat 1;
ke-3. barang siapa tidak atau tidak segenapnya menuruti peraturan umum yang ditetapkan dengan kuasa
Undang-undang ini oleh Menteri Keuangan.

Pasal 57.

Peristiwa yang dapat dihukum menurut pasal 51, 52, 53 ayat 1 dan 54 dianggap kejahatan.
Peristiwa yang dapat dihukum menurut pasal 53 ayat 2, 55 dan 56 dianggap pelanggaran.

Pasal 58.

(1) Apabila sesuatu peristiwa dalam Undang-undang ini dapat dihukum dilakukan oleh atau dari pihak badan
hukum maka penuntutan di muka hakim diadakan terhadap dan hukuman dijatuhkan kepada anggota
pengurus.
(2) Hukuman tidak dijatuhkan kepada seseorang pengurus, jika ternyata bahwa hal itu terjadi di luar
pengetahuannya.

Pasal 59.

(1) Untuk mengusut peristiwa yang dapat dihukum dalam Undang-undang ini juga turut berkewajiban pegawai
jawatan pajak, jawatan bea cukai dan jawatan akuntan pajak yang ditunjuk menurut atau dengan kuasa
pasal 15 ayat 1.
(2) Mereka yang diserahi kewajiban untuk mengusut, jika perlu dengan pertolongan polisi, setiap hari, kecuali
pada hari besar dimaksud dalam pasal 171 a Kitab Undang-undang Perniagaan, dapat masuk kedalam
semua barang tetap, di mana menurut sangkaannya sekiranya terdapat benda, yang dapat dipergunakan
untuk mendapatkan peristiwa-peristiwa yang dapat dihukum; akan tetapi mengenai bangunan hanya dapat
dimasuki antara jam enam pagi dan jam dua siang dan petang hari antara jam empat dan enam. Ia berhak
mensita benda-benda itu dan menuntut penyerahannya.

Pasal 60.

Menteri Keuangan dapat berdamai atau menyuruh berdamai untuk mencegah penuntutan di muka hakim
mengenai peristiwa yang dapat dihukum menurut pasal 55 dan 56.

Pasal 61.

Apabila suatu hukuman menurut pasal 51 tidak dapat diubah lagi, maka tagihan susulan ditetapkan, juga
sesudahnya lewat tempo menurut pasal 26.

BAB XIV.

PERATURAN PENUTUP.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 15 -

Pasal 62.

(1) Mengenai penyerahan barang-barang dan jasa yang dibuat sebelum Undang-undang ini berlaku tidak
dikenakan pajak, juga jika pajak terutang sesudah saat tersebut dalam pasal 5 ayat 1.
(2) Pengusaha yang menyerahkan barang-barang atau membuat jasa sesudah saat Undang-undang ini berlaku
karena suatu perjanjian diadakan sebelum Undang-undang ini berlaku, berhak meminta kembali pajak yang
terhutang dalam hal ini dari orang yang menerima barang-barangnya atau untuk siapa jasa itu dibuat.
Syarat dalam perjanjian yang bertentangan dengan ini adalah batal.
(3) Untuk tahun takwim 1950 pasal 6 ayat 2 dibaca sebagai berikut :
Jumlah tersebut dalam ayat pertama dikurangkan masing-masing sampai :
ke-1. sekian perduabelasnya, sebanyak bulan yang masih berjalan dari tahun takwim 1950 pada waktu
Undang-undang ini berlaku;
ke-2. sekian pertiganya, sebanyak bulan yang masih berjalan dari tribulan takwim dalam tahun takwim
1950 pada waktu Undang- undang ini berlaku.

Pasal 63.

(1) Undang-undang darurat ini mulai berlaku pada hari yang akan ditentukan oleh Menteri Keuangan.
(2) Undang-undang ini dinamakan "Undang-undang Pajak Peredaran 1950".

Agar supaya orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengumuman Undang-undang darurat ini dengan
penetapan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Pebruari 1950.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

(SOEKARNO).

MENTERI KEUANGAN,

SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA.

Diumumkan
pada tanggal 18 Maret 1950.
MENTERI KEHAKIMAN,

SOEPOMO.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 16 -

BAGIAN UMUM.

1. Berhubung dengan keadaan keuangan negara pada dewasa ini, maka terpaksa diambil tindakan-tindakan ke-
arah memperluas pendapatan-pendapatan negara. Pengluasan ini tidak akan dapat dicapai dengan menaikkan
tarip pajak-pajak yang telah ada.
Oleh karena kini nyata, bahwa maksud tadi tidak dapat dicapai hanya dengan melanjutkan pemungutan-
pemungutan yang ada sekarang saja berdasarkan suatu sistim pajak yang telah tumbuh dalam edaran sejarah,
maka perlulah diadakan pajak baru yang dasar dan bersifatnya berlainan daripada yang sudah-sudah. Pada
umumnya telah diakui, bahwa pembagian yang betul dari kewajiban membayar pajak berdasarkan
pendapatan dan kekayaan untuk menggambarkan kekuatan memikul berat pajak, adalah sangat sukar adanya.
Ini pulalah alasan untuk mengadakan pajak baru ini.
Agar supaya sesuatu pajak yang baru, dapat diterima, maka pajak itu harus memenuhi bermacam-macam
syarat. Salah satu syarat yang terpenting ialah bahwa pajak itu tidak merusak sendi hidup ekonomis di negeri
ini. Bangunnya pun harus sedemikian sederhananya, sehingga penglaksanaannya yang pantas dapat dijamin.

2. Pajak peredaran adalah satu macam pajak, yang diadakan dihampir semua negeri di dunia ini dalam masa
antara perang dunia pertama dan kedua. Pajak sedemikian dapat memenuhi syarat-syarat tersebut di atas.
Pajak peredaran bermaksud merupakan suatu pajak pemakaian yang meliputi sebanyak mungkin bilangan
barang-barang yang dipakai atau terpakai habis di Indonesia.
Maka dari itu yang dikenakan pajak ialah penyerahan barang-barang yang ada di peredaran bebas.
Pajak peredaran mengenal dua macam cara mengenakan pajak. Dalam perjalanan barang-barang dari
produsen atau pabrikan sampai kepada konsumen biasanya barang-barang itu melalui beberapa tingkatan
lajur produksi ini membujur dari produsen ke pedagang besar, dari ini ke pedagang perantara, selanjutnya
pedagang kecil dan akhirnya ke konsumen.
Salah satu dari cara memungut pajak peredaran ialah : dipungut pajak tiap kali ada pemindahan barang-
barang bersangkutan ke tingkat berikutnya.
Lain cara ialah : pemungutan sekaligus yang bermaksud mengenakan hasil akhir sekali saja.
Pemungutan ini dapat dilakukan pada awal lajur-produksi yakni pada waktu penyerahan oleh produsen atau
pabrikan maupun pada salah satu mata rantai berikutnya.
Sungguhpun bilangan pengusaha, yang akan dimasukkan dalam pajak ini, dalam pemungutan berkali akan
berjumlah lipat ganda dari pemungutan sekali, namun sistim yang disebut terlebih dahulu itulah yang
diwujudkan dalam Undang-undang, karena sistim inilah menurut sifatnya mempunyai bentuk yang lebih
sederhana, lagi pula dengan pemungutan yang rendah, dapatlah dijamin sesuatu hasil, yang tidak mungkin
diperoleh dengan sistim pemungutan sekali.
Kesederhanaan sistim tadi sangat bertambah pula oleh karena jumlah pengecualian dibatasi sedikit-dikitnya
dan juga tidak diadakan perbedaan tarip antara berbagai-bagai jenis barang dan antara beraneka mata rantai
lajur produksi dan selanjutnya terutangnya pajak dipindahkan dari pada saat-saat penyerahan ke saat-saat
pembayaran harga jual, sehingga pajak dapat ditetapkan berdasar jumlah peredaran dalam sesuatu masa
tertentu.
Mengenakan pajak atas jasa ada cocok pula dalam sistim pemungutan berkali.
Biasanya pajak terutang oleh pengusaha yang menyerahkan barang-barang atau yang membuat jasa. Sesuai
dengan sifatnya sebagai suatu pajak pemakaian, maka dimaksud supaya pajak ini pada akhirnya dipikul oleh
konsumen.
Membebaskan pajak ini pada konsumen mau tidak mau akan
mengakibatkan kenaikan harga barang-barang dan jasa. Akan tetapi hal ini adalah suatu keharusan yang
mesti dipenuhi pemungutan ini.

3. Di samping pajak peredaran ini dalam Undang-undang dicantumkan pula suatu pajak masuk.
Menurut rencana maka pajak peredaran tidak dikenakan langsung dari pemakaian atau pemakaian habis
barang-barang, akan tetapi secara tidak langsung dari mata-mata rantai lajur produksi duluan, yakni : dari
tingkatan produksi dan satu atau lebih tingkatan distribusi.
Dengan diadakannya pajak peredaran, maka barang-barang yang dihasilkan di dalam negeri terdesak dalam
suatu keadaan yang merugikan, sebab bukankah bagi barang-barang import tingkatan-tingkatan produksi
dan/atau tingkatan-tingkatan distribusi duluan untuk sebagian besar berada di luar negeri ? Mata-mata rantai
lajur produksi tersebut tidak dapat dikenakan pajak peredaran, yang hanya dipungut dari penyerahan yang
dilakukan di dalam negeri.
Justru itu pajak masuk jadi mengganti pajak peredaran, yang tidak dapat dipungut dari mata-mata rantai lajur
produksi di luar negeri.
Nama pajak masuk selaku pajak yang memberi perseimbangan diberikan pada pemungutan ini, agar supaya
tegas adanya perbedaan dengan bea masuk.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 17 -

4. Sungguhpun menurut pembagian penyelenggaraan pemerintahan antara federasi dan daerah-daerah bagian,
sebagaimana hal ini diatur dalam pasal 51 ayat 1 Konstitusi Sementara serta lampiran bersangkutan,
menyatakan bahwa pajak peredaran tidak termasuk dalam lingkungan kekuasaan federasi, akan tetapi, pada
menyusun rencana dimajukan pendapat, bahwa dengan mempergunakan kemungkinan, yang diberikan oleh
Bagian II babakan 1 Konstitusi Sementara, dapatlah diadakan persetujuan dengan daerah-daerah
bagian untuk memasukkan pajak peredaran ke dalam lingkungan kekuasaan federasi.
Bahwasanya pemungutan ini bertahan erat dengan Indonesia sebagai kesatuan ekonomi, sehingga
pemungutan yang tidak sama oleh daerah-daerah bagian atau tidak diadakannya pajak oleh beberapa daerah
bagian akan mengakibatkan kekacauan dalam bangunan ekonomi Indonesia. Pula dilihat dari sudut teknik
pajak maka suatu pemungutan federal adalah lebih utama, karena untuk memperoleh hasil sebaik-baiknya
dalam penyelenggaraan pemungutan ini perlu struktur sederhana dan ini hanya tercapai dengan suatu pajak
peredaran sebagai pendapatan federal.
Pemungutan pajak peredaran selaku pendapatan federal dengan sendirinya bukan berarti, bahwa hasilnya
akhirnya tidak akan digunakan bagi kepentingan daerah-daerah bagian.
Dalam aturan hubungan perbendaharaan antara federasi dan daerah-daerah bagian tentunya dapat
ditentukan, bahwa hasilnya dapat dibayarkan pada daerah-daerah bagian, menurut suatu ukuran pembagian,
yang kemudian dapat ditetapkan.
Dipandang dari sudut tehnik pajak maka kedudukan pajak masuk dapat disamakan dengan bea masuk, oleh
sebab itu termasuk dalam lingkungan pendapatan federal : dan berhubung dengan itu pajak masuk itu sebagai
dinyatakan dalam rencana - berlaku untuk seluruh daerah pabean Indonesia.

Bagian Khusus.

BAB I.
Peraturan umum.

Pasal 1 dan 2.

Bab ini memberikan definisi-definisi tentang pengertian yang banyak diketemukan dalam Undang-undang itu.
Dalam pasal 1 diberi definisi mengenai obyek-obyek dan dalam pasal 2 tentang subyek-subyek.

Pasal 1 ayat 1.

Ke 1. Indonesia. Daerah Republik Indonesia Serikat disebut dalam Undang-undang ini dengan nama singkatan
"Indonesia", untuk memudahkan pembacaan Undang-undang.
Ke 2. Barang-barang. Pengertian disesuaikan dengan apa yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Sipil.
Hanya yang menurut sifatnya dianggap menjadi harta benda bergerak jadi yang berwujud benda bergerak
termasuk kapal-kapal dan perahu-perahu - dianggap barang-barang dalam arti kata Undang-undang.
Penyerahan hak milik atas barang tetap tidak dikenakan. Dianggap tidak patut lagi jika di samping
pemungutan 5% bea pemindahan hak yang dikenakan dari sesuatu perjanjian untuk penyerahan hak milik
atas barang tetap, masih akan dipungut pajak peredaran ! Berdasarkan itu pula maka penyerahan kapal
dan perahu - terkecuali kendaraan air untuk pesiar - dalam pasal 22 dikecualikan pajak peredaran, antara
lain oleh karena dari akte pendaftaran pembukuan dan penyerahan telah dipungut 5% bea pemindahan
hak.
Ke 3. Penyerahan barang-barang.
a) Penyerahan yang disebut dalam huruf a - penyerahan hak milik disebabkan sesuatu perjanjian -
dianggap adalah penyerahan biasa, sebagaimana juga artinya dalam hukum sipil. Penyerahan hak milik
disebabkan sesuatu perjanjian jual belilah yang paling banyak terdapat, akan tetapi juga ada
penyerahan hak milik disebabkan oleh lain macam perjanjian misalnya perjanjian pemberian percuma,
tukar menukar termasuk juga dalam penyerahan tersebut dalam huruf a.
b) Pemberian barang-barang disebabkan suatu perjanjian beli sewa dengan kuasa Undang-undang
dinyatakan sebagai penyerahan.
Jika aturan ini tidak diadakan, pemungutan pajak baharulah dapat dijalankan sesudah dibayar
angsuran beli sewa penghabisan oleh karena baru pada saat itu terjadi penyerahan menurut hukum. Ini
adalah tidak diinginkan, oleh karena jika pembeli penyewa sebelum pembayaran angsuran
penghabisan menghentikan pembayaran, tidak dapat dipungut pajak peredaran lagi dari angsuran-
angsuran yang telah dilunasi.
c) Pemindahan hak milik disebabkan sesuatu tuntutan oleh pemerintahan tidak berdasarkan sesuatu
perjanjian, sehingga jika aturan tersebut dalam huruf c dilupakan, maka pemungutan pajak peredaran
tidak mungkin.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 18 -

Untuk mencegah penggangguan hubungan konkurensi telah dipertimbangkan untuk menganggap


sebagai penyerahan dengan kuasa Undang-undang : mempergunakan barang-barang untuk barang
tetap oleh pabriekan barang-barang itu serta mempergunakan barang-barang yang dibikin sendiri
untuk kepentingan perusahaan.
Berdasarkan pendapat, bahwa memuat aturan serupa itu tidak sesuai dengan syarat mutlak untuk
bentuk sederhana bagi Undang-undang, maka peraturan tersebut di atas tidak dicantumkan.
Dalam pada itu tidak dilupakan, bahwa dengan tidak mengenakan pajak dalam hal barang-barang
perbuatan sendiri dipergunakan dalam perusahaannya, adanya konsentrasi produksi dipercepat. Agar
tidak membahayakan penglaksanaan Undang-undang, maka terpaksa meniadakan niat untuk
mempertimbangkan kepentingan konkurensi dengan sangat teliti.
Demikian pun tidak ada alasan untuk memasukkan barang-barang yang disediakan bagi pengusaha
sendiri atau bagi anak isterinya dalam golongan penyerahan-penyerahan yang dikenakan pajak.
Memasukkan perbuatan-perbuatan dengan kuasa Undang-undang selaku penyerahan untuk dikenakan
pajak harus dikurangkan sebanyak mungkin, karena umumnya pembukuan kebanyakan pengusaha
adalah terlalu tidak lengkap sehingga perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dinyatakan dalam tata usaha
uang (buku kas) mereka; pun agar supaya tidak memberatkan alat pemeriksaan. Lagi pula ada alasan
untuk mengecualikan pemakaian sendiri dari pemungutan ini oleh karena pengecualian atas
pengecualian sedemikian tidak akan dapat diabaikan. Dalam hal ini dapatlah kiranya diambil sebagai
contoh pemakaian sendiri dari hasil usaha penduduk petani.
Ke 4. Barang-barang yang berada dalam peredaran bebas.
Hanya penyerahan barang-barang yang berada dalam peredaran bebas dapat dijadikan alasan untuk
memungut pajak.
Dengan kuasa definisi itu maka semua barang-barang yang berada di Indonesia dianggap berada dalam
peredaran bebas; tetapi dikecualikan barang-barang yang berada dalam daerah pabean, barang-barang
mana berasal dari luar negeri atau dari daerah-daerah Indonesia yang tidak termasuk daerah pabean
selama syarat-syarat untuk memasukkannya belum dipenuhi.
Oleh sebab ini maka barang-barang yang ada di Indonesia tetapi di luar daerah pabean - kepulauan Riau
dan Sabang - dianggap berada dalam peredaran bebas.
Sedemikian juga harus dianggap hasil tembakau dalam pabrik-pabrik dalam arti kata "Ordonansi Cukai
Tembakau", hasil mana dalam menyelenggarakan ordonansi tersebut - sebagaimana disebut dalam pasal-
pasal 12 ayat 3, 27 ayat 1 dan 29 ayat 1 - harus dianggap sebagai tidak berada dalam peredaran bebas.
Sebagai barang-barang yang tidak berada dalam peredaran bebas dapat dianggap barang-barang berasal
dari luar negeri atau daerah Indonesia yang tidak termasuk daerah pabean, untuk mana setelah
dimasukkan dalam daerah pabean syarat-syarat untuk memasukkan tidak dipenuhi dan oleh sebab itu
belum dibebaskan oleh pabean.
Barang-barang yang tidak berada dalam peredaran bebas ditinjau dari sudut penglaksanaan Undang-
undang ini sama kedudukannya dengan barang-barang di luar negeri.
Terhadap jasa maka syarat berada dalam peredaran bebas tidak diadakan, sehingga pembuat jasa dalam
suatu entrepot untuk barang-barang luar negeri dapat dikenakan.
Ke 5. Jasa. Jasa adalah semua perbuatan - selainnya penyerahan barang bergerak dan barang tetap - yang
dilakukan dengan penggantian.
Semua perbuatan, asalkan dilakukan dengan penggantian termasuk dalam definisi itu.
Redaksi definisi yang dipilih itu antaranya mengecualikan penyerahan barang-barang bergerak, karena
penyerahan sedemikian menjadi dasar tersendiri untuk dikenakan pajak.
Bagi penglaksanaan Undang-undang ini sesungguhnya tidak menjadi soal besar apakah sesuatu perbuatan
dianggap sebagai penyerahan ataupun sebagai melakukan jasa. Dalam pada itu diusahakan supaya
penyerahan barang-barang dan melakukan jasa mempunyai akibat-akibat yang seberapa mungkin sama
adanya. Kesederhanaan bentuk pemungutan pajak ini karenanya bertambah sekali.
Sesungguhnya sebermula cita-cita untuk menghilangkan perbedaan itu sama sekali telah dipertimbangkan
dan secara ringkas semua perbuatan - juga penyerahan, dikenakan sebagai jasa. Tetapi dilihat dari sudut
tata bahasa ada jua perbedaan antara kedua macam perbuatan ini, sehingga dirasa perlu menyesuaikan
kata-kata istillah Undang-undang dengan perbedaan itu.
Definisi arti kata "jasa" adalah sebegitu luas, sehingga tambahan "dengan penggantian" tidak dapat
dilupakan, jika misalnya : menjalankan reparasi di dalam perusahaan sendiri atau meminjamkan uang
dengan tidak menerima penggantian, tidak dianggap sebagai suatu dasar untuk dikenakan.
Juga penyerahan barang tetap dan mengadakan, menyerahkan dan menglepaskan hak-hak kebendaan atas
barang tetap tidak dianggap sebagai jasa. Dimaksudkan, supaya penyerahan sedemikian sama sekali tidak
dikenakan, dan oleh karenanya ditempatkan di luar lingkungan kekuasaan Undang-undang ini.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 19 -

Definisi mengartikan juga pengadaan, penyerahan dan penglepasan hak, lain dari pada hak kebendaan
atas harta benda tetap, sebagai jasa; juga menyerahkan suatu buatan dalam keadaan tetap. Tambahan ini
tidak sangat diperlukan, akan tetapi dicantumkan pula untuk menghindarkan segala keragu-raguan
tentang yang wajib dikenakan.
Mengadakan, menyerahkan atau melepaskan hak atas harta benda bergerak tidak merupakan penyerahan
barang-barang dalam arti kata Undang-undang ini, karena semata-mata hanya penyerahan benda
bergerak termasuk dalam pengertian itu tadi. Akan tetapi perbuatan itu dapat dimasukkan dalam arti kata
"jasa".
Menyerahkan sesuatu buatan dalam keadaan tetap termasuk pula dalam arti kata jasa. Pengusaha
bangunan, yang memborong mendirikan bangunan pabrik atau rumah atau lain barang tetap, melakukan
jasa dalam arti kata Undang-undang ini. Akan tetapi suatu pengusaha bangunan yang mendirikan rumah
di atas tanahnya sendiri dan selanjutnya menjualnya pada pihak ketiga tidak termasuk dalam arti kata ini.
Perbuatan ini adalah penyerahan barang tetap, yang dikecualikan dari pajak peredaran, akan tetapi
dikenakan bea pemindahan hak.
Ke 6. Harga jual : adalah nilai berupa uang yang dipenuhi. Penglunasan dari harga nilai timbal balik tidak
senantiasa terdiri dari uang. Berhubung dengan itu maka "nilai berupa uang" dianggap nama yang betul
untuk jasa sebaliknya itu. "Nilai berupa uang" menentukan bahwa harga yang dihitung dalam mata uang
berupa apapun jasa - sebaliknya itu - adalah dasar penetapan pajak.
Sebagaimana telah dinyatakan dalam penjelasan bagian umum, maka ada perlu sekali supaya saat
penyerahan tidak dijadikan saat terutangnya pajak, akan tetapi saat penerimaan harga juallah yang
ditetapkan menjadi saat terutangnya pajak.
Definisi harga jual memang memperhatikan itu dengan menentukan, bahwa pada akhirnya jumlah yang
dipenuhilah yang menentukan penetapan harga jual.
Menjadi tidak harga jual yang diminta sewaktu perjanjian diadakan, akan tetapi apa yang dibayarkan
itulah menjadi pedoman penetapan.
Hanya semata-mata apa yang dipenuhi "sebagai akibat penyerahan" merupakan bagian harga jual. Jadi
tidak misalnya meterai kwitansi, yang oleh si pembeli dibayar pada si pengirim barang. Meterai ini tidak
dibayar berhubung dengan penyerahan akan tetapi berhubung dengan surat bukti pembayaran, yang
diperlukan oleh si pembeli.
Siapa yang membayar nilai berupa uang itu tidak menjadi soal. Ini dijelaskan dengan tambahan, bahwa
pembayaran nilai berupa uang oleh pihak ketiga, asalkan bersangkut paut dengan penyerahan, adalah
bagian harga jual.
Ke 7. Penggantian.
Lebih dari pada penyerahan barang-barang pada melakukan jasa akan terjadi bahwa perbuatan sebaliknya
tidak atau tidak sama sekali terdiri dari uang, dari sebab itu pada jasa perbuatan sebaliknya juga
diterangkan dengan "nilai berupa uang". Seperti ditetapkan pada harga jual, juga pada penggantian nilai
berupa uang itu harus dilunasi kepada atau tidak kepada orang yang melakukan jasa, karena jasa yang
dilakukan.
Umumnya pemberian jasa itu berdasar atas suatu perjanjian. Tetapi ini tidak perlu untuk mengenakan jasa.
Pembayaran suatu jumlah pada pemain-pemain musik di jalan tidak berdasar atas suatu perjanjian. Tetapi
pembayaran itu dilakukan karena perbuatan yang dijalankan - jasa - dan karena itu harus dikenakan
pajak, walaupun mungkin sekali tidak akan terutang pajak berhubung dengan penyusunan peraturan
tarip.
Tidak termasuk penggantian : ialah jumlah-jumlah yang dibayar oleh pengusaha atas nama dan atas
tanggung jawab orang, yang menerima jasa itu dan diterima kembali lagi dari orang itu.
Ke 8. Peredaran setahun. Jumlah harga jual dan penggantian, yang pajaknya terutang menurut peraturan-
peraturan pajak ini selama setahun takwim, perlu dinamakan "peredaran setahun".
Ke 9. Peredaran setribulan.
Menurut pasal 17 ayat 1 inspektur dengan surat keputusannya dapat mewajibkan pengusaha untuk
membayar pajak peredaran yang terutang - dengan menyimpang dari tehnik pemungutan pajak yang
umumnya menjadi dasar Undang-undang - setribulan sekali.
Jumlah harga jual dan penggantian yang pajaknya terutang selama setribulan takwim, menurut bahagian
pasal ini dinamakan "peredaran setribulan".

Ayat 2. Perdagangan barang-barang tidak dengan penyerahan hak milik.


Peraturan ini memberi kemungkinan untuk memungut pajak dalam hal-hal, dalam mana barang-barang
diperdagangkan berturut-turut oleh pelbagai pengusaha atas namanya sendiri, sedang hanya sekali
terjadi penyerahan hak milik.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 20 -

Perdagangan barang-barang yang tidak disertai penyerahan, menurut kehendak Undang-undang


disamakan dengan penyerahan.

Ayat 3. Penyerahan hak milik fiduciar.


Penyerahan hak milik persediaan barang-barang dan alat-alat perusahaan kepada pemberi kredit sebagai
tanggungan kredit yang diberikan, sedang barang-barang itu masih di tangan debitur, yang lazim dalam
perdagangan - dinamakan penyerahan hak milik fiduciar - tidak dianggap sebagai penyerahan menurut
arti kata Undang-undang ini.

Ayat 4. Tempat dan saat penyerahan.


Tempat penyerahan ialah penting, karena ini menentukan jawaban atas pertanyaan apakah suatu
penyerahan dikenakan pajak atau tidak, karena hanya penyerahan dalam daerah dapat menyebabkan
pemungutan pajak.
Selama penyerahan terjadi secara dari tangan ke tangan penetapan tempat dan saat penyerahan tidak
memberi kesulitan.
Pada penyerahan barang-barang dengan cara menyerahkan surat-surat atau kunci-kunci, maka
dianggap sebagai tempat dan saat penyerahan ialah tempat di mana barang-barang itu berada pada saat
penyerahan surat-surat atau kunci-kunci.
Yang tidak ada ketentuan tentang tempat dan saat penyerahan ialah dalam hal-hal dalam mana
langganan menggunakan jasa sesuatu pengusaha pengangkutan dengan atau tidak dengan bantuan juru
kirim. Disini harus dibedakan antara pengangkutan barang-barang di darat dan di sungai dan
pengangkutan di laut.
Pada pengangkutan di darat dan di sungai tiada tempat penyerahan menurut suatu peraturan dari Kitab
Undang-undang Perniagaan. Ini terjadi pada pengangkutan di laut.
Yang dianggap sebagai tempat penyerahan pada pengangkutan barang-barang di laut menurut pasal
517a Kitab Undang-undang tadi, ialah tempat di mana barang-barang itu berada pada saat penyerahan
konnosemen.
Tempat penyerahan ini tidak dapat dipakai buat pajak peredaran dalam semua hal, dalam mana barang-
barang pada penyerahan konnosemen masih di kapal yang berada di luar bilangan negeri. Pemungutan
pajak tidak akan dapat dilakukan pada hal-hal pengangkutan intersular yang sering terjadi.
Karena itu - dengan menyimpang dari pasal 517a Kitab Undang-undang Perniagaan - , peraturan ini
menentukan untuk melakukan Undang-undang ini baik pada pengangkutan di darat dan di sungai
maupun pada pengangkutan di laut sebagai tempat dan saat penyerahan, pada tempat dan saat mana
pengusaha menyerahkan barang-barang itu pada juru kirim, pengusaha pengangkutan atau pengangkut
untuk dikirimkan. Menurut peraturan ini tempat penyerahan barang-barang ditunjukkan hanya jika ada
suatu penyerahan yang sungguh yang harus dinyatakan dari hal-hal lain. Jika ada pertentangan
mengenai pertanyaan apakah barang-barang diserahkan atau tidak, selamanya tidak akan dapat diambil
alasan dari peraturan ini.

Ayat 5. Jumlah-jumlah yang dapat dikurangi dari harga jual.


Ke 1. Peraturan ini mengenai hal-hal dalam mana pembungkusan dikembalikan sesudah harga jual telah dibayar
oleh penerima barang dan oleh karena itu penerima barang itu menerima kembali harga pembungkusan
yang dikembalikan.
Tidak perlu membikin peraturan tentang hal-hal dalam mana pembungkusan telah dikirim kembali
sebelumnya penglunasan harga jual, karena pada waktu itu harga pembungkusan dapat dikurangi dari
harga jual.
Pengusaha dapat mengurangkan harga pembungkusan yang telah dibayar kembali dari peredaran untuk
masa dalam mana pembayaran kembali terjadi.
Ke 2. Peraturan ini berlaku, bilamana pengusaha yang menyerahkan barang-barang menurut perjanjian harus
mengurus pengangkutan dan penanggungan barang-barang sama sekali atau sebahagiannya, selama ia
tidak membayar sendiri pengangkutan atau penanggungan, akan tetapi membayar ongkos-ongkos
pengangkutan dan asuransi kepada pengusaha lain.

Ayat 6. Jumlah yang dikurangkan dari penggantian.


Ke 1. Ongkos-ongkos yang dilunasi oleh yang menyerahkan barang-barang atau melakukan jasa untuk
menerima barang atau penerima jasa umumnya dapat dikurangkan dari harga jual atau penggantian.
Menurut ayat dari pasal ini pembayaran pajak - termasuk bea masuk dapat dikurangkan dari penggantian,
juga jika pembayaran itu dilunasi atas nama pengusaha yang melakukan jasa itu sendiri. Pada khususnya
hal-hal ini terjadi pada juru kirim yang mengurus pemasukan barang-barang untuk langganan. Dalam hal
ini bea masuknya terutang oleh juru kirim sendiri. Maka dari itu pembayaran pajak ini dikurangkan dari
penggantian adalah adil.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 21 -

Ke 2. Umumnya pengangkutan barang-barang tidak atau tidak sama sekali diurus oleh pengusaha
pengangkutan.
Jika peraturan ini tidak ada, maka selama pengangkutan sama sekali atau sebahagiannya diserahkan pada
pengusaha pengangkutan atau pengangkut lain, maka ongkos-ongkos pengangkutan yang dibayar pada
pengusaha lain akan termasuk penggantian yang harus dikenakan pajak.
Akibat ini tidak diingini karena pengusaha pengangkutan tingkat ke 2 atau pengangkut tingkat ke 2 telah
terutang pajak peredaran berhubung dengan penggantian yang diterimanya.
Adalah adil bahwa pengusaha pengangkutan hanya harus membayar pajak peredaran dari bahagian
pengangkutan yang diurus sendiri olehnya.

Pasal 2.

Ke 1. Pengusaha.
Undang-undang tidak membedakan pengusaha, yang menjadi pengusaha pabrik, pedagang besar atau
pedagang kecil, berhubung dengan keadaan bahwa jika pengusaha mempunyai suatu sifat tertentu, maka
ini tidak berakibat apa-apa.
Menurut pembatasan "setiap orang" dapat menjadi pengusaha, maka dari itu maupun orang maupun
badan hukum - termasuk badan-badan hukum berdasarkan hukum publik dapat menjadi pengusaha.
Badan hukum yang berdasarkan hukum publik semata-mata dianggap sebagai pengusaha, selama
penyerahan barang-barang dan jasa yang dilakukannya tidak merupakan melakukan pekerjaan sebagai
badan pemerintahan. Badan hukum berdasarkan hukum publik hanya dianggap sebagai pengusaha jika
dan selama mengikuti perhubungan masyarakat biasa dengan melakukan penyerahan dan jasa kepada
pihak ke 3.
Dalam arti kata Undang-undang selainnya orang dan badan hukum dapat juga dianggap sebagai
pengusaha lembaga-lembaga yang berdasarkan hukum sipil atau hukum perniagaan.
Hanya syarat in harus dipenuhi, bahwa lembaga-lembaga mempunyai kebebasan dalam masyarakat.
Tindakan bebas atau tidak terhadap pihak ke 3 tidak mempunyai arti yang menentukan. Setiap lembaga
sosial yang dapat dianggap mempunyai suatu penghidupan fiskal sendiri, mempunyai kebebasan itu dalam
masyarakat seperti persekutuan, firma dan perseroan comandit.
Syarat kedua yang harus dipenuhi untuk dianggap sebagai suatu pengusaha ialah menjalankan suatu
perusahaan atau pekerjaan.
Menjalankan suatu perusahaan atau pekerjaan tidak membawa berbagai-bagai akibat hukum, maka dari
itu perbedaan ini tidak mempunyai arti untuk melakukan peraturan pajak.
Juga untuk pengusaha-pengusaha yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia suatu
"tempat yang tetap" bukan suatu syarat untuk menjalankan perusahaan.
Suatu pengusaha harus menjalankan perusahaan atau pekerjaan di Indonesia untuk dapat dikenakan
pajak. Karena sekarang suatu tempat yang tetap tidak dikemukakan sebagai syarat untuk menjalankan
perusahaan, maka juga suatu perusahaan dapat dikatakan dijalankan di Indonesia meskipun pengusahanya
yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar negeri tidak mempunyai suatu cabang di Indonesia.
Sebagai contoh disebut suatu penjual yang bekerja pada suatu pengusaha yang tidak bertempat tinggal atau
berkedudukan di Indonesia, yang sering membuat perjanjian jual di Indonesia.
Syarat yang terakhir bahwa perusahaan atau pekerjaan harus dijalankan bebas, mempunyai maksud
mengecualikan orang-orang yang bekerja pada orang lain.
Ke 2. Inspektur. Kekuasaan relatif dari kepala-kepala inspeksi keuangan ditentukan oleh tempat tinggal atau
tempat kedudukan pengusaha.
Ke 3. Pembesar yang menetapkan pajak. Menurut pasal 12 ketetapan pajak dari pengusaha yang harus
memasukkan pemberitahuan ditetapkan oleh inspektur dan ketetapan pajak pengusaha yang tidak
diwajibkan untuk memasukkan pemberitahuan oleh komisi penetapan pajak.
Dalam hal-hal dalam mana akibat-akibat hukum dari suatu ketetapan pajak yang ditetapkan oleh
inspektur sama dengan ketetapan pajak yang ditetapkan oleh komisi penetapan pajak, maka cukuplah
pembesar-pembesar itu dinamakan "pembesar yang mengurus penetapan pajak".
Ayat 2. Memberi petunjuk tentang jawaban pertanyaan apakah pekerjaan yang tertentu dapat dianggap sebagai
dilakukan dalam hubungan kerja atau sebagai pengusaha.
Terutama pada pekerjaan yang dilakukan di rumah, yang sering terjadi di negeri ini, yang dilakukan atas
perintah dan menurut petunjuk-petunjuk pengusaha dapat menimbulkan keraguan tentang pertanyaan
apakah dalam hal ini ada suatu perusahaan yang dijalankan bebas atau pekerjaan yang dilakukan dalam
hubungan jabatan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 22 -

Dalam pada itu dapat dicari hubungan dengan ordonansi pajak upah dengan pengertian bahwa orang-
orang yang dianggap sebagai kaum buruh dalam ordonansi tersebut, berhubung dengan jasa yang
dibuat, bukan pengusaha dalam arti kata peraturan pajak peredaran.

BAB II.

Nama, obyek dan jumlah pajak.

Pasal 3 - 8.

Pasal 3.

Pasal ini menerangkan peristiwa yang dapat dikenakan pajak. Pokok-pokok yang terpenting sudah diterangkan
dalam pasal 1 dan 2.
Berhubung dengan itu telah cukup kiranya dengan memberikan keterangan lebih lanjut tentang pokok-pokok itu:
a. di Indonesia,
b. dalam lingkungan perusahaan itu.
ad a. Penyerahan barang-barang dan melakukan jasa hanya dapat dikenakan pajak, jika perbuatan itu
dilakukan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan sifat pajak peredaran sebagai pajak pemakaian umum;
Memajaki penyerahan barang-barang dan jasa yang dilakukan di luar Indonesia akan merubah sifat
pajak itu dan menjadikannya pajak lalu lintas.
ad b. Akibat melakukan penyerahan dan jasa dalam lingkungan perusahaan, yaitu jika perbuatan dilakukan
oleh pengusaha tidak sebagai pengusaha tetapi sebagai seseorang prive, maka perbuatan itu tidak dapat
dikenakan pajak. Jadi berdasarkan peraturan ini maka misalnya tidak dapat dikenakan pajak
penyerahan piano- prive oleh pedagang sepeda.

Pasal 4.

Dengan penyerahan barang-barang karena perjanjian jual beli dan beli sewa harus dipisahkan antara perjanjian
yang tidak dan perjanjian yang dipengaruhi oleh perhubungan istimewa yang ada antara pihak-pihak itu.
Dalam hal pertama maka harga jual akan jadi dasar untuk menghitung pajak itu dan dalam hal kedua harga yang
dapat dijanjikan jika perhubungan istimewa tidak ada.
Harga jual sebagai dasar pajak tidak dapat dipakai semata-mata jika perjanjian antara pihak-pihak dipengaruhi
oleh perhubungan istimewa. Jika harga jual itu dipengaruhi oleh keadaan-keadaan lain seperti misalnya oleh
peraturan-peraturan pemerintahan, maka harga jual tadi dapat dipakai sebagai dasar pajak.
Dalam penyerahan barang-barang karena perjanjian tentang penyerahan hak milik lain dari pada perjanjian jual
beli dan perjanjian beli sewa juga dalam pemindahan hal milik karena tuntutan oleh atau dari pihak
pemerintahan, maka senantiasa harga jual yang dapat dituntut dalam perjanjian jual beli yang tidak dipengaruhi
oleh perhubungan istimewa antara pihak-pihak akan jadi dasar pengenaan pajak.
Juga dalam penyerahan barang-barang yang menurut pasal 1 ordonansi "Gecontroleerde Goederen 1948"
ditunjuk sebagai barang-barang tertilik,maka jika penyerahan itu dilakukan menurut aturan pembebasan
dimaksud dalam pasal 10 dari "Prijsbeheersing verordening 1948" harga jual akan jadi dasar untuk menghitung
pajak, jadi bukan harga yang ditetapkan, ya'ni harga yang ditetapkan oleh atau dari pihak kementerian
kemakmuran menurut Prijsbeheersing verordening 1948.
Dalam melakukan jasa maka penggantian kerugian jadi dasar pengenaan pajak, jika jasa tadi tidak dilakukan
karena sesuatu perjanjian yang dipengaruhi oleh perhubungan istimewa antara pihak-pihak. Jikalau dipengaruhi
oleh perhubungan istimewa maka untuk penggantian akan diambil suatu penggantian yang dapat dituntut jika
perhubungan sedemikian itu tidak ada.
Dalam melakukan jasa yang tidak berdasarkan sesuatu perjanjian maka selamanya penggantian itu jadi dasar
pengenaan pajak.

Pasal 5.

Suatu pajak seperti pajak peredaran yang dikenakan karena melakukan penyerahan atau jasa maka jika tidak ada
ketentuan yang nyata jadi terutang pada saat penyerahan atau jasa itu dilakukan.
Umumnya penetapan dan penilikan atas pajak yang teruntung itu, jika dalam banyak hal tidak ada perbukuan
yang sempurna, harus dilakukan dari buku-kas dan catatan-catatan. Oleh karena itu sudah tentu untuk
mengenakan pajak itu harus diambil keterangan-keterangan dari administrasikas dengan memindahkan
pengenaan pajak itu dari saat penyerahan barang-barang atau saat melakukan jasa kesaat penerimaan jumlah
uang yang menjadi harga dari penyerahan atau jasa itu.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 23 -

Bukan saja pajak itu baru jadi utang oleh karena penerimaan, tetapi jumlah yang diterima itu juga menjadi dasar
pajak.
Dengan mencicil jumlah pembelian maka pajak itu tiap kali harus dibayar dari cicilan itu.
Dengan penyerahan prodeo maka utang pajak terjadi pada saat penyerahan itu, oleh kerena dalam hal ini harga
tidak menjadi soal.
Untuk perusahaan dengan perbukuan yang teratur dan sempurna dapat ditetapkan oleh inspektur, jika
pengusaha meminta sedemikian itu, bahwa dengan menyimpang dari ayat pertama dari pasal 5 pajak jadi
terhutang pada saat penyerahan barang-barang atau pada saat melakukan jasa, jadi pada saat biasa menurut
anggapan yang lazim.

Pasal 6.

Undang-undang ini hanya mengenal satu macam persentase dari tiga perseratus dari penjualan setahun
dikurangi dengan f 4 OOO.- dan dalam hal bab V dari penjualan setribulan dikurangi dengan
f 1 OOO.- .
Menetapkan tarip tiga perseratus dari penjualan untuk bermacam barang mengakibatkan kenaikan harga dengan
kira-kira 10 %, dalam hal ini dianggap bahwa lajur-produksi terdiri dari tiga atau empat mata rantai. Kenaikan
harga lebih dari itu dianggap tidak akan terjadi.
Dalam hal itu perlu juga dicatat bahwa kenaikan harga dapat diharapkan tidak akan melebar kepada semua
barang dan jasa. Dengan begitu maka pajak peredaran ini dalam hidup-desa akan sedikit atau tidak sama sekali
mempengaruhi harga, jika perlengkapan barang berada dalam tangan penduduk sendiri atau dengan tidak
memakai peredaran uang. Tetapi juga dengan memasukkan peredaran uang maka dalam hidup-desa tertutup,
kenaikan harga tentu akan banyak terbatas berhubung dengan macam tarip yang dipergunakan yang dalam
hidup-desa akan berpengaruh sekali oleh karena perlengkapan barang hampir semata-mata berada dalam tangan
pengusaha kecil-kecil.
Akhirnya dapat diharapkan pula, bahwa oleh kekurangan barang sekarang ini harga dari yang dikatakan barang-
barang bebas tidak akan terpengaruh banyak karena pengenaan pajak peredaran.
Seperti telah diterangkan dalam bagian umum dari penjelasan ini maka mengingat keharusan mengadakan pajak
peredaran harus dicari jalan mengenakan pajak secara sesederhana-sederhananya.
Syarat mengenakan pajak secara sederhana ini hanya dapat dilakukan, jika pada pengenaan pajak tidak
dibedakan penyerahan dari bermacam-macam barang - misalnya tidak meninggikan tarip untuk barang-barang
kemewahan dan melakukan bermacam jasa dan juga tidak diadakan perbedaan antara penyerahan yang
dilakukan pabrikan, saudagar besar, saudagar perantaraan dan saudagar ketengan.
Perlindungan dari kenaikan persaingan tentu menghendaki berbagai tarip lebih dari tarip sekarang yang maupun
merat ataupun mendalam hanya mengenal satu persentase pengenaan pajak. Dengan penyerahan langsung dari
pabrikan kepada pemakai dan dengan penyerahan dilakukan oleh saudagar besar dan saudagar perantaraan
maka terutama akan perlu berturut-turut tarip yang dinaikkan dan tarip yang direndahkan.
Dengan penyerahan langsung oleh pabrikan kepada pemakai maka bukan saja Negeri kehilangan pajak, yang
semestinya harus dikenakan untuk satu atau beberapa mata rantai di antaranya, akan tetapi penghematan pajak
ini memungkinkan pabrikan pula menjual barang lebih murah kepada pemakai dari pada pengusaha lainnya,
sehingga akan timbul tendenz, di mana mungkin, memendekkan lajur-perusahaan dengan melampaui mata
rantai antara pabrikan dan pemakai.
Juga menyamaratakan persentase untuk saudagar besar dan pengusaha lainya, mungkin mengakibatkan bahwa
akan diichtiarkan melewati dagang-besar untuk menghindarkan kenaikan harga disebabkan adanya pajak
peredaran.
Akan tetapi mengadakan bermacam tarip akan memberi banyak kesulitan.
Terutama dikemukakan di sini kesulitan memberi jawaban atas pertanyaan bilakah seseorang pengusaha dalam
arti kata Undang-undang harus dianggap pabrikan.
Bermacam tarip juga memberi kesulitan dalam hal-hal yang banyak terjadi dalam hal mana pengusaha, maupun
sebagai saudagar besar ataupun sebagai saudagar kecil melakukan penyerahan. Juga tidak dapat dielakkan
memecah penjualan dalam golongan sebagai apa pengusaha itu melakukan penyerahan itu. Dalam banyak hal
pemecahan penjualan itu sulit sekali dilakukan dan achirnya hasilnya tidak akan lain dari compromis.
Oleh karena alat penilikan dalam tahun-tahun pertama tidak akan cukup, maka andaikan diadakan tarip rendah
untuk pedagang besar, perlu mendapat perhatian kemungkinan akan melepaskan diri dari pajak secara besar-
besaran dengan mempergunakan tarip rendah tadi, sedangpun seharusnya mempergunakan tarip biasa.
Kesulitan dalam praktek untuk memungut pajak dari beratus ribu pengusaha kecil seperti kaum tani dan
pedagang-pedagang dijalanan, memaksa mencari jalan untuk mengecualikan pengusaha kecil ini.
Pemecahan soal ini didapat - setelah kemungkinan-kemungkinan yang lain dipikirkan - dengan cara menyusun
peraturan tentang tarip. Dengan menghitung pajak peredaran atas penjualan tahunan dikurangi dengan jumlah
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 24 -

4 000.- maka tercapai bahwa semua pengusaha yang penjualannya terjumlah 4 000.- atau kurang tidak
dikenakan pajak peredaran, sedangkan pajak peredaran yang harus dibayar oleh pengusaha lainnya berhubung
dengan besarnya penjualan naik dari nol sampai tiga persen, seperti ternyata dari pada daftar berikut :

penjualan-setahun pajak peredaran % dari penjualan

4,000.- --- ---


5,000.- 30.- 0.6
6,000.- 60.- 1
7,000.- 180.- 1.8
20,000.- 480.- 2.4
50,000.- 1,380.- ± 2.8
100,000.- 2,880.- ± 2.9
1,000,000.- 29,880.- ±3

Pemecahan soal itu berarti bahwa pajak peredaran sejumlah 120.-(30% dari 4 000.-) tidak ditagih.
Pengurangan tarip ini untuk golongan pengusaha yang belum termasuk besar memberi keuntungan bahwa
kemungkinan tentang penagihan menjadi diperbesar.
Betul juga pajak peredaran itu masuk ke dalam harga barang-barang dan jasa sehingga pajak itu sebenarnya tidak
dipikul oleh pengusaha dan hanya ditagih oleh pengusaha itu dengan kewajiban menyetornya ke dalam Kas
Negeri; akan tetapi ini tidak berarti bahwa penagihan akan mudah saja dilakukan, bahkan dalam praktek akan
sangat sulit, atau tidak mungkin sama sekali meminta kepada pengusaha-pengusaha kecil supaya pajak yang telah
dipungut itu disediakannya sepenuhnya sampai tanggal penyetoran yang diwajibkan datang.
Telah dipertimbangkan juga menghapuskan pembebasan dari
4 000.- pertama penjualan setahun untuk pengusaha besar-besar.
Akan tetapi adil juga agaknya memberi keringanan sedikit kepada pengusaha-pengusaha, yang oleh berlakunya
pajak peredaran ini harus mengerjakan beberapa kewajiban administratif; yang dapat dicapai dengan tidak usah
menyetorkan pajak peredaran yang diterima oleh pengusaha atas penjualan 4 000.- pertama itu.
Bahwa jumlah 4 000.- untuk pengusaha menurut pasal 17 ayat 1 dikurangkan dengan 1 000.- tidak usah
diterangkan lebih lanjut.
Oleh karena ayat kedua maka jumlah 4 000.- dan 1 000.-
dikurangkan sebanding, jika melakukan perusahaan atau pekerjaan tidak selama masing-masing setahun-takwin
dan setribulan takwin penuh.

Pasal 7.

Pengusaha yang melakukan penyerahan atau jasa harus membayar pajak peredaran, akan tetapi pengusaha itu
tidak memikulnya oleh karena pajak itu dipikulkan kepada pemakai.
Mungkin untuk melakukan Undang-undang itu lebih efektif kita terpaksa menyimpang dari peraturan umum,
dengan menganggap sebagai wajib pajak bukan pengusaha yang melakukan penyerahan atau jasa, malainkan
pengusaha yang menerima penyerahan atau jasa itu. Ayat 2 memungkinkan itu.

Pasal 8.

Sesuai dengan peraturan beberapa pajak maka tempat tinggal pengusaha ditentukan menurut keadaan.
Jika pengusaha itu tidak tinggal atau tidak berkedudukan di Indonesia maka dianggap menurut ayat dua tempat di
mana perusahaan atau pekerjaan itu semata-mata atau terutama dijalankan sebagai tempat tinggal atau tempat
kedudukan.
Jawab pertanyaan di mana perusahaan atau pekerjaan di Indonesia terutama dijalankan diserahkan kepada
praktek.

BAB III.

Pemberitahuan.

Pasal 9.

Ayat 1 dan 2. Kewajiban untuk memberitahukan terjadi karena pengiriman surat pemberitahuan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 25 -

Berhubung dengan tehnik pemungutan dari Undang-undang ini, maka dikehendaki bahwa kepada semua
pengusaha, yang sesudahnya Undang-undang pajak pendapatan diadakan, mendapat surat pemberitahuan pajak
ini, dikirim surat pemberitahuan pajak peredaran, kecuali kepada pengusaha yang ditunjuk oleh inspektur
menurut pasal 17 ayat 1, untuk mana diadakan cara pemungutan yang berlainan.
Oleh karena dalam persiapan Undang-undang pajak pendapatan batas antara pajak besar dan pajak kecil
mungkin ditetapkan pendapatan bersih sebesar 1 200. - setahun, surat pemberitahuan pajak peredaranpun
akan dikirim kepada pengusaha yang mempunyai pendapatan bersih setahun 1 200.- atau lebih, kecuali
kepada mereka yang menurut pasal 17 ayat 1 ditunjuk oleh inspektur.
Ayat 3. Sebagai dapat disimpulkan dari yang tersebut di atas, maka Undang-undang pajak pendapatan nanti
mungkin akan mewajibkan wajib pajak yang mempunyai pendapatan setahun
1 200.- atau lebih untuk meminta diberi surat pemberitahuan selama pengiriman surat pemberitahuan itu
belum dilakukan.
Untuk pajak peredaran aturan kewajiban yang tersebut tadi harus
dipersesuaikan.
Akan tetapi selama Undang-undang pajak pendapatan belum ada dan karenanya cara tentang diwajibkan
pemberitahuan belum tetap, untuk pajak peredaranpun peraturan tentang hal ini belum pula dapat ditetapkan
dengan pasti.
Berhubung dengan itu kepada Menteri Keuangan diberikan kekuasaan untuk menetapkan peraturan umum
tentang kewajiban untuk
memberitahukan. Menurut kehendak segera sesudah adanya Undang-undang pajak pendapatan peraturan itu
dikeluarkan dengan disesuaikan dengan apa yang berlaku menurut Undang-undang itu.
Selanjutnya ayat 2 memberi kekuasaan kepada Menteri Keuangan untuk mengadakan peraturan dalam hal surat
pemberitahuan dapat dikirimkan pada lain orang dari pada pengusaha sendiri, misalnya pada curatornya atau
pada walinya, pula dalam hal-hal lain mengenai pemberitahuan, satu dan lain dengan pertimbangan, bahwa
memasukkan peraturan ini dalam Undang-undang sendiri ada tidak pada tempatnya.

BAB IV.

Penetapan pajak.

Pasal 10 - 16.

Pasal 10.

Tehnik pemungutan dan Undang-undang ditetapkan dalam pasal ini Pajak peredaran yang dihutang selama
tahun takwim oleh pengusaha ditetapkan dengan penetapan pajak.
Tehnik pemungutan sebagai dimaksud ada dianggap terbaik berdasarkan pertimbangan, bahwa sebagian besar
dari pengusaha-pengusaha kecil tidak berpendidikan begitu tinggi, sehingga mereka tidak akan mungkin
menghitung besarnya pajak yang hanya dibayarnya menurut aturan-aturan dalam Undang-undang.
Terhadap Undang-undang pajak upah kemungkinan ini ada meskipun dengan sedikit terkecualian.
Tetapi kesukaran yang terbuat dalam penjelenggaraan Undang-undang pajak peredaran akan lebih besar jika
dibandingkan dengan kesukaran yang di dapat dalam penyelenggaraan pajak upah, oleh karena mana
menetapkan pajak dengan jalan penetapan ada paling tepat.
Dalam pada itu terhadap semua pengusaha yang dianggap dapat menghitung besar pajaknya sendiri dipikulkan
kewajiban untuk menghitungnya sendiri.
Cara pemungutan untuk pengusaha-pengusaha ini diatur dalam bab V.

Pasal 11.

Penetapan tempat, di mana pengusaha harus dikenakan pajak, tempat kediaman atau tempat kedudukan pada
awal tahun takwim adalah menentukan, kecuali kalau kewajiban dipajaki terjadi pada saat sesudah awal tahun
takwim, dalam hal mana saat ini menjadi pengganti awal tahun itu.

Pasal 12.

Dalam pasal ini ditetapkan pembesar mana berkuasa untuk menetapkan pajak. Penetapan pajak untuk
mengusaha, yang diwajibkan memberitahukan, dikerjakan oleh inspektur.
Kekuasaan relatief dari inspektur terdapat di pasal 2 dengan dihubungkan dengan pasal 11.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 26 -

Karena pengusaha yang akan diwajibkan memberitahukan menurut pasal 9 dari Undang-undang pajak
pendapatan juga akan diberi kewajiban yang bersamaan terhadap pajak peredaran, terdapat kemungkinan untuk
menetapkan pajak pendapatan dari pajak peredaran pada saat yang bersamaan. Kalau diingat bahwa dalam
pemberitahuan pajak peredaran akan banyak terdapat keterangan yang juga penting untuk penetapan pajak
pendapatan, maka penetapan pada saat bersamaan itu ada tepat sekali.
Pengusaha yang akan dikenakan "pajak pendapatan besar" sebagai dapat disimpulkan dan apa yang tersebut di
atas, akan juga dikenakan "pajak peredaran besar".
Sebagai juga "pajak pendapatan kecil" akan ditetapkan oleh komisi-komisi penetapan pajak, juga "pajak peredaran
kecil" akan ditetapkan oleh komisi-komisi itu.
Penetapan pajak yang tepat untuk pengusaha kecil oleh komisi penetapan pajak yang disusun dengan saksama,
ada cara yang paling tepat untuk mencapai hasil yang memuaskan.
Pada umumnya orang-orang yang akan duduk dalam komisi penetapan pajak pendapatan seyogiyanya ditunjuk
juga untuk duduk dalam komisi penetapan pajak peredaran, agar supaya pekerjaan penetapan pajak pendapatan
dan pajak peredaran dapat dilakukan sesaat.
Peraturan penyelenggaraan yang perlu diadakan untuk melakukan apa yang ditetapkan dalam ayat 2, yang
kurang tepatnya jika dimasukkan dalam Undang-undang akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 13.

Pasal ini berdasarkan atas fikiran bahwa baik untuk kepentingan pengusaha yang dapat dimengerti, maupun
untuk kepentingan negeri, penetapan pajak harus dilakukan selekas mungkin.
Pembesar pengurus pajak dalam hal ini inspektur-berhak untuk menyimpang dari pemberitahuan.
Pemberian hak ini tidak dapat ditiadakan dengan tidak berakibat buruk untuk pemungutan. Akan tetapi jaminan
kepastian hukum pengusahapun sebetulnya dengan adanya hak itu tidak dikurangkan, oleh karena dalam
Undang-undang kepadanya diberikan hak untuk memajukan keberatan dan hak untuk meminta pertimbangan
kepada majelis pertimbangan pajak terhadap surat keputusan yang diambil atas surat keberatan.
Undang-undang telah memberikan kelonggaran seluasnya kepada komisi penetapan pajak untuk memilih cara
sendiri dalam menetapkan pajak setepat-tepatnya dengan tidak bersandarkan pemberitahuan. Sebagai juga
terhadap pajak yag ditetapkan oleh inspektur, maka pajak yang ditetapkan oleh komisi penetapan pajak juga
harus dihitung dari jumlah harga dijual jasa yang menurut Undang-undang harus dibayar pajaknya. Tentang ini
dalam Undang-undang pajak pendapatan dan Undang-undang pajak upah terdapat aturan-aturan yang
berlainan. Bahwa komisi dengan tidak adanya pemberitahuan dan buku dagang wajib pajak tidak akan dapat
menetapkan pajak setepatnya akan tetapi harus bekerja dengan jalan perkiraan berdasarkan atas semua alat
keterangan yang ada padanya, penetapan secara ini tidak akan menjalahi prinsipnya.

Pasal 14.

Pasal ini sesuai sekali dengan antara lain pasal 50 Undang-undang pajak pendapatan 1932.

Pasal 15.

Untuk mengadakan pemeriksaan buku-buku dan surat-surat yang menjadi dasar dan buku-buku itu dan lain-lain
surat yang dimaksud dalam pasal 14 ayat 1, selainnya inspektur juga berhak pegawai-pegawai jabatan pajak dan
jabatan akuntan pajak dan juga ahli-ahli dan jurubahasa-jurubahasa yang ditunjuk untuk keperluan itu oleh
kepala jawatan pajak. Kerja sama erat yang diperlukan dengan jawatan bea masuk-keluar dan cukai, antara lain
dalam penyelenggaraan pajak masuk, pemungutan pajak peredaran atas barang-cukai dan pengawasan atas
import bebas dari bea, membutuhkan bahwa pemberian hak pemeriksaan yang dimaksud dalam pasal 14 ayat 1
itu juga diberikan pada pegawai jabatan bea dan cukai, yang ditunjuk oleh kepala jawatan ini. Berhubung dengan
pemberian hak mengusut-dan kekuasaan yang bersangkut paut dengan pemberian hak ini menurut pasal 59 juga
pada pegawai yang ditunjuk oleh atau dengan kuasa pasal 15 ini, maka penunjukan pegawai-pegawai ini harus
dilakukan dengan saksama.
Dalam ayat 2 diatur penjumpahan ahli-ahli dan jurubahasa-jurubahasa, sedang menurut ayat 3 kepada jawatan
pajak mempunyai hak untuk mengeluarkan peraturan lebih luas mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan
oleh pegawai-pegawai, ahli-ahli dan jurubahasa-jurubahasa.

Pasal 16.

Menurut pasal 13 pajak peredaran baru ditetapkan setelah tahun takwim berlaku, yang disebabkan oleh karena
pada waktu itulah baru dapat diketahui dasar-dasar yang harus dihitung pajaknya. Akan tetapi oleh karena uang
pajak yang pengusaha harus bayar akan tetapi olehnya dibebankan lagi kepada pemakai sebenarnya dalam tahun
takwim telah berada ditangannya, tentu dapat diinsyafi bahwa perlu sekali diadakan aturan agar uang pajak itu
selekas mungkin masuk dalam kas negeri.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 27 -

Undang-undang mencoba mencapai maksud ini dengan jalan mewajibkan pembesar yang mengurus penetapan
pajak untuk mengeluarkan ketetapan pajak sementara selekas mungkin pada permulaan tahun takwim. Karena
dengan pembesar yang mengurus penetapan pajak juga dimaksud komisi penetapan pajak, maka juga oleh
komisi-komisi ini harus dikeluarkan ketetapan pajak sementara.
Undang-undang hanya memerintahkan, bahwa ketetapan sementara ini berdasarkan atas angka yang dikira oleh
pembesar yang mengurus penetapan pajak. Pembesar ini seharusnya mengira peredaran setahun yang pada
waktunya harus dikenakan pajak dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan segala keterangan-keterangan
yang ada padanya dan angka menurut pengiraan ini dipakainya sebagai dasar ketetapan sementara.
Tidak dapat dipungkir, bahwa peraturan dalam pasal 10 ayat 1, juga berhubung dengan ayat 2 yang menetapkan
berlakunya peraturan dalam bab X dalam hal kewajiban membayar, telah memberikan kekuasaan yang luas
kepada pembesar yang mengurus penetapan pajak. Akan tetapi ini tidak usah menjadi soal, karena dalam pasal 33
telah diadakan peraturan penyicilan pembayaran yang lunak.
Ayat 2 sampai dengan 4 berdasar pasal 53 Undang-undang pajak pendapatan 1932.

BAB V.

Pengusaha yang ditunjuk.

Pasal 17 - 20.

Pasal 17.

Sebagai telah diuraikan di dalam penjelasan mengenai pasal 10 maksud tugasnya ialah semua pengusaha yang
dapat dipandang sanggup menetapkan sendiri jumlah pajak yang harus dibayar menurut undang-undangnya,
diberi kewajiban itu pula.
Peraturan ini yang menyimpang dari teknik-pemungutan umumnya dimasukkan dalam bab V. Pengusaha yang
menurut pertimbangan inspektur dapat diwajibkan untuk menghitung pajaknya sendiri dengan memperhatikan
apa yang ditetapkan di dalam bab V, ditunjuk dengan keputusan (beslit) menurut pasal 17.
Pertimbangan pertanyaan apakah seorang pengusaha dapat diberi kewajiban tersebut, tergantung semata-mata
pada inspektur. Maksudnya ialah mempergunakan kesempatan penunjukkan tersebut seluas-luasnya.
Demikianlah majikan-majikan dengan (hampir) tak ada kecualinya yang ditunjuk menurut pasal 17 ayat 5
Ordonansi Pajak Peralihan, guna memotong dan menyetorkan (membayar pada kas Negeri) pajak peralihan
pegawai-pegawainya dan juga yang lazim disebut penyetor pajak upah tunai (kontan) dapat pula ditunjuk
sebagai pengusaha yang menghitung pajak peredarannya sendiri. Akan tetapi sudah tentuk bukan maksudnya
bahwa dengan penunjukan golongan pengusaha tersebut di atas akan dapat dipandang telah mencukupi.
Teristimewa antara pengusaha yang menjalankan jasa akan terdapat banyak sekali yang dapat ditunjuk.
Menurut yang ditentukan di dalam ayat 2, maka pasal 14 dan 15 berlaku pula untuk pengusaha-pengusaha yang
sesuai dengan apa yang ditetapkan di dalam pasal 19 ayat 1 memasukkan pemberitahuan.
Peraturan-peraturan yang tak berlaku untuk pengusaha yang ditunjuk menurut pasal 17 ayat 1 diganti dengan
pasal-pasal 18, 19 dan 20.

Pasal 18.

Pengusaha yang ditunjuk diwajibkan menyetor (membayar) pajak yang dihitung sendiri di dalam tempoh 25 hari
sesudah tiap-tiap tribulan takwim dengan tidak ada surat-penetapan terlebih dahulu.

Pasal 19

Berdasarkan pasal 19 ayat 1 pengusaha wajib memasukkan pemberitahukan kepada inspektur mengenai jumlah-
jumlah untuk mana di dalam tribulan takwim yang lalu harus membayar pajak c.q. keadaan yang menyebabkan
tak ada keharusan membayar pajak.
Pemberitahuan ini selanjutnya memuat segala keterangan-keterangan yang diperlukan untuk menjalankan
Undang-undang ini; keterangan-keterangan apakah yang diperlukan, dapat diketahui dari surat isian (formulir).
Pemberitahuan ditetapkan oleh kepala jawatan pajak.
Ayat 2 menetapkan bahwa pemberitahuan harus memuat pula tempat dan tanggal pembayaran pajak yang harus
dibayar menurut keterangan-keterangan dalam pemberitahuan. Oleh sebab inilah tempoh untuk memasukkan
pemberitahuan lebih lama dari pada tempoh untuk pembayaran pajak yang terutang.
Ayat 2, 3, 4 dan 5 memuat peraturan formil yang lazim dan tidak diperlukan penjelasan chusus.
Menurut ayat 6 pemberitahuan tidak akan dipandang dimasukkan jika peraturan-peraturan disebut dalam ayat 1
sampai dengan 5 sama sekali tidak atau tidak lengkap dipenuhinya, sehingga ancaman (sanctie) fiscaal mengenai
tidak memasukkan pemberitahuan berlaku pula.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 28 -

Pasal 20.

Menurut pasal 6 Kitab Undang-undang Perniagaan tiap-tiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan
mempunyai catatan-catatan dari keadaan kekayaannya dan segala yang bersangkutan dengan perusahaannya
menurut keperluan perusahaannya, demikian rupa sehingga dari catatannya sewaktu-waktu dapat diketahui hak-
hak dan kewajiban-kewajibannya.
Disamping itu perlulah kiranya diadakan beberapa peraturan yang harus dipenuhi untuk mengurus buku guna
mempermudah pemeriksaan apakah peraturan-peraturan mengenai pajak ini dijalankan sebagai mestinya.
Berdasarkan pertimbangan bahwa tiap-tiap pengusaha yang dapat dipandang sanggup mengurus buku yang
memenuhi syarat-syarat pantas akan ditunjuk menurut pasal 17 ayat 1 untuk memenuhi pajak peredaran sesuai
dengan peraturan ditetapkan di dalam Bab V, maka pasal 20 hanya berlaku untuk pengusaha itu.

BAB VI.

Pajak - masuk.

Pasal 21.

Daerah kekuasaan pajak ini yang ditilik dari sudut tehnik dapat disamakan dengan bea ialah seluas daerah-
daerah Indonesia seluruhnya.
Sebagai telah diuraikan dalam bagian umum dari penjelasan, pajak ini bertujuan mencegah merugikan barang-
barang yang dihasilkan dalam negeri dengan berlakunya pajak peredaran dibandingkan dengan barang import.
Walaupun sudah tentu ada kemungkinan lebih dari satu penyerahan telah berlaku sebelumnya barang-barang
masuk (ke dalam negeri), berdasarkan pertimbangan praktis ditetapkan bahwa di luar negeri hanya ada satu
perusahaan, oleh sebab itu besarnya pajak-masuk ditetapkan tiga per seratus (3 prosen) sesuai dengan pajak
peredaran akan tetapi pengurangan 4000.- dari yang harus dikenakan pajak ditiadakan.
Selain dari tidak mungkin menjalankan pengurangan itu dalam praktek, pun tak ada alasan untuk
memberikannya, karena dasar-hukumnya - penggantian ongkos kepada pengusaha bertalian dengan kewajiban-
kewajiban-tata-usaha yang dibebankan padanya menurut Undang-undang ini - sama sekali tidak ada untuk pajak
masuk yang membebankan sedikit sekali kewajiban-kewajiban pada pengusaha.
Pajak masuk ini sedapat mungkin disesuaikan dengan cara pemungutan bea, oleh sebab itu perhitungan dan
pemungutan jumlah yang harus dibayar dapat dilakukan bersamaan dengan pemungutan bea. Ayat kedua
menetapkan bahwa pemungutan pajak ini dilakukan sebagai bea menurut Undang-undang Tarip Indonesia, oleh
karena itu untuk pemungutan pajak masuk ini, jika tak ditetapkan berlainan, harus diperhatikan peraturan-
peraturan mengenai pemasukan (import), pengeluaran (export) dan penerusan (transito) yang berlaku untuk bea.
Oleh sebab Undang-undang Tarip Indonesia dan lain-lain peraturan-peraturan dari padanya berlaku untuk
bahagian-bahagian dari Indonesia, di mana bea masuk dan ke luar dipungut - yang disebut daerah-pabean -
(sekarang termasuk seluruh Indonesia kecuali pulau-pulau Riowa dan pulau Weh dengan pelabuhan Sabang),
maka pajak masuk hanya dipungut pada pemasukan barang dalam daerah pabean itu.
Barang-barang yang dari luar Negeri masuk ke Riow atau Sabang tidak dikenakan pajak masuk ini. Dengan tidak
adanya alat-alat kekuasaan douane di tempat itu untuk dapat menetapkan nilai dan menyelidiki barang-barang,
maka tidak mungkin menjalankan pemungutan pajak ini dalam daerah-daerah tersebut. Susunan kalimat ayat ke
1 dipilih demikian rupa, sehingga jika barang-barang berasal dari luar Negeri diangkut dari Riau atau Sabang ke
dalam daerah-pabean, maka pajak masuk harus dibayar.
Pembebasan diberikan oleh atau menurut Undang-undang Tarip Indonesia - jadi juga yang termasuk dalam tarip
bea hanya dapat sebahagian dilakukan untuk pajak ini, berhubung dengan tujuan pajak masuk. Bertalian dengan
ini, maka guna menyederhanakan serta mempermudah bentuk pajak ini, dianggap lebih sempurna mengatur
pembebasan-pembebasan tersendiri dalam pasal 23.
Pasal 21 ayat 3 memberi pembatasan yang lebih jauh tentang apa yang harus dimasukkan dalam pengertian nilai.
Menurut begitu saja arti nilai sebagai diuraikan dalam reglemen A yang tercantum dalam pasal 31 Ordonansi bea
guna menghitung bea-nya, tidak mungkin. Dengan nilai diartikan disitu ialah "nilai-entrepot", yaitu harga beli
untuk importeur sampai saat penimbunan dalam entrepot, dengan lain perkataan ialah harga jual pedagang besar
di tempat asal barang-barang itu ditambah dengan lain-lain ongkos yang belum termasuk terlebih dahulu pada
penyerahan sampai penimbunan dalam entrepot.
Guna mencapai supaya pada barang-barang import dibebankan jumlah pajak masuk yang sedapat mungkin sama
dengan jumlah pajak peredaran yang dibebankan pada barang-barang dihasilkan dalam negeri, maka nilai
entrepot harus ditambah dengan pajak-pajak dan bea-bea Indonesia yang harus ditambah dengan pajak-pajak
dan bea-bea Indonesia yang harus dibayar untuk memasukkan barang-barang. Pajak-masuk dipungut atas nilai
yang praktis sama dengan harga beli seseorang untuk siapa pemasukkan barang itu dilakukannya, suatu nilai
yang sederajat dengan harga jual yang dimintakan oleh pengusaha dalam negeri untuk hasil-hasilnya.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 29 -

Akhirnya di dalam pasal 21 ayat 4 ditetapkan, bahwa pajak hanya harus dibayar pada waktu pertama kali
memasukkan barang dalam daerah pabean. Peraturan ini penting sekali untuk pengangkutan antara pulau-pulau
dari barang-barang luar negeri, dalam hal mana selalu batas daerah pabean - batas tiga mil laut-dilampaui,
sehingga menurut pendirian sempit lebih dari satu kali ada pemasukkan barang-barang ini ke dalam daerah
pabean dan dengan tak ada aturan khusus akan dipungut pajak-masuk beberapa kali.
Peraturan dibicarakan di atas bermaksud menghindarkan akibat yang tidak dikehendaki buat barang-barang yang
telah dimasukkan dalam pengangkutan antara-pulau-pulau. Dari barang-barang yang dimasukkan hanya akan
dipungut satu kali pajak pemasukkan sebagai juga halnya dengan bea.
Mengenakan pajak-masuk untuk barang-barang dihasilkan dalam negeri dalam hal pengangkutan antara pulau-
pulau tak akan diadakan pula yaitu berdasarkan pembebasan dimuat dalam pasal 23 ayat 1 ke satu.

BAB VII.

Pengecualian dan pengembalian pajak.

Pasal 22 - 25.

Pasal 22.

Ke-1. Cara menyerahkan kapal sebesar sedikit-dikitnya 20 M3 menurut hukum perdata dalam garis besarnya
sama dengan barang-barang tetap.
Perlakuan sama antara barang-barang tetap dan kapal-kapal ini mempunyai pula akibat-akibat fiscal pada
penyerahan kapal-kapal.
Walaupun dalam hal barang-barang tetap persetujuan penyerahan telah menyebabkan pemungutan bea
balik nama sedangkan dalam hal kapal-kapal akte pembukuan atau penyerahan yang dikenakan bea ini,
namun dalam kedua hal penyerahan syah baru dapat dilakukan setelah bea balik nama dipenuhinya.
Oleh sebab barang-barang tetap berada di luar lingkungan pajak peredaran, maka ada alasan
memperlakukan kapal demikian pula.
Menurut keadilan maka dalam pengecualian ini harus dimasukkan pula kapal-kapal sebesar kurang dari
20 M3.
Pengecualian segala macam kapal-kapal terlepas dari tujuan
mempergunakannya, dipandang terlampau luas. Tidak membebani kapal pesiar tak akan memuaskan
perasaan-hukum (keadilan-hukum). Bersangkutan dengan itu maka pengecualian tak berlaku untuk
kapal-kapal tersebut. Hal ini berakibat, bahwa dalam hal penyerahan kapal-kapal yang tak dikecualikan,
jika besarnya 20 M3 atau lebih, harus dibayar 3% pajak peredaran dan mungkin pula 5% bea-balik nama.
Sebagai kapal-pesiar harus dipandang segala macam kapal pelayar yang dipergunakan untuk kemewahan,
olah raga atau suka-ria, dengan tak memperhatikan apakah digerakkan oleh kekuatan tangan, angin atau
mesin.
Ke-2. Sifat-sifat pajak peredaran sebagai pajak pemakaian umumnya berakibat bahwa hanya pemakaian dalam
negeri yang semata-mata dibebankan. Oleh sebab itu penyerahan barang-barang dan menjalankan jasa
hanya dikenakan pajak jika dilakukan di dalam Indonesia.
Perlu kiranya diadakan peraturan untuk hal-hal, dalam mana penyerahan dilakukan di dalam Indonesia,
akan tetapi sudah dapat dipastikan bahwa penyerahan bertujuan langsung mengeluarkan barang-barang
itu ke luar negeri. Kejadian-kejadian ini akan sering timbul teristimewa karena Undang-undang
memandang sebagai tempat penyerahan ialah tempat, di mana barang- barang itu diserahkan kepada
pengusaha-pengangkutan untuk dikirimkannya. Maka penyerahan hasil-bumi guna di-export selalu harus
dipandang sebagai terjadi di dalam Indonesia.
Peraturan yang bersangkutan ini mengatur hal ini dengan memberi pengecualian pajak untuk barang-
barang yang langsung dikeluarkan ke luar-negeri, jika syarat-syarat yang ditetapkan dipenuhi, syarat
mana bermaksud memberi kemungkinan penilikan yang tepat atas barang-barang yang sungguh-sungguh
di-export.
Tidak ada peraturan untuk pengembalian dari pajak yang dipungut untuk bagian-bagian rangkaian lajur
perusahaan yang mungkin terjadi terlebih dahulu sebelumnya di-export. Untuk membebaskan barang-
barang yang akan di-export sama sekali dari pajak bagaimanapun perlunya harus dikesimpangkan
berdasarkan kesukaran praktis yang bersangkutan dengan ini.
Umumnya pada hasil bumi yang akan di-export tidak akan dibebankan pajak, oleh sebab kebanyakan
penghasil (produsen) sendiri melakukan langsung penyerahan hasil-hasil yang diperuntuk export dengan
tidak ada perantara. Pada hasil bumi rakyat untuk di-export pun tak akan dibebankan pajak, jika penghasil
penyerahan hasilnya langsung kepada pengusaha export, berdasarkan keadaan bahwa penghasil hasil-
bumi rakyat baharu diharuskan membayar pajak, jika peredarannya melebihi 4000.-, yang biasanya
tidak demikian halnya.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 30 -

Ke-3. Penyerahan barang-barang dengan percuma menimbulkan kejadian yang dikenakan pajak. Mungkin
dalam beberapa hal pemungutan pajak dapat memberi akibat yang tidak adil. Sebagai contoh dapat disebut
pemberian air dengan percuma oleh Haminte Jakarta, dan pemberian obat-obat dengan percuma kepada
lembaga-lembaga derma untuk disampaikan kepada rakyat dengan percuma pula.
Aturan ini memberi kekuasaan kepada Menteri Keuangan untuk mengecualikan dari pajak, penyerahan-
penyerahan dengan percuma dalam hal-hal yang dapat dipandang beralasan.
Ke-4.a. Umumnya uanglah merupakan pembayaran (balasan) untuk
melakukan penyerahan barang-barang atau pekerjaan. Sudah tentu perbuatan balasan ini tidak
dikenakan pajak pula.
Penyerahan dari materai-materai Indonesia yang tak terpakai dan dikeluarkan oleh Pemerintah
dikecualikan juga.
Dalam hal ini termasuk antara lain penyerahan-juga jika dilakukan oleh orang lain dari pada pemerintah
dari meterai upah, meterai-pos dan lain-lain meterai, demikian juga merek pajak untuk sepeda dan lain-
lain kendaraan. Penyerahan meterai dan merek pajak ini oleh penghasilnya kepada pemerintah harus
membayar pajak, karena meterai dan merek-pajak belum dapat dikatakan "telah dikeluarkan oleh
Pemerintah" jadi penyerahan dapat dipandang sebagai penyerahan barang-barang biasa.
Penyerahan meterai yang telah terpakai kepada misalnya pengumpul meterai-bekas harus dikenakan
pula.
Penyerahan surat berharga-termasuk obligasi, sero dan lain-lain effek-effek - dikecualikan juga dari
pajak.
Membebankan pajak pada penyerahan surat-surat itu, yang diterbitkan (dihidupkan) guna
menyempurnakan peredaran uang dan barang, akan merupakan akibat yang tidak dihendaki dari
pengertian luas mengenai arti "jasa".
b. Pengecualian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa mengenakan pajak-peredaran untuk penyerahan
emas kepada dan oleh Javasche Bank menurut aturan-aturan diberikan oleh atau dengan kuasa
Ordonansi-Deviezen 1940 akan menimbulkan ketidak-adilan berhubung dengan peraturan cara
memberi penggantian tentang hal itu.
Ke-5. Pengecualian ini memberi pembebasan pajak misalnya jika keluar sebagai anggauta dari suatu perseroan
atau penjualan hak keanggautaan sero oleh seorang anggauta kepada orang lain.
Menjadi anggauta sesuatu perkumpulan dengan membayar uang pangkat perkumpulan itu melakukan
suatu jasa untuk anggauta baru itu dengan memberi hak-hak yang bertalian dengan keanggautaan.
Melakukan jasa ini termasuk pula dalam pengecualian ini.
Ke-6. Pengecualian ini penting sekali untuk perusahaan Bank. Pengertian luas tentang jasa harus dipersempitkan
guna mencegah agar supaya jangan termasuk perbuatan-perbuatan disebut dalam pengecualian ini, yang
seharusnya tidak perlu dikenakan pajak-peredaran.
Pengecualian terbatas pada perbuatan-perbuatan yang disebut dengan jelas satu per satu. Pengecualian ini
tak berlaku untuk urusan-depot, pengecapan sero, penukaran effek-effek menjalankan pemeriksaan
akuntan, memberi nasehat-nasehat dalam lampangan keuangan, mengurus kekayaan dan lain-lain.
Ke-7. Pengecualian ialah perbuatan pengusaha asuransi, yang menanggung risiko yang tertentu.
Untuk pembayaran premi oleh yang dijamin yaitu yang merupakan perbuatan balasan dari pemikulan
tanggungan-tidak diharuskan membayar pajak.
Pertanyaan apakah dalam hal yang tertentu dapat dikatakan ada suatu asuransi, harus dijawab dengan
menguji perjanjian pada aturan-aturan yang bersangkutan dengan asuransi di dalam Kitab Undang-
undang Perniagaan.
Pengecualian ini tidak berlaku untuk penggantian yang diberikan kepada agen perusahaan asuransi untuk
perantaraannya.
Ke-8. Pengecualian ini berlaku untuk lotre-lotre termasuk pinjaman premi untuk mana menurut peraturan
mengenai lotre-lotre (Staatsblad 1923 No. 351) telah diberi idzin yang diperlukannya.
Dari lotre-lotre yang diperkenankan telah dikenakan pajak sebesar 25% untuk Negara dan 7% untuk fakir
miskin.
Ke-9. Semua jasa dalam perhubungan pos-telegrap dan telepon termasuk perhubungan radio-telepon dan radio-
telegrap dikecualikan pula dari pajak. Dikecualikan pula jasa-jasa dilakukan oleh pengusaha
pengangkutan seperti Koninklijke Luchtvaart My., Garuda Indonesian Airways, Koninklijke Petroleum My
(K.P.M.) dan Jawatan Kereta-Api yang berdasarkan kontrak tetap jika jasa ini langsung bersangkutan
dengan perhubungan pos, telegrap dan telepon.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 31 -

Ke-10. Pengecualian ini semata-mata bersangkutan dengan penyiaran radio, yang langsung diterima dari aether.
Jasa ditimbulkan oleh pengusaha pembagian radio yang tidak diusahakan oleh jawatan Pos Telegrap dan
Telepon (P.T.T.) harus dikenakan pajak.
Ke-11. Sesuai dengan beberapa peraturan luar negeri, maka pengangkutan orang dan barang dalam lingkungan
internasional dikecualikan dari pajak. Peraturan-peraturan luar negeri kebanyakan membatasi
pengecualian pengangkutan orang ini sampai pada pengangkutan dengan kapal-laut dan kapal-terbang.
Pembatasan ini untuk negeri ini tak perlu, karena untuk perhubungan internasional semata-mata
mempergunakan alat-alat pengangkutan tersebut di atas.
Pengecualian ini dimuat bukan saja karena keberatan yang bersifat praktis dan politis, yang bersangkutan
dengan pemungutan pajak mengenai pengusaha-pengangkutan yang berada di luar negeri, akan tetapi
juga berdasarkan keinginan jangan mengganggu perimbangan persaingan internasional dengan
merugikan perusahaan pengangkutan yang berada dalam negeri.
Pengecualian mengenai pengangkutan-penerusan barang-barang dan pengangkutan-barang-barang dari
Indonesia ke luar negeri bertalian erat pula dengan sifat pajak peredaran, yang semata-mata bertujuan
membebankan pajak pada pemakaian dalam negeri.
Pengecualian pajak untuk pengangkutan barang-barang yang tak akan dipakai di dalam negeri
berhubungan rapat dengan pengecualian pajak untuk barangnya sendiri.
Pengecualian lebih lanjut misalnya untuk memuat dan membongkar barang-barang yang dapat
pengecualian pajak untuk pengangkutannya dan untuk pinjaman dan pemakaian pelabuhan dan tempat-
tempat di pelabuhan berhubung dengan keberatan-keberatan praktis tak dapat dilakukan.
Ke-12. Menyewakan dan menggadaikan barang-barang tetap sering dilakukan oleh orang-orang yang tak dapat
dipandang sebagai pengusaha dalam arti kata Undang-undang ini. Mengenakan pajak untuk hal ini akan
berakibat perlakuan yang tak sama-rata antara penyewa dan yang menyewa barang-barang tetap dari
pengusaha atau bukan pengusaha. Bukankah dalam hal pertama pajaknya akan diperhitungkan dalam
harga sewanya, sedangkan dalam hal kedua tak akan ada kenaikan harga sewanya.
Bukan saja berdasarkan keadaan ini pemungutan pajak diabaikan, akan tetapi juga berdasarkan
pertimbangan bahwa dalam keadaan sekarang kenaikan harga sewa dari barang tetap tak dapat
dipertanggungkan. Selainnya sewa dan gadai barang-barang tetap dikecualikan pula dari pajak
penyerahan atau pelepasan sewa barang-barang tetap, teristimewa dengan mengingat penyerahan sewa
yang sering terjadi pada kontrak-sewa tanah yang bertahun-tahun lamanya.
Perjanjian-perjanjian yang memuat unsur-unsur (azas-azas) lain dari pada penyerahan pengecapan
faedahnya barang-barang tetap, tidak dapat dianggap sebagai menyewakan dan tidak pula dari pajak.
Memberi kesempatan mempergunakan ruangan penimbunan dalam gudang-gudang dan veem-veem
dengan membayar jumlah tetap ialah bukan sewa, karena bukan suatu barang tetap yang tertentu
menjadi pokok perjanjian. Tidak dikecualikan dari pajak ialah penyerahan penyewaan dan pelepasan
sewa dari mesin-mesin dan perlengkapan perusahaan, yang karena sifat dan tujuannya menjadi barang
tetap. Kecualian atas pengecualian ini berdasarkan pertimbangan, bahwa perlakuan lain antara mesin-
mesin yang dipandang barang tetap dan mesin-mesin yang dipandang barang bergerak dan
penyewaannya dikenakan pajak, dianggap tidak beralasan.
Penyewaan kamar-kamar lengkap dengan alat-alatnya dalam azasnya dikecualikan dari pajak sebagai
penyewaan barang tetap.
Akan tetapi pengecualian ini tak berlaku untuk penyewaan kamar-kamar lengkap dengan alat-alatnya
dalam hotel, penginapan dan tempat-tempat yang serupa itu.
Jumlah semuanya dari penggantian yang dibayar untuk berdiam dalam tempat-tempat tersebut di atas
harus dikenakan pajak.
Ke-13. Semua barang yang diberikan oleh pengusaha sebagai perbuatan balasan kepada pekerjanya yang
menjalankan pekerjaan (memberikan tenaganya) dalam azasnya dikenakan pajak.
Sepanjang perbuatan-balasan ini dibayar dengan uang maka hal itu dikecualikan dari pajak berdasarkan
pengecualian dimuat dalam ke-4 a pasal ini.
Peraturan ini bermaksud mengecualikan pula dari pajak bahagian-bahagian dari perbuatan balasan yang
tidak berupa uang.
Ke-14. Jasa-jasa yang dilakukan oleh hamba-hamba agama sebagai hamba itu bebas dari pajak. Dalam hal ini
termasuk antara lain mengaji untuk yang meninggal, mengajarkan agama, malakukan upacara-
pemakaman menurut agama dan lain-lain.
Ke-15. Memberi pengajaran oleh Negara atau badan-badan lain berdasarkan hukum publik tak dikenakan pajak
peredaran, oleh karena badan ini tak dapat dianggap pengusaha sepanjang mereka itu melakukan
perbuatan guna menjalankan kewajiban yang dipikulkan oleh pemerintah, dalam hal ini dapat
dimasukkan pula memberi pengajaran.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 32 -

Ada baiknya pengajaran diberikan oleh yayasan dan perkumpulan-perkumpulan yang berbadan-hukum
dalam beberapa hal dikecualikan pula dari pajak. Untuk ini akan ada alasan, jika dan sepanjang yayasan
dan perkumpulan tersebut tadi memberi pelajaran, yang biasanya dapat dianggap masuk pemeliharaan
pemerintah. Yayasan-yayasan dan perkumpulan-perkumpulan demikian dapat dianggap sebagai
menerima padanya sebahagian dari pekerjaan Pemerintah, oleh sebab itu tidak pada tempatnya
mengenakan pajak.
Badan-badan yang menurut pandangannya dapat memperoleh pengecualian ini harus mengajukan
permohonan kepada Menteri Keuangan, dengan melampirkan keterangan yang diperlukan guna
menimbang apakah ada cukup alasan untuk pengecualian.

Pasal 23.

Dalam ayat pertama dimuat pengecualian-pengecualian yang diberikan dengan tidak bersyarat.
Ke-1. Dikecualikan ialah pemasukkan hasil-hasil dalam arti kata Undang-undang Tarip Indonesia dari daerah
Indonesia seluruhnya.
Kecualian-kecualian yang diadakan oleh Undang-undang Tarip Indonesia pada aturan umum ini, tidak
perlu diikuti, berhubung dengan sifat pajak masuk.
Tiap-tiap penyerahan hasil-hasil Indonesia biasanya telah dikenakan pajak peredaran.
Peraturan yang menjadi buah pembicaraan ini mencegah agar supaya dalam pengangkutan antara pulau-
pulau dari hasil-bumi dan hasil pabrik dalam negeri dan juga pemasukkan ke dalam daerah pabean dari
barang-barang yang dihasilkan atau dibuat di dalam Indonesia akan tetapi di luar daerah pabean,
dikenakan pajak masuk juga.
Ke-2 Pengecualian ini sesuai dengan pembebasan yang serupa dimuat dalam pasal 23 No. 1.
Ke-3. Sebagian sesuai dengan pengecualian pajak peredaran dimuat dalam pasal 22 No. 4.
Selainnya uang dan meterai-meterai dan merek pajak-merek pajak yang tidak dipakai dan dikeluarkan
oleh pemerintah Indonesia, maka dikecualikan pula dari pajak masuk ialah emas dalam bentuk lajur,
barang atau potongan, karena dapat dipastikan bahwa pemasukkan emas dalam bentuk demikian
berhubungan rapat dengan perhubungan pembayaran internasional.
Ke-4. Kiriman hadiah yang berharga setinggi-tingginya 25.- bebas dari bea-masuk. Pengecualian ini
bermaksud pula mengecualikan kiriman hadiah dari pajak-masuk.
Susunan kalimat dipilih demikian rupa, sehingga pengecualian bea masuk untuk kiriman, membawa pula
pengecualian pajak-masuk.
Dengan cara demikian, maka pengecualian ini, yang diadakan hanya oleh karena pertimbangan praktis,
dapat diselesaikan secara sederhana sekali.
Ke-5. Pengecualian pajak masuk ini dimuat pula berdasarkan pertimbangan praktis sebagai juga halnya dengan
pengecualian bea masuk yang serupa untuk barang-barang ini.
Ke-6. Menurut pasal 3 ayat 1b Undang-undang tarip Indonesia dapat diberikan pengecualian bea masuk, jika
pemasukkan barang-barang dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau jika perhubungan
internasional menghendakinya.
Kekuasaan ini dipergunakan antara lain untuk mengecualikan dari bea masuk barang-barang buat
dipergunakan oleh balai pengetahuan sebagai laboratorium dan sebagainya; dan untuk memberi
pengecualian bea masuk pada pegawai-pegawai konsol untuk barang-barang keperluan kedutaan dan
barang-barang untuk keperluan sendiri.
Ke-7. Dalam hal-hal, yang menurut pasal 23 dan 23a Ordonansi Bea diberikan pengecualian bea masuk,
menurut peraturan ini diberikan pula pengecualian pajak masuk.
Pasal 23 Ordonansi Bea menetapkan bahwa untuk barang-barang guna dipertunjukkan atau guna sesudah
dilakukan beberapa perubahan akan dikeluarkan lagi keluar daerah pabean tidak akan dikenakan bea
masuk jika syarat-syarat yang ditetapkan oleh menteri Keuangan untuk hal itu telah dicukupi.
Pasal 23a memberi aturan khusus untuk pelabuhan MAKASAR dan mengenai pemasukkan kopi dari Timor
Portugis dikerjakan di MAKASAR sesudah itu dikeluarkan lagi. Berhubung dengan kejadian bahwa
pemasukkan barang semata-mata dilakukan dengan maksud mengeluarkan lagi hasil dari barang-barang
itu yang sudah selesai dikerjakan, maka pemasukkan hanya dikenakan sebagian yaitu atas dasar bahwa
bagian dari kopi itu yang pada waktu dikerjakan (diolah) menjadi sampah dan tidak akan dikeluarkan lagi.
Ke-8. Oleh sebab Undang-undang Tarip Indonesia dan pasal 3 ayat 2 sub a memberi kesempatan untuk
memasukkan barang dengan keputusan pemerintah dikecualikan bebas dari bea masuk, maka perlu diatur
jika barang-barang demikian dikecualikan dari bea masuk, tidak perlu pula membayar pajak masuk.
Pada hakekatnya kekuasaan ini hanya dipergunakan mengenai pemasukkan barang-barang untuk
keperluan Kementerian Pertahanan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 33 -

Pengecualian yang dimuat dalam ayat ke dua hanya diberikan jika peraturan ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dipenuhi.
Ke-1. Barang-pindahan, terdiri dari barang-barang yang telah dipakai, bebas dari bea-masuk dan keluar.
Sifat barang-barang ini berhubung dengan sifat pajak peredaran mengakibatkan pula pengecualian dari
pajak masuk.
Ke-2. Alat-alat pembungkus kosong biasanya tetap menjadi milik exporteur, alat-alat pembungkus demikian jika
waktu diterima kembali dikenakan pajak masuk akan tidak sesuai dengan tujuannya.
Ke-3. Barang-barang untuk gedung arca dan balai pengumpulan kesenian umum, sering sekali diperoleh dari
pemberian hadiah atau penukaran.
Untuk kepentingan pengetahuan dan kebudayaan, maka pengecualian dari pajak masuk sungguh perlu.
Ke-4. Kiriman, terdiri dari obat-obat dan keperluan hidup yang diberikan kepada badan-badan amal dengan
percuma agar sepaya dibagikan kepada rakyat yang sengsara dengan cuma-cuma untuk sementara
dikecualikan dari bea cukai.
Aturan ini memberikan pula pengecualian dari pajak masuk untuk kiriman tersebut di atas.

Pasal 24.

Dalam hal pengusaha mengambil kembali barang-barang yang belum dipakai dari penerima, dan dalam hal
pengusaha memberikan potongan atas harga-jual atau penggantian, peredaran setahun atau dalam hal
berlakunya bab V, peredaran setribulan dikurangkan dengan jumlah yang dikembalikan.
Pasal ini dilakukan melalui jika jumlah itu dikembalikan setelah penglunasan harga-jual atau penggantian yang
diminta bermula
terjadi.
Jika barang-barang diambil kembali atau jika harga-jual atau penggantian dikurangkan sebelum penglunasan
atau penggantian terjadi, maka pada hakekatnya pada waktu penglunasan itu akan diperhatikan kejadian-
kejadian yang menyebabkan pengurangan harga atau penggantian.
Dalam hal ini pajak dihitung kelak dari harga-jual atau penggantian yang telah dikurangkan, sehingga tidak
perlu mengadakan tindakan lain.

Pasal 25.

Pasal ini mengatur pemberian kembali pajak yang dibayar kebanyakan atau tak semestinya oleh pengusaha yang
ditunjuk
menurut pasal 17 ayat I berhubung dengan pasal 18.
Peraturan ini akan berlaku jika jumlah peredaran yang diberitahukan terlalu tinggi dan karena itu membayar
pajak kebanyakan yang antara lain akan terjadi, jika peredaran dalam hal-hal dimaksud dalam pasal 24 tidak
dikurangi sebagai mestinya atau jika penyerahan atau jasa yang dikecualikan dari pajak dimuat pula dalam
pemberitahuan sebagai yang harus dikenakan pajak.

BAB VIII.

Tagihan susulan.

Pasal 26.

Hal-hal yang dapat mengakibatkan tagihan susulan dapat dibedakan antara pertama hal-hal, dalam mana pajak
kekurangan dipungut dan kedua hal-hal dalam mana oleh pengusaha-pengusaha yang ditunjuk menurut pasal
17 ayat I pajaknya tidak atau kurang dibayarnya, atau pajaknya tidak seharusnya dibayar kembali.
Pasal ini kira-kira sesuai dengan peraturan-peraturan tentang hal ini dalam ordonansi pajak peralihan 1944,
akan tetapi pajak yang termasuk dalam ketetapan tagihan susulan ditambah dengan 200% dan tidak dengan
100% dan waktu untuk mengadakan suatu tagihan susulan diperpendekkan dari lima sampai tiga tahun segala
sesuatu sesuai dengan beberapa peraturan-peraturan pajak lain.

BAB IX.

Keberatan dan minta pertimbangan.


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 34 -

Pasal 27 - 30.

Peraturan-peraturan pasal-pasal ini pada hakekatnya sesuai dengan peraturan-peraturan tentang hal ini dalam
ordonansi pajak pendapatan 1932.
Inspektur mengambil keputusan atas semua surat-surat keberatan, oleh sebab itu juga terhadap ketetapan pajak
yang ditetapkan oleh komisi penetapan pajak.
Karena dalam ketetapan pajak yang dikenakan oleh komisi-komisi itu termasuk pula jumlah-jumlah besar dan
jika terhadap ketetapan itu diminta pertimbangan, maka untuk kepastian hukum dari pengusaha yang
berkepentingan pemeriksaan terhadap ketetapan harus dilakukan setepat-tepatnya. Dan inspekturlah lebih pada
tempatnya dalam hal ini dari pada komisi penetapan pajak.
Tidak hanya ketetapan pajak yang ditetapkan oleh komisi penetapan pajak, juga yang ditetapkan oleh inspektur
dapat ditambah dengan keputusan atas suatu surat keberatan. Berhubung dengan ini, peraturan tentang
penarikan kembali suatu surat keberatan berlaku dengan sah hanya seidzin inspektur, tidak dapat diabaikan.

BAB X.

Penagihan.

Pasal 31 - 38.

Pasal-pasal 31, 32, 34 dan 35 umumnya sesuai dengan pasal-pasal tentang hal ini dalam ordonansi pajak
pendapatan 1932.
Dengan menyimpang dari hal itu dalam pasal 34 ke-I ditentukan bahwa suatu ketetapan pajak akan ditagih
sekaligus jika lebih dari satu angsuran tidak dibayar. Kemungkinan untuk mengadakan penagihan lebih dahulu
berdasar atas pertimbangan bahwa penglunasan suatu ketetapan pajak peredaran tidak lain dan tidak bukan
melainkan suatu pembayaran pajak yang telah dipungut oleh pengusaha untuk Negara. Tunggakan pembayaran
pajak ini yang tak dipikul oleh pengusaha tak dapat diabaikan.
Pasal 33 sebagian besar sama dengan pasal 17 dan 18 Ordonansi Pajak Peralihan 1944.
Ayat ke 4 dimasukkan guna menghindarkan perselisian pendirian mengenai cara pembayaran sisa yang belum
dibayar harus dipenuhi dalam hal ada pengurangan penetapan sementara.
Pasal-pasal 36, 37 dan 38 mutatis mutandis (dengan perubahan-perubahan yang perlu diadakan) sesuai dengan
aturan-aturan serupa itu dalam Ordonansi Pajak Upah.

BAB XI.

Idzin perusahaan.

Pasal 39 - 41.

Berdasarkan keadaan sama, yang dalam tahun 1934 memaksa mengadakan cara (stelsel) idzin-perusahaan untuk
pajak penghasilan, maka untuk pajak peredaran cara ini tak dapat ditiadakan.
Sebaliknya, ada alasan cukup untuk memperluas cara itu. Bukankah dapat dianggap patuh, karena pembayaran
pajak peredaran umumnya tidak lain dari pada suatu penyetoran pajak yang dipungut untuk Negara, mengikat
pemberian idzin guna menjalankan sesuatu perusahaan atau pekerjaan dengan syarat bahwa tidak akan
menunggak dalam hal pembayaran jumlah-jumlah untuk Negara, jumlah-jumlah mana berada di bawah
kekuasaan pengusaha disebabkan menjalankan perusahaan atau pekerjaan.
Hal ini membawa akibat bahwa selainnya tak dapat memberi idzin jika pajak terutang untuk tahun-tahun yang
lalu belum dipenuhi, pun idzin yang telah diberikan dapat ditarik kembali jika pengusaha tidak memenuhi pajak
terutang untuk tahun yang berjalan pada waktunya.
Sebagai aturan umum semua pengusaha, terlepas dari kewajiban memasukkan pemberitahuan atau tidak,
diwajibkan mempunyai idzin perusahaan.
Dengan sama sekali tidak membatasi syarat ini akan menyebabkan memperbanyak pekerjaan yang tak terhingga.
Oleh sebab ini di dalam pasal 42 diberikan kekuasaan kepada Menteri Keuangan untuk mengecualikan golongan
pengusaha yang tertentu dari kewajiban mempunyai idzin perusahaan ini. Maksudnya ialah supaya kekuasaan ini
dipergunakan demikian rupa, sehingga semata-mata golongan pengusaha yang tak dikenakan pajak peredaran
dapat diterima untuk pengecualian ini. Dalam hal ini teristimewa mengingat pada orang tani yang peredarannya
masing-masing sering sekali tak akan melebihi 4.000.-.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 35 -

Pasal 42.

Ke-2. Menetapkan lebih lanjut, bahwa pengusaha yang ditunjuk menurut pasal 17 ayat 1 bebas pula dari
kewajiban mempunyai idzin perusahaan berdasar atas pertimbangan bahwa tata usaha-pajak umumnya
pada pengusaha besar tak akan menemui kesukaran-kesukaran yang tak dapat dilalui dalam hal
penagihan, selain dari pada itu mempergunakan kekuasaan - menjalankan keputusan biasa menyita dan
menjual akan memperoleh hasil yang memuaskan.

BAB XII.

Peraturan khusus.

Pasal 43 - 50.

Pasal 43.

Undang-undang ini tak melarang membebankan pajak peredaran ini pada pemakai. Sebaliknya peraturan pajak
ini memandang membebankan pajak ini pada pemakai adalah syarat mutlak, yang sedapat mungkin diutamakan
guna menghindarkan jangan sampai pajak ini merupakan beban perusahaan yang berat yang harus dipikul oleh
pengusaha. Pasal ini tak melarang memperhitungkan pajak dalam harga-harga, akan tetapi hanya pembayaran
terpisah dari pajak ini. Dalam harga jual dan penggantian harus selalu termasuk pajak peredaran, dengan tidak
menyebut pajak peredaran yang termasuk dalam harga dan penggantiannya.
Menurut ayat kedua aturan tersebut di atas ditobros dalam hal-hal di mana jumlah harga jual atau penggantian
ditetapkan dengan tarip-tarip menurut Undang-undang. Kecualian ini berlaku misalnya untuk pembayaran
Notaris berdasarkan tarip honorariumnya. Dalam hal-hal berlakunya ayat kedua, maka guna menghitung pajak
terutang itu, pajak ini dianggap sebagai tidak merupakan bagian dari harga jual atau penggantian.
Mengenai harga-harga ditetapkan menurut Ordonansi Pengendalian Harga 1948 dan yang bersangkutan dengan
itu Peraturan Pengendalian Harga 1948, maka ayat 1 tetap berlaku sehingga pajak peredaran harus
diperhitungkan dalam harganya.
Apakah harga yang ditetapkan perlu dirobah dan jika perlu berapa, berhubung dengan berlakunya pajak
peredaran, akan ditimbang dengan menghitung kembali harga yang ditetapkan, dalam hal mana pajak peredaran
akan dipandang sebagai faktor-ongkos.

Pasal 44.

Kira-kira sama dengan peraturan-peraturan bersangkutan dalam beberapa aturan pajak.

Pasal 45.

Kira-kira sama dengan aturan mengenai hal ini dalam Ordonansi Pajak Penjualan bebas 1949.

Pasal 46 dan 47.

Kira-kira sama dengan aturan-aturan mengenai hal ini dalam Ordonansi Pajak Peralihan 1944 dan aturan-aturan
dalam Peraturan Pemerintah guna menjalankannya.

Pasal 48 dan 49.

Sebagian besar sama dengan aturan mengenai hal ini dalam Ordonansi Pajak Penghasilan 1932.

Pasal 50.

Karena Indonesia tidak mempunyai pengalaman mengenai soal-soal khusus sebagai akibat dari menjalankan
suatu pajak pemakaian umum, maka perlulah untuk menghindarkan penghidupan ekonomi terganggu diberikan
kesempatan agar supaya peraturan menjalankan dapat disesuaikan dengan segera pada kebutuhan dalam praktek.
Pasal ini di bawah kesatu memberi kemungkinan untuk hal diuraikan di atas dengan memberi kekuasaan pada
Menteri Keuangan menetapkan peraturan umum guna menjalankanya. Tidak ada pengalaman sama sekali
mengenai pajak seperti ini membawa pula keperluan mengadakan kemungkinan untuk memperbaiki kejadian-
kejadian yang tidak adil yang mungkin terjadi pada waktu melakukan peraturan ini.
Pasal 50 ke-2 dapat memenuhi kebutuhan yang perlu ini.

BAB XIII.

Peraturan-peraturan bersifat hukum Pidana.


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 36 -

Pasal 51 - 61.

Pasal-pasal 51 sampai dengan 61 berisi aturan-aturan bersifat hukum pidana.


Kejadian-kejadian yang dapat dihukum ditetapkan dalam pasal 51 sampai dengan 54 kira-kira sama dengan
peraturan semacam itu dalam Ordonansi pajak penghasilan, kekayaan dan perseroan.
Perlu kiranya denda diikat dengan maksimum yang lebih tinggi karena merosotnya nilai alat penukar,
maksimum-maksimum terdapat dalam aturan-aturan bersifat hukum pidana dari ordonansi-ordonansi tersebut di
atas dapat dianggap tidak mempunyai kekuatan mencegah dalam keadaan yang berubah ini.
Aturan-aturan yang bersifat hukum pidana dimuat dalam pasal-pasal 55, 58, 59 dan 60 sama dengan aturan-
aturan semacam itu dalam Ordonansi pajak penjualan bebas.

BAB XIV.

Peraturan-peraturan penutup.

Pasal 62 dan 63.

Kejadian-kejadian yang menyebabkan pemungutan pajak ini ialah penyerahan barang-barang dan melakukan
jasa.
Untuk hal-hal dalam mana perbuatan dilakukan sebelum Undang-undang ini berlaku, walaupun pembayaran
harga-jual atau penggantian dibayar sesudah saat itu, tidak akan dikenakan pajak, meskipun pasal 5 ayat 1
menyatakan berlainan, karena saat penyerahan barang atau menjalankan jasa harus dipandang sebagai saat yang
menentukan apakah dikenakan pajak atau tidaknya.
Oleh sebab ini maka penyerahan barang atau menjalankan jasa dilakukan sesudah Undang-undang ini berlaku
selalu akan mengakibatkan mengenakan pajak ini. Berhubung dengan hal ini berdasarkan pertimbangan
keadilan, maka dalam pasal ini di bawah kedua ditetapkan bahwa sepanjang penyerahan barang dan
menjalankan jasa sesudah Undang-undang ini berlaku disebabkan perjanjian ditutup sebelum saat itu, maka
pengusaha dapat menagih pajak peredaran yang terutang dari orang kepada siapa barang itu diserahkan atau
untuk kepentingan siapa jasa itu dilakukannya.
Dalam hal-hal ini pajak dapat dihitung dari harga-jual atau penggantian dengan tidak memasukkan pajaknya
yang harus dibayar.
Mengenai menjalankan jasa yang dimulai sebelum Undang-undang ini berlaku, akan tetapi masih terus
dijalankan sesudah saat itu, maka pajaknya hanya terutang untuk sebagian penggantian yang bersangkutan
dengan bahagian jasa yang dilakukan sesudah berlakunya Undang-undang.
Pasal 62 ayat 3 bermaksud menjalankan tarip yang tepat jika saat berlakunya Undang-undang ini ditetapkan lain
dari pada tanggal 1 Januari 1950.

CATATAN

*)Disetujui D.P.R. dalam rapat pleno terbuka ke-26 pada hari Jum'at tanggal 24 Pebruari 1956, P.32/1955-1956

Anda mungkin juga menyukai