Anda di halaman 1dari 66

D

ANALISIS LAJU KOROSI LOGAM PADUAN ALUMINIUM 7075-T6


SEBAGAI MATERIAL FRAME PADA KARGO PESAWAT B737-800
DALAM MEDIA AIR LAUT MENGGUNAKAN
METODE KEHILANGAN MASSA

DILA BAYU SAPUTRI


NIM: 41318110078

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA 2020
LAPORAN TUGAS AKHIR

ANALISIS LAJU KOROSI LOGAM PADUAN ALUMINIUM 7075-T6 SEBAGAI


MATERIAL FRAME PADA KARGO PESAWAT B737-800 DALAM MEDIA
AIR LAUT MENGGUNAKAN METODE KEHILANGAN MASSA

Disusun Oleh:

Nama : Dila Bayu Saputri


NIM : 41318110078
Program Studi : Teknik Mesin

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SYARAT KELULUSAN MATA KULIAH


TUGAS AKHIR PADA PROGRAM SARJANA STRATA SATU (S1)
JULI 2020
HALAMAN PENGESAHAN

ANALISIS LAJU KOROSI LOGAM PADUAN ALUMINIUM 7075-T6 SEBAGAI


MATERIAL FRAME PADA KARGO PESAWAT B737-800 DALAM MEDIA
AIR LAUT MENGGUNAKAN METODE KEHILANGAN MASSA

Disusun Oleh:
Nama : Dila Bayu Saputri
NIM : 41318110078
Program Studi : Teknik Mesin

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing


Pada tanggal 24 Juli 2020

Mengetahui

Dosen Pembimbing Koordinator Tugas Akhir

(Dra. I Gusti Ayu Arwati, MT) (Alief Avicenna Luthfie, ST., M.Eng)

i
HALAMAN PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini,


Nama : Dila Bayu Saputri
NIM : 41318110078
Jurusan : Teknik Mesin
Fakultas : Teknik
Judul Tugas Akhir : Analisis Laju Korosi Logam Paduan Aluminium 7075-T6
sebagai Material Frame pada Kargo Pesawat B737-800 dalam
Media Air Laut Menggunakan Metode Kehilangan Massa

Dengan ini menyatakan bahwa saya melakukan Tugas Akhir dengan sesungguhnya
dan hasil penulisan Laporan Tugas Akhir yang telah saya buat ini merupakan hasil
karya sendiri dan benar keasliannya. Apabila ternyata di kemudian hari penulisan
Laporan Tugas Akhir ini merupakan hasil plagiat atau penjiplakan terhadap karya
orang lain, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sekaligus bersedia
menerima sanksi berdasarkan aturan di Universitas Mercu Buana.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan.

Jakarta 24 Juli 2020

Dila Bayu Saputri

ii
PENGHARGAAN

iii
ABSTRAK

Paduan aluminium 7075-T6 merupakan material yang memiliki kekuatan lebih tinggi
dibandingkan paduan aluminium lainnya, yaitu memiliki ultimate tensile strength
mencapai 572 Mpa. AA 7075-T6 ini banyak digunakan pada industri penerbangan
yaitu pembuatan komponen pesawat terbang seperti wing panel, tail area (stabilizer),
frame, stringer dan bagian-bagian lain yang membutuhkan kekuatan tinggi. Frame
merupakan salah satu primary structure pesawat yang mengangkut seluruh beban,
maupun beban tekanan pesawat pada saat terbang dan di darat. Frame melingkar di
seluruh badan pesawat (fuselage) termasuk kompartemen kargo, jika frame mengalami
kerusakan maka dapat mengakibatkan kondisi tidak aman pada pesawat yang dapat
berpengaruh terhadap airworthiness pesawat tersebut. Salah satu faktor penyebabnya
yaitu korosi pada frame tersebut, dimana jika korosi ini parah maka dapat memicu
crack sehingga membahayakan keselamatan pesawat saat terbang. Seringnya
ditemukan korosi pada frame kargo pesawat B737-800, maka penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui laju korosi pada material frame kargo pesawat tersebut
menggunakan metode kehilangan massa. Pengujian dilakukan dengan proses
perendaman logam uji di dalam air laut sebagai lingkungan yang korosif di kargo,
dengan waktu perendaman 168 jam, 336 jam dan 504 jam pada suhu ruang (300 K)
dan suhu es (255 K). Hasil pengujian menunjukkan laju korosi terbesar terjadi pada
waktu perendaman 504 jam, yaitu 0,05817 mg/cm2jam pada suhu ruang dan 0,09272
mg/cm2jam pada suhu es. Kemudian dianalisa morfologi permukaan logam uji
sebelum dan sesudah pengujian menggunakan SEM-EDX (Scanning Electron
Microscopy-Energy Dispersive X-ray). Hasil SEM-EDX menunjukkan adanya
perubahan morfologi permukaan serta penurunan kandungan unsur aluminium logam
uji yaitu 11,99% pada suhu ruang dan 17,79% pada suhu es.

Kata kunci: Paduan Aluminium 7075-T6, frame kargo, laju korosi, metode
kehilangan massa.

iv
ANALYSIS OF 7075-T6 ALUMINUM ALLOY METAL CORROSION RATE AS THE
MATERIAL FRAME IN CARGO AIRCRAFT B737-800 USING SEA WATER AS A
MEDIA WITH WEIGHT LOSS METHOD

ABSTRACT

Aluminum alloy 7075-T6 is a material that has the higher strength compared to the
other aluminum alloys which has the ultimate tensile strength reaches 572 Mpa. AA
7075-T6 is mostly used in the aviation industry, like manufacturing aircraft
components such as wing panels, tail areas (stabilizers), frames, stringers and other
parts that require high strength. The frame is one of the aircraft's primary structures
that carries all loads, as well as aircraft pressure loads when flying and on ground.
The frames are coiled along the fuselage including the cargo compartment, if it fails
will cause an unsafe condition that would affect the airworthiness of the aircraft. One
of the contributing factors is corrosion in the cargo frame, where if this corrosion is
severe it can trigger crack which endanger aircraft safety while flying. Because of
corrosion is often found on B737-800 aircraft cargo frames, so this research was
conducted to determine the rate of corrosion in the aircraft cargo frame material using
the weight loss method. The research process was carried out by immersing the
specimens in seawater as a corrosive environment in the cargo, with an immersion
time of 168 hours, 336 hours and 504 hours at room temperature (300 K) and ice
temperature (255 K). The results showed the largest corrosion rate occurred at 504
hours immersion time, ie 0.05817 mg/cm2hours at room temperature and 0.09272
mg/cm2hours at ice temperature. Then the surface morphology of the specimens was
analyzed before and after the immersion using SEM-EDX (Scanning Electron
Microscopy-Energy Dispersive X-ray). The results of SEM-EDX showed a change in
surface morphology as well as the decrease of the specimens in the content of
aluminum element 11.99% at room temperature and 17.79% at ice temperature.

Keywords: Aluminum alloy 7075-T6, cargo frame, corrosion rate, weight loss method.

v
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN i
HALAMAN PERNYATAAN ii
PENGHARGAAN iii
ABSTRAK iv
ABSTRACT v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR TABEL x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 1
1.2 RUMUSAN MASALAH 3
1.3 TUJUAN 3
1.4 RUANG LINGKUP DAN BATASAN MASALAH 3
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ALUMINIUM 5
2.1.1 Paduan Aluminium 7
2.1.2 Paduan Aluminium 7075-T6 9
2.2 KOROSI 13
2.2.1 Pengertian Korosi 13
2.2.2 Tipe Korosi 13
2.2.3 Faktor Penyebab Korosi 18
2.2.4 Proses Terjadi Korosi 19
2.2.5 Korosi pada Aluminium 21
2.3 METODE KEHILANGAN MASSA 23
2.4 SCANNING ELECTRON MICROSCOPE-ENERGY
DISPERSIVE X-RAY (SEM-EDX) 24
2.4.1 Pengertian SEM 24
2.4.2 Komponen SEM 24
2.4.3 Prinsip Kerja 25

vi
BAB III METODOLOGI
3.1 DIAGRAM ALIR 28
3.2 ALAT DAN BAHAN 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 PENDAHULUAN 38
4.2 ANALISIS LAJU KOROSI PADA PERENDAMAN SUHU RUANG 38
4.3 ANALISIS LAJU KOROSI PADA PERENDAMAN SUHU ES 40
4.4 ANALISIS MORFOLOGI PERMUKAAN MENGGUNAKAN
SEM-EDX 44
4.4.1 Hasil SEM-EDX Tanpa Perendaman Air Laut 45
4.4.2 Hasil SEM-EDX Setelah Direndam Air Laut selama 504 jam pada
Suhu Ruang (300 K) 46
4.4.3 Hasil SEM-EDX Setelah Direndam Air Laut selama 504 jam pada
Suhu Es (255 K) 48
BAB V PENUTUP
5.1 KESIMPULAN 50
5.2 SARAN 51
DAFTAR PUSTAKA 52

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Aircraft fuselage section 12


Gambar 2.2 Cargo stucture 12
Gambar 2.3 Skema korosi merata 14
Gambar 2.4 Korosi galvanik 15
Gambar 2.5 Crevice corrosion pada pesawat 15
Gambar 2.6 Skema korosi sumuran 16
Gambar 2.7 Skema intergranular corrosion 17
Gambar 2.8 Skema korosi erosi 18
Gambar 2.9 Diagram pourbaix aluminium 22
Gambar 2.10 Komponen utama SEM 25
Gambar 2.11 Interaksi berkas elektron da spesimen 26
Gambar 2.12 Skema dasar SEM 27
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 28
Gambar 3.2 (a) Proses pengamplasan dengan grid 80 (b) logam uji setelah
dihaluskan dengan scotch brite 29
Gambar 3.3 Perendaman logam uji dengan alkaline pada 313 K 30
Gambar 3.4 Proses deoxidizing pada suhu ruang 30
Gambar 3.5 Proses pembilasan logam uji dengan aquades 31
Gambar 3.6 Logam uji direndam pada suhu ruang 31
Gambar 3.7 Proses perendaman logam uji di dalam freezer 32
Gambar 3.8 (a) Pneumatic grinder (b) hot plate dan temperature regulator
device 33
Gambar 3.9 (a) Gelas ukur 200 ml (b) timbangan digital ketelitian 0,001 g 33
Gambar 3.10 Saw machine di workshop PT. GMF Aeroasia 34
Gambar 3.11 (a) Amplas grid 80 (b) amplas grid 400 (c) scotch brite 34
Gambar 3.12 Freezer aqua japan 160W 35
Gambar 3.13 SEM-EDX milik laboratorium quality control PT. Krakatau
Nippon Steel Synergi 35
Gambar 3.14 (a) Logam uji (b) araldite 36
Gambar 3.15 (a) Air laut (b) aquades 36
Gambar 3.16 (a) Deoxidizer dan (b) phenolphthalein 37

viii
Gambar 4.1 Grafik hubungan antara kehilangan massa dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 300 K 39
Gambar 4.2 Grafik hubungan antara laju korosi dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 300 K 40
Gambar 4.3 Grafik hubungan antara kehilangan massa dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 255 K 41
Gambar 4.4 Grafik hubungan antara laju korosi dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 255 K 42
Gambar 4.5 Grafik perbandingan antara laju korosi dengan waktu perendaman
pada kedua variasi suhu yaitu 300 K dan 255 K 43
Gambar 4.6 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 tanpa perendaman
air laut 45
Gambar 4.7 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 tanpa perendaman
air laut 45
Gambar 4.8 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 yang direndam
air laut selama 504 jam pada suhu 300 K 46
Gambar 4.9 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 yang direndam
air laut selama 504 jam pada suhu 300 K 47
Gambar 4.10 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 yang direndam
air laut selama 504 jam pada suhu 255 K 48
Gambar 4.11 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 yang direndam
air laut selama 504 jam pada suhu 255 K 49

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sifat-sifat fisik aluminium 6


Tabel 2.2 Sifat-sifat mekanis aluminium 7
Tabel 2.3 Komposisi kimia paduan aluminium 7075 10
Tabel 2.4 Sifat-sifat fisik paduan aluminium 7075 10
Tabel 2.5 Sifat-sifat mekanis paduan aluminium 7075 11
Tabel 2.6 Sifat-sifat termal paduan aluminium 7075 11
Tabel 4.1 Hasil perhitungan laju korosi Al 7075-T6 yang direndam selama
168 jam, 336 jam, dan 504 jam pada suhu 300 K 39
Tabel 4.2 Hasil perhitungan laju korosi Al 7075-T6 yang direndam selama
168 jam, 336 jam, dan 504 jam pada suhu 255 K 41
Tabel 4.3 Penampakan logam uji setelah proses perendaman selama 168 jam,
336 jam dan 504 jam pada suhu es dan suhu ruang 44
Tabel 4.4 Komposisi unsur dan atom Al 7075-T6 tanpa perendaman air laut 46
Tabel 4.5 Komposisi unsur dan atom Al 7075-T6 dengan perendaman air laut
selama 504 jam pada suhu 300 K 47
Tabel 4.6 Komposisi unsur dan atom Al 7075-T6 dengan perendaman air laut
selama 504 jam pada suhu 255 K 49

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada industri penerbangan pesawat komersial, paduan aluminium digunakan


hampir 80% dari keseluruhan penggunaan material struktur pesawat terbang. Material
aluminium disini tentu berbeda dengan aluminium yang ditemui pada kehidupan
sehari-hari pada peralatan dapur maupun dekorasi. Aluminium untuk struktur pesawat
terbang dipadu dengan beberapa bahan campuran seperti tembaga, magnesium, seng,
kromium dan mangan, yang dapat meningkatkan kekuatan, kekakuan serta
ketangguhanya.
Awalnya paduan aluminium dikembangkan dengan tujuan mendapatkan material
yang kuat dan ringan. Namun, seiring dengan berkembangnya kebutuhan struktur
pesawat terbang komersial dengan ukuran yang semakin besar, material yang
dibutuhkan tidak hanya kuat dan ringan saja. Dewasa ini paduan aluminium
dikembangkan untuk mendapatkan material yang kuat, ringan, usia pakai yang lama,
biaya produksi rendah, toleransi kegagalan tinggi, dan ketahanan korosi yang baik
(Djatmiko & Budiarto, 2011).
Selama perang dunia II, paduan aluminium dengan kekuatan tinggi diperkenalkan,
paduan ini disebut aluminium 7075-T6 yang merupakan paduan aluminium, seng,
magnesium, dan tembaga. Karena kekuatannya yang tinggi, paduan ini banyak dipakai
pada struktur pesawat tempur saat itu. Paduan Aluminium 7075-T6 merupakan
material yang banyak digunakan pada industri pesawat terbang karena memiliki
beberapa keunggulan yaitu aluminium merupakan logam ringan, sifat mampu mesin
yang (machinability) baik, ketahanan terhadap korosi baik dan sifat mampu cor

1
(castability) baik serta logam non magnetik. Aluminium juga memiliki keuletan tinggi,
mudah dibentuk dan mudah disambung (Budiyarti & Ilman, 2018).
Paduan aluminium 7075 ini banyak diaplikasikan pada pembuatan komponen
pesawat terbang seperti wing panel, tail area (stabilizer), frame, stringer dan bagian-
bagian lain yang membutuhkan kekuatan yang tinggi. Frame merupakan salah satu
primary structure pada pesawat yaitu struktur yang mengangkut seluruh beban
pesawat baik saat terbang, di darat maupun beban tekanan, yang kerusakannya dapat
membahayakan keselamatan pesawat. Oleh karena itu pada primary structure pesawat
membutuhkan kekuatan yang tinggi untuk materialnya.
Pengoperasian pesawat terbang yang berpindah dari daerah yang satu ke daerah
yang lain dengan perubahan perbedaan suhu maupun cuaca yang tajam baik di daratan
maupun di udara akibat ketinggian pesawat terhadap permukaan laut dan bumi dapat
menimbulkan korosi pada material struktur pesawat (Sihono & Sukahir, 2009).
Aluminium memiliki ketahanan yang baik terhadap korosi, kendati demikian
aluminium tetap akan mengalami korosi jika berada di lingkungan korosif.
Lingkungan sekitar material struktur pesawat berpengaruh terhadap terjadinya
korosi pada material tersebut. Misalnya pada struktur frame kargo pesawat, dimana
kargo merupakan ruangan untuk mengangkut segala barang-barang penumpang
seperti tas, koper atau peralatan lainnya bahkan makanan-makanan laut beku. Hal ini
dapat mengakibatkan korosi pada struktur akibat dari air laut atau es yang mencair
berasal dari makanan laut beku tadi. Air laut termasuk media korosif karena
mengandung klorida yang cukup tinggi dan mikrobakteri hidup di laut (Arwati &
Izzati, 2015).
Terjadinya korosi pada frame kargo ini sering ditemui pada pesawat B737-800
berdasarkan observasi yang ditemui di lapangan, semakin parah tingkat korosi yang
terjadi maka akan mempengaruhi airworthiness dari pesawat tersebut. Airworthiness
artinya kelaikan terbang suatu pesawat dimana kondisi pesawat aman dan laik untuk
terbang. Jika airworthiness suatu pesawat terganggu maka pesawat berada pada
kondisi tidak aman untuk terbang atau dapat mengakibatkan kecelakaan atau hal-hal
yang merugikan bagi pesawat dan penumpang. Di dalam dunia perawatan pesawat
terbang, korosi dijadikan sebagai salah satu fokus perhatian yang khusus karena dapat
mempengaruhi airworthiness dari pesawat, dan sering terjadi pada struktur, komponen
maupun skin pada pesawat terbang.

2
1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
yaitu:
1. Belum diketahui efek air laut dan adanya perubahan suhu terhadap korosi yang
rentan terjadi pada salah satu primary structure pesawat B737-800 yaitu frame
pada kargo, dimana jika korosi ini sangat parah maka dapat mempengaruhi
airworthiness dari pesawat tersebut.
2. Adanya perubahan bentuk struktur permukaan material frame kargo pesawat
B737-800 yang ditemukan setelah terkorosi.

1.3 TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah yang dijabarkan di atas, maka tujuan dari


penelitian ini antara lain:
1. Mengetahui laju korosi logam paduan aluminium 7075-T6 pada frame kargo
pesawat B737-800 menggunakan metode kehilangan massa dengan variasi
waktu perendaman di dalam air laut selama 168 jam, 336 jam dan 504 jam pada
suhu ruang (300 K) dan suhu es (255 K).
2. Menganalisis morfologi permukaan logam paduan aluminium 7075-T6
sebelum dan setelah terjadinya korosi akibat perendaman menggunakan SEM-
EDX (Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-ray).

1.4 RUANG LINGKUP DAN BATASAN MASALAH

Untuk menentukan arah penelitian yang lebih baik dan jelas, maka perlu
ditentukan ruang lingkup dan batasan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Logam uji yang digunakan adalah paduan aluminium 7075-T6 yang digunakan
pada industri pesawat terbang khususnya B737-800, dengan ukuran panjang 30
mm, lebar 20 mm, dan tebal 6 mm.
2. Permukaan logam uji yang direndam adalah 30 mm x 20 mm saja, sisa seluruh
permukaan lainnya dilapisi oleh araldite agar tidak bereaksi dengan air laut.

3
3. Larutan yang digunakan sebagai media lingkungan korosi adalah air laut.
4. Proses perendaman dengan variasi waktu 168 jam, 336 jam dan 504 jam dan variasi
temperatur pada proses perendaman yaitu pada suhu ruang (300 K) dan suhu es
(255 K).
5. Analisis morfologi permukaan menggunakan SEM-EDX (Scanning Electron
Microscopy-Energy Disperssive X-Ray).

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan tugas akhir ini tersusun dari beberapa bab yang saling
terhubung untuk memudahkan dalam penyajian kerangka penelitian dan alur
pembahasan. Sistematika penulisan adalah sebagai berikut:
a) BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, ruang
lingkup dan batasan masalah penelitian dan sistematika penulisan.
b) BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tentang definisi, perhitungan, teori-teori dasar dan khusus,
yang digunakan dalam tugas akhir ini.
c) BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang tempat penelitian, alur penelitian, metode
pengambilan data dan teknik analisis data.
d) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan tentang penyajian data penelitian, pengolahan data yang
terkumpul, serta hasil dari penelitian.
e) BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan yg diperoleh dari penelitian yang telah
dilakukan, serta saran agar tercapai penelitian yang lebih baik lagi selanjutnya.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ALUMINIUM

Aluminium merupakan logam berwarna putih keperakan yang lunak, di temukan


oleh Sir Humpery Davy dalam tahun 1809 sebagai suatu unsur dan pertama kali di
reduksi sebagai logam oleh H. C. Oersted tahun 1825. Aluminium adalah logam yang
paling banyak terdapat di kerak bumi dan unsur ketiga terbanyak setelah oksigen dan
silikon. Aluminium terdapat di kerak bumi sebanyak kira-kira 8,07% hingga 8,23%
dari seluruh massa padat dari kerak bumi, dengan produksi tahunan dunia sekitar 30
juta ton pertahun dalam bentuk bauksit dan bebatuan lain (corundum, gibbsite,
boehmite, diaspore dan lain-lain). Aluminium murni susah ditemukan di alam karena
aluminium merupakan logam yang cukup reaktif. Aluminium memiliki sifat-sifat
penting yaitu:
1) Berat jenisnya ringan, hanya 2,7 gr/cm3,
2) Tahan korosi
3) Penghantar listrik dan panas yang baik
4) Mudah di fabrikasi/ditempa
5) Kekuatannya rendah tetapi pemaduan kekuatannya bisa ditingkatkan.
6) Kekuatan mekanik meningkat dengan penambahan Cu, Mg, Si, Mn, Zn, dan Ni.
7) Sifat elastisnya yang sangat rendah (Eldina, 2016).
Aluminium adalah logam yang sangat aktif karena jika berada di lingkungan yang
mengandung oksigen, logam ini bereaksi untuk membentuk lapisan tipis oksida
transparan diseluruh permukaannya yang terbuka. Selaput ini mengendalikan laju
korosi dan melindungi logam dibawahnya. Oleh karena itu, komponen-komponen
yang terbuat dari aluminium dan paduan-paduaanya biasanya memiliki umur yang

5
panjang. Jika selaput ini rusak dan tidak dapat dipulihkan lagi, korosi logam akan
terjadi dengan cepat (Trethewey & Chamberlain, 1991).
Ketahanan korosi yang sangat baik oleh aluminium disebabkan oleh adanya
lapisan oksida tipis yang menempel sangat kuat dipermukaannya (Al2O3). Lapisan
Al2O3 stabil pada lingkungan pH 4-9 sehingga lapisan tersebut dapat melindungi
logam bagian dalam dari serangan korosi lanjutan, namun aluminium dapat juga
terkorosi dalam lingkungan yang agresif yaitu di luar kisaran pH tersebut terutama
suasana asam maupun basa (Siregar, 2010).
Aluminium bersifat non ferromagnetik, properti yang penting dalam industri
listrik dan elektronik, selain itu sifat lain dari aluminium adalah nonpyrophoric, yang
penting dalam aplikasi yang melibatkan penanganan atau pemaparan bahan yang
mudah terbakar atau meledak. Aluminium juga tidak beracun dan secara rutin
digunakan dalam wadah untuk makanan dan minuman, memiliki penampilan yang
menarik dalam sentuhan alami, yang bisa lembut dan berkilau.
Berikut adalah sifat-sifat fisik dan mekanik aluminium murni yang di tunjukkan
pada Tabel 2.1. dan Tabel 2.2. Ketahanan korosi berubah menurut kemurnian
aluminium, pada umumnya untuk kemurnian 99,0% atau di atasnya dapat di
pergunakan di udara dan tahan dalam waktu bertahun-tahun. Hantaran listrik
aluminium kira-kira 65% dari hantaran listrik tembaga, tetapi masa jenisnya kira-kira
sepertiganya sehingga memungkinkan untuk memperluas penampangnya.

Tabel 2.1 Sifat-sifat fisik aluminium


(Calister Jr. & Retwish, 2013)

Sifat-sifat Aluminium (Al)


Simbol Al
Nomor Atom 13
Massa Atom (sma) 26.98
Massa Jenis (g/cm3) 2.71
Struktur Kristal FCC
Valensi 3+
Titik Cair (ºC) 660.4

Catatan: fcc (face centered cubic)=kubus berpusat muka

6
Tabel 2.2 Sifat-sifat mekanis aluminium
(Calister Jr. & Retwish, 2013)
Sifat – Sifat Kemurnian Al
Kekuatan Tarik (MPa/Ksi) 90/13
Kekuatan Mulur (MPa/Ksi) 35/5
Perpanjangan, % EL [in 50 mm (2 in)] 40

2.1.1 Paduan Aluminium


Paduan aluminium diklasifikasikan dalam berbagai standar oleh berbagai negara
di dunia. Standar Aluminum Association (AA) di Amerika menggunakan penandaan
dengan empat angka sebagai berikut (Surdia & Saito, 1999):
a. 1xxx adalah Al Murni
b. 2xxx adalah Al-Cu
c. 3xxx adalah Al-Mn
d. 4xxx adalah Al-Si
e. 5xxx adalah Al-Mg
f. 6xxx adalah Al-Mg-Si
g. 7xxx adalah Al-Zn
Sebagai contoh paduan Al-Cu dinyatakan dengan angka 2xxx atau 2000, angka
pada tempat kedua menyatakan modifikasi paduan. Jika angka kedua dalam penandaan
ini menunjukan nol, hal ini menyatakan paduan yang orisinil. Urutan angka 1 sampai
9 digunakan untuk menunjukan modifikasi dari paduan orisinil, untuk paduan
percobaan diberi penandaan awalan X. Dalam paduan aluminium perubahan yang
berarti dari material disebabkan perlakuan panas, seperti 7075-T6. Berikut beberapa
jenis paduan aluminium (Hartawan, 2018):
a. Paduan Al-Cu dan Al-Cu-Mg (seri 2000)
Mengandung 4% Cu dan 0.5% Mg dan paduan ini dinamakan duralumin. Salah
satu duralumin adalah paduan 2017, komposisi standarnya adalah aluminium
dengan kandungan 4% Cu, 0.5% Mg, 0.5% Mn. Paduan yang ditingkatkan
magnesiumnya dari komposisi standar, yaitu aluminium dengan kandungan 4.5%
Cu, 1.5% Mg, 0.5% Mn yang disebut paduan 2024. Paduan yang mengandung Cu
mempunyai ketahanan korosi yang tidak baik, jadi apabila ketahanan korosi

7
diperlukan permukaannya dilapisi dengan Al murni atau paduan Al yang tahan
korosi, material yang telah dilapisi tersebut disebut Al clad.
b. Paduan Al-Mn (seri 3000)
Mn (mangan) adalah unsur yang memperkuat Al tanpa mengurangi ketahanan
korosi, dan digunakan untuk membuat paduan yang tahan korosi. Paduan
aluminium dengan kandungan 1.2% Mn dan 1% Mg disebut paduan 3003 yang
dipergunakan sebagai paduan tahan korosi.
c. Paduan Al-Si (seri 4000)
Paduan Al-Si sangat baik kecairannya dan cocok untuk paduan coran. Paduan ini
mempunyai ketahanan korosi yang baik, sangat ringan, koefisien pemuaian yang
rendah dan sebagai penghantar panas dan listrik yang baik. Material ini biasa
dipakai untuk torak motor dan sebagai filler las (setelah dilakukan beberapa
perbaikan komposisi).
d. Paduan Al-Mg (seri 5000)
Mempunyai ketahanan korosi yang sangat baik, dengan kandungan 2–3% Mg
(magnesium) mempunyai sifat mudah ditempa, diroll dan diekstrusi. Paduan 5056
merupakan paduan yang paling kuat dalam seri ini. Paduan 5083 yang dianil
adalah paduan dengan 4.5% Mg, sifatnya kuat dan mudah dilas, digunakan
sebagai tangki LNG.
e. Paduan Al-Mg-Si (seri 6000)
Paduan ini mempunyai kekuatan yang kurang baik sebagai bahan tempaan
dibandingkan dengan paduan-paduan lainnya. Tetapi sangat liat, sangat baik
mampu bentuknya untuk penempaan, ekstrusi dan lain-lain. Salah satu paduan seri
6000 adalah 6063 yang banyak digunakan untuk rangka konstruksi.
f. Paduan Al-Zn (serie 7000)
Suatu paduan yang terdiri dari aluminium, 5.5% Zn, 2.5% Mn, 1.5% Cu, 0.3% Cr,
0.2% Mn ini dinamakan paduan 7075. Paduan ini mempunyai kekuatan tertinggi
diantara paduan-paduan lainnya. Penggunaan paduan ini kebanyakan untuk bahan
konstruksi pesawat terbang, selain itu banyak digunakan sebagai bahan
konstruksi.

8
Adapun paduan aluminium yang sering digunakan pada pesawat terbang adalah
(Chun-yung Niu, 1989):
 Aluminium 2024-T3, T42, T351, T81: Untuk tegangan tarik yang tinggi,
ketangguhan tinggi serta karakteristik perambatan retak yang baik. T42
memiliki kekuatan yang lebih rendah dari T3. Sedangkan T81 digunakan untuk
temperatur tinggi.
 Aluminium 2224-T3, 2324-T3: memiliki kekuatan 8% lebih dari 2024-T3,
ketangguhan dan ketahanan kelelahan lebih baik dari 2024-T3.
 Aluminium 7075-T6, T651, T7351: Memiliki kekuatan lebih tinggi dari 2024,
ketangguhan lebih rendah, digunakan untuk tegangan tarik yang tidak
memerlukan ketangguhan tinggi. Memiliki karakteristik korosi yang baik.
 Aluminium 7079-T6: Hampir sama dengan 7075, tetapi memiliki sifat
potongan melintang yang lebih baik (>3 in).
 Aluminium 7150-T6: 11% lebih kuat dari 7075-T6, karakteristik kelelahan dan
ketangguhan lebih baik dari 7075-T6.
 Aluminium 7178-T6, T651: Digunakan untuk beban tekan. Lebih kuat dari
7075, tapi tidak lebih tangguh.
 Aluminium-lithium: 10% lebih ringan dan kaku dari aluminum alloy
konvensional.
 PM aluminium: Lebih kuat, tangguh, tahan suhu tinggi serta tahan korosi dari
aluminum alloy konvensional (Chun-yung Niu, 1989).

2.1.2 Paduan Aluminium 7075-T6


Aluminum paduan seri 7xxx biasanya digunakan untuk industri pesawat terbang
karena menawarkan kompromi yang baik antara kekuatan, toleransi kerusakan
(demage tolerance) dan ketahanan korosi (Marlaud, Malki, Henon, Deschamps, &
Baroux, 2011). Aluminium seri 7xxx merupakan paduan Al-Zn dengan kadar Zn
sebesar 3-7% dan merupakan aluminium paduan yang sifat mekanisnya bisa
ditingkatkan melalui perlakuan panas (heat treatable).
Aplikasi aluminium seri 7xxx pada industri pesawat seperti pada fuselage (skin),
empennage (tail), dan wing upper skin (Polmear, 1995). Salah satu aluminium paduan
seri 7xxx adalah 7075. Aluminium paduan 7075 merupakan material yang digunakan
untuk pesawat karena selain ringan juga tahan terhadap korosi. Namun, logam tetap

9
akan mengalami korosi terlebih apabila berada pada lingkungan yang korosif seperti
lingkungan garam (air laut) atau pada lingkungan atmosfer (Callister, 2001) seperti
udara lembab atau hujan.
Berdasarkan American Standard Testing and Material (ASTM) B209,
Aluminium 7075 adalah paduan aluminium seri 7000 yang penambahan paduan utama
nya adalah seng & diformulasikan untuk pembentukan prima menjadi produk tempa.
Berikut adalah karakteristik Al 7075-T6 antara lain:
a) Spesifikasi
 Ketebalan Al 7075-T6 Sheet: 0.2 – 300 mm
 Panjang Al 7075-T6 Sheet: 500 – 10000 mm
 Lebar Al 7075-T6 Sheet: 500 – 2500 mm
 Tipe Al 7075-T6 Sheet: Hot Rolled (HR) Sheets, Cold Rolled (CR) Sheets
b) Komposisi Kimia

Tabel 2.3 Komposisi kimia paduan aluminium 7075


(ASTM B209, 1996)
Element Content (%)
Aluminum (Al) 90
Zinc (Zn) 5,6
Magnesium (Mg) 2,5
Copper (Cu) 1,6
Chromium (Cr) 0,23

c) Sifat-sifat fisik

Tabel 2.4 Sifat-sifat fisik paduan aluminium 7075


(ASTM B209, 1996)
Properties Metric Imperial
Density 2,8 g/cm3 0,101 lb/in3
Melting Point 483°C 900°F

d) Sifat-sifat Mekanis

10
Tabel 2.5 Sifat-sifat mekanis paduan aluminium 7075
(ASTM B209, 1996)
Properties Metric Imperial
Tensile strength 220 MPa 31909 psi
Yield strength 95 MPa 13779 psi
Shear strength 150 MPa 21756 psi
Fatigue strength 160 MPa 23206 psi
Elastic modulus 70-80 GPa 10153-11603 ksi
Poisson’s ratio 0.33 0.33
Elongation at break 17% 17%
Hardness 60 60

f) Sifat-sifat Termal

Tabel 2.6 Sifat-sifat termal paduan aluminium 7075


(ASTM B209, 1996)
Conditions
Properties
T (°C) Treatment
Thermal Expansion 23,2 (10-6)/ °C 20-100 -
Thermal 130 W/mK 25 T6
Conductivity

Aluminium 7075 temper 6 ini memiliki ultimate tensile strength mencapai 572
MPa, yield strength sekitar 503 MPa dan failure elongation 11% (ASM International
, 1990). Temperatur T6 biasanya dicapai dengan homogenisasi gips 7075 pada 450°C
selama beberapa jam, quenching dan kemudian aging pada 120°C selama 24 jam
sehingga menghasilkan kekuatan puncak dari paduan Al 7075. Karena rasio kekuatan
terhadap berat yang tinggi, Al 7075 digunakan untuk bagian struktural yang sangat
tertekan, seperti pada perlengkapan aerospace, roda gigi dan poros, bagian sekering,
poros dan roda meter, bagian rudal, roda gigi cacing, kunci, dan peralatan serta
komponen pertahanan. Pada pesawat terbang B737-800 Paduan Aluminium 7075-T6
ini digunakan pada beberapa struktur yaitu tail area (stabilizer), wing panel, dan
beberapa primary stucture pada pesawat ini seperti frame dan stringer. Frame
melingkar di seluruh bagian pesawat termasuk pada kompartemen kargo karena
merupakan bagian dari badan pesawat.

11
Gambar 2.1 Aircraft fuselage section
(Xianfei, 2017)

Gambar di atas merupakan bentuk struktur pada fuselage pesawat dengan


section yang menunjukkan bahwa frame merupakan kerangka utama pada pesawat.
Warna oranye dengan keterangan luggage adalah kompartemen kargo.

Gambar 2.2 Cargo structure


(Xianfei, 2017)
12
2.2 KOROSI

2.2.1 Pengertian Korosi


Korosi adalah proses degradasi material dan hilangnya kualitas material karena
pengaruh reaksi kimia dalam proses elektrokimia dengan lingkungan yang korosif
(Arwati, Izzati, & Arifin, 2016). Korosi merupakan proses terjadinya penurunan mutu
material akibat reaksi kimia dengan lingkungannya (Fontana, 1987). Korosi bisa
dikatakan kerusakan material karena bukan murni mekanik. Bisa dilihat logam-logam
yang dibiarkan begitu saja di udara terbuka dapat mengalami korosi karena adanya
reaksi antara logam dengan lingkungannya. Oleh karenanya ada tiga aspek dari korosi
yaitu: material, reaksi dan lingkungan (Gapsari, 2017). Bila dilihat dari interaksi yang
terjadi, korosi adalah proses transfer elektron dari logam ke lingkungannya. Logam
bertindak sebagai sel yang memberikan elektron (anoda) dan lingkungan bertindak
sebagai penerima elektron (katoda). Sedangkan penurunan mutu yang diakibatkan
interaksi secara fisik bukan disebut korosi, namun di sebut sebagai erosi dan keausan.
Dengan bereaksi ini sebagian logam akan hilang dan akan kembali menjadi
senyawa lebih stabil dan kembali menuju bentuknya di alam, atau bisa dianggap suatu
peristiwa kembalinya logam menuju bentuknya sebagaimana terdapat di alam. Dan ini
merupakan kebalikan dari extractive metallurgy, yang memurnikan logam dari
senyawanya. Dalam hal ini korosi mengakibatkan hilangnya hasil dari usaha manusia
dalam memurnikan logam (Fellicia & Mughni, 2007).

2.2.2 Tipe Korosi


Klasifikasi korosi umumnya didasarkan pada penampilan yang dapat dilihat atau
diamati dari permukaan yang berkarat secara visual. Berdasarkan bentuk kerusakan
permukaan yang ditimbulkannya, korosi dapat dibedakan sebagai berikut:
a) Korosi Merata (Uniform Corrosion)

13
Gambar 2.3 Skema korosi merata
(Popov, 2015)

Korosi merata atau dikenal juga dengan korosi uniform merupakan tipe korosi
paling umum dan merupakan bentuk kerusakan korosi paling besar dalam skala berat.
Korosi uniform menunjukkan rusaknya seluruh atau sebagian lapisan pelindung logam
sehingga ketebalan logam secara merata akan berkurang. Artinya korosi ini
menunjukkan pengurangan tingkat ketebalan permukaan bahan yang terkorosi relatif
sama. Korosi tipe ini dapat disebabkan oleh proses secara kimia atau secara
elektrokimia pada permukaan yang luas.
Korosi merata adalah korosi yang terjadi pada permukaan material akibat bereaksi
dengan oksigen. Biasanya korosi merata ini terjadi pada material yang memiliki
ukuran butir yang halus dan homogenitas yang tinggi. Bahan yang dapat menyebabkan
terjadinya korosi tipe ini adalah cairan atau larutan asam kuat maupun alkali panas.
Asam klorida dan asam fluorida merupakan lingkungan yang perlu dihindari bahan
logam khususnya baja tahan karat apalagi jika dikombinasikan dengan temperatur
serta konsentrasi yang cukup tinggi. Korosi uniform ini umumnya dikontrol dengan
cara pemilihan bahan yang sesuai untuk lingkungannya, pelapisan pelindung,
perlindungan katodik dan penghambatan korosi.
b) Korosi Galvanik
Korosi galvanik atau dikenal juga dengan istilah dissimilar metal corrosion pada
pesawat, terjadi akibat perbedaan potensial yang timbul bila dua logam yang berbeda
saling berhubungan karena berada dalam cairan elektrolit yang sama. Akibat
perbedaan potensial, elektron akan mengalir antara kedua logam tersebut.

14
Gambar 2.4 Korosi galvanik
(Leioraianta, 2010)

Korosi galvanik terjadi karena proses elektrokimia antara dua macam logam yang
berbeda potensial dihubungkan langsung di dalam elektrolit sama. Pada kondisi ini
elektron mengalir dari logam kurang mulia (anodik) menuju logam yang lebih mulia
(katodik), akibatnya logam yang kurang mulia berubah menjadi ion-ion positif karena
kehilangan elektron. Ion-ion positif logam akan bereaksi dengan ion negatif di dalam
elektrolit menjadi garam logam. Karena peristiwa tersebut, permukaan anoda
kehilangan logamnya sehingga terbentuklah serangan karat permukaan.
c) Korosi Celah (Crevice Corrosion)
Korosi celah merupakan korosi lokal pada tempat/bagian yang tertutup karena
deposit atau terkena agen krosif. Korosi celah dikenal juga dengan istilah korosi
kontak karena terjadi pada wilayah kontak antara logam dengan logam maupun logam
dengan bahan lain. Logam dan material sering menimbulkan korosi celah. Aluminium
juga mempunyai kecenderungan mengalami korosi celah karena pengaruh air laut,
yang disebabkan oksida film yang terbentuk mudah rusak karena klorida.

Gambar 2.5 Crevice corrosion pada pesawat


(James, 2017)
d) Korosi Sumuran (Pitting Corrosion)
15
Korosi sumuran adalah korosi lokal yang secara selektif menyerang bagian
permukaan logam yang selaput pelindungnya tergores atau retak akibat perlakuan
mekanik, mempunyai tonjolan akibat dislokasi atau slip yang disebabkan oleh
tegangan tarik yang dialami atau tersisa, mempunyai komposisi heterogen dengan
adanya inklusi, segresi atau presitasi. Korosi sumuran adalah korosi lokal yang terjadi
pada cacat mikroskopis pada permukaan logam. Lubang-lubang yang sering
ditemukan di bawah deposit permukaan yang disebabkan oleh akumulasi produk
korosi. Pada daerah cacat ini akan lebih anodik dibandingkan permukaan material
sehingga korosi akan menuju bagian dalam material.
Korosi sumuran dikenal juga dengan korosi lubang karena merupakan korosi lokal
berbentuk lubang-lubang kecil (pit) dengan kedalaman sebesar diameternya dan saling
berdekatan. Bentuk ini sering tertutup oleh produk korosi. Bila dihitung dalam
persentase kehilangan massa nya sangat kecil, tetapi akibat dari kerusakan ini cukup
besar. Pitting corrosion mungkin yang paling berbahaya dan ganas dari semua jenis
korosi lain. Pada pitting corrosion lubang kecil atau besar dan dalam atau dangkal akan
terbentuk di permukaan, pitting tersebut benar-benar menghancurkan logam.

Gambar 2.6 Skema korosi sumuran


(Popov, 2015)

e) Korosi Arus Liar


Korosi arus liar ialah merasuknya arus searah secara liar tidak disengaja pada suatu
konstruksi baja, yang kemudian meninggalkannnya kembali menuju sumber arus.
Pada titik dimana arus meninggalkan konstruksi, akan terjadi serangan karat yang

16
cukup serius sehingga dapat merusak konstruksi tersebut. Korosi jenis ini biasanya
dialami oleh tangki atau pipa yang tertanam di dalam tanah.
f) Korosi Tegangan
Korosi tegangan atau regangan adalah korosi yang di sebabkan adanya tegangan
tarik yang mengakibatkan terjadinya retak. Tegangan ini di sebabkan pada temperatur
dan deformasi yang berbeda. Berikut adalah gambaran retak serta bentuk
penjalarannya yang di akibatkan oleh korosi tegangan.
Korosi ini terjadi karena pemberian tarikan atau kompresi yang melebihi batas
ketentuannya. Kegagalan ini sering disebut Retak Karat Regangan (RKR). Sifat retak
jenis ini sangat spontan, regangan biasanya bersifat internal atau merupakan sisa hasil
pengerjaan seperti pengeringan, pengepresan dan lain-lain. Korosi ini bisa sangat
rumit dan melibatkan interaksi sejumlah faktor, termasuk temperatur, komposisi gas,
tekanan gas, komposisi logam, bentuk komponen, dan finishing permukaan. Ini
merupakan bentuk serangan yang tidak tampak tetapi sering menimbulkan akibat yang
dahsyat. Korosi tegangan dapat ditemukan dalam kondisi-kondisi di lingkungan air
yang bertekanan tinggi.
g) Korosi Batas Butir (Intergranular Corrosion)
Intergranular corrosion adalah jenis korosi yang terlokalisir dan biasanya
merupakan serangan terhadap butiran yang membentuk paduan dan logam. Korosi ini
terjadi bila daerah batas butir terserang akibat adanya endapan di dalamnya. Batas butir
sering menjadi tempat proses pengendapan dan pemisahan yang teramati pada banyak
paduan beberapa jenis logam.

Gambar 2.7 Skema intergranular corrosion


(James, 2017)

17
h) Korosi Erosi
Korosi erosi merupakan percepatan pada laju korosi disebabkan gerak yang relatif
antara cairan yang korosif dengan permukaan logam. Biasanya gerakan sangat cepat,
sehingga pengaruh abrasi dan mechanical wear juga terlihat di dalamnya. Bentuk
korosi erosi ini banyak ditemui pada sistem pemipaan antara lain bent, tees, blower
dan lain-lain. Korosi erosi adalah korosi yang di sebabkan oleh erosi yang mengikis
lapisan pelindung material, zat erosi itu dapat berupa fluida yang mengandung material
abrasive. Korosi tipe ini sering di temui pada pipa-pipa minyak.

Gambar 2.8 Skema korosi erosi


(Popov, 2015)

2.2.3 Faktor Penyebab Korosi


Faktor-faktor yang mempengaruhi korosi terkadang diinginkan untuk
melakukan perekayasaan diproses industri. Berikut ini adalah faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhi laju korosi suatu material (Jones, 1996):
a. Temperatur, kenaikan temperatur akan menyebabkan bertambahnya kecepatan
reaksi korosi. Hal ini terjadi karena makin tinggi suhu maka energi kinetik dari
partikel-partikel yang bereaksi akan meningkat sehingga melampaui besarnya
harga energi aktivasi dan akibatnya laju kecepatan reaksi (korosi) juga akan makin
cepat, begitu juga sebaliknya (Talbot, 2000).
b. Kecepatan alir fluida, atau kecepatan pengadukan laju korosi cenderung bertambah
jika laju atau kecepatan aliran fluida bertambah besar. Hal ini karena kontak antara
zat pereaksi dan logam akan semakin besar sehingga ion-ion logam akan makin

18
banyak yang lepas sehingga logam akan mengalami kerapuhan/korosi (Talbot,
2000).
c. Konsentrasi bahan korosif, hal ini berhubungan dengan pH atau keasaman dan
kebasaan suatu larutan. Larutan yang bersifat asam sangat korosif terhadap logam
dimana logam yang berada didalam media larutan asam akan lebih cepat terkorosi
karena karena merupakan reaksi anoda. Sedangkan larutan yang bersifat basa dapat
menyebabkan korosi pada reaksi katodanya karena reaksi katoda selalu serentak
dengan reaksi anoda (Talbot, 2000).
d. Oksigen, adanya oksigen yang terdapat di dalam udara dapat bersentuhan dengan
permukaan logam yang lembab. Sehingga kemungkinan menjadi korosi lebih
besar. Di dalam air (lingkungan terbuka), adanya oksigen menyebabkan korosi
(Talbot, 2000).
e. Waktu kontak, aksi inhibitor diharapkan dapat membuat ketahanan logam terhadap
korosi lebih besar. Dengan adanya penambahan inhibitor kedalam larutan, maka
akan menyebabkan laju reaksi menjadi lebih rendah, sehingga waktu kerja
inhibitor untuk melindungi logam menjadi lebih lama. Kemampuan inhibitor untuk
melindungi logam dari korosi akan hilang atau habis pada waktu tertentu, hal itu
dikarenakan semakin lama waktunya maka inhibitor akan semakin habis terserang
oleh larutan (Talbot, 2000).

2.2.4 Proses Terjadi Korosi


Proses korosi dapat melalui proses kimia maupun proses fisika serta kombinasi
dari keduanya (Suprihatin, 2016 ):
a) Proses Korosi Secara Kimia
Proses korosi secara kimia yang paling sering dan perlu untuk diketahui adalah
proses kimia yang melibatkan perpindahan elektron (elektroda terkorosi), katoda
(elektroda yang tidak terkorosi), penghantar (yang menghubungkan antara katoda
dan anoda) dan yang terakhir adalah elektrolit (lingkungan yang bisa
menghantarkan arus listrik seperti tanah, air laut, dan sebagainya). Bila salah satu
dari unsur tersebut tidak ada maka korosi tidak akan terjadi, misalnya secara teori
diruang hampa (vakum) tidak akan terjadi korosi.

19
b) Proses Korosi Secara Fisika
Proses korosi secara fisika terjadi karena abrasi (gesekan dengan benda padat),
adanya beban (ditarik atau ditekan), pengaruh kecepatan aliran atau lainnya yang
mempercepat terjadinya korosi. Korosi dapat terjadi pada bahan logam besi atau
bukan besi. Logam besi adalah suatu logam yang komponen utamanya adalah
besi, seperti besi cor, baja karbon atau 9 tahan karat (stainless steel) sedangkan
logam bukan besi contohnya adalah tembaga, perunggu atau yang lainnya. Semua
logam kecuali logam mulia pada dasarnya bisa berkarat, hanya saja prosesnya ada
yang cepat dan ada yang lambat.
Sebagai contoh, dari bahan yang sama, ditempatkan pada lingkungan yang
sama tetapi umur pakaiannya beda atau tergantung pada lapisan yang diberikan
terhadap logam tersebut. Telah kita ketahui bahwa di alam, kebanyakan logam
ditemukan tidak dalam keadaan murni atau dalam bentuk ikatan senyawa kimia
(gabungan) yang dikenal sebagai bijih. Semua logam kecuali emas, platinum dan
perak di alam antara lain berada dalam bentuk oksida, karbonat, sulfida, sulfatnya.
Bentuk-bentuk gabungan dari logam mewakili termodinamika mereka dalam
keadaan stabil (keadaan energi rendah).
Logam murni dihasilkan dari ekstraksi bijinya setelah memasoknya dengan
sejumlah besar energi. Logam dalam kondisi murni (tidak berikatan/bersenyawa)
memiliki tingkat energi yang lebih tinggi dan berada pada keadaan yang tidak
stabil. Ketidakstabilan ini menyebabkan kecenderungan alami logam-logam
tersebut untuk kembali ke keadaan energi rendah, yaitu, keadaan
gabungan/bersenyawa dengan dengan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan.
Kecenderungan untuk kembali ke kadaan stabil ini menjadi alasan utama
terjadinya korosi. Secara sederhana proses korosi dapat dituliskan sebagai berikut:
Baja  Karat
Agar proses perkaratan terjadi maka pada permukaan komponen utama dari
baja, yakni besi (Fe) mengalami sejumlah perubahan sederhana. Pertama, atom
besi kehilangan beberapa elektron dan menjadi ion bermuatan positif. Reaksinya
dapat dituliskan sebagai berikut:
Fe  Fe n + n elektron (2.1)
Keadaan ini memungkinkan terjadinya ikatan dengan kelompok lain dari atom
yang bermuatan negatif. Kita tahu bahwa agar karat baja basah dapat memberikan

20
varian oksida besi terdapat suatu bagian lain dari reaksi yang harus melibatkan air
(H2O) dan oksigen (O2) dengan persamaan seperti berikut ini.
O2  2H2O  4e-  4OH- (2.2)
Reaksi pertama yakni ion positif besi yang telah melepaskan elektronnya dapat
digabungkan dengan reaksi kedua yang membutuhkan elektron. Jika elektron
habis digunakan untuk reaksi maka gabungan kedua reaksi di atas dapat dituliskan
seperti di bawah ini:
2Fe  O2  2H2O  2Fe(OH)2 (2.3)
Dari persamaan reaksi di atas dapat dinyatakan bahwa besi jika bereaksi
dengan air yang mengandung oksigen terlarut akan menghasilkan besi hidroksida.
Oksigen larut cukup mudah dalam air dan karena itu biasanya akan ada kelebihan
oksigen yang akan bereaksi dengan hidroksida besi. Reaksi yang terjadi dapat
dilihat pada persamaan di bawah ini:
4Fe(OH)2  O2  2H2O  2Fe2O3.H2O (2.4)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa hidroksida besi bereaksi dengan
oksigen menghasilkan air dan hidrat dari oksida besi yang berwarna kecoklatan
dan kita kenal dengan karat besi.

2.2.5 Korosi pada Aluminium


Proses korosi pada aluminium adalah sebagai berikut (Sekunowo, Durowaye, &
Anozie, 2015):
a. Reaksi pada area anodik
Al → Al3+ + 3e- (2.5)
Reaksi pada daerah anodik melibatkan reaksi pada daerah katodik. Pada sistem (logam
aluminium dan air), logam aluminium merupakan area anodik dan air merupakan
elektrolit.
b. Reaksi katodik yang biasanya terjadi pada korosi aluminium adalah :
 Evolusi hidrogen
2H+ + 2e- → H2 (2.6)
 Reduksi oksigen pada larutan basa atau netral
O2 + 4H+ + 4e- → 4OH- (2.7)
 Reduksi oksigen pada larutan asam
O2 + 4H+ + 4e- → 2H2O (2.8)

21
Aluminium membentuk lapisan pasif (Al2O3) pada permukaannya. Persamaan
pembentukan lapisan pasif pada permukaan aluminium adalah sebagai berikut (Davis,
2001):
2Al + 3H2O → Al2O3 + 6H+ + 6e- (2.9)

Pada berbagai lingkungan, jika lapisan ini rusak misalnya karena tergores, maka
dengan seketika lapisan tersebut dapat diperbaiki kembali. Meskipun lapisan ini sangat
tipis (1 nm), namun lapisan ini sangat efektif dalam melindungi aluminium dari proses
korosi.

Gambar 2.9 Diagram pourbaix aluminium


(Sukiman, 2013)

Gambar 2.9 menunjukan bahwa aluminium dapat mengalami korosi pada


lingkungan asam dan dapat membentuk lapisan pasif pada pH 4 sampai dengan 8.
Adapun contoh reaksi kimia aluminium dengan larutan asam sulfat (H2S04) adalah
sebagai berikut:
2Al + 3H2SO4 → Al2(SO4)3 + 3H2O (2.10)

2.3 METODE KEHILANGAN MASSA

22
Metode kehilangan massa yaitu perhitungan laju korosi dengan mengukur
kehilangan massa akibat korosi yang terjadi. Metode ini menggunakan jangka waktu
penelitian hingga mendapatkan jumlah kehilangan akibat korosi yang terjadi. Metode
ini adalah mengukur massa awal dan akhir dari sampel uji setelah melakukan
pengujian, kekurangan massa dari pada massa awal merupakan nilai kehilangan massa
(Abu-Dalo, A.Othman, & Al-Rawashdeh, 2012).
Laju korosi adalah kecepatan rambatan atau kecepatan penurunan kualitas bahan
terhadap waktu. Laju korosi dapat di definisikan dalam berbagai macam, seperti
presentase kehilangan massa, 23 milyar gram per sentimeter persegi per hari dan gram
per inchi persegi per jam. Pengujian laju korosi dapat menggunakan metode kehilangan
massa (weight loss) dan metode elektrokimia (polarisasi potensiodinamik,
electrochemical impedance spectroscopy dan lain-lain. Metode kehilangan massa
merupakan metode pengukuran laju korosi yang paling banyak digunakan. Sampel
logam ditempatkan dalam larutan pengujian korosi dan dibiarkan terkorosi.
Sampel logam digunakan untuk mengetahui laju korosi melalui kehilangan massa
(Fontana, 1987). Sampel yang direndam dalam larutan pengujian korosi dapat
menggambarkan kerusakan korosi selama periode waktu dan hanya digunakan pada
kondisi peningkatan laju korosi dapat diukur. Bentuk dan ukuran sampel dapat
bervariasi sesuai persyaratan pengujian. Sebelum sampel diletakkan dalam larutan
pengujian korosi, maka produk korosi yang terbentuk harus dihilangkan terlebih
dahulu. Berdasarkan ASTM G31-72, untuk pengujian laju korosi dengan metode
kehilangan massa, volume larutan minimal yang digunakan 0,2-0,4 mm3 perluas
permukaan uji. Untuk menghitung besarnya laju korosi dari hasil kehilangan massa,
dapat menggunakan persamaan berikut (Abu-Dalo, A.Othman, & Al-Rawashdeh,
2012):

𝑚₁−𝑚₂
CR = (2.11)
𝐴.𝑡

dimana:
CR = Laju Korosi (mg/cm2 jam)
m1 = Massa Awal (mg)
m2 = Massa Akhir (mg)
A = Luas Permukaan Spesimen (cm2)

23
t = Waktu Perendaman (jam)

2.4 SCANNING ELECTRON MICROSCOPY-ENERGY DISPERSIVE X-RAY


(SEM-EDX)

2.4.1 Pengertian SEM


SEM (Scanning Electron Microscope) adalah salah satu jenis elektron
mikroskop yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk
permukaan dari material yang dianalisis. SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi dari
pada mikroskop optik, hal ini di sebabkan oleh panjang gelombang de Broglie yang
memiliki elektron lebih pendek daripada gelombang optik, karena makin kecil panjang
gelombang yang digunakan maka makin tinggi resolusi mikroskop. SEM dapat
digunakan untuk menganalisis bahan organik dan anorganik pada skala nanometer
(nm) sampai mikrometer (μm). Resolusi gambar yang dihasilkan berkisar 10 – 10.000
kali (Goldstein, et al., 2003).
SEM mempunyai depth of field yang besar, yang dapat memfokuskan jumlah
sampel yang lebih banyak pada satu waktu dan menghasilkan bayangan yang baik dari
sampel tiga dimensi. SEM juga menghasilkan bayangan dengan resolusi tinggi, yang
berarti mendekati bayangan yang dapat diuji dengan perbesaran tinggi. Kombinasi
perbesaranya yang lebih tinggi, resolusi yang lebih besar, dan komposisi serta
informasi kristallografi membuat SEM merupakan satu dari peralatan yang paling
banyak digunakan dalam penelitian, khususnya industri semiconductor elektron
memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada cahaya. Cahaya hanya mampu mencapai
200 nm sedangkan elektron bisa mencapai resolusi sampai 0,1–0,2 nm.

2.4.2 Komponen SEM


SEM adalah mikroskop elektron yang digunakan untuk studi langsung
permukaan benda padat dan memiliki keunggulan dibandingkan dengan mikroskop
optik. Komponen utama SEM yakni kolom elektron (electron column) dan control
console seperti yang terlihat pada gambar 2.10. Kolom elektron terdiri dari senapan
elektron dan dua atau lebih lensa elektron (lensa kondensor). Control console terdiri
dari layar tampilan tabung sinar katoda dan tombol serta keyboard komputer yang
mengontrol berkas elektron. Bagian dari senapan elektron adalah katoda, yaitu filamen

24
berbentuk V yang terbuat dari bahan tungsten atau lanthanum hexaboride (LaB6) dan
plat anoda. Senapan elektron berfungsi sebagai sumber untuk menghasilkan berkas
elektron yang digunakan untuk menganalisis bahan. Berkas elektron yang dihasilkan
oleh senapan elektron akan menyapu permukaan raster spesimen untuk mendapatkan
satu posisi analisis. Interaksi antara berkas elektron dan spesimen menghasilkan
beberapa jenis sinyal yaitu elektron sekunder (secondary electron), elektron
backscattered, sinar-X karakteristik, dan foton dari berbagai energi (Goldstein, et al.,
2003). Elektron sekunder (SE) dan elektron backscattered (BSE) adalah jenis detektor
yang terdapat dalam SEM.

Gambar 2.10 Komponen utama SEM


(Goldstein, et al., 2003)

2.4.3 Prinsip Kerja


Prinsip kerja dari SEM adalah dengan menggambarkan permukaan benda atau
material dengan berkas elektron yang dipantulkan dengan energi tinggi. Ketika berkas
elektron mengenai sampel, terjadi interaksi antara elektron dan atom-atom di
permukaan maupun di bawah permukaan sampel seperti yang terlihat pada gambar
2.11 di bawah ini.

25
Gambar 2.11 Interaksi berkas elektron dan spesimen
(Stokes, 2008)

Interaksi tersebut mengakibatkan sebagian besar berkas elektron keluar kembali


yang disebut elektron backscattered. Elektron backscattered terjadi karena tumbukan
antara elektron dengan inti atom. Sebagian kecil elektron terserap ke dalam bahan,
kemudian terpental ke luar permukaan bahan dan menghasilkan elektron sekunder
yang memiliki energi rendah. Elektron jenis ini dapat dimanfaatkan untuk membentuk
gambar morfologi permukaan bahan dengan bantuan detektor.
Elektron sekunder akan masuk ke dalam detektor dan diubah menjadi sinyal
listrik yang menghasilkan gambar pada layar monitor. Sinyal keluaran dari detektor
ini berpengaruh terhadap intensitas cahaya di dalam tabung monitor, karena jumlah
cahaya yang dipancarkan oleh monitor sebanding dengan jumlah elektron yang
berinteraksi dengan spesimen. Apabila jumlah elektron yang dipancarkan semakin
banyak maka gambar yang dihasilkan semakin jelas dan sebaliknya (Goldstein, et al.,
2003). Detektor yang terdapat dalam SEM hanya akan mendeteksi berkas elektron
yang memiliki intensitas tertinggi (Amelinckx, 1997). Hasil yang ditampilkan berupa
tofografi permukaan sampel (Goldstein, et al., 2003).
SEM yang dilengkapi dengan Energy Dispersive X-Ray (EDX) dapat
menghasilkan data berupa grafik pancaran sinar X. Pancaran sinar X yang dihasilkan
selama penembakan elektron akan diukur oleh EDX pada SEM untuk menentukan
komposisi kimia suatu material. Analisis EDX menghasilkan data terkait komposisi

26
unsur-unsur yang terdapat dalam sampel. Selain itu, EDX juga dapat melakukan
elemental maping dengan memberikan warna yang berbeda dari masing-masing
elemen yang terdapat dalam bahan.

Gambar 2.12 Skema dasar SEM


(Stokes, 2008)

27
BAB III

METODOLOGI

3.1 DIAGRAM ALIR

Penelitian ini dilakukan di laboratorium PT. GMF Aeroasia dan PT. Krakatau
Nippon Steel Synergi, terdiri dari tahapan proses yang dibuat secara sistematis.
Mulai

Studi Literatur
Observasi Lapangan

Persiapan Logam Uji

Pengujian Laju Korosi dengan Metode


Kehilangan Massa

Adanya Korosi

Tidak
Ya

Pengambilan Data

Pengolahan Data

Pengujian Morfologi Permukaan dengan SEM

Analisis dan Pembahasan

Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

28
Pada proses penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yang digambarkan pada
diagram alir di atas antara lain:
1. Studi Literatur
Mencari dan mempelajari berbagai referensi yang mengacu dari berbagai sumber,
baik dari buku, Boeing 737-800 Aircraft Maintenance Manual, dan dari jurnal-
jurnal yang dijadikan referensi untuk memperoleh data dan teori-teori yang
dibutuhkan untuk mendukung dan sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan.
2. Observasi
Melakukan pengamatan terkait masalah yang akan diteliti secara langsung di
perusahaan perawatan pesawat PT. GMF Aeroasia untuk mengumpulkan data-data
dan memberikan gambaran pemahaman secara garis besar tentang korosi pada
material frame di kargo pesawat B737-800.
3. Persiapan Logam Uji
Mempersiapkan logam Aluminum Alloy 7075-T6 di potong dengan ukuran 70 mm
x 20 mm dengan tebal 6 mm. Kemudian diamplas dengan grid 80 (kasar) dan grid
400 (halus) kemudian dihaluskan dengan scotch brite. Setelah itu dilapisi araldite
untuk memberi batasan pada logam yang akan direndam dengan ukuran permukaan
30 mm x 20 mm agar media korosif tidak bereaksi pada permukaan lainnya,
kemudian ditimbang massa logam uji tersebut dan dicatat sebagai massa awal (m1).

(a) (b)
Gambar 3.2 (a) Proses pengamplasan dengan grid 80 (b) logam uji setelah
dihaluskan dengan scotch brite
4. Pembersihan Logam Uji

29
Proses pembersihan ini dilakukan untuk menghilangkan segala kotoran-kotoran
ataupun lapisan anti korosi yang ada pada permukaan logam uji. Proses ini disebut
juga dengan pickling. Proses pickling dimulai dari perendaman logam uji di dalam
solvent cleaning yaitu alkaline pada hot plate dengan suhu 313 K diatur oleh
temperature regulator device selama 10 menit mengacu pada Boeing Standard
BAC 5749.

Gambar 3.3 Perendaman logam uji dengan alkaline pada 313 K

Setelah itu logam uji dibilas dengan aquades, kemudian ditetesi phenolphthalein
yang berfungsi sebagai indikator dalam titrasi asam-basa untuk mengetahui apakah
permukaan logam uji tersebut masih mengandung alkaline atau tidak. Jika tidak,
dilanjutkan dengan perendaman deoxidizing selama 8 menit pada suhu ruang sesuai
dengan Boeing Standard BAC 5765. Setelah itu dibilas lagi dengan aquades.

Gambar 3.4 Proses deoxidizing pada suhu ruang

30
Gambar 3.5 Proses pembilasan logam uji dengan aquades

5. Persiapan Larutan Uji


Menyiapkan air laut yang berasal dari laut Tanjung Pinggir, Banten dengan
menuangkan air laut ke dalam wadah perendaman (gelas plastik) sebanyak 120 ml
mengacu pada ASTM G31-72.
6. Proses Perendaman
Melakukan proses perendaman Aluminum Alloy 7075-T6 dalam media air laut
yang telah disediakan dengan variasi suhu yaitu direndam di suhu ruang (300 K)
dan di suhu es/di dalam freezer (255 K) selama 168 jam, 336 jam dan 504 jam.

Gambar 3.6 Logam uji direndam pada suhu ruang

31
Gambar 3.7 Proses perendaman logam uji di dalam freezer

7. Tahap Pengambilan Data


Setelah selesai dilakukan proses perendaman logam uji pada variasi suhu dan
variasi waktu yang dilakukan, kemudian logam uji tersebut diangkat dan
dibersihkan dari korosi yang terbentuk dengan cara diamplas menggunakan
pneumatic grinder bagian yang terkorosi hingga korosi tersebut hilang, kemudian
dilakukan kembali tahap pembersihan logam uji (proses pickling) seperti tahap
sebelumnya. Setelah itu logam uji ditimbang kembali dan dicatat massa logam uji
setelah proses pengujian dilakukan dimana akan ditulis sebagai massa akhir (m2).
8. Tahap Pengolahan dan Analisis Data
Setelah didapatkan data berdasarkan proses pengujian sebelumnya, maka
dilakukan tahap pengolahan dan analisis data dengan cara melakukan perhitungan
laju korosi pada setiap logam uji dengan rumus yang mengacu pada persamaan
(2.11), serta menganalisis morfologi permukaan dan komposisi unsur kimia logam
uji dengan SEM-EDX. Pada proses pengamatan menggunakan SEM-EDX akan
diketahui penampakan morfologi permukaan pada logam uji sebelum korosi
(tidak direndam) dan setelah korosi. Selain itu dapat diketahui juga data berupa
persentase massa, atom yang terkandung pada logam uji tersebut, dan ada atau
tidaknya unsur kimia yang hilang/bertambah setelah terjadinya korosi. Dengan
diketahui berbagai data yang diperoleh dari SEM-EDX tersebut maka dapat
dianalisis morfologi dan komposisi unsur kimia pada permukaan logam Aluminum
Alloy 7075-T6.

32
3.2 ALAT DAN BAHAN

Beberapa alat dan bahan yang diperlukan untuk proses penelitian ini yaitu:
A. Alat:
 Pneumatic Grinder
 Hot Plate
 Temperature Regulator Device

(a) (b)
Gambar 3.8 (a) Pneumatic grinder (b) hot plate dan temperature regulator device

 Gelas Ukur 200 ml


 Timbangan Digital

(a) (b)
Gambar 3.9 (a) Gelas ukur 200 ml (b) timbangan digital ketelitian 0,001 g
33
 Saw Machine

Gambar 3.10 Saw machine di workshop PT. GMF Aeroasia

 Gunting
 Penggaris
 Termometer
 Spidol
 Masking Tape
 Amplas grid 80, 400
 Scotch brite

(a) (b) (c)


Gambar 3.11 (a) Amplas grid 80 (b) amplas grid 400 (c) scotch brite

34
 Wadah Perendaman Logam Uji
 Freezer Merek Aqua Japan 160W

Gambar 3.12 Freezer aqua japan 160W

 Alat uji SEM-EDX

Gambar 3.13 SEM-EDX milik laboratorium quality control PT. Krakatau Nippon
Steel Synergi
35
B. Bahan:
 Logam Paduan Al 7075-T6
 Araldite

(a) (b)
Gambar 3.14 (a) Logam uji dan (b) araldite

 Air Laut
 Aquades

(a) (b)
Gambar 3.15 (a) Air laut dan (b) aquades

36
 Deoxidizer
 Phenolphtalein

(a) (b)
Gambar 3.16 (a) Deoxidizer dan (b) phenolphthalein

37
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PENDAHULUAN

Bab ini akan menjelaskan tentang hasil analisis laju korosi logam Paduan
Aluminium 7075-T6 dengan ukuran 30 mm x 20 mm x 6 mm yang direndam dalam
media air laut selama 168 jam, 336 jam dan 504 jam. Pengujian ini dengan variasi suhu
perendaman yaitu suhu ruang (300 K) dan suhu es (255 K). Analisis laju korosi
menggunakan metode kehilangan massa dengan perhitungan laju korosi menggunakan
rumus pada persamaan (2.11) (Abu-Dalo, A.Othman, & Al-Rawashdeh, 2012). Dan
hasil analisis morfologi permukaan logam dan komposisi unsur kimia yang terkandung
pada logam uji ini menggunakan SEM-EDX.

4.2 ANALISIS LAJU KOROSI PADA PERENDAMAN SUHU RUANG (300K)

Setelah logam uji direndam dalam media air laut selama 168 jam, 336 jam dan
504 jam pada suhu ruang, lalu diangkat dan diamati korosi yang terbentuk pada
permukaan logam uji tersebut. Setelah itu dihilangkan korosi yang ada pada
permukaan tersebut menggunakan pneumatic grinder dengan amplas grid 80 dan 400,
lalu ditimbang massa akhir (m2). Kemudian dilakukan perhitungan laju korosi
menggunakan rumus pada persamaan (2.11), sehingga dapat diperoleh data seperti
tabel berikut:

38
Tabel 4.1 Hasil perhitungan laju korosi Al 7075-T6 yang direndam selama 168 jam,
336 jam dan 504 jam pada suhu 300 K

Waktu Rata-rata Laju


Massa Massa
perenda- Suhu Kehilangan kehilangan Korosi
awal akhir
man (K) Massa (mg) massa (mg/cm2
(jam) (mg) (mg)
(mg) jam)
26926,3 26866,6 59,7
168 27963,5 27908,4 55,1 54,667 0,05423
26298,1 26248,9 49,2
29455,1 29355,6 99,5
336 300 28985,5 28858,2 127,3 112,267 0,05568
29796,1 29686,1 110
29021,1 28835,9 185,2
504 27950,3 27788 162,3 175,933 0,05817
27760,9 27580,6 180,3

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa rata-rata kehilangan massa dari 3
sampel yang diuji pada setiap waktu perendaman di suhu ruang ini, nilai terbesarnya
mencapai 175,933 mg yaitu pada proses perendaman 504 jam. Hal ini membuktikan
bahwa tingkat korosi yang terjadi pada 504 jam lebih tinggi dibandingkan waktu
perendaman lainnya, sehingga banyak massa yang hilang dalam proses pembersihan
korosi tersebut. Laju korosi terbesar juga ditunjukkan pada 504 jam yaitu 0,05817
mg/cm2jam.

200
180 175.933
Kehilangan Massa (mg)

160
140
120
112.267
100
80
60 54.667
40
20
0
168 336 504
Waktu Perendaman (jam)

Gambar 4.1 Grafik hubungan antara kehilangan massa dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 300 K
39
0.05817

Laju Korosi (mg/cm2 jam)

0.05568

0.05423

168 336 504


Waktu Perendaman (jam)

Gambar 4.2 Grafik hubungan antara laju korosi dan waktu perendaman Al 7075-T6
pada suhu 300 K

Seperti yang diketahui dari data pada tabel 4.1, gambar 4.1 dan 4.2 bahwa
kehilangan massa dan laju korosi yang terjadi, berbanding lurus dengan waktu
perendaman. Jika semakin meningkat waktu perendamannya maka semakin
meningkat pula kehilangan massa dan laju korosi yang terjadi.

4.3 ANALISIS LAJU KOROSI PADA PERENDAMAN SUHU ES (255 K)

Setelah logam uji direndam dalam media air laut selama 168 jam, 336 jam dan
504 jam pada suhu es, lalu diangkat dan diamati korosi yang terbentuk pada
permukaan logam uji tersebut. Setelah itu dihilangkan korosi yang ada pada
permukaan tersebut menggunakan pneumatic gun dengan amplas grid 80 dan 400, lalu
ditimbang massa akhir (m2). Kemudian dilakukan perhitungan laju korosi
menggunakan rumus pada persamaan (2.11), sehingga dapat diperoleh data seperti
tabel berikut:

40
Tabel 4.2 Hasil perhitungan laju korosi pada Al 7075-T6 yang direndam selama 168
jam, 336 jam dan 504 jam pada suhu 255 K

Waktu Rata-rata Laju


Massa Massa
perenda- Suhu Kehilangan kehilangan Korosi
awal akhir
man (K) massa (mg) massa (mg/cm2
(jam) (mg) (mg)
(mg) jam)
24874,8 24790,2 84,6
168 27998,7 27926,3 72,4 84,467 0,08379
28862,9 28766,5 96,4
31708,9 31510,9 168
336 255 28755,0 28572,4 182,6 177,7 0,08814
29564,0 29381,5 182,5
29683,9 29419,6 264,3
504 28065,7 27780,8 284,9 280,4 0,09272
28564,3 28272,3 292

Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata kehilangan
massa dari 3 sampel yang diuji pada setiap waktu perendaman pada suhu es ini, nilai
terbesarnya mencapai 280,4 mg yaitu pada proses perendaman selama 504 jam. Hal
ini sama dengan yang terjadi pada proses perendaman di suhu ruang. Dan untuk laju
korosi terbesar pada suhu es ini mencapai hingga 0,09272 mg/cm2 jam.

300
Rata-rata Kehilangan Massa (mg)

250

200

150

100

50

0
168 336 504
Waktu Perendaman (jam)

Gambar 4.3 Grafik hubungan antara kehilangan massa dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 255 K

41
Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin lama proses perendaman setiap
sampel yang di uji maka semakin besar pula jumlah kehilangan massa nya. Rata-rata
kehilangan massa adalah kehilangan massa dari ketiga sampel yang direndam dalam
setiap waktu perendaman dibagi 3. Dapat dilihat rata-rata kehilangan massa pada
proses perendaman 168 jam yaitu sebesar 84,467 mg, dan untuk proses perendaman
336 jam adalah 177,7 mg, sedangkan untuk proses perendaman 504 jam mencapai
hingga 280,4 mg.

0.094

0.092
Laju Korosi (mg/cm2 jam)

0.09

0.088

0.086

0.084

0.082

0.08

0.078
168 336 504
Waktu Perendaman (jam)

Gambar 4.4 Grafik hubungan antara laju korosi dan waktu perendaman Al 7075-T6
pada suhu 255 K

Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa laju korosi Al 7075-T6 yang
direndam pada suhu es ini mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya
waktu perendaman yaitu dari 168 jam, 336 jam kemudian 504 jam. Laju korosi terkecil
pada perendaman suhu es ini adalah 0,08379 mg/cm2 jam, dimana lebih tinggi daripada
laju korosi terbesar pada suhu ruang ruang yang hanya mencapai 0,05817 mg/cm2 jam.
Sedangkan laju korosi terbesar pada suhu es ini hampir mencapai 0,1 yaitu sekitar
0,09272 mg/cm2 jam.

42
 Perbandingan laju korosi dengan waktu perendaman 168 jam, 336 jam dan 504
jam pada variasi suhu yaitu suhu ruang (300 K) dan suhu es (255 K) dapat dilihat
pada grafik berikut:

27°C -18°C
0.095
0.09272
0.09
0.08814
0.085
0.08379
Laju Korosi (mg/cm2 jam)

0.08

0.075

0.07

0.065

0.06
0.05817
0.055 0.05568
0.05423
0.05

0.045
168 336 504
Waktu Perendaman (jam)

Gambar 4.5 Grafik perbandingan antara laju korosi dengan waktu perendaman pada
kedua variasi suhu yaitu 300 K dan 255 K

Dari grafik di atas dapat disimpulkan bahwa laju korosi yang terjadi pada proses
perendaman di suhu es 255 K jauh lebih tinggi dibandingkan laju korosi yang terjadi
pada suhu ruang 300 K. Hal ini berlaku untuk setiap waktu perendaman, yaitu pada
168 jam laju korosi di suhu es mencapai 0,08379 mg/cm2 jam sedangkan di suhu ruang
hanya 0,05432 mg/cm2 jam, pada 336 jam laju korosi di suhu es mencapai 0,08814
mg/cm2 jam sedangkan di suhu ruang hanya 0,05568 mg/cm2 jam, dan pada 504 jam
laju korosi di suhu es mencapai hingga 0,09272 mg/cm2 jam sedangkan di suhu ruang
yaitu 0,05817 mg/cm2 jam. Kemudian juga diketahui bahwa laju korosi terbesar pada
suhu ruang (300 K) masih lebih rendah daripada laju korosi terkecil pada suhu es (255
K), hal ini membuktikan suhu dapat mempengaruhi besarnya suatu laju korosi. Dan
lamanya waktu perendaman berbanding lurus dengan laju korosi, semakin lama waktu
perendaman maka semakin besar laju korosi.

43
4.4 ANALISIS MORFOLOGI PERMUKAAN MENGGUNAKAN SEM-EDX

Pengujian dengan alat SEM-EDX akan menghasilkan morfologi permukaan


Paduan Aluminium 7075-T6 seperti lokal korosi dan lainnya, dan data berupa
persentase massa, persentase atom, komposisi unsur yang terkandung pada paduan
aluminium 7075-T6. Pengujian menggunakan SEM-EDX ini dilakukan pada 3 logam
uji yaitu sebelum korosi (tanpa perendaman), setelah korosi (direndam dalam media
air laut selama 504 jam pada suhu ruang) dan setelah korosi (direndam dalam air laut
selama 504 jam pada suhu es).

Tabel 4.3 Penampakan logam uji setelah proses perendaman selama 168 jam, 336
jam dan 504 jam pada suhu es dan suhu ruang
Waktu
Suhu Es (255 K) Suhu Ruang (300 K)
Perendaman

504 jam

336 jam

168 jam

44
4.4.1 Hasil SEM-EDX Tanpa Perendaman Air Laut

Gambar 4.6 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 tanpa perendaman air laut

Gambar di atas merupakan hasil pengujian morfologi permukan Al 7075-T6


tanpa proses perendaman air laut. Hasil pengujian ini diperbesar dengan 500x
perbesaran menggunakan SEM, dapat dilihat bahwa permukaan masih halus dan rata,
tidak ada kerusakan struktur permukaan logam uji.

Gambar 4.7 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 tanpa perendaman air laut

45
Gambar di atas adalah hasil EDX yang menunjukkan map sum spectrum pada Al
7075-T6 tanpa perendaman air laut. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa
Al menjadi unsur yang mendominasi pada logam uji ini.

Tabel 4.4 Komposisi unsur dan atom Al 7075-T6 tanpa perendaman air laut
Map Sum Spectrum
Element Line Type Weight % Weight % Sigma Atomic %
Al K series 90.60 0.17 91.07
Cu K series 4.72 0.04 2.01
Mn K series 0.54 0.02 0.26
Ar K series 0.30 0.01 0.20
Fe K series 0.29 0.02 0.14
O K series 0.46 0.04 0.78
C K series 1.81 0.17 4.09
Mg K series 1.29 0.01 1.44
Total 100.00 100.00

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa unsur Aluminium pada Al 7075-T6 tanpa
proses perendaman masih tertinggi yaitu 90,60 %, kemudian disusul oleh Cu 4,72 %,
Mn 54 %, Ar 0,30 % dan unsur lainnya.

4.4.2 Hasil SEM-EDX Setelah Direndam Air Laut selama 504 jam pada Suhu
Ruang (300 K)

Gambar 4.8 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 yang direndam air laut
selama 504 jam pada suhu 300 K
46
Pada gambar 4.8 di atas dapat dilihat bahwa adanya perubahan pada morfologi
permukaan Al 7075-T6 setelah direndam dalam air laut selama 504 jam pada suhu 300
K. Permukaan logam uji ini setelah direndam menjadi lebih kasar daripada permukaan
logam uji tanpa perendaman pada gambar 4.6, menunjukkan adanya kerusakan
struktur permukaan logam uji setelah proses perendaman.

Gambar 4.9 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 yang direndam air laut
selama 504 jam pada suhu 300 K

Gambar di atas adalah hasil EDX yang menunjukkan map sum spectrum pada Al
7075-T6 setelah perendaman selama 504 jam pada suhu 300 K. Berdasarkan gambar
tersebut dapat dilihat bahwa Al masih menjadi unsur yang mendominasi dibandingkan
unsur lainnya, namun adanya unsur Cl setelah perendaman ini.

Tabel 4.5 Komposisi unsur dan atom Al 7075-T6 dengan perendaman air laut selama
504 jam pada suhu 300 K
Map Sum Spectrum
Element Line Type Weight % Weight % Sigma Atomic %
C K series 13.86 0.22 26.78
Al K series 78.61 0.21 67.63
Cu K series 3.62 0.04 1.32
O K series 1.93 0.05 2.80
Mn K series 0.48 0.02 0.20
Ar K series 0.25 0.01 0.15
Fe K series 0.10 0.02 0.04
Cl K series 0.08 0.01 0.05
Mg K series 1.07 0.01 1.02
Total 100.00 100.00
47
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat dilihat unsur Aluminium pada Al 7075-T6
mengalami penurunan setelah dilakukan perendaman air laut selama 504 jam pada
suhu ruang, yaitu dari 90,60% menjadi 78,61%. Kemudian adanya peningkatan unsur
Oksigen dari 0,46% sebelum perendaman menjadi 1,93% setelah proses perendaman.
Hal ini menunjukkan indikasi terjadinya korosi sehingga membuat persentase weight
dari Al nya berkurang.

4.4.3 Hasil SEM-EDX Setelah Direndam Air Laut selama 504 jam pada Suhu
Es (255 K)

Gambar 4.10 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 yang direndam air laut
selama 504 jam pada suhu 255 K

Gambar di atas menunjukkan adanya perubahan pada morfologi permukaan Al


7075-T6 setelah direndam dalam air laut selama 504 jam pada suhu 255 K. Dapat
dilihat permukaan logam uji setelah direndam menjadi lebih kasar daripada permukaan
logam uji tanpa perendaman pada gambar 4.6, tetapi lebih kasar permukaan logam uji
pada perendaman suhu ruang (300 K) daripada permukaan logam uji pada suhu es (255
K) ini. Penampakan ini juga menunjukkan adanya kerusakan struktur permukaan
logam uji setelah proses perendaman.

48
Gambar 4.11 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 yang direndam air laut
selama 504 jam pada suhu 255 K

Gambar di atas menunjukkan adanya perbedaan dengan map sum spectrum yang
direndam air laut selama 504 jam pada suhu ruang, yaitu gambar 4.9, pada gambar
tersebut hasil EDX menunjukkan adanya unsur Mg dan Cl dan kedua unsur ini tidak
ditemukan pada logam uji yang direndam air laut selama 504 jam pada suhu es (255
K) ini, selain itu unsur Al masih mendominasi daripada unsur lainnya.

Tabel 4.6 Komposisi unsur dan atom Al 7075-T6 dengan perendaman air laut selama
504 jam pada suhu 255 K
Map Sum Spectrum
Element Line Type Weight % Weight % Sigma Atomic %
C K series 19.51 0.22 35.40
Al K series 72.81 0.21 58.81
Cu K series 3.78 0.04 1.30
O K series 2.99 0.05 4.07
Mn K series 0.44 0.02 0.18
Ar K series 0.37 0.01 0.20
Fe K series 0.09 0.02 0.04
Total 100.00 100.00

Dari tabel di atas dapat dilihat juga adanya indikasi korosi yaitu peningkatan
Oksigen yang signifikan dari 0,46% menjadi 2,99%, dimana lebih besar daripada
proses perendaman air laut pada suhu ruang yaitu hanya 1,93% saja. Kemudian
adanya penurunan persentase Aluminium dari sebelum perendaman 90,60% menjadi
72,81% setelah proses perendaman selama 504 jam pada suhu es (255 K) ini, dimana
penurunan ini lebih besar daripada yang terjadi di suhu ruang (300 K).

49
BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan pada penelitian ini
adalah:
1. Paduan Aluminium 7075-T6 sebagai material frame pada kargo pesawat B737-
800 ini dapat terkorosi oleh air laut, dan terbukti adanya efek perbedaan suhu
terhadap laju korosi.
2. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa laju korosi Al 7075-T6 terbesar pada
suhu ruang (300 K) maupun suhu es (255 K) terjadi pada waktu perendaman 504
jam, yaitu pada suhu ruang mencapai 0,05817 mg/cm2 jam sedangkan pada suhu
es mencapai 0,09272 mg/cm2 jam, dibandingkan kedua waktu perendaman
lainnya yaitu 168 jam dan 336 jam.
3. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa laju korosi Al 7075-T6 berbanding
lurus dengan kehilangan massa dan waktu perendaman. Hal ini berarti semakin
besar kehilangan massa akibat korosi dan semakin lama waktu perendaman yang
dilakukan maka semakin besar pula laju korosi yang dihasilkan.
4. Dari hasil SEM-EDX dapat diketahui bahwa adanya perubahan struktur dan
morfologi permukaan dari Al 7075-T6 setelah terjadinya korosi, dan adanya
indikasi korosi yang terjadi yaitu melalui penurunan kadar unsur utama
Aluminium (Al) sebesar 11,99% pada suhu ruang (300 K) dan 17,79% pada suhu
es (255 K). Selain itu juga adanya peningkatan unsur Oksigen (O) sebesar 1,47%
pada suhu ruang (300 K) dan 2,53% pada suhu es (255 K).

50
5.2 SARAN

Berikut adalah beberapa saran agar hasil penelitian selanjutnya lebih baik lagi
antara lain:
1. Pelapis pembatas luas permukaan sampel sebaiknya menggunakan yang lebih
cepat kering dan lebih tahan panas, asam dan korosif.
2. Proses pemotongan sampel sebaiknya disesuaikan dengan ukuran maksimal alat
SEM-EDX agar pengujian berlangsung efektif dan efisien.
3. Penelitian berikutnya bisa melakukan perbandingan dengan merendam pada air
laut dengan air biasa agar diketahui keakuratan efek dari air laut terhadap laju
korosi untuk material frame pada kargo pesawat B737-800.
4. Untuk penelitian berikutnya masih bisa dilakukan pengujian dengan penambahan
penggunaan inhibitor untuk paduan aluminium 7075-T6 agar dapat diketahui
efisiensi dari inhibitor tersebut terhadap laju korosi material frame pada kargo
pesawat ini.
5. Untuk penelitian berikutnya bisa dilakukan pengujian laju korosi menggunakan
polarisasi potensiodinamik.

51
DAFTAR PUSTAKA

Abu-Dalo, M. A., A.Othman, A., & Al-Rawashdeh, N. A. (2012). Exudate Gum from
Acacia Trees as Green Corrosion Inhibitor for Mild Steel in Acidic Media .
International Journal of Electrochemical Science, 4.
Amelinckx, S. D. (1997). Handbook of Microscopy: Applications in Material Science,
Solid-State Physics and Chemistry. In S. D. Amelinckx, Applications in
Material Science, Solid-State Physics and Chemistry (pp. Page 120, 124, 694).
Jerman: VCH Verlagsgesellschaft mbH.
Arwati, I. G., & Izzati, T. (2015). Stainles steel AISI 304 pipe's inhibition in the
seawater environment using NaNO2. International journal of applied
engineering research.
Arwati, I. G., Izzati, T., & Arifin, Z. (2016). Natrium Carbonate (Na2CO3) As
Inhibitor in The Corrosion Protection on Steel Pipe St 41 in Water Plumbing
Environmental . International Journal of Vol.2 (No.1). Innovation in
Mechanical Engineering & Advanced Materials, pp. 20-25.
ASM International . (1990). Metals Handbook Vol.2 Properties and Selection:
Nonferrous Alloys and Special Purpose Materials 10th Edition. ASM
International .
ASTM B209. (1996). Standards Specification for Alumunium adn Alumunium-Alloy
Sheet and Plate. Retrieved from ASTM B209.
Budiyarti, P., & Ilman, M. N. (2018). Studi Experimental Fatik Korosi Aluminium
Paduan 7075-T6 Pada Lingkungan 3,5% Nacl Dengan Inhibitor Na2cro4.
Calister Jr., w. D., & Retwish, D. G. (2013). Material Science and Engineering. New
Jersy: Wiley.
Callister, W. D. (2001). Fundamentals of Materials Science and Engineering. New
York: John Wiley & Sons, Inc.
Chun-yung Niu, M. (1989). Airframe Structural Design: Practical Design Information
and Data on Aircraft Structures. California: Comlit Press.
Davis, R. (2001). Alloying: Understanding the Basic. In R. Davis, Alumunium and
Alumunium Alloys (pp. 351-416). New York: ASM International.
Djatmiko, E., & Budiarto. (2011). Analisis Sifat Mekanis Dan Strukturmikro Pada
Al78si22 Metode Squeezing Casting. Prosiding Seminar Nasional
Pengembangan Energi Nuklir IV.
Eldina, I. E. (2016). Alumunium. Jurusan Kimia Universitas Negeri Padang, 1-13.
Fellicia, & Mughni, D. (2007). Analisis Karakterisasi Lapisan Pasif Korosi Implant
Comersial Pure Titanium Grade 2 Dengan Varisai Kekasaran Permukaan
Pada Cairan Tubuh Buatan. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

52
Fontana, M. G. (1987). Corrosion Engineering. New York: Mc Graw-Hill Book
Company.
Gapsari, F. (2017). Pengantar Korosi. In F. Gapsari, Pengantar Korosi (p. 155).
Malang: University of Brawijaya Press.
Goldstein, J. I., Newbury, D. E., Patrick, E., David, C. J., Charles, E. L., Eric, L., . . .
Joseph, R. M. (2003). Scanning Electron Microscopy and X-Ray Microanalysis
Third Edition. Page 1, 21 – 27. New York: Plenum Publishers.
Hartawan, B. (2018). Analisis Pengaruh Perlakuan Panas Artificial Aging Pada
Aluminium Magnesium Silikon (Al-Mg-Si) Yang Dicor Ulang Terhadap Sifat
Mekanis. Lampung: Universitas Lampung.
James. (2017). A Guide To Crevice Corrosion & How To Treat It. Retrieved from Steel
Fabrication Service.
James. (2017, July 17). A Guide to Intergranular Corrosion and How to Treat It.
Retrieved from Steel Fabrication Services: https://steelfabservices.com.au/a-
guide-to-intergranular-corrosion-how-to-treat-it/
Jones, D. A. (1996). Principle and Prevention of Corrosion (Second Edition). New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Leioraianta, R. A. (2010). Studi pengaruh waktu rendam inhibitor organik ramah
lingkungan pada baja SPCC dalam lingkungan air laut. Depok: Universitas
Indonesia.
Marlaud, T., Malki, B., Henon, C., Deschamps, A., & Baroux, B. (2011). Relationship
Between Alloy Composition Microstructure And Exfoliation Corrotion in Al-
Zn-Mg-Cu Alloys. Corrosion Science 53.
Polmear, I. J. (1995). Light Alloys: Metallurgy of The Light Metals. Oxford:
Butterworth-Heinemann.
Popov, B. N. (2015). Basic of Corrosion Measurement. In B. N. Popov, Corrosion
Engineering Principles and solved Problems (p. p. 207). South Carolina:
Elsevier.
Sekunowo, O. I., Durowaye, S. I., & Anozie, E. C. (2015). Corrosion Propensity of
Cold Deformed 5052 Aluminium Alloy in Seawater. Current Journal of
Applied Science and Technology, 46-52.
Sihono, & Sukahir. (2009). Proses dan penyebab terjadinya korosi pada pesawat
terbang. Jurnal ilmiah aviasi langit biru.
Siregar, T. (2010). Laju korosi dan mekanisme inhibisi aluminium murni
menggunakan kalium dan kalsium stearat. Jurnal Kimia, 113-124.
Stokes, D. J. (2008). Principles and Practice of Variable Pressure/Environmental
Scanning Electron Microscopy (VP-ESEM). In D. J. Stokes, Principles and
Practice of Variable Pressure/Environmental Scanning Electron Microscopy

53
(VP-ESEM) (pp. Page 18, 30 – 31). United States of America: John Wiley and
Sons, Ltd.
Sukiman, N. L. (2013). Durability and corrosion of aluminum and its alloys: overview.
Property Space, Techniques and Development. Intech.
Suprihatin, D. A. (2016 ). Korosi dan pengendaliannya . Malang: PPPP TK, VEDC
Malang.
Surdia, T., & Saito, S. (1999). Pengetahuan Bahan Teknik. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita.
Talbot, D. (2000). Corrosion science and technology. Florida: CRC Press.
Trethewey, K., & Chamberlain, J. (1991). Korosi Untuk Mahasiswa Sains dan
Rekayasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka utama.
Xianfei, Z. (2017). Evaluate the crashworthiness response of an aircraft fuselage
section with luggage contained in the cargo hold. International Journal of
Crashworthiness.

54

Anda mungkin juga menyukai