Dila TA
Dila TA
Disusun Oleh:
Disusun Oleh:
Nama : Dila Bayu Saputri
NIM : 41318110078
Program Studi : Teknik Mesin
Mengetahui
(Dra. I Gusti Ayu Arwati, MT) (Alief Avicenna Luthfie, ST., M.Eng)
i
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa saya melakukan Tugas Akhir dengan sesungguhnya
dan hasil penulisan Laporan Tugas Akhir yang telah saya buat ini merupakan hasil
karya sendiri dan benar keasliannya. Apabila ternyata di kemudian hari penulisan
Laporan Tugas Akhir ini merupakan hasil plagiat atau penjiplakan terhadap karya
orang lain, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sekaligus bersedia
menerima sanksi berdasarkan aturan di Universitas Mercu Buana.
Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan.
ii
PENGHARGAAN
iii
ABSTRAK
Paduan aluminium 7075-T6 merupakan material yang memiliki kekuatan lebih tinggi
dibandingkan paduan aluminium lainnya, yaitu memiliki ultimate tensile strength
mencapai 572 Mpa. AA 7075-T6 ini banyak digunakan pada industri penerbangan
yaitu pembuatan komponen pesawat terbang seperti wing panel, tail area (stabilizer),
frame, stringer dan bagian-bagian lain yang membutuhkan kekuatan tinggi. Frame
merupakan salah satu primary structure pesawat yang mengangkut seluruh beban,
maupun beban tekanan pesawat pada saat terbang dan di darat. Frame melingkar di
seluruh badan pesawat (fuselage) termasuk kompartemen kargo, jika frame mengalami
kerusakan maka dapat mengakibatkan kondisi tidak aman pada pesawat yang dapat
berpengaruh terhadap airworthiness pesawat tersebut. Salah satu faktor penyebabnya
yaitu korosi pada frame tersebut, dimana jika korosi ini parah maka dapat memicu
crack sehingga membahayakan keselamatan pesawat saat terbang. Seringnya
ditemukan korosi pada frame kargo pesawat B737-800, maka penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui laju korosi pada material frame kargo pesawat tersebut
menggunakan metode kehilangan massa. Pengujian dilakukan dengan proses
perendaman logam uji di dalam air laut sebagai lingkungan yang korosif di kargo,
dengan waktu perendaman 168 jam, 336 jam dan 504 jam pada suhu ruang (300 K)
dan suhu es (255 K). Hasil pengujian menunjukkan laju korosi terbesar terjadi pada
waktu perendaman 504 jam, yaitu 0,05817 mg/cm2jam pada suhu ruang dan 0,09272
mg/cm2jam pada suhu es. Kemudian dianalisa morfologi permukaan logam uji
sebelum dan sesudah pengujian menggunakan SEM-EDX (Scanning Electron
Microscopy-Energy Dispersive X-ray). Hasil SEM-EDX menunjukkan adanya
perubahan morfologi permukaan serta penurunan kandungan unsur aluminium logam
uji yaitu 11,99% pada suhu ruang dan 17,79% pada suhu es.
Kata kunci: Paduan Aluminium 7075-T6, frame kargo, laju korosi, metode
kehilangan massa.
iv
ANALYSIS OF 7075-T6 ALUMINUM ALLOY METAL CORROSION RATE AS THE
MATERIAL FRAME IN CARGO AIRCRAFT B737-800 USING SEA WATER AS A
MEDIA WITH WEIGHT LOSS METHOD
ABSTRACT
Aluminum alloy 7075-T6 is a material that has the higher strength compared to the
other aluminum alloys which has the ultimate tensile strength reaches 572 Mpa. AA
7075-T6 is mostly used in the aviation industry, like manufacturing aircraft
components such as wing panels, tail areas (stabilizers), frames, stringers and other
parts that require high strength. The frame is one of the aircraft's primary structures
that carries all loads, as well as aircraft pressure loads when flying and on ground.
The frames are coiled along the fuselage including the cargo compartment, if it fails
will cause an unsafe condition that would affect the airworthiness of the aircraft. One
of the contributing factors is corrosion in the cargo frame, where if this corrosion is
severe it can trigger crack which endanger aircraft safety while flying. Because of
corrosion is often found on B737-800 aircraft cargo frames, so this research was
conducted to determine the rate of corrosion in the aircraft cargo frame material using
the weight loss method. The research process was carried out by immersing the
specimens in seawater as a corrosive environment in the cargo, with an immersion
time of 168 hours, 336 hours and 504 hours at room temperature (300 K) and ice
temperature (255 K). The results showed the largest corrosion rate occurred at 504
hours immersion time, ie 0.05817 mg/cm2hours at room temperature and 0.09272
mg/cm2hours at ice temperature. Then the surface morphology of the specimens was
analyzed before and after the immersion using SEM-EDX (Scanning Electron
Microscopy-Energy Dispersive X-ray). The results of SEM-EDX showed a change in
surface morphology as well as the decrease of the specimens in the content of
aluminum element 11.99% at room temperature and 17.79% at ice temperature.
Keywords: Aluminum alloy 7075-T6, cargo frame, corrosion rate, weight loss method.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN i
HALAMAN PERNYATAAN ii
PENGHARGAAN iii
ABSTRAK iv
ABSTRACT v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR TABEL x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 1
1.2 RUMUSAN MASALAH 3
1.3 TUJUAN 3
1.4 RUANG LINGKUP DAN BATASAN MASALAH 3
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ALUMINIUM 5
2.1.1 Paduan Aluminium 7
2.1.2 Paduan Aluminium 7075-T6 9
2.2 KOROSI 13
2.2.1 Pengertian Korosi 13
2.2.2 Tipe Korosi 13
2.2.3 Faktor Penyebab Korosi 18
2.2.4 Proses Terjadi Korosi 19
2.2.5 Korosi pada Aluminium 21
2.3 METODE KEHILANGAN MASSA 23
2.4 SCANNING ELECTRON MICROSCOPE-ENERGY
DISPERSIVE X-RAY (SEM-EDX) 24
2.4.1 Pengertian SEM 24
2.4.2 Komponen SEM 24
2.4.3 Prinsip Kerja 25
vi
BAB III METODOLOGI
3.1 DIAGRAM ALIR 28
3.2 ALAT DAN BAHAN 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 PENDAHULUAN 38
4.2 ANALISIS LAJU KOROSI PADA PERENDAMAN SUHU RUANG 38
4.3 ANALISIS LAJU KOROSI PADA PERENDAMAN SUHU ES 40
4.4 ANALISIS MORFOLOGI PERMUKAAN MENGGUNAKAN
SEM-EDX 44
4.4.1 Hasil SEM-EDX Tanpa Perendaman Air Laut 45
4.4.2 Hasil SEM-EDX Setelah Direndam Air Laut selama 504 jam pada
Suhu Ruang (300 K) 46
4.4.3 Hasil SEM-EDX Setelah Direndam Air Laut selama 504 jam pada
Suhu Es (255 K) 48
BAB V PENUTUP
5.1 KESIMPULAN 50
5.2 SARAN 51
DAFTAR PUSTAKA 52
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
Gambar 4.1 Grafik hubungan antara kehilangan massa dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 300 K 39
Gambar 4.2 Grafik hubungan antara laju korosi dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 300 K 40
Gambar 4.3 Grafik hubungan antara kehilangan massa dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 255 K 41
Gambar 4.4 Grafik hubungan antara laju korosi dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 255 K 42
Gambar 4.5 Grafik perbandingan antara laju korosi dengan waktu perendaman
pada kedua variasi suhu yaitu 300 K dan 255 K 43
Gambar 4.6 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 tanpa perendaman
air laut 45
Gambar 4.7 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 tanpa perendaman
air laut 45
Gambar 4.8 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 yang direndam
air laut selama 504 jam pada suhu 300 K 46
Gambar 4.9 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 yang direndam
air laut selama 504 jam pada suhu 300 K 47
Gambar 4.10 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 yang direndam
air laut selama 504 jam pada suhu 255 K 48
Gambar 4.11 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 yang direndam
air laut selama 504 jam pada suhu 255 K 49
ix
DAFTAR TABEL
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
(castability) baik serta logam non magnetik. Aluminium juga memiliki keuletan tinggi,
mudah dibentuk dan mudah disambung (Budiyarti & Ilman, 2018).
Paduan aluminium 7075 ini banyak diaplikasikan pada pembuatan komponen
pesawat terbang seperti wing panel, tail area (stabilizer), frame, stringer dan bagian-
bagian lain yang membutuhkan kekuatan yang tinggi. Frame merupakan salah satu
primary structure pada pesawat yaitu struktur yang mengangkut seluruh beban
pesawat baik saat terbang, di darat maupun beban tekanan, yang kerusakannya dapat
membahayakan keselamatan pesawat. Oleh karena itu pada primary structure pesawat
membutuhkan kekuatan yang tinggi untuk materialnya.
Pengoperasian pesawat terbang yang berpindah dari daerah yang satu ke daerah
yang lain dengan perubahan perbedaan suhu maupun cuaca yang tajam baik di daratan
maupun di udara akibat ketinggian pesawat terhadap permukaan laut dan bumi dapat
menimbulkan korosi pada material struktur pesawat (Sihono & Sukahir, 2009).
Aluminium memiliki ketahanan yang baik terhadap korosi, kendati demikian
aluminium tetap akan mengalami korosi jika berada di lingkungan korosif.
Lingkungan sekitar material struktur pesawat berpengaruh terhadap terjadinya
korosi pada material tersebut. Misalnya pada struktur frame kargo pesawat, dimana
kargo merupakan ruangan untuk mengangkut segala barang-barang penumpang
seperti tas, koper atau peralatan lainnya bahkan makanan-makanan laut beku. Hal ini
dapat mengakibatkan korosi pada struktur akibat dari air laut atau es yang mencair
berasal dari makanan laut beku tadi. Air laut termasuk media korosif karena
mengandung klorida yang cukup tinggi dan mikrobakteri hidup di laut (Arwati &
Izzati, 2015).
Terjadinya korosi pada frame kargo ini sering ditemui pada pesawat B737-800
berdasarkan observasi yang ditemui di lapangan, semakin parah tingkat korosi yang
terjadi maka akan mempengaruhi airworthiness dari pesawat tersebut. Airworthiness
artinya kelaikan terbang suatu pesawat dimana kondisi pesawat aman dan laik untuk
terbang. Jika airworthiness suatu pesawat terganggu maka pesawat berada pada
kondisi tidak aman untuk terbang atau dapat mengakibatkan kecelakaan atau hal-hal
yang merugikan bagi pesawat dan penumpang. Di dalam dunia perawatan pesawat
terbang, korosi dijadikan sebagai salah satu fokus perhatian yang khusus karena dapat
mempengaruhi airworthiness dari pesawat, dan sering terjadi pada struktur, komponen
maupun skin pada pesawat terbang.
2
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
yaitu:
1. Belum diketahui efek air laut dan adanya perubahan suhu terhadap korosi yang
rentan terjadi pada salah satu primary structure pesawat B737-800 yaitu frame
pada kargo, dimana jika korosi ini sangat parah maka dapat mempengaruhi
airworthiness dari pesawat tersebut.
2. Adanya perubahan bentuk struktur permukaan material frame kargo pesawat
B737-800 yang ditemukan setelah terkorosi.
1.3 TUJUAN
Untuk menentukan arah penelitian yang lebih baik dan jelas, maka perlu
ditentukan ruang lingkup dan batasan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Logam uji yang digunakan adalah paduan aluminium 7075-T6 yang digunakan
pada industri pesawat terbang khususnya B737-800, dengan ukuran panjang 30
mm, lebar 20 mm, dan tebal 6 mm.
2. Permukaan logam uji yang direndam adalah 30 mm x 20 mm saja, sisa seluruh
permukaan lainnya dilapisi oleh araldite agar tidak bereaksi dengan air laut.
3
3. Larutan yang digunakan sebagai media lingkungan korosi adalah air laut.
4. Proses perendaman dengan variasi waktu 168 jam, 336 jam dan 504 jam dan variasi
temperatur pada proses perendaman yaitu pada suhu ruang (300 K) dan suhu es
(255 K).
5. Analisis morfologi permukaan menggunakan SEM-EDX (Scanning Electron
Microscopy-Energy Disperssive X-Ray).
Sistematika penulisan tugas akhir ini tersusun dari beberapa bab yang saling
terhubung untuk memudahkan dalam penyajian kerangka penelitian dan alur
pembahasan. Sistematika penulisan adalah sebagai berikut:
a) BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, ruang
lingkup dan batasan masalah penelitian dan sistematika penulisan.
b) BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tentang definisi, perhitungan, teori-teori dasar dan khusus,
yang digunakan dalam tugas akhir ini.
c) BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang tempat penelitian, alur penelitian, metode
pengambilan data dan teknik analisis data.
d) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan tentang penyajian data penelitian, pengolahan data yang
terkumpul, serta hasil dari penelitian.
e) BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan yg diperoleh dari penelitian yang telah
dilakukan, serta saran agar tercapai penelitian yang lebih baik lagi selanjutnya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ALUMINIUM
5
panjang. Jika selaput ini rusak dan tidak dapat dipulihkan lagi, korosi logam akan
terjadi dengan cepat (Trethewey & Chamberlain, 1991).
Ketahanan korosi yang sangat baik oleh aluminium disebabkan oleh adanya
lapisan oksida tipis yang menempel sangat kuat dipermukaannya (Al2O3). Lapisan
Al2O3 stabil pada lingkungan pH 4-9 sehingga lapisan tersebut dapat melindungi
logam bagian dalam dari serangan korosi lanjutan, namun aluminium dapat juga
terkorosi dalam lingkungan yang agresif yaitu di luar kisaran pH tersebut terutama
suasana asam maupun basa (Siregar, 2010).
Aluminium bersifat non ferromagnetik, properti yang penting dalam industri
listrik dan elektronik, selain itu sifat lain dari aluminium adalah nonpyrophoric, yang
penting dalam aplikasi yang melibatkan penanganan atau pemaparan bahan yang
mudah terbakar atau meledak. Aluminium juga tidak beracun dan secara rutin
digunakan dalam wadah untuk makanan dan minuman, memiliki penampilan yang
menarik dalam sentuhan alami, yang bisa lembut dan berkilau.
Berikut adalah sifat-sifat fisik dan mekanik aluminium murni yang di tunjukkan
pada Tabel 2.1. dan Tabel 2.2. Ketahanan korosi berubah menurut kemurnian
aluminium, pada umumnya untuk kemurnian 99,0% atau di atasnya dapat di
pergunakan di udara dan tahan dalam waktu bertahun-tahun. Hantaran listrik
aluminium kira-kira 65% dari hantaran listrik tembaga, tetapi masa jenisnya kira-kira
sepertiganya sehingga memungkinkan untuk memperluas penampangnya.
6
Tabel 2.2 Sifat-sifat mekanis aluminium
(Calister Jr. & Retwish, 2013)
Sifat – Sifat Kemurnian Al
Kekuatan Tarik (MPa/Ksi) 90/13
Kekuatan Mulur (MPa/Ksi) 35/5
Perpanjangan, % EL [in 50 mm (2 in)] 40
7
diperlukan permukaannya dilapisi dengan Al murni atau paduan Al yang tahan
korosi, material yang telah dilapisi tersebut disebut Al clad.
b. Paduan Al-Mn (seri 3000)
Mn (mangan) adalah unsur yang memperkuat Al tanpa mengurangi ketahanan
korosi, dan digunakan untuk membuat paduan yang tahan korosi. Paduan
aluminium dengan kandungan 1.2% Mn dan 1% Mg disebut paduan 3003 yang
dipergunakan sebagai paduan tahan korosi.
c. Paduan Al-Si (seri 4000)
Paduan Al-Si sangat baik kecairannya dan cocok untuk paduan coran. Paduan ini
mempunyai ketahanan korosi yang baik, sangat ringan, koefisien pemuaian yang
rendah dan sebagai penghantar panas dan listrik yang baik. Material ini biasa
dipakai untuk torak motor dan sebagai filler las (setelah dilakukan beberapa
perbaikan komposisi).
d. Paduan Al-Mg (seri 5000)
Mempunyai ketahanan korosi yang sangat baik, dengan kandungan 2–3% Mg
(magnesium) mempunyai sifat mudah ditempa, diroll dan diekstrusi. Paduan 5056
merupakan paduan yang paling kuat dalam seri ini. Paduan 5083 yang dianil
adalah paduan dengan 4.5% Mg, sifatnya kuat dan mudah dilas, digunakan
sebagai tangki LNG.
e. Paduan Al-Mg-Si (seri 6000)
Paduan ini mempunyai kekuatan yang kurang baik sebagai bahan tempaan
dibandingkan dengan paduan-paduan lainnya. Tetapi sangat liat, sangat baik
mampu bentuknya untuk penempaan, ekstrusi dan lain-lain. Salah satu paduan seri
6000 adalah 6063 yang banyak digunakan untuk rangka konstruksi.
f. Paduan Al-Zn (serie 7000)
Suatu paduan yang terdiri dari aluminium, 5.5% Zn, 2.5% Mn, 1.5% Cu, 0.3% Cr,
0.2% Mn ini dinamakan paduan 7075. Paduan ini mempunyai kekuatan tertinggi
diantara paduan-paduan lainnya. Penggunaan paduan ini kebanyakan untuk bahan
konstruksi pesawat terbang, selain itu banyak digunakan sebagai bahan
konstruksi.
8
Adapun paduan aluminium yang sering digunakan pada pesawat terbang adalah
(Chun-yung Niu, 1989):
Aluminium 2024-T3, T42, T351, T81: Untuk tegangan tarik yang tinggi,
ketangguhan tinggi serta karakteristik perambatan retak yang baik. T42
memiliki kekuatan yang lebih rendah dari T3. Sedangkan T81 digunakan untuk
temperatur tinggi.
Aluminium 2224-T3, 2324-T3: memiliki kekuatan 8% lebih dari 2024-T3,
ketangguhan dan ketahanan kelelahan lebih baik dari 2024-T3.
Aluminium 7075-T6, T651, T7351: Memiliki kekuatan lebih tinggi dari 2024,
ketangguhan lebih rendah, digunakan untuk tegangan tarik yang tidak
memerlukan ketangguhan tinggi. Memiliki karakteristik korosi yang baik.
Aluminium 7079-T6: Hampir sama dengan 7075, tetapi memiliki sifat
potongan melintang yang lebih baik (>3 in).
Aluminium 7150-T6: 11% lebih kuat dari 7075-T6, karakteristik kelelahan dan
ketangguhan lebih baik dari 7075-T6.
Aluminium 7178-T6, T651: Digunakan untuk beban tekan. Lebih kuat dari
7075, tapi tidak lebih tangguh.
Aluminium-lithium: 10% lebih ringan dan kaku dari aluminum alloy
konvensional.
PM aluminium: Lebih kuat, tangguh, tahan suhu tinggi serta tahan korosi dari
aluminum alloy konvensional (Chun-yung Niu, 1989).
9
akan mengalami korosi terlebih apabila berada pada lingkungan yang korosif seperti
lingkungan garam (air laut) atau pada lingkungan atmosfer (Callister, 2001) seperti
udara lembab atau hujan.
Berdasarkan American Standard Testing and Material (ASTM) B209,
Aluminium 7075 adalah paduan aluminium seri 7000 yang penambahan paduan utama
nya adalah seng & diformulasikan untuk pembentukan prima menjadi produk tempa.
Berikut adalah karakteristik Al 7075-T6 antara lain:
a) Spesifikasi
Ketebalan Al 7075-T6 Sheet: 0.2 – 300 mm
Panjang Al 7075-T6 Sheet: 500 – 10000 mm
Lebar Al 7075-T6 Sheet: 500 – 2500 mm
Tipe Al 7075-T6 Sheet: Hot Rolled (HR) Sheets, Cold Rolled (CR) Sheets
b) Komposisi Kimia
c) Sifat-sifat fisik
d) Sifat-sifat Mekanis
10
Tabel 2.5 Sifat-sifat mekanis paduan aluminium 7075
(ASTM B209, 1996)
Properties Metric Imperial
Tensile strength 220 MPa 31909 psi
Yield strength 95 MPa 13779 psi
Shear strength 150 MPa 21756 psi
Fatigue strength 160 MPa 23206 psi
Elastic modulus 70-80 GPa 10153-11603 ksi
Poisson’s ratio 0.33 0.33
Elongation at break 17% 17%
Hardness 60 60
f) Sifat-sifat Termal
Aluminium 7075 temper 6 ini memiliki ultimate tensile strength mencapai 572
MPa, yield strength sekitar 503 MPa dan failure elongation 11% (ASM International
, 1990). Temperatur T6 biasanya dicapai dengan homogenisasi gips 7075 pada 450°C
selama beberapa jam, quenching dan kemudian aging pada 120°C selama 24 jam
sehingga menghasilkan kekuatan puncak dari paduan Al 7075. Karena rasio kekuatan
terhadap berat yang tinggi, Al 7075 digunakan untuk bagian struktural yang sangat
tertekan, seperti pada perlengkapan aerospace, roda gigi dan poros, bagian sekering,
poros dan roda meter, bagian rudal, roda gigi cacing, kunci, dan peralatan serta
komponen pertahanan. Pada pesawat terbang B737-800 Paduan Aluminium 7075-T6
ini digunakan pada beberapa struktur yaitu tail area (stabilizer), wing panel, dan
beberapa primary stucture pada pesawat ini seperti frame dan stringer. Frame
melingkar di seluruh bagian pesawat termasuk pada kompartemen kargo karena
merupakan bagian dari badan pesawat.
11
Gambar 2.1 Aircraft fuselage section
(Xianfei, 2017)
13
Gambar 2.3 Skema korosi merata
(Popov, 2015)
Korosi merata atau dikenal juga dengan korosi uniform merupakan tipe korosi
paling umum dan merupakan bentuk kerusakan korosi paling besar dalam skala berat.
Korosi uniform menunjukkan rusaknya seluruh atau sebagian lapisan pelindung logam
sehingga ketebalan logam secara merata akan berkurang. Artinya korosi ini
menunjukkan pengurangan tingkat ketebalan permukaan bahan yang terkorosi relatif
sama. Korosi tipe ini dapat disebabkan oleh proses secara kimia atau secara
elektrokimia pada permukaan yang luas.
Korosi merata adalah korosi yang terjadi pada permukaan material akibat bereaksi
dengan oksigen. Biasanya korosi merata ini terjadi pada material yang memiliki
ukuran butir yang halus dan homogenitas yang tinggi. Bahan yang dapat menyebabkan
terjadinya korosi tipe ini adalah cairan atau larutan asam kuat maupun alkali panas.
Asam klorida dan asam fluorida merupakan lingkungan yang perlu dihindari bahan
logam khususnya baja tahan karat apalagi jika dikombinasikan dengan temperatur
serta konsentrasi yang cukup tinggi. Korosi uniform ini umumnya dikontrol dengan
cara pemilihan bahan yang sesuai untuk lingkungannya, pelapisan pelindung,
perlindungan katodik dan penghambatan korosi.
b) Korosi Galvanik
Korosi galvanik atau dikenal juga dengan istilah dissimilar metal corrosion pada
pesawat, terjadi akibat perbedaan potensial yang timbul bila dua logam yang berbeda
saling berhubungan karena berada dalam cairan elektrolit yang sama. Akibat
perbedaan potensial, elektron akan mengalir antara kedua logam tersebut.
14
Gambar 2.4 Korosi galvanik
(Leioraianta, 2010)
Korosi galvanik terjadi karena proses elektrokimia antara dua macam logam yang
berbeda potensial dihubungkan langsung di dalam elektrolit sama. Pada kondisi ini
elektron mengalir dari logam kurang mulia (anodik) menuju logam yang lebih mulia
(katodik), akibatnya logam yang kurang mulia berubah menjadi ion-ion positif karena
kehilangan elektron. Ion-ion positif logam akan bereaksi dengan ion negatif di dalam
elektrolit menjadi garam logam. Karena peristiwa tersebut, permukaan anoda
kehilangan logamnya sehingga terbentuklah serangan karat permukaan.
c) Korosi Celah (Crevice Corrosion)
Korosi celah merupakan korosi lokal pada tempat/bagian yang tertutup karena
deposit atau terkena agen krosif. Korosi celah dikenal juga dengan istilah korosi
kontak karena terjadi pada wilayah kontak antara logam dengan logam maupun logam
dengan bahan lain. Logam dan material sering menimbulkan korosi celah. Aluminium
juga mempunyai kecenderungan mengalami korosi celah karena pengaruh air laut,
yang disebabkan oksida film yang terbentuk mudah rusak karena klorida.
16
cukup serius sehingga dapat merusak konstruksi tersebut. Korosi jenis ini biasanya
dialami oleh tangki atau pipa yang tertanam di dalam tanah.
f) Korosi Tegangan
Korosi tegangan atau regangan adalah korosi yang di sebabkan adanya tegangan
tarik yang mengakibatkan terjadinya retak. Tegangan ini di sebabkan pada temperatur
dan deformasi yang berbeda. Berikut adalah gambaran retak serta bentuk
penjalarannya yang di akibatkan oleh korosi tegangan.
Korosi ini terjadi karena pemberian tarikan atau kompresi yang melebihi batas
ketentuannya. Kegagalan ini sering disebut Retak Karat Regangan (RKR). Sifat retak
jenis ini sangat spontan, regangan biasanya bersifat internal atau merupakan sisa hasil
pengerjaan seperti pengeringan, pengepresan dan lain-lain. Korosi ini bisa sangat
rumit dan melibatkan interaksi sejumlah faktor, termasuk temperatur, komposisi gas,
tekanan gas, komposisi logam, bentuk komponen, dan finishing permukaan. Ini
merupakan bentuk serangan yang tidak tampak tetapi sering menimbulkan akibat yang
dahsyat. Korosi tegangan dapat ditemukan dalam kondisi-kondisi di lingkungan air
yang bertekanan tinggi.
g) Korosi Batas Butir (Intergranular Corrosion)
Intergranular corrosion adalah jenis korosi yang terlokalisir dan biasanya
merupakan serangan terhadap butiran yang membentuk paduan dan logam. Korosi ini
terjadi bila daerah batas butir terserang akibat adanya endapan di dalamnya. Batas butir
sering menjadi tempat proses pengendapan dan pemisahan yang teramati pada banyak
paduan beberapa jenis logam.
17
h) Korosi Erosi
Korosi erosi merupakan percepatan pada laju korosi disebabkan gerak yang relatif
antara cairan yang korosif dengan permukaan logam. Biasanya gerakan sangat cepat,
sehingga pengaruh abrasi dan mechanical wear juga terlihat di dalamnya. Bentuk
korosi erosi ini banyak ditemui pada sistem pemipaan antara lain bent, tees, blower
dan lain-lain. Korosi erosi adalah korosi yang di sebabkan oleh erosi yang mengikis
lapisan pelindung material, zat erosi itu dapat berupa fluida yang mengandung material
abrasive. Korosi tipe ini sering di temui pada pipa-pipa minyak.
18
banyak yang lepas sehingga logam akan mengalami kerapuhan/korosi (Talbot,
2000).
c. Konsentrasi bahan korosif, hal ini berhubungan dengan pH atau keasaman dan
kebasaan suatu larutan. Larutan yang bersifat asam sangat korosif terhadap logam
dimana logam yang berada didalam media larutan asam akan lebih cepat terkorosi
karena karena merupakan reaksi anoda. Sedangkan larutan yang bersifat basa dapat
menyebabkan korosi pada reaksi katodanya karena reaksi katoda selalu serentak
dengan reaksi anoda (Talbot, 2000).
d. Oksigen, adanya oksigen yang terdapat di dalam udara dapat bersentuhan dengan
permukaan logam yang lembab. Sehingga kemungkinan menjadi korosi lebih
besar. Di dalam air (lingkungan terbuka), adanya oksigen menyebabkan korosi
(Talbot, 2000).
e. Waktu kontak, aksi inhibitor diharapkan dapat membuat ketahanan logam terhadap
korosi lebih besar. Dengan adanya penambahan inhibitor kedalam larutan, maka
akan menyebabkan laju reaksi menjadi lebih rendah, sehingga waktu kerja
inhibitor untuk melindungi logam menjadi lebih lama. Kemampuan inhibitor untuk
melindungi logam dari korosi akan hilang atau habis pada waktu tertentu, hal itu
dikarenakan semakin lama waktunya maka inhibitor akan semakin habis terserang
oleh larutan (Talbot, 2000).
19
b) Proses Korosi Secara Fisika
Proses korosi secara fisika terjadi karena abrasi (gesekan dengan benda padat),
adanya beban (ditarik atau ditekan), pengaruh kecepatan aliran atau lainnya yang
mempercepat terjadinya korosi. Korosi dapat terjadi pada bahan logam besi atau
bukan besi. Logam besi adalah suatu logam yang komponen utamanya adalah
besi, seperti besi cor, baja karbon atau 9 tahan karat (stainless steel) sedangkan
logam bukan besi contohnya adalah tembaga, perunggu atau yang lainnya. Semua
logam kecuali logam mulia pada dasarnya bisa berkarat, hanya saja prosesnya ada
yang cepat dan ada yang lambat.
Sebagai contoh, dari bahan yang sama, ditempatkan pada lingkungan yang
sama tetapi umur pakaiannya beda atau tergantung pada lapisan yang diberikan
terhadap logam tersebut. Telah kita ketahui bahwa di alam, kebanyakan logam
ditemukan tidak dalam keadaan murni atau dalam bentuk ikatan senyawa kimia
(gabungan) yang dikenal sebagai bijih. Semua logam kecuali emas, platinum dan
perak di alam antara lain berada dalam bentuk oksida, karbonat, sulfida, sulfatnya.
Bentuk-bentuk gabungan dari logam mewakili termodinamika mereka dalam
keadaan stabil (keadaan energi rendah).
Logam murni dihasilkan dari ekstraksi bijinya setelah memasoknya dengan
sejumlah besar energi. Logam dalam kondisi murni (tidak berikatan/bersenyawa)
memiliki tingkat energi yang lebih tinggi dan berada pada keadaan yang tidak
stabil. Ketidakstabilan ini menyebabkan kecenderungan alami logam-logam
tersebut untuk kembali ke keadaan energi rendah, yaitu, keadaan
gabungan/bersenyawa dengan dengan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan.
Kecenderungan untuk kembali ke kadaan stabil ini menjadi alasan utama
terjadinya korosi. Secara sederhana proses korosi dapat dituliskan sebagai berikut:
Baja Karat
Agar proses perkaratan terjadi maka pada permukaan komponen utama dari
baja, yakni besi (Fe) mengalami sejumlah perubahan sederhana. Pertama, atom
besi kehilangan beberapa elektron dan menjadi ion bermuatan positif. Reaksinya
dapat dituliskan sebagai berikut:
Fe Fe n + n elektron (2.1)
Keadaan ini memungkinkan terjadinya ikatan dengan kelompok lain dari atom
yang bermuatan negatif. Kita tahu bahwa agar karat baja basah dapat memberikan
20
varian oksida besi terdapat suatu bagian lain dari reaksi yang harus melibatkan air
(H2O) dan oksigen (O2) dengan persamaan seperti berikut ini.
O2 2H2O 4e- 4OH- (2.2)
Reaksi pertama yakni ion positif besi yang telah melepaskan elektronnya dapat
digabungkan dengan reaksi kedua yang membutuhkan elektron. Jika elektron
habis digunakan untuk reaksi maka gabungan kedua reaksi di atas dapat dituliskan
seperti di bawah ini:
2Fe O2 2H2O 2Fe(OH)2 (2.3)
Dari persamaan reaksi di atas dapat dinyatakan bahwa besi jika bereaksi
dengan air yang mengandung oksigen terlarut akan menghasilkan besi hidroksida.
Oksigen larut cukup mudah dalam air dan karena itu biasanya akan ada kelebihan
oksigen yang akan bereaksi dengan hidroksida besi. Reaksi yang terjadi dapat
dilihat pada persamaan di bawah ini:
4Fe(OH)2 O2 2H2O 2Fe2O3.H2O (2.4)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa hidroksida besi bereaksi dengan
oksigen menghasilkan air dan hidrat dari oksida besi yang berwarna kecoklatan
dan kita kenal dengan karat besi.
21
Aluminium membentuk lapisan pasif (Al2O3) pada permukaannya. Persamaan
pembentukan lapisan pasif pada permukaan aluminium adalah sebagai berikut (Davis,
2001):
2Al + 3H2O → Al2O3 + 6H+ + 6e- (2.9)
Pada berbagai lingkungan, jika lapisan ini rusak misalnya karena tergores, maka
dengan seketika lapisan tersebut dapat diperbaiki kembali. Meskipun lapisan ini sangat
tipis (1 nm), namun lapisan ini sangat efektif dalam melindungi aluminium dari proses
korosi.
22
Metode kehilangan massa yaitu perhitungan laju korosi dengan mengukur
kehilangan massa akibat korosi yang terjadi. Metode ini menggunakan jangka waktu
penelitian hingga mendapatkan jumlah kehilangan akibat korosi yang terjadi. Metode
ini adalah mengukur massa awal dan akhir dari sampel uji setelah melakukan
pengujian, kekurangan massa dari pada massa awal merupakan nilai kehilangan massa
(Abu-Dalo, A.Othman, & Al-Rawashdeh, 2012).
Laju korosi adalah kecepatan rambatan atau kecepatan penurunan kualitas bahan
terhadap waktu. Laju korosi dapat di definisikan dalam berbagai macam, seperti
presentase kehilangan massa, 23 milyar gram per sentimeter persegi per hari dan gram
per inchi persegi per jam. Pengujian laju korosi dapat menggunakan metode kehilangan
massa (weight loss) dan metode elektrokimia (polarisasi potensiodinamik,
electrochemical impedance spectroscopy dan lain-lain. Metode kehilangan massa
merupakan metode pengukuran laju korosi yang paling banyak digunakan. Sampel
logam ditempatkan dalam larutan pengujian korosi dan dibiarkan terkorosi.
Sampel logam digunakan untuk mengetahui laju korosi melalui kehilangan massa
(Fontana, 1987). Sampel yang direndam dalam larutan pengujian korosi dapat
menggambarkan kerusakan korosi selama periode waktu dan hanya digunakan pada
kondisi peningkatan laju korosi dapat diukur. Bentuk dan ukuran sampel dapat
bervariasi sesuai persyaratan pengujian. Sebelum sampel diletakkan dalam larutan
pengujian korosi, maka produk korosi yang terbentuk harus dihilangkan terlebih
dahulu. Berdasarkan ASTM G31-72, untuk pengujian laju korosi dengan metode
kehilangan massa, volume larutan minimal yang digunakan 0,2-0,4 mm3 perluas
permukaan uji. Untuk menghitung besarnya laju korosi dari hasil kehilangan massa,
dapat menggunakan persamaan berikut (Abu-Dalo, A.Othman, & Al-Rawashdeh,
2012):
𝑚₁−𝑚₂
CR = (2.11)
𝐴.𝑡
dimana:
CR = Laju Korosi (mg/cm2 jam)
m1 = Massa Awal (mg)
m2 = Massa Akhir (mg)
A = Luas Permukaan Spesimen (cm2)
23
t = Waktu Perendaman (jam)
24
berbentuk V yang terbuat dari bahan tungsten atau lanthanum hexaboride (LaB6) dan
plat anoda. Senapan elektron berfungsi sebagai sumber untuk menghasilkan berkas
elektron yang digunakan untuk menganalisis bahan. Berkas elektron yang dihasilkan
oleh senapan elektron akan menyapu permukaan raster spesimen untuk mendapatkan
satu posisi analisis. Interaksi antara berkas elektron dan spesimen menghasilkan
beberapa jenis sinyal yaitu elektron sekunder (secondary electron), elektron
backscattered, sinar-X karakteristik, dan foton dari berbagai energi (Goldstein, et al.,
2003). Elektron sekunder (SE) dan elektron backscattered (BSE) adalah jenis detektor
yang terdapat dalam SEM.
25
Gambar 2.11 Interaksi berkas elektron dan spesimen
(Stokes, 2008)
26
unsur-unsur yang terdapat dalam sampel. Selain itu, EDX juga dapat melakukan
elemental maping dengan memberikan warna yang berbeda dari masing-masing
elemen yang terdapat dalam bahan.
27
BAB III
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di laboratorium PT. GMF Aeroasia dan PT. Krakatau
Nippon Steel Synergi, terdiri dari tahapan proses yang dibuat secara sistematis.
Mulai
Studi Literatur
Observasi Lapangan
Adanya Korosi
Tidak
Ya
Pengambilan Data
Pengolahan Data
Kesimpulan
Selesai
28
Pada proses penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yang digambarkan pada
diagram alir di atas antara lain:
1. Studi Literatur
Mencari dan mempelajari berbagai referensi yang mengacu dari berbagai sumber,
baik dari buku, Boeing 737-800 Aircraft Maintenance Manual, dan dari jurnal-
jurnal yang dijadikan referensi untuk memperoleh data dan teori-teori yang
dibutuhkan untuk mendukung dan sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan.
2. Observasi
Melakukan pengamatan terkait masalah yang akan diteliti secara langsung di
perusahaan perawatan pesawat PT. GMF Aeroasia untuk mengumpulkan data-data
dan memberikan gambaran pemahaman secara garis besar tentang korosi pada
material frame di kargo pesawat B737-800.
3. Persiapan Logam Uji
Mempersiapkan logam Aluminum Alloy 7075-T6 di potong dengan ukuran 70 mm
x 20 mm dengan tebal 6 mm. Kemudian diamplas dengan grid 80 (kasar) dan grid
400 (halus) kemudian dihaluskan dengan scotch brite. Setelah itu dilapisi araldite
untuk memberi batasan pada logam yang akan direndam dengan ukuran permukaan
30 mm x 20 mm agar media korosif tidak bereaksi pada permukaan lainnya,
kemudian ditimbang massa logam uji tersebut dan dicatat sebagai massa awal (m1).
(a) (b)
Gambar 3.2 (a) Proses pengamplasan dengan grid 80 (b) logam uji setelah
dihaluskan dengan scotch brite
4. Pembersihan Logam Uji
29
Proses pembersihan ini dilakukan untuk menghilangkan segala kotoran-kotoran
ataupun lapisan anti korosi yang ada pada permukaan logam uji. Proses ini disebut
juga dengan pickling. Proses pickling dimulai dari perendaman logam uji di dalam
solvent cleaning yaitu alkaline pada hot plate dengan suhu 313 K diatur oleh
temperature regulator device selama 10 menit mengacu pada Boeing Standard
BAC 5749.
Setelah itu logam uji dibilas dengan aquades, kemudian ditetesi phenolphthalein
yang berfungsi sebagai indikator dalam titrasi asam-basa untuk mengetahui apakah
permukaan logam uji tersebut masih mengandung alkaline atau tidak. Jika tidak,
dilanjutkan dengan perendaman deoxidizing selama 8 menit pada suhu ruang sesuai
dengan Boeing Standard BAC 5765. Setelah itu dibilas lagi dengan aquades.
30
Gambar 3.5 Proses pembilasan logam uji dengan aquades
31
Gambar 3.7 Proses perendaman logam uji di dalam freezer
32
3.2 ALAT DAN BAHAN
Beberapa alat dan bahan yang diperlukan untuk proses penelitian ini yaitu:
A. Alat:
Pneumatic Grinder
Hot Plate
Temperature Regulator Device
(a) (b)
Gambar 3.8 (a) Pneumatic grinder (b) hot plate dan temperature regulator device
(a) (b)
Gambar 3.9 (a) Gelas ukur 200 ml (b) timbangan digital ketelitian 0,001 g
33
Saw Machine
Gunting
Penggaris
Termometer
Spidol
Masking Tape
Amplas grid 80, 400
Scotch brite
34
Wadah Perendaman Logam Uji
Freezer Merek Aqua Japan 160W
Gambar 3.13 SEM-EDX milik laboratorium quality control PT. Krakatau Nippon
Steel Synergi
35
B. Bahan:
Logam Paduan Al 7075-T6
Araldite
(a) (b)
Gambar 3.14 (a) Logam uji dan (b) araldite
Air Laut
Aquades
(a) (b)
Gambar 3.15 (a) Air laut dan (b) aquades
36
Deoxidizer
Phenolphtalein
(a) (b)
Gambar 3.16 (a) Deoxidizer dan (b) phenolphthalein
37
BAB IV
4.1 PENDAHULUAN
Bab ini akan menjelaskan tentang hasil analisis laju korosi logam Paduan
Aluminium 7075-T6 dengan ukuran 30 mm x 20 mm x 6 mm yang direndam dalam
media air laut selama 168 jam, 336 jam dan 504 jam. Pengujian ini dengan variasi suhu
perendaman yaitu suhu ruang (300 K) dan suhu es (255 K). Analisis laju korosi
menggunakan metode kehilangan massa dengan perhitungan laju korosi menggunakan
rumus pada persamaan (2.11) (Abu-Dalo, A.Othman, & Al-Rawashdeh, 2012). Dan
hasil analisis morfologi permukaan logam dan komposisi unsur kimia yang terkandung
pada logam uji ini menggunakan SEM-EDX.
Setelah logam uji direndam dalam media air laut selama 168 jam, 336 jam dan
504 jam pada suhu ruang, lalu diangkat dan diamati korosi yang terbentuk pada
permukaan logam uji tersebut. Setelah itu dihilangkan korosi yang ada pada
permukaan tersebut menggunakan pneumatic grinder dengan amplas grid 80 dan 400,
lalu ditimbang massa akhir (m2). Kemudian dilakukan perhitungan laju korosi
menggunakan rumus pada persamaan (2.11), sehingga dapat diperoleh data seperti
tabel berikut:
38
Tabel 4.1 Hasil perhitungan laju korosi Al 7075-T6 yang direndam selama 168 jam,
336 jam dan 504 jam pada suhu 300 K
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa rata-rata kehilangan massa dari 3
sampel yang diuji pada setiap waktu perendaman di suhu ruang ini, nilai terbesarnya
mencapai 175,933 mg yaitu pada proses perendaman 504 jam. Hal ini membuktikan
bahwa tingkat korosi yang terjadi pada 504 jam lebih tinggi dibandingkan waktu
perendaman lainnya, sehingga banyak massa yang hilang dalam proses pembersihan
korosi tersebut. Laju korosi terbesar juga ditunjukkan pada 504 jam yaitu 0,05817
mg/cm2jam.
200
180 175.933
Kehilangan Massa (mg)
160
140
120
112.267
100
80
60 54.667
40
20
0
168 336 504
Waktu Perendaman (jam)
Gambar 4.1 Grafik hubungan antara kehilangan massa dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 300 K
39
0.05817
0.05568
0.05423
Gambar 4.2 Grafik hubungan antara laju korosi dan waktu perendaman Al 7075-T6
pada suhu 300 K
Seperti yang diketahui dari data pada tabel 4.1, gambar 4.1 dan 4.2 bahwa
kehilangan massa dan laju korosi yang terjadi, berbanding lurus dengan waktu
perendaman. Jika semakin meningkat waktu perendamannya maka semakin
meningkat pula kehilangan massa dan laju korosi yang terjadi.
Setelah logam uji direndam dalam media air laut selama 168 jam, 336 jam dan
504 jam pada suhu es, lalu diangkat dan diamati korosi yang terbentuk pada
permukaan logam uji tersebut. Setelah itu dihilangkan korosi yang ada pada
permukaan tersebut menggunakan pneumatic gun dengan amplas grid 80 dan 400, lalu
ditimbang massa akhir (m2). Kemudian dilakukan perhitungan laju korosi
menggunakan rumus pada persamaan (2.11), sehingga dapat diperoleh data seperti
tabel berikut:
40
Tabel 4.2 Hasil perhitungan laju korosi pada Al 7075-T6 yang direndam selama 168
jam, 336 jam dan 504 jam pada suhu 255 K
Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata kehilangan
massa dari 3 sampel yang diuji pada setiap waktu perendaman pada suhu es ini, nilai
terbesarnya mencapai 280,4 mg yaitu pada proses perendaman selama 504 jam. Hal
ini sama dengan yang terjadi pada proses perendaman di suhu ruang. Dan untuk laju
korosi terbesar pada suhu es ini mencapai hingga 0,09272 mg/cm2 jam.
300
Rata-rata Kehilangan Massa (mg)
250
200
150
100
50
0
168 336 504
Waktu Perendaman (jam)
Gambar 4.3 Grafik hubungan antara kehilangan massa dan waktu perendaman
Al 7075-T6 pada suhu 255 K
41
Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin lama proses perendaman setiap
sampel yang di uji maka semakin besar pula jumlah kehilangan massa nya. Rata-rata
kehilangan massa adalah kehilangan massa dari ketiga sampel yang direndam dalam
setiap waktu perendaman dibagi 3. Dapat dilihat rata-rata kehilangan massa pada
proses perendaman 168 jam yaitu sebesar 84,467 mg, dan untuk proses perendaman
336 jam adalah 177,7 mg, sedangkan untuk proses perendaman 504 jam mencapai
hingga 280,4 mg.
0.094
0.092
Laju Korosi (mg/cm2 jam)
0.09
0.088
0.086
0.084
0.082
0.08
0.078
168 336 504
Waktu Perendaman (jam)
Gambar 4.4 Grafik hubungan antara laju korosi dan waktu perendaman Al 7075-T6
pada suhu 255 K
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa laju korosi Al 7075-T6 yang
direndam pada suhu es ini mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya
waktu perendaman yaitu dari 168 jam, 336 jam kemudian 504 jam. Laju korosi terkecil
pada perendaman suhu es ini adalah 0,08379 mg/cm2 jam, dimana lebih tinggi daripada
laju korosi terbesar pada suhu ruang ruang yang hanya mencapai 0,05817 mg/cm2 jam.
Sedangkan laju korosi terbesar pada suhu es ini hampir mencapai 0,1 yaitu sekitar
0,09272 mg/cm2 jam.
42
Perbandingan laju korosi dengan waktu perendaman 168 jam, 336 jam dan 504
jam pada variasi suhu yaitu suhu ruang (300 K) dan suhu es (255 K) dapat dilihat
pada grafik berikut:
27°C -18°C
0.095
0.09272
0.09
0.08814
0.085
0.08379
Laju Korosi (mg/cm2 jam)
0.08
0.075
0.07
0.065
0.06
0.05817
0.055 0.05568
0.05423
0.05
0.045
168 336 504
Waktu Perendaman (jam)
Gambar 4.5 Grafik perbandingan antara laju korosi dengan waktu perendaman pada
kedua variasi suhu yaitu 300 K dan 255 K
Dari grafik di atas dapat disimpulkan bahwa laju korosi yang terjadi pada proses
perendaman di suhu es 255 K jauh lebih tinggi dibandingkan laju korosi yang terjadi
pada suhu ruang 300 K. Hal ini berlaku untuk setiap waktu perendaman, yaitu pada
168 jam laju korosi di suhu es mencapai 0,08379 mg/cm2 jam sedangkan di suhu ruang
hanya 0,05432 mg/cm2 jam, pada 336 jam laju korosi di suhu es mencapai 0,08814
mg/cm2 jam sedangkan di suhu ruang hanya 0,05568 mg/cm2 jam, dan pada 504 jam
laju korosi di suhu es mencapai hingga 0,09272 mg/cm2 jam sedangkan di suhu ruang
yaitu 0,05817 mg/cm2 jam. Kemudian juga diketahui bahwa laju korosi terbesar pada
suhu ruang (300 K) masih lebih rendah daripada laju korosi terkecil pada suhu es (255
K), hal ini membuktikan suhu dapat mempengaruhi besarnya suatu laju korosi. Dan
lamanya waktu perendaman berbanding lurus dengan laju korosi, semakin lama waktu
perendaman maka semakin besar laju korosi.
43
4.4 ANALISIS MORFOLOGI PERMUKAAN MENGGUNAKAN SEM-EDX
Tabel 4.3 Penampakan logam uji setelah proses perendaman selama 168 jam, 336
jam dan 504 jam pada suhu es dan suhu ruang
Waktu
Suhu Es (255 K) Suhu Ruang (300 K)
Perendaman
504 jam
336 jam
168 jam
44
4.4.1 Hasil SEM-EDX Tanpa Perendaman Air Laut
Gambar 4.6 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 tanpa perendaman air laut
Gambar 4.7 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 tanpa perendaman air laut
45
Gambar di atas adalah hasil EDX yang menunjukkan map sum spectrum pada Al
7075-T6 tanpa perendaman air laut. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa
Al menjadi unsur yang mendominasi pada logam uji ini.
Tabel 4.4 Komposisi unsur dan atom Al 7075-T6 tanpa perendaman air laut
Map Sum Spectrum
Element Line Type Weight % Weight % Sigma Atomic %
Al K series 90.60 0.17 91.07
Cu K series 4.72 0.04 2.01
Mn K series 0.54 0.02 0.26
Ar K series 0.30 0.01 0.20
Fe K series 0.29 0.02 0.14
O K series 0.46 0.04 0.78
C K series 1.81 0.17 4.09
Mg K series 1.29 0.01 1.44
Total 100.00 100.00
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa unsur Aluminium pada Al 7075-T6 tanpa
proses perendaman masih tertinggi yaitu 90,60 %, kemudian disusul oleh Cu 4,72 %,
Mn 54 %, Ar 0,30 % dan unsur lainnya.
4.4.2 Hasil SEM-EDX Setelah Direndam Air Laut selama 504 jam pada Suhu
Ruang (300 K)
Gambar 4.8 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 yang direndam air laut
selama 504 jam pada suhu 300 K
46
Pada gambar 4.8 di atas dapat dilihat bahwa adanya perubahan pada morfologi
permukaan Al 7075-T6 setelah direndam dalam air laut selama 504 jam pada suhu 300
K. Permukaan logam uji ini setelah direndam menjadi lebih kasar daripada permukaan
logam uji tanpa perendaman pada gambar 4.6, menunjukkan adanya kerusakan
struktur permukaan logam uji setelah proses perendaman.
Gambar 4.9 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 yang direndam air laut
selama 504 jam pada suhu 300 K
Gambar di atas adalah hasil EDX yang menunjukkan map sum spectrum pada Al
7075-T6 setelah perendaman selama 504 jam pada suhu 300 K. Berdasarkan gambar
tersebut dapat dilihat bahwa Al masih menjadi unsur yang mendominasi dibandingkan
unsur lainnya, namun adanya unsur Cl setelah perendaman ini.
Tabel 4.5 Komposisi unsur dan atom Al 7075-T6 dengan perendaman air laut selama
504 jam pada suhu 300 K
Map Sum Spectrum
Element Line Type Weight % Weight % Sigma Atomic %
C K series 13.86 0.22 26.78
Al K series 78.61 0.21 67.63
Cu K series 3.62 0.04 1.32
O K series 1.93 0.05 2.80
Mn K series 0.48 0.02 0.20
Ar K series 0.25 0.01 0.15
Fe K series 0.10 0.02 0.04
Cl K series 0.08 0.01 0.05
Mg K series 1.07 0.01 1.02
Total 100.00 100.00
47
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat dilihat unsur Aluminium pada Al 7075-T6
mengalami penurunan setelah dilakukan perendaman air laut selama 504 jam pada
suhu ruang, yaitu dari 90,60% menjadi 78,61%. Kemudian adanya peningkatan unsur
Oksigen dari 0,46% sebelum perendaman menjadi 1,93% setelah proses perendaman.
Hal ini menunjukkan indikasi terjadinya korosi sehingga membuat persentase weight
dari Al nya berkurang.
4.4.3 Hasil SEM-EDX Setelah Direndam Air Laut selama 504 jam pada Suhu
Es (255 K)
Gambar 4.10 Hasil SEM morfologi permukaan Al 7075-T6 yang direndam air laut
selama 504 jam pada suhu 255 K
48
Gambar 4.11 Hasil EDX map sum spectrum Al 7075-T6 yang direndam air laut
selama 504 jam pada suhu 255 K
Gambar di atas menunjukkan adanya perbedaan dengan map sum spectrum yang
direndam air laut selama 504 jam pada suhu ruang, yaitu gambar 4.9, pada gambar
tersebut hasil EDX menunjukkan adanya unsur Mg dan Cl dan kedua unsur ini tidak
ditemukan pada logam uji yang direndam air laut selama 504 jam pada suhu es (255
K) ini, selain itu unsur Al masih mendominasi daripada unsur lainnya.
Tabel 4.6 Komposisi unsur dan atom Al 7075-T6 dengan perendaman air laut selama
504 jam pada suhu 255 K
Map Sum Spectrum
Element Line Type Weight % Weight % Sigma Atomic %
C K series 19.51 0.22 35.40
Al K series 72.81 0.21 58.81
Cu K series 3.78 0.04 1.30
O K series 2.99 0.05 4.07
Mn K series 0.44 0.02 0.18
Ar K series 0.37 0.01 0.20
Fe K series 0.09 0.02 0.04
Total 100.00 100.00
Dari tabel di atas dapat dilihat juga adanya indikasi korosi yaitu peningkatan
Oksigen yang signifikan dari 0,46% menjadi 2,99%, dimana lebih besar daripada
proses perendaman air laut pada suhu ruang yaitu hanya 1,93% saja. Kemudian
adanya penurunan persentase Aluminium dari sebelum perendaman 90,60% menjadi
72,81% setelah proses perendaman selama 504 jam pada suhu es (255 K) ini, dimana
penurunan ini lebih besar daripada yang terjadi di suhu ruang (300 K).
49
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan pada penelitian ini
adalah:
1. Paduan Aluminium 7075-T6 sebagai material frame pada kargo pesawat B737-
800 ini dapat terkorosi oleh air laut, dan terbukti adanya efek perbedaan suhu
terhadap laju korosi.
2. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa laju korosi Al 7075-T6 terbesar pada
suhu ruang (300 K) maupun suhu es (255 K) terjadi pada waktu perendaman 504
jam, yaitu pada suhu ruang mencapai 0,05817 mg/cm2 jam sedangkan pada suhu
es mencapai 0,09272 mg/cm2 jam, dibandingkan kedua waktu perendaman
lainnya yaitu 168 jam dan 336 jam.
3. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa laju korosi Al 7075-T6 berbanding
lurus dengan kehilangan massa dan waktu perendaman. Hal ini berarti semakin
besar kehilangan massa akibat korosi dan semakin lama waktu perendaman yang
dilakukan maka semakin besar pula laju korosi yang dihasilkan.
4. Dari hasil SEM-EDX dapat diketahui bahwa adanya perubahan struktur dan
morfologi permukaan dari Al 7075-T6 setelah terjadinya korosi, dan adanya
indikasi korosi yang terjadi yaitu melalui penurunan kadar unsur utama
Aluminium (Al) sebesar 11,99% pada suhu ruang (300 K) dan 17,79% pada suhu
es (255 K). Selain itu juga adanya peningkatan unsur Oksigen (O) sebesar 1,47%
pada suhu ruang (300 K) dan 2,53% pada suhu es (255 K).
50
5.2 SARAN
Berikut adalah beberapa saran agar hasil penelitian selanjutnya lebih baik lagi
antara lain:
1. Pelapis pembatas luas permukaan sampel sebaiknya menggunakan yang lebih
cepat kering dan lebih tahan panas, asam dan korosif.
2. Proses pemotongan sampel sebaiknya disesuaikan dengan ukuran maksimal alat
SEM-EDX agar pengujian berlangsung efektif dan efisien.
3. Penelitian berikutnya bisa melakukan perbandingan dengan merendam pada air
laut dengan air biasa agar diketahui keakuratan efek dari air laut terhadap laju
korosi untuk material frame pada kargo pesawat B737-800.
4. Untuk penelitian berikutnya masih bisa dilakukan pengujian dengan penambahan
penggunaan inhibitor untuk paduan aluminium 7075-T6 agar dapat diketahui
efisiensi dari inhibitor tersebut terhadap laju korosi material frame pada kargo
pesawat ini.
5. Untuk penelitian berikutnya bisa dilakukan pengujian laju korosi menggunakan
polarisasi potensiodinamik.
51
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Dalo, M. A., A.Othman, A., & Al-Rawashdeh, N. A. (2012). Exudate Gum from
Acacia Trees as Green Corrosion Inhibitor for Mild Steel in Acidic Media .
International Journal of Electrochemical Science, 4.
Amelinckx, S. D. (1997). Handbook of Microscopy: Applications in Material Science,
Solid-State Physics and Chemistry. In S. D. Amelinckx, Applications in
Material Science, Solid-State Physics and Chemistry (pp. Page 120, 124, 694).
Jerman: VCH Verlagsgesellschaft mbH.
Arwati, I. G., & Izzati, T. (2015). Stainles steel AISI 304 pipe's inhibition in the
seawater environment using NaNO2. International journal of applied
engineering research.
Arwati, I. G., Izzati, T., & Arifin, Z. (2016). Natrium Carbonate (Na2CO3) As
Inhibitor in The Corrosion Protection on Steel Pipe St 41 in Water Plumbing
Environmental . International Journal of Vol.2 (No.1). Innovation in
Mechanical Engineering & Advanced Materials, pp. 20-25.
ASM International . (1990). Metals Handbook Vol.2 Properties and Selection:
Nonferrous Alloys and Special Purpose Materials 10th Edition. ASM
International .
ASTM B209. (1996). Standards Specification for Alumunium adn Alumunium-Alloy
Sheet and Plate. Retrieved from ASTM B209.
Budiyarti, P., & Ilman, M. N. (2018). Studi Experimental Fatik Korosi Aluminium
Paduan 7075-T6 Pada Lingkungan 3,5% Nacl Dengan Inhibitor Na2cro4.
Calister Jr., w. D., & Retwish, D. G. (2013). Material Science and Engineering. New
Jersy: Wiley.
Callister, W. D. (2001). Fundamentals of Materials Science and Engineering. New
York: John Wiley & Sons, Inc.
Chun-yung Niu, M. (1989). Airframe Structural Design: Practical Design Information
and Data on Aircraft Structures. California: Comlit Press.
Davis, R. (2001). Alloying: Understanding the Basic. In R. Davis, Alumunium and
Alumunium Alloys (pp. 351-416). New York: ASM International.
Djatmiko, E., & Budiarto. (2011). Analisis Sifat Mekanis Dan Strukturmikro Pada
Al78si22 Metode Squeezing Casting. Prosiding Seminar Nasional
Pengembangan Energi Nuklir IV.
Eldina, I. E. (2016). Alumunium. Jurusan Kimia Universitas Negeri Padang, 1-13.
Fellicia, & Mughni, D. (2007). Analisis Karakterisasi Lapisan Pasif Korosi Implant
Comersial Pure Titanium Grade 2 Dengan Varisai Kekasaran Permukaan
Pada Cairan Tubuh Buatan. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
52
Fontana, M. G. (1987). Corrosion Engineering. New York: Mc Graw-Hill Book
Company.
Gapsari, F. (2017). Pengantar Korosi. In F. Gapsari, Pengantar Korosi (p. 155).
Malang: University of Brawijaya Press.
Goldstein, J. I., Newbury, D. E., Patrick, E., David, C. J., Charles, E. L., Eric, L., . . .
Joseph, R. M. (2003). Scanning Electron Microscopy and X-Ray Microanalysis
Third Edition. Page 1, 21 – 27. New York: Plenum Publishers.
Hartawan, B. (2018). Analisis Pengaruh Perlakuan Panas Artificial Aging Pada
Aluminium Magnesium Silikon (Al-Mg-Si) Yang Dicor Ulang Terhadap Sifat
Mekanis. Lampung: Universitas Lampung.
James. (2017). A Guide To Crevice Corrosion & How To Treat It. Retrieved from Steel
Fabrication Service.
James. (2017, July 17). A Guide to Intergranular Corrosion and How to Treat It.
Retrieved from Steel Fabrication Services: https://steelfabservices.com.au/a-
guide-to-intergranular-corrosion-how-to-treat-it/
Jones, D. A. (1996). Principle and Prevention of Corrosion (Second Edition). New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Leioraianta, R. A. (2010). Studi pengaruh waktu rendam inhibitor organik ramah
lingkungan pada baja SPCC dalam lingkungan air laut. Depok: Universitas
Indonesia.
Marlaud, T., Malki, B., Henon, C., Deschamps, A., & Baroux, B. (2011). Relationship
Between Alloy Composition Microstructure And Exfoliation Corrotion in Al-
Zn-Mg-Cu Alloys. Corrosion Science 53.
Polmear, I. J. (1995). Light Alloys: Metallurgy of The Light Metals. Oxford:
Butterworth-Heinemann.
Popov, B. N. (2015). Basic of Corrosion Measurement. In B. N. Popov, Corrosion
Engineering Principles and solved Problems (p. p. 207). South Carolina:
Elsevier.
Sekunowo, O. I., Durowaye, S. I., & Anozie, E. C. (2015). Corrosion Propensity of
Cold Deformed 5052 Aluminium Alloy in Seawater. Current Journal of
Applied Science and Technology, 46-52.
Sihono, & Sukahir. (2009). Proses dan penyebab terjadinya korosi pada pesawat
terbang. Jurnal ilmiah aviasi langit biru.
Siregar, T. (2010). Laju korosi dan mekanisme inhibisi aluminium murni
menggunakan kalium dan kalsium stearat. Jurnal Kimia, 113-124.
Stokes, D. J. (2008). Principles and Practice of Variable Pressure/Environmental
Scanning Electron Microscopy (VP-ESEM). In D. J. Stokes, Principles and
Practice of Variable Pressure/Environmental Scanning Electron Microscopy
53
(VP-ESEM) (pp. Page 18, 30 – 31). United States of America: John Wiley and
Sons, Ltd.
Sukiman, N. L. (2013). Durability and corrosion of aluminum and its alloys: overview.
Property Space, Techniques and Development. Intech.
Suprihatin, D. A. (2016 ). Korosi dan pengendaliannya . Malang: PPPP TK, VEDC
Malang.
Surdia, T., & Saito, S. (1999). Pengetahuan Bahan Teknik. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita.
Talbot, D. (2000). Corrosion science and technology. Florida: CRC Press.
Trethewey, K., & Chamberlain, J. (1991). Korosi Untuk Mahasiswa Sains dan
Rekayasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka utama.
Xianfei, Z. (2017). Evaluate the crashworthiness response of an aircraft fuselage
section with luggage contained in the cargo hold. International Journal of
Crashworthiness.
54