Anda di halaman 1dari 3

Drama Penangkapan Tuanku Imam Bonjol

Suatu malam, 25 Oktober 1837. Tuanku Imam Bonjol dijemput oleh seorang Jaksa
utusan Kapiten Steinmis dari Bukittinggi. “Adapun saya disuruh oleh Tuan Besar
(Residen Francis) untuk membawa Tuanku ke Bukittinggi. Tuan Besar  ingin
bertemu Tuanku sebab beliau tahu Tuanku ada di sini (Palupuah), “kata utusan itu.

Tuanku Imam Bonjol menyanggupi. Setelah perjamuan, Tuanku Imam berangkat ke


Bukittinggi diiringi serdadu Kompeni. Sesampai di Bukittinggi, Tuan Besar Francis
berkata, “Sekarang Tuanku tak boleh pulang ke Bonjol, melainkan tinggal di Luhak
Agam ini saja.”

Tuanku Imam menolak. Beliau minta pulang ke Bonjol. Tetapi si Tuan Besar itu
berkata, “Tuanku tinggal di Bukittinggi saja. Di mana Kapiten Steinmis diam, di situ
Tuanku diam. Di sini Tuanku dapat belanja dan sebab Tuanku sudah tua, boleh
tinggal di dalam surau dan mengaji. Perempuan (istri) Tuanku jika mau boleh ikut ke
mari,” bujuk Tuan Besar. Tapi jika Tuanku tidak suka boleh diam di dalam negeri
(Bonjol) saja. 

Pada pertemuan itu juga ada Regen Batipuah Datuk Pamuncak. Ia menolak jika
Tuanku Imam tinggal di Bukittinggi. Ia sepertinya ingin Tuanku Imam dibang jauh.
“Jika perkataan saya ini berguna bagi kompeni, saya berpendapat jika Tuanku masih
ada di Tanah Darek ini, Kompeni tak akan bisa tenang,” kata Datuk Pamuncak,
kolega kompeni dari kaum adat yang memerangi Padri. Sepertinya, tuan besar tak
berkenan dengan ucapan regen Batipuh itu. Ia mendelik ke arah regen dan
kemudian pembicaraan terhenti.

3 hari sudah Tuanku di Bukittinggi. Drama berlanjut. Setelah sembahyang Isya,


terjadi insiden. Bagindo Tan Labiah pengikut Tuanku Imam keluar hendah buang air.
Namun saat menuju ke tempat buang air, ia ditangkap dengan todongan piarit
(tombak) dan diikat. Begitu pula Bagindo Putiah. Melihat hal ini, Tuanku Imam marah
dan mencabut pedangnya.

Sebelum terjadi keributan, tiba-tiba Tuanku nan Panjang (?) datang dan berkata
“Tuanku dipanggil tuan besar masuk ke rumah.” Tuanku pun menyarungkan
pedangnya dan menuju ke rumah. Di sana ada Kapiten Steinmis dan Letnan
Arbacht. Tak ada Tuan Besar Residen Francis di rumah itu.

Keduanya mengatakan bahwa di sini (di Bukittinggi) tidak mungkin dapat berunding.
Lebih baik Tuanku bicara dengan Tuan Besar di Padang, kata mereka. Mendengar
hal itu, semakin naik amarah Tuanku Imam. Ia berkata: “Jika kompeni ingin
membinasakan (membunuh) saya, sebaiknya di sini saja. Tak ada gunanya ke
Padang lagi!” kata Tuanku Imam.

Lalu, Letnan Arbacht menjawab: “Tidak. Saya bersumpah kepada hari malam dan
kepada lampu yang hidup ini, Tuanku tak akan dibinasakan. Tidak berkicuh kami
pada Tuanku.” Sebab Tuanku diminta ke Padang, Tuan Residen mendadak
berangkat ke Padang karena ada urusan mendadak.
 

“Baiklah. Jika saya ke Padang, siapa yang mengantar saya?” tanya Tuanku Imam.

“Saya yang mengantarkan. Tapi tak sampai ke Padang.”  Jawab Letnan Arbacht.

“Baiklah. Malam ini juga saya berangkat!” kata Tuanku Imam.

Malam itu juga beliau berangkat dengan ditandu oleh orang kuli suruhan kompeni.
Letnan Arbacht menjadi kepala rombongan itu. Dalam perjalanan itu beliau sama
sekali tak boleh berjalan sendiri, melangkahkan kakinya sendir walau hanya
selangkah. Beliau dikawal ketat oleh serdadu kompeni dan orang Batipuah anak
buah Datuk Pamuncak.

Pukul sebelas malam sampai di Padang Panjang. Letnan Arbacht kembali ke


Bukittinggi dan  menyerahkan pimpinan rombongan pengantar kepada kapiten dari
Padang Panjang. Sampai di Kayu Tanam pimpinan rombongan berganti lagi. Pukul
dua belas malam berhenti di Kiambang untuk makan.

Karena ditandu gerak beliau tak leluasa. Bahkan beliau sempat marah ketika waktu
subuh tiba ia tak sepertinya tak diizinkan untuk shalat. “Jikalau tak boleh
bersembahyang apa gunanya hidup. Lebib baik mati!” kata beliau mengardik
rombongan yang mengawalnya.

Perjalanan ke Padang memakan waktu2 malam. Pukul 12 siang  keesokan harinya


belia sampai di Padang. Sampai di Padang beliau diturunkan dari tandu dan
dijemput denga kuda. Keadaan semakin tak menentu sebagaimana diceritakan oleh
putranya Na’ali Sutan Caniago.

“Mancareteh kuda melarikan sampai di Kualo. Tibo di situ terhibalah hati anyo lai.
Karena sikoci sudah menanti di kuala. Mayor kompeni segera menyuruh Tuanku
Imam naik ke atas sikoci. Beliau diiringi oleh kemanakannya Sutan Saidi dan
Durahap serta pengiringnya Bagindo Tan Labiah.

Beliau berempat di atas sikoci, sikoci tak boleh lagi ditahan, segera meluncur
menuju Pulau Pisang. Di sana sudah menunggu sebuah kapal. Dalam hati Tuanku
Imam sudah berdetak bahwa badan akan dibawa ke seberang lautan. Negeri di
lembah Alahan Panjang tidak akan lagi terjelang.

Tuan besar Francis tak kunjung datang. Maka Tuanku Imam terpaksa bermalam di
kapal itu. Kapal layar tiang tiga sungkup. Baru tengah hari keesokan harinya
Residen Francis tiba di kapal dari Padang.

“Bagaimana lagi sekarang Tuanku. Tuanku terpaksa harus ke Betawi. Tempo hari di
Bukittinggi tuan tidak mau bicara dengan saya,” kata residen Francis.  

Mendengar kata Residen Francis ini, marahlah Tuanku Imam Bonjol. Air ludahnya
jatuh ke dalam menahan ragam.
“Saya datang ke Bukittinggi kemudian sampai di Padang ini karena memenuhi surat
tuan. Itupun saya sudah bertemu langsung dengan tuan. Andaipun tak ada surat itu,
saya juga pasti akan menemui tuan, kata Tuanku Imam. Itu makanya saya tahan
amarah dan saya ikuti perkataan tuan Steinmis. Sekarang tuan tidak mau menerima.
Sungguh mengecewakan!” Dengan kecewa bercampur marah ia melanjutkan kata-
katanya.
“Baiklah. Apa boleh buat. Sudah berkicuh malah itu tuan kepada saya!” sergah
Tuanku Imam.
Residen Francis menjawab; “Sebab Tuanku dipegang oleh orang menang perang,
sekarang Tuanku turut dulu ke Betawi. Boleh dan mengadu kepada Tuan Besar di
Betawi. Kalau tuhan Allah punya kasihan, hiba tuan besar melihat Tuanku dan
Tuanku boleh pulang kembali.”

Kapal pun belayar menuju Betawi. Perjalanan pembuangan yang penuh tipu-tipu
berlanjut. Cerita pembuangan Tuanku Imam Bonjol ini membuat air mata jatuh ke
dalam.

Catatan:

Diceritakan oleh Na’ali Sutan Caniago, putra Tuanku Imam Bonjol

Sjafnir Aboe Nain, Naskah Tuanku Imam Bonjol, Padang: PPIM, 2005
Muhammad Nasir at 22:09

Anda mungkin juga menyukai