Anda di halaman 1dari 47

reka merasa terancam.

Itulah mengapa Lucent


melakukan investasi dalam skala masif. Tuan Jang
berkata bukan begitu situasinya, tapi aku sudah
kepalang yakin sekali,” suara di seberang panggilan
lantas menjeda, terdengar gemerisik kertas bersama
pena-pena yang bergemeletak gaduh, lalu sesaat
kemudian Han Hojo kembali melanjutkan, “Coba
pikirkan saja, meski Crowbits sedang meregang
nyawa, kita semua sudah menjadi pesaing terkuat
selama lebih dari satu dekade! Kalau perusahaan ini
tamat, Lucent jelas akan memonopoli pasar tanpa
adanya persaingan. Itu tidak bagus untuk citra
perusahaan dan regulator.”

“Jika memang investasi sudah disetujui kedua


belah pihak, mengapa aku harus menemui Jung
Hoseok?” Mengusap pelipis, Song Jian
mengembuskan napas pendek. “Aku bahkan tak
berada di Korea Selatan sekarang, Kak. Jika
memang ingin menunjukkan apresiasi,
mengamankan kontrak, atau semacamnya, bukankah
sebaiknya mengutus perwakilan perusahaan saja
untuk bertemu nanti?”

“Kau ini benar-benar tidak tahu, ya?”

“Tahu apa?”

“Tuan Jung itu agak … aduh, bagaimana


menjelaskannya, ya?”

“Aneh?”

“Bukan,” Hojo menyahut seolah sang lawan


bicara baru saja mencetuskan serapah tak pantas,
mengoreksi, “Eksentrik.” Jeda sekilas tersemat
sebelum ia kembali berkata, “Yang jelas, temui saja.
Bagaimana? Mau, ya? Tiket pesawat tercepat yang
bisa kudapatkan menuju LA baru berangkat siang
nanti. Aku bahkan belum tertidur selama dua hari.
Menjelang jam makan malam, aku jelas takkan bisa
berada di sana. Bagaimana dengan perbedaan
waktunya? Enam belas jam, lho!”

Jian menahan napas. “Memangnya berapa lama


aku harus menemuinya?”

“Hanya satu jam! Paling lama juga dua jam.


Kumohon?”

Ah, astaga. Bagaimana mungkin ia bisa


menolak kalau Hojo sudah memohon begitu? Benar-
benar penuh, sesak, dan bising sekali.

Mengusap pelipis sekilas, memandang keluar


Los Angeles yang merekah ke dalam lantunan pagi
bising, Jian menggigit bibir bawah sekilas. Jangan
keliru, bukannya ia tak sudi membantu sang kawan
menyelamatkan perusahaan komputer dimana ia
sudah bekerja selama delapan tahun belakangan.
Namun Jian sungguh merasa bahwa ia bukan orang
yang tepat untuk melakukan semua ini. Bagaimana
jika ia malah mengacaukan kesepakatan atau
semacamnya? Lantas menjatuhkan tubuhnya pada
sofa hotel, melirik jam dinding masih berdetak pada
pukul lima, perempuan tersebut mampu merasakan
kepalanya sudah berdenyut-denyut pening.

Harusnya ia tadi tak perlu iseng mengaktifkan


ponsel kerjanya.

Menarik napas pendek, Jian jelas hendak


menyetujui permintaan Hojo kalau saja lawan
bicaranya tak mendadak melesatkan kalimat, benar-
benar panik, “Oke, begini saja,” katanya, bernapas
cepat. “Aku punya penawaran khusus untukmu.”

“Huh?”

“Saat keadaan sudah stabil, aku berjanji atas


nama ibuku bahwa aku akan memberimu satu pekan
untuk berlibur lagi. Bagaimana? Kau masih bisa
mendapatkan cutimu, gajimu, uhh … pokoknya,
semuanya! Aku akan menganggap ini sebagai
hutang budi yang akan kubalas dengan nyawa.”

Jian seketika membeku. “Sungguh?”

“Aku sudah bersumpah demi nama ibuku. Masa


kau tetap tidak percaya?”

Well, sebetulnya, tidak perlu sampai seperti itu.


Namun merasakan seulas senyum tipis seketika
merangkak mewarnai ceruk bibir, sang wanita mati-
matian berusaha agar ia tak terkekeh. Hei,
kesempatan emas takkan datang dua kali, bukan?
Jelas tak boleh disia-siakan. Jadi di sana, berdeham
sekali, Jian menyahut yakin, “Oke, kalau begitu.
Akan kutemui,” ia menyambar, sesaat kemudian
memastikan, “Tetapi sekali lagi, aku tak perlu
mengurus kontrak atau apa pun, bukan?”

“Tidak, tidak perlu. Tenang saja. Kau hanya


perlu datang menemuinya. Tak mungkin aku
meminta QA1 untuk mengurus investasi.”

“Harusnya kalau sudah tahu begitu, jangan


meneleponku sekalian, dong.”

“Ih, aku hanya bercanda, tahu.”

Semua ini benar-benar terdengar mudah


sekaligus janggal sekali. Investasi sebesar 183 miliar
yang Lucent tanamkan bukanlah jumlah uang yang
bisa kau saksikan setiap hari. Apalagi jika
dimasukkan ke dalam perusahaan yang tengah
berada di ambang kebangkrutan. Terlepas dari
kecurigaan Hojo mengenai monopoli pasar atau
kecurigaan regulator, rasanya ada alasan lain yang
disembunyikan. Sebab alih-alih meminta perwakilan
resmi dari Crowbits, Jung Hoseok malah meminta
untuk bertemu di luar jam kantor? Di LA, pula!
Mencurigakan. Sungguh amat sangat mencurigakan.

Jian mendecakkan lidah. “Ya, sudah. Kirimkan


saja dress code, lokasi, dan jamnya.” Ia diam sekilas,
mendesak, “Tapi ingat, Hojo. Aku masih bisa
berlibur sepekan lagi dan hari cutiku tidak
berkurang, lho!”
Hojo mendesis, “Dasar perempuan serakah.
Kalau kau memang memiliki hari libur sebanyak itu,
harusnya kau sudah memiliki kekasih sekarang,”
dumelnya, menggerutu panjang pendek. Namun
sedetik kemudian mengubah nada bicara bak hantu
yang menempel di lehernya menguap, Hojo
melanjutkan senang bukan kepalang, “Tapi, terima
kasih banyak, ya, Song Jian. Sudah cantik, seksi,
mau membantuku pula. Kau memang temanku yang
paling keren, deh.”

Dasar tak waras. Jian lantas menyudahi


panggilan tersebut, meyakinkan diri sendiri bahwa
keputusannya bukan keputusan buruk, lalu
menanamkan bibit keyakinan bahwa ia bisa
mengulang semua pekan menyenangkan ini lain kali.
Sejujurnya saja? Jian sudah lama mengendus
bahwa hal semacam ini akan melanda Crowbits.
Persaingan komputer di era seperti sekarang benar-
benar luar biasa brutal. Tertinggal sedikit saja, maka
kandas sudah perjuangan. Harga yang terlalu mahal,
desain sama sekali tak menarik, produk-produk
gagal yang membuat perusahaan merugi. Crowbits
memang sempat menduduki puncak selama
beberapa tahun karena keberhasilan berbagai
produk. Namun kini malah menghantam dasar
jurang. Tak heran, sih. Memangnya orang mau-mau
saja menghabiskan banyak untuk membeli tablet
yang menyerupai mainan murahan atau membeli
aplikasi yang justru mempersulit pekerjaan? Jian
saja enggan.

Keputusannya selama empat tahun belakangan


untuk menyisihkan gaji guna dimasukkan ke dalam
DIRE2 jelas menjadi satu hela napas panjang yang
meluruhkan kecemasan. Awalnya berjaga-jaga jika
memang ia akan kehilangan pekerjaan dan tak mau
hidup menggelandang. Toh terkaannya tak salah
juga.

Tapi, sialan, memang. Kalau saja orang-


orang developercongkak itu mau mendengar
sekelumit saja dari pendapatnya, mereka mungkin
takkan berakhir seperti ini. Ia mungkin takkan
berakhir di LA dan menemui Jung Hoseok yang
entah tengah merencanakan apa.

Astaga.

Namun meski situasi tak terlihat terlalu buruk


untuknya, Hojo jelas berbeda. Perempuan itu sudah
menikah, memiliki dua orang putra yang tengah
mengenyam pendidikan tinggi, dan upah bulanan
yang suaminya dapatkan agaknya tak cukup untuk
menutupi semua kebutuhan yang diperlukan. Jelas
berbeda dengannya yang masih belum memiliki
tanggung jawab sepadat itu.

Kalau diingat-ingat, Hojo juga pernah


meminjaminya uang disaat Jian masih belum
mendapatkan pekerjaan? Saat itu ia terlalu malu
untuk meminta bantuan kepada kedua orangtuanya
dan sang kawan mengulurkan tangan tanpa
menentukan kapan ia harus mengembalikan uang
yang diberikan. Membalas kebaikan Hojo sama
sekali bukan masalah besar. Yang menjadi persoalan
adalah fakta bahwa Jian sama sekali tak pernah
bertemu dengan Jung Hoseok.

Ia akan melangkah masuk dan


mempresentasikan diri sebagai perwakilan dari
Crowbits—jelas dilarang bersikap sembarangan dan
memalukan. Tapi, apa yang harus dikatakannya
nanti? Terima kasih karena sudah menyelamatkan
Crowbits? Terima kasih karena sudah berinvestasi?
Lalu sesudahnya apa? Ini konyol. Jung Hoseok
meminta sebuah permintaan yang luar biasa konyol.
Mendesis pelan saat ponselnya berdenting, Jian
meneguk saliva kaku membaca pesan yang melesat
masuk.

Hojo
Mélisse. Pukul tujuh malam. Semi-formal.
Seseorang akan menjemputmu.
Jangan cemas dan datang saja.

Jian bergidik dan Hojo kembali mengirimkan


satu pesan susulan.
Hojo
Kau tahu?
Kudengar, Jung Hoseok juga belum memiliki
kekasih.

***

Pada bulan Desember di akhir tahun 2021,


Mélisse Restaurantmendapatkan peringkat ketiga
berdasarkan Time Out yang mengatakan bahwa
restoran tersebut merupakan salah satu dari sepuluh
restoran terbaik di Los Angeles.

Hanya menyediakan 14 kursi, mereka juga


menyuguhkan hidangan menawan yang berorientasi
pada detail, seperti kaviar chawanmushi3 dengan
Hokkaido uni4; potongan wagyudengan ikan teri dan
bawang merah; sup kastanye dan lobster dengan
busa truffle. Agak mustahil mendapatkan kursi
kecuali kalau kau memang mengantongi banyak
pundi. Terletak di Wilshire Boulevard, tak jauh dari
Santa Monica, lokasinya dapat dicapai hanya dengan
menempuh jarak selama tujuh belas menit dari The
Ritz-Carlton Hotel dimana perempuan tersebut
sudah menghabiskan tiga hari cutinya yang
terinterupsi secara paksa.

Jian belum pernah mengunjungi pesisir LA


sebelumnya. Tak sempat. Malas juga. Ia melirik jam
dinding yang menunjukkan pukul tujuh kurang
seperempat malam, memandang refleksi dirinya
yang terbalut mermaid dress sewarna mutiara,
lengkap dengan surai tergerai, dan sepasang
anting Ramage Pendant yang dibuat Bucellati. Ia
cantik juga menawan, Jian sudah lama mengetahui
itu. Kemolekan diri yang diakui adalah senjata
mutlak yang tak semua orang miliki. Tentu saja
harus diutilisasi sebaik mungkin.

Namun sesaat kemudian mendadak kembali


mengingat apa yang Hojo ucapkan, sang wanita
seketika terkekeh pelan dan bergumam lirih pada
diri sendiri, “Ah, selesaikan dulu urusan yang satu
ini, baru memikirkan mengapa kau masih juga
belum memiliki kekasih, Song Jian.”

Oh, well. Toh sebagai pembelaan diri, pusat kota


sudah menyuguhkan semua hal yang sang wanita
inginkan sejak kunjungannya, jadi ia pun enggan
repot-repot berkelana kesana-kemari. Itulah
mengapa, mengingat jarak hotel dan Mélisse yang
tak seberapa, Jian sukses mengutuk Han Hojo dari
lorong-lorong hati saat sebuah Bugatti Chiron dan
seseorang menyambutnya keluar dari lobi.
Ha! Seseorang akan menjemputmu, katanya.
Jangan cemas dan datang saja, imbuhnya. Namun
mengapa tak berkata padaku kalau seseorang yang
akan datang menjemput itu Jung Hoseok sendiri,
dasar sial!

“Song Jian,” sapanya. Suara pria tersebut


sehangat mentari musim semi, senyumnya
semenawan dewa agung yang memprovokasi, aroma
cedar merah samar menyeruak menggelitik puncak
hidung tanpa permisi. “Senang bertemu denganmu
secara resmi.”

Jantung perempuan itu seperti berhenti


berdetak. Hampir.

Mereka bilang, ada kalanya, Tuhan meluangkan


sedikit lebih banyak waktu saat tengah menciptakan
beberapa manusia—yang beruntung; yang
mendapatkan lebih banyak keagungan raga; dan
Jung Hoseok jelas menjadi salah satunya.

Pria tersebut memiliki tubuh menjulang tinggi.


Dadanya bidang, pinggulnya ramping, sepasang
netra memandang teduh, jemarinya diulurkan hati-
hati. Surai sehitam malam tersebut disibakkan,
rahangnya tegas, sepasang alisnya tebal dengan mata
menukik tajam, satu ulas senyum miring dilukiskan
sempurna. Ia menyerupai lukisan paling indah yang
memiliki nilai jutaan dollar; mengenakan sebuah
setelan semi-formal Versace, blazer dengan
dekadensi Italia yang dibordir bergaya barok
keemasan pada lapel, memiliki saku bilur depan,
serta hiasan satin—sepenuhnya membalut Hoseok
yang bergerak luwes.
Jian harus sedikit mendongak menemukan
bayang sang lawan yang sanggup merengkuhnya
hanya dalam satu kali dekap. Jian harus menahan
diri untuk tak mempermalukan diri sendiri. Majalah
bisnis yang selama ini kerap ia baca rupanya tak
sedang mengada-ada. Jung Hoseok memang
karismatik. Dan sang empunya, dapat dipastikan
seratus persen menyadari hal ini dengan pasti.

Catatan pertama? Wanita itu menaikkan satu


alis, tersenyum tipis. Pria ini berbahaya.

Mengulurkan tangan, memandang penuh


kepercayaan diri yang berpendar bangga, Hoseok
mendaratkan satu kecupan tipis pada punggung
tangan lawan bicaranya. Hangat menjalar, panas
dalam dada membara. Jian membalas dengan seulas
senyum tipis, “Selamat malam, Tuan Jung.”
Hoseok tersenyum lucu. “Kurasa tidak perlu
seformal itu.”

“Ini pertemuan bisnis, bukan?”

“Awalnya.” Ia mengerling. “Mungkin berakhir


dengan cara tak sama.”

Sial. Sial. Han Hojo sial. Apa temannya itu baru


saja menjualnya untuk mendapatkan investasi
perusahaan? Kalau memang iya, wah, awas saja.
Mampus kau nanti.

Namun lucunya—setengah menyebalkan,


barangkali—semua kecemasan yang Jian miliki
mendadak surut tak lama kemudian, berubah
menjadi rasa malu yang sedikit menggelitik relung
hati. Hoseok memang sedikit menggoda, tetapi
sejauh ini sang pria tak menyentuhnya tanpa permisi.
Ia hanya menggenggam jemari Jian, membuka pintu
mobil, dan melajukan kendaraan meninggalkan
hotel. Keadaan memang canggung. Sesaat saja,
tetapi memang demikian. Meski agaknya, Hojo jelas
tak berusaha menjadikannya mata uang transaksi.

Ada hal lain yang tengah berkelindan,


disembunyikan. Dan lagi, apa itu tadi? Senang
bertemu denganmu secara resmi? Mungkinkah ia
dan Hoseok pernah bertemu sebelumnya? Jian tak
yakin. Jika bertemu dengan pria semenawan ini,
atensinya pasti sudah tersita dalam hitungan sekon.
Presensi Hoseok pun sama sekali tak mudah
diabaikan. Pertemuan bisnis di luar jam kantor yang
ditentukan saja sudah mencurigakan. Di LA,
apalagi. Apa, sih, yang sebetulnya sedang terjadi?
Sayangnya, sebelum Jian sempat menerka,
perjalanan singkat tersebut sudah usai. Jantungnya
bertalu. Eksistensi Hoseok pun sama sekali tak
membantu. Sebab di sana, pria tersebut melepaskan
sabuk pengaman terlebih dahulu, membuka pintu
mobil untuknya, lalu mengerling jenaka saat
menyodorkan lengan ketika berujar, “Miss?”

Apa ia baru saja menjerumuskan diri sendiri ke


dalam adegan romansa di televisi? Jian tersenyum
kikuk, menautkan jemarinya pada sang lawan,
merasakan otot pria tersebut di bawah telapak
tangannya. Tenang. Fokus. Dan jangan terjerembab.
Ada hal lain yang mencurigakan di sini. Seharusnya,
Mélisse memiliki konsep dimana dapur dan ruang
makan menjadi satu, dipandu bersama koki
serta sommelier, dan—sekali lagi—hanya
menyediakan empat belas kursi. Setidaknya akan
ada dua belas tamu lain yang akan menikmati
petualangan kuliner malam ini. Tetapi tatkala Jian
menjejakkan kaki memasuki restoran kecil yang
terasa kelewat pribadi itu, sang wanita sontak
mematung sempurna.

Oh, tidak.

Jian memalingkan wajah dengan satu alis


dinaikkan tak percaya, memandang Hoseok penuh
selidik curiga. “Tolong jangan katakan kalau Anda
melakukan reservasi seluruh restoran.”

Hoseok menampilkan satu kekeh geli,


menggeleng. “Hanya kebetulan,” sahutnya kalem.
“Mungkin seluruh warga LA hanya sedang tidak
ingin datang mengunjungi Mélisse malam ini.”
“Anda harus mencoba berbohong dengan cara
yang lebih baik lagi.”

“Sulit membohongi perempuan cerdas.”

Omong kosong macam apa itu?

Sayang, tak ada banyak waktu untuk memprotes.


Tak saat ini. Tidak sekarang, minimal. Jadi saat
sudah mendudukkan diri dan tengah menanti satu
demi satu hidangan disajikan, Jian menukik tepat
pada sasaran, “Mengapa Anda menanamkan
investasi yang begitu besar disaat kami sedang
merenggang nyawa begini?” tanyanya, tak
mengerjap. Mengabaikan Hoseok yang jelas terlihat
tak ingin membicarakan apa yang seharusnya
memang dibicarakan, Jian melanjutkan, “Karena
regulator?”
Hoseok mengangkat gelas wine, menyesap
sedikit. “Han Hojo sudah memprediksinya?”

“Kurang lebih.” “

“Sudah kubilang, jangan terlalu formal,” ia


menjeda sejenak, kali ini merendahkan nada bicara,
tak terdengar seperti meminta, “Aku sedikit
memaksa.”

Well, jika memang itu yang diminta. Jian


nampak ragu. “Kalau begitu … Hoseok?”

Hoseok bisa merasakan dadanya berdegup.


“Nah, begitu itu baru gadisku.”

Namun Jian sama sekali tak memberikan ruang.


Ekspresinya bahkan tak berubah. “Jadi? Mengapa
CEO Lucent yang jelas mampu menguasai pasar
malah mau membantu perusahaan musuh?” Ia
memandang curiga, sejenak terdiam saat seorang
sommelier menuangkan wine ke dalam gelas sang
lawan sekali lagi. “Keuntungan Lucent pasti akan
menyentuh langit jika kau membiarkan kami semua
berakhir di sini. Bukankah begitu?”

Hoseok meletakkan gelas, mengembuskan


napas, berusaha tak kehilangan kontrol. Sudah
selama berapa bulan, ya, ia mendambakan
pertemuan ini? Satu? Dua? Tiga? Kalkulasi
waktunya saja sampai memudar.

Song Jian yang berhasil mencuri atensinya


selama beberapa waktu belakangan benar-benar
melampaui harapan. Kini sosok tersebut bahkan ada
di hadapan netra, bukan lagi dibatasi jarak,
aromanya saja membuat mabuk kepayang. Tak
hanya menawan luar biasa, bagaimana ia berbicara,
memandang, juga tak kalah membuat sinting. Tak
pernah pria tersebut sangka bahwa investasi yang ia
lakukan semata-mata karena tak ingin melakukan
monopoli pasar yang merepotkan juga dapat
digunakan untuk tujuan lain. Tak sepenuhnya benar,
tentu saja. Tapi, siapa peduli? Memandang wanita di
hadapannya yang benar-benar kelewat menggoda, isi
kepala pria tersebut kian memburam.

Berdeham, Hoseok menyahut, “Kau tidak


terdengar seperti seseorang yang takut kehilangan
pekerjaan.”

Jian memiringkan kepala sekilas. “Aku bekerja


untuk uang. Saat perusahaanku tak lagi menyediakan
apa yang kubutuhkan, sudah sewajarnya kami
mencari peluang lain yang lebih bagus.”

“Jadi, kau sudah menemukan pekerjaan baru?”


“Belum.” Jian menyambar gelas wine-nya,
tersenyum tipis. “Tapi anggap saja keuanganku
sudah terjamin selama beberapa tahun ke depan.”

“Aku suka perempuan pandai.”

“Aku juga menyukai diriku sendiri, kurasa?”

Hoseok terkekeh. “Kau harus bekerja untukku,


kalau memang Crowbits tak bisa bangkit lagi.”

“Kami harus berusaha terlebih dahulu. Investasi


sebanyak itu pasti akan membuat repot kalau
berakhir sebagai kerugian.”

Hoseok mendesah, menggeleng tak setuju.


“Uang bisa dicari kembali. Tapi, kau?” Ia
memandang lurus, tanpa keraguan. “Tidak. Kurasa
tidak.”
Jian hanya tersenyum hangat. “Itu sebuah pujian
yang luar biasa. Terima kasih.”

Ah, perempuan ini membuatnya gila. Benar-


benar gila. “Hojo sudah mengatakan semuanya
padamu, Jian. Meski terdengar seperti omong
kosong, namun persaingan bisnis yang sehat juga
diperlukan untuk keberlangsungan di masa depan
dan perkembangan yang akan datang. Jika Lucent
kehilangan Crowbits, situasi akan sedikit
merepotkan dan aku tak suka dengan hal yang
merepotkan.” Menjeda, ia memiringkan kepala
sekilas. “Ini hampir terasa seperti pertaruhan. Tapi
kurasa hasilnya setimpal.”

“Setimpal?”

“Tanpa melakukan investasi, aku jadi tak bisa


bertemu denganmu.”
“Seratus miliar won itu berlebihan kalau hanya
untuk menemui seseorang.”

“Memang mahal, harus kuakui.”

“Menyesal?”

“Sama sekali tidak.”

Berbahaya. Jian tak buru-buru


menyahut. Kewaspadaannya memang benar.
Perempuan tersebut lantas membiarkan hening
mengisi diantara keduanya. Para pelayan datang
mengantarkan makanan, aroma menggoda
memenuhi sepenjuru restoran. Tempat ini jelas
bukan tempat yang akan kau datangi untuk sebuah
makan malam mewah. Namun sejujurnya saja? Jian
menyukainya. Ketenangan, kesan personal,
semuanya terasa hangat sekaligus memukau.
Sesaat kemudian, menyahut hati-hati, ia lantas
berkata kembali, “Jika sistem yang berada di dalam
Crowbits tetap sama, uang sebanyak itu jelas tidak
akan jadi setimpal. Jangankan setimpal, kembali saja
mungkin akan sulit.”

Hoseok menaikkan satu alis. “Mengapa begitu?”

“Developer perusahaan saat ini sulit untuk


menerima perkembangan, secara ironis.” Jian
mendecakkan lidah, bisa merasakan rasa jengkel
meluap-luap. Padahal tugasnya mengembangkan
sesuatu, tapi malah tidak mau berkembang!Si gadis
memandang Hoseok, curiga, “Anda—uh, maksudku
—kau,” Jian diam sekilas, menemukan pria di
hadapannya jelas berusaha tak terbahak, mendesis
tak percaya. Perempuan itu merutuk dalam benak,
menukas, “Kau tidak berinvestasi tanpa melakukan
sesuatu, bukan, Jung Hoseok?”

Pria yang satu itu malah tertawa. “Aku tak bisa


memberitahunya padamu. Tidak
sekarang. Well, kecuali—”

“Kecuali?”

“Seorang QA senior sepertimu selalu dibutuhkan


di Lucent. Datanglah padaku.”

“Sedang menggodaku, ya?”

“Tidak, tidak juga.” Hoseok menggeleng yakin,


memandang tepat pada sepasang netra sang lawan
bicara. “Aku sudah tahu bagaimana caramu
memandang situasi. Lagipula aku lebih suka
menggoda di tempat lain yang lebih tertutup. Berdua
saja. Yang jelas bukan di sini.”
Ah, jadi terkaan keduanya memang benar. Lagi.

“Biar kutebak.” Jian meletakkan garpu yang


digenggamnya, menyesap wine, menahan napas
sekilas. Ia tak memiliki waktu untuk ini. Tidak
sekarang. Jadi tanpa keraguan, perempuan tersebut
lantas menukas berani, nyalang, “Kita pernah
bertemu sebelumnya?”

Oh? Tepat sasaran. Hoseok tertawa. “Pernah.”

“Jatuh hati padaku pada pandangan pertama?”

“Aku masih mencoba memastikan.” Ia


memandang kagum. “Beberapa saat saja sudah bisa
setepat ini?”

“Tidak sulit. Tak ada kesepakatan bisnis normal


yang diikuti dengan permintaan bertemu secara
personal, Tuan. Apalagi di luar negeri.” Jian
menaikkan satu alis menyelidik, tersenyum puas saat
Hoseok mengangguk menyetujui dengan tawa lebih
keras yang bergema. Perempuan tersebut menukas,
“Sudah menandatangani kesepakatan?”

“Yep.”

“Tuan Jung ini musuh besar Crowbits. Haruskah


aku mempercayainya begitu saja?”

“Kalau begitu, haruskah kutandatangani bagian


lain dari dirimu yang bisa membuatmu
mempercayaiku?”

Ini bukan hal yang buruk. Jian tak mengatakan


apa-apa sebelum Hoseok kembali bertanya, “Hewan
apa yang kau sukai?”

“Kucing?”

“Mau melihat kucingku di Casa del Mar?”


Jian sontak tertawa.

Seekor kucing di sebuah kamar hotel bintang


lima? Yang benar saja.

Perempuan tersebut lantas menenggak


gelas wine sekali lagi, entah seberapa lama mereka
berbincang sebelum bangkit dan meninggalkan
restoran. Waktu seakan berdetak cepat. Jantung bak
bertalu menyerupai genderang perang. Jian tak yakin
apakah ia mampu mengingat rute yang Hoseok
ambil selepas makan malam berakhir hingga
keduanya berada di sebuah kamar hotel yang
menyuguhkan pesisir Santa Monica. Namun yang
memorinya ingat, jemari pria tersebut tahu-tahu
sudah menyusup di balik pakaiannya tatkala pintu
terkatup dan ia berbisik sayu, “Tidak bisakah aku
membersihkan diri dulu?”
Hoseok memandang protes, meretih melalui
celah-celah gairah yang siap membeludak, berbisik
serak, “Haruskah?”

Membalikkan badan, melingkarkan lengannya


pada leher sang pria, Jian menggeleng. “Tidak juga.”

Dan hanya dengan sepenggal kalimat tersebut,


neraka seakan baru saja dimuntahkan.

Jian seakan tengah terbakar. Hoseok menyambar


pinggulnya, menariknya, menghapus jarak—
menyusurkan jemari pada leher, bahu, dada, hingga
menggelitik tulang selangka. Ia mempertemukan
bibirnya pada bibir sang lawan, meraup serakah,
merasakan punggung menghantam dinding sebab
Hoseok terus mendesak mencari celah. Panas yang
merekah disekujur raga benar-benar kepalang
menyiksa. Bekas lipstik tertinggal pada bibir serta
pipi si pria. Ini gila. Ini tak waras. Ini berbahaya.
Namun Jian menginginkan lebih banyak lagi. lalu
dengan percuma, seolah ia memang diciptakan untuk
tujuan sedemikian rupa, Hoseok yang kemudian
melucuti tuxedoserta kemejanya jelas rela
memberikan sebanyak apa pun yang wanita tersebut
inginkan.

Menyambar bobot tubuh Song Jian,


mendudukkannya di meja hotel, Hoseok terkekeh
menemukan wajah rupawan di hadapannya memerah
dengan napas tersengal-sengal. Lantas menyingkap
gaun, melepaskan pakaian dalam sang lawan dan
berlutut, si Jung tersebut mendongak saat menitah,
“Buka kedua kakimu,” ujarnya. “Juga, jangan
menahan suaramu.”
Dan tepat pada satu sekon kemudian, Jian
meloloskan satu pekikan tertahan dipenuhi
aprosidiak tatkala sang pria menyapu bibir
lipatannya. Sinting. Ini benar-benar luar biasa
sinting. Meremas surai pria tersebut,
mencengkeramnya dengan desah mengudara, Jian
merasakan kedua pahanya ditekan agar tetap
terbuka. Bagaimana mungkin CEO Lucent berada
diantara kedua kakinya, menyusuri bagian
dalamnya, menekan pahanya seperti ini? Ia
mengejang, menggelinjang. Sekujur tubuhnya
dilanda agresi yang menggila habis-habisan. Namun
jika Jian berpikir itu sudah cukup, nyatanya belum
sama sekali. Tepat ketika puncaknya hendak
menghantam dan menyelimuti raga, Hoseok malah
berhenti begitu saja, bangkit dengan kekeh gemas,
dan menyambar bibir sang lawan sebelum
menggigitnya samar.

“Jangan dulu,” bisiknya, menahan hasrat. “Dua


jari?”

Jian meretih. Ia bahkan tak bisa berpikir.


“Lakukan saja.”

Ini tidak bagus. Sama sekali tak bagus.

Ia bisa-bisa kehilangan kendali kalau begini


caranya.

Hoseok menahan napas. Keringat yang


membasahi tubuh wanita di hadapannya, suara
desahnya, napasnya yang memburu—semuanya
benar-benar gila. Jemarinya menyusup dengan
perlahan, temponya berpacu cepat, Jian yang
meradang dalam balutan birahi mencengkeram dan
menenggelamkan bobot tubuh pada dadanya,
membiarkan Hoseok melepaskan gaunnya hanya
dengan satu tangan, meninggalkan bercak
kemerahan pada permukaan dada.

Suara libido yang memenuhi seantero kamar


hotel tersebut benar-benar terasa bak lantunan
magis. Hoseok merasa tak waras. Seakan baru saja
menenggak segelas ambrosia di tengah perjamuan
para dewa. Hanya saja kali ini, yang habis
dilahapnya adalah Song Jian.

Hanya Song Jian.

“Hoseok—”

Dan pria tersebut tertawa lucu, mempercepat


jemari, merasakan napas gadis itu kian menyapu
dadanya berat, seketika menggoda serak, “Sudah
mau keluar?”

“Sial—”

“Tidak boleh secepat itu, Jian.”

“Hoseok!”

Namun Hoseok malah tertawa. Pria tersebut


mengeluarkan jemarinya, tersenyum miring, nyaris
membuat Jian meluncurkan serapah kalau saja
tubuhnya yang tergelincir keluar dari gaun tak
disambar yang didudukkan tepat di atas ranjang.
Untuk sesaat, sesaat saja, perempuan tersebut yakin
kalau sang pria akan kembali menghabisinya.
Namun, tidak.

Dengan kelewat tenang lantas melepaskan


pakaian, berdiri tegap di hadapan sang gadis dan
menggenggam kemaluannya yang mengeras,
Hoseok yang kemudian mengenakan kondom lantas
mendudukkan diri di sisi ranjang—meminta dengan
satu senyum dilesatkan, “Duduk di sini,” katanya,
menunjuk ereksinya, melanjutkan tertahan, “Lalu
gerakkan pinggulmu perlahan-lahan.”

Keparat sial. Jian mendecakkan lidah, bangkit


berdiri, menemukan sang pria menopang tubuhnya
sediri dengan kedua tangan saat Jian memposisikan
tubuh. memiriangkan kepala, memandang Hoseok
tak percaya, ia mendesis samar, “Tak kusangka CEO
Lucent ternyata bedebah bukan main.”

Hoseok menggerutu tak sabar. “Jian, masukkan


dengan tanganmu.”
Sang lawan menggerakkan jemarinya mengusap
dada si pria, menaikkan alis, membalas tak gentar,
“Dan kalau tidak?”

Sial. Hoseok mendecakkan lidah. Hasratnya


sudah berada di ambang batas. Benar-benar berada
di ambang batas. Dan agaknya, Jian yang tertawa di
atas tubuhnya benar mengerti dentan jelas. Tidak
bisa. Kalau begini, bisa berbahaya. Jadi di sana,
menyambar bagian bawah tubuh perempuan itu,
Hoseok mengambil alih bobot sang lawan,
melakukan penetrasi, menenggelamkan dirinya dan
sesaat kemudian berhasil membuat Jian mematung
terkejut dengan pekik teredam.

Dunia mendadak seakan mengabur begitu saja.

Jian yakin, ada seribu satu umpatan dalam


kepalanya. Tetapi saat ia mencengkeram bahu pria di
bawah tubuhnya, mulai menggerakkan pinggul dan
mengirim suara lengket tersebut bergema mengisi
ruangan, segala hal mendadak melebur begitu saja.
Nirwana seakan terbelah menjadi dua. Petak-petak
surgawi mengisi perutnya. Hoseok mampu
merasakan napasnya memberat. Ini luar biasa.
Pemandangan yang berada di hadapannya benar-
benar luar biasa. Jian yang basah, memacu raga,
mengejar puncak—semuanya sukses membuat gila.

Menarik pinggul sang lawan, mendadak


menenggelamkan ereksinya lebih dalam, Hoseok
tertawa kecil mendengar Jian meretih samar,
“Terlalu dalam—Hoseok!”

Si pria tak ambil pusing. “Giliranku.” Ia lantas


bangkit, melepaskan kontak, meneguk saliva
memandang Jian yang tersengal, memberikan
perintah dengan wajah memerah sempurna diterpa
libido yang kian memuncak, “Jian, balik tubuhmu
dan topang dirimu dengan kedua tangan serta kedua
lutut. Akan kulakukan dari belakang.”

“Hoseok, aku—”

“Aku yang akan menyangga berat tubuhmu.


Lakukan saja.”

Jian mengumpat pelan. Namun ia lantas


membalikkan tubuh, memposisikan diri
sebagaimana Hoseok memintanya, meretih samar
saat merasakan jemari pria tersebut mengusap
punggung juga lipatan—lalu memekik tertahan saat
Hoseok kembali melakukan penetrasi sempurna.
Cairan hangat mengalir membasahi bagian dalam
paha dan Jian mampu merasakan Hoseok bergerak.
Kali ini begitu cepat. begitu gesit. Temponya
membuat isi kepala bak akan meleleh dalam sekejap
mata. Suara ranjang yang berdecit lengkap dengan
hantaman kulit telanjang itu barangkali akan menjadi
memori yang takkan bisa Jian lupakan.

Tidak.

Tidak akan mungkin.

Ia tak bisa menahan lagi.

“Hoseok, aku—”

“Tidak apa-apa, Cantik. Keluarkan saja.”

Jian menenggelamkan wajahnya pada selimut,


merasakan pria di belakang tubuhnya menghentak
kian cepat, sekujur tubuh perempuan tersebut
berguncang hebat. Suara desah bergema, cekalan
pada pinggul menguat, jemarinya mengepal, Hoseok
lantas menghujamkan dirinya dalam satu sekon
bersama puncak yang mengaburkan realita—tepat
bersamaan dengan sang lawan yang melengkungkan
punggung menahan kenikmatan hebat yang
memenuhi setiap senti kewarasan.

Ah, benar-benar bedebah, rupanya. Jian seakan


baru saja meluruh. Staminanya bak tersedot habis
tanpa sisa. Merasakan Hoseok melepaskan kontakn
dan membuatnya kehilangan penopang dan jatuh di
atas ranjang dengan dada tersengal-sengal, Jian
memandang pria tersebut yang melepaskan kondom
saat mendengarnya bertanya, “Jian, haruskah kita
bertemu lagi?”

Jian sontak tertawa. Hangat memenuhi bagian


bawah tubuhnya—lengket, penuh, dan panas.
“Haruskah kuberi Anda kesempatan lain lagi?”
“Berikan semua kesempatan yang kau miliki
hanya untukku.” Hoseok terkekeh, membuang
kondom yang baru saja dikenakannya ke dalam tong
sampah, dan membuka laci meja. Tetapi jika Jian
berpikir bahwa pria tersebut hendak mengeluarkan
handuk untuk membantunya membersihkan diri,
perempuan itu jelas keliru. Sebab di sana, lantas
mengeluarkan satu kondom lagi dan menggigitnya
terbuka, Hoseok terkekeh serak. “Namun untuk
malam ini, kita berdua belum selesai, Jian. Sama
sekali belum.” []

Fin.

Anda mungkin juga menyukai