Anda di halaman 1dari 606

FF 2060 {1 St Round }

NOTE: Mungkin saat menciptakan ku, Tuhan memberikanku akal. Yang


bisa ku gunakan untuk berfikir bagaimana caranya untuk melakukan
pembalasan kepada orang yang telah berani berlaku zolim dan
semena-mena kepadaku!!!.

Ini bukan tentang dunia yang kau diami sekarang. Ini tentang masa
depan, dunia yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya. Ah, atau
pernah? Mungkin dalam khayalan terliarmu tentang sebuah dunia yang
sempurna?
2060. Saat manusia tidak lagi mengeluarkan tenaga mereka
untuk melakukan hal-hal rendahan semacam mengurus urusan rumah
tangga. Hei, menurutmu untuk apa android dalam wujud manusia itu
diciptakan? Dan jenis-jenis alat komunikasi terbaru yang membuat
siapapun terperangah kagum. Jangan harap menemukan surat yang
dikirim lewat pos seperti yang masih terjadi 50 tahun yang lalu. HP,
yang terakhir kali digunakan 30 tahun lalu sudah dijadikan barang
antik dan kuno sekarang. Dimuseumkan lebih tepatnya. Sebagai
gantinya,communicator menjadi pilihan yang sangat tepat.
Banyak hal yang tidak pernah kau bayangkan
sebelumnya terealisasi pada tahun ini. Siapa sangka Korea Selatan
bisa menjadi negara kedua terkaya dan paling berpengaruh di dunia
setelah Amerika Serikat? Siapa sangka bahwa Korea Selatan-lah
negara pertama yang berhasil menciptakan android yang nyaris
sempurna seperti manusia?

Android adalah robot manusia yang berperan besar dalam


pekerjaan rumah tangga beberapa tahun terakhir. Bentuk dan cara
bergerak robot ini tidak ubahnya seperti manusia, yang membedakan
hanyalah bahwa robot ini tidak bernaafas, tidak makan, dan tidak
butuh istirahat seperti manusia pada umumnya. Selebihnya, nyaris
tidak ada pembeda antara makhluk ciptaan dan makhluk penciptanya
ini. Biasanya di pergelangan tangan android melingkar sebuah gelang
emas putih dengan label nama masing-masing. Mesin yang
menggerakkan android bertahan selama satu tahun penuh dan setelah
itu harus diisi ulang dengan tenaga baru. Penemuan robot ini menjadi
gebrakan paling besar abad ini. Karena itulah Korea Selatan menjadi
negara yang sangat berpengaruh di dunia, ditambah dengan isu bahwa
akan diluncurkannya mobil terbang sebagai kejutan awal tahun.
Pencetus terciptanya android, Cho Corporation, menjadi
perusahaan dengan penghasilan terbesar di dunia pada 8 tahun
terakhir. Hal ini membawa pengaruh besar terhadap perekonomian
Korea. Dimulai dengan berkurangnya hampir 80% pengangguran yang
direkrut menjadi tenaga kerja perusahaan, ditambah dengan
meningkatnya pemasukan negara karena pajak yang dibayarkan.
Cho Corporation yang berada di bawah pimpinan Cho Hyun-Ki,
menampung nyaris puluhan juta tenaga kerja yang tersebar di
ratusan anak perusahaan di seluruh dunia. Perusahaan ini tidak hanya
bergerak dalam satu bidang saja, tapi mencakup dalam semua aspek
kehidupan. Nyaris semua bangunan di Korea merupakan aset
perusahaan ini. Dengan kata lain, hampir tiga perempat bagian Korea
berada di bawah kendali mereka. Bahkan kabarnya seperempat bagian
bumi ini juga terdaftar atas nama sang penguasa. Beberapa rumor
yang sulit ditolak kebenarannya bahkan menyebutkan bahwa Cho
Corporation sedang bergerak cepat melakukan pembangunan
beberapa properti di bagian luar bumi demi mewujudkan keinginan
umat manusia untuk bisa melakukan tur ke luar angkasa. Ini 2060,
dan itu bukan hal yang mustahil lagi untuk dilakukan.
***
“… Kematian pemilik Cho Corporation ini menggemparkan
seluruh dunia, bahkan mempengaruhi pasar saham saat ini. Banyak
dugaan bahwa kematian tiba-tiba pemilik perusahaan terbesar di
dunia ini bukanlah kematian secara alami disebabkan oleh serangan
jantung, melainkan adanya konspirasi terselubung untuk merebut
perusahaan. Kabar terakhir menyatakan bahwa putra Cho Hyun-Ki,
Cho Kyuhyun, yang baru berumur 23 tahunlah yang akan menggantikan
kedudukan ayahnya. Saat ini para polisi….”
“Matikan layar.” Suara seorang gadis mengalahkan suara si
wanita pembawa acara dan tidak sampai sedetik kemudian, layar itu
berkedip dan menghitam, melenyapkan gambar wanita cantik yang
terlihat sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya itu.
Blazer rancangan desainer terkenal, make up lembut yang
menciptakan kesan feminin, juga suara yang akan membuat semua
orang tertarik mendengarnya, jenis pembawa acara yang karirnya
akan menanjak dengan cepat, mungkin dia akan memiliki acara talk
show sendiri nantinya. Tapi tidak begitu pendapat gadis yang
memberikan perintah untuk mematikan siaran itu, bahkan sebelum si
pembawa acara selesai membacakan naskahnya. Informasi yang
dibacakan wanita itu seperti suara kematian baginya.
Hye-Na mengalihkan tatapannya dari layar besar yang tadinya
menayangkan siaran langsung berita dari Korea itu dan berbalik
menghadap seorang pria berumur 65 tahun yang duduk di
belakangnya.
“Sudah saatnya kau pulang, Ladyra. Pulang ke Korea. Tugasmu
dimulai dari sekarang,” ujar pria itu dengan suara tegas yang pastinya
tidak akan dibantah siapapun yang mendengarnya. Tapi tidak dengan
gadis itu. Gadis tipe pemberontak yang tidak akan menerima mentah-
mentah apa yang diperintahkan padanya. Apalagi perintah yang satu
ini. Perintah yang selalu dihindarinya habis-habisan 5 tahun terakhir.
“Kau tahu bahwa kau selalu bisa menyuruh Eun-Ji
melakukannya. Dia akan mematuhi perintahmu dengan senang hati,”
ujar Hye-Na dingin.
“Shin Eun-Ji tentu saja adalah salah satu pegawai terhebat
yang aku miliki. Tapi untuk yang satu ini, yang terhebat dari yang
terhebatlah yang akan kukirim. Kita sudah kecolongan satu kali dan
menyebabkan kematian Tuan Cho, aku tidak mau kita kecolongan
sekali lagi. Eun-Ji akan ikut denganmu. Aku tahu kau akan
membutuhkan seseorang yang berdedikasi tinggi dan memiliki
kemampuan yang tidak kalah jauh darimu untuk membantu. Kau tahu
betapa khawatirnya aku sekarang. Jika orang-orang misterius itu bisa
membunuh Hyun-Ki, aku takut hal yang sama akan terjadi pada
anaknya dan itu bukan hal yang bagus bagi negara kita. Dia memiliki
aset yang tidak akan bisa dibayangkan manusia manapun dan ada
banyak serigala kelaparan di luar sana yang bersiap mengincarnya.
Bahkan CIA sudah menyatakan tertarik untuk menyelidiki. Kau tahu
aku tidak suka jika mereka sudah mulai ikut campur dengan urusan
kita. Aku selalu tidak menyukai kerahasiaan mereka. Bahkan berpikir
bahwa mereka akan membantu penjahat-penjahat itu menghabisi
nyawa Cho Kyuhyun dan merebut semua harta yang dimilikinya. Itu
keuntungan besar untuk Amerika. Penemuan-penemuan luar biasa
yang ditemukan oleh perusahaannya bisa jatuh ke tangan mereka.”
Park Soo-Hwan bangkit dari kursinya dan meletakkan
tangannya ke atas meja, mencondongkan tubuhnya melewati meja
besar itu dan menatap tepat ke mata pegawai kesayangannya.
“Aku hanya bisa mengandalkanmu. Dingin, licin, ide-idemu
cemerlang, kau memiliki pengalaman lebih hebat daripada siapapun
yang ada disini bahkan lebih dari aku sendiri.”
“Dan aku sudah membunuh lebih banyak daripada jumlah
korban yang sudah dihasilkan pegawai lain di organisasi ini jika
digabungkan,” sela Hye-Na sinis, tetap dengan tatapan dinginnya yang
biasanya akan membuat semua orang membeku dan lebih memilih
berpura-pura memiliki urusan lain dalam usaha melarikan diri darinya.
“Hye-Na~ya….” Jarang sekali Soo-Hwan memanggil nama
Korea-nya dan itu berarti masalah ini benar-benar pelik.
Hye-Na mendengus kesal dan mendelik ke arah atasannya itu.
Dia tahu tidak ada gunanya bersikeras menolak. Bukan karena dia
kalah, tapi karena Soo-Hwan benar. Hanya dia satu-satunya yang bisa
diharapkan untuk masalah ini. Tidak ada yang bisa dipercaya
sekarang. Tidak ada. Bahkan jika itu temanmu sekalipun.
Gadis itu mengangkat tangannya sebagai tanda menyerah dan
Soo-Hwan membalasnya dengan tatapan lega yang tidak bisa ditutup-
tutupi.
“Sebagai atasanmu, aku hanya bisa mengatakan bahwa Cho
Kyuhyun itu adalah orang yang sulit. Dia bukan jenis orang yang akan
mempercayai orang lain. Sangat dingin, sama sepertimu. Bahkan
mungkin lebih mengerikan darimu. Dan… sebagai seorang ayah, aku
akan meminta secara pribadi agar kau bertahan hidup selama
mungkin. Aku tidak bisa jamin bahwa kau tidak akan terluka. Kau
harus menemukan penjahatnya, menangkapnya hidup ataupun mati,
dan kembali dengan selamat. Kau mengerti?”
***
Hye-Na menghempaskan arsipnya ke atas meja yang juga
sudah dipenuhi oleh berkas-berkas lain dan menelungkupkan
wajahnya. Eun-Ji yang sedang sibuk dengan komputer di depannya
mendongak dan menatapnya simpati.
“Aku sudah dengar kematian orang itu dan turut prihatin atas
pekerjaan yang dilimpahkan padamu. Tapi seharusnya kau bersenang-
senang sedikit. Korea itu kan mengagumkan. Aku bahkan sudah rindu
sekali ingin pulang kesana. Dan asal kau tahu saja,
memiliki link langsung untuk mendekati seorang Cho Kyuhyun adalah
hal yang tidak akan disia-siakan wanita manapun di planet ini. Yah,
mengingat dia adalah pemilik setengah planet ini sekarang. Lagipula
kau tahu tidak, sebenarnya yang punya andil besar dalam berjayanya
Cho Corporation selama ini bukanlah ayahnya, tapi dia. Umur 15 tahun
dia bahkan sudah menyelesaikan kuliahnya di Harvard dan
mencetuskan ide terciptanya android-android itu. Jadi… ayahnya itu
hanya seperti pesuruh yang menuruti perintahnya, hanya dikarenakan
dia belum cukup umur untuk mengatur perusahaan sebesar itu. Dia itu
terlalu jenius. IQ-nya 200, kudengar. Aku belum pernah melihat pria
setampan itu. Mengagumkan, otak cemerlang, memiliki separuh dunia,
dan kau tahu? Dia lambang dewa seks abad ini.”
Hye-Na memaksa wajahnya mendongak dan menatap sahabat
dekatnya itu.
“Jadi dia jenis pria yang membuat semua wanita bergairah
begitu? Kau tahu jumlah wanita yang sudah ditidurinya? Bisa bawakan
datanya padaku? Mungkin itu bisa mencegah ayah mengirimku
kesana.”
“Memangnya Tuan Park tidak memberitahumu bagaimana Cho
Kyuhyun itu?”
“Dia mengatakan kebalikannya. Dia bilang pria itu dingin dan
lebih mengerikan dariku. Yang benar saja!”
“Memangnya tadi aku mengatakan yang sebaliknya? Sayangnya
Hye-Na~ya, aku terpaksa harus mengecewakanmu. Pria bernama Cho
Kyuhyun itu belum pernah menyentuh wanita manapun yang pernah
hidup di bumi ini kecuali ibu dan kakak perempuannya.”
“Apa?” desis Hye-Na tidak percaya. Semangatnya yang tadi
menggebu langsung hancur seketika.
“Dia tidak pernah menunjukkan ketertarikan untuk menjalin
hubungan dengan wanita manapun sejauh ini dan itu yang membuatnya
menjadi pria yang paling diinginkan nomor satu di bumi.”
“Kau sepertinya tahu banyak,” cibir Hye-Na dengan nada
mengejek yang terlalu kentara.
“Oh ya, tentu saja. Dia populer sekali tahu. Kau saja yang
payah. Tapi aku tidak heran, kau kan memang tidak pernah
menunjukkan minat sedikitpun kepada makhluk berjenis kelamin pria.
Hal paling intim yang pernah kau lakukan dengan mereka hanyalah
menusukkan pisau ke perut mereka atau menembakkan selongsong
peluru ke kepala mereka. Aku benar, kan?”
Hye-Na mendengus, tapi tidak membantah karena itu memang
kenyataannya. Menjadi anggota KIA, Killer Instinct Academy,
membuatnya tidak memiliki pilihan lain selain mengotori tangannya
dengan darah. Motto organisasi ini adalah tangkap si penjahat hidup
ataupun mati. Dan anehnya, penjahat yang dikejarnya selalu saja
penjahat yang tidak mau menyerah baik-baik, selalu berusaha kabur
dari tangkapannya. Jadi tidak ada pilihan lain selain menembak atau
menusuk di tempat. 27 orang. Itu hitungan terakhir yang
dilakukannya 2 tahun yang lalu saat dia memmburu bandar narkotika
yang berusaha kabur dari pengejarannya. Mati mengenaskan dengan
tembakan tepat di jantungnya. Dia mulai berhenti menghitung
penjahat yang dibunuhnya sejak saat itu. Alasan sebenarnya adalah
karena dia memang tidak ingin mengingat-ingat hal itu lagi. Membunuh
orang bukanlah hal yang patut kau bangga-banggakan. Tapi sayangnya,
hal itu juga menjadi rahasia umum di organisasi ini dan nyaris semua
orang takut padanya.
KIA berada di bawah naungan KNI, Korean National
Intelligent. Bisa dikatakan KNI adalah CIA-nya Korea. Ada banyak
organisasi lain yang berada di bawah naungan KNI dan KIA, seperti
halnya STA, Secret Terror Agent, menjadi organisasi yang memiliki
beberapa unit yang terletak di berbagai negara di seluruh dunia,
khususnya negara-negara yang memiliki hubungan internasional
dengan Korea. Bertugas menyelidiki penyelundupan, pembunuhan, dan
kemungkinan terjadinya kecurangan yang dilakukan negara sahabat,
khususnya Amerika, tempat dimana Hye-Na berada sekarang. Negara
ini mengalami kerugian yang banyak setelah Cho Corporation
mendunia dan itu menimbulkan kecurigaan KNI. 5 tahun terakhir KIA
terfokus pada satu pekerjaan, melindungi pemilik Cho Corporation
karena melonjaknya ancaman pembunuhan terhadap pemilik
perusahaan penghasil android itu. Dan sayangnya, mereka gagal
melakukannya karena Cho Hyun-Ki meninggal di depan mata mereka
sendiri. Hal lain yang membuat atasan mereka naik darah adalah tidak
ditemukannya bukti yang menujukkan bahwa Hyun-Ki dibunuh,
bukannya terkena serangan jantung.
Han Hye-Na baru berumur 15 tahun saat ayah kandungnya
meninggal dalam pekerjaan yang sudah diprediksi sangat berbahaya
bagi nyawanya. Mereka sekeluarga tinggal di Amerika sejak Hye-Na
lahir dan tidak pernah menginjakkan kaki lagi di Korea sejak saat itu.
Tapi pekerjaan sebagai mata-mata yang ditugaskan untuk mengawasi
Cho Hyun-Ki dan keluarganya menuntut Han Seuk-Gil meninggalkan
anak dan istrinya di Amerika dan pergi ke Korea seorang diri.
Organisasi menyatakan bahwa Seuk-Gil berhasil menemukan fakta
konspirasi pembunuhan terhadap Cho Hyun-Ki dan saat bergerak
bersama timnya untuk menangkap para pembunuh bayaran itulah dia
terbunuh dan tewas di tempat. Hye-Na dan ibunya menolak pergi ke
Korea karena merasa trauma dengan negara tempat orang yang
mereka sayangi harus meregang nyawa, sedangkan di surat wasiat
Seuk-Gil tertulis dengan jelas bahwa dia ingin dimakamkan di negara
kelahirannya itu, karena itu mereka berdua bahkan tidak pernah
melihat mayat Seuk-Gil ataupun menghadiri pemakamannya.
Seumur hidupnya, Hye-Na belum pernah sama sekali
menginjakkan kakinya di negara itu, itu menurut pendapatnya, karena
ibunya sebenarnya memberitahunya bahwa mereka pernah kesana
sekali untuk menghadiri pesta ulang tahun sahabat dekat ayahnya
waktu dia berumur 6 tahun. Gadis itu sama sekali tidak ingat dan
menganggap hal itu tidak pernah terjadi. Negara itu terdengar asing
dan menakutkan di telinganya, karena itu selama ini dia menolak
semua tugas dari organisasi yang menuntutnya untuk pulang kesana.
Sejauh ini dia berhasil, tapi tidak sekarang. Park Soo-Hwan, pimpinan
KIA yang berlokasi di Amerika ini, memerintahkannya untuk kembali
ke negara asalnya itu untuk menjadi pelindung sekaligus mata-mata
pribadi pewaris tahta Cho Corporation. Itu karena kegagalan rekan-
rekannya di Korea untuk menjaga Cho Hyun-Ki agar tetap hidup.
Perintah langsung dari pimpinan yang sangat dihormatinya,
sekaligus ayah angkatnya yang telah merawatnya bahkan sejak dia
masih kecil. Seuk-Gil sering membawa anaknya bermain di gedung
KIA saat anak itu baru berumur 7 tahun dan mengajarkan semua yang
ingin diketahui Hye-Na. Soo-Hwan sendiri yang memberi izin langsung
agar Hye-Na menjalani pelatihan di tempat itu karena tertarik
dengan bakat yang dimiliki gadis itu. Pelatihannya berada langsung di
bawah pengawasan Soo-Hwan, menjadikannya lulusan terbaik yang
pernah dimiliki akademi. Soo-Hwan juga yang mengangkat Hye-Na
menjadi anaknya saat Seuk-Gil dinyatakan gugur dalam tugas. Ikatan
kekeluargaan yang kuat itulah yang membuat Hye-Na selalu tidak bisa
menolak keinginan atasannya itu. Bahkan jika itu berarti dia harus
pulang ke negara yang dibencinya.
Hye-Na mendesah dan bangkit perlahan menuju meja
kerjanya. Dia menekan tombol kopi di mesin AutoChef, mesin yang
menghasilkan makanan dan minuman apapun yang sudah kau setting di
dalamnya, salah satu produk Cho Corporation juga. Hal yang tidak
disukai gadis itu pada jaman serba modern ini adalah, betapa sulitnya
menemukan makanan dan minuman yang benar-benar berasal dari
sumber yang seharusnya. Semua yang dihasilkan AutoChef hanyalah
sesuatu yang memiliki rasa yang mirip, bukan sesuatu yang sangat
ingin kau nikmati. Kopi itu bukan berasal dari biji kopi yang akan
menghasilkan kopi yang harum dan nikmat, bukannya cairan kehitaman
pahit seperti tinta gurita. Daging, ikan, ataupun ayam akan sangat
sulit ditemukan di zaman sekarang, kecuali kau adalah orang kaya
yang suka menghambur-hamburkan uang untuk bersantap di restoran
yang harga makanan per porsinya nyaris sama dengan penghasilannya
dua bulan penuh. Dan asal tahu saja, gaji pegawai KIA jauh lebih
tinggi daripada gaji karyawan kantor biasa.
Peternakan, perkebunan, atau apapun yang bisa ditemukan di
awal tahun 2000-an, nyaris punah sekarang. Semua orang lebih
menyukai hal-hal yang praktis, dan itu tidak termasuk memelihara
hewan-hewan ternak ataupun mengurus sawah. Siapa yang tidak suka
tinggal menekan tombol dan makanan atau minuman yang diinginkan
sudah tersedia disana begitu saja, tanpa harus repot-repot
memasak? Tidak ada yang peduli apakah rasanya enak atau tidak,
yang penting hanyalah mereka bisa makan tepat waktu dan tidak
membuang waktu. Tapi gadis itu tahu bahwa orang-orang kaya yang
tinggal di apartemen mewah dan besar biasanya
memiliki AutoChef terbaik, yang menghasilkan kopi yang rasanya
sama seperti kopi-kopi yang dijual di restoran mewah, berasal
langsung dari biji kopi asli. Bisa menikmati daging steak yang benar-
benar berasal dari daging sapi, bukannya daging liat yang tidak ada
rasanya.
Hye-Na mendengus mengingat hal itu dan mengambil kopinya
dari AutoChef, menyesapnya pelan tanpa memedulikan
rasanya. Baiklah, pikirnya, semakin pahit rasa cairan itu, semakin baik
juga perasaannya. Setidaknya rasa pahit itu bisa sedikit mengalihkan
pikirannya.
“Hidupkan komputer,” perintahnya.
Cara kerja semua barang elektronik pun sudah berubah.
Semuanya dilakukan dengan perintah suara. Dia masih ingat saat dia
masih sangat kecil, semua peralatan masih dipakai secara manual dan
harus menunggu beberapa saat sampai peralatan-peralatan itu bisa
beroperasi dan dipakai, sedangkan sekarang? Tinggal menyebutkan
perintah dan peralatan elektronik itupun langsung mengerjakan
semuanya. Benar-benar mendefinisikan kata modern.
“Berikan aku semua data lengkap tentang pria bernama Cho
Kyuhyun. Latar belakang, biodata, semua bisnis dan properti yang
dimilikinya, sekaligus kehidupan pribadinya. Bacakan.”
Ada dua jenis hasil yang bisa ditampilkan komputer, berupa
tulisan yang muncul di layar atau rekaman suara yang langsung
membacakan hasilnya. KNI memiliki hak penuh untuk data-data semua
orang yang berkewarganegaraaan Korea dan tidak sulit untuk mencari
data tentang orang yang kau inginkan. Kalau boleh menyombong
sedikit, KNI bahkan sudah memiliki semua data manusia di dunia atas
bantuan para tekhnisi dari Cho Corporation, tidak peduli itu legal
atau tidak.
Hye-Na menatap foto yang ditampilkan layar di depannya
tanpa berkedip sedikitpun. Eun-Ji benar, sekaligus salah besar. Pria
itu memang pria tertampan yang pernah dilihatnya, tapi sayangnya,
Eun-Ji sama sekali tidak membahas tentang kesan dingin yang
langsung menghujam saat melihat tatapan matanya yang mematikan.
Kesan menakutkan bahwa jika kau berani mencari gara-gara
dengannya, kau akan habis sampai ke akar-akarnya. Jenis pria yang
akan membuat sel-sel tubuh semua wanita yang pernah terlahir di
dunia melompat-lompat senang memikirkan semua cara licik untuk
mendapatkan perhatiannya.
Entah kenapa Hye-Na mendadak berpikir bahwa tugasnya kali
ini tidak akan berjalan lancar jika menyangkut pria itu. Malaikat yang
langsung diturunkan dari neraka untuk menghabisinya. Hades, batin
Hye-Na ngeri, teringat akan dewa kematian yang menguasai alam
bawah di mitologi Yunani yang sering dibacanya. Bahkan sepertinya
lebih mengerikan daripada itu.
Baiklah ayah, kau sepertinya mengirimkanku langsung ke
mulut buaya. Dialah pembunuhnya. Aku akan sangat heran jika ada
yang berani memikirkan pembunuhan terhadap pria seperti itu.
Ditatap olehnya saja sudah cukup untuk membuatmu menjerit
ketakutan, apalagi jika kau sampai mencari gara-gara dengannya.
Menyuruh seorang wanita untuk melindunginya sama saja dengan
melukai ego pria itu dan aku tidak akan heran dia akan memikirkan
segala macam cara untuk mengusirku pergi dari kehidupannya, bahkan
sebelum aku berhasil masuk.
***
“Kau ingin aku menyelidiki penyebab kematian Tuan Cho?”
jerit Hye-Na tak percaya mendengar permintaan ayah angkatnya
yang terdengar amat sangat tidak masuk akal itu.
“Aku tahu kau punya kemampuan untuk itu dan kau bisa
memikirkan hal yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Pemakamannya
besok lusa dan kau bisa memeriksa mayatnya besok. Kami sudah
melakukan segala cara agar Kyuhyun menyetujui penundaan
pemakaman ini. Dia terlihat tidak senang. Sama sekali tidak senang.”
“Dan kau mau aku jadi sasaran kemarahannya?”
“Kita harus ambil resiko. Kami semua yakin bahwa ini bukan
kematian karena serangan jantung. Ini semua direncanakan.
Pengacara Tuan Cho berkata bahwa ada persyaratan bagi Kyuhyun
jika ingin semua aset perusahaan jatuh ke tangannya dan jika syarat
itu tidak bisa dipenuhi, maka hartanya akan diserahkan sebagian
kepada negara dan sebagian lagi pada adik laki-lakinya. Kami mengira
ada konspirasi disini. Pamannya itu termasuk orang yang dicurigai.”
“Appa!!!”
“Ini tiket pesawatmu. Keberangkatan paling pagi.
Sesampainya disana kau bisa langsung ke rumah sakit untuk melihat
mayatnya. Salah satu karyawan STA di Korea akan menjemputmu.”
“STA?” tanya Hye-Na heran, menelan bulat-bulat protes yang
ingin diutarakannya tadi. “Apa hubungannya STA disini? Kita KIA.”
“Kau akan bergabung dengan mereka mulai sekarang. Mata-
mata. Kita bergerak dalam kerahasiaan. Kalau musuhmu bergerak
selicin ular, kau harus bergerak segesit cheetah. Kau mengerti
maksudku?”
Hye-Na menghembuskan nafasnya berat sebelum menjawab.
“Aku selalu mengerti maksudmu, komandan.”
***
Ji-Yoo melangkah memasuki gedung mewah di depannya
dengan nafas yang sedikit tertahan. Dia mendapat telepon pagi ini
dari tunangannya, Shim Changmin, yang tiba-tiba menyuruh gadis itu
menemuinya di kantor. Ini kali pertama Changmin mau membawa Ji-
Yoo ke kantornya dan entah kenapa Ji-Yoo memiliki perasaan yang
tidak nyaman akan hal ini. Pria itu tidak suka memamerkan Ji-Yoo ke
depan umum. Bahkan berkali-kali Ji-Yoo merasa pria itu malu memiliki
tunangan seperti dirinya. Jika dia sampai memanggil Ji-Yoo kesini,
berarti ada hal yang benar-benar penting, mengalahkan gengsi pria
itu sendiri.
Ji-Yoo hanyalah gadis biasa dari keluarga biasa yang tiba-tiba
mendapat perhatian lebih dari direktur sebuah perusahaan otomotif
ternama, Shim Changmin. Dia bekerja sebagai seorang pelayan kafe
waktu itu, dan Changmin dengan sangat kebetulan memutuskan makan
siang di kafe tempat Ji-Yoo bekerja. Bukan jenis kafe yang akan
didatangi seorang direktur, tapi hal itulah yang melahirkan
pertemuan-pertemuan berikutnya dengan alasan manis bahwa
Changmin jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap gadis itu.
Semuanya berjalan cepat. Changmin melamar Ji-Yoo dan
menyuruh gadis itu pindah dari apartemen bobroknya ke apartemen
mewah dengan fasilitas lengkap yang tidak pernah dibayangkannya
sebelumnya. Ada rasa tidak nyaman saat dia menerima semua
pemberian pria itu, tapi dia hanya menyimpannya dalam hati.
Changmin bukan pria yang suka ditolak dan Ji-Yoo tidak mau mencari
gara-gara dengan pria itu kecuali jika dia mau tersiksa sepanjang
hidupnya. Dia bahkan tidak mengerti apakah saat ini perasaan cinta
yang pernah dia rasakan masih tersisa atau hanya perasaan ketakutan
dan terikat karena hutang budi yang mungkin tidak akan bisa
dilunasinya seumur hidup.
Tidak, batinnya. Changmin bahkan tidak pernah mengenalkan
Ji-Yoo kepada keluarga besarnya. Mungkin malu, karena Ji-Yoo tidak
berasal dari kalangan jetset seperti mereka. Atau… dari awal
Changmin memang tidak berniat menikahinya?
Ji-Yoo~ya, kau bahkan mendengar banyak berita miring
tentang pria itu. Pria yang suka berganti-ganti pasangan dan
menghambur-hamburkan uangnya. Tapi apa yang kau lakukan?
Bersikap seperti android yang selalu mematuhi semua perintahnya.
“Annyeonghaseyo, Choi Ji-Yoo imnida. Changmin menyuruhku
menemuinya disini,” ujar Ji-Yoo sopan kepada seorang gadis yang
menjadi resepsionis di dekat pintu masuk.
“Tuan Changmin? Ah, ye agasshi, beliau meminta Anda
langsung ke kantornya. Jae-Hee akan mengantar Anda kesana,” kata
gadis itu ramah sambil menunjuk seorang pria yang berdiri tegap
seperti bodyguard di sampingnya. Bukan pria, android lebih tepatnya.
Ji-Yoo terkadang masih sangat sulit membedakan antara robot itu
dengan manusia asli. Jalan satu-satunya hanyalah melihat apakah ada
gelang perak yang melingkar di tangan mereka atau tidak.
Android itu mengantarnya ke lantai 15, tempat dimana kantor
Changmin berada. Ada sekretaris yang sudah menunggunya disana.
Gadis itu begitu cantik, modis, dan menarik. Nyaris seperti boneka.
Dan jelas bahwa Changmin tidak akan menyia-nyiakan gadis seperti
itu, batin Ji-Yoo.
Sekretaris bernama Min Byuk-Seul itu, Ji-Yoo mengetahui
namanya dari plat nama yang terpasang di baju gadis itu, mengantar
Ji-Yoo ke ruangan tertutup yang sepertinya ruangan kerja pribadi
Changmin. Byuk-Seul membuka pintunya sehingga Ji-Yoo bisa melihat
isi ruangan super besar dan mewah itu yang berhasil membuat
mulutnya sedikit ternganga.
Ruangan itu didominasi warna cokelat dan putih, yang
memberikan kesan elegan. Ada begitu banyak rak yang berisi buku
dan arsip yang tertata rapi dan sofa yang terlihat begitu nyaman jika
diduduki. AutoChef terletak di sudut ruangan, yang Ji-Yoo yakin
menghasilkan makanan-makanan terbaik yang belum pernah
dicicipinya. Apa Changmin berniat menjamunya dengan secangkir
cokelat panas dari benda itu? Kalau iya, mungkin Ji-Yoo akan
menyetujui segala hal yang diminta Changmin darinya. Gadis itu belum
pernah meminum cokelat yang nikmat sebelumnya, tidak
dari AutoChef di apartemennya.
Ji-Yoo menjernihkan pikirannya dan memfokuskan
pandangannya pada Changmin yang duduk di belakang meja kayu besar
yang dipelitur sampai mengkilap, mungkin debu pun akan malas
menjatuhkan diri ke atasnya. Pria itu sedang sibuk mengetik sesuatu
di laptopnya dan baru mengalihkan pandangan saat sekretarisnya
mengumumkan kedatangan mereka.
Pria itu berdiri dan memberi tanda agar sekretarisnya
meninggalkan kami berdua. Di ruangan ini, entah kenapa dia terlihat
jauh lebih berkuasa. Mungkin karena penampilannya yang terlihat
berkelas dengan setelan jas Armani yang dipakainya, atau mungkin
juga karena suasana ruangan ini yang terkesan mengintimidasi. Tapi
ada secercah sneyum di bibirnya yang tipis, membuat Ji-Yoo mau
tidak mau merasa rileks dan menghilangkan pikiran-pikiran negatif
yang sempat berseliweran di benaknya.
Dia berjalan memutari mejanya dan sampai di depan Ji-Yoo,
menarik tangan gadis itu, mengajaknya duduk di atas sofa berwarna
pastel di sudut ruangan. Dia meninggalkan Ji-Yoo sesaat dan sibuk
berkutat di depan AutoChef-nya. Benar saja, dia kembali satu menit
kemudian dengan secangkir cokelat panas di tangan kanannya dan kopi
di tangannya yang lain.
“Cokelat kesukaanmu. Seperti biasa. Kau pasti akan
menyukainya. Mungkin aku harus mengganti AutoChef di
apartemenmu dengan yang baru. Minuman yang dihasilkannya tidak
terlalu nikmat, kan? Besok pagi aku kirimkan yang baru.”
Barang baru lagi, ujar Ji-Yoo dalam hati. Apa pria ini
bermaksud membelinya?
“Tidak usah. Kau pasti sangat sibuk, aku tidak akan
merepotkanmu dengan hal sepele seperti itu,” tolak Ji-Yoo hati-hati.
“Tidak masalah. Aku bisa menyuruh sekretarisku untuk
mengurusnya.”
Ji-Yoo mengangguk, tahu bahwa sia-sia saja mendebat pria di
hadapannya ini. Dia memilih menyesap cokelatnya, merasakan cairan
pahit sekaligus manis itu mengalir masuk ke dalam tenggorokannya.
Perkiraannya tadi benar, ini memang cokelat terbaik yang pernah
diminumnya, apalagi jika dibandingkan cokelat yang
dihasilkan AutoChef di rumahnya yang terasa seperti lumpur.
“Apa ada masalah yang sangat penting sampai kau
memanggilku kesini?” tanya Ji-Yoo langsung. Dia memang tidak suka
basa-basi. Untuk apa memutar-mutar bahan pembicaraan terlebih
dahulu jika kau ingin membicarakan topik yang lebih penting?
Apa ada kemungkinan pria di depannya ini ingin memutuskan
pertunangan mereka? Karena kalau memang seperti itu, Ji-Yoo akan
menerimanya dengan sepenuh hati. Dia ingin mendapatkan hidup yang
bebas lagi, bukan terkungkung di dalam istana mewah yang
membuatnya tidak bisa bergerak kemana-mana.
“Aku ingin meminta tolong padamu dan aku harap kau tidak
menolaknya.”
Seorang Changmin meminta tolong padanya? Haaaah,
memangnya dia bisa menolak?
“Apa?” tanya Ji-Yoo dengan suara tersendat. Dia memiliki
perasaan tidak enak tentang hal ini.
“Kau tahu kan kalau perusahaanku berniat meluncurkan mobil
terbang bulan depan? Kami semua bekerja keras untuk ini dibawah
tekanan dari pihak lain yang jauh lebih berkuasa. Cho Corporation.”
Tubuh Ji-Yoo menegang saat mendengar nama perusahaan
paling besar di dunia itu. Apa Changmin berniat berbuat curang? Dia
memang sudah mendengar bahwa anak perusahaan Cho Corporation
yang bergerak di bidang otomotif akan meluncurkan mobil terbang
pertama di dunia bulan depan, lebih dulu daripada perusahaan
Changmin. Rival lain sudah memilih mengundurkan diri dari persaingan,
hal yang akan dilakukan semua perusahaan jika harus berhadapan
dengan Cho Corporation. Karena sudah jelas bahwa tidak akan ada
yang bisa mengalahkan mereka. Tapi Changmin berbeda, dia bukan
orang yang suka mengalah apalagi dikalahkan dan dia akan
mengusahakan cara apapun untuk memuaskan ambisinya.
“Aku ingin mengalahkan mereka, mengusahakan segala cara
agar bisa meluncurkan produk lebih dulu daripada mereka dan yang
pasti, harus lebih baik. Dan walaupun aku lebih suka untuk tidak
mengakuinya, aku tahu bahwa walaupun kami merilisnya lebih dulu,
mereka tetap akan menjadi pemenang dengan produk yang lebih baik,
produk yang tidak akan bisa dibayangkan siapapun sebelumnya. Itu
keahlian mereka, kan? Cho Kyuhyun itu. Aku heran kenapa dia bisa
menguasai semua bidang sama baiknya. Tapi dia menyerahkan kendali
perusahaan mobil ini pada sepupunya. Lee Hyuk-Jae.”
Ji-Yoo menelan ludah dengan susah payah saat mendengar
nama itu. Dia sudah beberapa kali melihat wajah pria itu di TV
ataupun majalah. Tampan, dengan garis rahang keras. Wajahnya
terlihat ramah dan selalu tersenyum, walaupun dia yakin saat pria itu
serius, wajah itu akan terlihat berubah 180 derajat. Dan pria itu juga
terkenal akan prestasinya sebagai penakluk wanita. Ji-Yoo tidak tahu
apa gosip-gosip itu benar atau tidak, tapi dengan tampang dan
kekayaan seperti itu, pasti akan banyak wanita yang menempel
padanya.
“Lalu… kau akan meminta tolong apa padaku?”
Mata Changmin tampak berkilat saat dia tersenyum licik ke
arah tunagannya itu.
“Aku mau kau mendekati Hyuk-Jae, merayunya kalau perlu.
Apapun yang bisa kau lakukan untuk membuatnya mempercayaimu
sehingga kau bisa memasuki daerahnya. Aku mau kau mengambil data-
data perusahaannya tentang mobil baru yang akan mereka luncurkan
dan memberikannya padaku.”
Mulut Ji-Yoo terbuka lebar saat Changmin menyelesaikan
ucapannya. Dia menyuruhku merayu pria lain hanya demi
kepentingannya sendiri? batin Ji-Yoo ngeri.
“Mengambil data? Mencuri maksudmu?” ujar gadis itu dengan
nada dingin.
“Terserah istilah apa yang kau gunakan. Dan aku harap, kau
tidak membuatku kecewa, Choi Ji-Yoo.”
Ji-Yoo mendecak kesal secara terang-terangan di depan pria
itu. Dia bahkan belum menyetujui permintaan itu, tapi Changmin
memberi kesan bahwa riwayat hidup Ji-Yoo akan tamat jika dia
sampai gagal. Mati kau, Choi Ji-Yoo, batinnya dengan tubuh yang
mendadak menggigil.
***
“Oppa!!!” seru seorang gadis dengan histeris saat Leeteuk
berjalan menyusuri lorong dengan communicator di tangan, headset
terpasang di telinganya dan mulutnya bergerak, menunjukkan bahwa
dia sedang berbicara dengan seseorang di seberang sana. Dia tidak
suka dengan video call, membuatnya merasa tidak punya privasi dan
terlebih lagi bahwa dia tidak bisa berbohong tentang posisi
keberadaannya. Jika bukan untuk pekerjaan, dia lebih suka menolak
panggilan video call ke teleponnya, tapi sedikit sulit, karena selama ini
panggilan ke communicator-nya selalu berhubungan dengan pekerjaan.
“Sedang aku rancang. Yang terbaru. Kau bisa menembak dari
jarak satu kilometer dengan fokus yang jelas seolah korbanmu ada
tepat di depanmu. Tidak akan terjadi kesalahan saat kau menarik
picunya, kecepatan pelurunya mengagumkan. 1 km/detik. Dan tidak
ada guncangan berarti saat kau menembak. Peredam suara otomatis.
Bisa menembak plat baja setebal apapun dengan mudah jika kau
menembak dari dekat. Bisa menampung 50 peluru. Ringan. Hal yang
sangat kau sukai kan, Hye-Na~ya?”
“Pastikan saat aku sampai di Korea senapan itu sudah selesai
dan aku bisa menggunakannya.”
“Kau pikir sesampainya disini kau akan langsung menembak
seseorang? Kau tidak tahu artinya rahasia, ya? Secret Terror Agent.
Kau bekerja diam-diam, Hye-Na~ya.”
“Aku tahu. Aku hanya membutuhkan sesuatu yang membuatku
merasa terbiasa dan familiar. Kau tahu kan kalau aku tidak bisa
membawa senjata kesana. Menyebalkan!”
“Ah, ye, arasseo. Aku harap kami bisa menyambutmu dengan
sangat baik dan kau bisa nyaman disini. Park sajangnim memastikan
kami melakukan semuanya sesuai keinginanmu. Seperti nona besar,
ya!” goda Leeteuk.
“Kau boleh memanggilku nona besar kalau kau mau.”
Leeteuk terkekeh pelan mendengar gadis itu balas
menggodanya. Satu tahun yang lalu dia sempat ke Amerika untuk
bertugas dan dia berkenalan dengan sang fenomena KIA. Awalnya
Leeteuk hanya mendengar selentingan kabar bahwa gadis itu sudah
membunuh hampir 50 targetnya, jauh lebih banyak daripada jumlah
korban semua agen jika digabungkan. Dia tidak tahu bahwa ternyata
penampilan gadis itu jauh dari kesan seorang pembunuh berdarah
dingin. Wajah gadis itu terlihat polos seperti gadis muda berusia 20
tahun lainnya. Cantik, walaupun memang ada kesan dingin yang
terpancar dari wajahnya dan terkenal dengan antipatinya terhadap
pria. Sempat terpikir di kepalanya untuk mendekati gadis itu, tapi dia
langsung menepisnya karena Hye-Na langsung mengenalkannya pada
semua orang sebagai kakak angkatnya. Yah, memiliki adik seorang
gadis cantik dan terkenal tidak ada salahnya juga, kan?
“Oppa, aku harus naik pesawat sekarang. Sampai jumpa di
Korea.”
Terdengar suara klik tanda telepon terputus. Leeteuk
melepas headset dari telinganya dan menyimpan communicator-nya ke
dalam saku.
“OPPA!!!”
Leeteuk merasakan tepukan ringan di bahunya dan sesaat
kemudian seorang gadis sudah berdiri di depannya dengan nafas
terengah-engah sambil memegangi dadanya.
“Oppa, aku sudah memanggilmu dari tadi tapi kau tidak
mengacuhkanku sedikitpun. Menyebalkan!” rajuknya dengan bibir
mengerucut.
Leeteuk mengerutkan keningnya dan tersenyum setelah tahu
apa maksud perkataan gadis itu.
“Ah, mianhae. Aku tadi sedang berbicara di telepon dengan
Hye-Na.”
“Han Hye-Na? Anak angkat Park sajangnim? Ah, dia hari ini
akan sampai disini, kan? Kau sepertinya dekat dengannya.” Ada
sedikit nada cemburu yang tersirat dari ucapannya.
“Kyo~ya, dia kan adik angkatku. Aku sudah pernah cerita,
kan?”
Gadis itu mengiringi langkah Leeteuk dan melingkarkan
tangannya ke lengan Leeteuk.
“Ne. Tapi kau membicarakannya seolah membicarakan gadis
yang kau sukai.”
“Tentu saja aku menyukainya. Masa aku tidak menyukai adikku
sendiri.”
“Ah, kau selalu saja seperti itu,” keluh Eun-Kyo dengan wajah
cemberut.
Leeteuk menatap wajah gadis di sampingnya lekat-lekat.
Gadis tercantik di STA saat ini. Jenis wajah yang disukai hampir
semua pria. Tubuhnya yang tinggi semampai juga sangat menunjang
penampilannya. Pendeknya, dia adalah wanita impian siapapun. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa gadis ini mengejar-ngejar Leeteuk
sejak hari pertama dia bertugas sebagai agen STA, tapi sayangnya,
Leeteuk nyaris tidak memiliki rasa ketertarikan sedikitpun pada
gadis ini. Dia tipe pria yang lebih suka mengejar, daripada dikejar.
“Berhentilah bersikap seperti ini. Kau membuatku merasa
tidak nyaman. Semua orang berpikir bahwa kita memiliki hubungan.”
“Memangnya tidak? Oppa, apa kau tidak menyukaiku? Wae?
Ada yang tidak bagus dariku? Aku kurang cantik? Aku tidak baik?
Beritahu aku, aku akan merubah semuanya untukmu.”
Leeteuk menarik gadis itu sampai terduduk di atas sebuah
kursi kayu yang terletak di depan ruang kerjanya. Lorong itu sepi
karena hari masih terlalu pagi, belum terlalu banyak pegawai yang
datang. Waktu yang tepat untuk menyelesaikan semuanya, batin
Leeteuk.
“Dengar, Kyo~a. Aku tahu 3 tahun terakhir kau berusaha
membuatku jatuh cinta padamu dan aku menghargai semuanya. Tapi
apa kau tidak merasa lelah mengejar orang yang mustahil kau
dapatkan? Ini bukan masalah aku menyukai gadis lain atau tidak,
karena memang saat ini aku tidak menyukai siapa-siapa. Ini tentang
perasaanku. Kau tahu tanda-tanda orang jatuh cinta? Bukankah kau
merasa sangat bahagia hanya karena melihat orang yang kau sukai,
jantungmu bisa berdetak kencang hanya karena dia menatapmu? Aku
tidak merasakan satupun tanda-tanda itu. Aku hanya menganggapmu
rekan kerja. Jadi kumohon, kau harus memahaminya dengan baik.
Berhentilah menyukaiku. Kau akan menemukan caranya. Banyak orang
yang menyukaimu di luar sana. Suatu saat nanti kau pasti akan
menemukan pria yang tepat untukmu. Hmm?”
Eun-Kyo mengerjapkan matanya dan sesaat kemudian dia
tersenyum manis.
“Aku tahu cepat atau lambat kau akan mengatakan semua ini
padaku, oppa. Arasseo. Kau benar. Suatu saat nanti aku akan
menemukan pria yang tepat untukku. Aaaaa, aku masih ada tugas yang
harus kukerjakan sekarang. Sampai nanti!”
Eun-Kyo bangkit dari tempat duduknya dan melambai ke arah
Leeteuk, masih dengan senyum tersungging di bibirnya. Dia
membalikkan tubuhnya pergi dan membiarkan air mata yang ditahan-
tahannya dari tadi menetes begitu saja. Penantiannya berakhir.
Berakhir sia-sia.
***
“Nuna, kenapa tampangmu murung begitu? Aku jadi ngeri
melihatnya. Mana senyum manismu yang biasa?”
Eun-Kyo mengangkat kepalanya malas dan menatap Kibum
yang berdiri di depannya. Namja itu sedang sibuk mencampurkan
entah cairan apa ke dalam tabung reaksi. Di umur yang masih muda,
dia berhasil lulus ujian masuk SRO, Science Reasearch Organization,
salah satu unit di bawah naungan KNI yang bertugas menemukan
obat-obatan, serum, racun, dan semua jenis cairan kimia lain yang
belum pernah ditemukan sebelumnya. Eun-Kyo sering menghabiskan
waktunya di laboratorium pribadi Kibum ini, setiap ilmuwan memang
mendapat laboratorium pribadi masing-masing, di sela-sela istrirahat
dari jadwalnya yang padat. Dia sudah menganggap Kibum sebagai
adiknya sendiri atau tempat sampahnya, karena biasanya dia akan
berkeluh-kesah tentang segala hal pada namja ini.
Eun-Kyo teringat lagi alasannya kabur dari pekerjaannya pagi
ini dan memilih bersembunyi disini. Park Jung-Soo. Pria yang lebih
suka dipanggil Leeteuk itu. Kenangan-kenangan sejak 3 tahun yang
lalu membanjiri kepala Eun-Kyo lagi seperti air bah. Kenangan saat
pertemuan pertama mereka, waktu Eun-Kyo tersesat di gedung KNI
yang luar biasa besar dan Leeteuk menawarkan diri untuk
menolongnya. Saat Eun-Kyo berhasil menunaikan tugas pertamanya
sebagai anggota STA dan Leeteuk menjadi orang pertama yang
memberi selamat padanya. Betapa paniknya gadis itu saat dia
membuat kesalahan dalam laporan pekerjaannya dan Leeteuk turun
tangan untuk membantunya sampai-sampai mereka harus menginap di
kantor. Semuanya memenuhi pikiran Eun-Kyo sama jelasnya dengan
saat dimana dia sedang mengalami hal itu, membuatnya tidak bisa
menahan isak tangis yang sudah ditahannya dari tadi agar tidak
membuat Kibum cemas. Benar, satu-satunya alasan yang bisa
membuatnya menangis seperti ini hanya pria itu dan Kibum tahu
dengan baik hal tersebut.
Kibum meletakkan tabung reaksi yang sedang dipegangnya ke
tempatnya dan menarik kursi di samping Eun-Kyo lalu duduk di
atasnya.
“Nuna~ya, apa terjadi sesuatu yang buruk? Leeteuk hyung
bilang apa padamu?”
Mendengar pertanyaan Kibum itu tangis Eun-Kyo malah
meledak sekencang-kencangnya, membuat namja itu panik dan
bergegas mencari tisu yang langsung diserahkannya pada wanita yang
sudah dianggapnya sebagai kakak perempuannya itu. Dia tahu
bagaimana tergila-gilanya nunanya itu pada Leeteuk, agen yang
bertugas merancang dan membuat persediaan senjata bagi organisasi
mereka. Terkadang dia heran sendiri kenapa nunanya tidak pernah
lelah menghabiskan energinya mengejar orang yang jelas-jelas tidak
memiliki rasa tertarik sedikitpun padanya.
Dia membiarkan Eun-Kyo menangis sepuasnya. Dia sudah hafal
kebiasaan nunanya itu. Eun-Kyo tidak akan bicara sampai dia sendiri
yang ingin membicarakannya. Jadi yang bisa dilakukan Kibum saat ini
hanya menunggu. Menunggu sampai nunanya itu tenang dan mau
membuka mulutnya.
***
“Haaaah, udara Korea benar-benar segar. Ya, kan?” seru Eun-
Ji senang sambil membentangkan tangan dan menggeliatkan badannya
setelah perjalanan berjam-jam di atas pesawat.
Hye-Na memakai kacamata hitamnya tanpa mengacuhkan
ucapan Eun-Ji sama sekali. Dia tidak menyukai apapun tentang negara
ini, termasuk udara yang dihirupnya.
“Siapa yang menjemput kita hari ini?” tanya Hye-Na dingin.
Dia tidak pernah suka melihat kerumunan orang, apalagi berada di
tengah-tengahnya. Lebih cepat mereka keluar dari bandara ini lebih
baik.
“Molla,” jawab Eun-Ji, sibuk memperhatikan para penjemput
yang mengacungkan karton di tangan mereka.
“Eun-Ji ssi, Hye-Na ssi, selamat datang di Korea.”
Kedua gadis itu berbalik dan mendapati seorang pria
bertubuh tinggi dan tegap berdiri di depan mereka. Hye-Na bisa
merasakan tubuh Eun-Ji menegang di sampingnya. Keceriaan yang
dari tadi diperlihatkannya lenyap seketika.
“Ah, ye, Siwon ssi. Bisakah kau menunjukkan kami jalan
keluar. Aku tidak suka berada disini.”
“Kau memang tidak suka menghirup udara Korea kan, Hye-
Na~ya?” goda Siwon.
“Jangan bersikap terlalu ramah padaku. Aku tidak suka pada
orang yang telah menyakiti temanku. Itu sama artinya dengan kau
menyakiti aku secara langsung. Kau tahu itu kan, Siwon ssi?” ujar
Hye-Na. Kali ini ada nada mengancam dalam suara gadis itu, membuat
Siwon mengurungkan niatnya untuk bicara. Dia mengalihkan
tatapannya pada gadis yang berdiri di samping Hye-Na. Gadis itu
dengan kentara memalingkan wajahnya ke arah lain. Jelas tidak
berniat sedikitpun menyapa Siwon.
“Ayo ikuti aku.”
***

Eun-Ji sangat senang bisa kembali ke Korea sekaligus


membencinya setengah mati. Dia sudah lama tidak bertemu dengan
orang tuanya dan merasa sangat merindukan mereka. Tapi kembali ke
Korea sama artinya dengan mengoyak luka lamanya yang sama sekali
belum sembuh dan itu semua disebabkan oleh namja yang tanpa
perasaan menawarkan diri untuk menjemput mereka ke bandara ini.
Eun-Ji sempat ditugaskan selama setahun di Korea. Saat
itulah dia bertemu dengan Siwon dan mereka berdua menjalin
hubungan sampai memutuskan untuk menikah. Eun-Ji tidak pernah
tahu kenapa Siwon begitu ingin menjadi agen KNI dan tidak
keberatan ditempatkan dimanapun. Padahal semua orang tahu bahwa
dia berasal dari keluarga yang sangat kaya.
Eun-Ji tahu bahwa Siwon sangat membenci mafia terkenal
bernama Min Sang-Hyun yang saat itu menjadi salah satu target
utama STA. Tapi dia tidak pernah tahu alasannya. Siwon melakukan
segala cara agar menjadi bagian dari operasi penangkapan mafia itu
dan saat dia berhasil, dialah yang memimpin semua operasi. Saat itu
mereka berhasil menjebak Min Sang-Hyun tapi Siwon membuat
kesalahan dengan menembak Sang-Hyun sampai mati, padahal mereka
mendapat perintah agar menangkap orang itu hidup-hidup. Eun-Ji
setengah yakin bahwa itu bukan kesalahan yang tidak disengaja.
Siwon sengaja melakukannya karena Eun-Ji melihat sendiri kilat
dendam yang memancar di mata pria itu saat dia menodongkan
pistolnya tepat di kepala sang mafia.
Organisasi memberikan peringatan berupa ditariknya izin
kerja Siwon selama sebulan sebelum dia diizinkan bergabung kembali.
Eun-Ji yang curiga diam-diam menyelidiki Siwon dan saat itulah dia
mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Tentang masa lalu namja itu
dan keboongan-kebohongan yang diucapkannya pada semua orang.
Siwon sempat bertunangan saat dia baru berusia 20 tahun
dengan seorang gadis cantik yang sangat dicintainya. Mereka menjadi
pasangan yang sangat terkenal di universitas. Itu cerita yang
didapatkan Eun-Ji dari teman-teman kampusnya. Sayangnya, gadis itu
meninggal dalam baku tembak di daerah Myeondong yang melibatkan
Min Sang-Hyun dan anak buahnya. Hal itulah yang menjadi alasan
Siwon bergabung dengan KNI. Untuk membalaskan dendam atas
kematian gadisnya.
Yang membuat Eun-Ji terkejut adalah kenyataan bahwa dia
memiliki wajah yang sangat mirip dengan gadis yang sudah mati itu.
Fakta itu benar-benar menghantamnya dengan telak karena ternyata
Siwon mendekatinya hanya karena dia mirip dengan tunangan pria itu.
Bahwa selama ini dia berada di dalam bayang-bayang seorang gadis
yang sudah mati. Saat itulah Eun-Ji membatalkan pertunangannya dan
memutuskan pindah tugas ke Amerika.
“Langsung bawa kami ke tempat jenazah Tuan Cho
disemayamkan. Aku tidak mau membuang-buang waktu,” ujar Hye-Na,
membuyarkan lamunan Eun-Ji. Tanpa sengaja dia menatap kaca kecil
yang terletak di atas bangku kemudi dan beradu pandang dengan
mata Siwon yang juga sedang menatapnya. Dia dengan cepat
mengalihkan pandangannya lagi dan menatap keluar jendela.
Tidak. Tugas kali ini tidak akan berjalan dengan mudah.
***
“MWORAGO?! Yak, Hye-Na ssi, kau tahu bahwa
permintaanmu itu sama sekali tidak masuk akal. Aku bisa digantung
Kyuhyun kalau dia mendengar hal ini,” tolak Yesung mentah-mentah
mendengar permintaan gadis di depannya.
“Aku punya hak penuh disini dan aku tidak peduli apa
pendapat pria itu tentang hal ini. Kalau dia berkeberatan, suruh dia
sendiri yang menemuiku,” jawab Hye-Na keras kepala.
“Tapi itu tidak bisa, Hye-Na ssi. Besok jasadnya akan
dimakamkan dan Kyuhyun meminta pemakaman terbuka yang berarti
bahwa peti matinya juga terbuka sehingga semua orang bisa
melihatnya.”
“Semua tubuhnya tertutup, kan? Dia akan memakai jas dan
sarung tangan. Hal itu tidak masalah.”
“Tapi Hye-Na ssi. Yang benar saja. Kau memintaku menguliti
kulitnya?”
“Kita semua tahu bahwa dia tidak punya riwayat penyakit
jantung, jadi dapat dipastikan bahwa kematiannya tidak lazim. Kalian
tidak menemukan reaksi racun sedikitpun. Akan lebih mudah kalau
kau menguliti kulitnya dan menemukan luka semcam tusukan jarum.”
“Tapi kami sudah memeriksa dan tidak menemukannya.”
“Tentu saja tidak menemukannya. Bagaimana kalau luka itu
sangat kecil? Hmm? Kalau kau menguliti kulitnya, kau bisa
memeriksanya dengan mikroskop atau semacamnya.”
Yesung mengerjapkan matanya dan melirik sekelilingnya
dengan gelisah. Dia tahu gadis ini benar, tapi dia juga tidak mau
mengambil resiko kalau Kyuhyun sampai mendengar hal ini. Pria itu
sangat mengerikan jika sedang murka.
“Kau takut dengan Kyuhyun? Biar aku yang mengurusnya.”
“Kau bahkan belum pernah bertemu dengannya.”
“Lalu?”
Yesung mengatupkan mulutnya, tahu bahwa sia-sia saja
mendebat gadis di hadapannya ini.
“Aku menunggu laporanmu dalam waktu dua jam. Oke?”
Yesung menunggu sampai gadis di hadapannya itu menghilang
di balik pintu dan membalikkan badannya ke arah asisten yang berdiri
di belakangnya. Gadis itu juga menatapnya ketakutan, membuat
Yesung mengerang frustasi dan mendudukkan tubuhnya yang sedikit
limbung ke atas kursi.
“Jin-Ah~ya, bagaimana ini?”
“Molla. Kalau kau melakukannya, kau harus menghadapi
Kyuhyun sajangnim. Dia sangat mengerikan, kau tahu? Tapi oppa,
kalau kau tidak melakukannya, kau harus menghadapi gadis itu dan
menurutku, gadis itu tidak kalah menyeramkannya.”
***
Donghae melepaskan jas yang dipakainya dan melemparnya
sembarangan ke atas sofa, kebiasaannya setiap pulang ke rumah. Dia
bergegas naik ke lantai dua, membuka pintu pertama di dekat tangga
dan melangkah masuk.
“Hidupkan lampu,” perintahnya. Sedetik kemudian cahaya
terang menyinari ruangan itu.
Ruangan itu berupa kamar yang cukup besar. Tidak ada terlalu
banyak barang-barang di dalamnya. Hanya sebuah lemari pakaian,
tempat tidur, dan sofa. Ranjang besar terletak persis di tengah-
tengah ruangan dan ada seorang gadis yang terbaring di atasnya.
Gadis yang membuat Donghae ingin bergegas pulang ke rumah setiap
saat, walaupun dia tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak akan
memberi respons apa-apa padanya.
Donghae mendudukkan tubuhnya di pinggir ranjang,
membiarkan tatapannya terpaku di wajah gadis yang tidak pernah
membuka matanya sejak 5 tahun yang lalu itu. Dia tidak pernah
bosan. Sama sekali tidak pernah. Terlalu banyak rencana yang ingin
dilakukannya bersama gadis itu dan dia yakin bahwa sampai kapanpun
dia tidak akan pernah berubah pikiran.
Donghae mengulurkan tangannya, jari-jarinya menelusuri
helaian rambut hitam yang tergerai di sekeliling wajah Ga-Eul. Yah,
namanya Ga-Eul. Cho Ga-Eul. Seperti namanya, gadis itu memang
sangat menyukai musim gugur. Musim dimana dia terlahir ke dunia,
sekaligus musim yang merenggut kesadarannya sampai sekarang.
Kecelakaan itu terjadi 5 tahun yang lalu, saat Donghae
berniat memberi hadiah kelulusan pada Ga-Eul dan mengajaknya
berlibur ke Pulau Jeju. Alasan lainnya adalah karena namja itu ingin
melamar Ga-Eul yang sudah dipacarinya selama 2 tahun. Tapi
semuanya gagal karena sopir truk yang mabuk dan mengemudi ugal-
ugalan menabrak mobil mereka. Donghae mengalami luka-luka yang
cukup serius dan mendapat beberapa jahitan, tapi Ga-Eul mengalami
koma dan tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Keluarga gadis
itu sudah menyerah dan menyuruh dokter mencabut semua peralatan
yang menopang hidup Ga-Eul, tapi Donghae menolak dan bersikeras
ingin merawat Ga-Eul sendiri. Dia meyakinkan keluarganya bahwa dia
akan menemukan cara untuk membuat Ga-Eul kembali sadar seperti
sedia kala. Hal yang sia-sia, karena lewat lima tahun gadis itu tidak
sadar-sadar juga. Donghae nyaris dianggap gila oleh keluarganya,
karena itu satu tahun terakhir hubungannya dengan keluarganya
memburuk.
“Ga-Eul~a, bagaimana kabarmu hari ini? Apa tadi eommamu
datang untuk memandikanmu? Mianhae, hari ini aku pulang larut.
Jadwal syutingku sangat padat, jadi aku mengingkari janjiku untuk
pulang cepat. Aku lelah sekali, kau tahu? Aku terpaksa takeberkali-
kali karena tidak berkonsentrasi. Kibum bilang dia sudah hampir
menyelesaikan serum yang mungkin bisa menyadarkanmu kembali. Aku
harap dia bisa melakukannya secepatnya, karena aku sudah tidak
sabar ingin berbicara denganmu lagi, melihat senyummu lagi.”
“Ini sudah lima tahun, Ga-Eul~a, apa kau tidak bosan jadi
putri tidur setiap hari? Aku sudah menciummu berkali-kali karena
siapa tahu kau bisa sadar seperti cerita di dongeng-dongeng. Tapi kau
bahkan tidak bergerak sedikitpun.”
Donghae menarik nafas dan menyusupkan jarinya di antara
jari-jari Ga-Eul, menggenggam tangan gadis itu dengan erat.
“Kau tidak merindukanku? Sedikitpun? Aku bahkan
merindukanmu setiap saat bahkan waktu aku sedang menggenggam
tanganmu seperti ini. Apa kau tidak ingat janji kita dulu? Aku ingin
menikahimu. Punya anak-anak lucu yang terlahir dari rahimmu. Apa
kau melupakan janji itu?”
Donghae membiarkan air matanya mengalir begitu saja, jatuh
ke punggung tangan Ga-Eul yang sedang digenggamnya. Penglihatannya
sedikit mengabur karena air mata, tapi dia tetap berusaha fokus
dengan wajah yang sedang ditatapnya.
“Aku merindukanmu, Ga-Eul~a. Benar-benar merindukanmu.”
***
“Korea?” tanya Alexa, tak percaya dengan pendengarannya.
“Untuk apa aku kembali kesana?”
“Kau bertanya untuk apa?” tanya Peter dengan senyum geli di
wajahnya. “Kau lupa bahwa kau adalah agen CIA? Apa tinggal terlalu
lama disini membuatmu lupa dengan negara kelahiranmu sendiri, Kwon
Yu-Na?”
“Aku bahkan sudah lupa dengan nama Korea-ku. Jadi, apa
tugasku sekarang?”
“Science Research Organization. SRO. Aku rasa kau pasti
tahu nama organisasi yang sangat terkenal itu.”
“Salah satu bagian KNI? Di bawah kendali penuh Cho
Corporation kudengar. Bahkan ilmuwan-ilmuwan kita belum terpikir
untuk membuat hal-hal semcam itu tapi mereka malah sudah
memasarkannya.”
“Aku rasa kau masih punya ikatan sangat kuat dengan negara
itu. Aku tidak salah, kan?”
“Your home will be your home forever. Bisakah kau tidak
berputar-putar dan langsung ke pokok permasalahannya?”
Peter meletakkan gelas plastik berisi kopi yang belum habis
diminumnya ke atas meja dan menatap Alexa dengan serius.
“Tugasmu saat ini sedikit berbahaya. CIA sudah memikirkan
hal ini berulang kali dan kita tidak boleh kalah oleh negara yang
selama ini selalu jauh di bawah kita. Perlu sedikit kecurangan untuk
menang, Alexa. Kau pernah dengar itu, kan?” Dia memasukkan
tangannya ke dalam saku celana dan berbalik menghadap jendela
besar di belakangnya. Pemandangan jalanan di bawah langsung
memenuhi penglihatannya. Mobil berseliweran, manusia-manusia yang
berjalan tergesa-gesa, android-android yang silih berganti melakukan
pekerjaan mereka.
Peter tersenyum getir teringat bahwa robot itu ditemukan
oleh warga negara Korea. Bukan Amerika. Robot hebat seperti itu,
yang bahkan sampai sekarang begitu sulit dibedakan dari manusia
penciptanya, membuat Amerika, terutama CIA kelabakan. Amerika
tidak pernah menjadi negara kedua. Tidak pernah. Dan sekarang
semuanya berubah hanya karena seorang pria muda bernama Cho
Kyuhyun. Pria yang memutarbalikkan dunia karena ide-ide
cemerlangnya.
Apa yang kudengar? Pikir Peter. Pria itu bahkan berencana
memproduksi mobil terbang bulan depan, sedangkan kami masih
berusaha mencari cara agar hal itu terealisasi.
“Zhoumi. Salah satu ilmuwan terhebat di SRO. Kami mendapat
berita dari sumber terpercaya bahwa pria itu sedang mengerjakan
serum yang bisa memperpanjang umur manusia.”
“Memperpanjang umur manusia?”
“Yeah, serum itu bekerja seperti sihir. Menambah umur
manusia. Bukan berarti kau tidak bisa mati, tapi dengan serum itu,
kau bisa memperlama kemungkinan hdupmu di dunia. Dan dia juga
baru saja menemukan serum kejujuran. Dengan serum itu, kau bisa
membuka mulut seseorang dan mendapat semua rahasianya. Apapun
yang ingin kau ketahui akan dijawab dengan sejujurnya. Apa kau bisa
berpikir seberapa pentingnya serum seperti itu untuk kita?”
Alexa bergerak gelisah saat otaknya memproses kemungkinan
tugas yang akan diberikan padanya. Kedengarannya mengerikan. Ini
berhubungan dengan Cho Corporation dan tidak ada seorang pun yang
berani mencari gara-gara dengan mereka. Perusahaan yang dilindungi
penuh oleh KNI. CIA bahkan tidak bisa berkutik sedikitpun sejauh
ini.
“Kau ditugaskan untuk menyusup kesana dan mendapatkan
kedua serum itu berikut formulanya. Tunggu sampai serum penambah
umur itu selesai dan kau bisa mencuri formula beserta contohnya.
Kali ini kau bekerja sendiri Alexa, kami tidak bisa memberikan
perlindungan penuh padamu seperti biasa. Tapi kau tetap bisa
meminta pertolongan kami jika memang dibutuhkan. Terutama jika
kau telah menyelesaikan pekerjaanmu dan punya peluang untuk kabur
hidup-hidup dari tempat itu.”
Kabur hidup-hidup? Batin Alexa. Apa semua ini
mempertaruhkan nyawanya?
“Kenapa aku?”
“Karena kau orang Korea.”
***
“Nona Goo, apa penelitian Anda berjalan dengan baik?”
Sa-Rang berbalik dan langsung tersenyum sinis saat melihat
siapa yang sedang berbicara dengannya.
“Mau apalagi kau mengikutiku, hah?”
Henry mencengkeram lengan gadis itu, mencegah
kemungkinan gadis itu akan lari lagi dari hadapannya.
“Ayolah, Henry, ini sudah malam, aku harus pulang. Apa kau
mau mengajakku terjebak dalam percakapan tidak bermutu lagi?
Hmm?”
“Setidaknya kita bisa berbicara layaknya teman.”
“Teman? Yak, itu hubungan yang kita jalin dua tahun yang lalu
sebelum kau merusaknya dengan mengatakan bahwa kau menyukaiku
dan aku dengan bodohnya mempercayai ucapanmu lalu terjatuh ke
dalam pelukanmu dengan begitu mudahnya. 7 bulan yang lalu kau
mencampakkanku untuk gadis lain dan aku jadi bertanya-tanya, mau
apa kau tetap mengikutiku kemana-mana setiap hari? Apa gadismu itu
tidak sesuai dengan seleramu dan kau mau kembali padaku? Kau mau
tahu jawabanku? Itu hanya terjadi dalam mimpimu!”
Sa-Rang menghempaskan tangan Henry dengan seluruh
kekuatan yang dia punya dan meninggalkan pria itu berdiri disana.
“Apa kau sebegitu bencinya padaku sampai-sampai kau berniat
menghancurkan mimpiku menjadi seorang violinist ternama? Apa kau
gadis macam itu, Sa-Rang~a?”
Sa-Rang mengacuhkan teriakan itu begitu saja dan membuka
pintu mobilnya. Dia memasang kemudi manual dan menjalankan
mobilnya dengan kecepatan jauh di atas rata-rata. Meninggalkan
masa lalunya di belakang.
Tidak. Bahkan pria itu masih mengisi pikirannya setiap saat.
Dia masih tetap menangis setiap malam meratapi nasibnya, masih
memimpikan kehadiran pria itu dalam tidurnya. Pria yang telah
menjatuhkannya ke titik terendah dalam hidupnya.
Dia tumbuh besar bersama namja itu. Melewati masa kanak-
kanak dan remaja berdua. Dan seperti kisah picisan lainnya, mereka
saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menjalin hubungan. Tapi
ternyata hidup memang tidak seindah yang tertulis di novel-novel
kesukaannya. Henry adalah pemain biola yang hebat. Dia sendiri
sangat mengagumi permainan biola namja itu. Sama sekali tidak
keberatan saat namja itu mengacuhkannya hanya karena terlalu sibuk
berlatih biola setiap hari demi bisa memasuki jurusan musik di
universitas yang diinginkannya.
Henry berhasil dan Sa-Rang ikut senang mendengarnya. Dia
sendiri disibukkan dengan ujian masuk ACC, Android Creator Center,
salah satu anak perusahaan Cho Corporation. Dia lulus setelah
melewati ujian masuk dan berbagai tes yang membutuhkan waktu satu
bulan dan menguras seluruh tenaganya. Semua hal itu terasa sia-sia
saat dia mendapati Henry selingkuh di depan matanya sendiri. Waktu
itu dia berniat memberi kejutan, sekaligus merayakan
keberhasilannya menjadi salah satu karyawan ACC, karena itu dia
datang ke apartemen Henry tanpa memberitahu namja itu terlebih
dahulu. Tapi yang didapatnya malah Henry yang sedang memainkan
biolanya di depan seorang gadis dan berlutut melamar gadis itu.
Hadiah yang sangat indah di hari kesuksesannya.
Sa-Rang memilih menyibukkan diri dengan pekerjaannya
setelah itu. Dia tidak menghubungi Henry sama sekali dan hanya
memberikan pesan berisi ucapan selamat atas pertungangan namja
itu.
Gadis itu merasa sedikit terguncang saat perusahaan
memberinya tugas untuk menciptakan android pemusik yang bisa
memainkan segala macam alat musik sama baiknya dengan pemain
musik asli. Dia berhasil melakukannya dalam jangka waktu kurang dari
6 bulan dan bulan depan produknya akan mulai dipasarkan. Yang
membuatnya merasa ketakutan adalah kemungkinan meledaknya
produk ini dan para android akan merajai panggung konser dengan
kehebatan permainan musik mereka. Tentu saja itu tidak masalah
bagi para pemusik yang sudah terkenal di bidangnya masing-masing.
Tapi tidak dengan para pemusik yang baru akan memulai karirnya
seperti Henry. Bukankah semua orang lebih memilih menggunakan
tenaga yang sudah pasti berbakat seperti android buatannya
dibandingkan para pemusik pemula yang besar kemungkinan akan
melakukan kesalahan disana-sini dan diharuskan mendapat pelatihan
intensif yang menghabiskan banyak biaya? Belum lagi uang yang harus
dikeluarkan untuk gaji mereka yang sudah pasti bukan jumlah yang
kecil. Android adalah jalan keluar yang paling mudah. Hanya perlu
mengeluarkan biaya tinggi untuk membelinya dan biaya perawatan
sekali setahun. Uang itu tidak terlalu banyak mengingat pemasukan
besar yang akan mereka dapatkan dari penjualan tiket konser.
Ini bukan masalah dendamnya pada Henry. Bahkan jauh di
lubuk hatinya, Sa-Rang berpikiran bodoh bahwa dengan adanya
android-android itu, Henry akan mengurangi kesibukannya bermain
biola dan mulai memfokuskan perhatiannya pada Sa-Rang. Namja itu
akan memiliki lebih banyak waktu senggang yang bisa mereka
habiskan berdua. Tapi itu dulu. Bukan sekarang, saat semuanya sudah
berakhir dan terancam menjadi masa lalu yang akan segera dilupakan
seiring berjalannya waktu.
***
“YAK, BAGAIMANA MUNGKIN ANDROID BISA KABUR
DARI RUMAH? KAU SEDANG MEMPERMAINKANKU, HAH? KAU
KIRIM PENGGANTINYA SEKARANG JUGA ATAU AKU AKAN
MENGAJUKAN SURAT TUNTUTAN PADA PERUSAHAAN KALIAN
KARENA MEMPRODUKSI ROBOT YANG TIDAK BECUS!” teriak
Heechul emosi sambil menendang kursi kecil yang menghalangi
jalannya ke dapur.
“Maaf Tuan Kim, tapi apa Anda yakin bahwa android Anda
tidak sedang belanja ke supermarket atau semacamnya?”
“APA KAU PIKIR AKU SUDAH TUA SAMPAI PIKUN? AKU
INGAT APA YANG SUDAH KUPERINTAHKAN PADA ANDROIDKU
SENDIRI! JADWAL BELANJANYA ADALAH TADI PAGI DAN DIA
BELUM PULANG SAMPAI SEKARANG!”
Gadis yang menerima telepon dari namja itu sedikit
menjauhkan communicator dari wajahnya. Dia menatap salah satu
pelanggannya itu dengan raut wajah ngeri. Namja itu tampan tentu
saja, dan seorang artis top yang terkenal dengan temperamennya
yang meledak-ledak. Yang sekarang sedang balas menatapanya dengan
pandangan yang siap membunuh.
“Apa Anda yakin sekarang belum jadwalnya android Anda
memperbarui energinya?” tanya gadis itu hati-hati, takut telinganya
bisa tuli mendadak jika harus mendengar teriakan pria itu lagi.
Padahal mereka hanya sedang terhubung melalui link communicator-
nya.
“Yak, aku sudah lelah dan sekarang kau menanyaiku yang
tidak-tidak. Besok aku akan ke perusahaanmu dan meminta ganti rugi.
Ara?”
Heechul mematikan communicator-nya dan
memprogram AutoChef-nya untuk menghasilkan kopi panas
kesukaannya seperti biasa. Dia masih tidak percaya bahwa android
bisa meninggalkan Tuannya sembarangan. Semirip apapun benda itu
dengan manusia, sekali robot tetap saja robot. Tidak punya otak
untuk berpikir.
Tapi… sekarang bukan waktunya pengisian energi, kan? Batin
Heechul ragu.Sepertinya bukan. Tapi… bagaimanapun juga, aku kan
memang sering lupa mengingat tanggal. Ck, menyusahkan saja!
Dia menatap ruangan tempat dia berdiri dengan wajah kesal.
Dia bisa merasakan kehadiran debu yang menumpuk disini. pasti
android sialan itu belum sempat berbenah sebelum pergi.
Astaga, memangnya android itu manusia sampai bisa
memutuskan untuk kabur dari sini? Aku bukan majikan yang sebegitu
mengerikannya, kan?
Heechul mengambil jaketnya dari gantungan dan memutuskan
pergi keluar. Dia perlu udara segar. Sepertinya dia harus
mempertimbangkan untuk mencari android itu ke supermarket
terdekat. Mungkin saja mereka melihatnya. Android itu bukan barang
murah dan dia menyukai androidnya yang sekarang. Android yang
berwujud wanita cantik dan terlihat polos.
Tidak. Bukan berarti dia adalah seorang penggila wanita.
Bahkan kebalikannya. Dia berlatih dengan kehadiran android itu untuk
menghilangkan antipatinya terhadap wanita yang terlihat seperti
makhluk tidak berperasaan di matanya. Membuktikan bahwa masih
ada wanita di dunia ini yang tidak seperti ibunya. Wanita yang
membunuh ayahnya di depan matanya sendiri.
***
Min-Hyo berjalan tergesa-gesa sambil menoleh ke
sekelilingnya dengan panik. Dia baru saja kabur dari rumahnya yang
lebih terasa seperti penjara baginya. Orang tuanya memberitahu
bahwa dia akan dinikahkan dengan salah satu relasi bisnis mereka dan
Min-Hyo sama sekali tidak menyukai gagasan itu. Dia tahu satu-
satunya cara untuk membatalkan hal itu hanyalah kabur dengan
kemungkinan bahwa dia tidak bisa kembali lagi ke rumah. Kabur dan
mencari cara agar tidak tertangkap karena dia tidak bisa
membayangkan hukuman apa yang akan dia terima nantinya.
“Aigoo!!!” teriaknya kaget saat dia bertabrakan dengan
seorang pria.
Pria itu memakai hoodie yang menutupi kepalanya, membuat
wajahnya tidak terlihat begitu jelas. Apalagi lingkungan ini jarang
dilewati orang, karena itu penerangannya tidak cukup bagus.
Min-Hyo mundur ketakutan saat pria itu menundukkan
kepalanya agar bisa melihat wajah Min-Hyo dengan lebih jelas.
“YAK, NEO!!!” teriaknya tiba-tiba. Mata Min-Hyo melebar
mendengar suara keras pria itu. Sepertinya pria itu mengenalinya.
Apa dia salah satu suruhan orang tuanya yang ditugaskan untuk
mencarinya? Astaga, kenapa mereka bisa menemukannya secepat itu?
“Yak, kau android kurang ajar! Darimana saja kau, hah? Kau
meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan, kau tahu tidak? Kau
kan sudah tahu bahwa aku ini paling tidak tahan dengan debu. Apa
yang kau lakukan di luar sampai selarut ini? Tidak mungkin kau
menemukan android pria yang tampan dan jatuh cinta padanya, kan?
Cih, aku ini bodoh sekali. Mana mungkin android bisa jatuh cinta.”
Kali ini Min-Hyo melongo karena pria di hadapannya itu terus
berbicara tanpa menarik nafas sama sekali.
Apa katanya tadi? Aku android? Apa dia kehilangan
androidnya dan mengira bahwa aku ini androidnya yang hilang itu?
Astaga, dia sudah gila? Apa dia tidak bisa membedakan android
dengan manusia?
“Omo, kau menghilangkan gelangmu? Pantas saja kau tidak
tahu jalan pulang. Yak, bagaimana kau bisa menghilangkannya, hah?
Merepotkanku saja! Jadi dari tadi kau tersesat dan tidak bisa
pulang? Untung sekali kan aku bisa menemukanmu? Dasar bodoh! Ayo
pulang!”
Min-Hyo membiarkan tangannya ditarik oleh pria yang tidak
dikenalnya itu. Otaknya berpikir cepat tentang pertolongan yang
mungkin akan diberikan pria itu tanpa sadar. Jika dia bisa berpura-
pura menjadi android, maka dia bisa tinggal di rumah pria ini. Kecil
kemungkinan orang tuanya akan menemukannya. Itu ide paling
cemerlang yang bisa dipikirkannya saat ini.
Mereka memasuki jalanan yang terlihat terang karena lampu
jalan. Saat itulah Min-Hyo bisa melihat wajah pria itu dengan jelas,
apalagi pria itu sudah menurunkan hoodie yang tadi menutupi
wajahnya.
“OMONA, KIM HEECHUL SSI?”
***
“Yak, aku kan sudah bilang, untuk apa kau menghabiskan uang
membeli ikan, ayam, dan daging asli begini? Kita kan sudah
punya AutoChef. Kita bisa memakan apapun yang kita mau tanpa harus
repot-repot memasak. Dan kau tahu aku tidak bisa memasak sama
sekali. Mau kau apakan bahan-bahan ini? Membuangnya ke tong
sampah?” seru Ah-Zin sambil menatap suaminya kesal.
“Maksudmu makanan yang tidak ada rasanya itu? Aku bahkan
lebih memilih menghabiskan uang untuk makan di restoran daripada
memakan makanan yang keluar dariAutoChef itu!” seru Ryeowook tak
kalah kesal. “Aku yang akan memasak semua ini. kau tenang saja.”
“Oppa, aku sudah memberitahumu sejak lama, kan? Kenapa
kau tidak membeliAutoChef keluaran terbaru saja? Kau kan tahu
bahwa makanan dan minuman yang dihasilkan jauh lebih enak. Apa
masalah harganya?”
“Harga? Sama sekali bukan masalah itu. Kau tahu bahwa aku
sama sekali tidak menyukai semua alat-alat modern ini. Semuanya
terlalu praktis. Membuat manusia menjadi malas bergerak. Aku
bahkan tidak bisa melakukan hobi yang kusenangi lagi karena sudah
sangat sulit mendapatkan bahan makanan segar saat ini.”
Ah-Zin menyandarkan tubuhnya ke konter dapur dan memilih
tidak menjawab perkataan Ryeowook. Dia tahu, tentu saja dia tahu
hobi suaminya yang suka memasak. Mereka bahkan bertemu pertama
kali di restoran kepunyaan orang tua Ryeowook 4 tahun yang lalu. Ah-
Zin sangat menyukai masakan pria itu dan mereka berkenalan. Sampai
akhirnya AutoChef meledak di pasaran 3 tahun yang lalu dan dengan
cepat mengubah selera konsumen. Kafe-kafe kecil terpaksa menutup
usahanya karena kesulitan menemukan bahan-bahan segar yang dijual
di pasar, padahal bahan-bahan itu juga sudah mulai sulit didapatkan
sejak 10 tahun yang lalu. Ditambah lagi para konsumen lebih memilih
membeli AutoChef yang bisa menyediakan makanan dan minuman
apapun yang mereka mau. Hanya restoran-restoran mewah yang tetap
bertahan. Orang tua Ryeowook sendiri memutuskan mengganti usaha
mereka dengan membuka supermarket besar. Dan Ah-Zin tahu bahwa
Ryeowook sama sekali tidak menyukai semua itu. Hal itu juga yang
menjadi bahan pertengkaran mereka sehari-hari.
TING TONG!!!
Ah-Zin bergerak dan melihat tamunya melalui layar intercom.
“Ah, Sungmin ssi, tunggu sebentar.”
Ah-Zin bergegas membukakan pintu utnuk sahabat suaminya
itu dan mempersilahkan pria itu masuk.
Sungmin adalah salah satu aktivis yang menyuarakan tentang
pengembalian dunia seperti semula. Masa dimana belum ada android
ataupun AutoChef. Saat-saat dimana masih ada pemandangan
persawahan di sepanjang jalan ataupu perkebunan dan peternakan di
ujung kota. Ah-Zin tidak heran kenapa mereka berdua bisa berteman
baik.
Ah-Zin memilih menyiapkan secangkir kopi di dapur sambil
memperhatikan AutoChef-nya bekerja. Sebenarnya Wookie oppa
benar juga, batinnya. Dia juga merindukan rasa asli kopi dan betapa
nikmatnya daging sapi asli.
***
“Min-Yeon~a, bisakah kau mengurus pria bernama Lee
Sungmin?”
“Ne?” tanya Min-Yeon tidak fokus karena perhatiannya
sedang tersita pada laporan yang sedang dikerjakannya seharian ini.
Sebagai salah satu karyawan MPA, Modern Protector Agent, dia
bertugas memastikan bahwa semua peralatan canggih yang berada di
pasaran tidak mengalami penyalahgunaan dan semacamnya.
Pemerintah menginginkan segala macam kepraktisan ini merata di
segala bidang dalam rangka mengukuhkan Korea sebagai negara nomor
satu di dunia.
“Aktivis yang sering melakukan demo itu,” ujar Kwan Ji-Suk
sambil tertawa. “Aku tidak menyangka di zaman modern seperti ini
masih ada orang yang tertarik melakukan demo.”
“Memangnya apa yang harus aku lakukan?”
“Memberinya peringatan atau apapun yang bisa menghentikan
protesnya. Atasan sedikit tidak nyaman dengan hal ini. dia takut akan
ada masyarakat yang termakan ucapan pria itu dan ikut-ikutan
melakukan demo. Bisa-bisa dia menghimpun massa yang banyak untuk
melawan pemerintah. Orang yang tergila-gila dengan dunia masa lalu
itu.”
“Arasseo. Aku akan melakukannya nanti.”
Ji-Suk meninggalkan Min-Yeon sendirian di ruangannya,
memberi gadis itu waktu pribadi untuk berpikir.
“Berikan aku semua data tentang Lee Sungmin,” perintah
gadis itu pada layar besar di depannya. Beberapa detik kemudian dia
menatap wajah muda dan polos seorang namja berumur 25 tahun.
Dengan wajah seperti itu bisa-bisa dia dikira masih berumur
19 tahun, batin Min-Yeon sambil tertawa geli.
***
Eunhyuk melirik sekelilingnya dengan pandangan tidak nyaman.
Gara-gara sepupunya itu, dia terpaksa terdampar di tempat ini, di
tengah-tengah lukisan terkenal yang bahkan dia tidak tahu buatan
siapa. Memangnya dia seorang kurator lukisan apa!
Dia tidak habis pikir, apa yang lebih penting bagi seorang Cho
Kyuhyun dibanding gengsinya mendatangi semua tempat-tempat yang
di mata Eunhyuk tidak ada gunanya tapi selalu berhasil mengucurkan
banyak uang ke kantong sepupunya yang terkenal itu. Bahkan datang
ke museum lukisan ini dan menyuruh Eunhyuk memberi laporan
lengkap tentang segala hal yang dilihatnya disana. Eunhyuk bisa saja
menyuruh sekretarisnya pergi ke tempat ini dan membuat laporan
lengkap tentang sejarah lukisan-lukisan yang tidak ada bagus-
bagusnya itu, tapi Eunhyuk tidak mau mengambil resiko seandainya
dia membohongi Kyuhyun tentang kedatangannya ke tempat itu dan
dia ketahuan. Dipelototi seorang Cho Kyuhyun bisa membuatmu tidak
tidur nyenyak selama berhari-hari dan Eunhyuk sama sekali tidak
berminat untuk mencobanya.
Dia berhenti di depan sebuah lukisan wanita yang sedang
menyandarkan kepalanya ke atas meja. Rambut wanita itu berwarna
kuning dan tubuhnya besar tidak berbentuk. Lukisan itu terlihat
seperti coretan anak kecil di mata Eunhyuk. Tapi dia yakin bahwa
lukisan itu bernilai milyaran dolar.
“Namanya Marie-Therese Walter. Usianya 17 tahun saat
Pablo Picasso jatuh cinta padanya.”
Eunhyuk berbalik cepat dan melihat seorang gadis sudah
berdiri di sampingnya. Dia menilai penampilan gadis itu dengan
cermat. Tubuhnya mungil dan rambut ikal sebahunya dibiarkan
tergerai begitu saja. Dia mengenakan gaun malam sederhana
berwarna salem yang entah kenapa terlihat sangat pas di tubuhnya
yang kecil. Walaupun begitu, wajahnya terlihat dewasa dan polos di
saat yang bersamaan. Manis, batin Eunhyuk. Tipe wanita yang harus
dilindungi.
Gadis ini bahkan terlihat begitu rapuh, pikir Eunhyuk sambil
menggelengkan kepalanya.
“Pablo Picasso itu pelukis, kan? Jadi dia yang membuat lukisan
ini?”
“Mmm. Kau tidak suka lukisan, ya? Kenapa kau berada disini?”
tanya gadis itu ingin tahu.
“Ada suatu kondisi yang membuatku harus terdampar di
tempat ini,” jawab Eunhyuk sekenanya. “Jadi, apakah kau mau
melanjutkan ceritamu? Tiba-tiba aku merasa tertarik.”
Gadis itu tersenyum, membuat Eunhyuk terpana sesaat dan
merasa sulit menemukan fokusnya kembali.
“Picasso sudah menikah. Tentu saja. Dan berusia 30 tahun
lebih tua. Jadi mereka memutuskan untuk menyembunyikan hubungan
mereka dari publik. Mereka tinggal di sebuah flat di seberang rumah
Picasso dengan istri pertamanya, Olga. Dia menghargai Marie dengan
menjadikan gadis itu objek di banyak lukisannya. Picasso belum siap
untuk berkeluarga, bukan jenis pria yang akan setia terhadap satu
wanita. Hubungan mereka berakhir saat Olga mengetahui kehamilan
Marie. Hal itu juga terbukti saat Picasso akhirnya meninggalkan
Marie untuk Dora Maar setelah anak pertama mereka lahir, sama
dengan saat dia meninggalkan istrinya Olga untuk Marie. Tapi kau
tahu? Gadis itu dengan bodohnya tetap mencintai Picasso, tidak
peduli dengan hal buruk yang sudah dilakukan Picasso padanya. Dia
menggantung dirinya setelah Picasso meninggal.”
Eunhyuk tidak melepaskan pandangannya sama sekali dari
gadis itu selama dia bercerita. Ada raut sedih yang terbayang di
wajahnya saat dia menyelesaikan cerita tragis itu. Tapi dengan cepat
dia mengendalikan ekspresinya dan tersenyum lagi ke arah Eunhyuk.
“Bukan cerita yang indah, eh? Aku tidak mau mengalami kisah
seperti itu. Terlalu mengerikan.”
“Kau tidak akan mengalami hal seperti itu.”
Gadis itu mengulurkan tangannya dengan senyum yang masih
tersungging di wajah manisnya.
“Choi Ji-Yoo.”
“Lee Hyuk-Jae.”
***
“Aku menemukannya di bagian punggung tangan, pangkal ibu
jari. Abductor pollucis. Ada memar merah keunguan kecil, panjangnya
sekitar setengah inci, makanya tidak ditemukan sebelumnya.
Bentuknya seperti kobaran api,” ujar Yesung dengan raut wajah lelah.
Menguliti kulit orang bukan hal menyenangkan. Jin-Ah bahkan sempat
muntah-muntah selama hal itu berlangsung.
Hye-Na tampak berpikir sesaat sebelum berbicara dengan
nada ragu.
“Bukankah ada zat, racun, yang bisa menembus pembatas
antara darah dan otak lalu tidak menembus balik? Yang mungkin
hanya bisa ditemukan di cairan sumsum.”
“Hampir mustahil untuk menghisap sumsum pada tubuh yang
sudah mati. Tidak ada tekanan. Sumsumnya tidak mau keluar.”
“Bukankah cairan mata sama dengan cairan sumsum? Kalau itu
bisa, kan?”
“Kau beruntung, mayatnya bukan dikubur malam ini,” kata
Yesung sambil berlalu pergi.
“Kau membuatnya kesal, Hye-Na~ya,” ujar Eun-Ji dengan
nada memperingatkan.
“Biar saja. Itu kan tugasnya.”
Baru saja Hye-Na menyelesaikan ucapannya, dia merasakan
tangannya ditarik dengan kasar dari belakang dan sedetik kemudian
dia sudah menatap wajah itu. Wajah yang bahkan terlihat jauh lebih
mempesona sekaligus lebih berbahaya daripada foto yang dilihatnya
semalam. Dan mata itu… Hye-Na bahkan saat ini bisa mempercayai
peribahasa bahwa tatapan bisa membunuh jika menyangkut mata pria
itu.
“Kau pikir siapa kau sampai memiliki hak memberi karyawanku
perintah untuk menguliti kulit ayahku?” Suara pria itu rendah tapi
terasa sangat mematikan di telinga Hye-Na. Nyaris membuat bulu
kuduknya meremang.
“Aku hanya melaksanakan tugasku untuk mengetahui
penyebab kematian ayahmu,” ujar Hye-Na berusaha tenang. Tapi dia
tidak heran sama sekali saat mendengar suaranya yang bergetar.
Bukan hal aneh jika dia merasa takut pada pria itu. Siapapun akan
mengalami hal yang sama jika ditatap seperti itu.
“Atau Kyuhyun ssi, kau merasa takut jika aku berhasil
menemukan bukti bahwa ayahmu meninggal karena dibunuh? Apa kau
merupakan pihak yang terlibat dalam kematian ayahmu sampai kau
merasa ketakutan seperti ini?”
Hye-Na tidak bisa menahan ringisannya saat cengkeraman di
lengannya menguat. Pria itu menundukkan wajahnya sampai sejajar
dengan wajah Hye-Na hingga hidung mereka nyaris beradu. Benar-
benar posisi yang bagus untuk mengintimidasi seseorang. Dan benar
saja, pria itu memang menyampaikan ancamannya dengan sangat jelas
sesaat kemudian.
“Aku bukan jenis pria yang akan melepaskan buruannya begitu
saja. Sekali kau mencari gara-gara denganku, aku akan pastikan kau
membayarnya seumur hidupmu.”
TBC

Ff Superjunior : 2060 {2 St Round }


“Atau Kyuhyun ssi, kau merasa takut jika aku berhasil
menemukan bukti bahwa ayahmu meninggal karena dibunuh? Apa kau
merupakan pihak yang terlibat dalam kematian ayahmu sampai kau
merasa ketakutan seperti ini?”
Mata Kyuhyun berkilat saat mendengar ucapan gadis di
depannya itu. Gadis ini menuduhnya sebagai salah satu dalang
kematian ayahnya? Yang benar saja! Apa gadis ini mau bunuh diri
sehingga berani mencari gara-gara dengannya? Benar, pasti gadis ini
mau cari mati, batin Kyuhyun geram dan tanpa sadar mempererat
cengkeramannya.
Dia menahan senyumnya saat mendengar ringisan kecil yang
akhirnya terlontar dari mulut gadis itu. Sebagai gadis pertama yang
berani mencari gara-gara dengannya, sekaligus gadis pertama yang
tidak membuatnya mengernyit saat menyentuhnya, Kyuhyun merasa
gadis ini bisa lebih berbahaya daripada perkiraannya. Dengan pikiran
itu, Kyuhyun menundukkan wajahnya sampai sejajar dengan wajah
gadis itu hingga hidung mereka nyaris beradu.
“Aku bukan jenis pria yang akan melepaskan buruannya begitu
saja,” desis Kyuhyun dengan nada penuh peringatan. “Sekali kau
mencari gara-gara denganku, aku akan pastikan kau membayarnya
seumur hidupmu.”
Dan Kyuhyun memang berniat melaksanakan ucapannya jika
gadis ini tetap keras kepala. Gadis macam apa yang memberikan
pegawainya perintah menguliti kulit orang yang sudah mati? Pastinya
gadis yang terlalu pintar dan berdarah dingin. Dia akan memastikan
gadis ini menyerah dan kembali ke tempat dimana dia berasal
sebelumnya. Ada aura aneh dari kehadirannya. Wajahnya terlalu
familiar dan Kyuhyun tidak berniat dan menolak keras untuk mencari
tahu apa itu. Gadis ini membuatnya bingung. Dia ingin menendang
gadis ini jauh-jauh, sekaligus menariknya sedekat mungkin. Ini
pertama kalinya dia merasakan hal asing seperti ini dan hal itu sangat
mengganggunya.
Mereka masih berdiri dengan jarak yang terlalu dekat dan
Kyuhyun menyadari banyak hal dalam beberapa detik yang rasanya
tidak terlalu singkat. Mata gadis itu berwarna cokelat, kulit wajahnya
mulus tanpa cela, dan dia merasa sangat tidak nyaman dengan bibir
gadis itu yang bisa dijangkaunya jika dia mau memajukan tubuhnya
sesenti lebih dekat. Ada yang terasa bergolak di perutnya dan dia
tahu bahwa gadis ini membuatnya tertarik lebih dari gadis manapun
yang pernah ditemuinya sebelumnya. Dan itu merupakan daftar
panjang gadis dari berbagai ras dan negara, mengingat betapa banyak
kliennya yang berusaha menjebaknya untuk menikah dengan anak atau
cucu mereka. Belum lagi daftar gadis yang tiap hari disodorkan
ibunya padanya. Dan dia yakin bahwa tidak ada satupun di antara
gadis-gadis itu maupun gadis lain yang akan ditemuinya nanti yang
akan membuatnya merasakan dorongan kuat untuk menyentuh kecuali
gadis di depannya ini. Itu artinya alarm kematian baginya. Dia tidak
pernah tertarik dan tidak akan pernah tertarik menjalin hubungan
asmara dengan wanita manapun. Tidak.
“Kalau kau mau mendengarkanku, aku akan memberitahumu
alasan kenapa aku memberi perintah yang menurutmu tidak
berperikemanusiaan itu. Dan asal kau tahu, aku tidak berminat
memiliki urusan apapun denganmu, Tuan Cho,” ujar gadis itu tiba-tiba
dengan suara rendah, membuat Kyuhyun mengerjap dan
mengembalikan kesadarannya. Tanpa sadar dia menarik nafas yang
dari tadi ditahannya. Sedikit kesalahan, karena dari jarak ini dia bisa
mencium parfum yang dikenakan gadis itu dengan sangat jelas,
membuatnya lagi-lagi merasa pusing.
Seperti tersengat listrik, Kyuhyun membebaskan gadis itu
dari cengkeramannya dengan sangat cepat, membuat gadis itu sedikit
terhuyung ke belakang. Kyuhyun sama sekali tidak berniat
memeganginya. Dia tidak akan mengambil resiko dengan menyentuh
gadis itu lagi, karena jika itu terjadi, dia tahu yang akan dilakukannya
adalah menarik gadis itu ke ruang kosong terdekat dan menciumnya.
“Ehm, bisakah kalian berhenti bersikap bahwa hanya ada
kalian berdua di ruangan ini dan mulai menyadari kehadiranku?”
Kyuhyun menoleh dan mendapati seorang gadis berdiri di
dekat mereka. Dia memang tidak menyadari keberadaan gadis itu
tadi. Dia terlalu emosi saat asistennya memberitahu bahwa ada
seseorang yang memberi perintah untuk menguliti mayat ayahnya dan
dia langsung bergegas kesini, membatalkan makan malamnya dengan
seorang klien penting yang berniat menjual sebuah pulau kecil di
Maladewa. Dia memang berniat membangun sebuah cottage pribadi
disana, tapi dia menunda pertemuan itu hanya karena gadis di
depannya ini.
“Shin Eun-Ji. Senang berkenalan denganmu, Tuan Cho,” kata
gadis itu sambil menyodorkan tangannya. Kyuhyun menyambutnya
singkat tanpa mau bersusah-payah tersenyum ramah.
“Jadi?” tanya Kyuhyun sambil mengalihkan tatapannya lagi.
Tiba-tiba gadis dingin yang membuatnya naik darah itu menjadi objek
tatapan yang sangat menarik baginya.
Gadis itu berdeham singkat dan dengan berani menatap mata
Kyuhyun, menunjukkan terang-terangan bahwa dia tidak merasa takut
sedikitpun. Akting yang tidak terlalu bagus, karena dia bisa melihat
kaki gadis itu sedikit gemetar.
“Kau pasti tahu bahwa ayahmu tidak memiliki riwayat sakit
jantung, jadi sudah pasti ini pembunuhan. Tidak ada reaksi racun yang
ditemukan dalam darahnya. Aku hanya perlu memastikan bahwa ada
bekas luka, semacam suntikan atau sejenisnya. Kau tahu bahwa kulit
orang tua sudah mulai berkerut dan ada bercak-bercak penuaan,
makanya luka semacam itu akan sangat sulit dicari. Akan lebih mudah
kalau kita menguliti kulitnya.”
“Akan lebih mudah?” desis Kyuhyun. Ekspresi wajah gadis itu
terlihat datar, seolah hal itu sudah menjadi makanannya sehari-hari.
“Kyuhyun~a, kau datang?” Seseorang menepuk bahunya dari
belakang.
“Hyung,” sapa Kyuhyun tanpa melepaskan kontak mata
sedikitpun dengan gadis itu.
“Ah, kalian sudah bertemu? Tapi sedang apa kalian disini?
Hye-Na~ya?” tanya Leeteuk heran. Seharusnya Hye-Na menemuinya
sesampainya gadis itu di Korea, tapi sampai malam gadis itu tidak
muncul-muncul. Leeteuk ke gedung SRO, yang terletak di sayap kiri
bangunan KNI, setelah bertanya pada Siwon yang menjemput mereka
di bandara.
“Kalau kau belum tahu hyung, gadis ini dengan seenaknya
memberi perintah pada Yesung hyung untuk menguliti kulit ayahku.”
Raut wajah Leeteuk langsung berubah mejadi panik saat
mendengar hal itu.
“Hye-Na~ya? Kau menyuruh….”
“Siapa namanya?” tanya Kyuhyun cepat, merasa
pendengarannya bermasalah.
“Hye-Na. Han Hye-Na.”
Nama itu berarti sesuatu. Dan Kyuhyun akhirnya tahu dengan
tepat apa yang membuatnya merasa tertarik pada gadis ini.
“Memangnya apa urusanmu dengan namaku? Kau mau menaruh
namaku di daftar orang yang mencari gara-gara denganmu?” sela
gadis itu dengan nada sinis.
“Kau anak Seuk-Gil ajjushi?” tanya Kyuhyun tanpa
mengacuhkan ucapan Hye-Na. Dia harus memastikannya, karena nama
itu benar-benar berarti segalanya baginya sejak 14 tahun yang lalu.
“Kau mengenal ayahku, ya? Ah, tentu saja, mengingat dia
meninggal dalam tugas saat melindungi ayahmu.” Nada suara gadis itu
sedikit bergetar saat mengucapkan kalimat itu, membuat siapapun
bisa merasakan betapa besar rasa kehilangan yang ditanggungnya
atas kematian ayahnya.
Kyuhyun menarik nafasnya berat. Ternyata benar-benar dia.
Gadis ini. Benar-benar gadis itu.
“Kau membenci ayahku karena dia menjadi penyebab kematian
ayahmu?”
“Aku bukan orang yang sepicik itu. Ayahku….” Gadis itu
berhenti dengan suara tercekat dan menggelengkan kepalanya,
memasang wajah dingin tanpa ekspresinya lagi. Kyuhyun merasa gadis
itu dengan sengaja memasang perisai yang tidak bisa ditembus
siapapun dan kali ini, dia tidak akan menghalangi rasa ingin tahunya
seperti yang tadi berniat dilakukannya sebelum dia mengetahui
identitas gadis ini.
“Ayahku sering bercerita tentang ayahmu, bahwa mereka
bahkan menjadi sahabat baik. Aku tidak akan membenci orang yang
disayangi ayahku. Kalau itu yang ingin kau ketahui. Dia tidak bersalah
sama sekali dalam kematian ayahku.”
“Hye-Na dikirim kesini untuk menjadi pelindungmu. Dia akan
menyelidiki kematian ayahmu sekaligus memastikan bahwa siapapun
yang merencanakan pembunuhan itu, tidak akan menyentuhmu,” jelas
Leeteuk sambil memandang Hye-Na dengan tatapan yang membuat
Kyuhyun merasa tidak nyaman.
“Ada hubungan apa di antara kalian?” tanya Kyuhyun tanpa
bisa mengendalikan rasa ingin tahunya. Dia bahkan tidak bisa
mengontrol nada cemburu yang kentara dalam suaranya.
“Dia adik angkatku. Ayahku mengangkatnya sebagai anak.”
Kyuhyun menghembuskan nafas lega dan mengubah ekspresi
wajahnya, menatap Hye-Na dengan penuh ejekan.
“Gadis kecil, pendek, dingin, dan tidak berperasaan ini mau
menjadi pelindungku? Kalian tidak salah? Aku bisa melindungi diriku
sendiri. Tidak membutuhkan bantuannya sama sekali. Kalian pikir aku
banci sampai harus dilindungi oleh seorang wanita?”
“Dia lulusan terbaik akademi dalam satu dekade terakhir.
Penembak terjitu yang kami miliki.”
“Aku juga bisa menembak siapapun yang aku inginkan.”
“Tapi kau adalah pengusaha yang sibuk, Kyuhyun~a. Kau tidak
akan punya waktu untuk menyelidiki siapa yang berusaha
membunuhmu. Itulah tugas Hye-Na.”
“Kalau kau tidak suka aku bisa kembali ke Amerika dan
menjalani kehidupan normalku lagi disana,” potong Hye-Na. Kyuhyun
bisa melihat binar penuh semangat memancar dari tatapan gadis itu
dan dia tidak menyukainya.
“Hye-Na~ya,” sela Eun-Ji dengan nada memperingatkan. Bahu
gadis itu melorot dan wajahnya menjadi muram lagi.
“Ini kali pertama Hye-Na ke Korea sejak dia dilahirkan, jadi
aku harap kau maklum. Dia tidak menyukai Korea. Negara tempat
ayahnya tewas. Tidak punya ikatan apapun dengan negara ini,” jelas
Eun-Ji.
“Kali pertama kau ke Korea? Kau yakin?” tanya Kyuhyun tak
percaya. Apa gadis ini melupakan hal itu? Dia memang masih sangat
kecil saat mereka pertama kali bertemu, tapi bukan berarti gadis itu
bisa melupakannya begitu saja.
“Kalau pun aku pernah kesini, aku lebih suka melupakannya.”
Kyuhyun menghela nafasnya lagi. Dia selalu berharap bahwa
pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun akan berjalan
dengan baik. Berpikir bahwa dia akan bisa memperlakukan gadis itu
dengan selayaknya dan membuang semua sikap dingin dan ketus yang
biasa dia tunjukkan di depan umum. Dia sengaja tidak menggunakan
kekuasaannya untuk menyelidiki gadis itu, memata-matainya, mencari
segala hal tentang hidupnya, mengikuti pertumbuhannya. Dia tidak
melakukan itu semua walaupun dia bisa mendapatkannya dengan
mudah. Dia menahan diri karena ingin semuanya berjalan sederhana.
Dia lebih suka menunggu kedatangan ayah Hye-Na ke Korea dengan
dada yang berdebar-debar, menunggu cerita mengalir dari mulut pria
separuh baya itu tentang anak gadisnya yang mengangumkan. Apa
yang dilakukan gadis itu, bagaimana dia tumbuh, apa dia memiliki
hidup yang bahagia. Kyuhyun selalu berusaha untuk tidak
menunjukkan ketertarikannya dengan begitu jelas. Dia selalu
bersabar sampai ayah Hye-Na sendiri yang membuka mulut dan itu
tidak terlalu sering, karena pria itu jarang berkunjung ke rumahnya.
Tapi setiap itu terjadi, Kyuhyun merasakan kepuasan tersendiri saat
tahu bahwa hidup gadis itu baik-baik saja, sesuai yang diharapkannya.
Tapi yang terjadi sekarang adalah mereka bertemu dalam situasi
yang salah, bahkan Kyuhyun setengah yakin bahwa gadis itu tidak
menyukainya. Pertemuan ini sama sekali tidak sesuai dengan yang
dibayangkannya. Walaupun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa
membuat gadis ini kesal adalah permainan yang menyenangkan.
“Aku lebih suka untuk tidak melihat wajahmu lagi
sebenarnya,” ujar Kyuhyun, berbohong habis-habisan tentang
perasaannya. “Tapi Nona Han, jujur saja, kau akan menjadi mainan
yang amat sangat menarik di tengah-tengah kesibukanku yang nyaris
membunuh.”
Sorot mata gadis itu berubah tajam saat Kyuhyun
menyelesaikan ucapannya. Kyuhyun bahkan yakin bahwa gadis
berusaha keras mengepalkan tangannya alih-alih meringsek maju dan
menendang Kyuhyun.
“Berbaik-baiklah padaku. Karena jika kau belum tahu, kau
adalah pegawaiku. Dan aku bisa memecatmu kapanpun aku mau. Kau
tidak ingin itu terjadi, kan?”
***
Eunhyuk mengetuk-ngetukkan pena yang sedang dipegangnya
ke atas meja dengan senyum senang tersungging di wajahnya. Dia
tidak menyangka bahwa dia akan melakukan tindakan ceroboh itu
semalam. Membelikan gadis yang baru dikenalnya beberapa menit
sebuah lukisan berharga jutaan dolar. Tapi dia tidak merasa heran
juga, gadis itu langsung memukaunya pada pertemuan pertama,
berbeda dari gadis-gadis yang ditemuinya sebelumnya. Biasanya
gadis-gadis itu yang terang-terangan menggodanya dan seperti
biasanya juga dia meladeni mereka sejauh yang diizinkan etikanya.
Siapa yang tidak kenal Lee Hyuk-Jae dengan imejnya sebagai
penakluk wanita? Dan bahkan publik senang menerka-nerka berapa
gadis yang sudah ditidurinya, berapa anak yang dimilikinya di luar
sana, dan berapa banyak wanita yang bunuh diri setelah dicampakkan
olehnya. Semua itu hanya gosip tentu saja. Tidak ada yang bisa
membuktikan kebenarannya. Tapi juga tidak ada seorang pun yang
meragukan hal itu, walaupun kenyataan sebenarnya, Eunhyuk bahkan
belum pernah meniduri satupun wanita yang sudah diajaknya kencan.
Tidak. Dia dilahirkan dalam keluarga baik-baik, ke gereja setiap
minggu, dan dia sangat menyayangi ibu dan kakak perempuannya.
Mana mungkin dia bersikap sembarangan terhadap makhluk lemah
berjenis kelamin perempuan, karena itu berarti dia juga melakukan
itu terhadap ibu dan nunanya sendiri. Tapi dia juga merasa senang
dengan imej buruknya yang sudah terbentuk di benak publik dan
merasa tidak perlu repot-repot untuk mengklarifikasinya.
Eunhyuk sudah berhenti menghitung berapa kali ibunya
meminta agar dia membawa seorang gadis baik-baik ke rumah, gadis
yang disukainya, dan ingin dijadikannya istri. Tentu saja tidak ada
gadis seperti itu di dalam kehidupannya. Dia masih senang menggoda
wanita manapun yang ditemuinya, memberikan kedipan kecil, dan
membuat semua wanita itu tunduk padanya. Bukan hal sulit. Dia
tampan dan kaya. Salah satu bagian dari keluarga Cho yang
terpandang. Gadis manapun akan berusaha menarik perhatiannya. Dan
dia masih ingin menikmati kesenangan itu sampai beberapa tahun ke
depan, tidak peduli ibunya sudah merengek-rengek agar Eunhyuk
cepat-cepat memberinya cucu.
“Choi Ji-Yoo,” gumam Eunhyuk. Dia tidak pernah mau
bersusah-payah mengingat nama wanita yang ditemuinya. Bahkan
setelah mereka berbicara panjang lebar, dia akan melupakannya
begitu saja dan tidak akan mengingat-ingat pertemuan itu lagi,
karena memang tidak ada pertemuan yang berkesan dengan gadis-
gadis itu. Kecuali pertemuan tadi malam, batin Eunhyuk. Gadis itu
cantik, cerdas, sekaligus rapuh. Seperti boneka. Biasanya gadis-gadis
yang ditemuinya adalah gadis-gadis cantik tapi berotak kosong yang
hanya bisa menghabiskan uang orang tua mereka. Tipe gadis-gadis
dari keluarga terpandang zaman sekarang. Tapi gadis satu itu
berbeda. Sangat jelas bahwa gadis itu berpendidikan, walaupun
penampilannya sederhana, tapi tetap terlihat berkelas. Banyak gadis
yang lebih cantik, tentu saja, tapi senyum gadis itu terlalu sulit untuk
dilupakan. Dan ini akan menjadi hal yang sangat menarik.
Gadis itu juga membuatnya kelimpungan seharian. Dia sudah
memastikan bahwa lukisan Picasso yang mereka lihat kemarin malam
sudah diantar ke apartemen gadis itu. Tidak sulit menemukan
alamatnya. Eunhyuk hanya tinggal menyuruh sekretarisnya dan
semuanya langsung beres. Tapi anehnya, gadis itu tidak
menghubunginya sama sekali untuk mengucapkan terima kasih,
padahal dia yakin kalau dia melakukan itu kepada gadis lain, gadis itu
akan langsung meneleponnya, mengajak bertemu, dan dengan histeris
mengatakan bahwa dia tidak percaya Eunhyuk mau mengeluarkan uang
sebanyak itu untuknya. Tapi coba lihat apa yang dilakukan gadis ini.
Tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa dia akan menghubungi
Eunhyuk atau semacamnya. Dan Eunhyuk sama sekali tidak suka
penolakan. Jika gadis itu tidak menemuinya, maka dia yang akan
menemui gadis itu. Secepatnya.
“Kau mau pergi?”
Tangan Eunhyuk bahkan baru akan meraih gagang pintu saat
pintu itu terbuka dan sepupunya masuk ke ruangannya dengan
tampang tanpa ekspresinya yang biasa.
Oh, kalau kau bertanya siapa yang bisa mengalahkan seorang
Lee Hyuk-Jae dalam hal membuat wanita terpesona, maka Cho
Kyuhyunlah orangnya. Eunhyuk tidak habis pikir, kenapa ada
seseorang yang mau mengabaikan pesona yang dimilikinya untuk
menarik perhatian makhluk berjenis kelamin wanita dan memilih
bergelut di balik berkas-berkas yang menumpuk setinggi gunung,
melakukan telepon interlokal ke seluruh dunia untuk membeli lahan
ini, kota itu, dan bahkan dia baru membeli separuh Asia Tenggara
minggu lalu. Uang memang perlu, tapi apa gunanya menumpuk uang di
setiap bank di seluruh permukaan bumi tanpa menghambur-
hamburkannya sama sekali? Dia bahkan tidak pernah melihat
sepupunya ini bersenang-senang. Kerjanya setiap jam hanya meeting,
meeting, dan meeting. Tidak pernah melirik wanita manapun, bahkan
meskipun wanita itu menari telanjang di hadapannya, Eunhyuk masih
yakin sepupunya ini tidak akan melirik sedikitpun.
Dia bukan gay, tentu saja. Kyuhyun pernah bercerita tentang
seorang gadis padanya, satu-satunya cerita tentang seorang gadis
yang pernah keluar dari mulut pria itu. Gadis masa kecilnya. Tapi
Eunhyuk bahkan tidak mengerti sama sekali dengan jalan pikiran
sepupunya itu. Dia bertemu gadis itu 13 tahun yang lalu, dan mereka
hanya bertemu sekali. Itu pun diyakini Eunhyuk hanya cerita biasa
yang tidak memiliki arti apa-apa. Itu sudah lama sekali, bisa saja
gadis itu sudah lupa. Mereka masih terlalu kecil waktu itu. Dan
Eunhyuk tidak habis pikir apa yang membuat sepupunya itu jatuh
cinta dan tidak bisa melupakannya sampai sekarang.
Beberapa kali Eunhyuk memergoki Kyuhyun tersenyum senang
saat ayah gadis itu berkunjung ke rumahnya. Setiap hal itu terjadi,
Kyuhyun bersikap seperti manusia normal, seolah baru saja
mendapatkan seluruh dunia dalam genggamannya. Pria itu jarang
sekali tersenyum, dia lebih suka menunjukkan ekspresi dingin, ketus,
dan tidak bersahabat. Terlalu kaku menurut pendapat Eunhyuk. Tapi
semua itu selalu berubah dengan mudah saat cerita tentang gadis itu
mengalir dari mulut Han ajjushi. Hanya cerita-cerita tidak penting.
Tentang Hye-Na yang tamat sekolah dengan nilai tertinggi, masuk
akademi dan mendapat pelatihan langsung dari Park ajjushi, direktur
utama KIA. Hal-hal semacam itu. Eunhyuk heran sendiri kenapa
Kyuhyun tidak menyewa seorang detektif saja untuk menyelidiki
gadis yang bahkan tidak pernah diketahui wajahnya itu.
“Tumben kau datang kesini,” komentaar Eunhyuk. Biasanya
memang dia yang mendatangi sepupunya itu ke kantornya yang hanya
berjarak beberapa gedung, mengingat kesibukan pria itu yang
melebihi kesibukan presiden sekalipun.
“Menurutmu apalagi yang harus kulakukan saat mendengar
bahwa kau baru saja menghamburkan uang 20 juta dollar untuk
membeli sebuah lukisan terkenal dan memberikannya pada seorang
gadis yang baru kau kenal?”
Tidak ada emosi sedikitpun dari nada bicara Kyuhyun, jadi
Eunhyuk hanya mengangkat bahu tak peduli. Setidaknya mood
Kyuhyun tidak sedang terlalu buruk.
“Bagimu uang sebanyak itu hanya recehan tidak berarti, kan?”
“Itu bukan urusanku. Itu uangmu, jadi itu juga hakmu untuk
melakukan apapun dengan uang itu. Aku hanya mau memperingatkan
saja. Jangan main-main dengan gadis itu, hyung. Dia tunangan
Changmin. Dan kau tahu bagaimana reputasi pria itu.”
“Kau bahkan sudah menyelidikinya,” ujar Eunhyuk tak percaya.
“Jadi kau sudah tahu?”
Eunhyuk mengangguk. Oh, tentu saja dia tahu. Dia selalu
menyelidiki dulu dengan siapa dia berurusan. Dia sedikit terkejut
saat tahu Ji-Yoo adalah tunangan Changmin, walaupun pria itu tidak
pernah mengenalkan Ji-Yoo secara resmi di depan umum, bahkan
terkesan menyembunyikannya. Tapi tidak ada apapun yang bisa kau
sembunyikan dari kecanggihan komputer Cho Corporation, yang
menjadi detektif terbaik abad ini. Semua data, legal maupun ilegal,
rahasia ataupun tidak, bahkan semua kehidupan pribadi, bisa kau
dapatkan sepuasmu. Informasi apapun tidak ada yang mustahil.
Komputer itu hanya bisa diakses oleh beberapa orang penting saja,
tapi Eunhyuk tahu bahwa Kyuhyun memiliki satu set peralatan yang
jauh lebih canggih dan tidak terbayangkan di ruang kerja pribadinya
di rumah. Mencakup semua rahasia di permukaan bumi, bahkan kau
bisa mengetahui dengan jelas apa yang dilakukan CIA, FBI, maupun
kegiatan di Gedung Putih tanpa mereka ketahui sama sekali. Dan
satu-satunya yang bisa melakukannya hanya Cho Kyuhyun. Tentu saja.
Eunhyuk belum pernah melihatnya secara langsung karena satu-
satunya orang yang bisa masuk ke ruangan itu hanya Kyuhyun saja,
tapi dia pernah bertanya, dan Kyuhyun menjawabnya dengan sangat
santai, membuat Eunhyuk semakin yakin bahwa pria itu tidak memiliki
emosi yang wajar padahal dia bisa melakukan apa saja yang
diinginkannya di atas dunia ini. Bisa mengakses data intelijen Amerika
dengan mudah adalah hal yang benar-benar luar biasa dan tidak
terbayangkan, tapi dia benar-benar terlihat biasa-biasa saja saat
menceritakannya.
“Lalu kenapa kau masih mendekati gadis itu? Kau tahu
kemungkinan terburuk? Changmin menyuruh gadis itu untuk
menggodamu, menyelundupkan gadis itu ke kantor ini, dan
menyuruhnya mencuri data tentang produk yang akan kita luncurkan
sebentar lagi.”
“Aku memikirkannya. Aku ini tidak sebodoh yang kau kira,
Kyuhyun~a. Kalau gadis itu berencana bermain-main denganku, aku
akan meladeninya. Hal itu sangat mengasyikkan, kau tahu. Lagipula,
dia gadis yang sangat menarik.”
“Kalau aku tidak salah mengambil kesimpulan, untuk pertama
kalinya kau menyukai wanita, kan? Wanita yang kebetulan tidak
menggodamu duluan. Tapi siapa tahu.”
Eunhyuk mengangkat bahunya lagi.
“Mungkin. Jadi gadis itu harus berhati-hati. Kalau aku merasa
tertarik, tidak peduli dia sudah menikah sekalipun, aku pasti akan
tetap mendapatkannya.”
“Ahahaha. Manis sekali,” ujar Kyuhyun dengan nada mengejek
yang sangat kentara terdengar dari suaranya.
“Lalu… apa kau hanya ingin membicarakan itu saja denganku?
Aku dengar kau membatalkan pertemuan dengan orang yang akan
menjual sebuah pulau di Maladewa padamu hanya karena seorang
gadis? Kim ajjushi memberitahuku.” Eunhyuk menyebutkan nama
sekretaris kepercayaan Kyuhyun yang selalu mengikutinya kemana-
mana itu. Nyaris seperti bayangan Kyuhyun.
“Yeah, gadis yang memberi perintah untuk menguliti kulit
ayahku demi menemukan sebuah luka semacam suntikan untuk
membuktikan bahwa ayahku mati dibunuh.”
Mulut Eunhyuk langsung menganga lebar saat mendengar
penjelasan Kyuhyun. Seorang gadis? Menguliti mayat?
“Gadis itu pasti gila!”
“Dan dia bernama Han Hye-Na,” sambung Kyuhyun.
Dan kali ini Eunhyuk benar-benar tidak bisa mengatupkan
mulutnya lagi.
***
“Kau belum mau pulang?” tanya Eun-Ji saat melihat lampu di
ruang kerja pribadi yang disediakan untuk Hye-Na masih menyala
terang.
Gadis itu mendongak dari komputernya dan menggeleng.
“Aku sedang mempelajari kasus pembunuhan misterius itu.
Ada sesuatu yang menghubungkan semuanya, tapi aku masih belum
tahu apa itu.”
Yang mereka bicarakan adalah kasus pembunuhan yang
pertama kali terjadi di Pulau Jeju 2 tahun yang lalu. Dengan korban
lima orang wanita yang mati disalib dalam keadaan telanjang, persis
seperti yang dialami Jesus. Kasus itu tidak terpecahkan karena tidak
ada jejak sedikitpun yang ditinggalkan pembunuh berantai itu. Benar-
benar bersih dan tidak terlacak. KIA dan STA tidak tinggal diam,
tentu saja. Pembunuh sadis ini adalah warga Korea dan pekerjaan
mereka adalah memastikan agar orang ini tidak menghasilkan korban
lagi. Mereka terus menyelidiki dan mendapati fakta baru bahwa
pembunuh itu berkeliling dunia untuk menemukan korbannya. 5 korban
selanjutnya ditemukan di Ethiopia dengan tekhnik pembunuhan yang
persis sama. Lagi-lagi korbannya wanita. Dan lagi-lagi tidak terlacak.
Pembantaian berlanjut di San Fransisco dan Uruguay. Dan seminggu
yang lalu baru saja ditemukan mayat wanita tersalib lagi di Seoul.
Mayat ketiga yang ditemukan dalam kurun waktu tiga minggu
terakhir. Karena dia sedang berada di Seoul, Hye-Na berencana
untuk mengambil alih kasus ini.
“Belum menemukan sesuatu, ya? Pembunuh itu sadis sekali,
kan? Aku tidak habis pikir apa yang dirasakannya saat menyalib
wanita-wanita itu. Berapa banyak jeritan dan darah yang mengalir
saat dia melakukannya. Anehnya kenapa tidak ada saksi dan jejak
sedikitpun?”
“Hmm. Aku nyaris mendapatkan sesuatu, tapi lagi-lagi buntu.
Aku tahu ada pola tertentu, tapi belum menemukannya.”
“Kau sudah terlalu lelah malam ini, Hye-Na~ya. Pulang dan
istirahatlah.”
“Kau pulang duluan saja. Aku masih menunggu laporan dari
Yesung oppa.”
“Mobil barumu baru saja diantarkan tadi. Porsche. Cantik
sekali. Aku selalu suka bunyi mesinnya. Dan kecepatannya tentu saja.”
Hye-Na tersenyum dan mengangguk setuju.
“Ya sudah, aku pulang duluan. Jangan sampai lewat tengah
malam. Ara?”
“Kau naik apa?”
“Aku bisa mendapatkan tumpangan dari siapapun yang aku
mau. Tenang saja.”
***
Eun-Ji baru saja melangkahkan kakinya keluar dari lobi
gedung STA, saat seseorang mencengkeram sikunya dan menariknya
ke lapangan parkir yang gelap.
Eun-Ji sama sekali tidak berusaha berontak sekedar untuk
mencari pertolongan ataupun bertanya siapa orang yang berani-
beraninya menariknya sembarangan. Tidak perlu sebenarnya, karena
dia tahu sentuhan ini milik siapa. Sentuhan yang selalu berhasil
membuat detak jantungnya berantakan sejak 1 tahun yang lalu,
bahkan sampai sekarang.
“Ada yang mau kau bicarakan? Kau bisa memintaku baik-baik.
Sebenarnya,” ujar Eun-Ji dengan nada tenang.
“Tidak usah membohongiku. Kau pasti sudah menyiapkan
jutaan alasan untuk menolak ajakanku berbicara denganmu.”
Dalam hatinya Eun-Ji membenarkan ucapan pria itu. Tentu
saja dia akan menolak dengan segala dalih yang dia miliki. Dia tidak
mau dekat-dekat dengan pria itu. Seorang penipu ulung yang telah
membohonginya mentah-mentah.
“Masuk,” kata Siwon dengan nada memerintah saat mereka
sudah sampai di mobil pria itu. Subaru. Salah satu mobil sport favorit
para pembalap.
Eun-Ji mematuhinya, tahu bahwa sia-sia saja menolak karena
pria itu akan menimbulkan keributan demi membuat Eun-Ji mau
meluangkan beberapa menit untuk masuk ke mobil itu dan bicara
dengannya. Dia tidak suka keributan, jadi lebih baik menurut saja.
“Kau mau bicara apa?” tanya Eun-Ji saat pria itu baru
memasuki mobil dan memasang sabuk pengamannya.
“Setidaknya biarkan aku mengantarmu pulang.”
“Ah, aku sangat menghargai tumpangan gratis.”
Siwon mengabaikan nada sarkastis dari ucapan gadis itu dan
memacu mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Gadis di
sampingnya diam saja, padahal dia tahu bahwa biasanya Eun-Ji akan
menasihatinya tentang mematuhi peraturan karena mereka adalah
pegawai pemerintah.
Itu satu tahun yang lalu, Siwon~a. Sekarang semuanya sudah
berubah. Entah karena apa, batinnya miris.
“Bisa kau beritahu aku kenapa kau membatalkan pertunangan
kita begitu saja tanpa alasan yang jelas? Aku masih berharap kau
berubah pikiran sehingga aku tetap menyelenggarakan pesta
pertunangan sesuai rencana semula. Tapi itu semua ternyata sia-sia
dan benar-benar berakhir dengan rasa malu yang harus ditanggung
keluargaku.”
“Apa kau pernah mendengar aku berubah pikiran setelah
memutuskan sesuatu?”
“Setidaknya kau bisa memberiku alasan yang masuk akal agar
aku bisa menerimanya dengan baik.”
“Apa alasanku sama sekali tidak masuk akal?”
Tubuh Eun-Ji tersentak ke depan saat Siwon dengan tiba-
tiba mengerem mobilnya dan menepikannya ke pinggir jalan. Siwon
memiringkan tubuhnya menghadap Eun-Ji dan menatap gadis itu
tajam. Jelas sekali bahwa pria itu berusaha keras menahan emosinya,
tapi tidak sepenuhnya berhasil, karena saat dia berbicara, suaranya
terdengar bergetar dan tangannya mencengkeram kemudi mobil kuat-
kuat.
“Alasan yang kau berikan padaku adalah bahwa aku tidak
pernah mencintaimu dan hanya menganggapmu sebagai bayangan cinta
pertamaku. APA KAU PIKIR ITU SEBUAH ALASAN, HAH?”
“Kalau kau mau tahu, itu benar-benar alasan yang sangat
bagus untuk mencegahku terjerat dalam pernikahan dengan penipu
sepertimu. Dan sepertinya aku kehilangan minat untuk mendapatkan
tumpangan gratis darimu. Aku turun disini.”
Eun-Ji membuka pintu mobil dan kabur secepat yang dia bisa,
sebelum pria itu tersadar dan menariknya lagi. Tidak, mulai sekarang
dia benar-benar harus menjauhi pria itu. Dia wanita yang kuat, tapi
untuk urusan satu ini, urusan apapun yang berhubungan dengan namja
bernama Choi Siwon, dia akan menjadi lemah. Gadis paling lemah di
dunia.
***
Hye-Na mendongak saat pintu ruang kerjanya terbuka lagi.
Otaknya masih dipenuhi foto-foto 23 mayat wanita tersalib yang
benar-benar tampak mengerikan dengan darah berceceran dimana-
mana. Dia tidak pernah menyukai pekerjaan yang sudah menyangkut
pembunuhan, tapi sayangnya itulah tugasnya. Beberapa kali dia
terpaksa mendatangi sendiri TKP pembunuhan untuk mengumpulkan
bukti dan walaupun dia selalu menunjukkan wajah tanpa ekspresi di
depan orang lain, dia selalu mual-mual dan muntah sesampainya di
rumah. Kau tidak akan bisa menghapuskan gambaran mayat-mayat
yang disiksa sampai berlumuran darah itu dari kepalamu. Gambaran
itu akan menetap disana selamanya dan menjadi terlalu jelas saat kau
bahkan tidak ingin mengingatnya sama sekali. Dia tidak suka apapun
yang berhubungan dengan darah dan mayat. Bau anyir dan menjijikkan
itu seolah tidak mau hilang dari rongga hidungnya. Yang terlintas di
pikirannya saat melihat hal itu lebih menyakitkan lagi. Pertanyaan
yang bahkan tidak berani ditanyakannya pada siapapun. Apakah
ayahnya meninggal juga dengan cara seperti itu?
“Yesung ssi, kau sudah mendapatkan hasilnya?” Hye-Na
berusaha mengenyahkan bayangan-bayangan mengerikan itu dari
benaknya dan mulai fokus pada pria di depannya itu.
Yesung meletakkan sebuah berkas ke atas meja dan
tersenyum.
“Mereka benar kan ternyata, kau memikirkan apa yang tidak
terpikirkan orang lain.”
Hye-Na membalas senyum pria itu walaupun dia merasa otot-
otot wajahnya sudah terlalu malas untuk bergerak.
“Pemeriksaan menunjukkan adanya elektrofluoresis. Bukan
protein yang ada secara alami. Bisa dikatakan sejenis peptida,
semacam bahan sintetis, sesuatu yang diciptakan di laboratorium.
Campuran yang secara selektif mengikat neuroreseptor. Itu
menjelaskan kenapa kita tidak menemukan bekas apapun dalam aliran
darah. Bahan ini hanya bisa dideteksi, dalam kualitas tertentu, di
sumsum tulang belakang dan cairan mata.”
“Pada dasarnya bahan ini langsung menuju otak. Bahan ini
eksotis. Kurasa yang paling dekat adalah racun peptida, seperti bisa
ular. Tapi molekulnya jelas sintesis. Sebuah molekul yang sama sekali
baru, salah satu toksin baru yang sekarang bisa dibuat sintesisnya
oleh para ilmuwan. Racun ini memicu serangan jantung. Langsung
menuju otak, menembus batas otak-darah, tapi tidak meninggalkan
jejak apapun dalam serum darah. Kalau bisa kuberitahu, orang ini
benar-benar cerdas sekaligus sangat bodoh.”
“Wae?”
“Seperti yang kuberitahu tadi, racun ini baru. Bahkan SRO
belum melepasnya ke pasaran.”
“SRO?” ulang Hye-Na, kali ini dia benar-benar tersenyum.
“Jadi tersangka kita masih berada dalam lingkup Cho Corp?
Menurutmu siapa saja yang punya akses masuk ke dalam gedung SRO
dan mencuri salah satu racun yang baru kalian temukan?”
“Semua penemuan baru biasanya disimpan di lab utama. Yang
mendapat akses masuk hanya para ilmuwan yang penemuannya berada
di dalam. Jika penemuan mereka sudah dipasarkan, kartu masuk
mereka juga diambil sampai mereka menemukan penemuan baru lagi.
Jika dipersempit, tidak semua ilmuwan mengetahui penemuan ini
karena biasanya para ilmuwan langsung melaporkan penemuan mereka
ke Cho Tae-Hwa sajangnim, yang akan melapor pada Cho Kyuhyun.”
“Cho Tae-Hwa?”
“Paman Kyuhyun, adik kandung Cho Hyun-Ki.”
“Dan siapa yang menciptakan racun ini?”
“Zhoumi. Tapi sepertinya kau tidak bisa menemuinya. Dia
mendapatkan lab pribadi di rumahnya di pinggir kota. Perlindungan
penuh dari STA atas perintah langsung dari Kyuhyun.”
“Kenapa begitu?”
“Secret Research. Tidak ada yang tahu. Kalau kau mau tahu
kau bisa bertanya pada Kyuhyun.”
Pria itu lagi, batin Hye-Na.
“Kenapa tidak ada yang memanggilnya sajangnim? Dia atasan
kalian, kan?”
“Atasanmu juga,” ujar Yesung mengingatkan. “Dia sendiri yang
menolak dipanggil sajangnim jika kami berumur lebih tua darinya. Dia
suka muncul disini, memeriksa pekerjaan kami. Mendekatkan diri pada
karyawan. Walaupun yah, kau tahu sendiri, wajahnya tidak terlalu
ramah.”
Hye-Na mengangguk membenarkan.
“Sejauh ini siapa saja yang tahu tentang penemuan ini?”
“Saat rapat, yang hadir hanya aku, Kibum, Zhoumi, Kyuhyun,
Cho Tae-Hwa sajangnim, dan Kim Ji-Hwan.”
“Siapa Kim Ji-Hwan?”
“Asisten pribadi Kyuhyun. Umurnya mungkin 50-an. Dia selalu
mengikuti Kyuhyun kemana-mana. Tangan kanan yang sangat
dipercaya.”
“Sangat dipercaya? Mencurigakan,” gumam Hye-Na.
“Dia sudah mengabdi sejak dulu di keluarga mereka. Bahkan
sejak Kyuhyun lahir. Jadi dia bukan orang yang pantas kau curigai.”
“Aku bukan orang yang akan mempercayai siapapun, Yesung
ssi. Aku tidak akan mempercayai siapapun sampai pembunuh ini
tertangkap. Tidak peduli bahwa Kyuhyun sekalipun yang akan
menghalangiku.”
***
“Kau belum pulang, nuna~ya?” tanya Kibum saat melihat pintu
ruangan labnya membuka dan Eun-Kyo masuk ke dalam.
“Aku baru selesai bekerja dan sedang malas pulang. Kau sudah
mau pulang, ya?” komentar Eun-Kyo karena Kibum memang sedang
memasukkan barang-barangnya ke dalam tas ransel yang biasa
dibawanya kemana-mana.
“Ye. Aku takut terjadi sesuatu dengan Nou-Mi. Kemarin
malam dia pulang dengan wajah memakai masker dan langsung kabur
masuk kamar. Aku belum sempat berbicara dengannya.”
Eun-Kyo duduk di salah satu kursi tinggi dan menatap tabung-
tabung berisi serum yang tersusun rapi di depannya.
“Gadis itu… apa dia tidak tahu bagaimana perasaanmu? Setiap
hari pulang dengan wajah lebam.” Eun-Kyo memutar kursinya dan
menghadap ke arah Kibum dengan wajah ingin tahu. “Kau tidak lelah?
Kapan kau akan menyatakan perasaanmu padanya? Sudah saatnya kau
membebaskan gadis itu, Kibum~a.”
“Kau tidak pernah mendengar kalimat ini, nuna?” ujar Kibum
dengan mata tetap terfokus ke tasnya. “Selama bersama orang yang
kau cintai, kau tidak akan pernah merasa lelah.”
Eun-Kyo menatap namja yang sudah dianggapnya sebagai
adiknya sendiri itu dengan pikiran bercabang. Dia selalu iri setiap kali
Kibum bercerita padanya tentang gadis yang tinggal bersamanya.
Gadis itu tetangga Kibum saat kuliah di Amerika dan mereka berdua
pindah ke Korea untuk mencari pekerjaan. Agar menghemat
pengeluaran, mereka menyewa satu apartemen dengan dua kamar dan
hidup bersama sejak saat itu. Kibum lulus ujian masuk SRO,
sedangkan gadis itu memilih mendalami hobinya menjadi seorang
fotografer. Tentu saja seperti kisah-kisah lainnya, karena terlalu
sering bersama, Kibum merasa terbiasa dengan kehadiran gadis itu
dan jatuh cinta padanya. Dan di saat yang bersamaan dia sendiri tahu
bahwa gadis itu akan menyakitinya setiap saat tanpa ampun. Tanpa
dia sendiri sadari.
Han Nou-Mi. Gadis itu. Mencintai seorang pria setengah mati.
Pria yang tidak pernah dilihat Kibum tapi membuatnya berharap
bahwa dia bisa mencekik pria itu sampai mati dengan tangannya
sendiri. Pria yang setiap harinya memulangkan Nou-Mi ke rumah
dalam keadaan tidak sempurna. Lebam, berdarah, terluka, dan gadis
bodoh itu tetap tergila-gila padanya.
“Kau harus merawat gadismu itu baik-baik. Ara?”
“Memangnya apa yang kau pikir sedang kulakukan selama ini,
nuna?” tanya Kibum sambil tersenyum sinis. Ada kesedihan teraut di
wajahnya yang masih terlihat begitu muda dan Eun-Kyo tidak
menyukai itu.
“Tidak ada kisah cinta yang indah kan di dunia ini? Tidak ada
kisah yang berakhir dengan bahagia. Kau tahu?” Eun-Kyo
menyentuhkan jari telunjuknya ke salah satu serum dengan cairan
berwarna bening di dalamnya. “Ini penemuan barumu?” tanyanya
mengalihkan pembicaraan.
“Berhati-hatilah dengan benda apapun di ruangan ini. Yang kau
sentuh itu adalah serum penghilang ingatan. Pesanan khusus KIA. Ada
beberapa korban pembunuhan dan penyiksaan yang menurut KIA lebih
baik melupakan semua kejadian yang terjadi pada mereka. Hanya
kejadian menyakitkan saja. Kejadian yang ingin dilupakan tanpa
menghapus kenangan-kenangan sebelumnya.”
“Kedengarannya kau sangat bangga dengan serum ini.”
“Tentu saja. Pasien hanya perlu mengingat kejadian yang
paling ingin dilupakannya dan saat serum ini disuntikkan, dia akan
melupakannya tanpa bekas. Tapi sebenarnya, aku merasa, hidup tanpa
kesakitan itu tidak bisa disebut hidup. Saat kau teringat akan
kesakitan yang pernah kau dapatkan, kau akan lebih mensyukuri
setiap kebahagiaan yang datang padamu. Setidaknya kebahagiaan
untuk tetap menghirup nafas di bumi.”
Eun-Kyo tidak bisa melepaskan pandangannya dari serum itu.
Melupakan kesakitan. Satu-satunya kesakitan yang pernah dialaminya
hanya disebabkan oleh satu hal. Pria itu.
“Tapi ada orang-orang yang berpikir bahwa memang ada suatu
kenangan yang sebaiknya dilupakan, kan? Walaupun manusia tidak
akan pernah benar-benar melupakan sesuatu. Akan selalu ada sisa.
Selalu ada yang tersisa di sudut paling jauh dalam otakmu.”
***
Ji-Yoo bergerak gelisah di tempat duduknya dengan mata
yang terpaku pada satu titik. Tunangannya.
“Kau melaksanakan tugasmu dengan sangat baik kan, Ji-
Yoo~ya? Ah, tentu saja. Dia bahkan sampai mengirimkan lukisan
seharga 20 juta dollar ke apartemenmu.”
“Lukisan?” tanya Ji-Yoo sedikit kaget. Seharian ini dia
memang memilih mendekam di butiknya dan menutup diri dari dunia
luar. Tapi tentu saja, Changmin selalu tahu bagaimana cara
menghubunginya. Satu-satunya saat dimana dia bisa melarikan diri
dari pria ini hanyalah jika dia menyibukkan diri memikirkan desain
baru untuk baju rancangannya. Butiknya cukup terkenal dan dia
mendapat banyak pemasukan dari sana. Hanya dibutuhkan keberanian
yang sangat besar untuk bisa kabur dari cengkeraman pria di
depannya ini dan memulai hidup baru sendiri. Dia yakin dia bisa hidup
dengan baik karena dia memiliki penghasilan yang sudah mapan. Tapi
keberanian itu tidak pernah datang. Tidak. Bahkan wanita
sepemberani apapun akan berpikir ratusan kali untuk kabur dari pria
ini mengingat resikonya yang sangat besar.
“Kau belum tahu, ya? Pagi ini dia mengirimkan lukisan ke
rumahmu. Picasso.”
Dia mengingat lagi pertemuan mereka semalam. Topik
pembicaraan mereka menyinggung masalah-masalah umum. Pekerjaan
dan semacamnya. Pria itu bahkan tidak menyiratkan godaan yang
biasanya akan dia lakukan pada gadis terdekat yang bisa dijangkaunya
seperti yang Ji-Yoo dengar selama ini. Tapi… memberinya hadiah
lukisan seharga 20 juta dollar? Apa pria itu sudah tidak waras?
“Kau harus berterima kasih padanya, kan? Ah, aku juga sudah
menemukan rencana baru untuk mendekatkan kalian berdua. Akhir
minggu ini, 3 hari lagi, kita akan mengadakan pesta pertunangan. Akan
ada kejutan untukmu dan dia disana. Aku tidak akan memberitahumu
apa, karena ekspresimu sangat dibutuhkan untuk meyakinkannya. Jadi
lebih baik kau benar-benar terkejut saat itu terjadi.”
“Pesta pertunangan?” seru Ji-Yoo setengah menjerit. Dia
benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya kali ini.
Apa yang sedang dipikirkan Changmin? Menyodorkannya pada
rival bisnisnya dan sekarang mau mengadakan pesta pertunangan?
Pria ini bahkan jelas-jelas tidak mau ada yang tahu bahwa Ji-Yoo
adalah tunangannya, tapi kenapa sekarang dia malah mau mengadakan
pesta pertunangan dimana semua orang akan melihat Ji-Yoo dan tahu
bahwa gadis itulah yang akan menjadi pendamping Changmin nanti?
Changmin menyodorkan sehelai undangan berwarna cokelat
muda yang terlihat sangat elegan ke arahnya. Ada tulisan nama
mereka berdua yang tertera di atasnya.
“Berikan satu padanya. Pastikan dia datang. Beritahu dia
bahwa aku sendiri yang mengundangnya sebagai rasa terima kasihku
karena dia mau mengeluarkan uang sebanyak itu untuk memberi
hadiah pada calon istriku.”
Ji-Yoo melihat sendiri tangannya yang gemetaran saat
mengambil undangan itu dari tanagn Changmin. Dia benar-benar tidak
bisa kabur. Tidak ada jalan keluar sama sekali. Seharusnya dia tahu
sejak awal. Sekali dia terjatuh ke pelukan pria ini, dia akan
terperangkap di dalamnya selamanya.
***
Sa-Rang menyeruput teh hangat di dalam cangkir kecil yang
sedang digenggamnya perlahan, merasakan hangat uap teh itu
merasuk ke telapak tangannya yang sebelumnya terasa dingin. Entah
dingin karena apa, dia sendiri tidak tahu. Padahal sekarang sedang
musim panas.
Dia sedang duduk di kafe yang terletak di bagian barat
gedung KNI yang berada di tengah-tengah area ini. Cho Corp
membangun 5 gedung raksasa plus satu bangunan yang cukup besar
sebagai kafe tempat semua karyawan bisa menyantap makanan
terbaik di negara ini secara cuma-cuma. Gedung KNI terletak di
tengah sebagai pusat. Gedung dengan 15 lantai itu diapit gedung KIA
dan STA di kanan kirinya. Gedung SRO dan ACC terletak di sisi
lainnya. Butuh waktu lebih dari tiga hari untuk benar-benar
menjelajahi semua tempat disini, belum termasuk jika kau terpana
dengan pemandangan di sekeliling tempat ini yang terlihat seperti
pemandangan memukau Irlandia, berikut taman bunga, pemandangan
perbukitan, dan suara debur ombak di kejauhan. Cho Kyuhyun itu
benar-benar memikirkan semuanya.
Lonceng pintu masuk kafe berdentang, menandakan ada orang
masuk. Cukup aneh menurut Sa-Rang, karena jam sudah menunjukkan
pukul 11 malam lewat. Kafe ini memang terbuka 24 jam karena
pelayannya terdiri dari beberapa android yang tidak kenal lelah. Hal
ini dilakukan mengingat ada banyak pegawai yang lembur sampai
malam, terutama para ilmuwan SRO yang menurut Sa-Rang
berkemungkinan besar tidak pernah keluar dari lab mereka sampai
mereka mendapatkan penemuan baru yang memuaskan. Tapi jarang
sekali ada yang mau bersusah payah pergi ke kafe hanya untuk makan,
karena di masing-masing ruangan ada AutoChef yang menghasilkan
makanan terbaik. Jadi kecuali jika kau bosan dengan keadaan ruang
kerjamu, maka kau tidak akan mau berjalan kaki ke kafe yang lumayan
jauh ini.
Sa-Rang memandang gadis yang baru masuk itu dengan
cermat. Tempat duduknya tepat menghadap ke arah pintu masuk
sekaligus terletak di samping kaca besar yang memperlihatkan danau
buatan di samping kafe. Saat ini sedang musim panas dan semua
bunga sudah bermekaran, membuat pemandangan itu semakin terlihat
memanjakan mata. Tempat duduk paling strategis di kafe ini. Tapi
dalam kegelapan seperti ini, semuanya tidak lebih dari wujud tak
berbentuk berwarna hitam.
Sa-Rang mengerutkan keningnya saat dia merasa mengenal
gadis itu. Wajahnya terlalu familiar.
Ah, tentu saja, batin Sa-Rang. Gadis itu adalah gadis yang
berhasil membuat Henry berlutut di depannya dan melamarnya
dengan sebuah cincin berlian. Miris sekali kan hidupmu, Goo Sa-Rang.
Gadis itu bahkan muncul dimana-mana.
Tubuh Sa-Rang menegang saat gadis itu mendekat ke
arahnya. Mungkin saja dia salah, pasti gadis itu hanya ingin mencari
tempat duduk di belakangnya. Sepertinya begitu. Lagipula apa
urusannya gadis ini berada disini? Apa dia salah satu karyawan KNI?
“Goo Sa-Rang?” tanya gadis itu saat mereka sudah berhadap-
hadapan. Darah Sa-Rang mengalir deras. Dia tidak bisa memutuskan
ekspresi seperti apa yang seharusnya terlihat di wajahnya pada saat
seperti ini. Otaknya bahkan tidak bisa memikirkan apa-apa.
“Ne,” jawab Sa-Rang sambil menilai penampilan gadis di
depannya.
Wajahnya terlihat seperti percampuran antara wajah Asia
dan Eropa. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tapi proporsional.
Rambutnya tampak mengembang indah, jenis rambut yang kau lihat di
iklan-iklan shampoo. Sehelai gaun musim panas berwarna biru laut
membalut tubuhnya dengan pas, menampakkan kaki jenjangnya yang
memakai stiletto.
Kau kalah di segala sisi. Benar-benar di segala sisi. Seperti si
cantik dan si buruk rupa. Pantas saja Henry tidak memilihmu.
“Aaaaa, onnie! Annyeonghaseyo. Aku Whitney Lau, adik
perempuan Henry oppa. Senang bisa bertemu denganmu!”
Mulut Sa-Rang menganga lebar mendengar ucapan riang dari
gadis itu. Adik perempuan Henry? Adik perempuan?
Dia memang pernah mendengar cerita Henry tentang adik
perempuannya yang tinggal di Kanada dan berencana untuk bekerja di
Korea. Dia dan Henry terlanjur berpisah sebelum Sa-Rang sempat
bertemu dengan adik Henry itu. Tapi dari apa yang dikatakan gadis
ini… diakah yang dilamar Henry waktu itu?
“Ah ye, bangapseumnida,” jawab Sa-Rang salah tingkah. Dia
mempersilahkan gadis itu duduk dengan jantung yang berdetak keras.
Kemungkinan bahwa dia telah mengalami kesalahpahaman
menghantamnya dengan begitu keras. Tidak. Apa yang sudah
dilakukannya benar-benar kesalahan besar.
“Aku baru saja lulus di ACC. Kita akan bekerja sama sebentar
lagi, onnie.”
“Chukhahamnida.”
“Onnie gugup sekali. Wae? Apa onnie merasa terganggu
dengan kehadiranku?”
“Anieyo. Keundae…. Ng… Whitney, apa kau tahu bahwa aku
dan Henry sudah berpisah?”
“Mwo? Berpisah? Henry oppa tidak memberitahu apa-apa.
Bahkan dia bilang dia akan segera melamar onnie dan kalian akan
menikah secepatnya. Dia baru mengatakan itu padaku minggu lalu.”
Kerongkongan Sa-Rang terasa kering dan perutnya mendadak
dipenuhi timah panas. Pria itu bahkan masih yakin bahwa Sa-Rang
akan kembali padanya. Apa dia tidak marah dengan semua ini?
“Onnie~ya? Benarkah kalian berpisah? Tapi… kenapa?
Bukankah Henry oppa sangat mencintaimu? Dia bercerita tentangmu
setiap saat. Apa onnie sudah tidak mencintainya? Maksudku… apa
onnie menemukan pria yang lebih baik? Tapi oppaku itu sangat baik
onnie, kau pasti akan bahagia bersamanya.”
“Whitney~a, aku boleh bertanya sesuatu?” sela Sa-Rang. Dia
harus memastikan semuanya. Harus.
Whitney mengangguk dan menatap Sa-Rang dengan penuh
rasa ingin tahu.
“Saat itu aku datang ke apartemen Henry dan melihat dia
sedang memainkan biola dan… berlutut di depanmu sambil
menyodorkan cincin….”
“Chakkamman! Maksudmu… kau mengira Henry oppa sedang
melamarku? Aigooya, karena itukah kau memutuskan hubungan kalian.
OMO. Onnie~ya, hari itu ulang tahunku dan aku meminta Henry oppa
membelikan sebuah cincin berlian dari Tiffany (toko perhiasan
terkenal) untukku. Henry oppa bilang aku boleh meminta apa saja dan
kebetulan aku sangat menginginkannya. Onnie~ya, kau salah paham?
Aigoo, kau harus meminta maaf padanya. Akhir-akhir ini dia terlihat
kurang semangat. Pantas saja wajahnya sedih sekali. Astaga, aku
tidak menyangka kalian akan bertengkar gara-gara aku. Aku akan
meneleponnya dan kalian bisa bicara.”
Sa-Rang menyentuh tangan Whitney, meminta gadis itu diam.
Dia memegangi kepalanya yang mendadak terasa pusing dan
berdenyut nyeri. Dia tidak bisa bertemu dengan Henry sekarang.
Tidak semudah itu untuk meminta maaf atas kesalahan besar yang
telah dilakukannya dan juga yang akan dilakukannya. Android itu.
Sebentar lagi android itu akan dipasarkan dan dia bisa
menghancurkan masa depan Henry. Dia akan memusnahkan semangat
hidup namja itu. Dia harus melakukan sesuatu. Secepatnya.
***
Ji-Yoo melangkah gontai memasuki lift yang akan
membawanya ke lantai tempat apartemennya berada. Dia
mengabaikan sapaan ramah android yang menjaga lift dan
membiarkan kepalanya tertunduk lemas, tanda bahwa dia sedang
tidak mau diganggu.
Apa yang akan dilakukan Changmin di pesta pertunangan
mereka? Rencana apa lagi yang sudah disusunnya? Bagaimana kalau
Ji-Yoo ketahuan dan Eunhyuk menuntutnya? Astaga, dia bahkan tidak
bisa membayangkannya sedikitpun.
Pintu lift berdentang terbuka dan Ji-Yoo melangkah keluar
dengan wajah lesu. Dia perlu mandi air hangat dan menjernihkan
pikirannya. Tapi sepertinya itu juga tidak terlalu berguna.
“Aku pikir kau tidak akan pulang malam ini. Aku bahkan nyaris
menyerah dan memutuskan untuk menemuimu besok saja.”
Ji-Yoo mendongakkan kepalanya saat mendengar suara berat
seorang pria menyapanya. Matanya melebar saat melihat siapa yang
sednag berdiri di depan pintu apartemennya. Eunhyuk. Sepertinya
pria itu baru pulang kerja karena dia masih mengenakan kemeja putih
yang kancing bagian atasnya sudah terbuka dengan dasi yang
terpasang longgar. Jasnya tersampir di lengannya, membuatnya
terlihat begitu….
Ji-Yoo menggelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan
pikirannya yang sudah berada di jalur yang tidak sepantasnya.
Astaga, jangan sampai dia terhanyut dengan permainan ini dan jatuh
pada pesona sang Cassanova yang dia akui memang sangat mempesona.
“Eunhyuk ssi? Sedang apa kau disini?” tanya Ji-Yoo, berusaha
memasang tampang biasa-biasa saja.
“Aku hanya ingin tahu apakah kau sudah menerima hadiah
dariku atau belum.”
“Ah, itu. Aku belum melihatnya, tapi Changmin oppa tadi
memberitahuku.”
“Changmin?”
“Ne. Aku rasa kau sudah tahu kan bahwa aku ini
tunangannya?”
Eunhyuk mengangguk, sedikit kaget dengan kejujuran gadis
itu. Dia pikir gadis itu akan berusaha menyembunyikan statusnya.
“Setiap hadiah yang aku terima memang selalu dilaporkan
padanya oleh android penjaga di bawah.”
“Sangat protektif, eh? Setahuku apartemen ini milik Kyuhyun,
aku tidak tahu bahwa apa yang dikirimkan padamu wajib dilaporkan
padanya.”
“Aku juga tidak tahu kenapa dia bisa melakukannya. Dan
bukankah sepupumu itu memang memiliki segalanya?” gurau Ji-Yoo
sambil memasukkan kartu ke pintu apartemennya yang sesaat
kemudian langsung terbuka.
“Hidupkan lampu,” perintah Ji-Yoo. Apartemennya langsung
terang benderang hanya dalam waktu satu detik. Salah satu karya
modern lagi. Dari otak jenius seorang Cho Kyuhyun. Semuanya terasa
begitu praktis. Begitu tidak manusiawi.
“Kau mau minum?” tawar Ji-Yoo setelah mempersilahkan
Eunhyuk duduk di salah satu sofanya yang cukup nyaman.
“Coke saja,” jawab Eunhyuk sambil memperhatikan interior
apartemen Ji-Yoo dengan seksama. Changmin memang memastikan
semuanya terlihat nyaman. Memerangkap tunangannya di dalam semua
curahan kemewahan ini, batin Eunhyuk.
Ji-Yoo menyodorkan coke kepada Eunhyuk dan memegang
coke untuk dirinya sendiri. Mendadak dia merasa begitu gugup berada
dalam satu ruangan dengan namja itu, jadi dia memilih untuk duduk
saja, walaupun hal itu sama sekali tidak menolong untuk membuatnya
merasa nyaman.
“Ng… gomaweo untuk lukisannya,” ujar Ji-Yoo sambil melirik
sebuah bungkusan besar yang terletak di sudut ruangan.
“Mmm. Aku rasa kau sangat mengagumi lukisan itu, kan?”
Ji-Yoo hanya tersenyum dan meneguk coke-nya.
“Sudah berapa lama kau berhubungan dengan Changmin?”
“Aku tidak terlalu ingat,” jawab Ji-Yoo sekenanya, memberi
tanda bahwa dia tidak suka menyinggung hal itu.
“Kau tahu kan siapa aku?” tanya Eunhyuk memastikan.
“Tentu saja. Kau saingan bisnis Changmin oppa, kan? Jadi apa
ada perjanjian tidak tertulis bahwa kita seharusnya tidak saling
mengenal satu sama lain? Aku tidak menyukai hal-hal seperti itu. Itu
urusanmu dengan Changmin oppa, kan?”
“Jadi kau senang mengenalku? Begitu?”
Ji-Yoo tertawa ringan dan mengedikkan bahunya.
“Kita baru berkenalan kurang dari satu hari. Aku belum
memiliki penilaian yang jelas terhadapmu. Yang aku tahu kau adalah
penakluk wanita. Benar tidak? Tapi setahuku kau belum berusaha
merayuku sama sekali. Bahkan tidak saat kau belum tahu bahwa aku
adalah tunangan Changmin kemarin malam. Apa aku tidak terlihat
menarik di matamu? Atau gosip-gosip yang beredar di luar itu salah?”
Eunhyuk sedikit terpana mendengar ucapan blak-blakan gadis
itu. Dugaannya benar, gadis itu memang berbeda. Sangat berbeda.
Permainan menjadi semakin menarik sekarang.
“Apa lukisan mahal itu tidak termasuk dalam usahaku untuk
menggodamu?”
“Benarkah? Aku dengar kau tidak terlalu loyal pada wanita-
wanitamu.”
“Aku jadi penasaran. Sejauh apa kau mengenalku, Ji-Yoo ssi?”
tanya Eunhyuk dengan senyum terkulum.
“Hanya sejauh apa yang diberitakan media. Kecuali kau mau
memberi klarifikasi atau semacamnya dan berusaha memperbaiki
imejmu di mataku,” tandas Ji-Yoo santai.
“Aku tidak pernah berusaha repot-repot memperbaikinya,
bahkan di depan wanita yang menarik minatku sekalipun.”
Ji-Yoo mengerjap dan memiringkan wajahnya. “Jadi aku
menarik minatmu, begitu?”
“Bisa jadi.”
“Ah, sayang sekali kalau begitu. Seandainya aku tidak
bertemu Changmin oppa duluan,” canda Ji-Yoo sambil pura-pura
memasang tampang sedih di wajahnya, sedangkan jantungnya mulai
berdetak gila-gilaan di balik rongga dadanya.
“Kau tidak tahu gayaku? Kalau aku menginginkan seorang
wanita, satu-satunya yang bisa menghentikanku hanyalah jika Kyuhyun
juga menginginkan wanita itu. Kalau tidak, aku sama sekali tidak mau
repot-repot menghentikan perburuanku.” Kali ini jantung Ji-Yoo
malah berhenti berdetak untuk beberapa saat dan mulai berdentum
kencang memukul-mukul dadanya, menimbulkan rasa nyeri yang tidak
nyaman.
“Kyuhyun sangat berkuasa kalau begitu.”
“Dia sepupu yang paling aku sayangi. Sahabat sekaligus
saudara terbaikku. Dan dia tidak akan pernah jatuh cinta pada gadis
lain, jadi aku bisa tenang. Dengan kata lain, tidak akan ada seorang
pun yang bisa menghalangiku jika aku menginginkan seorang wanita.”
“Gadis lain? Aku dengar seorang Cho Kyuhyun tidak pernah
memiliki hubungan dengan seorang wanita pun. Benar bukan?”
“Tentu saja benar. Gadis itu selama ini berada di Amerika.
Lain halnya sekarang saat dia sudah pulang. Tinggal menunggu waktu
saja sampai Kyuhyun berhasil menjebaknya dalam pernikahan.”
“Kalian berdua… terdengar mengerikan jika menyangkut
seorang wanita.”
“Makanya kau harus berhati-hati. Kontrol pesonamu agar aku
tidak memburumu,” ujar Eunhyuk sambil terkekeh geli melihat
perubahan raut wajah Ji-Yoo.
Ji-Yoo mencoba tersenyum dan tiba-tiba teringat dengan
undangan di dalam tasnya. Dia harus memberikannya. Tidak ada cara
lain.
“Aku punya sesuatu untukmu,” kata Ji-Yoo seraya mengambil
tasnya dan menarik keluar selembar undangan berwarna cokelat.
“Undangan pesta pertunanganku. Changmin oppa
mengundangmu secara langsung. 3 hari lagi.”
“Jadi ini balasanmu setelah aku memberikan hadiah itu?”
tanya Eunhyuk. Senyum sama sekali tidak menghilang dari wajah
tampannya. Dia merasa tidak terganggu sama sekali dengan hal itu.
Malah membuatnya semakin tertantang. Tapi tentu saja, gadis ini
bukan sebuah taruhan. Dia serius saat mengatakan menginginkan
gadis ini. Dan dia selalu memegang ucapannya apapun yang terjadi. Itu
artinya, gadis ini tidak akan lolos dengan mudah. Hanya ada satu hasil
akhir. Dan itu berarti gadis ini akan berakhir di pelukannya. Bukan
pria bernama Shim Changmin itu.
“Balasan yang sangat manis bukan? Aku akan segera lolos dari
perburuanmu.”
Eunhyuk mengulurkan wajahnya sampai berhadap-hadapan
dengan wajah Ji-Yoo. Gadis itu bahkan bisa merasakan hembusan
nafasnya sekaligus merasakan keringat dingin yang mengalir di
punggungnya sendiri. Udara tiba-tiba terasa begitu panas dan dia
tidak bisa menghirup oksigen yang terasa sangat terbatas.
“Kau tahu tidak?” gumam Eunhyuk sambil menyentuh pipi Ji-
Yoo dengan punggung tangannya, merasakan tekstur lembut kulit
gadis itu di kulitnya. “Tidak ada kata kalah dalam kamus hidupku. Aku
menginginkanmu. Siapapun tidak bisa mencegahku.”
TBC

Ff Superjunior : 2060 {3 St Round }


Hye-Na baru saja membaringkan tubuhnya ke atas kasur sambil
menggeliatkan badan, mencari posisi yang nyaman, saat Eun-Ji masuk
ke kamar dan menghempaskan tubuhnya ke tempat kosong di samping
gadis itu.
“Mau apa kau? Ini sudah malam. Aku lelah.”
Bukannya menjawab, Eun-Ji malah berbaring menyamping
menghadap Hye-Na sambil mengedipkan matanya.
“Nah ya, kau pakai sihir apa sampai membuat Kyuhyun terpana
begitu?”
Hye-Na mendelik dan menarik selimut sampai menutupi
tubuhnya, berbalik memunggungi Eun-Ji, menandakan bahwa dia tidak
akan meladeni pertanyaan gadis itu.
“Hye-Na~ya, aku serius. Tadi itu dia bahkan tidak menyadari
kehadiranku sama sekali, padahal jelas-jelas aku berdiri di
sampingmu. Itu keterlaluan namanya! Memangnya aku ini kalah cantik!
Dan kalau kau belum sadar, sikapnya langsung berubah saat tahu
bahwa kau adalah anak Seuk-Gil ajjushi!”
“Tentu saja sikapnya berubah, dia kan kenal dengan ayahku.”
“Bukan itu maksudku! Dia itu bersikap seolah-olah dia sudah
mengenalmu dan asal kau tahu, dia itu tidak suka menyentuh wanita
tapi tadi dia memegangimu. Aaaaah, dan dia tadi mengeluarkan begitu
banyak ekspresi, itu hebat sekali!”

“Kau itu fans beratnya, ya?” tanya Hye-Na sambil menatap


Eun-Ji tak percaya, seakan-akan mengagumi pria itu adalah aib besar.
“Ah, tidak juga. Dia itu hanya terlalu sering menjadi bahan
gosip, jadi aku tahu semuanya. Hehehe.”
“Keluar kau! Aku mau tidur.”
“Payah!” sungut Eun-Ji sambil bangkit berdiri dan dengan
sengaja menendang kaki Hye-Na yang tertutup selimut, berlari keluar
dengan cepat sebelum….
“KAU MAU MATI, HAH?”
Yah, sebelum teriakan itu berhasil membuatnya tuli.
***
“Nou-Mi~ya? Kau sudah pulang?” tanya Kibum sambil
mengetuk pintu kamar gadis itu.
Tidak terdengar jawaban apapun dari dalam, padahal Kibum
tahu bahwa gadis itu sudah pulang. Dia selalu berusaha pulang lebih
dulu dari Kibum jika lukanya parah, berharap bahwa Kibum tidak tahu
dan tidak mulai menginterogasinya.
“Nou-Mi~ya, buka pintunya atau aku akan masuk dengan
paksa!” ancam Kibum dengan nada serius.
Sesaat kemudian Kibum mendengar kunci diputar dan pintu
kamar itu terbuka. Nou-Mi melongokkan wajahnya yang tertutup
masker, walaupun tidak mampu menyembunyikan matanya yang sedikit
lebam.
Kibum mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan diri untuk
tidak menghantam pintu di dekatnya dan membuat gadis itu takut.
Alih-alih melakukan itu, Kibum mendorong gadis itu masuk dan
mendudukkannya di atas kasur.
“Untuk apa kau membawa baskom berisi air begitu?” tanya
Nou-Mi dengan suara serak.
“Menurutmu untuk apa?” tanya Kibum balik dengan nada
dingin. Dia meletakkan baskom yang dibawanya tadi ke atas lantai dan
membuka masker yang menutupi wajah Nou-Mi. Erangan marah
terlontar dari mulutnya saat melihat wajah gadis itu yang sudah
dipenuhi lebam keunguan dan bahkan sudah ada yang menghijau. Ada
darah yang sudah mengering di sudut bibir gadis itu, sepertinya itu
luka baru yang berhasil diciptakan oleh pacar sialannya.
Kibum memeras air dari kain lap yang diletakkannya di dalam
baskom dan mulai membersihkan luka-luka gadis itu dengan hati-hati.
Dia menggertakkan giginya marah saat mendengar rintihan keluar
dari gadis itu setiap kain lap itu menyentuh lukanya. Pria macam apa
yang tega menyakiti gadisnya sampai seperti ini?
“Tidak bisakah kau meninggalkannya?” tanya Kibum tidak
tahan.
“Oppa….”
“Ya ya ya. Aku tahu jawabanmu. Kau mencintainya, kan? Tapi
apa kau tidak lihat pria macam apa yang kau cintai itu? Dia
menyiksamu, Nou-Mi~ya. Apa yang membuatmu mau bertahan dengan
pria seperti itu, hah?”
“Dia mencintaiku, oppa. Hanya saja akhir-akhir ini dia
berubah karena stress dengan perusahaannya yang hampir bangkrut.
Dia tidak punya pelampiasan untuk kemarahannya.”
“Dan kau bersedia jadi pelampiasannya begitu?” teriak Kibum
dengan suara yang semakin meninggi.
“Oppa, kau tidak mengenalnya. Dia selalu menangis setiap kali
dia sadar telah memukuliku. Dia bilang dia akan berusaha berubah
demi aku. Aku tidak bisa meninggalkannya, oppa. Dia
membutuhkanku.”
“Kau dengar apa yang kau bilang barusan? Kau hanya
mengasihaninya saja, Nou-Mi~ya. Kau bertahan dengannya hanya
karena kau merasa kasihan padanya. Sadarlah! Kau bisa terjebak
seumur hidup dengan pria tidak berperasaan itu.”
“Oppa!” teriak Nou-Mi marah, merasa terisnggung dengan
kata-kata yang dilontarkan Kibum.
Kibum menyentuh pipi gadis itu dengan telapak tangannya,
berusaha agar tidak menyakiti luka Nou-Mi yang nyaris memenuhi
seluruh permukaan wajahnya.
“Tinggalkan dia,” ucap Kibum serius. “Tinggalkan dia dan
datanglah padaku. Pada akhirnya, tidak peduli apapun yang terjadi
dan bagaimanapun keadaanmu, akan selalu ada aku yang bersedia
menampungmu.”
***
Yesung mengambil tas ranselnya dan menyandangkannya ke
bahu. Statusnya sebagai ilmuwan SRO membuatnya harus
berpenampilan seperti para ilmuwan yang terlihat jenius dan pintar.
Memakai jas lab, kemeja, celana kain, dan bergelut dengan cairan-
cairan kimia yang berpotensi besar membuat kepalanya sendiri sakit.
Jadwal pulang adalah saatnya dia berubah kembali sebagai pria biasa
berumur 27 tahun. Kembali ke penampilan yang disukainya, baju kaus,
celana jins, tas ransel. Tapi walau bagaimanapun dia menyukai
pekerjaannya. Ada kepuasan tersendiri saat menemukan berbagai
macam penemuan mutakhir yang mencengangkan dunia dan berguna
bagi manusia. Kebanggaan menjadi salah satu karyawan SRO,
organisasi riset ilmiah terbesar di dunia. Bukankah ada ribuan orang
yang melamar tiap bulannya dan yang berhasil lolos hanya beberapa
orang saja? Itu saja sudah bisa membuatmu bangga sampai mati.
Yesung menyampirkan jas lab putihnya ke lengan dan menoleh
ke arah Jin-Ah, asistennya, yang masih sibuk membereskan barang-
barangnya.
“Apa hari ini kekasihmu akan menjemputmu?” tanya Yesung
berbasa-basi, walaupun dalam hati dia mengharapkan jawaban tidak
dari gadis itu.
Gadis yang menjadi asistennya itu adalah trainee yang baru
masuk satu setengah tahun yang lalu dan ditugaskan di lab pribadi
Yesung sampai akhirnya menjadi asisten tetap pria itu. Kesan
pertama yang didapatkannya dari penampilan Jin-Ah adalah bahwa
gadis itu terlihat begitu manis, polos, dan ceria. Setelah sekian lama
mengenalnya, kesan itu nyaris menghilang tanpa bekas. Yang
tertinggal hanyalah kenyataan bahwa gadis itu ceroboh, cerewet, dan
nyaris mustahil untuk menghentikannya jika dia sudah membuka
mulutnya untuk bicara. Tapi kesialan yang harus diterima Yesung
bahkan lebih besar dari itu. Dia harus menerima kenyataan bahwa
saking seringnya bertemu dan menghabiskan 13 jam hidupnya setiap
hari bersama Jin-Ah, membuatnya merasa ketergantungan dengan
kehadiran gadis itu. Satu-satunya hiburan yang membuatnya
semangat setiap hari hanya suara dan ocehan gadis itu yang selalu
mengomentari setiap hal yang dilihatnya dan satu-satunya yang bisa
menghentikannya hanyalah jika Yesung sudah bosan dan
mengacungkan serum penghilang suara ke wajah Jin-Ah yang langsung
diam seperti orang bisu.
“Namanya Kim Ryeowook, oppa. Dan dia bukan kekasihku.
Hanya temanku saja. Aku sudah bosan mengulang-ulang hal ini terus
padamu. Dan tidak, malam ini dia tidak menjemputku.”
“Wae? Tumben sekali,” komentar Yesung, hampir tidak bisa
menyembunyikan rasa senangnya. Setelah satu setengah tahun,
akhirnya dia mendapat kesempatan mengantar gadis itu pulang. Itu
merupakan kemajuan besar.
“Malam ini… dia punya kegiatan pribadi.” Ada nada tidak suka
dari suara gadis itu saat mengucapkannya.
“Biar aku yang mengantarmu pulang,” tawar Yesung dengan
nada final. Kali ini dia tidak akan menerima penolakan apapun dari
gadis di depannya itu.
“Tapi aku lapar. Kalau kau mau mentraktirku makan di
restoran, aku akan menerima tawaranmu,” ujar Jin-Ah sambil
mengedipkan matanya.
“Sialan kau. Kau mau membuatku bangkrut? Kau kan tahu
seberapa mahalnya jika kita harus makan di restoran. Gajiku memang
sangat besar, tapi….”
“Ya sudah, aku pulang sendiri saja. Sampai jumpa besok,
oppa!” potong Jin-Ah seraya melambaikan tangannya.
Yesung mendecak kesal dan menarik tangan gadis itu.
“Baiklah, baiklah. Kau menang. Aku akan mentraktirmu. Puas?”
“Sangat! Aku mau makan daging sapi asli. Bagaimana?”
Yesung menahan omelannya di dalam hati saat melihat senyum
manis terkembang di bibir gadis itu. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa harga daging sapi asli di Korea mencekik leher, bahkan
sebelum ditemukannya AutoChef, dan gadis itu berniat membuatnya
bangkrut bahkan sebelum dia berhasil mengungkapkan perasaannya.
***
“Kau tidak menjemput sahabatmu malam ini?” tanya Ah-Zin
sinis, memberikan tekanan pada kata sahabat yang diucapkannya.
Ryeowook mengalihkan pandangannya dari TV dan menatap
istrinya dengan pandangan bingung.
“Setiap hari kau mengomeliku karena aku sangat
memperhatikan Jin-Ah dan menejemputnya setiap malam dari kantor.
Aku menuruti keinginanmu dan mengatakan padanya bahwa mulai
malam ini aku tidak akan menjemputnya lagi. Lalu sekarang kau malah
menanyaiku dengan nada seperti itu,” keluh Ryeowook.
“Memangnya aku memakai nada seperti apa?” seru Ah-Zin
sengit.
“Seperti itu. Sinis. Kau ini, dia itu sahabat dan tetanggaku
sejak kecil. Aku dekat sekali dengannya. Kau kan tahu itu. Sejak kita
berpacaran bahkan aku sudah mengenalkannya padamu dan kau bilang
kau tidak keberatan dengan kehadirannya. Lalu sekarang kenapa dia
menjadi objek pertengkaran kita, hah?”
“Karena kau mencintainya, Kim Ryeowook, dan sampai
sekarang hal itu belum berubah sama sekali,” sergah Ah-Zin sambil
bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan ruangan itu,
membanting pintu kamarnya sampai menutup.
Bukan mau Ah-Zin egois dengan kecemburuannya yang
menurut suaminya tidak beralasan itu. Tapi mau bagaimana lagi, Kim
Jin-Ah itu adalah wanita paling penting dalam hidup suaminya. Mereka
bukan sekedar sahabat, dan Ah-Zin mengetahui hal itu dengan jelas.
Kim Ryeowook dan Kim Jin-Ah dulunya adalah sepasang kekasih.
Mereka saling jatuh cinta karena sudah menjalin persahabatan sejak
kecil. Seperti apa yang sering terjadi, tidak ada persahabatan yang
murni di antara pria dan wanita. Pasti ada salah satu yang jatuh cinta
pada yang lain dan itu tidak bisa dipungkiri begitu saja. Terlalu sering
bergaul dengan seseorang pasti akan membuatmu merasa memiliki
hak atas orang itu dan itulah yang terjadi.
Saat Ryeowook tamat SMA mereka berdua menjalin
hubungan, berlanjut sampai kuliah. Ryeowook berencana menikahi Jin-
Ah setelah tamat kuliah, tapi Jin-Ah menolak karena dia sangat ingin
bergabung dengan SRO setamat SMA. Dia tidak ingin pernikahan
mengganggu karirnya, ditambah lagi masuk ke SRO adalah hal yang
sangat sulit. Lagipula Jin-Ah bukan jenis wanita yang ingin menikah
muda.
Bulan-bulan selanjutnya adalah bulan yang sangat sulit bagi
Ryeowook. Persahabatan mereka tetap bertahan, tapi tentu saja
banyak hal yang berubah. Salah satu yang berubah adalah sejak
Ryeowook bertemu dengan Ah-Zin. Awalnya Ah-Zin sangat yakin
bahwa Ryeowook benar-benar mencintainya, tapi keyakinan itu
semakin berkurang karena intensitas pertemuan Ryeowook dan Jin-
Ah tetap seperti biasa, seperti yang mereka lakukan sebelum
Ryeowook dan Ah-Zin menikah. Bahkan Ryeowook selalu meluangkan
waktunya untuk menjemput Jin-Ah pulang kerja setiap malam,
padahal jarak rumah Ryeowook ke kantor Jin-Ah lebih dari satu jam,
belum lagi mengantar gadis itu dulu ke rumah. Awalnya Ah-Zin masih
berusaha sabar, tapi lama kelamaan dia menjadi tidak yakin lagi
dengan pernikahan mereka. Mereka sering sekali bertengkar karena
hal-hal sepele, entah itu karena hobi memasak Ryeowook ataupun
karena Jin-Ah.
Jin-Ah dan Ryeowook berpisah hanya karena gadis itu tidak
mau menikah dan lebih memilih karirnya. Itu berarti kemungkinan
besar Ryeowook masih memiliki perasaan pada gadis itu dan…
kemungkinan besar juga Jin-Ah masih memiliki perasaan yang sama.
Ah-Zin mendesah pelan sambil menelungkupkan wajahnya ke
atas bantal. Lalu… dimana posisiku sekarang? Batin Ah-Zin ketakutan.
***
Hye-Na memakai sepatu hitam tanpa haknya dengan terburu-
buru, melirik cermin sedikit untuk memastikan penampilannya sudah
layak. Dia mengenakan blus putih dan blazer hitam dengan bawahan
celana panjang hitam. Setidaknya lumayan untuk pergi ke pemakaman.
Menurutnya.
“Aish, kenapa kau tidak membangunkanku lebih pagi, hah?”
protes Hye-Na kesal ke arah Eun-Ji yang sedang asyik menyantap
roti bakarnya.
“Aku sudah membangunkanmu, tapi kau tidur seperti babi.
Siapa suruh kau pulang larut malam. Lihat kantung matamu itu,
seperti panda.”
“Diam kau! Dan beritahu aku kenapa kau malah memakai baju
warna-warni begitu,” ujar Hye-Na mengomentari blus berwarna
pelangi yang dikenakan Eun-Ji dan hot pants putihnya yang
memamerkan kakinya yang jenjang.
“Hari ini aku tidak ikut ke upacara pemakaman ayah Kyuhyun.
Aku harus menemui orang tuaku di Busan. Mumpung hari ini semua
karyawan diliburkan. Aku rasa Kyuhyun tidak akan mengambil absen
karyawan yang tidak hadir disana,” jawab Eun-Ji ringan.
“Aku tidak suka pergi sendirian ke tempat asing dimana tidak
ada seorangpun yang aku kenal disana.”
“Tentu saja ada. Leeteuk oppa misalnya? Semuanya pasti
datang.”
“Dimana rumah pria itu? Sepertinya aku harus
mempertaruhkan nyawaku pada radar GPS di mobil. Aku benar-benar
tidak suka ini. Kalau saja ibuku tidak menelepon dan
memperingatkanku agar aku mengurungkan niatku untuk tidak datang,
aku akan tetap berada di atas tempat tidur sekarang. Belum lagi dia
menyuruhku menemui Nyonya Cho dan menyampaikan ucapan duka cita
darinya secara langsung. Hah! Merepotkan saja! Apa dia mau
membunuhku? Mana mungkin aku bisa mendekati Nyonya Besar itu
dengan mudah.”
“Berhentilah mengeluh, Han Hye-Na. Kau membuat telingaku
tuli. Mereka tinggal di daerah Yeoju, Gyeonggi-do.”
“Bisakah kau lebih spesifik sedikit? Bukankah Yeoju itu
kawasan elit dan amat sangat luas?”
“Ah, tidak perlu susah payah. 3 tahun lalu mereka membeli
semua tanah di Yeoju, jadi semua kawasan itu sudah termasuk
wilayah tempat tinggal mereka sekarang.”
“Wilayah seluas itu hanya untuk satu rumah saja?” teriak
Hye-Na syok.
“Begitulah. Aku dengar itu adalah rumah paling indah, paling
mewah, dan paling luas di Asia. Atau dunia? Beberapa orang bilang
pemandangannya indah sekali, seperti sedang berada di lokasi
wisata.”
“Mereka sakit jiwa,” komentar Hye-Na pendek sambil
menyambar kunci mobilnya.
***
“Yak, Hee-Hee, dimana kau, hah? Astaga, kenapa memiliki
android malah membuatku semakin stress saja? YAK, KALAU DALAM
10 DETIK KAU TIDAK SAMPAI DI DEPANKU, AKU AKAN
MEMBUANGMU KE TEMPAT PELEBURAN ANDROID!” teriak
Heechul kesal sambil memasang kancing kemejanya dengan tergesa-
gesa. Dia sudah terlambat untuk datang ke pemakaman ayah Ah-Ra
dan Kyuhyun, sahabatnya. Dia berkenalan dengan anak perempuan Cho
Hyun-Ki itu di bangku kuliah dan gadis itu berhasil menjadi satu-
satunya perempuan yang dekat dengan Heechul tanpa membuat pria
itu teringat dengan trauma masa lalunya.
Min-Hyo yang tidur meringkuk di balik sofa agar tidak
ketahuan mulai menggeliatkan badannya, terbangun akibat suara
memekakkan yang keluar dari mulut ‘majikan’ barunya itu. Astaga,
pria gila itu bahkan memberi nama aneh pada androidnya. Hee-Hee.
Nama macam apa itu!
Min-Hyo memastikan wajahnya tidak terlihat seperti bangun
tidur dari bayangan yang memantul dari lemari kaca di dekatnya.
Mana ada android yang tidur. Dan parahnya, dia sudah sangat
kelaparan sekarang. Semoga saja hari ini Heechul pergi keluar cukup
lama, harapnya.
“Ye, Heechul ssi,” ujar Min-Hyo setelah sampai di hadapan
pria itu.
“Kau ini lama sekali. Pasangkan dasiku. Aku harus pergi ke
pemakaman hari ini. Dan saat aku pulang nanti, aku tidak ingin ada
debu satupun di rumah ini. Kau mengerti? Aku akan memeriksanya
dengan teliti. Dan masakkan makan malam yang enak, mungkin aku
baru pulang jam 7-an. Aku ada syuting hari ini.”
“Ye, Heecul ssi,” jawab Min-Hyo, mulai memasangkan dasi itu
di leher Heechul. Untung saja dia sering memasangkan dasi ayahnya,
jadi dia tidak terlalu kesulitan lagi.
Min-Hyo baru saja menyelesaikan pekerjaannya saat Heechul
dengan tiba-tiba menundukkan wajahnya dan menatap Min-Hyo lekat-
lekat.
“Ada yang berubah dari wajahmu. Atau aku salah? Seingatku
wajahmu tidak terlihat… semanusiawi ini. Dan… baju yang kau pakai
semalam berbeda dengan baju yang kau pakai saat kau pergi
berbelanja. Aku tidak ingat pernah membelikan baju seperti itu
untukmu. Kau juga… terlihat aneh.”
Min-Hyo merasakan jantungnya nyaris berhenti berdetak
saat dia berpikir bahwa hanya dalam waktu beberapa jam
penyamarannya sudah langsung ketahuan. Pria ini terlalu teliti dan…
apa yang harus dikatakannya sekarang?
“Mu… mungkin… mungkin ini karena energiku sudah waktunya
diisi,” jawab Min-Hyo gugup.
“Ah, energi. Aku lupa. Ingatkan aku kalau sudah tiba
waktunya. Kau kan tahu kalau aku ini pelupa. Ya sudahlah, aku pergi
dulu. Kerjakan tugasmu dengan baik.”
Min-Hyo menarik nafas lega saat dia berhasil lolos dengan
sukses. Yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah berharap agar dia
juga bisa lolos lagi lain kali. Karena kalau dia sampai ketahuan, dia
yakin pria itu akan mengulitinya hidup-hidup.
***
Hye-Na mengemudikan mobilnya memasuki kawasan Yeoju.
Eun-Ji benar. Rumah keluarga Cho benar-benar satu-satunya rumah
yang terletak di kawasan itu dan itu mencakup ratusan ribu meter
yang harus dilaluinya dengan mobil.
Lingkungan perumahan itu memang sangat asri dan Hye-Na
menemukan beberapa bangunan di sepanjang perjalanan, dilengkapi
dengan penjaga pada masing-masing tempat. Tempat itu nyaris
terlihat seperti tempat tamasya lengkap dengan pemandangan indah
berupa danau buatan, taman bunga yang mencakup beberapa jenis
bunga yang ditanam per kelompok, juga kursi-kursi kayu yang
diletakkan di bawah pepohonan rindang yang menghadap langsung ke
arah sungai kecil yang mengalir jernih. Keluarga ini seperti keeluarga
kerajaan di negeri dongeng yang biasa dibacakan oleh ibunya saat dia
kecil dulu. Tapi Hye-Na bahkan yakin, istana di cerita-cerita fiksi itu
bahkan tidak akan sebesar tempat ini.
Terlihat bukit-bukit hijau di kejauhan. Tempat golf mungkin.
Dan Eun-Ji sempat menyinggung tentang helipad yang terletak di
belakang rumah. Dari data Cho Kyuhyun yang didapatkannya, dia
mendapat data harta kekayaaan pria itu yang mencapai puluhan
trilyun dollar plus ratusan anak perusahaan, rumah, dan pulau
sekaligus negara yang dimilikinya. Belum lagi pesawat dan helikopter,
yacht, villa, dan pantai pribadi. Jenis kekayaan yang tidak bisa
dimiliki siapapun, bahkan untuk dibayangkan saja itu rasanya nyaris
mustahil.
Saat memasuki kawasan rumah, untung saja ada beberapa
petunjuk arah di jalan-jalan, meminimalisir kemungkinan para tamu
yang mungkin akan tersesat, Hye-Na akhirnya bernafas lega saat
melihat ada banyak mobil disana. Setidaknya dia berhasil sampai
dengan selamat. Tapi kekhawatiran baru melandanya. Dia tidak
pernah suka berada di tengah orang banyak dan tempat ini begitu
asing baginya.
Baiklah, kau hanya perlu menemui Ha-Na ajjumma,
menyaampaikan salam dan ucapan belasungkawa ibumu padanya,
kemudian pulang. Hindari kemungkinan bertemu pria dingin dan
mengerikan itu, itu akan sangat baik bagi kesehhatan jantungmu,
Hye-Na~ya, batin Hye-Na sambil menarik nafas dalam-dalam.
Hye-Na berjalan mengikuti arus manusia yang berdesak-
desakkan memasuki bangunan yang terletak di tengah. Bangunan itu
diapit dua bangunan lain yang sama mewahnya. Prediksi Hye-Na yang
paling memungkinkan adalah, rumah di tengah itu ditempati orang tua
Kyuhyun, dan mungkin dua bangunan lain menjadi kediaman Kyuhyun
dan kakak perempuannya.
Sepertinya keluarga Cho membuka rumahnya untuk umum hari
ini, karena ada begitu banyak orang yang datng untuk mengucapkan
belasungkawa dan menghadiri pemakaman. Hye-Na bahkan melihat
mobil presiden Korea terparkir di tempat parkir khusus yang dikawal
para bodyguardnya.
“Hai, kau datang!”
Hye-Na menoleh dan menghirup nafas lega saat melihat
Leeteuk berada di dekatnya. Setidaknya keadaannya akan jauh lebih
baik kalau dia bersama orang yang dikenalnya di tempat ini. Dia akan
terhindar dari kemungkinan berdiri seperti orang bodoh di tengah
kerumunan dan kesulitan mencari cara untuk mendekat ke arah sang
tuan rumah.
“Oppa, kau sendirian?”
“Hmm. Sebenarnya tidak juga. Tadi aku bersama Siwon, tapi
dia menghilang entah kemana. Eun-Ji tidak ikut?”
“Tidak. Dia menemui eommanya di Busan.”
“Tumben kau mau berkeliaran ke tempat asing sendirian? Dan
aku rasa ini adalah rumah musuhmu. Benar tidak?”
Hye-Na tertawa kecil mendengar candaan yang dilontarkan
Leeteuk padanya.
“Cho Kyuhyun bukan musuhku. Dia kan orang yang harus
kulindungi,” jawab Hye-Na dengan nada sarkastis yang sangat
kentara. “Tapi tidak bisa dipungkiri oppa, aku tidak menyukainya.
Auranya buruk sekali.”
Kali ini gantian Leeteuk yang tertawa sambil menepuk-nepuk
kepala Hye-Na ringan.
“Hati-hatilah. Sepertinya dia tertarik padamu. Kalau sampai
itu terjadi, aku pastikan kau tidak bisa lari kemana-mana.”
Hye-Na menatap Leeteuk tidak percaya. Bukan karena
ucapannya yang mustahil, tapi karena perkataannya itu benar-benar
mirip dengan apa yang dikatakan Eun-Ji tadi malam padanya.
“Kau tahu tidak? Kyuhyun itu… tidak suka berada di dekat
wanita manapun. Bahkan sebenarnya aku nyaris tidak pernah melihat
ada ekspresi di wajahnya yang dingin itu. Tapi semalam, ada begitu
banyak ekspresi yang diperlihatkannya saat dia menatapmu. Seolah
hanya ada kalian berdua saja di ruangan itu. Aku bahkan yakin dia
merasa cemburu saat dia menanyakan hubungan antara kita berdua.
Dia jauh terlihat lebh manusiawi.”
“Jangan bicara omong kosong, oppa” sergah Hye-Na. “Dia itu
kan manusia, tentu saja dia punya ekspresi. Kau ini ada-ada saja.”
“Bukan omong kosong, karena aku sudah mengenalnya cukup
lama untuk tahu kepribadiannya. Dia bersikap seolah-olah dia sudah
lama mengenalmu.”
Hye-Na menggeleng dan tanpa sengaja matanya beradu
dengan tatapan Kyuhyun yang berdiri jauh di bagian depan, dia
samping peti jenazah ayahnya. Atau mungkin itu hanya perasaannya
saja. Mana mungkin pria itu menyadari kehadirannya di tempat
seramai ini. Atau pria itu terlalu membencinya, karena gara-gara
perintahnya untuk menguliti kulit mayat ayahnya, jenazah itu menjadi
tidak sempurna saat dimakamkan? Tapi gadis itu tidak bisa
memungkiri pesona kuat yang terpancar dari Kyuhyun, yang terlihat
sempurna dalam balutan setelan jas lengkapnya. Di sampingnya
berdiri Lee Hyuk-Jae, yang Hye-Na kenali dari beberapa acara
berita yang sempat ditontonnya. Kalau tidak salah pria itu direktur
perusahaan mobil keluarga Cho yang akan meluncurkan mobil terbang
bulan depan dan juga sangat terkenal dengan reputasi buruknya
dalam hal menaklukkan wanita.
“Apa aku salah atau Kyuhyun memang sedang menatap ke
arahmu?” tanya Leeteuk, menyuarakan isi pikiran Hye-Na.
“Mungkin dia sedang melihat ke seseorang di belakangku dan
semacamnya. Tempat kita berdiri jauh di belakang, mana mungkin dia
sadar. Atau mungkin dia memang sangat membenciku sampai bisa
merasakan aura kehadiranku?”
“Atau dia jatuh cinta padamu sehingga selalu bisa merasakan
kehadiranmu di dekatnya?” goda Leeteuk sambil mengedipkan
matanya.
“Hahahaha, lucu sekali, oppa,” ujar Hye-Na ketus, mulai
merasa tidak nyaman dengan ucapan-ucapan Leeteuk yang semuanya
berujung pada kemungkinan buruk bahwa Kyuhyun jatuh cinta
padanya. Astaga, mereka bahkan baru pernah bertemu satu kali dan
itu sama sekali bukan pertemuan manis yang harus diingat-ingat.
Tapi kau bahkan masih mengingat dengan tepat
cengkeramannya semalam. Sentuhan tangannya lebih tepatnya, batin
Hye-Na mengejek dirinya sendiri. Dia memang memiliki
kecenderungan menilai seorang pria dari tangannya. Dan seingatnya,
tangan pria itulah yang paling sempurna sejauh ini. Tangan itu besar
dan memiliki jari-jari yang panjang dan Hye-Na yakin bahwa pasti
akan hangat sekali saat menggenggam tangan itu. Astaga, hentikan
pikiran bodohmu itu dan fokuslah, Han Hye-Na.
Tidak, akan lebih baik jika dia tidak menyetujui pekerjaan
barunya sebagai pelindung pria itu. Dia punya kekhawatiraan sendiri
bahwa pria itu memiliki pesona yang akan lebih dari cukup untuk
membuatnya terjebak. Pria pertama yang berhasil menarik
perhatiannya dan mengganggu sistem kerja otaknya terus-terusan.
Bayangan pria itu bahkan seperti sudah melekat kuat di otaknya dan
tidak berniat untuk menghilang dalam waktu dekat.
Satu jam kemudian berlalu dalam keheningan upacara
pemakaman yang terasa khidmat. Hye-Na bisa melihat ibu Kyuhyun
menangis terisak-isak dalam pelukan anak perempuannya yang
terlihat sangat anggun dalam balutan gaun hitamnya yang elegan.
Keluarga yang begitu sempurna jika mengenyampingkan kenyataan
bahwa banyak yang berusaha melenyapkan mereka demi mendapatkan
harta kekayaan yang tidak tanggung-tanggung banyaknya itu.
“Oppa, apa aku bisa menemui Ha-Na ajjumma?”
“Ha-Na ajjumma? Kau mengenalnya?”
“Ani. Ayah dan ibuku adalah sahabat lama mereka dan karena
ibu tidak bisa datang kesini, beliau memintaku menyampaikan
ungkapan belasungkawaku secara langsung kepadanya,” jelas Hye-Na.
Mereka berdua tetap berdiri di tempat semula, sedangkan kerumunan
sudah mulai berkurang karena upacara pemakaman baru saja selesai.
“Ayo ikut aku,” ajak Leeteuk sambil berjalan mendekati kedua
wanita itu. Kyuhyun sendiri sudah tidak terlihat lagi, mungkin sibuk
melayani para rakan bisnisnya yang datang menjenguk. Baguslah, lebih
baik dia tidak berada di dekat pria itu dulu dalam beberapa hari ke
depan, pikir Hye-Na.
“Annyeonghaseyo, ajjumma, Ah-Ra~ya,” sapa Leeteuk sambil
menjabat tangan ibu Kyuhyun dan membungkuk sopan ke arah Ah-Ra.
“Ah, Jung-Soo~ya,” ujar ibu Kyuhyun, menyebutkan nama asli
kakak angkat Hye-Na itu. “Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau
baik-baik saja?”
“Ye, ajjumma. Dan aku harap kau juga baik-baik saja.”
“Yah, seperti yang kau lihat. Lalu… siapa gadis ini?
Tunanganmu?”
Leeteuk tertawa dan merangkul bahu Hye-Na, mendorong
gadis itu maju.
“Ani. Ini adik angkatku. Anak Seuk-Gil ajjushi.”
“Kau anak Seuk-Gil? Benarkah? Aigoo~ya, jadi kau anak Min-
In? Aaaah, kita sudah tidak pernah bertemu lagi sejak terakhir kali
kau kesini. Waktu itu kau baru berumur 6 tahun. Kau sudah besar
sekarang. Cantik sekali, persis seperti ibumu.”
Hye-Na tersenyum saat Ha-Na menyentuh wajahnya. Jelas
sekali kalau wanita separuh baya itu sangat senang bertemu
dengannya.
“Aku pernah bertemu ajjumma sebelumnya? Tapi… aku tidak
ingat.”
“Tidak heran. Kau kan baru berumur 6 tahun waktu itu, masih
kecil sekali. Tentu saja kau tidak ingat. Dan panggil aku eomma. Anak
Seuk-Gil dan Min-In adalah anakku juga. Ah-Ra~ya, kau ingat Hye-
Na, kan?”
“Ne. Dulu aku dan Kyuhyun juga bertemu denganmu. Sayang
sekali kau tidak ingat. Panggil aku onnie, arasseo?” ujar Ah-Ra sambil
memeluk Hye-Na singkat.
“Mana anak laki-lakiku itu? Setiap hari isi otaknya hanya
kerja dan kerja saja, bahkan di hari pemakaman ayahnya. Ah, Hye-
Na~ya, Jung-Soo~ya, bagaimana kalau kita masuk saja ke dalam? Kita
bisa mengobrol dulu.”
“Mianhae ajjumma, aku masih ada pekerjaan yang tidak bisa
kutinggalkan. Biar Hye-Na saja yang menemani kalian. Aku pamit
dulu.”
Hye-Na mendelik ke arah Leeteuk yang malah mengacak-acak
rambutnya sambil tertawa. Sialan sekali kakak angkatnya itu! Dia jadi
tidak punya alasan untuk melarikan diri. Tapi sudahlah, toh sepertinya
keluarga ini menyenangkan.
“Ayo masuk. Sebentar lagi pengacara akan datang untuk
membacakan warisan. Terlalu terburu-buru, dia bahkan baru
dimakamkan hari ini, tapi begitulah isi surat wasiatnya.”
“Tapi ajjumma, eh maksudku eomma, aku kan bukan keluarga
kalian. Aku tidak mungkin ikut di acara keluarga seperti itu,” tolak
Hye-Na saat Ha-Na merangkul bahunya dan membawanya masuk ke
dalam.
“Bukan keluarga apanya! Seuk-Gil dan Ha-Na sudah kuanggap
sebagai adikku sendiri. Kami sudah bersahabat sejak zaman SMA.
Seuk-Gil bahkan sangat dekat dengan suamiku. Dan anaknya adalah
anakku juga. Kau mengerti? Ah iya, aku juga ingin mengucapkan
belasungkawa secara langsung padamu karena kita belum sempat
bertemu saat pemakamannya.”
“Ani eomma, seharusnya aku yang berterima kasih. Kalianlah
yang menyelenggarakan pemakaman untuk ayahku, sedangkan kami
malah tidak mau ke Korea sama sekali.”
“Sudah sudah, tidak usah diingat-ingat, nanti aku jadi sedih
lagi.”
“Hye-Na~ya, kau sudah bertemu adikku? Kyuhyun? Dia pasti
sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu,” ujar Ah-Ra penuh
semangat.
Hye-Na mengerutkan keningnya heran. Kyuhyun tidak sabar
ingin bertemu dengannya?
“Sudah, onnie. Kami bertemu semalam.”
“Lalu? Apa dia menggodamu? Aku tidak akan heran kalau dia
langsung melakukannya saat kalian bertemu. Dia itu sudah lama sekali
menyukaimu. 14 tahun? Sejak kau kesini waktu itu. Bahan
pembicaraannya setiap hari hanya kau saja.”
“MWO?”
“Iya, Hye-Na~ya. Anakku itu tidak mau mendekati wanita
manapun. Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padanya saat kalian
bertemu dulu,” sambung Ha-Na.
“A… aku… aku pernah bertemu dengan… Kyuhyun? Kapan?”
“Ah, kau benar-benar sudah lupa, ya? Kasihan sekali adikku
itu,” ujar Ah-Ra dengan wajah prihatin.
“Ta… tapi onnie, eomma, ka… kami berdua… sama sekali tidak
memiliki ketertarikan seperti itu. Maksudku… saat aku bertemu
dengannya semalam… kami berada dalam situasi yang sama sekali
tidak mengenakkan. Dia… sepertinya tidak menyukaiku.”
“Omong kosong macam apa itu? Dia tidak menyukaimu? Kau
boleh mencekikku sampai mati kalau itu terjadi!” sergah Ah-Ra.
“Kau yang mengatakan omong kosong, nuna. Gadis inilah yang
memerintahkan Yesung hyung untuk menguliti kulit ayah untuk
mencari bekas luka semacam suntikan yang bisa membuktikan bahwa
ayah mati dibunuh, bukan karena serangan jantung. Dan ngomong-
ngomong, apa yang sedang kau lakukan di rumahku? Nona Han?”
Hye-Na langsung berbalik saat suara berat itu terdengar di
belakangnya. Dia mendapati Kyuhyun sedang menatapnya tajam dan
lagi-lagi disertai dengan ekspresinya yang dingin itu. Di sampingnya
berdiri Lee Hyuk-Jae yang menatap Hye-Na penuh minat dengan
senyum ramah di wajahnya.
“Hai, kau Hye-Na? Senang bertemu denganmu!”
Hye-Na mengerjap dan menyambut uluran tangan pria itu
dengan ragu.
“Pantas saja kau rela menunggunya bertahun-tahun. Gadis
secantik itu. Aku tidak heran. Kau keren sekali, sepupu!” bisik
Eunhyuk sambil menyikut lengan Kyuhyun.
“Diam kau,” sergah Kyuhyun tajam.
“Hye-Na memerintahkan untuk menguliti kulit ayah? Jadi apa
kau sudah mendapatkan sesuatu, Hye-Na~ya?” tanya Ah-Ra
penasaran. Tidak ada nada marah sama sekali dalam suaranya saat
mengetahui bahwa Hye-Na lah yang memberikan perintah itu.
“Ne. Memang ditemukan semacam racun. Aku rasa aku tidak
akan memberikan penjelasan ilmiah tentang itu disini. Tapi jelas
sekali bahwa serangan jantung yang dialami Tuan Cho tidak alami.
Bahkan aku rasa aku sudah mendapatkan beberapa tersangka saat
ini.”
“Tersangka?” Mata Kyuhyun berkilat saat mengatakan itu.
“Kenapa? Kau takut?” tantang Hye-Na.
“Sudah sudah. Kalian ini. Kau Cho Kyuhyun, kenapa kau jadi
aneh begitu? Ayo masuk. Jangan membuat keributan disini. Sebentar
lagi Pengacara Jang akan datang.”
“Eomma, kau akan mengajak gadis ini? Dia orang luar!” seru
Kyuhyun tak terima.
“Orang luar yang kau mimpikan jadi istrimu setiap malam?”
ejek Ah-Ra di telinga Kyuhyun sehingga Hye-Na tidak bisa
mendengarnya.
“Nuna!”
“Hye-Na~ya, ayo aku antarkan,” seru Eunhyuk sambil
merangkul bahu gadis itu. Tidak sampai sedetik, karena Kyuhyun
langsung menarik tangan Hye-Na, menjauh dari sepupunya yang
playboy itu.
“Kalian duluan. Ada yang harus aku bicarakan dengannya.”
“Baiklah. Dan perlakukan Hye-Na dengan baik. Kau mengerti?
Aku heran kenapa adikku jadi pembohong seperti ini!” ujar Ah-Ra tak
suka sambil berjalan masuk dengan ibunya dan Eunhyuk.
“Apa?” tanya Hye-Na langsung tanpa basa-basi saat mereka
sudah tinggal berdua.
“Apa yang sudah kau dapatkan? Tersangka kau bilang?”
Ada aura menguasai yang sangat kentara menguar dari pria
itu. Jelas pria itu akan selalu berhasil melakukan intimidasi terhadap
siapapun yang diinginkannya. Tidak heran jika bisnisnya berkembang
sepesat ini.
“Racun yang ditemukan di tubuh ayahmu diketahui berasal
dari penemuan yang belum diluncurkan SRO. PT-20. Peptide
Toxin penemuan Zhoumi.”
“Lalu?”
“Aku mencurigai beberapa orang, terutama pamanmu dan
asisten pribadimu. Zhoumi juga termasuk daftar orang yang ingin aku
interogasi.”
Kyuhyun berjalan mendekat dan menunduk sampai wajahnya
sejajar dengan gadis itu. Ada seringai sinis di wajahnya, menunjukkan
dengan jelas bahwa dia tidak suka gadis itu mencurigai orang-orang
kepercayaannya.
“Zhoumi adalah ilmuwan terhebat di SRO, aku sendiri yang
memberinya fasilitas lab khusus paling lengkap di kediaman
pribadinya sehingga dia tidak harus datang ke kantor. Dan dia
bekerja di bawah pengawasanku langsung, jadi aku bisa memastikan
bahwa dia tidak ada alasan sedikitpun untuk membunuh ayahku.
Sedangkan Tae-Hwa ajjushi adalah adik kandung ayahku. Ayahku
sangat mempercayainya, jadi aku tidak punya alasan untuk melakukan
yang sebaliknya, meskipun dia yang akan mendapat keuntungan jika
ayahku mati. Aku juga mengawasinya selama ini dan dia tidak
melakukan apapun yang mencurigakan. Dan asisten pribadiku adalah
orang yang paling aku percayai. Dengan kata lain, jika aku tidak bisa
mempercayainya, aku juga tidak bisa mempercayai siapapun lagi. Dia
sudah bekerja dengan keluarga Cho bahkan sebelum aku lahir dan dia
sudah aku anggap sebagai ayahku sendiri. Jadi aku mau
memberitahumu bahwa kau tidak punya wewenang apapun untuk
mengusiknya. Aku sendiri yang akan mengawasi gerak-gerikmu, Nona
Han.”
***
“Hyung, berhentilah merecokiku terus seperti ini! Astaga! Kau
mau membuat telingaku tuli, ya?” protes Kibum, merasa risih sendiri
karena Donghae terus-terusan mengikutinya sejak dari apartemen
tadi. Pria itu sudah menunggunya sejak pagi di depan apartemennya
dan mengikuti Kibum ke pemakaman ayah Kyuhyun dan berlanjut
sampai ke gedung SRO hanya gara-gara Kibum berkata bahwa dia
sudah hampir menyelesaikan serum untuk kekasihnya yang sudah
koma selama 5 tahun itu. Astaga, serum itu bahkan masih belum diuji
pemakaiannya.
“Kau bilang serumnya sudah hampir selesai. Aku datang untuk
melihatnya,” ujar Donghae dengan wajah berseri-seri.
“Hyung, serum itu HAMPIR SELESAI, bukan sudah selesai.
Jadi apa gunanya bagimu untuk melihatnya? Aku harus menguji serum
itu dulu sebelum kau mencobanya pada Ga-Eul. Aku takut dengan efek
sampingnya. Dan walaupun serum itu berhasil, tetap saja akan ada
efek samping yang datang dari tubuh Ga-Eul sendiri.”
Raut wajah Donghae bahkan tidak berubah sama sekali saat
Kibum mengatakannya. Yang ada di pikirannya hanyalah bahwa Ga-Eul
akan segera sadar dan dia bisa melihat gadisnya itu lagi seperti biasa.
Tidak peduli apapun konsekuensinya.
Kibum menarik nafas berat dan menggelengkan kepalanya,
tahu bahwa sia-sia saja usahanya untuk memperingatkan Donghae. Dia
menunjuk salah satu kursi di labnya agar Donghae bisa duduk dan dia
bisa menjelaskan apa saja efek samping yang mungkin akan diderita
Ga-Eul, walaupun sepertinya itu tidak ada gunanya.
“Kau tahu apa yang akan terjadi pada manusia jika seluruh
anggota tubuhnya tidak pernah digunakan selama lima tahun? Dia
akan lumpuh, hyung. Ga-Eul berkemungkinan besar tidak bisa berjalan
lagi, walaupun itu bisa disembuhkan. Kau bisa mengajarinya perlahan-
lahan. Anggota tubuh yang lain juga tidak terlalu masalah. Dan juga
sistem pencernaannya. Selama ini tubuhnya hanya memproses cairan
yang ditransfer melalui infus, jadi jika dia sadar, kau harus
memberinya makanan yang ringan-ringan. Bubur dan semacamnya. Dia
akan tampak seperti bayi yang baru lahir lagi.”
“Tidak masalah,” jawab Donghae, seperti yang sudah
diprediksi Kibum sebelumnya.
“Yang paling parah bukan itu, hyung. Kau tahu otak manusi?
Ga-Eul juga tidak menggunakannya sama sekali 5 tahun terakhir. Kau
tahu apa yang akan terjadi? Kemungkinan besar… gadis itu akan
melupakan semua ingatannya sebelum kecelakaan. Semuanya. Dia
tidak akan mengenalimu lagi. Apa kau sanggup menanggung itu
semua?”
Yang kali ini tidak diprediksi Kibum adalah senyum yang tetap
tersungging di bibir Donghae. Pria itu seolah tidak bereaksi sama
sekali terhadap seluruh penjelasan Kibum.
“Kau tahu, Kibum~a?” ujar Donghae dengan suara pelan. “Yang
kubutuhkan hanyalah melihat dia hidup lagi. Aku ingin dia menghirup
oksigen dengan paru-parunya lagi, bukan dibantu alat pernafasan. Aku
ingin melihatnya berbicara lagi, melakukan apa yang aku dan orang
lain lakukan. Menjadi manusia normal. Hanya hal sederhana itu saja.
Kalau dia tidak bisa berjalan, aku akan membantunya. Kalau dia tidak
bisa mengingat, aku yang akan menjadi memorinya. Kalau perlu aku
akan mengenalkan diriku lagi padanya dan memulai semuanya lagi dari
awal. Aku akan menjadi apapun untuknya. Jadi… tidak peduli apa yang
kau katakan, aku sama sekali tidak keberatan akan itu semua. Kau
juga pernah mengalaminya, kan? Jadi aku rasa kau mengerti. Aku dan
dia, sama seperti apa yang kau alami dengan gadismu.”
Kibum mengangguk mengerti. Dia bisa memahami apa yang
Donghae rasakan, walaupun dia tahu bahwa kisahnya sendiri tidak
setragis kisah pria itu. Dia tidak tahu akan jadi apa dirinya jika gadis
yang dia cintai mati-matian tidak mengingat apapun tentangnya.
Reaksi pria itu benar-benar mencengangkan. Mungkin seperti itulah
jika seorang wanita berhasil merasuki hati seorang pria dengan
pesonanya yang membutakan.
Kibum bangkit berdiri, bermaksud mengambil serum itu dan
menunjukkannya pada Donghae, saat dia melihat bahwa salah satu
serum penemuan terbarunya hilang dari raknya. Serum penghilang
ingatan itu. Dia yakin dia tidak pernah ceroboh sedikitpun. Dia selalu
memastikan bahwa semuanya diletakkan pada tempatnya sebelum dia
meninggalkan labnya. Tapi serum itu….
“Tapi ada orang-orang yang berpikir bahwa memang ada suatu
kenangan yang sebaiknya dilupakan, kan? Walaupun manusia tidak
akan pernah benar-benar melupakan sesuatu. Akan selalu ada sisa.
Selalu ada yang tersisa di sudut paling jauh dalam otakmu.”
“Sial!” desis Kibum dan langsung berlari cepat keluar ruangan.
“Yak, Kibum~a, kau mau kemana?” teriak Donghae yang tidak
dipedulikan Kibum sama sekali.
Gadis itu…. Apa yang dipikirkannya?

***
“Menikah? Appa benar-benar mau membunuhku!” seru
Kyuhyun kesal dengan tangan bersedekap di depan dada. Ayahnya
tahu dengan jelas bahwa dia tidak pernah mau menjalin hubungan
dengan gadis manapun, tapi ayahnya malah dengan sengaja memberi
syarat seberat itu kalau Kyuhyun mau menerima semua harta yang
diwariskan padanya. Apa yang dipikirkan pria tua yang disayanginya
itu saat menulis surat warisan ini? batin Kyuhyun heran.
“Ayahmu hanya sangat mengkhawatirkanmu, Kyuhyun~a. Mana
mungkin dia menyetujui keputusan anaknya yang hanya ingin bekerja
dan bekerja tanpa mengurusi kehidupan pribadinya sama sekali. Kau
itu sudah dewasa, sudah saatnya menikah dan mendapatkan
keturunan,” ujar Ha-Na berusaha menenangkan anaknya yang keras
kepala itu. Tentu saja Kyuhyun akan menolak mentah-mentah wasiat
terakhir ayahnya itu, tapi tidak sekarang. Tidak saat gadis itu sudah
kembali dan berada dalam jangkauan Kyuhyun, batin Ha-Na senang.
Hye-Na melirik pria itu dengan gelisah. Auranya saat marah
benar-benar mengerikan dan Hye-Na merasa ingin kabur saat itu
juga. Dia mendapat firasat buruk tentang hal ini. Benar-benar firasat
buruk. Jelas-jelas Kyuhyun sedang mengamuk berat karena
permintaan terakhir ayahnya. Pria itu mendapat 75% kekayaan
ayahnya, yang mencakup semua perusahaan dan properti pribadi yang
membuat Hye-Na ternganga sendiri saat mendengar pengacara
mereka membacakannya. Pria itu benar-benar memiliki separuh dunia.
Itu bukan hanya kiasan, karena kenyataannya pria itu benar-benar
memilikinya. Berikut ratusan anak perusahaan, rumah, pesawat,
yacht, villa, dan entah apalagi yang bernilai trilyunan dollar. Keluarga
ini benar-benar sudah sakit jiwa. Untuk apa menumpuk uang sebanyak
itu? Dan pria yang sudah meninggal itu malah menyuruh anaknya
menikah dalam jangka waktu satu bulan setelah surat wasiat itu
dibacakan kalau dia mau mendapat warisan itu dan mengurus
bisnisnya. Mengingat reputasi Kyuhyun dalam berbisnis, jelas-jelas
pria itu tidak akan terima jika semua perusahaan itu diurus oleh
orang lain tanpa campur tangannya. Satu-satunya jalan memang
mendapatkan seorang gadis untuk dinikahinya dan hal tersebut
membuat pria itu lebih mengamuk lagi.
HP Hye-Na berdering tepat saat Kyuhyun mulai melontarkan
sumpah serapahnya. Gadis itu menarik nafas lega dan meminta izin
pada mereka semua untuk pamit karena ada pekerjaan yang harus
dilakukannya. Secepat mungkin dia kabur dari sana dan berjanji
bahwa apapun yang terjadi, dia tidak akan mau terjebak dalam situasi
seperti itu lagi. Benar-benar menakutkan. Walaupun tidak bisa dia
pungkiri bahwa keluarga itu sangat menyenangkan. Nyaris seperti
suasana rumah yang selama ini sangat dirindukannya.
“Bukankah kau sudah menemukannya?” cetus Ah-Ra saat Hye-
Na sudah menghilang dari pandangan. Dia menatap adik
kesayangannya yang sedang emosi berat itu dengan senyum
tersungging di wajah cantiknya.
“Apa?” tanya Kyuhyun ketus.
“Gadis yang sangat ingin kau nikahi. Bukankah kau sudah
menemukannya? Mengingat kepribadianmu, kau tidak akan
melepaskannya begitu saja kan, adikku sayang?”
***
Gedung STA nyaris kosong saat Hye-Na sampai disana. Tidak
heran, karena Kyuhyun memang meliburkan semua karyawannya
khusus untuk memperingati hari kematian ayahnya. Dan dia juga tidak
heran sama sekali jika kaaryawan SRO masih sibuk seperti biasa.
Para ilmuwan disana sepertinya memang bekerja setiap hari tanpa
henti, tidak peduli hari libur atau bukan. Dan anehnya mereka
melakukannya bukan karena terpaksa. Semua orang disana seperti
tergila-gila dengan cairan kimia yang mereka miliki. Kalau ditanya
definisi kebahagiaan, pasti mereka akan menjawab tentang penemuan
baru yang mencengangkan dunia yang baru saja mereka temukan.
Hye-Na masuk ke dalam ruang pertemuan STA dan
menemukan Siwon dan Leeteuk yang sudah duduk di dalamnya.
Leeteuk tadi meneleponnya dan mengatakan bahwa mereka baru saja
mendapatkan fakta baru tentang pembunuhan berantai itu. 5to5. Itu
kode yang mereka gunakan untuk menyebut pembunuhan-pembunuhan
sadis itu, merajuk pada jumlah korban dan jumlah tempat dimana
pembunuhan itu terjadi.
“Apa yang kalian temukan?” tanya Hye-Na langsung setelah
dia mendudukkan diri di atas kursi.
“Beberapa dari gadis ini memiliki kesamaan. Ada 15 gadis yang
memiliki ciri yang sama dan kami masih menyelidiki 8 gadis lainnya.
Tinggal tunggu waktu saja sampai kita mendapatkan bukti bahwa ciri
itu melekat pada semuanya. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin ini
berguna, tapi kita semakin dekat dengan tujuan pembunuhan ini
dilakukan,” jelas Leeteuk.
Hye-Na mengangguk.
“Mereka semua sempat tinggal lama di Amerika. Untuk korban
yang ada di Ethiopia, Uruguay, dan San Fransisco, aku mendapat
klarifikasi bahwa mereka berdarah campuran. Salah satu orang tua
mereka adalah orang Korea. Dan… orang tua mereka adalah anggota
KIA dan STA, baik yang masih aktif ataupun yang sudah berhenti
karena pensiun dan semacamnya. Aku rasa ini ada hubungannya
dengan balas dendam. Sepertinya masih ada yang menghubungkan
mereka semua. Tapi aku masih belum tahu apa,” keluh Siwon sambil
menyodorkan data-data tersebut kepada Hye-Na.
“Selidiki semua penjahat yang sempat ditangani STA dan KIA
yang ada di Amerika. Aku rasa pembunuh ini bukan dendam terhadap
Amerika, tapi pada organisasi kita yang ada disana. Dia orang Korea
dan mungkin… salah seorang keluarganya pernah menjadi buron KIA
dan STA. Mati dalam pengejaran mungkin. Seseorang bisa menjadi
pembunuh berdarah dingin jika punya alasan dendam.” Hye-Na
memegangi kepalanya. Semua itu mengalir begitu saja dari mulutnya,
seolah dia memiliki firasat yang sangat kuat. Dan dia yakin sebentar
lagi mereka akan mendapat titik terang kasus ini. “Daftar orang-
orang yang terkait dalam sekte atau perkumpulan agama Kristen yang
taat. Hal ini pasti menyangkut agama, mengingat bagaimana mereka
mati dibunuh. Tapi aku masih tidak mengerti kenapa dia harus
mencari korban sejauh itu. Ethiopia? Uruguay? Apa mak….”
Hye-Na tersentak kaget saat dia mendapatkan sesuatu.
Begitu saja. Saat dia menyebutkan nama tempat-tempat itu.
“Ada apa?” tanya Leeteuk cemas saat melihaat wajah pucat
gadis itu.
Hye-Na menarik selembar kertas kosong dan mulai mencoret-
coretkan penanya di atas kertas itu.
“Pembunuhan pertama terjadi di Jeju. Kemudian salah satu
tempat di Ethiopia. Selanjutnya di San Fransisco dan Uruguay,” ujar
Hye-Na sambil menjabarkan satu per satu tempat itu di atas kertas.
Suaranya nyaris bergetar saking semangatnya. “Apa kalian tidak
menyadari sesuatu? JESUS. Huruf awal tempat-tempat pembunuhan
itu terjadi merajuk pada nama Jesus. Ini menjawab semuanya, kenapa
dia harus pergi terlalu jauh untuk mencari korbannya. Dia tidak main-
main. Pria itu merencanakan semuanya dengan sangat baik. Mungkin
dia adalah seorang Kristen yang sangat taat dan berniat
membersihkan agamanya dari para kafir. Dan dia tidak memilih
korbannya sembarangan. Seperti yang kubilang tadi, mungkin salah
satu anggota keluarganya… bukan mungkin lagi, tapi sudah pasti
seseorang yang berhubungan dengan pembunuh ini mati karena diburu
STA atau KIA. Dia tidak terima dan ingin balas dendam. Tapi aku
rasa… masih ada lagi, ciri lain dari para korban. Kita harus
menemukannya secepat mungkin dan kalau bisa, kita harus
menyelamatkan korban selanjutnya dari kemungkinan mati terbunuh
dengan sadis.”
Hye-Na menyilangkan tangannya di depan dada, tidak
memedulikan tatapan kagum dari dua orang di depannya.
“Pembunuhan ini menjadi sangat menarik bukan? Aku tidak
sabar ingin menangkapnya, hidup ataupun mati.”
***
Leeteuk tertawa dalam hati saat teringat ekspresi adik
angkatnya itu waktu dia memperlihatkan senjata terbaru ciptaannya
setelah rapat dadakan mereka tadi. Hye-Na memang memiliki
ketertarikan pada senjata-senjata yang diciptakannya walaupun gadis
itu sangat tolol dalam hal mengingat jenis senjata dan namanya. Dia
bahkan tidak mengerti sedikitpun tentang kaliber peluru. Yang ada di
otak gadis itu sepertinya hanyalah cara bagaimana dia bisa
menghabiskan isi peluru itu dengan menembakkannya pada tubuh
seseorang.
Leeteuk mengerutkan keningnya saat melihat Eun-Kyo
berjalan ke arahnya dari kejauhan. Gadis itu tetap terlihat
mempesona seperti biasa. Hari ini dia memakai blus putih dan celana
jins yang membalut tungkai kakinya yang panjang. Rambut lurusnya
tergerai membingkai wajahnya yang selalu berhasil mempesona siapa
saja yang melihatnya. Termasuk Leeteuk.
Pria itu tahu dengan jelas bahwa gadis di depannya itu sangat
menarik dan seharusnya dia bersyukur bahwa gadis itu dengan
terang-terangan mengaku menyukainya. Tapi Leeteuk hanya
mengaguminya. Itu saja. Bukan jenis ketertarikan yang membuatnya
menginginkan gadis itu menjadi miliknya. Bukan sesuatu yang manis
seperti itu.
Leeteuk tersenyum saat mereka berpapasan, tapi gadis itu
hanya melewatinya begitu saja, bahkan tanpa meliriknya sama sekali.
Apa gadis itu marah karena ucapannya beberapa hari yang lalu sampai
dia memutuskan untuk menganggap Leeteuk tidak ada? Apa dia gadis
seperti itu?
Seharusnya Leeteuk mengabaikan kenyataan itu, mengingat
dialah yang menginginkannya, tapi entah kenapa kakinya malah
bergerak di luar kendali dan tiba-tiba saja dia sudah mencengkeram
tangan Eun-Kyo, membalikkan tubuh gadis itu menghadapnya.
Mata cokelat besar milik gadis itu menatapnya bingung. Gadis
itu mengerjapkan matanya berkali-kali. Raut wajahnya menunjukkan
seolah-olah dia tidak mengenal….
“Nuguseyo?”
Leeteuk membulatkan matanya tak percaya saat mendengar
pertanyaan gadis itu. Siapa dia? Ada apa dengan gadis ini?
“Eun-Kyo~ya, aku tahu bahwa kau marah padaku, tapi bukan
berarti bahwa kau bisa berpura-pura tidak mengenalku seperti ini.
Aku minta maaf atas ucapanku kemarin, jadi aku mohon, hentikanlah
aktingmu.”
Leeteuk menatap gadis itu gelisah karena ekspresi gadis itu
tetap saja kebingungan seperti tadi. Mendadak Leeteuk yakin bahwa
gadis itu benar-benar tidak mengenalinya kecuali jika bakat aktingnya
benar-benar terlalu hebat seperti artis Hollywood. Tapi bagaimana
mungkin? Sepertinya gadis ini tidak mengalami kecelakaan yang bisa
membuatnya amnesia dan walaupun itu terjadi, tidak mungkin gadis ini
bisa ada di kantor sekarang. Atau Eun-Kyo punya kembaran yang
sangat mirip dengannya? Tapi itu juga mustahil.
“Maaf, tapi aku benar-benar tidak mengenalmu. Kau siapa?”
“Eun-Kyo~ya!”
“Hyung!”
Leeteuk berbalik dan mendapati Kibum sudah berdiri di
belakangnya. Dia melepaskan cekalan Leeteuk di tangan Eun-Kyo dan
menarik gadis itu ke sampingnya. Leeteuk sudah mendengar tentang
kedekatan mereka berdua walaupun dia juga tahu bahwa hubungan
mereka hanya sebatas adik kakak.
“Apa yang terjadi?” tanya Leeteuk, merasa bahwa hal ini ada
sangkut pautnya dengan Kibum.
“Aku juga ingin bertanya padanya. Tapi sia-sia saja, dia pasti
juga tidak ingat!” keluh Kibum dengan raut wajah kesal.
“Kibum~a, kau kenal pria ini? Sepertinya dia mengenalku, tapi
aku tidak ingat.”
“Aish, nuna, kau mau membuatku gila, hah? Aku sangat ingin
mencekikmu sekarang! Lebih baik kau ke ruanganku, aku mau bicara
denganmu.”
Eun-Kyo mengangguk, masih dengan tampang bingungnya.
Leeteuk mengikuti gadis itu dengan matanya sampai sosoknya
menghilang di tikungan sebelum dia menatap Kibum lagi, menuntut
penjelasan.
“Dia mencuri penemuan baruku.”
“Penemuan barumu?”
“Serum penghilang ingatan. Serum itu akan menghapus
ingatan yang ingin dilupakan si pasien. Si pasien hanya perlu
mengingat memori yang menyakitkan dan serum itu akan langsung
bekerja menghapusnya.”
“Dan dia menghapusku dari ingatannya begitu? Bagus sekali,”
desis Leeteuk.
“Hyung, aku menghormatimu, tapi kau juga harus tahu bahwa
aku tidak suka dengan sikapmu padanya. Dia sangat menyukaimu dan
tersiksa karena kau selalu mengacuhkannya. Aku sebenarnya tidak
terlalu heran dia mencuri serum itu agar bisa melupakanmu. Lebih
baik mulai sekarang kau bersikap biasa-biasa saja padanya, jangan
beri tanda apapun bahwa dia sempat menyukaimu dan semacamnya.
Dia harus menemukan kebahagiaannya sendiri, hyung.”
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” sergah Leeteuk tajam,
mendadak dikuasai sikap egoisnya. “Bagaimana kalau aku tidak rela dia
melupakanku sedangkan aku tahu dengan jelas bahwa sebelumnya
otaknya itu hanya terisi dengan ingatan tentangku saja?”
***
Heechul mengambil HP yang terletak di dashboard mobilnya
dengan mata yang tetap tertuju ke jalanan. Dia memakai headset
setelah memencet tombol terima di teleponnya. Dia sedang dalam
perjalanan menuju lokasi syuting iklan yang dibintanginya dan nyaris
terlambat karena tadi dia sempat kesulitan menemui Ah-Ra untuk
menyampaikan rasa belasungkawa di tengah jumlah pelayat yang
membludak.
“Yeoboseyo?”
“Kim Heechul ssi? Kami dari ACC, Android Creator Center.
Kami mau memberitahu Anda bahwa pagi ini kami baru saja
menemukan android yang terdata sebagai milik Anda dalam keadaan
mati karena kehabisan energi di daerah Myeongdong. Jika Anda
berniat membeli android baru dan semacamnya, Anda bisa
memberitahu kami dan kami akan mengaturnya untuk Anda.”
“Apa?” tanya Heechul tak percaya dengan pendengarannya.
“Andoridku? Mati? Tapi….”
Mata Heechul berkilat marah saat memahami situasinya.
Tidak mungkin si penelepon ini berbohong. Yang memungkinkan
hanyalah kebohongan yang sebenarnya berasal dari seseorang yang
berada di rumahnya saat ini dan mengaku sebagai androidnya yang
hilang. Gadis itu… bagaimana mungkin Heechul bisa salah mengenali
manusia dengan android? Tapi wajah gadis itu benar-benar terlihat
mirip dengan androidnya yang hilang, tidak heran kalau sampai dia
salah sangka. Dan sekarang… saat dia mengetahui kenyataannya, gadis
itu sudah cari mati karena mencari gara-gara dengannya!
***
Min-Hyo membalutkan handuk ke tubuhnya yang basah
setelah mandi dan menyegarkan dirinya. Dia harus memanfaatkan
waktu sebaik-baiknya sebelum pria mengerikan itu pulang. Dia tadi
bahkan sudah makan dengan tergesa-gesa sekedar untuk
mengenyangkan perutnya yang sudah berteriak minta diisi.
Min-Hyo keluar dari kamar mandi sambil berjinjit dan masuk
ke kamar yang disediakan untuk android yang sebenarnya. Kamar itu
kosong, hanya ada satu lemari baju saja. Android tidak membutuhkan
tempat tidur karena mereka memang tidak tidur, karena itu Min-Hyo
harus meringkuk di balik sofa untuk tidur semalaman.
Gadis itu membuka pintu lemari dan menemukan beberapa
pasang baju. 7 pasang lebih tepatnya. Satu untuk sehari. Dia
mengambil salah satunya dan meletakkannya ke atas kursi. Matanya
tertarik pada foto-foto yang terpasang di dekat cermin meja rias
yang dia tidak tahu apa gunanya diletakkan disana. Memangnya
android perlu berias?
Min-Hyo tertawa kecil saat melihat foto-foto itu. Sepertinya
Kim Heechul tidak seburuk pikirannya. Pria itu terlihat dekat dengan
android miliknya. Foto itu menunjukkan pose-pose lucu mereka
berdua di berbagai tempat. Kebanyakan diambil di rumah, walaupun
ada beberapa yang diambil di taman bermain. Dan pantas saja pria itu
salah mengenalinya, karena android itu memang memiliki wajah yang
sangat mirip dengannya. Astaga, apa wajahnya sebegitu pasarannya
sampai android sekalipun diciptakan mirip dengannya?
Min-Hyo baru beranjak untuk mengambil baju yang tadi
dipilihnya saat pintu kamar menjeblak terbuka dan Heechul muncul
dengan ekspresi wajah yang bisa dikatakan sangat murka. Dia
melangkah masuk dengan langkah-langkah panjang dan mencengkeram
tangan Min-Hyo dengan kasar sampai gadis itu menjerit kesakitan.
“Jadi,” ujarnya dengan nada suara mematikan. “Android
sekarang butuh mandi? Hebat sekali! Kenakan bajumu dan temui aku
di ruang makan. Kita harus bicara! Dan tolong kau ingat baik-baik,
Nona Penipu, kau bisa mati di tanganku kalau kau coba-coba
membohongiku lagi! Kau mengerti?”
***
Min-Yeon menatap pintu apartemen di depannya dengan
sedikit ragu. Kalau pria itu ada di dalam, apa yang harus
dikatakannya? Menjelaskan kenapa semua peralatan modern ini
dibutuhkan? Pasti pria itu akan langsung mendebatnya habis-habisan
dan Min-Yeon bukan jenis orang yang bisa menang dalam adu debat.
Sebenarnya dia sudah memikirkan satu jalan keluar, tapi apa pria itu
mau mengikuti permintaannya?
Mencoba berpikiran positif, Min-Yeon memencet bel
apartemen itu dan menunggu dengan gelisah sampai akhirnya
seseorang membukakan pintu untuknya.
Apa yang dilihatnya di foto hanya menunjukkan setengah dari
apa yang dilihatnya langsung saat ini. Oh, pria itu tampan, memang.
Dan kulit wajahnya seperti bayi, mulus, bersih, dan sedikit
kemerahan. Jauh lebih imut daripada yang dibayangkannya. Secara
keseluruhan, pria ini sangat menarik mata.
“Nuguseyo?” tanya pria itu dengan suaranya yang ramah.
Senyum terukir di wajahnya yang polos.
Astaga, batin Min-Yeon, bagaimana mungkin pria berumur 25
tahun masih terlihat seperti anak berumur 17 yang baru beranjak
dewasa?
“Aku Park Min-Yeon,” jawab Min-Yeon gugup. Tangannya
mencengkeram kartu tanda pengenalnya yang sesaat kemudian
diacungkannya ke arah pria itu. Ekspresi wajah Sungmin yang tadinya
ramah langsung berubah 180 derajat menjadi dingin dan penuh
antisipasi. “MPA. Modern Protector Agent. Bisa ikut aku ke suatu
tempat, Lee Sungmin ssi?”
***
Yu-Na menginjakkan kaki untuk pertama kalinya setelah
bertahun-tahun di tanah Korea. Ada rasa gugup yang menyergapnya
saat dia menghirup udara musim panas di negara ini, apalagi
mengingat tugas yang harus dilakukannya sebentar lagi.
Seseorang mengacungkan karton bertuliskan namanya di
antara para penjemput lain yang berkerumun di pintu keluar. Seorang
pria yang memakai setelan serba hitam. Jelas dari penampilannya
bahwa dia adalah salah satu agen CIA yang ditugaskan untuk
menjemputnya.
Yu-Na merasakan detak jantungnya semakin menggila saat
mereka sudah berada dalam mobil. Dia tidak suka situasi seperti ini
dan tidak akan pernah suka. Selama ini dia hanya bertugas mencari
data-data tentang orang-orang yang berada dalam daftar buruan CIA
dan sejauh ini dia menikmati pekerjaannya. Dia selalu menghindari
tugas langsung di lapangan karena tahu bahaya yang harus
dihadapinya. Dan sekarang… dia benar-benar berada dalam bahaya
besar!
“Saya diperintahkan mengantar Anda langsung ke kediaman
Tuan Zhoumi. Saya diberitahu bahwa Anda sudah mengerti dengan
jelas tugas Anda. Saya akan meninggalkan Anda disana. Jika
memungkinkan, usahakan agar Anda bisa tinggal disana atau Anda
bisa menghubungi saya untuk mengantar Anda menuju hotel
terdekat.”
“Aku mengerti tugasku dengan baik,” sahut Yu-Na.
Dia tahu dengan jelas bahwa Zhoumi adalah ilmuwan
kepercayaan Cho Kyuhyun. Pria itu memberi fasilitas lengkap bagi
Zhoumi agar dia bisa bekerja di rumahnya sendiri sesantai yang dia
inginkan dan Cho Kyuhyun jelas mendapat balasan yang setimpal
mengingat penemuan-penemuan Zhoumi yang selalu berhasil
mengguncangkan dunia. Dan saat ini… yang akan dilakukan Yu-Na
adalah mencuri salah satu penemuan itu. Jika dia tidak berhati-hati,
dia yakin dia tidak akan keluar hidup-hidup dari negara ini.
***
Eunhyuk memasuki gedung tempat pesta pertungangan Ji-Yoo
dan Changmin diadakan setelah melempar kunci Ferrari keluaran
terbarunya ke arah petugas hotel yang bertugas memarkirkan mobil
para tamu. Dia tidak suka datang kesini, tapi di sisi lain dia juga
sangat bersemangat untuk mengetahui sejauh apa dia bisa melakukan
sesuatu untuk membuat pertunangan ini tidak berlangsung lama. Jelas
dia akan merebut gadis itu dari tangan Changmin, tidak peduli itu
akan dilakukan dengan cara baik-baik ataupun cara licik. Aneh
memang, karena dia bahkan baru dua kali bertemu gadis itu, tapi
gadis itu sudah berhasil membuatnya tertarik dengan sebuah
hubungan serius untuk yang pertama kalinya sejak dia mengenal arti
kata wanita. Jadi dia tidak akan main-main. Kalau ibunya memaksanya
menikah, itu berarti pilihan satu-satunya hanya gadis itu. Dan dia
akan memastikan hal itu terlaksana sesuai keinginannya.
Dia mengenal beberapa relasi bisnisnya yang hadir disana dan
menyapa mereka sekedar untuk berbasa-basi, sedangkan matanya
tetap menjelajahi setiap sudut ruangan untuk mencari keberadaan
gadis itu.
“Mencariku?”
Eunhyuk berbalik dengan cepat saat mendengar suara lembut
itu memasuki indera pendengarannya. Dia tidak mau repot-repot
memperbaiki ekspresi terpesonanya saat melihat penampilan gadis itu
malam ini. Gaun merah selutut dengan beberapa aksen pita dan rimpel
membalut ketat tubuh rampingnya, membentuk lekuk-lekuk tubuhnya
di tempat yang tepat. Rambut panjang ikalnya dijalin longgar di
bagian samping kepalanya, memamerkan lehernya yang putih dan
jenjang. Eunhyuk nyaris tidak menemukan kata-kata yang pas untuk
mendeskripsikan betapa cantiknya sosok gadis yang sedang
tersenyum di depannya itu. Tidak saat otaknya nyaris tidak bisa
digunakan untuk berpikir.
“A… a… a… Tuan Lee, apa aku terlalu cantik sampai kau tidak
bisa berkedip begitu?” goda Ji-Yoo sambil terkekeh geli.
Eunhyuk mengedikkan bahunya santai dengan tangan yang
tersembunyi di dalam saku celananya.
“Sayang sekali kau berdandan secantik ini untuk bertunangan
dengan pria itu. Apa dia tidak mewanti-wantimu agar tidak berdandan
terlalu cantik sehingga berkemungkinan besar menarik perhatian
setiap pria yang melihatmu, membuat mereka berpikir bahwa akan
lebih baik kalau kau menjadi milik mereka dan mulai menyusun
rencana untuk merebutmu dari tangan Changmin? Dan harus aku akui,
aku adalah salah satu dari banyak pria itu.”
“Kau benar-benar tanpa basa-basi, ya,” komentar Ji-Yoo
sambil memiringkan kepalanya.
“Mana tunanganmu? Bukankah seharusnya dia mengurus tamu-
tamu yang membludak ini?”
“Dia baru akan berangkat dari rumahnya, tadi mendadak ada
bisnis yang harus diurusnya.”
Eunhyuk mendengus dan menatap gadis itu tidak percaya.
“Bahkan dia tidak menjemputmu sama sekali. Dan apa
bisnisnya lebih penting daripada kau? Bagaimana mungkin kau bisa
memutuskan untuk menikah dengan pria seperti itu?”
“Bukankah salah satu hal yang harus dilakukan dalam menjalin
hubungan itu adalah memahami sifat pasangan masing-masing? Aku
sama sekali tidak keberatan dengan apa yang dilakukannya selama hal
itu masih positif. Memangnya kau bukan pekerja keras seperti dia?
Atau kau hanya bermain-main saja dan membiarkan asistenmu yang
mengurus semuanya?”
“Aku bisa melepaskan banyak hal penting untuk hal yang
paling penting, kalau kau tahu apa maksudku.”
Dan Ji-Yoo mengerti maksud pria itu dengan sangat jelas.
Pria itu akan melepaskan segala hal yang penting dalam hidupnya,
bisnis, perusahaan, harta, demi apa yang dianggapnya paling penting
dan paling dibutuhkannya. Dan Ji-Yoo memiliki firasat bahwa apa yang
dimaksud pria itu adalah dirinya sendiri. Apa dia terlalu besar kepala
dan sudah jatuh pada rayuan maut pria di hadapannya ini?
“Beritahu aku dimana gadis sialan itu atau aku akan memecat
kalian semua!”
Mereka berdua menoleh ke arah pintu masuk saat mendengar
suara teriakan itu menggema di seluruh ruangan yang tadinya cukup
ramai dan ribut. Eunhyuk bisa merasakan tubuh Ji-Yoo menegang di
sampingnya saat mereka akhirnya bisa melihat siapa yang membuat
keributan itu. Ibu Changmin.
“Kau Choi Ji-Yoo?” seru wanita itu dengan wajah murka saat
dia sudah sampai di depan mereka berdua. Raut wajahnya sangat
mengerikan, seolah wajah itu tidak pernah menunjukkan ekspresi
ramah seumur hidupnya. Dan sekarang sepertinya wanita tua itu
berniat mencaci maki Ji-Yoo karena tidak menerima kenyataan bahwa
anak laki-lakinya memutuskan menikahi gadis yang berbeda strata
dengan mereka.
“Dengar kau, gadis miskin! Apa kau pikir aku akan
menyerahkan anak laki-lakiku satu-satunya kepada gadis sepertimu?
Jangan pernah bermimpi hal itu akan terjadi selama aku masih hidup.
Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau hanya memanfaatkan anakku
untuk mendapatkan hartanya? Dia bahkan dengan bodohnya
membelikan apartemen mewah untukmu, membiayai hidupmu selama
berbulan-bulan. Yang ada di otak orang miskin sepertimu hanya uang
dan uang! Anakku tidak akan datang kesini untuk menemuimu! Aku
sangat kecewa dengan pilihannya! Seumur hidup, baru kali ini dia
mengecewakanku dan itu semua gara-gara kau! Sekarang, aku minta
kau pergi dari kehidupannya! Keluar dari apartemen itu dan
kembalikan semua fasilitas yang sudah diberikannya padamu. Aku bisa
memberimu lebih banyak. Kau mau berapa? 100 juta won? Aku akan
memberikannya padamu asalkan kau mau keluar dari kehidupannya!”
Dengan refleks Eunhyuk merangkul bahu Ji-Yoo agar getaran
di tubuh gadis itu mereda. Eunhyuk tidak perlu melihat wajah gadis
itu untuk mengetahui bahwa dia sedang menangis dan tidak bisa
membalas kata-kata kasar yang dilontarkan padanya itu. Dan wanita
tua di hadapannya itu harus bertanggung jawab atas semua yang
sudah dilakukannya malam ini. Dia akan mendapatkan balasan jauh
lebih mengerikan daripada apa yang pernah dibayangkannya. Hal yang
mudah untuk dilakukan jika kau punya sepupu yang memiliki separuh
dunia.
“Nyonya Shim,” ujar Eunhyuk dengan suara pelan namun
mematikan. Wanita itu menoleh ke arahnya dan langsung terperanjat
saat tahu dengan siapa dia berhadapan. Siapapun akan berpikir ulang
seribu kali untuk mencari gara-gara dengan anggota keluarga Cho.
“Kau pernah sekolah? Pernah diajari pendidikan dan sopan
santun? Sikapmu persis seperti gelandangan tidak berpendidikan di
pinggir jalan. Sebelum keluar rumah dan bersosialisasi dengan orang
lain, lebih baik mulutmu disekolahkan terlebih dahulu. Kau itu orang
terkenal, taapi kenapa bisa memiliki perilaku rendahan seperti ini?
Benar-benar memalukan! Tidak heran bahwa sifat anakmu itu sangat
menyebalkan. Aku sudah tahu alasannya sekarang. Karena dia memilki
ibu sepertimu. Dan kau ingat baik-baik, kau tahu gadis ini, kan? Choi
Ji-Yoo. Aku senang sekali kau datang kesini dan menghancurkan
semuanya, jadi aku tidak perlu susah payah merebutnya dari anakmu.
Gadis ini, sebentar lagi akan jadi anggota keluargaku. Ah, istriku
lebih tepatnya. Dan aku tidak terima kau memperlakukan calon istriku
seperti ini. Kau tahu kan apa yang akan kau dapatkan jika bernai
mencari gara-gara dengan keluarga kami? Aku bisa menghancurkan
keluargamu dengan sekali jentik. Jadi kau tunggu saja.”
Eunhyuk menarik tangan Ji-Yoo, membawa gadis itu keluar
ruangan di bawah tatapan syok dari semua orang. Sudah pasti bahwa
semua surat kabar dan acara gosip besok akan menayangkan berita ini
habis-habisan. Tapi setidaknya imejnya akan terlihat keren sekali di
mata publik. Coba bayangkan betapa histerisnya para wanita jika tahu
dia ingin menikahi tunangan musuh bisnisnya. Hahaha, pasti lucu
sekali. Dan dia juga penasaran dengan reaksi Kyuhyun tentang hal ini.
Tapi sepertinya dia tidak perlu terlalu khawatir, sepupunya itu
sedang snagat sibuk dengan gadis masa kecilnya itu sekarang.
Eunhyuk terus menarik gadis itu dan baru berhenti setelah
mereka sampai di lapangan parkir. Dia melepaskan jas yang dipakainya
dan menyampirkannya ke bahu Ji-Yoo, kemudian menyandarkan
tubuhnya ke badan mobil, berdiri santai disana sambil menatap gadis
di depannya yang tidak henti meenunduk dari tadi.
“Aku berdiri di depanmu menurutmu untuk apa? Kau bisa
menangis sekarang, Yoo~ya. Tempat ini cukup sepi. Hmm? Atau
tempatnya kurang keren? Kau mau kemana? Pantai? Atau….” Ucapan
Eunhyuk terhenti karena Ji-Yoo sudah melontarkan tubuhnya ke
pelukan pria itu. Sesaat kemudian isak tangisnya sudah terdengar,
membuat Eunhyuk berusaha keras menahan emosinya untuk tidak
menghambur masuk ke gedung itu lagi dan mencekik leher wanita tua
itu sampai mati. Alih-alih melakukan itu, Eunhyuk malah terkekeh geli
dan melingkarkan tangannya di pinggang Ji-Yoo, mengusap punggung
gadis itu dengan gerakan menenangkan.
“Bodoh, sudah kubilang, kan? Tinggalkan pria itu. Kau tidak
mau mendengarkan kata-kataku.”
Ji-Yoo mengangkat wajahnya dan menatap Eunhyuk dengan
bibir mengerucut. Pipinya tampak menggembung dan hidungnya
memerah, membuatnya terlihat manis sekali seperti boneka. Melihat
itu, tawa Eunhyuk malah meledak keras dan dia terbungkuk-bungkuk
sambil memegangi perutnya.
“Yak!” seru Ji-Yoo tak terima.
“Astaga, wajahmu itu jelek sekali! Ya Tuhan, bagaimana
mungkin aku menyukaimu? Apa seleraku serendah itu?”
“Lee Hyuk-Jae~ya!!!!” Kali ini Ji-Yoo menghantam bahu pria
itu dengan kepalan tangannya.
Eunhyuk berdeham dan menegakkan tubuhnya lagi. Tawanya
mendadak lenyap, digantikan wajah seriusnya yang menatap Ji-Yoo
lekat-lekat.
“Kau sudah baikan? Baik-baik saja, kan? Yoo?”
“Sejak kapan aku memberimu izin memanggilku dengan nama
itu?”
Eunhyuk mengulurkan tangannya dan menyentuhkannya ke pipi
gadis itu, mengusapnya pelan, menghapus sisa-sisa air mata yang
masih membekas disana. Mata gadis itu menatapnya dengan polos dan
entah apa yang ada di pikiran Eunhyuk, pria itu menjulurkan wajahnya
dan menyapu bibir Ji-Yoo sekilas dengan bibirnya. Ciuman
pertamanya, dan dia tidak mau memikirkan apa Changmin sudah
pernah melakukan hal itu pada gadisnya atau belum. Dia sudah
memutuskan sesuatu sejak melihat Ji-Yoo diperlakukan semena-mena
oleh ibu Changmin tadi dan dia akan melaksanakannya dalam waktu
dekat. Secepatnya.
“Kau… Choi Ji-Yoo…” ujarnya dengan suara rendah. “Ayo kita
menikah.”
***
“Hye-Na~ya, aku sudah pulang. Hah, saat aku sampai di rumah
tadi kau sudah berangkat kerja, kita jadi tidak bisa berangkat sama-
sama. Apa yang sedang kau lakukan? Oh iya, aku dengar kau sudah
mendapat kemajuan pesat dengan kasus 5to5. Leeteuk oppa
menceritakannya padaku tadi. Kau benar-benar hebat! Ah, aku
sampaai lupa, bagaimana kemarin lusa? Kau bertemu dengan Kyuhyun
di rumahnya? Bertemu dengan ibunya? Nunanya? Rumahnya pasti
hebat sekali, kan?” cerocos Eun-Ji tanpa henti.
Hye-Na meremas kertas kosong di dekatnya dan
memasukkannya dengan cepat ke dalam mulut gadis itu untuk
menghentikan ocehannya.
“Kembali setelah dua hari menghilang, kau menjadi cerewet
seperti burung perkutut. Paman dan bibi memberimu makan apa
disana?”
“Kasih sayang dan cinta,” jawab Eun-Ji dengan ekspresi yang
membuat perut Hye-Na mendadak terasa mual.
“Astaga, Shin Eun-Ji, pergi kau dari hadapanku sekarang juga!
Benar-benar menjijikkan!”
Pintu ruangan kantor Hye-Na terbuka dan mata gadis itu
langsung membelalak lebar saat melihat siapa tamunya siang ini.
“Wah, Tuan Cho, ada perlu apa kau datang kesini? Mau
merecokiku lagi? Tugasku untuk melindungimu baru dimulai 3 hari
lagi, jadi lebih baik kau tidak muncul dulu di depanku sampai hari itu
tiba.”
Eun-Ji menendang kaki Hye-Na dari bawah meja, merasa
bahwa kata-kata gadis itu tidak sopan untuk dilontarkan pada atasan
mereka, tapi seperti yang sudah diperkirakannya, gadis itu tidak
mengacuhkannya sama sekali.
Kyuhyun merentangkan kedua tangannya di atas meja dan
menjulurkan tubuhnya kea rah Hye-Na. Seperti biasa, pria itu
mencoba mengintimidasinya lagi.
“Apa lagi sekarang?”
Kyuhyun menegakkan tubuhnya tanpa berkata apa-apa dan
berjalan mengitari meja sampai tiba di samping Hye-Na. Dengan
cepat dia menarik tangan gadis itu dan memberi tanda agar Eun-Ji
mengikuti mereka.
“Yak yak, kau mau membawaku kemana, hah?”
Pria itu tidak berkata apa-apa dan tetap melanjutkan
kegiatannya menarik tangan Hye-Na. Gadis itu bisa merasakan
tatapan heran semua pegawai ke arah mereka. Astaga, pasti dia akan
menjadi bahan empuk untuk digosipkan selama satu bulan ke depan.
“Masuk,” perintah Kyuhyun setelah membukakan pintu mobil
Ferrari hitamnya untuk Hye-Na. Jangan mengira itu perlakuan manis
dari seorang pria terhadap wanitanya, karena wajah pria itu jelas
menyiratkan pemaksaan.
Pria itu mengemudikan mobilnya dengan gila-gilaan, 180
kilometer per jam di jalanan yang cukup ramai. Hye-Na dan Eun-Ji
juga sering ngebut di jalanan, tapi jika jalanan itu lengang, bukan saat
jam-jam sibuk seperti ini. Dan pria itu melakukan tukikan-tukikan
mengerikan saat memotong mobil-mobil lain dengan jarak yang sangat
dekat. Hye-Na melirik Eun-Ji yang balas menatapnya dengan
ketakutan. Sepertinya pria itu bermaksud membunuhnya sekarang
atau mungkin nanti setelah sampai di tempat tujuan.
Mobil itu berbelok memasuki sebuah gedung. Saking
kencangnya, Hye-Na bahkan tidak sempat melihat papan nama gedung
yang mereka masuki.
“Turun,” ujar Kyuhyun singkat dan mulai menarik-narik Hye-
Na lagi.
“Awas kalau tulangku sampai patah gara-gara kelakuanmu!
Bisa tidak kau membawaku secara baik-baik, hah?” dumel Hye-Na.
“Tidak, karena jelas-jelas kau tidak akan ikut denganku
secara sukarela.”
Hye-Na mencibir kesal dan menyadari bahwa tatapan para
pegawai di gedung itu sama dengan tatapan yang didapatkannya di
gedung STA tadi.
Hah, ini bahkan lebih parah lagi, batin Hye-Na. Bisa-bisa dia
jadi bahan gosipan se-Korea. Siapa yang tidak kenal dengan Cho
Kyuhyun?
“Kim ajjushi, kau sudah mendapatkan suratnya?” tanya
Kyuhyun kepada seorang pria paruh baya yang sudah menanti mereka.
Sepertinya itulah asisten pribadi Kyuhyun yang dicurigainya selama
ini. Tampang pria itu sama sekali tidak terlihat seperti seorang
penjahat, malah terkesan sangat kebapakan. Tidak heran Kyuhyun
marah saat Hye-Na menjadikan pria itu sebagai salah satu
tersangkanya.
“Ye. Kalian tinggal tanda tangan saja.”
Pria itu menyerahkan selembar kertas kepada Kyuhyun dan
selembar lainnya pada Hye-Na.
“Apa ini?”
“Aku mendaftarkan pernikahan kita. Kau tanda tangan saja,”
ujar Kyuhyun santai sambil mencoretkan tanda tangannya di atas
kertas yang diberikan asistennya tadi.
“Mendaftar… apa? Pernikahan? KITA?” jerit Hye-Na kaget.
Dia tidak peduli bahwa sudah ada beberapa orang yang mendekat
untuk melihat apa yang dilakukan seorang Cho Kyuhyun di tempat
seperti ini.
“Haaah, aku tahu jadinya akan sesulit ini. Eun-Ji, kau tanda
tangan di kolom saksi, aku harus mengurus temanmu ini dulu,” kata
Kyuhyun sambil menyerahkan kertas yang sudah ditandatanganinya
tadi pada Eun-Ji yang menatap mereka berdua seolah mereka adalah
tontonan paling menarik sedunia.
“Shin Eun-Ji, awas kalau kau tanda tangan!” kecam Hye-Na.
“Wah, maaf Hye-Na~ya, aku harus menuruti perintah
atasanku,” seru Eun-Ji riang.
“Ini salah satu perintahku sebagai atasanmu,” ujar Kyuhyun
sambil menundukkan wajahnya ke arah Hye-Na, berbisik di telinga
gadis itu agar orang-orang yang berkerumun tidak bisa mendengar
ucapannya. “Aku akan menjelaskannya dan aku minta kau tidak
berteriak-teriak lagi seperti tadi. Reputasiku dipertaruhkan disini.
Kau mengerti?”
“Memangnya apa peduliku kalau imejmu rusak?” bentak Hye-
Na keras kepala. Tapi melihat tatapan Kyuhyun yang seperti siap
membunuhnya, dia terpaksa mengatupkan mulutnya sambil
mengangkat bahu. “Jelaskan,” ujar Hye-Na akhirnya.
“Kau tahu isi wasiat ayahku jadi aku tidak perlu menjelaskan
padamu kenapa aku tiba-tiba ingin menikah. Dan kenapa aku
memilihmu, itu seharusnya sudah bisa kau tebak. Aku hanya mengenal
dua gadis sejauh ini, nunaku dan kau. Karena aku tidak mungkin
menikahi nunaku sendiri, jadi aku memilihmu. Setidaknya asal usulmu
sudah jelas dan ibuku juga sangat menyukaimu. Lagipula kau
ditugaskan untuk melindungiku, bukankah akan lebih mudah jika kau
menjadi istriku dan tinggal bersamaku? Kau bisa mengawasiku 24 jam
penuh. Menarik, kan?”
“Sama sekali tidak menarik,” desis Hye-Na. “Kau pikir
pernikahan itu main-main, hah?”
“Lebih cepat kau menemukan siapa pelaku pembunuhan
ayahku, maka lebih cepat pula kau bisa kabur dariku. Daan kalau kau
mau tahu, aku sudah menelepon ibumu untuk meminta izin dan sudah
menjelaskan alasan kenapa aku menikahimu. Dan dia terdengar senang
sekali.”
“Mworago? Kau menjelaskan alasan kau menikahiku dan ibuku
menyetujuinya dengan senang hati?”
“Tepat sekali. Dia bahkan menyuruhku untuk memaksamu jika
kau menolak. Kau boleh meneleponnya kalau tidak percaya.”
Kyuhyun tentu saja serius dengan ucapannya. Dia menjelaskan
segala hal pada ibu Hye-Na, persis seperti apa yang sudah
dikatakannya pada gadis itu. Tapi tentu saja dia mengungkapkan
perasaannya secara jujur pada sahabat ibunya itu. Bahwa dia akan
mempertahankan pernikahan mereka selama mungkin, tidak peduli
bagaimanapun perasaan gadis itu terhadapnya. Dan dia meminta ibu
Hye-Na untuk menyembunyikan fakta itu sampai dia sendiri yang
mengatakannya pada Hye-Na, walaupun tidak jelas kapan hal itu akan
terjadi. Dia selalu merasa sulit untuk berbicara baik-baik pada gadis
di hadapannya ini.
Kyuhyun memperhatikan ekspresi wajah Hye-Na yang terlihat
sedikit goyah dengan pendiriannya, sehingga dengan sengaja Kyuhyun
menyodorkan kertas tadi ke depan wajah gadis itu.
“Tanda tangan atau aku akan menarikmu ke depan altar dan
memaksa pendeta menikahkan kita sekarang juga,” ujar Kyuhyun
tajam.
“Aku sudah gila!” cetus Hye-Na sambil merebut kertas itu
dari tangan Kyuhyun dan mencoretkan tanda tangannya disana.
“Menjadi istrimu? Ya Tuha, aku pasti terkena kutukan!”
Kyuhyun mengabaikan omelan Hye-Na dan merengkuh wajah
gadis itu sampai menatapnya.
“Dengar baik-baik, aku memberimu peringatan awal. Kalau
sampai kau jatuh cinta padaku, aku akan pastikan bahwa kau akan
menyandang status sebagai istriku sampai mati. Jadi berhati-hatilah,
Nyonya Cho.”
TBC

Ff Superjunior : 2060 {4 St Round }


“Menarikku ke kantor registrasi pernikahan, menyodoriku surat
pendaftaran pernikahan untuk ditandatangani, dan memaksaku
menjadi istrinya. Bahkan dia menelepon ibuku untuk meminta restu!
Pria itu benar-benar sudah tidak waras! Cih, siapa yang mau jadi
istrinya? Dibayar berapapun juga aku tidak akan mau!” dumel Hye-Na
tanpa henti, menyebabkan Eun-Ji harus menutup telinganya yang
terancam tuli mendengar suara gadis itu.
“Tapi sekarang kau sudah sah menjadi istrinya di mata
negara, jadi tutup mulutmu dan terimalah semuanya dengan senang
hati. Gadis manapun akan melakukan apa saja untuk mendapatkan
posisimu sekarang. Seperti ada ruginya saja menjadi istri pria itu.
Coba beritahu aku dimana letak kerugiannya kecuali kenyataan bahwa
kau pasti akan terjerat dalam pesonanya? Hmm? Han Hye-Na? Ah,
ani, sekarang kau kan sudah menjadi Nyonya Cho. Cho Hye-Na. Nama
itu terdengar lebih baik.”
“Diam kau! Astaga, bagaimana mungkin ibuku menyetujui ini
semua? Membiarkan putrinya terjebak dalam pernikahan penuh
konspirasi seperti ini? Orang tua macam apa dia?”

“Kapan ya Kyuhyun akan menyelenggarakan pesta pernikahan


kalian? Pasti itu akan menjadi pesta pernikahan paling mewah di
seluruh dunia. Benar tidak? Kau akan memakai gaun pengantin yang
cantik, dan suamimu akan terlihat tampan dalam balutan jas hitamnya.
Kalian berdua akan menjadi pasangan paling spektakuler di dunia.
Haaah, coba bayangkan berapa banyak kekayaan yang kau miliki saat
ini, Hye-Na~ya. Kau bisa membeli apapun yang kau inginkan,” seru
Eun-Ji dengan wajah berbinar-binar tanpa mengacuhkan omelan Hye-
Na sama sekali.
“Kau! Aaaargh!!! Kalau aku sedang bernafsu membunuh, kaulah
orang pertama yang akan aku cari! Ya Tuhan, kata pernikahan bahkan
tidak ada dalam kamus hidupku! Dan dia berhasil membuatku
mengalaminya! Aku akan menembak kepalanya kalau sampai dia
mencari gara-gara denganku!”
“Lihat, suamimu datang! Beruntung sekali kau bisa menikah
dengan pria semenawan itu. Membuatku iri saja,” komentar Eun-Ji
sambil mengedikkan dagunya ke arah Kyuhyun dan asistennya yang
baru saja melangkah keluar dari kantor registrasi pernikahan itu.
Hye-Na memang memilih menunggu di mobil karena tangannya sangat
gatal untuk memukul sesuatu jika lebih lama lagi melihat wajah
menyebalkan pria itu.
“Ini buku nikahmu. Awas kalau kau sampai menghilangkannya!”
Hye-Na mendelik mendengar ucapan pria itu. Dia merebut
buku kecil itu dengan kasar dan memasukkannya sembarangan ke
dalam tas.
“Bisakah kau berbicara denganku baik-baik tanpa
mengancamku seperti yang selalu kau lakukan?”
“Tidak ada gunanya bagiku. Setidaknya dampak ancamanku
lebih meyakinkan,” jawab Kyuhyun acuh sambil membuka pintu mobil,
meninggalkan gadis itu berdiri kesal di luar.
“Kau mau pulang atau tidak? Istriku?” Hye-Na membulatkan
matanya mendengar ucapan pria itu, tapi hanya sedetik, karena di
detik itu juga Kyuhyun langsung tertawa keras seraya menghidupkan
mesin mobilnya. Dan di saat yang bersamaan, Hye-Na bisa melihat
jelas Eun-Ji yang melongo dengan mulut ternganga lebar di kursi
belakang. Yeah, melihat Kyuhyun tertawa seperti itu,
mungkin Guinnes Book of Record bermaksud mencetak rekor baru.
***
Kyuhyun melirik gadis yang duduk di sampingnya diam-diam.
Hari ini gadis itu tampak cantik dengan blus putih pas badannya dan
celana warna khaki yang membalut kaki jenjangnya. Penampilan yang
sempurna untuk sebuah pernikahan yang mengejutkan.
Bukan maksudnya menikahi gadis itu dengan cara seperti ini.
Rencana yang sudah disusunnya bertahun-tahun yang lalu adalah
melamar gadis itu secara baik-baik ke keluarganya dan
menyelenggarakan pesta pernikahan sesuai apa yang diinginkannya,
bukannya menarik gadis itu ke kantor registrasi pernikahan dan
mendaftarkan pernikahan mereka begitu saja. Tapi sebenarnya ini
tidak terlalu buruk, mengingat dia memang bermaksud mengikat gadis
itu bersamanya secepat mungkin, karena Kyuhyun tahu akan
membutuhkan waktu lama jika ia harus melakukan tahap-tahap
hubungan normal seperti biasa. Membuat gadis itu jatuh cinta dulu
padanya, yang mungkin akan membutuhkan waktu bertahun-tahun,
baru setelah itu menikahinya. Memikirkan hal itu saja sudah membuat
perut pria itu bergejolak hebat. Bukankah caranya sekarang jauh
lebih cepat dan praktis? Setidaknya gadis itu sudah sah menjadi
miliknya dan dia tidak akan bersaing dengan siapapun untuk
mendapatkan gadis itu, belum lagi kemungkinan besar bahwa gadis itu
akan kabur lagi ke Amerika. Akan menjadi hal yang sangat sulit untuk
menariknya pulang ke Korea. Jadi, menikahinya secara paksa seperti
ini adalah jalan keluar yang terbaik. Menurutnya.
“Hari ini juga kau pindah ke rumahku,” ujar Kyuhyun dengan
mata tetap tertuju ke jalan. Dia bisa merasakan gerakan cepat kepala
gadis itu dan matanya yang langsung mengarah pada Kyuhyun,
menatap pria itu tajam.
“HAH!!!! Sudah cukup aku menandatangani surat laknat itu dan
sekarang kau memintaku tinggal bersamamu? SHIREO!!!!”
“Menurutmu apa kata orang jika aku membiarkan istriku
tinggal terpisah dariku? Aku akan dianggap sebagai suami tidak
bertanggung jawab dan jika orang-orang di kantor registrasi
pernikahan tadi diwawancara, aku yakin mereka pasti dengan senang
hati bercerita bahwa aku sudah menarikmu dengan paksa, berdebat
tentang tanda tangan, dan entah ancaman apa yang aku lakukan, kau
setuju menandatangani kertas itu.”
“Memang itu yang terjadi! Dan dengar, kalau kau mau
seseorang yang mau menuruti apa saja perkataanmu, kau salah orang!
Aku tidak akan tunduk padamu begitu saja! Kau mengerti? Jadi lebih
baik kau ceraikan aku dan cari gadis lain!”
Kyuhyun menepikan mobilnya dengan bunyi berdecit yang
memekakkan telinga, jelas dia dengan sengaja melakukannya,
walaupun mereka memang sudah sampai di depan apartemen Hye-Na
dan Eun-Ji. Hye-Na tidak habis pikir darimana pria itu mengetahui
tempat tinggalnya. Tapi tidak heran juga, sepertinya tidak ada
rahasia yang tidak diketahui pria itu di bumi ini.
“Bereskan barang-barangmu sekarang, nanti aku akan
mengirim mobil barang kesini dan mengangkut semuanya ke rumahku.
Pastikan kau siap berangkat jam 7, nanti aku akan menjemputmu. Eun-
Ji ssi,” panggil Kyuhyun sambil menoleh ke bangku belakang.
“Ne?” seru Eun-Ji, sedikit terkejut karena pria itu
mengajaknya bicara.
“Kau tidak keberatan kan tinggal sendirian di apartemen ini?”
“Ah, ye, gwaenchana. Sama sekali tidak ada masalah. Bahkan
aku senang bisa lepas dari istrimu itu.”
Hye-Na mendelik ke arah Eun-Ji, penasaran dengan label
sahabat yang disandang gadis itu selama ini. Apa sahabat
memperlakukanmu seperti itu? Mengirimmu kepada orang jahat?
“Bantu dia membereskan barang-barangnya, kalau kau tidak
keberatan.”
“Dengan senang hati,” jawab Eun-Ji dengan senyum lebar
sambil membuka pintu mobil. “Sampai jumpa, Kyuhyun ssi.”
Kyuhyun mengangguk singkat dan dengan cepat menahan
tangan Hye-Na yang baru beranjak untuk turun dari mobil. Gadis itu
berbalik ke arahnya dengan wajah malas dan kesal.
“Cerai, mencari gadis lain, atau apapun yang ada di otakmu itu,
tidak akan pernah aku lakukan. Silahkan berharap aku mengajukan
kata cerai, tapi itu tidak akan terjadi. Kau pikir kenapa aku
memilihmu menjadi istriku? Kau tidak mendengarkan apa yang teman-
temanmu katakan? Bukankah mereka bisa menebak dengan tepat apa
yang terjadi saat aku menatapmu? Bukankah nunaku sudah
menyiratkan dengan jelas apa isi otakku? Atau kau terlalu bodoh
sampai aku harus menyatakan semuanya sendiri? Kalau begitu, kapan-
kapan saja. Aku juga tidak terlalu baik hati sampai mau
mempermalukan diriku sendiri di depan gadis yang saat ini sedang
menaruh namaku di daftar paling atas orang yang dibencinya.”
Kyuhyun melepaskan cekalannya, tapi Hye-Na sama sekali
tidak bergerak dari tempat duduknya. Kata-kata pria itu membanjiri
otaknya seperti air bah dan dia, seperti kata pria itu, dengan
bodohnya tidak bisa menguraikan kalimat itu satu per satu sampai
bisa dimengertinya. Sampai ada satu kesimpulan yang bisa diterima
dengan akal sehatnya. Karena dari apa yang dicerna otaknya saat ini,
hanya ada satu pengertian dari kata-kata tadi dan dia merasa tidak
bisa menerima hal tersebut dengan logikanya. Pria itu… menyukainya?
Bukankah… itu adalah hal paling mustahil yang pernah didengarnya?
Hye-Na menggelengkan kepalanya dan membuka pintu mobil.
Berada di dekat pria itu membuatnya gila. Lama-lama seperti ini,
bisa-bisa peringatan yang diberikan pria itu sebelumnya akan terjadi,
dan dia sama sekali tidak menginginkannya. Peringatan bahwa pria itu
tidak akan melepaskannya seumur hidup jika Hye-Na sampai jatuh
cinta padanya.
“Dan Hye-Na~ya,” ucap Kyuhyun menggantung, membuat gadis
itu menoleh lagi padanya. Dia sedikit terpana saat melihat mata pria
itu menatapnya serius, dan kata-kata berikutnya yang keluar dari
mulut pria itu, berhasil membuat kakinya bergetar, tidak bisa
menopang tubuhnya dengan benar seperti biasanya. “Senang akhirnya
bisa menjadikanmu istriku.”
***
“Jelaskan padaku sekarang juga apa yang sedang kau lakukan
disini dengan berpura-pura menjadi androidku! Kalau kau berbohong
lagi, aku akan memasukkanmu ke penjara dan kau tidak akan hidup
tenang seumur hidupmu!”
Min-Hyo berjengit mendengar ucapan tajam yang keluar dari
mulut pria di depannya itu dan dia terus menunduk karena tidak
berani menatap mata yang sepertinya bernafsu untuk menghabisinya
hidup-hidup. Astaga, dia heran dengan dirinya sendiri, sudah jelas-
jelas dia tahu bagaimana reputasi pria itu di mata publik, artis
berbakat dengan kepribadian abnormal yang melakukan segala hal
sesuai dengan keinginannya, jadi bagaimana mungkin dia berani
mengambil resiko berurusan dengan pria itu? Dia seharusnya langsung
kabur kemarin! Dasar Min-Hyo bodoh, rutuknya dalam hati.
“A… aku kabur dari rumah,” jawab Min-Hyo takut-takut.
“LALU KAU PIKIR RUMAHKU INI TEMPAT
PENAMPUNGAN, HAH?”
Dengan refleks Min-Hyo mundur dengan wajah ngeri
mendengar teriakan pria itu.
“A… ani… Hee… Heechul ssi. Kau kemarin menarikku ikut
denganmu karena mengira aku ini androidmu,” ujar Min-Hyo. Sekarang
suaranya sudah sedikit mantap karena dia berpikir bahwa Heechul
tidak akan memotongnya lagi. “Jadi… dalam situasi seperti itu, yang
aku pikirkan hanyalah cara agar aku bisa lolos dari pencarian orang
tuaku, makanya aku… ikut denganmu.”
“Cih, lalu setelah semua yang terjadi kau masih berpikir aku
ini pria baik hati yang akan menampungmu di rumahku begitu? Kau
tidak berpikir kemungkinan mereka akan menemukanmu disini lalu aku
dituduh melarikan anak gadis orang dan orang tuamu menuntutku lalu
seluruh karir yang sudah kubangun susah payah selama ini hancur
lebur begitu saja?” seru Heechul dalam satu tarikan nafas.
“A… aku… tidak berpikir sejauh itu.”
“Karena otakmu itu bodoh! Astaga, bagaimana mungkin aku
bisa berurusan dengan orang sepertimu?” teriak Heechul frustasi.
“Sekarang keluar kau dari rumahku!”
“Heechul ssi, jebal, aku… aku bisa menjadi pembantumu, kau
tidak perlu membeli android lagi.”
“Kau pikir aku orang miskin sampai tidak punya cukup uang
untuk membeli android baru?” potong Heechul.
“Ani. Maksudku bukan seperti itu. Tapi aku mohon padamu,
aku tidak akan merepotkanmu sama sekali. Aku akan mengerjakan
semua pekerjaan rumah tangga dan kau tidak perlu menggajiku sama
sekali. Kau hanya perlu memberiku tempat tinggal dan makan. Itu
saja. Aku janji tidak akan mengganggumu dan semacamnya.”
Heechul tampak berpikir sesaat sebelum memandang Min-Hyo
lagi dengan tatapan menakutkannya.
“Lalu kalau kau ketahuan?”
“Aku tidak akan keluar rumah, jadi resiko ketahuan akan
semakin kecil. Aku hanya akan keluar untuk membeli keperluan rumah
tangga. Itupun akan kulakukan malam hari. Kalaupun ketahuan, aku
janji tidak akan membawamu dalam masalah ini.”
“Kenapa kau kabur dari rumah?”
Min-Hyo tampak sedikit ragu sebelum menjawab.
“Selama ini orang tuaku selalu mengekangku, dan sekarang
mereka bermaksud menikahkanku dengan relasi bisnis mereka. Aku
tidak mau, makanya aku kabur dari rumah. Dan tidak berniat untuk
kembali kesana lagi.”
“Lalu kau berpikir ingin tinggal disini seumur hidupmu begitu?”
Min-Hyo mengerjap, lagi-lagi dia tidak berpikir sampai sejauh
itu.
“A… aku tidak tahu.”
“Sudahlah, nanti saja dipikirkan. Sekarang kau bersihkan
rumah ini. Debunya banyak sekali.”
“Jadi kau meperbolehkanku tinggal disini? Aigoo,
gamsahamnida, Heechul ssi!” Tanpa sadar Min-Hyo menghambur ke
arah Heechul yang langsung mundur dan menyentuhkan jari
telunjuknya di dahi gadis itu, memberi jarak di antara mereka,
sekaligus mencegah gadis itu untuk maju.
“Peraturan pertama, jangan sembarangan mendekatiku jika
tidak ada hal yang terlalu penting. Aku tidak suka dekat-dekat
dengan wanita.”
“Kau gay?” tanya Min-Hyo polos, dan ekspresi Heechul detik
berikutnya membuatnya langsung memutuskan untuk tidak
menanyakan hal itu lagi jika dia masih mau hidup damai di atas bumi.
Apalagi kata-kata Heechul setelah itu cukup untuk menegaskan
semuanya.
“Sekali lagi kau menanyakannya, mati kau!”

Min-Hyo bergidik ngeri saat kejadian dua hari yang lalu


mampir lagi di ingatannya. Pria itu benar-benar mengerikan dan
membuatnya takut. 48 jam terakhir dia memang tidak berteriak-
teriak pada Min-Hyo lagi dan sepertinya merasa cukup puas dengan
pekerjaan gadis itu, tapi tetap saja auranya membuat Min-Hyo tidak
nyaman. Ada sesuatu yang disembunyikan rapat-rapat oleh pria itu,
karena itu dia seolah menarik diri dari lingkungannya, terutama dari
para wanita. Sepertinya dia punya trauma atau semacamnya yang
berhubungan dengan wanita. Tapi Min-Hyo sama sekali tidak berniat
untuk menanyakannya, dia tidak mau mengambil resiko yang
mengancam keselamatan jantungnya lagi. Dia masih ingin hidup lama
dan tidak mau mati hanya gara-gara ketakutan terhadap pria itu.
“Heechul ssi,” panggil Min-Hyo hati-hati.
“Mwo?” tanya Heechul tanpa mengalihkan pandangan dari
acara TV yang sedang ditontonnya.
“Malam ini aku harus membeli keperluan rumah tangga.
Persediaan sudah mulai habis. Kalau kau tidak keberatan, aku ingin
meminta uangnya dan pergi ke minimarket.”
“Aku akan menemanimu,” ujar Heechul tiba-tiba sambil
bangkit berdiri dan mengambil jaketnya dari gantungan mantel di
sudut ruangan.
“Apa lagi yang kau tunggu? Ayo cepat berangkat!” serunya tak
sabar saat melihat Min-Hyo masih berdiri melongo di tempatnya tadi.
“Kau mau menemaniku?”
“Ne. Ini pasti pertama kalinya kau belanja, kan? Dan aku
takut saking bodohnya kau malah membeli yang tidak-tidak dan
menghabiskan uangku.”
“Aku tidak sebodoh itu!” teriak Min-Hyo kesal sambil berjalan
mendahului Heechul keluar rumah setelah memakai sepatunya.
Langkahnya melambat saat merasakan tangan Heechul menyentuh
puncak kepalanya. Hanya sebentar, tapi….
“Aku hanya bercanda. Kau ini tidak punya selera humor, ya?
Aku sedang bosan di rumah, makanya aku ikut. Aku jadi merindukan
androidku. Dia selalu menemaniku bicara, tidak sepertimu. Hidup
bersamamu benar-benar membosankan!”
“Kau bilang aku tidak boleh dekat-dekat denganmu!”
“Tapi aku kan tidak melarangmu berbicara. Mulutku ini jenis
yang tidak bisa berhenti bicara dan kau malah tidak bisa menjadi
objek pelampiasanku!”
“Benarkah? Baiklah, mulai hari ini aku akan selalu mengajakmu
bicara. Kau bisa menceritakan apapun padaku!” seru Min-Hyo sambil
tersenyum senang. Tanpa sadar Heechul mengulurkan tangannya lagi
untuk mengacak-acak rambut gadis itu. Hal yang sering dia lakukan
dengan androidnya dulu, tapi tidak pernah berani dilakukannya pada
gadis manapun, termasuk pada sahabatnya Ah-Ra sekalipun. Dan… dia
menyadari sesuatu. Bahwa, untuk pertama kalinya, dia tidak
berkeringat dingin di dekat gadis asing yang tidak dikenalnya. Dia
bisa menyentuh gadis di sampingnya ini tanpa rasa takut yang
menjalar seperti virus di tubuhnya.
“Yak, kau tidak lihat lampunya sudah hijau? Kau mau mati
tertabrak, hah?” teriak Heechul sambil menarik tangan Min-Hyo yang
bermaksud menyeberang. Gadis itu limbung karena gerakan Heechul
yang begitu tiba-tiba, sehingga pria itu harus merangkulnya untuk
menyeimbangkan tubuh gadis itu lagi.
Min-Hyo mengerjap-ngerjapkan matanya untuk
mengembalikan kesadarannya yang sesaat hilang, tapi tidak berhasil
karena genggaman pria itu di tangannya. Pikiran yang sempat terlintas
di otaknya saat pria itu pertama kali menyentuh kepalanya tadi
merasuki benaknya lagi.
Tangan itu hangat. Dan entah kenapa terasa sangat nyaman.
***
Ji-Yoo menghentikan kegiatannya mengepak baju saat
mendengar bel apartemennya berbunyi. Dia beranjak ke pintu depan
dan melihat tamunya dari layar intercom yang terletak di dinding
lorong. Pria itu lagi.
Entah kenapa dia tertawa kecil sebelum membukakan pintu.
Tawa yang seharusnya tidak keluar di situasi genting seperti ini. Dia
tidak habis pikir betapa teganya Changmin melakukan semua ini
padanya. Tapi mengingat sifat pria itu, hal ini sama sekali tidak
mengherankan.
“Hai,” sapa Eunhyuk saat mereka sudah berhadapan. Dengan
refleks pria itu menyentuhkan telapak tangannya ke wajah Ji-Yoo dan
mengusapnya pelan. “Tidurmu semalam nyenyak? Seharian ini ada
banyak pekerjaan dan rapat yang tidak bisa kutinggalkan, jadi aku
tidak bisa menemuimu lebih cepat.”
“Memangnya siapa yang menunggu kedatanganmu?” ejek Ji-
Yoo sambil menjauhkan tubuhnya dari jangkauan Eunhyuk. Dia tidak
bisa terlalu lama berada dalam sentuhan pria itu, karena hal itu
membuat otaknya tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya.
“Kau sudah selesai mengepak barangmu?” tanya Eunhyuk
mengabaikan ejekan gadis itu.
“Sedikit lagi. Kau mau membawaku kemana? Maksudku, hei,
aku tidak enak jika harus menjadi parasit dari satu pria ke pria
lainnya. Aku tidak tahu bagaimana ibumu, tapi kuberitahu kau, aku
tidak sanggup lagi mengalami konfrontasi seperti semalam.”
“Ibuku akan menerima siapapun gadis yang kusodorkan
padanya, mengingat anaknya ini tidak pernah mau serius menjalin
hubungan dengan gadis manapun. Apalagi kalau kuberitahu bahwa kau
adalah calon istriku, dia pasti akan membeku di tempat saking
syoknya,” ujar Eunhyuk santai sambil menjatuhkan dirinya ke atas
sofa, mencari posisi yang nyaman.
“Siapa yang mau jadi calon istrimu, hah? Aku bukan gadis
murahan yang akan menjatuhkan diri ke pelukan pria lain setelah
dicampakkan tunangannya sendiri.”
“Aku tidak keberatan dengan imej seperti itu. Tapi tentu saja
tidak, kau sama sekali bukan gadis seperti itu. Kalau kau mau, kita
bisa memulai semuanya pelan-pelan. Saling mengenalkan diri,
mempelajari pribadi masing-masing, lalu mencari ketertarikan satu
sama lain sebelum memutuskan untuk menikah. Astaga, aku tidak
percaya bisa mengatakan hal-hal mustahil seperti ini pada seorang
wanita!” sergah Eunhyuk, merasa kebingungan dengan ucapan yang
keluar dari mulutnya sendiri.
Ji-Yoo terkekeh geli dan mencibir.
“Kalau kau tidak serius, jangan main-main denganku.”
“Aku tidak pernah seserius ini, kalau kau mau tahu,” ucap
Eunhyuk sambil menatap Ji-Yoo tepat di manik matanya. Suara pria
itu berubah menjadi lebih berat, menunjukkan bahwa dia tidak
bercanda dengan ucapannya.
“A… aku ke kamar dulu untuk bersiap-siap,” jawab Ji-Yoo,
mendadak menjadi salah tingkah di bawah hujaman tatapan pria itu.
Dengan cepat dia berlari masuk ke kamar dan mengunci pintunya,
berusaha menenangkan dirinya sendiri. Rasa ketertarikannya
terhadap pria itu berkembang terlalu pesat dan itu tidak bisa
dibiarkan.
***
Eunhyuk menatap pintu kamar Ji-Yoo yang tertutup dengan
senyum simpul di wajahnya. Apa dia sudah melakukan segalanya
dengan benar? Yang bisa dipastikannya saat ini hanyalah fakta bahwa
gadis itu sudah mulai tertarik dengannya dan hal itu tidak akan lama
lagi akan berubah menjadi perasaan yang lebih serius dan Eunhyuk
yakin bahwa jika itu sudah terjadi, dia sudah siap dengan sesuatu
yang selama ini dijauhinya. Sebuah pernikahan.
Eunhyuk mengeluarkan communicator-nya yang berdering dari
dalam saku celananya. Nama Kyuhyun terpajang di layar. Sudah dua
hari mereka tidak bertemu, sepertinya hal itu terjadi karena mereka
disibukkan oleh gadis masing-masing.
“Hai sepupu, kau merindukanku, hah?” sapa Eunhyuk riang. Dia
melihat wajah Kyuhyun yang terpampang di layar. Sepertinya pria itu
sedang berada di kantornya seperti biasa, tapi yang membuat
Eunhyuk sedikit melongo adalah senyum yang tersungging di wajah
yang biasanya dingin dan tanpa ekspresi itu. Bahkan saat pria itu
menang tender pun dia tidak pernah tersenyum. Jadi Eunhyuk cukup
penasaran dengan apa yang sudah dilewatkannya selama beberapa
hari ini.
“Kau membuatku takut,” ujar Eunhyuk saat senyum Kyuhyun
berubah menjadi tawa kecil. Hanya sebentar, tapi Eunhyuk benar-
benar ngeri melihatnya. Apa Kyuhyun baru saja melakukan sesuatu
dengan Hye-Na? Karena sepertinya tidak ada alasan lain yang bisa
membuat sepupunya terlihat setengah gila seperti ini kecuali gadis
itu.
“Aku menikahinya,” tandas Kyuhyun singkat, tapi cukup untuk
membuat Eunhyuk terlonjak dari duduknya dan nyaris
menjatuhkan communicator itu ke lantai.
“Mwo? Mworago? Yak, aku sedang tidak ingin bercanda! Yang
benar saja! Bagaimana mungkin kau menikahinya? Kau memaksanya?
Ya, kan? Tapi bagaimana bisa? Dia bukan jenis gadis yang bisa
menyerah semudah itu, mengingat dia tidak terlalu menyukaimu!” seru
Eunhyuk tanpa sempat mengambil nafas.
“Memang itu yang kulakukan. Kau kan tahu kalau cara baik-
baik tidak akan bekerja efektif pada gadis itu.”
“Jadi, ceritakan padaku, bagaimana caranya. Ancaman apa
yang kau pakai?”
“Kau sedang dimana? Sekarang kan masih jam kantor.”
“Aku ini direkturnya, jadi sesukaku mau melakukan apa. Aku
sedang di apartemen Ji-Yoo.”
“Kau tidak bermaksud membuat gadis itu hamil agar bisa
menikahinya, kan?”
“Kau pikir aku ini pria macam apa, hah? Tapi usul itu patut
dicoba kalau dia tetap bersikeras tidak mau menikah denganku. Jadi
Cho Kyuhyun, hentikan semua pertanyaan bodohmu itu dan jawab
pertanyaanku!” teriak Eunhyuk tidak sabar.
Seorang Cho Kyuhyun menikah bisa didaftarkan menjadi salah
satu keajaiban dunia paling spektakuler karena dia tidak pernah
terlihat bergaul dengan gadis manapun dan memang tidak tertarik
untuk melakukannya. Dan Kyuhyun juga bukan jenis pria yang mau
mengikat dirinya dalam lembaga pernikahan, apalagi dalam usia yang
begitu muda dan dengan karir yang amat sangat cemerlang. Tapi jika
mengingat siapa gadis yang dinikahinya, Eunhyuk merasa tidak perlu
bertanya-tanya lagi tentang keputusan sepupunya itu.
“Aku membaca koran pagi ini dan kau muncul sebagai headline
berita. SALAH SATU PENERUS KELUARGA CHO MELAKUKAN
KONFRONTASI DENGAN IBU RIVAL BISNISNYA DEMI
MEMBELA SEORANG GADIS YANG DIA AKUI AKAN MENJADI
ISTRINYA. Judul berita yang bagus sekali, kan? Dan
menggemparkan seluruh Korea. Ibumu tadi bertanya padaku karena
kau terus menerus menolak teleponnya, sedangkan aku tidak tahu
apa-apa.”
“Aku akan bicara dengannya nanti. Jadi bisakah kau berhenti
sekarang juga dan menjelaskan semuanya padaku?”
“Baiklah, baiklah. Kau ini benar-benar tidak sabaran,
hyung!” sergah Kyuhyun. “Apa lagi yang membuatmu penasaran?
Ayahku menyuruhku menikah jika aku ingin mendapatkan warisan, jadi
ya aku menikah. Karena kebetulan gadis itu berada di depanku, jadi
dialah yang aku nikahi. Menurutmu gadis mana lagi yang akan
membuatku berubah pikiran tentang sebuah pernikahan kalau bukan
dia?”
“Yang membuatku penasaran adalah caramu menikahinya,
bodoh!”
“Aku ini lebih pintar darimu, Lee Hyuk-Jae! Aku hanya
menariknya dengan paksa ke kantor registrasi pernikahan dan
menyuruhnya menandatangani surat untuk mendaftarkan pernikahan
kami ke catatan sipil. Dia menyerah karena aku dengan pintar
menelepon ibunya dulu untuk meminta restu dan menjelaskan
rencanaku. Mengingat ibunya adalah satu-satunya keluarga gadis itu
yang tertinggal, jadi aku tahu kalau dia akan menuruti semua perintah
ibunya. Lagipula aku memberitahunya bahwa dia akan lebih mudah
mengawasiku jika kami tinggal di bawah satu atap.”
“Kau benar-benar licik, sepupu! Otakmu berjalan dengan
sangat baik,” ujar Eunhyuk sambil menggelengkan kepalanya tidak
percaya. “Besok kaulah yang akan menjadi headline berita dan bukan
hanya Korea, kau akan menggemparkan dunia, kau tahu? Kapan kau
akan menyelenggarakan pesta pernikahanmu?”
“Tiga hari lagi. Aku sudah mulai menyiapkannya sehari setelah
pembacaan surat wasiat.”
“Cih, pantas saja kau suka menghilang dari kantor akhir-akhir
ini. Aku tidak bisa membayangkan wajah marah gadis itu saat kau
memaksanya untuk tanda tangan,” kekeh Eunhyuk.
“Dia hanya berulang kali mengatakan bahwa dia sudah gila mau
menandatangani surat itu. Tapi kau tahu, hyung? Aku sedikit takut
jika harus berdekatan dengannya setiap hari. Bisa menjadi masalah
besar. Akan sangat sulit untuk mengontrol diri,” ujar Kyuhyun dengan
raut wajah serius.
“Kenapa kau tidak mengaku saja bahwa kau mencintainya?”
“Dan membuatku menjadi bahan olokannya setiap hari? Tidak.
Terima kasih.”
“Gengsimu itu harus sedikit diturunkan. Tapi terserahmu
saja, sepertinya cepat atau lambat kau juga akan membuatnya
menyerah dan jatuh cinta padamu, kan?”
“Benar. Memastikan bahwa selamanya dia tidak akan beranjak
sedikitpun dari sisiku.”
***
“Eomma, apa yang sudah kau lakukan pada Ji-Yoo?” teriak
Changmin, menyerbu masuk kee ruang keluarga, dimana ibunya sedang
bersantai menikmati makanan ringan yang disediakan para android
untuknya. Wanita itu mengunci Changmin di kamar sejak kemarin
malam, dan baru memberikan perintah untuk membebaskan anaknya
itu siang ini.
Tindakan ibunya itu berada di luar perkiraan Changmin. Dia
hanya bermaksud mengumumkan pembatalan pesta pertunangannya
dengan Ji-Yoo semalam, dengan alasan bahwa ada wanita lain yang
lebih pantas untuk menjadi calon istrinya, jadi Ji-Yoo bisa berpura-
pura patah hati dan menjatuhkan pilihannya pada Eunhyuk, sehingga
gadis itu bisa menelusup mausk tanpa dicurigai untuk mencuri data-
data pria itu. Tapi Changmin sama sekali tidak memperhitungkan
keberadaan ibunya. Entah bagaimana pesta pertunangan itu bisa
bocor ke telinga ibunya yang langsung membuat kekacauan disana tadi
malam, padahal Changmin sudah memastikan bahwa semua orang
tutup mulut dan tidak memberitahu ibunya. Dia tidak bisa
membayangkan bagaimana perasaan Ji-Yoo setelah dicaci maki oleh
wanita itu semalam, yang dia ketahui hanyalah bahwa gadis itu pasti
sangat membencinya sekarang. Sia-sia saja usahanya dengan
menyembunyikan gadis itu selama ini. Dia melakukannya bukan karena
dia tidak mencintai gadis itu. Malah sebaliknya. Karena gadis itu
sangat berarti, dia tidak mau ibunya menyentuh urusan pribadinya
dan menyakiti gadis yang sangat dicintainya. Dia bahkan tidak
memedulikan kecurigaan-kecurigaan Ji-Yoo terhadapnya. Dia tahu
gadis itu pasti berpikir bahwa Changmin hanya memanfaatkannya dan
menyembunyikan hubungan mereka dari publik karena Changmin malu
memiliki tunangan seorang gadis biasa yang berbeda derajat
dengannya. Changmin tidak memedulikan itu semua hanya agar gadis
itu aman. Tapi semuanya sia-sia gara-gara kejadian semalam.
Apa Changmin sudah melakukan suatu kesalahan besar dengan
melibatkan gadisnya dalam urusan bisinisnya yang sangat berbahaya?
Tentu saja dia tahu bahwa mencari gara-gara dengan Cho Corp adalah
bunuh diri, tapi tidak ada pilihan lain karena situasi perusahaannya
sudah sangat terdesak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Cho Corp
mengambil alih nyaris semua bisnis di Korea, menyebabkan begitu
banyak perusahaan lain yang jatuh bangkrut dan mencari lahan bisnis
lain, walaupun Changmin tahu beberapa dari para pengusaha terkenal
itu memilih bekerja sama dengan Cho Corp dan tetap hidup
bergelimangan harta. Gengsi keluarganya melarangnya melakukan hal
yang sama, jadi pilihan yang tersisa hanyalah bersaing habis-habisan
dengan perusahaan itu untuk memasarkan produk baru yang sudah
dinanti dunia. Beberapa tekhnisi yang bekerja di perusahaan
Changmin sudah berusaha keras untuk menyelesaikan produk flying
car mereka, tapi ada beberapa kekurangan yang menyebabkan mobil
ciptaan mereka tidak sempurna. Dan sebaliknya, Cho Corp mala bisa
melakukannya dan Changmin tidak bisa membiarkan perusahaan
mereka kalah lagi kali ini.
Dia sudah memikirkan apa yang akan terjadi jika dia
melibatkan Ji-Yoo. Kemungkinannya kalah dan menang 50:50. Tapi
akhir-akhir ini, ketakutan lain mendera pria itu. Tidak bisa dipungkiri
Lee Hyuk-Jae adalah saingannya dalam segala hal dan pria itu
memiliki popularitas yang sangat baik di kalangan para wanita.
Tampan, menarik, dan tahu cara menggoda wanita dengan sangat baik.
Bagaimana kalau Ji-Yoo malah jatuh dalam pesona pria itu dan
meninggalkannya?
“Eomma!”
“Gadis itu tidak pantas untukmu. Carilah gadis lain yang
setara dengan kita. Banyak gadis cantik di luar sana. Jangan jadi pria
bodoh, Shim Changmin!”
Changmin mengepalkan tangannya kuat-kuat. Tidak ada pilihan
lain. Dia harus membebaskan Ji-Yoo secepatnya dari Eunhyuk. Dia
tidak akan ambil resiko lagi dengan membiarkan gadisnya lebih lama
lagi bersama pria itu. Tidak akan, walaupun dia harus mengorbankan
semuanya sekalipun, termasuk membuat perusahaan keluarganya
bangkrut.
***
“Mau membawaku kemana? Mau menangkapku dan
menjebloskanku ke penjara? Kenapa tidak langsung menunjukkan
surat penangkapan saja? Aku bisa ikut dengan baik-baik, tidak perlu
sampai menculikku begini.”
Min-Yeon menoleh ke arah pria yang duduk di bangku
penumpang di sampingnya, mulai kesal karena pria itu terus berpikir
yang tidak-tidak tentangnya.
“Sungmin ssi, aku harus melakukan apa lagi agar kau percaya
bahwa aku tidak akan menangkapmu. Lagipula untuk apa? Apa kau
merasa sudah melakukan demo akhir-akhir ini? Atau melakukan
kejahatan? Aku hanya mau membawamu ke suatu tempat. Aku ingin
memperlihatkan padamu apa yang kau maksud dengan menghilangnya
persawahan dan perkebunan di negara kita. Aku akan memperlihatkan
bahwa apa yang sudah dilakukan Cho Corp untuk negara kita tidak
membuat negara kita melupakan penghijauan dan semacamnya.
Mereka sudah memikirkan segalanya sebelum membuat ini semua.
Jadi aku akan menunjukkannya padamu agar kau bisa mengubah pola
pikirmu dan tahu bahwa perkembangan teknologi saat ini benar-benar
sangat bermanfaat untuk perkembangan negara kita.”
“Terserahmu saja, Nona. Memangnya sehebat apa mereka
sampai kalian begitu mengagung-agungkan mereka seperti itu?”
Min-Yeon memfokuskan pandangan ke arah jalanan panjang
berkelok-kelok di depannya. Pemandangan di sekeliling mereka benar-
benar menakjubkan, bukit-bukit yang tampak hijau dan udara
pegunungan yang segar. Dia selalu menginginkan tinggal di tempat
seperti ini, suasana hening yang menenangkan.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku,” ujar Sungmin menyela
lamunannya.
“Cho Kyuhyun. Kau tidak akan bisa membayangkan apa yang
ada di otak pria itu. Semua hal jenius yang tidak pernah dipikirkan
orang lain. Kau akan lihat sebentar lagi. Bersabarlah.”
***
Eun-Kyo memandang angsa-angsa putih yang berenang di
permukaan danau di depannya. Ada beberapa helai daun kecokelatan
yang mengapung di atas danau itu, suasana yang nyaris sulit kau
temukan di zaman modern seperti sekarang. Eun-Kyo tidak tahu
bagaimana bisa Cho Corp menemukan tempat menakjubkan seperti ini
dan menjadikannya sebagai lokasi pusat KNI. Ini bahkan bukan di
pinggiran kota.
Gadis itu sedang duduk di atas kursi besi panjang yang
diletakkan di bawah naungan pohon yang langsung menghadap ke
danau, berniat menyegarkan pikirannya sebelum kembali ke dalam
kerumitan kasus-kasus sulit yang ditangani STA. Dia merasa
beberapa hari terakhir otaknya tidak berjalan dengan normal. Ada
sesuatu yang dilupakannya dan sepertinya itu adalah hal yang amat
sangat penting. Tapi apa? Kenapa Kibum terus mengelak saat dia
bertanya?
“Kau sendirian?”
Sebuah suara berat tiba-tiba menghampiri indera
pendengarannya, membuat gadis itu menoleh dan mendapati seorang
pria yang berwajah sangat tampan sudah duduk di sampingnya. Dia
melihat pria itu beberapa kali di gedung yang sama dengannya, yang
berarti bahwa pria itu juga agen STA, tapi mereka tidak pernah
berpapasan apalagi bertegur sapa, karena itu Eun-Kyo tidak yakin
apakah dia mengenal pria itu atau tidak. Hanya saja, terkadang,
diperparah dengan saat ini, dia merasa bahwa kehadiran pria itu
begitu familiar, seolah Eun-Kyo sudah terbiasa dengannya. Wajah itu
seperti menghantuinya. Senyum manis pria itu, lesung pipinya, Eun-
Kyo bahkan ingat bahwa kemarin lusa dia sempat memperhatikan pria
itu dari balik pintu kaca ruangannya hanya karena dia terpaku dengan
senyuman itu.
Eun-Kyo menjerit frustasi dalam hatinya. Kenapa sekarang
dia merasa seperti sedang amnesia padahal dia yakin bahwa dia
mengingat semuanya dengan baik dan tidak melupakan apa-apa? Siapa
pria di sampingnya ini?
“Tidak baik melamun di tempat sepi seperti ini. Lagipula
istirahat makan siang sudah selesai, apa yang sedang kau lakukan
disini?” tanya pria itu lagi.
“Aku hanya… menenangkan diri. Maaf, tapi… apa aku
mengenalmu?”
“Menurutmu?” tanya pria itu balik. Ada kerutan di keningnya,
seolah dia ingin mengatakan sesuatu tapi menahannya dalam hati.
“Aku pernah melihatmu di kantor. Hanya sebatas itu saja.
Tapi… aku tidak mengenalmu, kan? Maksudku, apa sebelum ini kita
pernah berbicara satu sama lain?”
“Apa kau memang pelupa atau kau mengalami amnesia? Kenapa
kau tidak yakin dengan ingatanmu sendiri?” tanyanya retoris.
“Aku hanya….” Eun-Kyo menggelengkan kepala lalu
mengedikkan bahunya. “Aku rasa aku melupakan sesuatu. Terutama
saat melihatmu. Kalau mau jujur, aku merasa bahwa kau adalah hal
penting yang aku lupakan. Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku memang
lupa. Aku seperti… tertarik padamu dan entah kenapa aku tiba-tiba
melupakanmu. Apa memang begitu?” tanya gadis itu polos, tidak
mengerti apa yang baru saja dia katakan. Mulutnya seolah bergerak
di luar kendali. Dan saat dia sadar, wajahnya langsung memerah
menahan malu.
“Mianhae,” ujarnya cepat-cepat. “Kita baru saja bertemu dan
aku sudah berbicara yang tidak-tidak. Mianhae.”
“Kyo~ya,” ucap pria itu pelan. Matanya menatap wajah Eun-
Kyo lekat-lekat, bersikap seolah dia ingin mematri wajah itu di
benaknya. Setiap sudut dan lekuknya. “Seperti apapun kau
menghapusnya, kau ternyata memang tidak bisa melupakanku, kan?”
“Ne?” tanya Eun-Kyo dengan pandangan yang tidak fokus. Dia
terlalu terpaku dengan mata pria itu, dan jarak wajah mereka yang
begitu dekat tidak membantu sama sekali.
Pria itu tersenyum, menampakkan lesung pipinya yang
membuatnya terlihat semakin tampan. Dia mengulurkan tangannya ke
arah Eun-Kyo dan lagi-lagi menatap gadis itu dengan tatapan yang
sama, seakan-akan itu adalah hal yang sangat menyenangkan
untuknya.
“Namaku Jung-Soo. Park Jung-Soo. Kau bisa memanggilku
Leeteuk.”
***
Yu-Na meremas tangannya dengan gelisah. Dia sudah berdiri
di depan pintu rumah Zhoumi dan rasa takut menyerangnya tanpa
ampun. Pria itu terkesan sangat misterius dan tidak banyak data yang
bisa didapatkan tentangnya, jadi Yu-Na tidak punya persiapan apapun
untuk menghadapinya. Bagaimana kalau pria itu terlalu pintar untuk
dibohongi? Apa yang akan terjadi pada Yu-Na? Cho Corp tidak
mungkin menghabisinya, kan?
Yu-Na mengangkat tangannya dan memencet bel. Dia
menunggu lebih dari semenit sampai akhirnya pintu di depannya
terbuka dan seorang pria yang sangat jangkung berdiri di depannya.
Wajah pria itu sangat tegas, dan dia memiliki garis rahang yang
keras, sekaligus hidung mancung dan bibir tipis tanpa senyum,
membuat penampilan keseluruhannya terlihat sedikit mengintimidasi.
Tekad Yu-Na langsung surut saat mereka berhadapan. Tidak bisakah
dia kembali saja dan hidup dengan tenang?
“Siapa kau?” tanya pria itu dengan wajah curiga.
Yu-Na menarik nafas dalam-dalam sebelum membuka
mulutnya dan memulai kebohongannya yang pertama.
“Aku Kwon Yu-Na. SRO memintaku datang kesini untuk
memantau perkembangan terbaru penemuanmu. Kau tidak pernah
datang ke kantor, jadi kami memutuskan untuk menyelidiki langsung
kesini. Aku diharuskan menyerahkan laporan tentang penemuanmu
besok, jadi aku harap kau mau bekerja sama dan tidak
mempersulitku. Masa traineeku sudah sedikit merepotkan tanpa
harus ditambah dengan masalah lain.”
“Kau terlalu banyak bicara, Nona. Masuk,” ujar Zhoumi
singkat sambil membukakan pintu sedikit lebih lebar, menyisakan
celah untuk Yu-Na menelusup masuk ke dalam.
“Kau aneh,” komentar Yu-Na tentang tindak-tanduk pria itu.
“Memangnya kau buronan sampai harus bersikap terlalu waspada
seperti itu? Ada yang mau menangkapmu?”
Yu-Na tahu dia sudah menjalankan tugasnya dengan baik.
Setidaknya sejauh ini pria itu tidak terlalu mencurigainya lagi. Dia
hanya perlu melanjutkan aktingnya dengan meyakinkan dan keluar
dari tempat ini hidup-hidup.
“Menjadi ilmuwan kesayangan Cho Kyuhyun membuatku harus
bersikap seperti ini. Banyak orang yang mengincar penemuanku, jadi
aku harus benar-benar waspada. Kyuhyun bahkan memberikan
kebebasan padaku untuk menggunakan senjata kapanpun aku merasa
terancam,” ujar pria itu santai sambil mengangkat sedikit baju
kausnya, memperlihatkan sepucuk pistol yang bertengger di pinggang
celana jins yang dipakainya.
Bulu kuduk Yu-Na meremang dan otaknya langsung
mengantisipasi kemungkinan yang terjadi. Masuk akalkah jika pria di
depannya ini akan menembak dia yang notabene seorang wanita
walaupun pria itu memang merasa terancam sekalipun? Sepertinya
kemungkinan itu cukup besar dan Yu-Na tidak mau terlalu mengambil
resiko.
“Jangan menakut-nakutiku. Kau pikir aku ini penjahat apa?”
sergah Yu-Na, memasang tampang polos tak berdosanya.
“Kau tidak perlu takut kalau kau memang tidaak bermaksud
buruk, kan?”
Yu-Na mengangguk dan mengikuti langkah pria itu. Mereka
memasuki sebuah ruangan kaca besar yang penuh dengan peralatan-
peralatan ilmiah yang tidak ingin diketahui Yu-Na nama dan
kegunaannya. Dia sama sekali tidak tertarik dengan hal-hal seperti
itu, membuat otaknya sakit saja.
“Lab-mu besar sekali. Kau benar-benar dianak-emaskan, ya?”
Langkah pria itu berhenti di sudut ruangan, di depan meja
yang permukaannya dipenuhi tabung-tabung reaksi dengan berbagai
macam warna cairan di dalamnya. Yu-Na mendongak dan mendadak dia
ketakutan dengan tatapan pria itu terhadapnya. Mata pria itu
menggelap dan wajahnya sama sekali tidak tampak ramah. Menyerah
pada intuisinya, Yu-Na melangkah mundur ke belakang, tapi hanya
sesaat, karena punggungnya langsung beradu dengan sebuah rak
tinggi yang menempel ke dinding. Keringat dingin langsung membasahi
punggung gadis itu, bahkan dia tidak bisa berdiri dengan benar
karena ketakutan.
“Ke… kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Yu-Na dengan
suara bergetar saat melihat Zhoumi melangkah pelan ke arahnya.
Pria itu menghentikan langkahnya tepat saat tubuh mereka
sudah berhadap-hadapan dan meletakkan tangan kirinya di samping
kepala Yu-Na. Dia menjulurkan tubuhnya lebih dekat dan berbicara
dengan suara rendah di telinga gadis itu
“Nasibmu sedang tidak baik sekarang, Nona Kwon.
Kebohonganmu terbongkar cepat sekali. Kasihan.”
Yu-Na membatu di tempatnya saat mendengar ucapan pria
itu. Dia ketahuan? Bagaimana bisa?
“Pertama, aku sudah menyerahkan penemuan terbaruku
langsung pada Kyuhyun kemarin, karena itu perintahnya. Aku
beruntung karena bisa menyelesaikan serum itu jauh lebih cepat
daripada rencanaku semula, jadi aku tidak terjebak dalam
kebohonganmu. Kedua, walaupun serum itu belum selesai sekalipun,
kau tetap akan ketahuan. Karena asal kau tahu, Kyuhyun sudah
memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menggangguku
kecuali dia sendiri. Dan jika dia ingin menyuruh seseorang kesini, dia
pasti memberitahuku terlebih dahulu. Jadi tidak mungkin ada anggota
SRO yang datang kemari hanya karena aku tidak pernah datang ke
kantor dan melaporkan perkembangan penemuanku, karena aku
memang tidak pernah melapor kepada mereka, tapi langsung kepada
Kyuhyun. Apa kau tidak diberitahu sebelumnya? Tapi sebenarnya,
kalau kau bukan orang dalam SRO, siapapun tidak akan mengetahui
hal ini.”
Zhoumi mengangkat wajahnya dan menatap langsung ke mata
gadis itu yang balas menatapnya dengan sorot ketakutan.
“Jadi bisa beritahu aku, siapa yang mengutusmu kesini? Atau
aku akan melaporkanmu ke Kyuhyun dan BOOM!” seru Zhoumi
dramatis. “Tamatlah riwayatmu.”
***
“Oppa, maaf aku terlambat. Tadi aku harus menyelesaikan
laporanku dulu,” seru Jin-Ah terengah-engah, karena dia berlari dari
gedung SRO ke kafe yang terletak di bagian paling ujung ini.
Ryeowook mengajaknya bertemu dan dia sudah terlambat lebih dari
satu jam.
“Gwaenchana. Tadi aku juga datang lebih lambat. Kau pikir aku
tidak tahu bahwa hal semacam ini akan terjadi?”
Jin-Ah tertawa kecil dan menjatuhkan tubuhnya ke atas
kursi. Sepertinya Ryeowook memang sudah sangat berpengalaman
jika memiliki janji dengan Jin-Ah, karena gadis itu nyaris tidak
pernah datang tepat waktu saking sibuknya.
“Aaaah, kau tahu sekali kesukaanku, oppa!” seru Jin-Ah saat
melihat milkshake strawberry kesukaannya sudah terhidang di atas
meja beserta burger dan setumpuk kentang goreng.
“Makanlah, kau belum makan, kan?”
Jin-Ah mengangguk-angguk dan sesaat kemudian sudah mulai
sibuk dengan makan siangnya.
“Jin-Ah~ya, apa semalam kau sampai rumah dengan selamat?”
Jin-Ah mendongak dengan kening berkerut.
“Oppa, kalau aku tidak pulang dengan selamat, bagaimana
mungkin aku ada disini sekarang?”
“Ah, benar juga,” gumam Ryeowook.
Jin-Ah meletakkan burger yang masih tersisa setengah ke
atas piring dan menatap sahabat sekaligus mantan kekasihnya itu
dengan raut wajah kebingungan.
“Kau kenapa, oppa?”
Ryeowook tersenyum lemah dan menggeleng.
“Apa semalam Yesung hyung mengantarmu pulang?”
Jin-Ah mengangguk. Dia memang sering menceritakan tentang
seniornya itu pada Ryeowook, senior yang menjadi alasannya untuk
masuk SRO. Hal itu jugalah yang membuat hubungannya dan
Ryeowook tidak berjalan lancar.
Yesung adalah senior Jin-Ah di fakultasnya, walaupun
sepertinya pria itu tidak sadar. Dan Jin-Ah sudah mengagumi pria itu
sejak lama. Dia sendiri tahu bahwa hal itu seharusnya tidak terjadi,
karena dia sedang menjalani hubungan serius dengan Ryeowook.
Hubungan yang makin lama menjadi hambar karena Jin-Ah merasa
ketertarikan di antara mereka mulai menghilang. Tidak ada percikan
seperti yang terjadi di antara para kekasih pada umumnya. Saat itu
Jin-Ah sadar bahwa kehadiran Ryeowook hanyalah sebatas
sahabatnya saja dan dia tahu bahwa pria itu juga merasakan hal yang
sama, hanya saja tidak berani mengungkapkannya karena takut gadis
itu tersinggung. Jadi Jin-Ah mengambil inisiatif duluan dan
mengakhiri hubungan itu sebelum mereka terjebak lebih lama lagi.
Apalagi dia tahu bahwa Ryeowook juga sudah menemukan wanita lain
yang menarik perhatiannya.
Mereka tetap bersahabat seperti biasa sampai akhirnya
Ryeowook menikahi gadis pilihannya. Jin-Ah sadar bahwa istri pria itu
merasa sedikit terganggu dengan kehadirannya, makanya dia mulai
mengurangi intensitas pertemuan mereka, walaupun Ryeowook
memaksa mengajukan diri untuk menjemput Jin-Ah setiap malam dari
kantor. Sedangkan gadis itu sendiri sudah kesulitan memikirkan kisah
cintanya yang seperti jalan di tempat tanpa perlu ditambah dengan
masalah rumah tangga sahabatnya itu.
Yesung, seperti yang sudah diketahui Jin-Ah, bukanlah jenis
pria yang mau mengambil langkah duluan. Apalagi dengan kehadiran
Ryeowook di dekat Jin-Ah, pria itu jadi menyangka mereka memiliki
hubungan dan Jin-Ah tidak pernah mendapat kesempatan untuk
menjelaskan bahwa Ryewook sudah menikah dan mereka hanya
sekedar sahabat sejak kecil. Tadi malam adalah kemajuan pesat,
mengingat pria itu sendiri yang mengajukan diri untuk mengantarnya
pulang.
“Mulai sekarang, aku tidak bisa menjemputmu lagi setiap
malam seperti yang biasa aku lakukan. Jadi… aku harap kau sudah
memiliki pria lain yang bisa menggantikan posisiku. Apa hubungan
kalian berjalan dengan baik?”
Jin-Ah menarik nafas berat dan menyentuhkan tangannya di
lengan Ryeowook.
“Kau bermasalah lagi dengan Ah-Zin onnie?” tanyanya hati-
hati. “Karena itu kau mau berhenti menjemputku setiap malam?”
“Dia tidak mempercayaiku. Sepertinya dia berpikir bahwa aku
menikahinya hanya sebagai pelampiasan karena kau meninggalkanku.
Aku sudah tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan untuk mengubah
pikirannya,” jawab Ryeowook dengan suara serak. “Kau tahu kan
bagaimana aku saat pertama kali bertemu dengannya dulu? Aku
sampai ketakutan sendiri karena diam-diam telah mengkhianatimu
dan jatuh cinta pada gadis lain tepat saat pertemuan pertama kami.
Tapi ternyata hubungan kita memang tidak akan pernah berhasil,
kan? Lalu aku menikahinya. Dan aku tidak habis pikir kenapa dia tidak
pernah bisa menerima alasanku melakukan hal itu? Menjadikannya
pelampiasan begitu? Aku mungkin bahkan tidak pernah jatuh cinta
padamu.”
Jin-Ah tertawa dan memukul bahu Ryeowook pelan.
“Memangnya siapa yang pernah jatuh cinta padamu, hah?”
ledek Jin-Ah.
Ryeowook tertawa dan mengusap lehernya dengan telapak
tangannya, seolah dia mengalami kelelahan yang luar biasa saat ini.
Raut wajahnya berubah serius lagi dan tanpa sadar tangannya
menggenggam cangkir kopinya, menyerap panas yang menguar dari
benda itu, seolah hal itu akan sedikit mengurangi bebannya.
“Kau tahu? Aku mencintainya. Sangat. Tapi apa artinya hal itu
jika dia beranggapan yang sebaliknya? Bagaimana ini? Jin-Ah~ya?
Menurutmu aku harus bagaimana?”
***
Donghae berdiri dengan gugup di samping tempat tidur Ga-
Eul. Tangannya bertautan gelisah. Tubuhnya bahkan nyaris gemetar
karena semangat yang meluap. Di ujung lain tempat tidur berdiri ibu
Ga-Eul yang juga memperlihatkan reaksi yang sama, walaupun tidak
sehisteris Donghae.
“Hyung, kalau kau seperti itu terus, aku jadi takut sendiri.
Berhentilah membebaniku,” keluh Kibum. Di tangannya tergenggam
sebuah alat suntik yang berisi cairan serum penemuannya. Dari tadi
tangannya gemetar karena Donghae menatapnya seolah dia adalah
penyelamat dunia. Apa pria itu tidak memikirkan kemungkinan bahwa
dia gagal? Membuatnya takut saja!
“Baiklah, baiklah, lakukan sesukamu. Menurutmu berapa lama
pengaruh serum itu akan bekerja? Maksudku, kita harus menunggu
berapa lama sampai dia sadar?”
“Satu menit!” seru Kibum ketus karena itu adalah kedua belas
kalinya Donghae menanyakan hal yang sama padanya dari tadi.
“Sekarang lebih baik kau diam dan biarkan aku bekerja.”
Donghae mengangguk dengan senyum lebar di wajahnya.
Kibum mengabaikan kehadiran pria itu dan berkonsentrasi dengan apa
yang dilakukannya. Dia menusukkan jarum suntik itu dengan perlahan
sampai cairan di dalamnya habis, kemudian bangkit dari tempat tidur,
berdiri menunggu di samping Donghae.
Detik-detik selanjutnya berlalu terlalu lambat bagi Donghae.
Mata pria itu terus-terusan tertuju ke wajah pucat Ga-Eul yang
masih belum membuka matanya. Apa yang akan terjadi sebentar lagi?
Bagaimana kalau Kibum benar dan gadis itu melupakannya?
Donghae tersenyum dalam hati, tahu bahwa mungkin dia
sudah gila dan tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Mungkin dia
satu-satunya pria yang bisa menerima kenyataan bahwa gadis yang
dicintainya melupakannya dan dia tetap tidak memiliki niat untuk
meninggalkan gadis itu sama sekali. Benaknya hanya dipenuhi pikiran
bahwa gadis itu akan segera sadar dan dia bisa melihat gadis itu
hidup dengan normal lagi, tidak peduli dengan konsekuensi apapun
yang harus ditanggungnya. Bahkan jika memori tentangnya hilang dari
otak gadis itu sekalipun.
Donghae membeku di tempat saat melihat kelopak mata gadis
itu mulai bergerak dan terbuka. Dia dengan cepat duduk di samping
gadis itu dan menggenggam tangannya. Ibu Ga-Eul sendiri
mengatupkan tangannya di depan mulut, tidak memedulikan air
matanya yang sudah mengalir membasahi wajahnya.
Ga-Eul mengerjapkan matanya sesaat, membiasakan indera
penglihatannya itu menerima cahaya matahari yang menusuk masuk.
Perlahan dia memfokuskan pandangannya dan menoleh ke sekeliling.
Ada pria yang duduk di sampingnya sambil menggenggam tangannya
hangat dengan senyum cerah di wajahnya, juga ada pria lain yang
berdiri tidak jauh dari tempatnya berbaring, dan seorang wanita
separuh baya yang menatapnya sambil menangis. Dia sama sekali tidak
mengenali orang-orang itu dan merasa asing dengan tempat ini. Dia
bergerak sedikit dan langsung mengernyit sakit saat melakukannya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
“Ga-Eul sayang, kau ingat eomma?” tanya wanita asing itu
sambil mengusap rambut Ga-Eul.
“Eomma?” ulang Ga-Eul dengan suara yang sangat serak.
Kerongkongannya terasa sangat sakit saat berusaha berbicara,
seolah dia sudah tidak menggunakan pita suaranya untuk waktu yang
sangat lama.
Wanita itu memanggilnya Ga-Eul? Apa itu namanya? Musim
gugur? Apa dia terlahir di musim gugur sehingga orang tuanya
memberinya nama itu?
“Tidak apa-apa. Kau harus membiasakan diri untuk banyak
berbicara. Nanti aku akan memberimu obat untuk menghilangkan rasa
sakit di tenggorokanmu,” ujar pria yang berdiri di samping tempat
tidurnya sambil tersenyum ramah. Sepertinya dia dokter, walaupun
wajahnya masih sangat muda.
Ga-Eul mengalihkan pandangannya ke arah pria lain yang saat
ini masih menggenggam tangannya. Pria itu tampan sekali. Rambut
hitam pendek dan penampilannya yang santai entah kenapa
memberikan kesan maskulin dan daya tarik yang sangat kuat. Ga-Eul
mengerutkan keningnya karena merasa mengenal pria itu. Tapi
otaknya kosong. Tidak ada ingatan apapun tentang pria di depannya
itu ataupun wanita yang mengaku sebagai ibunya. Tapi ada satu
persamaan di antara kedua orang itu, Ga-Eul merasakan ikatan kuat
yang terjalin di antara mereka, seolah dia sudah mengenal mereka
seumur hidupnya.
“Kau siapa?” tanya Ga-Eul pelan, masih merasakan sakit yang
menggerogoti tenggorokannya.
Kibum yang memperhatikan mereka berdua sejak tadi terpana
saat melihat senyum tetap terkembang di wajah Donghae waktu
pertanyaan itu meluncur keluar dari mulut gadisnya. Pria itu malah
mengulurkan tangannya dan mengusap wajah gadis itu dengan sangat
hati-hati, seolah gadis itu adalah porselen yang mudah pecah. Kibum
bisa melihat mata Ga-Eul yang sedikit mengerjap dan pipinya yang
berubah memerah sebagai reaksi dari sentuhan itu. Bahkan saat
gadis itu melupakan segalanya sekalipun, tubuhnya tetap
mengeluarkan reaksi yang sama terhadap Donghae.
“Kau tidak mengingatku, ya?” tanya Donghae lembut. Dia
berusaha keras untuk tidak menangis saking bahagianya karena gadis
itu mengajaknya bicara lagi. Hal itu menjadi semakin sulit saat dia
melihat pipi Ga-Eul yang memerah saat terkena sentuhannya. Reaksi
yang selalu gadis itu keluarkan setiap kali kulit mereka bersentuhan.
Rasa bahagia itu meluap keluar tak terkendali, sehingga Donghae
nyaris tidak bisa menahannya lebih lama lagi dalam rongga dadanya.
Dia sangat ingin menarik gadis itu ke dalam pelukannya, tapi dia tidak
ingin membuat gadis itu takut dan menjauhinya. Sebagai gantinya,
Donghae menggigit bibir bawahnya untuk menahan air matanya yang
sudah mendesak keluar.
“Maaf,” ujar Ga-Eul lirih, merasa bersalah karena dia tidak
mengenal pria di hadapannya itu.
“Gwaenchana. Kita bisa berkenalan lagi.”
Donghae meraih tangan Ga-Eul dan menjabatnya ringan.
“Namaku Donghae. Lee Donghae,” bisik Donghae pelan, dan di
detik yang bersamaan, air matanya menolak perintahnya dan mengalir
turun ke wajah tampannya. Pria itu nyaris tersedak nafasnya sendiri
karena tenggorokannya yang mendadak tercekat dan lagi-lagi di luar
kendalinya otaknya, tangannya bergerak merengkuh tubuh Ga-Eul dan
membenamkan gadis itu dalam pelukannya.
“Aku merindukanmu, Ga-Eul~a. Amat sangat merindukanmu.”
***
“Kenapa aku harus memakai kain sialan ini?” seru Hye-Na tak
terima saat melihat penampilannya di depan cermin. Kain sialan yang
dimaksudkannya adalah gaun selutut berwarna salem yang dipakaikan
paksa oleh Eun-Ji ke tubuhnya. Gadis itu bahkan berhasil menjejali
wajah Hye-Na dengan sapuan make-up walaupun teman
seapartemennya itu tidak henti-hentinya berteriak dari tadi.
“Tentu saja untuk membuat suamimu terpesona dan mertua
juga kakak iparmu merasa bangga memiliki menantu dan adik ipar
sepertimu,” sahut Eun-Ji santai sambil menyelesaikan pekerjaannya
membuat jalinan longgar dari rambut panjang Hye-Na.
“Aku akan membunuhmu! Benar-benar membunuhmu!”
“Wah, aku takut sekali!” jerit Eun-Ji seraya memasang wajah
ketakutan, kemudian tertawa terbahak-bahak melihat wajah kesal
Hye-Na.
“Aku akan menghabisimu nanti! Apa kau tidak lihat wajahku
terlihat seperti badut terkena cairan kimia warna-warni itu?”
“Itu kan pendapatmu. Lihat saja pendapat Kyuhyun nanti. Aku
yakin dia akan terpaku setidaknya sedetik saat melihat
penampilanmu.”
“Memangnya apa peduliku dengan reaksi pria sialan itu?”
“Ya ya, sesukamulah, Nyonya Cho. Ini, pakai sepatumu,” suruh
Eun-Ji. Dia menyodorkan high heels berwarna senada kepada Hye-Na
yang langsung menatapnya dengan raut wajah ngeri.
“Tidak mau! Cukup dengan gaun dan dandanan menjijikkan ini!
Kau mau aku tersandung sepanjang jalan dengan memakai sepatu itu,
hah?”
Eun-Ji merengut, tapi membenarkan perkataan gadis itu
dalam hati. Hye-Na pernah memakai high heels untuk pertama kalinya
saat ada pesta ulang tahun KIA di Amerika dan semua orang
diwajibkan memakai setelan resmi. Gadis itu menyerah dan setuju
mencobahigh heels untuk kali pertama dalam hidupnya dan hasilnya
adalah Eun-Ji harus memegangi Hye-Na sepanjang pesta dan
memastikan agar gadis itu tidak terjatuh, sampai akhirnya Hye-Na
dengan sengaja memukulkan sepatu itu ke dinding dan mematahkan
haknya.
“Baiklah, sepertinya aku punya sepatu tanpa hak yang mungkin
cocok untukmu. Dan tidak, tidak ada sepatu kets malam ini,” kata
Eun-Ji memperingatkan saat melihat ekspresi gadis itu.
Hye-Na menjulurkan lidahnya kesal setelah Eun-Ji menghilang
ke kamarnya. Dia memperhatikan bayangannya lagi di cermin.
Sebenarnya hasil karya Eun-Ji sama sekali tidak buruk, bahkan jauh
dari kata menjijikkan. Yang Hye-Na tidak suka adalah, apa gunanya
dia berdandan seperti ini untuk pria itu? Bagaimana kalau pria itu
malah menertawakannya dan merasa bahwa Hye-Na dengan sengaja
menggodanya? Astaga, memikirkan itu saja sudah membuat Hye-Na
ingin memuntahkan cemilan yang tadi dimakannya.
***
Kyuhyun menghentikan mobilnya tepat di depan gedung
apartemen gadis itu. Dia menyerahkan kunci mobilnya pada salah satu
pegawai yang menanti di depan pintu dan berjalan masuk. Berkali-kali
dia berhenti karena baik pegawai ataupun manajer di apartemen
mewah itu menyapanya dengan ramah. Tidak heran, karena gedung itu
adalah miliknya.
Kyuhyun berhenti di depan pintu kamar Hye-Na dan
memencet belnya pelan. Dia menunggu selama beberapa saat sampai
akhirnya pintu itu terbuka dan Eun-Ji muncul dari dalam.
“Ah, kau sudah datang, Kyuhyun ssi! Tunggu sebentar, aku
akan memanggilkan istrimu,” seru Eun-Ji riang. “Kau mau masuk?”
“Tidak, disini saja. Panggil saja gadis itu keluar,” tolak
Kyuhyun.
Eun-Ji mengangguk dan bergegas masuk ke kamar Hye-Na.
“Suamimu sudah datang!” ujar Eun-Ji sambil mengedipkan
matanya. “Hei, kau goda dia dan buat anak yang banyak dengannya.
Anak kalian pasti akan menawan sekali!”
Mata Hye-Na melebar saat mendengar ucapan sahabatnya itu.
Dengan emosi dia mendorong kepala Eun-Ji dan mengacak-acak
rambut gadis itu tanpa ampun.
“YAK!!!!” teriak Eun-Ji kesal, tapi Hye-Na sudah melarikan
diri terlebih dahulu sebelum gadis itu sempat membalasnya.
***
“Ayo berangkat,” ujar Hye-Na setelah sampai di samping
Kyuhyun yang berdiri bersandar di dinding dengan wajah menunduk.
Tiba-tiba Hye-Na memikirkan kapan pria itu akan terlihat
manusiawi di matanya? Walaupun berada dalam kondisi biasa seperti
itupun, pria itu tetap terlihat terlalu menawan dan penampilannya
tidak sesuai untuk berada di tempat biasa seperti ini.
Kyuhyun mendongak dan untuk waktu yang cukup lama dia
terpaku melihat gadis yang berdiri di depannya itu. Dia mengerjap
beberapa kali untuk menemukan kembali fokusnya yang mendadak
hilang dan memaki dalam hati. Sial, kenapa gadis ini harus terlihat
semempesona itu di matanya?
Kyuhyun menahan lidahnya sendiri untuk berkomentar dan
berjalan mendahului Hye-Na yang mengikutinya dari belakang. Gadis
itu mengerucutkan bibinrya karena Kyuhyun tidak berkata apa-apa
sama sekali. Bahkan menyapanya pun tidak. Orang macam apa
suaminya ini?
Mereka melangkah masuk ke dalam lift yang membawa
mereka menuju lantai satu dalam keadaan hening tanpa suara. Hye-Na
menyandarkan tubuhnya ke dinding lift dan berusaha memikirkan
pembunuhan yang sedang diusutnya untuk mengalihkan pikiran dari
kegugupannya berada di satu tempat sempit bersama pria itu.
Mendadak udara terasa sangat panas dan gadis itu merasa tidak
nyaman.
Hye-Na terkesiap kaget saat tiba-tiba Kyuhyun berbalik dan
dengan gerakan cepat menyudutkannya sampai tidak ada celah antara
tubuh pria itu dengan tubuhnya. Dia bisa merasakan bahwa keadaan
ini membuatnya jantungnya berdetak gila-gilaan, bahkan untuk
menarik nafas saja nyaris mustahil.
“Saat memutuskan untuk berdandan seperti ini, apa kau tidak
memikirkan apa yang akan terjadi kalau aku tergoda?” tanya Kyuhyun
tanpa basa-basi.
Mata Hye-Na membulat mendengar pertanyaan pria itu.
Otaknya tidak bisa digunakan untuk berpikir dan hembusan nafas pria
itu di wajahnya malah membuat semuanya menjadi semakin
berantakan.
“Kau tidak memikirkannya, kan?” sergah Kyuhyun dengan
suara serak. “Lain kali, jika kau memang tidak bermaksud untuk
menggoda, pikir-pikir dulu untuk tampil terlalu cantik di depanku jika
kau tidak mau aku menyerangmu.”
***
Sa-Rang mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja dengan
gelisah. Matanya tertuju pada android di depannya. Android itu
berwujud gadis cantik dengan gaun putih yang menempel ringan di
tubuhnya, serta sebuah biola yang tergenggam di tangannya. Karya
sempurnanya yang akan dipasarkan minggu depan.
Gadis itu menyentuhkan tangannya ke kepalanya yang terasa
pusing. Dia tidak bisa membiarkan android itu diluncurkan dan
merebut posisi para pemusik, terutama impian Henry. Dia tahu dia
harus memperbaiki semua kesalahannya terhadap pria itu dan ini
adalah jalan satu-satunya.
Sa-Rang meraih communicator-nya dari atas meja dan
memencet nomor atasannya.
“Nam Shin-Joo ssi, bisa kita bertemu? Ada hal yang harus
aku bicarakan tentang android yang akan kita luncurkan minggu
depan. Sepertinya… ada bagian dari android itu yang tidak bekerja
dengan semestinya. Maksudku… ada cacat dalam karyaku. Ah, ye, aku
akan menemuimu besok.”
Sa-Rang menarik nafas dalam-dalam setelah sambungan
telepon terputus dan melangkah menuju androidnya. Dia mengulurkan
tangannya yang gemetar dan menyentuh hasil karyanya itu dengan
hati-hati, seolah ingin merasakan tekstur robot itu dan merekamnya
di otaknya.
Dia menciptakan android itu selama berbulan-bulan, memeras
otak memikirkan setiap elemen penting di dalamnya dan kebahagiaan
yang melandanya saat tahu bahwa dia telah berhasil menciptakan
android yang sempurna. Tapi sekarang… dalam hitungan detik, dia
juga akan menghancurkan benda itu dengan tangannya sendiri.
***
“Aku seharusnya mengajakmu makan di restoran mewah,
bukannya membeli fastfooddan makan di tempat terbuka seperti ini,”
ujar Dae-Hyun sambil meremas kertas pembungkus burgernya dan
memasukkannya ke dalam kantong plastik.
Nou-Mi tersenyum dan menggeleng.
“Gwaenchana. Aku mengerti keadaanmu. Berhentilah merasa
tidak enak padaku.”
Dae-Hyun menyentuh wajah kekasihnya itu dengan hati-hati,
mengusap beberapa bagian memar yang membekas disana.
“Mianhae. Jeongmal mianhae, Nou-Mi~ya. Aku sudah
melakukan semua hal buruk ini padamu, tapi kau masih tetap mau
bersamaku.”
Nou-Mi menggeleng lagi.
“Aku sudah menemui psikiater dan dia bilang aku harus
belajar mengendalikan emosiku. Dia juga memberiku obat penenang.
Aku harap aku bisa melakukan apa yang dikatakannya dengan baik dan
aku bisa berhenti menyakitimu.”
“Mmm, kau harus berusaha keras,” seru Nou-Mi dengan mata
berbinar jenaka.
“Lihat wajahmu. Aku merusaknya sampai seperti ini. Kau
seharusnya meninggalkan pria sepertiku dan mendapatkan pria lain
yang lebih baik.”
“Oppa,” potong Nou-Mi dengan wajah cemberut. “Kau tidak
ingat janji kita dulu? Aku akan terus bersamamu apapun yang terjadi.
Jadi itu termasuk menemanimu saat kau berada dalam kondisi
terpuruk sekalipun.”
Dae-Hyun menghela nafasnya, memantapkan hatinya untuk
mengatakan sesuatu pada gadis di depannya itu.
“Aku tahu aku bukan pria yang pantas untukmu dan aku juga
tahu akan ada pria lain di luar sana yang akan mencintaimu sebanyak
aku dan memperlakukanmu jauh lebih baik daripada apa yang aku
lakukan. Tapi Nou-Mi~ya, sudah lama aku ingin mengatakan ini
padamu. Kau selalu ada saat aku membutuhkanmu dan tetap berdiri di
sampingku apapun yang terjadi. Kau satu-satunya gadis yang ingin aku
habiskan hidupku bersama selamanya. Ini bukan sikap yang
seharusnya kuambil, tapi….” Dae-Hyun meraup kedua tangan Nou-Mi
ke dalam genggamannya dan menatap mata gadis itu lekat-lekat. “Apa
kau mau menikah denganku? Memutuskan untuk menghabiskan sisa
hidupmu bersamaku?”
***
Ji-Yoo memegangi tangan Eunhyuk, menghentikan langkah
pria itu. Dia berdiri gelisah dan memandang Eunhyuk dengan tatapan
gugup.
“Tenanglah, ibu dan nunaku tidak akan membunuhmu.”
“Tapi… kau mengajakku tinggal disini! Aku ini orang luar, oppa.
Mana mungkin aku tinggal di rumah seorang pria tanpa status yang
jelas!”
Eunhyuk terkekeh dan menyentil hidung Ji-Yoo dengan
telunjuknya.
“Makanya, terima ajakanku untuk menikah.”
“Memangnya aku mencintaimu!” rengut Ji-Yoo.
“Kalau sekarang belum, kau juga akan melakukannya sebentar
lagi.”
“Cih, percaya diri sekali kau!”
“Ayo masuk! Aku sudah tidak sabar ingin melihat reaksi ibu
dan nunaku!” seru Eunhyuk sambil merangkul bahu gadis itu dan
membuka pintu rumahnya.
“Eomma!!! Nuna~ya!!!” teriak Eunhyuk keras, membuat Ji-Yoo
menendang kaki pria itu.
“Kau ini tidak punya sopan santun, ya? Masa memanggil orang
yang lebih besar darimu seperti itu?”
“Biar saja. Biasanya juga begitu.”
“Hyukkie~ya, kau sudah pulang?! Eomma meneleponmu
seharian tapi kau sama sekali tidak bisa dihubungi!” seru seorang
wanita paruh baya yang berjalan ke arah mereka. Wanita yang diduga
Ji-Yoo sebagai ibu Eunhyuk itu mengangkat tangannya dan mulai
memukuli anak laki-lakinya itu tanpa ampun.
“Aigoo, eomma, aku ini baru pulang! Jangan menganiayaku
seperti ini! Kau mau membuatku malu di depan calon menantumu?”
teriak Eunhyuk sambil berusaha menjauhkan tubuhnya dari jangkauan
ibunya itu.
“Calon menantuku?” ujar Eun-Hee bingung. Seperti baru
sadar, dia menoleh ke arah Ji-Yoo yang berdiri salah tingkah di
samping anaknya.
“Omo, ini calon menantuku? Apa ini gadis yang dimaksud
berita yang kutonton tadi pagi?”
Eun-Hee mendekati Ji-Yoo dan menggenggam tangan gadis itu
lalu mengusap wajahnya sambil tersenyum, membuat Ji-Yoo terpana
dengan perlakuan yang didapatkannya. Ini berbeda jauh 180 derajat
dari apa yang dibayangkannya.
“Jadi kaukah gadis luar biasa yang berhasil membuat anakku
menginginkan sebuah pernikahan?”
“Ne?” tanya Ji-Yoo kaget.
“Hyukkie, kau sudah pulang, ya?”
Mereka semua menoleh ke arah tangga dimana seorang wanita
sedang berlari menuruninya.
“Berani-beraninya kau membuat skandal seperti itu! Apa
reputasimu selama ini belum cukup buruk, hah?” ujar wanita itu
sambil menatap Eunhyuk sangar.
“Nuna, apa salahnya menambah sedikit imej buruk lagi?” kata
Eunhyuk santai.
“Cih, kau ini, selalu saja seperti itu! Ngomong-ngomong, siapa
gadis yang kau bawa ini?” tanya So-Ra sambil menatap Ji-Yoo dengan
pandangan tertarik.
“Gadis ini?” tanya Eunhyuk sambil menunjuk Ji-Yoo. “Namanya
Choi Ji-Yoo. Gadis yang sedang kuusahakan untuk menyetujui
lamaranku dan mengganti marganya menjadi Lee.”
***
“Hye-Na~ya!!! Astaga, aku kaget sekali saat Kyuhyun
memberitahuku bahwa dia sudah menikahimu!” seru Ha-Na sambil
memeluk Hye-Na singkat dan menariknya masuk ke ruang tamu.
Kyuhyun mengikuti mereka dari belakang dengan pandangan yang
tertuju ke punggung gadis itu, sedikit merutuki dirinya karena
sempat-sempatnya hampir kehilangan kendali di lift tadi.
“Aigoo, adik iparku sudah datang! Kau akan tinggal disini,
kan?” tanya Ah-Ra yang baru keluar dari dapur.
“Ye, onnie.”
“Tidak usah bersikap formal begitu padaku, sekarang kan kita
satu keluarga!” sergah Ah-Ra. “Ngomong-ngomong, apa kau sengaja
berdadan secantik ini untuk Kyuhyun?” bisiknya sambil menyikut bahu
Hye-Na.
“Anieyo! Tadi teman seapartemenku memaksa untuk
mendandaniku.”
“Begitu? Tapi sepertinya adikku tidak bisa melepaskan
tatapannya darimu,” ujar Ah-Ra sambil mengedikkan dagunya ke arah
Kyuhyun yang memang sedang menatap Hye-Na, membuat gadis itu
teringat dengan insiden di lift tadi lagi. Mendadak wajah Hye-Na
memerah dan dia langsung memalingkan mukanya ke arah lain.
“Aigoo, kalian berdua manis sekali! Hei, ayo kita makan malam.
Kau belum makan, kan?”
“Aku akan mengantarnya ke kamar dulu, biar dia bisa
meletakkan barang-barangnya disana. Nanti kami kembali lagi,”
potong Kyuhyun. Dan tanpa menunggu jawaban dari nuna ataupun
ibunya, dia meraih tangan Hye-Na dan menarik gadis itu keluar
rumah. Benar perkiraan Hye-Na waktu itu, rumah di samping
bangunan besar ini adalah rumah yang ditempati Kyuhyun. Dia jadi
heran sendiri, untuk apa satu rumah besar dengan berpuluh-puluh
kamar hanya dihuni oleh satu orang saja?
Baru melangkahkan kakinya masuk ke rumah itu, Hye-Na
sudah melongo melihat interiornya. Persis seperti interior yang akan
ditemukan di hotel-hotel bintang lima terkenal di Perancis. Dan jika
tadi Hye-Na bertanya tempat seperti apa yang membuat Kyuhyun
terlihat sesuai di dalamnya, rumah inilah jawabannya. Semua hal di
ruangan ini terlihat sangat cocok dengan penampilan maskulin pria itu
dan dia tidak keberatan untuk mengakuinya.
Mereka naik ke lantai dua sampai akhirnya Kyuhyun berhenti
di depan sebuah kamar dan membuka pintunya.
“Ini kamarmu. Barang-barangmu yang diambil tadi siang sudah
disusun disini. Kau bisa meletakkan barang bawaanmu itu dan kembali
ke rumah ibu,” ujar Kyuhyun sambil mengedikkan dagunya ke arah tas
besar yang dibawa Hye-Na sejak tadi.
“Itu pintu apa?” tanya Hye-Na, merujuk pada dua pintu yang
terletak berseberangan di kamar itu.
“Yang itu pintu kamar mandi,” kata Kyuhyun, menunjuk pintu
yang terletak di sebelah kiri. “Yang itu pintu kamarku.”
“Mwo?” jerit Hye-Na kaget.
“Apa?” tanya Kyuhyun ketus. “Kau mau protes? Apa kau lupa
tugasmu untuk melindungiku? Dengan pengaturan kamar seperti ini
tugasmu akan menjadi lebih mudah. Lagipula aku sudah berbaik hati
memberikan kamar yang terpisah untukmu. Kau tidak mau sekamar
denganku, kan? Nanti kalau ibu curiga kau bisa langsung masuk ke
kamarku dan berakting sebagai seorang istri normal. Dia tidak tahu
bahwa kamarku di rumah ini terdiri dari dua ruangan.”
“Aku menjadi pihak yang dirugikan disini! Kau bisa seenaknya
masuk ke kamarku dan bagaimana kalau terjadi sesuatu?”
“Terjadi sesuatu apa?” tanya Kyuhyun sambil menyeringai.
“Kalau terjadi sesuatu paling-paling kau hamil,” ujar Kyuhyun santai
dan berjalan keluar kamar meninggalkan Hye-Na yang membeku di
tempatnya.
“YAK!!! KAU!!!”
***
Eun-Ji baru saja memasukkan piring terakhir ke mesin
pencuci piring yang bisa mencuci piring sendiri dan mengeringkannya
dalam waktu dua detik untuk tiap piringnya, saat mendengar bel
apartemen berbunyi. Dia mengeringkan tangannya di mesin pengering
dan beranjak ke luar untuk membuka pintu.
Kesalahannya karena tidak melihat intercom dulu sebelum
membukakan pintu, sehingga dia hanya bisa terpaku kaget saat tahu
siapa tamunya malam ini.
“Mau apa kau kesini?” tanya Eun-Ji dingin.
“Kau mau menjadi tuan rumah yang tidak tahu sopan santun
karena membiarkan tamunya berdiri di luar?”
Eun-Ji mendecak kesal dan menyingkir dari pintu,
membiarkan Siwon masuk.
“Kau sendirian? Hye-Na mana?”
“Di rumah suaminya.”
“Suami?” tanya Siwon bingung. “Sejak kapan dia menikah?”
“Tadi siang. Kyuhyun memaksa Hye-Na menikah dengannya,”
jelas Eun-Ji malas.
“Kyuhyun? Cho Kyuhyun maksudmu? Bagaimana bisa?” seru
Siwon kaget.
“Ya mana aku tahu! Sekarang cepat beritahu aku mau apa kau
kesini dan setelah itu kau bisa pulang.”
Siwon menghela nafasnya melihat sikap dingin gadis itu. Dia
sama sekali tidak mengerti apa yang sudah dilakukannya sampai gadis
itu bersikap seperti itu padanya. Gadis itu bahkan tidak mau
menjelaskan duduk persoalannya sama sekali saat dia memutuskan
pertunangan mereka secara sepihak begitu saja.
“Aku mau kau menjelaskan alasanmu membatalkan pernikahan
kita dan setelah itu aku tidak akan mengganggumu lagi jika kau bisa
memberikan alasan yang masuk akal padaku.”
Eun-Ji meletakkan tangannya di pinggang dan memandang
Siwon dengan tatapan menantang.
“Aku sempat penasaran kenapa kau sangat ingin memburu Min
Sang-Hyun dan pada akhirnya membunuh pria itu dengan tanganmu
sendiri. Karena itu aku mencari tahu semuanya saat kau diskors dari
STA. Menurutmu apa yang kudapatkan? Kenyataan bahwa kau dendam
pada pria itu karena tunanganmu terbunuh dalam baku tembak yang
melibatkan Sang-Hyun dan anak buahnya. Dan bisa kutebak bahwa
kau masuk STA untuk membalaskan dendammu. Dan kau tahu fakta
lain yang membuatku memutuskan meninggalkanmu? Fakta bahwa
tunanganmu itu sangat mirip denganku! Jadi apa setelah mengetahui
itu semua kau masih berpikir bahwa aku masih tetap mau menikah
denganmu, Tuan Penipu?”
Siwon ternganga mendengar penjelasan gadis itu. Hanya dua
bagian yang benar dari penjelasannya dan fakta lainnya berbanding
terbalik 180 derajat dari apa yang sebenarnya terjadi. Dan gadis ini
berada dalam kesalahpahaman itu selama berbulan-bulan?
“Bagaimana mungkin kau menelan semuanya bulat-bulat tanpa
bertanya dulu padaku?” sergah Siwon tak percaya.
“Apa lagi yang harus kutanyakan padamu? Semuanya sudah
sangat jelas dan tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan!”
Siwon bangkit dari duduknya dan menatap Eun-Ji tajam.
“Benar. Tetap saja pada kesimpulan yang kau dapatkan dan
akan aku pastikan kau menyesal seumur hidupmu.”
***
“Aku menemukan fakta bahwa 23 orang gadis itu atheis. Itu
satu persamaan yang mendasar pada mereka. Aku melakukan
perintahmu untuk menyelidiki beberapa sekte dan perkumpulan
agama, juga beberapa perkumpulan lain termasuk persatuan atheis di
seluruh dunia. Ada nama-nama mereka di daftar beberapa
perkumpulan yang berbeda. Ini menjawab pertanyaan kenapa mereka
menjadi incaran si pembunuh,” lapor Siwon.
Hye-Na menyerap informasi itu dan mengangguk paham.
“Bagaimana mungkin pembunuh sialan itu bisa menemukan 23
wanita berdarah campuran yang semuanya berhubungan dengan KIA?
Dan kau menuduh mereka semua atheis? Entah pembunuh itu yang
terlalu pintar atau kau yang membuat kesimpulan sembarangan,” ujar
Eun-Ji sambil melirik Siwon sinis.
Hye-Na mendesah kesal dan melempar pena yang sedang
dipegangnya ke atas meja, menimbulkan bunyi keras yang membuat
kedua orang itu terlonjak kaget dan memandang Hye-Na bingung.
“Hentikan aura permusuhan kalian berdua atau aku akan
melempar kalian keluar ruangan sekarang juga! Kita disini untuk
menuntaskan kasus pembunuhan yang sulit dan kepalaku sudah cukup
sakit tanpa perlu ditambahi permasalahan pribadi kalian berdua!
Tolong profesional sedikit dan berhenti menatap satu sama lain
dengan pandangan membunuh! Kalian mengerti?”
“Ye,” gumam mereka berdua serempak.
“Leeteuk oppa, laporanmu?”
“Sepertinya kita sudah dekat pada pembunuhnya,” ujar
Leeteuk semangat. “Aku mengumpulkan data buronan KIA 3 tahun
terakhir, satu tahun sebelum pembunuhan pertama terjadi, juga data
buronan yang diburu orang tua para gadis itu. Aku sampai pada
kesimpulan bahwa semua orang tua para gadis itu memiliki satu
buronan yang sama dalam data mereka. Aku menganulir nama-nama
buronan mereka sampai mendapatkan satu nama itu. Kau juga
mengenalnya, Hye-Na~ya. Buruan pertama yang kau bunuh dalam
tugas pertamamu. Shim Dae-Ho.”
Hye-Na mengerjap dan merasakan keringat dingin mengalir di
telapak tangannya. Tentu saja dia ingat nama itu. Saat itu adalah
tugas pertamanya di KIA, memburu seorang pengedar narkoba yang
terkenal licin dalam menjalankan aksinya. Mereka berhasil
mengetahui tempat transaksi pria itu dan datang kesana dengan
persenjataan lengkap, mengingat banyaknya anak buah yang
melindungi Dae-Ho. Awalnya Hye-Na berhasil menangkap pria itu
tanpa menggunakan senjata yang dibawanya, tapi pria itu
memberontak dan melepaskan tembakan yang nyaris mengenai lengan
bagian atas Hye-Na sehingga gadis itu terpaksa menembak dengan
maksud melumpuhkan Dae-Ho, tapi pria itu mengelak dan peluru itu
tembus mengenai jantungnya sehingga dia tewas di tempat.
“Lalu kenapa dia membunuh banyak gadis jika tujuannya
adalah aku?” tanya Hye-Na bingung.
“Memangnya siapa bilang kau termasuk buruan yang
diincarnya? Kau tidak termasuk dalam ciri-ciri manapun yang sama
dengan 23 gadis itu. Pria ini memiliki pola khusus dan sepertinya dia
tidak akan membunuh sembarangan. Orang tua gadis-gadis itu
diketahui hampir berhasil menangkap Dae-Ho tapi pria itu selalu bisa
lolos. Aku rasa Dae-Ho hanya salah satu alasan, tujuan utamanya
adalah mengenyahkan orang-orang yang kafir menurut agamanya.”
Hye-Na mengangguk walaupun otaknya malah berpikir yang
sebaliknya. Yang terbaik selalu disisakan paling akhir. Hye-Na adalah
tujuan utama karena dialah yang membunuh Dae-Ho. Gadis-gadis itu
hanya menu pembukanya saja.
Baiklah sialan, kau buru aku dan aku akan menangkapmu dan
memastikan kau membusuk di penjara, batin gadis itu.
Pintu ruang rapat mereka menjeblak terbuka dan Kyuhyun
masuk dengan tangan yang teerbenam di saku celananya, menunjukkan
wajah dinginnya yang menyebalkan.
Hye-Na menggeram kesal karena rapatnya diinterupsi
sehingga dia bangkit dari tempat duduknya dan menuding pria itu
dengan telunjuknya.
“Hari ini aku tidak mau berurusan denganmu. Keluar!”
Kyuhyun mengangkat bahunya santai dengan bibir mencibir.
“Rapatmu sudah selesai. Laporan mereka hanya sebatas itu.”
“Dari mana kau tahu?”
“Mereka semua diwajibkan melaporkan semuanya padaku dulu
sebelum melapor padamu. Kau pikir dari mana mereka mendapatkan
data-data rahasia itu kalau bukan dariku?”
Hye-Na mendelik ke arah Leeteuk dan Siwon yang balas
menatapnya dengan wajah tanpa dosa, membuat tangannya gatal
untuk mencekik mereka berdua.
“Tidak baik jika pengantin baru bertengkar. Hai adik ipar,
senang bertemu denganmu!” gurau Leeteuk sambil melambaikan
tangannya ke arah Kyuhyun yang mengangguk sopan.
Hye-Na menggembungkan pipinya melihat tingkah orang-
orang itu. Nyaris seluruh penjuru Korea atau bahkan dunia tahu
bahwa mereka telah menikah kemarin siang. Semua acara berita di
TV menanyangkannya besar-besaran, termasuk semua majalah dan
koran yang terbit hari ini. Semua orang bertanya siapa Han Hye-Na
sampai bisa membuat Kyuhyun menikahinya dan dia harus menahan
emosinya karena saat masuk ke kantor tadi, semua pegawai
melemparkan tatapan ingin tahu dan tidak sedikit yang memberi
selamat padanya.
“Mau apa kau?” tanya Hye-Na, menelan makian yang ingin
dilontarkannya kepada pria itu.
“Mengajakmu mencari cincin dan gaun pengantin. Ibu
menyuruhku menemanimu.”
Rasanya Hye-Na ingin ditelan bumi saja sekarang. Saat makan
malam di hari pertamanya tinggal di rumah itu semalam, ibu dan nuna
Kyuhyun mendesaknya untuk menyelenggarakan pesta pernikahan
yang menyiratkan sebuah kemewahan dan jumlah tamu yang
membludak. Hye-Na tidak bisa memungkiri bahwa dia menyukai kedua
wanita itu dan tidak bisa menolak permintaan mereka sama dengan
kenyataan bahwa dia tidak pernah bisa menolak apapun yang
diinginkan ibunya. Ditambah lagi ibu Kyuhyun menelepon ibunya di
Amerika dan menyuruh satu-satunya keluaarganya yang tersisa itu
untuk membujuknya menyetujui keinginan mereka. Gadis itu menjadi
tidak berdaya di tengah para wanita yang sangat bersemangat itu.
“Woa, kalian benar-benar akan menyelenggarakan pesta, ya?”
seru Eun-Ji sambil bertepuk tangan.
“Kau mau ikut atau tidak? Kau pikir berapa banyak rapat yang
harus kukorbankan untuk meluangkan waktuku kesini?” sergah
Kyuhyun.
“Salahmu sendiri kenapa menikahiku!” sela Hye-Na tajam.
***
Hye-Na memandang cincin-cincin yang terpajang di etalase
toko perhiasan kesembilan yang mereka masuki dengan semangat
yang sudah mencapai titik terendah. Dia tidak suka berkeliling untuk
berbelanja seperti ini, sama tidak sukanya dengan bau rumah sakit
yang sangat dibencinya. Gadis itu memilih duduk di bangku tinggi yang
disediakan dan menatap deretan cincin kawin itu tanpa minat,
sedangkan Kyuhyun berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang sama.
Mata Hye-Na tertuju pada sebuah cincin bermata berlian
yang terletak mencolok di tengah cincin-cincin lainnya. Dia menyukai
desain cincin itu, mewah tapi tetap terkesan sederhana dan elegan.
Sekali lihat dia langsung bisa menebak bahwa harga cincin itu pasti
mencekik leher. Tapi apa gunanya memiliki suami dengan harta
melimpah di berbagai belahan dunia jika tidak untuk dihambur-
hamburkan?

“Yang itu saja,” ujar Kyuhyun tiba-tiba sambil menunjuk cincin


yang dilihat Hye-Na itu ke penjaga toko, seolah pria itu bisa
membaca pikirannya.
Kyuhyun menunduk sampai bibirnya sejajar dengan telinga
Hye-Na dan membisikkan sesuatu dengan nada penuh peringatan
kepada gadis itu.
“Langsung bilang padaku kalau kau menginginkan sesuatu,
jangan hanya melihatnya saja seolah kau ingin menelan benda itu
bulat-bulat.”
***
“Gaun kelima dan tidak ada satupun yang kau sukai?
Memangnya seleramu berpengaruh untukku?” teriak Hye-Na marah
dengan emosi yang sudah mendidih sampai ke ubun-ubun.
Dia menghabiskan tiga jam terakhir dengan mencoba gaun-
gaun pengantin yang tersedia di butik itu dengan kebosanan yang
sudah mencapai titik maksimum dan Kyuhyun selalu menggelengkan
kepalanya setiap kali dia keluar dari kamar ganti.
“Terlalu banyak renda, pita, dan entah apa namanya. Kau
sendiri juga tidak nyaman, kan?”
Hye-Na membenarkan perkataan pria itu dalam hati. Dia
memang tidak suka dengan gaun-gaun sebelumnya karena terlalu
banyak tetek bengek yang menempel di gaun-gaun itu. Tapi yang
diinginkannya sekarang hanyalah cepat terbebas dari ini semua dan
tidur di rumah.
“Kau tidak punya gaun sederhana? Yang biasa saja? Mewah
tapi tidak merepotkan?” tanya Kyuhyun kepada pegawai toko yang
membantu Hye-Na mencoba gaun-gaun tadi.
“Saya rasa kami punya gaun keluaran terbaru yang mungkin
cocok, Tuan. Tunggu sebentar.”
Hye-Na menghentakkan kakinya dan mengikuti wanita itu
masuk lagi ke ruang ganti. Dia menunjukkan foto sebuah gaun kepada
Hye-Na dan meminta persetujuan gadis itu.
Gaun itu jauh lebih baik dari lima gaun sebelumnya. Tidak
terlalu banyak renda dan hiasan seperti yang dikatakan Kyuhyun tadi.
Dan bahannya terlihat ringan, jadi Hye-Na tidak akan kerepotan saat
memakainya nanti.
Hye-Na mengangguk dan menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa,
menunggu wanita itu kembali dan membantu Hye-Na mencoba gaun
yang ditunjukkannnya tadi. Gadis itu menggertakkan giginya sampai
bergemeletukan, memikirkan bagaimana rekasi pria itu saat dia
keluar dari kamar ganti nanti. Awas saja kalau pria itu tidak menyukai
gaun yang terakhir ini! Dia akan kabur pulang dan merendam tubuhnya
di bawah siraman air dingin untuk mendinginkan kepalanya yang sudah
terasa meledak-ledak.
***
Kyuhyun mendongak dan mengalihkan pandangan dari
asistennya yang sedang membacakan hasil rapat dari
layar communicator-nya saat tirai ruang ganti itu terbuka.
Lima gaun terakhir yang dipakai gadis itu sangat indah tentu
saja, lagipula menurutnya gadis itu akan terlihat cantik dengan baju
apapun yang melekat di tubuhnya. Kyuhyun mengatakan tidak suka
hanya karena dia tahu bahwa gadis itu tidak menyukai sesuatu yang
berlebihan dan pria itu bertekad hanya akan mengatakan iya
terhadap apapun yang diinginkan gadis itu. Dan sekarang… saat gadis
itu berdiri di hadapannya dengan gaun elegan berwarna broken
white yang membalut tubuhnya dengan anggun, Kyuhyun nyaris tidak
bisa mengedipkan mata dan mengontrol ekspresinya agar tidak
terlihat memalukan.
“Nanti aku hubungi lagi,” ujar Kyuhyun dan dengan cepat
mematikan communicator-nya. Dia berdiri dan melangkah ke depan
Hye-Na dan dengan terang-terangan membiarkan matanya menelusuri
tubuh gadis itu dari kepala hingga ujung kaki. Tanpa cacat dan begitu
memukau.
“Kau masih tidak suka?” tanya Hye-Na dengan suara pelan.
Mendadak saja gadis itu merasa gugup dengan pandangan Kyuhyun
yang terarah padanya. Dia selalu menyukai mata itu, lebih tepatnya
cara pria itu menatapnya. Hal yang seharusnya tidak dirasakan gadis
itu sama sekali.
Tiba-tiba Kyuhyun mengangkat tangannya dan menyentuh
wajah Hye-Na dalam sentuhan ringan, membuat gadis itu lagi-lagi
terpaku, terlalu kaku untuk bergerak. Bola matanya membulat saat
pria itu mendekatkan wajahnya sampai hidung mereka bersentuhan.
Hye-Na bahkan bisa merasakan nafas Kyuhyun yang berhembus
keluar dari mulutnya di bibirnya sendiri.
“14 tahun yang nyaris terasa sia-sia karena kau tidak ingat
apa-apa. Tapi mengingat apa yang aku lihat saat ini, hal itu ternyata
memang pantas untuk diperjuangkan,” bisik Kyuhyun lirih. “Gadis
bodoh, aku sudah seterus terang ini apa kau masih tidak bisa
membaca perasaanku juga?”
TBC

Ff Superjunior : 2060 {5 St Round }


Wedding Gown Shop, Myeongdeong, Seoul
11.45 AM

“14 tahun yang nyaris terasa sia-sia karena kau tidak ingat
apa-apa. Tapi mengingat apa yang aku lihat saat ini, hal itu ternyata
memang pantas untuk diperjuangkan,” bisik Kyuhyun lirih. “Gadis
bodoh, aku sudah seterus terang ini apa kau masih tidak bisa
membaca perasaanku juga?”
Hye-Na mengerjap, membiarkan tangannya meremas bagian
bawah gaunnya untuk menahan kegugupannya sendiri. Pria itu tidak
bergerak sama sekali dari posisinya semula dan matanya malah
semakin menatap mata Hye-Na dengan intens. Dia memperlihatkan
senyum setengahnya, seolah ingin menunjukkan bahwa dia sangat
menyukai apa yang ditatapnya saat ini.
“Kau menyukaiku?” tukas Hye-Na akhirnya, dengan suara
serak yang nyaris tidak terdengar. Tapi dengan posisi sedekat itu,
nyaris mustahil jika Kyuhyun tidak bisa mendengarnya.
Kyuhyun mendengus, tak percaya mendengar ucapan polos
gadis itu.
“Suka? Apa menurutmu aku akan dengan bodohnya menunggu
seseorang selama 14 tahun hanya untuk satu kata suka?”

Kyuhyun menegakkan tubuhnya dengan tangan yang terbenam


di saku celana. Matanya menyipit tajam, seakan ingin menelan gadis di
depannya itu bulat-bulat karena sudah membuatnya kesal.
“Aku akan menahan diri lagi untuk kali ini. Tapi ingat, setelah
kita mengucapkan janji di depan altar, aku benar-benar sudah
dihalalkan melakukan apapun padamu. Kedengarannya sangat
menyenangkan bukan?”
***

Eunhyuk’s Home, Yeoju, Seoul


12.00 AM
“Bangun, putri tidur! Ini sudah jam 12 siang. Apa aku harus
menciummu dulu agar kau bangun?”
Ji-Yoo merasakan kasur tempatnya sedang berbaring
bergerak sehingga dia menggeliat sedikit dan mengerjap-ngerjapkan
matanya, membiasakan indera penglihatannya dengan cahaya matahari
yang tiba-tiba menyergap masuk.
“Ne?” gumamnya dengan suara serak. “Ah, kau,” tukasnya saat
melihat bahwa Eunhyuk-lah yang mengganggu tidurnya.
Ji-Yoo menyibakkan selimutnya dan berusaha memfokuskan
pandangannya pada pria itu. Sudah beberapa hari terakhir dia tidak
tidur yang cukup, dan malam tadi untuk pertama kalinya dia bisa tidur
sangat nyenyak tanpa mimpi buruk sama sekali, jadi dia masih merasa
belum cukup istirahat saat ini.
“Aigoo aigoo,” ujar Eunhyuk sambil menyingkirkan anak
rambut Ji-Yoo yang terjuntai menutupi wajahnya lalu menyelipkannya
ke balik telinga gadis itu, membuatnya bisa bebas menatap wajah Ji-
Yoo tanpa penghalang apapun. “Jadi… wajah inikah yang akan aku lihat
setiap pagi sebangun tidur setelah kita menikah nanti?”
Ji-Yoo mengerutkan keningnya, berusaha mencerna ucapan
Eunhyuk di otaknya yang masih setengah sadar. Saat dia menyadari
maksud ucapan pria itu, Ji-Yoo buru-buru menutupi wajahnya dan
bergegas turun dari tempat tidur. Dia tidak tahu seperti apa rupanya
saat ini, tapi wajahnya saat bangun tidur bukanlah jenis wajah yang
ingin diperlihatkannya pada pria di depannya ini.
Eunhyuk tersenyum dan menahan tangan gadis itu sebelum dia
berhasil kabur. Dia membiarkan matanya menatap jari-jari lentik Ji-
Yoo yang sekarang berada dalam genggamannya, mengelusnya pelan
dengan tangan kanannya.
Eunhyuk menarik nafas ringan sebelum mendongak ke arah Ji-
Yoo yang balas menatapnya dengan wajah memerah.
“Aku selalu merasa bahwa seorang wanita baru bisa dianggap
cantik jika dia masih terlihat mempesona saat baru bangun tidur,
saat dimana kecantikan itu terlihat manusiawi, tidak terkontaminasi
cairan kimia apapun. Dan kau, Yoo, kau terlihat seperti itu di mataku.”
***
STA Building, Seoul
12.00 AM
“Kau itu ada masalah apa hah dengan Siwon? Aku tidak habis
pikir denganmu, kau selalu memperlakukannya seperti orang yang
paling kau benci di dunia dan dengan beraninya kau membatalkan
pernikahanmu dengannya tanpa alasan yang jelas. Kau tidak melihat
bahwa tadi Hye-Na benar-benar marah dengan kelakuan kekanakan
kalian berdua?” serang Leeteuk saat dia dan Eun-Ji berjalan
berdampingan di lorong berdua.
“Apa maksudmu, oppa?” tanya Eun-Ji tak acuh. “Kau tidak
tahu masalah kami berdua, jadi lebih baik kau tidak usah ikut
campur.”
Leeteuk mencekal tangan Eun-Ji dan menatap gadis itu penuh
emosi. Dia menggertakkan giginya kesal, berusaha menahan luapan
kemarahan yang sudah ditahan-tahannya dari tadi. Pria itu heran
sendiri kenapa Siwon masih tetap bersikukuh untuk mendapatkan lagi
gadis keras kepala di depannya ini.
“Siwon itu sahabatku, beginikah caranya kau memperlakukan
orang yang mencintaimu setengah mati seperti itu? Setelah dia
menyelamatkan nyawamu? Alasan bodoh macam apa yang membuatmu
melakukan ini semua?”
“Menyelamatkan nyawaku?” ulang Eun-Ji bingung.
“Hah, tentu saja kau tidak tahu,” ujar Leeteuk sinis. “Kau
memang tidak pernah tahu apa-apa, kan? Bahkan dia mengambil
resiko dikeluarkan dari organisasi hanya karena tindakan gegabahnya
itu demi menyelamatkan hidupmu. Dan Shin Eun-Ji, yang sepertinya
tidak tahu cara berterima kasih, malah memutuskan pertunangan
dengan sahabatku tanpaa penjelasan apa-apa.”
“Apa maksudmu, oppa?” desak Eun-Ji. Gadis itu sudah sibuk
memikirkan apa yang dimaksud Siwon dengan kesalahpahaman dan
sekarang Leeteuk juga mengatakan hal yang sama. Tapi yang
membuatnya kebingungan adalah ucapan Leeteuk yang mengatakan
bahwa Siwon telah menyelamatkan nyawanya? Bagaimana mungkin itu
terjadi jika dia sendiri tidak pernah merasa terancam bahaya?
“Selesaikan kisah cintamu sendiri. Aku juga punya kisah yang
harus segera aku dapatkan akhirnya. Aku bukan pria baik hati yang
bersedia menolongmu, Eun-Ji ssi. Itu balasannya karena kau sudah
menyakiti perasaan sahabatku,” tandas Leeteuk dingin, melangkah
pergi meninggalkan gadis itu begitu saja di tempatnya semula, tetap
dalam posisi awalnya. Kaku seperti patung.
***
Donghae’s Home, Gangnam, Seoul
01.00 PM

“Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Donghae sambil


mengelus pipi Ga-Eul ringan. Gadis itu sedang duduk di depan TV yang
menayangkan sebuah drama Korea dan seperti apa yang terjadi
sebelumnya, pipi gadis itu lagi-lagi memerah akibat sentuhan
Donghae.
“Baik. Eomma bilang dia ada urusan sehingga harus pulang
lebih cepat, jadi dia menyuruhku tetap di rumah sebelum kau pulang.
Tapi dia bilang kau akan pulang malam dan kata eomma aku boleh
melakukan apa saja yang aku suka agar tidak bosan. Tapi aku tidak
suka memakai kruk itu, membuat lenganku sakit. Karena itu dari tadi
aku hanya bisa duduk di depan TV saja.”
Donghae tersenyum mendengar keluhan gadis itu. Sejak
Kibum memberitahu Ga-Eul bahwa gadis itu harus banyak bicara agar
pita suaranya bisa kembali pulih, gadis itu benar-benar
melaksanakannya dengan semangat. Dia selalu mengomentari apapun
yang dilihatnya, persis sama seperti kepribadiannya sebelum
mengalami koma dulu. Mungkin dulunya Donghae akan mencari segala
cara untuk menutup mulut Ga-Eul agar berhenti bicara, tapi sekarang,
dia bahkan nyaris menangis hanya karena bisa mendengar suara
gadisnya lagi.
“Untung saja aku pulang cepat hari ini, jadi kau tidak akan
merasa bosan lebih lama lagi.”
Ga-Eul mengangguk sambil tersenyum senang.
“Donghae ssi, aku melihatmu di TV. Apa kau seorang artis?”
tanya gadis itu polos.
Donghae berjalan mengitari sofa dan duduk di samping Ga-Eul
yang masih menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ne, aku memang seorang artis. Setiap hari aku pergi keluar
rumah untuk syuting, dan biasanya pulang setelah larut malam. Tapi
kau tahu? Hari ini aku menyelesaikan semua bagianku tanpa harus
take ulang. Aku hebat, kan?”
Ga-Eul mengangguk, sedikit terpesona dengan tatapan teduh
yang memancar dari mata pria di hadapannya itu.
“Hei, bagaimana kalau siang ini kita melatih kakimu untuk
berjalan. Kau mau? Kau bilang kau tidak suka memakai kruk, kan?”
“Ne!” seru Ga-Eul semangat.
Donghae bangkit berdiri dan berjongkok di depan Ga-Eul,
membuat gadis itu menatapnya kebingungan.
“Kau sedang apa, Donghae ssi?”
Donghae berbalik dan memamerkan senyum manisnya.
Matanya berkilat-kilat bahagia karena dia bisa melaksanakan
ucapannya di depan Kibum waktu itu. Menjadi segala hal untuk gadis
di depannya ini.
“Kau tidak bisa berjalan, jadi sampai kau bisa menggunakan
kakimu lagi, biarkan aku saja yang menjadi kakimu.”
***
Cho Corp’s Private Area, Suburban of Seoul
02.00 PM

Min-Yeon menghentikan mobilnya di depan gerbang besar


yang memisahkan hiruk-pikuk kota Seoul di kejauhan dengan daerah
pinggiran kota yang nyaris hening seolah seluruh suara di-pause tiba-
tiba. Yang terdengar hanyalah suara kicauan burung dan hembusan
angin yang memberi sensasi menyenangkan.
Tidak sembarang orang bisa memasuki area pribadi ini tentu
saja. Area ini awalnya adalah lahan tak terpakai yang kemudian dibeli
Cho Corp dan dimaksimalkan sebagai kawasan peternakan,
perkebunan, dan persawahan. Semua hasil panen yang didapatkan
hanya digunakan untuk mengisi bahan makanan AutoChef saja, karena
itu restoran harus mengimpor bahan makanan dari luar negeri yang
menyebabkan mereka menjual makanan dengan harga mencekik leher.
Min-Yeon menurunkan kaca mobilnya dan menunjukkan kartu
tanda pengenalnya pada seorang pria yang berdiri di depan pos
penjaga. Pengawas itu mengambil kartu tersebut dan memasukkannya
ke dalam mesin pengenal, yang mengeluarkan bunyi TIT, tanda bahwa
kartu itu asli dan dapat digunakan. Min-Yeon menunduk dan
mengucapkan terima kasih kemudian menjalankan mobilnya lagi
melewati gerbang.
Pemandangan yang menyambut mereka setelah itu nyaris
tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Min-Yeon memang sudah
pernah kesini sebelumnya, tapi itu bahkan tidak cukup untuk
membuatnya puas dengan apa yang telah dilihatnya. Tempat itu
benar-benar mempesona, jenis tempat yang akan membuatmu betah
berada disana seumur hidupmu. Tidak heran jika beberapa penduduk
disana, yang rumahnya dibeli Cho Corp, menolak untuk pindah ke
rumah yang telah disediakan untuk mereka di kota. Mereka memilih
melamar menjadi pegawai disana, tanpa gaji, asalkan mereka diberi
makan dan tempat tinggal, karena mereka ingin menghabiskan masa
tua mereka di tempat yang tenang itu.
Tempat itu masih merupakan kawasan pegunungan yang sangat
asri. 5 kilometer pertama yang mereka lewati merupakan kawasan
perkebunan. Ada berbagai macam buah yang ditanam disana, nyaris
semua jenis buah yang bisa kau tanam di Korea. Buah apel, jeruk,
stroberi, dan buah-buahan lain yang bergelantungan di pohonnya
terlihat sangat mengundang untuk dicicipi.
Mereka melewati kawasan itu dan memasuki area padang
rumput besar dan bangunan-bangunan kayu yang menjadi tempat
tinggal bagi hewan-hewan yang diternakkan disana. Ada banyak sapi,
domba, dan kuda-kuda yang sedang merumput, diawasi oleh beberapa
pekerja yang menunggu di luar pagar pembatas yang memisahkan
tempat itu dari jalanan, agar hewan-hewan itu tidak berkeliaran
keluar.
Mata mereka selanjutnya dimanjakan dengan pemandangan
persawahan yang hijau dan menyegarkan. Sungmin berkali-kali
berusaha mengendalikan ekspresi terpesonanya, tapi tidak pernah
berhasil. Semua yang ada disana benar-benar menakjubkan, Sungmin
tidak akan heran jika semua orang yang melihat tempat ini tidak akan
bisa mengatupkan mulutnya.
“Kau lihat? Inilah yang dilakukan perusahaan yang kau benci
setengah mati itu. Perusahaan yang kau bilang melupakan alam dan
kerjanya hanya membangun gedung-gedung dan membuat benda-
benda modern saja. Orang-orang tidak tahu apa yang mereka lakukan
di belakang, kerja kalian hanya memprotes saja.”
“Kenapa mereka tidak pernah menunjukkan hal ini pada
publik?”
“Untuk apa? Kebanyakan orang hanya mau menerima hasilnya
saja, tidak peduli bagaimana proses sulit untuk menghasilkannya.
Kalau mereka semua tahu bisa-bisa tempat ini malah dijadikan lokasi
wisata.”
Sungmin mengangguk membenarkan.
“Jadi… apa semua orang yang mencari gara-gara sepertiku
kau bawa kesini?”
“Tidak, kau orang pertama. Kau kan ketuanya.”
Sungmin tertawa kecil, membuat Min-Yeon berpikir betapa
seperti anak-anaknya wajah pria itu.
“Kenapa kau memandangiku begitu?” tanya Sungmin heran.
“Tidak. Aneh saja. Masa umurmu sudah 25 tapi wajahmu
terlihat seperti anak berumur 17 tahun.”
“Itu pujian atau ejekan?”
“Tergantung kau melihatnya dari sudut mana,” jawab Min-
Yeon santai.
Sungmin mengedikkan bahunya dan mulai menikmati
pemandangan di luar jendela mobil lagi.
“Jalanan ini menuju kemana?”
“Penginapan para pegawai. Di kaki gunung. Tapi ada juga
beberapa penginapan di atas bukit, disana ada kamar-kamar untuk
keluarga para pegawai yang datang menjenguk. Kupikir kau mau
mewawancarai beberapa dari mereka, biar kau tidak berpikir bahwa
aku menipumu.”
“Pikiranmu negatif sekali terhadapku. Aku percaya. Tapi
usulmu boleh juga. Sudah begitu lama aku tidak melihat tempat
seperti ini, ada banyak hal yang ingin kutanyakan pada mereka. Apa
menurutmu Cho Corp masih membuka lowongan untuk menjadi pegawai
disini? Aku rasa aku berminat.”
Min-Yeon tertawa tak percaya mendengar ucapan pria itu.
Bagaimana mungkin seseorang bisa berubah pikiran secepat itu? Apa
dia begitu tergila-gila ingin menjadi petani?
“Hei, kau bilang tadi disini ada penginapan? Bagaimana kalau
kita menginap saja? Jarak dari sini ke Seoul nyaris 7 jam, belum
dihitung dengan waktu yang akan kita habiskan untuk mengelilingi
tempat ini. Bagaimana menurutmu?”
Kali ini Min-Yeon hanya bisa ternganga. Dia bahkan tidak bisa
memaksa mulutnya untuk mengatup.
“Menginap?” ulangnya syok.
“Mmm hmm. Aku pasti tidak akan diperbolehkan tinggal jika
kau kembali ke Seoul, padahal aku ingin sekali menghabiskan lebih
banyak waktu disini,” ujar Sungmin dengan wajah memelas.
Min-Yeon menggeram dalam hati. Wajah pria itu membuatnya
tidak bisa mengatakan tidak. Gadis itu bahkan mulai merasa aneh
dengan dirinya sendiri.
“Yeonnie… ya?”
“Yeonnie?” Suara Min-Yeon naik tiga oktaf saat mendengar
cara Sungmin menyebutkan namanya.
“Ne, Yeonnie!” seru Sungmin semangat. “Mulai detik ini kau
menjadi sahabatku! Jadi ayolah, kita menginap disini, ya? Masa kau
mau menyia-nyiakan pemandangan seindah ini begitu saja?”
Min-Yeon mengerjap, mendadak kehilangan fokusnya. Sial,
pria ini sedang menggodanya, ya?
***
Zhoumi’s Home, Seoul
02.00 PM

Yu-Na menundukkan wajahnya ketakutan. Tangannya


memutar-mutar cangkir teh dalam genggamannya dengan gelisah.
Berada di bawah tatapan tajam seorang Zhoumi bukanlah hal yang
menyenangkan, tidak peduli setampan apapun pria itu.
“Agen CIA? Apa urusannya CIA dengan ini semua?”
Yu-Na membuka mulutnya ragu. Kalau dia memberitahu pria
ini, mungkin saja dia bisa lolos dari kemungkinan dilenyapkan oleh Cho
Corp, tapi di sisi lain, dia tidak mungkin bisa lepas dari cengkeraman
CIA.
“Aku akan meminta Kyuhyun memberikan perlindungan penuh
padamu. Aku tahu akan sulit jika berurusan dengan CIA dan aku rasa
satu-satunya yang ditakuti CIA hanya KNI, jadi kau bisa merasa
aman. Mereka tidak akan bisa menyentuhmu disini. Asalkan kau mau
tetap bertahan di Korea,” sela Zhoumi seolah bisa membaca pikiran
gadis itu. “Lagipula walaupun kau tidak mengaku padaku, mereka tetap
tidak akan melepaskanmu karena kami sudah mengetahui identitasmu.
Jadi akan sama saja pada akhirnya.”
Yu-Na menghela nafasnya berat. Rasa hangat yang mengalir
dari cangkir teh ke tangannya tidak membantu menenangkannya sama
sekali.
“Bicaralah, atau aku perlu menggunakan serum kebenaranku
untuk membuatmu membuka mulut?”
Yu-Na terlonjak di kursinya dan menatap Zhoumi dengan
sorot mata takut.
“Aku tidak akan sesadis itu kalau kau bersedia untuk bekerja
sama,” tukas Zhoumi santai.
“Aku… ditugaskan untuk mencuri formula serum terbarumu
dan menyerahkannya pada mereka.”
“Dan kau bersedia mengkhianati negaramu sendiri untuk
mereka?”
“Aku rasa… aku tidak memiliki ikatan apapun dengan negara
ini. Sejak ibuku meninggal, ayahku membawaku ke Amerika dan kami
tidak pernah lagi kembali ke negara ini sejak saat itu.”
“Tapi itu bukan berarti kau bisa bertindak seperti ini!
Bagaimanapun Korea adalah tanah kelahiranmu! Coba kutebak kenapa
mereka mengumpankanmu padaku. Karena kau orang Korea. Benar,
kan?”
Yu-Na sedikit menganga karena ucapan Zhoumi yang tepat
sasaran.
“Kau tahu kenapa? Karena jika kau ketahuan dan kami
memutuskan melenyapkanmu, mereka tidak akan rugi apa-apa. Kau
hanya pegawai biasa, dan bukan orang Amerika. Apa kau belum paham
juga bagaimana cara organisasi itu bekerja? Lakukan segala hal
selicin mungkin dan minimalisir kerugian macam apapun. Itulah alasan
mereka merekrut pegawai non-Amerika ke dalam organisasi mereka.”
Pernyataan pria itu menjawab pertanyaan Yu-Na selama ini.
Alasan kenapa CIA merekrut banyak pegawai non-Amerika, padahal
jelas-jelas itu adalah organisasi perlindungan dan pertahanan
Amerika yang bergerak dalam kerahasiaan, alasan kenapa dia yang
awalnya hanya bekerja di balik meja tiba-tiba diminta turun langsung
ke lapangan untuk melakukan pekerjaan berbahaya. Dia mendadak
merasa tidak berharga sama sekali. Seluruh kebanggaan menjadi
bagian dari organisasi paling terkenal di dunia itu lenyap begitu saja
tanpa bekas.
Yu-Na sedikit terkejut saat Zhoumi menyentuh tangannya
dan mengeratkan genggaman gadis itu pada cangkir yang dari tadi
hanya dipegangnya, tanpa diminum sama sekali.
“Minumlah tehmu. Kau terlalu gugup. Tenang saja, aku tidak
memasukkan apa-apa ke dalamnya.”
“Ah, ani. Aku tidak menuduhmu seperti itu,” sergaah Yu-Na
salah tingkah. Sentuhan tangan besar pria itu di kulitnya terasa
sangat hangat dan menenangkan, dan nada suaranya jauh lebih
bersahabat daripada tadi.
Dengan gugup Yu-Na mengangkat cangkirnya dan meminum
tehnya yang sudah mulai mendingin. Dia tidak berminat minum
sebenarnya. Gadis itu hanya mencari cara untuk meloloskan diri dari
sentuhan pria itu, yang anehnya, berhasil membuat fungsi otaknya
sedikit macat dan jantungnya terlalu berlebihan dalam memompa
darah, sampai detakannya terasa sedikit menyakitkan.
Tidak, Kwon Yu-Na, batinnya. Ini bukan saatnya kau
memikirkan hal remeh seperti itu.
Tiba-tiba Zhoumi bangkit berdiri dan dalam gerakan pelan
mengacak-acak rambut Yu-Na, membuat gadis itu mendongak kaget.
“Aku akan menyiapkan kamar untukmu. Lebih baik kau
beristirahat sekarang. Wajahmu kelihatan sangat kelelahan. Kau juga
bisa mandi kalau kau mau. Anggap saja rumah sendiri,” tawar Zhoumi.
Senyum pertama dalam satu jam terakhir akhirnya melintas di wajah
pria itu. Sempat membutakan Yu-Na sesaat, karena senyum itu
terlihat manis sekali.
“Aku akan melindungimu selama beberapa hari ke depan
sampai aku bisa menemui Kyuhyun dan menjelaskan keadaannya.
Tenang saja, kau aman bersamaku.”
***
Heechul’s Home, Gangnam, Seoul
08.00 PM

“Oppa, kau sedang menonton apa?” tanya Min-Hyo ingin


tahu sambil membawa dua kaleng coke di tangannya. Dia menyerahkan
salah satu kaleng itu kepada Heechul kemudian menghempaskan
tubuhnya ke atas sofa, berseberangan dengan pria itu.
Mereka memang sudah cukup dekat, jika pengurangan
intensitas teriakan Heechul padanya itu bisa dihitung sebagai
perkembangan signifikan dalam hubungan pembantu-majikan mereka.
Walaupun pria itu masih sering kesal jika ada debu di rumah – Min-
Hyo heran dengan kegilaan pria itu terhadap kebersihan – tapi selain
itu tidak ada masalah yang terlalu berarti. Heechul bahkan sering
mengajak Min-Hyo bicara dan bertukar pikiran yang berakhir dengan
melonjaknya emosi pria itu karena kadang-kadang jawaban Min-Hyo
yang terdengar terlalu polos dan bodoh. Dan Heechul juga sudah
mewanti-wanti gadis itu agar memanggilnya dengan sebutan oppa
kalau tidak mau membuatnya mengamuk. Satu-satunya kecanggungan
di antara mereka hanyalah kenyataan bahwa Heechul masih sedikit
keberatan jika Min-Hyo berada terlalu dekat dengannya, apalagi jika
mereka sampai bersentuhan.
“Genre filmnya pembunuhan, tapi sudah satu jam aku
menonton bahkan tidak ada tanda-tanda akan terjadinya pembunuhan
sama sekali. Cipratan darah saja tidak ada.”
“Lalu kenapa kau masih betah menonton?”
“Aku tidak punya kegiatan lain. Tutup mulutmu, mengganggu
konsentrasiku saja.”
Min-Hyo mengerucutkan bibirnya dan memilih mematuhi
ucapan pria itu. Dia masih trauma mendengar teriakan Heechul, jadi
akan lebih baik jika dia tidak mencari gara-gara dengan pria itu.
15 menit berlalu dan film itu masih berjalan sedikit
membosankan. Tapi hanya sebentar, karena saat berikutnya adegan
film itu mulai menunjukkan flashback pembunuhan sadis yang
dilakukan ibu si tokoh utama terhadap suaminya sendiri hanya karena
suaminya itu sakit-sakitan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup
mereka yang semakin menghimpit. Belum lagi obat-obatan mahal yang
harus dibeli untuk mempertahankan hidup suaminya itu. Wanita itu
membunuh di depan anaknya sendiri dan itulah alasan yang
menyebabkan si anak tumbuh menjadi seorang pembunuh berdarah
dingin.
Tubuh Heechul menegang dan keringat dingin mulai mengalir
deras di pelipisnya. Pria itu mencengkeram lengan sofa, berusaha
meredam getaran di tubuhnya. Tangan kanannya memegangi kepalanya
yang mendadak sakit, seolah ditusuk ribuan jarum tajam. Memori
menyakitkan itu kembali membanjiri benaknya. Ingatan yang sangat
ingin dilupakannya, tapi selalu menghantuinya seperti bayangan.
“Eomma, apa yang kau lakukan pada appa?” teriak Heechul
kecil ketakutan. Bocah itu menarik lengan baju ibunya agar berhenti
memukuli tubuh ringkih appa-nya dengan sapu. Tubuh pria itu sudah
berdarah-darah dan bahkan dia sudah tidak sadarkan diri, tapi ibunya
sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
“Diam kau, anak kecil! Ayahmu ini bisanya hanya menyusahkan
saja! Setiap hari mabuk, bermain wanita, sedangkan aku membanting
tulang mencari uang! Kau pikir ini saja sudah cukup? Aku akan
membuatnya mati dengan menderita! Manusia seperti ayahmu ini sama
sekali tidak pantas hidup di dunia!”
Wanita itu beranjak ke dapur dan kembali dengan sebuah
pisau di tangannya. Dia mendorong tubuh Heechul ke dinding dengan
kasar sampai kepala anak itu terbentur dan dengan penuh emosi, dia
mulai menusukkan pisau di tangannya ke tubuh pria yang sangat
dibencinya itu. Semakin banyak darah yang bercipratan ke tubuhnya,
semakin keras tawa wanita itu.
“MATI KAU, KIM SHIN-HO!!! MATI KAU!!!”

“AAAAAAARGH!!!!!!!!!!!!!!!” teriak Heechul kesakitan sambil


memegangi kepalanya. Dia membenamkan kepalanya ke lutut dan
meremas rambutnya frustasi. Tubuh pria itu berguncang tak
terkendali, seolah sedang merasakan ketakutan yang amat sangat.
“Oppa,” panggil Min-Hyo takut-takut. “Oppa, kau kenapa?”
Berusaha menahan rasa takutnya terhadap Heechul, Min-Hyo
mengulurkan tangannya dan menyentuh lengan pria itu dengan hati-
hati. Tidak ada penolakan, karena pikiran pria itu sepertinya tidak
ada disana.
“Oppa, gwaenchana?”
Heechul mendongak dan menatap Min-Hyo yang berdiri di
depannya dengan mata yang tak fokus.
“Oppa….”
“Aku takut,” ujar Heechul dengan suara serak. “Wanita itu
membunuh ayahku. Wanita yang mengaku sebagai ibuku itu membunuh
ayahku dan dia ingin membunuhku juga.”
Min-Hyo tertegun mendengar ucapan pria itu. Ibunya…
membunuh ayahnya sendiri? Di depannya?
Min-Hyo menghela nafas, akhirnya memahami alasan mengapa
Heechul sangat takut dengan wanita. Karena trauma pembunuhan itu
menguasainya seumur hidup, membayangi otak pria itu seperti
parasit. Parasit yang tidak bisa dihilangkan.
“Aku senang wanita itu akhirnya mati di penjara. Dia layak
mendapatkannya! Tapi kenapa dia terus menerus muncul di kepalaku
seperti hantu? Aku mebencinya! Setiap bagian tubuhnya, apapun yang
ada di dirinya, aku membencinya setengah mati.”
Min-Hyo mengelus rambut Heechul dan menangkup wajah pria
itu dengan kedua tangannya. Wajah yang mulus seperti porselen itu
terlihat begitu menderita, nyaris tidak tertahankan untuk sekedar
menyentuhnya.
“Gwaenchana. Dia sudah tidak ada lagi untuk menyakitimu. Kau
aman, oppa. Dan sekarang kau punya aku.”
Seolah ingin menunjukkan rasa percayanya pada ucapan Min-
Hyo, Heechul merengkuh pinggang gadis itu dan membenamkan
wajahnya di perut Min-Hyo yang masih berdiri. Gadis itu sedikit
tersentak, tapi sama sekali tidak mendorong Heechul, membiarkan
pria itu mengeluarkan seluruh rasa sakit yang ditahannya sendiri
selama bertahun-tahun.
“Aku tidak percaya,” kata Heechul lirih setelah beberapa
saat berlalu. “Kau tahu? Kau gadis pertama yang kubiarkan
menyentuhku sebanyak ini.”
***
Kibum’s Flat
09.00 PM

“Kau sudah pulang?” sapa Kibum tanpa mengalihkan


tatapannya dari layar laptopnya yang menampilkan formula serum
terbaru yang sedang dikerjakannya saat pintu apartemennya terbuka
dan Noumi masuk ke ruang tamu.
“Oppa, hari ini aku bahagia sekali!” seru Noumi dengan senyum
lebar tersungging di wajah manisnya, walaupun lebam-lebam membiru
masih sedikit membekas disana.
“Wae? Hari ini dia tidak memukulimu?” tanya Kibum dingin.
Noumi mengacuhkan nada bicara pria itu. Dia menarik kursi di
depan Kibum dan duduk di atasnya sambil menatap pria itu dengan
wajah bahagia.
“Dae-Hyun oppa melamarku!” seru Nou-Mi senang, sama sekali
tidak tahu betapa ucapannya itu akan menghancurkan pria di
hadapannya.
Kibum mendongak dan menatap gadis itu tanpa ekspresi. Dia
bahkan tidak bisa berpikir untuk mengeluarkan ekspresi sama sekali.
Penglihatannya mendadak menjadi kabur dan dia sedikit ketakutan
saat mengetahui dia tidak bisa melihat wajah gadisnya dengan jelas.
Kibum menunduk lagi dan meletakkan tangannya di kening,
berusaha menemukan fokusnya kembali. Mendadak dia merasa sia-sia
saja waktu yang dihabiskannya untuk membuat gadis di depannya ini
jatuh cinta padanya, karena pada akhirnya semua usaha yang dia
lakukan sama sekali tidak berguna. Dia bahkan ingin sekali
menertawakan dirinya sendiri, menertawakan kepercayaan dirinya
bahwa cepat atau lambat Nou-Mi akan menyadari kesalahannya dan
berhenti menyakiti dirinya dengan hubungannya dengan namja itu,
kepercayaannya bahwa jika dia menunggu sedikit lebih lama lagi,
gadis itu akan mulai menoleh padanya dan menyadari perasaannya.
Entah dia yang terlalu bodoh atau gadis di depannya ini yang benar-
benar bodoh.
“Kau benar-benar mencintainya?” tanya Kibum dengan suara
lirih, nyaris tidak terdengar.
Nou-Mi bergerak gelisah di atas kursinya mendengar
pertanyaan itu. Mendengar suara pria yang sudah hidup bersamanya
selama bertahun-tahun itu membuatnya sedikit ragu. Suara itu
terdengar penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan, yang Nou-Mi
tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi.
Nou-Mi menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, nyaris bisa
merasakan rasa asin darah yang berasal dari bibirnya.
Kegembiraannya tadi mendadak lenyap begitu saja hanya karena
suara pria itu. Terkadang dia merasa perhatian Kibum padanya nyaris
lebih dari sekedar sahabat. Tapi gadis itu berusaha tidak berharap
terlalu banyak. Dia tidak bisa membiarkan perasaannya berkembang
terlalu jauh pada pria itu jika akhirnya perasaan itu menjadi tidak
terkendali dan akan menyakiti mereka berdua. Ada rahasia besar
yang disimpan Nou-Mi, rahasia yang tidak bisa disampaikannya pada
Kibum. Rahasia yang akan membuat hubungan mereka berantakan
seketika dan Nou-Mi tahu bahwa jika Kibum mengetahuinya, pria itu
akan meninggalkannya dan berharap bahwa seharusnya dia tidak
pernah mengenal Nou-Mi seumur hidupnya. Membayangkan hal itu
saja Nou-Mi sudah ketakutan setengah mati.
Dia mencintai Dae-Hyun, tentu saja. Tapi Nou-Mi tahu dengan
persis tanpa siapa dia tidak bisa hidup dan orang itu bukan Dae-Hyun.
Dan tidak akan pernah menjadi Dae-Hyun.
“Kau pernah mempertimbangkan perasaanku? Tidak? Yang ada
di otakmu hanya dia saja, kan? Bagaimana priamu bisa bahagia,
bagaimana kau bisa terus bersamanya, tanpa memikirkan berapa
banyak rasa sakit yang aku terima atas perbuatanmu.” Kibum menarik
nafas berat dan menatap Nou-Mi lekat-lekat. “Aku tahu kau tidak
bodoh, Nou-Mi~ya. Kau pasti tahu bagaimana perasaanku padamu,
kan? Seharusnya kau bisa bersikap adil. Kau mempertimbangkan dia.
Bagaimana kalau kau juga mulai mempertimbangkan aku? Aku juga
mencintaimu.”
***
Donghae’s Home, Gangnam, Seoul
10.00 PM

“Tidurlah,” ujar Donghae sambil menaikkan selimut sampai


sebatas dada Ga-Eul. Dia duduk di pinggir kasur tempat gadis itu
berbaring, masih dalam kesenangannya menatap wajah gadis itu.
“Kalau kau masih disini bagaimana aku bisa tidur, Donghae
ssi?” tanya Ga-Eul salah tingkah.
“Kau biasanya selalu memanggilku Hae oppa,” gumam Donghae
sambil mengelus rambut ikal gadis itu.
“Ne?” tanya Ga-Eul kebingungan.
“Berhentilah memanggilku Donghae ssi, aku bukan orang asing
untukmu. Kita nyaris saling mengenal seumur hidup, Ga-Eul~a.”
“Ah, ne, Hae oppa,” ujar Ga-Eul dengan wajah memerah.
Donghae tersenyum puas dan mengacak-acak rambut Ga-Eul.
“Kalau begitu tidurlah,” kata pria itu sambil mencondongkan
tubuhnya dan mengecup kening Ga-Eul pelan. Dia bangkit berdiri dan
berjalan menuju pintu keluar.
“Ah, dan Ga-Eul~a,” ujar Donghae menggantung, tangan pria
itu memegang kenop pintu yang baru setengah terbuka.
“Ne?”
“Saranghae,” ucapnya dengan senyum lebar terkembang di
wajah tampannya. Donghae menutup pintu itu, meninggalkan Ga-Eul
yang terpaku sendirian.
***
Mountain Resort, Cho Corp’s Private Area, Suburban of Seoul
07.00 AM

Min-Yeon berjalan malas-malasan di belakang Sungmin


sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal. Pria itu dengan
seenaknya mengganggu tidur nyenyaknya di pagi buta seperti ini
hanya untuk meminta Min-Yeon menemaninya jalan-jalan. Padahal
gadis itu baru saja tidur lewat tengah malam dan hal itu terjadi lagi-
lagi karena kelakuan super ajaib pria di depannya ini yang mengajak
Min-Yeon menemui setiap pegawai dan bertanya hal-hal membosankan
tentang bagaimana cara mereka mengoperasikan tempat
semenakjubkan ini. Min-Yeon nyaris stress dan frustasi hanya gara-
gara seorang Lee Sungmin. Dia bahkan menyesali keputusannya untuk
membawa pria itu kesini, mengingat betapa fanatiknya pria itu dengan
alam dan sekarang, Min-Yeon lah yang kena getahnya.
“Kau mau membawaku kemana?” tanya Min-Yeon sambil
menutup mulutnya menahan kuap.
“Aku meminjam sepeda dari Min ajjumma, bagaimana kalau
kita berkeliling? Udaranya segar sekali, kita bisa sekalian
berolahraga dan menikmati pemandangan.”
Min-Hyo menatap sepeda yang dimaksud pria itu dan langsung
mengerutkan keningnya. Sepeda itu hanya ada satu, walaupun memang
ada sadel tambahan di bagian belakangnya. Tapi… apa pria itu
bermaksud untuk….
“Maksudmu kita bersepeda berdua? Kau memboncengku
begitu?” tanya Min-Yeon kaget.
Sungmin tersenyum manis dan mengangguk.
“Memangnya apa lagi?”
“Ta… tapi….”
“Anggap saja kita sedang merayakan hari pertama
persahabatan kita. Jadi sekarang kita harus saling mendekatkan diri.”
“Siapa yang mau menjadi sahabatmu, hah?” dengus Min-Yeon.
“Kajja!” seru Sungmin yang sudah bersiap di atas sepedanya,
tidak mendengarkan keluhan Min-Yeon sama sekali.
Gadis itu mendengus lagi dan menahan luapan kekesalan yang
ingin dia keluarkan. Dengan perasaan setengah ingin mencekik leher
pria itu, Min-Yeon mendudukkan tubuhnya ke atas sadel bagian
belakang sepeda dan memegangi bagian pinggang sweater yang
dipakai Sungmin. Seorang pekerja meminjamkan sweater itu pada
Sungmin karena pria itu tidak membawa baju ganti. Min-Yeon sendiri
beruntung karena dia selalu membawa satu stel pakaian ganti di
mobilnya.
“Pegangan padaku, kau mau terjatuh dan mengalami patah
pinggang, hah?” komentar Sungmin melihat Min-Yeon yang hanya
mencengkeram ujung sweaternya.
Min-Yeon menjulurkan lidahnya ke arah punggung Sungmin
dan melingkarkan lengannya ke sekeliling pinggang pria itu.
Astaga, apa yang sedang dilakukannya saat ini? Kenapa adegan
ini persis sama dengan drama-drama Korea yang pernah ditontonnya?
***
“Aaaaa, yeppeuda!!!” seru Min-Yeon kagum saat melihat
padang bunga yang membentang di sepanjang jalan setapak menuju
perkebunan buah. Ini jalan yang berbeda dengan jalan yang mereka
lalui dengan mobil kemarin, jadi Min-Yeon tidak tahu jika ada tempat
seperti ini disini. tapi dari mana pria di depannya ini tahu?
“Seorang pekerja memberitahuku. Dia bilang ikuti saja jalan
setapak,” ujar Sungmin seolah bisa membaca pikiran gadis itu.
Sungmin menghentikan sepedanya kemudian menyandarkan
benda itu ke batang pohon apel yang langsung menghadap ke arah
padang bunga itu. Dia menurunkan keranjang piknik yang dibawanya
tadi, membuat kening Min-Yeon berkerut bingung. Sejak kapan pria
itu membawa-bawa benda seperti itu? Ah, pasti dia saja yang terlalu
kesal sampai tidak memperhatikannya.
“Min ajjumma memberikan ini padaku. Dia baru saja selesai
memanggang roti gandum dan pai buah saat aku meminjam sepeda.
Dia menyarankan kenapa tidak piknik saja sekalian, jadi aku mengikuti
sarannya,” jelas Sungmin sambil membentangkan taplak ke atas
rumput dan meletakkan keranjang berisi makanan itu di atasnya.
Min-Yeon bisa menghirup bau harum roti yang baru saja
selesai dipanggang dan wangi manis pai buah, wangi yang sudah
bertahun-tahun tidak dihirupnya. Ternyata mencium wangi seharum
itu lagi di tempat seindah ini membuatnya merasa kembali ke zaman
sebelum semua peralatan modern itu diciptakan dan itu sama sekali
bukan hal yang buruk.
“Buatan rumah memang selalu lebih enak, kan?” ujar Sungmin
menyuarakan pikiran Min-Yeon dan mengulurkan setangkup roti
gandum ke arahnya.
“Gomaweo,” tukas Min-Yeon, dengan senang menggigit roti
itu, merasakan tekstur lembutnya di lidah dan rasa nikmat yang
menjalar di kerongkongannya.
“Bukan sesuatu yang bisa kau dapatkan dari AutoChef, kan?
Kecuali kalau kau memang memiliki AutoChef mahal yang bisa
menghasilkan makanan seenak itu.”
“Bukankah seharusnya kita tidak membicarakan hal ini lagi?”
“Aku hanya memberitahumu beberapa kekurangan dari semua
hal modern ini,” kata Sungmin sambil bangkit berdiri. Dia memetik
dua buah apel di dahan paling rendah yang bisa dijangkaunya dan
menyerahkan salah satunya kepada Min-Yeon.
Pria itu duduk lagi di samping Min-Yeon dan memperhatikan
buah apel dalam genggamannya. Dia tersenyum sesaat seolah sedang
mengenang masa lalu. Ada raut kesedihan yang sedikit membayang di
wajah mulusnya.
“Rae-Jin pasti akan sangat menyukai tempat ini. Buah
kesukaannya juga apel. Seharusnya aku bisa membawanya melihat
tempat ini.”
“Rae-Jin? Siapa?”
Sungmin menoleh ke arah Min-Yeon dan menatap gadis itu
dengan mata teduhnya.
“Shin Rae-Jin. Tunanganku.”
***
KNI Building
12.00 AM

“Kau suka sekali berada disini, ya? Aku jadi mudah jika
ingin menemukanmu,” komentar Leeteuk sambil menjatuhkan
tubuhnya ke atas kursi besi di samping Eun-Kyo. Tempat yang sama,
kursi yang sama, danau dan pemandangan yang sama.
“Seingatku setiap jam istirahat aku memang selalu berada
disini.”
“Kau selalu mengandalkan ingatanmu, ya?” gumam Leeteuk
pelan. “Kau sudah makan?”
Eun-Kyo mengangguk.
Leeteuk menyelonjorkan kakinya dan menatap air tenang di
depan mereka dengan pandangan menerawang. Dia sama sekali tidak
mengerti apa yang sedang dilakukannya saat ini. Gadis yang duduk di
sampingnya ini adalah gadis yang pernah ditolaknya dulu karena dia
merasa tidak ada ketertarikan sedikitpun di antara mereka, tapi lihat
apa yang dia lakukan sekarang, dia malah mencari-cari gadis itu saat
gadis itu tidak ada dalam jarak pandangnya, dia bahkan sering
memperhatikan gadis itu dari jauh secara diam-diam. Perasaan macam
apa itu namanya? Kenapa hatinya bisa terlalu cepat berubah?
“Bagaimana kalau kau menceritakan segala hal tentang dirimu
padaku?” pinta Leeteuk sambil menoleh ke arah Eun-Kyo yang balas
menatapnya dengan bingung.
“Untuk apa?”
“Apa aku tidak boleh mengenalmu lebih jauh?”
Mata Eun-Kyo mengerjap, masih kebingungan dengan
permintaan Leeteuk.
“Apa yang kau suka, apa yang tidak kau suka. Beritahukan
semuanya padaku.”
“Aku… aku menyukai nasi goreng, jus melon, ice tea, es krim….
Aku lebih suka menonton film daripada membaca buku, terutama
film-film romantis. Aku merasa warna ungu itu sangat manis. Dan…
aku tidak terlalu suka berdandan. Aku lebih memilih pantai daripada
gunung.”
Leeteuk mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir
gadis itu dengan cermat, berusaha merekam setiap ucapan gadis itu
dalam memorinya, walaupun suatu saat memori itu juga akan segera
memudar. Selama ini dia tidak pernah menghabiskan banyak waktu
dengan gadis di depannya itu, yang dilakukannya hanyalah
memberitahu gadis itu bahwa dia tidak suka jika gadis itu selalu
mengikutinya kemanapun dia pergi, karena hakikat pria adalah untuk
mengejar, bukan dikejar. Dia tidak pernah membiarkan sosok gadis
itu bertahan lama dalam penglihatannya, tidak pernah mendengarkan
gadis itu bicara, tidak mau berusaha mengamati setiap gerak-
geriknya. Tidak heran kalau Leeteuk baru mengetahui bahwa suara
gadis itu sangat lembut, ekspresi yang terpancar dari wajahnya
terlihat sangat enak dipandang, bahwa apa yang sedang dilakukannya,
sengaja ataupun tidak, membuat auranya semakin terlihat memukau.
Hal-hal luar biasa seperti itu, hal-hal yang tidak pernah diakuinya
selama ini.
“Kau tahu?” potong Leeteuk, menghentikan ucapan Eun-Kyo.
Pria itu mencondongkan tubuhnya dan menyapukan sebuah kecupan
singkat di pipi gadis itu, kemudian tersenyum manis, menampakkan
lesung pipinya yang menawan. “Bagaimana kalau mulai sekarang kau
membiarkan aku mengejarmu?”
***
Eunhyuk’s Home, Yeoju, Seoul
07.00 PM

Ji-Yoo mengetuk ruang kerja Eunhyuk ragu-ragu dan


melongokkan kepalanya masuk.
“Oppa, eomma bilang sudah waktunya makan malam.”
Eunhyuk mendongak dari layar laptopnya dan memberi tanda
agar gadis itu masuk.
“Sejak kapan kau memanggil eomma pada ibuku?” tanya
Eunhyuk ingin tahu dengan senyum senang terkembang di wajahnya
saat gadis itu sudah berdiri di sampingnya.
“Ibumu tidak mau bicara denganku kalau aku tidak
memanggilnya eomma,” rajuk Ji-Yoo. “Ayo makan, mereka menyuruhku
memanggilmu. Mereka bilang kau tidak akan mau turun kalau mereka
yang memanggilmu. Kalau kau mau makan kau menyuruh Shin ajjumma
mengantarkan makanan kesini, atau kadang kau malah tidak makan
sama sekali. Itu tidak baik untuk kesehatanmu, kau tahu.”
Dengan gerakan cepat Eunhyuk merengkuh pinggang Ji-Yoo,
mendudukkannya ke atas pangkuannya sendiri, dan meletakkan
dagunya di bahu gadis itu. Tangannya melingkar di pinggang Ji-Yoo
dalam satu sentuhan ringan. Tubuh Ji-Yoo menegang seketika
menerima perlakuan tiba-tiba dari pria itu. Dia tidak habis pikir
kenapa Eunhyuk suka sekali melakukan tindakan spontan yang selalu
berhasil membuatnya kelimpungan. Apa pria itu benar-benar
bermaksud ingin memilikinya?
“Jadi kau pikir kalau kau yang memanggilku kesini, aku akan
menyerah begitu?” ujar Eunhyuk dengan senyum bermain di wajah
tampannya.
“Aku tidak berpikir begitu. Aku hanya memanggilmu kesini,
terserah kau mau ikut atau tidak.”
Eunhyuk menyentuh pipi Ji-Yoo perlahan, membuat gadis itu
terpaksa menunduk ke arahnya. Saat mata mereka bertatapan itulah
akhirnya Ji-Yoo tersadar bahwa dia benar-benar tidak akan bisa
melarikan diri dari pesona pria ini, sekeras apapun dia berusaha.
“Menurutmu bagaimana kehidupan kita setelah menikah nanti?
Aku ini serampangan, suka bertindak seenaknya, tidak suka mematuhi
aturan, memiliki reputasi buruk di mata publik. Tapi… aku pasti akan
berusaha menjadi suami yang baik untukmu dan kau bisa pegang
ucapanku, jadi kenapa kau lama sekali mengambil keputusan dan
menganggukkan kepalamu menerima lamaranku?”
“Kapan kau melamarku?”
“Di lapangan parkir waktu itu. Aku kan mengajakmu menikah.”
“Cih, romantis sekali caramu melamar seorang gadis, Tuan
Lee.”
“Kau mau aku mengajakmu makan malam di bawah cahaya lilin?
Menyuruh orang bermain biola dan piano saat aku berlutut
melaamarmu sambil menyodorkan sekotak cincin berlian? Itu bukan
gayaku. Lagipula apa susahnya mengatakan iya saja lalu kita menikah?
Repot sekali!”
Ji-Yoo menyentil kening Eunhyuk karena ucapannya yang
sembarangan itu, mendorong tubuh pria itu dan melepaskan diri dari
rangkulannya.
“Ayo makan. Aku sudah lapar. Otakmu itu tidak berjalan
dengan benar saat ini, lebih baik kau makan dulu.”
Lagi-lagi Eunhyuk menahan tangan gadis dan menariknya.
Mata Ji-Yoo membelalak kaget saat pria itu menyelipkan sesuatu di
jari manisnya. Sebuah cincin berlian yang terlihat berkilauan di
bawah siraman cahaya lampu. Dia bahkan tidak tahu bahwa Eunhyuk
sudah mempersiapkan semuanya sampai sejauh ini.
Eunhyuk menggenggam tangan Ji-Yoo dan memperhatikan jari
gadis itu dengan cermat.
“Syukurlah kalau pas. Aku tahu kau pasti tidak akan mau jika
aku tarik paksa ke toko perhiasan. Jadi aku menebak-nebak saja
berapa ukuranmu.”
Eunhyuk tersenyum lagi dan menggoyang-goyangkan tangan
Ji-Yoo yang masih berada dalam genggamannya.
“Hei, sebelum aku lupa, aku mau memberitahumu sesuatu.”
“Apa?” tanya Ji-Yoo dengan suara tercekat di tenggorokan.
“Yoo~ya…” ujar pria itu dengan suara pelan. “Saranghae.”
***

In front of Jin-Ah’s home, Seoul


11.00 PM

“Sampai,” ujar Yesung sambil menghentikan mobilnya di


depan rumah Jin-Ah.
Tidak ada sahutan apapun dari Jin-Ah, membuat Yesung
menoleh ke arah gadis itu yang ternyata sudah tertidur pulas di
bangku penumpang.
Sudah beberapa hari terakhir Yesung selalu mengantar Jin-
Ah pulang, karena entah apa masalahnya tiba-tiba saja Ryeowook
tidak pernah muncul lagi untuk menjemput gadis itu. Sepertinya
mereka sedang bertengkar atau semacamnya. Yesung sama sekali
tidak memedulikan hal itu, yang dia pikirkan hanyalah bahwa akhirnya
hubungan mereka bisa maju sejauh ini, walaupun hanya sebatas
mengantar gadis itu pulang. Setidaknya itu jauh lebih baik daripada
saat mereka hanya bertemu di lab dan mengobrol tentang cairan-
cairan kimia.
Yesung menatap wajah polos gadis yang sedang tertidur di
depannya itu lekat-lekat. Saat dalam keadaan tidak sadar seperti ini,
wajah itu terlihat begitu manis dan tidak berdosa. Jauh berbeda saat
dia dalam keadaan sadar, mulutnya nyaris tidak bisa berhenti bicara
dan kakinya itu tidak bisa berhenti berkeliaran kesana kemari. Tapi
entah kenapa Yesung menyukai kedua sisi berbeda itu. Karena
semuanya berasal dari gadis itu. Jika dia sudah mencintai seseorang,
dia akan menerima apapun, tidak peduli apakah itu baik ataupun
buruk.
“Ireona,” ujar Yesung sambil menyentuh pipi Jin-Ah untuk
membangunkannya. “Kita sudah sampai. Bangunlah.”
Jin-Ah menggeliat sesaat dan mengucek-ucek matanya.
“Aku ketiduran, ya?” ujarnya polos, membuat wajahnya
terlihat sangat imut seperti anak kecil.
“Sudah tahu kau masih saja bertanya.”
“Hehe. Terima kasih telah mengantarku.”
Jin-Ah mengambil tas tangannya dan membuka pintu mobil,
tapi terhenti karena Yesung mencekal tangannya.
“Besok… pesta pernikahan Kyuhyun… kau mau pergi
bersamaku?” tanya Yesung hati-hati, sedikit takut dengaan
kemungkinan bahwa gadis itu akan menolak ajakannya.
“Ah, tentu saja! Tapi kau harus menjemputku! Ara?”
“Kau ini perhitungan sekali,” dengus Yesung, tapi senyum
terkembang di wajah tampannya. Perkembangan hubungan mereka
pesat sekali, kan?
***

Ryeowook’s Home, Seoul


11.30 PM
Ryeowook membuka pintu kamarnya perlahan karena tidak
mau istrinya terbangun dengan kehadirannya. Sudah beberapa hari
terakhir, sejak pertengkaran mereka malam itu, Ryeowook memilih
tidur di kamar tamu. Dia tidak mau pertengkaran mereka semakin
parah jika dia memaksa berbicara dengan Ah-Zin yang masih emosi
dan tidak berkepala dingin.
Ryeowook duduk di samping ranjang, berusaha tidak
menimbulkan banyak suara. Dia mengusap rambut Ah-Zin yang sedang
tertidur lelap, dengan perlahan meenyingkirkan helaian anak rambut
yang menutupi wajah gadis itu.
Dia selalu meletakkan gadis itu dalam posisi pertama
hidupnya, mendahulukan kepentingan gadis itu di atas kepentingan
pribadinya, jadi bagaimana bisa gadis di depannya ini tetap berpikir
bahwa Ryeowook hanya menjadikannya sebagai pelarian saja? Bahkan
dia sendiri yakin bahwa perasaannya pada Jin-Ah tidak pernah lebih
dari sekedar sahabat. Mereka pacaran hanya karena desakan dari
teman-teman mereka yang mengatakan bahwa mereka berdua
terlihat cocok bersama. Bahwa tidak ada persahabatan di antara pria
dan wanita.
Ryeowook menghela nafas berat dan mengulurkan tangannya,
membenarkan posisi selimut yang menutupi tubuh Ah-Zin dan
beranjak keluar dari kamar.
Mereka butuh bicara dan Ryeowook benar-benar harus
menjelaskan semuanya. Seharusnya tidak ada gengsi lagi dalam
sebuah pernikahan, kan?
***
An Apartment, Seoul
01.00 AM

Pria itu selalu suka melakukannya. Memakaikan sarung tangan


ke tangan besarnya, menyiapkan salib yang terbuat dari besi,
membayangkan betapa banyaknya darah yang akan bercipratan saat
salib itu menembus daging gadis sialan yang sedang terbaring
telanjang di bawah kakinya.
Dia tak henti tersenyum saat menyiapkan sebuah alat yang
akan menyedot semua darah dari para korbannya. Dia senang
mendengar mereka berteriak minta tolong, merasakan kesakitan yang
luar biasa saat dia menancapkan pasak besar di lengan dan kaki
mereka, membuat mereka merasakan apa yang dirasakan Jesus-nya.
Dia tidak suka pada orang-orang yang tidak percaya agama,
karena dia sendiri adalah seorang penganut Kristiani yang taat. Dia
ingin mereka merasakan siksaan kematian di dunia sebelum mereka
sendiri akhirnya disiksa di neraka.
Dia tidak memilih korbannya sembarangan tentu saja. Dia
memilih gadis-gadis tertentu. Gadis-gadis yang merupakan keturunan
langsung dari para penjahat yang selama ini telah memburu satu-
satunya orang yang sangat disayanginya. Orang yang telah
mengadopsinya dan merawatnya sampai dia tumbuh besar. Terutama
gadis terakhir. Gadis terakhir yang akan disiksanya dengan cara
paling keji. Hidangan utama selalu disajikan paling akhir, kan?
Sayang sekali dengan kenyataan bahwa gadis itu bukan
seorang atheis. Tapi tidak masalah. Pekerjaannya selama ini sudah
sangat sempurna. Tidak apa-apa jika dia memberikan sedikit cacat di
bagian terakhir. Cacat adalah hal yang tepat untuk gadis itu.
Lalu setelah gadis itu lenyap dari atas bumi, dia bisa mulai
melanjutkan pekerjaan terbesarnya. Seseorang menyuruhnya
membunuh Sang Penguasa. Bukan hal yang sulit, mengingat orang itu
memberinya kebebasan penuh dan menjanjikan segala bantuan yang
dibutuhkannya. Dia tidak sabar ingin melakukannya. Sang Penguasa itu
juga telah merebut banyak hal yang dimilikinya. Organisasi
miliknyalah yang telah melakukan pembunuhan terhadap Shim Dae-
Ho. Jadi sudah seharusnya pula jika pria itu ikut lenyap dari muka
bumi.
Gadis di depannya sudah mulai tersadar dan mungkin
sebentar lagi akan berteriak kesakitan merasakan luka yang telah
ditorehkannya tadi. Tentu saja dia sudah menyumpal mulut gadis itu
dengan kain, jadi tidak masalah jika gadis itu mau berteriak sekeras
apapun.
Dia membungkuk di depan gadis itu dan menyeringai. Gadis itu
balas menatapnya dengan sorot mata ketakutan saat dia dengan
lembut mengangkat tubuh gadis itu, menyandarkannya ke salib besar
yang sudah terpasang di dinding.
Dia nyaris tidak bisa menahan tawa bahagianya saat dia
menusukkan salah satu pasak ke lengan kanan gadis itu. Mata gadis
itu membeliak kesakitan, sedangkan darah dari lengannya
bercipratan, mengalir deras dari nadi di pergelangan tangannya.
Hanya sedetik yang dibutuhkan untuk membuat gadis itu kehilangan
kesadarannya lagi dan mungkin mata itu benar-benar tidak akan
terbuka lagi selamanya.
Darah…. Bukankah bau darah itu sangat nikmat? Tapi akan
lebih nikmat lagi jika dia bisa mencium bau darah gadis pembunuh itu.
***
Hye-Na’s Apartment, Seoul
07.00 AM

“Ayo berangkat! Kau ini bagaimana? Hari ini hari


pernikahanmu! Tapi kenapa kau bersikap seperti akan dikirim ke tiang
gantungan?” seru Eun-Ji habis kesabaran sambil menyikut lengan
Hye-Na yang masih betah duduk di atas sofa. Gadis itu bersikeras
tidur di apartemen dan tidak mau pulang ke rumah suaminya dengan
alasan aneh tentang pengantin yang tidak boleh saling bertemu
sebelum mengucapkan janji di depan altar.
“Pernikahannya kan jam 9.”
“Tapi kau harus didandani dulu, babo!”
“Kenapa aku tidak boleh pakai baju ini saja?” tukas Hye-Na
cuek, merujuk pada blus biru muda dan celana jins putih yang sedang
dipakainya.
“Aish, gadis ini benar-benar sudah gila dan tidak waras! Cepat
bangun atau aku akan menyeretmu kesana!”
Hye-Na baru akan membuka mulutnua untuk mengajukan
protes lagi saatcommunicator-nya berbunyi, menandakan ada
panggilan masuk.
“Nona Han, kami diperintahkan untuk menghubungi langsung
jika terjadi pembunuhan 5to5 lagi dan saat ini kami baru menemukan
mayat seorang gadis yang disalib di sebuah apartemen di kawasan
Myeongdeong. Anda orang pertama yang kami hubungi sebelum kami
menghubungi bagian lain dan melaporkan pembunuhan ini.”
“Baik, aku segera kesana,” tukas Hye-Na cepat.
“YAK, hari ini pernikahanmu! Lupakan pembunuh sialan itu
dulu!”
“Masih 2 jam lagi. Tidak apa-apa jika kita ke lokasi dulu. Apa
kau takut dengan Kyuhyun? Biar aku yang menghadapinya nanti.”
***
An Apartment, Myeongdeong, Seoul
07.45 AM

Hye-Na berusaha mengendalikan rasa mual yang


menghantamnya saat melihat genangan darah di lantai. Dia tahu
bahwa pembunuh itu selalu menyedot semua darah korbannya sampai
habis dan membiarkan semuanya tercecer di lokasi, tapi ini pertama
kalinya dia melihat langsung ke TKP, jadi tidak heran jika dia nyaris
muntah saat melihatnya.
“Aish, pria itu benar-benar sudah gila! Psikopat tidak waras!”
komentar Eun-Ji sambil menutup hidungnya.
Hye-Na menatap mayat gadis yang masih tersalib dengan
pasak yang menusuk lengan dan kakinya. Rambut panjangnya terjuntai
menutupi wajah dan ada sisa-sisa tusukan, goresan, dan bekas darah
yang sudah mengering di tubuh polosnya.
Mata Hye-Na tertarik pada sebuah gulungan kertas yang
tercengkeram di tangan gadis itu. Sepertinya itu sebuah pesan dan
semacamnya yang sengaja ditinggalkan penjahat itu disana.
Hye-Na mengabaikan rasa mualnya dan berjalan menginjak
genangan darah di lantai menuju mayat gadis itu. Waktu dia
mendekat, masih ada darah yang menetes-netes dari tubuh gadis itu
dan jatuh mengenai blus yang dipakainya saat dia berusaha
mengeluarkan kertas dari kepalan tangan yang sudah mendingin itu.
Aku tahu bahwa kau adalah penyidik utama kasus ini,
Nona Han Hye-Na. Kau pasti penasaran sekali dengan
identitasku. Aku membodohimu dengan cerdik, kan?
Menurutmu kenapa aku meninggalkan surat ini disini?
Karena aku mau memberimu peringatan. Permainan ini belum
selesai. Dan kaulah tujuanku selanjutnya. Menurut bisikan yang
kudapatkan dari seorang rekan yang sangat setia, kau sudah
berhasil mengetahui motifku melakukan pembunuhan ini. Jadi
tentunya kau juga sudah tahu kenapa aku tertarik untuk
memburumu. Berhati-hatilah Nona Han, ah, kudengar hari ini kau
akan menikah dengan Cho Kyuhyun yang terkenal. Suamimu itu
juga tidak akan lepas dari buruanku. Tapi aku akan memburumu
terlebih dahulu. Permainan semakin menarik bukan? Tunggulah
kedatanganku. Sampai jumpa.
Hye-Na meremas kertas itu dalam genggamannya dan
menggertakkan giginya kesal. Sial sial, kenapa penjahat satu ini licin
sekali?
Eun-Ji mundur ke belakang, sehati-hati mungkin agar tidak
diketahui Hye-Na. Sahabatnya itu berada dalam bahaya besar? Dan
ekspresi yang muncul di wajahnya malah ekspresi marah, bukannya
ketakutan. Dia tahu bahwa Hye-Na malah akan berusaha
mengumpankan dirinya sendiri untuk menangkap penjahat itu, jadi
Eun-Ji harus melakukan sesuatu untuk menjauhkan gadis itu dari
kemungkinan mati terbunuh. Dan satu-satunya orang yang bisa
dimintainya bantuan hanya Kyuhyun. Yah, pria itu. Dia yakin pria itu
akan melakukan segala cara yang dia bisa untuk melindungi istrinya.
***
Polytelí̱s Hotel, Seoul
08.30 AM

“Aish, kemana gadis sialan itu? Dia mau mencari gara-gara


denganku di hari sepenting ini?” ujar Kyuhyun gusar sambil
melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya.
“Tenanglah, sepupu. Bersabarlah sebentar, masih ada
setengah jam lagi,” kata Eunhyuk berusaha menenangkan. “Tamu tidak
akan keberatan menunggu lebih lama. Sudah untung kau mau
mengundang mereka.”
“Kyuhyun~a, aku rasa Hye-Na bersikeras mendatangi lokasi
pembunuhan yang terjadi pagi ini. Tapi aku mendapat laporan bahwa
dia sudah dalam perjalanan kesini,” lapor Leeteuk yang baru saja
datang menghampiri mereka.
“Apa pembunuhan itu lebih penting dari hari pernikahannya?”
teriak Kyuhyun kesal.
“Dia kan tidak dengan sukarela setuju menikah denganmu,”
bisik Eunhyuk mengingatkan.
Kyuhyun mendengus dan mengacak-acak rambutnya frustasi.
Gadis itu benar-benar mempermainkan emosinya!
***
“Masuk ke ruang gantimu, biar aku panggilkan penata riasmu
dulu,” suruh Eun-Ji sambil mendorong tubuh Hye-Na ke dalam
ruangan berpintu putih di depan mereka.
Hye-Na menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa dan mengusap
tengkuknya, mencoba merilekskan diri. Menjadi sasaran pembunuhan
berikutnya bukan hal menyenangkan tentu saja, tapi dia justru
merasa begitu bersemangat karena kemungkinan besar dia akan
berhasil menangkap penjahat itu jika penjahat itu berusaha
menyerangnya.
Pintu ruangan terbuka lagi, tapi yang datang bukannya penata
rias yang dijanjikan Eun-Ji, tapi malah pria yang paling tidak ingin
dilihatnya saat ini. Sejak kejadian di butik waktu itu, Hye-Na merasa
begitu canggung jika mereka berada terlalu dekat. Dia merasa tidak
nyaman dengan kehadiran pria itu. Bukan karena dia membencinya,
tapi lebih dikarenakan oleh akibat yang ditimbulkan pria itu terhadap
tubuhnya.
“Aish, kenapa malah kau yang datang? Kalau kau mau
pernikahannya berlangsung tepat waktu, seharusnya kau memanggil
penata riasnya kesini, bukannya….” Perkataan Hye-Na terpotong
karena Kyuhyun menarik tubuhnya sampai berdiri dengan kasar dan
mencengkeram lengannya, tidak membiarkan gadis itu kabur kemana-
mana.
“Darah,” ujar Kyuhyun tajam dengan mata berkilat berbahaya.
Hye-Na melirik tetesan darah yang mengotori bagian bahu
bajunya dan mendongak menatap pria itu lagi.
“Bukan darahku,” kata Hye-Na singkat.
Mata Kyuhyun menelusuri tubuh gadis itu lekat-lekat, seolah
ingin memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang kurang dari gadis itu
sejak mereka bertemu terakhir kali.
Hye-Na sedikit tertegun melihat penampilan Kyuhyun pagi ini.
Setelan jas hitamnya membalut tubuh tegapnya dengan pas, walaupun
dasinya terpasang serampangan dan rambutnya terlihat acak-acakan,
tapi itu malah membuatnya terlihat semakin berbahaya dan
menyilaukan mata. Mau tidak mau, Hye-Na mengakui bahwa dalam
sejarah 1 abad terakhir perbumian, mungkin pria di depannya inilah
makhluk tertampan yang pernah dilahirkan.
Sial, apa ada gangguan dalam otaknya sampai bisa berpikir
seperti itu?
“Kau lolos kali ini. Tapi lain kali, jika kau muncul di depanku
dalam keadaaan tidak utuh, aku pastikan kau tidak akan pergi
kemana-mana tanpa pengawasanku!”
***
“Aigoo, anak eomma cantik sekali!!!”
Hye-Na melongo kaget saat melihat ibunya tiba-tiba saja
sudah menghambur masuk ke ruang gantinya dan memeluknya erat-
erat.
“Eo… eomma… apa yang sedang kau lakukan disini?” tanyanya
bingung.
“Kyuhyun mengirimkan pesawat pribadinya langsung untuk
menjemputku dan aku berpikir… momen ini bukanlah momen yang akan
aku acuhkan begitu saja. Ibu… dan kau… tidak bisa terlalu lama
berlarut-larut dalam kesedihan. Sudah saatnya kita bergerak maju
dan berhenti menoleh ke belakang. Lihat kau sekarang. Kau sudah
menjadi seorang istri dan menantu. Kau sudah menjadi milik orang
lain. Dan aku akan mendampingimu saat kau melangkah menuju
kehidupan barumu itu.”
“Eomma….”
“Dengarkan aku… aku tahu ini bukanlah pernikahan yang kau
inginkan. Tidak ada seorang gadis pun yang menginginkan pernikahan
yang terjadi dengan alasan seperti ini. Tapi aku menghargai Kyuhyun
yang langsung memintamu padaku dan menjelaskan semuanya. Ada
beberapa hal yang tidak kau ketahui, Hye-Na~ya. Hal yang akan kau
ketahui nanti, setelah Kyuhyun sendiri yang mengatakannya padamu.
Kau… sebagai seorang istri yang baik, harus mendengarkan apapun
yang dikatakan suamimu. Kau harus mempercayainya dan berada di
sampingnya apapun yang terjadi. Dia berjanji padaku bahwa dia akan
melindungimu dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak
mempercayainya. Kau akan bahagia hidup bersamanya. Mungkin
sekarang tidak, tapi nanti kau akan bersyukur bahwa kau telah setuju
untuk menjadikannya suamimu.”
Hye-Na tertegun mendengar ucapan ibunya itu. Kenapa ibunya
yakin sekali bahwa Kyuhyun adalah pria yang tepat untuk
mendampinginya? Kata-kata manis macam apa yang telah dikatakan
pria itu pada ibunya ini? Tapi… sikap pria itu terlalu membingungkan.
Setiap kalimat yang diucapkannya, sikap keluarganya pada Hye-Na,
seolah menunjukkan bahwa pria itu memiliki ketertarikan khusus
padanya. Gadis itu mendadak merasa ketakutan sendiri dengan hidup
yang akan dijalaninya sebentar lagi. Bukan karena pria itu akan
memiliki kendali penuh atas dirinya, tapi lebih kepada ketakutan
pribadinya. Kekhawatiran bahwa bisa saja dia….
“Eomma,” panggil Hye-Na dengan suara tercekat. “Bagaimana
kalau… aku… aku khawatir kalau aku… jatuh cinta padanya….”
***
Kyuhyun berdiri gelisah di depan altar, mendadak gugup
sendiri dengan tindakannya. Bagaimana kalau gadis itu memutuskan
kabur dan tidak muncul dari balik pintu itu? Bagaimana kalau gadis itu
benar-benar merasa tersiksa hidup dengannya nanti? Bagaimana kalau
dia gagal membuat gadis itu jatuh cinta padanya? Kemungkinan
kehilangan gadis itu nyaris mencekiknya sampai mati.
Dia mendesah lega saat melihat pintu besar di depannya
terbuka dan Hye-Na muncul bersama ayah angkatnya. Kyuhyun
memang sengaja mengundang ketua KIA itu langsung kesini sebagai
wali Hye-Na, yang akan menyerahkan gadis itu padanya. Dan tentu
saja pria setengah baya itu sama sekali tidak menolak, mengingat
betapa sayangnya dia pada gadis itu.
Kyuhyun membiarkan tatapannya terkunci pada tubuh gadis
itu. Dia bahkan tidak berusaha menyembunyikan ekspresi kagumnya
sama sekali. Gaun yang dicoba Hye-Na waktu itu sekarang membalut
tubuhnya dengan anggun, memberikan efek feminin pada gadis itu.
Rambut ikal panjangnya diikat sebagian dengan pita satin berwarna
putih gading, yang senada dengan gaunnya. Poni jatuh menutupi
keningnya, membuat gadis itu terlihat begitu muda dan sangat manis.
Hye-Na mencengkeram lengan ayah angkatnya, berusaha
menghilangkan kegugupannya berada di bawah tatapan semua orang.
Dia bisa melihat Kyuhyun berdiri jauh di depan, dengan terang-
terangan menatapnya kagum. Dan entah kenapa, Hye-Na merasa puas
karena telah berhasil membuat ekspresi itu terlihat di wajah datar
Kyuhyun.
Seharusnya dia merasa biasa saja, karena ini bukan
pernikahan yang diharapkannya, tapi sebaliknya, dia merasa perutnya
bergolak tidak enak, menekan rasa canggung yang dirasakannya,
sedangkan jantungnya terasa berjumpalitan saat melihat sosok pria
yang akan dinikahinya itu terlihat memukau di depan sana.
Park Soo-Hwan menyerahkan tangan Hye-Na yang tadi
digenggamnya ke tangan Kyuhyun yang terjulur. Dia senang bisa
melakukan tugasnya sebagai seorang ayah dengan sangat baik.
Menyerahkan anak gadisnya pada seorang pria yang tepat. Seuk-Gil,
sahabatnya, pasti juga akan bangga melihat hal ini dari atas sana.
Kyuhyun menggenggam tangan Hye-Na ringan, meremasnya
pelan untuk menenangkan gadis itu. Mereka berbalik menghadap
pendeta yang akan menikahkan mereka dan menunggu pria itu
membacakan janji pernikahan.
“Tuan Cho Kyuhyun, di hadapan Tuhan dan semua orang yang
hadir disini, maukah kau berjanji untuk menjadikan Han Hye-Na
sebagai istrimu? Menjadi sahabatmu, kekasihmu, ibu dari anak-
anakmu, setia padanya dalam sakit ataupun sehat, dalam susah
ataupun senang, dan dalam kebahagiaan ataupun penderitaan selama
kalian hidup?”
“Ya, saya bersedia,” jawab Kyuhyun mantap.
“Nona Han Hye-Na, di hadapan Tuhan dan semua orang yang
hadir disini, maukah kau berjanji untuk menjadikan Cho Kyuhyun
sebagai suamimu? Pasangan hidupmu satu-satunya, orang yang akan
kau percayai dan hormati, menjadikannya pria yang akan ikut tertawa
dan menangis bersamamu. Bersediakah kau mencintainya dengan setia
dalam susah ataupun senang, tanpa menghiraukan rintangan yang
mungkin akan kalian hadapi bersama? Satu-satunya pria yang akan
kau berikan tangan, hati, dan cintamu, dari hari ini dan seterusnya,
selama kalian hidup?”
Hye-Na menguatkan genggamannya di tangan Kyuhyun,
menarik nafas pelan, dan mengangguk.
“Ya, saya bersedia,” ujanya dengan suara sedikit bergetar,
tahu bahwa saat janji itu keluar dari bibirnya, dia akan menjadi milik
pria itu seumur hidup, bersedia ataupun tidak.
Kyuhyun memasangkan cincin yang mereka pilih bersama
waktu itu ke jari manis tangan kiri Hye-Na dan gadis itu, dengan
kepala yang sedikit terasa pusing, melakukan hal yang sama.
“Silahkan mencium pengantinmu.”
Mereka berdua menoleh kaget ke arah sang pendeta,
kemudian saling bertatapan satu sama lain dengan mata terbelalak
lebar. Kyuhyun mengutuk dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia melupakan
hal seperti ini begitu saja!
Hye-Na menatap Kyuhyun dengan pandangan bertanya dan
pria itu hanya mengedikkan bahunya, tidak bisa berbuat apa-apa.
“Ayo cium! Cium!” teriak semua orang serempak.
Kyuhyun memegangi kepalanya yang mendadak terasa sakit,
menyumpah-nyumpah sendiri dalam hati. Dia tidak bisa melakukan
kontak seperti itu dengan gadis di depannya. Dia tidak tahu apa dia
bisa menahan diri atau tidak saat melakukannya. Pria itu bahkan tidak
punya rencana sedikitpun untuk melakukannya dalam waktu dekat,
karena dia tahu, sekali dia melakukan hal itu, dia akan merasa
ketergantungan seperti pecandu heroin.
“Cho Kyuhyun, kau pria atau bukan?” teriak Eunhyuk
memanasi.
“Aish, sial!” umpat Kyuhyun sambil mengulurkan tangannya dan
merengkuh tengkuk Hye-Na, menarik gadis itu mendekat, dan
menyatukan bibir mereka. Hanya sedetik, karenaa detik berikutnya
mereka saling melepaskan diri seolah terkena sengatan listrik.
Hye-Na mengerjap dan menatap Kyuhyun yang juga tengah
menatapnya syok. Astaga, lebih baik yang tadi itu tidak terjadi lagi
kalau dia tidak mau mereka berakhir di atas ranjang seperti yang
diisyaratkan Kyuhyun waktu itu.
***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, Seoul
12.00 AM

“Onnie~ya, aku serius! Ada pekerjaan mendesak yang harus


aku selesaikan. Aku tidak bisa pergi bulan madu begitu saja!” seru
Hye-Na dengan nada memohon saat Ah-Ra terus mendorong tubuhnya
naik ke atas pesawat jet pribadi Kyuhyun yang sudah terparkir di
halaman belakang rumah mereka. Kyuhyun berdiri di belakang nunanya
itu tanpa berniat menolong sama sekali. Bahkan dia terlihat geli
melihat Hye-Na yang terus menerus merengek seperti anak kecil.
“Eomma!” panggil Hye-Na, berusaha meminta belas kasihan
ibu mertuanya. Hal yang sia-sia, karena wanita itu menggeleng dan
mengangkat bahunya, menolak memberi bantuan.
“Sudahlah, nuna, kau jangan mengganggunya terus,” ujar
Kyuhyun akhirnya. “Kita hanya pergi sehari, besok juga pulang.
Berhentilah merengek-rengek seperti itu, kau membuatku malu saja,”
tukas Kyuhyun sambil berjalan mendahului Hye-Na menaiki pesawat.
Dengan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun, Hye-Na melepas
sepatu kets yang dipakainya dan melemparnya ke belakang kepala pria
itu dan tersenyum puas saat melihat lemparannya tepat mengenai
sasaran.
“Mati kau!” gumamnya senang, merasa bangga saat Ah-Ra
bertepuk tangan dan berseru penuh kekaguman.
Kyuhyun berbalik dengan wajah merah padam menahan marah.
“KAU MAU KULEMPAR KE NERAKA, HAH?”
***
Verona Airport, Verona, Italy
03.00 PM

Hye-Na berusaha mengejar langkah Kyuhyun yang


panjang-panjang sambil menarik kopernya dengan susah payah. Pria
itu terus mendiamkannya selama di pesawat tadi dan Hye-Na merasa
tidak enak sendiri. Walau bagaimanapun ini negeri yang asing baginya
dan bukan hal yang bijak jika mereka terus perang dingin seperti ini.
“Yak, kau masih marah padaku?” tanyaa Hye-Na saat akhirnya
dia berhasil menjejeri langkah pria itu.
“Menurutmu?” balas Kyuhyun dingin.
Hye-Na menahan diri untuk tidak meneriaki pria itu. Sebagai
gantinya dia mengusap-usap dadanya sendiri untuk meredakan emosi.
“Ya sudah, aku minta maaf.”
“Apa seperti itu caramu minta maaf? Tidak ada tulus-tulusnya
sama sekali.”
“Iya, aku minta maaf!” geram Hye-Na kesal.
Kyuhyun mengacuhkannya dan berjalan santai ke arah mobil
Ferrari merah yang terparkir di depan pintu masuk airport. Seorang
pria yang sepertinya berkebangsaan Italia menyerahkan kunci
bersimbol kuda jingkrak itu kepada Kyuhyun dan membungkuk hormat
sebelum berlalu pergi.
“Ayo masuk! Kau mau kutinggal?”
Hye-Na yang tadi terpaku langsung terlonjak kaget
mendengar teriakan pria itu.
“Dia benar-benar punya kekayaan di seluruh penjuru bumi,
ya?” gumam gadis itu tak percaya.
***
Casa di Giulietta, Via Cappello, Piazza delle Erbe, Verona, Italy
04.00 PM
Hye-Na menatap patung Juliet di depannya dengan kening
berkerut heran. Daya tarik apa yang dimiliki patung itu sampai begitu
banyak wanita yang rela menempuh jarak ratusan ribu mil untuk
datang kesini dan menulis surat cinta picisan, berharap sang Juliet
memberi nasihat bagus untuk kisah percintaan mereka? Memangnya
patung itu bisa menulis? Dan bagaimana mungkin hal bodoh ini
berlangsung berpuluh-puluh tahun bahkan di zaman yang amat sangat
modern seperti sekarang?
“Tampangmu itu bisa membuat semua gadis disini mencaci-
makimu tahu,” komentar Kyuhyun geli.
“Siapa suruh mereka semua bodoh sekali,” dengus Hye-Na tak
peduli. “Ayo pergi! Aura disini sangat memuakkan. Kau tidak mual
mendengar gadis-gadis itu menangis seperti orang gila? Cih, siapa
suruh mereka terlalu tergila-gila dengan seorang pria?”
“Nuna bilang kau akan senang diajak kesini, tapi ternyata aku
benar. Kau tidak suka hal-hal aneh seperti ini.”
“Hal-hal feminin yang menjijikkan. Setidaknya aku tidak
pernah menangis karena seorang pria.”
“Karena kau memang belum punya kisah cinta sama sekali kan,
Nyonya Cho?” ejek Kyuhyun.
“Aku tidak merasa terhina karena belum pernah jatuh cinta.
Dan berhenti memanggilku seperti itu!”
“Apa? Nyonya Cho? Itu kan memang namamu. Sekarang kau
istriku, kan?” ujar Kyuhyun enteng.
Hye-Na mengacuhkannnya dan berjalan keluar dari kawasan
mengerikan itu. Ada beberapa kafe di pinggir jalan dan turis yang
berlalu-lalang sambil membawa belanjaan atau sekedar berjalan-jalan
menghabiskan waktu. Sepertinya di tempat ini AutoChef belum
terlalu terkenal, sehingga kafe dan restoran masih memasyarakat.
Hye-Na berbalik dan tersenyum manis ke arah Kyuhyun,
membuat pria itu menatapnya curiga.
“Bagaimana kalau kau mentraktirku secangkir kopi?”
***
Caffè delle Erbe, Piazza delle Erbe
04.15 PM
“Ini yang kau maksud dengan secangkir kopi?” ujar Kyuhyun
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya melihat nafsu
makan gadis di depannya itu. Gadis itu memang memesan kopi, tapi
berlanjut dengan sepiring besar pizza, Pizzocheri (pasta dengan keju
dan sage), serta Casoncelli (sejenis ravioli). Dan dia baru saja
memesan es krim dalam porsi besar.
“Sejak pesta pernikahan tadi pagi aku bahkan belum makan
sedikitpun. Tentu saja sekarang aku kelaparan!” kata Hye-Na dengan
mulut penuh, berusaha memberikan pembelaan diri.
Kyuhyun mendecak dan mengulurkan tangannya,
membersihkan saus yang berlepotan di bibir gadis itu, kemudian
melap tangannya dengan tisu yang tersedia di atas meja.
“Nafsu makanmu seperti babi saja!”
“Apa pedulimu?”
“Kopi, mengandung kafein, bisa menyebabkan penyakit
jantung, paru-paru, maupun ginjal. Es krim mengandung gula dan
semacamnya, bisa membuatmu terserang diabetes. Dan kau suka
pedas, kan? Itu bisa menyebabkan radang usus buntu. Semua
makanan kesukaanmu itu, mengandung resiko.”
Hye-Na melongo mendengar penjelasan panjang lebar pria itu.
“Kau mau menjadi konsultan kesehatan?”
“Tidak,” jawab Kyuhyun dengan raut wajah serius. “Aku hanya
ingin menghindarkanmu dari kemungkinan mati lebih cepat.”
“Mwo?”
“Aku akan menyuruh karyawanku menemukan cara untuk
menyembuhkan penyakit-penyakit itu. Sampai sekarang penyakit
jantung, diabetes, dan paru-paru masih sulit disembuhkan, kan? Jadi,
kalau mereka berhasil, aku bisa tenang membiarkanmu memakan
makanan-makanan itu.”
Hye-Na nyaris tersedak pizza yang sedang dikunyahnya.
Astaga pria ini, apa dia sudah gila?
“Apa maksudmu?”
“Kurang jelas? Kau ini bodoh sekali, ya! Aku tidak mau kau
mati terlalu cepat. Itu maksudku,” ujar Kyuhyun, memperlihatkan
tatapan betapa-bodohnya-kau-ini.
“Aku juga mengerti kalau itu! Maksudku, memangnya apa
bedanya kalau aku cepat mati atau tidak bagimu?”
“Lagi-lagi pertanyaan bodoh, Cho Hye-Na. Tentu saja karena
aku tidak suka jika tidak bisa melihatmu. Masa kau tidak mengerti
juga? Otakmu itu benar-benar pentium rendah, ya!”
“YAK!”
Kyuhyun menyilangkan tangannya di depan dada dan menatap
istrinya itu dengan intens, membuat wajah gadis itu memerah tidak
karuan.
“Aku bisa saja hidup tanpamu. Tapi aku tidak mau
melakukannya. Karena aku tahu betapa buruknya keadaanku jika itu
terjadi.”
TBC

Ff Superjunior : 2060 {6 St Round }


Siena, Italy
05.30 PM
Pandangan Hye-Na terfokus pada
layar communicator dalam genggamannya yang sedang menampilkan
beberapa data penting terkait kasus pembunuhan 5to5. Sebenarnya
pikiran gadis itu sama sekali tidak berada disana. Dia hanya sekedar
mencari kesibukan selama perjalanan hening yang sangat tidak
nyaman ini.
Dia melirik sedikit ke arah Kyuhyun yang sedang konsentrasi
mengemudi di sampingnya. Satu hal baru yang diketahuinya tentang
Kyuhyun, pria itu benar-benar menyukai kecepatan. Sepertinya dia
tidak pernah mengemudi di bawah 120 km/jam. Dan kesukaan pria itu
yang lain adalah menggoda Hye-Na hingga nyaris membuat gadis itu
tidak bisa menghirup oksigen dengan benar.
Dasar Hye-Na bodoh, yang tadi itu bukan sekedar godaan, dia
benar-benar serius dengan ucapannya, batin Hye-Na dalam hati.
Gadis itu tidak habis pikir kenapa pria di sampingnya ini bisa
jatuh cinta padanya tanpa dia sendiri tahu alasannya. Dia bahkan
tidak ingat pernah bertemu pria ini sama sekali, tapi pria itu dengan
gilanya rela menunggunya selama 14 tahun. Hei, apa dia pikir 14 tahun
itu sebentar? Tapi jika itu semua memang benar, jelaslah sudah
alasan kenapa pria itu menikahinya secara paksa. Cho Kyuhyun ini mau
mengikatnya sehingga dia tidak bisa kabur lagi kemana-mana. Menilik
dari sifat pria itu, hal tersebut sama sekali tidak mengherankan.

Hye-Na mengetuk-ngetukkan jarinya sembarangan ke


layar communicator. Sebenarnya, amat sangat mudah sekali untuk
jatuh cinta pada pria ini. Tampan, kaya, memiliki separuh planet ini,
dan sepertinya jatuh cinta padanya setengah mati. Kesampingkan
sifatnya yang dingin, egois, tidak mau kalah, sombong, dan
sembarangan itu, dia benar-benar cerminan pria paling sempurna
abad ini. Tapi bukan itu semua yang menarik perhatian Hye-Na, bukan
segi fisik maupun materinya, tapi lebih kepada dampak yang diberikan
pria itu terhadap sistem kerja tubuhnya. Dia menyukai cara pria itu
menatapnya, tajam, namun anehnya seolah memperlihatkan dengan
gamblang perasaan pria itu, terutama pagi tadi, saat pria itu
menunggunya di depan altar, dan sore tadi, saat pria itu dengan
terang-terangan mengaku bahwa dia tidak suka hidup tanpa Hye-Na.
Dia bukannya berlagak bodoh, berpura-pura tidak tahu
perasaan pria itu terhadapnya. Hanya saja, dia masih tidak percaya
dengan kenyataan bahwa pria itu jatuh cinta padanya saat dia masih
berumur 6 tahun. Apa dia semenarik itu saat berumur 6 tahun
sampai-sampai pria itu terpesona dan jatuh cinta padanya? Itu
terdengar sedikit tidak masuk akal.
Hye-Na mendesah dan memasukkan communicator-nya ke
dalam saku celana. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya dengan
benda itu. Dia bahkan tidak bisa berkonsentrasi terhadap kasus
pembunuhan itu sekarang, selama pria ini ada di sampingnya, membuat
pikirannya melayang kemana-mana.
Hye-Na melayangkan pandangannya ke luar jendela mobil, dan
sukses melongo melihat pemandangan yang dilihatnya.

Gadis itu menelan ludahnya dengan susah payah. Padang


rumput, pemandangan perbukitan, dan jalanan panjang berkelok yang
mereka lalui, area seluas itu, dibuat hanya untuk satu rumah megah
yang berdiri angkuh tanpa pesaing di atas bukit. Benar-benar tidak
ada pemukiman lain di sekelilingnya. Dan dia bisa dengan mudah
menebak bahwa rumah yang terbuat dari batu bata merah dan
terlihat seolah berasal dari masa lampau itu adalah milik pria di
sampingnya ini. Sepertinya pria itu tergila-gila dengan tempat luas.
Benar-benar cerminan orang yang kekayaannya mencengangkan dan
tidak tahu harus menggunakannya untuk apa.
“Kau suka sekali membuang-buang uang, ya!” ujar Hye-Na,
tidak tahan untuk berkomentar.
Kyuhyun menoleh dan menyeringai kecil.
“Aku hanya suka ketenangan dan privasi. Itu agak sulit
didapatkan, kau tahu.”
Hye-Na mendengus mendengar penjelasan-yang-terlalu-
sederhana dari pria itu.
“Kalau kau pusing mau menggunakan uangmu untuk apa, kenapa
kau tidak menyumbangkannya saja?”
“Aku punya panti sosial di setiap negara dan dengan rutin
menyumbang kesana.”
Hye-Na mengernyit, tahu bahwa pria itu serius dengan
ucapannya.
“Dasar orang kaya,” umpat Hye-Na dengan suara pelan, tapi
sepertinya terdengar oleh Kyuhyun, karena sesaat kemudian pria itu
tertawa geli melihat kekesalannya.
“Hei, kau lupa, ya? Saat ini kau kan istriku, jadi apa yang
kumiliki juga menjadi milikmu. Kau baru saja jadi trilliuner, gadis
bodoh!”
“Makan saja uangmu itu! Aku tidak mau ikut-ikutan!”
“Ah, padahal aku baru saja memenuhkan isi rekeningmu. Coba
bayangkan berapa banyak es krim, cokelat, novel-novel pembunuhan,
dan kaset game yang bisa kau beli.”
Hye-Na memutar bola matanya dan tanpa sadar
mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu. Bayangan makanan dan
benda-benda kesukaannya yang disebutkan Kyuhyun tadi membuatnya
dengan cepat berubah pikiran.
“Hei, berapa isi rekeningku?”
“1 milyar dolar.”
“KAU GILA?!!!”
***
Squash Zone Restaurant, Seoul
07.00 PM

Jin-Ah tertawa geli melihat tampang keruh Yesung di


hadapannya. Dia lagi-lagi dengan sukses berhasil mengajak pria itu
mentraktirnya makan di restoran hanya dalam kurun waktu kurang
dari satu minggu dengan alasan sederhana bahwa dia sudah bersedia
menemani Yesung datang ke pernikahan Kyuhyun.
“Ah, sudahlah Yesung oppa, jangan memasang tampang muram
seperti itu. Kau tidak akan jatuh bangkrut hanya karena
mentraktirku. Bagaimana kalau nanti kau punya pacar? Apa kau tidak
akan mentraktirnya makan? Anggap saja sekarang ini kau sedang
latihan denganku!” gurau Jin-Ah sambil menggoyang-goyangkan garpu
yang sedang dipegangnya.
Yesung merengut dan mencibirkan lidahnya. Gadis di depannya
itu benar-benar suka bicara sembarangan. Tapi dia selalu
memperlihatkan wajah aegyo-nya, membuat Yesung tidak bisa
menolak satupun permintaannya.
“Oppa, ada yang mau kuberitahukan padamu,” ujar Jin-Ah
tiba-tiba dengan raut wajah serius, ekspresi yang tidak pernah
diperlihatkannya di depan Yesung sebelumnya.
“Apa?”
“Tentang Ryeowook oppa.”
“Memangnya apa urusannya denganku?” elak Yesung,
membohongi dirinya sendiri yang sebenarnya penasaran setengah
mati. Astaga, jangan bilang gadis di depannya ini ingin menyampaikan
berita buruk. Mereka berdua ingin menikah misalnya? Memikirkannya
saja sudah membuat Yesung ingin memuntahkan semua makanan yang
baru saja dimakannya.
Jin-Ah tersenyum dan menangkupkan tangannya di atas meja,
mendorong piringnya menjauh.
“Mungkin memang tidak ada hubungannya denganmu. Hanya
saja aku tidak suka kau selalu salah paham denganku, jadi aku rasa
kau perlu tahu tentang hubungan kami.”
“Kalian mau menikah?” potong Yesung, membuat Jin-Ah
terbelalak kaget. Gadis itu tertawa keras sesaat kemudian tanpa
memedulikan pengunjung lain yang mulai memperhatikan mereka.
“Astaga, dari mana kau dapat pemikiran bodoh seperti itu?
Kuberitahu ya, kami dulu memang pernah pacaran, tapi kemudian
berpisah karena aku ingin konsentrasi pada ujian masuk SRO. Kami
berdua sahabat sejak kecil, kemana-mana selalu bersama. Jadi
teman-teman kami menganggap kami berdua adalah pasangan yang
serasi. Lalu kami berpikir, kenapa kami berdua tidak mencobanya
saja? Pacaran maksudku. Tapi ternyata, memiliki kisah cinta dengan
sahabat tidak selalu terasa tepat. Kami berdua tidak saling
mencintai. Hanya perasaan sayang sebagai sahabat saja.”
“Ryeowook oppa itu sudah menikah dan seperti kau, istrinya
juga sering salah paham tentang hubungan kami. Mereka bahkan
sedang bertengkar hebat sekarang. Aku jadi kasihan pada Wookie
oppa.”
Yesung menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi yang
sedang didudukinya. Mendadak seluruh beban di dadanya terangkat
begitu saja, seolah dari awal memang tidak ada himpitan apa-apa di
dadanya. Dia bahkan nyaris tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak
tersenyum. Jadi gadis itu bukan milik siapa-siapa? Tidak memiliki
kekasih seperti yang selama ini dipikirkannya?
“Baguslah,” ujar Yesung, sama sekali tidak bisa menahan
lidahnya untuk berkomentar. “Aku jadi bisa mengajukan diri, kan?”
“Ne? Mengajukan diri apa?” tanya Jin-Ah bingung.
“Kapan-kapan… aku akan memberitahumu.”
***
In front of Jin-Ah’s Home
08.45 PM

“Gomaweo sudah mengantarkanku pulang, oppa!” seru Jin-


Ah sambil melepaskanseatbelt-nya.
“Mmm,” gumam Yesung dengan tangan yang masih
mencengkeram setir.
Tiba-tiba Jin-Ah menjulurkan tubuhnya dan menyapukan
sebuah kecupan singkat di pipi pria itu. Gadis itu tersenyum manis
saat melihat Yesung yang membeku di di tempat duduknya, terkejut
dengan tindakan agresif yang baru saja dilakukannya.
“Sebagai ucapan terima kasih karena telah mentraktirku hari
ini. Jadi kalau kau mau aku cium lagi, traktirlah aku sering-sering,”
candanya, kemudian melangkah turun dari mobil.
Yesung tersadar dan dengan cepat mencekal lengan Jin-Ah,
menahan gadis itu.
“Gaunmu,” ujarnya dengan suara serak. “Kau cantik berdandan
seperti itu,” lanjutnya sambil tersenyum. “Berdandanlah seperti itu
untukku, maka aku akan sering-sering mentraktirmu. Hmm?”
***
Siena, Italy
09.00 PM

Kyuhyun menatap layar communicator-nya tanpa minat.


Tidak ada satupun penjelasan dari sekretaris pribadinya yang
ditangkapnya dari tadi. Laporan membosankan tentang suksesnya
pemasaran produk terbaru mereka di New York sama sekali tidak
bisa mengalihkan pikirannya dari gadis yang sedang duduk santai di
sampingnya ini. Tidak peduli jika keuntungan yang didapatkannya
bernilai 10 milyar dolar sekalipun.
Kyuhyun melirik Hye-Na dari sudut matanya. Gadis itu dengan
bosan memutar-mutar remote di tangannya, tidak berminat dengan
acara yang sedang ditontonnya. Terang saja, yang ditampilkan di layar
TV adalah film kuno Romeo & Juliet, hasil karya William Shakespeare
yang jelas-jelas berhasil menyita perhatian jutaan penonton dari
seluruh dunia berpuluh-puluh tahun yang lalu, tapi tidak dengan gadis
di sampingnya ini. Sepertinya Leonardo di Caprio adalah bintang
terkenal di zamannya, yang saat ini sudah terkubur di bawah tanah
dan mungkin tetap hidup di dalam kenangan para penggemar
fanatiknya.
Kyuhyun berani bertaruh bahwa ini adalah pertama kalinya
bagi Hye-Na menonton film dengan akhir tragis ini, berikut umpatan-
umpatan yang ditahannya dalam hati mengingat kebencian gadis itu
terhadap kisah roman picisan yang disajikan oleh para aktor dan
aktris di layar. Menurut Kyuhyun sendiri kisah itu sedikit tidak masuk
akal. Omong kosong tentang seorang pria yang bunuh diri hanya
karena kekasihnya mati. Memangnya nyawa sebegitu tidak
berharganya sampai kau membuang-buangnya begitu saja hanya demi
seorang wanita?
Hye-Na menggertakkan giginya dan menggumam kesal, “Aku
tidak pernah suka sad ending. Apa susahnya membuat sebuah akhir
yang bahagia? Orang menonton film dan membaca novel untuk
mencari hiburan, bukannya untuk menambah tingkat ke-stress-an
mereka.”
“Di dunia ini tidak ada happy ending,” sahut Kyuhyun. “Coba
saja kau pikir, pada akhirnya setiap manusia pasti akan mati. Apa mati
itu happy ending? Kau hidup dengan kekasihmu sampai kau tua, lalu
apa? Mati, kan? Pada akhirnya juga akan tetap berpisah.”
Hye-Na mendelik dan mengernyitkan keningnya.
“Kau merusak imajinasiku tentang kehidupan yang bahagia
saja, Tuan Cho!” dengusnya.
“Tapi yang aku ungkapkan adalah fakta.”
Hye-Na memilih mengabaikan pria itu dan menoleh ke arah
film sialan itu lagi. Baiklah, dia akan berusaha menontonnya sampai
habis kali ini, setidaknya sekedar untuk memuaskan rasa ingin
tahunya terhadap film yang menjadi kesukaan nyaris separuh makhluk
berjenis kelamin wanita di muka bumi. Walaupun itu berarti dia harus
menggigit lidahnya sendiri untuk menelan kembali semua caci-maki
yang ingin menyembur keluar saat mendengar barisan dialog
menjijikkan ataupun bagian ending yang sangat dibencinya setengah
mati.
Gadis itu bertahan di sepuluh menit pertama, tapi gagal di
menit berikutnya karena dia tidak bisa menahan rasa kantuk yang
mendera dan berakhir dengan kepala terkulai jatuh ke bahu Kyuhyun.
Pria itu menoleh karena gerakan yang begitu tiba-tiba itu, meskipun
akhirnya dia malah tersenyum dan mengelus kepala Hye-Na pelan,
dengan hati-hati membaringkan kepala gadis itu ke pangkuannya. Dia
membiarkan menit-menit berikutnya terlewat dengan memandangi
tekstur wajah Hye-Na, memuaskan diri mempelajari setiap sudut
yang terletak di wajah gadis itu, wajah yang tidak dilihatnya setelah
14 tahun berlalu dengan begitu lama dan membosankan.
Kegiatan Kyuhyun terhenti karena communicator-nya
bergetar. Nomor tidak dikenal, tapi kode awalnya adalah kode yang
hanya dimiliki karyawan KNI. Kyuhyun menon-aktifkanvideo call-nya
dan memilih panggilan suara saja.
“Yeoboseyo?”
“Kyuhyun ssi? Ini aku, Shin Eun-Ji. Ada yang harus
kubicarakan denganmu. Apa Hye-Na ada disana? Kalau ada mungkin
aku akan menelepon lagi nanti.”
“Gwaenchana. Dia sudah tidur. Waeyo?”
“Pagi tadi, saat kami datang ke TKP pembunuhan, Hye-Na
menemukan pesan yang ditinggalkan si pelaku untuknya. Aku diam-
diam melihat surat itu tanpa dia sadari. Pesan itu berbunyi bahwa
korban berikutnya yang diincar si pelaku adalah Hye-Na dan jika dia
sudah berhasil menyingkirkan Hye-Na, kaulah target berikutnya. Aku
khawatir istrimu itu akan berbuat ceroboh dengan mengumpankan
dirinya sendiri agar bisa menangkap pria brengsek itu.”
Kyuhyun mengepalkan tangannya tanpa sadar saat mendengar
penjelasan Eun-Ji. Pria sialan itu mengincar nyawa Hye-Na? Apa dia
tidak tahu sedang berurusan dengan siapa?
“Ye, aku mengerti, Eun-Ji ssi.”
“Ng… kau akan melindunginya, kan? Maksudku….”
“Tenang saja,” sela Kyuhyun. Ada nada dingin yang menyergap
saat dia berbicara. “Aku akan memastikan keselamatan gadis itu di
atas segalanya. Kau tidak perlu khawatir.”
“Ah, ye. Aku tahu bahwa aku bisa memercayaimu.
Gamsahamnida.”
Kyuhyun mematikan communicator-nya dan menunduk
menatap Hye-Na yang masih tertidur pulas di pangkuannya. Wajah
gadis itu tampak polos tanpa dosa, walaupun Kyuhyun tahu bahwa
gadis itu bisa melakukan segala hal menakutkan yang bisa
membahayakan nyawanya.
Pria itu menyentuhkan telunjuknya di pipi Hye-Na dengan
hati-hati agar tidak mengganggu tidur gadis itu, kemudian menarik
nafas berat.
“Apa kau menganggap ucapanku tadi sore hanya main-main?
Gadis bodoh, aku serius dengan pernyataanku bahwa aku tidak suka
hidup tanpamu. Dan aku bisa melakukan apa saja untuk mencegah
kematianmu sebisaku. Termasuk jika aku harus membunuh untuk
mewujudkannya.”
***
Eunhyuk’s Home, Yeoju, Seoul
07.00 AM

Ji-Yoo merapatkan cardigan yang dipakainya, menutupi


gaun terusan berwarna cokelat susu yang sedikit kusut karena
dipakainya untuk tidur. Masih cukup pagi saat dia keluar kamar, tidak
heran jika dia tidak melihat satu orang pun dari tadi.
Gadis itu berjalan menuju halaman belakang rumah. Sejak
hari pertama dia menginap disini, dia sama sekali tidak sempat
berkeliling dan sekarang gadis itu penasaran dengan apa yang
terdapat di rumah itu. Dia sempat melihat danau dari balkon
kamarnya yang terletak di lantai dua dan berniat untuk mencari tahu.
Ada jalan setapak yang terbuat dari batu-batu yang disusun,
dinaungi pepohonan yang rindang, cukup untuk menghalangi cahaya
matahari jika sedang bersinar terik. Gadis itu mengikuti jalan
setapak tersebut, yang terhubung dengan sebuah papan kayu yang
menjorok ke danau. Ada perahu kecil yang tertambat disana,
menggoda untuk dinaiki.
Langit cukup mendung pagi ini, dan sepertinya akan segera
turun hujan, tapi hal itu sama sekali tidak mnegurungkan niat Ji-Yoo
untuk menikmati pemandangan indah di depannya.
Danau itu tidak terlalu besar, sepertinya sengaja dibuat
untuk memberikan kesan indah sekaligus menenangkan bagi yang
datang. Mungkin pemilik rumah ini membuatnya sebagai tempat untuk
menyegarkan pikiran setelah jadwal kerja yang menyita waktu dan
tenaga.
Ji-Yoo menghirup udara segar pagi hari yang belum tercemar.
Ada petak bunga di sisi kiri danau dan pohon-pohon yang berjejer
rapi di sisi yang lain dengan dahan-dahan yang nyaris menyentuh
permukaan air, tempat tujuan daun-daunnya yang jatuh berguguran.
Ada berpuluh-puluh angsa yang berenang di atasnya, sepertinya
memang sengaja dipelihara, memberikan pemandangan pedesaan yang
mungkin hanya bisa ditemukan di lukisan para seniman pada zaman
modern seperti sekarang.
Gadis itu melepaskan sandal yang dipakainya dan duduk di
atas papan, menjulurkan kakinya yang telanjang sampai menyentuh
permukaan danau. Air danau itu terasa dingin dan gadis itu begitu
senang sehingga tanpa sadar menggerak-gerakkan kakinya,
mencipratkan air kemana-mana, menimbulkan bunyi kecipak yang
menenangkan. Dia tertawa kecil, asyik dengan permainan barunya.
“Kau disini.” Sebuah suara berat dari belakang Ji-Yoo
membuat gadis itu kaget dan dengan cepat berbalik.
“Aish, oppa, aku kira siapa, mengejutkanku saja!” protes gadis
itu dengan bibir mengerucut.
Eunhyuk terkekeh dan mengulurkan tangannya, menarik gadis
itu berdiri.
“Kau mau naik perahu? Angsa-angsa itu harus diberi makan.”
Ji-Yoo mengangguk semangat dan sesaat kemudian sudah
berpegangan pada Eunhyuk yang membantunya naik ke atas perahu.
Pria itu meraih dayung, menggerakkannya maju mundur, mendorong
kapal untuk mulai bergerak. Dia menunjuk toples berisi makanan
angsa, memberi tanda agar Ji-Yoo melemparkannya ke arah
kerumunan angsa yang sedang berenang berkelompok di sekeliling
mereka.
Cukup lama mereka berada dalam keadaan hening. Ji-Yoo
sibuk dengan pekerjaan barunya memberi makan para angsa,
sedangkan Eunhyuk sendiri tenggelam dalam keasyikannya menatap
ekspresi senang yang terpancar di wajah gadis itu.
Kesunyian itu akhirnya terpecah tiba-tiba oleh bunyi
rintik hujan yang berkejar-kejaran menjejak bumi. Langit terlihat
menggelap, tanpa tanda-tanda akan adanya kehadiran matahari sama
sekali. Dengan cepat Eunhyuk mendayung perahunya lagi ke pinggir,
walaupun sia-sia karena gerimis tersebut dengaan cepat berubah
menjadi hujan deras dan membuat tubuh mereka basah kuyup.
“Astaga,” seru Ji-Yoo. “Aku kira tadi hanya mendung
sebentar saja!”
Gadis itu melompat naik ke atas papan kayu dan menolong
Eunhyuk mengikatkan tali untuk menambatkan perahu. Rambutnya
sudah basah dan gaun yang dipakainya melekat erat ke tubuhnya yang
mulai menggigil kedinginan. Ji-Yoo mengusap-usapkan tangannya dan
mendekatkannya ke mulut, meniup-niupnya agar terasa sedikit
hangat.
Eunhyuk mendecakkan bibirnya kesal karena matanya tidak
bisa beralih dari wajah gadis itu. Ada tetes-tetes hujan yang jatuh
ke wajah Ji-Yoo yang terlihat sedikit pucat, membuat pria itu tanpa
sadar mengulurkan tangannya dan mencengkeram bahu Ji-Yoo,
menarik gadis itu mendekat. Dengan cepat dia menundukkan tubuhnya
dan menyapukan sebuah kecupan ke bibir Ji-Yoo yang terasa dingin,
membuat tubuh gadis itu tersentak ke belakang karena terkejut
dengan perlakuan Eunhyuk yang begitu tiba-tiba itu.
Ji-Yoo hanya bisa membelalakkan matanya syok, merasakan
jantungnya berdentum-dentum keras di rongga dadanya, seolah
mencari cara untuk melompat keluar. Dan saat pria itu akhirnya
melepaskannya beberapa saat kemudian, dia nyaris tidak bisa
memerintahkan paru-parunya untuk bekerja memompa oksigen masuk,
sedangkan dia nyaris setengah mati kehabisan udara.
Eunhyuk menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah Ji-
Yoo. Tangan itu dingin, tapi entah kenapa terasa hangat saat
bersentuhan dengan kulit gadis itu. Air hujan terus jatuh, membuat
tubuh mereka semakin basah kuyup, tapi Eunhyuk seolah tidak
memperhatikannya dan malah menatap gadis di depannya dengan raut
wajah frustasi.
“Aku berusaha melakukan semuanya dengan benar. Aku
mengikuti tahap-tahap yang seharusnya dilakukan pria baik-baik. Tapi
terkadang kau membuatnya terasa terlalu sulit dan membuatku nyaris
tidak berhasil menahan diri. Apa kita tidak bisa menikah saja agar
kau bisa mengakhiri penderitaanku?” ujar Eunhyuk dengan suara
nyaris memohon.
Mendadak Ji-Yoo bisa merasakan benda bulat yang sekarang
melingkar di jari manisnya, cincin yang dipasangkan Eunhyuk dengan
tiba-tiba beberapa hari yang lalu. Gadis itu menatap wajah tampan di
depannya dengan pikiran buntu. Dia melupakan tugas awalnya untuk
mendekati pria ini, dia melupakan pria lain yang selama ini menjadi
tunangannya, dia melupakan ketakutan-ketakutannya jika Eunhyuk
mengetahui alasan kenapa dia berada di tempat ini. Yang ada di otak
Ji-Yoo sekarang hanya seorang Lee Hyuk-Jae yang sedang berdiri di
hadapannya, basah kuyup, dan sedang menunggu gadis itu menjawab
lamaran yang diajukannya.
Mungkin dia sudah gila, tapi dia sama sekali tidak bisa
menahan gerakan kepalanya yang mengangguk memberikan
persetujuan. Dia merasa bersalah saat melihat senyum lebar yang
terkembang di bibir pria itu dan pelukan hangat yang diberikannya
sesaat kemudian. Dia hanya harus menyelesaikan semuanya,
menghentikan semua kekacauan yang sudah dibuatnya, sebelum pria
itu tersadar. Dengan pikiran itu Ji-Yoo tersenyum dan membalas
pelukan Eunhyuk di tubuhnya. Apapun yang terjadi, ada firasat yang
sangat jelas bahwa pria ini akan melindunginya. Dan dia tahu bahwa
pria itu memang akan melakukannya.
***

Kyuhyun’s Home, Siena, Italy


07.30 AM

Hye-Na menggeliat sesaat dan membuka matanya. Dia buta


waktu sekarang, tapi sepertinya sudah pagi. Astaga, seingatnya dia
tertidur saat sedang menonton film tragis semalam, lalu… kenapa dia
sekarang ada di kamar?
Gadis itu turun dari tempat tidur dengan pikiran yang masih
belum terlalu fokus. Dia membuka salah satu pintu yang terdapat di
kamar itu, berharap itu adalah pintu kamar mandi pribadi. Dan
tebakannya tepat. Setidaknya dia bisa sedikit menyegarkan diri
sebelum mencari… suami barunya. Memikirkan istilah itu saja sudah
membuat tawanya nyaris menyembur keluar.
Hye-Na mencipratkan sedikit air dingin ke wajahnya,
mengejutkan beberapa sistem kerja tubuhnya yang masih setengah
tertidur. Dia mengambil salah satu sikat gigi yang terletak di
wastafel dan mulai menggosok giginya, sedangkan otaknya mulai
berkelana kesana kemari. Salah satu yang dipikirkannya adalah
kenyataan bahwa menikah ternyata tidak seburuk yang
diperkirakannya. Setidaknya jika kau mendapatkan suami seperti itu.
Setelah merasa cukup segar, gadis itu turun ke lantai bawah
dan mendapati Kyuhyun sedang duduk di meja makan dengan
perhatian terpusat pada communicator-nya. Pasti bisnis lagi. Cih, apa
dia tidak pernah bosan setiap hari bergelut dengan semua hal
mengerikan itu?
Hye-Na menarik salah satu kursi dan menjatuhkan diri ke
atasnya, melirik makanan yang tersedia di atas meja.
“Tidurmu nyenyak?” tanya Kyuhyun berbasa-basi. Awalnya
Hye-Na pikir itu hanya basa-basi biasa, tapi Kyuhyun
mematikan communicator-nya setelah memberitahu lawan bicaranya
bahwa dia akan menghubungi orang itu lagi nanti, kemudian
mendongak menatap Hye-Na penuh minat. Mendadak Hye-Na
tersadar bahwa pria itu, tidak peduli sedang sesibuk apapun, selalu
menghentikan kegiatannya dan menaruh perhatian penuh jika
berbicara dengan Hye-Na. Mengetahui hal itu membuatnya lagi-lagi
merasa… dibutuhkan? Sial, dia tidak suka berada dalam situasi
menjurus romantisme seperti ini!
“Kau yang memindahkanku ke kamar semalam?”
“Hmm,” gumam Kyuhyun sambil mendorong piring dengan roti
isi bacon dan lelehan keju mozzarella di atasnya ke arah gadis itu.
“Rose membuatkannya untukmu,” ujar Kyuhyun memberitahu. Rose
adalah salah satu pelayan yang bekerja di rumah itu. Dan sepertinya
wanita paruh baya itu senang sekali bisa memasak lagi setelah sekian
lama tidak ada yang mengunjungi rumah ini. Saat mereka sampai
kemarin sore saja wanita itu menyambut mereka dengan senyum lebar
di wajahnya dan langsung memberondong mereka dengan pertanyaan
apa mereka sudah makan dan apa yang mereka inginkan untuk menu
makan malam.
Hye-Na meraih roti isi itu dan memakannya dalam satu gigitan
besar. Dia merasa tidak perlu memperlembut cara makannya di
hadapan pria itu. Toh dia bukan putri kerajaan. Lagipula sepertinya
pria itu malah merasa senang melihat Hye-Na berani bersikap
sembarangan di depannya.
“Apa kau mau langsung pulang pagi ini? Atau mau jalan-jalan
lagi?” tanya Kyuhyun sambil memakan roti isi bagiannya.
“Aku punya banyak kasus yang harus kuselesaikan. Kau pikir
aku masih punya waktu untuk jalan-jalan?” dengus Hye-Na.
Kyuhyun mengabaikan ucapan ketus gadis itu dan meminum jus
jeruknya.
“Mulai sekarang, setiap hari kau harus makan siang
bersamaku. Aku akan menjemputmu dan kau harus ikut denganku.”
“Cih, ajakan macam apa itu? Lagipula aku biasanya makan di
kantor. Makan dariAutoChef jauh lebih praktis daripada harus makan
keluar.”
“Aku tidak menerima penolakan,” ujar Kyuhyun dengan nada
yang tidak bisa diganggu gugat. Makan siang bersama adalah salah
satu rencananya untuk membuat gadis itu berada dalam
pengawasannya. Setidaknya dia bisa memastikan bahwa gadis itu
aman. Dan dia juga sudah memikirkan tentang mengantar-jemput
gadis itu setiap hari. Malam hari adalah waktu yang rentan terhadap
penculikan, terutama jika gadis itu berada dalam ancaman
pembunuhan seorang pembunuh berantai yang tidak waras. Meskipun
itu berarti dia harus pulang ke rumah lebih awal dari jadwalnya yang
biasa dan itu termasuk menyingkirkan beberapa berkas proyek
internasional yang biasanya dia pelajari sampai nyaris lewat tengah
malam. Tapi itu dulu, sebelum dia memiliki istri yang membuatnya
ingin cepat pulang ke rumah.
“Kau mau kuantar-jemput setiap hari?” tanya Kyuhyun, yang di
telinga Hye-Na nyaris terdengar lebih seperti perintah, bukan
pertanyaan.
“Kau sedang mengekangku?” seru Hye-Na kesal.
“Hanya memastikan keselamatanmu,” jawab Kyuhyun tenang.
Hye-Na melirik Kyuhyun curiga. Apa pria itu tahu bahwa
sasaran pembunuh berantai berikutnya adalah Hye-Na dan berusaha
memberikan perlindungan diam-diam semampunya? Tapi bagaimana
bisa? Orang pertama yang datang dan memeriksa lokasi kejadian
adalah Hye-Na dan Eun-Ji, dan gadis itu menyembunyikan surat
ancaman itu tanpa sepengetahuan siapapun, jadi mustahil jika ada
orang lain yang tahu.
“Bagaimana kalau aku mau pergi ke suatu tempat?”
“Tinggalkan saja mobilmu di parkiran gedung. Kau tahu
bahwa Five State tidak terkalahkan dalam masalah keamanan, jadi
tidak ada yang perlu kau khawatirkan.” Five Stateadalah sebutan
untuk area gedung KNI yang terdiri dari 5 gedung utama, KNI, KIA,
STA, SRO, dan ACC, dan Kyuhyun benar, tidak ada yang bisa
meragukan pengamanan gedung itu.
“Aish, sebenarnya ada apa sampai kau bersikap seprotektif
ini padaku?”
Kyuhyun mencondongkan tubuhnya di atas meja dan menatap
Hye-Na dengan raut wajah serius.
“Kau ingat ucapanku kemarin? Aku hanya ingin memastikan
bahwa kau bisa hidup lebih lama. Dan mengingat statusmu yang sudah
menjadi istriku, aku rasa ancaman pembunuhan terhadapmu akan
meningkat drastis. Dan aku akan mengusahakan segala cara untuk
mencegahnya.”
***
Hye-Na bergerak gelisah di kursi penumpang yang
didudukinya. Dia menatap Kyuhyun yang sedang asyik memencet-
mencet tombol di sampingnya dengan raut wajah cemas.
“Yak, kau yakin ini aman? Kau sudah pernah mengendarainya?”
tanya gadis itu khawatir. Suaranya bahkan terdengar sedikit gemetar
saat mengucapkannya.
Kyuhyun menoleh sedikit dan kembali sibuk dengan
pekerjaannya.
“Kau tenang saja. Aku bersedia mempertaruhkan separuh
kekayaanku untuk menjamin bahwa kendaraan cantik ini aman.”
“Kendaraan cantik?” dengus Hye-Na tak percaya. Kendaraan
cantik yang dimaksud Kyuhyun adalah mobil terbang yang akan
dilempar ke pasaran bulan depan. Yang publik prediksi hanyalah
kehadiran sebuah mobil yang dapat terbang melayang di atas langit,
bukan sebuah mobil yang bisa mencapai kecepatan 700 km/jam hanya
dalam waktu 1 detik, melayang di angkasa, dan lebih dari aman untuk
dikemudikan melintasi samudera, bahkan bisa digunakan sebagai kapal
dadakan jika ingin melakukan perjalanan di atas air. Karena itu
dinamakan Amphibi, kendaraan itu seperti katak yang bisa hidup di
dua tempat, darat dan air. Bisa dikatakan, mobil dengan desain
seperti mobil Ferrari keluaran terbaru yang biasa dibawa Kyuhyun
kemana-mana ini merupakan pesawat dan kapal dalam model lebih
kecil. Dan ini adalah hasil karya dua sepupu paling terkenal di seluruh
Asia, Cho Kyuhyun dan Lee Hyuk-Jae. Mereka
menamakannya Amphibithrope. Dan sekarang, entah bagaimana
caranya mobil itu bisa mendarat di garasi rumah Kyuhyun yang
terletak di Siena ini, Hye-Na ketakutan setengah mati saat pria itu
berencana memulangkan mereka ke Korea dengan benda yang belum
diuji coba ini. Apa Kyuhyun berencana bermain-main tidak hanya
dengan benda ini, tapi juga dengan nyawa mereka?
“Tenanglah,” ujar Kyuhyun memotong pikiran negatif yang
berseliweran di benak Hye-Na, tiba-tiba mengacak-acak rambut
gadis itu dengan tangan kanannya. “Aku tidak mungkin membuatmu
berada dalam kondisi bahaya. Mobil ini aman, oke? Aku sendiri yang
melakukan pengecekan terakhirnya. Dan Eunhyuk hyung
mengizinkanku menjadi orang pertama yang mencobanya. Dia… terlalu
sibuk dengan gadis barunya,” jelas Kyuhyun, terlihat sedikit geli
mendengar ucapannya sendiri.
Ucapan Kyuhyun bisa sedikit menenangkan Hye-Na, tapi tidak
sepenuhnya. Gadis itu masih terlihat gusar dan menyusuri bagian
dalam mobil itu dengan matanya yang berputar panik.
“Aku tahu kau takut ketinggian, tapi aku akan memastikan
bahwa kau tidak akan terjatuh dari ketinggian 1500 meter. Kau pikir
aku bodoh?”
“Dari mana kau tahu aku takut ketinggian? Kau menyelidikiku,
ya?” seru Hye-Na. Rasa kesal mulai menggantikan kepanikan yang
melandanya.
“Aku punya detektif hebat yang mengenalmu luar dalam dan
bisa menjawab apapun pertanyaan yang aku ajukan tentangmu. Kau
takut ketinggian, tapi tidak punya masalah jika harus naik pesawat
ataupun lift, asalkan benda yang membawamu jauh dari tanah itu
tertutup dan tidak menampakkan pemandangan di luar. Karena
kebetulan kaca mobil ini transparan, kau menjadi ketakutan. Aku
benar, kan?”
“Siapa yang kau suruh mengawasiku, hah?”
“Ibumu,” jawab Kyuhyun santai, membuat Hye-Na melongo
sesaat.
Astaga, sejak kapan ibunya menjadi mata-mata pria itu?
***
In front of STA Building, Seoul, South Korea
11.00 AM
Pendaratan yang sukses. Tanpa goncangan sedikitpun. Hye-Na
yakin 100% bahwa kehadiran benda berbentuk mobil ini akan
mengguncang dunia. Dan dia sudah mendapat jawaban kenapa pria
yang sekarang berstatus suaminya itu terkenal dengan kejeniusannya.
Menciptakan alat seperti ini bahkan butuh lebih dari sekedar
kejeniusan. Benda terbang yang berhasil membuat Hye-Na melupakan
fobianya terhadap ketinggian dan menikmati pemandangan di
sepanjang perjalanan.
“Nanti…. Tunggu sebentar,” ujar Kyuhyun sambil
mengeluarkan communicator-nya yang berbunyi. “Ah, hyung, wae?”
tanya Kyuhyun saat melihat wajah Eunhyuk muncul di layar.
“Pemasaran yang bagus, Cho Kyuhyun. Kau membuat heboh
seluruh dunia sekarang. CNN bahkan menayangkan liputan langsung.
Terbang di atas langit dari Siena ke Seoul. Kau sudah gila!” seru
Eunhyuk dengan senyum lebar terkembang di wajahnya.
“Benar-benar keren, hyung! Sepertinya tidak ada masalah
yang berarti bagi orang yang baru mengendarainya. Bahkan tidak ada
guncangan sama sekali. Kita sukses!”
“Aish, kau membuatku iri! Aku kan juga mau mencobanya. Tapi
ngomong-ngomong, kau sedang bersama Hye-Na? Bagaimana bulan
madu kalian? Sukses? Kapan aku akan mendapatkan keponakan
lucu?” tanya Eunhyuk penuh semangat.
“Jangan mulai merecokiku dengan otak mesummu itu, hyung!
Sudahlah, lebih baik kau kembali bekerja. Direktur macam apa yang
kerjanya hanya bermain-main saja, hah?”
“Kau ini galak sekali. Ya sudah, sampai jumpa nanti. Titip
salam untuk istrimu.”
Kyuhyun memasukkan communicator-nya lagi ke dalam saku
celana dan menoleh ke arah Hye-Na.
“Nanti aku akan mengirimkan mobilmu kesini dan meminta
mereka menyediakan tempat parkir khusus. Aku akan menjemputmu
saat makan siang, setelah urusanku di Gedung Biru selesai.”
“Gedung Biru? Ada urusan apa kau dengan Presiden Korea?”
tanya Hye-Na penasaran. Cara bicara pria itu seolah dia sudah sering
sekali keluar-masuk gedung kediaman Presiden Korea itu. Jika
Amerika punya Gedung Putih, maka Gedung Biru-lah sebutannya untuk
Korea. Sama terkenalnya, dan memilki pengamanan yang sama
ketatnya. Sudah jelas bahwa tidak sembarang orang bisa masuk
kesana.
“Membicarakan pesawat jet baru yang akan mereka gunakan
untuk pasukan militer. Mungkin juga Presiden mau
membicarakan Amphibithrope, tertarik untuk membeli beberapa.
Akan sangat berguna untuk pasukan pengamanan negara.”
Sepertinya Cho Corp benar-benar berarti banyak untuk
negara, batin Hye-Na sambil membuka pintu penumpang. Saat dia
sudah sampai di luar, barulah gadis itu tersadar betapa banyaknya
orang yang berkerumun di depan gedung STA, memperhatikan mobil
itu dengan kagum. Astaga, dia benar-benar tidak suka berada di
bawah pusat perhatian seperti ini. Dia bisa membayangkan betapa
banyak pegawai yang akan menanyainya tanpa henti tentang
kendaraan cantik itu. Yeah, kendaraan itu memang cantik. Hye-Na
merasa harus mengakuinya.
“Sampai jumpa nanti,” ujar Kyuhyun, melongokkan kepalanya
dari balik kaca mobil.
Hye-Na mengangguk, secepatnya berniat kabur dari tempat
itu.
“Dan Hye-Na~ya,” panggil Kyuhyun lagi, membuat gadis itu
membungkuk sedikit agar bisa melihat ke dalam mobil. “Jaga dirimu
baik-baik. Untukku.”
Geez, dia yakin telinga tajam milik kerumunan orang-orang itu
bisa mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan Kyuhyun untuknya.
Dan sialnya, pria itu malah tertawa geli melihat ekspresi Hye-Na,
seolah dia melakukan hal itu dengan sengaja. Tawa yang keluar dari
bibir Kyuhyun itu hanya semakin memperparah keadaan, mengingat
betapa dinginnya imej pria itu selama ini, tapi dia malah dengan
mudah menggoda istrinya di depan semua orang lalu tertawa. Hye-Na
tahu orang-orang yang berada di kerumunan itu terpaku syok, yang
membuatnya semakin bernafsu untuk mencekik pria itu sampai mati.
***
“Hai, bagaimana bulan madumu?” tanya Eun-Ji saat Hye-Na
baru menjatuhkan badannya ke atas kursi di belakang meja kerjanya.
Gadis itu memijat lehernya pelan, memberi dirinya sendiri pujian
karena berhasil lolos dari rentetan pertanyaan semua orang yang
ditemuinya dalam perjalanan ke ruangan ini. Tapi sialnya sekarang dia
harus menjawab pertanyaan sahabatnya yang kecerewetannya sudah
mencapai tingkat maksimum itu.
“Dia mengajakku ke Verona dan Siena. Dan jangan bertanya
apa yang terjadi pada malam harinya, karena kau akan kecewa
mendengar jawabanku. Aku ketiduran saat sedang menonton Romeo &
Juliet. Film itu benar-benar sukses membuatku terkapar.”
“Verona? Siena? Kau ke rumah Juliet?”
“Ck, jangan bilang kau juga punya impian bodoh untuk pergi
kesana dan menempelkan surat cintamu di dinding!”
“Tidak,” dalih Eun-Ji dengan raut wajah tanpa dosa. “Hei,
kendaraan baru Kyuhyun itu benar-benar keren! Semua orang heboh
membicarakannya! Aku menonton CNN tadi. CNN! Coba kau
bayangkan! Meliput langsung penerbangan kalian dari Siena kesini.
Sepertinya Amerika sudah tunduk pada kita, kan?” ujar Eun-Ji penuh
semangat, mengalihkan bahan pembicaraan.
“Kau tahu?” sela Hye-Na tanpa mengalihkan pandangannya
dari layar komputer yang baru saja dihidupkannya. Ada senyum samar
di wajah gadis itu saat melanjutkan kalimatnya. “Untuk pertama
kalinya aku bangga menjadi warga negara Korea.”
***

Infinite Hotel’s Restaurant, Gangnam, Seoul


12.30 PM
“Kau mau membicarakan bisnis dengan klienmu saat makan
siang kenapa harus mengajakku? Kita kan bisa makan siang bersama
kapan-kapan,” protes Hye-Na sambil membalik-balikkan buku menu di
tangannya dengan malas.
“Aku tidak bisa mengungkapkan alasannya padamu. Kalau kau
mau aku bisa membatalkan makan siang bisnisku,” ujar Kyuhyun
enteng.
“Uang sudah tidak berarti lagi ya buatmu? Belum pernah
mencoba bagaimana rasanya hidup susah?”
“Kau ini sensitif sekali.”
Hye-Na mengacuhkan Kyuhyun dan memberitahukan
pesanannya pada pelayan yang menunggu di samping meja mereka,
kemudian menenggelamkan diri dengan file kasus 5to5yang
dibawanya.
“Aku rasa aku bisa membantumu,” kata Kyuhyun tiba-tiba.
Hye-Na mendongak dan menatap pria itu bingung. Mata Kyuhyun
tertuju pada barisan data yang tertulis di atas berkas itu dengan
kening berkerut.
“Tempat-tempat yang dijadikan lokasi pembunuhan,” jelas
Kyuhyun. Ada nada marah yang tersirat dari suaranya. “Semua korban
dibunuh di apartemen tempat mereka tinggal. Dan kau tahu? Semua
apartemen itu milikku.”
“Semuanya… milikmu?” ujar Hye-Na dengan suara tercekat.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa semuanya harus berhubungan
denganmu? Apa kekayaanmu itu membuatmu menjadi sasaran empuk
para pembunuh bayaran?”
Kyuhyun menarik nafas berat dan menyandarkan tubuhnya ke
kursi.
“Shim Dae-Ho. Aku sudah menyelidikinya. Dia tidak menikah,
bahkan tidak menjalin hubungan dengan wanita manapun hingga dia
memperoleh keturunan. Dia juga sudah tidak punya keluarga lagi. Aku
jadi heran, siapa orang yang mau repot-repot membunuhi 24 orang
gadis hanya untuk membalaskan dendam kematian pria itu? Apa ada
data yang tersembunyi dan luput dari pencarianku?”
“Kudengar komputermu di rumah bahkan bisa menelusup ke
data intelijen Amerika, jadi kenapa data remeh seperti itu saja bisa
membuatmu kecolongan? Atau memang tidak ada data yang hilang.
Mungkin perasaanmu saja.”
“Tidak. Selalu ada data ilegal yang disegel untuk orang-orang
yang bergelut dalam bidang gelap seperti itu, mereka berpikir untuk
mengamankan hidup mereka dari sentuhan polisi, dan akan
membutuhkan waktu cukup lama untuk membukanya. Aku menemukan
satu data seperti itu dalam file Dae-Ho. Aku belum membukanya.
Sepertinya nanti malam aku harus menyelidikinya, siapa tahu
membantu.”
“Apa semua data dari seluruh dunia benar-benar bisa dilacak
di komputermu? Sepertinya itu akan sangat membantu untuk
memecahkan beberapa kasus yang ditangani KNI.”
“Aku belum memberitahumu? Semua ruangan di rumah,
bahkan ruang kerja pribadiku sudah kuatur untuk menerima perintah
suara darimu. Kau bisa mengakses komputer pribadiku kapan saja kau
mau. Terutama untuk mencari beberapa data pribadi. Kau juga bisa
meminta tolong padaku jika kau kesulitan membuka data yang
tersegel.”
Hye-Na melongo mendengar ucapan pria itu. Bukankah
Kyuhyun terkenal penyendiri karena sulitnya mendapatkan
kepercayaan dari pria itu? Seorang Lee Hyuk-Jae, sepupu
kesayangannya, bahkan tidak bisa mengakses komputer pribadi pria
itu sama sekali. Jadi kenapa Kyuhyun dengan begitu mudah
memberikan kepercayaan sebesar itu padanya?
“Jangan memasang tampang bodoh seperti itu. Kau kan
istriku, orang yang akan memiliki hubungan paling dekat denganku,
bahkan lebih dari ibu dan nunaku sendiri. Jadi kalau aku tidak bisa
mempercayaimu, siapa lagi yang harus kupercayai?”
Hye-Na baru akan membuka mulutnya saat seorang pria
bertubuh besar tiba-tiba memotong pembicaraan mereka.
“Kyuhyun~a, maaf aku terlambat. Tadi aku juga sedang ada
meeting dadakan di kantor, makanya terlambat sampai disini.”
Kyuhyun tersenyum dan mengangguk, memberi tanda agar pria
itu duduk di depan mereka. Sepertinya inilah rekan bisnis yang
ditunggu Kyuhyun dari tadi.
Pria itu menoleh ke arah Hye-Na yang langsung membungkuk
dan tersenyum ramah.
“Istrimu? Cantik sekali! Aku hanya melihat pernikahan kalian
dari berita TV. Aku juga mau mengucapkan permintaan maafku dan
istriku karena tidak bisa hadir kemarin. Dia menemaniku melakukan
perjalanan bisnis ke Jepang. Kami baru pulang kemarin malam,” jelas
pria itu panjang lebar.
“Tidak apa-apa. Aku sudah menerima pesanmu kemarin.”
“Namaku Shin Dong-Hee, kau bisa memanggilku Shindong.
Senang bertemu denganmu, Hye-Na ssi,” ujar Shindong sambil
mengulurkan tangannya ke arah Hye-Na.
“Ah, ye, senang juga bisa bertemu denganmu, Shindong ssi.”
Menit berikutnya Shindong dan Kyuhyun sudah terlibat dalam
pembicaraan bisnis mereka. Sepertinya tentang pembelian sebuah
kawasan real estate di kawasan Kangwon yang akan dirombak menjadi
perumahan elite dengan gaya natural sesuai standar pemerintah,
untuk menggalakkan motto pencegahan global warming. Awalnya Hye-
Na mendengarkan, tapi lama kelamaan gadis itu merasa bosan dan
mulai sibuk sendiri dengan makan siangnya. Steak pesanannya benar-
benar nikmat. Astaga, kapan terakhir kali dia memakan daging sapi
asli seenak ini?
“Kenapa Nari nuna tidak ikut? Biasanya dia selalu
menemanimu kemana-mana, hyung.”
Hye-Na mendongak saat mendengar topik pembicaraan dua
orang itu berubah. Sepertinya pertemuan bisnis mereka sudah
berakhir.
“Dia kelelahan karena perjalanan kemarin. Tapi kau sekarang
sudah menjadi penerusku, kan? Benar begitu, bawalah istrimu
kemanapun kau pergi. Hubungan pernikahan kalian akan semakin
menguat dengan dilandasi kepercayaan dari masing-masing pihak. Aku
juga suka membawa istriku setiap makan siang. Seperti yang pernah
kuberitahukan padamu, makan siang bagi pebisnis seperti kita, sama
pentingnya dengan kehadiran seorang istri di dalam hidup kita.”
“Aku mengerti, hyung.”
“Ya sudah, aku pergi dulu. Sudah saatnya aku kembali ke
kantor. Hari ini, biarkan aku mentraktir kalian berdua. Anggap saja
sebagai hadiah pernikahan. Hahaha. Sampai jumpa, Hye-Na ssi.”
Hye-Na menyikut lengan Kyuhyun setelah pria itu menghilang
dari pandangan.
“Apa maksud kalian? Arti seorang istri sama dengan makan
siang? Hanya sebatas itu?”
“Jangan emosi. Kapan-kapan aku akan memberitahumu apa
maksudnya. Dan… sejak kapan kau meributkan posisimu dalam
hidupku?”
Hye-Na ternganga mendengar pertanyaan pria itu. Benar.
Sejak kapan dia memedulikan posisi dirinya dalam hidup Kyuhyun?
Sejak kapan… pendapat pria itu tentangnya menjadi terlalu penting?
***
STA Building, Seoul, South Korea
09.00 PM

Eun-Kyo mendongak saat pintu ruang kerjanya terbuka.


Dan langsung melongo kaget saat melihat siapa yang sedang berjalan
masuk ke ruangannya saat ini.
“Aigoo, kau pikir aku hantu? Kenapa harus sesyok itu saat
melihatku?” gurau Leeteuk dengan senyum lebar di wajahnya. Dengan
santainya pria itu duduk di atas kursi yang terletak di depan meja
kerja Eun-Kyo, melipat tangannya di atas meja sambil menatap gadis
itu dengan intens.
“Bagaimana kalau kau kuantar pulang?” tawarnya tanpa basa-
basi.
Eun-Kyo membeku di kursinya, tidak bisa berkata apa-apa.
Kenapa dia merasa sikap pria di depannya ini aneh sekali?
“Aku kan sudah bilang ingin mengejarmu, ini salah satunya,”
ujar pria itu enteng, menjawab tatapan heran yang diperlihatkan Eun-
Kyo.
“Jadi, ayo pulang denganku. Anggap saja ini kencan pertama
kita. Hmm?”
***
In front of Eun-Kyo’s Home, Kangwon, South Korea
10.00 PM

“Ah, jadi ini rumahmu?” gumam Leeteuk saat dia


menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah kecil yang asri. Eun-
Kyo mengangguk dan menatap Leeteuk dengan kening berkerut.
“Wae?”
“Ani. Hanya sedang berpikir. Mungkin sepertinya aku akan
sering mampir kesini.”
“Kau ini kenapa? Aneh sekali! Kau bersikap seolah-olah kita
sudah kenal dekat sebelumnya. Ini benar-benar membuatku bingung.”
“Kita memang saling mengenal. Kau saja yang lupa. Tanyakan
apa yang terjadi sebenarnya pada Kibum. Kalau dia tidak mau
menjawab, baru kau bisa bertanya padaku.”
“Kenapa tidak kau saja yang menjelaskan padaku?”
“Aku? Kau kan lupa ingatan gara-gara dia.”
“Lupa ingatan? Aku amnesia?” tanya Eun-Kyo semakin
kebingungan.
“Tidak juga. Lebih baik kau tanya saja padanya.”
Eun-Kyo melepas seatbelt-nya, terlihat tidak puas dengan
jawaban pria itu. Dia baru akan membuka pintu mobil saat panggilan
Leeteuk menghentikan gerakannya.
Pria itu memberi tanda agar Eun-Kyo mendekat. Tidak ada
senyum di wajahnya yang mendadak terlihat begitu serius.
“Hei,” ujarnya lirih. “Bagaimana menurutmu kalau aku merebut
sebuah ciuman darimu pada kencan pertama kita?” Dan tanpa
menunggu reaksi dari gadis itu, Leeteuk mencondongkan tubuhnya,
mengecup bibir gadis itu kilat. Dia melepaskan gadis itu secepat
ciuman itu terjadi, tersenyum saat melihat Eun-Kyo masih belum
tersadar dengan apa yang sudah dilakukannya.
“Park Eun-Kyo ssi, kita pacaran saja.”
***

Heechul’s Home, Gangnam, Seoul


11.00 PM

Heechul melangkah masuk ke dalam ruang tamu sambil


memijit lehernya yang terasa lelah setelah syuting seharian. Aish,
seharusnya dia tidak usah sok keren dengan menerima tawaran
syuting di sebuah film action. Tubuhnya nyaris patah-patah saat
melakukan adegan berbahaya dan dia terlalu gengsi untuk
menggunakan jasa stuntman.
Rumah terasa sepi. Mungkin ‘pembantunya’ itu sudah tidur.
Heechul tertawa kecil saat mengingat gadis itu. Ternyata dia sama
cerewetnya dengan Heechul, apalagi sejak kejadian malam itu.
Mereka berdua tiba-tiba menjadi begitu dekat dan Heechul tidak
keberatan lagi jika gadis itu tanpa sengaja menyentuhnya. Bahkan dia
sendiri yang sering menyentuh gadis itu, entah untuk sekedar
mengacak-acak rambutnya, mendorong kepalanya kalau dia mulai
menampakkan tanda-tanda kebodohan, dan sentuhan ringan lainnya.
Min-Hyo sendiri tidak menyinggung-nyinggung ataupun bertanya
tentang masa lalu Heechul yang membuatnya trauma, dan Heechul
sangat menghargai pengertian yang diberikan gadis itu.
Heechul mengerutkan keningnya saat melihat Min-Hyo
ternyata tertidur di sofa. TV di depannya masih menyala, dan entah
kenapa Heechul sama sekali tidak kesal dengan keadaan itu. Padahal
biasanya dia akan marah jika ada sesuatu yang tidak sesuai pada
tempatnya. Dia sudah melatih kesabarannya dengan sangat baik
selama hidup dengan gadis ceroboh itu.
Heechul menundukkan tubuhnya di atas Min-Hyo yang
sepertinya sudah benar-benar pulas. Pria itu menghela nafasnya dan
sesaat kemudian menyelipkan tangannya ke tubuh gadis itu,
menggendongnya masuk ke kamar. Dia meletakkan tubuh Min-Hyo
hati-hati ke atas kasur dan menarik selimut. Bukannya pergi setelah
menyelesaikan pekerjaannya, pria itu malah duduk di tepi tempat
tidur, memandangi wajah Min-Hyo yang terlihat polos seperti boneka
saat sedang tertidur. Tidak aneh jika dia sempat salah mengira
bahwa gadis itu adalah androidnya yang hilang.
Heechul tertawa mengingat kebodohannya dulu yang
membuatnya mengenal gadis ini dan tinggal bersamanya. Gadis
pertama yang bisa disentuhnya tanpa perlu merasa takut. Gadis yang
membuatnya nyaman dan merubah kepribadiannya yang tertutup, gila
kebersihan, dan sering meledak-ledak menjadi sedikit lebih
manusiawi. Astaga, dia tidak sedang berpikir bahwa dia jatuh cinta
pada gadis ini, kan?
Heechul mendengus, tidak percaya dengan apa yang
dipikirkannya. Dia memang merasa nyaman dengan gadis di depannya
ini, tapi kalau jatuh cinta….
Oh ayolah Kim Heechul, akhir-akhir ini kau sering merasa
ketakutan kan jika suatu saat orang tua gadis ini menemukannya dan
mengambil gadis ini darimu? Bagaimana kalau gadis ini benar-benar
dinikahkan dengan pria lain? Kau tetap mau tenang-tenang saja
begitu?
Sial, batinnya. Tentu saja dia tidak akan bisa hidup tenang
kalau sampai itu terjadi.
***

STA Building, Seoul, South Korea


11.00 AM

“Hei, apa siang ini kau akan makan dengan Kyuhyun lagi?
Akhir-akhir ini dia jadi perhatian sekali,” komentar Eun-Ji saat
melihat Hye-Na mengumpulkan barang-barangnya dan
memasukkannya ke dalam tas.
“Dia memaksaku. Menurutmu aku bisa apa?” sahut Hye-Na
ketus.
“Suamimu itu keren sekali, ya! Kau yakin belum jatuh cinta
padanya?” goda Eun-Ji sambil mengedip jahil ke arah Hye-Na.
Anehnya, gadis itu sekarang malah terlihat gugup dengan pertanyaan
tiba-tiba itu. Padahal biasanya dia akan meneriaki Eun-Ji dengan
penuh emosi. Bersikap seolah jatuh cinta pada Kyuhyun adalah sebuah
dosa besar yang memalukan.
“Jangan mengada-ada,” sergah Hye-Na tanpa menatap Eun-Ji
sedikitpun.
“Yak, kau sudah mulai menyukainya, ya? Kenapa kau gugup
seperti itu? Aigoo, Hye-Na~ya, kau termakan ucapanmu sendiri, kan?
Baru juga dua hari menikah, tapi dia sudah berhasil menarik
perhatianmu.”
Hye-Na mendongak dan menatap Eun-Ji sengit. “Yak, kalau
terus-menerus disodori godaan sebesar itu, menurutmu gadis mana
yang akan terlepas dari pesonanya, hah?”
“Ah, jadi menurutmu Kyuhyun itu mempesona, ya? Bukannya
pria yang sok tampan dan berkuasa lagi?” potong Eun-Ji, semakin
menyukai kegiatannya menggoda Hye-Na.
Hye-Na menggeram kesal dan menyentakkan tasnya dari atas
meja, keluar dari ruangan dengan hati dongkol, meninggalkan Eun-Ji
yang tertawa-tawa di belakangnya. Sial, kenapa dia tidak bisa
bersikap seperti biasa dan mengatakan bahwa pria itu sama sekali
tidak menarik minatnya?
Akui saja Hye-Na~ya, pria itu bahkan lebih dari sekedar amat
sangat menarik perhatianmu.
Hye-Na menggertakkan giginya mendengar kata hatinya yang
menggema di kepalanya seolah dia sendiri yang meneriakkannya. Dia
tidak suka terikat dalam pernikahan, dia tidak suka hidup dalam
kekangan, dan yang lebih penting lagi, dia tidak suka berada di Korea.
Selama ini hidupnya hanya tentang pekerjaan saja, dan dia tidak siap
menghadapi jenis kehidupan baru seperti yang sedang dijalaninya
sekarang.
Sayangnya, alasan untuk menjauhi pria itu semakin
menghilang. Dia mulai berpikir bahwa menikah itu sama sekali tidak
buruk, dia menyukai sikap protektif pria itu terhadapnya, dan
terlebih lagi, Korea sama sekali tidak semenakutkan bayangannya.
Hye-Na menghentikan langkahnya di depan Kyuhyun yang
sedang bersandar di depan kap mobilnya, menunggu Hye-Na dengan
tangan bersedekap di depan dada. Pria itu tersenyum singkat dan
berbalik masuk ke dalam mobilnya, tanpa mau bersusah-payah
membukakan pintu mobil untuk gadis itu. Tapi kabar buruknya adalah,
Hye-Na memang tidak suka pria yang memperlakukan gadisnya dengan
romantis. Dia bahkan setengah berharap bahwa Kyuhyun akan
membukakan pintu mobil untuknya, memberinya alasan untuk
menemukan salah satu sikap yang tidak disukainya dari pria itu. Tapi
tidak, sejauh ini pria itu selalu melakukan segala hal yang berhasil
membuat Hye-Na terpesona. Dan bukannya menemukan alasan untuk
menjauh, gadis itu malah menemukan alasan-alasan baru untuk
semakin mendekat.
“Kau sudah pernah makan siang di Irlandia?” tanya Kyuhyun
tiba-tiba setelah Hye-Na memasang seatbelt-nya.
“Mwo?”
***
Dublin, Ireland
07.00 AM (Ireland’s Time)

Pria itu benar-benar membawanya ke Irlandia! Dengar,


IRLANDIA! Tempat yang selama ini sangat ingin dia kunjungi
bersama Eun-Ji. Mereka berdua selalu terpesona dengan
pemandangan yang terdapat di negara itu. Indah, hijau, dan
menakjubkan. Panorama pegunungan dan pantai disana benar-benar
menyilaukan mata. Dan Kyuhyun membawanya kesana hanya karena dia
ingin bertemu dengan seorang klien untuk membicarakan peternakan
yang akan dibeli Kyuhyun di pinggir kota. Satu kesimpulan yang Hye-
Na tarik. Pria itu sudah gila!
Mereka berkeliling mengamati lokasi peternakan, yang
menurut Hye-Na lebih cocok dijadikan sebagai tempat wisata karena
lokasinya yang menghadap pantai dengan pemandangan perbukitan
yang mengagumkan, daripada dijadikan sebagai tempat tinggal para
sapi dan domba. Pasti menyenangkan sekali jika bisa tinggal di tempat
setenang dan seindah itu.

Sepertinya Kyuhyun juga menyukai tempat itu dan mengajak


pria Perancis bernama Pete itu untuk sarapan bersama,
membicarakan harga yang pas. Hye-Na tidak terlalu memperhatikan
karena mereka berdua bicara dalam bahasa Perancis, membuat Hye-
Na penasaran sendiri, berapa banyak bahasa yang dikuasai pria itu.
Sebenarnya Hye-Na bisa saja mengeluarkan communicator-nya dan
mengaktifkan aplikasi translator. Salah satu temuan baru lagi dari
Cho Corp. Communicator itu juga berfungsi sebagai penerjemah.
Hebatnya, kau bisa langsung mendapatkan terjemahan dari ucapan
orang asing yang sedang bicara denganmu, communicator itu akan
menerjemahkannya bersamaan dengan saat orang itu bicara, jadi kau
tidak perlu menunggu dulu sebelum bisa mengerti ucapan orang asing
tersebut untuk menjawabnya. Praktis sekaligus mencengangkan.
Hanya saja Hye-Na tidak berminat menggunakan aplikasi itu
sekarang. Dia sempat belajar bahasa Perancis dalam masa
pelatihannya dan dia membenci bahasa itu setengah mati. Dia bahkan
tidak suka mendengar orang yang berbicara dengan bahasa itu.
Terdengar seperti orang yang sedang kumur-kumur, lebih tepatnya
lagi, Hye-Na merasa bahasa itu berasal dari luar planet bumi.
“Kita makan siang dimana?” tanya Hye-Na penasaran.
Sebenarnya dia sudah amat sangat kelaparan. Mereka menempuh
perjalanan tiga jam kesini dengan pesawat jet pribadi Kyuhyun –
seharusnya perjalanan dari Korea ke Irlandia membutuhkan waktu 11
jam jika menggunakan pesawat biasa- belum dihitung dengan
perbedaan waktunya. Disini masih jam 7 pagi, karena perbedaan
waktu 8 jam di antara kedua negara dan perut Hye-Na sudah
berdemo minta diisi.
“Rumahku.”
“Kau juga punya rumah disini? Astaga!” seru Hye-Na sambil
menggelengkan kepalanya. Melihat ekspresi wajah Kyuhyun, Hye-Na
mengumpat kesal sambil memegangi kepalanya yang mendadak terasa
pusing.
“Baiklah, biar kutebak. Kau punya rumah di setiap negara,”
ujar Hye-Na dengan suara yang disabar-sabarkan. “Cih, sebaiknya aku
menyelidiki hartamu dulu sebelum setuju menikah denganmu.
Kekayaanmu membuatku terancam terkena serangan jantung!”
***
Dromoland Castle, Ireland
07.30 AM (Ireland’s Time)
“Oke, sejak kapan kastil sebesar ini bisa disebut rumah?”
geram Hye-Na habis kesabaran. Mereka baru saja turun dari mobil
dan Hye-Na langsung ternganga melihat ‘rumah’ di depannya.
“Tempat tinggal disebut rumah, kan?”
Hye-Na menghentakkan kakinya, tidak tahu harus bicara
seperti apa lagi dengan pria itu. Untuk apa membeli kastil sebesar ini
dan membiarkannya tanpa penghuni? Hah, kecuali kau mau membuang-
buang uangmu yang banyaknya mungkin bisa memenuhi satu desa jika
dibiarkan berserakan di jalanan.
Hye-Na masih merasa kesal sepanjang makan siang yang lebih
tepat jika disebut sarapan. Dia duduk di samping Kyuhyun yang
sedang membicarakan tentang peternakan tadi dengan kliennya itu.
Dia menusuk-nusuk mushroom ravioli-nya tanpa memakannya sama
sekali. Tapi lama-lama dia tidak tahan juga karena perutnya terus
berontak minta diisi. Hye-Na nyaris yakin bahwa tawa yang
disamarkan Kyuhyun menjadi batuk-batuk kecil itu adalah reaksi
gelinya terhadap kelakuan kekanak-kanakan Hye-Na, yang hanya
membuat gadis itu semakin kesal saja.
“Nice to have a business with you. I’m not surprised anymore
why you can be the most successful businessman in the world. I
prove it by myself. Your achievement now is what you get from your
brilliant brain. You are a good negotiator. It’s nice to have an
amazing husband like him, Mrs. Cho,” ujar Pete tiba-tiba dengan
aksen Perancis yang sangat kental dalam bahasa Inggrisnya.
Hye-Na tersenyum salah tingkah, tidak tahu harus berkata
apa. Sepertinya pria di depannya ini sangat mengagumi Kyuhyun.
Gadis itu tersentak saat Kyuhyun menggenggam tangannya
erat sambil tersenyum ke arah Pete.
“Ma plus grande réalisation a été brillante ma capacité à être
en mesure de convaincre ma femme de me marier.”
Tidak perlu communicator untuk membuat Hye-Na mengerti
arti ucapan pria itu. Dia sempat belajar bahasa Perancis dan
memahami beberapa kata sederhana walaupun dia tidak bisa
mengucapkannya dengan benar.
Pencapaian terbaikku adalah kemampuanku membujuk istriku
untuk setuju menikah denganku. Kurang lebih itulah arti kalimat yang
berhasil membuat Hye-Na tertegun dan kehilangan pita suaranya
untuk beberapa saat.
Pete tertawa senang dan menepuk-nepuk bahu Kyuhyun,
memamerkan deretan giginya yang putih bersih.
“Take your wife to have a nice honeymoon in Paris. I think
you two will be the most amazing couple in the world. Really, you have
the best husband, Mrs. Cho.”
***
“Kopi?” tawar Kyuhyun sambil menyodorkan secangkir kopi
hangat ke arah Hye-Na. Gadis itu mengambilnya dan melayangkan
pandangannya lagi ke arah pemandangan persawahan, pemukiman
penduduk, dan pantai di kejauhan yang bisa merekaa lihat dari balkon
belakang kastil itu.
“Aku sudah lama sekali ingin pergi ke Irlandia. Dan kau
membawaku kesini hanya untuk pergi makan siang. Lucu sekali.”
Hye-Na mengedikkan kepalanya ke arah pemandangan pantai
di kejauhan.
“Tempat ini memang indah sekali, kan?”
“Cantik,” ujar Kyuhyun menyetujui. Hye-Na menoleh dan
menyadari bahwa mata pria itu tidak tertuju ke pemandangan yang
dimaksudnya, tapi malah tertuju ke wajahnya. Dan pria itu terlihat
tidak berniat untuk memalingkan tatapannya dalam waktu dekat.
Hye-Na mendengus dan memasang tampang muram.
“Kau sedang merayuku? Apa pria selalu jatuh cinta pada
wanita hanya karena wanita itu cantik?”
“Sebagian besar ya,” jawab Kyuhyun jujur sambil mengulurkan
tangannya untuk menyelipkan anak rambut Hye-Na yang tertiup angin
ke balik telinganya.
“Lalu apa kau termasuk yang sebagian besar itu?”
Kyuhyun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
menjawab, seolah pria itu sedang berpikir. Tapi yang dilakukan pria
itu adalah menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon agar bisa menatap
Hye-Na dengan lebih leluasa, memuaskan dirinya memandangi wajah
favoritnya itu.
“Bukan tentang kecantikan wajahmu, tapi tentang ekspresi
yang kau perlihatkan di depanku. Kalau hanya cantik saja, aku akan
jatuh cinta pada wanita lain yang lebih cantik darimu. Kau selalu
menggembungkan pipimu saat kau kesal, kau suka merengut,
memasang tampang mengejek, mengerutkan keningmu saat kau
sedang berpikir keras tentang sesuatu, dan saat kau tersenyum…
semua itu hanya kau saja yang bisa memperlihatkannya. Tentu saja
banyak gadis lain yang melakukan hal yang serupa, tapi mereka bukan
kau. Ekspresi yang mereka perlihatkan tidak akan sama.”
“Bukan tentang suaramu, tapi apa yang kau ucapkan. Banyak
pria yang berkata pada gadisnya bahwa dia selalu merindukan suara
gadis itu, tapi untukku… yang penting adalah apa yang kau ucapkan.
Kemudian tentang tubuhmu. Bukan bagaimana kau tampil, betapa
cantiknya dandananmu, sebagus apa baju yang kau pakai, tapi tentang
apa yang kau lakukan dengan tubuh itu.” Kyuhyun menghela nafas
sesaat dan tersenyum lemah. “Dengan semua penilaian itu, kau
terlihat cantik di mataku.”
Hye-Na mengerjapkan matanya, memfokuskan pandangannya
pada wajah tampan di hadapannya itu. Detik itulah gadis itu tersadar,
bahwa dia benar-benar telah jatuh cinta pada pria itu. Dan tidak tahu
bagaimana caranya kabur. Karena memang tidak ada jalan keluar sama
sekali untuk kabur.
***
STA Building, Seoul, South Korea
05.00 PM

“Hei, Nona Shin, wajahmu serius sekali.”


Eun-Ji mendongak kaget mendengar sapaan yang tiba-tiba
itu, dan lebih kaget lagi saat mengetahui siapa yang menyapanya.
“Soo-Hyun oppa!” serunya sambil bangkit berdiri dan
memberikan pukulan ringan ke tubuh pria itu.
“Yak, apa Thailand sebegitu menyita perhatianmu sampai-
sampai kau melupakan aku dan Hye-Na dan tidak memberi kabar sama
sekali pada kami?”
Soo-Hyun tertawa, menarik salah satu kursi dan duduk di
atasnya.
“Aku mendapatkan banyak kasus disana. Lagipula, banyak
gadis-gadis disana yang lebih menarik dari kalian.”
“Dari Hye-Na juga? Aku kira kau benar-benar serius
menyukainya.”
“Aku memang serius. Makanya aku datang kesini. Aku ingin
mencari tahu apa Hye-Na dan suaminya menikah karena cinta atau
karena paksaan dari pria itu? Kalau yang terjadi adalah alasan yang
kedua, maka aku berencana untuk merebutnya lagi,” ujar Soo-Hyun
dengan raut wajah serius.
“Oppa… kau tidak serius dengan ucapanmu, kan? Aku bisa
menjamin bahwa Kyuhyun mencintai Hye-Na dan cepat atau lambat
Hye-Na akan merasakan hal yang sama dengannya,” kata Eun-Ji panik.
Pria di depannya itu memang suka bertindak sembarangan dan tidak
peduli dengan bahaya apapun yang dihadapinya.
Soo-Hyun tersenyum dan mengibaskan tangannya.
“Ani. Apa menurutmu aku segila itu sampai mau berhadapan
dengan seorang Cho Kyuhyun? Aku masih waras! Kau ini mudah sekali
kubodohi. Tenang saja, aku akan segera mendapat gadis lain yang
mencintaiku, daripada aku menghabiskan waktuku untuk mengejar
cinta sahabatmu itu.”
“Baguslah,” sahut Eun-Ji sambil menghela nafas lega.
“Jadi ngomong-ngomong, kenapa aku tidak menerima undangan
pernikahan darimu?”
“Dariku? Maksudmu undangan pernikahan Hye-Na? Yak, kau
itu sudah menghilang lebih dari setengah tahun, aku rasa dia sudah
tidak ingat lagi padamu! Tapi aku rasa dia masih ingat. Terang saja,
kau kan selalu mengikutinya kemana-mana selama di Amerika.
Menggodanya terus-terusan, tidak peduli bahwa dia sudah
meneriakimu. Apa gelarnya untukmu? Pria tidak punya otak? Tuan
Tidak Tahu Malu?” Eun-Ji tertawa kecil saat mengingat masa-masa
mereka menjalani training di Amerika. Kim Soo-Hyun, pria di
depannya itu, dengan percaya dirinya mendeklarasikan diri sebagai
satu-satunya calon suami Han Hye-Na, tidak peduli jika gadis yang
ditaksirnya itu tidak menaruh minat sedikitpun padanya.
“Bukan. Maksudku undangan pernikahanmu dan Siwon.
Bukankah waktu itu kalian berdua akan menikah? Apa pernikahannya
ditunda? Terjadi sesuatu?”
Eun-Ji terdiam dan menatap Soo-Hyun gugup.
“Benar terjadi sesuatu, ya? Ada apa? Siwon memutuskanmu?”
“Kenapa kau berpikir pria itu yang memutuskanku, hah? Aku
yang memutuskannya!” seru Eun-Ji emosi.
“APA?” teriak Soo-Hyun kaget. “Kau yang memutuskannya?
Tapi kenapa? Setidaknya kau bisa bertahan dengan kenyataan bahwa
dia telah menyelamatkan nyawamu!”
Eun-Ji mendecak kesal dan menatap Soo-Hyun sinis.
“Kenapa semua orang berkata seperti itu dan aku jadi satu-
satunya orang yang tidak tahu masalahnya disini? Aku tidak pernah
merasa terancam bahaya, jadi kenapa kalian semua berkata bahwa dia
telah menyelamatkan nyawaku?” teriak gadis itu frustasi.
“Jadi kau tidak tahu? Kau tidak tahu alasan kenapa Siwon
membunuh Min Sang-Hyun waktu itu?”
“Aku tahu! Aku sudah menyelidikinya. Min Sang-Hyun adalah
mafia yang terlibat konfrontasi sampai terjadi baku tembak di
kawasan Myeongdeong waktu itu. Menewaskan beberapa orang warga
sipil termasuk tunangan Siwon. Aku tahu alasan kenapa dia masuk
KNI. Untuk balas dendam. Dan dia berhasil. Dia berhasil membunuh
pria itu, kan? Dengan tangannya sendiri.”
Sang-Hyun memandang Eun-Ji dengan tatapan tak percaya,
membuat Eun-Ji merasa seolah-olah dia sudah menarik kesimpulan
yang salah. Benar-benar salah.
“Duduklah,” kata Soo-Hyun dengan nada lelah. “Aku akan
menjelaskan semuanya padamu.”
Eun-Ji menurut dengan jantung yang berdentum-dentum tak
menentu. Apa yang perlu dijelaskan? Kenapa Soo-Hyun terlihat kesal?
“Nama gadis itu Lee Da-Som. Dan aku yakin kau sudah tahu.
Wajahnya cukup mirip denganmu. Walaupun sifat dan penampilan
kalian beda jauh. Dia jauh lebih feminin, lembut, jenis gadis yang
harus dilindungi. Aku tahu karena aku adalah sahabat Siwon sejak
bangku kuliah. Menjadi trainee bersamanya. Dan aku mengenal Da-
Som karena dia adalah tunangan Siwon.”
“Tapi mungkin ada kesalahpahaman besar disini. Mungkin kau
bertanya pada teman-teman kuliah Siwon tentang gadis itu. Tidak ada
yang tahu selain aku, bahwa mereka berdua bukanlah pasangan serasi
seperti yang dipikirkan orang-orang. Mereka berdua dijodohkan. Kau
tahulah, dengan orang tua yang kaya, bukan hal yang mengherankan
bahwa terjadi perjodohan di antara sesama relasi bisnis. Mereka
tidak saling mencintai. Tapi mereka berdua adalah anak yang sangat
berbakti pada orang tua, karena itu mereka bersandiwara sebagai
sepasang kekasih yang saling mencintai di hadapan semua orang.”
“Kau benar bahwa gadis itu meninggal dalam baku tembak
yang terjadi di Myeongdeong waktu itu. Tapi kau salah jika berpikir
bahwa Siwon mendaftar sebagai agen KNI hanya karena ingin balas
dendam. Aku sudah mengenal Siwon cukup lama untuk tahu bahwa pria
itu memang memiliki impian menjadi bagian dari KNI, jauh sebelum
gadis itu meninggal.”
“Kemudian dia bertemu denganmu. Sesama trainee. Dan kau
tentunya sudah tahu cerita selanjutnya. Kalian jatuh cinta, menjalin
hubungan, kemudian memutuskan untuk menikah. Sampai kasus waktu
itu terjadi.”
“Kau tahu kesalahan terbesarmu?”
Eun-Ji mengerjap dan menggeleng.
“Waktu itu kau terfokus untuk menghabisi anak buah Sang-
Hyun sehingga tidak tahu bahwa pria itu menyodorkan pistolnya
padamu, berniat menembakmu. Siwon yang menyadarinya langsung
bergerak cepat dan menembak pria itu. Mungkin maksudnya hanya
melukai, tapi peluru yang ditembakkannya malah menembus jantung
Sang-Hyun sehingga pria itu mati di tempat.”
“Itulah yang sebenarnya terjadi. Dan aku harap, kau merasa
bersalah dengan apa yang sudah kau lakukan padanya, Shin Eun-Ji
ssi.”
Eun-Ji memegangi kepalanya yang mendadak terasa sakit.
Otaknya mencerna ucapan Soo-Hyun dengan begitu lambat, dan saat
dia tersadar, dia nyaris tidak bisa bernafas dengan benar, ketakutan
sendiri dengan kesalahan besar yang sudah dilakukannya.
“A… aku….”
Pintu ruangan terbuka tiba-tiba dan Hye-Na masuk bersama
Kyuhyun dengan pandangan bingung.
“Wooo, Soo-Hyun oppa. Kapan kau datang? Dan… apa yang
terjadi? Maksudku… yak, Shin Eun-Ji, ada apa denganmu? Wajahmu
seperti baru melihat hantu begitu.”
“A… aku pergi sebentar. Kyuhyun ssi, aku boleh minta izin
untuk pulang cepat, kan?”
Kyuhyun mengangguk tanpa bertanya apa-apa. Melihat wajah
gadis itu saja dia sudah tahu bahwa ada sesuatu yang buruk yang
sudah terjadi.
Hye-Na menoleh ke arah Soo-Hyun yang duduk dengan
tampang tanpa dosa, tersenyum lebar kepada Hye-Na yang
menatapnya meminta penjelasan.
“Apa yang baru saja kau lakukan pada sahabatku?”
Soo-Hyun nyengir kemudian bangkit berdiri, dan secara tiba-
tiba menarik gadis itu ke dalam pelukannya, tidak memedulikan aura
membunuh yang terpancar dari Kyuhyun.
“Hye-Na~ya, aku merindukanmu!!!”
“Aigoo, YAK, lepaskan aku!” teriak Hye-Na berusaha
memberontak melepaskan diri dari rangkulan pria itu.
“Aish, masa kau tidak merindukanku juga?” seru Soo-Hyun
dengan tampang merengut. Pria itu kemudian menoleh ke arah
Kyuhyun yang berdiri di samping Hye-Na.
“Aku tidak tahu bagaimana bisa, tapi aku yang sudah
mendeklarasikan diri sebagai calon suami Hye-Na nomor 1 tidak
berhasil menikahi gadis ini, jadi kenapa kau, pria yang baru datang ke
kehidupannya bisa mengikatnya dalam pernikahan?”
Hye-Na langsung menendang kaki Soo-Hyun yang berbicara
sembarangan kepada Kyuhyun yang emosinya sering tidak terkontrol
dengan baik itu. Gadis itu bahkan bisa melihat tangan Kyuhyun yang
terkepal menahan marah.
“Yak, jangan mulai bicara yang tidak-tidak! Sekarang beritahu
aku apa yang sudah kau lakukan pada Eun-Ji tadi.”
Soo-Hyun mendelik dan memasukkan tangannya ke dalam saku
celana. Dia cukup heran juga dengan tindakan Hye-Na yang seolah
sangat melindungi pria yang terus-terusan menatapnya dengan aura
mematikan itu. Gadis itu menyukai Kyuhyun? Bagaimana bisa? Dari
informasi yang didapatkan Soo-Hyun, mereka bahkan baru bertemu
kurang dari dua minggu, lalu tiba-tiba memutuskan menikah. Entah
rencana busuk apa yang digunakan pria di depannya ini untuk menikahi
Hye-Na, yang Soo-Hyun tidak habis pikir adalah kenapa Hye-Na tidak
menolak? Dia mengenal gadis itu dengan baik, gadis yang tidak akan
menyetujui pemaksaan apapun terhadapnya dan akan berjuang untuk
menolak sampai akhir. Kecuali… kecuali jika gadis itu memaang
bersedia menikah dengan Kyuhyun.
“Aku hanya memberitahunya kebenaran tentang Siwon.”
Hye-Na menatap Soo-Hyun cukup lama sebelum akhirnya
mengangguk, menerima penjelasan pria itu.
Keheningan di antara mereka terhenti dengan deringan
dari communicator Kyuhyun. Pria itu berbicara sesaat dengan si
penelepon, kemudian menyimpan communicator-nya lagi.
“Aku harus kembali ke kantor sekarang. Nanti malam aku
jemput,” ujar Kyuhyun dengan mata tertuju pada Hye-Na.
“Kyuhyun ssi, kalau boleh aku mau meminjam istrimu
sebentar. Aku ingin mengajaknya makan malam. Biar aku sendiri yang
mengantarnya pulang nanti.”
Kyuhyun menoleh ke arah Soo-Hyun, tampak menimbang-
nimbang sesaat.
“Baiklah. Kalau begitu aku pamit dulu,” kata Kyuhyun sambil
membungkukkan badannya sedikit.
“Terima kasih atas izinmu.”
Kyuhyun menghentikan langkahnya di depan pintu, kemudian
berbalik menatap Soo-Hyun. Kata-kata yang kemudian diucapkannya
nyaris membuat Soo-Hyun mengurungkan niatnya mengajak Hye-Na
makan malam.
“Kembalikan dia padaku dengan utuh atau aku akan membuat
perhitungan denganmu.”
***
Siwon’s Home, Gangnam, Seoul
06.30 PM

Eun-Ji memencet bel rumah mewah di hadapannya dengan


ragu-ragu. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia sedang
melakukan hal yang benar dan sudah saatnya dia menyingkarkan
gengsinya jauh-jauh untuk memperbaiki semua kesalahannya.
Pintu terbuka dan seorang wanita paruh baya muncul. Wanita
itu tampak terkejut dengan kehadiran Eun-Ji, sedangkan gadis itu
sendiri sedikit salah tingkah karena tidak menyangka bahwa ibu
Siwon sendiri yang akan membukakan pintu.
“Annyeonghaseyo, eommonim.”
***
Cho’s Department Store, Myeongdeong, South Korea
06.30 PM

“Aish, suamimu itu menyeramkan sekali! Bagaimana mungkin


kau bisa tahan hidup dengannya?” komentar Soo-Hyun saat mereka
sedang berjalan masuk ke dalam sebuah toko pakaian di dalam mall
yang terletak di kawasan Myeongdeong. Soo-Hyun meminta Hye-Na
menemaninya membeli beberapa pakaian karena pria itu tidak
membawa apa-apa ke Seoul. Dia memang malas mengangkut barang
bawaan jika harus bepergian jauh.
Hye-Na tertawa kecil dan menggeleng.
“Hidup bersamanya sama sekali tidak seburuk yang kau
bayangkan.”
Soo-Hyun menatap Hye-Na tak percaya sambil mendecak
kesal.
“Cih, sehebat apa dia di tempat tidur sampai bisa membuatmu
berbicara seperti itu?”
Dengan cepat Hye-Na menyikut perut pria itu dengan keras,
tidak peduli dengan tatapan terkejut pelayan toko yang menyambut
mereka di depan pintu masuk.
“Mulutmu itu harus disekolahkan dulu supaya berhenti bicara
sembarangan!” desis Hye-Na marah.
“Wae?” tanya Soo-Hyun dengan nada rendah. Dia masih
meringis kesakitan. Sikutan gadis itu keras sekali. “Apa dia payah
sampai kau malu menjawab pertanyaanku? Atau… dia bahkan belum
menyentuhmu? Benar dugaanku, dia itu pasti penyuka sesama jenis.
Tidak heran kalau dia belum pernah menjalin hubungan dengan wanita
manapun.”
“Kau mau kutembak sampai mati? Lebih baik kau tutup
mulutmu itu sebelum aku berubah pikiran dan membatalkan makan
malam kita nanti!”
“Baiklah, baiklah. Aku akan menjadi pria baik. Kau ini sadis
sekali!”
Soo-Hyun memutuskan bahwa lebih baik dia mulai mencari
pakaian yang dibutuhkannya sebelum mendapat tendangan
spektakuler gadis itu lagi. Dia menarik beberapa kemeja dan jas
secara acak dari gantungan dan langsung membawanya ke kasir
setelah mengecek apakah ukurannya sudah sesuai atau tidak.
“Yak, jadi begini caramu berbelanja pakaian? Pantas saja
selera berpakaianmu itu buruk sekali. Sini aku pilihkan! Dan sebaiknya
kau coba dulu sebelum membeli, siapa tahu tidak cocok,” seru Hye-Na
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan
kelakuan teman lamanya itu.
“Ah, kalau begini kita terlihat seperti sepasang suami istri
yang serasi, ya? Kau memilihkan baju yang sesuai untuk suamimu,”
goda Soo-Hyun sambil tersenyum senang.
“Sudah kubilang, tutup mulutmu itu, Kim Soo-Hyun!”
Hye-Na memilihkan beberapa setelan jas dan kemeja untuk
pria itu dan menyuruh Soo-Hyun mencobanya. Setelah merasa cocok,
barulah gadis itu membawa gunungan pakaian tadi ke meja kasir.
“Hitung semuanya,” ujar Hye-Na sambil menyodorkan
tubuhnya ke konter.
“Tidak perlu, Nyonya Cho. Tuan Cho Kyuhyun memerintahkan
semua pemilik toko di mall miliknya untuk memberikan barang secara
gratis padamu. Itu berarti di mall manapun kau berbelanja, kau tidak
perlu mengeluarkan uang sama sekali. Nyaris semua mall di Korea
adalah milik suamimu, kan?” ujar penjaga kasir itu ramah.
“A… apa?” seru Hye-Na syok dengan mulut ternganga lebar.
“Maksudmu kalau gadis ini mau memborong semua barang di
tokomu, kau akan memberikannya secara cuma-cuma begitu?” sambar
Soo-Hyun cepat dengan wajah yang sama syoknya dengan Hye-Na.
“Benar, Tuan. Cho Corp memiliki nyaris semuanya. Jadi
percuma saja kalian membayar, karena uangnya juga akan masuk ke
kantong perusahaan lagi.”
“Astaga, pria itu mau membunuhku!” teriak Hye-Na keras
sambil mengacak-acak rambutnya gusar.
“Aku rasa, seratus keturunan kalian berikutnya akan tetap
hidup makmur, tidak peduli sebanyak apapun kalian berusaha
menghambur-hamburkan kekayaannya,” desis Soo-Hyun.
***
Siwon’s Home, Gangnam, Seoul
06.35 PM

“Aku ingin minta maaf atas semua kesalahan yang telah


kulakukan selama ini. Aku telah salah paham dan secara sepihak
membatalkan pertunangan di anatara kami tanpa memberitahu Siwon
oppa sama sekali.”
Wanita paruh baya itu tersenyum dan mengangguk,
menyentuh tangan Eun-Ji dengan tangannya sendiri yang sudah mulai
menunjukkan tanda-tanda pengeriputan.
“Gwaenchana. Siwon sudah memberitahuku apa yang terjadi di
antara kalian berdua. Hanya saja dia bilang kau tidak mau
mendengarkan penjelasannya sehingga kesalahpahaman ini semakin
berlarut-larut.”
“Aku… sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi, eommonim.
Dan aku benar-benar merasa bersalah. Aku datang kesini untuk
menemui Siwon oppa dan meminta maaf padanya.”
“Apa kau tidak tahu? Siwon baru saja berangkat ke London
kemarin. Ada bisnis keluarga yang harus diurusnya disana. Dan besar
kemungkinan dia akan melanjutkan perjalanannya ke Irlandia. Karena
itu dia meminta cuti dari kantor.”
“Apa?”
***
Parking Place, Zenith Restaurant, Myeongdeong, South Korea
08.00 PM

Hye-Na berjalan ke arah mobil Soo-Hyun yang terparkir di


ujung sambil meregangkan tubuhnya yang terasa remuk karena
kelelahan. Pria itu menyuruh Hye-Na menunggu di mobil karena dia
mau ke kamar kecil dulu dan menyerahkan kunci mobilnya pada gadis
itu.
Hye-Na menghembuskan nafas berat. Sebaiknya sesampainya
di rumah dia langsung mandi air hangat dan tidur. Semoga saja saat
dia sampai di rumah Kyuhyun belum pulang atau mungkin sudah tidur,
jadi dia tidak perlu bertemu pria itu. Gadis itu masih belum menerima
kenyataan bahwa dia jatuh cinta. Itu terdengar sedikit menggelikan
di telinganya, mengingat jatuh cinta tidak ada dalam urutan 50 hal
penting dalam hidupnya selama ini.
Hye-Na memencet remote mobil yang membuka pintu secara
otomatis dan baru merundukkan tubuhnya untuk masuk, sebelum
seseorang menyekap mulutnya dari arah belakang dengan begitu tiba-
tiba. Gadis itu berjengit, berusaha menjauh dari bau eter yang begitu
menyengat dari kain yang disumpalkan ke hidungnya. Lengan orang itu
membelit tubuhnya dengan begitu kuat sehingga dia dengan cepat
kehabisan oksigen. Gadis itu berusaha memberi perlawanan, tapi
tubuhnya tidak mau mematuhi perintah otaknya sama sekali. Kerja
zat berbau asam itu begitu cepat, sehingga dalam waktu singkat
lututnya sudah merosot jatuh ke aspal. Lampu-lampu di tempat parkir
itu mulai berputar-putar di kepalanya, berubah menjadi titik-titik
kabur tanpa bentuk.
Setengah sadar, dengan tubuh yang sudah mati rasa, pikiran
Hye-Na mengambang. Dia tidak mengerti bagaimana mungkin dia
merasa tidak takut dalam kondisi seperti ini, walaupun dia tahu bahwa
seharusnya dia merasa panik. Dia malah memikirkan Soo-Hyun yang
masih belum kembali dari kamar kecil. Memikirkan bahwa Kyuhyun
akan meminta pertanggung-jawaban pria itu karena tidak bisa
mengembalikan Hye-Na padanya. Dengan pikiran itu, cahaya di
sekeliling Hye-Na mulai menggelap seiring dengan hilangnya
kesadaran gadis itu.
***
Cho Corporation Building, Seoul, South Korea
08.10 PM

Jari-jari Kyuhyun dengan cepat menekan tombol-tombol di


atas keyboard komputernya. Layar menunjukkan bahwa pria itu
sedang berusaha membobol masuk ke dalam sebuah data yang
tersegel. File atas nama Shim Dae-Ho. Pria itu bahkan tidak tahan
untuk menunggu sampai dia pulang ke rumah. Setidaknya kemampuan
komputer di kantornya hampir menyamai komputer pribadinya di
rumah.
Beberapa data mulai bermunculan di layar. Dan tulisan-tulisan
yang tertera itu membuat Kyuhyun mengerutkan keningnya.
Seharusnya dia langsung membuka file ini saat dia menemukannya.
Disana jelas-jelas tertulis bahwa Shim Dae-Ho mengangkat seorang
anak adopsi. Laki-laki. Yang saat ini mungkin berusia sekitar 35 tahun.
Wajah pria itu putih bersih, terkesan sebagai pria baik-baik,
ditambah dengan kalung salib besar yang melingkar di lehernya,
membuat penampilannya terlihat seperti orang suci. Tapi Kyuhyun
bisa melihat kilatan licik di mata pria itu, dan seluruh kesan baik itu
menghilang begitu saja tanpa bekas.
Data-data pribadi tentang pria itu sepertinya berusaha
disembunyikan dengan baik oleh Dae-Ho. Ada beberapa tanda
pengenal dan paspor palsu. Dan jelas-jelas pria itu menjadi kaki
tangan Dae-Ho yang paling terpercaya. Nyaris ditangkap beberapa
kali karena terlibat kasus pembunuhan, tapi selalu berhasil lolos.
Kasus itu disegel dan dihapus dari data kepolisian setempat,
menunjukkan adanya orang dalam kepolisian yang bekerja untuk
mereka.
Satu hal yang menarik perhatian Kyuhyun adalah
terdaftarnya pria itu sebagai salah satu anggota organisasi
keagamaan yang terkenal fanatik dan terkadang sedikit radikal dalam
menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap para atheis. Tidak
perlu jadi orang jenius untuk menarik kesimpulan bahwa pria inilah
dalang dari semua pembunuhan yang terjadi dua tahun terakhir. Bisa
ditebak bahwa pria itu menyanyangi ayah angkat yang telah
memberikan kehidupan layak baginya. Dan balas dendam akan menjadi
upah yang tepat untuk membayar semua kebaikan ayahnya itu.
Kyuhyun meraih communicator-nya yang berkedip menandakan
ada panggilan masuk dari atas meja dengan mata tetap tertuju ke
layar monitor.
“Yeoboseyo?”
“Kyuhyun ssi, ini Kim Soo-Hyun. Maaf, tapi aku rasa… istrimu
baru saja jadi korban penculikan.”
***
Parking Place, Zenith Restaurant, Myeongdeong, South Korea
08.45 PM
“Aku sudah memberitahumu untuk menjaga istriku baik-baik!
Kau seharusnya bersamanya, bukannya meninggalkannya sendirian!”
teriak Kyuhyun, nyaris menghantam wajah Soo-Hyun dengan tinjunya
kalau saja Leeteuk tidak menahannya sekuat tenaga.
“Kyuhyun~a, sudahlah, kau bisa mengurusnya nanti. Sebaiknya
kita fokus pada pencarian Hye-Na sekarang.”
Kyuhyun menyentakkan tangannya dengan kasar dan mengacak
rambutnya gusar. Leeteuk memperhatikan penampilan acak-acakan
adik iparnya itu dengan sedikit terkesima. Dua kancing atas kemeja
pria itu tidak terpasang dan dasinya melingkar longgar seolah baru
saja ditarik karena pemakainya sedang kesal. Nyaris mustahil melihat
seorang Cho Kyuhyun tampil berantakan dalam keadaan semendesak
apapun, tapi seorang Han Hye-Na berhasil membuatnya tampak
seperti itu. Wajah Kyuhyun bahkan terlihat sangat frustasi, ekspresi
yang tidak disangka Leeteuk dimiliki pria itu.
“Dia pasti diculik oleh pembunuh berantai itu. Dia menjadikan
Hye-Na sebagai sasaran terakhirnya. Sejauh ini aku berusaha
melindungi gadis itu, tapi teman adikmu itu meminta izin padaku untuk
mengajak Hye-Na makan malam. Aku mengizinkannya, tapi lihat apa
yang terjadi sekarang.”
Leeteuk terkejut mendengar ucapan Kyuhyun. Kalau benar
pembunuh berantai itulah yang menculik Hye-Na, nyawa gadis itu
benar-benar dalam bahaya sekarang.
“Lalu kita harus mencarinya kemana? Aku sudah memeriksa
kamera keamanan di lapangan parkir. Wajah pria itu tidak terlihat
dan nomor mobilnya ditutupi sehingga tidak bisa dilacak.”
Kyuhyun menyandarkan tubuhnya ke kap mobil sambil
memegangi kepalanya, seolah sedang berpikir keras untuk mengingat
sesuatu. Beberapa detik kemudian pria itu
mengeluarkan communicator-nya dari dalam saku dan menghubungi
seseorang. Cukup lama telepon itu tidak diangkat, sehingga Kyuhyun
mengumpat keras, membuat Leeteuk dan Soo-Hyun saling
berpandangan dengan raut wajah ngeri.
“Yak, Shin Eun-Ji, kenapa kau lama sekali mengangkat
teleponmu, hah?” teriak Kyuhyun kesal saat akhirnya telepon itu
tersambung.
“Mianhae, aku meletakkan communicator-ku di dalam tas.
Waeyo?”
“Kau di apartemen?”
“Tidak. Aku belum pulang dari tadi. Ada apa?”
“Sial! Cepat pulang, sahabatmu dalam bahaya besar,” ujar
Kyuhyun ketus sambil memutuskan sambungan telepon begitu saja.
Dia mendongak menatap Leeteuk, matanya terlihat menggelap saat
dia berbicara dengan nada dingin yang nyaris membuat beku.
“Perintahkan semua polisi ke apartemen Hye-Na sekarang.
Pembunuh itu selalu melakukan pekerjaannya di apartemen korban.
Dan… selalu di properti milikku.”
***
Hye-Na’s Apartment, Seoul, South Korea
09.00 PM
Shim Jong-Hyuk duduk tenang di atas kursi yang langsung
menghadap ke arah korbannya yang sudah mulai mendapatkan
kesadarannya kembali. Tidak seperti pola yang biasa dilakukannya, dia
sama sekali belum menyentuhkan pisau kesayangannya ke tubuh gadis
itu, memberikan goresan-goresan penuh seni dengan tinta darah sang
korban sendiri. Dia dengan sabar menunggu sampai gadis itu sadar
kembali dan saat itulah dia akan melakukan pekerjaannya.
Dia masih punya belas kasihan pada korban-korbannya yang
lain, menggores tubuh mereka dengan pisaunya saat mereka masih
pingsan, sehingga mereka tidak terlalu tersiksa. Tapi selalu ada yang
spesial untuk gadis ini. Persembahannya yang terakhir. Dia akan
menyiksa gadis itu dengan perlahan, membiarkan gadis itu berteriak
kesakitan setiap kali kulitnya tergores mata pisaunya yang tajam. Dia
akan melakukannya sehati-hati mungkin agar gadis itu tidak mati
kesakitan sebelum upacara terakhir dilakukan. Penyaliban. Penutup
yang indah. Balas dendam yang memuaskan.
Pria itu tersenyum saat Hye-Na dengan perlahan membuka
matanya. Dia cukup terkesan karena gadis itu tidak berusaha
berontak saat tahu dirinya terikat, bahkan gadis itu menatapnya
dengan pandangan menantang.
“Apa kabar, Cho Hye-Na ssi? Aku rasa kita perlu berkenalan
dulu. Namaku Shim Jong-Hyuk. Anak adopsi Shim Dae-Ho. Ah, aku
rasa kau sangat mengenal ayah angkatku, kan?”
Jong-Hyuk berdiri dan melangkah ke arah gadis itu. Dia
menyentuh dagu Hye-Na dengan telapak tangannya, membuat gadis
itu berjengit, tidak suka menerima sentuhan dari tangan yang sudah
membunuh begitu banyak orang itu.
Jong-Hyuk tertawa dan tanpa peringatan melayangkan
tamparan keras ke pipi Hye-Na, membuat kepala gadis itu terhuyung
ke belakang.
“Kau tahu kesalahanmu, gadis manis? Kau telah membunuh
ayahku! Jadi bersiaplah dengan neraka yang akan menghampirimu
sebentar lagi. Aku akan menyiksamu sampai kau berteriak memohon
agar aku berhenti. Tapi tentu saja, mana mungkin aku berhenti.”
Jong-Hyuk mengeluarkan pisau dari sakunya dan
menyentuhkan benda itu ke pipi Hye-Na, namun tidak sampai
meninggalkan goresan berdarah.
“Kau ingat tanggal berapa sekarang? 5 Mei. Hari dimana kau
membunuh ayahku! Kau tahu alasan kenapa aku membunuh 5 gadis di
setiap negara? Kenapa ada 5 lokasi pembunuhan? Angka 5. Angka
yang sangat aku benci. Tanggal dan bulan kematian ayahku!”
Dalam satu gerakan cepat mata pisau itu menggores bahu
Hye-Na, membuat darah segar terpercik dari balik blus putih yang
dipakai gadis itu. Hye-Na menggigit bibirnya menahan sakit,
bersyukur dengan adanya kain yang menyumpal mulutnya sehingga
teriakan sakitnya tidak terlontar keluar, yang hanya akan membuat
pria itu puas dengan hasil karyanya.
Pria itu baru akan menghujamkan pisaunya lagi ke lengan Hye-
Na saat pintu apartemen menjeblak terbuka dan beberapa orang
menyerbu masuk. Hye-Na sempat mendengar dua letusan tembakan
dan yang dilihatnya sesaat kemudian hanya tubuh Jong-Hyuk yang
terkapar di lantai. Ada noda darah besar yang membasahi bagian
lengan kemejanya dan tangan pria itu memegangi kakinya yang
tampaknya juga terkena tembakan.
Hye-Na mendongak dan menatap Kyuhyun yang berdiri 3
meter di depannya. Lengan pria itu masih terjulur mengacungkan
pistol ke arah Jong-Hyuk yang sudah terkapar tidak berdaya di
hadapannya. Jelas sekali bahwa pria itulah yang meletuskan tembakan
dan ekspresinya memperlihatkan bahwa dia belum puas sama sekali
sebelum membuat Jong-Hyuk mati. Raut wajahnya tampak
menakutkan dan begitu berkuasa, seolah tidak peduli dengan barisan
polisi yang berdiri di belakangnya, yang bisa saja menangkapnya jika
dia berani membunuh pria itu.
Kyuhyun tampak berusaha mengendalikan dirinya sekuat
tenaga agar tidak menembakkan peluru dari pistolnya lagi sebelum
akhirnya berbalik ke arah para polisi dan agen KNI yang berada di
belakangnya.
“Bawa dia. Dan jangan ada satu pun yang berani membawanya
ke rumah sakit ataupun mengobati lukanya, atau aku akan memecat
kalian semua! Kalian dengar? Aku sendiri yang akan memastikan pria
ini membusuk di penjara. Jika ada yang tidak mematuhi perintahku,
kalian akan berurusan denganku langsung. Kalian mengerti?”
Terdengar gumaman mengiyakan dan beberapa orang polisi
maju untuk membawa Jong-Hyuk pergi.
“Hye-Na~ya, kau tidak apa-apa?” seru Eun-Ji yang langsung
menghambur ke arah Hye-Na, menutupi pandangan gadis itu ke arah
Kyuhyun. Eun-Ji membuka kain yang menyumpal mulut Hye-Na
beserta tali yang membelit tubuhnya kemudian memeluk gadis itu
erat-erat.
“Astaga, aku takut sekali! Untung saja Kyuhyun tahu tempat
pembunuh itu menyekapmu. Seandainya aku pulang ke rumah lebih
cepat. Ya Tuhan, kau berdarah!”
“Aku tidak apa-apa. Hanya luka gores. Diobati di rumah juga
sembuh,” elak Hye-Na, mengabaikan rasa nyeri yang mendera bagian
atas lengannya.
Kyuhyun mengawasi kedua gadis itu tanpa beranjak sama
sekali dari tempat dia berdiri tadi. Dia bahkan tidak mampu
menggerakkan kakinya maju sedikitpun. Dia harus menenangkan
dirinya dulu sebelum menemukan tenaga untuk mendekati Hye-Na.
Dia tidak suka terlihat lemah di depan gadis itu.
Dia berusaha meredakan getaran di kakinya yang hampir
tidak dapat menopang tubuhnya dengan benar. Membiarkan detak
jantungnya yang berantakan kembali seperti semula. Rasa lega
menghantamnya seperti godam, rasa puas melihat bahwa gadis itu
baik-baik saja. Terluka, tapi masih hidup. Hanya itu yang penting
baginya.
Hye-Na memiringkan kepalanya, menatap Kyuhyun yang juga
sedang menatapnya dengan senyum lemah di wajahnya yang pucat.
Pria itu melangkah perlahan mendekatinya dan tanpa berkata apa-apa
melepaskan jasnya lalu memasangkannya ke tubuh Hye-Na. Eun-Ji
menyingkir, memberikan privasi pada kedua orang itu.
Kyuhyun mengulurkan tangannya kepada Hye-Na, menunggu
gadis itu menyambutnya.
“Kau hidup,” bisik Kyuhyun dengan suara rendah. Dua kata itu
sudah lebih dari cukup untuk memperlihatkan betapa senangnya dia
masih bisa melihat gadis itu lagi. Dan memang itulah yang
dirasakannya. Gadis itu masih hidup dan dia bisa melihatnya.
***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
10.00 PM

Hye-Na berjalan tertatih-tatih ke kamarnya sambil


memegangi lengan bagian atasnya yang terasa sangat nyeri. Awalnya
dia pikir itu hanya luka biasa yang mungkin bisa sembuh dalam
beberapa hari, makanya dia berusaha mati-matian menghindari
ambulans yang datang ke tempat kejadian, tapi sepanjang perjalanan
pulang tadi dia bahkan tidak bisa menahan rasa sakit yang mendera
dari luka bekas sayatan pisau yang cukup dalam itu.
“Pria sialan! Brengsek! Aku akan pastikan dia menderita di
penjara!” gumam gadis itu seraya mendudukkan badannya ke atas
kasur. Dia melirik lengannya yang tertutupi jas yang disampirkan
Kyuhyun tadi. Jas itu berwarna hitam, tapi nyaris berubah warna
karena darahnya yang mengalir deras. Untung saja dia bisa menahan
ringisannya di atas mobil tadi, dengan harapan bahwa Kyuhyun tidak
sadar dengan luka yang dideritanya karena kondisi mobil yang gelap
dan tidak akan memaksanya menginap di rumah sakit selama beberapa
hari. Hal itu terdengar seperti vonis kematian baginya. Hah, tidak
heran, rumah sakit kan memang tempat orang mati, batin Hye-Na.
Dia baru akan melepas jas itu dan memeriksa lukanya saat
tiba-tiba pintu yang memisahkan kamarnya dan kamar Kyuhyun yang
terletak di belakangnya menjeblak terbuka dengan suara keras.
Dengan cepat gadis itu memegangi jasnya lagi, menahannya di tempat
semula dan berbalik menatap Kyuhyun yang berjalan masuk ke kamar
dengan wajah marah.
“Aku hanya pergi sebentar untuk memarkir mobil ke garasi
dan kau sudah menghilang begitu saja. Kau pikir kau bisa lari dariku?
Urusan kita belum selesai!” ujar pria itu tajam sambil menarik lengan
Hye-Na yang tidak terluka.
“Aish, Kyu, ini sudah malam. Kalau ada yang mau kau bicarakan
besok saja.”
Pria itu tidak menjawab apa-apa dan terus menarik Hye-Na
ke kamarnya, mendorong gadis itu sampai terduduk di atas sofa
besar yang langsung ditolak gadis itu mentah-mentah.
“Aku sudah lelah dan tidak punya tenaga lagi untuk bicara
denganmu. Aku nyaris mati dan kau masih memaksaku untuk meladeni
entah apa yang akan kau katakan begitu? Maaf saja, aku tidak punya
waktu!” kata Hye-Na ketus dan berlalu pergi dari hadapan pria itu.
Tapi langkahnya langsung terhenti saat Kyuhyun mengatakan sesuatu
yang membuatnya syok setengah mati. Kalimat yang nyaris tidak
mungkin keluar dari mulut seorang pria dingin macam Cho Kyuhyun.
“Buka bajumu.”
“Mwo?” tanya Hye-Na, tidak yakin dengan pendengarannya.
“Buka bajumu atau kau mau aku sendiri yang harus
membukanya?”
Sorot mata pria itu tampak begitu serius, menunjukkan bahwa
dia tidak main-main dengan ucapannya, sedangkan Hye-Na sendiri
hanya bisa balik menatap pria itu dengan tubuh membeku, terpaku di
tengah ruangan.
“Kau terlalu lama,” ujar Kyuhyun sambil menarik lepas jas
yang menutupi kemeja putih gadis itu yang sedikit robek, hasil kerja
pembunuh berantai gila yang berdarah dingin itu. Dia melempar jas
itu sembarangan dan mendorong Hye-Na lagi ke atas sofa.
“Kau mau mati kehabisan darah, ya? Kapan sifat keras
kepalamu itu akan hilang, hah? Tunggu disini sebentar. Kalau kau
kabur, aku akan pastikan malam ini kau tidur di rumah sakit.”
Dengan refleks Hye-Na mengangguk patuh saat mendengar
kata rumah sakit keluar dari mulut Kyuhyun. Setidaknya dia tidak
perlu menginap di tempat berwarna putih yang berbau disinfektan
itu.
Kyuhyun menghilang sesaat sebelum akhirnya kembali sambil
membawa sebaskom air hangat dan handuk kecil berwarna putih. Dia
mengambil obat merah, cairan pembersih dan penghilang kuman, dan
kain kasa dari laci meja yang terletak di sudut kamar kemudian
berjongkok di depan Hye-Na.
“Lepaskan kemejamu,” perintahnya sambil membasahi handuk
kecil itu dengan air hangat dari baskom.
Hye-Na membuka kemejanya dengan hati-hati, sedikit
meringis saat melepaskan kemeja itu dari lengannya yang terluka.
Kainnya sudah melekat karena basah oleh darah, sehingga dia merasa
sedikit kesulitan saat melepaskannya, ditambah lagi rasa nyeri yang
berdenyut-denyut, membuat gadis itu sedikit meringis.
Dia bisa mendengar nafas Kyuhyun yang sedikit tertahan dan
mata pria itu yang menyipit marah saat akhirnya dia bisa melihat luka
itu dengan jelas. Tapi anehnya pria itu tidak berkata apa-apa dan
mulai membersihkan luka di lengan Hye-Na dalam diam.
Keheningan yang menyusul setelah itu membuat Hye-Na
merasa sedikit tidak nyaman. Pria itu berada terlalu dekat, bahkan
Hye-Na bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat saat pria itu
mendekat untuk membalutkan perban di lukanya. Mendadak dia
merasa kedinginan karena AC kamar yang langsung menyentuh
kulitnya yang terbuka karena saat itu dia hanya mengenakan tank-top
tipis, walaupun alasan sebenarnya bukan karena itu. Ini pertama
kalinya mereka dalam jarak sedekat ini tanpa saling berteriak satu
sama lain dan itu benar-benar aneh. Setidaknya menurut pendapatnya
pribadi.
Hye-Na menahan nafasnya saat menyadari bahwa dia tidak
bisa melepaskan tatapannya dari wajah pria itu. Kenyataan bahwa
suaminya itu tampan memang sudah tidak perlu diragukan lagi, tapi
ada hal lain. Seolah dia sudah mengenal pria ini sebelumnya. Dan… pria
ini nyaris membuatnya tidak berkedip hanya karena terlalu
mengagumi apa yang terdapat di wajahnya yang tampan itu.
Kyuhyun menyelesaikan pekerjaannya setelah mengikatkan
perban tersebut dengan rapi dan saat dia mendongak, yang dia
dapatkan malah wajah gadis itu yang hanya berjarak beberapa senti
dari wajahnya, dengan mata cokelatnya yang jelas-jelas sedang
menatap wajahnya tanpa berkedip.
Dia selalu memastikan kendali dirinya terkontrol dengan baik
saat dia berada di dekat gadis itu. Hal yang sulit, tapi dipermudah
dengan kenyataan bahwa gadis itu tidak pernah memberi tanggapan
apapun padanya. Tapi sekarang, saat gadis ini menyiratkan dengan
jelas ketertarikannya, dia nyaris tidak bisa menahan diri untuk tidak
menarik gadis itu mendekat dan menciumnya detik itu juga. Alih-alih
melakukan itu, dia malah memiringkan wajahnya, seolah meminta izin
atas hal yang sangat ingin dilakukannya.
Hye-Na diam saja, tidak bisa bergerak di bawah tatapan mata
Kyuhyun yang hampir membekukannya. Ini bukan situasi yang biasa,
dimana dia bisa balas membelalakkan matanya ke arah pria itu dan
memulai adu argumen yang pada akhirnya akan selesai tanpa
pemenang. Saat ini mereka benar-benar berada di situasi yang biasa
dilihatnya di drama-drama ataupun novel yang dibacanya, saat si pria
meminta izin si wanita untuk mendapatkan sebuah kecupan sebelum
mereka berpisah setelah berkencan seharian.
Entah siapa yang memulai, detik berikutnya bibir mereka
sudah saling bertaut dalam sebuah ciuman liar dan panas, seolah
mereka saling lapar satu sama lain. Ciuman itu terasa begitu kasar
dan menuntut, sekaligus hati-hati dan lembut di saat yang bersamaan.
Hye-Na merasakan tubuhnya sedikit terdorong ke sudut sofa
saat ciuman mereka dengan cepat menjadi semakin intens. Bibir
Kyuhyun melumat bibir atas dan bawahnya bergantian, mencari celah
untuk masuk, sampai akhirnya Hye-Na membuka bibirnya sedikit,
memberi izin lidah pria itu untuk bergerak dalam mulutnya.
Hye-Na mencengkeram bahu Kyuhyun saat dia mulai
kehabisan oksigen untuk bernafas, sedangkan pria itu mengerang
frustasi dalam usahanya melepaskan secarik kain yang masih
menutupi bagian atas tubuh Hye-Na dengan hati-hati agar tidak
menyakiti lukanya. Saat akhirnya dia berhasil, dia menyentuh
punggung gadis itu dengan telapak tangannya, merasakan sensasi saat
kulit mereka bersentuhan yang bahkan melebihi imajinasinya sendiri.
Hye-Na merasakan tubuhnya sedikit meremang, saat bibir
Kyuhyun menyentuh leher dan permukaan atas dadanya, meninggalkan
jejak-jejak basah yang memerah. Tangan pria itu berada di
pinggulnya, dan sesaat kemudian dia sudah berada dalam dekapan
Kyuhyun yang membawanya naik ke atas tempat tidur dengan bibir
yang sudah bergerak kembali di atas bibir Hye-Na.
Percintaan mereka berlangsung cepat, liar, dan panas, begitu
memuaskan untuk satu sama lain. Saat itu semua berakhir, mereka
terbaring dengan tungkai kaki yang saling membelit dan selembar
selimut putih yang menutupi tubuh mereka dengan acak-acakan. Hye-
Na mendengar nafasnya sendiri yang menderu cepat, sedangkan
punggungnya menyentuh dada Kyuhyun yang memeluknya dari
belakang dengan lengan yang melingkar ringan di pinggangnya.
Semuanya terasa begitu mengejutkan untuknya, walaupun dia
sama sekali tidak menyesali apa yang sudah terjadi. Menyerahkan
keperawanannya pada pria yang sudah menjadi suaminya sama sekali
bukan dosa yang harus diratapi, kecuali mengingat kenyataan bahwa
mereka menikah bukan dalam kondisi saling menyukai satu sama lain.
Dia sudah mengantisipasi semuanya dari awal dan tidak merasa heran
saat dia menyadari bahwa dia sudah terjerat dalam pesona pria ini
dan jatuh cinta mati-matian dalam waktu singkat. Yah, ketakutan
yang diutarakannya pada ibunya waktu itu terbukti benar. Dia jatuh
cinta pada pria bernama Cho Kyuhyun ini walaupun tahu dengan jelas
bahwa cepat atau lambat, mungkin saja mereka akan bercerai.
Kyuhyun mengeratkan pelukannya dan menghirup nafas di
rambut gadis itu. Tidak masalah apapun yang dipikirkan gadis itu
tentangnya, tapi dia tahu bahwa sudah tiba saatnya dia harus mulai
memperlakukan gadis itu dengan benar, sesuai statusnya sebagai
istrinya dalam beberapa hari terakhir ditambah dengan puluhan
tahun ke depan yang tidak ingin dia ketahui kapan akhirnya. Tentu
saja dengan segala cara yang akan dipastikannya dengan tepat bahwa
gadis ini tidak akan terlepas dari genggamannya. Persetan dengan
omong kosong tentang perceraian yang dulu sempat disinggungnya.
Gadis ini tidak akan kemana-mana. Tidak saat Kyuhyun juga tahu
bahwa gadis ini juga memiliki perasaan yang sama dengannya, tidak
peduli bahwa kalimat itu tidak akan pernah terucapkan secara
terang-terangan. Yang pasti dia sudah menemukan posisinya yang
tepat, satu-satunya kedudukan yang diinginkannya. Menjadi suami dan
pemilik sah dari gadis yang berada dalam dekapannya ini.
“Aku sudah bisa menjawab pertanyaan Soo Hyun oppa
sekarang,” ujar Hye-Na dengan suara pelan sambil berbalik ke arah
Kyuhyun dengan wajah yang kentara sekali memerah malu.
“Mwo?” tanya Kyuhyun sama pelannya. Jarinya sibuk memilin-
milin rambut panjang gadis itu.
“Dia bertanya tentang… bagaimana seorang Cho Kyuhyun yang
dingin jika berada di tempat tidur.”
“Lalu kau mau jawab apa?” Kali ini ada senyum yang bermain di
sudut bibirnya, membuat Hye-Na sedikit terpana karena pria itu
jarang sekali tersenyum kecuali untuk menggodanya.
“Kau yakin kau tidak pernah meniduri wanita lain?”
Kyuhyun terkekeh geli dan dengan santai menggeleng.
“Ada satu alasan kenapa aku tidak pernah tertarik dengan
wanita lain dan nanti kau akan tahu jika sudah tiba saatnya. Tapi… apa
aku sehebat itu?” godanya.
“Karena ini juga pertama kalinya untukku, jadi menurutku sia-
sia saja kalau kau bertanya padaku, Tuan Cho,” ujar Hye-Na sambil
memegangi selimut yang menutupi tubuhnya dan berniat bangkit
berdiri sebelum Kyuhyun menariknya sampai berbaring lagi dia atas
ranjang.
“Aku harus kembali ke kamarku. Kau tidak mungkin
bermaksud menahanku semalaman disini, kan?” protes Hye-Na dengan
mata menyipit kesal.
“Apa aku bilang bahwa aku sudah selesai denganmu, Nyonya
Cho? Kita belum selesai sama sekali dan kalau kau mau tahu, sebagai
istriku, tempatmu yang seharusnya memang disini,” ujar Kyuhyun
sebelum bibirnya menyapu permukaan bibir Hye-Na lagi dengan hati-
hati.
Berbeda dengan percintaan mereka yang pertama, yang
terkesan liar, panas, dan tergesa-gesa, kali ini Kyuhyun melakukannya
dengan pelan, lembut, nyaris memabukkan, seolah pria itu bermaksud
mengambil apa yang belum sempat didapatkannya dalam
ketergesaannya tadi. Dan Hye-Na yakin bahwa pria itu bermaksud
membunuhnya perlahan dengan setiap sentuhannya. Dan saat akhirnya
mereka berhenti, Hye-Na menemukan kenyataan baru bahwa tiba-
tiba saja pelukan Kyuhyun menjadi tempat tidur favoritnya. Hal yang
menyenangkan sekaligus hal yang membuatnya takut setengah mati
karena dia tahu bahwa itu berarti dia tidak akan bisa lepas lagi dari
jeratan pria ini.
TBC

Ff Superjunior : 2060 {7 St Round }


Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
08.00 AM
Hye-Na membuka matanya perlahan dan mengerjap. Tangannya
menyentuh tempat tidur yang sudah kosong di sampingnya dan
mendadak kesadarannya kembali dengan begitu cepat. Gadis itu
terduduk sambil mencengkeram kemeja putih yang terlihat
kebesaran di tubuhnya dan mengalihkan pandangannya ke sekeliling
kamar.
Ingatan tentang kejadian semalam membanjiri otaknya. Penculikan,
bunyi tembakan, dan…. Dia menggelengkan kepalanya, terpana sendiri
dengan begitu pesatnya kemajuan dalam hubungan pernikahannya
dengan Kyuhyun. Oh baiklah, itu tidak buruk sama sekali. Setidaknya
Hye-Na tidak merasa menyesal melakukannya.
Gadis itu mendadak menyadari rasa nyeri yang berdenyut-denyut
mengerikan di lengan bagian atasnya. Cukup sakit untuk membuatnya
meringis, walaupun terasa lebih lumayan daripada semalam. Dia
menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya dan sedikit menunduk,
menghirup wangi yang menguar dari kemeja putih yang dipakainya.
Ada campuran baucologne dan bau tubuh pria itu disana, dan entah
kenapa Hye-Na berpikir bahwa dia sangat menyukainya. Hal tersebut
sukses membuat gadis itu memaki-maki dirinya sendiri. Apa memang
semudah itu untuk jatuh cinta kepada seorang Cho Kyuhyun?

Hye-Na bangkit dari tempat tidur dan melangkah masuk ke kamarnya


melalui pintu penghubung. Dia menarik keluar celana pendek dari
lemari pakaiannya dan mengenakannya dengan cepat, secepat yang
bisa dilakukan tangannya yang terluka, lalu masuk ke kamar mandi
untuk membasuh muka. Dia melirik bayangannya sekilas di kaca dan
langsung melotot kaget. Ada banyak bercak merah di sekeliling
lehernya dan dia langsung bergidik ngeri, memutar otaknya dengan
cepat untuk menyembunyikan bekas itu sebelum berangkat ke kantor
nanti. Sepertinya dia memiliki blus dengan kerah tinggi yang mungkin
bisa membantu, tapi tidak mungkin dia memakainya. Akan sangat sulit
mengenakan baju itu nanti, mengingat luka yang sedang dideritanya.
Pakaian yang bisa dikenakannya sekarang hanya kemeja dan mustahil
jika dia mengancingkannya sampai ke leher, semua orang pasti akan
menatapnya dengan aneh nanti.
Aish, pria itu menyusahkanku saja, geram Hye-Na dalam hati.
Dia memutuskan menyingkirkan pikiran itu dulu selama beberapa saat
ke depan saat mendengar perutnya berbunyi minta diisi. Gadis itu
melangkah keluar kamar, pergi menuju ruang makan yang terletak di
bagian utara rumah, tersambung dengan taman belakang yang menjadi
latar pemandangan. Bukan sekedar taman belakang, tapi sebuah
taman bunga besar yang terhubung dengan hutan pinus, tempat yang
bisa digunakan jika kau menginginkan ketenangan.
Langkah Hye-Na terhenti saat melihat bahwa ruang makan itu tidak
kosong. Ada Kyuhyun yang sedang berdiri di depan AutoChef,
menunggu makanan yang sudah diprogramnya. Pria itu menoleh saat
mendengar Hye-Na memasuki ruangan, kemudian tersenyum simpul.
“Kau sudah bangun? Aku kira kau akan tertidur beberapa jam lebih
lama lagi,” komentarnya sambil meraih semangkuk corn soup yang
masih panas dan membawanya ke meja makan. Wangi yang keluar dari
asap yang masih mengepul dari mangkuk itu menggelitik lidah Hye-Na
untuk segera mencicipinya.
Hye-Na berdiri salah tingkah di depan pintu dengan tangan yang
memegangi tengkuknya. Entah kenapa dia selalu berkeringat dingin
jika berada di dekat pria itu. Tanda bahwa pria itu selalu berhasil
membuatnya gugup.
“Aku pikir kau sudah berangkat ke kantor,” ujar Hye-Na sambil
menarik kursi dan duduk di atasnya.
“Aku meliburkan diri hari ini,” jawab Kyuhyun santai sambil
memasukkan seiris croissant ke dalam mulutnya dan mengunyahnya
perlahan.
Hye-Na menghentikan gerakan tangannya yang sedang memegang
segelas jus jeruk di udara, batal meminumnya begitu saja hanya
karena ucapan Kyuhyun yang sangat mengagetkan itu.
“Mwo? Kau meliburkan diri? Aku… tidak salah dengar, kan?” seru
Hye-Na syok.
“Tidak. Mengingat hari ini kau pasti tidak mau aku larang pergi
bekerja, aku memutuskan untuk ikut campur dan menemanimu ke
STA. Hari ini kita harus mewawancarai pembunuh itu, kan?”
“Aku, bukan kau!” sergah Hye-Na.
“Sama saja. Lagipula kau juga akan membutuhkan bantuanku. Kau lihat
saja apa yang bisa aku lakukan nanti. Dan jangan lupa, pria itu awalnya
juga mengincar nyawaku jika dia berhasil membunuhmu dan aku
tertarik untuk mengetahui apakah ada yang menyuruhnya atau tidak.”
“Tapi….”
“Anggap saja sebagai balas jasa karena aku menyelematkanmu
semalam. Bukankah posisi kita jadi terbalik? Seharusnya kau yang
melindungiku, bukan sebaliknya,” ujar Kyuhyun dengan senyum
terkulum. Pria itu meraih mangkuk corn soup tadi dan menyendoknya,
meniupnya hati-hati agar sup itu cukup dingin untuk dimakan.
Hye-Na baru akan membuka mulutnya lagi untuk mengajukan
pembelaan saat Kyuhyun tiba-tiba memasukkan sup itu dengan paksa
ke dalam mulutnya, meredam protes gadis itu sesaat.
“Tanganmu sakit. Pakai baju saja sudah susah, kan? Dan pergelangan
tanganmu. Aku sudah mengoleskan salep tadi pagi, mungkin memarnya
akan sedikit berkurang nanti.”
Hye-Na melirik pergelangan tangannya dan baru menyadari bahwa ada
memar biru besar disana, bekas ikatan kuat tali yang mengikatnya
kemarin.
“Mmm?” gumam Kyuhyun dengan sendok teracung lagi ke arah Hye-
Na.
“Aku bukan anak kecil!” desis Hye-Na, tapi tetap membuka mulutnya
untuk menerima suapan itu.
“Siapa bilang kau anak kecil?” gumam Kyuhyun dengan senyum
tersungging di bibirnya. “Bukankah semalam kau baru saja menjadi
wanita dewasa?”
“YAK!!!”
***
“AISH!!!” teriak Hye-Na frustasi saat menyadari bahwa dia salah
memasangkan kancing bajunya. Kemeja itu jadi panjang sebelah
karena semua kancingnya terpasang di lubang yang salah, padahal
gadis itu sudah berusaha sekuat tenaga memasangnya dengan
tangannya yang berdenyut-denyut nyeri. Tangan kirinya sama
payahnya karena ada memar yang cukup menyakitkan di bagian
pergelangan.
“Perlu bantuan?”
Hye-Na berbalik saat mendengar suara Kyuhyun di belakangnya. Pria
itu bersandar santai di pintu dengan tangan bersedekap di depan
dada. Sepertinya dia sudah cukup lama berdiri disana.
“Sejak kapan kau ada disana? Kau ini tidak sopan sekali! Ini kamar
perempuan, kau tahu tidak?”
Kyuhyun mengedikkan bahunya tak peduli dan mulai melepaskan semua
kancing kemeja Hye-Na sebelum memasangkannya lagi ke lubang yang
tepat. Wajah gadis itu langsung memerah karena dia sama sekali
tidak memakai tank-top sebagai dalaman, jadi Kyuhyun bisa langsung
melihat bagian atas tubuhnya yang hanya tertutup bra. Dia sengaja
memakai bra dengan pengait di bagian depan agar tidak terlalu sulit
saat memakainya dan dia tidak suka jika suaminya itu berhasil
melihat semua bagian tubuhnya sebanyak dua kali kurang dari 12 jam
terakhir. Tapi raut wajah Kyuhyun biasa saja. Pria itu memegangi
bahu Hye-Na dengan hati-hati setelah menyelesaikan pekerjaannya.
“Kau benar-benar mempermainkan kendali diriku, kan?” gumam
Kyuhyun dengan suara yang sedikit berat. “Asal kau tahu saja, aku
sedang berpikir untuk mendorongmu ke tempat tidur lagi dan
menghabiskan waktu seharian disana.”
Hye-Na melongo syok mendengar ucapan terus terang dari pria itu,
tapi Kyuhyun langsung melepaskannya, seolah menganggap bahwa
gadis itu benar-benar berbahaya dan dia sedang tidak punya waktu
untuk bermain-main.
“Kau mau kupanggilkan nuna untuk menyisir rambutmu?” tawar
Kyuhyun, seakan-akan dia sudah mempertimbangkan semua pekerjaan
yang akan sulit dilakukan Hye-Na dengan tangan yang seperti itu.
“Ne?”
“Aku akan memanggilnya. Kalau sudah selesai, aku tunggu kau di
mobil,” ujar Kyuhyun sambil mengacak rambut Hye-Na pelan sebelum
menghilang di balik pintu kamar, meninggalkan gadis itu berdiri
terpana sendirian.
***
Eun-Kyo’s Home, Kangwon, South Korea
09.00 AM

“Pagi,” sapa Leeteuk riang sambil melambaikan tangannya saat melihat


Eun-Kyo baru melangkah keluar dari pintu pagar rumahnya. Gadis itu
mematung sesaat, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Ada apa dengan pria di depannya ini? Kenapa dia terus menerus
muncul di depanku seperti wabah penyakit berbahaya yang tidak bisa
dihindari? Batin Eun-Kyo bingung.
“Kenapa tampangmu seperti itu? Aku kan sudah bilang kemarin bahwa
kita pacaran. Ini akan menjadi kegiatan rutinku setiap hari mulai dari
sekarang. Biasakan dirimu, eo?”
Leeteuk menunjuk pintu mobil yang sudah dibukakannya untuk Eun-
Kyo, memberi tanda agar gadis itu masuk. Raut wajahnya
menunjukkan bahwa dia tidak menerima penolakan, sehingga Eun-Kyo
tidak punya pilihan selain masuk ke dalam mobil masih dengan banyak
pertanyaan yang berseliweran di benaknya.
“Hari ini aku akan sangat sibuk, jadi mungkin tidak bisa menemuimu
saat makan siang,” ujar Leeteuk membuka pembicaraan.
“Waeyo?” tanya Eun-Kyo ingin tahu.
“Pembunuh 5to5 itu sudah tertangkap semalam, jadi mungkin seharian
ini kami semua akan mewawancarainya.”
“Ah, arasseo,” kata Eun-Kyo sambil menganggukkan kepalanya.
Leeteuk memanyunkan bibirnya, mendelik menatap gadis itu.
“Apa kau tidak akan merindukanku? Sepertinya kau malah senang
kalau aku tidak muncul di hadapanmu.”
Anehnya, yang terjadi malah sebaliknya, batin Eun-Kyo. Dia yakin
bahwa dia akan sangat merindukan pria di hadapannya itu. Pria yang
selalu datang dengan tiba-tiba seperti tsunami, kemudian memporak-
porandakan hidupnya tanpa ampun.
“Bagaimana kalau yang terjadi malah kebalikannya? Bagaimana kalau…
aku memang merindukanmu? Apa yang akan kau lakukan?” gumam Eun-
Kyo pelan, nyaris tidak terdengar.
“Aku tidak akan melakukan apa-apa,” jawab Leeteuk santai dengan
senyum manis tersungging di wajahnya, memperlihatkan lesung
pipinya yang membuat wajahnya terlihat semakin menawan. “Karena
aku akan terlalu senang saat mengetahui bahwa kau merindukanku
sampai tidak punya tenaga lagi untuk melakukan apa-apa.”
***
SRO Building, Seoul, South Korea
10.00 PM

“Bum~a, ayolah! Beritahu aku!!! Eo? Eo? Eo?” bujuk Eun-Kyo dengan
wajah memelas. Dia mengatupkan kedua tangannya di depan dada
untuk mendramatisir keadaan. Siapa tahu saja namja itu tergugah
dan mau mengatakan sesuatu.
“Nuna, kau tidak sadar umurmu berapa, hah? Masih saja merengek
seperti anak kecil begitu,” ejek Kibum tanpa mengalihkan pandangan
dari cairan-cairan kimia yang sedang ditelitinya.
“Kau mau membuat nuna kesayanganmu ini mati penasaran? Ayolah,
Bum~a!”
“Memangnya apa yang dia katakan padamu?”
“Dia hanya bilang bahwa aku melupakannya dan karena kau adalah
penyebab kenapa aku bisa lupa ingatan, jadi dia menyuruhku bertanya
padamu.”
“Cih, itu kesalahanmu sendiri sampai kau bisa amnesia. Jangan berani-
beraninya menyalahkanku!” dumel Kibum sambil menuangkan cairan
raksa dengan hati-hati ke dalam tabung reaksi. Setelah selesai, dia
meletakkan tabung reaksi itu ke dalam rak dan berbalik menatap Eun-
Kyo.
“Sekarang beritahu aku, apa kalian pacaran?”
Eun-Kyo mengangkat bahunya dengan bibir mengerucut.
“Kemarin dia tiba-tiba mengajakku pacaran dan tidak meminta
jawaban apakah aku setuju atau tidak. Sepertinya dia langsung
mengambil kesimpulan bahwa aku mau berpacaran dengannya.”
“Kalau hal ini terjadi satu minggu yang lalu, sebelum kau amnesia, kau
pasti akan langsung pingsan di tempat saking senangnya, nuna,” ejek
Kibum.
“Tapi tadi malam aku memang tidak bisa tidur,” aku Eun-Kyo.
“Sepertinya serum buatanku tidak terlalu manjur,” keluh Kibum. “Kau
bahkan masih tetap jatuh cinta padanya meskipun serum itu berhasil
menghapus semua ingatanmu.”
“Serum apa?” tanya Eun-Kyo bingung.
“Kalau aku memberitahumu, mungkin kau akan berpikiran negatif
tentang apa yang dilakukan Teukie hyung sekarang. Setelah
mengetahui hal ini, apakah kau masih ingin tahu juga?”
Eun-Kyo termangu sesaat. Apa dia cukup kuat menerima fakta itu
walaupun dia mungkin akan membenci Leeteuk nantinya?
“Ne.”
Kibum mengangguk dan mulai memberikan penjelasannya.
“Gomme-8. Serum penghapus ingatan. Aku baru menemukannya saat
itu dan aku memperlihatkannya padamu. Siapa sangka esok harinya
kau malah mencuri serum itu dariku diam-diam dan menggunakannya
untuk melupakan memori yang paling menyakitkan hatimu. Memori
penting bahwa ada seorang Park Jung-Soo dalam hidupmu. Pria yang
membuatmu tergila-gila setengah mati sampai terkadang kau
melupakan harga dirimu hanya untuk menarik perhatiannya.”
Eun-Kyo terdiam. Menyerap penjelasan itu dalam otaknya. Jadi…
selama ini dia mengejar-ngejar Leeteuk seperti gadis tidak tahu
malu? Dan saking putus asanya dia memakai serum itu untuk
melupakan Leeteuk? Lalu… kenapa pria itu sekarang malah balik
mengejarnya setelah Eun-Kyo melupakan semuanya? Bukankah
seharusnya pria itu senang karena tidak ada lagi yang
mengganggunya?
Eun-Kyo mencengkeram ujung meja di depannya. Apa… pria itu
mendekatinya hanya karena gengsi? Pria itu mendekatinya hanya
karena dia merasa tidak terima bahwa ada gadis yang dulu selalu
mengikutinya dan sekarang malah melupakannya? Pria itu tidak
menerima kenyataan itu dan balik mengejar Eun-Kyo hanya untuk
memastikan bahwa dia hanyalah gadis bodoh yang akan jatuh cinta
lagi dengan mudahnya pada pria itu? Bahwa… pria itu hanya
memerlukan bukti bahwa apapun yang terjadi, sekeras apapun Eun-
Kyo berusaha melupakannya, pria itu masih tetap terlalu mempesona
untuk diabaikannya? Lalu setelah itu apa? Pria itu akan
mencampakkannya lagi seperti sebelumnya?
“Nuna~ya, neo gwaenchana?” tanya Kibum cemas sambil menyentuh
bahu Eun-Kyo pelan.
“Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Sama sekali tidak baik-baik saja.”
***
STA Building
11.00 AM

Kyuhyun mematikan mesin mobilnya di depan gedung STA dan turun,


memutar untuk membukakan pintu mobil untuk Hye-Na. Gadis itu
berharap bahwa dia bisa menemukan satu kekurangan pria itu
sekarang. Se-gentle apapun tindakan membukakan mobil untuk
seorang wanita, gadis itu tidak pernah menyukainya sama sekali.
Hye-Na mengerjap saat melihat tangan Kyuhyun yang terulur ke
arahnya, membantu gadis itu turun.
“Ini untuk pertama kali dan terakhirnya aku membukakan pintu mobil
untukmu, eo? Hanya kebaikan hatiku melihat kau sedang terluka saja,
kalau tidak aku tidak akan melakukan ini. Bukan gayaku sama sekali,”
ujar pria itu tiba-tiba dengan kening berkerut, membuat jantung
gadis itu mencelos.
“Mmm?” Kyuhyun menggoyangkan tangannya yang masih terulur di
depan Hye-Na, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya dan
menerima uluran tangan itu, yang langsung disambut Kyuhyun dengan
genggaman ringan. Pria itu melempar kunci mobilnya ke arah penjaga
pintu yang sudah menunggu mereka di depan gedung dan menarik
Hye-Na masuk ke dalam.
Hye-Na melirik penampilan pria itu dari samping. Hari ini Kyuhyun
hanya mengenakan jas santai putih dan kaus dalaman berwarna
senada, plus celana jins hitam dan sepatu kets putih, membuat pria
itu terlihat lebih muda beberapa tahun dari umurnya. Ditambah
dengan kacamata hitam yang masih bertengger di hidung mancungnya,
membuat Hye-Na tersadar bahwa beberapa pegawai perempuan yang
berpapasan dengan mereka tidak bisa mengalihkan pandangan mereka
sedikitpun dari pria itu.
Gadis itu juga mendadak menyadari bahwa ini pertama kalinya mereka
tampil berdua di depan umum secara terang-terangan sejak pesta
pernikahan mereka beberapa hari yang lalu dan tampaknya hal ini
menarik begitu banyak peminat, merujuk pada kerumunan pegawai
yang berdesakan melihat mereka.
“Kau bisa berteriak menyuruh mereka kembali bekerja,” bisik Hye-Na
pelan kepada Kyuhyun. Pria itu menoleh ke arahnya dan
menyunggingkan senyum setengahnya.
“Biar saja. Jarang-jarang kan mereka melihat pemandangan gratis
seperti ini,” jawab pria itu enteng dan malah melingkarkan lengannya
di pinggang Hye-Na, membuat gadis itu sedikit terlonjak karena
perlakuan yang begitu tiba-tiba itu.
“Semuanya, bekerjalah dengan baik,” teriak Kyuhyun sambil sedikit
membungkukkan tubuhnya.
“Ye, sajangnim,” sahut mereka semua serempak.
“Hye-Na ssi, apa kau baik-baik saja? Bagaimana dengan lukamu?”
Salah seorang pegawai pria maju ke depan dan bertanya dengan sopan
ke arah Hye-Na yang tampak sedikit terkejut. Hye-Na sering melihat
pria itu, tapi tidak tahu namanya.
“Ne? Ng… gwaenchana. Gwaenchana,” jawab gadis itu salah tingkah,
cepat-cepat menarik Kyuhyun ke lift.
“Gosip cepat menyebar, kan?” cetus Hye-Na dengan wajah masam
saat mereka sudah berada di dalam lift.
“Aku malah heran jika ada pegawai yang masih tidak tahu tentang
kejadian semalam,” ujar Kyuhyun sambil memasukkan tangannya ke
dalam saku celana. Dia melirik ke arah istrinya itu sesaat dan
menghela nafas. Priaa itu mengeluarkan tangannya lagi dan
membetulkan letak kemeja Hye-Na yang sedikit melorot di bagian
bahunya. Gadis itu memang suka sekali memakai kemeja kebesaran,
tapi itu tidak membuatnya terlihat aneh. Bahkan sepertinya,
bagaimanapun penampilan gadis itu, Kyuhyun merasa dia akan
menyukainya.
“Jangan memperlakukanku seolah aku ini gadis cacat,” gerutu Hye-Na
dengan pandangan mencela.
“Aku hanya membetulkan letak kemejamu saja. Apa kau mau
memamerkan bercak-bercak merah di lehermu itu ke semua orang?”
ejek Kyuhyun, membuat gadis itu mendelik, jelas sedang berpikir
untuk menendang Kyuhyun atau tidak. Tapi hal itu terhalang karena
pintu lift yang berdenting membuka.
“Hei, ruang interogasi masih dua lantai lagi,” protes Hye-Na saat
Kyuhyun menariknya keluar.
“Aku akan membawamu ke suatu tempat dulu.”
Hye-Na mendecak kesal. Kapan pria di sampingnya ini tidak akan
berbuat seenak perutnya sendiri? Benar-benar jenis orang yang
selalu mendapatkan semua keinginannya, tidak mau ditolak.
Kyuhyun membuka salah satu pintu yang terletak di sebelah kiri dan
mendorong Hye-Na masuk. Dahi gadis itu langsung berkerut bingung
saat melihat Yesung dan Eun-Ji disana.
“Yesung ssi, gedung kantormu kan di sebelah.”
“Suamimu menyuruhku membawakan obat untuk mengobati lukamu,
makanya aku kesini.” Yesung berdiri dan menyodorkan sebuah tube
berisi salep ke arah Hye-Na. “Oleskan di lukamu, awalnya akan terasa
sangat sakit, tapi setelah satu jam tidak akan apa-apa lagi. Kau
bahkan akan mengira bahwa kau tidak terluka sedikitpun. Tapi bekas
lukanya mungkin baru bisa menghilang setelah dua hari.”
“Ah, gomaweo,” ujar Hye-Na dengan ekspresi penuh rasa terima
kasih.
“Interogasinya sudah aku undur sampai satu jam lagi. Obati dulu
lukamu, tunggu sampai rasa sakitnya hilang. Nanti kalau kau sudah
siap, hubungi aku. Ada urusan yang harus aku selesaikan sebentar.
Hmm?” kata Kyuhyun sambil mengacak rambut Hye-Na pelan. “Eun-Ji
ssi, mohon bantuannya.”
“Ne, sajangnim,” jawab Eun-Ji sambil membungkukkan badannya
sopan. Mata gadis itu sedikit melebar melihat perlakuan refleks
Kyuhyun kepada sahabatnya itu.
Kyuhyun dan Yesung berlalu keluar ruangan dan dengan cepat Eun-Ji
menarik Hye-Na duduk ke atas sofa dan melotot ke arah gadis itu.
“Jadi, beritahu padaku apa saja yang sudah aku lewatkan dalam waktu
semalam,” desak Eun-Ji tidak sabar. Tangannya dengan cekatan
membuka tutup botol tube berisi salep yang diberikan Yesung tadi
dan meletakkannya di atas meja, melakukan pekerjaan selanjutnya,
membuka kemeja Hye-Na. Gadis itu terpekik pelan saat meihat
beberapa bercak merah yang jelas-jelas adalah kiss mark. Dia
membulatkan matanya dan menatap Hye-Na, menuntut penjelasan.
Hye-Na mengusap tengkuknya pelan dan meringis malu.
“Kau sudah dewasa untuk menebak apa yang sudah terjadi,” jawab
gadis itu tanpa berniat memberikan penjelasan lebih jauh.
Mulut Eun-Ji menganga lebar dan dia mendengus tak percaya.
“Jadi… kau tidur dengannya? Baru dua hari menikah kau sudah tidur
dengannya? Astaga, Cho Kyuhyun benar-benar pria paling hebat di
dunia!” seru Eun-Ji sambil mengacungkan tinjunya ke udara.
“Hei hei, apa yang terjadi di antara kami bukan urusanmu,” desis Hye-
Na.
“Tentu saja itu menjadi urusanku. Kau paling anti dengan yang
namanya pernikahan dan tidak pernah terlihat dekat dengan pria
manapun seumur hidupmu, tapi saat Kyuhyun masuk ke dalam
kehidupanmu, semuanya berubah drastis, kan? Seorang Han Hye-Na
akhirnya menikah, terlihat sangat bahagia dengan pernikahannya, dan
sekarang… kau bahkan sudah tidur dengannya. Aish, itu bisa
dimasukkan ke dalam Guinnes Book of Record,” celoteh Eun-Ji tanpa
henti. “Jadi beritahu aku, apa dia hebat? Bagaimana caranya dia bisa
mengajakmu ke tempat tidur? Hmm? Ayolah, beritahu aku? Eo?”
“Obati saja lukaku, kau ini cerewet sekali,” bentak Hye-Na dengan
wajah memerah.
Eun-Ji mendecak dan membuka perban yang membalut lengan Hye-
Na, sedikit tersentak saat melihat luka mengerikan itu dan mulai
mengoleskan salep ke atasnya.
“Karena wajahmu memerah, jadi aku menarik kesimpulan bahwa dia
itu hebat sekali. Ah, tapi tentu saja, itu tidak perlu diragukan lagi.
Pria dengan imej seperti itu tentu saja selalu sempurna dalam segala
hal. Aish, hidupmu beruntung sekali. Kapan ya aku bisa sepertimu?”
desah Eun-Ji dengan pandangan yang sedikit menerawang.
“Kau sudah bertemu dengan Siwon? Kalian sudah berbicara?” Hye-Na
tersenyum saat melihat kening Eun-Ji yang berkerut. “Soo Hyun oppa
menceritakannya padaku saat kami berdua makan malam.”
“Ani. Aku sudah ke rumahnya kemarin, tapi eomma-nya bilang dia
sedang pergi ke luar negeri,” jawab Eun-Ji dengan wajah kecewa.
“Kenapa tidak kau susul saja?”
“Ne? Mwo? Kau gila? Aku bukan gadis agresif seperti itu!”
“Lalu maumu apa? Ini semua kesalahanmu dan kaulah yang harus
meminta maaf duluan. Sudah saatnya kau bertindak sedikit…
ekstrim.”
Eun-Ji menatap Hye-Na syok. Sejak kapan sahabatnya itu
memberikan nasihat berbahaya seperti itu?
“Bergaul dengan Cho Kyuhyun membuat otakmu terkontaminasi ya,
Cho Hye-Na.”
***
ACC Building
11.15 AM

Sa-Rang terduduk di atas kursi yang menghadap ke arah android


ciptaannya. Sudah 4 hari berlalu, tapi dia masih tidak sanggup
merusak mahakarya pertama yang sangat dibanggakannya itu. Dia
tidak tega memutus salah satu kabel di dalam tubuh robot itu dan
membuat benda itu menjadi barang rongsokan tidak berguna.
Hidupnya seolah berada di ambang kehancuran sekarang. Dia belum
menemui Henry untuk meminta maaf dan dia masih belum melakukan
apa-apa untuk mencegah peluncuran android ini. Dia terlihat seperti
gadis bodoh yang tidak bisa mengambil keputusan untuk hidupnya
sendiri. Dia mencintai pria itu, tapi dia juga mencintai pekerjaannya.
Dia tidak bisa memilih salah satu dari mereka.
Gadis itu tersentak kaget saat mendengar pintu ruangannya terbuka
tiba-tiba dan nyaris mati syok saat melihat siapa yang datang.
“Sa… sajangnim,” ujar gadis itu gugup dengan suara yang nyaris tidak
terdengar.
Kyuhyun melangkah memasuki ruangan dan menarik sebuah kursi,
duduk di samping gadis itu. Arah tatapan mereka sama. Sang android
yang sedang diam tak bergerak.
“Jadi… itukah android kebanggaanmu yang akan kau hancurkan itu?”
Sa-Rang merasakan jantungnya nyaris berhenti berdetak. Darimana
pria itu tahu bahwa dia berniat menghancurkan android itu? Dia
bahkan tidak memberitahu siapapun. Hal itu tersimpan di kepalanya
tanpa pernah terucapkan.
“Sajangnim….”
“Aku tahu masalahmu. Henry Lau. Kekasihmu, kan? Dia seorang violist
hebat dan baru akan memulai karirnya sebagai seorang pemusik. Itu
kan yang kau takutkan? Bahwa android yang kau ciptakan bisa
merenggut cita-cita terbesar kekasihmu? Pikiran bodoh, Goo Sa-Rang
ssi.”
“Sajangnim….”
“Kau tahu kenapa aku menciptakan robot yang nyaris tidak bisa
dibedakan dengan manusia itu? Kau pikir aku tidak memikirkan masak-
masak apa yang akan terjadi jika robot luar biasa ini berbaur dengan
kita semua? Aku sudah memikirkan semuanya dari awal. Aku tidak
pernah membiarkan android-android ini tampil di televisi dan
merebut tempat para artis. Android yang aku dan kalian ciptakan
hanya akan menjadi sesuatu yang tidak memiliki hak untuk
mendapatkan sesuatu yang lebih daripada manusia. Android hanya
akan menjadi pembantu rumah tangga, pengawal, dan pekerjaan-
pekerjaan remeh lainnya. Tetap sesuai dengan posisinya, benda
ciptaan manusia.”
“Tentu saja lama kelamaan kita menciptakan android-android yang
bertambah hebat dari waktu ke waktu. Seperti yang kau ciptakan
sekarang. Android yang bisa memainkan alat musik apapun dengan
sangat baik. Kau tahu, Sa-Rang ssi? Robot ini hanya akan dijadikan
benda untuk berlatih oleh anak-anak yang ingin belajar musik. Aku
sendiri tidak akan membiarkannya merebut tempat para pemusik
handal kita. Merebut tempat orang-orang yang sudah seharusnya
berada disana. Jadi hentikanlah pikiran bodohmu untuk mengakhiri
hidup benda pertama yang kau ciptakan itu. Aku tahu kau sendiri
bahkan tidak tega melakukannya. Ya, kan?”
Sa-Rang terpaku di tempatnya. Dia tidak heran kenapa pria itu bisa
tahu tentang Henry. Pria itu nyaris tahu segalanya. Yang membuatnya
kaget adalah kenyataan bahwa seorang Cho Kyuhyun mau bersusah-
payah menemuinya untuk menghentikan tindakan bodoh yang akan
dilakukannya. Dia tahu bahwa pria itu adalah pemimpin perusahaan
yang sangat baik. Tidak pernah mendapat komplain sekalipun dari
para pegawainya. Tapi… melakukan hal ini adalah sesuatu yang sangat
mengejutkan. Pria itu bukan jenis orang yang akan berbicara panjang
lebar dengan orang yang tidak dikenalnya. Dan bahkan… melihat pria
itu tersenyum seperti sekarang adalah hal yang sedikit mustahil.
Mungkin gosip yang beredar benar. Bahwa sikap pria itu berubah
total setelah menikah. Tepatnya setelah kedatangan pegawai baru
STA dari Amerika itu. Gadis yang sekarang menjadi istrinya. Sa-Rang
sedikit penasaran dengan gadis itu. Pastinya dia adalah gadis yang
sangat hebat sampai bisa membuat Cho Kyuhyun yang dingin berubah
menjadi pribadi yang terlihat sedikit lebih manusiawi, berbaur
dengan sekitar.
“Sajangnim, boleh aku tahu… kenapa kau mendatangiku langsung untuk
mengatakan hal ini?”
“Saat kau menjadi bagian dari Cho Corporation, berarti kau sudah
menjadi tanggung jawabku. Lagipula aku tidak akan membiarkan
seseorang membatalkan keuntungan yang akan aku dapatkan dari
penjualan android ini.”
Sa-Rang tertawa kecil dan mengangguk. Bahkan pria itu sekarang
sudah bisa bercanda.
Kyuhyun bangkit dari duduknya dan menatap Sa-Rang. Ada segaris
senyum di bibirnya. Singkat, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk
membuat Sa-Rang terpaku.
“Jadi, aku tidak akan menerima alasan apapun untuk membatalkan
peluncuran android ciptaanmu ini besok lusa. Dan… kalau kau belum
tahu. Kekasihmu sudah diterima menjadi anggota baru Cantatio
Orchestra. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya lagi. Dia tidak akan
bisa mendapatkan yang lebih baik lagi dari itu,” ujar Kyuhyun sebelum
melangkah keluar ruangan.
Mulut Sa-Rang sedikit menganga mendengar informasi yang diberikan
pria itu. Cantatio Orchestra adalah kumpulan para pemusik terbaik di
Asia saat ini, bahkan di dunia. Orchestra itu berpusat di Korea dan
sangat sulit sekali menjadi bagian dari tempat itu. Tapi Henry
berhasil. Henry-nya berhasil. Sa-Rang tahu betapa pria itu sangat
memimpikan menjadi bagian dari para pemusik yang menjadi
panutannya selama ini dan dia sangat senang mengetahui bahwa pria
itu berhasil mewujudkan impiannya.
Dan itu berarti mereka berdua akan semakin menjauh. Henry dengan
dunianya, dan dia dengan dunianya sendiri. Sepertinya… hubungan ini
tidak akan pernah berhasil. Seharusnya dari awal mereka tidak
memulai. Seharusnya dia tahu bahwa semuanya akan berakhir seperti
ini.
***
STA Building
11.45 AM

Yu-Na mencengkeram erat tangan Zhoumi saat pria itu bermaksud


turun dari mobilnya yang berhenti di depan gedung STA. Mendadak
keringat dingin membanjiri punggung gadis itu, tanda bahwa dia
benar-benar sedang gugup.
“Tidak bisakah kita membatalkannya saja? Aku rasa… aku tidak
sanggup bertemu dengan atasanmu itu,” ujar Yu-Na dengan suara
bergetar. Siang itu mereka memang berencana untuk menemui
Kyuhyun karena kebetulan pria itu memiliki urusan pekerjaan dengan
Zhoumi.
“Gwaenchana,” ucap Zhoumi menenangkan sambil mengusap kepala
gadis itu. Dia benar-benar bermaksud untuk menenangkan Yu-Na
karena dia sedikit cemas melihat wajah pucat gadis itu. Entah sejak
kapan dia menjadi terlalu memperhatikan keadaan gadis itu.
Memastikan bahwa gadis itu merasa nyaman dan aman. Dia hanya
merasa bahwa gadis itu perlu dilindungi dan Zhoumi memang sudah
lama tidak memiliki seseorang yang berada di bawah tanggung
jawabnya. Seseorang yang harus dijaganya dengan baik. Hal itu
terasa baru baginya, tapi juga membuatnya sangat bersemangat
untuk mencari tahu lebih jauh.
“Kita harus bicara dengan Kyuhyun agar dia bisa membantumu keluar
dari CIA. Mmm? Hanya dia yang bisa melakukannya. Apa kau tidak
sadar bahwa kau sekarang sedang diawasi oleh agen CIA? Mereka
bergantian berjaga di dekat rumahku. Aku tidak bisa mengambil
resiko dan membuat mereka menangkapmu. Jadi turunlah. Kita benar-
benar harus menemuinya.”
Yu-Na menahan lengan Zhoumi lagi saat pria itu membuka pintu
mobilnya.
“Boleh aku tahu kenapa kau melakukannya?” tanya Yu-Na dengan raut
wajah serius. Dia menatap mata Zhoumi, memberi tanda bahwa pria
itu harus menjawabnya. Jawaban pria itu akan sangat
berarti. Mungkin akan mengubah banyak hal.
Zhoumi sesaat terdiam. Matanya memandang wajah gadis di depannya
dengan sedikit terpaku. Dia selalu merasa bahwa gadis itu memiliki
wajah yang unik. Terlihat dewasa sekaligus terlihat kekanakan di saat
yang bersamaan. Warna kulit gadis itu sedikit lebih gelap daripada
orang Korea kebanyakan, tapi itulah yang membuatnya terlihat lebih
menarik daripada gadis-gadis lain di sekitarnya.
“Karena jika aku bisa membuatmu terlepas dari mereka, aku akan
mendapat kesempatan menahanmu disini dan aku bisa melupakan
bahwa kau pernah berniat untuk mencuri penemuanku lalu… kita bisa
memulai semuanya lagi dari awal.”
***
“Masih terasa sakit?” tanya Kyuhyun dengan tangan terbenam di saku
celana jinsnya. Mata pria itu menyipit menatap Hye-Na, memastikan
bahwa gadis itu terlihat baik-baik saja.
“Apa kau tidak mempercayaiku, Kyuhyun ssi?” sela Eun-Ji dengan
wajah sedikit cemberut. Dia berdiri bersedekap di samping Hye-Na.
“Aku sudah memastikan bahwa istrimu ini dalam keadaan baik-baik
saja. Dia bilang lukanya sudah tidak terasa sakit lagi, kau sudah bisa
tenang sekarang.”
“Gamsahamnida,” ujar Kyuhyun singkat.
“Berikan aku libur tiga hari dan aku akan menerima rasa terima
kasihmu,” kata Eun-Ji cepat.
“Ne?”
“Dia mau mengejar Siwon ke Irlandia. Memperbaiki hubungan
mereka,” potong Hye-Na dengan raut wajah senang karena berhasil
membuat temannya itu malu. Sesaat kemudian dia sedikit meringis
merasakan injakan Eun-Ji di kakinya.
“Aaaa, arasseo. Ambillah libur sesukamu,” ujar Kyuhyun enteng.
“Kajja. Interogasinya akan segera dimulai,” beritahu Kyuhyun sambil
menarik tangan Hye-Na lagi.
“Aish, baiklah. Lakukan saja sesuka kalian. Haaaah, membuatku iri
saja. Awas kalau aku berhasil memperbaiki hubunganku dengan Siwon
oppa nanti, aku juga akan membuat kalian iri,” desis Eun-Ji kesal.
Melihat kemesraan orang lain di saat dia sendiri sedang terombang-
ambing dalam kesalahpahaman, membuat gadis itu benar-benar
merasa sensitif dan ingin memukul sesuatu dengan kepalan tangannya.
***
“Kau sudah datang, hyung,” sapa Kyuhyun saat melihat Zhoumi yang
sudah duduk di salah satu kursi yang menghadap ke arah kaca besar
yang menampakkan pemandangan ruang interogasi di baliknya.
Zhoumi berdiri dan menepuk pelan punggung Kyuhyun lalu mengalihkan
pandangannya kepada Hye-Na yang menatapnya penuh selidik.
“Aku Zhoumi. Kyuhyun bilang kau memasukkanku ke dalam daftar
tersangka, ya?” ujar Zhoumi dengan senyum yang bermain di sudut
bibirnya.
“Sepertinya kau tidak keberatan,” sahut Hye-Na santai.
“Tidak sama sekali. Aku juga perlu permainan yang mengasyikkan.
Menjadi tersangka kedengarannya boleh juga.”
Hye-Na tersenyum. Mendadak merasa menyukai pria itu dan
mengingatkan dirinya agar cepat mencoret nama pria itu dari daftar.
Dia selalu mempercayai instingnya, dan sekarang dia percaya bahwa
pria ini tidak terlibat sama sekali.
“Kyuhyun~a, ini Kwon Yu-Na. Gadis yang aku ceritakan semalam,”
terang Zhoumi sambil menunjuk seorang gadis yang duduk di
sampingnya tadi. Gadis bernama Yu-Na itu berdiri dan membungkuk
sopan.
“Kwon Yu-Na imnida,” ujar gadis itu dengan suara pelan.
“Zhoumi hyung sudah menceritakan masalahmu. Aku harap kau bisa
bekerja sama dengan baik dan tidak mencoba mencari celah untuk
kabur ataupun berkhianat. Kalau kau mau berjanji, aku akan
memastikan kau aman tinggal di negara ini. Hyung memang
mempercayaimu, tapi aku tidak semudah itu mempercayai seseorang.
Jadi berhati-hatilah dengan tindakanmu. Aku tidak pernah
mempercayai satupun anggota CIA. Tidak peduli jika hyung-ku
menyukaimu sekalipun,” ujar Kyuhyun tajam.
Hye-Na bisa melihat dengan jelas bahwa tubuh gadis itu menegang
dan ada sorot takut di matanya.
“Kau tidak perlu membuatnya takut seperti itu, Kyuhyun~a,” sela
Zhoumi memperingatkan.
“Kau kan tahu bahwa apapun yang menyangkut CIA selalu berhasil
membuatku kesal. Mengirim utusan mereka kesini untuk mencuri
penemuanmu? Cih, benar-benar bukan tindakan berpendidikan.”
“Sudahlah, tidak usah takut padanya. Kau sudah aman sekarang,” ujar
Zhoumi dengan nada menenangkan seraya mengelus punggung Yu-Na.
“Aku akan mengurus surat pengunduran dirimu sebagai agen. Aku rasa
aku sudah menemukan sesuatu untuk mengancam mereka. Mencuri
adalah tindakan kriminal dan aku bisa menuntut mereka untuk itu.
Aku rasa kita akan aman dari gangguan mereka untuk waktu yang
lama. Kau mau tinggal dengan hyung-ku berapa lama?” tanya Kyuhyun,
sedikit merendahkan nada suaranya.
“Itu bukan urusanmu, Cho Kyuhyun. Dia tanggung jawabku,” sergah
Zhoumi cepat.
Kyuhyun tertawa kecil dan mengangkat bahunya tak peduli.
“Bersikaplah dengan benar kalau kau memang menyukainya, hyung.
Tinggal bersama bukanlah tindakan yang bijaksana, kau tahu?”
Zhoumi buru-buru menutup telinga Yu-Na dengan kedua tangannya
sambil mendelik kesal ke arah Kyuhyun.
“Aaaah, kau belum memberitahunya bahwa kau menyukainya? Hahaha,
kau lucu sekali.”
Hye-Na melihat wajah Zhoumi berkedut, seolah sedang menimbang-
nimbang apakah dia harus menghajar Kyuhyun atau tidak. Sedangkan
Kyuhyun sendiri terlihat sangat menikmati permainan barunya
menjahili Zhoumi. Tapi akhirnya pria itu mengedikkan bahunya dan
membuka pintu ruang interogasi, kemudian mengalihkan tatapannya ke
arah Hye-Na.
“Kau mau mulai sekarang? Tahanan kita sudah datang.”
***
Hye-Na, Kyuhyun, Eun-Ji dan Leeteuk duduk dalam satu barisan,
menghadap ke arah kursi berantai yang mengikat lengan dan kaki
Shim Jong-Hyuk yang keadaannya tampak lebih parah daripada
semalam. Sepertinya semua orang memang takut dengan ancaman
Kyuhyun dan membiarkan pria itu dikurung dalam sel tahanan tanpa
diberi pengobatan apa-apa. Darah kering menempel di kemeja dan
celana yang dipakainya dan tampaknya hanya menunggu waktu saja
sampai pria itu pingsan kehabisan darah atau mungkin… mati?
“Kalau seperti itu bagaimana kita bisa membuatnya membuka mulut?”
dengus Hye-Na. Mata pria itu bahkan tidak terbuka sama sekali,
walaupun dadanya masih bergerak naik turun, menandakan bahwa dia
masih bernafas.
“Itu bahkan belum cukup untuk menebus kesalahannya,” ucap Kyuhyun
sadis. Dia mengulurkan sebuah serum ke arah Hye-Na yang balik
menatapnya bingung.
“Serum kejujuran. Kau bisa bertanya apa saja padanya dan dia akan
membukakan seluruh rahasianya padamu. Ciptaan Zhoumi.”
“Ada serum seperti itu?” cetus Eun-Ji tertarik.
“Memangnya apa yang tidak bisa ditemukan ilmuwan SRO
menurutmu?” gurau Leeteuk.
“Menurutmu apa lagi yang masih disembunyikannya? Aku merasa dia
tidak bekerja sendirian. Ada yang membantunya. Kalau tidak begitu
dia tidak akan bisa mengetahui seluruh kegiatanku dengan sangat
jelas. Dan… dia sepertinya juga dijebak. Kita terlalu mudah
menangkapnya. Apa itu tidak mengherankan? Selama ini dia tidak
meninggalkan jejak sama sekali, tapi saat menculikku, gerakannya
terlalu mudah dibaca.”
“Memang pada dasarnya dia saja yang bodoh. Kita tidak mengenal
korban-korban sebelumnya dan kita tidak tahu metode kerjanya. Tapi
setelah korban kedua puluh empat, kita sudah mengetahui cara kerja
pembunuh ini, tidak mengherankan kalau kita bisa menangkapnya
dengan cepat,” ujar Kyuhyun dengan raut wajah marah. Dia masih
belum bisa menerima kenyaataan bahwa pria sialan itu berhasil
menculik istrinya dan meninggalkan bekas luka di tubuh gadis itu.
Seharusnya pria brengsek itu bersyukur bahwa dia tidak mati di
tangan Kyuhyun. Walaupun Kyuhyun cukup senang karena sepertinya
umur pria itu tidak akan lama lagi.
“Siram dia,” perintah Kyuhyun dingin pada salah seorang staf yang
berdiri di sudut. Pria itu mengangguk dan menarik selang yang berada
di ruangan itu, yang biasanya memang digunakan untuk saat-saat
seperti ini. Selang itu diarahkan tepat ke wajah Jong-Hyuk, tapi
keadaan pria itu tampak begitu parah sehingga nyaris dibutuhkan
waktu satu menit untuk membangunkannya.
Jong-Hyuk perlahan membuka matanya dan mengerjap-ngerjap untuk
membiasakan penglihatannya dengan cahaya terang ruangan. Mata
pria itu sedikit terbelalak melihat orang-orang yang duduk di
hadapannya, tapi dia langsung memperbaiki raut mukanya dan
memasang wajah tanpa ekspresi.
Hye-Na memberi tanda ke arah Leeteuk yang langsung berdiri,
memutar ke belakang Jong-Hyuk dan menyuntikkan serum tadi ke
lengan pria tersebut.
“Apa yang kalian suntikkan ke tubuhku?! Aku perlu pengacara! Aku
tidak akan mengatakan apa-apa tanpa didampingi pengacaraku!”
“Tutup mulutmu sebelum aku habis kesabaran dan menembakmu! KNI
mengambil alih semua kasus pembunuhan yang kau lakukan dan itu
berarti kau tidak berhak didampingi pengacara sedikitpun. Hukuman
untukmu sudah ditetapkan, langsung di bawah perintah presiden.
Hukuman mati di atas kursi listrik. Atau… kau mau mati disalib
seperti yang kau lakukan kepada gadis-gadis itu?” teriak Hye-Na
emosi. Tangan gadis itu terbentang di atas meja yang memisahkan
mereka. Matanya terpancang tajam ke arah pria itu, membuat pria itu
langsung terdiam dan bergerak gelisah di kursinya.
Eun-Ji menyenggol lengan Kyuhyun dan mengedikkan dagunya ke arah
Hye-Na.
“Sudah pernah melihatnya seperti itu? Keren sekali, kan?”
Kyuhyun mengangguk setuju dengan mata yang terfokus ke punggung
Hye-Na yang berdiri membelakangi mereka. Dia selalu menyukai
ekspresi apapun yang dikeluarkan gadis itu dan merasa semakin
ketergantungan dari hari ke hari. Gadis itu bisa terlihat begitu diam,
tapi dalam waktu singkat juga bisa berubah menjadi berapi-api.
Kyuhyun merasa kelelahan sendiri saat mencoba menemukan satu hal
saja yang tidak disukainya dari gadis itu.
“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Hye-Na tanpa basa-basi saat
melihat mata Jong-Hyuk menjadi tidak fokus, tanda bahwa cairan
serum itu sudah mulai bekerja.
“Cho Tae-Hwa,” jawab pria itu lemah, tapi berhasil membuat Kyuhyun
menegang di kursinya. Hye-Na berbalik menatap Kyuhyun, ekspresi
wajahnya tidak terbaca, dan gadis itu sama sekali tidak mengatakan
apa-apa.
Eun-Ji dan Leeteuk saling bertatapan, tapi tidak mengeluarkan suara
untuk menyuarakan isi kepala mereka. Mereka tahu bahwa keadaan
baru saja berubah menjadi begitu genting. Baik untuk Kyuhyun
maupun Hye-Na sendiri.
Hye-Na menarik nafas dalam-dalam, menenangkan dirinya dan mulai
berbicara dengan pria itu lagi.
“Jelaskan padaku apa saja rencana kalian.”
“Kami berada dalam satu perkumpulan agama. Disanalah kami bertemu
dan menjadi dekat. Itu terjadi jauh sebelum kau membunuh ayahku.”
Pria itu berbicara dalam satu nada datar yang terdengar
membosankan. Jelas dia benar-benar berada di bawah pengaruh obat
sekarang. “Kami berdua memiliki pemahaman yang sama tentang para
atheis, jadi karena itu aku menjadi sangat dekat dengannya dan
mempercayainya. Aku menceritakan semua rahasiaku padanya.
Termasuk rencanaku untuk membunuh gadis-gadis itu. Dia
membantuku, menyediakan alat-alat yang aku butuhkan untuk
membunuh. Hal mudah baginya karena dia adalah orang yang sangat
kaya.”
“Dia selalu membantuku dan aku berkata padanya jika ada yang
dibutuhkannya dariku, aku akan melakukan apa saja untuknya. Apa
saja. Dia bilang dia mungkin akan membutuhkan bantuanku suatu saat
nanti, jadi aku bersabar. Aku tahu bahwa dialah yang membunuh Cho
Hyun-Ki. Aku termasuk orang yang berbahagia mendengar kematian
pria itu. Tentu saja. Aku membenci apapun yang berkaitan dengan
kematian ayahku. Dan Cho Hyun-Ki adalah donator utama KNI, tentu
saja dia harus lenyap dari muka bumi.”
“Akhirnya aku mendapat kesempatan untuk membalas budi sahabat
baikku. Dia ingin aku menyingkirkanmu karena kau mengganggu
jalannya untuk melenyapkan semua keturunan Cho Hyun-Ki. Tentu
saja aku senang sekali. Kau memang target utamaku. Kau harus
kusingkirkan. Dan dialah sumber informasiku selama ini. Apa saja
rencana kalian, sejauh apa kalian mengeahui gerak-gerikku.
Semuanya.”
“Kau tahu, Hye-Na ssi? Kejadian lima tahun yang lalu?”
Bulu kuduk Hye-Na meremang saat mendengar ucapan pria itu. Lima
tahun yang lalu… lima tahun yang lalu adalah taahun kematian ayahnya.
“Ayahku membenci Cho Hyun-Ki. Awalnya ayahku memiliki banyak
bisnis. Bisnis legal. Dia adalah orang yang baik. Ayah yang baik. Tapi
Cho Corporation merebut semuanya. Semua tender ayahku. Mereka
merebut semuanya sampai membuat ayahku nyaris bangkrut. Dia
harus berjuang lagi dari awal dan satu-satunya cara hanyalah terjun
ke bisnis ilegal. Ayahku berniat balas dendam. Aku mendukungnya.
Saat itu, Cho Tae-Hwa sudah menjadi sahabat baikku dan dia
memberikan banyak informasi dan rencana-rencana untuk
menyingkirkan pria itu. Kebetulan sekali bahwa ayahmu adalah
pengawal pribadi Hyun-Ki waktu itu. Jadi saat dia berencana
menangkap kami, kami sudah menyiapkan kejutan lain untuknya. Tae-
Hwa sudah memperingatkan kami bahwa mereka akan datang jadi
kami menyambut mereka semua. Dan kau tahu? Ayahmu mati karena
tembakan dari ayahku. Hahahaha. Kau pasti tidak tahu hal itu, kan?
Anggap saja kita impas. Kau memang membunuh ayahku, tapi ayahku
jugalah yang telah membunuh ayahmu.”
DOOOOR!!!
Hye-Na tidak tahu sejak kapan tangannya bergerak mengambil pistol
yang diselipkan di saku celananya dan sejak kapan jarinya menarik
pelatuk. Dia tidak berniat membunuh pria itu. Dia hanya menambah
satu hiasan berdarah lagi di lengan pria terkutuk itu, memikirkan
bahwa dia harus membuat pria itu mati menderita dengan kesakitan
yang tak tertahankan.
Gadis itu merasakan tubuhnya ditarik dari belakang dan pistol itu
diambil dari tangannya. Dia bisa merasakan tubuhnya sendiri gemetar
dan nyaris tidak bisa berdiri lagi dengan benar. Tangannya terkepal
di samping tubuh dan matanya menangkap siluet wajah Kyuhyun yang
terlihat kabur.
“Lanjutkan interogasinya. Aku akan mengurus Hye-Na,” ujar pria itu
dengan suara berat dan langsung memapah Hye-Na keluar ruangan.
Kyuhyun baru menutup pintu saat tubuh Hye-Na merosot jatuh ke
lantai. Wajah gadis itu terbenam di antara lututnya dan bahunya
terguncang. Untuk pertama kalinya Kyuhyun melihat bahwa gadis itu
tidak baik-baik saja. Pertama kalinya gadis itu tidak bersikap sok
kuat dan bersikeras bahwa dia tidak apa-apa. Pertama kalinya gadis
itu terlihat begitu rapuh dan membutuhkan tempat bersandar.
Kyuhyun menggertakkan giginya, berdiri kaku di depan gadis itu. Dia
akan memastikan bahwa pria di dalam itu tidak akan hidup sampai
besok pagi. Itu sudah lumayan, karena Kyuhyun masih berbaik hati
untuk tidak menghambur masuk lagi ke dalam dan membenturkan
kepala pria itu ke tembok kemudian mematahkan lehernya. Dan pria
bernama Cho Tae-Hwa itu, akan mendapat balasan yang serupa. Dia
sudah dicoret dari daftar keluarga Cho sekarang.
Kyuhyun menarik nafas dalam-dalam, berusaha meredakan emosinya
yang memuncak. Dia akan memiliki waktu untuk melampiaskan
emosinya nanti, yang penting sekarang adalah gadis di hadapannya ini.
Dia tahu betapa gadis ini sangat mencintai ayahnya dan betapa
kenyataan yang baru saja diucapkan pria itu di dalam tadi
mengguncang hidupnya.
Kyuhyun berlutut di depan Hye-Na, menarik gadis itu perlahan ke
dalam dekapannya tanpa berkata apa-apa. Tidak ada gunanya
menghibur gadis itu sekarang, karena hiburan dalam bentuk apapun
tidak akan membantu sama sekali.
Gadis itu menangis sesenggukan dan bahunya semakin berguncang.
Sesaat isakan itu berubah menjadi tangisan histeris dan yang bisa
dilakukan Kyuhyun hanya mengeratkan pelukannya di tubuh gadis itu,
mencaci-maki dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan apa-apa
untuk menghentikan semua ini.
“Appa… appa!!!”
Kyuhyun mencengkeram baju Hye-Na saat mendengar suara serak
yang dikeluarkan gadis itu dari mulutnya. Dia menggigit bibirnya
sendiri, berusaha menahan teriakannya atau apapun yang sangat ingin
dilakukannya sekarang. Dia benar-benar ingin membunuh dua orang
itu. Benar-benar ingin membuat mereka merasakan apa yang sudah
dialami ayah Hye-Na dan ayahnya sendiri.
Kyuhyun melepaskan rangkulannya dan memegangi bahu Hye-Na
dengan kedua tangannya. Dia mengusap air mata yang mengalir di
wajah pucat gadis itu, benar-benar berusaha keras menahan kakinya
untuk tidak berdiri dan menghambur masuk ke dalam.
“Kau tahu? Aku sangat ingin masuk lagi ke dalam dan menghabiskan
peluru di pistolku untuk menembak bajingan itu. Kau pasti ingin
melakukannya juga kan, Hye-Na~ya? Tapi kau tahu kita tidak bisa.
Dan… tanganmu juga terlalu berharga untuk digunakan membunuh pria
kotor itu. Dia tidak akan hidup lama. Tenang saja. Aku akan
memastikan dia tidak akan membuka matanya lagi besok pagi. Aku
tidak peduli jika itu legal ataupun tidak.”
Dua bola mata cokelat gadis itu menatap Kyuhyun dengan raut wajah
polos. Dia terlihat begitu muda… dan rapuh. Dan seseorang sudah
menyakiti hati gadis ini sampai tidak bisa diobati lagi.
Kyuhyun memajukan tubuhnya dan menundukkan wajahnya, berbisik
ke telinga gadis itu.
“Tenanglah… ada aku.”
***
MPA Building
01.30 PM

Min-Yeon mendengus tak percaya saat mendapati Sungmin sudah


berdiri di depan gedung kantornya, bersandar pada mobil
Lamborghini hijaunya. Pria itu melambaikan tangannya penuh
semangat ke arah Min-Yeon, disertai senyum manis yang tersungging
di wajah imutnya.
“Mau apa kau kesini?” tanya Min-Yeon tanpa basa-basi.
Dia tertarik pada pria ini. Jujur saja. Tapi dia memilih untuk menjauh.
Dia tidak mau mengganggu hubungan orang lain. Tapi sepertinya pria
ini tidak sependapat. Dia terus saja menghubungi Min-Yeon yang
biasanya selalu bisa dihindari gadis itu, tapi tidak untuk kali ini.
Bagaimana mungkin seorang pria yang sudah memiliki kekasih masih
berusaha menemui gadis lain seolah sedang menggoda gadis itu? Itu
sama sekali tidak masuk akal kecuali jika pria itu memang seorang
playboy berat. Tapi pria ini bukan. Min-Yeon tahu itu. Jadi apa yang
sebenarnya diinginkan pria ini darinya?
“Mengajakmu makan siang. Kau sepertinya sedang menghindariku, jadi
aku ingin tahu kenapa.”
“Bukankah sudah jelas sekali, Lee Sungmin ssi? Waktu itu aku
menemuimu dengan kapasitas sebagai karyawan MPA dan sekarang
tugasku sudah selesai, jadi apa ada alasan lain yang harus membuat
kita bertemu lagi?”
“Tentu saja. Bukankah saat itu kita sudah berteman? Jadi sekarang
aku menemuimu sebagai seorang teman.”
Min-Yeon menghela nafas menghadapi kekeras-kepalaan pria di
depannya itu. Jadi apa yang harus dilakukannya? Pria ini tidak akan
berhenti walaupun dia mencoba menjauh. Jadi….
“Baiklah. Kita makan siang.”
***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, Seoul
01.0 PM

Kyuhyun melirik Hye-Na yang duduk diam di bangku penumpang. Gadis


itu tidak mengatakan apa-apa dari tadi. Hanya diam tanpa nyawa. Dan
Kyuhyun nyaris menghantam kemudi saking frustasinya.
Dia memang berhasil menarik gadis itu pulang untuk beristirahat.
Mereka harus menunggu keluarnya surat perintah penangkapan
sebelum bisa menjebloskan Cho Tae-Hwa ke penjara dan itu berarti
masih 24 jam lagi. Hal itu berhasil membuat Kyuhyun naik darah, tapi
pria itu tidak bisa melakukan apa-apa untuk mempercepatnya. Cho
Tae-Hwa bukan orang sembarangan, jadi dibutuhkan surat perintah
penangkapan resmi dari pengadilan untuk meringkusnya.
Kyuhyun mengerem mobilnya mendadak saat melihat mobil pamannya
keluar dari kawasan rumahnya dan berbelok ke arah yang berlawanan.
Sial, apa yang baru saja dilakukan bajingan itu di rumahnya?
“Itu mobil pria sialan itu,” desis Kyuhyun saat Hye-Na menatapnya
bingung. Mata gadis itu melebar dan jelas ada kilat kemarahan disana.
“Jangan sampai dia melakukan sesuatu yang buruk pada ibuku atau
aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri,” ujar Kyuhyun
sambil menginjak pedal gas dan dengan cepat mengemudikan mobilnya
ke rumah. Pria itu memarkir mobilnya sembarangan di depan rumah
ibunya dan berteriak menyuruh Hye-Na pulang ke rumah duluan.
Gadis itu menurut dan melangkah turun dari mobil, berjalan ke arah
rumah mereka yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah utama.
Biasanya dia akan menolak apapun perintah Kyuhyun, tapi sekarang
dia bahkan tidak punya energi sedikitpun untuk berbicara, jadi lebih
baik dia mengalah saja.
Gadis itu melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu dengan gontai.
Dia benar-benar lelah rasanya. Bukan secara fisik, tapi lebih kepada
kondisi mentalnya. Dia ingin sekali menembak pria pembunuh itu
sampai mati dan kemudian menjatuhkan mayatnya ke jurang. Tapi dia
tahu bahwa dia tidak bisa melakukannya. Dia tidak bisa berbuat apa-
apa untuk membalaskan dendam kematian ayahnya karena dia tahu
bahwa ayahnya akan sangat membencinya jika dia sampai melakukan
hal itu.
Hye-Na berjalan melewati ruang makan, tapi langkah gadis itu
terhenti seketika saat melihat tubuh Kim Ji-Hwan, asisten pribadi
Kyuhyun, tergeletak di lantai dengan mulut penuh busa. Gadis itu
dengan cepat berlari mendekati Ji-Hwan dan mengguncang-guncang
tubuh pria itu dengan rasa panik yang menjalari seluruh tubuhnya.
“Ajjushi? Ji-Hwan ajjushi? Sadarlah! Ajjushi?”
Hye-Na bangkit berdiri dan memeriksa meja makan. Ada dua kaleng
minuman disana. Dan kesimpulan yang didapat gadis itu adalah Cho
Tae-Hwa bukan datang ke rumah ibu Kyuhyun, tapi dia datang kesini.
Kyuhyun memang menyuruh Ji-Hwan menuliskan beberpaa laporan
untuknya di rumah dan entah bagaimana pria ini bisa berbincang-
bincang dengan Tae-Hwa lalu berakhir seperti ini.
Hye-Na dengan cepat memeriksa kedua kaleng minuman tersebut dan
membauinya. Tidak ada bau almond yang tersisa disana, berarti
bajingan itu tidak memakai kalium sianida, lagipula Ji-Hwan masih
hidup, karena kalium sianida akan langsung membunuh korbannya
dalam waktu beberapa detik. Hye-Na memerhatikan karat yang
terletak di bagian atas kaleng. Kaleng itu berasal dari AutoChef, jadi
tidak mungkin kalau berkarat. Alasan satu-satunya hanyalah ada
sesuatu yang menyebabkan karat itu. Biasanya sodium hidroksida.
Dan sebaiknya dia tidak salah menebak.
Gadis itu dengan cepat mengambil susu dingin dari dalam kulkas besar
yang terletak di samping AutoChef dan meminumkannya secara paksa
ke dalam mulut Ji-Hwan, mendongkkan kepala pria itu agar cairan
tersebut tertelan dan masuk ke dalam saluran pencernaannya.
“Ajjushi?” ujar Hye-Na dengan nada lemah. Dia tidak mau pria ini
mati. Tidak jika penyebabnya adalah orang yang sama dengan yang
menyebabkan kematian ayahnya dan ayah Kyuhyun. Dia tidak ingin ada
korban yang jatuh lagi hanya karena kebejatan pria tidak
berperasaaan itu. Pria ini harus selamat. Pria ini tidak boleh mati di
depannya.
Hye-Na memencet nomor Yesung, satu-satunya orang yang bisa
dipikirkannya saat itu untuk meminta bantuan.
“Ye… Yesung ssi, aku benar kan jika memberikan susu kepada orang
yang keracunan sodium hidroksida?” tanya gadis itu cemas.
“Siapa yang keracunan? Minumkan banyak susu kepadanya. Yang
penting adalah dia harus sadar dulu. Kau dimana? Biar aku kesana.
Susu tidak terlalu membantu banyak, dia masih membutuhkan
pertolongan medis.”
“Di rumah Kyuhyun. Cepatlah kesini, eo?”
“Arasseo.”
Hye-Na meminumkan susu itu lagi ke mulut pria paruh baya itu,
berharap pria itu segera sadar.
“Hye-Na~ya? Apa yang terjadi?” tanya Kyuhyun yang baru datang
sambil berlari mendekati gadis itu. “Ajjushi?”
“Aku tidak tahu, tapi saat aku sampai disini dia sudah tergeletak di
lantai. Keracunan sodium hidroksida. Aku memberinya susu. Yesung
sedang dalam perjalan kesini sekarang.”
“Jadi pria bajingan itu datang kesini?” desis Kyuhyun marah.
Ji-Hwan tiba-tiba tersedak dan dengan susah payah membuka
matanya. Nafas pria itu tersengal-sengal, tapi Hye-Na langsung
mendesah lega melihatnya.
“Ajjushi, gwaenchana? Sebentar lagi kau akan mendapat pertolongan
medis. Sabarlah,” ujar Hye-Na sambil menggenggam tangan pria itu.
“Gamsahamnida, agasshi,” ucap pria itu terbata-bata.
“Jangan bicara dulu. Kyuhyun~a, bisa tolong aku memindahkannya ke
kamar?”
Kyuhyun mengangguk dan mengangkat tubuh pria itu ke salah satu
kamar tamu.
“Ajjushi, apa Cho Tae-Hwa yang tadi datang kesini dan meracunimu?
Tidak usah bicara, anggukkan saja kepalamu,” ujar Kyuhyun setelah
membaringkan pria itu ke atas tempat tidur.
Kyuhyun mengepalkan tangannya saat melihat Ji-Hwan mengangguk.
Nafas Hye-Na tertahan saat melihatnya dan gadis itu memilih
menaikkan selimut untuk menutupi tubuh Ji-Hwan sebelum berbalik
menghadap Kyuhyun.
“Aku akan mencarinya dan menangkapnya sekarang juga. Persetan
dengan surat penangkapan sialan itu!”
“Aku ikut.”
“Tidak,” jawab Kyuhyun tegas.
“Terserah. Aku bisa membawa mobilku sendiri. Sama saja,” ujar Hye-
Na keras kepala.
“Emosimu sedang tidak stabil, Hye-Na~ya,” sergah Kyuhyun dengan
nada putus asa.
“Memangnya kau tidak?”
Kyuhyun mengacak-acak rambutnya gusar dan menatap gadis itu
dengan raut wajah frustasi.
“Baiklah. Tapi tunggu sampai Yesung datang kesini. Dan makanlah
sesuatu, aku tidak ingin kau pingsan dan merepotkanku.”
***
Eunhyuk’s Home, Yeoju, Seoul
01.00 PM
Ji-Yoo sedang mencoret-coret kertas di depannya, menggambar
desain baru, saat tiba-tiba HP-nya bergetar, menunjukkan adanya
panggilan masuk. Gadis itu langsung mengangkatnya tanpa melihat ID
si penelepon.
“Yeoboseyo?”
“Ji-Yoo~ya….”
Gadis itu terlonjak kaget dan nyaris menjatuhkan HP-nya ke lantai
saat mendengar suara bariton itu.
“Cha… Changmin ssi….”
“Changmin ssi? Jadi sekarang nama panggilanku juga sudah berubah?”
“Anieyo… oppa,” jawab gadis itu susah payah.
“Kau masih ingat tugasmu kan, Ji-Yoo~ya? Aku ingin kau menemuiku
sekarang dan membawa disk berisi salinan desain mobil itu ke
kantorku. Kau mengerti? Aku akan menunggumu.”
Sambungan telepon itu terputus dan Ji-Yoo terpaku di tempatnya
seolah rohnya baru saja melayang keluar bersamaan dengan matinya
telepon itu. Gadis itu tanpa sadar mencengkeram kertas desainnya
sampai remuk. Raut wajahnya tampak memucat ketakutan. Akhirnya
saat ini tiba juga. Dia bahkan berusaha melupakannya dan berharap
bahwa semuanya sudah berakhir dan dia bisa memulai awal yang baru
dengan Eunhyuk. Tapi sepertinya itu hanya mimpi. Shim Changmin
tidak akan melepaskannya begitu saja.
***
Cafetaria, Five States Building
01.00 PM

“Mianhaeyo, onnie, aku membuatmu repot dengan menyuruhmu jauh-


jauh datang kesini,” ujar Jin-Ah tidak enak.
“Gwaenchana,” jawab Ah-Zin singkat sambil memaksakan senyum di
wajahnya.
Jin-Ah menarik nafas gugup dan mengaduk-aduk cangkir teh di
depannya tanpa berniat meminumnya sama sekali.
“Aku tahu kau berpikiran buruk tentangku karena aku dekat dengan
Wookie oppa. Tapi onnie, kami benar-benar sudah tidak punya
hubungan apa-apa lagi. Wookie oppa sudah menikah denganmu dan
aku… aku juga sudah menemukan seseorang yang kusukai. Dari awal,
sepertinya kami memang seharusnya bersahabat saja. Perasaan yang
kami miliki hanya sebatas sahabat dan mungkin kakak-adik. Aku
menyadarinya beberapa bulan setelah kami berhubungan. Tidak ada
perasaan meledak-ledak seperti yang seharusnya kau rasakan saat
bersama orang yang kau sukai. Rasanya biasa saja. Seperti sedang
pergi bersama kakak laki-lakimu.”
“Onnie~ya, aku tahu kau mungkin marah karena Wookie oppa selalu
menjemputku setiap malam. Dia hanya menjalankan tugasnya sebagai
seorang kakak yang baik. Dari dulu dia selalu saja begitu.
Menganggapku masih kecil dan harus dijaga. Jadi kau tidak perlu
khwatir dan curiga bahwa dia masih memiliki perasaan padaku, karena
dari awal… memang tidak ada perasaan sama sekali.”
Jin-Ah mendongak dan tersenyum.
“Aku ingat saat pertama kali dia bertemu denganmu. Tanpa sadar dia
datang menemuiku dan mengatakan bahwa dia baru saja bertemu
gadis yang sangat cantik dan menarik perhatiannya. Saat itu
sepertinya dia lupa bahwa status kami bukan sahabat tapi kekasih.
Mungkin karena dia benar-benar senang saat bertemu denganmu. Lalu
aku berpikir sudah saatnya kami menghentikan hubungan aneh itu,
jadi aku mengambil inisiatif duluan. Dan akhirnya aku bekerja disini,
berusaha menarik perhatian pria yang aku sukai dan dia menikah
denganmu. Wookie oppa tidak pernah memberitahumu tentang hal ini
kan, onnie?”
Ah-Zin mendesah dan menggeleng. Gadis itu memalingkan wajahnya
ke jendela kaca di samping tempat duduk mereka, membiarkan
matanya memandang entah apa yang ada di luar sana.
“Tidak. Dia tidak pernah mengatakan itu padaku.” Dia tertawa kecil,
terdengar pahit dan putus asa. “Kau tahu? Dia bahkan tidak pernah
mengatakan bahwa dia mencintaiku.”
***

Caelum Building
01.10 PM
“Nuna~ya?” ujar Eunhyuk saat dia sudah menekan tombol terima
di communicator-nya. “Kenapa kau menelepon siang-siang begini?”
“Hyuk~a, tadi aku tidak sengaja mendengar Ji-Yoo menerima telepon
dari Changmin. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan tapi raut
wajah Ji-Yoo tampak sangat ketakutan. Dia tadi masuk ke dalam
ruangan kerjamu, tapi aku tidak tahu apa yang dia lakukan disana. Aku
rasa kau harus mengetahui hal ini.”
Eunhyuk mencengkeram communicator-nya dan menggertakkan
giginya marah.
“Baik. Aku mengerti.”
“Jangan berpikiran buruk dulu dengan gadis itu. Dia hanya dijebak.
Selesaikan baik-baik, oke?”
“Aku tahu apa yang harus aku lakukan, nuna,” jawab Eunhyuk dingin.
Dia melemparkancommunicator-nya itu ke atas meja dan
menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Tentu saja dia tahu apa yang akan dilakukannya. Gadis itu. Choi Ji-
Yoo. Ini saatnya mengakhiri semuanya. Dan itu tergantung pada apa
yang telah dilakukan gadis itu.
***
Shim Enterprise Building
02.00 PM

“Kau datang,” ucap Changmin datar saat melihat Ji-Yoo melangkah


memasuki ruangannya. Mata Changmin menelusuri tubuh gadis itu dari
atas sampai bawah, memastikan bahwa keadaan gadis itu baik-baik
saja selama tidak bersamanya. Tapi pria itu sedikit kecewa saat
melihat wajah Ji-Yoo yang pucat. Apa gadis itu sebegitu
ketakutannya saat harus menemuinya?
“Kau membawa apa yang aku minta?”
Ji-Yoo bergerak gelisah dan mencengkeram tali tasnya.
“Aku….”
***
Eunhyuk menghentikan mobilnya di depan gedung kantor Changmin
dan melemparkan kuncinya ke arah penjaga pintu. Dia berlari masuk
dan langsung naik lift ke lantai 10. Dia tidak tahu apa yang akan
didapatkannya disana dan tidak berminat untuk menebak-nebak.
Pria itu keluar dari dalam lift yang berdenting terbuka, langsung
berada di ruangan besar yang terhubung ke sebuah pintu, satu-
satunya ruangan di lantai itu. Seorang wanita yang sepertinya
sekretaris Changmin menyambutnya ramah tapi Eunhyuk mengabaikan
wanita itu begitu saja dan bergegas menghampiri pintu.
“Maaf Tuan, tapi Tuan Changmin sedang ada tamu,” cegah wanita itu
dan lagi-lagi Eunhyuk tidak memedulikannya. Pria itu membuka pintu
tersebut dan menyerbu masuk ke dalam. Pemandangan di dalam
ruangan itu membuat Eunhyuk mengatupkan rahangnya dengan mata
menyipit marah.
“Lepaskan tanganmu,” ujar Eunhyuk tajam dengan mata tertuju pada
tangan Changmin yang sedang mencengkeram pergelangan tangan Ji-
Yoo.
Mata Changmin tampak berkilat saat melihat kedatangan Eunhyuk
dan mulut Ji-Yoo terbuka, terkejut dengan kemunculan tidak terduga
pria itu di tempat ini.
“Lee Hyuk-Jae ssi,” ucap Changmin dengan nada penuh penekanan. Dia
memberi tanda kepada sekretarisnya untuk meninggalkan mereka
yang langsung dipatuhi oleh wanita itu. “Aku rasa kau tidak punya hak
untuk menyuruhku melepaskan gadis ini. Dia masih tunanganku.”
“Sejak malam itu, kau tidak berhak lagi atas Ji-Yoo. Dia sekarang
milikku,” ujar Eunhyuk, menunjukkan keposesifannya.
“Benarkah? Aku rasa… Nona Ji-Yoo perlu menjelaskan sesuatu disini.
Bukan begitu, Ji-Yoo ssi?” ujar Changmin sambil memperkuat
cengkeramannya dengan kentara, membuat sebuah jeritan lolos dari
mulut gadis itu.
“Jangan menyentuhnya seperti itu! Brengsek kau!” teriak Eunhyuk
hilang kesabaran dan meringsek maju, melayangkan tinjunya ke wajah
Changmin. Pria itu terdorong ke belakang, dengan refleks melepaskan
Ji-Yoo.
“Kuperingatkan kau, jangan ganggu gadis ini lagi atau aku benar-benar
akan membuat perhitungan denganmu. Kau tahu apa saja yang bisa
aku lakukan kan, Shim Changmin ssi? Aku tidak pernah peduli apakah
yang aku lakukan legal atau tidak, jadi lebih baik kau berhati-hati,”
ancam Eunhyuk sambil menarik Ji-Yoo keluar dari ruangan itu.
Pria itu tidak berbicara apa-apa, bahkan tidak menoleh untuk
menatap Ji-Yoo sedikitpun, membuat gadis itu ketakutan bahwa hal
ini sudah menghancurkan semuanya, termasuk kepercayaan pria itu
padanya.
“Eunhyuk oppa,” ujar Ji-Yoo, memberanikan dirinya untuk berbicara
setelah mereka sampai di luar gedung.
Eunhyuk tidak merespons panggilannya sama sekali dan malah
membukakan pintu taksi yang baru saja menurunkan penumpang di
depan gedung itu untuk Ji-Yoo. Dia mendorong tubuh gadis itu masuk
dan membanting pintu sampai menutup.
“Oppa….”
“Pulanglah,” ucap Eunhyuk datar. “Aku akan bicara denganmu nanti.”
***
Kyuhyun’s Car
02.00 PM
“Kita akan mencarinya kemana?” tanya Hye-Na saat mobil Kyuhyun
sudah melaju cepat di jalanan kota Seoul. 190 km/jam dan jalanan
cukup ramai sekarang.
“Kangwon,” jawab Kyuhyun singkat, berhasil dengan sukses memotong
tiga mobil sekaligus dengan sebuah tukikan tajam.
“Darimana kau tahu?”
“Kau tidak mengenal sistem GPS?”
Hye-Na mendengus. Sikap menyebalkan pria itu sudah kembali lagi.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Kyuhyun tiba-tiba, membuat gadis itu
menoleh kaget.
“Kau baik-baik saja?” ulang Kyuhyun lagi.
“Tentu saja tidak,” sahut Hye-Na kesal.
Kyuhyun tersenyum dan mengangguk. “Berarti kau memang tidak apa-
apa. Kau berbicara seperti biasa, bukan gadis yang berpura-pura
baik-baik saja dan bersikap sok kuat.”
“Aku tidak sok kuat!” sergah Hye-Na dengan wajah cemberut.
“Tidak,” ucap Kyuhyun menyetujui.
“Kau mau mencari masalah denganku?”
“Seuk-Gil ajjushi… aku juga sangat menyukainya,” potong Kyuhyun
dengan pandangan sedikit menerawang, mengingat masa lalunya. “Saat
aku masih sekolah dulu dia sering datang dan membantuku
mengerjakan tugas. Dia sering menceritakan hal-hal lucu padaku dan
menghiburku jika aku sedang kesal karena ayahku jarang pulang. Dia
seperti pengganti ayah bagiku. Aku sama sekali tidak heran kenapa
kau bisa berduka begitu lama setelah kepergiannya. Karena aku juga
sama. Dan di kantor tadi, aku juga sempat mengeluarkan pistolku dan
berniat menembak kepala pria itu, tapi kau malah mendahuluiku. Ah,
seharusnya aku berterima kasih, kan? Kau mencegahku melakukan hal
yang salah.”
Kyuhyun mengulurkan tangannya dan mengacak-acak rambut Hye-Na
yang langsung berteriak memprotes, menjauhkan kepalanya dari
jangkauan tangan pria itu. Entah kenapa Kyuhyun sangat suka
melakukan hal itu. Jenis kegiatan favoritnya akhir-akhir ini.
“Jangan pernah menangis di depanku lagi. Arasseo? Kau kelihatan
jelek sekali, tahu tidak? Jangan membuatku menarik kata-kataku
waktu itu lagi.”
Hye-Na menggembungkan pipinya dan membuang pandangan ke
jendela. Tentu saja dia masih ingat dengan jelas kata-kata pria itu
waktu itu. Kata-kata yang membuat Hye-Na tersadar bahwa dia
sudah jatuh cinta pada pria itu.
“Dengan semua penilaian itu, kau terlihat cantik di mataku.”
Diam-diam gadis itu tersenyum, berjanji dalam hati bahwa dia akan
berusaha untuk tidak menangis lagi. Karena pendapat pria itu sangat
penting baginya. Lebih penting daripada apapun saat ini.
“Dapat,” ujar Kyuhyun tiba-tiba dengan senyum lebar. Jalanan yang
mereka lalui sudah tidak terlalu ramai. Hanya ada satu-dua mobil yang
lewat. Dan… tepat di depan mereka ada mobil sedan hitam yang tadi
Hye-Na lihat keluar dari rumah Kyuhyun.
Hye-Na menarik keluar pistol dari tasnya dan mengokangnya,
mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil, bersiap membidik.
“Aku dengar sopirnya adalah seorang pembalap, jadi mereka bisa
kabur dengan cepat,” ujar Hye-Na.
“Kau sudah banyak menyelidikinya, ya?”
“Tugasku. Jadi menurutmu, apa yang harus aku tembak?”
“Tanganmu sudah tidak sakit lagi, kan?” tanya Kyuhyun memastikan.
“Tidak sama sekali,” sergah Hye-Na tak sabar.
“Aku berencana menembak tangki bensinnya,” jawab Kyuhyun santai.
“Dan membuat tersangka kita mati begitu saja? Kau tidak sebaik itu,
kan?” dengus Hye-Na.
“Tentu saja tidak. Tembak saja ban mobilnya, buat mereka terpaksa
berhenti.”
Hye-Na mengedikkan bahunya dan langsung menembak, tidak lebih
dari tiga detik untuk membuat kedua ban kanan mobil itu kempes.
Kyuhyun bersiul dan tertawa kecil.
“Lumayan.”
“Seperti kau bisa saja,” ejek Hye-Na. Tapi melihat ekspresi pria itu,
gadis itu langsung tahu bahwa pria itu kemungkinan besar bisa
melakukan lebih baik darinya.
Kyuhyun menepikan mobilnya dan dengan cepat turun. Tangan
kanannya memegang pistol yang entah sejak kapan dikeluarkannya.
Hye-Na mengikuti pria itu dari belakang, juga dengan pistol yang
sudah siap di tangan.
Pintu mobil sedan hitam itu terbuka dan seorang pria berusia sekitar
50-an keluar dari dalamnya. Hye-Na tidak pernah menyukai wajah
pria itu sejak melihat fotonya pertama kali. Terlihat licik dan penuh
tipu daya.
“Kyuhyun~a, ada apa ini? Kenapa kau mengacungkan pistolmu seperti
itu padaku?” tanya pria itu dengan wajah polos, berpura-pura tidak
tahu apa-apa.
“Sudahlah Paman, apa kau tidak capek berakting terus di depanku?
Aku sudah tahu semua kebusukanmu. Kami sudah mendengar
semuanya dari sahabat baikmu, Shim Jong-Hyuk.”
Wajah pria tua itu langsung berubah 180 derajat mendengar ucapan
Kyuhyun.
“Pria itu? Tidak mungkin dia mengaku pada kalian! Apa yang sudah
kalian lakukan padanya?” teriak pria itu panik.
“Salah satu keuntungan menjadikan Zhoumi orang kepercayaanku dan
menyuruhnya bekerja di rumah, melaporkan semua hasil penemuannya
hanya padaku. Bahkan tidak ada satu anggota SRO pun yang tahu apa
yang dikerjakannya, termasuk kau. Jadi kau juga tidak tahu bahwa
dia sudah menemukan serum yang bisa membuat seseorang
mengungkapkan rahasia terbesarnya sekalipun.”
“A… apa?”
“Ikut dengan baik-baik atau aku terpaksa harus menembakmu,” ujar
Kyuhyun memperingatkan.
Sekilas Hye-Na melihat Tae-Hwa menggerakkan tangannya di
belakang punggung sebelum sebuah tembakan meletus sedetik
kemudian. Dengan refleks Hye-Na menunduk, merasakan desingan
peluru melewati tempat dimana kepalanya berada beberapa detik
yang lalu. Sial, kenapa dia bisa sampai tidak tahu bahwa sopir
brengsek itu juga bisa menembak?
Hye-Na memiringkan tubuhnya, membidik dengan tepat sebelum
menarik pelatuk pistolnya dan menembak mati sopir itu. Tae-Hwa
tampak panik dan berusaha kabur, tapi Kyuhyun langsung menembak
kakinya, membuat pria itu tersungkur di tanah. Tapi bukan berarti
pria itu menyerah begitu saja. Dia mengeluarkan pistol dari dalam
sakunya dan balas menembak, membuat Hye-Na menarik pelatuknya
sekali lagi, menembak tangan pria itu untuk menjatuhkan pistolnya.
“Membusuk saja kau di penjara. Paman,” ucap Kyuhyun dan tanpa
belas kasihan menendang wajah bekas pamannya itu sampai pria itu
terkapar pingsan.
Kyuhyun berbalik dan melangkah mendekati mayat sopir pamannya
itu, mengangkat pistolnya, tampak menimbang-nimbang apakah dia
harus menembak pria itu lagi atau tidak.
“Yak, dia sudah mati,” ujar Hye-Na memperingatkan.
“Dia berusaha membunuhmu,” kata Kyuhyun dengan mulut terkatup
marah. “Kita buang saja mayatnya ke jurang.”
“Kyu!”
“Baiklah, baiklah,” ucap Kyuhyun menyerah sambil mengangkat
tangannya pasrah. Pria itu berjalan ke arah Hye-Na dan berhenti
tepat di depan gadis itu.
“Kau puas?” tanya Kyuhyun sambil mengedikkan dagunya ke arah
tubuh pamannya yang sedang pingsan itu.
“Tidak sedikitpun.”
Pria itu tersenyum dan mengedikkan bahunya santai.
“Aku sudah bisa menebaknya.”
***
A Park, near Shim Enterprise Building
02.30

“Mau apa kau memanggilku kesini?” tanya Changmin dingin sambil


menjatuhkan tubuhnya di kursi di samping Eunhyuk. Taman itu kosong
karena kawasan itu memang jarang dilewati. “Tempat yang bagus. Mau
mengajakku berkelahi lagi?”
“Tinggalkan Ji-Yoo,” tandas Eunhyuk tanpa basa-basi.
“Apa untungnya bagiku?”
“Kau tidak mencintainya.”
“Tentu saja aku mencintainya,” sergah Changmin marah. “Aku tidak
sembarangan memilih seorang gadis untuk dijadikan tunanganku.”
“Jadi itu yang kau maksud dengan mencintai? Menyuruh gadismu
melakukan pencurian hanya untuk perusahaanmu? Kau bahkan tidak
pernah membawanya ke depan publik.”
“Aku melindunginya dari ibuku. Menurutmu apalagi yang bisa aku
lakukan?”
“Tapi bukan berarti kau bisa menyuruhnya melakukan kejahatan!”
“Perusahaanku hampir bangkrut!”
“Sial!” umpat Eunhyuk sambil mencengkeram kerah kemeja Changmin,
menarik pria itu sampai berdiri dan kemudian melayangkan tinjunya
lagi.
“Bisakah kau mengatakan sesuatu yang masuk akal dan tidak
membuatku ingin memukulmu?”
“Tidak. Karena semua alasan yang aku kemukakan tetap akan
membuatmu memukulku lagi.”
Eunhyuk berdiri dengan nafas yang memburu. Tangan pria itu masih
terkepal, tapi dia berusaha menahan dirinya untuk tidak memukul lagi.
“Tidak bisakah kau membiarkannya bahagia dengan melepaskannya?
Apa kau tidak melihat sorot mata ketakutannya setiap berada di
dekatmu?”
“Aku tahu,” jawab Changmin tanpa berusaha membela dirinya.
Tubuhnya masih terkapar di tanah dan tidak menunjukkan tanda-
tanda dia akan berdiri dan membalas Eunhyuk. “Kau pikir aku tidak
tahu? Aku menahannya hanya karena keegoisanku. Aku mencintainya.
Jadi kenapa dia juga tidak bisa melakukan hal yang sama
terhadapku?” Pria itu tertawa sesaat dan menolehkan wajahnya ke
samping, meludahkan darah yang mengalir di sudut bibirnya.
“Lee Hyuk-Jae ssi, apa kau pikir dia mencintaimu? Apa kau tidak
bertanya apa yang dia lakukan tadi di kantorku? Apa kau tidak bisa
menebak apakah dia memberikanku salinan desain produk terbaru
perusahaanmu atau tidak?”
Eunhyuk melayangkan tinjunya lagi dan kali ini dia duduk di atas tubuh
Changmin, menghajar pria itu habis-habisan.
“Lalu kenapa kalau dia melakukan itu, hah? Kau berpikir aku akan
meninggalkannya hanya karena itu? Aku sudah memperingatkan diriku
sendiri dari awal bahwa bisa saja dia mengkhianatiku dan memberikan
desain itu padamu. Lalu kenapa? Apa itu masalah? Aku bisa membuang
banyak hal penting untuk hal yang paling penting. Desain itu,
perusahaanku, apapun. Dia jauh lebih penting daripada semua itu!”
Changmin mendorong tubuh Eunhyuk dan balas memukuli pria itu.
Mereka saling berguling di tanah dan mengulurkan tangan satu sama
lain, berusaha meninju wajah lawan masing-masing.
“Brengsek! Berhentilah bersikap seolah kau adalah pria paling
pengertian sedunia! Kau membuatku muak, kau tahu?!”
Eunhyuk meludah dan menatap Changmin dengan pandangan
menantang.
“Lalu kenapa? Kau marah karena tidak bisa melakukan hal yang sama?”
“Kau itu hanya pria bajingan yang selalu menyakiti hati wanita, jadi
bagaimana kau bisa berpikir untuk membahagiakannya? Aku tidak mau
Ji-Yoo-ku menjadi salah satu dari puluhan wanita yang sudah kau
campakkan!”
“Aku akan menikahinya!”
Tinju Changmin yang sudah melayang di udara terhenti. Pria itu
mendorong tubuh Eunhyuk menjauh dan mengacak-acak rambutnya
gusar. Sesaat kemudian dia menjatuhkan tubuhnya sampai berbaring
di atas tanah di samping Eunhyuk, menatap langit di atasnya.
“Sialan kau! Kenapa kau bisa selalu lebih baik dariku, hah?” ujar
Changmin dengan nada lemah. Pria itu menghirup nafas dalam-dalam
kemudian menghembuskannya dengan kasar.
“Tadi dia datang ke kantorku dengan wajah pucat,” kata Changmin
dengan pandangan menerawang. “Dia bilang dia tidak bisa melakukan
hal sejahat itu padamu dan… untuk pertama kalinya dia melanggar
perintahku. Gadis itu… Ji-Yoo-ku… dengan beraninya bilang bahwa
ada pria yang sudah menjaganya dengan baik selama ini. Bahwa dia
memintaku melepaskannya untuk memulai awal yang baru dengan pria
itu. Pria yang dengan putus asa mengajaknya menikah, tapi gadis itu
merasa sulit mengiyakan karena dia masih terikat denganku. Lalu
menurutmu apa yang harus kukatakan dalam kondisi seperti itu?
Bersikeras untuk tetap menahannya di sampingku padahal jelas-jelas
dia bilang bahwa dia tertarik dengan pria lain? Menjijikkan.”
Eunhyuk melap darah di sudut bibirnya dan melayangkan sebuah
tinjuan ringan ke bahu Changmin.
“Jadi aku memang lebih baik darimu, kan? Karena gadis itu lebih
memilih bersamaku.”
“Jaga dia baik-baik. Untuk dirimu sendiri. Gadis itu sudah menderita
banyak. Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau memperlakukannya
seperti wanita-wanita lain yang biasa kau kencani. Aku sendiri yang
akan membuat perhitungan denganmu, kau mengerti?”
“Terpikir untuk melakukan hal buruk padanya saja tidak.”
Changmin menghela nafas dan tersenyum.
“Gadis itu… Choi Ji-Yoo… istimewa sekali, kan?”
“Aku tahu. Tidak usah memujinya di depanku atau aku akan
menghajarmu lagi.”
“Cih, bagaimana mungkin aku menyerahkannya pada pria
bertemperamen sepertimu?” dengus Changmin.
“Perusahaanmu,” ujar Eunhyuk tiba-tiba. “Bekerjasamalah dengan
kami seperti yang dilakukan perusahaan lainnya.”
“Dan menjatuhkan harga diriku?”
“Cih, kau menjengkelkan!” umpat Eunhyuk sambil bangkit berdiri dan
membersihkan celananya dari noda tanah.
“Eunhyuk~a,” panggil Changmin, membuat pria itu menoleh lagi dengan
tatapan malas. “Katakan pada gadis itu, sekarang… dia bukan Ji-Yoo-
ku lagi. Tapi Ji-Yoo-mu.”
***
Donghae’s Home, Gangnam, Seoul
07.00 PM

“Hai, bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Donghae sambil merangkul


tubuh Ga-Eul yang sedang duduk di atas sofa dari belakang, kemudian
melayangkan sebuah kecupan ringan ke pipi gadis itu.
Ga-Eul tersentak dan menoleh dengan cepat.
“Oppa, kau membuatku kaget!” seru gadis itu sambil menyentuh
pipinya yang tadi dicium Donghae. Semburat merah lagi-lagi muncul di
wajah cantiknya.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” ulang Donghae lagi, kali ini sambil
tersenyum.
“Eomma tadi membantuku berlatih berjalan. Sepertinya
kemampuanku sudah lumayan.”
“Menurutmu itu kabar baik atau buruk?”
Ga-Eul mengerutkan keningnya, menatap pria itu bingung.
“Aku senang kalau kau bisa berjalan, tapi… itu berarti kau juga tidak
membutuhkanku lagi.”
Mulut Ga-Eul sedikit ternganga mendengar ucapan pria itu.
Sebegitunyakah pria itu ingin menjadi orang tempatnya bergantung?
Gadis itu baru akan membuka mulutnya untuk bicara, tapi langsung
dipotong Donghae dengan cepat.
“Aku beli es krim dan meminjam film. Kita kencan malam ini. Eo?”
***
“Ayah, pulanglah. Ibu tak mengenali kami. Dia tidak
mengenalimu. Dia tidak akan pernah mengerti. Ini gila. Kau mau tetap
tinggal disini?”
“Kami akan bantu. Kami bisa menjenguknya bergantian.”
“Dengar. Dia kekasihku. Aku tak akan meninggalkannya.
Tempat ini adalah rumahku sekarang. Ibu kalian adalah rumahku.”

“Apa film ini akan berakhir dalam sad ending?” tanya Ga-Eul sambil
mengusap air matanya dengan tisu.
Donghae menoleh dan menatap gadis itu lekat-lekat. Film itu, The
Notebook, adalah film kuno kesukaan mereka sepanjang masa. Entah
sudah berapa kali mereka menontonnya bersama dan selalu berakhir
dengan protes dari Ga-Eul. Gadis itu akan menghabiskan sekotak tisu
untuk menghapus air matanya, mengkritik bahwa seharusnya film
sebagus itu berakhir dengan bahagia.
“Kau ingat?” tanya Donghae pelan.
“Kita sudah pernah menontonnya? Aku… tidak ingat. Tapi aku merasa
kalau wanita itu akan mati. Mereka berdua akan mati. Bersama.”
“Biasanya kau akan protes.”
“Tidak juga. Kematian mereka akan menjadi bukti kalau cinta abadi
itu memang ada. Setidaknya, walaupun mereka menjalin hubungan
dengan orang lain sebelum akhirnya bersatu, sampai akhir mereka
benar-benar tetap bersama-sama. Pria itu… tidak mau beranjak
sedikitpun kan dari sisi istrinya.”
Tanpa sadar Donghae sudah mengulurkan tangannya untuk memegang
wajah gadis itu, menangkup pipi gadis itu dengan kedua telapak
tangannya.
“Kau benar-benar ingat? Itu semua adalah kalimat yang aku katakan
padamu saat kau melancarkan protes setelah film itu berakhir.”
Ga-Eul mengerjap. Kalimat tadi lolos begitu saja dari bibirnya. Seolah
dia sudah mendengarnya berulang kali. Seolah kalimat itu sudah
bertahan di otaknya begitu lama sampai dia bisa menghapalnya di luar
kepala.
“Oppa….”
Donghae dengan refleks menurunkan tangannya, seakan baru saja
tersadar dengan apa yang baru saja dilakukannya.
“Mianhae, aku tadi hanya…. Lupakan. Kita makan es krim saja. Mmm?”
Dengan salah tingkah Donghae bangkit berdiri dan pergi ke ruang
makan, mengambil es krim dari lemari pendingin. Dia merutuki apa
yang baru saja dilakukannya. Pasti gadis itu menjadi takut padanya
sekarang.
Aish, Donghae babo! Gerutunya dalam hati sambil memukul kepalanya
pelan.
Pria itu kembali ke ruang tamu dan menyerahkan kotak berisi es krim
itu pada Ga-Eul yang langsung mengambilnya dengan wajah riang,
persis seperti anak kecil yang begitu bahagia bisa mendapatkan
makanan kesukaannya.
“Mashita!!!” seru gadis itu dengan senyum lebar di wajahnya.
Donghae memperhatikan setiap gerakan dan ekspresi yang
dikeluarkan oleh gadis tiu dengan teliti. Hal-hal yang sejak lima tahun
terakhir menghilang dari penglihatannya. Hal-hal yang selalu
berusaha diingatnya dengan baik, tapi semakin lama semakin kabur,
sehingga dia merasa perlu untuk menyegarkan ingatannya lagi. Hal-hal
yang membuatnya merasa bahwa dia bisa jatuh cinta pada gadis itu.
Lagi dan lagi.
Donghae tersenyum kecil saat melihat es krim itu mengotori sudut
mulut Ga-Eul, membuatnya dengan refleks mengulurkan tangannya
untuk membersihkan wajah gadis itu, langsung dengan jarinya sendiri.
Ga-Eul membulatkan matanya, terpaku melihat wajah Donghae yang
hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya sendiri. Perasaan aneh
melanda gadis itu, keinginan ganjil bahwa dia berharap Donghae
memajukan wajah dan menciumnya. Dan memang itulah yang dilakukan
pria itu sedetik kemudian.
Ciuman itu terasa ringan, tidak menuntut. Donghae hanya
menyentuhkan bibirnya saja dengan ringan ke bibir Ga-Eul, menyukai
sensasi menenangkan saat bibir mereka bertemu. Perasaan yang
masih diingatnya dengan sangat jelas sejak terakhir kali mereka
berciuman.
“Aku punya hadiah untukmu,” ujar Donghae setelah Ga-Eul
memamerkan ijazah kelulusan SMA-nya dengan bangga pada pria itu.
“Apa?” tanya Ga-Eul semangat sambil menyodorkan tangannya
ke arah Donghae, memberi tanda agar pria itu segera menyerahkan
hadiah itu padanya.
Pria itu hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa, memajukan
tubuhnya dan menutup maata Ga-Eul dengan tangan kanannya. Dan
yang dirasakan gadis itu sesaat kemudian adalah bibir Donghae yang
bergerak pelan di atas bibirnya. Ciuman pertama mereka.
Donghae melepaskan gadis itu beberapa detik kemudian
sambil tersenyum.
“Kenapa kau menutup mataku?” protes Ga-Eul kesal.
“Kau masih kecil. Anak kecil belum boleh berciuman. Tapi aku
berbaik hati karena hari ini kau lulus dengan nilai memuaskan. Nanti
kalau kau sudah besar, aku akan menciummu seperti yang kau
inginkan. Eo?”

Ga-Eul membelalakkan matanya saat memori itu menghambur masuk


ke dalam ingatannya. Memori pertama yang diingatnya dari kehidupan
masa lalunya.
“Kau tidak menutup mataku lagi,” gumam gadis itu. Nyaris tidak
terdengar.
“Kau ingat?” sahut Donghae lirih. Ibu jari pria itu mengusap pipi Ga-
Eul dengan hati-hati, merasakan tekstur lembut kulit wajah gadis itu
di tangannya. “Aku mencintaimu. Kalau hal itu… apa kau ingat?”
***
Heechul’s Home, Gangnam, Seoul
08.00 PM

“Oppa, ayo kita jalan-jalan!” ajak Min-Hyo penuh semangat sambil


menarik-narik baju Heechul, seperti anak kecil yang meminta
dibelikan permen.
“Kau ini! Berapa umurmu, hah? Kelakuanmu seperti anak TK!” bentak
Heechul dengan mata menyipit.
“Ayolah! Apa kau tidak bosan di rumah? Aku saja nyaris mati
kebosanan di tempat ini. Kita ke taman bermain, ya? Eo? Eo? Eo?”
rengek Min-Hyo.
“Ini sudah malam,” jawab Heechul singkat.
“Ah, kau payah! Ya sudah, aku pergi sendiri saja!” seru Min-Hyo
dengan wajah cemberut sambil berjalan menuju pintu keluar.
“Yak, mau kemana kau, hah?” teriak Heechul panik. “Aish, tunggu aku!
Kubunuh kau!”
***
Annual Fair (Night Market)
08.30 PM

“Haaaaah, aku benar-benar seperti pengasuh anak kecil berumur 5


tahun,” dengus Heechul sambil melirik Min-Hyo yang asyik menjilati
permen lolipopnya. “Awas saja kau kalau minta dibelikan balon.”
Min-Hyo tersenyum manis sambil mengedipkan matanya.
“Kau tidak pernah bermain-main seperti ini, kan? Bersyukurlah kau
mengenalku, jadi kau bisa merasakan pengalaman ini,” ujar gadis itu
percaya diri.
“Bermimpi saja kau!”
Min-Hyo tidak mengacuhkan kesinisan Heechul dan malah menarik
tangan pria itu ke arah bianglala besar di depan mereka.
“Ayo naik!”
“Tidak mau!” jawab Heechul cepat. Dia melirik ke sekeliling dan
menurunkan hoodie yang dipakainya saat menyadari ada beberapa
orang yang menatapnya sambil mengacung-acungkan tangan.
“Aish, seharusnya aku tidak menerima ajakanmu kesini. Kau tidak
ingat bahwa aku ini artis terkenal? Kalau mereka menyadari
keberadaanku bagaimana?” repet Heechul kesal.
“Tidak mungkin mereka berpikir bahwa ada artis terkenal yang akan
datang ke tempat seperti ini, jadi tenang saja,” ujar Min-Hyo sambil
mengibas-ngibaskan tangannya. “Lagipula oppa, penampilanmu
sekarang seperti rakyat jelata, ja….” Ucapan gadis itu terhenti dan
matanya membelalak ketakutan. Dia mencengkeram jaket Heechul
dan menundukkan kepalanya dalam-dalam, berusaha bersembunyi di
belakang tubuh tinggi pria itu.
“Waeyo?” tanya Heechul cemas saat menyadari perubahan ekspresi
gadis itu.
“Di… disana… disana… ada pengawal pribadiku. Dia melihat ke arah
kita. Aku… aku… aku rasa dia mengenaliku,” ujar Min-Hyo panik
dengan wajah sepucat hantu.
Tubuh Heechul membeku dan dengan perlahan dia memaksakan diri
untuk menoleh ke arah yang ditunjuk Min-Hyo. Benar saja, ada
seorang pria bertubuh besar yang sedang melihat ke arah mereka
berdua dan sekarang pria itu berjalan ke arah mereka dengan
tatapan curiga. Heechul merasakan tubuhnya mati rasa. Kecemasan
yang meningkat tiba-tiba membuat tubuhnya sedikit gemetar,
Tidak. Dia tidak bisa menyerahkan gadis ini begitu saja. Dia tidak
bisa membiarkan gadis ini diambil pria itu. Dia tidak bisa membiarkan
gadis ini menghilang dari pandangannya.
Tanpa sadar Heechul mencengkeram bahu Min-Hyo, menyalurkan
tatapan ketakutan yang terpancar di matanya. Heechul bisa
merasakan bahwa langkah pria itu semakin mendekat, dan satu-
satunya yang ada di pikirannya hanyalah cara yang memungkinkan
untuk membuat pria itu berbalik arah dan pergi meninggalkan mereka.
Cara yang bisa membuat gadis ini tetap bersamanya.
Dengan pikiran kalut Heechul menundukkan tubuhnya, menahan
pinggang Min-Hyo dengan tangannya, dengan cepat menarik tubuh
gadis itu mendekat dan menyatukan bibir mereka dalam satu lumatan
kasar. Dia memiringkan wajahnya agar bisa mencium Min-Hyo dengan
lebih leluasa, sedangkan gadis itu hanya bisa membatu tanpa berbuat
apa-apa, terlalu syok dengan perlakuan Heechul yang tiba-tiba.
Heechul mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia sedang berakting
sebagai pria yang sedang berkencan dengan kekasihnya, mereka
sedang dimabuk cinta dan tidak bisa menahan nafsu. Tidak peduli jika
ini tempat umum atau bukan. Tapi dia tidak bisa bertahan dengan
pikiran itu dan malah memperlembut ciumannya, menggantinya dengan
ciuman ringan tanpa desakan.
“Dia sudah pergi?” bisik Heechul serak dengan bibir yang masih tetap
menempel di bibir Min-Hyo.
Gadis itu memaksakan diri untuk menoleh ke balik punggung Heechul,
sedangkan jantungnya berdetak tak menentu di dalam dada kirinya,
memberontak ingin keluar.
“Sudah.”
Heechul melepaskan Min-Hyo dan berbalik, memastikan bahwa pria
itu tidak ada lagi di dekat mereka. Setelah yakin bahwa pria itu
sudah benar-benar pergi, Heechul menghadapkan tubuhnya ke Min-
Hyo lagi dan menatap gadis itu dengan wajah putus asa. Sulit baginya
untuk memahami apa yang sudah dilakukannya barusan. Mencium
seorang gadis bukanlah hal yang pernah dibayangkannya seumur
hidupnya. Berdiri berdekatan dengan makhluk berjenis kelamin itu
saja sudah membuatnya ketakutan setengah mati, apalagi melakukan
sentuhan seintim yang dilakukannya tadi.
Pria itu mengepalkan tangannya, merasa frustasi dengan dirinya
sendiri. Banyak pertanyaan yang membanjiri kepalanya. Kenapa dia
tidak berkeringat dingin saat menyentuh gadis itu tadi. Kenapa dia
tidak merasakan tubuhnya menggigil ketakutan saat mencium gadis
itu. Kenapa dia begitu tidak rela jika gadis itu meninggalkannya.
“Sial,” umpat pria itu pelan. “Benar-benar sial.”
***
Eunhyuk’s Home, Yeoju, Seoul
09.00 PM

Eunhyuk membuka pintu rumahnya dengan hati-hati agar tidak


menimbulkan suara. Biasanya ibunya sudah tidur pada jam ini dan
kakak perempuannya sudah mendekam di dalam kamar, jadi dia
berharap kebiasaan itu tidak berubah malam ini. Dia sedang tidak
ingin menjawab rentetan pertanyaan dan sikap perhatian yang
berlebihan terhadap luka memar di wajahnya. Dia sengaja mendekam
dulu di kantornya sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang.
Jantung pria itu mencelos saat melihat Ji-Yoo duduk di ruang tamu.
Jelas-jelas sedang menunggunya. Dia tidak siap berbicara dengan
gadis itu dalam keadaan kacau seperti ini.
“Kau pulang,” ucap gadis itu singkat tanpa berkomentar apa-apa
tentang luka yang memenuhi wajah Eunhyuk. Sesaat kemudian dia
malah menghilang di balik dapur, membiarkan Eunhyuk terpaku
sendirian di tempatnya, merasa bingung dengan kelakuan gadis itu.
Pria itu melanjutkan langkahnya ke kamar, berusaha mengabaikan
sikap aneh gadis itu padanya. Bukankah seharusnya dia yang marah?
Kenapa malah gadis itu yang mengacuhkannya?
Eunhyuk melempar jasnya sembarangan ke atas tempat tidur dan
menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa. Dia memegang luka di wajahnya
dan langsung meringis. Pria sialan itu ternyata berhasil merusak
wajahnya. Dan sepertinya memar-memar itu tidak akan hilang dalam
waktu satu minggu.
Pintu kamar Eunhyuk terbuka dan Ji-Yoo masuk sambil membawa
sebaskom air hangat dan kain lap. Lagi-lagi, tanpa berkata apa-apa,
gadis itu duduk di samping Eunhyuk dan mencelupkan kain lap yang
dibawanya ke dalam baskom, lalu meremasnya pelan sebelum
menyentuhkannya dengan hati-hati ke luka di wajah Eunhyuk,
menggigit bibirnya sendiri saat mendengar suara ringisan terlontar
dari mulut pria itu.
“Aku… bisa pergi dari rumah ini besok,” ujar gadis itu pelan sambil
tetap melakukan pekerjaannya.
Mata Eunhyuk berkilat dan menatap wajah gadis itu tajam.
“Kau merasa dirimu berkhianat lalu memutuskan untuk
meninggalkanku begitu? Kau pikir aku akan melepaskan begitu saja
orang yang sudah menginjak-injak harga diriku? Apa menurutmu aku
sebaik itu?”
“Eunhyuk ssi….”
“Eunhyuk ssi? Aku sudah berubah menjadi pria asing bagimu hanya
dalam waktu 8 jam? Semudah itu? Choi Ji-Yoo!” teriak Eunhyuk
frustasi, membuat tubuh gadis itu sedikit tersentak ke belakang.
Eunhyuk mengacak rambutnya gusar dan menjauhkan wajahnya dari
tangan gadis itu. dia menatap Ji-Yoo tajam, berusaha mengontrol
emosinya sendiri.
“Apa kau tidak tahu bahwa aku berkelahi dengannya hanya untuk
mempertahankanmu? Berusaha menjadikanmu milikku agar kau
terbebas dari cengkeramannya? Aku berusaha sekuat tenaga dan
yang kau lakukan sekarang adalah mengatakan bahwa kau mau
meninggalkanku? Sialan kau!”
“Aku sudah mengkhianatimu. Aku… mendekatimu hanya untuk mencuri
desain itu. Jadi….”
“LALU KENAPA?”teriak Eunhyuk murka. “Apa itu masalah? Jangan
bicara omong kosong bahwa kau tidak punya perasaan apa-apa padaku!
Changmin sudah memberitahuku bahwa kau menolak membantunya.
Dia memberitahuku semuanya. Jadi hentikan pikiran bodohmu untuk
pergi dari rumah ini. Kau tidak akan pergi kemana-mana.”
Ji-Yoo membuka mulutnya untuk melancarkan protes lagi, tapi dengan
cepat Eunhyuk menarik kepala gadis itu mendekat, mendorong tubuh
gadis itu sampai tersudut di sofa dan mencium gadis itu penuh
keputusasaan. Bibir gadis itu terbuka dan Eunhyuk memanfaatkannya
dengan menelusupkan lidahnya masuk, memperdalam ciuman mereka.
Tangan pria itu turun ke pinggang Ji-Yoo, menjelajahi punggung gadis
itu dari balik pakaian yang dikenakannya.
Dengan cepat Ji-Yoo tersengal kehabisan nafas dan berusaha
mendorong pria itu menjauh. Eunhyuk melepaskannya dan menatap
gadis itu dengan mata berkilat, jelas masih sangat emosi. Dia
menahan tubuhnya dengan tangannya yang ditumpangkan di sisi tubuh
Ji-Yoo agar tidak menindih gadis itu.
“Kenapa kau tidak diam saja dan berhenti membuatku emosi?” bisik
Eunhyuk pelan dan menundukkan wajahnya lagi, mengubah ciuman
kasarnya tadi menjadi lebih lembut dan pelan. Tangannya
mencengkeram lengan gadis itu, menahan dirinya sendiri untuk tidak
melakukan sesuatu yang lebih jauh.
Dia melepaskan gadis itu beberapa saat kemudian, memperhatikan
emosi yang berkelebat di mata gadis itu.
“Kau tetap bersamaku. Kau mengerti?” Cengkeraman Eunhyuk
mengendur dan tatapan matanya mulai melembut, seiring dengan nada
suaranya yang menjadi lebih rendah. “Kau harus tetap bersamaku
sampai mati. Kau mengerti, Choi Ji-Yoo ssi? Kau tidak boleh kemana-
mana. Tetap bersamaku saja. Tidak bisakah kau mengiyakanku sekali
ini saja?”
***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, Seoul
10.00 PM

Kyuhyun berjalan memasuki rumahnya dengan jas yang tersampir di


lengan, menyisakan kaus putih yang dipakainya sebagai dalaman. Dia
berhasil memaksa Hye-Na pulang untuk beristirahat dan menyuruh
Leeteuk mengantar gadis itu, sedangkan dia sendiri sibuk mengurus
masalah yang mereka timbulkan karena menangkap Tae-Hwa dengan
paksa dan meninggalkan satu jenazah di kamar mayat. Setidaknya
alasan yang diberikan Kyuhyun terdengar sangat masuk akal. Mereka
membunuh pria itu sebagai perlindungan diri. Dan luka di tubuh Tae-
Hwa? Pria itu memang pantas mendapatkannya. Bahkan luka itu masih
kurang banyak, batin Kyuhyun. Dan dia bahkan dengan beraninya
mengatakan hal itu di ruang rapat. Persetan dengan pendapat semua
orang. Pria itu sudah sepantasnya membusuk di penjara. Dan kabar
baiknya? Shim Jong-Hyuk mati kehabisan darah. Setidaknya itu bisa
mengurangi kekecewaannya karena tidak bisa membunuh Tae-Hwa
dengan tangannya sendiri.
Kyuhyun membuka pintu kamar Hye-Na dan mendapati bahwa ruangan
itu kosong. Sepertinya gadis itu dengan kers kepala melanggar
perintahnya dan memilih menjaga Ji-Hwa di kamar tamu. Orang
kepercayaannya itu memang menolak keras dibawa ke rumah sakit dan
meminta dirawat disana saja. Kyuhyun tidak bisa berbuat apa-apa
karena Hye-Na ikut mendukung keinginan pria itu, mengingat gadis itu
juga sangat membenci rumah sakit.
Pria itu berbalik dan melangkah ke kamar tamu. Dan benar saja,
gadis itu ada disana. Tertidur dengan kepala terkulai di pinggir kasur.
Tubuhnya terduduk di lantai, menunjukkan bahwa gadis itu sudah
berada dalam posisi itu untuk waktu yang lama.
Kyuhyun melangkah masuk dan mengangkat tubuh gadis itu dengan
hati-hati agar tidak terbangun, merasakan bobot ringan gadis itu
dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Kamar Kyuhyun lebih
tepatnya. Dia sedikit penasaran dengan pendapat gadis itu besok pagi
saat tahu bahwa dia terbangun di kamar Kyuhyun, bukan kamarnya
sendiri.
Pria itu membaringkan tubuh Hye-Na perlahan ke atas tempat tidur
dan menarik selimut. Gadis itu bahkan belum sempat menukar baju
yang dipakainya ke kantor tadi dengan baju rumah.
Kyuhyun menghela nafas dan mengeluarkan communicator-nya dari
dalam saku.
“Nuna~ya? Kau sudah tidur? Bisakah kau datang kesini dan
menolongku mengganti baju Hye-Na?”
***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, Seoul
07.00 AM

Hye-Na menggeliat sesaat dan membuka matanya. Sedikit terkejut


saat mendapati bahwa dia terbangun di kamar pria itu. Bukan di
kamarnya.
Gadis itu terduduk dan menyadari kemeja yang dipakainya kemarin
sudah berganti dengan baju kaus kebesaran yang panjangnya nyaris
menutupi celana jins pendek yang dipakainya. Astaga, jangan bilang
pria itu yang mengganti bajunya!
Hye-Na buru-buru berdiri, menyibakkan selimut yang menutupi
tubuhnya dan pergi ke kamarnya sendiri. Dia melirik wajahnya sekilas
di wastafel kemudian mencipratkan air ke mukanya. Setelah itu dia
membuka lemari pakaian, menarik keluar cardigan panjang berwarna
biru safir dan memakainya, memutuskan bahwa dia harus berbicara
dengan Kyuhyun tentang apa yang berhak dilakukan pria itu
kepadanya dan apa yang tidak. Walaupun mereka berdua sudah tidur
bersama, bukan berarti pria itu jadi memiliki hak penuh atas dirinya
dan bersikap sembarangan.
Gadis itu pergi ke ruang makan, berharap menemukan pria itu disana,
tapi yang didapatinya malah Ji-Hwan yang sedang menikmati sarapan
paginya, berupa sepiring sandwich dan susu segar.
“Ajjushi, kau sudah baikan?” sapa Hye-Na ramah sambil membuka
lemari pendingin, mengeluarkan sekotak susu stroberi dingin dan
meminumnya dengan cepat.
“Ye, agasshi. Gamsahamnida. Apa kau mencari Kyuhyun? Dia
sepertinya sedang jalan-jalan di taman belakang.”
Hye-Na tersenyum dan mengangguk.
“Jangan memanggilku agasshi, terlalu formal. Panggil aku Hye-Na
saja,” seru gadis itu sebelum berlari ke arah belakang rumah.
***

Hye-Na menghirup udara segar Seoul di pagi hari dan membiarkan


matanya mengagumi pemandangan indah taman belakang rumah pria
itu, berpikir tentang biaya yang dikeluarkan Kyuhyun untuk membuat
taman semenakjubkan itu. Sudah pasti uang yang dikeluarkan
mencapai 7 digit angka. Sepertinya pria satu itu memang hobi sekali
membuang-buang uang.
Hye-Na mengikuti jalan setapak yang dikelilingi pepohonan dan semak
bunga. Mengabaikan pikiran bodoh bahwa dia bisa saja tersesat di
taman besar itu dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa hanya ada satu
jalan setapak disana, jadi dia aman. Tidak ada yang perlu dicemaskan.
Gadis itu merapatkan cardigannya, menahan udara pagi yang terasa
sedikit menusuk. Dia sudah berjalan cukup jauh sampai akhirnya
menemukan Kyuhyun yang berdiri di depan sebuah telaga teratai,
sibuk berbicara di communicator-nya. Gadis itu jadi penasaran
sendiri apa yang akan terjadi jika pria itu tidak memikirkan
pekerjaan sehari saja dan hidup tanpacommunicator –nya itu.
Kyuhyun menoleh dan mengerutkan keningnya saat melihat Hye-Na.
Dia mengakhiri sambungan teleponnya, menyimpan benda itu ke dalam
saku celananya dan menatap gadis itu penasaran.
“Ada apa?”
Hye-Na menunjuk baju yang dipakainya dan menatap pria itu tajam.
“Kau yang menggantinya?”
Kyuhyun mendengus dan memasukkan tangannya ke dalam saku celana.
“Kau jauh-jauh mencariku kesini hanya untuk menanyakan itu? Tidak.
Bukan aku yang melakukannya, tapi Ah-Ra nuna. Puas?”
“Dengar ya, Tuan Cho Kyuhyun Yang Terhormat, aku minta kau tidak
besar kepala dan menganggap kau berhak melakukan apa saja
kepadaku setelah kejadian dua hari yang lalu. Aku tidak mau pindah
ke kamarmu, aku tidak mau bersikap seperti istri normal, dan aku
tidak mau kau perlakukan semaunya. Aku harap kau masih ingat
perjanjian awal kita. Aku menjadi istrimu hanya….”
“Hentikan omong kosongmu, oke?” potong Kyuhyun lugas. Tatapan
matanya terlihat kesal dan marah. “Kau pikir aku bodoh dan tidak
tahu isi otakmu, Cho Hye-Na ssi?” desis Kyuhyun sambil menarik
pinggang gadis itu mendekat, membiarkan bibir mereka menempel
dalam satu sentuhan ringan, sebelum memberikan lumatan pelan dan
mendesak, membuat Hye-Na dengan refleks berjinjit mencari
pegangan agar tidak terjatuh.
Kyuhyun memiringkan wajahnya, menggigit bibir gadis itu ringan,
mencari celah untuk masuk. Dan saat dia mendapatkannya, dia
menjelajahi rongga mulut gadis itu dengan lidahnya, memberikan lebih
banyak dari apa yang diambilnya dari gadis itu, tahu bahwa jika dia
tidak menghentikannya sekarang, dia tidak akan bisa lagi
menghentikan ciuman tersebut dan berkemungkinan besar melakukan
tindakan tidak bermoral saat ini juga. Jadi dengan penuh kendali pria
itu mendorong wajah Hye-Na, memberikan jarak beberapa inci di
antara bibir mereka.
Hye-Na merasakan nafasnya sendiri memburu, berusaha keras
menghirup oksigen sebanyak yang dia bisa. Pria sialan ini bertindak
sembarangan lagi dan dia lagi-lagi dengan bodohnya tidak bisa
melakukan apa-apa. Setiap sentuhan dari pria itu membuat otaknya
macet dan tidak bisa berpikir waras.
Kyuhyun menangkup wajah gadis itu dengan tangan kanannya, menatap
mata cokelat favoritnya itu dengan intens. Kalimat yang kemudian
meluncur dari mulutnya sama sekali tidak bisa dikendalikannya, hal
yang sering terjadi jika dia berada di dekat gadis ini. Kehilangan
kontrol diri yang biasanya selalu bisa dikendalikannya dengan sangat
baik.
“Pagi ini aku terbangun di samping seorang wanita hebat, dengan siapa
aku akan menghabiskan waktu makan siang dan seluruh sisa hidupku.
Lalu berpikir sederhana bahwa memang inilah yang benar-benar aku
inginkan terjadi setiap harinya. Menikah denganmu ternyata memang
semenyenangkan itu kan, Hye-Na~ya?”
TBC

Ff Superjunior : 2060 {8 St Round }


Kyuhyun’s Home, Yeoju, Seoul
07.00 AM

“Pagi ini aku terbangun di samping seorang wanita hebat, dengan siapa
aku akan menghabiskan waktu makan siang dan seluruh sisa hidupku.
Lalu berpikir sederhana bahwa memang inilah yang benar-benar aku
inginkan terjadi setiap harinya. Menikah denganmu ternyata memang
semenyenangkan itu kan, Hye-Na~ya?”
Hye-Na membulatkan matanya saat mendengar kalimat terus terang
pria itu. Terkadang pria itu bisa melambungkan harapannya terlalu
tinggi, tapi terkadang dia juga bersikap begitu tidak peduli, seolah
dia hanya bermain-main saja, sehingga gadis itu tidak bisa
memutuskan sisi mana dari pria itu yang harus dipercayainya? Cho
Kyuhyun yang bersikap seperti pria yang tergila-gila padanya atau
Cho Kyuhyun yang dingin, misterius, tidak peduli pada sekitar, dan
mematikan?
Kyuhyun tersenyum singkat dan mengacak-acak rambut gadis itu
sekilas.
“Mandilah. Aku akan mengantarmu ke kantor,” ujar pria itu sambil
melangkah meninggalkan Hye-Na. Gadis itu sedikit tersentak dan
bergegas mengikuti Kyuhyun. Dia tidak mau tersesat di tempat ini.
Setelah ciuman yang membuat kepalanya terasa pusing itu, dia tidak
yakin bisa menemukan jalan pulang dengan benar.

***

Eunhyuk’s Home, Yeoju, Seoul


07.00 AM
Ji-Yoo menggeliat sedikit dalam tidurnya, sepenuhnya terjaga saat
merasakan bahwa tubuhnya berada dalam dekapan seseorang dan
anehnya dia merasa nyaman. Terlalu nyaman.
“Astaga,” pekik gadis itu saat mendapati bahwa wajah Eunhyuk-lah
yang berada di sampingnya. Dan dia sedang berada dalam pelukan pria
itu, di atas tempat tidur pria itu, di pagi hari, yang menyiratkan
sesuatu yang tidak bermoral telah terjadi. Tapi seingatnya….
“Kita tidak melakukan apa-apa. Tenanglah, kau ini panik sekali,” ejek
Eunhyuk dengan seringai kecil di wajah tampannya. “Yah, walaupun
aku ingin sekali melakukannya, tapi mengingat aku ini pria
berpendidikan dan memiliki moral yang cukup bisa
dipertanggungjawabkan, aku rasa aku bisa sedikit mengendalikan diri
lagi selama beberapa hari ke depan. Jadi sebaiknya kau segera
mendapatkan gaun yang pantas untuk kau kenakan di altar nanti. Dan
aku tidak mau dengar ambisi aneh bahwa kau ingin menjahit gaun
pengantinmu sendiri. Tidak. Tidak peduli bahwa kau adalah perancang
gaun pengantin yang terkenal. Aku tidak punya kesabaran semacam
itu. Batas waktumu satu minggu. Lewat dari itu… jangan salahkan aku
jika aku membuatmu hamil sebelum waktunya.”
“Kau melantur, Tuan Lee. Ini masih pagi, kau pasti hanya setengah
sadar.”
“Aku serius, Yoo~ya. Kenapa kau tidak pernah mempercayaiku?” rajuk
Eunhyuk dengan wajah yang sedikit cemberut. Pria itu bahkan bisa
bersikap kekanakan kalau dia mau. Hanya jika dia berhadapan dengan
gadis ini.
“Jadi beritahu aku, aku wanita keberapa yang kau ajak ke tempat
tidurmu, hmm?”
“Aaaah, itu masalahnya?” Eunhyuk terkekeh geli dan berguling,
dengan cepat memosisikan tubuhnya di atas tubuh gadis itu, membuat
nafas Ji-Yoo sedikit tercekat.
“Kau wanita pertama dalam segala hal. Kau pikir aku sembarangan
mengajak wanita ke atas tempat tidurku? Jawabannya tidak. Kau
wanita pertama yang aku ajak ke rumahku, menemuimu ibuku,
menemui nunaku, dan mungkin secepatnya menemui ayahku jika dia
sudah pulang dari perjalanan bisnisnya ke Swiss. Kau wanita pertama
yang kuajak ke kamarku, wanita pertama yang kuizinkan tidur di atas
tempat tidurku, wanita pertama yang kupeluk, wanita pertama yang
kubiarkan melihatku di pagi hari saat bangun tidur, wanita pertama
yang aku inginkan menjadi istriku dan… kau juga wanita pertama yang
kucium, Nona Choi. Jadi tidak ada wanita lain yang perlu kau
cemburui.”
Penglihatan Ji-Yoo sedikit kabur saat Eunhyuk menundukkan
wajahnya dan menyapukan kecupan ringan ke bibir gadis itu. Hanya
ciuman selamat pagi biasa, tapi membuat gadis itu kehilangan
fokusnya.
“Kau hanya mau menikahiku cepat-cepat agar bisa segera
meniduriku?” tanya Ji-Yoo sarkastis.
“Tidak juga. Aku hanya ingin melakukan hal ini lagi sesegera mungkin.
Karena ternyata rasanya benar-benar menyenangkan.”
“Melakukan apa?”
“Terbangun di sampingmu. Mendapati kau ada di pelukanku setiap
pagi. Dan… memberitahumu betapa menakjubkannya bisa
menghabiskan hidup bersamamu.”
***
A Park, near Shim Enterprise Building
07.30 A.M

Changmin membuka matanya perlahan saat cahaya matahari yang


terasa menyilaukan menyinari kaca depan mobilnya. Pria itu tidak
pulang semalaman, tetap bertahan di tempat terakhir kali dia
berkelahi dengan Eunhyuk kemarin siang, masih dengan luka babak
belur di wajahnya dan darah yang sudah mengering di sudut bibirnya.
Penampilan pria itu tidak pernah terlihat lebih kacau daripada saat
itu, tapi entah kenapa dia merasa seolah seluruh beban telah
terangkat dari tubuhnya saat menyadari bahwa hidup gadisnya akan
baik-baik saja. Bahwa dia telah menyerahkan gadisnya ke tangan yang
tepat. Dan dia hanya ingin meratapi kehilangannya selama berjam-jam
sepanjang malam. Setidaknya pagi ini dia sudah merasa lebih baik,
walaupun luka-luka di tubuhnya mulai terasa nyeri dan mungkin akan
menimbulkan bekas lebam yang baru akan hilang setelah lewat
beberapa hari.
Pria itu turun dari mobilnya, tidak memedulikan rambutnya yang
tampak acak-acakan ataupun kemejanya yang tampak kusut karena
dipakai tidur semalaman. Dia mendekat ke arah air mancur yang
terletak di tengah-tengah taman, memutar keran yang terdapat di
patung wanita pembawa kendi yang mengucurkan air, dan membasuh
mukanya. Air itu terasa dingin saat menyentuh kulitnya, memberi
sensasi menyegarkan yang membuat syaraf-syarafnya mulai terjaga.
Hari ini adalah awal baru dalam hidupnya dan yang lucu adalah, dia
memulainya di sebuah taman yang menampilkan pemandangan pohon-
pohon dengan dedaunan yang sudah memerah, siap menggugurkan diri
ke tanah. Dia memulai hidupnya di musim gugur, musim yang
menandakan datangnya sebuah akhir, kematian bagi tumbuh-
tumbuhan di sekelilingnya. Tapi kemarin memang sebuah akhir, kan?
Berakhirnya penyiksaan yang dia berikan terhadap seorang gadis
bernama Choi Ji-Yoo.
Tidak. Dia tidak akan pernah melupakan gadis itu. Gadis pertama yang
ditatapnya dan membuatnya jatuh cinta. Akan ada tempat tersendiri
bagi gadis itu di hatinya, tapi dia juga akan menyediakan tempat baru,
bagi gadis lain yang mungkin akan menjadi pendamping hidupnya kelak.
Untuk kemungkinan itu, dia harus berpikir lebih dewasa. Dia akan
menjaga gadisnya dengan lebih baik lagi, dia tidak akan bersikap
egois yang pada akhirnya akan membuat gadisnya menderita. Gadis
yang akan mendampingi hidupnya kelak akan diperlakukannya dengan
sangat istimewa, seolah dia akan menggantungkan seluruh hidupnya
pada gadis itu. Tapi tidak dalam waktu dekat. Dia belum siap memulai
hubungan baru dengan terburu-buru, yang mungkin akan berakhir lagi
dalam kesengsaraan.
Changmin berjalan menuju mesin AutoChef yang terletak tak jauh
dari air mancur tadi, memilih menu sarapan paginya, sandwich dan
sebotol susu segar, lalu memasukkan kartu AMC (AutoChef Machine
Card)-nya. Dia membawanya ke salah satu kursi taman yang terletak
di bawah pohon yang daunnya sudah mengering dan duduk disana,
menyantap sarapannya sambil menikmati pemandangan orang-orang
yang sedang berlari pagi, ibu rumah tangga yang sedang mendorong
kereta bayinya, ataupun seorang ayah yang sedang mengajari anaknya
bersepeda.
Selama ini dia tidak pernah sekalipun melihat pemandangan seperti
itu. Tidak dalam lingkup kehidupannya yang hanya terbatas pada
rumah, kantor, dan rumah. Melihat itu semua membuatnya
memikirkan tentang memiliki sebuah keluarga. Keluarga lengkap yang
bahagia, dimana anggotanya saling memerhatikan satu sama lain,
saling mendengarkan pendapat dan membuat keputusan bersama.
Bukan seperti yang selama ini terjadi antara dia dengan ibunya. Dia
tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi pada anaknya kelak. Dia
tidak akan membuat anaknya tumbuh dalam keluarga seperti itu.
Changmin nyaris menyemburkan susu yang baru diminumnya saat
wajah seorang gadis mendadak muncul tepat di depan wajahnya,
dengan mata besar dan bibir yang sedang mengerucut, mempelajari
wajah pria itu.
“Mwo… mwoya?” teriak Changmin syok karena dipandangi seperti itu.
Astaga, darimana datangnya gadis ini? Apa dia terlalu asyik melamun
sampai tidak memperhatikan bahwa ada gadis gila yang tiba-tiba
muncul seperti hantu di depannya?
“Ajjushi, wajahmu jelek! Kau habis berkelahi, ya? Mau meminjam
plester lukaku?” tanya gadis itu dengan wajah polos tanpa dosa sambil
mengulurkan setumpuk plester luka yang entah sejak kapan berada di
tangannya.
Mata Changmin membelalak lebar saat mendengar ucapan gadis itu.
Ajjushi? AJJUSHI? Dia bahkan yakin seratus persen bahwa jarak
umurnya dengan gadis di depannya ini tidak mungkin lebih dari 4 atau
5 tahun.
“Ajjushi mwoya?” teriak Changmin meradang. “Aku ini baru 23 tahun
tahu!”
“Eo? Jinjja? Kau kelihatan lebih tua. Penampilanmu terlihat seperti
ayahku yang setiap hari berangkat ke kantor.”
“Tentu saja. Aku ini kan pengusaha,” dengus Changmin, berusaha
menahan tangannya agar tidak menyentil kepala gadis aneh di
depannya itu.
“Jadi, kau mau meminjam plesterku tidak? Aku punya banyak,” tawar
gadis itu lagi.
“Untuk apa kau membawa plester sebanyak itu kemana-mana?” tanya
Changmin ingin tahu.
Gadis itu dengan bangga menegakkan tubuhnya dan memamerkan
plester-plester yang memenuhi tangan dan kakinya.
“Igo, igo, igo, igo, igo, igo! (Ini)” ujarnya sambil menunjuk luka di siku,
lengan, jari, paha, betis, dan lututnya dengan senyum riang
tersungging di wajah. “Aku sering jatuh. Keseimbanganku agak buruk.
Jadi eomma menyuruhku meembawa plester kemana-mana. Lihat, ini
lukaku yang paling baru. Baru ada beberapa menit yang lalu. Aku
terjatuh disana, tidak sengaja menabrak kereta bayi bibi itu,”
tunjuknya ke arah seorang ibu-ibu paruh baya yang sedang
mendorong kereta bayinya.
“Kereta bayi itu kan besar, apa matamu buta?”
“Aku tadi sedang lari pagi, lalu… kehilangan kendali terhadap kakiku,”
ujarnya sambil cengengesan.
“Seperti anak umur lima tahun saja,” ejek Changmin. “Anak balita
bahkan tidak jatuh sesering yang kau lakukan.”
Tubuh Changmin tersentak ke belakang saat gadis itu tiba-tiba sudah
menempelkan sebuah plester di pipinya. Masalahnya adalah, semua
plester gadis itu bergambar binatang-binatang warna-warni yang
hanya cocok dipakai anak TK.
“Kau….”
“Wah, susu!” seru gadis itu sambil mengambil botol susu yang masih
dipegang Changmin dan tanpa malu sedikitpun meneguknya sampai
habis.
“Aku lupa bawa minum dan haus sekali setelah berlari,” jelasnya saat
menyadari tatapan membunuh yang dipancarkan Changmin
terhadapnya. “Anggap saja sebagai bayaran plester yang kuberikan
padamu.”
Changmin mengacak-acak rambutnya frustasi. Dosa apa dia sampai
harus bertemu makhluk aneh ini pagi-pagi di hari pertama dia
memulai hidup barunya?
“Ajjushi, namaku Park Mi-Na. Mi-Na. Dari kata miinah. Cantik. Kata
eomma-ku aku anak gadis paling cantik yang dimilikinya.”
“Tentu saja dia bilang begitu. Kau pasti anak perempuan satu-
satunya,” dengus Changmin.
“Wah, kau hebat, bisa tahu bahwa aku anak perempuan satu-satunya!”
seru gadis itu sambil bertepuk tangan.
“Berapa umurmu, hah? Kelakuanmu seperti anak umur 8 tahun.”
“Aku? 20 tahun.”
Changmin menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Bagaimana
bisa ada gadis seperti ini? Sebenarnya kalau dilihat-lihat gadis ini
lumayan. Bahkan bisa dibilang cantik, sesuai dengan namanya. Tapi
kelakuannya itu….
“Ajjushi, namamu siapa?” ulang gadis itu sambil menggoyang-
goyangkan tangannya di depan Changmin, menunggu pria itu
menyambut uluran perkenalannya.
“Shim Changmin,” ujar Changmin ketus sambil menyambut uluran
tangan itu, bermaksud melepaskannya cepat-cepat, tapi saat kulit
mereka bersentuhan, Changmin merasa seolah ada aliran listrik dalam
volt kecil tak terlihat yang mengaliri tangannya. Tangan gadis itu
terasa hangat dan senyumnya… menenangkan.
Changmin mengerutkan keningnya bingung. Apa itu tadi? Jangan
bilang kalau…. Tidak tidak, dia masih waras. Dia tidak mungkin begitu
putus asa sampai langsung tertarik pada wanita pertama yang
dilihatnya pagi ini.
“Ajjushi, kau ini baru patah hati, ya? Dari tadi kerjamu hanya
melamun saja.”
“Jangan panggil aku ajjushi! Umur kita hanya selisih 3 tahun tahu!”
“Lalu aku harus memanggilmu apa? Minnie? Changminnie? Minnie
kedengarannya lumayan.”
Astaga, dia ingin sekali mencekik leher gadis di depannya ini!
“Aaaaa, sudah jam 8,” seru gadis itu saat melihat jam di pergelangan
tangannya. Aku harus pulang. Minnie oppa, sampai jumpa!”
Entah kegilaan apa yang terjadi padanya, tapi tiba-tiba saja dia sudah
berdiri, memegang tangan gadis itu, menahannya agar tidak pergi.
Sepertinya dia benar-benar terkena sindrom… love at first sight?
Kedengarannya menjijikkan.
Oke, sepertinya dia harus mencari tahu apa yang sedang terjadi dan
itu berarti… dia harus mencari alasan untuk bisa bertemu gadis ini
lagi. Siapa tahu saja ini hanya ketertarikan sementara karena dia
baru saja mengalami patah hati akut. Tapi ada bagian lain hatinya
yang mengatakan sebaliknya. Perasaan aneh bahwa gadis ini tidak
akan lama lagi menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Changmin menarik nafas dalam sebelum akhirnya membuka mulutnya,
merasa aneh dengan dirinya sendiri.
“Kau tinggal dimana? Biar kuantar pulang.”
***
Dublin, Ireland
08.00 A.M (Ireland’s Time)

Eun-Ji menatap pemandangan danau di depannya tanpa berkedip.


Pohon-pohon yang berjejer di sepanjang danau, permukaan danau
yang memantulkan pemandangan awan putih yang menutupi langit di
atasnya, sinar matahari yang terang tapi tidak terlalu menusuk, kicau
burung di kejauhan, dan kesadarannya akan sepinya tempat itu.

Gadis itu baru saja sampai di Dublin lewat tengah malam setelah
perjalanan lebih dari 9 jam di atas pesawat. Ibu Siwon yang mengatur
semuanya. Dia yang menyediakan supir untuk menjemput Eun-Ji di
bandara, memberi tahu pelayan di rumah bahwa Eun-Ji akan datang
dan menyediakan satu kamar tamu untuk gadis itu. Semuanya tanpa
memberitahu Siwon sama sekali. Tapi yang didapati Eun-Ji saat
sampai disana adalah kenyataan bahwa Siwon tidak pulang ke rumah,
yang berarti dia harus menunda semuanya sampai nanti. Itu juga
kalau pria itu memutuskan untuk pulang.
Eun-Ji menjulurkan kakinya sampai menyentuh permukaan air,
menggerakkannya sampai menimbulkan kecipak air yang kemudian
membasahi gaun putih yang dipakainya. Berpikir tentang apa yang
akan dikatakannya pada Siwon nanti. Bagaimana reaksi pria itu nanti
saat melihatnya. Apa pria itu akan… marah?
Eun-Ji masih terlarut dalam pikirannya saat tiba-tiba saja dia
merasakan seseorang menyampirkan sebuah jas di sekeliling
tubuhnya. Gadis itu dengan cepat mendongak dan mendapati Siwon
yang dengan santainya mengambil tempat di sampingnya. Terlihat
lelah, walaupun masih tetap mempesona seperti biasa. Pria itu masih
memakai kemeja putih pas badan yang tampak sedikit kusut,
menunjukkan dengan jelas bahwa dia langsung kesini sepulang dari
kantor. Mungkin salah seorang pelayan memberitahu pria itu bahwa
dia ada disini.
“Kau tidak kedinginan? Malah berkeliaran dengan gaun tipis seperti
itu,” komentar Siwon dengan senyum khas yang tersungging di
bibirnya.
“Jadi… apa yang sedang Nona Shin Eun-Ji lakukan di halaman
belakang rumahku?”
Eun-Ji menatap pria itu bingung. Sedikit melongo lebih tepatnya.
Kenapa sikapnya bisa sesantai itu? Setelah semua kesalahan yang
sudah Eun-Ji lakukan, pria itu masih bisa bersikap seolah tidak
terjadi apa-apa?
Siwon memasukkan kakinya ke dalam air setelah menggulung celana
yang dipakainya. Tangannya memainkan dasi yang tadi dilepasnya
dengan paksa dari kerah kemejanya, mengambil nafas sesaat sebelum
akhirnya menoleh ke arah Eun-Ji dan menatap gadis itu lekat-lekat.
“Soo-Hyun bilang dia sudah menjelaskan semuanya padamu, jadi
sepertinya aku tahu alasanmu datang kesini.” Pria itu tersenyum dan
menjulurkan tangannya, menyentuh tangan Eun-Ji yang terletak di
pangkuan gadis itu, dan memainkan jemarinya dengan lembut.
“Ada banyak kesalahan yang bisa aku maafkan jika itu sudah
menyangkut tentangmu. Mungkin semua kesalahanmu, apapun, aku
akan pura-pura tidak tahu dan tidak mengambil pusing. Aku akan
memaafkanmu dengan sangat mudah.” Siwon mengambil nafas
perlahan dan menghembuskannya, tetap dengan mata yang tertuju
pada gadis itu. “Lamaranku waktu itu masih berlaku.”
Eun-Ji menggigit bibirnya dan mengangkat tangan kanannya yang
bebas, memamerkan jari manisnya yang dilingkari sebuah cincin
berlian yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Eun-Ji tersenyum
lemah, berharap Siwon mengerti apa yang dimaksudkannya hanya
dengan menatap mata gadis itu. Dia bukan gadis yang bisa
mengungkapkan perasaannya dengan gamblang dan selama ini, selalu
Siwon yang berusaha mengerti apa yang dia inginkan.
Semudah ini. Pria itu memaafkannya semudah ini tanpa meminta
penjelasan apapun. Selalu begitu.
“Kau belum mandi?”
Astaga, kalimat apa yang baru saja diucapkannya? Eun-Ji babo!
Siwon membulatkan matanya sebelum akhirnya terkekeh geli.
“Apa aku sebau itu?” guraunya.
Eun-Ji tersenyum sekilas dan bangkit berdiri. Hanya sedetik, karena
di detik berikutnya Siwon sudah menarik tangannya, membuat tubuh
gadis itu membungkuk ke arah pria itu, dengan bibir yang tepat
bersentuhan dengan bibir Siwon yang masih duduk di tempatnya
semula.
Eun-Ji membelalakkan matanya kaget. Ini… ciuman pertama mereka.
“Aku harus mendapatkan bayaran yang pantas kan setelah
memaafkanmu dengan begitu mudahnya?” ujar Siwon sambil
melepaskan cekalannya di pergelangan tangan Eun-Ji. Dia ingin
melakukannya lebih lama sebenarnya, tapi dia takut pinggang gadis itu
menjadi sakit karena posisi yang tidak menguntungkan tersebut.
Namun tentu saja, ciuman itu persis seperti apa yang pernah
diimajinasikannya selama ini. Manis.
“Kita harus secepatnya menikah, Eun-Ji ssi. Jadi kau bisa mengatur
semua kebutuhanku,” ujar Siwon sambil menggenggam tangan gadis
itu, bangkit berdiri, dan menarik gadis itu berjalan bersamanya.
“Kau pikir aku pembantumu?” seru Eun-Ji ketus.
Siwon menghentikan langkahnya dan menyusupkan tangannya ke
helaian rambut gadis itu. Dia selalu suka saat menatap wajah gadis di
depannya ini. Wajah paling familiar dalam memorinya.
“Bukan. Kau satu-satunya gadis yang kuizinkan mengendalikan
hidupku.”
***
Zhoumi’s Home, Seoul
08.00 AM
“Kau sudah bangun?” sapa Zhoumi saat Yu-Na baru turun dari
kamarnya dan melangkah memasuki ruang makan.
Gadis itu tersenyum dan duduk di depan Zhoumi, mengambil
setangkup roti bakar yang tersedia di atas meja dan memulai sarapan
paginya.
“Kyuhyun sudah mengurus semuanya, jadi kau sudah bisa merasa aman
sekarang. Tapi jaminan keselamatanmu hanya berlaku untuk di negara
ini. Aku tidak bisa mengambil resiko membiarkanmu kembali ke
Amerika. Itu negara mereka, sudah di luar kuasa Kyuhyun untuk
melindungimu.”
Yu-Na mendongakkan kepalanya dan meletakkan lagi roti yang baru
separuh dimakannya ke atas piring.
“Tapi aku tidak punya rumah disini. Aku tidak mungkin merepotkanmu
terus-menerus.”
“Kalau begitu hanya ada satu jalan keluar, kan?”
Yu-Na mengerutkan keningnya bingung, tidak mengerti dengan ucapan
pria itu.
Zhoumi tersenyum singkat, membiarkan tangannya bergerak
mengambil cangkir kopinya kemudian menyeruputnya pelan. Entah apa
alasannya dia bisa memikirkan hal ini, tapi yang dia tahu hanyalah
rasa ketertarikan tak tertahankan yang dirasakannya terhadap gadis
di hadapannya itu. Mungkin karena gadis itu adalah gadis pertama
yang bisa dekat dengannya. Entahlah, dia juga tidak terlalu ambil
pusing. Dia bahkan nyaris tidak tahu apa-apa tentang gadis ini, tapi…
Zhoumi merasa sangat menginginkannya. Gadis bernama Kwon Yu-Na
itu. Dia menginginkannya.
“Jalan keluar apa?”
“Kau jadi istriku saja. Dengan begitu… kau bisa merepotkanku seumur
hidupmu.”
***
STA Building
09.30 AM

“Tidak, kau tunggu disini.”


Hye-Na langsung melotot ke arah Kyuhyun dengan tatapan yang jelas-
jelas tidak terima dengan perintah pria itu.
“Aku akan memberitahumu apa saja yang dikatakannya, tapi aku tidak
akan membiarkanmu masuk ke dalam, terbawa emosi lagi, dan
menembak pria itu. Kau mengerti?”
“Kyuhyun benar, Hye-Na~ya. Pria itu mungkin hanya akan
menceritakan kembali apa yang sudah kita ketahui dari Shim Jong-
Hyuk kemarin. Aku tidak melihat ada gunanya kau masuk ke dalam
selain membuatmu emosi lagi dan membuang-buang energimu untuk
menembaknya,” sambung Leeteuk.
“Bagaimana kalau dia berbohong dan menyembunyikan sesuatu?”
Kyuhyun menghela nafas dan menatap Hye-Na dengan tangan yang
terbenam di dalam saku celananya.
“Aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan serum kejujuran itu. Serum
itu memang untuk sekali pakai dan butuh waktu lebih dari seminggu
untuk membuatnya lagi. Tapi aku jamin pria itu tidak akan bisa
menyembunyikan apa-apa dari kita. Kita punya rekaman interogasi
Jong-Hyuk kemarin, jadi dia tidak bisa berkelit lagi. Jadi tidak
bisakah kau tenang dan membiarkan kami memulai interogasinya
sekarang? Aku hanya menyuruhmu menunggu disini dan duduk diam.
Itu bukan sesuatu yang sulit, kan?”
Hye-Na mendelik tapi tidak berkata apa-apa. Gadis itu menjatuhkan
tubuhnya ke atas kursi dan menyilangkan tangannya di depan dada.
“15 menit paling lama. Jangan merajuk seperti anak kecil,” ejek
Kyuhyun sebelum berlalu ke dalam ruang interogasi, membuat gadis
itu menahan dirinya dengan susah payah agar tidak menanggalkan
sepatunya dan melemparkannya ke kepala pria itu.
“Bagaimana bisa kau tahan hidup dengan suami seperti itu?”
Hye-Na mendongakkan kepalanya dan melihat Soo-Hyun sudah
berdiri di dekatnya sambil mengulurkan sekotak susu stroberi dingin.
Gadis itu tersenyum senang dan mengambil kotak susu itu dari tangan
Soo-Hyun dengan cepat lalu meminumnya.
“Dia bahkan tidak tahu minuman kesukaanmu, kan?” ujar Soo-Hyun,
mengambil tempat kosong di samping Hye-Na. “Jadi… sejak kapan
Hye-Na-ku mau menerima perintah orang lain? Bukankah kau paling
tidak mau ditendang keluar dari ruang interogasi? Apa suamimu
seberkuasa itu sampai-sampai kau sendiri mau menuruti perintahnya?
Atau… kau sudah jatuh cinta padanya dan bersedia mengikuti apapun
ucapannya?”
“Soo-Hyun cerewet!” dengus gadis itu dengan wajah cemberut. “Dan
aku bukan Hye-Na-mu!”
“Yeah, aku tahu. Namamu Cho Hye-Na, bukan Kim Hye-Na.”
Hye-Na mengabaikan ucapan Soo-Hyun dan menatap pria itu dengan
pandangan ingin tahu.
“Kemana saja kau menghilang seharian kemarin? Jangan bilang kau
takut dengan Kyuhyun karena kau tidak berhasil menjagaku dengan
baik,” cela gadis itu sambil mencibir.
“Yah, aku akui suamimu itu menakutkan, kau tidak lihat saja
bagaimana dia malam itu. Dia nyaris menghajarku kalau Leeteuk hyung
tidak mencegahnya. Tapi kemarin aku pulang ke Jeju menemui orang
tuaku, jadi itu bukan sepenuhnya alasanku menghilang.”
“Cih, memalukan.”
“YAK, kau ini!” seru Soo-Hyun tak terima sambil mengalungkan
tangannya ke leher Hye-Na, berpura-pura mencekik gadis itu.
“Lepaskan tanganmu.”
Soo-Hyun membeku saat mendengar suara dingin yang terasa
mematikan itu, dengan refleks menarik tangannya dan menjauhkan
tubuhnya dari Hye-Na. Mereka berdua mendongak dan melihat
Kyuhyun yang sedang berdiri bersandar di depan pintu, menatap Soo-
Hyun dengan pandangan membunuh.
“Kau belum tahu peraturannya, Tuan Kim? Tidak ada yang boleh
menyentuh istriku selain aku. Kau mengerti? Aku masih belum
memaafkanmu tentang kejadian kemarin lusa, jadi jangan cari
masalah baru denganku atau aku benar-benar tidak akan
melepaskanmu.”
“Ne, aku… mengerti maksudmu… sajangnim,” jawab Soo-Hyun gugup
sambil meneguk ludahnya. Dia bukan pria pengecut, tapi siapapun juga
akan takut melihat aura kelam pria di depannya itu.
“Interogasinya sudah selesai?” tanya Hye-Na heran. “Bahkan kau
belum lima menit ada di dalam.”
“Belum. Aku lupa bahwa ada jadwal konferensi internasional di New
York, jadi aku harus kesana sekarang.”
“Cih, lagakmu seperti bolak-balik dari Korea ke New York itu seperti
rutinitasmu sehari-hari saja,” ujar Hye-Na dengan bibir mengerucut.
Kyuhyun mendekat dan menghentikan langkahnya tepat di depan gadis
itu.
“Aku akan pergi selama dua hari, jadi bisakah kau berjanji untuk
menjaga dirimu baik-baik selama aku pergi? Hanya menghindar dari
hal-hal yang bisa membuatmu terluka saja, tidak sulit, kan? Aku
sudah menyuruh Leeteuk hyung untuk menjemputmu dan
mengantarmu pulang setiap hari dan di rumah juga ada eomma dan
nuna, setidaknya kau akan dijaga dengan baik.”
“Yak, Cho Kyuhyun, kau hanya pergi dua hari, bukan dua tahun. Dan
sudah tidak ada pembunuh berantai yang berkeliaran untuk
menyerangku lagi, jadi kau tidak usah berlebihan. Aku bukan tahanan
yang harus dikawal kemana-mana!” protes Hye-Na tidak terima.
“Aku hanya tidak mau konsentrasi kerjaku terganggu hanya untuk
mencemaskanmu. Kau masih tidak mengerti sifatku, ya? Babo~ya.”
Hye-Na baru akan membuka mulutnya untuk meluncurkan protes lagi
saat Kyuhyun tiba-tiba menarik pinggangnya mendekat dengan tangan
kanannya, sedangkan tangan kirinya terjuntai lemah di samping
tubuhnya. Pria itu menunduk, membenamkan wajahnya ke rambut
Hye-Na yang tergerai, menghirup oksigen disana, seolah ingin
merekam bau gadis itu di dalam indera penciumannya untuk beberapa
hari ke depan, berharap agar tidak melupakan bau paling familiar
dalam hidupnya itu.
“Jaga dirimu baik-baik,” ulang Kyuhyun, kali ini memberikan
penekanan dalam setiap kata yang diucapkannya. Pria itu menegakkan
tubuhnya lagi, tapi tidak melepaskan rangkulannya di pinggang Hye-
Na dan mendadak, dalam satu gerakan cepat, dia memajukan
wajahnya dan memberikan kecupan singkat di bibir Hye-Na, membuat
gadis itu membelalakkan matanya dengan syok.
“Sampai jumpa dua hari lagi, Nyonya Cho,” ujarnya sambil terkekeh
pelan dan berlalu pergi begitu saja, meninggalkan Hye-Na yang masih
berdiri terpaku di tempatnya.
“Well, adegan yang benar-benar menyebalkan! Apa maksudnya
menciummu di depanku? Aish, suamimu itu benar-benar!” seru Soo-
Hyun gusar.
Hye-Na masih menatap pintu yang sudah tertutup di depannya, masih
memikirkan pria yang baru saja menghilang dari balik pintu itu. Tidak
perlu jadi peramal masa depan untuk tahu bahwa dia akan sangat
merindukan pria itu dua hari ke depan. Benar-benar merindukannya.
“Bagaimana menurutmu kalau aku menyukai pria yang kau bilang
sangat menyebalkan itu?” ujar Hye-Na tanpa sadar.
“MWORAGO?!!”
***
Donghae’s Home, Gangnam, Seoul
10.00 AM

“Ga-Eul~a, ireona. Ini sudah jam 10. Kau mau tidur sampai kapan?”
seru Donghae sambil menyibakkan tirai yang menutupi jendela balkon
kamar gadis itu, memberi kesempatan sinar matahari menerjang
masuk dan menerangi ruangan. Hal itu berhasil membuat Ga-Eul
menggeliat dan membuka matanya dengan susah payah. Gadis itu
menggosok-gosok matanya agar bisa melihat Donghae dengan lebih
jelas.
“Hari ini aku libur syuting, bagaimana kalau kita pergi piknik ke
taman? Kau juga bisa berlatih berjalan disana. Hmm?” ajak Donghae
penuh semangat.
Ga-Eul menganggukkan kepalanya, tapi setelah itu gadis itu malah
menarik selimutnya lagi ke atas kepala, berniat melanjutkan tidurnya.
“Yak, Cho Ga-Eul!” teriak Donghae habis kesabaran. Pria itu
menyibakkan selimut yang menutupi tubuh Ga-Eul dan mengangkat
tubuh gadis itu, menggendongnya ke kamar mandi. Dengan santainya
Donghae menjatuhkan Ga-Eul ke dalam bathtub yang sudah penuh
terisi air, membuat air bercipratan ke tubuh gadis itu, sehingga Ga-
Eul langsung tersadar dan melupakan kantuknya.
“OPPA!!! Apa yang kau lakukan?”
“Mandi. Atau terpaksa aku sendiri yang harus memandikanmu.”
“Mwo? Yak, kenapa kau bisa jadi semesum itu, hah?”
***
“Jadi maksudmu dengan piknik ke taman itu adalah ini?” dengus Ga-
Eul.
Donghae memang membawanya ke taman. Taman belakang rumah
lebih tepatnya. Taman itu memang indah dan sangat besar, tapi tetap
saja… apa bagusnya kalau begitu?
“Setidaknya disini tidak ada yang akan mengganggu kita. Kau tidak
tahu kan seberapa terkenalnya aku?”
Ga-Eul menjulurkan lidahnya, mual mendengar kenarsisan pria di
sampingnya itu.
Donghae berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Ga-Eul.
“Ayo berlatih.”
Gadis itu menyambut uluran tangan Donghae, berusaha
menyeimbangkan tubuhnya sambil berpegangan pada Donghae,
keheranan sendiri dengan kenyataan bahwa dia merasa gugup saat
bersentuhan dengan pria itu.
Mereka menghabiskan setengah jam berikutnya dengan berlatih dan
baru diakhiri saat Ga-Eul menyerah karena kelelahan.
“Kau masih meminum obat dari Kibum, kan?” tanya Donghae saat
mereka berdua akhirnya terkapar di atas tikar. Sinar matahari
sangat cerah, tapi tidak terlalu menyilaukan. Benar-benar saat yang
tepat untuk menghabiskan waktu di luar.
Ga-Eul mengangguk sambil berusaha menormalkan nafasnya yang
terengah-engah.
“Itu bisa membuatmu mengingat lebih cepat.”
“Aku sudah ingat beberapa. Eomma, appa. Tapi… aku belum
mengingatmu dengan jelas.”
Donghae menoleh dan tersenyum. “Setidaknya semalam kau sudah
mengingat sedikit tentangku.”
Ga-Eul balas menatap Donghae, sedikit silau dengan sinar matahari
yang tepat menyorot ke wajah pria itu. Tapi pria itu memang sudah
menyilaukan sejak awal. Terlihat begitu tampan dengan senyum
manisnya yang menenangkan. Sempurna secara keseluruhan.
“Bagaimana kalau suatu saat nanti aku melupakanmu seperti Ally
terhadap Noah? Atau Su-Jin terhadap Chul-Soo?” tanya Ga-Eul,
menyebutkan nama karakter di film kesukaannya, The Notebook dan
A Walk To Remember, saat mereka berdua sedang berbaring di
tempat favorit mereka, taman belakang rumah Donghae. Matahari
bersinar menerpa wajah mereka, tapi kedua orang itu sama sekali
tidak merasa terganggu. Ga-Eul sendiri sangat suka melihat Donghae
di bawah siraman cahaya matahari, karena pria itu terlihat begitu
menyilaukan, seperti karakter-karakter pria sempurna yang pernah
diceritakan di novel-novel romantis yang sering dibacanya.
“Bagaimana perasaanmu kalau itu terjadi? Ah, biar aku tebak. Pasti
kau akan mencari gadis lain yang lebih cantik dariku, kan?”
“Tentu saja,” sahut Donghae cepat, kemudian tertawa geli melihat
wajah cemberut gadisnya itu.
“Kau pernah merasa mau mati karena seseorang? Rasanya pasti akan
seperti itu. Tidak bisa makan, tidak bisa tidur, itu hanya gejala awal
seperti yang kau baca di novel-novel. Kau tidur lalu bermimpi buruk,
tapi saat bangun kau juga merasa seperti di neraka. Yang terburuk
adalah bahwa orang yang membuatmu menderita itu bahkan tidak
memikirkanmu sama sekali. Dia melupakan segala hal tentangmu dan
masih terlihat bahagia. Rasanya seperti ingin mati… tapi kau tidak
bisa mati. Karena kalau kau mati, kau tidak akan pernah bisa melihat
wajah orang itu lagi dan itu bahkan lebih buruk dari kematian
sekalipun. Itu jawabanku kalau kau bertanya bagaimana aku nanti jika
kau melupakanku.”
Donghae tersenyum melihat Ga-Eul terpana mendengar ucapannya
barusan. Tapi kata-katanya itu belum seberapa. Dia tidak bisa
membayangkan sama sekali jika gadis itu benar-benar melupakannya.
Pasti rasanya akan lebih buruk dari itu.
Ga-Eul menarik nafas, berusaha meredakan detak jantungnya yang di
luar batas normal. Dia melihat Donghae yang sudah membuka
mulutnya lagi, mengucapkan kata-kata lain yang membuatnya
terkesima lagi.

Ga-Eul tersentak saat mendengar Donghae menyuarakan ingatannya


tentang masa lalu mereka. Kalimat yang sama seperti yang
diucapkannya dulu.
“Lagipula jika kau tidak bisa mengingatku, aku akan membuat banyak
kenangan baru bersamamu. Kita akan memulai semuanya lagi dari awal
dan aku akan mengenalkan diriku lagi padamu, lalu kau akan jatuh
cinta lagi padaku. Sesederhana itu, Ga-Eul~a.”
***
MPA Building
11.30 AM

Min-Yeon menghela nafasnya saat melihat pria itu sudah


menunggunya lagi di depan gedung. Dia sudah tahu dimana posisinya
sekarang. Sebagai sahabat baru yang akan mendengarkan curhatan
pria itu tentang gadisnya yang bernama Shin Rae-Jin. Gadis yang
sangat dicintainya, gadis yang memenuhi pikirannya, gadis yang entah
dimana keberadaannya sekarang. Min-Yeon sudah bertanya, tapi pria
itu hanya tersenyum, menolak untuk menjawab. Yah setidaknya pria
itu sudah jujur. Menunjukkan bahwa dia benar-benar hanya ingin
menjalin persahabatan saja dengan Min-Yeon. Tapi gadis itu tidak
bisa menahan rasa ketertarikannya yang begitu kuat terhadap pria
itu. Dan sepertinya… dia akan menderita sendirian.
“Makan siang lagi?” tanya Min-Yeon saat mereka sudah berdiri
berhadap-hadapan. Gadis itu memaksakan senyuman di bibirnya,
berharap bahwa perasaannya terhadap pria itu tidak terlihat jelas.
“Ani. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Lalu… kita akan
membicarakan… persahabatan kita.”
***
A Hospital, Seoul
12.15 PM

Bunyi alat yang menyambungkan kabel-kabel yang terpasang ke tubuh


sesosok gadis yang terbaring di ranjang rumah sakit itu terasa
monoton. Bau rumah sakit ini terasa tidak enak dan membuat
merinding. Bau orang-orang sakit, bau disinfektan, dan… bau
kematian.
Min-Yeon menatap gadis di depannya. Wajah gadis itu begitu pucat
tanpa rona kehidupan sama sekali. Sekali lihat saja Min-Yeon langsung
tahu bahwa gadis itu sudah terbaring begitu lama disana tanpa
pernah terbangun. Mungkin, saat sadar, gadis itu akan terlihat cantik
dan menarik, tapi sekarang… bibir gadis itu terlihat pecah-pecah,
tubuhnya kurus dan ringkih. Tampak sangat menyedihkan.
“Namanya Shin Rae-Jin,” ujar Sungmin tiba-tiba. “Dia sudah seperti
ini sejak sebulan yang lalu. Kecelakaan. Ayahnya meninggal, tapi
ibunya selamat walaupun sempat cedera parah.”
“Dokter sudah menyerah. Dan sekarang kehidupannya hanya
bergantung pada alat-alat itu. Ibunya… dan aku, bersikeras bahwa dia
masih bisa sadar suatu saat nanti, bahwa kami hanya harus menunggu
sedikit lebih lama lagi. Tapi… lama kelamaan aku pun tidak yakin lagi.
Dia terlihat begitu menderita dan tidak seharusnya kami membuatnya
seperti ini lebih lama lagi.”
“Hari ini, ibunya sudah memutuskan untuk melepaskan semua alat-alat
ini. Aku sudah menjelaskan baik-baik padanya dan dia setuju.”
Sungmin menoleh dan menatap Min-Yeon lekat-lekat. Saat itu, raut
wajahnya yang seperti anak remaja menghilang, digantikan dengan
raut wajah serius seorang pria dewasa berumur 25 tahun.
“Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku membawamu kesini. Iya, kan?”
Pria itu tersenyum lemah. Nada bicaranya menunjukkan bahwa dia
tidak membutuhkan jawaban Min-Yeon sama sekali.
“Aku hanya berpikir bahwa aku membutuhkan seseorang saat itu
terjadi. Aku pernah mencintai gadis ini dan mungkin tidak akan
pernah melupakannya. Walaupun aku sudah merelakannya, tapi ini
cukup sulit bagiku, jadi… aku membutuhkan tempat berpegangan.”
Min-Yeon tertegun. Jadi gadis inikah yang selalu memenuhi pikiran
pria yang disukainya? Gadis yang telah membutakan pria itu sampai
tidak bisa melihat gadis lain lagi?
Lagi-lagi Min-Yeon memaksakan dirinya untuk tersenyum, tidak
memedulikan hatinya yang tersiksa. Dia iri pada gadis itu. Gadis yang
bahkan hanya berbaring tidak bergerak tapi bisa dicintai setengah
mati oleh pria di depannya ini. Sedangkan dia?
“Itu gunanya sahabat, kan? Selalu ada saat kau butuh,” ujar Min-Yeon
pahit.
Gadis itu tersentak saat tiba-tiba Sungmin meraih tangannya dan
menggenggamnya erat.
“Bukan sebagai sahabat. Kali ini… aku memintamu berperan sebagai
gadis yang akan membuatku jatuh cinta lagi. Gadis yang kupercayai
untuk menggenggam masa depanku. Bukan sebagai sahabat, tapi
sebagai gadisku. Untuk kali ini, aku harap kau menjawab iya,
Yeonnie~ya.”
***
SRO Building
01.00 PM

Jin-Ah meletakkan dagunya di atas tangannya yang terlipat di atas


meja. Matanya menatap Yesung yang sedang sibuk mencampurkan
cairan-cairan kimia ke dalam tabung reaksi, mencoba menemukan
formula baru. Sebuah pertanyaan terlintas di benaknya. Kapan dia
akan bosan menatap pria itu?
“Kenapa dari tadi kau tidak henti-hentinya menatapku?” tanya Yesung
yang sudah mulai merasa risih dengan kegiatan gadis itu. “Kau pikir
kau digaji hanya untuk duduk-duduk dan menontonku saja begitu?”
“Aku suka menatapmu,” jawab Jin-Ah terus-terang.
Yesung dengan cepat memalingkan wajahnya, berharap gadis itu tidak
melihat mukanya yang sudah memerah.
Jin-Ah bergerak, kali ini menopangkan sikunya ke atas meja.
Tangannya berada di kedua sisi pipinya dan matanya sekarang benar-
benar menatap Yesung dengan begitu terang-terangan.
“Oppa, kau mau membuatku menunggu berapa lama lagi? Kau ini
lamban sekali. Aku sudah memberi banyak tanda padamu tapi kau
tidak sadar-sadar juga. Apa aku harus terus menjadi gadis bodoh
yang mengharapkanmu? Kalau aku lelah dan memutuskan mencari pria
lain bagaimana?”
“Mwo?” seru Yesung kaget. “Mencari pria lain?”
“Ne. Mencari pria lain. Kau mau?”
“Andwae! Kau tidak boleh melakukannya! Coba saja!”
“Wae? Kau tidak pernah mengatakan kau menyukaiku, jadi lebih baik
aku cari pria lain saja. Aku rasa di gedung sebelah banyak pria
tampan,” tantang Jin-Ah.
“Aku juga bisa bersikap frontal kalau kau memaksaku,” ujar Yesung
dengan raut wajah serius.
“Huh, seperti kau bisa saja,” tandas Jin-Ah bosan.
Tiba-tiba Yesung mencondongkan tubuhnya melewati meja sampai
wajah mereka berdua berhadap-hadapan, membuat gadis itu
membelalakkan matanya kaget, tidak menyangka Yesung akan
melakukan itu.
Yesung tampak ragu-ragu sesaat, sebelum akhirnya benar-benar
memajukan wajahnya dan menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu,
melumatnya pelan. Jin-Ah dengan refleks memiringkan wajahnya agar
pria itu bisa lebih leluasa menciumnya. Tapi posisi itu hanya bertahan
sebentar, karena Yesung dengan cepat langsung melepaskannya dan
menegakkan tubuhnya lagi sambil memegangi perutnya.
“Aish, perutku sakit terkena sisi meja,” keluh Yesung dengan wajah
tanpa dosa, membuat Jin-Ah melempar buku terdekat yang bisa
dijangkaunya ke arah pria itu.
“Kau menyebalkan, Kim Jong-Woon!!!”
***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, Seoul
09.00 PM

Hye-Na membuka pintu kamarnya perlahan, sesaat termangu di depan


pintu. Sudah dua hari dia tidak menempati kamar itu. Hanya dua hari,
tapi terasa sedikit aneh karena tiba-tiba dia merasa asing.
Gadis itu melangkah masuk. Tapi bukannya melaksanakan rencana
awalnya untuk mandi, mengganti baju, dan beristirahat, dia malah
berjalan ke pintu yang menghubungkan kamarnya dan kamar Kyuhyun,
membukanya, dan masuk ke dalam kamar pria itu. Bau favoritnya
tercium dan dia langsung merasa nyaman. Benar-benar merasa berada
di rumah pada akhirnya.
Hye-Na melangkah ke arah lemari pakaian Kyuhyun, membiarkan
tangannya menyentuh puluhan kemeja yang tergantung rapi di
dalamnya, mengambil salah satunya, kemudian melepaskan pakaian
kantor yang dipakainya, menggantinya denagn kemeja yang sedikit
kebesaran untuknya itu. Gadis itu kemudian naik ke atas ranjang
besar yang dipakainya tidur dua hari terakhir dan meringkuk disana.
Baru 10 jam, tapi dia sudah sangat merindukan pria itu. Merasa
seolah dia baru saja kehilangan pegangan. Seperti gadis bodoh yang
sedang jatuh cinta.
Tapi bukankah dia memang sedang jatuh cinta?
***
Kibum’s Flat, Seoul
10.00 PM

“Ada yang harus aku bicarakan,” ujar Nou-Mi sambil meremas


tangannya gelisah. Dia berdiri di depan Kibum yang sedang mengetik
laporan di laptopnya.
“Apa? Tentang pernikahanmu?” tanya Kibum dingin tanpa
mendongakkan kepalanya sedikitpun.
“Bukan. Ini tentang kejadian 4 tahun yang lalu,” gumam gadis itu,
nyaris berbisik. Dia menarik nafas gugup, tidak tahu apakah
keputusannya untuk menceritakan rahasianya kepada pria itu adalah
hal yang benar atau tidak. Yang jelas, dia tahu bahwa pikiran pria itu
terhadapnya akan berubah setelah mendengar semuanya. Dan
bahkan… mungkin dia harus bersiap-siap keluar dari apartemen ini.
“Apa?”
“Tentang kecelakaan itu. Kecelakaan yang menewaskan adikmu. Sae-
Hee.”
Kali ini Kibum mendongak. Matanya nyaris tidak berkedip saat
menatap gadis itu. Selama ini kecelakaan itu adalah hal yang paling
tabu untuk dibicarakan. Kecelakaan yang menewaskan adik perempuan
Kibum, satu-satunya anggota keluarga yang masih dimilikinya.
Kecelakaan yang membuat Kibum memutuskan untuk melupakan
semuanya dan kembali ke kampung halamannya, Korea.
Nou-Mi perlahan menarik kursi dan duduk di atasnya. Kepalanya
menunduk, dan tangannya diletakkan di pangkuan, masih bergerak-
gerak gelisah.
“Aku tidak pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi
padamu. Aku… aku takut, Kibum~a. Aku… aku takut kau akan
membenciku karena… karena akulah penyebab kematian adikmu.”
Keheningan yang mencekam menyusul setelah itu. Tidak ada yang
bergerak di antara mereka. Kibum bahkan tidak berkata apa-apa,
hanya menatap Nou-Mi dengan pandangan kosong.
“Kau selalu bertanya kenapa aku selalu berpura-pura tidak menyadari
perasaanmu. Inilah alasannya. Aku selalu merasa bersalah selama 4
tahun ini. Aku tidak mungkin menerima perasaanmu sedangkan aku
sendiri yang menjadi penyebab kecelakaan itu.”
“Apa yang terjadi malam itu?” tanya Kibum dengan nada lemah.
“Katakan padaku apa yang terjadi malam itu!”
“Kami… baru pulang dari pesta. Pesta ulang tahun Jean. Jalanan sudah
cukup gelap saat itu dan… Sae-Hee sedikit mabuk. Aku sudah
berusaha mencegahnya minum saat pesta, tapi mereka memaksanya
dan dia tidak bisa menolak. Tidak sampai satu gelas, tapi dia langsung
merasa pusing.”
“Dia memaksa mengemudikan mobil. Kau tahu… aku tidak bisa
mengemudi, jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah
menyuruhnya meneleponmu agar menjemput kami, tapi malam itu kau
sedang sibuk dengan skripsimu, dia tidak mau mengganggu. Dia bilang
dia tidak terlalu mabuk dan masih cukup sadar untuk mengemudi
pulang.”
Tubuh Nou-Mi sedikit gemetar saat mengingat kecelakaan malam itu
lagi. Ingatan mengerikan saat dia… melihat sahabat terbaiknya tewas
di hadapannya sendiri.
“Lampu jalan mati dan saat itu ada tikungan. Kau tahu kejadian
setelahnya. Ada mobil lain dan… Sae-Hee kehilangan kendali mobil…
lalu kecelakaan itu terjadi.”
“Jadi dimana letak kesalahanmu? Itu kesalahan Sae-Hee karena dia
mabuk dan memaksa mengemudi.”
“Kesalahanku adalah karena aku bisa saja menyelamatkannya, tapi aku
malah tidak melakukan apa-apa!” teriak Nou-Mi, terdengar sedikit
histeris.
“Aku… aku terlempar keluar mobil. Aku memang tidak memakai
seatbelt-ku saat itu. Sedangkan Sae-Hee… dia terperangkap di dalam
mobil karena tidak bisa melepaskan seatbelt-nya. Mobil itu terbalik,
jadi dia tidak bisa keluar. Dia berteriak padaku bahwa kakinya
terjepit. Aku hanya berjarak 5 meter. Aku melihat darah mengalir di
kepalanya. Aku….” Nou-Mi membenamkan wajahnya ke telapak tangan.
Bahunya terguncang menahan tangis.
“Keadaanku sama buruknya. Wajahku sudah penuh darah, tapi aku
masih bisa berjalan ke tempatnya, mungkin bisa membantunya keluar
dan melepaskan seatbelt-nya. Tapi… aku terlalu takut. Disana tidak
ada orang. Dan… kenangan tentang kematian orang tuaku
menyerangku lagi. Kecelakaan yang sama. Bedanya saat itu ada eomma
bersamaku. Kami berdua terlempar dari dalam mobil dan… appa… appa
tidak sempat menyelamatkan dirinya sendiri karena mobil itu… mobil
itu… meledak. Aku terlalu takut mendekat untuk menyelamatkan Sae-
Hee. Ledakan itu seolah terjadi lagi di depanku. Aku terlalu takut
mati.”
“Aku punya waktu yang cukup untuk menyelamatkannya. Dia meminta
tolong padaku. Dia memintaku membantunya keluar. Tapi aku hanya
duduk saja disana, tidak berbuat apa-apa. Sampai akhirnya mobil itu
meledak… dan… dan….”
“Setiap malam aku seperti mendengar teriakannya. Aku dihantui rasa
bersalah karena tidak membantunya keluar. Kalau aku tidak bersikap
pengecut, Sae-Hee pasti masih hidup sekarang. Ini semua
kesalahanku, Kibum~a. Aku….”
“Hentikan,” desis Kibum sambil bangkit berdiri dari kursinya dengan
cepat, sampai kursi itu terjatuh dengan bunyi keras ke lantai. Pria itu
mengepalkan tangannya, suaranya terdengar bergetar saat bicara.
“Aku….”
“KUBILANG HENTIKAN!!!” teriak Kibum. Dia menatap Nou-Mi sesaat
sebelum akhirnya berlalu pergi, membanting pintu kamarnya dengan
keras sampai menimbulkan bunyi berdebum, meninggalkan Nou-Mi
yang masih menangis sendirian di kursinya.
Gadis itu bangkit berdiri 5 menit kemudian, berjalan ke arah ruang
tamu tempat dia meletakkan kopernya yang sudah terisi penuh
pakaian. Dia melayangkan pandangannya ke sekeliling ruangan itu
selama beberapa saat, sebelum akhirnya menarik kopernya dan
melangkah keluar apartemen, menutup pintu perlahan dengan
tangannya yang gemetar.
Mungkin… ini terakhir kalinya dia melihat pria itu. Dan memori
terakhir yang diingatnya tentang pria itu adalah hal menyakitkan ini.
Dan dialah yang menyebabkan itu semua. Kesalahan terbesar yang
pernah dia lakukan seumur hidupnya.
Tidak. Bukan itu. Kesalahan terbesarnya adalah membiarkan perasaan
cintanya berkembang terhadap pria yang jelas-jelas adalah kakak
dari gadis yang dibunuhnya. Dan sekarang… dia harus menanggung hal
itu seumur hidupnya.
***
Heechul’s Home, Gangnam, Seoul
09.00 AM

“Mandilah. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat,” ujar Heechul


kepada Min-Hyo yang baru saja meletakkan sarapan pagi mereka
berupa sepiring roti isi dan secangkir teh untuk masing-masing ke
atas meja.
“Kemana?”
“Bisakah kau tidak bertanya dan menuruti perintahku saja?” sergah
Heechul kesal sambil membanting koran yang sedang dibacanya ke
atas meja.
Min-Hyo tersentak kaget dengan nada tinggi yang digunakan pria itu.
Sudah beberapa hari terakhir pria itu tidak pernah meneriakinya lagi,
jadi pasti ada sesuatu yang salah kalau dia kembali lagi ke sifat
aslinya.
“Y… ye, algesseumnida, Heechul ssi,” jawab Min-Hyo sambil bergegas
masuk ke kamarnya.
Heechul menatap pintu kamar Min-Hyo yang baru saja tertutup
dengan pandangan tidak fokus. Dia tidak tahu apakah keputusannya
melakukan ini semua benar atau salah. Dia bahkan tidak bisa berpikir
dengan jernih sekarang. Pria itu hanya… ingin menghentikan semua
kecemasan yang terjadi. Mereka tidak bisa bersembunyi terus-
menerus. Dia tidak bisa menyembunyikan gadis itu terus-menerus
tanpa kemungkinan ketahuan dan akhirnya gadis itu direbut paksa
darinya.
Tidak. Dia sudah memutuskan. Ini jalan keluar yang bisa diterima oleh
akal sehatnya. Gadis itu tidak boleh menolak, karena dia sudah
mengorbankan segalanya. Menekan rasa takutnya mati-matian. Kali
ini… tidak ada salahnya bersikap egois. Benar, dia sudah memikirkan
segalanya, hanya tinggal meminta izin saja.
***
Min-Hyo bergerak gelisah di kursi penumpang, sesekali melirik
Heechul yang sedang mengemudikan mobil di sampingnya. Raut wajah
pria itu tidak terbaca dan dia tidak mengucapkan apapun dari tadi.
Detak jantung Min-Hyo nyaris berhenti saat mobil berbelok
memasuki sebuah kawasan yang sangat dikenalnya. Dan benar-benar
ketakutan saat mobil Heechul berhenti tepat di depan gerbang
rumahnya.
“Hee… Heechul ssi, a… apa yang sedang… kau lakukan?”
Heechul sama sekali tidak membuka mulutnya untuk menjawab. Dia
malah turun dari mobil, mengitari mobil itu untuk membukakan pintu
bagi Min-Hyo. Dia mengulurkan tangannya ke arah Min-Hyo, yang
disambut gadis itu dengan kerutan yang terlihat jelas di keningnya.
Tangan pria itu terasa dingin dan Min-Hyo nyaris bisa melihat
keringat yang mengalir di pelipisnya.
Mereka berdua melangkah ke arah rumah itu. Ada beberapa pengawal
yang berjaga di depan rumah, tapi mereka semua langsung
membungkuk sopan saat melihat siapa yang datang.
Pintu rumah terbuka dan seorang wanita muncul dengan setelan
blazer dan rok yang begitu rapi.
“Agasshi, Nyonya dan Tuan sudah menunggu di ruang keluarga,” ujar
wanita itu dengan suara kaku.
Heechul mengikuti wanita itu, setengah menarik Min-Hyo yang seakan
tidak mau bergerak sama sekali.
“Oppa, apa-apaan kau? Kau tahu aku tidak ingin pulang. Aku tidak mau
kembali ke rumah ini lagi. Aku tidak mau dijodohkan, aku….” Min-Hyo
sedikit meringis saat merasakan genggaman Heechul menguat, seolah
ingin mencengkeram gadis itu erat-erat.
Mereka memasuki ruangan besar yang didesain sangat mewah, penuh
dengan hiasan barang-barang kuno dan arsitektur megah seperti
rumah-rumah bangsawan. Dua orang sedang duduk di atas sofa
panjang yang ada disana. Seorang wanita dalam balutan gaun tertutup
yang cukup hangat untuk digunakan di musim gugur dan seorang pria
dalam setelan jas rapi dengan raut wajah yang tampak dingin.
“Jadi kaukah yang melarikan anak kami?” tanya ayah Min-Hyo tanpa
basa-basi. Tanpa sapaan ataupun ekspresi senang melihat anak
mereka sudah kembali.
“Aku kesini bukan untuk menyerahkan anak kalian kembali, tapi untuk
meminta izin menahannya seumur hidup bersamaku,” ucap Heechul
tegas. Raut wajahnya tampak mengeras saat mengucapkan kalimat itu.
Min-Hyo menatap pria itu dari samping. Matanya terbelalak kaget dan
mulutnya sedikit menganga mendengar ucapan pria itu. Ini semua
diluar perkiraannya. Menahan seumur hidup? Bukankah itu berarti….
“Aku ingin meminta izin menjadikan anak kalian sebagai istriku. Dan
sebelumnya… aku tahu bahwa kalian akan menyelidiku, jadi lebih baik
kukatakan saja sekarang. Aku seorang aktor. Dan kalau kalian ada
masalah dengan jumlah harta yang aku miliki, kalian tidak perlu
khawatir. Aku cukup kaya untuk bisa menghidupi anak kalian, atau
mungkin cucu dan cicit kalian nanti. Mengenai masa laluku, aku rasa
kalian harus tahu bahwa aku adalah anak dari seorang wanita yang
telah membunuh suaminya sendiri karena himpitan ekonomi. Kalian
mungkin memiliki syarat sendiri tentang siapa yang kalian inginkan
menjadi menantu kalian, tapi aku bisa jamin bahwa tidak ada satu pria
pun yang bisa membahagiakannya selain aku. Jadi, dengan kemampuan
itu, aku ingin menikahi gadis ini.”
Baru sekali itu Min-Hyo melihat ekspresi orang tuanya berubah
menjadi syok, kehilangan kendali mereka sendiri terhadap kemampuan
mereka berkelit dalam semua keadaan. Ucapan Heechul benar-benar
menusuk dan mungkin sangat mengejutkan orang tuanya yang tidak
pernah mendapat perlakuan seperti itu dari orang lain sebelumnya.
Ibunya-lah yang pertama kali berhasil mengendalikan diri. Dia
menatap Heechul seolah sedang menilai kepantasan pria itu,
sedangkan ayahnya sendiri masih membelalak menatap pria itu, tidak
percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Heechul semakin mengeratkan genggamannya dan kali ini, Min-Hyo
benar-benar ingin pria itu tidak melepaskan genggamannya lagi, tidak
peduli jika gadis itu merasa sangat kesakitan sekalipun.
“Aku hanya ingin bersikap seperti pria baik-baik lainnya, yang akan
datang ke rumah wanitanya untuk meminta restu. Tapi… aku bukan
jenis pria yang akan menerima kata tidak. Gadis ini… dengan atau
tanpa izin kalian, aku akan tetap menikahinya.”
***
1 day later…

STA Building
11.30 AM
“Bisa turun sebentar dan pergi ke depan gedung?”
Hye-Na mengerutkan keningnya dan menjauhkan communicator-nya
dari telinga, menatap layar sekali lagi untuk memastikan bahwa yang
meneleponnya memang Kyuhyun. Tapi yang didengarnya saat ini
memang suara pria itu. Lalu apa maksudnya menyuruh Hye-Na turun?
Apa pria itu sudah pulang? Walau pria itu sudah pulang sekalipun
seharusnya dia tidak berada disini sekarang, tapi di Polytelí̱s Hotel.
Setengah jam lagi adalah peluncuran perdanaAmphibithrope di depan
para wartawan, Presiden, dan Duta Besar dari berbagai negara. Apa
yang sedang dipikirkan pria itu sebenarnya?
“Jangan melamun dan memasang tampang bodohmu, Hye-Na~ya.
Turun saja.”
Hye-Na mendelik saat mendengar sambungan telepon diputus begitu
saja dari seberang sana. Kebiasaan buruk pria itu.
“Matikan komputer,” ujar gadis itu cepat sambil bergegas keluar dari
ruangannya, setengah berlari menuju lift. Dua hari tanpa melihat pria
itu, rasanya… aneh. Dia sudah terbiasa dengan kehadiran tiba-tiba
pria itu dimana-mana, terbiasa dengan keberadaan pria itu di
sekitarnya, dengan sentuhan ringan yang selalu secara refleks
dilakukan Kyuhyun saat berada di dekatnya, dengan sikap pria itu
yang terlalu protektif. Hye-Na cukup merasa tertolong dengan
pekerjaannya yang menumpuk di kantor, tapi itu hanya sampai tengah
malam. Saat dimana akhirnya dia terbaring sendirian di kamar dengan
pikiran kosong tanpa kasus penting yang bisa diurusnya. Saat itulah
pria itu merangsek masuk ke dalam pikirannya, seperti gunung berapi
yang awalnya hanya menimbulkan gempa-gempa kecil, kemudian
mengeluarkan lahar dan awan panas, sebelum akhirnya benar-benar
meletus dan menghancurkan semuanya. Kyuhyun… seperti itu baginya.
Awalnya dia hanya merasa sedikit aneh karena pria itu tidak bisa
dilihatnya, tapi lama kelamaan perasaan itu semakin memburuk sampai
akhirnya dia menjadi linglung, berpikir setengah gila bahwa dia bisa
menjadi mayat hidup jika tidak segera melihat pria itu.
Tapi sekarang… saat akhirnya dia melihat pria itu lagi… pria yang
sekarang bersandar di pintu mobil Ferrari hitamnya, dengan raut
wajah dingin tanpa ekspresinya yang biasa, dia akhirnya benar-benar
tahu betapa dia sangat merindukan pria itu. Ternyata jauh lebih
parah daripada apa yang dia bayangkan selama ini. Dia nyaris tidak
bisa mengendalikan tubuhnya untuk tidak gemetar, nyaris tidak bisa
mengendalikan kakinya sendiri untuk tidak berlari menghambur
memeluk pria itu. Alih-alih melakukan itu, Hye-Na berjalan perlahan
ke arah Kyuhyun. Berusaha mengontrol detak jantungnya yang
menggila saat dia semakin dekat dengan pria itu. Dia bisa melihat
getaran di tangannya sendiri saat menyambut tangan Kyuhyun yang
terjulur ke arahnya. Dia bahkan tidak bisa berpikir dengan jernih
saat pria itu dengan frontal menarik tubuhnya mendekat,
merangkulnya dengan erat sampai tubuhnya sedikit terangkat dari
tanah. Dia tidak mau memikirkan dimana letak kewarasannya saat
membiarkan pria itu melumat bibirnya dalam satu ciuman sarat emosi,
menunjukkan dengan jelas bahwa pria itu juga merasakan hal yang
sama dengannya. Dia bahkan tidak memedulikan ada berapa puluh
karyawan yang berkeliaran di sekeliling mereka karena waktu
istirahat sudah tiba dan menjadikan mereka berdua tontonan
menarik. Dan dia baru sadar bahwa alih-alih mendorong pria itu
menjauh seperti yang seharusnya dilakukannya, dia malah berjinjit,
membuka sedikit mulutnya untuk memudahkan pria itu menjelajahi
bibirnya. Apa saat merindukan seseorang setengah mati, kau benar-
benar bisa menjadi bodoh dan melupakan kewarasanmu?
Kyuhyun melepaskannya saat akhirnya paru-paru mereka berontak
mencari udara, mengalihkan bibirnya ke kening wanita tersebut dan
mengecupnya singkat.
“Aku merindukanmu,” ujarnya lirih dengan suara berat. Tangannya
terangkat menyentuh pipi wanitanya itu sekilas, menyadari bahwa ada
semburat merah disana.
Kyuhyun tidak pernah terbiasa dengan perasaan semanusiawi ini
sebelumnya. Cho Hye-Na adalah satu-satunya wanita yang pernah
dirindukannya seumur hidupnya. 14 tahun terakhir rasanya tidak
terlalu masalah. Dia masih bisa mengendalikannya dengan baik. Tapi
dua hari terakhir… terasa terlalu sulit. Dia baru mengerti apa
maksudnya seseorang harus melihat orang yang dicintainya dulu baru
bisa melakukan segala hal dalam hidupnya dengan baik. Baru bisa
bernafas dengan benar. Karena ternyata memang seperti itu
kenyataannya. Bahwa saat kau berada jauh dari wanita itu, kau ingin
cepat-cepat pulang ke rumah untuk melihatnya lagi dan menemukan
oksigenmu kembali untuk bisa bernafas secara normal.
Dia cukup senang saat mengetahui bahwa sepertinya wanita itu juga
merasakan hal yang sama, dilihat dari bagaimana wanita itu
menempelkan tubuhnya tadi dan membalas ciumannya. Apakah itu
berarti dia sudah bisa tenang sekarang karena wanita itu sudah
benar-benar menjadi miliknya?
“Kau… mau pergi makan siang bersamaku?” ajak Kyuhyun akhirnya
setelah keheningan yang melanda selama beberapa detik.
Hye-Na mendongak dengan kening berkerut.
“Tidak sampai satu jam lagi kau akan meluncurkan Amphibithrope dan
acara itu akan diliput oleh media seluruh dunia dan sekarang kau
berada disini, dengan santainya mengajakku makan siang?” tanya Hye-
Na tak percaya.
“Aku bisa menunda acaranya selama beberapa jam kalau kau mau,”
ujar Kyuhyun enteng.
“Kyu!”
“Baiklah, sepertinya kau tidak mau. Tapi apa kau bisa menjamin bahwa
kau akan memiliki menu makan siang yang sehat siang ini?”
“Aku berencana makan jajangmyeon.”
Kyuhyun tahu bahwa kali ini dia tidak bisa memarahi gadis itu.
Jajangmyeon adalah makanan kesukaannya, jadi kalau dia mengatakan
bahwa tidak baik untuk memakan itu sebagai menu makan siang, gadis
itu pasti akan balik menyerangnya dan dia tidak bisa membela diri
jika itu terjadi.
“Terserah kau saja,” ujar Kyuhyun sambil menarik nafas berat.
“Ngomong-ngomong… setelah makan siang aku berencana mengunjungi
makam ayahku,” beritahu Hye-Na dengan kepala tertunduk. Suara
gadis itu sedikit tercekat saat mengatakannya. Tentu saja, ini adalah
pertama kalinya gadis itu memberanikan dirinya untuk pergi ke
tempat itu setelah dia menginjakkan kakinya di Korea.
“Mau kuantar? Kalau kau mau kau bisa menunggu sampai acaraku
selesai dan kita bisa pergi kesana bersama,” tawar Kyuhyun. Dia tidak
yakin bisa membiarkan gadis itu kesana sendirian. Pasti akan terasa
sangat berat bagi Hye-Na. Gadis itu membutuhkan pendamping.
“Tidak,” tolak Hye-Na sambil menggelengkan kepalanya, mempertegas
penolakannya terhadap tawaran pria itu. “Aku rasa… kedatanganku
kesana untuk kali pertama harus menjadi sesuatu yang pribadi.
Mungkin… lain kali saja kita pergi kesana bersama.”
Kyuhyun mempelajari raut wajah gadis itu, memastikan bahwa gadis
itu akan baik-baik saja sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya.
“Baiklah, kalau itu yang kau inginkan.”
“Jadi… bisakah kau kembalikan kunci mobilku sekarang?” tanya Hye-
Na sambil mengulurkan tangannya. Mobil Porsche-nya memang masih
terparkir di basement gedung STA dan Kyuhyun menahan kuncinya.
“Hati-hati mengemudi. Kau tidak boleh menjalankan mobilmu dengan
kecepatan lebih dari 80 km/jam,” pesan Kyuhyun, mengulurkan kunci
mobil gadis itu yang disimpannya di dalam dompetnya.
“Cih, kau mau menasihatiku? Kau bahkan tidak pernah berkendara
dengan kecepatan di bawah 100 km/jam,” dengus Hye-Na.
“Dengarkan saja aku, oke? Atau aku akan memaksamu menungguku
dan kita pergi kesana bersama,” ucap Kyuhyun tegas.
“Kau menyebalkan!” umpat gadis itu sambil melengos meninggalkan
Kyuhyun.
“Jangan seperti anak kecil begitu, Nyonya Cho,” ujar Kyuhyun sambil
terkekeh geli. “Nanti malam makan bersamaku?” Kali ini Kyuhyun
sedikit mengeraskan suaranya karena Hye-Na sudah berjalan cukup
jauh.
Gadis itu berbalik dan mengernyit.
“Kali ini kau mau membawaku kemana? Paris?” Ada ejekan yang
sedikit kentara dalam suara gadis itu, membuat Kyuhyun lagi-lagi
tidak bisa menahan tawanya.
“Kalau kau mau aku bisa mengajakmu kesana.”
“Cih, dasar pria sok kaya tukang menghambur-hamburkan uang.”
***
STA Building
12.30 PM

Leeteuk menatap layar komputernya tanpa benar-benar terfokus


kesana. Dua hari terakhir dia tidak punya kesempatan sedikitpun
untuk menemui Eun-Kyo. Pria itu begitu sibuk dengan laporan-laporan
interogasi yang harus dibuatnya, mengurus kasus-kasus pembunuhan
berantai lain yang akhir-akhir ini begitu marak terjadi, kasus-kasus
yang tidak bisa diselesaikan oleh kepolisian sehingga STA harus turun
tangan. Dan juga, setiap pagi dia harus menjemput Hye-Na dan harus
mengantarkan gadis itu pulang lagi pada malam harinya. Dia tidak ada
masalah dengan itu semua, apalagi setelah Kyuhyun menceritakan
kecemasannya, bahwa pria itu tidak benar-benar yakin gadisnya telah
lolos dari teror. Ada yang aneh. Semuanya terlalu mudah, terlalu
gampang diselesaikan untuk kasus sebesar itu.
Leeteuk mengetuk-ngetukkan penanya ke atas meja. Kyuhyun sudah
pulang, jadi sepertinya tugasnya sebagai supir pribadi Hye-Na sudah
selesai. Bukankah itu berarti dia bisa kembali ke aktifitasnya semual?
Dia bisa bebas menemui Eun-Kyo lagi sekarang. Tapi entah kenapa dia
memiliki firasat buruk tentang itu. Gadis bernama Park Eun-Kyo itu…
seolah tidak akan semudah itu dapat ditemuinya lagi.
Seseorang mengetuk pintu ruangan Leeteuk dan melangkah masuk
setelah Leeteuk memberi izin. Seingat Leeteuk orang itu bernama
Kang-In, salah satu pegawai di departemen yang sama dengan Eun-
Kyo.
“Leeteuk ssi, Eun-Kyo memberitahuku bahwa dia baru saja
menemukan ada bom yang terdeteksi di lapangan parkir kita. Bom itu
sepertinya ada di mobil Nona Han Hye-Na. Baru saja terdeteksi di
layar kami. Eun-Kyo menyuruhku memberitahumu agar kau bisa
segera mengambil tindakan.”
Leeteuk melebarkan matanya mendengar kabar itu. Bom? Di mobil
Hye-Na? Bagaimana bisa?
“Mobil itu… bagaimana bisa seseorang membobol sistem keamanan
kita tanpa terdeteksi sedikitpun?” teriak Leeteuk. “Mobil itu sudah
berada disana selama beberapa hari, bagaimana bisa kamera
keamanan tidak merekam seseorang yang berkemungkinan memasang
bom itu?!”
“Kami memprediksi bahwa bom itu sudah ada di mobil itu sebelumnya.
Kamera keamanan kita aktif 24 jam dan tidak bisa diutak-atik oleh
siapapun, termasuk pegawai dari departemen kami sekalipun. Bom itu
aktif saat mesin mobil dihidupkan dan kami rasa akan meledak jika
seseorang menginjak rem dan menghentikan mobil itu.”
“Aktif saat mesin mobil dihidupkan? Kau… jangan bilang padaku
bahwa Hye-Na baru saja pergi dengan mobil itu!” seru Leeteuk panik.
Kecemasan menjalari tubuhnya saat melihat Kang-In mengangguk.
Brengsek! Tidak adiknya. Tidak sekarang.
“Sial!” umpat Leeteuk menyuarakan pikirannya. Dia bergegas meraih
jasnya dan berlari keluar ruangan.
Siapa orang yang begitu menginginkan adiknya mati? Keparat mana
yang sangat ingin menyakiti adiknya?
Leeteuk mengotak-atik communicator-nya sambil berlari. Dia
menghubungi nomor Kyuhyun, tapi sialnya, yang menjawab adalah
sekretaris pria itu.
“Tuan Kyuhyun sedang mempresentasikan Amphibithrope di depan
semua wartawan, Presiden, dan para Duta Besar, Tuan, sepertinya
Anda tidak bisa mengganggunya sekarang.”
“Brengsek! Aku tidak peduli apa yang sedang dilakukannya!
Berikan communicator itu padanya sekarang!”
***
Polytelí̱s Hotel, Seoul
12.40 PM
Kyuhyun tidak pernah benar-benar menyukai semua perhatian yang
terpusat padanya. Dia akan selalu berusaha menghindari wartawan
jika tidak berhubungan dengan kelangsungan bisnisnya. Tapi kali ini,
saat dia sedang mempresentasikan produk terbaru
mereka,Amphibithrope, mau tidak mau dia harus menerima dengan
lapang dada saat lampu-lampu blitz mengedip menyilaukan ke arahnya,
pertanyaan-pertanyaan tidak sabaran ratusan wartawan yang
berdatangan dari seluruh penjuru dunia, kerumunan para Duta Besar
yang diutus negara mereka untuk menjadi saksi peluncuran mobil
terbang pertama dalam sejarah bumi, ataupun perhatian penuh dari
sang Presiden Korea yang menatapnya dengan penuh minat. Dia sudah
menyuruh Eunhyuk melakukannya karena ini proyek mereka berdua,
tapi pria itu berdalih dengan alasan dia tidak terlalu bisa berbicara di
depan publik, dan Kyuhyun memiliki pengaruh lebih besar darinya.
Kyuhyun menoleh ke arah Kim Ji-Hwan yang sedang berusaha menarik
perhatiannya dari sudut ruangan. Dia cukup heran dengan keberanian
pria yang sudah dianggapnya sebagai ayah keduanya itu dengan
mengganggunya saat dia sedang menjelaskan kelebihan-kelebihan
yang dimiliki Amphibithrope-nya, padahal pria itu sebelumnya selalu
bisa mengatasi gangguan apa saja dan berusaha tidak membiarkan
Kyuhyun menerima telepon apapun saat rapat.
Ada yang tidak beres. Kalau tidak pria itu tidak akan berani
menyelanya. Apalagi dia juga menunjuk communicator di tangannya
pada Kyuhyun.
“Lanjutkan,” bisik Kyuhyun kepada Eunhyuk yang duduk di sampingnya.
“Mwo? Ini di tengah-tengah acara perilisan, kau mau kemana? Apa
kau sudah gila?”
“Aku harus menerima telepon,” ujar Kyuhyun, tergesa-gesa berlari ke
arah Ji-Hwan.
“Waeyo, ajjushi?” tanyanya cemas saat dia sudah sampai di hadapan
sekretarisnya itu.
“Leeteuk menelepon, sepertinya dia panik sekali. Dia bahkan
mengumpat dan berkata dia tidak peduli kau sedang apa, tapi kau
harus menerima teleponnya.”
Kyuhyun mengambil communicator-nya dari tangan Kim Ji-Hwan dan
menjauh dari kerumunan.
“Hyung?”
“Kyuhyun~a, aku akan menjemputmu sekarang. Tunggulah di depan
hotel, 3 menit lagi aku akan sampai. Tidak, dua menit.”
Kyuhyun mendengar deru mesin dari speaker communicator-nya.
Sepertinya Leeteuk mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di
atas 200 km/jam. Apa yang membuat seorang pegawai STA
melanggar peraturan lalu lintas dan terdengar begitu panik seperti
itu?
“Ada apa?” tanya Kyuhyun sambil berjalan keluar gedung dengan
susah payah karena dia harus menghindari para wartawan yang
mengerubung di luar.
“Hye-Na. Pegawai dari Departemen Keamanan mendeteksi adanya
bom di mobil gadis itu. Aku akan menjelaskan detailnya di perjalanan
nanti padamu. Yang jelas kita harus tahu dia kemana sekarang. Bom
itu akan meledak kalau mobilnya berhenti. Aku belum meneleponnya.
Aku takut dia melakukan sesuatu yang membahayakan kalau aku
meneleponnya. Lagipula, kau juga tahu bahwa jaringan seluler
berbahaya. Bisa jadi ada yang menyadap atau sebagainya.”
Kyuhyun tidak terlalu mendengar penjelasan Leeteuk lagi. Otaknya
terlalu syok setelah mendengar kabar itu. Bom? Di mobil gadisnya?
Bagaimana….
“Pakai mobilku saja,” ujar Kyuhyun dengan tangan terkepal. Dia akan
melakukan apa saja untuk menemukan pelakunya dan membunuh orang
itu dengan tangannya sendiri. Persetan dengan hukum atau apapun.
“Aku tahu dia ada dimana.”
Kyuhyun berusaha menarik nafas, tapi dia terlalu emosi untuk bisa
menenangkan dirinya sendiri. Suaranya bergetar dan untuk pertama
kalinya dalam hidup, dia benar-benar merasa ketakutan.
“Cepatlah, hyung. Jangan sampai dia sampai duluan disana daripada
kita. Aku… aku tidak mau gadis itu mati.”
***

Suburbia of Seoul
12.50 PM

Hye-Na menoleh saat melihat mobil Ferrari hitam yang sangat


dikenalnya berada bersisian dengan Porsche yang sedang
dikendarainya. Dengan refleks dia menurunkan kaca jendela mobilnya
saat melihat Kyuhyun memberi tanda dari bangku belakang. Ferrari
itu sedikit mendahului mobilnya, sehingga sisi bangku penumpangnya
sejajar dengan posisi bangku belakang Ferrari itu.
Gadis itu berniat menghentikan mobilnya, merasa heran kenapa
Kyuhyun bisa ada di tempat itu, bukannya di hotel tempat perilisan
mobil barunya. Jangan bilang pria itu benar-benar menunda acaranya
dan memilih menemaninya kesini, karena dia akan menendang pria itu
jika hal tersebut benar-benar terjadi.
“Jangan hentikan mobilmu! Kau dengar aku? Jangan pelankan
kecepatan mobilmu sedikitpun. Pertahankan dengan kecepatan tadi,”
teriak Kyuhyun keras.
Gadis itu menurutinya saat melihat wajah Kyuhyun yang terlihat
begitu serius dan… panik? Dia melihat sekilas bahwa Leeteuk-lah yang
mengemudikan mobil. Saat itulah dia mulai curiga bahwa ada sesuatu
yang buruk yang sedang terjadi. Kalau tidak… bagaimana mungkin
mereka berdua ada disini?
Konsentrasi menyetirnya terpecah saat melihat Kyuhyun menjulurkan
tubuhnya melewati jendela belakang Ferrari-nya, berusaha agar bisa
masuk ke mobil Hye-Na lewat jendela mobilnya yang terbuka lebar.
Gadis itu nyaris menginjak rem kalau Kyuhyun tidak meneriakinya lagi
agar mempertahankan kecepatan awalnya.
Leeteuk sedikit mengarahkan setirnya ke kiri, agar mobil yang
dikendarainya memiliki jarak yang seminimal mungkin dengan mobil
Hye-Na. Pria itu nyaris tidak bisa menarik nafas dengan benar karena
cemas saat menunggu Kyuhyun berpindah ke mobil gadis itu. Dia
berpegang teguh pada kenyataan bahwa nyaris tidak ada hal di dunia
ini yang tidak bisa dilakukan seorang Cho Kyuhyun dan berharap agar
prestasi baik itu tidak tercoreng di saat segenting ini. Dan pada
akhirnya dia tersedak nafasnya sendiri saking leganya bahwa Kyuhyun
bisa melakukannya dengan sangat mulus. Leeteuk menjaga kecepatan
agar mobil mereka tetap bersisian, berjaga-jaga jika Kyuhyun
membutuhkan instruksinya, walaupun pria itu menyebutkan dengan
jelas bahwa dia tahu cara menjinakkan bom dengan benar.
“Ada apa? Apa yang membuatmu harus masuk ke mobilku dengan cara
seekstrim itu?” komentar Hye-Na saat akhirnya Kyuhyun duduk
dengan aman di atas kursi penumpang di sampingnya. Ada sedikit nada
cemas dalam suara gadis itu, menunjukkan bahwa dia tahu ada yang
tidak beres dengan ini semua.
Kyuhyun tidak menjawab dan malah meraih bagian bawah dashboard
mobil, menarik sebuah kotak hitam penuh kabel-kabel yang terlihat
ruwet yang langsung dikenali Hye-Na sebagai bom sedetik setelah
gadis itu melihatnya.
“Akan meledak kalau kau menginjak rem dan menghentikan mobilmu,”
ujar Kyuhyun tanpa ekspresi. Dan asal tahu saja, pria itu terlihat
lebih berbahaya kalau dia tidak menunjukkan kemarahannya dengan
jelas dan memilih memasang wajah dingin mematikannya.
Kyuhyun mengeluarkan tang kecil dari saku jasnya dan mulai
memotong kabel-kabel itu satu per satu, menyisakan sebuah kabel
merah yang menentukan hidup mereka.
Hye-Na menahan nafas dan menatap pria itu dari samping. Dia tahu
apa yang sedang terjadi. Dia sudah mempelajarinya di masa
trainingnya dan tidak pernah terpikir bahwa dia akan mengalami hal
ini di kehidupan nyatanya.
Satu kabel itu bisa menghentikan aktivitas bom tersebut atau…
mengaktifkan kendali jarak jauh. Itu tergantung seberapa percaya
dirinya sang pemasang bom. Kalau dia berpikir bahwa Hye-Na tidak
akan menyadari keberadaan bom tersebut, dia tidak akan repot-
repot memasang kendali jarak jauh dan jika kabel merah itu dipotong,
bom tersebut tidak akan meledak. Tapi lain masalah jika si pemasang
bom benar-benar ingin memastikan bahwa gadis itu mati dan
memperhitungkan kemungkinan terburuk bahwa Hye-Na akan
menyadari bom yang dipasangnya, yang berarti jika kabel merah itu
dipotong, bom tersebut secara otomatis akan meledak.
“Kenapa kau tidak menyuruhku melompat dari mobil saja?” tanya Hye-
Na hati-hati.
“Lalu berjudi dengan kemungkinan kau akan mati mengenaskan?”
tanya Kyuhyun retoris.
Pria itu mengucapkan maksudnya dengan jelas. Di samping kiri jalan
ada tebing yang terjal. Salah melompat, tubuh gadis itu bisa berakhir
di dasar jurang.
“Lagipula kau takut ketinggian dan aku tidak mau mengambil resiko
kau terluka saat melompat.”
“Dan memilih mempertaruhkan hidupmu disini?”
“Layak dicoba,” jawab Kyuhyun enteng, terlalu santai untuk situasi
semembahayakan ini.
“Kau benar-benar sombong sekali kan, Tuan Cho?” gumam Hye-Na,
suaranya benar-benar terdengar gemetar sekarang. Tidak masalah
jika dia meledak dalam mobil ini. Sendirian. Tidak bersama pria itu.
Gadis itu tahu dia benar-benar sudah gila. Gila karena memiliki hasrat
kuat untuk mendorong tubuh pria itu keluar dari mobil dan
membiarkannya sendirian di dalam mobil. Kabel merah di bom
tersebut langsung terhubung dengan mesin mobil, jadi sia-sia saja
untuk berharap melempar bom itu keluar mobil. Satu-satunya harapan
hidup mereka benar-benar hanya kabel merah sialan itu.
“Kau mau bertaruh denganku? Aku mempertaruhkan salah satu
pulauku di Dubai bahwa bom ini tidak akan meledak jika aku
memotong kabelnya.”
“Hanya salah satu pulaumu?” Kali ini Hye-Na benar-benar mati-matian
menjaga kendali mobilnya dan mempertahankan kecepatannya tetap
di kisaran 90 km/jam. Sulit jika ada seorang pria sialan yang malah
bermain-main di saat kalian berdua akan mati meledak di mobil kecil
ini.
“Aku akan menjual Australia kembali jika tebakanku salah.”
“Kau tahu dengan jelas bahwa tidak ada seorang pun selain aku yang
mendengarkan taruhan tololmu itu sekarang dan bisa bertahan hidup
untuk memberitahu pengacaramu agar mencantumkan hal itu dalam
surat wasiat.”
“Aku baru tahu bahwa seorang Cho Hye-Na bisa merasa takut.
Tenanglah, biasanya intuisiku tidak pernah salah.”
“Akan selalu ada kali pertama untuk semuanya, Tuan Cho.”
Hye-Na sedikit tersentak saat merasakan tangan Kyuhyun menyentuh
rambutnya dengan gerakan lembut, perlahan menyingkirkan anak-anak
rambutnya yang melekat basah ke keningnya karena keringat yang
mengalir. Pria itu menurunkan tangannya, menangkup sebelah pipi
gadis itu dengan hati-hati, sebelum akhirnya melepaskannya dan
menyentuhkan jari-jarinya ke kabel merah itu, bersiap dengan tang
yang tergenggam di tangannya yang lain.
Mata pria itu sedikit menggelap saat mulutnya mengucapkan sesuatu
yang membuat Hye-Na terpaku di kursinya. Kata yang gadis itu pikir
tidak akan pernah didengarnya lagi seumur hidupnya. Kata yang
mengoyak ingatannya, menarik keluar kenangan masa lalu yang selama
ini dikuburnya di sisi paling jauh dalam memorinya, nyaris terlupakan.
“Kau tahu? Kau adalah satu-satunya orang yang paling tidak
kuinginkan kematiannya di atas dunia ini… Na~ya….”
TBC

Ff Superjunior : 2060 {9 St Round }


Funeral Place, Gyeongju
01.30 PM

Flashback

Hye-Na kecil memandang bosan ke arah orang-orang dewasa yang


berlalu lalang di sekelilingnya. Ayahnya membawanya dan ibunya ke
Korea untuk menghadiri ulang tahun pernikahan sahabat mereka dan
malah asyik berbincang dengan sahabat mereka itu,
menelantarkannya sendirian di salah satu stan makanan yang
tersedia. Stan es krim lebih tepatnya. Dan tempat ini dikerubungi
bocah-bocah kecil lain yang berebut meminta agar pelayan segera
memberikan mereka semangkuk es krim dalam porsi besar.
Hye-Na melipat tangannya di depan dada. Semua teman-teman orang
tuanya, bahkan orang tuanya sendiri selalu berkata bahwa dia terlalu
cepat dewasa dibandingkan yang seharusnya. Umurnya baru 6 tahun,
tapi gerak-gerik, cara berpikir, dan tindakannya, semuanya tidak
menunjukkan ciri-ciri anak kecil yang baru menginjakkan kaki ke
sekolah dasar. Salahkan saja ibunya yang memberinya kebebasan
untuk membaca seluruh buku yang ada di perpustakaan pribadi di
rumah mereka di Amerika. Buku-buku tentang penemuan-penemuan
ilmiah paling muktahir, cara penggunaan senjata, buku-buku mafia,
dan bahkan dia juga sudah selesai membaca data-data pribadi
ayahnya tentang “orang-orang jahat yang harus ditangkap hidup
ataupun mati’. Sebenarnya tidak sebebas itu juga. Di perpustakaan
itu ada banyak buku-buku dongeng yang sengaja dibelikan ibunya
untuknya, karena itu beliau membiarkannya keluar masuk
perpustakaan sesukanya, berpikir bahwa anak perempuan satu-
satunya itu baru lancar membaca dan tidak mungkin menamatkan
semua buku itu dalam waktu singkat. Tapi yang terjadi malah
sebaliknya. Hye-Na bosan membaca dongeng-dongeng tidak masuk
akal tentang gadis yang hanya menunggu keajaiban datang untuk
membawanya bertemu sang pangeran dan memilih mengacak-acak
buku lain di ruangan itu, merasa asyik dengan dunia barunya.

Dia telah membaca banyak hal. Bagaimana setiap kasus kriminal yang
ditangani KIA diselesaikan. Bagaimana para penjahat ditangkap. Dan
bagaimana cara memakai senjata secara teoritis. Karena itu dia tidak
menyia-nyiakan kesempatan pertama saat ayahnya membawanya ke
tempat kerjanya untuk pertama kalinya. Ayahnya berkata padanya
bahwa dia bekerja sebagai seorang agen pemerintah, seperti film
mata-mata kesukaannya di TV. Mungkin ayahnya berpikir dia hanya
akan menganggap itu adalah pekerjaan keren dimana ayahnya bisa
menembak penjahat sesukanya dan menyelamatkan orang-orang yang
tidak bersalah. Tapi beliau tidak tahu bahwa Hye-Na ingin menjadi
bagian dari pekerjaan keren itu. Bahkan belum sadar sama sekali saat
Hye-Na bermain-main dengan senapan yang tergeletak begitu saja di
arena pelatihan, menarik pelatuknya, dan menembak tepat di tengah-
tengah papan sasaran.
Bos ayahnya-lah, Park Soo-Hwan, yang pertama kali menyadari
kemampuannya. Beliaulah yang mendesak ayah Hye-Na untuk
membawa gadis kecil itu ke kantor setiap hari sepulang sekolah,
mengajarinya secara diam-diam semua hal tentang organisasi itu
sampai batas-batas tertentu yang diizinkan, sampai akhirnya Hye-Na
tahu bahwa pada ulang tahunnya yang keenam, dia bahkan sama
hebatnya dengan semua trainee perusahaan itu yang berumur sekitar
17 tahun ke atas. Dan saat ayahnya tahu, bukannya marah, pria itu
malah menepuk-nepuk pundaknya bangga dan berkata bahwa gadis itu
bisa bergabung dengan mereka saat umurnya sudah tepat nanti,
berjuang bersama untuk menyelamatkan negara. Ibunya awalnya tidak
terlalu setuju, tapi akhirnya mengalah saat melihat betapa anaknya
sangat menikmati ‘permainan barunya’ itu.
Karena itu Hye-Na merasa sangat kesal saat dirinya ditinggalkan
sendirian di tengah-tengah para bocah ingusan yang dalam jangka
wakut dekat akan merengek mencari orang tua mereka. Dia sudah
menghabiskan es krimnya dan berniat ingin mengambil gelas berisi
cola di atas meja di seberangnya, tapi cukup tahu diri bahwa meja itu
terlalu tinggi untuk dijangkaunya. Tapi kerongkongannya sudah kering
dan dia malas mencari orang tuanya yang entah terdampar dimana di
antara semua kerumunan ini.
Hye-Na mendekati meja itu. Ada seorang anak laki-laki yang lebih
besar darinya juga berdiri disana. Sepertinya lebih tua sekitar 2 atau
3 tahun. Dan yang jelas, cukup tinggi untuk dimintai pertolongan.
“Chogiyo… bisakah kau membantuku mengambilkan cola? Mejanya
terlalu tinggi,” ujar Hye-Na sopan.
Anak laki-laki itu menoleh, memperlihatkan keseluruhan wajahnya.
Mata Hye-Na sedikit melebar melihat bahwa anak laki-laki itu
mungkin saja adalah anak laki-laki tertampan yang pernah dilihatnya.
Penampilan anak itu tampak berkelas dalam balutan jas dari desainer
terkenal. Pasti orang tuanya kaya sekali.
Tatapan Hye-Na terpaku pada mata anak laki-laki itu. Tampak begitu
gelap dan dingin. Mungkin sombong adalah kesan pertama yang akan
didapat semua orang saat menatap mata anak itu. Dan wajahnya,
tampak tidak ramah. Sepertinya dia sudah salah memilih orang untuk
dimintai tolong.
“Kau menyuruhku?” tanya anak itu tidak percaya. Ekspresinya seolah-
olah menunjukkan bahwa Hye-Na telah berbuat sesuatu yang salah
dengan meminta tolong padanya.
“Anio. Bukan menyuruh. Aku hanya meminta tolong karena tidak ada
orang lain di sekitar sini.”
“Itu sama saja. Memangnya kau tidak tahu siapa aku sampai berani-
beraninya meminta tolong padaku?”
Hye-Na dengan refleks mengepalkan tangannya, menahan diri untuk
tidak meninju wajah di depannya itu. Sombong sekali bocah ini!
“Aku rasa aku tidak perlu tahu siapa kau hanya agar kau mau
menolongku mengambilkan gelas di atas meja itu untukku,” geram
Hye-Na sambil menggertakkan giginya dengan marah.
“Ada apa ini? Kyunnie?”
Seorang anak perempuan lain menyela mereka. Hye-Na menebak umur
anak itu baru 12 atau 13 tahun. Tidak lebih. Dia sudah belajar cara
mengira-ngira umur seseorang dari buku yang dibacanya.
“Apa lagi yang kau lakukan? Kau bersikap kasar lagi?” ulang anak
perempuan itu. Sepertinya dia adalah kakak dari anak laki-laki
sombong itu. Mata mereka mirip. Tapi jelas anak perempuan ini jauh
lebih ramah.
Anak laki-laki yang sepertinya bernama Kyu itu tidak menjawab sama
sekali dan malah memasang tampang angkuhnya, membuat anak
perempuan itu menyerah dan mengalihkan tatapannya pada Hye-Na.
“Ah-Ra imnida. Kau boleh memanggilku onnie. Kau anak Seuk-Gil
ajjushi, kan? Aku melihatmu datang bersamanya tadi. Aku, dan bocah
menyebalkan ini, anak dari teman ayahmu. Pemilik rumah ini. Orang
tua kamilah yang mengadakan pesta.”
“Ah, ye, onnie. Bangapseumnida,” ucap Hye-Na sambil membungkuk
sopan.
“Jadi… beritahu aku, apa yang dilakukan Kyuhyun padamu?”
Jadi namanya Kyuhyun? Wajahnya seperti jelmaan setan
menyebalkan, batin Hye-Na dalam hati.
“Aku meminta tolong padanya untuk mengambilkan gelas cola di atas
meja karena aku tidak bisa meraihnya, tapi dia malah bertanya
apakah aku tidak tahu siapa dia sampai berani-beraninya meminta
tolong padanya seperti itu.”
“Aish, Kyunnie, hentikan sikap dingin dan sombongmu itu,” bentak Ah-
Ra sambil menjewer telinga adiknya itu.
“Nuna, berhenti memperlakukanku seperti anak berumur lima tahun!
Aku sudah 9 tahun!” seru Kyuhyun. Dia sedikit meringis, tapi
tangannya dengan mudah mengenyahkan tangan kakaknya itu dari
telinganya.
Ah-Ra mengambil gelas berisi cola itu dari atas meja dan
memberikannya pada Hye-Na.
“Ini. Kalau kau butuh sesuatu lagi, jangan pernah meminta tolong
padanya,” ujar Ah-Ra mewanti-wanti. “Aku pergi dulu.”
Hye-Na mengangguk, menatap punggung Ah-Ra yang berlalu dengan
anggun, seanggun yang bisa dilakukan anak umur 13 tahun.
“Dasar pendek!”
Hye-Na berbalik saat mendengar suara penuh ejekan itu. Bocah
menyebalkan itu benar-benar menguji kesabarannya.
Dia mencengkeram gelas cola-nya, menarik nafas dalam-dalam, dan
memilih untuk mengabaikan setan kecil itu.
Oke, sepanjang sisa pesta, dia akan berusaha mencari tempat sejauh
mungkin dari makhluk di depannya ini.

***
“Kenapa aku harus menemaninya?” protes Kyuhyun. Dari nada
bicaranya jelas bahwa dia tidak mau mengerjakan perintah ayahnya
dengan sukarela.
“Karena ajjushi tidak mungkin membawa Hye-Na kemana-mana di
antara orang dewasa seperti ini. Jadi karena kalian sebaya, lebih baik
kalian bersama-sama saja.” Ganti Seuk-Gil yang berusaha membujuk
Kyuhyun agar anak itu mau bermain bersama Hye-Na, sementara para
ornag tua membicarakan bisnis.
Kyuhyun menghela nafasnya. Dia ingin sekali menolak, karena jelas
saja kalau dia berada di dekat anak perempuan yang terlihat
menyebalkan itu dia akan emosi tingkat tinggi dan pada ujungnya
mereka akan bertengkar. Gadis kecil itu memperlihatkan dengan jelas
ketidaksukaannya pada Kyuhyun, jadi untuk apa dia harus bersikap
baik dengan menemani anak itu? Tapi masalahnya, jika Seuk-Gil yang
meminta, dia tidak bisa menolak. Dia dekat dan sangat menyukai
‘paman’nya itu dan ini adalah kali pertama dia bisa melakukan sesuatu
untuk pria itu.
“Hye-Na juga suka bermain game, sama sepertimu. Iya kan, Sayang?
Apa kau membawa PSP-mu? Kalian bisa bermain bersama,” ujar Seuk-
Gil sambil mengusap rambut anak semata wayangnya.
Kyuhyun menoleh dan mendapati bahwa gadis itu menatapnya dengan
raut wajah dingin sebelum mengangguk pelan.
“Nah, kalau begitu tunggu apalagi? Kalian pergi bermain saja
sekarang.”
“Ayo ikut aku ke atas. PSP-ku ada di kamar,” ujar Kyuhyun sambil
melangkah duluan meninggalkan Hye-Na, membuat gadis kecil itu
terpaksa berlari-lari kecil untuk menjajari langkahnya yang besar.
“Berapa umurmu?” tanya Kyuhyun basa-basi. Sebenarnya dia tidak
suka berbicara dengan orang asing, tapi apa boleh buat. Gadis ini anak
‘paman’ kesayangannya.
“6 tahun,” jawab gadis itu singkat.
Kyuhyun menggumam pelan dan membuka pintu kamarnya, membawa
gadis itu masuk ke sebuah ruangan besar yang terdiri dari ruang
tidur, ruang ganti pakaian, perpustakaan kecil, dan ruang belajar. Ada
balkon besar yang tersambung dengan ruang tidur, menghadap
pemandangan taman bunga luas kesayangan ibunya.
Kyuhyun melihat gadis itu sedikit terkesima, tapi berhasil menguasai
ekspresinya dengan baik. Sesaat dia merasa gadis itu bersikap begitu
dewasa, pembawaannya tidak seperti anak berumur 6 tahun, walaupun
penampilannya memperlihatkan umurnya yang seharusnya. Dan… itu
membuatnya sedikit terkesan.
Kyuhyun berjalan masuk ke ruang belajarnya, sedangkan Hye-Na
mengikutinya dari belakang. Kyuhyun mengambil PSP-nya yang
tergeletak di atas meja dan menyadari bahwa Hye-Na tidak
mengikutinya lagi. Dia berbalik dan mendapati gadis itu sedang
mengamati sebuah robot yang berdiri diam di sudut ruangan.
“Namanya Pocka,” ujar Kyuhyun sambil berjalan mendekati gadis itu.
“Sentuh saja, dia akan bergerak.”
Hye-Na mendongak menatap Kyuhyun dan dengan ragu-ragu
menjulurkan tangannya untuk menyentuh robot itu.
“Annyeonghaseyo, Pocka imnida. Bangaweoyo. Ireumi mwoeyo? (Salam
kenal, namaku Pocka. Senang bertemu denganmu. Namamu siapa?)”
ucap robot itu dengan suara kekanak-kanakan sambil mengulurkan
tangannya ke arah Hye-Na, membuat gadis itu menatap benda itu
kagum.
“Dia akan selalu begitu pada orang yang belum dikenalnya,” jelas
Kyuhyun.
“Hye-Na imnida,” jawab Hye-Na sambil tersenyum, balas mengulurkan
tangannya untuk menjabat tangan robot tersebut.
“Hye-Na nuna, senang bertemu denganmu!”
“Nuna?” ulang Hye-Na bingung.
“Umurnya baru dua tahun, makanya dia memanggilmu nuna.”
“Dia bisa apa saja?” tanya Hye-Na dengan ketertarikan yang jelas
terlihat di wajahnya.
“Bisanya dia hanya menemaniku bermain game. Dia bisa melakukan
beberapa hal kalau kuprogram.”
“Kau program?”
“Dia robot ciptaanku.”
Hye-Na menegakkan tubuhnya, menatap Kyuhyun tak percaya.
“Terserah kau percaya atau tidak, tapi dia memang ciptaanku. Aku
sedang membuat rancangan untuk menciptakan sebuah android yang
sangat mirip dengan manusia dan mungkin appa bisa memproduksinya.”
“Android mirip manusia?”
“Mmm. Kalau kau mau tahu, aku ini sudah kelas 1 SMP walaupun
umurku baru 9 tahun. Aku loncat kelas berkali-kali.”
Hye-Na merengut dan mengerucutkan bibirnya.
“Kau sedang pamer padaku, ya?”
“Menurutmu?” ujar Kyuhyun sinis. Dia berjalan ke ruang tidur dan
membuka pintu balkon.
“Sampai jumpa, nuna!” seru Pocka saat Hye-Na bergegas menyusul
anak itu.
“Ne,” ujar Hye-Na sambil melambai sekilas. Gadis itu melangkah
keluar dan mendapati balkon yang cukup luas untuk bersantai. Ada
kursi kayu panjang dan kursi malas disana, di bawah naungan atap
yang menghalangi sinar matahari yang menusuk pada siang hari.
Pemandangan yang diperlihatkan sangat memukau. Taman bunga yang
diterangi lampu-lampu taman yang sangat terang sehingga semuanya
terlihat jelas, sama seperti di siang hari.
“Kau benar-benar sangat dimanjakan, ya?” kata Hye-Na dengan
sedikit nada mengejek yang tidak berusaha disembunyikannya.
“Membuat banyak anak-anak berusaha mendekatiku dengan cara
menjilat,” sahut Kyuhyun dengan wajah dingin tanpa ekspresinya.
Hye-Na menoleh ke arah anak laki-laki itu, menatapnya seperti
sedang menimbang-nimbang sesuatu.
“Aku bahkan tidak berniat mendekatimu,” ujar Hye-Na tenang,
membuat Kyuhyun dengan refleks tertawa kecil.
“Tidak usah kau katakan aku juga sudah tahu.”
Gadis itu terdiam, sedikit terpaku dengan raut wajah laki-laki itu
saat tertawa. Wajah yang datar dan dingin itu terlihat begitu ramah
ketika sudut-sudut mulutnya terangkat membentuk senyum dan
kekehan yang keluar dari mulutnya terdengar sedikit berat, khas
anak laki-laki yang sudah mulai beranjak dewasa. Pendapat awal gadis
itu benar. Anak itu memang anak laki-laki tertampan yang pernah
dilihatnya.
“Jadi… kau tidak punya teman?” tanya Hye-Na hati-hati seraya
mendudukkan tubuhnya di atas kursi kayu panjang, tepat di samping
laki-laki itu.
“Aku kira kita kesini untuk bertanding game,” elak Kyuhyun.
Tangannya memutar-mutar PSP dalam genggamannya.
Hye-Na mengedikkan bahunya. “Terserah padamu.”
Kyuhyun menarik nafas berat dan meletakkan PSP-nya ke atas meja.
Dia tidak tahu kenapa, tapi dia bersedia menceritakan rahasia
pribadinya pada gadis kecil yang awalnya tidak disukainya ini. Tapi
bukankah kau memang akan merasa nyaman saat bercerita pada orang
asing yang tidak kau kenal sehingga dia tidak akan menghakimimu
karena dia tidak mengenalmu? Setidaknya menurutnya begitu.
“Kau tahu, menjadi anak laki-laki orang terkaya di Korea sama sekali
tidak enak. Semua orang tahu bahwa aku akan menjadi pewaris
tunggal perusahaan ayahku saat aku sudah besar nanti. Aku
disekolahkan di sekolah terbaik dan bergaul dengan anak-anak dari
keluarga terpandang. Semua orang tua berusaha menyuruh anak
mereka untuk berteman denganku. Mungkin mereka berpikir bahwa
jika sang anak dekat denganku, ayahku akan tahu dan berminat
berbisnis dengan mereka. Semua orang selalu berkata bahwa aku
terlalu cepat dewasa dan jalan pikiranku sama sekali tidak
menunjukkan isi otak anak berumur 9 tahun. Mereka benar dalam
beberapa hal.”
“Aku tahu jalan pikiran orang dewasa dan berpikir sama seperti
mereka. Tapi aku juga anak kecil yang ingin memiliki teman bermain
yang memang ingin berteman denganku dan tidak menggunjingkanku di
belakang. Dan satu-satunya teman terbaik yang kukenal hanya
Eunhyuk hyung, sepupuku. Tapi dia lebih tua dan kami tidak satu
sekolah. Jadi tetap saja pada intinya aku tidak punya teman.”
“Saat itu aku merasa begitu marah dan membenci teman-temanku.
Jadi saat pulang sekolah, saat para orang tua menjemput anaknya,
sedangkan aku dijemput oleh supirku, aku membuat keributan. Salah
satu ayah temanku mendatangiku dan berkata bahwa dia mengenal
ayahku. Dia memberikan kartu namanya padaku dan menyuruhku
memberikan kartu nama itu pada ayahku. Aku sangat ingat kata-
katanya waktu itu, ‘Sang-Hyun teman baikmu, kan? Aku menyuruh
anakkku berteman denganmu agar kau punya teman disini. Jadi
katakan pada ayahmu bahwa aku berharap kami juga bisa berteman
seperti pertemananmu dengan anakku.’” Kyuhyun tersenyum getir
sebelum melanjutkan ceritanya.
“Tentu saja dia berpikir bahwa dia sedang berbicara dengan anak
kecil yang tidak akan mengerti maksud terselubung dari ucapannya
itu. Pria tua itu salah besar. Aku dengan kesal langsung menyobek
kartu namanya itu tepat di depan matanya sendiri dan membuangnya
ke tanah. Lalu berteriak padanya bahwa aku tidak butuh teman
seperti anaknya yang cengeng dan suka menggunjingkanku dengan
teman-teman yang lain, mengatakan bahwa aku sombong karena tidak
mau mengajaknya ke rumahku untuk bermain. Bahwa anaknya itu suka
mencuri barang-barangku yang mahal lalu memamerkannya pada anak-
anak yang lain. Semua orang di lapangan parkir mendengarnya dan aku
senang saat memikirkan betapa malunya pria tua dan anaknya yang
penjilat itu. Besoknya anak itu tidak masuk sekolah. Kudengar mereka
pindah ke Jepang.”
“Aku heran kau tidak melemparkaan kartu nama itu ke wajahnya. Apa
kau tidak pernah menonton film?” komentar Hye-Na dengan raut
wajah polosnya.
Kyuhyun tertawa keras, terpesona dengan cara gadis itu merespon
ceritanya dan bahwa jalan pikiran mereka berada pada frekuensi yang
sama.
“Tentu saja aku berpikir untuk melakukannya,” ujar Kyuhyun setelah
tawanya mereda. “Tapi pria itu jauh lebih tua dariku dan aku diajari
sopan santun bagaimana cara bersikap kepada orang tua. Kalau aku
melakukannya, pasti orangtuaku akan dicap buruk karena tidak bisa
mengajariku dengan baik.”
“Tapi pada akhirnya kau juga meneriakinya dan membuka aib anaknya.
Itu sama saja.”
“Beda. Aku kan membicarakan fakta.”
“Ya ya, bela saja dirimu terus Tuan Muda Cho.” Hye-Na
mengatakannya dengan senyum lebar di wajahnya.
“Jadi… sejak saat itu kau selalu bersikap sinis pada semua orang
asing?”
Kyuhyun menimbang-nimbang sesaat sebelum menjawab.
“Tidak juga. Dari dulu aku juga begini. Nuna gatal sekali ingin
menjitak kepalaku karena terkadang aku tidak bisa menjaga ucapan
sinisku di saat-saat tertentu.”
“Lalu… kau menciptakan Pocka sebagai teman bermain terbaikmu yang
tidak akan menggunjingkanmu di belakang dan tidak punya orang tua
yang akan menyuruhnya mendekatimu agar bisa berbisnis dengan
ayahmu?”
“Yah, kira-kira begitu.”
“Untuk anak umur 9 tahun… kau jenius sekali.”
“Umurku 7 tahun saat menciptakannya,” potong Kyuhyun.
“Dasar tukang pamer!”
“Kau juga bisa pamer kalau kau mau. Tapi memangnya apa yang bisa
dilakukan gadis kecil pendek dan ingusan sepertimu?”
“Yak, berhenti mengataiku pendek!” bentak Hye-Na tak terima.
“Tapi kau kan memang pendek,” ujar Kyuhyun tak mau kalah.
“Asal kau tahu saja, aku ini trainee di KIA. Direktur KIA sendiri yang
mengajariku secara pribadi. Aku bisa menembak tepat sasaran dan
diperbolehkan mengakses arsip-arsip KIA. Bahkan Soo-Hwan ajjushi
juga suka meminta pendapatku tentang suatu kasus karena
menurutnya aku sudah membaca arsip-arsip lama KIA jauh lebih
banyak daripada sebagian besar agen disana.”
Kyuhyun menatap gadis itu kagum, setengah tidak percaya bahwa
gadis pendek bertampang polos di depannya itu sebegitu hebatnya di
umurnya yang baru 6 tahun.
“Ayah tidak pernah mengizinkanku masuk ke gedung KNI. Dia hanya
membawaku ke ACC setelah aku menciptakan Pocka dan berpikir
bahwa aku tertarik dengan robot.”
“Kau tertarik dengan KNI?”
“Aku tertarik mempelajari beberapa hal. Menembak, menjinakkan
bom, hal-hal keren seperti itu. Tapi aku lebih tertarik melanjutkan
bisnis ayah. Hanya saja, sepertinya aku memang harus mempelajari
banyak tekhnik melindungi diri karena untuk menjadi pebisnis hebat
seperti ayah berarti aku akan mengorbankan diriku ke tangan para
penjahat. Ayahku bahkan membutuhkan ayahmu untuk melindunginya
dari kemungkinan pembunuhan.”
Hye-Na mengangguk setuju. Dia tahu bahwa ada banyak percobaan
pembunuhan yang direncanakan oleh saingan bisnis ayah Kyuhyun dan
tugas ayahnyalah untuk menggagalkan itu semua.
“Kau mau minum?” tawar Kyuhyun tiba-tiba. Dia menunjuk ke arah
kulkas kecil di dekat mereka.
“Apa ada kopi?” tanya Hye-Na antusias. Di rumah ibunya selalu
mengawasinya sehingga gadis kecil itu tidak bisa mencicipi kopi
kesukaannya. Tapi diam-diam ayahnya selalu menyisakan kopinya dan
memberikannya pada anak gadis semata wayangnya itu.
“Kau suka kopi? Kafein itu kan berbahaya, Na~ya.”
“Na~ya?”
Kyuhyun terdiam salah tingkah saat menyadari bahwa dia menyingkat
nama gadis itu begitu saja tanpa sadar.
“Lebih bagus, kan?” gumamnya pelan.
“Tapi… itu kedengarannya seperti kita sudah sangat dekat. Padahal
kan tadinya aku tidak menyukaimu,” ujar Hye-Na dengan tampang
cemberut.
“Tadinya? Jadi sekarang kau menyukaiku?” goda Kyuhyun, lagi-lagi
tanpa berpikir. Padahal biasanya dia tidak pernah tertarik pada gadis
manapun, apalagi sampai menggoda.
Hye-Na mengusap tengkuknya pelan. “Kau… lumayan. Tidak terlalu
buruk seperti yang kupikirkan. Kalau kau mau… kita bisa berteman.
Anggap saja aku teman pertamamu. Hmm?”
Kali ini, tanpa mempertimbangkannya sedikitpun, Kyuhyun langsung
menganggukkan kepalanya. Tangannya terjulur membuka kulkas kecil
tadi dan mengeluarkan sekaleng kopi dari dalamnya, mengulurkannya
pada Hye-Na setelah dia melepaskan pengait kaleng itu.
“Na~ya kedengarannya bagus,” gumam Hye-Na sambil meneguk kopi
dinginnya. “Tapi itu berarti aku juga harus punya nama panggilan
untukmu.”
“Yang pasti kau harus memanggilku oppa. Kau lebih kecil 3 tahun
dariku.”
“Oppa? Aku belum pernah memanggil siapapun dengan sebutan oppa.
Baiklah. Hyun oppa?”
“Hyun?”
“Ne. Hyun itu terdengar seperti nama anak laki-laki yang baik dan
manis. Saat aku pertama kali mendengar namamu, aku pikir nama itu
cocok sekali dengan perilakumu. Cho Kyuhyun. Terdengar seperti
nama setan dan kebetulan kau juga mirip setan. Jadi imejmu harus
diperbaiki sedikit.”
“Yak yak, Han Hye-Na, apa yang barusan kau katakan, hah?” protes
Kyuhyun kesal.
“Sudahlah, tidak perlu protes. Itu kan memang kenyataan,” tandas
Hye-Na santai. Dia meminum kopinya dalam satu tegukan cepat dan
mengulurkan kaleng itu ke arah Kyuhyun yang balas menatapnya
dengan pandangan tak mengerti.
“Kau tidak terlalu suka kopi? Mulai sekarang kau harus mencoba
menyukainya. Anggap saja sebagai awal pertemanan kita. Eo?”
Kyuhyun menatap kaleng berisi kopi itu dengan ragu. Dia belum
pernah….
“Kau belum pernah meminum bekas orang lain? Dasar Tuan Muda
manja,” ejek Hye-Na, menyuarakan pikiran Kyuhyun. “Tahu tidak?
Selalu ada kali pertama untuk segala hal. Kau juga harus mencoba
segala hal yang tidak kau sukai sebelum kau memutuskan menyukainya
atau tidak. Appaku bilang begitu.”
Kyuhyun mengambil kaleng minuman itu dan meneguknya pelan. Dia
hanya pernah sekali mencoba minuman itu dan dia tidak terlalu
menyukai rasa pahitnya, tapi saat dia melihat mata cokelat gadis itu
yang menatapnya dengan penuh harap dan senyum manis
kekanakannya, Kyuhyun berpikir bahwa rasa kopi ini sama sekali tidak
buruk. Dan dia menyukainya.
“Kau mau bertanding game denganku?” tawar Hye-Na.
“Bukannya dari awal tujuan kita memang untuk bertanding?”

***
Kyuhyun menoleh saat merasakan sesuatu tiba-tiba membebani
bahunya. Dia sedang asyik memainkan game di PSP-nya dan baru
menyadari bahwa Hye-Na sudah jatuh tertidur di sampingnya.
Dia melihat jam tangannya sekilas. Sudah jam 11 malam. Pantas saja.
Kyuhyun meletakkan PSP-nya ke atas meja, dengan hati-hati
memegangi kepala Hye-Na agar tidak terkulai jatuh dan
membaringkannya ke atas pahanya secara perlahan agar gadis itu
tidak terbangun.
Kyuhyun menarik nafas pelan sambil menatap wajah polos gadis yang
sedang tertidur di pangkuannya itu. Hela nafas gadis itu terdengar
teratur saat bahunya bergerak naik turun membantu paru-parunya
memompa udara. Angin malam kota Seoul terasa sedikit dingin, tapi
Kyuhyun tidak bisa bergerak sedikitpun untuk mengambil selimut ke
dalam walaupun dia sangat ingin melakukannya. Jadi sebagai gantinya
dia melepaskan jas yang dipakainya dan membentangkannya menutupi
tubuh bagian atas gadis kecil itu.
Hanya dalam waktu kurang dari satu jam, gadis itu sudah banyak
mengajarkannya hal-hal yang belum pernah dilakukannya sebelumnya.
Berbicara dengan orang asing, tertawa dengan lepas untuk pertama
kalinya di depan orang asing, berbagi satu kaleng minuman yang sama
dengan orang asing, menceritakan perasaannya pada orang asing itu,
memutuskan menjadikan orang asing itu sahabat pertamanya,
bertukar nama panggilan yang aneh, dan sekarang orang asing itu
tidur dengan nyamannya di atas pangkuannya.
Dia tidak pernah benar-benar menginginkan sesuatu, karena semua
yang dibutuhkannya akan selalu tersedia di depannya begitu saja jika
dia menginginkannya. Tapi sekarang… dia sangat ingin mengenal gadis
kecil dalam pangkuannya ini lebih jauh. Gadis yang terlihat begitu
dewasa dan lebih pintar daripada anak-anak sebayanya. Gadis yang
dengan enteng berkata padanya bahwa dia harus melakukan segala
sesuatu sesuai keinginannya tanpa perlu mendengarkan pendapat
orang lain. Bahwa selalu ada kali pertama untuk segala hal.
Dan gadis itu benar. Memang selalu ada kali pertama untuk segala hal,
termasuk saat dia untuk pertama kalinya benar-benar menginginkan
sesuatu. Dia ingin bertemu dengan gadis itu lagi, tidak peduli kapan,
dan saat itu terjadi dia yakin bahwa dia akan lebih dari siap untuk
mengenal gadis itu lebih jauh, bertemu dengannya lagi dan lagi. Ini
bukan jenis perasaan yang dipahami oleh anak seusianya, tapi dia tahu
pasti apa yang diinginkannya. Dan kali ini dia akan mendapatkannya
tanpa bantuan orang lain. Dengan usaha dan caranya sendiri.

***
“Hyun oppa, ireona!”
Kyuhyun merasa tubuhnya diguncang-guncang seseorang dan dia
mendengar nama… Hyun oppa?
Kyuhyun mengusap wajahnya dan membuka matanya sedikit. Dia
merasa bingung selama beberapa detik karena kesadarannya yang
masih belum terkumpul penuh, tapi akhirnya dia mengenali siapa gadis
kecil yang sedang berusaha membangunkannya itu.
“Na~ya? Wae?” tanyanya dengan suara serak. Dia membenamkan
wajahnya ke dalam bantal, berusaha melanjutkan tidurnya yang
terganggu tadi.
“Yak, oppa, aku mau pulang ke Amerika sebentar lagi. Ayo bangun!”
Mendengar kalimat itu Kyuhyun langsung tersentak kaget dan dengan
refleks duduk di atas tempat tidurnya. Ada rasa pusing yang sedikit
menyerang disebabkan oleh gerakannya yang begitu tiba-tiba itu, tapi
dia mengabaikannya begitu saja.
“Kau? Pulang?”
“Ne. 2 jam lagi pesawatku berangkat. Aku mau pamit. Ibumu bilang
kau baru bangun jam 10 di hari libur, tapi aku tidak bisa menunggu
selama itu. Pesawat kami berangkat jam 9, jadi maaf kalau aku
mengganggu tidurmu.” Hye-Na tersenyum manis dan memiringkan
wajahnya, menatap Kyuhyun dengan bingung. “Kata Ah-Ra onnie kau
paling tidak suka jika tidurmu diganggu, tapi kau kelihatannya tidak
marah aku mengganggu tidurmu?”
Kyuhyun baru tersadar akan kebiasaannya saat gadis itu
mengucapkannya. Dan dia jadi merasa bingung sendiri.
“Gwaenchana,” jawabnya akhirnya.
“Ya sudah, aku hanya mau mengatakan itu. Kau bisa melanjutkan
tidurmu,” ujar Hye-Na sambil bangkit dari atas tempat tidur
Kyuhyun.
“Chakkaman!” cegah Kyuhyun sambil memegangi pergelangan tangan
gadis itu, menghalangi langkahnya.
“Ne?”
“Bukannya… biasanya saat berpisah… harus meninggalkan sesuatu?”
tanya Kyuhyun salah tingkah. Dia tidak akan heran jika wajahnya
berubah jadi memerah saat ini.
Hye-Na membelalakkan matanya, tapi kemudian tertawa geli.
“Oppa, kau pasti terlalu banyak menonton film romantis.”
“Ani. Nuna selalu memaksaku menemaninya menonton sambil
merengek-rengek, jadi aku terpaksa memenuhi permintaannya,”
gumam Kyuhyun tak jelas.
Hye-Na tersenyum dan menjatuhkan tubuhnya lagi ke atas tempat
tidur.
“Barang kenangan? Menurutmu kita akan bertemu lagi saat dewasa
lalu saling memperlihatkan barang pemberian masing-masing… dan
jatuh cinta satu sama lain?” Hye-Na terkekeh membayangkan hal
menggelikan itu. “Itu hanya ada dalam kisah cinta zaman dulu, oppa.”
“Aku setuju dengan dua hal pertama, tapi tidak dengan yang
terakhir.”
“Apanya? Bagian jatuh cintanya? Cih, saat kita bertemu lagi aku pasti
sudah memiliki kekasih yang tampan dan kaya, lalu aku akan menikah
dengannya.”
“Memangnya aku tidak tampan dan kaya?”
“Kau itu menyebalkan. Aku tidak mau punya suami sepertimu.”
“Aku menyebalkan?” ulang Kyuhyun tak terima.
“Aish, oppa, sekarang bukan waktunya untuk berdebat. Cepat
beritahu aku benda apa yang harus kuberikan padamu. Aku harus
segera berangkat.”
Kyuhyun mendengus sebelum akhirnya mengalah dan mulai berpikir.
“Bagaimana kalau PSP-mu saja? Itu barang kesayanganmu, kan?”
“PSP? Tapi itu hadiah dari Soo-Hwan ajjushi saat ulang tahunku yang
kelima.”
“Aku juga akan memberikan PSP-ku. Eotte?”
Hye-Na tampak berpikir sesaat, kemudian membuka tas ransel kecil
di punggungnya, mengeluarkan PSP kesayangannya dan
memberikannya pada Kyuhyun.
“Kau harus menjaganya baik-baik, eo? Kalau sampai rusak, aku tidak
akan pernah memaafkanmu!”
Kyuhyun mengambil PSP-nya yang tergeletak di atas meja kecil di
samping tempat tidurnya, menyerahkannya pada gadis itu.
“Kau juga harus melakukan hal yang sama pada PSP-ku.”
Hye-Na mengangguk dan memasukkan PSP itu ke dalam tasnya.
“Sudah, kan? Aku pergi dulu. Annyeonghi gaseyo!”
Gadis itu melambaikan tangannya dan berlari keluar dari kamar, tanpa
menoleh ke belakang sama sekali.
Kyuhyun tersenyum lemah, membiarkan tatapannya tetap tertuju ke
arah pintu kamarnya yang sudah tertutup, menyembunyikan sosok
gadis kecil yang baru dikenalnya kurang dari 24 jam, tapi berhasil
mengubah beberapa hal dalam hidupnya dengan begitu mudah.
“Annyeong… Na~ya….”
FLASHBACK END

***
Hye-Na memegangi kepalanya yang terasa sedikit berdenyut-denyut.
Ingatan masa kecilnya itu membanjiri pikirannya tanpa ampun, seolah
karena telah tertahan begitu lama, kenangan itu datang menyerbu
seperti air bah.
Dia tidak tahu kenapa dia bisa melupakan kenangan itu selama ini.
Sepertinya dia terlalu membenci pria itu sampai-sampai tidak mau
menyisakan sedikit tempat pun di sudut otaknya untuk didiami oleh
ingatan 14 tahun yang lalu itu.
Dia ingat kejadian 2 minggu setelah pertemuan mereka. Ayahnya baru
pulang ke Amerika setelah menjalankan tugasnya sebagai agen di
Korea. Tugas apa lagi kalau bukan melindungi ayah Kyuhyun. Saat
itulah kebencian awalnya pada pria itu memuncak seperti virus kanker
yang tidak bisa disembuhkan. Ayahnya membawa PSP kesayangannya
yang telah retak di beberapa bagian dan benar-benar mustahil untuk
bisa dimainkan lagi.

“Ini punyamu, kan? Kau pasti meninggalkannya di Korea waktu itu.


Tapi kenapa kau tidak bilang pada appa? Appa kan bisa mencarikannya
untukmu.”
“Darimana appa mendapatkannya?”
“Ada ancaman bom di kediaman keluarga Cho. Kami terpaksa
menggeledah semua tempat. Appa menemukannya di tempat sampah
di lantai dua di dekat kamar Kyuhyun. Appa pikir karena kau sangat
menyayangi PSP-mu kau pasti ingin melihatnya.”

Dia ingat dengan jelas bahwa kemudian dia menangis semalaman.


Bukan karena itu adalah benda yang paling disayanginya, pemberian
dari orang yang sangat dihormatinya, orang yang telah
mengajarkannya segala hal yang mengagumkan, orang pertama yang
mempercayai anak kecil sepertinya, tapi karena dia merasa lebih
sakit hati dengan kenyataan bahwa benda yang seharusnya dijaga
baik-baik oleh orang yang dianggapnya sebagai sahabatnya itu malah
berakhir di dalam tempat sampah. Rusak tidak berbentuk.
Dia sudah menganggap bahwa Kyuhyun adalah sahabat yang dapat
dipercayainya, bahwa namja itu bukan orang yang menyebalkan
seperti yang dipikirnya sebelumnya, tapi ternyata semua dugaannya
salah besar. Namja itu sama sekali tidak pantas menjadi sahabatnya.
Dan saat itu dia masih gadis kecil berumur 6 tahun, gadis kecil yang
langsung mengambil keputusan untuk membenci pria itu seumur
hidupnya, berjanji tidak akan kembali lagi ke Korea dan bertemu
dengan pria itu, dan menghapus semua kenangan tentang pria itu dari
ingatannya. Dan buktinya dia memang tidak ingat sama sekali sampai
detik di saat Kyuhyun menyebutkan namanya. Satu-satunya nama
panggilan yang hanya pria itu yang tahu, karena memang hanya pria
itu yang pernah memanggilnya seperti itu.
Hye-Na menghembuskan nafasnya dan mendongak, menatap
pemandangan perbukitan dan kumpulan pohon pinus di sekelilingnya.
Jika berada di sisi yang tepat, dari tempat ini bahkan bisa terlihat
pemandangan seluruh kota dari kejauhan. Area pemakaman itu sepi,
walaupun beberapa puluh menit yang lalu sempat ribut karena
kedatangan para polisi dan agen KNI yang melakukan pemeriksaan
terhadap mobilnya. Entah bagaimana Kyuhyun bisa menyelamatkan
Hye-Na dari kewajiban diinterogasi dan menyuruh gadis itu masuk ke
areal pemakaman pribadi yang hanya boleh dimasuki oleh anggota
keluarga. Gadis itu memang suka menginterogasi orang, tapi tidak
pernah suka jika dirinyalah yang harus dijadikan sasaran interogasi.
Hye-Na mendesah keras. Pria itu menyelamatkannya. Lagi. Hal ini
benar-benar memalukan, mengingat bahwa dirinyalah yang seharusnya
melindungi pria itu. Cukup mengherankan bahwa Kyuhyun selalu
datang tepat waktu untuk menyelamatkannya, seolah ada alarm
tersembunyi di kepala pria itu, yang akan berbunyi saat Hye-Na
berada dalam kesulitan. Dan dia jadi penasaran sendiri, hal apa di
atas dunia ini yang tidak bisa dilakukan seorang Cho Kyuhyun dengan
baik? Sepertinya nyaris mustahil menemukan hal yang bisa membuat
pria itu tidak terlihat mempesona. Dia selalu melakukan segala
sesuatunya dengan sempurna, tanpa kesalahan sedikitpun.
Hye-Na sudah melakukan penghormatan di depan makam ayahnya tadi
dan memilih duduk di atas kursi kayu panjang di bawah sebuah pohon
yang langsung menghadap ke arah pemandangan pantai di bawah.
Angin musim gugur yang berhembus cukup kencang membuat udara
terasa asin, bau khas laut. Bahkan debur ombak yang menghantam
karang terdengar sangat jelas dari sini.
Hye-Na menyandarkan kepalanya ke batang pohon. Wajahnya sedikit
mendongak ke atas, menerima langsung pancaran sinar matahari yang
tidak terlalu menusuk, bahkan cuaca saat ini bisa dikatakan sangat
sejuk. Dia membiarkan matanya menutup selama beberapa saat,
sampai akhirnya dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh
pipinya, membuatnya dengan refleks membuka mata dan menegakkan
tubuhnya.
“Kopi?” tawar Kyuhyun sambil menyodorkan kaleng berisi kopi dingin
yang tadi ditempelkannya ke pipi Hye-Na. Pria itu membuka penutup
kaleng sebelum menyerahkannya pada Hye-Na dan beranjak untuk
mengambil tempat di samping gadis itu.
“Kau suka tempat ini? Aku sering kesini saat sedang bosan dengan
kegiatan di kantor. Appa sendiri yang langsung memilih tempat ini
sebagai tempat pemakaman ayahmu. Kadang-kadang kami kesini
bersama untuk ziarah.”
Hye-Na menyeruput kopi itu pelan, merasakan cairan pahit itu turun
melewati kerongkongannya. Dia meletakkan kaleng minuman itu ke
pangkuannya dengan telapak tangan yang mengelilingi permukaan
kaleng itu, merasakan teksturnya yang dingin.
“Kau tidak menjaga PSP-ku dengan baik,” ujar gadis itu dengan suara
pelan, tapi masih dapat ditangkap dengan baik oleh Kyuhyun.
Pria itu menoleh, menatap Hye-Na lekat-lekat.
“Kau ingat?” tanyanya dengan suara tercekat. Ada perasaan bahagia
yang terpancar dengan sangat jelas dari matanya, membuat Hye-Na
untuk sesaat terpaku dan tidak dapat menemukan konsentrasinya
yang mendadak buyar.
“Aku ingat bahwa kau membuang PSP-ku ke dalam tempat sampah.”
Kyuhyun mengerutkan keningnya tidak mengerti.
“Ayahku mengembalikan PSP-ku yang sudah rusak dan berkata bahwa
dia menemukannya di tempat sampah di dekat kamarmu. Karena itu
aku memutuskan untuk membencimu dan tidak mau mengingat
tentangmu lagi.”
“Tae-Hwa yang membuangnya,” ujar Kyuhyun. Suaranya sedikit
bergetar saat berbicara. “Cho Tae-Hwa, orang yang sudah tidak
kuanggap sebagai pamanku lagi. Orang yang sangat ingin kuhabisi
dengan tanganku sendiri. Dia yang membuangnya.”
“Mwo?”
“Dia bukan paman yang kusukai. Dia tidak pernah suka melihatku
dimanjakan oleh ayah. Dibelikan semua barang keluaran terbaru yang
harganya sangat mahal.”
“Aku menyimpan PSP-mu baik-baik, menganggapnya sebagai barang
milikku yang paling berharga. Aku tahu kadang-kadang Tae-Hwa suka
masuk ke kamarku, mulai menceramahiku tentang betapa borosnya
ayahku dalam membelanjakan uangnya untuk membelikanku barang-
barang terbaik. Dia suka mengambil barang-barang milikku dan
membawanya pulang untuk diberikan kepada anaknya, karena itu aku
sengaja menyimpan PSP-mu di dalam laci meja di dekat tempat
tidurku. Tapi saat itu aku lalai. Setelah memainkannya aku lupa
meletakkannya ke tempat semula. Aku baru sadar PSP-mu hilang
keesokan harinya. Aku benar-benar ketakutan dan mencarinya ke
semua sudut di kamarku. Saat aku mengadu kepada ayah, Tae-Hwa
dengan santainya berkata bahwa dia sudah membuang PSP itu ke
tempat sampah. Dia beralasan bahwa aku seharusnya belajar untuk
mendapatkan nilai yang bagus, bukannya bermain game terus-terusan.
Saat itu aku nyaris menghajarnya kalau ayahku tidak cepat
menghalangiku. Mulai hari itu dia menjadi orang yang paling kubenci di
atas dunia ini.”
“Aku sudah mencari PSP itu ke tempat-tempat sampah di rumahku,
tapi tidak menemukannya. Mungkin ayahmu lebih dulu menemukannya
dan mengembalikannya padamu.” Kyuhyun menghembuskan nafas
dengan berat. “Mianhae, Na~ya.”
Untuk sesaat yang terasa lama Hye-Na tertegun. Ada aura kebencian
yang kuat saat Kyuhyun bercerita tentang pamannya itu. Membenci
pamannya hanya karena masalah sepele seperti itu.
“Kau membencinya karena itu?”
“Kau melupakanku gara-gara dia. Itu alasan terbesarku membencinya.
Dan sekarang… aku menghadapi kenyataan bahwa dia yang telah
merencanakan pembunuhan terhadap ayahku dan ayahmu dan mungkin
saja dia juga yang telah memasang bom di mobilmu. Aku sangat ingin
membunuhnya, kau tahu?”
“Kyu….”
Kyuhyun tersenyum singkat dan menyandarkan punggungnya ke
sandaran kursi.
“Kau sepertinya tidak akan memanggilku Hyun oppa, kan?”
Hye-Na melongo sebelum akhirnya mendengus.
“Menggelikan!”
Gadis itu menghabiskan kopinya dalam satu tegukan dan melempar
kalengnya ke dalam tempat sampah di dekat kursi tempat mereka
duduk. Dia mengambil tasnya dan menyampirkannya ke bahu kemudian
bangkit berdiri.
“Ayo pulang,” ajaknya. “Seingatku kau meninggalkan pekerjaan
pentingmu, kan? Bagaimana mungkin kau bisa meninggalkan Presiden
Korea dan para Duta Besar begitu saja hanya untuk
menyelamatkanku?”
“Mereka tidak lebih penting darimu,” ucap Kyuhyun singkat. “Kau
berada dalam prioritas utamaku. Seharusnya kau sudah tahu itu, kan?
Aku akan mendahulukanmu di atas apapun.”
Hye-Na merasakan keringat dingin mendadak mengaliri tengkuknya,
pertanda bahwa dia mulai salah tingkah.
Astaga, kapan pria ini akan berhenti membuatnya terpesona?
“A… ayo pulang. Aku harus segera kembali ke kantor,” katanya gugup.
Dia baru saja akan melangkah saat merasakan cekalan Kyuhyun di
tangan kirinya. Dia berbalik dan tanpa sadar menatap langsung ke
mata pria itu. Mata yang sedang menatapnya dengan intens, seolah
dia adalah sesuatu yang sangat berharga untuk dilihat. Seolah dia
adalah objek paling menarik yang pernah ditatap oleh pria itu.
Seolah… tidak ada kegiatan lain yang lebih menyenangkan selain
menatapnya.
“Aku berpikir banyak tadi,” ujar Kyuhyun dengan suara berat. “Aku
memang akan melakukan segala hal yang aku bisa untuk
mempertahankanmu, tapi saat bersamaku kau juga membahayakan
keselamatanmu sendiri, kan?”
“Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu tentu saja. Anggap saja aku
egois karena tidak mempedulikan keselamatanmu. Tapi sejauh ini aku
berhasil melindungimu, kan?”
“Aku berpikir tentang berapa banyak lagi waktu yang aku punya. Aku
tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa bisa saja aku lalai dan
kehilanganmu sewaktu-waktu, jadi aku pikir sudah saatnya aku
mengatakannya padamu.”
Kyuhyun mengganti cekalannya dengan genggaman ringan di tangan
gadis itu, menyentuhnya dengan begitu hati-hati seolah tangan gadis
itu adalah barang antik yang hanya tersisa satu-satunya di atas dunia
ini.
“Mungkin seharusnya aku mengatakannya sejak dulu, tapi… aku tidak
tahu kapan waktu yang tepat, bagaimana cara mengucapkannya
dengan benar. Aku takut dengan reaksi apa yang akan kau berikan,
bagaimana tanggapanmu saat aku mengatakannya.”
“Kau tahu?” Suara Kyuhyun berubah serak, merefleksikan
kegugupannya. Hye-Na sendiri berdiri membatu di tempatnya,
merasakan hembusan angin laut yang terasa dingin, membuatnya
nyaris menggigil. Dia mendadak bisa menebak apa yang akan
dikatakan pria itu selanjutnya dan merasa bahwa dia belum siap
mendengarnya. Bahwa dia tidak yakin bisa berdiri dengan benar jika
pria itu tidak terus memeganginya. Bahwa ekspresi wajahnya mungkin
akan terlihat sangat bodoh dan dia tidak akan heran jika pria itu bisa
mendengar detak jantungnya yang begitu keras, detakan yang
membuat rongga dadanya terasa nyeri. Bahwa jika pria itu
mengatakannya, dia tidak tahu reaksi seperti apa yang harus
diberikannya selain tampak memalukan dengan wajah yang memerah
dan kaki yang gemetaran.
Hye-Na merasakan tangannya diremas, tahu dengan jelas bahwa pria
itu sendiri sangat gugup karena genggaman tangannya tidak semantap
biasanya, dan telapak tangan pria itu terasa basah karena keringat.
“Aku mencintaimu… Na~ya….”
***
Heechul’s Home, Gangnam, Seoul
04.00 PM

Heechul memarkirkan mobilnya dengan cepat ke garasi rumah, nyaris


menimbulkan bunyi berdecit karena rem yang diinjak tiba-tiba. Pria
itu baru saja menyelesaikan take terakhir drama yang dimainkannya
dan entah kenapa begitu ingin cepat sampai di rumah. Dia bahkan
menolak mentah-mentah ajakan sutradara untuk makan bersama
dengan para kru dan pemain lainnya, padahal biasanya Heechul tidak
akan pernah menolak ajakan semacam itu.
Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi seharian
tadi, sepanjang pengambilan gambar berlangsung, dia selalu teringat
bahwa ada seseorang yang menunggunya di rumah, bahwa ada
keinginan besar untuk melihat gadis itu lagi secepatnya, tidak peduli
jika mereka baru saja bertemu tadi pagi sebelum dia berangkat
syuting. Dia sangat ingin mendengar suara dan melihat senyum gadis
itu lagi, satu-satunya gadis yang pernah diinginkannya dan pada
akhirnya membuat dia memutuskan untuk menikah.
Well, lamaran kemarin sebenarnya di luar rencana. Dia tidak tahu apa
yang membuatnya memiliki keberanian untuk menghadapi orang tua
gadis itu dan mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak sopan untuk
diucapkan di depan calon mertua. Tapi mau apalagi, yang penting dia
sudah meminta izin untuk menikahi anak mereka. Setuju atau tidak
setuju itu urusan mereka, karena Heechul tidak akan peduli dan tetap
pada pendiriannya. Untung saja mereka tidak keras kepala dan
bersedia menyerahkan anak mereka. Mungkin karena mereka berpikir
Heechul cukup kaya dan disamping masa lalunya yang kelam,
sebenarnya dia calon menantu yang potensial.
Mereka sempat bersitegang saat memutuskan dimana Min-Hyo akan
tinggal sebelum mereka menikah. Heechul tahu dengan jelas bahwa
Min-Hyo tidak akan mau kembali tinggal di rumah itu dan pria itu
sendiri tidak mau jika Min-Hyo sampai terlepas dari pengawasannya.
Masalahnya adalah orang tua Min-Hyo tidak mau anak mereka dicap
buruk karena tinggal bersama seorang pria yang belum berstatus
sebagai suaminya. Cih, seperti mereka peduli saja dengan apa yang
akan terjadi pada anak mereka. Yang mereka sebenarnya pedulikan
hanya nama baik mereka. Ciri khas orang kaya yang tergila-gila pada
martabat.
Heechul berhasil membawa Min-Hyo kembali ke rumahnya setelah dia
berteriak kepada kedua orang itu bahwa dia tidak akan menghamili
anak mereka sebelum mereka resmi jadi suami istri, dan saat orang
tua Min-Hyo masih syok mendengar ucapan Heechul itu, dia menarik
Min-Hyo keluar dan dengan cepat pergi dari tempat itu. Min-Hyo
berkali-kali berkata bahwa dia tidak akan heran jika kedua orang
tuanya terkena serangan jantung gara-gara pria itu.
Heechul terseyum saat ingatan itu singgah di otaknya lagi. Dia
membanting pintu mobilnya dan berlari ke dalam rumah, mencari
gadis itu ke setiap ruangan, tapi tidak menemukannya dimanapun. Dia
nyaris putus asa dan mengira gadis itu sudah pergi entah kemana saat
akhirnya dia mendengar dentingan sendok yang beradu di ruang
makan yang tersambung dengan dapur. Pria itu bergegas kesana dan
dengan cepat menghela nafas lega saat Min-Hyo mendongak,
menatapnya heran dengan sumpit di mulutnya yang terlihat
menggembung. Gadis itu mengunyah nasinya cepat-cepat dan
menyeruput air di gelasnya karena tersedak dalam usahanya menelan
makanan.
“Oppa, kau sudah pulang? Cepat sekali,” tanyanya bingung. “Dan
kenapa kau seperti orang yang baru selesai lomba lari begitu?”
Heechul merasakan tubuhnya membeku di depan pintu ruang makan.
Dia tidak sempat berpikir jernih karena terlalu terburu-buru ingin
melihat gadis itu lagi, jadi dia belum menyiapkan satupun alasan yang
terdengar masuk akal untuk menjelaskan kenapa dia pulang terlalu
cepat dan kenapa nafasnya terdengar tidak beraturan.
Pria itu mengacak rambutnya pelan, memutar otak dengan cepat.
“Yak, apa yang sedang kau lakukan, hah? Ini baru jam 4 sore dan kau
sudah memakan jatah makan malammu?” bentak Heechul sambil
berjalan mendekat, menarik salah satu kursi dan menjatuhkan tubuh
di atasnya.
“Anieyo. Aku tadi sibuk membersihkan rumah dan merapikan
kamarmu, memastikan tidak ada satu debu pun yang tersisa. Karena
kelelahan aku tertidur dan melewatkan makan siangku,” jelas Min-Hyo
membela diri.
Heechul menatap gadis di depannya itu lekat-lekat, kemudian setelah
beberapa saat dia mengambil sumpit di atas meja dan memindahkan
setumpuk daging dan kimchi ke dalam mangkuk gadis itu.
“Yak, Park Min-Hyo, mulai sekarang kau harus makan yang banyak.
Dan jangan sampai kau lupa makan seperti tadi lagi. Kau tidak tahu
bahwa tubuhmu itu kurus sekali dan sama sekali tidak menarik untuk
dilihat? Kau harus makan yang banyak dan jaga kesehatanmu, jangan
sampai kau merepotkanku. Arasseo?”
“Oppa, apa kau tidak sadar kalau kau itu juga sangat kurus, hah?”
“Aku ini memang tidak akan bisa gemuk walau makan sebanyak apapun,
kau tahu tidak? Jadi kau tidak perlu mengomentari tubuhku!
Habiskan saja makananmu itu!” seru Heechul sengit. Dia mengambil
kimchi dengan sumpit yang sedang dipegangnya dan memasukkannya
secara paksa ke dalam mulut gadis itu.
“Aish, kau ini kasar sekali!” dengus Min-Hyo, bersusah payah
mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Oppa, bukannya hari ini hari terakhir syutingmu? Bukankah biasanya
pada hari terakhir semua orang melakukan pesta perpisahan dan
makan bersama? Kenapa kau sudah berada di rumah sore-sore
begini?” tanya Min-Hyo, kembali mengulang pertanyaan yang sangat
ingin dihindari Heechul itu.
“Eh… aku…. Aish, sudahlah, kau tidak usah banyak tanya! Habiskan
dulu makanan di mulutmu itu! Menjijikkan!” semprot Heechul,
membuat Min-Hyo langsung menutup mulutnya dan menghabiskan
makanannya dalam diam.
Heechul memainkan sumpit di tangannya, mengaduk-aduk sup di dalam
mangkuk di depannya dengan gerakan memutar.
“Yak, Park Mi-Hyo,” panggilnya dengan suara pelan.
“Mmm?”
“Bisakah kau memberitahuku apa yang terjadi? Seharian ini aku
mengingatmu terus seolah kau tidak mau enyah dari otaakku. Aku
berpikir bahwa aku ingin cepat pulang dan bertemu denganmu lagi.
Lalu tadi aku mengemudi dengan kecepatan di atas rata-rata, padahal
kau tahu bahwa aku tidak suka melanggar peraturan apapun. Dan aku
berlari ke rumah, mencari kau kemana-mana tapi aku tidak
menemukanmu. Aku sempat mengira kau kabur dariku atau orang
tuamu datang dan membawamu pulang dengan paksa. Aku benar-benar
ketakutan memikirkan kemungkinan itu. Seperti ada sesuatu yang
tidak enak di perutku, membuatku merasa mual dan ingin
memuntahkannya. Tapi saat aku melihatmu lagi, rasanya sesuatu yang
tidak enak di perutku itu hilang begitu saja, seolah hal itu memang
tidak ada dan hanya perasaanku saja. Aku tidak mengerti dengan
perasaan yang seperti ini. Bisakah kau memberitahuku apa yang
sebenarnya sedang terjadi? Aku sedang tidak waras atau apa? Apa
itu ada hubungannya dengan penyakit? Aku perlu ke dokter mungkin?”
Min-Hyo terbatuk dan merasa kerongkongannya tercekik. Gadis itu
buru-buru mengambil gelasnya dan meminum isinya dalam satu
tegukan besar.
“Yak, gwaenchana?” tanya Heechul panik sambil mengulurkan
tangannya untuk mengusap-usap punggung gadis itu.
“Oppa… kau merindukanku,” ucap gadis itu dengan suara serak. Ada
senyum manis yang tersungging di wajah cantiknya.
“Ne?” tanya Heechul, merasa pendengarannya sedikit bermasalah.
“Kau merindukanku,” ulang Min-Hyo lagi, kali ini dengan suara yang
lebih keras dan jelas. “Saat kau tiba-tiba merasa sangat ingin
bertemu dengan seseorang dan ingin melakukan apa saja untuk bisa
melihatnya lagi, itu artinya kau merindukan orang itu.”
Heechul mengerutkan keningnya, berusaha mencerna penjelasan gadis
itu. Dia tidak tahu bahwa ada perasaan seperti itu. Dia tidak pernah
merindukan siapapun sebelumnya.
Pria itu meletakkan sumpitnya dan melipat tangannya di depan dada.
Matanya terarah kepada gadis itu dalam satu tatapan intens.
“Kalau begitu sebaiknya kita segera menikah saja agar aku bisa
membawamu kemanapun aku pergi. Jadi aku tidak perlu merindukanmu
lagi.”
***
STA Building
08.30 PM

“Kita harus bicara.”


Suara tenor itu membuat Eun-Kyo yang sedang sibuk mengetik
laporan di komputernya terlonjak kaget. Gadis itu mendongak dan
langsung membelalak syok melihat siapa yang sedang mengajaknya
bicara.
“Leeteuk ssi…” gumamnya lirih. Tiba-tiba saja gadis itu merasa
ketakutan melihat tatapan mata Leeteuk yang tampak menghakimi.
“Kau dan aku, kita harus bicara,” ulang namja itu lagi. Wajahnya
tampak sangat serius dan matanya menyorot tajam, seolah hidupnya
bergantung pada gadis di depannya itu.
“Aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan,” jawab Eun-Kyo cepat.
Dia melirik jam di atas meja kerjanya dengan gugup dan bergegas
meraup semua barang-barangnya kemudian memasukkannya secara
serampangan ke dalam tas. Laporan yang sedang diketiknya
sepertinya harus ditunda sampai nanti malam. Sebaiknya dia pulang
sekarang. Lebih cepat menjauh dari pria di depannya ini lebih baik.
Eun-Kyo tahu bahwa emosinya sedang tidak stabil dan dia mungkin
saja akan kehilangan kendali jika harus memaksakan diri untuk
berbicara dengan pria ini sekarang, tapi dia juga tahu, bahwa saat
berhadapan dengan pria ini, entah kenapa hatinya menjadi begitu
lemah. Seolah apapun alasan pria itu mendekatinya, dia tidak akan
peduli dan dengan mudah akan jatuh ke pelukan pria itu lagi semudah
hokum gravitasi berlaku pada setiap benda yang terjatuh ke atas
permukaan bumi.
Eun-Kyo menggantungkan tali tasnya ke bahu dan berjalan secepat
yang bisa dilakukan kakinya ke arah pintu, tapi tangan Leeteuk
bergerak lebih cepat. Pria itu mencengkeram tangan Eun-Kyo dengan
begitu erat, nyaris membuat gadis itu meringis kesakitan.
“Kenapa kau menghindariku?” tanyanya tajam.
Eun-Kyo menggertakkan giginya dan menarik nafas dalam-dalam,
berusaha mengontrol emosinya. Dia tetap berdiri membelakangi
Leeteuk, berusaha tidak menatap wajah yang selalu berhasil
membuaatnya kehilangan akal sehat itu.
“Lepaskan,” ucapnya pelan, nyaris berbisik.
Leeteuk menaikkan tangannya dari pergelangan tangan Eun-Kyo ke
siku gadis itu, menariknya kuat sehingga tubuh gadis itu dengan
refleks berbalik menghadapnya. Dia nyaris tidak bisa mengendalikan
dirinya sendiri untuk tidak mengguncang-guncang tubuh gadis itu,
jadi sebagai gantinya dia berteriak frustasi dengan suara bergetar
yang tidak bisa dikontrolnya.
“PARK EUN-KYO SSI!!!”
Eun-Kyo mendongak dan menyadari bahwa semua karyawan yang
masih berada di kantor memandangi mereka dengan raut wajah ingin
tahu. Kantor pribadi Eun-Kyo hanya dilapisi dinding kaca, jadi semua
orang bisa melihat apa yang terjadi di dalam.
Dengan seluruh tenaga yang bisa dikerahkannya, Eun-Kyo
menghentakkan tangannya sampai terlepas dan dengan cepat berlari
keluar. Dia berusaha tidak memedulikan tatapan-tatapan penasaran
saat dia lewat, bahkan dia mengacuhkan paru-parunya yang sudah
memberontak mencari udara dan tetap berlari sampai ke halte bus
yang berjarak 10 menit dari Five States.
Gadis itu memegangi bangku halte yang terasa sangat dingin,
mencengkeramnya kuat-kuat saat dia berusaha menormalkan
nafasnya kembali. Dia nyaris terduduk di atas pelataran halte,
hampir-hampir tidak bisa menahan tubuhnya sendiri. Sekujur
tubuhnya sudah basah karena keringat, membuatnya terpaksa
melonggarkan syal yang melilit lehernya, mencari sedikit udara dingin
yang mungkin bisa sedikit menyegarkan otaknya.
Halte itu kosong dan biasanya memang seperti itu, karena kebanyakan
karyawan KNI memiliki mobil pribadi masing-masing atau memilih naik
kereta api bawah tanah yang stasiunnya terletak tidak terlalu jauh
dari gedung mewah itu. Dan hal tersebut menjadi sebuah keuntungan
tersendiri bagi Eun-Kyo. Dia tidak pernah mau terlihat lemah di
depan orang lain. Dia tidak suka tatapan simpati dan kasihan dari
orang luar yang tidak mengenalnya.
Gadis itu bangkit berdiri dengan susah payah. Tangan kanannya
memegangi tasnya yang beratnya terasa bertambah lima kali lipat
daripada yang seharusnya, sedangkan dia sendiri harus berjalan
tertatih-tatih karena energinya sudah lenyap entah kemana, menguap
seperti kepulan kabut yang terbentuk saat dia menghela nafas.
Musim gugur tahun ini memang termasuk ekstrim, nyaris sama
membekukannya dengan musim dingin.
Bunyi dentuman sepatu hak tingginya memantul di atas aspal setiap
kali dia melangkah. Jalanan itu nyaris kosong tanpa ada kendaraan
yang lewat, padahal masih jam 8 malam. Eun-Kyo memutuskan untuk
berjalan kaki ke jalan raya yang berjarak 10 menit dari tempat itu,
berniat untuk menyetop taksi pertama yang dijumpainya.
Gadis itu merasa sedikit gentar saat melihat dua orang pria berbadan
besar berjalan dari arah yang berlawanan dengannya. Cara berjalan
mereka terlihat sedikit sempoyongan, seperti orang yang sedang
mabuk, membuat gadis itu merasa ketakutan sendiri saat jarak
mereka semakin dekat.
Eun-Kyo menahan nafasnya saat mereka berpapasan. Dia nyaris
menjerit saat merasakan tangan salah satu dari pria itu menyentuh
pundaknya.
Sial. Sekali kau dalam keadaan sial, semua kesialan itu akan secara
beruntun menghampirimu.
***
Leeteuk menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang tidak pernah
dicobanya sebelumnya, 15 km/jam. Dia mengikuti Eun-Kyo dari
belakang, mematikan lampu depan mobilnya agar gadis itu tidak sadar.
Dia sendiri tidak mengerti apa yang sedang dilakukannya, tapi dia
cemas dengan emosi seperti itu Eun-Kyo akan melakukan sesuatu yang
tidak-tidak, atau mungkin saja akan terjadi sesuatu yang
membahayakan nyawanya di jalan.
Dan benar saja. Leeteuk merasakan jantungnya mencelos saat
melihat dua pria yang kelihatannya sedang mabuk berat berjalan
mendekati gadis itu. Dia dengan refleks mencengkeram setir
mobilnya dan mengumpat keras.
Gadis bodoh itu, apa dia harus membahayakan dirinya sendiri hanya
untuk menghindarinya?
***
Eun-Kyo memegangi tasnya di depan dada saat salah seorang pria itu
berusaha menariknya mendekat. Pria satu lagi mengelus rambutnya
sambil mengucapkan kata-kata yang tidak sopan, membuat gadis itu
bergidik ketakutan saat menyadari dirinya benar-benar berada dalam
bahaya besar. Dia berusaha untuk mendorong tangan salah satu pria
itu agar menjauh dari tubuhnya, tapi bahkan untuk mengangkat
tangannya saja dia nyaris sudah tidak punya sisa tenaga.
Dia membelalak ngeri saat pria yang bertubuh paling besar, dengan
bau alkohol yang sangat menyengat menguar dari mulutnya,
mencengkeram wajahnya dengan kasar dan berusaha menciuminya.
Perutnya terasa mual dan isi perutnya nyaris menyembur keluar saat
dia berusaha memalingkan wajahnya, mencegah sesuatu yang paling
tidak diinginkannya terjadi.
Tubuh Eun-Kyo terhuyung ke belakang, nyaris menghantam tanah
saat pria itu tiba-tiba terkapar di dekat kakinya, merintih kesakitan
sambil memegangi pinggangnya. Eun-Kyo merasakan sebuah tangan
melingkari pinggangnya dan menariknya mendekat agar gadis itu bisa
berpegangan dan tidak terjatuh karena kehilangan keseimbangan,
sedangkan kaki sang penyelamatnya itu dengan cepat melayang,
menendang pria satu lagi yang berusaha menyerangnya.
“Gwaenchana?” tanya pria itu pelan sambil menghampiri kedua tubuh
yang sudah terkapar tidak berdaya di atas aspal itu, menarik Eun-Kyo
bersamanya. Pria itu menjulurkan kakinya dan membalik tubuh kedua
pria itu sampai terlentang dengan kakinya itu, memastikan bahwa
kedua pria itu benar-benar sudah pingsan.
Eun-Kyo mendengar suara yang begitu familiar itu mencapai
telinganya, membuat tubuhnya langsung menegang kaku saat
menyadari siapa pria yang telah menyelamatkannya itu.
Leeteuk menyadari perubahan gestur tubuh Eun-Kyo sehingga dia
menarik tubuh gadis itu lagi, nyaris menyeretnya, ke tepi jalan dan
mendudukkannya di atas tembok pembatas.
“Gwaenchana?” ulang pria itu lagi sambil menyentuh bahu Eun-Kyo
dengan kedua tangannya dan melirik gadis itu dari atas sampai bawah,
memastikan bahwa keadaan gadis itu baik-baik saja.
“Aku tidak apa-apa. Kau bisa pergi sekarang,” ujar Eun-Kyo dingin
dengan kepala menunduk.
Leeteuk menarik tangannya dari tubuh Eun-Kyo, menggertakkan
giginya dengan kedua tangan terkepal erat.
“Tidak bisakah kau berhenti bersikap bodoh seperti ini dan
menjelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Kau membahayakan
dirimu sendiri hanya karena kau ingin menghindariku. Apa kau tidak
tahu seberapa cemasnya aku saat melihatmu berada dalam bahaya
seperti tadi?” teriak Leeteuk, tidak bisa mengendalikan emosinya
sendiri sehingga dia nyaris meledak seperti bom waktu.
“Kalau kau mau berhenti merasa cemas kenapa kau tidak pergi saja
dan berhenti mengkhawatirkanku? Kau bisa mencari gadis lain yang
jatuh cinta setengah mati padamu dan bersikap seperti orang bodoh
agar bisa menarik perhatianmu, jadi kau bisa mempermainkannya
sama seperti kau mempermainkanku! KENAPA KAU TIDAK PERGI
SAJA DAN BERHENTI MUNCUL DI HADAPANKU, HAH?!!” ujar
Eun-Kyo balas berteriak.
Leeteuk membulatkan matanya. Jadi karena itu? Apa gadis itu sudah
mengetahui semuanya dan mengira bahwa dia mendekati gadis itu
hanya karena keegoisannya saat mengetahui bahwa gadis itu tidak
menyukainya lagi? Bahwa dia hanya ingin bermain-main saja dan
membuktikanbahwa apapun yang terjadi gadis itu akan tetap
menyukainya lagi? Bahwa dia terlalu mempesona untuk dilupakan gadis
itu begitu saja?
Sial!
Leeteuk menarik Eun-Kyo sampai bangkit berdiri dan menyeret gadis
itu ke mobilnya yang berjarak beberapa meter di belakang. Dia
membuka pintu penumpang dan mendorong gadis itu masuk dengan
paksa. Setengah berlari dia mengitari mobilnya dan masuk ke bangku
kemudi, menghidupkan mesin mobilnya dan menginjak gas dalam-
dalam. Dia melirik Eun-Kyo yang tubuhnya sedikit tersentak karena
guncangan yang tiba-tiba itu. Pria itu menarik nafas dan menepikan
mobilnya, menimbulkan bunyi decit yang memekakkan telinga.
Leeteuk menjulurkan tubuhnya ke arah gadis itu dan menarik
seatbelt, memasangkannya ke sekeliling tubuh gadis itu sebelum
mengemudikan mobilnya lagi.
Tidak ada suara yang terdengar sepanjang perjalanan yang terasa
benar-benar sunyi itu. Eun-Kyo sendiri memalingkan wajahnya ke
pemandangan di luar jendela, dengan jelas menunjukkan bahwa dia
tidak akan mengacuhkan pria itu sedikitpun.
Setengah jam berikutnya Leeteuk menepikan mobilnya di depan pagar
rumah gadis itu, mematikan mesin, dan menyandarkan tubuhnya ke
kursi mobil. Dia menolehkan wajahnya dan melihat Eun-Kyo berusaha
membuka seatbelt dengan tangannya yang gemetar, sepertinya begitu
tergesa-gesa ingin segera kabur dari hadapannya.
Leeteuk mengulurkan tangan kanannya dan melepaskan seatbelt itu
dengan mudah, masih dengan tatapan yang tetap terhujam di wajah
gadis itu.
Eun-Kyo membuka pintu mobil, berniat melangkah keluar dan langsung
berlari masuk ke rumahnya, saat suara Leeteuk menghentikan
gerakannya. Pria itu tidak bergerak untuk mencegahnya sama sekali,
hanya berbicara dengan suara yang terdengar begitu lemah dan putus
asa, seolah dia bahkan tidak punya energi lagi yang tersisa untuk
sekedar menghalangi gadis itu pergi.
“Dinginkan kepalamu agar kita bisa bicara. Dan… Eun-Kyo ssi, aku
tidak pernah bermain-main dengan setiap keputusan yang sudah aku
ambil. Kalau aku mengatakan bahwa aku menginginkanmu, maka itu
berarti aku akan mengejarmu habis-habisan.” Leeteuk menatap gadis
itu dalam-dalam, tepat di manik mata. “Dan biasanya, aku selalu
mendapatkan apapun yang aku inginkan.”
***
Zhoumi’s Home, Seoul
08.00 PM
Yu-Na membawa semangkuk besar popcorn yang baru saja diambilnya
dari AutoChef ke ruang tamu. Zhoumi menunggunya disana sambil
mencari film bagus dari setumpuk DVD miliknya. Mereka berencana
menonton film bersama malam ini, dan Yu-Na tidak peduli film apa
yang akan mereka tonton, selama itu bisa membuatnya bersama pria
itu lebih lama lagi. Biasanya dia sudah masuk ke dalam kamarnya saat
jam 9 malam, tapi sepertinya malam ini dia akan tidur sedikit larut.
Biasanya film berdurasi minimal satu setengah jam, dan itu berarti
dia bisa melihat pria itu lebih lama daripada malam-malam
sebelumnya. Tidak perlu menjadi orang pintar untuk bisa menebak
bahwa dia sedang jatuh cinta. Dalam waktu yang sangat singkat,
waktu yang terlalu singkat untuk menilai seseorang dan jatuh cinta
padanya.
Yu-Na menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Gadis itu mengambil
bantal kecil dan meletakkannya di atas pangkuan Zhoumi dan tanpa
minta izin sedikitpun membaringkan kepalanya di atas bantal itu. Dia
berbaring miring menghadap TV dan meletakkan mangkuk popcorn
tadi di depan tubuhnya, menahannya dengan tangan kiri yang
melingkar di sekeliling mangkuk tersebut selagi tangan kanannya
sibuk meraup popcorn tersebut dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Yak yak yak, kau pikir apa yang sedang kau lakukan, hah?” ujar
Zhoumi sambil mengacak-acak rambut Yu-Na, membuat gadis itu
berteriak protes.
“Aish, oppa, jangan merusak rambutku! Biasanya aku selalu menonton
sendiri dan tidur di atas sofa, jadi karena sekarang kau juga duduk di
atas sofa ini, aku terpaksa harus tidur di pangkuanmu. Memangnya
tidak boleh?” tanya gadis itu, sibuk merapikan rambutnya yang
berantakan.
“Kau bersikap seolah aku ini kekasihmu, itu masalahnya.”
Yu-Na meluruskan tubuhnya, kepalanya mendongak ke atas, tepat ke
arah Zhoumi.
“Memangnya bukan? Setahuku kemarin kau baru saja melamarku jadi
istrimu,” jawab gadis itu santai.
“Dan kau belum menjawabku.”
“Kau perlu cincin, kata-kata romantis, dan tempat yang tepat kalau
kau menginginkan jawaban dariku.”
Zhoumi tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ah, jadi kau ingin yang seperti itu, ya? Apa aku juga harus berlutut
di hadapanmu saat melamar?”
“Itu juga boleh.”
Zhoumi menyentuhkan tangannya ke pipi gadis itu, mengusapnya
pelan.
“Lalu setelah aku melakukannya, kau mau menikah denganku?”
Yu-Na terpana sesaat karena wajah pria itu begitu dekat. Sorot mata
pria itu terlihat sangat serius, seolah dia benar-benar membutuhkan
jawaban dari gadis itu.
“Kalau aku menolak apa yang akan kau lakukan?” tanya gadis itu lirih.
“Menarikmu ke altar dan memaksa pendeta menikahkan kita. Itu
pilihan utamaku.”
***
“Kau tidak perlu mengantarkanku ke kamar segala. Aku kan bukan
anak kecil,” protes Yu-Na sambil menggoyang-goyangkan tangannya
yang berada di dalam genggaman Zhoumi.
“Aku hanya ingin memperlama waktu kita bersama,” jawab pria itu
jujur, mengulurkan tangan kirinya untuk membuka pintu kamar gadis
itu.
Yu-Na melangkah masuk ke dalam kamarnya, menunggu selama
beberapa saat, berharap Zhoumi melakukan sesuatu. Ciuman selamat
malam mungkin? Tapi pria itu hanya berdiri diam saja disana,
membuat Yu-Na menjadi malu sendiri karena sudah mengharapkan
yang tidak-tidak.
“Aku masuk dulu, oppa,” ucapnya salah tingkah.
Zhoumi mengangguk. Dia sangat ingin menarik gadis itu ke pelukannya
dan menciumnya, tapi tidak yakin apakah gadis itu akan menyukai
perlakuannya atau tidak. Bagaimana kalau gadis itu marah dan
menamparnya?
“Yu-Na~ya,” panggil Zhoumi tanpa sadar. Dia mengutuki mulutnya
sendiri yang tiba-tiba berada di luar kendali.
“Ne?”
Zhoumi ragu-ragu sesaat sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya
dan menarik pinggang Yu-Na dengan tangan kanannya, membuat tubuh
gadis itu sedikit terangkat dari lantai. Dia menempelkan bibirnya ke
bibir gadis itu dalam satu lumatan ringan, membuat gadis itu
membelalak kaget, tidak menyangka bahwa dia akan melakukan hal
itu.
Zhoumi sedikit mendorong tubuh Yu-Na, menyandarkan tubuh gadis
itu ke dinding agar tidak terjatuh. Dia memiringkan wajahnya untuk
memperdalam ciuman mereka dan nyaris melakukan hal yang lebih
kalau saja communicator-nya tidak berbunyi di saat yang begitu
tepat.
Pria itu menegakkan tubuhnya dan mendecak kesal, membuat Yu-Na
terkekeh geli.
“Itu artinya kau sedang tidak beruntung, Zhoumi ssi.”
Zhoumi memegang communicator-nya di tangan kanan dan menunduk,
menyapukan kecupan singkat di bibir gadis itu.
“Itu artinya aku harus segera menikahimu sebelum aku kehilangan
kendali, Nona Kwon.”
***
Donghae’s Home, Gangnam, Seoul
09.00 PM

Donghae baru saja menutup pintu mobilnya saat mendengar bunyi


piring yang pecah dari arah rumah. Dia mengerutkan keningnya dan
mendadak pikiran buruk menyergapnya. Apa terjadi sesuatu pada…
Ga-Eul?
Pria itu berlari cepat ke dalam rumah, nyaris tidak bisa berpikir
jernih saat dia dengan tergesa-gesa mendorong pintu ruang makan
sampai menjeblak terbuka dan menemukan gadisnya terduduk di
lantai dengan pecahan piring di sekelilingnya.
“Gwaenchana? Kau terluka?” tanyanya panik sambil memeriksa
keadaan gadis itu.
“Kakiku…” ucap Ga-Eul lirih sambil meringis.
“Tunggu disini. Aku ambil kotak obat dulu,” perintah Donghae, dengan
cepat berdiri dan menghilang di balik pintu. Dia memeriksa lemari
dinding di dekat ruang TV, mengobrak-abrik isinya sampai berantakan
sampai akhirnya dia teringat bahwa dia meletakkan kotak itu di
kamarnya. Pria itu bergegas menaiki tangga dan mengambil kotak itu
di kamarnya, menjatuhkan beberapa pajangan dalam ketergesaannya
kembali ke ruang makan.
Tapi langkahnya mendadak terhenti di depan pintu saat dia mendapati
Ga-Eul berdiri di pinggir meja sambil tersenyum lebar, terlihat baik-
baik saja. Gadis itu berjalan pelan ke arah Donghae dengan wajah
ceria, mengharapkan pujian karena dia sudah bisa berjalan lagi.
Donghae merasakan tangannya bergetar, menjatuhkan kotak obat
yang dipegangnya karena genggamannya yang tiba-tiba melemah.
Kekhawatirannya yang berada di titik puncak tadi dengan cepat
berubah menjadi kemarahan yang meledak-ledak.
“Oppa, tadi pagi eomma menemaniku latihan seharian. Dan coba kau
lihat, aku sudah bisa berjalan lagi! Hanya saja tidak bisa terlalu
lama,” ujar gadis itu saat sudah berhadapan dengan Donghae.
“Cho Ga-Eul,” ucap Donghae penuh penekanan. “Tidak bisakah kau
mencari cara lain untuk memberitahuku selain dengan pura-pura
terluka dan membuatku hampir mati ketakutan karena
mencemaskanmu? Kau tahu seberapa paniknya aku saat melihatmu
terluka di depanku seperti tadi? Apa kau tidak tahu aku tidak bisa
berpikir jernih jika terjadi sesuatu yang buruk padamu? Dan
sekarang kau tersenyum di depanku seolah tanpa dosa, kau punya
otak tidak?!” teriaknya keras, membuat Ga-Eul tersentak ke belakang
dengan wajah ketakutan.
“Op… pa….”
Donghae membenamkan tangannya ke rambut, berusaha menenangkan
diri. Dia mengusap wajahnya dan menarik nafas dalam-dalam sebelum
mendongak menatap gadis itu lagi.
“Mianhae,” bisiknya. “Mianhae…. Aku… aku hanya ketakutan saat
melihatmu terluka seperti tadi. Lain kali jangan melakukannya lagi,
oke?”
Ga-Eul mengangguk cepat, masih terlalu takut untuk mendekat ke
arah Donghae lagi, sehingga pria itulah yang akhirnya mendekat
duluan dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya, membenamkan
wajahnya sendiri ke rambut gadis itu.
“Chukhahae. Kau pasti senang sudah bisa berjalan lagi, kan?”
“Kedengarannya kau tidak senang.”
“Menurutmu aku harus senang?” Donghae menegakkan tubuhnya dan
menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya. “Tentu saja aku
menjadi orang yang paling bahagia melihat kau bisa berjalan lagi.
Tapi… aku juga sedih karena itu berarti kau kehilangan satu alasan
untuk membutuhkan kehadiranku.”
Ga-Eul menatap pria itu heran.
“Apa kau tidak tahu bahwa kau ada dalam urutan teratas orang yang
paling kubutuhkan dalam hidup? Kau satu-satunya orang yang
bersikeras untuk membiarkanku tetap hidup di saat yang lain
menyerah dan memutuskan mencabut semua alat bantu kehidupanku.
Aku sudah bisa berjalan sehingga kau tidak perlu jadi kakiku lagi. Lalu
mungkin sebentar lagi aku akan bisa mengingat semuanya sehingga
kau juga tidak perlu menjadi memoriku. Tapi ada satu alasan lain yang
akan tetap membuatku membutuhkanmu.”
“Aku membutuhkan kehadiranmu untuk kucintai. Aku butuh seseorang
untuk membuatku jatuh cinta lagi, dan… kau orangnya.”
***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
09.30 PM
“Gamsahamnida, ajjushi,” ujar Hye-Na sambil membungkuk. Kyuhyun
menyuruh Ji-Hwan menjemputnya ke kantor karena gadis itu harus
lembur untuk membuat laporan kejadian tadi siang kalau dia tidak
mau diinterogasi secara langsung.
“Ne. Cheonmaneyo,” ucap Ji-Hwan sambil tersenyum. Pria paruh baya
itu memutar mobilnya ke arah gerbang setelah melambai pamit.
Hye-Na menaiki beberapa anak tangga yang menuju ke pintu masuk
dan menggunakan kuncinya sendiri untuk membuka pintu. Gadis itu
memijit tengkuknya pelan kemudian meregangkan tangannya. Dia
menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia mandi air hangat terlebih
dahulu atau langsung tidur. Tubuhnya benar-benar sudah lelah sekali.
Belum lagi tekanan psikis yang didapatkannya tadi siang, membuat
kelelahannya meningkat menjadi berkali-kali lipat.
Dia membuka pintu kamarnya dan langsung membelalak kaget saat
mendapati kamarnya telah berubah seratus delapan puluh derajat.
Semua barang-barangnya, dan bahkan tempat tidurnya hilang,
digantikan oleh rak-rak berisi ratusan buku, sofa santai, dan meja
baca.
Dia memegangi kepalanya yang terasa pusing. Dia tidak mungkin salah
masuk kamar, kan?
Gadis itu dengan cepat melangkah menyeberangi kamarnya dan
membuka pintu yang menyambungkan kamarnya dengan kamar
Kyuhyun. Tapi tidak ada siapapun disana. Dan kamar pria itu terlihat
normal-normal saja.
Hye-Na berlari keluar kamarnya, menuju ruang kerja pria itu yang
terletak di ujung. Dia mendorong pintu ruangan itu dengan kasar
sampai menjeblak terbuka dan menghambur masuk.
“Yak, kenapa kamarku jadi kosong dan penuh dengan barang-
barangmu? Kau kemanakan tempat tidur dan barang-barangku?”
teriak Hye-Na kesal.
Kyuhyun mengalihkan wajah dari layar komputernya dan mendongak
menatap gadis itu.
“Barang-barangmu ada di kamarku. Mulai malam ini kau tidur
denganku,” jawab Kyuhyun santai, kembali sibuk mengetik di
keyboard komputernya.
“Bagaimana bisa kau mengambil keputusan tanpa menanyakan
pendapatku dulu?”
“Bukankah kau lebih suka tidur di kamarku? Selama aku pergi kau
juga tidur disana, kan?” tandas Kyuhyun dengan senyum yang bermain
di sudut bibirnya.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Hye-Na sengit. Wajahnya sudah
memerah, malu karena pria itu tahu rahasia kecilnya. Rahasia kecil
yang benar-benar membuatnya tidak tahu dimana harus
menyembunyikan wajahnya.
Kyuhyun tersenyum dan menekan tombol merah di sudut meja
kerjanya. Dinding di bagian kanan mereka mendadak bergerak
membuka ke atas, menampakkan puluhan layar di baliknya. Layar-layar
itu masing-masingnya memperlihatkan setiap ruangan di rumah itu,
dengan pemandangan yang sangat jelas ke setiap sudutnya, membuat
Hye-Na menghadapi ketakutan terbesarnya.
“Apa saja yang sudah kau lihat, hah?” tanyanya dengan suara
tercekat. Dia berusaha menelan ludahnya dengan susah payah.
Kyuhyun terkekeh senang dan memutar bola matanya, menunjukkan
bahwa dia sangat menikmati permainan barunya menggoda gadis itu.
“Well, aku bisa mengatakan bahwa aku sudah melihat semuanya.
Dimulai dari saat kau masuk ke kamarku, membuka lemari pakaianku,
mengambil salah satu kemejaku, kemudian…. Kau tidak bermaksud
mendengarku menceritakan kelanjutannya kan, Na~ya?”
“KAU!!!” teriak Hye-Na emosi sambil mengangkat tangannya,
bermaksud memukul pria itu, tapi Kyuhyun lebih cepat dan dalam
beberapa detik dia telah terperangkap di antara tubuh pria itu dan
meja kerjanya. Pria itu mendudukkannya dengan paksa ke
pangkuannya dan tangannya menahan kepalan tangan Hye-Na dengan
kuat, membuat gadis itu tidak bisa bergerak kemana-mana.
“Kau terlalu cepat emosi, Na~ya,” gumam Kyuhyun sambil
menangkupkan tangannya yang bebas ke pipi gadis itu, menyibakkan
anak rambutnya ke belakang telinga. Dia sedikit menarik wajah gadis
itu ke depan, membuat wajah mereka nyaris tidak berjarak.
Hye-Na menunggu dengan tegang, tahu apa yang akan dilakukan pria
itu selanjutnya. Tanpa sadar kepalan tangannya melemas, terjuntai
membuka di dalam cekalan Kyuhyun yang juga semakin melemah.
Pria itu dengan sengaja berlama-lama menahan gerakannya,
membiarkan bibir mereka hanya berjarak kurang dari satu inci tanpa
ada tanda-tanda akan menyentuhnya, membuat Hye-Na berusaha
keras untuk tidak menjulurkan wajahnya dan mencium pria itu duluan.
Jari Kyuhyun menyusup masuk ke dalam helaian rambut Hye-Na,
memberikan sensasi geli yang aneh di perut gadis itu, seolah ada
ratusan sayap kupu-kupu yang mengepak secara serentak di dalamnya.
Kyuhyun menekankan bibirnya dengan perlahan ke permukaan bibir
Hye-Na, sebelum akhirnya memberikan ciuman yang rakus dan
mendesak, melepaskan segala hal yang sejauh ini berusaha ditahan-
tahannya. Dia menelusupkan lidahnya masuk ke dalam mulut Hye-Na
yang sedikit terbuka, mengeksplorasi rongga mulut gadis itu,
menjelajahinya tanpa ampun.
Dia melepaskan cekalannya dan memindahkan tangannya ke pinggang
Hye-Na, menarik tubuh gadis itu lebih dekat agar tidak terkena sisi
meja di belakangnya, sedangkan tangannya yang satu lagi menahan
kepala gadis itu agar tidak bergerak menjauh. Dia sedikit terkejut
saat gadis itu membalas ciumannya, tangannya yang sudah bebas dari
cekalan Kyuhyun bergerak naik, mencengkeram kerah kemeja pria itu.
Setelah yakin bahwa Hye-Na tidak akan mendorong tubuhnya,
Kyuhyun menurunkan tangannya dari kepala gadis itu, menyentuh
tengkuknya, dan beranjak ke kancing teratas kemeja gadis itu,
seiring dengan ciuman mereka yang semakin panas dan tidak sabar.
Dengan mudah dia meloloskan kancing pertama dari lubangnya,
berlanjut dengan kancing berikutnya.
Tangan Kyuhyun di pinggang Hye-Na bergerak naik, masuk melalui
celah di bagian bawah kemeja gadis itu, membuatnya bisa menyentuh
kulit punggung gadis itu dengan leluasa. Nafas mereka menderu, mulai
kehabisan oksigen untuk dihirup.
“Kyuhyun~a, kau harus melihat undangan pernika….”
Kyuhyun terkesiap kaget, merasakan tubuh Hye-Na yang menegang
dalam pelukannya. Dia memiringkan kepalanya, melihat melalui bahu
gadis itu.
“…hanku.” Eunhyuk menyelesaikan ucapannya dengan wajah yang
sedikit syok. Dia berdiri di tengah-tengah ruangan, merasa bersalah
saat menyadari bahwa dia baru saja menginterupsi hal yang sangat
penting. Melihat raut wajah Kyuhyun hanya memperburuk
keadaannya. Pria itu seperti akan menerkamnya hidup-hidup.
“Sepertinya aku sudah mengganggu proses penciptaan keponakan
pertamaku,” gumam Eunhyuk tidak jelas.
Kyuhyun menahan tubuh Hye-Na agar tetap membelakangi sepupunya
itu, memberi gadis itu waktu untuk memasangkan kembali kancing
kemeja yang tadi sudah berhasil dibukanya. Dia sendiri membantu
gadis itu merapikan rambutnya yang sudah terlihat acak-acakan
karena sentuhan tangannya tadi.
“Seharusnya kau mengetuk pintu dulu,” gerutu Kyuhyun sambil
memegangi pinggang Hye-Na, memastikan gadis itu tidak terjatuh
saat mereka bangkit berdiri.
“Kau keluar duluan, nanti aku menyusul,” ujar Kyuhyun ke arah
Eunhyuk yang langsung mengangguk mengerti.
“Aku cukup sabar menunggu sampai kalian menyelesaikan apa yang
sudah aku interupsi tadi,” seru Eunhyuk sebelum melangkah keluar
dari ruangan.
Kyuhyun mendengus kesal sebelum memfokuskan tatapannya lagi ke
arah Hye-Na. Dia tersenyum puas saat melihat akibat perbuatannya
tadi terhadap gadis itu.
“Aku suka penampilanmu,” ucapnya sambil menjulurkan tubuhnya dan
mengecup pipi gadis itu singkat, bergegas menyusul Eunhyuk yang
sudah pergi duluan.
Hye-Na mematung selama beberapa saat, memerlukan waktu yang
cukup lama untuk kembali berkonsentrasi dan menepuk-nepuk pipinya
mencari kesadaran. Dia menoleh sekilas ke arah lemari kaca yang
memantulkan bayangannya dengan jelas dan mengerang putus asa.
Bibirnya terlihat merah dan sedikit membengkak akibat ciuman tadi,
rambutnya tampak tidak karuan dan kemejanya kusut di beberapa
tempat.
Astaga, dia benar-benar terlihat seperti gadis yang baru saja
berciuman habis-habisan!
***
“Mianhae. Aku… mengganggu kegiatanmu,” ucap Eunhyuk dengan
tangan menutupi mulutnya, berusaha mengontrol tawanya yang
hendak menyembur keluar.
“Aish, hyung, aku sangat ingin membunuhmu, kau tahu?” dengus
Kyuhyun, menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa.
“Hahaha… jadi itu yang kau lakukan saat bersamanya? Astaga, kalau
ada wartawan yang melihat kalian seperti itu, mereka semua pasti
langsung menyesal karena pernah menggosipkanmu gay,” ujar Eunhyuk
sambil tertawa keras. “Kalau aku tidak datang pasti kau akan
menerkamnya, kan? Bercinta di atas meja kerja itu memang keren
sepupu, tapi setelah itu tubuhnya pasti akan kesakitan.”
Kyuhyun dengan cepat melempar koran yang tergeletak di atas meja,
tepat mengenai kepala sepupunya yang menyebalkan itu.
“Aish, kau ini kasar sekali! Yak, apa Hye-Na tidak pernah protes
dengan perlakuanmu? Kau tidak melakukannya dengan kasar, kan?
Karena kalau iya, dia pasti tidak akan mau melakukannya lagi
denganmu.”
“Hentikan ocehan mesummu itu, Lee Hyuk-Jae!” bentak Kyuhyun
habis kesabaran. “Mau apa kau kesini malam-malam begini?”
Eunhyuk tersenyum lebar dan mengacungkan kertas berbentuk
stroberi berwarna merah di tangannya.
“Lusa aku menikah. Kau orang pertama yang mendapat undangan ini
dan khusus diantarkan sendiri olehku.”
Kyuhyun mengambil kertas itu dan membaliknya.
“Kenapa berbentuk stroberi? Kenapa tidak monyet saja? Aaaaa, biar
kutebak, kalian pasti akan mengadakan pesta di kebun binatang, kan?
Di kandang monyet?”
Eunhyuk melempar balik koran tadi dan menatap Kyuhyun dengan
bengis.
“Apa kau sebegitu dendamnya padaku karena sudah menginterupsi
adegan mesummu, hah? Dan kenapa selera humormu tiba-tiba
meningkat seekstrim itu? Gadis itu melakukan apa sebenarnya sampai
kau terlihat begitu….”
“Manusiawi?” lanjut Kyuhyun, menyelesaikan ucapan Eunhyuk.
“Ne,” ucap Eunhyuk setuju.
“Dia tidak melakukan apa-apa. Bahkan sebenarnya kami berdua tidak
pernah benar-benar bicara. Kebanyakan hanya pertengkaran-
pertengkaran tidak penting, atau aku harus menyelamatkannya saat
dia akan dibunuh, dibom, semacam itu.”
“Dan saat berdekatan kalian terlihat seperti magnet yang saling
tarik-menarik satu sama lain. Seperti… kau buminya dan dia
gravitasinya. Bagaimana bisa begitu?”
Kyuhyun mengangkat bahunya dan tertawa.
“Kau mana bisa bertanya padaku kenapa bisa begitu, hyung. Yang
melihat kan kau, bukan aku. Aku bahkan tidak tahu kalau kami
terlihat seperti itu.”
“Membuat iri saja,” dengus Eunhyuk.
“Jadi… kalian akan menikah dimana?” tanya Kyuhyun mengalihkan
pembicaraan.
“Bermuda.”
“Bermuda? Kau mau semua undanganmu menghilang tanpa alasan yang
jelas saat berusaha mencapai lokasi pernikahan kalian?” ejek
Kyuhyun, merujuk pada prestasi daerah itu yang sering membuat
kapal-kapal dan bahkan pesawat yang melintas di atasnya menghilang
tanpa ada tanda-tanda akan ditemukan.
“Itu berada di sisi lain, bodoh!” rengut Eunhyuk. “Kami akan
mengucapkan janji pernikahan di pinggir pantai dan hanya akan
dihadiri keluarga dekat saja, lalu malamnya ada pesta untuk umum.”
“Lalu kau pikir semua undanganmu mau mengeluarkan uang untuk pergi
jauh-jauh kesana?”
“Semuanya aku fasilitasi. Tapi sepupu, tentu saja aku kesini untuk
bernegosiasi denganmu,” ujar Eunhyuk dengan gelagat yang menurut
Kyuhyun sangat mencurigakan. “Kau ingat kan, yacht-mu yang seperti
rumah mewah itu. Boleh aku meminjamnya sebagai tempat pesta? Aku
akan meninggalkan yacht-ku disini untuk mengangkut para undangan.
Eotte? Kedengarannya bagus, kan?”
Kyuhyun mendengus tak percaya.
“Kenapa kau tidak beli saja yacht yang mirip seperti itu? Uangmu kan
banyak.”
“Aigoo, kau tidak ingat berapa harga yacht itu? 2 milyar dollar! 2
trilyun won! Untuk apa aku mengeluarkan uang sebanyak itu kalau aku
bisa meminjamnya darimu?”
“Aish, dasar monyet pelit! Ya sudah, kau pergi saja ke pelabuhan dan
beritahu penjaganya. Ada lagi?”
“Kau bisa jadi….”
“Tidak,” potong Kyuhyun cepat. “Aku tidak akan pernah mau menjadi
pendamping pengantin siapapun.”
“Ck, kau ini!”
“Ngomong-ngomong, seingatku kau belum pernah mengenalkanku pada
Ji-Yoomu.”
“Tidak. Kau bertemu dengannya nanti saja saat kami sudah menikah.”
“Wae? Kau takut dia jatuh cinta padaku?” tanya Kyuhyun geli.
“Ani. Aku takut kau akan terpesona padanya.”
“Mworago? Yak hyung, aku sudah punya….”
“Hye-Na. Ya ya ya, aku tahu. Kalau otakmu dibedah pasti isinya hanya
gadis itu saja. Aku jadi penasaran, apa yang akan terjadi kalau dia
tidak kembali ke Korea? Kau akan tetap sendirian seumur hidupmu?”
Kyuhyun tersenyum dengan pandangan sedikit menerawang. Matanya
berkilat saat otaknya membayangkan apa yang akan dilakukannya jika
hal itu benar-benar terjadi.
“Aku memberi batas waktu. Saat umurku 25 tahun, dan dia tidak juga
muncul di hadapanku, aku akan langsung ke Amerika dan melamarnya
pada ibunya. Apa saja, agar dia menjadi istriku. Dengan paksa kalau
perlu.”
***
Kyuhyun membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk, mendapati
gadisnya sudah tertidur nyenyak lengkap dengan baju tidur
favoritnya, baju kaus kebesaran dan celana pendek. Pria itu naik ke
atas tempat tidur dan menarik selimut sampai menutupi tubuh gadis
itu, mengambil remote dan menyetel suhu ruangan agar terasa sedikit
hangat. Temperatur udara pada musim gugur ini memang sangat
dingin dan dia tidak mau gadis itu terserang flu, demam, dan
semacamnya.
Kyuhyun mematikan lampu kecil di dekat tempat tidur tanpa
menggunakan perintah suara, takut jika gadis itu terganggu dan
malah terbangun. Dia kemudian berbaring di samping Hye-Na,
menariknya mendekat, melingkarkan lengannya di sekeliling pinggang
gadis itu, dan sedikit menunduk untuk membenamkan wajahnya di
rambut gadis tersebut, menghirup nafas disana.
Pria itu tersenyum, merasa sangat rileks dengan posisinya. Setelah
bertahun-tahun menginginkan gadis ini, akhirnya dia benar-benar bisa
mendapatkannya. Dan dia tidak bisa menemukan kata yang tepat
untuk menggambarkan betapa senangnya dia bisa menjadikan gadis
itu istrinya, hidup bersama gadis itu, dan memiliki gadis itu dalam
dekapannya saat dia tertidur. Itu gambaran kehidupan sempurna
dalam pikirannya, dan dia sudah mewujudkannya dengan baik. Sangat
baik.
***
Snowy Photograph & Art, Myeongdeong, Seoul
02.00 PM

Kibum memarkirkan mobilnya beberapa blok dari studio milik Nou-Mi.


Studio itu terdiri dari dua lantai, lantai dua digunakan untuk tempat
editing foto dan hal-hal tekhnis lainnya, sedangkan lantai bawah
digunakan sebagai tempat pameran yang terbuka untuk umum.
Pria itu menyeberang jalan dan menghentikan langkahnya di depan
pintu masuk. Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukannya disini,
hanya saja setelah dua hari tidak bertemu gadis itu dia merasa ada
yang aneh. Dia bahkan tidak nyaman dengan hidupnya sendiri. Dan
alih-alih kembali ke kantor setelah makan siang, dia malah
membelokkan mobilnya ke daerah ini dan baru tersadar saat dia
melintas di depan studio gadis itu. Dia tidak mungkin masuk ke dalam,
jadi sebagai gantinya dia hanya berdiri di balik pilar-pilar yang
berjejer di depan bangunan itu, setidaknya dia bisa dengan leluasa
melihat ke dalam karena semua dinding studio itu terbuat dari kaca.
Kibum tidak tahu kenapa dia bisa bersikap menyebalkan dua malam
yang lalu. Kalau gadis itu berada di dalam mobil yang sama dengan
adiknya saat kecelakaan itu terjadi memangnya kenapa? Kalau gadis
itu terlalu trauma karena masa lalunya dan tidak bisa mendekat untuk
menolong adiknya lalu kenapa? Bukankah Sae-Hee juga bisa
disalahkan karena bersikeras untuk mengemudi padahal jelas-jelas
dia sedang mabuk berat? Pada akhirnya tidak ada yang bisa diubah
dan kecelakaan itu akan tetap terjadi. Kalau dia memang mencintai
gadis itu bukankah dia akan memaafkan gadis itu dan menolong gadis
itu menghilangkan trauma yang dihadapinya seorang diri selama
bertahun-tahun? Jadi kenapa dia bisa bersikap seperti pria tolol dan
malah meneriaki gadis itu?
Kibum memasukkan tangannya ke dalam kantong celana dan
menyandarkan tubuhnya ke tembok pilar, menatap ke dalam studio
melalui dinding kaca. Matanya menangkap sosok gadis itu di sudut
ruangan, sedang sibuk berbicara dengan salah seorang pengunjung,
sepertinya sedang menjelaskan makna dari foto di depan mereka.
Gadis itu memakai baju terusan yang panjangnya nyaris mencapai
lutut, celana jins, dan syal tipis yang melingkar di lehernya. Wajahnya
tampak sedikit pucat. Entah karena suhu udara yang lumayan dingin,
atau karena gadis itu memang sedang sakit. Dan sepertinya tidak ada
luka lebam baru, bahkan wajahnya sudah kembali mulus lagi. Mungkin
saja calon suaminya itu sudah mulai sembuh dan berhenti
memukulinya.
Kibum tanpa sadar tersenyum, terlalu senang karena bisa melihat
gadis itu lagi. Tapi mendadak dia teringat bahwa gadis itu akan
menikah tiga hari lagi dan raut wajahnya langsung berubah muram.
Dia tidak suka dengan kenyataan bahwa ada pria lain yang akan
segera memiliki gadis itu. Rasanya seolah perutnya ditonjok dengan
keras. Hanya saja bedanya rasa sakitnya tidak akan sembuh dalam
beberapa hari, mungkin akan butuh waktu bertahun-tahun. Atau
seumur hidup.
Kibum menegakkan tubuhnya dan sedikit mundur, memastikan
tubuhnya tersembunyi dengan baik di balik pilar saat Nou-Mi berbalik
dan tersenyum ke arah seseorang di depannya yang tidak bisa dilihat
oleh Kibum karena terhalang pilar tempatnya bersembunyi. Tapi
sesaat kemudian dia melihat seorang pria berjalan mendekat dan
memeluk Nou-Mi, sedangkan gadis itu tampak tersenyum senang.
Tentu saja, batin Kibum, itu kan pria yang akan segera menikahinya.
Nou-Mi berbicara dengan pengunjungnya itu lagi kemudian menghilang
sebentar dan kembali lagi sambil membawa tas tangannya. Mereka
berdua kemudian berjalan keluar dari studio sambil bergandengan
tangan dan masuk ke dalam mobil pria itu.
Jadi apa dia tega menghapus senyum di bibir gadis itu dan melakukan
apa saja untuk membatalkan pernikahan mereka? Apa dia tidak bisa
bersikap seperti pria baik-baik yang akan merelakan gadisnya dengan
orang lain agar gadis itu bahagia? Masalahnya dia bukan pria seperti
itu, karena dia meyakini dengan baik bahwa gadis itu tidak akan
pernah bahagia kalau bukan dengannya. Jadi jawabannya tidak. Jika
menyangkut gadis itu, dia tidak bisa menjadi pria baik-baik.
***
Port Area, Seoul
10.00 AM

“Jadi ini yang kau sebut dengan yacht?” tanya Hye-Na sinis sambil
mendelik menatap suaminya yang hanya mengangkat bahu tak peduli.
Yang dimaksud dengan yacht oleh suaminya yang sok kaya itu adalah
sebuah… oke, Hye-Na tidak tahu bagaimana mungkin sebuah benda
besar yang lebih berbentuk seperti rumah mewah itu bisa disebut
yacht. Yacht itu bahkan lebih besar dua kali lipat dari rumahnya di
Manhattan.

“Dan berapa tepatnya uang yang kau habiskan untuk membeli… benda
ini?”
“2 milyar dollar.”
“Itu gajiku seumur hidup!” teriak Hye-Na nyaris meledak. Eunhyuk
yang berdiri di belakang mereka bersama calon istrinya tertawa
keras sampai terbahak-bahak.
“Diam kau, Lee Hyuk-Jae!” bentak Kyuhyun dengan aura menyeramkan
sehingga pria itu langsung menutup mulutnya dan menarik Ji-Yoo naik
ke atas yacht itu duluan. Orang tua Eunhyuk, Ji-Yoo, dan Kyuhyun
sudah naik dari tadi bersama Ah-Ra dan So-Ra yang akan menjadi
pendamping pengantin untuk Ji-Yoo, dan Leeteuk yang akan menjadi
pendamping pengantin pria.
“Apa kegiatan favoritmu itu memang menghambur-hamburkan uang,
hah?” cetus Hye-Na sambil naaik ke atas yacht itu, diikuti oleh
Kyuhyun di belakangnya.
“Yak, lalu apa gunanya aku punya uang sebanyak itu kalau hanya untuk
ditumpuk-tumpuk sampai memenuhi satu bank, hah?”
“Kau bisa berhenti mencari uang kalau begitu. Lebih baik kau pensiun
saja. Apa kau tidak sadar ada banyak pengusaha yang bangkrut gara-
gara kau menguasai semua bisnis yang ada? Kau masih bisa
menghidupi sepuluh keturunanmu dan bahkan lebih walaupun mereka
hanya menghambur-hamburkan uangmu saja tanpa bekerja.”
Kyuhyun terkekeh geli dan mengulurkan tangannya, melingkarkannya
ke pinggang gadis itu sehingga mereka berdua berjalan bersisian.
“YAK!” protes Hye-Na sambil berusaha melepaskan diri, tapi seperti
biasa, tenaganya tidak cukup kuat untuk mengalahkan pria itu.
“Keturunan, eh? Aku akan memikirkannya kalau kau bersedia
membuatkan anak untukku,” ucap Kyuhyun santai.
“Anak? Apa eomma baru saja mendengar kata anak? Kau sedang
hamil, Hye-Na~ya?”
Hye-Na terlonjak kaget saat tiba-tiba ibu mertuanya muncul di
hadapan mereka, menatapnya penasaran. Dia mendelik ke arah
Kyuhyun yang menutup mulutnya untuk menahan tawanya yang hampir
menyembur keluar, sama sekali tidak berniat membantu gadis itu.
“A… aniyo, eomma. Ma… maksud Kyuhyun… ng… kami….”
“Kami sedang mengusahakan memberimu seorang cucu, eomma,” ucap
Kyuhyun memperparah keadaan.
Hye-Na menginjak kaki pria itu dengan keras saking kesalnya,
membuat pria itu meringis kesakitan dan memalingkan wajahnya ke
arah lain agar ibunya tidak curiga.
“Kalau begitu usahakanlah yang cepat! Eomma dan eommamu sudah
tidak sabar ingin segera punya cucu.”
“Ne, eomma,” ujar Hye-Na pasrah.
“Ya sudah, kalau begitu eomma mau mencari So-Ra dulu, dia harus
mencoba gaunnya.”
Hye-Na mengangguk dan menunggu sampai wanita itu menghilang
sebelum berbalik ke arah Kyuhyun dengan emosi yang sudah naik ke
tingkat maksimum.
“Apa-apaan itu tadi?”
“Hanya membantumu. Kau mau diinterogasi eomma kalau dia tahu
bagaimana hubungan kita sebenarnya? Seharusnya kau berterima
kasih karena aku sudah mau membantu.”
Hye-Na tertegun mendengar ucapan pria itu. Bagaimana hubungan
mereka yang sebenarnya?
Dia tiba-tiba tersadar bahwa setelah seminggu lebih pernikahan
mereka, dia merasa seperti pernikahan itu memang nyata, bahwa dia
sama sekali tidak keberatan telah dipaksa menjadi istri pria itu. Tapi
sekarang… saat pria itu menyinggungnya, dia baru teringat bahwa
pernikahan ini hanya sekedar perjanjian tak kasatmata. Dan mungkin
dalam waktu dekat akan segera kadaluwarsa.
***
A Beach in Bermuda
09.00 AM

Ji-Yoo menatap pantulan bayangannya di cermin. Penata riasnya baru


saja selesai mendandaninya dan meninggalkannya sendirian di ruangan
itu, membiarkannya mengagumi penampilan barunya sebagai seorang
pengantin.
Pria itu benar-benar tidak memberinya waktu sama sekali untuk
melakukan persiapan yang matang, walaupun dia sendiri juga tidak
keberatan. Jadi dia memutuskan untuk memakai gaun pengantin
ibunya saja. Hanya gaun biasa penuh renda, tapi Ji-Yoo memang dari
dulu mengagumi gaun pengantin ibunya itu dan berkhayal untuk
memakainya saat dia menikah nanti. Lagipula dia memang tidak terlalu
suka gaun-gaun yang berat dan memiliki terlalu banyak hiasan.
Ji-Yoo meremas tangannya gugup. Hanya beberapa menit lagi dia akan
berjalan ke depan altar dan mengucapkan janji pernikahan di depan
semua orang dan dia benar-benar merasa panik. Dia merasa tubuhnya
dialiri keringat dingin dan kakinya sedikit gemetaran, membuatnya
cemas apakah dia bisa sampai ke depan altar dengan selamat atau
malah terjatuh di tengah jalan.
Gadis itu berbalik saat mendengar ketukan pelan di pintu. Dia
mengernyitkan keningnya dan berjalan ke arah pintu, berniat
membukanya.
“Jangan buka pintunya,” ujar suara berat dari arah luar.
“Oppa?” tanya Ji-Yoo memastikan.
“Kau sendirian di dalam?”
“Ne.”
“Baguslah. Mendekatlah ke arah pintu, ada yang ingin aku katakan.”
“Kenapa kau tidak masuk saja?”
“Shireo. Aku tidak mau melihatmu sekarang. Aku ingin melihatmu
dalam balutan gaun pengantin di depan altar saja, jadi aku bisa
memasang tampang meyakinkan bahwa aku terpesona melihat
penampilanmu.”
Ji-Yoo tertawa mendengar ucapan kekanak-kanakan pria itu. Dia
kadang terkejut karena pria itu bisa bersikap begitu kekanakan dan
tidak dewasa di depannya, padahal imej pria itu selama ini terlihat
keren dan menyilaukan mata.
Ji-Yoo menyandarkan tubuhnya ke pintu dan entah bagaimana bisa
tahu bahwa pria itu juga sedang melakukan hal serupa.
“Yoo~ya, kau yakin kan mau menikah denganku? Bukan karena merasa
terpaksa?”
Mata Ji-Yoo melebar saat mendengar pertanyaan yang benar-benar
aneh itu.
“Yak, oppa, menurutmu aku yakin atau tidak? Bukankah selama ini kau
yang mendesakku untuk cepat menikah denganmu? Dan kau baru
sadar sekarang?”
“Jadi kau merasa terpaksa?”
Ji-Yoo terdiam sesaat kemudian tersenyum.
“Tidak juga,” ucapnya pelan. “Sama sekali tidak. Kalau aku memang
tidak mau menikah denganmu pasti aku sudah menolak, kan?”
“Mungkin saja kau merasa kasihan kepadaku.”
“Oppa, kau tidak sedang terkena sindrom pra-nikah, kan? Jangan
bilang kau mau membatalkan pernikahan karena merasa belum siap.”
“Ani…. Aku hanya… ingin memastikan bahwa kau merasa bahagia
menikah denganku. Karena aku merasa seperti itu. Hari ini berada di
urutan kedua hari paling membahagiakan dalam hidupku, jadi aku
tidak mau merusaknya dengan kemungkinan bahwa kau merasa
terpaksa melakukannya.”
“Urutan kedua?”
“Mmm. Urutan pertama tentu saja pertemuan pertama kita. Saat aku
bertemu gadis yang membuatku berubah pikiran tentang pernikahan.
Aku masih muda, sukses, dan masih ingin bersenang-senang, bukannya
terikat dalam sebuah pernikahan. Dulu kedengarannya itu sangat
mengerikan bagiku, tapi setelah jatuh cinta padamu… sepertinya itu
sama sekali tidak buruk.”
“Kau yakin tidak akan menyesal menikahiku? Maksudku, kita kan
belum kenal terlalu lama.”
Ada keheningan yang cukup lama menyusul setelah itu, membuat Ji-
Yoo merasa perutnya mual membayangkan bahwa pria itu sedang
berpikir ulang tentang pernikahan mereka. Bisa saja kan tiba-tiba
pria itu merasa dia bukan gadis yang paling tepat untuk dia nikahi?
Bagaimana kalau di luar sana ada gadis yang lebih baik lagi?
“Sayangnya tidak. Aku sudah memikirkannya berkali-kali. Kalau ada
gadis yang lebih cantik dan lebih baik darimu lalu kenapa? Aku
merasa tidak keberatan dengan semua kekurangan yang mungkin kau
miliki. Aku juga tidak tahu bagaimana, tapi… aku rasa akan sangat
menyenangkan jika bisa hidup bersamamu.” Eunhyuk menghela nafas
keras. “Karena kalau bukan kau aku tidak mau.”
***
Ji-Yoo menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan,
berusaha menenangkan dirinya saat mereka sudah mendekati lokasi
pernikahan. Eunhyuk memilih tempat tepat di depan pantai dengan
kursi-kursi yang tersusun rapi di bawah naungan pepohonan. Altar
diletakkan di bawah rangka setengah lingkaran yang dilapisi pita putih
dan bunga mawar berwarna pink. Ada tiang-tiang dengan buket bunga
mawar putih di atasnya, mengelilingi tempat itu, dan karpet putih
yang terhampar di sepanjang jalan menuju altar. Kursi-kursi dilapisi
kain berwarna putih dan pita berwarna pink, tepat menghadap ke
arah lautan berwarna biru tenang dan bukit-bukit hijau di sekitarnya.
Semua hiasan itu sederhana saja, tapi terlihat sangat indah dan
menyejukkan. Ji-Yoo tidak tahu bagaimana pria itu bisa merancang ini
semua dalam waktu singkat, tapi semuanya benar-benar sesuai dengan
seleranya.
Eunhyuk menunggunya tepat di depan altar, terlihat menawan dalam
balutan jasnya yang rapi. Angin dari arah laut membuat rambutnya
terlihat sedikit berantakan, tapi malah semakin membuat
ketampanannya terlihat jelas dan Ji-Yoo semakin gugup saat mereka
bertatapan.
Eunhyuk menatap gadis itu dengan terpesona dan nyaris tidak bisa
mengontrol ekspresi wajahnya. Gaun sederhana itu terlihat sangat
cantik dan sesuai di tubuh gadis itu, dan rona merah di wajahnya
membuat gadis itu kelihatan semakin manis, terlihat bersinar di
bawah sinar matahari yang begitu cerah dan menyilaukan.
Eunhyuk menyambut tangan Ji-Yoo yang terjulur ke arahnya dan
merasakan tepukan ringan di punggungnya, yang diberikan oleh ayah
gadis itu untuk menenangkannya.
Mereka berdua berbalik menghadap pendeta yang akan menikahkan
mereka dan menunggu dengan tegang saat pendeta itu mulai
membacakan janji pernikahan mereka. Eunhyuk berusaha mengingat
dengan baik janji pernikahan yang telah dihapalkannya dan berharap
bahwa dia tidak akan melakukan kesalahan sekecil apapun di hari
sepenting ini.
Dia meremas tangan Ji-Yoo dalam genggamannya dan tersenyum
gugup. Akhirnya dia berhasil menikahi gadis ini juga. Dengan baik-
baik. Setidaknya tidak seperti Kyuhyun yang benar-benar melakukan
pemaksaan mengerikan agar Hye-Na mau menikah dengannya. Dan
mulai detik ini dia juga akan berusaha menjadi pria baik-baik, yang
akan merasa tidak sabar untuk segera pulang ke rumah setelah
seharian bekerja di kantor dan melihat wajah istrinya lagi.
Membayangkan hal itu saja nyaris membuatnya tidak bisa berhenti
tersenyum seperti orang gila.
***
Wedding Party, on Yacht
07.00 PM

“Kami sudah menginterogasinya lagi, tapi sepertinya dia memang tidak


tahu apa-apa tentang bom itu. Hanya saja dia merasa prihatin karena
bom itu tidak berhasil meledakkan kalian berdua,” ujar Leeteuk
sambil menyesap anggurnya.
Kyuhyun mencengkeram gelasnya sambil menggertakkan giginya kesal.
“Berarti ada pelaku lain? Tapi siapa?”
“Kalau kau memikirkannya baik-baik, aku rasa masih ada rahasia yang
belum terungkap. Maksudku, apa kau tidak heran kita bisa menangkap
mereka semua dengan mudah? Dan pasti ada orang dalam yang
terlibat karena kami tidak bisa menemukan rekaman video di tempat
parkir di hari mobil Hye-Na diletakkan disana sampai hari sebelum
bom itu aktif.”
“Akan butuh waktu lama sampai Zhoumi bisa membuat serum yang
baru. Aku bisa menjamin keselamatan Hye-Na selama di rumah, tapi
kalau di kantor….”
“Aku yang akan menjaganya. Kau tenang saja. Aku tidak akan mungkin
membiarkan adik perempuanku satu-satunya terluka, kan?”
Kyuhyun mengangguk dan tersenyum, matanya beralih ke arah tangga
dimana dua orang wanita paling penting dalam hidupnya turun dengan
gaun malam membalut tubuh mereka. Jelas sekali kalau Hye-Na
terlihat tidak nyaman dan sedang mendebat Ah-Ra yang tadi dengan
paksa menariknya untuk didandani. Tapi kakaknya memang melakukan
tugasnya dengan sangat baik. Gadis itu terlihat menawan dengan gaun
kuning gading selututnya. Rambutnya diikat rapi membentuk ekor
kuda dengan poni yang menutupi sebagian keningnya dan sepertinya
dia berhasil menolak memakai sepatu hak tinggi lagi seperti biasa.
Kyuhyun melangkah ke arah tangga dan menunggu gadis itu di bawah
dengan tangan yang terbenam di saku celana. Dia bisa melihat gadis
itu menyadari kehadirannya dan menatapnya seolah menantang agar
pria itu mengejek penampilannya.
Hye-Na menghentikan perdebatannya dengan Ah-Ra tentang penting
atau tidaknya dia memakai gaun dan memfokuskan tatapannya pada
pria yang sekarang berada di depannya. Dia mendadak merasa
perutnya mual dan tidak nyaman. Apa dia terlihat jelek dengan
penampilan seperti ini?
“Hai,” sapa Kyuhyun singkat saat mereka berdua sudah berhadapan.
“Hai?” desis Ah-Ra tak percaya. “Yak, kalian ini suami istri, sapaan
macam apa itu? Kau Cho Kyuhyun, kau adikku apa bukan? Cepat
ulurkan tanganmu dan ajak dia berdansa! Kau ini payah sekali!”
“Ani, onnie. Aku tidak bisa berdansa,” tolak Hye-Na cepat.
“Tidak masalah. Itu bisa diatasi,” ujar Ah-Ra, benar-benar tidak mau
menerima penolakan dengan alasan apapun kecuali kalau Hye-Na
mematahkan kakinya sekarang juga.
“Ayo,” ajak Kyuhyun sambil mengukurkan tangannya. Sepertinya dia
tidak beetah berada di dekat nunanya itu lebih lama lagi dan
menerima petuah-petuah tentang masalah pernikahan.
Hye-Na membiarkan pria itu menggenggam tangannya dan berjalan
secepat mungkin agar terhindar dari tatapan menusuk Ah-Ra. Kenapa
jadi dia yang paling bernafsu menyuruh mereka berduaan?
Ruangan itu sudah penuh dengan orang-orang yang berdansa. Orang-
orang yang tidak dikenal Hye-Na sama sekali. Sepertinya semuanya
relasi bisnis Eunhyuk dan Kyuhyun. Eunhyuk sendiri berdansa di
tengah ruangan bersama Ji-Yoo, menjadi pusat perhatian semua
orang. Yeah, malam ini memang malam mereka berdua.
“Aku benar-benar tidak bisa berdansa,” bisik Hye-Na saat Kyuhyun
menarik pinggangnya mendekat. Pria itu mengangkat bahunya tidak
peduli dan tiba-tiba menunduk, melepaskan sepatu yang dipakai Hye-
Na dan sedikit mengangkat tubuh gadis itu, meletakkan kaki Hye-Na
tepat di atas kakinya yang masih memakai sepatu.
“Sekarang tidak masalah lagi, kan? Kau hanya perlu diam saja.”
Hye-Na terpana sesaat, merasa pita suaranya tiba-tiba rusak. Pria
itu selalu saja melakukan sesuatu yang mengejutkan dan melakukan
semuanya secara mendadak tanpa bisa diprediksi sebelumnya.
Posisi itu terasa sangat tidak nyaman bagi Hye-Na karena tubuh
mereka yang saling menempel dan wangi tubuh pria itu yang merasuki
indera penciumannya, membuatnya kehilangan orientasi selama
beberapa saat. Dia bahkan bisa merasakan hembusan nafas pria itu di
wajahnya dan ketakutan sendiri bahwa dia akan jatuh pingsan tiba-
tiba.
Dia mulai tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri sejak siang
dimana pria itu mengatakan bahwa dia mencintai Hye-Na. Rasanya
seolah dia ingin mengatakan hal yang sama, tapi ada gengsi yang
menahannya untuk tetap diam, padahal dia ingin sekali berteriak
saking bahagianya. Dia sangat ingin membicarakan tentang status
pernikahan mereka, tapi terlalu malu untuk memulainya duluan.
Terlalu malu untuk mengatakan bahwa dia bersedia menjadi istri pria
itu seumur hidupnya.
Pria itu bergerak pelan mengikuti alunan musik klasik yang sedang
diputar. Dia menarik tubuh gadis itu sedikit lebih dekat, membuat
gadis itu mendongak menatapnya. Dia menahan diri utnuk tidak
menjulurkan wajahnya dan mencium gadis itu di depan semua orang,
jadi sebagai gantinya dia mengangkat tangannya dan menyentuh pipi
gadis itu ringan, merasakan tekstur lembut kulit gadis itu di telapak
tangannya.
“Kau ingat ucapanku waktu itu? Bahwa kau tidak boleh berdandan
seperti ini jika tidak dimaksudkan untuk menggodaku? Kau tidak
sadar sedang berusaha merobohkan pertahananku, Nyonya Cho?”
Hye-Na merengut dan mengerucutkan bibirnya.
“Dengar ya Tuan Cho Yang Terhormat, aku tidak melakukan ini karena
keinginanku sendiri. Dan jangan harap aku akan menggodamu. Aku
pasti sudah tidak waras kalau sampai itu terjadi!”
Kyuhyun tersenyum dan menundukkan wajahnya sampai hidung
mereka bersentuhan.
“Ngomong-ngomong, kalau kau belum tahu, kau terlihat cantik sekali
malam ini.”
***
STA Building, Seoul
09.00 AM

“Aish, jinjja!” keluh Hye-Na sambil mendorong kursinya dan berlari


ke arah kamar mandi di sudut ruangan. Ini entah sudah yang
keberapa kalinya dalam pagi ini dia bolak-balik ke kamar mandi,
merasa ingin memuntahkan sesuatu, padahal sama sekali tidak ada
apapun yang keluar dari perutnya. Dia bahkan tidak bisa sarapan tadi
pagi karena perutnya yang terasa mual dan melilit. Untung saja dia
bisa menghindar dari Kyuhyun denagn mengatakan dia sedang datang
bulan, kalau tidak dia yakin seratus persen bahwa pria itu akan
langsung menyeretnya ke rumah sakit terdekat. Padahal dia tidak
tahu ada masalah apa dengan pencernaannya. Dia bahkan sepertinya
sudah telat halangan bulan ini.
Gadis itu mematikan keran dan melihat wajahnya yang pucat di
cermin. Sepertinya keadaannya cukup parah. Dia hanya berharap
bahwa dia tidak mengalami usus buntu atau sesuatu yang membuatnya
harus menjalani operasi. Dia benar-benar alergi dengan apapun yang
berhubungan dengan rumah sakit.
Hal itu terjadi berpuluh-puluh kali sampai waktu makan siang,
membuat gadis itu bosan dan merasa kelelahan karena harus masuk
ke kamar mandi berkali-kali. Dengan kesal dia pergi ke gedung SRO
dan menghambur masuk ke ruangan Yesung. Pria itu harus
menolongnya. Setidaknya lumayan, daripada dia harus pergi ke rumah
sakit.
“Apa ada gangguan pencernaan atau semacamnya? Aku tidak harus
dioperasi, kan?” desak Hye-Na setelah pria itu menyuruh Jin-Ah
memeriksanya. Pria itu terlalu takut dengan kemungkinan Kyuhyun
akan menghajarnya kalau dia sampai menyentuh tubuh istri
kesayangannya itu.
“Tergantung,” jawab Yesung santai. “Kau mau melakukannya secara
normal atau dengan melakukan operasi caesar.”
Hye-Na mengerutkan keningnya sesaat sebelum matanya membelalak
lebar dan mulutnya menganga tak percaya.
“Chakkamman. Kau… mau bilang kalau aku… hamil?”
Yesung mengangguk dan tersenyum. “Chukhahae.”
“Ta… tapi kami hanya melakukannya sekali dan… ng… dua kali… tapi
tetap saja… bagaimana mungkin aku hamil?”
“Hye-Na~ya, kau tidak bodoh, kan? Apa kalian melakukannya memakai
pelindung? Kau yakin kalau saat itu kau tidak sedang dalam masa
subur?”
Hye-Na mendesah dan menggeleng. Dia tidak tahu harus merasa
senang atau tidak. Yah, sebenarnya dia senang-senang saja punya
anak dari pria itu, tapi mengingat status pernikahan mereka yang
tidak jelas seperti itu….
Aku mencintaimu, Na~ya….
Gadis itu menghembuskan nafas dan tersenyum saat teringat
kejadian itu. Sepertinya tidak masalah. Sama sekali tidak masalah.
“Yesung ssi, bisakah kau tidak memberitahukan siapapun tentang hal
ini? Terutama pada Kyuhyun. Aku ingin memberitahunya sendiri. Eo?”
***
Hye-Na kembali ke kantornya dengan bibir yang yang melebar
membentuk senyum. Dia menepuk-nepuk pipinya, berusaha kembali
waras. Dia harus ke kamar mandi lagi setelah keluar dari ruangan
Yesung, tapi kali ini dia sama sekali tidak merasa kesal lagi.
Dia hamil? Astaga, membayangkannya saja tidak pernah. Bagaimana
rasanya menjadi seorang ibu? Ah ani, bagaimana caranya
memberitahu pria itu? Dia tidak mungkin tiba-tiba berdiri di depan
pria itu dan memberitahu kalau dia hamil, kan?
Hye-Na menjatuhkan tubuh ke atas kursinya dan menghidupkan
komputer. Matanya tertuju pada sebuah amplop putih yang
tergeletak di atas mejanya, padahal sebelumnya tidak ada apa-apa
disana.
Gadis itu merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya dan sedetik
kemudian dia nyaris membeku di kursinya.
Salam kenal, Nyonya Cho Hye-Na. Senang sekali bisa berkenalan
langsung denganmu. Kau pasti bertanya-tanya siapa aku. Aku
adalah orang yang memasang bom di mobilmu, dalang di balik
semua kejadian yang menimpa keluarga Cho… dan ayahmu.
Kau pasti terkejut, kan? Tentu saja dua orang yang sudah kalian
tangkap itu bersalah. Tapi mereka hanya pion. Kalian tidak akan
pernah berhasil menangkap aku, rajanya.
Jadi sebagai informasi, aku mau memberitahu bahwa kau adalah
orang yang harus segera aku singkirkan secepatnya. Tapi aku bisa
memberimu pilihan. Kau tetap disini dan aku akan melakukan
segala cara untuk menghabisimu atau kau tinggalkan Kyuhyun dan
kembali ke Amerika, menjalani kehidupanmu yang semula. Aku
tidak bisa memberitahumu kenapa aku bersedia membebaskanmu,
tapi kau harus tahu bahwa pilihan ini sangat adil. Mengingat kau
punya satu tanggungan lagi yang harus kau selamatkan nyawanya.
Anakmu.
Heran kenapa aku bisa tahu sedangkan kau baru mengetahui
kenyataannya tidak sampai setengah jam yang lalu? Kau
seharusnya merasa ketakutan sekarang. Aku berada sangat
dekat, Nyonya Cho. Sangat dekat. Sehingga bisa membubuhkan
racun di dalam minumanmu tanpa dicurigai siapapun, membuat rem
mobilmu blong, atau apapun, apapun yang bisa membunuhmu.
Jadi aku sarankan kau segera pergi dari negara ini. Tinggalkan
suamimu dan aku berjanji bahwa aku tidak akan mengganggu
anakmu. Dan jangan lupa, kau juga harus tutup mulut tentang
kehamilanmu. Jangan biarkan siapapun tahu kau mengandung
anaknya.
Permainan ini semakin menarik, kan? Aku sangat berharap kita
berdua bisa berhadapan, tapi sepertinya itu tidak akan terwujud.
Lebih baik tidak terwujud kalau kau tidak mau mencari gara-gara
denganku dan membahayakan keselamatan janinmu.
Aku tunggu keputusanmu, Nyonya Cho. Waktumu hanya dua hari.
Pikirkan baik-baik.

Hye-Na merasakan tangannya bergetar hebat. Bagaimana mungkin


pria itu tahu mengenai kehamilannya?
Kemungkinan pertama di otaknya adalah Yesung yang telah melakukan
semua ini. Tapi dengan cepat dia menghapus pikiran itu karena
instingnya mengatakan bahwa pria itu tidak ada hubungannya dengan
ini semua. Lagipula dia yakin bahwa Yesung tidak meninggalkan
ruangannya sedikitpun.
Hye-Na bangkit berdiri dan pergi ke ruang informasi, tempat semua
rekaman kamera CCTV berada. Seharusnya ada rekaman saat
seseorang masuk ke dalam ruangannya.
“Tidak ada?” tanya Hye-Na kaget.
Kang-In menggeleng. “Aku meninggalkan ruangan ini saat makan siang,
tapi aku yakin sudah menguncinya dan ruangan ini tidak memiliki kunci
cadangan. Apa terjadi sesuatu? Ada yang masuk ke ruanganmu?”
“Ani. Gwaenchana.”
Hye-Na cepat-cepat pergi dari ruangan itu sebelum pria itu merasa
curiga. Tidak ada satupun kejadian di tempat ini yang tidak
dilaporkan kepada Kyuhyun, jadi sebaiknya dia tidak bergerak
sembarangan dan membuat seseorang curiga kemudian melapor pada
pria itu. Dia tidak ingin pria itu tahu bahwa dia mendapat surat
ancaman itu.
Hye-Na merasakan wajahnya memucat. Pria itu benar. Dia sama sekali
tidak terdeteksi. Dan sangat dekat. Sangat dekat.
***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
10.00 PM

Hye-Na terbaring kaku di samping Kyuhyun yang sudah tertidur.


Gadis itu sudah memikirkan surat itu seharian dan dia tahu bahwa
pria itu tidak main-main dengan ancamannya. Dia benar-benar tidak
punya pilihan selain pergi dan kembali ke Amerika kalau dia tetap mau
anaknya selamat. Tapi meninggalkan pria di depannya ini adalah
keputusan yang sangat berat. Dia tidak tahu akan bagaimana
keadaannya nanti tanpa pria itu. Hidupnya tidak akan pernah sama
lagi. Dan… dia tidak yakin apakah itu masih bisa disebut hidup. Tanpa
pria itu, apa hidup masih bisa disebut hidup?
Hye-Na menatap wajah di hadapannya. Berusaha merekam rupa wajah
itu baik-baik di kepalanya. Dia tidak boleh lupa. Separah apapun
ingatannya, dia tidak boleh melupakan wajah itu sama sekali.
“Kenapa kau memandangiku seperti itu?” tanya Kyuhyun, membuka
matanya tiba-tiba, membuat gadis itu terkesiap kaget.
“Ani,” jawab gadis itu serak, seolah ada sesuatu yang tersangkut di
kerongkongannya.
“Kau sakit? Wajahmu pucat,” komentar Kyuhyun sambil menyentuhkan
tangannya ke kening gadis itu.
“Tidak. Hanya… masalah wanita.”
Kyuhyun mengangguk mengerti dan tidak bertanya lebih jauh.
“Ng… Kyu… boleh aku memelukmu?”
Kyuhyun membulatkan matanya mendengar permintaan gadis itu.
Kalimat itu tidak akan pernah keluar dari mulut gadis itu, tapi
sekarang….
“Kau aneh sekali, Na~ya. Ada sesuatu? Kau membuatku takut, kau
tahu?”
“Boleh?” ulang gadis itu lagi tanpa memedulikan ucapan Kyuhyun.
Kyuhyun mengulurkan tangannya dan menarik gadis itu mendekat,
sehingga Hye-Na bisa lebih leluasa memeluknya.
“Kyu?”
“Mmm?”
Saranghae….
Hye-Na menarik nafasnya, ingin sekali mengucapkan kata itu. Tapi
kata itu tidak pernah terlontar dari mulutnya dan dia malah
mengucapkan hal tidak penting yang benar-benar disesalinya.
“Selamat malam.”
***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
08.00 AM

“Aku mau ke Irlandia pagi ini. Perbaikan peternakan yang aku beli
waktu itu sudah selesai, jadi aku mau kesana untuk mengeceknya. Kau
mau ikut? Kita bisa menginap,” tawar Kyuhyun saat mereka sedang
berada di ruang makan untuk sarapan.
Hye-Na mendongak. Besok adalah waktu terakhirnya. Mungkin… dia
bisa membuat kenangan-kenangan terakhir bersama pria itu.
“Oke. Aku akan bersiap-siap.”
“Na~ya… kau tidak apa-apa, kan? Kau benar-benar terlihat aneh,”
ujar Kyuhyun cemas.
“Tidak. Aku memang selalu seperti ini kalau sedang datang bulan.
Memangnya kau tidak capek mendengarku berteriak-teriak terus?”
elak Hye-Na.
Kyuhyun menatap gadis itu lekat-lekat. Dia tahu ada sesuatu yang
terjadi pada gadis itu, tapi dia tidak bisa menebak apa dan itu
membuatnya benar-benar ketakutan.
***
Dublin, Ireland
11.00 AM (Ireland’s Time)

Mereka berangkat dari Seoul jam 9 pagi dan sampai di Dublin jam 11
siang, tepatnya jam 7 malam waktu Korea, karena perbedaan waktu 8
jam di antara kedua negara itu. Kyuhyun langsung ke peternakan
setelah mengantar Hye-Na ke rumah Siwon karena gadis itu ingin
bertemu dengan Eun-Ji. Keputusan yang akhirnya disesali Hye-Na
karena Eun-Ji merecokinya dengan semua pembicaraan tentang tetek
bengek pernikahan yang membuat kepalanya terasa sakit. Dan gadis
itu hanya bisa pasrah saat Eun-Ji memaksanya menjadi
pendampingnya di hari pernikahan nanti.
Kyuhyun menjemputnya saat makan siang dan membawanya ke villa
pria itu yang terletak di daerah pegunungan. Gadis itu tidak habis
pikir, apa sebuah kastil saja tidak cukup sampai pria itu juga harus
memiliki sebuah villa? Tapi villa itu memang indah sekali, dengan
pemandangan hijau pohon-pohon pinus di sekelilingnya. Mereka makan
siang di taman belakang yang menyuguhkan suasana hutan yang hening
dan sejuk. Di Irlandia musim gugur baru datang, jadi cuaca belum
terlalu dingin dan matahari masih bersinar terang.
“Setelah ini kau mau ikut aku jalan-jalan?” tanya Kyuhyun. “Ada
pantai di dekat sini dan kudengar pemandangan dari arah
mercusuarnya indah sekali.”
“Aku akan ikut kalau kau membelikanku es krim.”
Kyuhyun meletakkan sendoknya ke atas piring dan menatap gadis itu
heran.
“Na~ya, kau benar-benar sedang tidak waras, ya?”
***
Kyuhyun benar. Pemandangan pantai itu indah sekali. Mercusuar itu
terletak di atas bukit yang dikelilingi batu karang dan cuaca benar-
benar sedang cerah. Matahari juga tidak bersinar terlalu terik.
Cocok untuk merayakan perpisahan mereka, batin Hye-Na.
Kyuhyun memegangi tangan gadis itu saat mereka mendaki melewati
bebatuan, sesekali harus mengangkat tubuh gadis itu saat jalanan
yang mereka lewati benar-benar terjal. Pria itu merasakan perasaan
tidak nyaman menyerangnya, tapi dia mengabaikannya begitu saja. Dia
tidak bisa menikmati momen langka seperti ini dengan pikiran buruk.
“Ini kopimu,” ujar Kyuhyun sambil menyodorkan gelas kertas berisi
kopi yang masih panas ke tangan Hye-Na. Dia mengambilnya
dari AutoChef yang tersedia di depan bangunan di samping
mercusuar, sepertinya tempat ini cukup sering dikunjungi para turis,
jadi ada beberapa fasilitas yang bisa digunakan untuk umum.
Hye-Na mengambil gelas itu dan meniupnya pelan, menunggu sampai
cairan hitam kental itu cukup dingin untuk diminum. Gadis itu
memandang laut di depannya dengan tatapan kosong. Bau asin air laut
menyergap indera penciumannya dan telinganya menangkap bunyi
keras debur ombak yang menghantam karang, mencipratkan tetesan-
tetesan air ke dekat mereka.
Tanpa sadar dia mengangkat tangannya dan meminum kopi itu,
menyebabkan rasa terbakar di lidahnya. Tapi dia diam saja, tidak
mengeluh sama sekali.
“Rasanya aneh, kau tahu? Duduk berdua denganmu tanpa berdebat
sekalipun dalam waktu yang cukup lama,” ucap Kyuhyun tiba-tiba. Dia
menoleh menatap gadis itu kemudian tersenyum enggan. Tangannya
terangkat merapikan anak rambut gadis itu yang berantakan
dihembus angin, menyisipkannya ke belakang telinga.
Biasanya gadis itu akan protes dan berusaha mengelak dari
sentuhannya, tapi kali ini gadis itu hanya menatapnya tanpa berkata
apa-apa, membuat Kyuhyun merasa bahwa benar-benar ada sesuatu
yang buruk yang akan segera terjadi. Pria itu merasa perutnya
dihantam dengan keras. Tangannya yang bebas mengepal,
mencengkeram baju gadis itu, menarik pinggangnya mendekat, dan
sesaat kemudian pria itu sudah mencium Hye-Na dengan putus asa,
menyalurkan segala rasa frustasinya.
Lidah gadis itu terasa hangat karena kopi yang baru saja diminumnya
dan Kyuhyun tidak mau merepotkan diri dengan bersusah payah
mencium gadis itu dengan lembut. Dia melumat bibir gadis itu dengan
rakus, meredam teriakan depresinya yang berusaha mendesak keluar.
Ada yang salah. Benar-benar salah.
Kyuhyun menjauhkan wajahnya sedikit saat paru-paru mereka sudah
memberontak meminta oksigen. Dadanya terengah-engah mengambil
nafas dan dia bisa merasakan deru nafas gadis itu di wajahnya.
Pria itu menunduk dan menatap gadis itu sayu, berusaha tidak
memeluk gadis itu erat-erat seperti yang ingin dilakukannya, karena
dia takut kalau-kalau dia akan meremukkan tubuh gadis itu saking
frustasinya.
“Rasanya kita lebih dekat dari kapanpun,” ujarnya serak. “Tapi kenapa
aku merasa akan kehilangan dirimu segera?”
TBC

Ff Superjunior : 2060 {10 St Round }


Sometimes… being apart is better for each other, although it
destroys both of them.
But what if they do it to make sure that the other is safe? Is it
a sin?

Dublin, Ireland
05.00 AM (Ireland’s Time)
Hye-Na membuka matanya perlahan, merasakan rangkulan ringan di
pinggangnya, tubuhnya yang terbaring menempel dengan tubuh
Kyuhyun, mengikuti tiap lekuk tubuh pria itu dengan tepat seolah
mereka memang sudah diciptakan untuk melengkapi satu sama lain,
dan wajahnya yang menghadap ke dada pria itu.
Dia melepaskan lengan Kyuhyun dengan hati-hati, berusaha tidak
membangunkan pria itu, kemudian menyingkap selimut yang menutupi
tubuh mereka berdua. Hari masih cukup gelap, dan matahari bahkan
belum muncul sama sekali. Waktu yang tepat baginya untuk pergi.
Dia sudah mendapatkan tiket ke New York, penerbangan paling pagi.
Dan dia tidak mau rencananya untuk kabur gagal begitu saja. Dia
harus melakukannya. Bukannya dia takut mati atau apa, tapi… ada
sesuatu yang harus dijaganya baik-baik. Sesuatu yang membuatnya
menjadi begitu lemah dan memilih untuk kabur dari semua kekacauan
yang terjadi. Sesuatu yang membuatnya rela untuk meninggalkan hal
terpenting dalam hidupnya.

Hye-Na melayangkan tangannya ke daerah perutnya, mengelusnya


pelan. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pada
akhirnya dia menjadi seorang istri… bahkan seorang ibu. Itu tidak
ada di daftar manapun dalam rencana hidupnya. Tapi dia malah
merasa… menikmati semuanya.
Lalu kenapa dia harus mengakhirinya?
Pertanyaan mudah. Karena anak ini. Karena dia ingin anak ini lahir
dengan selamat. Nanti, jika dia berhasil mewujudkannya, dia akan
menemukan cara apapun untuk kembali pada pria itu. Apapun. Tidak
masalah jika nantinya dia akan terlihat seperti wanita agresif yang
tidak tahu malu. Lebih baik seperti itu, daripada mewujudkan
bayangan hidup mengerikan dimana tidak ada pria itu di dalamnya.
***
Hye-Na meletakkan kopernya di dekat pintu. Diam-diam dia sudah
memasukkan beberapa barang pentingnya ke dalam koper itu saat
menyiapkan pakaian ke tempat ini kemarin, jadi dia sekarang tinggal
pergi saja.
Gadis itu berjalan mendekat ke arah tempat tidur, berjongkok di
sampingnya, tepat menghadap ke wajah pria itu. Dia sedikit
memiringkan kepalanya, menatap wajah pria itu lekat-lekat.
Dia melakukannya selama beberapa menit, sebelum akhirnya bangkit
berdiri lagi dan menarik kopernya keluar kamar, tanpa berpaling ke
belakang lagi sedikitpun. Karena dia tahu bahwa dia harus segera
bersiap. Karena sekali dia membalikkan badan, dia tahu bahwa sudah
waktunya baginya untuk segera menyiapkan diri. Menyiapkan diri
untuk merindukan pria itu setiap hari. Hidup yang tidak diinginkannya,
tapi harus dijalaninya.
***
Kau tahu hal tersulit apa yang terlalu berat untuk dilakukan?
Melepaskanmu.
Tapi bagaimana jika ada begitu banyak hal yang membuat
genggamanku melonggar sehingga kau nyaris terlepas?
Jika kau pergi, akan seperti apa dunia yang aku jalani?
Yang pasti, saat kau terlepas, tidak ada yang akan terasa benar.
Dan aku akan menderita penyakit yang begitu menakutkan.
Merindukanmu.
Jadi tidak bisakah waktu berhenti begitu saja agar aku tetap
bisa menggenggam tanganmu selama yang kumau?
Tidak bisakah kau disini saja dan membiarkanku bernafas dengan
nyaman karena kehadiranmu?
Kyuhyun mendengar pintu kamar tertutup dan dengan perlahan
membuka matanya. Tangannya terulur ke ranjang kosong di
sampingnya. Masih hangat. Dan bau gadis itu masih tertinggal di atas
bantal.
Dia menatap kosong ke arah pintu. Kejadian yang sama lagi seperti 14
tahun yang lalu. Tapi bedanya, rasa sakit yang dialaminya sekarang
bertambah berjuta-juta kali lipat. Dan itu nyaris, nyaris terasa
membunuh.
Dia berusaha menarik nafas, tapi paru-parunya terasa begitu berat
dan tidak ada oksigen sedikitpun yang masuk ke hidungnya,
membuatnya untuk sesaat terengah, hampir-hampir kehilangan
kemampuan untuk mengambil nafas sama sekali.
Tangannya mencengkeram seprai, membuat kain berwarna putih itu
kusut di dalam genggamannya yang kuat. Tenggorokannya terasa
kering dan kepalanya benar-benar terasa seperti ditusuk-tusuk
ribuan jarum tanpa henti. Mungkin itu bagian dari rasa sekarat, yang
perlahan semakin menyakitkan, dan mungkin berakhir dengan
kematian.
Mati. Kata itu terdengar seperti bualan di telinganya. Dulu. Dan
sekarang dia tahu kenapa kematian itu terasa menakutkan dan begitu
menyakitkan. Tepat saat gadis itu menutup pintu, dia tahu bahwa dia
baru saja mati. Dan itu benar-benar menjadi saat paling mengerikan
dalam hidupnya.
Dia menutup matanya lagi. Pintu yang diam itu terlihat seperti pintu
menuju neraka di matanya, pintu yang telah menyembunyikan
gadisnya. Lagi.
Dia tidak akan mencari gadis itu. Tidak, jika gadis itu sendiri yang
ingin pergi darinya. Dia sudah mendapatkan firasat yang sudah begitu
jelas dan berusaha untuk bersiap-siap, tapi rasanya sia-sia saja. Dia
sudah memperkirakan sesakit apa rasanya jika gadis itu terlepas
darinya, tapi ternyata perkiraannya bahkan tidak mendekati
sedikitpun rasa sakit yang dialaminya sekarang. Seperti ada lubang
menganga yang begitu besar. Seolah dia tidak akan pernah utuh lagi.
Kata hancur bahkan tidak bisa mendefinisikan sedikitpun apa yang
dirasakannya saat ini. Seharusnya para ahli bahasa merasakannya
sendiri sehingga bisa menemukan kata yang cocok untuk ditulis di
kamus.
Ada sesuatu yang sedang terjadi. Sesuatu yang memaksa gadis itu
untuk pergi. Dia akan mencari tahu apa itu, tapi dia tidak akan
berusaha untuk mencari gadis itu dan memaksa gadis itu tetap
berada di sisinya. Dia akan mencari tahu, menyelesaikannya, dan saat
itu, saat semua kekacauan ini sudah berakhir, dia tahu gadis itu akan
kembali padanya. Dan sampai dia mendapatkan gadis itu lagi, dia akan
berusaha tetap hidup dan melakukan segala hal yang dia bisa.
Walaupun dia tahu dengan jelas bahwa rasanya akan lebih
menakutkan daripada dikubur hidup-hidup. Bernafas tanpa gadis itu
sama seperti menghirup gas belerang. Pilihannya hanya dua. Tetap
menghirup dan dia akan mati, atau menutup hidung dan dia akan tetap
mati. Kehabisan oksigen.
***
Ryeowook’s Home, Seoul
06.00 AM

Ah-Zin tersentak saat mendengar suara keras yang berasal dari jam
alarm yang terletak tepat di samping kepalanya. Astaga, sejak kapan
dia memakai alarm? Ini pasti ulah suaminya!
Gadis itu menegakkan tubuhnya dan duduk di atas tempat tidur,
sedikit menggeliatkan tubuhnya dan menguap keras-keras.
Dia masih belum berbaikan dengan suaminya itu. Entah sudah berapa
hari mereka tidak saling berbicara. Seminggu? Jadi kenapa Wookie
tiba-tiba masuk ke kamarnya dan memasang alarm? Setahunya ini
hari Kamis. Dan dia tidak punya acara apa-apa saat ini.
Ah-Zin menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, meraba-raba
lantai dengan kaki untuk mencari sandal kamarnya, dan bangkit
berdiri setelah menemukannya. Langkahnya terhenti saat melihat ada
sebuah gambar panah super besar di lantai kamar, dengan sehelai
kartu di atasnya.
Ikuti saja panahnya. Dan lakukan apa yang tertulis di kartu
berikutnya.

Selamat pagi, Ah-Zin~a… ^^


Walaupun saat ini aku tidak melihatmu secara langsung, tapi aku
tahu, seperti biasa, kau selalu terlihat cantik saat bangun tidur.

-RW-

Ah-Zin tertawa kecil dan menyentuh pipinya yang terasa sedikit


memanas. Pria itu tidak pernah semanis ini sebelumnya. Walaupun
wajahnya itu manis sekali. Dan… dia tidak pernah sekalipun
mengatakan bahwa gadis itu terlihat cantik saat bangun tidur.
Pertama dan terakhir kalinya Ryeowook memujinya cantik adalah saat
hari pernikahan mereka dan menurut Ah-Zin itu wajar. Pengantin
mana yang tidak terlihat cantik di hari pernikahannya?
Gadis itu sedikit berjinjit dan berjalan mengikuti arah panah yang
menuju ke kamar mandi di kamarnya. Kartu berikutnya ada di kaca
wastafel.
Mandilah. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu. Semoga kau
terbangun tepat saat alarm berbunyi, jadi airnya masih hangat.
Cuaca Seoul saat ini dingin sekali, kau tahu? Jadi jangan mandi
terlalu lama.

Bathtub sudah dipenuhi busa-busa dan beberapa helai kelopak mawar,


membuat gadis itu lagi-lagi terpana, tidak habis pikir dengan kelakuan
aneh suaminya pagi ini. Apa ini hari yang spesial? Dia bahkan tidak
ingat sekarang tanggal berapa.
***
Ah-Zin meraih jubah mandinya dan bergegas mengikuti panah itu lagi.
Kali ini panah itu berhenti di atas sofa yang terletak di sudut kamar.
Ada setumpuk pakaian di atasnya dan sebuah kartu. Dia mengambil
pakaian yang ternyata gaun lamanya yang seingatnya disimpannya di
bagian paling bawah lemari. Bukan karena gaun itu sudah jelek, rusak,
sempit, atau semacamnya, tapi karena itu adalah gaun yang
dikenakannya saat bertemu dengan Wookie pertama kali di restoran.
Dia tidak terlalu sering memakai gaun, tapi hari itu dia harus
menghadiri kencan buta yang dirancang ibunya. Ibunya itu memang
sangat cerewet dengan masalah percintaannya. Beliau tidak mau
menerima kenyataan bahwa anak gadisnya yang saat itu baru berumur
17 tahun belum pernah kencan sekalipun, jadi dengan ‘niat baik’, dia
merancang sebuah acara kencan untuk putri kesayangannya itu
dengan salah satu anak temannya, memaksa Ah-Zin berdandan dan
membelikannya gaun baru yang cantik.
Entah itu adalah hari keberuntungan Ah-Zin atau tidak, pria itu tidak
datang, dan sebagai gantinya dia malah tertarik pada anak pemilik
restoran tempat kencan itu dijadwalkan. Pria itu sangat manis dan
ramah. Saat datang dia menyapa semua pelanggan dengan sopan dan
mendatangi meja mereka satu per satu, berbicara sebentar, dan
menanyakan saran maupun keluhan mereka terhadap pelayanan
restorannya. Dan entah kenapa dia berhenti cukup lama untuk
berbicara dengan Ah-Zin yang hanya duduk sendiri di mejanya. Saat
itulah mereka pertama kali bertemu, berkenalan, dan mungkin… jatuh
cinta.
Ah-Zin menatap gaun di tangannya. Entah bagaimana Wookie bisa
menemukan gaun itu. Gaun yang hanya sempat dipakainya satu kali dan
kemudian disimpannya sebagai kenang-kenangan.
Gaun tersebut berwarna salem, panjangnya mencapai lutut, dan
berkerut di bagian pinggang. Hanya gaun biasa yang tidak terlalu
istimewa, tapi itu adalah simbol pertemuan mereka, sehingga Ah-Zin
memutuskan untuk menyimpannya baik-baik.
Kau ingat gaun ini? Gaun yang kau pakai saat kita pertama kali
bertemu? Saat itu aku berpikir… sudah saatnya aku meninjau
ulang perasaanku pada Jin-Ah. Karena aku bahkan tidak pernah
merasa segugup itu saat melihatnya. Jantungku tidak pernah
berdetak sekeras itu saat berbicara dengannya.
Kau tahu? Kau gadis pertama yang berhasil melakukan semua itu
padaku.

Dia? Jin-Ah? Bukan Jin-Ah, tapi dia?


Ah-Zin melihat tangannya yang sedikit gemetar, nyaris menjatuhkan
gaun yang sedang dipegangnya.
Jadi seberapa banyak lagi rahasia pria itu yang tidak diketahuinya?
Ada berapa banyak lagi tuduhan-tuduhan tidak beralasan yang salah
dialamatkannya pada pria itu? Kim Ah-Zin, apa kau tahu bahwa kau itu
benar-benar tolol?
***
Ah-Zin menemukan satu kartu lagi di meja riasnya. Tulisan disana
menyuruhnya turun ke lantai bawah dan menunggu di depan pagar
rumah. Maka disinilah dia sekarang, berdiri di depan pagar, menunggu
sesuatu yang dia tidak tahu apa.
Sebuah mobil berhenti di depannya 3 menit kemudian, diikuti seorang
pria dengan seragam sopir yang keluar dari balik pintu pengemudi.
Pria itu tidak berkata apa-apa, hanya membukakan pintu belakang
mobil untuknya sambil tersenyum ramah.
Ah-Zin mengangguk sopan dan membungkuk masuk ke dalam mobil.
Oh, baiklah, apa yang sedang direncanakan pria itu sebenarnya?
***
Dia mengenal jalan yang sedang mereka tempuh. Jalan menuju
restoran lama Wookie. Apa mereka akan kesana? Tapi setahunya
restoran itu sudah dijual.
Mobil itu berhenti di depan sebuah tempat yang dulunya adalah
restoran itu. Tidak banyak berubah, kecuali rerumpunan semak bunga
di jalan masuk. Selebihnya sama.
Ah-Zin mengerutkan keningnya. Memang sama. Tempat itu terlihat
sama dengan 4 tahun yang lalu. Terlalu sama, sehingga terasa aneh.
Ah-Zin turun dari mobil, melangkah hati-hati di atas kerikil yang
berserakan di sepanjang gerbang masuk dan pintu restoran. Dia
mendorong pintu itu sampai terbuka, sehingga bel yang dipasang di
atas pintu itu berdentang cukup keras, dan gadis itu hanya bisa
terpana, terdiam kaku di depan pintu masuk.
Tempat itu persis sama seperti yang diingatnya terakhir kali.
Susunan meja, konter makanan, meja kasir, TV, papan besar yang
menampilkan menu makanan dan daftar harga, cat dinding. Semuanya
benar-benar sama. Bagaimana mungkin pria itu mempersiapkan ini
semua?
Seorang pelayan pria menghampirinya dan menunjuk sebuah meja,
meja yang dulu didudukinya saat datang ke tempat itu. Dan dia yakin
bahwa pelayan itu adalah pelayan yang sama dengan pelayan yang
melayaninya saat itu.
Pelayan itu hanya mengantarkannya ke meja kemudian pergi begitu
saja tanpa menanyakan pesanannya sedikitpun, sehingga gadis itu
hanya duduk dengan bingung sambil menopangkan dagunya ke tangan.
Sekitar lima menit kemudian pelayan tadi kembali sambil
membawakan senampan makanan yang sudah bisa Ah-Zin tebak isinya.
Roti isi daging panggang dengan saus keju, kentang goreng, dan
segelas jus melon. Menu yang dipilihnya 4 tahun yang lalu. Tapi kali ini
ditambah dengan sehelai kartu di atasnya.
Selamat menikmati sarapanmu.
Aku heran kenapa siang itu kau memesan menu yang biasanya
dipilih untuk sarapan ini. Apa karena kau sedang tidak lapar?
Atau karena kau malu makan terlalu banyak di depan pria yang
akan kau temui itu? Atau… kau ingin makananmu habis dengan
cepat agar kau bisa segera melarikan diri darinya?
Untung saja saat itu dia tidak jadi datang dan… kau
menghabiskan makananmu dengan sangat lambat. Boleh kutebak
alasannya? Apa karena kau ingin menghabiskan waktu lebih lama
lagi untuk mengobrol denganku? Karena jika iya, itu artinya kau
juga jatuh cinta pada pandangan pertama. Sama sepertiku.

Pria itu jatuh cinta pada pandangan pertama terhadapnya? Dia


bahkan tidak pernah mengetahui fakta itu sedikitpun. Selama ini pria
itu tidak pernah membicarakan perasaannya sama sekali. Ah-Zin baru
sadar, sebenarnya mereka bahkan tidak seperti pasangan yang sudah
menikah. Mereka jarang berbicara berdua dan… kebanyakan malah
bertengkar tentang masalah sepele seperti AutoChef.
Ah-Zin meletakkan kartu itu ke atas meja dan mulai menyantap
sarapan paginya. Dia menemukan perbedaan pertama saat mengunyah
suapan pertamanya. Tidak seperti 4 tahun yang lalu, dia yakin bahwa
makanan ini adalah buatan Ryeowook. Karena pria itu sempat
memasakkan menu yang sama untuknya satu hari setelah pernikahan
mereka. Dan rasanya persis sama dengan makanan yang dimakannya
saat ini. Rasanya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan buatan koki
restoran pria itu, tapi ada sesuatu yang lain. Dia bahkan tidak bisa
menjawab apa itu, hanya saja dia tahu bahwa kali ini, pria itulah yang
membuatnya, bukan koki restoran seperti 4 tahun yang lalu.
Pelayan tadi kembali sambil menyerahkan sebuah kartu untuknya
setelah dia menuntaskan sarapan paginya.
“Gomaweo,” ucap Ah-Zin sambil tersenyum, yang dibalas dengan
bungkukan sopan pelayan itu.
Sejauh ini, apakah kau sudah mengerti apa yang sedang aku
lakukan?
Aku sedang mengulang pertemuan pertama kita. Mungkin saja kau
sudah melupakannya, jadi aku ingin mengingatkanmu lagi.
Aku telah melakukan banyak kesalahan selama 4 tahun terakhir.
Aku mungkin bukan suami, kekasih, dan sahabat yang baik
untukmu. Aku melakukan semuanya dengan cara yang salah. Jadi
aku ingin memperbaiki semuanya lagi dari awal. Dimulai dari
pertemuan pertama kita.
Aku tidak pernah menceritakan perasaanku padamu, kan? Maka
aku akan mengakui semuanya sekarang.

3 Maret 2056, pertemuan pertama kita.


Saat itu, seperti biasa, aku datang ke restoran sepulang kuliah
untuk membantu orang tuaku. Biasanya aku akan mendatangi
setiap meja, menanyakan apa yang pelanggan kami butuhkan, dan
meminta saran dan kritik dari mereka demi kemajuan restoran.
Dan hari itu tidak ada perbedaan. Aku melakukan semua itu
seperti biasa.
Yang berbeda adalah, hari itu ada sebuah meja yang hanya
diduduki oleh seorang gadis. Biasanya setiap meja di restoran
kami selalu diduduki minimal dua orang, mungkin teman atau
sepasang kekasih. Tapi kau hanya duduk sendiri. Melamun, dan
terlihat tidak nyaman. Aku mengecek buku reservasi, dan
ternyata meja yang kau duduki dipesan untuk dua orang.
Tebakanku itu adalah seorang pria. Kekasihmu mungkin? Sahabat?
Atau mungkin… calon pacar?
Hari itu kau memakai gaun selutut berwarna salem dan rambutmu
dijalin rapi.
Kau tahu? Saat itu kau terlihat cantik sekali. Dan aku yakin, pagi
ini kau masih sama cantiknya dalam balutan gaun itu. Aku benar,
kan?
Aku menghampirimu, duduk di depanmu, dan kau terlihat
terganggu. Tentu saja, kau pasti berpikiran buruk tentang
seorang pria tidak dikenal yang tiba-tiba sok akrab dan
mengajakmu mengobrol. Tapi setelah aku menjelaskan bahwa aku
adalah anak pemilik restoran dan ingin tahu apakah ada keluhan
yang ingin kau sampaikan terhadap restoran kami, kau mulai
sedikit bersikap ramah dan tersenyum. Saat itu, untuk beberapa
saat yang lama, aku terpana melihatmu. Apakah kau
menyadarinya? Mungkin tidak.
Aku masih berstatus sebagai kekasih Jin-Ah saat itu. Jadi
mungkin aku adalah pria brengsek tukang selingkuh yang begitu
mudah tertarik pada gadis lain. Hanya saja… siang itu aku juga
menyadari bahwa ada yang salah dalam hubungan kami berdua.
Kami adalah sahabat sejak kecil, pergi kemana-mana berdua, dan
semua teman-teman kami memaksa kami berdua untuk segera
pacaran. Bukankah biasanya memang begitu? Bahwa tidak ada
persahabatan di antara pria dan wanita? Bahwa sebenarnya kami
saling jatuh cinta tapi kami belum menyadarinya?
Karena itu kami berdua memutuskan untuk berpacaran. Hubungan
itu biasa saja. Tidak ada yang berubah. Kami tetap dengan
rutinitas yang biasa.
Kemudian aku melamarnya. Jin-Ah tidak menjawab, hanya saja
aku tahu jawaban apa yang akan diberikannya nanti. Dia punya
cita-cita, sebuah mimpi yang ingin diwujudkannya. Dan mungkin
dia tidak sadar, tapi aku tahu betapa bersinarnya dia saat
bercerita tentang senior di kampusnya yang menjadi ilmuwan
SRO. Dia mengagumi pria itu, tapi aku tahu perasaannya pasti
lebih dari itu. Dia bukan hanya mengagumi, tapi juga jatuh cinta
pada pria itu.
Seharusnya, aku merasa sakit, patah hati, atau mungkin merasa
dikhianati. Tapi ternyata rasanya biasa saja. Anehnya, aku malah
merasa senang melihat sahabat terbaikku akhirnya jatuh cinta,
walaupun sepertinya dia belum menyadari perasaannya sendiri.
Lalu akiu bertemu denganmu. Melihatmu tersenyum, berbicara
denganmu. Dan kali itu aku tahu ada yang berbeda. Aku akhirnya
tahu apa yang salah dengan hubunganku dan Jin-Ah.
Dia cantik, tapi tidak pernah sampai membuatku terpana seperti
saat aku menatapmu. Dia ceria, tapi aku tidak pernah merasakan
jantungku berdetak cepat saat melihat senyumnya, tidak seperti
reaksi jantungku saat melihat senyummu.
Kita mengobrol cukup lama waktu itu. Satu jam lebih? Aku
bahkan sampai dimarahi ayahku karena menelantarkan pelanggan
yang lain. Tahu tidak? Aku senang sekali saat pria yang mau
dijodohkan denganmu itu tidak datang dan kau malah tidak
merasa kecewa sama sekali.
Pertemuan itu berlanjut pada pertemuan-pertemuan berikutnya.
Jin-Ah memberitahuku bahwa dia tidak bisa melanjutkan
hubungan kami lagi, yang artinya dia juga sadar bahwa hubungan
kami berdua salah. Jadi kami berpisah. Sebenarnya tidak juga,
kami tetap menjadi sahabat seperti biasa. Tidak ada yang
berubah dengan persahabatan kami. Tapi itu yang membuatmu
cemburu, kan? Jadi… apa sekarang kau sudah mengerti bagaimana
perasaanku padanya? Betapa berbedanya apa yang kurasakan
padanya dengan apa yang aku rasakan padamu?
Kita bertemu beberapa orang yang salah sampai akhirnya bertemu
satu orang yang benar, Ah-Zin~a. Dan aku sudah melakukan hal
yang tepat dengan memperbaiki kesalahanku. Meninggalkannya
dan menikahimu. Sejauh ini, itu adalah keputusan terbaik yang
pernah aku ambil dalam hidupku.
Apa kau sudah mengerti sekarang?
Jika kau mau memaafkanku, pergilah keluar. Sopir tadi masih
menunggu dan akan membawamu menemuiku. Masih ada satu kata
lagi yang belum aku ucapkan padamu. Dan aku tidak mau
menulisnya di dalam kartu-kartu konyol ini. Kau harus
mendengarnya dari mulutku. Langsung.

***
Ah-Zin melangkah memasuki gereja mewah yang sepi di depannya.
Tidak ada satu orang pun di dalamnya. Tentu saja, ini kan bukan hari
Minggu.
Gereja itu masih terlihat sama seperti 3 tahun yang lalu, saat hari
pernikahannya. Hanya saja saat ini tidak ada orang, dan dia tidak
sedang mengenakan gaun pengantin.
Ah-Zin menyusuri lorong di sepanjang gang yang memisahkan barisan
kursi di samping kanan kirinya. Suara langkah kakinya memantul
seperti gema. Matanya terpaku pada sosok yang duduk di barisan
bangku paling depan. Sendirian.
Dia yakin pria itu mendengar kedatangannya, tapi pria itu sama sekali
tidak menoleh. Gugup mungkin? Bagaimanapun mereka berdua tidak
pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya.
Ah-Zin sampai di bangku paling depan dan duduk di samping pria itu
tanpa berkata apa-apa. Dia tersenyum dalam hati saat melihat pria
itu juga mengenakan baju yang sama dengan yang dipakainya pada
pertemuan pertama mereka dulu. Ah-Zin menyangka pria itu sudah
melupakannya, tapi ternyata memori pria itu masih setajam saat
mereka bertemu dulu.
“Selamat hari ulang tahun pernikahan yang ke-3, Ah-Zin~a,” ucap
Ryeowook pelan sambil menolehkan wajahnya ke arah gadis itu.
Bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman, membuat wajahnya
yang masih tampak seperti remaja bertambah manis.
Ah-Zin termangu sesaat. Ulang tahun pernikahan? Hari ini?
“Kau tidak ingat? Sekarang kan tanggal 11 November.”
“Aku… tidak melihat kalender,” ucap Ah-Zin tidak enak.
Ryeowook memiringkan wajahnya sesaat sebelum akhirnya
mengangguk.
“Gwaenchana.”
Mereka terdiam lagi. Bisa saja orang yang kenal dengan mereka dan
melihat mereka seperti ini akan menganggap kedua orang itu tidak
waras. Pasangan suami istri macam apa yang duduk berdampingan tapi
tidak tahu harus mengucapkan apa?
“Kau bahagia menikah denganku?” tanya Ryeowook tiba-tiba.
“Ne?”
“Kau bahagia menikah denganku?” ulangnya lagi dengan sabar.
Ah-Zin menatap wajah pria itu lekat-lekat, tersadar betapa dia
sangat merindukan wajah itu akhir-akhir ini, tersadar akan sikap
egoisnya yang benar-benar berlebihan dan tidak masuk akal.
“Kau bukan suami yang buruk,” jawab gadis itu beberapa saat
kemudian.
Ryeowook mengulurkan tangannya dan menyentuh wajah gadis itu
dengan lembut. Dia tersenyum dan memajukan wajahnya, mendekat.
“Saranghae.”
Ah-Zin menggigit bibir bawahnya saat akhirnya kata itu meluncur
keluar dari mulut Ryeowook. Dia akhirnya mendengar kata itu, tapi
dia bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Bagaimana
seharusnya dia bersikap? Karena yang dilakukannya sekarang
hanyalah balas menatap pria itu tanpa bisa berkedip sedikitpun.
Gadis itu menarik nafas diam-diam, setengah berusaha meredakan
detak jantungnya yang menggila. Dia tersenyum simpul, dan yang dia
tahu adalah dia sudah melemparkan tubuhnya ke pelukan pria itu di
detik berikutnya, membenamkan wajahnya dalam-dalam ke leher pria
tersebut. Tangannya melingkari pinggang pria itu, sedikit meremas
kemeja yang dikenakannya.
“Nado saranghae… oppa.”
***
Min-Yeon’s Home, Seoul
04.00 PM

Min-Yeon memarkirkan mobilnya di garasi rumah, menekan tombol di


kunci mobilnya, dan berjalan memasuki pekarangan rumah, dengan tas
kerja yang tersampir di lengannya. Gadis itu baru setengah berlari
menaiki undakan menuju pintu utama saat mendengar suara-suara
dari arah ruang tamu rumahnya. Anehnya, dia seolah mengenal suara
pria yang sedang berbincang dengan ibunya itu. Suara itu terdengar
sangat familiar di telinganya.
Astaga, sepertinya dia sedang berhalusinasi parah.
Min-Yeon mempercepat langkahnya. Dia mendorong pintu masuk
sampai terbuka dan mendapati ibunya sedang mengobrol dengan
seorang pria yang duduk membelakanginya, sehingga dia tidak bisa
melihat wajah pria tersebut. Hanya saja dia seperti mengenal pria
itu. Kali ini rasanya tebakannya tidak salah. Tapi bagaimana mungkin
pria itu ada di tempat ini? Bukankah dia sedang berada di Ulsan?
Menenangkan diri setelah kekasihnya meninggal?
Pria itu berbalik dan Min-Yeon merasakan udara yang digunakannya
untuk bernafas disedot habis dengan seketika.
“Hai,” sapa pria itu dengan senyum manisnya, sedangkan Min-Yeon
hanya bisa terpana seperti orang tolol di depan pintu.
“Min-Yeon? Kenapa kau malah melamun begitu? Ayo masuk. Sungmin
sudah jauh-jauh datang kesini langsung dari Ulsan untuk menemuimu.”
“Ne?” sahut Min-Yeon tidak fokus. Dia merasakan kakinya bergerak
dan mengambil tempat di samping eommanya, tapi dia bahkan tidak
bisa berpikir jernih. Tubuhnya seperti bergerak sendiri sedangkan
arwahnya malah melayang entah kemana.
“Eomma tinggal dulu. Kalian bicaralah berdua,” ujar ibu Min-Yeon
sambil beranjak dari ruangan itu.
“Kau sedang apa disini?” tanya gadis itu dengan suara sedikit serak.
Tenggorokannya terasa kering dan dia tidak bisa menelan ludah
dengan benar.
“Melamarmu.”
“MWO?”
“Me-la-mar-mu,” ulang Sungmin lagi dengan lebih lambat agar Min-
Yeon bisa menangkap setiap suku kata yang diucapkannya, kali ini
dengan senyum lebar yang tersungging di wajah.
“Mwo?” bisik Min-Yeon, nyaris tidak bisa mengandalkan pita suaranya
lagi untuk berbicara. Apa pria itu sudah gila?
“Aku sudah memikirkannya selama beberapa hari. Mungkin sedikit
terdengar negatif, karena Rae-Jin bahkan baru dimakamkan kemarin
lusa, tapi… aku rasa tidak perlu menunggu terlalu lama. Lagipula aku
hanya melamarmu saja, tidak langsung mengajakmu menikah minggu
depan. Itu terserah kau saja.”
“Tapi kita baru….”
“Kenal?” ujar Sungmin, menyelesaikan ucapan Min-Yeon. “Aku tahu.
Aku juga tidak bisa memberitahumu apa alasan tepatnya, karena
pasti hanya terdengar seperti omong kosong. Hanya saja kau pasti
tahu. Kau juga merasakannya, kan? Seperti ada… medan magnet? Aku
merasa nyaman denganmu. Dan aku pikir aku tidak mau bersusah
payah mencari gadis lain karena sudah ada kau. Jadi aku putuskan
lebih baik kau saja.”
“Apa? Apa kau melamar wanita selalu seperti itu?”
Sungmin tertawa kecil dan menggeleng.
“Tidak. Ini pertama kalinya. Dulu orang tuaku yang melamar Rae-Jin
untukku. Jadi maaf kalau aku tidak tahu cara yang tepat untuk
melamar dengan benar. Aku sudah berbicara langsung pada ibumu dan
dia bilang terserah kau saja.” Sungmin menatap wajah Min-Yeon
sesaat, seolah sedang menilai. “Aku rasa kau perlu waktu untuk
menjawab. Aku bisa sedikit bersabar. Besok aku akan menjemputmu.”
Sungmin berdiri dan mengulurkan tangannya. “Mau mengantarku
sampai ke mobil?”
Min-Yeon menatap tangan itu ragu, masih belum sadar apa yang
sebenarnya sedang terjadi. Tapi sesaat kemudian dia sudah
membiarkan tangannya berada dalam genggaman pria itu dan berjalan
berdampingan ke halaman.
“Kau membuatku syok, kau tahu?” gumamnya pelan.
“Bukankah biasanya para wanita suka dibuat syok?”
“Tapi bukan dengan tiba-tiba datang ke rumahnya dan melamarnya
setelah kau menghilang selama beberapa hari.”
“Kau merindukanku?” godanya sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Cih, bermimpi saja!”
Sungmin menghentikan langkahnya tepat di samping mobilnya dan
berbalik menghadap gadis itu.
“Kau tidak mau menjawab lamaranku sekarang?”
“Setahuku kau belum melamarku,” ucap Min-Yeon sambil mengalihkan
pandangannya ke arah tangan mereka yang masih saling bertautan.
Sungmin menyandarkan tubuhnya ke pintu mobil, menarik gadis itu
bersamanya. Dia melepaskan genggamannya di tangan Min-Yeon dan
melingkarkan kedua tangannya di pinggang gadis tersebut dalam
posisi saling berhadapan.
Min-Yeon merasakan nafasnya tercekat saat Sungmin menarik
wajahnya mendekat dan membenamkan jarinya di helai rambut gadis
itu.
“Yeonnie~ya…” ucapnya dengan suara berat. “Mau menikah
denganku?”
“Hanya seperti itu?”
“Kau mau yang seperti apa lagi?” tanya pria itu dengan bibir yang
hanya berjarak beberapa inci dari bibir gadis tersebut.
“Tergantung kapan kau mau menikahiku,” ujar Min-Yeon serak.
“Bulan depan?” tawar Sungmin sambil menyentuhkan bibirnya sekilas
ke bibir gadis itu.
“Tiga minggu?”
“Satu minggu kalau begitu,” tandas Sungmin sambil merenggut tubuh
gadis itu ke arahnya, kali ini benar-benar menciumnya, membuat
tubuh gadis itu sedikit terangkat dari atas tanah.
Min-Yeon tertawa senang dan mengangguk.
“Deal.”
***
Cantatio Orchestra Live Concert, Seoul
08.00 PM

Sa-Rang memegangi clutch di tangannya erat-erat. Mendadak


tubuhnya gemetar melihat ribuan orang yang mengantri masuk ke
dalam gedung tempat konser akan diadakan 15 menit lagi. Henry
mengirimkan tiket konser ke rumahnya, tanpa ada surat atau
semacamnya. Tapi Sa-Rang bisa memaklumi. Pria itu memintanya
datang kesini. Dan mungkin mereka akan berbicara setelahnya.
Tentang kelanjutan hubungan mereka? Dia tidak akan heran jika pria
itu membencinya dan memutuskan mengakhiri hubungan mereka.
Sa-Rang menunjukkan tiketnya ke android yang bertugas sebagai
penjaga pintu.
“Selamat menikmati konser,” ujar android itu sambil tersenyum
ramah. Sa-Rang balas tersenyum kemudian melangkah masuk,
mengikuti rombongan orang-orang di depannya.
Android lain membantunya menemukan tempat duduk. Tidak sampai
10 menit kemudian ruangan yang tadinya gelap, mulai menjadi terang
saat layar besar yang menutupi panggung perlahan membuka.
Orchestra terkenal itu mulai membawakan beberapa lagu klasik yang
familiar, walaupun Sa-Rang tidak tahu siapa komposernya. Mozart
mungkin? Atau Beethoven? Sepertinya musik ciptaan kedua pria itu
selalu dibawakan.
Lampu panggung menggelap dan musik lain mulai mengalun. Secara
keseluruhan konser itu benar-benar luar biasa dan suara para
penyanyi soprano-nya benar-benar sangat mengagumkan. Walaupun
Sa-Rang sedikit kecewa karena tidak bisa menemukan Henry di
antara puluhan musisi yang berbaris itu. Terlalu gelap dan tempat
duduknya tidak terlalu dekat ke panggung sehingga dia tidak bisa
melihat terlalu jelas.
Konser sudah berlangsung selama 2 jam dan pembawa acara
mengumumkan bahwa lagu berikutnya adalah lagu terakhir.
Penampilan solo dari salah satu violist terbaik mereka. Dan mendadak
Sa-Rang merasa bahwa dia bisa menebak siapa musisi terbaik mereka
itu.
Layar membuka lagi dan gadis itu hanya bisa tersenyum saat melihat
Henry berdiri tepat di tengah-tengah panggung, dengan violin yang
sudah bersandar di bahunya, lengkap dengan setelan jas hitam yang
melekat rapi di tubuhnya.
Ada bunyi flute dan piano sebagai pembuka, yang kemudian
dilanjutkan dengan gesekan senar violin. Nada itu terdengar sangat
akrab di telinga Sa-Rang dan untuk kali ini, dia tahu lagu siapa yang
sedang dibawakan. Franz Schubert. Serenade. Musik kesukaan pria
itu, yang kemudian juga menjadi musik kesukaannya.
Gemuruh suara tepuk tangan menyentakkan Sa-Rang dari
keterpanaannya. Dan dia hanya bisa bergerak gelisah di kursinya saat
melihat Henry menarik mic ke arahnya, menunggu sampai teriakan
penonton mereda.
“Kau disini?” tanya Henry, membuat ruangan yang tadinya sudah sunyi
kembali dipenuhi sorakan dan teriakan, terutama dari para gadis.
Sepertinya pria itu baru saja menjadi idola baru bagi mereka.
“Aku sudah meminta izin pada semua orang untuk melakukan ini.
Jadi… aku ingin tahu apakah kau datang pada malam ini? Seingatku di
tiketmu tertulis 11.11. Baris ke 11, kursi nomor 11.”
Sa-Rang hanya bisa menunduk salah tingkah saat lampu sorot
mengarah ke arahnya, diikuti dengan tatapan ribuan pasang mata di
sekelilingnya.
“Aku tidak tahu ini kebetulan atau tidak, tapi hari ini adalah tanggal
11 November, hari pertemuan pertama kita. Aku juga tidak tahu
apakah kau ingat tanggal ini atau tidak. Tapi aku sengaja memilih
nomor kursi itu untukmu.” Henry tersenyum dan kali ini matanya
benar-benar menatap ke arah Sa-Rang. “Sa-Rang~a, mungkin
pertengkaran terakhir kita adalah sebuah kesalahpahaman dan
sepertinya kau sudah tidak marah padaku lagi. Dan aku juga tidak
menyalahkanmu. Hanya saja… mulai sekarang, berusahalah untuk
mempercayaiku.”
Sa-Rang tanpa sadar mengangguk, membuat senyum di wajah pria itu
menjadi semakin lebar.
“Di bawah kursimu ada sesuatu.”
Sa-Rang mengerutkan keningnya, kemudian menunduk dan merogoh ke
bagian bawah kursi yang didudukinya. Dia menyentuh sebuah kotak,
yang kemudian ditariknya keluar diiringi dengan gumaman iri para
penonton.
Gadis itu membuka kotak tersebut perlahan, dan dia merasa tidak
perlu menjadi paranormal untuk tahu apa isi kotak itu. Kilauan berlian
langsung memantul terkena cahaya lampu yang menyorot ke arahnya
saat kotak itu terbuka secara keseluruhan.
Dia melayangkan tatapannya lagi ke arah panggung. Tidak ada senyum
di wajah Henry yang kini terlihat serius, tidak lagi kekanak-kanakan
dan ceria seperti biasa. Pria itu mencengkeram erat mic yang sedang
dipegangnya, terlihat begitu grogi dengan rencana yang sudah
dipersiapkannya sendiri.
Pria itu berdiri disana, menatap wanita yang paling dikaguminya selain
ibu dan adik perempuannya. Wanita yang tampak begitu cantik dalam
balutan gaun malam sederhananya dan rambut yang dikuncir rapi,
balas menatapnya dengan muka memerah dan cincin yang begitu
berkilau dalam genggaman tangannya.
Pria itu menelan ludahnya dengan susah payah dan berdehem,
berusaha menemukan pita suaranya yang mendadak menjadi
disfungsional.
“Nawa gyeorheonhae jullae (Would you marry me)?”
***
Hye-Na’s Home, Manhattan, New York
08.00 AM (New York’s Time)
“Hye-Na~ya?” seru Min-In syok saat melihat anak gadis semata
wayangnya itu muncul di depan pintu rumah mereka di Upper East
Side, salah satu kawasan paling elite Manhattan.
“Jangan tanya dan jangan beritahu siapa-siapa bahwa aku disini,” ujar
Hye-Na singkat sambil menarik kopernya langsung ke lantai atas,
tempat kamarnya berada. Min-In hanya bisa menatap punggung gadis
itu, berpikir bahwa sesuatu yang buruk pasti baru saja terjadi
sampai-sampai anak itu kembali ke kota ini. Dia bisa menebak bahwa
Kyuhyun adalah penyebabnya, tapi dia tahu dengan jelas bahwa
Kyuhyun tidak akan menyakiti anaknya, yang berarti bahwa
kepulangan Hye-Na kesini disebabkan oleh sesuatu yang lain. Sesuatu
yang begitu menakutkan sampai membuat gadis itu menyerah dan
pergi dari Seoul.
***
Hye-Na meletakkan kopernya ke sudut kamar, menjatuhkan tubuhnya
ke atas lantai dan menyandarkan punggungnya ke sisi tempat tidur.
Gadis itu menekuk lututnya, membenamkan wajah di antara kedua
kaki, dan sesaat kemudian bahunya mulai berguncang pelan.
Dia hanya pernah menangis dua kali dalam hidupnya sejak umur 3
tahun. Pertama saat ayahnya mengembalikan PSP-nya yang rusak dan
yang kedua saat ayahnya meninggal. Dan kali ini, untuk kedua kalinya,
pria itu lagi-lagi menjadi alasannya untuk menangis. Bedanya, untuk
kali yang kedua, rasanya berjuta kali lebih menyakitkan dari yang
pertama.
Dia sudah bersusah payah menahan tangisnya selama 6 jam
perjalanan dari Dublin tadi. Dia sudah berusaha keras mengacuhkan
kakinya yang gemetar tak terkendali, nyaris tidak bisa menopang
tubuhnya lagi sehingga dia harus berjalan terseok-seok mencari taksi
terdekat yang bisa dijangkaunya dari bandara. Hampir-hampir tidak
bisa menarik kopernya lagi, sampai-sampai seorang petugas bandara
menghampirinya dan menanyakan apakah dia baik-baik saja.
Baru 6 jam. Baru 6 jam dan dia nyaris seperti tidak bisa menjalankan
hidup lagi.
***
Min-In mengintip dari celah pintu kamar Hye-Na yang sedikit
terbuka, menatap khawatir anaknya yang sedang menangis histeris
itu. Saat Seuk-Gil meninggal sekalipun anak gadisnya tidak pernah
menangis sampai seperti itu. Tidak pernah terlihat semenderita itu.
Min-In menghubungi nomor seseorang dengan communicator-nya
kemudian menempelkan benda itu ke telinganya, menjauh dari kamar
Hye-Na agar gadis itu tidak mendengarnya.
“Eomma? Dia disana? Apa dia baik-baik saja?”
Min-In menghembuskan nafasnya berat. Suara pria itu bahkan
terdengar serak seperti habis menangis. Tidak perlu bertatap muka
untuk tahu betapa merananya menantunya itu sekarang.
“Ada apa? Eomma berjanji padanya untuk tidak memberitahu
siapapun bahwa dia ada disini, tapi eomma tidak pernah melihatnya
menangis sehisteris itu, Kyuhyun~a. Beritahu eomma apa yang
terjadi. Kalian berpisah?”
“Dia meninggalkanku tanpa memberi penjelasan apa-apa. Aku hanya
berpikir ada yang sangat salah. Aku akan mencari tahu dan aku akan
menyelesaikannya, eomma. Sampai ini semua berakhir, eomma bisa
menjaganya untukku, kan?”
“Tentu saja aku akan menjaganya baik-baik. Dan kau harus
menyelesaikan masalah ini secepatnya, oke? Eomma rasa dia sedang
menyembunyikan sesuatu dan dia tidak bisa memberitahumu.”
“Aku mengerti, eomma. Aku berjanji akan menyelesaikan semuanya
dan….” Terdengar suara tarikan nafas dari seberang. “Dan… aku akan
mendapatkannya kembali.”
***
Antarctica, South Pole
08.00 AM (Antarctica’s Time)

Ji-Yoo mengeratkan selimutnya ke sekeliling tubuh, membuatnya


terlihat seperti kepompong yang belum menetas. Ck, suaminya itu –
astaga rasanya aneh sekali menyebut namja itu sebagai suaminya—
dengan seenaknya merencanakan perjalanan bulan madu ke kutub
selatan! Antartika! Dia bahkan nyaris terkena serangan jantung saat
tahu kemana arah tujuan yacht pribadi pria itu membawa mereka.
Coba saja tanya ke pasnagan pengantin baru lainnya. Apakah ada yang
berbulan madu ke kutub selatan? Apa Eunhyuk bermaksud
mengajaknya kencan dengan para penguin dan beruang kutub? Dan
temperatur disini benar-benar mengerikan! Ji-Yoo bahkan tidak bisa
tidur tanpa mantel dan selimut tebal, padahal penghangat ruangan
sudah dipasang dalam suhu maksimum.
Ji-Yoo menutup telinganya saat mendengar
getaran communicator Eunhyuk di atas meja. Bagus jika ada kabar
dari Seoul dan pria itu diminta segera kembali kesana. Astaga, dia
bisa mati membeku jika harus berada disini lebih lama lagi.
Eunhyuk yang berbaring di sampingnya bergerak menjangkau benda
itu. Dia menggerutu sesaat, menyumpahi orang yang mengganggu
tidur nyenyaknya.
“Ne?” ujarnya dengan suara serak.
“Tuan, ini saya, Kim Ji-Hwan.”
“Oh, ajjushi,” seru Eunhyuk kaget. Dia terduduk di atas ranjang
dengan mata terbuka lebar. Pria itu tidak biasanya menghubunginya,
malah bisa dikatakan tidak pernah. “Terjadi sesuatu pada Kyuhyun?”
“Lebih dari itu, Tuan. Aku rasa Tuan Muda sedang dalam kondisi
sangat buruk sekarang. Dia baru saja pulang dari Dublin dan saat ini
di Seoul jam dua pagi, Tuan.”
“Lalu?”
“Dia pulang sendirian, tanpa Nyonya Hye-Na. Dan tampangnya kacau
sekali, seperti… seperti….”
“Seperti mayat yang dibangkitkan dari kubur?” tanya Eunhyuk takut-
takut.
“Kalau bisa saya katakan, bahkan lebih parah dari itu. Saya tidak
pernah melihat Tuan Muda tanpa kemeja yang terkancing rapi, wajah
yang dingin, celana yang licin. Dia pulang dengan kemeja kusut,
sepertinya itu kemeja yang digunakannya untuk tidur dan… saya rasa
saat bangun tidur dia langsung naik ke atas pesawat. Wajahnya pucat
sekali, rambutnya berantakan, dan dia bahkan tidak menyapa saya
sama sekali. Saya… tidak pernah melihat ekspresi semerana itu di
wajahnya, bahkan tidak saat Tuan Besar meninggal. Saat ini dia
sedang mendekam di kamar, Tuan. Dan saya cemas sekali dengan
keadaannya.”
“Aku akan pulang sekarang juga kalau keadaannya sangat parah
sampai dia menangis dan semacamnya.” Tidak, dia bahkan akan pulang
sekarang juga karena deskripsi yang diberikan Ji-Hwan sangat
mengerikan. Lagipula… sepertinya menangis tidak ada dalam kamus
hidup seorang Cho Kyuhyun.
“Sayangnya Tuan, saya yakin bahwa Tuan Kyuhyun sudah menangis.”
Sial. Apa yang sudah Hye-Na lakukan sampai sepupunya bisa
memberikan reaksi separah itu?
***
Hye-Na’s Home, Upper East Side, Manhattan, New York
07.00 AM

Min-In berusaha membuat dirinya nyaman berbaring di sofa kamar


tidur Hye-Na. Semalaman dia menjaga Hye-Na, karena gadis itu
berkali-kali menggumam dalam tidurnya seperti sedang dihantui
mimpi buruk, tapi dia sama sekali tidak terjaga, sehingga Min-In
hanya bisa melihatnya saja tanpa berbuat apa-apa.
Min-In baru akan memejamkan matanya saat terdengar teriakan
keras dan Hye-Na terduduk secara mendadak dengan keringat yang
mengalir deras di pelipisnya.
“Sayang? Kau tidak apa-apa? Hmm?” tanya Min-In cemas sambil
bergegas mengahmpiri tempat tidur, menarik tubuh Hye-Na ke dalam
pelukannya dan mengusap punggung gadis itu dengan gerakan
menenangkan. Bahkan baju yang dikenakan gadis itu sudah basah
karena keringat, padahal ini musim dingin.
Hye-Na mencengkeram blus yang dikenakan Min-In dengan erat dan
membenamkan wajahnya di leher ibunya itu.
“Eomma…” ujarnya dengan suara serak. Matanya sudah bengkak
karena menangis semalaman dan dia tidak tahu bisa separah apalagi
keadaannya setelah ini. Dia benar-benar terlihat seperti gadis-gadis
menjijikkan di film-film yang pernah ditontonnya, yang menangis
berhari-hari setelah patah hati. Adegan yang dulu diejeknya
setengah mati, dengan sombong berkata bahwa dia tidak akan pernah
mengalami hal memuakkan seperti itu.
“Mmm? Kau baik-baik saja? Kau membutuhkan sesuatu?”
Hye-Na menggeleng lemas dan semakin mengeratkan pelukannya di
tubuh wanita itu.
“Aku tidak baik-baik saja,” ujarnya dengan suara yang nyaris tidak
terdengar. “Aku tidak baik-baik saja.”
***
“Kau mau kemana?” tanya Min-In heran sambil meletakkan baki
makanan yang dibawanya ke atas meja saat melihaat Hye-Na keluar
dari kamar mandi dengan kemeja, mantel tebal, dan celana jins yang
rapi, walaupun tampangnya terlihat seperti pasien pengidap kanker
yang baru saja divonis mati.
“Kantor,” jawab gadis itu singkat sambil memasukkan barang-
barangnya ke dalam tas, berkali-kali meleset sehingga dia terpaksa
membungkuk begitu sering untuk memungut semua barang yang
dijatuhkannya.
Min-In mendesah melihat tangan Hye-Na yang gemetaran dan
pandangannya yang tidak fokus. Dia cepat-cepat menghampiri Hye-Na
sebelum anak gadisnya itu menjatuhkancommunicator yang sedang
dipegangnya.
“Biar eomma bantu,” ujar Min-In, bergegas merapikan semua barang
yang berserakan dan memasukkannya dengan rapi ke dalam tas,
sedangkan Hye-Na hanya menatap ibunya itu dengan pandangan
kosong dan tubuh yang mematung seperti batu.
“Kau yakin mau pergi? Kau bisa bawa mobil?” tanya Min-In, tahu
bahwa dia tidak akan bisa mencegah Hye-Na pergi. Anaknya itu keras
kepala sekali, sama seperti ayahnya.
“Aku harus menemui Soo-Hwan ajjushi. Aku… harus meminta maaf
karena kabur dari tugas.”
“Kau harus membawa mobil dengan hati-hati, mengerti? Jangan
sampai kecelakaan atau apapun yang membahayakan nyawamu. Aku
tidak tahu bagaimana harus mempertanggungjawabkannya nanti
kepada Kyuhyun.”
Tubuh Hye-Na langsung menegang saat mendengar nama itu
diucapkan. Untuk sesaat dia seperti terlihat kehilangan konsentrasi
dan bahunya sedikit terguncang. Menggigil.
“Aku pergi,” ujarnya cepat dan setengah berlari keluar dari kamar,
diikuti dengan tatapan prihatin Min-In di belakangnya.
Apa yang sedang terjadi sampai anaknya harus semenderita itu
karena meninggalkan Kyuhyun?
***
Mount Sinai Memorial Park, 5950 Forest Lawn Drive, Los
Angeles, California
10.00 AM (L.A’s Time)

Kibum berjalan melewati deretan kuburan di sekelilingnya, mengarah


ke sebuah kuburan yang terletak di bagian paling ujung.
Hari ini adalah peringatan kematian adiknya, dan dia sengaja kembali
ke Amerika untuk memberi penghormatan tahunan, sekaligus berpikir
ulang tentang rencananya untuk mengacaukan pernikahan Nou-Mi.
Apakah dia harus merusak hari pernikahan gadis itu besok pagi?
Apakah dia sanggup melakukannya? Apa dia rela melihat gadis itu
menikah dengan pria itu padahal Kibum tahu dengan jelas bahwa gadis
itu mencintainya?
Dia sudah berpikir ratusan kali dan mendapat kesimpulan kenapa
gadis itu selama ini tidak mau menyukainya. Karena rasa bersalah?
Gadis itu merasa telah membunuh Sae-Hee, jadi dia memilih
mengingkari perasaannya dan bersikap seolah dia tidak menyukai
Kibum, kakak dari gadis yang telah dibunuhnya. Begitu, kan?
Kibum meletakkan buket bunga yang dibawanya ke atas makam
adiknya. Mawar putih. Bunga kesukaan Sae-Hee.
“How’s your day there, sista? Do you miss me?” sapa pria itu sambil
tersenyum. Dia mengeratkan mantel yang dipakainya, menahan
hembusan angin musim dingin yang membekukan.
“Kau tahu? Aku kesini ingin meminta izin darimu. Besok sahabat
terbaikmu akan menikah. Lalu menurutmu apa yang harus aku
lakukan? Bersikap seperti pemeran pria di film yang berjalan ke altar
lalu membawa si pengantin wanita kabur? Atau kau ingin aku
merelakannya saja?”
Kibum mendengar langkah kaki yang mendekat, bunyi injakan di atas
salju yang membuat bekas-bekas jejak di atas timbunan es itu. Pria
itu mendongak dan membulatkan matanya saat melihat siapa yang
datang.
“Kau?”
***
A Café, Near Funeral Place, Los Angeles
10.15 AM

“Apa yang sedang kau lakukan disini? Bukankah besok kau akan
menikah?” tanya Kibum, memandang Nou-Mi dengan tatapan
menyelidik.
“Aku hanya ingin memberikan penghormatan pada Sae-Hee dan
langsung ke bandara. Penerbanganku jam setengah satu,” jawab Nou-
Mi, memfokuskan pandangan ke cangkir tehnya tanpa memandang
Kibum sama sekali.
Kibum menggeser cangkir kopinya ke samping dan meletakkan
tangannya ke atas meja, sedikit memajukan tubuhnya ke arah gadis
itu.
“Kau yakin akan tetap menikah?”
Nou-Mi mengangkat wajahnya dan menatap Kibum tak percaya.
“Aku akan menikah besok dan kau menanyakan hal itu padaku
sekarang?”
Nou-Mi meraih tasnya dan bangkit berdiri saat Kibum tidak kunjung
menjawab pertanyaannya. Gadis itu baru akan melangkah pergi saat
Kibum dengan tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya dengan
pandangan menunduk, tertuju ke lantai.
“Kau bahagia?” tanya pria itu retoris. Tangannya begitu dingin,
seperti baru menggenggam salju selama berjam-jam.
Nou-Mi menarik nafas susah payah. Seharusnya dia tidak kesini.
Seharusnya dia mengikuti instingnya bahwa pria itu akan datang ke
tempat ini juga, jadi dia tidak harus merasa ragu dan gamang dengan
pilihannya sendiri.
“Kalau aku tidak bahagia, memangnya apa yang akan kau lakukan?”
tanya gadis itu dingin.
“Kalau aku bilang bahwa aku tidak menyalahkanmu sama sekali atas
kematian Sae-Hee, apakah kau akan kembali padaku dan membatalkan
pernikahanmu?”
***
KIA Building, Manhattan, New York
01.00 PM

Hye-Na menatap kosong pemandangan dermaga didepannya. Dermaga


ini terletak tidak jauh dari gedung utama KIA dan merupakan bagian
dermaga paling ujung, sehingga tidak terlalu banyak orang yang
mendatangi tempat ini.
Dia bisa melihat kesibukan di kejauhan. Kapal-kapal yang keluar
masuk dermaga, kegiatan berdagang para nelayan yang baru pulang
melaut, beberapa orang yang bertahan di cuaca dingin dan
melanjutkan hobi memancing mereka yang sebenarnya sama sekali
tidak menyenangkan untuk dilakukan di musim dingin seperti ini.
Sedangkan dia duduk disini sendirian, terasing dari hiruk-pikuk
rutinitas dermaga, persis sama seperti keadaannya sekarang. Dia
masih hidup, tapi dia tidak yakin sedang melihat orang-orang yang
bergerak di sekelilingnya. Seolah dia hanya sendirian saja.
Dia sudah menemui Soo-Hwan dan meminta maaf karena tidak bisa
menyelesaikan tugas yang diberikan ayah angkatnya itu. Tugas untuk
melindungi… pria itu. Bahkan untuk menyebut namanya saja dia
merasa kesakitan.
Soo-Hwan hanya mengangguk sambil menatapnya khawatir, padahal
dia sudah siap mendapat hukuman karena lalai dalam melaksanakan
tugas. Dia bahkan yakin bahwa semua pegawai menatapnya bingung
dan kasihan karena penampilan kusutnya. Dia melirik kaca sekilas tadi
siang dan tahu dengan jelas seberapa kacau keadaannya saat ini. Dia
bahkan tidak bisa mengenali bayangan yang balik menatapnya.
Bayangan seorang gadis dengan rambut berantakan, muka pucat, mata
bengkak, lebih parah dari keadaan wanita yang kehilangan suaminya
yang baru meninggal.
Pria itu bahkan tidak meninggal dan dia sudah bersikap seeprti ini.
Lalu apa yang akan terjadi saat pria itu benar-benar menghilang dari
permukaan bumi? Dia sendiri tidak bisa membayangkan keadaan yang
lebih parah lagi dari ini.
Hye-Na tersentak kaget saat seseorang menyodorkan gelas kopi
tepat ke depan wajahnya.
“Hye-Na~ya….”
“Myung-Soo.”
“L! Call me L. Is it too difficult to do?”
“And call me nuna,” tandas Hye-Na sambil mengambil gelas kopi itu,
menyesapnya pelan. Dingin.
“I called you Hye-Na. Singkatan dari Hye-Na nuna. Hye-Na. See?
You’re just one year older than me. It’s not a big problem.”
Hye-Na mendelik, tapi tidak menanggapi ucapan pria itu. Myung-Soo,
oh okay, L, adalah trainee yang berada di bawah pengawasannya
setahun yang lalu. Dia yang mengajarkan dan mengawasi secara ketat
pria itu selama ini. Dia memberi pengarahan dan menjadi tempat
bertanya bagi priaa itu, mengajarkan pria itu semua yang diketahui
dan mampu dilakukannya. Tidak heran jika pria itu langsung diterima
menjadi agen tetap beberapa bulan yang lalu, padahal biasanya
seorang trainee membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa
bergabung ke divisi utama. Hanya saja, pria itu masih berumur 19
tahun dan terkadang masih sangat kekanak-kanakan, walaupun dia
bisa menjadi sangat serius saat sedang bertugas.
“Kau memberiku kopi dingin?”
L menatapnya cemas sambil menggelengkan kepalanya tak percaya.
“Kopi itu kuambil dari AutoChef, nuna. Aku bahkan heran apa lidahmu
tidak terbakar sampai langsung meminumnya seperti itu? Kau benar-
benar sedang sakit ternyata.”
“Tidak… ini….” Hye-Na menggeleng, berusaha bersikeras bahwa kopi
itu memang dingin, tapi tatapan pria di depannya itu menunjukkan
yang sebaliknya, sehingga dia tahu bahwa ada yang salah dengan
sistem kerja tubuhnya saat ini.
“Apa yang sedang kau lakukan disini? Kenapa kau kembali ke
Manhattan? Terjadi sesuatu? Pastinya kau kembali bukan karena Cho
Kyuhyun mencampakkanmu, kan? Apa kau yang mencampakkannya?”
Hye-Na tidak berkata apa-apa, memilih meminum kopinya lagi. Dia
baru menyadari ada uap yang mengepul dari gelas itu, menandakan
bahwa kopi itu memang panas. Tapi lidahnya seperti mati rasa. Dia
bahkan tidak merasakan apa-apa.
“Nuna~ya, kau membuatku khawatir. Aku bahkan mengikutimu terus
di kantor secara terang-terangan, berjaga-jaga siapa tahu kau
terjatuh tiba-tiba dan butuh bantuanku. Tapi kau bahkan tidak sadar
sama sekali bahwa aku ada di belakangmu, padahal biasanya kau akan
meneriakiku kalau aku mengikutimu kemana-mana. Apa kau tidak tahu
seberapa parahnya keadaanmu sekarang? Apa yang sudah dilakukan
pria itu sampai membuatmu seperti ini?”
L mengacak-acak rambutnya gusar saat melihat atasannya itu tidak
merespon perkataannya sama sekali.
“Baik, aku akan menjadi satu-satunya orang yang berbicara disini. Kau
dengarkan aku saja dan aku akan menjelaskan padamu pendapatku
sebagai orang luar, orang yang tidak tahu apa-apa tentang
kehidupanmu.”
“Nuna~ya, aku sudah pernah mengatakan padamu kan bahwa kau
adalah agen KIA yang paling aku kagumi? Kau panutanku di tempat ini.
Saat mereka memutuskan bahwa kaulah yang akan menjadi mentorku,
aku merasa senang sekali dan yakin bahwa kau akan berhasil
membuatku bergabung sebagai agen dan bertugas bersama kalian.
Aku sudah sangat mengenalmu sampai tahu bahwa pernikahan tidak
ada di daftar manapun dalam agenda hidupmu. Jadi aku sangat syok
saat menonton dan membaca berita tentang pernikahanmu dengan
Kyuhyun sajangnim. Aku tahu dia tampan, kaya, penguasa dunia, tapi…
mendengarnya menikah denganmu… aku merasa aneh. Aku takut dia
memaksamu dan semacamnya. Tapi saat melihat kalian berdua muncul,
terutama di pernikahan sepupunya, melihat bagaimana kalian saling
menatap, cara dia menyentuhmu, sikapmu saat kalian berdansa waktu
itu, aku tahu bahwa walau karena dipaksa sekalipun, kau baru saja
mendapatkan pendamping hidup terbaik di dunia. Tidak ada pasangan
yang terlihat begitu serasi selain kalian berdua. Aku tahu Kyuhyun
sajangnim bisa menjagamu dengan sangat baik dan tidak perlu
bertemu dengannya untuk tahu bahwa dia nyaris tidak bisa
melepaskan pandangannya darimu. Dia pasti akan melakukan apa saja
untuk mempertahankanmu. Jadi aku tidak mengerti kesalahan apa
yang sudah dia lakukan sampai kau kembali kesini dalam keadaan
hancur seperti sekarang. Nuna~ya… apa ada sesuatu yang terjadi
sampai memaksamu meninggalkannya dan menyiksa dirimu sendiri
seperti ini?”
“Aku pulang,” ujar Hye-Na cepat sambil bangkit berdiri, tanpa
sengaja menjatuhkan gelas kopi beserta tasnya ke atas tanah
sehingga barang-barangnya berserakan kemana-mana karena gadis itu
lupa menutup tasnya.
“Jangan ganggu aku,” cegah Hye-Na tepat saat tangan L terulur
untuk membantunya. “Dan jangan ikuti aku lagi,” lanjutnya setelah
membereskan semua barangnya yang terjatuh dan berjalan pergi dari
tempat itu.
L menjaga langkahnya beberapa meter di belakang Hye-Na dan hanya
bisa menghela nafas saat melihat gadis itu berkali-kali nyaris
terjatuh karena langkahnya yang terseok-seok. Dia nyaris berlari
menghampiri Hye-Na saat gadis itu terjatuh di tangga yang menuju
tempat parkir di bagian bawah gedung. Dia terduduk beberapa saat
di salah satu anak tangga dan L tahu bahwa gadis itu menangis, hanya
saja dia sama sekali tidak bergerak untuk mendekati gadis itu. Dia
tidak pernah menyangka bahwa menangis ada dalam kamus hidup
seorang Han Hye-Na dan dia tahu bahwa gadis itu tidak akan senang
jika orang lain melihatnya menangis.
Hye-Na melanjutkan langkahnya lagi setelah beberapa saat, berhenti
cukup lama untuk membuka pintu mobilnya. Gadis itu berusaha keras
memasukkan kunci ke lubang yang tepat, tapi berkali-kali kunci itu
meleset dan terjatuh ke lantai basement, membuat L hilang
kesabaran dan merebut kunci itu dengan paksa, mendorong gadis itu
masuk ke kursi penumpang sedangkan dia sendiri memegang kemudi.
“Keluar,” ucap Hye-Na dingin.
Dalam keadaan biasa, dia pasti akan langsung mengalah mendengar
nada yang digunakan gadis itu dan memilih untuk tidak mencari gara-
gara, tapi dia tahu hal buruk apa yang akan terjadi jika dia
membiarkan gadis itu mengemudi dalam keadaan sekacau ini, jadi
lebih baik dia menguatkan diri saja untuk menerima semua amukan
gadis itu nanti.
“Aku baik-baik saja dan aku bisa mengemudi, jadi lebih baik kau
keluar sekarang. Aku tidak butuh bantuanmu!”
“Nuna~ya, kau tahu bahwa kau tidak baik-baik saja jadi berhentilah
bersikap sebaliknya! Kau mau mengemudi, mengalami tabrakan, lalu
mati? Aku tidak tahu bahwa kau ternyata sepicik itu!” teriak L hilang
kesabaran.
Hye-Na membulatkan matanya saat mendengar teriakan dari pria itu.
Dia menatap L untuk beberapa saat sebelum akhirnya mengalihkan
pandangannya ke luar jendela mobil, mengacuhkan pria itu sama
sekali.
“Aku tidak akan bunuh diri, kau tahu,” bisiknya pelan, sehingga L
tidak bisa mendengarnya.
Tidak, jika itu berarti bahwa dia tidak bisa melihat pria itu lagi.
***
Hye-Na’s Home, Upper East Side, Manhattan, California
03.00 PM (Manhattan’s Time)

“Ayolah, aku mohon.”


“Aku tidak menerima alasan apapun, Hye-Na~ya! Lagipula apa kau itu
sudah tidak waras? Atas alasan apa kau meninggalkan suamimu,
hah?” teriak Eun-Ji kesal, sehingga Hye-Na terpaksa menjauhkan
layar communicator dari telinganya.
“Aku tidak bisa menjelaskannya padamu,” tolak gadis itu muram.
“Dan aku akan membunuhmu kalau ternyata alasanmu itu tidak masuk
akal! Sekarang kau harus berjanji padaku bahwa besok lusa, jam 8
pagi, kau harus datang sebagai pendamping pengantinku dan kalau
tidak, jangan pernah muncul lagi di hadapanku! Kau mengerti?”
Hye-Na menghela nafas saat mendengar sambungan telepon yang
tiba-tiba terputus. Baiklah, dia tahu dia tidak mungkin mengabaikan
hari pernikahan sahabatnya begitu saja, jadi dia harus mencari cara
untuk menghindari pria itu nanti. Tapi apa yang harus dilakukannya?
Dia tidak mungkin bisa lari terus menerus saat pria itu berada dalam
satu ruangan dengannya.
Gadis itu menghela nafas lagi kemudian menghubungi sebuah nomor di
kontakcommunicator-nya.
“Myung-Soo~ya? Bisa menolongku?”
***
Acardian Hotel, Los Angeles
09.00 PM (LA’s Time)

Kibum berbaring gelisah di atas tempat tidurnya, berkali-kali


memencet remote pengatur suhu ruangan, menendang selimutnya ke
lantai, dan pada akhirnya menyerah. Pria itu bangkit berdiri,
melempar baju-bajunya ke dalam koper secara serampangan dan
menarik resletingnya dengan paksa. Dia meraih communicator hotel
yang terletak di atas meja kemudian menghubungi bagian resepsionis.
“Bisakah kau mencarikanku penerbangan ke Seoul malam ini juga?”
tanyanya cepat saat telepon itu tersambung.
“Tunggu sebentar, biar saya cek.”
Kibum bergerak tidak sabar sambil mengacak-acak rambutnya dengan
gusar. Kenapa dia tidak bisa mengambil keputusan lebih cepat? Dasar
tolol!
“Ada, Tuan. Penerbangan terakhir jam 10 malam. Anda ingin saya
pesankan tiket sekarang juga?”
“Baik. Sebentar lagi aku turun. Masukkan biayanya ke dalam
tagihanku.”
Pria itu melempar communicator dalam genggamannya ke atas kasur
dan melirik jam tangannya dengan panik. Butuh 12 jam perjalanan dari
LA ke Seoul dan itu berarti dia akan benar-benar terlambat datang
ke pernikahan.
***

Arco Theatre, Daehakro, Seoul


06.00 PM
Ga-Eul melirik jam tangannya. Sudah jam 6, dan lima menit lagi drama
musikal yang akan mereka tonton akan segera dimulai, sedangkan
Donghae masih tidak terlihat dimanapun.
Ga-Eul melihat kerumunan di sekelilingnya, setengah berharap bahwa
Donghae bisa tiba-tiba muncul dan meminta maaf atas
keterlambatannya. Tapi sia-sia saja.
Mereka membuat janji untuk bertemu di tempat ini jam setengah 6,
dan Donghae sudah terlambat lebih dari setengah jam. Padahal
Donghae tahu bahwa kakinya belum terlalu kuat untuk berdiri terlalu
lama.
“Cho Ga-Eul ssi?”
Ga-Eul menoleh saat mendengar namanya dipanggil dan melihat
seorang pria berumur akhir 20-an membungkuk sopan ke arahnya.
“Ne? Kau mengenalku?”
“Ani. Donghae ssi menyuruhku untuk membantumu masuk ke dalam.
Dia akan sangat terlambat karena ada jadwal syuting yang tidak bisa
ditinggalkan.”
“Ng… kenapa dia tidak menelepon dan memberitahuku?”
“Jweoseonghamnida, nan mollasseoyeo (Maaf, aku tidak tahu).”
Ga-Eul mengerutkan keningnya. Sepertinya Donghae bukan jenis pria
yang ingkar janji tanpa memberikan kabar seperti itu.
“Anda mau masuk sekarang?” tanya pria itu lagi sambil menunjuk ke
arah pintu masuk yang sudah dibuka sejak 15 menit yang lalu. “Drama
musikalnya akan segera dimulai.”
“Ah, ne.”
***
Ga-Eul menatap gugup penonton yang duduk di sekelilingnya. Ini
pertama kalinya dia keluar rumah dan berada di tengah kerumunan
orang banyak setelah sadar dari komanya, dan dia sendirian sekarang,
tidak mengenal siapapun disini. Teganya pria itu melakukan ini
padanya.
Lampu panggung menyala, memperlihatkan seorang pria yang berdiri
di depan tirai besar yang masih menutupi latar panggung. Sepertinya
itu sutradara atau semacamnya.
“Malam ini, kami ingin memberikan pengumuman bahwa drama musikal
hari ini akan berbeda dari biasanya. Seorang aktor, yang mungkin
sudah kalian semua kenal, akan memberikan penampilan khususnya
malam ini untuk kita semua. Dia membayar mahal untuk bisa
membujukku membiarkannya bermain dan mungkin akan mengacaukan
drama musikalku di bagian pertengahan.” Para penonton tertawa dan
bersorak riuh. “Aku harap kalian tidak keberatan dengan… gangguan
ini. Tapi mengingat dia adalah aktor yang sangat tampan dan
berbakat, kalian tentu saja akan memaafkannya. Jadi… selamat
menikmati. The Romantics.”
Tirai bergeser membuka, memperlihatkan latar belakang sebuah
ruang tamu, lengkap dengan sofa, meja, TV, lemari, dan beberapa
hiasan lainnya. Seorang gadis duduk disana, dengan mata yang
terfokus pada layar televisi yang sedang menyala.
Ga-Eul menunduk, melihat buku panduan drama musikal yang
dibagikan secara gratis di pintu masuk. Drama musikal ‘The
Romantics’ ini adalah drama musikal dari Inggris dan dipentaskan oleh
aktor dan aktris teater Korea, tapi tetap menggunakan bahasa
Inggris saat berdialog. Nama aktor utama yang tertulis disini adalah
Kwon Jung-Il, tapi sepertinya akan digantikan oleh aktor lain, seperti
yang diumumkan oleh sutradaranya tadi.
Ga-Eul mendongak saat mendengar teriakan yang sangat memekakkan
telinga dari penonton. Matanya langsung terbelalak lebar ketika
melihat alasan kenapa para penonton menjadi ribut dan hilang kendali
seperti itu. Lee Donghae. Pria itulah yang menjadi aktor utama pada
malam ini. Terlihat sangat memukau sekaligus berbahaya dalam
balutan setelan jasnya yang tidak rapi, dasinya yang terpasang
longgar di kerah kemejanya yang tidak terkancing, dan rambutnya
yang ditata berantakan. Ga-Eul tidak pernah membayangkan pria itu
dalam penampilan acak-acakan seperti itu, tapi saat dia melihatnya,
dia harus mengakui bahwa pria tersebut tidak pernah terlihat
semenawan itu sebelumnya.
Jadi ini kejutannya? Lee Donghae itu benar-benar nyaris
membuatnya terkena serangan jantung!
Ga-Eul memfokuskan pikirannya pada jalan cerita, walaupun berkali-
kali gagal karena dia diserang rasa cemburu yang akut saat melihat
pria itu memeluk dan menyentuh begitu banyak wanita di atas
panggung.
“I am his girlfriend!”
“Of course not. I am his girlfriend.”
“I am his fiancé, so shut up your mouth!”
Para aktris di atas panggung saling mendorong satu sama lain,
memperebutkan seorang pria yang nyaris tidak berminat sama sekali
dengan topik pertengkaran mereka dan memilih bersandar di dinding
sambil melipat kedua tangannya di depan dada, memandang para
wanita itu dengan tatapan bosan.
“Dean, tell them that you will marry me next week!” seru salah
seorang dari wanita itu sambil menghampiri Donghae, merasa frustasi
karena pria itu tidak berkata apa-apa untuk membelanya. “Tell them
that the woman you love is me, Catherine, not them!”
Donghae menegakkan tubuhnya dan tiba-tiba saja dia melayangkan
pandangannya ke arah Ga-Eul dan menatap gadis itu dengan fokus
penuh, membuat para penonton merasa heran sehingga ikut
membalikkan tubuh mereka karena penasaran dengan seseorang yang
berhasil mendapatkan tatapan seperti itu dari seorang Lee Donghae.
“No,” jawab Donghae pelan dengan senyum singkat yang melintas di
wajah dinginnya. “The woman I love is called Cho Ga-Eul and she is in
the sixth row now.”
Kali ini Donghae benar-benar tersenyum dan dengan santai turun dari
atas panggung, berjalan pelan melewati deretan bangku, menuju ke
arah tempat Ga-Eul duduk.
“The director told you all that I will foul up this musical drama
tonight. I’m so sorry,” ujarnya sambil melangkah di tengah
keheningan penonton yang seolah membeku menunggu hal yang akan
dilakukannya selanjutnya. “I just want to do it extraordinarily. To
propose my woman. She is special, so I will do it specially. I hope you
don’t mind if I do this.”
Donghae menghentikan langkahnya di deretan tempat Ga-Eul duduk
dan melangkah dengan sangat pelan melewati bangku penonton lain,
sampai dia berada di barisan tengah, tepat di depan gadis itu. Dia
duduk di atas sandaran kursi kosong di depan Ga-Eul, menatap gadis
itu dalam, seolah dia sedang mencari kekuatan tersendiri untuk
melakukan hal yang nyaris membuatnya pingsan karena grogi.
Pria itu berdehem sesaat sebelum membuka mulutnya dan
mengucapkan kata-kata yang sudah dipersiapkannya sebelumnya,
berusaha untuk tidak mengacau-balaukan semuanya.
“I cannot promise you a life of happiness. I cannot promise riches,
wealth, or gold. I cannot promise you an easy pathway that leads
away from change or growing old. But I can promise all my heart’s
devotion. A smile to chase away your tears of sorrow. A love that’s
ever true and ever growing every day. A hand to hold in yours
through each tomorrow (Aku tidak bisa menjanjikanmu kehidupan
yang penuh dengan kebahagiaan. Aku tidak bisa menjanjikan kekayaan
berlimpah untukmu. Aku tidak bisa menjanjikan jalan mudah yang bisa
melepaskan kita dari perubahan ataupun penuaan. Tapi aku bisa
menjanjikanmu seluruh kesetiaan yang aku miliki. Senyum yang akan
menjauhkanmu dari penderitaan. Cinta yang akan bertumbuh terus
menerus setiap harinya. Tangan untuk kau genggam setiap hari esok
datang).”
Donghae memajukan tubuhnya dan mengulurkan tangan kanannya yang
terkepal ke hadapan Ga-Eul. Pria itu membuka telapak tangannya,
memperlihatkan sebuah cincin berlian yang terlihat berkilau. Matanya
terfokus pada wajah Ga-Eul yang tampak memerah, tidak percaya
dengan apa yang baru saja dilakukannya.
“Marry me?”
***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, Seoul
08.00 PM

“Dimana dia?” tanya Eunhyuk dengan raut wajah khawatir saat


bertemu dengan Ji-Hwan yang berada di ruang tamu. Nafasnya
sedikit ngos-ngosan karena terburu-buru. Dia bahkan melanggar
kecepatan yang ditetapkan saat berkendara dari Incheon kesini.
“Di kamar, Tuan. Dia tidak keluar kamar sama sekali sejak semalam.”
“Dia tidak masuk kantor?” tanya Eunhyuk kaget. “Bukankah tadi ada
acara peluncuran android terbaru?”
“Saya sudah mengetuk pintu kamarnya dan memberitahunya, tapi dia
tidak menjawab sama sekali. Dia bahkan belum makan sedikitpun
sejak pulang. Mungkin Anda bisa bicara dengannya.”
“Aish, anak itu!” gerutu Eunhyuk sambil bergegas pergi ke kamar
sepupunya tersebut. Dia mendorong pintu sampai terbuka, tapi kamar
itu kosong dan Eunhyuk cukup syok melihat kondisi tempat tersebut.
Tempat tidur terlihat kusut sehabis ditiduri, bantal dan selimut
bergeletakan di lantai. Hanya itu saja, tapi itu sudah cukup
mencerminkan kondisi Kyuhyun saat ini, karena pria itu bahkan tidak
akan pernah membiarkan ada satu titik debu pun di kamar pribadinya.
Eunhyuk mendengar guyuran air dari arah kamar mandi. Dia
mengerutkan keningnya. Oh ayolah, seorang Cho Kyuhyun tidak
mungkin bunuh diri, kan?
***
Kyuhyun membiarkan air yang mengguyur dari shower di atasnya
membasahi tubuhnya. Dia sudah berada dalam keadaan ini sejak
setengah jam yang lalu dan dia terlalu malas untuk beranjak kemaan-
mana.
Tubuh pria itu bersandar di dinding dengan kepala yang mendongak
ke atas, menerima langsung siraman air di wajahnya, berharap
setidaknya air tersebut bisa menjaga pikirannya tetap sadar dan
waras. Hanya saja… dia tahu dengan jelas bahwa dia sedang sangat
tidak waras saat ini. Dia bahkan tidak tahu apakah air yang mengalir
dari wajahnya murni dari shower atau… berasal dari kelenjar air
matanya sendiri.
Pria itu masih memakai kemeja putih yang dipakainya untuk tidur di
Dublin waktu itu. Dia bahkan belum makan sama sekali sejak kemarin
dan tahu bahwa kondisi tubuhnya benar-benar lemah dan mungkin
saja dia akan pingsan sebentar lagi. Tapi anehnya dia bahkan tidak
memedulikan hal tersebut sama sekali. Persetan dengan keadaannya.
Dia hanya ingin berada dalam keadaan menderita seperti ini sesaat
lagi, sebelum dia menguatkan diri untuk menghadapi semuanya,
mencari tahu apa yang terjadi, menyelesaikannya, melihat gadis itu
lagi, dan… mendapatkan kewarasannya kembali.
“KAU SUDAH GILA?!!”
Kyuhyun membuka matanya saat mendengar teriakan itu.
“Bukankah kau sedang bulan madu… hyung?” tanyanya dengan suara
serak yang bahkan tidak dikenalinya sama sekali.
Eunhyuk menarik pria itu berdiri dan melemparkan handuk yang
berada di dalam lemari dinding ke arahnya.
“Ganti bajumu dan berhentilah bersikap seperti mayat hidup begitu!
Ini bukan gayamu, kau tahu? Aku sangat mengenalmu sampai aku bisa
menebak apa yang seharusnya kau lakukan. Kalau kau waras, kau pasti
akan menyusul gadis itu ke Amerika dan menariknya pulang lalu
memaksanya memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi, bukannya
diam seperti ini dan menyiksa dirimu sendiri!”
Kyuhyun memegang dinding untuk menyeimbangkan tubuhnya,
sedangkan kakinya gemetar tak terkendali, diikuti dengan helaan
nafas Eunhyuk yang terdengar putus asa.
“Kau pikir aku tidak mau melakukannya? Tapi gadis itu tidak akan
meninggalkanku kalau dia tidak berpikir bahwa masalah ini begitu
berbahaya untuk aku selesaikan. Jadi lebih baik dia tidak ada disini
saat aku mencari tahu apa yang sedang terjadi daripada aku
membahayakan dirinya dengan apa yang akan aku lakukan.”
“Dan membuatmu sampai menangis seperti ini?”
Kyuhyun melempar handuk basah yang sudah dipakainya untuk
mengeringkan rambut ke keranjang kain dan merenggut paksa
kemejanya sampai terlepas, tidak mau bersusah-payah membuka
kancingnya satu per satu. Kemeja itu menyusul handuk tadi,
terdampar di tempat yang sama.
Kyuhyun berbalik menatap Eunhyuk dan menatap sepupunya itu seolah
pertanyaannya tadi memiliki jawaban yang sudah amat sangat jelas.
“Ini masih reaksi awalku saat dia pergi. Apa kau bisa membayangkan
apa yang akan terjadi kalau dia benar-benar mati dan aku tidak bisa
melihatnya lagi?”
***
Eunhyuk’s Home, Yeoju, Seoul
09.30 PM

Eunhyuk membuka pintu kamarnya dan mendapati Ji-Yoo sudah


tertidur di atas ranjang. Sepertinya kelelahan setelah perjalanan 17,
5 jam dari Antartika ke Seoul.
Pria itu naik ke atas tempat tidur dan berbaring di sebelah Ji-Yoo
yang tidur menyamping.
“Hei, kau sudah tidur?” tanyanya sambil mengecup pipi gadis itu
singkat.
Ji-Yoo bergerak, mengerjap-ngerjapkan matanya yang kemudian
menyipit menatap Eunhyuk.
“Mmmmm… kau sudah pulang?” gumamnya serak sambil berbalik
menghadap pria itu. “Kyuhyun bagaimana?”
“Kacau,” jawab Eunhyuk sambil menggelengkan kepalanya. “Kau tidak
akan pernah bisa membayangkan penampilannya saat ini saking
parahnya. Kau tidak akan pernah menemukan pria yang lebih
menderita lagi dari itu saat ditinggalkan gadisnya. Aku pasti akan
seperti itu kalau kau sampai meninggalkanku juga,” lanjut Eunhyuk
sambil menyingkirkan anak rambut Ji-Yoo yang menutupi wajah,
kemudian menangkup kedua pipi gadis itu dengan tangannya.
“Separah itu?”
“Mmm. Saat seorang pria menjadikan seorang wanita sebagai
kelemahan terbesarnya, kau tidak akan bisa membayangkan akan
sehancur apa pria itu saat wanita tersebut terlepas dari
genggamannya. Jadi kau tidak boleh pergi dariku apapun yang terjadi.
Ara?”
“Kau sedang mengancamku?” desis Ji-Yoo sambil mendelik.
“Aku tidak peduli apa istilahnya. Ngomong-ngomong Yoo, kau tahu apa
yang akan aku lakukan sekarang?”
Ji-Yoo menyadari bahwa wajah pria itu sudah begitu dekat, sehingga
dia hanya bisa menelan ludahnya dengan susah payah, sedangkan
detak jantungnya terdengar bertalu-talu di telinganya sendiri.
“Apa?”
Eunhyuk merengkuh wajah gadis itu dengan satu tangan dan
mendekatkan wajahnya.
“Menidurimu,” ujarnya, tepat di bibir gadis itu.
Ji-Yoo terkesiap saat bibir pria itu bergerak rakus di atas bibirnya,
melepaskan apa yang sudah ditahan-tahannya dua hari terakhir
setelah pernikahan mereka. Eunhyuk menahan tubuhnya dengan siku
kanannya yang terletak di samping tubuh Ji-Yoo agar tubuhnya tidak
menindih tubuh gadis itu, sedangkan tangan kirinya menyentuh leher
gadis itu dengan lembut, perlahan naik ke atas sampai jemarinya
menelusup di helaian rambut Ji-Yoo yang tergerai di sekeliling
wajahnya.
Dia menurunkan level ciumannya, beralih melumat bibir gadis itu
dengan perlahan, tanpa nafsu sama sekali, kemudian menggantinya
dengan kecupan-kecupan lembut sebelum akhirnya dia benar-benar
menjauhkan bibir gadis itu dari jangkauan bibirnya.
Eunhyuk tersenyum kemudian menunduk untuk mengecup pipi gadis
itu sekilas.
“Tidurlah. Kau pasti lelah,” ujarnya mengejutkan sambil melepaskan
rangkulannya di tubuh Ji-Yoo, kemudian berbaring menyamping,
menghadap ke arah gadis itu.
“Kau….”
“Hari ini kau pasti lelah sekali setelah perjalanan jauh.”
“Tapi….”
“Aku bisa melakukannya kapan-kapan, toh setiap hari kau juga berada
di dekatku, kan?” Pria itu mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi
Ji-Yoo lembut dengan buku-buku jarinya. “Aku masih bisa menunggu,”
tandasnya. “Aku bisa menunggu sampai kapanpun untukmu, Yoo~ya.”
***
Incheon Airport, South Korea
10.00 AM

Kibum berlari ke arah taksi pertama yang ditemukannya, melempar


kopernya sembarangan ke dalam bagasi, dan menyebutkan alamat
gereja tempat pernikahan Nou-Mi dilangsungkan. Dia menatap jam
tangannya dengan panik. Dia sudah terlambat dua jam. Jadi apa lagi
yang diharapkannya dari seorang gadis yang sudah menjadi istri
orang?
Kibum menghembuskan nafasnya berat. Setidaknya… setidaknya dia
bisa melihat gadis itu untuk terakhir kalinya.
***
Gereja itu terlihat begitu megah. Sunyi. Kosong.
Kibum menyandarkan tubuhnya ke pagar, berdiri menghadap bangunan
tua itu, memperhatikan arsitekturnya, walaupun sebenarnya
pikirannya tidak berada disana sama sekali.
Dia berdiri diam disana, tidak memedulikan hembusan angin musim
dingin yang membuat semua orang memilih masuk ke ruangan untuk
sekedar menghangatkan diri. Dia bahkan tidak mengenakan syal,
hanya sehelai sweater tipis yang sama sekali tidak ada gunanya di
cuaca ekstrim seperti ini.
Kibum merasakan tangannya yang sudah kaku dan bibirnya yang
membeku kedinginan, tapi tidak berusaha beranjak dari tempat itu
sama sekali.
Semuanya sudah berakhir. Sia-sia. Karena ketololannya.
Kibum menoleh kaget saat merasakan sentuhan di tangannya. Dia
hanya bisa terbelalak syok saat melihat orang di depannya yang
sedang menunduk, memasangkan sepasang sarung tangan hangat ke
tangannya yang beku, kemudian mengalungkan syal tebal ke lehernya.
“Kau mau mati beku disini? Ayo cepat masuk ke mobilku. Bibirmu
membiru, oppa,” ucap gadis itu sambil menarik tangannya, tapi dengan
cepat Kibum menahannya dan balik mencekal lengan gadis itu.
“Kau sedang mempermainkanku?” sela Kibum tajam.
“Mempermainkanmu?” tanya Nou-Mi dengan senyum di wajahnya.
Matanya berbinar saat menatap Kibum, seolah dia sedang dalam
kondisi paling membahagiakan saat ini. “Kau bertanya apa aku
bahagia? Jadi aku mulai berpikir dan merasa bahwa aku sama sekali
tidak bahagia. Untung saja Dae-Hyun oppa berubah pikiran dan
membatalkan pernikahan kami di saat-saat terakhir.”
“Apa?”
“Dia bilang dia tidak bisa memaksaku bersamanya. Dia sudah terlalu
banyak menyakitiku, jadi dia tidak mau menghancurkan hidupku
dengan menjadikanku istrinya. Jadi berhentilah berpikiran buruk
tentangnya. Dia itu pria baik tahu!”
“Dia hanya sedang waras saja,” sahut Kibum tak peduli. Pikirannya
terpusat hanya pada gadis di depannya ini dan dia tidak peduli dengan
hal lain sama sekali.
Perlahan otaknya memproses kejadian yang sama sekali tidak
diprediksinya ini. Dia bahkan tidak heran dengan proses kerja
otaknya yang begitu lambat. Itu sama sekali bukan hal aneh setelah
dia menghabiskan waktu di luar selama nyaris setengah jam di bawah
hujaman angin dingin kota Seoul.
Kibum tersenyum kemudian dengan cepat menarik gadis di depannya
itu ke dalam pelukannya.
“Saranghae,” bisiknya pelan, mengabaikan suaranya yang terdengar
gemetaran dan tubuhnya yang menggigil kedinginan.
“Nado saranghae,” balas Nou-Mi sambil tersenyum manis.
“Bagus,” gumamnya, membenamkan wajahnya di bahu gadis itu.
Saat ini, dia tidak keberatan sedikitpun jika tiba-tiba saja waktu
benar-benar berhenti.
***
Seoul Drama Awards, Seoul, South Korea
07.00 PM

“Yak, kau sudah gila? Kalau para fansmu itu menerkamku bagaimana?”
bisik Min-Hyo takut saat Heechul menarik gadis itu bersamanya ke
karpet merah. Min-Hyo berusaha menutupi wajahnya saat melihat
kerumunan wartawan yang langsung mengerubungi mereka seperti
kerumunan lebah.
“Kau sedang apa? Santai saja! Tampangmu cukup enak untuk dilihat,”
ujar Heechul santai, membuat gadis itu mendelik sambil
menggertakkan giginya kesal. Bisa-bisanya pria itu bercanda di saat-
saat genting seperti ini! Apa dia tidak mendengar teriakan marah
para fansnya itu?
“Heechul ssi, bisa Anda beritahu siapa gadis ini?”
“Apa dia tunanganmu?”
Dengan sengaja Heecul meraih tangan Min-Hyo yang sedang sibuk
digunakan gadis itu untuk menutupi wajahnya, menggenggamnya erat,
kemudian mengalungkan lengannya sendiri ke bahu Min-Hyo, menarik
gadis itu mendekat.
“Eotte? Geunyeoneun yeppeuji anhnayo? (Bagaimana? Dia cantik,
kan?)” ujar Heechul tanpa menjawab pertanyaan mereka sama sekali.
Pria itu menarik Min-Hyo ke dalam gedung, mengambil tempat di
salah satu meja yang telah disediakan.
“Aish, kau benar-benar mau membunuhku!” rutuk Min-Hyo sambil
menelungkupkan wajahnya ke atas meja. Dia rasanya mau mati saja.
Apa-apaan itu tadi? Aiiiiish, seharusnya dia menolak diajak kesini
kalau tahu bahwa pria itu akan ‘memperkenalkannya’ ke depan publik
seperti tadi.
“Aku ini sudah hampir 29 tahun, menurutmu aku harus sendirian
berapa lama lagi, hah? Lagipula tidak ada urusannya dengan mereka
apakah aku mau menikah atau tidak. Kalau aku mau menikah ya aku
akan melakukannya. Aku tidak butuh izin siapapun,” tandas Heechul
dengan nada tak peduli.
Min-Hyo menghembuskan nafas keras kemudian memperbaiki posisi
duduknya.
“Kau yakin aku diizinkan duduk disini? Aku kan bukan artis,” ujar Min-
Hyo sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Matanya sedikit
membulat saat melihat beberapa aktor dan aktris terkenal yang
berlalu-lalang di sekitar tempat duduk mereka.
“Aku juga tidak mau duduk disini sendirian.”
Min-Hyo menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Lebih baik
dia menutup mulutnya saja daripada emosinya meledak melihat pria di
sampingnya itu.
***
“Menurutmu siapa yang akan mendapatkan penghargaan aktor pria
terbaik?” tanya Min-Hyo antusias saat dua orang yang membacakan
nominasi pemenang mulai membuka gulungan kertas di tangan mereka.
“Aku,” jawab Heechul enteng. Belum sempat Min-Hyo mendebat pria
itu, dia mendengar nama pria tersebut disebutkan oleh kedua orang
di atas panggung, membuat pria tersebut menatap Min-Hyo dengan
senyum penuh kemenangan.
“Kau lihat, kan?” ejeknya sambil bangkit berdiri untuk naik ke atas
panggung.
Min-Hyo menghembuskan nafas, mau tidak mau tersenyum saat
mendengar teriakan keras dari para fans Heechul yang dari tadi
nyaris tidak berhenti meneriakkan nama pria itu. Oh baiklah, dia tahu
bahwa pria itu memang aktor berbakat, hanya saja lebih baik dia
tidak menyuarakannya daripada membuat pria itu semakin besar
kepala.
“Ne, gamsahamnida!!!! Terima kasih untuk semua penggemar yang
sudah mendukung, menonton drama yang kumainkan, dan menghargai
aktingku sehingga aku bisa mendapatkan penghargaan ini. Terima
kasih untuk para kru dan semua yang telah membantuku. Dan… yang
terpenting, terima kasih untuk gadis yang telah memberikan tiga
minggu terbaik dalam hidupku. Yak, Park Min-Hyo, sepulang dari sini
ayo kita menikah!”
***
Heechul menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung mewah yang
biasanya digunakan untuk menyelenggarakan acara-acara besar. Pria
itu menyerahkan kunci mobilnya kepada pria penjaga pintu yang
menunggu di lobi dan menarik Min-Hyo masuk.
Setelah menghebohkan ribuan orang di acara penghargaan drama
tahunan terbesar di Korea itu, Heechul sama sekali tidak bicara
dengan Min-Hyo sepanjang perjalanan pulang. Dan gadis itu juga tidak
berusaha menanyakan apapun padanya.
Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar yang tertutup.
Min-Hyo bisa mendengar suara-suara yang tidak terlalu jelas dari
dalam, sehingga dia mendongak menatap Heechul yang juga sedang
menunduk menatapnya.
“Aku sudah bilang kan bahwa sepulang dari tempat itu kita akan
menikah? Kau pikir aku bercanda?”
“Mwo?” seru Min-Hyo, nyaris menjerit keras saking syoknya.
“Menurutmu kenapa aku menyuruhmu mengenakan gaun itu?” tanya
Heechul sambil menunjuk gaun putih selutut yang dikenakan Min-Hyo
malam itu. “Apa kau tidak berpikir bahwa gaun itu terlalu mewah
hanya untuk dipakai ke acara penghargaan?”
“Hyo, aku sudah mempersiapkan semua ini. Di dalam sudah ada orang
tua dan keluargamu, beberapa kenalan dan sahabat-sahabatku.
Mungkin kau ingin memakai gaun pengantin pilihanmu sendiri. Aku
akan mewujudkannya untukmu nanti. Tidak masalah jika kau meminta
pernikahan ulang dan semacamnya. Hanya saja aku sangat ingin
menikahimu secepatnya. Aku sudah mendapatkan penghargaan
sebagai aktor terbaik malam ini, salah satu keinginan terbesarku
dalam hidup. Dan mulai dari satu minggu yang lalu, keinginanku
bertambah satu lagi. Menikah denganmu. Aku tidak tahu apa gunanya
menunggu lebih lama lagi jika aku bisa menikahimu malam ini juga.
Hasilnya sama saja, kan? Kau menjadi istriku.”
Min-Hyo mengerjap, terpana dengan nada bicara pria itu yang tiba-
tiba berubah 180 derajat.
“Kau mau ikut denganku ke dalam dan menikah denganku?” tanya
Heechul, meninggalkan semua ekspresi menyebalkan di wajahnya dan
nada pemaksaan dari cara berbicaranya, menggantinya dengan
ekspresi serius, seolah hidupnya bergantung pada keputusan gadis
itu.
Min-Hyo mendadak melupakan dimana letak semua kewarasannya saat
menatap wajah pria itu. menatap ekspresi yang selama ini tidak
diketahuinya dimiliki oleh pria itu. Dan dia nyaris tidak tahu hal apa
yang membuatnya menganggukkan kepalanya, mengiyakan ajakan gila
pria itu unutk menikah.
Heechul tersenyum, dengan refleks menundukkan wajahnya dan
menyapukan kecupan cepat di bibir gadis itu. Dia mengulurkan tangan
kirinya dan memegang handle pintu dengan tangan kanannya.
“Ayo,” ujarnya, memberi tanda agar Min-Hyo memegang tangannya,
yang langsung diikuti dengan patuh oleh gadis itu.
Dan Min-Hyo tahu bahwa baru saja, dia mengambil keputusan tergila
dalam hidupnya. Keputusan yang dia tahu tidak akan pernah
disesalinya sampai kapanpun, karena pria itu… adalah pria terbaik
yang bisa didapatkannya. Tidak peduli walaupun pria itu setan atau
keturunan Lucifer sekalipun.

***
Dublin, Ireland
08.00 PM (Ireland’s Time)
Siwon mendongak saat melihat Eun-Ji melangkah memasuki ruang
santai dengan muka tertekuk. Dia berjalan gontai kemudian
menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, tepat di samping Siwon.
“Wae?” tanya pria itu heran sambil menyingkirkan berkas-berkas
STA yang sedang dipelajarinya. Berkas itu baru saja dikirim
lewat corriere, email intern milik KNI yang hanya bisa diakses oleh
karyawan organisasi itu saja.
“Aish, aku hampir pingsan karena ditarik oleh ibuku dan ibumu
kemana-mana untuk mengurus semua tetek bengek pernikahan itu!
Astaga! Bukankah seharusnya aku beristirahat di rumah saja agar
bisa segar saat menikah besok?” gerutunya dengan raut wajah
masam.
Siwon tertawa dan menarik bahu Eun-Ji, membaringkan kepala gadis
itu ke pangkuannya. Dia memberi pijatan pelan di kening Eun-Ji,
membuat gadis itu mendongakkan wajahnya, menatap Siwon heran.
“Sejak kapan kau berubah profesi menjadi tukang pijat?”
“Aku hanya ingin calon istriku merasa sedikit lebih segar. Kepalamu
pasti sakit sekali, kan? Kalau mau kau tidur saja. Aku akan
menungguimu disini.”
“Aku tidur di kamar saja,” sahut gadis itu, tapi malah membenamkan
wajahnya ke perut pria itu, menghirup nafas disana. “Aku mau mandi,
lalu tidur,” gumamnya tidak jelas. Dia menggeliat sesaat sebelum
bangkit berdiri.
“Eun-Ji~ya?” panggil Siwon saat gadis itu baru mencapai pintu.
“Mmm?”
Pria itu tersenyum sambil memiringkan wajahnya.
“Sampai jumpa besok di depan altar.”
***
Dublin, Ireland
10.00 PM (Ireland’s Time)

“Jadi Anda akan memesan dua kamar atas nama?”


“Ladyra Han dan L Kim,” sahut Hye-Na sambil menyandarkan
tubuhnya ke meja resepsionis hotel itu.
“Han Hye-Na?” ulang resepsionis itu dengan aksen aneh sambil
memperhatikan kartu identitas Hye-Na di tangannya.
“Ada masalah?” tanya Hye-Na bingung.
“Kau istri Tuan Marcus Cho? Cho Kyuhyun?”
“Kenapa memangnya?”
“Karena semua hotel miliknya diperintahkan untuk memberikan kamar
terbaik secara cuma-cuma jika Anda datang,” jawab wanita itu
dengan nada sopan dan senyum ramah di bibirnya.
“Aku tidak jadi menginap disini!” tukas Hye-Na cepat sambil merebut
kartu identitasnya lalu memberi tanda agar L mengikutinya keluar
dari tempat itu.
“Cari informasi tentang hotel mana pun yang tidak dimiliki pria itu.
Hotel bobrok sekalipun! Aku tidak peduli!” ucap Hye-Na dengan gigi
menggertak kesal sambil berdiri kaku di depan lobi hotel. Dia tidak
memedulikan tatapan ingin tahu dari penjaga pintu yang berdiri di
dekat mereka. Dia bahkan sudah terlalu emosi untuk sekedar
memperhatikan apapun di sekelilingnya.
“Bisakah kau memberiku daftar bangunan apa saja di atas dunia ini
yang tidak dimilikinya?” sergah Hye-Na dengan suara bergetar
menahan marah.
L mengacuhkan gadis itu dan mulai sibuk mencari data
di communicator-nya.
“Semua hotel bintang 4 dan bintang 5 di negara ini adalah miliknya.
Aku sudah menemukan hotel bintang 3 yang lokasinya paling dekat
dari tempat ini.”
Hye-Na berjalan cepat memasuki salah satu taksi yang terparkir di
sepanjang area khusus yang disediakan sebagai layanan hotel untuk
para tamu, membuat L harus setengah berlari mengejar gadis itu.
Pria itu menyebutkan alamat yang mereka tuju ke supir taksi
tersebut dan mulai sibuk lagi dengan kegiatannya sebelumnya.
“Kau tahu tidak, nuna? Lebih sulit menemukan bangunan yang tidak
dimilikinya daripada yang dimilikinya,” ujar L semangat, tidak
menyadari tatapan menakutkan yang dipancarkan Hye-Na ke arahnya.
Sedetik kemudian dia malah berteriak kaget saat menemukan fakta
mencengangkan tentang kekayaan suami atasannya tersebut yang
ditemukannya di data pribadi organisasi.
“54% bangunan megah di dunia adalah miliknya. Dan… kau tahu? 13%
di antaranya bahkan sudah didaftarkan atas namamu.”
“APA?!!!”
***
Dublin, Ireland
08.00 AM
“Kau datang!” sambut Eun-Ji lega saat melihat Hye-Na melangkah
memasuki ruang gantinya. Gadis itu langsung memberi tanda agar
salah satu penata rias segera mendandani Hye-Na yang langsung
memasang tampang masamnya.
“Aku kan hanya menikah sekali seumur hidup, jadi lebih baik kau
mengalah untukku.”
Hye-Na mengeluarkan gumaman tidak jelas yang dapat ditebak Eun-
Ji sebagai protes gadis itu yang tidak bisa disuarakannya dengan
gamblang.
“Something happened? With you? And… your husband?”
Hye-Na menatap sahabatnya itu dari cermin di depannya. Cermin
yang baru disadarinya memperlihatkan dengan jelas wajahnya yang
pucat, kantung hitam di bawah matanya, raut muka yang sama sekali
tidak menunjukkan sinar kehidupan.
“Kau sepertinya akan mempersulit Jacky untuk memperbaiki wajahmu
agar terlihat lebih cerah sedikit,” ucap Eun-Ji, merujuk pada wanita
yang sedang berusaha menempelkan bahan-bahan kimia bernama
make-up ke wajah Hye-Na, yang berusaha keras agar tidak bersin
atau mendorong tangan wanita itu menjauh dari wajahnya.
“Kau pikir aku masih bisa tidur dan bersikap seperti tidak terjadi
apa-apa?” dengus Hye-Na sambil mendelik ke arah Jacky yang
kelihatannya sedang berusaha menusuk matanya dengan sesuatu
berbentuk pensil. Astaga, dia ingin sekali berlari keluar dari ruangan
tersebut dan kabur saat itu juga!
“Salahkan saja dirimu sendiri karena dengan bodohnya meninggalkan
pria itu.”
“Aku punya alasan yang cukup masuk akal untuk melakukannya.”
“Dan kau tidak akan memberitahukannya padaku?”
“Tidak,” jawab Hye-Na cepat. “Tidak.”
***
Armagh Cathedral, Ireland
08.00 AM

Hye-Na mengambil tempat di bagian sudut kiri, duduk menatap Siwon


dan Eun-Ji yang sedang mengucapkan janji di depan altar. Dia
berusaha keras untuk tidak memalingkan tatapannya ke arah samping.
Ke arah pria itu.
Dia cukup syok saat mengetahui bahwa pria itu juga datang ke tempat
ini. Walaupun dia tahu bahwa Siwon dan Eun-Ji memang mengundang
pria itu, dia tidak menyangka bahwa pria itu akan datang setelah apa
yang sudah terjadi. Dan… itu membuatnya merasa tidak aman.
Seakan-akan pria itu bisa membunuhnya hanya dengan kehadirannya
saja.
Hye-Na mengikuti para undangan lain yang berdiri sambil bertepuk
tangan, tersadar dari lamunan kosongnya. Matanya menatap kabur ke
arah pasangan pengantin baru itu. Iri melihat bagaimana cara Siwon
menatap wajah sahabatnya, iri melihat senyum di wajah Eun-Ji yang
membuat gadis itu terlihat sangat bercahaya, iri melihat betapa
serasinya mereka. Iri karena dia sendiri tidak akan pernah bisa
sebahagia itu.
Hye-Na berniat bergabung dengan para tamu lain yang sudah
mengerubungi pasangan pengantin baru itu untuk memberi selamat,
saat langkahnya dengan sangat mendadak dihentikan dengan paksa
oleh keterpanaannya sendiri.
Mungkin salahnya karena membiarkan tatapannya terpaku di wajah
pria itu. Pria yang sekarang berdiri beberapa meter di depannya,
dengan kedua tangan di dalam saku celana, terhalang oleh puluhan
orang yang berlalu lalang di hadapan mereka. Dengan terang-terangan
berdiri di tempatnya tanpa berniat beranjak sedikitpun, dengan mata
yang terpancang pada Hye-Na dengan sangat intens, seolah sedang
menelanjangi wajah gadis itu hanya dengan sebuah tatapan saja.
Hal itu terjadi untuk beberapa saat yang terasa sangat lama. Seakan-
akan waktu berhenti di sekeliling mereka, menyisakan suara riuh
orang-orang sehingga hanya terdengar seperti gumaman tidak
berguna. Dan Hye-Na hanya bisa terperangah kaget saat melihat pria
itu tiba-tiba berbalik dengan sangat cepat dan melangkah pergi
begitu saja, keluar dari gereja diikuti oleh Eunhyuk yang berjalan di
belakangnya, membuat gadis itu terpaksa menjangkau sandaran kursi
dengan tangannya yang gemetar, berusaha menemukan
keseimbangannya.
Sial. Kapan kehadiran pria itu bisa bereaksi biasa-biasa saja
untuknya?
***
Kyuhyun mengikuti setiap gerakan gadis itu dengan tatapannya. Saat
gadis itu berjalan di belakang Eun-Ji sebagai pendamping pengantin,
terlihat sangat cantik dalam balutanminidress putihnya. Mungkin dia
sudah sakit jiwa, tapi gadis itu tetap saja terlihat cantik, walaupun
wajahnya begitu pucat, keningnya berkerut memperhatikan setiap
langkah kakinya yang terkesan tidak mantap agar dia tidak merusak
acara dengan terjatuh di belakang pengantin wanita, ataupun raut
mukanya yang tampak kuyu dengan kantung mata yang menghitam
seperti kurang tidur. Saat gadis itu duduk dengan pandangan tidak
fokus yang tertuju pada pengantin yang sedang mengucapkan sumpah
pernikahan mereka, dan saat gadis itu bangkit dengan limbung dari
duduknya, menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba saat melihat
bahwa Kyuhyun berdiri sambil menatapnya dengan raut wajah tidak
terbaca.
Pria itu sengaja memasukkan tangannya ke dalam celana, berusaha
sekuat tenaga menahan kakinya agar tetap berada di tempatnya,
bukannya berlari ke depan dan menghambur ke arah gadis itu
kemudian memeluknya, memberitahu gadis itu bahwa tidak ada yang
harus ditakutkannya. Bahwa dia akan menyelesaikan semuanya. Tapi
dia tidak bisa melakukan hal itu. Gadis itu sudah menetapkan pilihan
untuk meninggalkannya, jadi dia harus menghormati keputusan yang
dipilih gadis tersebut.
Dia bisa melihat dengan jelas bahwa gadis itu sama menderitanya
dengannya dan bodohnya, dia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa
untuk menghentikan semua itu. Dia hanya bisa bertahan disana,
memuaskan diri dengan hanya menatap gadis itu saja. Dan saat dia
tidak bisa lagi mengontrol keinginannya untuk menghampiri gadis itu,
dia memilih berbalik pergi, kabur secepat yang bisa dilakukan
kakinya. Dan itu… sama sekali tidak membantu.
***
Fracia Hotel, Dublin, Ireland
07.00 PM

“Nuna~ya… kau yakin akan pergi ke pesta dengan… pakaian seperti


itu?” tanya L hati-hati, tidak bisa mengatupkan mulutnya saat melihat
Hye-Na melangkah keluar dari kamar hotelnya.
“Ne. Wae?” tantang gadis itu sambil melipat tangannya di depan dada.
“Tapi….” L mengangkat tangannya, lalu menurunkannya lagi. Tidak bisa
menemukan kata-kata yang tepat.
Gadis itu mengenakan gaun merah menyala yang panjangnya sekitar
10 cm di atas lutut, dengan belahan dada cukup rendah, dan bagian
punggung yang diekspos dengan sangat jelas. Rambut gadis itu
disanggul longgar ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya. Untuk
pertama kalinya bagi gadis itu berpakaian yang menunjukkan begitu
banyak bagian tubuhnya yang selama ini tertutup rapat. Dan walaupun
L sangat menghormati atasannya itu, mau tidak mau sebagai laki-laki
normal dia harus mengetahui bahwa gadis itu berpotensi besar
meruntuhkan kendali pria manapun yang melihatnya.
“Ck, kau mau suamimu membunuhku?” rutuk L sambil mengacak
rambutnya.
“Aku hanya mencari cara untuk menyelamatkan diri. Dia pasti tidak
akan menyukai dandananku, jadi mungkin dia akan berpikir ulang dan…
mencoba membenciku?”
L menggumam tidak jelas kemudian berbalik, meninggalkan gadis itu
berjalan di belakangnya. Setidaknya Hye-Na masih bisa mendengar
gerutuan pria itu yang terdiri dari kata-kata ‘gadis bodoh’, ‘berkhayal
saja mengharapkan suamimu itu melupakanmu’, dan ‘dia pasti akan
membunuhku jika melihatku bersamamu’.
***
Wedding Reception, Rafflian Hotel, Ireland
07.30 PM

“Aku tidak suka berdansa,” bisik Eun-Ji pelan, yang kemudian


berganti dengan jeritan lirih yang tertahan oleh nafasnya yang
tercekat saat Siwon menggunakan tangan kanannya yang melingkar di
pinggang gadis itu untuk mengangkat tubuhnya, memutarnya pelan.
“Tidak buruk,” goda Siwon sambil memamerkan senyumnya. Dia
menundukkan tubuhnya sedikit agar sejajar dengan tinggi gadis itu,
dengan posisi berpelukan.
“Mar sin, anois tá tú mo bhean chéile (Jadi, sekarang kau adalah
istriku)?”
Eun-Ji tertawa kecil saat mendengar aksen Irlandia yang terdengar
begitu pas dengan suara pria itu.
“Mo bhean chéile. Chéile,” ujar Siwon, mengulang kata-kata itu lagi,
seolah sedang membiarkan lidahnya agar terbiasa.
“Apa itu artinya ‘istri’?” tanya Eun-Ji memastikan, karena dia tidak
terlalu mengerti bahasa aneh itu.
“Mmm. Mo ghrá (sayang).”
“Yak, berhentilah menggunakan bahasa itu. Aku tidak mengerti!”
protes Eun-Ji sambil mengerucutkan bibirnya kesal, mendongak
menatap pria itu.
Siwon tersenyum lagi, mengangkat tangannya dan memerangkap
wajah gadis itu di antara kedua telapak tangannya.
“Nyonya Choi, aku akan senang sekali jika kau mau belajar bahasa itu.
Tapi… aku lebih suka kalau kau tidak mengerti apa yang aku ucapkan,
jadi aku bebas mengatakannya padamu tanpa rasa malu.”
“Contohnya?”
Siwon memutar tubuh mereka melewati beberapa pasangan yang juga
sedang berdansa, menarik gadis itu bersamanya.
“Is breá liom tú, mo bhean chéile. Agus beidh mé tú a choinneáil i
sonas chomh fada agus is tú liom.”
“Kau mencintaiku,” ujar Eun-Ji, menerjemahkan kalimat pertama yang
diucapkan Siwon sambil tersenyum. “Lalu?”
Siwon tertawa kecil saat gadis itu bisa menebak dengan tepat apa
yang dikatakannya.
“And then….” Pria itu menahan ucapannya untuk menarik pinggang
gadis itu mendekat. “And then I will keep you in happiness as long as
you with me.”
***
“Jadi dia juga tidak mau menceritakannya padamu?”
Eun-Ji menggelengkan kepalanya, merasa tidak enak saat melihat
raut wajah Kyuhyun yang sedikit kecewa.
“Kau terlihat… sakit, Kyu,” komentar Siwon, berusaha untuk
menemukan kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan keadaan
Kyuhyun yang terlihat sangat kacau.
“Dan masih saja berhasil membuat semua gadis di ruangan ini
menatapnya,” gerutu Eunhyuk yang sedang sibuk menatap ke
sekeliling ruangan. “Aku jamin semua wartawan itu sedang bertanya-
tanya dimana istrimu sekarang. Dan mereka akan tersedak saking
bahagianya kalau tahu apa yang terjadi. Yak, Siwon~a, kenapa ada
banyak wartawan disini?”
Siwon mengangkat bahunya. “Ayahku pengusaha yang cukup terkenal
disini dan aku adalah penerusnya. Lagipula masa kau tidak mengerti
juga? Para wartawan itu akan mengerubung seperti semut kalau ada
Kyuhyun.”
“OMO OMO!!!” seru Eunhyuk syok dengan pandangan tertuju ke pintu
masuk, membuat tiga orang di sampingnya ikut menoleh.
Kyuhyun mengepalkan tangannya saat melihat Hye-Na memasuki
ruangan sambil menggandeng tangan seorang pria. Dan… pakaiannya…
pakaian gadis itu….
“Astaga, kenapa Hye-Na membawa Myung-Soo? Aish, jinjja!” rutuk
Eun-Ji smabil menghentakkan kakinya, melirik Kyuhyun takut-takut
secara sembunyi-sembunyi. Gadis itu menatap suaminya dengan
pandangan meminta tolong.
“Kau kenal pria itu?” tanya Eunhyuk ingin tahu.
“Dia dulu adalah trainee di bawah pengawasan Hye-Na, dan sekarang
sudah menjadi agen resmi. Bisa dikatakan… pria itu menjadikan Hye-
Na sebagai idolanya.”
Siwon menunduk, menatap tangan Kyuhyun yang mengepal di samping
tubuhnya dan bibir pria itu yang terkatup rapat, mencoba menahan
emosinya sekuat yang dia bisa.
“Hei hei, jangan menghancurkan pesta pernikahan aku, oke?” ujar
Siwon cepat-cepat.
Kyuhyun menghela nafas di antara sela-sela giginya, kemudian
mengangguk pelan.
“Kalaupun aku hilang kendali, aku akan menarik gadis itu keluar dari
tempat ini. Kau tenang saja… hyung.”
***
“Kau tahu? Dari tadi suamimu menatap kesini terus,” bisik L di telinga
Hye-Na.
“Jangan hiraukan!” sahut gadis itu. Walaupun begitu tubuhnya
mengejang kaku. Bulu kuduknya meremang dan keringat dingin mulai
membasahi tengkuknya. Ciri-ciri umum jika pria itu ada di dekatnya.
“Kau tegang sekali, nuna,” kata L cemas, melonggarkan pelukannya
sedikit untuk menatap wajah gadis itu. “Kau berkeringat,” lanjutnya
lagi.
Hye-Na memalingkan wajahnya ke arah lain, menolak menatap wajah
L, terus bergerak melanjutkan dansa mereka yang canggung.
“Nuna, kau benar-benar kacau. Lebih baik kita duduk saja sekarang,
jangan memaksakan dirimu.”
Belum sempat mereka bergerak, tiba-tiba saja Kyuhyun sudah
mencengkeram bahu L, membuat pelukan mereka terlepas sehingga
Hye-Na nyaris terhuyung hampir jatuh jika dia tidak segera
memegang ujung jas L.
“Aku rasa aku tidak perlu meminta izinmu untuk berdansa dengan
istriku, kan?” tanyanya dingin ke arah L, tapi dengan mata yang
menghujam ke wajah Hye-Na.
“Eh, tapi… Hye-Na nuna…” ujar L ragu, menatap Hye-Na untuk
meminta pendapat.
“Persetan dengan pendapatnya!” sergah Kyuhyun kasar, menarik
tangan Hye-Na dari genggaman L dan merengkuh pinggang gadis itu
mendekat ke arahnya. Hye-Na begitu kalut sampai tidak sempat
memberikan reaksi pada L yang melemparkan tatapan minta maaf
padanya. Gadis itu baru tersadar saat Kyuhyun menyentakkan
tubuhnya, memaksa gadis itu menatapnya.
“Kau pikir apa yang sedang kau lakukan disini? Dengan pria lain dan
dengan dandanan seperti ini?” geram Kyuhyun dari sela giginya yang
terkatup rapat. Matanya menatap gadis itu marah.
“Bukan urusanmu,”jawab Hye-Na dingin.
“Bukan urusanku? Apapun yang kau lakukan, mau tidak mau harus
menjadi urusanku. Kau masih istriku, ingat? Jadi lebih baik kau
jelaskan padaku kenapa kau harus berubah seekstrim ini?” bentaknya
dengan suara rendah, berusaha tidak menarik perhatian tamu lain.
Tangannya menjalari punggung Hye-Na yang terbuka, menunjukkan
dengan jelas apa yang dimaksudnya dengan perubahan ekstrim.
Gadis itu merasakan darahnya mulai berdesir cepat dan jantungnya
mulai berontak, membuat dadanya yang menempel ke tubuh pria itu
terasa sakit. Setiap sentuhan pria itu, sekecil apapun, selalu
berakibat hebat terhadap tubuhnya.
“Satu hal lagi, aku tidak tahu apa maksudmu melakukannya, tapi
menurutku belahan dadamu terlalu rendah, membuat semua pria
berpikir yang tidak-tidak tentang wanita yang sudah bersuami!”
desisnya.
Hye-Na mengabaikan semua tuduhan pria itu, berusaha berontak
melepaskan diri. Musik sudah berubah, digantikan dengan
instrumental klasik yang familiar.
“Kau benar-benar sedang berusaha meruntuhkan kendali diriku, kan?
Baik. Kau berhasil,” ucap Kyuhyun hilang kesabaran. Dia menarik
tangaan gadis itu, membawanya keluar dari ruangan.
“Lepaskan! Kau mau membawaku kemana?” teriak Hye-Na gusar, tidak
memedulikan tatapan smeua orang dan lampu blitz yang menghujam
mereka dengan gila-gilaan.
Kyuhyun sama sekali tidak menjawab gadis itu, dan tidak terganggu
sama sekali dengan pemberontakannya. Dia baru bersuara saat
mereka sudah sampai di mobilnya yang terparkir di basement.
“Masuk,” perintahnya, mendorong tubuh Hye-Na ke dalam kursi
penumpang, kemudian membanting pintu keras-keras.
Pria itu mengemudikan mobilnya sampai kecepatan 200 km/jam, tidak
memedulikan bunyi klakson kendaraan lain yang memprotes
kelakuannya. Bahkan dengan beraninya dia memotong beberapa mobil
lain dengan jarak yang sangat sempit sehingga dia harus melakukan
tukikan-tukikan tajam yang membuat ban mobil berdecit keras.
Dia membelokkan mobilnya, menuju jalanan pegunungan yang sepi dan
berkelok-kelok. Hye-Na mengenal tempat ini. Tempat yang berujung
pada sebuah rumah. Tempat terakhir kali mereka bertemu. Tempat
Hye-Na meninggalkan pria itu.
Kyuhyun menghentikan mobilnya sembarangan di depan teras, dengan
cepat mematikan mesin, turun dari mobil, dan mulai menyeret-nyeret
Hye-Na lagi masuk ke dalam rumah.
“Dengar, kau tidak berhak memperlakukan seperti ini! Aku
meninggalkanmu jadi kita sudah berpisah, oke?”
Kyuhyun berbalik begitu cepat, membuat gadis itu langsung terdiam.
Syok. Dia menatap Hye-Na dengan tajam selama beberapa saat,
kemudian tanpa berkata apa-apa dia menarik tangan gadis itu lagi,
baru berhenti saat mereka sudah masuk ke kamar yang dulu mereka
gunakan di lantai dua.
Dia mendorong tubuh Hye-Na sampai terduduk ke atas sofa, menarik
kursi kecil untuk dirinya sendiri kemudian duduk di hadapan gadis itu.
“Sekarang jelaskan,” perintahnya galak.
“Apa?”
“Kenapa kau meninggalkanku,” teriaknya tak sabar.
“Bukankah perjanjian awal seperti itu? Aku menikah denganmu hanya
untuk mempermudah tugasku saja. Dan sekarang pembunuh ayahmu
sudah tertangkap, jadi tugasku selesai. Kau bilang aku boleh pergi
kapanpun aku mau. Kita kembali seperti semula. Tidak ada hubungan
apa-apa.”
Kyuhyun bangkit, menendang kursi yang didudukinya tadi ke sudut
dan menarik tubuh gadis yang sedang mempermainkan emosinya itu
sampai berdiri, mencekal lengannya erat.
“Tidak ada hubungan apa-apa kau bilang? Aku sudah bilang bahwa aku
mencintaimu, aku menginginkanmu, dan menurutmu itu tidak berarti
apa-apa? Sialan kau!” bentaknya marah, kemudian mengacak-acak
rambutnya gusar, menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan
dirinya sendiri.
“Ada sesuatu, kan? Ada sesuatu yang membuatmu pergi tanpa
memberitahu apa-apa padaku. Kenapa kau tidak memberitahuku saja
agar aku bisa menyelesaikannya untukmu?” ujar Kyuhyun dengan nada
rendah setelah berhasil mengontrol emosinya yang meledak-ledak.
Hye-Na menggeleng, memanfaatkan kelengahan pria itu untuk
melepaskan diri. Dia nyaris berhasil mencapai pintu saat pria itu
dengan cepat menyudutkannya ke dinding, memerangkap tubuhnya.
“Maaf, kali ini kau pikir aku bodoh dengan melepaskanmu begitu
saja?” sergah Kyuhyun tajam, menarik kepala gadis itu sampai
mendongak, menurunkan wajahnya, dan mencium bibir gadis itu kuat-
kuat, menumpahkan semua amarahnya dengan kasar.
Tubuh Hye-Na sedikit terangkat saat Kyuhyun semakin
menyudutkannya, menggunakan tangannya untuk menarik pinggang
gadis itu lebih dekat, sehingga gadis itu sama sekali tidak
mendapatkan kesempatan untuk mendorong tubuhnya menjauh.
Hye-Na merasakan seluruh protes yang akan dikeluarkannya tertahan
di kerongkongan saat lidah pria itu melesak masuk dan membungkam
mulutnya, hampir-hampir membuatnya tidak bsia bergerak untuk
sekedar menarik nafas.
Tapi sesaat kemudian semuanya berubah. Cengkeraman Kyuhyun mulai
mengendur. Dia memegangi wajah Hye-Na, memperlembut lumatannya
di bibir gadis iti, dan sedikit memundurkan tubuhnya agar gadis itu
tidak merasa sesak. Reaksinya yang begitu tiba-tiba seperti itu
membuat Hye-Na tanpa sadar berjinjit, merespon ciuman pria itu.
Dia bisa merasakan gaunnya lolos melewati pinggang, teronggok di
lantai. Dan dia hanya bisa menelan umpatannya dalam hati, mencaci-
maki dirinya sendiri karena begitu mudah mengalah pada sentuhan
pria itu. Kelemahannya.
***
Jin-Ah’s Home, Seoul, South Korea
04.00 PM KST

“Aish, kenapa kau tidak memberitahuku bahwa kau sakit?” dumel


Yesung sambil meletakkan makanan yang dibawanya ke atas meja.
Jin-Ah menjawab dengan gumaman tidak jelas sambil berguling di
atas tempat tidurnya, membenamkan wajahnya ke bantal.
“Coba aku lihat,” ujar Yesung, duduk di atas ranjang gadis itu dan
memaksa gadis itu berbalik menatapnya. Dia langsung ke rumah gadis
itu tadi saking cemasnya karena gadis itu tidak masuk kerja tanpa
kabar apa-apa.
“Aku hanya demam saja, oppa. Sepertinya aku kelelahan. Kau kan tahu
bahwa tekanan darahku rendah,” jawba gadis itu dengan suara serak,
tetap dalam posisi awalnya.
“Kau sudah minum obat?”
Jin-Ah mengangguk, membuat Yesung mendecak kesal.
“Kenapa kau tidak mau menatapku?” protes pria itu.
“Aku belum mandi dari kemarin dan tampangku kacau sekali.
Menjauhlah dariku!” rengek gadis itu dengan suara teredam, semakin
membenamkan wajahnya ke dalam bantal.
Yesung terkekeh geli, kemudian menarik gadis itu bangkit sampai
terduduk di atas kasur. Dia mengerutkan keningnya saat melihat
wajah gadis itu.
“Kau yakin ini wajah terjelek yang bisa kau perlihatkan padaku?”
Jin-Ah menggembungkan pipinya dan dengan cepat langsung menutupi
wajahnya yang diyakininya sangat amburadul itu dengan kedua tangan.
“Gwaenchana. Toh kau mau sejelek apa aku juga sama sekali tidak
keberatan,” kata Yesung enteng sambil menyandarkan punggungnya
ke sandaran tempat tidur, mengulurkan tangannya untuk memainkan
rambut gadis itu.
Jin-Ah mendongakkan wajahnya, menatap pria itu bingung.
“Kau juga sedang sakit? Biasanya kau tidak akan pernah berkata
semanis itu.”
Yesung mengangkat bahunya, mengucapkan perintah suara untuk
menghidupkan TV, kemudian mulai sibuk mengotak-atik channel
dengan remote di tangannya.
“Eomma menyuruhku menikah,” ujar pria itu tiba-tiba dengan mata
yang tertuju ke layar yang memperlihatkan gambar yang terus
berganti-ganti tidak fokus karena Yesung terus memencet remote
tanpa sadar.
“Lalu?”
“Ayo menikah,” ajak pria itu dengan nada seperti sedang menyuruh
Jin-Ah mengambilkan cairan kimia yang dibutuhkannya.
“YAK!” teriak gadis itu marah. “Kau mengajakku menikah dengan cara
seperti itu? Dan sejak kapan kita pacaran sampai kau dengan
seenaknya mengajakku menikah?”
“Aku menganggap kita pacaran. Lagipula aku sudah terlalu tua untuk
memikirkan hubungan seperti itu. Jadi kita menikah saja, eo?”
“Kim Jong-Woon!!!” ujar gadis itu geram sambil menggertakkan
giginya.
Yesung mengabaikan gadis itu dan merogoh saku celananya, kemudian
mengulurkan telapak tangannya tepat ke depan wajah Jin-Ah,
memperlihatkan sebuah cincin emas putih yang sudah dibelinya sejak
beberapa hari yang lalu.
“Aku juga sudah membelikanmu cincin. Eotte?” tanyanya dengan
tampang polos tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Astaga!” sergah Jin-Ah putus asa, kehilangan semua kosakata yang
dimilikinya. “Kau melamarku di kamarku, saat aku sedang sakit, belum
mandi seharian, tampang tidak karuan, dengan cara yang sama sekali
tidak romantis, dan dengan tiba-tiba menyodorkan cincin ke depan
wajahku?!”
“Ada yang salah?”
“AAAAARGH!!!!” jerit Jin-Ah sambil mengacak-acak rambutnya
sampai berantakan. “Ini benar-benar gayamu, kan?” geramnya kesal.
“Apa aku harus mendapatkan suami sepertimu? Menurutmu apa aku
akan menderita seumur hidup? Pasti begitu. Aigoo aigoo,” dumel Jin-
Ah sambil memegangi kepalanya yang mendadak terasa pusing.
“Jadi kau mau?” tanya Yesung senang. Dia menyodorkan cincin itu ke
tangan Jin-Ah yang hanya bisa menatapnya tak percaya.
“Kau tidak mau mengambil cincinmu?” tanya pria itu polos, membuat
Jin-Ah hanya bisa meningkatkan taraf kesabarannya. Gadis itu
merebut cincin tersebut dari tangan Yesung, menarik selimut sampai
menutupi seluruh tubuhnya, dan berbaring membelakangi pria itu.
“Aku mau istirahat!” cetusnya, tidak tahu harus merasa senang atau
malah meratapi nasibnya karena mencintai pria aneh seperti itu.
Hmmmmfh, tapi setidaknya pria itu akhirnya melamarnya juga. Itu
lebih baik daripada dia selalu mengharap tanpa kepastian yang jelas.
“Hei, coba kau lihat itu!” seru Yesung tiba-tiba sambil mengguncang-
guncang tubuh Jin-Ah.
“Apa lagi?” sahut gadis itu malas.
“Kyuhyun dan Hye-Na sepertinya bertengkar di depan umum di acara
pernikahan Siwon semalam.”
“Bukankah dia hamil?”
“Aku salah atau gadis itu memang tidak memberitahu suaminya
tentang kehamilannya? Aish, seharusnya aku bisa menebak ini dari
awal,” gerutu pria itu.
“Telepon Kyuhyun sajangnim saja. Mungkin kau bisa… sedikit
membantu?”
***
Kyuhyun’s Home, Dublin, Ireland
08.00 AM (Ireland’s Time)

Hye-Na menggeliat, sesaat merasa nyaman. Terlalu nyaman sampai


dia merasakan ada yang aneh. Setengah sadar dia membuka mata,
mengerjap-ngerjap saat merasakan cahaya matahari menusuk retina
matanya.
Dia merasa bingung saat melihat wajah Kyuhyun di hadapannya, masih
belum sadar saat mendapati bahwa tubuhnya berada dalam pelukan
pria itu. Gadis itu memutar otaknya, berusaha mencari tahu apa yang
sedang terjadi.
Perlahan dia membulatkan matanya, teringat kejadian semalam.
“Astaga!” teriaknya syok, refleks melepaskan diri dari pelukan
Kyuhyun yang menatapnya tenang, nyaris tanpa ekspresi, kecuali
sedetik kemudian saat dia tersenyum melihat selimut Hye-Na yang
tersingkap sebagian. Gadis itu menyadari arah tatapannya, dengan
cepat menarik selimutnya lagi ke atas.
“Apa yang sudah kau lakukan?” jeritnya panik.
“Apa yang sudah kita lakukan,” koreksi Kyuhyun santai. “Tidur. Tidak
usah sepanik itu. Ini bukan pertama kalinya, kan?”
Hye-Na baru akan membuka mulutnya untuk mendebat Kyuhyun
saat communicator pria itu tiba-tiba berbunyi, menandakan ada
panggilan masuk.
“Yeoboseyo,” ujar Kyuhyun sambil terus menatap Hye-Na. Dia
terdiam begitu lama, mendengar penjelasan si penelepon.
“Gomaweo, hyung.” Hanya itu responnya, tapi caranya menatap gadis
itu langsung berubah. Murka?
Pria itu melempar communicator-nya begitu saja ke atas meja rias
dan menatap Hye-Na dingin.
“Pakai bajumu. Kita harus bicara.”
***
“Bagaimana mungkin kau tidak memberitahuku tentang hal sepenting
ini? Astaga Na~ya, dia itu anakku! Dan kalau kau belum lupa, kau
masih berstatus sebagai istriku, jadi aku berhak atas kalian berdua.
Dengar, mulai sekarang, aku akan melakukan semuanya dengan caraku.
Dan kau… kau tidak boleh kemana-mana tanpa izinku. Kau mengerti?”
Hye-Na mundur dengan kasar sampai punggungnya membentur
sandaran kursi, menatap pria itu dengan pandangan tidak suka.
“Kau pikir kau siapa sampai mengatur-ngatur hidupku seperti itu?”
teriaknya marah.
Kyuhyun berdiri, membentangkan tangannya di atas meja, dan
mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu.
“Suamimu,” ucapnya tajam. “Dan itu memberiku hak penuh untuk
melakukan apa saja padamu.”
***
Akríveia Launching, Seoul, South Korea
01.00 PM KST

“Maaf, aku terlambat.”


Zhoumi berbalik dan menghembuskan nafas lega.
“Aku pikir kau tidak datang,” ujarnya sambil menatap Kyuhyun.
Matanya tertuju pada lengan pria itu yang melingkar di pinggang Hye-
Na dengan begitu posesif.
“Kalian sudah berbaikan?” tanyanya ingin tahu, sedikit merasa sangsi
karena raut kesal di wajah Hye-Na.
“Aku memaksanya,” jawab Kyuhyun santai tanpa memedulikan usaha
gadis itu untuk melepaskan diri darinya.
“Ah, sayang sekali. Para wartawan pasti sangat kecewa karena
kehilangan bahan berita. Liputan tentang kalian di pernikahan Siwon
waktu itu benar-benar menggemparkan. Aku sampai bosan melihat
wajah kalian berdua terpampang dimana-mana,” ejek Zhoumi. “Dan
aku mohon, jangan merusak acara perilisan penemuan terbaruku,
oke?”
“Tenang saja. Lagipula, kau akan membuat publisitas yang bagus kan
siang ini?”
Zhoumi tertawa dan mengangguk. “Aku harap aku tidak akan
mengacaukannya. Ah, dan terima kasih atas izinmu.”
Kyuhyun mengangguk dan memberi tanda agar Zhoumi segera
membuka acara peluncuran serum terbarunya, Akríveia, serum
kejujuran.
“Kau tidak akan melepaskanku?” gerutu Hye-Na setelah Zhoumi
menghilang dari pandangan mereka.
“Tidak.”
“Aku tidak akan pergi kemana-mana, jadi berhentilah bersikap
kekanak-kanakan seperti ini!”
“Apa hamil membuat emosimu meledak-ledak seperti ini?” komentar
Kyuhyun, tidak memedulikan ucapan gadis itu.
“Tidak ada hubungannya dengan itu! Lebih baik kau lepaskan aku
sekarang! Kau pikir apa yang sedang kau lakukan? Memberi tontonan
menarik pada semua orang dengan menggandeng istrimu kemana-
mana?”
Kyuhyun menghela nafas kemudian menunduk menatap gadis itu.
“Diamlah, Na~ya. Atau aku harus menciummu untuk membuatmu tutup
mulut?”
***
Zhoumi menyelesaikan penjelasannya tentang serumnya itu, menerima
beberapa pertanyaan dari wartawan dan tamu-tamu penting yang
hadir, mulai merasa grogi saat dia menyadari bahwa dia harus
melakukan rencana yang sudah disusunnya sekarang.
“Hari ini aku meminta izin untuk melakukan sesuatu di depan kalian
semua. Aku ingin melamar seorang gadis yang baru kukenal beberapa
minggu. Pertemuan pertama kami tidak berjalan dengan baik dan aku
tidak akan bisa menjawab kenapa aku jatuh cinta padanya. Hanya
saja, karena tidak ada alasan apapun untuk tidak jatuh cinta padanya,
jadi aku tidak mempermasalahkan hal itu lagi.”
“Aku ingin menikah dan dia akan selalu menjadi pilihan pertama dan
pilihanku satu-satunya. Tapi dia bilang dia tidak mau menikah
denganku kalau aku tidak melamarnya secara romantis, jadi aku
melakukan ini.” Terdengar tawa dari para undangan, membuat Zhoumi
merasa lebih nyaman dan melupakan kegugupannya.
“Kwon Yu-Na ssi, aku sudah menyuruhmu untuk menonton siaran
langsung peluncuran penemuan baruku hari ini, jadi kau pasti melihat
apa yang aku lakukan sekarang, kan? Apa ini sudah cukup romantis
untuk membuatmu mengangguk dan menyetujui lamaranku? Karena
kalau belum, aku pasti akan mencari cara lain dan melakukannya lagi
dan lagi sampai kau setuju untuk menikah denganku. Dan… aku bisa
menjamin bahwa kau tidak akan menyesal jika menyentujuinya. Jadi…
ayo kita menikah.”
***
Zhoumi bersandar di dinding, dengan communicator yang menempel di
telinganya. Dia menunggu dengan detak jantung yang bertalu-talu
sampai teleponnya diangkat oleh gadis itu.
“Hai… kau… menontonnya?” tanya pria itu gugup saat Yu-Na akhirnya
mengangkat teleponnya.
“Ne.”
“Kau….”
“Jinjja choa.”
“Kau menyukainya? Baguslah. Jadi?”
“Baiklah. Kita menikah.”
Zhoumi menahan tawanya, berharap tidak ada orang lewat yang
melihat keadaan nyaris gilanya saat ini.
“Kau pasti senang sekali, kan?” ujar Yu-Na dengan nada mengejek.
“Aku bersyukur kau tidak ada disini dan melihat tampangku.”
Yu-Na tertawa kemudian berdehem sesaat. “Saranghae, oppa.”
“Ne?” tanya Zhoumi kaget, merasa ada yang salah dengan saluran
pendengarannya.
“Jangan pikir aku akan terjebak dan mengulanginya lagi. Kau pasti
mendengar apa yang aku katakan!”
Zhoumi terdiam selama beberapa saat, menegakkan tubuhnya, dan
mencoba meredakan rasa senang yang meluap seperti air bah sampai
membuatnya nyaris tersedak. Dia mengeratkan genggaman tangannya
pada communicator-nya yang untuk sedetik terasa tidak mantap,
berusaha keras menemukan konsentrasinya yang mendadak buyar
begitu saja.
“Nado,” balasnya dengan suara lambat. “Nado saranghae, Yu-Na~ya.”
***
STA Building, Seoul, South Korea
10.00 AM

“IDS. Masih dalam percobaan, tapi aku yakin bisa menyelesaikannya


dalam beberapa hari ke depan,” ujar Leeteuk, memulai presentasinya.
Dia memperlihatkan sebuah pistol jenis terbaru di dalam
genggamannya. “Kelebihan senjata ini adalah… jika kau menekan
tombol ini, senjata ini akan menghilang. Tidak terlihat.” Leeteuk
menekan tombol di bagian gagang pistol tersebut, dan sedetik
kemudian senjata itu lenyap begitu saja. Hanya saja tangan Leeteuk
masih tetap dalam posisi seperti sedang memegang pistol. Seolah
wujudnya saja yang menghilang, sedangkan pistol itu masih tetap ada
dan bisa disentuh. “Kalau kau ingin menggunakannya, tinggal pakai
perintah suara saja. Sebut IDS dan…” Pistol di tangan Leeteuk
kembali terlihat. “pistolnya akan muncul lagi.”
“Senjata ini memakai sensor suara dan sidik jari si pengguna. Jadi
hanya bisa digunakan oleh orang yang suara dan sidik jarinya sudah
terekam di dalam chip pistol ini. Aku masih berusaha
menyempurnakannya saat ini dan aku yakin ini akan sangat berguna
jika kita masuk ke dalam lokasi musuh. Mereka tidak akan bisa
mendeteksi apakah kita membawa senjata atau tidak karena pistol ini
hanya dapat disentuh oleh pemakainya. Dan saat mereka lengah, kita
bisa menghabisi mereka satu per satu,” ujar Leeteuk mengakhiri
penjelasannya.
Semua agen yang menghadiri rapat tersebut bertepuk tangan setelah
presentasi menakjubkan tersebut.
“Kira-kira kapan kami akan mendapatkannya, hyung?” seru Soo-Hyun
semangat dari tempat duduknya.
“Minggu depan paling lama.”
“Dan aku harus menjadi orang pertama yang mencobanya!”
“Tentu saja orang pertama yang akan memilikinya adalah Tuan dan
Nyonya Cho,” tandas Leeteuk sambil mengarahkan pandangannya
kepada dua orang yang sedang duduk di sudut, membuat Soo-Hyun
langsung memasang raut wajah kesal.
“Oke, rapat ditutup,” putus Leeteuk yang diikuti oleh gerakan semua
agen yang merapikan barang-barang mereka kemudian berlalu keluar
dari ruangan.
“Kau akan kembali ke kantor dan aku akan terlepas dari
pengawasanmu,” ucap Hye-Na puas saat akhirnya dia bisa terbebas
dari tatapan penuh curiga dari pria di sampingnya itu.
Kyuhyun mengulurkan tangannya untuk mencekal lengan gadis itu,
menahannya tetap duduk di tempat.
“Bisakah kau dengarkan aku sebentar?” pintanya dengan nada suara
yang terdengar lemah, membuat Hye-Na menoleh bingung dan
menatapnya penasaran.
“Usahakan jangan keluar dari gedung jika itu tidak terlalu penting.
Dan kalaupun kau keluar, kau harus memberitahu seseorang tentang
keberadaanmu. Aku atau Leeteuk hyung. Terserah kau. Dan jangan
percayai siapapun di tempat ini, kau tidak akan tahu siapa yang bisa
menusukmu dari belakang.”
“Aku akan menjemputmu nanti dan jangan pergi kemana-mana
sebelum aku datang. Kalaupun kau mendapat surat ancaman lagi,
abaikan saja dan jangan berpikir untuk melarikan diri lagi dariku. Kau
mengerti?”
Hye-Na mengerjap saat Kyuhyun selesai berbicara. Raut wajah pria
itu begitu serius, seolah dia bisa mati sewaktu-waktu jika gadis itu
melanggar perintahnya.
“Jaga dirimu untukku, oke?” ujarnya lirih sambil bangkit dari
kursinya, mengulurkan tangannya untuk membantu gadis itu berdiri.
Kyuhyun menunduk menatap tangan mereka yang saling bertautan
untuk beberapa saat, sebelum dia menarik gadis itu ke dalam
dekapannya, membenamkan wajahnya di relung leher gadis itu, dan
menarik nafas nyaman.
“Aku tahu kau sangat membenciku saat ini. Hanya saja… aku ingin
memastikan keselamatanmu. Aku sadar bahwa kelakuanku sekarang
terasa sangat egois, tapi… tidak bolehkah aku bersikap egois jika itu
merupakan sesuatu yang bersangkutan denganmu?”
***
STA Building, Seoul, South Korea
01.00 PM

Hye-Na terlonjak kaget dari lamunannya saat


mendengar communicator-nya bergetar keras. Gadis itu melempar
pena yang dari tadi terus menerus dimainkannya kemudian
mengangkat benda itu.
“Yeoboseyo?”
“Nyonya Cho… kau melanggar perintahku.”
Hye-Na menegakkan tubuhnya saat mendengar suara asing itu. Gadis
itu tahu dengan jelas bahwa yang meneleponnya adalah si pembunuh,
otak dari semua kejahatan yang sudah terjadi.
“Aku sudah menuruti perintahmu untuk pergi.”
“Tapi buktinya sekarang kau kembali, kan? Kau tahu hukumannya
kalau melanggar perintahku? Nyawa orang yang kau kenal, Cho Hye-
Na ssi.”
“Apa maksudmu?” sergah Hye-Na cemas.
“Kau mau menyelamatkannya? Kau mau berhadapan langsung
denganku?”
“Siapa yang kau culik?”
“Kau tahu peraturan permainannya? Datang dan selamatkan. Sendiri.
Lalu kau dan aku… bisa menyelesaikan semuanya. Hanya ada satu
pemenang, Nyonya Cho. Hanya akan ada satu pemenang.”
“Siapa yang kau culik?!” ulang Hye-Na, kali ini nyaris berteriak.
“Kim Ji-Hwan.”
***
“Bagaimana mungkin kalian semua bisa sebodoh itu?!” teriak Leeteuk
marah. “Bagaimana mungkin penjahat dengan pengawasan paling ketat
disini bisa kabur di bawah pengawasan kalian? Kalian bodoh atau
tolol?! Sial!”
Pria itu menendang kursi terdekat yang bisa dijangkaunya. Dadanya
naik turun menahan emosi.
Baru saja dia mendapat laporan bahwa Cho Tae-Hwa, paman Kyuhyun,
tahanan mereka yang paling berbahaya, lolos begitu saja. Padahal
keamanan di bagian ini merupakan yang terbaik. Hanya sipir saja yang
bisa masuk. Itupun menggunakan pemeriksaan retina mata dan sidik
jari.
“Sekarang mana sipir yang bertugas mengawas pada jam ini?”
“Dia ditemukan tewas tertembak di dekat sel, Tuan.”
“Bagian CCTV?”
“Dia juga tewas. Dan semua rekaman CCTV dari 10 menit sampai 2
jam yang lalu hilang.”
Leeteuk mengacak-acak rambutnya gusar. Bagaimana caranya dia
akan melaporkan ini pada Kyuhyun? Pria itu pasti akan….
“Aku bisa melacaknya,” ujar Eun-Kyo yang tiba-tiba melangkah
memasuki ruangan dengan sebuah laptop di tangannya.
Leeteuk berusaha mengontrol dirinya saat melihat gadis itu. Ini
pertama kalinya mereka bertemu sejak kejadian malam itu dan saat
ini, gadis itu berdiri di depannya, menatapnya dengan pandangan
datar tanpa ekspresi.
“Kami diperintahkan untuk memasukkan alat pelacak ke dalam saluran
pencernaannya melalui makanan, untuk berjaga-jaga apakah dia
memiliki alat komunikasi tersembunyi dengan orang lain, karena kami
merasa bahwa masih ada orang lain di balik ini semua. Aku rasa jika
kami mengeceknya sekarang, kami bisa melacak dimana dia berada.”
Leeteuk mengangguk. Masing-masing departemen memang menjaga
kerahasiaan mereka masing-masing, sehingga meskipun beberapa
departemen saling bekerja sama, tidak akan ada yang tahu apa yang
sedang dilakukan departemen lainnya.
Pintu terbuka lagi, kali ini Soo-Hyun yang berlari masuk dengan wajah
panik.
“Aku tidak tahu hyung, tapi… aku rasa Hye-Na baru saja menghilang,”
ucapnya terengah-engah.
Brengsek, kesalahan apa yang sudah diperbuatnya sampai-sampai dia
harus mendapat kesialan bertubi-tubi seperti ini?
***
“Apa kau yakin itu tempat yang ditujunya? Kau mempertaruhkan
nyawanya disini, hyung! Bagaimana kalau dia pergi ke tempat lain?
Bagaimana kalau….”
“Kyu,” potong Leeteuk putus asa. “Aku tahu bahwa kita sedang
membicarakan nyawa istrimu, tapi ini satu-satunya pilihan yang kita
punya. Kita harus mengikuti pamanmu dan… mungkin saja kita akan
menemukan Hye-Na disana. Secepatnya.”
“Mungkin,” dengus Kyuhyun sambil menginjak gasnya dalam-dalam. Dia
tidak memperhatikan spidometer lagi saat kecepatannya melampaui
270 km/jam dan membuat beberapa keributan lalu lintas. “Aku benci
kata mungkin.”
“Kau benar-benar harus berusaha sendiri saat ini. Alat pelacak di
tubuh Tae-Hwa hanya bisa dilacak menggunakan komputer
perusahaan, jadi aku tidak bisa langsung bergerak kesana untuk
membantu Hye-Na. Kesempatan satu-satunya hanya kau. Sampai kami
datang, usahakan kau bisa meng-handle semuanya. Oke?”
“Kyu, ini aku Soo-Hyun. Aku rasa… kita sudah mendapatkan
pelakunya.” Suara Leeteuk digantikan oleh suara Soo-Hyun, dengan
latar belakang suara ketikan keyboard komputer yang begitu cepat.
“Apa maksudmu?”
“Kesalahan kita semua karena tidak mau repot-repot mencari data
tentang pamanmu karena kita merasa sudah mengenalnya. Hanya saja
aku baru melakukan pemeriksaan dan ada beberapa data tersegel.
Aku membutuhkan waktu lama untuk membukanya, tapi aku baru saja
berhasil. Dan kau tahu? Rahasianya begitu menakjubkan sampai kita
tidak menyadarinya sama sekali selama ini. Dan mungkin saja,
ayahmulah yang harus disalahkan atas ini semua karena tidak
mengungkap kebenarannya.”

***
A Shack, Suburban of Seoul, South Korea
03.00 PM

“Mudah sekali ternyata untuk menyeretmu kesini, Han Hye-Na. Atau


harus kupanggil… Cho Hye-Na?”
Hye-Na membelalakkan matanya saat melihat bahwa Tae-Hwa-lah
yang menyambut kedatangannya. Pria itu masih memakai baju tahanan
dan wajahnya dipenuhi bekas luka yang belum sepenuhnya mengering.
Dan dia dikelilingi oleh belasan pria berbadan besar yang sepertinya
siap menerima perintah kapan saja.
“Bagaimana kau bisa ada disini?”
Pria separuh baya itu tersenyum dan menepukkan tangannya.
“Tentu saja dengan bantuan saudara laki-lakiku.”
“Saudara laki-lakimu? Ayah Kyuhyun sudah meninggal.”
“Oh, bukan itu maksudku. Saudara laki-laki kandungku. Hyung!”
Hye-Na mundur karena kaget ketika Ji-Hwan muncul dari balik
ruangan gelap tanpa pintu yang terletak di sudut, dengan seringai keji
di bibirnya.
“Ajjushi?” sergahnya tak percaya.
“Nona… kau datang! Mau menyelamatkanku? Aku tersanjung sekali,”
ujarnya sambil tertawa keras dengan nada mengejek.
“Ajjushi… kau… kalian….”
“Kalian saja yang tolol sampai tidak pernah memeriksa data
pribadiku,” cemooh Tae-Hwa sambil menjentikkan jarinya.
Beberapa pria itu bergerak dan menarik Hye-Na ke salah satu kursi
yang tersedia. Dua orang dari mereka memegangi bahu gadis itu
untuk memastikan bahwa gadis itu tidak akan kabur kemana-mana.
“Ayah tiriku mengadopsiku saat Hyun-Ki berumur 1 tahun, jadi tentu
saja dia tidak sadar bahwa aku adalah adik tirinya. Aku dibuang oleh
ibuku di depan pintu pagar kediaman Cho karena dia mengalami
kesulitan uang, dan mau tidak mau mereka mengadopsiku sebagai
anak, memperlakukanku seperti anak kandung mereka sendiri. Hyun-
Ki akhirnya mengetahui bahwa aku bukan adik kandungnya saat dia
berumur 17 tahun, cukup pintar untuk menemukan fakta bahwa ibunya
tidak mungkin bisa melahirkan lagi karena rahimnya sudah diangkat
akibat komplikasi setelah melahirkan Hyun-Ki.”
“Kakak kandungku, Ji-Hwan, ternyata mencariku, karena menjelang
kematiannya, ibu kandungku memberitahu Ji-Hwan hyung bahwa dia
memliliki seorang adik laki-laki dan memberinya alamat rumah orang
tua tiriku. Kami bertemu dan dia diangkat menjadi orang
kepercayaan. Dimulai dari ayah tiriku, Hyun-Ki, kemudian Kyuhyun.
Dan Hyun-Ki, selalu menjadi kesayangan, memiliki jiwa malaikat dan
selalu menganggapku sebagai adik kandungnya sendiri. Tidak pernah
memberitahu orang lain, bahkan istri dan anaknya sekalipun bahwa
aku adalah anak adopsi. Bahkan tidak saat dia tahu bahwa
kemungkinan besar aku dan Ji-Hwan-lah yang telah membunuh
ayahnya. Membuatnya terlihat seperti… sebuah serangan jantung
dadakan dan tidak bisa diselamatkan.” Tae-Hwa tertawa sambil
menggelengkan kepalanya.
“Bodoh, kau tahu? Bodoh sekali. Ji-Hwan hyung-lah yang
merencanakan semuanya. Aku tidak pernah bisa mendekati Kyuhyun
karena sepertinya dia membenciku. Dan saat itulah Ji-Hwan hyung
berperan besar. Dia mengabdikan diri pada keluarga, mengukuhkan
diri sebagai orang kepercayaan, ornag yang mengetahui segala
sesuatu di kantor, rumah, bahkan isi otak suamimu. Ji-Hwan hyung
yang merencanakan dan mengatur semuanya.”
“Sayangnya kau datang dan hampir merusak rencana kami! Kami tidak
terlalu buru-buru, kami masih bisa menunggu beberapa bulan sebelum
melenyapkan anggota keluarga Cho yang tersisa dan mengambil alih
semua kekayaan. Yang paling sulit tentu saja suamimu. Dia terlalu
pintar dan terlalu berbahaya.”
“Tapi kedatanganmu ada gunanya juga. Kau membuatnya lemah, lebih
mudah ditaklukkan. Semua fokusnya tersedot padamu, berusaha
melakukan apa saja untuk membuatmu aman.”
“Aku kira bom waktu itu bisa membunuhmu, tapi ternyata pegawai
STA cukup pintar,” ujar Ji-Hwan, menggantikan adiknya berbicara.
“Bagaimana bisa kau meletakkan bom tanpa terdeteksi sedikitpun?”
“Disanalah letak kebodohan Kyuhyun. Seharusnya aku menjadi orang
pertama yang dia curigai, karena akulah yang mengantarkan mobilmu
dan meletakkannya di tempat parkir. Aku memasang bom yang hanya
akan aktif saat mesin mobil dihidupkan dan akan meledak kalau kau
menginjak gas. Karena itu bom itu tidak terdeteksi oleh mesin
pemeriksa yang dipasang di gedung. Sayang sekali bahwa aku gagal
membunuhmu.”
“Seharusnya kehadiranmu tidak menjadi ancaman yang berarti. Kami
tidak terlalu berminat untuk membunuhmu. Hanya saja tiba-tiba saat
aku sedang berkunjung ke SRO, bermaksud menjemput beberapa
contoh penemuan baru, aku tanpa sengaja mendengarmu di ruangan
Yesung. Saat itu aku bermaksud baik dengan ingin menyapamu, tapi
yang kudapatkan malah lebih mengejutkan. Kau hamil. Dan itu berarti
sudah saatnya kau disingkirkan.”
“Tapi kami masih berbaik hati dengan memberikanmu pilihan. Kau
pergi tanpa memberitahu Kyuhyun tentang kehamilanmu, atau kau
tetap disini dan kami akan membunuhmu. Kehadiran seorang anak,
seorang pewaris, hanya akan mempersulit keadaan saja.”
“Aku tidak tahu bahwa Kyuhyun akan sehancur itu saat kau pergi. Dia
menjadi lemah, rentan, dan sama sekali tidak berbahaya. Kami bisa
melenyapkannya kapan saja. Mungkin dengan membuatnya terlihat
seperti… bunuh diri? Alasan yang masuk akal untuk pria yang ditinggal
pergi istrinya begitu saja. Tapi sayangnya, kau terlalu cepat kembali,
Nyonya. Kau merusak rencana kami. Jadi… sudah saatnya kami
menghabisimu.”
“Tapi kau tertangkap,” ujar Hye-Na, mengalihkan tatapannya pada
Tae-Hwa.
“Itu bagian dari rencana jenius Ji-Hwan hyung. Beri mereka seorang
tersangka, dan mereka akan mabuk dalam kemenangan, tidak tahu
bahwa bahaya sebenarnya bahkan belum menyerang.”
“Tapi kalian bahkan tidak punya hak atas harta keluarga Cho.”
“Tidak berhak? Jika semua keluarga Cho yang tersisa mati, sudah
pasti semua harta itu akan jatuh ke tanganku dan… kau belum tahu?
Dalam surat warisan Hyun-Ki dan Kyuhyun, jika dia mati, bahkan ada
cukup banyak bagian untuk Ji-Hwan. Jadi dengan tidak adanya
pewaris lain, semua warisan akan jatuh ke tangan kami berdua.”
“Begitu?”
Tatapan semua orang teralih ke arah pintu yang terbuka, dimana
Kyuhyun berdiri sambil menodongkan pistolnya tepat ke kepala Ji-
Hwan yang berdiri paling dekat dari pintu.
“Turunkan mainan di tanganmu, keponakan,” ujar Tae-Hwa tenang,
mengarahkan pistol yang entah sejak kapan berada di tangannya ke
kepala Hye-Na. “Tembak dia dan istrimu akan mati di tanganku.”
Ji-Hwan berjalan mendekat ke arah Kyuhyun dan merebut pistol di
tangan pria itu, melemparnya kepada salah satu anak buahnya yang
berdiri melingkar di sekeliling mereka, memiting lengan Kyuhyun
dalam satu gerakan cepat, kemudian menendang tulang rusuk pria itu
dengan lututnya.
“Aku yang mengajarkanmu semua tekhnik bela diri, cara menggunakan
senjata, dan menjinakkan bom. Kau pikir kau akan menang dariku?”
desis Ji-Hwan sambil melempar tubuh pria itu ke lantai dalam satu
bantingan.
Kyuhyun meludahkan darah yang mengalir di bibirnya ke lantai,
menahan erangan kesakitannya agar tidak terdengar, sesuatu yang
bisa membuat pria di depannya itu senang.
“Hajar dia!” perinta Ji-Hwan yang langsung dituruti oleh semua anak
buahnya. Mereka berdiri mengelilingi Kyuhyun yang menghitung
jumlah mereka dengan cepat. 18 orang. Suatu keberuntungan jika dia
bisa mengalahkan mereka semua.
Kyuhyun menunduk dengan cepat saat orang-orang itu mulai bergerak,
mengangkat kakinya untuk menendang beberapa orang di dekatnya
yang langsung terjatuh ke lantai. Dia menarik salah seorang dari
mereka dan memiting lengan orang tersebut sebelum meraih
kepalanya dan memutarnya, sehingga menimbulkan suara derak yang
mengerikan.
Untuk sesaat dia bisa mengendalikan keadaan sampai akhirnya dia
mendengar teriakan yang membuat bulu kuduknya meremang dan
tubuhnya kaku seketika.
Dia menatap ngeri saat Ji-Hwan menarik Hye-Na sampai berdiri,
menjambak rambut gadis tersebut, dan dengan mudah membanting
tubuhnya ke lemari besi di sudut ruangan, menimbulkan suara
dentuman keras saat kepala gadis itu menghantam dinding.
Hye-Na memegangi kepalanya yang terasa pecah dan berdenyut
menyakitkan, mengangkat tangannya ke depan wajah, dan mendapati
bahwa telapak tangannya tersebut sudah dipenuhi darah yang keluar
dari luka di kepalanya. Gadis itu meringis, berusaha untuk duduk, dan
Ji-Hwan membantunya. Menjambak rambutnya lagi yang kali ini
menimbulkan rasa sakit yang lebih mengerikan daripada sebelumnya.
“Berhenti melawan atau….” Ji-Hwan mengangkat kakinya dan
menginjakkannya dengan keras ke perut Hye-Na yang langsung
menjerit kesakitan. Gadis itu berusaha mengenyahkan kaki pria itu
dari perutnya, merasa asam lambungnya naik saat memikirkan bahwa
injakan itu bisa membahayakan janinnya. Tapi dia bahkan tidak punya
tenaga untuk mendorong kaki itu menjauh.
Kyuhyun diam saja saat merasakan puluhan hantaman mendera
tubuhnya. Pria itu terduduk sambil memegangi perutnya, tubuhnya
terhentak ke depan saat seseorang menendang punggungnya dengan
keras, membuatnya memuntahkan darah dari mulutnya. Puluhan
tendangan lagi sampai akhirnya dia meringkuk kesakitan di lantai
dengan tenaga yang sudah tersedot habis.
“Habisi gadis ini,” perintah Ji-Hwan, membuat Kyuhyun memaksakan
kepalanya mendongak. Untuk sedetik, dia sangat yakin bahwa
jantungnya sudah berhenti berdetak saat melihat salah seorang pria
berbadan besar itu mengangkat kursi yang tadi diduduki Hye-Na
kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi dengan satu tujuan jelas.
Menghantamkannya ke tubuh gadis itu.
Kyuhyun tidak pernah tahu kekuatan apa yang membuatnya bisa
bangkit berdiri, berlari secepat kilat ke sudut ruangan, dan
melemparkan tubuhnya ke atas tubuh gadis itu, tepat saat kursi kayu
tersebut berhasil menghantam punggungnya dengan keras.
Pria itu menarik tubuh Hye-Na sampai terlindung sepenuhnya di
bawah tubuhnya, menerima beberapa hantaman lagi di punggungnya
sedangkan dia mencengkeram rambut gadis itu, berusaha menahan
teriakan kesakitannya yang mendesak keluar. Tubuhnya sedikit
terhuyung ke depan saat pukulan terakhir mengenainya, membuat
pelukannya melonggar dan tangannya terjuntai jatuh ke lantai.
Tae-Hwa bertepuk keras dan tertawa mengejek. “Bagus sekali.
Sangat mengharukan! Apa kau pikir kalau kau mati gadis itu akan
tetap selamat? Dasar bodoh! Setelah kami menghabisi kalian berdua,
kami akan keluar dari tempat ini, mengarang cerita hebat yang masuk
akal, mungkin aku harus masuk penjara lagi selama beberapa saat,
tapi setelah itu? Aku akan menikmati seluruh kekayaanmu dan
menjadi penguasa dunia!”
“Hanya ada satu pahlawan yang keluar hidup-hidup dari tempat ini.
Hanya ada satu pahlawan,” ujar Ji-Hwan tiba-tiba sambil
mengacungkan senjatanya ke kepala Tae-Hwa, membuat pria itu
membelalak kaget.
“Hyung?”
“Hyung? Ayolah, kau sudah terlalu lama hidup senang. Kau tahu
bagaimana hidupku saat aku maish kecil? Aku harus mengais-ngais
bak sampah untuk mencari makanan, sedangkan kau? Duduk senang di
meja makan yang dipenuhi makanan mewah dan enak. Kau tahu
seberapa lama aku harus merancang ini semua agar kau tidak curiga
dan melakukan semua perintahku dengan sukarela? Bahkan
mengumpankan dirimu sendiri sebagai tersangka.”
“Ini semua rencanaku dan akulah yang akan menikmati hasilnya.
Lagipula… walaupun sepertinya ada beberapa orang yang mengetahui
rahasia bahwa kita ini kakak adik, tapi namaku masih belum
tercoreng. Kau mau mendengar cerita yang sudah kupersiapkan saat
aku keluar dari sini sendiri, hidup, dan mengalami beberapa luka? Kau
menyuruh anak buahmu menculikku, kemudian memaksaku untuk
membunuh sipir penjara dan membantumu keluar. Lalu kau menelepon
Hye-Na dan menyuruhnya kesini untuk menyelamatkanku. Itulah
makanya aku menyuruhmu yang melakukannya untuk menguatkan
alibiku. Lalu… terjadi perkelahian, Kyuhyun datang, tapi mereka
berdua mati. Aku berhasil merebut senjatamu dan membunuhmu,
meninggalkan aku sebagai satu-satunya orang yang selamat. Cerita
yang bagus kan, adik?”
“KAU!” teriak Tae-Hwa murka.
“Selamat tinggal,” ucap Ji-Hwan santai dan menarik pelatuknya,
membuat timah panas itu terlontar keluar dan masuk menembus dada
Tae-Hwa, tepat di jantungnya.
Ji-Hwan berbalik menghadap Kyuhyun dan Hye-Na tanpa rasa peduli
sedikitpun terhadap mayat adiknya yang sudah tergeletak di lantai
dengan darah berceceran. Pria itu menggoyang-goyangkan pistolnya
dan menunjuk mereka berdua.
“Jadi, yang mana yang mau mati duluan?”
***
“Tae-Hwa mati,” ujar Eun-Kyo, membuat Leeteuk menggeram marah
dan menginjak gas mobilnya lebih keras. Dia bahkan tidak
memedulikan Soo-Hyun yang memprotes di sampingnya.
“Aku akan kesana dan membawa beberapa agen tambahan bersamaku.
Kau sudah hampir sampai?”
“Sebentar lagi,” jawab Leeteuk. Dia menyerah dan memilih langsung
pergi ke tempat itu, daripada duduk gelisah di kantor mendengarkan
percakapan menjijikkan orang-orang itu lewat monitor. Hal terakhir
yang didengarnya tadi adalah teriakan kesakitan adiknya dan itu
sudah lebih dari cukup untuk membuatnya berlari keluar dan memacu
mobilnya dengan kecepatan mengerikan.
“Berhati-hatilah. Pria itu memiliki banyak anak buah dan kalian hanya
berdua. Aku tidak tahu bagaimana mungkin hanya ada 2 agen yang
tersisa di kantor!”
“Aku rasa Ji-Hwan yang melakukannya. Tinggal cari beberapa kasus
dan utus para agen kesana sehingga tidak ada lagi yang tersisa.”
Leeteuk mencengkeram kemudi dan menarik nafas berat.
“Kyo~ya… aku tahu aku sudah membuat begitu banyak kesalahan dan
mungkin juga kau menganggapku sebagai pria brengsek yang sedang
mempermainkanmu. Tapi aku benar-benar serius saat mengatakan
ingin bersamamu.”
“Setelah ini berakhir… dan… aku bisa keluar hidup-hidup….” Leeteuk
menelan ludahnya dengan susah-payah. Kemungkinan besar ada
puluhan orang di dalam sana, bersenjata dan bisa bela diri. Dengan
pikiran bahwa Kyuhyun sudah tidak bisa menolong mereka untuk
berkelahi, maka kesempatan untuk menang menjadi sangat tipis.
“Kalau aku selamat dan bisa bertemu denganmu lagi… maukah kau
menikah denganku?”
***
“Jadi, yang mana yang mau mati duluan?”
Kyuhyun terbatuk dan memuntahkan darah lagi dari mulutnya, masih
dengan posisi tubuh menutupi Hye-Na.
“Saku jasku,” bisiknya pelan sehingga hanya Hye-Na saja yang bisa
mendengarnya. Dia harus mengerahkan seluruh tenaganya yang
tersisa hanya untuk berbicara dan itu membuat nafasnya tersengal-
sengal. “IDS.”
Leeteuk memberikan senjata itu kepadanya tadi pagi. Walaupun
masih percobaan, tapi senjata itu sudah bisa digunakan dan pria itu
sudah mengatur sensornya agar bisa bereaksi pada suara dan sidik
jari Kyuhyun dan Hye-Na.
Hye-Na membulatkan matanya, tapi tidak bertanya apa-apa. Dia
meraba saku jas pria itu dengan gerakan pelan agar tidak terlihat
oleh Ji-Hwan dan anak buahnya, mendapat keuntungan karena tubuh
Kyuhyun yang menghimpit tubuhnya, menghalangi pandangan mereka
ke arahnya.
“Oh, ayolah! Apa kalian mau bernostalgia dulu sebelum mati?” tanya
Ji-Hwan sambil tertawa keras.
Hye-Na merasakan tangannya menyentuh sesuatu, kemudian dia
berbisik pelan, menyebutkan nama alat itu, mengeluarkannya dari
saku jas Kyuhyun, mengangkat tangannya ke samping tubuh pria itu,
membidik kepala Ji-Hwan, memperhitungkan ketepatannya, dan
menarik pelatuknya dengan cepat sebelum pria itu sadar dengan apa
yang terjadi.
Gadis itu masih terus menembak, tidak memedulikan tubuh Ji-Hwan
yang sudah terjatuh dan terkapar di atas lantai. Dia menembak apa
saja yang masih bisa dicapainya walaupun tubuh pria itu sudah tidak
bergerak lagi. Sampai akhirnya seseorang merebut pistol itu dari
tangannya, memaksanya berhenti.
“Sudah, Hye-Na~ya, pria itu sudah mati,” cegah Soo-Hyun yang baru
saja berlari masuk ke dalam ruangan.
“Soo-Hyun~a, bantu aku!” teriak Leeteuk dari tengah kerumunan pria
berbadan besar yang bermaksud menghajarnya.
Leeteuk mengacungkan senjatanya ke arah orang-orang itu, tahu
bahwa pelurunya tidak akan cukup untuk menghabisi mereka semua.
Dia memperhitungkan kemungkinannya dan mulai bergerak untuk
melancarkan pukulan ke salah satu dari mereka, merasakan tangannya
dipelintir dari belakang, membuatnya bisa menggunakan kesempatan
tersebut untuk mengangkat tubuhnya, melayangkan tendangan ke
wajah beberapa orang, menekuk kakinya untuk menendang perut
orang yang memeganginya, kemudian menjatuhkan diri ke depan,
melontarkan beberapa tembakan yang diharapkannya untuk tidak
meleset. Disampingnya Soo-Hyun juga berusaha menghajar beberapa
pria lain dan Leeteuk mencoba berdiri, bermaksud membantu, tapi
tiba-tiba seseorang menghantam punggungnya dari belakang,
membalik tubuhnya, kemudian mulai memukuli wajahnya dengan
kepalan tangannya yang besar.
Leeteuk menahan serangan itu sebisanya, meraba saku celananya dan
menyentuh pisau kecil yang selalu dibawanya kemana-mana. Dia
memegang pisau itu erat, sebelum mengeluarkannya dan dengan cepat
menggoreskannya ke perut pria di atasnya yang langsung berteriak
kesakitan, memuncratkan darah ke atas kemeja yang dipakainya.
Leeteuk berguling ke kanan, menyambar pistol Kyuhyun yang
tergeletak di sudut dan mulai menembakkannya ke semua anak buah
Ji-Hwan yang tersisa. Pria itu kemudian menyandarkan tubuhnya ke
dinding, terengah-engah mengambil nafas.
Dia memejamkan matanya, berpikir tentang hadiah besar yang akan
didapatkannya sekeluarnya dari tempat itu.
***
“Kau berdarah, Hye-Na~ya! Dan kau harus memeriksakan
kandunganmu. Jadi jangan mendebatku! Kau harus ikut ke rumah sakit
sekarang!” bentak Leeteuk sambil mendorong tubuh gadis itu masuk
ke ambulans yang menunggu di luar.
“Hei, Kyu akan baik-baik saja, oke?” ujar Leeteuk lagi, merendahkan
nada suaranya melihat tatapan kosong adik tirinya itu. Dia menutup
pintu dan menyuruh agar sopir mobil itu segera berangkat.
Pria itu berbalik, berjalan menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh
dari gubuk tadi. Dia tersenyum saat melihat seorang gadis yang
berdiri bersandar di pintu mobilnya, memainkan kerikil di tanah
dengan kakinya yang terbalut celana jins.
Gadis itu mendongak saat mendengar langkah kaki Leeteuk, menatap
pria itu dengan bola matanya yang besar, yang saat ini sedang
menunjukkan kekhwatiran.
“Kau berdarah,” komentarnya. Matanya tertuju pada bagian depan
kemeja Leeteuk yang berlumuran darah.
“Bukan darahku,” ucap Leeteuk singkat.
“Kau juga terluka. Seharusnya kau ikut ke rumah sakit juga.”
“Itu bisa menunggu. Ada sesuatu yang lebih penting sekarang,”
sergah Leeteuk sambil menghentikan langkahnya tepat di depan gadis
itu.
“Aku tidak punya cincin sekarang untuk melakukannya dengan benar.
Tapi aku rasa itu bisa menyusul. Kau… aku… kita… menikah saja,” ujar
Leeteuk, mengakhiri kalimat amburadulnya dengan gugup.
Eun-Kyo mengerjapkan matanya. Perlahan semburat merah muncul di
pipinya yang pucat dan mendadak dia merasa begitu salah tingkah.
Apakah dia sudah memaafkan pria di hadapannya itu? Dia bahkan
tidak pernah memikirkan kesalahan pria itu sama sekali. Dia terlalu
lemah untuk satu alasan yang tidak masuk akal. Park Jung-Soo.
“Aku….” Belum sempat gadis itu menyelesaikan ucapannya, Leeteuk
sudah menunduk dengan cepat, menarik gadis itu mendekat, dan
menyatukan bibir mereka dalam sebuah ciuman panas.
Eun-Kyo terkesiap kaget, tidak sempat menarik nafas, dan dalam
sekejap merasa oksigen di sekelilingnya tersedot habis. Leeteuk
mendorong tubuhnya sampai tersandar di pintu mobil agar gadis itu
tidak terjatuh kehilangan keseimbangan. Tapi hanya sesaat, karena di
detik berikutnya seseorang datang menginterupsi dengan suara
kesalnya.
“Apa aku harus melihat adegan ini sekarang? Tunggu aku punya pacar
dulu baru kalian diperbolehkan pamer di depanku!” sungut Soo-Hyun,
yang langsung mendapat tatapan mematikan dari Leeteuk, membuat
pria itu mengangkat tangannya meminta maaf dan pergi secepatnya
dari tempat itu.
Leeteuk mendecak kesal, kemudian membuka pintu mobil, menyuruh
Eun-Kyo masuk ke dalam sedangkan dia berjalan memutar untuk
masuk ke bangku pengemudi.
“Kita mau kemana?”
“Mencari cincin.”
“Dengan penampilan seperti itu?”
Leeteuk menunduk, melihat kemejanya yang kusut dan bernoda darah,
lagi-lagi diiringi dengan decakan kesal dari mulutnya.
“Baiklah, aku akan ganti baju dulu.”
“Tidak. Kita ke rumah sakit dulu.”
Leeteuk menatap Eun-Kyo, menimbang-nimbang sesaat sebelum
akhirnya mengangguk.
“Baiklah, terserah kau saja.”
Pria itu menjulurkan tubuhnya, menarik seatbelt, dan
melingkarkannya di tubuh gadis tersebut. Dia tidak langsung
menjauhkan tubuhnya setelah melakukan itu, tapi malah menatap
gadis itu dari jarak yang begitu dekat, memajukan wajahnya dan
mengecup pipi gadis itu cepat.
“Saranghae… Kyo.”
***
SRO Building, Seoul, South Korea
08.00 PM

“Tidak ada luka yang terlalu serius. Untung saja tidak ada luka dalam.
Tapi memang ada beberapa tulang punggung yang patah, tapi tidak
masalah. Bisa disembuhkan dalam beberapa hari. Lebam-lebam di
wajah dan tubuhnya juga akan cepat menghilang. Kau tenang saja.
Wajah suamimu akan terlihat tampan lagi,” ujar Yesung sambil
tersenyum menenangkan setelah memberi penjelasan kepada Hye-Na
yang menatapnya dengan penuh perhatian.
“Kau yakin?” tanya gadis itu sangsi. “Pukulan yang diterimanya terlalu
keras untuk tidak menimbulkan luka serius.”
“Aku tidak akan berbohong padamu, Hye-Na~ya. Lagipula, walaupun
ada luka serius sekalipun, kami pasti akan bisa menyembuhkannya.”
“Kau yakin dia tidak perlu dirawat di rumah sakit?”
“Peralatan disini bahkan lebih lengkap daripada di rumah sakit. Yang
harus kau khawatirkan itu adalah kondisi kandunganmu. Untung saja
kandunganmu cukup kuat sehingga pukulan yang kau terima tidak
menyebabkan keguguran. Tapi kau butuh istirahat yang cukup. Jadi
lebih baik kau pulang ke rumah dan kembali kesini besok pagi.”
Hye-Na menggeleng cepat, menolak usul Yesung itu mentah-mentah.
“Aku tidur disini. Eomma dan Ah-Ra onnie sebentar lagi datang,
mereka akan membawakan barang-barangku.”
“Kau keras kepala sekali,” rutuk Yesung kesal.
“Aku sudah bisa menjenguknya?”
“Mmm. Dia menanyakanmu tadi. Aku tidak habis pikir, dengan pukulan
sebanyak itu, dia sama sekali tidak jatuh koma. Memarnya
mengerikan. Memang menakjubkan kalau dia tidak mengalami luka
dalam yang membahayakan….”
Hye-Na mengabaikan gerutuan pria itu dan berjalan ke ruang sebelah
yang dipisahkan oleh tirai putih panjang. Dia menghampiri ranjang
Kyuhyun, sedikit mengernyit saat melihat luka-luka di bagian tubuh
pria itu yang tidak tertutup pakaian. Dan gadis itu juga tidak habis
pikir, dengan tubuh penuh luka seperti itu, dan hanya memakai baju
pasien yang sama sekali tidak ada bagus-bagusnya, pria itu tetap saja
terlihat mempesona. Seperti biasa.
“Hai,” sapanya sambil tersenyum lemas, menggenggam tangan pria itu
yang terulur ke arahnya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Kyuhyun dengan suara serak, memandang
gadis itu dengan intens, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.
“Hanya kepalaku saja yang harus diperban,” ujar gadis itu sambil
menunjuk kain kasa putih yang melingkari kepalanya. “Besok juga bisa
dibuka.”
“Kau melanggar perintahku, Na~ya. Aku sudah memperingatkanmu
untuk tidak pergi kemanapun tanpa memberitahu siapa-siapa. Dan kau
malah bersikap sok pahlawan dengan datang kesana sendirian.”
“Dia orang kepercayaanmu. Dan aku merasa bersalah karena dia
diculik gara-gara aku kembali ke negara ini.”
“Kalau dia bukan penjahatnya, dan dia memang diculik, aku tidak
keberatan jika dia mati asalkan kau tetap selamat,” ujar Kyuhyun
enteng, seolah nyawa siapapun tidak berarti sama sekali baginya.
“Kau!”
“Aku bersikap egois lagi. Maaf saja, tapi aku memang begitu,” tandas
pria itu santai. “Kau lupa? Aku bisa melakukan apa saja untuk
memastikan bahwa kau tetap hidup. Tidak peduli jika itu berarti
harus melenyapkan nyawa orang lain sekalipun.”
***
2 days later….

Hye-Na meletakkan tasnya ke bagasi yang terletak di atas tempat


duduknya, kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas kursi, mencari
posisi yang nyaman. Dia sedang berada di atas pesawat menuju New
York. Diam-diam. Selagi Kyuhyun masih di rumah sakit dan pria itu
belum punya kesempatan untuk mengekangnya lagi.
Gadis itu tidak menoleh sama sekali saat seseorang duduk di
sampingnya dan baru terlonjak kaget saat dia mendengar suara yang
begitu familiar di telinganya.
“Ini pertama kalinya aku naik pesawat untuk umum,” ujar Kyuhyun
sambil menatap sekelilingnya dengan penuh minat.
“Astaga, apa yang sedang kau lakukan disini?”
“Mencegahmu kabur,” jawabnya singkat.
“Aku hanya ingin mengambil beberapa barang penting di Manhattan
dan aku juga harus pamit kepada ibuku. Jadi berhentilah
mencurigaiku terus! Dan jangan bilang kalau kau kabur dari rumah
sakit!” bentaknya.
“Hari ini aku memang sudah diperbolehkan pulang,” ujar Kyuhyun
dengan tampang polos yang tidak bisa mengelabui Hye-Na sedikitpun.
“Jangan berbohong padaku!”
“Ayolah, Na~ya,” sergahnya kesal. “Kau tidak tahu seberapa
membosankannya di tempat itu? Keadaanku baik-baik saja dan aku
tidak perlu meminum obat pahit itu setiap hari. Dilarang ini dan itu
seperti tahanan penjara! Belum lagi bau tempat itu aneh. Kau sendiri
juga benci rumah sakit, kan? Jadi tutup saja mulutmu!”
Hye-Na menghembuskan nafasnya keras. Pria di depannya ini
kekanak-kanakan sekali!
“Bagaimana bisa kau mendapat kursi di sampingku?” tanya gadis itu
heran.
“Pesawatnya sudah penuh, jadi aku membelikan tiket penerbangan
selanjutnya untuk penumpang yang duduk di sampingmu lalu sedikit
memberinya penjelasan,” ujar Kyuhyun dengan tampang malas yang
bisa Hye-Na tebak dengan tepat alasannya. Sepertinya penumpang
itu adalah seorang gadis, dan pria itu menggunakan pesonanya untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya.
“Darimana kau tahu siapa yang duduk di sampingku?”
“Aku tinggal menelepon perusahaan penerbangan dan mendapat
informasi dengan mudah.”
“Itu kan rahasia.”
“Aigoo Na~ya, masa kau tidak mengerti juga? Perusahaan
penerbangan ini milikku.”
Hye-Na mendelik kemudian membanting punggungnya sampai
membentur sandaran kursi sambil mendecak kesal.
“Bagian planet mana yang bukan milikmu, hah?” gumam gadis itu,
dibalas dengan suara kekehan geli dari pria yang duduk di sebelahnya.
“Kalau kau tidak suka aku bisa menjualnya.”
“Diam kau!”
***
Zurich, Switzerland
02.00 PM

Hye-Na merapatkan mantel tebalnya saat sapuan pertama angin


musim dingin Swiss menerpanya. Temperaturnya mencapai minus 25
derajat celcius dan itu benar-benar bisa membuat siapapun mati
beku. Gadis itu bahkan tidak bisa menahan gigilannya sama sekali
walaupun dia sudah memakai dua lapis jaket tebal, syal, dan sepatu
kets.
“Aish, kenapa kau membawaku kesini, hah?” gerutunya dengan gigi
bergemeletuk sambil menatap Kyuhyun tajam. Pria itu tertawa –
benar-benar tertawa- membuat Hye-Na untuk sesaat terpana
mendengar suara yang berat dan dalam itu.
“Keren, kan?”
“Apa kau sakit jiwa?!”
Bayangkan saja, setelah ke Manhattan untuk mengambil beberapa
barangnya, pria itu menariknya ke bandara lagi dan mengajaknya
terbang ke Swiss dengan pesawat jet pribadinya yang sepertinya ada
di semua negara.
“Kau lapar? Bagaimana kalau kita makan dulu? Perjalanan dari sini ke
villa-ku cukup jauh dan kau belum makan siang.”
“Kalau aku bilang tidak memangnya kau akan mendengarkan?” cela
Hye-Na, membuat pria itu terkekeh geli, kemudian mengalungkan
lengannya ke bahu gadis itu.
“Tentu saja tidak.”
***
Petermann’s Kunststuben, Zurich, Switzerland
03.30 PM
“Kau masuk duluan, aku memarkir mobil dulu,” ujar Kyuhyun, memberi
tanda agar Hye-Na turun di depan lobi restoran. Gadis itu menurut
dan membuka pintu mobil, memastikan bahwa syalnya terpasang
dengan benar. Dia tidak mau mati membeku di luar.
Hye-Na menaiki undakan menuju restoran. Dia baru akan melangkah
masuk saat seorang penjaga pintu mencegat langkahnya. Pria paruh
baya itu menatapnya dingin dengan pandangan meremehkan.
“I’m sorry, you can’t enter the restaurant with sneakers.”
Gadis itu melongo tak percaya. Dia tahu bahwa ini adalah restoran
termahal di negara ini dan harga per porsi makanannya mencapai 600
dollar, tapi apa peraturan restoran harus serendah itu? Terlalu
menunjukkan diskriminasi?
“Ada apa?” tanya Kyuhyun yang baru saja muncul di belakangnya
dengan tatapan penasaran.
“Aku tidak boleh masuk karena memakai sepatu kets.”
“You have discrimination here? It’s just sneakers, okay?”
Hye-Na sama sekali tidak menyukai tatapan meremehkan dari
penjaga pintu itu. Sambutan yang seharusnya tidak diberikan kepada
tamu restoran, seolah-olah seorang penjaga pintu lebih bermartabat
daripada tamu restoran yang datang.
“Call your manager,” perintah Kyuhyun dengan nada tajam. “Now.”
Penjaga pintu itu mengeluarkan communicator dari dalam saku
celananya dan berbicara selama beberapa saat dengan bahasa yang
tidak dimengerti Hye-Na. Tidak sampai semenit kemudian seorang
pria lain muncul dari balik pintu, melangkah mendatangi mereka.
“Mr. Cho? Sir?” sapanya kaget melihat kedatangan Kyuhyun di
restoran itu. Sepertinya pria itu pernah melihat Kyuhyun di TV atau
media cetak.
“Call the owner and tell him that I will buy this restaurant and…
fired this man. I will pay as much as he wants.”
“Yak!” tegur Hye-Na sambil menyenggol bahu Kyuhyun. “Kau tidak
perlu melakukannya.”
“Kau diam saja. Setidaknya mereka beruntung aku membeli restoran
ini daripada aku berubah pikiran dan melakukan yang sebaliknya.”
“Apa maksudmu?”
“Aku bisa menghancurkan restoran ini dengan mudah Na~ya, kalau
aku menginginkannya.”
“Tapi itu terlalu berlebihan.”
“Tidak,” jawab Kyuhyun dingin. “Aku bukan pria baik yang akan
membiarkan istrinya dihina begitu saja.”
***
Interlaken, Lauterbrunnen, Switzerland
09.00 PM

Villa itu terbuat dari kayu dan memberi pemandangan penuh ke arah
Pegunungan Alpen yang diselimuti salju abadi sepanjang tahun. Dan
cuaca di tempat ini jauh lebih ekstrim lagi, membuat Hye-Na
setengah berlari masuk ke dalam villa, berharap temperatur di dalam
ruangan lebih hangat.
“Aish, kau benar-benar mau membunuhku!” geram gadis itu sambil
mengusap-usapkan tangannya yang sudah memerah.
Kyuhyun meletakkan dua buah koper yang dibawanya ke atas lantai
dan bergabung dengan gadis itu di depan perapian listrik. Dia memang
sudah memberitahu penjaga villa agar menghidupkan perapian
sebelum mereka tiba.
“Anggap saja kau sedang liburan dan mencoba sesuatu yang baru,”
jawab Kyuhyun cuek sambil melepaskan mantel yang dipakainya,
memperlihatkan kemeja berwarna biru laut dan singlet putih yang
dipakainya sebagai dalaman. Hye-Na menyipitkan matanya saat
melihat noda memerah di bagian punggung pria itu.
“Lukamu belum mengering?” tanya Hye-Na sambil mengangkat paksa
kemeja dan singlet pria itu ke atas. Dia langsung meringis ngeri saat
melihat lebam-lebam membiru dan luka yang tertutup perbannyang
sudah basah oleh darah.
“Kau berdarah dan kau masih bersikap seperti tidak terjadi apa-
apa?”
“Lukanya tidak sesakit itu,” ucap Kyuhyun santai sambil bangkit
berdiri.
“Dimana kotak P3K-nya?”
“Untuk apa? Sudahlah, biarkan saja.”
“Kyu!” seru gadis itu setengah membentak, membuat Kyuhyun
menoleh dan merasa frustasi saat melihat ekspresi khawatir di wajah
gadis itu. Dia menarik nafas sesaat dan mengangkat tangannya.
“Oke. Baik. Kau menang.”
***
“Aish, bagaimana mungkin kau tidak merasa sakit sama sekali?” keluh
Hye-Na sambil mengoleskan salep ke bagian luka yang terbuka itu,
berusaha memfokuskan pandangannya pada luka yang sedang
diobatinya, bukannya tubuh bagian atas pria itu yang terpampang
jelas di hadapannya. “Kenapa Yesung oppa tidak memberimu salep
yang digunakannya untuk mengobatiku waktu itu saja?”
“Salep itu masih percobaan dan belum diproduksi besar-besaran.
Yesung hyung kehabisan stok dan dia harus memesan komposisi untuk
membuatnya dulu dari Belanda.”
“Yang benar saja,” gumam gadis itu sambil melemparkan salep
tersebut ke dalam kotak dan menempelkan kain kasa di atas luka
tersebut menggunakan selotip khusus.
“Yak, mulai sekarang berhentilah bersikap sok kaya, menyebalkan,
egois, tukang perintah, dingin, seolah kau penguasa dunia saja.”
Kyuhyun berbalik, mendekatkan wajahnya, dan menatap gadis itu tak
percaya. “Aku memang memiliki separuh dunia, Na~ya. Masa kau
belum tahu juga?”
“Percuma saja bicara denganmu,” gerutu gadis itu, mendadak merasa
salah tingkah denagn kedekatan mereka.
Kyuhyun menyeringai dan meletakkan kedua tangannya di atas kasur,
tepat di kedua sisi tubuh gadis itu, memerangkapnya di tempat.
“Kau cerewet sekali, kau tahu?” gumamnya. Matanya menjelajahi
wajah gadis itu. Lama. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kalinya
dia memuaskan diri dengan menatap gadis itu saja. Ada kesenangan
tersendiri yang dirasakannya saat ini. Bahwa sekarang dia bisa
melihat wajah gadis itu sepuasnya, menggenggam tangan gadis itu
kapan saja dia mau. Bahwa tidak ada lagi yang membuatnya merasa
begitu sulit untuk mempertahankan gadis itu bersamanya. Bahwa…
hidupnya tidak pernah terasa sesempurna itu.
Pria itu memajukan tubuhnya dan memiringkan wajah, dengan
perlahan menempelkan bibirnya di atas bibir gadis itu, melumatnya
pelan. Dia melakukannya selama beberapa detik, sebelum akhirnya
menyerah dan menarik leher gadis itu ke arahnya, memantapkan
posisi bibirnya, dan mengubah ciumannya menjadi lebih panas dan
dalam.
Dia berusaha memperbaiki malam terakhir yang sudah
dihancurkannya saat dia memaksa untuk meniduri gadis itu di Dublin.
Setidaknya dia ingin melakukannya dengan cara yang benar, bukan
berdasarkan nafsu primitifnya saja.
Hye-Na berusaha menahan tangannya agar tetap berada dimana saja,
bukannya menyentuh punggung pria itu dan membuatnya kesakitan,
sedangkan dia nyaris kehilangan akal dengan gerakan pria itu di
bibirnya, tanpa sadar membalas ciuman pria itu sama ganasnya dan
membiarkan tangan pria itu menelusup masuk ke balik sweater yang
dipakainya, mendengar dengan jelas saat Kyuhyun menggeram putus
asa mendapati bahwa ada baju lain di balik sweater yang dipakai gadis
itu.
“Sial,” umpat pria itu kesal dengan kenyataan bahwa sepertinya dia
harus bekerja ganda sebelum berhasil melepaskan semua pakaian
yang membalut tubuh gadis itu.
Oke, lupakan saja kata ‘lembut’ yang digunakannya tadi. Dia memang
tidak pernah bisa bersahabat baik dengan sesuatu yang disebut
‘kesabaran’.
***
06.00 AM

Hye-Na membuka matanya, dengan hati-hati melepaskan rangkulan


pria itu di pinggangnya, turun dari tempat tidur, kemudian memungut
semua pakaiannya yang berserakan di lantai. Gadis itu memakai
semuanya dalam diam, berusaha tidak mengeluarkan suara yang bisa
membuat pria itu terjaga.
Dia mengendap ke balkon, berdiri di depan pagar, menghadap ke arah
sinar matahari yang baru saja muncul di ufuk timur. Musim dingin
baru saja datang di negara ini, jadi matahari masih bisa bersinar
cukup terang. Dan Hye-Na tidak bisa membayangkan akan seberapa
dinginnya lagi cuaca di tempat ini jika di awal musim saja
temperaturnya sudah bisa membuat orang mati beku.
“Kopi?”
Hye-Na menoleh ke samping saat melihat sebuah cangkir berisi kopi
yang terulur ke arahnya.
“Aku mengganggumu tidur?” tanya gadis itu, merasa tidak enak.
“Tidak juga. Biasanya aku memang bangun sepagi ini,” ujar Kyuhyun
sambil menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon, menghadap ke arah
Hye-Na.
Dia memperhatikan Hye-Na selama beberapa saat, membuat gadis itu
merasa jengah dengan tatapannya sehingga memilih untuk
memalingkan muka.
“Hei, kau ingat ucapan Shindong ssi waktu itu? Tentang makan siang?
Bahwa buat kalian istri sama dengan makan siang?” tanya Hye-Na
tiba-tiba. Dia akan menanyakan apa saja agar membuat pria itu
berhenti menatapnya dan membuatnya kelimpungan.
“Makan siang?” gumam Kyuhyun sambil memasukkan tangannya ke
dalam saku celana, tetap mempertahankan tatapannya di wajah gadis
itu.
“Bagi para pebisnis seperti kami, waktu makan siang adalah segalanya.
Itu adalah saat untuk melakukan pertemuan-pertemuan penting
dengan klien. Negosiasi dengan keuntungan jutaan dollar. Dan demi
makan siang denganmu, aku terkadang membatalkan pertemuan-
pertemuan paling penting sekalipun. Aku bahkan merasa sudah tidak
waras karena tidak menyesal sama sekali saat melakukannya.”
“Kau sekarang mengerti kan Cho Hye-Na ssi, seberapa pentingnya kau
bagiku?”
***
Jungfraubahn, Interlaken, Lauterbrunnen, Switzerland
09.00 AM

Pagi ini Kyuhyun menyetujui permintaannya untuk naik kereta api di


Jungfraubahn, jalur kereta tertinggi se-Eropa. Tempat yang sangat
terkenal sehingga pemerintah setempat tetap mempertahankan
bentuk kereta itu seperti puluhan tahun yang lalu. Kereta ini mendaki
dari Interlaken, Lauterbrunnen dan sekitarnya, melintasi pegunungan
Eiger hingga ke puncak Jungfraujoch. Kereta ini bekerja
menggunakan tenaga listrik yang diestafetkan di beberapa titik
stasiun yang dilewatinya seperti Grindelwald dan Kleine Scheidegg,
memperlihatkan pemandangan Alpen di sepanjang perjalanan, juga
perbukitan hijau yang biasanya terlihat sangat indah di musim semi.
Hye-Na menatap pemandangan di luar, dengan tubuh yang sedikit
condong ke arah Kyuhyun yang duduk di samping jendela. Hanya
beberapa menit, karena setelah itu tatapannya malah tertuju ke
wajah pria itu dan bodohnya, hanya dengan menatap saja, gadis itu
sudah gugup setengah mati.
Bukankah sudah saatnya dia mengatakan sesuatu? Semuanya sudah
selesai dan tidak ada lagi yang perlu ditakutinya. Jadi kenapa hanya
untuk mengucapkan satu kata saja dia harus menunggu sebegitu lama
dengan alasan remeh seperti gengsi?
Dia meremas ujung jaket pria itu untuk menguatkan diri. Astaga, dia
lebih memilih untuk mengejar penjahat dan menembak mereka
daripada berada dalam situasi aneh seperti ini!
“Kyu?” panggilnya dengan suara nyaris tidak terdengar.
Pria itu menoleh dan saat itulah sinar matahari menelusup masuk
melalui celah jendela dan memantul di kaca, sehingga wajah pria itu
terlihat sedikit menyilaukan, membuatnya untuk beberapa saat
melupakan kata-kata yang ingin diucapkannya.
Kyuhyun memiringkan wajahnya dan menatap gadis itu bingung. Gadis
itu memanggilnya, tapi tidak berkata apa-apa dan ekspresinya
terlihat seperti orang yang baru saja meminum obat yang sangat
pahit.
“Apa?”
Hye-Na menarik nafas dalam-dalam, sedangkan detak jantungnya
hanya memperparah keadaan saja.
“Saranghae,” ujarnya cepat.
Kyuhyun membulatkan matanya tak percaya, nyaris tidak bisa
mengalihkan tatapannya dari wajah gadis itu. Satu-satunya gadis yang
dia inginkan berada di rumahnya. Gadis yang ingin dijadikannya alasan
untuk segera menyelesaikan semua pekerjaannya dan pulang ke rumah
karena tidak sabar ingin melihat wajah gadis itu lagi. Gadis yang
diinginkannya untuk hidup bersama. Gadis yang akan membuatnya
melakukan apapun demi mempertahankannya. Gadis yang akan
dicintainya setiap hari. Dan sekarang… gadis itu berkata bahwa….
Kyuhyun menahan teriakan bahagianya yang mendesak keluar dari
kerongkongan, menyembunyikannya dengan menarik gadis itu
mendekat dan membenamkan wajahnya di rambut gadis itu, berusaha
menenangkan detak jantungnya yang nyaris tak terkendali. Dia
menyadari tangannya yang terasa gemetar, menyadari bahwa… dengan
satu kata itu saja, gadis itu hampir meruntuhkan kendali dirinya.
“Aku tahu,” bisiknya dengan suara serak, meletakkan dagunya di atas
kepala gadis itu. “Aku sudah tahu.”
END

Kyuna Couple : FF 2060 Epilog

A road, Seoul
02.00 PM

“AKU BILANG BERHENTI! TIDAK BISAKAH KAU MEMATUHI APA


YANG AKU KATAKAN SEKALI SA….”
Hye-Na melepaskan headset kecil di telinganya dengan tidak sabar
lalu melemparkannya ke tanah, dengan sengaja melangkah di atasnya,
membuat benda itu hancur tak berbentuk. Gadis itu mengokang
senjata dalam genggamannya, berlari cepat menyusuri jalanan kosong
berkerikil yang memiliki begitu banyak cabang di balik beberapa
bangunan terlantar tanpa penghuni di sekelilingnya. Dia bisa melihat
buruannya berjarak beberapa meter di depan, mengerahkan seluruh
kekuatan untuk kabur. Tapi hanya tinggal waktu saja sampai pria itu
dia lumpuhkan. Dia memiliki kemampuan menembak yang sangat baik
dalam jarak semenyenangkan itu.
Hye-Na berbelok dengan mulus di gang sempit yang terletak di
samping puing bangunan bekas terbakar di ujung jalan, menebak
bahwa sepertinya gang itu berakhir di jalan raya besar, yang berarti
bahwa jika dia terlambat, dia akan kehilangan buruannya begitu saja,
terikat peraturan sialan bahwa para agen tidak boleh menembak di
area publik. Seperti dia mau mematuhinya saja. Skorsing tiga hari
cukup berharga jika dia bisa menangkap bajingan pemerkosa satu itu.
Dia berbelok lagi di tikungan yang memiliki jalanan yang lebih lapang
dari sebelumnya, mendapati bahwa tidak kurang dari sepuluh meter
lagi, pria sialan itu akan berhasil mencapai jalan raya. Dia bisa saja
menembak, tapi dia butuh bajingan itu hidup-hidup dan kecepatan lari
pria itu sepertinya semakin bertambah, sedangkan dia sudah mulai
kelelahan. Jaraknya tidak menyenangkan lagi.
Hye-Na baru akan membuka mulutnya untuk mengumpat saat pria itu
menoleh ke arahnya, tersenyum dengan maksud menertawakan, saat
dia melihat sesosok pria lain yang baru saja muncul, berdiri di depan
satu-satunya pintu keluar bagi penjahat tersebut untuk kabur,
memegang pistol dengan moncong yang mengarah ke bawah, membidik
sasaran yang ingin dilumpuhkan Hye-Na sebelumnya. Kaki.
Kejadian berikutnya sangat cepat. Bajingan itu terlalu syok untuk
sekedar mengerem langkahnya, membeku saat melihat siapa yang
sudah menunggunya di ujung. Seorang pria yang menatapnya dingin
dan tanpa belas kasihan.
Pria yang mengenakan kemeja hitam pas badan itu memiringkan
kepala, memamerkan seringaiannya yang terlihat seperti lonceng
kematian bagi siapapun yang mencari masalah dengannya. Satu
tangannya mencengkeram jas, sedangkan tangan kanannya memegang
pistol dengan mantap, tampak sangat percaya diri. Alisnya sedikit
terangkat naik saat menarik pelatuk dan melepaskan tembakan tanpa
suara karena pistolnya yang sudah diberi peredam, melumpuhkan
bajingan itu tepat di lutut.
“Kkeut (end),” ucap pria itu dengan suara rendah dan dalam, terlihat
tidak terganggu sama sekali dengan apa yang baru saja dilakukannya.
Hanya orang-orang terdekat yang mengenalnya saja yang tahu betapa
kegiatan itu terasa sangat menyenangkan bagi pria tersebut.
Penembak terbaik dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir.
Hye-Na sendiri berdiri diam di tempatnya, tidak tahu harus merasa
kesal atau lega. Pandangannya semakin menusuk saat seorang pria lain
muncul, balas menatapnya dengan raut wajah bersalah.
“Ehm… aku… kau kan hanya bertanya Kyuhyun sedang apa dan aku
menjawab dengan jujur. Dia sedang meeting. Di dekat sini. Dan kau
tidak memintaku untuk tutup mulut tentang apa yang mau kau
lakukan, jadi bukan salahku kan kalau aku memberitahunya?” ringis
Leeteuk, berbicara cepat-cepat karena memerhatikan raut wajah
Hye-Na yang mengindikasikan bahwa gadis itu akan mengamuk
sebentar lagi.
Hye-Na menggertakkan giginya sampai menimbulkan bunyi
bergemeletuk. Arah pandangannya mengikuti Kyuhyun yang baru saja
melemparkan pistol yang tadi dipakainya untuk menembak ke arah
Leeteuk, berjongkok di depan ‘korban’-nya dan mengambil pisau yang
dipegang pria itu tadi, dengan santai merobek bagian ujung kemeja
yang dipakai penjahat tersebut.
Hye-Na masih tidak mengubah arah pandangannya saat Kyuhyun
berjalan ke arahnya, masih dengan jas yang dicengkeram dalam
genggaman tangan kirinya, rambut yang acak-acakan seperti biasa,
dan wajah dengan raut dingin yang mencekam. Tidak perlu jadi
peramal untuk menebak bahwa pria itu sedang murka.
Kyuhyun menyentakkan lengan Hye-Na ke arahnya. Matanya
menyusuri bagian blus yang robek di lengan atas gadis itu, tepat di
tempat lukanya akibat penculikan pembunuh berantai dulu berada,
walaupun luka itu sudah tidak ada bekasnya lagi sekarang.
Tanpa mengatakan apa-apa Kyuhyun merobek sisa lengan blus itu
dengan mudah lalu mengikatkan sobekan kemeja yang diambilnya tadi
dari si buronan ke atas luka gores itu. Hye-Na bahkan tidak tahu
bagaimana mata pria tersebut bisa setajam itu jika sudah
menyangkut keselamatan tubuhnya.
“Rumah sakit,” ucapnya datar dengan nada memerintah yang kentara,
menunjukkan bahwa ucapannya tidak bisa diganggu-gugat.
“Ini hanya tergores paku saat mengejar bajingan itu. Kau tidak perlu
bersikap seperti ini padaku,” ucap Hye-Na panik, berusaha
menjelaskan. Dia tidak mau jika hidupnya harus berakhir dengan
berbaring di ranjang rumah sakit yang dibencinya malam ini.
Kyuhyun sama sekali tidak mendengarkan, malah menarik lengan Hye-
Na yang tidak terluka, tanpa perlu mengeluarkan tenaga lebih
menarik gadis itu bersamanya dengan paksa.
Hye-Na menatap Leeteuk yang sudah selesai memasangkan borgol ke
tangan penjahat yang sudah pingsan itu, berusaha keras untuk
mengangkat tubuh pria yang jelas-jelas lebih besar darinya tersebut.
Gadis itu menyerukan permintaan tolong tanpa suara yang hanya
dibalas dengan gelengan oleh kakak angkatnya itu. Pria itu bahkan
dengan kasar menyeret penjahat itu bersamanya, buru-buru kabur
dari arena pertarungan sepasang suami istri yang sama sekali tidak
ingin dicampurinya.
“Ini hanya luka biasa. Aku bisa mengobatinya di rumah. Kita tidak
perlu ke….”
Kyuhyun berbalik cepat sehingga Hye-Na dengan refleks menutup
mulutnya.
“Sialan, bisakah kau berhenti mendebatku?” umpat pria itu dengan
bibir terkatup. “Aku sudah memberimu kesempatan, membiarkanmu
bekerja. Melakukan penyelidikan, penyidikan, apapun, asalkan kau
tidak turun langsung ke lapangan. Kau meninggalkanku, sekali, agar
tidak terjadi apa-apa pada bayimu, lalu sekarang kau membahayakan
keselamatan kandunganmu hanya karena ingin menangkap bajingan
tidak berharga itu? Itu juga bayiku, bukan hanya milikmu. KAU
TIDAK TAHU SEBERAPA CEMASNYA AKU, HAH?”
Hye-Na tersentak mundur ke belakang, tanpa sadar menyentuh
perutnya yang masih terlihat datar karena usia kandungan yang baru
menginjak dua bulan. Kepala gadis itu tertunduk, sedangkan giginya
menggigit-gigit bibir bawahnya pelan.
“Maaf,” ucapnya lirih. “Aku hanya….” Gadis itu menarik nafas. “Karena
aku tahu bahwa tidak akan terjadi apa-apa makanya aku berani
mengejar penjahat itu. Maksudku… aku juga tidak akan
membahayakan keselamatan anakku sendiri,” tutur gadis itu. “Anak
kita,” ralatnya kemudian saat melihat tampang Kyuhyun yang semakin
suram.
“Aku belum berubah pikiran,” bisik Kyuhyun. “Kita tetap ke rumah
sakit.”
Hye-Na menahan lengan Kyuhyun dengan kedua tangannya, dengan
sisa tenaga yang masih dimilikinya. Dia tidak tahu bagaimana pria
tersebut bisa memiliki kekuatan sebanyak itu. Kadang-kadang dia
benar-benar terlihat seperti petarung, mungkin prajurit yang rela
mati di medan perang. Sekedar tatapan matanya saja bisa membuat
siapapun ketakutan.
“Aku istrimu,” ujarnya, menggunakan kesempatan terakhirnya untuk
membuat pria itu berubah pikiran. Dia bisa melakukan apapun, apa
saja, agar tidak perlu masuk ke rumah sakit. “Bukan tahananmu.”
Kyuhyun menatap gadis itu, mengeluarkan dengusan tidak percaya.
Pria itu menghela nafas, lalu akhirnya memamerkan seringaiannya lagi.
“Baru kali ini kau mengakui dengan mulutmu sendiri kalau kau istriku,”
gumamnya sambil mengangkat lengannya yang bebas dan menempelkan
telapak tangannya ke pipi gadis tersebut, memaksa gadis itu
menatapnya. “Sebegitu bencinya dengan rumah sakit? Nyonya Cho?”
“Aku bukan tahananmu,” ulang Hye-Na. “Kau tidak bisa
memperlakukanku sesuka hatimu begitu!”
“Menjadi istriku berarti menjadi milikku. Tahananku, kalau aku boleh
meminjam istilahmu,” kekehnya. Tangannya bergerak menangkup
tengkuk Hye-Na dengan jari-jari yang terbenam dalam helaian
rambut gadis itu. Wajahnya bergerak mendekat, penuh ancaman.
“Sekali kau terperangkap,” bisiknya. “Tidak ada lagi jalan keluar.
Karena jelas, aku tidak akan melepaskanmu dengan cuma-cuma.
Na~ya.”

***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
03.00 PM

“Sudah kau dapatkan?”


“Sudah, Tuan.”
Hye-Na memerhatikan pria yang sudah berdiri menunggu di depan
rumah. Ini pertama kalinya dia melihat pria itu, tapi kalau melihat
dari penampilannya, sepertinya pria itu adalah sekretaris pribadi
Kyuhyun yang baru. Mengingat seluruh karyawan wanita ribut
membicarakannya. Lebih tepatnya menggosipkan ketampanan pria
tersebut.
Pria itu mengenakan setelan jas lengkap, dengan penampilan yang rapi.
Wajahnya terlihat masih begitu muda, meskipun seharusnya dia lebih
tua beberapa tahun dari Kyuhyun. Dan dia juga tidak setinggi
Kyuhyun. Mungkin karena tubuhnya yang terlihat kecil, walaupun jelas
pria itu berotot.
Kalau dia berani membandingkan, pria itu lebih berkesan seperti
malaikat dibandingkan atasannya yang menguarkan aura setan yang
pekat.
“Sekretaris baruku. Song Joong Ki.”
Pria itu membungkukkan badan sopan dan tersenyum ke arah Hye-Na,
membuat gadis itu memutar bola mata dan mau tidak mau membalas
senyumnya. Walaupun sudah memiliki suami yang dijadikan simbol
ketampanan dan kesempurnaan di seluruh dunia, tetap saja dia tidak
imun terhadap pria tampan manapun yang ditemuinya.
Joong-Ki menyerahkan sebuah bungkusan kepada Kyuhyun dan
mengucapkan pamit, lalu beranjak pergi dari hadapan mereka berdua.
Dan Hye-Na harus menghadapi tatapan menghakimi yang ditujukan
Kyuhyun padanya. Sendirian.
“Apa itu barusan?” tanya pria itu terdengar geram.
“Reaksi alami wanita saat melihat pria tampan,” jawab Hye-Na kalem.
“Kau melakukannya terang-terangan di hadapanku. Kalau kau masih
belum lupa, aku ini masih suamimu.”
“Aku tidak lupa. Ini buktinya,” tunjuk gadis itu ke arah perutnya
dengan ekspresi polos yang tidak bisa membohongi siapapun.
“Seharusnya aku membawamu ke rumah sakit saja,” gumam pria itu,
mencengkeram lengan Hye-Na dan menggeretnya ke kamar mereka.
Kyuhyun mendudukkan gadis itu ke atas sofa di sudut kamar lalu
berjongkok di depannya, membuka ikatan yang menutupi luka gadis
tersebut kemudian mengeluarkan salep dari dalam bungkusan yang
diberikan Joong-Ki tadi.
“Yesung oppa sudah membuat salep baru?”
“Bersyukurlah, karena kalau belum, aku sudah akan menarikmu paksa
ke rumah sakit dari tadi.”
Hye-Na mengerucutkan bibirnya. Hubungan mereka memang berkisar
di tempat yang sama. Bertengkar, saling menyindir, dan jangan
pernah berharap pria itu akan berbicara dengan nada ramah padanya.
“Kau suka blus ini?” tanya Kyuhyun sambil memegang blus yang
dikenakan gadis itu. dan tanpa menunggu jawaban Hye-Na sama
sekali, pria itu langsung merobek blus tersebut sampai lepas
sepenuhnya dari tubuh Hye-Na, membuat mata gadis tersebut
terbelalak lebar saking syoknya.
“YAK!”
“Gampang. Nanti aku akan menyuruh seseorang membuatkan blus yang
persis sama untukmu,” ucapnya enteng, mulai mengoleskan salep
sampai merata di sekitar luka tadi dan beranjak menjauh untuk
mengambil perban di rak.
“Bisakah kau tidak setiap saat memamerkan kekayaanmu padaku?”
sungut Hye-Na.
“Kekayaanku?” ulang Kyuhyun, kembali berjongkok di depan Hye-Na
dan mulai memasangkan perban di sekeliling lengan atas gadis itu.
“Itu semua juga kekayaanmu.”
Dia menempelkan selotip kecil di ujung perban sebagai sentuhan
terakhir pekerjaannya lalu mendongak menatap Hye-Na dengan
kening berkerut.
“Ngomong-ngomong,” ujarnya dengan suara rendah. “Jangan terlalu
sering memakai baju yang kau sukai kalau kau berada dalam jarak
pandangku dan kita hanya berdua saja. Kalau aku tiba-tiba ingin
melakukan sesuatu dengan tubuhmu,” lanjutnya sambil menyeringai.
“Bisa kupastikan baju-baju itu tidak akan selamat. Aku tidak cukup
sabar untuk sekedar membuka bajumu saja, kau tahu? Terlalu
menghabiskan waktu.”
Pria itu terkekeh setelah menyelesaikan ucapannya, bangkit berdiri,
dan tersenyum puas melihat ekspresi wajah Hye-Na yang membeku.
“Aku harus kembali ke kantor. Jangan lakukan apapun yang bisa
menambah luka di tubuhmu,” tegasnya dengan nada mengancam.
Kyuhyun menunduk, meraih tengkuk Hye-Na sampai gadis itu
mendongak menatapnya lalu menyapukan kecupan singkat di
permukaan bibir gadis tersebut.
“Sampai jumpa nanti malam.”

***

STA Building, Five States


10. 00 AM

“Dia terlibat,” ujar Leeteuk muram, dengan mata yang terpancang


pada selembar kertas yang sedang dipegangnya.
“Kau sudah memeriksa alibinya pada hari-hari kejadian?” tanya Hye-
Na memastikan, masih merasa tidak percaya akan bukti-bukti yang
baru saja mereka dapatkan.
“Aku akan membacakannya lagi, dengan pelan, agar semua bisa
mendengarkan dan kita harus mengambil keputusan. Kyuhyun ingin ini
semua segera diselesaikan.”
“Kyuhyun selama ini membantunya,” sergah Hye-Na, tidak bisa
menyembunyikan rasa jijik dalam suaranya.
“Karena itu suamimu ingin ini semua diselesaikan secepatnya. Dan dia
masih belum menjadi tersangka, Hye-Na~ya. Dia masih berada dalam
daftar saksi kunci.”
“Oh, baiklah, terserah,” dengus Hye-Na. “Bacakan.”
Leeteuk melirik Siwon dan Soo-Hyun yang duduk tidak jauh darinya
dan kedua orang itu hanya membalas dengan mengedikkan bahu. Eun-
Ji, sebagai harapan terakhir, memberikan isyarat yang selama ini
sudah mereka kompromikan diam-diam. Isyarat itu biasanya mereka
gunakan jika Hye-Na terlihat beraura gelap dan suram. Kepalan
tangan jika gadis itu sedang bertengkar dengan Kyuhyun, telunjuk
yang mengarah ke atas jika Kyuhyun sedang pergi ke luar negeri,
elusan di perut jika bad mood gadis itu berasal dari kandungannya,
dan gerakan memancung leher jika penyebabnya tidak diketahui. Pagi
ini, Eun-Ji memamerkan telunjuknya yang menghadap ke langit,
membuat Leeteuk sedikit tidak habis pikir bagaimana mungkin gadis
seperti Hye-Na, menguarkan aura membunuhnya hanya karena dia
tidak bisa melihat suaminya seharian.
“Korban pertama. Song Eun-Jo,” mulai Leeteuk, membacakan
laporannya yang sudah tersusun rapi. “Umur 19 tahun. Mahasiswi
tahun pertama Seoul University. Ditemukan meninggal pada tanggal
14 November 2060 di sebuah hotel kecil tepi kota oleh seorang room
boy dalam keadaan tanpa busana, tanpa adanya tanda-tanda
penyerangan ataupun perlawanan. Hasil autopsi menunjukkan bahwa
dia baru saja melakukan hubungan seks dan baru kehilangan
keperawanannya, walaupun tidak ditemukan sperma. Penyebab
kematian diketahui akibat konsumsi pepryprone yang ditemukan
dalam gelas minuman. Peprypronesendiri adalah racun untuk
menghambat saluran pernafasan yang membuat paru-paru menyempit
dan tidak bisa bekerja dengan baik. Bisa membunuh dalam waktu lima
belas menit. Dan tidak ada bukti yang ditemukan selama penyisiran
TKP dilakukan. Ditambah, hotel ini tidak memiliki kamera keamanan
dan tidak mempekerjakan android, sehingga tidak ada rekaman
kejadian. Resepsionis hotel sendiri mengaku tidak ingat dengan gadis
itu karena ada banyak tamu yang menginap sehingga dia tidak bisa
mengingat satu per satu.”
“Korban kedua,” ucap Siwon, berdiri dari duduknya dan menggantikan
Leeteuk dalam membacakan laporan penyidikan. “Bernama Min Hyung-
Ah. 18 tahun. Murid tahun akhir sebuah SMA swasta. Ditemukan pada
tanggal 23 November 2060 di sebuah hotel bintang lima pusat kota
di kamar Presidential Suite Room. Kamar ini dilengkapi fasilitas
pribadi yang menyediakan lift khusus untuk setiap tamu yang
menyewa. Lift ini langsung terhubung kebasement, tempat parkir
mobil, dan dengan sengaja tidak diberi kamera keamanan untuk
menjaga privasi. Ditambah fakta bahwa mereka mengizinkan
pemesanan melalui telepon, jadi si pemesan tidak perlu datang ke
resepsionis dan saat si pemesan memasuki lift, akan secara langsung
diumumkan pada pihak hotel sehingga room boy bisa segera
membukakan pintu kamar dan pergi sebelum si pemesan tiba. Sangat
menjaga kerahasiaan pemesannya jika mereka memang menginginkan
kerahasiaan. Hyung-Ah juga ditemukan dalam keadaan yang sama dan
penyebab kematian juga diakibatkan oleh pepryprone.”
“Korban terakhir,” lanjut Soo Hyun. “Bernama Hwang Rae-Hee. 19
tahun. Ditemukan pada tanggal 16 Desember 2060 di hotel yang
berada satu kawasan dengan hotel tempat ditemukannya mayat
Hyung Ah. Hotel ini juga memberikan pelayanan yang sama seperti
hotel sebelumnya dan tidak ada bukti-bukti yang tersisa. Hanya saja
aku sempat bertemu dengan kekasihnya dan mendapatkan petunjuk.
Hari itu Rae-Hee dan teman-teman kampusnya mengadakan tur
singkat ke Gedung Biru dan Rae-Hee sempat bercerita padanya
bahwa dia bertemu dengan orang yang sangat dikaguminya. Aku
menebak bahwa pasti yang dikaguminya itu adalah sang Presiden dan
dengan petunjuk ini aku menemui orang tuanya. Mereka adalah
kelompok pendukung Presiden saat pemilihan 3 tahun yang lalu.
Termasuk aktif dalam organisasi dan Rae-Hee sendiri menunjukkan
ketertarikan yang sama dengan mereka walaupun umurnya masih
belum cukup untuk melakukan pemilihan umum. Kekasih Rae-Hee,
Jung Hyung-Soo, mengatakan bahwa orang yang dikagumi Rae-Hee itu
mengajaknya bertemu di suatu tempat berdua saja, tapi Rae-Hee
tidak mengatakan dimana tempatnya. Hyung-Soo sendiri tidak
diberitahu oleh Rae-Hee siapa tepatnya orang itu karena Rae-Hee
hanya mengatakan bahwa orang itu hanya orang yang sangat
dikaguminya. Alasan pertemuan mereka adalah agar Rae-Hee bisa
menolong orang tersebut dalam beberapa hal. Dalam anggapanku,
bantuan itu ditafsirkan Rae-Hee sebagai sesuatu yang positif.
Mungkin Presiden ingin tahu bagaimana caranya mendapatkan
dukungan dari kaum muda yang baru mendapatkan kesempatan untuk
menggunakan hak pilihnya. Tapi saat Rae-Hee tahu bahwa Presiden
memiliki alasan lain, aku rasa dia sendiri tidak akan menolak. Dia
mengagumi orang ini dan lagipula orang ini adalah orang nomor satu di
Korea. Presiden kita masih muda. 40 tahun. Siapa yang akan
menolaknya?”
“Tapi dia punya kekasih!” sentak Hye-Na, terlihat tidak setuju.
“Memang. Tapi anak-anak muda zaman sekarang menyukai hal-hal
yang berbahaya.”
“Memangnya kau pikir umurku berapa, Kim Soo-Hyun?”
“Nah, ngomong-ngomong kau mengatakan itu, aku akan
memberitahumu sesuatu. Suamimu itu adalah pria paling berbahaya
yang pernah diciptakan dan kau menikah dengannya. Kau adalah
contoh terbaik dalam hal ini. Dan hanya karena kau sangat setia dan
bertekuk lutut pada suamimu, jangan pikir wanita lain akan melakukan
hal yang sama dengan pasangannya. Tidak semua orang tergila-gila
dengan pasangannya seperti yang kau lakukan, kau tahu?” Soo-Hyun
sudah menduga-duga dan perkiraannya sama sekali tidak meleset saat
dia berhasil menyingkir tepat waktu sedetik setelah Hye-Na
melemparkan pajangan meja yang terbuat dari besi ke arahnya.
“Ayolah, hentikan. Kau bisa mencincangnya kalau kau mau setelah
rapat ini selesai, Hye-Na~ya. Aku juga mau menyampaikan laporanku,”
sungut Eun-Ji dengan wajah merengut.
Hye-Na mendelik, tapi kemudian menyingkirkan sifat kekanakannya
yang muncul tidak tahu tempat itu lalu mengedikkan dagu sebagai
isyarat bahwa Eun-Ji bisa mulai membacakan laporannya.
“Aku melakukan penyelidikan ke Gedung Biru setelah mendapatkan
petunjuk dari korban terakhir. Kebetulan aku memiliki kenalan orang
dalam dan walaupun aku harus mengerahkan seluruh pesona yang
kupunya agar dia bersedia membantuku….” Eun-Ji menghentikan
ucapannya saat menerima sorotan mata membunuh dari arah Siwon,
suaminya.
“Kau bisa mencincangnya nanti setelah rapat selesai, Siwon ssi,” ucap
Hye-Na, menyeringai karena bisa membalikkan perkataan Eun-Ji tadi.
“Lanjutkan laporanmu.”
“Oke,” sahut Eun-Ji, menarik nafas dalam-dalam dan dengan sengaja
menghindari tatapan tajam Siwon yang masih tertuju ke arahnya.
“Intinya aku mendapatkan daftar peserta tur pada tanggal-tanggal
kejadian. Aku hanya mengira-ngira saja, karena aku rasa ketiga gadis
ini pasti memiliki kaitan satu sama lain, mengingat mereka mati dalam
keadaan dan penyebab yang sama.”
“Setelah aku melakukan pengecekan, aku menemukan ketiga nama
gadis itu di daftar pengunjung Gedung Biru tepat pada hari kematian
mereka. Dan aku juga sudah mewawancarai teman-teman mereka yang
mengikuti tur pada hari kejadian. Semuanya mengaku kalau ketiga
gadis itu sempat meminta izin untuk pergi ke toilet. Toilet terletak di
perbatasan bagian depan gedung yang boleh dimasuki pengunjung dan
bagian yang khusus untuk Presiden dan pengawalnya. Entah kenapa,
aku mendapat firasat disanalah mereka bertemu.”
“Presiden? Tanpa pengawal?” potong Hye-Na.
“Jika Presiden sendiri memerintahkan begitu, pengawal kepresidenan
harus menghormatinya.”
“Jadi begitukah dia mencari mangsa?”
“Menurut pendapatku, itu semua hanya pertemuan secara kebetulan.
Waktunya acak. Lagipula tidak mungkin dia menandai gadis tertentu.
Akan mencolok sekali kalau begitu.”
“Hmmfh,” dengus Hye-Na. “Skandal seks mengguncang karir yang
sudah dirintisnya dengan susah payah? Begitu saja? Tidak heran. Pria
memang berpikir dengan kelaminnya.”
“Hei hei hei,” protes Soo-Hyun. “Ada tiga orang pria dalam ruangan
ini kalau kau belum lupa.”
Hye-Na mengacuhkannya dan memilih untuk memfokuskan
pandangannya lagi pada layar besar yang menampilkan foto Presiden
mereka, Min Kwang-Jin.
“Apa ada yang sudah memeriksa alibinya?”
“Kemampuan merayuku tidak sejauh itu,” gumam Eun-Ji, berharap
Siwon tidak menangkap kata-katanya. Tapi pria itu sudah
mengetatkan rahangnya lagi, tampak bisa meledak setiap saat.
“Nah,” seru Hye-Na, tiba-tiba tampak begitu ceria sehingga terlihat
mencurigakan. “Biar aku yang memeriksa kalau begitu. Aku bisa
mengancam siapapun dan membuat mereka buka mulut.”
“Tidak!” tolak Leeteuk mentah-mentah. “Kau mau aku diomeli suamimu
itu lagi selama berjam-jam?”
“Ugh, dia melakukannya?” tanya Hye-Na tak percaya.
“Tentu saja. Kau hanya pernah melihat suamimu yang tenang dan bisa
mengendalikan emosinya dengan baik, kan? Nah, kau harus melihatnya
saat dia mengamuk padaku sambil berteriak-teriak. Bagaimana bisa
kau membiarkannya berkeliaran mengejar penjahat seperti itu? Kalau
dia terluka bagaimana? Kau orang pertama yang akan aku kejar untuk
menuntut balas dendam, hyung! Aku tidak mau mengulangi kejadian
yang sama lagi untuk yang kedua kalinya. Jadi, sebaiknya kau tidak
menjerumuskanku ke dalam kesulitan.”
Hye-Na mengerucutkan bibirnya. “Dia kan sedang di luar negeri. Asal
kalian tutup mulut tidak akan ada masalah.”
“Kau pikir ada sesuatu yang bisa disembunyikan dari suamimu itu?”
“Baiklah, baiklah,” ucap Hye-Na menyerah. “Aku sendiri yang akan
meneleponnya untuk meminta izin. Masih keberatan?”
“Anggap saja bahwa dia terlalu mencintaimu sehingga dia tidak akan
menyemburkan kemarahannya padamu,” gumam Leeteuk.
“Nah, itu sudah pasti,” sahut Hye-Na penuh percaya diri.

***
STA Building, Five States
12.05 PM

“Maaf kalau aku mengganggu, Agen Han.”


Hye-Na tersenyum, mengibaskan tangannya sekilas.
“Panggil nuna saja, Hyung-Soo~ya. Ada apa?”
Pria di depannya itu adalah kekasih korban terakhir mereka. Baru
berumur 19 tahun dan sangat manis. Hye-Na langsung menyukainya
dalam sekali lihat.
“Hanya ingin tahu, sudah sejauh mana penyelidikan kalian.”
Hye-Na duduk di depan pria itu lalu mengetuk-ngetukkan jarinya ke
atas meja.
“Hmm… masih jalan di tempat. Tidak ada satu bukti pun yang
ditemukan. Tapi sore ini kami akan mewawancarai seorang saksi untuk
menguatkan alibi tersangka kami. Doakan saja alibinya itu ternyata
lemah dan bisa digunakan untuk menuntutnya.”
Hyung-Soo mengangguk. “Aku memercayai kalian.”
“Kami akan menangkap mereka,” ucap Hye-Na, menepuk punggung
tangan pria itu pelan. Pria semuda itu… sudah mencintai gadisnya
mati-matian. Apa yang sudah mereka rancang berdua? Apa mereka
sudah berjanji untuk terus bersama dan menikah? Pikir Hye-Na.

***

Blue House, Seoul


01.20 PM
“Nah, bagian mana dari perkataanku yang tidak kau mengerti, Nona….”
Hye-Na melirik ID pengenal di dada wanita itu. “Song Ji-Hwa?”
“Saya tidak bisa menyerahkan begitu saja pada Anda. Sebagai
Sekretaris Pribadi Presiden, sudah merupakan kewajiban saya untuk
merahasiakan privasinya dan juga privasi negara.”
“Bahkan walaupun untuk membantu kerja polisi?”
“Kau bukan polisi,” ucap wanita berusia pertengahan tiga puluhan itu
dengan mata menyipit.
“Aku seorang agen negara dan kedudukanku lebih tinggi daripada
polisi,” tegas Hye-Na dengan nada memperingatkan. “Jadi? Apa aku
harus melambaikan Surat Perintah Penggeledahan dulu padamu baru
kau bersedia bekerjasama? Aku harap kau tidak merepotkanku
karena aku bisa sangat menyebalkan jika pekerjaanku diganggu.”
“Kau hanya boleh melihat janji temu Presiden pada tanggal yang kau
perlukan saja. Dan tidak dengan janji temu pribadinya.” Wanita itu
tampak sedikit gentar dengan gertakan Hye-Na, tapi gadis itu sendiri
memang selalu berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan. Secara
baik-baik ataupun secara paksa.
“Tidak masalah.”
Hye-Na mengambil link -komputer kecil seukuran buku notes- dari
tangan wanita itu.
“Masukkan tanggalnya dan datanya akan ditampilkan. Aku hanya
memberimu waktu lima menit, Agen Han.”
“Agen Cho,” ralat Hye-Na. “Kalau kau belum tahu, aku ini istri Cho
Kyuhyun.”
Dan gadis itu menyeringai saat melihat raut wajah ngeri yang
memancar dari muka wanita itu.
Menikah dengan Kyuhyun kadang-kadang bisa sangat mempermudah
segalanya.

***
“Aku yakin dia tadi nyaris terserang stroke di tempat saat kau
menyebutkan nama Kyuhyun. Dan aku sebenarnya cukup heran,
bagaimana dia tidak tahu kabar yang menggegerkan dunia itu?
Bagaimana bisa dia tidak tahu bahwa Cho Kyuhyun memiliki istri
seorang agen sepertimu?” oceh Eun-Ji selagi mereka berjalan menuju
lapangan parkir.
“Bisa saja dia membayangkan seorang wanita glamor yang cantik
jelita. Dan ngomong-ngomong, aku bahkan baru dua kali tampil di
depan umum. Saat menikah dan saat menghadiri perilisan serum baru
Zhoumi. Tidak heran kalau dia tidak mengenalku. Lagipula, aku
menikmati reaksinya,” ucap Hye-Na puas.
“Tapi ngomong-ngomong, aku rasa kita mendapatkan kesulitan.
Alibinya kuat sekali. Pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri, rapat
pribadi dengan Wakil Presiden, dan menghadiri pembukaan Gedung
Kesenian yang baru.”
“Nah, sepertinya kita harus mendatangi mereka semua satu per satu,
kan?”
“Apa?” tanya Eun-Ji tidak mengerti, tapi tidak sempat mendapatkan
jawabannya karenacommunicator Hye-Na berbunyi.
“Ya?” jawab Hye-Na setelah menekan tombol terima dan mendapati
bahwa Leeteuk-lah yang meneleponnya.
“Kembali ke kantor. Sekarang.”
Hye-Na tertegun mendengar suara tertekan dari nada bicara kakak
angkatnya itu. Tegang, tidak seperti biasanya.
“Ada apa?”
“Masalah.”

***
STA Building, Five States
03.15 PM

Hye-Na berdiri di depan pintu Ruang Pertemuan yang tertutup.


Ruangan itu biasanya hanya digunakan untuk mengadakan pertemuan
dengan semua Anggota Dewan STA, KIA, dan KNI dan juga untuk
rapat-rapat dengan kasus dengan status A, yang berarti berbahaya
dan mengancam keamanan negara. Satu-satunya alasan logis yang bisa
dipikirkan Hye-Na hanyalah bahwa kasus yang dipimpinnya saat ini,
kasus pembunuhan tiga orang gadis di bawah umur yang melibatkan
Presiden sebagai salah satu tersangka potensial, baru saja mendapat
perhatian berlebih dari para pimpinan.
Gadis itu mengetuk pelan, melangkah masuk dan langsung berhenti
mendadak, terkesima saat melihat ruangan itu nyaris terisi penuh.
Semua Pimpinan hadir, lengkap, dan bahkan ayah angkatnya ada
disana. Seseorang yang seharusnya berada di New York saat ini.
Hye-Na sedikit gugup saat melihat raut wajah Soo-Hwan, ayah
angkatnya itu, yang tampak sangat murka, dengan muka yang
memerah dan mata menyorot tajam, menatap lurus ke arah Min
Hwang-Do, Jenderal Besar KNI saat ini.
“Silahkan duduk, Agen Han,” ujar Hwang-Do, menunjuk kursi terakhir
yang tersisa dalam ruangan tersebut. Tepat menghadap ke arah Sang
Jenderal sendiri.
Hye-Na menarik kursi dan mematuhi perintah atasan tertingginya itu.
Dia sedikit merasa rikuh karena menjadi satu-satunya wanta disini.
Dengan pangkat paling rendah.
“Aku rasa kau bertanya-tanya alasanmu dipanggil ke ruangan ini. Dan
pasti mengejutkan melihat semua pimpinan hadir.”
Hye-Na mengangguk, tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
“Kami mendapat laporan bahwa kau baru saja menaikkan status
Presiden kita sebagai Saksi Utama dalam kasus yang sedang kau
tangani menjadi Tersangka Utama. Apakah aku benar?”
“Saya baru menaikkan statusnya sekitar 4 jam yang lalu,” jawab Hye-
Na dengan suara yang disyukurinya terdengar lantang dan tegas,
tanpa nada gugup, mengingat ini pertama kalinya dia bertemu Sang
Jenderal secara langsung.
Hwang-Do mengangguk.
“Dan sekitar satu jam yang lalu, setelah kau mewawancarai
Sekretaris Pribadi Presiden tanpa membawa Surat Perintah Resmi,
kami mendapatkan keluhan langsung dari Sang Presiden sendiri.”
Sial, batin Hye-Na dalam hati. Seharusnya dia bisa menebak kelicikan
wanita itu tadi dan memberinya peringatan kecil sebelum pergi.
“Kau tahu itu melanggar peraturan? Agen Han?”
“Saya sudah melakukannya sesuai prosedur. Saya rasa tidak
dibutuhkan Surat Perintah jika saya hanya datang untuk mengecek
jadwal Presiden untuk memperkuat alibinya pada malam-malam
terjadinya pembunuhan dan dengan segera mencoretnya dari daftar
Tersangka.”
“Tapi segala sesuatu yang berkaitan dengan Presiden dan Wakil-nya
memiliki Peraturan Tertulis yang jelas-jelas berbeda. Kau tidak boleh
‘mengganggu’ dalam konteks apapun tanpa Surat Perintah Resmi dan
memaksa Sekretaris Pribadi Presiden untuk memperlihatkan daftar
jadwal janji temu Presiden merupakan tindakan illegal karena itu
sudah masuk dalam daftar Rahasia Negara, tidak peduli jika kau
bermaksud menggunakannya untuk keperluan penyelidikan.”
Karena itukah wanita licik itu begitu cepat menyerah dan
memperlihatkan daftarnya begitu saja?
“Dan karena pada kenyataannya semua tuduhanmu itu tidak beralasan
dan tanpa bukti, Presiden secara resmi menyatakan
ketersinggungannya atas dasar pelanggaran privasi dan pencemaran
nama baik. Dan atas semua keteledoranmu ini, sebagai Pimpinan Tim,
kau harus mempertanggungjawabkan setiap kesalahan yang kau
perbuat. Kami telah menimbang masak-masak dan mengingat semua
prestasi yang kau capai, kami semua memutuskan….” Hwang-Do
menggantung ucapannya, seolah berharap ada yang ingin
menginterupsinya, tapi hanya terdengar gemeletukan gigi dari
beberapa orang dan dengusan marah dari Soo-Hwan, sedangkan yang
lainnya hanya diam, dengan raut tidak suka yang terpancar dari wajah
masing-masing orang. “Untuk memberi skorsing dalam jangka waktu
yang belum ditentukan padamu. Sampai kau dipanggil kembali untuk
bertugas, lencana dan senjatamu harus diserahkan dan kau tidak
berhak….”
Hye-Na tidak lagi mendengarkan ucapan pria itu. Dia hanya terduduk
diam di kursinya, seolah tubuhnya sudah dipakukan ke atas kursi
tersebut sehingga tidak bisa bergerak sedikitpun. Gadis itu
memandang nanar ke depan, tampak begitu syok dengan berita yang
baru saja diterimanya.
Dia ingat bagaimana dia dulu berjanji pada ayahnya untuk menjadi
agen yang hebat, kebanggaan akademi, membela negaranya, tempat
yang sama sekali tidak pernah dilihatnya setelah dia tumbuh dewasa.
Dia ingat bagaimana wajah sumringah ayahnya saat mengajarinya
menembak dan mendapati bahwa dia bisa menguasainya dengan mudah
dalam waktu singkat. Dia ingat bagaimana keinginannya untuk
menurunkan angka kejahatan di muka bumi ini menjadi semakin
meledak-ledak setelah kematian ayahnya. Dia ingat bagaimana dia
mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya terhadap kasus-kasus
yang ditanganinya kemudian menyelesaikannya dengan hasil gemilang.
Dia ingat betapa dia dengan bangga memakai lencana agennya,
merasakan bahwa benda kecil tersebut adalah jati dirinya, teringat
dengan janjinya untuk menangkap setiap tersangka yang telah
membuat keluarga korbannya kehilangan orang yang mereka cintai,
sama seperti saat dia kehilangan sosok yang sangat dicintainya.
Panutannya dalam hidup.
Dia tahu ini hanya skorsing, bahwa dia akan bisa kembali lagi suatu
saat nanti dan mendapatkan lencananya lagi. Tapi saat tangannya
akhirnya bergerak, melepaskan sarung pistol di pinggangnya, dan
lencana kecil yang tersemat di dadanya, juga kartu tanda pengenal
yang biasanya dengan bangga dipamerkannya ke depan wajah setiap
penjahat yang ingin ditangkapnya, dia merasa bahwa dirinya sedang
ditelanjangi di hadapan semua orang. Dia tidak punya apa-apa lagi
untuk dibanggakan. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.
Dia juga tidak sadar bagaimana dia bisa berjalan keluar ruangan,
menghadapi anggota timnya yang memandanginya dengan raut wajah
syok dan ketakutan. Dia tidak ingat bagaimana dia bisa berjalan
tenang melewati mereka semua, berhasil memasang raut wajah datar
dan menyimpan air matanya untuk ditumpahkan nanti, jika kondisinya
sudah memungkinkan.
Dia hanya berjalan. Terus berjalan. Sampai akhirnya dia tersedak
nafasnya sendiri dan terhempas jatuh ke lantai basement, di depan
mobilnya yang kini tidak lagi berarti apa-apa.
Nafas gadis itu terengah-engah, paru-parunya seperti dihimpit
sesuatu sehingga tidak bisa bekerja dengan normal. Dan dia tidak
bisa merasakan apa-apa lagi. Seolah seluruh tenaganya tersedot
habis.
Tapi memang sudah tidak ada lagi yang tersisa darinya. Sudah tidak
ada lagi yang tersisa dari seorang Han Hye-Na.

***
“Tapi seharusnya Appa bisa melakukan sesuatu!” teriak Leeteuk
keras, tidak peduli bahwa para pimpinan lainnya masih silih berganti
lewat di dekat mereka. “Hye-Na tidak bersalah! Perempuan keparat
itu….” Leeteuk melirik Eun-Ji untuk meminta pertolongan.
“Song Ji-Hwa,” bisik gadis itu dengan suara serak, masih sesenggukan
setelah mendengar berita mengejutkan tadi dan menyerapnya
sepenuhnya. Siwon berdiri di samping gadis itu, mengusap punggung
istrinya tersebut dengan gerakan menenangkan, sedangkan matanya
sendiri tampak berapi-api. Pria itu bahkan denagn santainya menatap
Jenderal KNI yang berjalan melewati mereka dengan tatapan benci
yang sangat jelas terlihat.
“Song Ji-Hwa,” ulang Leeteuk. “Dia hanya memberikan laporan yang
tidak berdasar! Hye-Na sudah melakukan semuanya sesuai prosedur!
Dia bahkan hanya melihat janji temu resmi Presiden pada tanggal-
tanggal pembunuhan terjadi. Surat Perintah baru diperlukan jika dia
memaksa ingin melihat janji temu pribadi Presiden. Dan dia jelas
tidak melakukannya! Dan kalian tidak bisa memberikan skorsing
padanya tanpa seizin Kyuhyun sebagai pemilik tempat ini.”
Soo-Hwan menggeleng, tampak sangat lelah dan tiba-tiba terlihat
lebih tua.
“Aku sudah mengajukan argumenku. Dan semua orang mendukungku.
Tapi kantor ini sudah menjadi milik pemerintah, kau tahu itu. Kyuhyun
memang masih memiliki hak penuh untuk memecat dan mengangkat
pegawai, tapi Presiden juga memiliki hak untuk memberikan skorsing
terhadap agen yang menurutnya mengganggu elemen pemerintahan.
Hye-Na agen terbaik kita sejauh ini dan akademi akan sangat
kehilangan dia, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Dia menangani
kasus yang salah. Kasus satu ini berbahaya.”
“Hanya karena dia Presiden bukan berarti dia tidak tersentuh,”
sentak Soo-Hyun marah.
“Tapi dia memiliki alibi yang sangat kuat dan jelas dia tidak memiliki
motif pembunuhan. Dia bersih.”
“Dia brengsek,” dengus Siwon, yang dari tadi belum mengeluarkan
suaranya sama sekali.
“Kyuhyun pasti bisa menangani ini semua,” ujar Leeteuk dengan nada
yakin.
Soo-Hwan menggeleng. “Untuk yang satu ini dia tidak bisa.
Memberikan skorsing adalah salah satu hak yang didapatkan Presiden
setelah tempat ini resmi menjadi milik negara. Dan Kyuhyun juga bisa
dituduh hanya memikirkan kepentingan pribadi. Situasinya tidak
bagus.”
“Persetan!” teriak Soo-Hyun habis kesabaran. “Aku akan menangkap
penjahat yang sebenarnya dan orang itu harus membayar. Pekerjaan
ini adalah segala-galanya bagi Hye-Na dan kalian merebutnya.”
“Yah,” bisik Soo-Hwan. “Pastikan balas dendam kalian sukses. Tangkap
penjahatnya. Dan kembalikan pekerjaan Hye-Na.”

***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
05.00 PM

Kyuhyun mengepalkan tangannya, berdiri dengan tegang di depan


rumah dengan raut wajah menakutkan.
Dia menerima kabar itu saat rapatnya bersama klien penting dan
anggota dewan perusahaan sedang berlangsung di Hongkong. Mereka
sedang berdebat dalam diskusi sengit mengenai penting atau tidaknya
membeli sebuah planet dan merombaknya menjadi tempat wisata saat
Joong-Ki menghampirinya dengan panik dan menyambungkan telepon
dari Leeteuk padanya. Dan yang dia ketahui kemudian hanyalah dia
sudah menghambur keluar dari ruang rapat dengan sangat tidak
sopan dan mengemudikan amphibithrobe-nya di luar batas kecepatan
yang diizinkan. Dia memangkas waktu setengah jam menjadi lima
belas menit saja untuk sampai di Seoul dan ini sudah lewat setengah
jam sejak dia berdiri di tempatnya sekarang, menunggu gadis itu
pulang. Tidak peduli bahwa suhu berada di bawah nol derajat celcius
dan dia bisa mati beku di luar sini.
Dia butuh berada di tempat ini, menunggu selama yang diperlukan
agar dia bisa memastikan keadaan istrinya saat gadis itu sampai di
rumah nanti. Gadis tersebut jelas berada dalam titik paling rendah
dalam hidupnya dan dia butuh ada disini untuk gadis itu. Entah nanti
kehadirannya sama sekali tidak dibutuhkan, dia tidak peduli. Gadis itu
butuh seseorang, yang hanya diam dan tidak merecokinya dengan
pertanyaan apapun. Dan dia bisa menjadi orang seperti itu. Walaupun
saat ini dia ingin sekali menghajar wajah pria yang selama ini sangat
bangga dengan jabatan Presiden-nya tersebut lalu mematahkan
setiap anggota tubuhnya dan membuangnya ke jurang. Kedengarannya
itu bahhkan sangat penuh dengan belas kasihan, bahkan di telinganya
sendiri. Mungkin dia akan menyekap pria itu di suatu ruangan di
penjara bawah tanah yang mengerikan dan kotor. Tidak memberinya
makanan dan membiarkan pria itu membusuk sampai mati. Kematian
yang pelan dan menyakitkan. Sesuatu yang pantas diterima oleh orang
yang sudah dengan berani membuat istrinya jatuh sampai seperti itu.
Kyuhyun melirik jam tangannya dengan resah. Sudah 45 menit.
Perjalanan dari Five States kesini bahkan tidak memerlukan waktu
selama itu.
Kyuhyun baru mengeluarkan communicator-nya dari saku celana saat
benda itu berkedip, menandakan panggilan masuk.
Pikiran buruk memenuhi otaknya saat melihat nama penelepon yang
tertera di layar. Pria itu mengumpat pelan dan menerima telepon
tersebut, membuktikan semua pikiran buruknya hanya dalam hitungan
detik.
“Tidak,” bisiknya geram, dengan nada mencekam. “Tidak. Terdapat
satu goresan saja, kubunuh mereka semua.”

***
Central Hospital, Seoul
05.05 PM
“Darahnya banyak sekali. Dia sedang hamil. Terjadi sesuatu. Dalam
kondisi seperti ini sangat riskan untuk keselamatan janinnya. Apa
yang harus kita lakukan?”
Hye-Na meringis, merasakan seluruh rasa sakit yang menghantam
setiap inci bagian tubuhnya. Kepalanya terasa berdenyut-denyut, dan
semua percakapan itu hanya terdengar seperti bisikan samar di
telinganya yang berdengung. Ada sesuatu yang terjadi pada perutnya.
Rasanya seperti ada jutaan jarum yang ditusukkan secara membabi-
buta kesana. Bayinya….
Gadis itu memaksa diri untuk membuka mata, walaupun rasa pusing
dan nyeri yang dia rasakan menjadi bertambah parah puluhan kali
lipat. Diperburuk oleh sengatan cahaya lampu yang menyorot retina
matanya secara langsung.
Wajah Yesung adalah wajah pertama yang bisa dilihatnya. Raut wajah
yang saat ini terlihat begitu panik dan penuh keringat. Gadis itu bisa
merasakan seseorang memakaikan masker oksigen ke mulutnya, yang
langsung dienyahkannya dengan tangannya yang ringkih dan lemah. Dia
mencium bau darah dimana-mana dan dia sama sekali tidak berani
melihat ke arah tangannya yang dia gunakan untuk menyingkirkan
masker oksigen tersebut.
“Bayinya,” bisiknya susah payah. “Ye… sung… ssi… bayi… nya…. Lakukan
apapun yang kau bisa untuk menyelamatkan bayinya… aku mohon….”
“Keadaanmu tidak memungkinkan, Hye-Na ssi. Kalau kami berusaha
menyelamatkannya, besar kemungkinan nyawamu terancam.”
“Tidak… tidak…” gelengnya. Matanya menjadi kabur karena air mata
yang mengalir jatuh tanpa dia inginkan. “Lakukan apapun yang kau
bisa. Apapun. Coba sampai akhir. Kau baru boleh menyerah setelah….”
Hye-Na berteriak saat merasakan perutnya diiris oleh sesuatu dari
dalam. Ada sesuatu yang terjadi di dalam sana. Bau karat darah
tercium semakin kuat, bercampur dengan bau disinfektan yang tidak
pernah disukainya. Semua inderanya menajam dan rasa sakit itu
semakin bertambah setiap detiknya, nyaris tak tertahankan.
“Ada banyak tulang patah. Ambil semua persediaan darah yang kita
punyai. Bius dia. Aku rasa ada luka benturan di kepala. Kulitnya robek
dimana-mana. Suster Nam, janinnya….”
Dan setelah itu… mereka seperti sedang memporak-porandakan
tubuhnya.

***
“Dia memintaku mempertahankan janinnya sampai akhir. Tapi itu bisa
membahayakan nyawanya. Kita harus memilih salah satu. Kau harus
menandatangani surat persetujuan.”
Kyuhyun merebut surat itu dan menandatanganinya secara
serampangan, nyaris melemparnya karena emosinya yang tidak
terkendali.
“Keluarkan janinnya,” perintahnya dengan gigi menggertak. “Dan
selamatkan istriku.”
“Kami akan berusaha.”
Kyuhyun berdiri kaku disana, di tengah lorong yang menghadap ke
ruang operasi yang tertutup, tetap berada dalam posisinya setelah
Yesung berlalu masuk dan meninggalkannya. Pria itu baru bergerak
setelah seseorang memanggil namanya dan hal pertama yang dia
lakukan adalah menghantamkan tinjunya tepat di rahang pria
tersebut sampai pria itu tersungkur jatuh di lantai dengan darah
yang mengalir dari sudut mulut.
“Terjadi sesuatu pada istriku,” desisnya penuh ancaman. “Aku akan
membunuh pria yang kalian panggil Presiden itu dengan tanganku
sendiri dan kau adalah orang kedua yang akan aku datangi! Camkan
ucapanku baik-baik, Min Hwang-Do.”
Semua orang yang berada disana terkesiap dengan ancaman terbuka
yang dilontarkan Kyuhyun dengan penuh amarah dan kebencian yang
terlihat jelas di wajahnya. Semua orang tahu bahwa Min Hwang-Do
adalah pria bertubuh raksasa yang tidak pernah ditumbangkan oleh
siapapun sebelumnya. Dengan tubuh 195 senti dan berat 120
kilogramnya, nyaris tidak ada orang yang berniat mencari gara-gara
dengannya, baik disengaja ataupun tidak. Pria itu sendiri terkenal
dengan pukulan mautnya dan gerakan refleksnya yang tidak diragukan
lagi sangat cepat untuk ukuran seseorang sebesar dirinya. Tapi baru
saja pria itu tersungkur hanya dengan satu hantaman yang
dilancarkan oleh Kyuhyun dan semua orang akhirnya tahu, kenapa pria
itu diberi gelar pria paling menakutkan dan berbahaya, bahkan oleh
Sang Jenderal sendiri.
Hwang-Do berdiri, merapikan jasnya, dan mengangguk tanpa berkata
apa-apa, sedangkan Leeteuk bergegas mendorong tubuh Kyuhyun
menjauh dari kerumunan dan mendudukkannya ke atas kursi tunggu.
Ini kedua kalinya pria tersebut melihat adik iparnya seberantakan ini.
Kali pertama adalah saat Hye-Na diculik oleh pembunuh berantai
incaran mereka dan untuk kali kedua, pria itu tampak lebih
mengenaskan lagi. Rambutnya benar-benar berantakan karena diacak-
acak setiap saat dan wajahnya tampak mencekam dan begitu gelap,
penuh aura permusuhan. Pria itu bisa saja membunuh seseorang
dengan tatapannya.
“Kendalikan dirimu. Kau tidak pernah tampak begitu tidak terkendali
seperti ini sebelumnya. Ingat posisimu.”
“Persetan,” dengus pria itu. “Aku kehilangan anakku dan mereka harus
membayarnya. Aku tidak peduli kalau aku harus memutilasi mereka
satu per satu. Kalian boleh menangkapku setelah itu dan aku pastikan,
aku tidak akan memiliki rasa penyesalan sedikitpun setelah
melakukannya.”
“Apa yang terjadi?” tanya Leeteuk, berusaha mengalihkan topik
pembicaraan. Dia tahu bahwa tidak ada seorangpun yang bisa
menenangkan Kyuhyun saat ini.
Kyuhyun melarikan jemarinya ke kepala, menyusuri helaian rambutnya
dan menarik-nariknya pelan, seolah sedang berusaha mencabutnya
dari kulit kepala.
“Mobilnya terbalik dan menghantam pembatas jalan setelah hampir
bertabrakan dengan sebuah mobil dari arah berlawanan. Dia pasti
kalut sekali sampai mengemudikan mobil dengan ugal-ugalan seperti
itu. Mereka bilang 250 km/jam.”
“Dia akan menimpakan semua kesalahan pada dirinya sendiri.
Terutama karena dia kehilangan bayinya. Jangan terlalu keras
padanya saat kau menemuinya nanti.”
“Dia meminta Yesung hyung untuk melakukan apa saja agar bayi kami
selamat tanpa memikirkan keselamatannya sendiri. Dia bilang lakukan
apa saja. Kau pikir aku akan memaafkannya karena memutuskan untuk
meninggalkanku seperti itu?” tanya Kyuhyun dengan raut wajah yang
tampak semakin menakutkan. “Aku bisa saja kehilangan keduanya
hanya karena pikiran tololnya yang tidak tahu tempat itu!”
“Maksudnya pasti tidak seperti itu, Kyu.”
“AKU MELIHATNYA DENGAN CARA SEPERTI ITU!” teriak Kyuhyun
meledak. “Jika mereka menuruti ucapannya dan mencoba sampai cara
terakhir yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan keduanya,
dia bisa saja mati di dalam sana. Aku tidak akan memaafkan siapapun
yang menyebabkan kematiannya. Bahkan jika dia sendiri yang
menginginkan. Tidak akan.”

***
10.25 PM

Hye-Na membuka matanya perlahan, setelah lama berkutat dengan


rasa pusing yang menggerogoti kepalanya. Beberapa bagian tubuhnya
terasa kebas dan tidak dapat digerakkan, tapi dia tahu itu hanyalah
salah satu dari efek obat-obatan yang dia dapatkan untuk membantu
pemulihan pasca operasi.
Gadis itu menolehkan wajahnya dan mendapati Kyuhyun berdiri diam
di depan jendela kaca yang menampilkan pemandangan gelap di luar.
Kedua tangan pria itu terbenam dalam saku celana dan penampilannya
benar-benar terlihat berantakan. Dan masih saja terlihat luar biasa
tampan. Dan berbahaya.
Pandangan pria itu tertuju ke arahnya, dan dia cukup yakin bahwa pria
tersebut sudah melakukannya cukup lama, dengan posisi yang sama.
Tatapan pria itu terlihat menghakimi, menyalahkan. Sekaligus terlihat
sedih dan lelah. Dan cukup marah. Sepertinya.
“Maaf,” bisik gadis itu pelan, yang hanya dibalas oleh bunyi mesin
monitor pembaca denyut jantung di sampingnya. Kyuhyun tetap diam,
tidak mengatakan apa-apa.
“Mereka bilang kau menolak mencoba. Kau menolak berusaha
melakukan cara apapun untuk menyelamatkan bayi kita. Kenapa, Kyu?”
tanyanya serak, menuntut jawaban.
“BECAUSE YOU’VE GIVEN ME NO CHOICE!” teriak Kyuhyun tiba-
tiba dengan suara pecah. Ini pertama kalinya pria itu benar-benar
meneriakinya dan tampak begitu marah terhadapnya. Terlihat begitu
kehilangan kontrol. Tidak terkendali.
“You were there,” bisik pria itu dengan rahang mengetat. “Asked the
doctor to do everything, everything they can to save your baby. You
asked them to stop if there is no probability anymore, if the last
choices are just between save your life or lost both of you. You
never thought if they maybe too late to save you in their last
chance. You never thought what will happen to me if you… if they
lost you there.”
Pria itu tampak begitu frustrasi, pikirnya. Pria itu tampak kesakitan
dengan caranya sendiri dan aku hanya memperburuk segalanya.
“Na~ya we supposed to be life partners, remember?” sentak Kyuhyun
dengan raut wajah mengernyit. “But you’ve decided this on your own.
You’ve decided to leave me.”
“Just don’t….” Hye-Na menghentikan ucapannya karena dia tidak tahu
lagi apa yang pantas untuk diucapkan. “Don’t see it in that way.”
“I just can see it in one way. Because it’s me who will lose
you.” Kyuhyun berjalan mendekat. Perlahan. Dan saat dia benar-benar
sudah sampai di samping ranjang rawat Hye-Na, pria itu sama sekali
tidak mengeluarkan tangannya dari dalam saku. Seolah menyentuh
gadis itu adalah sesuatu yang tidak ingin dia lakukan. Seolah hal
tersebut tiba-tiba menjadi tabu baginya.
“I’ve already told you, haven’t I? You have no right to die without my
permission. You got it? Even if you are the one who want it, you can’t
die if I don’t ask you to die. Trapped, Na~ya. Your life was trapped
in my hand. And there is no escape. You can’t escape from me. It’s
just that simple and you still can’t understand?”

***
Blue House, Seoul
11.00 AM
“Jadi kau yang namanya Song Ji-Hwa?” tanya Kyuhyun dengan mata
berkilat.
Dia memang sudah sering datang ke rumah dinas Presiden ini.
Biasanya sudah membuat janji, jadi dia tidak pernah berurusan
terlebih dahulu dengan wanita di depannya itu. Lagipula wanita itu
biasanya sibuk dengan pekerjaannya yang lain. Mengurus ini-itu.
“Benar,” sahut wanita tersebut dengan sikap resmi yang memuakkan.
Wanita itu tampak angkuh, sehingga Kyuhyun ingin sekali menghantam
wajahnya itu dengan sesuatu.
“Anda ingin bertemu dengan Presiden? Sudah ada janji?”
“Kau tahu apa yang sudah kau perbuat pada istriku dengan pengaduan
menjijikkanmu itu?” tanya Kyuhyun, mengabaikan pertanyaan yang
diberikan wanita itu begitu saja.
“Saya tidak mengerti maksud An….”
“Aku tahu banyak tentangmu, Song Ji-Hwa,” potong Kyuhyun, dengan
tatapan penuh intimidasi. “Kalau mulutku terpeleset sedikit saja….”
“Anda menantangku, Tuan? Saya bisa melaporkan….”
“Apa itu saja yang bisa kau lakukan? Melaporkan keburukan orang
sehingga kau bisa meraih posisi ini padahal kau sama liciknya? Kau
pikir kau hebat? Baru sampai pada posisi ini saja kau sudah merasa
berkuasa?” tanya Kyuhyun menyeringai. “Kau yang menantangku
duluan, Nona. Menyakiti istriku berarti kau menantangku terang-
terangan. Kau membuatnya hancur, aku bisa menghancurkanmu
berkali-kali lipat lebih parah.”
“Anda tidak berhak mengancam saya seperti i….”
“Oh, ya? Kita lihat saja. Aku tidak pernah bermain-main dengan
ucapanku. Tapi mengingat aku sedang ingin berbaik hati padamu, jadi
aku akan memperingatkanmu dulu sebelum skandalnya menyebar
besok. Bagaimana kalau kita mulai dari hubungan gelapmu dengan
salah seorang Menteri?”
Wanita itu mundur, tampak begitu syok, hampir menabrak kursi di
belakangnya.
“Nah,” ucap Kyuhyun puas. “Kau sekarang tahu kan sedang bermain-
main dengan siapa? Ah, aku hampir lupa. Apa Presiden ada di
ruangannya? Ada sesuatu yang harus aku bereskan.”
Wanita itu menggertakkan giginya, sehingga bibirnya hanya tampak
seperti garis tipis. Terlalu marah untuk menjawab pertanyaan
Kyuhyun.
“Kalau aku jadi kau, aku akan menyerahkan surat pengunduran diriku
hari ini juga, sebelum diusir secara tidak hormat dengan skandal
memalukan itu. Menteri yang kau kencani pasti tidak akan suka kan
kalau hubungan kalian terkuak? Dia pasti akan meminta
pertanggungjawabanmu.”
Kyuhyun tersenyum. Senyum yang biasanya bisa menjungkirbalikkan
hati wanita manapun sampai tergila-gila. Tapi sepertinya wanita di
depannya itu malah menatapnya seolah dia adalah setan pencabut
nyawa.
“Sore ini, Nona Song. Batas waktumu sore ini. Atau kau harus
menghadapi kiamatmu besok.”

***
“Sepertinya aku tahu kepentinganmu datang kesini,” ujar Min Kwang-
Jin sambil memainkan gelas berisi wine-nya. Presiden Korea Selatan
itu kemudian melipat tangannya di atas meja dan menatap Kyuhyun
lekat-lekat.
“Anak muda,” mulainya. “Aku tahu betapa menyenangkannya
pernikahan pada awalnya. Kau masih tergila-gila pada istrimu,
memberikan apapun yang dia butuhkan, melakukan apapun untuk
membuatnya bahagia. Selalu berada di sisinya apapun kesalahan yang
dia lakukan. Aku mengerti semuanya. Karena aku juga pernah
mengalaminya. Melewati saat-saat itu. Sampai pada tahap
pernikahanku yang sekarang. Bisa dikatakan sudah… 32 tahun. Dan
segala sesuatunya tidak lagi sama.”
“Aku tidak peduli dengan kehidupan pernikahanmu,” sergah Kyuhyun
dingin.
“Aku tahu.” Pria berumur akhir 50-an itu tersenyum. “Aku hanya ingin
memberitahumu bahwa kau juga harus bersikap objektif dalam
memandang sesuatu. Sudah tertulis dalam peraturan KNI bahwa jika
penyelidikan mengarah kepada Presiden, semuanya harus dilakukan
dalam protokol resmi. Dan istrimu melakukan kesalahan dengan
memeriksa jadwal kerjaku tanpa surat perintah. Mendapatkannya
setelah mengancam sekretaris pribadiku. Itu bisa dikatakan ilegal.
Dan aku hanya menuntut agar dia di-skorsing, bukan dipecat.”
“Tentu saja hanya itu, karena kekuasaanmu hanya sebatas itu,” desis
Kyuhyun. “Aku masih memiliki hak penuh untuk menerima ataupun
memecat karyawan.”
“Yah, bisa dikatakan begitu,” ucap Kwang-Jin setuju. Senyum sudah
sepenuhnya menghilang dari wajahnya.
“Apa yang kau takutkan sebenarnya?” tanya Kyuhyun curiga. “Kenapa
kau mengambil tindakan langsung terhadap hal yang tidak terlalu
serius itu? Kau menyembunyikan sesuatu sampai merasa perlu untuk
menyingkirkan istriku dari tim penyelidik kasus pembunuhan itu?
Takut mereka mendapatkan sesuatu?”
“Kau tidak dalam posisi bisa menanyaiku seperti itu, Kyuhyun ssi.”
“Sebaiknya kau tidak membuatku curiga, kan? Karena jika aku
tertarik untuk turun tangan sendiri, tidak ada lagi rahasia yang bisa
kau sembunyikan dariku, Min Kwang-Jin ssi.”
“Apa yang kau inginkan sebenarnya?”
“Pertanyaan bagus. Aku ingin mengambil KNI kembali. Sepenuhnya.
Masih berada di tangan pemerintah tapi setiap keputusan, sekecil
apapun, harus berada di bawah pengawasanku dan atas
persetujuanku. Presiden sama sekali tidak berhak menginvansi
ataupun ikut campur.”
“Kau meminta perusahaanmu kembali?”
“Tidak juga. Hanya mencabut hakmu saja.”
“Hanya sebatas itu?”
“Sejauh ini ya.” Kyuhyun mencondongkan tubuhnya ke depan dan
mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ujung-ujung jemarinya.
“Dan aku ingin kau meminta maaf secara langsung pada istriku atau
aku akan bertindak lebih jauh.”
“Mengancamku, Tuan Cho Kyuhyun?”
Kyuhyun mendengus, memperlihatkan seringaiannya yang menakutkan.
“Kalau kau lebih suka menganggapnya begitu. Presiden.”

***
Central Hospital
10.00 PM

Kyuhyun melangkah pelan menyusuri koridor rumah sakit yang mulai


sepi. Hanya ada beberapa perawat yang berlalu-lalang dan juga
kerabat pasien yang berjalan menuju ruang rawat yang terletak di
lantai itu.
Pria tersebut berbelok di ujung, memandang sebuah koridor yang kali
ini sudah benar-benar kosong. Tadinya ada Leeteuk disana, tapi dia
sudah menyuruh kakak iparnya itu pulang karena dia sendiri yang akan
menjaga istrinya malam ini. Juga hari-hari berikutnya. Dia sudah
memerintahkan Joong-Ki untuk membawakan barang-barang
pribadinya kemari dan mulai besok, semua bisnisnya akan diurus dari
sini.
Kyuhyun menghentikan langkahnya di depan pintu kamar rawat Hye-
Na, satu-satunya ruangan yang ada di sepanjang koridor itu. VVIP.
Saat membangun rumah sakit ini dulu, dia memang meminta agar
ruangan ini disediakan. Khusus untuknya dan keluarganya. Tapi Hye-
Na-lah orang pertama yang akhirnya dirawat di ruangan tersebut.
Orang yang paling tidak ingin dilihatnya terluka.
Kyuhyun mendorong pintu tersebut sampai terbuka, berusaha tidak
mengeluarkan suara. Tapi dia lagi-lagi tidak melanjutkan langkahnya,
hanya berdiri disana. Diam.
Mata pria itu tertuju pada Hye-Na yang sedang menoleh ke arah lain
sehingga tidak menyadari kehadirannya. Gadis itu memandangi
jendela kaca besar di samping kanannya, yang hanya menampakkan
gambaran gelap pemandangan malam hari. Tampak sedang melamun.
Kyuhyun bertahan di tempatnya selama beberapa menit kemudian,
saat akhirnya lututnya menjadi goyah dan kakinya tidak bisa lagi
menopang beratnya dengan benar ketika di depan matanya sendiri,
gadis itu menunduk, membenamkan wajahnya ke atas lutut kanannya
yang tidak cedera, memperlihatkan pundaknya yang berguncang
kepada Kyuhyun, sehingga pria itu menebak apa yang sedang terjadi
saat ini.
Pria itu membeku, mencengkeram kenop pintu kuat-kuat sehingga
buku-buku jarinya memutih. Perlahan, tanpa sadar, kakinya
membawanya melangkah mundur, dengan mata yang masih terpancang
pada punggung Hye-Na. Satu-satunya hal yang masih disadarinya
hanyalah ada tetesan basah yang sama di wajahnya, serupa dengan
tetesan yang mungkin sekarang juga menodai wajah tanpa cela
gadisnya.
Ada sesuatu yang menohoknya tanpa ampun. Sesuatu yang berbentuk
kesalahan besar yang tidak bisa diperbaikinya. Dia berjanji untuk
menjaga gadis itu baik-baik bukan? Dia melindungi gadis itu
sebisanya, membuat gadis itu bertahan di bawah naungan
perusahaannya. Tapi sekarang, bahkan di bawah kuasanya sendiri,
gadis itu terluka begitu banyak.
Dia akan memperbaikinya. Itu pasti. Hanya saja… dia sendiri tahu
bahwa sebanyak apapun kenangan-kenangan baru yang akan
dilakukannya bersama gadis itu, tetap saja kenangan-kenangan buruk
tersebut akan tersisa. Membekas seperti noda yang tidak bisa hilang.
Sekeras apapun dia berusaha menghapusnya.
Hanya dua kali. Dia hanya pernah menangis dua kali sejak dia tumbuh
dewasa. Dan dua-duanya disebabkan oleh gadis yang sama. Pertama
saat gadis itu meninggalkannya begitu saja di Irlandia. Dan yang
kedua adalah sekarang, saat dia menangis karena gadis itu juga
menangis. Hanya karena alasan sesederhana itu.
Tapi bukankah gila saat dia merasa senang karena akhirnya dia
memiliki sebuah kelemahan? Kelemahan yang terlalu besar sampai
bisa membuatnya hancur dalam sekejap mata. Tapi kelemahan itu
berbentuk sesosok gadis yang bernama Cho Hye-Na. Sebuah
kelemahan yang menyedot seluruh perasaan cinta yang dia miliki
sampai habis. Dan dia rela-rela saja. Bahkan akan mempertahankan
kelemahan itu seumur hidupnya.
Bukankah wanita memang tercipta untuk melemahkan semua pria di
dunia?

***
2 days later…

Central Hospital, Seoul


09.00 PM

“Perang dingin?” sapa Soo-Hyun saat memasuki kamar rawat Hye-Na


dan Kyuhyun pergi begitu saja meninggalkan mereka tanpa berkata
apa-apa. Ini pertama kalinya pria itu datang berkunjung setelah 3
hari berlalu sejak kecelakaan tersebut.
Hye-Na tersenyum tipis, tampak tidak nyaman dibombardir mengenai
kehidupan rumah tangganya.
“Kau baru datang,” ujar Hye-Na, menyelidik.
“Yah… aku harus mengadakan penyelidikan disana-sini. Sibuk sekali,”
jelas pria itu. “Kau sangat merindukanku, ya?”
Hye-Na lagi-lagi tersenyum tipis, membuat Soo-Hyun menjadi panik
seketika.
“Nah, apa-apaan itu? Kau biasanya akan mengatakan “Potong leherku
kalau sampai itu terjadi!” atau mungkin sesuatu yang kedengarannya
seperti itu. Kepalamu terhantam parah, ya?”
Hye-Na menggeleng tanpa mengucapkan apa-apa.
“Ayolah. Kau masih kuanggap sebagai atasanku. Sungguh. Mereka akan
segera mengembalikan pekerjaanmu dan kau bisa mencincang
siapapun yang sudah membuatmu mengalami hal ini.”
“Hye-Na~ya,” bujuk Soo-Hyun saat gadis itu masih saja tidak
mengatakan apa-apa. “Ayo cerita padaku. Apa saja. Ah, bagaimana
kalau masalahmu dengan Kyuhyun? Kalian sedang ada masalah? Dia
kelihatannya sangat tidak ramah. Terjadi sesuatu?”
“Tentu saja terjadi sesuatu,” dengus Hye-Na. “Dia menuduhku ingin
bunuh diri bersama bayiku dan meninggalkannya.”
“Tunggu tunggu,” potong Soo-Hyun. “Biarkan aku mencernanya dulu.
Hmm… apa itu karena kau meminta Yesung hyung untuk melakukan apa
saja agar bayimu bisa dipertahankan? Dan baru menyerah setelah
tidak ada lagi yang bisa dilakukan?”
Hye-Na mengangguk.
“Hmmm,” gumam Soo-Hyun sambil mengusap-usap bagian belakang
kepalanya. “Jalan pikiran suamimu itu sedikit berbeda. Sebenarnya.
Biasanya pria lain tidak akan berpikiran seperti itu. Tapi mengingat
perasaan cintanya yang terlalu berlebihan padamu, itu tidak bisa
disalahkan juga.”
“Maksudmu?”
“Yah… begini… mungkin dia sudah mengatakannya padamu, aku hanya
membantumu memahaminya saja. Kau memang meminta hal itu pada
Yesung hyung sebagai seorang ibu yang tidak mau kehilangan anaknya.
Bisa dimaklumi. Tapi Kyuhyun melihatnya dengan cara lain. Maksudku…
yah… dia pasti berpikir bahwa nyawamu harus lebih diutamakan
daripada apapun. Masalah anak, kalian masih punya banyak waktu
untuk memilikinya lagi. Yang penting baginya hanya kenyataan bahwa
kau tetap hidup. Hanya sebatas itu. Jadi dalam anggapannya, kau
lebih memilih anakmu dan memilih meninggalkannya.”
“Tapi maksudku bukan seperti itu….”
“Oke oke. Aku kan hanya mencoba membantumu memahami jalan
pikiran suamimu yang aneh itu. Kau jangan menyerangku begitu,”
dengus Soo-Hyun.
“Pikiran macam apa itu! Kami bahkan tidak bicara lagi sejak malam itu.
Dia hanya datang setiap malam dan tidur disini untuk menemaniku.
Hanya itu.”
“Benarkah? Leeteuk hyung bilang dia berjaga disini seharian. Tidak
pernah beranjak dari rumah sakit. Dia bekerja dari sini, melakukan
semuanya disini. Yah… mungkin dia hanya ingin memberi waktu
untukmu.”
“Apa?” sergah Hye-Na tak percaya. “Tapi dia….”
“Itu gengsi pria,” jelas Soo-Hyun cepat-cepat sebelum gadis itu
meledak lagi. “Dia bersikap seolah dia tidak memperhatikanmu, tapi
sebenarnya malah sebaliknya. Dia menjagamu di luar, sepanjang
waktu.”
“Tapi bagaimana caranya dia….”
“Mudah saja. Fasilitas di rumah sakit ini kan lengkap. Ada ruangan-
ruangan khusus untuk keluarga. Lagipula rumah sakit ini miliknya.”
“Miliknya,” ulang Hye-Na. “Miliknya. Bagian mana di kota ini yang
bukan miliknya?” tanya gadis itu retoris.
“Namsan Tower masih milik pemerintah,” ucap Soo-Hyun kalem.
“Tutup saja mulutmu itu.”
“Cho Hye-Na sudah kembali,” cengir pria itu senang. Dia mempelajari
wajah Hye-Na lalu cemberut lagi. “Tidak sepenuhnya,” sambungnya.
“Kehilangan pekerjaan membuatmu menjadi seperti zombie. Dan
bertengkar dengan Kyuhyun hanya membuatnya menjadi semakin
buruk lagi. Tapi ngomong-ngomong, kau sudah tahu belum bahwa
suamimu itu menghajar Jenderal Besar KNI pada malam kau
kecelakaan di depan semua orang? Dia benar-benar terlihat bisa
membunuh siapapun tanpa bantuan senjata. Aku dulu bahkan berpikir
bahwa tidak ada yang bisa menumbangkan Min Hwang-Do. Tapi
suamimu melakukannya.”
Mata Hye-Na terbelalak lebar. “Apa yang dia katakan?”
“Hmm… bahwa kalau sampai terjadi apa-apa padamu Hwang-Do
sajangnim-lah orang kedua yang akan dia bunuh.”
“Siapa… orang pertama….”
“Presiden,” sahut Soo-Hyun cepat sebelum Hye-Na menyelesaikan
pertanyaannya. “Memangnya siapa lagi?”

***
Next day….
09.00 AM

“Tenanglah, oke? Kalau kau sudah sehat sepenuhnya, kau bisa kembali
bekerja. Kyuhyun sudah mengurus semuanya,” ucap Leeteuk sambil
membantu Hye-Na berdiri dari tempat tidur.
“Mengurus semuanya? Aku pikir… dia tidak memiliki kekuasaan
apapun,” tanya Hye-Na bingung.
“Yah…” gumam Leeteuk. “Dia mengamuk habis-habisan. Dan mengambil
alih KNI, STA, dan KIA ke bawah naungan Cho Corporation lagi.
Butuh waktu beberapa hari untuk mengurusnya kurasa, tapi setelah
itu kau bisa bekerja kembali seperti biasa.”
Hye-Na menghentikan langkahnya dengan mulut ternganga.
“Dia melakukan itu hanya untuk….”
Leeteuk tersenyum geli. “Kau pikir apa yang tidak bisa dilakukan
suamimu untukmu, hmm? Aku rasa dia mengancam Presiden. Aku
dengar mereka berbicara empat mata dan setelah itu Presiden
memberi perintah untuk menyerahkan KNI kembali ke tangan
Kyuhyun. Juga masalah-masalah lainnya.”
“Seperti apa?” tukas Hye-Na, terdengar menuntut.
“Yah… seperti… menarik Yesung dari segala penelitiannya agar dia
berkonsentrasi untuk penyembuhanmu saja. Belum lagi masalah
ibumu. Aku cukup heran kau tidak bertanya.”
Hye-Na mengatupkan rahangnya. “Aku terlalu banyak pikiran.”
“Yah, ibumu sempat histeris dan ingin kesini. Aku rasa Kyuhyun
membutuhkan waktu setengah jam lebih untuk menenangkannya. Dia
juga berhasil melarang beberapa orang untuk menjengukmu. Ibunya,
Ah-Ra. Kau pasti akan merasa tidak nyaman dengan kunjungan
mereka. Dia itu benar-benar mengerti sifatmu, kau tahu? Dia
menjaga kenyamananmu sebisa mungkin. Belum lagi dia juga harus
mengurus bisnisnya dari sini. Dia tidak mau beranjak sedikitpun. Tapi
biasanya dia hanya duduk di luar atau di kafetaria. Kalian sedang
bertengkar, kan? Aku tidak heran. Kalian berdua memang keras
kepala.”
Leeteuk baru saja menyelesaikan ucapannya saat pintu ruang rawat
Hye-Na terbuka dan Kyuhyun melangkah masuk.
“Barang-barangmu sudah dibaawa ke mobil,” ucapnya dingin. “Biar aku
saja. Kau bisa kembali ke kantor, hyung,” tukasnya dengan nada yang
masih sama, meraih siku Hye-Na dari genggaman Leeteuk dan
menarik gadis itu ke arahnya.
“Baiklah. Aku ke kantor dulu. Kalau terjadi apa-apa hubungi aku.
Sampai jumpa, Hye-Na~ya.”
Hye-Na mengangguk, tanpa alasan yang jelas merasa rikuh
ditinggalkan berdua saja dengan pria di sampingnya.
“Yesung hyung bilang kakimu akan kembali normal besok.”
Hanya kalimat tersebut yang diucapkan pria itu. Dan kemudian
mereka berjalan dalam diam, walaupun pria itu masih dengan sigap
membantunya melangkah, melingkarkan lengan ke pinggangnya dan
mengangkat tubuhnya dengan mudah saat mereka menuruni tangga
depan rumah sakit.
Suasana hening itu masih berlanjut saat mereka sampai di rumah.
Tidak ada ibu mertua dan kakak iparnya yang datang menyambut
seperti yang dia takutkan. Sepertinya Kyuhyun juga sudah mengurus
hal itu.
Kyuhyun membukakan pintu mobil untuknya, memegangi sikunya
dengan tangannya yang bebas, sedangkan tangan yang satu lagi
mengangkat tas berisi pakaian-pakaian Hye-Na yang gadis itu tahu
sama sekali tidak ringan. Tapi pria itu seolah tidak menyadarinya.
Kapan dia bisa tahu sejauh apa kekuatan pria itu sebenarnya?
Kyuhyun menggiringnya ke kamar dan dia hanya diam saja. Dia tidak
lagi tertarik berbicara jika tidak diperlukan, cukup sibuk
membenamkan dirinya ke dalam kemuraman yang tidak berujung. Dia
bisa bersikap pura-pura baik-baik saja di depan Soo-Hyun atau
Leeteuk saat mereka datang berkunjung, tapi tidak ada yang tahu
bagaimana perasaannya yang sebenarnya. Kehilangan pekerjaan. Dan
yang lebih buruk lagi; kehilangan anak. Dua hal dari tiga hal
terpenting dalam hidupnya. Terlepas begitu saja dari genggamannya
dalam hitungan jam. Karena kesalahannya sendiri.
Gadis itu mengelus perutnya diam-diam. Bagian itu akan tetap datar,
tidak akan membesar seperti yang seharusnya terjadi pada ibu-ibu
hamil lainnya. Tidak akan ada gerakan apapun yang berasal dari dalam
sana. Tidak ada lagi mual-mual aneh di pagi hari. Tidak ada bayi. Dia
tidak akan memiliki bayi.
Gadis itu tersentak saat mendengar bunyi debam yang ditimbulkan
oleh hantaman tas yang dibawa Kyuhyun dengan lantai kamar. Dia
mendongak dan mendapati pria itu menatapnya tajam. Marah, kesal,
frustrasi… khawatir.
“Cukup,” desis pria itu dari sela-sela bibirnya yang terkatup rapat.
“Aku sudah memberimu waktu empat hari untuk mengasihani dirimu
sendiri dan aku tidak akan berbaik hati lagi. Gunakan akal sehatmu
dan kembalilah ke kondisi normal.”
“Mudah untukmu bicara begitu.”
“APA?” teriak Kyuhyun sengit. “KENAPA? Karena aku tidak
merasakan apa yang kau rasakan? Apa kau saja yang baru kehilangan
anak? ITU JUGA BAYIKU! Sial.” Kyuhyun mengacak-acak rambutnya,
matanya berkilat menyeramkan. “Kau kehilangan pekerjaanmu? Kau
tahu apa yang lebih buruk? Aku juga kehilangan istriku! Kau pikir aku
tidak tahu? Sepanjang hari kerjamu hanya duduk di atas ranjang,
menatap keluar, dan melamun tanpa melakukan apa-apa. Kau pikir air
matamu itu tidak akan habis kalau kau terus-menerus membuang-
buangnya seperti itu, hah? Dengar, Na~ya, apa yang kau inginkan?
Pekerjaanmu? Aku bisa mengembalikannya padamu. Anak? Kita bisa
memilikinya lagi sebanyak apapun yang kau mau. Berhenti membuatku
khawatir dan cemas setengah mati! Kau masih punya aku, sialan. Kau
pikir untuk apa kita menikah?”
Kyuhyun mencengkeram lengan bagian atas Hye-Na dan
menyentakkannnya mendekat.
“Kembalilah,” bisiknya. “Empat hari sudah terlalu lama. Kau mau
membunuhku perlahan-lahan, huh?”

***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
11.10 PM
Hye-Na berguling sesaat sebelum membuka matanya, mengernyit
saat sinar matahari menusuk tajam, menyilaukan pandangannya. Gadis
itu mendapati ranjang di sampingnya sudah kosong kemudian melirik
jam kecil di samping tempat tidur. Sudah jam sebelas lewat. Dia
tertidur terlalu lama. Mungkin karena itu sudah menjadi kebiasaannya
selama empat hari terakhir.
Hye-Na melompat turun dari tempat tidur, tersenyum senang saat
menyadari bahwa kakinya tidak lagi terasa nyeri seperti kemarin. Dan
salep yang diberikan Yesung setiap hari terbukti ampuh
menghilangkan semua goresan dan luka di sekujur tubuhnya tanpa
bekas, padahal dia sempat ketakutan jika harus melakukan operasi
plastik, yang mengindikasikan bahwa dia harus menginap lebih lama
lagi di tempat terkutuk yang dinamakan rumah sakit itu.
Perasaannya sudah jauh lebih baik pagi ini. Mungkin dikarenakan
suasana yang sudah familiar. Rumah sakit hanya memperburuk
keadaan psikisnya. Membuat segala yang berkeliaran di otaknya hanya
terdiri dari hal-hal negatif saja.
Hye-Na berjalan keluar kamar, langsung menuju ruang makan dan
tidak menemukan siapa-siapa disana. Tentu saja. Kyuhyun pasti sudah
berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Kerajaan bisnisnya sudah
terbengkalai begitu lama hanya karena pria itu ingin menjaganya. Dan
sekarang pria itu pasti sudah tidak sabar ingin membenamkan diri
dengan semua hal yang mengalirkan bermilyar-milyar dolar ke
tangannya dalam waktu singkat.
Gadis itu menghampiri AutoChef, cemberut saat melihat carikan note
yang ditinggalkan di pintunya.
Makan corn soup atau bubur saja. Susu atau jus jeruk.
Dan selamat pagi, Na~ya. Aku harap kau sudah cukup waras hari
ini.

-Kyuhyun-

“Apa-apaan,” dengus gadis itu, tapi tetap memesan corn soup seperti
yang dianjurkan pria itu, membuang jauh-jauh bayangannya tentang
setumpuk sandwich dengan daging panggang dan lelehan keju yang
membuat liurnya menetes. Dia mendapatkan jus jeruknya beberapa
detik kemudian, meminumnya sampai tandas dan berjalan ke meja
makan dengan mangkuk sup di tangan.
Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya hari ini. Melamun di
rumah? Meratapi nasib?
Setidaknya dia harus menyelesaikan satu hal dulu. Berbaikan dengan
suaminya sekarang adalah prioritas utama.

***

Cho Corporation, Seoul


02.00 PM
Hye-Na membelokkan mobilnya, lebih tepatnya mobil Kyuhyun yang
sudah dicurinya dari garasi, memasuki lahan parkir yang berada di
lantai dasar bangunan berbentuk lengkungan-lengkungan rumit itu,
mengerem mendadak saat sebuah android muncul tiba-tiba di depan
mobilnya. Gadis itu mengumpat dan menurunkan jendela mobilnya
dengan raut wajah kesal.
“Maaf sudah mengganggu kenyamanan menyetir Anda, Nyonya Cho.
Saya ingin memberitahu bahwa Anda bisa memarkirkan mobil Anda di
bagian paling ujung, di tempat parkir khusus yang kami sediakan.
Pintu bajanya akan bergeser saat mobil Anda mendekat. Jenis mobil
dan ciri-ciri Anda sudah dimasukkan dalam sistem, jadi pintu akan
otomatis terbuka.”
“Dan coba kutebak,” ucap Hye-Na geram. “Pasti suamiku tersayang
yang sudah menyediakan tempat sialan itu untukku.”
Dan tanpa menunggu balasan dari android pria itu, Hye-Na langsung
menancap gas dalam-dalam dan mengarahkan mobilnya ke tempat
yang ditunjuk, menimbulkan bunyi berdecit keras saat dia
menghentikan mobilnya tepat di samping mobil Ferrari hitam
Kyuhyun, satu-satunya mobil lain yang terparkir di ruang kaca
berpengaman tersebut.
Hye-Na turun, memutar bola matanya saat melihat dinding di
depannya bergerak membuka, memperlihatkan lift tersembunyi di
baliknya.
“Selamat datang di gedung Cho Corporation. Kami akan mengantar
Anda langsung ke lantai pribadi Presiden Direktur dan kami akan
memberitahukan kedatangan Anda. Saat ini Presiden Direktut sedang
menghadiri sebuah rapat. Anda bisa menunggu di ruangan yang sudah
disediakan. Semoga perjalanan Anda menyenangkan, Nyonya.”
“Oh, astaga!” geram Hye-Na. “Bisakah kau katakan padanya lanjutkan
saja apapun yang sedang dia lakukan? Aku bisa menunggu!” teriak
Hye-Na kesal. Semua basa-basi ini, pengaturan yang disediakan
khusus untuknya… dia tidak pernah menyukai hal-hal seperti itu.
Hanya karena dia istri dari pria tertampan di dunia sekaligus pemilik
separuh isi bumi, bukan berarti dia akan menyukai semua kemudahan
fasilitas yang bisa dia dapatkan.
Gadis itu menghantam pintu lift dengan kepalan tangannya, sekedar
untuk menyalurkan rasa frustrasinya, yang berakhir dengan
timbulnya rasa sakit berdenyut-denyut di punggung jarinya. Dia masih
mengumpat-umpat di sepanjang lorong kosong panjang yang tidak
memberi tanda-tanda kehadiran seorang manusia pun, saat tiba-tiba
dinding di sebelah kanannya menggeser membuka,
memperlihatkan hall yang tampaknya cukup besar untuk menampung
sebuah rumah di dalamnya. Ada kursi-kursi dan sofa-sofa nyaman
yang tersusun dengan penuh seni di dalamnya, tampak mahal tentu
saja, dan barisan-barisan AutoChef di dinding, yang sepertinya cukup
untuk mengadakan pesta makan selama satu minggu dengan jumlah
tamu seribu orang. Di bagian ujung terdapat sebuah meja panjang
dengan seorang wanita di baliknya, yang ditebak Hye-Na sebagai
sekretaris Kyuhyun. Gadis itu cukup mampu untuk menjadi seorang
artis atau model dengan wajah seperti itu, dan mungkin otaknya
cukup untuk menjadi seorang jenius karena Kyuhyun bersedia
mempekerjakannya.
Di belakang gadis itu, sesuatu yang seharusnya berupa dinding diganti
menjadi lengkungan-lengkungan baja yang dibentuk secara begitu
artistik. Dan abstrak. Saling melilit membentuk sesuatu yang entah
apa. Kenapa suaminya suka sekali dengan kerumitan?
“Nyonya Cho. Selamat datang. Senang akhirnya bisa bertemu dengan
Anda.”
Gadis sekretaris itu menyapanya dengan senyum terlatih yang
terlihat cukup tulus, keluar dari balik meja dan berjalan
menghampirinya. Dia sendiri butuh waktu beberapa menit untuk
mencapai meja gadis tersebut. Ruangan itu besar. Terlalu besar. Apa
gadis itu tidak pernah merasa kesepian sendirian disini?
Tentunya gaji besar akan membuat siapapun bertahan. Hye-Na cukup
curiga bahwa gaji gadis itu mungkin lebih besar dari gajinya. Kyuhyun
cukup loyal terhadap karyawan setahunya.
“Nama saya Min Jung-In. Saya sekretaris Cho sajangnim. Beliau
sedang menghadiri rapat, tapi sudah diberitahukan perihal
kedatangan Anda. Anda bisa menunggu di ruangannya.”
“Dia sedang rapat apa? Merencanakan membeli suatu planet lagi?
Karyawisata ke bulan? Atau menemukan cara hidup dengan aman di
Mars?” tanya Hye-Na, sedikit terdengar sinis.
Jung-In tersenyum. Dia sudah mendengar kabar bahwa wanita di
hadapannya itu sama sekali tidak memiliki ketertarikan terhadap
apapun yang dilakukan suaminya. Sesuatu yang membuatnya berbeda.
Dan jelas membuat atasannya tertarik sehingga memutuskan
menikahinya secara paksa.
“Semuanya adalah rencana yang dikemukakan Cho sajangnim beberapa
bulan yang lalu dan sedang dalam proses,” jelasnya, tersenyum lagi
saat mendengar dengusan tidak percaya yang dikeluarkan istri
atasannya itu. “Saat ini Cho sajangnim sedang menjalani rapat dengan
beberapa klien besar. Sesuatu yang biasanya menghasilkan milyaran
dolar dalam sekejap mata.”
“Coba kau beritahu aku sesuatu yang lebih luar biasa lagi dari itu dan
lihat apakah aku bisa terkena serangan jantung atau tidak,” gumam
Hye-Na dengan alis terangkat.
“Semua dewan direksi, petinggi negara, konglomerat, pebisnis,
profesor, dan banyak lagi, mendesak Cho sajangnim untuk mengikuti
pemilihan presiden tahun depan, dan kalau berhasil, dia pastinya akan
menjadi Presiden termuda dalam sejarah dunia.”
“Oh, sialan,” umpat Hye-Na, tidak bisa menutup mulutnya yang sedang
ternganga lebar. “Dia pasti akan secepatnya menerima surat cerai
dariku kalau sampai itu terjadi. Tunjukkan ruangannya atau aku
kemungkinan akan mati muda kalau harus mendengar ceritamu lagi.”
“Disana,” tunjuk Jung-In, ke sudut tempat lengkungan-lengkunagn
baja di belakang mereka berawal. “Letakkan saja tangan Anda di atas
kotak, pintunya akan terbuka.”
“Dan sejak kapan dia berhasil mendapatkan cetak sidik jariku?” tanya
Hye-Na retoris, tanpa menunggu jawaban berjalan ke tempat yang
ditunjukkan dan meletakkan tangannya di atas kotak pemindai.
Terdengar bunyi bip dan suara wanita yang memberitahu bahwa
pemeriksaan selesai, kemudian dia hanya bisa melongo lagi melihat
baja-baja ruwet itu meliuk memisahkan diri, memperlihatkan ruangan
besar yang ditata dengan selera tinggi, ciri khas Kyuhyun.
Ada rak-rak tinggi penuh buku di sepanjang dinding, membuat Hye-
Na sempat berpikir kalau dia baru saja memasuki perpustakaan. Meja
panjang dan besar, di depan jendela yang menggantikan dinding
belakang, tampak rapi walaupun banyak file yang ditata di atasnya,
ditambah dengan keberadaan sebuah komputer super tipis yang Hye-
Na tahu belum dilempar ke pasaran, mengingat Leeteuk, kakak
angkatnya, sibuk meributkan hal tersebut seminggu terakhir,
mengatakan bahwa dia akan mengemis kepada Kyuhyun jika benda itu
sudah dipasarkan nanti karena jelas harganya sama dengan membeli
satu mobil sport mewah, yang berarti bahwa Hye-Na tidak akan mau
mengetahui biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan
komputer tersebut kecuali dia ingin mencekik lehernya sendiri.
Hye-Na berdiri di depan jendela besar yang menampilkan
pemandangan sibuk kota Seoul di siang hari. Pembangunan jalan
khusus yang didirikan 50 meter di atas jalan biasa tampak di
kejauhan. Jalanan itu dimaksudkan agar tidak terjadi kesemrawutan
saat amphibithropenantinya dipasarkan dan mulai digunakan secara
massal. Akan terjadi banyak insiden jika jalanan untu mobil terbang
dan mobil biasa tersebut disatukan. Bayangkan saja jika mobil di
depanmu tiba-tiba berpindah haluan dan terbang ke langit tanpa
peringatan.
Hye-Na tersentak dari pikirannya saat sebuah tangan tiba-tiba
melingkari bahunya, memeluk dari belakang. Detik berikutnya sesuatu
menyentuh pipinya. Ringan. Singkat. Tapi jelas mengacaukan otak.
“Hai. Kau datang ke kantorku? Ada apa?”
Hye-Na menoleh sedikit dan tersenyum. “Aku sudah bilang agar
mereka tidak usah mengganggumu. Aku bisa menunggu.”
“Aku yang memerintahkan begitu. Lagipula ini pertama kalinya kau
kesini, kan?” Kyuhyun bergeser sampai dia berdiri di samping Hye-Na,
masih dengan lengan yang memegangi bahu gadis itu. Tapi dia tidak
berkomentar saat Hye-Na dengan refleks ikut bergerak dan dengan
natural melingkarkan lengannya di pinggang Kyuhyun.
“Maaf,” gumam Hye-Na pelan. “Beberapa hari terakhir aku bersikap
sangat menyebalkan.”
“Tidak apa-apa. Aku bisa mengerti.” Kyuhyun menyentuh pipi gadis itu
dengan telapak tangannya, mengusapnya lambat, dengan kentara
tampak merasa sangat lega.
“Kau bisa kembali bekerja dalam waktu dekat. Aku akan
mengusahakannya. Tapi aku mau kau baru masuk kerja setelah
bajingan itu meminta maaf padamu.”
“Kau menyebut Presiden bajingan?” tanya Hye-Na dengan senyum
terkulum.
“Siapapun yang mengganggumu akan aku anggap bajingan.”
Hye-Na mengalihkan pandangan, memilih menatap kancing kemeja pria
itu dan menyentuhnya dengan ujung jari.
“Aku dengar kau dicalonkan menjadi Presiden.”
“Bagaimana pendapatmu?”
“Hmmm…” gumam Hye-Na sambil menghela nafas. “Bagaimana
menurutmu jika aku menjadi Ibu Negara?”
“Kau akan menjadi Ibu Negara yang luar biasa,” sahut Kyuhyun.
Hye-Na bisa menangkap makna lain dari ucapan pria itu, jadi dia
mendongak, mendapati Kyuhyun balas menatapnya dengan senyum
miringnya yang luar biasa. Mata pria itu tampak berkilat-kilat geli,
terlihat menikmati topik pembicaraan mereka.
“Kalau kau dicalonkan, sudah pasti kau akan terpilih, kan?”
“Tidak diragukan,” ucap pria itu. Kali ini serius.
“Apa seorang Ibu Negara boleh memakai jins? Baju kaus? Sepatu
kets? Membawa pistol? Apa aku harus berhenti menjadi agen dan
mulai mengikuti acara-acara kebaktian sosial, bergabung bersama
istri-istri pejabat lainnya? Aku harus mulai berdandan, memakai gaun,
dan menjadi feminin?”
Kyuhyun menarik jumputan rambut Hye-Na yang terurai jatuh di
samping wajah gadis itu lalu menyelipkannya ke belakang telinga.
“Apa seorang Presiden boleh menghamburkan uang sesuka hati untuk
membeli pulau, planet, atau benua? Apa seorang Presiden punya hak
untuk menginvansi rahasia negara lain sembarangan dan memporak-
porandakan badan intelijen mereka? Apa seorang Presiden diizinkan
memiliki waktu pribadi selewat jam 9 malam dan ditinggalkan berdua
saja dengan istrinya?” Pria itu balik bertanya. “Kau pikir aku mau
meninggalkan semua kesenanganku hanya untuk mendapatkan jabatan
tertinggi di negara ini? Aku bahkan memiliki kekuasaan yang lebih
daripada seorang Presiden. Dan aku tidak akan membiarkanmu
terperangkap di tengah-tengah persaingan politik yang super
membosankan seperti itu. Aku lebih suka melihatmu mengejar
penjahat dan menembak, jujur saja.”
Hye-Na nyengir. “Tapi negara ini membutuhkan orang sepertimu.
Pemimpin yang bersih, bisa mengembangkan negara dengan baik,
jenius, dan yang jelas tidak tertarik lagi pada uang.”
“Aku masih tertarik dengan uang,” potong Kyuhyun. “Kau pikir untuk
apa aku memilih terus bekerja bukannya istirahat di rumah
menghambur-hamburkan uang?”
“Mereka membutuhkanmu.”
“Aku lebih membutuhkanmu. Kudengar kau mau mengajukan surat
cerai kalau aku mengajukan diri menjadi Presiden.”
Hye-Na tertunduk malu. “Dalam susah dan senang,” ucapnya kemudian
dengan suara kecil, sehingga nyaris tidak terdengar.
“Apa?”
“Dalam susah dan senang,” ulangnya. “Janji pernikahan.”
Kyuhyun tersenyum saat dia akhirnya mengerti apa yang dimaksud
oleh gadis itu.
“Benar. Dalam susah dan senang,” ucapnya setuju. “Dan itu bukan
berarti dengan sengaja menceburkan diri dalam kesusahan.”
Hye-Na memaksakan diri untuk tersenyum. “Seharusnya kau memang
berada disana. Untuk Korea,” ujar gadis itu, walaupun dia tidak
benar-benar menyukai apa yang dia ucapkan.
“Aku bisa berada dimanapun yang aku inginkan,” tandas Kyuhyun
dengan nada tidak dapat dibantah. “Dan aku lebih memilih
bersamamu. Itu yang seharusnya seorang suami lakukan. Kurasa.”
Hye-Na tidak menjawab, hanya mendongak dan memandangi wajah
pria itu. Sesuatu yang membuatnya tidak pernah bisa mengalihkan
pandangan. Sesuatu yang dibentuk dan dipahat tanpa cela, seperti
lukisan mahakarya seorang pelukis hebat. Dan biasanya, mahakarya
hanya tercipta satu kali, seberapa pun bagusnya karya-karya
berikutnya, selalu hanya ada satu mahakarya. Dan tidak akan ada
yang mendebatnya jika dia mengatakan bahwa pria inilah sang
mahakarya.
“Apa yang ingin kau lakukan setelah ini, hmm?” tanya Kyuhyun,
menyentuh wajah gadis itu dengan ujung-ujung jemarinya. “Bekerja…
kembali ke duniamu… memiliki anak lagi mungkin….”
“Aku mencintaimu,” potong Hye-Na cepat, membuat Kyuhyun langsung
membeku di tempatnya, terpaku mendengar ucapan yang tidak
disangka-sangka keluar dari mulut gadis tersebut. Dia merasakan
semua oksigennya tersedot habis dari udara, sedangkan jantungnya
melakukan hal yang sebaliknya, memompa darah ke seluruh tubuhnya
lebih cepat daripada yang dibutuhkan, menimbulkan detak bertalu-
talu yang terasa menyakitkan di dadanya.
“Aku mencintaimu,” ulang gadis itu lagi, kali ini terdengar lebih
mantap dan bersungguh-sungguh. “Untuk setiap waktu yang terlewat
ketika aku lupa mengatakannya. Aku mencintaimu.”

***

Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea


08.00 PM
Hye-Na memarkirkan mobilnya dengan sedikit serampangan di garasi.
Sebenarnya, dia memang tidak pernah bisa memarkirkan mobil
dengan benar, diakibatkan oleh seringnya dia terpaksa menghentikan
mobil di tengah jalan secara sembarangan saat mengejar penjahat.
Oh baiklah, itu hanya alasannya saja.
Gadis itu melangkah melewati jalanan berbatu yang beberapa minggu
terakhir sudah tertutup salju. Dia tidak pernah menyukai sepatu bot,
tapi kalau sudah seperti ini tidak mungkin dia memaksakan diri
mencoba peruntungannya dengan mengenakan sepatu kets.
Biasanya dia hanya akan berjalan cepat ke rumah, tidak mengedarkan
pandangan kesana-kemari seperti yang sedang dilakukannya sekarang.
Tapi hamparan salju putih di depannya benar-benar menarik
perhatian. Sudah berapa lama sejak terakhir kali dia membuat orang-
orangan salju? Sepertinya itu 12 tahun yang lalu, saat ayahnya masih
hidup.
Hye-Na membenarkan letak syalnya sehingga separuh wajahnya
tersembunyi di balik kain tebal tersebut, lalu merogoh saku untuk
mencari sarung tangan saat menyadari kehadiran dua bungkusan di
masing-masing saku mantel yang dipakainya. Kantung penghangat.
Gadis itu yakin sekali bahwa kantung-kantung tersebut tidak berada
di mantelnya sebelumnya, jadi pastilah itu pekerjaan Kyuhyun yang
dengan mencurigakan memeluknya erat saat dia pamit pulang tadi.
Gerakan tangan pria itu kadang-kadang bisa menjadi sangat tidak
terlihat.
Hye-Na tersenyum tipis. Pria itu selalu saja mengingat detail-detail
kecil tentangnya. Hapal semua kebiasaannya dan selalu memberikan
perhatian-perhatian sederhana yang tidak disangka-sangka. Bisa
dikatakan, kehidupan pernikahan dengan pria tersebut berarti kau
dilarang memiliki riwayat penyakit jantung karena pria itu pasti akan
mengejutkanmu berkali-kali.
Hye-Na mengarahkan langkahnya menuju halaman yang sepenuhnya
tertutup salju, menutupi petak-petak bunga manis yang ada disana.
Setidaknya walaupun dia baru memasuki rumah ini musim gugur
beberapa bulan yang lalu, dia dulu bisa melihat sisa-sisa keindahan
taman pada musim kejayaannya.
Halaman depan rumah cukup terang karena keberadaan lampu-lampu
dalam jarak per dua meter. Hal yang sangat mendukung untuk
melaksanakan rencananya kembali ke masa kanak-kanak.
Hye-Na memakai sarung tangan kulit yang ditemukannya di dalam
saku mantel lalu dengan ceria menjatuhkan diri ke atas salju, mulai
asyik membentuk bola-bola salju kecil yang dalam hitungan menit
menjadi semakin besar dari sebelumnya.
Hye-Na baru menyelesaikan badan boneka salju raksasanya saat
sebuah suara keheranan menyapanya dari belakang. Dia tidak merasa
perlu berbalik karena hanya ada satu orang di dunia yang dikenalnya
memiliki suara seperti itu.
“Seorang Cho Hye-Na melakukan ini?”
“Memangnya kau pikir aku langsung terlahir dewasa dan tidak pernah
mengenal hal-hal seperti ini?” sergah Hye-Na, balik bertanya dengan
nada sarkastis.
Kyuhyun terkekeh dan mengambil tempat di samping gadis itu.
“Cuacanya dingin. Kau bisa sakit kalau terlalu lama di luar sini.”
“Ini cuaca paling hangat bulan ini. Kau pikir aku tidak tahu?”
“Tetap saja dingin.”
“Kau masuk saja kalau begitu.”
“Aku tidak bilang bahwa aku tidak menyukainya.”
Hye-Na merengut tapi tidak mengeluarkan argumen lagi, terlalu
menikmati kegiatan yang dia lakukan sepertinya.
“Ngomong-ngomong,” ucap gadis itu, setelah beberapa menit berlalu
dalam keheningan. “Terima kasih kantung penghangatnya.”
“Berarti kau harus mengabulkan satu permintaanku kalau begitu.”
“Apa?”
“Ini.”
Diam-diam Kyuhyun sudah membuat bola-bola salju yang padat, keras,
dan berukuran besar tanpa sepengetahuan Hye-Na, lalu
menyembunyikannya di samping tubuh. Dan salah satu dari bola-bola
itulah yang dilemparkan Kyuhyun tanpa belas kasihan tepat di wajah
Hye-Na, dalam jarak dekat, membuat gadis itu langsung berteriak
tidak terima dengan perlakuan yang didapatkannya.
“YAK!” teriak Hye-Na sambil memegangi wajahnya yang kebas karena
rasa dingin yang menghantamnya. Gadis itu membungkuk dan
membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan, tampak begitu
kesakitan.
Kyuhyun masih tertawa-tawa, tapi langsung berubah panik setelah
beberapa detik berlalu dan Hye-Na masih tetap dalam posisinya.
“Na~ya? Apa sesakit itu?” tanyanya cemas, berjongkok di depan gadis
itu, berusaha memeriksa keadaannya.
“MATI KAU!” teriak Hye-Na penuh kemenangan, dalam gerakan cepat
mendongak dan melemparkan bola salju yang tadi iseng dibuatnya
sebelum kedatangan pria itu.
“Satu sama,” jeritnya senang, memperhatikan bagaimana bongkahan
salju itu jatuh ke tanah setelah menghantam wajah Kyuhyun,
menyisakan butiran-butiran air yang menetes dari rambut, dahi, pipi,
dan menghilang ke balik mantel dengan kerah tinggi yang dipakai pria
itu. Sesuatu yang dianggapnya sebagai keajaiban dunia. Pria itu
tampak seperti… sedang memainkan sebuah iklan. Oh tidak, tidak ada
satu aktor pun yang bisa tampak lebih seksi daripada apa yang
dilakukan oleh pria tersebut barusan.
Dan karena terlalu sibuk melongo, dia sampai melupakan betapa
cepatnya tangan pria itu bisa bergerak, karena di detik berikutnya,
bongkahan salju kedua dilempar ke wajahnya, membuat gadis itu
sedikit terhuyung ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan.
“Itu balasan karena sudah membuatku cemas,” ujar Kyuhyun, dengan
dingin menghilangkan rasa cinta terhadap istrinya hanya demi sebuah
pembalasan dendam.
Hye-Na yang tidak terima langsung bergegas menyiapkan senjatanya
selanjutnya, bergerak secepat yang dia bisa, sesuatu yang dia lakukan
dengan susah payah karena selagi dia membuat bola-bola salju,
Kyuhyun tanpa ampun terus melemparinya dengan berbagai ukuran
bola salju yang telah dibuatnya.
Hye-Na menoleh setelah membuat lima bola salju yang menurutnya
cukup besar saat mendapati bahwa Kyuhyun sebenarnya tidak
melemparinya dengan bola salju yang sudah ada, tapi pria itu baru
membuatnya hanya dalam hitungan detik, seolah salju yang dingin dan
padat itu hanya berupa adonan kue yang bisa dengan mudah dibentuk.
“Lama sekali,” ejek pria itu dengan cengiran lebar di wajah,
menikmati bagaimana Hye-Na melongo melihat gerakan tangannya
yang begitu cepat saat membentuk senjata bola saljunya yang
berbahaya.
“Di dunia ini tidak ada yang tidak bisa kau lakukan, ya?” tanya gadis
itu tanpa sadar, membuat Kyuhyun tertawa keras karena merasa geli
dengan pertanyaan yang diajukan gadisnya itu.
“Aku biasanya memang selalu bisa melakukan segala sesuatunya
dengan baik hanya dalam sekali percobaan,” akunya, tanpa terdengar
sedang menyombongkan diri.
“Oh baiklah, seharusnya aku tidak bertanya,” dengus Hye-Na,
memanfaatkan kesempatan itu untuk melemparkan senjatanya.
Kyuhyun menaikkan alis, mengusap wajahnya yang basah, lalu
menyeringai.
“Seharusnya kau tidak melakukan itu, kau tahu?”
Hye-Na bahkan belum sempat mengerjap untuk mencerna ucapan
Kyuhyun, saat pria itu melakukan penyerangan yang diluar
perkiraannya. Pria tersebut mendadak berlari ke arahnya dengan satu
bola salju yang cukup besar di tangan lalu mendekapnya dengan tiba-
tiba. Hye-Na bisa merasakan mantelnya ditarik dan sesaat kemudian
rasa dingin yang kuat menyebar di punggungnya, menggigit kulitnya
secara langsung.
“Dua-satu,” gumam Kyuhyun di telinganya.
Pria itu tersenyum penuh kemenangan. Hanya beberapa detik, karena
kemudian dia terdiam saat Hye-Na mendadak tertawa keras sampai
tubuhnya terbungkuk-bungkuk. Gadis itu bahkan menutupi mulutnya
dengan tangan, berusaha membungkam tawanya yang tidak bisa
berhenti. Kyuhyun bahkan bisa melihat air mata yang menetes di pipi
gadis itu saking tidak terkendalinya tawanya.
“Hei,” panggil Kyuhyun bingung.
“Itu…” gagap Hye-Na, berusaha keras untuk berbicara dengan benar
di sela-sela tawanya yang semakin menjadi. “Geli sekali.”
Kyuhyun memandangi gadis di hadapannya itu, tampak tidak mengerti,
tapi otaknya memang sedang memikirkan hal lain. Cho Hye-Na… tidak
pernah tertawa selepas itu di depannya dan saat gadis itu
melakukannya untuk pertama kalinya, dia nyaris tidak bisa melakukan
hal lain selain merasa terpesona, dengan otak berkabut yang tidak
bisa memikirkan apa-apa. Matanya hanya tertuju pada wajah gadis itu
saja, menatapnya seolah tidak ada lagi pemandangan indah lain di
dunia yang pantas untuk ditatap.
Dia bisa melihat mata gadis itu yang menyipit, pipinya yang memerah,
bibirnya yang tidak terlihat karena tertutup oleh tangan, dan juga
rambutnya yang ikut berayun-ayun sesuai gerakan bahunya.
Dia… tidak pernah melihat pemandangan yang lebih indah lagi
daripada itu.
“Oh, sialan,” gumamnya, tanpa sadar menarik gadis itu sampai berdiri
dengan benar dan mencekal sikunya. “Itu benar-benar tidak
termaafkan.”
Hye-Na menatapnya bingung, masih dengan cengiran lebar yang
tersisa dari tawanya.
“Terlihat secantik itu,” ujarnya putus asa. “Benar-benar perbuatan
yang tidak termaafkan, kau tahu? Na~ya?”
“Apa?” tanya Hye-Na, tampak semakin bingung.
“Pikirkan saja cara untuk menarik nafas,” perintah Kyuhyun sebelum
menundukkan wajahnya dan membungkam bibir gadis itu dengan
ciuman menuntut yang membabi-buta, menunjukkan bahwa dia tidak
akan berhenti bahkan jika gadis itu sudah kehabisan nafas.
Tangannya menjangkau topi rajut yang dikenakan gadis itu di
kepalanya lalu melemparnya sembarangan ke atas salju di bawah
mereka agar jari-jarinya bisa menyusuri helaian rambut Hye-Na yang
selalu disukainya.
Hye-Na terkesiap kaget dengan gerakan yang begitu tiba-tiba itu,
merasakan bibirnya yang berubah kelu, disebabkan oleh udara dingin
dan juga pembengkakan akibat lumatan bibir Kyuhyun yang begitu
panas.
Berkebalikan dengan cuaca di sekitar mereka, bibir Kyuhyun entah
bagaimana terasa hangat, dengan lidah yang begitu lembut dan mahir
menyusuri bagian dalam mulutnya, sedangkan dia hanya bertahan
dengan pegangan pria itu di sikunya, seperti biasa kehilangan
kemampuan untuk berdiri akibat sentuhan pria tersebut.
Telapak tangan Kyuhyun berpindah menangkup pipi Hye-Na,
memegangi wajah gadis itu agar tetap mendongak sedangkan
hidungnya sedikit bergeser agar memberikan gadis itu kesempatan
untuk menarik nafas.
Dia bisa merasakan bagaimana gadis itu kemudian menyerah dan mulai
membalas ciumannya dengan sama panasnya. Tangan gadis itu
menyusup ke balik kerah mantelnya, menyentuh lehernya dan
berhenti tepat di atas nadinya yang berdenyut tak beraturan.
Gadis itu menunjukkan rasa lapar yang sama, memuntahkan segala hal
yang selama beberapa minggu terakhir mereka tahan-tahan. Mereka
sudah terlalu lama tidak melakukannya, jadi seharusnya tidak
mengherankan jika situasinya menjadi separah ini, tidak peduli bahwa
mereka berada di halaman rumah, di tempat terbuka, dan di atas
tumpukan salju.
Ngomong-ngomong tentang tumpukan salju, Kyuhyun baru saja
menarik Hye-Na terjatuh bersamanya ke atas permukaan butiran es
yang dingin itu karena dia juga tidak bisa menahan kakinya untuk
berdiri lebih lama lagi.
Kyuhyun tertawa kecil, geli dengan tindakannya sendiri. Bibir mereka
masih bertaut, tapi pria itu dengan cekatan menarik leher blus Hye-
Na yang sedang membungkuk di atasnya, memperlihatkan apa yang
berada di balik pakaiannya.
Pria tersebut tampak berpikir sesaat, menatap mata Hye-Na yang
balas menatapnya dengan menantang. Hanya butuh beberapa detik
baginya untuk mengambil keputusan, lalu dengan brutal menggunakan
kedua tangannya untuk merobek blus berbahan elastis itu sampai
terbagi atas dua carikan tidak berbentuk, sehingga gadis di atasnya
hanya mengenakan mantel tebalnya yang masih terpasang di tempat,
pertahanan terakhirnya agar tidak mati kedinginan di luar sini.
“Itu blus kesukaanku,” rengut Hye-Na.
“Aku sudah pernah memberi peringatan, kan?” gumam Kyuhyun puas,
memegangi pinggang gadis itu dan menairknya untuk mendapatkan
posisi yang pas agar dia bisa dengan leluasa menikmati apa yang sudah
menjadi hak miliknya.
“Di depan,” beritahu Hye-Na saat tangan pria itu bergerak ke
punggungnya mencari pengait bra.
“Lucu sekali,” dengus Kyuhyun, membalikkan tubuh gadis itu sampai
terbaring di bawahnya lalu memulai foreplay yang biasanya mereka
lakukan selama berpuluh-puluh menit. Tapi mengingat kondisi tempat
yang tidak memungkinkan, dia harus melakukan semuanya dengan
instan. Dan gadis itu harus rela mengurangi jadwal tidurnya untuk
mengulang semuanya lagi di kamar tidur mereka nanti.
“Oh, sial. Dingin sekali. Bisakah kau melakukannya dengan cepat?”
protes Hye-Na saat salju yang ditidurinya mulai terasa menusuk.
Kyuhyun meninggalkan dada Hye-Na untuk menatap gadis itu dengan
kening berkerut tak percaya.
“Bukannya meminta pindah ke dalam kau malah menyuruhku
bergegas?”
“Melakukannya seperti ini tidak terlalu buruk,” gumam Hye-Na.
“Sudahlah. Tutup saja mulutmu.”
Kyuhyun terkekeh kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi yang
sempat tertunda. Pria itu menyelipkan tangannya di kancing pengait
jins gadis itu, menarik resletingnya turun, lalu berhenti.
“Mau mencoba sesuatu?” tanyanya menggoda. “Tanpa foreplay. Tapi
rasanya pasti akan sakit sekali.”
Dia baru menyelesaikan ucapannya saat tubuhnya sedikit tersentak,
merasakan tangan Hye-Na yang ternyata juga sudah berada di gesper
celananya. Mengintimidasi.
“Ayo cari tahu sesakit apa,” tantang gadis itu sambil mengedip iseng.
“Kau yang meminta,” sahut Kyuhyun, menunjukkan senyum miringnya
yang memabukkan.
Dia menunjukkannya beberapa detik kemudian, apa yang dia
maksudkan dengan rasa sakit. Hye-Na tercekat saat pria itu
menghujam masuk tanpa peringatan, membuat bagian bawah tubuhnya
terasa meledak. Penuh. Menyisakan rasa nyeri yang berdenyut-
denyut.
Bibir Kyuhyun menjangkau bibirnya lagi, dengan tangan yang
menangkup dadanya yang terbuka. Pria itu bergerak, melakukannya
dengan cepat tanpa mengenal kata perlahan, membuatnya
mencengkeram mantel pria tersebut dengan kuat, tercabik antara
rasa sakit dan nikmat yang menyerang tanpa ampun.
Tidak memerlukan waktu lama untuk mencapai akhit, karena kemudian
Hye-Na sudah membenamkan giginyaa di bahu Kyuhyun, sedangkan
pria itu mengeluarkan geraman tertahan di tenggorokannya, bernafas
dengan terengah-engah di rambut Hye-Na yang tersebar berantakan
di sekeliling kepalanya.
Kyuhyun mendiamkan miliknya selama beberapa saat sebelum
mengeluarkannya dari tubuh Hye-Na dan berguling dari atas tubuh
gadis itu, berbaring disampingnya.
Nafas mereka berdua terdengar tidak beraturan sampai akhirnya
Kyuhyun tertawa, diikuti oleh Hye-Na, menunjukkan betapa bar-
barnya perbuatan mereka barusan.
Kyuhyun menoleh, menatap wajah Hye-Na yang penuh keringat dan
berpikir bahwa tidak akan ada gadis yang bisa terlihat lebih seksi
daripada penampilan istrinya saat itu. Dia tidak tahu apa yang
dipikirkan gadis itu saat menatapnya, tapi… untuk kali ini dia cukup
percaya diri bahwa pikiran gadis itu, pasti berada dalam frekuensi
yang sama dengannya.
“Itu tadi…” ucapnya sambil menghela nafas. “Pasti seks terbaik di
dunia.”

***
09.00 AM

Hye-Na mengikat rambutnya asal sambil berjalan memasuki ruang


makan, masih dengan tampang mengantuk dan mata yang setengah
terkatup.
Gadis itu melangkah terseok-seok, mendapati Kyuhyun sudah duduk
di meja makan, menikmati kopi dan sandwich-nya sambil menonton
televisi besar di sisi lain ruangan yang menampilkan berita pagi.
“Kau menarik semua bantuan yang kau berikan kepada Presiden?”
tanya gadis itu tidak percaya saat mendengar berita yang dibacakan.
Dia menyelip di antara meja dan tubuh Kyuhyun lalu dengan santai
menjatuhkan diri ke atas pangkuan pria itu. “Apa kau tidak takut
imejmu di mata publik menjadi rusak? Dan aku belum mandi,” lanjut
Hye-Na saat Kyuhyun melingkarkan lengan di pinggangnya dan
membenamkan wajah di lekuk leher gadis itu.
“Aku tetap suka aromamu,” komentar pria itu tanpa merasa
terganggu.
“Jadi? Kenapa kau melakukannya? Apa itu tidak sedikit keterlaluan?”
tanya Hye-Na lagi, menjangkau gelas berisi jus jeruk yang terletak di
samping cangkir kopi Kyuhyun lalu meneguk isinya. Kemudian tanpa
permisi langsung menggigit sandwich Kyuhyun yang baru dimakan
setengah, tanpa peduli bahwa dia bahkan belum menyikat gigi sama
sekali.
“Siapa suruh dia mengganggumu,” sahut pria itu enteng. “Sudah
untung aku hanya melakukan itu. Aku bisa saja menjebloskannya ke
dalam penjara tanpa perlu menunggu ditemukannya bukti-bukti
pembunuhan yang sudah dia lakukan. Aku tahu semua rahasianya.
Korupsi, penjualan aset-aset negara, hutang pribadi, akun
tersembunyi di Swiss. Aku bisa menjatuhkannya semudah
membalikkan telapak tangan.”
Hye-Na memutar bola mata, tahu bahwa seharusnya dia sudah
terbiasa dengan sifat Kyuhyun yang seperti itu, tapi tetap saja dia
terkejut saat tahu apa yang bisa diperbuat pria itu pada musuh-
musuhnya. Pria tersebut bisa menjadi sangat kejam pada orang yang
sudah mengganggu sesuatu yang dia anggap sebagai hak miliknya. Dia
akan menghancurkan orang tersebut sampai ke akar-akarnya. Tanpa
sisa.
“Jangan kembali bekerja sebelum aku membuatnya berlutut memohon
maaf padamu. Kau mengerti?”
Hye-Na menyandarkan punggung sepenuhnya ke dada Kyuhyun, lalu
mencibir.
“Apa itu tidak terlalu berlebihan?”
“Aku kan sudah bilang, aku bahkan bisa menggulingkan dia dari kursi
kepresidenan sekarang juga kalau aku mau. Dan kau masih tidak
tertarik menjadi Ibu Negara?”
Hye-Na mendengus, dengan sengaja mengalungkan lengannya di
sekeliling leher pria itu, lalu menunduk, menunjukkan seringaiannya
“Kalau kau juga masih tidak tertarik menjadi Presiden,” jawabnya,
membalikkan pertanyaan Kyuhyun.
Pria itu tertawa pelan, dengan tidak berperikemanusiaan
memamerkan senyum miringnya yang bisa membuat gadis manapun
sakit kepala.
“Oh, oke. Sialan,” umpat Hye-Na tanpa sadar. Gadis itu membutuhkan
beberapa detik untuk memulihkan kesadarannya kembali setelah
melihat pemandangan tersebut dari jarak yang begitu dekat.
Kyuhyun tertawa lagi, kali ini lebih lama dari yang sebelumnya,
melihat reaksi tak terduga yang diperlihatkan istrinya itu.
“Sejak kapan kau bersikap semanja ini padaku, hmm?” tanyanya,
merujuk pada betapa mudahnya Hye-Na menyelip ke dalam
pelukannya dan duduk di atas pangkuannya atas keinginan gadis itu
sendiri.
Hye-Na mengerucutkan bibir, tampak berpikir keras.
“Aku rasa,” ucapnya beberapa saat kemudian. “Setelah… ng… kejadian
beberapa hari terakhir, aku pikir aku bisa mulai bersikap nyaman
padamu. Bukan berarti biasanya aku tidak merasa nyaman, tapi….”
“Aku mengerti,” potong Kyuhyun. “Tidak usah menjelaskannya kalau
kau merasa malu.”
Hye-Na bisa mendengar nada menggoda dalam suara pria itu, tapi
membiarkannya.
“Hari ini kau mau kemana?” tanyanya, mengacak-acak rambut pria itu
dengan iseng. Dia sempat bertanya-tanya, apakah pria itu tidak
pernah memakai gel rambut? Karena rambutnya begitu lembut, dan
selalu berbau harum seperti shampo. Dan juga, dia tidak habis pikir
bagaimana wajah, rambut, dan kulit pria itu terlihat selalu berada
dalam kondisi maksimal. Seorang Cho Kyuhyun pasti tidak akan
bersedia menghabiskan satu menit pun waktunya di salon, kan?
“Aku bisa berada di rumah seharian kalau kau minta.”
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Lotte World?”
“Terserah kau saja.”
Hye-Na merutuk dalam hati mendengar jawaban pria itu. Kyuhyun
tidak pernah sesuai dengan konsep suami normal manapun yang bisa
dipikirkannya. Pria itu terlihat … terlalu tidak manusiawi. Dan
mendapati pria itu menyetujui usulnya untuk jalan-jalan, dia mulai
memikirkan betapa tidak sesuainya hal tersebut untuk dilakukan oleh
seorang Kyuhyun. Pemilik separuh dunia berkeliaran di jalanan?
Kedengarannya benar-benar tidak masuk akal.
Gadis itu membuang semua pikiran tersebut jauh-jauh lalu nyengir,
memajukan wajahnya dan mengecup bibir pria itu ringan, lebih
sebagai bentuk terima kasih. Atau morning kiss.
Dan jelas Kyuhyun tidak akan membiarkan ciuman tersebut selesai
begitu saja, karena saat dia bermaksud mengangkat wajah, tangan
pria itu sudah menahan tengkuknya, dengan bibir terbuka yang
menekan bibir atasnya.
Dia membiarkan, untuk beberapa detik, itupun karena dia memang
selalu tidak bisa berpikir jernih kalau pria itu sudah menyentuhnya,
tapi saat lidah pria itu memborbardir mulutnya dan tangan yang
sudah menyelip masuk ke balik tank-top tipis yang dipakainya, Hye-
Na dengan susah payah langsung mengumpulkan kewarasannya dan
menggigit bibir bawah Kyuhyun untuk membebaskan diri.
“Kita sudah melakukannya semalaman, berjam-jam, dan kau masih
belum puas?” komentarnya sinis.
Kyuhyun tersenyum tipis dan mengangkat bahu.
“Kau pikir kapan aku bisa merasa puas melakukannya denganmu?”
tanyanya retoris.
Hye-Na mendelik lalu melompat turun dari pangkuan pria itu.
“Aku mau mandi dulu. Dan pastikan kau tidak melakukan hal aneh-
aneh dengan rencana kencan kita.”
“Contohnya?”
“Dilarang menyewa satu tempat hanya untuk kita berdua. Orang lain
juga butuh hiburan akhir minggu, kau tahu?”
“Deal,” sahut Kyuhyun menyanggupi, dengan iseng menepuk bokong
Hye-Na yang baru berjalan menjauh darinya.
“YAK!” teriak gadis itu, tapi tetap melanjutkan langkahnya, setengah
berlari kembali ke kamar.
Kyuhyun tertawa kecil dan meraih communicator-nya yang tergeletak
di atas meja.
“Kau tahu Lotte World?” tanya pria itu tanpa mengucapkan sapaan
setelah teleponnya tersambung.
“Ne, sajangnim. Wae?” tanya Joong-Ki balik, terdengar sedikit
terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga dari atasannya itu.
“Apa itu milikku?”
“Tentu saja. Menurut data, Anda membelinya lima tahun yang lalu dan
pembeliannya diurus oleh sepupu Anda, Lee Hyuk-Jae, karena waktu
itu Anda sibuk mengurus proyek lain.”
“Pantas saja aku lupa,” gumam Kyuhyun. “Ya sudah, terima kasih kalau
begitu.”
“Baik, sajangnim.”
Kyuhyun melemparkan communicator-nya lagi ke atas meja, tanpa
sadar tersenyum sendiri mengingat kata ‘kencan’ yang digunakan Hye-
Na.
Kencan. Dia? Berkencan? Astaga, dia bahkan tidak pernah berpikir
bahwa dia akan pernah melakukan hal tersebut dalam hidupnya.
Dan apakah dia harus mulai berpikir baju apa yang akan dipakainya?

***
“Kenapa kau memperhatikanku seperti itu?” tanya Hye-Na memprotes
saat akhirnya dia berdiri di depan Kyuhyun, merasa tidak nyaman
dengan cara pria itu menatapnya.
Kyuhyun tidak menjawab, tapi malah menyusuri tubuh gadis itu
dengan intens. Gadis itu masih tidak berdandan, walaupun wajahnya
memang tidak perlu dipoles make-up apapun lagi, tapi siang ini dia
mengenakan gaun terusan putih selutut dan kardigan longgar
berwarna pink lembut yang membuatnya terlihat begitu feminin,
sesuatu yang tidak pernah disangkut-pautkan saat harus
menggambarkan karakter Hye-Na.
“Aneh?” tanya Hye-Na lagi, terlihat rikuh dengan penampilannya
sendiri.
Kyuhyun menggeleng dan mengulurkan tangannya. “Aku suka.”
Gadis itu mengulum senyum lalu menyelipkan jemarinya di sela jari-
jari Kyuhyun, diam-diam memperhatikan pria itu dari sudut matanya.
Kyuhyun mengenakan kemeja polos berwarna dark olive green pas
badan, yang memamerkan bentuk dada dan lengan atasnya, dengan
lengan yang terlipat hingga siku, lalu celana jins dan sepatu kets
santai. Pakaian biasa yang entah bagaimana tetap saja terlihat mewah
saat dipakainya. Kata ‘biasa’ dan ‘sederhana’ memang tidak pernah
sesuai untuk pria itu.
“Bus,” ucap Hye-Na cepat saat langkah Kyuhyun mengarah ke garasi.
“Baik,” jawab Kyuhyun, tidak terlihat keberatan. “Tapi kita butuh
mobil untuk keluar. Kau tidak berencana berjalan kaki dari sini sampai
gerbang depan, kan? Bisa-bisa baru nanti sore kita sampai di jalan
raya.”
Hye-Na merengut, mengangguk setuju. Bagaimana bisa dia melupakan
bahwa jarak dari rumah ini ke gerbang depan membutuhkan waktu
lima belas menit naik mobil? Suaminya itu suka sekali menghambur-
hamburkan uang untuk hal yang tidak penting.
Mereka berjalan menuju garasi dan Hye-Na menunggu dengan tangan
terlipat di depan dada saat Kyuhyun meletakkan tangannya di kotak
pemindai. Pintu menggeser terbuka sesaat kemudian, memperlihatkan
sekitar lima belas mobil sport terbaru dan terhebat yang pernah
diciptakan, satu amphibithrope, satu limusin, dan dua motor balap
yang tidak mau dibayangkan Hye-Na saat Kyuhyun menggunakannya.
Besar garasi itu sendiri sudah benar-benar kelewatan. Dia tidak
pernah mengerti apa gunanya menumpuk semua kendaraan itu jika
kenyataannya Kyuhyun hanya memakai beberapa di antaranya. Dan
tempat itu juga tersambung ke hanggar di belakang rumah, tempat
helikopter dan pesawat jet mungil pribadi berada. Sesuatu yang
pastinya tidak dimiliki setiap orang kaya di dunia. Karena sudah jelas,
yang rumah ini belum miliki, pasti belum diciptakan. Tapi yang rumah
ini miliki, belum tentu sudah dipasarkan.
Dan nyaris empat bulan tinggal di tempat ini tidak berarti Hye-Na
sudah berkeliling ke semua area. Bukan hanya karena luasnya yang
tidak masuk akal, tapi juga ketakutannya kalau-kalau dia malah
tersesat di rumahnya sendiri.
Hal tersebut menjadi perbedaan mereka yang paling mencolok. Hye-
Na tidak pernah menyukai kemewahan, sedangkan Kyuhyun
menganggapnya sebagai bentuk kenyamanan, perlindungan, dan
kekuasaan untuk mengontrol. Setidaknya selama pria itu
melakukannya dengan tujuan legal, dia masih bisa menelan protesnya
sebelum tersembur keluar.

***

Lotte World
01.00 PM
“Seharusnya kau membeli tempat ini!” seru Hye-Na sambil tertawa-
tawa senang setelah mereka berdua turun dari cable car dan gadis
itu berhasil mendapatkan es krim dalam porsi besar.
“Tempat ini memang milikku, Na~ya,” sahut Kyuhyun geli.
“Oh,” gumam gadis itu. “Oh.”
“Sekitar lima tahun yang lalu. Aku tidak ingat. Joong-Ki hyung yang
memberitahuku.”
Hye-Na menatap pria itu serius, mengabaikan es krimnya begitu saja.
“Kalau aku memintamu membelikanku suatu tempat, apa kau mau?”
“Tentu saja,” jawab pria itu enteng seolah Hye-Na hanya meminta
dibelikan es krim seharga seribu won.
“Hmmmmmfh,” desah gadis itu. “Pria macam apa sih yang aku nikahi?”
“Jangan berlebihan begitu. Senang sedikit karena hidup cicit-cicitmu
nanti dan cicit-cicit mereka akan terjamin.”
“Yaaaah… yaaaaah…” ujar Hye-Na, tidak tahu harus berkomentar
seperti apa.
Kyuhyun tertawa kecil dan memandang ke sekeliling mereka.
Beberapa orang tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing
menikmati wahana yang ada disana, tapi sebagian besarnya jelas-jelas
berpikir bahwa menonton mereka berdua lebih menarik daripada
apapun. Masuk akal sebenarnya. Siapa yang bisa menyangka bahwa
pria macam Cho Kyuhyun akan berkeliaran ke tempat seperti ini?
Apalagi dengan tujuan sederhana, kencan bersama istrinya.
“Nah, coba kupikir-pikir,” ujar Hye-Na, menyela pikiran Kyuhyun.
“Bagaimana kalau kau membelikanku sebuah perusahaan manajemen
artis? Jadi setiap hari aku bisa melihat pria-pria muda yang tampan.
Kau tahu? Mengurus kasus pembunuhan setiap hari hanya membuat
stress. Aku butuh penyegaran.”
“Penyegaran kepalamu!” cetus Kyuhyun kesal. “Kau pikir aku ini apa?
Kau tahu tidak aku sudah dinobatkan menjadi pria tertampan dan
terseksi tahun ini? Bagaimana bisa otakmu hanya memikirkan cara
untuk menyeleweng dengan pria lain, hah?”
Hye-Na mengerucutkan bibirnya, mengernyitkan dahi dengan terang-
terangan.
“Itu pertanyaan menjebak,” keluhnya.
“Menjebak apanya?”
“Yaaaaaah… menyuruhku membandingkanmu dengan pria lain. Kau itu
benar-benar mengetahui setiap kelebihanmu dengan baik, ya?”
dengusnya, membuat Kyuhyun kali ini tertawa keras.
“Ya sudahlah. Belikan saja aku kamera. Kita harus punya foto kenang-
kenangan.”
“Tunggu tunggu,” seru Kyuhyun syok. “Foto? Sejak kapan kau
bersedia melakukannya?”
“Aku sedikit berpikir waras. Jarang sekali kan kita bisa pergi berdua
seperti ini? Jadi harus ada sesuatu untuk mengabadikannya.”
“Oh, baiklah,” gerutu Kyuhyun. “Kapan kau akan berhenti memberiku
serangan jantung, huh?”

***
Myeongdeong, Seoul
08.00 PM

Mereka berkeliling seharian. Turun naik bis, pergi ke tempat-tempat


wisata yang sangat ramai setiap akhir minggu, menikmati makanan
jalanan yang dijajakan, dan Hye-Na sama sekali tidak berhenti dibuat
takjub melihat bagaimana Kyuhyun terlihat menikmati itu semua
tanpa merasa risih. Pria itu bahkan sering berbincang dengan
penjaga-penjaga toko, penjual, dan pengunjung lainnya selagi Hye-Na
sibuk menghabiskan rol film kamera barunya. Omong kosong saja
bahwa gadis itu bersedia difoto dengan sukarela, yang dilakukannya
hanya memotret pemandangan dan segala sesuatu yang menurutnya
menarik. Tidak ada satupun foto yang diambilnya berdua dengan
Kyuhyun. Tapi diam-diam gadis itu menghabiskan nyaris tiga rol film
hanya untuk memotret pria tersebut dalam berbagai pose. Pria itu
terlihat begitu hidup di matanya, tidak pernah terlihat sebahagia ini.
Tidak pernah terlihat begitu manusiawi, walaupun tetap saja kadar
ketampanannya itu tidak turun, malah semakin membabi-buta tanpa
ampun.
Mereka makan malam di kedai pinggir jalan. Hanya memesan
ddeokbeokki yang masih panas, buatan langsung tanpa
bantuan AutoChef, semangkuk bibimbap untuk Hye-Na, dan
jajangmyeon untuk Kyuhyun. Mereka berhenti beberapa saat untuk
menonton pertunjukan musik jalanan sebelum berjalan di sepanjang
kawasan shopping terbesar di Korea itu, hanya melihat-lihat, tanpa
membeli.
“Hei,” panggil Hye-Na, meloncat naik ke atas trotoar jalan yang
dibuat jauh lebih tinggi daripada jalanan tempat mobil-mobil berlalu-
lalang dengan kecepatan rata-rata.
Kyuhyun yang baru saja membeli kopi kalengan di AutoChef pinggir
jalan menoleh dan menatap gadis itu dengan pandangan bertanya.
Hye-Na mengacungkan kameranya lalu menunjuk ke arah Kyuhyun dan
kemudian ke arah dirinya sendiri.
“Foto?” ajaknya.
“Aku pikir kau sudah menghabiskan semua rol film-mu,” sindir
Kyuhyun, membuat gadis itu hanya nyengir tanpa dosa.
“Kau berdiri di bawah saja. Biar kita terlihat sejajar,” suruh Hye-Na
tak tahu malu. Gadis itu memang bisa melakukan apa saja untuk
menyembunyikan tinggi badannya.
Kyuhyun memasang tampang mengejek tapi kemudian menatap ke
arah kamera, lalu tersenyum. Dia bisa merasakan tangan Hye-Na di
pundaknya, dan tatapan gadis itu yang malah terarah kepadanya.
“Lihat ke kamera, Na~ya,” suruhnya, dengan sengaja tidak menatap
Hye-Na agar gadis tersebut memiliki waktu untuk memperbaiki
ekspresi wajahnya.
“Oh, ya,” gerutu gadis itu. “Tertawa saja sepuasmu.”
“Aku tidak tertawa,” sanggah Kyuhyun, memalingkan wajah dan
mengecup bibir gadis itu dengan begitu tiba-tiba. “Tersenyum
sedikit,” perintahnya. “Kau tidak mau foto pertama kita berdua
hancur gara-gara wajah cemberutmu itu, kan?”

***
STA Building, Five States
09.00 AM

“Astaga, Hye-Na~ya, aku senang sekali melihatmu kembali!!!” seru


Eun-Ji, bergegas menyongsong Hye-Na yang baru saja melongokkan
wajah di pintu ruang kerjanya. Skorsing gadis itu memang sudah
dicabut dan dia terlalu bosan di rumah sampai-sampai memohon pada
Kyuhyun agar dia dibiarkan kembali bekerja tanpa harus menunggu
permintaan maaf resmi dari Presiden yang sebenanrya sama sekali
tidak dibutuhkannya itu.
“Berhenti disana,” cegah Hye-Na, menodongkan telunjuknya dengan
tatapan penuh peringatan. “Dilarang memelukku!”
“Payah,” sungut Eun-Ji. Tapi sedetik kemudian cengiran gadis itu
kembali lagi. “Masa bodohlah. Pokoknya kau sudah kembali!”
Hye-Na mengabaikan temannya itu, memilih menghampiri meja
kerjanya yang ssudah tidak dilihatnya selama berhari-hari. Gadis itu
berpura-pura tidak terharu dan langsung duduk di kursi, meraih
koran pagi yang terletak di atas meja.
Wajahnya sendirilah yang dia lihat berada di halaman utama
bertajuk “KETIDAKPEDULIAN PEMIMPIN CHO CORP TERHADAP
PEMERINTAH”.
December 22, 2060. Presiden Cho Corporation, Cho Kyuhyun (24)
baru saja menarik semua bantuan yang diberikannya terhadap
pemerintah maupun pihak militer sebagai bentuk protesnya terhadap
Presiden yang diduga disebabkan oleh dikenakannya skorsing
terhadap istrinya, Han Hye-Na (21), yang diketahui sebagai agen
utama STA (Secret Terror Agent). Adanya kasus pembunuhan
terhadap tiga gadis belia yang diketahui ada sangkut pautnya dengan
Gedung Biru dan Presiden sendiri membuat diberlakukannya
penyelidikan terhadap pihak terkait yang berada di bawah pimpinan
Han Hye-Na. Tuduhan Presiden bahwa Hye-Na melakukan
penyelidikan dengan menyalahi prosedur legal yang seharusnya,
membuat gadis tersebut terkena skorsing.
Setelah kejadian tersebut, Kyuhyun dan istrinya didapati asyik
menghabiskan waktu bersama seharian dengan berjalan-jalan,
sedangkan pemerintah kesusahan untuk mengurus kericuhan yang
ditimbulkan oleh penarikan semua bantuan secara tiba-tiba oleh Cho
Corp, termasuk semua bantuan medis dan bantuan terhadap pihak
militer. Hal ini diindikasikan akan menyebabkan kerugian besar
terhadap negara….
Hye-Na mendecak keras dan melempar koran tersebut seolah benda
itu adalah virus yang menular.
“Wartawan memang begitu,” komentar Eun-Ji sambil menghidupkan
televisi. “Kalau Kyuhyun tahu, orang yang membuat berita itu bisa
kehilangan pekerjaan dan menjadi gelandangan.”
“Mana bisa separah itu. Kyuhyun tidak memiliki kuasa di semua
tempat.”
“Memang tidak. Tapi dia bisa saja membeli kantor penerbitan yang
memuat berita itu lalu memecat siapapun yang diinginkan. Kau seperti
tidak tahu tabiat suamimu itu saja.”
Hye-Na tidak mendengarkan ucapan Eun-Ji lagi karena tatapannya
tertuju pada berita yang sedang disiarkan secara mendadak,
mengambil alih slot acara yang sedang ditayangkan.
“…Perwakilan dari berbagai negara memberikan protes keras
terhadap hal ini dan menganggap ini adalah penghinaan dan mereka
akan melakukan tuntutan. Dan jika berkembang lebih jauh, tidak
menutup kemungkinan bahwa Korea Selatan dituduh mengibarkan
bendera perang. Diketahui sejauh ini sudah ada ratusan ribu orang
dari 28 negara yang melapor yang mengalami cedera serius terhadap
pemberontakan yang dilakukan oleh android yang mereka miliki. Tidak
ada laporan dari Korea Selatan sendiri tentang penyerangan yang
dilakukan oleh android ini sehingga dugaan semakin kuat bahwa
negara kitalah yang dengan sengaja membuat masalah. Entah ini
memang permainan pemerintah atau jebakan dari Cho Corp sendiri
sebagai pencipta android yang mewabah di dunia sejak lima tahun
yang lalu.”
Hye-Na dengan gemetaran merogoh-rogoh tasnya,
mencari communicator yang dimasukkannya ke dalam sana. Setelah
mendapatkannya, gadis itu langsung menekan nomor pribadi Kyuhyun
yang disediakan khusus oleh pria itu untuknya. Dia harus mencoba
empat kali berturut-turut sebelum pria itu akhirnya menjawab.
Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
“Hai,” sapa pria itu dengan suara tenang. “Kau sudah baca koran? Kita
keluar di halaman utama. Fotonya bagus sekali. Tapi isinya
menyebalkan? Kau mau aku menuntut mereka?”
“Kyu,” ujar Hye-Na cepat-cepat. “Kau dimana?”
“Rumah. Wae? Ada masalah?”
“Kau yang bermasalah. Sialan,” umpat Hye-Na tidak sabar. “Apa yang
terjadi? Kenapa dengan androidmu?”
“Aaaaah,” desah Kyuhyun, akhirnya mengerti. “Kau sudah menonton
TV, ya? Tidak apa-apa. Aku sedang mengurusnya.”
“Di rumah?” potong Hye-Na. “Kalau kau sampai harus bekerja di
rumah agar bisa berkonsentrasi, berarti masalahnya sudah sangat
pelik. Jangan membohongiku!”
“Hmmm, sedikit. Ada Joong-Ki hyung yang membantuku. Tidak usah
khawatir. Ini hari pertamamu bekerja.”
“Aku akan pulang.”
“Na~ya….”
“Kau selalu berada di sisiku setiap aku ada masalah, kenapa aku tidak
boleh melakukan hal yang sama? Aku perlu ada disana, Kyu. Oke?”

***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
10.15 AM

“Kau tidak perlu melakukan ini,” ujar Kyuhyun saat Hye-Na memasuki
ruang kerjanya dan menelusup masuk ke dalam pelukannya.
Pria itu mendongak, mengecup pipi Hye-Na sekilas lalu mengusap
wajahnya yang terlihat begitu kelelahan. Itu kali pertamanya Hye-Na
melihat Kyuhyun dalam kondisi stress.
Ada kemarahan yang tersembunyi di balik raut tenang yang
diperlihatkan pria itu. Hye-Na sudah mengenalnya cukup lama untuk
tahu arti dari setiap ekspresi yang Kyuhyun perlihatkan. Dan kali ini
pria tersebut benar-benar murka.
“Kyu….”
“Ada 148 ribu orang yang terluka,” ucap pria itu akhirnya, dengan
suara pecah. “Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku tidak tahu
harus melakukan apa. Aku takut sekali, Na~ya. Impianku untuk
meringankan beban manusia malah berakhir seperti ini.”
“Tidak. Oke? Pasti ada kesalahan dan kesalahannya bukan berasal
dari pihakmu. Apa yang kau dapatkan sejauh ini?” tanya Hye-Na
sambil mengusap punggung pria itu.
“Android buatan ACC dibuat sedemikian rupa sehingga tidak bisa
diutak-atik oleh pemiliknya. Perintah dasar yang diberikan kepada
mereka hanya sebatas melakukan kegiatan biasa sesuai pekerjaan
yang mereka lakukan. Semua laporan yang masuk menyebutkan bahwa
penyerangan dilakukan oleh android rumahan yang hanya bisa
melakukan pekerjaan rumah tangga. Mereka semua ramah dan
bersikap bersahabat. Bagaimana bisa mereka tiba-tiba menyerang
pemilik mereka begitu saja? Mereka tidak diperintah untuk itu.”
“Bagaimana cara untuk memberi mereka perintah? Maksudku, apa
tekhnisi yang terampil bisa melakukannya? Tidak harus dari ACC?”
“Kami sudah lama berjaga-jaga tentang hal itu. Perintah yang
diterima oleh android berada dalam sebuah chip kecil yang berisi
rekaman suara penciptanya. Tidak ada orang lain yang bisa mengutak-
atiknya selain tekhnisi yang membuatnya.”
Mereka berdua menoleh saat mendengar ketukan di pintu. Kyuhyun
menyerukan perintah masuk dan kemudian Joong-Ki muncul,
membungkuk sekilas ketika melihat kehadiran Hye-Na disana.
“Apa yang kau dapatkan?” tanya Kyuhyun langsung.
“Kabar akurat yang membuat kecurigaan kita semakin kuat. Tidak ada
satu laporan penyerangan pun dari Amerika, tapi mereka merupakan
negara pertama yang mengajukan protes dan berdalih bahwa mereka
sudah mendapatkan laporan-laporan dari negara lain sebelumnya.”
“Kalian mencurigai apa?” tanya Hye-Na penasaran.
“Amerika bersekutu dengan pemerintah kita untuk menjatuhkan Cho
Corp,” jelas Kyuhyun, membuat Hye-Na mengangakan mulutnya.
“Mereka sama-sama akan mendapat keuntungan, terutama Presiden,
karena aku terlalu banyak berkuasa. Amerika menjadi negara
penguasa kedua setelah negara kita mengambil alih. Mereka memiliki
dendam pribadi padaku. Jika kasus ini semakin parah, akan terjadi
masalah besar terhadap perusahaanku karena pemerintah akan
mengeluarkan perintah agar aku menarik semua android dari pasaran.
Lebih buruk lagi jika pemerintah mengambil alih ACC dan kemudian
berpura-pura bahwa mereka bisa memperbaiki android-android
tersebut sedangkan sebenarnya merekalah yang telah menyebabkan
semuanya. Masyarakat akan bersimpati pada pemerintah dan Min
Kwang-Jin akan terpilih lagi untuk pemilihan Presiden selanjutnya.”
“Oh astaga, urusan politik ini membuat kepalaku sakit,” keluh Hye-Na
sambil memijit-mijit keningnya.
Kyuhyun mengusap pinggang Hye-Na yang berdiri di samping kursinya,
lalu memfokuskan pandangan pada Joong-Ki lagi.
“Ada yang lain?”
“Aku sudah menyelidiki semua karyawan ACC, terutama para
tekhnisinya yang berada di bagian android rumah tangga. Ada sekitar
lima puluh lebih tekhnisi disana dan aku menyelidiki latar belakang
mereka. Seseorang bernama Jang Mi-Ran ternyata adalah keponakan
Presiden. Dia menyembunyikannya selama ini. Aku harus membuka
beberapa data tersegel untuk mendapatkan informasi ini.”
“Jadi kita sudah mendapatkan pelakunya?”
Joong-Ki mengangguk.
“Hanya saja masalahnya kita harus tahu bagaimana cara memperbaiki
android-android ini, tapi tidak ada satu android pun yang bermasalah
di negara ini dan mustahil kita bisa mendapatkan android-android
bermasalah dari negara lain dan memintanya dikirim kesini. Jadi satu-
satunya cara hanya dengan mendatangi salah satu negara
bermasalah.”
“Aku mengerti. Terima kasih atas kerja kerasmu, hyung.”
“Sama-sama, Kyu. Aku akan kembali ke kantor untuk mengurus
masalah lainnya.”
“Hyung? Kyu? Seingatku beberapa hari yang lalu kalian masih
bersikap resmi satu sama lain.”
“Oh,” ucap Kyuhyun. Ada nada puas yang terselip dalam suaranya.
“Aku harus sedikit mengancamnya agar bersedia melakukan itu.”
“Cih, seharusnya aku sudah bisa menebak. Kau selalu bisa
mendapatkan apapun dengan ancaman.”
“Kemampuanku yang satu itu tidak bisa dikalahkan oleh siapapun.”
Hye-Na mencibir.
“Tapi ngomong-ngomong dia itu sepertinya hebat sekali. Dan kau
menyukainya.”
“Tentu saja. Aku sudah menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk
membujuknya bersedia bekerja bersamaku. Dia itu lulusan terbaik
Harvard dan Oxford. Memiliki gelar professor dan sudah
menamatkan kuliah dalam tiga jurusan berbeda. Tekhnik, bisnis dan
hukum. Banyak yang mengincarnya dan dari awal dia juga sudah
mengincar Cho Corp.”
“Lalu apanya yang susah?”
“Dia ingin menjadi agen KNI. Itu masalahnya.”
“Lalu kenapa kau tidak membiarkannya? Dia pasti akan sangat
bersinar disana.”
“Aku memberikan yang terbaik untuk Five States. Tapi yang terbaik
dari yang terbaik harus menjadi milikku, langsung di bawah
pengawasanku.” Kyuhyun berdiri dan sedikit membungkuk,
menyejajarkan wajahnya dengan wajah Hye-Na. “Kau pikir kenapa aku
menjadikanmu istriku, hah?”

***

Minister of Domestic Affairs’ Home, Gangnam, Seoul


04.00 PM

Hye-Na dan Eun-Ji berjalan lesu keluar dari rumah mewah milik
Menteri Dalam Negeri. Mereka mendapat kesaksian yang sangat kuat,
sehingga harus mencoret Presiden dari daftar paling atas tersangka.
Yang berarti mereka kembali buta, harus memulai lagi dari awal.
“Kau yakin dia mengatakan yang sebenarnya?” tanya Eun-Ji masih
tidak terima.
“Dia jujur,” ujar Hye-Na pasrah, masuk ke dalam mobil lalu
membanting pintunya sampai menutup, menimbulkan suara debam
keras. “Hyung-Soo sepertinya akan kecewa.”
“Kau benar. Anak yang manis itu,” keluh Eun-Ji. “Lalu untuk apa lagi
kita mewawancarai Presiden setelah ini?”
“Prosedur standar. Lagipula aku ingin bertemu langsung dengannya.”

***
Blue House, Seoul
04.45 PM

“Akhirnya kita bisa bertemu langsung. Nyonya Cho.”


Hye-Na tidak menjawab, merasa tidak perlu berbasa-basi dengan
pria itu walaupun Eun-Ji sudah menyikut sisi tubuhnya.
“Masih marah padaku perihal skorsing waktu itu? Aku hanya
mengikuti peraturan. Lagipula suamimu sudah menyelesaikan
semuanya. Ya, kan?”
“Aku tidak melihat sekretarismu,” komentar Hye-Na akhirnya.
“Oh. Dia? Dia mengundurkan diri satu hari setelah kecelakaanmu. Aku
rasa suamimu juga yang mengurusnya.”
Hye-Na menyeringai dalam hati. Kyuhyun harus diberi hadiah untuk
ini.
“Jadi? Apa yang ingin kau tanyakan padaku?”
“Alibimu.”
“Kau tentunya sudah tahu sampai ke detail-detail terkecil. Dan
Menteri Dalam Negeri juga memberitahuku bahwa kau baru saja dari
rumahnya.” Pria itu mengambil cangkir teh sorenya lalu menyesapnya
pelan dengan pandangan yang tertuju pada Hye-Na seolah sedang
menilai.
“Aku tidak pernah membunuh satu orang pun seumur hidupku. Kau
bisa pegang kata-kataku. Dan aku yakin aku tidak pernah selingkuh
dengan gadis manapun. Aku memiliki kedudukan tinggi di negara ini,
Cho Hye-Na ssi. Dan aku tidak akan mencoreng namaku hanya karena
sebuah skandal yang tidak pantas.”
Walaupun dia tidak mau percaya, tapi tetap saja dia tidak bisa
memungkiri bahwa pria di depannya itu mengatakan yang sebenarnya.
Dia memiliki insting yang sangat kuat dalam menebak apakah
seseorang berbohong padanya atau tidak dan anehnya dia tidak bisa
mencurigai apapun dari pria di hadapannya ini.
“Baik. Hanya itu saja yang ingin aku tanyakan.”
Hye-Na bangkit dan berdiri berhadap-hadapan dengan pria itu.
“Aku mempercayaimu dalam hal ini, Presiden. Tapi kau tidak mendapat
kepercayaanku dalam hal lain.”
“Hye-Na~ya,” bisik Eun-Ji, tapi dia dengan mudah mengacuhkan suara
temannya itu.
“Dalam hal lain apa, Cho Hye-Na ssi?”
“Cho Corp. Android. Kau terlibat,” tuduh Hye-Na tanpa basa-basi.
“Tinggal tunggu waktu saja sampai suamiku membereskanmu.
Presiden.”
“Mengancamku?”
“Tidak,” ucap Hye-Na sambil tertawa. “Hanya mengingatkan. Kau tahu
kan cara kerja suamiku? Dia tidak pernah setengah-setengah.” Hye-
Na mengganti tawanya dengan sebuah seringaian. “Selalu menghabisi
sampai ke akar-akarnya.”

***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
11.00 PM

Hye-Na melipat kedua tangannya di atas meja lalu menyandarkan


dagu di atasnya. Ini sudah hari kedua Kyuhyun pergi ke Milan untuk
menyelesaikan masalah androidnya. Pria itu sempat menghubunginya
sekali. Hanya itu.
Dia tahu betapa sibuknya pria itu sekarang. Dia juga tidak menuntut
untuk dihubungi setiap saat, karena itu memang bukan gaya hubungan
mereka. Tapi tetap saja dia ingin melihat pria itu segera. Dan
mendegar suaranya saja sudah cukup memperburuk keadaan.
Hye-Na juga bukannya mau bersantai-santai di rumah, tapi tidak ada
apapun yang bisa dilakukannya di kantor. Kasus mereka menemui jalan
buntu. Mereka tidak memiliki tersangka lain. Tidak ada saksi. Tidak
ada satu bukti pun yang bisa ditelusuri.
“HYE-NA~YA!!!!”
Gadis itu menoleh saat mendengar teriakan yang bergema ke seluruh
ruangan. Dia tentu saja mengenali suara itu. Lee Hyuk-Jae. Sepupu
kesayangan Kyuhyun.
“Di ruang makan,” seru Hye-Na, terlalu malas untuk bergerak.
“Hei hei, lesu sekali. Ada apa? Merindukan suamimu? Dua hari lagi dia
pulang.”
Hye-Na mendelik. “Mau apa kau kesini?”
“Kyuhyun memintaku mengambilkan beberapa berkas di ruang
kerjanya dan mengantarkannya ke Milan. Akhirnya… aku bisa
memakai amphibithrope-ku.” Pria itu tersenyum lebar dan tampak
sangat bersemangat.
“Ke Milan?”
“Hmm hmm. Dengan kendaraan temuan kami, ke Milan hanya
membutuhkan waktu… dua jam? Kita lihat saja nanti.”
Hye-Na bangkit dari duduknya. Wajahnya terlihat berbinar-binar
saat sebuah ide hebat melintas di benaknya.
“Hei… oppa,” panggilnya. “Aku boleh ikut tidak?”

***
“Eomma,” seru Hye-Na saat teleponnya diangkat oleh wanita itu.
“Oh, Hye-Na~ya? Astaga, bisa-bisanya kau baru menghubungiku
sekarang! Apa kau sesibuk itu, hah?”
Hye-Na sedikit mengernyit tapi tidak mendebatnya.
“Aku ini mencemaskanmu setengah mati dan kau sama sekali tidak
menghubungiku. Bahkan suamimu yang aku rasa orang tersibuk di
dunia itu masih menyempatkan diri meneleponku setiap malam unutk
memberitahuku kabarmu!”
“Jadi apa? Eomma mau bilang bahwa menantumu bahkan lebih
menyayangimu dibandingkan anakmu sendiri. Begitu?” dengus Hye-Na.
“Memang begitu! Kau kan memang tidak peka sama sekali. Lalu?
Kenapa sekarang kau tiba-tiba meneleponku?”
Hye-Na menatap pemandangan dataran Korea di bawahnya yang
semakin lama semakin mengecil selagi mobil yang dikendarai Eunhyuk
melesat ke udara dengan kecepatan mengerikan. Pria di sampingnya
itu sepertinya memiliki kecenderungan yang sama dengan Kyuhyun.
Penggila kecepatan. Sebenarnya Hye-Na juga, tapi gadis itu jauh…
jauh lebih menyukai darat untuk melakukan aksi kebut-kebutannya.
“Aku benci sekali terbang,” bisiknya.

***

Villa at Lake Como, Milan, Italy


02.15 PM

Kyuhyun memarkirkan mobil Lamborghini-nya secara serampangan di


depan pintu masuk villa. Dia sudah terlalu sering bekerja di rumah
beberapa bulan terakhir sehingga bekerja di kantor tidak lagi terlalu
menarik minatnya. Hanya saja tempat tujuannya untuk pulang
sekarang bukanlah sebuah rumah, hanya sebuah villa dengan
pemandangan menakjubkan yang entah kenapa malah membuatnya
bosan. Padahal villanya terletak di daerah perbukitan dan dikelilingi
oleh Danau Como yang terkenal indah.
Eunhyuk sudah menghubunginya tadi, mengatakan bahwa sepupunya
itu sudah meninggalkan file-file yang dimintanya di villa. Pria itu
bahkan tidak mau repot-repot mendatanginya langsung dengan alasan
dia memiliki janji makan siang dengan istrinya. Cih.
Kyuhyun berjalan melewati ruang tamu, langsung menuju ruang makan.
Dia sudah melupakan sarapannya tadi pagi dan dia masih cukup waras
untuk tidak melewatkan makan siangnya juga jika dia tidak mau jatuh
sakit hanya dengan alasan tidak masuk akal. Kekurangan asupan gizi.
Pria itu baru melangkahkan satu kakinya memasuki ruang makan saat
tubuhnya memaksanya untuk berhenti mendadak, berdiri terpaku
menatap pemandangan di depannya.
“Oh. Kyu? Hai! Kau sudah makan?”
Dia merasa aneh saat kemarahan yang tidak jelas asal-usulnya
menggelegak di dadanya. Apa-apaan gadis itu? Menyapanya dengan
kalimat yang begitu santai seolah mereka masih bertemu setiap hari,
bukannya terpisah selama dua hari? Seolah tidak terjadi apa-apa,
seolah gadis itu tidak merindukannya, sedangkan disini dia nyaris
sekarat dengan rutinitas barunya tanpa gadis tersebut.
Pria itu melonggarkan kepalan tangannya yang entah sejak kapan
sudah terbentuk, lalu berjalan menyeberangi ruangan. Dia tidak
sebodoh gadis itu. Dia bisa memperlihatkan perasaannya secara
terang-terangan jika dia sudah tidak bisa lagi menahannya. Dan dia
memang melakukannya.
Kyuhyun menarik tubuh gadis itu kasar ke arahnya, memerangkapnya
dalam pelukan menyiksa, mencengkeram helaian rambut gadis itu di
antara jemarinya selagi hidungnya terbenam disana, menghidu aroma
kesukaannya.
Dia tidak bisa menghentikan tawa frustrasinya yang menyembur
keluar, dia juga tidak bisa menahan nada lega yang terdengar jelas
dari suaranya saat akhirnya dia berbicara. Dia hanya menggerakkan
wajah, mengecup pipi gadis itu sekilas lalu memegangi kedua belah
pipinya dengan tangan, menatapnya lekat-lekat.
“Aku benar-benar sedang pulang ke rumah, ya?”

***
Kyuhyun mendorong tubuh Hye-Na sampai terjatuh ke ranjang.
Pakaian mereka sudah berceceran dari ruang makan, sampai ke kamar
tidur di bagian belakang villa, dan mereka sudah benar-benar polos
sekarang.
Bibir Kyuhyun menciumi bagian manapun yang bisa dicapainya di wajah
Hye-Na, akhirnya kembali ke bibir gadis itu dan melumatnya dengan
sangat menuntut. Lidahnya meraup, menyusuri rongga mulut gadis itu
sesukanya sebelum beralih ke rahang gadis tersebut, terus turun ke
bawah.
“Kau tidak mau makan siang dulu?” tanya Hye-Na terengah dengan
gerakan mulut pria itu di tubuhnya.
“Aku sedang makan,” ucap Kyuhyun enteng, menghasilkan pukulan di
kepalanya yang dilancarkan oleh Hye-Na.
Pria itu terkekeh geli, tidak menghentikan kegiatannya, malah dengan
sengaja menyusurkan tangannya di sisi tubuh gadis tersebut, dari
pinggang, meraba ringan paha gadis itu, sampai ke tungkai kakinya
yang panjang.
Dia menggantikan gerakan tangannya dengan mulutnya beberapa saat
kemudian, membuat Hye-Na menggigit bibir sebisanya untuk menahan
desahan.
“Bibirmu bisa terluka,” komentar Kyuhyun saat dia menegakkan
tubuhnya kembali, mengecup dagu gadis itu dengan permukaan
bibirnya.
“Kau pikir apa lagi yang bisa aku lakukan?” tanya Hye-Na retoris.
“Coba saja mendesah. Aku penasaran dengan suaramu. Mendesah satu
kali saja untuk suamimu bukan dosa,” godanya, dengan cengiran lebar
di wajah.
Hye-Na tertawa sinis, mengeluarkan delikan andalannya, tapi berada
dalam keadaan amat sangat tidak siap saat Kyuhyun tiba-tiba
menyatukan tubuh mereka, sehingga tanpa sadar satu desahan
terlontar keluar dari mulutnya.
“Nah, seharusnya aku merekamnya, kan?” ujar pria itu, mulai
menggerakkan tubuhnya. “Tapi karena aku ini jenius, aku pasti selalu
bisa mengingatnya dengan jelas.”
“Berhenti menggodaku!” bentak Hye-Na kesal.
“Hei hei, tidak ada suami istri yang bertengkar saat sedang bercinta,
Na~ya.”
“Setelah ini aku akan membunuhmu!”

***
09.00 AM

Hye-Na menggeliat, merasakan nyeri dan kaku di beberapa bagian


tubuhnya, membuat keningnya mengernyit. Gadis itu kemudian
membuka mata, melirik jam, dan berakhir dengan memandangi
Kyuhyun yang masih tertidur di sampingnya.
Pria itu berbaring menelungkup, dengan wajah menghadap ke arahnya
dan tangan yang menopang bantal, tampak luar biasa tampan.
Gadis tersebut memegangi kepalanya. Mereka tidak keluar kamar lagi
sejak percintaan pertama mereka kemarin siang. Sudah berapa kali
mereka melakukannya sepanjang hari? Tujuh? Delapan? Ini rekor
terlamanya dalam keadaan tidak berpakaian. Mereka hanya bercinta,
tidur, bangun, kemudian bercinta lagi. Berulang-ulang. Pria itu benar-
benar sakit jiwa. Dan dia benar-benar kelaparan sekarang karena dia
melewatkan makan siang sekaligus makan malamnya.
Hye-Na mendorong bahu Kyuhyun keras, bermaksud membangunkan.
“Yak, Cho Kyuhyun! Ayo bangun! Aku lapar,” serunya tepat di telinga
pria itu.
“Aish, kau ini! Aku masih mengantuk!” gerutu pria itu.
“Aku belum makan sejak siang kemarin!”
“Aku bahkan tidak makan seharian!” balas Kyuhyun, bangkit dengan
malas-malasan dari tempat tidur. Sepenuhnya telanjang, membuat
Hye-Na membelalakkan matanya tanpa berniat memalingkan wajah.
“Darimana sih kau mendapatkan semua tenagamu itu?” tanya gadis itu
penasaran, mengikuti gerakan Kyuhyun dengan pandangannya.
Pria itu berjalan menuju lemari, menarik keluar sebuah celana pendek
santai lalu memakainya. Rambutnya benar-benar tampak acak-acakan,
hasil karya Hye-Na semalam. Tapi tetap saja membutakan. Dan seksi
setengah mati.
“Hmmm,” gumam pria tersebut, tampak berpikir. “Aku memiliki
banyak energi cadangan kalau menyangkut bercinta denganmu,”
tandasnya enteng, membuat Hye-Na merasa perlu menghadiahinya
dengan lemparan bantal.
Pria itu menyeringai dan melempar kembali bantal tersebut ke atas
kasur.
“Tunggu disini. Biar aku ambilkan sarapan. Kau mau apa?”
“Sandwich,” sahut Hye-Na cepat. “Waffle. Pancake. Bawa saja kesini
semua.”
“Kau benar-benar keturunan sapi pemamah biak.”

***
Kyuhyun membawakan semua pesanan gadis itu, ditambah dengan
tumpukan roti panggang dan daging asap dan gadis itu melahap
semuanya dalam waktu singkat.
“Kau punya berapa usus, sih?” tanya pria itu penasaran setelah Hye-
Na menandaskan susu stroberinya dan beralih ke jus jeruknya yang
masih tersisa sedikit.
“Aku memiliki usus cadangan jika sudah menyangkut makanan,” jawab
gadis tersebut, membalikkan ucapan Kyuhyun tadi. “Setelah ini kau
mau ke kantor?”
Kyuhyun menggeleng. “Ada Joong-Ki hyung yang mengurus semuanya.
Dia akan datang untuk melapor nanti.”
“Bagaimana perkembangan kasusnya?”
“Bukti-bukti kami sudah cukup dan kami sudah berhasil menemukan
penyebab amukan para android itu. Kerugian besar karena kami
memutuskan untuk mengambil semua android bermasalah dan
menukarnya dengan yang baru sebagai ganti rugi, tapi kami juga
sudah mengajukan tuntutan terhadap pihak Amerika dan pemerintah
kita. Aku sudah cukup puas dengan itu.”
“Apa setelah itu Presiden terpaksa menyerahkan jabatannya?”
“Tentu saja. Sudahlah, tidak usah mengurusi masalahku. Bagaimana
kalau setelah ini kita olahraga pagi? Di danau belakang villa?”
“Aku tidak bisa berenang,” tolak Hye-Na langsung.
“Yang mengajakmu berenang siapa? Pengertian olahraga dalam
kamusku itu berbeda, Na~ya,” ucapnya licik.

***
Kyuhyun berhasil menyeretnya ke danau dalam lahan pribadi villa pria
itu, bahkan tidak memberinya waktu untuk berpakaian. Dan dia
sekarang berdiri kaku di depan danau yang tersembunyi di balik
rimbunan pohon tersebut, dalam balutan selimut yang dia pakai
sekenanya, dengan kesal memelototi suaminya yang sudah masuk ke
dalam air yang seharusnya terasa sangat dingin itu.
“Ayolah. Tidak ada yang akan melihatmu. Disini wilayah pribadi,”
bujuk Kyuhyun, separuh tertawa melihat ekspresi yang ditunjukkan
istrinya itu.
“Oh Ya Tuhan, apa sih yang sudah kau perbuat padaku? Kenapa aku
bisa jadi seliar ini? Aku ini wanita baik-baik dan sekarang malah
berencana untuk berenang telanjang di tempat terbuka seperti ini.
Ya Tuhan!” gerutu gadis itu frustrasi. “Apa aku ini wanita jalang?”
“Astaga, Na~ya,” seru Kyuhyun, benar-benar tidak bisa menahan
tawanya lagi. “Apanya yang jalang dari seorang wanita yang telanjang
di depan suaminya? Kau ini ada-ada saja!” Pria itu mencipratkan air ke
arah Hye-Na. “Ayo kesini!”
Gadis itu mengerucutkan bibir tapi kemudian menjatuhkan selimut
yang dipakainya, membuat Kyuhyun menahan nafas selagi gadis itu
melangkah mendekat, tampak seperti gambaran visual dewi-dewi yang
diceritakan dalam mitologi Yunani. Rambut ikal panjang, wajah cantik
tanpa cela, dan tubuh yang luar biasa mengagumkan.
Semua orang heran bagaimana bisa gadis itu mendapatkannya, tapi
dia sendiri malah bertanya-tanya, bagaimana bisa gadis itu bersedia
menjadi miliknya.
Tangan Kyuhyun terulur, menyambut Hye-Na setelah gadis itu sampai
di depannya. Tubuh mereka terbenam sepinggang dan berada tepat di
bawah banjir cahaya matahari pagi yang sedang terik-teriknya. Kali
ini kulit mereka tidak terlihat kontras karena matahari membuat
semuanya terlihat menyilaukan.
Kyuhyun menangkup wajah gadis itu di antara kedua tangannya,
mendekatkan wajah hingga kening mereka menempel dan ujung hidung
mereka bersentuhan. Nafas gadis itu menerpa wajahnya dan dia
perlahan tersenyum. Diam-diam mengucapkan syukur di dalam hati
karena masih bisa mempertahankan gadis itu sejauh ini. Bersamanya.
Dia mengusapkan ibu jarinya di pipi gadis itu, mengelusnya pelan,
merasakan bagaimana lengan gadis itu memeluk pinggangnya dengan
posesif, dan tubuh mereka yang bersentuhan tanpa penghalang. Dia
masih menginginkan gadis itu, tidak peduli sebanyak apapun mereka
sudah melakukannya semalam. Ada rasa kertertarikan purba di
antara mereka, seolah tidak akan pernah puas akan satu sama lain.
Dia mencecap bibir gadis itu lambat, tidak merasa perlu terburu-buru
karena mereka punya waktu seharian. Dia melewatkan beberapa detik
begitu saja, menempelkan bibir mereka dalam diam, tidak bergerak,
kemudian mundur dengan perlahan, membenamkan tubuh mereka
lebih dalam sampai sebatas dada, dan memulai proses kesukaannya.
Mereka melakukannya dua kali, menghabiskan waktu satu jam lebih,
lalu kembali ke daratan, duduk disana, berbagi selimut untuk
menutupi tubuh mereka sekedarnya. Diam selama beberapa saat, lalu
Hye-Na mulai tertawa, menggelengkan kepalanya karena tidak
percaya dengan apa yang baru saja mereka lakukan.
“Kau benar-benar merusak imejku!” desah gadis itu.
“Memangnya aku tidak? Hei, aku tidak pernah membayangkan akan
melakukan seks di tempat terbuka seperti ini! Kau pikir aku pria
macam apa?”
“Kau pria mesum. Masih bertanya juga?” sindir Hye-Na.
“Yang membuatku menjadi begini siapa, hah?” Kyuhyun menarik Hye-
Na sampai berdiri, memastikan tubuh gadis itu tertutup sepenuhnya
di balik selimut. Dia tidak mau konsentrasinya terganggu lagi hanya
karena melihat tubuh gadis itu.
“Ayo kembali. Aku rasa aku sudah lapar lagi.”

***
Hye-Na mengenakan tank-top putihnya dan hotpants berwarna
cokelat muda, keluar dari kamar, meninggalkan Kyuhyun yang masih
mandi. Dia memesan beberapa menu makan siang dari AutoChef lalu
memutuskan untuk membuat kopi.
Gadis itu baru saja selesai menuangkan kopi ke cangkirnya dan sedang
mencari-cari krim saat merasakan sepasang lengan melingkari
pinggangnya, ditambah nafas yang berhembus di lehernya, membuat
bulu kuduknya sedikit meremang.
“Kau sedang apa, hah?” tanya Kyuhyun, dan Hye-Na tanpa pikir
panjang menyikut perut pria itu dengan sikunya.
“Tidak usah sok mesra begitu!” bentaknya, membuat pria itu
terkekeh senang.
Hye-Na berbalik untuk mendamprat Kyuhyun lagi, tapi malah
mendapati pria itu melongo menatapnya dengan mata menyipit.
“Kau tidak memakai bra?” tanya pria itu takjub, membuat Hye-Na
langsung melayangkan pukulan ke arah kepalanya.
“Aku lupa membawa dalaman karena terlalu terburu-buru pergi
bersama Eunhyuk oppa kemarin.”
“Di lemari ada banyak. Aku menyiapkan banyak pakaian untukmu di
semua rumah dan villa yang aku miliki. Oh, aku sampai lupa,” ucap pria
itu. “Selamat Natal.”
Hye-Na melebarkan matanya, menatap hadiah yang diulurkan Kyuhyun
padanya.
“Sekarang tanggal 25, Na~ya. Kau kehilangan orientasi waktu, ya?”
ejek Kyuhyun sambil tersenyum menggooda.
“Dengan kau yang memonopoliku seharian kemarin, kau pikir
bagaimana bisa aku mengingat tanggal?” dengus gadis itu, tapi
menerima hadiahnya dengan senang hati.
Dia merobek kertas pembungkus hadiahnya dengan cepat dan
langsung mengangakan mulutnya lebar saat melihat hadiah natal
macam apa yang dia dapatkan.
“Pistol keluaran terbaru. Belum dipasarkan. Aku pikir kau akan
menyukainya.”
“Tentu saja,” desah Hye-Na senang, memandangi senjata itu seolah
benda tersebut benda paling indah yang pernah dilihatnya seumur
hidup.
“Terima kasih,” serunya, melemparkan tubuh ke arah Kyuhyun dan
mengecup bibir pria itu dengan mata berkilat-kilat bahagia.
“Hei, aku berniat mengistirahatkan tubuhmu dulu. Jadi jangan
menggodaku begitu dan membuatku berubah pikiran,” keluh pria itu
dengan wajah merengut.
“Ah, aku tidak punya hadiah untukmu.”
“Kau ada disini. Itu saja sudah cukup,” ujar pria itu serius.
Sebuah deheman memotong pembicaraan mereka dan Kyuhyun dengan
refleks mendorong tubuh Hye-Na sampai tersembunyi di belakang
tubuhnya.
“Hyung.”
Joong-Ki tersenyum dan membungkuk ke arah Hye-Na yang wajahnya
sudah semerah kepiting rebus. Kalau Kyuhyun tidak sigap, tubuhnya
pasti sudah terpampang bebas.
“Aku datang membawa laporan.”
“Tunggu di ruang kerjaku saja, hyung. Nanti aku menyusul.”
Joong-Ki tersenyum maklum dan mengangguk. Kadang-kadang atasan
yang lebih muda darinya itu bisa terlihat sangat kekanakan jika
sedang berada di dekat istrinya, saat-saat dimana pria dingin itu bisa
terlihat jauh lebih manusiawi daripada tampilannya di depan publik.
“Ganti pakaianmu dengan yang lebih sopan,” perintah Kyuhyun
setelahJoong-Ki tidak terlihat lagi. “Aku tidak suka membagi
pemandangan kesukaanku dengan orang lain. Oh, dan bersiap-siaplah.
Setelah ini kita kembali ke Korea. Hmm?”
Hye-Na mengangguk, memamerkan senyumnya.
“Bagaimana kalau kita ganti rencana?” saran Kyuhyun, dengan cepat
berubah pikiran saat melihat senyum gadis itu. “Kau tunggu aku di
kamar. Di atas tempat tidur. Telanjang.”
“Aku akan menunggumu. Di atas tempat tidur,” ucap Hye-Na manis.
“Dengan baju biarawati!” desisnya kemudian dengan tampang galak.
“Ide bagus,” ucap Kyuhyun, tidak terpengaruh dengan ekspresi yang
diperlihatkan gadis itu padanya. “Aku penasaran bagaimana caranya
melepaskan baju setertutup itu dengan cepat.”
“CHO KYUHYUN!!! Bagaimana mungkin aku masih belum
menceraikanmu, hah?”
Kyuhyun tersenyum dan menyentil kening Hye-Na dengan buku-buku
jarinya.
“Tentu saja karena kau tergila-gila padaku. Na~ya.”

***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
08.00 AM

“Kau apakan lemari pakaianku?”


Kyuhyun mendongak dari file yang sedang dibacanya saat mendengar
ledakan suara istrinya yang terdengar begitu murka di pintu ruang
kerjanya. Pria itu ternganga sesaat, sesuatu yang nyaris tidak pernah
dia lakukan seumur hidupnya. Menurutnya gadis itu memang selalu
tampak seksi kalau sedang marah, tapi pasti tidak akan ada wanita
manapun yang bisa tampak lebih seksi lagi dari penampilan istrinya
pagi ini.
Hye-Na hanya mengenakan handuk yang sekedar menutupi dada dan
beberapa puluh senti bagian di atas lututnya, dengan rambut basah
yang berantakan dan kusut masai. Tampak begitu marah.
“Apa tepatnya yang sedang kau bicarakan?” tanya Kyuhyun kalem,
walaupun dia sudah bisa menebak apa yang dimaksudkan oleh gadis
itu.
Nah, seharusnya dia sudah cukup imun dengan pemandangan tubuh
gadis itu, kan? Tapi buktinya tidak. Saat mereka berada di Milan dua
hari terakhir, Hye-Na hampir-hampir tidak pernah sepenuhnya
berpakaian. Kebanyakan gadis itu berada di atas ranjang bersamanya.
Telanjang. Dan selebihnya mungkin hanya sekedar tank-top tipis
dan hotpants. Lalu pagi ini… dia berpikir bahwa dia bisa saja
menyerbu gadis itu dan segera menuntaskan ‘gangguan’ di bagian
bawah tubuhnya yang mulai menyesakkan. Dan itu benar-benar
menyebalkan.
“Lemari pakaianku,” ulang Hye-Na dengan gigi menggertak. “Kenapa
sepertinya aku akan mengadakan fashion show mendadak atau
mendirikan butik di dalam ruang gantiku sendiri? Aku tidak bisa
menemukan sesuatu yang normal untuk dipakai!” bentak gadis itu
emosi.
Kyuhyun bangkit berdiri, meninggalkan pekerjaannya berserakan di
atas meja kerja dan menghampiri gadis itu, mengenyit saat bau segar
sabun dan shampo gadis itu memenuhi indera penciumannya. Benar-
benar godaan yang terlalu berat untuk dihadapinya pagi-pagi begini.
“Kau ini benar-benar,” gumam pria itu, memegangi kedua bahu Hye-Na
dan membalikkan tubuh gadis itu, mendorongnya keluar ruangan dan
masuk ke kamar pribadi mereka yang terhubung dengan ruang
kerjanya. Pintu tersembunyi lain, yang merupakan kamar ganti berupa
ruangan besar yang dipenuhi lemari-lemari yang menempel ke dinding,
kali ini terbuka lebar, dan melihat beberapa pakaian yang berserakan
di lantai, sudah bisa ditebak betapa frustrasinya gadis itu sekarang.
“Berhentilah membelikanku pakaian yang kau tahu tidak akan pernah
kusentuh sama sekali!”
“Aku hanya… terlalu bersemangat melakukannya,” ucap Kyuhyun
sambil terkekeh geli. “Selama ini aku tidak tahu harus
menghamburkan uangku untuk siapa dan karena sekarang aku sudah
memilikimu, aku pikir aku harus membelikanmu beberapa barang.”
“Beberapa kau bilang? Kau bisa membuka butik dengan tumpukan baju
seperti itu!” dengus Hye-Na. “Sekarang carikan aku sesuatu yang bisa
kupakai ke kantor. Aku sudah terlambat!”
“Lemari ini,” tunjuk Kyuhyun pada salah satu dari deretan lemari di
sisi kanan ruangan yang dikhususkan untuk Hye-Na. “Isinya baju
rumah dan piyama.”
Hye-Na berdecak kagum, tampak riang saat melihat tumpukan baju
kaus berbagai warna,hotpants, tank-top, dan piyama di dalam lemari
yang ditunjuk Kyuhyun tersebut.
“Nah, kalau yang seperti ini aku tidak keberatan! Kau bisa
membelikanku setumpuk lagi,” seru gadis itu riang, membuat Kyuhyun
mendelik.
“Bermimpi saja kau!” desis pria itu, berjalan ke lemari berikutnya,
yang dua kali lipat lebih besar daripada lemari sebelumnya, lalu
membukanya. “Yang ini berisi baju bepergian yang bisa kau katakan
normal. Disusun sesuai musim. Dan ingatlah untuk memakai mantel. Di
luar dingin,” perintah Kyuhyun yang selagi berbicara juga menarik
sehelai turtleneck berwarna putih, celana jins, dan mantel panjang
berwarna cokelat yang tampak hangat. Pria itu melemparkannya
kepada Hye-Na yang menangkapnya dengan sigap.
“Dan ini… semuanya berisi gaun yang bisa kau gunakan untuk acara-
acara resmi bersamaku.”
“Nah, sejak kapan janji pernikahan yang aku tanda tangani menyebut-
nyebut hal ini? Aku tidak ingat pernah mengatakan setuju untuk
menemanimu ke acara-acara resmi untuk bisnismu.”
“Oh,” gumam Kyuhyun, menunjukkan seringaiannya yang selalu
berhasil mengintimidasi siapapun. “Kau tidak ingat sesuatu seperti…
dalam susah dan senang?”
“Itu namanya kau menarikku ke dalam kesulitan dengan teramat
sengaja!” ketus Hye-Na. “Dan kapan sih kau melakukan ini semua?
Memborbardir lemari bajuku dan mengkloningnya menjadi tiga?”
“Berhubung kau tidak ada di rumah dan tidak memiliki kesempatan
untuk menghalangi apapun yang ingin aku lakukan dengan lemari
pakaianmu, aku memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.”
“Ilegal. Siapa yang kau suruh? Dan siapa yang memilihkan baju-baju
ini?”
“Ah-Ra nuna,” sahut Kyuhyun dengan raut wajah tanpa dosa. “Dan
yang memilih tentu saja aku.”
Gadis itu mendelik lalu berdiri berkacak pinggang di depan lemari
terakhir yang berisi berpuluh-puluh helai gaun mewah dalam berbagai
warna dan dengan panjang yang berbeda-beda. Tapi tatapannya
tertarik pada gaun yang berada paling depan. Berwarna merah
menyala, ketat, dengan belahan dada berbentuk V panjang yang
berakhir di sekitar pinggang, dengan bagian punggung yang sama
terbukanya, dan panjang yang mungkin hanya berakhir tepat di bawah
bokongnya saja.
“Apa yang kau pikirkan saat membelikanku gaun ini, hah?” teriak Hye-
Na sambil melemparkan carikan kain itu ke arah Kyuhyun. “Itu lebih
pantas disebut sebagai kain lap daripada gaun!”
“Hei hei, gaun yang kau sebut kain lap ini harganya 800 ribu won
tahu!”
“A… apa?” seru gadis itu syok. “Apa kau bilang? 800 RIBU WON? Kau
sudah gila, hah? Menghambur-hamburkan uangmu seperti itu…. Oh, ya
Tuhan. Kau pikir kemana aku akan memakai gaun seperti itu? Kau mau
aku memamerkan tubuhku kepada ornag lain? Begitu?”
“Yang menyuruhmu memakainya di depan orang lain siapa?” rengut
Kyuhyun. “Aku hanya berpikir tentang makan malam di rumah.
Denganmu. Merayakan sesuatu. Dan kau memakai gaun ini. Siapa tahu
kau cukup stress sehingga bersedia memakainya.”
“Lalu apa?” tanya Hye-Na sengit sambil menghujamkan telunjuknya di
dada pria itu, mendorongnya mundur. “Aku duduk di atas meja,
menyilangkan kaki, mengeskpos sebanyak mungkin tubuhku di
depanmu? Dan pada akhirnya membiarkanmu merobek-robek kain
yang kau sebut gaun itu?”
“Wah, kau benar-benar memahami isi pikiranku,” seru Kyuhyun riang.
Kilat geli terpancar di matanya. Pria itu memegangi tangan Hye-Na
tapi tidak menyentakkannya, hanya sekedar menggenggamnya tanpa
melakukan apa-apa. “Hanya kurang beberapa bagian. Aku
membayangkan es krim dalam fantasiku tentangmu dengan gaun itu.”
“Dan apa yang akan kau lakukan dengan es krim itu?”
“Mengoleskan es krim itu di tubuhmu lalu….” Kyuhyun menghentikan
ucapannya dan tersenyum sok manis dan polos. “Ayolah, kau pasti
tahu apa yang ingin aku lakukan dengan es krim di tubuhmu. Dan… aku
pikir aku ingin melakukannya di lantai. Walaupun ide melakukannya di
atas meja makan cukup menggoda.”
“Kau,” tegas Hye-Na, kali ini menghantamkan kepalannya ke tubuh
pria itu, walaupun tidak berhasil karena genggaman Kyuhyun di
tangannya begitu erat. “Benar-benar primitif. Dan bar-bar!”
Kyuhyun memutar bola matanya lalu lagi-lagi tersenyum lebar.
“Nah, coba kau ulangi lagi. Kedengarannya manis.”
“Primitif. Dan bar-bar,” ulang Hye-Na. “Ya Tuhan, ada apa sih
denganmu? Kau terbentur sesuatu?”
“Kau yang terbentur sesuatu,” ujar Kyuhyun, menutup pintu lemari
dengan bunyi debam keras lalu dengan cepat mendorong tubuh gadis
itu bersandar di depannya. “Kau pikir apa yang sedang kau lakukan
muncul pagi-pagi begini dengan penampilan seperti itu di depanku?”
“Penampilan seperti a….” Hye-Na menunduk dan mengangguk-
anggukkan kepalanya mengerti setelah melihat apa yang dimaksud
Kyuhyun. “Ini kan gara-gara aku tidak bisa menemukan sesuatu untuk
dipakai.”
Kyuhyun mendesah dan menempelkan hidungnya di cekungan leher
gadis itu, menghirup nafas dalam-dalam disana.
“Kau harum,” gumamnya, nyaris terdengar seperti erangan.
“Nah, PresDir, jangan pikir kau bisa melakukan sesuatu padaku saat
ini,” bentak Hye-Na, dengan mudah mendorong tubuh Kyuhyun
menjauh, memanfaatkan ketidakwaspadaan pria itu. “Aku harus
berangkat ke kantor sekarang. Keluar sana! Aku mau ganti baju!”
Kyuhyun mengerucutkan bibirnya tapi menyusuri tubuh Hye-Na
dengan pandangan menilai.
“Bagaimana kalau aku tidak mau?”
“Terserah kau saja,” ucap Hye-Na manis dan dengan santai
menjatuhkan handuknya begitu saja sampai teronggok di lantai,
memberikan pemandangan bebas bagi Kyuhyun ke arah tubuhnya
tanpa penghalang apapun.
“OH DEMI TUHAN YANG KUDUS! SIALAN KAU, CHO HYE-NA!”
teriak Kyuhyun, hampir tergagap-gagap. Pria itu memalingkan
wajahnya, membuat Hye-Na terkekeh senang. Gadis itu menarik
pakaian dalamnya dari tumpukan di lemari lalu memakainya dengan
gerakan lambat, tanpa terburu-buru. Menyiksa pria itu menjadi
sesuatu yang sangat menyenangkan akhir-akhir ini.
“Seingatku aku menikahi gadis dingin yang membenciku dan kemana
gadis itu sekarang? Yang aku lihat hanya gadis penggoda yang
berusaha merayuku dengan tubuhnya.”
“Kau yang mengajariku menjadi tidak bermoral seperti ini, PresDir.
Tidak usah sok merasa tidak bersalah begitu!” seru Hye-Na sambil
mengancingkan jinsnya.
Kyuhyun mengeluarkan suara seperti dengusan lalu meraih mantel
cokelat yang dipilihkannya untuk dipakai gadis itu.
“Sebaiknya kau pulang cepat malam ini untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanmu,” geram Kyuhyun,
memakaikan mantel itu ke tubuh Hye-Na dan mengikatkan sabuknya
dengan rapi.
“Terlambat. Malam ini sepertinya aku akan melakukan wawancara
dengan beberapa saksi.”
“Pulang cepat,” perintah Kyuhyun dengan penuh ancaman, menarik
sabuk itu sehingga tubuh Hye-Na ikut tertarik ke arahnya. “Atau aku
akan datang kesana dan menyeretmu pulang.”

***
SRO Laboratory, Five States
10.03 PM
“Tidak ada apapun. Cairan sperma, rambut. Tidak ada bukti apa-apa.
Yang kita tahu hanya gadis itu diperkosa dan dibunuh
dengan pepryprone. Titik.”
Hye-Na menghela nafas mendengar penjelasan Kibum.
“Tidak ada saksi. Tidak ada tersangka,” tambah Hye-Na kemudian,
memperkeruh suasana.
“Ah, ngomong-ngomong, aku baru ingat. Salah seorang anak buahku
yang ikut memeriksa lokasi kejadian pada kasus pertama dan kasus
ketiga mengatakan sesuatu yang menarik. Aku tidak tahu apakah ini
berguna atau tidak.”
“Apa?”
“Bau parfum. Ada bau parfum yang sangat menyengat di ruangan itu.
Juga di tubuh korban. Mungkin saja memang parfumnya.”
“Parfum apa?”
“Prior. Mereknya Prior. Parfum yang sangat mahal.”
“Parfum pria?”
“Bukan. Wanita.”

***

STA Building, Five States


14.13 PM

“Korban pertama memang memakai parfum dengan merek itu, tapi


yang lainnya tidak,” ujar Siwon, mulai membacakan laporannya.
“Parfum ini hanya dipakai kalangan atas karena harganya yang sangat
mahal. Tapi kenapa bisa ditemukan di lokasi keejadian? Maksudku…
tersangka kita seorang pria. Apa yang dia inginkan dari aroma itu?”
“Tebakan pertama, dia merayu gadis-gadis itu dengan iming-iming
parfum mahal,” ujar Soo-Hyun.
“Masuk akal,” ujar Hye-Na. “Gadis zaman sekarang pasti cepat
tergiur dengan benda mahal.”
“Lalu kenapa tidak ada satupun parfum yang ditinggalkan di lokasi
untuk memberikan kesan itu?” tanya Eun-Ji polos, membuat Hye-Na
melemparkan pelototan pada gadis itu.
“Tentu saja untuk menghilangkan bukti, Eun-Ji~ya. Dia tidak mau
mengambil resiko dengan meninggalkan sidik jarinya,” jawab Siwon,
sedangkan Hye-Na hanya geleng-geleng kepala saja melihat kedua
makhluk itu.”
“Sudahlah. Aku masih ada jadwal wawancara dengan istri Presiden.
Kalian bisa mulai mencari informasi tentang penjualan parfum itu
dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Harganya mahal, pasti hanya
orang-orang kaya yang mampu membelinya. Mungkin jumlahnya tidak
akan terlalu banyak. Eun-Ji~ya, ikut aku.”
“Kau tidak pernah mencoba parfum Prior, ya? Pernah mencium
baunya?” tanya Eun-Ji, berlari-lari kecil mengikuti langkah Hye-Na
yang besar-besar.
“Sejak kapan aku tertarik dengan parfum?”
Eun-Ji mencibir. “Suamimu kan kaya. Masa dia tidak mengurusimu?”
Hye-Na mendadak teringat deretan parfum dan peralatan make-
up yang tidak pernah dia sentuh di atas meja riasnya. Sekali lihat
saja dia tahu semua itu barang mahal dan itu semakin membuatnya
tidak tertarik.
“Siwon oppa membelikanku parfum itu. Harum sekali, kau tahu? Tapi
harga botol kecilnya saja bisa satu juta won. Aku jadi ngeri
memakainya.”
“Aku tidak tertarik dengan kisah pernikahanmu. Dan aku bisa
memasukkan nama suamimu itu ke dalam daftar tersangka karena dia
pernah membeli parfum itu.”
“YAK! CHO HYE-NA! Kau ini!”

***

Blue House, Seoul


03.45 PM
“Silahkan diminum.”
Kesan pertama yang Hye-Na dapatkan dari wanita itu adalah angkuh.
Tidak ada wajah keibuan, hanya wajah dingin yang memperlihatkan
senyum terlatih. Walaupun dia tidak menyukai Presiden, tapi dia lebih
tidak menyukai wanita ini. Sesuatu yang aneh, karena ini adalah
pertemuan pertama mereka. Dan baru berlangsung selama dua menit.
“Kami kesini untuk meminta kesaksian dari Anda pada setiap malam
kejadian.”
“Kau menanyai alibiku? Jujur saja, aku tidak ingat,” sahut wanita itu
tenang. Terlalu tenang. “Mungkin kau bisa menanyai sekretarisku.”
Oh, tidak sekretaris lagi, gerutu Hye-Na dalam hati.
“Baik, kalau begitu. Kami hanya melakukan prosedur standar,
menanyai setiap pihak terkait.”
Hye-Na dan Eun-Ji bangkit berdiri, sama sekali tidak menyentuh
minuman yang disediakan.
“Cho Hye-Na ssi? Bisa kita bicara sebentar?”
Hye-Na memberi tanda agar Eun-Ji menunggunya di luar lalu beralih
menatap wanita tersebut dengan penuh tanda tanya.
“Aku tahu apa yang sudah kau katakan pada suamiku,” ucap wanita itu
langsung tanpa basa-basi. “Aku tidak masalah jika ancaman itu
berasal dari suamimu, karena dia memang memiliki kedudukan. Tapi
kau? Apa hanya karena aku sudah menjadi istrinya sehingga kau
berpikir bahwa kau juga memiliki status yang sama? Kau berbicara
atas nama suamimu? Aku melakukan ini juga atas nama suamiku.
Dalam hal ini kita sama, Cho Hye-Na ssi.”
“Jadi?” tanya Hye-Na tajam. “Apa sebenarnya yang ingin kau
katakan?”
“Jangan ikut campur dengan apapun yang sedang terjadi pada suami
kita. Politik bukan bidangmu. Urusi saja kasusmu itu.”
“Hmm. Aku akan mengingat ucapanmu, Hwang Mi-Rae ssi. Sepertinya
kau sangat menikmati posisimu sebagai Ibu Negara. Ya, kan?” Hye-Na
melangkah mendekat. “Bagaimana rasanya berada dalam posisimu?
Kyuhyun sempat menawarkannya padaku. Bagaimana menurutmu kalau
aku merasa tertarik?”
Wanita itu menggertakkan giginya, tapi tidak membalas ucapan Hye-
Na. sebaliknya, wanita tersebut malah mengeluarkan pertanyaan yang
tidak disangka-sangka Hye-Na.
“Bagaimana kau bisa mendapatkan pria seperti Kyuhyun?”
Hye-Na menyeringai, walaupun dia merasa sangat terganggu dengan
pertanyaan itu. Gadis tersebut mengulurkan tangan, menyentuh kerah
blazer yang dipakai wanita di hadapannya dan berpura-pura
merapikannya. Dalam jarak sedekat itu dia bisa mencium wangi
parfum wanita tersebut dengan sangat jelas dan merasa heran
karena dia tidak mencium baunya dari tadi. Bau itu sangat keras dan
menyengat, dalam arti positif. Satu-satunya bagian dari wanita itu
yang cukup disukainya.
“Tutup saja mulutmu itu,” desis Hye-Na. “Tutup, selagi kau ingin
hidup aman.”

***

Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea


07.00 PM
“Kau kenapa? Kusut sekali,” komentar Kyuhyun saat melihat Hye-Na
berjalan menghentak-hentak melewati ruang santai, jelas tidak sadar
ada pria itu disana.
Gadis itu menoleh dan langsung mengalihkan langkahnya masuk ke
ruangan tersebut.
“Kau,” serunya. “Bagus kau di rumah. Aku rasanya ingin menghantam
sesuatu.”
“Well, aku harap kau tidak berencana menghantam wajahku. Kalau
butuh pelampiasan, aku tahu cara yang lebih berkualitas. Dan
menyenangkan.”
Ada sesuatu dari nada bicara Kyuhyun yang membuat Hye-Na
mengerti apa yang dimaksudkan pria itu dengan ‘cara pelampiasan
yang berkualitas dan menyenangkan’.
“Oh Ya Tuhan, apakah isi otak pria hanya seks saja?” tanyanya
frustrasi, membuat Kyuhyun terkekeh senang karena gadis itu bisa
dengan mudah menebak maksudnya.
“Tergantung,” jawab pria itu penuh pertimbangan. “Apakah yang kau
maksud memikirkannya secara sekilas atau secara konseptual.”
“Astaga. Aku benar-benar bisa gila jika menikah lebih lama lagi
denganmu,” sungut gadis itu.
“Kemarilah,” ujar Kyuhyun, masih dengan senyum tersungging di bibir,
mengulurkan tangannya ke arah Hye-Na lalu menarik gadis itu duduk
ke pangkuannya.
“Ceritakan,” suruhnya, terdengar seperti perintah.
“Aku tidak akan heran kenapa Presiden bisa semenjijikkan itu kalau
ternyata istrinya jauh lebih memalukan lagi. Aku hampir saja
mencekik lehernya jika aku tidak bisa menahan emosi satu menit
lebih lama.”
“Aaaaaah,” desah Kyuhyun. “Kau sudah bertemu dengannya?”
“Kami sedang melakukan penyelidikan di Gedung Biru dan aku bertemu
dengannya. Seperti penjilat. Tampilannya di depan publik hanya
akting saja. Aku heran kenapa dia tidak memutuskan jadi artis.”
“Jadi? Apa yang dikatakannya?”
“Omong kosong. Kebanyakan. Berkata bahwa dia akan balas dendam
atas apa yang telah kulakukan pada suaminya. Dan aku bilang saja,
seharusnya dia tahu malu sedikit karena kalau aku mau, aku bisa saja
mendapatkan posisinya dalam sekejap mata.”
“Sayang, lebih baik kau menyalurkan energimu untuk membantai para
penjahat daripada mengurusi orang tidak penting seperti itu.”
“Oh tidak,” teriak Hye-Na ngeri, dengan terburu-buru melompat
turun dari pangkuan Kyuhyun. “Kau panggil aku apa? Oh tidak, demi
Tuhan, ternyata kau sama saja dengan pria lainnya.”
Kyuhyun tertawa geli, dengan sigap menarik Hye-Na lagi. Kali ini
dengan paksa.
“Hanya ingin menggodamu. Kau terlihat kesal. Dan marah. Ngomong-
ngomong kau tidak memperlihatkan raut wajah marahmu di depan pria
lain, kan?”
“Kenapa?”
“Karena saat kau marah, dan merajuk, kau terlihat seksi sekali. Aku
tidak mau membagi pemandangan seperti itu kepada pria lain.”
“A… apa?” tanya Hye-Na gelagapan. “CHO KYUHYUN!”
“Apa?” sergah pria itu santai. “Sudah saatnya seseorang
memberitahumu seberapa seksinya kau. Dan lebih baik aku menjadi
pria pertama yang mengatakannya. Ah, tapi kau pasti sudah
memperlihatkan eskpresi seperti itu kepada para penjahat yang kau
tangkap. Atau kau bunuh. Setidaknya pemandangan terakhir yang
mereka lihat adalah sosok wanita seksi yang sedang murka. Cukup
berharga untuk dilihat menjelang kematian.”
Hye-Na kali ini melepaskan diri lagi dari dekapan pria itu dan mundur,
menjauh dari jangkauan. Dia menatap suaminya dengan pandangan
horor, seolah pria itu adalah malaikat pencabut nyawa.
“Kau membuatku semakin stress,” ujarnya, putus asa karena tidak
tahu lagi harus mengatakan apa.
Kyuhyun kali ini ikut berdiri, tersenyum, lalu menjulurkan tubuh,
memosisikan bibirnya tepat di samping telinga gadis itu.
“Ada Eun-Ji. Bilang padanya kalau aku meminta maaf karena sudah
menahanmu terlalu lama dan tidak memberitahumu tentang
kedatangannya.”
Hye-Na berjengit, memelototi Kyuhyun yang dengan santai tertawa
lagi, kali ini lebih keras, dengan sengaja menepuk bokongnya sebelum
berlalu pergi.
“Dan Sayang, aku menunggumu di kamar.”
Hye-Na berbalik cepat mendengar seruan yang diteriakkan Kyuhyun
di pintu, langsung berhadapan dengan Eun-Ji yang berdiri goyah tidak
jauh darinya, tampak terlalu syok dan tidak berpikiran jernih untuk
sekedar mengatupkan mulutnya dan mengerjapkan matanya yang
terbelalak lebar seolah sedang melihat hantu.
“Sejak kapan kau berdiri disana?” tuntut Hye-Na, bisa merasakan
panas yang merambat di sekujur tubuhnya, dari wajah, ke leher, dan
menyebar sampai ke kaki. Pasti dia tampak benar-benar tidak karuan.
“Kau meninggalkan tasmu,” gagap gadis itu, mengangkat tangan
kanannya yang memegangi tas Hye-Na, tampak gelagapan saat
berusaha menarik nafas.
“Oh, demi apapun yang ada di bumi, apa yang barusan itu Cho
Kyuhyun? Dia mengatakan apa? Seksi? Sayang? Kamar? Ya Tuhan,
kalau aku jadi kau, aku akan menerkamnya di tempat! Tapi kau yakin
kan itu tadi Cho Kyuhyun? Apa yang sudah kau lakukan padanya, hah?
Kenapa dia bisa jadi… bisa jadi semenggemaskan itu?”
“Menggemaskan kau bilang?”
“Oh, terserah. Aku tahu suamiku tidak kalah tampan, tapi hanya
saja… suamimu itu…. Ya Tuhan, aku bahkan tidak berpikir dia sesuai
dengan konsep suami manapun di muka bumi. Pria paling tampan, paling
kaya, paling seksi… paling berbahaya,” desah Eun-Ji, jelas belum
kembali ke perilaku normalnya. “Yang berbahaya selalu lebih
mengasyikkan, kan?”
“Kau tahu apa yang paling parah?” gumam Hye-Na, terlihat lebih
frustrasi dari sebelumnya. “Aku memang memarahinya saat dia
menanggilku seperti itu, tapi aku rasa… saat dia yang
mengucapkannya, panggilan itu juga tidak terlalu buruk. Aku mulai
merasa ada yang salah dengan otakku. Apa menurutmu aku perlu
memeriksakan diri ke rumah sakit?”

***

Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea


09.00 PM

Kyuhyun membuka pintu depan, melangkah masuk, dan mendapati


nyaris semua ruangan berada dalam keadaan gelap. Apa istrinya masih
belum pulang? Bukankah ini malam tahun baru? Apa gadis itu tidak
punya perasaan sedikit? Apa pembunuhan lebih menarik daripada
menghabiskan malam bersamanya?
Kyuhyun melanjutkan langkah, sama sekali tidak berniat
menghidupkan lampu. Tapi lagi-lagi langkahnya terhenti, di depan
ruang makan yang menyatu dengan dapur bersih dan bar, menangkap
cahaya samar dari dalam sana. Pria itu mendorong pintu yang hanya
separuh tertutup sampai terbuka sepenuhnya dan melongokkan
wajahnya ke dalam. Dan detik itu juga dia membeku di tempat.
Hye-Na berdiri di depan meja makan, mengatur piring-piring berisi
makanan dan gelas-gelas, juga botol wine yang dibenamkan dalam
mangkuk es. Walaupun melihat gadis tersebut melakukan itu saja
sudah sangat mengejutkan, tapi itu hampir tidak ada apa-apanya
dibandingkan apa yang gadis itu kenakan sebagai pakaian.
Gaun merah yang saat itu ditegaskan gadis tersebut sebagai kain lap.
Gaun merah yang warnanya tidak terlalu jelas karena hanya ada
cahaya samar dari lilin-lilin di atas meja makan, membentuk siluet
mengagumkan dari tubuhnya yang terbalut erat gaun tersebut.
Melihatnya secara langsung seperti itu jauh lebih menakjubkan
daripada apa yang dia bayangkan dalam fantasinya.
Gaun itu benar-benar mempertontonkan semuanya. Memotong habis
dari garis leher hingga pinggang, memperlihatkan separuh dada Hye-
Na yang selalu digilainya habis-habisan, sekaligus memamerkan
lingkar pinggangnya yang ramping, kemudian mengambang dari pinggul
sampai beberapa senti di bawah bokong. Dia bisa memastikan bahwa
jika gadis itu menunduk sedikit saja, dia bisa melihat apapun yang ada
di baliknya.
Matanya masih terus menyusur ke bawah, ke arah kaki panjang dan
jenjang gadis tersebut, lalu berhenti di high heels dengan warna
senada yang menyempurnakan segalanya. Rambut gadis itu sendiri
disanggul longgar, menyisakan helaian berantakan di sekitar wajah,
dan memberikannya pemandangan penuh pada leher dan punggung
gadis tersebut, yang tidak tertutup apa-apa.
“Hai,” sapa gadis itu, melambaikan tangannya yang sedang memegang
gelas kosong. “Kau sudah pulang? Makan malam?”
Kyuhyun melangkah masuk, masih dengan pikiran yang sepenuhnya
kacau. Dia berjalan mendekati gadis itu, mengerutkan keningnya
dalam.
“Jadi?” tanyanya. “Kau sedang stress atau apa?”
Hye-Na menghentikan kegiatannya lalu berbalik menghadap pria itu.
“Aku memang sedang stress karena kasusku yang menemui jalan
buntu,” ucap gadis itu sambil mengedipkan mata. “Tapi aku melakukan
ini untuk merayakan sesuatu.”
“Sesuatu? Apa? Malam tahun baru?”
Hye-Na tersenyum dan menggeleng. “Tidak juga. Tapi sekalian saja.”
“Lalu?”
“Aku dengar hari ini kau baru saja memenangkan persidangan dengan
pemerintah Amerika. Kau menghajar mereka habis-habisan. Dan
membuat Presiden mengajukan surat pengunduran diri siang ini.
Leeteuk oppa tadi bercerita padaku.”
“Aaaaah, itu,” gumam Kyuhyun, kali ini ikut tersenyum. “Jadi kalau aku
melakukan sesuatu yang mengagumkan dengan bisnisku, kau akan
selalu merayakannya dengan cara seperti ini? Berarti kau harus
melakukannya setiap hari, Na~ya,” goda pria itu.
“Jangan berharap terlalu tinggi,” sergah gadis itu dengan wajah
merengut. “Anggap saja ini semua sebagai rasa terima kasihku atas
semuanya.”
Kyuhyun menangkup sebelah pipi gadis itu dengan telapak tangannya,
menaikkan alisnya tidak suka.
“Kita suami istri. Ingat? Yang kulakukan itu sudah sepantasnya. Aku
tidak mengharapkan balasan apapun. Tapi kalau ternyata balasannya
seperti ini…” bisik pria itu, menggantungkan ucapannya sambil
menyeringai mencurigakan. “Aku benar-benar tidak merasa
keberatan.”
“Isi otakmu itu sudah bisa ditebak,” dengus Hye-Na, sedangkan
Kyuhyun membalasnya dengan kekehan geli.
Kyuhyun melepaskan gadis itu lalu melirik ke atas meja makan.
“Aku tahu semuanya berasal dari AutoChef, tapi sepertinya kau
mengerahkan seluruh kemampuanmu untuk menata semua ini.”
“Kita punya wine,” ujar Hye-Na seraya mengerlingkan matanya,
membuat Kyuhyun dalam waktu singkat langsung memahami maksud
gadis itu.
“Aku rasa kita juga punya es krim, kan?” tanya Kyuhyun retoris.
“Itu bagianmu. Kalau kau memang menginginkannya, kau ambil saja
sendiri.”
“Bisa diurus. Astaga,” seru Kyuhyun tidak tahan. “Aku tidak
menyangka kau benar-benar mau mewujudkannya.”
“Makan. Dan enyahkan dulu pikiran kotormu itu.”
Kyuhyun menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi, tapi sedikit mengumpat
dalam hati. Enyahkan gadis itu bilang? Yang benar saja. Gadis itu
berdiri separuh telanjang di hadapannya dan memintanya untuk
menyingkirkan semua pikiran kotonya terhadap gadis tersebut?
Penggal saja kepalanya.
Dia duduk dengan gelisah di atas kursinya. Matanya mengikuti setiap
gerakan yang Hye-Na lakukan, nyaris tidak bisa menahan erangan
saat melihat bahwa setiap gerakan, sekecil apapun, membuat gaun
gadis itu tertarik dan memperlihatkan lebih banyak, mengusik rasa
lapar yang dialaminya, yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan makanan. Dan saat gadis itu meraih gelas wine-nya,
menyesapnya perlahan, sedangkan matanya menatap bagaimana cairan
berwarna merah gelap itu masuk ke dalam celah bibir gadis tersebut,
melihat bagaimana tenggorokannya bergerak untuk menelan, Kyuhyun
langsung memutuskan bahwa dia tidak bisa menunggu walau hanya
satu menit sekalipun.
“Bisakah makan malamnya ditunda saja? Kau tidak sebegitu laparnya,
kan? Berhenti menyiksaku, Na~ya,” desis pria itu geram.
Hye-Na mendelik dan memelototi pria itu. “Aku belum makan dari
tadi siang karena sibuk pergi kesana-sini. Kau itu tidak punya
kesabaran, ya?”
“Persetan. Tidak makan seharian juga tidak akan membuatmu mati,”
sergah pria itu, mengulurkan tangannya melewati meja dan
menjangkau pergelangan tangan gadis tersebut, dengan mudah
menarik gadis itu sampai berdiri.
“YAK!” protes Hye-Na, tapi tidak bisa membebaskan diri karena
lengan pria itu sudah berhasil mengungkung pinggangnya.
Kyuhyun berdiri, tanpa perasaan mendorong piring-piring di atas meja
begitu saja agar dia bisa mendapatkan tempat sebanyak yang dia
inginkan, lalu mendudukkan gadis itu ke atasnya, sedangkan bibirnya
sudah terlebih dulu menjelajah bibir gadis tersebut. Mendesak,
menuntut, dan jelas tidak sabaran.
“Kau melupakan es krimnya,” ujar Hye-Na di sela-sela ciuman mereka,
menyerah begitu saja tanpa mencoba memberontak lebih jauh. Untuk
apa membuang-buang tenaga jika pada akhirnya akan berakhir sama?
Dia selalu penuh perhitungan terhadap apapun. Dan melawan Kyuhyun
hanya akan membuatnya kelelahan secara sia-sia.
“Kita punya waktu semalaman, kan?” sahut pria itu, mendapatkan
celah untuk melesakkan lidahnya masuk.
“Di atas meja makan?” desis Hye-Na, terus berbicara untuk
mengalihkan mulutnya dari suara-suara desahan yang tidak ingin dia
keluarkan.
“Pertama-tama,” jawab Kyuhyun enteng. “Setelah itu lantai boleh
juga.”
Kyuhyun baru saja meraba paha gadis tersebut dengan telapak
tangannya, saat bunyicommunicator menginterupsi kegiatan yang
sedang dia lakukan.
“Biarkan saja,” cegah pria itu saat Hye-Na memundurkan wajahnya
dan berusaha menggapaicommunicator-nya yang sudah hampir
terjatuh dari atas meja karena tindakan tidak berperikemanusiaan
Kyuhyun tadi. Piring-piring makanan yang sudah dia susun rapi tadi
tidak lagi terlihat enak dipandang mata. Seharusnya dia sudah bisa
memprediksi sebelumnya. Pria itu tidak pernah memiliki kendali yang
panats jika berada di dekatnya.
“Dari kantor. Aku menyuruh mereka melaporkan perkembangan
kasus.”
Gadis itu melompat turun dari atas meja, membiarkan Kyuhyun yang
tampak muram dan frustrasi.
“Ne, oppa?”
“Masalah darurat. Seseorang menyekap Presiden di sebuah kamar
hotel. Membawa senjata. Pihak kepolisian dan pasukan pengawal
Presiden sudah sampai disana. Semua ruangan tertutup, tidak ada
kesempatan untuk melakukan penembakan jarak jauh. Dan penculik
itu ingin bertemu. Denganmu.”
“Aku mengerti,” sahut Hye-Na. “Dua puluh menit lagi aku sampai
disana.”
“Pergi lagi?” tanya Kyuhyun saat gadis itu sudah memutuskan
sambungan teleponnya.
“Seseorang menyekap Presiden. Dan dia ingin bicara denganku.
Sepertinya salah satu anggota keluarga korban.”
“Lalu?” gumam Kyuhyun, memperhatikan istrinya itu berlari panik ke
pintu depan, sedangkan dia mengikuti dari belakang. “Biarkan saja dia
mati terbunuh. Mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.”
“KYU!”
“Oke oke,” ucap Kyuhyun menyerah. Pria itu membuka lemari dinding
di dekat pintu masuk, meraih sehelai mantel dari dalamnya dan
menarik Hye-Na mendekat agar dia bisa memasangkannya ke tubuh
gadis tersebut. “Biar kuantar.”

***
Shyere Hotel, Seoul
09.45 PM

“Kenapa mereka bisa sampai kecolongan? Bagaimana bisa Presiden


dibiarkan berkeliaran sendirian?” tuntut Hye-Na.
“Presiden sudah mengundurkan diri tadi siang dan Pengawal
Kepresidenan tidak memiliki kewajiban untuk mengawalnya setiap
saat walaupun mereka sekeluarga baru akan meninggalkan Gedung
Biru besok. Tapi aku tetap tidak tahu bagaimana Jung Hyung-Soo
bisa menjebaknya untuk datang kesini.”
“Siapa kau bilang?” sela Hye-Na. “Jung Hyung-Soo?”
“Mmm. Yang menyandera Presiden sekarang memang Hyung-Soo. Dan
dia ingin bicara denganmu.”
“Jung Hyung-Soo kekasih korban terakhir?” tanya Kyuhyun
memastikan.
Leeteuk mengangguk.
“Baik, kalau begitu aku masuk.”
“Tidak,” cegah Kyuhyun dengan nada tegas. “Aku tidak mau kau
membahayakan nyawamu demi pria tua brengsek itu.”
“Tidak apa-apa. Hyung-Soo bukan orang seperti itu.”
“Dia membawa senjata, demi Tuhan,” bentak Kyuhyun. “Tidak ada
yang bisa menjamin apa yang akan dia lakukan!”
“Kyu…” ujar Hye-Na dengan nada rendah, menandakan bahwa
pembicaraan itu sudah menjadi pembicaraan pribadi, sehingga
Leeteuk memilih menyingkir. “Kalau kau jadi dia… apa kau tidak
terpikir untuk melakukan ini juga?”
Kyuhyun tertawa sinis, yang menimbulkan kesan menakutkan pada
wajahnya.
“Hanya menyandera? Aku akan membunuhnya di tempat kalau aku jadi
anak itu!”
“Lihat?” tukas Hye-Na. “Dia hanya butuh bicara. Dia hanya butuh
seseorang untuk mengehntikannya dan dia memilih aku. Dia tahu
bahwa aku akan melakukan apa saja untuk menangkap pembunuh
gadis-gadis itu. Dia mempercayaiku karena itu dia ingin aku yang
berbicara dengannya.”
“Tidak ada yang bisa menjamin bahwa kau akan kembali padaku tanpa
tergores, Na~ya,” ucap pria itu, terdengar putus asa.
Mereka bertatapan selama beberapa saat, bertahan pada pendapat
masing-masing, sampai akhirnya Hye-Na mengulurkan tangannya dan
menggenggam tangan Kyuhyun erat.
“Aku yang akan memaksa kembali padamu,” bisiknya pelan. “Aku juga
tidak mau kehilangan kesempatan untuk melihatmu lagi. Jadi…
bisakah aku masuk? Dan aku pasti akan kembali padamu. Tanpa
tergores.”

***
Kyuhyun membuka pintu kamar yang terletak tepat di samping kamar
hotel tempat Presiden disekap itu. Hye-Na menolak memakai jaket
pelindung dan dia sendiri tidak mau mengambil resiko atas
keselamatan gadis itu.
“Hotel ini milikmu, ya?” tanya Leeteuk penasaran. Pria itu memilih
mengikuti Kyuhyun daripada menonton barisan pasukan pengawal yang
berjaga di luar kamar dengan wajah dingin mereka. Kyuhyun baru saja
mengamuk. Lagi. Karena orang-orang itu melarangnya masuk ke kamar
ini untuk melakukan pengintaian. Sepertinya dia berhasil menghajar
beberapa karena saat Leeteuk kembali setelah memberikan laporan
ke kantor, Kyuhyun sudah berhasil membuka pintu kamar, dengan
wajah babak belur beberapa orang pengawal kepresidenan di
belakangnya.
“Mmm,” gumam Kyuhyun sebagai jawaban. Pria itu berdiri di tengah
ruangan, tampak menunggu sesuatu. Dan tidak sampai dua menit
kemudian, seorang pria sudah berlari masuk ke dalam ruangan. Pria
yang dikenali Leeteuk sebagai Sekretaris Pribadi baru Kyuhyun.
“Aku membawanya, Kyu. Apa aku perlu melakukannya sekarang?”
tanya Joong-Ki.
“Biar aku saja,” ucap Kyuhyun, mengambil alat sebesar pensil dari
tangan pria itu dan melangkah ke dinding yang membatasi ruangan ini
denagn ruangan sebelah.
“Apa itu?” tanya Leeteuk, mengarahkan pandangannya pada Kyuhyun
yang sudah berjongkok dan membenamkan alat itu ke dinding.
“Bor kecil. Bisa menembus dinding maupun baja. Penemuan baru,”
jelas Joong-Ki. “Tanpa suara,” lanjut pria itu lagi saat melihat
pandangan cemas Leeteuk.
“Baiklah. Sebenarnya apa sih yang tidak bisa kalian temukan?”
dengusnya, tidak bisa menyembunyikan kekaguman saat alat tersebut
berputar pelan menembus dinding, menyisakan lubang yang cukup
besar untuk mengintip. Benar-benar tanpa suara.
Kyuhyun mengulurkan tangan dan Joong-Ki menyerahkan benda
berikutnya, berupa pistol kecil yang kemudian hanya digenggam pria
itu, tanpa digunakan. Kyuhyun memilih duduk di lantai dan mulai
mengintai, berjaga kalau-kalau senjata itu dibutuhkan.
“Kau tidak akan menembaknya, kan?” tanya Leeteuk panik.
“Ini hanya penyengat. Untuk melumpuhkan selama beberapa menit.
Tidak akan mencederainya.”
“Baguslah. Hye-Na pasti akan memarahimu kalau kau melukai anak itu.
Dia cukup menyukai Hyung-Soo sepertinya.”
“Suka?” dengus Kyuhyun, sedikit mengernyit.
“Yak, jangan bilang kau cemburu pada anak itu.”
Kyuhyun mengedikkan bahu. “Gadis itu seharusnya tahu kan kalau aku
mudah sekali dibuat cemburu.”

***
“Nuna.”
Hye-Na tersenyum dan menutup kembali pintu di belakangnya.
“Hyung-Soo~ya,” sapanya, melirik pistol semi otomatis di tangan pria
itu dan Presiden yang duduk di atas kursi di sampingnya dalam
keadaan terikat. “Bisa memberitahuku ada apa ini?”
“Kau bisa melepaskan mantelmu, nuna.”
“Hmm, kurasa tidak,” ujar Hye-Na, menegaskan dengan gelengan
kepalanya. Dia ingat bahwa dia tadi bahkan tidak sempat berganti
pakaian, yang berarti bahwa dia masih memakai gaun merah super
seksi yang dia kenakan untuk menggoda Kyuhyun malam ini.
“Aku harus memastikan bahwa kau tidak….”
“Tenanglah,” potong Hye-Na. “Aku tidak membawa senjata apapun.
Satu-satunya alasan kenapa aku tidak mau membuka mantelku karena
aku masih memakai gaun yang tidak pantas dilihat oleh siapapun selain
suamiku. Kau tadi mengganggu acara kami, Hyung-Soo~ya.”
“Maafkan aku. Aku hanya….”
“Hei, sudahlah. Aku hanya kecewa padamu karena kau malah
melakukan iini. Kau tidak percaya padaku bahwa aku akan menangkap
pelakunya?” tanya Hye-Na sambil melirik Presiden yang sedari tadi
hanya diam, tidak memberikan komentar apa-apa.
“Tapi kalian memang tidak berhasil. Nuna bahkan sempat terkena
skorsing saat melakukan penyelidikan terhadap pria ini,” ujar Hyung-
Soo sambil mendorong kepala Presiden dengan ujung pistolnya.
Sesuatu yang membuat Hye-Na ingin tertawa dan tidak merasa
bersalah sedikitpun dengan pikirannya.
“Aku sekarang sudah kembali bekerja dan kami masih mengumpulkan
bukti-bukti. Hanya saja, alibi Presiden pada semua malam kejadian
sangat kuat. Dia bukan pelakunya.”
“Tidak, nuna. Aku yakin dia yang…. Rae-Hee sangat mengaguminya….”
“Keyakinan saja tidak cukup, Hyung-Soo~ya,” ucap Hye-Na sabar.
“Menyekapnya seperti ini juga tidak ada untungnya. Kau hanya akan
dimasukkan ke dalam penjara karena percobaan pembunuhan
terhadap Presiden. Kau bisa menghancurkan hidupmu sendiri. Kau
mengerti?”
“Aku tidak akan membunuh pria ini,” ujar Hyung-Soo jijik. “Aku lebih
suka melihatnya menderita dan mati perlahan-lahan. Lagipula Rae-
Hee pasti tidak akan suka kalau aku membunuhnya.”
“Bagus. Sekarang berikan pistolmu padaku dan kita keluar dari sini.
Tidak perlu ada yang terluka. Mengerti?”
“Rugi sekali jika aku membiarkannya bebas tanpa terluka, pada
akhirnya aku tetap akan dihukum, kan?”
“Presiden,” panggil Hye-Na tajam.
“Tidak akan ada tuntutan apapun terhadapmu,” ucap pria itu cepat
tanggap. “Aku mengerti perasaanmu. Kau mungkin tidak percaya, tapi
aku mengerti apa yang kau rasakan. Kehilangan seseorang yang kau
cintai. Dan juga, kau boleh pegang kata-kataku. Aku tidak pernah
membunuh siapapun seumur hidupku.”
Dasar politikus, dengus Hye-Na dalam hati. Selalu pintar berbicara.
“Ayo, Hyung-Soo~ya,” ujar Hye-Na, berjalan mendekat ke arah namja
itu, sedikit berhati-hati. “Kalau dia melanggar ucapannya sendiri, kau
bisa menculiknya lagi dan melakukan apapun yang kau mau,” bisik Hye-
Na kemudian saat mereka sudah berdiri berhadap-hadapan.
“Kau janji akan menangkap pelakunya?”
Hye-Na mengangguk. “Pasti. Aku belum pernah gagal dan aku tidak
akan gagal,” janjinya. “Pistolmu?”
Hyung-Soo menatap wanita yang lebih tua darinya itu selama
beberapa saat lalu mengangguk, mengangsurkan pistolnya ke tangan
Hye-Na.
“Aku percaya padamu, nuna.”
Hye-Na tersenyum dan menepuk bahu namja itu pelan. “Pegang
janjiku.”

***
“Bawa dia ke KNI untuk sesi tanya jawab setelah itu antarkan dia
pulang,” suruh Hye-Na kepada Soo-Hyun setelah pidato singkat yang
disampaikan Presiden di depan semua wartawan yang sudah menunggu
di depan hotel. Tempat tersebut sudah seperti lokasi demo, sekitar
seribu lebih orang sudah berkumpul. Terutama para wartawan, baik
dari dalam maupun luar negeri. Dan untung saja dia bisa melarikan diri
dari kewajiban menjelaskan kasus pembunuhan yang sedang
ditanganinya kepada mereka, karena Leeteuk bersedia
menggantikannya.
“Terima kasih, nuna,” ujar Hyung-Soo cepat-cepat sebelum Soo-Hyun
menyeretnya pergi.
“Sama-sama,” ucap Hye-Na sambil tersenyum manis, membuat
Kyuhyun berdeham pelan di sampingnya.
“Apa?” tanya gadis itu, menoleh menatap Kyuhyun heran.
“Hyung sedang cemburu karena kau tersenyum semanis padaku, nuna,”
jelas Hyung-Soo, langsung mengkerut saat mendapatkan tatapan
mengancam dari Kyuhyun.
“Cih, kekanakan sekali,” dengus Hye-Na, yang terdengar sangat
menyebalkan di telinga Kyuhyun. Tapi nanti saja dia mengurus gadis
itu di rumah.
“Hyung, aku minta maaf karena sudah mengganggu acara apapun yang
sedang kau lakukan dengan Hye-Na nuna tadi.”
“Bagus kalau kau sadar. Kau memang benar-benar telah merusaknya,”
ujar Kyuhyun geram, membuat Hyung-Soo langsung menarik Soo-Hyun
untuk segera membawanya pergi dari tempat itu.
“Kau itu kenapa, sih? Tidak usah terlalu berlebihan! Dia itu lebih
muda 2 tahun dariku. Dan aku tidak ada niat menjalin hubungan
dengan pria yang lebih muda,” gerutu Hye-Na.
“Hubungan apa? Sebelum kau sempat memikirkannya, aku akan
menghapusnya duluan dari otakmu yang kecil itu!” rutuk Kyuhyun,
menyeret Hye-Na keluar dari hotel, mengacuhkan para wartawan
yang berusaha mewawancarai mereka. Wartawan-wartawan yang
langsung mundur teratur karena mendapatkan tatapan menakutkan
dari Kyuhyun.
Beberapa tahun terakhir, semua orang, terutama media massa,
berusaha tidak mencari masalah dengan pria satu itu. Karena
akibatnya akan begitu buruk kalau Kyuhyun merasa terganggu
sehingga para pencari berita sekalipun memilih untuk tidak
mengeluarkan berita yang tidak-tidak tentangnya.
Mereka baru saja memasuki lapangan parkir saat seorang pria,
berumur pertengahan dua puluhan, mencegat langkah mereka. Pria
tersebut hanya pria biasa, tidak membawa apa-apa selain sebuah
ransel kecil yang tersandang di bahu.
“Maaf mengganggu, Nona….”
“Nyonya,” ralat Kyuhyun langsung, membuat Hye-Na lagi-lagi merasa
harus melemparkan delikan penuh peringatan kepada pria itu untuk
yang kedua kalinya dalam jangka waktu lima menit.
“Ne, mianhamnida. Nyonya Cho Hye-Na,” ralat pria itu membetulkan.
“Ada apa?” tanya Hye-Na penasaran.
“Sebelumnya aku benar-benar minta maaf karena aku baru
mendengar berita kasus pembunuhan yang sedang kau selidiki malam
ini. Itupun karena semua channel TV menayangkan peristiwa
penyekapan Presiden.”
“Lalu?”
Pria itu tampak ragu sesaat. “Apa tidak apa-apa kalau aku
memberikan kesaksian disini?”
“Kesaksian?” ulang Hye-Na, tampak sedikit kaget. Tapi otaknya
langsung bekerja cepat. “Tidak tidak. Kesaksianmu harus direkam.
Prosedur standar. Kyu? Five States?”
Suaminya itu menghela nafas pasrah. “Baiklah. Ayo masuk ke mobil.”

***
STA Building, Five States
10.40 PM

Hye-Na mengaktifkan alat perekam setelah mempersilahkan pria


bernama Jun Tae-So itu duduk.
“31 Desember 2060,” mulai Hye-Na. “Pemimpin kasus A-3, Cho Hye-
Na. Mewawancarai saksi bernama Jun Tae-So. Didampingi oleh
pemilik Five States, Cho Kyuhyun. Semua kesaksian dalam rekaman ini
adalah benar dan berada di bawah sumpah.”
Hye-Na menatap Tae-So dan pria itu mengangguk siap.
“Silahkan memberikan kesaksian Anda, Jun Tae-So ssi.”
“Saat itu tanggal 16 Desember. Saya masih ingat karena hari itu
adalah hari terakhir saya bekerja karena saya memutuskan
mengambil cuti selama dua minggu setelahnya. Saya bekerja sebagai
petugas parkir di hotel tempat kasus pembunuhan ketiga terjadi.
Saya sama sekali tidak mengetahui ada kasus pembunuhan di tempat
saya bekerja pada malam itu karena saya melakukan pergantian shift
lebih cepat daripada biasanya. Hari ini saya baru pulang dari Jeju dan
menonton berita penyekapan Presiden dan juga tuduhan yang
didakwakan padanya oleh si penculik sebagai pembunuh tiga orang
gadis muda setelah memerkosa mereka. Karena itu saya langsung
datang ke hotel tempat kejadian dan akhirnya berhaisl menemui
Anda, No… Nyonya Cho.”
“Kenapa malam itu kau melakukan pergantian shift lebih cepat dari
biasanya?”
“Karena saya harus bersiap-siap untuk keberangkatan saya ke Jeju
keesokan harinya.”
“Kenapa kau mengambil cuti?”
“Saya harus menghadiri pernikahan kakak saya disana dan juga
mengurus beberapa hal lainnya.”
“Jadi? Apa yang kau lihat pada malam itu?”
“Saya melakukan pergantian shift pada jam 10 malam. Lebih cepat 1
jam daripada biasanya. Saya sedang berjalan keluar dari ruangan saya
yang terletak di bagian paling belakang. Di dekat pintu masuk
lapangan parkir juga ada pos satpam.”
“Jadi petugas parkir bisa melihat siapa saja yang keluar masuk?”
“Benar, Nyonya. Satpam di depan tidak akan bisa melihat pengunjung
kami karena kalau mereka ingin menyembunyikan diri, biasanya
mereka memakai kaca gelap. Tapi para petugas parkir bisa melihat
semuanya, karena pada akhirnya mereka harus turun dari mobil. Saya
juga sudah biasa melihat orang-orang terkenal yang menggunakan
lima lift rahasia untuk menuju lima kamar VVIP yang menjamin privasi
mereka. Karena itu seleksi untuk menjadi petugas parkir sangat ketat
karena pihak hotel harus memastikan kami bisa tutup mulut. Dan
gajinya juga sangat besar, karena itu saya betah.”
“Dan siapa yang kau lihat pada malam itu?”
“Saat dia datang, saya langsung mengenali siapa dia. Tapi saat dia
pulang, dia menggunakan kacamata hitam dan masker, tapi tentu saja
saya tetap mengenalinya dari pakaian yang dia kenakan. Lagipula
wangi parfumnya tercium jelas.”
“Wangi parfum? Prior?” tanya Hye-Na, tanpa sadar memajukan
tubuhnya melewati meja.
“Benar. Saya ingat sekali karena adik saya bulan sebelumnya
merengek-rengek minta dibelikan parfum itu. Harganya bisa mencapai
satu juta won hanya untuk sebotol kecil parfum. Tapi saya berhasil
mengumpulkan uang dan memberikan parfum itu sebagai hadiah ulang
tahun adik saya minggu lalu. Dan saya akan selalu ingat wanginya.”
“Tapi bukankah itu parfum wanita? Kenapa Presiden memakainya?”
“Presiden?” ulang Tae-So bingung. “Bukan, Nyonya. Tapi istrinya. Ibu
Negara. Hwang Mi-Rae.”

***
“Sialan. Pantas saja. Kami mengejar buruan yang salah,” umpat Hye-
Na, memencet-mencetcommunicator-nya dengan kasar, tampak
sangat tidak sabar.
“YAK, KIM SOO-HYUN! Dapatkan Surat Perintah Penangkapan Resmi
untukku sekarang juga!” teriaknya saat teleponnya tersambung.
“Kau sudah menemukan pelakunya?”
“Temui aku di Gedung Biru. Secepatnya.”
“Gedung Biru? Presiden? Tapi alibinya sangat kuat. Kau jangan
bertindak sembarangan lagi, Hye-Na~ya.”
“Dapatkan saja untukku. Dan cantumkan atas nama Hwang Mi-Rae.
Kau mengerti?”
Tanpa menunggu jawaban Hye-Na langsung memutuskan sambungan
teleponnya.
“Tidak bisakah lebih cepat lagi?” gerutu gadis itu.
“Ini sudah 250 km/jam. Kau mau secepat apa lagi?” dengus Kyuhyun
kesal.
“Bagus bagus. Aku akan menangkap waniat sombong itu dengan
tanganku sendiri dan memasangkan borgol ke tangannya. Aku sudah
memberinya peringatan.”
“Kau sudah memikirkan rinciannya?” tanya Kyuhyun. “Kau tidak bisa
menangkapnya begitu saja hanya karena kesaksian satu orang.”
“Aku sudah memikirkannya. Siapapun bisa melihat bahwa hubungan
pernikahan Presiden dan wanita itu tidak sebahagia seperti yang
mereka perlihatkan di publik. Dia bahkan tidak hadir tadi saat
suaminya diculik dan hampir dibunuh. Aku rasa wanita itu lesbian dan
mengincar gadis-gadis muda. Tapi kali ini dia melewati batas dan
mulai takut ketahuan sehingga dia membunuh korbannya. Karena itu
tidak ada sisa sperma yang ditemukan di tubuh korban. Aku rasa dia
menggunakan penis buatan atau semacamnya untuk merobek selaput
dara korban. Para korban seharusnya dalam keadaan sadar. Mungkin
juga mereka ketakutan atau terlalu mengagumi Sang Ibu Negara
sehingga bersedia melakukan apa saja. Dia tidak akan mengaku, tapi
aku tidak akan membiarkannya lolos. Zhoumi oppa masih memiliki
serum kebenarannya, kan?”
“Kau beruntung,” ucap Kyuhyun sambil menyeringai. “Dia baru saja
menyelesaikannya kemarin.”
Pria itu membelokkan mobilnya masuk ke area Gedung Biru dan
terpaksa berhenti karena dicegat oleh sejumlah pasukan bersenjata.
Sepertinya keamanan gedung baru saja diperketat karena kejadian
beberapa jam yang lalu.
Kyuhyun menurunkan kaca mobil dan memperlihatkan wajahnya.
“Ada keperluan penting apa Anda bertamu malam-malam begini, Tuan
Cho?” tanya salah seorang dari mereka.
“Kasus pembunuhan. Bisakah aku lewat?”
“Ada Surat Izin Resmi?”
Pria itu mendesah malas, kemudian turun dari mobil.
“Biarkan istriku masuk dan aku menunggu disini. Keberatan?”
“Tapi peraturannya, tidak ada siapapun yang boleh masuk tanpa izin
resmi.”
“Suratnya akan datang sebentar lagi. Sekarang aku yang bertanggung
jawab,” ucap Kyuhyun, tidak bisa dibantah.
Pria itu menunduk dan melongok ke dalam mobil. “Kau keberatan
masuk sendirian?”
“Tidak masalah,” ujar Hye-Na seraya turun dari mobil.
“Borgolnya, Na~ya. Kau tidak bawa, kan? Ambil di laci,” ujar Kyuhyun
mengingatkan.
Gadis itu menyeringai dan merogoh ke dalam laci mobil yang ditunjuk
Kyuhyun lalu dengan terburu-buru berlari masuk ke dalam.
“Tuan Cho, kuasa Anda tidak berlaku di….”
Mata Kyuhyun berkilat menakutkan, mendadak berubah menjadi
tajam dan penuh intimidasi.
“Kau tahu apa yang bisa terjadi beberapa jam lagi? Presiden akan
turun dari jabatannya dan kalau aku mau, aku bisa saja mendapatkan
kuasa penuh atas tempat ini kalau aku bersedia mengajukan diri. Jadi
jangan mempertanyakan sampai sejauh mana pengaruh kekuasaanku.
Mengerti?”

***
Hye-Na berlari melewati lorong-lorong kosong di sayap timur
bangunan yang menjadi rumah pribadi Presiden dan Ibu Negara. Dia
tahu bahwa dia akan terhalang oleh beberapa pengawal disana dan
tidak akan diizinkan masuk tanpa Surat Perintah Resmi. Tapi dia
tidak terlalu keberatan jika harus adu fisik malam ini. Dia benar-
benar ingin menonjok seseorang. Atau mungkin beberapa orang.
Delapan orang. Hye-Na menghitung saat dia berhasil mencapai
kediaman Presiden. Laki-laki.
Ah, sudah waktunya kan dia memperlihatkan kemampuannya berkelahi
yang tidak pernah dilakukannya lagi sejak kembali ke Korea?
Seharusnya keahliannya belum hilang.
“Bagaimana Anda bisa masuk, Nona?”
“Aku ingin melakukan penangkapan terhadap Hwang Mi-Rae. Minggir,”
ucap Hye-Na tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan padanya.
“Anda tidak boleh masuk begitu saja. Dan atas dasar apa Anda
menangkap Ibu Negara? Mana Surat Penangkapan Resmi? Anda tidak
boleh masuk kalau Anda tidak membawanya.”
Hye-Na menggerakkan jari-jarinya sehingga menimbulkan bunyi
gemeretak.
“Bermaksud menghalangiku?” tantang gadis itu. “Orang yang kalian
lindungi itu sudah membunuh tiga orang gadis di bawah umur hanya
karena kelainan seksnya. Jadi lebih baik kalian menyingkir. Sekarang.”
Salah seorang dari mereka melangkah maju, menutup jalan Hye-Na,
dengan cepat membuat gadis itu hilang kesabaran sehingga dalam
detik yang samar dan begitu singkat, Hye-Na menggapai tengkuk pria
itu lalu mengaitkan kakinya ke tungkai pria tersebut dan
menjatuhkannya dengan mudah. Dia melakukan beberapa tendangan
mematikan lagi terhadap pengawal-pengawal berikutnya. Hanya
gerakan dasar untuk melumpuhkan, karena dia tidak bermaksud
terlalu melukai mereka. Lagipula apa sih yang mereka pikirkan sampai
mengira bisa mengalahkannya?
Dia membiarkan pengawal terakhir tetap sadar, hanya
menjatuhkannya ke lantai aagar dia bisa mencengkeram kerah kemeja
pria tersebut tanpa perlu mendapatkan perlawanan.
“Hwang Mi-Rae?”
“Ka.. mar… sebelah kanan.”
“Kalau kau memberitahuku dari tadi, ini semua tidak perlu terjadi,
kan?” rutuk Hye-Na, melepaskan cengkeramannya lalu berjalan pergi.
Dia melangkah memasuki ruangan mewah yang penuh perabotan
mahal, mendapati ada dua ruangan dengan pintu tertutup disana. Dia
langsung menebak bahwa suami istri itu pasti tidak pernah lagi tidur
satu ranjang.
Hye-Na mendorong pintu di sebelah kanannya sampai terbuka,
menatap langsung kamar yang sama mewahnya dengan desain diluar.
Ruangan itu berpenerangan redup, tapi dia bisa melihat sesosok
tubuh yang berbaring membelakanginya. Sepertinya kamar ini kedap
suara, karena wanita itu tidak terbangun setelah keributan yang
ditimbulkannya. Dan mungkin wanita itu merasa sangat aman, karena
tidak bersusah-payah untuk sekedar mengunci pintu kamarnya.
“Hwang Mi-Rae ssi,” panggil Hye-Na keras. “Bangun!”
Wanita itu bergerak, terlonjak lebih tepatnya, dan langsung menoleh,
dengan mata terbelalak lebar yang menunjukkan keterkejutannya
melihat kehadiran Hye-Na di tempat paling pribadinya.
“Apa-apaan kau?” teriak wanita itu. “Bagaimana bisa kau masuk kesini
sembarangan. Mana para pengawal? PENGAWAL?!!”
“Sudahlah, tidak usah menghabiskan suaramu. Mereka sudah
kutangani dengan sangat baik.”
“Mau apa kau? Benar-benar tidak sopan!”
“Mana yang lebih tidak sopan? Aku yang masuk ke kamarmu
sembarangan atau kau yang telah membunuh tiga ornag gadis di
bawah umur?” tanya Hye-Na dengan raut wajah jijik.
“APA? Apa kau bilang? Berani-beraninya kau menuduhku seperti itu!”
Wanita tersebut kali ini berdiri, sedikit menjulang di atas Hye-Na,
tapi gadis itu sama sekali tidak merasa terintimidasi.
“Ada saksi yang melihatmu keluar dari hotel, Hwang Mi-Rae ssi. Aku
datang kesini untuk menangkapmu. Jadi lebih baik kau ikut dengan
sukarela bersamaku atau aku harus menggunakan kekerasan.” Hye-Na
menggoyangkan borgol yang digenggamnya, menunjukkan secara
langsung apa yang dia maksud.
“Sukarela kau bilang?” Ada sebersit rasa takut di balik topeng
kemarahan yang diperlihatkan wanita itu saat mengetahui bahwa
kedoknya sudah terbongkar, tapi tentu saja, dia berhasil
menyembunyikannya dengan baik.
“Jangan buang-buang waktuku, Hwang Mi-Rae ssi. Kesabaranku
sangat tipis.”
“Wanita tidak tahu diri!” teriak Mi-Rae murka. Wanita itu maju ke
depan dan berusaha mendorong tubuh Hye-Na agar dia bisa keluar
dari kamar, tapi gadis itu lebih sigap. Dia mencengkeram lengan
wanita itu, sedikit memelintirnya, tapi kemudian tersentak kaget saat
wanita itu balik mencengkeram bagian depan mantelnya dalam
usahanya untuk mempertahankan diri. Terjadi tarik-menarik selama
beberapa saat, dan karena kuatnya cengkeraman wanita tersebut,
Hye-Na ikut tertarik jatuh bersamanya, menyebabkan ikatan sabuk
mantelnya terlepas.
Mi-Rae menggulingkan tubuhnya, memberikan hantaman keras ke
wajah Hye-Na yang belum siap untuk mempertahankan diri dan
berhasil merobek bagian lengan mantel gadis itu dalam usahanya
membebaskan diri.
“Dasar wanita jalang,” umpatnya saat dia bisa melihat gaun yang
dikenakan Hye-na di balik mantelnya. “Jadi begitu caramu
mendapatkan suami kaya?”
Hye-Na meludahkan darah dari sudut mulutnya. Sedikit mengumpat
karena dia melupakan kenyataan bahwa Hwang Mi-Rae adalah
pemegang sabuk hitam Taekwondo di masa mudanya dulu, dan
sepertinya bertambahnya usia tidak membuat kemampuan wanita itu
hilang.
“AISH!” desisnya kesal. “Kau benar-benar membuat kesabaranku
habis!”
Hye-Na bangkit berdiri, melayangkan tendangannya yang
dimaksudkan untuk mencapai kepala wanita itu, tapi hanya berhasil
mengenai dadanya karena ketatanya gaun yang dia kenakan sehingga
tidak mengizinkannya bergerak bebas sesuai yang dia inginkan. Tapi
itu sudah cukup, karena wanita itu berhasil dibuatnya terkapar di
lantai sambil memegangi dadanya yang pasti terasa sangat sakit.
“Beruntung saja aku tidak menghajarmu lebih lama,” gerutu Hye-Na,
membalikkan tubuh wanita itu sampai tertelungkup lalu menarik kedua
tangannya ke belakang punggung, memberikannya akses untuk
memasangkan borgol dengan mudah.
Dia baru saja menarik paksa wanita itu sampai berdiri saat suara
ribut terdengar dan beberapa detik kemudian segerombolan orang
sudah memadati pintu, dengan mulut ternganga lebar menatapnya.
“Lama sekali. Mana suratnya?”
Dia melihat Kyuhyun mendecak kesal dan merangsek maju menuju ke
arahnya seraya melepaskan mantel cokelat yang dipakainya. Dalam
sekejap mata pria itu sudah berhasil mencapainya, tanpa berbicara
apa-apa menyingkirkan Mi-Rae sampai wanita itu terjatuh lagi ke
lantai dengan bunyi debam teredam. Sepertinya sudah benar-benar
pingsan.
Tangan Kyuhyun yang lain menggapai Hye-Na dan memakaikan
mantelnya untuk menutupi bagian depan tubuh gadis itu yang
terekspos, alasan utama kenapa semua pria di tempat itu ternganga
lebar.
“Oh oh, sialan,” seru Hye-Na syok, bergegas memegangi mantel
Kyuhyun tersebut dan menatap rekan satu timnya yang berdiri salah
tingkah di pintu.
“Sayang sekali kau sudah menikah dan hanya menjadi adik angkatku,
Hye-Na~ya,” gumam Leeteuk dengan cengiran lebar di wajah.
“Aku sudah menikah, tapi pemandangan seperti itu tetap saja
menyenangkan,” smabung Siwon, ikut tersenyum, membuat Hye-Na
mendelik menatap suami sahabatnya itu.
“Nah, setidaknya walaupun aku tidak mendapatkanmu, aku bisa
melihat sekilas apa yang bisa dilihat Kyuhyun setiap hari.”
Kali ini Hye-Na tidak perlu merespon ucapan Soo-Hyun karena
Kyuhyun sendiri yang melangkah maju menghampiri pria itu.
“Mimpikan saja sesukamu apa yang kau lihat barusan, Soo-Hyun ssi,”
ucap Kyuhyun dengan bibir yang terkatup rapat, tapi malah
menimbulkan sensasi yang semakin mengancam dari setiap kata yang
dia ucapkan. “Dan ingat, kau bahkan tidak bisa menyentuhnya secara
langsung. Apa itu sudah cukup menyakitkan?”
“Hei hei, aku hanya bercanda,” seru Soo-Hyun gugup.
Kyuhyun masih tetap menatap pria itu lekat-lekat, tapi dia
mengulurkan tangannya ke belakang, yang kemudian disambut oleh
Hye-Na.
“Kalian urus sisanya. Tugas istriku malam ini selesai. Dan… anggap
saja pemandangan tadi itu hadiah malam tahun baru untuk kalian.
Hanya semalam. Atau akan aku pastikan kalian semua menyesal kalau
masih memikirkannya besok. Mengerti?”

***
Kyuhyun’s Home, Yeoju, South Korea
11.50 PM

“Sini,” panggil Kyuhyun, menunggu sampai Hye-Na melangkah masuk


ke dalam ruang ganti pakaian mereka, lalu melepaskan mantel robek
yang dipakai gadis itu beserta gaunnya, menyisakan dalaman yang
seharusnya bisa menggoda Kyuhyun dengan mudah dalam keadaan
biasa, tapi pria itu merasa waktunya tidak tepat. Lagipula gadis
tersebut pasti sudah terlalu lelah untuk melayaninya. Mereka masih
punya besok, lalu besoknya lagi. Kapanpun yang dia inginkan.
Kyuhyun menarik kaus longgar yang sengaja dibelinya untuk dipakai
Hye-Na tidur dari dalam lemari, lalu membantu gadis itu memakainya.
Tubuh Hye-Na tampak tenggelam di balik kaus besar tersebut yang
menutupi sampai di atas lutut, sehingga tidak memerlukan bawahan
lagi.
“Aku ganti baju dulu,” ujar Kyuhyun, mengusap pipi gadis itu dengan
ibu jarinya lalu memajukan tubuh untuk mengecup puncak kepalanya
pelan.
Hye-Na mengangguk dan berjalan menuju jendela kaca besar di
seberang ruangan dan memilih duduk di atas sofa besar nyaman yang
diletakkan disana.
Kyuhyun menghampirinya beberapa menit kemudian, dengan sebaskom
air hangat dan handuk kecil di tangan.
“Lihat wajahmu,” ujar pria itu, duduk di samping Hye-Na lalu meraih
dagu gadis itu dengan ibu jari dan telunjuknya. Dia mulai
membersihkan luka di sudut bibir Hye-Na dengan sangat hati-hati,
sedikit mengernyit saat melihatnya. Berani-beraninya wanita tua
sialan itu meninggalkan bekas di tubuh istrinya.
“Masih ada lagi?” tanya Kyuhyun, menyusuri tubuh Hye-Na dengan
pandangan menyelidik.
“Tidak. Hanya ini saja. Besok juga hilang.”
Kyuhyun mengangguk lalu meletakkan baskom itu ke lantai,
bertepatan dengan saat bunyi kembang api yang keras meledak di
kejauhan, meninggalkan semburat menyilaukan kerlipan warna-warni
di langit yang gelap. Kyuhyun menegakkan tubuh, menoleh ke arah
Hye-Na lalu tersenyum miring.
“Selamat tahun baru,” bisiknya, mencondongkan tubuh untuk
mengecup bibir gadis itu singkat, tidak berani untuk berbuat lebih
jauh mengingat luka yang masih ada disana.
Hye-Na balas tersenyum dan mengangguk, mengusap punggung tangan
Kyuhyun yang sedang digenggamnya. “Selamat tahun baru juga.”
Pria itu menatap gadisnya lama lalu menghela nafas.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya penasaran. Dia sempat
melihat gadis itu melamun tadi sebelum dia datang menghampiri. Dan
dia sudah cukup frustrasi karena tidak tahu apa saja yang sedang
berseliweran di dalam otak istrinya itu sehingga tidak tahan untuk
menanyakannya secara langsung, tanpa perlu bertanya-tanya dalam
hati lagi.
Hye-Na menelusup ke dalam pelukan pria itu, mengalungkan lengan di
sekeliling pinggangnya lalu menyandarkan kepala di bahunya, menatap
pemandangan halaman depan rumah yang tampak terang benderang
karena cahaya lampu taman.
“Wanita itu dulu pernah bertanya kepadaku. Bagaimana bisa aku
mendapatkan pria seperti Cho Kyuhyun? Waktu itu aku bilang lebih
baik dia tutup saja mulutnya yang berbisa itu. Lalu tadi dia bilang aku
wanita jalang yang hanya menjual tubuhku saja untuk
mendapatkanmu.”
Kyuhyun tidak terkekeh geli seperti yang biasa dilakukannya saat
menanggapi pertanyaan bodoh dari gadis itu. Dia cukup tahu bahwa
hal ini sedikit sensitif bagi Hye-Na. Pertanyaan apapun tentangnya
pasti selalu dipikirkan secara berlebihan oleh gadis tersebut.
“Hmmm,” gumam Kyuhyun. “Seingatku 14 tahun yang lalu tubuhmu
belum seseksi ini sampai bisa membuatku tertarik.”
Hye-Na mendongak dan menatap Kyuhyun serius, membuat pria itu
mendesah pasrah lalu balas memandang dengan tatapan bingung.
“Kenapa kau menikahiku?” tanya Hye-Na perlahan. Pertanyaannya
menggantung di udara, menimbulkan kesunyian yang tidak
mengenakkan.
“Aku mencintaimu,” ujar pria itu kemudian, setelah beberapa saat
berlalu sehingga Hye-Na sempat mengira bahwa pria itu tidak akan
menjawab pertanyaannya. Jawaban yang sama sekali tidak dia sangka-
sangka akan keluar lagi dari mulut pria itu. “Apa itu tidak cukup?”
Kyuhyun menggeser tubuh, mengangkat Hye-Na dengan mudah
sehingga gadis tersebut duduk di atas pangkuannya. Menghadap ke
arahnya.
“Kau tahu nama tengahku?” tanya pria itu retoris, tahu bahwa gadis
itu tidak akan puas begitu saja dengan jawabannya yang sangat
sederhana. “Arogan. Egois,” lanjutnya, menjawab sendiri pertanyaan
yang dia ajukan. “Aku jenis orang yang tidak mengenal kalimatkau
tidak harus mendapatkan semua hal yang kau inginkan. Kalau aku
menginginkan sesuatu, aku akan melakukan apapun, legal ataupun
tidak, untuk mendapatkannya.”
Dia mengusap punggung Hye-Na dalam gerakan teratur, secara tidak
sadar. Matanya hanya tertuju pada wajah gadis itu saja, karena
menurutnya dia harus mengatakan semuanya dengan serius, seperti
yang seharusnya sudah dia lakukan sejak lama.
“Seseorang yang membuatku tertarik… ah tidak… karena kau
membuatku tertarik,” ralatnya kemudian. “Kau harus
mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Terikat selamanya. Dalam
pernikahan. Bersamaku.”
“Kau bertanya alasannya?” Kyuhyun menyentuh pipi gadis itu dengan
ujung jemarinya, beranjak ke rahang, lalu menelusup ke dalam helaian
rambut ikal yang membingkai wajahnya. “Karena aku ingin bahagia.
Aku tidak peduli dengan kebahagiaanmu. Aku tidak peduli apakah kau
mencintaiku atau tidak. Jika aku merasa aku perlu memilikimu…
melihatmu setiap hari… kapanpun aku mau, aku akan memaksamu
untuk mewujudkannya. Ah… aku memang memaksamu untuk menikah
denganku, kan?” gumamnya, menunjukkan seringaiannya yang
memabukkan.
Dia memerangkap wajah gadis tersebut di antara kedua telapak
tangannya, menelusuri setiap incinya dengan mata cokelatnya yang
tajam, seolah dia tidak pernah puas walaupun sudah melakukannya
setiap hari.
“Kau sudah mengerti kan, Na~ya? Betapa mengerikannya akibat yang
kau dapatkan karena sudah membuatku jatuh cinta?”
Gadis di depannya terpaku selama beberapa saat, sebelum akhirnya
menyunggingkan senyum dan tanpa diduga-duga mencondongkan
tubuh, mengecup bibirnya singkat. Kali pertama gadis itu berinisiatif
untuk menyentuhnya duluan.
“Tidak mengerikan. Sejauh ini aku menyukainya.”
Kyuhyun tersenyum, tidak bisa menyembunyikan rasa leganya setelah
mendengar pengakuan dari bibir gadis itu. Dia memajukan tubuh,
menciumi rambut gadis itu sekaligus menghirup nafas disana. Dia
menggeser wajahnya kemudian sampai hidung mereka bersentuhan,
dengan mata yang menatap lurus tepat ke mata cokelat gelap yang
dimiliki Hye-Na.
“Aku mencintaimu,” bisiknya, terdengar frustrasi dan putus asa. Jari-
jarinya yang masih berada di pipi gadis itu mulai tampak gemetar.
Pria itu tidak lagi terlihat tenang ataupun penuh kendali seperti yang
selalu ditunjukkannya di depan semua orang. Suaranya tidak
terdengar mantap, ada getaran aneh samar, seolah-olah pria itu
sedang grogi setengah mati. Sesuatu yang mustahil terjadi untuk pria
yang menguasai separuh bumi.
“Aku mencintaimu,” ulangnya lagi. “Bagian manapun dari dirimu yang
menyebalkan itu. Setiap jengkalnya.”

END

Anda mungkin juga menyukai