Anda di halaman 1dari 214

2060 : When World Becomes Yours

Note 1 24 Januari 2013

Hye-Na menautkan kedua alisnya, berusaha keras menahan gidikan ngerinya saat
melihat kerumunan orang-orang di depannya. Semuanya dengan setelan jas resmi
dan gaun berikut perhiasan-perhiasan berkilauan di tubuh mereka. Dan semuanya
berlabel ‘kaya-raya’.
Tanpa sadar gadis itu mencengkeram lengan Kyuhyun kuat-kuat. Sampai
kapanpun, dia tidak pernah suka berada di tengah kumpulan orang banyak,
menjadi pusat perhatian karena statusnya sebagai istri seorang Cho Kyuhyun yang
terhormat, dan membuatnya harus bisa beramah-tamah untuk merebut simpati
semua orang. Itu terdengar seperti… orang asing. Bukan Han Hye-Na. Tapi Cho
Hye-Na.
“Apa ini salah satu caramu melenyapkanku dari muka bumi?” bisik gadis itu,
terdengar sedikit gemetar, membuat Kyuhyun bahkan tidak habis pikir, apa bagi
istrinya bersosialisasi memang lebih menakutkan ketimbang melakukan baku
tembak dengan penjahat?
“Kau sudah berjanji akan menemaniku menghadiri acara-acara resmi,” ucap
Kyuhyun, balas berbisik di dekat telinga gadis itu, memasang wajah tanpa
ekspresi karena tatapan semua orang sekarang teralih pada mereka berdua. Ini
memang pertama kalinya dia tampail bersama istrinya di acara publik.
“Aku sedang memenuhi janjiku,” dengus Hye-Na, merasakan lilitan kain sifon di
tubuhnya yang terasa tidak nyaman. Secantik apapun gaun berwarna merah
anggur ini, tetap saja dia tidak sudi memakainya dengan hati rela.
“Kau cantik. Seharusnya aku menahanmu saja di rumah,” gumam Kyuhyun
dengan kening berkerut, membelai sisi tubuh Hye-Na dengan jari-jarinya yang
panjang.
“Kenapa tidak kau lakukan?” tanya Hye-Na segera sehingga Kyuhyun terpaksa
membenamkan wajahnya ke dalam helaian rambut gadis itu yang disanggul
longgar untuk menyamarkan tawanya.
“Aku mau saja,” ujar pria itu geli. “Tapi acara ini cukup penting. Mereka sangat
mengharapkan kehadiranku untuk menaikkan harga lelang.”
“Lebih penting daripada menikmati tubuhku?”
“Na~ya,” desahnya putus asa. “Jangan mulai. Ini hanya acara lelang amal, bukan
acara pembantaian.”
“Aku lebih suka acara pembantaian. Setidaknya aku bisa berpartisipasi dengan
menembaki pelakunya satu per satu.”
Kyuhyun mengusap punggung gadis itu, berusaha menenangkan.
“Biar kutebak. Kau pasti bawa pistol.”
“Tentu saja,” sahut Hye-Na cepat. “Aku selalu bersiaga setiap saat.”
“Itu baru istriku!”
Hye-Na mendelik ke arah pria itu. “Tidak usah sok manis, Kyu,” desisnya.
Pria itu tersenyum tanpa dosa. “Maaf,” bisiknya. “Tapi menggodamu memang
sangat mengasyikkan.”
Hye-Na memasang tampang seolah mengatakan kalau-tidak-mengingat-ada-
ratusan-orang-disini-aku-pasti-sudah-menghabisimu.
Kyuhyun memutar bola mata lalu mendorong tubuh gadis itu maju tanpa
mengatakan apa-apa. Mereka memulai peran sebagai pasangan suami-istri kaya
raya yang bisa menguasai apa saja. Nah, seharusnya itu mengasyikkan, kan? Aneh
sekali gadisnya ini bisa memiliki pikiran berbeda.
***
Lima belas menit, batin Hye-Na geram. Dia membuang-buang waktunya untuk
memasang muka manis selama lima belas menit. Sesuatu yang sangat sia-sia.
Dia cukup menyukai beberapa orang di tempat ini, tapi juga bisa menebak bahwa
beberapa di antaranya hanya memasang topeng penjilat. Dia tidak bsia mengerti
bagaimana Kyuhyun bisa bertahan dalam bidang seperti ini tanpa merasa stress
dan ingin memukul sesuatu.
Gadis itu sedang menyesap anggurnya, satu-satunya minuman yang bisa
ditolerirnya di tempat ini, saat communicator-nya mengeluarkan bunyi bip
singkat. Dia mengeluarkannya dari dalam clutch yang dibawanya malam ini dan
melirik nama yang tertera di layar. Eun-Ji.
Hye-Na menyingkir dan berjalan ke sudut untuk mengangkat teleponnya. Eun-Ji
tahu kemana dia pergi malam ini, jadi pasti ada sesuatu yang sangat penting
sehingga gadis itu menghubunginya.
“Apa?” tanya Hye-Na langsung setelah menekan tombol terima.
“Maaf mengganggu kegiatanmu, tapi ada masalah yang cukup pelik disini.
Maksudku… kami berhasil menangkap pengedar narkoba yang kita cari-cari
selama ini. Keadaannya tidak baik. Soo-Hyun oppa kena tembak dan sekarang
sedang dirawat Yesung oppa. Dia baik-baik saja, hanya sedikit mengamuk. Tapi
semua orang sedang emosi dan Yoon Hwang-Ju hanya semakin memperburuk
keadaan. Dia berhasil memanggil pengacara dan melakukan aksi tutup mulut.
Pengacaranya sama saja. Mereka meminta bebas dengan jaminan, tapi yang benar
saja! Kita sudah mengejarnya berbulan-bulan dan sekarang mau dibebaskan
begitu saja?”
“Beri dia Surat Penangkapan Resmi. Kalian menangkapnya saat melakukan
transaksi, kan?”
“Transaksi anak buahnya, sebenarnya,” ringis Eun-Ji. “Dan sekarang dia mau cuci
tangan. Buktinya tidak cukup. Dia tidak membawa narkoba ataupun barang ilegal
lainnya sehingga kita tidak bisa sembarangan menjebloskannya ke penjara.”
“Tentu saja bisa,” sergah Hye-Na. “Butuh setengah jam dari sini ke Five States.
Kalau kau bisa….”
“Delapan menit,” ralat Kyuhyun, yang entah sejak kapan berada di belakangnya.
Jelas sedang menguping.
Hye-Na memutar bola mata, tapi tidak mendebat. Pira itu berguna untuknya
sekarang.
“Delapan menit,” ujar gadis itu kemudian. “Tahan dia selama delapan menit lagi
untukku.”
***
“Kalau saja aku ingat,” gumam Hye-Na dengan gigi terkatup rapat, menolak keras
melihat ke luar jendela, baik jendela samping maupun jendela mobil di bagian
depan.
Dia dengan bodohnya melupakan kenyataannya bahwa Kyuhyun membawanya ke
acara lelang dengan amphibithrope. Hanya saja itu terjadi karena mereka
mengambil jalan darat, jadi dia tidak mengingat bedanya. Dan sekarang… berada
di ketinggian lima ratus kaki dari permukaan tanah membuat kepalanya pusing
dan perutnya meelilit mual. Bersyukurlah karena dia tidak memakan apapun di
tempat tadi, atau dia terancam akan mengeluarkan semua isi perutnya saat mereka
mendarat nanti.
Kyuhyun bersandar santai di kursinya dengan satu tanagn memegang kemudi,
melirik wajah istrinya yang terlihat pucat dan tidak sehat. Kalau saja semua orang
yang mengenal istrinya bisa melihat keadaannya sekarang, mereka semua pasti
akan menertawakannya. Seorang Cho Hye-Na bisa dibuat nyaris pingsan hanya
karena berada di ketinggian?
Kyuhyun mengulurkan tangan dan mengusap keringat dingin di pelipis gadis itu.
Berada di ketinggian ini membuatnya tidak perlu merasa takut untuk menabrak
apapun, jadi dia bisa mengendurkan konsentrasi mengemudinya.
“Astaga Na~ya, aku bisa menjamin kalau kau akan sampai dengan selamat. Tidak
perlu seperti itu,” komentarnya.
“Kau tahu aku fobia!” bentak gadis itu, sehingga Kyuhyun tertawa kecil, yang
anehnya tidak direspon oleh Hye-Na seperti yang biasanya akan gadis itu lakukan.
Ketinggian benar-benar menghajar telak gadis itu tanpa ampun.
“Apa aku harus mengalihkan perhatianmu? Aku punya cara yang
menyenangkan.”
Pria itu tidak menunggu jawaban dari Hye-Na. Dia langsung mengalihkan kemudi
ke bagian otomatis agar tidak perlu repot-repot membagi konsentrasi, lalu
menyelipkan lengannya ke pinggang gadis tersebut setelah melepaskan sabuk
pengamannya. Dia kemudian menarik Hye-Na, dengan mudah memindahkan
posisi gadis itu ke atas pangkuannya, membuat Hye-Na tersnetak kaget dengan
mata membelalak lebar menatapnya.
“Apa apa apa?” serunya gelagapan. “Kau mau apa, sialan?”
“Ada sekitar lima menit lagi,” beritahu Kyuhyun. “Kau bisa-bisa pingsan. Aku
hanya ingin membantumu.”
“Kalau kau berpikir ingin….”
“Sebenarnya aku ingin,” potong Kyuhyun, separuh tersenyum. “Tapi kau akan
merasa tidak nyaman jika aku memaksa melakukannya disini. Tempatnya sedikit
sempit dan waktunya tidak akan cukup. Aku harus puas dengan ciuman saja.”
Hye-Na baru membuka mulut untuk berargumen, tapi Kyuhyun lebih cepat,
menggumamkan kesempatan itu untuk menyerangnya. Bibirnya yang terbuka
memudahkan pria itu untuk merangsek masuk, menjajah mulutnya habis-habisan.
Dan dia nyaris tergagap-gagap mencari udara.
Kyuhyun tersenyum diam-diam saat merasakan bahu gadis itu yang tadinya
tegang perlahan mulai mengendur sebelum akhirnya benar-benar rileks sehingga
dia mulai bebas untuk berbuat sesukanya. Tidak lagi dalam kondisi memaksa.
Dia mulai mengusap sisi lengan Hye-Na perlahan, mengalihkan ciumannya ke
pipi, mengecup dagu gadis itu sekilas, menjelajahi rahang, dan berhenti lama di
bahu Hye-Na yang terbuka, menghirup aroma parfum kesukaannya.
Kyuhyun merasakan jari-jari Hye-Na yang menelusup masuk ke dalam
rambutnya, tubuh gadis itu yang sedikit menunduk, dan bibirnya yang kemudian
menyentuh keningnya dengan lembut. Pria itu terpaksa menghirup nafas dalam-
dalam untuk menahan kendali diri dengan tingkah laku istrinya yang sedikit tidak
berrperasaan—menurutnya. Harusnya gadis itu tahu, dia selalu lemah kalau gadis
itu sudah bersikap seperti seorang istri yang berniat melayani suami.
Dia menjauhkan tubuh Hye-Na sedikit dan menjangkau bibirnya lagi, kali ini
mencium tanpa menahan diri lagi, tapi masih cukup waras sehingga dia sempat
menyelipkan lengannya di belakang tubuh Hye-Na agar gadis itu tidak membentur
kemudi. Dia melumat lebih dalam, menghisap, emngulum, apapun yang bisa dia
lakukan sebelum akhirnya menggigit ringan bibir gadis itu dan menjauhkan diri,
memasang senyum separonya yang menawan.
“Cukup main-mainnya. Kita sudah sampai.”
Hye-Na mengerjap, memalingkan wajah untuk melihat keluar dan tampak begitu
lega saat tahu mereka sudah kembali ke tanah. Dengan selamat. Seolah mereka
baru saja kembali dari medan perang.
Gadis itu membuka pintu dan meloncat turun, teringat sesuatu yang mendadak
membuatnya panik. Dia menunduk dan mengecek penampilannya di kaca mobil,
langsung mengerang saat melihat rambutnya yang awut-awutan. Cukup beruntung
bahwa tidak ada orang di sekitar yang akan memergoki penampilannya. Jadwal
kerja di Five States sudah berakhir jam lima sore dan hanya beberapa agen yang
tinggal untuk lembur.
Kyuhyun mengikuti gadis itu turun dari mobil lalu menariknya sampai berdiri
tegak lagi. Tanpa berkata apa-apa pria itu melepaskan setiap jepit yang menahan
rambut Hye-Na, membuat rambut ikal tersebut tergerai lembut di tangannya. Dia
sedikit ingin mengusapnya, tapi dia yakin pasti gadis itu akan menendangnya jika
dia melakukannya disini, jadi dia cukup puas dengan itu saja sekarang.
Kyuhyun merapikan poni yang menutupi kening Hye-Na sedikit dan tersenyum
puas.
“Sudah,” ucapnya.
“Aku benar-benar terlihat seperti ornag yang habis bercinta kilat di mobil,” keluh
gadis itu.
“Bayangkan kalau aku benar-benar menidurimu tadi. Kau pasti akan terlihat lebih
seksi,” ujar Kyuhyun, melirik gaun Hye-Na, yang diartikan oleh gadis itu sebagai
tatapan gaunmu-pasti-tidak-akan-selamat.
“Kenapa kau suka sekali merobek-robek pakaian?” geram gadis itu, mulai
berjalan memasuki gedung.
“Hmmm,” gumam Kyuhyun, pura-pura berpikir. “Karena aku tidak suka
membuang-buang waktu mungkin?”
“Ka----“
“Baru turun dari langit untuk melongok keadaan bumi, Nyonya Cho?”
Sebuah teriakan memotong ucapannya, membuat Hye-Na menoleh dan melihat
Kang-In sedang berdiri di depan AutoChef di sudut aula, melambai sambil
tersenyum menggoda ke arah mereka berdua, membuat Hye-Na mendadak
mendapat firasat bahwa pria itu memergoki mereka dalam keadaan tidak pantas
tadi, melihat ekspresinya yang seperti itu.
Dia cukup mengenal Kang-In yang bekerja di bagian Komunikasi dan
Pengamanan. Pria itu cukup membantu dalam beberapa kasus dan selalu suka
menggodanya, terutama masalah rumah tangganya yang tampaknya sangat
menarik minat pria tersebut.
“Hyung,” sapa Kyuhyun, sedikit terkekeh melihat tampang Hye-Na yang tidak
ramah.
“Oh, Kyuhyun~a. Komputer di rumahmu baik-baik saja?”
“Tentu,” sahut Kyuhyun sambil menyeringai.
“Aku sangat ingin menengoknya kapan-kapan. Komputer disini tidak asyik lagi.
Sedikit susah untuk… kau tahu… menyelinap masuk ke dalam dokumen-
dokumen rahasia.”
“Sarannya kuterima,” ujar Kyuhyun kalem. “Aku akan mengganti semuanya
dengan yang baru. Hubungi Joong-Ki hyung.”
“Dengan senang hati,” seru Kang-In sambil nyengir lebar, melambai pamit setelah
mendapatkan kopinya.
“Lagi-lagi pamer kekayaan. Aku akan mengganti semuanya dengan yang baru.
Baru kepalamu!” dengus Hye-Na.
“Tempat ini kan punyaku. Sudah seharusnya aku memberikan yang terbaik,” jelas
Kyuhyun sabar.
“Ya ya ya, yang terbaik. AutoChef di kantorku kopinya tidak enak,” gerutu Hye-
Na, melangkah masuk ke dalam lift yang terbuka.
Kyuhyun menggapai Hye-Na dan mengalungkan lengannya ke bahu gadis itu.
“Sarannya kuterima, Sayang.”
Dan dia mendapat injakan high heels sebagai balasannya.
***
“Kau sebenarnya mau menjawab pertanyaanku atau tidak?” geram Hye-Na, mulai
bosan dan kehilangan kesabaran setelah sepuluh menit terbuang sia-sia karena
Hwang-Ju hanya menjawab pertanyaannya asal, berputar-putar di tempat yang
sama.
“Aku sudah bilang kalau aku bukan pengedar. Kau bahkan tidak punya buktinya.
Aku bisa menuntutmu balik, kau tahu? Lebih baik kau lepaskan aku seka-----“
Ucapan Hwang-Ju terputus karena Hye-Na sudah mendorong meja di antara
mereka, sehingga kursi yang diduduki pria itu ikut terguling dan membuatnya
jatuh berdebum di lantai. Sedetik kemudian dia sudah merasakan sesuatu yang
runcing menusuk perutnya, membuatnya berteriak kesakitan. Astaga astaaga, pasti
ada organ dalamnya yang rusak. Mungkin juga tulang rusuk patah.
Gadis itu menarik kerah kemejanya, menatapnya dengan raut wajah dingin tanpa
belas kasihan. Dia sudah lama mendengar tentang gadis ini. Cantik, berbahaya,
tidak kenal ampun. Tapi jelas tidak ada yang memberitahunya bahwa tubuh gadis
tersebut juga mempesona. Lagipula siapa yang menyangka bahwa gadis itu akan
datang kepadanya dengan penampilan seperti dewi begitu. Gaunnya….
“Beri aku pengakuan lengkap,” desak gadis itu dengan suara menuntut.
Genggaman gadis itu di kerah kemejanya nyaris mencekik, membuatnya
kesusahan menarik nafas, dan perutnya juga sudah benar-benar sakit dan perih.
Kalau high heels itu sampai merobek perutnya….
“Kami bisa menuntut Anda dengan pasal kekerasan dan pengancaman, Agen
Han!” teriak pengacara Hwang-Ju, yang terlalu syok melihat kelakuan gadis itu
sehingga terlambat memberikan respon.
“Kau dengar?” gumam Hwang-Ju di sela-sela oksigennya yang semakin menipis..
“Kau bisa menangkapku setelah aku menghabisi bajingan ini.” Hye-Na semakin
menekankan ujung sepatunya, mendengar jeritan kesakitan yang sangat
memuaskan setelah itu.
“Baik baik, dasar jalang! Kau mau membunuhku?” teriak Hwang-Ju, yang
langsung dibebaskan oleh Hye-Na sehingga pria itu terbatuk-batuk dan gelagapan
mencari udara sambil memegangi perutnya yang mengeluarkan darah karena
tancapan sepatu Hye-Na.
“Bagus. Bersikap kooperatif atau aku akan melakukan yang lebih buruk dari itu.”
Hwang-Ju mengibaskan kerah kemejanya, berdiri, lalu menatap Hye-Na penuh
dendam.
“Kau pasti akan mendapatkan balasan karena telah melakukan ini padaku,”
ucapnya penuh ancaman.
“Coba saja,” jawab Hye-Na, tidak terlihat gentar sedikitpun, kemudian berbalik
keluar, memberi tanda agar Leeteuk bisa memulia interogasinya.
Kyuhyun yang dari tadi berdiri menonton di sudut mulai melangkah mendekati
tersangka mereka. Matanya menyorot tajam, tampak menakutkaan dan berbahaya.
Hanya butuh beberapa detik sampai dia kehilangan kesabaran sepenuhnya dan
menyudutkan Hwang-Ju ke dinding, menekan dada pria itu dengan lengannya
yang kuat.
“Jangan pernah mengancamnya atau kau akan merasa menyesal pernah terlahir ke
dunia,” desisnya penuh peringatan. “Dan istriku bukan jalang. Sekali lagi kau
memakinya dengan kata-kata seperti itu, kau akan habis di tanganku.”
***
“Mandi dulu. Segarkan dirimu sedikit,” perintah Kyuhyun, mendorong tubuh
Hye-Na yang bermaksud langsung menuju ranjang, mengubah arahnya ke kamar
mandi.
Gadis itu terlalu lelah untuk mendebat, dikarenakan efek pesta tadi yang masih
tersisa, juga penerbangan menyebalkan yang sangat dibencinya.
Kyuhyun menekan beberapa tombol, mengisi bathtub dengan air hangat dan busa-
busa sabun yang harum, masih dengan sebelah tangan yang memegangi Hye-Na,
mencegah gadis itu kabur.
“Tadi seseorang di pesta… seorang wanita cantik yang sepertinya tertarik
padamu… bertanya ilmu sihir apa yang sudah aku pakai untuk menjeratmu,”
celoteh Hye-Na dengan nada mengantuk, membiarkan Kyuhyun melucuti
gaunnya dan mendorongnya masuk ke dalam bathtub yang sudah terisi penuh.
“Orang-orang kaya itu, rekan bisnismu, siapalah, aku tidak peduli, sepertinya
berpikir bahwa setidaknya jika kau menikah kau seharusnya memilih wanita yang
pantas. Cantik… terlihat mewah… mahal… punya tubuh bagus… dada besar
mungkin? Mengingat seleramu yang tinggi dalam segala hal….”
Kyuhyun duduk di samping bathtub, mendengarkan istrinya yang sedang
berbicara melantur. Dia melepaskan jasnya, menyisakan kemeja yang sudah
separuh terbuka, kemudian menggapai shampo dan menuangkan isinya ke tangan,
mulai mengeramasi rambut Hye-Na, memijat kepalanya pelan agar gadis itu
merasa lebih rileks.
“Konyol,” komentarnya setelah beberapa saat. “Apa pendapat orang lain begitu
berarti bagimu?”
“Hmmm… itu berarti untuk imej-mu di mata publik.”
Kyuhyun mengambil sabun cair, berpindah membersihkan tubuh gadis itu.
“Kau cantik. Tampak sangat mahal. Dan….” Tangan pria itu berhenti di dadanya.
“Punyamu cukup besar.”
“Yaaaah…” gumam Hye-Na, benar-benar terlihat ngawur. Kyuhyun bertanya-
tanya apakah gadis itu terlalu banyak meminum anggur tadi? “Sepertinya menurut
mereka tidak. Seharusnya kau menikahi model, artis, atau apalah. Yang sepadan.
Bukan agen yang----“
“Jangan mulai membuatku kesal, Na~ya,” selanya tajam, tampak mulai hilang
kesabaran. “Mengkritik seleraku. Biar saja mereka mengurusi urusan mereka
sendiri. Kau tidak usah peduli.”
“Dengar… aku kan hanya----“
“Tidak, kau yang dengar!” sergah Kyuhyun dengan nada membentak. “Aku sudah
pernah bilang bahwa aku selalu menginginkan yang terbaik. Hanya yang terbaik.
Aku menikahimu karena aku memilihmu. Aku yang menginginkanmu. Jadi
persetan dengan pendapat mereka. Aku tidak pernah melakukan kekeliruan, Agen
Cho. Ingat itu.”
Hye-Na sedikit menciut dengan kemarahan pria itu. Otaknya bergeser ke tempat
yang salah sepertinya sehingga berani mengusik ego suaminya.
“Oke. Baik. Jangan ngamuk begitu. Kau terlihat menyeramkan.”
“Kau yang mulai,” ucap Kyuhyun kesal.
Hye-Na maju ke depan, dengan tubuh yang tertutup busa sepenuhnya. Dia
mengulurkan tangan kanannya untuk mengusap pipi pria itu, berusaha
mengendurkan ketegangannya.
“Aku minta maaf. Oke?”
Kyuhyun menarik nafas, menghembuskannya, lalu menjulurkan tubuh dan
menempelkan keningnya ke kening gadis itu.
“Menyebalkan sekali mencintai wanita sepertimu.”
“Aku tahu,” gumam Hye-Na. “Kau tidak mandi?”
“Tawaran macam apa yang sedang kau berikan, Na~ya?”
Hye-Na tersenyum. “Buka bajumu dan masuk kesini.”
“Bagian itu menyenangkan,” ujar Kyuhyun, ikut tersenyum. “Mencintaimu tidak
sepenuhnya menyebalkan sepertinya.”
“Tentu saja.”
***
Note 2 28 Januari 2013

2061 {2nd Teaser} – NC 17


DON’T COPY PASTE!
STA Building, Five States
“SIALAN!” teriak Hye-Na murka sambil menendang pintu ruangan kantornya
sampai terbuka. “Pelacur itu mencakarku!”
Eun-Ji mendongak dari laporan yang sedang dibacanya dan menyipitkan mata
memandang Hye-Na, memindai luka yang kemungkinan dialami sahabatnya itu, yang
kemudian diputuskan Eun-Ji terlalu parah untuk disebut sebagai cakaran. Pipi bagian
kiri Hye-Na memiliki luka goresan panjang yang darahnya sudah mengering,
sedangkan luka di leher dan bagian lengannya masih mengeluarkan darah. Apa kuku
seorang wanita bisa menyebabkan luka seperti itu?
“Kau yakin yang mencakarmu bukan harimau dan sebangsanya?”
“Kukunya setajam pisau dan sangat runcing,” komentar Siwon yang ikut melakukan
penggebrekan bersama Hye-Na. Hanya kasus pembunuhan dan perampokan ringan
sebenarnya. Seorang pelacur yang menjebak korbannya, mencuri hartanya, lalu
membunuh pria menyedihkan tersebut dan kabur melarikan diri. Tertangkap hanya
karena dengan teledor menjual barang-barang curiannya sembarangan. Seharusnya itu
menjadi pekerjaan polisi, tapi seperti biasa, yang bisa mereka lakukan hanya
menggemukkan perut saja dan terlalu kesusahan untuk mengangkat pantat mereka
yang besar.
“Lalu apa sih yang kau lakukan sampai membiarkan Hye-Na dicakar seperti itu?”
seru Eun-Ji kesal melihat ketidak-becusan suaminya dalam bekerja.
“Suamimu,” ujar Hye-Na sambil menyeringai sinis. “Terlalu sibuk dengan dada
sebesar melon gadis itu.”
Siwon mendelik menatap Hye-Na yang malah berniat semakin memperburuk
keadaan.
“Bukan seperti itu!” jelas pria itu cepat-cepat saat merasakan aura kelam yang mulai
dipancarkan Eun-Ji. “Dia berusaha menggodaku dan aku hanya menghindar. Dia
berteriak-teriak, seharusnya kau dengar sendiri suaranya yang bisa memecahkan
gendang telinga itu. Dia juga menyerang, mencakar, mengenai Hye-Na seperti yang
kau lihat. Aku bahkan sudah berusaha memeganginya dari belakang tapi kekuatannya
besar sekali. Kalau Hye-Na tidak segera meninju wajahnya, pasti keadaannya akan
lebih buruk.”
“Kau itu kan laki-laki!” teriak Eun-Ji keras, nyaris melemparkan berkas-berkas di atas
mejanya ke arah Siwon.
“Wanita bisa sangat menyulitkan kalau mereka mau. Dan tolonglah, aku tidak mau
menyentuh tubuh wanita itu lebih daripada yang seharusnya.”
“Alasanmu saja,” cetus Eun-Ji, masih tampak meradang. “Apa aku harus
mengoperasi dadaku dulu baru kau puas?”
“AISH! Diam kalian!” teriak Hye-Na gusar. “Aku harus menyelesaikan laporanku
dan mendapatkan Surat Perintah Resmi untuk menangkapnya. Tadi aku hanya
menahannya karena perbuatannya menyerang agen saja. Kalau dia berhasil
mendapatkan pengacara bagus, dia akan lolos dalam beberapa jam. Jadi tutup mulut
kalian atau setidaknya pergi bertengkar ke tempat lain!”
Eun-Ji mendengus dan memalingkan wajahnya dari Siwon.
“Paling tidak obati dulu lukamu. Kau tidak ingat punya suami yang sangat over
protektif? Bisa-bisa dia menemui pelacur itu dan menghabisinya,” ucap Eun-Ji
mengingatkan.
“Nanti saja. Hanya luka ringan,” tolak Hye-Na, diam-diam berjengit hanya dengan
memikirkan pergi ke gedung SRO di sebelah dan meminta diobati. Walaupun tempat
itu bukan rumah sakit, tetap saja baunya sama. Bau obat-obatan, disinfektan,
mayat….
“Itu masih berdarah, Hye-Na~ya,” ujar Siwon ikut berkomentar.
Hye-Na menarik berlembar-lembar tisu dari atas meja dan menyekakannya ke leher
juga lengannya, membuat tisu-tisu itu basah karena darah. Gadis tersebut bergidik
mual dan cepat-cepat mengenyahkannya ke dalam tong sampah kecil di dekat
kursinya. Dia tidak pernah suka melihat cairan kental berwarna merah itu. Baunya
seperti karat. Terlihat sangat mengancam.
Hye-Na mengacuhkan tatapan tidak suka yang diarahkan Eun-Ji padanya, sepenuhnya
menyadari bahwa pendarahannya belum berhenti. Dan jujur saja, luka-lukanya terasa
begitu nyeri seperti habis diiris pisau. Kuku pelacur itu benar-benar diruncingkan
bukan tanpa alasan.
“Kalau suamimu mengamuk, jangan bawa-bawa kami,” ancam Eun-Ji kemudian.
“Aku tidak bermaksud menemuinya dalam waktu dekat. Apa aku tidak usah pulang
saja?”
Baru saja Hye-Na menyelesaikan ucapannya, communicator-nya langsung berbunyi
dan Hye-Na yang tidak terlalu memperhatikan langsung menerimanya begitu saja,
dalam bentuk video call. Dan nerakanya datang dengan begitu cepat.
“Bajumu berdarah, Na~ya,” desis Kyuhyun dengan sorot mata tajam dan suara yang
dingin, mengandung bahaya. Tatapan mata pria itu menyusuri wajah dan lehernya,
sedangkan Hye-Na membeku di tempat.
“Hanya kena cakar,” ujar gadis itu gugup. “Penggebrekan,” lanjutnya lagi, berusaha
menjelaskan dengan singkat.
“Apa perlu aku yang datang kesana dan menyeretmu ke rumah sakit atau kau saja
yang pergi ke gedung sebelah dan menemui Yesung hyung?” tanya Kyuhyun datar,
jelas serius dengan ucapannya, tidak peduli jika sepuluh menit lagi dia harus
menghadiri rapat dengan pemegang saham.
“Oke,” sahut Hye-Na cepat. Terlalu cepat. “Aku akan kesana. Kau tenang saja.”
“Aku akan tahu kalau kau tidak melakukannya,” ujar Kyuhyun, kali ini dengan nada
mengancam yang tersirat jelas dalam suaranya. “Kau bisa saja tidur di rumah sakit
malam ini.”
“Sialan,” umpat Hye-Na pelan. “Aku mengerti. Oke? Urus saja pekerjaanmu. Beli
Saturnus atau apalah! Jangan ganggu aku!”
Wajah Kyuhyun sedikit melunak dan sinar matanya mulai berkilat geli.
“Aku sudah beli Mars,” sahutnya santai, entah serius atau tidak. Tapi walaupun pria
itu serius, Hye-Na tidak terlalu terkejut mendengarnya.
“Kau sudah makan?”
“Kau meneleponku hanya untuk menanyakan hal remeh seperti ini?” dengus Hye-Na
tak percaya. “Jadwal makan siang masih dua jam lagi, Kyu.”
“Bagaimana kalau makan siang denganku?” tawar pria itu.
“Dimana? Milan? Paris? Aku sibuk. Tidak ada waktu untukmu.”
“Bagaimana bisa seorang istri berkata tidak punya waktu untuk suaminya?”
“Buktinya aku baru saja mengatakannya. Sudahlah. Aku benar-benar sibuk
sekarang.”
“Ya sudah,” ucap Kyuhyun mengalah. “Pastikan lukamu diobati dengan benar. Dan
kau harus pulang denganku nanti supaya aku bisa memutuskan akan membawamu ke
rumah sakit atau tidak. Mengerti?”
Hye-Na baru akan menjawab tapi Kyuhyun sudah memutuskan transmisinya,
membuat gadis tersebut mengeluarkan caci-maki tidak sopan dari mulutnya.
“Dia pikir dia siapa? Presiden? Menyuruh-nyuruhku sembarangan.”
“Suamimu itu bisa mencalonkan diri jadi Presiden bulan depan kalau kau tidak
menghalanginya,” ujar Eun-Ji sinis.
“Aku tidak menghalanginya.”
“Yah, kalau begitu dia saja yang terlalu mengenal kepribadianmu sampai tahu apa
saja yang kau inginkan dan tidak kau inginkan. Dan kau tidak ingin menjadi Ibu
Negara.”
“Seratus poin untukmu. Nah, apa yang sedang kulakukan tadi?” tanya Hye-Na
ngawur, mulai menunjukkan gejala pikun.
“Pergi ke SRO dan obati lukamu atau kau akan menginap di rumah sakit malam ini,”
beritahu Siwon yang duduk di depan meja kerja Eun-Ji sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya tidak habis pikir. “Biar aku saja yang mengurus laporan dan surat
perintahnya.”
“Oh, ya,” gumam Hye-Na dengan bahu merosot lemas. “Itu bisa diadukan sebagai
percobaan pembunuhan terhadap agen pemerintah.””
“Oh please, tidak usah berlebihan, oke?”
“Siapa yang berlebihan? Mereka bisa saja menyayat-nyayat tubuhku disana,
menyorotku dengan sinar laser, atau menyuntikku. Siapa yang tahu?”
“Hye-Na, demi Tuhan!” teriak Eun-Ji mulai hilang kesabaran sedangkan Siwon sudah
tertawa-tawa geli melihat kelakukan kekanakan agen paling tenar itu. “Suamimu akan
menghabisi mereka semua kalau kau mati disana.”
“Bagus. Dan bilang padanya, aku akan menunggunya dengan senang hati di surga.”
“Kau pikir kau akan masuk surga?”
“Kalaupun aku masuk neraka, Kyuhyun pasti bersedia mengikutiku.”
“Konyol. Ya Tuhan, kalau saja suamimu itu tahu seperti apa kau sebenarnya!”
“Karena dia tahu makanya dia menikahiku,” ucap Hye-Na sambil mengedip jahil dan
melenggang pergi keluar ruangan diikuti kata-kata kotor yang disemburkan Eun-Ji di
belakangnya.
Sekilas dia mendengar Siwon menceramahi istrinya itu. Eun-Ji~ya, darimana kau
belajar kata-kata seperti itu? Sebagai penganut agama yang taat…. Oh, Ya Tuhan.
Pria itu seperti jelmaan pendeta saja.
***
SRO Building, Five States
Hye-Na melayangkan pandangannya ke langit-langit ruangan, kemana saja asalkan
bukan ke area tubuhnya yang sedang diobati.
Yesung baru saja selesai membersihkan luka gadis itu dengan air hangat dan cairan
steril, lalu mulai mengoleskan salep penyembuh, temuannya yang luar biasa. Bisa
menghilangkan rasa sakit dan bekas luka yang ada di kulit tanpa jejak. Hanya butuh
waktu sekitar satu jam, dan semuanya akan kembali seperti semula.
“Darahnya banyak sekali. Sedikit lebih lama lagi kau menunda-nunda pergi kesini,
bisa-bisa kau harus melakukan transfusi darah.”
“Mana mungkin,” dengus Hye-Na tidak percaya, akhirnya menurunkan
pandangannya dan menatap pria itu.
“Kuku tersangkamu seperti pisau. Sepertinya dia sering menggunakannya.”
“Oh, tentu saja. Ada banyak bekas cakaran di tubuh korban.”
“Ah, ngomong-ngomong tentang korban, aku sudah selesai memeriksa mayat yang
kau kirimkan kesini kemarin,” beritahu Yesung. “Mayatnya benar-benar sudah rusak.
Aku terpaksa mengidentifikasi identitasnya dengan memeriksa catatan gigi. Namanya
Jung Il-Hwa. Karyawan Cho Corp. Kantor pusat.”
“Oh, sial,” umpat Hye-Na. “Apa semua yang berhubungan dengan Cho Kyuhyun
harus berhubungan juga dengan maut?”
“Yah, mengingat suamimu hampir memiliki segala tempat di negara ini, jadi sudah
pasti sebagian besar kasus pembunuhan berhubungan dengannya. Setidaknya dengan
tempat yang dimilikinya.”
Hye-Na mengernyit. “Penyebab kematian?”
“Nanti laporan lengkapnya kukirimkan ke tempatmu. Tapi singkatnya, dia terbunuh
di apartemennya. Jelas dengan orang yang dia kenal, karena agen lapangan
melaporkan bahwa tidak ada tanda-tanda memasuki lokasi kejadian dengan paksa.
Menurut hasil autopsi dia baru saja melakukan hubungan seks dan dipukuli dengan
brutal hingga mati. Tidak ada satu bukti pun yang tertinggal, tapi sepertinya kau bisa
mencurigai kekasihnya. Hanya saja mustahil jika wanita tersebut melakukannya
sendirian dan menyebabkan kehancuran tubuh sampai seperti itu.”
“Dia bisa saja berhubungan seks dengan pelacur. Tapi tidak menutup kemungkinan
ini masalah orang ketiga yang masuk ke dalam hubungan mereka. Si wanita ingin
berpisah, korban menolak, dan terjadi percekcokan. Lalu sang pria selingkuhan
datang dan terjadilah baku hantam.” Hye-Na menghela nafas dan menggelengkan
kepalanya tidak suka. “Aku harus mulai mencari tahu siapa kekasihnya. Aneh juga
tidak ada yang melaporkan kehilangan setelah satu minggu. Walaupun pria itu tidak
memiliki keluarga, setidaknya dia memiliki teman. Dan kekasih. Bisa juga
selingkuhan kekasihnya itu temannya sendiri, jadi mereka bisa bekerja sama
Merepotkan.”
“Aku sudah menyuruh Jin-Ah mencari tahu. Dia cukup lowong kemarin. Kekasihnya
juga bekerja di Cho Corp. Periksa saja kesana. Minta bantuan Kyuhyun akan
mempermudah pekerjaanmu.”
“Minta bantuan Kyuhyun,” ulang Hye-Na dengan nada muntah yang dibuat-buat.
“Kapan dia akan berhenti merecoki hidupku?”
***
Cho Corp
Pintu ruangan yang dijadikan Hye-Na Ruang Pemeriksaan dadakan terbuka saat dia
baru menyelesaikan catatan kecilnya dan menyimpan alat perekam ke dalam tas. Dia
memang dengan seenaknya meminta salah seornag karyawan untuk menyediakan
ruang kosong ini, melakukan tanya jawab singkat dengan semua orang yang
mengenal Il-Hwa dan anehnya, dua orang yang paling dicurigainya sedang
mengambil cuti tepat satu minggu yang lalu. Ternyata memang ada karakter ‘sang
teman dekat’ yang pergi ke Malibu untuk liburan awal tahun yang terlambat dan
belum pulang sampai sekarang. Sang kekasih sendiri mengambil izin karena harus ke
Jeju untuk mengunjungi ibunya yang sakit parah. Menurut keterangan para karyawan,
bisa saja kedua orang itu tidak mengetahui kematian Il-Hwa dan menurut pendapat
Hye-Na, tentu saja mereka tahu. Karena itulah mereka melarikan diri.
“Kudengar kau mewawancarai karyawanku tanpa sepengetahuanku. Apa itu legal,
Agen Cho?”
Hye-Na meringis dan memasang raut wajah tanpa dosanya.
“Yah, mereka bilang kau sedang rapat dewan, jadi aku tidak mau mengganggu.”
“Rapat yang seharusnya juga kau hadiri,” ujar Kyuhyun, menarik Hye-Na berdiri dan
menggiringnya keluar ruangan. Tangan pria itu merangkul pinggangnya ringan, tidak
memedulikan tatapan para karyawan yang berada di kubikel mereka masing-masing,
memerhatikan mereka berdua dengan penuh minat.
“Apa maksudnya itu?” tuntut Hye-Na, mulai merasa curiga.
“Yah, aku hanya baru saja memberimu dua puluh persen saham. Satu bulan yang
lalu? Dua?”
“KYU!” teriak Hye-Na dengan nada tinggi. Untung saja mereka sudah mencapai lift
pribadi yang akan membawa mereka ke lantai tempat ruangan Kyuhyun berada. “Kau
bahkan tidak merasa perlu memberitahuku?”
“Melihat reaksimu sekarang, aku bersyukur tidak memberitahumu lebih cepat. Kau
tidak suka.”
“Tentu saja aku tidak suka! Sialan! Kau sudah tahu tapi masih saja melakukannya!”
gerutu Hye-Na dengan wajah merengut.
“Hmm… apapun milikku kan jadi milikmu juga.”
“Tapi tidak dengan yang ini! Aku tidak menginginkan ini semua!”
“Santai sajalah, Na~ya,” ucap pria itu tenang sambil mengusap-usap punggung Hye-
Na lembut. “Kau bisa memberikannya pada anak kita nanti.”
Lift berdenting membuka sehingga Hye-Na tidak sempat membalas ucapan pria itu.
Dan gadis itu masih sabar menunggu sampai mereka benar-benar sudah masuk ke
ruangan pribadi Kyuhyun yang kedap suara, yang bisa dimanfaatkannya untuk
meneriaki pria itu sesukanya.
“Baik, mari kita bicara. Aku---”
Tapi Kyuhyun tidak membiarkan gadis itu bicara. Dia malah memegangi bahu Hye-
Na, lalu mengalihkan tangannya untuk menangkup kedua pipi gadis itu, memeriksa
luka yang masih sedikit membekas disana karena belum sampai satu jam sejak Hye-
Na diobati oleh Yesung, jadi kerja salep itu belum maksimal.
Tangan Kyuhyun turun ke leher Hye-Na, menyentuh jejak luka disana dengan ujung
jemarinya, sedangkan sebelah tangannya yang lain memegangi lengan Hye-Na yang
juga terkena cakaran, walaupun seingat gadis itu dia tidak pernah
memperlihatkannya.
“Sepertinya kau melupakan luka di bagian ini sehingga Yesung hyung sendiri yang
harus memberitahuku,” ucap Kyuhyun dengan alis yang terangkat naik, seolah
membohonginya adalah dosa besar yang patut mendapatkan hukuman.
“Aku tidak mungkin memamerkan lukaku ke depan wajahmu, kan?” sahut Hye-Na
sinis.
Kyuhyun memutar bola matanya.
“Kau belum makan siang, kan? Makan dulu bersamaku baru kembali ke kantor,” ujar
pria itu, mengganti topik pembicaraan seenak perutnya.
“Aku sibuk dan aku benar-benar harus memukul sesuatu!” teriak Hye-Na habis
kesabaran, berusaha menarik lengannya dari cengkeraman pria itu. Tapi Kyuhyun
bergeming, sama sekali tidak berniat menuruti perkataan gadis itu. Alih-alih
melakukannya, pria tersebut malah menarik Hye-Na menghampiri meja kerjanya dan
dia tetap memegangi gadis itu, selagi berbicara dengan seseorang yang sepertinya
sekretarisnya melalui link kantor, memesan beberapa jenis makanan dalam bahasa
yang tidak dikenal Hye-Na.
“Kau bahkan punya AutoChef disini,” desis gadis itu saat mendengar Kyuhyun
meminta sekretarisnya membelikan makanan tersebut di kafetaria bawah.
“Tapi masakan langsung koki asli lebih enak,” ucap Kyuhyun kalem. “Jadi? Sampai
dimana kita tadi? Kau sedang sibuk dan ingin memukul sesuatu?”
“Benar,” sambar Hye-Na cepat. “Aku sedang sibuk. Ada banyak kasus yang sedang
kutangani, jadi aku tidak punya waktu untuk makan siang denganmu!”
“Tapi kau tetap harus makan siang juga, kan?”
“Aku bisa melakukannya dalam perjalanan. Memesan sesuatu untuk dimakan. Mudah
saja.”
“Makan siang denganku jauh lebih sehat.”
“AISH! YAK!” teriak Hye-Na kesal. “Kalau bukan karena aku sangat menyukai
wajahmu itu, kau pasti sudah merasakan tinjuku sekarang!”
Kyuhyun terkekeh samar, dengan mata berbinar-binar menatap wajah gadis itu.
“Manis sekali,” ucap pria itu dengan nada menggoda, meraup tangan gadis itu ke
dalam genggamannya dan menariknya sampai ke depan wajah. Jemarinya mengusap
buku-buku jari tangan Hye-Na yang sedikit tampak memerah bekas pukulan keras
yang dilayangkannya ke wajah pelacur tadi pagi.
“Apa ini tidak sakit?” tanya Kyuhyun pelan, membuat Hye-Na membelalakkan
matanya lebar-lebar.
“Ya Tuhan ya Tuhan, apa aku tidak bisa punya satu rahasia saja darimu?” seru Hye-
Na syok.
“Hmm, aku memerintahkan semua orang melaporkan hal sekecil apapun yang terjadi
padamu.”
“Dan seperti apapun aku mengancam mereka, mereka tidak akan berhenti, kan?”
“Tentu saja tidak,” kekeh Kyuhyun. “Aku jauh lebih berbahaya darimu, Na~ya.
Terima saja.”
“Apa itu sesuatu yang harus kau banggakan?” ejek Hye-Na, langsung terkesiap saat
Kyuhyun dengan begitu tiba-tiba mendorong tubuhnya ke sudut, ke dekat jendela
besar yang menampilkan pemandangan pusat kota di luar, juga jalanan layang yang
baru selesai dibangun demi kelancaran transportasi udara yang sebentar lagi akan
dikuasai amphibithrope. Tubuh pria itu menghimpitnya, dengan lengan yang
melingkari tubuhnya dengan posesif, dan kemudian bibir pria itu mulai bergerak
menyusuri pelipisnya dengan cara yang tidak tergambarkan.
“Hei hei, tahan PresDir, aku butuh tempat pelampiasan emosi. Aku perlu memukul
sesuatu, bukannya berhubungan seks!” seru Hye-Na gelagapan, nyaris terdengar
seperti jeritan kecil.
“Cara ini lebih baik untuk melampiaskan emosi. Menyenangkan,” bisik Kyuhyun
geli, dengan sangat sengaja menghembuskan nafasnya di dekat telinga Hye-Na,
membuat gadis itu bergidik. “Dan kau menyinggungku, Nyonya Cho. Berhubungan
seks katamu? Jadi selama ini kau menganggapnya seperti itu? Kita bercinta, bukan
berhubungan seks.”
“Apa istilah begitu penting bagimu?” gumam Hye-Na, menelan ludah, berusaha
bersuara di tengah fokusnya yang semakin memudar selagi bibir pria itu mulai
menyusuri pipinya, menjelajahi rahang, tanpa menghampiri bibir.
“Tentu saja. Berhubungan seks hanya antara dua orang yang tidak memiliki perasaan
apa-apa terhadap satu sama lain. Hanya sekedar nafsu. Sedangkan aku mencintaimu.”
“Cara yang bagus untuk mengungkapkan perasaan, Kyu.”
Kyuhyun tertawa dan semakin menundukkan wajahnya untuk menjangkau leher Hye-
Na.
“Bagaimana kalau pesanan makan siangmu datang?”
“Masih setengah jam lagi. Aku sudah memperhitungkan waktunya. Daripada
menunggu lebih baik melakukan sesuatu yang bermanfaat, kan?”
“Demi Tuhan, ini ruang kantormu!” Hye-Na terengah saat bibir pria itu menyentuh di
tempat lukanya berada. Meninggalkan jejak basah yang hangat, dan entah kenapa
malah membuatnya merasa menggigil dan gemetaran.
“Karena ini ruang kantorku…” ucap Kyuhyun menggantung.
Pria itu menggigit sisi leher Hye-Na ringan, mengganti bibirnya dengan lidah, dan
mulai melakukan hal-hal menakjubkan disana.
Hye-Na mengepalkan tangan sambil mencengkeram kemeja yang dikenakan pria itu,
bersusah payah menjangkau oksigen melalui rongga hidungnya saat Kyuhyun
bergerak dan menyatukan bibir mereka berdua, menghujaninya dengan ciuman
membabi-buta tanpa pemanasan. Sangat khas Kyuhyun. Dia sudah sangat
berpengalaman dengan cara berciuman pria itu.
Bibir melumat, lidah membelit, gigi menggigit. Dan selesai. Kyuhyun
melepaskannya. Begitu saja.
“Kalau kau lebih memilih menunggu,” ucap pria itu sambil tersenyum simpul, jelas
tidak bisa menjebak Hye-Na sedikitpun. Tubuh mereka masih berdekatan. Dan pria
itu tegang.
Sialnya, dia sendiri juga sudah keburu dipenuhi nafsu sehingga tidak bisa berpikir
jernih.
“Terlambat, sialan! Aku ingin bercinta denganmu. Sekarang!”
Kyuhyun tersenyum miring saat Hye-Na mendorongnya, membuat mereka berdua
terjatuh ke lantai.
Gadis itu duduk di atasnya, sedangkan Kyuhyun setengah berbaring, memegangi
pinggang gadis itu dan membiarkan gadis tersebut memimpin, menyerbu bibirnya
dalam ciuman penuh hasrat yang rasa-rasanya lebih panas daripada yang biasa
mereka lakukan. Mengingat emosi Hye-Na yang siap meledak, dia tidak keberatan
jika gadis itu melampiaskan semuanya padanya.
“Apa sih yang kau lakukan padaku sampai aku menjadi maniak seks begini?” gerutu
gadis itu di sela-sela ciumannya.
“Bukan maniak seks. Kau hanya tergila-gila padaku saja.”
“Bagaimana bisa kepalamu tidak meledak saking besar kepalanya kau?”
Kyuhyun tertawa dan merenggut tengkuk gadis itu ke arahnya, memiringkan kepala
dan memperdalam ciuman mereka. Dia melepaskan Hye-Na kemudian, karena
tangannya sibuk melepaskan kancing blus yang dipakai gadis itu. Yang harus
dilakukannya dengan benar karena dia tidak mungkin merobek baju gadis itu
sekarang. Membuatnya nyaris berada di ambang batas frustrasi.
Hye-Na menghentikan ciuman mereka dan kedua tangannya berada di leher kemeja
Kyuhyun, memandanginya dengan raut wajah seolah sedang menimbang-nimbang
sesuatu.
“Berapa harga kemeja ini?”
Kening Kyuhyun sedikit berkerut mendengar pertanyaan aneh yang dilontarkan oleh
gadis itu.
“Aku tidak mungkin mengingat segala hal, kan?”
“Kuharap kau bawa baju ganti,” ucap Hye-Na, dengan cekatan menyentakkan
tangannya dan merobek kemeja itu sampai kancing-kancingya terpisah,
membebaskannya dari tubuh Kyuhyun, dan cukup bersabar untuk meloloskan kaus
sleeveless yang dipakai pria itu melewati kepala.
“Hei,” tegur Kyuhyun, masih berada dalam situasi syok yang dialaminya. Tapi pria
itu selalu cepat menguasai situasi, jadi dia membalikkan posisi mereka dan menindih
tubuh gadis itu. Bukan hal yang mudah, karena dari awal Hye-Na sudah
memperingatkan bahwa dia sedang ingin memukul sesuatu. Jadi gadis itu sangat
menyulitkannya, berusaha mengambil alih keadaan lagi. Membuktikan bahwa dia
memang seorang ahli bela diri yang pantas dibanggakan akademi.
Terjadi sedikit pergumulan sebelum akhirnya Kyuhyun berhasil menelanjangi tubuh
bagian atas gadis tersebut dengan energi yang terbuang lebih banyak daripada yang
diperkirakannya. Gadis itu benar-benar bisa sangat sulit dikalahkan jika dia mau.
Dengan cepat mulut Kyuhyun melingkupi dada gadis itu, sedangkan tangannya
menyusup masuk ke balik jins yang sudah berhasil dibukanya, menyentuh,
bermaksud melakukan pemanasan, tapi gadis itu sudah siap untuknya, sehingga dia
tanpa sadar mengeluarkan tawa frustrasi. Cho Hye-Na selalu saja berhasil
membuatnya terkejut dalam segala hal.
“Sekarang,” pinta Hye-Na lirih, menurunkan celana yang dipakai pria itu sampai
sebatas lutut dengan bantuan kakinya.
“Seingatku aku yang menggodamu duluan,” keluh Kyuhyun, menarik Hye-Na ke atas
pangkuannya, dan tanpa aba-aba menyentak, menyatukan tubuh mereka.
Pria itu menggeram dan mulai bergerak, sedangkan tangan mereka saling
menggerayangi, dengan mulut yang sibuk berbagi ciuman rakus. Dia tidak
memedulikan kuku gadis itu yang menghujam bahunya, tidak merasakan sakitnya.
Yang ada di pikirannya hanyalah cara untuk bergerak lebih cepat dan semakin cepat.
Demi Tuhan, apa sih yang dipikirkannya sampai mereka berakhir melakukan ini di
kantor pribadinya?
Kyuhyun menarik lepas ikatan rambut Hye-Na sampai rambut gadis itu yang sudah
berantakan tergerai bebas, dengan helai-helai yang terjatuh ke telapak tangannya dan
menyentuh wajahnya, memenuhi rongga hidungnya dengan aroma lilac yang wangi
dan lembut, sedangkan tubuh mereka sudah licin karena keringat.
Gadis itu menariknya, merangkulnya dengan erat saat nafas mereka mulai terputus-
putus dan segala sesuatu di sekitar mereka menjadi kabur, pudar karena ledakan
orgasme yang menghantam kemudian dan membutakan mereka selama beberapa saat.
“Oh Tuhan, sialan. Aku pasti sudah gila!” sungut Kyuhyun, melarikan tangannya ke
rambut dan mengacak-acaknya frustrasi. Kenapa setiap kalinya terasa lebih luar biasa
daripada sebelumnya? Apa otaknya saja yang sudah tidak waras?
Hye-Na terduduk diam, masih di atas pangkuan pria itu, menatap kosong ke depan.
Sepertinya dia baru saja menemukan kembali akal sehatnya dan mulai merasa syok
dengan apa yang baru saja dia lakukan.
Kyuhyun menghela nafas lalu memfokuskan tatapannya pada gadis itu dengan raut
wajah serius.
“Kenapa tidak ada yang memperingatkanku bahwa menikah denganmu berpotensi
membuatku jadi gila?” gumam pria itu, lebih kepada dirinya sendiri.
Hye-Na merengut, mendadak menyadari ketelanjangannya, lalu cepat-cepat meraih
kemeja Kyuhyun, pakaian terdekat yang bisa dicapainya, membuat pria itu terkekeh
geli dan memajukan tubuh, memanjakannya dengan kecupan singkat pasca seks bar-
bar yang mereka lakukan barusan.
Pria itu membantunya memakai kemeja, sesuatu yang sia-sia karena Hye-Na sendiri
baru teringat bahwa kancing kemeja tersebut sudah tidak lagi berada di tempatnya.
“Nah, aku rasa sebentar lagi kau pasti akan punya anak,” gumam Kyuhyun iseng
sambil membelai perut Hye-Na sekilas sebelum berguling dan melepaskan gadis itu.
“Maksudmu?” tanya Hye Na curiga, menatap Kyuhyun yang berdiri sambil
mengancingkan celananya dan berjalan menuju dinding di seberang mereka, menekan
sebuah panel yang membuat dinding berputar, menampilkan lemari kecil yang berisi
kemeja dan jas dalam berbagai warna.
“Setahuku ini masa suburmu,” jawab pria itu kalem, menarik sehelai kemeja putih
dari gantungan dan mengenakannya.
“Demi Tuhan, KYU! Siklus bulananku juga? Kenapa aku tidak punya privasi sama
sekali?”
“Pertanyaan mudah,” sahut Kyuhyun santai. “Karena kau menikah denganku, jadi
apapun yang ada di tubuhmu itu aku harus tahu.”
Hye-Na baru akan mengeluarkan teriakan protesnya saat terdengar ketukan di pintu.
Gadis itu cepat-cepat menyambar blusnya dan berhasil mengenakannya bertepatan
dengan saat Kyuhyun membuka pintu. Dia dengan sengaja duduk menghadap jendela
kaca, berusaha menyembunyikan wajahnya yang sepertinya sudah tidak karuan.
Rambutnya lebih tidak bisa diselamatkan lagi.
Kyuhyun berbicara selama beberapa saat dengan sekretarisnya lalu kembali duduk di
samping Hye-Na dengan setumpuk makanan yang berbau harum dan menerbitkan air
liur. Bercinta menghabiskan energinya, dan keberadaan makanan yang sangat
menggoda itu benar-benar menuntutnya untuk segera mendiamkan cacing-cacing
yang berdemo di dalam sana.
“Seharusnya kau lihat tampang sekretarisku tadi. Sepertinya dia mau pingsan di
tempat,” ujar Kyuhyun riang, membuat Hye-Na menoleh dari makanan-makanan itu
dan menatap wajah pria tersebut.
Kulit Kyuhyun yang putih pucat tampak memerah, dengan rambut hitam yang
sepenuhnya berantakan dan beberapa kancing atas kemeja yang masih terbuka. Ada
bekas-bekas memerah di sekitar leher pria tersebut. Sepertinya hasil karyanya yang
dia lakukan tanpa sadar.
Dan demi Tuhan, pria itu benar-benar tampak luar biasa menggairahkan.
“Makan, Na~ya? Kau tidak lapar?” tanya Kyuhyun bingung karena gadis itu sedari
tadi hanya menatapnya saja.
Hye-Na mengerjap, dan entah mendapat dorongan dari mana, dia memajukan
tubuhnya, mengecup bibir pria itu singkat dan tersenyum.
“Aku mencintaimu,” bisiknya dengan suara rendah.
“Kenapa tiba-tiba?” tanya Kyuhyun, masih melongo kaget.
“Hanya ingin saja,” kekehnya.
Makanan yang enak, kopi yang lezat, harta yang berlimpah, pria yang memikat, dan
seks yang nikmat adalah jalan keluar dari segala macam permasalahan hidup.
Menurutnya.
Seharusnya memang sesederhana itu, kan?
***
Note 2 Februari 2013

2061 {3rd Teaser} – Kyuhyun’s Birthday

PS: Biasanya musim semi baru datang awal Maret, tapi karena cuaca di tahun
2061 lebih ekstrim, jadi datengnya musim semi juga lebih cepet *maksa*

Kyuhyun’s Home, Yeoju

07.00 AM

Sinar matahari menyorot langsung melewati celah-celah jendela yang selalu terbuka
dengan otomatis setiap jam lima pagi, menghujam masuk menembus kaca-kaca lebar
yang menjadi pengganti dinding, membuat ruangan menjadi silau, banjir cahaya.

Tirai-tirai tipis transparan yang tidak ditahan oleh apapun berkibaran tertiup angin pagi
musim semi yang lembut. Rumput-rumput di luar, yang tidak lagi tertutup salju,
tampak hijau dan segar, basah oleh sisa-sisa embun subuh tadi. Suara samar kicauan
burung di kejauhan dan kebun bunga yang mulai bermekaran menyempurnakan
semuanya. Rumah luar biasa itu, berikut pemandangan di sekitarnya, mulai kembali ke
penampilan terbaiknya seperti sedia kala.

Hye-Na beringsut sedikit dari posisi berbaringnya yang menyamping, membuat


kepalanya terbentur sesuatu disusul suara erangan yang terdengar kemudian.

Gadis itu membuka mata, menyadari bahwa dia tidak lagi memeluk guling seperti
semalam. Dan dia juga tidak lagi tidur sendirian.

“Aku baru tidur satu jam, Na~ya,” gerutu Kyuhyun sambil menggosok-gosok dagunya
yang terasa nyeri setelah terbentur kepala sekeras batu gadis itu.

“Kau sudah pulang?” tanya gadis itu, melongo. Tentu saja ekspresinya seperti itu
karena seharusnya Kyuhyun pulang besok dari Peru. Entah apa bisnis yang dikerjakan
pria itu disana. Dia tidak berniat mencari tahu.

“Mmm,” gumam pria itu dengan suara mengantuk.

Kyuhyun mengeratkan pelukannya di sekeliling tubuh gadis itu lagi, memejamkan


mata, berniat ingin melanjutkan tidurnya. Dia benar-benar tidak sempat tidur selama
perjalanan pulang yang dengan seenak perut dipercepatnya. Sebagai konsekuensi, dia
terpaksa melakukan konferensi melalui video yang tersambung secara langsung dengan
klien-kliennya yang masih berada di Peru. Cukup membuat heran, karena biasanya pria
itu selalu melakukan semuanya sampai selesai, tidak pernah keberatan pergi keluar
negeri selama berhari-hari demi bisnis, bahkan tidak jarang menghabiskan malam di
kantor. Seolah rumah hanya sebuah simbol. Tidak ada alasan yang benar-benar ingin
membuatnya pulang.

Lalu sejak beberapa bulan yang lalu, setelah terikat komitmen resmi dengan seorang
wanita, jadwal kerja pria itu menyusut sampai setengahnya. Jam sembilan pagi sampai
jam lima sore, sesuai jadwal pegawai kantoran biasa. Dan jangan harap dia mau
lembur. Semua pekerjaan dibawa ke rumah, perjalanan keluar negeri diganti dengan
konferensi lewat video, jika memungkinkan dia akan mengirim wakilnya, tapi kalau dia
benar-benar terpaksa harus berada disana, dia sedikit menolerir dengan memberikan
satu hari waktunya. Selebihnya? Tentu saja dia menjadi pria rumahan. Rumah tidak
lagi menjadi sekedar simbol, tapi benar-benar sebuah tempat untuk pulang. Karena ada
yang menunggunya disana, karena ada seseorang yang ingin segera ditemuinya di
penghujung hari yang melelahkan.

“Kau pulang dengan amphibithrope?”

“Pesawat. Aku masih harus menghadiri beberapa rapat,” ucap Kyuhyun lemah, masih
memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan istrinya.

“Kalau masih ada pekerjaan kenapa kau malah pulang, huh?”

Kyuhyun bergerak sedikit, membenamkan hidungnya ke puncak kepala Hye-Na.


Tubuh gadis itu terasa hangat. Suhunya menenangkan. Gadis itu sendiri memang sudah
menyenangkan.

“Ingin melihatmu,” ucapnya serak, lebih seperti gumaman tidak jelas. Tapi Hye-Na
menangkapnya, dan gadis itu tersenyum simpul diam-diam.

Hye-Na meletakkan tangannya di atas pundak pria itu, melihat bagaimana cincin
kawinnya berkilauan memantulkan cahaya matahari. Pria itu sendiri berbaring
menghadapnya, menghalangi sinar yang menyengat itu dengan tubuhnya sehingga
Hye-Na tidak perlu merasa kepanasan.

Hye-Na memindahkan tangannya, menelusupkannya masuk ke dalam helaian rambut


pria itu, dan sedikit membuat gerakan menekan, seperti sebuah pijatan ringan. Dia
kemudian mendongak, mendapati mata Kyuhyun setengah terbuka, menunduk
menatapnya. Pria itu tersenyum miring, menggunakan tangan kirinya yang dia jadikan
bantalan kepala Hye-Na untuk mengusap pipi gadis itu. Entah untuk alasan apa
tersenyum saat dia melihat cincin kawin di jari manisnya. Benda itu adalah benda
terbaik yang bisa dimilikinya di dunia. Dipilih oleh gadis itu. Mengikatnya dengan
gadis itu. Secara formal, legal. Resmi. Pria lain pasti tidak menganggapnya penting,
tapi demi tahun-tahun yang terlewat dengan memimpikan mendapatkan benda kecil
berbentuk bulat itu, dia jelas-jelas tidak akan menukarnya dengan apapun. Toh dia juga
sudah mendapatkan segala yang diinginkannya.
“Tidurlah,” ujar Hye-Na, menepuk pipi pria itu ringan.

“Kau mengerti jawabanku barusan?” tanya Kyuhyun, menyentuhkan bibirnya ke ujung


hidung gadis tersebut, sedangkan nafas gadis itu berhembus tepat di lehernya. Dan dia
tidak dalam kondisi ingin menyerang. Hidup dengan gadis itu tidak melulu
membuatnya memikirkan seks. Suasana sederhana seperti ini juga membuat nyaman.
Di ranjang, bersama gadis itu, di kamar yang terang-benderang, lalu menghabiskan hari
dengan malas-malasan.

Hye-Na mendengus seraya memutar bola matanya.

“Tentu saja,” sahut gadis itu kemudian. “Kau pulang karena ingin melihatku.”

“Tidak persis seperti itu juga,” gumam Kyuhyun. “Kau tidak ingat ini hari apa?”

Hye-Na beringsut lagi, sedikit menaikkan tubuhnya, sehingga dadanya yang hanya
tertutupi tank-top tipis itu menempel semakin lekat di dada pria tersebut. Tapi Kyuhyun
diam saja. Dia masih bisa menolerirnya. Karena terlalu mengantuk, dan juga karena dia
memiliki waktu seharian bersama gadis itu.

Hye-Na menyentuh bibir pria itu dengan bibirnya, berbicara disana.

“Ingin menghabiskan hari ulang tahunmu. Bersamaku,” tandas gadis itu, dengan
tebakan yang sangat tepat.

“Kau ingat, ya?” sergah Kyuhyun takjub, kali ini dengan mata yang sepenuhnya
terbuka.

“Tentu saja. Eun-Ji heboh menyuruhku membelikanmu hadiah.”

“Kalau dia tidak begitu pasti kau tidak akan ingat, kan?”

Hye-Na terkekeh kecil. “Sepertinya,” ucapnya tidak tahu malu.

“Na~ya, Na~ya, bagaimana bisa aku tahan denganmu, huh?” keluh Kyuhyun sambil
mendecak.

“Hmm, tapi kau harus kecewa. Aku belum membelikanmu hadiah. Tidak tahu harus
membelikan apa lebih tepatnya.”

“Aku tidak minta hadiah,” ujar Kyuhyun, memuntir-muntir rambut gadis itu dengan
jarinya. “Aku tidak tahu harus menginginkan apa. Sepertinya aku sudah memiliki
segalanya.”

Hye-Na menggeleng tidak setuju, tapi membiarkan pria itu bermain-main dengan
rambutnya.
“Kau tidak punya satu hal, Cho Kyuhyun ssi,” ucap gadis itu mengingatkan.

“Mwo?” tanya Kyuhyun cepat, hampir-hampir tidak bisa memikirkan sesuatu yang
tidak dimilikinya.

“Anak,” tukas Hye-Na puas.

“Ah, benar.” Kyuhyun tertawa geli melihat ekspresi istrinya. Sepertinya gadis itu
senang sekali jika bisa menemukan kelemahannya.

“Kau akan memberikan satu untukku?” tanya pria itu dengan nada menggoda.

“Kau mendapatkannya,” sahut Hye-Na cepat

“Jadi spermaku waktu itu menghasilkan sesuatu, ya?” tukas Kyuhyun iseng, tidak tahan
untuk tidak mengecup pipi gadis itu. Jadi dia mencondongkan wajahnya sedikit,
melakukan tindakan yang kemudian membuat pipi tersebut mengeluarkan semburat
merah. Bahkan setelah berbulan-bulan bersama, gadis itu masih saja belum terbiasa
dengan setiap sentuhannya.

“YAK! Kau ini vulgar sekali!”

Kyuhyun tertawa lagi, kali ini menangkup wajah Hye-Na dengan tangan kanannya
yang bebas, membiarkan ibu jarinya mengelus tulang pipi gadis itu, menatap matanya,
dan merasakan kegugupan yang menderanya tiba-tiba.

Bukan gadis itu saja yang masih belum terbiasa, dia juga masih kehilangan konsentrasi
setiap kali mereka bertatapan. Seperti kali pertama. Seperti kali pertama dia menatap
mata gadis itu. Masih terasa sama. Dan akan selalu terasa sama.

“Anak,” bisik Kyuhyun, mencerna kata tersebut baik-baik dengan otaknya yang
mengalami disfungsi temporal.

“Mmm,” gumam Hye-Na, ikut tersenyum dengan jantung yang bertalu-talu di dada.

“Terima kasih kalau begitu,” ucap pria itu kemudian, di bibirnya. “Untuk mau
mengandung anakku lagi.” Tangan pria itu terasa begitu hangat, dengan telapak yang
menekan perutnya. Ditambah dengan senyum yang begitu membutakan. “Terima
kasih.”

***

10.00 AM

“Mmm. Kerjakan semua laporanku, oke? Suruh saja Soo-Hyun atau suamimu pergi
mewawancarai saksi. Aku benar-benar ingin bebas hari ini,” ujar Hye-Na
dengan headset yang terpasang di telinga. Gadis itu sengaja tidak menggunakan sistem
video karena sibuk menyusun mangkuk-mangkuk berisi makanan ke atas meja.

“Nah ya… ingin berkencan seharian dengan suamimukah? Manis sekali.”

“Bukan urusanmu, Choi Eun-Ji,” sergah Hye-Na tajam.

“Tentu saja urusanku. Kau yang selama ini rela meninggalkan semuanya demi
pekerjaan sekarang malah meninggalkan pekerjaanmu demi seorang pria.”

“Dia suamiku! Sudahlah, berbicara denganmu hanya membuatku emosi saja. Sampai
jumpa besok.”

Tanpa menunggu jawaban Eun-Ji, gadis itu langsung memutus sambungan begitu saja,
bertepatan dengan saat Kyuhyun masuk ke ruang makan. Pagi ini pria itu mengenakan
kaus putih polos dan jins, dengan tangan yang mencengkeram jas yang berwarna
senada dengan bajunya.

Kyuhyun menarik kursi dan menyampirkan jasnya di punggung kursi lainnya. Pria itu
melirik makanan yang tertata di meja makan. Sup rumput laut, kimchi, kimbab,
samgyupsal, dan beberapa makanan pendamping, membuatnya memutar bola mata saat
menatap Hye-Na.

“Akhir-akhir ini kau lebih---” Pria itu menggantung ucapannya, memandang Hye-Na
dengan tatapan menilai. “Rela masuk dapur.”

“Yah, mengingat aku hanya tinggal memencet-mencet tombol dan satu menit
kemudian makanannya siap, aku sama sekali tidak keberatan.”

“Berterima kasihlah karena aku sudah menemukan alat itu untuk wanita sepertimu.
Karena kalau tidak, kau pasti benar-benar harus belajar memasak, kau tahu?”

Hye-Na menggoyang-goyangkan sumpit yang sedang dipegangnya dengan raut wajah


tidak setuju.

“Tidak perlu. Karena aku akan tetap menikah denganmu. Pria kaya sepertimu tidak
mungkin tidak memiliki pembantu, kan? Aku tinggal menyuruh mereka memasak.”

Kyuhyun melongo sesaat, sebelum akhirnya menghela nafas, putus asa. Kadang-
kadang gadis tersebut benar-benar bisa membuatnya kehabisan kata-kata.

“Yah, karena aku juga tidak suka melihatmu memegang pisau dan dekat-dekat dengan
wajan penggorengan,” gumam pria itu, mulai menyendok sup rumput lautnya. Dia
tidak heran bahwa makanan yang sama tidak ada di hadapan Hye-Na. Gadis itu tidak
suka sup rumput laut, yang katanya berwujud sama seperti sayuran yang dibencinya.
Sebenarnya Kyuhyun sama saja, tapi dia masih bisa menolerir makanan yang satu ini.

“Kau tidak makan?” tanya Kyuhyun, melihat bahwa gadis itu hanya sibuk mengunyah
kentang goreng yang menumpuk di dalam mangkuk besar di depannya.

“Kau kan tahu aku tidak suka sarapan,” ucap gadis itu, tapi tetap membuka mulut saat
Kyuhyun menyodorkan daging ke arahnya.

“Perhatikan nutrisimu.”

“Oh, tidak lagi!” sergah Hye-Na cepat-cepat. “Jangan mulai menjadi konsultan
kesehatan. Aku tidak mau mendengarkan nasihatmu.”

“Harus,” ujar Kyuhyun, menelan makanannya lalu mencondongkan tubuhnya ke


depan. “Kau sedang mengandung anakku. Jadi aku akan memastikan dia mendapatkan
apapun yang dia butuhkan di dalam sana. Aku akan mendapatkan data makanan apa
saja yang boleh kau makan dan mana yang tidak. Kau harus mematuhinya, Nyonya
Cho.”

“Seharusnya aku tidak usah memberitahumu secepat ini,” keluh gadis itu setelah
berhasil menguasai kekagetannya. Walaupun sudah tahu betapa protektifnya pria itu
terhadap seseorang yang dia anggap miliknya, tapi tetap saja pria itu masih berhasil
membuatnya syok.

Kyuhyun menyeringai lalu mengedikkan bahunya santai.

“Ngomong-ngomong, temani aku sebentar ke kantor. Ada beberapa hal yang harus aku
urus. Setelah itu---” Pria itu tersenyum, membuat otak Hye-Na mendadak kosong.
“Kau bisa memilikiku sepenuhnya. Seharian.”

***

Cho Corp

11.13 AM

“Kenapa tidak lewat lift pribadi yang langsung ke kantormu?” protes Hye-Na sambil
memegangi lengan Kyuhyun. Pria itu memang memarkirkan mobilnya langsung di
depan pintu masuk dan dengan santai berjalan memasuki lobi, padahal ada sekitar
lusinan wartawan yang sepertinya setiap hari menunggu disana, berharap mendapatkan
berita. Mereka semua langsung meloncat berdiri, lengkap dengan kamera dan alat
perekam di tangan masing-masing saat melihat kehadiran Kyuhyun di lobi, yang bisa
dibilang amat sangat langka terjadi.
“Aku ada perlu di lantai ini,” ujar Kyuhyun, melewati kerumunan pencari berita itu
begitu saja, sambil memastikan bahwa mereka tidak mengganggu Hye-Na dengan cara
menarik pinggang gadis tersebut ke arahnya, sedikit menunduk untuk menghalangi
kamera-kamera yang berusaha memotret mereka. Jasnya yang belum dipakai
digunakannya untuk menutupi wajah Hye-Na karena dia tahu gadis itu sangat tidak
menyukai publisitas semacam ini.

Mereka berjalan terus menyusuri koridor, meninggalkan para wartawan yang langsung
dihentikan barikade android penjaga, menghalangi mereka untuk masuk lebih jauh.

Hye-Na merasakan serbuan tatapan lagi setelahnya, kali ini berasal dari para karyawan,
terutama yang berjenis kelamin wanita. Beberapa dari mereka malah memberanikan
diri untuk menyapa, mengucapkan selamat ulang tahun kepada sang Presiden Direktur,
yang hanya ditanggapi oleh Kyuhyun dengan anggukan. Pria itu bahkan sama sekali
tidak tersenyum, membuat Hye-Na sedikit tersadar bahwa suaminya itu hampir-hampir
tidak pernah melakukannya pada orang lain jika tidak diperlukan. Pria itu hanya pernah
tersenyum padanya. Dan hanya jika sedang bersamanya saja.

Salah satu ruangan dari puluhan ruangan lain yang berjajar di depan kubikel karyawan
terbuka dan sekretaris pribadi Kyuhyun, Song Joong-Ki, muncul, memberi tanda agar
pria itu masuk kesana.

“Sebentar. Kau dengan Joong-Ki hyung saja. Dan jangan menggodanya. Kau
mengerti?”

Hye-Na mencibir tapi tetap mengangguk, membuat pria itu tersenyum puas lalu
berjalan pergi setelah mengacak-acak rambutnya. Untung saja Hye-Na ingat untuk
menjaga kelakuannya di depan ratusan karyawan pria itu atau dia akan mengeluarkan
teriakannya yang bisa membuat tuli siapapun.

Gadis itu merapikan rambutnya dengan dongkol, kemudian mendongak lagi, baru
menyadari bahwa Joong-Ki sudah berdiri di depannya.

“PresDir sepertinya membuat Anda kesal,” koemntar pria itu sambil tersenyum,
membuatnya tampak seperti bocah berumur 17 tahun, bukannya pria dewasa berumur
27 tahun.

“Dia memerintahkanku agar tidak menggodamu,” beritahu Hye-Na, mencebikkan


mulutnya lalu memandang ke arah pintu ruangan yang tadi dimasuki Kyuhyun, seolah
ingin melubanginya jika saja matanya memiliki kekuatan laser.

Joong-Ki tampak kaget sesaat. “PresDir berpikir Anda ingin menggoda saya?”
“Yah, menurutnya aku punya sindrom penyuka pria tampan,” sungut Hye-Na,
menyandarkan tubuhnya ke dinding salah satu kubikel kosong yang sedang tidak
berpenghuni.

“Aneh,” ucap Joong-Ki, tampak sangat geli. “Walaupun Anda memang memiliki
sindrom seperti itu, seharusnya dia tidak usah khawatir. Bukannya dia sudah
dinobatkan sebagai pria paling kaya dan paling tampan tahun kemarin?”

“Sindrom seperti itu tetap bekerja terhadap pria tampan manapun, tidak peduli jika aku
sudah menikah dengannya.”

Joong-Ki tersenyum. Akhirnya tahu mengapa istri atasannya itu disebut sebagai wanita
yang memuntahkan apa yang sedang dia pikirkan tanpa menyaringnya terlebih dahulu.

“Anda ada acara dengan PresDir?”

“Dia mengajakku jalan-jalan. Karena ini hari ulang tahunnya.”

“Menghabiskan seharian penuh bersama? Pantas saja PresDir memerintahkanku


membatalkan semuanya.”

“Membatalkan apa?”

Joong-Ki tersenyum maklum. Pasti atasannya yang terkenal dingin itu tidak mau
terlihat begitu memuja-muja istrinya setengah mati.

“Ada lima rapat yang harus dihadirinya hari ini sebelum pulang ke Korea, tapi PresDir
memutuskan untuk segera pulang kemarin malam. Seharusnya dia mengganti rapat
tersebut dengan rapat hologram pagi ini sampai siang nanti, tapi dia menyuruh untuk
menunda semuanya ke hari lain. Menunda rapat-rapat tersebut bisa jadi menunda
ratusan juta dolar masuk ke kantong perusahaan, atau bahkan tidak mendapatkannya
sama sekali. Tapi sepertinya PresDir tidak terlalu peduli.”

Ratusan juta dolar hanya untuk menghabiskan waktu bersamaku seharian, batin Hye-
Na bingung. Pria itu selalu saja membuatnya secara alami menjadi wanita. Bersikap
sentimentil terhadap setiap kejutan. Satu tahun lagi akan menjadi seperti apa dia?

***

Kyuhyun memarkirkan mobilnya di depan sebuah taman di kawasan Myeongdeong,


menatap Hye-Na yang sepertinya tidak mau bergerak.

“Wartawan-wartawan itu masih mengikuti kita,” ucap gadis itu dengan nada tidak suka.
“Tidak usah dipedulikan. Itu pekerjaan mereka, mau diapakan lagi? Ayo turun. Ini
sudah jadwal makan siang. Kau tidak mau makan sesuatu?”

Hye-Na mendesah lalu membuka pintu mobil dan turun. Kyuhyun sudah
menunggunya dengan tangan kanan yang terulur, sedangkan tangan kiri pria itu masih
mencengkeram jas putihnya.

“Anggap saja mereka tidak ada, oke? Jangan merusak ulang tahunku.”

“Umurmu itu sudah 25, bodoh. Apa sih yang kau pikirkan? Kau itu bukan remaja 17
tahun yang ulang tahunnya harus dirayakan!”

“Hei, aku sudah menunggu ini sejak lama. Kau kan tidak tahu apa-apa,” sungut
Kyuhyun, sedikit merasa kesal.

“Apa yang tidak aku tahu?” tuntut Hye-Na, menarik baju kaus yang dikenakan pria itu.

Dengan sengaja Kyuhyun tidak memedulikan pertanyaan gadis itu. Hye-Na bsia
menjadi sangat kekanak-kanakan jika dia ingin tahu tentang sesuatu dan itu hiburan
pribadi yang sangat disukainya.

“KYU!!!!” teriak Hye-Na, bergegas mendahului Kyuhyun lalu berjalan mundur sambil
menghadap pria itu, jelas akan mendesak sampai dia mendapatkan jawaban yang dia
inginkan. Gadis itu benar-benar tidak suka jika seseorang menuduhnya tidak tahu apa-
apa.

“Na~ya,” gumam pria itu sambil menggelengkan kepalanya, terlihat tidak habis pikir.
Apalagi saat gadis tersebut dengan tidak tahu malunya melompat-lompat untuk
mengurangi kesenjangan tinggi badan mereka, membuatnya tidak bisa menahan
tawanya lebih lama lagi.

“Beritahu aku!”

“Keras kepala!” tuduh Kyuhyun sambil mengacungkan telunjuknya menyentuh dahi


gadis itu. Tapi pria itu masih cukup awas, sehingga dia bertindak tepat waktu untuk
menyambar tubuh Hye-Na yang nyaris menghantam AutoChef di pinggir jalan.

“Makan dulu,” ajak Kyuhyun. “Sepertinya di sekitar sini ada restoran.”

“Kenapa tidak mencoba menu jalanan saja? Apa menurutmu itu daging asli?” tanya
Hye-Na sambil mengendus membaui sosis bakar yang dijual di kios pinggir jalan tidak
jauh dari tempat mereka berdiri.

“Tentu saja bukan. Bisa jadi campuran daging dengan kedelai. Atau lebih buruk, menu
vegetarian.”
“Takut, PresDir?” tantang Hye-Na. “Apa kau akan masuk rumah sakit setelah
memakan itu?”

“Apa kau pikir aku selemah itu?” dengus Kyuhyun tidak terima.

“Call! Kalau kau kalah, kau harus berjanji untuk menunda keinginanmu mengatur
nutrisi makananku selama hamil.”

“Kalau aku menang,” sambar Kyuhyun, menundukkan wajahnya menghadap gadis itu
untuk mengintimidasi. “Kau harus membiarkanku menyiapkan kamar bayi beserta
isinya. Sesuka hatiku.”

Pria itu menyeringai lebar, dengan santai melangkah menghampiri kios, meninggalkan
Hye-Na yang terpaku syok di tempat.

“Sialan. Apa maksudnya itu, hah? Apanya yang sesuka hatimu? Apa yang akan kau
lakukan pada anakku?”

Kyuhyun memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana, dengan sengaja


memutar bola matanya seolah sedang berpikir.

“Dua lemari pakaian, satu untuk anak laki-laki, satu lagi untuk anak perempuan. Kamar
mainan. Hmm… apa aku belikan perusahaan mainan saja?”

“CHO KYUHYUN!!!”

***

Hye-Na menjulurkan lidahnya setelah memakan gigitan pertama. Tebakan Kyuhyun


yang pertama benar. Sosis itu terdiri dari bahan campuran dan dia, yang biasanya
memakan segala macam makanan, jelas-jelas menolak makanan yang satu ini.

Berusaha menetralisir rasa tidak enak di lidahnya, Hye-Na kemudian meminum


kopinya yang berasal dari AutoChef pinggir jalan dan hampir-hampir muntah
setelahnya. Kopi itu terasa seperti lumpur. Pekat dan pahit setengah mati.

“Bagaimana bisa aku hidup sebelum menikah denganmu?” keluh gadis itu.

Kyuhyun tertawa dan dengan gagah berani menggigit sosisnya besar-besar, mengunyah
dua kali dan langsung menelannya begitu saja, bersyukur dia memesan coke, yang tidak
pernah memiliki rasa yang berbeda, seperti apapun AutoChef-nya.

Hye-Na melirik kentang gorengnya yang berminyak, tampak layu karena cara
menggoreng yang tidak benar. Tapi setidaknya dia harus membersihkan mulutnya
dengan sesuatu. Memangnya rasa kentang goreng bisa seburuk apa?
Dia mengambil satu, menggigitnya sedikit, dan baru memakannya setelah memastikan
bahwa makanan itu cukup pantas untuk ditelan.

Kyuhyun menyodorkan coke-nya yang masih tersisa separuh dan langsung ditandaskan
oleh Hye-Na dalam sekali teguk.

“Aku menang, kan?” goda Kyuhyun.

“Yayayaya. Bahkan pada istri sendiri saja tidak mau mengalah,” desis Hye-Na dengan
wajah merengut, membuat pria itu lagi-lagi tertawa.

“Nah, setidaknya jawab pertanyaanku tadi. Apanya yang kau tunggu dari ulang
tahunmu tahun ini?”

“Kau tidak bisa dialihkan, ya,” komentar pria itu, meraup semua bungkusan dan kaleng
lalu membuangnya ke dalam tempat sampah daur ulang di samping kursi yang mereka
duduki.

“Bukan sesuatu yang istimewa,” ujar pria itu kemudian. “Hanya saja ini kali
pertamanya aku menghabiskan hari ulang tahunku bersamamu.”

Hye-Na termangu sesaat lalu dengan gugup mengalihkan pandangannya.

“Oh,” gumam gadis itu singkat dan berpura-pura menikmati kentang gorengnya lagi.

“Seharusnya kau tidak usah bertanya kan, Na~ya?” kekeh Kyuhyun.

“Memang,” sahut gadis itu cepat, lalu bangkit berdiri, mengambil jas Kyuhyun yang
dijadikannya alas duduk setelah dipaksa oleh pria itu dengan mengemukakan alasan
ketidak-sterilan kursi taman yang mereka duduki--yang menurut Hye-Na hanya omong
kosong—lalu melemparkan bungkusan kentang gorengnya ke tempat sampah. Dan
dengan sangat tidak bermoral, dia menyekakan tangannya ke jas itu, meninggalkan
noda berminyak berwarna kekuningan yang dipandangi Kyuhyun dengan ngeri.

“Na~ya,” gumam pria itu syok. “Jas itu harganya dua juta won.”

“Well~” sahut Hye-Na, tanpa rasa bersalah menyodorkannya ke arah Kyuhyun. “Ayo
cari es krim.”

Pria itu menghela nafas, bersyukur bahwa dia tidak punya riwayat penyakit jantung.

“Ingatkan aku untuk membuang jas ini sesampainya di rumah nanti.”

***
Hye-Na menjilati es krimnya sambil memperhatikan pemandangan yang mereka lewati
sepanjang jalan. Ada barisan toko yang teratur rapi, menampilkan benda-benda yang
berbeda di setiap etalase. Dan kebanyakan berupa kafe atau toko roti yang memang
menjadi satu-satunya jenis toko makanan yang masih sukses sampai sekarang.
AutoChef hanya menyediakan roti-roti biasa atau croissant, jadi jika memang
menginginkan roti penuh cita rasa seni dengan bentuk-bentuk yang menarik mata,
orang-orang harus langsung ke tokonya.

Sebuah toko roti yang terletak di dekat persimpangan menarik perhatiannya. Di


etalasenya berjejer roti-roti berbentuk potongan tubuh manusia yang berlumuran darah.
Sepertinya terbuat dari saus stroberi. Bagaimana rasanya memakan jantung seseorang?
Bentuknya terlihat persis sama.

Dia mendapatkan jawabannya beberapa detik kemudian saat seorang pria berjalan
keluar toko bersama anak laki-lakinya yang memegang roti berbentuk jantung. Baru
saja anak itu menggigitnya, roti tersebut langsung memuncratkan saus lengket
berwarna merah darah, sehingga tangan anak itu berlepotan, membuat Hye-Na
berpaling sambil bergidik ngeri dan menyumbat mulutnya dengan es krim.

“Itu hanya saus stroberi,” komentar Kyuhyun yang ternyata memerhatikannya sedari
tadi.

“Bagaimana mereka bisa menjual makanan seperti itu kepada anak-anak?”

“Anak itu sepertinya menyukainya. Aku jadi penasaran, apa mereka menjual segala
macam anggota tubuh?”

“Apa yang kau pikirkan, hah?” tuntut Hye-Na kesal. “Coba kutebak anggota tubuh
mana yang kau inginkan. Bibir? Dada wanita?”

“Wah, itu kau sendiri yang menyebutkan,” ucap Kyuhyun sambil mengangkat kedua
tangannya. “Otakku tidak sekotor itu, kau tahu?”

“Lalu apa?”

“Rambut. Aku penasaran mereka akan membuatnya dari bahan apa. Teksturnya.”

“Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu,” geleng Hye-Na, mendadak merasa
tertarik dengan sepasang suami-istri dan dua orang anak mereka yang masih kecil,
duduk di atas sebuah kursi besi panjang di depan sebuah kafe, tampak menikmati
waktu bersama.

Kyuhyun membiarkan gadis itu, bersyukur bahwa gadis tersebut tidak menyadari
bahwa para wartawan masih mengikuti mereka, dengan penuh semangat memencet
tombol kamera. Belum lagi orang-orang yang ikut memerhatikan mereka berdua,
sepertinya mengenali siapa mereka dan mulai menjadikan mereka tontonan menarik.

“Apa ada klausa pernikahan yang belum kupenuhi?” tanya Hye-Na tiba-tiba, membuat
Kyuhyun berbalik cepat menatapnya, merasa ada yang salah dengan indera
pendengarannya.

“Apa kau bilang?”

“Apa ada klausa pernikahan yang belum kupenuhi?” ulang gadis itu lagi. “Dalam suka
dan duka. Aku membiarkanmu memakaikanku gaun, membawaku ke pesta. Aku juga
sudah mengandung anakmu. Apa lagi yang belum?”

“Kau pikir pernikahan adalah pekerjaan yang harus kau selesaikan?” tanya Kyuhyun
muram, membuat Hye-Na tiba-tiba menyadari kesalahannya.

Gadis itu menjangkau tangan Kyuhyun dan menggenggamnya. Pria itu tidak menarik
tangannya, tapi juga tidak balik menggenggamnya, membuatnya benar-benar merasa
tidak enak.

“Awalnya memang pekerjaan,” aku Hye-Na, tanpa menghentikan langkahnya. “Kau


memaksaku,” jelas gadis itu saat melihat ekspresi wajah Kyuhyun yang semakin
menggelap. “Tapi setelah itu… maksudku setelah perasaan kita masing-masing
terbuka… pernikahan hanya sebuah istilah, kan? Janji yang legal. Committed
relationship. Sesuatu yang bisa membuatmu berkata bahwa aku milikmu dan kau
adalah milikku.”

“Ada yang lebih dari itu,” lanjut gadis itu lagi, memandang ke jalanan di depan yang
tampak ramai dengan para pejalan kaki dan kendaraan yang berseliweran. “Tingkat hal
yang kuutamakan dalam hidup jadi berubah. Bukan lagi pekerjaan. Beberapa bulan
terakhir yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya agar aku bisa sampai di rumah
tepat waktu. Kau biasanya ada disana. Menungguku. Menanyakan bagaimana hariku.
Memberikanku banyak bantuan.”

“Sesuatu yang tidak disadari orang lain. Pernikahan juga memberimu rumah, sesuatu
yang membuatmu tergerak untuk pulang. Karena kau memberiku jauh lebih dari itu,
makanya aku bertanya apakah ada klausa pernikahan yang belum kupenuhi. Karena
hubungan pernikahan harus seimbang. Tidak boleh ada yang memberi terlalu banyak
atau menerima terlalu banyak.”

Langkah Hye-Na terhenti karena Kyuhyun dengan cepat bergerak ke depan tubuhnya
dan memblokir jalan, tepat di dekat lampu lalu lintas yang sedang bersinar merah
sehingga orang-orang yang ingin menyeberang langsung melintas melewati mereka.
Hye-Na mendongak dan merasa lega sat tatapan pria itu melembut dan rahangnya tidak
lagi mengeras seperti tadi.

Pria itu membuang jasnya begitu saja ke tanah, menangkup kedua wajah Hye-Na,
mengurungnya di antara telapak tangannya yang hangat.

“Pasang pose yang bagus. Bisa jadi ini menjadi headline berita besok pagi, kan?”
gumam pria itu, menundukkan wajah dan meraup bibir gadis tersebut dalam satu
ciuman lambat yang penuh hasrat. Tidak memedulikan sinar matahari yang menyengat
terik, orang-orang yang berkerumun ramai, ataupun terkaman blitz kamera wartawan
yang tanpa ampun menghujam ke arah mereka.

Ada belasan tahun yang dilewatkan pria itu untuk menunggu momen ini. Mereka.
Berdua. Di hari ulang tahunnya. Hanya ada satu momen dan tidak akan bisa diulang
lagi, karena tahun depan mereka mungkin akan menjalaninya bertiga. Dengan anak
yang sedang bertumbuh di rahim wanitanya. Anak yang pasti akan tumbuh menjadi
seseorang yang luar biasa. Apalagi yang bisa diharapkan dari seorang anak yang
terlahir dari orang tua seperti mereka?

“Menua bersama,” bisik Kyuhyun di depan wajah Hye-Na, akhirnya menjawab


pertanyaan gadis itu. “Kita belum tuntas melakukannya.”

***
Note 18 Februari 2013
2061 {Shopping~Boo}

“Aku tidak mengerti kenapa dia masih tenang-tenang saja. Kadang-kadang aku heran
dengan kepercayaan diri pria satu itu, seolah tidak ada yang bisa mengalahkannya di
bumi ini. Yang benar saja,” keluh Hye-Na, menyipitkan mata melihat laporan-laporan
yang masih berupa analisa kasar tentang penyusup dalam Cho Corp. Masalah awal
yang hanya sekedar pembunuhan seorang karyawan merayap ke arah yang lebih
berbahaya: mata-mata dari perusahaan lain yang berusaha mendapatkan bocoran data
perusahaan.

“Yah, sejauh ini memang tidak ada yang bisa mengalahkannya, kan?” sambung Soo-
Hyun, sedikit menggunakan nada tidak terima dalam suaranya.

Hye-Na tidak mengeluarkan tanggapan, hanya menyesap kopinya—kopi dengan rasa


yang beradab karena Kyuhyun memenuhi janjinya untuk mengganti seluruh AutoChef
perusahaan dengan keluaran terbaru—lalu mengalihkan tatapannya ke sekeliling.
Ruang santai STA masih sedikit lengang karena belum masuk waktu istirahat dan
mereka memanfaatkannya untuk berdiskusi, dengan maksud mencari suasana baru
yang lebih segar.

Soo-Hyun bersiul dengan pandangan yang tertuju ke arah pintu masuk.

“Aku bersedia menyerahkan seluruh gajiku bulan ini untuk mendapatkan satu setelan
seperti itu,” gumam pria tersebut, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.

Siwon ikut mendongak dan kemudian tertawa.

“Gaji dua bulanmu bahkan tidak akan cukup untuk membelinya,” beritahu pria itu,
membuat Soo-Hyun langsung mendelik dan menggerutu dengan nada rendah.

“Mau apa sih suamimu kesini?” tanya Eun-Ji ingin tahu, ikut melongo melihat
Kyuhyun yang baru saja membuka jasnya sambil berbicara melalui headset kecil di
telinganya entah dengan siapa—jelas-jelas tidak menyadari tatapan semua orang yang
tertuju ke arahnya.

Hye-Na menjawab dengan mengedikkan bahu, mengernyit karena tiba-tiba dia menjadi
salah satu dari wanita di ruangan ini yang berkemungkinan meneteskan liur melihat
cara pria itu melonggarkan dasi, melipat lengan kemeja, dan melepaskan kacamata
hitam yang bertengger gaya di hidungnya. Semuanya dilakukan tanpa memikirkan
akibat yang dia timbulkan terhadap manusia berjenis kelamin wanita di sekelilingnya,
juga serbuan rasa iri dari para pria yang menginginkan sedikit saja dari setumpuk
pesona yang dia punya.
Dan oksigennya langsung lenyap saat pria itu menatap ke arahnya, melepaskan headset
dari telinga lalu dengan tidak berperikemanusiaan mengedipkan mata, terkekeh geli
melihat ekspresinya yang pasti sudah seperti gadis remaja yang mabuk dengan
kehadiran pria yang disukainya. Astaga, bahkan sudah hampir setengah tahun dia
melihat pria itu setiap hari dan dia masih saja belum terbiasa.

Dia memerhatikan bagaimana pria itu melangkah santai ke arahnya, merasakan


bagaimana detak jantungnya berhenti, lalu mulai berderap menggila seperti kawanan
gajah yang sedang melarikan diri dari serbuan banjir besar.

Baiklah, dia biasanya tidak sampai seperti ini. Jadi ini pasti ada hubungannya dengan
hormon akibat kehamilannya. Biar dia tebak, kemungkinan besar anaknya perempuan
karena sepertinya ketertarikannya terhadap pria tampan meningkat lebih pesat dari
biasa. Yang anehnya membuatnya merasa bersalah terhadap janin yang dikandungnya.
Kalau itu benar-benar seorang anak perempuan, berarti dia harus meminta maaf karena
sudah menikahi pria paling sempurna yang bisa didapatkan wanita di muka bumi. Jadi
anaknya nanti hanya akan mendapatkan sisanya saja. Benar-benar kasihan.

Hye-Na menopangkan dagunya ke telapak tangan, merasa sangat konyol dengan


pikirannya yang tidak tahu tempat. Tapi gadis itu masih bisa mengerjap saat jantungnya
lagi-lagi berhenti berdetak tiba-tiba ketika tangan kanan Kyuhyun menangkup pipinya,
sedangkan dia malah menunduk, terpaku melihat cincin emas putih yang melingkari
jari manis pria itu. Kenapa dia selalu terpesona melihat cincin kawin di jari suaminya?
Apa karena seorang Cho Kyuhyun memang terlihat mustahil berada dalam ikatan
pernikahan? Atau karena pria itu tampak bangga mengenakan benda itu kemana-mana?

Kyuhyun mendongakkan dagunya dengan mudah dan sesaat kemudian pria itu sudah
mengecup bibirnya di hadapan semua orang, menjauhkan wajah sedikit agar bisa
menatapnya, lalu menyeringai puas.

“Tidak ada luka baru,” komentarnya, akhirnya benar-benar melepaskan gadis itu.

Pria itu menegakkan tubuhnya lagi, berdiri di belakang kursi istrinya, dan mengangguk
kepada semua orang yang duduk di meja itu.

“Kalian tidak sedang sibuk, kan? Aku mau meminjam dia sebentar,” tunjuknya ke arah
Hye-Na.

“Oh, bawa saja. Kami tidak membutuhkan dia,” sahut Eun-Ji cepat, mengerling tanpa
rasa bersalah kepada Hye-Na yang dibalas dengan pelototan mematikan oleh gadis itu,
membuat Eun-Ji dengan sengaja mengalihkan tatapannya ke arah Siwon, tiba-tiba
tampak sibuk dengan kancing kemeja suaminya tersebut.
“Bagus kalau begitu,” tukas Kyuhyun, setengah paksa menarik Hye-Na berdiri dan
dengan cepat merenggut tas gadis itu dari atas meja lalu menyeretnya pergi, sebelum
gadis itu sadar sepenuhnya dan mulai melontarkan caci-maki yang tidak enak didengar.

Eun-Ji mendesah dan menatap pasangan itu dengan tatapan mendamba.

“Kenapa Kyuhyun sajangnim terlihat keren sekali memakai cincin kawin?” tanyanya
entah kepada siapa, yang kemudian hanya membuatnya mendapatkan sebuah pukulan
cukup keras di kepala. Jelas dari suaminya tercinta.

“YAK! Kau baru saja melakukan kekerasan rumah tangga terhadapku!” teriak gadis itu
tidak terima.

“Sayang,” gertak Siwon dengan nada berbahaya. “Kau juga baru saja dengan terang-
terangan mengagumi suami orang lain di depanku!”

“Lalu kenapa? Kau tidak mengenal peribahasa rumput tetangga selalu tampak lebih
indah?”

“Oh, astaga,” keluh Soo-Hyun sambil memegangi kepalanya. “Leeteuk hyung, kau
yakin akan menikah? Sepertinya memiliki istri itu mengerikan.”

“Yah, tergantung,” sahut Leeteuk dengan cengiran di wajah. “Yang kau nikahi malaikat
atau setan.”

“JADI MAKSUDMU AKU SETAN BEGITU?”

***

“Kau mau membawaku kemana, hah?” sergah Hye-Na, menggunakan kekuatannya


untuk melepaskan cengkeraman pria itu lalu berjalan sedikit menjauh, tiba-tiba terhenti
beberapa langkah kemudian saat melihat apa yang sudah menunggunya di luar gedung.

“Oh, tidak. Tidak lagi.”

“Aku janji kita hanya akan… berkendara di darat,” ujar Kyuhyun, tampak sangat
menikmati ekspresi ketakutan di wajah gadis tersebut.

Hye-Na merenggut pintu mobil sampai terbuka, menjatuhkan tubuhnya ke kursi


penumpang lalu memasang seatbelt-nya, memeganginya erat-erat seolah dia
menggantungkan hidupnya disana.

“Aku sangat merindukan Ferrari-mu,” rutuk gadis itu dengan mulut terkatup rapat.

“Kau tidak bisa berenang dan takut ketinggian, bagaimana bisa kau lulus dari
akademi?” tanya Kyuhyun sambil menghidupkan mesin mobil, membutuhkan sedetik
sebelum mobil itu melaju ke jalan dan mencapai kecepatan 150 km/jam dalam sekejap
mata.

“Karena aku mendapat nilai sempurna untuk ujian lainnya,” tukas Hye-Na dengan nada
bangga.

“Lalu tes berenang?”

“Untuk itulah wanita diberi kelebihan dengan mendapatkan datang bulan. Aku bilang
saja aku sedang dalam masa menstruasi, membual tentang sakit perut, dan mereka
memberiku nilai nol. Tidak terlalu berpengaruh untuk keseluruhan penilaian.”

“Kau sedang menyombong, Sayang?”

“Sekali lagi kau memanggilku seperti itu, kupatahkan gigimu! Memberi sedikit kesan
jelek di wajahmu tidak ada ruginya,” ancam gadis itu.

“Tapi aku senang sekali menggodamu, apa yang harus aku lakukan dengan itu?” tanya
Kyuhyun riang. “Ayo bertaruh. Duluan mana kau mematahkan gigiku atau aku
menelanjangimu.”

Hye-Na dengan refleks memukulkan tangannya ke kepala pria itu, membuat pria
tersebut mendelik menatapnya sambil mengelus bagian belakang kepalanya yang terasa
nyeri.

“Kenapa setiap kali aku berbicara denganmu kau selalu membuatnya berujung pada
kalimat mesum?”

“Hmm… secara teori, pria memang selalu memikirkan anatomi tubuh wanita dalam
banyak kesempatan normal yang tidak ada hubungannya dengan seks,” ucap Kyuhyun
beralasan.

“Teori siapa? Teorimu?”

“Bisa jadi. Mungkin aku harus menulis buku tentang hal itu? Tapi menurutku hanya
suami yang puas dengan istrinya saja yang memiliki jalan pikiran sepertiku, jadi
seharusnya kau bangga sedikit karena setidaknya aku puas denganmu.”

“CHO KYUHYUN!”

***

“Kau membangun banyak mall dan kau juga berbelanja disana. Secara gratis. Apa sih
yang ada di pikiranmu?” keluh Hye-Na saat mereka berjalan memasuki mall yang
merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Korea saat ini, yang dia ketahui dibangun
oleh Cho Corp.

“Aku tidak pernah mau mengeluarkan uangku untuk para pesaing, Na~ya. Apa
bagusnya berbelanja di tempat lain sedangkan kau punya mall sendiri?”

“Berapa sih pemasukanmu dalam setahun?” tanya gadis itu, penasaran mengapa
suaminya itu suka sekali menghambur-hamburkan uang.

“Pemasukan pribadiku? Bersih? Hmm….” Pria itu menggumam sambil menarik Hye-
Na masuk ke dalam lift kaca dan menekan tombol menuju lantai 5. “Dalam satu bulan
mungkin… lima milyar dolar? Aku tidak yakin. Mungkin bisa lebih dari itu.”

Hye-Na mencengkeram rambutnya frustrasi. Pria ini… apa sih yang ada pikirannya?

“Lalu untuk apa kau memiliki uang sebanyak itu kalau kau tidak perlu
menggunakannya untuk berbelanja, hah?”

“Investasi disana-sini. Menyumbang. Sepertinya aku menumpuknya di banyak bank.


Ah, ngomong-ngomong, aku baru saja membukakan rekening untukmu di bank Swiss.
Aku sangat terkesan dengan pengamanan mereka. Sejak zaman dulu tidak pernah
berubah.”

“Oke…” erang Hye-Na. “Oke, aku tidak akan membahas masalah ini lagi. Aku tidak
tahu apa kegunaan tumpukan uang itu bagimu, tapi… berhentilah memberiku
tumpukan uang yang sama. Aku. Benar-benar. Tidak. Membutuhkannya.”

“Sudahlah,” tukas Kyuhyun. “Tidak usah mengkhawatirkan hobiku dengan


memberimu banyak hal. Aku tidak bisa menahannya. Jadi terima saja. Lagipula, setelah
anakmu itu lahir, aku akan mengalihkan hobiku padanya.”

“Kyu, kalau kau memberikan segala hal pada anakmu, kau hanya akan membuatnya
menjadi manja. Kau bisa jadi ayah yang baik tidak, hah?”

“Apa salahnya dengan manja? Tapi tenang sajalah, aku tidak akan membuat mereka
seperti itu. Aku cukup punya… hmm… batasan.”

“Batasan,” ulang Hye-Na, melotot melihat toko yang baru mereka masuki. “Tunggu
tunggu, hei sialan, kau tidak lihat kalau usia kandunganku baru beberapa minggu? Mau
apa kita kesini? Aku tidak membutuhkan baju ibu-ibu hamil. Astaga! Renda! Pink! Ya
Tuhan, kumohon, bawa aku keluar dari sini!”

Gadis itu mencengkeram lengan Kyuhyun, mengerahkan seluruh tenaganya untuk


menarik pria itu keluar, tapi pria itu tampak tenang-tenang saja, tidak terpengaruh sama
sekali.
“Aku tidak akan memakai gaun longgar yang melambai itu, oke?”

Kyuhyun melirik deretan gaun-gaun itu lalu beralih menatap istrinya. “Aku jadi
penasaran melihatmu memakai semua itu. Pasti kau terlihat seperti… wanita,” putusnya
kemudian setelah tidak berhasil menemukan istilah yang cocok.

“Oh ayolah, belum waktunya aku memakai rumbai-rumbai seperti itu. Kau tidak lihat
kalau perutku masih datar? Bahkan kalau sudah besar pun, aku tidak akan sudi
memakainya.”

Kyuhyun memutar bola matanya, tapi akhirnya tetap mengikuti permintaan gadis
tersebut. Hanya saja, hari ini dia sedang berminat sekali untuk membelikan gadis itu
sesuatu, jadi dia akan memastikan bahwa mereka tidak akan pulang dengan tangan
kosong.

“Kalau bukan baju hamil, kau harus rela kubelikan satu gaun. Hmm? Dan terserah kau
mau memilih yang mana.”

“Apa seharusnya aku merasa senang?” sindir Hye-Na sarkastis.

“Biasanya wanita lain akan melompat-lompat.”

“Yah, baguslah. Karena aku bukan kelinci, jadi aku tidak akan melompat-lompat
seperti yang mereka lakukan,” dengus gadis itu. “Kau tidak bosan ya memenuhi
lemariku dengan pakaian? Yang kau belikan waktu itu saja belum kupakai.”

“Aku hanya akan membelikanmu satu. Adil, kan?” Pria itu buru-buru menggapai
tangan Hye-Na dan menarik gadis itu masuk ke dalam salah satu toko pakaian.
Pegawai yang menyambut mereka terkesan begitu ramah dan tampak memerhatikan
Hye-Na penuh minat, membuat gadis itu tiba-tiba merasa bahwa pegawai tersebut
pernah melihat wajahnya yang terpampang besar-besaran di berbagai media minggu
lalu. Kyuhyun benar, para wartawan memang menganggap pose mereka saat sedang
berciuman di pinggir jalan waktu itu terkesan sangat artistik sehingga mereka semua
berlomba-lomba memasangnya di sampul majalah dan koran, dalam berbagai sudut
pandang. Seolah itu belum cukup memalukan, video-video kencan mereka siang itu
juga tersiar di internet dan berita televisi dengan embel-embel kemesraan sang
penguasa dunia dengan istrinya. Membuatnya ingin muntah saja. Dan puncaknya
adalah saat dia menjadi bahan olok-olok sekantor. Dia bisa menutup mulut para
karyawan lain dengan tatapan membunuhnya, tapi itu tidak berhasil dengan rekan satu
timnya. Eun-Ji bahkan dengan konyolnya mempraktekkan adegan tersebut dengan
suaminya di depan semua orang dengan cara yang tidak ada bagus-bagusnya. Butuh
ribuan caci-maki dan hantaman sana-sini sampai mereka benar-benar berhenti.
Setelah menyadari dengan cukup baik bahwa suaminya itu tidak segan-segan
mengumbar keintiman di depan umum, seharusnya dia bisa berjaga-jaga. Tapi siapapun
tahu bahwa Kyuhyun adalah orang yang sangat sulit ditebak, jadi dia tidak pernah bisa
memprediksi kapan pria itu akan menyerangnya. Seperti sekarang. Dia sudah memilih
satu gaun sederhana yang cukup bisa ditolerirnya, masuk ke dalam ruang ganti yang
cukup luas—yang tiba-tiba terasa sesak karena pria itu juga memaksa untuk ikut masuk
ke dalam—berpikir bahwa mungkin saja pria itu akan berbuat macma-macam, tapi pria
itu diam saja. Hanya sekedar memandanginya sambil bersandar ke dinding.

Gadis itu mulai melepaskan blusnya dengan rikuh, tahu bahwa tidak ada gunanya
mengusir pria itu keluar. Lagipula tidak ada bedanya jika dia mau telanjang di depan
pria itu atau tidak, toh pria tersebut sudah sering melihatnya dalam keadaan seperti itu.
Tapi tetap saja. Itu bukan sesuatu yang membuatnya nyaman.

Hye-Na berusaha menggapai resleting di punggungnya saat Kyuhyun melangkah


mendekat dan membantunya mengancingkan gaun tersebut. Pria itu kemudian
menunduk, meletakkan dagunya di atas bahu Hye-Na dan melingkarkan lengannya di
sekelilling pinggang gadis itu, meraba permukaan perutnya dengan gerakan ringan.

“Menurutmu kapan ini akan membesar?” tanya pria itu mengejutkan.

“Lima bulan mungkin?”

“Kau akan menjaganya baik-baik untukku, kan? Na~ya?” tanyanya lagi, kali ini sambil
menyurukkan hidungnya di cekungan leher gadis tersebut, menghirup nafas disana.

“Tentu saja. Ini kan juga anakku, bukan hanya anakmu,” sahut gadis itu ketus,
membuat Kyuhyun terkekeh pelan.

“Ngomong-ngomong, kau mengganti parfummu? Wangimu berbeda,” komentarnya.

“Aku lupa memakai parfum tadi pagi. Kenapa? Baunya tidak enak?”

“Tidak. Baunya seperti freesia. Sabunmu?”

“Mmm,” jawab gadis itu dengan gumaman. “Menyingkir sana. Aku mau ganti baju
lagi. Belikan aku yang ini saja.”

Kyuhyun melonggarkan pelukannya, tapi bukan untuk melepaskan gadis itu, melainkan
untuk mengangkat tubuhnya lalu mendudukkannya ke atas meja marmar yang menyatu
dengan dinding, yang disedikan untuk meletakkan tas atau barang bawaan.

“YAK!”
“Aku ingin membunuh seseorang,” ucapnya cepat, akhirnya memberitahu gadis itu
alasan utamanya mengajak gadis itu jalan-jalan siang ini.

Hye-Na mengatupkan mulutnya dengan mata terbelalak menatap pria itu.

“Aku ingin sekali membunuh seseorang, kau tahu?” ulangnya lagi, dengan mata yang
menyorot tajam, tiba-tiba diselimuti aura membunuh yang menyeramkan.

“Apa? Siapa?”

“Kerjamu lambat, Na~ya,” ujarnya, tanpa nada menyinggung. “Sebelum kau bisa
menemukan penyusup di kantorku, aku sudah mendapatkan datanya duluan. Ada
konspirasi terselubung. Banyak pihak penting terlibat. Mungkin mereka dijanjikan
sesuatu yang menarik kalau berhasil mengkhianatiku. Karena ini masalah internal
perusahaan, aku akan menyelesaikannya dengan caraku.”

“Tapi membunuh---”

“Mereka dikendalikan salah satu musuhku yang ingin membalas dendam. Aku hanya
akan melenyapkan pimpinannya, lalu semua anak buahnya akan habis satu per satu.
Seharusnya kau tahu caraku.”

“Tapi kau memberitahuku, jadi---”

“Karena aku menghormatimu,” potongnya. “Sebagai istri. Sebagai agen. Aku


memberimu hak untuk menghentikanku. Walaupun aku tahu bahwa aku tidak akan
menyukainya.”

Hye-Na mengulurkan tangan kanannya, mengusap rahang Kyuhyun yang terasa


tegang, melakukannya selama beberapa detik sampai akhirnya raut wajah pria itu
kembali santai. Pria itu menghela nafas, tersenyum enggan, lalu meletakkan tangannya
di atas tangan gadis itu.

“Kau tahu bahwa kau tidak perlu membunuh. Semarah apapun kau. Pasti ada cara lain.
Hanya memasukkan mereka semua ke penjara saja rasanya memang tidak adil, tapi---”

Kyuhyun menggeleng. “Aku sudah tahu bahwa aku tidak akan menyukai
keputusanmu.”

“Kau biasanya memang tidak pernah menuruti keinginan siapapun, kan?”

“Aku akan menuruti apapun keinginanmu,” sergah pria itu tajam, dengan ekspresi yang
tampak begitu serius. “Selagi itu masih masuk akal dan bukan berupa keinginanmu
untuk meninggalkanku, aku bisa mengabulkan semuanya. Apapun.”
“Kau tidak pernah mengikuti keinginanku untuk berhenti membelikanku barang-
barang tidak berguna itu.”

“Itu terhitung tidak masuk akal, Na~ya,” tukas pria itu, sedikit tersenyum miring untuk
menunjukkan anggapannya bahwa keinginan istrinya yang satu itu benar-benar
terdengar konyol. “Seperti yang kubilang, tidak ada satu wanita pun yang akan
menolak jika suaminya melimpahinya dengan barang-barang mewah.”

“Jadi aku bukan wanita normal begitu?”

Pria itu tertawa kecil, menatap gadis itu sesaat lalu mencondongkan tubuh,
menyapukan kecupan ringan di bibirnya.

“Sepertinya itu salah satu alasan kenapa aku menikahimu.”

Kyuhyun menegakkan tubuhnya, menurunkan Hye-Na dari atas meja lalu melangkah
mundur.

“Ganti bajumu. Aku akan menunggu diluar.” Priaa itu mengedip saat menyadari bahwa
Hye-Na sepertinya belum menemukan orientasinya lagi. Dia selalu merasa senang saat
mengetahui bahwa dialah satu-satunya manusia yang bisa membuat gadis tersebut
menjadi kelimpungan seperti itu.

“Ngomong-ngomong,” ujarnya, menghentikan langkah di depan pintu ruang ganti.


“Aku setuju untuk tidak membunuh. Tapi kau tidak bisa melarangku untuk tidak
menghancurkan hidup mereka. Itu tidak terhitung ilegal, kau tahu?”

“Menghancurkan seperti apa yang kau maksud?” tuntut Hye-Na dengan nafas tertahan.

“Mengusahakan hukuman maksimal untuk mereka. Menempel wajah mereka dimana-


mana supaya keluarganya merasa malu. Memastikan bahwa mereka tidak akan
diterima bekerja dimanapun sekeluarnya dari penjara. Dan untuk orang yang memberi
mereka perintah, itu termasuk melenyapkan semua harta kekayaannya dan
menyerahkannya pada negara.” Pria itu tersenyum kejam dengan mata menyipit
menakutkan. “Itu ganjarannya karena mencari gara-gara denganku. Seharusnya mereka
tahu, aku selalu melenyapkan setiap musuh-musuhku sampai ke akar-akarnya.
Semudah membalikkan telapak tangan.”

***
Note 23 Februari 2013
SLIGHT SCENE ~ KYUNA
Hye-Na menaiki tangga undakan depan, berdiri di depan pintu dan menunggu sedetik
sebelum pintu tersebut mengonfirmasi retina matanya lalu bergeser membuka. Dia
melangkah masuk, melewati ruangan-ruangan luas yang bercahaya temaram karena
lampu-lampu yang tidak dihidupkan dalam keadaan maksimal, bermaksud langsung
menuju kamar. Tapi langkahnya terhenti saat dia samar-samar mendengar suara
percakapan yang sepertinya berasal dari televisi dari arah ruang santai pribadi mereka
yang sedikit menjorok ke bawah di bagian timur rumah, tidak jauh dari tempatnya
berdiri. Jadi alih-alih berjalan lurus ke ujung koridor tempat kamarnya berada, gadis
itu malah berbelok dan melangkah menuruni beberapa anak tangga yang dibatasi
kaca-kaca berwarna hitam, menuju ruangan yang begitu elegan dan modern,
menggabungkan percampuran warna hitam, abu-abu, putih, dan warna merah yang
anggun.
Dia bersandar ke dinding kaca, sedikit tersembunyi dari pandangan, memuaskan diri
menikmati pemandangan indah di hadapannya. Berbentuk tiga dimensi, dalam
perwujudan pria yang menyimbolkan kemaskulinan dan ketampanan bak seorang
dewa.
Pria itu duduk bersandar di sofa, terlihat fokus dengan tontonan di hadapannya.
Tubuh bagian atasnya berbalut kemeja putih yang beberapa kancing atasnya terbuka,
sedikit terlihat kusut karena sudah dipakai seharian. Lengannya sudah terlipat hingga
siku, sedangkan dasi dan jas yang tadinya melengkapi, berceceran di bagian lain sofa.
Tungkai kakinya yang panjang ditutupi celana kain berwarna hitam, ditumpangkan ke
atas meja, dengan telapak kaki yang telanjang, tanpa sandal.
Bergerak ke atas, mata gadis itu berkonsetrasi memandangi wajah paling
menakjubkan di seluruh penjuru dunia saat ini. Mengambil kesempurnaan malaikat
yang mengagumkan, dengan tubuh dan konstruksi wajah yang dipahat terlalu
sempurna. Mata yang tajam dan dingin, yang di lain kesempatan bisa terlihat begitu
hangat dan penuh ekspresi, hidungnya yang lurus dan mancung, tulang pipi yang
tinggi, rahang yang tegas, dan bibir yang tidak bisa ditolak wanita manapun di muka
bumi.
Rambut pria itu tampak lebih panjang dari sebelumnya, dengan poni yang jatuh
menutupi dahi, dan helai-helai yang yang saling bertindihan, tampak begitu
berantakan sekaligus sempurna di saat yang bersamaan. Wajah, dan tubuh pria itu,
ibarat malaikat yang mencemplungkan diri ke neraka, berbalut dosa dan godaan yang
tidak pernah mengenal kata penolakan. Terkutuklah dia karena sudah menjadi salah
satu dari ribuan wanita yang mengagumi sosok itu. Tapi terberkatilah dia karena
menjadi satu-satunya orang yang bisa menikmati semuanya. Sepuasnya. Sepanjang
eksitensinya.
“Sampai kapan kau akan berdiri disana memandangiku, huh?”
Gadis itu mengerjap dan akhirnya menyadari bahwa Kyuhyun sudah balik
menatapnya, dengan senyum di wajah dan tangan yang terulur menawarkan
genggaman. Dia selalu berpikir bahwa pria itu memiliki dua kepribadian. Terlihat
begitu dingin, menyeramkan, dan membunuh saat diam dan kemudian terlihat hangat,
bersahabat, mudah didekati, saat dia tersenyum.
Hye-Na mendesah lalu berjalan mendekati Kyuhyun, meletakkan tangannya di atas
telapak tangan pria tersebut, membiaarkan pria itu menautkan jari-jari mereka lalu
menariknya duduk tepat ke atas pangkuannya.
“Kau sedang menonton apa?” tanyanya basa-basi, berharap pria itu tidak menyadari
detak jantungnya yang menggila.
“Film. Kau tahu Kim Heechul?”
“Aktor itu?”
“Hmm. Dia teman Ah-Ra nuna. Aku sedang menonton filmnya.”
“Kau sepertinya sedang punya banyak waktu luang,” komentar Hye-Na, menyukai
bau manis anggur dari nafas pria itu. Dan pria itu jelas, sama memabukkannya
dengan minuman tersebut.
“Hanya menghabiskan waktu sambil menunggumu pulang,” jawab pria itu,
menyingkirkan helaian rambut Hye-Na, yang terjatuh menutupi bagian depan
tubuhnya, agar dia bisa dengan leluasa menyurukkan wajahnya di cekungan leher
gadis itu, tempat bau tubuhnya berpusat. Dia menghirup nafas disana, membaui
feromon kesukaannya selama yang dia inginkan.
“Bagaimana harimu?” tanyanya, mengusap punggung istrinya dengan gerakan yang
teratur.
“Karena kau sudah menyelesaikan kasus perusahaanmu sendiri, kami jadi kehilangan
pekerjaan hari ini.”
Kyuhyun tertawa mendengar nada merajuk dari suara Hye-Na, dengan perlahan
memindahkan tangannya untuk menangkup tengkuk gadis itu, memberikan pijatan
ringan disana, merasa puas saat tubuh gadis tersebut mulai rileks di dalam
dekapannya.
“Kau memang harus beristirahat, kau tahu? Pikirkan kondisi kandunganmu. Dan
ngomong-ngomong, bobotmu masih sama. Berat badanmu tidak bertambah?”
“Usia kehamilanku bahkan belum satu bulan,” dengus Hye-Na, kadang-kadang
berpikir bagaimana bisa pria itu memiliki IQ 180 jika pengetahuan seperti itu saja
tidak diketahuinya.
“Tapi akhir-akhir ini nafsu makanmu meningkat dua kali lipat, Na~ya. Dan nafsu
makanmu yang biasa bahkan sudah cukup menakjubkan.”
“Salahmu sendiri karena melimpahiku dengan begitu banyak makanan enak.
Menikahimu pasti keputusan terbaik yang pernah kulakukan.”
Kyuhyun berusaha meminimalisir rasa senangnya, tapi tidak berhasil mencegah
senyum lebarnya muncul. Tangannya terkulai di sekeliling pinggang gadis itu, tiba-
tiba kehilangan energi.
“Hanya karena makanan enaknya saja?” tanyanya bercanda, sedikit mendongak
menatap gadis itu.
“Hmmmm,” gumam Hye-Na, tampak menimbang-nimbang. Dia mendekatkan
wajahnya—yang sebelumnya juga sudah cukup dekat. Ujung-ujung jarinya
menyentuh anak-anak rambut di kening Kyuhyun dengan gerakan samar, beralih ke
bawah, menelusuri alis mata tebal pria itu, kemudian berlanjut ke kelopak matanya.
“Aku suka matamu,” beritahunya, bergerak melewati pipi Kyuhyun lalu membiarkan
ibu jarinya meraba lekuk sensual bibir pria tersebut. “Bibirmu juga,” lanjutnya,
dengan suara yang entah kenapa menjadi sedikit serak.
Kyuhyun mengulurkan tangan, menangkup pipi gadis itu dan mengusapnya,
menikmati bagaimana kulit pucat gadis itu merona merah karena perlakuannya.
“Menyenangkan melihatmu mengambil inisiatif duluan.”
“Aku bisa menjadi sangat agresif kalau aku mau,” ucap Hye-Na, memerangkap wajah
pria itu di antara kedua telapak tangannya, lalu mencuri satu kecupan kilat dari bibir
pria tersebut.
Kyuhyun menatap wajah gadis itu, lalu memundurkan tubuhnya ke belakang sampai
bersandar ke punggung sofa, menarik gadis itu bersamanya. Dia berlama-lama
melakukannya, seolah tidak ada lagi pemandangan lain yang lebih menarik daripada
wajah di hadapannya. Seolah-olah dia bisa menghabiskan malam hanya untuk
melakukannya.
Perlahan pria itu tersenyum, lagi-lagi menyentuh pipi Hye-Na, sesaat membiarkan
jantungnya berhenti berdetak, lalu memompa darah habis-habisan dengan tidak
terkendali ketika gadis itu balas tersenyum padanya.
“Aku mencintaimu kalau begitu,” ucapnya ringan, sangat tidak terduga, sehingga
senyum Hye-Na menghilang dan gadis itu terpaku di tempat.
Pria itu tersenyum lagi melihat reaksi istrinya.
“Masih belum terbiasa?” tanyanya, mencondongkan tubuh untuk menggantikan posisi
tangannya dengan bibir, menyentuh pipi gadis tersebut dalam kecupan ringan. “Tapi
aku memang mencintaimu,” lanjutnya, mengangkat wajah dan menatap gadis tersebut
tepat di manik mata. “Dan walaupun jarang, aku merasa senang bisa
mengatakannya.”
***
Note 24 Februari 2013
SLIGHT SCENE KYUNA ~ SWIMMING POOL {NC-17}

Hye-Na menggerakkan tangannya, menyadari bahwa ranjang disampingnya sudah


kosong, lalu dengan cepat membuka mata. Sinar matahari yang tajam langsung
menghantam retinanya, membuat gadis itu memalingkan wajah dan membenamkan
mukanya ke bantal. Sialan, ini hari Minggu dan dia berencana tidur sampai siang. Tapi
mendapati bahwa Kyuhyun tetap saja bangun pagi seperti kebiasaannya, membuat
gadis itu juga malas untuk melanjutkan tidur. Setidaknya Kyuhyun sudah berjanji untuk
berada di rumah seharian dan dia tidak akan menyia-nyiakan kejadian langka tersebut
begitu saja.

Dia memaksa dirinya untuk bangun, bangkit dari ranjang, mengabaikan begitu saja
sandal rumahnya yang terletak di lantai lalu melangkah dengan kaki telanjang sambil
merapikan rambutnya yang berantakan dengan tangan sekenanya. Bahkan tanpa
merasa perlu untuk menyikat gigi, gadis itu langsung berjalan terseok-seok keluar
kamar dalam keadaan setengah sadar. Dia masih mengenakan baju kaus kebesarannya
yang panjangnya hanya menutupi separuh paha, memamerkan kaki jenjangnya yang
mulus dan ramping. Wajahnya jelas polos tanpa sapuan make-up dan bedak, yang
anehnya terlihat segar dikarenakan tidur nyenyaknya selama sepuluh jam tadi malam.
Kulit mukanya yang biasanya pucat tampak berseri, merona merah di bagian pipi dan
kali ini jelas bukan disebabkan oleh godaan yang diberikan suaminya.

Ngomong-ngomong suami, dia tidak menemukan pria satu itu di ruang makan, bahkan
juga tidak di ruang gym maupun kantornya. Dia bahkan sudah menyambangi bagian
belakang rumah yang besarnya ampun-ampunan, memeriksa kolam belakang, dan
menyadari bahwa dia menghabiskan waktu lima belas menitnya dengan sia-sia.

Gadis itu mendesah kesal, menggigit roti tawar yang berhasil dicurinya dari atas meja
makan—sebagai pengganti gosok giginya pagi ini—lalu melanjutkan langkah ke
bagian depan rumah. Dia mengernyit saat akhirnya menemukan Kyuhyun disana,
berbaring di atas kursi santai di depan kolam renang, menjemur tubuh di bawah terik
matahari yang semakin tahun semakin ganas.

Hye-Na mengulangi kelakuannya semalam. Berhenti cukup jauh untuk menikmati


pemandangan tubuh pria tersebut. Kali ini dalam wujud berbeda, yang jelas terlihat
puluhan kali lebih menggoda daripada pemandangan semalam—yang bahkan sudah
merupakan godaan tidak tertahankan.

Pria itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek, memamerkan tubuh
rampingnya yang bisa dipastikan tidak pernah dilihat oleh manusia manapun selain
Hye-Na. Kulitnya putih pucat, memenuhi deskripsi vampir super tampan yang meledak
di pasaran pada awal tahun 2000-an. Tubuhnya panjang, mulus seperti kertas putih tak
bernoda, dengan dada bidang dan perut rata. Bukan jenis tubuh sixpack yang dimiliki
para atlet ataupun aktor, karena pria itu selalu terlihat orisinil dengan gayanya sendiri.
Otot biseps-nya sudah lumayan terbentuk karena olahraga yang dilakukannya setiap
pagi dan karena Hye-Na sendiri memang tidak menyukai pria-pria berotot, jadi tubuh
pria itu sudah merupakan perwujudan masterpiece pribadinya.

Ada sensasi tersendiri menikmati tubuh polos pria itu diam-diam seperti ini. Walaupun
pria itu sudah sering telanjang dada—bahkan telanjang sepenuhnya—di depannya
setiap kali mereka bercinta, dia biasanya selalu terfokus pada hal lain. Sentuhan pria itu,
cumbuannya. Tidak ada waktu baginya untuk menikmati setiap incinya, jadi saat
kesempatan seperti ini datang, dia tidak mungkin melewatkannya begitu saja.

Puas dengan bagian tubuh, matanya beranjak memandangi wajah pria itu yang tertutupi
kacamata hitam. Rambut hitamnya masih tampak acak-acakan, dengan poni yang jatuh
menutupi kening. Mulutnya terkatup dan raut mukanya tampak tenang, yang
mengisyaratkan bahwa pria itu kemungkinan sedang tertidur. Tangannya sendiri
terlipat di depan dadanya yang turun naik secara teratur selagi menghirup nafas. Dan
dengan terlihat seperti itu saja, pria itu sudah berhasil membuat kakinya lemas.

Hye-Na mengutuk kelemahan pribadinya itu dalam hati, menelan sisa rotinya, lalu
berjalan lurus ke arah suaminya. Dia berhenti di depan kursi santai pria itu,
menghalangi sinar matahari dengan tubuhnya, dan menunggu selama beberapa saat.

Kyuhyun membuka mata saat tiba-tiba tidak ada lagi sinar matahari yang menyengat
tubuhnya, lalu tersenyum saat melihat siapa yang mengganggu waktu santainya pagi
ini.

“Sudah bangun? Kupikir kau ingin tidur seharian,” ujarnya sambil mengulurkan
tangan, menunggu sampai gadis itu menyambutnya, lalu dengan gerakan mudah
menarik tubuh gadis itu sampai terjatuh ke atas tubuhnya, memajukan tubuh sedikit,
bermaksud mengecup bibir gadis tersebut, tapi gadis itu malah meletakkan telapak
tangan di bibirnya, mencegahnya maju.

“Tahan. Aku belum sikat gigi.”

“Apa itu bisa mencegahku untuk mendapatkan ciuman selamat pagiku?” tanyanya
retoris, menyingkirkan tangan gadis itu dari wajahnya lalu meraup bibir gadis itu
dengan bibirnya yang membuka, menekan sedikit, dan merasakan jejak remah roti
yang tertinggal disana.

“Kau sudah menyikat gigimu dengan roti,” ejeknya, yang ditanggapi Hye-Na dengan
cibiran.
Gadis itu melepaskan diri darinya lalu membaringkan tubuh ke atas kursi santai yang
berdampingan dengan kursi yang dia duduki. Gadis itu kemudian memandanginya
sesaat dan dengan seenaknya menarik kacamata hitamnya sampai lepas lalu
memakainya tanpa merasa perlu untuk meminta izin.

“Kenapa musim semi bisa sepanas ini?” keluh gadis itu sambil mengernyit, dengan
tangan yang menutupi kening, sama sekali tidak menyadari bahwa gerakannya itu
membuat baju kausnya terangkat dan semakin memamerkan pahanya yang tidak
tertutupi apa-apa.

“Dan kenapa kau tidak pernah menyadari pengaruh tubuhmu itu terhadapku?” ujar
Kyuhyun ikut mengeluh, bangkit dari kursi dan meregangkan tubuhnya sedikit,
menatap Hye-Na dengan alis terangkat. Sedangkan gadis itu malah balik cengengesan
ke arahnya, tidak terlihat seperti orang yang baru saja melakukan dosa besar.

“Kau mau berenang?” tanya gadis itu, terlihat tertarik.

“Kenapa? Kau tidak mungkin bermaksud memintaku mengajarimu, kan?”

“Tentu saja tidak,” jawabnya manis. “Hanya ingin menontonmu saja. Aku belum
pernah melihatmu berenang.”

“Bilang saja agar matamu itu bisa jelalatan memandangiku.”

“Salah satunya.”

“Kau benar-benar menjadi gadis agresif, ya?”

“Pengaruh janin?” ujar Hye-Na, menyarankan jawaban.

“Mulai menyalahkan anakmu sekarang atas kenakalanmu terhadap suamimu sendiri?”

“Kenakalan? Aku? Hei, kalau aku menari telanjang di hadapanmu, baru kau bisa
menyebutku wanita nakal.”

“Aku akan sangat senang sekali kalau kau bersedia melakukannya,” ucap Kyuhyun
sambil tersenyum menggoda.

Hye-Na balas tersenyum dengan mata berkilat licik. “Kita lihat saja nanti,” ujarnya,
membuat Kyuhyun membelalakkan mata tidak percaya.

“Na~ya…,” gumamnya tertahan, terlihat syok.

“Cih. Baru kugoda begitu saja kau sudah seperti itu. Sudahlah, berenang saja sana dan
hentikan fantasi-fantasi busukmu tentang tubuhku.”
Kyuhyun mencibir. “Kau yang mulai duluan,” dengusnya, berbalik memunggungi
gadis itu lalu melompat masuk ke dalam kolam, membuat air bercipratan kemana-
mana.

Hye-Na menggerutu panjang lebar, mengusap wajahnya yang basah dan mendelik
mendapati bahwa bagian depan bajunya juga ikut basah terkena cipratan.

“YAK, CHO KYUHYUN!” teriaknya kesal dan semakin merasa kesal karena dia
harus menunggu pria itu menyelesaikan satu putarannya mengelilingi kolam sebelum
dia bisa memaki pria tersebut sepuasnya.

Kyuhyun tertawa puas dalam hati karena sudah berhasil membuat gadis itu kesal,
dengan sengaja memamerkan kemampuan berenangnya yang bisa disetarakan dengan
atlet renang kebanggaan Korea, tidak membutuhkan waktu lebih dari satu menit untuk
mencapai tepi kolam lagi.

Dia baru saja memunculkan tubuhnya ke atas air, sedikit menggelengkan kepala untuk
menyingkirkan rambutnya yang basah dari wajah, lalu mendongak, dan langsung
tersentak mundur ke belakang.

Cho Hye-Na, istrinya yang demi Tuhan sangat menyebalkan itu, tanpa belas kasihan
dan memedulikan keselamatan jantungnya, berdiri di tepi kolam sambil berkacak
pinggang, berkemungkinan besar tidak mengetahui bahwa bajunya yang basah itu
membuat apapun yang berada di baliknya tercetak jelas dan Kyuhyun tentu saja, tidak
imun sedikitpun terhadap bagian manapun dari tubuh gadis itu.

Kapan terakhir kali mereka bercinta? Kemarin lusa? Dia sudah sangat ingin menerkam
gadis itu sekarang juga seolah mereka sudah tidak melakukannya selama berbulan-
bulan.

“YAK! Aku tidak berniat mandi sampai sore nanti dan lihat apa yang sudah kau
lakukan!”

“Ayo masuk kesini,” ujar Kyuhyun, menahan nafas. Dia tidak akan bersikap gegabah
hanya demi memuaskan nafsunya. Yah, setidaknya tidak dengan cara kasar dan
memaksa.

Hye-Na mendelik mendengar ajakan pria tersebut. Masuk dia bilang? Hei, dia sedang
marah, kan? Kenapa pria itu malah memasang ekspresi seperti itu? Dan sialan, demi
Tuhan Yang Kudus, dia memang bermaksud marah tapi melihat pria itu dalam keadaan
basah, itu godaan yang benar-benar sangat berlebihan.

“Aku sedang marah padamu. Oke? Kau tidak mengerti, ya?”

“Kau sudah basah. Apa salahnya menceburkan diri kesini sekalian?”


“Aku tidak bisa berenang.”

“Aku tidak mengajakmu berenang,” ucap pria itu, mementahkan penolakan terakhir
yang bisa Hye-Na berikan. “Masuk saja kesini. Dan biarkan aku melakukan apapun
yang ingin kulakukan.”

“Dan apa itu tepatnya?”

Pria itu tersenyum miring, menunjukkan seringaiannya yang bisa membuat wanita
manapun menggelimangkan diri ke dalam dosa.

“Kita belum pernah mencobanya di dalam kolam, kan?”

Hye-Na menganga syok, terpaku di tempat. Maksud ucapan pria itu sangat jelas dan
walaupun diucapkan dengan kalimat yang tidak vulgar, tetap saja berhasil membuat
wajahnya merah padam.

“Ayolah, Na~ya. Kau mau membuatku terpanggang disini menunggu jawaban?


Seharusnya kau berterima kasih sedikit aku tidak menarikmu dengan paksa dan
melakukannya dengan cara tidak hormat. Aku masih meminta izin darimu. Dan kau
masih tidak mau? Kesabaranku tipis sekali, kau tahu?”

Hye-Na masih membatu di tempatnya berdiri. Pria itu mengucapkan hal-hal aneh dan
telinganya berdenging, dengan otak yang kehilangan konsentrasi. Mereka memang
sudah sangat sering melakukannya, tapi di kolam? Di tempat terbuka begini?

“Kita bahkan sudah melakukannya di danau,” ujar Kyuhyun, seolah menjawab pikiran
gadis itu. “Tiga detik, Na~ya, atau aku akan menarikmu paksa. Satu….”

Bunuh saja dia. Ya Tuhan, pria ini benar-benar tidak tahu malu!

“Kau yang bersikap agresif dan saat aku meladeni tantanganmu kau jadi pengecut
begini? Dua….”

Sialan, ucapan itu berhasil menyenggol gengsinya yang setinggi Himalaya. Baik baik,
dia tidak suka dipanggil pengecut.

Menyingkirkan rasa malunya jauh-jauh, gadis itu menarik ujung bajunya ke atas dan
begitu puas saat melihat mata Kyuhyun terbuka lebar. Dia menanggalkan baju itu
melewati kepala, berdiri hanya dalam balutan pakaian dalamnya yang berwarna hitam.
Tapi dia tidak seberani itu untuk melakukannya lebih lama, jadi dalam hitungan detik
dia sudah turun ke dalam kolam, dan membenamkan separuh tubuhnya ke dalam air,
tidak sempat menjernihkan pikiran karena Kyuhyun langsung menyudutkannya ke
dinding kolam.
Pria itu melumat bibirnya dengan tidak sabaran, memiringkan wajah supaya lebih
leluasa dan menarik rambutnya ke belakang agar tidak mengganggu eksplorasinya,
sedangkan tangannya sudah menggerayang kemana-mana.

Telapak kaki Hye-Na menggesek kaki pria itu, karena tidak bisa mencapai dasar kolam
yang cukup dalam. Tangannya mengalung di leher pria tersebut, terbenam di dalam
rambut basah pria itu selagi ciuman mereka beranjak semakin dalam dan intens. Dia
bisa merasakan tangan pria itu yang menggapai bagian belakang tubuhnya,
menemukan pengait branya lalu melepasnya dalam satu sentakan.

Tanpa berkata apa-apa Kyuhyun menurunkan tubuhnya, melepaskan ciuman mereka


dan membenamkan kepalanya ke dalam air, membuat Hye-Na nyaris tercekik nafasnya
sendiri saat bibirnya bergerak menggoda di atas dada gadis itu. Dia melakukannya
selama beberapa saat, terus turun dan bermain-main di pusar gadis tersebut, sebelum
akhirnya dia muncul lagi ke atas air untuk menarik nafas.

Pria itu tersenyum geli dan menyentuh pipi Hye-Na yang sudah merah padam dengan
jemarinya. Dia memajukan wajah, mengecup pipi gadis itu lalu beralih ke rahang, dan
menggapai bibirnya lagi, tapi kali ini dalam ciuman lambat, tidak terburu-buru seperti
tadi, walaupun masih dalam keintiman yang sama.

Pria itu sedikit memiringkan wajah, memberi jalur bagi Hye-Na untuk menarik nafas
dengan hidung. Gadis itu sendiri meladeni gaya berciuman Kyuhyun yang sering
berubah-rubah tanpa peringatan. Kadang lembut, dan kadang sangat menuntut. Dia
bertahan selama satu menit penuh, sebelum akhirnya dia merasakan kepalanya yang
mendadak kosong dan ringan. Pria itu terlalu dekat, menghabisinya dengan cara yang
begitu nikmat dan ya Tuhan, dia lupa….

“Bernafas, Na~ya.”

Yah, bernafas. Menarik nafas. Pria itu memberitahunya duluan. Dia memang harus
bernafas karena kepalanya sedikit pusing tanpa asupan oksigen selama beberapa detik.

“Apa aku bahkan harus mengingatkanmu untuk sekedar menarik nafas saat sedang
bersamaku?”

“Kau membuatku kehilangan….” Hye-Na tampak ragu untuk melanjutkan.


“Konsetrasi,” akunya akhirnya.

Pria itu terkekeh senang, mencium puncak kepala gadis itu sekilas lalu memandanginya
lagi.

“Senang mendengarnya,” bisiknya pelan.


“Dan aku tidak senang karena harus memberitahumu,” gerutu Hye-Na, menarik pria itu
lagi ke arahnya lalu menciumnya duluan, lebih dimaksudkan untuk mengalihkan rasa
malunya.

Tubuh mereka saling menempel, dan dia bisa merasakan bagain bawah tubuh pria itu
yang sudah tegang. Dia tidak lagi memikirkan teriknya matahari, hanya samar-samar
merasakan air kolam yang hangat dan sentuhan pria itu yang juga hangat, atau lebih
tepat jika disebut… membakar.

Dia mendongakkan lehernya saat ciuman pria itu beralih kesana, membiarkan pria itu
menyentuh tubuhnya sesuka hati, termasuk saat tangan pria itu menyelip masuk ke
dalam satu-satunya pakaian yang menjadi pelindung terakhir tubuhnya, menyentuhnya
disana, dan lagi-lagi membuatnya kehabisan nafas. Kali ini diikuti erangan tertahan.

“Senang bisa membuatmu menjadi wanita normal,” gumam Kyuhyun di bibirnya.

“Ini tidak normal,” sungut Hye-Na dengan susah payah. Tangannya memegangi
pinggang Kyuhyun yang terasa licin.

“Apanya yang tidak normal?” tanya Kyuhyun, dengan sengaja menggesekkan tubuh
bagian bawah mereka, membuat Hye-Na menggigit bibir sehingga pria itu menyesali
perbuatannya sendiri karena dengan ekspresi seperti itu, godaan gadis itu benar-benar
tidak tertahankan baginya.

“Tidak ada wanita yang kehabisan nafas dan lupa mengambil oksigen hanya karena
sentuhan seorang pria,” jawab Hye-Na tersendat.

“Bisa saja. Kalau wanita itu cukup tergila-gila setengah mati terhadap pasangannya.”

Hye-Na tersenyum dan mengedip, mengusapkan telapak tangannya ke pipi pria itu.

“Kalau begitu aku tergila-gila padamu.”

“Benar,” ucap Kyuhyun, kali ini mendapat giliran untuk kehabisan nafas. Tapi pria itu
dengan cepat menguasai diri, menggerakkan tangannya sedemikian rupa sehingga
pertahanan terakhir gadis itu terlepas dan dia bisa menyatukan tubuh mereka.

Kyuhyun baru saja melakukan penetrasi dan bermaksud menggerakkan tubuhnya saat
suara teriakan dari arah belakang mereka memecah konsentrasinya.

“ASTAGA, CHO KYUHYUN! Ini masih jam tujuh pagi! Bagaimana bisa kau bercinta
dengan istrimu di tempat seperti ini? Untung hanya aku yang masuk! Kalau eomma
bagaimana?”
Mata Hye-Na membelalak lebar saat menyadari kehadiran Ah-Ra, kakak iparnya,
dengan sisa kewarasan terakhir berusaha mendorong tubuh Kyuhyun menjauh, tapi
jelas tidak berhasil. Pria itu tidak akan bergerak kalau bukan dia sendiri yang
menginginkannya.

“Nuna, Ya Tuhan, aku sudah tidak tahan. Bisakah kau berbaik hati sedikit dan
berbalik? Biarkan aku menyelesaikan ini dulu dan setelah itu kita bisa mengobrol
dengan cara normal. Oke?”

“Apa yang sudah Hye-Na lakukan sampai kau jadi semesum ini?” gerutu Ah-Ra,
menutup wajahnya dengan kedua tangan dan memilih untuk bukan hanya berbalik, tapi
juga berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Melihat adiknya menjadi seperti itu—yang
tidak disangkanya sama sekali—membuat dia mengerti alasan mengapa adiknya itu
tidak pernah menginginkan wanita lain. Tentu saja, baginya pasti satu Han Hye-Na saja
sudah cukup berharga untuk ditunggu selama separuh usianya.

Ah-Ra tertawa dan menggelengkan kepalanya. Kolam renang, astaga! Dan hanya
mereka berdua dan Tuhan saja yang tahu tempat mana lagi yang pernah mereka coba
sebelumnya.

“Kau gila!” desis Hye-Na, memukul bahu pria itu dengan kepalan tangannya.

Kyuhyun mencibir dan tanpa permisi menggerakkan tubuhnya yang masih berada
dalam tubuh Hye-Na lagi, membuat gadis itu tecengang tidak habis pikir.

“Yah mengingat hanya ada satu alasan yang bisa membuatku jadi gila,” ujarnya ringan.
“Kau seharusnya tidak perlu mengomentarinya.”

Pria itu menangkup pipi Hye-Na dengan tangan kanannya, menatap wajah gadis itu
dengan penuh fokus, dengan konsentrasi yang sama sekali tidak terpecah dengan
gerakan tidak beraturannya di dalam tubuh gadis itu.

“Gila, hanya karena melihatmu, itu sudah menjadi kelemahanku sejak lama. Kau bisa
membunuhku kapan saja karena kehabisan nafas. Kau pikir hanya kau saja yang
mengalaminya?” Pria itu menyeringai, memperlihatkan sisi iblis yang selalu terpendam
dalam dirinya. “Aku juga,” lanjutnya pelan. “Kau masih belum tahu?

Kyuhyun menyentuhkan keningnya ke kening gadis itu, berbisik sangat pelan dan jelas.

“Kalau aku harus mati,” ujarnya. “Dibunuh. Kau seharusnya orang pertama yang
menjadi tertuduh. Ingat itu baik-baik. Na~ya.”

***
Note 1 Maret 2013
2061 ~ EXPLODE

STA Building, Five States

09.10 AM

Mengembalikan Korea Selatan seperti sedia kala. Dengan keindahan alamnya yang
mempesona. Kembali pada masa lalu yang tenang, diam tanpa menjadi pusat
perhatian.

Kemajuan teknologi tidak pernah membawa hal positif selain kemalasan dan
keserakahan. Bergelut dalam pelukan manusia kapitalis yang mengukur keindahan
dalam wujud uang dan kemodernan. Mengganti tenaga manusia dengan kehadiran
robot-robot yang seolah-olah tidak ada bedanya dengan kita. Menggerus taman-
taman kota, perkebunan, peternakan dan persawahan, menggantikannya dengan
gedung-gedung pencakar langit. Menyingkirkan restoran-restoran, para penjual
makanan pinggir jalan, dan menciptakan koki mesin dengan makanan yang tidak
pantas dimakan oleh manusia.

Manusia kapitalis ini mengeruk keuntungan begitu banyak saat orang-orang miskin
menjadi semakin miskin dan perut-perut orang kaya terisi penuh sampai membuat
mereka terkapar kekenyangan. Pemerintah tunduk dan masyarakat diam, entah
merasa bangga dengan nama Korea Selatan yang menjadi terkenal di mata dunia
atau merasa ketakutan untuk sekadar mengeluarkan pendapat.

Kami hadir, sebagai perlambang kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan.


Bermaksud mengembalikan keaslian negara, kembali ke masa lalu yang tenteram,
tanpa rasa takut dan serbuan ancaman dari dalam maupun dari luar. Ikuti kami,
berikan dukungan, dan enyahkan segala bentuk negara kapital.

-Scorso-

“Apa itu Scorso?” tanya Eun-Ji memecah keheningan.

Email tersebut beredar di seluruh penjuru Five States bak virus yang menjangkit dalam
hitungan detik dan membuat geger semua orang. Bukan tentang surat ancaman
tersebut, tapi lebih dikarenakan kenyataan bahwa telah terjadi kebocoran internal dalam
badan Five States. Five States, dengan lima badan hukum milik swasta yang diawasi
pemerintah, menerapkan kerahasiaan dan keamanan yang luar biasa. Bisa dibilang
tidak ada siapapun yang bisa mengakses sistem berikut data-data di dalamnya karena
adanya sistem perlindungan yang akan menyulitkan hacker terhebat sekalipun. Dan
perlu diingat, hacker terhebat dalam satu dekade terakhir dipegang oleh Cho Kyuhyun,
yang juga merupakan orang yang menciptakan segala bentuk sistem kerahasiaan di
tempat itu dan pastinya sudah memikirkan segala bentuk kecurangan yang bisa
dilakukan orang-orang yang berniat menyusup masuk. Email internal Five States
disebut corriere, yang hanya bisa diakses oleh para pegawai. Jadi, jika ada orang luar
yang mengetahui email salah seorang karyawan, maka telah terjadi guncangan dalam
badan keamanan. Dan lebih buruknya lagi, pengirim email ancaman tersebut memiliki
seluruh email karyawan Five States tanpa terkecuali. Itu artinya kesemrawutan besar-
besaran.

“Dalam bahasa Italia itu berarti masa lalu,” jawab Kang-In, dengan raut wajah murka
luar biasa. Pria itu berjaga di bagian keamanan internal, bertugas menghancurkan
para hacker yang jahil sekaligus melacak kasus-kasus yang membutuhkan data-data
rahasia dan tersembunyi. Dan jelas, pria tersebut tidak suka jika ada orang yang berhasil
masuk ke dalam sistem internal Five States yang sudah dia anggap sebagai anak
kesayangan.

“Manusia kapitalis,” gumam Hye-Na. Matanya terpancang tajam ke layar komputer,


tampak memikirkan sesuatu. Dan sekaligus memahami sesuatu.

“Manusia kapitalis,” ulangnya lagi. “Bukan manusia-manusia, tapi manusia. Hanya


satu. Tidak jamak.”

“Suamimu?” sergah Leeteuk, cepat tanggap.

“Bisa jadi. Negara ini berubah karena dia. Dan surat ini seperti mengarah kesana.
Kehancuran. Dan tempat penyebarannya. Ini tempat kedua setelah Cho Corp yang
dibanggakan oleh Kyuhyun, jadi—”

“Suamimu sasarannya. Dimulai dari sini,” sambung Soo-Hyun.

“Bisa lebih buruk dari itu,” sanggah Siwon serius. “Bukan tempatnya. Tapi orang yang
berada di dalamnya. Bukan properti Kyuhyun, tapi kau. Mereka ingin mulai dari pusat
kelemahan Kyuhyun dulu. Langsung menuju sasaran. Kau. Kalau mereka
mendapatkanmu, Cho Kyuhyun yang mereka benci akan hancur.”

“Hei hei, kau tidak perlu berpikir sejauh itu dulu. Surat ancamannya tidak terlalu
mendetail. Mereka belum bergerak. Mungkin akan ada surat ancaman berikutnya,”
potong Eun-Ji, berusaha dengan panik menghentikan ketelitian suaminya yang kadang-
kadang tidak tahu tempat.

“Tidak, Siwon benar,” ujar Leeteuk. “Lebih baik kita memikirkan yang terburuk. Dan
bersiap. Jangan menganggap ini main-main. Kita tidak tahu apa yang akan kita
dapatkan berikutnya.”

“Mengincarku?” seringai Hye-Na, mendadak terlihat cerah. Tertarik setengah mati.


“Kalau mereka memang pintar dan bermaksud serius—yang kucurigai memang
begitu—mereka ingin memulai dengan mangsa yang sepadan. Yang akan menyerang
mereka balik. Kau memenuhi kriteria. Jadi berhati-hatilah. Jangan anggap ini
permainan yang menarik, Hye-Na~ya. Mereka memakai nama negara sebagai alasan
pemberontakan, jika mereka bergerak, pemerintah harus turun tangan.”

“Ini kompetisi serius,” ralat Hye-Na. “Dan aku tidak suka menjadi pihak yang
menderita kekalahan.”

***

Kyuhyun’s Home, Yeoju

08.13 PM

Hye-Na berjalan menuruni tangga menuju ruang santai, membuktikan bahwa


tebakannya tentang Kyuhyun yang sudah pulang dan menunggunya disana memang
akurat.

“Menonton lagi?” tanyanya sambil melihat ke arah layar televisi yang menampilkan
gambar… seorang pria yang tewas akibat luka tembak di selangkangan.

“Wah, wanita yang sangat beringas,” komentarnya dengan sorot mata kagum.

“Darimana kau tahu bahwa yang melakukannya adalah seorang wanita?” tanya
Kyuhyun seraya menarik gadis itu duduk di sampingnya setelah meletakkan gelas
berisi wine yang baru separuh diminum ke atas meja.

“Yah, posisi tembakan. Selangkangan. Itu pribadi sekali. Apa yang terjadi? Pria itu
selingkuh?”

“Hmm,” gumam Kyuhyun mengiyakan.

“Pantas saja.”

“Pria kaya. Duda. Memiliki kekasih yang menuduhnya selingkuh dan yah…
menghadapi kematian dengan cara seperti itu.”

“Dan gadis itu mendapatkan seluruh harta warisannya?”

“Aku belum menonton yang ini sampai habis,” ucap pria itu, membiarkan istrinya
menghabiskan sisa wine di gelas. Matanya menyusuri wajah Hye-Na, memutuskan
bahwa gadis itu tampak lelah dan tertekan. Dan tentu saja dia tahu penyebabnya, yang
dia putuskan untuk tidak dibahas. Setidaknya untuk malam ini.
“Yah, karena kau bilang dia pria kaya dan dituduh selingkuh oleh kekasihnya, aku rasa
wanita itu punya maksud lain. Hanya beruntung karena mendapat alasan bagus untuk
membenarkan perbuatannya. Bahkan dengan alasan bagus pun seharusnya dia tidak
membunuh. Harta memang membutakan.”

“Hei, itu hanya film. Jangan menganggapnya serius. Hentikan insting detektifmu itu
selagi berada di rumah.”

Hye-Na mengangkat kedua kakinya ke atas sofa lalu meringkuk di dekat Kyuhyun,
merasa sedikit ringan setelah menyicipi anggur yang enak.

“Ngomong-ngomong, kau sudah membuat surat warisan? Sepertinya semua orang


kaya, baik muda ataupun tua, mau mati ataupun tidak, pasti memilikinya.”

“Itu untuk berjaga-jaga. Tidak ada yang tahu siapa yang bisa menyelinap ke rumahmu
lalu membunuhmu waktu tidur.”

“Cih, seperti ada saja yang bisa masuk ke dalam sini tanpa terpanggang sengatan listrik
yang kau pasang dimana-mana,” ejek Hye-Na.

“Rumah harus bisa membuatmu merasa aman, Na~ya. Dan uang bisa
memberikannya.”

“Yah, kalau begitu, setelah kau mati aku akan mendapatkan semua hartamu?”

Kyuhyun tersenyum, tampak senang melihat raut wajah terganggu yang diperlihatkan
gadis itu.

“Dikurangi dengan warisan untuk ibu dan nunaku, kau mendapatkan 80%-nya. Hanya
saja mengingat kita akan menambah satu anggota keluarga lagi, kau harus rela berbagi
lagi.”

“Berapa itu? 80% yang kau maksud?” tanya gadis itu curiga.

“Kenapa? Kau tertarik ingin membunuhku?” Pria itu balik bertanya, terlihat sangat
menikmati topik yang stau ini.

“Sebenarnya kau hanya perlu mewariskan Five States saja untukku,” ujar gadis itu
sambil tersenyum manis, yang malah terlihat sangat licik di mata Kyuhyun.

“Kematianku hanya seharga Five States? Kau bahkan tidak tahu sebanyak apa 80%
dari kekayaan pribadiku. Ya kan, Na~ya?”

“Yah, kau bisa memberitahuku kalau kau mau. Mungkin setelah itu aku akan berubah
pikiran.”
“Cari tahu saja sendiri. Istri macam apa sih kau sampai tidak tahu apapun tentang
kehidupan suamimu?”

“Aku? Aku istri yang berdedikasi pada wajahmu, tubuhmu, dan AutoChef-mu,” jawab
gadis itu dengan raut wajah yang sepenuhnya serius, yang bahkan tidak bisa
membohongi suaminya sedikitpun karena jelas, pria itu terlalu pintar untuk dibodohi
bahkan oleh istrinya sendiri.

“Jadi? Kau tidak punya rencana ingin membunuhku kalau begitu?”

“Aku tidak akan membunuhmu, PresDir, kecuali kalau kau selingkuh dan bermaksud
ingin keluar dari ikatan pernikahan kita.”

Kali ini mata Kyuhyun melebar mendengar pengakuan blak-blakan dari mulut gadis
itu.

“Kalau itu terjadi,” lanjut Hye-Na sambil menusukkan jari telunjuknya di dada pria
tersebut, “aku akan memastikan kau kehilangan satu anggota tubuhmu sebelum
mendapat persetujuan cerai dariku. Lalu satu anggota tubuh lagi setelah surat cerai itu
aku tanda tangani.”

“Dan kalau kau yang melakukannya,” potong Kyuhyun, memegangi pergelangan


tangan gadis itu, menyentakkannya menjauh. “Aku akan pastikan setiap pria yang
mendekatimu dikirim ke neraka,” tukasnya tajam, mengeluarkan aura membunuh yang
pekat. “Dengan tanganku sendiri.”

***

STA Building, Five States

08.26 AM

Kami memulai. Demonstrasi pertama.

Awal. Hapuskan dari awal kejadian.

09.00 AM.

Waktumu hanya tinggal 34 menit. Detak jam tidak pernah berhenti untuk
menunggu. Selamatkan sebanyak yang kau bisa.

-Scorso-
Apanya yang awal? Apanya yang hapuskan dari awal kejadian? Hye-Na berjalan
mondar-mandir di ruang kerjanya yang kosong. Jam kerja baru dimulai pukul 09.00
dan sebagiaan besar karyawan tentunya belum datang. Jadi dia hanya menghadapi
ancaman kedua ini sendirian. Dan lagipula, ancaman kali ini hanya dikirim ke email
pribadinya, yang berarti tantangan khusus dari kumpulan psikopat sakit jiwa itu.

“Awal,” gumam gadis itu. “Awal. Itu pasti berarti sesuatu. Petunjuk
tempat. Selamatkan selagi kau bisa. Tempat yang penuh orang. Sialan.”

Hye-Na mengacak-acak rambutnya frustrasi, mencoba berpikir jernih di tengah-tengah


kepanikannya.

“Awal. Awal.” Entah sudah berapa kali kata itu keluar dari mulutnya. Dan dia masih
saja mengulanginya terus-terusan.

“Penghancuran manusia kapitalis. Hapuskan dari awal kejadian. Hmm, berarti itu awal
perubahan Korea Selatan menjadi negara maju. Apanya? Hmm, ayo berpikir!
Berpikir.”

Apa yang membuat negara ini terkenal? Cho Corp. Android. Android. Benar.

“Sialan!” sentak Hye-Na saat menyadari jawabannya. Gadis itu dengan terhuyung-
huyung berlari cepat keluar ruangan, memasuki lift terdekat yang bisa dicapainya. Dia
memencet tombol menuju basement dan menunggu dengan tidak sabar selagi lift itu
bergerak turun. Tangannya menggapai communicator di saku celana dan menghubungi
Departemen Pengawas Keamanan, berharap setengah mati bahwa Kang-In-lah yang
akan menjawab teleponnya.

“Ya? Hye-Na~ya?”

Gadis itu menghembuskan nafas lega, mulai berlari lagi saat pintu lift berdentang
terbuka dan dengan terburu-buru memasuki lift bawah tanah yang menghubungkan tiap
bangunan di Five States.

“Siapkan Pasukan Khusus Penjinak Bom. Oh tidak tidak, tidak ada waktu. Siapkan
petugas dan agen manapun yang ada di kantor sekarang dan suruh mereka menuju
ACC. Beritahu Pengawas Keamanan disana untuk segera melakukan evakuasi dalam
waktu—” Gadis itu mendesah saat melihat jam tangannya. “Sepuluh menit.”

“Mereka… bergerak?” tanya Kang-In, dicengkeram rasa panik yang terdengar jelas
dari nada suaranya.

“Tidak ada waktu untuk bertanya. Kerjakan saja apa yang aku suruh. Temui aku di
depan gedung lima belas menit lagi.”
Hye-Na memutuskan sambungan, melesat keluar lift dan berlari secepat yang dia bisa.
Gadis itu menghantam alarm kebakaran pertama yang ditemukannya dengan tendangan
kaki, mengumpat saat semburan air dari bagian langit-langit menyemprot di speanjang
koridor, membuatnya basah kuyup.

Tidak ada satu karyawan pun yang ditemuinya di lantai dasar, jadi dia berlari menaiki
tangga menuju lantai satu, karena lift sudah pasti dinon-aktifkan secara otomatis setelah
alarm kebakaran berbunyi.

Berapa orang yang ada di kantor pada jam ini? Setidaknya jam kerja belum dimulai,
tapi mengingat fanatiknya orang-orang disini dengan pekerjaan mereka, bisa dipastikan
sebagian besar dari mereka sudah mulai bekerja.

“PENGUMUMAN. DIHARAPKAN BAGI SEMUA PEGAWAI AGAR SEGERA


MELAKUKAN EVAKUASI DAN KELUAR DARI GEDUNG DALAM WAKTU
SEPULUH MENIT. DIDETEKSI ADANYA KEBERADAAN BOM DI GEDUNG
INI YANG AKAN SEGERA AKTIF DAN MELEDAK PADA JAM 9.
DIULANGI….”

Hye-Na mendengar suara gaduh saat dia membuka pintu menuju lantai satu, mendapati
puluhan karyawan dan para tekhnisi berhamburan dari ruang kerja mereka menuju
pintu keluar gedung.

Gadis itu mengeluarkan lagi communicator-nya yang berbunyi nyaring, melirik


sebentar dan melihat nama Kang-In tertera di layar.

“Ada masalah. Beberapa orang tekhnisi bekerja di ruang kedap suara di lantai tiga
dan pengumuman tidak akan sampai kesana. Kami sudah mengirim regu penyelamat
dan akan sampai dalam waktu dua menit.”

“Sudah mengecek daftar hadir karyawan?”

“Ada 97 orang yang sudah mengaktifkan daftar hadirnya pagi ini dan hitungan
kamera pengawas menunjukkan 86 di antaranya sudah berada di luar. Kemungkinan
11 orang lagi berada di lantai tiga dan hanya ada tiga menit waktu yang tersisa dari
sepuluh menit yang kau sarankan.”

“Berarti delapan menit sebelum jam 9. Lift sudah dinon-aktifkan dan kalian terpaksa
menaiki tangga. Aku sudah berada di ACC dan aku akan sampai duluan.”

“Sialan Hye-Na~ya, keluar dari sana sekarang juga!” teriak Kang-In marah.

“Tenanglah. Belum waktunya,” ujar gadis itu, tanpa izin memutuskan sambungan lagi
dan berbalik menuju pintu ke arah tangga tempat dia datang tadi. Sudah berapa lama
sejak terakhir kali dia melatih staminanya? Yah, karena dia memang tidak pernah suka
berolahraga….

Gadis itu mengabaikan kakinya yang sudah berteriak kelelahan, berikut paru-parunya
yang terasa dicengkeram kuat karena kekurangan pasokan udara. Dia mencapai lantai
tiga dalam waktu kurang dari dua menit, menyusuri lorong panjang dengan puluhan
pintu di setiap sisinya. Hye-Na menendang setiap pintu yang dilewatinya sampai
terbuka, melongok ke dalam dan memberi instruksi cepat saat dia menemukan pegawai
di dalamnya. Beberapa pintu terkunci, membuatnya terpaksa mengeluarkan pistol dari
sarung senjatanya dan menembak, jalan satu-satunya yang bisa dia pikirkan untuk
bergerak cepat.

“Satu lagi,” gumamnya dengan nafas terengah-engah, menembak pintu terakhir yang
juga terkunci.

“Siapa kau?” teriak pria paruh baya yang kini tatapannya tertuju pada senjata Hye-Na.

Sepertinya jenis orang yang tidak suka bersosialisasi dan lebih memilih mengabdikan
hidup untuk para robot ciptaannya.

“Ada bom,” ucap Hye-Na lelah, mengulang kalimat yang sama untuk kesekian kalinya.
“Tinggal—” Gadis itu melirik jamnya dan langsung mencelos. “Dua menit lagi.
Brengsek. Anda bisa berlari, kan?”

Dua menit tidak akan cukup, batin gadis itu. Jika para psikopat itu tepat waktu, maka
habislah mereka.

“Jendela. Apa di dekat sini ada jendela?” tanya Hye-Na, mendelik memandang ruangan
yang hanya dikelilingi dinding-dinding itu. Darimana orang-orang ini mendapatkan
asupan oksigen?

“Ikut aku,” ucap pria itu, berjalan keluar ruangan tanpa sedikitpun terlihat panik. Tapi
ada kebencian yang jelas terlihat, membuat Hye-Na bisa memakluminya.

“Butuh satu setengah tahun untuk menciptakan android yang sedang kukerjakan tadi.
Aku pikir tidak ada yang bisa mengganggu tempat ini. Tapi lihat sekarang, apa yang
mereka inginkan?”

“Kenapa kau tidak membawanya saja? Androidmu,” ujar Hye-Na, berusaha


menghubungi Kang-In lagi.

“Biarkan saja. Android itu tahan ledakan. Tidak akan hancur. Seharusnya ACC mulai
memproduksinya secara massal bulan ini.”
“Baguslah—Kang-In ssi,” ucapnya langsung saat teleponnya tersambung, bertepatan
dengan saat mereka sampai di depan jendela besar yang menghadap bagian samping
gedung.

“Bomnya sudah aktif. Brengsek. Ada di setiap lantai. Berdaya ledak tinggi, sialan, itu
satu tingkat di bawah nuklir dengan daya ledak rendah. Aku tidak tahu darimana
mereka bisa mendapatkannya. Gedung bagian luar ACC dilindungi lapisan anti-ledak,
tapi tidak ada yang bisa menjamin dengan bom yang seperti itu. Dimana kau, hah?”

“Tidak ada waktu untuk berlari turun. Jendela besar lantai tiga. Aku berencana
memecahkannya dengan pistol lalu melompat dari—“

“Hye-Na, sial, kacanya anti peluru!”

“Berapa detik?” tanya pria di sampingnya, membuat Hye-Na menoleh dan menyadari
bahwa pria itu sudah mengeluarkan benda kecil seperti bor dari dalam sakunya.

“1 menit, 8 detik,” beritahunya.

“Beri aku 25 detik kalau begitu. Anti peluru? Anti ledak? Coba dengan serangan
langsung,” gumamnya sambil membenamkan alat itu ke kaca, menimbulkan bunyi
geraman halus dari mata bor yang bergerak menembus lapisan kaca yang tebal.

Hye-Na bersandar ke dinding, dengan tegang memperhatikan jarum jam yang berdetik
pelan seperti lonceng kematian.

Kyuhyun pasti akan membunuhnya kalau dia berhasil selamat dari sini. Dia membuat
pria itu kesal. Lagi. Walaupun dia tidak melakukannya dengan sengaja. Ini
pekerjaannya. Dan dia memberikan dedikasi penuh terhadapnya.

“Siapa namamu?” tanya pria itu tiba-tiba, sudah membentuk setengah pola persegi
besar di kaca.

“Cho Hye-Na.”

“Ah, jadi kau istri PresDir? Senang mendengar bahwa gosip yang beredar benar.”

“Gosip apa?”

“Bahwa kau memiliki ketertarikan kuat terhadap maut.”

“Yah, yang satu itu memang suka sekali mengejarku kemana-mana.”

“Suamimu pasti akan marah sekali.”

“Tentu saja. Mungkin dia akan mencekikku kalau aku sampai di rumah nanti.”
“Tidak perlu menunggu sampai rumah. Dia sudah menunggumu di bawah. Suamimu
benar-benar terlihat menakutkan.”

Hye-Na menempelkan wajahnya ke kaca lalu tanpa bisa ditahan bergidik ngeri.

“Oh, astaga,” desisnya. Kehadiran pria itu terlihat lebih menakutkan daripada
kenyataan bahwa dalam hitungan detik bisa saja bom meledak dan melenyapkan
nyawanya.

“Sudah selesai. Cukup besar, kan? Melompatlah duluan.”

“Anda saja. Menunda beberapa detik bertemu dengannya tidak masalah.”

Pria itu tidak berkomentar dan langsung melompat. Berdebat hanya akan
menghabiskan waktu dan itu bukan sesuatu yang pantas dilakukan saat ini.

Hye-Na mendesah, melongok ke bawah dan mendapati bahwa tanah cukup jauh dari
bayangannya semula. Ketinggian. Dia sangat membenci ketinggian. Yah, tapi patah
kaki lebih baik daripada mati.

Gadis itu memejamkan mata dan mendorong tubuhnya maju, mengikuti gravitasi bumi
yang akan menjatuhkannya ke tanah. Dia melayang di udara selama beberapa saat dan
baru membuka mata saat menyadari ada seseorang yang menyambut tubuhnya dengan
tepat.

Dia diturunkan ke tanah dan kemudian sudah ditarik menjauh dari gedung seiring
dengan hitungan mundur yang diteriakkan oleh salah seorang penjinak bom.

“4… 3… 2… 1….”

Tubuhnya didorong sampai menelungkup ke tanah, diikuti getaran keras seperti gempa
berkekuatan besar yang menghantam kemudian.

“Kehilangan lantai 17 dan 18, retakan-retakan besar….”

Dia hanya mendengar sejauh itu, karena kemudian kerah kemejanya sudah
dicengkeram dan dia ditarik berdiri dengan paksa. Wajah murka Kyuhyun-lah yang
ditatapnya kemudian.

“Sebegitu inginnya mati, hah?” tanya pria itu dengan suara terkendali, tanpa teriakan
yang biasanya dia perdengarkan. Tapi kali ini kilat di mata pria itu lebih berbahaya dan
cengkeraman tangan pria itu di kerah kemejanya membuatnya sesak sampai susah
bernafas.
“Aku bisa menawarkan diri untuk membunuhmu kalau kau mau. Untuk seorang wanita
yang berpikir nyawanya dan nyawa anaknya tidak lebih berharga dari nyawa orang
lain, aku bisa membunuhmu karena itu.”

Tubuhnya dihantamkan ke badan sebuah mobil yang terparkir serampangan di taman


depan gedung. Dia menyadari ada ratusan orang di sekeliling mereka, menonton
mereka, tapi jelas pria di depannya ini sama sekali tidak peduli.

“Apa yang ada di pikiranmu hanya ada cara untuk menyelamatkan orang? Pernah
memikirkan aku sekali saja saat melakukannya? Pernah berpikir kalau kau mati di
dalam sana apa yang akan aku lakukan? PERSETAN DENGAN NYAWA ORANG
LAIN. AKU SUDAH BILANG KAULAH YANG HARUS HIDUP. BERAPA KALI
LAGI AKU HARUS MEMBERITAHUMU, HAH? Aku bisa membunuh orang lain
untukmu, sialan, dan kau malah mempertaruhkan nyawamu untuk menyelamatkan
orang?”

“Apa yang harus aku lakukan? Mengurungmu di rumah? Mengambil lencana agenmu
lagi? Memecatmu?”

“Kyu,” bisik gadis itu pelan, mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya dan
memfokuskan diri hanya kepada pria di depannya saja.

Tangannya terulur, bermaksud mengusap pipi pria itu, tapi pria itu malah
menyentakkan tangannya menjauh, mendadak memberi benteng pemisah.

“Kau tahu seberapa cemasnya aku saat mereka bilang kau ada di dalam? Dua menit
sebelum bom meledak? Kau tahu rasanya? Apa aku harus berada di posisi yang sama
dulu agar kau tahu bagaimana rasanya cemas setengah mati? Hmm?” tanya pria itu,
menggelengkan kepala lemah dan nyaris membuat Hye-Na mati berdiri saat setetes air
jatuh dari matanya yang masih menatap gadis itu tajam.

“Apa aku harus berada dalam kondisi sekarat dulu baru kau bisa mengerti perasaanku?
Apa terlalu sulit menuruti satu saja permintaan sederhanaku agar kau tetap hidup
selama yang bisa kau usahakan? Apa kau bahkan tidak mencintai anakmu sehingga
tidak berpikir untuk membiarkannya melihat dunia dulu sebelum kau memutuskan
untuk mati?”

Perlahan cengkeramannya di kerah kemeja Hye-Na mengendur, lalu terlepas sama


sekali.

“Kau tidak akan mendapatkan maafku untuk kesalahanmu yang satu ini, Na~ya,” ujar
pria itu dengan rahang yang mengetat, jelas masih berusaha mengendalikan amarahnya.

Pria itu melangkah mundur, lai-lagi mengambil jarak. “Rumah sakit,” ucapnya tegas.
Dan kali ini gadis itu sama sekali tidak menyuarakan penolakan.

***

Central Hosspital

09.56 AM

“Aku tidak menyalahkannya bersikap seperti itu. Hanya saja Demi Tuhan… astaga, Ya
Tuhan, bagaimana bisa ada pria seperti itu di dunia? Dia menangis, kan? Tadi dia
menangis, kan? Cho Kyuhyun yang itu… menangis, kan? Dan itu karena kau! Di
depan ratusan karyawannya dia menangis hanya karena istrinya yang bodoh
membahayakan nyawanya sendiri demi orang lain. Dia melupakan posisinya, imejnya,
hanya karena kau! Aku heran kenapa kau tidak berhenti bekerja saja dan menuruti
setiap ucapannya. Aish, aku ingin sekali mencekikmu!” gerutu Eun-Ji kesal,
menyelesaikan tugasnya melipat baju rawat yang sempat Hye-Na kenakan untuk
melakukan pemeriksaan menyeluruh. “Dan pastikan malam ini kau tidak memakai
gaun berpunggung terbuka. Lebamnya baru akan hilang besok.”

Hye-Na mendesah. Dia memang memberitahu Eun-Ji bahwa malam ini dia dan
Kyuhyun memiliki janji makan malam dengan Presiden yang baru dilantik minggu
kemarin. Dan sialnya, hubungan mereka sedang memburuk. Akan lebih buruk lagi
kalau dia tidak segera membuang gengsi dan meminta maaf, yang pasti akan dia
lakukan sesampainya di rumah nanti.

“Sudahlah. Kau kan memang salah,” ujar Eun-Ji seolah sedang membaca pikirannya.
“Dia juga tidak akan tahan marah padamu terlalu lama.”

“Ini sudah kali ketiga. Apa dia masih mau memaafkanku?”

“Yah, kau lakukan saja yang keempat kalinya dan aku harap dia segera
menceraikanmu!”

***

Sialnya, dia sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk meminta maaf. Pria itu
tidak menungguinya di rumah sakit sehingga Eun-Ji harus mengantarnya pulang dan
sesampainya di rumah, pria itu juga belum pulang. Bahkan malamnya, Joong-Ki-lah
yang menjemputnya, memberitahu bahwa Kyuhyun akan menemuinya di Gedung
Biru. Joong-Ki juga berkata tidak tahu apa-apa tentang kelakuan Kyuhyun yang aneh
kali ini. Sepertinya dia benar-benar sudah membuat pria itu murka.

Yah, setidaknya dia mendapatkan informasi bahwa Kyuhyun juga mendapatkan email
ancaman yang sama, langsung menuju link pribadinya, yang menunjukkan bahwa
lawan mereka kali ini memiliki kemampuan hacking yang sama handalnya dengan pria
tersebut. Lalu, mengingat Kyuhyun memiliki kepintaran melebihi dirinya, tidak heran
jika pria itu bisa sampai tepat waktu di lokasi kejadian.

Gadis itu menatap gedung di hadapannya saat mobil berhenti di depan pintu masuk,
berharap bahwa pria itu tidak dengan gila merencanakan untuk tidak pulang ke rumah
seusai makan malam nanti.

***

Kyuhyun’s Home, Yeoju

10.05 PM

Untuk pertama kalinya dia tidak menyukai kehadiran Joong-Ki. Entah itu sudah bagian
dari rencana Kyuhyun, tapi asisten pribadinya itu menyupiri mereka sampai ke rumah
dan kemudian berdiskusi masalah pekerjaan dengan Kyuhyun sehingga Hye-Na
dengan dongkol meninggalkan mereka lalu masuk ke ruang ganti pakaian sambil
mengumpat-umpat kesal.

Baik, mungkin dia harus bersabar sampai Joong-Ki pulang. Kyuhyun tidak mungkin
menghindarinya setelah itu, kan?

Gadis itu menyentak gaunnya, menurunkannya melewati pinggang lalu


membiarkannya terjatuh dan teronggok di sekeliling kakinya, sebelum menendangnya
lepas untuk menyalurkan amarah. Dia kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa
panjang tanpa sandaran di tengah ruangan, menekuk muka dan menginjak-injak gaun
itu lagi, tidak memedulikan bahwa dia duduk dalam keadaan separuh telanjang, hanya
mengenakan dua carik pakaian minim untuk menutupi organ tubuh intim.

“Kalau aku bisa menginjak-injakmu—”

Ucapan biadabnya itu terhenti karena pintu terbuka dan Kyuhyun berjalan masuk, tapi
langsung menghentikan langkahnya di detik pertama dia menyadari kehadiran gadis itu
disana.

“Oh, maaf,” ucap Kyuhyun, untuk pertama kalinya terlihat canggung di hadapannya.
“Aku pikir kau sudah masuk kamar. Lanjutkan saja apapun yang sedang kau lakukan
sebelum aku datang,” sambung pria itu, bermaksud berbalik pergi. Tapi Hye-Na lebih
cepat. Gadis itu melemparkan gaunnya ke arah punggung pria tersebut, membuat pria
itu berbalik dan menatapnya dengan ekspresi wajah tak terbaca.

“Maaf kau bilang?” sembur gadis itu marah. “Baik, aku tahu aku yang salah disini, tapi
haruskah kau bersikap kekanak-kanakan seperti itu? Aku berusaha seharian ini
mencoba meminta maaf padamu tapi kau menghindariku terus-menerus, lalu sekarang
kau meminta maaf hanya karena aku ada disini saat kau ingin berganti pakaian? Peran
apa yang sedang kau mainkan? Suami yang sedang merajuk?”

“Oke, persetan,” lanjut Hye-Na saat melihat pria itu tidak mengeluarkan tanda-tanda
ingin mengeluarkan tanggapan. “Aku minta maaf, oke? Aku tidak akan memberikan
alasan bahwa itu adalah pekerjaanku, bahwa aku memiliki rasa kemanusiaan yang
tinggi. Tapi aku akan memberitahumu, sekarang,” ucapnya sambil melangkah
mendekat. “Aku memikirkanmu saat berada di dalam sana. Menghitung setiap detik
yang berkurang sambil berpikir bahwa kau pasti akan membunuhku kali ini kalau aku
berhasil selamat dari sana. Tapi aku tahu bahwa aku akan selamat! Dan aku memang
selamat dan sekarang aku meminta maaf padamu. Aku sudah bilang aku tidak akan
memberi alasan, jadi aku sepenuhnya minta maaf karena aku sudah membuatmu cemas
setengah mati. Kau tidak pernah menghindariku sampai seperti ini sebelumnya. Bahkan
tidak saat… saat aku kecelakaan dulu. Kau sedang balas dendam? Berusaha
membuatku cemas? KYU!” jerit Hye-Na frustrasi saat pria itu hanya menatapnya saja,
bergeming dalam kediamannya.

“Aku mencintaimu, sialan!” ucapnya tidak terkendali sambil menusukkan telunjuknya


ke dada pria itu. “Aku bisa melakukan apapun yang kau minta. Tidak boleh
membahayakan keselamatanku lagi demi menyelamatkan orang lain? Baik. Kau ingin
aku berhenti bekerja? Akan aku lakukan. Demi Tuhan, tidak bisakah kau berbicara dan
meresponku?”

Pria itu akhirnya bergerak, hanya untuk memegangi sikunya dan menjauhkan
tangannya dari tubuh pria itu. Lalu saat Hye-Na mulai tidak sabar untuk memaki-maki
lagi, pria itu akhirnya membuka mulut dan mulai berbicara.

“Seharian ini aku berusaha melacak asal email-email itu dan membentur banyak
dinding pelapis yang selalu berusaha mengalihkan pelacakanku menuju ID lain. Pada
akhirnya aku tetap tidak mendapatkan apa-apa. Mereka sangat pintar, harus aku akui.
Setelah itu aku kembali ke Five States, memeriksa kehancuran yang ditimbulkan,
menyelidiki lagi asal elemen-elemen yang digunakan untuk merakit bom dan
mendapatkan beberapa kemungkinan.”

“Aku minta maaf hanya karena aku ingin kau segera berpakaian dan kita bisa bicara
setelah itu. Berpenampilan seperti ini hanya membuat konsentrasiku pecah, oke?”

Hye-Na melirik cermin dan akhirnya menyadari bahwa dia mengamuk dalam keadaan
setengah telanjang, membuat darah mengalir deras ke wajahnya yang memerah dengan
begitu cepat.

“Oh. Oke. Aku terlihat seperti pelacur.”


Kyuhyun menghela nafas, lalu tersenyum tipis dan menggeleng. Tangannya akhirnya
terulur, mengusap pipi gadis itu dengan ujung ibu jari.

“Tidak. Lebih persis seperti bayanganku tentang sosok succubus, sebenarnya.”

“Succubus? Setan wanita penggoda yang menghisap nyawa laki-laki dengan


melakukan hubungan seks agar bisa mendapatkan kecantikan abadi itu?”

“Cukup mendekati. Yang satu itu pelacur kelas tinggi yang bisa membahagiakan pria
manapun sebelum kematian mereka tiba.”

“Aku pikir mereka membawa cambuk.”

“Yah… Na~ya, aku sudah cukup puas dengan ini saja sebenarnya,” desah pria itu
sambil menundukkan tubuh, menyentuh kulit telanjang di bagian bahu gadis itu dengan
bibirnya. “Sepertinya aku memaafkanmu dengan terlalu mudah,” gumamnya,
menegakkan tubuh lagi, lalu menatap gadis itu sambil mengernyit.

“Kalau begitu jika lain kali kau marah padaku aku tinggal berdiri telanjang saja di
hadapanmu agar kau memaafkanku.”

“Masih ada lain kali?” sergah pria itu cepat dengan mata yang kembali berkilat
mengerikan.

“Hei hei, alasan kau marah padaku kan bukan itu saja. Sepertinya aku cukup sering
membuatmu mengidap darah tinggi.”

“Sejak menikah denganmu emosiku memang tidak pernah bisa terkontrol dengan
baik,” gumam Kyuhyun, menangkup kedua sisi wajah gadis itu lalu mencium
keningnya, membiarkan bibirnya beristirahat disana selama beberapa saat.

“Apa itu buruk?”

“Orang bilang aku jadi terlihat lebih… hmm… manusiawi.”

“Oh, ya? Aku pikir temperamenmu saja yang memang mudah meledak-ledak.”

Kyuhyun melangkah maju, mendorong tubuh Hye-Na dalam langkah pelan sampai
tersandar di pintu lemari.

“Yah, sepertinya lebih sering tersulut karena kelakuanmu.”

“Ngomong-ngomong kelakuan, kau sepertinya bersikap terlalu ramah pada anak


perempuan Presiden saat makan malam tadi. Kau tersenyum padanya!” tuntut Hye-Na,
mendadak terlihat gusar. Sebaliknya, Kyuhyun malah tertawa senang mendengar
ucapan gadis itu.
“Sayang, aku suka sekali kalau kau mulai bersikap protektif padaku.”

“Apa yang menarik darinya? Karena dia cantik? Tubuh S-Line-nya sempurna? Tinggi?
Lulusan Oxford? Dan berhenti memanggilku dengan panggilan menjijikkan seperti
itu!”

“Aku masih tergila-gila dengan tubuhmu,” sahut pria itu kalem.

“Yeah, tunggu sampai aku meledak sebesar balon, kemudian kau mulai mencari wanita
lain.”

“Menurutku wanita hamil selalu terlihat cantik.”

“Wanita hamil mana yang pernah kau lihat?”

Kyuhyun terkekeh, terlihat sangat geli dengan sifat Hye-Na yang kadang tidak diduga-
duga.

“Memangnya apa yang akan kau lakukan kalau aku selingkuh?”

“Aku sudah bilang, aku akan membuatmu cacat permanen sebelum kau berhasil
menceraikanku. Jadi tidak akan ada wanita manapun yang mau denganmu!”

“Ada saja. Aku kan kaya.”

“Aku akan menuntut harta gono-gini dalam jumlah besar!”

“Sebesar apa? Kau bahkan tidak tahu seberapa besar kekayaanku.”

“Yah, sepertinya aku harus mulai mencari tahu.”

Tangan Kyuhyun diam-diam bergerak ke belakang, mengelus punggung gadis itu dan
mendapatkan apa yang dia inginkan disana.

“Hmm,” gumamnya, menikmati suara nafas Hye-Na yang tersentak saat dia mulai
melancarkan serangan pertama di dada gadis tersebut. “Kau memang harus
memeriksanya. Dan mungkin setelah itu kau akan berpikir ulang sebelum
menceraikanku.”

***

STA Building, Five States

08.10 AM
Hye-Na memutar-mutar kursi yang dia duduki, melirik jam dan menyadari bahwa dia
terlalu cepat sampai ke kantor dari jadwal yang sudah mereka tentukan. Pagi ini mereka
memang mengadakan rapat untuk membicarakan masalah para psikopat tukang bom
itu dan berharap bisa memecahkan pertanyaan bagaimana caranya bom-bom itu
dipasang di gedung dengan pengamanan terbaik di dunia ini. Ada begitu banyak
pemeriksaan yang harus dilewati sebelum bisa memasuki gedung-gedung Five States,
tidak terkecuali bagi para karyawan. Jadi jika sesuatu seburuk ini bisa terjadi, berarti
ada penyusup di dalam Departemen Keamanan Gedung itu sendiri. Dan Kang-In cukup
murka sehingga menjanjikan bahwa dia akan menyiksa setiap pegawai dalam
departemennya dengan sesi tanya jawab mengerikan dan tidak akan melepaskan
mereka sebelum mereka membuka mulut dan mengatakan yang sebenarnya.

Gadis itu mulai merasa bosan sehingga dia dengan iseng menghidupkan komputer saat
teringat bahwa ada sesuatu yang ingin diketahuinya.

“Data semua jenis kekayaan Cho Kyuhyun. Tanpa terkecuali,” perintahnya dan
menunggu selagi komputer tersebut berdengung melakukan tugasnya. Butuh satu menit
penuh sampai sederet tulisan muncul di layar besar yang ditempelkan ke dinding ruang
rapat. Malas membaca, Hye-Na menyuruh komputer tersebut melakukan hal itu
untuknya.

“Cho Kyuhyun, Presiden Direktur dan pemegang saham utama Cho Corporation. Ada
tujuh rekening yang dibuka di Korea atas namanya, masing-masing berkisar antara 5-
10 milyar dolar. Enam rekening yang tersebar di bank-bank Swiss tidak bisa dilacak
karena berada dalam kerahasiaan yang dijaga ketat. Perlu Surat Perintah
Penggeledahan Resmi untuk mendapatkan rinciannya. Jika Anda memiliki surat
tersebut—”

“Tidak ada. Lanjutkan yang berikutnya. 5-10 milyar,” desis gadis itu. “Tujuh bank.”

“Ada 1.647.143 bangunan yang tersebar di sleuruh dunia beraada di bawah nama
Cho Kyuhyun. 438.041 perusahaan, mall, dan hotel yang berhasil diakuisisi Cho
Corporation. 231.117 bangunan yang dialih-namakan dalam 4 bulan terakhir ke
bawah nama istrinya, Cho Hye-Na, berikut 20% saham Cho Corporation terhitung
sejak satu bulan yang lalu.”

“APA APA APA?” teriak gadis itu syok. “Data semua nama bangunannya! Apapun
yang berada di bawah nama Cho Hye-Na. Brengsek!”

“Perintah dikerjakan.”

“Woa, itu kekayaan yang kau miliki setelah menikah dengan Kyuhyun? DAEBAK!
Kau bisa memberiku satu dari bangunan-bangunan itu,” seru Eun-Ji yang baru
memasuki ruangan bersama anggota tim lainnya. Semua mata orang-orang itu tertuju
ke layar, diiringi decakan kagum dan tidak percaya.

“Ya Tuhan, sejak kapan aku memiliki New Caledonia?” jerit Hye-Na frustrasi, semakin
membatu saat tulisan-tulisan di layar silih berganti memperlihatkan daftar semua hal
yang dia miliki dalam 5 bulan terakhir terhitung sejak pernikahannya dengan pria itu.

“Kau bahkan punya hotel di Mars,” desah Soo-Hyun dengan mulut ternganga lebar.
“Itu proyek baru yang sedang dikerjakan Kyuhyun, kan?”

“Lanjutkan daftar kekayaan Kyuhyun,” seru Eun-Ji, tampak amat sangat tertarik.

“156.071 pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh dunia dibeli atas nama Cho
Kyuhyun, berikut setengah bagian Australia, Kepulauan Maladewa, dan sebagian
besar perkilangan minyak di daerah Timur Tengah. Dalam hitungan kasar, kekayaan
dalam bentuk uang yang dia miliki berjumlah sekitar 197 trilyun dolar—”

“Hei, berapa jumlahnya jika dihitung dalam won?” tanya Leeteuk, mendadak terdengar
begitu bodoh saking kagetnya.

“Jumlah keseluruhan properti sejauh ini dikalkulasikan dalam bentuk tidak terhingga,
termasuk rumah, villa dan transportasi, yang disinyalir terdapat di seluruh penjuru
dunia. Terdata, secara resmi, di kediaman pribadinya, terdapat sekitar 15 mobil sport
keluaran terbaru, 2 limusin, 2 amphibithrope, 3 motor balap, 1 helikopter dan 2
pesawat jet pribadi. Pendapatan bersih yang diterima per tahunnya sejumlah 500
milyar dolar.”

“Aku benar-benar akan membunuhnya!” desis Hye-Na sambil


mengeluarkan communicator-nya dan menghubungi nomor pribadi Kyuhyun.

“Na~ya,” sapa pria itu dua detik kemudian, sedikit mengangguk saat melihat
keberadaan pegawai lain di belakang istrinya itu.

“1.647.143!” sembur Hye-Na langsung, tanpa memedulikan sopan-santun.

“Nah, angka apa yang baru saja kau sebutkan itu?” tanya pria itu terlihat bingung.

“Bangunan yang kau miliki, sialan! Dan bagaimana bisa aku juga punya 231.117
bangunan? Aku bahkan tidak tahu bahwa aku memiliki New Caledonia! KAU
SUDAH GILA, HAH?”

“Sebanyak itu? Aku bahkan tidak pernah menghitung,” sahut Kyuhyun kalem,
membuat Hye-Na ingin sekali berada disana untuk mencabik-cabik wajah tampan itu.

“Dan hotel di Mars—”


“Ah, itu? Aku pikir itu bisa menjadi kejutan untukmu. Mungkin setelah kau melahirkan
kita bisa… berkunjung kesana.”

“Aku tidak menginginkan hartamu, bodoh!”

“Aku tahu. Hanya saja kalau-kalau kau lupa, setelah menikah berarti apapun yang aku
miliki menjadi milikmu juga.”

“Tapi sebanyak itu—”

“Na~ya, dengar, sejauh ini aku tidak memberitahumu apa-apa saja yang telah aku
alihkan atas namamu, kan? Kau yang mencarinya sendiri. Aku tahu kau tidak suka
makanya aku tidak memberitahumu. Itu bukan sepenuhnya salahku, kau tahu?”

“Ya Tuhan, Ya Tuhan, aku membencimu! Kau dan seluruh properti brengsekmu itu!”

“Dan aku mencintaimu,” balas Kyuhyun tenang, tidak terpengaruh sedikitpun. Dia
bahkan tertawa geli sat melihat Eun-Ji yang melongo dengan mulut terbuka lebar di
belakang istrinya.

“Email!” seru Siwon tiba-tiba, memecah keheningan, saat link pribadi Hye-Na berkedip
dan mengeluarkan bunyi bip.

“Periksa. Sepertinya aku juga menerimanya,” ujar Kyuhyun sambil meraih link-nya
sendiri.

Luar biasa. Kegesitan kalian. Cho Kyuhyun. Dan istrinya yang cantik.

Sempat berpikir bagaimana kalau kami memilih untuk mempercepat ledakan?


Tentu saja kita akan kehilangan agen Cho Hye-Na yang sangat pintar. Dan kami
juga akan kehilangan lawan kami yang seimbang.

Melihat manisnya hubungan kalian dan mengingat bagaimana dendam ini juga
terasa sangat pribadi—hanya kepada satu manusia kapitalis yang ingin segera kami
enyahkan dari muka bumi—kami berpikir untuk melenyapkan, di tempat-tempat
yang juga terasa sangat pribadi.

Pernikahan. Kalian menikmatinya?

-Scorso-

“Tempat-tempat yang terasa sangat pribadi? Dan aneh, kali ini tidak ada keterangan
waktu,” komentar Soo-Hyun.

“Tidak. Ada. Perhatikan kalimat terakhir,” sergah Kyuhyun, melirik jam lalu tanpa
permisi segera mematikan transmisi, membuat Hye-Na mengumpat kesal. Tapi gadis
itu segera menguasai diri dan membaca ulang kalimat terakhir yang tertera dalam
email.

“Pernikahan. Kalian menikmatinya?” Bola mata gadis itu membulat saat dia
menyadari maksudnya. “Jam? Jam berapa sekarang?”

“08.22,” sahut Leeteuk.

“Aku mengerti. Polytelí̱ s Hotel, tempat kalian menikah. Ya, kan?” ujar Siwon. “Jam
berapa pernikahan kalian waktu itu?”

“Sembilan,” seru Eun-Ji ngeri.

“Mereka sudah gila, hah? Hotel itu tempat umum. Bayangkan berapa orang yang
menginap disana? Itu hotel bintang lima terbaik di Seoul.”

“Jika mereka masih memakai bom yang sama,” desis Hye-Na. “Hotel itu tersambung
dengan sebuah mall di sampingnya.”

“Aku rasa hotel itu dibangun seperti gedung-gedung Five States. Anti-ledak,” beritahu
Siwon.

“Tidak dengan mall-nya,” sambung Eun-Ji.

“Sial.”

***

Polytelí̱ s Hotel, Seoul

08.47 AM

“Mana Kyuhyun?” desak Hye-Na sambil memegangi bagian depan jas Joong-Ki yang
berdiri di depan pintu masuk hotel. Lobi penuh dengan orang-orang yang berteriak
panik, berusaha secepatnya menjauh dari gedung. Tapi ada begitu banyak orang, yang
saling dorong untuk menyelamatkan diri masing-masing dan membuat keadaan
menjadi semakin kacau-balau.

“Hotel ini dilengkapi jalur pemeriksaan yang ketat dan sepertinya saat dibawa masuk
bom-bom itu belum diaktifkan, karena itu bisa lolos dari penjagaan. Ada satu bom di
tiap lantai dan semua petugas penjinak bom sudah mulai bekerja sejak sepuluh menit
yang lalu.”

“BRENGSEK, AKU BERTANYA PADAMU DIMANA SUAMIKU!”

“PresDir bilang kau tidak boleh masuk.”


“INI KASUSKU!”

“Ini masalah keselamatanmu.”

“Lalu bagaimana dengan keselamatan dia sendiri? Dia melarangku membahayakan


nyawa demi orang lain tapi dia sendiri malah melakukannya! Beritahu aku lantai
berapa!”

“Semua karyawan disini bekerja untuknya, Hye-Na ssi. Mereka tanggung jawabnya.
Orang-orang yang mnginap disini, orang-orang yang berbelanja di mall sebelah,
semuanya berada di bawah bangunan miliknya. Kau harus mengerti betapa pentingnya
ini baginya.”

“Aku tidak peduli dia mencemaskan siapa! Kalau dia mencemaskan mereka, biarkan
aku yang mencemaskan pria brengsek itu. Beritahu aku lantai mana!”

Joong-Ki menghela nafas gusar. “Sembilan,” ucapnya kemudian. “Liftnya masih


bekerja.”

***

“Yah, aku sudah tahu kau akan tetap memaksa masuk. Benar-benar tidak sayang
nyawa sendiri,” dengus Kyuhyun saat mendengar langkah kaki di belakangnya.

Pria itu sedang berjongkok di depan altar. Ruangan ini memang dimaksudkan sebagai
tempat melangsungkan acara pernikahan. Masih terlihat sama dengan lima bulan lalu,
hanya saja dengan desain yang berbeda. Pernikahan mereka saat itu eksklusif, dan
hanya mereka saja yang boleh memakai desain itu, sehingga pihak hotel diperintahkan
untuk segera mengganti desain ruangan setelah pernikahan selesai.

“Kalian semua sudah menemukan bomnya?” tanya pria itu ke arah headset kecil yang
terpasang di telinganya, mengabaikan keberadaan Hye-Na.

Jawaban ya serempak diucapkan oleh semua petugas yang sudah berada di masing-
masing lantai.

“Temukan chip pengendali jarak jauhnya dulu. Aku rasa chip itu terhubung dengan
kabel tipis di bawah kotak pengatur waktu. Potong kabelnya tepat di bagian yang
terhubung dengan chip untuk menon-aktifkannya. Setelah itu kita punya waktu lima
menit untuk menjinakkan bomnya. Hati-hati,” perintah pria itu sebelum
menanggalkan headset dari telinganya dan mulai berkonsentrasi menghadapi kotak
berisi bom dengan peralatan lengkap di sampingnya.

Hye-Na hanya diam, memerhatikan betapa terampilnya pria itu bekerja. Gerakan mulus
obeng tipisnya saat memisahkan alat pengendali waktu dari badan bom,
berikut chip kecil yang menempel di baliknya. Dia kemudian melihat bagaimana pria
itu menatap kagum susunan badan bom yang mulai dikerjakannya.

“Aku benar. Mereka memang sangat pintar. Ngomong-ngomong, kalau aku salah
memutus kabel, sedikit saja, kita berdua bisa saja meledak disini.”

“Kau tidak mencemaskan keteledoran petugas lain?”

“Mereka ahli dalam bidang ini. Aku hanya orang sipil. Aku mengerti sebagian besar,
tapi bukan berarti aku mahir. Yang satu ini cukup rumit.”

“Tapi sepertinya kau bersenang-senang.”

“Seharusnya. Kalau saja kau tidak ada disini.”

Hye-Na mencibir. “Mati berdua itu lebih romantis, kau tahu?”

“Kalau itu definisi romantis menurutmu.”

“Hmm, seharusnya aku memintamu menyediakan satu tempat di samping makammu.


Kau pasti sudah punya, kan?”

“Tentu saja. Tapi tenanglah, tanpa perlu kau minta aku sudah menyediakannya.”

“Hadiah yang seperti itu bisa aku terima.”

Kyuhyun mendongak dari kegiatannya lalu menyipitkan mata dengan ekspresi tidak
habis pikir.

“Dasar aneh. Kau malah senang aku belikan tempat pemakaman dan malah
memarahiku saat aku membelikanmu sebuah pulau?”

Hye-Na tersenyum dan mengitarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.

“Kalau bomnya meledak dan kita mati disini, rasanya kebetulan sekali, kan?
Mengawalinya disini. Dan mengakhirinya disini juga. Di jam yang sama.”

Kyuhyun menggunting kabel kecil berwarna merah dengan tang di tangannya, lalu
mulai memeriksa gumpalan rumit kabel lainnya. Waktunya semakin menipis, tapi dia
malah semakin semangat untuk segera mengakhirinya.

“Kita memang mengawalinya disini,” ucap pria itu. “Tapi aku jamin kita tidak akan
mengakhirinya disini juga. Aku sudah bilang kan kalau aku tidak suka melihatmu mati?
Apalagi akibat kecerobohanku.”
Hye-Na menjatuhkan tubuhnya ke samping Kyuhyun, lalu kembali mengamati gerakan
tangan pria itu lagi. Tangan kesukaannya. Jari-jari favoritnya.

“Kalau-kalau prediksimu meleset, aku masih ingin tahu kenapa kemarin malam kau
tertawa saat sedang berbicara pada gadis itu.”

Kyuhyun melirik, kemudian menyeringai lebar.

“Dia hanya memberitahuku kalau kau menatapnya seolah kau mau menjambak
rambutnya dan memulai pertengkaran antar wanita hanya karena dia berbicara
denganku.”

“Yang benar saja! Aku tidak seperti itu!” sergah Hye-Na dengan wajah
memerah. Sialan, sebenarnya dia memang seperti itu.

“Hmm. Terserah kau saja. Tapi aku lebih ingin memercayai ucapannya.”

Hye-Na mendelik, menekuk kedua kakinya dan meletakkan dagunya ke atas lutut,
seperti anak kecil yang sedang menunggui ayahnya bekerja.

“Hei, setelah melihat tumpukan kekayaanmu yang memuakkan itu, kalau aku yang
mati duluan bagaimana? Aku bahkan tidak punya apa-apa untuk diwariskan
kepadamu.”

Kyuhyun menghitung dalam hati saat dia memotong kabel terakhir, menunggu
beberapa detik setelahnya, mengantisipasi jika saja ada sesuatu yang akan terjadi.
Ledakan tiba-tiba, kesalahan kecil yang mungkin tidak disadarinya….

“Kalau kau mati duluan,” jawabnya, merasa puas terhadap diri sendiri. “Kau tidak perlu
meninggalkan apa-apa. Karena aku bisa menyusulmu setelahnya.”

“Apa?” tanya Hye-Na syok.

“Aku tidak suka mengulang ucapanku, Na~ya,” tolak pria itu, bangkit berdiri dan
mengulurkan tangannya. “Kajja.”

“Kau sudah selesai?”

“Mmm hmm.”

Gadis itu membiarkan Kyuhyun menariknya berdiri kemudian berbalik menghadap


altar. Pria itu berdiri disana. Di sampingnya. Seperti lima bulan yang lalu. Kali ini
dengan suasana dan perasaan yang jauh berbeda.

“Ngomong-ngomong, karena kau menanyakannya, apa yang akan kau lakukan kalau
aku yang mati duluan?”
“Apa yang kau ingin aku lakukan?” tanya Hye-Na balik.

“Hidup dengan baik. Nikmati limpahan uang yang aku tinggalkan untukmu. Merawat
anak kita. Hanya saja aku tidak berharap kau berencana untuk menikah lagi.”

“Sepertinya bayanganku jauh lebih baik,” sahut Hye-Na, mendongak agar bisa menatap
wajah pria itu. “Kalau kau mati dibunuh, aku akan mencari pelakunya lalu
membunuhnya dengan tanganku sendiri.”

“Lalu?” tanya Kyuhyun tampak tertarik.

“Lalu, bodoh,” ucap gadis itu, menarik kerah kemeja pria itu sampai pria tersebut
terpaksa menunduk sampai wajah mereka sejajar. “Tentu saja aku akan menyusulmu
seperti yang kau lakukan kalau aku mati.”

***
Note 19 Maret 2013

SLIGHT SCENE KYUNA ~ THE FACE {HYE-NA’S SIDE}


“Tidak usah dibeli. Tunggu sampai mereka benar-benar bangkrut dulu. Paling
lama hanya delapan bulan. Setelah itu kita bisa membelinya dengan harga yang
sangat murah, lalu lakukan perombakan habis-habisan. Aku bisa membayangkan
keuntungannya. Ngomong-ngomong, sudah berapa jumlah institusi penerbangan
yang aku miliki?”
Hye-Na memandangi suaminya, yang sedang sibuk berbicara dengan Joong-Ki
lewat communicator. Gadis itu menopang wajahnya dengan kedua tangan yang
ditumpangkan ke atas meja makan, melupakan sarapan yang terhidang di
hadapannya begitu saja.
Pagi ini pria tersebut mengenakan kemeja pas badan berwarna hitam, dengan dua
kancing atas yang terbuka dan lengan yang dilipat sampai ke siku. Wajahnya
terlihat segar, dengan wangi aftershave yang menguar. Rambutnya sudah mulai
memanjang sehingga poninya jatuh menutupi kening, tampak acak-acakan tanpa
membutuhkan gel rambut, dan masih sedikit basah, terlihat sangat mengundang
untuk disentuh.
Dan wajah itu, wajah yang tidak akan membuat siapapun bosan untuk menatapnya
itu, masih dan akan selalu berhasil membuatnya terpesona setiap kali melihatnya.
Masih membuatnya hilang ingatan untuk sekedar menarik nafas. Dan masih
dianggapnya sebagai mahakarya terbaik yang pernah tercipta di dunia.
Mata pria itu adalah bagian yang paling disukainya. Tajam. Dinaungi alis mata
tebal dan bisa terlihat sangat intens jika sedang menatap. Dia terkadang bahkan
berpikir kapan dia bisa berhenti merasa malu setiap kali pria itu menoleh ke
arahnya, memandangnya dengan mata favoritnya itu. Bertanya-tanya, pantaskah
dirinya ditatap oleh seorang Cho Kyuhyun? Apa yang pria itu pikirkan saat
menatapnya?
Pria itu memiliki kontur wajah yang sangat sempurna jika dilihat dari samping.
Kesan yang paling menonjol adalah hidungnya yang mancung dan lurus, dengan
tulang pipi tinggi dan rahang tegas yang selalu diidamkan pria manapun.
Bibirnya dibentuk dalam lekukan dan komposisi yang paling sempurna. Tebal dan
tampak amat sangat menggiurkan. Dan jelas bisa melakukan semua hal-hal luar
biasa yang mungkin dilakukan oleh sepasang bibir. Ciuman pria itu memabukkan
dan senyum miringnya bisa membuat gadis manapun melupakan fungsi kerja otak
yang mereka miliki.
Dia juga menyukai leher jenjang pria itu, yang selalu tampak mengagumkan
setiap kali dia memakai kemeja.
Dia hanya… demi Tuhan, dia bisa menjadi wanita agresif yang memiliki pikiran-
pikiran tidak pantas hanya dengan melihat pria itu saja.
“Na~ya… hei, apa sih yang sedang kau lamunkan?”
Hye-Na mengerjap dan baru tersadar bahwa pria itu sedang melambai-lambaikan
tangan di depan wajahnya.
“Eo?” tanyanya gelagapan. “Ani. Eobseo.”
Kenapa ruangan ini terasa begitu panas?
“Kau tidak berangkat ke kantor bersamaku? Kenapa belum bersiap-siap?”
“Aku akan berangkat dengan Eun-Ji.”
Kyuhyun mengerutkan alisnya, tapi tidak berkata apa-apa. Pria itu bangkit dari
kursi, berjalan mengitari meja, bermaksud mendapatkan morning kisss-nya, masih
dengan pikiran bahwa istrinya itu terlihat sangat aneh pagi ini.
Pria itu memegangi punggung kursi Hye-Na, menundukkan tubuh,
memudahkannya untuk menyentuh pipi gadis tersebut dan menyatukan bibir
mereka. Tubuh gadis itu terasa sedikit gemetar dan kemudian….
“Ya Tuhan, Na~ya!” serunya panik saat ciuman mereka terlepas dan kepala gadis
itu terkulai jatuh ke dadanya.
Dia memegangi bahu gadis tersebut dengan kedua tangannya, menegakkan tubuh
gadis itu, dan menatapnya khawatir. Mata gadis itu tampak tidak fokus dan
pipinya terlihat begitu pucat tanpa darah.
“Kau sakit? Apa kita perlu ke rumah sakit?”
Hye-Na menggeleng, berusaha menemukan kewarasannya kembali. Astaga, apa
yang baru saja dia lakukan? Mempermalukan dirinya sendiri seperti ini….
“Kau pucat sekali, kau tahu?”
“Aku hanya….” Hye-Na memegangi kerah kemeja Kyuhyun, bagian terdekat
yang bisa dijangkaunya, setengah mati berusaha menggapai oksigen lewat
hidungnya.
“Lupa bernafas?” tebak Kyuhyun langsung, tanpa basa-basi.
“Puas?” desis gadis itu setelah berhasil menormalkan laju nafasnya lagi.
Kyuhyun menurunkan tubuhnya, berjongkok di depan gadis itu, lalu
mengeluarkan senyum miringnya yang membutakan, membuat Hye-Na lagi-lagi
kalang-kabut untuk mempertahankan kesadarannya.
“Aku berhasil membuat agen terbaik KNI lupa bernafas hanya karena aku
menciumnya.”
“Hanya karena dia melihatmu,” ralat gadis itu, terdengar sangat pasrah.
“Oh, baiklah,” ujar pria itu takjub. “Kelihatannya kondisinya sudah sangat parah.
Sudah berapa lama kita menikah, hmm? Sudah berapa kali aku menciummu?
Bahkan kita sudah sering melakukan yang lebih dari ini—”
“Kalau aku tahu cara mengendalikannya, aku tidak akan bersikap seperti ini,
bodoh! Ini hanya masalah… demi Tuhan, aku masih sering terpesona setiap kali
kau melangkah menyeberangi ruangan. Aku masih… sering merasa pusing setiap
kali kau menatapku. Semuanya… semua hal sepertinya beterbangan keluar dari
kepalaku. Dan aku juga ingin mengatasinya. Ini benar-benar membuatku gila, kau
tahu tidak? Aku tidak suka mempermalukan diriku seperti ini—”
“Aku tidak tahu kalau situasinya sudah sekronis itu.”
“Menurutmu ini lucu, kan?”
Kyuhyun menggeleng, walaupun senyum lebar masih terpampang di wajahnya.
“Karena aku merasa adil,” bisik pria itu pelan. “Rasanya seimbang. Karena bukan
hanya aku saja yang terpesona. Bukan hanya aku saja yang merasa konyol karena
terus gemetar setiap kali melihatmu. Kita seperti anak remaja 17 tahun, kau tahu?
Dan itu menyenangkan. Sesuatu yang kita miliki tapi pasangan lain tidak.”
“Masalahnya hal ini sepertinya akan bertahan lama. Aku tidak tahu kapan bisa
berhenti—”
“Mungkin,” sela Kyuhyun. “Mungkin. Dan aku bahkan tidak heran jika sepuluh
tahun dari sekarang aku masih akan terpesona setiap kali menatapmu. Itu
mengindikasikan kata ‘selamanya’, Na~ya. Dan kata itu… jika berhubungan
denganmu, kau tahu aku bisa mengusahakan apapun untuk mewujudkannya.”
***
Note 19 Maret 2013
SLIGHT SCENE KYUNA ~ THE FACE {KYUHYUN’S SIDE}
Kyuhyun berjalan memasuki kamar, mendapati istrinya sedang duduk di depan
meja rias sambil mengeringkan rambutnya yang basah sehabis keramas. Masih
mengenakan jubah mandinya, dengan wajah yang tampak begitu segar, dengan
pipi yang memerah, mungkin karena suhu air. Gadis itu memang suka sekali
mandi dengan suhu air yang sangat dingin.
Kyuhyun melangkah mendekat dan berdiri di belakang gadis itu, tanpa berkata
apa-apa mengambil alih hair-dryer dari tangan gadis tersebut.
Pria itu melakukan pekerjaannya, tapi kepalanya menunduk, memandangi wajah
gadis itu yang terpantul di cermin, bertanya-tanya dalam hati apa yang dilihat
gadis itu darinya saat dua mata cokelat kesukaannya itu balik menatapnya dengan
cara yang sama.
Pernahkah gadis itu tahu apa yang dilihatnya setiap kali dia menatap gadis itu?
Bahwa… memang itu hanya pendapat pribadinya saja, tapi di matanya, dia selalu
menganggap bahwa wajah yang ditatapnya itu adalah wajah tercantik yang pernah
muncul di hadapannya. Bahwa ada jam-jam yang terlewat, yang dihabiskannya
setiap malam, hanya untuk memandangi satu wajah itu saja.
Pria itu meletakkan hair-dryer dan meraih sisir, mulai menyisir rambut ikal
panjang gadis tersebut, bagian tubuh gadis itu yang paling disukainya. Helaian
rambut di genggamannya terasa begitu halus, dan selalu menguarkan aroma lilac
yang menyenangkan.
Dia selalu suka melihat gadis itu sehabis mandi. Terlihat begitu muda, polos,
manusiawi. Dahi gadis itu adalah pesona lain, yang untungnya selalu ditutupi oleh
poni sehingga dia tidak perlu merasa khawatir bahwa pria lain akan menyadari
keindahannya. Mata gadis itu berwarna cokelat dan akan menyipit setiap kali dia
tersenyum, alasan mengapa dia suka sekali dengan senyum gadis tersebut. Manis,
cerah, mengingatkannya kepada matahari senja yang menusuk mata.
Menyilaukan. Dan selalu berhasil membutakan.
Dia selalu menikmati perubahan rona di pipi gadis itu. Yang selalu silih berganti
tergantung dengan apa yang dia lakukan terhadap gadis tersebut. Biasanya akan
memerah setiap kali dia menyentuh dan merah padam jika mereka selesai
berciuman.
Bibirnya sendiri terlihat proporsional. Lebih tebal di bagian bawah. Mungil. Dan
selalu mengundang untuk dicium. Walaupun di lain waktu bisa terlihat begitu
menggemaskan setiap kali bibir itu merengut. Dan anehnya, masih tetap
memberikan godaan yang sama.
Tubuh gadis itu adalah bentuk mahakarya yang tidak tergambarkan. Mungil, tapi
jelas memiliki segala bentuk lekuk yang diinginkan wanita. Bahunya kecil,
tampak rapuh. Dengan tangan yang memiliki jemari-jemari panjang dan lentik
khas wanita. Tapi siapa yang tidak tahu bahwa dengan tangan itu jugalah dia telah
membunuh puluhan penjahat sebelumnya?
Pinggangnya ramping dan perutnya masih terlihat datar, walaupun dia sendiri
tidak sabar ingin melihat pemandangan saat perut itu membesar, bukti bahwa
gadis itu sedang mengandung anaknya di dalam sana.
Kaki gadis itulah yang paling mengagumkan dari semuanya. Gadis itu memang
pendek, mungkin hanya 160 cm—walaupun Kyuhyun curiga bahwa istrinya bisa
saja lebih pendek dari itu—tapi dia memiliki kaki yang sangat panjang dan
jenjang, sesuatu yang akan terlihat begitu luar biasa baik dalam balutan jins ketat
ataupun gaun di atas lutut dengan kaki yang telanjang dan hanya tertutupi heels
tinggi yang pasti akan membuatnya lebih mempesona lagi.
Dengan tubuh seperti itu, pria mana yang akan tahan untuk tidak menyentuhnya
setiap saat? Tapi dia juga menikmati saat-saat dimana dia hanya memandanginya
saja. Kadang dengan pikiran-pikiran kotor tentang apa yang bisa dia perbuat
dengan tubuh itu atau terkadang dengan pikiran kosong, terlalu mengagumi
sampai dia tidak bisa memikirkan apa-apa lagi. Dia juga menyukai detik-detik
yang dia habiskan setiap malam dengan hanya mendekap tubuh itu saja tanpa
melakukan apa-apa. Termasuk pagi hari saat gadis itu tanpa sadar akan meringkuk
dalam pelukannya jika merasa terlalu malas untuk bangun.
Dia memutar kursi yang diduduki gadis itu, berjongkok di hadapannya, lalu
menangkupkan kedua telapak tangannya di sisi wajah gadis itu, menyadari betapa
mungilnya wajah gadis tersebut, teringat betapa pasnya posisi mereka saat
berpelukan. Gadis itu hanya setinggi dagunya dan dia selalu menyukai kenyataan
tersebut, walaupun biasanya dia akan menjadikan tinggi badan gadis itu sebagai
bahan olokan.
Dia menikmati sensasi per detiknya, saat kulit di bawah telapak tangannya
menghangat seiring dengan rona kemerahan yang muncul, mengagumi fakta
bahwa dia adalah satu-satunya orang yang berhasil membuat gadis setangguh itu,
yang nyaris tidak memiliki rasa takut, bertekuk lutut di bawah sentuhannya.
Tapi tahukah gadis itu, bahwa dia, Cho Kyuhyun, yang memiliki separuh bumi,
yang bisa memiliki dan membeli apapun yang dia inginkan, juga merasakan
kakinya gemetar setiap kali dia tenggelam dalam keasyikannya memandangi
wajah gadis tersebut? Tahukah gadis itu bahwa dia merasakan ada yang salah
dengan jantungnya setiap kali melihat gadis itu tersenyum? Bahwa dia harus
mengerahkan seluruh tenaganya dan membuang rasa malunya hanya untuk
meneyntuh gadis itu? Tahukah gadis itu berapa banyak gengsi dan harga diri yang
dia buang untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya hanya untuk
meyakinkan gadis tersebut seberapa banyak dia jatuh cinta? Seperti apapun orang
memandang tinggi terhadap dirinya, dia juga pria berumur 25 tahun yang sedang
tergila-gila pada seorang wanita yang sudah dinikahinya selama enam bulan.
Demi Tuhan, enam bulan, dan dia masih saja bersikap konyol setiap kali mereka
bertatapan.
Gadis itu merengut, menunduk agar wajah mereka sejajar, lalu balas mengelus
pipinya dan dia merasa panik setengah mati dengan pikiran bahwa bisa saja
wajahnya ikut memerah di bawah sentuhan gadis itu.
“Bagaimana harimu?” tanya gadis itu pelan. Pertanyaan yang dengan rutin dia
tanyakan setiap harinya walaupun pria itu tahu bahwa gadis tersebut tidak
memiliki minat mendengarkan ceritanya tentang bangunan apa yang baru saja dia
beli atau perusahaan mana yang baru saja dia buat bangkrut.
“Seperti biasa. Membeli ini itu,” jawabnya singkat. “Kau?”
“Ah, mumpung kau mengingatkan. Ada pembunuhan di sebuah hotel di
Gangnam. Dan mereka sulit sekali diajak bekerja sama. Apa hotel itu milikmu?
Aku rasa tempatnya cukup mewah, sesuai dengan seleramu.”
“Hmm? Hotel yang mana?”
“The Region.”
“Ah… bagaimana bisa terlewat, ya?” tanyanya geli dengan senyum yang bermain
di sudut bibir. “Kau mau aku membelinya untuk memudahkan penyelidikanmu?”
“Lupakan,” cetus gadis itu dengan ekspresi sebal. “Kau sudah makan?”
“Belum. Dan sebaiknya kau juga belum karena aku akan memaksamu
menemaniku.”
Hye-Na mengerucutkan bibir, tapi kemudian mengulurkan tangan dan Kyuhyun
dengan cepat tanggap memegangi kedua kaki gadis itu yang melingkar di
sekeliling pinggangnya, membopongnya keluar kamar dengan posisi tubuh yang
berhadap-hadapan.
“Kau tahu betapa cantiknya kau?” tanyanya jahil, melangkah hati-hati agar tidak
membentur apapun di depannya.
“Hmm,” gumam gadis itu, tampak berpikir. Ujung jemarinya mengelus tengkuk
pria tersebut, merambat naik dan menyusup masuk ke helaian rambut hitamnya
yang lembut. “Cukup untuk membuatmu berhenti menatap wanita lain?”
Kyuhyun tersenyum miring. “Dari dulu juga sudah begitu,” akunya.
“Bagus,” ujarnya dengan suara rendah. Dia melepaskan satu tangannya yang
merangkul leher pria itu untuk berpegangan, menggunakan telunjuknya untuk
mengusap sisi wajah pria tersebut. “”Karena, Cho Kyuhyun sayang, aku cukup
mencintaimu habis-habisan untuk bersedia bertarung mati-matian, menginjak-
injak wanita manapun yang sempat membuatmu tertarik,” desisnya penuh
ancaman. “Dan itu bukan hanya sekedar adegan jambak-menjambak seperti yang
sering kau lihat saat wanita berkelahi. Tapi sesuatu yang hanya memiliki dua
penyelesaian. Satu hidup dan yang lainnya mati. Dan kau tahu, aku tidak pernah
suka menjadi pihak yang menderita kekalahan.”
***
Note 27 Maret 2013
2061 ~ FOR BABY’S SAKE

STA Building, Five States, Seoul

“Kau kenapa lagi? Sepertinya pagimu buruk sekali,” komentar Eun-Ji saat Hye-Na
memasuki ruang kantor yang mereka tempati berdua dengan muka ditekuk dan terlihat
sebal setengah mati.

“Oke, ini pertama kalinya aku mengatakan bahwa aku membenci kehamilanku!” seru
gadis itu, memuntahkan kekesalannya yang tampaknya memang sudah sangat siap
untuk meledak.

“Kenapa? Morning sickness?”

“Lebih buruk dari itu! Brengsek, bayi ini membenci Kyuhyun!” teriaknya gusar,
membanting tasnya ke atas meja dan mendelik menatap tumpukan laporan yang harus
segera dia selesaikan.

“Wah, tahan. Apa maksudmu dengan… bayi itu membenci Kyuhyun? Dia bahkan
belum lahir. Dan aku bahkan sangsi apakah dia sudah memiliki wujud atau belum.”

Hye-Na menghempaskan tubuhnya ke atas kursi, memencet-mencet bolpoin yang ada


di dekatnya dan tanpa sadar menggigiti bibir bawahnya dengan penuh kekejian.

“Aku terbangun tengah malam,” mulainya. “Mual. Merasa ingin memuntahkan


sesuatu. Aku pikir itu gejala biasa. Tapi saat Kyuhyun ikut terbangun dan mengusap-
usap punggungku… aku membauinya.”

“Membauinya,” ulang Eun-Ji kebingungan. “Membaui apa?”

“Bau tubuh Kyuhyun. Apa lagi?” tukas gadis itu ketus.

“Oke, sebentar,” seru Eun-Ji syok dengan bola mata yang melebar. Dia menarik
kursinya sampai ke depan meja Hye-Na lalu mencondongkan tubuh, tampak begitu
tertarik. “Kau bukannya mau mengatakan bahwa Kyuhyun sajangnim punya masalah
bau badan, kan?”

“Kau tolol apa idiot? Mana mungkin dia seperti itu!” bentak Hye-Na. “Baunya baik-
baik saja. Dan bahkan selama ini aku sangat menyukai wangi tubuhnya. Tapi
semalam… aku rasa aku terbangun karena aku tertidur di pelukannya dan aku
mencium bau tubuhnya, dan sepertinya itulah alasan kenapa aku merasa mual. Saat dia
membantuku sambil mengusap-usap punggungku, dia setengah memelukku dan rasa
mualku malah semakin memburuk. Dan tadi pagi malah lebih parah, dia bahkan berdiri
satu meter jauhnya dan aku langsung muntah-muntah. Kau tidak bisa membayangkan
ekspresi wajahnya saat itu. Aku baru sekali itu melihat dia syok dan membatu, dia
bahkan terlalu ketakutan untuk sekedar mendekatiku. Dan aku tidak bisa melakukan
apa-apa untuk memperbaikinya. Aku sampai terpaksa menyetir sendiri kesini karena
benar-benar tidak sanggup berada terlalu dekat dengannya. Untuk ukuranku yang
selama ini tidak bisa berjauhan dengan dia, ini malapetaka.”

“Yah, itu memang sangat buruk,” aku Eun-Ji, tampak prihatin. “Untuk ukuran seorang
Cho Hye-Na yang bahkan sepertinya bisa pingsan hanya karena disentuh seorang Cho
Kyuhyun, tidak bisa berdekatan seperti ini memang sebuah malapetaka maha besar.”

“Aku tidak seperti itu!” sanggahnya, dengan sengaja melupakan fakta bahwa baru saja
beberapa hari yang lalu dia nyaris tidak sadarkan diri karena lupa menarik nafas saat
berciuman dengan suaminya itu.

“Sesukamu saja. Tapi tidak ada yang tidak bisa melihat sikapmu saat di dekatnya. Dari
seorang agen pemberani yang sudah membunuh puluhan orang, menjadi seorang
wanita yang gemetar hanya dengan melihat prianya saja.”

“Tutup mulutmu!”

Eun-Ji nyengir, tampak sangat senang karena bisa menggoda sahabatnya itu.

“Ngomong-ngomong, aku benar-benar penasaran. Cho Kyuhyun itu… kalau sedang di


rumah bagaimana? Oh tunggu tunggu, bukan yang itu. Bagaimana kemampuan
berciumannya? Kemampuannya di ranjang? Pasti hebat sekali, kan? Tubuhnya…
bagaimana dengan tubuhnya? Astaga, kau tidak tahu betapa penasarannya aku selama
ini! Ah, tapi kalau melihat video ciuman kalian di jalanan waktu itu, aku sudah bisa
menebak. Dengan bibir yang seseksi itu, pasti kemampuannya dalam mencium jauh di
atas rata-rata. Iya, kan?”

“Kemampuan suamiku dalam bercinta bukan urusanmu, Choi Eun-Ji!”

“Oh, ayolah! Aku kan penasaran sekali. Apa sih yang sudah kau lakukan padanya
sampai dia tidak pernah benar-benar mengalihkan pandangan darimu setiap kali kalian
berdekatan? Maksudku… astaga, dia seperti orang yang memujamu setengah mati.”
Karena Hye-Na tidak kunjung menanggapinya, gadis itu melanjutkan celotehannya
lagi. “Kalau kau mau bercerita, aku juga akan memberitahumu tentang rumah
tanggaku. Dimana saja kami pernha bercinta. Dan hei, kau tahu tidak? Aku bahkan
hampir berhasil mengajak si Choi Siwon yang terhormat itu, setelah menggodanya
mati-matian, untuk bercinta di ruang kerjanya. Tapi dia cukup waras untuk
memberitahuku bahwa bercinta di ruang publik itu dosa besar! Astaga!”

“Oh, ya?” tandas Hye-Na, membolak-balik laporan yang diserahkan Soo-Hyun


kemarin. “Payah. Aku bahkan sudah pernah bercinta di ruang kerja Kyuhyun.”
“APA? Sialan, Cho Hye-Na, apa kau bilang? Di ruang kerja Kyuhyun? Di Cho Corp?”
teriak Eun-Ji histeris.

“Memangnya dimana lagi?” sela gadis itu dengan senyum mengejek. “Sepertinya
sekretaris Kyuhyun sempat memergoki kami. Kyuhyun belum sepenuhnya berpakaian
dengan benar waktu membukakan pintu.”

“Cho Kyuhyun…” ujar Eun-Ji sambil menelan ludah dengan pandangan menerawang.
“Sehabis bercinta, belum sepenuhnya berpakaian, dengan rambut berantakan. Oh Ya
Tuhan, aku rela memberikan gaji satu tahunku untuk sekretarisnya supaya kami bisa
berganti posisi dan aku bisa melihat momen langka itu sekali saja.”

“Berhentilah berfantasi yang tidak-tidak tentang suamiku, Choi Eun-Ji. Aku tidak akan
segan-segan menghajarmu kalau kau tidak segera mengenyahkan apapun yang sedang
ada di kepalamu itu,” ancam Hye-Na tegas.

“Jangan pelit begitu. Ini kan bentuk kekagumanku terhadap hubungan kalian berdua,”
rajuk gadis itu dengan bibir cemberut. “Lalu? Dimana lagi kalian pernah bercinta?
Ayolah, beritahu aku!” rengeknya.

“Beberapa minggu yang lalu,” tukas Hye-Na, mendapat kesenangan pribadi dengan
membuat temannya itu iri. “Di kolam renang depan rumah. Dipergoki Ah-Ra onnie.”

“Demi Tuhan! Apa sih yang ada di pikiran suamimu? Aish, andai saja aku kenal dekat
dengan Ah-Ra onnie, aku akan memaksanya untuk memberitahuku secara detail
kejadian itu! Membuatku iri saja.”

Hye-Na mencibir. “Kau kan bertanya padaku, memaksaku untuk menjawab. Jadi
tanggung saja resikonya sendiri.”

“Hei, ngomong-ngomong, kau tahu tidak wanita mana saja yang pernah berhubungan
dengannya? Kau wanita keberapa untuknya?”

Kali ini Hye-Na menyeringai, memajukan tubuhnya ke depan, dan tersenyum sangat
manis.

“Aku wanita pertama yang dicium olehnya,” ujarnya, menikmati perubahan ekspresi di
wajah Eun-Ji. Mulai dari matanya yang membelalak dan mulutnya yang menganga
lebar. “Wanita pertama yang ditiduri olehnya. Wanita pertama yang pernah melihatnya
tanpa pakaian. Yah, walaupun dia itu juga pria pertama untukku, aku bisa menjamin
bahwa dia pasti pria dengan kemampuan bercinta paling luar biasa,” lanjutnya tanpa
belas kasihan. “Seperti yang kau bilang dulu, dia itu simbol seks abad ini.”

***
Kyuhyun’s Home, Yeoju

Hye-Na baru membelokkan mobilnya memasuki kawasan rumahnya yang entah terdiri
dari berapa puluh hektar lahan, saat communicator-nya berbunyi menandakan
panggilan masuk.

“Apa?” tanyanya langsung setelah menekan tombol terima, sedikit terperangah dengan
reaksi tubuhnya saat melihat wajah suaminya di layar. Hari ini entah bagaimana dia
merasa merindukan pria itu, mungkin karena ini adalah jangka waktu terlama mereka
tidak berdekatan satu sama lain. Pria itu tidak menghubunginya saat makan siang.

Pria itu tampak lelah, menurut pendapatnya. Dan tampak sedikit tertekan. Ada
bayangan gelap di bawah matanya, yang diindikasikan gadis itu sebagai akibat karena
pria itu terpaksa tidur di kamar tamu semalam agar dia berhenti merasa mual.

“Aku sedang di Tokyo,” beritahunya. “Mungkin aku baru akan pulang besok lusa. Kau
tidak apa-apa?”

Jantung gadis itu mencelos, membuatnya mendadak merasa curiga bahwa pria tersebut
memang sengaja menghindarinya. Sudah berbulan-bulan dia sadar bahwa Kyuhyun
selalu meminimalisir perjalanannya keluar negeri untuk urusan pekerjaan, bahkan
membawa pekerjaannya pulang agar bisa lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
Jadi sangat aneh jika pria itu tiba-tiba memutuskan keluar negeri.

“Kau baik-baik saja? Kau tidak merasa mual lagi, kan?” lanjut Kyuhyun saat gadis itu
hanya diam, tidak menjawab pertanyaannya.

“Mmm. Aku baik-baik saja.” Bohong. Dia bahkan mendadak merasa mual karena
melihat wajah pria itu. Penyakitnya semakin parah saja. Bagaimana bisa wajah
sememukau itu bisa membuatnya mual? Pasti ada yang salah dengan janinnya.

“Lebih baik kau menginap di rumah eomma atau Ah-Ra nuna saja, jadi mereka bisa
menjagamu.”

“Kalau kau secemas itu kenapa kau malah memutuskan pergi?” tanyanya, tanpa sadar
menyuarakan pikirannya. Kalimat itu terdengar seperti rengekan. Seperti seorang gadis
yang sedang merajuk. Dan itu menyebalkan.

Raut wajah Kyuhyun sedikit berubah. Pria itu menghela nafas dan tersenyum tipis,
yang terlihat lebih seperti paksaan.

“Kalau aku disana, aku akan semakin memperburuk semuanya,” jawabnya jujur. “Aku
tidak bisa melihat kau muntah di depanku setiap kali aku bergerak mendekat. Maaf.”

“Itu bukan salahmu,” ringisnya. “Anakmu ini saja yang aneh.”


“Aku sedikit bisa memakluminya. Walaupun tidak suka,” akunya. “Kalau begitu jaga
dirimu baik-baik. Aku sedang di sela-sela rapat. Pastikan saat kita bertemu lagi
kandunganmu itu tidak rewel. Ini membuatku stress, kau tahu? Tidak bisa menyentuh
istriku sendiri. Mengerikan,” keluhnya.

Hye-Na menyeringai, mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas kemudi.

“Salahmu sendiri kenapa menghamiliku.”

***

Gangnam, Seoul

“Aku tidak akan senang menjadi orang yang ditangkap Hye-Na hari ini. Dengan mood-
nya yang seperti itu, aku bisa menjamin pria itu akan habis. Habis,” bisik Soo-Hyun
sambil membuat gerakan seperti orang mengiris leher, berusaha sebisa mungkin agar
ucapannya tidak bisa didengar Hye-Na yang berjalan beberapa langkah di depan
mereka.

“Kau benar,” balas Leeteuk. “Ditambah, ini seharusnya tugas polisi. Tapi mereka
malah menyuruhnya turun tangan langsung hanya untuk menangkap seorang penjudi”

“Penjudi sekaligus penggelap uang negara. Uang yang dicurinya mencapai 375 juta
won dan para polisi yang tidak becus itu selalu saja kehilangan jejaknya,” sambung
Eun-Ji yang berjalan di belakang mereka, sibuk memeriksa data
melalui communicator-nya.

“Mengingat peralatan mereka yang tidak secanggih kita. Tapi tetap saja,
mengganggunya di tengah-tengah penyelidikannya tentang pelaku pengeboman ACC,
itu dikategorikan kriminal tingkat tinggi,” ucap Soo-Hyun hiperbolis.

“Sepertinya dia sedang ada masalah. Ekspresinya mengerikan sejak kemarin.”

“Tentu saja,” sela Eun-Ji. “Suaminya sedang keluar negeri dan hubungan mereka tidak
dalam kondisi baik.”

“Masalah rumah tangga lagi? Astaga, aku lihat akhir-akhir ini dia sedikit tidak
profesional. Walaupun instingnya masih setajam biasa,” dengus Soo-Hyun.

“Masalah kali ini terlalu besar,” ujar Eun-Ji dengan nada membela. “Bayi dalam
kandungannya mencari gara-gara. Entah bagaimana dia selalu merasa mual setiap kali
melihat ataupun mencium bau tubuh Kyuhyun. Karena itu Kyuhyun terpaksa
mengungsi sementara keluar negeri.”
“Ada yang seperti itu?” sergah Soo-Hyun, melongo kaget. “Kalau aku menikah nanti
dan istriku seperti itu, aku lebih memilih membuatnya muntah-muntah daripada jauh-
jauh darinya.”

“Dasar psikopat!” tuduh Eun-Ji, menutup pembicaraan mereka karena mereka


berempat sudah memasuki kawasan klub mewah yang diindikasikan sebagai tempat
buronan mereka berada. Mereka berhasil melacaknya dengan mengikuti data di
rekening tabungan pria tersebut yang dibobol STA. Pria itu melakukan transfer rutin
setiap jam 1 siang di tempat ini, yang berarti dia sangat suka berjudi disini.

Mereka berpencar untuk mencari dan Hye-Na memilih langsung menuju bagian
belakang, ke tempat dimana ruangan-ruangan pribadi berada. Untuk menyembunyikan
diri, tentu saja penjahat butuh privasi.

“Mau bergabung denganku, Nona Cantik? Kau sepertinya sendirian.”

Seorang pria meraih pinggangnya dan dia membiarkan, untuk membuat pria itu lengah,
lalu dengan cekatan mengangkat kaki, menendang selangkangan pria itu, memutar
lengannya sampai terlipat di belakang tubuh, lalu memitingnya di lantai, menahannya
dengan lutut.

“Sayang sekali. Ini hari sialmu. Dan mood-ku sedang sangat buruk,” desis Hye-Na,
melambaikan lencana agennya di depan muka pria itu. Di lencana itu hanya ada tulisan
namanya dan statusnya sebagai agen KNI, karena semua agen STA bergerak dalam
kerahasiaan sehingga identitas mereka harus disembunyikan. Tidak ada satupun agen
STA yang boleh mengungkapkan pekerjaan mereka kepada orang lain kecuali keluarga
dekat, untuk menjaga keselamatan mereka sendiri, karena biasanya kasus-kasus yang
ditangani STA adalah kasus-kasus serius yang berhubungan dengan keamanan negara.

“Bawa bokong jelekmu itu keluar dari sini atau kupatahkan lenganmu,” ancamnya,
melepaskan cekalannya lalu bangkit berdiri.

“Dasar sundal! Kau pi—” Ucapan pria itu terhenti karena sebuah tinjuan keras
menghantam wajahnya, membuat pria itu jatuh pingsan seketika.

“Ck, aku kan sudah bilang kalau mood-ku sedang jelek. Bersyukurlah aku tidak
mematahkan lenganmu,” desah gadis itu, melangkahi tubuh pria itu begitu saja.

Dia baru berjalan beberapa langkah saat seseorang terburu-buru menghampirinya.

“Maaf Nona, saya manajer di tempat ini. Anda sudah membuat keributan dan—”

Dengan malas-malasan Hye-Na melambaikan lencananya lagi untuk menutup mulut


pria itu.
“Oh, Nyonya Cho, maaf atas kelancangan saya. Saya harap saya bisa membantu Anda
untuk mendapatkan apa yang Anda perlukan disini. Anda bisa memberitahu saya dan
saya akan mengurusnya untuk Anda.” Sikap pria itu berubah 180 derajat setelah
melihat namanya. Dia membungkukkan tubuh penuh hormat dan berbicara dengan
amat sangat sopan.

“Cho Kyuhyun pemilik tempat ini?” tebak gadis itu, tidak habis pikir kenapa Kyuhyun
rela membuang-buang uang untuk tempat seperti ini. Walaupun super mewah dan
sesuai standar selera pria itu, tapi tetap saja, tempat ini penuh dengan kegiatan ilegal.

“Baru berpindah tangan satu minggu yang lalu. Tuan Cho sedang merenovasi dan
melakukan banyak perubahan di tempat ini.”

“Pantas saja. Aku harap dia menendang keluar semua sampah yang ada disini,” desis
Hye-Na dengan suara pelan.

“Maaf, Nyonya?”

“Lupakan. Sekarang beritahu aku dimana Jung Ryeo-Min berada.”

“Ah, yang satu itu… ng… dia membayar mahal untuk memastikan bahwa tidak ada
siapapun yang mengganggunya.”

“Bawa aku kesana atau kau akan kehilangan pekerjaanmu karena menghalangi
pekerjaanku.”

“Saya mengerti,” ucap pria itu cepat-cepat. “Lewat sini.”

Hye-Na menghubungi communicator Eun-Ji untuk memberitahu keberadaannya dan


memerintahkan mereka semua untuk segera bergabung dengannya. Dia sendiri
mengikuti manajer klub tersebut menyusuri koridor yang di kiri kanannya berjejer
pintu-pintu ruangan kedap suara, menyembunyikan aktifitas para tamu di dalamnya.
Dia akan mengurus hal ini dengan Kyuhyun nanti.

Mereka berhenti di depan pintu kedua dari ujung dan pria tersebut mengeluarkan kunci
masternya untuk membuka pintu, lalu mempersilahkan Hye-Na masuk ke dalam,
bertepatan dengan saat anggota timnya berlarian datang menghampirinya.

“Status?” tanya Hye-Na sebelum melangkah masuk.

“Kau diperbolehkan menembak kalau pelaku memperlihatkan perlawanan.”

“Hmm, membuang peluru untuk pria seperti itu terlalu berharga. Aku pakai tangan
saja,” ucapnya, terdengar sangat manis dan penuh belas kasihan. Tapi mereka semua
tahu, akan lebih baik kalau Ryeo-Min merasakan timah panas daripada dihajar oleh
tinju gadis itu.

Hye-Na menyibakkan tirai dan melihat ada tiga orang pria dan tiga orang wanita yang
berbalik marah saat menyadari kehadiran mereka, mendengus saat Soo-Hyun bersiul
senang mendapati tiga pemandangan indah nyaris telanjang di depannya.

“Siapapun yang tidak merasa bernama Jung Ryeo-Min,” mulai Hye-Na dengan suara
tegas, tajam, dan menyiratkan ancaman. Matanya terpancang ke wajah seorang pria
yang ditaksir berumur 43 tahun. Buronan yang sudah dicari polisi selama berbulan-
bulan. “Bisa keluar dari sini. Bersikap kooperatif, atau aku akan menjebloskan kalian
semua ke penjara. Aku hanya akan menghitung sampai tiga. Satu….”

Bahkan dia belum mengucapkan angka dua saat lima orang tersebut berhamburan
keluar dari ruangan, meninggalkan pria incarannya sendirian.

“Menyerahkan diri secara sukarela atau mau membuatku mengeluarkan keringat


sedikit untuk berolahraga?” tanyanya dengan nada datar, setengah berharap agar pria
itu melawan dan memberinya tempat pelampiasan. Dia sudah cukup frustrasi selama
dua hari terakhir dan dia perlu menyalurkannya. Dengan cara yang legal. Dan pria itu
memenuhi permintaannya.

Tidak memedulikan keberadaan empat orang agen di depannya, Ryeo-Min meludah,


dengan cepat menggapai pistol yang tersimpan di pinggangnya, dan bersiap
menembak.

“Hei hei,” ucap Hye-Na malas-malasan, seolah-olah tidak akan berbuat apa-apa. Tapi
hanya butuh sepersekian detik yang samar saat dia melayangkan kakinya ke atas,
menendang pistol tersebut sebelum pelatuknya sempat ditekan, lalu menyarangkan
tendangan kedua ke dada pria tersebut, membuatnya tersungkur ke atas sofa, sedangkan
kaki Hye-Na tetap berada di dadanya, menginjak sekaligus menahan pria tersebut agar
tidak kabur.

Gadis itu mencengkeram rambut Ryeo-Min sampai kepala pria itu mendongak
menatapnya, lalu menepuk-nepuk pipinya dengan gerakan lembut seperti mengelus.

“Ajjushi, kan sudah kuperingatkan,” ucapnya sambil menyeringai, mengulurkan


tangannya ke belakang untuk meminta Surat Perintah Penangkapan Resmi yang
langsung diserahkan Eun-Ji padanya. “Ah, sekarang aku harus membacakan hak-
hakmu, ya? Kau boleh tetap diam dan meminta didampingi pengacara sampai
wawancara resmi bla bla bla. Membosankan,” cetus gadis itu. “Karena aku rasa kau
akan sangat menyulitkan untuk dibawa ke KNI, kau lebih baik—” Hye-Na merasakan
kepuasan yang melanda dirinya saat untuk kedua kalinya dalam satu hari dia bisa
menggunakan tinjunya untuk menghantam wajah dua orang yang berbeda. “Pingsan
saja.”

***

Kyuhyun’s Home, Yeoju

Hye-Na melajukan mobilnya memasuki garasi yang terbuka, menyadari detakan


menggila di jantungnya saat dia melihat Kyuhyun berdiri disana, baru saja turun dari
mobil, dan menoleh saat mendengar kedatangannya.

Dia tidak memedulikan ketergesaannya saat mematikan mesin, mencabut kunci lalu
hampir menghambur turun dari mobil. Baru merasa sedikit malu saat ternyata Kyuhyun
tetap berdiri di samping mobilnya, tersenyum, tapi tidak mendekat. Terlalu takut untuk
mendekat.

“Bagaimana probabilitasnya?” tanya pria itu hati-hati. “Kau tidak apa-apa? Dengan
jarak seperti ini? Merasa mual?”

Oh, persetan dengan rasa malu. Dia butuh berada di dekat pria itu, menatapnya lekat-
lekat, menyentuhnya. Maka dia melakukannya.

***

Kyuhyun tersentak kaget, setengah mundur agar bisa berdiri dengan benar dan
memegangi tubuh gadis itu yang sudah berada dalam dekapannya dengan waktu yang
sedemikian singkat sampai dia tidak terlalu menyadari gerakan gadis tersebut.

Bibir gadis itu mencapai bibirnya, jari-jarinya berada di wajahnya, dengan tubuh yang
menempel erat, hanya dihalangi beberapa carik pakaian. Dia mengambil beberapa saat
untuk menjernihkan kepala, cukup untuk memahami bahwa gadis itu merindukannya.
Lalu sepenuhnya menyambut hadiah selamat datang yang diberikan istrinya.

Hye-Na membuka bibirnya, membiarkan lidah pria itu menyelinap ke dalam,


menemukan lidahnya, lalu melanjutkan ciuman mereka yang sudah terasa rakus dari
awal. Hanya perlu hitungan detik sampai tangan pria itu menjelajah ke dalam blusnya,
menangkup dadanya, lalu membuatnya mengeluarkan geraman tertahan,
mencengkeram rambut pria itu, tanpa sadar menggigit bibir bagian bawah pria tersebut
dalam usahanya menahan desahan.

Bola api meledak di sekeliling mereka, membakar, mengurung mereka dalam


ketergesa-gesaan. Penjelajahan berlanjut dengan gigitan, ciuman, remasan, dan robekan
paksa, selagi mereka mulai hilang kewarasan.
“Lantai garasi atau mobil?” tanya Kyuhyun, memberikan pilihan. “Tidak mungkin bisa
sampai ke rumah kalau kau bertanya pendapatku,” ucap pria itu, mengigit ringan leher
istrinya, lalu menjilatnya dengan lidahnya yang hangat.

“Mobilmu.”

“Kuncinya dimana, ya?” tanya pria itu ngawur seraya menarik lepas blus Hye-Na yang
sudah tidak berbentuk, berusaha memeriksa saku celananya untuk menemukan kunci
mobilnya.

“Di pintu, Kyu. Mobilnya belum kau kunci,” ucap Hye-Na memberitahu, cukup waras
untuk menggunakan matanya.

“Baguslah,” ujar pria itu sekenanya, membuka pintu bagian belakang mobil lalu
mendorong gadis itu masuk, menyusul setelahnya untuk kemudian menarik gadis
tersebut ke atas pangkuannya.

Seperti tangannya, tangan gadis itu juga merajalela kemana-mana sehingga membuat
dia merasa harus menghentikannya atau dia akan meledak sebelum saatnya.

“Tidak tidak,” cegahnya. “Kali ini biarkan aku yang menyentuhmu, oke? Kau masih
punya banyak waktu nanti untuk melakukan apapun yang kau inginkan dengan
tubuhku.”

“Masih ada lanjutannya kalau begitu?”

Kyuhyun terkekeh lalu memajukan tubuh untuk mengecup kening gadis itu.

“Tentu saja, Sayang. Sudah berapa kali kau bercinta denganku untuk memahami bahwa
aku tidak pernah puas melakukannya hanya satu kali saja denganmu?”

“Sayang. Berhentilah memanggilku seperti itu atau aku akan membatalkan hadiah
selamat datangku.”

“Kau tidak bisa,” ucap Kyuhyun yakin. “Lagipula beberapa hari yang lalu kau juga
memanggilku sayang.”

“Sial. Aku pikir kau tidak mengingatnya.”

“Oh, ayolah,” sergahnya, menggoda gadis itu dengan kecupan-kecupan ringan di


pundak. “Untuk hal selangka itu, aku akan terus mengingatnya di otakku. Aku tidak
akan marah kau memanggilku seperti itu.”

“Cho Kyuhyun sayang,” ucap Hye-Na tiba-tiba, menepuk-nepuk pipi pria itu sambil
tersenyum manis. “Tutup mulutmu atau percintaan kita benar-benar batal!”
***

“Kau terlihat seksi,” komentar Kyuhyun sambil bersiul jahil, memandangi tubuh
istrinya yang hanya berbalut jasnya dan celana jins selagi mereka berjalan menujju
rumah. Untuk pertama kalinya setelah dua hari, pria itu merasa bahagia setengah mati.
Dan dia tidak malu untuk mengakuinya.

“Haha,” tawa gadis itu datar. “Ngomong-ngomong, kau baru membeli sebuah klub di
daerah Gangnam minggu lalu.”

“Hanya membeli saham 60 persen. Kau mau 40 persen sisanya?”

Gadis itu mendelik. “Leluconmu lucu sekali,” dengusnya. “Aku tadi kesana,
menangkap buronan, dan aku tidak habis pikir kenapa kau membeli tempat itu.”

“Hanya investasi berkeuntungan besar. Tempat seperti itu menghasilkan banyak uang.”

“Kau harus mengubah banyak hal disana. Banyak kegiatan ilegal—”

“Santai sedikit, Na~ya. Aku baru berencana untuk main-main kesana besok lusa. Dan
lihat apa yang bisa kurombak. Kau mau ikut?”

“Tidak. Terima kasih.”

Kyuhyun tertawa dan menarik gadis itu ke arahnya, melingkarkan lengannya di


sekeliling pundak gadis tersebut.

“Bagaimana kalau besok kau memeriksakan kandunganmu?” tanyanya mengubah


topik pembicaraan. “Pergilah ke Central Hospital, hmm? Aku akan menemanimu.”

“Aku tidak mau ke rumah sakit keparatmu itu.”

“Itu dinamakan pengecekan kandungan secara rutin. Kau harus melakukannya. Aku
tidak mau ada apa-apa lagi dengan kandunganmu,” jelas Kyuhyun dengan sabar.
“Mereka kan tidak akan menyuntikmu. Ah, dan kau harus diperiksa oleh dokter wanita.
Aku tidak suka pria lain melihat dan menyentuh tubuhmu.”

Hye-Na mendengus. “Amat sangat khas Cho Kyuhyun,” ejeknya.

“Berarti jawabannya iya.”

“YAK!”

***
Hye-Na melilitkan handuk di tubuhnya dengan asal, merutuki keteledorannya yang
lupa membawa jubah mandi, lalu bergegas keluar kamar mandi untuk
mengambil communicator-nya yang terus berdering nyaring. Dia melirik ID penelepon
dan memutuskan untuk membatalkan niatnya memblokir video. Suaminya sudah
sangat sering melihatnya telanjang, jadi apa salahnya dengan setengah telanjang?

Dan dia tersenyum puas saat untuk sepersekian detik, pria itu ternganga menatapnya.

“Yah, aku pikir aku sudah puas bercinta denganmu semalaman. Tapi….” Pria itu
mengerjap. “Apa kau tidak memakai apapun di balik handuk itu?” tanyanya ingin
tahu.

“Menurutmu?”

“Yah, kalau kau bersedia membuka dan memperlihatkannya padaku….”

“Gunakan imajinasimu yang luar biasa itu, PresDir.”

“Oh, baiklah,” ucap pria itu sambil nyengir. “Aku pasti akan membayangkanmu
seharian. Itu berarti kau harus siap aku monopoli lagi nanti malam.”

“Dasar maniak!” ejek Hye-Na. “Mau apa kau meneleponku?”

“Ah, aku lupa. Maaf. Sepertinya siang ini aku tidak bisa menemanimu ke dokter
kandungan. Presiden meminta bertemu denganku secara mendadak untuk
mendiskusikan pasokan senjata dan kendaraan militer. Mungkin kita bisa menundanya
sampai besok.”

“Tidak perlu. Aku bisa meminta Eun-Ji menemaniku.”

“Kau yakin tidak mau kutemani?”

“Urusi saja pekerjaanmu itu,” ujar Hye-Na. “Hanya itu saja? Aku harus segera
berangkat ke kantor dan menyelesaikan laporanku agar nanti siang aku bisa pergi ke
rumah sakit.”

“Kau manis sekali saat mengucapkan kata rumah sakit.”

“Memang. Kalau aku jahat, aku akan berdoa agar seseorang mengebom tempat itu agar
aku tidak perlu kesana. Tentu saja setelah semua pasien diungsikan. Kau akan rugi
ratusan milyar.”

“Terdengar seperti pikiran seorang Cho Hye-Na untukku.”


“Sampai jumpa nanti malam kalau begitu, PresDir,” ucapnya, dengan manis
menjatuhkan handuknya ke lantai lalu mematikan transmisi. Yakin seratus persen
bahwa pria itu pasti akan memikirkannya seharian.

***

Central Hospital

Hye-Na mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tunggu yang dipadati


ibu-ibu muda maupun paruh baya—dengan perut yang menggelembung sehingga
untuk bergerak saja kelihatannya sangat sulit—beserta suami mereka. Dia bahkan satu-
satunya wanita yang memiliki perut rata disini jika Eun-Ji tidak dimasukkan hitungan.

“Apa aku nanti akan terlihat seperti mereka?” tanyanya ngeri.

“Sudah pasti. Kau akan terlihat sangat feminin. Dan manis,” tambah Eun-Ji,
menghadiahkan sikutan di pinggangnya. “Aish, kau kejam sekali,” keluhnya, merengut
ke arah Hye-Na yang menyeringai.

“Hanya perasaanku saja atau beberapa dari mereka memang memandangiku? Apa
memiliki perut rata itu aneh? Kandunganku bahkan belum dua bulan.”

“Menurut pendapatku, sepertinya mereka mengenalimu. Video dan foto-foto


ciumanmu dengan Kyuhyun waktu itu kan menggemparkan dunia.”

“Sialan,” umpat Hye-Na, memalingkan wajahnya lalu melongo parah melihat


seseorang yang baru saja melangkah memasuki ruang tunggu. “Oh, brengsek.”

Eun-Ji ikut menoleh kemudian bersiul dengan ekspresi terkagum-kagum.

“Nah, itu baru suami idaman wanita sepanjang masa.”

Pria itu berjalan dengan penuh percaya diri, menatap lurus ke depan, ke arahnya.
Terlihat luar biasa dalam balutan jas mahalnya yang berwarna abu-abu kebiruan dan
tidak dikancingkan dengan lengan yang ditarik sampai siku, rompi berwarna senada
yang menutupi kemejanya, dan celana dengan warna yang lebih muda. Ditambah
dengan rambut acak-acakannya yang spektakuler. Terlihat seperti gelimangan dosa
dalam wujud kesempurnaan tiada tara.

“Kau bilang kau tidak bisa datang,” rengut Hye-Na saat pria itu sampai di depannya
dan mengambil tempat disampingnya, dengan tatapan semua orang yang tertuju ke arah
mereka. Tambahkan fakta bahwa pria itu bukan saja pemilik seperempat dunia, tapi
juga pemilik rumah sakit ini dan lihat seberapa besar publisitas yang dia dapatkan di
tengah ibu-ibu hamil yang menatapnya seolah dia adalah dewa atau semacamnya.
“Mengingat apa yang kau perlihatkan padaku sebelum kau memutus sambungan
telepon tadi,” desis pria itu muram, “Aku sampai harus menelepon Presiden dan
memintanya menunda pertemuan selama beberapa jam.”

“Menunda—”

“Apa alasan yang kau kemukakan sampai Presiden bersedia menunda pertemuan
kalian, sajangnim?” tanya Eun-Ji ingin tahu, memotong ucapan Hye-Na begitu saja.

“Apa lagi?” desah Kyuhyun. “Aku hanya bilang ingin mengantarkan istriku
memeriksakan kandungan. Dia bisa protes apa?”

“Daebak!” seru gadis itu sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Tapi ngomong-
ngomong, apa yang diperlihatkan Hye-Na padamu sampai kau menunda pertemuan
dengan Presiden?”

“Oh, itu?” Kyuhyun menyeringai, dengan sigap memegangi tangan Hye-Na saat gadis
itu bermaksud menutup mulutnya. “Saat aku menelepon, isstriku hanya mengenakan
handuk. Dan dia melepas handuknya lalu memutuskan transmisi begitu saja. Apa
menurutmu itu tidak kejam? Tanpa belas kasihan memaksaku memikirkannya
seharian?”

Eun-Ji melongo parah, mendengar dengan telinganya sendiri bahwa seorang Cho Hye-
Na, yang sudah dikenalnya bertahun-tahun, bisa menggoda suaminya dengan cara
seperti itu.

Kyuhyun tertawa riang, mengabaikan pelototan yang diarahkan Hye-Na padanya. Dia
malah menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi, menahan tangan gadis itu di dalam
genggamannya. Dia menundukkan wajahnya sampai sejajar dengan telinga gadis itu
lalu berbisik pelan disana sehingga hanya mereka berdua saja yang bisa mendengar.

“Fantasiku seharian ini cukup beragam. Kau membuatku menjadi sangat kreatif,”
beritahunya, terkekeh geli saat Hye-Na menoleh ke arahnya dengan tatapan ngeri.

“Apa yang kau pikirkan, hah? Astaga, bagaimana bisa kau membagi pikiranmu di
antara pekerjaan dan seks?”

“IQ-ku 180, Na~ya. Menurutmu apa yang tidak bisa aku lakukan?” ucapnya dengan
eskpresi bahwa hal itu tidak perlu lagi dipertanyakan. “Dan aku lebih suka
mempraktekkannya secara langsung daripada mendeskripsikannya secara lisan
padamu. Lagipula ini ruang publik, bagaimana kalau ada yang mendengar?” tanyanya
dengan raut wajah polos.
“Bersabarlah,” ujarnya, menepuk punggung tangan gadis itu pelan, masih dengan
senyum lebar di wajah. “Tunggu sampai nanti malam. Di rumah. Aku akan
menunjukkannya padamu.”

***
Note 21 April 2013
2061 ~ THE LAST SURVIVOR {PART 1}

On The Road

07.18 AM

Hye-Na mengemudikan mobilnya dalam kecepatan sedang—menurut


pendapatnya. Setidaknya 95 km/jam tidak melanggar kecepatan yang diizinkan.
Lagipula dia juga tidak sedang terlalu terburu-buru.

Gadis itu tersenyum samar saat dengan tangkas mobilnya meliuk-liuk melewati
mobil lain, mengambil tukikan tajam saat menyelip di antara sebuah truk dan
mobil jip, dan berhasil lewat dengan selamat walaupun dengan jarak yang begitu
tipis. Rentetan bunyi klakson yang menyapanya kemudian bahkan tidak
memperburuk mood-nya sedikitpun.

Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas kemudi, mengernyitkan kening saat


matanya melirik kaca spion. Dia mengacuhkan keberadaan mobil Audi itu
sebelumnya, tapi saat menyadari bahwa mobil itu ikut-ikutan memotong
kendaraan lain agar bisa mengambil tempat beberapa meter di belakangnya,
membuatnya tidak lagi merasa santai.

Seseorang membuntutinya. Dan dia harus tahu kenapa.

***

Gadis itu menjaga kecepatan mobilnya saat melewati perbatasan Yeoju dan
Seoul, bersyukur bahwa pagi itu tidak terlalu ramai kendaraan, jadi dia tidak
perlu takut akan ada korban jatuh dalam operasinya untuk menangkap keparat
yang merusak paginya hari ini.

Dia memutar bola mata saat melihat sebuah mobil lain, kali ini Porsche, melaju
kencang dari arah berlawanan. Lurus. Menuju mobilnya.

Wah…wah…,batin gadis itu, merasa adrenalinnya terpacu kencang.

Mobil di belakangnya menambah kecepatan, mendekat ke arahnya dengan


begitu kencang. Dia tidak suka menunggu, maka dialah yang bergerak duluan.

Gadis itu menyentak persneling mobilnya, menginjak kopling, dan


memundurkan mobilnya dengan kencang, menghitung dalam hati, lalu
menyeringai saat tubuhnya nyaris menghantam kemudi—jika saja dia tidak
bersiap-siap terlebih dahulu untuk melakukan gerakan menahan—saat mobilnya
dengan keras menghantam mobil yang terus menguntitnya tadi.

Dan dia tidak membuang-buang waktu untuk mendorong persnelingnya lagi,


menginjak gas, lalu dengan membabi-buta meringsek maju. Di detik-detik
terakhir dia menghidupkan kendali otomatis, dengan perhitungan akurat
melompat dari mobil lalu menyaksikan mobil Porsche-nya yang cantik
meluncur maju, menabrak mobil didepannya yang pengemudinya jelas tidak
menyangka bahwa dia akan melakukan maneuver berbahaya itu.

Gadis itu berguling, bangkit berdiri, merenggut pistol dari sarung senjata yang
tersembunyi di balik baju, berlari terlebih dahulu menuju mobil di belakang—
yang pertama kali mengikutinya—mendapati bahwa mobil itu penyok dan kaca
depannya pecah. Sebagian tubuh pengendaranya tertelungkup di atas kemudi—
gerakan mengecoh yang bagus, tapi Hye-Na terlalu berpengalaman untuk bisa
dibohongi oleh akting seperti itu. Dia bisa melihat gerakan samar bahu pria itu,
menebak bahwa pria itu sedang meraih senjatanya, lalu dengan santai
melepaskan tembakan dengan sudut yang begitu tepat. Berhasil memecahkan
kaca di pintu pengemudi, tapi pelurunya hanya menyasar ke kursi, bukannya ke
kepala bajingan itu.

Hye-Na membuka pintu mobil, mencengkeram baju pria itu lalu menariknya
turun—sedikit bersusah payah karena besar tubuh pria itu dua kali lipat
tubuhnya.

“Berbalik! Bersandar ke mobil. Tangan di belakang kepala. Sekali lagi kau


melawan, peluruku tidak akan berbaik hati untuk tidak menembus kepalamu.”

“Pelacur sialan! Jangan harap kau bisa menang—”

Hye-Na menendang bagian belakang kaki pria tersebut sampai pria itu berteriak
kesakitan dan jatuh berlutut ke aspal, lalu dengan sadis menginjak betisnya kuat-
kuat.

“Mau pincang seumur hidup?” tanyanya menawarkan, meraih kedua tangan pria
itu lalu memborgolnya ke kaitan di belakang pintu mobil.

“Tunggu disini. Aku akan mengurus temanmu. Kalau dia tidak setolol kau, aku
tidak perlu menggunakan senjataku,” desis gadis itu seraya
mengeluarkan communicator dari saku.
“Agen Cho disini,” ucapnya setelah nada sambung berhenti. “Kirim beberapa
orang personel ke tempatku. Ada yang menguntit dan berusaha menyerangku.
Tidak jauh dari perbatasan Seoul. Secepatnya.”

Dia menyelesaikan laporan singkatnya lalu berjalan menuju mobil terakhir yang
ditabraknya tadi. Ada satu keparat lagi yang harus diurusnya. Dan dia ingin
sekali bisa menggunakan pelurunya lagi. Pembalasan dendam yang manis demi
kematian Porsche-nya yang cantik. Dia tidak yakin KNI mau menyediakan
kendaraan dinas semahal itu lagi untuknya. Kemungkinannya hanya dua. Dia
harus menggasak isi rekeningnya sendiri atau meminta Kyuhyun untuk
meminjamkan salah satu dari puluhan mobilnya di garasi.

Atau bisa saja dia pergi ke salah satu tempat penjualan mobil dan mendapatkan
satu mobil gratis disana. Sangat mungkin kan mereka mengatakan, “Tempat ini
milik Cho Corp, jadi Anda boleh memilih mobil manapun yang Anda inginkan
sesuka hati tanpa perlu membayar.”

Memikirkannya saja sudah membuat perutnya mulas.

***

Interrogation Room, KNI Building, Five States

08.36 AM

Hye-Na mengumpat kesal saat pintu ruang interogasi menjeblak terbuka dengan
kasar. Dia bangkit berdiri, berbalik, dan mendapati suaminya berada tepat di
depannya.

“Apa lagi?” serunya, hampir-hampir berteriak. “Kalau kau bermaksud merecoki


urusanku, lebih baik sekarang kau keluar sebelum aku menghantam wajah sok
berkuasamu itu!”

Dia sudah begitu emosi karena kedua pria yang sedang diinterogasinya tidak
mau membuka mulut dan memberitahu siapa yang memerintahkan mereka untu
membuntutinya, dan sekarang dia tidak mau ada orang lain yang tiba-tiba ingin
ikut campur dengan pekerjaannya. Tidak peduli jika itu adalah atasan sekaligus
suaminya sendiri.

“Carilah kegiatan lain di luar sana, Na~ya. Urus kasusmu. Tangkap penjahat
yang berkeliaran. Apapun. Tapi keluarlah dari sini.”
Perkataan pria itu licin, santai, dan ekspresi yang terlihat di wajahnya tidak
tertebak. Datar, tidak memperlihatkan apapun. Tapi apa yang ada di matanya
tampak dingin, murka, siap menghancurkan.

Seharusnya dia sudah tahu betapa Kyuhyun menganggap pribadi setiap urusan
yang membahayakan nyawanya.

“Ini kasusku.Kau tidak berhak mengusirku keluar dari sini.”

“Aku atasanmu. Dan kau tidak berhak melarangku berada disini. Menolak
perintahku berarti pembangkangan, Agen Cho. Kau seharusnya tahu itu.”

Hye-Na berdiri tegang di tempatnya. Merasa terhina, tapi dia menelan bulat-
bulat apa yang ingin diteriakkannya karena agen-agen lain mengawasi mereka
dari balik kaca yang mengelilingi ruangan sebagai pengganti dinding.

Pria itu menunjukkan dengan jelas posisinya saat ini, walaupun alasan pria
tersebut ada disini jelas karena status hubungan pernikahan mereka. Dia
seharusnya memahaminya, berniat untuk berusaha memahaminya. Tapi mereka
adalah tipe manusia yang sama. Terlalu keras kepala untuk menyerah dan
mengalah.

“Kau pikir mereka akan membuka mulut untukmu?”

“Aku punya metode sendiri untuk membuat orang membuka rahasia mereka
padaku,” tandas pria itu, menatap lurus ke arahnya tanpa berkedip.

“Kau dilarang menggunakan senjata saat melakukan interogasi.”

“Siapa bilang aku akan menggunakan senjata?” tanya Kyuhyun retoris. “Dua
tangan saja sudah cukup. Jadi? Bisakah kau keluar?”

“Aku tetap disini.”

“Yah, sesukamu sajalah. Tapi jangan memprotesku kalau kau tidak suka dengan
apa yang kau lihat.”

Kyuhyun melangkah maju, dengan tidak kentara melarikan pandangannya ke


sekujur tubuh istrinya, berusaha memeriksa apakah ada luka, goresan, atau
sesuatu yang tidak sama seperti keadaan gadis itu saat dia meninggalkan rumah
tadi pagi. Tapi sepertinya gadis itu terlihat baik-baik saja. Tidak ada sisa darah
atau apapun yang bisa ditangkap oleh matanya.
Dia sedang rapat dengan dewan direksi saat menerima kabar tentang kecelakaan
lalu lintas yang dialami istrinya—atau lebih tepatnya dilakukan sendiri dengan
sengaja oleh gadis itu. Dan seperti biasanya, apapun yang berkaitan dengan
keselamatan gadis itu akan menjadi urusannya. Dan mengingat kejadian pagi ini
merupakan sesuatu yang diprediksi dilakukan oleh seseorang yang sepertinya
menginginkan nyawa istrinya, maka dia menganggapnya sangat serius, yang
berarti bahwa dia akan melakukan apapun untuk menghancurkannya sampai
tuntas.

Pria itu menekan amarahnya ke dasar, menahannya disana selama beberapa saat,
menunggu diam sebelum memuntahkannya ke permukaan. Dia menarik kursi,
duduk di atasnya sambil menatap ke arah dua pria yang terborgol di depannya.
Mereka berhasil melakukan aksi tutup mulut walaupun Hye-Na sendiri yang
turun tangan untuk mencecar dan mengancam mereka.

“Aku hanya akan bertanya satu kali,” ucapnya dengan nada yang sangat ramah,
sehingga malah terdengar menakutkan. “Pernah dengar tentang Mastix? Penjara
terbaik di bumi. Aku pikir kalian tidak akan menyukai sel bawah tanahnya.
Gelap, dengan kamera yang memonitor kalian setiap saat, bahkan di kamar
mandi sekalipun. Aku dengar tahanan disana juga berbahaya. Suka sekali
menyiksa tahanan lain jika mereka sedang bosan. Berani taruhan berapa lama
kalian akan bertahan hidup disana? Tebakanku dua hari.”

Kyuhyun melipat tangannya di depan dada, memandang kedua orang itu dengan
tatapan menghujam.

“Siapa yang membayar kalian? Apa perintahnya? Sekadar membuntuti? Atau


melenyapkan?"

Pria itu menghitung sampai sepuluh di dalam hati, membiarkan kemarahannya


bergerak, merambat naik dengan perlahan.

“Aku tidak suka mengotori pakaianku sebenarnya,” keluhhnya kemudian.

Dia bisa mendengar desisan kaget Hye-Na di belakangnya saat dia dengan cepat
menghantamkan kakinya ke atas, membanting meja kayu yang membatasinya
dengan kedua bajingan itu ke samping sehingga menimbulkan debum keras
yang memekakkan telinga lalu mengulurkan tangan untuk merenggut salah satu
dari keparat itu ke arahnya.
“Aku sudah bilang hanya akan bertanya satu kali,” bisiknya geram. “Kau
membuang-buang kesempatanmu.”

Dengan gerakan begitu cepat dan samar dia melayangkan tinjunya, bangkit
berdiri, masih mencengkeram bagian depan baju penjahat itu, lalu menendang
perutnya, membuat pria itu jatuh terjengkang menghantam meja yang sudah
terjungkir tadi, menimbulkan suara derak memilukan antara tulang yang remuk
dan kayu yang patah.

Dia menyambar pria yang satu lagi, tidak memedulikan bahwa ukuran tubuh
pria itu jauh lebih besar darinya, lalu mendorong, menyudutkannya ke dinding
kaca.

“Kyu!” seru Hye-Na, bermaksud mencegah setelah gadis itu tersadar dari
kekagetannya.

“Menyingkirlah,” ujar Kyuhyun dengan nada rendah saat merasakan kehadiran


gadis itu di belakangnya. “Jangan dekat-dekat denganku. Emosiku sedang tidak
terkontrol.” Dia menguatkan cengkeramannya—atau bisa dikatakan
cekikannya—di leher pria terakhir yang masih tersisa, menatap tajam, berusaha
untuk tidak berbalik. Dia tidak akan menyemburkan kemarahannya pada Hye-
Na. Dan dia sedang berusaha.

“Please?” pintanya lagi karena gadis itu tidak kunjung bergerak menjauh.

Ada sesuatu, seperti permohonan yang sangat, dari nada suara pria itu sehingga
Hye-Na melangkah mundur, membiarkan pria tersebut melakukan apa yang
perlu dia lakukan.

Kyuhyun menghantamkan tinjunya ke rahang pria berbadan besar itu, melihat


darah memercik dari dalam mulutnya. Mungkin ada beberapa gigi yang patah.
Apa pedulinya?

“Aku hanya seorang pembunuh bayaran! Aku hanya menerima telepon dan
setumpuk uang yang dikirim ke rekening tabunganku. Aku tidak tahu siapa
orangnya!” seru pria itu cepat-cepat, takut nasibnya akan berakhir sama seperti
pria satunya.

Kyuhyun menyeringai kejam, memberi kesan mengerikan di wajah tampannya,


lalu berbisik dengan nada manis.
“Pengakuanmu sudah sangat terlambat,” ujarnya, lalu tanpa belas kasihan
membanting tubuh pria itu, memecahkan seluruh dinding belakang yang terbuat
dari kaca. Ada lebih banyak darah, dan serpihan kaca yang berserakan,
sedangkan Kyuhyun memaksa dirinya untuk berpikir bahwa itu sudah cukup.
Untuk sekarang.

Dia menarik nafas, menggertakkan gigi, lalu berbalik, melangkah melewati


Hye-Na begitu saja tanpa sekalipun menoleh, kemudian keluar dari ruangan.

“Bersihkan,” perintahnya pada salah satu agen KNI yang menunggu di luar.
“Kau dengar kata-kataku tadi. Jadi bawa mereka ke Mastix. Bawah tanah. Dan
pastikan bahwa siapapun yang melenyapkan mereka disana, tidak perlu
dihukum terlalu berat.”

***

Hye-Na berlari keluar dari ruangan, secepat yang dia bisa, berusaha mengejar
Kyuhyun yang berjalan beberapa langkah di depannya. Dia menyambar bagian
belakang jas pria itu, membungkuk untuk menarik nafasnya yang sudah
tersengal-sengal, tidak terlalu memedulikan betapa banyaknya karyawan yang
berlalu-lalang di sekitar mereka. Persetan dengan menjadi tontonan gratis bagi
mereka semua, yang penting dia harus menyelamatkan pernikahannya.

“Aku sudah bilang jangan dekat-dekat denganku sekarang,” bentak Kyuhyun


tanpa membalikkan tubuhnya.

Hye-Na berdiri di samping pria itu, menghadap ke arah tubuh bagian kanan pria
tersebut, hanya menatap lurus ke lengan jasnya yang berwarna hitam.

“Kau marah padaku?”

“Karena kau tidak pernah memberitahuku apapun yang terjadi padamu sehingga
aku harus meminta orang lain untuk melaporkannya, lebih baik kau menerima
saja konsekuensinya. Kau tidak berhak mendebatku tentang cara penyelesaian
yang kupilih untuk mengurusnya.”

“Aku tidak sedang mendebatmu.”

“Ya sudah kalau begitu.”

“Kau tidak menatapku.”


“Beri aku waktu,” pintanya. “Nanti malam aku akan kembali normal. Aku
hanya perlu menenangkan diri, oke?”

“Aku lebih suka kalau kau berteriak-teriak seperti biasa.”

“Oh, ya? Maaf kalau membuatmu kecewa,” ucapnya datar. “Aku harus kembali
ke kantor. Sampai jumpa nanti malam.”

Hye-Na mendengus kesal lalu dengan rikuh menghentikan langkah pria itu
dengan cara melingkarkan kedua lengannya di tubuh pria itu, masih dengan
posisinya semula. Dia menetralisir rasa malunya dengan membenamkan wajah
ke lengan atas pria tersebut, menghirup bau cologne segardan aroma kain mahal
yang menguar dari sana.

“Aku minta maaf karena lagi-lagi membuatmu cemas. Hanya saja itu cara yang
terpikir olehku untuk menyelamatkan diri dalam situasi berbahaya seperti tadi.
Mereka berniat menabrakku dari depan dan belakang, jadi—”

Ucapan Hye-Na terhenti saat Kyuhyun meraih lengannya lalu menarik gadis itu
sampai berdiri di depannya.

“Aku tahu. Karena itu aku tidak meneriakimu. Mengerti? Sekarang kembalilah
bekerja. Aku pikir kau tidak suka jadi pusat perhatian.”

“Karena kau marah padaku, makanya—”

“Aku tidak marah padamu. Aku hanya terlalu ingin… menghabisi kedua
keparat itu dengan tanganku sendiri dan aku tidak suka kalau kau melihatku
dalam keadaan seperti itu, makanya aku menyuruhmu menyingkir.”

Hye-Na mendongak menatap pria itu, berusaha menemukan kebohongan, tapi


tidak ada. Jadi dia cukup puas mendengar alasan yang sudah dikemukakan pria
tersebut barusan.

“Ya sudah,” ucapnya dengan wajah memerah. Tapi tetap saja dia membenci raut
tegang di wajah Kyuhyun, kemarahan yang masih tersirat jelas dalam
tatapannya, dan betapa kakunya tubuh pria itu sekarang. Jadi dia mengulurkan
kedua tangannya, mengalungkannya ke leher pria itu, lalu berjinjit.

Kyuhyun sedikit terkejut saat menyadari apa yang akan dilakukan wanitanya
yang terkenal begitu anti mengumbar kemesraan di depan umum itu. Dia
bahkan harus bersusah payah menahan senyum saat gadis itu berusaha
menjangkau wajahnya, padahal dia sudah berjinjit. Jadi dia sedikit mengalah
dengan menundukkan tubuhnya lalu menerima ciuman dari istrinya tersebut.

Ciuman itu tersa seperti siraman air yang menyegarkan, pelukan yang
menenangkan, dan ampuh untuk meredakan kemarahan. Gadis itu memberi
begitu banyak dan kali ini dia hanya menerima, membiarkan gadis itu
memegang kendali.

Dia bisa merasakan tangan gadis itu bergerak menyusuri lehernya, lalu
menangkup keduasisi wajahnya, memberikan kecupan singkat di pipinya
sebelum memundurkan tubuh.

“Kau tidak perlu membunuh untukku,” bisik gadis itu agar tidak terdengar.

Kyuhyun menyeringai. “Ada banyak alasan yang dibutuhkan pria untuk


membunuh. Tapi yang paling mendesak adalah jika alasan itu berhubungan
dengan keselamatan wanita yang sudah dia klaim sebagai milik pribadinya. Kau
seharusnya sudah tahu itu. Na~ya.”

“Tapi kau juga tidak perlu membahayakan diri sendiri dan merusak
reputasimu.”

“Aku tidak terlalu memedulikan reputasiku. Dan aku bisa menjaga diriku
sendiri.”

“Bajingan sombong sok kuasa.”

Kali ini Kyuhyun benar-benar tersenyum. “Aku menganggap itu sebagai


pujian.”

“Cih. Pergi sana. Beli pulau atau planet!”

“Dari tadi kan kau yang menahanku. Tapi karena kau membahas itu….”
Kyuhyun menggantungkan ucapannya lalu menatap Hye-Na penuh perhitungan.
“Apa kebetulan kau tertarik dengan vila dan pantai pribadi di Hawaii?”

Hye-Na mengangkat alisnya.

“Sepertinya tidak,” putus Kyuhyun. “Lagipula aku juga baru membeli pulau di
Karibia. Pulau dan pantai sama saja, kan?”

“Pulau dan pantai sama saja?” desis Hye-Na, yang hanya dibalas dengan
kedikan di bahu oleh pria itu.
“Ya sudah. Aku pergi.”

Kyuhyun baru berjalan beberapa langkah saat gadis itu kembali memanggilnya.

“Hei! Ngomong-ngomong aku baru saja merusakkan mobilku. Boleh pinjam


punyamu sebelum aku membeli yang baru?”

“Pakai yang mana saja,” ujar Kyuhyun, memutuskan untuk tidak memprotes
gadis itu atas pemakaian kata pinjam yang digunakannya. “Asalkan jangan
Lamborghini ST-5 baruku. Itu belum pernah kupakai.”

“Lalu untuk apa kau beli mobil kalau tidak kau pakai, hah?”

Hye-Na mendelik kesal saat pria itu hanya menjawabnya dengan sebuah
cengiran. Tapi setidaknya hal paling buruk sudah lewat. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Rumah tangganya sudah kembali baik-baik saja.

***

2 days later…

Practice Room, STA Building, Five States

10.07 AM

“Oke, Ibu Hamil. Kau yakin mau bertanding? Kalau suamimu tahu—”

“Oh, ayolah, jangan mengalihkan pembicaraan,” sergah Hye-Na dengan


pandangan mengejek ke arah Soo-Hyun yang berdiri dua meter di depannya.
“Tidak usah mencari alasan lain jika alasan sebenarnya adalah kau takut aku
kalahkan. Seperti beberapa tahun yang lalu. Masih ingat saat aku memi—”

“Ya Tuhan! Oke. Baik. Tidak usah membahas masa lalu,” potong Soo-Hyun
cepat-cepat sebelum Hye-Na berhasil mempermalukan dirinya di depan semua
orang yang ada di arena yang biasanya digunakan sebagai tempat berlatih para
agen itu.

Hye-Na memasang posisi bersiapnya dan menyeringai.

“Mulai?”

“Don’t underestimate me, woman.”


Hye-Na melirik ke sekeliling. Ada banyak agen disana. Sebagian hanya duduk-
duduk di sekitar arena, beristirahat setelah latihan rutin yang mereka jalani tiap
pagi—hanya agen-agen di tim Hye-Na saja yang terhitung sangat jarang berada
disana, karena biasanya mereka memang jarang turun langsung ke lapangan
yang menuntut keahlian mempertahankan diri dari serangan musuh. Sebagian
lagi masih berlatih, baik di arena gym, maupun arena bertarung. Tapi jelas
langsung menghentikan kegiatan mereka untuk bisa menyaksikan kejadian
langka ini. Tentu saja para agen di Korea sudah tahu bahwa semua agen dalam
tim Hye-Na—Siwon, Eun-Ji, Soo-Hyun dan Leeteuk—merupakan agen-agen
terpilih yang mendapatkan nilai tertinggi di seluruh ujian masuk agen. Terkenal
dengan insting mereka yang tajam, kemampuan sebagai penembak jitu, dan
dipastikan bisa berkelahi dengan sangat baik jika dibutuhkan.

Hye-Na membiarkan Soo-Hyun maju duluan. Tidak ada istilah lady’s first di
tempat ini. Disini, pria dan wanita tidak dibedakan. Setiap orang harus bisa
bertahan dengan tuntutan kerja yang mencekik leher atau mereka akan didepak
keluar tanpa belas kasihan.

Soo-Hyun melakukan gerakan samar yang begitu cepat, merentangkan satu


kakinya ke arah depan, bermaksud menjegal kaki Hye-Na dan menjungkalkan
gadis itu. Jika bukan karena pengalaman bertahun-tahun di bawah instruksi
langsung Soo-Hwan, Pimpinan KIA Cabang Amerika Serikat—yang juga
merupakan ayah angkatnya—Hye-Na mungkin tidak akan bisa bereaksi begitu
cepat terhadap serangan yang dilakukan pria itu, ditambah dengan fakta bahwa
dia sudah cukup lama tidak melatih tubuhnya.

Hye-Na balik menjulurkan kaki kirinya, mengaitkannya ke belakang lutut kaki


Soo-Hyun yang terentang—sebuah posisi yang bagus untuk menyerang tapi
juga membuat pria itu tidak memiliki keseimbangan tubuh untuk bertahan. Dia
sedikit memutar badan, menggunakan seluruh kekuatan kakinya untuk
menggulingkan rekan satu timnya itu, memitingnya ke atas matras, dan dalam
beberapa detik melumpuhkan pria itu dengan duduk di atas tubuhnya dan
menarik tangannya ke belakang punggung, membuat pria tersebut mengerang
dan meneriakkan kata menyerah.

Hye-Na terkekeh senang, mengulurkan tangannya ke samping, yang diikuti


gerutuan Eun-Ji, Siwon, dan Leeteuk, yang terpaksa mengeluarkan uang
sepuluh ribu won dari saku masing-masing lalu melemparkannya ke dalam
genggaman tangan Hye-Na.
“Aish, Kim Soo-Hyun!” teriak Eun-Ji kesal. “Dia bahkan tidak pernah latihan
lagi dan kau masih tidak bisa mengalahkannya? Kau itu kan laki-laki!”

Soo-Hyun baru akan menyuarakan pembelaan dirinya saat sebuah suara dingin
memotong apapun yang akan dia ucapkan, sekaligus membuatnya membeku di
tempat.

“Kau dipecat, Kim Soo-Hyun ssi,” ujar suara yang terdengar tanpa belas kasihan
itu.

“Hei hei, Cho Kyuhyun!” seru Hye-Na, cepat-cepat beranjak dari atas tubuh
Soo-Hyun dan bergegas menghampiri suaminya yang sepertinya sebentar lagi
siap meledak itu.

Mata Kyuhyun melebar melihat penampilan istrinya yang bisa dikatakan…


hmm, menggugah selera. Tapi dia dengan segera mengenyahkan kenyataan
betapa seorang Cho Hye-Na tampak begitu seksi dalam balutan tank-top hitam
dan hotpants-nya, dengan rambut yang diikat asal di kepala, menampilkan leher
jenjangnya yang tampak berkeringat. Gadis itu jelas-jelas duduk di atas pria lain
dengan pakaian seminim itu, membuatnya benar-benar sedang ingin
memukulkan tinjunya ke wajah seseorang.

“Kau juga dipecat,” lanjutnya sadis.

“YAK!” teriak gadis itu hilang kesabaran. Dia mendorong dada pria itu dengan
telapak tangannya sambil menggertakkan gigi. “Kita selesaikan di luar. Aku
benar-benar ingin menghantam wajah sombongmu itu!”

“Aku juga ingin memberimu pelajaran penting tentang menjadi istri yang
pantas,” desis pria itu dengan mata menyipit tajam. “Kenapa kita tidak
selesaikan disini saja, Agen Cho? Ini kesukaanmu, kan? Bertarung dengan
tangan kosong?”

“Baik. Kau pikir aku takut?”

“Tentu saja,” dengus Kyuhyun sambil menyeringai. “Semua agen ada disini dan
reputasimu dipertaruhkan. Iya, kan?” Kyuhyun melepas jasnya dan
melemparnya ke lantai, disusul dasinya kemudian. Dia membuka dua kancing
atas kemejanya dan melipat lengan kemeja tersebut sampai siku, lalu
menendang sepatunya keluar arena.
“Minggir kau, Kim Soo-Hyun ssi,” perintahnya karena pria itu memang
menghalanginya, masih tergeletak di atas matras dengan raut wajah melongo
melihat kedua orang yang sepertinya punya kelainan itu.

“Kalau kau kalah,” ujar Hye-Na dengan nada dingin. “Kau harus
menyingkirkan sifat pencemburumu itu jauh-jauh.”

“Kalau aku menang,” balas Kyuhyun, tidak terganggu sama sekali dengan
ancaman Hye-Na, jelas sedang menyepelekan gadis itu. “Kau harus memastikan
tidak memakai pakaian yang kekurangan bahan seperti itu lagi di depan umum.”

“Kau meremehkanku, Cho Kyuhyun ssi?”

“Pastikan saja kau mengerahkan seluruh kemampuanmu,” ucap pria itu sambil
menyeringai kejam.“Aku tidak akan main-main saat membuat sebuah
tantangan.” Mereka berdua berjalan pelan memutari arena, saling menatap
sengit satu sama lain. “Aku tidak suka kalah, kau tahu kan, Sayang? Tidak
peduli kalau kau itu perempuan dan statusmu adalah istriku.”

Baru saja dia menyelesaikan ucapannya, Hye-Na melancarkan serangan


pertama. Merangsek maju dengan posisi tubuh merunduk dan tanpa disangka-
sangka menjejakkan satu tangannya ke atas matras, menyeimbangkan tubuh di
atasnya, lalu sepenuhnya mengangkat tubuhnya dengan satu kaki yang membuat
gerakan menendang dengan begitu cepat, sehingga walaupun Kyuhyun
menyadarinya dan berhasil menghindar, tendangan tersebut masih sempat
menyerimpet bahunya, meninggalkan rasa berdenyut yang cukup terasa nyeri.

Hye-Na menjejakkan kakinya lagi ke lantai—seperti sedang melakukan jungkir


balik—lalu kembali menatap Kyuhyun dengan senyum miring tersungging di
bibir mungilnya.

“Seperti itu?” tanyanya, kali ini menyiratkan nada meremehkan.

“Cukup cerdik,” ucap Kyuhyun mengakui, tanpa peringatan berlari maju,


memegangi lengan bagian atas gadis itu, dan mengangkat tubuhnya dengan satu
tangan, membalikkannya di udara, lalu dengan mudah membantingnya ke atas
matras walaupun dia ikut memosisikan letak tangannya agar bisa menahan
bagian belakang kepala Hye-Na supaya tidak menghantam benda berbentuk
kasur tipis itu.
Kyuhyun menaikkan alisnya, kemudian dalam hitungan detik melebarkan mata
saat merasakan kaki Hye-Na terangkat naik, melingkar di pinggangnya, lalu
gadis itu menyelip keluar dari sela tubuhnya yang dia gunakan untuk
mengurung gadis itu agar tidak bisa bergerak. Kedua kaki gadis itu terasa
membelit, lalu entah bagaimana gadis itu sudah berada di atas punggungnya,
dengan tangan yang dikalungkan di sekeliling lehernya dalam gerakan
mencekik.

“Kena kau, PresDir,” bisik gadis itu tepat di telinga Kyuhyun, menggunakan
tangannya untuk mengacak-acak rambut pria itu.

Kyuhyun menolehkan wajahnya, mencuri sebuah kecupan cepat dari bibir gadis
itu yang dimaksudkan untuk mengendurkan kewaspadaannya.

“Aku belum mendapatkan morning kiss-ku pagi ini, kan?” ucapnya manis, lalu
dengan tidak berperikemanusiaan menggunakan tangan kirinya, melakukan
gerakan memutar ke belakang untuk merenggut baju Hye-Na dibagian
punggung dan menyentakkannya ke arah depan—masih dengan kedua kaki
gadis tersebut yang melingkar di pinggangnya—membuat gadis itu terlentang di
atas matras. Seolah belum cukup, Kyuhyun menggunakan kakinya—yang
terhimpit oleh tubuh Hye-Na, meletakkannya di kedua sisi leher gadis tersebut,
mengait di tengkuk, lalu membuat gerakan mendorong sehingga Hye-Na
terpaksa mengambil posisi duduk.

“Jangan pernah mengendurkan pengawasan sebelum kau benar-benar yakin


sudah melumpuhkan lawanmu, Agen Cho,” bisiknya sok menasehati, membuat
Hye-Na mengeluarkan geraman marah karena Kyuhyun dengan cekatan
memegangi kedua tangannya yang bermaksud menyingkirkan kaki pria itu dari
lehernya.

“Satu,” ucap pria itu, mulai menghitung dengan santai, tahu bahwa Hye-Na
tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Gadis itu sendiri, karena sudah menyadari
kekalahannya, hanya balas menatap Kyuhyun, lebih sengit daripada
sebelumnya, mau tidak mau menyadari bahwa pria itu, dengan kemeja hitamnya
yang sudah kusut, rambut yang tampak tidak beraturan, dan wajah yang
sempurna seperti pahatan, tampak seksi setengah mati. Dan dia tidak menyukai
kenyataan bahwa agen wanita lainnya, terutama Shin Eun-Ji, juga bisa
menikmati pemandangan yang sama dengan yang dilihatnya.

“Dua,” lanjut Kyuhyun. “Tiga.”


Pria itu menarik Hye-Na berdiri, menyeret gadis itu bersamanya, lalu memungut
jasnya yang berada tidak terlalu jauh, kemudian melemparkannya ke gadis itu.

“Ganti bajumu,” perintahnya. “Dan mulai sekarang, kalau kau bermaksud


latihan, pakai sesuatuyang sopan. Kau mengerti?” desisnya dengan nada
mengancam, lalu berbalik menghadapi para agen yang masih asyik menonton
kelakukan abnormal mereka berdua.

“Maaf mengganggu jadwal latihan kalian. Silahkan dilanjutkan,” serunya,


kemudian menoleh lagi menatap istrinya.

“Dan kau,” desisnya. “Ikut aku.”

“Aku harus be—”

“Kau melewatkan sarapanmu,” potong Kyuhyun. “Dan mungkin akan


melewatkan makan siangmu juga. Sudah kubilang, kan? Perhatikan nutrisimu.
Jadi lebih baik tutup mulutmu sampai aku selesai mengisi perutmu itu dengan
makanan.”

***

At Restaurant, Gangnam

11.13 AM

“Aku ke kamar mandi dulu,” ujar Kyuhyun, meletakkan serbetnya ke atas meja
lalu pergi meninggalkan Hye-Na yang masih berkonsentrasi penuh
menghabiskan tumpukan makanan di depannya. Gadis itu memang memiliki
nafsu makan yang besar hanya saja terlalu malas untuk melakukannya sehingga
seringkali Kyuhyun harus turun tangan untuk memaksanya terlebih dahulu. Dan
untung saja pria itu berhasil melakukan pencegahan dengan memesankan semua
makanan untuk gadis itu dan tidak membiarkannya melihat daftar menu. Karena
jika gadis tersebut tahu seberapa mahal makanan yang dilahapnya dengan
membabi-buta itu, dia jelas akan menyingkirkan semuanya dan merongrong
Kyuhyun agar mencari AutoChef terdekat saja.

Pria itu berhenti di depan wastafel—tidak ada seorangpun di tempat itu,


sehingga dia bisa dengan leluasa mengecek communicator-nya tanpa perlu
merasa risih diamati. Ada beberapa laporan singkat yang dikirimkan oleh Joong-
Ki tentang rapat siang ini yang tidak dihadirinya dan digantikan oleh pria itu.
Tidak ada kendala berarti. Dia berhasil membeli sebuah perkilangan minyak
yang cukup besar di Abu Dabhi dengan harga lebih rendah daripada yang
dipatok oleh pemilik tempat tersebut. Yah, memiliki Joong-Ki sebagai asisten
pribadi membuatnya bisa sedikit melonggarkan jadwal kerjanya yang ketat. Pria
itu benar-benar bisa mengerjakan tanggung-jawab apapun yang dilimpahkan
padanya dengan sangat baik.

Dia menghabiskan waktu lima menit di dalam ruangan itu lalu kembali ke
mejanya dan mendapati bahwa kursi yang diduduki Hye-Na sudah kosong.
Hanya ada sehelai kertas kecil yang tergeletak di samping piring kosong gadis
itu.

Ada kasus.

Terima kasih makan siangnya.

-Hye Na-

Kyuhyun mengernyit dan pada akhirnya hanya bisa mendecak kesal. Mungkin
dia harus lebih mendisiplinkan jadwal kerja istrinya itu. Untuk apa dia berstatus
sebagai pemilik kalau dia tidak bisa berbuat sekehendak hati?

***

STA Building

07.18 PM

“Tidak kembali bagaimana maksudmu?” tanya Kyuhyun, nyaris meninggikan


suaranya seperti orang yang sedang berteriak.

“Sejak dia pergi bersamamu tadi siang dia belum kembali lagi ke kantor. Aku
pikir kau membawanya ke suatu tempat atau bagaimana.”

“Dia menghilang saat aku ke kamar mandi dan hanya meninggalkan pesan
kalau ada kasus. Brengsek, jadi dimana gadis itu sekarang?” umpat Kyuhyun,
mengeluarkan communicator-nya, bermaksud mengecek sesuatu.

“Kalau dia tidak bersamamu, mustahil dia tidak kembali ke kantor,” ujar
Leeteuk. “Memangnya dia mau kemana lagi?”

“Dia belum pulang,” tandas Kyuhyun, setelah memastikan lewat rekaman


CCTV di rumahnya yang bisa dia akses melalui communicator pribadinya. Pria
itu menggertakkan gigi kesal walaupun di sisi lain dia berusaha untuk berpikir
jernih.

Beberapa detik kemudian berlalu dengan tensi yang semakin meningkat sampai
akhirnya pintu ruangan membuka dan Kang-In muncul dengan wajah panik.

“Oh, Kyuhyun~a, kebetulan sekali kau disini. Baru sampai satu menit yang lalu.
Email langsung ke Departemen Komunikasi. Scorso. Sepertinya mereka ingin
bermain-main lagi. Anehnya email ini ditujukan untukmu.”

Kyuhyun mengepalkan tangannya saat perlahan menyadari apa yang sedang


terjadi.

“Apa isinya?”

“Hanya satu kalimat. Merasa kehilangan sesuatu, ChoKyuhyun ssi?”

***

An Uninhabited Island, South Korea

08.14 PM

Hye-Na menggerakkan kelopak matanya yang tertutup, merasakan sesuatu


menusuk-nusuk kepalanya, membuatnya merasa nyeri dan pusing, terlalu lemah
untuk sekedar bergerak, membuka mata dan bangun sepenuhnya.

Dia berusaha berpikir—dalam kegelapan yang diciptakannya sendiri—


mengingat-ingat apa yang terjadi. Sejauh yang diketahuinya, tadi siang dia
sedang makan dengan Kyuhyun yang kemudian meninggalkannya sendirian dan
pergi ke kamar mandi. Lalu dia mendapat email dari Scorso yang memberi
waktu dan tempat penyerangan berikutnya. Dia meninggalkan pesan untuk
Kyuhyun, pergi keluar untuk mencari taksi, bermaksud menghubungi rekan satu
timnya dalam perjalanan, dan entah bagaimana dia malah berada di tempat ini
sekarang.

Dia tahu bahwa dia sedang diculik dan entah sedang berada di bagian bumi
belahan mana. Pelakunya tentu saja Scorso, yang bahkan dia tidak bisa menebak
siapa, tapi setidaknya dia merasa benci setengah mati dengan cara licik seperti
ini dan memiliki keinginan kuat untuk menghabisi siapapun yang sudah
melakukan ini padanya.
Gadis itu akhirnya membuka mata, mendudukkan tubuhnya, lalu memandang
ke sekitar.

Dia sedang berada di sebuah kamar tanpa jendela, dengan cat dinding yang
sudah mengelupas. Hanya ada satu tempat tidur, satu kursi dan satu meja, dan
matanya menatap keberadaan setumpuk pakaian di ujung tempat tidurnya, juga
senampan makanan di atas meja yang terbuat dari kayu yang terletak di sudut
ruangan.

Gadis itu menjulurkan tangannya, meraih secarik kertas di atas pakaian yang
terdiri dari tank-top hitam dan hotpants berwarna cokelat muda.

Makanlah sebanyak dan selagi kau bisa. Kau pasti akan membutuhkan
tenaga penuh besok. Dan pakai baju yang sudah dipersiapkan untukmu
besok pagi. Kita akan… bermain-main sedikit.

Pastikan kau sudah siap jam 10. Beristirahatlah secukupnya. Karena


mungkin kau akan menyesal kalau tidak melakukannya.

Dan Hye-Na melakukannya. Tidak ada gunanya untuk memberontak ataupun


mengeluh sekarang. Apapun yang akan terjadi besok, dia harus memiliki tenaga
yang terisi penuhuntuk berjaga-jaga. Lalu setelah dia mengenali situasi, barulah
dia bisa memikirkan jalan keluar. Karena ada dua nyawa yang dipertaruhkan
disini. Nyawanya. Dan nyawa anaknya.

***

STA Building

08.34 PM

“Tenanglah, oke? Hye-Na akan baik-baik saja,” ucap Siwon, berusaha


membujuk istrinya yang dari tadi menangis setelah mereka semua mendengar
laporan dari Kang-In.

“Apanya yang tenang, bodoh? Dia berada di tangan penjahat berbahaya yang
tidak segan-segan meletakkan bom di tempat yang berisi ratusan orang! Mereka
tidak akan ragu-ragu untuk menghabisinya kalau mereka mau!”

Siwon mendesah, menyerah dengan bujukannya yang sepertinya sia-sia lalu


berjalan menghampiri Kyuhyun, Leeteuk, Soo-Hyun, dan Kang-In yang bekerja
di depan komputer mereka masing-masing. Setidaknya ada satu kabar baik
bahwa setelah penculikan terakhir yang terjadi pada Hye-Na, pria itu dengan
cerdiknya memasukkan alat pelacak mini secara diam-diam ke dalam makanan
gadis itu, seperti yang dulu KNI lakukan terhadap paman Kyuhyun yang
berkomplot dalam konspirasi pembunuhan ayahnya.Mereka mengalami
kesulitan saat mendapati bahwa alat itu sempat terlacak di kawasan pelabuhan,
tapi kemudian tidak ada jejak lagi yang tersisa. Hilang begitu saja. Tebakan
terbaik mereka adalah Hye-Na dibawa ke suatu pulau tak berpenghuni yang
dipastikan tidak memiliki sinyal sehingga GPS itu tidak bisa berfungsi.

“Bagaimana?” tanya Siwon ingin tahu, tidak bisa menahan kekagumannya saat
melihat betapa cepatnya tangan Kyuhyun bekerja di atas keyboard juga kilasan
gambar-gambar yang berupa titik-titik kecil di layar, berubah menjadi gambaran
pulau-pulau yang terdapat di Korea Seolatan, silih berganti dengan begitu cepat
sehingga dia tidak bisa menangkap bentuknya dengan jelas.

“Ada 3.358 pulau di negara ini dan sebagian besar di antaranya tidak
berpenghuni,” jawab Leeteuk.

“Sudah mengecek daftar pelayaran kapal pribadi hari ini?”

“Sudah. Tapi kau tahu bahwa kapal pribadi hanya butuh izin untuk berlayar dan
mereka tidak perlu mengonfirmasi tujuan. Ada sekitar 178 kapal pribadi yang
berangkat hari ini dari pelabuhan tempat terakhir kali GPS itu terlacak dan akan
sangat menghabiskan waktu jika mengeceknya satu-satu. Lagipula aku pikir
para pemilik kapal-kapal itu tidak akan suka diinterogasi.”

“Satu-satunya cara hanya mencari tahu siapa Scorso.”

“Berikan aku semua daftar pulau pribadi di negara ini beserta nama
pemiliknya.”

Siwon menoleh saat mendengar suara dingin Kyuhyun yang memberikan


perintah kepada komputer sakunya yang hanya sebesar telapak tangan, tapi jelas
sangat canggih karena pria itulah yang merakitnya sendiri dan benda itu tidak
dijual dimanapun. Kabar yang didengarnya, komputer saku itu adalah versi mini
dari komputer luar biasa di rumah Kyuhyun.

Siwon sedikit mencondongkan tubuhnya dan menatap informasi yang mulai


bermunculan di layar, sedangkan Kyuhyun masih melanjutkan pekerjaannya di
komputer yang lebih besar. Ada sekitar 300 lebih pulau pribadi yang
kesemuanya tidak berpenghuni—karena jelas hanya akan dikunjungi oleh
pemiliknya jika sedang ingin berlibur—dan 56 di antaranya terdaftar atas nama
Kyuhyun. Nama-nama lainnya juga merupakan nama-nama pebisnis dan orang-
orang kaya di Korea yang sepertinya memiliki kesenangan sama seperti
atasannya itu.

Pintu ruangan terbuka dan Joong-Ki melangkah masuk, langsung menghampiri


Kyuhyun.

“Seperti yang kau prediksi, dia sempat menetap satu tahun di Italia. Pebisnis
nomor dua paling sukses di negara ini setelah kau. Dia juga menumpuk
kekayaan dimana-mana. Dan aku sempat menyelidiki keberadaannya saat ini,
mencari tahu dimana dia menetap. Dia sudah kembali ke Korea sepuluh bulan
yang lalu setelah berpindah-pindah dari Kanada, Seattle, dan New York untuk
mengurus bisnisnya. Dan saat aku mencari cara untuk menghubunginya baik di
kantor maupun di rumah, mereka mengatakan bahwa hari ini dia berangkat
untuk berlibur, tapi tidak memberitahu lokasi yang ditujunya.”

“Kerja bagus,” ujar Kyuhyun dan Siwon sempat menangkap kilatan dendam
dan amarah di mata pria tersebut sebelum pria itu berpaling untuk memeriksa
daftarnya.

“Pebisnis kedua,” ucap Siwon saat menyadari sesuatu. “Maksudmu… Jung Il-
Woo?”

Joong-Ki mengangguk membenarkan sedangkan semua orang di ruangan itu


menatapnya dengan pandangan tak percaya.

“Sial. Namanya memang tertera sebagai salah satu pemilik kapal pribadi yang
berlayar hari ini,” umpat Kang-In.

“Tidak mungkin semudah itu, kan?” sergah Leeteuk.

“Tidak, kalau saja dia bukan bajingan sombong yang terlalu percaya diri bahwa
kita tidak akan bisa menyelidiki sampai sejauh ini,” ucap Kang-In. “Darimana
kau bisa menebak bahwa dia adalah pelakunya, Kyu?”

“Dendam masa lalu,” ujar Kyuhyun sambil menyadarkan tubuhnya ke


punggung kursi. Ada raut lelah di wajah dinginnya yang biasanya tanpa
ekspresi, juga kemurkaan yang amat sangat. “Kami sempat bersama-sama di
universitas. Bersaing secara sehat. Dia juga termasuk mahasiswa kebanggaan.
Dan satu-satunya orang yang setidaknya memiliki kemampuan setara denganku.
Tapi hubungan kami memburuk di tahun akhir. Kekasihnya, yang berencana
dinikahinya setelah lulus, meninggalkannya. Sebenarnya aku tahu alasannya
karena sehari sebelum memutuskannya, gadis itu menemuiku dan mengatakan
bahwa dia menyukaiku. Tentu saja aku menolaknya. Lalu seminggu kemudian
gadis itu ditemukan mati bunuh diri di apartemennya dan Il-Woo menemukan
diarinya, mengetahui semuanya, lalu memusuhiku habis-habisan. Ditambah
kenyataan bahwa kemudian ayahku berhasil mengakuisisi salah satu perusahaan
ayahnya.”

“Penyerangan di ACC waktu itu, kebocoran keamanan, hanya dia yang bisa
melakukannya. Karena kami sempat merancang sistem keamanan itu bersama-
sama. Walaupun pada akhirnya aku mengubah sebagian desainnya, tapi tetap
saja dia mengetahui dasarnya. Aku sudah cukup curiga, terutama dengan nama
yang dia gunakan di setiap email yang dikirim karena aku tahu bahwa dia sangat
menyukai Italia dan menguasai bahasanya dengan baik. Lagipula isi email
pertamanya sekadar omong kosong, tentang pengembalian Korea seperti
semula, sedangkan jelas bahwa yang diincarnya hanya aku. Tapi dia sangat licin
dan jelas seorang ahli hacking yang sangat mahir. Aku kesulitan untuk melacak
bahkan untuk mengumpulkan bukti kejahatannya.”

“Lalu sekarang apa? Berniat membalas dendam? Nyawa dibayar nyawa?”


sergah Eun-Ji, akhirnya membuka suara. “Kenapa butuh waktu bertahun-tahun
baru melakukannya?”

“Karena kau harus menjadi seorang jenius untuk melawan jenius lainnya,”
jawab Leeteuk. “Dia harus mempersiapkan semuanya dengan sangat matang
karena ceroboh sedikit saja, dia bisa tamat. Kau lihat, kan? Dia bahkan berhasil
menculik Hye-Na.”

“Ada 19 pulau terdaftar sebagai miliknya,” ujar Siwon dengan mata yang
menyusuri layar komputer saku Kyuhyun. Komputer itu memang kecil, tapi
layarnya bisa diperbesar sampai lima belas kali lipat. “Bagaimana kita bisa tahu
pulau yang mana?”

Kyuhyun memberi perintah baru pada komputernya untuk mencari data setiap
pulau serta nama resmi pulau-pulau tersebut setelah didaftarkan sebagai milik
pribadi.

“Mindeulle,” ucap pria itu beberapa saat kemudian dengan kening mengernyit.
“Mindeulle, Bahasa Korea untuk dandelion. Dia dulu selalu memanggil
gadisnya Delia. Dandelia. Karena gadis itu sangat menyukai bunga dandelion.
Apa itu masuk akal?”

“Tentu saja, jika maksudnya memang untuk membalas dendam atas kematian
gadisnya.”

“Baik kalau begitu,” desah Kyuhyun, mendongak untuk memandangi satu per
satu wajah karyawannya. “Keberatan untuk lembur?”

***

Kyuhyun membasuh air yang menetes-netes dari wajahnya dengan handuk yang
dia temukan di laci yang tertanam di dinding kamar mandi pribadi ruang kerja
Hye-Na. Dia masih di STA, memberikan semua orang jeda untuk istirahat
sebelum mereka membicarakan strategi untuk operasi penyelamatan yang akan
dilakukan besok pagi.

Secara pribadi, dia sangat ingin melakukannya malam ini juga. Tapi dia tahu
bahwa ketergesa-gesaan bukanlah sesuatu yang pantas dipraktikkan dalam
situasi segenting ini. Apalagi musuh yang harus mereka lawan juga bukan orang
sembarangan. Sama licinnya. Sama jeniusnya.

Pria itu menatap lurus ke cermin, memandangi pantulan wajahnya yang tampak
merana, bersyukur bahwa sejauh ini dia sanggup menahan emosinya dan tetap
berpikir dengan kepala dingin walaupun sesungguhnya dia sangat ingin
melempar semua barang yang bisa dia jangkau dengan tangan.

Istrinya. Lagi. Dan sekarang ditambah dengan anak mereka yang bahkan belum
lahir. Keparat mana yang punya cukup nyali untuk melawannya dengan cara
seperti itu? Apa bajingan itu sebegitu sombongnya sehingga berpikir bisa
menghancurkannya dengan cara menculik istrinya?

“Brengsek,” desisnya, tanpa sadar mengepalkan tangan lalu memukulkannya ke


arah cermin, membuat benda itu pecah berkeping-keping, meninggalkan jejak
merah darah di retakan yang masih tersisa.

Pria itu miliknya. Dan dia bertekad untuk menghabisinya.

***
Semua orang menoleh saat Kyuhyun masuk ke dalam ruangan dan tidak
seorangpun dari mereka yang berani mengomentari sapu tangan yang melilit
jari-jari pria itu.

“Bisa dimulai?” tanyanya yang disambut gumaman mengiyakan dari para agen.

“Kita akan melakukan misi penyelamatan besok pagi,” mulainya tanpa merasa
perlu berbasa-basi. “Ada 19 pulau yang dicurigai sebagai tempat penyekapan.
Aku memiliki firasat bahwa Pulau Mindeulle-lah tempatnya, tapi kita tidak
boleh terlalu percaya diri dan menjadi lengah. Jadi kita akan berpencar menjadi
19 tim. Saat ini ada 235 agen aktif, jadi aku harap kalian bisa mengelompokkan
diri. Aku akan menjelaskan bagian besarnya dan kalian bisa mulai bekerja
setelahnya. Ada pertanyaan?”

“Bagaimana dengan agen yang sedang menangani kasus status A dari


pemerintah?”

Tatapan yang diperlihatkan Kyuhyun sebelum memberikan jawaban membuat


agen tersebut berharap tidak pernah membuka mulut untuk bertanya.

“Pemerintah tidak lebih penting dari istriku.”

***

The next day…

Mindeulle Island, Seonyudo

09.51 AM

“Selamat pagi, Agen Cho. Tidurmu nyenyak?”

Hye-Na menatap penculiknya. Dan merasa kaget bahwa ternyata dia mengenal
pria itu. Setidaknya pernah melihatnya beberapa kali di surat kabar dan televisi.
Pria itu seorang pebisnis terkenal. Muda, tampan, dan kaya. Walaupun jelas
belum mampu mengalahkan suaminya.

“Kau Scorso?”

“Hmmm… pakaian itu cocok untukmu. Tidak heran Kyuhyun bersedia


meninggalkan masa lajangnya. Kau pasti sangat memuaskan di ranjang, kan?”
Hye-Na melayangkan tinjunya tapi dengan mudah ditepis oleh pria itu, yang
kemudian menunjukkan wajah marah.

“Hati-hati dengan gerakanmu kalau kau tidak mau aku membunuhmu sekarang
juga. Kau masih cukup berguna. Tidak sayang dengan anakmu?”

Hye-Na menarik lepas tangannya yang berada dalam cekalan pria itu lalu
mengeluarkan dengusan.

“Kau pikir kau bisa menang? Apa motivasinya? Merasa terkalahkan oleh
Kyuhyun?”

Tamparan keras yang didapatkannya kemudian hanya memberinya gambaran


jelas maksud dari semua tindakan yang pria itu lakukan di balik topengnya
sebagai penyelamat dunia.

Hye-Na menyeka darah dari sudut bibirnya, lalu menyeringai.

“Kau benar-benar menyedihkan,” ejeknya.

“Bicaralah sesukamu. Dan kau membuatku muak. Kita percepat saja


perburuannya. Hwang Jung-Min!” teriaknya, dan tidak lama kemudian seorang
pria bertubuh luar biasa besar muncul, tampak beringas dengan wajahnya yang
penuh bekas luka.

“Nah, Nyonya Cho. Aku akan memberitahumu peraturannya,” mulainya dengan


senyum menakutkan. “Kau mendengarku tadi. Kita akan melakukan perburuan.
Mudah saja, yang diburu tentu saja dirimu sendiri.”

Hye-Na merasakan kulitnya meremang dan keringat dingin mulai menetes di


tengkuk. Apa yang dimaksud pria itu?

“Jarak vila ini ke tepi pantai setengah jam berjalan kaki dan kau tidak mungkin
kabur dengan cara berenang, kan? Lagipula ada banyak pengawal di sekeliling
vila, yang akan menangkapmu kalau kau melanggar aturan. Kau hanya
diperbolehkan lari ke arah hutan. Kau diberi waktu 15 menit untuk
bersembunyi. Dan kalau kau beruntung, kau bisa menemukan sebuah pistol
yang hanya berisi satu peluru di dalam sana. Lalu Jung-Min akan mengejarmu.
Sebelum tengah hari, kalau kau berhasil selamat, kau akan diizinkan pulang
kesini dan melanjutkan perburuan yang sama besok. Nyawamu tergantung
seberapa kuatnya kau dan seberapa bijaksananya kau menggunakan
kesempatan. Dan kalau kau bisa lolos, itu mulai tergantung pada seberapa cepat
suamimu menemukanmu. Aku tidak sabar ingin menghadapinya langsung. Dia
berhutang nyawa padaku.”

Hye-Na tidak tertarik untuk bertanya ada masalah apa antara pria itu dengan
suaminya. Yang dipedulikannya sekarang hanyalah bagaimana caranya dia bisa
keluar hidup-hidup. Tanpa mencederai kandungannya.

“Ada yang ingin kau katakan? Bisa saja ini adalah hari terakhirmu di dunia. Aku
akan menyampaikan ucapan selamat tinggalmu pada Kyuhyun kalau kau mau.”

Hye-Na menyeringai, lalu dengan tatapan menusuk, dia meludah, tepat ke wajah
pria itu.

“Membusuk saja kau di neraka,” desisnya keji.

Pria itu dengan cepat menyambarnya, mencengkeram lehernya dengan begitu


kuat sampai tubuhnya terangkat dari lantai, lalu melemparnya seolah dia adalah
kotoran yang harus segera dienyahkan.

Tubuhnya menghantam dinding dan dia hanya bisa berharap bahwa tidak terjadi
apa-apa pada janinnya.

Dia memperhatikan dengan waspada saat pria itu berjalan mendekat lagi,
menunduk di atasnya, lalu menjambak rambutnya, membuatnya merasa seolah
setiap helainya sedang tercerabut dari kepala.

“Ingat baik-baik. Namaku Jung Il-Woo. Dan cepat atau lambat, kau akan mati di
tanganku.”

***

“Rompi anti peluru?”

Kyuhyun menggeleng, meraih headset berbentuk robot super mini berukuran


setengah inci yang diselipkan ke dalam telinga. Dia juga sudah
mengenakan contact-lense yang berfungsi sebagai alat perekam yang mengirim
semua hal yang dilihat dan didengarnya ke komputer Kang-In yang bertugas
berjaga di perbatasan.

“Kita akan sampai dalam 45 menit. Agen yang berada di depan diharapkan
melaporkan situasi dan melumpuhkan siapapun yang menghalangi jalan. Kami
akan masuk lewat bagian barat. Harap diverifikasi.” Leeteuk berbicara pada alat
mini berbentuk walkie-talkie yang bisa memperlancar komunikasi dalam radius
lima kilometer.

Mereka menggunakan amphibithrope baru yang dirancang khusus untuk


keperluan militer. Berukuran tiga kali lipat lebih besar, mampu memuat 15
orang, dan jelas bisa menyelam tanpa suara dan tidak terdeteksi. Karena itu,
walaupun belum dilempar ke pasaran, Kyuhyun memastikan bisa mendapatkan
30 unit ini langsung untuk melakukan operasi pagi ini, mengingat mereka tidak
mau mengambil resiko ketahuan jika menggunakan jalur udara ataupun
menggunakan kapal biasa.

Kyuhyun mengokang senjatanya, mengecek peluru, dan tampak cukup puas.


Dia menolak makanan yang disodorkan Eun-Ji dan nyaris tidak berbicara sama
sekali.

“Hye-Na pasti akan baik-baik saja. Dia bisa menjaga diri,” ucap Eun-Ji, prihatin
dengan keadaan suami sahabatnya itu. Kyuhyun yang diam lebih menakutkan
daripada Kyuhyun dengan temperamennya yang meledak-ledak.

“Mungkin,” jawab pria itu, akhirnya bersuara. “Tapi firasatku mengatakan yang
sebaliknya. Dia tidak baik-baik saja.”

***

Hye-Na berlari melintasi pepohonan yang awalnya masih jarang, tapi semakin
dia menembus hutan, pepohonan mulai terlihat semakin rapat, berikut semak-
semaknya yang beranting tajam, sehingga dia tidak sempat memikirkan bahwa
ranting-ranting itu menggores tanpa ampun lengan serta kakinya yang terbuka.

Dia berkonsentrasi penuh. Sudah hampir 10 menit, dan yang diinginkannya


hanya menemukan senjata yang disebut-sebut pria itu secepatnya.

Hutan itu masih liar dan dia tidak tahu binatang apa saja yang ada di dalam sana.
Jika memang ada.

Dia melirik jam tangan yang diberikan padanya untuk mengecek waktu.
Sembilan menit berlalu saat dia sampai di sebuah lapangan terbuka. Pohon-
pohon tumbuh di sekelilingnya, meninggalkan sepetak tanah kosong di tengah-
tengah, tempat sebuah batu besar berdiri pongah, berikut seekor ular berbisa
yang memamerkan lidahnya yang bercabang dua, mendesis-desis menanti
mangsa. Dan Hye-Na akhirnya bisa menebak dimana pistol itu berada.
Oke, sekarang apa? Merayu ular itu? Sialan.

Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, berusaha berpikir tenang saat waktu mulai
terasa menjepit. Dia melihat sebuah batu yang cukup besar di bagian kirinya.
Yang dia perlukan hanya membuat ular itu berada cukup dekat, lalu
menghantamnya dengan batu itu.

Oh, demi Tuhan, dia benar-benar membenci binatang!

Hye-Na berlari menyambar batu tersebut, lalu melangkah maju, menahan nafas
saat ular—yang sepertinya belum makan selama berhari-hari itu—merayap
turun dari atas batu. Bagian kepalanya mendongak—atau apapun istilahnya—
dengan lidah yang terus terjulur keluar masuk, meninggalkan suara desisan yang
cukup membuat bulu kuduk merinding.

Dia melangkah sedikit lebih dekat dan saat ular itu melompat—atau
melemparkan diri, yang manapun dia tidak peduli—dia melempar batu itu
dengan sekuat tenaga, cukup untuk melihat bahwa benda besar itu berhasil
menamatkan riwayat si ular, meremukkan kepalanya, lalu dia berlari
menghampiri benda penyelemat hidupnya, ketika di saat yang bersamaan
desingan peluru meledak diudara, menandakan bahwa 15 menitnya telah berlalu
dan perburuan dimulai.

***

Dia tidak mau merasa panik, tapi tetap saja, saat mendengar suara letusan pistol
kedua dalam jarak yang cukup dekat di belakangnya, membuatnya merasa
benar-benar harus mencari tempat sembunyi, bukannya terus berlari dan
mengambil resiko tertangkap. Lagipula berlari tanpa henti selama setengah jam
sudah cukup membuat seluruh energinya terkuras.

Gadis itu berlari menerobos sulur-sulur besar pohon yang menjuntai


menghalangi jalan, saat otaknya berpikir cepat, menghentikan langkahnya
seketika.

Dia menjangkau salah satu sulur, menarik-nariknya, mengukur seberapa


kekuatannya, lalu melompat, berpegangan pada benda menjuntai berwarna
cokelat itu dan menjejakkan kakinya di batang pohon. Seharusnya akademi
mengajarinya cara memanjat pohon, bukan sekadar cara menghantam wajah
penjahat saja.
Nafasnya sudah terengah-engah dan seluruh tubuhnya terasa sakit. Otot-otot
kakinya menjerit nyeri saat akhirnya dia berhasil mencapai bagian atas pohon,
berpijak pada dahan yang dirasanya cukup kuat, lalu menunggu sambil
meredakan suara nafasnya yang ribut.

Tidak perlu menunggu lama karena sekitar empat menit kemudian anak buah Il-
Woo yang berbadan besar itu muncul, menyibak semak-semak di sekelilingnya
dengan parang yang dia bawa, sedangkan tangan kanannya memegang senjata.

Pria itu tampak menunduk, seolah mencari sesuatu di tanah, dan saat itulah Hye-
Na tersadar dengan segenap kengerian yang menghantamnya kemudian.

Dia melupakan fakta bahwa tanah masih basah bekas hujan tadi malam. Pantas
saja pria itu berada begitu dekat dengannya, padahal hutan ini sangat luas dan
dia bisa saja keluar dari jalur utama. Pria itu mengandalkan kondisi tanah yang
basah untuk mencari jejak kakinya dan pastinya pria itu akan sadar bahwa jejak
kakinya menghilang tepat di bawah pohon tempatnya berada sekarang. Bahkan
jika pria itu cukup jeli, ada jejak-jejak tanah yang menempel di batang pohon,
bekas tanah basah yang menempel di telapak sepatu bot-nya.

Dan entah keberuntungan atau apa, pria itu terus berjalan ke depan, sepertinya
tidak berpikir bahwa Hye-Na akan memanjat pohon dan tidak memedulikan
jejak yang menghilang begitu saja.

Dia berpikir untuk menembak, tapi dia tahu bahwa dia harus menggunakan
pelurunya dengan bijak. Jika dia sekarang selamat, tidak ada yang bisa
menjamin bahwa besok dia akan mendapatkan peluru kedua. Lagipula, jika dia
cukup cerdik, dia bisa membawa pistol itu lalu menggunakannya untuk
menembak keparat yang menculiknya.

Hye-Na membiarkan dirinya bernafas lega setelah satu menit berlalu, saat dia
lagi-lagi mendengar suara tembakan. Kali ini begitu dekat. Sangat dekat. Dan
yang kemudian disadarinya adalah rasa menyengat di bagian kakinya saat
sebuah timah panas menembus daging, meremukkan tulang yang dilewatinya,
lalu menembus betis.

Pria itu tahu. Dan seharusnya dia tidak ceroboh dengan menganggap bahwa dia
sedang sangat beruntung.

Sakit yang kemudian menderanya merenggut seluruh akal sehat dan kesadaran
yang dia punya. Dia hanya bisa merasakan tubuhnya kehilangan keseimbangan,
limbung ke depan, lalu terjatuh dari atas pohon, menembus semak-semak tajam,
ranting-ranting pohon yang menjulur, sebelum akhirnya membentur tanah
dalam posisi menelungkup, menghujam batu runcing di bawah yang merobek
pelipisnya dengan kejam.

Dia terbaring disana dalam beberapa detik yang terasa lama, tersiksa dengan
seluruh rasa sakit yang tanpa ampun menusuk-nusuk seluruh tubuhnya. Darah
dimana-mana dan dia cukup heran kenapa dia masih sadar dan bukannya jatuh
pingsan.

Apa kematian datang sesakit ini? Bukankah seharusnya kematian itu terasa
damai?

Dia teringat akan banyak hal. Dan memorinya merasuk kuat, menjejali
pikiranya dengan wajah seorang pria yang tidak akan pernah mendapat
tandingan. Wajah seorang pria yang dicintainya. Wajah seorang pria yang masih
ingin dilihatnya.

Gadis itu menggenggam pistol di tangannya, cukup lemah, dan tubuh yang
gemetar hanya memperburuk segalanya. Tapi dia punya tekad. Insting untuk
bertahan hidup. Dan dia hanya membutuhkan sedikit tenaga yang tersisa untuk
bangkit berlutut, dengan kaki yang perlahan terasa mati rasa.

Dia melihat pemburunya berjalan mendekat, dengan senjata yang siap


ditembakkan. Dan dia, dengan kegesitan yang mendarah daging, mengangkat
senjatanya dalam waktu sepersekian detik, dan berhasil menarik pelatuk
sebelum pria di depannya itu sempat bereaksi.

Mungkin jantung, atau paru-paru… dia tidak peduli bagian mana yang berhasil
ditembus pelurunya. Dia hanya terlalu lelah. Dan terlalu kesakitan.

***
Note 22 April 2013
2061 ~ THE LAST SURVIVOR {PART 2}

Tidak ada penjagaan di sisi barat pulau, walaupun agen lain yang menyerang
dari sisi depan pulau memberi laporan bahwa mereka telah berhasil
melumpuhkan tujuh pengawal bersenjata yang berjaga di gerbang masuk. Dan
masih ada belasan lagi di bagian dalam.

Kyuhyun tidak menunggu sampai Siwon selesai memberikan pengarahan pada


sembilan orang agen yang ikut bersama mereka. Dia langsung berlari
menembus hutan, dan merasakan seseorang mengikutinya dari belakang.

“Yang lain akan berpencar. Kita lurus saja. Ikuti jalan utama.”

Dia mendengar suara Leeteuk dan tidak berniat memberikan jawaban. Yang
perlu dilakukannya hanya sesegera mungkin mencapai vila lalu membebaskan
istrinya.

Mereka baru lima menit berlari saat mereka mendengar suara tembakan,
membuat langkah mereka terhenti seketika. Tembakan kedua menyusul tidak
sampai dua menit kemudian.

“Terlalu dekat. Dan asalnya dari depan. Tidak mungkin dari salah satu agen,”
ucap Leeteuk memecah kesunyian.

Kyuhyun merasakan ketakutan melilit perutnya. Apa yang sedang terjadi


sebenarnya? Kenapa firasatnya mengatakan sesuatu yang sangat buruk sedang
berlangsung?

Pria itu mengenyahkan seluruh ketegangannya lalu kembali berlari, lebih cepat
dari sebelumnya.

Sepuluh menit berlalu dan jalanan mulai tertutup semak-semak dan sulur pohon.
Kemudian dia mematung.

“Ada a—” Pertanyaan Leeteuk terhenti di udara saat dia melihat apa yang
membuat Kyuhyun membeku di tempat.

Ada tubuh seorang pria yang terbaring di depan mereka. Dan hanya satu meter
jaraknya, ada tubuh lain. Kali ini wanita.
Butuh waktu setengah menit sampai Kyuhyun mendapatkan kewarasannya
kembali. Dan di detik yang sama dia langsung berlari, menghambur mendekati
tubuh yang terbaring di tanah itu. Bahkan dari jauh pun dia sudah tahu tubuh itu
milik siapa. Dan dia tidak bisa menahan geraman marahnya saat kemudian dia
menyadari genangan darah di sekeliling tubuh itu.

Dia mengamati dengan cepat. Kaki gadis itu berdarah, berasal dari peluru yang
melubangi betisnya. Wajahnya nyaris tidak bisa dikenali karena juga ditutupi
darah. Ada luka menganga di pelipis, kulit wajah yang robek di bagian pipi,
lebam besar di bagian mata, luka gores di sekujur lengan dan kaki, yang
sepertinya semuanya didapatkan oleh gadis itu setelah terjatuh dari tempat yang
tinggi. Mungkin dari pohon yang berjejer rimbun di sekeliling hutan—
sepertinya gadis itu berusaha menyelamatkan diri dengan bersembunyi di atas
pohon—dan luka-luka itu disebabkan oleh goresan dahan dan ranting, juga saat
menghantam tanah.

“Apa yang bajingan itu lakukan?” teriak Leeteuk marah, memeriksa tubuh tak
bernyawa milik pria berbadan besar di dekat Hye-Na. “Aku rasa Hye-Na tidak
kabur. Dia memiliki senjata dan itu bukan senjatanya. Tebakan terbaik?”

Kyuhyun berjongkok di samping tubuh Hye-Na, terlalu takut untuk sekadar


menyentuh gadis itu, terlalu takut untuk memeriksa denyut nadi dan hembusan
nafas.

“Keparat itu melakukan perburuan dan Hye-Na-lah yang diburu,” ucap


Kyuhyun, merasakan kemarahannya menggelegak dengan cepat. Dia teringat
bahwa dulu dia sempat menonton sebuah film dengan Il-Woo, yang mengambil
cerita tentang perburuan manusia di Amazon. Dan dia ingat dengan sangat jelas
bagaimana pria itu berkata bahwa manusia adalah buruan paling
menyenangkan. Lebih sulit ditaklukkan. Dibanding binatang yang tidak bisa
berpikir dan hanya mengandalkan nafsu. “Karena itu dia juga diberi senjata
yang hanya berisi satu peluru. Dia bisa membunuh pria tersebut, setelah pria itu
berhasil menumbangkannya. Menurutku pria itu menembak saat Hye-Na berada
di atas pohon. Hye-Na jatuh, mengalami patah kaki mungkin, lebih buruk lagi
karena dia juga tertembak. Tapi dia sempat balik menembak lalu pingsan
kehabisan darah.”

Dia berharap ucapannya benar. Bahwa gadis itu hanya pingsan. Hanya dalam
keadaan tidak sadar. Bukannya….

“Kyu,” panggil Leeteuk hati-hati.


Kyuhyun mengangguk, berusaha menggerakkan tangannya yang gemetar parah,
menyentuh lembut tubuh gadisnya, lalu mengangkat gadis itu ke pangkuannya.
Dia memegangi pergelangan tangan gadis itu, mencoba mencari denyut nadi,
dan merasakan detak jantungnya menggila saat mendapatkan denyut lemah.
Benar, lemah, tapi setidaknya masih ada.

Dia menyingkirkan rambut Hye-Na dari wajah, menyeka darah yang ada disana,
lalu tanpa sadar menunduk, menyentuhkan pipinya ke pipi gadis itu, berusaha
menyembunyikan air matanya yang menetes dari pandangan Leeteuk. Dia tidak
peduli darah yang juga mengenai wajah dan kemejanya. Dia tidak peduli apa-
apa. Yang dibutuhkannya hanya satu kenyataan bahwa gadis itu masih hidup.
Bahwa dia belum terlambat.

“Na~ya?” bisiknya pelan, dengan suara yang terdengar serak. “Sayang, kau bisa
mendengarku?”

“Aku sudah menghubungi tenaga medis. Mereka akan sampai disini dalam lima
menit. Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Leeteuk.

“Aku akan menyelesaikan urusanku.”

Leeteuk mengangguk mengerti. “Usahakanlah membawanya hidup-hidup.”

“Aku tidak janji,” ucap pria itu dingin.

“Aku akan menyuruh beberapa agen mendampingi—”

“Dia milikku,” potong Kyuhyun tidak terbantahkan, memberi tanda agar


Leeteuk menggantikannya memegangi Hye-Na. Tapi gerakannya langsung
terhenti saat merasakan tangan yang digenggamnya bergerak samar dan dia
mendapati bahwa kelopak mata Hye-Na bergetar, walaupun tidak membuka.

“Na~ya, kau bisa mendengarku?” tanyanya, mendekatkan telinganya ke bibir


gadis itu.

“Kyu,” bisik gadis itu pelan, dengan nafas yang tersengal. Jelas dia bersusah
payah untuk melakukannya.

“Ada yang kau inginkan?”

“Ja… ngan… menca… rinya.”


Kyuhyun menegakkan tubuh, menatap wajah gadis itu yang sudah separuh
hancur dan dengan berat hati menggelengkan kepala.

“Maaf. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu yang satu itu.” Dia
menggenggam tanagn Hye-Na lebih kuat, ada pancaran tekad dan amarah yang
tidak bisa dikekang dalam tatapannya. “Aku harus menemuinya. Demi egoku.
Tapi aku bisa menjanjikan sesuatu untukmu.”

Kyuhyun menunduk lalu menyentuhkan bibirnya di dahi Hye-Na yang dipenuhi


jejak tanah dan darah yang sudah mengering.

“Aku akan kembali padamu. Dalam keadaan hidup. Karena itu… kau juga harus
bertahan hidup. Untukku.”

***

Kyuhyun bersandar di pohon di bagian samping rumah, menyembunyikan diri


dari penglihatan dua orang pengawal yang berjaga-jaga di luar vila. Dia melihat
ada dua orang lagi di pintu masuk.

Pria itu menduga-duga kemungkinannya untuk melumpuhkan keempat orang


itu dengan cepat seraya mengokang kedua senjata dalam genggamannya agar
siap digunakan. Tiga detik kemudian dia sudah keluar dari persembunyiannya,
menembak dengan akurat dan menghabisi keempatnya dalam waktu kurang dari
lima detik.

Dia berlari cepat melintasi pintu utama, menyusuri lantai bawah dan langsung
menaiki tangga yang ditemukannya di sudut ruang tengah. Jika prediksinya
bahwa keparat itu begitu sombong sehingga tidak menduga bahwa kedoknya
akan terbongkar begitu cepat, maka itu berarti bahwa tidak ada pengawal lagi di
rumah ini. Pria itu sendiri. Merasa aman dan tidak tersentuh.

Dia mendapati pria itu sedang duduk di balkon, sepertinya sedang sibuk
mengamati pasar saham hari ini. Sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu
dan walaupun tidak ada terlalu banyak perubahan, tapi jelas pria yang ada di
hadapannya itu tidak lagi sama. Saat pria itu mendongak menatapnya, dia bisa
melihat mata yang dulu selalu berkilat ramah, kini terlihat penuh dendam dan
amarah yang terpendam. Tidak peduli bahwa kemudian pria itu tersenyum.
Karena senyum tersebut hanya bertahan di bibir, tidak pernah mencapai
matanya.
“Sebuah kehormatan besar,” ucap Il-Woo ramah, dengan nada dingin yang
tersirat dibaliknya. Pria itu tampak terkejut, walaupun hanya sesaat. “Kau selalu
di luar prediksi. Tidak menyangka kau bisa menemukanku secepat ini. Sudah
bertemu istrimu yang cantik?”

Pria itu bangkit berdiri lalu menyunggingkan sebuah senyum yang sama.
“Selalu bertanya-tanya kenapa kau menikah. Ternyata setelah menemui istrimu
secara langsung, akhirnya aku tahu. Selain cantik dan memiliki tubuh yang
bagus, dia juga seorang gadis yang unik dan pemberani.”

“Tutup mulutmu,” tukas Kyuhyun dengan mulut terkatup. “Aku tidak suka kau
membicarakan istriku dengan mulutmu yang kotor.”

Il-Woo menyeringai. “Baiklah. Biar kutebak. Kau datang kesini karena ingin
balas dendam padaku?” Pria itu tertawa keras. “Bagaimana keadaan istrimu?
Apa dia berhasil membunuh anak buahku? Tapi melihat ekspresimu, sepertinya
keadaannya parah. Atau sekarat?”

Merasa begitu marah, Kyuhyun tanpa terkendali menodongkan senjatanya ke


wajah pria itu, sedangkan tangannya bergetar, berusaha keras untuk tidak
bergerak menarik pelatuk saat itu juga.

“Mau menembakku? Silahkan. Tapi sepertinya itu bukan gayamu.”

Kyuhyun menggertakkan giginya lalu melempar pistol dalam genggamannya ke


lantai.

“Aku sudah berjanji akan menghabisimu. Dengan tanganku sendiri.”

“Berpikir bisa menghabisiku?”

Kyuhyun mendengus. “Tentu saja.”

Sedetik kemudian mereka berdua sudah saling menerjang, menyerang satu sama
lain seperti binatang yang memperebutkan mangsa. Kyuhyun berhasil
melayangkan tinjunya duluan, menghantam rahang pria itu dengan keras hingga
tubuhnya melayang jatuh menimpa meja kayu, membuat kaca yang melapisinya
retak lalu kemudian pecah berhamburanke lantai disusul tubuh Il-Woo di
atasnya.

Kyuhyun mencengkeram kerah kemeja yang dikenakan pria tersebut,


menariknya berdiri dengan paksa lalu menyarangkan tinjunya sekali lagi. Kali
ini bertubi-tubi, tanpa memberi jeda. Tapi kemudian Il-Woo berhasil
menggerakkan kakinya, menghantam perut Kyuhyun yang kemudian sedikit
lengah, sehingga tidak menyadari bahwa Il-Woo berhasil menyambar pisau
buah yang tadi terjatuh dari atas meja lalu menusukkannya ke dada pria itu.

Kyuhyun bisa merasakan sesuatu menekan dadanya kuat. Bukan mata pisau itu,
melainkan liontin yang selalu ada di saku jasnya, benda yang selalu dibawanya
kemana-mana. Hadiah ulang tahun yang dibelikannya untuk Hye-Na tanpa
pernah memberitahu gadis itu bahwa itu adalah pemberian darinya.

Dia menikmati bagaimana wajah Il-Woo memucat saat melihat usahanya gagal.
Kyuhyun kemudian memegang kedua sisi mata pisau itu, merasakan bagian
tajamnya mengiris dan merobek telapak tangannya sedangkan dia dengan keras
kepala mengabaikan rasa sakitnya begitu saja.

Dia melangkah maju, terus berjalan sampai berhasil menyudutkan Il-Woo ke


pagar balkon. Pria itu masih menahan gagang pisaunya dalam cengkeraman
kuat sehingga Kyuhyun harus mengerahkan usaha lebih untuk mendorong ke
arah sebaliknya. Pisau itu terasa licin karena darah dan luka di telapak tangannya
sudah semakin menganga karena terus mendapat tekanan.

“Kau gila,” bisik Il-Woo tak percaya.

“Hanya sedang menepati janji pada istriku. Aku bilang aku akan kembali
padanya hidup-hidup,” jawabnya sambil menyeringai, mencengkeram bagian
depan kemeja Il-Woo sehingga tubuh pria itu sedikit terangkat. Dia memasang
wajah datar, mengabaikan rasa berdenyut di tulang pinggulnya, mungkin pria itu
berhasil meninggalkan memar saat menendangnya tadi.

“Kyu, j angan!”

Dia bisa mendengar Kang-In berbicara untuk pertama kalinya di headset yang
terpasang di bagian dalam telinganya. Tapi seperti reaksinya terhadap rasa sakit
yang mendera, dia juga mengabaikan suara pria itu.

“Kau mengenalku,” ucap Kyuhyun tajam, merasakan adrenalin memacu dalam


darahnya saat menatap balik Il-Woo yang memandangnya dengan mata
terbelalak lebar. “Dan tahu bahwa aku tidak pernah memaafkan,” desisnya,
mendorong lebih kuat sehingga tubuh Il-Woo setengah tergantung di udara,
hanya tertahan oleh pagar balkon di pinggangnya.
“Selamat tinggal kalau begitu. Hyung.” Kyuhyun melepaskan pegangannya,
seiring dengan pisau yang juga terlepas jatuh saat pemiliknya melayang sesaat di
udara, lalu terjatuh menghempas pagar tanaman di bawah yang terbuat dari besi
berujung runcing, dengan tidak berperasaan menembus perut Il-Woo yang
menghantamnya dengan kecepatan tinggi, membuat tubuh tidak bernyawa itu
tertahan disana, tidak berhasil mencapai tanah.

“Ups,” ucap Kyuhyun santai, tanpa diliputi rasa bersalah. “Kurasa kau bisa
menghapus rekaman yang satu itu kan, hyung?” ujarnya pada Kang-In.

“Yah…”

balas Kang-In dengan nada lelah. “Aku bisa sedikit memodifikasinya untukmu.”

“Hye-Na?”

“Sedang dalam perjalanan ke Seoul. Staf medis memutuskan untuk


membawanya ke Rumah Sakit Pusat. Terjadi pendarahan.”

Kyuhyun mengerti maksudnya. Dan itu membuat seluruh belas kasihannya pada
mayat di bawah sana semakin menghilang tanpa bekas.

Seperti yang pernah dia katakan. Pria manapun bisa membunuh. Dengan darah
dingin. Demi seorang wanita.

***

Central Hospital, Seoul

01.14 PM

“Bagaimana?”

Yesung mengernyit, memandang tangan Kyuhyun yang berbalut perban


serampangan—yang bahkan juga sudah basah oleh darah—bersikap seolah dia
sangat ingin mencemplungkan tangan itu ke cairan disinfektan, menjahit
lukanya, lalu membalutnya lagi dengan rapi.

“Obati dulu tanganmu. Setelah itu baru aku akan memberitahumu.”

“Beritahu aku dulu, dan setelah itu aku akan menemui keparat manapun yang
berstatus dokter disini lalu menyuruhnya membebat lukaku.”
Yesung mendesah, tahu tidak ada gunanya mendebat pria di depannya.

“Wajahnya hancur. Terutama yang bagian kanan. Sepertinya akibat terbentur


dengan tanah saat dia jatuh. Ada tulang pipi yang retak, hidung yang harus
dikembalikan posisinya, kening yang perlu dijahit, dan lain-lain. Pendarahan
juga cukup banyak, tapi bisa diatasi. Kandungan istrimu kuat. Yang
mengkhawatirkan adalah kakinya. Pelurunya tembus, tulangnya remuk. Bisa
disembuhkan. Tapi butuh waktu. Dia membutuhkan kursi roda sebelum bisa
berjalan kembali. Bersyukurlah kalian hidup di zaman ini, jadi semuanya bisa
diusahakan dengan maksimal. Karena jika tidak, istrimu bisa lumpuh
selamanya.”

“Apa aku bisa memegang janjimu bahwa kau akan mengusahakan segalanya?
Kaki adalah segalanya bagi seorang agen. Kalau kau tahu maksudku.”

“Tentu. Aku akan melakukan apapun yang aku bisa untuk menyembuhkannya.”

“Bagus. Aku akan membebaskanmu dari segala urusan SRO agar kau bisa
berkonsentrasi penuh mengurus istriku.”

Yesung mengangguk.

“Jin-Ah~ya,” panggilnya. “Obati tangan Kyuhyun.” Dia memberikan perintah


pada asistennya sebelum menoleh menatap Kyuhyun lagi. “Aku akan
menemuimu sebelum operasi dimulai. Ada beberapa berkas yang membutuhkan
persetujuanmu. Kami hanya akan merekonstruksi wajahnya saja hari ini. Dia
masih koma. Sepertinya trauma. Kami tidak bisa berbuat banyak sekarang.”

“Berapa lama?”

“Komanya? Mungkin satu hari atau lebih. Tergantung kondisi pasien.


Hantamannya cukup hebat. Kau harus bersyukur dia bisa selamat.”

“Aku tahu. Kau pikir kenapa aku bisa ada disini sekarang?” tanya Kyuhyun
dingin, beranjak pergi setelah memberi tanda agar Jin-Ah mengikutinya.

“Apa maksudnya?” tanya Yesung bingung, menatap Leeteuk yang dari tadi
hanya diam, meminta jawaban.

Leeteuk mengedikkan bahu. “Maksudnya? Yah… kalau Hye-Na tidak selamat,


untuk apa dia berada disini sekarang?”
“Mengurus jenazah mungkin?”

“Oh, ya? Ayolah, kau sudah cukup lama melihat mereka bersama, masa tidak
tahu juga?”

“Maksudmu?”

Leeteuk menepuk bahu ilmuwan sekaligus dokter kebanggaan SRO itu dengan
raut wajah prihatin.

“Yah, maksudku… setelah membunuh pelakunya, dia pasti akan melakukan


sesuatu agar bisa menyusul Hye-Na. Kau pikir dengan cinta sebanyak itu, dia
cukup kuat untuk hidup tanpa istrinya?”

“Seorang Cho Ky—”

“Dia juga seorang pria. Tidak peduli jika separuh dunia ada dalam
genggamannya. Saat mengucapkan janji pernikahan, dia juga menyerahkan
seluruh kendali hidupnya pada tangan seorang wanita. Dan saat wanita itu sudah
tidak ada, menurutmu apa lagi yang bisa dia lakukan selain melakukan segala
cara agar bisa tetap bersamanya?

***

“Tidak usah khawatir. Aku tahu sifat anakku. Saat dia sadar aku tidak akan
menjenguknya lalu membuatnya merasa risih. Aku sudah merencanakan ini
cukup lama dengan ibumu. Aku akan pindah ke Korea dan tinggal bersama
ibumu di rumahnya. Sepertinya Hye-Na terlalu banyak berurusan dengan hal-
hal berbahaya akhir-akhir ini. Aku tidak suka merasa cemas setengah mati
disini tapi hanya bisa diam tanpa tahu keadaan anakku.”

“Baiklah,” ucap Kyuhyun kemudian. “Aku mengerti.”

“Jadi sebelum aku sampai disana, kau harus menjaganya untukku. Mengerti?”

“Tentu. Sudah bagian dari tugasku.”

“Yah, tidak ada yang perlu kucemaskan kalau begitu.”

Mereka berbincang lagi selama beberapa menit sebelum akhirnya Kyuhyun


menyimpan communicator-nya ke saku jas.
Hye-Na sudah menjalani operasinya dengan baik. Yesung menjamin bahwa
gadis itu akan mendapatkan wajahnya lagi dalam dua hari. Mulus, tanpa bekas.
Mereka hanya tinggal mengkhawatirkan kakinya saja.

Dan gadis itu masih belum membuka matanya sejak 36 jam yang lalu.

“Permisi. Saya akan memandikan pasien. Anda ingin tetap disini atau
menunggu di luar?”

Seorang suster melangkah masuk sambil membawa setumpuk pakaian baru,


bertanya dengan suaranya yang ramah dan sopan.

“Keberatan kalau aku yang melakukannya?”

Wanita itu tersenyum lalu menggeleng. “Kalau Anda memang


menginginkannya. Saya bisa menyiapkan peralatannya agar Anda tidak repot.”

“Terima kasih.”

“Sama-sama.”

***

Kyuhyun membenarkan letak selimut dan melipat tangan Hye-Na di atasnya.


Dia kemudian meraih sisir, lalu mulai menyisir rambut gadis itu dengan hati-
hati, merasakan setiap helaiannya yang masih lembut, di atas telapak tangannya
yang tidak terluka. Ada 24 jahitan yang dia terima karena luka yang menganga
lebar dan nyaris membelah telapak tangannya, tapi kecanggihan tekhnologi
kedokteran tentu bisa menyelamatkan semuanya.

Dia menyelesaikan pekerjaannya, masih memandangi wajah istrinya yang


separuh tertutup perban, merasa tidak tahan untuk tidak menunduk,
mengusapkan pipinya ke pipi gadis itu yang tidak terluka, lalu dengan perlahan
mengelus puncak kepalanya.

“Apa menurutmu ini tidak terlalu lama untuk sebauh istirahat panjang?”
bisiknya di telinga gadis itu, menolehkan wajahnya sedemikian rupa sehingga
bibirnya bisa menyentuh permukaan hangat pipi gadis tersebut.

“Rasanya seperti Putri Tidur. Terbangun oleh ciuman Pangeran.”

Bisikan serak itu membekukannya di tempat, menyedot oksigen dan seluruh


konsentrasinya begitu saja.
“Cukup aneh mendengar kalimat itu keluar dari mulutmu,” balasnya dengan
bisikan yang sama setelah cukup mampu mengendalikan diri. “Tapi aku senang
kau sudah sadar.”

“Aku sudah cukup sadar sejak beberapa saat yang lalu. Hanya perlu berpikir dan
menganalisa situasi. Kau berlama-lama saat memandikanku, PresDir. Terutama
saat membersihkan dadaku.”

“Hebat,” gumam Kyuhyun, sedikit terdengar takjub. “Tidak heran aku jatuh
cinta padamu.”

“Aku merindukanmu,” ucap Hye-Na, menatap tepat ke manik mata pria itu.

“Oke, aku tidak tahan lagi. Aku akan memanggilkan dokter. Sepertinya ada
yang terganggu dengan otakmu setelah terjatuh dari ketinggian lima meter.”

Hye-Na tertawa kecil, berusaha mengabaikan rasa sakit di wajahnya akibat


gerakan itu.

“Tapi…” gumam Kyuhyun, memencet tombol panggil di dekat tempat tidur,


lalu menunduk lagi menatap istrinya. “Selamat datang kembali, Na~ya.” Dia
tersenyum lalu mengecup singkat kening gadis itu. “Dan aku juga
merindukanmu.”

***

3 days later…

Kyuhyun’s Home, Yeoju

10.11 AM

Kyuhyun membukakan pintu mobil penumpang untuk Hye-Na, lalu menunduk,


menyelipkan satu lengan di balik lutut gadis itu dan satu lagi melingkari
bahunya.

“Oke, ini mulai terasa konyol,” desis Hye-Na, dengan refleks mengalungkan
lengannya di leher Kyuhyun saat pria itu mengangkat tubuhnya, lalu
membanting pintu mobil sampai menutup dengan kaki.

“Yah, setidaknya kau cukup ringan,” komentar pria itu santai.

“Dan aku selalu mencaci-maki adegan seperti ini setiap kali menonton film.”
“Memangnya aku tidak?”

“Yesung oppa bilang apa? Berapa lama aku bisa menggunakan kakiku lagi?”

“Satu atau dua minggu. Kau bisa terus berlatih. Mungkin bisa lebih cepat.”

“Yah, aku juga tidak mau merepotkanmu lebih lama lagi. Sepertinya kau cuti
dari kantor selama merawatku di rumah sakit.”

“Ada Joong-Ki hyung yang bisa mengurus semuanya. Aku tinggal memberi
sedikit pengarahan.”

“Kau bisa ke kantor siang ini. Aku akan menjadi anak baik di rumah.”

“Kedengarannya mencurigakan kalau kau mengatakannya seperti itu.”

“Kau bisa memegang janji seorang agen. Terutama agen penuh dedikasi
sepertiku.”

“Kau sedang berusaha menendangku keluar dari rumahku sendiri, ya?”

Hye-Na merengut. “Aku kan hanya menunjukkan perhatianku terhadap kerajaan


bisnismu itu.”

“Manis sekali,” ucap Kyuhyun sambil membaringkan tubuh Hye-Na ke atas


kasur.

“Aku serius. Pergi sana. Aku kan bukan anak umur satu tahun yang harus kau
awasi setiap saat.”

Kyuhyun menatap gadis itu penuh pertimbangan. Hari ini seharusnya dia
memang menghadiri rapat penting saat makan siang, mendiskusikan tentang
proyek karyawisata antar planet.

“Kau yakin tidak akan melukai dirimu sendiri?”

“Aku tahu cara menggunakan kursi roda. Kau pikir aku bodoh?”

“Yah, sepertinya selain kakimu kau benar-benar sudah sehat. Mulutmu tajam
seperti biasa.”

“Sepertinya itu pujian.”

“Sesukamu saja.”
Kyuhyun berdiri di pinggir ranjang, mendesah sesaat, lalu menunduk dan
menghadiahkan sebuah ciuman kecil di bibir istrinya.

“Aku serius tentang kau tidak boleh melukai dirimu sendiri. Atau aku akan
berada di rumah setiap saat untuk mengawasimu dan membuat hidupmu seperti
di penjara.”

***

07.06PM

Hye-Na menggertakkan gigi saat dia berusaha bangkit dari bathtub dan meraih
kursi rodanya. Kakinya berdenyut mengerikan dan dia nyaris tidak bisa
menopang tubuhnya sendiri untuk berpindah. Tapi dia masih mencoba, lalu
menyerah setelah satu menit berlalu dan dia tidak mendapatkan apa-apa selain
rasa nyeri yang menghantam di sekujur kaki kirinya, sedangkan tubuhnya
terpuruk di dalam bathtub tanpa bisa bergerak.

Oh, oke. Ini benar-benar mimpi buruk.

***

07.35 PM

“Kau pikir apa yang sedang kau lakukan?” tanya Kyuhyun dengan mata berkilat
marah. Dia nyaris terkena serangan jantung saat mendapati bahwa gadis itu
tidak ada di ruang santai, di ruang makan, bahkan tidak saat dia mencari ke
kamar. Lalu dia memeriksa kamar mandi dan mendapati gadis tersebut berada
dalam bathtub dengan wajah pucat dan tubuh yang menggigil.

“Bisa diam? Aku sudah disini selama setengah jam dan tidak bisa bergerak gara-
gara kaki brengsek ini.”

“Apa kau harus mandi dan membuat insiden seperti ini?” sergah Kyuhyun kesal,
mengangkat tubuh gadis tersebut dan membawanya keluar dari kamar mandi.

“Kau kan tahu cuaca panas sekali dan seharian aku hanya di kamar, melamun
sepeti orang tolol. Dan bisakah kau memberiku sesuatu untuk dipakai?” tanya
gadis itu, menarik selimut sebagai perlindungan darurat.
Kyuhyun kembali dengan handuk dan sehelai jubah mandi. Dia mengeringkan
tubuh gadis itu dengan handuk sebelum akhirnya membantu memakaikan jubah.

“Yah, kau bisa mengambilkanku baju.”

“Terima saja.Setidaknya tidak terlalu banyak pakaian yang harus kulepas


nantinya.”

“Aku sedang tidak berminat bercinta denganmu, PresDir.”

“Aku bisa membuatmu berubah pikiran,” tandas pria itu enteng sambil duduk di
pinggir ranjang. “Sebenarnya bagus kalau kakimu terasa sakit. Lebih baik
merasa daripada tidak smaa sekali, kan? Kau mau minum obat pereda sakit?”

“Itu akan membuatku mengantuk.”

“Yang ini tidak. Lagipula aku tidak berencana membuatmu tidur cepat malam
ini.”

“Oh… yah… otak mesummu itu mulai lagi.”

Kyuhyun menyeringai, meraih obat yang diletakkannya di dekat tempat tidur,


lalu menyerahkannya pada Hye-Na, berikut segelas air yang kemudian
disodorkannya ke mulut gadis itu.

“Kau belum makan malam, kan? Mau sesuatu? Biar kuambilkan.”

“Aku masih kenyang. Ibumu dan ibuku merecoki banyak makanan siang tadi.”

“Bukan aku yang menyuruh,” ujar Kyuhyun dengan wajah tanpa dosa.

“Yah, seperti aku akan percaya saja,” dengus Hye-Na sambil menjatuhkan
kepalanya ke atas bantal.

Kyuhyun diam-diam menaikkan suhu ruangan mengingat gadis itu tadi terlihat
menggigil, lalu mengambil tempat di sisi ranjang yang kosong, berbaring
menghadap gadis tersebut. Kemudian membulatkan matanya saat gadis itu
beringsut mendekat lalu memeluknya, dengan kepala yang terbenam di
dadanya. Nafas gadis itu terasa menggelitik dan dia….

“Hei, siapa yang tadi tidak memiliki minat untuk bercinta?”

“Mwo? Memangnya kapan aku berubah pikiran?” seru gadis itu bingung.
“Memelukku seperti ini dihitung sebagai godaan. Aku sedang mudah goyah
mengingat sudah satu minggu aku tidak menyentuhmu. Kalau kau belum tahu,
ini semua benar-benar siksaan.”

Hye-Na mendongakkan kepalanya, mencibir ke arah Kyuhyun yang juga balik


menatapnya dengan sinis.

“Dasar pria. Hanya bisa berpikir dengan penis saja.”

“Wah, itu kasar sekali.”

“Tapi kenyataan.”

“Kalau kau bisa menahan semua nafsu berdebatmu itu dan meenutup mulut, aku
bersedia memberitahumu bahwa bibirmu itu seksi sekali.”

“Apa pujian itu dimaksudkan agar aku membiarkanmu menciumku?”

“Sebenarnya, Na~ya, aku bahkan tidak perlu meminta izin untuk menciummu,”
tandas Kyuhyun, lalu membuktikan ucapannya sedetik kemudian.

Gadis itu sudah hapal cara pria itu mencium. Pria itu suka sekali memegangi
kedua sisi wajahnya, mengusap pipinya, selagi bibir menggairahkan yang
dimiliki pria tersebut itu mengeksplorasi miliknya. Lalu jari-jarinya akan
membelit helaian rambutnya, menyingkirkannya ke belakang telinga untuk
kemudian sepenuhnya menangkup bagian belakang kepalanya, terkadang
tengkuk, membuatnya mendongak dan menerima sepenuhnya serbuan ciuman
mematikan itu.

Kali ini ciuman pria itu berbeda. Perlahan, lambat, berlama-lama, menggoda.
Dan pria itu hanya menggunakan bibirnya, tidak langsung menggunakan lidah
seperti biasa.

Maka dia mengikuti alurnya, menikmati setiap cecapannya. Kyuhyun


mengganti satu minggu yang terlewat, memberi sekaligus mendapatkan apa
yang dia inginkan, tanpa perlu menjadi rakus.

Pria itu bergerak, separuh menindih, sedangkan dia mendongak, membiarkan


pria itu beralih mengecup dagunya, rahang, kemudian berhenti.

“Seperti ini tidak apa-apa?” tanya Kyuhyun, merujuk pada tubuhnya yang
berada di atas tubuh gadis itu. “Aku menyakitimu?”
“Berarti malam ini kau butuh konsentrasi penuh agar tidak meremukkan
kakiku.”

“Tidak masalah. Mengingat hadiahnya.”

“Hadiah?”

“Oh, ayolah. Kau tidak tiba-tiba menjadi dungu, kan? Hadiahnya tentu saja
bercinta denganmu,” ucap pria itu sambil menyentil keningnya, membuat
wajahnya merah padam.

“Kadang-kadang kau harus memperhalus penggunaan kata-katamu.”

“Untuk apa? Aku tidak perlu menjaga imej di depanmu, kan?” bisik Kyuhyun,
menunduk lagi, mengecup sisi lehernya, menyingkirkan kelepak jubah mandi
yang menghalangi, lalu menggerakkan bibirnya terus ke bawah.

Dan yang bisa gadis itu lakukan hanyalah menahan desahannya agar tidak
terlontar keluar.

***

1 week later…

Kyuhyun’s Home, Yeoju

06.35 PM

“TARAAA!!! Lihat! Bagaimana? Hasil karyaku hebat, kan?” seru Ah-Ra


bangga saat menarik Hye-Na keluar dari ruang ganti pakaian.

Gadis yang dimaksud berdiri rikuh di depannya, dalam balutan gaun musim
semi berwarna kuning, dengan ban pinggang berwarna hijau yang menahan rok
berwarna oranye lembut sepanjang lutut—setelah usaha penuh tipu dayanya
berhasil membuat gadis itu bersedia datang dan mendampinginya ke acara ulang
tahun perusahaan.

Kyuhyun menegakkan tubuhnya yang tadinya bersandar ke dinding, melangkah


maju, lalu mengangguk. Gadis itu terlihat luar biasa. Kalau kata itu saja sudah
cukup untuk menggambarkan.

“Jangan menatapku seolah aku ini tontonan aneh yang ingin kau tertawakan,”
bentak gadis itu mengeluarkan suara.
Kyuhyun mencibir, lalu dengan santai mengetuk-ngetukkan buku jarinya ke
kening gadis itu.

“I love to see you in this kind of gown tonight. Got intoxicated. And breathless,”

bisiknya pelan, sepenuhnya jujur tentang apa yang dia rasakan. Ibu jari dan
telunjuknya memegangi dagu gadis tersebut, memaksanya untuk
mendongak. “While… at the same time… I really want to take it off, make your
hair messy, and keep you on my bed all the time. Really frustrated, eh?”

“OH, YA TUHAN!” teriak Ah-Ra dengan campuran ekspresi antara syok dan
frustrasi. “Apa yang kau bilang barusan? Kau lupa bahwa aku masih ada disini,
hah?”

***

Cho Corp’s Anniversary

07.24 PM

Kyuhyun terus menatap gadis itu dari jarak tiga meter, sampai beberapa detik
kemudian mata gadis itu balas menatapnya, dengan alis terangkat dan kening
berkerut bingung.

Kyuhyun tersenyum samar, mengangkat gelas anggurnya, mengajak Hye-Na


bersulang dari jauh. Gadis itu tampak merengut, lalu ikut mengangkat gelasnya
yang berisi jus jeruk—dengan jelas menatapnya sinis. Apa lagi kalau bukan
karena Kyuhyun berhasil menerapkan larangan tentang makanan dan minuman
yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi ibu hamil.

Hye-Na dengan dongkol meminum jus jeruknya, dengan sangat kentara sengaja
membuang muka dan menoleh ke arah lain, membuat Kyuhyun bersusah-payah
menahan tawa agar tidak membuat klien yang semeja dengannya menatapnya
seolah dia tidak waras atau semacamnya.

Dia setengah mendengarkan pembicaraan di sekitarnya, walaupun


pandangannya masih terfokus pada istrinya yang malam ini tampak bersinar
seperti matahari pagi dalam balutan gaunnya yang merupakan campuran dari
warna kuning dan oranye.

Betapa dia tidak bisa mendeskripsikan kebahagiaan sederhana yang dia


dapatkan hanya dengan menatap gadis itu saja. Lalu kebahagiaan tambahan saat
melihat bahwa gadis itu bernafas, tersenyum, hidup. Kemudian kebahagiaan
tiada tara saat menyadari bahwa gadis itu adalah miliknya, kenyataan lain yang
sama membahagiakannya… bahwa gadis itu tidak berkeberatan untuk dia
miliki.

“Permisi sebentar,” ucapnya pada semua orang yang semeja dengannya, bangkit
berdiri, dan berjalan menuju kelemahan sekaligus kekuatan terbesarnya.

Orang bertanya-tanya kenapa dia menikah. Kenapa harus dengan seorang gadis
biasa yang setiap hari berurusan dengan kematian dan kejahatan. Dan dia
bertanya-tanya kenapa tidak? Tidak adakah seorang pun selain dia yang bisa
melihat apa yang dimiliki oleh seorang Han Hye-Na? Tidakkah mereka bisa
menggunakan sedikit logika bahwa jika wanita yang mereka sebut biasa saja itu
berhasil membuatnya bertekuk lutut dan menggeretnya ke depan altar maka ada
sesuatu yang luar biasa dari wanita tersebut? Atau mungkin dia harus bersyukur
menjadi satu-satunya pria yang menyadari segala kelebihan yang dimiliki gadis
itu? Karena dia adalah jenis orang yang tidak suka berbagi. Jenis orang yang
tidak suka sesuatu miliknya diganggu dan disentuh walaupun sedikit.

Orang tidak melihat apa yang dia lihat. Karena yang ditatapnya adalah sesuatu
yang tidak kasatmata. Dia melihat wanita… seorang istri… seorang ibu… yang
menggenggam masa depannya, masa tuanya… sisa hidupnya. Dan dia bisa
bertahan hidup hanya dengan gadis itu saja yang tersisa untuk menemaninya.

Ada limpahan kekayaan yang bisa ditukarnya untuk mempertahankan gadis itu
di sisinya. Dan ada banyak hal yang bisa dia serahkan untuk mendapatkan dunia
pribadi miliknya, yang cukup dihuni oleh tiga orang saja.

Dia mencintai gadis itu, seolah tidak ada lagi di dunia ini yang pantas untuk
dicintai. Seolah tidak ada lagi yang dia inginkan selain pulang ke dalam dekapan
gadis tersebut, lalu menghabiskan waktu disana selamanya.

Seolah… hidup hanya tentang bernafas demi gadis itu saja….

***

Hye-Na tersentak kaget saat seseorang mendekap tubuhnya dari belakang lalu
mengecup puncak kepalanya.

“Boleh pinjam istriku sebentar?”


Semua orang tampak tersenyum maklum dan detik berikutnya dia sudah diseret
ke sudut ruangan, dimana orang-orang di sekeliling mereka sibuk di meja
masing-masing atau sekadar berdansa bersama pasangan di lantai dansa yang
hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka berdiri.

Kyuhyun menyandarkan tubuhnya ke dinding, menarik gadis itu bersamanya,


lalu tersenyum miring.

“Apa-apaan itu tadi?” bentak Hye-Na, merasa risih dengan ratusan tatapan yang
terarah ke punggungnya. “Mau pamer kemesraan lagi?”

“Tidak bisa menahan diri,” jawab Kyuhyun singkat, lagi-lagi menelusuri wajah
gadis tersebut dengan tatapannya. Walaupun dia tidak peduli seperti apapun
wujud gadis itu, tapi tetap saja dia bersyukur masih bisa melihat wajah yang
sama, wajah yang paling familiar dalam tahun-tahun kehidupannya.

“Kerja Yesung hyung bagus,” ujarnya, menyusurkan jari telunjuknya di pipi


Hye-Na dengan lembut.

“Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan!” desis gadis itu tajam.

Kyuhyun menghela nafas, lalu melayangkan tatapannya kembali ke mata gadis


itu.

“Aku duduk disana. Di mejaku. Kebanyakan menghabiskan waktu dengan


menatapmu.” Dia menangkup sisi kiri wajah gadis itu dengan telapak
tangannya, sekali lagi tersenyum tanpa sebab. “Lalu aku berpikir betapa baik
hatinya Tuhan padaku.”

“Dalam hal?”

“Mempertahankanmu untuk tetap hidup.”

Hye-Na masih ingin beradu debat dengan pria itu, tapi dia mengalah dengan
balas tersenyum, menyentuhkan jemarinya menyusuri kelepak jas pria itu.

“Aneh,” gumamnya. “Aku semakin tidak keberatan dengan semua rayuan


manismu.”

“Senang mendengarnya,” ucap Kyuhyun dengan nada menggoda.

Hye-Na mengabaikannya, mendongak untuk menatap langsung ke mata pria itu.


“Aku belum mengucapkan terima kasih.”

“Untuk?”

“Hari-hari yang kau habiskan untuk merawatku.”

“Itu gunanya suami,” tukasnya seraya menyelipkan anak rambut gadis itu ke
belakang telinga.

“Aku jadi ingin tahu,” ujarnya dengan tatapan penasaran, menimbang-nimbang


reaksi gadis tersebut. “Kau selalu menolak semua pemberianku. Apa tidak ada
sesuatu yang kau inginkan?”

“Aku tidak pernah benar-benar menginginkan sesuatu.”

“Sama sekali?”

Hye-Na menelengkan kepalanya. “Pernah. Satu kali.”

“Apa?”

“Kau,” jawabnya sederhana. “Ingat 15 tahun lalu? Kau mengatakan sesuatu


tentang bertemu kembali kemudian jatuh cinta. Saat itu aku sangat
menginginkannya. Walaupun aku tidak terlalu mengerti. Masih terlalu kecil
untuk mengerti. Tapi aku melihat ibu dan ayahku. Lalu berpikir bahwa tidak
buruk jika aku bisa memiliki hubungan seperti mereka. Denganmu. Dan aku
sudah mendapatkannya sekarang. Jadi aku tidak menginginkan apa-apa lagi.”

“Aku mencintaimu,” ucap Kyuhyun tiba-tiba, membuat gadis itu menganga


seperti orang tolol.

“Apa itu taktik baru untuk membuatku membalas pernyataan cintamu?” tanya
gadis itu beberapa saat kemudian setelah memulihkan diri.

Kyuhyun tertawa, mengecup gadis itu cepat, lalu memeluknya erat-erat.

“Tidak. Kau tidak perlu mengucapkannya kalau kau tidak mau.”

“Malam ini aku mau,” tandas Hye-Na, membuat Kyuhyun membulatkan


matanya kaget.

Hye-Na berjinjit, tidak terlalu sulit untuk mencapainya karena malam ini gadis
itu mengenakan high-heels. Gadis tersebut kemudian meletakkan tangan di
kedua sisi wajahnya, seolah meminta fokus penuh yang kapanpun akan bersedia
dia berikan tanpa perlu diminta.

“Aku mencintaimu, Cho Kyuhyun,” bisik gadis itu pelan. “Untuk menungguku,
untuk memaksaku menikah denganmu, untuk berjanji hidup selamanya
denganku, untuk mempercayaiku mengandung anakmu. Aku mencintaimu
untuk setiap alasan. Untuk setiap waktu. Selama yang kau inginkan. Dan untuk
tiap detik setelahnya.”

Gadis itu tersenyum. Membutakan. Sedangkan dia sendiri sudah setengah


membeku di tempat, merasa pusing dengan setiap rentetan kalimat yang tidak
disangka-sangkanya keluar dari mulut gadis itu.

“Aku mencintaimu,” ulang gadis itu lagi. “Dan tidak keberatan memberitahumu
setiap kali kau ingin mendengarnya. Itu kan gunanya terikat dalam pernikahan?
Memberitahu pasanganmu bahwa kau mencintainya tanpa perlu takut merasa
malu. Aku sedang mempelajarinya.”

Yah, dia memang mempelajarinya. Bahwa ada lebih banyak hal penting yang
diperlukan dalam pernikahan selain empat tungkai telanjang di atas ranjang.
Salah satunya cinta. Sesuatu yang sebenarnya sederhana tapi membutuhkan
serangkaian kata-kata rumit untuk mendefinisikannya.

Cinta sebenarnya hanya tentang menerima. Bahwa hidupmu bukan lagi tentang
dirimu sendiri, tapi juga tentang orang yang kau cintai dan mencintaimu. Bahwa
seburuk apapun kau, sehancur apapun hidupmu, akan ada seseorang yang selalu
merentangkan tangan, bersedia menerimamu apa adanya. Tanpa memerlukan
sebuah alasan spesifik kenapa dia harus melakukannya.

Karena dia mencintaimu. Dan satu kata sederhana itu menjawab segala bentuk
pertanyaan.

***
Note 21 Mei 2013
2061 ~ ONE STEP DEEPER

Hye-Na membuka matanya, menyadari ranjang kosong di sampingnya saat


tangannya terentang dan tidak membentur apa-apa. Bantal di sampingnya
dingin, menandakan si pemilik tidak menidurinya sama sekali.

Ini kali kelima dalam satu minggu terakhir saat dia mendapati fakta bahwa
Kyuhyun tidak tidur bersamanya, walaupun jam sudah menunjukkan lewat
tengah malam. Pria itu akhir-akhir ini tidak seperti biasa. Baru pulang setelah
pukul 9 atau 10, berpura-pura tidur bersamanya dan saat dia sudah jatuh terlelap,
pria itu akan menghilang ke ruang kerjanya, menyibukkan diri lagi dalam
proyek baru yang menyita waktunya habis-habisan.

Dia bisa bersabar di tiga hari pertama, jengkel setengah mati di hari keempat,
dan jelas sudah kehilangan kesabaran di hari kelima. Tidak peduli bahwa pria itu
masihlah pria yang paling mempesona baginya, tapi melihat raut letih di wajah,
kantung hitam di bawah mata, kulit yang semakin pucat, dan tubuh yang
smekain kurus, dia merasa sudah tiba waktunya untuk mengambil tindakan.

Hye-Na menyingkirkan selimutnya ke samping, memakai sandal kamar dan


melangkahkan kakinya menuju ruang kerja suaminya. Dengan sengaja
melupakan semua protokol kesopanan seperti mengetuk pintu dan meminta izin
masuk, Hye-Na berjalan menghampiri meja Kyuhyun. Pria tersebut bahkan
terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak menyadari kehadirannya sama
sekali.

Tanpa berkata apa-apa dia menyelinap ke samping pria itu lalu duduk di atas
meja, menggeser dokumen-dokumen yang berserakan ke arah belakang.

Kyuhyun akhirnya mendongak, membulatkan mata lalu tersenyum tipis.

“Kau terbangun? Mau kutemani tidur lagi?”

Hye-Na menyingkirkan segala rasa kesalnya terhadap pria itu jauh-jauh. Kali ini
tidak diperlukan tindak kekerasan untuk melakukan pendekatan dan
mendapatkan kerja sama penuh. Dia akan menggunakan cara yang penuh bujuk
rayu untuk memeperoleh apa yang dia inginkan. Sepertinya itu cara yang lebih
baik.

“Kau sudah makan malam?” tanyanya, menimbulkan ekspresi kaget di wajah


yang biasanya datar itu. Mengabaikannya, Hye-Na mengulurkan tangan,
menyusurkan jemarinya di rambut pria itu yang sudah acak-acakan tidak karuan
karena gerakan tangan pria itu sendiri.

“Ini sudah jam 3 pagi, Na~ya.”

“Kau tidak kehilangan orientasi waktu ternyata. Apa yang biasa manusia
lakukan pada jam ini, Kyu?”

“Aku tidak punya waktu untuk tidur. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan
segera. Kau tahu bahwa—”

“Proyek Mars-mu akan diluncurkan akhir tahun dan sampai sekarang kau masih
belum tahu bagaimana caranya memasok oksigen dalam jumlah besar untuk
manusia yang ingin berjalan-jalan kesana,” ucap Hye-Na melanjutkan, untuk
kedua kalinya membuat suaminya melontarkan tatapan tak percaya.

“Aku tidak benar-benar buta dengan apa yang sedang kau kerjakan,” jelas Hye-
Na kemudian. “Tapi kau berangkat ke kantor jam 7 pagi dan pulang jam 9
malam. Apa itu masih belum cukup sampai kau juga harus merelakan waktu
tidurmu? Persediaan kopi di AutoChef menyusut cepat,” ujar gadis itu dingin.
“Kapan terakhir kalinya kau tidur, Kyu? Tidur. Bukan hanya menatap matamu
selama satu jam untuk menemaniku.”

“Kenapa kau harus memulai tugasmu sebagai istri sekarang?” keluh pria itu,
yang hanya mendapat balasan pelototan dari istrinya.

“Tiga hari yang lalu,” beritahunya, tahu bahwa dia hanya akan memulai
pertengkaran besar mereka yang kesekian kalau memutuskan untuk bersikap
keras kepala.

Hye-Na mencondongkan tubuh, menatapnya tajam. “Kapan kau terakhir kali


makan dengan benar?”

Pertanyaan yang sulit dijawab. Bukan karena gadis itu sedang menunduk ke
arahnya, berada begitu dekat, tapi karena dia memang tidak punya jawaban.

“Matikan komputermu. Aku tunggu kau di ruang makan,” tandas Hye-Na


dengan nada tidak bisa dibantah sambil melompat turun dari meja. “Pernikahan
itu kompromi, Kyu. Dan butuh dua orang untuk menjalankannya. Kau sudah
merawatku. Jadi kali ini giliranku untuk merawatmu.”

Gadis itu meliriknya dengan tatapan menilai, lalu menggelengkan kepala.


“Kau benar-benar terlihat seperti pria lajang yang tidak tahu cara mengurus
diri.”

***

Semangkuk corn soup panas, tumpukan roti isi bacon dan lelehan keju, dan
secangkir teh hangat sudah menantinya di meja makan setelah dia menyimpan
file-filenya di komputer dan mengistirahatkan benda itu untuk malam ini.

Kyuhyun melihat satu piring besar berisi kentang goreng di depan Hye-Na yang
duduk menunggunya, membuatnya tiba-tiba mencurigai maksud dan tujuan
gadis itu mengganggunya. Mengingat kegilaan Hye-Na pada makanan tersebut
sudah cukup menjadi alasan untuk menguatkan kecurigaannya.

“Apa kau sedang ngidam kentang goreng dan hanya sekedar mencari-cari alasan
agar aku menemanimu?”

“Tidak bisa sedikit berpikir positif?”

“Apa misalnya?” tanya Kyuhyun sambil menjatuhkan diri ke atas kursi,


mendadak menyadari bahwa dirinya memang lapar.

“Bahwa aku mengkhawatirkanmu?”

Kyuhyun menatap gadis itu lurus, menimbang-nimbang.

“Cukup bagus,” putusnya kemudian.

“Aku memang mengkhawatirkanmu,” dengus gadis itu dengan tampang kesal.


“Kau akhir-akhir ini tidak bercermin? Kantung matamu itu sudah terlalu tebal
dan hitam, lalu kau mulai terlihat seperti tengkorak, dan—”

“Kau takut aku tidak tampan lagi?”

“Salah satunya,” ucap Hye-Na sok jujur. “Kau tahu itu daya tarikmu yang
menjadi tujuanku menerimamu sebagai suami dengan senang hati.”

“Aku tidak ingat ada kata senang hati saat kau bersedia menandatangani surat
pernikahan kita dulu.”

Hye-Na tersenyum samar, menikmati perdebatan pertama mereka setelah hari-


hari berlalu membosankan. Mereka bahkan tidak pernah punya waktu untuk
benar-benar berbicara.
“Mau tambah sup-nya?” tawarnya saat melihat isi mangkuk pria itu sudah
tandas dalam waktu singkat.

Kyuhyun menggeleng. “Aku makan roti saja.”

“Kau ternyata kelaparan, kan? Dasar pria gila kerja.”

“Apa lagi rencanamu setelah ini?” tanya Kyuhyun ignin tahu, mengacuhkan
ledekan yang ditujukan Hye-Na padanya.

“Membuatmu tidur. Kalau kau menolak, aku berencana akan menidurkanmu


dengan paksa.”

“Dengan paksa?” ucap pria itu mengulang kata-kata terakhir Hye-Na. “Kalau
kau sudah menyebut-nyebut kata paksa, biasanya itu sangat mengasyikkan.”

Dan Hye-Na memenuhi mulutnya dengan kentang goreng agar tidak mulai
mendebat pria itu.

Tidak peduli selelah apapun, pria itu selalu saja memiliki energi cadangan untuk
membuatnya kesal.

***

Kyuhyun keluar dari kamar mandi sambil mengelap wajahnya yang basah
dengan handuk, lalu membuang kain tebal itu begitu saja ke dalam keranjang
pakaian kotor.

“Sini,” ajak Hye-Na, menepuk-nepuk pangkuannya sehingga Kyuhyun nyaris


tersedak, ngeri dengan kemungkinan istrinya menjadi tidak waras karena tidak
diurusnya dengan baik selama lima hari terakhir.

“Oke, kau sebaiknya memberitahuku apa yang salah dengan dirimu sekarang.
Kau membuatku takut, kau tahu?”

“Aku hanya ingin memastikan bahwa kau akan tidur malam ini. Aku rasa cara
ini cukup ampuh. Ayo sini! Aku tidak akan memakanmu.”

“Hal itu lebih tidak menakutkan daripada apa yang kau inginkan dariku
sekarang,” ujar Kyuhyun sangsi, walaupun dia tetap mendekat dan pasrah saat
Hye-Na memaksa kepalanya berbaring di pangkuan gadis tersebut.
Yang dia ketahui kemudian hanya telapak tangan gadis itu yang bergerak
menutupi matanya dalam posisi horizontal dan jemarinya yang memberi pijitan
ringan di pelipis, bergerak ke dahi, dan terus ke puncak kepala, berulang-ulang
dalam gerakan beraturan.

Kulit gadis itu terasa sejuk, menyegarkan, dan herannya membuatnya merasa
mengantuk, terutama karena tangan gadis itu yang berada di atas matanya
membuatnya berada dalam kegelapan menyenangkan.

“Ayahku dulu sering melakukan ini saat aku tidak bisa tidur.”

“Kenapa kau tidak bisa tidur? Takut ada hantu yang akan menelusup masuk ke
kamarmu?” tanya Kyuhyun dengan suara bergumam, berada di antara alam
sadar dan bawah sadar.

“Aku tidak pernah takut hantu. Biasanya aku tidak bisa tidur karena terlalu
bersemangat menunggu hari berikutnya datang. Tiga kali seminggu Ayah selalu
membawaku ke KIA dan aku selalu tidak sabaran.”

Pijatan gadis itu membawanya ke awang-awang. Semua suara terdengar samar


dan tubuhnya terasa begitu rileks, menandakan bahwa dia sebenarnya memang
sangat kelelahan dan bersyukur bisa membaringkan tubuh sebentar, berusaha
melupakan beban pekerjaan yang akan menyambut keesokan harinya.

Dia sedikit bergerak, memiringkan tubuh, menyusupkan tangan ke balik


punggung Hye-Na, memeluk gadis itu ringan, sedangkan kepalanya terbenam di
perut gadis tersebut, yang sedikit menonjol karena mengandung anaknya. Dia
membiarkan dirinya mengambil nafas normal, menghirup aroma familiar. Dan
yang ada di pikirannya hanyalah… bisa jadi sekarang dia berada di surga.
Dalam jagad raya pribadinya.

***

Kyuhyun memicingkan mata, mengubur kepalanya di bawah bantal yang


kemudian ditutupi selimut, berusaha menghalau sinar matahari yang tiba-tiba
membanjir di sekelilingnya. Dia masih mengantuk, masih ingin melanjutkan
tidurnya yang nyenyak, masih ingin beristirahat sebanyak yang dia bisa.

“Bangun, Pemalas! Aku memang membiarkanmu tidur, tapi sayang sekali, ini
sudah jam 12 siang,” seru Hye-Na, menyibakkan tirai yang biasanya diprogram
untuk membuka pada jam 5 pagi. Dia kemudian mengambil kembali nampan
berisi jus jeruk dan sandwich dari atas meja dan membawanya ke ranjang,
meletakkannya di atas nakas.

“Aku masih ingin tidur,” rajuk Kyuhyun, teredam di balik selimut dan
bantalnya.

“Semalam kau seperti ingin membunuhku di tempat karena mengganggu


pekerjaanmu lalu sekarang kau merengek-rengek ingin tidur. Umurmu sudah
seperempat abad PresDir, berhenti bersikap seperti anak kecil.”

Kyuhyun menurunkan selimutnya lalu melempar bantal yang menutupi


wajahnya ke samping, menatap Hye-Na yang duduk di pinggir ranjang, lalu
melemparkan cengiran mirip bocah yang membuat gadis itu membelalak tak
percaya.

“Kalau sampai ada wartawan yang melihatmu seperti barusan, kau akan
terpampang sebagai headline berita sepuluh hari berturut-turut.”

“Baguslah. Untung saja aku menikahi agen, bukan wartawan,” ujarnya riang,
dengan semena-mena melingkarkan lengan di sekeliling pinggang gadis itu,
menariknya mendekat.

“Hmm,” gumam Hye-Na, mencermati wajah pria itu. “Kau terlihat lebih manis
dan jinak kalau begini.” Yang disambut Kyuhyun dengan tatapan tidak terima.

“Hei hei, aku bisa menolerirmu untuk banyak hal, tapi kau harus tahu bahwa
aku tidak suka dianggap manis dan jinak. Kau pikir aku cihuahua?”

Hye-Na tersenyum, menyingkirkan rambut yang menutupi kening Kyuhyun


dengan tangannya, lalu menjulurkan tubuh, menyapukan kecupan singkat ke
dahi pria itu.

“Astaga!” seru Kyuhyun, nyaris terdengar seperti jeritan, dengan refleks


menarik tubuhnya menjauh. “Apa itu perilakumu pribadi atau perilakumu gara-
gara dalam masa kehamilan?”

“Dua-duanya,” ucap Hye-Na sok manis. “Ayolah, aku hanya sekali-sekali


bersikap agresif. Kenapa kau jadi ketakutan seperti kelinci begitu?”

“Na~ya… kau gila!” sergahnya, tidak bisa menemukan perumpamaan lain yang
lebih pantas. “Dan jangan jawab bahwa kau memang gila karena tergila-gila
padaku,” lanjutnya sambil bergidik ngeri.
Hye-Na tertawa keras, hampir-hampir tidak bisa berhenti sehingga air mata
merembes dari sudut matanya. Siapa yang akan menyangka bahwa seorang pria,
yang terkenal angkuh, sombong, dan arogan serta minim ekspresi seperti
Kyuhyun bisa mengeluarkan reaksi seperti itu? Dan dia menjadi satu-satunya
manusia yang bis amelihat segalanya, setiap pesonanya. Baik yang mematikan
maupun memabukkan. Dari yang menjengkelkan, menyenangkan sampai
kekanak-kanakan seperti sekarang.

“Oke, baiklah. Kau hanya perlu memakan sarapanmu yang sudah sangat
terlambat dan aku akan membiarkanmu tidur.”

“Kau juga harus tidur. Kau tidak sadar bahwa kau juga terlihat lelah?”

“Aku tidak sesibuk kau. Dan ngomong-ngomong, aku sudah menghubungi


Joong-Ki oppa dan memintanya mengurus perusahaan hari ini. Dia
kedengarannya senang mendengar aku memaksamu beristirahat. Kau
membiarkannya pulang tepat waktu, tidak menyuruhnya lembur, dan dia
mengkhawatirkanmu,” ucap Hye-Na, menyodorkan gelas berisi jus jeruk ke
arah Kyuhyun.

“Aku bahkan melupakan pekerjaanku,” ujar Kyuhyun kagum, menyadari bahwa


dia tidak ingat bahwa seharusnya dia berada di kantor sekarang, bukannya di
ranjang.

“Mengambil libur tidak akan membuat perusahaanmu bangkrut,” dengus Hye-


Na, membiarkan Kyuhyun menikmati sandwich-nya selagi dia menyelinap
masuk ke dalam selimut dan mengambil tempat di samping pria itu.

“Kau juga libur?”

“Tim-ku sedang tidak ada kasus. Ada, tapi aku tidak perlu turun tangan.”

“Itu yang dinamakan kompromi pernikahan? Dulu kau pasti tidak akan mau
dibayar berapapun untuk bolos kerja.”

“Aku senang berada di rumah.” Dia mencondongkan tubuh, mengendus baju


Kyuhyun, dari dada sampai ke leher pria itu, lalu berhenti disana. “Baumu
enak,” gumamnya.

“Aku bahkan belum mandi. Bayimu?”

“Sepertinya.”
“Beberapa minggu yang lalu dia membuatku tidak bisa mendekatimu, lalu
sekarang dia malah menyukai aromaku? Manis sekali,” dengusnya sambil
menyingkirkan piring makan yang sudah kosong. Dia membaringkan kepalanya
lagi ke atas bantal, berbaring menghadap gadis itu, menangkup pipinya dengan
sebelah tangan.

“Kau juga punya kantung mata,” komentarnya, menyusuri warna hitam samar di
bawah mata gadis tersebut dengan ibu jari.

“Sepertinya sudah lama sekali kau tidak menatapku seperti itu.”

Pria itu tersenyum canggung. “Aku menelantarkanmu, ya? Maaf kalau begitu.
Aku akan berusaha mengurangi jadwal kerjaku seperti dulu.”

“Tidak perlu berlebihan. Patuhi saja peraturan bahwa kau tidak boleh membawa
pekerjaan ke rumah. Kau harus tidur saat tiba waktunya utnuk tidur dan makan
tepat waktu.”

“Biasanya itu dialogku.”

Hye-Na memutar bola matanya. “Kau menyedihkan, Cho Kyuhyun.”

Dada pria itu bergetar karena tawa, tanpa berkata apa-apa bergerak lebih dekat
sampai dia bisa menyentuhkan bibirnya ke kening gadis itu, turun ke kelopak
mata, berlanjut ke puncak hidung, dan berhenti di pipi.

“Kau lebih menyedihkan karena menikah denganku, Cho Hye-Na,” bisiknya,


lalu menggerakkan kepala ke samping, menutup bibir gadis itu dengan bibirnya.

“Sialan. Aku sudah lupa bagaimana rasanya,” komentarnya kemudian, berhenti


hanya dengan satu kecupan. “Aku bersedia membuang proyek itu asal bisa
berada di rumah lima hari mendatang.”

“Berapa kira-kira kerugiannya?”

“Trilyunan dolar,” jawabnya santai.

“Trilyunan dolar untuk lima hari bersamaku?”

“Nah, Nona Yang Menganggap Rendah Diri Sendiri, hargamu bahkan lebih
mahal dari seluruh kekayaanku jika disatukan,” ucapnya tanpa ada nada manis
yang tersirat. Dia menarik Hye-Na lebih dekat, berhenti setelah menempatkan
gadis itu di atas tubuhnya, membuatnya harus mendongak ke atas, terpesona
saat melihat rambut ikal gadis itu jatuh menutupi sisi wajahnya.

Dia mengulurkan tangan, mengusap pipi pucat gadis itu, yang kemudian
dipenuhi semburat merah malu-malu.

“Kau seharusnya sudah tahu,” lanjutnya putus asa. “Aku bisa membuang apa
saja. Apa pun. Kalau hadiahnya adalah kau.”

***
Note 28 Mei 2013
2061 ~ THE NIGHTMARE

“AAAAAARGH!”

Kyuhyun secara refleks membuka matanya saat mendengar teriakan keras


tersebut. Dia terduduk di atas ranjang, menyelipkan tangan di sela jemari Hye-
Na yang menggapai-gapai sesuatu tak kasat mata di udara, lalu menatap lurus ke
arah gadis itu, berusaha mengabaikan rasa paniknya.

Tapi tetap saja kekhawatiran itu merasuk seperti aliran listrik yang tak terlihat,
ratusan volt yang bisa menghanguskannya kapan saja. Dia sudah memiliki
firasat bahwa ini mungkin akan terjadi dan sudah bersiap akan kedatangannya,
tapi tetap saja, mengalaminya secara langsung membuatnya ketakutan setengah
mati.

Tidak istrinya. Tidak istrinya. Tapi sial, dia bukan Tuhan yang bisa
mendapatkan segala hal yang dia inginkan.

Tubuh gadis itu bersimbah peluh, keringat yang terus menetes jatuh dari pelipis
ke pipi, dan turun ke leher, menghilang di balik tank-top longgar berleher rendah
yang dipakai gadis itu sebagai baju tidur, sedangkan dadanya bergerak naik
turun dengan cepat seolah dia kesulitan untuk sekedar menarik nafas. Ada
erangan-erangan lirih keluar dari mulutnya, dengan dahi yang mengernyit,
menyisakan raut muka kesakitan dan ketakutan di wajah yang biasanya bisa
tampak begitu dingin dan kejam itu.

Kyuhyun menelan ludah, menyelipkan tangan di belakang punggung gadis itu,


lalu menariknya hingga berada dalam posisi duduk.

“Na~ya… hey! Wake up. Open your eyes.”

Dia memeluk tubuh istrinya yang terasa menggigil, membuat gerakan mengelus
beraturan di punggungnya, selagi dia memaksa gadis tersebut untuk bangun.

“Kyu…..”

Gumaman lirih bernada serak itu mengirimkan getar menenangkan ke seluruh


tubuhnya, yang hanya bertahan sesaat karena kemudian dia menyadari betapa
fatalnya situasi yang terjadi.
Tangan gadis itu terkalung di lehernya, bahunya bergerak turun naik tanpa
kendali, dan ada isakan yang tak bisa disembunyikan saat tubuh gadis tersebut
bersandar sepenuhnya ke tubuhnya. Seolah meminta perlindungan. Seolah
membuang semua gengsi dan kendali diri dan memperlihatkan kelemahan yang
Kyuhyun tahu pasti tidak akan pernah diperlihatkan gadis itu kepada manusia
lain manapun di muka bumi.

Kyuhyun merasakan bagian leher dan bahunya basah, karena gadis itu
menyurukkan wajah disana. Menangis. Mungkin saja berharap dia tidak
berkomentar.

“Hey… it’s okay. It’s okay. You are safe.”

Dia memegangi kedua bahu gadis tersebut, menariknya sedikit menjauh agar dia
bisa menatap langsung ke wajah gadis itu dengan leluasa. Kedua tangan yang
kemudian bergerak naik untuk menangkup pipi istrinya, mengelap tetes keringat
yang masih mengalir, lalu memandanginya lekat-lekat.

“I’m here,” bisiknya, tidak peduli sekonyol apapun kalimat tersebut


terdengar. “Tell me. What. Is. Happening?” tanyanya pelan, dengan intonasi
yang jelas.

Mata gadis itu bergerak liar, berusaha melarikan pandangan darinya, yang jelas
tidak dibiarkannya begitu saja. Dia sudah menunda percakapan ini begitu lama,
mencoba menahan diri untuk tidak bertanya, dan sepertinya, mereka benar-
benar harus membicarakannya malam ini.

“The snake,” ucap Hye-Na, akhirnya menyerah kalah. Ada gidikan lemah di
bahunya, membuat Kyuhyun bertanya-tanya apa saja yang sebenarnya terjadi di
hutan waktu itu. Apa yang telah dilakukan bajingan yang sudah dibunuhnya itu
terhadap istrinya. Pertanyaan yang tidak dia ketahui jawabannya sampai malam
ini. Jika gadis itu tidak bersedia menjawab, dia berniat memaksa. Semuanya
harus dituntaskan. Segera.

“At that time… I… I got a stone. Throw it. Crumbled its head. But… in my
dream… it… bites… me. I really hate reptiles. No, I hate all kind of animals. It
makes me… scared”

“More than that armed guy?” Kyuhyun memaksakan diri tersenyum, dan
benar-benar tersenyum saat Hye-Na akhirnya tertawa gugup, menganggukkan
kepalanya kuat-kuat. Saat itu, dengan gerakan samar, dia menjulurkan tanagn di
belakang tubuh Hye-Na, menekan tombol kecil di samping tempat tidur.

“I can face human. I can read their mind… I mean… I can guess what they are
thinking about. Animals… are different.”

“So… you killed it. That snake. Water, please,” ujarnya pada sesuatu yang
berdiri di belakang Hye-Na, bergerak tanpa suara. “And chocolate. Make it
fast.”

Gadis itu berbalik, tampak melongo sesaat, lalu menatap Kyuhyun lagi, kali ini
dengan tatapan tak percaya.

“Android? Here?”

“I have some,” ucap Kyuhyun, bersikap seolah itu bukanlah sesuatu yang harus
dipermasalahkan. “They just do their job when nobody’s at home. You don’t
have to meet them.”

“But I think you employ… some maids.”

“Androids are more trusted.” Kyuhyun menggunakan nada yang menandakan


bahwa dia tidak akan membicarakan hal itu lebih jauh lagi saat ini. “Then? Your
story. Please?”

“What?” tanya Hye-Na kebingungan.

“You killed it,” ujar Kyuhyun sabar. “Then? What did you do next?”

“I got my gun. It’s… ng… under… the snake.”

“Damn ass,” umpat pria itu pelan, meraih gelas berisi air dan sekotak cokelat
buatan luar negeri yang disodorkan android pelayan yang disuruhnya tadi. “Just
continue.”

“Yeah… I heard the gun shot, means I have to run if I don’t want to get caught.
So I run. As fast as I can. But he is quick. The only way was climb the trees. I did
it. The beginning of my hell.”

“Why don’t you just… shoot him? With your gun.”

“There was just one bullet. Logically think, if I failed to shoot him, I give him my
position, then what? Let him kill me?”
“You are a sharpshooter, Na~ya. Don’t underestimate your skill.”

“If it’s just me, maybe I will take any risk to do it.” Tanpa sadar Hye-Na
memainkan jemari Kyuhyun yang berada dalam genggamannya, menandakan
bahwa dia mulai tidak yakin untuk melanjutkan ceritanya. “I have a baby. I
can’t take that risk. I will never forgive myself if I failed.”

“Our baby?” Kyuhyun mencium ada alasan lain disana, yang berusaha
disembunyikan gadis itu. “It’s just me. Your husband. What do you think you
can’t tell me about?”

“Because it’s you” keluhnya. “So I can’t.”

Kyuhyun memegangi ujung dagu gadis tersebut dengan ibu jari dan
telunjuknya, memaksa gadis itu menatapnya.

“Let me guess.”bisiknya. “You, Cho Hye-Na ssi, can’t be dead there by taking a
risk to shoot your gun, because if you failed, you are not only losing your baby,
but… you also can’t see me anymore. Am I right or wrong?”

“You moron,” sentak gadis itu tajam, tanpa nada marah dalam
suaranya. “Happy, huh?”

“To know that you love me that much?” tanyanya dengan kilat geli di
mata. “Hmmm… it’s not something new. I already knew it.”

Kyuhyun menyodorkan gelas ke tangan Hye-Na dan menyuruhnya minum.

“What’s next? Your beginning of hell?”

Hye-Na menandaskan airnya dan menyingkirkan gelas itu ke nakas di samping


tempat tidur.

“My fault. I forgot the fact that it was rain the night before. I leave my footsteps
on the ground. That is why he can follow me easily. Then when I think he is
already left, he shoots me. I fall. Think that… maybe I will be dead. But yeah… I
still have enough guts… and energy… to shoot him. I should do it earlier. I
know. But yeah… human… regret comes late.”

“I don’t care about your regret,” sahut Kyuhyun tanpa belas kasihan. “The only
think I care is the fact that you are survive and I should thank you for that.” Pria
itu mencondongkan tubuh, mengusap pipi Hye-Na pelan, lalu tersenyum. “So…
thank you. For being alive. Agent Cho. Or… maybe, should I call you Mrs.
Cho? Hmm? Ma’am?”

“Is it funny?”

“Do I look like I laugh at you or something?”

“You smile.”

“Yeah, I smile. So what? You don’t like it? Just bite my ass then.”

Hye-Na tidak bisa menahan tawanya, tapi berhasil memasang ekspresi sinis
yang diikuti gelengan kepala.

“Oh, man, I think I will just bite the other parts of your body. If you don’t
mind.”

“God, don’t seduce me now. I think you are not in good condition for midnight
sex. Wait until the dawn. Or morning.” Kyuhyun meloncat turun dari tempat
tidur sambil terkekeh geli, tahu bahwa gadis itu hanya sekedar menggodanya
saja. “Eat your chocolate. It’s good to calm your body. Make you sober.”

“I’m sober.”

“Just eat it. Do I have to make you?” tanyanya licik, menghilang sebentar ke
ruang sebelah untuk mengambil sehelai baju kaus longgar sepanjang lutut untuk
menggantikan baju Hye-Na yang basah.

“I love chocolate,” seru gadis itu, agar Kyuhyun bisa mendengarnya, dan
dengan cengiran lebar di wajah, dia memakan cokelatnya dalam satu gigitan
besar. Lalu mengerang setelahnya.

“I will be happy if you can make that groan sound when we are having
sex,” canda Kyuhyun, kembali naik ke atas tempat tidur dan tanpa permisi
langsung menarik tank-top basah yang masih dikenakan Hye-Na melewati
kepala gadis itu. Dan yang dilakukan gadis tersebut malah mendecak-decak
senang sambil menjilat ujung bibirnya, tidak bersedia menyisakan bekas cokelat
nikmat itu sedikitpun. Tidak tahan, Kyuhyun mencuri satu kecupan singkat dari
bibir istrinya, membuatnya dihadiahi sebuah delikan main-main dari gadis itu.

“I think I’ve heard something about… hmm… that it’s not good to wear bra
when you are sleeping.”
“Just tell me if you want to take all of my clothes off, dude. You don’t need to
looking for any stupid reason.”

“I already said wait until the dawn. But if you take your bra off now, you will
make it easier for me. I don’t have to wasting time to take it off later.”

“Geez,” gumam Hye-Na, menggapai tali bra-nya di balik punggung dan


ternganga kaget saat melihat Kyuhyun dengan refleks menutup mata.

“What are you doing?

“Save you for now. I will pounce on you later.”

Hye-Na menggelengkan kepala tidak habis pikir.“My pants, too?”

“Yeah, you will—”

“Make it easier for you,” ucap Hye-Na melanjutkan, menyambar baju kaus
dalam pegangan Kyuhyun setelah dia melepaskan hotpants-nya.

“Smart girl,” puji pria itu, membuatnya memutar bola mata.

“If I’m not mistaken, Sir, I’m not a girl anymore.”

Kyuhyun tertawa lalu menjatuhkan tubuhnya sampai berbaring nyaman di atas


kasur, kemudian menarik gadis itu ke arahnya, mengurungnya dalam
dekapannya yang posesif.

“Yeah, you are a woman now,” gumamnya sambil menguburkan wajah di


puncak kepala gadis tersebut. “Maybe not. You’re just my wife.” Dia
menundukkan kepala dan mengecup kening gadis itu pelan. “Just my wife.”

***
Note 16 Juli 2013
2061 ~ BIRTHDAY

Kyuhyun’s Home, Yeoju

“Bangun.”

Hye-Na merasakan ranjang yang ditidurinya bergerak, membuatnya dengan


refleks membenamkan wajah semakin dalam ke bantal dan menarik selimutnya
yang hangat sampai menutupi kepala sebagai benteng perlindungan untuk
memperpanjang waktu tidurnya. Tapi kemudian dia bahkan lupa kenapa dia
harus tidur lebih lama saat aroma kopi yang harum memenuhi indera
penciumannya. Sial, pria itu selalu saja tahu kelemahannya.

“Licik,” gumamnya mengantuk, menyingkirkan selimut dari tubuh dan duduk


dengan gerakan cepat, menerima cangkir kopi paginya yang menggiurkan. Dia
bahkan tidak memedulikan rambutnya yang kusut masai, bau mulutnya yang
bisa saja tidak sedap, ataupun tank-top tipisnya yang sedikit tersingkap. Dia
hanya mengarahkan matanya ke satu titik: cangkir kopi. Tidak menatap yang
lain lagi, mengingat sudah pasti perhatiannya akan teralih dari minuman nikmat
itu jika mengedarkan pandangan ke atas dan berakhir menghabiskan waktu
menganga tolol melihat pemandangan luar biasa dari seorang suami yang
dengan manisnya memanjakannya pagi ini dengan berbaik hati mengantar
sarapan pagi ke kamar.

“Hmmm.” Gumaman berat itu membuatnya mengangkat kepala, sedangkan si


pemilik suara mengulurkan tangan, menarik tank-top-nya turun menutupi
perutnya yang sudah membesar sekaligus menarik selimut yang tadi
dicampakkannya sampai menutupi bahu, membantu menahan benda itu disana
dengan meletakkan tangannya di kedua pundak gadis tersebut.

“Sepertinya aku menyesal mengajarimu tidur tidak memakai bra,” desahnya


dengan alis berkerut.

Dan disinilah dia, terperangkap dalam pesona luar biasa wajah pria itu, sehingga
sedikit sulit baginya untuk memfokuskan pendengarannya. Atau
mengumpulkan konsentrasinya yang tercerai-berai tak tentu arah. Hebat. Pria ini
memang bisa meluluh-lantakkan kendali wanita manapun, bahkan istrinya
sendiri yang pernah membanggakan diri tidak membutuhkan makhluk berjenis
kelamin pria.
Pagi ini kemeja berwarna biru gelap, dengan gayanya yang biasa. Lengan
terlipat hingga siku, dua kancing terbuka, dan dasi yang belum terpasang. Jadi
sebagai balasan untuk kopi paginya yang nikmat, Hye-Na menyingkirkan
nampan berisi sarapannya ke samping, lalu mulai memasangkan dasi suaminya.

“Morning kiss-ku?”

Dengan refleks gadis itu memundurkan tubuhnya ke belakang dan mengatupkan


mulutnya rapat-rapat.

Kyuhyun mencibir dan mendelikkan mata. “Aku sudah membawakanmu kopi


sebagai pengganti sikat gigi. Ada masalah lagi?”

“Hmm…” Hye-Na mengulurkan tangan dan mengalungkannya ke leher pria itu.


“Aku tidak tahu ada berapa cabang di otakmu itu sehingga kau bisa memikirkan
semuanya sekaligus dan memastikan kau tidak mendapat kerugian ataupun
penolakan.”

Kyuhyun tersenyum miring, memajukan wajah dan mengecup bibir milik


wanita di depannya. “Kadang kau harus puas dengan pertanyaan yang tidak
memiliki jawaban.”

Pria itu bangkit berdiri, mengusap bagian belakang kepala Hye-Na lalu memberi
bonus sebuah jitakan ringan di puncak kepala.

“Cepat siap-siap. Biar kuantar.”

“Tidak ada rapat pagi ini?”

Kyuhyun menggeleng.

“Kalau bisa seperti ini setiap hari aku tidak keberatan melakukan apa saja
untukmu.”

Pria itu langsung mengernyit curiga. Kewaspadaannya berada di tingkat siaga


dan tatapannya berubah menjadi penuh perhitungan.

“Aku bisa… mengusahakannya kalau kau mau,” ujarnya hati-hati. Dia tampak
berpikir sebentar lalu menyeringai saat mendapatkan pencerahan. “Masih belum
terbiasa dengan mobil barumu?” tebaknya. Dia memang membelikan mobil
sebagai pengganti mobil lama Hye-Na yang rusak setelah gadis itu dengan
sengaja menabrakkannya ke mobil para penguntitnya.
“Kau. Membelikanku. Amphibithrope,” ucap gadis itu penuh penekanan dengan
nada tidak suka yang tersirat jelas.

“Kau kan bisa menggunakannya di darat. Lagipula kalau kau ingin mobil yang
lain kau tinggal pergi ke dealer mobil milikku atau pesaingku. Tinggal
mengambil uang di rekeningmu saja, kan?”

“Rekeningku?” delik Hye-Na.

“Mmm hmm.”

“Kita benar-benar harus membicarakan masalah ini pada akhirnya, kan?” Hye-
Na menggertakkan giginya. “Berapa banyak?”

“Kalau dihitung dengan amphibithrope… kau tahu itu mobil termahal tahun ini,
hmm… bisa untuk membeli 20 mobil itu mungkin?”

“Mungkin?”

“Singkirkan masalah ini dulu, oke?” ucap Kyuhyun buru-buru, mencium bau
pertengkaran yang menggantung di udara. “Mandi sana.”

Hye-Na duduk bersila di ranjang, mendongak menatap pria itu, seolah


menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia membuat konfrontasi sekarang juga
atau malah mengalah. Dia memilih yang kedua. Dengan alasan jelas, dia tidak
mau merusak paginya.

Jadi dia menyodorkan kedua tangannya ke arah Kyuhyun, memasang tampang


memelas—yang sejauh ini dipelajarinya dengan rajin saat mendapati betapa
efektifnya ekspresi itu bekerja jika dia menginginkan sesuatu dari suaminya—
dan menunggu.

“Apa?” tanya Kyuhyun, nyaris terdengar seperti bentakan, sedangkan Hye-Na


bisa melihat bagaimana jakun pria itu bergerak saat dia menelan ludah, jelas
tercabik antara keinginan untuk menolak dan menyerah kalah.

“Gendong?” Matanya berubah sendu—yang dalam pikirannya mungkin mirip


anak anjing yang ingin dielus.

“Kali ini apa lagi?”

Tanpa pikir panjang Hye-Na menunjuk perutnya yang membuncit sambil


tersenyum sok manis.
“Kapan kau akan berhenti mengkambing-hitamkan anakmu demi
memanfaatkan kebaikanku, hah?”

Kyuhyun berbalik, membiarkan gadis itu naik ke punggungnya.

“Sayang kan kau sudah rapi begini?” goda Hye-Na sambil menepuk-nepuk
pundak Kyuhyun.

Pria itu menyeringai, membuatnya sesaat tampak licik dan penuh tipu daya.

“Aku tidak keberatan mandi lagi untuk menemanimu. Membantumu mandi


kedengarannya ide bagus.”

Hye-Na tanpa sadar menjambak rambut pria itu yang sedang diacak-acaknya
dengan telapak tangan.

“Sial,” desisnya, mendadak bergidik ngeri.

***

STA, Five States

Kyuhyun turun dari mobil, menunggu Hye-Na sampai tiba di sisinya lalu
menahan langkah gadis itu yang sepertinya tertuju lurus ke pintu masuk gedung.

Dia menyingkirkan poni gadis itu dari kening, memberikan kecupan singkat
disana kemudian merapikannya kembali seperti semula.

“Masuk sana. Nanti malam aku jemput. Oke?”

“Ng?” gumam Hye-Na tidak fokus, seolah kehilangan orientasi. Gadis itu
mengangguk sembarangan, entah dia menangkap ucapan Kyuhyun atau sekadar
asal melakukan hal tersebut agar bisa melarikan diri secepatnya.

Kyuhyun menyandarkan tubuhnya di pintu mobil, memerhatikan Hye-Na yang


berjalan menjauh dengan langkah terhuyung, tertawa kecil saat melihat gadis itu
menggelengkan kepala kuat-kuat.

Dia mengangguk saat beberapa karyawan yang baru datang menyapanya,


mengeluarkan communicator dari saku celana, memperkecil alat tersebut hingga
berukuran seperti headset, memasangnya di telinga lalu mendengar nada
sambung yang membosankan selama dua detik sampai akhirnya teleponnya
diangkat.
“Ye, sajangnim?”

“Bisa dimulai sekarang,” perintahnya, tersenyum samar saat mengingat momen


sekali seumur hidupnya lagi yang terjadi pada hari ini. Semoga saja gadis itu
menyukai… kejutannya.

***

09.02 PM

“Hai, Kyu,” sapa Siwon saat mereka berpapasan di koridor. “Menjemput Hye-
Na?”

Kyuhyun mengangguk. “Dia masih di atas?”

“Masih. Menunggumu sambil mengerjakan laporan.” Kali ini giliran Eun-Ji


yang menjawab. “Dan kau masih terlihat tampan walaupun hari sudah malam.
Seharusnya kau terlihat… lecek, kusam, atau apa….”

“Choi Eun-Ji,” desis Siwon kesal. Dia biasanya memiliki kesabaran yang cukup
besar, tapi sejak menikah dengan wanita yang tergila-gila pada suami orang lain,
dia harus rela berhadapan dengan emosinya yang mudah naik-turun
seperti roller-coaster.

“Suamimu juga seperti itu, Eun Ji ssi.”

Eun-Ji melirik pria di sampingnya yang balas menatapnya dengan pelototan.

“Levelnya berbeda,” jawab gadis itu tanpa berpikir.

“Hye-Na sudah makan?” tanya Kyuhyun mengalihkan topik pembicaraan


sebelum dia terjebak di tengah pertengkaran suami istri.

“Sudah. Tenang saja. Aku sudah memaksanya makan nasi. Tapi dia memang
sedang tergila-gila setengah mati dengan kentang goreng.”

“Jumlah kopi yang diminumnya hari ini?”

“Hanya dua cangkir. Dia lebih sering minum teh apel.”

“Baguslah,” ucapnya lega. “Tidak ada luka, kan?”

“Eh… ng….” Eun-Ji terlihat salah tingkah, dengan wajah yang berkerut takut.
“Tadi di ruang latihan—tenang saja, Hye-Na hanya menonton,” ucap Siwon,
buru-buru menjelaskan saat melihat tampang muram Kyuhyun. “Maksudku…
Eun-Ji tanpa sengaja menjatuhkan keramik pajangan. Hye-Na berniat
membantu, tapi… kau tahu di ruang latihan tidak boleh memakai alas kaki,
jadi—”

“Sudah diobati, kan?”

“Sudah! Tentu saja!” seru Eun-Ji.

“Kalau begitu pastikan tidak ada barang mudah pecah apapun di ruang latihan.
Enyahkan semuanya.”

“Aku akan memberitahu pengawas besok,” janji Siwon.

“Baiklah,” ucap Kyuhyun, langsung membuat kedua orang itu menghembuskan


nafas lega, seolah baru selamat dari terkaman singa. “Aku ke atas dulu kalau
begitu.”

“Ng… Kyuhyun ssi?”

Kyuhyun berbalik dan menunggu Eun-Ji mengatakan sesuatu.

“Mood-nya sedang tidak terlalu baik. Hari ini… kau tahu… ulang tahunnya,
jadi… ng….”

Kyuhyun tersenyum tipis dan mengangguk.

“Aku tahu. Dia tidak pernah suka bertambah tua.”

“Menurutnya umur 22 itu keterlaluan.”

“Tapi dia tidak menolak hadiah, kan?” kekehnya, tampak geli mengingat sifat
istrinya yang ajaib itu.

Eun-Ji mengernyit. “Dia menyerang semua orang yang mengucapkan selamat


padanya dan memaksa mereka memberi hadiah.”

“Ah…” desah Kyuhyun. “Kalau boleh tahu apa Soo-Hyun memberinya


sesuatu?”

“Satu dus besar cokelat.”

“Sial,” desisnya. “Bajingan itu punya nyali juga.”


***

Pria itu berhenti di ambang pintu, tanpa suara menyilangkan kedua lengan di
depan dada dan memandangi gadis yang duduk di balik meja kerja besar di
sudut ruangan, sibuk membacakan laporan ke komputer. Rambutnya yang tadi
pagi dikuncir kuda sudah diikat seluruhnya membentuk sanggul longgar di atas
puncak kepala, sedangkan anak rambutnya berantakan menutupi wajah.

Hari ini gadis tersebut mengenakan kaus longgar berwarna putih polos dan
kardigan rajut berwarna peach, terlihat muda dan cerah. Dan sekilas tampak
feminin dan lembut, walaupun semua orang yang mengenalnya sudah tahu
tabiat asli gadis tersebut.

Dia memuaskan matanya selama beberapa saat sebelum akhirnya mengetuk


pintu dan mendapatkan perhatian gadis itu.

“Pulang?”

Hye-Na mengangguk, menyuruh komputer menyimpan data, mematikannya,


lalu mengumpulkan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. Dia
melangkah perlahan mendekati Kyuhyun dan membiarkan pria itu menunduk
untuk mengecup pipinya, masih bertanya-tanya apakah pria itu melupakan hari
ulang tahunnya. Bukannya dia berharap atau apa, tapi jelas Kyuhyun bukan
jenis orang seperti itu. Pria itu kan suka sekali berlebih-lebihan terhadap sesuatu.

“Kapan kau akan mengambil cuti, hmmm?”

“Saat aku sudah tidak sanggup lagi berjalan kemana-mana,” tandas gadis itu
enteng. “Lagipula aku kan sudah menuruti perintahmu untuk tidak turun ke
lapangan.”

“Tentu saja,” ujar Kyuhyun, melingkarkan lengan di sekeliling pinggang gadis


tersebut dan berjalan menuju lift. “Kau pikir kenapa aku masih membiarkanmu
pergi bekerja, huh?”

***

Kyuhyun’s Home, Yeoju

“Sebentar,” cegah Kyuhyun, mencekal tangan Hye-Na yang bermaksud segera


menuju kamar. “Ada yang ingin kuperlihatkan padamu. Ikut aku.”
Hye-Na mengerutkan alisnya penasaran, mengikuti langkah pria itu menuju
kamar di samping kamar tidur mereka. Ruangan yang sebelumnya adalah kamar
Hye-Na di awal pernikahan mereka dan kemudian dengan seenaknya dirombak
pria itu menjadi ruang baca.

“Apa?” tanya Hye-Na bingung karena mereka berhenti di depan pintu, tapi pria
itu tidak kunjung membukanya.

Kyuhyun memerhatikan jam tangannya, tampak menunggu sesuatu, kemudian


tersenyum, menarik Hye-Na sehingga berdiri di depan pintu sedangkan dia
sendiri berdiri di belakang gadis itu, memegangi kedua pundak gadis tersebut
dan menunduk, sampai bibirnya mencapai telinga gadis itu.

“Selamat ulang tahun, Na~ya,” bisiknya, mendorong pintu sampai terbuka dan
membiarkan gadis itu memandangi hadiahnya.

Hye-Na melongo menatap ruangan di depannya yang kembali berubah 180


derajat dari semula. Dindingnya dicat ulang dan
dilapisi wallpaper berwarna broken white dan biru pupus, juga perabotan yang
berwarna senada. Tapi pusat perhatiannya adalah semua peralatan bayi yang ada
disana. Lengkap. Seolah kamar itu adalah kamar pameran di toko furnitur.
Apapun yang diinginkan semua orang tua untuk anaknya sudah bisa dipastikan
tersedia. Tatanannya sendiri tampak elegan dan anehnya… sederhana. Tidak
berlebihan seperti apa yang selama ini dia pikirkan akan dilakukan Kyuhyun.
Dia bahkan tidak berniat memarahi pria itu.

Dia merasakan lengan Kyuhyun melingkari tubuhnya, memeluknya dari


belakang.

“Kau suka?” tanya pria itu ingin tahu. Ada nada hangat yang terselip disana,
seolah pria itu sudah mengerahkan seluruh kemampuannya mendesain dan ingin
segera mengetahui pendapatnya. Juga nada senang yang tertahan agar tidak
meluap keluar.

Dia tahu betapa bersemangatnya pria itu dengan kelahiran anak pertama mereka,
walaupun pria itu sendiri tidak pernah mengungkapkannya. Sama sepertinya,
pria tersebut juga memiliki masalah dalam mengungkapkan perasaan secara
langsung.

“Saat aku ulang tahun kau memberiku hadiah kehamilanmu, jadi… aku bahkan
kehilangan ide ingin memberimu apa.”
“Yang seperti ini kau bilang kehilangan ide?” tanya Hye-Na, terkejut saat
mendapati suaranya tercekat. Sepertinya dia mulai sedikit sentimentil.

“Hei,” gumam Kyuhyun, membalikkan tubuhnya dan menangkup wajahnya


dengan kedua tangan, memosisikan ibu jari di sudut matanya, dan mengusap
titik air yang bermaksud menetes dari sana. Pria itu perlahan tersenyum, tampak
menyilaukan dengan wajahnya yang berbinar-binar senang, tidak lagi ditahan-
tahan. “Kau suka.”

“Tentu saja,” desisnya, berusaha tampak baik-baik saja, tidak seperti gadis yang
ingin menghamburkan air matanya keluar. “Kau kadang-kadang bisa menjadi
bodoh sekali.”

“Aku takut kau tidak suka. Kau sempat melarangku mendesain kamar untuk
anak kita, ingat?”

“Aku pikir kau akan berlebihan. Membawa semua isi toko kesini atau apa.”

“Awalnya,” ujar Kyuhyun, lalu tertawa geli saat melihat raut wajah Hye-Na.
“Tapi kau suka yang sederhana jadi….”

“Kenapa?”

“Apanya?” tanya pria itu bingung.

“Kau selalu saja melakukan apa yang aku suka. Kau menyingkirkan
keinginanmu sendiri untuk membuatku senang—”

“Aku menghargai pendapatmu,” potongnya. “Pernikahan berarti menyatukan


dua pola pikir yang berbeda, kan? Apa salahnya jika aku membahagiakanmu?”

“Dengan mengabaikan kebahagiaanmu sendiri?”

“Hei, dengar… aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya, tapi….” Pria itu
mengerjap. “Kebahagiaanku tergantung dari apakah kau baik-baik saja atau
tidak, senang atau tidak, tersenyum atau tidak. Hanya sesederhana itu. Kau pikir
kenapa aku harus membahagiakanmu? Karena egoisnya, aku juga perlu merasa
bahagia.”

Hye-Na mengangkat tangannya, menyentuh tangan pria itu yang masih berada
di pipinya, lalu merasakan pria itu balik menggenggam, menautkan jemari
mereka. Dia tersenyum lalu membiarkan tangan mereka jatuh ke samping
tubuh, sedangkan dia berbalik untuk mengelilingi kamar itu, mengeksplorasi
isinya.

“Kenapa tadi harus menunggu? Kau memeriksa jam tanganmu terus,” ujarnya,
selagi telapak tangannya menyentuh permukaan boks bayi, tersenyum saat
melihat mainan-mainan lucu yang bergelantungan di benda itu ataupun boneka-
boneka yang bersandar di kepala boks.

“Ibumu bilang kau lahir pukul 10 malam.”

“Oh,” gumamnya. “Selalu saja terperinci.”

“Ngomong-ngomong aku teringat sesuatu. Sini.”

Kyuhyun menariknya ke arah sofa di dekat jendela, mendudukkannya ke


atasnya, lalu dengan tiba-tiba berjongkok di depannya, menarik sandal rumah
yang dipakainya hingga lepas. Sentuhan pria itu di telapak kakinya terasa
lembut sekaligus menggelitik, sehingga dia nyaris tidak bisa menahan gidikan.

“Tidak ada bekas,” komentarnya, tampak puas.

“Eun-Ji melaporkannya padamu?” dengus Hye-Na.

“Siwon hyung. Eun-Ji sepertinya terlalu takut, mengira aku akan


menghantamnya atau apa.”

“Itu kan gayamu.”

Pria itu mendongak, menatap Hye-Na lekat lalu menggeleng.

“Aku juga punya batasan.”

“Batasan?”

“Aku tidak akan menyakiti orang-orang yang kau cintai.”

Hye-Na tertegun, lagi-lagi terperangkap dalam tatapan pria tersebut.

“Boleh aku meminta sesuatu?” tanya Kyuhyun, meletakkan tangannya di lutut


gadis itu dengan posisi masih berjongkok, sehingga wajah mereka sejajar.

“Apa?”

“Hanya… apa aku boleh menemanimu saat melahirkan nanti?”


“Apa?” tanya Hye-Na, kaget dengan permintaan yang tidak disangka-sangka
itu.

“Kau pernah kecelakaan. Kau juga pernah terluka parah. Dan orang bilang
melahirkan sama dengan perjuangan antara hidup dan mati, jadi… aku ingin
kali ini aku ada disana untukmu. Aku ingin menjadi orang pertama yang melihat
anak kita. Karena itu aku meminta izin…. Biarkan kali ini aku mendampingimu.
Boleh, kan?”

Ada orang-orang yang bilang bahwa di balik seorang laki-laki hebat, ada
campur tangan wanita luar biasa di belakangnya. Tapi bukankah itu terjadi
karena laki-laki yang hebat itulah yang telah memutuskan memilih sang wanita?
Karena hanya laki-laki luar biasalah yang bisa menentukan wanita seperti apa
yang tepat untuk mendampingi hidupnya. Dan hanya wanita luar biasa pula
yang bisa memutuskan laki-laki mana yang pantas untuk dia dampingi. Pada
akhirnya… pernikahan hanya sebuah komitmen pelegalan dari dua keputusan
yang berasal dari dua pemikiran yang berbeda. Pernikahan itu hanya simbolnya.
Pemikiran-pemikiran yang berbeda itulah pelaksananya. Agar tetap sejalan. Dan
saat terjadi persimpangan, selalu ada jalan keluar yang menjadi pemecahan.
Sedikit penyelarasan dalam urusan gengsi dan harga diri. Dan pihak mana yang
bersedia mengalah agar kedua-duanya tidak kalah.

Hye-Na menunduk, menyusurkan jemari di wajah pria itu.

“Bukankah seharusnya aku yang merengek-rengek minta kau temani?”

Kyuhyun tersenyum, menatap gundukan di bagian perut istrinya lalu


mengusapkan tangannya disana.

“Penyesuaian, Na~ya,” ucapnya ringan, mendongak menatap gadisnya,


meremas tangan gadis tersebut yang masih berada dalam genggamannya.
“Dalam pernikahan itu dinamakan… kompromi.”

***
Note 30 September 2013
2061 ~ THE SMELL

PS: Adegan ini pas kehamilan Hye-Na masih enam bulan, ya.

Kyuhyun mendongak saat mendengar ketukan di pintu ruang kerjanya. Sedetik


kemudian sebuah wajah melongok ke dalam—sebentuk rupa yang sejauh ini
diakuinya sebagai yang terbaik di dunia. Kejutan sebenarnya, pertama kalinya
gadis itu datang mengunjunginya, tanpa pemberitahuan, hanya muncul dan
mengagetkannya.

“Aku mengganggu, ya?” tanya gadis itu, sedikit meringis sambil menggigit bibir
bawahnya dengan gugup—kebiasaan yang selalu dianggap Kyuhyun terlalu
berlebihan untuk dinikmati matanya. Kadang, gadis itu bisa sangat memesona
bahkan tanpa gadis itu sendiri sadari.

“Sama sekali tidak,” seru Manajer Pemasaran-nya. Pria bernama Chul-Soo itu
bangkit berdiri, membungkuk sedikit, diikuti tiga manajer lainnya yang siang ini
sedang mendiskusikan laporan perusahaan seminggu terakhir.

“Sajangnim, Anda ingin mengundur diskusi kita sampai besok?”

Kyuhyun menggeleng, berharap rasa syoknya sudah teratasi dengan baik dan
tidak terpancar lewat ekspresi wajahnya.

“Aku ada waktu sekitar pukul tiga sore. Kalian bisa?”

“Ye. Tentu saja, sajangnim. Kalau begitu, kami permisi dulu.”

Orang-orang itu mengumpulkan arsip-arsip yang tersebar di atas meja,


sedangkan Kyuhyun menyipitkan mata menatap istrinya yang berdiri canggung
di depan pintu, membuatnya harus mengatupkan jemarinya di depan mulut
untuk menyamarkan tawa. Gadis itu… sampai kapanpun tetap saja tidak pernah
berubah.

“Kami permisi, Nyonya Cho.”

Hye-Na mengangguk, menunggu sampai mereka berempat benar-benar sudah


menghilang di balik pintu sebelum berbalik menghadap Kyuhyun.

“Aku benar-benar mengganggu, ya?” rengutnya dengan bibir mengerucut.


“Kau ke sini tanpa memberitahuku. Apa ada yang penting?” tanya Kyuhyun
penasaran, memerhatikan saat gadis tersebut berjalan menghampirinya dan
duduk di sampingnya, tidak tahan untuk tidak tersenyum saat melihat perut
gadis itu yang sudah begitu membesar, dan anehnya sama sekali tidak
mengurangi kecantikannya. Lagipula bukankah orang bilang bahwa wanita
terlihat paling cantik saat mereka hamil?

“Aku hanya sedang lewat dekat sini, lalu memutuskan untuk mampir.”

“Na~ya,” sergahnya, mendengus pelan. “Kita sudah satu tahun hidup bersama,
apa kau pikir aku tidak bisa membedakan kapan kau bohong kepadaku dan
kapan tidak?”

Muka gadis itu kontan memerah dengan raut wajah cemberut.

“Keberatan memberitahuku alasan sebenarnya?”

“Keberatan kalau aku memperlihatkannya saja?”

Kyuhyun menggeleng, bertanya-tanya saat gadis itu perlahan mendekatinya.


Saat sedang meeting tadi dia memang lebih memilih menggunakan sofa di sudut
ruangan agar bisa lebih leluasa, dan dia juga sudah melepas jasnya,
melonggarkan dasi dan membuka kancing atas kemejanya dan dia benar-benar
penasaran apa yang akan gadis itu lakukan, terutama saat jemari gadis tersebut
menyentuh kerah kemejanya dengan wajah yang semakin mendekat, dan
membuatnya nyaris terkena serangan jantung ketika tangan gadis itu
menyingkirkan kerah kemejanya ke samping, memberi akses penuh ke lehernya
lalu membenamkan wajah di sana.

“Astaga,” gumamnya serak, dibalas dengan kekehan geli oleh gadis tersebut,
tepat di dekat denyut nadinya, membuat saraf-sarafnya melemas dan di lain
pihak meningkatkan kesensitifan kulitnya yang terasa meremang.

“Baumu enak.”

“Kau sudah mengatakannya sekitar seribu kali,” dengusnya, menarik tubuh


gadis itu ke atas pangkuannya, sama sekali tidak merasa terganggu dengan perut
besar gadis tersebut yang membuat bobot tubuhnya bertambah.

“Aku tadi habis makan siang dan tiba-tiba merasa sangat ingin membauimu.
Aneh sekali, kan? Karena tidak tahan makanya aku ke sini.”
Pria itu tersenyum, menundukkan wajah dan mencium bahu gadis itu yang
tertutup kardigan. Ada wangi lili di sana, terasa lembut dan samar.

“Musk…” bisik gadis itu. “Pinus. Baumu seperti musim gugur.” Hidung gadis
itu menyusuri rahangnya, berhenti di dagu, lalu sedikit mendongakkan wajah,
menggantikan hidungnya dengan bibir, meninggalkan jejak kecupan singkat di
sana. “Kau tahu bahwa bau aftershave-mu sangat menyenangkan?”

“Bisakah kau terus hamil kalau begitu?” godanya, menyentuhkan ujung


hidungnya ke hidung gadis itu. “Mendapat istri normal rasanya menyenangkan
juga.”

Dan kemudian dia meringis kesakitan saat gadis itu menggigit bibir bawahnya
keras.

“Menikah saja lagi kalau kau mau!”

“Kau bilang kau akan membunuh wanita manapun yang mendekatiku.” Dia
tertawa, mendorong gadis itu ke ujung sofa sehingga gadis itu separuh tertindih
oleh tubuhnya.

“Benar. Aku akan memutilasi tubuh mereka lalu—”

“Aku tidak keberatan dengan apapun yang akan kau katakan,” potongnya cepat.
“Tapi kau sedang hamil, jadi hati-hatilah dengan ucapanmu. Kalau sifatmu
menurun pada anakmu bagaimana?”

“Memangnya sifatku kenapa?” tanya gadis itu dengan mulut terkatup, tampak
kesal.

“Berdarah dingin, sadis. Aku memang menyukaimu, tapi hanya ada satu aku,
Na~ya, kasihan anakmu nanti jika tidak bisa menemukan pria yang bersedia
menerima… sifat kejamnya.”

“Apa kau bilang?” teriak gadis itu marah, berusaha meraih wajah Kyuhyun
untuk menghantamkan pukulan, tapi pria itu dengan mudah mengelak dan
menahan tangan gadis itu dalam genggamannya.

“Dan satu lagi… tahan emosimu. Temperamenmu mudah sekali meledak.”

“CHO KYUHYUN!”
Pria itu mengedipkan mata. “Maaf, Sayang, tapi kau menggemaskan sekali
kalau sedang marah.”

“Sialan! Brengsek! Berhenti menciumku! Aku sedang ingin mencakarmu!” jerit


gadis itu, berusaha mengelak dan memalingkan wajah, tapi tentu saja pria itu
lebih cepat. Dalam sekejap pria tersebut sudah menguasai mulutnya dan….

“Astaga, maaf sajangnim… ng… saya sudah berkali-kali mengetuk tapi tidak
ada jawaban, jadi saya masuk saja karena Anda bilang saya harus segera
mengumpulkan laporannya. Saya tidak tahu kalau Nyonya sedang berkunjung.
Saya tadi sedang berada di lantai bawah, jadi….”

Kyuhyun tertawa kecil dan menggeleng saat sekretarisnya dengan panik


berusaha mengajukan pembelaan setelah masuk ke ruangannya tanpa izin dan
memergoki bahwa atasannya sedang… berada dalam kondisi tidak pantas
dilihat dengan istrinya. Hye-Na sendiri sudah melejit ke ujung sofa,
membebaskan tubuhnya dari tindihan, dan menjauh dari Kyuhyun dalam
hitungan detik, dengan wajah luar biasa merah dan muka yang dipalingkan. Ini
kedua kalinya sekretaris Kyuhyun memergoki mereka dan dia tidak tahu lagi
harus ditaruh ke mana mukanya.

“Santai saja. Letakkan saja laporannya ke atas mejaku.”

“Baik, sajangnim. Maaf, sekali lagi saya tidak bermaksud. Saya berjanji tidak
akan melakukannya lagi,” ucapnya, melakukan apa yang diperintahkan
Kyuhyun lalu buru-buru ke luar ruangan dengan raut wajah malu.

“Kau… aish, benar-benar memalukan!” rutuk Hye-Na sambil menutupi muka


dengan tangan.

“Mukamu merah sekali, Na~ya.”

Hye-Na menurunkan tangannya, bermaksud mengajukan pembelaan diri yang


harus ditelannya kembali karena Kyuhyun menggunakan kesempatan itu untuk
menangkup pipinya lalu menciumnya kilat.

“Kadang-kadang aku bertanya-tanya, kau ingat tidak kalau kita sudah menikah?
Hal yang kita lakukan tadi tidak ilegal, kan? Jadi apa yang membuatmu malu?”

“Aku tidak suka dipergoki orang lain sedang bermesraan denganmu!” rutuknya.

“Ada yang salah denganku? Aku suka-suka saja dipergoki bersamamu.”


Gadis itu mencebik, membuat Kyuhyun lagi-lagi tertawa dan mengusapkan ibu
jarinya ke bibir berwarna merah muda itu. Tawanya menyusut perlahan dan di
sanalah dia, menatap wajah istrinya untuk kesejuta kalinya, lalu lagi-lagi
terpesona.

Matanya naik perlahan, bertemu dengan mata cokelat gadis itu kemudian dan
melihat sorot kagum yang sama dari tatapan yang diarahkan gadis itu padanya.

“There you go again, hmm?” gumamnya pelan. “Mesmerize me.”

Dia mendesah, memajukan tubuh untuk mengecup kelopak mata gadis itu
perlahan, memindahkan bibirnya ke kening gadis tersebut, lalu tersenyum di
sana.

“You know the best thing of loving you?” bisiknya. “That when I’m looking at
you, you look me back in the same way and that’s one of the best moments I’ve
ever had in my life.”

***
Note 27 November 2013
2061 ~ THE STRIPTEASE CLUB

PS: Ini pas kehamilan Hye-Na masih 3 bulanan.

“Yak, Kim Soo-Hyun, ke sini kau!” teriak Hye-Na geram, menghantamkan lencananya
ke atas meja dan menatap manajer klab yang mereka datangi dengan raut wajah
mengancam. “Kau yakin tidak mau bekerjasama denganku? Aku sedang menyelidiki
kasus pembunuhan yang terjadi pada salah satu pegawaimu dan mendapat informasi
bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh salah seorang tamu VVIP kalian. Kalau kau
menolak berkoordinasi dengan baik, aku bisa menuntutmu dengan tuduhan
menghambat pekerjaan polisi.”

“Kau bukan polisi,” ucap pria berusia awal 30-an itu keras kepala.

“Oh, memang bukan. Pangkatku sepuluh kali lipat di atas polisi. Mau mencari tahu apa
yang bisa aku lakukan padamu?” Hye-Na menggertakkan gigi, akhirnya berpaling dan
berteriak memanggil nama Soo-Hyun sekali lagi, kali ini jauh lebih keras, mengalahkan
dentuman musik memekakkan telinga yang bergema ke seluruh ruangan. Saat itulah
dia tersadar apa yang membuat pria itu tidak mengacuhkan panggilannya.

Seorang wanita sedang meliuk-liukkan badannya yang separuh telanjang di atas


panggung.

“Eun-Ji~ya, seret mereka ke sini. Akan kucongkel mata mereka berdua,” desisnya,
sedangkan Eun-Ji menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti ungkapan
syukurnya karena Siwon sedang diperintahkan mengambil hasil autopsi ke SRO.

Dia mengalihkan pandangannya kembali ke manajer yang mulai berhasil membuatnya


naik darah itu, menyunggingkan seringai yang biasanya berhasil membuatnya
mendapatkan apa pun yang dia inginkan tanpa perlu melayangkan pukulan.

“Siapa pemilik klab ini?”

Pria bernama Kang Tae-Pyung itu mengerjap, jelas tidak menyangka bahwa pertanyaan
itu akan diajukan karena dia berharap semuanya bisa diselesaikan tanpa harus
menghubungi pihak atas.

“Ch—Cho… Cho Kyuhyun sajangnim,” jawabnya tergagap.

Hye-Na mengerang. Seharusnya dia sudah tahu. Siapa lagi yang bisa menghadirkan
penari telanjang secara legal di sebuah klab padahal sudah menjadi rahasia umum
bahwa dibutuhkan sekitar ratusan miliar won untuk mendapatkan izin resmi? Pemilik
klab lainnya sudah barang tentu angkat tangan duluan, tidak berani mengambil risiko.
Tapi sialan, tunggu dulu. Cho Kyuhyun, klab, penari telanjang… brengsek.

“Ah, dia. Aku mengenalnya. Kau berdoa saja agar dia tidak memecatmu karena
menghambat pekerjaanku,” ucap gadis itu manis, padahal darahnya sedang
menggelegak dengan cepat, siap meledak.

Dia mengeluarkan communicator-nya dari dalam saku mantel, menon-aktifkan video


dan menghubungi nomor pribadi yang disediakan pria itu khusus untuknya.

“Ya?” Dia bisa mendengar sebersit nada geli dari suara pria itu sedetik setelah nada
sambung terdengar. Pasti karena dia menelepon duluan, tidak seperti biasa.

“Radiant Club. Milikmu?”

“Ah,” desah pria itu. Dia yakin pria itu sedang tersenyum walaupun dia tidak bisa
melihatnya. Kyuhyun selalu saja menganggap bahwa kekayaannya adalah lelucon jika
sudah berkaitan dengan pekerjaan Hye-Na. “Benar. Milikku. Aku sering ke sana dulu
untuk melakukan pengecekan langsung. Memberikan pemasukan paling banyak
dibanding klab lainnya. Kenapa? Ada kasus?”

Pria itu sering ke sini? Hye-Na nyaris saja menyemburkan amarahnya tapi berhasil
menahannya pada detik terakhir.

“Manajermu menolak bekerjasama denganku.”

“Benarkah? Hmmm… beri aku lima menit, ya. Sampai nanti.”

“Brengsek! YAK!” teriak gadis itu murka saat suaminya tersayang memutuskan
transmisi begitu saja. Merasa frustrasi, dia melampiaskannya dengan mengangkat
lututnya, menghantam tulang kering Soo-Hyun yang baru saja bermaksud duduk di
kursi tinggi di sampingnya tanpa peringatan, membuat pria itu mengaduh sambil
melompat-lompat kesakitan.

“YAK, CHO HYE-NA!”

“Apa yang kau lakukan di sana, hah? Aku membawamu ke sini untuk bekerja, bukan
untuk membahagiakan matamu! Kau juga, Leeteuk oppa!” sungutnya, mengacungkan
jari telunjuknya ke wajah Leeteuk yang memilih mundur dan tidak melawan.

“Kapan lagi kami bisa melihat pemandangan seperti itu?” gerutu Soo-Hyun,
mengusap-usap kakinya yang masih berdenyut nyeri.

“Duduk. Dan jangan biarkan mata kalian kelayapan atau aku akan membuat kalian
berdua buta.”
“Dia kenapa?” bisik Leeteuk pada Eun-Ji yang memutuskan mengambil tempat di
sampingnya, tidak mau dekat-dekat dengan sahabat karibnya itu.

“Klab ini milik Kyuhyun,” ujar Eun-Ji, balas berbisik. “Kau tahu… penari
telanjangnya. Dan Kyuhyun bilang dia sering ke sini untuk melakukan pengecekan.”

“Ayo taruhan. Kyuhyun pasti akan habis dihajar. Hye-Na kan tidak punya hati,” sela
Soo-Hyun, masih tidak terima dijadikan sasaran hantam oleh gadis itu.

“Dengan risiko merusak wajah tampannya? Aku pikir Hye-Na tidak akan rela.”

“Lebam kan bisa hilang dalam beberapa hari. Tidak seberapa dibanding rasa puas
setelah membalaskan dendam.”

“Yah, tapi aku tidak akan heran kalau dia benar-benar melakukannya. Kyuhyun
menutup telepon begitu saja, padahal biasanya dia senang sekali kalau Hye-Na
menelepon.”

Mendadak wajah Soo-Hyun muram, dengan bibir bawah yang mencebik.

“Itu yang kau bilang menutup telepon begitu saja? Dia malah datang ke sini. Aku
kadang-kadang heran. Sibuk apanya kalau dia bisa datang seenak perutnya setiap kali
Hye-Na mengalami masalah?”

Eun-Ji dan Leeteuk menoleh ke arah yang ditatap Soo-Hyun dan mendapati Kyuhyun
sedang berjalan masuk diikuti Joong-Ki di belakangnya, sedangkan para pegawai buru-
buru membuat barisan sambutan, membungkuk berlebihan sambil mengucapkan
sapaan sopan.

“Sajangnim,” ujar Tae-Pyung, membungkuk memberi hormat, sedangkan Hye-Na


memutar bola mata sambil memasang wajah masam, tampak sama sekali tidak
tersentuh dengan kedatangan suaminya.

“Kudengar kau menolak bekerjasama dengan mereka. Benar?” tanya Kyuhyun, tanpa
menyelipkan sedikitpun basa-basi.

“Saya tidak mau membuat para pelanggan merasa tidak nyaman, sajangnim.”

“Kalau-kalau kau lupa, KNI adalah milikku dan mereka juga pegawaiku. Melawan
mereka berarti melawanku.”

“Maafkan saya, sajangnim.”

“Dan wanita yang kau lawan itu adalah istriku. Akulah yang akan menghajarmu duluan
kalau kau mencari gara-gara dengannya, mengerti?” sentaknya tajam dengan sorot
mata mengancam, membuat Tae-Pyung menganga lebar karena syok, tersadar bahwa
dia baru saja melakukan kesalahan luar biasa besar. Dengan tergesa-gesa dia
membungkuk rendah, meminta maaf berkali-kali yang hanya diabaikan Hye-Na begitu
saja karena gadis itu sibuk memikirkan konfrontasi yang akan dia lakukan pada
suaminya.

“Aku tidak menyuruhmu datang ke sini,” mulainya.

“Oh, ya? Tapi aku memang ada urusan denganmu,” ucap Kyuhyun santai, mengambil
sesuatu dari saku mantelnya lalu melemparkannya pada Hye-Na. “Kau lupa membawa
sarung tanganmu. Di luar turun salju. Kau mau mati beku?”

“Kau sering datang ke sini,” lanjut gadis itu, bergeming dengan perhatian yang
diperlihatkan Kyuhyun di depan semua orang.

“Aku selalu mendatangi langsung tempat-tempat yang memberi keuntungan banyak


untukku,” ujar pria itu tenang. “Tapi sudah cukup lama juga aku tidak memeriksa
tempat ini.”

“Menyesal? Ketinggalan banyak penampilan penari telanjangmu?”

Perlahan Kyuhyun tersenyum, akhirnya mengerti apa yang membuat mood istrinya
terlihat sangat buruk.

“Ini hanya bisnis. Dan mengenai penampilan mereka… anggap saja itu bonus.”

“Bonus katamu?” tanya Hye-Na dengan mata berkilat.

Kyuhyun bergerak maju, meletakkan satu tangannya ke meja bar, nyaris menempelkan
tubuhnya ke tubuh Hye-Na, seolah lupa bahwa ada banyak orang yang sedang
menonton mereka. Mudah sekali mengabaikan keberadaan orang lain jika gadis itu
berada di dekatnya.

“Hanya karena aku tidak pernah meniduri wanita lain selain dirimu, bukan berarti aku
tidak menikmati pemandangan tubuh mereka. Aku juga laki-laki normal.”

Hye-Na membelalakkan matanya. Demi Tuhan, pria itu baru saja mengumumkan
kepada semua orang bahwa Hye-Na adalah wanita pertama yang ditidurinya tanpa
merasa canggung sedikitpun. Apa pria ini tidak punya malu?

Kyuhyun menegakkan tubuhnya, sedikit menyeringai, lalu berbalik menatap semua


agen yang ada di sana.

“Gentlemen, kita bisa menunggu di ruangan VVIP sambil menonton apa yang ingin
kalian lihat selagi para wanita melakukan interogasi. Eun-Ji sudah cukup untuk
menemanimu, kan?” tanyanya, kembali memandang Hye-Na. “Sayang,” tambahnya
dengan cengiran usil, membuat Hye-Na ingin sekali menghantamkan tinjunya ke wajah
sok tampan itu.

Soo-Hyun tertawa senang dan mengangguk penuh semangat, sedangkan Leeteuk


terlihat tidak bisa menahan senyumnya sendiri, sepertinya melupakan wanita yang akan
dinikahinya beberapa minggu lagi.

Kyuhyun baru saja berbalik, bermaksud menuju ruangan yang dia sebutkan tadi, tapi
langsung terhenti, karena seorang wanita sudah berdiri di hadapannya. Wanita yang
tadi Hye-Na lihat bergeliut-geliut seperti cacing kepanasan di atas panggung,
mengumbar seluruh bagian tubuhnya. Kali ini wanita itu sudah mengenakan jubah tipis
yang tetap saja mempertontonkan aset pribadinya. Jubah itu berpotongan rendah,
memperlihatkan setengah bagian dada, terikat longgar di pinggang, dan memamerkan
tungkai panjang di baliknya. Jelas wanita itu memang bermaksud menggoda. Suamiku,
batin Hye-Na geram.

“Sajangnim. Perkenalkan, aku penari baru di sini. Namaku Seohyun. Aku sangat
berharap sekali kau mau menonton pertunjukanku.”

Pelacur sialan. Hye-Na menggertakkan giginya, membentuk kepalan yang ingin


digunakannya untuk memberi lebam di wajah hasil operasi plastik itu.

Kyuhyun mengernyit, mengangkat sebelah alis, merasa tidak nyaman dengan isyarat
penuh godaan yang diperlihatkan terang-terangan oleh wanita di depannya. Dia hanya
mengangkat bahu, memberi perintah agar Tae-Pyung mengantar Leeteuk dan Soo-
Hyun duluan, sedangkan dia menoleh ke arah istrinya yang tampak ingin mencabik-
cabik dan menjambak rambut wanita yang hanya berada satu tingkat di atas pelacur dan
sedang berusaha menarik perhatiannya itu.

Dia tidak terpengaruh sama sekali sebenarnya, bahkan jika wanita itu benar-benar
telanjang sekalipun tepat di depannya. Dia hanya menemukan ide iseng untuk
mengerjai istrinya yang bertemperamen meledak-ledak dengan batas kesabaran setipis
tisu itu. Rasanya selalu saja menyenangkan.

Dia melambaikan tangannya dengan gerakan mengusir pada Seohyun dan


menghampiri Hye-Na, menunduk untuk berbisik di telinga gadis itu.

“Sepertinya kau harus belajar menari darinya. Aku penasaran siapa yang lebih bagus.
Dia sepertinya berniat mengajakku ke ranjang kalau aku memperlihatkan ketertarikan
sedikit saja. Kau tidak cemas? Kalau aku terus yang menggodamu duluan, lama-lama
bisa membosankan, kau tahu? Yang seperti itu terlihat lebih… menggairahkan.”
Kyuhyun bergerak mundur tepat waktu untuk menghindari hantaman lutut Hye-Na
yang sudah terangkat ke arah selangkangannya. Dia tertawa kecil, mengedip, lalu
berlalu pergi menyusul Leeteuk dan Soo-Hyun, sedangkan Joong-Ki mengekor di
belakangnya, tampak geli dengan kelakuan pasangan abnormal itu.

“Aku benar-benar akan membunuhnya! Nanti, setelah aku mencincang wanita jalang
itu,” desis Hye-Na, membuat Eun-Ji bergidik di sampingnya. Dia lebih baik tidak ikut
campur kalau tidak mau terkena dampak buruk dari keisengan Kyuhyun yang
berbahaya itu.

***

Eun-Ji mengajukan pertanyaan berikutnya pada Tae-Pyung, terpaksa mengambil alih


pekerjaan Hye-Na karena sahabatnya itu sibuk memutar kepalanya ke kiri dan ke
kanan, ke arah ruangan VVIP yang dikelilingi kaca dan menghadap tepat ke
panggung—di mana semua pria tampaknya sibuk menikmati suguhan polos tanpa
penghalang dari tubuh wanita yang dihadiahi Hye-Na makian yang semakin kreatif
setiap detiknya. Dari jalang, tiang listrik, plastik, wajah datar, boneka gagal, Sadako—
hantu Jepang yang terkenal pada akhir abad 20, sampai perencanaan pembunuhan yang
begitu sadisnya sampai Eun-Ji berpikir temannya itu pasti bukan seorang agen, tapi
pembunuh berdarah dingin.

“Aku sudah tidak tahan,” maki Hye-Na, melompat turun dari kursi tinggi yang dia
duduki. “Apa sih yang mereka lihat? Kelebihannya hanya karena dia lebih tinggi
sepuluh senti dariku, lainnya? Propertiku jauh lebih bagus.”

Eun-Ji langsung tersedak. “Properti?” ulangnya, tapi Hye-Na sudah berjalan pergi.
Awalnya dia mengira gadis itu akan naik ke panggung, ikut menari atau apa—sesuatu
yang diharapkannya tidak terjadi karena dia tahu Kyuhyun akan mengamuk setelahnya,
jadi dia menghela napas lega saat Hye-Na berbelok menuju ruangan yang ditempati
Kyuhyun bersama pria lainnya dengan langkah yang menunjukkan seolah dia akan
turun ke medan perang. Dia menghentikan interogasinya, memberi tanda pada Tae-
Pyung bahwa dia akan melanjutkannya nanti, lalu mengikuti Hye-Na dari belakang.

***

Kyuhyun duduk dengan tangan bersedekap di depan dada, tahu bahwa Hye-Na
mengawasinya dari jauh jadi dia dengan sengaja memfokuskan tatapannya ke satu arah.
Arah yang membuat istrinya itu tampak mengalami pergolakan hebat sebelum akhirnya
kehabisan kesabaran dan menghampiri ruangan mereka dengan wajah dingin dan
tegang, menunjukkan badai besar akan segera datang.

Yang tidak dia duga adalah, gadis itu melepaskan mantel cokelat yang dipakainya ke
lantai dan berjalan ke arahnya diikuti tatapan ternganga semua pria yang ada di ruangan
itu. Hanya sehelai tank-top hitam, yang tidak bisa menyembunyikan apa-apa. Dada
yang diidamkan baik oleh para wanita maupun para pria, pinggang sempit yang masih
ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak tiga bulan, dan jeans yang melekat
ketat, membalut kakinya yang jenjang. Pemandangan yang mau tidak mau
dinikmatinya walaupun kemarahannya ikut menggelegak karena pemandangan yang
sama juga dinikmati pria lain. Walaupun pikiran itu hanya bertahan sepersekian detik
sebelum otaknya berkabut, tidak bisa mencerna, saat gadis itu menjatuhkan diri ke atas
pangkuannya—membuat lengannya dengan refleks melingkari pinggul gadis
tersebut—dan memberikan ciuman panas yang menyibukkan mulutnya kemudian.

Semuanya hanya refleks semata, kebiasaan, karena dia bahkan tidak perlu berpikir lagi
untuk menggerakkan bibirnya. Ciuman itu bertubi-tubi, menghabiskan oksigen,
menuntut dan lapar. Jemari gadis itu menyusuri lehernya dan dia nyaris gagal menahan
erangannya agar tidak terlontar keluar. Cara gadis itu menciumnya berbeda. Tidak lagi
ditahan-tahan, seolah sedang berusaha membuktikan. Lidahnya bergerak menggoda
dan Kyuhyun-lah kali ini yang berusaha menyamai dengan susah-payah. Untung saja
ada sedikit akal yang tersisa baginya untuk tidak—

“Sudah cukup menggairahkan?” tanya Hye-Na, memundurkan wajahnya yang


memerah. Bibirnya membengkak dan matanya menggelap karena gairah, sehingga
Kyuhyun dengan gelagapan berusaha mendapatkan kendali dirinya kembali,
mengingatkan diri bahwa ada orang lain di sekeliling mereka. Pameran kemesraannya
cukup sampai di sana—tidak peduli seberapa besar keinginannya untuk menggarap
gadis ini segera.

Dia menaikkan tangan, mengelus lengan atas Hye-Na, lalu mengedikkan dagu ke satu
titik di belakang gadis tersebut. Hye-Na mengerutkan kening, menolehkan kepalanya
dan di detik yang sama nyaris terkena serangan stroke.

Dia mengira Kyuhyun menonton pertunjukan striptease di atas panggung dan pria itu
terlihat begitu meyakinkan sehingga dia memutuskan bertindak frontal disebabkan rasa
cemburu yang membabi-buta. Tapi dialah yang terjatuh dalam perangkap pria tersebut.
Karena dari tempat pria itu duduk, pandangan ke panggung terhalangi oleh pilar lebar
yang menunjukkan dengan jelas bahwa dari tadi Kyuhyun menjaga matanya baik-baik,
tanpa sekalipun mengambil kesempatan.

Hye-Na memutar tubuhnya dengan tegang, kembali menghadap Kyuhyun, dan dengan
cepat menunduk, membenamkan wajahnya ke dada pria itu.

“Aku benar-benar sudah gila. Gila. Gila. Benar-benar memalukan. Mau ditaruh ke
mana mukaku? Sialan. Kenapa kau tidak bilang? Brengsek.”
Kyuhyun tertawa, membiarkan gadis itu tenggelam dalam rasa malunya, hanya
mengusap-usap punggung gadis itu untuk menenangkan, walaupun hal itu sama sekali
tidak membantu apa-apa.

“Astaga.” Soo-Hyun-lah yang pertama kali pulih dari rasa kaget dan berhasil bersuara.
“Jangan bilang kalian seperti itu setiap hari. Pantas saja kau tidak mau jauh-jauh
darinya. Sajangnim,” tambahnya kemudian, tidak mau terdengar tidak sopan.

“Pulang, pulang, pulang,” desis Hye-Na, mencengkeram kelepak mantel Kyuhyun


kuat-kuat, masih tidak berani mengangkat wajah, sehingga Kyuhyun jatuh iba dan
bangkit berdiri, meletakkan sebelah telapak tangannya ke belakang kepala Hye-Na
dengan posisi melindungi. Dia mengulurkan tangan dan Eun-Ji cepat-cepat
menyerahkan mantel yang tadi dijatuhkan Hye-Na.

“Kami pulang dulu. Nikmati saja pertunjukannya. Dan pesan apapun yang kalian mau.
Gratis.”

“Hiiiiiiiiiiiiiiiiiii,” rengek Hye-Na, terdengar seperti ratapan menyedihkan. Kakinya


menghentak lantai dengan kekanak-kanakan.

Kyuhyun menganggukkan kepalanya pamit, menyelubungkan mantel ke punggung


gadis itu, lalu menuntunnya pergi, diikuti tatapan takjub dari semua orang.

“Ada yang menyangka Hye-Na bisa seperti itu? Astaga, seharusnya aku mengejarnya
habis-habisan dulu,” keluh Soo-Hyun, sedangkan Eun-Ji memasang wajah cemberut di
sudut.

“Ke mana suamiku di saat-saat seperti ini? Choi Siwon sialan,” gerutunya.

***
Note 9 Desember 2013
2061 ~ THE CONFESSION

KyuNa’s Home, Yeoju

07.12 AM

Kyuhyun bersandar ke dinding sambil memasang dasinya, memerhatikan istrinya yang


masih tertidur lelap, tidak memedulikan sinar matahari yang menyorot bengis ke arah
ranjang lewat tirai yang terbuka.

Pria itu menyempurnakan ikatan dasinya, memencet tombol kecil di dinding yang
menggerakkan tirai hingga kembali menutup sebagian lalu berjalan ke luar kamar,
menuju ruang makan yang biasa mereka pakai di lantai dua. Dia memprogram Chef-
Machine, memesan secangkir kopi dan croissant untuk dirinya sendiri, lalu segelas jus
jeruk untuk istrinya.

Pria tersebut duduk sebentar di meja makan, menghabiskan sarapannya dalam waktu
lima menit sambil mengecek pasar saham, kemudian kembali ke kamar, meletakkan
gelas berisi jus jeruk yang dipesannya tadi ke atas nakas di samping ranjang. Dia
mengambil sehelai notes dan pulpen—benda-benda yang pada zaman sekarang sudah
hampir jadi barang langka karena semua orang lebih memilih menggunakan komputer
dan communicator, bahkan mungkin sudah banyak orang yang lupa caranya menulis
dengan tangan.

Pria itu terkekeh kecil setelah menuliskan pesannya, meletakkan kertas itu di samping
gelas, lalu mencondongkan tubuh, menggunakan tangannya untuk menyibakkan
rambut Hye-Na ke belakang telinga dan memberikan kecupan singkat di dahi gadis itu
sebelum akhirnya beranjak pergi.

Dia… selalu saja berpikir ingin melakukan rutinitas seperti itu. Setiap hari.

***

Gadis itu menepuk ranjang kosong di sampingnya sambil menggeliat bangun,


mengerang sesaat dan menghidu bau manis jeruk. Tidak usah heran, hidungnya
memang sangat sensitif dengan aroma makanan ataupun minuman, terutama sesuatu
yang dia suka.

Dia tersenyum lebar saat melihat keberadaan segelas jus jeruk yang menggoda di atas
nakas, meraihnya lalu meminumnya dalam satu tegukan—tidak memedulikan bahwa
dia bahkan belum menggosok giginya.

Gadis itu mendecak-decakkan lidah, mencecap rasa manis dalam mulutnya dan
beringsut ke tepi ranjang, menjangkau notes yang ditinggalkan Kyuhyun, mendelik
karena pria itu sering sekali melakukan hal-hal kuno yang sudah ketinggalan zaman.
Masa sekarang mana ada orang yang masih menulis pesan dengan tangan? Dia bahkan
sudah lupa kapan terakhir kali dia benar-benar menuliskan satu kalimat penuh dengan
tangannya.

Aku pergi ke kantor lebih pagi. Ada rapat.

PS: I Love You

—Kyuhyun—

Mata gadis itu melebar. Apa yang sudah pria itu lakukan? Dasar gila!

Tapi anehnya, dia malah tertawa. Menikah dengan pria itu… sepertinya ikut-ikutan
membuatnya menjadi tidak waras.

***

Cho Corp, Seoul

08.02 AM

Kyuhyun bersandar di kursinya, menyilangkan kedua tangan di depan dada, menatap


bosan ke arah wakil dari perusahaan rekanan yang sedang melakukan presentasi di
seberang ruangan. Dia sudah menghadiri ratusan rapat dan tidak pernah berhenti
merasa bosan. Dia mendengarkan pada awalnya, lalu menebak sisanya dengan mudah.
Kapan orang-orang itu akan berhenti meributkan detail dan teknik dan mulai menyadari
bahwa mereka seharusnya hanya membicarakan inti, karena semuanya sudah terinci
lengkap di dalam file-file yang sudah dibagikan? Semua orang bisa membaca, kan?

Dia melirik communicator-nya yang bergetar di atas meja, menandakan pesan masuk
pada nomor pribadinya yang hanya tersedia untuk Hye-Na. Dia meraih benda itu
dengan cepat, mengabaikan tangannya yang nyaris gemetar karena semangat, lalu
mulai membaca.

Sedetik kemudian pria itu mendelik, mendengus lalu hampir membanting benda itu lagi
ke atas meja. Hanya ada tiga kata di sana:

Jusnya enak sekali.

Dia selalu saja membenci Hye-Na untuk setiap gengsi dan harga diri yang mencegah
gadis itu bersikap manis padanya, tidak peduli bahwa mereka sudah hidup bersama
nyaris satu tahun lamanya. Padahal dia sudah menyingkirkan sikap dingin, tidak acuh,
dan keras kepalanya. Dia sudah menurunkan arogansinya ke level terendah dan
bersedia mendengarkan pendapat, selalu mendahulukan kepentingan gadis itu di atas
segalanya. Tapi gadis itu sepertinya belum terlalu nyaman bermanja-manja padanya,
walaupun dia sendiri pasti akan terserang stroke kalau gadis itu sampai melakukannya.

Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, membentengi diri dengan


ekspresi tidak-bisa-didekatinya lagi.

“Bisakah kau tidak bertele-tele dan langsung ke intinya saja? Aku tidak punya waktu
seharian untuk mendengarkanmu,” sergahnya, membuat pria yang sedang melakukan
presentasi itu tersentak kaget dan melongo tolol menatapnya.

Communicator-nya sekali lagi bergetar, menandakan pesan masuk berikutnya,


membuat pandangannya seketika kembali teralih.

PS: And I love you, too, by the way.

Dengan mudah, terkesan begitu murahan, mood-nya kembali membaik. Begitu saja.
Dengan jantung yang seolah berhenti berdetak untuk sepersekian detik, lalu
membuncah, mempercepat detakan dalam hitungan yang tidak lagi terkontrol.

“Sa—sajangnim….”

Dia mendongak, tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, menyadari bahwa
semua orang menatapnya aneh.

“Tidak. Lanjutkan saja. Lama juga tidak masalah,” ucapnya ringan.

Dia menggeser tubuhnya sedikit, menyodorkan communicator-nya dengan maksud


pamer kepada Joong-Ki yang duduk di belakangnya dan menatapnya dengan
pandangan bertanya.

“Dia bilang dia mencintaiku,” ujarnya sambil menyengir lebar.

Kekanak-kanakan memang, tapi dia bersedia menjadi apa saja, apapun, untuk dan
karena gadis itu. Untuk orang-orang sepertinya, dengan pola berpikir sepertinya,
lingkaran dunia hanya berpusat pada satu wanita. Wanita yang juga menjadikannya
sebagai pusat dunia pribadinya. Saat itu terjadi, kebahagiaan akan terasa sederhana-
sederhana saja.

***
Note 12 Desember 2013
2061 ~ UNPRETENTIOUS LOVE {JOONG-KI’S SIDE}

“Mmm. Bye,” ujar Hye-Na, membiarkan pria itu merengkuh pinggangnya dan
mengecup bibirnya singkat sebelum benar-benar melepaskannya kemudian.

“Sampai jumpa.” Kyuhyun tersenyum, melarikan tangannya ke rambut gadis itu


untuk mengelusnya pelan, lalu berbalik masuk ke dalam pesawat jet pribadinya
yang sudah menunggu dan siap berangkat jika diperintahkan.

Joong-Ki membungkuk ke arah Hye-Na dan bergegas mengikuti atasannya,


untuk sesaat merasa iri. Semua orang mungkin merasakan hal yang sama,
walaupun untuk alasan yang mungkin berbeda. Orang biasanya terkagum-
kagum dan iri terhadap Kyuhyun karena kekayaan yang pria itu miliki,
kehebatannya dalam berbisnis, kejeniusannya dalam berpikir, atau
ketampanannya yang sudah diketahui dunia. Tidak dengannya. Dia sudah sering
melihat miliuner maupun triliuner sukses dan itu bukan lagi hal baru dan
mengagumkan baginya. Bukan berarti dia tidak mengagumi Kyuhyun akan hal
tersebut. Itu lumrah. Manusiawi. Tapi yang paling dikaguminya adalah
kehidupan pribadi pria itu, yang berbanding lurus dengan kehidupan bisnis dan
politiknya. Bahwa pria itu memiliki dua personality berbeda, bahwa pria itu bisa
terlihat begitu biasa, normal, tidak lagi seperti dewa. Dan itu semua hanya
diperlihatkan untuk satu orang. Istrinya. Wanita yang juga tampaknya mencintai
pria itu sama besarnya.

Dia sudah begitu lama mengamati Kyuhyun, mengikuti sepak-terjang pria itu
setelah pria itu dipercaya memimpin perusahaan sebesar Cho Corporation.
Hanya saja dia juga tahu bahwa perusahaan itu tumbuh atas campur tangan pria
tersebut, bahwa pria itu berada di balik layar hanya karena masih belum cukup
umur. Dan saat akhirnya benar-benar memegang kendali, pria itu tidak bisa lagi
dihentikan oleh siapapun.

Sebuah kebanggaan besar karena pria itulah yang duluan mengulurkan tangan
padanya, memintanya bekerja sama, memberinya posisi terdekat, posisi yang
memiliki akses penuh terhadap pria itu, berdiri di sampingnya sebagai asisten
pribadi. Orang paling dipercayai. Bahwa pria itu ternyata juga sudah lama
mengamatinya adalah kebanggan lain lagi.

Setelah berada di sisi pria itu selama beberapa bulan, tidak butuh waktu lama
baginya untuk mengerti dan mengakui kenapa pria itu bisa menjadi pebisnis
terbaik di dunia. Pria itu tanpa tandingan, dengan Dewi Fortuna yang selalu
mendampingi setiap saat tanpa pernah meninggalkannya. Walau tanpa
keberuntungan pun sepertinya kekuasaan pria itu memang sudah tak
terkalahkan. Di usia yang begitu muda, dengan hidup yang demikian cemerlang.

Lalu fokus perhatiannya mulai berubah. Dia mendapati kesenangan kecil saat
memerhatikan interaksi pria itu dengan istrinya. Berbanding terbalik dengan
kesehariannya di kantor yang seringnya tampak dingin, tidak bisa didekati, di
samping istrinya, Cho Kyuhyun adalah pribadi yang hangat, dengan sorot mata
yang tidak lagi tajam, tapi penuh konsetrasi, menatap kagum kepada satu-
satunya wanita yang pernah dekat dengannya. Bahwa pria yang selalu ditatap
penuh kekaguman, malah memberikan tatapan yang persis sama kepada
seseorang, dan hanya khusus untuk satu orang itu saja. Dia selalu merasa
momen-momen singkat mereka yang berkesempatan dilihatnya, terasa begitu
pribadi, intim, membuat tersenyum sekaligus meninggalkan setitik iri yang
menggelitik.

Perubahan terbesar adalah ekspresi wajah pria itu. Kyuhyun nyaris tidak pernah
tersenyum, bahkan kepada klien dan rekan perusahaan sekalipun. Yang
diperlihatkannya hanya senyum diplomatis, senyum yang tidak pernah benar-
benar mencapai mata. Tapi pria itu memiliki setumpuk senyum yang selalu dia
perlihatkan setiap kali bertemu istrinya. Di setiap kesempatan, di manapun
mereka berada.

Pria itu tidak tersentuh, dan tidak menyukai kontak fisik selain bersalaman,
itupun hanya sepersekian detik, jika benar-benar diperlukan. Tapi untuk Hye-
Na, dialah yang selalu mengambil inisiatif duluan. Sekadar belaian lembut ujung
jari, genggaman tangan, rengkuhan, maupun kecupan singkat.

Pria itu tidak pernah benar-benar menatap wanita yang berdiri di depannya.
Hanya sekadar bungkukan sopan lalu perhatian langsung beralih. Tapi selalu
ada fokus penuh, tatapan tiada henti, yang diarahkan pria tersebut pada istrinya,
seolah di matanya, wanita itu berwujud seperti deskripsi luar biasa dewi-dewi
mitologi kuno di buku-buku fiksi lama, sehingga tidak ada pikiran untuk
memalingkan tatapan.

Bukannya kedua orang itu tidak pernah bertengkar. Bahkan sepertinya mereka
melakukannya setiap saat. Sifat posesif dan protektif Kyuhyun selalu
mendominasi. Hanya saja, siapapun yang mengenal pria itu akan menyadari
betapa seringnya pria itu menekan arogansinya, bersedia mengalah untuk
istrinya yang tidak kalah keras kepalanya. Dan untuk beberapa momen lainnya,
Hye-Na-lah yang tampak menyerah, meminta maaf duluan, menurunkan gengsi.
Bahwa Kyuhyun bisa kehilangan kendali, terlihat penuh emosi, bukan lagi pria
datar tanpa ekspresi, topen yang selama ini dia perlihatkan di depan publik.

Baginya, tidak ada tontonan yang lebih menarik daripada memerhatikan


kelakuan dua orang ajaib itu.

“Aku perhatikan, Hye-Na ssi selalu mengucapkan bye dan kau membalas
dengan see you atau sampai jumpa,” ujarnya, membuka suara, menanyakan
sesuatu yang selama ini membuatnya bertanya-tanya. Dia cenderung
mempelajari kebiasaan pasangan itu, tapi ini pertama kalinya dia benar-benar
merasa penasaran.

Kyuhyun mendongak dari dokumen yang sedang dia baca, mengerutkan kening
mendengar pertanyaan tak terduga itu.

“Aku hanya tidak suka mengucapkan kata semengerikan itu padanya,”


jawabnya kemudian.

“Maksudmu bye?”

Kyuhyun mengangguk. “Bye. Selamat tinggal. Itu kedengaran seperti ucapan


‘selamat tinggal, aku tidak akan menemuimu lagi.’ Aku tidak suka. Jadi aku
menggantinya dengan sampai jumpa.” Dia tersenyum tipis. “Setidaknya aku
menjanjikan bahwa aku akan kembali padanya.”

Joong-Ki berusaha menekan rasa syoknya akan jawaban di luar perkiraan itu,
tapi dia hampir-hampir tidak bsia mengendalikan ekspresi wajahnya yang
terkejut.

“Tapi… kenapa kau membiarkannya mengucapkan kata seperti itu?”

“Hye-Na? Dia satu-satunya pihak yang boleh pergi, mengucapkan perpisahan


duluan kalau dia menginginkannya.” Pria itu terkekeh. “Walaupun aku selalu
mengancam akan melenyapkan pria lain yang berani dicintainya.”

“Kalau misalnya… hanya misalkan, hal itu benar-benar terjadi, kau benar-benar
akan melepaskannya?”

“Kalau dia memang menginginkannya? Ya,” ucap pria itu tanpa perlu berpikir
panjang. “Tapi aku akan menjemputnya. Membujuknya pulang. Kembali
padaku. Tapi jika dia tidak mau, itu pilihannya. Aku tidak akan memaksa. Tapi
aku akan memastikan agar dia tahu, bahwa dia bisa pulang kapan pun dia mau.
Bahwa aku akan menerimanya kembali tanpa mengajukan pertanyaan,” jelasnya
dengan nada yang begitu santai, seolah hal itu sudah lama terpikir olehnya.
“Kenapa kau bertanya, hyung? Kau sedang jatuh cinta, ya?”

Joong-Ki menggeleng. “Tidak. Hanya ingin tahu saja. Anggap saja aku sedang
belajar.”

“Belajar? Dari kami?” Pria itu mendengus tak percaya. “Yang benar saja.”

“Yeah, aku juga ingin tahu bagaimana caranya kau bergerak ketika dia bergerak,
menyesuaikan diri saat matamu bahkan tidak sedang menatapnya.”

“Aku begitu?” tukas Kyuhyun kaget. “Aku tidak ingat melakukannya.”

Joong-Ki mendecak. “Lebih buruk lagi karena kau bahkan tidak tahu bahwa kau
melakukannya,” gerutunya gusar.

“Kau frustrasi karena tidak punya pendamping ya, hyung? Mau kucarikan?
Jung-In aku rasa masih single,” goda Kyuhyun, menyebutkan nama
sekretarisnya di kantor.

“Dia sama frustrasinya denganku, kau tahu? Dua kali memergoki kalian
sedang… sedang… apa sih yang kau pikirkan saat melakukannya di kantor?”

“Apa?” sergah Kyuhyun, kali ini benar-benar tertawa geli. “Kalau maksudmu
bercinta, aku hanya melakukannya sekali. Yang kedua itu hanya ciuman,”
ucapnya sambil mengibaskan tangan, seolah itu bukan masalah besar. “Hanya
ciuman. Posisi kami saja yang sedikit tidak… pantas dilihat.”

“Heran media sempat memberitakanmu gay. Dengan hormon sebesar itu—”

“Daripada kau sibuk mengomentari tindakan amoralku, lebih baik kau cari
pasangan saja dan coba lihat apa kau bisa mengendalikan hormonmu. Kau tidak
pernah jatuh cinta, ya? Terlalu sibuk belajar?”

Joong-Ki mencondongkan tubuhnya ke depan, mendadak memasang tampang


serius.

“Setelah memerhatikan kalian berbulan-bulan,” mulainya. “Apa kau tidak


merasa kata ‘jatuh cinta’ terlalu sederhana?”

“Kau mau aku menjawabnya? Kau kan tahu caraku berpikir sedikit… berbeda.”
“Jawab saja,” geramnya.

Kyuhyun mengangkat bahu.

“Menurutku memang sederhana. Coba kau pikirkan. Sebelum bertemu dengan


wanita yang tepat, apa yang biasanya pria inginkan? Uang yang banyak, karier
yang bagus, popularitas, berpacaran dengan wanita cantik. Itu manusiawi.
Ukurang kebahagiaan begitu luas. Bahkan bisa mencakup sampai aku ingin
dunia berada dalam genggamanku.”

“Tapi saat jatuh cinta, bayangkan bahwa dunia yang ingin kau miliku itu
mengecil, begitu kecil, sampai hanya berpusat pada seorang wanita saja. Bahwa
ukuran kebahagiaanmu tidak lagi sebesar sebelumnya, tapi berkutat pada hal-hal
kecil seperti: apakah dia sudah makan? Apakah hari ini dia memikirkanku?
Apakah dia memang sangat cantik atau hanya aku saja yang berpikir begitu?
Apakah aku sudah membuatnya bahagia? Kebahagiaanmu mulai bergantung
pada seberapa bahagianya wanita itu. Dan semuanya akan lebih sederhana lagi
jika wanita itu juga merasakan hal yang sama padamu. Dia bahagia karena bisa
bersama orang yang dicintainya dan kau bahagia karena dia bahagia. Bukankah
semuanya begitu sederhana?”

“Karena itu saat tadi kau bertanya bagaimana aku jika Hye-Na meninggalkanku,
aku bisa menjawabnya dengan santai. Dia boleh pergi, jika dia
menginginkannya. Masalahnya, aku tahu dia tidak akan pernah
menginginkannya. Karena kebahagiaannya bergantung padaku. Dan
kebahagiaanku, bergantung pada kehadirannya.”

Saat itu… dia ingin sekali bertemu seorang wanita. Kemudian jatuh cinta.
Wanita yang bisa dijadikannya rumah. Rumah tempat dia tinggal. Rumah
tempat dia pulang.

***
Note 17 Desember 2013
2061 ~ LATE AT NIGHT

PS: I share this just because today is Hyun-Ah's two months birthday.

KyuNa’s Home, Yeoju

02.16 AM

Hye-Na sedikit tersentak saat merasakan sesuatu membebani bahunya,


walaupun tidak butuh lebih dari satu detik baginya untuk kembali santai dan
melanjutkan keasyikannya menikmati pemandangan malam dari balkon kamar
Hyun-Ah.

“What are you doing here? She doesn’t wake up. Back to bed. You need to
sleep.”

“Later,” sahutnya, menyentuh tangan pria itu yang melingkar di pinggangnya.

Kyuhyun menyingkirkan rambut gadis itu ke satu sisi, menunduk dan


menempelkan bibir dan hidungnya di pundak gadis tersebut. Dia terlalu lama
menahan—meski itu adalah pilihannya sendiri karena dokter sudah mengatakan
bahwa kehidupan suami-istri sudah bisa kembali normal satu bulan setelah sang
istri melahirkan.

“You won’t touch me, will you?” ujar Hye-Na, seolah bisa membaca pikirannya.

“I think I’m touching you now.”

“Kau tahu apa yang kumaksud,” ucap Hye-Na sinis.

“If you mean ‘making love’, yes, I won’t.”

Hye-Na melepaskan diri, berbalik dan menghantamkan kepalannya ke perut


Kyuhyun, dan pria itu bahkan tidak meringis sedikit pun, padahal dia tidak
melakukannya dengan lembut.

“Apa masalahmu sekarang, Tuan Cho yang sok genius?” bentaknya. “Kau
terus-terusan menahan diri walaupun kau tahu tidak ada lagi yang perlu kau
takutkan jika kau memang mau melakukannya.”

“Oh, ya?” Kyuhyun balik bertanya dengan nada retoris. “Kau tentunya sudah
tahu apa yang bisa terjadi kalau kita bercinta. Sudah terjadi dua kali, kan?”
“Apa? Aku hamil lagi? Memangnya kena—sialan, itukah masalahmu?” Mata
gadis itu membelalak. Dia tahu seberapa protektifnya Kyuhyun terhadap
keselamatannya, tapi dia tidak menyangka bahwa ‘penyakit’ pria itu sudah
seakut ini.

“Masalahku?” seru Kyuhyun, balas membentak. “Apa kau tidak mengerti apa
yang sedang aku lakukan? Aku bermaksud memberimu pilihan. Kau memakai
alat pencegah kehamilan, atau aku sendiri yang harus memakai pelindung saat
kita bercinta. Apa kau tidak tahu ini juga sulit bagiku? Aku sudah melihatmu
sekali bertarung dengan maut seperti itu, di depan mataku. Brengsek, kau pikir
aku mau mengalami ketakutan seperti itu sekali lagi? Kau pikir aku gila?
Mempertaruhkan nyawamu untuk melahirkan anakku?”

“ANAK KITA!” teriak Hye-Na. “Yang aku lahirkan itu anak kita! Berhentilah
bersikap seperti ini, tidak bisakah kau?” ujarnya frustrasi. “Ini sudah 2061,
Kyuhyun~a, melahirkan bukan sesuatu yang menakutkan lagi. Peralatan medis
sudah sangat maju. Lagipula kalau aku nyaris mati saat melakukannya, semua
dokter-doktermu itu akan melakukan cara apa pun untuk menyelamatkanku atau
nyawa mereka sendiri taruhannya. Itu kan yang biasa kau lakukan?” Gadis itu
mendengus. “Seharusnya aku tidak membiarkanmu menemaniku, jadi kau tidak
perlu menggila seperti ini.”

“Kau berteriak-teriak di depanku, dengan darah membanjir seperti itu. Sesuatu


yang paling tidak kau sukai. Kau pikir aku mau membuatmu berada dalam
kondisi seperti itu lagi?”

Hye-Na mengernyit. “Lalu menurutmu bagaimana cara wanita lain punya anak,
hah?” dengusnya. “Aku masih mau punya anak satu lagi. Laki-laki. Dan jangan
berani berbuat macam-macam untuk mencegahku. Kalau aku bilang aku ingin
memilikinya, maka aku pasti akan memilikinya.”

“Haruskah kau meminta sesuatu sesulit itu padaku?” desah Kyuhyun putus asa.

“Susah apanya? Kau tinggal meniduriku, menyumbang sperma, beres.


Bukannya itu kegiatan yang sangat kau sukai?”

“Aish!” geram pria itu.

“Memangnya kau bisa tahan selama apa, hah? Aku goda sedikit juga kau akan
kehilangan kendali. Menyerah saja. Kau ini aneh sekali. Yang pulang setiap
makan siang untuk melihat anaknya siapa? Yang membawa pulang setumpuk
mainan setiap malam siapa? Yang menambah tiga lemari baju bayi di ruang
ganti siapa? Kau kan tidak benci aanak-anak. Lagi pula kau juga butuh pewaris.
Ya, kan?”

“Untuk mendapatkan sesuatu, kau bisa melakukan apa saja, ya?” erang
Kyuhyun, mengacak rambutnya gusar.

Hye-Na tersenyum dan mengedikkan bahu ringan. “Jadi kau bisa


mengembalikan semua tank-top dan hotpants-ku, kan?” ujarnya, menadahkan
tangan dengan bibir mengerucut, menyinggung fakta bahwa Kyuhyun
menyembunyikan semua pakaian tidurnya yang biasa dan menggantinya dengan
setumpuk piyama baru yang hanya membuatnya kegerahan. Pria itu memang
tidak pernah setengah-setengah kalau merencanakan sesuatu.

Kyuhyun menghela napas, akhirnya tidak bisa menahan tawa dan meraih tangan
yang terulur itu untuk kemudian menariknya, memerangkap gadis itu dalam
dekapannya.

“Aku pikir dengan melihatmu memakai pakaian tertutup di rumah akan


membantu,” dengusnya. “Ternyata sama saja.”

“Kau bahkan kabur seperti melihat setan setiap kali memergokiku sedang
menyusui, Hyun-Ah.”

“Sejelas itu, ya?” kekehnya.

“Tidak bisakah kau berhenti mengkhawatirkanku setiap saat?”

Dia menggeleng. “Maaf, itu tidak bisa disembuhkan.”

“Setidaknya, jangan berlebihan seperti itu.”

“Nanti kupikirkan,” balas pria itu ringan.

Hye-Na baru saja akan membuka mulut untuk mendebat saat suara tangis Hyun-
Ah tiba-tiba terdengar. Sepertinya merek baru saja membangunkan anak itu.

“Tidur sana. Biar aku yang mengurus Hyun-Ah. Kau kan sudah lelah seharian.”

Kyuhyun mendorong Hye-Na ke arah pintu yang menyambungkan kamar


mereka dengan kamar bayi, lalu berbalik untuk mengecek Hyun-Ah. Dia
mengeluarkan anak itu dari boks dan menggendongnya dengan hati-hati, tidak
lagi secanggung saat dia melakukannya pertama kali.
“Hi, baby! Daddy’s here.” Pria itu tertawa, menyentuhkan ujung hidungnya ke
hidung Hyun-Ah, mengayunnya pelan, membiarkan anak perempuannya itu
mencengkeram telunjuknya, lalu menolehkan wajah untuk memberi kecupan ke
jari-jari yang masih mungil itu.

Secara ajaib, bayi itu menghentikan tangisnya begitu saja, menyisakan isakan-
isakan lirih, sebelum akhirnya berhenti dan malah berganti dengan senyum di
bibir. Pesona Kyuhyun tidak mungkin tidak berlaku pada anaknya sendiri, kan?

Hye-Na menyandarkan tubuhnya ke dinding, menyedekapkan tangan di depan


dada, memandangi interaksi antara ayah dan anak itu—walaupun matanya lebih
terfokus pada suaminya. Pria yang saat ini hanya mengenakan baju kaus tipis
berwarna abu-abu, celana rumah santai, rambut berantakan karena terjaga di
tengah tidur nyenyak, dengan seorang bayi dalam gendongan dan bonus senyum
sumringah di wajah tampannya. Dengan seluruh kesederhanaan itu, pria tersebut
masih saja tampak tidak terjangkau. Terlihat manusiawi, membumi, tapi di saat
yang bersamaan memperlihatkan pesona yang begitu melimpah, sehingga nyaris
tak terjamah.

Tanpa sadar dia melangkah, mendekat, dengan tangan yang kemudian terulur,
menjangkau ujung kaus pria itu, menariknya, seolah meminta perhatian.

Dia mendongak, menyerah pada jarak 22 senti antara tinggi tubuh mereka. Dari
jarak seperti ini, wajah pria itu… nyaris menyakitkan mata. Bahkan untuk
sekadar ditatap. Dan saat pria itu balas memandang, memamerkan senyum
miringnya, dengan alis yang terangkat naik dan tubuh yang secara otomatis
membungkuk, menyesuaikan diri dengan tinggi badannya, seperti biasa dia tiba-
tiba lupa caranya bernapas. Bahkan setelah satu tahun lebih, masih tidak ada
istilah terbiasa.

“Aku mencintaimu?” ujarnya, malah mengakhiri kalimat itu dengan nada


bertanya.

Kyuhyun terkekeh, menahan bobot Hyun-Ah di satu tangan dan menggunakan


tangannya yang bebas untuk mengacak-acak rambut istrinya. Dia memajukan
tubuh, mengecup singkat kening gadis itu dan berbisik pelan, “I bet I do it more
than you do.”

Dengan cepat dia menegakkan tubuh lagi, meredam tawa dengan cara
membenamkan wajahnya ke perut Hyun-Ah, menghirup aroma bedak bayi yang
menyenangkan dan membuatnya candu.
“Today is Hyunnie’s birthday, right?” ucapnya, mengajak bayi itu bicara. “Two
months? You better grow faster, dear, and be more beautiful than your Mommy,
so I can love you more. You hear what she said just now? She looked at me, got
unconscious, and finally told me that she loves me. Yeah, that’s the only way I
can hear those rare words. I have to wait until she is enchanted by me. You
won’t be like that, right? You have to tell me that you love me every day. You got
it?”

“Yak, apa yang sedang kau ajarkan pada anakmu, hah?” bentak Hye-Na dengan
wajah yang tampak kesal.

“Apa? Aku hanya menasihatinya agar tidak tumbuh dewasa sepertimu,” ucap
Kyuhyun sambil mencebikkan bibir bawahnya jahil, dengan cepat memalingkan
wajahnya lagi pada Hyun-Ah yang hanya menatapnya, mengeluarkan
gumaman-gumaman tidak jelas yang tidak bisa dimengerti siapa pun. Apa tidak
ada manusia yang mengerti bahasa bayi? Benar-benar bentuk komunikasi yang
menyusahkan. Sayangnya dia tidak sejenius itu untuk menemukan alat yang
bisa menerjemahkan bahasa planet satu itu.

“Kau mau hadiah apa? Ah, Chef-Machine khusus untuk bayi saja, mau tidak?”

“Apa?” seru Hye-Na mendelik. “Kau tidak aneh-aneh lagi, kan?”

“Tidak,” sahut Kyuhyun dengan wajah polos. “Aku hanya menyuruh


karyawanku membuat Chef-Machine khusus untuk makanan bayi dari umur
satu bulan sampai lima tahun. Setelah itu mereka bisa makan makanan biasa,
kan? Dan jangan mulai menceramahiku, itu kan sangat berguna untuk semua
orang tua. Aku memerintahkan produksi massal, bukan untuk Hyun-Ah saja.
Besok akan dirilis. Bagus kan untuk hadiah ulang tahun Hyun-Ah? Aku akan
mengirim seseorang untuk memasangnya besok siang.”

“Aish!” geram Hye-Na, menjambak rambutnya frustrasi. Ayah mana yang


merayakan ulang tahun anaknya yang kedua bulan dengan menciptakan mesin
penghasil makanan khusus bayi? Ini bahkan hanya ulang tahun kedua bulan,
bukan satu tahun dan semacamnya. Dia bahkan tidak ingin membayangkan apa
lagi yang akan diciptakan pria itu nanti saat Hyun-Ah menginjak umur satu
tahun.

“Look at your Mommy,” bisik Kyuhyun pada Hyun-Ah, mengangkat anaknya


itu tinggi-tinggi, tertawa kecil saat melihat bayi mungil itu menunjukkan
senyum sambil berusaha menggapai wajahnya. “Got angry every time I spend
my money for her. So you have to grow old faster, okay? And spend my money
as much as you want. Don’t be like your Mom. You hear me? Don’t be like your
Mom,” ulangnya. “Let her be the only woman with that kind of personality. I
don’t want any woman try to imitate her. Even you, honey. I won’t forgive you if
you plan to do that.”

Dia tiba-tiba menoleh ke arah Hye-Na, mengurungkan niat gadis itu untuk
mendebatnya setelah perintah tidak bermutunya kepada anak mereka yang
bahkan belum mengerti apa-apa.

“And for you… Mommy Hye-Na…,” goda pria itu, membuat Hye-Na tidak bisa
menahan delikannya. “Please, have a long life,” bisiknya, mengulurkan tangan
untuk menangkup pipi gadis itu, mengusapnya dengan ibu jari, merasakan
denyut nadinya bertambah cepat saat gadis itu dengan refleks memiringkan
kepala, menyandarkan sisi wajah ke telapak tangannya, seolah hal tersebut
adalah rutinitas yang sudah terlalu sering dilakukan, sehingga dia tidak perlu lagi
berpikir, hanya bergerak karena terbiasa. “Because I’d love to spend my times…
looking at you. Every day.”

***
Note 19 Maret 2014
2061 ~ TWILIGHT IN WHITE

Kyuhyun's Home, Yeoju

Jung-In menatap ragu pada pagar di depannya. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa Kyuhyun tidak pernah mengizinkan orang luar masuk ke kediaman
pribadinya, walaupun akhir-akhir ini sedikit melonggar dengan
diperbolehkannya Joong-Ki dan teman-teman Hye-Na untuk berkunjung. Tapi
tetap saja dia terkejut setengah mati saat Kyuhyun meneleponnya, mengatakan
bahwa dia tidak akan masuk kantor pada akhir minggu dan menyuruhnya untuk
mengantarkan berkas-berkas penting ke rumah. Ke RUMAH. Dan tidak ada
manusia yang akan melewatkan kesempatan luar biasa untuk menginjakkan
kaki di salah satu rumah termewah dan terindah di dunia itu.

Gadis itu menempelkan tangannya ke plat sidik jari, merendahkan tubuh untuk
membiarkan alat pendeteksi memeriksa matanya dan mengucapkan namanya
untuk pengecekan suara. Bahkan pengamanan di sini jauh lebih rumit daripada
di kantor.

Terdengar bunyi klik dan pagar mulai bergeser membuka, memperlihatkan


kolam yang luas dengan kursi-kursi malas yang berjejer di bagian tepi, berikut
jembatan-jembatan pendek yang menyatukan gerbang masuk dengan lorong
panjang menuju rumah utama. Dia seolah memasuki dunia lain, dunia pribadi
milik atasannya, sang penguasa dunia.

Semuanya tampak luar biasa, mewah, elegan, dan anehnya dalam kadar yang
pas dan tidak berlebihan. Begitu luas, sehingga Jung-In berpikir bahwa tidak
mungkin semua ruangan di rumah itu terpakai. Dan tidak seperti rumah-rumah
mewah lain yang memberi kesan dingin dan hanya untuk pamer kekayaan,
tempat itu tampak hangat. Jelas didesain oleh seseorang yang menginginkan
tempat untuk membuat nyaman keluarganya, tempat untuk menghabiskan
banyak waktu, bukan sekadar tempat untuk tidur pada malam hari.

Gadis itu mengembuskan napas lega karena tidak perlu bersusah-payah mencari
atasannya saat matanya menangkap sosok tiga orang yang tampak duduk di
kursi malas di bagian terjauh dari gerbang masuk: Kyuhyun dan Hye-Na, juga
anak mereka yang tampak tertidur di pangkuan Kyuhyun, bergelung nyenyak di
dada ayahnya. Hye-Na sendiri juga sudah terlelap, dengan kepala yang
bersandar ke bahu Kyuhyun dan tangan yang menggenggam jemari pria
tersebut, seolah mencegah pria itu untuk kabur.
Dia sendiri tidak bisa menebak apakah Kyuhyun tertidur atau tidak, karena
atasannya itu mengenakan kacamata hitam, tapi dia terlalu terpaku untuk
mencari tahu. Sudah lewat pukul enam sore saat ini, dan matahari perlahan
mulai terbenam di kejauhan, menjadi latar belakang pasangan suami istri itu,
yang sama-sama mengenakan kacamata hitam, kemeja putih, dan celana jins,
menghabiskan senja bersama seperti pasangan-pasangan normal lainnya.
Kyuhyun tidak pernah disangkut-pautkan dengan hal-hal biasa, hal-hal normal,
dan merupakan anugerah tersendiri bisa melihat pria itu seperti ini. Jadi dia
menyenangkan dirinya sendiri dengan berdiri diam, berharap bisa memandangi
keindahan itu lebih lama.

Pria itu teramat tampan, baik dalam setelan resminya maupun dalam balutan
pakaian santai seperti sekarang, dengan rambut yang kelihatannya tak tersisir,
tubuh yang dibalut kemeja sederhana, tampak begitu nyaman, begitu menikmati
hidup. Dengan istri yang tampak begitu serasi di sampingnya. Benar, suka
ataupun tidak, tidak seorang pun yang bisa menolak fakta bahwa tidak akan ada
wanita mana pun yang bisa mendampingi Kyuhyun lebih baik daripada seorang
Han Hye-Na. Tangguh, memiliki pesona unik, tampak sangat keras kepala, tapi
di saat bersamaan juga terlihat mungil, begitu cantik, dan manis. Dan pria mana
yang bisa menolak kaki jenjang dan tubuh berlekuk itu? Dia yang sesama
perempuan saja bisa merasa kagum, sekaligus iri.

Dia baru tersentak saat menyadari bahwa Kyuhyun tengah melambai ke


arahnya, memberi tanda agar dia mendekat dan menunjuk meja di samping
kursi malas tempatnya berbaring, menyuruhnya meletakkan berkas-berkas yang
dia bawa ke atasnya.

“Terima kasih, Jung-In ssi.” Pria itu berkata dalam nada rendah, berusaha tidak
membangunkan kedua perempuan yang menyandarkan diri padanya. Dan Jung-
In masih saja sempat melirik jari manis tangan kiri pria itu yang berbalut cincin
pernikahan dan jemari-jemari tangan kanannya yang mengelus lembut bagian
belakang kepala anaknya, merasa betapa indah dan manisnya pemandangan itu.

“Aku jadi penasaran apa yang sedang kau pikirkan.” Kyuhyun tersenyum tipis
dan memiringkan kepalanya, menunggu jawaban.

Jung-In terlonjak, dan dengan refleks meringis malu.

“Eh, tidak,” gumamnya salah tingkah. “Hanya saja… saya sangat suka saat
melihat kalian bersama. Anda dan istri Anda. Dan saya belum pernah melihat
Hyun-Ah secara langsung. Dia cantik sekali.”
“Gen dari ibunya kurasa,” ucap Kyuhyun sambil terkekeh kecil.

Jung-In ikut tersenyum. Hanya beberapa patah kata dan ekspresi bangga yang
penuh cinta, untuk istrinya, untuk anaknya. Pria itu bukan saja pengusaha dan
pemimpin yang luar biasa, tapi juga seorang suami dan ayah impian. Betapa pria
itu akhir-akhir ini pulang tepat waktu pada pukul lima sore, tidak pernah lembur
dan menolak dinas ke luar negeri, seolah bisnis tidak lagi menarik minatnya.
Sesuatu yang sebelum ini begitu mustahil akan dilakukan seorang Cho
Kyuhyun.

“Saya pulang dulu kalau begitu, Sajangnim.”

Kyuhyun mengangguk. “Sekali lagi terima kasih. Maaf merepotkanmu.”

“Ah, tidak. Tidak sama sekali.”

Gadis itu membungkuk pamit lalu bergegas keluar dari pintu gerbang, menuruni
tangga sempit yang diapit semak bunga, lalu berjalan cepat melewati taman.
Dan di sanalah pria itu. Bersandar di pintu mobil, menunggunya dengan senyum
di wajah.

“Sudah?” tanya Joong-Ki, yang disambut anggukan olehnya.

Akhirnya. Dia memiliki prianya sendiri. Dan dia bisa berhenti merasa iri.

***

Hye-Na bergerak, meringkuk lebih dekat ke sisi tubuh Kyuhyun, lalu


menyurukkan wajah ke lekuk leher pria itu, mendesah puas saat menghirup
aroma kesukaannya. Dia terbangun, tapi masih terlalu malas untuk membuka
mata.

“Panas,” keluhnya, kesal dengan sinar matahari yang menyorot langsung ke


punggung dan bagian belakang kepalanya. Dia membenci apa pun yang berani
mengganggu tidur nyenyaknya, termasuk matahari sekalipun.

“Memang sudah waktunya kau bangun, kan?”

Gadis itu merengut, tapi kemudian diam-diam tersenyum saat merasakan bibir
pria itu menyentuh puncak kepalanya.

“Hyun-Ah~ya, kau juga harus bangun!” Dia menusukkan telunjuknya pelan ke


pinggang anaknya itu, dengan tidak berperasaan memaksa anaknya bangun.
“Aish, kau! Biarkan saja dia tidur!” gerutu Kyuhyun, berusaha menjauhkan
Hyun-Ah dari jangkauan tangannya.

“Kalau aku harus bangun, kenapa dia masih kau perbolehkan untuk tidur?”

Dia kekanakan sekali, kan? Yah, begitulah tingkahnya jika baru bangun dari
tidur siang dan belum mendapatkan kewarasan sepenuhnya.

Kyuhyun membiarkannya mengoceh, jelas karena sudah begitu terbiasa dengan


kelakuan absurdnya. Jadi akhirnya dia kelelahan sendiri dan kembali terkapar di
kursi, berusaha mengabaikan sengatan panas yang tadi membangunkannya. Dia
memosisikan tubuhnya menghadap Kyuhyun, masih belum sepenuhnya
tersadar.

“Aku sudah bilang belum? Kau terlihat tampan sekali dengan kemeja putih.”

Kyuhyun mengerutkan alisnya, hanya menghela napas melihat tingkahnya yang


konyol.

“Kalau ada yang melihatmu seperti ini…,” gumam pria itu sambil
menggelengkan kepala.

“Apalagi dengan kacamata hitam. Dan rambut berantakan…. Kau terlihat cukup
enak untuk dimakan,” lanjutnya seraya memamerkan senyum sinting.

Perhatian, dia sudah sadar sebenarnya, hanya ingin menyalurkan jiwa gilanya
saja. Kapan lagi dia bisa melakukannya? Selagi pria itu menganggapnya masih
pusing setelah bangun….

“Aku tahu kau sudah sadar, Na~ya,” ucap pria itu tiba-tiba, dengan seringaian
licik di wajahnya. “Kau masih mau memakanku? Aku bisa meluangkan waktu
satu jam sebelum makan malam kalau kau memang mau melakukan sesuatu
padaku.” Lalu pria itu tertawa keras, membuatnya menggemeretakkan gigi
karena emosi dan merasa dipermalukan.

Kemudian tiba-tiba saja pria itu melepaskan kacamata hitamnya, menunduk dan
menyejajarkan wajah, menatapnya lekat dengan sorot matanya yang tajam dan
menenggelamkan.

“You are also shining in white, actually. You look good in all colors, but in
white… you are especially stunning.”
Hye-Na mengerjap. “Tentu saja. Putih kan warna favoritku,” elaknya, berusaha
tidak tampak terpengaruh oleh pujian mendadak yang pria itu berikan.

Kyuhyun tersenyum. “Aku tahu. Sebelum aku melakukan perombakan habis-


habisan, isi lemarimu nyaris hanya terdiri dari satu warna saja.”

Dan sebelum Hye-Na berhasil merespons, Kyuhyun melanjutkan ucapannya


kembali. “Pertemuan pertama, kau ingat? Kau memakai gaun putih. Lalu
pertemuan kita kembali setelah bertahun-tahun, kau mengenakan kemeja putih.
Gaun yang kau kenakan saat pernikahan. Tank-top putih pada malam pertama,
dan lagi-lagi kemeja putih pada keesokan paginya. Tahukah kau sememesona
apa warna itu saat berada di kulitmu? Atau apakah kau sadar sudah berapa kali
kau membuatku tergoda saat memakai pakaian dengan warna itu? Agar aku
kembali waras, aku bahkan sampai memenuhi lemarimu dengan warna apa pun
selain warna putih, kecuali pakaian-pakaian yang memang sudah kau miliki
sebelumnya. Aku pernah bilang kau tampak luar biasa dalam gaun merah, tapi
putih… itu nyaris tak tertahankan.”

Hye-Na terselamatkan oleh rengekan Hyun-Ah dalam pelukan Kyuhyun, yang


membuat pria itu otomatis mengalihkan perhatian dan berusaha menenangkan
anaknya.

Astaga, astaga, pria itu baru saja separuh jalan mencoba membunuhnya dengan
serentetan kata-kata. Dia mendadak merasa pusing, lemah otak, dan minim
oksigen, walaupun matanya tidak sedikit pun beranjak dari Kyuhyun yang sibuk
meredakan tangis Hyun-Ah.

Seperti biasa, cukup dengan sedikit goyangan, elusan, dan kecupan di pipi dari
Kyuhyun, anak itu langsung diam seketika, mengeluarkan suara-suara tak jelas
dari mulutnya dan lagi-lagi berusaha menggapai wajah ayahnya.

“Saat ini dia memang tergila-gila padaku, tapi tanpa terasa nantinya dia akan
jatuh cinta pada pria lain, lalu aku harus melepaskannya. Ya, kan?” Kyuhyun
berkata, memandangi Hyun-Ah dan tersenyum saat mendengar kekehan dari
mulut anak itu.

“Kau mulai terdengar seperti seorang ayah yang paranoid.”

“Semua ayah pasti akan merasa seperti itu,” sangkalnya. “She will fall in love,
like you and I did, and I will have to walk her down the aisle.” Pria itu
mendesah. “Can you imagine her in her white gown?”
Kyuhyun kembali menatap gadis itu, mengingat memori luar biasa saat gadis itu
akhirnya berjalan ke arahnya, yang menunggu dengan tidak sabar di altar,
selangkah menuju kebahagiaan yang dia idam-idamkan.

“She will look so beautiful in white, as adorable as you. And it will be the most
breathtaking moment for her future husband,” bisiknya. “Like you did. To me.”

***
Note 16 Juni 2014
2061 ~ ONE DAY IN A SUMMER

“Hey you, how’s your day?” Kyuhyun bertanya, mengulurkan tangan untuk
menyentuh jemari Hye-Na sekilas, sebelum melepaskan jas dan menyampirkannya di
sandaran kursi kosong di sampingnya, menggulung lengan kemeja dan melonggarkan
dasi, tidak menyadari tatapan yang diarahkan wanita itu padanya—yang sedikit
disyukuri Hye-Na, karena dia tidak mau ketahuan memandangi suaminya sendiri
dengan air liur menetes.

“Makanannya baru datang. Keberatan dengan pilihan menunya?” Hye-Na bertanya,


mengedik ke arah makanan Italia yang terhidang di depan mereka.

Akhir-akhir ini mereka berdua memiliki rutinitas baru; makan siang berdua di kafe di
pusat kota. Mereka akan berganti tempat makan tiap minggunya untuk penyegaran.
Juga demi memenuhi hasrat wisata kuliner Hye-Na—yang jelas-jelas sangat suka
memamah biak, setiap saat.

Kyuhyun menggeleng. “Another bowl of French-fries, huh? Ada apa denganmu dan
tumpukan kentang goreng itu?”

Hye-Na mengangkat bahu. “One of the best food in this entire planet, you know.”

“Aku yakin aku mampu membelikanmu makanan termahal di dunia, tapi kau selalu
saja memesan menu yang satu itu. Kapan kau akan merasa bosan?”

“Aku bukan orang yang gampang bosan, jadi terima saja kenyataan bahwa menu satu
ini akan selalu ada di meja makan. Mau kau suka ataupun tidak”

“Apa topik kita siang ini adalah kentang goreng? Yang benar saja,” dengus pria itu.

Hye-Na mencelupkan kentang gorengnya ke saus sambal dan mulai mengunyah.

“Apa kau sadar bahwa akhir-akhir ini aku selalu menghabiskan waktu di
perpustakaanmu? Di bagian koleksi novel-novel bergenre romantis yang menghabiskan
lima rak buku raksasa itu?”

Kyuhyun menyeringai. “Kapan, tepatnya, aku tidak memperhatikan apa yang kau
lakukan, hah? Sepertinya kau tergila-gila pada… siapa, Nicholas Sparks? Kau juga
mengacak-acak koleksi filmku dan menghabiskan waktu seharian menonton semua
film-filmnya. Aku sempat terpikir untuk merasa cemburu padanya, karena kau dengan
teganya meninggalkanku tidur sendirian demi dia.”

“Sangat dewasa, Cho Kyuhyun,” desis Hye-Na, membuat pria itu terbahak.
“Jadi? Kau menjadi wanita feminin sekarang? Mulai sering memakai dress di rumah,
mulai bersedia berkutat di dapur, tidak lagi menjadi wanita gila kerja, dan tergila-gila
pada novel romantis.”

“Do you think I finally become a real woman now?” Wanita itu menusuk-nusuk
spagetinya sambil menggigit bibir. “No, I don’t know why, but… I changed. So much.
And it scares me, honestly. All of my thoughts now are about our daughter, you, our
marriage. I mean… okay, my job is still fun, and it’ll always be. But it’s not a primary
case anymore, it becomes secondary, and you know how I love my job, right? It’s my
life. But now? My priority changed. Without I even realize it.”

“You don’t like it?” Kyuhyun bertanya, menyesap wine-nya selagi pandangannya
terarah intens ke wajah wanita itu.

“No no no… I like it. But that’s the problem. I don’t know my own self anymore.”

Kyuhyun meletakkan gelasnya kembali ke meja, melipat kedua tangan dan sedikit
mencondongkan tubuh.

“Do you think it’s really your own self? During these, what, 23 years? Because I think,
just my opinion, the perfect person for you is someone who can show you everything
that is holding you back, the person who reveals another part of yourself that you don’t
even know exists. Your true self, not the one you show to public.”

“Did I…” wanita itu bertanya ragu, “do that to you, too?”

Kyuhyun tersenyum. “You remember our first meeting? Do you know what my-10-
years-old-self think in that time?” Pria itu balik bertanya. “That I have to be a
successful person, have much money, have a good-looking face, a cool personality.
Such a superficial thought.”

“Why? To make me proud?”

“Maybe, but not really.” Pria itu mengedikkan bahu. “The only thing in my mind, in
that time, is… I want to be a man who deserves to date you. Just it. And now… it’s still
the same. You make me show this childish side of myself. That nobody ever saw.”

“Kau hanya kekurangan pengalaman berpacaran saja. Satu-satunya wanita yang pernah
kau perhatikan hanya aku, ‘kan? Siapa tahu di luar sana masih ada wanita lain yang
lebih tepat bagimu. Kau hanya malas mencari saja.”

“Do you know how many people out there who don’t get the one they want, but end up
with the one they’re supposed to be with? Only five percents, maybe. Or less. And how
many who get the one they want and also the one the’re supposed to be with? More
less. One percent of billion people? I just being realistic. I want you and the rest can be
arranged later.” Pria itu berkata santai. “And I don’t do the girlfriend thing. That’s why
I marry you. Because I like the fact that… we’re going to be each other’s only partner.
That I’m the only man for you.”

“So dominant,” cibir Hye-Na.

“Yeah, I know. Man’s ego.”

“So…,” Hye-Na memasukkan potongan kecil ayam ke dalam mulutnya, “am I the only
woman for you, too?”

“Hmm…,” Kyuhyun berpura-pura memutar otak, “I’m sorry, but no. I have another
girl at home who need my attention, too. Not only you.”

“Okay. It’s easy. I will give birth of a son, so you also have to share me.”

“Bad idea.” Pria itu nyaris mengerangkan jawabannya.

“Hey, you know what,” Hye-Na menunjuk pria itu dengan garpunya, “you have to fix
your dominant and tyrant side. Don’t be so over protective toward me or our child. We
need some free-times-without-Kyuhyun, too.”

“What’s wrong with keeping watch on something that belongs to me? And are you
really sure about free-times-without-Kyuhyun? Because I think it’s bullshit. You even
can’t be apart of me just for one night,” ejek pria tersebut dengan penuh percaya diri.

“Oh, yeah, sleeping with you is my everyday’s life now,” cemooh wanita itu sinis.

“Oh, God, can I record that? That’s an epic.”

Hye-Na memelototkan mata, terus menatap Kyuhyun tajam sampai pria itu
menyadarinya.

“What?”

“You can be the most annoying person sometimes,” gerutu wanita itu geram. “And the
funniest thing is… I can be unhappy with you, but in the same time, stupidly, still in love
with you. It’s. Really. Absurd.”

“Love itself is absurd, right? So many definitions, so many opinions…. You can’t get a
certain explanation of it, unless you experience it and then define it by yourself. Let me
ask you, do you think I love you?”

“Yes. Yeah, you do.”


“Kalau aku mengajukan pertanyaan ini setahun yang lalu, kau pasti akan menjawabnya
dengan ragu-ragu. The no-self-respect Cho Hye-Na.”

“Setelah menikah dan hidup bersamamu, aku jadi ikut-ikutan besar kepala dan
memandang tinggi pada diri sendiri. Dan aku tidak tahu apakah itu baik atau buruk.
Aku tidak mau jadi arogan sepertimu.”

“Hei, aku tidak arogan, oke? Aku hanya sangat memahami kemampuanku sendiri dan
apa yang bisa atau tidak bisa aku miliki.”

Hye-Na memutar bola mata. “Jadi? Bisakah kita balik ke topik tadi?”

Kyuhyun terkekeh dan menggeleng. “Do I love you? No, I don’t,” ujarnya santai. “I
don’t want to just love you. I want to fall in love with you. Everyday. You know what the
difference is? I have my own definition of it, that if I love you, it becomes a routine, it
will be the same as my feeling to my family; my mother, my sister. But… you only can
fall in love with certain person, that’s why they call it ‘fall’. Because if you ‘love’, from
the first time that feeling is already there. But ‘fall in love’? You start it and
sometimes… it has an end, when you decide to ‘stand up’ again. That makes it special,
right? All depends on your decision. And I think… I would like to fall in love with you
again, just like I had since a long time ago. How many people, you think, are ever given
that chance? To fall in love with this one person over and over again?”

Hye-Na tanpa sadar menahan napas, mendadak lupa cara untuk menggunakan otaknya,
sekadar untuk memikirkan jawaban yang cukup cerdas untuk didengar. Dan kemudian
memutuskan untuk menyerah.

“Stop being so handsome and charming. You’re making women speechless.”

“Do I have to say sorry?” Mata Kyuhyun berkilat geli, jelas tampak menikmati
pembicaraan ini. Dan Hye-Na berniat membalikkan keadaan.

“Do you know what I thought when you entered this café a while ago?”

“What?”

“Such a yummy looking man.” Wanita itu nyaris tidak bsia menahan senyum saat
melihat mata Kyuhyun yang melebar kaget, syok mendengar pengakuan blak-
blakannya. “And I want to have you. Yeah, you’re not in the menu, but I don’t mind to
pay. Whatever it costs.” Hye-Na mencondongkan tubuh. “So, tell me, is it even legal to
be that handsome?

Kyuhyun terdiam, berperang dengan dirinya sendiri untuk segera mendapatkan kontrol
kembali. Jadi dia menarik napas dalam-dalam dan dengan perlahan mengembuskannya
keluar.
“What can I say?” ujarnya kemudian. “I’m limited edition. And exclusively, I’m
yours.”

“Bisakah setidaknya, sekali saja, kau mengalah padaku dan tidak berusaha untuk
menang?” geram Hye-Na.

“Kau merajuk?” Kyuhyun tertawa kecil.

“Tidak,” desisnya tajam, melilit spagetinya dan memasukkannya ke mulut dalam satu
suapan besar. Dia mengalihkan pandangan ke jendela kafe di samping meja mereka
dan merengut.

“Bad view. Crowded. Traffic jam. Summer. Burning. Not such a great view to see from
this window. Should we find another café tomorrow?”

“I actually don’t care, you know.” Untuk kesekian kalinya Kyuhyun mengedikkan
bahu. “I don’t need to look outside. I’m enjoying myself enough just by looking at
you.” Pria itu mengedipkan mata, jelas bermaksud menggoda dan mempermainkan
istrinya.

“Oh, God, it’s so cheesy!” Hye-Na bergidik ngeri.

“Hey, romance is indeed cheesy, okay? It depends on your perspective, perception, and
taste. If I say that sentence to other woman, they maybe faint.”

Hye-Na mengernyit jijik, lalu terdiam saat teringat sesuatu. “Ah, because you touch on
that topic, I want to ask. You can be protective to me, and I also can do that to you, too,
right?”

“Absolutely.”

“Okay, those women just keep looking at you for such a long time…,” dia
menggemeretakkan gigi, memandang ke arah sekumpulan wanita pegawai kantoran
yang berjarak dua meja dari mereka, “and I really want to choke them.”

“Are they beautiful?” Kyuhyun bertanya, dengan sengaja memasang tampang sok
tertarik.

“You can look by yourself, Mister,” sentak Hye-Na tajam.

“It’s so cute of you.”

“I’m not cute, for God’s sake!” Wanita itu menjerit, benar-benar ketakutan dengan
istilah yang digunakan Kyuhyun untuk mendeskripsikannya. “Okay, let’s make a
rule,” ucapnya kemudian, setelah berhasil mengendalikan diri. “I can’t cheat on you
and you also can’t cheat on me. Like you said, we’re going to be each other’s only
partner, right? So… let’s say… I won’t let you go even if you’re dead tired of me. Even
if you say you hate me, got bored of me, or do not want me anymore. It’s forever. Until
death.”

“Okay, no problem,” sahut Kyuhyun enteng, membuat Hye-Na mendelik dan dengan
gemas mulai menggigiti kentang gorengnya lagi, bertepatan dengan saat seorang
wanita melewati meja mereka, dengan penampilan yang mengumbar begitu banyak
kulit dan tubuh yang jelas sangat menggoda karena pria-pria yang ada di kafe itu kini
memusatkan pandangan padanya.

Hye-Na mendongak, menoleh ke arah Kyuhyun, yang bahkan melirik pun tidak.

“Apa dia tidak seksi?” Akhirnya dia tidak tahan juga untuk tidak bertanya. “Kadang
aku pikir kau gay atau apa, kalau saja kemampuanmu di ranjang tidak sehebat itu.”

Pria itu tertawa. “There is a sexy woman, sitting in front of me. I don’t think I need
more.”

“Hanya orang gila dan buta yang berkata bahwa aku ini seksi. Matamu tidak minus,
‘kan?”

“Hmm… you looked sexy when you’re breast-fedding our kid. That’s the most beautiful
thing a woman can do.”

“Bisakah kau tidak punya jawaban untuk setiap pertanyaan?” Hye-Na bertanya sinis.

“Okay, my turn, do you even ever find me sexy?”

“Is it even a question?” Kali ini wanita itu meledak. “You still ask that even after, once
again, you are choosen as the sexiest, the most handsome, and the richest man in this
planet? You’re kidding me!”

“I ask you, not them. I only care about your opinion and you know that. Now, tell me.
It’s not a hard question though.”

Hye-Na menyerah. Percuma saja melawan pria ini dalam adu debat. “When you…
carry our child in your arm, with your homey T-shirt and shorts.” Wanita itu
mendesah. “And your wedding ring. Sometimes I have to restrain myself, to not jump
into you, and bite you or what.”

Kyuhyun tersenyum lebar, sedikit memundurkan tubuh untuk bersandar di kursinya,


dengan wajah luar biasa puas.

“Well, this is so much fun. Can we do this again tomorrow? With the same topic?”
“Jangan terlalu banyak berkhayal, Cho Kyuhyun,” cibir Hye-Na. “Aku bahkan sedang
berpikir untuk tidak lagi pergi makan siang denganmu.”

“And you still don’t want to be called ‘cute’ when you’re sulking and pouting like that?
Cutie-sweetie-pie Hye-Na?”

Hye-Na menusukkan garpunya ke potongan ayamnya yang masih tersisa dengan


tampang sadis. “Can we get divorced? Really?”

“Hahahaha….”

***

“Apa menurutmu Hyun-Ah akan aman-aman saja sampai nanti malam bersama Ah-
Ra Eonni? Dia sedikit rewel akhir-akhir ini,” ujar Hye-Na, membuka pintu mobilnya
dan berdiri di sana, menatap Kyuhyun khawatir.

“Kalau menurutmu didandani seperti boneka sebagai aman-aman saja, maka ya, anak
kita akan aman-aman saja sampai nanti malam.”

Hye-Na mengernyit, sedikit ketakutan dengan bayangan akan penampilan anak mereka
saat tiba di rumah nanti. Merah muda, renda, dan pita mulai berseliweran di benaknya.

“Mengerikan,” gumamnya kemudian, menunduk untuk melemparkan tasnya ke kursi


belakang sebelum akhirnya berbalik lagi menghadap Kyuhyun. “Sampai jumpa nanti
malam kalau begitu.”

“Kau tidak merasa melupakan sesuatu?” Kyuhyun bertanya, melangkah maju dan
memerangkap wanita itu di antara pintu mobil dan tubuhnya, tidak memedulikan
keberadaan orang lain yang berlalu-lalang di lapangan parkir terbuka itu ataupun sinar
matahari yang membara tepat di atas mereka dan membuat lantai semen yang mereka
pijak berdebu dan menggelegak seperti gurun pasir.

“Aku nyaris mati terpanggang di sini,” protes Hye-Na, tapi tetap berjinjit untuk
menyapukan kecupan di bibir pria itu, yang berlangsung jauh lebih lama daripada
rencananya semula.

Kyuhyun sedikit memundurkan wajah, dengan ibu jari yang tetap mengelus pipi wanita
itu dalam gerakan lambat.

“Do you want to know something?” tanyanya.

“What?”

“That there is no face I want to kiss this much instead of yours?”


“I’ve alredy known that,” bisik wanita itu, membuat pria tersebut mendecak tak
percaya.

“Pengaruhku padamu sudah terlalu buruk ya?” gumamnya seraya menunduk dan
mengecup kening Hye-Na sekilas. “Be there when I’m home, okay?”

“Full-clothed or naked?” Dengan sangat sengaja, Hye-na memiringkan kepala dan


bertanya menggoda.

“Less clothes, less work, Mrs. Cho.” Kyuhyun menyeringai. “You know that.”

***

Anda mungkin juga menyukai