Anda di halaman 1dari 155

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

PELAKSANAAN BEDAH PLASTIK


DALAM
PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG KESEHATAN DI INDONESIA
(Studi di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama Hukum dan Kebijakan Publik

Oleh :

SISKA DIANA SARI


NIM. S 310906217

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PELAKSANAAN BEDAH PLASTIK


DALAM
PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG KESEHATAN DI INDONESIA
(Studi di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta)

Disusun Oleh :
Nama : SISKA DIANA SARI
NIM : S 3109060217

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing:

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH, MHum ……………… ……………


NIP. 19611108 198702 1 001

Pembimbing II Prasetyo Hadi P, SH, MS ……………… ……………


NIP. 19600416 198601 1 002

Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Hukum

commit
Prof. Dr. H. to user
Setiono, SH.MS.
NIP. 19440505 196902 1 001

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PELAKSANAAN BEDAH PLASTIK


DALAM
PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG KESEHATAN DI INDONESIA
(Studi di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta)

Disusun Oleh :
Nama : SISKA DIANA SARI
NIM : S 3109060217

Telah disetujui oleh Tim Penguji:

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Ketua Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS.


NIP. 19440505 196902 1 001 ……………… ……………

Sekretaris Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH., M.Hum.


NIP. 19570203 198503 2 001 ………………
……………

Anggota Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., M.Hum ……………… ……………


NIP. 19611108 198702 1 001

Prasetyo Hadi P, SH., MS ……………… ……………


NIP. 19600416 198601 1 002

Mengetahui :

Ketua Program Studi Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS.


Magister Ilmu NIP. 19440505 196902 1 001 ……………… ……………
Hukum

Direktur Program Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D


Pascasarjana NIP. 19570820 198503 1 004 ……………… ……………

commit to user

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERNYATAAN

Nama : Siska Diana Sari


NIM : S 310906217

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul: ”Pelaksanaan


Bedah Plastik dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kesehatan di
Indonesia (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta)”, adalah benar-
benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda
citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar
yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta , April 2010


Yang membuat pernyataan,

Siska Diana Sari

commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO

Surat Ar Ra’d ayat (11), yang artinya :

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di


muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya
Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung
bagi mereka kecuali Dia.”.

commit to user

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang serta diiringi
rasa syukur kehadirat Illahi Rabbi, Tesis yang berjudul ”Pelaksanaan Bedah Plastik
dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kesehatan di Indonesia (Studi
di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta)” dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk melengkapi persyaratan guna mencapai gelar Magister dalam
Program Studi Ilmu Hukum, konsentrasi Hukum dan Kebijakan Publik Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Banyak pihak yang berperan besar dalam memberikan bantuan sampai selesainya
tesis ini, untuk itu ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr. Sp.KJ(K) selaku Rektor Universitas
Sebelas Maret Surakarta
2. Bapak H. Moh. Jamin, S.H, M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH.MS selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum, Sekretaris Program Ilmu Hukum Pasca
Sarjana UNS Surakarta
5. Bapak Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH, MHum selaku pembimbing tesis I
6. Bapak Prasetyo Hadi P, SH, MS selaku pembimbing tesis II
7. Segenap dosen pengajar Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
8. RSDM Surakarta, khususnya SMF Bedah;Bedah Plastik terima kasih atas kesempatan
yang diberikan kepada Penulis untuk melakukan penelitian di RSDM Surakarta.
9. Bapak H. Jamil, SH, Ibu Hj. Meti Rumiati, S.Sos, Lala Ria Christina, SH, Warno
Singadilaga, SH, MH, Agam Iskandar Muda, Dani Fajar Purnama, Agung Rizqy
Dharmawan dan seluruh keluarga besar di Karawang, Bekasi, Nangroe Aceh
Darussalam dan Medan.
10. Danang Novianto dan Abdullah Al-Fath terima kasih atas segala pengertian dan
limpahan kasih sayangnya. commit to user

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11. Keluarga besar Bapak Suwito dan Ibu Suprihatin di Madiun.


12. Keluarga besar IKIP PGRI Madiun, khususnya Dekan FIPS, Kaprodi dan rekan-rekan
dosen PPKn.
13. Teman, sahabat, saudara dan semua pihak yang telah membantu Penulis dalam proses
penelitian ini. Terima kasih banyak.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak kekurangan,
namun demikian mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi kalangan akademis,
praktisi, serta masyarakat umum.
Surakarta, April 2010
Penulis

commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING...................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN.................................................................. iv
MOTTO.................................................................................................... v
KATA PENGANTAR............................................................................. vi
DAFTAR ISI............................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ xi
ABSTRAK................................................................................................ xii
ABSTRACT............................................................................................. xiii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................... 1
B. Perumusan Masalah............................................................ 6
C. Tujuan Penelitian................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian.............................................................. 7
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori.................................................................. 9
1. Tinjauan Umum Tentang Bedah Plastik...................... 9
a. Pengertian Bedah Plastik………………………… 9
b. Tujuan Bedah Plastik............................................. 10
c. Jenis dan Macam Bedah Plastik............................ 11
d. Tenaga Kesehatan yang Berwenang Melakukan
Tindakan Operasi Bedah Plastik.......................... 18
e. Sarana Kesehatan Bedah Plastik………………… 19
f. Persiapan Operasi Bedah Plastik………………. 19
2. Pengaturan Bedah Plastik sebagai Kebijakan Publik 20
a. Teori Kebijakan Publik........................................... 22
3. Pengaturan Bedah Plastik dalam Hukum Kesehatan.. 34
a commit Hukum.........................
Tinjauan Umum Tentang to user 34

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Tinjauan Umum Tentang Hukum Kesehatan………. 48


a. Konsep Hukum Kesehatan…………………….. 48
b. Sumber Hukum Kesehatan…………………….. 51
c. Jenis Perikatan Antara Dokter dan Pasien.......... 51
d. Informed Concent……………………………… 60
e. Rekam Medis…………………………………… 65
5. Teori Pelaksanaan Hukum Berkaitan
dengan Pelaksanaan Bedah Plastik ........................... 69
6. Penelitian yang Relevan............................................. 76
B. Kerangka Berpikir........................................................... 77
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian.................................................................. 79
B. Lokasi Penelitian............................................................... 81
C. Jenis dan Sumber Data…….............................................. 82
D. Teknik Pengumpulan Data................................................. 86
E. Teknik Penentuan Informan ( Sampling )........................... 86
F. Teknik Analisis Data……................................................ 87
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian.................................................................. 89
1 Pelaksanaan Pelayanan Medik Operasi
Bedah Plastik di RSDM………………………………. 89
a Berdasarkan Prosedur Pelayanan, ……………….. 89
b Berdasarkan Hasil Wawancara …………………… 95
2 Kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Bedah
Plastik di RSUD Moewardi Surakarta............................ 98
3 Solusi Hukum di Masa Depan (Ius Constituendum)
yang Terbaik untuk Mengatasi Ketidaksesuaian
Bedah Plastik di RSUD Moewardi Surakarta
dengan Peraturan Perundang-Undangan
Tentang Kesehatan di Indonesia...................................... 101

commit to user

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Pembahasan.......................................................................... 101
1. Pelaksanaan Bedah Plastik Di RSDM…………………. 101
a Analisis Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
Tentang Kesehatan yang Berkaitan dengan Bedah Plastik 101
2. Kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Bedah
Plastik di RSUD Moewardi Surakarta............................ 118
3. Solusi Hukum di Masa Depan (Ius Constituendum) yang
Terbaik untuk Mengatasi Ketidaksesuaian Bedah Plastik di
RSUD Moewardi Surakarta dengan Peraturan Perundang-
Undangan tentang Kesehatan di Indonesia...................... 130
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan.......................................................................... 140
B. Implikasi........................................................................... 141
C. Saran................................................................................. 141
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………. 143
LAMPIRAN………………………………………………………… 148

commit to user

x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Surat ijin penelitian dari Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Lampiran II Surat ijin penelitian dari Direktur RSDM

commit to user

xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

SISKA DIANA SARI. S 310906217. PELAKSANAAN BEDAH PLASTIK DALAM


PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG
KESEHATAN DI INDONESIA (STUDI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
DR. MOEWARDI SURAKARTA). Hukum dan Kebijakan Publik. Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan pelaksanaan bedah plastik
di Indonesia dan untuk mengetahui pelaksanaan bedah plastik di RSUD Moewardi
Surakarta ditinjau dari hukum kesehatan
Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis (non-doktrinal), sedangkan
dari sifatnya termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian di Rumah Lokasi
penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta, Perpustakaan
Pascasarjana UNS, Perpustakaan Fakultas Hukum UNS dan UPT Perpustakaan UNS.
Jenis data yang dipergunakan meliputi data primer dan data sekunder. Bahan hukum
primer dalam penelitian hukum ini yaitu peraturan perundang-undangan di bidang
kesehatan yang berkaitan dengan aturan pelaksanaan bedah plastik di Indonesia dan juga
di RSDM Surakarta. Bahan hukum sekunder dalam penulisan ini meliputi : buku, Koran,
laporan penelitian, data elektronik dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti. Sedangkan bahan hukum tersier meliputi Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. Teknik pengumpulan data yaitu wawancara,
dokumentasi, pengamatan dan studi kepustakaan baik berupa buku-buku, majalah, surat
kabar, makalah, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti, dan sebagainya. Analisis data menggunakan analisis kualitatif dengan pola
induktif ke deduktif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum ada peraturan perundang-
undangan yang khusus mengatur tentang pelaksanaan bedah plastik di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa di RSDM belum ada prosedur tetap yang
mengatur tentang pelaksanaan bedah plastik. Selama ini pelaksanaan bedah plastik di
Indonesia maupun di RSDM berdasar peraturan perundang-undangan tentang kesehatan,
standar profesi/keahlian kedokteran secara umum dari IDI maupun secara khusus dari
PERAPI, dan khusus di RSDM ditambah kebijakan RSDM secara instansi. Hal ini sangat
mengkhawatirkan karena berarti belum adanya payung hukum yang dapat melindungi
pelaku pelaksanaan bedah plastik di Indonesia pada umumnya dan di RSDM pada
khususnya.

commit to user

xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

SISKA DIANA SARI. S310906217. IMPLEMENTATION OF PLASTIC


SURGERY IN LAW REGULATIONS OF HEALTH PERSPECTIVES IN
INDONESIA (STUDY IN REGIONAL GENERAL HOSPITAL DR. MOEWARDI
SURAKARTA). Law and Public Policy. Postgraduate. Sebelas Maret Surakarta
University.
This study aimed to know the arrangement of implementation of plastic surgery
in Indonesia and the implementation of plastic surgery at hospitals in RSDM (local
general hospital) Moewardi Surakarta overview of health law.
This research is socio legal research (non-doctrinal), and included in qualitative
descriptive research. Locations of this research are in the local general hospital / RSDM
Surakarta, library of UNS postgraduate, Library of UNS law faculty and UNS Library of
UPT. Kind of data that are used involves primary and secondary data.. The primary law
materials in the research of this law is the law regulation in the health concerning with
rules of implementation of plastic surgery in Indonesia and in RSDM Surakarta. The
secondary lawl materials in this thesis involves in books, newspapers, research reports,
electronic data and other concerning with the researched problem. The tertiary law
material in the thesis is the greatest Indonesian dictionary and law dictionary. The
technique of data collecting are interview, documentation, observation and library study
such as books, newspapers, magazines, papers, laws and regulations concerning with the
researched problem, and so on. Data analysis uses qualitative analysis from inductive to
deductive.
The results of this research shows that there has not been law regulations
especially to arrange about implementating plastic surgery in Indonesia. Based on the
result of the research is also know that in RSDM prompt procedure that arranges the
implementation of plastic surgery. Recently the implementation of plastic surgery in
Indonesia and in RSDM based on law regulations of health, standard of medical
profession that is generally, either IDI (Assosiation of Indonesian Doctor) or specifically
from PERAPI and special in RSDM added in the RSDM policy anstitution. It is very
worrying that there hasnot been legal law is able to protect the implementer of plastic
surgery in Indonesia generally and in RSDM specifically.

commit to user

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam
rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut diselenggarakan pembangunan
nasional di semua bidang kehidupan yang berkesinambungan yang merupakan
suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh. Adapun tugas pokok bangsa
selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta
mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang
dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dengan adanya Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien,
dan bersasaran melalui perencanaan pembangunan nasional.

Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan


nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan
untuk hidup sehat bagi setiap penduduk secara optimal. Dalam rangka
memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi penerima dan pemberi
jasa kesehatan untuk menunjang pembangunan nasional diperlukan perangkat
hukum yang dinamis yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang (UU)
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, dan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan serta peraturan pelaksanaan lain yang berkaitan
dengan bidang kesehatan.

commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2

Perkembangan dunia saat ini yang ditandai dengan kemajuan ilmu


pengetahuan dan teknologi telah menjadikan segala sesuatu dapat
dimungkinkan untuk terjadi dan dapat memfasilitasi keinginan manusia untuk
mewujudkan sesuatu. Salah satu ilmu pengetahuan yang sedang berkembang
pesat adalah ilmu kedokteran dalam bidang bedah plastik. Sebagai cabang
ilmu yang dapat berkaitan dengan kehidupan dan kesehatan manusia, ilmu
kedokteran berupaya melakukan berbagai macam penemuan dan penelitian
demi peningkatan kualitas hidup manusia, dan salah satu tujuan ilmu
kedokteran adalah untuk memulihkan keadaan fisik seseorang sehingga dapat
kembali berfungsi pada kondisi optimal 1.

Bedah plastik memberikan kesempatan kepada seseorang untuk


memulihkan keadaan fisiknya pada kondisi optimal dan lebih memperhatikan
hasil akhir dari suatu tindakan pembedahan. Hal ini tidak berarti tindakan
bedah lainnya tidak memperhatikan hasil akhir dari suatu tindakan bedah,
tetapi bedah plastik lebih dikhususkan pada bentuk dari hasil tindakan
pembedahannya.

Dalam bedah plastik indikasi pembedahan dapat dibuat baik berdasarkan


atas pertimbangan penderitaan fisik maupun penderitaan psikososial penderita
sedangkan ilmu bedah lain indikasi pembedahannya hanya berdasarkan
terutama atas penderitaan fisik. Selain ilmu kedokteran dan dasar-dasar ilmu
bedah, bedah plastik dilengkapi dengan kemampuan imajinasi (goniometri,
stereometri), keterampilan tangan (skills), dan jiwa seni (art) 2.

Jadi dalam bedah plastik, keinginan seseorang untuk mempunyai


penampilan yang lebih baik akan dapat terwujud, karena teknologi yang

1
Leenen dan P.A.F Lamintang, Pelayanan Kesehatan dan Hukum, (Bandung: Bina
Cipta, 1991), hlm. 38.

2
Yefta Moenadjat, Hal yang Perlu Diketahui oleh Masyarakat Awan mengenai
Bedah Plastik, (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001), hlm. 1.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3

dikembangkan bedah plastik memungkinkan seseorang untuk mendapatkan


penampilan sesuai dengan keinginannya.

Pelaksanaan bedah plastik di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan


peraturan perundang-undangan, walaupun saat ini belum ada peraturan yang
mengatur mengenai bedah plastik secara khusus, tetapi secara umum diatur di
dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyebutkan
antara lain tentang pengertian bedah plastik yang secara esensiil yaitu suatu
rangkaian tindakan medis yang dilakukan untuk memulihkan keadaan kondisi
fisik seseorang pada kondisi tubuhnya termasuk bedah plastik kosmetika dan
estetika, serta bahwa bedah plastik hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilaksanakan di sarana kesehatan tertentu.

Pada tanggal 7 Agustus 2004, sebagaimana diberitakan berbagai media


massa pada saat itu, seorang mahasiswi di Jakarta, Hilda Pasman (20), tewas
ketika tengah berupaya mempercantik penampilan dengan membesarkan
payudaranya. Ia tewas tak lama setelah Ho Tjun Tju (34), yang membuka
usaha di bidang kecantikan, menyuntikkan suatu zat ke dalam payudara Hilda.
Kepada polisi, Tjun Tju menyatakan, Hilda datang dalam keadaan tidak enak
badan. Suhu badannya agak tinggi. Karena itu, Tjun Tju sempat menolak
untuk menyuntikkan kolagen kepada Hilda. Namun, Hilda memaksa untuk
disuntik hari itu juga. Sekitar Pukul 20.00, Tjun Tju kemudian menyuntik
payudara Hilda dengan 100 gram zat yang katanya berupa kolagen (zat yang
biasa digunakan untuk meremajakan sel-sel kulit). Entah kenapa, begitu jarum
disuntikkan ke payudara, Hilda langsung tergeletak pingsan, dengan jarum
masih tertancap di payudaranya. Sebelum meninggal, korban sempat
mengalami kejang-kejang. Tjun Tju pun panik. Bersama ibu dan
pembantunya, Tjun Tju menggosok-gosok seluruh tubuh Hilda dengan
minyak gosok. Hilda kemudian digotong keluar ruko (tempat praktek Tjun

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4

Tju) dan dibawa ke Rumah Sakit Graha Medika dengan taksi. Namun,
sesampainya di rumah sakit, Hilda dinyatakan sudah meninggal3.

Klinik dan salon liar yang menawarkan operasi untuk mengubah


penampilan memang tengah marak saat ini. Tidak hanya di perkotaan, praktik
yang menawarkan jasa mempercantik tubuh ini juga telah masuk ke
perkampungan dengan layanan beragam mulai dari sedot lemak,
memancungkan hidung, hingga mengencangkan payudara.
Mereka bahkan tidak sungkan mengiklankan diri di media massa, meskipun
tidak pernah mendapat izin praktik dari Departemen Kesehatan. Hal yang
terjadi pada Hilda hanyalah sebuah contoh betapa mudahnya masyarakat
ditipu oleh tren dunia Barat yang seolah menganggap penampilan fisik adalah
segala-galanya. Kecelakaan akibat praktik klinik liar ini bukanlah yang
pertama. Kasus serupa pernah pula terjadi di Malang (April 1998), Solo
(September 1999), dan Surabaya (Maret 2001 dan Juni 2002), meskipun tidak
semua korban berakhir di kamar mayat. Gentur Sudjatmiko, kepala Sub
Bagian Bedah Plastik FKUI/RSCM (pada saat itu-Agustus 2004), mengatakan
kematian Hilda terjadi karena yang melakukan operasi bukan profesional yang
memiliki izin praktik. Banyaknya praktik penggunaan suntikan bahan silikon
dan kolagen dengan indikasi kecantikan yang tidak benar saat ini. Klinik dan
salon liar ini menjanjikan kepada kliennya menjadi cantik dan lebih muda
dalam waktu singkat dan biaya relatif murah. Padahal, sebagian besar pelaku
usaha ini sama sekali tidak memiliki kualifikasi medis. "Untuk jadi dokter
membutuhkan waktu belajar puluhan tahun, sementara mereka tidak perlu
belajar tapi berani buka praktik"4.

3
Hardi Siswa Sudjana, Karena Lebih singkat, Banyak yang Pilih Bedah Plastik,:
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/22/hikmah/utama1.htm. Artikel, Bandung,
diakses tanggal 20 Juni 2007, 10.00.

4
NN, Waspadai Penggunaan Kolagen dalam Bedah Plastik, http://www. Cybermed.
cbn. net. id/detil. asp? Kategori:Health&news no: 2537. Artikel, Jakarta, diakses tanggal 20
Juni 2007, 10.00.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5

Praktik liar ini biasanya menggunakan silikon cair yang dicampur


dengan bahan-bahan lain dengan maksud menambah kekenyalan sehingga
harganya lebih murah, bahan-bahan tambahan inilah yang bisa membahayakan
tubuh, bahkan mengakibatkan kematian. Klinik dan salon yang menawarkan
jasa memermak tubuh ini sebenarnya mulai muncul setelah adanya temuan
operasi plastik dalam dunia kedokteran. Operasi atau bedah plastik ini pada
mulanya bertujuan untuk membantu mereka yang cacat secara fisik. Secara
prinsip, operasi plastik memiliki dua segmentasi, yaitu bedah rekonstruksi dan
bedah estetik5.

Persoalan menjadi semakin rumit karena pemberian izin maupun


penindakan atas pelanggaran seperti itu tidak lagi menjadi kewenangannya
sejak diberlakukannya otonomi daerah. Kewenangan ada pada dinas kesehatan
masing-masing kabupaten/kota. Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan, Azrul Azwar, sudah mengingatkan para kepala dinas
kesehatan perihal kondisi tersebut, tetapi rupanya penegakan hukumnya tidak
mudah. Aturan serupa juga berlaku bagi pemberian izin operasional klinik
kecantikan yang banyak dikelola para dokter. Ada syarat yang harus dipenuhi
klinik-klinik tersebut, seperti kelengkapan fasilitas dan peralatan. Apalagi
kalau sampai melakukan operasi bagi pasien di klinik terkait.

Pihak Departemen Kesehatan telah mengimbau agar masyarakat berhati-


hati sebelum memutuskan pergi ke salon atau klinik perawatan kecantikan dan
alangkah lebih baiknya apabila masyarakat memilih sarana kesehatan yang
memenuhi standar kesehatan, misalnya Rumah Sakit. Namun, di zaman serba
penuh iming-iming seperti sekarang, siapa yang hirau terhadap aturan ”tak
bergigi” itu?. Sepanjang masyarakat masih memuja penampilan tubuh, maka
sepanjang itu pula para penyedia jasanya bertebaran. Kasus kematian Hilda
seharusnya menjadi peringatan keras bagi mereka yang tak pernah puas
dengan bentuk tubuh yang dimilikinya dan berusaha merekayasa.
5
Yefta Moenadjat, op. cit., hlm. 13.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta adalah milik


Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah yang memiliki Kelas tertinggi yaitu
Kelas B-Pendidikan. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta
selaku perpanjangan tangan pemerintah yang terdepan dalam melaksanakan
tugas pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tentunya juga menyediakan
pelayanan bedah plastik, walaupun dalam kenyataannya pada saat ini,
masyarakat lebih tertarik untuk memilih salon / klinik kecantikan (skin care),
dibandingkan pergi ke Rumah Sakit.

Berdasarkan uraian di atas, Penulis akan meneliti permasalahan-


permasalahan yang berhubungan dengan bedah plastik, khususnya yang
dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di muka maka permasalahan


penelitian ini adalah:

1. Apakah pelaksanaan bedah plastik di RSUD Moewardi Surakarta sudah


sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang kesehatan di
Indonesia?
2. Kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaan bedah plastik di RSUD
Moewardi Surakarta?
3. Bagaimanakah solusi hukum di masa mendatang (ius constituendum) yang
terbaik untuk mengatasi ketidaksesuaian bedah plastik di RSUD
Moewardi Surakarta dengan peraturan perundang-undangan tentang
kesehatan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian guna penulisan tesis ini dilaksanakan dengan tujuan utama


agar dapat menjawab permasalahan penelitian. Adapun tujuan penelitian ini
adalah :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

1. Tujuan obyektif
a. Untuk mengetahui pelaksanaan bedah plastik di RSUD Moewardi
Surakarta ditinjau dari hukum kesehatan;
b. Untuk memberikan solusi hukum di masa mendatang (ius
constituendum) yang terbaik untuk mengatasi ketidaksesuaian
bedah plastik di RSUD Moewardi Surakarta dengan peraturan
perundang-undangan tentang kesehatan di Indonesia
2. Tujuan subyektif

a. Untuk menyusun laporan Penelitian sebagai naskah Tesis sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum pada program

Magister Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

b. Sebagai media bagi penulis untuk meningkatkan kemampuan dan

pengalaman melakukan penelitian hukum.

D. Manfaat Penelitian

Selain mempunyai tujuan, penelitian dalam penulisan hukum ini juga


mempunyai manfaat penelitian. Dalam penelitian ini manfaat yang dapat
diperoleh, yaitu :

1. Manfaat teoritis

a. Dengan dilaksanakannya penulisan ini, diharapkan dapat


mengembangkan ilmu hukum khususnya Hukum Administrasi
Negara (HAN) dengan mengimplementasikannya dalam praktek;
b. Memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran dalam
memecahkan masalah yang timbul dalam bidang Hukum
Administrasi Negara (HAN);
c. Memberikan dasar-dasar serta landasan penelitian lebih lanjut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

2. Manfaat praktis

Dengan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan


manfaat bagi semua pihak terutama sumbangan pemikiran dan
pertimbangan bagi para pihak dalam membuat keputusan untuk melakukan
bedah plastik, agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik dan
sesuai dengan prosedur, serta tidak melanggar norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat dan lebih bermanfaat.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Bedah Plastik

a. Pengertian Bedah Plastik

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, bedah plastik


adalah bedah yang berkenaan dengan pembentukan kembali bagian
tubuh (terutama bagian kulit) yang cacat atau rusak agar dapat
mendekati normal6.

Plastik berasal dari kata Plastique, Plasticos, Plasty yang


berarti perbaikan, pengolahan, atau pembentukan. Dalam hal ini
yang menjadi obyek dari perbaikan tersebut adalah jaringan tubuh.
Istilah bedah plastik ini mulai digunakan dan pertama kali di
populerkan dalam buku teks kedokteran oleh John Staige Davis
melalui bukunya yang berjudul Plastic Surgery (Its Principles and
Practice) pada tahun 19197. Arti asal bedah plastik menurut M.
Makagiansar adalah ilmu bedah yang mengusahakan perubahan
bentuk permukaan tubuh8.

Dapat dikatakan bahwa bedah plastik merupakan perpaduan


yang harmonis antara ilmu pengetahuan kedokteran, khususnya
ilmu bedah dengan keterampilan, imajinasi, dan seni. Jadi di dalam
bedah plastik tidak hanya mempermasalahkan mengenai penerapan

6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan
Kedua, Balai pustaka, Jakarta: 1989, hlm. 256.

7
John Staige Davis Plastic Surgery (Its Principles and Practice), (1919), hlm 2.

8
M. Makagiansar, Research di Indonesia Tahun 1945-1965 di Bidang Kesehatan ,
Balai Pustaka, Jakarta: 1965, hlm.359.
commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

ilmu bedah di dalam praktek, tetapi juga bagaimana cara


mengembangkan ilmu bedah tersebut menjadi sesuatu yang lebih
beragam, berguna, serta lebih bernilai.

Pengertian bedah plastik yang dirumuskan berdasarkan


kesepakatan tim penyusun “Analisis dan Evaluasi Hukum tentang
Pengaturan Bedah Plastik” yaitu rangkaian tindakan medis yang
dilakukan untuk memulihkan atau meningkatkan keadaan fisik
pasien dengan penekanan pada penampakan dan fungsi. Termasuk
dalam ruang lingkup pengertian ini adalah bedah plastik
rekonstruksi dan bedah plastik estetik. Di dalam kesepakatannya,
tim ini juga menyatakan dalam pembedahan rekonstruksi yang
dilakukan untuk penanggulangan cacat atau kerusakan organ oleh
dokter spesialis lain yang bukan spesialis bedah plastik, maka
istilah yang digunakan adalah bedah rekonstruksi saja, tanpa
menyebutkan istilah bedah plastik. Hal ini disebabkan istilah
bedah plastik hanya khusus dipergunakan dalam spesialisme Ilmu
Bedah Plastik.

b. Tujuan Bedah Plastik

Tujuan dilakukannya bedah plastik dapat dirumuskan


sebagai berikut9:

1) Untuk memperbaiki fungsi bagian tubuh sehingga dapat


digunakan untuk bekerja;
2) Untuk memperoleh efek kosmetis yang sebaik-baiknya dalam
batas kemampuan sebagai manusia biasa;
3) Untuk memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan dan
pembentukan jiwa pasien sehingga ia dapat terjun ke dalam

9
Yefta Moenadjat, op. cit., hlm. 9.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

masyarakat sebagai seorang yang mampu dan memiliki


kehidupan ekonomi pribadi;
4) Agar pasien dalam kehidupannya tidak tergantung pada orang
lain.

c. Jenis dan Macam Bedah Plastik

Tindakan bedah plastik pada dasarnya dapat disebabkan


oleh ada atau tidaknya indikasi medis. Atas dasar tersebut bedah
plastik dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1) Bedah Plastik Rekonstruksi.

Bedah plastik rekonstruksi merupakan tindakan bedah


plastik yang bertujuan untuk memperbaiki kelainan fungsi
tubuh atau bagian tubuh tertentu dan penampilan yang
disebabkan oleh cacat bawaan, cacat akibat trauma,
kecelakaan, maupun akibat pengangkatan tumor10.

Dalam bedah plastik rekonstruksi terdapat indikasi


medis, dikarenakan tindakan bedah plastik yang dilakukan
didasarkan kepada keperluan pengobatan.

Bedah plastik rekonstruksi pada umumnya


dikerjakan dalam beberapa tahap operasi demi memperoleh
hasil yang optimal. Setiap tahapan tindakan ini biasanya
memerlukan jarak waktu yang cukup lama, yaitu berkisar
antara enam sampai 12 (dua belas bulan).

10
Yefta Moenadjat, op. cit., hlm. 12-13.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

Modal utama yang diperlukan dalam melakukan


tindakan bedah plastik rekonstruksi sebagai berikut11:

a) Aplikasi teknik penjahitan yang didasari proses


penyembuhan luka, sebagai upaya memperoleh hasil akhir
yang baik;
b) Aplikasi tandur alih komponen tubuh tertentu (graft dan
flap). Tandur alih ini dapat mengandung satu atau
beberapa komponen tubuh yang sangat sederhana tanpa
vaskularisasi sebagai sumber nutrisi jaringan (graft),
misalnya tandur kulit (skin graft), tandur lemak (fat graft),
tandur kulit dan lemak (dermal-fat graft), tandur tulang
(bone graft), dan sebagainya.;
c) Aplikasi implan. Implan merupakan suatu bahan atau
protesis yang ditanamkan di dalam jaringan, terdiri dari
suatu bahan yang tidak bereaksi dengan tubuh (inert),
misalnya implan silikon padat, bahan metal, dan
sebagainya;
d) Bedah laser. Light Amlification by the Stimulated Emission
of Radiation (laser) merupakan suatu jenis radiasi dengan
amplutido gelombang yang diperkuat. Dengan afinitas dan
panjang gelombang tertentu, sinar laser dapat dipakai
untuk menghancurkan atau merusak sel-sel tubuh tertentu
pada kedalaman tertentu pula, misalnya beberapa jenis
tumor pembuluh darah ataupun tato;
e) Aplikasi perekat (plaster) dan krim yang mempengaruhi
proses penyembuhan luka, serta balutan (balut tekan).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bedah plastik


rekonstruksi pada dasarnya dilakukan karena adanya kelainan

11
Ibid; hlm. 14.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

atau ketidakfungsian organ tubuh yang antara lain disebabkan


oleh cacat bawaan maupun kecelakaan. Macam-macam
tindakan bedah plastik rekonstruksi yang dapat dilakukan
antara lain sebagai berikut12: Rekonstruksi kelainan bawaan
lahir, yaitu kelainan bawaan pada muka, kulit, dan alat
kelamin pria;

a) Cacat yang disebabkan oleh trauma, luka bakar, dan


pengangkatan tumor;
b) Bedah kraniofasial dan bedah maksilofasial, merupakan
cabang ilmu bedah plastik yang mengkhususkan diri
dalam bidang rekonstruksi kelainan bawaan bentuk
kepala dan muka, serta kelainan yang disebabkan trauma
dan pengangkatan tumor;
c) Bedah Mikro, merupakan cabang ilmu bedah plastik yang
mengkhususkan diri dalam bidang rekonstruksi kelainan
bawaan, trauma (misalnya amputasi traumatik) dan
pengangkatan tumor yang memiliki spesialisasi dalam
aplikasi teknik bedah mikro atau penyambungan
pembuluh darah di bawah mikroskop;
d) Amputasi traumatik, yaitu terputusnya bagian atau
anggota tubuh karena trauma atau kecelakaan yang
memerlukan tindakan penyambungan dengan aplikasi
bedah mikro;
e) Bedah tangan, merupakan cabang ilmu bedah plastik
yang mengkhususkan diri pada penatalaksanaan kelainan
tangan, baik kelainan bawaan, trauma termasuk luka
bakar, dan kelainan yang disebabkan oleh pengangkatan
tumor.

12
Ibid; hlm. 15-17.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

2) Bedah Plastik Estetik.

Bedah plastik estetik merupakan tindakan bedah plastik


yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi tubuh yang
dianggap kurang harmonik. Dalam hal ini tidak terdapat
indikasi medis, oleh karena bedah plastik estetik dilakukan
semata-mata untuk memenuhi keinginan pasien yang merasa
kurang puas dengan bentuk fisik dirinya. Bedah plastik estetik
biasanya dilakukan terhadap salah satu organ atau jaringan
tubuh yang dirasa oleh pasien kurang optimal bentuknya.
Dalam bedah plastik estetik ini lebih kental unsur kecantikan
atau memperbaiki diri.

Bedah plastik estetik seringkali disamakan dengan


bedah kosmetik. Hal ini disebabkan bagian tubuh yang
diperbaiki dalam bedah plastik estetik pada dasarnya adalah
sama dengan bedah kosmetik, misalnya bagian muka. Jadi
orang kerap menyamakan istilah bedah kosmetik dengan
bedah plastik estetik, hanya saja di kalangan masyarakat istilah
bedah kosmetik lebih populer dibandingkan dengan bedah
plastik estetik.

Macam-macam tindakan bedah plastik estetik yang


dapat dilakukan atas seseorang antara lain sebagai berikut13:

a) Tindakan bedah estetik untuk proses penuaan, yang


bertujuan memperbaiki struktur otot dan kulit yang
mengalami proses degenerasi, misalnya operasi
pengencangan muka (facelift);

13
Ibid; hlm. 18-19.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

b) Tindakan bedah estetik untuk kelianan bentuk anatomi


tubuh yang kurang harmonis, misalnya operasi pembuatan
lipatan kelopak mata (blefaroplasty), operasi hidung
(rinoplasty), operasi dagu (mentoplasty), operasi telinga
(otoplasty), operasi mata, dan sebagainya;
c) Tindakan bedah estetik untuk proses pertumbuhan lemak
berlebihan, yang bertujuan memberi bentuk pada tubuh
(body conturing, body reshaping, body sclupture) dengan
cara membuang lemak yang berlebihan tanpa menurunkan
berat badan, misalnya bedah sedot lemak (liposuction);
d) Bedah kraniomaksilofacial, yaitu tindakan pembedahan
yang dilakukan untuk memberi bentuk pada rangka tulang
dan muka yang kurang harmonis agar tampak lebih indah,
misalnya bedah craniofacial shaping dan bedah
orthognatic.

Selain berbagai macam bedah plastik di atas, terdapat


pula cara-cara yang dilakukan sebagai pelengkap bedah
estetik, antara lain sebagai berikut14:

a) Dermabrasi (kupas kulit), merupakan suatu cara mengupas


kulit dengan menggunakan alat. Kulit yang dikupas adalah
kulit lapisan teratas (epidermis) serta bagian atas dari kulit
bawah (dermis). Alat yang digunakan menyerupai gerinda
(boor) dengan ujung lebar dan permukaan kasar yang
terbuat dari besi atau graniet. Dalam praktek, dermabrasi
ini dilakukan untuk menghilangkan noda hitam dan
kerutan di wajah.
b) Peeling muka, dikenal juga di negara lain sebagai
chemical peeling, adalah pengupasan kulit muka dengan

14
Ibid; hlm. 20-23.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

bahan kimia yang menggunakan larutan phenol atau


trichlor acid. Caranya yaitu larutan phenol diusapkan ke
kulit muka dengan kuas, dengan terlebih dahulu
menyuntikkan pasien dengan tujuan untuk mengurangi
rasa sakit yang ditimbulkan oleh larutan phenol tersebut.
Pada kulit muka yang telah diolesi phenol ditempelkan
plester, kemudian setelah plester diangkat kulit ditaburkan
bubuk antiseptik. Setelah diberi obat cream selama
beberapa hari, maka akan merangsang pertumbuhan kulit
baru. Sedangkan peeling yang dilakukan di salon-salon
pada dasarnya bukan mengelupas kulit asli wajah.
Melainkan wajah diolesi lapisan obat yang kemudian akan
mengering dan membentuk lapisan kulit tipis. Lapisan
kulit tipis inilah yang akan diambil dan dikupas. Dalam
praktek, peeling dilakukan untuk membuat wajah terasa
lebih kencang dan bersih.
c) Perbaikan leher, ini biasanya dilakukan pada pasien yang
merasa kulit lehernya mulai mengendur diakibatkan faktor
usia. Perbaikan leher di sini juga mencakup perbaikan
dagu yang terlalu pendek, serta penyedotan lemak
(liposuction) di daerah sekitar dagu dan leher.
d) Perbaikan botak kepala, pada kepala yang mengalami
gejala kebotakan, hanya mempunyai rambut di samping
kiri dan kanan kepala. Rambut di bagian ini dapat tumbuh
terus-menerus, begitu pula dengan akar rambutnya.
Sedangkan pada bagian tengah kepala, akar rambutnya
telah mati sehingga rambut di bagian ini tidak dapat
tumbuh sebagaimana mestinya. Untuk mengatasi
kebotakan tersebut, operasi dapat dilakukan dengan flap
atau jabir yang dipindahkan dari bagian samping kepala ke
bagian yang botak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

e) Operasi payudara, pada dasarnya, operasi payudara yang


dapat dilakukan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagi
berikut :

(1) Operasi membesarkan payudara, pada operasi


pembesaran payudara dilakukan sayatan di lipatan
bawah payudara. Melalui sayatan tersebut
dimasukkan bahan silikon seperti gel yang terbungkus
dalam kantong silikon. Cara operasi kantong silikon
seperti ini telah disetujui oleh Departement Food and
Drugs di Amerika Serikat15. Berdasarkan
penyelidikan yang telah dilakukan, disimpulkan tidak
ada bukti yang menyatakan adanya hubungan antara
silikon dan kanker payudara.
(2) Operasi mengecilkan payudara, pada operasi
mengecilkan payudara dilakukan sayatan seperti pada
operasi pembesaran payudara untuk mengeluarkan
jaringan kelenjar yang harus dipotong.
(3) Mastopexy, merupakan suatu cara memperbaiki
payudara yang sudah mulai mengendur akibat
melahirkan atau tubuh yang sudah terlalu kurus. Pada
operasi ini sebagian kulit payudara yang mulai
mengendur di bagian bawah dipotong sehingga akan
membuat payudara terlihat kencang.

f) Abdominal Plasty.

Abdominal Plasty merupakan bedah plastik yang ditujukan


untuk mengubah atau memperbaiki bentuk parut yang

15
D.Affandi, Bedah Plastik Kosmetik Muka dan Badan., PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, hal. 103.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

diakibatkan oleh lemak yang berlebihan serta lipatan kulit


di daerah parut.

g) Penyedotan Lemak (Liposuction).

Teknik sedot lemak diperkenalkan pertama kali oleh


dr. George Fischer, seorang berkewarganegaraan Italia,
pada pertengahan tahun 1970 di suatu Kongres Bedah
Kosmetik Internasional yang bertempat di Paris, Perancis.
Dalam melakukan penyedotan lemak, bagian kulit yang
terdapat lemak dimasukkan suatu tube metal kecil melalui
sayatan kecil berukuran sekitar satu cm. Tube metal
kemudian melakukan gerakan maju mundur di daerah
lemak di bawah kulit, sehingga gumpalan lemak tersebut
akan tersedot keluar. Apabila lemak sudah tersedot habis,
maka kulit di atasnya akan mengencang.

d. Tenaga Kesehatan yang Berwenang Melakukan Tindakan

Operasi Bedah Plastik

Berkaitan dengan tindakan bedah plastik, maka yang


tercakup sebagai tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu. Seorang dokter yang dapat melakukan
tindakan bedah plastik antara lain dapat berasal dari latar belakang
pendidikan spesialis kedokteran, yaitu16:

1). Dokter spesialis bedah umum;


2). Dokter spesialis bedah tulang;
3). Dokter spesialis bedah plastik;
4). Dokter spesialis mata;

16
Ibid, hal. 70.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

5). Dokter spesialis kulit dan kelamin;


6). Dokter spesialis THT.

Kemudian dokter tersebut diharuskan menempuh


pendidikan spesialis bedah. Pada dasarnya dokter umum dan dokter
spesialis di luar spesialisasi bedah plastik tidak berwenang
melakukan tindakan bedah plastik.

e. Sarana Kesehatan Bedah Plastik

Di dalam praktek terdapat tiga macam sarana kesehatan


yang dapat digunakan untuk melakukan bedah plastik, yaitu
sebagai berikut17:

1). Tempat praktik dokter spesialis bedah plastik;


2). Rumah Sakit Umum, sebagai tempat untuk segala macam
pembedahan;
3). Rumah Sakit khusus Bedah Plastik, sebagai tempat untuk
segala macam pembedahan bedah plastik.

f. Persiapan Operasi Bedah Plastik

Sebelum dilakukannya tindakan bedah plastik oleh seorang


dokter kepada pasien, terlebih dahulu harus melewati berbagai
prosedur sebagai suatu persiapan tindakan bedah plastik yang
meliputi konsultasi, pemeriksaan fisik, kemampuan melakukan
operasi bedah plastik, dijelaskan kepada pasien dan orang tua
pasien tentang segala hal yang berkaitan dengan proses operasi
bedah plastik; tujuan serta resiko yang akan dihadapi. Apabila
pasien telah mengerti, maka dilakukanlah operasi bedah plastik dan
selanjutnya pasca operasi bedah plastik dilakukan tindakan atau

17
Ibid, hal. 75.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

pengobatan yang dibutuhkan yaitu untuk pemulihan dan


18
penyembuhan bekas luka operasinya .

2. Pengaturan Bedah Plastik sebagai Kebijakan Publik

Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan derajat kesehatan

individu atau masyarakat di Indonesia. Dengan meningkatnya pengetahuan

akan pelayanan kesehatan yang berkualitas maka pemerintah dihadapkan

pada tantangan antara lain adanya pelayanan yang bermutu dan terjangkau.

Seperti diketahui adanya keluhan masyarakat tentang masalah kesalahan

klinis/kelalaian medis dalam melakukan pelayanan kesehatan banyak

terjadi dan mengglobal. Data di Indonesia sampai saat ini belum ada,

tetapi keluhan-keluhan masyarakat melalui media massa mengalami

peningkatan hal ini ditambah dengan adanya HAM, Undang-Undang

Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Praktik Kedokteran.

Akibatnya tuntutan terhadap pelaku pelayanan kesehatan semakin

meningkat terutama terhadap tindakan pelayanan kesehatan yang berakhir

dengan kecacatan atau kematian. Hal ini sangat penting mengingat

pelayanan yang diberikan meliputi aspek medis, legal etis, psikologi

maupun sosial, finansial dan budaya.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang

Tenaga Kesehatan pada Pasal 21 ayat (1) berbunyi setiap tenaga kesehatan

dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi

18
Yefta Moenadjat, Op. Cit., hlm. 58.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

tenaga kesehatan dan menghormati hak pasien19. Hal ini berlaku juga

dalam pelaksanaan operasi bedah plastik karena tujuannya adalah untuk

memperbaiki dan memulihkan keadaan fisik seseorang sehingga dapat

kembali berfungsi pada kondisi optimal.

Dengan demikian, adanya gejala seperti itulah yang mendorong

orang untuk berusaha menemukan dasar yuridis bagi pelayanan kesehatan.

Lagi pula, perbuatan yang dilakukan oleh para pelaksana pelayanan

kesehatan itu sebenarnya juga merupakan perbuatan hukum yang

mengakibatkan timbulnya hubungan hukum walaupun hal tersebut

seringkali tidak didasari oleh para pelaksana pelayanan kesehatan pada

saat dilakukannya perbuatan yang bersangkutan. Pelayanan kesehatan itu

sebenarnya tidak hanya meliputi kegiatan atau aktivitas profesional

dibidang pelayanan kuratif dan prepeventif untuk kepentingan perorangan

tetapi juga meliputi misalnya lembaga pelayanannya, sistem

kepengurusannya, pembiayaannya, pengelolaannya, tindakan pencegahan

umum dan penerangan. Dalam pembahasan ini difokuskan pada

pemahaman tentang pentingnya pengaturan bedah plastik sebagai salah atu

bentuk kebijaksan pemerintah dalam pelayanan kesehatan, khususnya

dalam pelayanan operasi bedah plastik.

19
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
pada, Pasal 21 ayat (1).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

a. Teori Kebijakan Publik

Dalam kamus besar bahasa Indonesia maka kebijakan berasal

dari kata “bijak” yang berarti selalu menggunakan akal budinya, atau

memiliki kemahiran. Sedangkan kebijakan diartikan sebagai rangkaian

konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam

pelaksanaan sebuah pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak

(tentang pemerintah, dan sebagainya), pernyataan, cita-cita, tujuan,

prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam

usaha mencapai sasaran dan atau garis halauan (Depdikbud, 1995 : 31).

Menurut Thomas R. Dye bahwa kebijakan publik adalah “public

policy is whatever government choose to do or not to do”, yaitu bahwa

apapun pilihan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintahan

itulah yang merupakan public policy atau kebijakan pemerintah20.

Public policy can be generally defined as a system of laws,

regulatory measures, courses of action, and funding priorities

concerning a given topic promulgated by a governmental entity or its

representatives. Individuals and groups often attempt to shape public

policy through education, advocacy, or mobilization of interest groups.

Shaping public policy is obviously different in Western-style

democracies than in other forms of government. But it is reasonable to

20
Muhammad Irfan Islamy, Perumusan Kebijakan Negara, PT. Bumi Aksara,
Jakarta, 2004, hlm. 55.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

assume that the process always involves efforts by competing interest

groups to influence policy makers in their favor21.

A principle that no person or government official can legally

perform an act that tends to injure the public. Public policy manifests

the common sense and common conscience of the citizens as a whole

that extends throughout the state and is applied to matters of public

health, safety, and welfare22.

Berdasarkan definisi kebijakan publik, pada dasarnya kebijakan

publik memiliki implikasi sebagai berikut23 :

a. Bahwa kebijakan publik itu bentuk awalnya adalah penetapan tindakan

pemerintah.

b. Bahwa kebijakan publik tersebut tidak cukup dinyatakan dalam bentuk

teks-teks formal namun juga harus dilaksanakan atau

diimplementasikan secara nyata.

c. Bahwa kebijakan publik tersebut pada hakekatnya harus mempunyai

tujuan-tujuan dan dampak-dampak, baik jangka pendek maupun

jangka panjang yang telah di pikirkan secara matang terlebih dulu.

21
Dean G. Kilpatrick, Public Policy and the Law, http:\\ www.westlaw\world
journals\US Journals\, 30 januari 2010, 13.30.

22
Alex B. Long, A principle of Public policy, http:\\ www.westlaw\world journals\US
Journals\, 30 januari 2010, 13.30.

23
Muchsin dan Fadilah Putra, Hukum Kebijakan Publik. Universitas Sunan Giri, ,
Surabaya, 2002, hlm. 28.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

d. Dan pada akhirnya seluruh proses yang ada diatas di peruntukkan bagi

pemenuhan kepentingan masyarakat.

Dari keempat hal di atas yang penting adalah poin keempat, yakni

keterkaitan antara kebijakan publik dengan pemenuhan kebutuhan

masyarakat, sebab pada fokus ini kita dapat melihat secara sangat sensitif

tentang alasan keberadaan dari pada kebijakan publik tersebut. Kenyataan

bahwa sebuah kebijakan publik sebagai sarana pemenuhan kebutuhan

masyarakat, itu berarti bahwa ukuran sukses tidaknya sebuah kebijakan

publik bergantung pada penilaian masyarakat, bila masyarakat menilai

bahwa kebutuhannya telah terpenuhi maka dengan sendirinya kebijakan

publik itu akan dianggap telah menjalankan fungsinya dengan sukses.

Namun sebaliknya, bila oleh kebijakan publik tersebut masyarakat merasa

bahwa kebutuhan dan kepentingan tidak terpenuhi, atau bahkan dirugikan,

maka dengan sendirinya masyarakat akan menganggap bahwa kebijakan

publik tersebut tidaklah sukses atau gagal.

Berbicara tentang kinerja dari kebijakan publik, pada dasarnya juga

berbicara tentang bagaimana proses yang ada di dalam keseluruhan

dimensi kebijakan publik itu, yaitu baik pada formulasi, implementasi

maupun evaluasinya. Dan dalam hal ini sesungguhnya sedang diteliti

dinamika internal adalah berkaitan dengan bagaimana struktur, organisasi

maupun orang-orang yang ada di dalam proses kebijakan publik itu

bekerja. Dalam melihat kenerja ini maka mau tidak mau akan dilihat pula

sampai sejauh mana efektifitas efisiensi dan produktifitas dari elemen-

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

elemen yang ada di dalam proses kebijakan publik tersebut. Pada saat ini

membicarakan pada hasil (out put) dari sebuah kebijakan publik. Artinya

adalah segala apa yang ada pada proses kebijakan publik tersebut

diharapkan akan menghasilkan sebuah produk tertentu. Selanjutnya

apakah hasil yang di capai melalui proses internal sejalan dengan apa yang

dikehendaki oleh masyarakat atau belum, hal inilah yang dimaksud dengan

dampak (out came).

Kebijakan publik pada harus dapat memenuhi kebutuhan dan

mengakomodasi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu penilaian akhir

dari sebuah kebijakan publik adalah pada masyarakat. Hanya saja

seringkali antara dua konsep tersebut (out put dengan out came) tidaklah

selamanya seiring sejalan. Terkadang sebuah proses kebijakan publik yang

ada telah mencapai hasil out put yang ditetapkan dengan baik, namun tidak

memperoleh respon atau dampak (out came) yang baik dari masyarakat

atau kelompok sasarannya. Atau sebaliknya, sebuah kebijakan publik pada

dasarnya tidaklah maksimal dalam mencapai hasil yang telah ditetapkan,

namun dampaknya cukup memuaskan bagi masyarakat secara umum24.

Kebijakan-kebijakan termasuk kebijakan berupa segala peraturan

perundang-undangan yang dibuat Pemerintah dan peraturan-peraturan

yang dibuat Pemerintah dan peraturan lain yang dibuat kementerian

kesehatan dan IDI, serta PERAPI dalam mengatur dan menjalankan

program pembangunan kesehatan, khususnya yang mengatur tentang

24
Muchsin dan Fadilah Putra, op, cit., hlm. 29-34.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

bedah plastik jelaslah harus memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai

baik jangka pendek maupun panjang dan tentu saja tidak hanya

diformulasikan di atas kertas saja namun juga untuk diimplementasikan

secara nyata, yang terpenting adalah apakah kebijakan itu diperuntukkan

untuk kepentingan masyarakat, dalam hal ini maka akan perlu juga dilihat

sejauh mana efektifitas dari kebijakan tersebut dalam mencapai tujuan

yang diharapkan.

Jadi, di sini jelas bahwa pengaturan bedah plastik sebagai

Kebijakan Publik bertujuan agar pengaturan tersebut dapat menjadi

payung hukum bagi pelaku pelayanan bedah plastik di Indonesia sebagai

realisasi dari tugas pemerintah sebagai public service dalam rangka

penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan, khususnya di sini adalah

operasi bedah plastik.

Adapun sebuah kebijakan yang dibuat pemerintah tidak akan

punya arti atau bermanfaat apabila tidak diimplementasikan. Hal ini

disebabkan karena implementasi terhadap kebijakan masih bersifat

abstrak dalam realita nyata25.

Menurut Mazmanian dan Sabiter26, menjelaskan mengenai

makna implementasi dengan mengatakan bahwa “memahami apa yang

senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau

25
Joko Widodo, “Good Governance”: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan
Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan otonomi Daerah, Insan Cendikia, Surabaya,
2001, hlm.192.

26
Ibid., hlm. 190.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

dirumuskan yang mencakup baik usaha-usaha mengadministrasikan

maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau

kejadian-kejadian”.

Jadi agar suatu kebijakan dapat tercapai tujuannya serta dapat

diwujudkan maka harus dipersiapkan dengan baik karena sebaik apapun

perencanaan dan persiapan namun bila tidak ada perumusan yang teliti

maka apapun yang menjadi tujuan kebijakan tidak akan tercapai.

Menurut Chief J. O. Udoji27 merumuskan tentang kebijakan

sebagai berikut :

“Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan


pendefisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan
pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik,
penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik,
pengupayaan pengenaan sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah
tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan, monitoring
dan peninjauan kembali”.

Ada 3 alasan mempelajari kebijakan negara menurut Anderson

dan Thomas R. Dile28, yaitu :

1) Dilihat dari alasan ilmiah (Scientific reason)

Kebijakan negara dipelajari dengan maksud memperoleh

pengetahuan yang lebih mendalam mengenai hakikat dan asal mula

kebijakan negara, berikut proses-proses yang mengantarkan

perkembangannya serta akibat-akibatnya pada masyarakat.

27
Dalam Solichin Abdul Wahab, Op. cit. hlm. 16-17.

28
Ibid.,. hlm. 12-13.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

2) Dilihat dari alasan profesional (Profesional reason)

Maka studi kebijakan negara dimaksudkan untuk

menerapkan pengetahuan ilmiah dibidang kebijakan negara guna

memecahkan masalah sosial sehari-hari. Sehubungan dengan ini,

terkandung sebuah pemikiran bahwa apabila kita mengetahui tentang

faktor yang membentuk sebuah kebijakan negara, atau memberikan

atau mengevaluasi kebijakan tersebut agar tepat sasaran.

3) Dilihat dari alasan politis (Political reason)

Mempelajari kebijakan negara dimaksudkan agar pemerintah

dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang

tepat pula.

Agar memperoleh sebuah kebijakan publik yang tepat maka

pembuatan kebijakan publik memiliki tahapan-tahapan sebagaimana

dikemukakan Parson29, yaitu :

1) Tahap meta pembuatan kebijakan publik (meta policy malenzstage)

a) Pemprosesan nilai

b) Pemprosesan masalah

c) Pemprosesan pengembangan SDA

d) Desain evaluasi dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik

e) Pemprosesan realitas

f) Pengalokasian masalah, nilai dan sumber daya

g) Penentuan strategi pembuatan kebijakan

29
Dalam T. Saful Bahri, Hasel Nogi S. Tangkilisan, Mira Subandini, 2004, hlm. 56.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

2) Tahap pembuatan kebijakan publik (policy making stage)

a) Alokasi sumber daya

b) Penetapan tujuan operasiaonal dengan beberapa prioritas

c) Penetapan nilai-nilai yang signifikan dengan beberapa prioritas

d) Menyiapkan alternatif-alternatif kebijakan secara umum

e) Penyaiapan prediksi yang realistis atas berbagai alternatif

tersebut diatas berikut kemungkinan manfaat dan kerugian

f) Membandingkan alternatif yang ada sekaligus melakukan

alternatif yang terbaik

g) Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif yang dipilih

3) Tahap pasca pembuatan kebijakan (post policy making stage)

a) Memotivasi kebijakan yang hendak diambil

b) Mengambil dan memutuskan kebijakan publik

c) Mengevaluasi proses pembuatab kebijakan publik yang telah

dilakukan

d) Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang telah

dilakukan.

Menurut Solichin Abdul Wahab30 dikatakan bahwa proses

komunikasi kebijakan publik, yang hasil pokoknya didapatkan dari

pemilihan sekian banyak alternatif untuk mengatasi suatu masalah ,

metode yang dipakai adalah pemilihan dari sekian banyak alternatif

untuk menguji kelayakan sebuah kebijakan sangatlah diperhatikan

30
Ibid., hlm. 59.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

dalam proses kebijakan publik. Dikenal dengan konsep ex ante

evaluation, yaitu sebuah keinginan menguji rancangan putusan yang

telah melalui tahap pemprosesan dimana evaluasi dilakukan sebelum

kebijakan publik itu diterapkan.

Formasi kebijakan publik yang baik berorientasi pada

implementasi dan evaluasi. Sebab, seringkali para pengambil kebijakan

beranggapan bahwa formulasi kebijakan publik adalah sebuah uraian

yang sarat pesan ideal dan normatif tapi tidak membumi. Padahal sebuah

formulasi kebijakan publik yang baik itu adalah sebuah uraian atas

kemantapan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang fleksibel

terhadap realitas, kendati pada akhirnya tidak sepenuhnya presisi dengan

nilai-nilai ideal normatif. Itu tidak masalah asalkan kebijakan publik itu

presisi dengan realitas dilapangan31.

Dan menurut Don K. Price32 menyebutkan bahwa yang

bertanggung jawab dalam proses pembuatan kebijakaan publik adalah

para pihak antara lain kelompok ilmuan, pemimpin, organisasi

profesional, para administrator dan para politikus.

Pemerintah melalui kementerian Kesehatan dibantu IDI dan

PERAPI sebagai instansi yang mengatur dan menjalankan program

pembangunan kesehatan maka RSDM dapat disebut sebagai wakil

pemerintah dalam mengatur dan menjalankan program pembangunan


31
Dalam T. Saiful Bahri. Hasel Nogi S. Tangkilisan, Mira Subandini, 2004, hlm. 61-
62

32
Dalam Solichin Abdul Wahab, op. cit. hlm. 58.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

dan pelayanan kesehatan, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan

operasi bedah plastik dengan demikian segala tindakan maupun segala

peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah, dan segala

peraturan lain yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan dan IDI dan

PERAPI dalam bidang tugasnya dalam mengatur dan menjalankan

program pembangunan kesehatan khususnya yang mengatur tentang

operasi bedah plastik dapat disebut sebagai Kebijakan Publik.

1) Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan

menurut Nigrro and Nigro 33:

a) Adanya pengaruh-pengaruh tekanan-tekanan dari luar.

Seringkali administrator harus membuat keputusan-keputusan

kerena adanya tekanan-tekanan dari luar. Proses dan prosedur

pembuatan keputusan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata.

Sehingga adanya tekanan-tekanan dari luar itu ikut berpengaruh

terhadap proses pembuatan keputusan.

b) Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatif). Kebiasaan lama

itu akan terus diikuti, lebih-lebih kalau suatu kebijaksanaan yang

telah ada dipandang memuaskan.

c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. Berbagai macam keputusan

yang dibuat oleh keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat

pribadi. Seperti misalnya dalam proses penerimaan/pengangkatan

pegawai baru.

33
M Irfan Islamy, op, cit., hlm. 25-26.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

d) Adanya pengaruh dari kelompok luar. Lingkungan sosial dan

para pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap pembuatan

keputusan. Misalnya dengan mempertimbangkan pengalaman-

pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar

bidang pemerintahan.

e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Pengalaman latihan dan

pengalaman (sejarah) pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada

pembuatan keputusan. Misal orang sering membuat keputusan

untuk tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggung

jawabnya kepada orang lain karena khawatir disalahgunakan.

Disamping adanya faktor-faktor tersebut, Gerald E. Caiden

menyebutkan34 menyebutkan adanya beberapa faktor yang

menyebabkan sulitnya membuat kebijaksanaan, yaitu : sulitnya

memperoleh informasi yang cukup, bukti-bukti sulit dikumpulkan;

adanya pelbagai macam kepentingan yang berbeda mempengaruhi

pilihan tindakan yang berbeda-beda pula; dampak kebijaksanaan sulit

dikenali, umpan balik keputusan bersifat seporadis; proses perumusan

kebijaksanaan tidak dimengerti dengan benar dan sebagainya.

Kesalahan-kesalahan umum sering terjadi dalam proses

pembuatan keputusan. Nigrro and Nigro menyebutkan ada tujuh macam

kesalahan-kesalahan umum itu yaitu :

34
Ibid.., hlm.29
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

1) Cara berpikir yang sempit. Dalam hal ini adanya kecenderungan

manusia membuat keputusan hanya untuk memenuhi kebutuhan

seketika sehingga melupakan antisipasi ke masa depan.

2) Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lampau.

Dalam hal ini banyak anggapan yang menyatakan bahwa dalam

suatu masa yang stabil orang akan bertingkah laku sebagai mana

pendahulunya dimasa yang lampau.

3) Terlampau menyederhanakan sesuatu. Dalam hal ini pembuat

keputusan hanya mengamati gejala-gejala masalah tanpa berusaha

mencari sebab-sebab timbulnya masalah tersebut secara mendalam.

4) Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang. Dalam

hal ini mengandalkan pada pengalaman dari seseorang saja bukanlah

pedoman yang baik.

5) Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi pembuat

keputusan. Pemikiran yang prokonsepsional akan membatasi

pemanfaatan penemuan-penemuan ilmu sosial dalam membuat

keputusan di lembaga pemerintahan. Dalam hal ini tidak terlalu salah

tetapi jelas tidak jujur.

6) Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan. Karena cara

untuk mengetahui apakah suatu keputusan itu dapat

diimplementasikan atau tidak adalah dengan mengetesnya secara

nyata pada ruang lingkup yang lebih kecil.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

7) Keengganan untuk membuat keputusan. Hal ini disebabkan karena

anggapan bahwa membuat keputusan itu sebagai tugas yang sangat

berat, penuh resiko, bisa membuat orang frustasi, kurang adanya

dukungan dari lembaga atau atasan terhadap tugas pembuatan

keputusan, lemahnya sistem pendelegasian wewenang untuk

membuat keputusan, takut menerima kritikan dari orang lain atas

keputusan yang dibuatnya dan lain sebagainya.

Teori kebijakan publik diperlukan karena RS. Dr. Muwardi yang

telah ditunjuk sebagai sarana pelayanan kesehatan, Rumah Sakit milik

pemerintah Propinsi Jawa Tengah yang merupakan salah satu sarana

kesehatan yang dapat dilakukannya tindakan medik operasi bedah

plastik yang pelaksanaannya harus berdasarkan peraturan perundang-

undangan tentang kesehatan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah,

serta prosedur tetap yang dikeluarkan IDI dan PERAPI, khususnya

dalam bidang bedah dan bedah plastik sehingga dengan demikian maka

segala tindakan hukum RS. Dr. Muwardi dalam melaksanakan tugasnya

memberikan pelayanan kesehatan untuk daerah Surakarta dan

sekitarnya.dapat disebut sebagai kebijakan Publik.

3. Pengaturan Bedah Plastik dalam Hukum Kesehatan

a. Tinjauan Umum Tentang Hukum

1)Pengertian Hukum

Pengertian hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan

kehidupan pada setiap zaman/masa, karena pengertiannya pasti akan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

selalu berbeda pengertiannya35. Berikut ini adalah sejarah pemikiran

mengenai hukum36:

a) Zaman Kuno.

Pada zaman kuno hukum adalah pandangan hidup ini sesuai

dengan pemikiran tradisional saat itu.

b) Zaman Klasik

Pada zaman ini, hukum adalah cerminan alam semesta. Ini

terjadi pada 6 SM-5 SM di zaman Yunani dan Romawi.

c) Zaman Pertengahan.

Pada zaman ini, hukum adalah ketentuan Illahi, tapi

pemikirannya terbagi dua, yaitu ketentuan Illahi yang didapat

secara langsung (wahyu), dan ini merupakan hukum Tuhan yang

diyakini oleh ajaran Islam. Sedangkan yang kedua adalah

ketentuan Illahi yang didapat secara tidak langsung dan ini

merupakan hukum alam yaitu hukum itu adalah ciptaan Tuhan

sebab alam adalah ciptaan Tuhan, dan ini diyakini oleh ajaran

Kristen.

d) Zaman baru (Renaissance).

Zaman baru ini adalah jaman kelahiran kembali, terjadi

pada abad ke XV. Hukum positif begitu berkembang pada zaman

ini, yaitu hukum yang berasal dari kebijakan. Tokoh-tokohnya,


35
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban yang Adil),
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004. hlm. 24.

36
Ibid; hlm 29-108.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

yaitu : Niccolo Machievelli, Martin Luther, Jean Bodin, Hugo

Grotius dan Thomas Hobbes.

e) Zaman Modern.

Hukum pada zaman modern bersifat empirif, yaitu

tergantung pada faktor-faktor empirif yang dibuat oleh manusia

(seperti kisah raja dengan rakyat), pada zaman ini yang

berkembang adalah hukum positif. Pada zaman ini terjadi

Revolusi Amerika 1776, Revolusi Prancis 1789 dan Revolusi

Industri. Tokoh yang terkenal pada zaman ini adalah Karl Marx.

Zaman ini dibagi dua, yaitu :

f) Abad XIX

Pada zaman ini muncul gejala-gejala hidup yang dipandang

secara ilmiah dengan segala dinamikanya. Pandangan ilmiah atas

hukum ini adalah positivisme yaitu empirisme ilmiah. Pada zaman

ini ada beberapa pandangan yang berkembang, di antaranya :

(1) Pandangan yuridis.

Menurut pandangan ini hukum adalah sebagai

gejala yang perlu diolah secara ilmiah, pada masa

pandangan ini berkembang pembentukan hukum semakin

profesional. Prinsip-prinsipnya yaitu; Pertama, hukum itu

adalah Undang-Undang, Kedua tidak ada hubungan yang

mutlak antara hukum dengan moral, karena hukum adalah

hasil karya ahli hukum, yang ketiga, dalam positivisme

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

yuridis hukum adalah close logical system. Tokoh-

tokohnya, yaitu ; Rudolf Von Jhering dan Austin dengan

analitical yurisprudence-nya.

(2) Pandangan positivisme sosiologis.

Hukum ditanggapi secara terbuka bagi kehidupan

masyarakat yang haru diselidiki dengan metode ilmiah.

Pelopornya, yaitu ; A. Comte (pencipta sosiologi).

(3) Pandangan historis.

Menurut pandangan historis, pengertian hukum

adalah merupakan bagian dari perkembangan hidup

manusia.

(4) Pandangan Von Savigny.

Hukum tidak dibuat tapi tumbuh dan berkembang

bersama-sama masyarakat. Titik tolak dunia adalah

bangsa/volkgeist.

g) Abad XX.

Pada zaman ini muncul kodek nasional di setiap negara,

sehingga muncul perbedaan pendapat tentang hukum, diantaranya :

(1) Sosiologi hukum dan realisme hukum.

Hukum merupakan norma hukum de facto yang

berlaku. Tolak ukurnya adalah kepentingan umum.

(2) Filsafat neo skolastik, filsafat neo camplanisme, filsafat neo

hegelianisme dan filsafat eksistensi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

Hukum adalah bagian kehidupan etis manusia yang

diakui atau bukan antar hukum positif dan pribadi

manusia yang berpegangan pada norma-norma keadilan.

h) Zaman ideologi.

Revolusi Amerika, tetapi lebih-lebih Revolusi Prancis,

telah banyak berperan dalam mengimbas lahirnya suatu paham

baru dalam kehidupan kemasyarakatan dalam kerangka

kenegaraan, yaitu paham nasionalisme. Selain itu juga ada paham-

paham lain yang berkembang pada zaman ini, diantaranya;

feodalisme, kolonialisme, imperialisme modern dan kapitalisme

liberal.

Perang Dunia I pecah sebagai perang imperialis dan ditutup

oleh suatu babak baru yang menandai eskalasi pertentangan

ideologi penyebabnya adalah Perang Dunia I yang ujung-

ujungnya bermuara dalam kelahiran Uni Soviet. Jika dipandang

dari hubungan itu, menjadi tidak berlebihan jika Adam Smith dan

Karl Marx boleh dipandang sebagai sama-sama bertanggung

jawab untuk lahirnya Zaman Ideologi, yaitu suatu zaman yang

manghasilkan dua perang dunia dan satu perang dingin serta

Revolusi Bolshevik 1917.

i) Reformasi Dunia.

Sebagaimana biasanya dalam sejarah, kecamuk Perang

Dunia II tidak dapat dipandang secara berdiri sendiri. Adalah juga

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

berkat revolusi teknologi yang sudah lebih dulu memicu maraknya

Revolusi Industri di Inggris satu setengah abad sebelumnya, maka

manusia mampu menyelenggarakan perang tersebut dengan cara

yang sedemikian semesta. Perang Dunia II berproses sebagai

pacuan persenjataan canggih yang juga mencakup pacuan

teknologi ruang angkasa yang sudah sempat mendekati pat

situation, di mana para pembuat keputusan politik pada tingkat

global tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Menghentikan

perlombaan senjata tampaknya tidak mungkin, tetapi memulai

perang jelas sekali juga tidak masuk akal. Justru di sekitar

kemacetan itulah perniagaan dunia yang terutama ditunjang oleh

teknologi informasi (komputer) dan komunikasi elektronik

menyajikan suatu terobosan. Menjelang pertengahan dekade 1980-

an mendentumlah apa yang dikenal sebagai The Big Bang di Pasar

Modal London serta Wall Street di New York, di Tokyo dentuman

itu disebut Zaiteku.

Pada zaman ini terjadi Revolusi Keuangan, Revolusi

Totalierisme dan Reformasi dunia.

To give an explanation of the definition of law this response


looksbriefly at thehistorical background to how judges made law,
beforelooking at law made by Parliament37.

37
Deborah Anne Wells, The Definition of Law, http:\\ www.westlaw\world
journals\US Journals\, 20 januari 2010, 13.30.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

Setelah memahami definisi hukum dari zaman ke zaman

dan dari beberapa pakar hukum , maka dapat disimpulkan unsur-

unsur yang terkandung di dalam hukum, adalah 38:

a) Peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang.

b) Tujuannya mengatur dan menjaga tata tertib kehidupan

masyarakat.

c) Mempunyai ciri memerintah dan melarang.

d) Bersifat memaksa agar ditaati.

e) Memberikan sanksi bagi yang melanggarnya.

2) Fungsi Hukum

Hukum dan masyarakat bagaikan dua sisi mata uang yang

tiada dapat dipisahkan atau istilah lain dari ubi societas ibi ius (di

mana ada masyarakat di sana ada hukum). Hukum yang tidak

dikenal dan tidak sesuai dengan konteks sosial serta tidak ada

komunikasi yang efektif tentang tuntutan dan pembaharuan bagi

warga negara tidak akan bekerja secara efektif. Menurut Soejono

Dirdjosisworo ada empat fungsi hukum yaitu39:

a) Fungsi hukum, sebagai alat ketertiban keteraturan masyarakat.

b) Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan

sosial lahir batin.


38
Muchsin dan Fadilah Putra, op, cit., hlm. 18

39
Soejono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1984, hlm
153.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

c) Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan.

d) Fungsi kritis dari hukum

Menurut Satjipto Rahardjo40secara sosiologis dapat dilihat

dari adanya dua fungsi hukum, yaitu :

1) Social control (kontrol sosial)

Kontrol sosial merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi

warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang

telah digariskan sebagai aturan hukum.

2) Social Engineering (Rekayasa sosial)

Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau

keadaan masyarakat sebagaimana di inginkan oleh pembuat

hukum.

Dalam kaitannya dengan pembangunan, Sunaryati Hartono41

menyebutkan ada empat fungsi hukum dalam pembangunan yaitu :

1) Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan,

2) Hukum sebagai sarana pembangunan,

3) Hukum sebagai sarana penegak keadilan, dan

4) Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.

40
Satjipto RahardjoHukum Dan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung, 1979, hlm.
12-20.

41
Muchsin dan Fadilah Putra, op, cit., hlm. 20-21.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

Masih dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia Seminar

Hukum Nasional IV merumuskan adanya enam fungsi dan peranan

hukum dalam pembangunan yaitu :

1) Pengatur, penertib dan pengawas kehidupan masyarakat.

2) Penegak keadilan dan pengayom warga masyarakat terutama

yang mempunyai kedudukan sosial ekonomi lemah.

3) Penggerak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju

masyarakat yang dicita-citakan.

4) Mepengaruhi masyarakat pada nilai-nilai yang mendukung usaha

pembangunan.

5) Faktor penjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis

dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat.

6) Faktor integrasi antara berbagai sistem budaya bangsa.

Para ahli hukum dalam merumuskan tujuan dari hukum sama

dengan merumuskan definisi dari hukum, antara satu dan yang

lainnya pendapatnya berbeda-beda.

Kemudian Van Apeldoorn dalam bukunya mengatakan,

tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai

dan hukum bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan

perdamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan

yang dilindungi 42.

42
Van Apeldoorn, L.J, Pengantar Dalam Hukum (Penerjemah Oetorid Sadino).
Pradya Paramita, Jakarta, 1981. hlm. 22-23.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

Utrecht mengatakan bahwa hukum bertugas ”Menjamin

adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam pergaulan

masyarakat”43.

Teori tentang hukum dan fungsi hukum diperlukan karena


pengaturan pelaksanaan bedah plastik di Indonesia bedasarkan
peraturan perundang-undangan tentang kesehatan, apakah telah
sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam hukum kesehatan
dan apakah pelaksanaan program dan kebijakan itu pada
masyarakat dilakukan dengan mempertimbangkan hukum semata
dengan tanpa mempertimbangkan kondisi kondisi sosial dalam
masyarakat? Ataukah dengan mempertimbangkan kondisi dalam
masyarakat. Teori tentang hukum dan fungsi hukum dapat
mempermudah dalam meneliti permasalahan ini.

3) Teori tentang Hukum

Para ahli hukum dalam merumuskan tujuan dari hukum sama

dengan merumuskan definisi dari hukum, antara satu dan yang

lainnya pendapatnya berbeda-beda.

Menurut teori etis (etische theorie), hukum hanya semata-

mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali

dikemukakan oleh Filsof Yunani, Aristoteles dalam karyanya

“Ethica Nicomachea” dan “Rheotorika” yang menyatakan:

“Bahwa hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi


kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya44 .

43
Utrech, T.E, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Disadur oleh M. Sidik
Djinjang), PT. Ictiar Baru. Jakarta, 1983, hlm 11-13.

44
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

Kemudian Van Apeldoorn dalam bukunya mengatakan :

Tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara

damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian di antara

manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi

kepentingan manusia yang tertentu yaitu kehormatan,

kemerdekaan, jiwa harta benda, dan lain sebagaimya terhadap yang

merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan-

golongan manusia selalu bertentangan sati sama lain. Pertentangan

kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian, bahkan

peperangan antara semua orang melawan semua orang, jika hukum

tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan

perdamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan

yang dilindungi, di mana setiap orang memperoleh sebanyak

mungkin yang menjadi haknya 45.

Tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan bahagia dan

tertib dalam masyarakat. Kemudian Utrecht mengatakan bahwa

hukum bertugas 46:

Menjamin adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam

pergaulan masyarakat. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain,

yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam

45
Van Apel Dorn, L.J, loc. cit.

46
Utrech, T.E, loc. cit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum bertugas

polisionil (Politionele taak van het recht). Hukum menjaga agar

dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri.

Mochtar Kusumaatmadja dalam tulisannya yang berjudul

“Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan

Nasional” mengatakan :

“Bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah

ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban syarat pokok (Fundamental)

bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Disamping

ketertiban tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan,

yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan

zamannya” 47.

Menurut Hans Kelsen bahwa setiap kaidah hukum harus

berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatnya. Kaidah hukum

secara yuridis tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi sesuai dengan konsep sinkronisasi

sebagai analisis Pperaturan perundang-undangan yang dikaji.

Penulis menggunakan teori tentang hukum serta teori fungsi

hukum karena program pembangunan kesehatan khususnya di sini

yang mengatur tentang bedah plastik, apakah pelaksanaan program

itu pada masyarakat telah sesuai dengan aturan yang ada?

Bagaimana seharusnya hukum kesehatan mengatur tentang hal

47
Muchsin dan Fadilah Putra, op, cit., hlm. 22.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

tersebut. Teori tentang hukum dan fungsi hukum dapat

mempermudah Peneliti dalam meneliti permasalahan ini.

Menurut Penulis, teori hukum yang baik adalah hukum

yang mendasarkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan

merespon kepentingan masyarakat sesuai dengan teori hukum

ketiga, yaitu teori hukum responsif dari Philippe Nonet.

Menurut Philippe Nonet ada tiga model hukum, yaitu:

hukum represif, otonom dan responsif, yang semuanya dapat

dipahami sebagai tiga respon terhadap dilema yang ada antara

integritas dan keterbukaan. Hukum yang represif ditandai dengan

adaptasi yang pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum

terhadap lingkungan sosial dan politik. Hukum otonom merupakan

suatu reaksi yang menentang keterbukaan yang serampangan.

Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana menjaga

integritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum

mengisolasi dirinya, mempersempit tanggung jawabnya dan

menerima formalisme yang buta demi mencapai sebuah integritas48.

Model hukum yang ketiga (hukum responsif) berusaha

untuk mengatasi ketegangan tersebut. Disebut responsif, bukan

terbuka atau adaptif, untuk menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi

yang bertanggungjawab, dengan demikian, adaptasi yang selektif

48
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law & Society in Transition: Toward
Responsive Law, terjemahan oleh Rafael Edy Bosco, Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Jakarta, hlm. 62-63.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

dan tidak serampangan. Suatu institusi yang responsif

mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya

sembari tetap memperhatikan atau memperhitungkan keberadaan-

keberadaan kekuatan-kekuatan baru dalam lingkungannya. Untuk

melakukan ini, hukum responsif memperkuat cara-cara di mana

keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat

benturan di antara keduanya. Lembaga responsif ini menganggap

tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan

untuk mengoreksi diri. Hukum responsif beranggapan bahwa tujuan

dapat dibuat cukup obyektif dan cukup berkuasa untuk mengontrol

pembuatan pertauran yang adaptif. Dalam menyerukan suatu tatanan

hukum yang terbuka dan purposif (berorientasi pada tujuan),

pendukung-pendukung hukum responsif lebih memilih alternatif

“risiko tinggi”49.

4) Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik

Menurut Barclay dan Birkland50, hubungan antara hukum

dan kebijakan publik yang pertama dan mendasar adalah : “Untuk

melihat hubungan antara hukum dan kebijakan publik, yaitu

pemahaman bahwa pada dasarnya, kebijakan publik umumnya harus

dilegalisasikan dalam bentuk hukum, dan pada dasarnya sebuah

hukum adalah hasil dari kebijakan publik”.

49
Ibid.

50
Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkilisan, Mira Subandini, op.cit, hlm 32.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

4. Tinjauan Umum Tentang Hukum Kesehatan

a. Konsep Hukum Kesehatan

Hukum kesehatan adalah rangkaian peraturan perundang-


undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medik
51
dan sarana medik . Pengertian ini sebenarnya sangatlah sempit
dalam menjabarkan definisi dari hukum kesehatan, karena hukum
kesehatan tidak hanya berupa peraturan melainkan merupakan
salah satu disiplin ilmu hukum yang mempunyai teori dan
peraturan.

Hukum kesehatan pada dasarnya merupakan suatu cabang


ilmu hukum yang bersifat interdisipliner, oleh karena di dalamnya
terkandung berbagai aspek hukum pidana, hukum perdata, serta
hukum administrasi.

Hukum kesehatan seringkali diidentikkan dengan hukum


kedokteran, meskipun keduanya memiliki beberapa perbedaan.
Obyek hukum kesehatan adalah Health Care/Pemeliharaan
Kesehatan, maka obyek hukum kedokteran itu adalah pelayanan
medis.Hukum Kedokteran bagian dari Hukum Kesehatan yang
terpenting, meliputi ketentuan yang berhubungan langsung dengan
pelayanan medis. Jadi, Hukum Kedokteran adalah Hukum
Kesehatan dalam arti sempit.Higiene lingkungan seperti polusi air,
polusi udara dan tanah termasuk dalam pemeliharaan kesehatan.
Jadi, masuk dalam Hukum Kesehatan52.

51
CST.Kansil, Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1991), hlm 1.

52
Fred Ameln, op.cit, hlm. 23.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

Hukum Kedokteran dapat dibedakan menjadi hal berikut


53
ini :

1) Hukum kedokteran dalam arti luas (Medical Law)

Hukum kedokteran dalam arti luas (Medical Law) yaitu


ketentuan-ketentuan hukum yang menyangkut bidang medis,
baik profesi medis dokter maupun tenaga medis dan paramedis
lainnya.

2) Hukum kedokteran dalam arti sempit (Artzrecht)

Hukum kedokteran dalam arti sempit (Artzrecht) yaitu


ketentuan-ketentuan hukum yang hanya berkaitan dengan
profesi dokter.

Obyek lain dari hukum kedokteran adalah pelayanan medis


(medical service). Sedangkan obyek dari hukum kesehatan adalah
pelayanan kesehatan (health care). Pelayanan kesehatan
mengandung pengertian suatu pelayanan di bidang kesehatan baik
yang bersifat medis dokter maupun tenaga kesehatan lainnya54.

Dalam hal pelayanan kesehatan ada dua sifat pokok, yaitu


sebagai berikut55:

1) Sifat individual. Sifat ini dapat terjadi antara lain pada hal
berikut ini :

a) Pasien, dalam hal diagnosa dan terapi;


b) Lingkungan, dalam hal perawatan terhadap pasien akan
mempengaruhi orang-orang. Baik yang berhubungan

53
Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1993), hlm. 28.

54
C.S.T Kansil, op.cit., hlm. 55.

55
Ibid; hlm. 57.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50

langsung dengan pasien maupun tidak. Pengaruh ini dapat


bersifat sementara, misalnya ketergantungan dalam hal
pengobatan dan perawatan selama sakit, maupun bersifat
tetap, misalnya cacat yang diderita mengakibatkan ia
tergantung kepada orang lain selama hidupnya dengan
menggunakan kursi roda.

2) Sifat kolektifitas, dalam hal ini yang menonjol adalah aspek


publik, dikarenakan pelayanan kesehatan lebih ditujukan untuk
kepentingan umum. Kolektivitas di sini dapat berlaku terhadap
sebagian masyarakat, misalnya kelompok balita, manula,
maupun berlaku terhadap seluruh masyarakat, misalnya
program pemberantasan jentik nyamuk.

Ketentuan hukum perdata yang erat kaitannya dengan


tindakan tenaga kesehatan yang tidak atau kurang memenuhi
standar profesi yang berlaku terhadap setiap tenaga kesehatan
dapat dianggap telah melakukan tindakan wanprestasi atau cacat
prestasi, ataupun dapat dianggap telah melakukan perbuatan
melawan hukum. Pelanggaran di bidang hukum kesehatan
kemudian disebut dengan “Malpraktek”. Istilah Malpraktek ini
umumnya digunakan untuk suatu kesalahan profesional
(Profesional misconduct), yang dalam beberapa kamus dikaitkan
dengan profesi Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan, maupun
pengacara dan akuntan.

Menurut Fred Ameln, dalam bidang kedokteran dapat


dikatakan telah terjadi suatu Malpraktek Medis (Medical
Malpractice) jika seorang dokter melakukan tindakan medis yang
salah (wrong doing) atau tidak cukup mengurus pengobatan atau
perawatan pasien (neglet the patient by giving not or not enough

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

care to patient). Yang ilegal maupun yang sesuai dengan etika (un-
ethical practice)56.

Fungsi hukum kesehatan sebagai suatu norma yang


mengatur hubungan hukum, adalah sebagai berikut57:

1) Kepastian hukum
2) Perlindungan hukum
3) Menampung pendapat-pendapat etis dalam suatu masyarakat
yang “etis pluriform”58.

b. Sumber Hukum Kesehatan

Secara garis besar sumber hukum kesehatan di Indonesia,


meliputi59:

1) Peraturan hukum tertulis, baik yang berupa Undang-Undang,


Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, maupun Keputusan
Menteri.
2) Kebiasaan yang tidak tertulis.
3) Yurisprudensi tetap.
4) Doktrin atau ajaran ilmu pengetahuan.

c. Jenis Perikatan Antara Dokter dan Pasien

Perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua


orang atau dua pihak, yaitu pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban

56
Fred Ameln, op.cit.,hlm 10.

57
Ibid; hlm 13.

58
Husein Kerbala, op.cit., hlm 24.

59
Fred Ameln, op.cit.,hlm 20.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

60
untuk memenuhi kewajiban itu . Perikatan adalah sesuatu yang
abstrak, sedangkan perjanjian adalah sesuatu yang konkrit atau
sesuatu peristiwa. Perikatan dapat lahir dari Undang-Undang dan
dari perjanjian. Pada hakekatnya isi dari suatu perjanjian harus
memuat hal-hal, yaitu 61:

1) Tidak bertentangan dengan kepatutan (billijkheid).


2) Didasarkan pada itikad baik (te goeder trow) para pihak.
3) Mencakup kepentingan para pihak.

Ditinjau dari sudut pandang hukum perdata hubungan


hukum antara dokter dan pasien dapat terjadi dikarenakan sebagai
berikut62:

1) Berdasarkan Perjanjian (ius contract)

Dalam hal ini terjadi suatu hubungan terapeutik antara


dokter dan pasien yang didasarkan atas kemauan atau kehendak
bebas. Pasien datang ke rumah sakit atau tempat praktek dokter
dengan sukarela.

2) Berdasarkan Undang-Undang (ius delicto)

Dalam hal ini tidak terdapat suatu kehendak bebas dari


pasien untuk mengadakan suatu hubungan terapeutik dengan
dokter, dikarenakan pasien berada dalam keadaan tidak sadar
sehingga tidak dapat diminta persetujuan dilakukannya
tindakan medis. Jadi perikatan yang terjadi antara dokter dan

60
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 1.

61
Hermien Hadiati Koeswadji, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 116.

62
Subekti, op.cit., hlm 4.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

pasien dikarenakan adanya suatu keadaan darurat, dimana


pasien sangat membutuhkan pelayanan kesehatan dari dokter.

Hubungan hukum antara dokter dan pasien atau yang


disebut dengan transaksi pengobatan atau transaksi terapeutik.
Secara yuridis, transaksi terapeutik dapat diartikan sebagai suatu
hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medik
secara profesional didasari kompetensi yang sesuai dengan
keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran.
Transaksi terapeutik didasarkan atas sikap saling percaya,
sebagaimana dirumuskan dalam Mukadimah Kode Etik
Kedokteran Indonesia yang termuat dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 434/ Men.Kes/ SK/ X/ 1983
tentang berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia bagi para
dokter di Indonesia :

“Sejak permulaan sejarah yang tersurat mengenai umat


manusia sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan
yaitu yang pengobat dan penderita. Dalam zaman modern
hubungan itu disebut sebagai transaksi terapeutik antara dokter
dan penderita, yang dilakukan dalam suasana saling percaya
(confidential) serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan,
dan kekhawatiran makhluk insani”.

Penjelasan umum tentang PP. No.10 Tahun 1966 Tentang


Wajib Simpan Rahasia Kedokteran menyatakan sebagai berikut :

“Setiap orang harus dapat meminta pertolongan kedokteran


dengan perasaan aman dan bebas. Ia harus dapat menceritakan
dengan hati terbuka segala keluhan yang mengganggunya, baik
bersifat jasmaniah maupun rohaniah, dengan keyakinan bahwa hal
itu berguna untuk menyembuhkan dirinya. Ia tidak boleh merasa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54

khawatir bahwa segala sesuatu mengenai keadaannya akan


disampaikan kepada orang lain, baik oleh dokter maupun oleh
petugas kedokteran yang bekerja sama dengan dokter tersebut”.

Variasi obyek perjanjian medis yang dapat diadakan


sehubungan dengan tindakan medis yang oleh dokter terhadap
pasien, antara lain 63:

1) Medical Check-up.
2) Imunisasi.
3) Keluarga Berencana (KB).
4) Usaha penyembuhan penyakit.
5) Meringankan penderitaan.
6) Memperpanjang hidup.
7) Rehabilitasi.

Berkaitan adanya hubungan dokter dan pasien atas dasar


perjanjian, maka perikatan harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :

1) Sepakat.
2) Cakap melakukan perbuatan hukum.
3) Suatu hal tertentu.
4) Sebab yang halal.

Ketiadaan salah satu syarat dalam Pasal 1320 Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata menyebabkan perjanjian medis
dapat dimintakan pembatalannya atau dinyatakan batal demi
hukum oleh hakim. Suatu tindakan medis yang dilakukan oleh

63
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara,
Jakarta 1996, hlm. 52-54.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

dokter tanpa persetujuan dari pasien, sedangkan pasien dalam


keadaan sadar dan mampu untuk memberikan persetujuannya,
maka dokter tersebut dapat digugat telah melakukan suatu
perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Hal ini dikarenakan pasien mempunyai
hak atas tubuhnya, sehingga dokter wajib menghormati privacy
dan keadaan tubuh pasien. Hal ini yang melahirkan kewajiban
dokter untuk memberikan informasi dan meminta persetujuan
pasien sebelum melakukan suatu tindakan medis.

Pada umumnya bentuk perjanjian dapat terbagi atas dua


bentuk, yaitu sebagai berikut 64:

1) Inspanningsverbintenis

Inspanningsverbintenis adalah perikatan yang didasarkan


pada suatu upaya yang maksimal. Biasanya hubungan antara
dokter dan pasien merupakan bentuk dari
Inspanningsverbintenis. Dokter mengikatkan diri untuk
berupaya secara maksimal mungkin (inspanning) dan
umumnya tidak mengikat diri untuk mencapai suatu hasil
tertentu (resultaat)65. jadi ini merupakan perjanjian yang
haslnya belum pasti.

Dasar hubungan ini adalah kepercayaan oleh pasien


kepada dokternya (fiduciary relationship, trust, vertrouwen66.
Di dalam setiap tindakan medis itu selalu terdapat suatu unsur

64
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT.
Rineka Cipta., Jakarta, 2005, hlm. 13.

65
Tim Pengkajian Bidang Hukum Kedokteran, Op. Cit., hlm. 34.

66
J.Guwandi, Etika Hukum Kedokteran, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 1991, hlm 42.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

yang tidak pasti. Itulah sebabnya mengapa kontrak medis itu


pada umumnya merupakan suatu Inspanningsverbintenis dan
bukan merupakan suatu Resultaatsverbintenis 67.

2) Resultaatsverbintenis

Resultaatsverbintenis adalah suatu bentuk perikatan


yang didasarkan atas hasil yang ingin dicapai atau telah
diperjanjikan sebelumnya. Di dalam hukum kesehatan, bentuk
perjanjian seperti ini tidak termasuk, karena kondisi pasien
yang tidak sama sehingga hasil yang akan dicapai akan
berbeda, selain itu faktor kemampuan pasien, dokter beserta
sarana dan fasilitas yang tersedia juga akan mempengaruhi
hasil yang akan dicapai.

Masih terdapat perdebatan mengenai hubungan-


hubungan dokter dan pasien, termasuk bentuk perjanjian
Inspanningsverbintenis dan Resultaatsverbintenis, terlebih
terhadap :

a) Dokter ortopedi yang membuat kaki palsu.


b) Dokter gigi yang membuat protese gigi palsu.

Sebagai transaksi teurapetik, maka ada ketentuan


normatif yang memberikan hak dan kewajiban bagi para pihak.
Adapun hak dasar pasien dalam bidang kesehatan dapat
dijabarkan sebagai berikut 68:

67
Leenen dan P.A.F Lamintang, Op. Cit., hlm. 38.

68
Fred Ameln, op.cit., hlm. 55.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

a) Hak dasar sosial, hak ini disebut sebagai hak atas


pemeliharaan kesehatan (The Right to Health), dipengaruhi
faktor-faktor :

(1) Sarana.
(2) Geografis.
(3) Finansial.
(4) Kualitas.

b) Hak dasar individu, hak ini disebut hak untuk menentukan


diri sendiri (The Right to Self Determination), yang terkait
dengan hak-hak antara lain sebagai berikut :

(1) Hak atas privacy yang dalam bidang kesehatan


meliputi:

(a) Hak memilih dokter dan rumah sakit.


(b) Hak memilih sarana kesehatan.
(c) Hak atas rahasia kedokteran.
(d) Hak menolak pengobatan atau perawatan.
(e) Hak atas second opinion.
(f) Hak atas isi rekam medis.
(g) Hak menghentikan perawatan atau pengobatan.
(h) Hak atas pelayanan medis atau perawatan.
(i) Hak atas informasi dan persetujuan.
(j) Hak untuk tidak terlalu dibatasi kemerdekaannya
selama proses pengobatan.
(k) Hak untuk mengadu dan mengajukan gugatan.
(l) Hak atas ganti rugi.

(2) Hak atas badan sendiri

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58

Hak ini menimbulkan hak atas informed consent


yang terdiri dari :

(a) Hak atas informasi.


(b) Hak memberikan persetujuan.

Pasien sebagai salah satu pihak dalam transaksi terapeutik


juga mengemban kewajiban, antara lain sebagai berikut :

a) Memberikan informasi kepada dokter tentang penyakit yang


diderita secara lengkap.
b) Menaati petunjuk dan instruksi dokter.
c) Mentaati aturan rumah sakit.
d) Memberikan imbalan jasa kepada dokter.
e) Melunasi biaya rumah sakit.

Dokter sebagai pihak yang memberikan pelayanan


kepada pasien, di dalam menjalankan tugasnya mempunyai hak-
hak antara lain sebagai berikut :

a) Hak untuk bekerja menurut standar medis.


b) Hak menolak melaksanakan tindakan medis yang ia tidak
dapat pertanggungjawabkan secara profesional.
c) Hak untuk menolak suatu tindakan medis yang menurut suara
hatinya tidak baik. Dalam hal ini ia berkewajiban untuk
merujuk pasien kepada dokter lain.
d) Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasiennya.
e) Hak atas privacy dokter.
f) Hak atas itikad baik dari pasien.
g) Hak atas balas jasa.
h) Hak atas fair play dalam menghadapi pasien yang tidak puas
terhadapnya.
i) Hak untuk membela diri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59

j) Hak untuk memilih pasien. Hak ini sifatnya tidak mutlak,


akan tetapi banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
k) Hak menolak memberikan keterangan tentang pasien di
pengadilan (verschoningrecht van de arts).

Sedangkan kewajiban dokter yang diatur dalam Kode


Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) antara lain menyatakan
sebagai berikut69:

a) Kewajiban umum

Seorang dokter hendaklah senantiasa melakukan profesinya


menurut ukuran yang tertinggi dan tidak dipengaruhi oleh
pertimbangan keuntungan pribadi seorang dokter dilarang
melakukan perbuatan yang dipandang bertentangan dengan
etik.

b) Kewajiban dokter terhadap pasien

Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban


melindungi hidup mahluk insani, bersikap tulus ikhlas
terhadap pasien dan mempergunakan seluruh sumber
keilmuannya. Apabila dokter tidak mampu melakukan
pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib berkonsultasi
dengan dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit
yang bersangkutan. Pasien hendaknya diberi kesempatan
supaya senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan
penasehatnya. Seorang dokter wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, karena
kepercayaan yang telah diberikan kepadanya, bahkan ketika

69
J.Guwandi, , op.cit., hlm. 60.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60

pasien itu telah meninggal. Seorang dokter juga wajib


melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bersedia dan mampu untuk memberikannya.

c) Kewajiban dokter terhadap teman sejawat

Seorang dokter memperlakukan teman sejawatnya


sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan, tidak boleh
merebut dari teman sejawatnya, serta menjunjung tinggi
Declaration of Geneva yang telah diterima oleh Ikatan
Dokter Indonesia (IDI).

d) Kewajiban dokter terhadap diri sendiri

Seorang dokter harus senantiasa memelihara kesehatannya


agar dapat bekerja dengan baik, dan terus mengikuti
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan tetap setia pada cita-
citanya yang luhur.

d. Informed Concent

1) Pengertian Informed Concent

Informed consent has been widely discussed in the mass


media. However, the meaning of informed consent is not
completely understood by the public at large or even by
doctors70.

The definition of informed consent is equally complicated.


An informed consent is an autonomous authorization by an
individual regarding a medical intervention or involvement in
biomedical research. An individual must do more than express
70
Nancy, History of Informed Consent, http:\\ www.westlaw\world journals\US
Journals\, 1 Februari 2010, 13.30.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61

agreement or comply with a proposal for this to be considered


informed consent. Informed consent is a process between
physician and patient that must contain an information
component and a consent component. The information
component refers to the disclosure of information and
comprehension of what is disclosed. The consent component
refers to a voluntary decision and agreement to undergo a
recommended procedure. Legal, regulatory, philosophical,
medical, and psychological literature tend to favor the
following elements as the necessary components of informed
consent: (1) competence; (2) disclosure; (3) understanding; (4)
voluntariness; and (5) consent. If one is competent to act,
receives thorough disclosure, has an understanding, and is
voluntary in his or her consent, then informed consent is viable.
For informed consent to be legally recognized in medical
practice, the following steps need to be clearly articulated:
1. Preconditions: Includes competence (to understand and
decide) and voluntariness (in deciding). 2. Information
elements: Includes disclosure (of risks/benefits);
recommendation (plan); and understanding (of information
and plan). 3. Consent elements: Includes authorization (based
on patient autonomy)71.

Secara harfiah, Informed berarti penjelasan, keterangan, atau


informasi. Sedangkan consent berarti memberi persetujuan atau
mengijinkan. Dengan demikian informed consent berarti suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi72.

71
Inoue Takuya, The Present Status Of Informed Consent in Obstetrics and
Gynecology, http:\\ www.westlaw\world journals\Hong Kong Law Journal\, 3 Februari,
09.00.

72
Husein Kerbala, op.cit., hlm. 1.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
62

Adapun menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 585/ Menkes/ Per/ IX/ 1989 bahwa yang
dimaksud dengan persetujuan tindakan medik/ informed
consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik
yang dilakukan terhadap pasien tersebut.

2) Isi Informed Concent (SK. PB. IDI. No. 319/PB/a.4/1988


mengenai Pernyataan IDI tentang Informed Consent):

a) Pihak yang menyampaikan penjelasan.

Yaitu dokter yang akan melakukan tindakan medis, atau


perwakilannya dengan sepengetahuan dokter yang
bersangkutan.

b) Penjelasan yang harus disampaikan, antara lain :

(1) Tujuan.
(2) Tata cara.
(3) Resiko.
(4) Alternatif tindakan medis.
(5) Prognosis penyakit bila tindakan medis itu dilakukan
atau tidak dilakukan.
c) Cara menyampaikan penjelasan
(1) Lisan.
(2) Tulisan.

d) Pihak yang boleh menyatakan persetujuan

Yaitu pasien yang bersangkutan. Batas umur pasien


yang berhak menyatakan persetujuan menurut Permenkes
No. 585 Tahun 1989 adalah 21 (dua puluh satu) tahun atau
telah menikah. Untuk dapat menyatakan persetujuan secara
mandiri, pasien harus berada pada keadaan mampu untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63

mengambil keputuan. Jika kemampuan itu tidak dimiliki,


misalnya dalam keadaan tidak sadar, kesehatan mental
terganggu, maupun karena belum dewasa, maka
persetujuan dapat diwakili oleh pihak ketiga yaitu orang
tua, wali, ataupun kurator. Jika pihak ketiga terebut juga
tidak ada atau sulit ditemukan, maka persetujuan tersebut
dapat diberikan oleh keluarga yang terdekat (next if kin) 73.

e) Cara menyatakan persetujuan

(1) Tertulis.
(2) Lisan.

3) Fungsi Informed Concent

Fungsi yang utama bagi pasien adalah sebagai dasar bagi


persetujuan yang akan ia berikan kepada dokter. Sehingga
apabila informasi yang diberikan oleh dokter itu kurang
memadai atau dokter tidak memberikan informasi sama sekali,
maka pasien tidak mempunyai landasan yang cukup untuk
memutuskan memberi atau tidak memberi persetujuannya
kepada dokter 74.

Dalam hal tindakan medik yang akan dilakukan adalah bedah


plastik, maka pasien berhak untuk diberitahukan segala hal yang
berkaitan dengan tindakan bedah plastik yang akan dilakukan,
kemudian pasien dapat mempertimbangkan persetujuannya

73
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI,
1997/1998, hlm. 1

74
Veronica Komalawi, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik
(Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2002.
hlm. 11
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64

sebagaimana dikemukakan oleh Badan Pembinaan Hukum


Nasional (BPHN) :

“Informed consent requires a physician to lay out all the


information a patient needs to have to understand a particular
treatment – what the treatment it self will involve and what rik
vome with it”75 .

Kalimat di atas menyatakan bahwa pasien harus


diinformasikan mengenai segala hal yang terkait dengan
tindakan medis yang akan dilakukan, termasuk resiko dan efek
sampingnya.

Informasi bagi pasien juga berfungsi sebagai perlindungan


atas hak pasien untuk menentukan diri sendiri. Dalam arti bahwa
pasien berhak penuh untuk diterapkannya suatu tindakan medik
atau tidak. Dalam hal ini harus dihormati oleh setiap orang
termasuk dokter yang merawatnya, sebagaimana dinyatakan
dalam fatwa PB IDI tentang Informed Consent, yaitu :

“Manusia dewasa yang sehat rohaniah berhak menentukan


apa yang hendak dilakukan dengan tubuhnya. Dokter tidak
berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri”
(SK. PB. IDI. No. 319/PB/a.4/1988 mengenai Pernyataan IDI
tentang Informed Consent).

Fungsi informasi bagi dokter di dalam melakukan pelayanan


kesehatan, yaitu 76:

75
Robert A. Burt, Taking Care of Strangers (The Rule of Law in Doctor-Patient
Relations), McMillan Publishing Co. Inc, New York, 1979, hlm.1

76
Veronica Komalawi, op.cit., hlm 11
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65

a) Dapat membantu lancarnya tindakan kedokteran.


b) Dapat mengurangi timbulnya efek samping dan komplikasi.
c) Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan
penyakit.
d) Dapat meningkatkan mutu layanan.
e) Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum.

e. Rekam medis

1) Sejarah rekam medis

Sekitar 25.000 (dua puluh lima ribu) tahun SM ( Sebelum


Masehi), rekam medis lahir bersamaan dengan lahirnya ilmu
kedokteran. Pada waktu itu tujuan utama dibuatnya rekam
medis adalah untuk mencari penyebab penyakit yang diderita
pasien. Para tabib dan dewa penyelamat (sebutan untuk dokter
pada saat itu) merasa perlu untuk mencatat perihal penyakit
pasiennya. Kemudian, kesadaran akan pentingnya rekam
medis terus berkembang, terlebih dalam ilmu bedah. Pada
tahaun 1913, The American College of Surgeon, memutukan
keharusan untuk mengevaluasi hasil kerja para ahli bedahnya,
yang kemudian dijadikan dasar pendidikan dokter bedah. Atas
dasar inilah kemudian dibuat suatu standarisasi yang harus
ditaati oleh setiap rumah sakit, yaitu setiap pasien dalam setiap
tindakan medis yang dilakukan terhadapnya harus dibuatkan
rekam medis yang berisi informasi yang lengkap dan akurat 77.

2) Pengertian rekam medis

"Medical record" is defined as any document or


combination of documents that pertains to a patient's medical

77
Fred Ameln, op.cit., hlm 78
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66

history, diagnosis, prognosis, or medical condition and that is


generated and maintained in the process of the patient's health
care treatment at a hospital. A medical record is "finalized"
when the record is complete according to the hospital's
bylaws. A patient who wishes to examine or obtain a copy of a
finalized medical record is required to submit a signed,
written request to the hospital.

If the patient wants a copy of the record, the request must


indicate whether the copy should be sent to the patient's
residence or held for the patient at the hospital. Within a
reasonable time after receiving the request, the hospital must
permit the patient to examine the record or provide a copy of
the record. If a hospital does not furnish a medical record to
which a patient is entitled, the patient may bring a civil action
to examine or obtain a copy of the record78.

Berdasarkan Permenkes RI Nomor 749a/ Men. Kes/ Per/


XII/1989 tentang Rekam Medis/ Medical Record, dalam Pasal
I a menyebutkan bahwa rekam medis adalah berkas yang
berisikan catatan, dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain pada
pasien pada sarana pelayanan kesehatan.

3) Isi Rekam Medis

Berdasarkan Permenkes RI Nomor 749a/ Men. Kes/ Per/


XII/1989 tentang Rekam Medis/ Medical Record, dalam Pasal
14 menyebutkan bahwa isi rekam medis untuk pasien rawat
jalan dapat dibuat selengkap-lengkapnya dan sekurang-

78
Peterson, The Process of The Patient's Health Care Treatment at a Hospital, http:\\
www.westlaw\world journals\US Journals\, 4 Februari 2010. 14.00.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67

kurangnya memuat : identitas, anamnese, diagnosis dan


tindakan/ pengobatan. Selanjutnya dalam Pasal 15 disebutkan
bahwa isi rekam medis untuk pasien rawat inap sekurang-
kurangnya memuat : identitas, anamnese,riwayat penyakit,
hasil pemeriksaan laborik, diagnosis, persetujuan tindakan
medik, tindakan / pengobatan, catatan perawat, catatan
observasi klinis dan hasil pengobatan, resume akhir dan
evaluasi pengobatan.

Isi dari suatu rekam medis dapat dijabarkan sebagai


berikut 79:

a) Identitas lengkap pasien, seperti nama, jenis kelamin,


tempat tanggal lahir, dan alamat.
b) Catatan tentang penyakit, seperti diagnosa atau analisa,
terapi, pengamatan perjalanan penyakit.
c) Catatan dari pihak dokter sebelumnya atau dokter
pengganti.
d) Hasil pemeriksaan, seperti laboratorium, foto rontgen,
USG, city scan, dan sebagainya.
e) Apabila terdapat perubahan terhadap rekam medis harus
dilakukan dalam lembaran khusus yang harus dijadikan
satu dengan berkas rekam medis yang lain.

4) Sifat dan Kepemikan

Sifat dari suatu rekam medis adalah rahasia. Jadi hanya


dapat dilihat oleh orang tertentu saja, yaitu dokter dan pasien
yang bersangkutan.

79
Ibid, hlm 8
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
68

Pemilik atas isi rekam medis adalah pasien, sedangkan


pemilik atas berkas rekam medis adalah rumah sakit, sarana
/fasilitas pelayanan kesehatan lainnya atau dokter praktek
pribadi maupun kelompok tempat pasien yang bersangkutan
dirawat80.

5) Fungsi dan Lama Penyampaian

Fungsi dari dibuatnya suatu rekam medis, antara lain


81
:
a) Untuk mengukur kemampuan dokter yang bersangkutan
dalam mengatasi penyakit yang diderita oleh pasien.
b) Sebagai kegiatan klinis, analisa, pendidikan, serta evaluasi
terhadap suatu pelayanan yang diberikan kepada pasien.
c) Sebagai sarana acuan (reference).
d) Sebagai kegiatan administrasi.
e) Sebagai suatu tindakan antisipasi atau perlindungan dari
kemungkinan adanya suatu tuntutan hukum.
f) Sebagai sarana komunikasi bagi para tenaga kesehatan.
g) Sebagai sistem informasi rujukan pasien.
h) Sebagai suatu data yang membantu kelancaran pelayanan
asuransi kesehatan.

Rekam medis yang mengandung kegunaan secara


administratif, hukum, keuangan, riset, edukasi, dan
dokumentai merupakan satu-satunya catatan yang akan
menjadi bahan kajian yang mampu menerangkan tentang

80
Surat Keputusan Ikatan Dokter Indonesia (SK IDI) Nomor 315/PB/A.4/1988
tentang Rekam Medis dan Permenkes RI Nomor 749a/ Men. Kes/ Per/ XII/1989 tentang
Rekam Medis/ Medical Record, dalam Pasal 9 dan Pasal 10.

81
Surat Keputusan Ikatan Dokter Indonesia (SK IDI) Nomor 315/PB/A.4/1988
tentang Rekam Medis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
69

kualitas pelayanan kesehatan dibandingkan dengan kebutuhan


pelayanan kesehatan masyarakat, baik dari aspek preventif,
represif, kuratif, maupun promotif. Data yang terdapat dalam
rekam medis akan menjadi tolak ukur dalam keberhasilan
pelaksanaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh
lembaga pelayanan kesehatan, tenaga medis, dan paramedis
serta untuk menjadi bahan pembuktian apabila suatu saat
dihadapkan ke pengadilan atas tuntutan pasien atas kewajiban
dan pelayanan kesehatan yang telah diberikan.

5. Teori Pelaksanaan Hukum Berkaitan dengan Pelaksanaan Bedah

Plastik

Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang


abstrak. Sekalipun abstrak tetapi ia dibuat untuk diimplementasikan dalam
kehidupan soaial sehari-hari. Oleh karena itu perlu adanya suatu kegiatan
untuk mewujudkan ide-ide tersebut ke dalam masyarakat. Rangkaian
kegiatan dalam rangka mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan
merupakan suatu proses penegakkan hukum82 .

Pada penegakkan hukum bersinggungan dengan banyak aspek lain


yang melingkupinya. Suatu hal yang pasti, bahwa usaha untuk
mewujudkan ide atau nilai selalu melibatkan lingkungan serta berbagai
pengaruh faktor lainnya. Oleh karena itu penegakkan hukum tidak dilihat
berdiri sendiri, melainkan selalu berada diantara berbagai faktor. Dalam
konteks yang demikian itu, titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak
sekedar “rumusan hitam putih” yang ditetapkan dalam berbagai bentuk
peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu

82
Esmi Warassih, Pranata Hukum; Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru
Utama, Semarang. 2005. hlm. 78.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70

gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain melalui tingkah
laku warga masyarakat.

Perhatian juga harus ditujukan kepada hubungan antara hukum


dengan faktor-faktor non hukum lainnya, terutama faktor nilai dan sikap
serta pandangan masyarakat, yang selanjutnya disebut dengan kultur
hukum. Kultur hukum itulah yang membuat perbedaan penegakkan hukum
antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.

Lawrence M. Friedman mengemukakan adanya tiga unsur sistem


hukum (three element of legal system). Ketiga unsur sistem hukum yang
mempengaruhi bekerjanya hukum yaitu83 :

1. Komponen struktur hukum yaitu kelembagaan yang diciptakan sistem

hukum dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung

bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk

melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap

penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur. Komponen ini

dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan

pelayanan terhadap penggarapan bahan hukum secara teratur.

2. Komponen substansi sebagai out put dari sistem hukum berupa

peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh

pihak yang mengatur maupun yang diatur.

Komponen substansi juga mencakup living law (hukum yang

hidup, dan bukan hanya aturan yang ada dalam Undang-undang saja

atau law in the books).

83
Esmi Warassih, op.cit., hlm. 30.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
71

3. Komponen kultural menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap

hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran dan

harapannya. Pemikiran dan pendapatan ini sedikit banyak menjadi

penentu sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana

hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa kultur

hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan mati

terkapar di keranjang, dan bukan seperti ikan hidup yang berenang di

air.

Komponen kultural terdiri dari nilai-nilai dan sikap yang

mempengaruhi bekerjanya hukum atau yang disebut kultur hukum.

Kultur hukum inilah yang menghubungkan antara peraturan hukum

dengan tingkah laku hukum warga masyarakat84.

Dalam penelitian ini komponen struktur hukum adalah Pemerintah


yang diwakili oleh Kementerian Kesehatan dan strukturnya maupun
berbagai lembaga dan badan/organisasi yang terkait dengan program
pembangunan kesehatan, khususnya yang mengatur tentang pelaksanaan
operasi bedah plastik, diantaranya IDI, PERAPI dan RSDM. Komponen
substansi hukum adalah aturan dan keputusan yang ada yang berkaitan
dengan program pembangunan kesehatan, khususnya yang mengatur
tentang pelaksanaan operasi bedah plastik dan termasuk aturan yang tidak
tertulis yang hidup dalam masyarakat dalam hal ini adalah yang
dikeluarkan oleh Pemerintah, Kementerian Kesehatan, IDI dan PERAPI,
khususnya mengenai prosedur tetap tentang pelaksanaan operasi bedah
plastik. Komponen kultural adalah bagaimana sikap masyarakat terhadap
hukum, bagaimana masyarakat memandang hukum tentang program

84
Esmi Warassih, op.cit., hlm. 30.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
72

pembangunan kesehatan, khususnya di sini adalah aturan yang mengatur


tentang bedah plastik.

Menurut Paul dan Diaz85 mengajukan lima syarat untuk


mengefektifkan sistem hukum, yaitu :

1. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan

dipahami.

2. Luas tidaknya kalangan dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-

aturan hukum yang bersangkutan.

3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.adanya

mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak mudah dijangkau dan

dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup

efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa.

4. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga

masyarakat, bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu

memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.

Berbicara masalah hukum pada dasarnya adalah membicarakan


fungsi hukum dalam masyarakat karena hukum memegang peranan
penting sebagai kerangka kehidupan sosial dan karenanya menurut
Sinzheimer86 mengatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang
hampa dan berhadapan dengan hal-hal abstrak, melainkan ia senantiasa
berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang
hidup. Jadi bukan hanya sebagaimana mengatur dalam masyarakat timbul
efek yang dikehendaki oleh hukum. Dengan demikian masalah efisiensi

85
Ibid, hlm. 105-106.

86
Ibid, hlm. 5.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
73

suatu peraturan hukum menjadi sangat penting. Oleh karena itu


menyangkut pula kaitan-kaitan lain dalam berfikirnya, yaitu meninjau
hubungan hubungan dengan faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial
diluarnya.

Hukum sebagai proses tidak dapat dilihat sebagai suatu perjalanan


penetapan peraturan-peraturan hukum saja. Melainkan, hukum sebagai
proses perwujudan tujuan sosial dalam hukum. Dengan demikian telah
berlangsung perjalanan menetapkan peraturan itu adalah adanya suatu
proses penetrasi dari sektor-sektor kehidupan masyarakat. Mengenai hal
ini Bredermeier87 berpendapat bekerjanya empat proses fungsional utama,
yaitu :

1. Adaptasi,

2. Perwujudan Tujuan,

3. Mempertahankan pola, dan

4. Integrasi .

Keempat proses itu saling terkait dan saling memberi input. Setiap
sub proses memperoleh input dari ketiga lainnya dan out put dari salah
satu sub proses itu juga menjadi input bagi sub proses lain.

Menurut Radbruch88. Hukum harus mempunyai tiga nilai idealitas


atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik, yaitu :

1) Keadilan.

2) Kemanfaatan / kegunaan.

3) Kepastian Hukum.
87
Ibid, hlm. 5.

88
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung, 1979,
hlm. 19-20.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
74

Disamping itu, ada tiga dasar berlakunya hukum atau undang-


undang, yaitu berlaku secara :

1) Filosofis.

2) Sosiologis.

3) Yuridis.

Sehingga nilai idealitas atau nilai dan dasar berlakunya hukum atau
undang-undang dapat digambarkan sebagai berikut :

Nilai-nilai Dasar Kesahan Berlaku

Keadilan Filosofis

HUKUM Sosiologis
Kegunaan
Kepastian Yuridis
Hukum

Ketertiban masyarakat yang tampak dari luar itu, dari dalam di


dukung oleh lebih dari satu macam tatanan. Keadaan yang demikian itu
memberikan pengaruhnya tersendiri terhadap masalah efektivitas tatanan
dalam masyarakat. Kita melihat efektivitas ini dari segi peraturan hukum,
sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubungan-
hubungan antara orang-orang pun didasarkan pada hukum dan tatanan
hukum. Bahwa masyarakat kita sesungguhnya merupakan suatu rimba
tatanan, karena di dalamnya tidak hanya terdapat satu macam tatanan.

89
Sifat majemuk tersebut dilukiskan oleh Chambliss dan Seidman
yang dikenal dengan : “Teori Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat”
sebagai berikut :

89
Ibid, hlm. 20
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75

Faktor-faktor Sosial
dan Personal lainnya

Lembaga
Pembuat
Peraturan Umpan Balik

Norma Norma
Umpan Balik

Lembaga Pemegang
Penerapan Peranan
Peraturan Aktivitas Penerapan

Faktor-faktor Sosial Faktor-faktor Sosial


dan Personal lainnya dan Personal lainnya

Bagan tersebut menggambarkan peranan dari kekuatan sosial, yang


tidak hanya berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran yang diatur oleh
hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Ke dalam
“kekuatan sosial” ini termasuk kompleks tatanan lain yang telah
dibicarakan. Dari arah panah-panah tersebut, dapat diketahui bahwa hasil
akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak bisa hanya
dimonopoli oleh hukum. Kita lihat, bahwa tingkah laku rakyat tidak hanya
ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan sosial lainnya,
memberikan perspektif yang lebih baik kepada kita dalam memahami :
“Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat” 90.

90
Ibid, hlm., hlm. 21.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
76

Bagan tersebut tampak menggambarkan peranan dari kekuatan


sosial dan dijelaskan bahwa setiap undang-undang sekali dikeluarkan akan
berubah baik melalui perubahan formal maupun melalui cara-cara yang
ditempuh birokrasi ketika bertindak. Perubahan itu terutama disebabkan
oleh pemegang peran terhadap pembuat undang-undang dan terhadap
birokrasi penegakan, dan sebaliknya.

Dari bagan Seidman diketahui maka demikian pula berlaku


terhadap peraturan perundang-undangan tentang kesehatan apakah juga
dipengaruhi faktor sosial dan lainnya yaitu kepentingan yang berbeda dari
para pihak yang berbeda, sikap masyarakat maupun pemegang peranan
maupun oleh kebijakan Menteri Kesehatan.

6. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian hukum (tesis) Penulis ini adalah
pertama, penulisan hukum (skripsi) Siska Diana Sari, penulisan hukum
(skripsi) tersebut berjudul : ANALISIS MENGENAI BEDAH PLASTIK
BERDASARKAN ASPEK HUKUM KESEHATAN DAN HUKUM ISLAM
(Studi Kasus Bedah Plastik “Ny. P” Oleh “dr. W” di Rumah Sakit Umum
Bandung). Perbedaan yang mendasar dengan penelitian skripsi tersebut adalah
bahwa penelitian tersebut hanya meneliti satu kasus bedah plastik saja dan
penelitian tersebut juga didasarkan pada Hukum Islam, selain Hukum
Kesehatan, sedangkan penelitian hukum (tesis) ini adalah penelitian di suatu
tempat praktik operasi bedah plastik dan hal yang diteliti lebih kompleks
karena pada penelitian hukum (tesis) ini, Penulis meneliti mengenai
pengaturan hukum atau dasar hukum pelaksanaan operasi bedah plastik di
Indonesia dan mengevaluasi pelaksanaan operasi bedah plastik di salah satu
Sarana Kesehatan Masyarakat (Sarkesmas), yaitu di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Moewardi Surakarta.

Selanjutnya, penelitian kedua yang relevan dengan penelitian hukum


(tesis) Penulis ini adalah karya ilmiah (skripsi) psikologi, berjudul
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
77

HUBUNGAN ANTARA CITRA RAGA DAN KEPERCAYAAN DIRI


DENGAN INTENSI BEDAH PLASTIK ESTETIS PADA WANITA.
Perbedaan yang mendasar dengan penelitian skripsi tersebut adalah bahwa
penelitian tersebut hanya meneliti tentang bedah plastik dikaji berdasarkan
ilmu psikologi yang membahas tentang perubahan penampilan fisik wanita
yang dikarenakan bedah plastik yang dilakukan karena adanya masalah
dengan kepercayaan dirinya, sedangkan penelitian hukum (tesis) ini adalah
penelitian ilmiah yang pengkajiannya menggunakan ilmu hukum yaitu hukum
kesehatan. Penulis meneliti mengenai pengaturan hukum atau dasar hukum
pelaksanaan operasi bedah plastik di Indonesia dan mengevaluasi pelaksanaan
operasi bedah plastik di RSDM Surakarta.

B. Kerangka Berpikir

Peneliti akan meneliti tentang penerapan hukum kesehatan dalam


pelaksanan operasi bedah plastik sebagai upaya dan pelayanan kesehatan.
Dengan mendasarkan pada hukum kesehatan yang berlaku di Indonesia
yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan
operasi bedah plastik. Seiring dengan perkembangan zaman,
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan serta ilmu kedokteran
maka kebutuhan akan pelayanan kesehatanpun semakin berkembang,
termasuk pelayanan kesehatan operasi bedah plastik. Sekalipun pelayanan
kesehatan ini sudah bisa didapatkan di rumah sakit-rumah sakit umum,
akan tetapi berhubung dengan sedikitnya rumah sakit khusus yang
melaksanakan pelayanan operasi bedah plastik ini, maka saat ini banyak
sekali “menjamur” pelayanan kesehatan yang melakukan operasi bedah
plastik yang biasa disebut skin care atau beauty clinic. Permasalahannya
adalah apakah pelayanan kesehatan tersebut sudah menjalankan standar
kesehatan yang sesuai dengan hukum kesehatan yang berlaku atau belum?.
Pelaku operasi bedah plastik yang baik tentunya harus menjalankan
ketentuan yang berlaku dalam hukum kesehatan khususnya yang berkaitan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
78

dengan operasi bedah plastik. Peneliti juga akan meneliti bagaimana


seharusnya pengaturan tentang bedah plastik.
Secara garis besar kerangka pemikiran dalam penulisan hukum ini
dapat di gambarkan seperti bagan halaman berikut ini:

1). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992


Kesesuaian dengan H
tentang Kesehatan.
standar kesehatan U
2). Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 K
tentang Sistem Perencanaan U
Pembangunan Nasional; M
3). Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004
K
tentang Praktik Kedokteran E
4). Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 S
tentang pemerintahan daerah E
H
5). Peraturan Pemerintah RI Nomor 38
A
Tahun 2007 tentang pembagian urusan T
pemerintahan antara pemerintah, A
pemerintahan daerah provinsi dan N
pemerintahan daerah kabupaten/kota.
6). Permenkes Republik Indonesia Nomor
585 Tahun 1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik;
7). Peraturan Pemerintah RI Nomor 32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
8). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Ijin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran.

Pelaksanaan bedah plastik di RSDM Surakarta

Substansi Hukum Struktur Hukum Kultur Hukum

Gambar : Kerangka Pemikiran


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum

sosiologis (non-doktrinal), sedangkan dari sifatnya termasuk penelitian

deskriptif kualitatif. Dalam hal ini adalah suatu penelitian yang bertujuan

mendeskripsikan kebijakan hukum kesehatan dalam mengatur tentang

pelaksanaan operasi bedah plastik. Pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan interaksional atau mikro dengan analisis kualitatif yang

selanjutnya dianalisis secara logis dan sistematis, serta dengan menggunakan

metode kualitatif.

Penelitian kualitatif yang didefinisikan oleh Bogdan dan Taylor 91,

adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis dari orang-orang dan pelaku yang diamati. Selanjutnya

dalam penulisan tesis ini juga termasuk penelitian non doktrinal dengan

pendekatan empiris atau sosiologis. Hukum di sini bukan merupakan konsep

normatif melainkan suatu yang monologik. Hukum di sini bukan dikonsepkan

sebagai rules tetapi sebagai regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-

hari atau dalam alam pengalaman.

91
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
1995, hlm. 30.
commit to user
79
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
80

Penelitian dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan mengikuti

pendapat Soetandyo Wignjosoebroto tentang lima konsep hukum seperti yang

dikembangkan Setiono adalah sebagai berikut92 :

a) Hukum adalah asas-asas moral atau kebenaran dan keadilan yang

bersifat kodrati dan berlaku Universal (atau menurut bahasa

Setiono disebut sebagai hukum alam).

b) Hukum merupakan norma-norma positif didalam sistem

perundang-undangan hukum nasional.

c) Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan

tersistematisasi sebagai judge made law.

d) Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis

sebagai variabel sosial yang empirik.

e) Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku

sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka (yang menurut

bahasa Setiono disebut sebagai hukum dalam benak manusia).

Dalam penelitian ini penulis mendasarkan pada konsep hukum

yang ke-5, yaitu hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para

perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka (hukum

yang ada dalam benak manusia), tipe kajiannya Sosiologi, dengan

pendekatan interaksional/ mikro dengan analisis yang kualitatif ini

92
Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum,: Pascasarjana UNS,
Surakarta , 2005, hlm. 20-21.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
81

metode penelitiannya menggunakan Sosio-antropologi, pengkajian

humaniora dan orientasinya kepada simbolilk interaksi93.

Bentuk penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian evaluatif,

diagnostik dan perspektif, karena dalam hal ini peneliti ingin mengevaluasi

apakah penerapan hukum kesehatan dalam praktek bedah plastik berdasarkan

standar kesehatan yang berlaku sekaligus mencari penyebab atau kendala yang

di hadapi dalam penerapan hukum kesehatan dalam praktek bedah plastik di

RSDM serta memberikan saran-saran mengenai dalam hukum kesehatan yang

seharusnya mengatur bedah plastik. Menurut Setiono yang dimaksud dengan

penelitian evaluatif adalah penelitian yang dilakukan apabila seorang ingin

menilai program-program yang dijalankan sedangkan penelitian perspektif

adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran

mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah

tertentu94.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi


Surakarta dengan alasan bahwa Rumah Sakit ini adalah milik Pemerintah
Daerah Propinsi Jawa Tengah yang memiliki Kelas tertinggi yaitu Kelas B-
Pendidikan, Perpustakaan Pascasarjana UNS, Perpustakaan Fakultas Hukum
UNS dan UPT Perpustakaan UNS.

93
Ibid., hlm. 1.

94
Ibid, hlm. 2-3.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
82

C. Jenis Data dan Sumber Data

Penulisan tesis ini termasuk penelitian hukum yang sosiologis (non


doktrinal), maka jenis data yang diperlukan adalah jenis data primer dan data
sekunder (studi kepustakaan).

Penelitian hukum sosiologis / non doktrinal membutuhkan data yang


lengkap untuk mengidentifikasi suatu hal secara empiris dan data sekunder
sebagai dasar kekuatan mengikat ke dalam. Sumber data dapat berupa
manusia, peristiwa, tingkah laku, dokumen dan arsip serta berbagai benda lain
95
.
Dengan demikian, jenis dan sumber data yang dipergunakan

adalah :

1. Jenis Data

a. Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

lapangan penelitian atau dari nara sumber di RSUD Moewardi

Surakarta melalui wawancara mendalam (interdepth interview).

Wawancara dilakukan dengan informan yang telah ditetapkan

sebelumnya, yang dianggap mengerti permasalahan yang akan

diteliti penulis meliputi Dokter Rumah Sakit Umum Daerah Dokter

Moewardi Surakarta (RSDM), Petugas Sub bagian Rekam Medik

Petugas Sub bagian Hukum, serta Tenaga Medis yang melakukan

tindakan invasiv serta pasien.

95
HB. Soetopo, Metode Penelitian Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
hlm. 2.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
83

b. Data sekunder

Data sekunder yaitu keterangan-keterangan atau pengetahuan yang

secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, bahan-

bahan dokumenter, tulisan ilmiah dan sumber-sumber tertulis

lainnya.

2. Sumber data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang didapatkan secara

langsung dari lapangan penelitian atau masyarakat, peristiwa

tingkah laku, yang didapat melalui wawancara mendalam (indepth

interview). Wawancara dilakukan dengan informan yang telah

ditetapkan sebelumnya, yang dianggap mengerti permasalahan

yang akan diteliti penulis meliputi Dokter Rumah Sakit Umum

Daerah Dokter Moewardi Surakarta (RSDM), Petugas Sub bagian

Rekam Medik, , serta Tenaga Medis yang melakukan tindakan

invasiv serta pasien.

Dalam penelitian hukum sosiologis atau non doktrial ini,

untuk memperoleh data dan informasi empirik tentang gejala-

gejala sosial yang muncul dalam masyarakat dengan melakukkan

wawancara. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk

memperoleh keterangan secara lisan yang bertujuan untuk

mengumpiulkan keterangan tentang kehidupan manusia dan

pendapat-pendapat mereka. Dalam suatu wawancara terdapat dua


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
84

pihak yang mempunyai kedudukan berbeda, yaitu pengejar

informasi yang biasa di sebut pewawancara atau interviewer dan

pemberi informasi yang biasa di sebut informan atau

responden96.

b. Sumber Data Sekunder / Studi Kepustakaan

Sumber-sumber data sekunder terdiri atas : pendapat para

ahli, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan ilmiah dan literatur-

literatur yang mendukung data primer.

Data sekunder dari bidang hukum dibedakan menjadi :

1) Bahan-bahan hukum yang dalam hal ini adalah:

a). Bahan hukum primer.

Merupakan bahan hukum yang utama yang terdiri atas:

(1) Peraturan Perundang-undangan, yaitu :

(a) UUD 1945 RI;


(b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan. (LN No. 100 Tahun 1992. TLN
No.3495);
(c) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. (LN No. 116 Tahun 2004.
TLN No.4431);
(d) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

96
Burhan. Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
hlm. 95.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
85

(e) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


pemerintahan daerah;
(f) Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan;
(g) Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007
tentang pembagian urusan pemerintahan antara
pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota.

(2) Peraturan-peraturan lain :

(a) Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)


Republik Indonesia Nomor 585 Tahun 1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik;
(b) SK. PB. IDI. No. 319/PB/A.4/1988 mengenai
Pernyataan IDI tentang Informed Consent;
(c) Surat Keputusan Ikatan Dokter Indonesia (SK
IDI) Nomor 315/PB/A.4/1988 tentang Rekam
Medis.
(d) KODEKI.

b). Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami badan hukum primer yaitu hasil-hasil

penelitian ilmiah dari para sarjana.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
86

c). Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan informasi tentang hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti : kamus 97.

D. Teknik Pengumpulan Data


Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah :

1. Wawancara (Interview)

Wawancara adalah suatu cara yang digunakan untuk

memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu


98
.

2. Dokumentasi

Pengumpulan data dengan cara membaca dokumen-

dokumen, menafsirkan, mengkaji, arti yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti.

3. Pengamatan (Observasi)

Suatu cara untuk memperoleh data dengan mengadakan

pengamatan secara langsung pada obyek yang diteliti.

E. Teknik Penentuan Informan (Sampling)

Dalam riset kualitatif, sampling mengarah pada generalisasi


teoritis, bukan perumusan karakteristik populasi. Oleh karena itu,
cuplikan/sampling dalam pendekatan ini lebih banyak bersifat

97
Tjejep Rohendi Rohidi, Metodologi Sebuah Pengantar, Pustaka Pelajar.
Yogyakarta, 1992. hlm. 14-17.

98
Burhan Ashsofa, op.cit., hlm. 95.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
87

”purposive sampling”, di mana peneliti cenderung memilih informant


yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data
yang mantap dan mengetahui masalahnya secara mendalam. Namun
informan yang dipilih dapat menunjukkan informan lain yang lebih
tahu, maka pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan
kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data99.

Informan yang telah ditetapkan yaitu sebanyak 11 (sebelas)


orang, yang dianggap mengerti permasalahan yang akan diteliti penulis
meliputi 4 (empat) orang Dokter Rumah Sakit Umum Daerah Dokter
Moewardi Surakarta (RSDM) 1 (satu) orang Dokter Spesialis Bedah, 2
(dua) orang Spesialis Bedah Plastik dan 1 (satu) orang Dokter ahli
Forensik, 1 (satu) orang Petugas Sub bagian Hukum, 2 (dua) orang
Petugas Bagian Medik RSDM khususnya bagian bedah, serta 4
(empat) orang pasien.

F. Teknik Analisis Data


Analisis data menurut Patton adalah proses mengatur urutan

data, mengorganisasikannya ke dalam satu pola kategori dan satuan

uraian dasar100. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan

analisis kualitatif dengan pola induktif ke deduktif, yang didasarkan

kepada tiga komponen utama yang meliputi reduksi data, penyajian

data dan penarikan kesimpulan (verifikasi). Untuk lebih jelasnya

tahap-tahap analisis kualitatif menurut Matthew B. Miles dan A.

Michael Huberman101 meliputi :

99
HB. Soetopo, op.cit., hlm. 21-22.

100
Lexy JM, op.cit., hlm. 103.

101
Tjejep Rohendi Rohidi, op.cit., hlm. 16-19.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
88

1. Reduksi data, merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan

perhatian, pada penyederhanaan pengabstrakan dan transformasi

data kasar. Reduksi data dalam hal ini merupakan suatu bentuk

analisis yang menajamkan penggolongan, mengarahkan,

membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan

cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik.

2. Penyajian data merupakan informasi tersusun yang memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan. Dengan melihat penyajian-penyajian data itu dapat

dipahami apa yang terjadi dan apa yang dapat dilakukan, lebih jauh

menganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan atas

pemahaman yang diperoleh dari penyajian data.

3. Penarikan kesimpulan (verifikasi). Kegiatan analisis yang penting

adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dimana dari yang

semula kesimpulan yang belum jelas kemudian meningkat menjadi

lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan perlu

diverifikasi agar cukup mantap dan dapat dipertanggungjawabkan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
89

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Pelaksanaan Pelayanan Medik Operasi Bedah Plastik di RSDM

Berdasarkan hasil yang didapatkan Penulis merujuk pada pengaturan

pelaksanaan bedah plastik, maka berikut ini pelaksanaan pelayanan medik

operasi bedah plastik di RSDM:

a Berdasarkan Prosedur Pelayanan, Maka Alur Pelayanan Medik

Operasi Bedah Plastik Di RSDM Adalah Sebagai Berikut:

1 Calon pasien

2 Registrasi di poliklinik Bedah Plastik Gedung A Lantai II

3 Pemeriksaan fisik oleh Dokter Bedah Plastik

4 Pemeriksaan Laboratorium; bila perlu pemeriksaan penunjang

lainnya

5 Konsultasi bagian (SMF) Anastesi

6 Konsultasi bagian (SMF) terkait lainnya (anak, jantung, dan

sebagainya)

7 Penentuan boleh/tidaknya dilakukan operasi oleh dokter anastesi

8 Ditentukan tanggal rawat inap untuk operasi

commit to user
89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
90

Berikut ini adalah penjelasan dari alur di atas:

1 Calon pasien

Pada tahap ke-1 ini calon pasien yang mengalami keluhan/penyakit

yang perlu ditangani oleh dokter bedah plastik datang ke RSDM

untuk mengobati penyakitnya.

2 Registrasi di poliklinik Bedah Plastik Gedung A Lantai II

Pada tahap ke-2 ini calon pasien yang sudah datang ke RSDM

langsung melakukan registrasi dengan menyebutkan data

diri/identitasnya.

3 Pemeriksaan fisik oleh Dokter Bedah Plastik

Pada tahap ke-3 ini pasien di periksa kondisi fisiknya oleh Dokter

Bedah Plastik agar diketahui jelas apa keluhan/penyakitnya

sehingga dokter dapat melakukan tindakan medis yang tepat sesuai

kriteria diagnosis penyakit pasien. Pemeriksaan ini juga yang

menentukan apakah dokter perlu melakukan tindakan operasi

Bedah Plastik dalam upaya pengobatan penyakit pasien tersebut.

Pada tahap ini pasien akan mendapatkan segala keterangan

mengenai penyakit dan tindakan pengobatannya, sehingga pasien

berhak untuk menyetujui/tidak upaya pengobatannya tersebut,

tindakan ini biasa disebut informed concent, dan segala

persetujuan tindakan medis/ informed concent ini perlu secara

tertulis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
91

4 Pemeriksaan Laboratorium; bila perlu pemeriksaan penunjang

lainnya.

Pada tahap ke-4 ini pasien yang menurut kriteria diagnosis

penyakitnya memerlukan pemeriksaan penunjang akan melewati

pemeriksaan penunjangnya misalnya; pemeriksaan laboratorium

dan atau radiologi. Tindakan pemeriksaan penunjang ini dilakukan

misalnya pada amputasi traumatis (telinga, hidung dan penis).

5 Konsultasi bagian (SMF) Anastesi

Pada tahap ke-5 ini pasien akan berkonsultasi dan diperiksa kondisi

jantungnya oleh dokter anastesi, hal ini diperlukan karena operasi

memerlukan ahli anastesi, tindakan anastesi ada resikonya, ada

beberapa cara, kondisi jantung berpengaruh atas tindakan apa yang

akan diambil ahli anastesi.

6 Konsultasi bagian (SMF) terkait lainnya (anak, jantung, dan

sebagainya)

Pada tahap ke-6 ini pasien akan berkonsultasi dan diperiksa kondisi

fisiknya secara khusus oleh dokter ahli lain yang terkait dengan

operasi bedah plastik yang akan dilaksanakan, contoh pasien

dengan kriteria diagnosis hemangioma perlu konsultasi dengan

dokter spesialis bedah umum, dokter spesialis radiologi untuk

embolisasi dan dokter umum untuk perban penekan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
92

7 Penentuan boleh/tidaknya dilakukan operasi oleh dokter anastesi

Pada tahap ke-7 ini pasien akan mendapatkan penentuan

boleh/tidaknya dilakukan operasi oleh dokter anastesi karena

berkaitan dengan kondisi jantung pasien. Apabila kondisi jantung

pasien dinilai kuat dan dapat stabil apabila dilakukan operasi maka

operasi akan dilaksanakan akan tetapi apabila kondisi jantung

pasien dinilai tidak kuat dan tidak stabil apabila dilakukan operasi

maka dokter anastesi akan memberikan keputusan sebaiknya

operasi tidak dilakukan karena akan beresiko terhadap jantung

pasien.

8 Ditentukan tanggal rawat inap untuk operasi

Pada tahap ke-8 ini setelah pasien melewati beberapa pemeriksaan

dan konsultasi dan hasilnya baik dalam arti dapat dilakukan

operasi, maka dokter akan menentukan waktu rawat inap untuk

tahap persiapan menjelang operasi, tahap ini penting untuk

menjaga kondisi pasien agar stabil dan kuat ketika dilakukan

operasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
93

Hari “H” operasi

1 Pasien yang telah terdaftar

2 Sesuai penentuan waktu (jam) dilakukannya operasi dibawa ke

ruang Perawatan di lantai III

3 Dibawa ke IBS untuk operasi

4 Ruang pulih sadar

5 Dibawa ke ruang perawatan untuk diobservasi?rawat inap

6 Pulang

7 Kontrol

8 Sembuh/ada perbaikan/hasil

Berikut ini adalah penjelasan dari alur tersebut di atas:

1 Pasien yang telah terdaftar

Pada tahap ke-1 ini pasien yang telah terdaftar dan terjadwal

operasinya dipersiapkan untuk dilakukan operasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
94

2 Sesuai penentuan waktu (jam) dilakukannya operasi dibawa ke

ruang Perawatan di lantai III

Pada tahap ke-2 ini pasien dibawa ke ruang Perawatan di lantai III

3 Dibawa ke IBS untuk operasi.

Pada tahap ke-3 ini pasien dibawa ke ruang Instalasi Bedah Sentral

(IBS) yang di dalamnya ada beberapa ruang operasi, yang salah

satunya akan digunakan untuk operasi bedah plastik

4 Ruang pulih sadar

Pada tahap ke-4 ini pasien dibawa ke ruang pulih sadar, karena

untuk pasien yang dilakukan tindakan pembiusan secara total maka

dapat dipastikan kondisi pasien masih dalam pengaruh pembiusan.

5 Dibawa ke ruang perawatan untuk diobservasi/rawat inap

Pada tahap ke-5 ini pasien dibawa ke ruang perawatan untuk

diobservasi/rawat inap dengan tujuan untuk memantau kondisi

pasien setelah operasi bedah plastik.

6 Pulang

Pada tahap ke-6 ini pasien yang kondisinya stabil dan oleh dokter

telah diijinkan maka pasien dapat pulang.

7 Kontrol

Pada tahap ke-6 ini pasien yang telah diperbolehkan pulang

disarankan untuk melakukan kontrol setelah beberapa hari pulang.

Tahap ini bertujuan untuk memantau hasil operasi, misalnya

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
95

melihat kondisi bagian tubuh yang dioperasi, mengganti perban,

melepas jahitan dan lain sebagainya.

8 Sembuh/ada perbaikan/hasil

Setelah pasien melewati tahap-tahap tersebut di atas dengan benar

tentunya, maka akan dapat dilihat hasil dari operasi bedah plastik

tersebut, tentunya sesuai dengan keterangan sewaktu berkonsultasi

dengan dokter, apakah tujuannya untuk sembuh total atau hanya

memperbaiki keadaan pasien sebelum upaya operasi dilakukan.

b Berdasarkan Hasil Wawancara

Berdasarkan wawancara responden/informan di dapatkan data

sebagai berikut:

1. Bintang Sutjahjo, dr., SpOT, Kepala SMF Bedah, tanggal 17

Desember 2008, pukul 10.00

¾ Kami di bagian bedah belum memiliki prosedur tetap untuk


pelaksanaan operasi bedah plastik di RS. Dr. Muwardi ini,
selama ini pelaksanaannya tersebut berdasarkan penguasaan
disiplin ilmu dokter yang menanganinya, khususnya disini
adalah dokter spesialis bedah plastik

2. Dokter Spesialis Bedah Plastik

a) Amru Sungkar dr., SpB, SpBP, tanggal 17 Desember 2008,

pukul 10.00

¾ Kami belum memiliki prosedur tetap untuk pelaksanaan


operasi bedah plastik di RS. Dr. Muwardi ini, selama ini
pelaksanaannya tersebut berdasarkan kasusnya saja.
¾ Menurut Beliau, apakah ada masalah kalau Kami belum
memiliki prosedur tetap untuk pelaksanaan operasi bedah
plastik di RS. Dr. Muwardi ini?. Apakah Kami tidak boleh
melakukan operasi bedah plastik, karena belum memiliki
prosedur tetap untuk pelaksanaan operasi bedah plastik?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
96

¾ Selama ini, tidak pernah ada masalah tentang pelaksanaan


operasi bedah plastik di RS. Dr. Muwardi ini
¾ Beliau juga menanyakan kepada Peneliti, apa yang akan di
teliti sebenarnya dalam prosedur tetap tersebut, dan
menyarankan untuk pindah tempat penelitian ke klinik-
klinik kecantikan atau Rumah Sakit swasta saja, mungkin
di sana ada protapnya.

b) Dewi dr., SpBP, tanggal 17 Desember 2008, pukul 10.00

¾ Kami memang belum memiliki prosedur tetap untuk


pelaksanaan operasi bedah plastik di RS. Dr. Muwardi
ini, selama ini pelaksanaannya tersebut berdasarkan
kasusnya saja.
¾ Memang pernah ada pertemuan PERAPI pada tahun 2005
kemarin di Bali, diantaranya membahas tentang prosedur
tetap untuk pelaksanaan operasi bedah plastik tetapi
secara intern di RS. Dr. Muwardi ini belum ada, belum
ada proses maupun rencana penyusunan nya, jadi masih
nol persen, alias tidak ada protapnya, sub bedah yang lain
sudah ada, tapi kami belum punya.
¾ Mungkin lewat penelitian tentang protap ini akhirnya ada
motivasi kami untuk membuat protap tentang
pelaksanaan operasi bedah plastik di RS. Dr. Muwardi
ini.

3. Rory Heriyanto, dr.,(dokter kepala bagian forensik RSDM),

tanggal 20 Desember 2008, pukul 11.00

¾ Seharusnya setiap bagian/spesialis pelayanan medik memiliki


protapnya masing-masing agar lebih terjamin nya pelaksanaan
tindakan medik yang bersangkutan, apalagi RS. Dr. Muwardi
yang telah berpredikat Kelas tertinggi yaitu Kelas B-
Pendidikan.
¾ Secara hukum, adanya protap ini merupakan jaminan
perlindungan dan kepastian hukum bagi pasien, dokter juga
sarana pelayanan kesehatan, khususnya di sini adalah RS. Dr.
Muwardi.

4. Jamian, SH (dulu Kasubag Hukum RSDM, sekarang Kabid Diklat

dan Kerjasama), tanggal 22 Desember 2008, pukul 10.30.

¾ Selama ini tidak ada masalah hukum yang terjadi dalam


pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
97

¾ Masih dirasakan perlu dibuatkan peraturan di tingkat Rumah


sakit yang lebih opersional dan dapat menjamin pelaksanaan
setiap tindakan medik, baik bagi dokter dan pasien agar
terpenuhinya hak dan kewajiban keduanya.

5. Tri Darmani, drg (Ketua Panita Rekam Medik RSDM), tanggal 23

Desember 2008, pukul 11.00.

¾ Pelaksanaan rekam medik untuk tindakan operasi bedah plastik


di RSDM tidak ada masalah sampai saat ini semua berjalan
dengan baik..
¾ Untuk penerapan Informed consent untuk setiap tindakan
medik belum berjalan dengan baik

6. Mulyati, SH., MKes. (dulu Kasubag Rekam Medis RSDM,

sekarang Kasubag Hukum RSDM), tanggal 21 Desember 2008,

pukul 10.00

¾ Dari segi peraturan dan perundang-undangannya, memang


kami belum memiliki prosedur tetap tentang pelaksanaan
operasi bedah plastik di RSDM, akan tetapi lembaga, dalam hal
ini RSDM memiliki standar pelayanan medik untuk masing-
masing bagian pelayanan medik. Jadi selama ini pelaksanaan
operasi bedah plastik di RSDM berdasarkan standar pelayanan
medik tersebutdan juga tentu saja berdasarkan kewenangan dan
keilmuan dari dokter yang bersangkutan.
¾ Sampai saat ini tidak ada masalah hukum yang terjadi dalam
pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM.

Fakta yang menurut Penulis penting adalah adanya klinik

kecantikan “Nastiti” di RSDM akan tetapi Penulis tidak dapat

melakukan tindakan Penelitian di tempat tersebut, pihak RSDM

khususnya bagian penelitian mengatakan klinik tersebut kelasnya

ekslusif dan tidak boleh diganggu/dilakukan penelitian di sana. Akan

tetapi Penulis berusaha keras untuk mendapatkan data yang ada

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
98

diantaranya adalah data standar pelayanan bedah di RSDM (terlampir)

dan data wawancara dengan beberapa pasien di bawah ini:

1. Ningsih, Pasien

¾ Saya memilih operasi bedah plastik di RSDM karena saya


pasien askes, jadi harapan saya nanti akan mendapatkan
keringanan biaya.

2. Putri, Pasien

¾ Saya lebih percaya melakukan operasi bedah plastik di RSDM


karena saya percaya dengan RSDM dibandingkan dengan
klinik-klinik kecantikan di luar sana, karena yang
menanganinya di sini adalah dokter bukan beautycian seperti di
klinik-klinik kecantikan di luar sana

3. Nena, Pasien

¾ Saya berobat di RSDM karena muka saya tidak cocok


perawatan di klinik kecantikan, tadinya ingin putih tapi malah
bermasalah (merah-merah, gatal-gatal), maka dari itu saya
berobat ke RSDM.

2. Kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Bedah Plastik di RSUD

Moewardi Surakarta

Penulis menjabarkan kendala yang dihadapi berdasarkan teori


hukum Lawrence M. Friedman, yaitu ada tiga unsur sistem hukum (three
element of legal system). Ketiga unsur sistem hukum yang mempengaruhi
bekerjanya hukum yaitu102 :

a. Komponen struktur hukum.

1) Kurangnya perhatian DPR RI bersama pemerintah dan atau

kementrian kesehatan untuk membuat sebuah peraturan perundang-

102
Esmi Warassih, op.cit., hlm. 30.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
99

undangan yang khusus mengatur tentang pelaksanaan operasi

bedah plastik di Indonesia, ini menyulitkan para pihak terkai untuk

mencari dasar hukum yang pasti dan jelas, apalagi ketika ada

dugaan pelanggaran hukum.

2) Kurangnya perhatian dari pihak RSDM, khususnya SMF Bedah;

Subbagian Bedah Plastik, dalam inisiatif untuk membuat protap

pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM.

3) Kurangnya perhatian pihak terkait menyangkut pengadaan sarana

dan prasarana yang sesuai dengan teknologi terbaru/sesuai

kebutuhan pasien.

4) Kurangnya kesadaran hukum pihak dokter beseta jajarannya

tentang arti dari sebuah perjanjian terapeutik, yang masih

mengenyampingkan perlindungan hukum terhadap pasien dalam

menjalani proses pengobatan di RS.

5) Penyampaian proses Informed Consent / persetujuan tindakan

medik yang dilakukan petugas yang berwenang tidak sesuai aturan

yang berlaku.

b. Komponen substansi

1) Indonesia belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang

khusus mengatur tentang pelaksaan bedah plastik maka apabila

terjadi sebuah masalah atau kasus di masyarakat yang berkaitan

dengan bedah plastik dasar hukum yang dipakai adalah peraturan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
100

perundang-undangan hukum kesehatan maupun peraturan IDI

yang berkaitan dengan kejadian atau kasus yang ada.

2) Belum ada protap pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM.

c. Komponen kultural

1) Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa belum

adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur

tentang pelaksanaan bedah plastik di Indonesia ini menunjukkan

budaya hukum di Indonesia masih perlu dibenahi karena pihak

yang terkait yaitu pemerintah pusat dan DPR RI merupakan

pihak/lembaga kurang bertanggungjawab dan kurang berfungsi

dalam rangka pelayanan medis khususnya yang berkaitan dengan

pelayanan bedah plastik. Pemerintah pusat dan DPR RI

bertanggungjawab dalam penggarapan produk-produk hukum yang

peka dan dapat mengakomodasi kebutuhan segala masyarakat,

dalam hal ini khususnya produk hukum yang berupa peraturan

yang mengatur tentang pelaksanaan bedah plastik di Indonesia.

2) Pihak RSDM; khususnya SMF Bedah; Subbagian Bedah Plastik,

kurang inisiatif untuk membuat protap pelaksanaan operasi bedah

plastik di RSDM.

3) Kurangnya kesadaran hukum akan arti pentingnya sebuah

perjanjian terapeutik, yang selama ini terjadi adalah hanya

perlindungan hukum terhadap tenaga medis yang bersangkutan,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
101

sedangkan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pasien

masih dirasakan minim, apalagi ketika terjadi dugaan malpraktik.

4) Tenaga kesehatan`di RSDM tidak sesuai aturan yang berlaku

dalam proses penyampaian Informed Consent / persetujuan

tindakan medik, proses ini hanya dijadikan sebagai formalitas

semata.

5) Muncul fenomena menjamurnya klinik-klinik kecantikan yang

berani melakukan operasi bedah plastik, yang tentu saja dasar

hukum beroperasinya masih perlu dipertanyakan, akan tetapi

masyarakat sudah sangat tergiur dengan keberadaan klinik-klinik

ini, karena terbawa trend an promosi iklan yang menggoda.

3. Solusi hukum di masa depan (Ius Constituendum) untuk Mengatasi

Ketidaksesuaian Bedah Plastik di RSUD Moewardi Surakarta dengan

Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kesehatan di Indonesia

a. Perlu dibuat peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur

tentang pelaksanaan bedah plastik di Indonesia.

b. Perlu disusun protap pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM.

B. Pembahasan

1 Pelaksanaan Bedah Plastik di RSDM

a Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kesehatan yang

Berkaitan dengan Bedah Plastik, Maka Analisis Penulis Adalah Sebagai

Berikut:

1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. (LNRI


No. 100 Tahun 1992. TLN No.3495);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
102

a) Pasal 2
“Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan
perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
manfaat usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata,
perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan
kemampuan kekuatan sendiri”.
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan di atas, maka pelayanan kesehatan
khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM telah
diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
artinya segala tindakan ataupun pertolongan medis yang
diberikan khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik harus
dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum dan juga di
hadapan Tuhan Yang Maha Esa, berlandaskan manfaat usaha
bersama dan kekeluargaan artinya pelayanan kesehatan
khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik harus sama
memberikan manfaat dan saling pengertian, adil dan merata
artinya tidak membeda-bedakan latarbelakang pasien,
perikehidupan dalam keseimbangan artinya harus memikirkan
dampak dari kehidupan dan keseimbangan lingkungan pasien dan
sekitarnya, serta kepercayaan akan kemampuan kekuatan sendiri
artinya semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan
harus yakin dapat memberikan pelayanan yang maksimal dengan
mempertimbangkan kemampuan masing-masing. Salah satu
contoh kongkritnya adalah dengan diadakannya pelayanan bakti
sosial operasi bibir sumbing.
b) Pasal 3
“Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
103

Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun


1992 tentang Kesehatan di atas, maka pelayanan kesehatan
khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang optimal, apabila kondisinya sudah optimal, maka secara fisik
dan psikis paien tersebut dapat menjadi orang yang mandiri dan
tidak tergantung pada orang lain, contohnya adalah pelaksanaan
operasi bedah plastik rekonstruksi untuk diagnosis penyakit berupa
luka, parut atau keloid.
c) Pasal 4
“Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
derajat kesehatan yang optimal”.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan di atas , maka pelayanan kesehatan
khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM
dilakukan tanpa membeda-bedakan latarbelakang dan
kemampuan pasien.

d) Pasal 10
“Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan
pendekatan, pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif), dan pemeliharaan kesehatan (rehabilitatif) yang
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan”.
Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan di atas, maka pelayanan kesehatan
khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM telah
diselenggarakan dengan upaya kesehatan dengan pendekatan,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
104

pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif) contohnya


melalui tindakan operasi bedah plastik estetik untuk kriteria
diagnosis cacat bawaan, cacat yang didapat ataupun proses
penuaan kulit , pencegahan penyakit (preventif) contohnya
adalah melakukan penyuluhan-penyuluhan kesehatan pada
masyarakat tentang suatu penyakit, penyembuhan penyakit
(kuratif) contohnya adalah melakukan operasi bedah plastik
untuk kriteria diagnosis luka, dan pemeliharaan kesehatan
(rehabilitatif) contohnya adalah dengan melakukan operasi bedah
plastik untuk kriteria diagnosis keloid, semua kegiatan tersebut
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan.
e) Pasal 11
Ayat (1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dilaksanakan melalui kegiatan:
1) kesehatan keluarga;
2) perbaikan gizi;
3) pengamanan makanan dan minuman;
4) kesehatan lingkungan;
5) kesehatan kerja;
6) kesehatan jiwa;
7) pemberantasan penyakit;
8) penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
9) penyuluhan kesehatan masyarakat;
10) pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
11) pengamanan zat adiktif;
12) kesehatan sekolah;
13) kesehatan olahraga;
14) pengobatan tradisional;
15) kesehatan matra.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
105

Ayat (2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan.
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan di atas, maka pelayanan kesehatan
khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM telah
dilaksanakan dengan kegiatan kesehatan jiwa yaitu dengan
melakukan upaya operasi bedah plastik estetik agar kepercayaan
diri pasien dapat kembali dengan penampilan fisik yang lebih baik
diharapkan pasien akan memiliki kesehatan jiwa yang optimal
juga, pemberantasan penyakit yaitu dengan melakukan upaya
operasi bedah plastik rekonstruksi dengan memperbaiki keadaan
fisik pasien agar mendekati normal dan menyembuhkan atau
mencegah kemungkinan suatu penyakit menjadi lebih parah
contohnya dengan melakukan operasi bedah plastik amputasi
karena penyakit diabetes atau kencing manis, penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan yaitu dengan melakukan upaya
operasi bedah plastik estetik dan rekonstruksi, contohnya pada
criteria diagnosis luka dan keloid. Hal tersebut di atas tentunya
sudah didukung oleh sumber daya kesehatan yang memadai
misalnya adanya 2 (dua) dokter spesialis bedah plastik, sarana dan
prasarana bedah plastik, perawat yang sudah ahli dan
berpengalaman membantu pelaksanaan operasi bedah plastik di
RSDM, serta obat-obatan dan peralatan yang memadai..
f) Pasal 50 dan Pasal 53, Tenaga Kesehatan yang Berwenang
Melakukan Tindakan Operasi Bedah Plastik,
Pasal 50
1) Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau
melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian
dan kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.
2) Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga
kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
106

Pasal 53
1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum
dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat
melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan
memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang
bersangkutan.
4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
Peran Pemerintah.
Berdasarkan Pasal 50 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan di atas, maka pelayanan
kesehatan khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik di
RSDM telah sesuai dengan kewenangannya yaitu adanya 2 (dua)
dokter spesialis bedah plastik, yaitu dr. Amru Sungkar, SpB.,
SpBP dan dokter Dewi,SpBP. Sedangkan dokter lain yang
mempunyai kewenangan juga untuk melakukan operasi bedah
plastik diantaranya adalah dokter spesialis bedah umum, dokter
spesialis bedah tulang, dokter spesialis bedah plastik, dokter
spesialis mata, dokter spesialis kulit dan kelamin dan dokter
spesialis THT.
g) Pasal 56, Sarana Kesehatan Bedah Plastik
Sarana kesehatan meliputi balai pengobatan, pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit umum, rumah sakit khusus, praktik
dokter,praktik dokter gigi, praktik dokter spesialis, praktik dokter
gigi spesialis, praktik bidan, toko obat, apotek, pedagang besar
farmasi, bahan obat, laboratorium, sekolah dan akademi
kesehatan, balai pelatihan kesehatan, dan sarana kesehatan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
107

lainnya.Sarana kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
Berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan di atas, maka pelayanan kesehatan
khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM telah sesuai
dengan hukum positif yang berlaku yaitu pelaksanaan operasi
bedah plastik dilakasanakan di RSDM Rumah Sakit ini adalah
milik Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah yang memiliki
Kelas tertinggi yaitu Kelas B-Pendidikan, tentunya juga sebagai
tempat untuk segala macam pembedahan;
2 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
a) Pasal 1
Butir 2
Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh
semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan
bernegara.
Butir 3
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka
panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan
oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat
Pusat dan Daerah.
Berdasarkan Undang Pasal 1 -undang Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional di
atas, bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional itu
meliputi segala komponen, salah satunya adalah komponen
pembangunan dibidang kesehatan yang bertujuan tentu saja
ingin mewujudkan masyarakat Indonesia sehat secara optimal,
baik fisik maupun psikis, jika dihubungkan dengan operasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
108

bedah plastik, maka operasi bedah plastik bisa menjadi salah


satu cara yang dapat ditempuh ataupun dipilih apabila
seseorang mengalami gangguan kesehatan tertentu, yang tentu
saja penanganannya bisa dilakukan melalui operasi bedah
plastik, baik itu operasi bedah plastik rekontruksi ataupun
operasi bedah plastik estetik, tergantung kriteria diagnosis
penyakitnya.
b) Pasal 2
Ayat (1) Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan
demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
Nasional.
Ayat (2) Perencanaan Pembangunan Nasional disusun secara
sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap
perubahan.
Berdasarkan Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional di atas, maka pelayanan kesehatan khususnya
pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM telah
diselenggarakan dengan upaya kesehatan dengan pendekatan,
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif) contohnya
melalui tindakan operasi bedah plastik estetik untuk kriteria
diagnosis cacat bawaan, cacat yang didapat ataupun proses
penuaan kulit , pencegahan penyakit (preventif) contohnya
adalah melakukan penyuluhan-penyuluhan kesehatan pada
masyarakat tentang suatu penyakit, penyembuhan penyakit
(kuratif) contohnya adalah melakukan operasi bedah plastik
untuk kriteria diagnosis luka, dan pemeliharaan kesehatan
(rehabilitatif) contohnya adalah dengan melakukan operasi
bedah plastik untuk kriteria diagnosis keloid, semua kegiatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
109

tersebut dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan


berkesinambungan.
3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah.
a) Pasal 14
Ayat (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota
meliputi:
1) perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
4) penyediaan sarana dan prasarana umum;
5) penanganan bidang kesehatan;
6) penyelenggaraan pendidikan;
7) penanggulangan masalah sosial;
8) pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
10) pengendalian lingkungan hidup;
11) pelayanan pertanahan;
12) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13) pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14) pelayanan administrasi penanaman modal;
15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan daerah di atas, bahwa urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota
yang salah satunya adalah . penanganan bidang kesehatan, Jika
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
110

dihubungkan dengan operasi bedah plastik, maka operasi bedah


plastik, baik itu operasi bedah plastik rekontruksi ataupun operasi
bedah plastik estetik bisa menjadi salah satu cara yang dapat
ditempuh ataupun dipilih untuk penanganan kesehatan tentu saja
yang sesuai dengan kriteria diagnosis penyakit yang diderita oleh
pasien/ masyarakat.
4 Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian
urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah
provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan ada 31 bidang, pada Pasal 2, ayat (4), butir b,
adalah urusan kesehatan menjadi salah satunya
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007
tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah,
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota di atas, bahwa pembagian urusan yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan
urusan yang berskala kabupaten/kota yang salah satunya adalah .
penanganan bidang kesehatan, jika dihubungkan dengan operasi
bedah plastik, maka operasi bedah plastik, baik itu operasi bedah
plastik rekonstruksi ataupun operasi bedah plastik estetik bisa
menjadi salah satu cara yang dapat ditempuh ataupun dipilih untuk
penanganan kesehatan tentu saja yang sesuai dengan kriteria
diagnosis penyakit yang diderita oleh pasien/ masyarakat.

5 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


(LNRI No. 116 Tahun 2004. TLN No.4431);
a) Pasal 2
Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan
didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
111

Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 29 Tahun


2004 tentang Praktik Kedokteran di atas, maka pelayanan
kesehatan khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik di
RSDM telah diselenggarakan dengan berasaskan Pancasila dan
didasarkan pada nilai ilmiah yaitu yang berwenang melakukan
tindaka operasu bedah plastik adalah dokter spesialis yang
berkaitan dengan kriteria diagnosis penyakitnya, tentu saja salah
satunya adalah dokter spesialis bedah plastik yang secara ilmiah
berwenang untuk melakukan segala tindakan hukum yang
berkaitan dengan pelaksanaan operasi bedah plastik dengan
ketentuan yang berlaku yaitu dokter tersebut telah lulus uji
kompetensi dan memiliki sertifikat kompetensi menurut
kewenangan/spesialisasinya masing-masing, manfaat, keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan
pasien, hal ini bisa dibuktikan dengan dijalankannya segala
prosedur pelayanan medis khususnya dalam pelaksanaan operasi
bedah plastik, khususnya dalam pelaksanaan Informed Concent
/persetujuan tindakan medik, yaitu pasien dan atau keluarganya
diberikan gambaran segala proses dan kemungkinan ataupun
resiko yang akan dilalui pasien dalam pelaksanaan operasinya.
b) Pasal 3
1) Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk:
2) memberikan perlindungan kepada pasien;
3) mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis
yang dokter dan dokter gigi; dan
4) memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan
dokter gigi.
Berdasarkan Undang Pasal 3 -undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran di atas, maka pelayanan
kesehatan khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik di
RSDM belum memenuhi aspek perlindungan hukumnya, baik itu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
112

untuk pasien maupun untuk dokter dan tenaga medis yang


bersangkutan, karena setelah dilakukan penelitian di RSDM,
khususnya di SMF bedah, diketahui bahwa untuk bagian bedah
plastik belum memiliki prosedur tetap untuk pelaksanaannya,
jelas di sini ada kelemahan.
6 Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (LNRI No. 49 Tahun 1996. TLN No.3637);
a) Pasal 2
1) Tenaga kesehatan terdiri dari :
(a) tenaga medis;
(b) tenaga keperawatan;
(c) tenaga kefarmasian;
(d) tenaga kesehatan masyarakat;
(e) tenaga gizi;
(f) tenaga keterapian fisik;
(g) tenaga keteknisian medis.
2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan
asisten apoteker.
5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog
kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan,
penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis
dan terapis wicara.
8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis,
teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan,
refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan
perekam medis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
113

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI Nomor 32


Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan di atas, maka pelayanan
kesehatan khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM
telah sesuai dengan ketentuan tenaga kesehatan yang berwenang
melakukan tindakan operasi bedah plastik, yaitu adanya 2 (dua)
dokter spesialis bedah plastik, yaitu dr. Amru Sungkar, SpB., SpBP
dan dokter Dewi,SpBP. Sedangkan dokter lain yang mempunyai
kewenangan juga untuk melakukan operasi bedah plastik
diantaranya adalah dokter spesialis bedah umum, dokter spesialis
bedah tulang, dokter spesialis bedah plastik, dokter spesialis mata,
dokter spesialis kulit dan kelamin dan dokter spesialis THT. Selain
itu juga tenaga kesehatan lain yang berhubungan dan berwenang
melakukan tindakan operasi bedah plastik adalah tenaga kesehatan
di bagian laboratorium, apabila pasien memerlukan pemeriksaan
penunjang, tenaga kesehatan di bagian anastesi/anak/jantung dan
sebagainya (konsultasi dengan tenaga kesehatan yang terkait sesuai
dengan kriteria diagnosis penyakitnya), tenaga keperawatan yang
sudah berpengalaman dalam membantu tindakan operasi bedah
plastik mulai dari tahap pemeriksaan, tahap oprasi, tahap pulih
sadar, tahap observasi/rawat inap sampai pada tahap pasien pulang.
b) Pasal 3,
Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan
di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga
pendidikan.
c) Pasal 7
Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan
pelatihan di bidang kesehatan.
d) Pasal 11
1) Pelatihan di bidang kesehatan dilaksanakan di balai pelatihan
tenaga kesehatan atau tempat pelatihan lainnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
114

2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh


Pemerintah dan/atau masyarakat.
Berdasarkan Berdasarkan Pasal 3, 7 dan 11 Peraturan
Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
di atas, maka pelayanan kesehatan khususnya pelaksanaan
operasi bedah plastik di RSDM telah sesuai dengan ketentuan/
persyaratan tenaga kesehatan yang berwenang melakukan
tindakan operasi bedah plastik, yaitu dokter yang melakukan
tindakan operasi bedah plastik diantaranya adalah dokter
spesialis bedah umum, dokter spesialis bedah tulang, dokter
spesialis bedah plastik, dokter spesialis mata, dokter spesialis
kulit dan kelamin dan dokter spesialis THT yang tentu saja
memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan dan
pelatihan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari
lembaga pendidikan. Para tenaga kesehatan yang berwenang
melakukan tindakan operasi bedah plastik tersebut tentu saja
terikat dengan ikatan atau perhimpunan dokter yang berkaitan
dengan keilmuannya oleh karena itu mereka pasti terus
mengikuti perkembangan keahlian yang berkaitan dengan
keilmuannya, misalnya uji tes kompetensi dokter yang harus
diperbaharui setiap beberapa tahun sekali, pertemuan-pertemuan
dokter se-Indonesia mapun sedunia, pelatihan-pelatihan dan lain
sebagainya.
7 Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia
Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik;
a) Pasal 1
Persetujuan tindakan medik/ informed concent adalah persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut; Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan
terhadap pasien berupa diagnostik dan terapeutik; Tindakan invasif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
115

adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi


keutuhan jaringan tubuh;
b) Pasal 4
informasi, :persiapan tindakan bedah plastik yang meliputi
konsultasi, pemeriksaan fisik, kemampuan melakukan operasi
bedah plastik, dijelaskan kepada pasien dan orang tua pasien
tentang segala hal yang berkaitan dengan proses operasi bedah
plastik; tujuan serta resiko yang akan dihadapi
c) Pasal 6
Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya,
informasi harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan
operasi itu sendiri;
Berdasarkan Pasal 1, 4 dan 6 Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Medik di atas, maka pelaksanaan
Persetujuan tindakan medik/ informed concent di RSDM belum
dilakukan dengan baik, karena walaupun Informed consent yang
dikeluarkan oleh Direktur RSUD dr. Moewardi Surakarta sudah
sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 585 / MenKes /Per / IX/ 1989 Tentang
Persetujuan Tindakan Medis dan Keputusan Direktur Jendral
Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.3.5.1866 Tentang Pedoman
Persetujuan Tindakan Medik (Informed consent) . Perbedaannya
hanya pada dokter yang memberikan tandatangan dalam Protap
Direktur RSUD dr. Moewardi ada 2 orang, sedangkan dalam
Permenkes hanya 1 orang. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
lengkapnya pertanggung-jawaban dokter yang melakukan tindakan
medis dan demi kepentingan pasien.
Tetapi, di dalam melaksanakan Informed consent lebih
banyak dilakukan oleh petugas rumah sakit , bukan oleh dokter
yang bersangkutan. Hal ini disebabkan para dokter umumnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
116

belum memahami secara jelas dan menganggap bahwa informed


consent hanya merupakan persyaratan administrasi saja.
Disamping itu para dokter pada umumnya lebih mengutamakan
tindakan medik terhadap pasien . Sedangkan petugas lebih
cenderung untuk melaksanakan apa yang diperintahkan dokter, dan
seringkali informed consent tersebut tidak dibacakan tetapi petugas
langsung meminta tanda tangan persetujuan pasien/ keluarganya.
Masih adanya kebiasaan dari petugas medik termasuk
dokter untuk lebih mementingkan cepat selesainya urusan yang
berkaitan dengan administrasi/ persyaratan tindakan medik, hal ini
disebabkan banyaknya pekerjaan lain yang harus diselesaikan, tidak
mau terlalu disibukkan dengan urusan administrasi yang membuang
waktu dan tenaganya. Dari sudut budaya petugas/ perawat, pada
umumnya mereka hanya tunduk atas perintah dokter untuk
memberikan informasi dan penjelasan sebatas kemampuan mereka,
hal ini antara lain disebabkan takut menyinggung perasaan dokter
yang kemungkinan akan menimbulkan akibat bagi pekerjaannya dan
memilih menuruti apa yang diperintahkan kepadanya. Adapun pasien
seringkali tak acuh dengan segala bentuk adminstrasi, bahkan soal
apa yang ditandatanganinyapun seringkali tidak paham akan isinya.
Pasien berpikir pada pihak yang lemah dan sudah seharusnya
menyetujui saja apa yang diperintahkan oleh dokter. Bagi pasien
yang penting hasil dari upaya pelayanan kesehatan adalah yang
terbaik bagi dirinya. Pasien hanya berharap cepat bisa sembuh atau
berkurang penderitaan sakitnya tanpa harus mau tahu tentang segala
bentuk administrasi.
8 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Ijin Praktik dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran.
a) Pasal 1, butir 10

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
117

Untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan


yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan
b) Pasal 2
Setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik
kedokteran wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP) yang
diberikan Dinas Kesehatan Kota setelah memenuhi persyaratan
untuk menjalankan praktik kedokteran.
Berdasarkan Pasal 1 dan 2 Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Ijin Praktik dan
Pelaksanaan Praktik Kedokteran di atas, maka pelayanan kesehatan
khususnya pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM telah sesuai
dengan ketentuan tentang Ijin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran, yaitu pelaksanaan operasi bedah plastik dilakasanakan
di RSDM Rumah Sakit ini adalah milik Pemerintah Daerah
Propinsi Jawa Tengah yang memiliki Kelas tertinggi yaitu Kelas
B-Pendidikan, tentunya juga sebagai tempat untuk segala macam
pembedahan dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan dan pelatihan di
bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga
pendidikan dan tentunya sudah memiliki ijin praktik.
Pengaturan Bedah Plastik dalam peraturan-peraturan IDI :
a) SK. PB. IDI. No. 319/PB/A.4/1988 mengenai Pernyataan IDI
tentang Informed Consent;
Berdasarkan SK. PB. IDI. No. 319/PB/A.4/1988 di
atas, maka pelaksanaan Persetujuan tindakan medik/ informed
concent di RSDM belum dilakukan dengan baik, karena
walaupun secara substansi hukum Informed consent yang
dikeluarkan oleh Direktur RSUD dr. Moewardi Surakarta
sudah sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/ MenKes /Per / IX/
2008 tetapi secara struktur dan budaya hukum masih terdapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
118

kelemahan diantaranya tentang cara penyampaiannya yang


lebih sering dilakukan oleh dokter dan juga masih adanya
kebiasaan dari petugas medik termasuk dokter untuk lebih
mementingkan cepat selesainya urusan yang berkaitan dengan
administrasi/ persyaratan tindakan medik.
b) SK. PB. IDI. No 315/PB/A.4/1988 tentang Rekam Medis.
Berdasarkan SK. PB. IDI. No 315/PB/A.4/1988 tentang
Rekam Medis di atas, maka pelaksanaan Rekam Medis di
RSDM telah dilakukan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan
dijalankannya ketentuan isi (Identitas lengkap, catatan tentang
penyakit, catatan dari pihak dokter sebelumnya atau dokter
pengganti, hasil pemeriksaan,. apabila terdapat perubahan
terhadap rekam medis harus dilakukan dalam lembaran khusus
yang harus dijadikan satu dengan berkas rekam medis yang
lain), sifat kerahasiaan dan kepemilikan dan fungsi serta lama
penyampaian dari suatu rekam medis

2 Kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Bedah Plastik di RSUD

Moewardi Surakarta

Berdasarkan hasil penelitian, analisis penulis dihubungkan dengan Teori

Lawrence M. Friedman yaitu mengenai tiga unsur sistem hukum (three

element of legal system)103. Ketiga unsur sistem hukum yang

mempengaruhi bekerjanya hukum, adalah sebagai berikut :

a. Komponen Struktur Hukum

1) Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan belum adanya

peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang

103
Esmi Warassih, loc.cit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
119

pelaksanaan bedah plastik di Indonesia maka pemerintah pusat

dan DPR RI merupakan pihak/lembaga yang bertanggungjawab

dan seharusnya berfungsi dalam rangka pengaturan pelaksanaan

bedah plastik di Indonesia. Pemerintah pusat dan DPR RI

bertanggungjawab dalam pembuatan produk-produk hukum yang

peka dan dapat mengakomodasi segala kebutuhan masyarakat,

khususnya di sini adalah peraturan perundang-undangan yang

khusus mengatur tentang pelaksanaan bedah plastik di Indonesia.

Pada kenyataannya sampai dengan saat ini belum ada

produk hukum yang khusus mengatur tentang pelaksanaan bedah

plastik di Indonesia padahal hal ini dapat dinilai sebagai sebuah

kebutuhan yang penting dan mendesak saat ini karena semakin

banyaknya sarana pelayanan bedah plastik di Indonesia yang

belum atau bahkan tidak sesuai dengan standar pelayanan medis

dan hukum kesehatan yang berlaku, tetapi kebutuhan masyarakat

semakin meningkat karena di era globalisasi saat ini masyarakat

semakin modern dan cenderung menjadi korban tren, salah

satunya dalah tren merawat tubuh dan wajah, hal ini tidak hanya

dilakukan oleh kaum perempuan saja tetapi kaum laki-lakipun

juga melakukannya dan kaum laki-laki ini disebut kaum

metroseksual.

Dengan keadaan seperti ini seharusnya pemerintah pusat

bersama DPR RI peka untuk menyusun peraturan perundang-

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
120

undangan yang khusus mengatur tentang pelaksanaan bedah

plastik di Indonesia. Hal ini penting untuk melindungi para

pelaku bedah plastik di Indonesia.


104
Berdasarkan teori hukum Chambliss dan Seidman yang

dikenal dengan : “Teori Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat”

pengaturan pelaksanaan tindakan bedah plastik di Indonesia

belum dapat dinilai sasaran hukum dan hubungan antara faktor-

faktor yang berkaitan dengan bekerjanya hukum, hal ini

dikarenakan belum adanya pengaturan pelaksanaan tindakan

bedah plastik di Indonesia. Selama ini dasar hukum yang dipakai

adalah serangkaian peraturan perundang-undangan tentang

kesehatan yang berkaitan dengan pelaksanaan bedah plastik,

peraturan dari IDI dan PERAPI, serta kebijakan institusional

Rumah Sakit tempat dilakukannya bedah plastik, dasar hukum di

atas sifatnya umum jadi pelaku bedah plastik harus mencari

substansi yang mengaturnya di beberapa peraturan- peraturan

tersebut, misalnya pengaturan tentang tenaga kesehatan yang

berwenang ada di dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 32

Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, pengaturan tentang

informed concent ada di dalam Peraturan Menteri Kesehatan

(Permenkes) Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang

Persetujuan Tindakan Medik.

104
Ibid, hlm. 20
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
121

Berdasarkan teori Seidman diketahui bahwa peraturan

perundang-undangan tentang kesehatan juga dipengaruhi faktor

sosial dan lainnya yaitu kepentingan yang berbeda dari para

pihak yang berbeda, sikap masyarakat maupun pemegang

peranan maupun oleh kebijakan Menteri Kesehatan, dalam hal ini

masih adanya budaya stakeholder di dalam pembuatan peraturan

perundang-undangan di Indonesia, kalau sekiranya produk

tersebut sangat menguntungkan pihak pemerintah dan pihak

pemesannya pasti akan segera dibuat.

2) Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa belum

adanya prosedur tetap (protap) yang khusus mengatur tentang

pelaksanaan bedah plastik di RSDM maka Direktur beserta

jajaran SMF Bedah;bedah plastik RSDM selaku pihak pelaksana

pelayanan bedah plastik di lapangan atau yang paling dekat

dengan pelayanan masyarakat adalah pihak/lembaga yang

bertanggungjawab dan seharusnya berfungsi dalam rangka

pelayanan medis khususnya yang berkaitan dengan pelayanan

bedah plastik. Ini menunjukkan sikap kurang perhatiannya pihak

Direktur beserta jajaran SMF Bedah;bedah plastik RSDM dalam

hal pengadaan prosedur tetap (protap) pelayanan bedah plastik di

RSDM sendiri. Kondisi seperti ini mengkhawatirkan karena

menunjukkan lemahnya perlindungan hukum bagi pelaksana

pelayanan bedah plastik, khususnya pasien dan dokter. Walaupun

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
122

secara prosedural protap merupakan komponen pelengkap dalam

suatu tindakan medis tetapi tidak dapat dibenarkan juga apabila

pihak Direktur beserta jajaran SMF Bedah;bedah plastik RSDM

tidak atau belum sama sekali memulai menyusun protap ini

padahal berdasarkan wawancara Penulis dengan salah seorang

dokter spesialis bedah plastik (Dr. Dewi) ada pernyataan bahwa

pihaknya pada tahun 2007 telah mengikuti pertemuan PERAPI

(Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia) di Bali, salah satu

out put pertemuan tersebut adalah tentang pengadaan protap

pelayanan bedah plastik di masing-masing instansi/tempat

prakteknya, tetapi sesuai dengan pernyataan Dr. Dewi juga

bahwa sampi dengan saat ini pihak SMF Bedah;bedah plastik

RSDM belum mulai menyusunnya.

Fakta di atas menunjukkan sikap kurang bertanggungjawab

para pihak yang terkait dengan pelayanan bedah plastik di

Indonesia pada umumnya dan di RSDM pada khususnya.

3) Kurangnya perhatian pihak terkait menyangkut pengadaan sarana

dan prasarana yang sesuai dengan teknologi terbaru/sesuai

kebutuhan pasien.

4) Kurangnya kesadaran hukum pihak dokter beseta jajarannya

tentang arti dari sebuah perjanjian terapeutik, yang masih

mengenyampingkan perlindungan hukum terhadap pasien dalam

menjalani proses pengobatan di RS.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
123

5) Penyampaian proses Informed Consent / persetujuan tindakan

medik yang dilakukan petugas yang berwenang tidak sesuai

aturan yang berlaku.

b. Komponen Substansi

Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa belum

adanya prosedur tetap (protap) yang khusus mengatur tentang

pelaksanaan bedah plastik di RSDM maka Komponen substansi yang

digunakan adalah peraturan/hukum yang mencakup living law

(hukum yang hidup, dan bukan hanya aturan yang ada dalam

Undang-undang saja atau law in the books). Berdasarkan hal ini

karena belum adanya protap pelaksanaan pelayanan bedah plastik di

RSDM maka yang dipakai dasar pelaksanaannya adalah :

(a) Kebijakan RSDM secara instansi

(b) Standar profesi/keahliannya : dari PERAPI

Memang protap merupakan komponen pelengkap

terlaksananya suatu tindakan medis, karena protap merupakan

aturan yang berasal dari pedoman-pedoman standar profesi

maupun standar pelayanan bisa juga dari text book dari manapun

yang tentunya yang berkaitan dengan pelaksaan suatu tintadakan

medis tersebut kemudian aturan ini diberlakukan secara hukum

melalui penetapan Direktur RSDM yang digunakan untuk

kepentingan lokal;kalangan RSDM saja.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
124

Secara hukum protap dapat dijadikan dasar hukum yang

kuat dalam pelaksaan pelayanan bedah plastik, karena apabila ada

kejadian/ kasus yang tidak diharapkan maka para pihak terkait

dapat melihat apakah protap yang ada sudah dijalankan dengan

benar/belum, kalau ternyata belum ada protapnya maka

penangannya akan dilihat berdasarkan peraturan perundang-

undangan hukum kesehatan maupun peraturan IDI yang berkaitan

dengan kejadian atau kasus yang ada, tentu saja ini agak

merepotkan karena pihak yang terkait harus melihat peraturan

perundang-undangannya satu persatu untuk mencari substansi

hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan bedah plastik. Selama

ini karena pihak Direktur beserta jajaran SMF Bedah;bedah plastik

RSDM belum menyusun protap bedah plastik sama sekali maka

dasar hukum yang dipakai dalam pelaksaan pelayanan bedah

plastik di RSDM adalah dua komponen di atas, yaitu Kebijakan

RSDM secara instansi; standar pelayanan medis secara umum di

RSDM dan Standar profesi/keahliannya : ilmu kedokteran yang

berkaitan, aturan dari PERAPI.

Berdasarkan teori hukum Hans Kelsen, maka pelaksanaan

tindakan bedah plastik di RSDM belum dapat dinilai

sinkronisasinya, karena belum adanya peraturan perundang-

undangan yang khusus mengatur pelaksanaan bedah plastik di

Indonesia dan protap bedah plastik di RSDM. Selama ini dasar

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
125

hukum yang dipakai adalah serangkaian peraturan perundang-

undangan tentang kesehatan yang berkaitan dengan pelaksanaan

bedah plastik, peraturan dari IDI dan PERAPI, serta kebijakan

institusional Rumah Sakit tempat dilakukannya bedah plastik.

Sejauh ini tidak ada masalah dengan sinkronisasi peraturan-

peraturan tersebut, ysng menjadi agak rumit adalah ketika pelaku

bedah plastik akan mencari dasar pelaksanaan tindakan medisnya,

karena belum ada satu peraturan perundang-undangan yang khusus

mengatur pelaksanaan bedah plastik di Indonesia dan protap bedah

plastik di RSDM, jadi pelaku bedah plastik harus mencari substansi

yang mengaturnya di beberapa peraturan- peraturan tersebut,

misalnya pengaturan tentang tenaga kesehatan yang berwenang ada

di dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1996 tentang

Tenaga Kesehatan, pengaturan tentang informed concent ada di

dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik

Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan

Medik.

c. Komponen Kultural

1) Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa belum

adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur

tentang pelaksanaan bedah plastik di Indonesia ini menunjukkan

budaya hukum di Indonesia masih perlu dibenahi karena pihak

yang terkait yaitu pemerintah pusat dan DPR RI merupakan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
126

pihak/lembaga kurang bertanggungjawab dan kurang berfungsi

dalam rangka pelayanan medis khususnya yang berkaitan dengan

pelayanan bedah plastik. Pemerintah pusat dan DPR RI

bertanggungjawab dalam penggarapan produk-produk hukum

yang peka dan dapat mengakomodasi kebutuhan segala

masyarakat, dalam hal ini khususnya produk hukum yang berupa

peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan bedah plastik di

Indonesia.

2) Bagi RSDM, sebagai Rumah Sakit adalah milik Pemerintah

Daerah Propinsi Jawa Tengah yang berstatus Kelas B-

Pendidikan, tentunya juga sebagai tempat untuk segala macam

pembedahan khususnya bedah plastik, sejauh ini masih kurang

perhatian terhadap ketentuan prosedur tetap (protap) dengan

bukti belum dibuatnya protap tentang pelaksanaan operasi bedah

plastik. Ini menunjukkan masih kurangnya perlindungan hukum

bagi RSDM, dokter dan terutama bagi pasien yang menjalani

operasi bedah plastik.

Selama ini protap masih dianggap tindakan prosedural saja

yang paling diutamakan adalah pelayanan, ini menjadi dilema

yang sangat berat karena keduanya memiliki kedudukan yang

sama penting. Bagi Dokter, format ketentuan prosedur tetap

(protap) seringkali hanya dianggap formalitas yang harus

dibuat/dilaksanakan tanpa mengerti dan memahami makna

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
127

dibalik pentingnya keberadaan dan terlaksananya ketentuan

prosedur tetap (protap). Hal ini menunjukkan kurangnya sikap

proaktif dari dokter yang bersangkutan untuk membuat format

ketentuan prosedur tetap (protap), karena sejauh ini semua

tindakan operasi bedah plastik berjalan dengan mulus.

Permasalahan baru muncul, manakala hasil upaya kesehatan

tidak memenuhi keinginan/ harapan dari pasien. Pasien

mengharapkan bahwa dengan adanya tindakan medis, maka

suatu penyakit/ gangguan kesehatan yang dideritanya akan

menjadi lebih baik, bukan menjadi lebih buruk.

Selajutnya, adanya fakta bahwa tidak diijinkannya Penulis

untuk melakukan tindakan penelitian di sebuah klinik kecantikan

kelas eksklusif di RSDM menunjukkan adanya arogansi dan

kurang terbukanya pihak RSDM kepada masyarakat pada

umumnya dan kepada peneliti-peneliti pada khususnya. Padahal

segala implementasi itu memerlukan suatu evaluasi agar tercipta

keadaan yang lebih baik dan sesuai dengan hukum positif yang

berlaku.

Bagi pasien, ketentuan prosedur tetap (protap) / prosedural

suatu tindakan medis merupakan sesuatu yang kurang dianggap

penting untuk diperhatikan yang lebih penting adalah

kesembuhan/hasil akhir yang akan didapat dari hasil suatu

tindakan medis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
128

3) Kurangnya kesadaran hukum akan arti pentingnya sebuah

perjanjian terapeutik, yang selama ini terjadi adalah hanya

perlindungan hukum terhadap tenaga medis yang bersangkutan,

sedangkan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pasien

masih dirasakan minim, apalagi ketika terjadi dugaan malpraktik

Kesadaran hukum sebagai komponen kultural juga ikut

menentukan bekerjanya hukum dalam suatu masyarakat,

seharusnya semua pihak yang terkait di dalam pelaksanaan

operasi bedah plastik sama-sama menyadari hak dan

tanggungjawabnya, khususnya dalam sebuah perjanjian

terapeutik, karena dalam suatu perjanjian semua pihak yang

terkait di dalamnya akan terikat dengan perjanjian tersebut.

Berdasarkan teori hukum Van Apeldoorn, maka

pelaksanaan tindakan bedah plastik di RSDM belum dapat

mengatur pergaulan hidup dengan baik dan belum dapat

melindungi kepentingan manusia dalam hal ini adalah pelaku

tindakan bedah plastik di Indonesia, hal ini sangat merugikan

karena kurangnya kesadaran hukum akan arti pentingnya sebuah

perjanjian terapeutik. Ini menandakan lemahnya perlindungan

hukum bagi pelakunya, apabila ada masalah atau kasus hukum

yang timbal dari pelaksanan tindakan bedah plastik di RSDM

khususnya maka aparat hukum yang berwenang mencari dasar

hukumnya di dalam surat perjanjian yang tertulis yang disepakati

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
129

para pihak yang terkait dan akan di cek apakah para pihak sudah

melaksanakan kewajibannya dan mendapatkan haknya sesuai

dengan perjanjian tersebut.

4) Tenaga kesehatan`di RSDM tidak sesuai aturan yang berlaku

dalam proses penyampaian Informed Consent / persetujuan

tindakan medik, proses ini hanya dijadikan sebagai formalitas

semata.

Berdasarkan teori Utrecht, pelaksanaan tindakan bedah

plastik di RSDM belum mengadakan keselamatan bahagia dan

tertib dalam masyarakat, belum menjamin adanya kepastian

hukum (rechtszekerheid) dalam pergaulan masyarakat, belum

menjamin keadilan, dan hukum belum dapat menjaga agar dalam

masyarakat tidak main hakim sendiri, hal ini dibuktikan dengan

belum disusunnya protap bedah plastik dan juga proses

penyampaian Informed Consent / persetujuan tindakan medik

yang hanya dijadikan sebagai formalitas semata padahal proses

ini merupakan langkah awal terpenting sebelum dilakukannya

suatu tindakan medik.

Berdasarkan pendapat Mochtar Kusumaatmadja, maka

pelaksanaan tindakan bedah plastik di RSDM belum dapat

menciptakan ketertiban. Ketertiban di sini adalah ketertiban

dalam pelaksanaan bedah plastik karena belum tertibnya para

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
130

petugas yang berwenang melaksanakan proses penyampaian

Informed Consent / persetujuan tindakan medik.

5) Muncul fenomena menjamurnya klinik-klinik kecantikan yang

berani melakukan operasi bedah plastik, yang tentu saja dasar

hukum beroperasinya masih perlu dipertanyakan, akan tetapi

masyarakat sudah sangat tergiur dengan keberadaan klinik-klinik

ini, karena terbawa trend an promosi iklan yang menggoda.

Berdasarkan teori hukum teori etis (etische theorie),

maka pelaksanaan tindakan bedah plastik di RSDM belum

memenuhi atau mewujudkan keadilan bagi pasien karena belum

adanya suatu peraturan perundang-undangan yang khusus

mengatur tentang pelaksanaan tindakan bedah plastik di

Indonesia dan protap bedah plastik di RSDM, padahal saat ini

masyarakat semakin banyak yang membutuhkan sarana

kesehatan yang melayani tindakan bedah plastik dan semakin

menjamur juga salon-salon kecantikan yang melakukan tindakan

bedah plastik tetapi tidak memenuhi ketentuan hukum yang

berlaku, misalnya masalah perijinannya dan tenaga kesehatan

yang berwenang melakukan tindakan bedah plastik.

3 Solusi Hukum di Masa Depan (Ius Constituendum) untuk Mengatasi

Ketidaksesuaian Bedah Plastik di RSUD Moewardi Surakarta dengan

Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kesehatan di Indonesia

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
131

Berdasarkan teori hukum Lawrence M. Friedman ada tiga unsur


sistem hukum (three element of legal system). Ketiga unsur sistem hukum
yang mempengaruhi bekerjanya hukum yaitu105 :

a. Komponen struktur hukum.

Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan belum adanya

peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang

pelaksanaan bedah plastik di Indonesia maka pemerintah pusat dan

DPR RI merupakan pihak/lembaga yang bertanggungjawab dan

seharusnya berfungsi dalam rangka pengaturan pelaksanaan bedah

plastik di Indonesia. Pemerintah pusat dan DPR RI bertanggungjawab

dalam pembuatan produk-produk hukum yang peka dan dapat

mengakomodasi segala kebutuhan masyarakat, khususnya di sini

adalah peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang

pelaksanaan bedah plastik di Indonesia.

Menurut Penulis, teori hukum yang baik yang berkaitan

dengan masalah ini adalah teori hukum yang mendasarkan nilai-nilai

yang hidup di masyarakat dan merespon kepentingan masyarakat

sesuai dengan teori hukum ketiga, yaitu teori hukum responsif dari

Philippe Nonet.

Berdasarkan teori hukum ketiga (hukum responsif) Philippe

Nonet, maka pengaturan pelaksanaan tindakan bedah plastik di

Indonesia dan di RSDM khususnya belum responsif, karena DPR

105
Esmi Warassih, op.cit., hlm. 30.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
132

bersama pemerintah kurang tanggap dan merespon kebutuhan

masyarakat terhadap adanya peraturan perundang-undangan yang

khusus mengatur pelaksanaan bedah plastik di Indonesia.

Pada kenyataannya sampai dengan saat ini belum ada

produk hukum yang khusus mengatur tentang pelaksanaan bedah

plastik di Indonesia padahal hal ini dapat dinilai sebagai sebuah

kebutuhan yang penting dan mendesak saat ini karena semakin

banyaknya sarana pelayanan bedah plastik di Indonesia yang belum

atau bahkan tidak sesuai dengan standar pelayanan medis dan hukum

kesehatan yang berlaku, tetapi kebutuhan masyarakat semakin

meningkat karena di era globalisasi saat ini masyarakat semakin

modern dan cenderung menjadi korban tren, salah satunya dalah tren

merawat tubuh dan wajah, hal ini tidak hanya dilakukan oleh kaum

perempuan saja tetapi kaum laki-lakipun juga melakukannya dan kaum

laki-laki ini disebut kaum metroseksual.

Berdasarkan kenyataan seperti ini seharusnya pemerintah

pusat bersama DPR RI menjadi peka untuk segera menyusun peraturan

perundang-undangan yang khusus mengatur tentang pelaksanaan

bedah plastik di Indonesia, bentuknya dapat berupa Peraturan

Pemerintah atau cukup berupa Surat Keputusan Menteri Kesehatan

(SK Menkes). Hal ini penting untuk melindungi para pelaku bedah

plastik di Indonesia.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
133

Protap merupakan komponen pelengkap terlaksananya suatu

tindakan medis di RS, karena protap merupakan aturan yang berasal

dari pedoman-pedoman standar profesi maupun standar pelayanan bisa

juga dari text book dari manapun yang tentunya yang berkaitan dengan

pelaksaan suatu tintadakan medis tersebut kemudian aturan ini

diberlakukan secara hukum melalui penetapan Direktur RS yang

digunakan untuk kepentingan lokal;kalangan RS saja.

Secara hukum protap dapat dijadikan dasar hukum yang kuat

dalam pelaksaan pelayanan bedah plastik, karena apabila ada kejadian/

kasus yang tidak diharapkan maka para pihak terkait dapat melihat

apakah protap yang ada sudah dijalankan dengan benar/belum, kalau

ternyata belum ada protapnya maka penangannya akan dilihat

berdasarkan peraturan perundang-undangan hukum kesehatan maupun

peraturan IDI yang berkaitan dengan kejadian atau kasus yang ada,

tentu saja ini agak merepotkan karena pihak yang terkait harus melihat

peraturan perundang-undangannya satu persatu untuk mencari

substansi hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan bedah plastik.

Pihak RSDM seharusnya segera memperhatikan masalah ini dengan

tindak lanjut pembuatan protap tersebut agar membantu semua pihak

yang melaksanakan operasi bedah plastik di RSDM, bahkan juga akan

membantu para dokter muda yang sedang menjalankan pembekalan

praktek kedokteran di lingkungan RSDM, khususnya di SMF bedah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
134

b. Komponen substansi

Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa belum

adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang

pelaksanaan bedah plastik di Indonesia mengakibatkan dasar hukum

yang digunakan dalam pelayanan bedah plastik di Indonesia adalah

segala peraturan perundang-undangan tentang kesehatan dan juga

peraturan dari IDI yang pada substansinya berhubungan dengan

pelaksanaan pelayanan bedah plastik, diantaranya adalah:

1) Dasar hukum dilakukannya bedah plastik

2) Pengertian bedah plastik

3) Tujuan bedah plastik

4) Jenis bedah plastik

5) Hak dan kewajiban pelaku bedah plastik

6) Tenaga kesehatan yang berwenang melakukan tindakan bedah

plastik

7) Sarana kesehatan bedah plastik (tempat, alat-alat yang

digunakan)

8) Persiapan operasi bedah plastik (informed consent, pemeriksaan

fisik)

9) Pelaksaan bedah plastik

10) Proses setelah operasi

11) Sanksi hukum bagi pelanggarnya

12) Proses penyelesaian dugaan malpraktik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
135

Karena Indonesia belum mempunyai peraturan perundang-

undangan yang khusus mengatur tentang pelaksaan bedah plastik maka

apabila terjadi sebuah masalah atau kasus di masyarakat yang

berkaitan dengan bedah plastik dasar hukum yang dipakai adalah

peraturan perundang-undangan hukum kesehatan maupun peraturan

IDI yang berkaitan dengan kejadian atau kasus yang ada.

Khusus untuk pihak RSDM; khususnya SMF Bedah; Subbagian Bedah

Plastik, sebaiknya segera berinisiatif untuk membuat protap

pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM sebagai pedoman

pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM.

c. Komponen kultural

1) Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa belum

adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur

tentang pelaksanaan bedah plastik di Indonesia ini menunjukkan

budaya hukum di Indonesia masih perlu dibenahi karena pihak

yang terkaita yaitu pemerintah pusat dan DPR RI merupakan

pihak/lembaga kurang bertanggungjawab dan kurang berfungsi

dalam rangka pelayanan medis khususnya yang berkaitan dengan

pelayanan bedah plastik. Pemerintah pusat dan DPR RI

bertanggungjawab dalam penggarapan produk-produk hukum yang

peka dan dapat mengakomodasi kebutuhan segala masyarakat,

dalam hal ini khususnya produk hukum yang berupa peraturan

yang mengatur tentang pelaksanaan bedah plastik di Indonesia.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
136

Budaya hukum di pemerintah pusat dan DPR RI masih

menganut asa saling menguntungkan yaitu sebuah produk hukum

dibuat berdasarkan pesanan para pihak yang mempunyai

kepentingan (stakeholder) di dalamnya. Pemerintah pusat dan

DPR RI juga bisa dinilai kurang peka terhadap kebutuhan

masyarakat yang seharusnya segera diakomodasikan ke dalam

sebuah produk hukum, khususnya kebutuhan masyarakat terhadap

“payung hukum” dalam pelaksanaan bedah plastik di Indonesia.

Penulis menilai bahwa peraturan perundang-undangan yang khusus

mengatur tentang pelaksanaan bedah plastik di Indonesia ini

sangat di butuhkan karena dengan kenyataan muncul fenomena

menjamurnya klinik-klinik kecantikan yang berani melakukan

operasi bedah plastik, yang tentu saja dasar hukum beroperasinya

masih perlu dipertanyakan, akan tetapi masyarakat sudah sangat

tergiur dengan keberadaan klinik-klinik ini, karena terbawa trend

an promosi iklan yang menggoda. begitu banyaknya klinik-klinik

kecantikan yang melakukan bedah plastik di dalamnya otomatis

perlu dibuat sebuah produk hukum yang dapat mengaturnya,

karena berdasarkan hukum kesehatan yang ada tindakan bedah

khususnya bedah plastik tidak dapat dilakukan sembarangan, baik

itu pelaku maupun tempatnya

2) Pihak RSDM; khususnya SMF Bedah; Subbagian Bedah Plastik,

kurang inisiatif untuk membuat protap pelaksanaan operasi bedah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
137

plastik di RSDM. Hal ini dikarenakan pihak terkait tersebut

menganggap protap hanya sebagai formalitas semata padahal

didalamnya juga akan melindungi kepentingan para petugas medis

yang terkait.

Kurangnya kesadaran hukum akan arti pentingnya sebuah

perjanjian terapeutik, yang selama ini terjadi adalah hanya

perlindungan hukum terhadap tenaga medis yang bersangkutan,

sedangkan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pasien

masih dirasakan minim, apalagi ketika terjadi dugaan malpraktik.

Hal ini harus diperbaiki bagi pihak pasien maupun bagi pihak

tenaga medis yang berwenang agar tercipta ketertiban dan

kepastian hukum.

Tenaga kesehatan`di RSDM tidak sesuai aturan yang

berlaku dalam proses penyampaian Informed Consent / persetujuan

tindakan medik, proses ini hanya dijadikan sebagai formalitas

semata. Sebaiknya tenaga kesehatan melaksanakan proses

penyampaian Informed Consent / persetujuan tindakan medik

sesuai dengan system yang berlaku berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan berdasarkan protap Informed Consent /

persetujuan tindakan medik yang ada di RSDM.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
138

Berdasarkan teori hukum teori Radbruch106, maka pengaturan

pelaksanaan tindakan bedah plastik di Indonesia belum mempunyai

tiga nilai idealitas atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum

yang baik, yaitu :keadilan, kemanfaatan / kegunaan dan kepastian

hukum. Ini terbukti dengan belum adanya produk hukum khusus yang

mengatur tindakan bedah plastic di Indonesia.

Berdasarkan teori-teori hukum di atas maka menurut Penulis

pengaturan pelaksanaan tindakan bedah plastik di Indonesia belum

baik atau belum sesuai dengan teori hukum yang baik karena belum

adanya pengaturan pelaksanaan tindakan bedah plastik di Indonesia

secara khusus. Selama ini dasar hukum yang dipakai adalah

serangkaian peraturan perundang-undangan tentang kesehatan yang

berkaitan dengan pelaksanaan bedah plastik, peraturan dari IDI dan

PERAPI, serta kebijakan institusional Rumah Sakit tempat

dilakukannya bedah plastik, dasar hukum tersebut sifatnya umum jadi

pelaku bedah plastik harus mencari substansi yang mengaturnya di

beberapa peraturan- peraturan tersebut hal ini juga berlaku apabila ada

dugaan malpraktik dalam tindakan bedah plastik, para aparat hukum

harus mencari dasar-dasar hukum yang akan dikenakan dari

serangkaian peraturan perundang-undangan tentang kesehatan tersebut.

Hal ini membuktikan bahwa pengaturan pelaksanaan tindakan bedah

106
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung, 1979,
hlm. 19-20.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
139

plastik di Indonesia belum memenuhi rasa keadilan, belum dapat

melindungi pelaku bedah plastik, belum menjamin kepastian hukum,

belum dapat menciptakan ketertiban, belum ada respon dari pihak-

pihak yang berwenang untuk membuat pengaturan pelaksanaan

tindakan bedah plastik di Indonesia secara khusus dan yang terakhir

budaya hukum di Indonesia masih belum baik karena masih

menggunakan “asas saling menguntungkan” antara stakeholder dalam

pembuatan suatu produk hukum maupun dalam pelaksanaan

hukumnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
140

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan:

1. Pelaksanaan tindakan medis operasi bedah plastik di RSDM dilaksanakan

tanpa adanya prosedur tetap (protap) yang menjadi acuan/dasar

pelaksanaannya, hal ini disebabkan para dokter umumnya belum

memahami secara jelas dan menganggap bahwa protap hanya merupakan

persyaratan administrasi saja. Di samping itu, para dokter pada umumnya

lebih mengutamakan tindakan medik terhadap pasien daripada syarat-

syarat prosedural seperti protap. Selama ini pelaksanaan tindakan medis

operasi bedah plastik berdasarkan Kebijakan RSDM secara instansi dan

Standar profesi/keahliannya : dari PERAPI.

2. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan bedah plastik di RSUD

Moewardi Surakarta adalah belum dibuatnya protap pelaksanaan tindakan

medis operasi bedah plastik di RSDM, kurang optimalnya pelaksanaan

proses penyampaian Informed Consent / persetujuan tindakan medik dan

kesadaran hukum akan pentingnya suatu perjanjian terapeutik yang selama

ini hanya terkesan melindungi pihak tenaga medis dari jeratan hukum

sedangkan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pasien dirasa

belum maksimal.

commit to user
140
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
141

3. Solusi (Ius Constituendum) untuk mengatasi ketidaksesuaian bedah plastik

di RSUD Moewardi Surakarta dengan peraturan perundang-undangan

tentang kesehatan di Indonesia

a. Perlu dibuat peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur

tentang pelaksanaan bedah plastik di Indonesia.

b. Perlu disusun protap pelaksanaan operasi bedah plastik di RSDM.

B. Implikasi
Berdasarkan simpulan maka implikasinya sebagai berikut.

1. Menimbulkan kerugian terhadap diri pasien atas hak pelayanan kesehatan

yang maksimal.

2. Ada kemungkinan timbulnya gugatan kesalahan medis/ malpraktek baik

secara yuridis maupun administrasi kepada dokter atau rumah sakit,

apabila terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki, ini akan membuktikan

betapa lemahnya perlindungan hukum bagi pelaku bedah plastik

C. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi maka Penulis menyarankan:
1. Kepada pihak pemerintah pusat bersama DPR disarankan untuk segera

membuat suatu peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur

tentang pelaksanaan bedah plastik di Indonesia.

2. Kepada pihak RSDM disarankan untuk membuat prosedur tetap tentang

pelaksanaan operasi bedah plastik di Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Moewardi agar menjamin pelaksanaan perlindungan hak dan kewajiban

pasien dan sebagai payung hukum bagi dokter dalam melaksanakan

tugas dan kewenangannya khususnya dalam pelaksanaan tindakan medik


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
142

operasi bedah plastik di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi,

disarankan juga adanya kontrol atas pelaksanaan pemberian informasi

atas tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien oleh Komite

Medik, Komite Keparawatan, Sub Komite Rekam Medik, Kepada dokter

RSDM disarankan untuk adanya kesadaran dan partisipasi dokter untuk

merubah kebiasaan pada saat pemberian informed consent. Pemberian

informasi seharusnya dilakukan secara sendiri, serta kepada pasien

disarankan untuk teliti dalam melakukan segala tindakan pelayanan

medis, perlunya mengikuti aturan yang berlaku agar terjamin

terlaksananya pemenuhan hak dan kewajiban pasien dan juga dokter

commit to user

Anda mungkin juga menyukai