Anda di halaman 1dari 86

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

PERBEDAAN MULA KERJA DAN LAMA KERJA BLOKADE


ANTARA PENAMBAHAN KETAMIN DENGAN FENTANIL
PADA BUPIVAKAIN SEBAGAI ANESTESI SPINAL

TESIS

Untuk memenuhi sebagian persyaratan


Mencapai Derajat Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran Keluarga
Minat Utama: Ilmu Biomedik

Disusun Oleh :

Oleh :

Dzulfrida Setiawan
S 501 008 023

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012

commit to user

i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERBEDAAN MULA KERJA DAN LAMA KERJA BLOKADE


ANTARA PENAMBAHAN KETAMIN DENGAN FENTANYL
PADA BUPIVAKAIN SEBAGAI ANESTESI SPINAL

Disusun Oleh :

Dzulfrida Setiawan
S 501 008 023

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, M.Sc, PhD


NIP. 19551021 199412 1 001 ........................

Pembimbing II H. Sugeng Budi S dr, Sp. An., KMN


NIP. 19590620 198701 1 001 ........................

Telah dinyatakan memenuhi syarat

Pada tanggal Februari 2012

Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga

Minat Utama Ilmu Biomedik

Dr.Hari Wujoso,dr.SpF,MM

NIP. 19621022 199503 1001

commit to user

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERBEDAAN MULA KERJA DAN LAMA KERJA BLOKADE


ANTARA PENAMBAHAN KETAMIN DENGAN FENTANYL
PADA BUPIVAKAIN SEBAGAI ANESTESI SPINAL

Disusun Oleh :

Dzulfrida Setiawan
S 501 008 023

Dewan Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Dr.Hari Wujoso,dr.SpF,MM


NIP. 19621022 199503 1 001 ........................

Sekretaris Afiono Agung Prasetyo,dr Ph.D


NIP. 19770907 200212 1 002 ........................

Anggota Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, M.Sc, PhD


NIP. 19551021 199412 1 001 ........................

Anggota H. Sugeng Budi S dr, Sp. An., KMN


NIP. 19590620 198701 1 001 ........................

Telah dipertahankan di depan penguji


Dinyatakan telah memenuhi syarat
pada tanggal Maret 2012

Direktur PPS UNS Ketua Program Studi MKK

Prof.Dr.Ir Ahmad Yunus, MS Dr.Hari Wujoso,dr.SpF,MM


NIP.19610717 198601 1 001 NIP. 19621022 199503 1 001

commit to user

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

1. Tesis yang berjudul” PERBEDAAN MULA KERJA DAN LAMA KERJA BLOKADE

ANTARA PENAMBAHAN KETAMIN DENGAN FENTANYL PADA

BUPIVAKAIN SEBAGAI ANESTESI SPINAL” ini adalah karya penelitian saya

sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan

oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis

digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

2. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perudang-undangan

(Permendiknas No 17, tahun 2010).

3. Publikasi atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin

dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya.

Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak

pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan

Tesis ini, maka Prodi Kedokteran Keluarga UNS berhak mempublikasikannya pada

jurnal ilmiah yang diterbitkan Prodi Kedokteran Keluarga UNS.

4. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya

bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, Maret 2012

Dzulfrida Setiawan
commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas petunjuk dan rahmat yang

diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaian Tesis dengan judul: ”PERBEDAAN

MULA KERJA DAN LAMA KERJA BLOKADE ANTARA PENAMBAHAN

KETAMIN DENGAN FENTANYL PADA BUPIVAKAIN SEBAGAI

ANESTESI SPINAL ”.

Tesis ini merupakan persyaratan untuk mencapai derajat magister kesehatan

Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama: Ilmu Biomedik. Terselesaikannya

Tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan

ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs. MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

3. Prof.Dr. Zaenal Arifin Adnan, dr, SpPD KR FINASIM selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Dr. Hari Wujoso, dr, SpF, MM, selaku Ketua Progrma Studi Magister Kedokteran

Keluarga Universitas Sebelas Maret Surakarta

5. Afiono Agung Prasetyo,dr Ph.D selaku Ketua Minat Ilmu Biomedik Program

Pascasarjana UNS.

commit to user

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6. Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, M.Sc, PhD selaku pembimbing metodologis yang

dengan kesabarannya meneliti proposal penelitian ini sehingga menjadi

lebih baik.

7. Ari Natalia Probandari, dr, MPH. Ph.D selaku Sekretaris Program Studi Magister

Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana UNS.

8. H. Marthunus Judin, dr, SpAn selaku Kepala SMF Ilmu Anestesi dan Terapi

Intensif FKUNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan kesempatan dan

dukungan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret.

9. Mulyo Hadi Sudjito dr, SpAn, KNA selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM yang telah

memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

10. H. Sugeng Budi S dr, SpAn, KMN selaku pembimbing substansi yang telah

memberikan banyak waktu dan tenaganya untuk pembuatan proposal

penelitian ini.

11. Seluruh staf pengajar PPDS I Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNS / RSUD

dr. Moewardi Surakarta, yang dengan sabar memberikan bimbingan dan nasehat.

11. Kedua orang tua dan saudara-saudara yang telah memberikan restu dan

dukungannya atas setiap langkah dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam proses

penyusunan Tesis ini.

commit to user

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12. Riani Isyana Pramasanthi dr, dan Muhammad Rif’an Pramadhani Setiawan, istri

tercinta dan anak tersayang yang selalu memberikan dukungan dan inspirasi bagi

terselesainya Tesis ini.

13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan proposal penelitian ini

yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih banyak kekurangan,

untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan proposal

penelitian ini menjadi lebih baik.

Surakarta, Maret 2012

Penulis

Dzulfrida Setiawan

commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Dzulfrida Setiawan, S501008023. 2012. Comparison of onset, duration of blockade


and the haemodynamic parameteters between ketamine and fentanyl
administration to bupivacaine in spinal anesthesia. Supervisor I : Prof. Bhisma
Murti, dr, MPH, M.Sc, PhD. Supervisor II : Sugeng Budi S, dr, SpAn., KMN,
Anesthesiology and Intensive Care – Magister of Family Medicine, Graduate Program
Sebelas Maret University, Surakarta.

Background : Intrathecal bupivacaine produces a short period of analgesia with stable


haemodynamic. Fentanyl with bupivacaine prolongs the duration of analgesia when
administered intrathecally but does not prevent hypotension.

Objective : The objective of the study was to assess the effect of a combination of
intrathecal bupivacaine, ketamine and fentanyl on the onset of blockade and duration of
analgesia and the haemodynamic parameters.

Methods: A prospective, randomized, double-blind study was carried out in 22 ASA I


and II patients undergo lower limb surgery under spinal anaesthesia. Patients were
randomly allocated to receive 20 mg kg of R(-) ketamine (0.2 mL) + 0.3 ml saline
0.9 % in Group K (n =11) or 25 microg (0.5 mL) of fentanyl in Group F (n =11)
following 12.5 mg of plain bupivacaine 0.5 % intrathecally. Data were collected
regarding the onset and duration of sensoric and motoric blockade. Sensoric and
motoric blockade were monitored using “pin prick” and “Bromage score” respectively.
Time for two segments regression in the thoracal 10 (T10) block level was estimated.
Duration of pain relief and analgesic consumption within 24 hours was estimated. Vital
signs and any untoward effect were recorded at 5, 10, 15, 30, 45, 60, 90, 120,150, 180
and 210 minutes after surgery.

Results: The onset of sensoric and motoric blockade were significantly shorter in
Group K than in Group F (P = 0.001). The duration of sensoric blockade and motoric
blockade were significantly longer in Group K than in Group F (P = 0.001). The
haemodynamic in group K was more stable than in Group F (P = 0.001)

Conclusion: The addition of intrathecal ketamine in plain bupivacaine solution (0.5%)


in spinal anesthesia led to haemodynamic stability, rapid onset and lengthen the
duration of both sensoric and motoric blockade of spinal analgesia compared to fentanil

Keywords: Spinal anesthesia, intrathecal ketamine, onset and duration, sensoric and
motor blockade, haemodynamics parameters.

commit to user

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Dzulfrida Setiawan, S501008023. 2012. Perbedaan kecepatan mula kerja dan


pemanjangan lama kerja blokade antara penambahan ketamin dan fentanil pada
bupivakain sebagai anestesi spinal, Pembimbing I: Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, M.Sc,
PhD. Pembimbing II : Sugeng Budi S, dr, SpAn., KMN, Anestesiologi dan terapi
intensif - Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang: Anestesi spinal dengan bupivakain memiliki lama kerja yang pendek.
Penambahan fentanil pada bupivakain memperlama durasi blokade tetapi menyebabkan
hipotensi.

Tujuan: Menganalisa perbedaan kecepatan mula kerja dan pemanjangan lama kerja
blokade sensorik dan motorik dan gejolak hemodinamik antara penambahan ketamin
dibandingkan dengan fentanil pada bupivakain secara anestesi spinal.

Metode: Penelitian menggunakan Double Blind Randomized Control Trial pada 22


pasien yang dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol (fentanil 25
µg) dan kelompok perlakuan (ketamin 20 mg) yang ditambahkan pada bupivakain 12,5
mg intratekal. Data dicatat meliputi mula kerja dan lama kerja blokade sensorik dan
motorik. Blokade sensorik dinilai dengan “pin prick” test dan blokade motorik dinilai
dengan “Bromage score”. Waktu mulai regresi sensorik dan mulai dibutuhkannya
analgesi dicatat. Data hemodinamik dan kejadian yang terjadi selama operasi pada
menit ke5,10, 15, 30, 45, 60, 90, 120,150, 180 dan 210 diawasi dan ditangani sesuai
prosedur klinik.

Hasil: Mula kerja blokade sensorik dan motorik anestesi spinal pada kelompok
ketamin terbukti lebih cepat dibandingkan dengan fentanil (p = 0.001).
Lama blokade sensorik dan motorik anestesi spinal pada kelompok ketamin terbukti
lebih panjang dibandingkan dengan fentanil (p = 0.001).

Kesimpulan : Penambahan ketamin pada bupivakain intratekal memiliki mula kerja


lebih cepat dan lama kerja lebih panjang dibandingkan dengan penambahan fentanil.

Kata Kunci : Spinal anestesi, Ketamin intratekal, mula kerja dan lama kerja, blockade
sensorik dan motorik.

commit to user

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING...............................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI........................................................................iii

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS......................................iv

KATA PENGANTAR......................................................................................................v

ABSTRAK....................................................................................................................viii

DAFTAR ISI....................................................................................................................x

DAFTAR GAMBAR......................................................................................................xv

DAFTAR TABEL.........................................................................................................xvi

DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................. .xvii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah................................................................................1

B. Rumusan masalah.........................................................................................4

C. Tujuan Penelitian..........................................................................................4

1. Tujuan Umum...........................................................................................4

2. Tujuan Khusus.........;................................................................................4

D. Manfaat penelitian........................................................................................5

1. Manfaat teoritis.........................................................................................5

2. Manfaat praktis.........................................................................................6

3. Manfaat dalam kedokteran keluarga.........................................................6


commit to user

x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian teori

1. Anestesi Spinal........................................................................................7

2. Obat Anestesi Spinal...............................................................................8

3. Struktur Molekul Obat Anestesi Spinal...................................................9

4. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Spinal................................................10

5. Bupivakain.............................................................................................12

6. Struktur kimia bupivakain.....................................................................13

7. Farmakokineti bupivakain.....................................................................14

8. Farmakodinamik bupivakain.................................................................15

9. Fentanil..................................................................................................15

10. Mekanisme kerja fentanil pada anestesi spinal....................................16

11. Ketamin...............................................................................................17

12. Farmakokinetik dan farmakodinamik ketamin....................................19

13. Mekanisme kerja ketamin pada anestesi spinal...................................20

14. Mula kerja anestesi spinal....................................................................20

15. Lama kerja anestesi spinal...................................................................21

16. Penilaian blokade spinal......................................................................22

17. Gejolak hemodinamik dan efek samping anestesi spinal....................22

18. Data penelitian sebelumnya.................................................................25

B. Kerangka teori...........................................................................................28

C. Kerangka pikir...........................................................................................29
commit to user

xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

D. Hipotesis....................................................................................................29

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan waktu penelitian....................................................................30

B. Jenis penelitian..........................................................................................30

C. Populasi ....................................................................................................30

D. Sampel.......................................................................................................31

1. Kriteria inklusi.....................................................................................31

2. Kriteria eksklusi...................................................................................31

3. Besar sampel........................................................................................32

E. Variabel penelitian.....................................................................................32

1. Variabel bebas......................................................................................32

2. Variabel terikat.....................................................................................32

3. Variabel perancu..................................................................................33

F. Definisi Operasional variabel....................................................................33

1. Mula kerja blokade sensorik................................................................33

2. Tes pin-prick........................................................................................33

3. Mula kerja blokade motorik.................................................................33

4. Skala Bromage.....................................................................................33

5. Lama kerja blokade sensorik................................................................33

6. Visual analog pain scales (VAS)..........................................................34

7. Lama kerja blokade motorik................................................................34

8. Level sedasi..........................................................................................34
commit to user

xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

9. Skala Ramsay.......................................................................................34

10. Kegagalan blokade spinal....................................................................34

G. Tata cara dan alur penelitian.....................................................................35

H. Alat............................................................................................................38

I. Obat............................................................................................................38

J. Pengolahan Data........................................................................................39

K. Perijinan penelitian....................................................................................39

1. Ethical clereance...................................................................................39

2. Informed consent...................................................................................40

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian..........................................................................................41

1. Karakteristik sampel penelitian............................................................41

2. Mula kerja dan lama kerja anestesi spinal............................................43

3. Hemodinamik anestesi spinal...............................................................45

a. Tekanan darah sistolik.....................................................................45

b. Tekanan darah diastolik...................................................................46

c. Tekanan pembuluh arteri rata-rata (MAP).......................................47

d. Laju nadi (HR).................................................................................48

e. Saturasi oksigen perifer (SPO2).......................................................49

4. Level sedasi anestesi spinal..................................................................50

5. Efek samping anestesi spinal...............................................................51

commit to user

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Pembahasan...............................................................................................53

1. Gambaran umum...................................................................................54

2. Mula kerja blokade sensorik dan motorik ............................................55

3. Lama kerja blokade sensorik dan motorik.............................................58

4. Hemodinamik anestesi spinal................................................................61

5. Level sedasi anestesi spinal...................................................................63

6. Efek samping anestesi spinal.................................................................64

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan.................................................................................................67

B. Saran...........................................................................................................68

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................69

LAMPIRAN...................................................................................................................73

commit to user

xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka teori….…………………………………………..……. 29

Gambar 2.2. Kerangka pikir…………………………………………...……. 30

Gambar 3.1. Alur penelitian…………………………….……………………... 39

Gambar 4.1. Grafik mula kerja dan lama kerja anestesi spinal ………………. 44

Gambar 4.2. Grafik rerata nilai tekanan darah sistolik………………………… 46

Gambar 4.3. Grafik rerata nilai tekanan darah diastolik………….…………. 47

Gambar 4.4. Grafik rerata nilai tekanan pembuluih arteri (MAP)…………….. 48

Gambar 4.5. Grafik rerata nilai laju nadi (HR)……………..…………………. 49

Gambar 4.6. Grafik rerata saturasi oksigen perifer (SPO2)……………………. 50

Gambar 4.7. Grafik rerata level sedasi (skala Ramsay)………………………. 51

commit to user

xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tabel daftar obat anestesi spinal……………………………………... 9

Tabel 2.2.. Efek ketamin –(S+) dan ketamin –R(-)…………………….………... 19

Tabel 4.1. Hasil uji Chi-square tentang karakteristik sampel penelitian……… 42

Tabel 4.2. Perbandingan rerata dan simpang baku karakteristik sampel

penelitian……………………………………………………............... 42

Tabel 4.3. Hasil uji Mann Whitney U terhadap mula dan lama kerja blokade

sensorik dan motorik…………………………………………………. 43

Tabel 4.4. Hasil uji Mann Whitney U terhadap tekanan darah sistolik…………. 93

Tabel 4.5. Hasil uji Mann Whitney U terhadap tekanan darah diastolik………... 93

Tabel 4.6. Hasil uji Mann Whitney U terhadap tekanan arteri rata-rata………... 94

Tabel 4.7. Hasil uji Mann Whitney U terhadap laju nadi……………………….. 94

Tabel 4.8. Hasil uji Mann Whitney U terhadap satursi oksigen………………… 95

Tabel 4.9. Hasil uji Mann Whitney U terhadap level sedasi….………………… 95

Tabel 4.10. Hasil uji Chi-square terhadap perbedaan efek samping anestesi

spinal………………………………………………………………….. 52

Tabel 4.11. Jenis efek samping anestesi spinal antara kedua kelompok………….. 52

commit to user

xvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil perhitungan besar sampel Program Opi…………………… 73

Lampiran 2. Formulir pernyataan persetujuan (informed Consent)……….… 75

Lampiran 3. Formulir uji klinik ……………………………………………… 77

Lampiran 4. Lembar penelitian………………………………………………. 79

Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas Demografi, mula dan lama blokade…... 84

Lampiran 6. Hasil Uji Chi-Square karakteristik sampel (data ordinal)……. 85

Lampiran 7. Hasil Uji Independent t karakteristik sampel (data numeric).…. 86

Lampiran 8. Hasil Uji Mann-Whitney U mula dan lama blokade………..…. 85

Lampiran 9. Hasil Uji Mann-Whitney U tekanan darah sistolik…………….. 86

Lampiran 10. Hasil Uji Mann-Whitney U tekanan darah diastolik …………. 87

Lampiran 11. Hasil Uji Mann-Whitney U tekanan arteri rata-rata (MAP)……. 88

Lampiran 12. Hasil Uji Mann-Whitney U laju nadi (HR)……………………. 89

Lampiran 13. Hasil Uji Mann-Whitney U saturasi oksigen perifer (SPO2)…... 90

Lampiran 14. Hasil Uji Mann-Whitney U level sedasi (skala Ramsay)…..……. 91

Lampiran 15. Hasil Uji Chi-Square efek samping anestesi spinal……………. 92

Lampiran 16. Rekapitulasi Hasil Uji Mann-Whitney U …................................... 93

Lampiran 17. Jadwal Penelitian…..…………………………………………….. 96

Lampiran 18. Lembar ethical clereance ………………………………………. 97

Lampiran 19. Lembar Biodata Peneliti ……………………………………..…. 98

commit to user

xvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anestesi spinal merupakan salah satu metode pengeloaan anestesi regional

yang dapat mengendalikan nyeri operasi dengan cukup efektif. Dengan anestesi

spinal kesadaran pasien dapat dipertahankan sehingga lebih aman digunakan pada

pasien yang belum cukup puasanya atau lambung penuh, pemulihan pasca operasi

yang cukup baik tanpa menimbulkan komplikasi, serta secara ekonomi lebih

murah (Morgan 2002).

Anestesi spinal dapat dilakukan dengan pemberian obat anestesi lokal

seperti bupivakain secara intratekal. Pemakaian bupivakain intratekal dapat

memberikan potensi analgesi yang cukup kuat, akan tetapi memiliki mula kerja

analgesi yang lambat serta lama kerja analgesi yang relatif pendek 75 – 150 menit

(Stoelting et al. 2006).

Bermacam-macam adjuvan dapat diberikan pada anestesi spinal dengan

tujuan untuk mempercepat mula kerja dan memperpanjang lama kerja blokade,

seperti dengan pemberian opiat (fentanyl, petidin, morfin) midazolam, klonidin,

dan neostigmin. Namun pemberian adjuvan pada anestesi spinal tersebut

penggunaannya masih terbatas karena adanya efek samping obat. Opiat (morfin)

sering menimbulkan efek samping seperti pruritus, retensi urine, depresi


commit to user

18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

pernapasan, mual dan muntah. sedangkan klonidin sering menyebabkan

hemodinamik yang tidak stabil (Kim dan Lee 2001).

Fentanil memberikan analgesia selama operasi lebih baik dan aman

dibandingkan morfin untuk penanganan nyeri pascaoperasi sampai dengan empat

jam setelah anestesi spinal. Fentanil dosis rendah 0,25 µg/kgBB dengan

bupivakain 0,5% memberikan anestesi spinal yang sangat baik, tetapi beberapa

peneliti melaporkan adanya efek samping yang merugikan dari fentanil.

Peningkatan dosis fentanil 0,5-0,75 µg/kgBB dihubungkan dengan peningkatan

kejadian efek yang tidak diinginkan pada pasien yang menjalani operasi sesar,

seperti hipotensi, penurunan saturasi oksigen, sedasi, dan pruritus

(Harbhej et al. 1995).

Pada beberapa penelitian lainnya, penambahan fentanil yang dikombinasi

dengan bupivakain secara anestesi spinal dilaporkan berkaitan dengan angka

kejadian hipotensi, bradikardi, pruritus, dan penurunan saturasi oksigen yang

lebih tinggi pada grup fentanil dibandingkan dengan grup bupivakain

(Wong et al. 2004).

Dalam penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa penambahan ketamin 1,5

mg/kg pada 15 mg bupivakain hiperbarik intratekal pada operasi abdominal

bagian bawah, menghasilkan penambahan lama kerja waktu regeresi 2 segmen

dari level blokade teratas tetapi tidak menambah kecepatan pencapaian level

puncak dari blokade sensoris, dibandingkan dengan kontrol pemberian 1 ml

NaCl 0.9 % (Bogra et al. 2005).


commit to user

19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

Penelitian lainnya menyebutkan bahwa penambahan 25 mg ketamin pada

7,5 mg bupivakain hiperbarik 0.5 % yang diberikan secara spinal pada 30 pasien

wanita yang menderita ca servik dan menjalani intracavitory brachytherapy

applicator insertion for carcinoma of the cervix, menyebabkan adanya

pemendekan mula kerja blokade sensorik dan motorik dan memperpanjang

blokade sensorik tetapi blokade motorik pada anestesi spinal tidak diperpanjang

(Kathirvel et al. 2000).

Adanya beberapa kejadian pengaruh yang merugikan dari fentanil sebagai

adjuvan anestesi spinal tersebut, memacu peneliti untuk mencari obat alternatif

sebagai adjuvan obat anestesi spinal. Penelitian mengenai penambahan ketamin

sebagai adjuvan pada bupivakain yang diberikan secara anestesi spinal untuk

operasi masih sangat sedikit. Beberapa penelitian yang ada mengenai

penambahan ketamin pada bupivakain sebagian besar menggunakan ketamin

S(+). Ketamin yang ada di Indonesia adalah ketamin R(-) yang memiliki potensi

analgesi yang lebih lemah (Kohr dan Durieaux 1998).

Penulis tertarik untuk meneliti bagaimana kecepatan mula kerja,

pemanjangan lama kerja blokade sensorik dan motorik anestesi spinal, termasuk

tertarik untuk meneliti pengaruhnya terhadap gejolak hemodinamik yang muncul,

kedalaman level sedasi serta kejadian efek samping merugikan obat yang

mungkin muncul pada penambahan ketamin dibandingkan dengan fentanil

terhadap bupivakain yang diberikan secara anestesi spinal.

commit to user

20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

B. Rumusan Masalah

Bagaimana perbedaan kecepatan mula kerja dan pemanjangan lama kerja

blokade sensorik dan motorik antara penambahan 20 mg ketamin dibandingkan

dengan 25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik yang diberikan

secara anestesi spinal ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis perbedaan kecepatan mula kerja dan pemanjangan lama

kerja blokade sensorik dan motorik antara penambahan 20 mg ketamin

dibandingkan dengan 25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain 0,5%

hiperbarik yang diberikan secara anestesi spinal.

2. Tujuan khusus

a. Menganalisis kecepatan mula kerja blokade sensorik dari penambahan

20 mg ketamin dibandingkan 25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain

0,5 % hiperbarik yang diberikan secara anestesi spinal.

b. Menganalisis kecepatan mula kerja blokade motorik dari penambahan

20 mg ketamin dibandingkan 25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain

0,5 % hiperbarik yang diberikan secara anestesi spinal.

commit to user

21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

c. Menganalisis pemanjangan lama kerja blokade sensorik dari penambahan

20 mg ketamin dibandingkan 25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain

0,5 % hiperbarik yang diberikan secara anestesi spinal.

d. Menganalisis pemanjangan lama kerja blokade motorik dari penambahan

20 mg ketamin dibandingkan 25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain

0,5 % hiperbarik yang diberikan secara anestesi spinal.

e. Menganalisis pergaruh gejolak hemodinamik dari penambahan 20 mg

ketamin dibandingkan 25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain 0,5 %

hiperbarik yang diberikan secara anestesi spinal.

f. Menganalisis level sedasi dari penambahan 20 mg ketamin dibandingkan

25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik yang diberikan

secara anestesi spinal.

g. Mengetahui kejadian pengaruh merugikan obat (mual muntah, pruritus,

nystagmus, delirium, shivering, transient apneu, kesulitan bicara, nyeri

kepala) dari penambahan 20 mg ketamin dibandingkan 25 µg fentanil pada

12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik yang diberikan secara anestesi spinal.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris yang

mendukung teori bahwa adjuvan ketamin pada anestesi spinal relatif lebih

baik dibandingkan dengan fentanil dalam aspek kecepatan mula kerja,


commit to user

22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

pemanjangan lama kerja blokade sensorik dan motorik serta minimalnya efek

samping yang merugikan pada bupivakain yang diberikan secara anestesi

spinal.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi praktis

mengenai kecepatan mula kerja dan pemanjangan lama kerja blokade sensorik

dan motorik, gejolak hemodinamik, level sedasi serta efek samping obat dari

penambahan ketamin terhadap bupivakain yang diberikan secara anestesi

spinal.

3. Manfaat Dalam Kedokteran Keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi praktis

kepada masyarakat mengenai teknik anestesi pada tindakan operasi yang lebih

sederhana dan memberikan informasi tentang alternatif tindakan dalam teknik

anestesi spinal dengan tujuan untuk mencapai kecepatan mula kerja dan

pemanjangan lama kerja blokade sensorik dan motorik, mengurangi gejolak

hemodinamik, meningkatkan level sedasi serta menurunkan efek samping

obat dengan penambahan ketamin terhadap bupivakain sebagai obat utama

pada anestesi spinal.

commit to user

23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian teori

1. Anestesi spinal

Anestesi spinal atau blok subarachnoid adalah salah satu teknik

regional anestesi dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam

ruang subarakhnoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4 atau L4-5, untuk

menimbulkan atau menghilangkan sensasi dan blok motorik. Anestesi spinal

disebut juga analgesia / blok spinal intradural atau intratekal (Latief et al.

2001).

Anestesi spinal menghasilkan blokade saraf yang bersifat reversibel

pada radiks anterior dan posterior, ganglion posterior, dan sebagian medula

spinalis yang akan menyebabkan hilangnya otonom, sensorik, dan motorik

(Morgan 2002).

Keuntungan anestesi spinal yaitu kesadaran pasien dapat

dipertahankan sehingga lebih aman digunakan pada pasien yang belum cukup

puasanya atau lambung penuh apabila dibandingkan dengan penggunaan

anestesi umum, pemulihan baik tanpa menimbulkan komplikasi, mengurangi

jumlah perdarahan akibat adanya efek hipotensi, dan secara ekonomi lebih

murah (Stoelting et al. 2006).

commit to user

7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Teknik anestesi spinal semakin banyak digunakan karena mula kerja

cepat, anestesi dan blokade motorik kuat, identifikasi lebih mudah,

penggunaan jarum yang lebih kecil, dosis anestetika lokal yang lebih sedikit,

dan risiko blokade yang tidak adekuat lebih kecil (Morgan 2002).

2. Obat anestesi spinal

Sebagian besar obat anestesi lokal dapat digunakan sebagai obat

anestesi spinal berdasarkan mekanisme kerja blokade yang langsung ke dalam

serabut saraf. Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls

syaraf. Sebagaimana diketahui, potensial aksi syaraf terjadi karena adanya

peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion Na

akibat depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh

obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan voltase

muatan listrik (Mansjoer et al. 2000).

Semua obat anestesi lokal kecuali cocaine adalah bentuk sintesis, yang

merupakan senyawa amino yang mengandung nitrogen bersifat basa.

Sediaannya berupa larutan garam-garam dengan mineral atau asam organik

terutama garam garam hidroklorida dan asam sulfat, yang membuat obat

mudah larut dalam air, membentuk larutan asam kuat. Sifat asam kuat ini

tidak sampai merusak jaringan berkat adanya sistem buffer tubuh. Dalam

bentuk garam lebih stabil dan mudah larut dibanding bentuk basa. Larutannya

dalam air mempunyai pH 4-6 (Katzung 2002).


commit to user

8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Obat-obat anestesi spinal ideal yang digunakan pada pembedahan

harus memenuhi syarat-syarat berikut : blokade sensorik dan motorik yang

dalam, mula kerja yang cepat, pemulihan blokade motorik cepat sesudah

pembedahan sehingga mobilisasi lebih cepat diperbaiki, toleransi baik dalam

dosis tinggi dengan resiko toksisitas lokal dan sistemik yang rendah

(Veering 1996).

Tabel 2.1 Obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.
Anestesi lokal Volume Mula Lama Dosis pKa Ikatan Potensi
(ml) kerja kerja tunggal protein larut
(menit) maksimal (%) lemak
(ml)
Prokain 1-2 lambat 30-60 100-200 8.9 6 +
Tetrakain 16 lambat 75-150 5-20 8.5 76 ++++
Lidokain 1-2 cepat 30-90 30-100 7.9 70 ++
Mepivakain 1-2 lambat 30-90 40-80 7.6 77 ++
Bupivakain
Hiperbarik 3-4 lambat 75-250 15-20 8.2 95,6 ++++
Isobarik 3-4 lambat 75-150 15-20 8.1 95,6 ++++
Levobupivakain 1-3 ambat 90-120 15 8.1 97 +++
Ropivakain 4 lambat 80-110 8-10 8.1 94 ++++
(Stoelting et al. 2006)

3. Struktur molekul obat anestesi spinal

Secara umum, semua anestetika lokal yang digunakan mempunyai

struktur tiga bagian, yaitu cincin aromatik (hidrofobik) yang terhubung

dengan grup amino tertier (hidrofilik) oleh suatu alkil pendek, yaitu rantai

commit to user

9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

intermediat yang mengandung ikatan ester atau amid sesuai dengan

pembagiannya golongan ester atau amid (Wildsmith dan Edward 1993).

Bagian aromatik molekul anestetika lokal berhubungan dengan sifat

lipofilik molekul. Bagian ini berperan dalam pergerakan molekul menembus

membran sel saraf. Kelompok hidrofilik merupakan bagian molekul yang

menerima proton dan berperanan dalam menghambat konduksi dalam kanal

natrium. Anestetika lokal pada sediaan komersil dalam bentuk garam

hidroklorida (Wildsmith et al. 1993).

Panjang ikatan intermediat menentukan aktivitas anestetika lokal.

Kerja anestetika lokal terjadi jika panjang ikatan intermediat antara 3-7

karbon equivalen (Morgan 2002).

4. Mekanisme kerja anestetika spinal

Dalam keadaan istirahat, terdapat perbedaan potensial pada membran

sel saraf. Di dalam sel, perbedaan itu relatif lebih negatif dibandingkan

dengan di luar sel. Selama konduksi impuls, kanal natrium terbuka dan ion

natrium bergerak ke dalam sel sehingga terjadi depolarisasi sel. Gerbang

yang mengatur terbuka dan tertutupnya kanal natrium terdapat pada sisi

aksoplasma membran sel. blokade pada peningkatan permiabilitas membran

terhadap natrium merupakan kunci mekanisme kerja anestetika lokal

(Stoelting et al. 2006).

commit to user

10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

Blokade konduksi merupakan suatu keadaan terhambatnya konduksi

reversibel dalam struktur sel saraf yang disebabkan anestetika lokal. Blokade

konduksi terjadi saat molekul anestetika lokal masuk ke dalam kanal natrium

dan berikatan dengan reseptor yang terdapat di dalam kanal natrium

(Stoelting et al. 2006).

Dalam bentuk larutan, anestetika lokal berada dalam keseimbangan

bentuk ion dan non ion yang bergantung pada pKa dan pH lingkungan.

Bentuk ion (bersifat asam) lebih larut dalam air. Semakin tinggi pH, semakin

tinggi proporsi obat dalam bentuk non ion. Penggunaan dalam klinik,

anestetika lokal berada dalam bentuk ion yang lebih mudah larut dalam air

sehingga lebih tepat dipakai melalui suntikan (Morgan 2002).

Setelah anestetika lokal disuntikkan, terjadi peningkatan pH larutan

oleh proses penyangga jaringan, yang akan mengubahnya menjadi bentuk non

ion sehingga lebih mudah larut dalam lemak. Dalam bentuk ini, anestetika

lokal lebih mudah menembus membran lipid untuk masuk ke dalam sel. Di

dalam sel sebagian obat akan mengalami ionisasi kembali. Dalam bentuk ion

inilah, dari dalam sel obat akan masuk ke dalam kanal natrium di sini obat

akan berinteraksi dengan reseptor pada kanal natrium yang terbuka pada

bagian dalam dan memulai kerja menghambat pada aliran masuk natrium

sehingga terjadi hambatan pada konduksi impuls (Morgan 2002).

commit to user

11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan natrium dengan aksi

ganda pada membran sel berupa (Covino dan Scott 1997) :

a. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.

Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak

dapat keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90 % dari efek

blokade spinal.

b. Ekspansi membran.

Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat

dengan reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan

oleh zat non-polar lemak, misalnya barbiturat, anestesi umum dan

benzocaine. Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama

kali harus dapat menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk

yang diperlukan untuk melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi

bentuk kation yang bergabung dengan reseptor di membran sellah yang

mencegah timbulnya potensial aksi. Agar dapat melakukan aksinya, obat

anestesi spinal pertama sekali harus menembus jaringan sekitarnya

(McDonald dan Mandalfino 1995).

5. Bupivakain

Bupivakain hidroklorid adalah larutan injeksi isotonik steril, yang

berisi agen anestetika lokal dengan atau tanpa epinefrin (sebagai bitartat)
commit to user

12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

1:200.000. Nama kimianya adalah 2-piperidinecarboxamide, 1-butyl-N-(2,6-

dimetylphenyl)-, monohydrochloride, monohydrate (Stoelting et al. 2006).

6. Struktur kimia bupivakain

Struktur kimia bupivakain tersusun atas tiga bagian, yaitu cincin

aromatik, rantai amida, dan group amino. Bupivakain hidroklorid yang

dipasarkan, setiap mililiter berisi 1 mg metilparaben sebagai pengawet

antiseptik. Setelah ditambahkan natrium hidroklorid dan atau asam

hidroklorik, pH-nya antara 4,0-6,5. sediaan bupivakain hidroklorid yang

ditambahkan dengan epinefrin 1:200.000, setiap mililiter berisi 1 mg

metilparaben sebagai pengawet antiseptik dan sodium hidroklorid dan atau

asam hidroklorid, dengan pH antara 3,3-5,5 (Hodgson dan Liu 2001).

7. Farmakokinetik bupivakain

Bupivakain merupakan basa lemah dengan pH sedikit di atas pH

fisiologis. Keadaan ini mengakibatkan kurang dari 50 % bupivakain berada

dalam bentuk non ion yang larut dalam lemak pada pH fisiologis

(Hodgson dan Liu 2001).

Asidosis pada tempat bupivakain disuntikan akan meningkatkan fraksi

ion sehingga akan menurunkan kualitasnya. Bupivakain dengan pKa yang

mendekati pH fisiologis memiliki masa kerja yang cepat. Hal ini

commit to user

13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

menggambarkan adanya rasio optimal fraksi obat yang terionisasi dan tidak

terionisasi (Hodgson dan Liu 2001).

Absorpsi bupivakain ke dalam sirkulasi sistemik dipengaruhi oleh

tempat suntikan, dosis yang digunakan, penambahan epinepfrin, dan

karakteristik farmakologinya. Konsentrasi akhir dalam plasma ditentukan oleh

kecepatan distribusi jaringan dan klirens (metabolisme dan ekskresi) obat

(Hodgson dan Liu 2001).

Setelah mengalami distribusi ke jaringan dengan perfusi yang baik,

bupivakain mengalami redistribusi ke jaringan dengan perfusi yang baik,

seperti otot skelet dan jaringan lemak. Kelarutan bupivakain dalam lemak

adalah penting untuk redistribusi. Ikatan bupivakain dengan protein

berbanding lurus dengan kelarutannya dalam lemak dan berbanding terbalik

dengan konsentrasinya dalam plasma (Hodgson dan Liu 2001).

Metabolisme bupivakain terutama terjadi oleh enzim-enzim

mikrosomal yang terdapat dalam hepar. Metabolisme anestetika lokal

golongan amid seperti bupivakain ini lebih lambat dibandingkan dengan

golongan ester. Ini berarti lebih memungkinkan terjadinya peningkatan

konsentrasi lokal dalam plasma dan terjadi akumulasi

(Hodgson dan Liu 2001).

commit to user

14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

8. Farmakodinamik bupivakain

Bupivakain adalah obat yang digunakan untuk anestesi regional, yang

menimbulkan hambatan konduksi impuls (otonom, sensorik, somato-motorik)

sepanjang jalur saraf otonom, sensorik-somatik, dan motorik-somatik. Impuls

akan diputus sehingga menghasilkan hambatan sistem saraf otonom, anestesi

sensorik, dan paralisis otot skelet pada daerah yang diinervasi oleh saraf yang

dihambatnya. Hilangnya efek bupivakain oleh pulihnya konduksi saraf yang

tidak disertai dengan kerusakan struktur serabut saraf (Stoelting et al. 2006).

Setelah absorbsi sistemik, anestetika lokal akan menghasilkan

stimulasi dan atau depresi sistem saraf. Bupivakain dapat menyebabkan

toksisitas sistemik karena kecelakaan penyuntikan intravena anestetika lokal

atau absorbsi sistemik dari rongga epidural pada teknik anestesi epidural.

Manisfestasi yang pertama kali muncul adalah toksisitas terhadap sistem saraf

pusat seperti kejang tonik klonik. Ini dapat terjadi pada kecelakaan

penyuntikan bupivakain 2,5 mg yang masuk pembuluh darah arteri.

Sedangkan kejadian kardiotoksik membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi

di dalam plasma, yaitu 4-7 kali dosis yang dapat menyebabkan kejang tonik

klonik (Stoelting et al. 2006).

9. Fentanil

Fentanil adalah anagesik opiat poten dengan mula kerja cepat dan

lama kerja singkat yang sering digunakan pada tindakan anestesi dan
commit to user

15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

merupakan derivat fenilpiperidin, serta memiliki potensi analgesik 50-100 kali

dibandingkan dengan morfin. Fentanil sangat lipofilik, karena itu didistribusi

dengan cepat dan ekstensif. Efek puncak terjadi dalam 5 menit setelah

pemberian secara intravena dan berlangsung selama 30 menit. Fentanil

dimetabolisme di hepar menjadi despropionil fentanil, norfentanil, dan

despropionil norfentanil yang potensi analgesiknya lebih rendah daripada

fentanil. Pada dosis ekuianalgesik, fentanil memiliki efek sedasi yang lebih

ringan dibandingkan dengan morfin. Fentanil memiliki efek yang minimal

terhadap sistem kardiovaskular, bahkan pada dosis tinggi, walaupun dapat

menyebabkan bradikardia (Cherng et al. 2005).

Mekanisme kerja opiat adalah pada reseptor stereospesifik pre dan

pascasinap di sistem saraf pusat dan perifer. Ikatan opiat dengan reseptornya

menimbulkan peningkatan konduksi kalium, inaktivasi kanal kalsium atau

keduanya. Hal ini menimbulkan hambatan pelepasan neurotransmiter

dopamin, asetilkolin, dan norefinefrin sehingga terjadi penghambatan

neurotransmisi. Fentanil bekerja pada level talamus, hipotalamus, sistem

retikuler dan neuron gama. Nyeri somatik dan viseral dihilangkan melalui

blok mesensefalik ( Cherng et al. 2005).

10. Mekanisma kerja fentanil pada anestesi spinal

Opiat berinteraksi dengan reseptor opiat baik pre maupun postsynap

untuk menghasilkan efek inhibisi pada transmisi saraf. Opiat juga membuka
commit to user

16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

kanal kalium yang mengakibatkan hiperpolarisasi membran dan menunjukkan

neuronal excitability sehingga kombinasi anestetika lokal dan opiat dapat

menghambat banyak area neuronal excitability secara efektif. Mekanisme lain

memungkinkan fentanil mempercepat mula kerja adalah efek anestetika lokal

dari fentanil (Wong et al. 2004).

Opiat menghambat aktivitas di kornu dorsalis yang ditimbulkan oleh

serabut saraf tipe C lebih kuat dibandingkan dengan serabut tipe Aδ,

sedangkan aktivitas saraf yang ditimbulkan oleh serabut tipe Aβ tidak

terpengaruh. Anestetika lokal dapat dengan mudah menghambat serabut saraf

tipe Aδ dan C yang menghantarkan sensasi nyeri (Cherng et al. 2005).

11. Ketamin

Ketamin merupakan derivat fenisiklidin yang menghasilkan anestesi

disorientasi. Ketamin mengikat secara non kompetitif fenisiklidin pada

reseptor N – metil – D – aspartat (NMDA) yang berada di sepanjang sisitem

saraf pusat. Ketamin berefek pada tempat lain seperti reseptor opioid, reseptor

monoaminergik, reseptor muskarinik dan voltage – sensitive sodium dan

saluran kalsium tipe L. Ketamin mempunyai aksi lemah terhadap reseptor

GABA (Kohrs dan Durieaux 1998).

Ketamin mempunyai efek multipel sepanjang sistem saraf pusat,

termasuk menghambat reflek polisinap di jaringan saraf spinal dan

menginhibisi efek neurotransmiter eksitatori pada area tertentu di otak.


commit to user

17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

Walaupun beberapa neuron otak diinhibisi, yang lain secara tonus tereksitasi

(Stoelting et al. 2006).

Dikenal dua optikal isomer ketamin, isomer kiri sebagai S (+) ketamin

dan isomer kanan sebagai R (-). ketamin. Ketamin menghambat ambilan

katekolamin kembali masuk ke post ganglion saraf simpatis akhir. Ketamine

yang masih banyak dipakai sekarang adalah ketamin rasemik, yaitu kombinasi

dengan bagian yang sama antara Ketamin R(-) dan Ketamin S(+). S(+)

ketamine memiliki potensi anestetik lebih baik dari racemik ketamine

(Kohr dan Durieaux 1998).

Tabel 2.2. Efek S (+) Ketamine dan R (-) Ketamine.

VARIABEL S (+) R (-)


 Afinitas reseptor NMDA 4 1
 Konsentrasi plasma 1 1
 Konsentrasi serebri 1 2–3
 Angka eliminasi Mirip rasemik ketamin
 LD 50/ED 50 2,5 1
 Potensi anestesi 3 1
Sumber : Kohr dan Durieaux, 1998

Pada tabel 2.2. terlihat perbedaan efek antara ketamin S(+) dan

ketamin R(-). Dimana dipelihatkan afinitas ketamin S(+) dengan reseptor

NMDA, 4 kali lebih kuat daripada ketamin R(-). Farmakokinetik ketamin

enantiomer dan campuran racemik tidak memperlihatkan perbedaan,

walaupun eliminasi ketamin.S(+) tercatat lebih besar daripada ketamin R(-).


commit to user

18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

Dilaporkan bahwa ketamin S(+), mempunyai indeks terapi

(LD 50/ED 50) 2,5 kali lebih besar daripada campuran racemik atau

ketamin R(-). Selain itu, potensi ketamin S(+) 3 kali lebih kuat daripada

ketamin R(-) dan 2 kali lebih kuat daripada campuran rasemik.

Sediaan ketamin yang ada di Indonesia sampai saat ini adalah

ketamin R(-) dalam bentuk larutan non free preservative 100 mg/ml dalam

kemasan vial 10 ml (Kohr dan Durieaux 1998).

12. Farmakokinetik dan farmakodinamik ketamin

Ketamin lebih larut dalam lemak dan ikatannya dengan protein kurang

dibandingkan thiopental, namun sama – sama terionisasi secara equal pada pH

fisiologis. Karakteristik ini, bersamaan dengan peningkatan CBF dan cardiac

output yang diinduksi oleh ketamin, mengarah kepada ambilan otak yang

cepat dan redistribusi (waktu paruh distribusi adalah 10 – 15 menit). Pulih

sadar karena redistribusi ke kompartemen perifer (Stoelting et al. 2006).

Ketamin mengalami biotransformasi di dalam hepar menjadi beberapa

metabolit, diantaranya norketamin, yang mempertahankan aktivitas anestetik.

Induksi enzim hepar mungkin secara parsial menjelaskan terjadinya toleransi

pada pasien yang menerima dosis ketamin berulang. Ambilan hepar yang luas

(rasio ekstraksi hepatik 0.9) menjelaskan waktu paruh eliminasi ketamin yang

commit to user

19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

relatif pendek (2 jam). Produk akhir biotransformasi dikeluarkan di ginjal

(Kohrs dan Durieaux 1998).

13. Mekanisme kerja ketamin pada anestesi spinal

Ketamine menekan stimulasi sinaptik dalam susunan saraf pusat pada

reseptor NMDA, dimana ketamine terikat pada tempat phencylidine dari

reseptor NMDA yang menekan keaktifan glutamate dan menyebabkan

terjadinya hambatan konduksi listrik (Kohrs dan Durieaux 1998).

NMDA (N-methyl D- aspartate) adalah reseptor ionotropik yang

diaktifkan oleh glutamat, merupakan neurotransmiter pemacu terbesar dalam

susunan saraf pusat. Dalam NMDA reseptor terdapat kanal yang permeabel

terhadap Ca++ dan juga terhadap Na+ dan K+, kanal tersebut memerlukan

glycine sebagai ko-agonis yang diinhibisi oleh Mg. Fungsi NMDA reseptor

dikenal sebagai “wind-up phenomena” yang berperan penting terjadinya nyeri

(Kohrs dan Durieaux 1998).

14. Mula kerja anestesi spinal

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap mula kerja suatu

anestetika lokal adalah pKa, yaitu pH suatu senyawa antara bentuk ion dan

non ion ada dalam keseimbangan. Penetrasi bentuk lipid soluble melalui

membran lipid neural merupakan jalur utama molekul anestetika lokal,

sehingga dengan menurunkan pKa akan meningkatkan persentase bentuk lipid

commit to user

20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

soluble yang akan mempercepat penetrasi membran saraf dan mula kerja

(Hodgson dan Liu 2001).

Peningkatan dosis anestetika lokal dengan cara meningkatkan

konsentrasi anestetika lokal juga akan mempercepat mula kerja blokade

sensorik dan motorik. Hal ini disebabkan oleh jumlah anestetika lokal yang

menembus membran saraf bertambah dalam jumlah lebih banyak

(Stoelting et al. 2006).

15. Lama kerja anestesi spinal

Beberapa faktor yang mempengaruhi lama kerja blokade spinal, yaitu

anestetika lokal, dosis obat, ketinggian blokade, dan adrenergik agonis.

Pemilihan anestetika lokal menentukan lama kerja blokade spinal. Prokain

mempunyai lama kerja paling pendek. Lidokain dan mepivakain memiliki

lama kerja sedang (intermediate). Bupivakain dan tetrakain adalah golongan

dengan lama kerja yang panjang. Perbedaan lama kerja anestetika lokal ini

berhubungan dengan sifat protein binding (Bogra et al. 2005).

Peningkatan dosis anestetika lokal akan meningkatkan lama kerja

blokade spinal. Bila dosis obat dipertahankan konstan, blokade yang lebih

tinggi cenderung lebih cepat mengalami regresi dari pada blokade yang lebih

rendah (Stoelting et al. 2006).

commit to user

21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

16. Penilaian Blokade Spinal

Standar keberhasilan anestesi spinal ditentukan oleh penilaian terhadap

blokade sensorik, motorik, dan simpatik. Penilaian terhadap blokade sensorik

pada anestesi spinal dilakukan dengan cara tes pinprick, yaitu dengan

nemberikan rangsang nyeri area diagram waktu-segmen (Wildsmith dan

Edward 1993).

Penilaian blokade motorik biasanya dilakukan dengan menggunakan

skala Bromage untuk menilai blokade motorik anestesi spinal pada

ekstremitas bawah.

Skala Bromage dinyatakan dengan menilai kemampuan gerak tungkai

dan lutut yang dinyatakan dengan parameter :

Bromage 0 = Dapat mengangkat lutut dan telapak kaki.

Bromage 1 = Hanya mampu untuk fleksi lutut dan fleksi telapak kaki.

Bromage 2 = Tidak mampu fleksi lutut, masih mampu fleksi telapak kaki.

Bromage 3 = Tidak mampu menggerakkan kaki atau telapak kaki.

17. Gejolak Hemodinamik dan Efek samping Anestesi Spinal

Efek samping hipotensi dan bradikardia merupakan perubahan

fisiologis yang paling banyak dan umum terjadi akibat tindakan anestesi

spinal. Hipotensi pada anestesi spinal adalah hasil dari dilatasi arteri dan vena.

Angka kejadian hipotensi pada anestesi spinal 30-40%. Blokade spinal tinggi

commit to user

22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

dapat menghasilkan penurunan tekanan darah yang disebabkan oleh

penurunan isi sekuncup, curah jantung, tekanan arteri dan resistensi perifer

sistemik yang disertai dengan penurunan denyut dan kontraktilitas jantung,

pengaruh tersebut secara umum berhubungan dengan tinggi (level) blokade

simpatis. Tonus vasomotor terutama ditentukan oleh serabut-serabut saraf

simpatis dari T5 sampai L1 yang mempersarafi otot polos arteri dan vena.

Blokade saraf tersebut menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah vena,

terkumpulnya darah pada daerah bagian bawah dan penurunan aliran balik ke

jantung, pada beberapa keadaan, vasodilatasi arteri dapat juga menyebabkan

penurunan resistensi vaskular sistemik. Pengaruh vasodilatasi arteri dapat

dikurangi dengan kompensasi vasokontriksi di atas level blokade tersebut.

Tingginya blokade simpatis tidak hanya mencegah kompensasi vasokontriksi,

tetapi juga serabut simpatis cardiac accelerator T1-T5 (Arthur et al. 1993).

Terapi hipotensi sekunder akibat blokade spinal bertujuan mengurangi

penurunan curah jantung, meningkatkan resistensi perifer, atau keduanya.

Pemberian kristaloid dapat memperbaiki aliran balik sekaligus curah jantung.

Preloading 500-1.500 mL kristaloid dapat mencegah hipotensi. Di samping

itu, dapat juga diberikan cairan koloid (Brown 1996).

Vasopresor juga dipergunakan untuk terapi hipotensi sekunder akibat

blokade neuraksial sentral. Obat dengan aktivitas α dan β-adrenergik lebih

baik daripada obat dengan hanya α-adrenergik dalam memperbaiki gangguan

commit to user

23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

kardiovaskular akibat anestesi spinal. Bolus 5-10 mg efedrin dapat

meningkatkan tekanan darah dengan cara memperbaiki curah jantung dan

resistensi vaskular perifer. Penurunan tekanan darah diterapi bila turun

25-30 % dari semula atau sistolik turun di bawah 100 mmHg (Brown 1996).

Bradikardia sebagian disebabkan oleh tonus parasimpatis yang

berlebihan akibat blokade serabut simpatis cardioaccelerator T1-T5, tetapi

sebab utamanya adalah penurunan preload. Penurunan preload akan

mengaktifkan kelompok refleks yang bertanggung jawab terhadap regangan

volume intrakardial dan atau reseptor pacemaker. Penurunan volume ventikel

secara tiba-tiba akan menyebabkan bradikardia berat dan asistol melalui

aktivasi paradoksal refleks Bezold-Jarisch. Bradikardia diterapi bila denyut

nadi ≤50 x/menit (Tetzlaff 2002).

Anestesi spinal hanya mempunyai sedikit pengaruh terhadap fungsi

pulmonal pada pasien yang tidak mengalami gangguan paru. Blokade tinggi

berhubungan dengan paralisis otot interkostal dan abdominal yang

mengganggu fungsi ventilasi, sehingga pasien mengalami sesak dan terjadi

peningkatan ventilasi per menit (Brown 1996).

Bila terjadi apnea yang biasanya disebabkan oleh hipotensi yang berat

yang menimbulkan iskemia medula oblongata. Pada keadaan ini terapi yang

diberikan adalah pemberian napas buatan, cairan, dan vasopresor. Apnea

jarang terjadi akibat dari blokade motorik yang tinggi (pada radiks saraf
commit to user

24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

frenikus C3-C5). Kadang-kadang, akibat hal itu pula bisa terjadi batuk-batuk

kering dan kesulitan bicara (Brown 1996).

18. Data Penelitian Sebelumnya

Salah satu kelemahan dari anestesi spinal dengan penggunaan obat

anestesi lokal tunggal di antaranya adalah lama blokade sensorik yang

terbatas. Oleh karena itu banyak cara yang dilakukan untuk memperpanjang

efek analgesia suatu anestetika lokal. Perpanjangan efek analgesia ini sangat

bermanfaat bagi pasien untuk mengatasi nyeri pascaoperasi (Morgan 2002).

Penelitian tentang penambahan opiat dalam anestetika lokal yang

diberikan secara anestesi spinal meningkatkan kualitas analgesi intraoperatif

dan memperpanjang analgesi pascaoperasi. Penambahan fentanil >6,25 µg

terhadap bupivakain hiperbarik menurunkan kebutuhan opiat intraoperatif

pada pasien yang menjalani operasi sesar dengan blokade anestesi spinal

(Harbhej et al. 1995).

Dilaporkan bahwa angka kejadian hipotensi lebih tinggi pada pasien

pada pasien operasi sesar yang diberi 25µg fentanil pada 13,5 mg bupivakain

0,75% hiperbarik dibandingkan dengan 13,5 mg bupivakain 0,75% hiperbarik

ditambah cairan serebrospinal 0,5 mL. Fentanil 20 µg yang dikombinasikan

dengan spinal lidokain memperpanjang blokade sensorik tanpa

memperpanjang lama pemulihan fungsi motorik. Penambahan 10 µg fentanil

dalam larutan bupivakain meningkatkan kualitas dan memperpanjang lama


commit to user

25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

kerja blokade sensorik tanpa meningkatkan intensitas blokade motorik

(Wong et al. 2004).

Penelitian tentang penambahan 12,5 µg fentanil pada 2 mL bupivakain

0,5% hiperbarik yang diberikan secara anestesi spinal pada operasi sesar

menghasilkan regresi sampai L1 lebih panjang serta kebutuhan analgesia

(183±9 menit) dan kelompok kontrol (129±9,5 menit) tanpa memperpanjang

blokade motorik serta memperpanjang kebutuhan analgesia pascaoperasi

(Biswas et al. 2002; Anchalee et al. 2004).

Pada penelitian tentang penambahan fentanil 0 (kontrol), 5, 10, 15, 20,

25 µg pada 2,5 mg bupivakain dan pemberian 25 µg fentanil pada bupivakain

12,5 mg hiperbarik yang diberikan secara anestesi spinal pada pasien geriatri

yang menjalani operasi panggul, memperpanjang lama kerja blokade sensorik,

tetapi kejadian efek samping berupa penurunan saturasi oksigen dan pruritus

lebih tinggi dibandingkan dengan 12,5 mg bupivakain hiperbarik ditambah

NaCl 0,9 % (Khanna dan Ikwinder 2004; Wong et al. 2004).

Penelitian sebelumnya tentang penambahan ketamin sebagai adjuvan

pada anestesi spinal, dinyatakan bahwa penambahan ketamin 1,5 mg/kg pada

15 mg bupivakain hiperbarik intratekal pada operasi abdominal bagian bawah,

menghasilkan penambahan lama kerja waktu regresi 2 segmen dari level

blokade teratas tetapi tidak menambah kecepatan pencapaian level puncak

commit to user

26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

dari blokade sensoris, dibandingkan dengan kontrol pemberian larutan 1 ml

NaCl 0.9 % (Sanad et al. 2010).

Penelitian lainnya menyebutkan bahwa penambahan 25 mg ketamin

pada 7,5 mg bupivakain hiperbarik 0.5 % yang diberikan secara spinal pada

30 pasien wanita yang menderita ca cervik dan menjalani intracavitory

brachytherapy applicator insertion for carcinoma of the cervix, menyebabkan

adanya pemendekan mula kerja blokade sensorik dan motorik dan

memperpanjang blokade sensorik tetapi blokade motorik tidak diperpanjang

(Kathirvel et al. 2000).

Analgesia dengan ketamin terbukti dapat diberikan sebagai suplemen

untuk analgesia regional (blok saraf, analgesia epidural). Akhir-akhir ini

ketamin dosis kecil telah banyak dipergunakan untuk nyeri pasca bedah yang

opioid refrakter (Fine 1999).

Efek epidural ketamin relatif kecil, tetapi kombinasi dengan analgesia

epidural sebagai ajuvan, menghasilkan efek sinergis. Pemberian intratekal

ketamin 50 mg dalam 3 ml salin menghasilkan analgesia ringan. Ketamin

dikombinasikan dengan epinefrin untuk memperlambat absorpsi

(Stoelting et al 2006).

Preservative free ketamin S(+) 1 mg/kg (0,75 ml/kg) caudal blok pada

anak umur 3 – 6 tahun menghasilkan analgesi yang ekuivalen dengan

bupivacain 0,25 % pada pasca bedah (Kohr dan Durieaux 1998).


commit to user

27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

B. Kerangka teori

pKa Ikatan protein


+ (pH) plasma
Ketamin
20 mg Mula kerja
Struktur Kelarutan
Molekul dalam lemak
ANESTESI Lama kerja
SPINAL
Jenis Interaksi
(12,5 mg; 0,5 %) Reseptor reseptor
Bupivakain
Hiperbarik
Blokade Gejolak
Simpatis hemodinamik
+
Fentanil
25 µg Efek Sedasi Level sedasi

Efek Samping
obat
Konsentrasi Volume / Usia, BB,
obat dosis obat PB

Gambar 2.3. Kerangka teori


Keterangan :
: Garis lurus penuh, menjelaskan alur efek spinal anestesi bupivakain
: Garis lurus putus-putus menjelaskan alur efek spinal anestesi
bupivakain + fentanil.(variabel independen)
: Garis lurus titik-titik menjelaskan alur efek spinal anestesi
bupivakain + ketamin (variabel independen)
-. Efek spinal anestesi dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH) yang akan
menentukan ikatan protein plasma, struktur molekul akan mempengaruhi
kelarutan dalam lemak, dan jenis receptor yang menetukan kekuatan ikatan
receptor.
-. Efek spinal anestesi terdiri dari kecepatan dan lama blokade anestesi, efek
hemodinamik, level sedasi dan efek samping yang tidak diharapkan (variabel
dependen)
-. Efek spinal anestesi juga dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi,volume obat
dan usia, berat badan dan tinggi badan pasien (variabel perancu).
commit to user

28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

C. Kerangka pikir

Mula kerja blokade


+
Ketamin 20 mg

Lama kerja blokade

ANESTESI SPINAL

Level sedasi
Injeksi intratekal 12,5
mg Bupivakain 0,5 %

Gejolak hemodinamik

+
Fentanil 25 µg Pengaruh merugikan
obat

Gambar 2.4. Kerangka pikir

D. Hipotesis

Penambahan 20 mg ketamin terhadap 12,5 mg bupivakain 0,5%

hiperbarik menghasilkan mula kerja blokade sensorik dan motorik yang lebih

cepat, lama kerja blokade sensorik dan motorik yang lebih panjang,

hemodinamik yang lebih stabil, level sedasi yang lebih kuat, dan efek

samping yang lebih kecil dibandingkan dengan penambahan 25 µg fentanil

pada 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik yang diberikan secara anestesi

spinal.
commit to user

29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kamar instalasi bedah sentral RS Dr. Moewardi

Surakarta, mulai bulan Desember 2011 sampai Februari 2012.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan double blind randomized control trial untuk

membandingkan pengaruh penambahan 20 mg Ketamin dengan 25 µg Fentanyl

pada 12,5 mg Bupivakain 0,5 % hiperbarik yang diberikan sebagai anestesi spinal,

dengan menilai perbedaan kecepatan onset dan pemanjangan durasi blokade

sensorik dan motorik, level sedasi, gejolak hemodinamik dan efek samping obat

yang muncul.

C. Populasi

1. Populasi sasaran adalah pasien dewasa usia 20 – 59 tahun yang menjalani

pembedahan pada daerah ekstermitas bawah dan perut bawah dengan anestesi

spinal dengan ASA I dan II.

2. Populasi terjangkau adalah pasien dewasa usia 20 – 59 tahun yang menjalani

pembedahan secara elektif pada daerah ekstermitas bawah dan perut bawah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

dengan anestesi spinal dengan ASA I dan II di instalasi bedah sentral

RS Dr. Moewardi Surakarta dan telah mendapatkan informed consent.

D. Sampel

1. Kriteria Inklusi

a. Semua pasien yang dijadwalkan menjalani operasi ekstremitas bawah atau

perut bagian bawah

b. Pasien dengan status fisik ASA I dan ASA II

2. Kriteria Eksklusi

a. Obesitas Morbid (BMI > 40 kgBB/m2LB)

b. Denyut jantung sebelum operasi <45 x/menit

c. AV-blok derajat II dan III

d. Menggunakan obat antihipertensi dengan Metildopa, Clonidine dan agonis α-

adrenergik lainnya

e. Kelainan jantung berat (hipertensi tidak terkontrol, hipertensi akut dan

gangguan koroner yang berat)

f. Hamil

g. Alergi terhadap obat-obatan anestesi

h. Riwayat gangguan pengguanaan obat-obatan atau gangguan psikiatrik

i. Menolak menandatangani informed consent

j. Operasi ekstremitas bawah yang lebih dari tiga jam.

k. Kegagalan anestesi spinal (Obat anestesi spinal tidak masuk kedalam ruang

Sub-Arachnoid).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

3. Penentuan Besar Sampel

Rumus ukuran besar sampel untuk menguji hipotesis beda mean dua

populasi digunakan rumus Lemeshow sebagai berikut :

2 2
N = 2σ (Z1-α + Z1-β)
( µ1 - µ2 )2

(Sumber : Murti 2010)

Perhitungan besar sampel dengan menggunakan program statistik Open-

Epi, dengan interval kepercayaan (α) 95%, kuasa penelitian 80%, dimana µ1

adalah mean dari Time for complete motor block sebesar 4.0 menit dengan

SD±3.0 (Sanad et al, 2010) dan µ2 adalah mean Onset to grade III motor block

sebesar 8,6 menit dengan SD±4.1 (Habraj et al, 1995) didapatkan hasil sampel

untuk masing-masing grup adalah 10 sampel. Ditambah kemungkinan drop out

10 %, jumlah sampel untuk setiap kelompok 11 sampel.

E. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas :

20 mg ketamin + 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik, 25 µg fentanil +

bupivakain 0,5 % hiperbarik.

2. Variabel terikat :

mula dan lama kerja blokade sensorik dan motorik, gejolak hemodinamik, level

sedasi serta kejadian pengaruh yang merugikan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

3. Variabel perancu :

umur, berat badan, tinggi badan

F. Definisi Operasional

1. Mula kerja blokade sensorik adalah waktu antara dimulainya suntikan obat ke

ruang subaraknoid yang dinilai setiap menit, sampai timbul analgesia pada T10,

diukur dengan tes pinprick.

2. Tes pin-prick adalah tes sensorik untuk menentukan level analgesi yang dinilai

pada garis tengah klavikula pada ke dua sisi dada dengan menggunakan jarum

25 G setinggi level blokade sensorik yang dikehendaki.

3. Mula kerja blokade motorik adalah waktu antara dimulainya suntikan obat ke

ruang subaraknoid yang dinilai setiap menit, sampai timbul blokade motorik

mencapai skala Bromage 3, diukur dengan skala Bromage.

Skala Bromage terdiri atas :

Bromage 0 = Dapat mengangkat lutut dan telapak kaki.

Bromage 1 = Hanya mampu untuk fleksi lutut dan fleksi telapak kaki.

Bromage 2= Tidak mampu fleksi lutut, tetapi mampu fleksi telapak kaki.

Bromage 3 = Tidak mampu menggerakkan kaki atau telapak kaki.

4. Lama kerja blokade sensorik ditentukan oleh waktu regresi sampai T12 yang

dinilai setiap 15 menit dari akhir penyuntikan anestesi spinal, diukur dengan tes

pinprick dan waktu pertama kali pasien merasa nyeri ringan sampai dengan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

VAS > 3, dinilai setiap 30 menit dari akhir penyuntikan anestesi spinal

kemudian pasien diberi analgetik intravena.

5. Visual Analog Pain Scales (VAS) adalah skala linier 10 cm untuk

menggambarkan derajat nyeri dengan angka 0–10, 0: sama sekali tidak nyeri

dan 10: sangat nyeri yang tidak tertahankan lagi.

6. Lama kerja blokade motorik adalah waktu antara akhir suntikan spinal, yang

dinilai setiap 15 menit dari akhir penyuntikan anestesi spinal, sampai fungsi

motorik tungkai pulih kembali (sampai skala Bromage 0).

7. Level sedasi adalah pengukuran kesadaran pasien dan respon pasien terhadap

rangsangan yang diukur setelah tercapainya onset analgesi spinal yang

ditentukan dengan skala Ramsay.

Skala Ramsay (skala untuk menilai keadaan sedasi pasien) :

a.: cemas, agitasi, atau tidak tenang

b.: kooperatif, orientasi baik, tenang

c.: mengantuk, respons terhadap perintah verbal

d.: tidur, respons cepat terhadap rangsang verbal

e.: tidur, respons lambat terhadap rangsang verbal yang keras

f.: tak ada respons terhadap rangsang

8. Kegagalan blokade spinal adalah bila dalam 30 menit setelah penyuntikan

obat ke ruang subaraknoid tidak terjadi blok sensorik (dengan tes pinprick) atau

terjadi blok sensorik tetapi pasien mengeluh nyeri waktu sayatan pertama atau

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

selama operasi berlangsung sehingga diperlukan tambahan obat analgetika atau

anestesi umum.

G. Tata Cara atau Alur Penelitian

Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, seluruh pasien diberi

penjelasan (informed consent) mengenai prosedur yang dialami oleh pasien

selama penelitian ini. Selanjutnya, secara acak pasien dibagi menjadi dua

kelompok, setiap kelompok terdiri dari 11 pasien. Kelompok (K): 20 mg

ketamin (R-) + 0,3 mL NaCl 0,9 % + 2,5 mL bupivakain 0,5% hiperbarik dan

kelompok (F): 25 µg fentanil + 2,5 mL bupivakain 0,5% hiperbarik sehingga

volume total yang disuntikkan masing-masing kelompok adalah 3,0 mL.

Alat pantau dipasangi pada tubuh pasien dan dicatat data mengenai

tekanan darah, laju nadi, dan saturasi oksigen. Kemudian pasien dipasangi infus

dengan jarum 18 G dan diberi cairan Ringer laktat 20 mL/kgBB selama 15 menit.

Lalu dilakukan tindakan anestesi spinal pada posisi pasien duduk membungkuk

dengan menggunakan jarum spinal Quincke no.25G yang ditusukkan pada garis

tengah intervertebralis L3-4 dengan bevel jarum spinal menghadap ke lateral. Saat

didapatkan aliran cairan serebrospinal yang jernih, bevel jarum diputar kearah

kepala (dengan patokan memutar pengunci mandren kearah kepala, kemudian

larutan anestetika lokal disuntikan dengan kecepatan 0,25 mL/detik (+12 detik)

dan diakhir penyuntikan dilakukan aspirasi cairan serebrospinal, sebanyak 0,2 mL

yang kemudian disuntikkan kembali. Setelah anestetika lokal selesai disuntikkan,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

pasien ditidurkan pada posisi terlentang dengan satu bantal di kepala. Akhir

pemberian anestetika lokal merupakan dasar perhitungan waktu penelitian.

Kemudian dilakukan pencatatan yang meliputi waktu mula kerja blokade

sensorik mencapai level T10 yang dinilai setiap menit, diukur dengan pinprick

test. Setelah mencapai T10 operasi dimulai. Nilai mula kerja blokade motorik

dinilai dengan skala Bromage setiap menit hingga mencapai Bromage skor 3.

Penilaian untuk lama durasi blokade motorik, dinilai dengan mengukur tungkai

mulai pulih kembali sampai mencapai skala Bromage =0, yang dinilai setiap 30

menit setelah 60 menit penyuntikan obat anestesi spinal.

Penilaian untuk lama durasi blokade sensorik diukur dengan waktu regresi

sampai T12 yang dinilai setiap 15 menit setelah 60 menit penyuntikan anestesi

spinal, diukur dengan pinprick test dan waktu pertama kali pasien merasa nyeri

ringan sampai dengan VAS > 3 yang dinilai setiap 30 menit setelah 60 menit

penyuntikan obat anestesi spinal, kemudian pasien diberi analgetik intravena.

Tekanan darah, laju nadi, dan saturasi oksigen diukur tiap 5 menit setelah

suntikan selama 30 menit pertama, tiap 10 menit pada 30 menit kedua, tiap 15

menit pada 30 menit ketiga sampai operasi selesai, dan selanjutnya tiap 30 menit

sampai efek blokade menghilang (Bromage skor 0). Selama operasi digunakan

mesin monitor yang dapat mengukur tanda vital secara otomatis dan berkala serta

dapat menunjukkan hasil pengukuran secara langsung.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

Pasien

Kriteria inklusi
Informed Concent

Randomisasi

Infus ringer laktat 20 mL/kgBB

KELOMPOK K (ketamin) KELOMPOK F (fentanyl)


20 mg ketamin + NaCl 0,9% 0,3 25 µg fentanil +2,5 mL Bupivakain
mL +2,5 mL Bupivakain 0,5% 0,5% hiperbarik = 3,0 mL
hiperbarik = 3,0 mL

Intra operatif:
Dicatat mula kerja blokade sensorik dan motorik, level blokade sensorik tertinggi,
Diobservasi: tekanan darah, laju nadi, saturasi O2,skala sedasi dan efek samping obat
setiap 5 menit pada 30 mnt I, 10 menit pada 30 menit II, 15 menit 30 menit III
sampai operasi selesai, dan selanjutnya setiap 30 menit sampai blokade hilang
(Bromage 0).
Postoperatif:
Dicatat waktu VAS sampai ≥ 3, waktu pertama kali dapat menggerakkan
ekstremitas bawah, dan saat dapat gerak sempurna, diobservasi tekanan darah,
lajuTekanan darah,Olaju
nadi, saturasi nadi,
2 dan danmuntah,
mual, saturasiskala
oksigen diukur
sedasi tiap302,5
setiap menit setelah
menit

Pengolahan data dan penarikan kesimpulan

Penulisan dan Penyampaian laporan

Gambar 3.1. Bagan Alur Penelitian

Selama operasi dan pascaoperasi kejadian hipotensi, bradikardia,

penurunan saturasi, pruritus, mual, dan muntah dicatat. Bila terjadi hipotensi,

pasien diberikan cairan kristaloid 300-500 mL atau kalau perlu 5 mg efedrin

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

intravena. Bila terjadi bradikardia, diberi 0,50 mg sulfas atropin intravena. Selama

operasi berlangsung dilakukan pencatatan banyaknya penggunaan cairan, efedrin,

dan sulfas atropin. Jika terjadi penurunan saturasi, diberi oksigen 100 %, jika

timbul pruritus, diberikan 10 mg difenhidramin intramuskuler, dan bila terjadi

mual muntah diberi 10 mg ondansentron 4 mg intravena.

H. Alat

1. Jarum spinal Quinke 25 G

2. Semprit 3 mL

3. Alat-alat steril untuk anestesi spinal

4. Venocath no 18 G

5. Set infus

6. Pengukur waktu

7. Alat pantau: Tensimeter otomatis, saturasi oksigen perifer, laju nadi, EKG

dari mesin monitor Life Scope 14 Nihon Kohden.

8. Lembar pencatatan atau catatan anestesi

9. DC Cateter no 18

10. Urine Bag

I. Obat

1. Ketamin (R-) injeksi, KTM Vial 10 ml 1000 mg

2. Fentanil injeksi, Ampul 2 ml µg

3. Bupivakain 0,5% hiperbarik ampul 4 ml 20 mg

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

4. Sulfas atropin ampul 1 ml 0,25 mg

5. Efedrin injeksi ampul 1 ml 50 mg

6. Dipenhidramin injeksi ampul 1 ml 10 mg

7. Ondansentron ampul 2 ml 4 mg

8. Deksametason ampul 1 ml 5 mg

9. Propofol ampul 10 ml 100 mg

J. Pengolahan Data

Data yang didapatkan dilakukan analisis dengan program SPSS 17.0.

Variabel dari data demografi dicari nilai reratanya dan perbandingan variabel

pada masing-masing kelompok diuji dengan menggunakan uji Chi-square dan uji

Mann Whitney U untuk data nominal dan ordinal, sedangkan untuk data kontinyu

diuji dengan menggunakan independent-t test.

K. Perijinan Penelitian

1. Ethical clearance

Perijinan untuk dapat melakukan penelitian diperoleh dari Panitia

Kelaikan Etik FakultasKedokteran Universitas Sebelas Maret, Rumah Sakit

Umum Daerah DR. Moewardi Surakarta,yang dituangkan dalam surat

Kelaikan Etik dengan nomor: E.C.249/1/2012.

Penelitian dilakukan dengan prinsip tidak melanggar etika praktek

kedokteran dan tidak bertentangan dengan etika penelitian pada Manusia.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

2. Ijin Subyek Penelitian

Persetujuan pasien dan keluarga pasien diperoleh dengan melakukan

informed consent kepada pasien dan keluarga pasien. Informed consent

dituangkan dalam pernyataan tertulis oleh pasien atau keluarga pasien dengan

pernyataan setuju terhadap tindakan diagnosa dan terapi yang bersifat invasif.

Pernyatan dari pasien dan keluarga pasien diperoleh setelah pasien dijelaskan

tentang tujuan, resiko, alternatif tindakan yang dilakukan, serta prognosis

penyakit jika tindakan itu dilakukan atau tidak dilakukan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Penelitian ini merupakan double blind randomized controlled trial, dengan

uji klinis yang mengikutsertakan 22 pasien di kamar instalasi bedah sentral RS Dr.

Moewardi Surakarta, mulai bulan Desember 2011 sampai Februari 2012.

Data yang didapatkan dilakukan analisis dengan program SPSS 17.0.

Variabel dan data demografi dicari nilai reratanya. Perbandingan antar variabel

masing-masing kelompok diuji dengan menggunakan Mann-Whitney U untuk

kelompok data peringkat atau ordinal, kelompok data kontinyu yang memiliki

distribusi normal diuji dengan menggunakan independent-t dan kelompok data

kategori diuji dengan menggunakan Chi-square (Dahlan 2009).

1. Karakteristik sampel penelitian.

Perhitungan besar sampel dengan menggunakan program statistik Open-

Epi, dengan interval kepercayaan (α) 95%, didapatkan hasil sampel untuk

masing-masing grup adalah 10 sampel. Ditambah kemungkinan drop out 10 %,

jumlah sampel untuk setiap kelompok 11 sampel.

Karaktristik sampel pada penelitian ini adalah jenis kelamin, umur, berat

badan, tinggi badan status fisik ASA dan lama operasi. Data umur, tinggi

badan, berat badan dan lama operasi merupakan data numerik dengan distribusi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

normal, diuji dengan menggunakan uji independent-t. Untuk data jenis kelamin

dan status fisik ASA diuji dengan menggunakan uji Chi-square.

Tabel 4.1.Hasil uji Chi-square terhadap karakteristik sampel penelitian


Adjuvan
Variabel Fentanil Ketamin Total χ2 p
n (%) n (%) n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 5 (45.5) 6 (54.5) 11 (100)
Perempuan 6 (54.5) 5 (45.5) 11 (100) 0.18 0.670
Status fisik ASA
I 5 (45.5) 6 (54.5) 11 (100)
II 6 (54.5) 5 (45.5) 11 (100) 0.18 0.670
Keterangan: nilai p dihitung dengan uji χ² (Chi-square), nilai p signifikan bermakna jika
p < 0.05

Tabel 4.2.Perbandingan rerata dan simpang baku karakteristik sampel


penelitian
Jenis Ajuvan
Fentanil Ketamin
Variabel n Mean SD n Mean SD t p
Umur (tahun) 11 43,55 12.62 11 44,00 13,41 0,82 0,936

TB (cm) 11 161,18 8,30 11 158,55 11,07 0,63 0,535

BB (kg) 11 62,64 7,39 11 63,00 7,71 0,11 0,911

Lama Operasi
(menit) 11 66,55 5,78 11 67,36 6,44 0,31 0,757
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji t, nilai p signifikan bermakna jika p ≤ 0,05

Berdasarkan tabel 4.1 dan tabel 4.2 tentang karakteristik sample

penelitian didapatkan hasil analisis statistik yang menunjukkan bahwa untuk

semua variabel, yaitu jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, status

fisik ASA dan lama operasi pada kedua kelompok berbeda tidak bermakna

(p>0,05). Dari hasil tersebut, secara statistik subjek yang diteliti adalah

homogen dan layak untuk diperbandingkan.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

2. Mula kerja dan lama kerja blokade anestesi spinal

Mula kerja blokade anestesi spinal pada penelitian ini meliputi mula

kerja blokade sensorik setinggi segmen torakal 10 (T10), mula kerja blokade

motorik Bromage 1 (BR1) dan mula kerja blokade motorik Bromage 3 (BR2).

Lama kerja blokade anestesi spinal pada penelitian ini meliputi lama kerja

sampai terjadinya penurunan blokade sensorik setinggi segmen torakal 12

(RT12), penurunan blokade motorik Bromage 2 (BR2), penurunan blokade

sensorik VAS ≥ 3 (VAS3) dan penurunan blokade motorik Bromage 0 (BR0).

Tabel 4.3. Hasil uji Mann-Whitney U terhadap mula dan lama kerja
blokade sensorik dan motorik
Adjuvan Mann Whitney
Variabel Fentanil Ketamin Z p
N Mean Rank n Mean Rank
T10 11 17.00 11 6.00 4.06 0.001
BR1 11 16.86 11 6.14 3.95 0.001
BR3 11 16.59 11 6.41 3.74 0.001
RT12 11 6.59 11 16.41 3.56 0.001
RB2 11 6.05 11 16.95 3.95 0.001
VAS3 11 6.00 11 17.00 3.98 0.001
RB0 11 6.00 11 17.00 3.98 0.001
Keterangan: Blokade sensorik setinggi segmen torakal 10 (T10), mula kerja blokade motorik
Bromage 1 (BR1) dan Bromage 3 (BR3), penurunan blokade sensorik setinggi segmen torakal
12 (RT12), penurunan blokade motorik Bromage 2 (BR2), penurunan blokade sensorik VAS ≥
3 (VAS3) dan penurunan blokade motorik Bromage 0 (BR0). Nilai p dihitung dengan
menggunakan uji Mann-Whitney U, nilai p signifikan bermakna jika p < 0.05

Mula kerja blokade sensorik setinggi segmen torakal 10 (T10) pada

anestesi spinal dengan adjuvan ketamin terbukti lebih cepat 2,55 (6.0) menit

dibandingkan dengan fentanil 5.55 (17.0) menit, dengan p = 0.001. Lama kerja

blokade sensorik sampai terjadinya regresi setinggi segmen torakal 12 (RT12)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

pada anestesi spinal dengan adjuvan ketamin terbukti lebih panjang 212.27

(16.4) menit dibandingkan dengan fentanil 117.27 (6.6) menit dan lama blokade

sensorik sampai skala VAS ≥ 3 pada anestesi spinal dengan adjuvan ketamin

terbukti lebih panjang 207.47 (17.0) menit dibandingkan dengan fentanil 146.82

(6.0) menit, keduanya secara statistik bermakna (p = 0.001).

240.00
225.00
210.00
195.00
180.00
165.00
150.00
Waktu (menit)

135.00
120.00
105.00
90.00
75.00
60.00
45.00
30.00
15.00
0.00
T10 BR1 BR 3 RT12 RB2 VAS3 RB0

Fentanil 5.55 5.00 8.09 117.27 123.64 146.82 140.09


Kentamin 2.55 2.09 3.91 212.27 200.45 207.47 245.00

Keterangan : T10: mula kerja blokade sensorik setinggi segmen torakal 10, BR1: mula kerja
blokade motorik Bromage 1, BR3: mula kerja blokade motorik Bromage 3, RT1: regresi
blokade sensorik setinggi segmen torakal 12, RB2: regresi blokade motorik Bromage 2, VAS3:
regresi blokade sensorik VAS > 3, RB0: regresi blokade motorik Bromage 0.
Gambar 4.1 Grafik mula dan lama kerja blokade sensorik dan motorik

Mula kerja blokade motorik mencapai Bromage 3 (BR2) pada anestesi

spinal dengan adjuvan ketamin terbukti lebih cepat 3.91 (6.4) menit

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

dibandingkan dengan fentanil 8.09 (16.6) menit, dengan p = 0.001. Lama kerja

blokade motorik sampai kembalinya blokade Bromage 0 (BR0) pada anestesi

spinal dengan adjuvan ketamin terbukti lebih panjang 245.0 (17.0) menit dan

secara statistik bermakna (p=0.001) dibandingkan dengan kelompok fentanil

140.1 (6.0) menit.

3. Hemodinamik anestesi spinal.

Hemodinamik anestesi spinal pada penelitian ini meliputi tekanan darah

sistolik, diastolik, tekanan arteri rata-rata (MAP), denyut nadi (HR), dan

prosentase satuarsi oksigen (SPO2).

a. Tekanan darah sistolik.

Dari gambar 4.2 tabel 4.4. (terlampir) terlihat bahwa tekanan darah

sistolik pada anestesi spinal dengan adjuvan ketamin berbeda secara

bermakna dibandingkan dengan adjuvan fentanil (p < 0.05).

Rata-rata tekanan darah sistolik pada kelompok ketamin sebesar

124.85 mmHg pada awal sebelum operasi dan dipertahankan pada tekanan

terendah 128.27 mmHg dan tekanan tertinggi 134.91 mmHg selama operasi,

berbeda dengan tekanan darah sistolik pada kelompok fentanil 147.8 mmHg

pada awal sebelum operasi, dipertahankan pada tekanan terendah 121.4

mmHg dan tekanan tertinggi 144.3 mmHg selama operasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

160

140

Tekanan sistolik (mmHg) 120

100

80

60

40

20

0
DB D0 D5 D10 D15 D20 D25 D30 D40 D50 D60 D75 D90 D105 D120
Fentanil 147.8 144.3 130.2 121.4 127.8 129.1 128.9 124.7 127.1 126.5 128.9 127.2 127.5 127.2 126.6
Kentamin 128.45 134.18 133.27 129.64 128.27 133.18 133.18 134.82 134.91 135.45 134.91 134.64 133.64 135.27 134.91

Keterangan: SB: tekanan sistolik sebelum anestesi, S0, S5, S10, S15, S20, S25, S30, S40, S50,
S60, S75, S90, S105 dan S120: tekanan sistolik yang diukur pada menit ke 5, 10, 15, 20 ,25,
30, 40, 50, 60, 75, 90, 105 dan 120 setelah anestesi.
Gambar 4.2.Grafik nilai rerata tekanan darah sistolik pada kedua kelompok

b. Tekanan darah diastolik.

Dari gambar 4.3. dan tabel 4.5. (terlampir) terlihat tekanan darah

diastolik pada anestesi spinal dengan adjuvan ketamin berbeda secara

bermakna pada menit ke 10 dibandingkan dengan adjuvan fentanil (p= 0.01).

Rata-rata tekanan darah diastolik pada kelompok ketamin sebesar

82.64 mmHg pada awal sebelum operasi dan dipertahankan pada tekanan

terendah 80.16 mmHg dan tekanan tertinggi 84.73 mmHg selama operasi,

berbeda dengan rata-rata tekanan darah diastolik pada kelompok fentanil

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

90.91 mmHg pada awal sebelum operasi, dipertahankan pada tekanan

terendah 66.73 mmHg dan tekanan tertinggi 84.18 mmHg selama operasi.

100.00

90.00
Tekanan diastolik (mmHg)

80.00

70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
DB D0 D5 D10 D15 D20 D25 D30 D40 D50 D60 D75 D90 D105 D120
Fentanil 90.91 84.18 81.27 66.73 77.91 79.36 77.55 76.82 78.27 79.09 78.09 77.27 78.73 78.09 78.18
Kentamin 82.64 80.18 80.18 84.45 84.73 84.00 82.09 82.09 82.91 81.45 81.91 82.09 81.55 82.27 82.27

Keterangan: DB: tekanan diastolik sebelum anestesi, D0, D5, D10, D15, D20, D25, D30,
D40, D50, D60, D90, D105 dan D120: tekanan diastolik yang diukur pada menit ke 5, 10, 15,
20 ,25, 30, 40, 50, 60, 75, 90, 105 dan 120 setelah anestesi.
Gambar 4.3.Grafik nilai rerata tekanan darah diastolik pada kedua kelompok

c. Tekanan pembuluh arteri rata-rata (MAP).

Dari gambar 4.4. dan table 4.6. (terlampir) diketahui tekanan

pembuluh darah arteri rata-rata (MAP) pada anestesi spinal dengan adjuvan

ketamin berbeda secara bermakna pada menit ke 5 dibandingkan dengan

adjuvan fentanil (Z = 2.21, p = 0.028).

Rata-rata tekanan MAP pada kelompok ketamin sebesar 100 mmHg

pada awal sebelum operasi dan dipertahankan pada tekanan terendah 91.27

mmHg dan tekanan tertinggi 95.85 mmHg selama operasi, berbeda dengan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

rata-rata tekanan MAP pada kelompok fentanil 107.36 mmHg pada awal

sebelum operasi, dipertahankan pada tekanan terendah 82.64 mmHg dan

tekanan tertinggi 95.27 mmHg selama operasi.

120.00

100.00
Tekanan MAP (mmHg)

80.00

60.00

40.00

20.00

0.00
mb m0 m5 m 10 m 15 m 20 m 25 m 30 m 40 m 50 m 60 m 75 m 90 m 105 m 120

F e nta nil 107.36 95.27 91.45 82.64 90.82 90.18 89.18 88.91 88.36 88.18 88.00 87.73 88.27 88.73 88.09
Ke nta m in 100.00 95.82 95.73 92.91 92.91 92.00 91.18 92.18 91.55 91.27 92.06 91.91 92.18 92.18 92.45

Fentanil Kentamin

Keterangan: mB: tekanan MAP sebelum anestesi, m0, m5, m10, m15, m20, m25, m30, m40,
m50, m60, m90, m105 dan m120: tekanan MAP yang diukur pada menit ke 5, 10, 15, 20 ,25,
30, 40, 50, 60, 75, 90, 105 dan 120 setelah anestesi.
Gambar 4.4.Grafik nilai rerata tekanan MAP pada kedua kelompok

d. Laju nadi (HR).

Dari gambar 4.5. dan tabel 4.7. (terlampir) terlihat laju nadi (HR) pada

anestesi spinal dengan adjuvan ketamin berbeda secara bermakna

dibandingkan dengan adjuvan fentanil (p < 0.05).

Rata-rata laju nadi (HR) pada kelompok ketamin sebesar 101.27 kali

per-menit pada awal sebelum operasi dan dipertahankan pada laju nadi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

terendah 91.18 kali per-menit dan laju nadi tertinggi 109.55 kali per-menit

selama operasi, berbeda dengan rata-rata laju nadi (HR) pada kelompok

fentanil 85 kali per-menit pada awal sebelum operasi, dipertahankan pada

laju nadi terendah 79.31 kali per-menit dan laju nadi tertinggi 88.64 kali per-

menit selama operasi.

120.00

100.00
Laju nadi (kali/menit)

80.00

60.00

40.00

20.00

0.00
hrb hr0 hr5 hr10 hr15 hr20 hr25 hr30 hr40 hr50 hr60 hr75 hr90 hr105 hr120
F e nta nil 85.45 88.64 85.27 89.36 78.45 77.27 76.27 75.36 75.55 76.36 76.55 75.27 74.64 73.91 74.55
Ke nta m in 101.27 109.55 98.27 98.55 94.36 94.18 94.00 93.64 91.91 91.91 91.27 91.55 91.18 91.27 91.45

Keterangan: hrB: laju nadi sebelum anestesi, hr0, hr5, hr10, hr15, hr20, hr25, hr30, hr40,
hr50, hr60, hr90, hr105 dan hr120: laju nadi yang diukur pada menit ke 5, 10, 15, 20 ,25, 30,
40, 50, 60, 75, 90, 105 dan 120 setelah anestesi.
Gambar 4.5.Grafik nilai rerata laju nadi (HR) pada kedua kelompok

e. Saturasi oksigen perifer (SPO2).

Dari gambar 4.6 dan table 4.8. (terlampir) diketahui prosentasse

saturasi oksigen perifer (SPO2) pada anestesi spinal dengan adjuvan ketamin

berbeda tidak bermakna dengan adjuvan fentanil (p ≥ 0.05). Rata-rata


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50

saturasi oksigen pada kedua kelompok dipertahankan pada awal dan selama

operasi berada diatas 99 %.

99.60

99.40
Saturasi oksigen perifer (%)

99.20

99.00

98.80

98.60

98.40
SP O SP O SP O SP O SP O SP O SP O SP O SP O SP O SP O SP O SP O SP O SP O
B 0 5 10 15 20 25 30 40 50 60 75 90 105 120

Fentanil 99.55 99.55 99.45 99.27 99.36 99.18 99.09 99.09 99.00 99.09 99.00 98.91 99.09 99.09 99.27
Kentamin 99.45 99.45 99.45 99.18 99.18 99.09 98.91 99.09 99.00 99.09 99.09 99.00 99.09 99.00 99.00

Keterangan: SPOB: saturasi oksigen sebelum anestesi, SPO0, SPO5, SPO10, SPO15, SPO20,
SPO25, SPO30, SPO40, SPO50, SPO60, SPO90, SPO105 dan SPO120: saturasi oksigen yang
diukur pada menit ke 5, 10, 15, 20 ,25, 30, 40, 50, 60, 75, 90, 105 dan 120 setelah anestesi.
Gambar 4.6.Grafik nilai rerata saturasi oksigen (SPO2) pada kedua kelompok

3. Level sedasi anestesi spinal.

Level sedasi diukur berdasarkan kesadaran pasien dan respon pasien

terhadap rangsangan setelah tercapainya onset analgesi spinal yang ditentukan

dengan skala Ramsay. Skor Ramsay diukur dengan menggunakan1

sampai skor 6.

Dari gambar 4.7. dan tabel 4.9. (terlampir) didapatkan hasil level sedasi

dengan pengukuran skala Ramsay pada anestesi spinal dengan adjuvan ketamin

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

berada pada level sedasi 2 sampai 3 skala Ramsay berbeda tidak bermakna

dengan adjuvan fentanil (p ≥ 0.05).

2.5
Level sedasi (skala Ramsay)

1.5

0.5

0
SRB SR0 SR5 SR10 SR15 SR2 0 SR2 5 SR3 0 SR4 0 SR50 SR6 0 SR75 SR9 0 SR10 5 SR12 0

Fent anil 2 2 .0 0 2 .0 0 2 .0 0 2 .0 0 2 .18 2 .18 2 .18 2 .18 2 .18 2 .18 2 .18 2 .18 2 .18 2 .18
Kent amin 2 .0 0 2 .0 0 2 .0 0 2 .18 2 .2 7 2 .4 5 2 .4 5 2 .4 5 2 .4 5 2 .4 5 2 .4 5 2 .4 5 2 .4 5 2 .4 5 2 .4 5

Keterangan: SRB: skala Ramsay sebelum anestesi, SR0, SR5, SR10, SR15, SR20, SR25, SR30,
SR40, SR50, SR60, SR90, SR105 dan SR120: skala Ramsay yang diukur pada menit ke 5, 10,
15, 20 ,25, 30, 40, 50, 60, 75, 90, 105 dan 120 setelah anestesi.
Gambar 4.7.Grafik nilai rerata skala Ramsay pada kedua kelompok

4. Efek samping anestesi spinal.

Efek samping anestesi spinal diukur dari ada dan tidak adanya kejadian

yang merugikan akibat tindakan spinal anestesi seperti kejadian mual, muntah,

pruritus, nystagmus, delirium, shivering, transient apneu, kesulitan bicara, dan

nyeri kepala.

Dari tabel 4.10. didapatkan hasil adanya kejadian yang merugikan akibat

tindakan anestesi pada anestesi spinal dengan adjuvan ketamin berbeda tidak

bermakna dengan adjuvan fentanil (χ2 = 1.88, p = 0.171).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

Efek samping yang muncul dari penelitian ini adalah hipotensi,

bradikardi, mual muntah dan shivering. Sedangkan pruritus, nystagmus,

delirium, shivering, transient apneu, kesulitan bicara, dan nyeri kepala tidak

didapatkan.

Tabel 4.10.Hasil uji Chi-square terhadap efek samping anestesi antara


kedua kelompok
Efek samping
Adjuvan Tidak ada Ada Total χ2 p
n(%) n(%) n(%)
Fentanil 6 (54.5) 5 (45.5) 11 (100) 1.88 0.171
Ketamin 9 (81.8) 2(18,2) 11 (100)
Keterangan: nilai p dihitung dengan uji χ² (Chi-square), nilai p secara signifikan bermakna
jika p < 0.05

Tabel 4.11.Jenis efek samping anestesi antara kedua kelompok


Efek Samping Ketamin Fentanil
Hipotensi 0 2 (2.8%)
Bradikardi 0 1 (9.9%)
Mual muntah 1 (9.9%) 1 (9.9%)
Shivering 1 (9.9%) 1 (9.9%)
Pruritus 0 0
Delirium 0 0
Transient apneu 0 0
Kesulitan bicara 0 0
Headache 0 0

Gejala mual-muntah yang muncul dari penelitian ini diatasi dengan

pemberian ondansentron 4 mg intravena, gejala hipotensi diatasi dengan

pemberian efedrin 10 mg intravena, gejala bradikardi diberikan sulfas antropin

0,5 mg intravena dan gejala shivering diatasi dengan pemberian petidin 25 mg

intravena. Semua gejala efek samping yang muncul dalam penelitian ini dapat

diatasi sampai gejala menghilang dan tidak menjadi gejala menetap dan

memberat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

B. Pembahasan

Anestesi spinal telah banyak digunakan untuk operasi ekstremitas bawah

dan perut bagian bawah. Anestetika lokal yang paling banyak digunakan sebagai

anestesi spinal adalah bupivakain 0,5% hiperbarik. Bupivakain memiliki mula

kerja yang lambat dan lama kerja blokade sensorik yang tidak cukup panjang

dengan intensitas yang lebih besar daripada blokade motorik.

Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kecepatan mula kerja dan

memperpanjang lama kerja anestesi spinal. Diantaranya dengan menambahkan

obat-obat seperti opioid, adrenergik dan obat anestesi lain seperti ketamin,

midazolam dan neostigmin pada pada anestetika lokal.

Dilaporkan bahwa dengan penambahan ketamin 1,5 mg/kg pada 15 mg

bupivakain hiperbarik yang diberikan secara spinal, menghasilkan percepatan

mula kerja sampai segmen torakal 10 (T10) dan penambahan lama kerja waktu

regresi 2 segmen dari level blokade teratas (Sanad et al. 2010).

Ketamine menekan stimulasi sinaptik dalam susunan saraf pusat pada

reseptor NMDA dimana ketamine terikat pada tempat phencylidine dari reseptor

NMDA yang menekan keaktifan glutamate (Kohrs dan Durieaux 1998).

Dikenal dua optikal isomer ketamin, isomer kiri sebagai S (+) dan isomer

kanan sebagai R (-) ketamin. Ketamine yang masih banyak dipakai sekarang

adalah ketamin rasemik, yaitu kombinasi dengan bagian yang sama antara

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54

Ketamin-R(-) dan Ketamin-S(+). S(+) ketamine memiliki potensi anestetik lebih

baik dari racemik ketamine (Kohr dan Durieaux 1998).

Pada penelitian ini digunakan ketamin rasemik, yang tersedia di Indonesia

dalam kemasan vial 1000 mg dalam 10 ml dan sering digunakan sebagai agen

intravena untuk tindakan anestesi umum.

Analgesia dengan ketamin terbukti dapat diberikan sebagai suplemen atau

tambahan anestetika lokal yang digunakan untuk analgesia regional diantaranya

blok saraf perifer, analgesia epidural dan analgesi intratekal atau spinal

(Fine 1999).

1. Gambaran umum

Dari gambaran umum karakteristik subjek penelitian (Tabel 4.1 dan

Tabel 4.2) terlihat bahwa jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, status

fisik ASA pada saat sebelum dilakukan anestesi spinal dari kedua kelompok,

tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna, sehingga subjek

penelitian adalah homogen dan layak untuk dibandingkan. Kedua kelompok

yang menjalani operasi tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna

dalam lamanya operasi, kedua kelompok mejalani operasi kurang dari dua jam

pada operasi bedah urologi, obstetri, bedah orthophedi, bedah onkologi dan

bedah digestif.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

2. Mula Kerja Blokade Sensorik dan Motorik

Beberapa faktor yang mempengaruhi mula kerja anestetika lokal adalah

pH, kelarutan dalam lemak, kecepatan anestetika lokal berdifusi menembus

perineurium, dan obat-obat adjuvan seperti larutan natrium bikarbonat, dan

garam hidroklorida. Mula kerja anestetika lokal tergantung dari konsentrasi

non ion yang larut dalam lemak dan bentuk ion yang larut dalam air.

Anestetika lokal pada pKa mendekati pH fisiologis mempunyai konsentrasi

non ion yang lebih tinggi, yang dapat melalui membran sel saraf sehingga mula

kerja akan lebih cepat (Hodgson dan Liu 2001).

Anestetika lokal pada sediaan komersil dibuat dalam bentuk garam

hidroklorida yang larut dalam air dan stabil pada pH 4-5. Setelah anestetika

lokal disuntikkan, terjadi peningkatan pH larutan oleh proses penyangga

jaringan, yang akan mengubah menjadi bentuk non ion yang lebih mudah

larut dalam lemak sehingga lebih mudah menembus membran lipid untuk

masuk ke dalam sel. Di dalam sel sebagian obat akan mengalami ionisasi

kembali. Dalam bentuk ion inilah, dari dalam sel obat akan masuk ke dalam

kanal natrium kemudian obat akan berinteraksi dengan reseptor pada kanal

natrium sehingga menghambat aliran masuk natrium, lalu terjadi hambatan

pada konduksi impuls.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

Mula kerja anestetika lokal juga berhubungan dengan kecepatan difusi

melalui perineurium, yaitu kemampuan anestetika lokal dapat menembus

jaringan pengikat yang bukan jaringan saraf (Tetzlaff 2001).

Blokade saraf perifer diklasifikasikan menurut ukuran dan fungsi.

Serabut saraf yang kecil dan bermielin lebih mudah diblokade daripada yang

besar dan tidak bermielin karena anestetika lokal hanya memerlukan blokade

melalui nodus Ranvier. Blokade nyeri dan suhu yaitu A delta dan serabut C,

lebih cepat diblokade daripada motorik (serabut A alpha).

Kejadian blokade saraf perifer secara berturut-turut adalah blokade

simpatis dengan vasodilatasi pembuluh darah perifer dan meningkatnya suhu

kulit, hilangnya sensasi nyeri dan suhu, hilangnya propiosepsi, hilangnya

sensasi raba dan tekanan,serta paralisis motorik (Sweitzer 1993).

Dari hasil penelitian terhadap mula kerja blokade anestesi spinal

(Table 4.3 dan Gambar 4.1) menunjukkan bahwa mula kerja blokade sensorik

setinggi segmen T10 pada kelompok ketamin lebih cepat dibandingkan dengan

kelompok fentanil dan secara statistik bermakna (Z = 4.06, p = 0,001). Dan

mula kerja blokade motorik setinggi Bromage 1 (BR1) dan Bromage 3 (BR3)

pada kelompok ketamin lebih cepat dibandingkan dengan kelompok fentanil

dan secara statistik bermakna (Z = 3.95, p = 0.001 dan Z = 3.74, p = 0.001).

Pada penelitian sebelumnya yang menilai mula kerja blokade sensorik

anestesi spinal dengan penambahan adjuvan ketamin, menyebutkan bahwa


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

penambahan 25 mg ketamin pada 7,5 mg bupivakain hiperbarik 0.5 % yang

diberikan secara spinal menyebabkan adanya pemendekan mula kerja blokade

sensorik (3.7 menit) dibandingkan dengan kelompok kontrol bupivakain

murni (4.9 menit) meskipun secara statistik tidak bermakna (p = 0.09)

(Kathirvel et al. 2000).

Penelitian lainnya menyebutkan bahwa penambahan 2 mg/KgBB

ketamin pada 0.5 mg/KgBB lignokain memberikan hasil pemendekan mula

kerja blokade sensorik dan motorik anestesi spinal dibandingkan dengan

lignokain murni. Sama dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan

bahwa mula kerja blokade sensorik dan motorik pada kelompok 0.05

mg/kgBB ketamin pada bupivakain terbukti secara statistik (p = 0.014) lebih

cepat dibandingkan dengan kelompok 25 μg fentanil (Moulvi et al. 2011;

Unlugenc et al. 2006).

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan ketamin dapat

mempengaruhi kecepatan mula kerja blokade sensorik maupun motorik, hal

ini mungkin disebabkan penambahan ketamin pada bupivakain 0,5%

hiperbarik menimbulkan perubahan kejernihan cairan serebrospinal dan

menurunkan pH sehingga mempengaruhi kecepatan anestetika lokal berdifusi

menembus selubung saraf dan lebih cepat menyebabkan blokade elektrik pada

serabut saraf.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58

Ketamin sangat lipofilik pada pH netral dan terionisasi secara equal

pada pH fisiologis. Kecepatan mula kerja juga dipengaruhi oleh kelarutan

dalam lemak. Semakin mudah larut dalam lemak semakin cepat mula kerja

suatu anestetika lokal (Stoelting et al. 1997).

Dari pembahasan mula kerja blokade sensorik dan motorik pada

anestesi spinal dengan adjuvan ketamin, diketahui bahwa hipotesis

penambahan 20 mg ketamin pada 12,5 mg bupivakain 0.5 % hiperbarik

intratekal memiliki mula kerja blokade sensorik dan motorik lebih pendek

dibandingkan dengan penambahan 25 μg fentanil terbukti secara statistik.

3. Lama Kerja Blokade Sensorik dan Motorik

Beberapa faktor yang mempengaruhi lama kerja blokade spinal, yaitu

jenis anestetika lokal, dosis obat, ketinggian blokade, dan efek adrenergik

agonis. Pemilihan anestetika lokal menentukan lama kerja blokade spinal.

Prokain mempunyai lama kerja paling pendek. Lidokain dan mepivakain

memiliki lama kerja sedang (intermediate). Bupivakain dan tetrakain adalah

golongan dengan lama kerja yang panjang. Perbedaan lama kerja anestetika

lokal ini berhubungan dengan sifat protein binding (Bogra J et al. 2005).

Peningkatan dosis anestetika lokal akan meningkatkan lama kerja

blokade spinal. Bila dosis obat dipertahankan konstan, blokade yang lebih

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59

tinggi cenderung lebih cepat mengalami regresi dari pada blokade yang lebih

rendah (Stoelting et al. 2001).

Penggunaan jenis anestetika lokal menentukan lamanya blokade

anestesi spinal. Peningkatan dosis anestetika lokal memperpanjang lamanya

blokade anestesi spinal. Pada dosis obat anestesi yang sama, dengan blokade

yang lebih tinggi cenderung memiliki regresi yang lebih cepat daripada

blokade yang lebih rendah. Secara konvensional dapat diterangkan bahwa

penyebaran yang lebih ke cephalat menghasilkan konsentrasi obat yang lebih

rendah pada cairan serebrospinal dan saraf spinal, sehingga konsentrasi

anestetika lokal berkurang lebih cepat di bawah konsentrasi efektif minimal

(Bernards 2001).

Dari hasil penelitian terhadap lama kerja blokade anestesi spinal

(Table 4.3 dan Gambar 4.1) menunjukkan bahwa lama kerja blokade sensorik

sampai muncul keluhan nyeri VAS ≥ 3 pada kelompok ketamin lebih lama

dibandingkan dengan kelompok fentanil dan secara statistik bermakna

(Z = 3.98, p = 0,001). Dan lama kerja blokade motorik sampai terjadi

penurunan blokade setingkat Bromage 0 (BR0) pada kelompok ketamin lebih

lama dibandingkan dengan kelompok fentanil dan secara statistik bermakna

(Z = 3.98, p = 0,001).

Penelitian sebelumnya tentang pengaruh penambahan adjuvan ketamin

terhadap lama kerja blokade anestesi spinal, menyatakan bahwa penambahan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60

1,5 mg/kgBB ketamin pada 15 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik intratekal

pada operasi abdominal bagian bawah, menghasilkan penambahan lama kerja

yang diukur dari waktu regresi 2 segmen dari level blokade teratas

(68.9±9.1) menit dan penambahan waktu mulai dibutuhkannya obat untuk

menghilangkan nyeri (363.55±55.9) menit dibandingkan dengan kontrol

bupivakain dengan normal salin (Sanad et al. 2010).

Penelitian lainnya menyebutkan bahwa penambahan 1 mg/KgBB

ketamin pada 5 μg/KgBB morfin pada anestesi spinal epidural, menghasilkan

waktu pertama kali dibutuhkannya tambahan obat analgesi untuk penghilang

nyeri pada kelompok ketamin lebih lama (median 17, range 10–48) jam

dibandingkan dengan kelompok morfin murni (median 12, range 4-36) jam

dan secara statistik bermakna (p=0.021). Hal tersebut menunjukkan adanya

efek pemanjangan lama kerja blokade sensorik pada anestesi spinal oleh

ketamin lebih panjang dibandingkan dengan blokade sensorik yang dihasilkan

oleh kelompok opioid (Balachundhar et al. 2001).

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan ketamin dapat

mempengaruhi lama kerja blokade sensorik maupun motorik, hal ini

disebabkan bahwa penambahan ketamin pada anestetika lokal mempunyai

efek antinosisepsi melalui reseptor nyeri yaitu NMDA di medula spinalis.

Efek antinosisepsi dapat memperpanjang efek analgesia anestetika lokal yang

diberikan secara anestesi spinal. Ketamin mengikat secara non kompetitif

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61

fenisiklidin pada reseptor N – metil – D – aspartat (NMDA) yang berada di

sepanjang sisitem saraf pusat. Ketamine menekan stimulasi sinaptik dalam

susunan saraf pusat pada reseptor NMDA dengan cara menekan keaktifan

glutamate pada kanal yang permeabel terhadap Ca++ dan juga terhadap Na+

dan K+(Kohrs dan Durieaux 1998).

Dari pembahasan lama kerja blokade sensorik dan motorik anestesi

spinal dengan adjuvan ketamin, diketahui bahwa hipotesis penambahan 20 mg

ketamin pada 12,5 bupivakain 0.5 % hiperbarik intratekal memiliki lama kerja

blokade sensorik dan motorik lebih panjang dibandingkan dengan

penambahan 25 μg fentanil terbukti secara statistik.

4. Hemodinamik anestesi spinal

Efek samping hipotensi dan bradikardi merupakan perubahan fisiologis

yang paling banyak dan umum terjadi akibat tindakan anestesi spinal.

Hipotensi pada anestesi spinal adalah hasil dari dilatasi arteri dan vena.

Pengaruh vasodilatasi arteri dapat dikurangi dengan kompensasi vasokontriksi

di atas level blokade (serabut saraf simpatis dari T5 sampai L1). Tingginya

blokade simpatis tidak hanya mencegah kompensasi vasokontriksi, tetapi juga

dapat memblokade serabut simpatis cardiac accelerator T1-T5

(Arthur et al. 1993).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
62

Bradikardi sebagian disebabkan oleh tonus parasimpatis yang

berlebihan akibat blokade serabut simpatis cardioaccelerator T1-T5, tetapi

sebab utamanya adalah penurunan preload (Tetzlaff 2002).

Anestesi spinal hanya mempunyai sedikit pengaruh terhadap fungsi

pulmonal. Blokade tinggi berhubungan dengan paralisis otot interkostal dan

abdominal yang mengganggu fungsi ventilasi, sehingga pasien mengalami

sesak dan terjadi peningkatan ventilasi per menit. Bila terjadi apnea biasanya

disebabkan oleh hipotensi yang berat yang menimbulkan iskemia medula

oblongata (Brown 1996).

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan ketamin pada

bupivakain anestesi spinal tidak mempengaruhi hemodinamik. Tekanan darah

sistolik, diastolik, MAP dan laju nadi pada kelompok ketamin dipertahankan

relatif stabil selama operasi dibandingkan dengan kelompok fentanil.

Hasil tersebut sama dengan penelitian sebelumnya yang menganalisis

tentang pengaruh penambahan 0.1 mg/kgBB ketamin pada 3 ml bupivakain

0.5% hiperbarik terhadap perubahan hemodinamik pada anestesi spinal,

didapatkan hasil bahwa tekanan darah pada kelompok ketamin berubah tidak

bermakna dan tidak memerlukan tambahan mephenteramine untuk menjaga

tekanan darah tetap stabil (Togal et al. 2004; Murali et al. 2008).

Kemampuan ketamin dalam mempertahankan hemodinamik pada

anestesi spinal disebabkan selain oleh preloading yang cukup dalam

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63

mengatasi penurunan resistensi vaskular sistemik (SVR) akibat blokade

simpatis pada anestesi spinal, juga disebabkan oleh adanya efek adrenergik

atau efek stimulasi sistem simpatis dari ketamin (Stoelting et al. 2006).

Dari pembahasan hemodinamik yang meliputi tekanan darah sistolik,

diastolik, MAP dan laju nadi anestesi spinal dengan adjuvan ketamin,

diketahui bahwa hipotesis penambahan 20 mg ketamin pada 12,5 mg

bupivakain 0.5 % hiperbarik intratekal memberikan hemodinamik yang lebih

stabil dibandingkan dengan fentanil terbukti secara statistik.

5. Level sedasi anestesi spinal

Derajat sedasi intraoperatif yang diharapkan pada anestesi spinal

adalah skala Ramsay 3 dan 4. Efek sedasi yang diharapkan oleh ketamin yang

diberikan secara anestesi spinal berkaitan dengan sifat lipofilik dari ketamin

(Kathirvel et al. 2000).

Data level sedasi dari penelitian ini, seperti terlihat dari (Table 4.9)

didapatkan level sedasi pada anestesi spinal dengan adjuvan ketamin berbeda

dibandingkan dengan adjuvan fentanil, tapi secara statistik tidak bermakana

(p ≥ 0.05).

Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menganalisa

pengaruh penambahan ketamin terhadap level sedasi yang menyatakan bahwa

efek sedasi pada adjuvan ketamin memberikan hasil level sedasi yang lebih

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64

tinggi (skala Ramsay 2-3) setelah 30 menit pemberian dibandingkan dengan

kelompok bupivakain murni (Sanad et al. 2010).

Adanya perbedaan hasil skala sedasi dengan penelitian sebelumnya,

kemungkinan disebabkan dosis ketamin yang digunakan pada penelitian ini

lebih kecil (20 mg) dibandingkan dengan dosis ketamin yang digunakan pada

penelitian sebelumnya (1,5 mg/kgBB). Efek sedasi ketamin dimungkinkan

juga hanya terlihat pada dosis ketamin yang mendekati dengan dosis sistemik

dengan pemberian intravena.

Dari pembahasan level sedasi anestesi spinal dengan adjuvan ketamin,

diketahui bahwa hipotesis penambahan 20 mg ketamin pada 12,5 mg

bupivakain 0.5 % hiperbarik intratekal memberikan level sedasi yang lebih

tinggi dibandingkan dengan fentanil tidak terbukti secara statistik.

6. Efek samping anestesi spinal

Pada penelitian ini, efek samping anestesi pada anestesi spinal dengan

adjuvan ketamin berbeda tidak bermakna secara statistik dibandingkan dengan

adjuvan fentanil (p ≥ 0.05). Efek samping yang muncul pada penelitian ini

berupa hipotensi, bradikardi, mual muntah dan shivering. Hal tersebut

berhubungan dengan menurunnya preload ke jantung akibat vasodilatasi

perifer yang terjadi karena adanya blokade simpatis (Tetzlaff 2002).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65

Kejadian pruritus, nystagmus, delirium, transient apneu, kesulitan

bicara, dan nyeri kepala tidak didapatkan pada kedua kelompok. Walaupun

tidak diteliti mengenai efek samping berupa defisit neurologis, tetapi peneliti

mengamati secara klinis efek samping berupa defisit neurologis pada seluruh

subjek penelitian, dan didapatkan bahwa tidak ada defisit neurologis pada

kedua kelompok.

Hasil penelitian lain mengenai efek samping pada anestesi spinal

dengan adjuvan ketamin menunjukkan adanya kejadian shivering (20 %) dan

mual muntah (30%) dari 20 sampel penelitian yang diobservasi

(Sanad et al. 2010).

Munculnya efek samping anestesi spinal pada kelompok ketamin

mungkin disebabkan dari penggunaan jenis ketamin yang ditambahkan pada

bupivakain sebagai anestesi spinal, yaitu resemik ketamin. Ketamin yang

terdiri dari isomer R(-) ketamin dalam jumlah seimbang dengan isomer S(+)

ketamin memiliki potensi yang lemah dan tersedia dalam bentuk non free

preservatif.

Semua efek samping yang muncul dalam penelitian ini dapat diatasi

dengan pengobatan standar yang telah ditentukan dalam penelitian ini.

Kejadian hipotensi diatasi dengan pemberian tambahan cairan kristaloid 300

cc dan diberikan efedrin 10 mg intravena. Kasus mual dan muntah diberikan

ondansentron 4 sampai 8 mg intra vena dan gejala menghilang dalam satu kali
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66

pemberian. Kejadian shivering diberikan obat antinya petidin 25 mg intravena

dan penderita dihangatkan dengan selimut hangat sampai gejala shivering

menghilang.

Dari pembahasan efek samping anestesi spinal dengan adjuvan

ketamin, diketahui bahwa hipotesis penambahan 20 mg ketamin pada 12,5 mg

bupivakain 0.5 % hiperbarik intratekal memberikan efek samping yang lebih

sedikit dibandingkan dengan fentanil tidak terbukti secara statistik.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pengujian hasil penelitian dan pembahasannya dapat

dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Penambahan 20 mg ketamin terhadap 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik

menghasilkan mula kerja blokade sensorik yang lebih cepat dibandingkan

dengan penambahan 25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik

yang diberikan secara anestesi spinal.

2. Penambahan 20 mg ketamin terhadap 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik

menghasilkan mula kerja blokade motorik yang lebih cepat dibandingkan

dengan penambahan 25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik

yang diberikan secara anestesi spinal.

3. Penambahan 20 mg ketamin terhadap 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik

menghasilkan lama kerja blokade sensorik lebih lama dibandingkan dengan

penambahan 25 µg fentanil pada bupivakain 0,5 % 12,5 mg hiperbarik yang

diberikan secara anestesi spinal.

4. Penambahan 20 mg ketamin terhadap 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik

menghasilkan lama kerja blokade motorik lebih lama dibandingkan dengan

penambahan 25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik yang

diberikan secara anestesi spinal.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
68

5. Penambahan 20 mg ketamin terhadap 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik

menghasilkan gejolak hemodinamik yang lebih setabil dibandingkan dengan

penambahan 25 µg fentanil pada 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik yang

diberikan secara anestesi spinal.

6. Penambahan 20 mg ketamin terhadap 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik

menghasilkan level sedasi yang setara dengan penambahan 25 µg fentanil pada

12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik yang diberikan secara anestesi spinal.

7. Penambahan 20 mg ketamin terhadap 12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik

memiliki efek samping yang setara dengan penambahan 25 µg fentanil pada

12,5 mg bupivakain 0,5 % hiperbarik yang diberikan secara anestesi spinal.

B. Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan :

1. Penambahan ketamin sebagai adjuvan pada anestesi spinal pada bupivakain

0,5 % hiperbarik dapat dipakai sebagai pilihan, selain menggunakan fentanil.

2. Penambahan ketamin sebagai adjuvan pada anestesi spinal pada bupivakain

dapat digunakan untuk operasi yang memerlukan mula kerja anestesi yang cepat

(≤ 5 menit).

3. Penambahan ketamin sebagai adjuvan pada anestesi spinal pada bupivakain

dapat digunakan untuk operasi yang memerlukan lama waktu operasi yang

panjang (≥ 200 menit).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
69

4. Penambahan ketamin sebagai adjuvan pada anestesi spinal pada bupivakain

dapat digunakan untuk operasi dengan kondisi status hemodinamik yang kurang

stabil.

5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan S(+) Ketamin

guna mendapatkan perbandingan hasil analisa mula kerja dan lama kerja

blokade sensorik dan motorik, pengaruhnya terhadap gejolak hemodinamik,

level sedasi dan efek samping obat antara penambahan ketamin dan fentanil

pada bupivakain intratekal.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai