Anda di halaman 1dari 7

LITERASI

Volume 2 No. 2, Desember 2012 Halaman 232 - 238

KEBERANIAN MENYISIR SEJARAH DAN KEBUDAYAAN


INDONESIA DALAM BENTANG TIMUR-BARAT
Dien Vidia Rosa
Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Jember
dien_ros@yahoo.com

Judul buku : Saling Silang Indonesia-Eropa: Dari Diktator,


Musik, hingga Bahasa
Penulis : Joss Wibisono
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun terbit/Hlm : Cetakan Pertama, 2012; i-xiv + 228 halaman

A. Pendahuluan pembongkaran sejarah dan kebudayaan


Mengamati sekaligus menelusuri kebu­ Indonesia masa silam, terutama saat pemba­
dayaan dan kehidupan Indonesia dalam caan sejarah mampu menanggalkan dan
sejarah yang telah tertulis adalah suatu melampaui paradoksnya untuk melangkah
bentuk penikmatan wawasan yang meng­ pada bentuk pemahaman baru.
gugah selera berkebangsaan. Paling tidak, hal Keragaman bidang yang didiskusikan Joss
tersebut merupakan refleksi atas pemahaman Wibisono: musik, bahasa, sejarah, dan politik
seberapa jauh persoalan kehidupan berbangsa adalah serangkaian usaha mempertemukan
dan bernegara Indonesia diupayakan penge­ sekaligus mempertautkan keterkaitan budaya
nalannya dalam bentuk potongan-potongan lokal dengan pentas nasional melalui narasi
sejarah yang ternyata sangat terpendam, global. Suatu langkah yang cukup cerdas dan
tersembunyi, dan terselip di antara relung- berani untuk mengajak pembaca mengarungi
relung pembacaan sejarah yang dihantarkan ratusan kilometer pencarian terhadap saling
oleh kekuasaan dominan. Identitas ke- semai benih-benih kebudayaan antara Timur
Indonesia-an yang selama ini banyak meng­ dan Barat. Pada titik ini, argumentasi yang
alami ujian terwicarakan pada momen ditonjolkan dalam setiap eseinya bergerak
pada konteks penelusuran sejarah secara kritis-

232
Keberanian Menyisir Sejarah dan Kebudayaan Indonesia dalam Bentang Timur-Barat
Dien Vidia Rosa

imajinatif untuk membalikkan wacana yang (Pameran Semesta) yang diselenggarakan di


sebelumnya pernah atau belum pernah diha­ Paris tahun 1889 dalam rangka perayaan 100
dapi pembaca. Misalnya, dalam membicara­ tahun Revolusi Perancis, gamelan memikat
kan bahasa, Joss Wibisono mengemukakan seorang komponis Perancis, Claude Debussy.
sejarah ejaan bahasa yang dipergunakan Sebagai komponis yang sedang beranjak dari
sebelum masa kemerdekaan, sesudah, hingga Romantisme Eropa dan melakukan pencarian,
ejaan orde baru yang banyak dipergunakan Debussy akhirnya menetapkan pilihan pada
sampai saat ini dan mempertanyakan penge­ pentatonis gamelan dan merintis musik
tahuan kita terhadap praktik politik yang impresionisnya.
sedang berjalan dalam penggunaan ejaan Dalam melihat pengaruh gamelan pada
bahasa tersebut. Terlebih lagi, Joss Wibisono perkembangan musik melalui komponis-
mempertanyakan pemikiran dan sikap kita komponis Barat dan Eropa, secara spesifik,
dalam menghadapinya. Joss Wibisono sedang mendiskursuskan posisi
gamelan dan komponis-komponis indisch
B. Masuknya Unsur Gamelan dan Gending
yang sangat berperan dalam penggubahan
Jawa dalam Perkembangan Musik
musik untuk melihat keterkaitan budaya lokal
(klasik) Eropa
Indonesia dengan musik Barat. Joss Wibisono
Kebanyakan orang beranggapan bahwa melihat masuknya nada gamelan Sunda, Jawa,
musik Barat terutama Eropa klasik meru­ dan Bali dalam gubahan musik komponis
pakan seni tinggi kebanggaan aristokrat yang Eropa dan indisch sebagai bagian terpenting
kelasnya sangat dibedakan dengan seni rakyat perjalanan musik lokal yang mewarnai selera
biasa. Dalam literatur juga dijelaskan bahwa Barat terhadap musik. Dalam membentuk alur
musik rakyat seringkali dilihat sebagai seni perjalanan gamelan dan gending Sunda, Jawa,
popular dan seni massa yang penciptaannya dan Bali pada opera-opera gubahan yang
berakar dari jiwa dan keseharian rakyat dipentaskan di Eropa, Joss Wibisono dengan
jelata. Pembedaan tersebut menciptakan cermat menunjukkan pengaruh budaya lokal
kesenjangan yang besar dalam justifikasi yang filosofis dan sarat makna kehidupan
musik bernilai dan berseni tinggi dengan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan
yang rendahan. Khususnya, jika dihubungkan turut mewarnai karya komponis-komponis
dengan kolonialisme Barat atas Timur. Serta tersebut.
merta, penjajah (Barat) akan menganggap Selain Claude Debussy yang tersihir oleh
bahwa apapun yang dihasilkan oleh daerah eksotika gamelan Sunda Sari Oneng dan sukses
koloni (jajahannya) adalah rendahan dan tidak menggubah Estampes pada tahun 1903, Francis
bermutu. Poulenc yang berbeda generasi terpesona
Persoalan tersebut begitu menarik bagi pada gamelan Bali dan memperkenalkannya
Joss Wibisono. Ada “jasa” Belanda atas pada Benjamin Britten melalui Colin McPhee.
kolonialismenya di Indonesia yang mampu Masih banyak komponis lain yang kemudian
mengubah tatanan sejarah musik Eropa. Sejak tertarik mendalami dan menggunakan nada
diperkenalkan dalam l’Exposition Universelle gamelan dalam gubahan musiknya. Termasuk
1 Indisch atau dalam ejaan yang lain Indis adalah orang Indo, keturunan Indonesia (dulu bernama Hindia
Belanda)-Belanda atau peranakan campuran Indonesia-Belanda yang kemudian membentuk segmen dan
kebudayaan sendiri dalam masyarakat Indonesia atau Hindia Belanda pada saat itu. Indisch mengadopsi
kebudayaan Belanda dan Hindia Belanda dalam keseharian, semisal cara berpakaian, berbicara dan makan.
Bentuk kebudayaan ini menjadi penting untuk melihat interseksi kebudayaan lokal dan kebudayaan
Belanda. Bacaan lebih lanjut; Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi.
Depok, Komunitas Bambu., dan., Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel - Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-
1942. Jakarta. Gramedia Putaka Utama.

233
Vol. 2, No. 2, Desember 2012

yang terpenting menurut Joss Wibisono Dengan sejarah tersebut, Joss Wibisono
adalah komponis Indisch sebagai mata rantai membangun wacana relasi kekuasaan (politik)
yang menghubungkan Indonesia dengan dan seni. Bagi beberapa teoritisi sosial, ke­
Barat dan sebagai peletak dasar musik klasik kuasaan merupakan kata kunci yang mampu
di Nusantara, yaitu pendahulu komponis memistifikasi atau mendemistifikasi suatu
Indonesia separti Cornel Simandjuntak, Amir bentuk karya seni. Sedangkan, bagi sebagian
Pasaribu, dan Tri Sutji Kamal. Sayangnya, yang lain, kekuasaan tersebar menyusup
komponis Indisch ini terlupakan karena dalam karya seni itu sendiri, meruangkan
Claude Debussy dianggap sebagai pembaharu dan mengumbar pesonanya. Pada bagian ini,
yang lebih diutamakan dan dunia musik Joss Wibisono mengantarkan pembacaan seni
Belanda yang memandang rendah komponis pada zaman Hitler yang diporak-porandakan
indisch. Di antara komponis indisch ini dan diciptakan melalui kekuatan politik
terdapat nama-nama Constant van de Wall, sebagai bentuk fasisme yang menyusupi alam
Paul Seelig, Linda Bandara, dan Bernhard van pengetahuan masyarakatnya. Sebagai contoh
den Sigtenhorst Meyer. Kelompok indisch pada nasib yang menimpa komponis serba
ini terbagi menjadi dua, yaitu mereka yang bisa Ernst Krenek yang terkenal dengan musik
mementingkan penciptaan, diwakili Constant avant-garde ekspresionis yang tidak perduli
van de Wall dan mereka yang menganggap dengan tradisi gubahan musik yang harus
sumber sebagai yang terpenting, diprakasai taat pada satu tangga nada tertentu. Krenek
oleh Paul Seelig. termasuk pelopor music 12 not. Selanjutnya,
Constant van de Wall yang lahir dan besar di ia membangun argumen yang menarik ketika
Jawa sangat mengenal gamelan sehingga tidak menjelaskan dari semua bentang karya seni
hanya mengetahui tetapi juga mengenal dua indisch yang tidak mendapatkan pengakuan
tangga nada gamelan, sléndro dan pélog yang sampai semua hasil karya seniman kiri yang
terlihat dalam karyanya Rhapsodie Javanais dilenyapkan orde baru bahwa pemenang
II. Terlihat juga pada corak gubahannya, menulis dan membuat sejarahnya sendiri.
Attima. Constant van de Wall membawa seni Pemenang ini adalah rezim Orde Baru yang
panggung Jawa, yaitu wayang orang. Bagi kemudian dibandingkan dengan era Dritte
seni opera Barat yang tidak memungkinkan Reich. Terlepas bahwa Joss Wibisono ingin
mempertunjukkan beberapa seni sekaligus, menggerakkan pembacaan terhadap Orde Baru
wayang orang dapat membawakan seni suara, ke arah perbandingan dengan fasisnya Jerman
seni tari, dan seni peran. Namun, Attima me­ yang begitu kentara sepanjang topik-topik
nuai kritik tajam dari politikus ekstrem kanan bahasan politik dan sejarahnya, Joss Wibisono
Belanda, Geert Wilders yang anti-Islam dan sedang mencoba membongkar wacana praktik
menolak mengakui karya seni tersebut karena kekuasaan yang merendahkan pribumi yang
mengandung kata Allah. Bahkan dua gubahan tradisional dan berbudaya lokal.
Constant van de Wall yang lain juga menyebut
kata Allah.

2 Beberapa rujukan yang dapat dibaca terkait topik ini, di antaranya adalah Benjamin, Walter. Ed. Hannah Arendt.
Trans. Harry Zohn. 1969. Illumination Essays and Reflections. Khususnya bab “The Work of Art in the Age of
Mechanical Production.” New York. Schocken Books., dan bandingkan dengan, Adorno, Theodore W. 2001. The
Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture. New York. Routledge Classic.
3 Maksud dari poin ini adalah seni yang terbebaskan, yang membawa bentuk dan auranya sendiri, yang memiliki
kekuatan untuk melepaskan apa yang dimilikinya tanpa pernah kehilangan kekuatan itu sendiri.
4 Dikenal juga dengan istilah twelve tones, yaitu musik pembaharu yang dibawakan oleh Schoenberg. Bacaan lebih
lanjut Adorno, Thodore W. Ibid.

234
Keberanian Menyisir Sejarah dan Kebudayaan Indonesia dalam Bentang Timur-Barat
Dien Vidia Rosa

C. Bahasa Indonesia dalam Problematikanya Mengapa ini sangat penting? Pembakuan


Beberapa episode pembacaan Joss berarti pelenyapan kemajemukan bahasa
Wibisono dalam persoalan bahasa menjadi dan merupakan penguasaan bahasa supaya
refleksi mendalam bagi penggunaan bahasa rakyat penggunanya dapat dikuasai. Dengan
Indonesia sebagai bahasa nasional dan lingua demikian, melalui lembaga otoritas bahasa
franka. Sangat mendesak untuk disimak (sekarang Badan Bahasa) yang dianggap
bahwa bahasa Indonesia menuai berbagai sebagai alat penindasan Orde Baru, kekuasaan
permasalahan dari kasus ejaan hingga nasio­ sewenang-wenang bertekad mengendalikan
nalisme kebangsaan yang tercermin sebagai bahasa karena orang berpikir dalam bahasa
identitas negara. Pertanyaan yang cukup sehingga akan mudah terkuasai begitu
merisaukan untuk dijawab adalah berkaitan bahasanya dikuasai. Merujuk pemikiran
dengan pembakuan ejaan yang berimplikasi Ben Anderson tentang cita-cita untuk
pada pergeseran makna yang akhirnya membebaskan bahasa dari cengkeraman
merujuk pada politik pembodohan massa. kekuasaan, ejaan warisan Orde Baru, Joss
Persoalan tersebut dapat dikatakan cukup Wibisono menawarkan solusi permasalahan
menantang uraiannya dan bisa menjadi berat ini dengan menawarkan otoritas yang
konsekuensinya karena berhubungan dengan sejalan dengan demokrasi, semacam otoritas
otoritas bahasa dan rejim penguasa. tandingan yang mengakomodasi kemajemukan
Joss Wibisono memulai uraiannya dengan berbahasa, kebiasaan, dan bahasa keseharian.
menulis kutipan dua larik syair lagu Djoewita Sedangkan otoritas yang telah ada dibatasi
Malam dan Aryati karya Ismail Marzuki kewenangannya dan hanya bekerja pada
yang kemungkinan diciptakan sekitar tahun bidang-bidang tertentu.
1930-an. Kemudian disusul tiga buah pantun Pada pembahasan mengenai penggunaan
yang terhimpun dalam buku musik Maleische bahasa dan nasionalisme, Joss Wibisono
Liederen (Lagu-lagu Melajoe) karya Constant mengkritik pemakaian bahasa Inggris yang
van de Wall. Pada masing-masing syair lagu dinilai sudah berlebihan dan menjadi tolak
dan ketiga pantun tersebut tedapat kata ukur rendahnya kadar nasionalisme. Dalam
“toean” yang sebelumnya berarti “Anda” eseinya, nasionalisme dilihat sebagai persoalan
bukan dalam pengertian sekarang sebagai kewilayahan, bukan persoalan berbahasa.
lawan kata “nyonya”. Perubahan arti atau Konsekuensi yang muncul adalah ketidak­
makna kata tersebut, menurut Joss Wibisono pedulian terhadap bahasa sendiri karena
dapat dilacak dari kata pengantar Constant dianggap lebih rendah dibandingkan dengan
van de Wall yang menyebut nama Charles bahasa Inggris. Sementara itu negara-negara
Adriaan van Ophuysen, pencipta Bahasa Eropa seperti Perancis, Jerman, dan Belanda
Melayu baku yang sekarang menjadi Bahasa dengan bangga menggunakan bahasa mereka
Indonesia. Tujuan van Ophuysen adalah sendiri, seperti yang sempat diberitakan
melebarkan kekuasaan Belanda ke seantero beberapa waktu lalu, di Perancis bahwa
Nusantara. Oleh karena itu, disusunlah larangan penggunaan bahasa Inggris telah
bahasa yang dapat menjadi rujukan tunggal diterapkan dan pengunaan Bahasa Inggris
dan dibakukan dengan memanipulasi cerita pada saat-saat tertentu telah diatur sedemikian
bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa rupa.
Melayu tinggi (yang dimaksud adalah bahasa Persoalan ini juga dilihat Joss Wibisono
Melayu Riau). sebagai efek politik bahasa dan mentalitas VOC

5 Untuk lebih jelas dapat dibaca pada Fairclough, Norman 1989. Language and Power: Language in Social Life. New
York. Longman Inc. Bandingkan dengan Pierre Bourdieu. 1991. Language and Symbolic Power, ed. and intro. John B.
Thompson, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson. Cambridge. Harvard University Press.

235
Vol. 2, No. 2, Desember 2012

sebagai awal kesejarahan kolonialitas. Belanda semakin kehilangan kesejarahannya. Mereka


merasa tidak perlu memaksakan bahasanya malas bertemu buku-buku ejaan lama yang
karena telah mendapati Nusantara memiliki membuat sakit kepala dan aneh. Pada titik
Bahasa Melayu sebagai lingua franka dan pada ini, otak kaum muda, menurut Ben Anderson
beberapa daerah bahasa Belanda kalah dari jadi gampang dicuci oleh pemerintah dan
bahasa Melayu atau Portugis. Selain itu Belanda intelektual pendukungnya.
memainkan peran menjadi penjajah yang baik. Pendapat Anderson tersebut ditegaskan
Belanda tidak memaksakan bahasanya agar kembali dalam kolom Tempo tahun 2001 yang
rakyat tidak terlalu merasa terjajah. Bagi VOC menyatakan bahwa di belakang apa yang
lebih baik mereka yang belajar bahasa Melayu disebut dengan EYD –yang dipaksakan oleh
karena jauh lebih murah daripada mereka pemerintah Orde Baru beserta pujangga
membuka sekolah atau mengajarkan bahasa setianya, mempunyai niat politik yang jahat.
Belanda yang pernah dicoba dan gagal. Akibat politik yang jahat tersebut, generasi
Ketika VOC bangkrut dan kekuasaan muda Indonesia mengidap historical lobotomy
diambil alih pemerintah Belanda, pengajaran yang diterjemahkan ‘kebuntetan sejarah’.
bahasa Belanda marak dilakukan. Ada bebe­ Artinya, generasi Indonesia buta sejarah akibat
rapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu agar tidak suka atau kesulitan membaca buku atau
masyarakat tidak lagi menggunakan bahasa tulisan yang terbit dalam ejaan lama.
Portugis dan pemurnian bahasa Belanda Pembongkaran praktik politik bahasa oleh
yang telah terkontaminasi bahasa Indo yang linguis Norwegia Lars Vikør, mengemukakan
disebut bahasa Petjook. Di samping itu, Joss bahwa partimbangan pembuatan EYD kerja­
Wibisono menggambarkan bahwa politik sama Indonesia-Malaysia hanya didasarkan
Belanda dan VOC setali tiga uang dalam kebutuhan ekonomi-praktis daripada linguistik
arti hanya mengambil keuntungannya dan dan dibuat lebih terbuka terhadap bahasa
mencari biaya terendah karena tidak mau rugi. asing. Menurut Joss Wibisono, hal tersebut
Dengan demikian, beda Belanda dan Inggris sejalan dengan politik ekonomi Orde Baru
jelas sekali sebagai negara penjajah. Belanda yang membuka pintu lebar-lebar bagi modal
menggunakan kolonialisme pengerukan asing. Dengan kata lain, yang mengambil
(extract colonialism) sedangkan Inggris manfaat dan diuntungkan oleh EYD adalah
mengembangkan kolonialisme industri. Orde Baru. Selain mengganti ejaan, Orde Baru
Uraian Joss Wibisono sebagai penutup juga menjalankan politik bahasanya dengan
kajian bahasanya adalah mengenai EYD versus memunculkan Bahasa Indonesia yang baik
Edjaän Djadoel. Esei tersebut disajikan dalam dan benar.
Ejaan Suwandi dan membangun argumen Apa yang kemudian meresahkan bagi Joss
atas pertanyaan bagaimana khalayak ramai Wibisono adalah akibat kebuntetan sejarah,
Indonesia terseok-seok dalam berupaya mema­ selain tidak mampu membaca tulisan dalam
hami sejarah. Masalah yang dihadapi adalah ejaan non-EYD, orang sudah tidak mengetahui
bahasa, tulisan, dan ejaan yang merupakan zaman lagi. Setiap ejaan dicampur aduk,
sumber sejarah menggunakan bahasa Melayu apakah semua dianggap tempo dulu atau
dan Ejaan van Ophuysen serta Suwandi. separti yang sekarang terjadi, semua dianggap
Argumen ini kembali merujuk pada pemikiran EYD. Konsekuensinya, orang tidak sadar waktu
Ben Anderson tentang EYD yang harus dan tidak bisa lagi membeda-bedakan ejaan
dilupakan karena membuat generasi muda bahkan ketika memublikasikan kembali karya-
6 Merupakan bahasa yang digunakan oleh indis tetapi kemudian penggunaannya terus menyebar, terutama di
daerah Semarang yang masih menggunakan bahasa tersebut. Bahasa ini sempat menjadi bahan kajian linguistik
terutama yang berkaitan dengan dengan perkembangan kata dan ejaan. Untuk bacaan lebih lanjut silahkan buka
Soekiman, Djoko. Ibid.

236
Keberanian Menyisir Sejarah dan Kebudayaan Indonesia dalam Bentang Timur-Barat
Dien Vidia Rosa

karya lama. Hal ini yang disebut Ben Anderson pengakuan secara moral dari Belanda.
sebagai melakukan anakronisme, artinya Polemik-polemik tersebut melukiskan bahwa
tidak lagi menempatkan karya-karya dalam segala sesuatu dapat berubah dan akan ada
urut-urutan sejarah (ejaan) yang knonologis perubahan. Jadi setelah Indonesia merdeka,
sebagaimana layaknya dan konsekuensi yang apakah akan berhenti seperti slogan ‘NKRI
muncul terletak dari kesejarahan yang selalu harga mati’? Joss Wibisono bertanya lebih
ditampilkan kekinian tanpa menghadirkan lanjut, mungkinkah untuk menghentikan
konteks sebagai penghadir atau pembentuk perubahan?
autentisitas teks.
E. Penutup
D. Meluruskan Sejarah 350 Tahun Belanda Buku Joss Wibisono mengutarakan ga­
di Indonesia
gasan dengan ringan tanpa mereduksi
Salah satu esei yang dapat memberikan kompleksitas issue yang ditampilakan dan kaya
pemahaman baru tentang sejarah kolonialitas dalam pengartian menghantarkan pembaca
di Indonesia adalah esei berjudul “Bisanya pada imajinasi kritis akan cecabangan dari
Cuma Menyebut 350 Tahun”, sebuah esei apa yang “biasa” dilihat sebagai kebangsaan
yang bermaksud menyajikan renungan yang ber ke-Indonesia-an. Argumentasinya
historis atas pengetahuan yang telah lama dibangun atas keterkaitan dan keterikatan
diintegrasikan secara paksa oleh Orde antara Indonesia sebagai Timur dan
Baru. Melalui dekonstruksi fakta angka dan Eropa (Belanda) sebagai representasi dari
tahun-tahun peristiwa kedatangan VOC dan entitas Barat. Pokok persoalannya adalah
pemerintah kolonial Belanda, Joss Wibisono pengakuan atas kekayaan kebudayaan serta
membicarakan pelurusan sejarah pada konteks sejarah pemikiran Indonesia yang sudah
dan dimensi kultur lokalitas yang melakukan sepatutnya menjadi kebanggaan selama
perlawanan terhadap Belanda. Dekonstruksi dalam masa kolonial dan ketika telah menjadi
ini dimulai dengan argumentasi bahwa bangsa merdeka. Dengan merajut untaian
tidak ada satu pun wilayah Nusantara yang sejarah masa lalu yang tersembunyi, Joss
dijajah selama itu. Sebagai contoh, Bali dan Wibisono menawarkan segenap kebanggaan
Aceh hanya dikuasai selama 36 dan 38 tahun. nasionalisme yang diharapkan terus tumbuh
Selanjutnya, penyebutan 350 tahun adalah dan tetap mewaspadai ancaman kekuasaan
kesalahan menyebut “Indonesia” seakan-akan jahat yang akan merugikan bangsa.
Indonesia telah ada sejak dahulu. Padahal
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Daftar Pustaka
pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum itu
Indonesia disebut Hindia Belanda. Fairclough, Norman. 1989. Language and Power:
Permasalahan yang juga diketengahkan Language in Social Life. New York: Longman
oleh Joss Wibisono adalah perubahan yang Inc.
terjadi di Hindia Belanda atau Indonesia dan Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic
di Belanda. Mulai dari cultuurstelsel yang Power. Hardvard: Harvard University
mengundang kontroversi di kalangan Belanda Press.
sendiri sampai munculnya politik etis. Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis:
Kemudian persoalan pengakuan Belanda atas Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi.
kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember Depok: Komunitas Bambu.
1949, sementara proklamasi Indonesia telah Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel - Budaya Kuliner di
berlangsung tanggal 17 Agustus 1945, dan Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta:
baru pada tahun 2005 Indonesia mendapat Gramedia Putaka Utama.

237
Vol. 2, No. 2, Desember 2012

Benjamin, Walter. 1969. Illumination Essays and


Reflections. New York: Schocken Books.
Adorno, Theodore W. 2001. The Culture Industry:
Selected Essays on Mass Culture. New York:
Routledge Classic.

238

Anda mungkin juga menyukai