Anda di halaman 1dari 19

PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

Dosen Pengampu:

MARDIANA, SE, M.Kes

Disusun oleh :

RAINI LENTIANA PO.7131222022

JURUSAN GIZI DAN DIETETIKA


PRODI SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA
POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan
makalah dengan kasus yang diberikan oleh dosen selaku mata kuliah Pendidikan
Budaya Anti Korupsi. Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi.
Dalam proses penyusunan makalah ini, kami mendapatkan banyak
bantuan, petunjuk, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan keterbatasan, tentu hasil
makalah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Allah meridhai
hasil makalah ini. Aamiin ya rabbal ‘alamin.

Palembang, 11 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN....................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................3
BAB II......................................................................................................................4
TINJAUAN TEORI.................................................................................................4
A. Diet Pengertian Korupsi................................................................................4
B. Ciri-ciri Korupsi ...........................................................................................5
C. Pengertian Anti Korupsi................................................................................5
D. Pendidikan Anti Korupsi...............................................................................6
BAB III.....................................................................................................................8
PEMBAHASAN......................................................................................................8
A. Contoh Kasus Korupsi di Indonesia..............................................................8
B. Peran Mahasiswa Dalam Pemberantasan Korupsi......................................11
BAB IV..................................................................................................................13
PENUTUP..............................................................................................................13
A. Kesimpulan.................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi di Indonesia dirasakan telah merambah keseluruh lini
kehidupan masyarakat dan dilakukan secara sistematis, sehingga merusak
perekonomian dan menghambat pembangunan serta memunculkan stigma
negatif bagi bangsa Indonesia dan negara Indonesia di dalam pergaulan
masyarakat internasional.
Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan korupsi
memiliki kedudukan strategis-antisipatif. Upaya pencegahan budaya korupsi
di masyarakat terlebih dahulu dapat dilakukan dengan mencegah
berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa Indonesia melalui
pendidikan. Semangat antikorupsi yang patut menjadi kajian adalah
penanaman pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi melalui sekolah, karena
sekolah adalah proses pembudayaan. Sektor pendidikan formal di Indonesia
dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan pencegahan korupsi. Langkah
pencegahan tersebut secara tidak langsung bisa melalui dua pendekatan,
pertama: menjadikan peserta didik sebagai target, dan kedua: menggunakan
pemberdayaan peserta didik untuk menekan lingkungan agar tidak permissive
to corruption.
Pendidikan antikorupsi mutlak diperlukan untuk memperkuat
pemberantasan korupsi yang sedang berjalan, di antaranya melalui reformasi
sistem (constitutional reform) dan reformasi kelembagaan (institutional
reform) serta penegakan hukum (law enforcement). Menurut Azra (2006:
viii), pendidikan antikorupsi merupakan upaya reformasi kultur politik
melalui sistem pendidikan untuk melakukan perubahan kultural yang
berkelanjutan, termasuk untuk mendorong terciptanya good governance
culture di sekolah dan perguruan tinggi. Sekolah atau perguruan tinggi dapat
mengambil peran strategis dalam melaksanakan pendidikan antikorupsi
terutama dalam membudayakan perilaku antikorupsi di kalangan siswa dan
mahasiswa. Melalui pengembangan kultur sekolah, diharapkan siswa-siswa

1
memiliki modal sosial untuk membiasakan berperilaku antikorupsi.
Pendidikan antikorupsi seyogyanya diberikan kepada anak-anak paling tidak
sejak mereka duduk di bangku SD. Anakanak SD yang berusia antara 7
hingga 12 tahun dapat berpikir transformasi revesible atau dapat
dipertukarkan dan kekekalan (Disiree 2008: 2).
Pendidikan antikorupsi dibutuhkan, karena akan dapat membentuk
karakter mahasiswa yang unggul, sekaligus juga diharapkan pada saatnya
nanti ketika menjadi pemimpin dapat dipertanggungjawabkan
kepemimpinannya. Apalagi pada diri mahasiswa terdapat 3 (tiga) dimensi
yang harus diasah secara berkelanjutan, yaitu: (1) intelektual, (2) jiwa muda,
dan (3) idealisme (Saidi, 1989: 27). Ketiga dimensi atau karakter
tersebutsangat diperlukan agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi
penting dalam menciptakan Indonesia yang unggul, bersatu, berdaulat, adil,
dan makmur. Perlunya pendidikan antikorupsi diberikan di perguruan tinggi
baik sebagai mata kuliah tersendiri maupun terintegrasi dengan mata kuliah
yang lain, secara khusus ditujukan untuk memberi bekal pengetahuan
sekaligus mentransformasikan mahasiswa sebagai agen antikorupsi yang
memiliki kompetensi dan komitmen moral yang tinggi (Azra, 2006: viii).
Kompetensi dan komitmen ini selanjutnya ditransformasikan lagi ke dalam
bentuk nilai-nilai dan gerakan antikorupsi kepada masyarakat dan generasi di
bawahnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian korupsi?
2. Apa ciri-ciri anemia?
3. Apa pengertian Antikorupsi?
4. Apa pengertian pedidikan antikorupsi?
5. Apacontoh kasus korupsi di Indonesia?
6. Bagaimana peranan mahasiswa dalam memberantas korupsi?

2
C. Tujuan Penulisan
Agar mahasiswa memahami tentang pendidikan budaya anti korupsi
yang meliputi: pengertian, cirri dan peran mahasiswa dalam memberantas
korupsi. Serta mahasiswa dapat mengaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-
hari.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau corruptus. Corruptio
berasal dari kata corrumpere. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa
Eropa, seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yakni corruption dan
Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata corruptie
diserap ke dalam bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Dalam bahasa Muangthai,
korupsi dinamakan gin moung, artinya makan bangsa; dalam bahasa China,
tanwu, artinya keserakahan bernoda; dan dalam bahasa Jepang, oshuku, yang
berarti kerja kotor (KPK, 2007: 2).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berasal dari kata korup
artinya: buruk, rusak, busuk; suka memakai barang (uang) yang dipercayakan
kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi
(Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 596-596). Dalam kamus tersebut, korupsi
diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Pusat
Bahasa Depdiknas, 2002: 597). Dari istilah-istilah tesebut, korupsi dipahami
sebagai perbuatan busuk, rusak, kotor, menggunakan uang atau barang milik
lain (perusahaan atau negara) secara menyimpang yang menguntungkan diri
sendiri.
Perbuatan korupsi berkaitan erat dengan kecurangan atau penipuan
yang dilakukan. Berbuat curang atau menipu, berarti orang tersebut tidak
jujur. Kejujuran memang merupakan suatu sikap dan perilaku yang langka di
negeri ini. Dalam kenyataannya, tidak setiap orang jujur dalam kehidupan
sehari-harinya. Ada 4 (empat) katagori kejujuran. Pertama, sejumlah orang
jujur untuk setiap saat. Kedua, sejumlah orang tidak jujur untuk setiap saat.
Ketiga, sebagian besar orang jujur untuk setiap saat. Keempat, sejumlah
orang jujur hampir setiap saat. Dari empat tipe perilaku yang berkaitan
dengan kejujuran tersebut, perilaku keempat yang paling baik dan relevan
untuk menumbuhkan perilaku antikorupsi.

4
B. Ciri-ciri Korupsi
Alatas (1986: 12-14) mengemukakan ciri-ciri korupsi sebagai berikut.
(1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang; (2) Korupsi pada
umumnya melibatkan keserbarahasiaan; (3) Korupsi melibatkan elemen
kewajiban dan keuntungan timbal balik; (4) Mereka yang mempraktikkan
cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya
dengan berlindung di balik pembenaran hukum; (5) Setiap tindakan korupsi
mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum;
(6) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan; (7) Setiap
bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif; dan (8) Suatu
perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban
dalam tatanan masyarakat. Kata-kata kunci untuk memahami konsep korupsi
di atas adalah: serba rahasia, keuntungan timbal balik, selubung, penipuan,
pengkhianatan kepercayaan, dan melanggar norma.

C. Pengertian Anti Korupsi


Antikorupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan
peluang bagi berkembangnya korupsi (Maheka, t.th: 31). Pencegahan yang
dimaksud adalah bagaimana meningkatkan kesadaran individu untuk tidak
melakukan korupsi dan bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara.
Menurut Maheka (t.th: 31), peluang bagi berkembangnya korupsi dapat
dihilangkan dengan cara melakukan perbaikan sistem (hukum dan
kelembagaan) dan perbaikan manusianya. Dalam hal perbaikan sistem,
langkah-langkah antikorupsi mencakupi:
1. Memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku untuk mengantisipasi
perkembangan korupsi dan menutup celah hukum atau pasal-pasal karet yang
sering digunakan koruptor melepaskan diri dari jerat hukum;
2. Memperbaiki cara kerja pemerintahan (birokrasi) menjadi sederhana
(simpel) dan efisien;
3. Memisahkan secara tegas kepemilikan negara dan kepemilikan pribadi serta
memberikan aturan yang jelas tentang penggunaan fasilitas negara untuk
kepentingan umum dan penggunaannya untuk kepentingan pribadi;

5
4. Menegakkan etika profesi dan tata tertib lembaga dengan pemberian sanksi
secara tegas;
5. Penerapan prinsip-prinsip good governance;
6. Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dan memperkecil terjadinya
human error.
Berkaitan dengan perbaikan manusia, langkah-langkah antikorupsi meliputi:
1. Memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman, yaitu dengan
mengoptimalkan peran agama dalam memberantas korupsi. Artinya bahwa
pemuka agama berusaha mempererat ikatan emosional antara agama dengan
umatnya, menyatakan dengan tegas bahwa korupsi merupakan perbuatan
tercela, mengajak masyarakat untuk menjauhkan diri dari segala bentuk
perilaku korupsi, dan menumbuhkan keberanian masyarakat untuk melawan
korupsi;
2. Memperbaiki moral bangsa, yakni mengalihkan loyalitas keluarga, klan,
suku, dan etnik ke loyalitas bangsa;
3. Meningkatkan kesadaran hukum individu dan masyarakat melalaui
sosialisasi dan pendidikan antikorupsi;
4. Mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan kesejahteraan;
5. Memilih pemimpin (semua level) yang bersih, jujur, antikorupsi, peduli,
cepat tanggap (responsif) dan dapat menjadi teladan bagi yang dipimpin.

D. Pendidikan Anti Korupsi


Pendidikan antikorupsi dapat dipahami juga sebagai usaha sadar dan
sistematis yang diberikan kepada peserta didik berupa pengetahuan, nilai-
nilai, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan agar mereka mau dan
mampu mencegah dan menghilangkan peluang berkembangnya korupsi.
Sasaran akhir bukan hanya menghilangkan peluang, tetapi juga peserta
didik sanggup menolak segala pengaruh yang mengarah pada perilaku
koruptif. Setiap upaya pendidikan memiliki tujuan tertentu, demikian pula
pendidikan antikorupsi. Tujuan pendidikan antikorupsi adalah:
(1) pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai berbagai bentuk
korupsi dan aspek-aspeknya,

6
(2) perubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi, dan
(3) pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang dibutuhkan untuk
melawan korupsi. Berdasarkan tujuan tersebut, dapat dicermati bahwa
pendidikan antikorupsi melibatkan 3 domain penting yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Pertama, aspek kognitif menekankan pada
kemampuan mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari,
bisa berupa m
engkombinasikan cara-cara kreatif atau mensintesiskan ide-ide dan materi
baru. Kedua, domain afektif menekankan pada aspek emosi, sikap,
apresiasi, nilai atau pada level menerima atau menolak sesuatu. Ketiga,
yaitu domain psikomotorik menekankan pada tujuan melatih kecakapan
dan keterampilan. Untuk membekali peserta didik agar terbiasa
berperilaku antikorupsi, maka dalam penyelenggaraan pendidikan
antikorupsi ketiga domain di atas harus diselaraskan atau diintegrasikan
dalam target kurikulum baik yang eksplisit maupun implisit. Dengan
demikian, arah pendidikan antikorupsi menjadi jelas berdasarkan kriteria-
kriteria yang dapat diukur.

7
BAB III
PEMBAHASAN

1. Kasus Korupsi di Indonesia


Kasus Korupsi Bank Century

Jaksa Penuntut Umum KPK menilai Bank Century ditetapkan menjadi


bank gagal berdampak sistemik agar mendapatkan biaya penyelamatan senilai
total Rp6,76 triliun dari Lembaga Penjamin Simpanan. Jaksa Antonius Budi Satria
menyampaikan hal itu dalam sidang pembacaan dakwaan mantan deputi Gubernur
Bank Indonesia bidang 4 Pengelolaan Moneter dan Devisa dan Kantor Perwakilan
(KPW) Budi Mulya, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.

Antonius menjelaskan proses penetapan tersebut dimulai pada rapat 16


November 2008 di kantor BI yang dihadiri oleh Menteri Keuangan/Ketua Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati, Gubernur BI
Boediono, Deputi Gubernur Senior Miranda Swaray Goeltom, Deputi Gubernur
bidang Kebijakan Perbankan/Stabilitas Sistem Keuangan Muliaman Hadad. Selain
itu hadir pula Siti Chalimah Fadjriah selaku Deputi Gubernur bidang V
Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah, Direktur Direktorat Penelitian dan
Pengaturan Perbankan BI Halim Alamsyah perwakilan dari Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Fuad Rahmany dan Noor
Rachmat,

Kepala Divisi Penjaminan LPS Poltak L Tobing, Kepala LPS Firdaus


Djaelani dan Kepala Divisi Analisis Resolusi Bank LPS Suharno Eliandy.
Menurut jaksa, saat itu Fridaus dan Suharno menyampaikan bahwa biaya
menyelamatkan Bank Century lebih besar yaitu Rp15,363 triliun dibanding tidak
menyelamatkan yaitu Rp 195,354 miliar.

Terdakwa dalam perkara tersebut adalah mantan Deputi Gubernur Bank


Indonesia bidang 4 Pengelolaan Moneter dan Devisa dan Kantor Perwakilan
(KPW) Budi Mulya. Kemudian pada rapat selanjutnya pada 20 November 2008 di
ruang Rapat Dewan Gubernur BI menghasilkan arahan dari Dewan Gubernur BI

8
(DGBI) kepada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) bahwa
DGBI tidak menginginkan Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal dan
diserahkan pengelolaannya kepada LPS untuk ditutup, melainkan ingin agar Bank
Century tetap beroperasi dan tidak menjadi bank gagal.

Pada rapat DGI 20 November 2008, diketahui bahwa rasio kecukupan


modal Bank Century menjadi negatif 3,53 persen dan masih punya kewajiban
jatuh tempo senilai total Rp859 miliar atau lebih besar dari nilai Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang sudah dikucurkan BI senilai Rp689 miliar.

Namun karena timbul kekhawatiran KSSK tidak akan menyetujui usulan


Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, maka Budi Mulya dengan
menyalahgunakan kewenangan dalam jabatannya menyatakan tidak setuju dengan
lampiran data yang disampaikan Halim Alamsyah dan meminta agar data milik
Halim tidak dilampirkan.

Permintaan Budi Mulya itu didukung Miranda Goeltom karena hanya ada
satu kriteria yang memiliki keterkaitan dampak sistemik pada Bank Century.
Miranda pun meminta agar lampiran data Halim tidak dimasukkan karena nanti
malah akan ramai.

Siti Chalimah pun memperbaiki ringkasan eksekutif mengenai Bank


Century dan membuat beberapa perubahan yang esensial. Pertama, PT Bank
Century ditetapkan sebagai bank gagal dan diserahkan kepada LPS dengan
pertimbangan bank belum melampaui jangka waktu pengawasan khusus yaitu 6
bulan, namun kondisi bank menurun.

Kemudian terbit rekomendasi, yakni 1. Karena bank dinilai memiliki


risiko sistemik maka dimintakan persetujuan KSSK, 2. mengusulkan agar Robert
Tantular dicekal, 3. Mengirim surat kepda monetary authority of Singapore
(MAS) dan Financial Services Authority (FSA) sebagai pemberitahuan. Kedua,
kondisi giro Wajib Minimum (GWM) rupiah bank tertanggal 19 November 2008
diubah menjadi 20 November 2008 atau yang terkini. Untuk memenuhi kebutuhan
modal dan likuiditas Bank Century setelah menyelesaikan perhitungan adalah
Rp6,56 triliun.

9
Selanjutnya dalam lampiran tentang analisis bank gagal, Sekretaris KSSK
Raden Pardede juga mengubah kalimat "untuk mencapai CAR 8 persen
dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp1,77 triliun diubah menjadi tambahan
modal sebesar Rp632 miliar" dengan tujuan agar disetujui oleh Menteri
Keuangan.

Pada 20 November 2008 pada sekitar pukul 23.00 WIB, kembali


dilaksanakan rapat praKSSK yang dihadiri oleh sejumlah pemangku kepentingan
seperti Sri Mulyani, Raden Pardede, Dewan Gubernur BI termasuk Budi Mulya.

Dalam rapat itu, Ketua LPS Rudjito, Fuad Rahmany, Anggito Abimanyu,
Agus Martowardojo menyatakan bahwa dalam keadaan normal seharusnya Bank
Century tidak terkategori sebagai bank berdampak sistemik, namun dalam rapat
yang dilanjutkan hingga 21 November 2008 sekitar pukul 04.30 WIB yang
dihadiri oleh Sri Mulyani, Boediono, Raden Pardede serta konsultan hukum Arief
Surjowidjojo diputuskan Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal berdampak
sistemik.

Selanjutnya diputuskan untuk menghentikan seluruh pengurus Bank


Century, baik komisaris dan direksi dan mengangkat direksi baru yaitu Maryono
sebagai direktur utama dan Ahmad Fajar sebagai direktur dari Bank Mandiri
melalui Rapat Dewan Komisioner pada hari yang sama.

Penyetoran modal sementara (PMS) untuk Bank Century yang pertama


dikucurkan pada 24 November 2008 sebesar Rp1 triliun, pada 25 November
Rp588,314 miliar, 26 November sebesar Rp475 miliar, 27 November sebesar
Rp100 miliar, pada 28 November sebesar Rp250 miliar dan 1 Desember sebanyak
Rp362,826 miliar sehingga total adalah Rp2,776 triliun.

Pengucuran modal kembali dilanjutkan hingga 30 Desember yang


seluruhnya mencapai Rp4,997 triliun. Kemudian dilanjutkan pada 4 Februari 2009
sebesar Rp850 miliar dalam bentuk Surat Utang Negara, 24 Februari 2009 sebesar
Rp185 miliar dalam bentuk SUN dan terakhir Rp150 miliar melalui real time
gross settlement (RTGS) hingga terakhir pada 26 Juli 2009 dikucurkan Rp630,221
miliar.

10
Total penyertaan modal sementara kepada Bank Century dari LPS sejak 24
November 2008 hingga 24 Juli 2009 adalah Rp6,76 triliun. Perbuatan tersebut
memperkaya Budi Mulya sebesar Rp1 miliar, pemegang saham PT Bank Century
yaitu Hesham Talaat Mohamed Besheer Alwarraqdan Rafat Ali Rizvi sebesar
Rp3,115 triliun, Robert Tantular sebesar Rp2,753 triliun, dan Bank Century
sebesar Rp1,581 triliun.

Serta merugikan keuangan negara dalam pemberian Fasilitas Pendanaan


Jangka Pendek sebesar Rp689,39 miliar dan Rp6,76 triliun karena menetapkan
Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Jaksa KPK mendakwa
Budi Mulya dengan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31
tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat
(1) KUHP; dan dakwaan subsider dari pasal 3 o Pasal 18 UU No 31 tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP. Pasal
tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan
dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal
tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1
miliar.

Sumber :

https://www.republika.co.id/berita/n20q0m/ini-kronologis-kasus-bank-century

2. Peran Mahasiswa Dalam Memberantas Korupsi

Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat, mahasiswa merupakan


faktor pendorong dan pemberi semangat sekaligus memberikan contoh dalam
menerapkan perilaku terpuji. Peran mahasiswa dalam masyarakat secara garis
besar dapat digolongkan menjadi peran sebagai kontrol sosial dan peran sebagai
pembaharu yang diharapkan mampu melakukan pembaharuan terhadap sistem
yang ada. Sebagai kontrol sosial, mahasiswa dapat melakukan peran preventif
terhadap korupsi dengan membantu masyarakat dalam mewujudkan ketentuan dan
peraturan yang adil dan berpihak pada rakyat banyak, sekaligus mengkritisi
peraturan yang tidak adil dan tidak berpihak pada masyarakat. Kontrol terhadap

11
kebijakan pemerintah tersebut perlu dilakukan karena banyak sekali peraturan
yang dikeluarkan oleh pemerintah yang hanya berpihak pada golongan tertentu
saja dan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat banyak. Kontrol tersebut
bisa berupa tekanan berupa demonstrasi ataupun dialog dengan pemerintah
maupun pihak legislatif. Mahasiswa juga dapat melakukan peran edukatif dengan
memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat baik pada saat
melakukan kuliah kerja lapangan atau kesempatan yang lain mengenai masalah
korupsi dan mendorong masyarakat berani melaporkan adanya korupsi yang
ditemuinya pada pihak yang berwenang. Selain itu, mahasiswa juga dapat
melakukan strategi investigatif dengan melakukan pendampingan kepada
masyarakat dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku korupsi serta
melakukan tekanan kepada aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap
pelaku tindak pidana korupsi. Tekanan tersebut bisa berupa demonstrasi ataupun
pembentukan opini publik.

12
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang
negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang
lain (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 597). Dari istilah-istilah tesebut,
korupsi dipahami sebagai perbuatan busuk, rusak, kotor, menggunakan
uang atau barang milik lain (perusahaan atau negara) secara menyimpang
yang menguntungkan diri sendiri.
2. Ciri-ciri korupsi sebagai berikut. (1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih
dari satu orang; (2) Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan;
(3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;
(4) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran
hukum; (5) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada
badan publik atau masyarakat umum; (6) Setiap bentuk korupsi adalah
suatu pengkhianatan kepercayaan; (7) Setiap bentuk korupsi melibatkan
fungsi ganda yang kontradiktif; dan (8) Suatu perbuatan korupsi
melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan
masyarakat. Kata-kata kunci untuk memahami konsep korupsi di atas
adalah: serba rahasia, keuntungan timbal balik, selubung, penipuan,
pengkhianatan kepercayaan, dan melanggar norma.

3. Antikorupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan


peluang bagi berkembangnya korupsi
4. Pendidikan antikorupsi dapat dipahami juga sebagai usaha sadar dan
sistematis yang diberikan kepada peserta didik berupa pengetahuan, nilai-
nilai, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan agar mereka mau dan
mampu mencegah dan menghilangkan peluang berkembangnya korupsi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi. Terjemahan Al Ghozie Usman. Jakarta: LP2ES.

Azra, Azyumardi. 2006. “Kata Pengantar Pendidikan Anti Korupsi Mengapa Penting”. Dalam
Karlina Helmanita dan Sukron Kamil (ed). Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi.
Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

https://lp3.unnes.ac.id/v2/wp-content/uploads/2019/03/Pendidikan-Anti-Korupsi-Suplemen-
MKU-Pend.-Konservasi.pdf

https://www.republika.co.id/berita/n20q0m/ini-kronologis-kasus-bank-century

14
15

Anda mungkin juga menyukai