Anda di halaman 1dari 2

SANG PEMIMPI

Original story by : Iman Surya Kesuma

di desa Krisan hiduplah sebuah keluarga yang harmonis. Keluarga tersebut


merupakan orang kota yang pindah ke desa, mereka memilih untuk pindah ke desa agar
hidup mereka jauh dari polusi. Sudah 2 tahun mereka tinggal di desa Krisan, Tampaknya
sang adik yang bernama Hazi betah dengan rumah barunya. Sang ayah selalu pulang malam
karena berkerja di kota, ibu mengurusi rumah, dan kakak tak henti - hentinya bermain gitar.
Karena selalu merasa diacuhkan ia setiap sore bermain dengan teman satu – satunya yang
bernama Wina. Wina seorang perempuan ia merupakan tetangga Hazi yang paling dekat.
Suatu hari mereka berdua ingin bermain, tetapi saat mereka ingin bermain sang nenek
berkata,”jangan pernah kebukit merah!”. Ia selalu mengatakan hal tersebut ketika mereka
hendak bermain. Nenek selalu membawa buah-buahan ditangannya, tetapi tidak ada yang
tau nenek membawanya kemana. Saat mereka bermain sepeda sambil melihat
pemandangan sawah-sawah yang begitu indah ia kepikiran oleh peringatan sang nenek,
peringatan tersebut malah membuat Hazi semakin penasaran dengan bukit Merah Hazi
berkata, “ada apa dengan bukit Merah, mengapa nenek selalu mengatakan hal tersebut?”
Wina berkata, “jangan pikirkan kata nenek ia kan masih percaya hal mistis.”
Wina selalu menasihati Hazi setiap saatnya. Wina merupakan satu-satunya teman
yang selalu perhatian kepadanya. Semenjak pindah di desa Hazi ia tidak memiliki teman, ia
dijauhi tanpa alasan yang jelas. Hazi sering bertanya kenapa Wina mau jadi temannya, tetapi
ia tidak pernah menjawab pertanyaan tersebut dan hanya memberikan ekspresi kesal. Hazi
bersyukur memiliki teman yang perhatian anjuseperti Wina, Walapun kadang Wina bersikap
cerewet tetapi ia merupakan orang yang berpikiran dewasa diusianya yang begitu muda.
Wina memiliki ciri rambut hitam panjang, berkulit putih, bermata coklat.
Merekapun melanjuti bermain sepeda. Tak terasa sudah menuju waktu maghrib,
sehingga mereka ingin kembali pulang. Saat hendak kembali pulang, mereka bertemu
dengan 2 orang sesusia mereka sedang berlari dengan keadaan ketakutan. 2 orang tersebut
berlari dari arah bukit Merah. Hazi dan Wina terdiam pada saat itu melihat apa yang terjadi
di depan mata mereka saat itu. Wina mulai merasa takut namun ia masih mencoba untuk
bersikap tenang, sedangkan Hazi ia tidak memiliki rasa takut sama sekali ia malah semakin
tertarik dengan bukit Merah
Hazi tak bisa memendam rasa penasaranya ia pun mengajak Wina. Hazi berkata
“aku akan pergi ke bukit Merah, apa kau ingin ikut denganku Wina?” Wina berkata, “aku
menolak, bagaimana jika kita kesana segala yang kita alami akan lenyap dan kamu tidak
akan kembali!” walapun kata - kata itu mengena dihati Hazi ia tetap bertekad ke bukit
Merah, ia sampai pada maghrib hari. Sesampainya disana ia melihat pemandangan desa
Krisan dari atas bukit Merah, pemandangan di desa pada maghrib hari sangatlah indah
seperti didalam mimpi. Tepat di puncak bukit Merah, terdapat sebuah genangan air seperti
sungai namun kecil dan pohon yang sangat tua. Disana terdapat sesajen dan sebuah tulisan
yang bertuliskan, “untuk sang pemimpi”. Hazi bingung dengan yang dimaksud dengan “sang
pemimpi”. Hazi pernah mendengar julukan itu sebagai pahlawan desa Krisan yang suka
menumbalkan orang diluar desa sebagai tanda kekuasaanya. Hazi mulai mengamati sesajen
tersebut dan menemukan kertas yang tertuliskan nama keluarganya Hazi, namun hanya
tersisa namanya yang kertasnya tidak sobek. Hazi merasa ada sesuatu yang menariknya, ia
pun mencoba menghampiri dengan mengikuti perasaannya. tiba – tiba ia bertemu seorang
pria. Ia bertampilan dengan jas rapih, sepatu mengkilat, dan jam tangan bermerk. Posisinya
tepat di belakang pohon tua sedang duduk dan terlihat menutup matanya layaknya orang
tidur. Orang tersebut bertanya, “apa kau sudah terbangun nak?” Hazi langsung bingung dan
merasa ia sedang bertemu orang gila. Hazi berkata, “siapa namamu dan sedang apa orang
sepertimu disini?”. Pria itu hanya menjawab, “Nama?” ia menjawab itu sambil tersenyum
mengerikan karena merasa tidak beres Hazi pun mencoba lari. Pria itu ternyata sangat
cepat, sehingga ia tertangkap. Hazi berkata, “apa maumu denganku” sambil berkata dengan
panik, ia tidak menjawab dan langsung membenturkan kepala Hazi ke pohon.
Hazi terbangun dan berada di dalam mobil. kepalanya berdarah dan melihat
keluarganya sudah tak bernyawa. Bingung dengan semua yang terjadi, ia mencoba keluar
dari mobil dengan keadaan kedua kakinya yang patah dan satu tangan yang tidak berasa. Ia
terjatuh di jalan raya sambil teriak meminta tolong. Hazi melihat keluar dan melihat
mobilnya menabrak sebuah pohon, Ia mulai menyadari sesuatu hal bahwa ia berada di
daerah pemakaman Krisan. Hazi kaget dengan semua yang terjadi dan mulai kehilangan
kesadarannya. Kemudian kembalilah mobil tua yang melewatinya dan keluarlah Pria
bertampilan rapih yang mengangkatnya dan membawanya kedalam mobil tuanya.
Sekali-lagi Hazi terbangun, namun ia berada di rumah sakit. Keluarga besarnya
menjenguknya dan bertanya apa yang terjadi pada malam itu, namun ia hanya menjawab
dengan tersenyum. Hazi juga menganggap apa yang terjadi sebagai mimpi karena usianya
yang sekarang ia berusia 17 tahun sedangkan di mimpi tersebut ia berusia sekitar anak
sekolah dasar. Tiba-tiba ada seorang wartawan mengetok pintu kamarnya dan ingin
mewancarainya, ia terlihat seumuran dengan Hazi dan dia seperti pelajar sma yang sedang
melakukan kegiatan club dengan seragamnya. Wartawan tersebut mengucapkan salamnya
dengan halus lalu bertanya, “apa, anda sudah terbangun?” Kalimat yang terus menghantui
akhirnya muncul kembali. Wartawan itu mulai mengenalkan dirinya dan menyebut namanya
sebagai Wina Maha Jagat. Nama yang tidak asing di telingannya, Hazipun terdiam tanpa
suara. Wina berkata, “mengapa anda tidak menjawab pertanyaan saya, kupikir hubungan
kita sudah sangat dekat?” Hazi tambah kebingungan. Wina menghebuskan nafasnya dan
berkata, “biar kuperkenalkan kembali, aku adalah pemegang gelar sang pemimpi saat ini.
dan apa yang kau lihat bukanlah sebuah mimpi melainkan sebuah dunia yang dikendalikan
oleh gelar sang pemimpi”. Hazi terlihat sangat tenang saat mendengarnya, walapun
sebelumnya ia mudah panikan dan kagetan. Reaksi Hazi membuat Wina terdiam sekaligus
kaget. Hazi berkata, “semua yang kita alami tidak akan pernah lenyap, dan aku akan selalu
kembali untuk mencari mu.” TAMAT

Anda mungkin juga menyukai