Anda di halaman 1dari 8

MISHA DAN BAYI DOMBA YANG

BERSINAR
Karya Riska Oktavia

B0219053

Pada suatu hari, tepatnya di sebuah desa yang tenang dan terletak di sebuah kaki
gunung, terdapat seorang gadis cantik yang kesepian. Ia kesepian karena warga di desa
tempatnya tinggal merasa iri dengan kecantikannya dan menjauhi dirinya karena mereka
takut akan terlihat buruk ketika berada di sebelah gadis itu. Bahkan warga di desa tidak ingin
memanggilnya menggunakan nama gadis itu karena nama yang diberikan oleh kedua
orangtuanya pun terdengar begitu cantik. Gadis itu bernama Misha, sang ibu memberinya
nama Misha dengan harapan bahwa kelak sang putri semata wayangnya itu dapat tumbuh
menjadi gadis yang cantik, dan rupanya harapan sang ibu benar-benar terkabulkan.

Hanya saja, justru doa sang ibu dan kecantikannya membuat Misha hidup menderita
seperti sekarang. Tumbuh dengan perawakan yang cantik jelita membuatnya dijauhi.
Meskipun Misha sangat menyukai desa tempat tinggalnya dan hidup bahagia walau seorang
diri setelah kepergian kedua orangtuanya, akan tetapi karena dirinya dijauhi itulah, Misha
merasa kesepian dan sama sekali tidak menganggap kecantikan juga namanya merupakan
suatu anugerah dalam hidupnya.

Suatu hari, ketika Misha sedang mencuci baju di sungai yang terletak di hutan, ia
melihat sebuah cahaya yang begitu terang. Misha melihat ke arah sekitar untuk memastikan
apakah ada orang lain yang berada di dekatnya, namun suasana hutan tetaplah sepi seperti
sebelumnya. Dikarenakan rasa pensaran yang begitu tinggi, Misha pun menyingkirkan
pakaian yang dicucinya, menaruhnya di balik semak agar tidak terlihat, lalu berjalan
mendekat ke arah sumber cahaya sebelumnya berada. Ketika tiba, betapa terkejutnya ia
melihat seekor bayi domba tergeletak di atas tanah dengan keadaan penuh luka dan cahaya
samar di sekitar tubuhnya. Misha dengan segera merobek pakaiannya, membalut tubuh sang
bayi domba, lalu dengan segera membawanya pulang dengan menaruhnya di dalam
keranjang pakaiannya.
Keadaan desa yang sepi membuat Misha dapat dengan mudah berjalan menuju
rumahnya karena ia tidak ingin membuat warga desa tidak nyaman dan ia juga memiliki
firasat buruk yang menyatakan bahwa dirinya tidak boleh sampai terlihat membawa seekor
bayi domba malang ke rumahnya. Akhirnya, dengan pengetahuan obat-obatan yang
dimilikinya, Misha merawat luka yang terdapat di tubuh sang bayi domba. Misha dapat
melihat ekspresi lega di wajahnya, membuat Misha juga ikut merasa lega karena dirinya
berhasil menyelamatkan bayi domba yang malang itu. Dirasa cukup, Misha pun kembali
membereskan rumahnya, mencuci pakaiannya, lalu mencari bahan makanan tambahan karena
dirinya harus memasak lebih untuk makan malam akibat kehadiran satu teman baru di
rumahnya.

Misha merawat sang bayi domba selama lima hari penuh dan hari ini, tepatnya hari
keenam Judy–nama bayi domba yang diberi oleh Misha–sembuh total. Luka di seluruh
tubuhnya mulai menghilang dan bulu putihnya mulai kembali ke keadaan semula bagai
bercahaya. Misha merawat Judy dengan penuh perhatian, cinta, dan kasih sayang, yang mana
tidak pernah Misha dapatkan. Kehadiran Judy perlahan menghilangkan perasaan kesepian
yang dialami oleh Misha, ia jadi lebih sering tersenyum dan tertawa sekarang. Dan hal itulah
yang membuat warga di desa bingung dan curiga kepadanya.

Pada hari ketujuh, Misha yang baru saja kembali mencuci baju di sungai, membuka
pintu rumahnya dan segera memanggil Judy. Misha beberapa kali memanggil domba kecil
itu, namun hasilnya nihil karena biasanya hanya dengan memanggilnya sekali, Judy akan
segera datang, sementara sekarang Misha memanggil teman kecilnya itu berkali-kali, akan
tetapi sosok Judy tidak tampak di manapun.

“MBEEEE!” Terdengar suara domba yang melengking dari arah desa. Misha terkejut
dan ia merasakan firasat tidak enak, maka dari itu ia pun segera berlari keluar untuk
memastikan.

“Judy!” Pekik Misha ketika melihat sosok Judy dalam keadaan terikat dan dikerumuni
oleh para warga desa.

“Apa yang kalian lakukan pada Judy?!” Misha mencoba untuk mendekat, namun para
orang-orang dewasa menghalanginya.
“Judy? Tapi ini adalah bayi domba milik Tuan besar di luar sana yang menghilang
selama lima hari ini,” ujar seorang wanita dewasa yang Misha ketahui adalah pemilik toko
roti di pasar tradisional di bawah gunung sana.

“Lima hari? Kalian salah mengira. Aku menemukan Judy seminggu yang lalu!” balas
Misha. Warga desa terdiam, mereka semua berbisik. Lalu, sang kepala desa berdeham untuk
memecahkan suasana.

“Ehem... wah, sepertinya kami salah mengira. Maafkan kami. Akan tetapi, bayi
domba ini akan tetap kami bawa karena kami telah mengabari Tuan besar bahwa kami telah
menemukan bayi dombanya dan berjanji akan menyerahkannya keesokan paginya,” ujar sang
kepala desa.

“A-Apa?! Tidak bisa seperti itu! Judy adalah temanku! Kalian tidak bisa seenaknya
membawa–hmph!” Para orang dewasa menutup mulut Misha dan menahannya agar tidak
mengganggu kegiatan mereka. Misha dapat melihat wajah sedih Judy yang menoleh ke
arahnya, juga bagaimana Judy mengembik pelan seolah dirinya tidak ingin pergi dan tidak
ingin dipisahkan dengan Misha.

Misha hanya bisa menangis melihat Judy dibawa pergi dengan cara yang begitu
menyedihkan. Ia yakin bahwa teman kecilnya itu pasti akan diikat semalaman karena para
warga desa berpikir ia akan kabur. Judy yang baru saja sehat dan sembuh dari luka tidak
mungkin melakukan hal itu, justu Judy kecil akan semakin terluka apabila dibiarkan seperti
itu. Dengan perasaan marah dan kesal, Misha pun memutuskan untuk membebaskan Judy
malam ini, kemudian mereka berdua akan kabur bersama. Misa merasa dirinya dapat pergi ke
mana pun ketika Judy bersamanya, maka dari itu, sudah diputuskan bahwa Misha akan pergi
malam ini juga.

Setelah dirinya dilepaskan, Misha ditinggalkan begitu saja. Ia samar-samar dapat


melihat ke mana arah para warga desa membawa Judy pergi. Tidak lain dan tidak bukan
adalah rumah kepala desa. Misha sedikit hafal apa saja yang terdapat di rumah kepala desa
karena setiap hari dirinya melewati jalur yang terletak di belakang rumahnya untuk menuju
hutan, juga ia sesekali bekerja membersihkan ilalang agar dapat meneruskan hidup di desa
yang terpencil dari kerumunan dan kota itu. Begitu persiapannya sudah matang, tepat pada
waktu tengah malam, Misha keluar rumah dan memastikan seluruh pintu dan juga jendela di
rumahnya telah tertutup rapat, dan ia sudah membawa barang-barang yang diperlukan untuk
pergi meninggalkan desa.

Misha berjalan dengan mengendap-endap agar tidak menimbulkan suara. Sesekali


dirinya berhenti sejenak untuk mendengarkan suara-suara sekitar, takut apa bila ada warga
desa yang sedang melakukan patroli malam karena kejadian sore hari sebelumnya. Dengan
perasaan tegang dan keringat bercucuran membasahi keningnya, Misha pun berhasil tiba di
rumah kepala desa, tepatnya kandang kambing yang dibiarkan terbengkalai karena wabah
penyakit yang pernah melanda hewan-hewan ternak beberapa tahun yang lalu. Misha
mendekat dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Ia dapat mendengar suara Judy
yang begitu pelan dan kesakitan di dalam sana. Hati Misha seolah teriris mendengarnya,
dengan segenap kekuatan dan keberanian yang dimilikinya, Misha pun mempercepat
pergerakannya untuk membuka pintu kandang, dan dalam hitungan cepat, ia berhasil
membukanya.

“Judy!” Bisik Misha dan segera berlari menghampiri Judy. Misha segera memeluk
tubuh Judy yang gemetar akibat dingin dan rasa sakit pada keempat kakinya. Dengan
menggunakan pisau kecil yang dibawanya, Judy berhasil melepaskan ikatan tali Judy dan
bersiap untuk membawa bayi domba itu kabur.

Ketika ia pergi keluar untuk meninggalkan kandang, tiba-tiba saja dirinya dikelilingi
oleh para warga desa yang membawa obor, cangkul, dan juga benda-benda berbahaya
lainnya. Misha terkejut, ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Judy. Ia dapat merasakan
tubuhnya gemetar bagai seekor bayi rusa yang baru lahir.

“Ucapan Anda benar, pak kepala desa. Gadis ini benar-benar kembali malam harinya
untuk mencuri lagi bayi domba itu,”ujar salah seorang warga pria.

“Keputusan untuk melonggarkan penjagaan, kemudian mengepungnya di luar


kandang merupakan sebuah ide yang cemerlang, pak Darwin,” puji kepala desa kepada pria
sebelumnya yang bernama Darwin.

“Wajahnya boleh saja cantik, tapi tidak dengan isi kepalanya. Sayang sekali, padahal
jika ia menurut, aku berencana mengenalkannya pada anakku yang bekerja di kota,” sahut
seorang warga wanita bernama bu Dilah.
“Nah, anak manis... kembalikan bayi domba itu dan kami akan melepaskanmu,” ujar
kepala desa kepada Misha.

Misha mengerutkan keningnya, ia menggeleng cepat. “Tidak! Aku tidak mencuri di


sini! Judy ku temukan di hutan ketika diriku sedang mencuci pakaian! Aku yang merawat
lukanya, juga memberinya makan. Tidak sedikitpun aku meminta pertolongan pada kalian,
jadi aku tidak berhutang apapun dan kalian tidak berhak membawa Judy pergi!” Balas Misha.

“Nak, apa kau tidak sadar? Setelah kematian kedua orangtuamu, kami membiarkanmu
tinggal di desa. Dari kau berusia lima tahun, hingga kini dua belas tahun, kami
membiarkanmu hidup di desa kami.” Bu Dillah menghembuskan nafas panjang.

Misha tidak dapat menyangkal ucapan itu. Hanya saja, selama ia hidup pun dirinya
tidak pernah mengeluh apalagi meminta kepada para warga desa. Ia bahkan tidak pernah
sekalipun membuat masalah yang mengharuskan penyelesaian ramai-ramai di dalamnya.
Misha bagai hidup seperti sebuah bayangan, entah ada yang menyadarinya atau tidak, Misha
tidak pernah peduli. Kesepian dan kemarahan yang selama ini dipendamnya pun tidak pernah
ia luapkan dan hanya ia telan mentah-mentah perasaan tak mengenakkan itu. Akan tetapi,
hanya karena ia menemukan seekor bayi domba di hutan, kemudian merawatnya,
memberinya makan tanpa menggunakan milik seorang pun di desa, ia tiba-tiba diadili seperti
ini.

“Aku tidak akan melepaskan Judy! Aku tahu kalian menjauhiku karena parasku yang
tidak pernah kuanggap sebagai anugerah ataupun pemberian dewa. Aku tidak pernah
bersyukur karena wajah ini membuatku kesulitan. Hanya karena paras... apa kalian merasa
tidak cukup dengan mengambil kebahagiaanku dan ingin mengambil temanku juga?” Misha
terisak. Air matanya jatuh mengenai wajah Judy. Judy mengembik pelan, mengelus lengan
Misha dengan wajahnya.

“Kau tahu, nak? Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Ambil domba itu dan
segera serahkan kepada Tuan besar,” titah sang kepala desa dan para warga dengan segera
menurutinya.

“Bagaimana dengan gadisnya, pak?” Tanya pak Darwin.

“Kita serahkan kepada Tuan besar untuk menghukum pencuri kecil ini,” ujar kepala
desa dan para warga lainnya mengangguk mengerti.
Misha yang mendengar hal itu, ingin melayangkan protes bahwa ia bukanlah seorang
pencuri. Namun, dirinya memilih diam dan berusaha mencari jalan keluar untuk kabur dari
para warga desa yang ingin menangkapnya itu. Misha menemukan celan dan ia berlari ke
arah kanannya. Misha dengan susah payah melewati celah-celah pagar kayu yang sempit dan
tajam, bahkan melukai wajah dan lengannya. Judy mengembik seolah khawatir akan keadaan
Misha, namun Misha tersenyum ke arahnya dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

Para warga desa berteriak di belakang dengan obor yang menjadi penerangan mereka.
Di tengah gelapnya malam dan tingginya ilalang, Misha berlari ke sembarang arah. Di dalam
pikirannya hanya satu, yaitu kabur dari kejaran para warga. Misha terengah, ia beberapa kali
hampir menjatuhkan dirinya dan Judy akibat tubuh kecilnya mulai kehabisan tenaga,
sementara para warga desa semakin dekat ke arahnya. Misha dapat mendengar suara arus air
yang begitu deras di depan sana dan semakin mempercepat langkahnya.

Ketika dirinya tiba di dekat sumber suara, Misha terkejut melihat jurang yang curam
dengan arus sungai yang deras di bawahnya. Misha menghentikan langkahnya, ia merasakan
jantungnya berdegup kencang dan kedua kakinya mulai kehilangan keseimbangan. Misha
memejamkan kedua matanya ketika ia mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya dan
begitu banyak kehadiran yang berada di belakang tubuhnya. Misha memutar tubuhnya dan
melihat seluruh warga desa menatap nyalang ke arahnya.

“Sudah cukup, nak. Kau tidak bisa kabur ke mana-mana,” ujar seorang warga.

Misha yang merasakan tidak ada harapan lagi untuknya, mulai memundurkan
langkahnya. “Kalau begitu, aku akan terjun bersama dengan Judy. Dengan begitu, kalian
semua tidak akan bisa menangkapku,” balas Misha.

Kepala desa tampak tidak suka. Dahinya berkerut dan tatapan matanya tajam. Ketika
ia hendak memerintahkan para warga desa untuk kembali menangkapnya, tiba-tiba timbul
sebuah cahaya yag begitu menyilaukan mata. Misha merasa familiar dengan cahaya itu dan
melihat Judy tengah bersinar seperti yang dilihatnya pertama kali.

“Misha! Kemari dan lemparkan batu paling besar ke dalam jurang! Cepat sebelum
cahayanya menghilang!” Uja sebuah suara di dalam kepala Misha. Misha yang tersadar
segera melakukan apa yang diperintahkan oleh suara itu, dan mulai mendorong batu paling
besar yang berada di pinggir jurang, menyebabkan bunyi hentakan kuat di atasnya, dan
membuat para warga desa panik.
Misha melihat sesosok asing yang menunggunya di depannya, ia mengulurkan
tangannya dan Misha dengan segera menerima uluran tangan itu. Misha dapat melihat para
warga desa yang tampak panik dan ketakutan, lalu menoleh ke arah sosok yang
menolongnya.

“...Terima kasih,” ucap Misha kepada sosok bercahaya itu.

Sosok itu hanya tersenyum, kemudian keduanya melesat cepat meninggalkan tepi
jurang yang gelap dan dingin itu. Dikarenakan cahaya yang begitu silau, Misha pun menutup
kedua matanya. Setelah beberapa saat, ia dapat mendengar suara kicau burung dan hembusan
angin sejuk menerpa kulitnya.

“Kau bisa membuka kedua matamu,” ujar sebuah suara yang rendah, namun terdengar
hangat dan akrab.

Misha melakukan apa yang seperti suara itu ucapkan dan mulai membuka kedua
matanya. Betapa terkejutnya Misha ketika melihat pemandangan desa lainnya yang begitu
indah dengan peopohonan rindang, langit biru cerah, dan para warga desa yang tertawa
bahagia pada satu sama lainnya.

“Oh, benar! Judy! Di mana Judy?!” Misha mencari ke arah sekitar karena dirinya
tidak menemukan Judy di manapun.

Sosok di hadapannya terkekeh pelan, kemudian menjawab, “Di sini. Aku di sini,
Misha,” ujarnya.

Kedua mata Misha membulat sempurna. Ia terkejut ketika melihat sosok anak laki-
laki seusianya dengan pakaian serba putih dan rambut yang memiliki warna yang sama
seperti pakaiannya, juga cahaya yang menyinari seluruh tubuhnya. “Judy?” Panggil Misha
dan anak laki-laki itu mengangguk.

“Aku sebenarnya adalah seorang peri hutan. Aku menyamar sebagai seekor bayi
domba untuk melihat keadaan sisi seberang. Dalam perjalananku untuk mengawasi, aku tiba-
tiba di serang oleh kumpulan serigala dan terbang ke tempat terdekat, yaitu sungai untuk
menghindari para serigala. Dan rupanya kau melihatku. Aku awalnya berencana ingin kabur
setelah kau merawatku, akan tetapi karena melihat wajah ceria dan bagaimana kau bercerita
mengenai perasaan sepimu, aku memutuskan untuk tinggal hingga suatu hari kau bisa
tersenyum kembali. Kau juga menganggapku sebagai teman yang berharga, maka itu lah
yang membuatku ingin menemanimu, Misha,” Judy menjelaskan.

Tanpa Misha sadari, air matanya membasahi kedua pipi. Ini pertama kalinya ia
mendengar orang lain peduli padanya, bahkan ia juga mendengar Judy memanggil namanya.
“Terima kasih, Judy... apakah aku masih boleh menganggapmu sebagai teman?” Tanya
Misha sedikit terisak.

Judy tersenyum. “Tentu saja! Dan tidak hanya aku, semua orang yang ada di sini
adalah temanmu! Kau tidak perlu khawatir orang-orang jahat itu mengejarmu karena yang
dapat masuk ke desa ini hanyala mereka yang berhati baik dan memiliki niat yang tulus.
Maka dari itu, ku ucapkan selamat datang, Misha!” Sambutnya dengan senyuman yang lebar.

Untuk pertama kalinya Misha merasakan sambutan yang begitu hangat untuknya.
Tidak seperti rumah dan desanya yang dingin dan sunyi, kini yang akan menyambut Misha
adalah tawa dan senyuman hangat tiap harinya. Misha mengelap air matanya, kemudian
tersenyum dengan senyuman paling gembira yang belum pernah dikeluarkannya.

“Aku... pulang,” ujarnya.

“Selamat datang, Misha!” Sambut Judy dan para warga desa dengan ceria.

Setelah kehidupannya yang rumit dan penuh rasa sepi, akhirnya Misha menemukan
apa itu yang dinamakan dengan rumah. Tidak hanya Judy, ia pun menemukan teman lainnya
yang tidak memandang bagaimana sosoknya, mereka semua menerima Misha dengan terbuka
dan menyambutnya dengan gembira. Setelahnya, Misha pun hidup bahagia, tanpa perlu
khawatir ada yang mengejar dan menyakitinya.

TAMAT.

Anda mungkin juga menyukai