Anda di halaman 1dari 5

Bucit Si Pesilat Lidah

Evi Febriastuti

Alkisah pada zaman dahulu kala hiduplah seorang perjaka ternama yang
gagah perkasa. Dia ditakuti oleh semua orang. Bukan tanpa sebab, melainkan
karena keahliannya dalam menipu orang. Dialah Bucit Si Pesilat Lidah.
Bucit berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya bernama Ismail dan
ibunya bernama Maryam. Ayahnya bekerja sebagai petani di huma tetangga dan
ibunya pembuat gerabah. Tak jarang Bucit berkeliling dusun ikut menjajakan
gerabah buatan ibunya. Yang paling laris adalah singkup dan kowan. Apalagi
kalau menjelang lebaran, pesanan pun mulai ramai berdatangan. Keseharian
keluarganya yang sederhana ini tidak membuat dirinya menjadi pemalu. Bucit
memiliki banyak teman, pergaulannya pun luas.
******
Suatu hari, Bucit berteriak minta tolong.
“Tolong..tolong..tolong..” teriak Bucit kencang.
Penduduk dusun berdatangan.
“Ada apa, Bucit? Mengapa Kamu berteriak minta tolong?”
“Tolong saya Tuan. Saya dikejar anjing gila.”
Penduduk kebingungan. Mereka tidak melihat seekor anjing pun di
sekitar daerah itu.
“Ha..ha..ha..ha.. Maafkan saya Tuan-tuan. Sebenarnya saya berbohong.
Tadi saya tersesat, saya tidak tahu jalan pulang. Sudilah kiranya Tuan-tuan
menunjukkan ke mana arah Dusun Perigi.”
Itulah tipu daya Bucit yang pertama. Beruntung, penduduk dusun tidak
marah. Malah mereka ikut tertawa juga.
******
Tipu daya pun berlanjut.
Pagi itu, Bucit pergi memancing ke Sungai Komering. Sungai kecil yang
airnya mengalir bening. Senyumnya mengembang. Langkah kakinya terhenti.
Bucit melongok ke air sungai yang jernih. Nampak ikan seluang hilir mudik.
Senyumnya pun makin mengembang. Bucit membayangkan wajah ibunya
menyambut gembira ketika pulang nanti.
“Hhmm.. Digoreng atau dipindang ya?” tanya Bucit dalam hati sambil
senyum-senyum sendiri.
Bucit kembali melangkah. Di tepian sungai nan indah, Bucit melihat ada
pohon besar yang akarnya menonjol keluar dari tanah. Dilompatinya akar-akar
itu dengan gagah. Terbayang sudah alangkah nyamannya memancing ikan di
bawah pohon yang rindang. Sambil memikirkan berapa banyak ikan seluang yang
akan dibawanya pulang. Dihitungnya akar-akar itu. Tiba-tiba pada lompatan ke
tujuh Bucit terjatuh.
“Aduuhhh..” jerit Bucit tertahan.
Bucit tidak bisa menggerakkan kaki kanannya. Ujung kakinya terasa ngilu.
Bucit mulai mencari akal.
“Tolong..tolong.. Ada buaya..” teriak Bucit kencang.
Penduduk desa mendengar teriakan Bucit. Berduyun-duyun penduduk
berdatangan. Mereka ingin melihat buaya yang dikatakan Bucit.
“Mana Bucit.. Mana buayanya?”
“Maaf Tuan-tuan. Sebenarnya tidak ada buaya. Saya hanya ingin minta
tolong. Saya terjatuh. Kaki kanan saya tidak bisa digerakkan” jawab Bucit
memelas.
Penduduk desa pun menolong Bucit. Mereka tahu Bucit melakukan itu
hanya untuk mencari cara agar cepat diberi pertolongan.
******
Suatu malam, Bucit berkumpul bersama teman-temannya. Sedikit pun
Bucit tak mencium gelagat tidak baik. Padahal teman-teman Bucit sudah
merencanakan perkelahian melawan pemuda dusun sebelah malam ini. Teman-
teman Bucit sudah mengutus perantara sore tadi. Utusan itu mengatasnamakan
Bucit sebagai pemimpin mereka. Mereka merencanakan perkelahian itu tepat di
samping surau sebelum hutan lebat di ujung Dusun Kedaton. Padahal kalau
Bucit tahu pasti Bucit menolak. Dia tidak senang perkelahian. Yang Bucit tahu,
surau adalah tempat yang suci. Tempat Bucit sholat dan mengaji. Dia sangat
membenci orang-orang yang tidak menghargai keberadaan surau apalagi sampai
mengotori dengan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji.
Alhasil, datanglah rombongan pemuda dusun sebelah. Mereka berteriak-
teriak sambil mengacungkan potongan bambu kuning.
“Heiii.. Mana yang namanya Bucit? Mana?”
Teman-teman Bucit berlari melarikan diri masuk ke hutan yang lebat.
Mereka meninggalkan Bucit yang berdiri di samping surau.
“Saya.. Sayalah Bucit. Ada keperluan apa Kalian mencari saya?” balas
Bucit tanpa takut sedikit pun. Bucit pun mulai mencari cara agar bisa terbebas
dari para pemuda itu.
“Awas, ada harimau..!” teriak Bucit sambil menunjuk ke arah hutan.
Spontan para pemuda dusun sebelah berlari pontang-panting. Mereka
tidak tahu itu adalah tipu daya Bucit. Akhirnya, Bucit pun berhasil mengalahkan
mereka.
******
Hari demi hari. Bulan berlalu. Tahun pun berganti.
Orang-orang terus-menerus membicarakan kehebatan Bucit. Bucit yang
memiliki akal yang panjang. Tak hanya ibu-ibu yang mencuci pakaian di sungai,
tetapi juga bapak-bapak yang menanam padi di huma, bahkan sampai anak-anak
yang pergi mengaji di surau. Semuanya membicarakan kehebatan Sang Bucit. Tak
terkecuali Fatimah, gadis jelita, putri orang terpandang dari Dusun Paku. Gayung
pun bersambut. Bucit dan Fatimah berencana akan menikah. Beberapa hari
kemudian, pesta pun berlangsung dengan meriah. Arak-arakan diiringi “gidor”
musik tetabuhan yang bergemuruh meramaikan pesta pernikahan mereka.
Dimulai dari Dusun Perigi menuju Dusun Paku. Nampak pasangan pengantin
dengan memakai “angkinan” yang berwarna keemasan tak henti tersenyum
bahagia.
Sejak pernikahannya dengan Fatimah, Bucit mulai menetap di Dusun
Paku. Dia membangun sebuah rumah di ujung dusun. Tujuh purnama telah
berlalu. Kini pasangan muda itu telah dikaruniai satu anak laki-laki yang mereka
beri nama Ismail. Sesuai dengan pesan mendiang ayahnya, apabila Bucit
memperoleh keturunan laki-laki maka akan diberi nama yang sama dengan nama
kakeknya.
******
Suatu hari, Ismail pergi ke hutan mencari karimunting bersama teman-
temannya. Sudah dua jam mereka di hutan. Tampah yang mereka bawa sudah
penuh isinya. Mereka pun pulang. Di tengah perjalanan, Ismail melihat anak
kijang. Kijang itu menarik hatinya. Diam-diam anak kijang itu diikutinya. Tanpa
sadar, dia sudah terpisah dengan teman-temannya. Ismail tersesat.
Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Ismail tak kunjung pulang.
Teman-teman Ismail menangis ketakutan. Mereka menceritakan tentang Ismail
yang hilang. Tetapi ayah Ismail tak sedikit pun gelisah. Dia yakin akan
kemampuan anaknya. Hanya ibu Ismail yang tak tenang. Sebentar-sebentar
dilihatnya jalan setapak di depan rumah. Berharap Ismail segera pulang. Ayah
Ismail berusaha menenangkan istrinya.
“Ismail adalah keturunanku, keturunan Bucit Si Pesilat Lidah. Jangan
takut. Dia pasti bisa mencari jalan keluar” terang Bucit dengan penuh keyakinan.
Selang beberapa saat, nampaklah Ismail pulang dengan sumringah.
Ibunya memeluk gembira. Ayahnya riang sangat. Usut punya usut ternyata Ismail
berhasil pulang dengan selamat karena trik yang diceritakan ayahnya. Trik
berteriak kencang seolah-olah dikejar anjing gila.
“Ha..ha..ha.. Benar kan, Bu. Ismail keturunanku. Kehebatanku sudah
turun padanya. Ha..ha..ha.. Ismail adalah keturunanku, keturunan Bucit Si Pesilat
Lidah” teriak Bucit lantang.
******
Di lain tempat, nampak Si Pahit Lidah berdiskusi dengan beberapa
suruhannya. Rupanya kehebatan Sang Bucit sudah sampai ke telinga Si Pahit
Lidah. Banyak yang mengatakan bahwa ilmu Si Pahit Lidah masih rendah
dibandingkan dengan ilmu Sang Bucit. Si Pahit Lidah penasaran dengan
kehebatan Sang Bucit. Lalu dia mengutus beberapa orang untuk mencari tahu
tentang kebenarannya.
******
Tibalah utusan Si Pahit Lidah di Kayuagung. Tak sulit bagi mereka untuk
mencari tahu keberadaan Sang Bucit. Utusan langsung menuju kediaman Sang
Bucit di Dusun Paku.
“Hei, Kisanak. Apakah benar Kisanak adalah Sang Bucit Si Pesilat Lidah
yang ternama?” tanya utusan Si Pahit Lidah.
“Ya, benar. Ada apakah gerangan Tuan-tuan mencari saya?” balas Bucit
dengan ramah.
“Kami adalah utusan Si Pahit Lidah. Kami ditugaskan untuk mencari tahu
tentang kehebatan Kisanak” jawab utusan Si Pahit Lidah.
“Baiklah. Kalau memang itu yang kalian kehendaki. Besok akan saya
tunjukkan orang sakti yang telah mengajari dan membantu saya dalam setiap
kesulitan. Dialah guru saya yang sakti mandraguna. Malam ini, Tuan-tuan
beristirahatlah dahulu di pondok saya” pinta Bucit pada utusan Si Pahit Lidah.
Sebenarnya, ini adalah akal-akalan Bucit saja. Dia hendak menyusun
rencana agar utusan Si Pahit Lidah percaya dengan kehebatannya. Dan rencana
itu sudah disusun dengan matang.
******
Esok harinya.
Bucit berjalan mendahului. Dia mengajak utusan Si Pahit Lidah menemui
orang sakti itu. Diajaknya utusan Si Pahit Lidah menuju hutan lebat di ujung
Kedaton. Di tengah perjalanan Bucit memulai aksinya.
“Mohon maaf, Tuan-tuan. Nanti ketika bertemu dengan guru saya, Tuan-
tuan jangan kaget. Guru saya tubuhnya tinggi seperti raksasa, tapak kaki dan jari-
jemarinya besar, dan dia tinggal di alam terbuka” jelas Bucit pada utusan Si Pahit
Lidah.
Tak berapa lama, terlihat barisan pohon besar yang memiliki urat pohon
yang timbul dan memiliki akar yang besar menjulai dari atas ke bawah. Bucit pun
mengajak utusan itu berhenti dan menunjuk ke atas pohon.
“Coba Tuan-tuan perhatikan. Lihatlah, di atas pohon itu ada bayi orang
sakti. Ini adalah tapak kakinya. Dan ini adalah jari-jemari orang sakti itu. Besar
kan, Tuan-tuan?” jelas Bucit sambil menunjuk ke akar pohon besar.
“Saya ingatkan, Tuan-tuan. Jangan sekali-sekali Tuan memegang pohon
ini. Apabila Tuan pegang maka bayi orang sakti akan menangis. Dan kalau
bayinya menangis, pastilah orang sakti itu akan marah besar. Tuan-tuan akan
diinjak-injaknya dengan mudah. Lumat tak bersisa” jelas Bucit sambil
menyeringai.
Nampak beberapa utusan Si Pahit Lidah mengangguk ketakutan. Mereka
percaya dengan penjelasan Sang Bucit. Baru kali ini mereka menemui ada pohon
sebesar itu. Mereka yakin pohon itu adalah jelmaan orang sakti, guru Sang Bucit.
Ternyata salah satu utusan Si Pahit Lidah itu masih ada yang belum
percaya. Dia pun memegang akar pohon yang menjulai dari atas ke bawah.
Sambil berteriak “Hei, orang sakti. Keluar Kau..!”
Lalu, apa yang terjadi?
Tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi. Suaranya sangat keras
memekakkan telinga.
Spontan utusan Si Pahit Lidah berlari ketakutan. Mereka takut diinjak-
injak seperti yang dijelaskan Bucit sebelumnya. Mereka meminta maaf pada Sang
Bucit.
“Kisanak, maafkan kami. Kami percaya dengan apa yang kau katakan.
Tolong sampaikan pada orang sakti itu. Jangan sakiti kami. Kami berjanji tidak
akan datang lagi. Kami percaya dengan kekuatan orang sakti itu. Kami juga
percaya dengan kekuatan Kisanak. Maafkan kami, Kisanak.. Maafkan kami..
Tolong, hentikan tangisan bayi itu” teriak utusan Si Pahit Lidah dengan memelas.
“Baiklah” jawab Sang Bucit.
Cukup dengan satu lambaian tangan. Tiba-tiba tangis bayi pun berhenti.
Utusan Si Pahit Lidah bertambah yakin. Sang Bucit memang sakti
mandraguna. Mereka pulang dengan membawa berita tentang kebenaran
kehebatan Sang Bucit.
Konon kabarnya Si Pahit Lidah tidak berani datang ke Kayuagung karena
dia percaya dengan kehebatan Sang Bucit.
Sebagai bukti sejarah, makam Sang Bucit masih terpelihara sampai
sekarang dan dapat dikunjungi di Kelurahan Paku, Kecamatan Kayuagung,
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatra Selatan.
******

Judul : Bucit Si Pesilat Lidah


Asal Daerah : Kab. Ogan Komering Ilir
Diceritakan Ulang oleh : Evi Febriastuti
Asal Sekolah : SMP Negeri 1 Kayuagung

Anda mungkin juga menyukai