Anda di halaman 1dari 10

Sinopsis Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan 

Iskandar
15 Agu 2012 Tinggalkan Sebuah Komentar

by S. Fatichatus Sarifah in Pena Kampus

Identitas Buku

Judul Buku : Salah Pilih


Nama pengarang : Nur St. Iskandar
Penerbit, Cetakan Ke- : Balai Pustaka, 27
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit
Cetakan pertama : 1928
Cetakan kedua puluh tujuh: 2006
Jumlah Halaman : viii + 262 halaman
Ukuran : 14 X 20,5 cm
ISBN : 979-407-178-1

Sinopsis
Di sebuah tempat bernama Sungaibatang, Maninjau, Suku Minang, Sumatera barat, tinggal
sebuah keluarga yang terdiri atas seorang ibu, seorang anak laki-laki dan seorang lagi
perempuan, serta seorang pembantu. Ibu itu bernama Mariati, si lelaki, Asri, dan yang
perempuan, Asnah. Sementara pembantu itu bernama Liah dan dua anak itu biasa
memanggilnya Mak Cik Lia. Keluarga itu saling mengasihi satu sama lain sekalipun dengan
si pembantu dan Asnah yang bukan anak kandung Bu Mariati, mereka tidak peduli dengan
hal tersebut. Asnah pun juga sayang pada perempuan yang dianggap sebagai ibu kandung itu.
Ia selalu sabar merawat Bu Mariati yang tengah sakit.
Asri dan Asnah semakin lama semakin dewasa dan semakin akrab sebagai saudara. Mereka
terbiasa jujur satu sama lain, bahkan Asnah mengetahui rahasia kakaknya yang tidak
diketahui sang bunda, begitu juga sebaliknya. Namun ada satu hal yang sangat dirahasiakan
Asnah, dia menyayangi Asri lebih dari seorang kakak, melainkan rasa sayang seorang
kekasih. Gadis itu sangat terpukul ketika sang ibu meminta anak lelakinya untuk segera
menikah, dia tahu bukan ia yang akan menjadi pendamping Asri karena adat melarang
pernikahan sesuku seperti mereka. Asri menjatuhkan pilihan pada seorang putri bangsawan
yang cantik, adik kandung mantan kekasihnya. Gadis itu bernama Saniah. Mereka
bertunangan lalu menikah setelah melewati beberapa adat Minangkabau.
Pernikahan Asri dengan Saniah sangat jauh dari kata ‘bahagia’. Keduanya memiliki
perbedaan yang sangat kuat dalam masalah adat. Saniah selalu disetir sang ibu untuk
mengikuti adat yang sangat kaku dan kuno menurut Asri, karena Asri sudah terbiasa dengan
pendidikan luar yang bebas. Ia sangat menghormati adat, namun ia tidak suka terlalu
dikekang dan dipaksa-paksa seperti yang dilakukan Saniah padanya. Selain itu, Saniah adalah
wanita yang sombong, keras kepala, membedakan kelas sosial masyarakat, dan tidak suka
bergaul dengan tetangga. Saniah sangat cemburu dengan keberadaan Asnah dan ia ingin
menyingkirkan gadis itu dengan berbagai cara, tentunya peran sang ibu tidak tertinggal.
Suatu hari penyakit bu Mariati menjadi sangat parah. Asnah beserta Mak Cik Liah bergantian
menjaganya, tak lupa juga Asri lebih sering mengunjungi ibunya yang telah diasingkan
Saniah di bagian rumah mereka yang lain. Penyakit bu Mariati tidak dapat disembuhkan dan
nyawanya telah lepas dari raga. Sebelum meninggal, ibu itu berpesan kepada anaknya, ia
menyesal telah meminta Asri menikah, apalagi dengan Saniah. Wanita itu juga menjelaskan
adat Minang yang tidak melarang Asri dan Asnah menikah karena mereka tidak sedarah.
Wanita itu berpesan agar anak lelakinya itu menikah dengan anak angkatnya, Asnah yang
sifatnya sangat mulia dan dimata semua orang.
Setelah kematian sang bunda, Asri selalu memikirkan petuah terakhir itu. Dan ia baru
menyadari perasaan sayangnya kepada Asnah yang lebih setelah teman lamanya, Hasan Basri
datang kepadanya untuk meminta izin memperistri Asnah. Ia sangat cemburu dan tidak bisa
mengambil keputusan, sehingga segalanya ia serahkan kepada Asnah. Asri sangat lega ketika
Asnah menolak pinangan teman lamanya itu. Tanpa saling bicara, keduanya bisa mengerti
bahwa ada cinta diantara mereka. Saniah menangkap keganjilan pada suaminya sehingga ia
memaki-maki Asnah sebagai wanita yang tidak tahu diri. Kejadian itu diketahui Asri
sehingga ia sangat marah kepada Saniah dan keduanya bertengkar hebat, sementara Asnah
memilih pergi dari rumah itu dan tinggal bersama bu Mariah, adik ibu Mariati. Semenjak
kepergian Asnah, Asri tetap sering bertengkar dengan Saniah hingga ia tidak betah lagi
berada di rumah gadang itu.
Suatu ketika bu Saleah, ibu dari Saniah mendapat kabar bahwa anak lelakinya akan menikah
dengan gadis biasa di perantauan. Ibu itu merasa geram, ia tidak mau mempunyai menantu
miskin dan dari suku lain, kemudian ia mengajak Saniah beserta pembantu mereka pergi
ketempat putranya untuk menggagalkan pernikahan itu. Saking geramnya, bu Saleah
meminta sopir mobil yang ia sewa untuk mengebut walaupun jalanan sangat sulit. Alhasil,
mobil yang mereka tumpangi kurang kendali sehingga masuk jurang lalu Saniah dan ibunya
meninggal dunia.
Semenjak Asri menduda, banyak wanita yang datang menghampirinya. Namun, ia tidak
pernah goyah untuk mencintai Asnah, walaupun wanita-wanita yang menghampirinya lebih
cantik. Asri tidak bisa lagi menahan cintanya. Setelah berunding dengan bibinya yang
sekarang merawat Asnah, ia memutuskan menikah dengan Asnah dan meninggalkan segala
harta dan jabatannya untuk merantau ke Jawa, karena jika tidak pergi dari situ, maka
keduanya akan dikeluarkan dari suku secara tidak hormat. Perantauannya menghasilkan
sesuatu yang baik. Asri punya kedudukan yang baik dan keduanya mempunyai banyak teman
di sana. Ditengah rutinitas mereka di Jawa, tepatnya di Jakarta, tiba-tiba datang surat dari
Maninjau meminta agar keduanya kembali ke sana dan Asri diminta untuk menjadi kepala
pemerintahan. Tanpa pikir panjang mereka setuju untuk kembali ke Maninjau walaupun berat
juga meninggalkan kawan-kawannya di Jakarta, mereka sangat rindu dengan kampung
kelahirannya itu. Setibanya di Maninjau, mereka disambut meriah oleh warga yang sangat
menghormati Asri atas jasa-jasanya sebelum ia merantau dulu dan atas kelembutan tabiat
Asnah. Berawal dari Asri yang salah pilih istri, ia menjadi tahu siapa orang yang sebenarnya
ia cintai dan dengan berusaha keras ia mampu hidup bersama sang kekasih dalam mahligai
rumah tangga yang penuh cinta di kampung halaman tercinta.
3. Komentar
Novel tersebut masih menggunakan gaya bahasa melayu sehingga sulit dipahami untuk
pembaca sekarang. Di situ digambarkan adat istiadat suku Minang yang ketat namun seorang
yang berpendidikan seperti Asri mampu meluruskan adat itersebut, jika ada yang tidak logis,
maka tidak perlu dipakai lagi. Kebaikan keluarga ibu Mariati dan Asnah patut dijadikan
contoh dalam kehidupan sehari-hari. Novel tersebut mengamanatkan agar kita tidak serakah
dan congkak.
SINOPSIS DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH {HAMKA)
Browse » Home » opini seni dan budaya » SINOPSIS DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH {HAMKA)

SINOPSIS

Novel yang berjudul “Di bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka ini menceritakan tentang kisah cinta
yang tak sampai antara Hamid dan Zainab, yang mereka bawa sampai liang lahat.

Awal cerita dimulai dari keberangkatan “Aku” ke Mekah guna memenuhi rukun Islam yang ke-5 yaitu
menunaikan ibadah haji. Alangkah besar hati “Aku” ketika melihat Ka’bah dan Menara Masjidil
Haram yang tujuh itu, yang mana sudah menjadi kenang-kenanganku. “Aku” menginap di rumah
seorang syekh yang pekerjaan dan pencaariannya semata-mata memberi tumpangan bagi orang
haji. Di sinilah “Aku” bertemu dan mendapat seorang sahabat yangmulia dan patut dicontoh yang
bernama Hamid. Hidupnya amat sederhana,tiada lalai dari beribadat,tiada suka membuang-buang
waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi amat suka memperhatikan kehidupan orang-orang yang
suci, ahli tasawuf yang tinggi. Bila “Aku” terlanjur membicarakan dunia dan hal ihwalnya, dengan
amat halus dan tiada terasa pembicaraan itu telah dibelokkannya kepada kehalusan budi pekerti dan
ketinggian kesopanan agama.

Baru dua bulan saja, pergaulan kami yang baik itu tiba-tiba telah terusik dengan kedatangan seorang
teman baru dari Padang, yang rupanya mereka adalah teman lama. Ia bernama Saleh, menurut
kabar ia hannya tinggal dua atau tiga hari di Mekah sebelum naik haji, ia akan pergi ke Madinah dulu
dua tiga hari pula sebelum jemaah haji ke Arafah. Setelah itu ia akan meneruskan perjalanannya ke
Mesir guna meneruskan studinya. Namun kedatangan sahabat baru itu, mengubah keadaan dan
sifat-sifat Hamid.

Belakangan Hamid lebih banyak duduk termenung dan berdiam seorang diri, seakan-akan “Aku”
dianggap tidak ada dan idak diperdulikannya lagi. Karena merasa tidak nyaman, maka “Aku”
memberanikan diri mendekati dan bertanya kepadanya, kabar apakah gerangan yang dibawa
sahabat baru itu sehingga membuatnya murung. Ia termenung kira-kira dua tiga menit,setelah itu ia
memandangku dan berkata bahwa itu sebuah rahasia. Namun setelah dibujuk agak lama, barulah ia
mau berbagi kedukaannya kepadaku. Dan ternyata rahasia yang ia katakan ialah tentang masa lalu
dan kisah cintanya dimasa itu. Saleh mengabarkan kalau dia sudah menikah dengan Rosna yang
kebetulan teman sekolahnya dan sahabat Zainab juga.

Suatu ketika Rosna bertandang ke rumah Zainab, yang mana Zainab itu adalah orang yang Hamid
kasihi selama ini, namun ia tiada berani untuk memberitahukan perasaannya itu kepada
Zainab,mengingat jasa-jasa orang tua Zainab kepada Hamid dan ibunya selama ini. Apalagi saat itu
ibunya Zainab pernah meminta Hamid untuk membujuk Zainab supaya mau dinikahkan dengan
kemenakan ayahnya. Padahal waktu itu Hamid berniat unuk memberi tahukan tentang perasaannya
yang selama itu dia simpan kepada Zainab,namun niatnya itu diurungkannya.

Betapa terkejutnya Hamid ketika ia dimintai tolong untuk membujuk Zainab supaya mau dinikahkan
dengan orang yang sama sekali belum ia kenal. Hamid gagal membujuk Zainab, karena Zainab
menolak untuk dinikahkan. Hamid pulang dengan perasaan yang kacau balau, sejak saat itu Hanid
memutuskan untuk merantau, sebelum pergi ia menulis surat untuk Zainab. Setelah itu mereka tiada
berhubungan lagi, dan sampai sekarang pun ia masih menyimpan perasaanya itu. Dan kedatangan
Saleh kemarin memberitahukan bahwa ternyata Zainab pun menyimpan perasaan yang sama,
perasaan yang selama ini disimpan oleh Hamid. Saleh memberitahukan bahwa kesehatan Zainab
memburuk dan ia ingin sekali tahu bagaimana kabar Hamid.

Setelah Zainab mendengar keberadaan Hamid di Mekah, Ia pun mengirim surat kepada Hamid
sebagai balasan surat Hamid yang dulu. Seminggu setelah itu, Zainab pun menghembuskan
nafasnya. Hamid tidak mengetahui kematian Zainab karena pada saat itu iapun sedang sakit,
sehingga temannya tidak tega untuk memberitahukan kabar tersebut. Ketika Hamid sedang
melaksanakan tawaf dan mencium hajar aswad ia berdoa dan menghembuskan nafas terakhirnya.

KUTIPAN
Salinan surat Zainab

Abangku hamid!
Baru sekarang adinda beroleh berita di mana Abang sekrang. Telah hampir dua tahun hilang saja dari
mata,laksana seekor burung yang terlepas dsri sangkarnya sepeniggal yang empunya pergi. Kadang-
kadang adinda sesali diri sendir, agaknya adinda telah bersalh besar, sehingga Kakanda pergi dengan
tak memberi tahu lebjh dahulu.

Sayang sekali, pertanyaan Abang belumdapat adinda jawab dan Abang telah hilang sebelum mulutku
sanggup nenyusunperkataan pnjawabnya. Kemudian itu Abang perintahkan adinda menurut
perintah orang tua, tetapi adinda syak wasangsa melihat sikap Abang yang gugup ketika
menjatuhkan perintah itu.

Wahai Abang …pertalian kita diikatkan oleh beberapa macam tanda tanya dan teka-teki, sebelum
terjawab semuanya, kakanda pun pergi!

Adinda senantias tiada putus pengharaan, adinda tunggu kabar berita. Di balik tiap-tiap kalimat dari
suratmu, Abang! … surat yang terkirim dari Medan, ketika Abang akan berlayar jauh, telah adinda
periksa dan dinda selidiki; banyak sangat surat itu berisi bayangan, di balik yang tersurat ada yang
tersirat. Adinda hendak membalas, tetapi ke tanah manakah surat itu hendak dinda kirimkan, Abang
hilangtak tentu rimbanya!

Hanya pada bulan purnama di malam hari dinda bisikkan dan pesankan kerinduan adinda hendak
bertemu. Tetapi bulan itu tak tetap datang; pada malam yang berikutnya dan seterusnya ia kian
surut …
Hanya kepada angin petang yang berhembus di ranting-ranting kayu didekat rumahku, hanya
kepadanya aku bisikkan menyuruh supaya ditolongnya memeliharakan Abangku yang berjalan jauh,
entah di darat enah di laut, entah sengsara kehausan …

Hanya kepada surat Abang itu, surat yang hanya sekali itu dinda terima selam hidup, adinda
tumpahkan air mata,karena hanya menumahkan air mata itulah kepandaian yang paling
penghabisan bagi orang perempuan. Tetapi surat itu bisu, meskipun ia telah lapuk dalam lipatan
dantelah layu karena kerap dibaca, rahasia itu idak juga dapt dibukanya.

Sekarang Abang, badan adinda sakit-sakit, ajal entah berlaku pagi hari, entah besok sore, gerak Allah
siapa tahu. Besarlah pengharapan bertemu …

Dan jika Abang terlambat pulang, agaknya bekas tanah penggalian,bekas air penalakin dan jejak
mejan yang dua, hanyayang akan Abang dapati.

Adikmu yang tulus,

Zainab

Do’a Hamid ketika tawaf:

“Ya Rabbi, Ya Tuhanku, Yang Maha Pengasihdan Penyayang! Bahwasanya, di bawah lindungan
Ka’bah, Rumah Engkau yang suci dan terpilih ini, sayamenadahkan tangan memohon karunia.

Kepada siapakah saya akan pergi memohon ampun, kalau bukan kepada Engkau, ya Tuhan!

Tidak ada seutas tali pun tmpat saya bergantung lain dripada tali Engkau; tidak ada satu pintu yang
akan saa ketuk, lain daripada pintu Engkau.

Berilah kelapangan jalan buat saya, hendak pulang khadirat Engkau, saya hendak menuruti orang-
orang yang bertali hidupnya denganhidaup saya.

“Ya Rabbi, Engkaulah Yang Mahakuasa, kepada Engkaulah kami sekalianakan kembali …”

Setelah itu suaranya tiada kedengaran lagi; di mukanya terbayang, suatu chaya yang jernih dan
damai, cahaya keridaan illahi.

Di bawah bibirnya terbayang suatu senyumandan … sampailah waktunya. Lepas ia dari tanggapan
dunia yang mahaberat ini, dengan keizinan Tuhannya. Di bawah lindungan Ka’bah!
ANALISIS INTRINSIK

Tema

Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka ini betemakan percintaan, seperti kebanyakan novel
populer lainnya.

Tokoh

· Aku

· Hamid

· Saleh

· Pak Paiman

· Engku Haji Ja’far

· Mak Asiah

· Zainab

· Rosna

Latar/setting

· Mekkah (1927)

· Padang (masa anak-anak sampai remaja)

· Padang Panjang

· Madinah

Amanat 

Pesan yang ingin disampaikan penulis dalam novel ini yaitu segala sesuatu membutuhkan
pengorbanan. Kita sebagai manusia boleh berencana, berharap dan berusaha semaksimal mungkin,
namun Allah jugalah yang menentukan semua itu.

Alur
Alur yang digunakan dalam novel ini yaitu alur maju dan mundur.

Sudut pandang

Dalam menulis novel ini, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama dan orang ketiga.

Gaya penulisan

Dalam menulis novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, Hamka menggunakan bahasa melayu.

Ringkasan Novel: Salah Asuhan


September 21, 2012 — awan sundiawan

Pengarang: Abdul Muis (1886-17 Juli 1959)


Penertbit: Balai Pustaka
Tahun Terbit: 1928, Cetakan XIX, 1990

Hanafi adalah pemuda pribumi asal Minangkabau.


Sesungguhnya, ia termasuk orang yang sangat beruntung dapat bersekolah di Betawi sampai
tamat HBS. Ibunya yang sudah janda, memang berusaha agar anaknya tidak segan-segan
menitipkan Hanafi pada keluarga Belanda walaupun utnuk pembiayaannya ia harus meminta
bantuan mamaknya, Sutan Batuah. Setamat HBS, Hanafi kembali ke Solok dan bekerja
sebagai klerek di kantor Asisten Residen Solok. Tak lama kemudian, ia diangkat menjadi
komis (lihat halaman 27).

Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda, memungkikan Hanafi berhubungan erat
dengan Corrie De Busse, gadis Indo-Perancis. Hanafi kini merasa telah bebas dari
kungkungan tradisi dan adat negerinya. Sikap, pemikiran dan cara hidupnya juga sudah
kebarat-baratan. Tidaklah heran jika hubungannya dengan Corrie ditafsirkan lain oleh Hanafi
karena ia kini sudah bukan lagi sebagai orang “inlander” (bangsa pribumi yang di jajah oleh
Belanda). Oleh karena itu, ketika Corrie datang ke Solok dalam rangka mengisi liburan
sekolahnya, bukan main senangnya hati Hanafi. Ia dapat berjumpa kembali dengan sahabat
dekatnya.

Hanafi mulai merasakan tumbuhnya perasaan asmara. Sikap Corrie terhadapnya juga
dianggap sebagai gayung bersambut kata terjawab. Maka, betapa terkejutnya Hanafi ketika ia
membaca surat dari Corrie. Corrir mengingatkan bahwa perkawinan campuran bukan hanya
tidak lazim untuk ukuran waktu itu, tetapi juga akan mendatangkan berbagai masalah. “Timur
tinggal timur, Barat tinggal Barat, tak akan dapat ditumbuni jurang yang membatasi kedua
bahagian itu” (lihat halaman 59). Perasaan Corrie sendiri sebenarnya mengatakan lain.
Namun, mengingat dirinya yang Indo—dan dengan sendirinya prilaki dan sikap hidupnya
juga berpijak pada kebudayaan barat—serta Hanafi yang pribumi, yang tidak akan begitu saja
dapat melepaskan akar budaya leluhurnya.

Dalam surat Corrie selanjutnya, ia meminta agar Hanafi mau memutuskan pertallian
hubnungannya itu. Surat itu membuat Hafani patah semangat. Ia pun kemudian sakit. Ibunya
berusaha menghibur agar anak satu-satunya itu, sehat kembali. Di saat itu pula ibunya
menyarankan agar Hanafi bersedia menikah dengan Rapiah, anak mamaknya. Sutan Batuah.
Ibunya menerangkan bahwa segala biaya selama ia bersekolah di Betawi tidak lain karena
berkat uluran tangan mamaknya, Sutan Batuah. Hanafi dapat mengerti dan ia menerima
Rapiah sebagai istrinya.

Kehidupan rumah tangga Hanafi dan Rapiah, rupanya tak berjalan mulus. Hanafi tidak
merasa bahagia, meskipun dari hasil perkawinannya dengan Rapiah, mereka dikaruniai
seorang anak laki-laki yang bernama Syafei. Hanafi beranggapan bahwa penyebabnya adalah
Rapiah. Rapiah kemudian menjadi tempat segala kemarahan Hanafi. Meskipun Rapiah
diperlakukan begitu oleh Hanafi, Rapiah tetap bersabar.

Suatu ketika, setelah mendamprat Rapiah, ia duduk termenung seorang diri di kebun. Ibunya
menghampiri anaknya dan berusaha menyadarkan kembali kelakukan anaknya yang sudah
lewat batas itu. Namun, Hanafi justru menanggapinya dengan cara cemooh. Di saat yang
sama, tiba-tiba seekor anjing gila menggigit tangan Hanafi.

Dokter segera memeriksa gititan anjing gila pada tangan Hanafi. Dokter menyarankan agar
Hanafi berobat ke Betawi. Anjuran dokter itu sangat menyenangkan hatinya. Sebab,
bagaimanapun, kepergiannya ke Betawi itu sekaligus memberi kesempatan kepada untuk
bertemu dengan Corrie.

Suatu peristiwa yang sangat kebetulan terjadi. Dalam suatu kecelakaan yang dialami Corrie,
Hanfi yang sedang berada di Betawi, justru menjadi penolong Corrie. Pertemuan itu sangat
menggembirakan keduanya. Corrie yang sudah ditinggal ayahnya, mulai menyadari bahwa
sebenarnya bahwa ia memerlukan sahabat. Pertemuan itu telah membuat Hanafi mengambil
suatu keputusan. Ia bermaksud tetap tinggal di Betawi, Untuk itu, ia telah pula mengurus
kepindahan pekerjaannya. Setelah itu, ia mengurus surat persamaan hak sebagai bangsa
Eropa. Dengan demikian, terbukalah jalan untuk segera menceraikan Rapiah, sekaligus
meluruskan jalan baginya untuk mengawini Corrie.
Semua rencana Hanafi berjalan lancar. Namun, kini justru Corrie yang menghadapi berbagai
persoalan. Tekadnya untuk menikah dengan Hanafi mendapat antipati dari teman-teman
sebangsanya. Akhirnya, dengan cara diam-diam mereka melangsungkan pernikahan.

Sementara itu, Rapiah yang resmi dicerai lewat surat yang dikirim Hanafi, tetap tinggal di
Solok bersama anaknya, Syafei, dan ibu Hanafi.

Adapun kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidaklah seindah yang mereka
bayangkan. Teman-teman mereka yang mengetahui perkawinan itu, mulai menjauhi. Di satu
pihak menggapnya Hanafi besar kepala dan angkuh, tidak menghargai bangsanya sendiri. Di
lain pikah, ia menganggap Corrie telah menjauhkan diri dari pergaulan dan kehidupan Barat.
Jadi, keduanya tidak lagi mempunyai status yang jelas, tidak ke Barat tidak juga ke Timur.
Inilah awal malapetaka dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Kehidupan rumah tangga mereka kini terasa bagai bara api nera dunia. Corrie yang semua
supel dan lincah, kini menjadi nyonya pendiam. Kemudian Hanafi, kembali menjadi suami
yang kasar dan bengis, bahkan Hanafi selalu diluputi perasaan curiga dan selalu berprasangka
buruk, lebih-lebih lagi Corrie sering dikunjungi Tante Lien, soerang mucikari.

Puncak bara api itu pun terjadi. Tanda diselidiki terlebih dahulu, Hanafi telah menuduh
istrinya berbuat serong, tentu sajaa, Corrie tidak mau dituduh dan diperlakukan sekehendak
hati suaminya. Maka, dengan ketepatan hati, Corrie minta diceraikan. “Sekarang kita
bercerai, buat seumur hidup…. Bagiku tidak menjadi kepentingan, karena aku tidak sudi
menjadi istri lagi dan habis perkara” (lihat halaman 183). Setelah itu, Corrie meninggalkan
Betawi dan berangkat ke Semarang. Ia bekerja di sebuah panti asuhan.

Segala kejadian itu membuat Hanafi menyadari bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah. Ia
menyesal dan mencora menyusul Corrie. Namun, sia-sia. Corrie tetap pada pendiriannya.
Perasaan berdosa makin menambah beban penderitaan Hanafi, ditambah lagi, teman-
temannya makin menjauhi. Hanfi dipandang sebagai seorang suami yang kejam dan tidak
bertanggung jawab. Dalam keadaan demikian, barulah ia menyesal sejadi-jadinya. Ia juga
ingat kepada ibu, istri, dan anaknya di Solok.

Akibat tekanan batin yang berkelanjutan, Hanafi jatuh sakit. Pada saat itu datang seorang
temannya yang mengatakan tentang pandangan orang terhadapnya. Ia sadar dan menyesal. Ia
kembali bermaksud minta maaf kepada Corrie dan mengajaknya rujuk kembali. Ia pergi ke
Semarang, namun rupanya, pertemuamnnya dengan Corrie di Semarangan merupakan
pertemuan terkahir. Corrie terserang penyakit kolera yang kronis. Sebelum mengehembuskan
nafasnya yang terakhir, Corrie bersedia memaafkan kesalahan Hanafi. Perasaan menyesal dan
berdosa tetap membuat Hanafi sangat menderita. Batinnya goncang, ia pun jatuh sakit.

Setelah sembuh Hanafi bermaksud pulang ke kampungnya. Ia ingin minta maaf kepada
ibunya dan Rapiah, istrinya. Di samping itu ia juga ingin melihat keadaan anaknya sekarang.
Ia berharap agar anaknua kelak tidak mengikuti jejak ayahnya yang sesat. Dengan kebulatan
hatinya, berangkatlah Hanafi kembali tanah kelahirannya.

Catatan penting
• Novel pertama Abdul Muis ini secara tematik tidak lagi mempermasalahkan adat kolot yang
sering sudah tidak sejalan lagi dengan kemajuan zaman, melainkan jelas hendak
mempetanyakan kawin campur antar bangsa. Dilihat dari perkembangannya sejak Siti
Nurbaya, tampak jelas adanya pergeseran tema, persoalannya tidak lagi kawin adat, kawin
antarsuku, tetapi kawin antarbangsa. Ternyata persoalannnya tidak sederhana, ia menyangkut
perbedaan adat istiadat, tradisi, agama, budaya, serta sikap hidup yang tidak mudah
ditinggalkan.
• Pada tahun 1969, novel ini memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah, bersama tiga novel
lainnya, yaitu Siti Nurbaya, Belenggu, dan Atheis.
• Pada tahun 1972 novel ini diankat ke layar perak.
• Pada tahun 1988 novel ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina, dan merupakan
novel terlaris di Tiongkok dan sudah diterjemahkan ke dalam bahas Jepang.

Referensi:

Eneste, Pamusuk. 1988. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan


Maman S. Mahayana, dkk. Tentang ulasan novel Indonesia modern.

Anda mungkin juga menyukai