Anda di halaman 1dari 4

Kritik sastra novel berjudul “Jeumpa Aceh”

Jeumpa Aceh, Gambaran Polemik Romansa di Aceh


(Oleh : Nur Makkatul Mukarromah / XII IA 1 / 22)

Judul : Jeumpa Aceh

Penulis : H. M. Zaenoeddin

H. M. Zaenoeddin, siapa yang tidak mengenal sosok lelaki ini? Jika tidak
mengenalnya, berarti kalian tidak dekat dengan karya sastra. Dia seorang penulis yang telah
menulis buku sejarah tapi dia juga adalah seorang sastrawan asal Aceh. Karyanya yang begitu
monumental adalah roman berjudul Jeumpa Aceh yang sempat dicetak dalam bahasa Sunda
dan sangat laris di pasaran pada masanya. Beliau termasuk penulis di Balai Pustaka
seangkatan dengan Marah Rusli, pencipta roman Siti Nurbaya yang berasal dari Sumatera. Ini
berarti karya karyanya telah dikenal sejak tahun 1920 hingga sekarang. Dalam karirnya dia
telah menyelesaikan beberapa novel dan salah satunya adalah dua karya H. M. Zaenoeddin
yang mengangkat tentang buku sejarah yang belum sempat dicetak karena dibawa banjir
tahun 2004. Dua buku tersebut adalah Tarich Aceh dan Nusantara jilid II dan buku Sastra
Aceh Sepanjang Masa. Didalam novelnya pada tahun 1920 hingga 1930-an banyak sastrawan
penulis novel menggunakan isi cerita yang bertema masalah adat dan kawin paksa, isinya
kebanyakan mengkritik keburukan adat lama dalam soal perkawinan.

Beliau menulis cerita yang berpengaruh pada lingkungan sekitarnya dan sastrawan
lain. Dalam novelnya yang berjudul Jeumpa Aceh, yang sempat sangat populer pada tahun
terbitnya, ia juga menggunakan isi cerita yang bertema adat dan kawin paksa. Menceritakan
bahwa seorang lelaki yang harus terpisah dengan kekasihnya hanya karena orang tua yang
terhasut oleh omongan orang lain, dan menyebabkan perempuan tersebut, kekasih lelaki
tersebut, meninggal dunia. Novel ini banyak mengandung unsur tema pertentangan paham
antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, dapat dilihat dari
beberapa penggalan peristiwa dalam novel ini. Dalam novel Jeumpa Aceh, H. M. Zanoeddin
memberi nama lelaki pemeran utamanya dengan Nja’ Amat. Nja’ Amat tidaklah dapat
menyaingi orang pilihan dari orang tua kekasihnya, karena ia hanyalah pekerja dalam sebuah
rumah mewah, dan orang pilihan dari orang tuanya merupakan raja di Aceh yang bernama TB
Raman. Perempuan ini bernama Sitti Saniah yang akan dinikahkan dengan TB Raman, secara
paksa oleh orang tuanya. Ini dikarenakan orang tuanya dihasut oleh tetua daerah sekitar
rumah Sitti Saniah yang bernama Mak Limba. Menurutnya martabat Nja’ Amat lebih rendah
dibandingkan Sitti Saniah, sehingga ia menghasut orang tua Sitti Saniah dengan alasan Nja’
Amat tidak cocok dengan putrinya.

Dalam penggalan peristiwa diatas dapat dilihat bahwa novel ini mengandung unsur
tema kawin paksa, antara Sitti Saniah dengan TB Raman yang sebenarnya Sitti Saniah sama
sekali tidak menyukai raja tersebut. Dalam praktik di kehidupan nyata kebudayaan seperti ini
masih sering dijumpai. Layaknya novel-novel percintaan pada umunya, masih ada polemik
orang tua yang mengandalkan kawin paksa, alasannya karena anaknya yang cenderung pilih-
pilih pasangan tetapi tidak berujung pada keseriusan. Sehingga dalam novel ini orang tua
memilihkan pasangan yang harus diterima anaknya hingga menjalin pernikahan. Tetapi
berbeda dengan cerita di novel ini, yang berisi bahwa pemeran utama tidaklah pilih-pilih
pasangan, tetapi malah orang tua pemeran utama yang pilih-pilih jodoh untuk sang anak.
Keterkaitan percintaan zaman dulu dengan zaman sekarang sangatlah berbeda, di Aceh pada
zaman dulu tidak mengenal istilah pacaran. Menurut adat Aceh jika ada dua orang saling
tertarik, maka pihak laki-laki harus segera melamar pihak perempuan yang zaman sekarang
biasa kita sebut pertunangan. Setelah melakukan pertunangan tersebut, maka mereka bisa
melakukan pernikahan.

Ketika kita membaca novel Jeumpa Aceh ini, kita akan serasa dibawa kembali ke
jaman dulu, dimana bahasa yang digunakan masih menggunakan bahasa melayu. Novel ini
begitu detail menceritakan keadaan Aceh pada saat itu, sehingga kita sebagai pembaca akan
merasa seperti benar-benar berada di Aceh. Meskipun kata-kata yang digunakan tidak terlalu
mudah dimengerti karena masih ada campuran bahasa melayu, namun dapat mudah dipahami
karena alur cerita sangat runtut dan rapi, karena novel ini merupakan novel bertema tahun
1920 hingga 1930an. Novel ini mampu membuat pembacanya bertanya-tanya bagaimana
akhir dari cerita cinta Sitti Saniah dan Nja’ Amat ditengah-tengah adanya masalah
kebudayaan Aceh dan keserakahan seorang bangsawan bernama TB Raman. Tidak hanya
romansa, novel ini juga menjelaskan kebiasaan orang Aceh yang sangat menjunjung tinggi
nama baik keluarga dan menjadi anak yang berbakti. Terlihat dari karakter-karakter tokoh
utama di mana Sitti Saniah merupakan anak gadis yang penurut dan menghormati orang
tuanya. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi remaja saat ini, di mana banyak remaja
yang tidak lagi menghormati kedua orang tuanya bahkan sampai melakukan tindakan
kekerasan hanya karena keinginan mereka tidak terpenuhi.

Novel ini menceritakan bahwa 2 tokoh utama adalah orang yang berpendidikan. Hal
ini juga menjadi salah satu bukti bahwa pada saat itu, Aceh mengalami kemajuan dalam
bidang pendidikan dan juga yang saat itu banyak muncul karya sastra dari Aceh dan tersebar
luas dikalangan pulau Jawa. Pemeran utama novel ini, Sitti Saniah, menjadi salah satu gadis
yang mampu mendapat pendidikan yang setara seperti kaum laki-laki. Novel ini juga menjadi
acuan bagi remaja saat ini agar mampu bersikap bijak seperti yang diperankan pemeran
utama, Nja’ Amat. Karena saat ini sedang terjadi degradasi moral dengan banyaknya kaum
remaja yang berpacaran dan merusak masa depan mereka sendiri. Seharusnya remaja saat ini
mengikuti jejak Sitti Saniah dan Nja’ Amat yang meski saling mencintai tetapi tetap menjaga
kehormatan mereka dan keluarga.

Dalam novel ini sangat kuat dijelaskan bahwa orang-orang Aceh percaya pada tetua-
tetua Aceh. Seperti yang kita tahu, bahwa orang tua Sitti Saniah masih percaya pada Mak
Limba yang Notabene adalah tetua Aceh atau seorang seperti dukun dari Aceh. Meski begitu,
tidak dapat dipungkiri bahwa di zaman itu pendidikan disana masih kurang, tetapi meskipun
zaman sudah berubah masih saja banyak orang Indonesia yang mempercayai perdukunan
sebagai media untuk pengobatan dan kesuksesan. Jika diamati, hal ini bukanlah karena ilmu
pengetahuan yang kurang melainkan karena kepercayaan. Kepercayaan pada hal-hal takhayul
inilah yang membuat Nja Amat dengan Sitti Saniah terpisah. Selain konflik yang ada di
masyarakat mengenai adat Aceh, novel ini juga menceritakan tentang konflik internal yang
dialami Sitti Saniah. Pertunangannya dengan Nja’ Amat yang telah dibatalkan sepihak oleh
keluarga Sitti Saniah dan ia dijodohkan dengan seorang bangsawan, tetapi ia tetap yakin pada
pendiriannya untuk tetap mencintai Nja’ Amat. Namun, ia tidak mampu melawan keputusan
orang tuanya dan dengan terpaksa harus menerima perjodohan tersebut. Takdirpun berkata
lain, karena Sitti tidak mencintai bangsawan itu, dan ternyata terungkaplah bahwa bangsawan
tersebut memiliki kepribadian yang sangat buruk hingga dirinya dibuang ke desa terpencil
karena telah berbuat kesalahan di kerajaannya yang sebelumnya. Tetapi yang mengetahui
fakta ini hanyalah Sitti Saniah, sehingga ia tidak dapat langsung memberi tahu orang tuanya
tanpa bukti, berbagai carapun ia lakukan untuk dapat mengungkap keburukan TB Raman dan
segera membatalkan perjodohan tersebut sebelum terlambat. Namun apa daya, TB Raman
sudah terlanjur memberikan tipu dayanya kepada ibu Saniah yang mengharapkan putrinya
dapat menikah dengan seorang bangsawan sehingga martabat keluarganyapun dapat naik.
Saniah yang putus asa sempat memutuskan untuk bunuh diri karena tidak sanggup merasakan
penderitaan yang ditanggung karena pisah dengan Nja’ Amat. Namun karena keimanan yang
kuat yang dimiliki Saniah, maka niatnya untuk melakukan bunuh diri diurungkannya dan ia
memilih untuk menerima kenyataan dan mencoba bertahan dari perjodohan paksa ini.

Konflik internal lainnya yaitu keluarga Saniah mengira bahwa Nja’ Amat telah
melakukan guna-guna pada Saniah sehingga Saniah menjadi lemah dan sakit segera setelah
mengetahui Sitti Saniah akan menikah dengan bangsawan tersebut. Tetua-tetua Aceh
mengatakan hal tersebut karena penyakit Saniah tidak bisa disembuhkan oleh obat apapun.
Akhirnya pada hari Jum’at, Saniah pulang ke Rahmatullah dengan damai. Ia menuliskan surat
yang isinya curahan hati dan alasannya menjadi sakit. Ia menuliskan bahwa Nja’ Amat tidak
pernah mengguna-guna dirinya. Dirinya sakit dikarenakan dia gagal menikah dengan Nja’
Amat. Meskipun Saniah akhirnya tidak dapat bersama Nja’ Amat ia beberapa kali berusaha
bahkan mengajak Nja’ Amat untuk kawin lari. Namun karena Nja’ Amat adalah orang yang
berpendidikan dan alim, ia menolak permintaan Saniah tersebut, karena khawatir masa depan
Saniah akan hancur bila tidak direstui oleh keluarganya. Di zaman sekarang ini banyak
fenomenal seperti ini terjadi. Tetapi malah berbanding terbalik, banyak remaja yang
melakukan kawin lari tanpa memperdulikan orang tua mereka.

Anda mungkin juga menyukai