5
6
a. Alternatif III yaitu melakukan pelebaran untuk lengan utara yang semula
8,2 meter menjadi 8,7 meter dan untuk lengan timur yang semula 7,6
meter menjadi 9,1 meter sehingga masing-masing lengan utara dan timur
melakukan pelebaran sebesar 0,5 meter dan 1,5 meter.
3. Menurut Yolanda (2016), berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
simpang Jalan Wirobrajan terdapat beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja simpang bersinyal. Faktor tersebut yaitu kondisi geometrik
simpang, kondisi lingkungan simpang, volume lalulintas, arus lalulintas,
kapasitas simpang, derajat kejenuhan, panjang antrian, dan tundaan. Hasil
penelitian tersebut diperoleh :
a. Volume lalulintas jam puncak berada pada pukul 06.45 – 0.75 WIB
dengan jumlah volume lalulintas 14845 kendaraan/jam.
b. Arus jalan pada lengan utara (Jl. Cokroaminoto) sebesar 1000 smp/jam,
lengan timur (Jl. RE Martadinata) sebesar 778,8 smp/jam, dari lengan
selatan (Jl. Wirobrajan) sebesar 782,8 smp/jam, lengan barat (Jl. Wates)
sebesar 1500,5 smp/jam.
Pengaturan lalulintas pada simpang Jalan Wirobrajan sudah tidak maksimal,
maka diperoleh dua skenario yang dapat digunakan, yaitu :
a. Merubah waktu siklus yang sudah ada dengan waktu siklus yang baru pada
kondisi volume jam puncak (VJP) dan kondisi lalulintas rata-rata (LHR),
sehingga dihasilkan waktu hijau yang berbeda dengan kondisi yang
sebenarnya.
b. Melakukan pelebaran sebesar 0,5 meter pada lengan utara dan barat
ditambah perubahan waktu siklus.
4. Menurut Sudarmawan, Afif (2018), berdasarkan hasil penelitian di simpang
tiga Jalan Raya Yogyakarta – Jalan Magelang km 29,5 – Jalan Borobudur,
maka didapatkan nilai derajat kejenuhan masing-masing pendekat, yaitu
pendekat Utara sebesar 1,032, pendekat Barat sebesar 0,890, dan pendekat
Selatan sebesar 0,862. Solusi penanganan untuk kinerja simpang tiga tersebut
dengan menggunakan alternatif perubahan tiap pendekat dan alternatif
dilarang belok kiri jalan terus sesuai dengan ketentuan metode Pedoman
7
lambat dan yang bergerak sangat lambat akan menjadi persoalan. Untuk
mendesain jalan dengan kapasitas yang memadai, maka volume lalulintas yang
diperkirakan akan menggunakan jalan harus ditentukan terlebih dahulu.
Menurut Peraturan Menteri No 96 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, volume lalulintas
untuk mengetahui jumlah kendaraan atau pejalan kaki pada ruas jalan atau
persimpangan jalan selama interval waktu tertentu. Volume lalu lintas pada ruas
jalan per satuan waktu yang dikenal juga dalam perencanaan lalu lintas adalah
Lalu Lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) dan Volume Jam Perencanaan
(VJP).
1. Lalu Lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT)
LHRT yaitu arus lalulintas dalam setahun dibagi dengan jumlah hari dalam
satu tahun (365 hari), sehingga LHRT dinyatakan satuan mobil penumpang
(smp)/jam.
2. Volume Jam Perencanaan (design hourly volume) – VJP
VJP yaitu besaran yang digunakan dalam perancangan bagian-bagian jaringan
jalan, dengan satuan yang biasa digunakan adalah smp/jam.
Dimana pada sepanjang tahun akan terdapat satu jam yang dimana volume
lalu lintas mencapai volume tertinggi. Volume lalulintas tertinggi tersebut
yang dijadikan sebagai volume jam perencanaan. Volume jam perencanaan
(VJP) adalah 9% LHRT untuk jalan kota, dan 11% untuk jalan antar kota.
q JD = LHRT x k . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1)
Keterangan :
LHRT : volume lalu lintas harian rata-rata tahunan, dinyatakan dalam skr/hari.
16
k : faktor jam rencana, ditetapkan dari kajian fluktuasi arus lalu lintas jam-
jaman selama satu tahun. Nilai k yang dapat digunakan untuk jalan
perkotaan berkisar antara 7% sampai dengan 12%.
1. Kondisi geometrik
Kondisi geometrik digambarkan dalam bentuk gambar sketsa yang
memberikan informasi lebar jalan, lebar bahu dan lebar median serta petunjuk
arah untuk tiap lengan simpang.
2. Kondisi lingkungan simpang
Kondisi lingkungan simpang dinyatakan dan terdiri dari dua bagian, yaitu :
a. Ukuran kota
Ukuran kota ditetapkan menjadi lima berdasarkan kriteria populasi
penduduk, dapat dilihat pada Tabel 2.2. sebagai berikut.
Tabel 2.2. Klasifikasi ukuran kota dan faktor koreksi ukuran kota (FUK)
Populasi Penduduk
Ukuran Kota FUK
Juta Jiwa
Sangat Kecil < 0,1 0,82
Kecil 0,1 - 0,5 0,88
Sedang 0,5 - 1,0 0,94
Besar 1,0 - 3,0 1,00
Sangat Besar > 3,0 1,05
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014
Tabel 2.5. FHS sebagai fungsi dari tipe lingkungan jalan HS dan RKTB
Tipe Lingkungan FHS
HS
Jalan RKTB: 0,00 0,05 0,15 0,10 0,20 ≥ 0,25
Tinggi 0,93 0,88 0,79 0,84 0,74 0,70
Komersial Sedang 0,94 0,89 0,80 0,85 0,75 0,70
Rendah 0,95 0,90 0,81 0,86 0,76 0,71
Tinggi 0,96 0,91 0,82 0,86 0,77 0,72
Pemukiman Sedang 0,97 0,92 0,82 0,87 0,77 0,73
Rendah 0,98 0,93 0,83 0,88 0,78 0,74
Tinggi/
Akses Terbatas Sedang/ 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75
Rendah
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014
𝑳𝑲𝑩𝑹+𝑷𝑲𝑩𝑹 𝑳𝑲𝑫𝑻
( − )
𝑽𝑲𝑩𝑹 𝑽𝑲𝑫𝑻
Msemua = Max { 𝑳𝑷𝑲
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2)
𝑽𝑷𝑲
Keterangan :
LKBR, LKDT, LPK : Jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk
kendaraan yang berangkat, kendaraan yang datang, pejalan kaki, m.
PKBR : Panjang kendaraan yang berangkat, m.
VKBR, VKDT, VPK : Kecepatan untuk masing-masing kendaraan berangkat,
kendaraan datang, dan pejalan kaki, m/det.
Keterangan :
FUK : faktor penyesuaian S0 terkait ukuran kota
FHB : faktor penyesuaian S0 akibat HS lingkungan jalan
FG : faktor penyesuaian S0 akibat kelandaian memanjang pendekat
FP : faktor penyesuaian S0 akibat adanya jarak garis henti pada mulut
pendekat terhadap kendaraan yang parkir pertama
FBKa : faktor penyesuaian S0 akibat arus lalulintas membelok ke kanan
FBKi : faktor penyesuaian S0 akibat arus lalulintas membelok ke kiri
S0 = 600 x LE . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .7)
Keterangan :
S0 : arus jenuh dasar, skr/jam
LE : lebar efektif pendekat, m
(𝟏,𝟓 𝒙 𝑯𝑯+𝟓)
c = 𝟏− ∑𝑹𝑸/𝒔 𝒌𝒓𝒊𝒕𝒊𝒔 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .11)
Keterangan :
c : waktu siklus, detik.
25
DJ = Q/C . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .14)
Keterangan :
Q : arus lalulintas
C : kapasitas simpang
Pelarangan bagi satu atau lebih gerakan belok kanan biasanya menaikkan
kapasitas, terutama jika hal itu menyebabkan pengurangan jumlah fase
yang diperlukan. Walaupun demikian perancangan manajemen lalu lintas
yang tepat, perlu untuk memastikan agar perjalanan arus belok kanan yang
akan dilarang tersebut dapat diselesaikan tanpa jalan pengalih yang terlalu
panjang dan tidak mengganggu simpang yang berdekatan.
c. Perubahan fase isyarat
Jika pendekat dengan arus berangkat terlawan (tipe O) dan rasio belok
kanan (RBKa) tinggi dengan menunjukan nilai RFkritis yang tinggi (RF>0,8),
maka dapat dibuat satu fase tambahan terpisah untuk lalulintas belok
kanan. Penerapan fase terpisah untuk lalulintas belok kanan ini dapat juga
dilakukan dengan pelebaran jalur pendekat.
sebelumnya (NQ1) ditambah jumlah kendaraan (skr) yang datang dan terhenti
dalam antrian selama fase merah (NQ2), dihitung menggunakan persamaan
15), 16), 17) sebagai berikut.
(𝟏 − 𝑹𝑯) 𝑸
NQ2 = C x 𝒙 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17)
(𝟏−𝑹𝑯 𝒙 𝑫𝒋) 𝟑𝟔𝟎𝟎
Nilai NQ1 dapat pula diperoleh dengan menggunakan diagram pada Gambar
2.6., nilai NQ2 menggunakan diagram pada Gambar 2.7. dan Gambar 2.8.
sebagai berikut.
Gambar 2.7. Jumlah kendaraan yang datang kemudian antri pada fase merah
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014
Gambar 2.8. Jumlah kendaraan yang datang kemudian antri pada fase merah
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014
Panjang antrian (PA) diperoleh dari perkalian NQ (skr) dengan luas area rata-
rata yang digunakan oleh satu kendaraan ringan (ekr) yaitu 20m2, dibagi lebar
masuk (m), sebagaimana persamaan 18) sebagai berikut.
𝟐𝟎
PA = NQ x . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .18)
𝑳𝑴
Keterangan :
NQ : awal isyarat lampu hijau
30
LM : lebar masuk, m
Lakukan koreksi untuk mengevaluasi pembebanan yang lebih dari NQ. Jika
diinginkan peluang untuk terjadinya pembebanan sebesar POL (%), maka
tetapkan nilai Nqmax mengunakan gambar dibawah ini. Untuk desain dan
perencanaan disarankan POL ≤ 5%. Untuk analisis operasional, nilai POL =
5% sampai dengan 10% masih dapat diterima sesuai Gambar 2.9. sebagai
berikut.
Gambar 2.9. Jumlah antrian maksimum (NQmax), skr, sesuai dengan peluang untuk
beban lebih (POL) dan NQ
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (2014)
NH = Q x RKH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .20)
Keterangan :
Q : arus lalulintas dari pendekat yang ditinjau, skr/jam
RKH : rasio kendaraan berhenti
Rasio rata-rata kendaraan berhenti untuk seluruh simpang atau angka henti
seluruh simpang dihitung menggunakan persamaan 32) sebagai berikut.
4. Tundaan
Tundaan pada suatu simpang terjadi karena dua hal, yaitu tundaan lalulintas
(TL) dan tundaan geometrik (TG). Tundaan rata-rata untuk suatu pendekat i
dihitung menggunakan persamaan 21) sebagai berikut.
Keterangan :
TL : tundaan lalulintas rata-rata
c : waktu siklus yang disesuaikan, detik
RH : rasio hijau = (g/c)
DJ : derajat kejenuhan
NQ1 : jumlah skr yang tersisa dari fase hijau sebelumnya
C : kapasitas simpang, skr/jam