Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka


2.1.1. Penelitian Terdahulu Analisis Kinerja Simpang
Sebelum penelitian ini dilakukan, sudah ada penelitian terdahulu dengan
topik yang sama yaitu analisis kinerja simpang dengan metode Pedoman
Kapasitas Jalan Indonesia 2014 di lokasi berbeda. Adapun hasil penelitian yang
relevan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Menurut Lestari (2016), berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di
simpang Jalan Kaliurang Ring Road Utara volume lalulintas puncak
didapatkan pada sore hari yaitu pada pukul 15.45 – 16.45 WIB. Tundaan rata-
rata yang terjadi pada simpang sebesar 213,357 det/smp sehingga hal ini
menunjukan bahwa simpang ini telat melewati jenuhnya. Rekomendasi yang
dapat dilakukan untuk memperbaiki pelayanan simpang ini antara lain :
a. Penambahan waktu siklus
b. Penambahan lebar efektif sebanyak 1,5 meter di lengan utara dan selatan
c. Pembangunan fly over pada lengan barat ke timur
d. Kombinasi pembangunan fly over pada lengan barat ke timur dengan
penambahan lebar efektif pada lengan utara dan lengan selatan.
2. Menurut Banyunagoro, Deka (2016), berdasarkan hasil evaluasi simpang di
Jalan Pingit Yogyakarta, maka didapat volume arus lalulintas tertinggi yaitu
pada pagi hari pukul 06.45 – 07.45 WIB dengan nilai kapasitas untuk masing-
masing lengan utara 1367, selatan 758, timur 1002 dan barat sebesar 794
dalam smp/jam. Nilai tundaan rata-rata yang terjadi pada setiap lengan utara
111,784, selatan 118,194, timur 172,222, dan barat 108,529 dalam set/smp.
Dalam analisisnya digunakan tiga alternatif untuk meminimalkan derajat
kejenuhan pada setiap lengan. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut maka
didapatkan alternatif yaitu :

5
6

a. Alternatif III yaitu melakukan pelebaran untuk lengan utara yang semula
8,2 meter menjadi 8,7 meter dan untuk lengan timur yang semula 7,6
meter menjadi 9,1 meter sehingga masing-masing lengan utara dan timur
melakukan pelebaran sebesar 0,5 meter dan 1,5 meter.
3. Menurut Yolanda (2016), berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
simpang Jalan Wirobrajan terdapat beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja simpang bersinyal. Faktor tersebut yaitu kondisi geometrik
simpang, kondisi lingkungan simpang, volume lalulintas, arus lalulintas,
kapasitas simpang, derajat kejenuhan, panjang antrian, dan tundaan. Hasil
penelitian tersebut diperoleh :
a. Volume lalulintas jam puncak berada pada pukul 06.45 – 0.75 WIB
dengan jumlah volume lalulintas 14845 kendaraan/jam.
b. Arus jalan pada lengan utara (Jl. Cokroaminoto) sebesar 1000 smp/jam,
lengan timur (Jl. RE Martadinata) sebesar 778,8 smp/jam, dari lengan
selatan (Jl. Wirobrajan) sebesar 782,8 smp/jam, lengan barat (Jl. Wates)
sebesar 1500,5 smp/jam.
Pengaturan lalulintas pada simpang Jalan Wirobrajan sudah tidak maksimal,
maka diperoleh dua skenario yang dapat digunakan, yaitu :
a. Merubah waktu siklus yang sudah ada dengan waktu siklus yang baru pada
kondisi volume jam puncak (VJP) dan kondisi lalulintas rata-rata (LHR),
sehingga dihasilkan waktu hijau yang berbeda dengan kondisi yang
sebenarnya.
b. Melakukan pelebaran sebesar 0,5 meter pada lengan utara dan barat
ditambah perubahan waktu siklus.
4. Menurut Sudarmawan, Afif (2018), berdasarkan hasil penelitian di simpang
tiga Jalan Raya Yogyakarta – Jalan Magelang km 29,5 – Jalan Borobudur,
maka didapatkan nilai derajat kejenuhan masing-masing pendekat, yaitu
pendekat Utara sebesar 1,032, pendekat Barat sebesar 0,890, dan pendekat
Selatan sebesar 0,862. Solusi penanganan untuk kinerja simpang tiga tersebut
dengan menggunakan alternatif perubahan tiap pendekat dan alternatif
dilarang belok kiri jalan terus sesuai dengan ketentuan metode Pedoman
7

Kapasitas Jalan Indonesia (2014). Dengan alternatif perubahan tiap pendekat


maka didapat derajat kejenuhan untuk pendekat Utara sebesar 0,690,
pendekat Barat sebesar 0,712, dan pendekat Selatan sebesar 0,690, dan
dengan alternatif dilarang belok kiri jalan terus maka derajat kejenuhan dari
masing-masing pendekat megalami perubahan yaitu pendekat Utara 0,631,
pendekat Barat 0,456, dan pendekat Selatan 0,460.

2.1.2. Keaslian Penelitian


Penelitian di simpang empat bersinyal Condongcatur, Kab. Sleman, D.I.
Yogyakarta sebelumnya pernah dilakukan oleh Djorebe, Frensnik., N (2016),
berdasarkan hasil penelitian di persimpangan empat Jalan Affandi - Ring Road
Utara - Jalan Anggajaya, Condong Catur, Sleman, Daerah Istimewah Yogyakarta,
maka disimpulkan bahwa panjang antrian yang terjadi di simpang sangatlah besar,
durasi waktu hijau tidak mampu melewatkan semua kendaraan yang antri pada
satu siklus tersebut, untuk mengatasi masalah tersebut maka dilakukan
optimalisasi simpang bersinyal yaitu menambahkan durasi waktu hijau, setelah
dilakukan optimalisasi, derajat kejenuhan mencapai standar yaitu 0,85 di semua
pendekat, baik Selatan, Barat, Utara, maupun Timur. Penelitian tersebut dilakukan
sebelum adanya underpass Kentungan di ruas Jalan Padjajaran. Sedangkan
kondisi saat ini memperlihatkan terjadinya perubahan arus lalulintas seiring
berjalannya waktu dan bertambahnya volume yang terus meningkat setiap
tahunnya hingga tahun 2020 ini, sehingga perlu adanya evaluasi kembali agar
dapat memaksimalkan kinerja pada simpang tersebut.

2.2. Landasan Teori


2.2.1. Pengertian Simpang
Menurut Hobbs, F.,D (1995) persimpangan jalan merupakan simpul
transportasi yang terbentuk dari beberapa pendekat dimana arus kendaraan dari
beberapa pendekat tersebut bertemu dan memencar meninggalkan persimpangan.
Pada simpang Condongcatur, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta, terdapat pertemuan 4 cabang, menurut Hariyanto (2004)
8

persimpangan adalah pertemuan atau persimpangan jalan sebidang merupakan


pertemuan dua arus jalan atau lebih secara sebidang (tidak bersusun).

2.2.2. Jenis-jenis Simpang


Menurut Hariyanto (2004), dilihat dari bentuknya ada 2 macam/jenis
persimpangan, yaitu :
1. Pertemuan atau persimpangan jalan sebidang, merupakan pertemuan dan ruas
jalan atau lebih secara sebidang (tidak saling bersusun).
Pertemuan jalan sebidang ada 4 macam, yaitu :
a. Pertemuan atau persimpangan bercabang 3,
b. Pertemuan atau persimpangan bercabang 4,
c. Pertemuan atau persimpangan banyak, dan
d. Bundaran (rotary intersection).
2. Pertemuan atau persimpangan jalan tak sebidang, merupakan persimpangan
dimana dua ruas jalan atau lebih saling bertemu tidak dalam satu bidang
tetapi salah satu ruas berada diatas atau dibawah ruas jalan yang lain.
Menurut Morlok (1988), jenis simpang berdasarkan cara pengaturannya
adalah sebagai berikut :
1. Simpang jalan tanpa sinyal, yaitu simpang yang tidak memakai sinyal lalu
lintas. Pada simpang ini pemakai jalan harus memutuskan apakah mereka
cukup aman untuk melewati simpang atau harus berhenti dahulu sebelum
melewati simpang tersebut.
2. Simpang jalan dengan sinyal, yaitu pemakai jalan dapat melewati simpang
sesuai dengan pengoperasian sinyal lalu lintas. Jadi pemakai jalan hanya
boleh lewat pada saat sinyal lalu lintas menunjukan warna hijau pada lengan
simpangnya.

2.2.3. Karakteristik Simpang


Menurut Hariyanto (2004), dalam perencanaan suatu simpang, kekurangan
dan kelebihan dari simpang bersinyal dan tak bersinyal harus dijadikan suatu
9

pertimbangan. Adapun karakteristik simpang bersinyal dibandingkan simpang tak


bersinyal adalah sebagai berikut :
1. Kemungkinan terjadinya kecelakaan dapat ditekan apabila tidak terjadi
pelanggaran lalulintas.
2. Lampu lalulintas lebih memberi aturan yang jelas pada saat melalui simpang.
3. Simpang bersinyal dapat mengurangi konflik yang terjadi pada simpang
terutama pada jam sibuk.
4. Pada saat lalulintas sepi, simpang bersinyal menyebabkan adanya tundaan
yang seharusnya tidak terjadi.

2.2.4. Tingkat Pelayanan Jalan


Tingkat pelayanan (level of service) adalah suatu ukuran kinerja ruas atau
simpang jalan yang dihitung berdasarkan tingkat pengguna jalan, kecepatan,
kepadatan dan hambatan yang terjadi, (PM No. 96 Tahun 2015).
Menurut Morlok ( 1991), ada beberapa aspek penting lainnya yang dapat
mempengaruhi tingkat pelayanan jalan, antara lain kenyamanan, keamanan,
keterandalan dan biaya perjalanan (tarif dan bahan bakar).
Peraturan Menteri No 96 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas mengklasifikasikan
tingkat pelayanan jalan yang terdiri dari enam 6 tingkat yaitu dari tingkat
pelayanan A sampai dengan tingkat pelayanan F. Tingkat pelayanan ditentukan
dengan melihat nilai kondisi tundaan sesuai Tabel 2.1. sebagai berikut.

Tabel 2.1. Tingkat Pelayanan Jalan


No. Tingkat Pelayanan Nilai Kondisi Tundaan
1 A < 5 dtk/kend.
2 B > 5 - 15 dtk/kend.
3 C > 15 - 25 dtk/kend.
4 D > 25 - 40 dtk/kend.
5 E > 40 - 60 dtk/kend.
6 F > 60 dtk/kend.
Sumber : Peraturan Menteri No 96 Tahun 2015
10

2.2.5. Manajemen Lalulintas


Menurut Malkamah (1996) manajemen lalulintas adalah suatu proses
pengaturan dan penggunaan sistem jalan yang sudah ada dengan tujuan untuk
memenuhi suatu kepentingan tertentu, tanpa perlu penambahan atau pembuatan
infrastruktur baru.
Tujuan manajemen lalulintas menurut Abubakar, dkk (1999) adalah
sebagai berikut :
1. Mendapatkan tingkat efisiensi dari pergerakan lalulintas secara menyeluruh
dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi dengan menyeimbangkan permintaan
dengan sarana penunjang yang tersedia.
2. Meningkatkan tingkat keselamatan dari pengguna yang dapat diterima oleh
semua pihak dan memperbaiki tingkat keselamatan tersebut sebaik mungkin.
3. Melindungi dan memperbaiki keadaan kondisi lingkungan dimana arus
lalulintas tersebut berada.
4. Mempromosikan penggunaan energi lain yang dampak negatifnya lebih kecil
daripada energi yang ada.
Sasaran dari manajemen lalulintas sesuai dengan tujuan diatas menurut
abubakar, dkk (1999) adalah sebagai berikut :
1. Mengatur dan menyederhanakan lalulintas dengan melakukan pemisahan
terhadap tipe, kecepatan dan pemakai jalan yang berada untuk
meminimumkan gangguan terhadap lalulintas.
2. Mengurangi tingkat kemacetan lalulintas dengan menaikkan kapasitas atau
mengurangi volume lalulintas pada suatu jalan. Melakukan optimasi ruas
jalan dengan menentukan fungsi dari jalan dan kontrol terhadap aktivitas-
aktivitas yang tidak cocok dengan fungsi jalan tersebut harus dikontrol.

2.2.6. Volume Lalulintas


Menurut Abubakar (1995) volume adalah jumlah kendaraan yang melalui
satu titik yang tetap pada jalan dalam satuan waktu. Volume lalulintas pada suatu
jalan akan bervariasi tergantung pada volume total dua arah, arah lalu lintas,
volume harian, bulanan, dan tahunan. Pada umumnya kendaraan yang bergerak
11

lambat dan yang bergerak sangat lambat akan menjadi persoalan. Untuk
mendesain jalan dengan kapasitas yang memadai, maka volume lalulintas yang
diperkirakan akan menggunakan jalan harus ditentukan terlebih dahulu.
Menurut Peraturan Menteri No 96 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, volume lalulintas
untuk mengetahui jumlah kendaraan atau pejalan kaki pada ruas jalan atau
persimpangan jalan selama interval waktu tertentu. Volume lalu lintas pada ruas
jalan per satuan waktu yang dikenal juga dalam perencanaan lalu lintas adalah
Lalu Lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) dan Volume Jam Perencanaan
(VJP).
1. Lalu Lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT)
LHRT yaitu arus lalulintas dalam setahun dibagi dengan jumlah hari dalam
satu tahun (365 hari), sehingga LHRT dinyatakan satuan mobil penumpang
(smp)/jam.
2. Volume Jam Perencanaan (design hourly volume) – VJP
VJP yaitu besaran yang digunakan dalam perancangan bagian-bagian jaringan
jalan, dengan satuan yang biasa digunakan adalah smp/jam.
Dimana pada sepanjang tahun akan terdapat satu jam yang dimana volume
lalu lintas mencapai volume tertinggi. Volume lalulintas tertinggi tersebut
yang dijadikan sebagai volume jam perencanaan. Volume jam perencanaan
(VJP) adalah 9% LHRT untuk jalan kota, dan 11% untuk jalan antar kota.

2.2.7. Arus Jenuh


Menurut Malkhamah (1995), arus siklus dapat dianggap jenuh apabila
akhir nyala lampu hijau masih terdapat kendaraan yang antri. Model
keberangkatan kendaraan dibuat dengan mengasumsikan bahwa tidak ada
kendaraan yang melewati garis henti pada saat lampu merah menyala efektif.
Menurut Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (2014), arus jenuh
dinyatakan dari hasil perkalian antara arus jenuh dasar dengan faktor-faktor
penyesuaian untuk penyimpanan kondisi eksisting terhadap kondisi ideal.
12

2.2.8. Hambatan Samping


Menurut PKJI (2014) hambatan samping merupakan interaksi antara arus
lalulintas dan kegiatan samping jalan yang menyebabkan menurunnya arus jenuh
dalam pendekat yang bersangkutan. Hambatan samping yang sangat
mempengaruhi pada kapasitas dan kinerja jalan adalah :
1. Pejalan kaki.
2. Angkutan umum, kendaraan berhenti dan parkir.
3. Kendaraan yang keluar masuk dari lahan samping jalan.
4. Kendaraan yang bergerak lambat, seperti : becak, kereta kuda, kendaraan tak
bermotor.

2.2.9. Alat Pemberi Isyarat Lalulintas (APILL)


APILL adalah alat yang mengatur arus lalulintas menggunakan 3 isyarat
lampu yang baku, yaitu merah, kuning dan hijau. Penggunaan 3 warna tersebut
bertujuan memisahkan lintasan arus lalulintas yang saling konflik dalam bentuk
pemisah waktu berjalan (PKJI,2014).
Menurut UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan,
APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalulintas) adalah media elektronik berupa lampu
yang digunakan untuk mengatur lalu lintas di persimpangan atau ruas jalan.
Lampu lalulintas secara umum berwarna merah (berhenti), kuning (hati-hati), dan
hijau (berjalan dengan hati-hati). APILL ini merupakan instrumen yang sangat
penting bagi lalu lintas perkotaan. Pengendalian simpang ber APILL menurut
Peraturan Mnteri Perhubungan Nomor 96 Tahun 2015 dapat dilakukan sesuai
persyaratan berikut :
1. Volume lalulintas di persimpangan rata-rata >750 (kend/jam) selama 8 jam.
2. Waktu tunggu (delay) rata-rata kendaraan di persimpangan >30 detik.
3. Rata-rata jumlah pejalan kaki yang menyeberang >175 pejalan kaki/jam
dalam waktu 8 jam/hari.
4. Jumlah tingkat kecelakaan >5 kecelakaan/tahun.
13

2.2.10. Kinerja Lalulintas Simpang APILL


Meningkatkan kinerja pada semua jenis persimpangan dari segi
keselamatan dan efisiensi adalah dengan melakukan pelaksanaan dalam
pengendalian persimpangan. Kinerja simpang berpengaruh dari pengoperasian
APILL yang ditinjau dengan derajat kejenuhan dari masing-masing lengan,
lamanya tundaan dan panjang antrian kendaraan (Abubakar dkk, 1995).
Menurut (PKJI, 2014), kondisi arus lalulintas tidak ada yang sama bahkan
pada keadaan yang sama, sehingga arus lalulintas pada suatu ruas jalan selalu
bervariasi. Namun demikian, perlu adanya parameter yang dapat menunjukkan
kondisi ruas jalan atau yang akan digunakan untuk perencanaan dan evaluasi
kinerja lalulintas simpang APILL. Parameter tersebut atara lain penetapan waktu
isyarat, kapasitas (C), derajat kenejuhan (DJ), tundaan (T), panjang antrian (PA),
dan rasio kendaraan henti (RKH).
1. Waktu Isyarat
Menurut PKJI (2014), waktu isyarat terdiri dari waktu siklus (c) dan waktu
hijau. Waktu siklus (c) merupakan waktu untuk satu periode lampu lalu lintas,
contohnya adalah pada saat suatu arus diruas jalan mulai hijau , hingga pada
ruas jalan tersebut mulai hijau kembali. Waktu hijau (H) merupakan waktu
isyarat lampu hijau sebaga izin berjalan bagi kendaran-kendaraan pada lengan
simpang yang ditinjau.
2. Kapasitas (C)
Kapasitas merupakan arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan
selama waktu paling sedikit satu jam dengan kata lain kapasitas ruas jalan
merupakan arus lalu lintas maksimum yang dapat melintas dengan stabil pada
suatu potongan melintang jalan pada keadaan (geometrik, pemisah arah,
komposisi lalu lintas, lingkungan) tertentu. Untuk jalan dua lajur dua arah,
kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua arah), namun untuk
jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan
per lajur.
3. Derajat kejenuhan (DJ)
14

Berdasarkan PKJI (2014), derajat kejenuhan adalah perbandingan dari arus


lalu lintas terhadap kapasitasnya. Hal ini merupakan gambaran apakah suatu
ruas jalan mempunyai masalah atau tidak, berdasarkan asumsi jika ruas jalan
makin dekat dengan kapasitasnya kemudahan bergerak makin terbatas.
4. Tundaan (T)
Menurut PKJI (2014), tundaan merupakan waktu tempuh tambahan yang
digunakan pengemudi untuk melalui suatu simpang apabila dibandingkan
dengan lintasan tanpa simpang. Menurut Peraturan Menteri No 96 Tahun
2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu
Lintas, tundaan lalu lintas pada simpang APILL meliputi :
a. Tundaan lalu lintas (delay traffic) merupakan waktu menunggu yang
disebabkan interaksi lalu-lintas dengan gerakan lalu lintas yang
bertentangan.
b. Tundaan geometrik (delay geometric) merupakan waktu menunggu yang
disebabkan oleh perlambatan dan percepatan kendaraan yang membelok di
simpang dan/atau yang terhenti oleh lampu merah.
5. Panjang antrian (PA)
Menurut PKJI (2014), panjang antrian merupakan kendaraan yang
mengantri di sepanjang pendekat (daerah lengan pada simpang jalan yang
digunakan oleh kendaraan untuk mengantri sebelum keluar melewati garis
henti).
6. Rasio kendaraan henti (RKH)
Menurut PKJI (2014), rasio kendaraan henti adalah rasio kendaraan pada
pendekat yang harus berhenti akibat isyarat merah sebelum melewati suatu
simpang terhadap jumlah arus pada fase yang sama pada pendekat tersebut.

2.3. Prosedur Kapasitas Simpang APILL


Menurut PKJI (2014) terdapat 5 langkah utama dalam perhitungan dan
analisa kapasitas simpang APILL antara lain sebagai berikut.
1. Menetapkan data masukan.
2. Menetapkan penggunaan isyarat.
15

3. Menetapkan waktu isyarat.


4. Menetapkan kapasitas simpang APILL.
5. Menetapkan tingkat kinerja lalu lintas simpang APILL.
Untuk desain, baik desain simpang APILL baru maupun desain
peningkatan simpang APILL lama dan evaluasi kinerja lalulintas simpang APILL,
prosedur tersebut secara umum sama. Perbedaannya adalah dalam penyediaan
data masukan. Untuk desain, perlu ditetapkan kriteria desain (contoh: DJ
maksimum yang harus dipenuhi, T yang lebih kecil dari nilai tertentu) dan data
lalulintas rencana. Untuk evaluasi kinerja lalulintas simpang APILL, perlu data
geometrik, pengaturan arus lalulintas dan data arus lalulintas eksisting.
Sasaran utama dalam melakukan evaluasi kinerja lalulintas simpang
APILL yang telah dioperasikan adalah menghitung dan menilai DJ, PA, NKH, T
yang menjadi dasar analisis kinerja lalulintas simpang. Data utamanya adalah data
geometrik, pengaturan arus lalulintas, kondisi lingkungan simpang APILL, dan
data lalulintas eksisting.

2.4. Ketentuan Teknis


2.4.1. Data masukan
Data masukan diperlukan untuk dua hal, yaitu data lalu lintas eksisting,
dan data lalulintas rencana. Data lalulintas eksisiting digunakan untuk melakukan
evaluasi kinerja lalu lintas, berupa arus lalu lintas per jam eksisting pada jam-jam
tertentu yang dievaluasi, misalnya arus lalu lintas pada jam sibuk pagi atau arus
lalu lintas pada jam sibuk sore. Sedangkan, data arus lalulintas rencana digunakan
sebagai dasar untuk menetapkan lebar jalur lalu lintas atau jumlah lajur lalu lintas,
berupa arus lalu lintas jam desain (qJD) yang ditetapkan dari LHRT, menggunakan
faktor k sesuai persamaan 1) sebagai berikut.

q JD = LHRT x k . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1)
Keterangan :
LHRT : volume lalu lintas harian rata-rata tahunan, dinyatakan dalam skr/hari.
16

k : faktor jam rencana, ditetapkan dari kajian fluktuasi arus lalu lintas jam-
jaman selama satu tahun. Nilai k yang dapat digunakan untuk jalan
perkotaan berkisar antara 7% sampai dengan 12%.

1. Kondisi geometrik
Kondisi geometrik digambarkan dalam bentuk gambar sketsa yang
memberikan informasi lebar jalan, lebar bahu dan lebar median serta petunjuk
arah untuk tiap lengan simpang.
2. Kondisi lingkungan simpang
Kondisi lingkungan simpang dinyatakan dan terdiri dari dua bagian, yaitu :
a. Ukuran kota
Ukuran kota ditetapkan menjadi lima berdasarkan kriteria populasi
penduduk, dapat dilihat pada Tabel 2.2. sebagai berikut.

Tabel 2.2. Klasifikasi ukuran kota dan faktor koreksi ukuran kota (FUK)
Populasi Penduduk
Ukuran Kota FUK
Juta Jiwa
Sangat Kecil < 0,1 0,82
Kecil 0,1 - 0,5 0,88
Sedang 0,5 - 1,0 0,94
Besar 1,0 - 3,0 1,00
Sangat Besar > 3,0 1,05
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014

b. Gabungan dari tipe lingkungan, hambatan samping dan kendaraan tak


bermotor. Kategori tersebut ditetapkan berdasarkan penilaian teknis
dengan kriteria sebagai mana ditetapkan pada Tabel 2.3. sebagai berikut.
17

Tabel 2.3. Tipe lingkungan jalan


Tipe Lingkungan Jalan Kriteria
Lahan yang digunakan untuk kepentingan
komersial, misalnya pertokoan, rumah makan,
Komersial
perkantoran, dengan jalan masuk langsung baik
bagi pejalan kaki maupun kendaraan.
Lahan yang digunakan untuk tempat tinggal
Pemukiman dengan jalan masuk langsung baik bagi pejalan
kaki maupun kendaraan.
Lahan tanpa jalan masuk langsung atau sangat
Akses Terbatas terbatas, misalnya karena adanya penghalang
fisik : akses harus melalui jalan samping.
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014
Untuk kategori hambatan samping masing-masing menunjukan pengaruh
aktivitas samping jalan di daerah simpang terhadap arus lalulintas yang
berangkat dari pendekat, misalnya : pejalan kaki berjalan atau menyeberangi
jalur, angkutan kota dan bus berhenti untuk menaikkan atau menurunkan
penumpang, kendaraan keluar dan masuk dari tempat parkir sesuai Tabel 2.4.
sebagai berikut.

Tabel 2.4. Kriteria hambatan samping


Hambatan Samping Kriteria
Arus berangkat pada tempat masuk dan keluar
Tinggi simpang terganggu dan berkurang akibat
aktivitas samping jalan di sepanjang pendekat.
Arus berangkat pada tempat masuk dan keluar
Sedang simpang terganggu dan sedikit berkurang akibat
aktivitas samping jalan di sepanjang pendekat.
Arus berangkat pada tempat masuk dan keluar
Rendah simpang tidak terganggu dan tidak berkurang
oleh hambatan samping.
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014

Ketiga kondisi lingkungan tersebut yaitu kondisi lingkungan simpang,


kondisi hambatan samping (HS) simpang, dan besarnya RKTB digabungkan
menjadi satu faktor koreksi lingkungan terhadap kapasitas dasar sebagaimana
ditetapkan pada Tabel 2.5. sebagai berikut.
18

Tabel 2.5. FHS sebagai fungsi dari tipe lingkungan jalan HS dan RKTB
Tipe Lingkungan FHS
HS
Jalan RKTB: 0,00 0,05 0,15 0,10 0,20 ≥ 0,25
Tinggi 0,93 0,88 0,79 0,84 0,74 0,70
Komersial Sedang 0,94 0,89 0,80 0,85 0,75 0,70
Rendah 0,95 0,90 0,81 0,86 0,76 0,71
Tinggi 0,96 0,91 0,82 0,86 0,77 0,72
Pemukiman Sedang 0,97 0,92 0,82 0,87 0,77 0,73
Rendah 0,98 0,93 0,83 0,88 0,78 0,74
Tinggi/
Akses Terbatas Sedang/ 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75
Rendah
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014

3. Kondisi arus lalulintas


Ketentuan teknis perhitungan pada kondisi arus lalulintas meliputi :
a. Arus lalulintas per jenis kendaraan bermotor dan tak bermotor (qKR, qKB,
qSM, qKTB) dengan distribusi gerakan LRS, Bka, dan Bki. Data pada masing-
masing pendekat (U, S, T, B) ataupun sub pendekat (U1, U2, dst).
b. Rasio arus kendaraan belok kiri (RBKi) dan rasio arus belok kanan (RBKa)
untuk masing-masing pendekat sesuai persamaan 24) dan 25) sebagai
berikut.
𝑸𝑩𝑲𝒊
RBKi = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .24)
𝑸𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍
𝑸𝑩𝑲𝒂
RBKa = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .25)
𝑸𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍

c. Rasio kendaraan tak bermotor (RKTB) untuk masing-masing pendekat


sesuai persamaan 26) sebagai berikut.
𝑸𝑲𝑻𝑩
RKTB = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .26)
(𝑸𝑲𝑻𝑩+𝑸𝑲𝑩𝑻)
19

Tabel 2.6. Klasifikasi jenis kendaraan


Kode Jenis Kendaraan Tipikal Kendaraan
KB Kendaraan Berat Truk, Bus
KR Kendaraan Ringan Mobil Pribadi, Opelet, Pick Up
SM Sepeda Motor Motor
KTB Kendaraan Tak Bermotor Sepeda, Becak, Dokar
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014

Tabel 2.7. Ekivalen kendaraan ringan


ekr tipe pendekat
Jenis Kendaraan
Terlindung Terlawan
KB 1,00 1,00
KR 1,30 1,30
SM 0,15 0,40
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014

2.4.2. Penggunaan isyarat


Ketentuan teknis pada penggunaan isyarat meliputi fase isyarat/fase sinyal,
waktu antar hijau dan waktu hilang.
1. Fase sinyal
Sebagai acuan dalam penentuan penggunaan fase yang digunakan dalam
analisis untuk kepentingan evaluasi simpang APILL eksisting, sangat
memungkinkan terjadi variasi pengaturan fase eksisting yang kompleks untuk
kepentingan manajemen lalulintas simpang pada Gambar 2.1. dan sebagai
berikut.

Gambar 2.2. Contoh pengaturan simpang APILL dengan 4 fase


Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014
20

2. Waktu antar hijau dan waktu hilang


Dalam bagian ini, menghitung waktu Msemua, AH per fase, dan HH. Untuk
analisis operasional dan desain peningkatan, hitung AH dan HH dengan
menggunakan persamaan 2). Untuk nilai praktis, nilai normal AH, dapat
menggunakan nilai seperti Tabel 2.8. sebagai berikut.

𝑳𝑲𝑩𝑹+𝑷𝑲𝑩𝑹 𝑳𝑲𝑫𝑻
( − )
𝑽𝑲𝑩𝑹 𝑽𝑲𝑫𝑻
Msemua = Max { 𝑳𝑷𝑲
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2)
𝑽𝑷𝑲

Apabila periode Msemua untuk masing-masing akhir fase telah ditetapkan,


waktu hijau hilang total (HH) untuk simpang untuk setiap siklus dapat
dihitung sebagai jumlah dari waktu-waktu antar hijau menggunakan
persamaan 3).

HH = ∑𝒊 (𝑴𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 + 𝑲)𝒊 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3)

Keterangan :
LKBR, LKDT, LPK : Jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk
kendaraan yang berangkat, kendaraan yang datang, pejalan kaki, m.
PKBR : Panjang kendaraan yang berangkat, m.
VKBR, VKDT, VPK : Kecepatan untuk masing-masing kendaraan berangkat,
kendaraan datang, dan pejalan kaki, m/det.

Tabel 2.8. Nilai normal waktu antar hijau


Ukuran Simpang Lebar Jalan Rata-rata (m) Nilai Normal AH (dtk/fase)
Kecil 6 - < 10 4
Sedang 10 - < 15 5
Besar ≥ 15 ≥6
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014
21

2.4.3. Penentuan Waktu Isyarat


Penentuan waktu APILL terdiri dari tipe pendekat, penentuan lebar
pendekat efektif (LE), arus jenuh dasar (S0), arus jenuh yang telah disesuaikan (S),
rasio arus/arusjenuh (RQ/S), waktu siklus dan waktu hijau.
1. Tipe pendekat
Pada pendekat dengan arus lalulintas yang berangkat pada fase yang berbeda,
maka analisis kapasitas pada masing-masing fase pendekat tersebut harus
dilakukan secara terpisah. Berlaku juga untuk perbedaan tipe pendekat baik
itu terlindung (P) maupun terlawan (O) pada fase yang berbeda. Penentuan
tipe pendekat sesuai pada Gambar 2.2. sebagai berikut.

Gambar 2.2. Penentuan tipe pendekat


Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014
22

2. Penentuan lebar pendekat efektif


Penentuan lebar pendekat efektif (LE) berdasarkan lebar ruas pendekat (L),
lebar masuk (LM), dan lebar keluar (LK). Jika BKIJT diizinkan tanpa
mengganggu arus lurus dan arus belok kanan saat isyarat merah, maka LE
dipilih dari nilai terkecil diantara LK dan (LM-LBKIJT). Untuk menentukan
LM, pada pendekat terlindung, jika LK < LM×(1-RBKa-RBKiJT), tetapkan LE =
LK, dan analisis penentuan waktu isyarat untuk pendekat ini hanya didasarkan
pada arus lurus saja. Jika pendekat dilengkapi pulau lalu lintas, maka LM
ditetapkan seperti ditunjukkan dalam gambar sebelah kiri. Jika pendekat tidak
dilengkapi pulau lalu lintas, maka LM ditentukan seperti ditunjukkan dalam
gambar sebelah kanan. Maka LM = L-LBKiJT sesuai pada Gambar 2.3. sebagai
berikut.

Gambar 2.3. Lebar pendekat dengan dan tanpa pulau lalulintas


Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014

3. Arus jenuh dasar


Arus jenuh (S, skr/jam) adalah hasil perkalian antara arus jenuh dasar (S0)
dengan faktor-faktor penyesuaian untuk penyimpanan kondisi eksisting
terhadap kondisi ideal. S dirumuskan dengan persamaan 6) sebagai berikut.

S = S0 x FHS x FUK x FG x FP x FBKi x FB. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6)


23

Keterangan :
FUK : faktor penyesuaian S0 terkait ukuran kota
FHB : faktor penyesuaian S0 akibat HS lingkungan jalan
FG : faktor penyesuaian S0 akibat kelandaian memanjang pendekat
FP : faktor penyesuaian S0 akibat adanya jarak garis henti pada mulut
pendekat terhadap kendaraan yang parkir pertama
FBKa : faktor penyesuaian S0 akibat arus lalulintas membelok ke kanan
FBKi : faktor penyesuaian S0 akibat arus lalulintas membelok ke kiri

Untuk pendekat terlindung, S0 ditentukan oleh persamaan 7), sebagai fungsi


dari lebar efektif pendekat. Selain itu, penetapan nilai S0 untuk tipe pendekat
terlindung, dapat ditentukan dengan menggunakan diagram yang ditunjukkan
dalam Gambar 2.4. sebagai berikut.

S0 = 600 x LE . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .7)
Keterangan :
S0 : arus jenuh dasar, skr/jam
LE : lebar efektif pendekat, m

Gambar 2.4. Arus jenuh dasar untuk pendekat terlindung (P)


Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014
24

4. Arus jenuh yang disesuaikan, S


Nilai S ditentukan dengan menggunakan persamaan 6) , apabila salah satu
fase adalah fase pendek, dimana satu isyarat pada pendekat menyala hijau
beberapa saat sebelum mulainya hijau pada arah yang berlawanan, disarankan
menggunakan hijau awal diantara 1/4 sampai 1/3 dari total waktu hijau pada
pendekat yang diberi waktu hijau awal. Lama waktu hijau awal dan akhir
minimal 10 detik.
5. Rasio arus/arus jenuh, RQ/S
Dalam menganalisis RQ/S perlu diperhatikan bahwa :
a. Jika arus BKIJT harus dipisahkan dari analisis, maka hanya arus lurus dan
belok kanan saja yang dihitung sebagai nilai Q.
b. Jika LE=LK, maka hanya arus lurus saja yang masuk dalam nilai Q.
c. Jika pendekat mempunyai dua fase, yaitu fase kesatu arus terlawan (O) dan
fase kedua arus terlindung (P), maka arus gabungan dihitung dengan
pembobotan seperti proses perhitungan arus jenuh.
RQ/S dihitung menggunakan persamaan 10) sebagai berikut.

RQ/S = Q/S . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10)

6. Waktu siklus dan waktu hijau


Waktu isyarat terdiri dari waktu siklus (c) dan waktu hijau (H). Tahap
pertama adalah penentuan waktu siklus untuk sistem kendali waktu tetap
yang dapat dilakukan menggunakan rumus Webster (1966). Rumus ini
bertujuan meminimumkan tundaan total. Tahap selanjutnya adalah
menerapkan waktu hijau (g) pada masing-masing fase (i). Nilai c ditetapkan
menggunakan persamaan 11) atau dengan menggunakan Gambar 2.5. sebagai
berikut.

(𝟏,𝟓 𝒙 𝑯𝑯+𝟓)
c = 𝟏− ∑𝑹𝑸/𝒔 𝒌𝒓𝒊𝒕𝒊𝒔 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .11)

Keterangan :
c : waktu siklus, detik.
25

HH : jumlah waktu hijau hilang per siklus, detik


RQ/S : rasio arus, yaitu arus dibagi arus jenuh, Q/S
RQ/S kritis : nilai RQ/S yang tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada
fase yang sama
∑RQ/S kritis : rasio arus simpang (sama dengan jumlah semua RQ/S kritis dari
semua fase) pada siklus tersebut

Gambar 2.5. Penetapan waktu siklus sebelum penyesuaian, Cbp


Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (2014)

H ditetapkan menggunakan persamaan 12) sebagai berikut.


Hi = (c – HH) x RQ/S kritis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .12)
∑i(RQ/S kritis)i
Keterangan :
Hi : waktu hijau pada fase i, detik
I : indeks untuk fase ke i

2.4.4. Kapasitas Simpang


Perhitungan selanjutnya yaitu menetapkan kapasitas simpang. Adapaun
bagiannya yaitu terdiri dari kapasitas simpang APILL dan dejarat kejenuhan.
1. Kapasitas simpang dan Derajat kejenuhan
26

Kapasitas simpang APILL (C) dihitung menggunakan persamaan 13) sebagai


berikut.
𝑯
C=Sx . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .13)
𝒄
Keterangan :
C : kapasitas simpang APILL, skr/jam
S : arus jenuh, skr/jam
H : total waktu hijau dala satu siklus, detik
c : waktu siklus, detik.

Derajat kejenuhan (DJ) dihitung menggunakan persamaan 14) sebagai


berikut.

DJ = Q/C . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .14)
Keterangan :
Q : arus lalulintas
C : kapasitas simpang

2. Keperluan perubahan geometrik jalan


Apabila waktu siklus yang dihitung pada langkah (waktu siklus dan hijau)
lebih besar dari batas atas yang disarankan, DJ umumnya juga >0,85. Ini
berarti arus lalulintas pada simpang tersebut mendekati arus jenuhnya dan
akan menyebabkan antrian yang panjang pada kondisi lalulintas puncak.
Maka kondisi ini memerlukan penambahan kapasitas simpang melalui salah
satu perubahan simpang. Adapun perubahan simpang yang dapat
dipertimbangkan adalah sebagai berikut.
a. Penambahan lebar pendekat
Menambah lebar pendekat, pengaruh terbaik dari tindakan ini akan
diperoleh jika pelebaran dilakukan pada pendekat-pendekat dengan rasio
fase yang kritis (RFkritis).
b. Pelarangan gerakan belok kanan
27

Pelarangan bagi satu atau lebih gerakan belok kanan biasanya menaikkan
kapasitas, terutama jika hal itu menyebabkan pengurangan jumlah fase
yang diperlukan. Walaupun demikian perancangan manajemen lalu lintas
yang tepat, perlu untuk memastikan agar perjalanan arus belok kanan yang
akan dilarang tersebut dapat diselesaikan tanpa jalan pengalih yang terlalu
panjang dan tidak mengganggu simpang yang berdekatan.
c. Perubahan fase isyarat
Jika pendekat dengan arus berangkat terlawan (tipe O) dan rasio belok
kanan (RBKa) tinggi dengan menunjukan nilai RFkritis yang tinggi (RF>0,8),
maka dapat dibuat satu fase tambahan terpisah untuk lalulintas belok
kanan. Penerapan fase terpisah untuk lalulintas belok kanan ini dapat juga
dilakukan dengan pelebaran jalur pendekat.

2.4.5. Tingkat Kinerja Lalulintas Simpang APILL


Selanjutnya yaitu menentukan tingkat kinerja lalulintas simpang APILL
yang terdiri dari persiapan, panjang antrian, rasio kendaraan henti, tundaan.
1. Persiapan
Untuk langkah persiapan penentuan tingkat kinerja lalulintas, periksa hal-hal
sebagai berikut :
a. Kode pendekat
b. Q untuk masing-masing pendekat, (skr/jam)
c. C untuk masing-masing pendekat, (skr/jam)
d. DJ untuk masing-masing pendekat
e. RH untuk masing-masing pendekat
f. Q total dari seluruh gerakan BkiJT yang diperoleh dari jumlah seluruh
gerakan BkiJT, (skr/jam)
g. Beda antara arus masuk dan keluar pendekat (Qadj) yang lebar keluarnya
menentukan lebar efektif.
2. Panjang antrian
Jumlah rata-rata antrian kendaraan (skr) pada awal isyarat lampu hijau (NQ)
dihitung sebagai jumlah kendaraan terhenti (skr) yang tersisa dari fase hijau
28

sebelumnya (NQ1) ditambah jumlah kendaraan (skr) yang datang dan terhenti
dalam antrian selama fase merah (NQ2), dihitung menggunakan persamaan
15), 16), 17) sebagai berikut.

NQ = NQ1 + NQ2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .15)

Jika DJ > 0,5 maka :


𝟖𝒙(𝑫𝒋−𝟎,𝟓)
NQ1 = 0,25 x c x {(𝑫𝒋 − 𝟏)𝟐 + √(𝑫𝒋 − 𝟏)𝟐 + } . . . . . . . . . . . .16)
𝒄

Jika DJ ≤ 0,5 maka NQ1 = 0

(𝟏 − 𝑹𝑯) 𝑸
NQ2 = C x 𝒙 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17)
(𝟏−𝑹𝑯 𝒙 𝑫𝒋) 𝟑𝟔𝟎𝟎

Nilai NQ1 dapat pula diperoleh dengan menggunakan diagram pada Gambar
2.6., nilai NQ2 menggunakan diagram pada Gambar 2.7. dan Gambar 2.8.
sebagai berikut.

Gambar 2.6. Jumlah kendaraan tersisa (skr) dari fase sebelumnya


Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014
29

Gambar 2.7. Jumlah kendaraan yang datang kemudian antri pada fase merah
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014

Gambar 2.8. Jumlah kendaraan yang datang kemudian antri pada fase merah
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia, 2014

Panjang antrian (PA) diperoleh dari perkalian NQ (skr) dengan luas area rata-
rata yang digunakan oleh satu kendaraan ringan (ekr) yaitu 20m2, dibagi lebar
masuk (m), sebagaimana persamaan 18) sebagai berikut.

𝟐𝟎
PA = NQ x . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .18)
𝑳𝑴
Keterangan :
NQ : awal isyarat lampu hijau
30

LM : lebar masuk, m

Lakukan koreksi untuk mengevaluasi pembebanan yang lebih dari NQ. Jika
diinginkan peluang untuk terjadinya pembebanan sebesar POL (%), maka
tetapkan nilai Nqmax mengunakan gambar dibawah ini. Untuk desain dan
perencanaan disarankan POL ≤ 5%. Untuk analisis operasional, nilai POL =
5% sampai dengan 10% masih dapat diterima sesuai Gambar 2.9. sebagai
berikut.

Gambar 2.9. Jumlah antrian maksimum (NQmax), skr, sesuai dengan peluang untuk
beban lebih (POL) dan NQ
Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (2014)

3. Rasio kendaraan henti


RKH yaitu rasio kendaraan pada pendekat yang harus berhenti akibat isyarat
merah sebelum melewati suatu simpang terhadap jumlah arus pada fase yang
sama pada pendekat tersebut, dihitung menggunakan persamaan 19) dan juga
bisa menggunakan diagram pada Gambar 2.10. sebagai berikut.

RKH = 0,9 x (NQ/Q x c) x 3600 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19)


Keterangan :
NQ : jumlah rata-rata antrian kendaraan (skr) pada awal isyarat hijau
c : waktu siklus, detik
31

Q : arus lalulintas dari pendekat yang ditinjau, skr/jam

Jumlah rata-rata kendaraan berhenti, NH adalah jumlah berhenti rata-rata per


kendaraan (termasuk berhenti terulang dalam antrian) sebelum melewati
suatu simpang, dihitung menggunakan persamaan 20) sebagai berikut.

NH = Q x RKH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .20)

Keterangan :
Q : arus lalulintas dari pendekat yang ditinjau, skr/jam
RKH : rasio kendaraan berhenti

Rasio rata-rata kendaraan berhenti untuk seluruh simpang atau angka henti
seluruh simpang dihitung menggunakan persamaan 32) sebagai berikut.

R(KHtotal) = (∑NH)/Qtotal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32)

Adapun diagram penentuan rasio kendaraan henti sesuai Gambar 2.10.


sebagai berikut.

Gambar 2.10. Penentuan rasio kendaraan terhenti, RKH


Sumber : Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (2014)
32

4. Tundaan
Tundaan pada suatu simpang terjadi karena dua hal, yaitu tundaan lalulintas
(TL) dan tundaan geometrik (TG). Tundaan rata-rata untuk suatu pendekat i
dihitung menggunakan persamaan 21) sebagai berikut.

Ti = Tli + Tgi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21)


Menurut Akcelik (1988) tundaan lalulintas rata-rata pada suatu pendekat i
dapat ditentukan menggunakan persamaan 22) sebagai berikut.

𝟎,𝟓 𝒙 (𝟏−𝑹𝑯)𝟐 𝑵𝑸𝟏 𝒙 𝟑𝟔𝟎𝟎


TL = c x + . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 22)
(𝟏−𝑹𝑯 𝒙 𝑫𝒋) 𝒄

Keterangan :
TL : tundaan lalulintas rata-rata
c : waktu siklus yang disesuaikan, detik
RH : rasio hijau = (g/c)
DJ : derajat kejenuhan
NQ1 : jumlah skr yang tersisa dari fase hijau sebelumnya
C : kapasitas simpang, skr/jam

Tundaan geometrik rata-rata pada suatu pendekat i dapat diperkirakan


menggunakan persamaan 23) sebagai berikut.

TG = (1 - RKH) x PB x 6 + (RKH x 4) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .23)


Keterangan :
PB : porsi kendaraan membelok pada suatu pendekat
RKH : rasio kendaraan terhenti pada pendekat
TG : tundaan geometrik rata-rata untuk pendekat (det/skr)

Anda mungkin juga menyukai