Penulis :
Galih Wicaksono
Ickhsanto Wahyudi
Fibria Anggraini Puji Lestari
Ari Purwanti
Mohklas
Rida Ristiyana
Parju
Amelia Rizky Alamanda
Daniel Kartika Adhi
Depita Anggraini
Luhgiatno
Selvia Eka Aristantia
PERPAJAKAN
Galih Wicaksono
Ickhsanto Wahyudi
Fibria Anggraini Puji Lestari
Ari Purwanti
Mohklas
Rida Ristiyana
Parju
Amelia Rizky Alamanda
Daniel Kartika Adhi
Depita Anggraini
Luhgiatno
Selvia Eka Aristantia
Penulis:
Galih Wicaksono
Ickhsanto Wahyudi
Fibria Anggraini Puji Lestari
Ari Purwanti
Mohklas
Rida Ristiyana
Parju
Amelia Rizky Alamanda
Daniel Kartika Adhi
Depita Anggraini
Luhgiatno
Selvia Eka Aristantia
ISBN: 978-623-8051-48-9
website: www.globaleksekutifteknologi.co.id
email: globaleksekutifteknologi@gmail.com
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................................vi
BAB 1 PENGANTAR PERPAJAKAN ................................................................................1
1.1 Definisi Pajak .................................................................................................................................1
1.2 Karakteristik Pajak ....................................................................................................................2
1.3 Fungsi Pajak ...................................................................................................................................3
1.4 Jenis Pajak........................................................................................................................................4
1.5 Sistem Pemungutan Pajak ...................................................................................................7
ii
3.6 Pengurangan Penghasilan....................................................................................................49
3.6.1 Beban Yang diperbolehkan sebagai Pengurang........................................49
3.6.2 Beban Yang Tidak diperbolehkan sebagai Pengurang .........................49
3.7 Perhitungan Pajak Penghasilan........................................................................................49
3.7.1 Tarif Pajak ............................................................................................................................50
3.7.2 Penghasilan Kena Pajak..............................................................................................53
3.7.3 Pajak Penghasilan ...........................................................................................................58
3.8 Pelunasan Pajak ..........................................................................................................................59
3.8.1 Pelunasan Sendiri Pajak oleh Wajib Pajak ....................................................59
3.8.2 Pelunasan Pajak melalui Pihak Lain ..................................................................59
iii
6.6 Tarif Pemotongan PPh Pasal 23.......................................................................................101
6.7 Pencatatan Transaksi PPh Pasal 23...............................................................................103
6.8 Pencatatan Atas Pendapatan Berupa Royalti dari Karya
Sinematografi...............................................................................................................................104
6.9 Cara Menghitung PPh Pasal 23.........................................................................................105
6.10 Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23 ............................109
iv
10.7 Pajak Pertambahan Barang Mewah (PPN BM)..................................................167
BAB 11 BEA METERAI .........................................................................................................171
11.1 Pendahuluan...............................................................................................................................171
11.2 Objek, tarif dan saat terutangnya bea meterai....................................................174
11.3 Pihak yang terutang dan pemungut bea meterai .............................................176
11.4 Jenis meterai dan pemeteraian kemudian ............................................................178
11.5 Pembebasan dari pengenaan bea meterai ............................................................179
11.6 Ketentuan pidana ....................................................................................................................180
v
DAFTAR TABEL
vi
BAB 1
PENGANTAR PERPAJAKAN
Oleh Galih Wicaksono
1
mendefinisikan bahwa pajak merupakan ”peralihan kekayaan dari
pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran
rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”.
Sedangkan S.I. Djajadiningrat mengartikan bahwa pajak adalah
”suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas
negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan
perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan
sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan
pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal
balik dari negara secara langsung untuk memelihara
kesejahteraan secara umum.
2
c. Bersifat memaksa
Memaksa disini dalam artian yaitu dengan adanya berbagai
jenis instrumen pendukung, maka hal tersebut sebagai
dasar hukum pemungutan atau pemotongan pajak.
Sehingga aspek perpajakan harus dijalankan oleh wajib
pajak, tanpa terkecuali karena hal ini bersifat memaksa.
d. Timbal balik tidak dirasakan secara langsung
Artinya bahwa kebermanfaatan pajak tidak secara
langsung dirasakan, karena pajak akan dikumpulkan
terlebih dahulu dan dialokasikan untuk tujuan tertentu.
Sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara tidak
langsung oleh pembayar pajak khususnya dan masyarakat
luas pada umumnya.
e. Digunakan untuk pembangunan
Pembangunan disini dalam arti pembangunan yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
khususnya untuk membiyai pengeluaran negara dan
daerah, yang manfaatnya akan dirasakan oleh masyarakat.
3
2. Fungsi Regularend
Fungsi regularend berkaitan dengan fungsi pajak dalam
mengatur kehidupan di masyarakat. Pajak merupakan
salah satu kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh
pemerintah, yang dalam hal ini menurut Boedijono dkk
(2019) bahwa pemerintah berwenang mengelola keuangan
negara dari tingkat pusat sampai daerah. Namun,
pemerintah perlu melihat juga kondisi ekonomi dan pelaku
usaha, karena pelaku usaha perlu memperhitungkan
dengan cermat terkait modal kerjanya agar usaha tetap
berjalan dengan lancar (Wicaksono dan Puspita, 2020).
4
pengenaan pajaknya dapat dibebankan kepada pihak
lain.
Contoh jenis pajak tidak langsung adalah Pajak
Pertambahan Nilai atau sering dikenal dengan PPN.
PPN secara umum dikenakan oleh produsen atau
penjual barang dan atas jasa terhadap konsumennya,
serta pengenaannya dibebankan bersamaan dengan
harga barang atau jasa yang dijual.
2. Jenis Pajak menurut Sifat
Pajak menurut sifatnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Pajak Subjektif
Pajak subjektif adalah pajak yang dalam penerapan
atau pengenaannya dengan memperhatikan kondisi
subjek pajak.
Contoh pajak yang bersifat subjektif adalah Pajak
Penghasilan, dimana jenis pajak ini tentu saja dengan
memperhatikan berapa penghasilan yang diterima,
bagaimana kondisi wajib pajak, status wajib pajak
apakah sudah menikah atau belum menikah, apakah
sudah memiliki tanggungan atau belum dan berapakah
jumlah tanggungannya. Beberapa hal tersebut perlu
diketahui untuk perhitungan pajaknya dan dalam
penentuan besaran penghasilan kena pajak.
b. Pajak Objektif
Pajak objektif adalah pajak yang dalam penerapannya
memperhatikan kondisi objek yang dikenai pajak.
Contoh pajak yang bersifat objektif misalkan Pajak
Bumi dan Bangunan atau yang biasa dikenal oleh
masyarakat dengan sebutan PBB. PBB dikenakan
dengan melihat objek pajak, apakah berupa tanah,
bangunan, gedung, perkebunan, perhutanan, atau
pertambangan. Sehingga setelah diketahui objek
tersebut, maka akan dihitung berapakah luas objek
pajaknya, dimana beberapa hal tersebut akan
5
berpengaruh terhadap besaran tarif pajak dan tentu
saja mempengaruhi besarnya pajak yang terutang.
6
asli daerah yang berguna bagi pembangunan daerah.
Pajak daerah itu sendiri terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
1) Pajak Provinsi
Pajak Provinsi merupakan pajak daerah yang
kewenangannya pada pemerintah provinsi,
misalkan seperti pajak kendaraan bermotor dan
bea balik nama kendaraan bermotor.
2) Pajak Kabupaten / Kota
Pajak Kabupaten / Kota merupakan pajak daerah
yang kewenangannya ada pada pemerintah
kabupaten / kota, misalkan seperti pajak
restoran, pajak hotel, pajak reklame, pajak parkir,
pajak hiburan, pajak sarang burung walet, dan
berbagai jenis pajak lainnya yang biasanya diatur
oleh Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati /
Walikota (Puspita dan Wicaksono, 2017).
7
kepercayaan penuh kepada wajib pajak dalam
menjalankan kewajiban perpajakannya.
Contoh penerapan sistem ini misalkan kewajiban wajib
pajak orang pribadi dan wajib pajak badan dalam
pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak,
dimana wajib pajak secara mandiri menjalankan kewajiban
pelaporan SPT pajak.
2. Official Assesment System
Sistem official assesment system merupakan suatu sistem
pemungutan pajak dimana semua hal terkait kewajiban
perpajakan diatur dan dilakukan oleh kantor pajak. Wajib
pajak apabila akan menjalankan kewajiban pajaknya, maka
harus mendatangi kantor pajak untuk menanyakan
besaran pajak yang terutang. Jadi pada sistem ini, wajib
pajak bersifat pasif dan terima beres keputusan besaran
pajak yang dikeluarkan oleh petugas pajak, tanpa harus
menghitung besaran pajak yang terutang. Hal ini
dikarenakan semua perhitungan dan prosedur
administrasi perpajakan sudah dilakukan oleh petugas
pajak.
Contoh penerapan sistem ini misalkan dalam pemenuhan
pajak kendaraan bermotor serta pajak bumi dan bangunan,
dimana wajib pajak tinggal menyetorkan saja kewajiban
pajaknya, sedangkan yang menentukan besaran pajak
adalah kantor pajak atau aparatur pajak.
3. With Holding System
With holding system merupakan sistem pemungutan yang
melibatkan pihak ketiga dalam pelaksanaannya. Pajak pada
dasarnya melibatkan pihak pertama dan pihak kedua, yaitu
antara wajib pajak dengan kantor pajak. Namun pada
sistem with holding, terdapat pihak lain yuaitu pihak ketiga
dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan. Pihak ketiga
disini memfasilitasi pelaksanaan pemotongan atau
8
pemungutan pajak yang ketentuannya diatur oleh undang-
undang dan peraturan perpajakan.
Contoh penerapan sistem ini yaitu pada pemotongan atas
pajak penghasilan atas gaji, dimana gaji karyawan dipotong
oleh perusahaan tempat karyawan bekerja. Disini
perusahaan sebagai pihak ketiga atau perantara dalam
pelaksanaan kewajiban pajak, yaitu memotong pajak atas
gaji karyawan, serta menyetorkan pajak ke kas negara,
serta melaporkan kewajiban pajaknya.
9
DAFTAR PUSTAKA
10
BAB 2
KETENTUAN UMUM DAN TATA
CARA PERPAJAKAN
Oleh Ickhsanto Wahyudi
2.1 Pendahuluan
Tatacara perpajakan lama tak lagi sesuai dengan tata
kehidupan sosek yang dinikmati oleh bangsa Indonesia, baik itu
dari sisi kerjasama nasional maupun tingkat pencapaian
pembangunan negara. Lebih lanjut, tatacara perpajakan yang lama
tak mampu mendorong peran seluruh lapisan subjek pajak
berperan penting dalam mendapatkan penerimaan dalam negeri,
yang \penting buat menjamin kelangsungan dan peningkatan
pembangunan negara. Akibatnya, negara membentuk tatacara
perpajakan baru, yaitu melalui UU Harmonisasi Peraturan
Perpajakan, UU No. 7 Tahun 2021.
UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan juga memuat cluster
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berdasarkan ideologi
negara Pancasila serta UUD 1945, yang keduanya memuat
ketentuan yang melindungi hak warga negara dan memperlakukan
kewajiban bidang perpajakan sebagai kewajiban pemerintah.
Mengingat perkembangan sosial, politik, teknologi informasi, dan
ekonomi, telah ditetapkan bahwa UU Perpajakan mesti diubah
sesuai dengan amanat Omnibus Law yang telah ditetapkan
sebelumnya. Perubahan tersebut bermaksud buat memberikan
keadilan, peningkatan pelayanan wajib pajak, peningkatan
kepastian dan penegakan hukum, dan menyesuaikan kemajuan
teknologi informasi dan perubahan ketentuan materiil perpajakan.
Selanjutnya, perubahan tersebut ditujukan buat meningkatkan
11
profesionalisme aparat pajak, meningkatkan transparansi
administrasi perpajakan, serta meningkatkan kepatuhan sukarela
wajib pajak.
Dengan menganut tatacara self assessment, perubahan UU
ini memiliki sistem, mekanisme, dan prosedur yang sederhana
dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Perubahan
tersebut secara khusus terkait dengan peningkatan keseimbangan
kewajiban dan hak wajib pajak sehingga wajib pajak bisa lebih
melaksanakan kewajiban serta hak perpajakannya.
1. Perubahan UU melalui UU Harmonisasi Perpajakan
mengacu pada kebijakan utama berikut dengan tetap
berpegang pada prinsip kesederhanaan, kepastian hukum,
dan keadilan.
2. Peningkatan efisiensi pemungutan pajak buat mendukung
penerimaan negara.
3. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, keadilan, dan
kepastian hukum dalam rangka meningkatkan daya saing
sektor penanaman modal dengan tetap mendukung
perkembangan usaha menengah serta kecil.
4. Menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan kehidupan
sosial ekonomi masyarakat dan kemajuan teknologi
informasi.
5. Meningkatkan keseimbangan kewajiban dan hak
6. Mempermudah mekanisme administrasi perpajakan.
7. Meningkatkan akuntabilitas dan konsistensi penerapan
prinsip self assessment.
8. Mendorong iklim usaha yang lebih kondusif serta
kompetitif.
12
2.2 Dasar Hukum
Ketentuan Umum serta Tata Cara Perpajakan diatur dalam
UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana sudah dirubah dengan UU
Nomor 16 Tahun 2009. Serta dirubah lagi pada UU Harmonisasi
Perpajakan, UUNomor 7 Tahun 2021, pada cluster KUP sebagai
perubahan terakhir.
2.3 Pemahaman
Definisi atau istilah baku bisa dilihat pada pembahasan
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Definisi atau istilah
tersebut ialah sebagai berikut:
1. Pajak ialah iuran wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa menurut
UU dengan tak menerima imbalan secara langsung dan
digunakan buat kepentinga negara serta buat sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
2. Wajib Pajak ialah orang pribadi atau badan, termasuk
Wajib Pajak, Pemotong Pajak, dan Pemungut Pajak, yang
memiliki hak dan kewajiban perpajakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan ialah
sekelompok orang dan/atau modal yang merupakan suatu
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tak
melakukan yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
terbatas, perseroan lain, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan bentuk
apapun, firma, joint venture, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, ormas, sosial -
organisasi politik, atau organisasi, lembaga dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
3. Masa Pajak ialah jangka waktu yang menjadi dasar bagi
Wajib Pajak buat menghitung, menyetor, serta melaporkan
pajak yang terutang dalam jangka waktu yang ditentukan
13
dalam UU KUP. Masa Pajak ialah satu bulan kalender atau
masa lain yang diatur dengan Peraturan Menkeu paling
lambat 3 (tiga) bulan kalender.
4. Tahun pajak ialah satu tahun takwim kecuali Wajib Pajak
(WP) menggunakan tahun buku yang berbeda dengan
tahun takwim.
5. Sebagian Tahun Pajak termasuk dalam jangka waktu satu
(satu) Tahun Pajak. Yang terutang pajak ialah pajak yang
mesti dibayar pada suatu waktu, dalam suatu Masa Pajak,
dalam suatu Tahun Pajak, atau dalam suatu Bagian Tahun
Pajak dalam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
6. Surat Paksa ialah perintah pengadilan yang mewajibkan
pembayaran utang pajak dan biaya penagihan.
7. Kredit Pajak buat Pajak Penghasilan ialah pajak yang
dibayar oleh Wajib Pajak ditambah pokok pajak yang
terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena pajak
penghasilan tak atau kurang dibayar dalam tahun berjalan,
ditambah pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah
pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri, dikurangi pengembalian kelebihan pajak, yang
dikurangkan dari pajak yang terutang. Kredit Pajak buat
Pajak Pertambahan Nilai ialah Pajak Masukan yang bisa
dikreditkan setelah dikurangi pengembalian kelebihan
pajak atau pajak yang dikompensasikan, yang dikurangkan
dari pajak yang terutang.
8. Pemeriksaan ialah serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara obyektif dan profesional buat mengumpulkan dan
mengolah data, informasi, dan/atau bukti dalam rangka
pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan.
9. Bukti Permulaan ialah suatu keadaan, tindakan, dan/atau
bukti berupa pernyataan, tulisan, atau benda yang bisa
memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa suatu
tindak pidana di bidang perpajakan sedang atau telah
14
dilakukan oleh siapa saja yang bisa mengakibatkan
kerugian penerimaan negara.
10. Pemeriksaan bukti permulaan ialah pemeriksaan yang
dilakukan buat memperoleh bukti permulaan tentang
adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan.
11. Penanggung Pajak ialah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab membayar pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak Wajib Pajak dan memenuhi kewajiban
Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
12. Penelitian ialah serangkaian kegiatan yang dilakukan buat
menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan
lampirannya, termasuk penilaian ketepatan penulisan dan
penghitungan.
Arti atau istilah lain akan ditautkan langsung ke diskusi berikut jika
tak disebutkan di atas.
1. Definisi
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ialah nomor yang
diserahkan pada Wajib Pajak (WP) sebagai sarana
administrasi perpajakan yang berfungsi sebagai identitas diri
Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban serta hak
perpajakannya. Nomor Induk Kependudukan digunakan buat
Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berkedudukan di
Indonesia. Dalam rangka penggunaan NIK sebagai NPWP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1a), menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri
memberikan data kependudukan dan data masukan pengguna
15
kepada Menkeu buat diintegrasikan ke dalam database
perpajakan.
Pengintegrasian database kependudukan dengan sistem
administrasi perpajakan bertujuan untuk memudahkan wajib
pajak orang pribadi dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya demi kenyamanan administrasi dan
kepentingan nasional. Penggunaan NIK sebagai NPWP tidak
mengharuskan pembayaran pajak oleh setiap orang pribadi.
Pajak dibayar jika:
a. penghasilan tahunan melebihi batas PTKP; atau
b. peredaran bruto melebihi Rp 500 juta per tahun bagi
pengusaha yang membayar PPh Final 0,5 persen (PP-
23/2018).
2. Fungsi NPWP
a. Sarana untuk mengidentifikasi atau membuktikan
identitas Wajib Pajak.
b. Mengawal ketertiban dalam pembayaran pajak serta
pengawasan administrasi perpajakan.
3. Menghapus NPWP
Tindakan penghapusan NPWP dari administrasi Kantor
Pelayanan Pajak dikenal sebagai penghapusan NPWP. Direktur
Jenderal Pajak membatalkan Nomor Pokok Wajib Pajak jika
memenuhi salah satu kondisi berikut:
a. Wajib Pajak tak lagi memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan perpajakan.
b. Wajib Pajak badan dalam hal terjadi likuidasi atau
pembubaran karena penghentian atau penggabungan
usaha.
c. Perempuan yang memiliki NPWP sebelumnya dan
menikah tanpa mencapai kesepakatan pemisahan
16
harta dan penghasilan. Wajib Pajak dengan bentuk
usaha tetap berhenti melakukan usaha di Indonesia.
d. Direktur Jenderal Pajak memandang perlu
membatalkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang
diberikan kepada Wajib Pajak yang tak lagi
memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan.
17
2.5 Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha ialah setiap orang atau badan yang sebagai
bagian dari aktivitas usaha atau pekerjaannya memproduksi
barang, mengekspor barang, mengimpor barang, melakukan usaha
perdagangan, menggunakan barang tak berwujud dari luar daerah
pabean, melakukan usaha jasa, atau menggunakan jasa dari luar
daerah pabean.
PKP (Pengusaha Kena Pajak) ialah Pengusaha yang
menyediakan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
dikenakam pajak berdasarkan UU Pajak Pertambahan Nilai 1984
dan perubahannya. Setiap Wajib Pajak yang dikenakan PPN (Pajak
Pertambahan Nilai) berdasarkan UU Pajak Pertambahan Nilai
Tahun 1984 dan perubahannya harus melaporkan usahanya buat
di kukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha Kecil seperti dimaksud dalam UU Pajak
Pertambahan Nilai 1984 ialah mereka yang:
1. Memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak.
2. Tak memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, namun sampai
dengan satu bulan dalam satu tahun pajak nilai peredaran
bruto penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
melebihi batas yang ditetapkan sebagai Pengusaha kecil, ia
harus melaporkan usahanya dalam rangka dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak pada akhir bulan.
Berikutnya.
18
b. Menempatkan hak dan kewajiban di bidang PPN dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
c. Pengawasan administrasi perpajakan
19
c. Dimana Pajak Pertambahan Nilai terutang di tempat
lain, PKP telah dipusatkan.
d. PKP memanfaatkan konfirmasi PKP.
4. Sanksi
Setiap orang yang dengan sengaja tak melaporkan
usahanya buat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
atau yang menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak buat merugikan
penerimaan negara, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun,
serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak yang
belum atau kurang dibayar, dan paling banyak 4 (empat)
kali.
Setiap orang yang berusaha melakukan tindak pidana
penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam rangka permintaan
20
restitusi atau kompensasi pajak atau kredit pajak, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) ) bulan dan
paling lama 2 (dua) tahun, serta denda paling sedikit dua
(2) kali jumlah pengembalian yang diminta dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan, dan paling
banyak empat (4).
2. Fungsi SPT
Tujuan Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak, Pajak
Penghasilan ialah buat melaporkan dan mempertanggung-
jawabkan perhitungan besarnya pajak yang sebetulnya
terutang, serta buat melaporkan:
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang dilakukan
sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan
kepada pihak ketiga dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau
Bagian dari Tahun Pajak
b. Penghasilan yang kena pajak serta tak kena pajak.
c. Kewajiban dan aset
d. Pembayaran yang dilakukan oleh Pemotong atau
Pemungut Pajak atas pemotongan atau pemungutan
pajak atas orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu)
21
Masa Pajak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
22
atau dikukuhkan, atau ke tempat lain yang disetujui
oleh Wajib Pajak. ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
23
yang bisa dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau
kelebihan pajak.
Bagi Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan : Perhitungan jumlah peredaran
yang terjadi pada Tahun Pajak yang bersangkutan.
24
Pemberitahuan tersebut mesti disampaikan paling lambat
2 (dua) tahun sebelum penetapan berakhir. Wajib Pajak
yang membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan
atau Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang
pajak menjadi lebih besar, dikenakan sanksi administrasi
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang
kurang dibayar, dihitung sejak tanggal jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran
pembayaran dan sebagian bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
Sekalipun telah dilakukan penyidikan namun tak dilakukan
penyidikan mengenai adanya ketakbetulan oleh Wajib
Pajak, penyidikan atas ketakbetulan perbuatan Wajib Pajak
tak akan dilakukan apabila Wajib Pajak dengan sukarela
mengungkapkan ketakbetulan perbuatannya disertai
dengan penyelesaian. kekurangan pembayaran jumlah
pajak yang sebetulnya terutang, serta sanksi administrasi
berupa denda sebesar 150 persen (seratus lima puluh
persen) dari pajak yang belum dibayar. Sekalipun Direktur
Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, jika Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak,
Wajib Pajak bisa mengungkapkan dalam laporan tersendiri
tentang ketakbetulan pengisian Surat Pemberitahuan yang
disampaikan berdasarkan keadaan yang sebetulnya yang
bisa menyebabkan:
a. Pajak yang masih mesti dibayar menjadi lebih atau
kurang
b. Kerugian terkait pajak menjadi lebih kecil atau lebih
besar
25
c. Jumlah properti bertambah atau berkurang
e. Jumlah modal bertambah atau berkurang
5. Jenis SPT
26
A. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
B. SPT Berkala, yang terdiri atas:
1) Surat Pemberitahuan Masa (SPT) Pajak Penghasilan.
2) SPT Masa dari Pajak Pertambahan Nilai.
3) SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai.
27
kepada Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu
penyampaian SPT Tahunan, dengan lampiran sebagai
berikut:
a. Penghitungan sementara pajak yang terutang dalam
1 (satu) Tahun Pajak yang telah diperpanjang batas
waktunya.
b. Laporan keuangan interim
c. Surat Setoran Pajak (SSP) sebagai bukti pelunasan
kekurangan pembayaran pajak yang terutang.
28
Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang tak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tak dianggap sebagai Pemberitahuan Perpanjangan SPT
Tahunan.
29
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar.
2.7 Kelalaian
Orang- orang yang karena kelalaiannya
a. Tak menyampaikan Surat Pemberitahuan, atau
b. Memberikan Surat Pemberitahuan namun isinya tak
betul atau tak lengkap, atau melampirkan keterangan
yang isinya tak benar sehingga bisa merugikan
penerimaan negara, dan perbuatan trsbt merupakan
perbuatan setelah perbuatan pertama, dipidana
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali jumlah pajak terutang
yang tak atau kurang dibayar, dan sampai dengan 2
(dua) kali jumlah pajak terutang yang tak atau kurang
dibayar, atau dipidana penjara.
2.8 Disengaja
Orang-orang yang dengan sengaja tak memberikan Surat
Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan
atau keterangan yang isinya tak betul atau tak lengkap sehingga
bisa menyebabkan kerugian pada pendapatan negara dipidana
dengan pidana penjara paling singkat bulan dan paling lama 6
tahun dan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak terutang yang
tak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak
terutang yang tak atau kurang dibayar. Jika seseorang melakukan
tindak pidana lain di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun
dari akhir masa pidana yang dijatuhkan, pidananya ditambah dari
satu kali menjadi dua kali pidana.
30
2.9 Besaran Sanksi Pada Saat Pemeriksaan
Buat kepastian serta hukum keadilan, diadakan penurunan
sanksi pada waktu pemeriksaan. Hal ini berarti sesuai dengan spirit
pengaturan dalam Undang Undang Cipta Kerja.
31
2.11 Surat Setoran Pajak (SSP) dan Pembayaran
Pajak
1. Pemahaman
Surat Setoran Pajak (SSP) ialah bukti penyetoran atau
pembayaran pajak yang dilakukan ke kas negara dengan
menggunakan formulir atau dengan cara lain melalui
tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menkeu.
2. Kegunaan SSP
SSP berguna sebagai bukti pembayaran pajak jika telah
disahkan atau disahkan oleh pejabat kantor penerima
pembayaran yang berwenang.
3. Tempat Pembayaran dan Penyetoran Pajak
a. Bank yang ditunjuk oleh Menkeu
b. Kantor Pos.
32
3) Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) atas
penghasilan yang berasal dari peralihan hak atas
tanah dan/atau bangunan yang dipungut atau
yang mesti dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, mesti
dibayar sebelum akta, keputusan, persetujuan,
persetujuan atau berita acara lelang. tentang
peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
4) PPh Pasal 15 yang dipotong oleh PPh yang
dipotong mesti disetor selambat-lambatnya pada
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak.
5) Pajak Penghasilan Pasal 15 yang mesti dibayar
sendiri mesti disetorkan paling lambat tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya
Masa Pajak.
6) PPh Pasal 21 yang dipotong oleh PPh yang
dipotong mesti disetor paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah berakhirnya
Masa Pajak.
7) PPh Pasal 23 serta PPh Pasal 26 yang dipotong
oleh PPh yang dipotong mesti disetor paling
lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah berakhirnya Masa Pajak.
8) Pajak Penghasilan Pasal 25 mesti dibayar
selambat-lambatnya pada tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
9) PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM impor
mesti dibayar bersamaan dengan pembayaran
33
Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk tertunda
atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan
PPnBM impor mesti dibayar pada saat
penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean
impor.
10)Pasal 22 PPh, PPN atau PPN dan PPnBM atas
impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, harus disetorkan paling lambat 1 (satu)
hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
11)Pajak Penghasilan Pasal 22 yang pemungutannya
dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran atau
pejabat yang menandatangani Surat Perintah
Pembayaran sebagai Pemungut Pajak Penghasilan
Pasal 22, mesti disetorkan pada hari yang sama
dengan pembayaran kepada rekanan Kena Pajak.
Pengusaha melalui Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara.
12)Pasal 22 Pajak Penghasilan yang dipungut oleh
Bendahara Pengeluaran, mesti disetorkan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah tanggal
pembayaran atas penyerahan barang yang
dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah,
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)
atas nama rekanan dan ditandatangani oleh
bendahara.
13)Pajak Penghasilan Pasal 22 yang pemungutannya
dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu
sebagai Pemungut Pajak mesti disetor paling
34
lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
14)PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam
satu Masa Pajak mesti dilunasi paling lambat pada
akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa
PPN disampaikan.
15)PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean mesti disetor oleh orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak tak berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean paling lambat
tanggal 15 ( kelima) hari. dua belas) bulan
berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
16)PPN yang terutang atas kegiatan membangun
sendiri mesti disetor oleh orang pribadi atau
badan yang melakukan kegiatan membangun
sendiri selambat-lambatnya pada tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak.
17)PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya
dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat
Perintah Membayar sebagai Pemungut Pajak,
mesti disetorkan pada hari yang sama dengan
pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak -
Mitra Pemerintah melalui Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara.
35
18)PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut oleh
Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN,
harus disetorkan paling lambat 7 (tujuh) hari
setelah tanggal pembayaran kepada Pengusaha
Kena Pajak Mitra Pemerintah melalui Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara.
19)PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya
dilakukan oleh Pemungut PPN yang ditunjuk
selain Bendahara Pemerintah, mesti disetor paling
lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah berakhirnya Masa Pajak.
20)Pasal 25 Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3b) UU KUP yang melaporkan
beberapa Masa Pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan, mesti dibayar paling lambat pada
akhir Masa Pajak terakhir.
21)Masa pembayaran selain Pajak Penghasilan Pasal
25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
mesti dibayar paling lambat dari batas waktu buat
setiap jenis pajak.
36
c. Kurang bayar pajak yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan mesti dilunasi
sebelum Surat Pemberitahuan disampaikan.
37
Permohonan tersebut mesti diajukan selambat-lambatnya
sembilan (9) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo
pembayaran utang pajak berakhir, dan mesti disertai
dengan alasan dan bukti yang mendukungnyaberupa
kepemilikan barang bergerak, jaminan utang pihak ketiga,
sertipikat tanah, atau sertipikat titipan.
Wajib Pajak yang mengajukan angsuran pembayaran pajak
sesudah melewati batas waktu harus memberikan jaminan
bank sebesar utang pajak yang bisa dicairkan sesuai
dengan jangka waktu angsuran. Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan surat keputusan atas permohonan, baik
menerima seluruhnya, menerima sebagian, maupun
menolak seluruhnya.
Surat keputusan diterbitkan paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja setelah permohonan diterima. Apabila 7 (tujuh) hari
kerja berlalu tanpa adanya keputusan dari Direktur
Jenderal Pajak, maka permohonan disetujui sesuai dengan
permintaan Wajib Pajak, serta keputusan persetujuan
angsuran pajak atau keputusan persetujuan penundaan
pembayaran pajak mesti diterbitkan paling lambat 5 (lima)
hari kerja setelah 7 (tujuh) hari kerja berlalu
38
Menteri Keuangan berwenang memberikan izin tertulis
untuk memperlihatkan keterangan tentang Wajib Pajak untuk
kepentingan negara, dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau
kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah lainnya,
badan hukum yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah, atau pihak lain.
39
DAFTAR PUSTAKA
40
BAB 3
PAJAK PENGHASILAN UMUM
Oleh Fibria Anggraini Puji Lestari
3.1 Pendahuluan
41
Definisi pajak penghasilan bisa kita artikan menjadi pajak
yg harus dibayarkan dalam periode satu tahun pajak atas tiap
pendapatan yang diterima. Misalnya penghasilan tiap bulan, gaji,
komisi, pensiun, bonus, honorarium, imbalan dan tunjangan
lainnya atas pekerjaan atau jasa yang dilakukan.
42
Badanusaha, seperti PT, CV, Fa, koperasi, kongsi, dan dana
pensiun, persekutuan, organisasi, perkumpulan, BUMN,
BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun.
3. Kegiatan usaha yang digunakan oleh orang yang bertempat
tinggal di Indonesia belum sampai 183 hari dalam waktu
12 bulan dan oleh suatu badan usaha yang berbadan
hukum yang ada diluar negeri untuk menjalankan
usahanya yang disebut BUT.
43
3.3.2 Kewajiban Pajak Subyektif
Kewajiban wajib pajak yang melekat dalam dirinya terlihat
dalam tabel dibawah ini:
Tabel 3.1 Mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif
Jenis Saat Dimulainya Saat Berakhirnya
Subyek
Pajak
Orang 1. Ketika lahir 1. Tutup usia
Pribadi 2. Ketika ada di dalam negeri 2. Ketika sudah
dalam atau berkeinginan untuk tidak berada di
negeri
tinggal di Indonesia Indonesia
44
3.3.3 Bukan Termasuk Subyek Pajak
Yang bukan Subyek Pajak sesuai dengan Pasal 2 Undang-
Undang nomer. 36 tahun 2008 :
1. Kantor ekspatriat (perwakilan negara asing)
2. Perwakilan dan konsulat diplomatik asing
3. Badan Internasional
4. Perwakilan dari organisasi internasional
3.3.4 Wajib Pajak dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri
Yaitu orang pribadi atau badan sebagai wajib pajak yang
sudah mendapatkan penghasilan yang besarnya melebihi PTKP.
Dengan begitu badan atau orang pribadi juga harus melaksanakan
kewajiban pajak subjektif dan objektif.
Adapun perbedaan antara wajib pajak baik dalam maupun luar
negeri (Resmi, 2019) yaitu:
1. Untuk wajib pajak dalam negeri diwajibkan membayar
pajak atas pendapatan baik yang diterima atau diperoleh di
Indonesia maupun luar negeri. Sedangkan wajib pajak luar
negeri diwajibkan membayar pajak hanya atas
penghasilannya yang didapatkan di Indonesia.
2. Diwajibkan membayar pajak sesuai penghasilan bersih dan
tarif untuk wajib pajak dalam negeri, tetapi bagi wajib
pajak luar negeri diwajibkan membayar pajak sesuai
dengan pendapatannya dikalikan tarif sepadan.
3. Penetapkan pajak yang terutang wajib disampaikan dalam
SPT Tahunan pajak oleh wajib pajak dalam negeri, wajib
pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan SPT tahunan
pajak.
4. Wajib pajak luar negeri yang melaksanakan usahanya di
Indonesia melalui BUT, membayar pajaknya disamakan
dengan kewajiban pajak badan dalam negeri.
45
3.4 Obyek Pajak Penghasilan
Wajib pajak yang mendapatkan penambahan kemampuan
secara ekonomis itu merupakan obyek pajak penghasilan,baik yang
didapatkan baik dari dalam maupun luar negeri.
Objek Pajak Penghasilan (Resmi, 2019) dapat dibagi:
1. Pendapatan sehubungan pekerjaan
2. Pendapatan dari kegiata dan usaha.
3. Pendapatan dari investasi
4. Pendapatan lainnya seperti hadiah dan pembebasan
hutang.
46
15. Iuran perkumpulan yang dibayarkan oleh anggotanya.
16. Kekayaan netto yang bertambah
17. Usaha berbasis syariah yang menghasilkan.
18. Bunga
19. Surplus Bank Indonesia
47
3.5 Obyek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap
Obyek pajak BUT yang tercantum dalam Undang-Undang
no 36 tahun 2008 pasal 5 menyebutkan bahwa:
1. Harta dari usaha atau kegiatan yang diperoleh dan dimiliki
oleh BUT.
2. Usaha pemberian barang /jasa atau penjualan di Indonesia
yang diperoleh kantor pusat.
3. Penghasilan kantor pusat yang diperoleh selama ada
kaitannya yang efektif antara BUT dengan kegiatan atau
harta tersebut.
48
3.6 Pengurangan Penghasilan
3.6.1 Beban Yang diperbolehkan sebagai Pengurang
Pengeluaran yang dapat dikurangkan (deductible expense)
yaitu biaya yang terkait langsung dalam upaya untuk
mendapatkan,menagih,memelihara penghasilan yang merupakan
objek pajak, Hal ini sesuai dengan Undang -Undang P Ph No.36
tahun 2008 pasal 6 .
Contohnya biaya baik langsung maupun tak langsung terkait
dengan kegiatan usaha, penyusutan atas biaya untuk mendapatkan
harta, iuran kepada dana pension, kerugian atas pengalihan harta,
rugi selisih kurs, biaya pengembangan dan penelitian, beasiswa,
piutang tak tertagih, dana bantuan dalam rangka pengendalian
bencana nasional, bantuan dalam rangka pengembangan dan
penelitian, biaya pembangunan inftrastuktur, sumbangan fasiltas
Pendidikan, sumbangan dalam rangka pembinaaan olah raga.
49
yang bergerak dibidang asuransi luar negeri,perusahaan pengebor
minyak,gas dan panas bumi,badan usaha asing.Bagi wajib pajak
dalam negeri ada dua macam penghitungan yaitu metode
pembukuan dan norma penghitungan.Dalam menghitung pajak
penghasilan ada dua yaitu menghitung pajak penghasilan yang di
oleh dapatkan wajib pajak terkait dengan jasa dan menghitung
pajak atas penghasilan pihak lain.
Rumus dalam penghitungannya:
Pph = Penghasilan kena pajak x tarif pajak yang berlaku
Sumber :(Resmi, 2019)
Misalnya:
PKP Bapak Andi tahun 2019 sejumlah Rp. 650.000.000
Pajak yang terutang adalah :
5 % X 50.000.000 = 2.500.000
50
15 % X 200.000.000 = 30.000.000
25 % X 250.000.000 = 62.500.000
30 % X 150.000.000 = 45.000.000 +
=140.000.000
Dalam penulisan tarif jumlah PKP ditulis ke bawah dalam ribuan
rupiah seperti:
a. PKP Rp. 26..750.990dibulatkan menjadi Rp.26.750.000
b. PKP Rp.357.677.499, dibulatkan menjadi Rp.357.677.000.
51
Contoh:
1. PT. Maju mempunyai pendapatan bruto jumlahnya
Rp.48.000.000.000., luar usaha Rp. 30.000.000.000.PKP
25.000.000.000.
Hitung PPhnya?
Jawab:
Total pendapatan bruto Rp.78.000.000.000pendapatan bruto
berjumlah Rp. 48.000.000.000, jumlah ini tidak melebihi Rp.
50.000.000.000namun melebihi Rp. 4,800.000.000sehingga
Sebagian PKP memperoleh pengurangan tarif 50% dan lainnya
tidak.
PKP yang memperoleh keringanan:
(4.800.000.000: 48.000.000.000) x 25.000.000.000 = 2.500.000.000
PKP yang tidak memperoleh keringanan:
25.000.000.000 – 2.500.000.000 = 22.500.000.000
Pph terutang
(50% x 22%)x 2.500.000.000 = Rp. 275.000.000
22 % x 22.500.000.000 = Rp. 4.950.000.000 +
Rp.5.225.000.000
2. PT Kurnia mempunyai peredaran bruto dari usaha
Rp.55.000.000.000 dan diluar usaha
Rp.18.000.000.000.PKP sebesar Rp. 20.000.000.000.
Berapa PPh terutang.
Jawab:
Total peredaran bruto 55.000.000.000 + 18.000.000.000 = 73.000.000.000
Peredaran bruto dari kegiatan usaha 55.000.000.00,jumlah ini
melebihi 50.000.000.000 dan melebihi 4.800.000.000.sehingga
semua PKP tidak mendapatkan fasilitas pengurangan tarif 50
%.
Pph:
22 x 18.000.000.000 = Rp. 3.960.000.000
52
3.7.2 Penghasilan Kena Pajak
a. Penghasilan Kena Pajak Bagi Wajib Pajak Badan
Yang harus melakukan pembukuan sesuai peraturan
yang telah ditetapkan dalam KUP adalah badan usaha sebagai
kewajiban wajib pajak. Penghasilan badan usaha sebagai wajib
pajak sama yaitu pendapatan bruto dikurangi jumlah biaya
yang dapat dikurangkan dan kerugian yang dikompensasikan
dengan catatan tidak lebih dari lima tahun.
PKP = Pendapatan bruto - beban yang diperkenankan sesuai UU PPh
53
b. Penghitungan PKP yang menyelenggarakan
pembukuan
Perhitungan penghasilan kena pajak orang pribadi sebagai
wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan yaitu dengan
mengurangkan peredaran bruto dengan biaya yang diperkenankan
UU PPh dikurangi lagi dengan PTKP.
PKP = Pendapatan bruto – biaya yang sudah diatur dalam UU PPh – PTKP
Misalnya :
Tabel 3.5 Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Tuan Surya
Pendapatan usaha Tuan 7.500.000.000
Surya
Beban untuk memperoleh, 6.800.000.000
menagih,memelihara
penghasilan
Penghasilan netto 700.000.000
Penghasilan dari pekerjaan 170.000.000
Biaya 60.000.000 - 110.000.000
PTKP (K/2)
Diri WP 54.000.000
Isteri 4.500.000
Tanggungan 9.000.000
67.500.000 -
PKP 782.500.000
Sumber:Data diolah(2022)
54
c. PKP dengan Menggunakan Norma Penghitungan
Norma penghitungan merupakan petunjuk dalam
menetapkan besarnya penghasilan netto terutama untuk wajib
pajak yang belum membuat pembukuan dalam usahanya.Bagi
wajib pajak yang tidak wajib mengadakan pembukuan, tetapi
mempunyai kewajiban membuat catatan segala transaksi.Hal ini
berguna sebagai dasar penghitungan dengan norma penghitungan
(Gunadi, 2017). Norma penghitungan digunakan karena dasar
penghitungan yang tidak ada yaitu pembukuan.Syarat penggunaan
norma penghitungan yaitu
1. Pada pekerjaaan bebas atau kegiatan usaha yang
peredaran brutonya belum sampai Rp. 4.800.000.000.
2. Dalam waktu 3 bulan wajib pajak harus memberitahukan
kepada direktorat jenderal pajak.
3. Menggunakan peraturan yang sudah diatur dalam KUP
mengenai penyelenggaraan pembukuan tentang peredaran
brutonya .
Jika wajib pajak tidak melaporkan ke direktorat jenderal
pajak maka dianggap menyelenggarakan pembukuan.
Contoh:
Tuan Riza memiliki peredaran bruto rp.5.000.000.000.
status K/3.
Berapa penghasilan kena pajaknya. Jika ada penghasilan lain Rp
32.000.000
Jawab:
55
Tabel 3.6 Penghitungan PKP Tuan Riza
Peredaran bruto 5.000.000.000
Pendapatan netto( norma
penghitungan)
Misal : 20% :20% x
5.000.000.000 1.000.000.000
Penghasilan neto lainnya 32.000.000
PTKP: WP pribadi 54.000.000
Isteri 4.500.000
Tanggungan 2 9.000.000 67.500.000
+
PKP 1.099.500.000
Sumber : Data diolah ( 2022)
56
Tabel 3.7 contoh penghitungan PKP BUT
57
Tabel 3.8 Penghitungan PKP Pak Agus
Penghasilan diterima seama 5 275.000.000
bulan
Penghasilan dalam satu tahun 660.000.000
( 360:(5x30)x 275.000.000
PTKP: 54.000.000 54.000.000
4.500.000
4.500.000 + (63.000.000)
PKP 537.000.000
Sumber: Data diolah (2022)
Contoh 2:
BUT tahun 2021 mempunyai PKP Rp.3.500.000.000
PPh terutang
22% x 3.500.000.000 = 770.000.000
58
3.8 Pelunasan Pajak
3.8.1 Pelunasan Sendiri Pajak oleh Wajib Pajak
Wajib pajak dapat melakukan sendiri dalam pelunasan
pajaknya terutangnya:
1. Dalam Undang -undang PPh harus mempunyai NPWP dan
melakukan sendiri penghitungan, penyetoran dan
pelaporan sendiri pajaknya dalam SPT Tahunan.Yang
menerima penghasilan dari badan usaha tidak wajib
melakukan pemotongan ,penyetoran dan pelaporan pajak
2. Penghasilan yang diterima melalui angsuran pajak PPh
dam tahun pajak berjalan wajib dilunasi sendiri oleh wajib
pajak.
59
bulan dilakukannya pembayaran yang diterima wajib pajak
luar negeri selain BUT
5. Penyelesaian pajak atas pajak penghasilan lain yang diatur
dalam pasal 4 ayat 2 UU PPh ( bunga depositi dan
simpanan lain dibank , undian,hadiah,transaksi saham dan
lainnya).
60
DAFTAR PUSTAKA
61
62
BAB 4
PAJAK PENGHASILAN FINAL
Oleh Ari Purwanti
63
Pada Undang-undang PPh, yang mengatur PPh Final, selain
dari ketentuan Pasal 4 ayat (2), terdapat Pasal 15, Pasal 19, Pasal
21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 26. Di sisi literatur pajak, istilah
PPh Final sering juga menggunakan istilah withholding tax atau
final tax liability.
Istilah withholding tax biasanya dipakai oleh OECD
(Organisation for Economic Co-operation and Development) yang
menggunakan perjanjian pajak sebagai dasar untuk pengenaan
pajak Final oleh negara asal dengan tarif pada batasan yang lebih
rendah dibandingkan dengan tarif pajak pada kondisi lain. Di sisi
IBFD (International Bureau of Fiscal Documentation), istilah PPh
Final dikenakan pada penghasilan withholding tax, tetapi tidak
dimasukkan pada perhitungan penghasilan dengan tarif pajak
progresif.
Dasar pemahaman dari OECD dan IBFD membawa
konsekwensi bahwa:
1. Pengenaan pajak final melekat pada ketentuan PPh karena
IBFD menggunakan kata penghasilan dan OECD
mengkaitkan pada pajak berganda pada PPh.
2. Skema kewajiban untuk memotong dan menyetorkan pajak
melalui pihak ketiga sebagai mekanisme withholding tax
pada pajak final.
3. Perbedaan penetapan tarif PPh Final yang berlaku khusus
karena IBFD membedakan tarif pajak final secara khusus
dengan tarif umum (tarif progresif) dan OECD membedakan
tarif withholding tax pada perjanjian penghindaran pajak
berganda dengan tarif umum.
4. Pemisahan perlakuan PPh Final yang tidak dimasukkan
pada perhitungan dan sistem pembayaran pajak secara
umum.
5. Jumlah pemotongan dan penyetoran pajak final tidak
dimasukkan dalam perhitungan pajak terhutang.
64
6. Berhubungan dengan ketentuan pajak internasional karena
baik IBFD dan OECD menggunakan konteks pajak
internasional.
65
relevan dari Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), sebagai
berikut:
a. Pengusaha diharuskan untuk memotong PPh 21 dari gaji
yang dibayarkan kepada karyawan mereka dan membayar
pajak kepada Perbendaharaan Negara atas nama mereka.
Pajak potong/pungut yang sama berlaku untuk pembayaran
lain kepada individu yang tidak memiliki kewarganegaraan
(misalnya, biaya yang harus dibayarkan kepada konsultan
individu atau penyedia layanan). Tarif pajak akhir untuk
pembayaran pesangon (jika dibayarkan dalam waktu dua
tahun) adalah sebagai berikut:
66
Pembayaran untuk tahun ke-3 dan seterusnya, tarif pajak
normal yang biasa akan diterapkan. Wajib pajak orang
pribadi penduduk tanpa NPWP dikenakan biaya tambahan
sebesar 20% di samping pajak potong/pungut yang baku.
67
7. Pembelian bahan bakar minyak oleh pihak selain SPBU,
tarif pajak 0,3%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
8. Pembelian bahan bakar gas, tarif pajak 0,3%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
9. Pembelian pelumas, tarif pajak 0,3%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
10. Pembelian semen oleh distributor lokal, tarif pajak
0,25%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
11. Pembelian produk kertas oleh distributor lokal, tarif
pajak 0,1%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
12. Pembelian produk baja oleh distributor lokal, tarif pajak
0,3%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
13. Pembelian produk otomotif oleh distributor lokal, tarif
pajak 0,45%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
14. Pembelian produk farmasi oleh distributor lokal, tarif
pajak 0,3%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
15. Pembelian kendaraan bermotor dari Agen Tunggal
(Agen Tunggal Pemegang Merek/ATPM), Agents (Agen
Pemegang Merek/APM) and general importers, tarif
pajak 0,45%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
16. Pembelian produk kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan sapi, dan perikanan oleh produsen atau
eksportir, tarif pajak 0,25%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
17. Ekspor batubara, logam dan mineral non-logam oleh
eksportir selain yang terlibat dalam Perjanjian
68
Kerjasama Pertambangan atau Kontrak Karya dengan
Pemerintah, tarif pajak 1,5%.
Dasar pengenaan pajak: nilai ekspor.
18. The purchase of coal, metal and non-metal minerals
from companies or individuals holding a mining license
(Izin Usaha Pertambangan/IUP), tarif pajak 1,5%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
19. Pembelian emas batangan, tarif pajak 0,45%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
20. Pembelian barang yang sangat mewah, tarif pajak 5%.
Dasar pengenaan pajak: harga jual.
Catatan:
Dalam poin (3), (4), (16), dan (18), kolektor PPh 22
harus menahan PPh 22 dari jumlah yang harus
dibayarkan kepada vendor tertentu, kecuali
pembayaran untuk pembelian/penggunaan:
bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas,
produk pos;
air dan listrik;
minyak, gas (termasuk hulu berdasarkan produk)
dari Kontraktor KKS, kantor pusat Kontraktor, atau
badan perdagangan Kontraktor; dan
panas bumi atau listrik dari Kontraktor Kontrak
Operasi Bersama.
Ada juga pengecualian untuk pembelian barang dengan
nilai masing-masing hingga Rp 2 juta, Rp 10 juta, dan Rp 20
juta untuk poin (3), (4), dan (16). Dalam hal lain, importir
atau pembeli barang yang ditunjuk harus membayar PPh
22 di samping jumlah yang harus dibayarkan untuk barang
yang diimpor atau dibeli.
PPh 22 yang dipotong merupakan pembayaran di muka
kewajiban pajak penghasilan badan/orang pribadi,
69
kecuali untuk pembelian bahan bakar minyak dan gas
bumi oleh distributor/agen, yang dikategorikan sebagai
pajak final.
Pengecualian berlaku pada pembelian produk
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan,
peternakan, dan perikanan karena sudah dikenakan PPh
22 dalam poin (16).
Pengecualian berlaku pada pembelian kendaraan
bermotor yang sangat mewah karena sudah dikenakan
PPh 22 dalam poin (20).
Pembebasan berlaku atas penjualan kepada Bank
Indonesia.
Pajak tidak berlaku, baik secara otomatis atau dengan
Sertifikat Pembebasan yang dikeluarkan oleh DJP, pada
jenis peristiwa berikut:
Impor/pembelian barang yang tidak dikenakan
pajak penghasilan.
Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk
dan/atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk
apabila barang tersebut dikenakan bea masuk 0%,
atau PPN tidak dipungut.
Barang yang telah diimpor sementara (yaitu barang
untuk diekspor kembali).
Barang untuk diimpor kembali (yaitu, diekspor dan
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau
akan diperbaiki/diuji).
Impor emas batangan untuk produksi perhiasan
untuk diekspor kembali.
Pembelian barang terkait penggunaan dana subsidi
operasional sekolah pemerintah (BOS).
Pembelian gabah atau beras oleh Perbendaharaan
Negara, KPA, dan Biro Logistik (BULOG).
70
Pembelian sembako oleh BULOG atau BUMN yang
ditunjuk.
Wajib pajak tanpa NPWP akan dikenakan biaya tambahan
sebesar 100% di samping tarif pajak standar.
71
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tarif pajaknya
adalah 5% hingga 2020 dan 10% setelahnya.
8. Hasil penjualan saham di bursa efek Indonesia. Untuk
menggunakan tarif ini, pemegang saham pendiri harus
membayar pajak sebesar 0, 5% dari harga pasar saham
mereka saat listing, jika tidak, keuntungan dari
penjualan berikutnya dikenakan pajak berdasarkan
aturan normal 0, 1%.
9. Penghasilan dari hadiah undian 25%.
10. Penghasilan tertentu yang diterima oleh perorangan dan
korporasi (kecuali BUT) dengan omzet bruto tidak lebih
dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun buku 0,5%. Rezim
ini bersifat opsional bagi wajib pajak yang memenuhi
syarat dan hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu
tergantung pada jenis wajib pajak.
72
PPh, dan melampirkan daftar pemotongan PPh
Pasal 15 yang telah dipotong final;
dalam hal pihak Penyewa tidak melakukan
pemotongan atas PPh Pasal 15 atau bukan
Pemotong Pajak, maka Anda harus melakukan
penyetoran sendiri PPh Pasal 15 yang terutang
sesuai dengan cara hitung di atas, paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya, dan melaporkan SPT
PPh Pasal 15 paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya;
tidak perlu melakukan pembayaran PPh Pasal 25
setiap bulannya.
73
pihak penyewa akan melakukan pemotongan
PPh Pasal 15 sebesar: 2,64% dari peredaran
bruto.
meminta bukti pemotongan PPh Pasal 15;
melaporkan seluruh penghasilan yang diterima
dalam suatu tahun buku ke dalam SPT Tahunan
PPh, dan melampirkan daftar pemotongan PPh
Pasal 15 yang telah dipotong final.
dalam hal pihak Penyewa tidak melakukan
pemotongan atas PPh Pasal 15 atau bukan
Pemotong Pajak, maka Anda harus melakukan
penyetoran sendiri PPh Pasal 15 yang terutang
dengan formula perhitungan seperti yang telah
dijelaskan di atas, paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya, dan melaporkan SPT PPh Pasal 15
paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya;
tidak perlu melakukan pembayaran PPh Pasal 25
setiap bulannya
74
lain di Indonesia dan dari pelabuhan Indonesia
ke pelabuhan luar Indonesia. Dengan demikian,
atas angkutan dari luar pelabuhan Indonesia ke
pelabuhan di Indonesia tidak terutang PPh Pasal
15.
menyetorkan PPh Pasal 15 yang telah dipotong
ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya
75
Untuk penyewa pesawat charter milik wajib pajak orang
pribadi, dan penyewa bertindak sebagai Pemotong
Pajak, maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut:
melakukan pemotongan PPh Pasal 15 sebesar
1,8% dari peredaran bruto yang dibayarkan ke
perusahaan penerbangan dalam negeri;
memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 15
kepada perusahaan jasa penerbangan dalam
negeri untuk dikreditkan dalam SPT Tahunan
PPh nya karena bersifat non final;
peredaran bruto dihitung dari perjanjian charter
angkutan dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan
lain di Indonesia dan dari pelabuhan Indonesia
ke pelabuhan luar Indonesia. Dengan demikian,
atas angkutan dari luar pelabuhan Indonesia ke
pelabuhan di Indonesia tidak terutang PPh Pasal
15;
menyetorkan PPh Pasal 15 yang telah dipotong
ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.
76
Hadiah dan penghargaan.
2. PPh 23 jatuh tempo pada tingkat 2% dari jumlah kotor
pada biaya untuk hal-hal berikut:
Penyewaan aset selain tanah dan bangunan;
Kompensasi sehubungan dengan layanan teknis,
layanan manajemen, konsultasi jasa dan jasa
lainnya, kecuali yang telah dipotong/dipungut
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal
21.
77
b. oleh perusahaan asuransi Indonesia, ELB:
5%; Tarif Pajak Efektif: 10%.
c. oleh perusahaan reasuransi Indonesia, ELB:
2%; Tarif Pajak Efektif: 1%.
2. Penjualan saham perusahaan Indonesia yang
tidak terdaftar, ELB: 25%; Tarif Pajak Efektif: 5%.
3. Penjualan perusahaan saluran yang berlokasi di
negara surga pajak tempat perusahaan ini
berfungsi sebagai perantara untuk kepemilikan
saham perusahaan Indonesia atau BUT, ELB:
25%; Tarif Pajak Efektif: 5%.
4. Penjualan perhiasan mewah, berlian, emas, jam
tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil,
sepeda motor, kapal pesiar dan pesawat ringan
dengan nilai jual di atas Rp 10 juta, ELB: 25%;
Tarif Pajak Efektif: 5%.
78
pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Indonesia (20%) harus berlaku. ITO memberikan
pedoman teknis khusus untuk melakukan audit
transfer pricing.
Perusahaan lepas pantai Labuan (di bawah
Labuan Offshore Business Activity Tax Act 1990)
tidak berhak atas manfaat perjanjian pajak.
Diratifikasi tetapi belum efektif, sambil
menunggu pertukaran dokumen ratifikasi.
Sebuah protokol yang mengubah perjanjian pajak
telah ditandatangani, menunggu ratifikasi
protokol dan pertukaran dokumen ratifikasi.
79
bila penghasilan seyogyanya dikenakan pajak tanpa membeda-
bedakan sumber dan cara memperolehnya (Rocha dan Christians,
2022).
Dengan diberlakukannya PPh Final, untuk WP Pribadi tidak
memiliki kesempatan mendapatkan insentif dari penghasilan yang
diperolehnya untuk dikurangi dengan PTKP (Penghasilan Tidak
Kena Pajak) terlebih dahulu baru dihitung pajaknya. Demikian juga
di sisi pemberian natura kepada karyawan juga terdapat
diskriminasi antara perusahaan yang dikenai PPh Final dengan
perusahaan yang tidak dikenai PPh Final. Dimana, berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang masih
menerapkan pengenaan PPh Final bagi usaha dengan peredaran
bruto tidak melebihi Rp. 4,8 milyar dalam 1 (satu) tahun pajak.
Kondisi tersebut tentunya semakin membuat
perusahaan yang terkena PPh Final selama pandemi Covid-19
menjadi semakin terpuruk. Banyak perusahaan gulung tikar
karena memang tidak dapat mendapatkan penghasilan. PMK
no.44/PMK.03/2020 diterbitkan pemerintah dalam upaya
memberikan insentif bagi WP yang terdampak Covid-19 (Kartiko,
2020; Kurniawati, 2020; Marlinah, 2020; Sari, et al., 2020; dan Selvi
dan Ramadhan, 2020).
80
DAFTAR PUSTAKA
https://ikpi.or.id/en/mengkaji-kembali-ketentuan-pengenaan-
pajak-penghasilan-final/
https://www.pajak.go.id/id/pemotongan-pajak-penghasilan-
pasal-15
Kartiko, N. D. 2020. Insentif pajak dalam merespons dampak
pandemi covid-19 pada sektor pariwisata. Jurnal Pajak Dan
Keuangan Negara, 2(1), 124–137.
Kurniati. 2020. Pemanfaatan PPh Final DTP Baru 19%, Ini Realisasi
Stimulus untuk UMKM. DDTC News.
https://news.ddtc.co.id/pemanfaatan-pph-final-dtp-baru-
19-ini-realisasi-stimulus-untuk-umkm-24912?page_y=244
Marlinah, L. 2020. Peluang dan Tantangan UMKM Dalam Upaya
Memperkuat Perekonomian Nasional Tahun 2020 Ditengah
Pandemi Covid 19. Jurnal Ekonomi, 22(2), 118–124.
Martin, Rex. 2010. Mill's Rule Utilitarianism in Context Get access
Arrow.
https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195381245.003.
0002; Pages 21–43; Published: November 2010. Oxford
University Press.
He, Mengyu; Kang, Kai, Mu, Xiuqing. 2022. Impact of tax difference
and asset structure on a capital-constrained vertical equity
holding transnational supply chain. International Journal of
Production Research, 2022. Taylor & Francis.
PwC Indonesia, Indonesian Pocket Tax Book 2020
Rocha, Sergio Andre dan Christians, Allison. 2022. A Multilateral
Convention for Tax from Theory to Implementation. Series on
International Taxation. Wolters Kluwer. E-book: ISSB 978-
90-411-9429-9.
81
Sari, R. H. D. P., Darmastuti, D., Kirana, D. J., Wijayanti, A. (2020).
Sosialisasi Insentif Pajak bagi Pelaku UMKM sebagai
Dampak Pandemi COVID-19 di Kecamatan Ciracas Jakarta
Timur. Repository UPN Veteran Jakarta.
http://repository.upnvj.ac.id/8917/
Selvi, S., & Ramdhan, A. 2020. Kajian Kebijakan Pemberian Insentif
Pajak Dalam Mengatasi Dampak Virus Corona di Indonesia
Tahun 2019. Transparansi: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi,
3(1), 96–100.
https://doi.org/10.31334/transparansi.v3i1.846
Undang-undang Pajak Penghasilan.
82
BAB 5
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
Oleh Mohklas
5.1 Pendahuluan
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara.
Penerimaan perpajakan masih menjadi penyumbang terbesar
dengan kontribusi rata-rata 77,6% (Direktorat Penyusunan
APBN,n.d.). Pembangunan infrastruktur, biaya pendidikan, biaya
kesehatan, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), pebayaran pegawai
negara dan pembangunan fasilitas publik dibiayai dari pajak.
Karena itu pajak merupakan ujung tombak pembangunan sebuah
negara (Maghfirah, dkk. 2021).
83
5) Peraturan Dirjen Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan
Pelaporan PPh 21 dan/atau PPh 26 sehubungan dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
6) Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016
tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
7) PMK No. 102/PMK.010/2016 tentang Penetapan Bagian
Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai
Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap lainnya
yang Tidak Dikenakan Pemotongan Menimbang Pajak
Penghasilan.
8) PMK No. 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran
dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan
dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta
Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Bagi Instansi Pemerintah.
9) PMK No. 59/PMK.03/2022 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019
tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan
dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Bagi Instansi Pemerintah.
84
upah honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan yang dilaksanakan oleh orang pribadi sebagai
subjek pajak dalam negeri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa PPh 21 merupakan
pajak pemotongan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima
oleh seorang Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri atas
pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukannya.
85
pengawas atau pengelola proyek;
pembawa pesanan atau yang menemukan langganan
atau yang menjadi perantara;
petugas penjaja barang dagangan;
petugas dinas luar asuransi;
distributor perusahaan multilevel marketing atau
direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang
tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada
perusahaan yang sama;
mantan pegawai;
4. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam
suatu kegiatan, antara lain:
peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain
perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu
pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau
kunjungan kerja;
peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan
sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
peserta pendidikan dan pelatihan;
peserta kegiatan lainnya.
86
Lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah
satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan
secara bulanan;
5. Imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa
honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya
dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai
imbalan sehubungan jasa yang dilakukan;
6. Imbalan kepada peserta kegiatan: berupa uang saku,
representasi, rapat, honorarium, hadiah dengan nama
dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan
nama apapun;
7. Penghasilan berupa honorarium yang bersifat tidak
teratur yang diterima anggota dewan komisaris atau
dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
8. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
bonus yang bersifat tidak teratur yang diterima mantan
pegawai; atau
9. Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh
peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai
pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan. Termasuk pula
penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh:
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak penghasilan
yang bersifat final; atau
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan
berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit), (didasarkan pada harga pasar
atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas
pemberian kenikmatan yang diberikan).
87
5.6 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Sebelum menghitung PPh. 21 dan menerapkan tarif pajak
PPh. 21, harus mengetahui terlebih dahulu tentang Penghasilan
Kena Pajak (PKP) PPh 21 yang telah diatur dalam peraturan
Direktorat Jenderal Pajak. Penghasilan Kena Pajak (PKP) Peraturan
Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015, PKP adalah
pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, dikenakan PKP
sebesar penghasilan netto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Besarnya PTKP berdasarkan PMK No. 101/PMK.
010/2016, wajib pajak orang pribadi (WPOP) tidak dikenakan
pajak penghasilan, jika penghasilannya selama satu tahun ≤ Rp
54.000.000,-.
PTKP adalah batasan penghasilan tidak kena pajak bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi, atau penghasilan neto Wajib Pajak
Orang Pribadi dalam menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. Jika
penghasilannya dibawah PTKP, maka tidak akan dikenakan PPh
21, 25 dan 29.
PTKP setahun, Tahun 2021 adalah sebagai berikut:
1. Untuk Diri Sendiri Wajib Pajak : Rp 54.000.000,-
2. Tambahan Menikah : Rp 4.500.000,-
3. Tambahan Tanggungan
Keluarga, maksimum
3 orang/anak : @ Rp 4.500.000,-
4. Istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan
suami diberi tambahan : Rp 54.000.000,-
Tabel 5.1 PTKP PPh. 21 Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun 2021
TK/0 Rp 54.000.000,- K/0 Rp 58.500.000,-
TK/1 Rp 58.500.000,- K/1 Rp 63.000.000,-
TK/2 Rp 63.000.000,- K/2 Rp 67.500.000,-
TK/3 Rp 67.500.000,- K/3 Rp 72.000.000,-
88
Tanggungan keluarga untuk PTKP adalah anggota keluarga
sedarah (ikatan keluarga karena adanya perkawinan) dalam garis
keturunan satu derajat yaitu anak, anak angkat, orang tua, dan
mertua menjadi tanggungan sepenuhnya. Jumlah PTKP ditentukan
pada keadaan awal tahun.
89
4. Di atas Rp 500.000.000,- s.d Rp 5.000.000.000,-
(30%)
5. Di atas Rp 5.000.000.000,- (35%).
90
6. Dihitung PPh Pasal 21 sebulan, dari PPh 21 setahun : 12.
Keterangan :
• Biaya jabatan maksimum sebesar Rp 500.000,- sebulan
(untuk menghitung PPh Pasal 21 sebulan)
• Biaya jabatan maksimum sebesar Rp 6.000.000,-
setahun (untuk menghitung PPh Pasal 21 setahun).
Penyelesaai Soal 1
- Gaji : Rp 5.500.000,-
- Tunjangan : Rp 500.000,-
- Premi Asuransi Kecelakaan : Rp 130.000,-
- Premi Asuransi Kematian : Rp 170.000,- (+)
Penghasilan Bruto Sebulan : Rp 6.300.000,-
Pengurangan:
- Biaya Jabatan 5% x 6.300.000,- : Rp 315.000,-
(maksimum Rp 500.000,-/bulan,
nilai Rp 315.000,- belum melebihi
dari Rp 500.000,-, jadi dimasukkan
dengan jumlah tersebut)
- Iuran Pensiun : Rp 140.000,-
- Iuran THT : Rp 160.000,- (+)
- Jumlah Pengurangan : Rp 615.000,-
91
- Penghasilan Neto Sebulan : Rp 5.685.000,-
(Rp 6.300.000,- minus Rp 615.000,-)
- Penghasilan Neto Setahun : Rp 68.220.000,-
(Rp 5.685.000,- x 12 bulan)
- PTKP (K/1) kawin anak 1 : Rp 63.000.000,-(-)
- Penghasilan Kena Pajak (PKP) : Rp 5.220.000,-
- PPh 21 setahun 5% x Rp 5.220.000,- = Rp 261.000,-
- PPh 21 sebulan Rp 261.000,-/12 bulan = Rp 21.750,.
92
(upah sebulan kurang/tidak melebihi Rp 4.500.000,-),
maka PTKP nya Rp 450.000,-
Perhitungan PPh 21:
- Penghasilan sehari = Rp 120.000,-
- PTKP sehari = Rp 450.000,- (-)
- PKP = Nihil
- PPh 21 = Nihil
93
Jawab:
Upah sebulan: (25 hari x Rp 350.00,-) = Rp 8.750.000,-
(upah sebulan melebihi Rp 4.500.000,-), maka PTKP nya
Rp 67.500.000,- /360 hari = Rp 187.500,-
Perhitungan PPh 21:
- Penghasilan sehari = Rp 350.000,-
- PTKP sehari = Rp 187.500,-(-)
- PKP = Rp 162.500,-
- PPh 21 (5% x Rp 162.500,-) = Rp 8.125,-
PPh 21 (25 hari) = 25 x Rp 8.125,-= Rp 203.125,-
Jawab:
Upah Borong (12 hari) = Rp 5.000.000,-
Upah Satu Hari = Rp 5.000.000,- : 12 = Rp 416.700,-
94
5. PPh Pasal 21 Atas Uang Pesangon
Uang Pesangon dikenakan PPh Pasal 21 Final dengan
tarif sebagai berikut:
Jumlah Uang Pesangon Tarif Pajak
s/d Rp 50.000.000 0%
Rp50.000.000 – Rp100.000.000 5%
Rp100.000.000 – Rp500.000.000 15%
Diatas Rp500.000.000 25%
Contoh:
Tuan XY karena purna tugas dari Perusahaannya, pihak
manajemen memberikan uang pesangon sebesar
Rp170.000.000,- Uang tersebut dilakukan pembayaran
beberapa kali
- Januari 2021 dibayar Rp15.000.000
- Maret 2021 dibayar Rp45.000.000
- Mei 2021 dibayar Rp50.000.000, dan;
- Juli 2021 dibayar Rp60.000.000
Jawab:
PPh 21 Januari = 15.000.000 x 0% 0
PPh 21 Maret = 35.000.000 x 0% 0
10.000.000 x 5% 500.000
PPh 21 Mei = 40.000.000 x 5% 2.000.000
10.000.000 x 15% 1.500.000
PPh 21 Juli = 60.000.000 x 15% 9.000.000
Jumlah 13.000.000
95
DAFTAR PUSTAKA
96
BAB 6
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Oleh Rida Ristiyana
6.1 Pendahuluan
Seperti yang telah kita ketahui, pajak merupakan kontribusi
wajib yang sengaja dipungut dan memiliki sifat memaksa guna
memakmuran kehidupan masyarakat melalui pembangunan
dengan cara mengambil iuran dari masyarakat Indonesia. Pajak
berperan penting dan mayoritas pendapatan Indonesia berasal
dari pajak (penerimaan potensial). Salah satu pajak yang dikenakan
adalah Pajak Pengasilan pasal 23 (PPh Pasal 23). Pajak ini
diperuntukkan untuk wajib pajak orang pribadi yang terkait
dengan pendapatan yang diperoleh dari jasa, penyelengaraan
aktivitas selain dari yang dipotong oleh PPh Pasal 21 dan modal.
PPh Pasal 23 ini diatur pada Pasal 23 UU PPh Nomor 7 Tahun 1983
yang diperbarui menjadi UU PPh Nomor 36 Tahun 2008
(Kementerian Keuangan, 2008).
97
6.3 Pemotong dan Yang dikenakan pemotongan
PPh Pasal 23
Tidak semua pihak dapat dikenai PPh Pasal 23 ini, sehingga
pemotong PPh Pasal 23 ini juga tidak semua orang dapat menjadi
pemotong PPh Pasal 23.
98
b. Dividen
Dividen merupakan hasil yang didapat dari perusahaan
pada pemegang saham yang diterima dalam bentuk saham
atau uang tunai, deviden yang di potong PPh pasal 23
termasuk dari pembagian SHU Koperasi atau deviden dari
perusahan asuransi pemegang polis.
c. Hadiah
Hadiah adalah sesuatu yang di berikan kepada orang lain,
baik itu berupa bonus, penghargaan ataupun yang lainnya.
d. Bunga
Bunga adalah salah satu bentuk kompensasi dari pelayanan
jasa yang telah diberik bank untuk nasabah.
e. Pendapatan Sewa
Merupakan pendapatan yang diterima dari persetujuan
kedua belah pihak untuk menggunakan barang/pemakaian
harta kecuali pendapatan yang berasal dari persewaan
tanah serta bangunan.
f. Pendapatan Jasa
Pendapatan yang diperoleh dari pelayanan yang di berikan,
untuk pelayanan jasa yang di kenakan PPh 23 seperti: jasa
teknik, jasa konstruksi, jasa konsultan atau jasa manajemen
serta jasa lannya selain yang dipotonh PPh Pasal 21.
99
Dividen yang berasal dari laba yang diterima oleh
Orang Pribadi
Bagi PT, BUMN, BUMD yang memiliki dividen lebih
dari 25% dari total modal yang dibayar
d. Dividen yang diterima/diperoleh dari Orang Pribadi
e. Laba yang diterima dari CV dengan modal tidak terbagi
dari saham, kongsi, firma, persekutuan pada pemegang
unit yang melakukan penyertaan perjanjian investas
kolektif
f. SHU yang berasal dari koperasi diberikan pada anggota
koperasi
g. Pendapatan yang terutang/dibayarkanpada badan
usaha/jasa keuangan yang berperan menjadi penyalur
pembiyaaan/pinjaman yang diatur Menteri Keangan.
100
b. Surat banding yang dipublikaskan DJP dan Pemda
disampaikan dalam waktu 3 bulan mulai dari diterima
keputusan untuk banding
c. Surat banding yang dipublikaskan DJBC disampaikan
dalam waktu 60 hari mulai dari diterima keputusan
banding
d. Diajukan 1 surat banding untuk 1 keputusan yangdiajukan
e. Pengiriman surat banding melalui ekpedisi/pos/diantar
langsung ke loket penerimaan surat di pengadilan pajak
(antrian online dulu)
101
3. Dividen
4. Bunga termasuk imbalan atas jaminan
pengembalian utang, premium dan diskonto
b. Dipotong 2% dari jumlah bruto (belum termasuk PPN),
potongan ini diberlakukan pada :
1. Pendapatan sewa serta penghasilan lain terkait
pemakaian harta kecuali sewa tanah dan bangunan
2. Penghasilan yang diterima dar jasa konstruksi, jasa
konsultan, jasa manajemen, jasa teknik tau jasa
lainnya yang tidak masuk kedalam PPh Pasal 21
yang meliputi :
a. Jasa atestasi laporan keuangan, jasa akuntansi
dan pembukuan
b. Jasa arsitektur, Jasa ukum, Jasa Appraisal, Jasa
Arsitektur Landscape, Jasa Designer
c. Jasa penunjang untuk penerbangan serta bandar
udara, Jasa penebang hutang
d. Outsourcing services, Jasa keagenan
e. Jasa perdagangan atassurat berharga kecuali
yang dikerjakan oleh BEI, KSEI, KPEI
f. Jasa simpan, penitipan, custodian kecuali yang
dikerjakan oleh KSEI
g. Jasa pembuatan promosi dari film, baliho, poster,
iklan, foto, slide dan banner
h. Jasa bidang pertambangan minyak bumi, migas
pengeboran kecuali BUT
i. Jasa pengolahan data informasi, Jasa instalasi,
Jasa pengolahan limbah, Jasa maklon, Jasa
Cleaning Service, Jasa Catering/Tata Boga
j. Jasa logistik, Jasa Pengepakan, Jasa Pengelolaan
Parkir, Jasa percetakan, Jasa Sertifikasi, Jasa
dekorasi, Jasa penerjemah
102
k. Jasa pemeiharaan, perbaikan mesin, Jasa
ekspedisi yang diatur UU PPh, Jasa selan yang
dibebankan pada APBN dan APBD.
Apabila Orang Pribadi tidak berNPWP maka dikenakan
100% dar tarif yang pajak yang sebenarnya.
103
b. Pembukuan dilakukan berdasarkan kebijakan
perusahaan.
104
6.9 Cara Menghitung PPh Pasal 23
Penghitungan PPh Pasal 23 menyesuaikan objek pajak yang
ada. Dibawah ini terdapat beberapa conot kasus yang digunakan
untuk menghitung PPh Pasal 23.
a. Deviden
Contoh 1 :
PT. Aqilla Hil Corp. telah membayar dividen pada PT. Yowan
Semesta Rp 264.800.000. Hitunglah PPh pasal 23 yang
dipotong ole PT. Aqilla Hil Corp. ?
Penyelesaian :
PPh Pasal 23 = 15% x p 264 8
PPh Pasal 23 = p 39 72
Jadi, PPh 23 yang di bayarkan oleh PT. Aqilla Hil Corp
sebesar p 39 72
Contoh 2 :
PT. Mafaza telah membayar atas bunga pnjaman pada PT.
Emas Sentosa Rp 87.650.00. Hitunglah PPh pasal 23 yng
dipotong oleh PT Mafaza ?
Penyelesaian :
PPh Pasal 23 = 15% x p 87 65
PPh Pasal 23 = p 13 147 5
105
Jadi, PPh 23 yang di bayarkan oleh PT. Mafaza sebesar
p 13 147 5
c. Royalti
Contoh 3 :
PT. Sulis Food telah membayar royalti pada Tn. Abaca atas
penggunaan merek Bebek Goreng Abaca Rp 42.564.000.
Hitunglah PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT. Sulis
Food?
Penyelesaian :
PPh Pasal 23 = 15% x p 42 546
PPh Pasal 23 = p 6 381 9
Jika Tn Abaca belum memiliki NPWP maka PPh Pasal 23
yang harus di bayar PT. Sulis Food adalah:
PPh Pasal 23 = 3 % x p 42 546
PPh Pasal 23 = p 12 763 8
Contoh 4 :
CV. Lestari Berlian memperoleh hadiah berbentuk sepeda
motor Rp 32.436.000 karena menjadi distributor paling
baik dari PT. Adindayana. Hitunglah PPh Pasal 23 yang
terutang /dipotong oleh PT. Adindayana ?
106
Penyelesaian :
PPh Pasal 23 = 15% x p 32 436
PPh Pasal 23 = p 4 865
Jadi, PPh 23 yang di bayarkan oleh PT. Adindayana
sebesar p 4 865 4
Contoh 5 :
CV. Hilloka menyewa sebua mesin penggiling milik Ibu
Sasmita dengan nilai sewa Rp 18.765.000. Hitunglah PPh
Pasal23 yang dipotong PT.Hilloka ?
Penyelesaian :
PPh Pasal 23 = 2% x p 18 765
PPh Pasal 23 = p 375 3
Contoh 6 :
PT. Zvanica merupakan perusahaan baru berdiri dan
meminta jasa kepada PT. Trimegah, untuk mengcreate
107
sistem akuntansi dengan imbalan Rp 13.756.000
(include PPN Rp 1.220.000), Berapa PPh pasal 23 yang
terutang ?
Penyelesaian:
PPh Pasal 23 = 2% x p 12 536
PPh Pasal 23 = p 25 72
108
6.10 Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan
PPh Pasal 23
Penjelasannya sebagai berikut (Waluyo, 2018; Mardiasmo,
2019):
a. PPh Pasal 23 dikatakan terutang apabila pada akhir bulam
terjadi pembayaran/pada saat akhir bulan menjadi
terutang penghasilan, melhat mana yang duluan.
b. Penyetoran paling lambat tanggal 10 bulan takwin bulan
berikutnya pada saat pajak terhutang
c. Pelaporan paling lambat tanggal 20 sejak masa pajak
berakhir. Pihak yang memotong wajib membuat bukti
potong dan diberikan pada WP DN atau BUT yang terkena
PPh Pasal 23.
109
DAFTAR PUSTAKA
110
BAB 7
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
Oleh Parju
111
Ketetapan Pajak (SKP) untuk pajak tahun sebelumnya, maka
besarnya angsuran bisa diperhitungkan kembali.
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar
pajak penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak dikurangi kridit pajak. Perhitungan dasar angsuran
PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak orang pribadi, apabila dibuatkan
skema adalah sebagai berikut:
Jumlah Pajak Penghasilan terutang sesuai SPT xxx
dikurangi dengan:
1. PPh yang dipotong pemberi kerja (PPh Pasai 21) xxx
2. PPh yang dipungut pihak lain (PPh Pasal 22) xxx
3. PPh yang dipotong pihak lain (PPh Pasal 23 xxx
4. Kredit PPh Iuar negeri (PPh Pasal 24) xxx xxx
Dasar Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 xxx
Contoh 1 :
Pajak penghasilan terutang untuk Tuan Hakim berdasar Surat
Pemberitahuan Tahunan pajak penghasilan tahun 2021 adalah Rp
50.000.000 Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak
ketiga serta yang telah dibayar diluar negeri dalam tahun 2021
adalah :
a. Pemotongan PPh Pasal 21 melalui pemberi kerja Rp
15.000.000
b. Pemotongan PPh Pasal 22 oleh pihak lain Rp 10.000.000
112
c. Pemotongan PPh Pasal 23 oleh penyelenggera kegiatan Rp
2.500.000
d. Pembayaran pajak diluar negeri Rp 7.500.000, semuanya
dapat dikriditkan (PPh Psl 24)
Diminta :
Hitung angsuran bulanan PPh Pasal 25 untuk tahun 2022
Penyelesaian :
Penyelesaian :
PPh terutang berdasar SPT tahunan PPh tahun 2021: Rp
50.000.000
Kredit pajak :
PPh Pasal 21 Rp 15.000.000
PPh Pasal 22 Rp 10.000.000
PPh Pasal 23 Rp 2.500.000
PPh Pasal 24 Rp 7.500.000
Jumlah kridit pajak Rp 35.000.000
Dasar penghitungan angsuran Rp 15.000.000
Besarnya pajak yang harus dibayar setiap bulan pada tahun 2022
oleh wajib pajak sebesar Rp 15.000.000/12 = Rp 1.250.000
Contoh 2 :
Perusahaan Faris Jaya milik Bapak Faris Nur Wahib adalah
perusahaan dagang. Perusahaan ini sudah menggunakan
pembukuan lengkap. Menurut catatan akuntansi, peredaran bruto
pada bulan Nopember 2021 adalah sebesar Rp 400.000.000 dan
laba bersihnya adalah Rp 50.000.000. Status bapak Faris TK/0.
Perhitungan PPh Pasal 25 perusahaan ini untuk bulan Nopember
adalah sebagai berikut :
113
Penghasilan Neto Bulan Nopember Rp 50.000.000
Penghasilan neto setahun 12 x Rp50.000.000 Rp 600.000.000
Dikurangi:
Penghasilan tidak kena pajak Rp 54.000.000
Penghasilan Kena pajak Rp 546.000.000
Pajak terutang sebagai dasar perhitungan:
5%xRp 50.000.000 Rp 2.500.000
15%xRp200.000.000 Rp10.000.000
25%xRp250.000.000 Rp62.500.000
30%xRp 56.000.000 Rp16.800.000
Jumlah pajak terutang setahun Rp 91.800.000
114
Contoh 3 :
PT Faris Jaya memiliki peredaran bruto pada tahun 2021 adalah
sebesar Rp 5.000.000.000. Biaya untuk mendapatkan perederan
bruto, menagih, dan memelihara sebesar Rp 4.290.000.000 dan
laba bersih sebelum pajak Rp 710.000.000
PPh terutang berdasar SPT tahunan PPh tahun 2021
22% x Rp 710.000.000 Rp 156.200.000
Kredit pajak :
PPh Pasal 22 Rp 0
PPh Pasal 23 Rp 0
PPh Pasal 24 Rp 0
Jumlah kridit pajak Rp 0
Dasar penghitungan angsuran Rp 156.200.000
Besarnya pajak yang harus dibayar setiap bulan pada tahun 2022
oleh Wajib Pajak sebesar Rp 156.200.000/12 = Rp 13.016.667
Contoh 4 :
Pajak penghasilan terutang untuk PT Perdana berdasar Surat
Pemberitahuan Tahunan pajak penghasilan tahun 2021 adalah Rp
125.000.000. Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak
ketiga serta yang telah dibayar diluar negeri dalam tahun 2021
adalah :
a. Pemotongan PPh Pasal 22 oleh pihak lain Rp 30.000.000
b. Pemotongan PPh Pasal 23 dipotong oleh pihak lain Rp
15.000.000
c. Pembayaran pajak penghasilan diluar negeri Rp 40.000.000,
semuanya dapat dikriditkan (PPh Psl 24)
Pemotongan pajak penghasilan oleh pihak lain dan yang dibayar
diluar negeri tersebut untuk waktu 8 bulan
Diminta :
Hitung angsuran bulanan PPh Pasal 25 untuk tahun 2022
115
Penyelesaian :
PPh terutang berdasar SPT tahunan PPh tahun 2021 Rp
125.000.000
Kredit pajak :
PPh Pasal 22 Rp 30.000.000
PPh Pasal 23 Rp 15.000.000
PPh Pasal 24 Rp 40.000.000
Jumlah kridit pajak Rp 85.000.000
Dasar penghitungan angsuran Rp 40.000.000
Besarnya pajak yang harus dibayar setiap bulan pada tahun 2022
oleh wajib pajak sebesar Rp 40.000.000/8 = Rp 5.000.000
116
kembali berdasarkan SKP Tahun Pajak terakhir mulai bulan
berikutnya dari SKP.
4. Angsuran PPh Pasal 25 jika SPT Tahunan PPh lebih bayar
Jika SPT Tahunan lebih bayar sebelum ada keputusan Dirjen
Pajak, besarnya angsuran PPh pasal 25 sama dengan angsuran
pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu,
sepanjang tidak kurang dari rata-rata angsuran bulanan tahun
pajak yang lalu.
Contoh 5 :
Wajib Pajak PT Perdana dalam tahun 2021 memperoleh
penghasilan neto Rp 500.000.000. Pajak yang telah dipotong atau
dipungut oleh pihak ketiga serta yang telah dibayar diluar negeri
dalam tahun 2021 adalah :
a. Pemotongan PPh Pasal 22 oleh pihak lain atas impor barang Rp
50.000.000
b. Pemotongan PPh Pasal 23 dipotong oleh pihak lain atas sewa,
deviden Rp 10.000.000
c. Pembayaran pajak penghasilan diluar negeri Rp 40.000.000,
dari jumlah tersebut yang dapat dikriditkan adalah Rp
20.000.000
Surat Pemberitahuan Tahunan PPh disampaikan pada tanggal 30
April 2022. Angsuran pajak Desember 2021 sebesar Rp 7.250.000.
Pada bulan Agustus 2022 diterima surat ketetapan pajak bahwa
angsuran pajak 2022 adalah Rp 7.750.000.
Diminta :
1. Hitung angsuran bulanan PPh bulan Januari s/d April tahun
2022!
2. Hitung angsuran bulanan PPh bulan Mei s/d Agustus tahun
2022 !
3. Hitung angsuran bulanan PPh bulan September s/d Desember
tahun 2022 !
117
Penyelesaian :
1. Angsuran bulanan PPh bulan Januari s/d April tahun 2022
Angsuran bulanan PPh bulan Januari s/d April tahun 2022
adalah sama dengan angsuran terakhir bulan Desember 2021
sebesar Rp 7.250.000
2. Angsuran bulanan pph bulan Mei s/d Agustus tahun 2022
PPh terutang berdasar SPT tahunan PPh tahun 2021 adalah
22%xRp 500.000.000 = Rp 110.000.000
Kredit pajak :
PPh Pasal 22 Rp 50.000.000
PPh Pasal 23 Rp 10.000.000
PPh Pasal 24 Rp 20.000.000
Jumlah kridit pajak =Rp 80.000.000
Dasar penghitungan angsuran Rp 30.000.000
118
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
penyampaian SPT Tahunan PPh.
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan.
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib
Pajak.
Contoh 6 :
Penghasilan PT Faris Jaya Tahun 2021 sebesar Rp 120.000.000,
Kerugian tahun sebelumnya yang dapat dikompensasikan Rp
150.000.000. Sisa kerugian tahun sebelumnya yang belum
dikompensasikan Rp 30.000.000
Diminta :
Hitung PPh Pasal 25 !
Penyelesaian :
Penghitungan PPh pasal 25 tahun 2021 adalah :
Penghasilan tahun 2021 Rp 120.000.000
Sisa kerugian belum dikompensasikan Rp 30.000.000
Rp 90.000.000
PPh terutang berdasar SPT tahunan PPh tahun 2021:
22%xRp 90.000.000 = Rp 19.800.000
Besarnya pajak yang harus dibayar setiap bulan pada tahun 2022
oleh wajib pajak sebesar Rp 19.800.000/12 = Rp 1.650.000
119
dihitung berdasar jumlah pajak yang diperoleh dari penerapan tarif
10% atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi Wajib
Pajak bank atau sewa guna usaha dengan hak opsi yang
merupakan Wajib Pajak baru, adalah sebesar jumlah PPh terutang
berdasar perkiraan perhitungan rugi laba triwulan pertama yang
disetahunkan, dibagi 12.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi BUMN
dan BUMD yang bukan merupakan bank, adalah sebesar jumlah
PPh terutang atas PKP berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran
Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah
disahkan dikurangi PPh Pasal 22, 23, dan pasal 24 tahun
sebelumnya yang diperbolehkan, dibagi 12. Apabila RKAP belum
disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan
adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun
pajak sebelumnya.
Apabila ada sisa kerugian yang masih dapat
dikompensasikan, maka dasar penghitungan PPh Pasal 25 adalah
Pajak Penghasilan yang terutang atas PKP yang dihitung dari
penghasilan neto menurut RKAP setelah dikurangi dengan jumlah
sisa kerugian yang belum dikompensasikan tersebut.
Contoh 7 :
PT Angkasa terdaftar sebagai wajib pajak pada Kantor Pelayanan
Pajak Yogyakarta pada tanggal 1 Pebruari 2021. Peredaran atau
penerimaan bruto menurut pembukuan bulan Pebruari 2021
sebesar Rp 75.000.000. Setelah dikurangi dengan pengurang/biaya
yang diperkenankan maka didapatkan penghasilan neto sebesar
Rp 10.000.000.
Pehitungan PPh pasal 25 bulan Pebruari 2021 adalah sebagai
berikut :
120
Penghasilan neto bulan Pebruari 2021 Rp 10.000.000
Penghasilan neto disetahunkan
12x Rp 10.000.000 Rp 120.000.000
PPh terutang sebagai dasar perhitungan
PPh Pasal 25 adalah 22%xRp 120.000.000 Rp 26.400.000
Besarnya pajak yang harus dibayar setiap bulan pada tahun 2022 oleh
wajib pajak sebagai angsuran PPh Pasal 25 adalah
= Rp 26.400.000/12 Rp 2.200.000
Contoh 8 :
Perusahaan Cendana yang dimiliki Maemuna (tidak kawin tanpa
tanggungan TK/0) terdaftar sebagai wajib pajak pada Kantor
Pelayanan Pajak Semarang sejak 1 Maret 2021. Peredaran atau
penerimaan bruto menurut catatan harian selama bulan Maret
2021 sebesar Rp 50.000.000. Persentase norma perhitungan
untuk perusahaan Cendana sesuai jenis usahanya adalah 15%.
Penghitungan PPh Pasala 25 untuk bulan maret sebagai berikut :
121
7.5 Penyetoran Dan Pelaporan PPh Pasal 25
1. PPh pasal 25 harus dibayar/disetorkan selambat-lambatnya
pada Tanggal 15 bulan takwin berikutnya setelah masa
pajak berakhir.
2. Wajib Pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa
selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir.
3. Bagi Wajib Pajak Pengusaha tertentu, berlaku juga
ketentuan sebagai berikut :
- Jika wajib Pajak memiliki berapa tempat usaha dalam
satu wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak, harus
mendaftarkan masing-masing tempat usahannya di
Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan.
- Wajib Pajak yang memiliki beberapa tempat usaha
dilebih dari 1 wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak,
harus mendaftarkan setiap tempat usahanya di Kantor
Pelayanan Pajak masing masing tempat usaha Wajib
Pajak berkedudukan.
- SPT tahunan PPh harus disampaikan di Kantor
Pelayanan Pajak tempat domisili Wajib Pajak terdaftar
dengan batas waktu seperti pada ketentuan nomor 2.
122
DAFTAR PUSTAKA
Ateb Adya Barata dan Jajat Djuhadiat. 2006, Pot-Put dan Kepalu, :
Pemotongan pemungutan Pajak Penghasilan dan Kridit Pajak
Luar Negeri. Jakarta: PT ElexMedia Kompetindo.
Bohari. 2012. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Rajawali Press.
Casavera. 2012. Perpajakan, Edisi Pertama. Jakarta: Graha Ilmu.
Herry Purnomo. 2010. Dasar-Dasar Perpajakan dan Akuntansi
Pajak. Jakarta: Erlangga.
Madiasmo. 2018. Perpajakan, Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Siti Resmi. 2014. Perpajakan Teori dan Kasus. Edisi 8. Jakarta:
Salemba Empat.
Soeparjo. 2005. Modul Perpajakan. Semarang: Fakultas Ekonomika
dan Bisnis UNTAG.
Waluyo, Bambang. 1991. Pemeriksaan dan Peradilan Di bidang
Perpajakan. Jakarta: Sinar Grafika.
Waluyo. 2014. Perpajakan Indonesia, Edisi 10. Jakarta: Salemba
Empat.
123
124
BAB 8
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
Oleh Amelia Rizky Alamanda
125
Usaha Tetap atas Penghasilan aerupa Kauntungan dari
Panjualan Saham
Peraturan Menteri Kauangan Nomor 14/PMK_03/2011
tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena
Pajak sasudah Dikurangi Pajak dari Suatu aantuk Usaha
Tetap_
Paraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
61/PJ/2009 tentang Tata Cara penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak aerganda
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
26/PJ/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran
Pajak aarganda
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
23/PJ_43/1996 Tentang Penjelasan Petunjuk
Pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 (Seri PPh Pasal
21 Nomor 4)
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
26/PJ_4/1gg6 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 26 atas Penghasilan berupa Premi Asuransi dan
Premi Reasuransi yang dibayar
kepada perusahaan asuransi di Luar Negeri
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
22/PJ_22/1988 tentang PPh Pasal 26 atas Bunga Kredit
Luar Negeri.
126
No Jenis Penghasilan Tarif
Premium,Diskonto dan Imbalan
jaminan pengembalian hutang;
3. Royalty;
4. Sewa;
5. Penghasilan penggunaan
harta
6. Imbalan sehubungan dengan
jasa pekerjaan dan kegiatan;
7. Hadiah & penghargaan;
8. Pensiun & pembayaran
berkala lainnya;
9. premi swap dan transaksi
lindung nilai lainnya; dan/ atau
10. keuntungan karena
pembebasan utang.
2. Penjualan atas penghasilan dari 20% x perkiraan neto
penjualan atau pengalihan harta Perkiraan Neto = 25% x
di Indonesia, yang diperoleh WP harga jual
Luar Negeri. Sehingga tarif efektif:
Harta yang dimaksud berupa: 20% x 25% x harga jual
perhiasan mewah, berlian, emas, =
intan, jam tangan mewah, barang 5% x harga jual
antik, lukisan, mobil, motor, Bersifat final
kapal pesiar, dan/ atau pesawat
terbang ringan.
Dikecualikan dari pemotongan
PPh Pasal 26 adalah:
WP OP Luar Negeri yang
memperoleh penghasilan tidak
melebihi Rp 10Juta untuk setiap
jenis transaksi.
3. Penjualan saham. Saham yang 20% x perkiraan neto
127
No Jenis Penghasilan Tarif
diperjualbelikan adalah saham Perkiraan Neto = 25% x
dari PT di Dalam Negeri dan harga jual
tidak berstatus sebagai emiten Sehingga tarif efektif:
atau perusahaan publik. 20% x 25% x harga jual
penjualan/pengalihan saham = 5% x harga jual
perusahaan antara (special Bersifat final
purpose company atau conduit
company), yang didirikan di Tax
Haven Country dan mempunyai
hubungan istimewa dengan
WPDN Indonesia atau BUT di
Indonesia, dapat ditetapkan
sebagai penjualan/ pengalihan
saham WP Badan Dalam Negeri.
4. pembayaran premi asuransi dan 20% x perkiraan neto
premi reasuransi kepada Besarnya perkiraan
perusahaan asuransi di luar penghasilan neto
negeri adalah sebagai berikut :
a. atas premi dibayar
tertanggung kepada
perusahaan asuransi di
luar negeri baik secara
langsung maupun
melalui pialang,
sebesar 50% dari
jumlah premi yang
dibayar;
b. atas premi yang
dibayar oleh
perusahaan asuransi
yang berkedudukan di
Indonesia kepada
128
No Jenis Penghasilan Tarif
perusahaan asuransi di
luar negeri baik secara
langsung maupun
melalui pialang, sebesar
10% dari jumlah premi
yang dibayar;
c. atas premi yang
dibayar oleh
perusahaan reasuransi
yang
berkedudukan di
Indonesia kepada
perusahaan asuransi
di luar negeri baik
secara langsung
maupun melalui
pialang, sebesar 5%
dari jumlah premi yang
dibayar.
129
2. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan
dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
3. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha
Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau
melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
4. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha
Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau
melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
130
Syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
- perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan
di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di
Indonesia; dan
- Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh
melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling
sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak
penyertaan modal.
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
- pembelian aktiva tetap ; atau
- investasi berupa aktiva tidak berwujud
Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh
melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan
atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau
investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan. Wajib Pajak
Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di
Indonesia, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar,
dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk
Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang
bersangkutan.
- Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi
penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar,
dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan
untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman
kembali tersebut.
- Pemberitahuan paling sedikit meliputi hal-hal sebagai
berikut: jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan
131
Tahun Pajak yang bersangkutan; dan bentuk penanaman
kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun
Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.
132
2. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh wajib pajak luar negeri yang berubah status
menjadi wajib pajak dalam negeri BUT.
133
CONTOH SOAL
PT. RAHAJENG merupakan penerbit buku cerita anak-anak. Pada
bulan April 2021 membayarkan royalty sebesar Rp.200.000.000,-
kepada Akitsuki sebagai pengarang buku cerita anak-anak
Doraemon. Akitsuki adalah Wajib Pajak luar negeri. PPh Pasal 26
yang dipotong oleh PT. RAHAJENG adalah:
20%x Rp. 200.000.000,- = Rp.40.000.000
Jessica adalah atlet dari Vietnam. Dalam bulan Mei 2021 mengikuti
perlombaan lari marathon di Indonesia, dan merebut hadiah uang
sebesar US$ 30.000,-. Kurs untuk US$ 1 pada saat itu adalah
Rp.15.000,PPh Pasal 26 yang dipotong oleh penyelenggara
kegiatan di Indonesia adalah:
20%x US$ 30.000 x Rp. 15.000,- = Rp. 90.000.000
PT. Alamanda merupakan perusahaan persewaan gedung kantor.
Pada tahun 2021 mengasuransikan bangunan bertingkat ke
perusahaan asuransi di luar negeri Block Insurance. Premi yang
dibayar oleh PT. Alamanda kepada Block Insurance. sebesar Rp.
1.000.000.000,-. PPh Pasal 26 yang dipotong oleh PT Alamanda
adalah:
20%x 50%x Rp. 1.000.000.000,- = Rp. 100.000.000
Seperti pada contoh diatas, PT. Alamanda tidak mengasuransikan
bangunannya langsung ke perusahaan asuransi di luar negeri,
tetapi mengasuransikan bangunan yang dimiliki kepada
perusahaan asuransi di dalam negeri yaitu Perusahaan Asuransi
Beringas dengan jumlah premi sebesar RP. 750.000.000,- . Untuk
mengurangi risiko, Beringas mengasuransikan sebagian polis
asuransinya kepada perusahaan asuransi di luar negeri Akatsuki
Insurance. dengan premi sebesar RP. 500.000.000,PPh Pasal 26
yang dipotong oleh Beringas adalah:
20%x 10%x Rp. 500.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
Suatu bentuk usaha tetap di Indonesia memperoleh Penghasilan
Kena Pajak sebesar Rp. 17.500.000.000,-
PPh Pasal 26 dihitung sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak Rp.17.500.000.000,PPh
134
Terutang: 25%x Rp. 17.500.000.000,- Rp. 4.375.000.000,- (-)
Penghasilan setelah dikurangi pajak Rp.13.125.000.000,-
PPh Pasal 26 yang terutang:
20%x Rp. 13.125.000.000,- = Rp. 2.625.000.000,-
Jika penghasilan setelah dikurangi pajak tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia, atas penghasilan sebesar Rp. 13.125.000.000,
tidak dipotong PPh Pasal 26.
135
DAFTAR PUSTAKA
136
BAB 9
REKONSILIASI FISKAL
Oleh Daniel Kartika Adhi
9.1 Pendahuluan
Laporan keuangan yang dihasilkan entitas bertujuan untuk
memberikan informasi bagi pengambilan keputusan ekonomi.
Disamping itu juga, laporan keuangan menunjukkan
pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber-
sumber daya yang dikelolanya. Laporan keuangan ini disusun
berdasarkan PSAK yang berlaku secara benar dan harus
menyajikan secara wajar posisi keuangan entitas.
Disisi lain, laporan keuangan juga harus berlandaskan
peraturan perpajakan dalam melaporkan laporan keuangan fiskal,
sehingga terdapat perbedaan dalam penghitungan laba/rugi. Perlu
adanya suatu jembatan dalam mengatasi perbedaan tersebut, yaitu
dengan cara rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah proses
penyesuaian atas laba akuntansi yang berbeda dengan ketentuan
fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto atau laba yang sesuai
dengan ketentuan perpajakan (Agoes & Trisnawati, 2013). Hal-hal
yang perlu dilakukan rekonsiliasi terletak pada pendapatan dan
biaya yang terjadi pada suatu periode.
Rekonsiliasi fiskal tidak dimaksudkan untuk membuat dua
laporan keuangan, akan tetapi lebih dimaksudkan untuk
mengeliminir perbedaan-perbedaan yang terjadi. Entitas
menyelenggarakan pembukuan berdasarkan PSAK yang
menghasilkan laporan komersial, dan melaporkan pada saat
melaporkan ke pajak, dilakukan rekonsiliasi fiskal atas laporan
laba/rugi komersial.
137
9.2 Laporan Laba/Rugi Fiskal
Laporan Laba/Rugi fiskal didapat dengan cara melakukan
rekonsiliasi fiskal atas laporan keuangan (Laba/Rugi) komersial.
Praktek yang yang terjadi selama ini, dalam menyusun laporan
laba/rugi fiskal nampak dalam gambar 1 dibawah ini:
Laporan Laporan
Koreksi Laba/Rugi
Laba/Rugi
Fiskal Fiskal
Komersial
138
b) Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan fiskal,
c) Amortisasi komersial lebih besar daripada amortisasi fiskal,
d) Pendapatan yang ditangguhkan pengakuannya, dan
e) Penyesuaian fiskal positif lainnya.
139
No Metode Akuntansi Perpajakan
- Metode Jam Jasa lurus untuk
- Metode Jumlah harta bangunan
Unit Produksi
140
No Jenis Harta Masa Garis Saldo
Manfaat Lurus Menurun
Golongan 2 8 Tahun 12,5% 25%
Golongan 3 16 Tahun 6,25% 12,5%
Golongan 4 20 Tahun 5% 10%
2 Bangunan
Permanen 20 Tahun 5%
Semi Permanen 10 Tahun 10%
Sumber: UU PPh No. 36 Tahun 2008
141
9.6 Kertas Kerja Rekonsiliasi Fiskal
Kertas kerja rekonsiliasi fiskal dibuat oleh wajib pajak
untuk mengisi SPT Tahunan Orang Pribadi atau PPh Badan
(Waluyo, 2012). Kertas kerja untuk membuat rekonsiliasi fiskal
tampak pada Tabel 9.3 dibawah ini:
Biaya-Biaya
142
PT. Elang Perkasa
Laporan Laba/Rugi
Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2020
Penjualan Rp20.750.000.000
Retur Penjualan 867.788.000
Potongan Penjualan 576.880.000
------------------ (1.444.658.000)
---------------------
Penjualan Bersih 19.305.342.000
HPP:
Persediaan Awal 1/1’20 6.000.000.000
Pembelian 13.500.000.000
Ongkos angkut 350.000.000
Persediaan 31/12/20 (2.570.750.000)
-----------------------
Harga Pokok Penjualan 17.279.250.000
-------------------------
Laba Kotor 2.026.092.000
Beban Usaha:
o Gaji, Upah, THR dan Tunjangan 900.750.000
o ATK 17.500.000
o Beban listrik dan telepon 5.750.000
o Beban promosi 10.750.000
o Beban makan karyawan 25.780.000
o PBB 9.000.000
o Beban royalti 27.500.000
o Beban perjamuan 10.500.000
o Beban sewa 127.500.000
o Beban penyusutan 225.000.000
o Beban kerugian piutang 120.000.000
o Pajak 55.000.000
o Beban perjalanan dinas 15.000.000
-----------------
143
Total Beban Usaha 1.550.030.000
------------------
-
Laba usaha 476.062.000
Penghasilan diluar usaha:
o Dividen 70.000.000
o Sewa 30.000.000
o Pendapatan bunga 55.000.000
-------------------
Total Penghasilan diluar usaha 155.000.000
-----------------
-
Laba bersih 631.062.000
Informasi tambahan:
a) Dalam beban gaji, upah, THR dan tunjangan terdapat
pembelian beras untuk karyawan sebesar Rp15.000.000,-
b) Dalam beban promosi terdapat sumbangan ke Panti
Asuhan sebesar Rp2.000.000,-
c) Terdapat beban royalti yang tidak disertai bukti
pendukung sebesar Rp2.500.000,-
144
Kebijakan akuntansi perusahaan adalah sebagai berikut:
o Mesin nilai residu sebesar 10% dari harga
perolehan
o Aset tetap lainnya nilai residu sebesar 20% dari
harga perolehan
o Penyusutan menggunakan garis lurus
o Berdasarkan peraturan perpajakan, aset berupa
mesin, kendaraan, komputer dan inventaris kantor
termasuk dalam golongan II. Penyusutan menurut
fiskal yang dilakukan perusahaan menggunakan
garis lurus.
d) Piutang yang tidak tertagih sesuai dengan peraturan
perpajakan sebesar Rp70.500.000,-
e) Pajak sebesar Rp70.000.000,- merupakan angsuran PPh 25
selama tahun 2020
f) Biaya perjalanan dinas sebesar Rp3.500.000,- atas nama
keluarga pemegang saham.
g) Dividen sebesar Rp70.000.000,- terdiri atas dividen kas
dari penyertaan saham sebesar 20% pada PT. Citra
Gemilang Semarang sebesar Rp20.000.000,- dan dividen
kas dari penyertaan saham sebesar 35% pada PT. Inti Jaya
Jakarta sebesar Rp50.000.000,-
h) Penghasilan sewa sebesar Rp30.000.000,- merupakan
penghasilan sewa atas bangunan yang diterima dari PT.
Rajawali Citra Semarang
i) Pendapatan bunga sebesar Rp55.000.000,- merupakan
pendapatan bunga atas tabungan
Pembahasan:
a) Imbalan dalam bentuk natura (beras) sebesar
Rp15.000.000,- tidak boleh dikurangkan dari
pendapatan bruto (UU PPh Ps. 9 (1)), sehingga
menaikkan laba kena pajak (koreksi positif).
145
b) Biaya sumbangan ke panti asuhan sebesar
Rp2.000.000,- dalam biaya promosi tidak boleh
dibebankan, sehingga akan menaikkan laba kena pajak
(koreksi positif)
c) Biaya royalti sebesar Rp2.500.000,- tidak boleh
dibebankan sebagai biaya, karena tidak didukung
dengan daftar nominatif, sehingga akan menaikkan laba
kena pajak (koreksi positif).
146
bruto (UU PPh Ps 9 (1)). Oleh karena itu akan
menaikkan laba kena pajak (koreksi positif)
g) Dividen yang diterima wajib pajak badan bukan
merupakan obyek pajak (PPh Ps. 4 (3)), apabila
penyertaannya melebihi dari 25% dari total modal
disetor. Karena PT. Elang Perkasa memiliki saham
kurang lebih dari 25% PT. Inti Jaya Jakarta, maka
dividen kas yang diperoleh sebesar Rp50.000.000,-
harus dikoreksi fiskal, dan mengakibatkan penurunan
terhadap laba kena pajak (koreksi negatif).
h) Penghasilan sewa atas bangunan sebesar
Rp30.000.000,- sudah dikenakan PPh final, sehingga
harus di koreksi fiskal. Oleh karena itu akan
mengakibatkan penurunan laba kena pajak (koreksi
negatif)
i) Pendapatan bunga sebesar Rp55.000.000,- sudah
dipotong pajak final, sehingga tidak termasuk
penghasilan, oleh karena itu dikoreksi fiskal negatif.
147
Nama L/R Komersial Rekonsiliasi Fiskal L/R Fiskal
Rekening
Koreksi Koreksi
Positif Negatif
Gaji, Upah, 900.750.000 15.000.000 885.750.000
THR dan
Tunjangan
ATK 17.500.000 17.500.000
Beban 5.750.000 5.750.000
Listrik dan
Telepone
Beban 10.750.000 2.000.000 8.750.000
promosi
Beban 25.780.000 25.780.000
Makan
Karyawan
PBB 9.000.000 9.000.000
Beban 27.500.000 2.500.000 25.000.000
royalti
Beban 10.500.000 10.500.000
Perjamuan
Beban sewa 127.500.000 127.500.000
Beban 225.000.000 47.500.000 272.500.000
penyusutan
Beban 120.000.000 49.500.000 70.500.000
kerugian
piutang
Pajak 55.000.000 55.000.000 55.000.000
Beban 15.000.000 3.500.000 11.500.000
perjalanan
dinas
Total 1.550.030.000 1.525.030.000
Beban
Usaha
Laba Usaha 476.062.000 501.062.000
Penghasilan
diluar Usaha
Dividen 70.000.000 50.000.000 20.000.000
Sewa 30.000.000 30.000.000
Pendapatan 55.000.000 55.000.000
bunga
Total 155.000.000 20.000.000
Penghasilan
di luar
148
Nama L/R Komersial Rekonsiliasi Fiskal L/R Fiskal
Rekening
Koreksi Koreksi
Positif Negatif
Usaha
Laba Bersih 631.062.000 521.062.000
Sebelum
Pajak
149
DAFTAR PUSTAKA
150
BAB 10
PPN DAN PPN BM
Oleh Depita Anggraini
10.1 Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang karakteristik PPN yang berlaku
di Indonesia dan sejarah pemungutan PPN sebagai pajak konsumsi
atas barang dan jasa. Deskripsi fungsional bersifat teoritis meliputi
PPN sebagai Pajak atas Konsumsi, Pajak Objektif, Pajak Tidak
Langsung, Multi Stage Tax, dan Indirect Subtraction Method/Credit
Method/Invoice Method. Sejarah pemungutan PPN sebagai pajak
konsumsi adalah sejarah pemungutan pajak konsumsi hingga
reformasi sistem perpajakan sampai dengan lahirnya Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai pada tahun 1983.
Kemudian dilanjutkan Objek Pertambahan Nilai, Subjek
Pajak Pertambahan Nilai, Menghitung Pajak Pertambahan Nilai,
Saat terutang Pajak dan Penerapan Faktur Pajak.
151
April 2022. Pada tahun 2024 akan naik lagi menjadi 12%. Untuk
ekspor, bea masuknya adalah 0%.
Karakteristtik PPN Karakteristik Pemungutan PPN adalah
sebagai berikut:
1. Pajak objektif
Pemungutan PPN didasarkan pada objek pajak tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak (WP) sebagai
subjek pajak
2. Pajak tidak langsung
secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada
pihak lain, tetapi kewajiban memungut, menyetor,
melapor melekat pada pihak yang menyerahkan
barang/jasa
3. Multi stage tax
dilakukan secara berjenjang dari pabrikan sampai
konsumen akhir
4. Dipungut menggunakan faktur pajak
Sehingga Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai
pemungut pajak harus menerbitkan faktur pajak sebagai
bukti pemungutan PPN
5. Bersifat netral
PPN adalah dikenakan baik atas konsumsi barang
maupun jasa, dan dipungut menggunakan prinsip
tempat tujuan, yaitu bahwa PPN dipungut di tempat
barang atau jasa dikonsumsi
6. Non-duplikasi
Karena dalam PPN adalah terdapat mekanisme
pengkreditan pajak masukan
152
pembelian atau bukti pembelian. Sebelum kita menyebutnya PPN,
kita tahu ada beberapa model pemungutan pajak yang serupa dan
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Pajak Pembangunan I
Sebelum pengenaan PPN, Pemerintah secara resmi
memberlakukan Pajak Pembangunan I (PPb I) pada tanggal 1 Juli
1947. Pajak ini dikenakan pada operasi restoran, akomodasi dan
layanan restoran. Sebelumnya PPb I berstatus pajak pusat, namun
sejak tahun 1957 diubah menjadi pajak daerah.
Pajak Penjualan
Seperti telah disebutkan pada poin sebelumnya, pajak
peredaran yang diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor
19 Tahun 1951 tentang Pajak Peredaran tidak berlangsung
lama. Selanjutnya, pajak peredaran digantikan dengan pajak
penjualan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1953 tentang Penetapan “Undang-Undang Darurat Nomor 19
Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan” (Lembaran-
Negara Nomor 94 Tahun 1951) Sebagai Undang-Undang. UU
153
inilah yang kemudian menjadi dasar hukum pemungutan pajak
penjualan yang dikenal dengan Pajak Penjualan 1951.
Perubahan kedua:
Setelah perubahan pertama pada 1983, UU PPN
mengalami perubahan kedua yang disebut sebagai Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah. Ada pun sasaran yang ingin diwujudkan dari
perubahan kedua UU PPN tersebut adalah menciptakan sistem
perpajakan yang lebih adil, sederhana, dan memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat serta dapat mengamankan
dan meningkatkan penerimaan negara.
Perubahan ketiga:
Perubahan UU PPN ketiga adalah Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah. Hingga tahun 2018, undang-undang ini masih
digunakan dan belum ada rencana untuk direvisi. Tujuan
dilakukannya perubahan ketiga UU PPN ini adalah untuk
semakin meningkatkan kepastian hukum dan keadilan,
menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana, serta
154
mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional
dapat dilaksanakan secara mandiri.
155
5. Jasa pelayanan medis, pelayanan sosial, jasa keuangan,
asuransi, pendidikan, dan sebagainya.
156
1. Melaporkan usaha dan dikukuhkan sebagai PKP
(Pengusaha Kena Pajak)
2. Memungut pajak terutang
Menyetorkan PPN yang masih dibayar dalam hal pajak
keluaran lebih besar daripada pajak masukan, yang
dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang
3. Melaporkan penghitungan pajak
Sebagai subjek PPN, PKP diwajibkan membuat Faktur
Pajak dalam format yang sudah ditentukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yakni Faktur Pajak
elektronik atau e-Faktur, atas penyerahan dan
penerimaan BKP atau JKP serta melaporkannya.
2. Non-PKP
Seorang individu atau pribadi dan non-PKP yang menggunakan
BKP atau JKP di wilayah pabean Indonesia merupakan subjek
PPN. Akan tetapi, umumnya harga yang dibayarkan oleh
konsumen sudah termasuk PPN. Aturan mengenai ini tertuang
dalam dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) Pasal 4 Ayat
(1) huruf b dan huruf e, serta Pasal 16C. PPN akan tetap terutang
walaupun yang melakukan kegiatan bukanlah PKP, dalam
kondisi :
Impor BKP
Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean
di dalam daerah pabean
Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean
Melakukan kegiatan pembangunan
Pengusaha kecil juga merupakan subjek PPN.
Itu artinya, pengusaha kecil memiliki kewajiban-kewajiban yang
mengikat, khususnya ketika mereka memilih agar ditetapkan
157
sebagai PKP sehingga mereka sepenuhnya dan wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang
terutang.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013
menetapkan batasan pengusaha untuk dapat dikategorikan
sebagai pengusaha kecil, sebagai berikut:
Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1
tahun buku melakukan penyerahan BKP/JKP dengan
jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak
lebih dari Rp 4,8 miliar.
Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah
jumlah keseluruhan penyerahan BKP/JKP yang dilakukan
oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.
Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP, apabila sampai dengan suatu bulan dalam
tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
brutonya melebihi Rp 4,8 miliar.
Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai
PKP dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
brutonya melebihi Rp 4,8 miliar.
158
pemerintah maupun ikut serta dalam pengadaan barang
dan jasa.
Selain keunggulan, ada pula konsekuensi yang harus
diperhatikan ketika seorang pengusaha kecil ingin dikukuhkan
menjadi PKP.
Contoh 1:
PKP Tn Rupawan Akbar menjual tunai barang kena pajak (BKP)
seharga Rp25.000.000. Maka PPN yang terutang = 11% x
Rp25.000.000 = Rp2.750.000. PPN sebesar Rp2.750.000 tersebut
merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh PKP Tn Rupawan
Akbar
Contoh 2:
PKP Bapak Juanda Hadi Irawab melakukan penyerahan jasa kena
pajak (JKP) dengan memperoleh penggantian Rp20.000.000. Maka
PPN yang terutang = 11% x Rp20.000.000 = Rp2.200.000. PPN
sebesar Rp2.200.000 tersebut merupakan pajak keluaran yang
dipungut oleh PKP Bapak Juanda Hadi Irawan.
159
Contoh 3:
Pengimpor Tn Irvan Giovani melakukan impor BKP dari luar
daerah pabean dengan nilai impor Rp15.000.000. PPN yang
dipungut melalui Ditjen Bea dan Cukai = 11% x Rp15.000.000 =
Rp1.650.000.
160
10.5.2 Tempat Terutang PPN
Berdasarkan Pasal 12 UU PPN, tempat terutang PPN diatur
sebagai berikut:
Untuk penyerangan BKP di dalam daerah
pabean/penyerahan JKP di dalam daerah pabean/ekspor
BKP berwujud/ekspor BKP tidak berwujud/ekspor JKP
Contoh 1:
Orang Pribadi (OP) Rupawan Akbar yang bertempat tinggal
di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila tempat tinggal OP
Rupawan Akbar tidak ada penyerahan BKP dan/atau JKP, OP
Rupawan Akbar hanya wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
161
Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi OP Rupawan Akbar
adalah di Cibinong.
Sebaliknya, jika penyerahan BKP dan/atau JKP dilakukan
OP Rupawan Akbar hanya di tempat tinggalnya saja, OP Rupawan
Akbar hanya wajib mendaftarkan diri di KPP Pratama Bogor.
Namun, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan
usahanya OP Rupawan Akbar melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP, OP Rupawan Akbar wajib mendaftarkan diri di KPP
Pratama Bogor dan KPP Pratama Cibinong karena tempat
terutangnya pajak ada di Bogor dan Cibinong.
Berbeda dengan orang pribadi, PKP badan wajib mendaftarkan diri
baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha
karena bagi PKP badan di kedua tempat tersebut dianggap
melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.
Contoh 2:
PT Giovani Jaya mempunyai tiga tempat kegiatan usaha,
yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang ketiganya
berada di bawah pelayanan satu KPP, yaitu KPP Pratama Bengkulu.
Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan BKP dan/atau
JKP dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi
keuangan sehingga PT Giovani Jaya terutang pajak di ketiga tempat
atau kota itu.
Dalam keadaan demikian, PT Giovani Jaya wajib memilih
salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya
guna dikukuhkan sebagai PKP, misalnya tempat kegiatan usaha di
Bengkulu. PT Giovani Jaya yang bertempat kegiatan usaha di
Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh
kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha
tersebut.
Apabila PT Giovani Jaya menghendaki tempat kegiatan
usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak
terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT Giovani Jaya wajib
memberitahukan kepada Kepala KPP Pratam Bengkulu.
162
Saat Pembayaran dan Pelaporan
Pembayaran PPN PKP harus dilakukan pada akhir bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak dan sebelum penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa PPN. SPT Masa PPN dilaporkan paling lambat
akhir bulan setelah berakhirnya Masa Pajak.
163
pengendalian internal, atau pengendalian internal, dalam akuntansi
perusahaan. mengapa demikian? Hal ini karena komponen biaya
faktur pajak harus disetujui oleh manajemen perusahaan yang
bertanggung jawab di bidang perpajakan. Saat membuat faktur
pajak Pemerintah telah menata kembali aturan tentang faktur
pajak melalui Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-
03/PJ/2022. Peraturan tersebut merupakan langkah untuk
menciptakan kepastian hukum, menyelaraskan beberapa
peraturan yang menjadi tidak relevan setelah pemerintah
memasuki era e-faktur.
Peraturan tersebut juga menegaskan aturan dasar
pembuatan faktur pajak seperti: Informasi Pembuatan Faktur
Pajak, Faktur Pajak dan Formulir Faktur Pajak. Aturan tersebut
juga mencakup ketentuan baru, salah satunya adalah batas waktu
pengunggahan faktur pajak paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya. Sebagai badan usaha kena pajak, pembuatan faktur
pajak merupakan hal yang penting. Jika PKP melakukan kesalahan
dalam pembuatan faktur pajak, pasti ada risiko: Misalnya, jika Anda
salah menulis alamat pada faktur pajak Anda, faktur pajak Anda
akan dianggap tidak lengkap dan Anda akan dikenakan sanksi
sebesar 1% dari nilai DPP. Pasal 2 ayat 2 (2) PER-03/PJ/2022
menyatakan bahwa Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
menyediakan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak
(JKP) wajib membayar PPN (PPN). Sebagai bukti pemungutan PPN.
Dalam Pasal 3(2) PER-03/PJ/2022, Pengusaha Kena Pajak (PKP)
berhak menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP), memberikan Jasa
Kena Pajak (JKP), BKP berwujud ekspor, BKP tidak berwujud
ekspor, dan JKP ekspor, seperti semua transaksi, diatur oleh
undang-undang pajak pertambahan nilai. Selanjutnya Pasal 3(2)
PER-03/PJ/2022 lebih lanjut menjelaskan waktu atau waktu
penerbitan faktur pajak.
Pertama, Faktur Pajak harus diterbitkan atas penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Kedua,
Faktur Pajak harus diterbitkan setelah menerima pembayaran
164
sebelum menyerahkan BKP dan/atau JKP. Ketiga, faktur pajak
harus diterbitkan setelah menerima pembayaran yang jatuh
tempo. Ini adalah tanda terima pembayaran ini saat menyerahkan
bagian dari tahap pekerjaan. Keempat, Faktur Pajak harus dibuat
pada saat melakukan ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak
beruwud, dan/atau ekspor JKP. Kelima, Faktur Pajak harus dibuat
pada saat lain yang sudah diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan PPN.
Saat penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP
berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, ekspor JKP dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kemudian, dengan adanya PER-03/PJ/2022, sejumlah peraturan
cabut dan tidak berlaku, yaitu PER-58/PJ/2010, PER-24/PJ/2012.
PER-04.PJ.2020, PER-16/PJ/2014 s.t.d.t.d PER-10/PJ/2020, dan
KEP-754/PJ/2001 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
151/PMK.03/2013 Adapun, Perarturan Menteri Keuangan Nomor
151/PMK.03/2013 yang secara khusus menguraikan waktu atau
saat yang tepat untuk membuat faktur pajak berdasarkan sifat dan
hukumnya.
Pertama, saat pembuatan Faktur Pajak untuk penyerahan
BKP berwujud yang berdasarkan sifat dan hukumnya berupa
barang bergerak akan terjadi pada saat BKP berwujud diserahkan
langsung kepada pembeli atau pihak ketiga atas nama pembeli;
BKP berwujud diberikan langsung kepada penerima barang untuk
kondisi pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, penyerahan
antar cabang, dan penyerahan dari pusat ke cabang; BKP berwujud
diserahkan kepada pengusaha jasa angkut; atau harga atas
penyerah BKP tersebut diakui sebagai piutang.
Kedua, apabila diterbitkan Faktur Pajak untuk penyerahan
BKP berwujud yang menurut sifat dan hukumnya berupa barang
yang tidak berwujud, maka pada saat itulah hak pakai BKP
berwujud diserahkan kepada pembeli.
Ketiga, saat pembuatan Faktur Pajak untuk penyerahan
BKP tidak berwujud akan terjadi pada saat nilai barang atas
165
penyerahan BKP tidak berwujud tersebut diakui sebagai
penghasilan atau piutang, atau pada saat diterbitkannya faktur
penjualan; pada saat kontrak ditandatangani atau saat mulai
tersedianya fasilitas.
Keempat, saat pembuatan Faktur Pajak untuk BKP berupa
persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan akan terjadi pada saat jangka waktu
berdirinya perusahaan sudah berakhir sebagaimana telah
ditetapkan pada Anggaran Dasar, saat Notaris mendatangani akta
pembubaran; perusahaan sudah tidak melakukan kegiatan usaha;
atau tanggal penetapan pengadilan yang menyatakan perusahaan
sudah dibubarkan.
Kelima, saat pembuatan Faktur Pajak untuk pengalihan BKP
dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pengambilalihan, pemecahan, dan perubahan bentuk usaha, akan
terjadi pada saat disepakatinya penggabungan, pemekaran,
peleburan, pemecahan, pengambilalihan, atau perubahan bentuk
usaha berdasarkan hasil RUPS yang tertuang dalam perjanjian;
atau saat Notaris telah menandatangani akta tersebut.
Keenam, saat pembuatan Faktur Pajak untuk penyerahan
JKP akan terjadi pada saat nilai atau harga atas penyerahan JKP
tersebut diakui sebagai penghasilan atau piutang atau saat PKP
menerbitkan faktur penjualan; saat mulai tersedianya fasilitas
dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri
perusahaan; saat kontrak ditandatangani.
Ketujuh, pembuatan Faktur Pajak untuk ekspor BKP
berwujud akan terjadi pada saat BKP tersebut dikeluarkan dari
daerah pabean, dimana dokumen yang dipakai adalah PEB yang
telah disetujui oleh DJP dan Cukai.
Kedelapan, faktur pajak dibuat terhadap ekspor BKP tidak
berwujud setelah pengganti BKP tidak berwujud diekspor dan
dicatat dan diakui sebagai pendapatan atau piutang. Kesembilan,
setelah pertukaran JKP ekspor dicatat dan diakui sebagai
166
pendapatan atau piutang, akan diterbitkan faktur pajak atas ekspor
JKP.
167
Prinsip pemungutannya hanya 1 kali saja, saat: penyerahan oleh
pabrikan atau produsen barang yang tergolong mewah impor
barang yang tergolong mewah Penyerahan pada tingkat
berikutnya tidak lagi dikenai PPnBM
168
DAFTAR PUSTAKA
169
170
BAB 11
BEA METERAI
Oleh Luhgiatno
11.1 Pendahuluan
Bea meterai diartikan sebagai pajak atas dokumen. meterai
bukan sebagai alat untuk menentukan bahwa sebuah dokumen
tersebut sah atau tidak. Dokumen merupakan sesuatu yang ditulis
atau lisan, dapat digunakan untuk alat bukti atau memberikan
keterangan dalam bentuk cetakan, tulisan tangan atau elektronik.
Dasar pertimbangan penetapan pajak atas dokumen adalah
merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia dalam
peningkatan peran serta masyarakat untuk mewujudkan
pelaksanaan kewajiban bagi warga negaranya secara adil serta
untuk optimalisasi penerimaan Negara. Upaya didalam
menghimpun dana pembiayaan secara mandiri dan memadai ini
untuk peningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Asas yang dipakai sebagai dasar penetapan bea meterai
adalah: efisiensi, kesederhanaan, keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan. Asas kesederhanaan dimaksudkan bahwa
pengaturan bea meterai dapat memberikan kemudahan pelayanan
kepada masyarakat untuk memenuhi hak dan kewajibannya dalam
perpajakan. Asas efisiensi bertujuan supaya pengaturan bea
meterai selalu berorientasi pada minimalisasi alokasi penggunaan
sumber daya supaya dapat menghasilkan kinerja yang terbaik.
Asas keadilan untuk pengaturan bea meterai yang selalu
menjunjung tinggi keseimbangan antara hak dan kewajiban tiap
personal yang terlibat dalam peraturan ini. Asas kepastian hukum
dimaksudkan untuk pengaturan bea meterai supaya dapat
171
mewujudkan ketertiban masyarakat dengan adanya jaminan
kepastian hukum. Sedangkan asas kemanfaatan dimaksudkan
untuk pengaturan bea meterai supaya memberikan manfaat bagi
kepentingan bangsa, negara dan masyarakat, dengan tujuan
khusus untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Tujuan pengaturan bea meterai (UU RI No 10, 2020) adalah
untuk:
1. Optimalisasi penerimaan Negara untuk pembiayaan
pembangunan nasional secara mandiri sebagai usaha
dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
2. Jaminan kepastian hukum untuk pembebanan bea meterai.
3. Penyesuaian terhadap kebutuhan masyarakat.
4. Penerapan azas keadilan dalam penetapan bea meterai.
5. Penyelarasan penetapan bea material sesuai dengan
Undang-Undang lainnya.
172
hukum dan kebutuhan masyarakat serta kepentingan akan
pengaturan bea meterai. Disamping itu perlunya penyesuaian
dengan perkembangan teknologi, komunikasi dan kelaziman
internasional di bidang ekonomi dalam memberikan kemudahan
untuk ketertiban administrasi pengelolaan dan pengawasan
perpajakan.
Tedapat beberapa istilah yang perlu kita pahami terkait
dengan UU RI No 10 tahun 2020 tentang bea meterai, yaitu:
1. Bea meterai adalah pajak atas dokumen
2. Dokumen adalah tulisan atau sesuatu yang ditulis, baik
dalam bentuk cetakan, tulisan tangan, atau elektronik yang
dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan atas suatu
kejadian.
3. Tanda tangan dapat berupa paraf, cap paraf, cap nama,
teraan atau cap tanda tangan, serta tanda lainnya sebagai
pengganti tanda tangan atau dapat juga berupa tanda
tangan elektronik.
4. Meterai merupakan label atau carik berbentuk tempel,
elektronik, atau dalam bentuk lain yang memiliki ciri serta
terdapat unsur pengaman, yang dikeluarkan Pemerintah
RI, dipakai untuk membayar pajak dokumen.
5. Pihak yang terutang adalah pihak yang dibebani bea
meterai dan harus membayar/melunasi bea materai yang
terutang.
6. Pemeteraian kemudian merupakan pemeteraian yang
melalui pengesahan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
7. Setiap orang yang diartikan sebagai orang perseorangan
dan/atau badan hukum.
8. Menteri yang bertugas sebagai penyelenggara
pemerintahaan bidang keuangan.
173
11.2 Objek, tarif dan saat terutangnya bea meterai
Dokumen yang menjadi objek bea meterai (UU RI No 10,
2020) adalah: (1) dokumen yang dipakai sebagai alat untuk
menjelaskan tentang kejadian perdata (kejadian yang masuk
kedalam ruang lingkup hukum perdata mengenai masalah
perikatan, barang, orang, pembuktian serta kedaluwarsa), dan
(2) dokumen yang dipakai sebagai alat bukti di pengadilan.
Dokumen ini meliputi: surat perjanjian, surat pernyataan, surat
keterangan, surat kuasa, akta notaris, akta pejabat pembuat
akta tanah, dokumen transaksi surat berharga, dokumen lelang,
dokumen yang menyatakan nilai uang nominalnya diatas Rp.
5.000.000,00, serta dokumen lain berdasarkan ketetapan
peraturan pemerintah. Untuk status dokumen yang digunakan
sebagai salinan, kutipan beserta rangkapnya dikenakan bea
meterai yang sama. Rangkap merupakan satuan dari jumlah
dokumen. Jika dokumen ini dibuat oleh dua pihak dalam jumlah
dua rangkap, maka tiap-tiap dokumen terutang atas bea
meterai. Tiap dokumen hanya dikenakan bea meterai satu kali
dengan tarif tetap sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Masa kadaluarsa bea meterai terjadi setelah masa waktu 5
tahun sejak terutangnya bea meterai tersebut.
Dokumen yang tidak dikenakan bea meterai, meliputi:
dokumen terkait lalulintas barang dan orang, ijazah, tanda
terima pembayaran gaji/pensiun/tunjangan/pembayaran
lainnya, tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara,
kuitansi pembayaran pajak, tanda terima uang didalam internal
organisasi, dokumen atas simpanan uang/surat berharga, surat
gadai, tanda terima pembagian keuntungan/bunga/imbal
hasil/dan lainnya, serta dokumen yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia untuk kebijakan moneter. Dokumen yang terkait atas
lalu lintas barang dan orang adalah:
174
1. Surat penyimpanan barang;
2. Konosemen (surat muatan kapal atau surat
pengantar/keterangan atas barang yang diangkut
menggunakan kapal);
3. Surat angkut barang dan penumpang;
4. Bukti penerimaan dan pengiriman barang; dan
5. Surat pengiriman barang untuk dijual atas biaya
tanggungan pengirim;
Dokumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia untuk
kebijakan moneter, diantaranya:
1. Dokumen penerbitan Sertifikat Bank Indonesia
(SBI);
2. Dokumen penerbitan Sertifikat Diskonto Bank
Indonesia (SDBI);
3. Repurchase Agreement (Repo) dan Reverse
Repurchase Agreement surat berharga;
4. Dokumen swap termasuk swap lindung nilai;
5. Dokumen transaksi USD Repo;
6. Dokumen pembelian wesel ekspor berjangka; dan
7. Dokumen penempatan berjangka.
Bea meterai terutang, terjadi pada saat (UU RI No 10,
2020):
1. Dokumen dibuat dan dibubuhi tanda tangan pada
surat perjanjian, akta notaris termasuk grosse,
kutipan dan salinannya, serta akta yang dibuat oleh
pejabat pembuat akta tanah termasuk kutipan dan
salinannya,
2. Dokumen selesai dibuat untuk surat berharga dan
dokumen transaksi surat berharga,
3. Penyerahan dokumen kepada pihak yang
berkepentingan untuk dokumen surat keterangan,
surat kuasa, surat pernyataan, dokumen lelang,
dokumen penerimaan uang atau pengakuan utang
175
yang jumlah nilai uangnya lebih dari Rp. 5.000.000,-
(lima juta rupiah),
4. Diajukannya dokumen ke pengadilan, dan
5. Digunakannya dokumen tersebut di Indonesia untuk
dokumen yang di buat di luar Indonesia.
176
mempunyai kriteria (Permen Keu RI No 151, 2021) sebagai
berikut:
1. Memfasilitasi penerbitan dokumen (surat berharga berupa
bilyet giro dan cek) yang terutang bea meterai.
2. Memfasilitasi penerbitan dokumen dan/atau menerbitkan
dokumen atas transaksi surat berharga, surat pernyataan,
surat keterangan, dan surat lainnya yang sejenis, termasuk
rangkapnya, dokumen yang menyatakan penerimaan uang
dan pengakuan hutang (sebagian/seluruhnya) nilainya
lebih dari Rp. 5.000.000,00 dengan jumlah lebih dari 1.000
dokumen setia bulannya.
177
11.4 Jenis meterai dan pemeteraian kemudian
Cara pembayaran bea meterai yang terutang atas
dokumen dapat dilakukan dengan memakai meterai, atau surat
setoran pajak. Meterai ini dapat berwujud meterai tempel,
meterai elektronik, atau bentuk lain berdasarkan ketetapan
menteri keuangan.
Ciri umum meterai tempel adalah terdapat gambar
Garuda Pancasila, frasa “Meterai Tempel”, serta angka nominal
yang menunjukkan nilai. Sedangkan ciri khususnya adalah
terdapat unsur pengaman dalam bahan, desain, dan teknik
cetak. Ciri khusus ini dapat bersifat terbuka, semi terbuka dan
tertutup. Bersifat terbuka adalah ciri dari meterai tempel yang
dapat dilihat/diketahui tanda memakai alat bantu. Bersifat
semi tertutup merupakan ciri meterai tempel yang bisa
diketahui jika memakai alat bantu. Sedangkan bersifat tertutup
adalah ciri meterai tempel yang bisa diketahui hanya dengan
pemeriksaan forensik.
Meterai elektronik memiliki kode unik serta ketentuan
tertentu. Meterai bentuk lain merupakan meterai yang dibuat
menggunakan mesin meterai teraan digital, teknologi
percetakan, sistem komputerisasi, serta teknologi atau sistem
lainnya (UU RI No 10, 2020). Ketentuan mengenai meterai
tempel, meterai elektronik dan meterai dalam bentuk lain
diatur menggunakan Peraturan Menteri Keuangan.
Pemeteraian kemudian wajib dilakukan terhadap
dokumen yang bea meterainya kurang atau tidak dibayar serta
dokumen yang dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan. Pihak
terutang bea meterai wajib membayar pemeteraian kemudian
atas dokumen tersebut. Besarnya nilai pemeteraian kemudian
dihitung berdasarkan jumlah bea meterai yang terutang
ditambah sanksi administratif sebesar 100% dari bea meterai
terutang. Surat ketetapan pajak akan diterbitkan untuk pihak
178
yang terutang bea meterai jika dia kurang atau tidak membayar
bea meterai yang terutang.
Misalkan bea meterai yang terutang sebesar Rp.
10.000,00. Karena dokumen tersebut belum kenakan bea
meterai, maka bea meterai dan sanksi yang harus dibayar
adalah:
Bea meterai yang terutang Rp. 10.000,00
Denda administratif 100% Rp. 10.000,00 +
Jumlah pemeteraian kemudian Rp. 20.000,00
179
organisasi/lembaga internasional yang tunduk pada
hukum internasional.
180
Pejabat pemerintah, notaris hakim, jurusita, panitera, dan
pejabat umum lainnya dalam melaksanakan tugas atau jabatannya,
dilarang:
1. Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen
yang bea meterainya kurang atau tidak dibayar.
2. Megabungkan/melekatkan dokumen yang bea meterainya
kurang atau tidak dibayar pada dokumen lain yang terkait.
3. Membuat rangkap, tembusan, salinan atau petikan dari
dokumen yang bea meterainya kurang atau tidak dibayar.
4. Memberikan catatan atau keterangan terhadap dokumen
yang bea meterainya kurang atau tidak dibayar sesuai tarif
bea meterai.
Atas pelanggaran pada ketentuan tersebut diatas, jika yang
bersangkutan berstatus sebagai pegawai pemerintah dapat dikenai
sanksi berdasarkan PP No. 53 Tahun 2010, antara lain (Mardiasmo,
2016):
1. Teguran lisan, teguran tertulis.
2. Penundaan kenaikan gaji berkala/pangkat.
3. Pemberhentian.
181
DAFTAR PUSTAKA
182
BAB 12
PAJAK DAERAH DAN PBB
Oleh Amelia Rizky Alamanda
12.1 PBB
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang
dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam
kawasan baik termasuk kelompok P2 atau P3 yang merupakan
pajak objektif dengan sistem semi self assessment. Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) pada dasarnya merupakan Pajak Pusat yang
pemungutannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah. PBB
merupakan pajak atas harta berupa tanah dan bangunan sehingga
bersifat kebendaan, artinya besarnya pajak yang terhutang sangat
ditentukan oleh keadaan objek pajak tersebut pada awal tahun.
Keadaan subjek pajak tidak mempengaruhi jumlah pajak terutang.
Perbedaan PBB P2 dan P3
183
Objek PBB
Objek PBB adalah "BUMI dan/atau BANGUNAN." Bumi
adalah permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi
yang ada di bawahnya. Misal sawah, ladang, kebun, tanah,
pekarangan, tambang. Sedangkan bangunan adalah konstruksi
teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada
tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia. Misal
rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha atau pusat
perbelanjaan. Termasuk dalam pengertian bangunan lainnya
adalah :
Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks
bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan
lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan
kompleks bangunan tersebut.
Jalan Tol
Kolam renang
Pagar mewah
Tempat olahraga
Galangan kapal, dermaga
Taman mewah
Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa
minyak
Fasilitas lain yang memberikan manfaat
Subjek PBB
Subjek PBB adalah orang pribadi atau badan yang secara
nyata:
Mempunyai hak atas bumi
Memperoleh manfaat atas bumi
Memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat
atas bangunan
184
Tarif PBB
Tarif maksimal yang ditetapkan untuk PBB-P2 adalah
0.3% dan tarifnya bervariasi tergantung kebijakan pemerintah
daerah setempat. Sedangkan untuk PBB-P3 mempunyai tarif
tunggal 0.5%. Terdapat batas nilai PBB yang tidak dikenakan
pajak yang disebut nilai jual objek pajak tidak kena pajak
(NJOPTKP). Nilai NJOPTKP untuk PBB-P2 ditetapkan paling
rendah RP 10 juta bagi setiap Wajib Pajak. Sedangkan untuk
PBB-P3, NJOPTKP dikenakan sebesar Rp 12 juta.
Penghitungan PBB terutang
a. PBB P2
Tarif × (NJOP-NJOPTKP)
b. PBB P3
Tarif × NJKP ×(NJOP-NJOPTKP)
Contoh Kasus
Pak Edo mempunyai tanah yang luasnya 800 m2
dengan harga jual Rp. 300.000,00/m2. Di atas tanah
berdiri bangunan yang luasnya sebesar 400 m2 dan
mempunyai nilai jual Rp. 350.000,00/m2. Selain
bangunan, Pak Edo juga mempunyai taman mewah seluas
200 m2 dengan nilai jual Rp. 50.000,00/m2. Apabila
ditetapkan nilai jual kena pajak sebesar 20%, berapakah
besarnya tarif pajak PBB yang ditanggung Pak Edo?
Nilai jual tanah 800 m2 × Rp300.000/m2 = Rp 240.000.000
185
NJOPTKP = Rp (8.000.000)
NJOPKP = Rp 382.000.000
186
12.2.3 Kriteria Pajak Daerah
Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah,
suatu pungutan atau pendapatan dikatakan pajak daerah maka
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Bersifat pajak dan bukan retribusi
Penetapan suatu jenis pajak daerah harus disesuaikan
dengan definisi pajak daerah itu sendiri.
b) Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum
Pajak daerah ditujukan untuk kepentingan bersama
dengan memperhatikan aspek ketentraman dan kestabilan
politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan
keamanan.
c) Objek pajak terletak/terdapat, mempunyai mobilitas yang
cukup rendah, serta melayani masyarakat di wilayah daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan
Yang dimaksud dengan mobilitas rendah adalah objek
pajak sulit untuk dipindahkan sedangkan yang dimaksud
dengan hanya melayani masyarakat di wilayah tertentu adalah
bahwa beban pajak hanya ditanggung oleh masyarakat lokal.
Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian, yakni:
➔ Pajak atas barang yang diekspor atau diimpor (lalu lintas
barang) di pelabuhan atau bandara atau di tempat lain;
➔ Pajak atas siaran radio; dan
➔ Pajak atas reklame dalam surat kabar dan media
elektronik
d) Potensi pajak memadai
Diharapkan dapat bertambah secara otomatis sesuai dengan
inflasi, pertumbuhan penduduk dan kenaikan permintaan,
serta biaya pemungutannya harus lebih kecil dari penerimaan
pajak.
e) Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan/atau
objek pajak pusat
187
Menghindari terjadinya pajak ganda (double tax), di mana
objek dan/atau dasar pengenaan yang tumpang tindih dengan
objek dan/atau dasar pengenaan pajak lain yang sebagian atau
seluruh hasilnya diterima oleh daerah.
f) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif
Pemungutan pajak daerah tidak boleh meningkatkan
inefisiensi alokasi sumber-sumber ekonomi dan/atau
merintangi arus lalu lintas orang, barang dan jasa, antar daerah
maupun kegiatan ekspor-impor. Akan tetapi, terdapat
beberapa jenis pajak yang tidak memenuhi kriteria ini, yakni:
➔ Pajak atas lalu lintas barang/pengangkutan barang atau
hewan, pajak atas produksi garam dan pajak atas hasil
perkebunan, pajak atas produksi semen dan pajak atas
lalu lintas barang.
➔ Pajak atas transportasi barang atau hewan, seperti pajak
angkutan barang di jalan raya dan pajak dispensasi jalan
umum.
g) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat
Penetapan obyek dan subyek pajak daerah yang terkait
dengan tarifnya dilakukan dengan memperhatikan keadaan
dan kemampuan wajib pajak.
h) Menjaga kelestarian lingkungan
Pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti
bahwa pengenaan pajak tidak memberikan peluang kepada
Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat atau masyarakat
luas untuk merusak lingkungan.
188
kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7
(tujuh Gross Tonnage).
Indikator Penjelasan
189
b. Bobot yang mencerminkan secara relatif
tingkat kerusakan jalan dan/atau
pencemaran lingkungan akibat penggunaan
kendaraan bermotor.
Khusus untuk kendaraan bermotor yang
digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat
berat dan alat-alat besar, serta kendaraan di air,
maka DPP kendaraan bermotor adalah NJKB.
190
b. bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB)
Indikator Penjelasan
191
Indikator Penjelasan
berlaku sebesar:
➔ 0,75% untuk penyerahan pertama;
➔ 0,075% untuk penyerahan kedua dan
seterusnya.
Cat: Tarif pajak bea balik nama kendaraan
bermotor dikembalikan lagi kepada Peraturan
Daerah yang berlaku di wilayahnya masing-
masing.
Indikator Penjelasan
192
Cat:
● Tarif pajak bahan bakar kendaraan
bermotor dikembalikan lagi kepada
Peraturan Daerah yang berlaku di
wilayahnya masing-masing.
● Pemerintah pusat dapat mengubah tarif
yang sudah ditetapkan dalam Peraturan
Daerah dengan Peraturan Presiden.
Indikator Penjelasan
193
Dasar Nilai Perolehan Air Permukaan yang ditetapkan
Pengenaan dengan Peraturan Gubernur.
Pajak
e. pajak rokok
Indikator Penjelasan
194
2. Pajak kota/kabupaten
a. pajak hotel
Indikator Penjelasan
195
Indikator Penjelasan
Indikator Penjelasan
196
Tarif Pajak Paling tinggi sebesar 10%.
Cat: Tarif pajak restoran dikembalikan lagi kepada
Peraturan Daerah yang berlaku di wilayahnya
masing-masing.
c. pajak hiburan
Indikator Penjelasan
197
Indikator Penjelasan
d. pajak reklame
Indikator Penjelasan
198
Indikator Penjelasan
lainnya;
➔ Nama pengenal usaha atau profesi yang
dipasang melekat pada bangunan tempat
usaha atau profesi diselenggarakan sesuai
dengan ketentuan yang mengatur nama
pengenal usaha atau profesi tersebut;
➔ Reklame yang diselenggarakan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
➔ Penyelenggaraan Reklame lainnya yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
199
e. pajak penerangan jalan (PPJ)
Indikator Penjelasan
200
Indikator Penjelasan
Indikator Penjelasan
201
Indikator Penjelasan
g. pajak parkir
Indikator Penjelasan
202
Indikator Penjelasan
203
h. pajak air bawah tanah (PABT)
Indikator Penjelasan
204
i. pajak sarang burung walet
Indikator Penjelasan
205
j. pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan
(PBB-P2)
Indikator Penjelasan
206
Indikator Penjelasan
Indikator Penjelasan
207
Indikator Penjelasan
208
Indikator Penjelasan
209
Dikarenakan pajak restoran dibebankan langsung
kepada konsumen, maka total yang harus dibayarkan oleh
Pak Juanda,
Total pembayaran = DPP + PB1
= Rp80.850 + Rp8.085
= 88.935
Jawab:
Pajak penerangan jalan = Tarif pajak x DPP
= 10% x Rp25.000.000
= Rp2.500.000
Maka, besaran pajak terutang yang harus dibayar PT.
Maju Jalan atas pajak penerangan jalan kepada Pemerintah
Daerah untuk Masa Pajak September 2019 sebesar
Rp2.500.000.
210
Pajak sarang burung walet = Tarif pajak x DPP
= 10% x Rp600.000.000
= Rp60.000.000
Maka, besaran pajak terutang yang harus dibayar
Pak Jamal kepada Pemerintah Daerah atas pajak sarang
burung walet untuk Masa Pajak April 2019 sebesar
Rp60.000.000.
211
212
BAB 13
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI
DAERAH
Oleh Selvia Eka Aristantia
213
13.2.1 Pajak Provinsi
1. Pajak Kendaraan Bermotor
a) Pengertian
Pajak Kendaraan Bermotor Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB) adalah pajak atas kepemilikan dan/atau
penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor
adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya
yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan
yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan
teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang
berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi
tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang
bersangkutan.
b) Objek Pajak
Objek PKB adalah kendaraan bermotor yang wajib
didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Terdapat pengecualian
dalam Objek PKB, yaitu kepemilikan dan/ atau
penguasaan atas kereta api; kendaraan bermotor yang
semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan
keamanan negara; kendaraan bermotor kedutaan,
konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal
balik, dan lembaga-lembaga internasional yang
memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;
dan kendaraan bermotor berbasis energi terbarukan; dan
kendaraan bermotor lainnya yang ditetapkan dengan
Perda.
c) Subjek Pajak
Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang
memiliki dan/ atau menguasai kendaraan bermotor.
d) Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan PKB untuk jenis kendaraan di
darat adalah hasil perkalian dari nilai jual kendaraan
bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif
214
tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran. Dasar
pengenaan PKB untuk jenis kendaraan di air hanya
berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor.
e) Tarif Pajak
Tarif PKB ditetapkan untuk kepemilikan dan/atau
penguasaan kendaraan bermotor pertama, ditetapkan
paling tinggi 1,2% (satu koma dua persen) dan untuk
kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor
kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif
paling tinggi sebesar 6% (enam persen).
Khusus untuk daerah yang setingkat dengan daerah
provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota
otonom, tarif PKB ditetapkan untuk kepemilikan dan/atau
penguasaan kendaraan bermotor pertama paling tinggi
sebesar 2% (dua persen) dan untuk kepemilikan dan/atau
penguasaan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya,
dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen).
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan
kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan
umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans,
pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial
dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah,
ditetapkan paling tinggi 0,5% (nol koma lima persen).
Kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama,
nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
Tarif PKB ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
215
beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke
dalam badan usaha.
b) Objek Pajak
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas
kendaraan bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah
provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pengecualian Objek BBNKB sama dengan PKB.
Termasuk penyerahan kendaraan bermotor adalah
pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk
dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali untuk
diperdagangkan; untuk dikeluarkan kembali dari wilayah
kepabeanan Indonesia; digunakan untuk pameran, objek
penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf
internasional. Jika kendaraan bermotor tidak dikeluarkan
kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia selama 12
(dua belas) bulan berturut-turut maka pengecualian tidak
berlaku.
c) Subjek Pajak
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau
Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
d) Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual kendaraan
bermotor yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri dan Peraturan Gubernur.
e) Tarif Pajak
Tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 12%
(dua belas persen). Khusus untuk Daerah yang setingkat
dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah
kabupaten/kota otonom, tarif BBNKB ditetapkan paling
tinggi sebesar 20% (dua puluh persen). Tarif BBNKB
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
216
3. Pajak Alat Berat
a) Pengertian
Pajak Alat Berat (PAB) adalah Pajak atas
kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. Alat Berat
adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan
konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya
berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi
menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak
melekat secara permanen serta beroperasi pada area
tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area
konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
b) Objek Pajak
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau
penguasaan Alat Berat. Terdapat pengecualian dalam
Objek PAB, yaitu kepemilikan dan/ atau penguasaan atas
alat berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/
Kepolisian Negara Republik Indonesia; alat berat yang
dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga
internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan
pajak dari Pemerintah; dan kepemilikan dan/atau
penguasaan alat berat lainnya yang diatur dalam Perda.
c) Subjek Pajak
Subjek Pajak PAB adalah orang pribadi atau Badan
yang memiliki dan/ atau menguasai alat berat.
d) Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual alat berat.
e) Tarif Pajak
Tarif PAB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,2% (nol
koma dua persen). Tarif PAB ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
217
4. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
a) Pengertian
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan
bermotor dan alat berat yakni semua jenis bahan bakar
cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor
dan alat berat.
b) Objek Pajak
Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia
BBKB kepada konsumen atau pengguna kendaraan
bermotor.
c) Subjek Pajak
Subjek PBBKB adalah konsumen BBKB. Wajib Pajak
PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB
yang menyerahkan BBKB. Pemungutan PBBKB
dilakukan oleh penyedia BBKB, yaitu produsen
dan/atau importir bahan bakar kendaraan bermotor,
baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
d) Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum
dikenakan pajak pertambahan nilai.
e) Tarif Pajak
Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen). Khusus tarif PBBKB untuk bahan
bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling tinggi
50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk
kendaraan pribadi. Untuk jenis BBKB tertentu,
Pemerintah melalui Peraturan Presiden, dapat
218
menyesuaikan tarif PBBKB yang sudah ditetapkan
dalam Peraturan Daerah dalam rangka stabilisasi harga.
219
pemeliharaan dan pengendalian sumber daya air
permukaan.
e) Tarif Pajak
Tarif PAP ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen). Tarif PAP ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
6. Pajak Rokok
a) Pengertian
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang
dipungut oleh Pemerintah.
b) Objek Pajak
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
c) Subjek Pajak
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok. Wajib
Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen
dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor
pokok pengusaha barang kena cukai.
d) Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan Pajak Dasar pengenaan Pajak Rokok
adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap
rokok
e) Tarif Pajak
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh
persen) dari cukai rokok.
220
b) Objek Pajak
Opsen yang termasuk dalam pajak provinsi dikenakan
atas pajak terutang dari Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan.
c) Subjek Pajak
Wajib Pajak untuk Opsen merupakan Wajib Pajak MBLB.
d) Tarif Pajak
Tarif dihitung dari besaran pajak terutang, ditetapkan
dengan Peraturan Daerah dengan ketentuan Opsen
Pajak MBLB sebesar 25% (dua puluh lima persen).
221
P2 adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau
pemanfaatan atas:
1) bumi dan/atau bangunan kantor Pemerintah,
kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor
penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai
barang milik negara atau barang milik Daerah;
2) bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-
mata untuk melayani kepentingan umum di bidang
keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan,
dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan;
3) bumi dan/atau bangunan yang semata-mata
digunakan untuk tempat makam (kuburan),
peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
4) bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka
alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak; e. bumi
dan/atau bangunan yang digunakan oleh
perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan
asas perlakuan timbal balik;
5) bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh
badan atau perwakilan lembaga internasional yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
6) bumi dan/atau bangunan untuk jalur kereta api,
moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas
raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang
sejenis;
222
7) bumi dan/atau bangunan tempat tinggal lainnya
berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh
Kepala Daerah; dan
8) bumi dan/atau bangunan yang dipungut pajak
bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
c) Subjek Pajak
Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan.
d) Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi
secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual
beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau NJOP pengganti. NJOP Tidak Kena Pajak
ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih
dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota,
NJOP Tidak Kena Pajak hanya diberikan atas salah satu
objek PBB-P2 untuk setiap tahun pajak. NJOP yang
digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling
rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100%
(seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP Tidak
Kena Pajak. NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun,
223
kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan
setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah. Ketentuan
lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 diatur dengan
Peraturan Menteri.
e) Tarif Pajak
Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol
koma lima persen). Tarif PBB-P2 yang berupa lahan
produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah
daripada tarif untuk lahan lainnya. Tarif PBB-P2
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun pajak PBB-
P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. Tempat
PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang
meliputi letak objek PBB-P2.
224
penunjukan pembeli dalam lelang; pelaksanaan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
penggabungan usaha; peleburan usaha; pemekaran
usaha; atau hadiah; dan pemberian hak baru karena
kelanjutan pelepasan hak; atau di luar pelepasan hak.
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi: hak milik;
hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak
milik atas satuan rumah susun; dan pengelolaan.
Terdapat pengecualian dalam objek BPHTB adalah
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan untuk
kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah,
penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang
dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik
Daerah; oleh negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum; untuk badan
atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat
tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain
di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga
tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri; untuk
perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik e. oleh orang pribadi atau Badan
karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama; oleh orang
pribadi atau Badan karena wakaf; digunakan untuk
kepentingan ibadah; dan untuk masyarakat
berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
c) Subjek Pajak
225
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang
memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
d) Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek
pajak. Nilai perolehan objek pajak ditetapkan sebagai
berikut: harga transaksi untuk jual beli; nilai pasar
untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris,
penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran
usaha, dan hadiah; dan harga transaksi yang tercantum
dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam
lelang.
Dalam hal nilai perolehan objek pajak tidak diketahui
atau lebih rendah daripada NJOP pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan
adalah NJOP pada tahun terjadinya perolehan. Dalam
menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah
Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak
kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB.
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak
ditetapkan paling sedikit sebesar Rp80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak
pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat
terutangnya BPHTB. Nilai perolehan objek pajak tidak
kena pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
f) Tarif Pajak
Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima
persen). Tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. BPHTB yang terutang dipungut di wilayah
Daerah tempat tanah dan/atau bangunan berada.
226
3. Pajak Barang dan Jasa Tertentu
a. Pengertian
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya
disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh
konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa
tertentu.
b. Objek Pajak
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan,
dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang
meliputi: Makanan dan/atau Minuman; Tenaga Listrik;
Jasa Perhotelan; Jasa Parkir; dan Jasa Kesenian dan
Hiburan. Terdapat pengecualian yang diatur lebih lanjut
dengan Perda.
c. Subjek Pajak
Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang
melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi
barang dan jasa tertentu.
d. Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan
oleh konsumen barang atau jasa tertentu. Dalam hal
tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT
dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis
yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
e. Tarif Pajak
Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen). Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan
pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi
uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh
227
persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima
persen). Khusus tarif PBJT atas tenaga listrik untuk
konsumsi tenaga listrik dari sumber lain oleh industri,
pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan
paling tinggi sebesar 3% (tiga persen); dan konsumsi
tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling
tinggi 1,5% (satu koma lima persen). Tarif PBJT
ditetapkan dengan Perda. PBJT yang terutang dipungut
di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan,
dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat pembayaran/
penyerahan/konsumsi barang dan jasa tertentu
dilakukan.
4. Pajak Reklame
a) Pengertian
Pajak atas penyelenggaraan reklame yakni benda, alat,
perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya
dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan,
menganjurkan, mempromosikan, atau menarik
perhatian umum terhadap sesuatu.
b) Objek Pajak
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan
reklame, meliputi: reklame papan/ billboard/
videotron/megatron; reklame kain; reklame
melekat/stiker; reklame selebaran; reklame berjalan,
termasuk pada kendaraan; reklame udara; reklame
apung; reklame film/slide; dan reklame peragaan.
228
Terdapat pengecualian dalam objek Pajak Reklame yang
diatur dengan Perda.
c) Subjek Pajak
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan
yang menggunakan reklame.
d) Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa
reklame atau nilai kontrak reklame. Dalam hal reklame
diselenggarakan sendiri atau nilai sewa reklame tidak
diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa
reklame dihitung dengan memperhatikan faktor jenis,
bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu
penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah,
dan ukuran media reklame. Perhitungan nilai sewa
reklame ditetapkan dengan Perda.
e) Tarif Pajak
Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar
25% (dua puluh lima persen). Tarif Pajak Reklame
ditetapkan dengan Perda.
229
pengairan pertanian rakyat; perikanan rakyat;
peternakan rakyat; keperluan keagamaan; dan kegiatan
lainnya yang diatur dengan Perda.
c) Subjek Pajak
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang
melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air
tanah.
d) Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan air tanah.
Nilai perolehan air tanah adalah hasil perkalian antara
harga air baku dengan bobot air tanah.
e) Tarif Pajak
Tarif PAT ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua
puluh persen). Tarif PAT ditetapkan dengan Perda. PAT
yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Saat
terutangnya PAT dihitung sejak saat pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah.
230
dolomit; feldspar; garam batu (halite); grafit;
granit/andesit; gips; dan MBLB lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat
pengecualian dalam objek Pajak MBLB meliputi
pengambilan MBLB: untuk keperluan rumah tangga dan
tidak diperjualbelikan/ dipindah tangankan; untuk
keperluan pemancangan tiang listrik/telepon,
penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang
tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan untuk
keperluan lainnya yang ditetapkan dengan Perda.
c) Subjek Pajak
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan
yang dapat mengambil MBLB.
d) Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil
pengambilan MBLB.
e) Tarif Pajak
Tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 20%
(dua puluh persen). Khusus untuk daerah yang setingkat
dengan daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah
kabupaten/kota otonom, tarif Pajak MBLB ditetapkan
paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen). Tarif
Pajak MBLB ditetapkan dengan Perda.
231
b) Objek Pajak
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
c) Subjek Pajak
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan
yang menggunakan reklame.
d) Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah
nilai jual sarang burung walet. Nilai jual sarang burung
walet dihitung berdasarkan perkalian antara harga
pasaran umum sarang burung walet yang berlaku di
daerah yang bersangkutan dengan volume sarang
burung walet.
e) Tarif Pajak
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling
tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak Sarang
Burung Walet ditetapkan dengan Perda.
232
d) Tarif Pajak
Tarif dihitung dari besaran pajak terutang. Opsen PKB
sebesar 66% (enam puluh enam persen) dan Opsen
BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen).
233
kepelabuhanan; pelayanan tempat rekreasi, pariwisata,
dan olahraga; pelayanan penyeberangan orang atau
barang dengan menggunakan kendaraan di air;
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah;
dan pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi
perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah
dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
3. Retribusi Perizinan Tertentu
Retribusi jenis ini mencakup pungutan atas penerbitan
persetujuan bangunan gedung oleh Daerah,
penggunaan tenaga kerja asing, pengelolaan
pertambangan rakyat.
c) Tarif Retribusi
Besaran Retribusi yang terutang dihitung sebagai berikut:
234
DAFTAR PUSTAKA
235
BIODATA PENULIS
Galih Wicaksono, S.E., M.Si., Akt., CA., CPA., BKP., CPIA., CRP.,
QWP., CHRM., CTA., CADE.
Dosen dan Auditor Internal di Universitas Jember
236
BIODATA PENULIS
Ickhsanto Wahyudi
Dosen Universitas Esa Unggul Jakarta
237
BIODATA PENULIS
238
BIODATA PENULIS
Ari Purwanti
Dosen Akuntansi
239
BIODATA PENULIS
240
Penulis aktif mempublikasikan artikel yang sudah
diterbitkan sebanyak 18 judul di jurnal terakreditasi nasional
dengan ID. SINTA: 6157277. Kepakaran dibidang Akuntansi dan
Perpajakan, untuk mewujudkan karir sebagai dosen profesional,
aktif sebagai peneliti. Beberapa penelitian yang telah dilakukan
didanai oleh internal perguruan tinggi dan Kemenristek DIKTI
(Penelitian Dosen Pemula, dan Abdimas). Selain peneliti, penulis
juga aktif menulis buku dengan judul Pengantar Akuntansi Syariah,
harapannya dapat memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara.
Pengalaman penulis Asisten Manajer Pemasaran, Umum &
Perizinan pada PT. Aneka Ilmu. Tahun 2021-sekarang menjabat
sebagai Wakil Ketua III bidang Kemahasiswaan di STIE Pelita
Nusantara Semarang.
241
BIODATA PENULIS
242
lokakarya tertentu. Di sisi lain, penulis juga aktif dalam menulis
buku dengan harapan dapat memberikan kontribusi positif bagi
bangsa dan negara yang nantinya dapat menjadi ilmu jariyah dan
ladang pahala demi mencerdaskan anak bangsa.
Email Penulis: rristiyana@unis.ac.id
243
BIODATA PENULIS
Parju
Staf Dosen Program Studi Akuntansi UNTAG Semarang
244
BIODATA PENULIS
245
BIODATA PENULIS
246
BIODATA PENULIS
Depita Anggraini
Dosen Program Studi Akuntansi Perpajakan Jurusan Ekonomi dan
Bisnis, Politeknik Negeri Lampung
247
BIODATA PENULIS
Luhgiatno
Dosen Tetap Program Studi Sarjana Akuntansi
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pelita Nusantara
248
BIODATA PENULIS
249