Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH GEOGRAFI

METHANOGENESIS SAWAH PASANG SURUT

COVER

Nama:

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Adapun judul makalah yang saya kerjakan adalah
"METHANOGENESIS SAWAH PASANG SURUT"

Makalah ini diajukan untuk memenuhi penugasan mata kuliah Geografi. Tidak dapat dipungkiri
bahwa butuh usaha yang keras dalam penyelesaian pengerjaan makalah ini. Tetapi saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena keterbatasan ilmu yang
saya miliki. Untuk itu saya dengan kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya
membangun dari semua pihak demi membangun makalah penelitian ini.

(kota), Februari 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Methanogenesis adalah pembentukan gas metana oleh mikroba yang dikenal sebagai
metanogen, metana ini merupakan sebuah langkah terakhir dalam pembusukan bahan
organik. Selama proses pembusukan, akseptor elektron (seperti oksigen, besi-besi, sulfat, dan
nitrat). Selain itu Methanogenesis juga dapat menguntungkan dieksploitasi, untuk mengolah
limbah organik, menghasilkan senyawa yang berguna, dan metana dapat dikumpulkan serta
digunakan sebagai biogas, bahan bakar bagi manusia. CH4 (gas metana) memiliki potensi
global warming di urutan ke 21 yang disebabkan sebagian besar dari sumber aktivitas
manusia, seperti halnya pembakaran fosil, pembuangan sampah, peternakan dan yang lebih
khususnya kegiatan persawahan.

Methanogenesis sering juga dikatakan sebagai biomethanation adalah pembentukan metana


oleh mikroba yang dikenal sebagai metanogen. Organisme yang mampu menghasilkan
metana telah diidentifikasi hanya dari domain Archaea, kelompok filogenetis berbeda dari
kedua eukariota dan bakteri, meskipun banyak tinggal dalam hubungan erat dengan bakteri
anaerob. Produksi metana merupakan bentuk penting dan luas metabolisme mikroba. Dalam
kebanyakan lingkungan, itu adalah langkah terakhir dalam dekomposisi biomassa.

Lahan pasang surut adalah lahan yang pada musim penghujan (bulan desember-mei)
permukaan air pada sawah akan naik sehingga tidak dapat ditanami padi. Pada musim
kemarau (bulan juli-september) air permukaan akan surut yang mana pada saat itu tanaman
padi sawah baru dapat ditanam (pada lokasi yang berair), (LIPI Kalimantan, 1994).

Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan
pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Lahan
pasang surut Indonesia cukup luas sekitar 20,1 juta ha dan 9,3 juta diantaranya mempunyai
potensi untuk pengembangan tanaman pangan (Ismail et al. 1993). Pemanfaatan lahan
tersebut untuk pertanian merupakan alternatif yang dapat mengimbangi berkurangnya lahan
produktif terutama di pulau Jawa yang beralih fungsi untuk berbagai keperluan pembangunan
non pertanian.
Sumber utama methan dari budidaya padi sawah adalah melalui aktivitas bakteri pada
kondisi anaerob yang merombak bahan organik tanah menjadi methan. Peningkatan luas
tanah guna memperbesar produksi padi berimplikasi terhadap semakin besarnya methan yang
teremisi. Mitigasi merupakan upaya preventif, yakni strategi untuk mengurangi emisi methan
dengan biaya yang rendah atau pengurangan produksi padi yang minimal. Upaya mitigasi
emisi methan dapat dilakukan melalui pengaturan air irigasi, seleksi varietas dan pengelolaan
hara.

Penelitian ini bertujuan mencari alternatif terbaik mitigasi gas methan pada padi sawah. Ada
tiga tahap analisis yang dilakukan. Pertama, studi pustaka guna mencari koefisien mitigasi
gas methan dan produktivitas padi untuk tiga kategori perlakuan, pengelolaan air, seleksi
varietas dan penggunaan hara. Kedua, menjalankan simulasi berdasarkan persamaan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan melakukan analisis usahatani
metode R/C (Rasio antara revenue dan cost). Ketiga, menyeleksi berbagai alternatif hasil
simulasi menjadi empat alternatif. Dari simulasi yang dilakukan didapatkan empat pilihan
alternatif upaya mitigasi gas methan dari padi sawah di Indonesia.

Pilihan pada alternatif berdasarkan pada pertimbangan finansial dan ekologis dipandang lebih
bijak, karena selain menguntungkan juga relatif lebih ramah lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


- Apa pengertian methanogenesis?
- Jelaskan sumber pembentuk gas methan?
- Bagaimana mitigasi gas metan pada padi sawah di Indonesia?
- Apa faktor-faktor yang mempengaruhi emisi methan dari padi sawah?

1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui pengertian methanogenesis.
- Untuk mengetahui sumber pembentuk gas methan.
- Untuk mengetahui mitigasi gas metan pada padi sawah di Indonesia.
- Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi emisi methan dari padi sawah.
1.4 Manfaat
Kita dapat mengetahui alternatif terbaik mitigasi gas methan pada padi sawah. Terbaik
berdasarkan produktivitas padi tertinggi, faktor emisi methan rataan terendah, dan nilai R/C
(Revenue Cost Ratio) tertinggi serta alternatif terbaik berdasarkan finansial dan ekologis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Methanogenesis
Methanogenesis merupakan sebuah pembentukan gas metana oleh mikroba yang
dikenal sebagai metanogen, metana ini merupakan sebuah langkah terakhir dalam
pembusukan bahan organik. Selama proses pembusukan, akseptor elektron (seperti
oksigen, besi besi, sulfat, dan nitrat). Selain itu Methanogenesis juga dapat
menguntungkan dieksploitasi, untuk mengolah limbah organic, menghasilkan senyawa
yang berguna, dan metana dapat dikumpulkan serta digunakan sebagai biogas, bahan
bakar bagi manusia. CH4 (gas metana ) memiliki potensi global warming di urutan ke
21 yang disebabkan sebagian besar dari sumber aktivitas manusia, seperti halnya
pembakaran fosil, pembuangan sampah, peternakan dan yang lebih khususnya
persawahan.

2.2.2 Lahan Sawah Pasang Surut


Sawah adalah lahan usaha pertanian yang secara fisik berpermukaan rata, dibatasi oleh
pematang, serta dapat ditanami padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya. Lahan
pasang surut adalah lahan yang pada musim penghujan (bulan desember-mei)
permukaan air pada sawah akan naik sehingga tidak dapat ditanami padi. Pada musim
kemarau (bulan juli-september) air permukaan akan surut yang mana pada saat itu
tanaman padi sawah baru dapat ditanam (pada lokasi yang berair), (LIPI Kalimantan,
1994).

2.2.3 Sumber Pembentukan Gas Methan


Sumber pembentuk gas methan berasal dari sumber alami yaitu rawa, rayap, laut,
kebakaran dan geologis mencapai 150 Tg pertahun (30% dari total emesi), sedangkan
dari sumber antropogenik yaitu padi sawah, ruminan, manure, landfill, pengelolaan air
limbah, pembakaran biomassa, pertambangan batubara dan gas alam sekitar 360 Tg
pertahun (70%) dari total emisi (Bouwman, 1982; Tyler, 1991 ; Crutzen, 1991).
2.2.4 Mitigasi Gas Methan Pada Padi Sawah di Indonesia
Penelitian ini bertujuan mencari alternatif terbaik mitigasi gas methan pada padi sawah.
Ada tiga tahap analisis yang dilakukan. Pertama, studi pustaka guna mencari koefisien
mitigasi gas methan dan produktivitas padi untuk tiga kategori perlakuan, pengelolaan
air, seleksi varietas dan penggunaan hara. Kedua, menjalankan simulasi berdasarkan
persamaan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan melakukan analisis
usahatani metode R/C (Rasio antara revenue dan cost). Ketiga, menyeleksi berbagai
alternatif hasil simulasi menjadi empat alternatif. Dari simulasi yang dilakukan
didapatkan empat pilihan alternatif upaya mitigasi gas methan dari padi sawah di
Indonesia. Pilihan pada alternatif berdasarkan pada pertimbangan finansial dan ekologis
dipandang lebih bijak, karena selain menguntungkan juga relatif lebih ramah
lingkungan.

Adapun pengertian mitigasi merupakan tahap penanggulangan bencana alam yg


pertama. Mitigasi bencana merupakan langkah yg sangat perlu dilakukan sebagai suatu
titik tolak utama dari manajemen dampak bencana. Arti lain mitigasi adalah segala
upaya yg dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana alam.

2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Emisi Methan Dari Padi Sawah


Faktor-faktor yang mempengaruhi emisi methan dari padi sawah meliputi, varietas padi
dan suhu tanah (Husin, 1994), Pemberian pupuk dan jerami (Sunar, 1993), Tipe tanah
(Murdiyarso, et al., 1995; Sutopo, et al., 1995; Subadiyasa, et al ., 1995), serta Sistem
pengelolaan air (Makarim, 1994; Rusli, 1994 ; Husin 1994). Sedangkan arti emisi
secara umum, emisi dapat dianalogikan sebagai pancaran, misalnya: pancaran sinar,
elektron atau ion. Berdasarkan peristiwanya, dapat terjadi akibat terganggunya suatu
sistem yang melampaui suatu batas energi sehingga terjadi suatu emisi. Pengertian
emisi menurut peraturan : emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang
dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara
ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
(PP 41/1999).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pembahasan
Methanogenesis merupakan sebuah pembentukan gas metana oleh mikroba yang dikenal
sebagai metanogen, methana ini merupakan sebuah langkah terakhir dalam pembusukan
bahan organik. Selama proses pembusukan, akseptor elektron (seperti oksigen, besi besi,
sulfat, dan nitrat) menjadi habis, pembusukan bahan organik ini dapat menjadi kontributor
yang cukup besar untuk pemanasan global. Selain itu Methanogenesis juga dapat
menguntungkan dieksploitasi, untuk mengolah limbah organik, yang menghasilkan senyawa
berguna, dan metana dapat dikumpulkan serta digunakan sebagai biogas, bahan bakar bagi
manusia. CH4 (gas metana ) memiliki potensi global warming di urutan ke 21 yang
disebabkan sebagian besar dari sumber aktivitas manusia, seperti halnya pembakaran fosil,
pembuangan sampah, peternakan dan yang lebih khususnya kegiatan persawahan, lihat
gambar 1.

Methan diproduksi salam tanah pada sawah yang tergenang oleh bakteri methanogen, pada
kondisi anaerob dan merupakan dekomposisi dari bahan organik (Boone, 1993). Metan
diemisikan melalui tiga cara, yaitu lewat sistem aerenchyma tanaman padi sebesar 90%
(Nouchi, 1992) dan melalui ebullition (gelembung udara ) serta difusi sekitar 10%. Sumber
pembentuk gas methan berasal dari sumber alami yaitu rawa, rayap, laut, kebakaran dan
geologis mencapai 150 Tg pertahun (30% dari total emesi), sedangkan dari sumber
antropogenik yaitu padi sawah, ruminan, manure, landfill, pengelolaan air limbah,
pembakaran biomassa, pertambangan batubara dan gas alam sekitar 360 Tg pertahun (70%)
dari total emisi (Bouwman, 1982; Tyler, 1991 ; Crutzen, 1991).

Emisi dari sumber antropogenik terbesar diduga berasal dari padi sawah yakni sebesar 20%
(khalil, et al., 1993). Sementara luas sawah terbesar terpusat di asia yaitu 90% dari luas total
dunia (Bouwman, 1991) di indonesia terdapat sebesar 6,6% atau seluas 9,494 juta hektar
(Biro pusat statistik, 1996). Di duga luas ini akan terus meningkat sejalan dengan upaya
pemerintah untuk mencetak sawah baru, sehingga sumber emisi metan antropogenik yang
berasal dari sawah akan terus meningkat. Hasil hitungan terakhir emisi metan dari padi
sawah di Indonesia sebesar 2.46-2.62 Tg/tahun untuk periode 1989-1993 atau sekitar 6% dari
total emisi padi sawah dunia (Handoko, et al., 1996)
Kontribusi metan terhadap pemanasan global menempati urutan kedua setelah CO2 sumber
utama metan dari budidaya padi sawah adalah melalui aktivitas bakteri pada kondisi anaerob
yang merombak bahan organik tanah menjadi metan. Peningkatan luas sawah guna
memperbesar produksi padi berimplikasi terhadap semakin besarnya metan teremisi.
Mitigasi merupakan upaya preventif, yakni strategi untuk mengurangi emisi metan dengan
biaya rendah atau pengurangan produksi padi yang minimal. Upaya mitigasi emisi metan
dapat dilakukan diantaranya melalui pengaturan air irigasi, seleksi varietas dan pengelolaan
hara.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari alternatif terbaik mitigasi gas metan pada padi sawah.
Ada tiga tahap analisis yang dilakukan. Pertama, studi pustaka guna mencari koefisien
mitigasi gas methan dan produktivitas padi untuk tiga kategori perlakuan, pengelolaan air,
seleksi varietas dan penggunaan hara. Kedua, menjalankan simulasi berdasarkan persamaan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan melakukan analisis usahatani
metode R/C (Rasio antara revenue dan cost). Ketiga, menyeleksi berbagai alternatif hasil
simulasi menjadi empat alternatif.

Alternatif terbaik dari berbagai upaya mitigasi metan pada padi sawah, pertama, alternatif
terbaik berdasarkan produktifitas tertinggi yaitu alternatif ke empat (irigasi teknis varietas
IR-64, pupuk organik dan mineral) dengan nilai sebesar 5.70 ton/h. Hasil ini dicapai karena
semua kebutuhan padi terpenuhi optimal, air terpenuhi kontinu, varietas mempunyai
produktivitas tinggi dengan lama musim tanam yang singkat serta paduan pupuk organik dan
mineral. Pupuk organik dan mineral memenuhi kebutuhan akan unsur makro (N, P dan K)
serta unsur mikro (Na, Mg, Cl, dan Fe) secara proporsional dalam waktu singkat maupun
panjang.

Pilihan pada alternatif pertama tersebut mengandung resiko faktor emisi metan yang besar
(3.17 kg/ha/hari) diatas nilai acuan. Nilai faktor emisi metan yang besar didukung oleh 2 hal.
Pertama irigasi teknis memberikan kondisi anaerob berkepanjangan sehingga aktivitas
bakteri methanogen dalam bentuk metan semakin besar. Kedua perpaduan pupuk organik dan
mineral menyebabkan tersedia bahan baku yakni karbon organik dari pupuk organik untuk
menjadi metan, serta pupuk mineral menyebabkan makin baiknya pertumbuhan padi dalam
hal jumlah anakan, dan diameter jaringan aerenchyma. Jumlah anakan lebih banyak, diameter
jaringan aerenchyma cenderung memperbesar fungsi cerobong padi mengemisi metan
(Husin, 1994). Pendapat ini dibuktikan oleh Handoko et al.,(1996) sekitar 50-60% emisi
metan di Indonesia berasal dari sawah beririgasi teknis.
Dikaji dari sudut nilai R/C, alternatif pertama mempunyai nilai 2.17 di bawah nilai acuan.
Nilai R/C rendah disebabkan oleh biaya yang harus dikeluarkan untuk menggunakan pupuk
mineral serta operasional irigasi teknis. Kedua, alternatif terbaik berdasarkan faktor emisi
metana terendah adalah alternatif ke-13 dan ke-21 (irigasi semi teknis atau sederhana,
varietas Cisadane dengan perlakuan tanpa pupuk) sebesar 1.67 kg/ha/hari.

Tabel 1. Berbagai Alternatif Mitigasi Emisi Metan Pada Padi Sawah

Alternatif Produktivitas Faktor Emisi Analisis Keterangan

(CH4)

(ton/ha) (kg/ha/hari) R/C

1 5.00 2.57 2.32 Irigasi teknis, IR-64,


tanpa pupuk

2 5.57 2.73 2.13 Irigasi teknis, IR-64,


pupuk mineral

3 5.27 3.03 2.40 Irigasi teknis, IR-64,


pupuk organik

4 5.70 3.17 2.17 Irigasi teknis, IR-64,


organik+mineral

5 4.90 2.30 2.29 Irigasi teknis,


Cisadane, tanpa
pupuk

6 5.47 2.47 2.10 Irigasi teknis,


Cisadane, pupuk
mineral

7 5.17 2.77 2.37 Irigasi teknis,


Cisadane, pupuk
organik

8 5.60 2.90 2.14 Irigasi teknis,


Cisadane,
organik+mineral

9 4.90 1.93 2.32 Irigasi semi teknis,


IR-64, tanpa pupuk

10 5.47 2.10 2.12 Irigasi semi teknis,


IR-64, pupuk mineral

11 5.17 2.40 2.39 Irigasi semi teknis,


IR-64, pupuk organik

12 5.60 2.53 2.16 Irigasi semi teknis,


IR-64,
organik+mineral

13 4.80 1.67 2.28 Irigasi semi teknis,


Cisadane, mineral

14 5.37 1.83 2.10 Irigasi semi teknis,


Cisadane, pupuk
mineral
15 5.07 2.13 2.36 Irigasi semi teknis,
Cisadane, pupuk
organik

16 5.50 2.27 2.13 Irigasi teknis,


Cisadane,
organik+mineral

17 4.83 1.93 2.33 Irigasi sederhana, IR-


64, tanpa pupuk

18 5.40 2.10 2.13 Irigasi sederhana, IR-


64, pupuk mineral

19 5.10 2.40 2.41 Irigasi sederhana, IR-


64, pupuk organik

20 5.53 2.53 2.16 Irigasi sederhana, IR-


64, organik+mineral

21 4.73 1.67 2.29 Irigasi sederhana,


Cisadane, tanpa
pupuk

22 5.30 1.83 2.10 Irigasi sederhana,


Cisadane, pupuk
mineral

23 5.00 2.13 2.37 Irigasi sederhana,


Cisadane, pupuk
organik

24 5.43 2.27 2.14 Irigasi sederhana,


Cisadane,
organik+mineral

MAX 5.70 3.17 2.41 Nilai tertinggi

MIN 4.73 1.67 2.12 Nilai terendah

Irigasi semi teknis dan sederhana mengemisikan metana lebih rendah dibandingkan irigasi teknis
(Husein, 1994; Rusli, 1994 dan Handoko et al ., 1996). Hal ini terjadi karena kondisi irigasi semi
teknis dan sederhana menciptakan suasana anaerob yang bergantian dengan aerob saat irigasi
dihentikan. Kondisi anaerob cenderung mempercepat laju emisi metan, sedangkan kondisi aerob
mencegah pembentuk oksidasi metana menjadi CO2 oleh bakteri methanotroph. Pilihan pada
varietas cisadane menekan emisi metana lebih efektif karena jumlah anakan lebih sedikit.
Alternatif ini tetap mengandung resiko yakni produktivitas terendah dan nilai R/C dibawah nilai
acuan.

Ketiga, alternatif terbaik berdasarkan nilai R/C tertinggi yakni 2.41 adalah alternatif ke-19
(Irigasi sederhana, IR-64 dan pupuk organik). Analisis R/C mengandung rasio antara keluaran
dan memasukkan, nilai memasukkan pada perlakuan pupuk organik adalah relatif rendah jika
dibandingkan dengan pupuk mineral, didukung pula oleh perlakukan irigasi sederhana, biaya
operasi relatif lebih murah.

Keempat, alternatif terbaik karena memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu, nilai
produktivitas diatas 5.06 ton/ha, faktor emisi CH4 dibawah 2.43 kg/ha/hari dan nilai R/C diatas
2.39 adalah alternatif ke-19 (Irigasi sederhana, IR-64 dan pupuk organik), alternatif ini bisa
diterapkan di Indonesia. Semua lahan beririgasi teknis, semi teknis dijadikan irigasi sederhana,
dengan cara mengatur pengairan dari kontinu menjadi berselang. Irigasi sederhana lebih efisien
dalam konservasi air, biaya operasional dan investasi awal dibandingkan dengan irigasi teknis.
Pilihan pada varietas IR-64 merupakan varietas berumur relatif singkat dengan produktivitas
lebih tinggi dibandingkan cisadane. Penggunaan pupuk organik dapat memacu hasil walau tidak
maksimal dibandingkan pupuk mineral, tetapi dapat menekan biaya operasional.

3.2 Uji Model Simulasi


Uji kelayakan untuk melihat logika setiap alternatif yang disimulasi adalah membandingkan
nilai simulasi dengan hasil observasi atau hitungan (nilai acuan). Hasil uji dinilai layak bila
hasil simulasi dari ketiga keluaran yang dikaji berkisar antara nilai acuan. Hasil uji disajikan
pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji Kelayakan Model S simulasi

No Keluaran Nilai Niali Nilai Keterangan


terendah tertinggi acuan
1 Rataan faktor emisi 1.67 2.12 2.43 Hasil hitungan
CH4 (Kg/ha/hari) (Handoko at al., 1996)

2 Produktivitas 4.73 5.70 5.06 Rataan pulau Jawa


(ton/ha)

3 Nilai R/C 2.12 2.41 2.39 (29% dari nilai R/C


Indonesia 1994)

Dari tabel 2 terlihat bahwa hasil simulasi untuk semua konsumen keluaran yang dikaji berada
diantara nilai acuan. Hal ini membuktikan kelayakan model simulasi. Uji kepakan simulasi untuk
melihat perlakuan yang paling berpengaruh terhadap keluaran yang dikaji. Tiga perlakuan utama
pengaturan air, seleksi varietas dan pengolahan hara bila dilihat nilai rata-ratanya terhadap salah
satu komponen keluaran yaitu rataan faktor emisi metan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Uji Kepekaan Model Simulasi

No Variabel yang diuji Kisaran rataan faktor Selisih Ranking


emisi CH4 (Kg/ha/hari)

1 Pengaturan air 2.11-2.74 0.63 0.60

2 Seleksi varietas 2.19-2.45 0.26 3

3 Pengolahan hara 2.01-2.61 0.60 2

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pengaturan air merupakan perlakuaan yang paling peka
terhadap keluaran faktor emisi metan mulai dari 2.11 untuk rata-rata perlakuan irigasi
sederhana dan semi teknis hingga 2.74 Kg/ha/hari untuk rata-rata perlakuan irigasi teknis.
Disusul perlakuan pengelolaan hara yang mempunyai rata-rata 2.01 tanpa pupuk hingga 2.61
Kg/ha/hari untuk perlakuan pupuk organik dicampur mineral.

Uji kepekaan mineral memberi informasi bahwa pengaturan air merupakan perlakuan yang
peka dan bervariasi, sedikit perubahan perlakuan akan menghasilkan keluaran yang berbeda.
Pendapat ini didukung oleh fakta hasil observasi Indonesia (Husein dan Rusli 1994,
Makarine, 1996) dan penelitian luar Neue dan Roger (1993) yang menemukan bahwa teknik
penggenangan sawah merupakan faktor utama pembentukan metana. Kondisi tergenang
kontinu cenderung mengemisikan metana lebih besar. Sedangkan kondisi tergenang
berselang pada irigasi sederhana mengemisikan metana lebih rendah. Hasil yang rendah
disebabkan pada irigasi dihentikan kondisi sawah menjadi aerob yang menyebabkan
pembentukan dan emisi metan menjadi terhambat.

Menurut Wassman et al., (2000), pengairan secara terus menerus dan pemberian pupuk
anorganik memberikan nilai emisi yang bervariasi dari 15 sampai 200 kg CH4/ha/musim.
Pada suhu rendah membatasi emisi CH4 di daerah iklim sedang dan subtropik seperti di Cina
Utara dan India Utara. Perbedaan pada daerah beriklim sedang (sampai iklim tropika)
mengindikasikan bahwa pentingnya karakteristik tanah dalam mempengaruhi potensi emisi
CH4. Neue dan Roger (1994), menyatakan bahwa suhu dan pH tanah tidak membatasi proses
metanogenesis tetapi mengontrol intensitasnya.Varietas padi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah punggur. Punggur merupakan varietas yang baik ditanam pada lahan
potensial, gambut, dan sulfat masam (Suprihatno et al., 2007). Kondisi tanaman padi pada
fase awal pertumbuhan terlihat sehat walaupun berada dalam boks penangkap gas. Hal
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2
Sawah rawa pasang surut di Indonesia mulai memperoleh perhatian, kajian dan garapan
secara serba cukup (comprehensive) sebagai suatu sumber daya pada tahun 1968. Kepedulian
ini dibangkitkan oleh persoalan yang sangat mendesak akan pemenuhan kebutuhan beras
yang terus meningkat. Gambar 1.3

Gambar 1.3
Usaha penyewaan lahan rawa pasang surut sebetulnya bukanlah hal baru. Orang-orang bugis
sejak puluhan tahun sebelumnya telah menyerahkannya di berbagai tempat di pantai timur
Sumatra dan di pantai selatan Kalimantan dengan beraneka tingkat keberhasilan. Dengan
teknik tradisional sederhana, mereka dapat membuka persawahan, meskipun dengan hasil
panen dan indeks pertanaman rendah menurut ukuran sekarang. Kandungan tanah yang
biasanya terdapat pada lahan pasang surut adalah pirit. Pirit adalah Zat ini dibentuk pada
waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. Pada saat kondisi
lahan basah atau tergenang, pirit tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena
udara (teroksidasi), pirit berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat
meracuni tanaman.
Jika Lahan rawa pasang surut dikembangkan secara optimal dengan meningkatkan fungsi
dan manfaatnya maka bisa menjadi lahan yang potensial untuk dijadikan lahan pertanian di
masa depan. Untuk mencapai tujuan pengembangan lahan pasang surut secara optimal, ada
beberapa kendala. Kendala tersebut berupa faktor biofisik, hidrologi yang menyangkut tata
air, agronomi, sosial dan ekonomi.

Kemudian tanah pasang surut biasanya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan terutama
untuk lahan persawahan. Luas lahan pasang surut yang dapat dimanfaatkan berfluktuasi
antara musim kemarau dan penghujan. Pemanfaatan lahan pasang surut telah menjadi sumber
mata pencaharian penting bagi masyarakat disekitarnya meskipun belum dapat
menggunakannya sepanjang tahun. Rata – rata lahan pasang surut hanya dapat ditanami
sekali dalam setahunnya selebihnya dibiarkan dalam keadaan bero karena tergenang air.
Tergenangnya lahan pasang surut secara periodik ada kaitannya dengan kepentingan
pembangkit tenaga listrik dan meluapnya air pada musim penghujan. ( Hanggari,2008).

Zona wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah rawa pasang
surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas. Biasanya, wilayah rawa ini
menempati bagian terdepan dan pinggiran pulau-pulau delta serta bagian tepi estuari, yang
dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin. Pada zona wilayah rawa, terdapat
kenampakan-kenampakan (features) bentang alam (landscape) spesifik yang mempunyai
bentuk dan sifat-sifat yang khas disebut landform. Sebagian besar wilayah zona I termasuk
dalam landform marin. Pembagian lebih detail dari landform marin, disebut sub-landform,
pada zona I rawa pasang surut air asin/payau dapat dilihat pada irisan vertikal tegak lurus
pantai.

Bagian terdepan terdapat “dataran lumpur”, atau “mud-flats”, yang terbenam sewaktu pasang
dan muncul sebagai daratan lumpur tanpa vegetasi sewaktu air surut. Di belakang dataran
lumpur, pada pantai yang ombaknya kuat dan pantainya berpasir, dapat terbentuk bukit-bukit
rendah (beting) pasir pantai. Tanah yang terbentuk di sini merupakan tanah berpasir. Di
belakangnya terdapat danau-danau kecil dan sempit yang disebut laguna (lagoons), biasanya
ditempati tanah-tanah basah bertekstur liat. Lebih ke dalam ke arah daratan, dijumpai rawa
pasang surut bergaram (tidal salt marsh) yang sebagian masih selalu digenangi pasang dan
ditumbuhi hutan bakau/ mangrove. Sebagian lagi, di wilayah belakangnya terdapat bagian
lahan yang kadang masih dipengaruhi air pasang melalui sungai-sungai kecil (creeks), namun
juga sudah ada pengaruh air tawar (fresh-water) yang kuat dari wilayah hutan rawa dan
gambut air tawar yang menempati depresi/cekungan lebih ke darat. Bagian lahan yang
dipengaruhi air payau ini ditumbuhi banyak spesies, tetapi yang terutama adalah nipah (Nipa
fruticans), panggang (Sonneratia acida), dan pedada (Araliceae).

Luas Lahan dan Penyebarannya Dengan menggunakan peta satuan lahan skala 1 : 250.000,
Nugroho et al (1992) memperkirakan luas lahan rawa pasang surut di Indonesia, khususnya
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya mencapai 20,11 juta ha, yang terdiri dari 2,07
juta ha lahan potensial, 6,71 juta ha lahan sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut dan 0,44
juta ha lahan salin. Sedangkan menurut wilayah dan statusnya, menunjukkan bahwa potensi
lahan pasang surut terluas ada di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya . Lahan tersebut
tersebar terutama di pantai timur dan barat Sumatera, pantai selatan Kalimantan, pantai barat
Sulawesi serta pantai utara dan selatan Irian Jaya sedangkan sebaran tipologi lahan berbeda
menurut wilayah dalam arti bahwa tiap wilayah dapat mencakup beberapa tipologi lahan dan
tipe luapan air.Dari luas lahan pasang surut tersebut, sekitar 9,53 juta hektar berpotensi untuk
dijadikan lahan pertanian, sedangkan yang berpotensi untuk areal tanaman pangan sekitar 6
juta hektar. Areal yang sudah direklamasi sekitar 4,186 juta hektar, sehingga masih tersedia
lahan sekitar 5,344 juta hektar yang dapat dikembangkan sebagai areal pertanian. Dari lahan
yang direklamasi, seluas 3.005.194 ha dilakukan oleh penduduk lokal dan seluas 1.180.876
ha dilakukan oleh pemerintah yang utamanya untuk daerah transmigrasi dan perkebunan
Pemanfaatan lahan yang direklamasi oleh pemerintah adalah 688.741 ha sebagai sawah dan
231.044 ha sebagai tegalan atau kebun, sedangkan 261.091 ha untuk keperluan lainnya.

Tipologi Lahan Pasang Surut berdasarkan tipologinya lahan pasang surut digolongkan ke
dalam empat tipologi utama, yaitu:
- Lahan Potensial:
Lahan potensial adalah lahan yang paling kecil kendalanya dengan ciri lapisan pirit (2 %)
berada pada kedalaman lebih dari 30 cm, tekstur tanahnya liat, kandungan N dan P
tersedia rendah, kandungan pasir kurang dari 5 persen, kandungan debu 20 % dan derajat
kemasaman 3,5 hingga 5,5 . (Manwan, I. dkk.1992). Lahan potensial yaitu lahan pasang
surut yang tanahnya termasuk tanah sulfat masam potensial dengan lapisan pirit berkadar
2% terletak pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah (Jumberi).

- Lahan Sulfat Masam


Lahan sulfat masam adalah lahan yang lapisan piritnya berada pada kedalaman kurang
dari 30 cm dan berdasarkan tingkat oksidasinya lahan sulfat masam ini dibagi lagi lahan
sulfat masam potensial yaitu lahan sulfat masam yang belum mengalami oksidasi dan
lahan sulfat masam aktual yaitu lahan sulfat masam yang telah mengalami oksidasi.
(Manwan, I. dkk.1992). Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi menjadi : (a) lahan sulfat
masam potensial, yaitu apabila lapisan piritnya belum teroksidasi dan (b) lahan sulfat
masam aktual, yaitu apabila lapisan piritnya sudah teroksidasi yang dicirikan oleh adanya
horizon sulfurik dan pH tanah < 3,5. (Jumberi,)

- Lahan Gambut/bergambut
Lahan gambut/bergambut adalah lahan yang mempunyai lapisan gambut dan berdasarkan
ketebalan gambutnya lahan ini dibagi ke dalam empat sub tipologi yaitu lahan
bergambut, gambut dangkal, gambut dalam dan gambut sangat dalam, umumnya lahan
gambut kahat beberapa unsur hara mikro yang ketersediaannya sangat penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman(Manwan, I. dkk.1992). Lahan gambut ini
dibagi lagi menjadi : (a) lahan bergambut bila ketebalan lapisan gambut 20-50 cm, (b)
gambut dangkal bila ketebalan lapisan gambut 50-100 cm, (c) gambut sedang bila
ketebalan lapisan gambut 100-200 cm, (d) gambut dalam bila ketebalan lapisan gambut
200-300 cm dan (e) gambut sangat dalam bila ketebalan lapisan gambut > 300 cm.
(Jumberi,)

- Lahan Salin
Lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat intrusi air laut, sehingga
mempunyai daya hantar listrik 4 MS/cm, kandungan Na dalam larutan tanah 8 – 15 %
(Manwan, I. dkk.1992). Lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat pengaruh
atau intrusi air garam dengan kandungan Na dalam larutan tanah sebesar > 8% selama
lebih dari 3 bulan dalam setahun, sedangkan lahannya dapat berupa lahan potensial, sulfat
masam dan gambut. (Jumberi)
Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan
dan pengelolaan lahan rawa adalah: (a) kedalaman lapisan mengandung pirit/bahan
sulfidik, dan kondisinya masih tereduksi atau sudah mengalami proses oksidasi, (b)
ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut serta kandungan hara gambut, (c) pengaruh
luapan pasang dari air salin/payau, (d) lama dan kedalaman genangan air banjir, dan (e)
keadaan lapisan tanah bawah, atau substratum.

Penggolongan tipologi lahan pasang surut di atas sangat umum, sehingga menyulitkan
transfer teknologi dalam satu tipologi lahan, oleh karena itu diusulkan pengelompokan
lahan yang lebih rinci dengan mempertimbangkan berbagai ciri dan karakteristik yang
lebih spesifik.

Tipe Luapan air pasang surut berdasarkan tipe luapan air, tipe luapan lahan pasang surut:
(1) Tipe luapan A bila lahan selalu terluapi air baik pada waktu pasang besar maupun
pasang kecil dan Lahan bertipe luapan A selalu terluapi air pasang, baik pada musim
hujan maupun musim kemarau. (2) Tipe luapan B bila lahannya hanya terluapi oleh air
pasang besar. lahan bertipe luapan B hanya terluapi air pasang pada musim hujan saja. (3)
Lahan tidak terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi permukaan
air tanah kurang dari 30 cm dari permukaan tanah. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi
air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm. (4) Tipe luapan D bila
lahannya tidak terluapi oleh air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi
permukaan air tanahnya berada pada kedalaman lebih dari 30 cm dari permukaan tanah.
Tipologi lahan dan tipe luapan air merupakan acuan yang seharusnya dipatuhi dalam
penerapan paket teknologi agar usahatani yang dikelola dapat memberikan hasil yang
optimal. Paket teknologi usahatani itu sendiri pada garis besarnya berisi: (1) Teknik
pengelolaan lahan dan air yang memuat pengaturan pemasukan dan pengeluaran air baik
pada tingkat makro maupun tingkat mikro, penataan dan pengelolaan lahan; (2) Teknik
budidaya yang memuat teknik budidaya tanaman, ikan dan ternak, di dalamnya meliputi
varietas/jenis yang cocok, pupuk dan pemupukkan, pencegahan dan pengendalian
organisme pengganggu tanaman (OPT), dan; (3) Teknik reklamasi lahan. Pengelolaan
lahan dan air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengelolaan usahatani di
lahan pasang surut dalam kaitannya dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya lahannya (Alihamsyah, 2003).

Dalam keadaan alaminya lahan rawa pasang surut letaknya terpencil dan tidak ada
penduduk yang menggarapnya. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan oleh
Pemerintah terutama di sepanjang pesisir timur pulau Sumatra dan di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Barat serta di bagian selatan Irian Jaya (sekarang Papua), Potensi
sumberdaya lahan rawa di 3 pulau utama , dalam 1.000 ha. (Kimpraswil, 2010). Lihat
pada Tabel 4.

Tabel 4. Pembagian Potensi Sumberdaya Lahan Rawa di Indonesia.

Sumatra Kalimantan Papua Total

Not 1,380 1,392 2,808 5,599


cultivated

Cultivated 2,062 1,460 6 3,600

Kandungan Tanah Lahan Pasang Surut. Sifat tanah dan air pada lahan pasang surut ini
adalah, Tanah Sulfat Masam Dengan Senyawa Pirit. Pirit adalah zat yang hanya
ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan
digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. pirit dapat berubah bentuk
menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman. Ciri tanah yang
telah teracuni pirit adalah: Tampak gejala keracunan besi pada tanaman, Ada lapisan
seperti minyak di permukaan air, Ada lapisan merah di pinggiran saluran, Tanaman
mudah terserang penyakit, Hasil panen rendah, Tanah berbau busuk (seperti telur yang
busuk), maka zat asam belerangnya banyak. Air di tanah tersebut harus dibuang dengan
membuat saluran cacing dan diganti dengan air baru dari air hujan atau saluran, Bongkah
tanah bercak kuning jerami di tanggul saluran atau jalan, menunjukkan adanya pirit yang
berubah warna menjadi kuning setelah terkena udara.

- Tanah gambut
- Air pasang besar dan kecil
- Kedalaman air tanah
- Kemasaman air yang menggenangi lahan

Lahan pasang surut dibagi menjadi beberapa golongan menurut tipe luapan air pasang,
yaitu: A: Lahan terluapi oleh pasang besar (pada waktu bulan purnama maupun bulan
mati), maupun oleh pasang kecil (pada waktu bulan separuh). B: Lahan terluapi oleh
pasang besar saja. C: Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil,
namun permukaan air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50 cm. D: Lahan tidak
terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya
dalam, lebih dari 50 cm.
BAB IV
PENUTUP
Dari hasil simulasi didapatkan empat alternatif upaya mitigasi gas methan dari padi sawah:
pertama, alternatif terbaik berdasarkan produktivitas padi tertinggi yakni, alternatif keempat
(Irigasi teknis, varietas IR-64, pupuk organik dan mineral), dengan nilai produktivitas sebesar
5.70 ton/ha. Kedua, alternatif terbaik berdasarkan faktor emisi methan terendah yakni, alternatif
ke-13 dan ke-21 (Irigasi semi teknis atau Irigasi sederhana, varietas cisadane dan tanpa pupuk),
dengan nilai faktor emisi sebesar 1.67 Kg/ha/hari. Ketiga, alternatif terbaik berdasarkan nilai R/C
tertinggi yaitu alternatif ke-19 (Irigasi sederhana, varietas IR-64 dan pupuk organik), dengan
nilai produktivitas, faktor emisi methan dan R/C masing-masing sebesar 5.10 ton/ha, 2.40
Kg/ha/hari dan 2.41.

Hasil uji kelayakan menunjukkan bahwa model simulasi terbukti layak. Sedangkan hasil dari uji
kepekaan diketahui bahwa pengaturan irigasi merupakan perlakuan yang paling berpengaruh
terhadap faktor emisi methan.

Pilihan pada alternatif terbaik dari sudut finansial dan ekologis dipandang lebih bijak karena
selain menguntungkan juga relatif lebih ramah lingkungan. Namun dalam penerapan masih
diperlukan uji lapangan.

Kelebihan dan Kekurangan dari lahan pasang surut. Pencucian unsur hara dan kegiatan
pemupukan yang menyebabkan eutrofikasi. Akibat pemupukan 300 Sittadewi, E. H. 2008
anorganik, menimbulkan adanya kekhawatiran bahwa pada saat air pasang, unsur – unsur terlarut
masuk dalam lingkungan perairan. Hal ini dapat menimbulkan suburnya berbagai spesies
tumbuhan akuatik maupun semi akuatik seperti eceng gondok, jenis rumput dll. Hal inilah yang
dapat menyebabkan eutrofikasi. Peningkatan kadar keasaman lahan karena pelapukan bahan
organik dan kelarutan zat tertentu serta pencucian zat kimia dan penyemprotan pestisida,
herbisida, zat pengatur tumbuh yang dipergunakan oleh petani. Jika residu atau senyawa yang
ikut terlarut dalam air irigasi dan masuk dalam lingkungan perairan rawa akan mempengaruhi
kualitas air rawa dan kehidupan di dalamnya termasuk populasi ikan. Penggarapan lahan pasang
surut menjadikan lahan subur bagi berbagai jenis tumbuhan liar, selain tanaman budidaya. Jika
lahan tersebut kemudian dibiarkan menjadi bero, dengan cepat akan tumbuh berbagai jenis
tumbuhan liar. Hadirnya spesies tumbuhan terjadi secara bergantian melalui proses adaptasi dan
suksesi, dapat merubah lahan secara perlahan. Pengolahan lahan, pada dasarnya menyebabkan
partikel tanah lepas sehingga rawan terhadap erosi. Bila hal ini terjadi, erosi tersebut akan
mempercepat proses penambahan sedimen ke dasar perairan rawa.( Hanggari,2008)

1. Kelebihan dari tanah pasang surut: Memanfaatkan lahan yang dulunya diperkirakan lahan
itu tidak dapat digunakan oleh lahan pertanian. Memaksimalkan lahan yang terdapat
disuatu daerah. Mengurangi tingkat pengangguran di daerah yang memiliki lahan pasang
surut
2. kekurangan tanah pasang surut: Adanya perluasan wilayah pasang surut yang disebabkan
karena pendangkalan di tepian rawa, sehingga wilayah rawa menyempit. Hal ini dapat
dipercepat dengan kebiasaan membuang limbah sisa panen (jerami) ke dalam rawa.
DAFTAR PUSTAKA
http://scholar.google.com/scholar?
hl=en&q=PROSES+PEMBENTUKAN+GAS+METHANOGENESIS+DI+LAHAN+SAWAH+
PASANG+SURUT&btnG

Biro Pusat Statistik. 1996. Statistical year book of indonesian from the year 1989-1995. Jakarta.

Boone, D. R. 1993. Biological formation and consumption of methane. In M.A.K. Khalil (ed.)
Atmospheric methane; source, sink and role in global change. 102-127 pp.NATO ASI Series I:
Global Env. Change. Vol.13. Springer-verlag. Berlin.

Bouwman, A. F. 1982. Exchange of greenhouse gasses between terrestrial ecosystems and the
atmosphere. In. A. F. Bouwman (ed.) Soil and greenhouse effect. 61-97 pp. John Willey & Sons
Ltd. Chichester.

Bouwman, A. F. 1991. Agronomic aspect of wetland rice cultivation and associated methane
emission. Biogeochemistry. 15 (2): 65-88.

Crutzen, P. J. 1991. Methane’s sink and source nature.350 : 380-381.

Direktorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil. 995.Analisa usaha Tani Padi Palawija T. A.
1993/1994. Laporan Survey. Subdit Sumber Daya. Jakarta.

http://rajinpangkalsukses.wordpress.com/2010/02/14/gas-rumah-kaca/

Anda mungkin juga menyukai