Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Jumlah penduduk yang semakin besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi
mengakibatkan bertambahnya volume sampah. Selain itu, pola konsumsi masyarakat juga
memberikan kontribusi dalam menimbulkan sampah dalam jenis yang beragam, antara lain, sampah
kemasan yang berbahaya dan sulit diurai oleh proses alam.
Sebagian besar masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak
bermanfaat, bukan sebagai sumber daya yang masih dapat dimanfaatkan. Masyarakat masih
bertumpu pada pendekatan akhir dalam pengelolaan sampah, yaitu kumpul-angkut-buang ke tempat
pemrosesan akhir. Padahal, timbunan sampah dengan volume besar di TPA berpotensi melepaskan
gas metana yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap
pemanasan global. Agar timbunan sampah dapat terurai melalui proses alam diperlukan jangka
waktu yang lama dan diperlukan penanganan dengan biaya yang besar.
Paradigma lama ini sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru dalam
pengelolaan sampah. Paradigma baru ini memandang sampah sebagai sumber daya yang
mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan, misalnya untuk energi, kompos, pupuk atau
untuk bahan baku industri. Pengelolaan sampah tersebut akan dilakukan dengan kegiatan
pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah ini meliputi kegiatan pembatasan,
penggunaan kembali dan pendauran ulang. Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi
pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir (UU 18 Tahun 2008).
Kegiatan pengolahan yang dilakukan, secara umum adalah pembuatan kompos yang
dilakukan di unit pengolahan sampah (UPS). Secara prinsip, kompos bukan merupakan produk
yang dianggap memiliki bahaya dan risiko terhadap lingkungan dan masyarakat. Karena kompos
memiliki banyak fungsi di antaranya mengurangi sampah organik yang masuk ke TPA,
memperbaiki struktur tanah dan cara efisien untuk mengembalikan nilai dari sampah. Namun,
sampah perkotaan yang terurai di dalam kompos mengandung polutan yang membuat kompos jadi
memiliki bahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Salah satu pencemaran yang
diemisikan oleh kompos adalah bioaerosol.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
 Apakah jenis bioaerosol yang terdapat pada fasilitas komposting?
 Apakah dampak dari bioaerosol pada fasilitas komposting?
1
 Bagaimana rekomendasi untuk mengurangi paparan bioaerosol?

1.3. TUJUAN PENULISAN


Tujuan penulisan makalah ini adalah:
 Mengetahui jenis bioaerosol yang terdapat pada fasilitas komposting
 Mengetahui dampak bioaerosol pada fasilitas komposting
 Mengetahui rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi paparan bioaerosol

1.4. MANFAAT PENULISAN


Manfaat yang dapat diberikan dari penulisan makalah ini adalah sebagai referensi terhadap
pencemaran bioaerosol pada fasilitas komposting.

1.5. SISTEMATIKA PENULISAN


Sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
BAB 1 : PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan
dan sistematika penulisan.
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini berisi mengenai teori-teori dasar yang berkaitan dengan kompos, fasilitas komposting,
bioaerosol, jenis bioaerosol serta dampak bioaerosol.
BAB 3 : PENUTUP
Pada bab ini berisi kesimpulan dari penulisan makalah ini dan saran yang diberikan untuk
mengurangi paparan bioaerosol pada fasilitas komposting.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fasilitas Komposting


2.1.1. Kompos
Kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami proses dekomposisi oleh
mikroorganisme pengurai. Bahan organik yang dapat dijadikan kompos adalah dedaunan, sisa
sayuran, sisa buah-buahan, alang-alang, dll (Setyorini et al, 2006). Sebagian besar bahan organik
tersebut adalah sisa dari kegiatan sehari-hari manusia dan juga proses alam yang berbentuk padat.
Dengan kata lain sebagian besar bahan organik tersebut adalah sampah organik rumah tangga.
Penggunaan kompos dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga
mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum yang dimiliki
kompos antara lain: mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah yang bervariasi, menyediakan
unsur hara dan memperbaiki kesuburan serta kesehatan tanah. Kompos memperbaiki struktur tanah
menjadi gembur sehingga mempermudah pengolahan tanah. Perbaikan agregat tanah akan
mempermudah penyerapan air ke dalam tanah sehingga erosi dapat dicegah. Kadar bahan organik
yang tinggi memberikan warna tanah yang lebih gelap (coklat kehitaman), sehingga penyerapan
energi sinar matahari lebih banyak dan fluktuasi suhi di dalam tanah dapat dihindari.
Kompos juga merupakan sumber hara makro dan mikro mineral secara lengkap meskipun
dalam jumah yang sedikit. Jenis dari makro dan mikro mineral tersebut adalah nitrogen, fosfor,
kalium, kalsium, magnesium, seng, tembaga, boron, molybdenum dan silikon. Dalam jangka
panjang, pemberian kompos dapat memperbaiki pH tanah dan meningkatkan hasil tanaman
pertanian pada tanah-tanah masam. Kompos juga mengandung humus (bunga tanah) yang sangat
dibutuhkan untuk peningkatan hara makro dan mikro yang sangat dibutuhkan tanaman. Peranan
bahan organik yang penting untuk tanah adalah kemampuan untuk bereaksi dengan ion logam untuk
membentuk senyawa kompleks. Sehingga ion logam yang bersifat meracuni tanaman seperti
alumunium, besi dan mangan dapat diperkecil dengan adanya khelat dengan bahan organik.
Kompos juga mengandung mikroorganisme seperti fungi, actinomycetes, bakteri dan alga.
Dengan ditambahkannya kompos, tidak hanya jutaan mikroorganisme ditambahkan tetapi
mikroorganisme yang sudah ada di dalam tanah juga terpacu untuk berkembang. Proses
dekomposisi akan terus berlangsung tetapi tidak mengganggu tanaman. Gas CO2 yang dihasilkan
mikroorganisme tanah dipergunakan untuk fotosintesis tanaman sehingga pertumbuhan tanaman
akan menjadi lebih cepat. Amonifikasi, nitrifikasi dan fiksasi nitrogen juga meningkat karena
pemberian bahan organik sebagai sumber karbon. Aktivitas mikroorganisme juga menghasilkan
hormon-hormon pertumbuhan seperti auksin, giberelin dan sitokinin yang memacu pertumbuhan
3
dan perkembangan akar. Pemberian kompos pada lahan sawah akan membantu mengendalikan atau
mengurangi populasi nematoda.
Dalam pembuatan kompos, terdapat beberapa syarat-syarat yang perlu dilakukan, antara
lain:
 Ukuran bahan mentah. Semakin kecil ukuran bahan mentah, maka semakin cepat pula
waktu yang diperlukan untuk pembusukkan. Penghalusan bahan akan meningkatkan luas
permukaan spesifik bahan kompos sehingga memudahkan dekomposer untuk mengurai
bahan mentah tersebut. Namun jika ukuran terlalu kecil, timbunan akan menjadi mampat
sehingga udara menjadi sedikit. Ukuran yang sesuai untuk bahan mentah adalah sekitar 5 –
10 cm.
 Suhu dan ketinggian timbunan kompos. Timbunan bahan yang mengalami dekomposisi
akan mengalami peningkatan suhu hingga 65 – 70o C akibat aktivitas biologi oleh
mikroorganisme pengurai. Penjagaan panas sangat penting dalam pembuatan komps agar
proses dekomposisi berjalan merata dan sempurna. Hal ini berkaitan dengan ketinggian pada
timbunan kompos. Semakin tinggi volume timbunan dibanding permukaan, maka semakin
besar isolasi panas dan semakin mudah menjadi panas. Timbunan yang terlalu dangkal akan
kehilangan panas dengan cepat. Dalam keadaan suhu yang kurang optimum untuk
mikroorganisme, maka pembuatan kompos akan berlangsung lebih lama. Namun, timbunan
yang terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan bahan memadat karena berat kompos itu
sendiri. Hal ini mengakibatkan suhu terlalu tinggi dan udara di dasar timbunan semakin
berkurang. Sehingga mikroorganisme akan mati dan tumbuhnya bakteri anaerobik yang
mengeluarkan bau yang tidak sedap.
 Rasio C/N. Mikroorgaisme pengurai memerlukan karbon dan nitrogen. Karbon dibutuhkan
sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya dan nitrogen diperlukan untuk pembentukan
protein. Menurut Mathur (1980) mikroorganisme memerlukan bagian 30 bagian C terhadap
satu bagian N, sehingga rasio C/N 30 merupakan nnilai yang diperlukan untuk proses
pengomposan yang efisien. Jika rasio C/N terlalu besar atau terlalu kecil akan mengganggu
kegiatan dekomposisi.
 Kelembapan. Timbunan kompos harus selalu lembap dengan kelembapan 50 – 60% agar
mikroorganisme dapat tetap beraktivitas. Kelebihan air akan mengakibatkan volume udara
menjadi berkurang dan bila terlalu kering proses dekomposisi akan berhenti.
 Sirkulasi udara (aerasi). Aktivitas mikroorganisme aerob memerlukan oksigen selama
proses penguraian berlangsung. Pengadukan atau pembalikan kompos selama proses
dekomposisi berlangsung sangat dibutuhkan dan berguna mengatur pasokan oksigen bagi
aktivitas mikroorganisme.
4
 Nilai pH. pH optimum berkisar antara 5.5 – 8.0. Pada pH tinggi, terjadi kehilangan nitrogen
akibat volatilisasi. Pada awal proses pengomposan, umumnya pH agak masam karena
aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Namun selanjutnya pH akan bergerak menuju
netral (Setyorini et al, 2006).

2.1.2. Unit Pengolahan Sampah


Fasilitas komposting umumnya berada di Unit pengolahan sampah (UPS). UPS adalah
tempat yang dibangun untuk pemanfaatan sampah organik dan anorganik melalui kegiatan daur
ulang dan pembuatan kompos. Jenis metode komposting yang umumnya digunakan pada UPS
adalah windrow composting. Windrow composting ini merupakan teknik pengomposan yang tidak
banyak menggunakan teknologi. Kompos ditumpuk dalam barisan tumpukan yang ditumpuk secara
berkala. Pada windrow composting high rate, tumpukan kompos umumnya memiliki tinggi 6 – 7 ft
dan lebar 14 – 16 ft. Ukuran windrow bergantung pada alat yang digunakan untuk membalik
sampah. Windrow ditutup oleh material organik yang telah dicacah dan disaring setebal 1 – 3 in.
Kompos dibalik sebanyak dua kali seminggu dan kompos akan matang dalam waktu 3 – 4 minggu
(Tchobanoglous, 1993).
Manfaat langsung UPS antara lain kompos, bahan daur ulang dan abu. Hasil pencacahan
sampah organik setelah melalui proses dekomposisi akan menghasilkan kompos. Kompos dapat
dijual kepada petani dan menghasilkan pemasukan. Barang-barang yang berpotensi sebagai produk
daur ulang seperti besi, alumunium, karton, kertas dan berbagai jenis plastik dapat dikumpulkan dan
dijual kepada pengusaha yang bergerak di bidang daur ulang untuk menghasilkan uang.
Berbagai jenis sampah yang tidak dapat didaur ulang dan diolah menjadi kompos,
selanjutnya dibakar dan menghasilkan abu. Abu tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai
bahan baku pembuatan batako, genting, atau dimanfaatkan sebagai abu gosok. Pengolahan abu oleh
para pengusaha akan menciptakan lapangan kerja baru dan produk yang bernilai jual.
Selain itu, manfaat UPS lainnya adalah mengurangi ketergantungan pada TPA secara
bertahap karena sampah organik dibuat menjadi kompos dan sampah organik dapat dijadikan bahan
baku barang daur ulang. Sampah dikumpul dan diolah pada hari yang sama sehingga tidak
menimbulkan timbulan sampah yang berbau busuk. Selain itu, manfaat UPS yaitu mampu
melibatkan masyarakat untuk dilatih menjadi tenaga kerja UPS, mengurangi biaya pengolahan dan
pengelolaan sampah kota dan meningkatnya peran aktif masyarakat dalam mengolah sampah serta
kesadaran masyarakan tentang manfaat daur ulang (Dewi, 2008).

2.2. Bioaerosol
2.2.1. Definisi
5
Bioaerosol merupakan istilah umum untuk mikroorganisme yang tersuspensi di dalam
udara. Bioaerosol meliputi alergen seperti fungi, bakteri, actinomycetes, artropoda dan protozoa,
juga hasil dari mikroorganisme seperti mycotoxin, endotoxin dan glucans (Millner et al., 1994).
Bioaerosol umumnya berukuran < 10µm dan tidak dapat tersaring oleh bulu hidung. Bioaerosol
dapat masuk jauh ke dalam paru-paru, menyebabkan gejala pernapasan dan gastro-intestinal
(Douwes et al., 2003).

2.2.2. Jenis
Jenis bioaerosol pada fasilitas komposting umumnya adalah bakteri (gram negatif), fungi
(Aspergillus fumigatus) dan protozoa parasit (Domingo et al., 2009). Pengecatan Gram merupakan
metode yang digunakan untuk membedakan organisme berdasarkan reaksi terhadap pewarnaan
tersebut. Metode ini membagi bakteri menjadi dua kelompok, yaitu gram positif dan gram negatif.
Bakteri Gram negatif adalah bakteri yang tidak mempertahankan zat warna kristal violet sewaktu
proses pewarnaan Gram sehingga akan berwarna merah bila diamati dengan mikroskop. Banyak
spesies bakteri gram-negatif yang bersifat patogen, yang berarti mereka berbahaya bagi organisme
inang. Sifat patogen ini umumnya berkaitan dengan produk yang dihasilkan oleh gram negatif, yaitu
endotoxin. Endotoxin merupakan komponen Lipid A dari lipopolisakarida (LPS) yang dilepaskan
dari dinding sel bakteri gram negatif ketika bakteri mati. Jumlah endotoxin sebanyak 1 nanogram
dapat menyebabkan demam, penggumpalan darah dan stimulasi cytokine terlepas dari berbagai sel.
Dampak dari produksi cytokine yang berlebihan menyebabkan shock pada peredaran darah dan
kegagalan multiorgan.
Jenis fungi yang sering terdapat pada bioaerosol di fasilitas komposting adalah Aspergillus
fumigatus dan Aspergillus flavus. Dari semua jenis fungi yang menyebabkan penyakit pada
manusia, tidak ada yang tersebar sangat luas seperti spesies Aspergillus. Aspergillus fumigatus
merupakan penyebab penyakit aspergillosis. Aspergillus flavus merupakan spesies terpenting kedua,
terutama penyakit invasif yang menyebabkan infeksi paru-paru (dengan demam, sakit dada dan
batuk) yang menyebar ke otak, ginjal, hati, tulang atau kulit. Fungi menghasilkan protein beracun
sebagai metabolisme sekunder yang disebut mycotoxin. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus
flavus menghasilkan mycotoxin yang disebut aflatoxin. Paparan terhadap aflatoxin dapat
menyebabkan penyakit hati akut dan kronis serta kanker hati. Aflatoxin bersifat sangat beracun,
mutagenik dan imunosupresif.
Protozoa merupakan organisme uniselular yang menyerupai protista. Banyak protozoa yang
berfungsi sebagai pemburu dalam dunia mikroorganisme. Protozoa mendapatkan nutrisi dengan
memakan zat organik dan mikroorganisme lainnya. Protozoa parasit menyebabkan penyakit pada
manusia dan hewan lainnya. Salah satu akibat dari protozoa parasit adalah penyakit pencernaan.
6
2.2.3. Dampak Bioaerosol pada Fasilitas Komposting
Operasi fasilitas komposting seharusnya merupakan aktivitas dengan bahaya yang sedikit.
Bagaimanapun komposting memiliki potensi yang menyebabkan pencemaran, berbahaya bagi
kesehatan, gangguan berupa bau, lindi, api, debu, binatang-binatang kecil dan bioaerosol yang
memiliki potensi bahaya, jika tidak dioperasikan dengan baik.
Komposting memberikan lingkungan yang disukai untuk perkembangbiakan bioaerosol
dalam jumlah yang banyak seiring dengan degradasi material organik (Fischer et al., 1999). Dalam
proses pembuatan kompos, aktivitas seperti penyaringan, pencacahan dan pengadukan kompos
menghasilkan terlepasnya bioaerosol ke udara (Millner et al., 1980). Laju emisi dan dispersi
bioaerosol dipengaruhi oleh beberapa faktor (Swan et al., 2002) meliputi:
 Material yang dikompos
 Proses on-site yang terlibat
 Perpindahan kendaraan yang berkaitan
 Peralatan proses yang digunakan
 Karakteristik bioaerosol
 Kondisi geografi, topografi dan meteorologi pada on-site dan off-site
Individu yang menangani proses pengomposan ini juga dapat terpapar infeksi virus,
mikroorganisme, bakteri yang menghasilkan endotoxin, fungi dan protozoa parasit. Pekerja fasilitas
komposting sampah perkotaan tidak hanya memiliki potensi terhadap paparan ini, dengan
mempertimbangkan debu organik, menjadi penyebab beberapa masalah kesehatan umum.
Diantaranya adalah radang paru-paru (radang akut, hypersensitive neumonitis), asma, bronkhitis
akut, gangguan gastrointestinal, demam serta infeksi dan iritasi mata, telinga dan kulit.
Terdapat indikasi kuat bahwa paparan terhadap mycotoxin yang dapat dihirup meningkatkan
risiko kanker pada pekerja. Selain itu endotoxin menyebabkan demam dan masalah pernapasan juga
gangguan gastrointestinal dan diare (Douwes et al., 2000). Paparan dalam periode jangka panjang
pada sampah perkotaan yang dikombinasikan dengan meningkatnya temperatur, memberikan
kondisi yang sangat baik untuk perkembangan bakteri. Hal ini merupakan alasan mengapa sejumlah
orang pada fasilitas komposting sensitif pada mikroorganisme melalui penghirupan bakteri dan
spora jamur. Sebagai hasil sebuah kasus terjadi di Jerman, terkait alergi bronchopulmonary
aspergillosis yang terdapat di udara sebagai hasil dari kehadiran A. fumigatus pada konsentrasi di
atas 106 CFU/m3 udara. Paparan melalui proses pencernaan juga terjadi antara 60 – 100 mg/hari.
Terdapat penelitian yang menemukan bahwa paparan bioaersol pada pekerja fasilitas
komposting lebih besar dari paparan bioaerosol pada pengumpul sampah organik. Koresponden
pekerja fasilitas komposting memiliki peningkatan keluhan kesehatan pada saluran pernapasan atas
7
dan kulit, juga konsentrasi yang lebih tinggi pada antibodi tertentu terhadap actinomycetes. Semakin
tinggi paparan bioaerosol pada pekerja fasilitas komposting juga meningkatkan frekuensi keluhan
kesehatan dan penyakit (Bunger et al., 2007).
Paparan debu organik pada fasilitas komposing berkaitan dengan dampak negatif kesehatan
pernapasan akut dan kronis, meliputi iritasi membran mukosa (MMI) pada mata dan saluran
pernapasan atas, bronkhitis kronis dan mempercepat penurunan forced vital capacity dalam
persentase dugaan (FVC%). Pola dampak kesehatan ini berbeda dengan tempat kerja lain dengan
paparan de bu organik, diduga karena tingginya konsentrasi actinomycetes termofilik dan
filamentous fungi pada fasilitas komposting. Pada penelitian ini juga disimpulkan bahwa mycotoxin
dapat terlibat dalam etiologi penyakit paru-paru karena penghirupan debu organik (Bunger et al,
2007).
Pada penelitian lain, dilakukan investigasi mengenai kesehatan pekerja komposting. Hasil
investigasi tersebut menunjukkan peningkatan gejala gastrointestinal dan kulit. Namun pada
beberapa pekerja, ditemukan hasil yang berkebalikan yaitu “healthy worker effect”. Pada kasus ini,
sekelompok pekerja kompos menunjukkan gejala yang lebih sedikit dibandingkan yang lainnya. Hal
ini merupakan adaptasi fisik kondisi pekerja terhadap keadaan pekerjaan mereka (Bunger et al,
2007). Namun, hubungan antara dosis bioaerosol dan respon para pekerja masih belum dapat
diidentifikasi. Estimasi hubungan dosis dan respon masih menjadi penghalang utama untuk
menggolongkan risiko kepada masyarakat dari paparan bioaerosol.

2.2.4. Kontrol dan Pencegahan


Pengontrolan partikel bioaerosol dalam fasilitas komposting perlu dilakukan untuk
keselamatan dan kesehatan pekerja dan lingkungan penduduk sekitar. Optimasi pengaturan ventilasi
pada proses kompos akan memberikan kontrol efektif pada emisi bioaerosol (Byeon et al., 2008).
Selain itu penggunaan alat pelindung diri seperti masker dan sarung tangan harus disediakan pada
fasilitas komposting. Pada setiap aktivitas dalam pengomposan, para pekerja diharuskan untuk
menggunakan alat pengaman diri untuk mengurangi paparan bioaerosol pada diri mereka.
Analisis dipersi bioaerosol yang diemisikan dari fasilitas komposting bukan tugas yang
mudah karena tidak ada indikator spesifik yang didefinisikan pada bioaerosol komposting. Tanpa
indikator, sangat sulit untuk menghubungkan ukuran potensi dari kontaminasi mikroba dari
aktivitas komposting hingga sumber bioaerosol lain yang bukan berasal dari aktivitas komposting.
Beberapa kriteria yang dipertimbangkan adalah (Goff et al., 2012):
 Indikator untuk memonitor bioaerosol kompos seharusnya menunjukkan peningkatan
konsentrasi di udara selama aktivitas apapun yang mengemisikan bioaerosol.

8
 Peningkatan harus independen terhadap jenis sampah atau proses yang digunakan pada
proses komposting
 Tingkat kekhususan terhadap kompos harus dipertimbangkan karena akan dapat melacak
bioaerosol kompos di antara sumber potensial bioaerosol lainnya di udara.
Dengan berbagai risiko yang diberikan oleh fasilitas komposting pada pekerja fasilitas
komposting dan pemukiman di sekitarnya, perlu dilakukan penilaian risiko terhadap fasilitas
komposting. Penilaian risiko didefinisikan sebagai karakterisasi potensi efek merugikan pada
kesehatan manusia karena paparan bahaya pada lingkungan (NRC, 1994). Penilaian Risiko
Lingkungan (Environmental Risk Assessment – ERA) merupakan proses yang mencoba untuk
menyusun jumlah dan properti bahaya lingkungan yang hadir di sumber, untuk memastikan
bagaimana dan dengan frekuensi apa, durasi dan intensitas reseptor akan terkena, menentukan
kemungkinan dan besarnya bahaya dari paparan dan apa yang harus dilakukan untuk meminimasi,
mengontrol atau mengeliminasi risiko (Environment Agency, 2000).
Penilaian risiko seharusnya mengandung deskripsi proses dan identifikasi khusus lokasi
fasilitas komposting pada semua sumber, jalur paparan dan reseptor. Masalah penting dalam
penilaian risiko adalah kurangnya data spesifik mengenai lokasi. Konsentrasi bioaerosol sangat
berbeda bergantung pada kondisi lokal, musim, metode sampling dan aktivitas pada lokasi (Taha et
al., 2007). Elemen kunci pada penilaian risiko komposting di mana tambahan informasi yang harus
ditambahkan adalah:
 Informasi spesifik mengenai lokasi, khususnya bioaerosol yang dimonitor berlawanan
dengan arah angin (50 – 100 m), searah dengan arah angin dan pada reseptor sensitif dalam
250 m.
 Deskripsi detail pada kondisi selama pengambilan sampel (aktivitas on-site, usia kompos,
moisture content kompos dan kondisi meteorologis seperti musim, kecepatan angin, arah
angin dan kelembapan relatif).
 Interpretasi ahli yang sesuai untuk membenarkan keputusan yang dicapai, termasuk
menyatakan batas, ketidakpastian dan asumsi (Drew et al., 2009).
Bioaerosol yang diemisikan dari fasilitas komposting skala kecil, secara periodik
menunjukkan kemampuan untuk beredar di luar instalasi dengan konsentrasi yang meningkat.
Bagaimanapun, perbedaan antara jarak dispersi dari fasilitas komposting juga menggambarkan
bagaimana kompleksitas lingkungan perkotaan dan desain fasilitas komposting juga dapat
mempengaruhi dispersi bioaerosol.
Metode preventif untuk mengurangi reseptor paparan seharusnya dilaksanakan pada saat
tahapan perencanaan instalasi, dari pada mengambil tindakan perbaikan kemudian setelah masalah
terbangun. Hal ini dapat meliputi ventilasi dan desain bangunan dimana lahan fasilitas dibatasi.
9
Sebagai tambahan, reseptor sensitif di luar instalasi juga dapat dilindungi dari paparan bioaerosol
pada fase perencanaan, melalui pemetaan.
Area terbuka, jauh dari bangunan merupakan lokasi yang disukai untuk lokasi komposting
masyarakat. Langkah ini seharusnya mengurangi risiko paparan bioaerosol dan mendorong
penyebaran di atas kawasan pejalan kaki. Alat ini dapat digunakan dalam perencanaan fasilitas
komposting masyarakat ke depannya, untuk mengurangi risiko dispersi bioaerosol dari lokasi dalam
konsentrasi yang meingkat dan untuk memastikan suksesnya komposting di perkotaan (Pankhust et
al., 2011).

10

Anda mungkin juga menyukai