PENDAHULUAN
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Bioaerosol
2.2.1. Definisi
5
Bioaerosol merupakan istilah umum untuk mikroorganisme yang tersuspensi di dalam
udara. Bioaerosol meliputi alergen seperti fungi, bakteri, actinomycetes, artropoda dan protozoa,
juga hasil dari mikroorganisme seperti mycotoxin, endotoxin dan glucans (Millner et al., 1994).
Bioaerosol umumnya berukuran < 10µm dan tidak dapat tersaring oleh bulu hidung. Bioaerosol
dapat masuk jauh ke dalam paru-paru, menyebabkan gejala pernapasan dan gastro-intestinal
(Douwes et al., 2003).
2.2.2. Jenis
Jenis bioaerosol pada fasilitas komposting umumnya adalah bakteri (gram negatif), fungi
(Aspergillus fumigatus) dan protozoa parasit (Domingo et al., 2009). Pengecatan Gram merupakan
metode yang digunakan untuk membedakan organisme berdasarkan reaksi terhadap pewarnaan
tersebut. Metode ini membagi bakteri menjadi dua kelompok, yaitu gram positif dan gram negatif.
Bakteri Gram negatif adalah bakteri yang tidak mempertahankan zat warna kristal violet sewaktu
proses pewarnaan Gram sehingga akan berwarna merah bila diamati dengan mikroskop. Banyak
spesies bakteri gram-negatif yang bersifat patogen, yang berarti mereka berbahaya bagi organisme
inang. Sifat patogen ini umumnya berkaitan dengan produk yang dihasilkan oleh gram negatif, yaitu
endotoxin. Endotoxin merupakan komponen Lipid A dari lipopolisakarida (LPS) yang dilepaskan
dari dinding sel bakteri gram negatif ketika bakteri mati. Jumlah endotoxin sebanyak 1 nanogram
dapat menyebabkan demam, penggumpalan darah dan stimulasi cytokine terlepas dari berbagai sel.
Dampak dari produksi cytokine yang berlebihan menyebabkan shock pada peredaran darah dan
kegagalan multiorgan.
Jenis fungi yang sering terdapat pada bioaerosol di fasilitas komposting adalah Aspergillus
fumigatus dan Aspergillus flavus. Dari semua jenis fungi yang menyebabkan penyakit pada
manusia, tidak ada yang tersebar sangat luas seperti spesies Aspergillus. Aspergillus fumigatus
merupakan penyebab penyakit aspergillosis. Aspergillus flavus merupakan spesies terpenting kedua,
terutama penyakit invasif yang menyebabkan infeksi paru-paru (dengan demam, sakit dada dan
batuk) yang menyebar ke otak, ginjal, hati, tulang atau kulit. Fungi menghasilkan protein beracun
sebagai metabolisme sekunder yang disebut mycotoxin. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus
flavus menghasilkan mycotoxin yang disebut aflatoxin. Paparan terhadap aflatoxin dapat
menyebabkan penyakit hati akut dan kronis serta kanker hati. Aflatoxin bersifat sangat beracun,
mutagenik dan imunosupresif.
Protozoa merupakan organisme uniselular yang menyerupai protista. Banyak protozoa yang
berfungsi sebagai pemburu dalam dunia mikroorganisme. Protozoa mendapatkan nutrisi dengan
memakan zat organik dan mikroorganisme lainnya. Protozoa parasit menyebabkan penyakit pada
manusia dan hewan lainnya. Salah satu akibat dari protozoa parasit adalah penyakit pencernaan.
6
2.2.3. Dampak Bioaerosol pada Fasilitas Komposting
Operasi fasilitas komposting seharusnya merupakan aktivitas dengan bahaya yang sedikit.
Bagaimanapun komposting memiliki potensi yang menyebabkan pencemaran, berbahaya bagi
kesehatan, gangguan berupa bau, lindi, api, debu, binatang-binatang kecil dan bioaerosol yang
memiliki potensi bahaya, jika tidak dioperasikan dengan baik.
Komposting memberikan lingkungan yang disukai untuk perkembangbiakan bioaerosol
dalam jumlah yang banyak seiring dengan degradasi material organik (Fischer et al., 1999). Dalam
proses pembuatan kompos, aktivitas seperti penyaringan, pencacahan dan pengadukan kompos
menghasilkan terlepasnya bioaerosol ke udara (Millner et al., 1980). Laju emisi dan dispersi
bioaerosol dipengaruhi oleh beberapa faktor (Swan et al., 2002) meliputi:
Material yang dikompos
Proses on-site yang terlibat
Perpindahan kendaraan yang berkaitan
Peralatan proses yang digunakan
Karakteristik bioaerosol
Kondisi geografi, topografi dan meteorologi pada on-site dan off-site
Individu yang menangani proses pengomposan ini juga dapat terpapar infeksi virus,
mikroorganisme, bakteri yang menghasilkan endotoxin, fungi dan protozoa parasit. Pekerja fasilitas
komposting sampah perkotaan tidak hanya memiliki potensi terhadap paparan ini, dengan
mempertimbangkan debu organik, menjadi penyebab beberapa masalah kesehatan umum.
Diantaranya adalah radang paru-paru (radang akut, hypersensitive neumonitis), asma, bronkhitis
akut, gangguan gastrointestinal, demam serta infeksi dan iritasi mata, telinga dan kulit.
Terdapat indikasi kuat bahwa paparan terhadap mycotoxin yang dapat dihirup meningkatkan
risiko kanker pada pekerja. Selain itu endotoxin menyebabkan demam dan masalah pernapasan juga
gangguan gastrointestinal dan diare (Douwes et al., 2000). Paparan dalam periode jangka panjang
pada sampah perkotaan yang dikombinasikan dengan meningkatnya temperatur, memberikan
kondisi yang sangat baik untuk perkembangan bakteri. Hal ini merupakan alasan mengapa sejumlah
orang pada fasilitas komposting sensitif pada mikroorganisme melalui penghirupan bakteri dan
spora jamur. Sebagai hasil sebuah kasus terjadi di Jerman, terkait alergi bronchopulmonary
aspergillosis yang terdapat di udara sebagai hasil dari kehadiran A. fumigatus pada konsentrasi di
atas 106 CFU/m3 udara. Paparan melalui proses pencernaan juga terjadi antara 60 – 100 mg/hari.
Terdapat penelitian yang menemukan bahwa paparan bioaersol pada pekerja fasilitas
komposting lebih besar dari paparan bioaerosol pada pengumpul sampah organik. Koresponden
pekerja fasilitas komposting memiliki peningkatan keluhan kesehatan pada saluran pernapasan atas
7
dan kulit, juga konsentrasi yang lebih tinggi pada antibodi tertentu terhadap actinomycetes. Semakin
tinggi paparan bioaerosol pada pekerja fasilitas komposting juga meningkatkan frekuensi keluhan
kesehatan dan penyakit (Bunger et al., 2007).
Paparan debu organik pada fasilitas komposing berkaitan dengan dampak negatif kesehatan
pernapasan akut dan kronis, meliputi iritasi membran mukosa (MMI) pada mata dan saluran
pernapasan atas, bronkhitis kronis dan mempercepat penurunan forced vital capacity dalam
persentase dugaan (FVC%). Pola dampak kesehatan ini berbeda dengan tempat kerja lain dengan
paparan de bu organik, diduga karena tingginya konsentrasi actinomycetes termofilik dan
filamentous fungi pada fasilitas komposting. Pada penelitian ini juga disimpulkan bahwa mycotoxin
dapat terlibat dalam etiologi penyakit paru-paru karena penghirupan debu organik (Bunger et al,
2007).
Pada penelitian lain, dilakukan investigasi mengenai kesehatan pekerja komposting. Hasil
investigasi tersebut menunjukkan peningkatan gejala gastrointestinal dan kulit. Namun pada
beberapa pekerja, ditemukan hasil yang berkebalikan yaitu “healthy worker effect”. Pada kasus ini,
sekelompok pekerja kompos menunjukkan gejala yang lebih sedikit dibandingkan yang lainnya. Hal
ini merupakan adaptasi fisik kondisi pekerja terhadap keadaan pekerjaan mereka (Bunger et al,
2007). Namun, hubungan antara dosis bioaerosol dan respon para pekerja masih belum dapat
diidentifikasi. Estimasi hubungan dosis dan respon masih menjadi penghalang utama untuk
menggolongkan risiko kepada masyarakat dari paparan bioaerosol.
8
Peningkatan harus independen terhadap jenis sampah atau proses yang digunakan pada
proses komposting
Tingkat kekhususan terhadap kompos harus dipertimbangkan karena akan dapat melacak
bioaerosol kompos di antara sumber potensial bioaerosol lainnya di udara.
Dengan berbagai risiko yang diberikan oleh fasilitas komposting pada pekerja fasilitas
komposting dan pemukiman di sekitarnya, perlu dilakukan penilaian risiko terhadap fasilitas
komposting. Penilaian risiko didefinisikan sebagai karakterisasi potensi efek merugikan pada
kesehatan manusia karena paparan bahaya pada lingkungan (NRC, 1994). Penilaian Risiko
Lingkungan (Environmental Risk Assessment – ERA) merupakan proses yang mencoba untuk
menyusun jumlah dan properti bahaya lingkungan yang hadir di sumber, untuk memastikan
bagaimana dan dengan frekuensi apa, durasi dan intensitas reseptor akan terkena, menentukan
kemungkinan dan besarnya bahaya dari paparan dan apa yang harus dilakukan untuk meminimasi,
mengontrol atau mengeliminasi risiko (Environment Agency, 2000).
Penilaian risiko seharusnya mengandung deskripsi proses dan identifikasi khusus lokasi
fasilitas komposting pada semua sumber, jalur paparan dan reseptor. Masalah penting dalam
penilaian risiko adalah kurangnya data spesifik mengenai lokasi. Konsentrasi bioaerosol sangat
berbeda bergantung pada kondisi lokal, musim, metode sampling dan aktivitas pada lokasi (Taha et
al., 2007). Elemen kunci pada penilaian risiko komposting di mana tambahan informasi yang harus
ditambahkan adalah:
Informasi spesifik mengenai lokasi, khususnya bioaerosol yang dimonitor berlawanan
dengan arah angin (50 – 100 m), searah dengan arah angin dan pada reseptor sensitif dalam
250 m.
Deskripsi detail pada kondisi selama pengambilan sampel (aktivitas on-site, usia kompos,
moisture content kompos dan kondisi meteorologis seperti musim, kecepatan angin, arah
angin dan kelembapan relatif).
Interpretasi ahli yang sesuai untuk membenarkan keputusan yang dicapai, termasuk
menyatakan batas, ketidakpastian dan asumsi (Drew et al., 2009).
Bioaerosol yang diemisikan dari fasilitas komposting skala kecil, secara periodik
menunjukkan kemampuan untuk beredar di luar instalasi dengan konsentrasi yang meningkat.
Bagaimanapun, perbedaan antara jarak dispersi dari fasilitas komposting juga menggambarkan
bagaimana kompleksitas lingkungan perkotaan dan desain fasilitas komposting juga dapat
mempengaruhi dispersi bioaerosol.
Metode preventif untuk mengurangi reseptor paparan seharusnya dilaksanakan pada saat
tahapan perencanaan instalasi, dari pada mengambil tindakan perbaikan kemudian setelah masalah
terbangun. Hal ini dapat meliputi ventilasi dan desain bangunan dimana lahan fasilitas dibatasi.
9
Sebagai tambahan, reseptor sensitif di luar instalasi juga dapat dilindungi dari paparan bioaerosol
pada fase perencanaan, melalui pemetaan.
Area terbuka, jauh dari bangunan merupakan lokasi yang disukai untuk lokasi komposting
masyarakat. Langkah ini seharusnya mengurangi risiko paparan bioaerosol dan mendorong
penyebaran di atas kawasan pejalan kaki. Alat ini dapat digunakan dalam perencanaan fasilitas
komposting masyarakat ke depannya, untuk mengurangi risiko dispersi bioaerosol dari lokasi dalam
konsentrasi yang meingkat dan untuk memastikan suksesnya komposting di perkotaan (Pankhust et
al., 2011).
10