Anda di halaman 1dari 34

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Era modern ini, ilmu pengetahuan terkait tentang alam telah berkembang dengan pesat. Setiap bulan banyak sekali penemuan-penemuan baru telah ditemukan oleh ahli maupun kaum terpelajar. Hal ini tentunya dapat membantu juga dalam bidang pertanian. Di Indonesia hampir 30% mata pencaharian masyarakatnya bergantung pada sektor pertanian. Oleh karena itu, untuk mendapatkan produk pertanian yang baik guna meningkatkan sektor pertanian, maka diperlukan unsur unsur yang dapat membuat tanaman subur. Salah satunya adalah pupuk. Pupuk dibedakan menjadi dua, yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik salah satunya adalah kompos. Kompos adalah bahan bahan organik yang telah mengalami pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme yang bekerja di dalamnya. Kompos banyak sekali macamnya, kami akan membahas salah satunya mengenai kompos kotoran hewan yang dicampur dengan dedaunan. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Sampah-sampah organik termasuk daun- daun yang sudah tua ternyata memiliki nilai lebih dan bisa berguna. Salah satu pemanfaatan daun yang sudah tua adalah untuk pembuatan kompos. Kompos adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan alamiah atau organik dan tentunya bersifat ramah lingkungan. Selama ini, banyak para petani yang menggunakan pupuk buatan. Salah satu alasan penggunaan pupuk buatan tersebut adalah karena praktis.

Pemakaian pupuk buatan tersebut bisa mengurangi unsur hara yang dimiliki tanah bahkan menghilangkan kesuburan tanah. Ternyata masih banyak orang yang belum mengetahui akan kerugian pupuk buatan dibalik

keuntungan sesaat yang diberikan. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan yaitu dengan pemanfaatan daun- daun yang sudah tua dan berguguran untuk dijadikan kompos atau pupuk alamiah. Daun-daun yang sudah tua dan berguguran sebaiknya tidak dibuang begitu saja ditempat pembuangan akhir. Pemanfaatan lebih lanjut harus dilakukan untuk mengurangi masalah timbunan sampah. Salah satu pemanfaatan daun yang sudah tua adalah dengan menyulapnya kembali menjadi sesuatu yang berguna yaitu kompos. Kompos seperti multivitamin untuk tanah pertanian, kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk

mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, misal: hasil panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak. Dari alam untuk alam, daun yang bersifat alamiah pada akhirnya juga akan dikembalikan lagi ke dalam habitat aslinya, yaitu pupuk kompos. Tanah akan lebih menerima sesuatu yang bersifat alami dibandingkan dengan sesuatu yang non alami.

2. Tujuan Dalam rangka memenuhi tugas praktikum mata kuliah Teknik Pengelolaan Lingkungan Industri, kami melakukan pembuatan Pupuk kompos. Adapun tujuan penulisan yang menjadi acuan kami untuk membuat laporan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Mengetahui bagaimana peranan dari mikroorganisme dalam proses pembuatan pupuk kompos. 2. Mengetahui bagaimana proses pembuatan pupuk kompos. Selain untuk media latihan dan tugas kami, kami juga berharap agar makalah ini berguna bagi masyarakat serta bagi pembaca. Kami menyusun makalah ini sedemikian rupa sehingga para pembaca mudah untuk memahami dan mempraktekkan membuat kompos.

3. Manfaat Adapun manfaat dari pembuatan laporan kompos sebagai berikut: 1. Menuliskan pengalaman penulis mengenai pembuatan kompos 2. Sumber pustaka bagi pembaca dalam praktikum pembuatan kompos maupun makalah pembuatan kompos

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Kompos Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik. Sedangkan pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan (Crawford, 2003). Menurut Outerbridge (1991), proses pembuatan kompos membutuhkan bahan organik tidak stabil seperti ekskreta ayam, oksigen, air, dan

mikroorganisme. Mikroorganisme mengambil air, oksigen dari udara, dan makanan dari bahan organik. Mikroorganisme selanjutnya melepaskan

karbondioksida (CO2), air, dan energi, yang selanjutnya berkembang biak dan akhirnya mati. Sebagian dari energi yang dilepaskan tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan gerakan, sisanya dibebaskan sebagai panas. Akibatnya, setumpuk bahan kompos melewati tahap-tahapa penghangatan, temperatur puncak, pendinginan, dan pematangan. Peran bahan organik terhadap sifat fisik tanah di antaranya merangsang granulasi, memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan kemampuan menahan air. Peran bahan organik terhadap sifat biologis tanah adalah meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan pada fiksasi nitrogen dan transfer hara tertentu seperti N, P, dan S. Peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah adalah

meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga memengaruhi serapan hara oleh tanaman (Gaur, 1980).

Menurut Richard (2005), mikroorganisme yang bekerja pada proses pengomposan adalah jamur, bakteri, dan actinomycetes. Pada kondisi optimal tumpukan kompos akan mencapai temperatur sekitar 50 sampai 65C (120 sampai 150F), yang disebabkan oleh proses panas metabolisme mikroorganisme dan panas ini dapat menjadi indikator bahwa proses pembuatan kompos berjalan sempurna. Dalam proses ini terjadi proses kimiawi dimana pertumbuhan mikroorganisme memerlukan campuran nutrien yang benar terutama campuran karbon dan nitrogen. Bentuk fisik bahan kompos berupa ukuran partikel dan kadar airnya sangat berpengaruh pada proses pembentukan kompos dan juga panas yang dapat dihasilkan selama proses dekomposisi berlangsung. Beberapa faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan kompos, antara lain : kadar air bahan, temperatur saat pengomposan, pH, bau yang ditimbulkan (odor), keberadaan jasad renik dalam bahan yang dikomposkan (bakteri, cacing, jamur), padatan bahan kompos (volatile solids) (Richard, 2005).

Proses Pengomposan Proses pengomposan berdasarkan suhu lingkungan dapat dibagi menjadi empat tahap I atau tahap mesofil, tahap ke II atau tahap termofil, tahap ke III atau tahap pendinginan, dan tahap ke IV atau tahap pemasakan (Palmisano dan Barlaz, 1996). Menurut Triatmojo (2002) pada tahap I (tahap mesofil) yaitu masa kompos mendekati suhu lingkungan yaitu 20 sampai 40C. Pada tahap ini terbentuk asamasam organik yang diikuti penurunan pH sekitar 5 sampai 6. Perkembangan mikroorganisme menyebabkan suhu meningkat dengan cepat lebih dari 40C dan mulailah tahap termofil. Populasi pergantian mikroorganisme selama proses pengomposan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pergantian populasi mikroorganisme selama proses pengomposan Organisme Tahap Mesofil Tahap Tahap Jumlah yang Ada Spesies

Termofil Pendinginan

(CFU g-1 Massa Kering) Bacteria Mesofil Termofil Actinomycetes Termofil Jamur Mesofil Termofil 106 103 103 107 105 106 18 16 104 108 105 14 108 104 106 109 1011 107 6 1

Sumber : Sylvia et al. (2005).

Tahap II (tahap termofil) terjadi peningkatan suhu kompos lebih dari 40C yaitu suhu antara 50 sampai 70C. Terjadi penurunan populasi mikroorganisme mesofil yang akan digantikan mikroorganisme termofil. Pada tahap ini terjadi degradasi bahan organik menjadi lebih intensif hingga menyebabkan peningkatan pH sekitar 7 sampai 9 (Triatmojo, 2002). Peningkatan suhu termofil dapat dicapai bila pasokan udara dalam timbunan kompos cukup. Tahap III atau tahap pendinginan merupakan tahap stabilisasi limbah dan mineralisasi. Suhu mengalami penurunan dibawah 40C yang menyebabkan aktivitas mikroorganisme termofil digantikan oleh mikroorganisme mesofil. Suhu

akan terus menurun hingga mendekati suhu lingkungan 30C dan pH akan sedikit turun. Tahap IV atau tahap pemasakan merupakan tahap akhir pemanasan, sehingga laju rekasi perubahan senyawa kimia dan fisika terjadi secara lambat. Mikroorganisme yang berperan dalam tahap pemasakan masih bersifat anaerobik yang berpengaruh pada hasil fermentasi, seperti reduksi senyawa nitrogen dan sulfur yang menghasilkan gas amoniak, asam lemak, dan hidrogen sulfida (memproduksi bau tidak sedap pada kompos tahap pemasakan). Senyawa antara pada tahap pemasakan juga dapat mengganggu aktivitas perkecambahan benih dan tanaman, seperti asam asetat dan senyawa fenolik (Sylvia et al., 2005).

Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan

Rasio C/N Menurut Outerbridge (1991), proses pembuatan kompos kompos tergantung pada kerja mikroorganisme yang memerlukan sumber karbon untuk mendapatkan energi dan bahan bagi sel-sel baru, bersama dengan pasokan nitrogen untuk protein sel. Nitrogen merupakan unsur hara paling penting. Perbandingan karbon dan nitrogen (C/N) berkisar antara 25-35 : 1. Jika perbandingan jauh lebih tinggi, proses metabolisme membutuhkan waktu lama sebelum karbon dioksidasi menjadi karbon dioksida, sedangkan jika perbandingan lebih kecil, maka nitrogen yang merupakan komponen penting pada kompos akan dibebaskan sebagai amonia.

Ukuran Partikel Menurut Sylvia et al. (2005), ukuran partikel berperan dalam pergerakan oksigen ke dalam tumpukan kompos (melalui pengaruh porositas), akses mikroorganisme dan enzim untuk substrat. Partikel ukuran besar mendifusikan oksigen akibat rata-rata pori besar. Namun, partikel yang lebih besar juga meminimalkan permukaan spesifik dari substrat, yang merupakan rasio luas permukaan dengan volume, sehingga sebagian besar substrat tidak terakses pada

mikroorganisme atau enzim mereka. Pengomposan yang efisien membutuhkan akses terhadap oksigen dan nutrien di partikel.

Aerasi Sistem pengomposan bertujuan untuk mempertahankan kondisi aerob selama proses. Pengomposan pada kondisi aerob meningkatkan laju dekomposisi, sehingga terjadi peningkatan temperatur. Apabila aerasi tidak terhambat, maka tidak dihasilkan bau tidak sedap (Holmes, 1983). Menurut Outerbridge (1991), tidak adanya udara (kondisi anaerobik) akan menimbulkan menyebabkan perkembangbiakan pengawetan berbagai dan macam mikroorganisme tumpukan yang yang

keasaman

pembusukan

menimbulkan bau busuk. Aerasi diperoleh melalui gerakan alami dari udara ke dalam tumpukan kompos, dengan membolak-balik.

Kelembaban (moisture content) Kelembaban merupakan faktor utama dalam pengomposan aerob. Kelembaban dibawah 20 % menyebabkan pengomposan terhenti. Jika kelembaban diatas 55 %, air akan mulai mengisi ruang antara bahan, menyebabkan pengurangan jumlah oksigen dan terbentuk kondisi anaerob, sehingga temperatur menurun dan menimbulkan bau tidak sedap (Holmes, 1981).

Temperatur/suhu Ketika bahan organik yang dikumpulkan menjadi satu untuk

pengomposan, sebagian energi yang dilepaskan oleh penguraian bahan dibebaskan sebagai panas, dan menyebabkan kenaikan suhu. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak oksigen (kondisi aerasi dan air) dan meningkatkan proses dekomposisi. Suhu 55 sampai 60 C dapat membunuh hampir semua gulma dan patogen (Outerbridge, 1991).

pH pH digunakan untuk mengevaluasi hasil metabolisme mikroorganisme di lingkungan. pH kompos bervariasi dengan waktu selama proses pengomposan dan digunakan sebagai indikator dekomposisi dalam massa kompos. pH awal bahan pengomposan sekitar 5,0 sampai 7,0. Setelah tiga hari pengomposan, pH menurun menjadi 5,0 atau kurang karena hasil penguraiannya adalah asam organik sederhana dan kemudian meningkat sekitar 8,5 sebagai akibat sisa dari proses aerob (protein diuraikan dan amonia dilepaskan). Pengomposan pada kondisi anaerob menyebabkan pH turun sekitar 4,5 (Holmes, 1981; Outerbridge, 1991).

Kandungan Hara Ekskreta ayam merupakan hasil sampingan dari limbah peternakan yang memiliki kandungan P dan K. Selain unsur makro, ekskreta juga memiliki unsur mikro seperti Ca, Mg, Cu, Mn, dan S (Adianto, 1993).

Lama pengomposan Menurut Outerbridge (1991), kecepatan kemajuan pengomposan ke arah produk akhir yang matang tergantung pada beberapa faktor proses, seperti pasokan unsur hara (rasio C/N bahan), ukuran partikel, kelembaban, aerasi, pH, suhu, dan aditif (penambahan aktivator biologi/inokulan). Kompos matang dapat selesai dalam waktu 8 sampai 16 minggu.

Mikroorganisme Menurut Outerbridge (1991), pengomposan timbul dari kegiatan mikroorganisme, sehingga diharapkan bahwa proses pengomposan akan lebih baik dengan penambahan inokulan dari kultur mikroorganisme. Mikroorganisme berkembangbiak dengan sangat cepat, dan dalam beberapa hari jumlah mereka dapat mencapai titik maksimum yang dimungkinkan oleh kondisi lingkungan dalam tumpukan kompos. Mikroorganisme yang umum terdapat pada kompos dapat dilihat pada Tabel 2. Mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan, seperti bakteri mendominasi semua tahap proses; jamur sering

muncul setelah satu minggu; dan aktinomisetes membantu selama masa akhir (pemasakan).

Tabel 2. Mikroorganisme umum pada kompos Jenis Mikroorganisme Mesofil Pseudomonas spp. Achromobacter spp. Bacillus spp. Flavobacterium spp. Clostridium spp. Streptomyces spp. Termofil Bacillus spp. Streptomyces spp. Thermoactinomyces spp. Aspergillus fumigatus Mucor pusillus Chaetomium thermophile Thermus spp. Thermomonospora spp. Microployspora spp. Humicola lanuginosa Absidia ramosa Sporotrichum thermophile Torula thermophile Alternaria spp. Cladosporium spp. Aspergillus spp. Mucor spp. Humicola spp. Penicillium spp. Bakteri Fungi

10

Thermoascus aurantiacus Sumber : Sylvia et al. (2005)

Bahan Penyusun Kompos

Serbuk gergaji Serbuk gergaji memiliki kandungan air kering sampai sedang. Sebagai bahan baku kompos serbuk gergaji bernilai sedang hingga baik walau tidak seluruh komponen bahan dirombak dengan sempurna. Serbuk gergaji ada yang berasal dari kayu lunak dan ada pula kayu keras. Kekerasan jenis kayu menentukan lamanya proses pengomposan karena kandungan lignin didalamnya. Kualitas serbuk gergaji tergantung pada macam kayu, asal daerah penanaman, dan umur kayu. Makin halus ukuran partikel serbuk gergaji makin baik daya serap air dan bau yang dimilikinya. Unsur hara serbuk gergaji yaitu C : 50%, N : 0,25%, P : 0,20%, K : 0%, C/N : 200 (Mindawati dkk, 1998). Molasses Molasses atau yang lebih dikenal dengan tetes tebu adalah hasil samping dari hasil pembuatan gula tebu. Molasses merupakan media fermentasi yang baik, karena masih mengandung kadar gula sekitar 48 sampai 50% (Migo et al., 1993). Tetes tebu dapat digunakan sebagai pupuk atau untuk pembuatan ragi (Wardiyono, 2007).

Mikroorganisme Pusat dari proses pengomposan adalah mikroorganisme dan kemampuan mikroorganisme dalam mendekomposisi. Populasi mikroorganisme selama berlangsungnya perombakan senyawa organik akan terus berubah. Penambahan kultur mikroorganisme khusus diharapkan dapat meningkatkan laju dekomposisi senyawa organik (Sylvia et al., 2005; Outerbridge, 1991). Effective Microorganism (EM) adalah kultur campuran dari

mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Sebagian besar mengandung mikroorganisme Lactobacillus sp. bakteri penghasil asam
11

laktat, serta dalam jumlah sedikit bakteri fotosintetik Streptomyces sp. dan ragi. EM mampu meningkatkan dekomposisi limbah dan sampah organik sehingga sangat bagus digunakan untuk mempercepat pengomposan sampah organik atau kotoran hewan, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman serta menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen (Anonimus, 2007).

Abu Abu ditambahkan dalam pengomposan untuk menetralisasi keasaman. Kapur juga mengandung Ca, K, dan Mg dalam kompos yang dibuat (Rosmarkam & Yuwono, 2002). Kapur Kapur dapat ditambahkan untuk meningkatkan metabolisme

mikroorganisme. Kapur dapat melapisi permukaan substrat organik dengan suatu film partikel koloid yang membantu menahan air pada permukaan, sehingga membantu cara kerja mikroorganisme dalam mendekomposisi substrat

(Outerbridge, 1991).

Ciri-ciri Kompos Matang Kompos yang sudah masak memiliki warna coklat kehitaman, tekstur remah, dan kadar air 50% (Derikx et al., 1990; Rosmarkam & Yuwono, 2002; McKinley & Vestal, 1985). Standar rasio C/N kompos yaitu antara 10 sampai 20 (SNI, 2004). Menurut Sylvia et al. (2005), kompos matang yang berasal dari ekskreta ayam memiliki kandungan nitrogen 4,5 %; fosfor 0,8 %; kalium 0,7 %; kalsium 1,8 %; magnesium 0,4 %, dan rasio C/N 7.

Kualitas Kimia Kompos Kemasakkan kompos dapat ditentukan secara kimiawi, yaitu berdasar rasio C/N, kapasitas tukar kation, N anorganik dan tingkat kelembaban bahan organik. Faktor lain yang menentukan mutu kompos adalah kandungan bahan organik, kadar air, kandungan bahan penyusunnya, banyaknya patogen (bibit penyakit), pH, tingkat kemasakan, ukuran partikel dan bau (Zucconi dan Bertoldi 1987, cit Triatmojo 2002).

12

Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), kualitas kimia kompos berpengaruh terhadap kesuburan tanah, antara lain : a. Bahan organik dalam proses mineralisasi akan melepaskan hara tanaman yang lengkap (N, P, K, Ca, Mg, S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil. b. Bahan organik akan memperbaiki struktur tanah, menyebabkan tanah menjadi ringan untuk diolah, dan mudah ditembus akar. c. Bahan organik dapat mempermudah pengolahan tanah-tanah berat. d. Bahan organik meningkatkan daya menahan air (water holding capasity), sehingga kemampuan tanah untuk menyediakan air menjadi lebih baanyak. Kelengasan air tanah lebih terjaga.. e. Bahan organik membuat permeabilitas tanah menjadi lebih baik, menurunkan permeabilitas pada tanah bertekstur kasar (pasiran) dan meningkatkan permeabilitas pada tanah bertekstur sangat lembut (lempungan). f. Bahan organik meningkatkan KPK (kapasitas pertukaran kation), sehingga kemampuan mengikat ion menjadi lebih tinggi. Akibatnya, jika tanah yang dipupuk dengan bahan organik dengan dosis tinggi, harra tanaman tidak mudah tercuci. g. Bahan organik memperbaiki kehidupan biologi tanah (baik hewan tingkat tinggi maupun tingkat rendah) menjadi lebih baik karena ketersediaan makanan lebih terjamin. h. Bahan organik dapat meningkatkan daya sangga (buffering capasity) terhadap goncangan perubahan drastis sifat tanah. i. Bahan organik mengandung mikroorganisme dalam jumlah cukup yang berperan dalam dekomposisi bahan organik. Menurut SNI (2004) standar kualitas kompos yang baik untuk kadar air maksimal sebesar 50%, bahan organik minimal 27%, C organik minimal 9,8%, N total minimal 0,04%, K total minimal 0,2% dan rasio C/N minimal sebesar 10 dan maksimal 20. Haga (1998) cit Triatmojo (2002) menyatakan bahwa diharapkan kompos memiliki kandungan N lebih dari 1,2%, P2O5 lebih dari 0,5% dan K2O lebih dari 0,3%. Menurut Sarwono dan Arianto (2006), kompos yang baik

13

mengandung 0,79% N; 1,28% P2O5; 0,88% K2O; 1,74% CaO; 0,45% MgO; dan 22,53% C-organik

Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.

Bahan-bahan yang dapat dijadikan kompos ada dua macam,yaitu : 1. Organik Misalnya sebagainya. 2. Organik Olahan Bahan-bahan yang berasal dari sisa makanan seperti nasi, bekas sayuran, sisa roti, sisa masakan, dan semacamnya. daun tanaman, rumput-rumputan, potongan sayur, dan

Asal 1. Pertanian Limbah residu tanaman

Bahan

dan Jerami dan sekam padi, gulma, batang dan tongkol jagung, semua bagian vegetatif tanaman, batang pisang dan sabut kelapa

14

Limbah & residu Kotoran padat, limbah ternak cair, limbah pakan ternak, cairan ternak Tanaman air 2. Industri Limbah padat Serbuk gergaji kayu, blotong, kertas, ampas tebu, limbah kelapa sawit, limbah pengalengan makanan dan biogas Azola, ganggang biru, enceng gondok, gulma air

pemotongan hewan Limbah cair Alkohol, limbah pengolahan kertas, ajinomoto, limbah pengolahan minyak kelapa sawit 3. Limbah rumah tangga Sampah Tinja, urin, sampah rumah tangga dan sampah kota

Proses pengomposan adalah proses penguraian secara biologis, khususnya

bahan organik mengalami oleh mikroba-mikroba yang

memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Kompos dari sampah organik pasar atau domestik dapat diolah menjadi kompos dengan beberapa metode, diantaranya : A. Metode Konvensional Metode ini tidak menggunakan komposter. Biasanya adonan kompos ditimbun dan ditutup dengan kain terpal.Selain kain terpal dapat digunakan pula karung goni atau sabut kelapa yang dimasukkan dalam kantung dari jaring plastik.

15

B. Metode komposter Metode komposter dengan penambahan bakteri (aktivator) Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan.60%- 70% sampah yang dihasilkan adalah sampah organik/sampah basah (sampah rumah tangga, sampah dapur, sampah kebun, sampah restoran/sisa makanan, sampah pasar dll). Pengomposan dengan teknologi komposter adalah proses penguraian sampah organik secara aerob dengan mengunakan Sy-Dec mikroba pengurai dan Organik Agent (bahan mineral organik). Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas (50-70)oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi.Pada saat ini terjadi

dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 40% dari volume/bobot awal bahan. Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik(menggunakan oksigen) atau anaerobik(tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga

16

terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses aerobik akan menghasilkan senyawasenyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S Proses pengomposan tergantung pada kondisi sebagai berikut: 1. Karakteristik bahan yang dikomposkan 2. Aktivator pengomposan yang dipergunakan Memanfaatkan organisme yang dapat mempercepat proses

pengomposan. Organisme yang sudah banyak dimanfaatkan misalnya cacing tanah. Proses pengomposannya disebut vermikompos dan kompos yang dihasilkan dikenal dengan sebutan kascing. Organisme lain yang banyak dipergunakan adalah mikroba, baik bakteri, actinomicetes, maupun

kapang/cendawan. Saat ini di pasaran banyak sekali beredar aktivatoraktivator pengomposan, misalnya : Promi, OrgaDec, SuperDec, ActiComp, EM4, Stardec, Starbio, dll. Promi, OrgaDec, SuperDec, dan ActiComp adalah activator yang banyak dimanfaatkan untuk membuat kompos. Aktivator pengomposan ini menggunakan mikroba-mikroba terpilih yang memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi limbah-limbah padat organik, yaitu: Trichoderma pseudokoningii, Cytopaga sp, Trichoderma harzianum, Pholyota sp, Agraily sp dan FPP (fungi pelapuk putih). Mikroba ini bekerja aktif pada suhu tinggi (termofilik).Aktivator ini tidak memerlukan tambahan bahan-bahan lain dan tanpa pengadukan secara berkala. Namun, kompos perlu ditutup/sungkup untuk mempertahankan suhu dan kelembaban agar proses

17

pengomposan berjalan optimal dan cepat. Pengomposan dapat dipercepat hingga 2 minggu untuk bahan-bahan lunak/mudah dikomposkan hingga 2 bulan untuk bahan-bahan keras/sulit dikomposkan. Teknologi Pengomposan Metode atau teknologi pengomposan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat teknologi yang dibutuhkan, yaitu : 1. Pengomposan dengan teknologi rendah (Low Technology) 2. Pengomposan dengan teknologi sedang (Mid Technology) 3. Pengomposan dengan teknologi tinggi (High Technology) Berikut ini merupakan penjelasan mengenai teknik-teknik teknologi dalam pembuatan kompos: 1. Pengomposan dengan Teknologi Rendah Teknik pengomposan yang termasuk kelompok ini adalah Windrow Composting.Kompos ditumpuk dalam barisan tumpukan yang disusun sejajar.Tumpukan secara berkala dibolak-balik untuk meningkatkan aerasi, menurunkan suhu apabila suhu terlalu tinggi, dan menurunkan kelembaban kompos.Teknik ini sesuai untuk pengomposan skala yang besar. Lama pengomposan berkisar antara 3 hingga 6 bulan, yang tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan. 2. Pengomposan dengan Teknologi Sedang Pengomposan dengan teknologi sedang antara lain adalah : Aerated static pile : gundukan kompos diaerasi statis

Tumpukan/gundukan kompos (seperti windrow system) diberi aerasi dengan menggunakan blower mekanik.Tumpukan kompos ditutup

18

dengan terpal plastik.Teknik ini dapat mempersingkat waktu pengomposan hingga 3 5 minggu. Aerated compost bins : bak/kotak kompos dengan aerasi

Pengomposan dilakukan di dalam bak-bak yang di bawahnya diberi aerasi.Aerasi juga dilakukan dengan menggunakan blower/pompa udara.Seringkali ditambahkan pula cacing (vermikompos). Lama pengomposan kurang lebih 2 3 minggu dan kompos akan matang dalam waktu 2 bulan. 3. Pengomposan dengan Teknologi Tinggi Pengomposan dengan menggunakan peralatan yang dibuat khusus untuk mempercepat proses pengomposan. Terdapat panel-panel untuk mengatur kondisi pengomposan dan lebih banyak dilakukan secara mekanis. Contoh-contoh pengomposan dengan teknologi tinggi antara lain : Rotary Drum Composter

Pengomposan dilakukan di dalam drum berputar yang dirancang khusus untuk proses pengomposan. Bahan-bahan mentah dihaluskan dan dicampur pada saat dimasukkan ke dalam drum. Drum akan berputar untuk mengaduk dan memberi aearasi pada kompos. Box/Tunnel Composting System

Pengomposan dilakukan dalam kotak-kotak/bak skala besar. Bahan-bahan mentah akan dihaluskan dan dicampur secara mekanik. Tahap-tahap pengomposan berjalan di dalam beberapa bak/kotak sebelum akhirnya menjadi produk kompos yang telah matang. Sebagian dikontrol dengan menggunakan komputer.Bak pengomposan dibagi menjadi dua zona, zona pertama untuk bahan yang masih mentah dan selanjutnya diaduk secara mekanik dan diberi aerasi. Kompos akan masuk ke bak zona ke dua dan proses pematangan kompos dilanjutkan.

19

Mechanical Compost Bins

Sebuah drum khusus dibuat untuk pengomposan limbah rumah tangga. Strategi Mempercepat Proses Pengomposan Pengomposan dapat dipercepat dengan beberapa strategi. Secara umum strategi untuk mempercepat proses pengomposan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu: 1. Menanipulasi kondisi/faktor-faktor yang berpengaruh pada proses pengomposan. 2. Menambahkan Organisme yang dapat mempercepat proses pengomposan: mikroba pendegradasi bahan organik dan vermikompos (cacing). 3. Menggabungkan strategi pertama dan kedua. Memanipulasi Kondisi Pengomposan Strtegi ini banyak dilakukan di awal-awal berkembangnya teknologi pengomposan.Kondisi atau faktor-faktor pengomposan dibuat seoptimum mungkin. Sebagai contoh, rasio C/N yang optimum adalah 25-35:1. Untuk membuat kondisi ini bahan-bahan yang mengandung rasio C/N tinggi dicampur dengan bahan yang mengandung rasio C/N rendah, seperti kotoran ternak. Ukuran bahan yang besar-besar dicacah sehingga ukurannya cukup kecil dan ideal untuk proses pengomposan. Bahan yang terlalu kering diberi tambahan air atau bahan yang terlalu basah dikeringkan terlebih dahulu sebelum proses pengomposan. Demikian pula untuk faktor-faktor lainnya. Menggunakan Aktivator Pengomposan Strategi yang lebih maju adalah dengan memanfaatkan organisme yang dapat mempercepat proses pengomposan. Organisme yang sudah banyak dimanfaatkan misalnya cacing tanah. Proses pengomposannya disebut vermikompos dan kompos yang dihasilkan dikenal dengan sebutan kascing. Organisme lain yang banyak dipergunakan adalah mikroba, baik bakeri,

20

aktinomicetes, maupuan kapang/cendawan. Saat ini dipasaran banyak sekali beredar aktivator-aktivator pengomposan. Promi, OrgaDec, SuperDec, dan ActiComp adalah hasil penelitian Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPPI) dan saat ini telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Sementara MARROS Bio-Activa dikembangkan oleh para peneliti mikroba tanah yang tergabung dalam sebuah perusahaan swasta. Aktivator pengomposan ini menggunakan mikrobamikroba terpilih yang memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi limbah-limbah padat organik. Aktivator yang dikembangkan oleh BPBPi tidak memerlukan tambahan bahan-bahan lain dan tanpa pengadukan secara berkala. Namun, kompos perlu ditutup/sungkup untuk mempertahankan suhu dan kelembapan agar proses pengomposan berjalan optimal dan cepat. Pengomposan dapat dipercepat hingga 2 minggu untuk bahan-bahan lunak/mudah dikomposakan hingga 2 bulan untuk bahan-bahan keras/sulit dikomposkan. Memanipulasi Kondisi dan Menambahkan Aktivator Pengomposan Strategi proses pengomposan yang saat ini banyak dikembangkan adalah mengabungkan dua strategi di atas. Kondisi pengomposan dibuat seoptimal mungkin dengan menambahkan aktivator pengomposan. Pertimbangan untuk menentukan strategi pengomposan Seringkali tidak dapat menerapkan seluruh strategi pengomposan di atas dalam waktu yang bersamaan. Ada beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk menentukan strategi pengomposan: 1. Karakteristik bahan yang akan dikomposkan. 2. Waktu yang tersedia untuk pembuatan kompos. 3. Biaya yang diperlukan dan hasil yang dapat dicapai. 4. Tingkat kesulitan pembuatan kompos

21

BAB III METODE PERCOBAAN

Metode yang digunakan pada praktikum pembuatan kompos ini adalah metode konvensional atau metode sederhana 3.1 WAKTU DAN TEMPAT

3.1.1

Waktu Percobaan pembuatan kompos ini dilaksanakan pada Senin, 25 Maret 2013 pukul 07.30 WIB (pada kuliah praktikum Teknik Pengolahan Limbah Industri) dan panen kompos dilakukan pada Senin, 13 Mei 2013 pukul 07.30 s/d 10.00 WIB. Pembuatan kompos dilakukan selama 7 minggu. Setiap seminggu sekali dilakukan pengecekan penurunan ketinggian kompos, pH, dan temperatur kompos.

3.1.2

Tempat Pembuatan kompos dilaksanakan disamping gedung

laboratorium Akademi Kimia Analisis Bogor (di dekat IPAL AKA)

3.2

ALAT DAN BAHAN 3.2.1 Alat Peralatan yang digunakan pada pembuatan kompos secara konvensional ini diantaranya adalah sekop, ember, terpal lebar yang telah dilubangi pada keempat sisinya, tali, 4 peralon berdiameter kecil, 1 peralon berdiameter besar, termometer, pH meter, neraca kasar, meteran, gelas piala, batang pengaduk, erlenmeyer, corong, aluminium foil, kertas saring, kantung plastik, shaker dan pengayak.

22

3.2.2

Bahan Bahan yang digunakan pada pembuatan kompos ini adalah 10 kg sampah kebun dengan perbandingan sampah coklat dan sampah hijau dengan rasio 2:1, 1 kg serbuk gergaji, 1 kg pupuk kandang, bakteri ecogat, dan air.

3.3

CARA KERJA

3.3.1

Pembuatan Kompos Pembuatan kompos dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: 1. Disiapkan 10 kg sampah kebun dengan perbandingan antara sampah coklat dan sampah hijau yaitu 2:1 2. Sampah tersebut dipotong/dicacah sampai berukuran 5 cm agar udara dapat leluasa bergerak disela-sela sampah organik tersebut 3. Kedalam sebuah terpal yang telah dilubangi pada keempat sisi dimasukkan peralon berdiameter kecil 4. Sampah coklat dan sampah hijau tersebut dicampur sampai merata diatas terpal tadi 5. 1 kg (10% total) serbuk gergaji dan 1 kg pupuk kandang ditimbang 6. Kedalam campuran sampah organik tersebut ditambahkan serbuk gergaji dan dicampurkan hingga merata(homogen) 7. Pupuk kandang yang telah ditimbang tadi juga dicampurkan hingga merata 8. Bakteri ecogat ditambahkan pada campuran tersebut, campuran juga ditambahkan sedikit air sampai terasa lembab lalu dihomogenkan kembali dengan cara pengadukan 9. Setelah semua bahan tercampur merata/homogen, terpal diangkat dan diikat namun sebelumnya, peralon berdiameter besar yang berlubang dimasukkan pada bagian tengah 10. Temperatur dan ketinggian kompos diukur

23

11. Kompos dibiarkan selama 7 minggu sebelum panen kompos dan dicek pH, temperatur dan penurunan ketinggiannya setiap satu minggu sekali.

3.3.2

Pengecekan Kompos Pengecekan kondisi kompos perlu dilakukan untuk mengetahui keefisienan dan keberhasilan pembuatan kompos ini. Pengecekan kompos ini dilakukan setiap seminggu sekali. a) pH Pengecekan pH dilakukan untuk mengetahui kondisi kompos karena mikroba pada pengomposan bekerja pada pH 5,5 8. pH kompos diukur dengan cara: 1. Terpal dibuka sedikit lalu diambil sejumlah contoh dari 3 titik dan dimasukkan ke kantung plastik 2. Contoh ditimbang 5 gram dengan neraca analitik 3. Contoh tersebut dimasukkan erlenmeyer dan ditambahkan 100 mL aquadest 4. Erlenmeyer tersebut ditutup rapat dengan aluminium foil 5. Contoh di-shaker selama 5 menit pada kecepatan 120 rpm 6. Ekstrak tersebut disaring dengan kertas saring dan ditampung pada gelas piala 7. Filtrat diukur pH-nya dengan pH meter 8. Hasil dicatat 9. Terpal ditutup rapat kembali

b) Temperatur Pengomposan terjadi pada temperatur mesophilic (10 C 40 C) dan thermophilic (diatas 42 C) biasanya dilakukan pada temperature 43 C 65 C sebagai temperatur yang optimal dalam proses pengomposan. Temperatur thermophilic lebih disukai dalam pengomposan karena membunuh lebih banyak patogen, kecambah dan larva lalat. Dalam beberapa proses

24

pengomposan, temperatur dapat saja melebihi 70 C, karena dampak dari dinding yang tidak dapat menghantar panas (insulation) ketika sedang berjalannya kegiatan mikrobiologi. Pada temperatur ini banyak mikroba mati dan proses

pengomposan dapat berhenti, kemudian temperatur turun hingga mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang kembali. Cara pengukuran temperatur kompos sebagai berikut: 1. Terpal dibuka sedikit lalu masukkan termometer kedalam kompos 2. Didiamkan beberapa saat sampai stabil(tidak ada

kenaikan/penurunan pembacaan pada termometer) 3. Hasil dicatat 4. Terpal ditutup rapat kembali

c) Ketinggian Kompos dinyatakan berhasil/efisien jika terjadi penurunan ketinggian. untuk mengetahui penurunan ketinggian kompos dilakukan dengan mengukur dengan meteran dari bagian dalam peralon besar. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat pengecekan kompos secara berkala: Tidak ada panas yang timbul Hal ini disebabkan Oksigen, bahan nitrogen dan kelembaban yang tidak cukup, oleh karena itu yang harus dilakukan adalah menambahkan sumber kaya nitrogen seperti kotoran hewan dan potongan rumput, aduk komposnya dan siram dengan air sehingga lembab Daun daun lengket, rumput tidak terurai Hal ini disebabkan aliran udara yang tidak cukup dan atau kurang lembab, yang perlu dilakukan adalah menghindari lapisan tebal yang hanya terdiri dari satu jenis material,

25

campurkan dengan jenis material yang lain dan aduk hingga rata. Material yang tidak terurai di hancurkan atau dicacah kecil kecil Komposnya berbau seperti mentega asam tahu telur busuk Hal ini disebabkan kekurangan oksigen atau tumpukan kompos terlalu basah atau terlalu padat, yang perlu dilakukan adalah Aduk tumpukan komposnya sehingga dapat dialiri udara dan bernafas lega, lalu dpat juga ditambahkan bahanbahan kering yang kasar, seperti daun-daun kering untuk menyerap air. Jika sangat bau, bahan kering ditambahkan diatasnya dan tunggu sampai agak kering sedikit, baru diaduk. Komposnya berbau seperti ammonia Hal ini disebabkan tidak cukupnya bahan karbon dalam kompos. Yang perlu dilakukan adalah menambahkan bahan carbon seperti serbuk gergaji, sekam padi, daun-daunan dsb

3.3.3

Panen Kompos Setelah beberapa minggu melakukan pengomposan, kompos dapat dipanen agar dapat dimanfaatkan hasilnya. Adapun tatacara panen kompos yaitu : 1. Ikatan pada terpal dibuka dan dilebarkan 2. Peralon berdiameter besar maupun kecil dilepaskan dari terpal 3. Kompos diratakan dan dijemur dibawah sinar matahari 4. Setelah dirasa kompos telah kering, kompos diayak untuk memisahkan dari partikel yang besar 5. Partikel yang kecil/halus ditampung dan siap untuk dipakai 6. Partikel yang besar yang tidak terurai dapat dicacah kembali dan digunakan untuk pembuatan kompos selanjutnya.

26

BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Data Pengamatan Suhu (oC )

Minggu ke-

pH

Tinggi Kompos

Bobot Kompos

1( tanggal 1 April 2013)

1. 30,0 2. 31,0 3. 31,0 8,02 28,00 cm 2 (tanggal 8 April 2013 ) 1. 28,5 2. 28,0 3. 28,0 7,83 16,00 cm 3 (tanggal 15 April 2013) 1. 28,0 2. 28,7 3. 27,7 7,92 13,10 cm 36,00 cm 5,0000 kg 36,00 cm 5,0000 kg 36,00 cm 5,0000 kg

Pelaksanaan Panen Kompos Panen kompos dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 2013, sampah yang telah terdekomposisi dipisahkan dengan sampah yang masih dalam bentuk kasar dengan cara disaring. Kompos yang terpisah ditimbang bobotnya dan
27

didapatkan kompos murninya sebanyak 3,0000 kg. Dan kompos siap untuk digunakan sebagai pupuk organik yang dapat meningkatkan kualitas tanah menjadi tanah yang subur.

Pembahasan Kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi dari bahan-bahan organik seperti tanaman , hewan ,atau limbah organik lainnya. Pembuatan kompos dilakukan pada suatu tempat yang terlindung dari panas dan hujan. Untuk mempercepat perombakan dan pematangan serta menambah unsur

hara, maka ditambahkan campuran kapur dan kotoran ternak. Bahan yang digunakan sebagai sumber kompos berupa limbah seperti sampah coklat sisasisa tanaman yang telah berguguran dan mengering dan sampah hijau sisa tanaman dan sampah pasar. Pupuk kompos berfungsi untuk memperbaiki kesuburan tanah dan sekaligus meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman. Pada saat praktikum, digunakan bahan baku pembuatan kompos berupa sampah hijau dan sampah coklat dengan komposisi sampah hijau 1 kg dan sampah coklat 4 kg yang telah dipotong kecil-kecil atau diperkecil

ukurannya. Kemudian dicampur

menjadi satu antara sampah hijau dan

sampah coklat diatas terpal untuk dihomogenkan dengan bantuan alat seperti sapu lidi atau tongkat. Setelah itu, dilakukan penambahan serbuk gergaji dengan cara ditaburkan secara merata pada tumpukan sampah yang telah dihomogenkan diatas terpal tersebut dan ditambahkan bakteri ecogate untuk membantu proses dekomposisi senyawa organik. Lalu ditambahkan air

sampai sampai lembab. Kemudian terpal ditutup rapi dengan diberi lubang pada bagian tiga sudut terpal ,dan pralon ditempatkan di tiga lubang tersebut agar air hasil dekomposisi senyawa organik dapat mengalir keluar dari terpal.

28

Sampah dipotong kecil-kecil bertujuan untuk memperkecil ukuran sampah tersebut yang dapat mempercepat proses pembusukan baik secara alami maupun dengan mikroba. Kemudian dilakukan homogenisasi antara sampah hijau dengan coklat bertujuan agar proses pembusukannya merata, tidak hanya sampah hijau atau coklat saja. Dalam homogenisasi dapat digunakan bantuan alat apapun asalkan dapat membantu dalam homogenisasi sampah. Penambahan serbuk gergaji dan mikroba memiliki peranan yang penting yaitu untuk menurunkan pH dan mempercepat proses penguraian atau dekomposisi dedaunan agar menjadi busuk, tentunya untuk menjaga kehidupan mikroba maka perlu disesuaikan kondisinya yaitu suasana lembab dengan cara menambahkan air pada bahan sampah. Berdasarkan data hasil pengamatan pada minggu pertama tanggal 1 April 2013, kompos mengalami proses dekomposisi awal(proses permulaan) ditandai dengan penurunan tinggi kompos dari tinggi awal kompos 36 cm menjadi 28 cm. Namun pH dan temperatur masih sesuai dengan bahan dan lingkungan yang ada yaitu pH 8,02 dan suhu kompos 31oC sehingga untuk menurunkan pH ditambahkan serbuk gergaji. Pada minggu kedua, tanggal 8 April 2013 terjadi penurunan pH dari 8,02 menjadi 7,83, mengindikasikan bahwa suasana kompos dalam terpal tersebu menjadi sedikit asam dan temperatur turun dari 31oC menjadi 28,5oC hal ini menunjukkan sejalan dengan adanya aktivitas mikroba (khususnya bakteri yang indigenous/ asli) didalam bahan , seharusnya temperatur mengalami kenaikan untuk menghasilkan asam organik, tetapi kenyataannya temperatur menjadi turun. Pada minggu ketiga, terjadi sedikit kenaikan temperatur dari 28,5oC menjadi 28,7oC , aktifitas bakteri mesofilik akan terhenti , kemudian diganti oleh kelompok termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini maka amoniak dan gas nitrogen akan dihasilkan, sehingga nilai pH akan berubah menjadi basa. Jika temperatur turun kembali hingga akhirnya berkisar seperti temperatur asal . Maka fasa ini disebut fasa pendinginan dan akhirnya hasil kompos siap untuk digunakan.
29

Pada saat dilakukan

panen kompos , sampah yang telah

terdekomposisi dipisahkan dengan sampah yang masih dalam bentuk kasar dengan cara disaring/diayak. Kompos yang terpisah ditimbang bobotnya dan didapatkan kompos murninya sebanyak 3 kg. Kompos telah siap untuk digunakan sebagai pupuk organik yang dapat meningkatkan kualitas tanah menjadi tanah yang subur. Kompos yang dihasilkan hanya 3 kg, jumlah ini hanya 60% dari bobot bahan baku yang digunakan, artinya dalam pembuatan kompos dengan metode ini tidak cukup efisien. Hal ini dapat dikarenakan oleh metode yang digunakan tidak cocok, terdapat kesalahan dari praktika, ataupun dari faktor lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Beberapa faktor yang

memungkinkandapat mempengaruhi dalam proses pengomposan adalah: a) Pemisahan Bahan : Bahan-bahan yang sekiranya lambat atau sukar untuk didegradasi/diurai, harus dipisahkan/dikeluarkan. Bahkan bahan-bahan tertentu yang bersifat toksikserta dapat menghambat pertumbuhan mikroba, harus benar-benar dibebaskan dari dalam timbunan bahan, antara lain missal residu pestisida.

b) Bentuk Bahan : Lebih kecil dan homogen bentuk bahan proses pengomposan akan lebih cepat dan baik. Karena dengan lebih kecil dan homogen, lebih luas permukaan bahan yang dijadikan substrat bagi aktivitas mikroba. Juga pengaruhnya terhadap kelancaran diffus oksigen yang diperlukan untuk pengeluaran CO2 yang dihasilkan.

c) Nutrien: seperti pula jasad hidup lainnya, untuk aktivitas mikroba didalam tumpukan sampah memerlukan sumber nutrient karbohidrat misalnya antara 20-40% yang digunakan akan diassimilasikan menjadi komponen sel dan CO2, kalau bandingan sumber karbohidrat yang terdapat didalamnya (C/N-rasio) = 10 : 1.

30

d) Kadar air bahan : Tergantung kepada bentuk dan jenis bahan, missal kadar air optimum didalam proses pengomposan mempunyai nilai antara 50 70, terutama selama proses fase pertama . Kadang-kadang dalam keadaan tertentu, kadar air bahan bisa bernilai sampai 85% missal pada jerami.

Kondisi optimum yang diperlukan agar proses pengomposan berjalan cepat dan aman disertai hasil yang baik dan memenuhi syarat yaitu bahwa disamping bentuk dan sifat bahan, juga faktor lingkungan abiotik yang menyertainya, disertai cara pengerjaannya

Gambar 1.2 Pencacahan bahan sampah basah dengan pisau

31

BAB V PENUTUP

A. Simpulan Dari hasil praktikum pembuatan kompos yang telah dilakukan, bahan baku kompos yang digunakan sebesar 5,kg , bobot murni kompos yang dihasilkan sebesar 3 kg. Pembuatan kompos tidak efisien dikarenakan kompos yang diperoleh hanya 60% dari jumlah bahan baku yang digunakan, dan hal ini dapat dikarenakan oleh beberapa faktor.

B. Saran Untuk mendapatkan produk kompos yang optimal, disarankan untuk memperhatikan pemisahan bahan , bentuk bahan , nutrient dan kadar air bahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian pembahasan. Selain itu, kondisi optimum yang diperlukan agar proses pengomposan berjalan cepat dan aman, kemudian disertai hasil yang baik dan memenuhi syarat yaitu bahwa selain bentuk dan sifat bahan, juga faktor lingkungan abiotik yang menyertainya diperhatikan, dan disertai cara pengerjaannya.

32

DAFTAR PUSTAKA

Djadjaningrat,

Surna

dan

Harry

Harsono

Amir.1993.Penilaian secara Cepat Sumber-sumber Pencemar Air, tanah dan udara. Yogyakarta : UGM press Prof. Drs. Unus Suriawiria.2008.Mikrobiologi Air.Bandung : Penerbit PT ALUMNI ( Hal : 233- 259) Pulford, Ian dan Hugh flowers.2006. Enviromental Chemistry at A glance.New Delhi : Blackwell publishing http://sutomodiriku.wordpress.com/pengertian-kompos-dancara-pembuatannya/

33

LAMPIRAN

34

Anda mungkin juga menyukai