Oleh :
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala limpahan
karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum yang
berjudul “Identifikasi Ektoparasit Tikus” dengan lancar. Penulisan laporan
praktikum ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Rodentologi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan praktikum ini masih
jauh dari kata sempurna yang dikarenakan pengalaman dan pengetahuan yang
terbatas. Namun, atas bantuan dari berbagai pihak, maka laporan praktikum ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses pembuatan laporan ini, khususnya kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Martini, M.Kes selaku penanggungjawab mata kuliah
Rodentologi (pilihan) peminatan Epidemiologi dan Penyakit Tropik.
2. Saudari Nurul Isro Ulviana selaku asisten praktikum Identifikasi
Ektoparasit Tikus.
3. Teman-teman peminatan Entomologi Kesehatan dan Epidemiologi dan
Penyakit Tropik yang telah bekerjasama dalam proses praktikum.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
COVER i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
C. Manfaat 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
A. Hoplopleura Pacifica dan Polyplex Spinulosa (Kutu/Lice) 3
B. Xenopsylla Cheopis(Pinjal/Flea) 6
C. Laelaps Echidninus (Tungau/Mites) 9
D. Ixodes sp. (Caplak Keras) 11
E. Ektoparasit Sebagai Vektor Penyakit 14
BAB III METODE 18
A. Waktu 18
B. Tempat 18
C. Alat 18
D. Bahan 19
E. Langkah Kerja 19
BAB IV HASIL 21
A. Indeks Ektoparasit pada Tikus 21
B. Identifikasi Ektoparasit pada Tikus 22
BAB V PEMBAHASAN 25
A. Indeks Ektoparasit pada Tikus 25
B. Identifikasi Ektoparasit pada Tikus 26
BAB VI PENUTUP 29
A. Kesimpulan 29
B. Saran 29
iv
DAFTAR PUSTAKA 30
LAMPIRAN 32
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Alat Identifikasi Ektoparasit Tikus 18
Tabel 3.2 Bahan Identifikasi Ektoparasit Tikus 19
Tabel 4.1 Hasil Ektoparasit Pada Tikus 21
Tabel 4.2 Prosentase Ektoparasit Pada Tikus 21
Tabel 4.3 Hasil Identifikasi Ektoparasit Pada Tikus 22
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Morfologi Hoplopleura pacifica 4
Gambar 2.2 Morfologi P. spinulosa 5
Gambar 2.3 Morfologi Xenopsylla cheopis 7
Gambar 2.4 Siklus Hidup Pinjal 8
Gambar 2.5 Morfologi Laelaps echidninus 10
Gambar 2.6 Morfologi Caplak Keras 12
Gambar 2.7 Siklus Hidup Caplak Keras 13
Gambar 2.8 Penularan Penyakit Pes 15
Gambar 2.9 Penularan Penyakit Murine Typhus 15
Gambar 2.10 Siklus Hidup R. tsutsugamushi 16
Gambar 2.11 Penularan Penyakit Scrub Typhus 17
Gambar 3.1 Langkah Kerja Identifikasi Ektoparasit Pada Tikus 20
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Alat Identifikasi Ektoparasit Pada Tikus 32
Lampiran 2. Bahan Identifikasi Ektoparasit Pada Tikus 33
Lampiran 3. Dokumentasi Kegiatan Praktikum 33
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tikus merupakan satwa liar yang mampu beradaptasi dengan
kehidupan manusia. Tikus digolongkan ke dalam Ordo Rodentia (hewan
mengerat), Subordo Myomorpha, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae.
Kehadiran tikus dapat bersifat menguntungkan dan merugikan. Sifat
menguntungkan yaitu dapat digunakan sebagai hewan percobaan di
laboratorium. Sifat merugikan yaitu tikus berperan sebagai hama. Tikus
menjadi hama penting dalam kehidupan manusia, baik dalam bidang
pertanian, perkebunan, permukiman, dan kesehatan. Peran tikus sebagai
hama karena mengasah gigi serinya yang tumbuh terus sepanjang
hidupnya, dengan cara mengerat benda-benda keras di sekitarnya.1
Ektoparasit pada hewan pengerat berdasarkan tempat hidupnya
terdapat di permukaan luar tubuh inang, termasuk di ruang telinga luar
Kelompok parasit ini juga meliputi parasit yang sifatnya tidak menetap pada
tubuh inang, tetapi datang dan pergi di tubuh inang. Seperti parasit lainnya,
ektoparasit juga memiliki spesifikasi inang, inang pilihan, atau inang
kesukaan.1
Proses preferensi ektoparasit terhadap inang antara lain melalui
fenomena adaptasi, baik adaptasi morfologis maupun biologis yang
kompleks. Proses ini dapat diawali dari nenek moyang jenis ektoparasit
tersebut, kemudian diturunkan kepada keturunannya. Menurut teori
heterogenitas, ektoparasit dan inang adalah dua individu yang berbeda jenis
dan asal usulnya. Walaupun ektoparasit memilih inang tertentu untuk
kelangsungan hidupnya, namun bukan berarti pada tubuh inang tersebut
hanya terdapat kelompok ektoparasit yang sejenis. Paramasvaran et al.
(2009), mengungkapkan bahwa ektoparasit pada hewan pengerat
diklasifikasikan menjadi empat kelompok utama yaitu, Phthiraptera (kutu),
Siphonaptera (pinjal), Acariformes (tungau), dan Parasitiformes (caplak).2
Seringkali ektoparasit tersebut ditemukan pada waktu yang bersamaan dan
dikenal sebagai poliparasit.3
Ektoparasit yang hidup pada tubuh tikus mempunyai hubungan yang
erat dengan inangnya. Perpaduan kuantitas dan kelimpahan relative
1
ektoparasit pada berbagai jenis tikus merupakan suatu indicator
keanekaragaman jenis ektoparasit dam toleransi ektoparasit terhadap
lingkungan inangnya. Informasi mengenai spesifikasi inang dan toleransi
ektoparasit terhadap lingkungan inang sangat berguna baik untuk
mengendalikan ektoparasit sebagai penular penyakit atau hama maupun
sebagai koleksi referensi untuk ilmu pengetahuan.3 Oleh karena itu, perlu
dilakukan identifikasi ektoparasit pada tikus yang telah tertangkap di wilayah
Pasar Damar dan pemukiman sekitar yaitu RT 02, RT 03 dan RT 04 di RW
10 dan RT 05 di RW 07, Kelurahan Padangsari, Kecamatan Banyumanik,
Kota Semarang.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi berbagai jenis parasite pada tikus yang
dapat menular ke manusia (zoonosis) di wilayah Pasar Damar dan
pemukiman sekitarnya yaitu di RT 02, RT 03 dan RT 04 di RW 10 dan
RT 05 di RW 07, Kelurahan Padangsari, Kecamatan Banyumanik, Kota
Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui jenis ektoparasit pada tikus yang tertangkap
b. Untuk menghitung indeks pinjal yang ditemukan pada tikus yang
tertangkap
C. Manfaat
Memberikan informasi mengenai keanekaragaman jenis parasite
khususnya ektoparasit pada tikus yang tertangkap sehingga dapat dijadikan
bahan pertimbangan untuk dilakukan pengendalian penyakit zoonosis
bersumber tikus dan juga dapat dijadikan sebagai pengetahuan bagi
masyarakat agar menumbuhkan kesadaran untuk menjalankan hidup sehat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
b. Morfologi Kutu H. pacifica
4
infeksi yang terlalu parah. Selain itu, kutu ini juga memiliki peran sebagai
vektor dari bakteri Haemobartonell sp.7
a. Klasifikasi Kutu P. spinulosa
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Phthiraptera
Subordo : Anoplura
Famili : Polyplacidae
Genus : Polyplax
Spesies : P. Spinulosa
b. Morfologi Kutu P. spinulosa
Morfologi P. Spinulosa hampir sama secara keselurahan
dengan kutu lainnya yaitu memiliki tiga pasang tungkai dengan kuku
yang digunakan untuk mencengkeram rambut inang. Tipe alat mulut
menusuk dan mengisap. Abdomen pada dewasa berwarna
kecoklatan dan memiliki 11 ruas yang ditutupi seta. Betina
umumnya memiliki tubuh yang lebih panjang dari pada jantan.
Betina memiliki dua pasang gonopod yang berfungsi untuk
memberikan perekat pada telur untuk diletakkan pada rambut
maupun kulit tikus. Namun, pada P. Spinulosa tubuh lebih ramping
berwarna kuning kecoklatan dan memiliki panjang tubuh 0,6-1,5
mm.7
5
Keterangan Morfologi P. spinulosa adalah sebagai berikut.
a. Kepala
b. Toraks
c. Abdomen
d. Antena
e. Mata
f. Seta
g. Claws
c. Siklus Hidup Kutu P. spinulosa
Siklus hidup P. spinulosa berkisar antara 14-21 hari. Organ
genital jantan umumnya besar dan terletak pada bagian tengah dari
abdomen. Bermetamorfosis tidak sempurna, yaitu
perkembangbiakan yang memiliki fase hidup telur, nimfa, dan
dewasa. Fase nimfa menyerupai fase dewasa.
1) Telur
Kutu betina dapat bertelur sampai 300 butir selama
hidupnya. Sebagian besar telurnya diletakkan pada rambut
inang, telur-telur pada kutu memiliki operkulum yang
merupakan tempat untuk keluarnya nimfa. Pada suhu 30 °C
telur menetas dalam waktu 8-9 hari dan kutu-kutu ini dapat
hidup kira-kira 3 hari dalam keadaan tidak makan dan selalu
menghindari setiap perubahan kelembaban.
2) Nimfa
Terdapat tiga instar dan nimfa ketiga akan berubah menjadi
dewasa, berlangsung selama 4-15 hari dengan masing-masing
instar selama 3-8 hari.7
3) Dewasa
Lama hidup dewasa mencapai 35 hari, pada kondisi yang
optimal kutu dapat menghasilkan 10-12 generasi per tahun,
namun jarang terjadi pada keadaan alami.7
B. Xenopsylla cheopis (Pinjal/Flea)
X. cheopis adalah ektoparasit dari hewan pengerat dan merupakan
vektor untuk penyakit pes dan murine tifus. Hal ini terjadi ketika pinjal
menggigit hewan pengerat yang terinfeksi dan kemudian menggigit manusia.
Pinjal tikus oriental terkenal memberikan kontribusi bagi black death.8
6
Infestasi pinjal bahkan pernah menyebabkan epidemi pes di daerah Boyolali,
Jawa Tengah pada akhir 1960an. Hal ini disebabkan pinjal dapat
menularkan bakteri Yersinia pestis, penyebab penyakit pes, dari tikus ke
manusia.9
1. Klasifikasi Pinjal X. cheopis
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Siphonaptera
Famili : Pulicidae
Genus : Xenopsylla
Spesies : X. Cheopis
2. Morfologi Pinjal X. cheopis
X. cheopis mempunyai bentuk tubuh pipih bilateral, berukuran 3
mm. Seluruh tubuh tertutup rambut-rambut, tipe alat mulut berupa
penusuk dan pengisap. Tungkai ke-3 berukuran lebih besar dan lebih
panjang dari pada dua pasang tungkai lainnya sehingga
memungkinkannya untuk melompat. Lompatannya sangat jauh dan
tinggi dibandingkan dengan ukuran tubuhnya.5
7
c. Abdomen i. Tarsus
d. Mata j. Bulu panjang apical
e. Sisir genal k. Spermateka
f. Koksa l. Pigidium
Antena pada pinjal jantan hampir selalu lebih panjang dari pada
yang betina dan tubuh pinjal jantan mempunyai ujung posterior seperti
tombak yang mengarah ke atas, sedangkan tubuh yang betina berakhir
bulat.
3. Siklus Hidup X. cheopis
Siklus hidup X.cheopis yang terpendek 3-4 minggu dengan umur
rata-rata pinjal sekitar 6 minggu, tetapi pada kondisi tertentu dapat
berumur hingga 1 tahun. Siklus hidup jenis pinjal ini mengalami
metamorfosis sempurna yaitu telur larva-pupa-imago.
8
b. Larva
Setelah keluar dari telur, larva akan menghindar dari sinar ke
daerah yang gelap sekitar rumah karena larva X. cheopis akan mati
bahkah mencapai 60-70% jika suhu sekitar 12 °C. Larva memakan
dari kotoran pinjal dewasa (darah kering yang dikeluarkan dari pinjal
dewasa). Larva akan tumbuh, ganti kulit dua kali dan membentuk
pupa di tempat mereka berkembang dan lama tahap pupa rata-rata
8 sampai 9 hari.
c. Pupa
Pupa adalah fase yang paling tahan dalam lingkungan kurang
menguntungkan dan dapat terus tidak aktif sampai satu tahun.
Pertumbuhan larva menjadi pupa kemudian berkembang jadi pinjal
dewasa bervariasi antara 12-84 hari.
d. Imago
X. cheopis imago keluar dari pupa pada saat lingkungan
hangat, adanya getaran dan karbon dioksida yang menandakan
adanya inang di sekitarnya. Pinjal kemudian akan meloncat ke
inang dan melakukan kopulasi pada tubuh inang. Lama hidup pinjal
dewasa jika tidak makan sekitar 38 hari.
4. Indeks Pinjal
Indeks pinjal terbagi atas 2 bagian, yaitu Indeks Pinjal Umum dan
Indeks Pinjal Khusus. Indeks Pinjal Umum memiliki satuan ukur yaitu
jumlah pinjal yang tertangkap dibagi dengan jumlah tikus yang diperiksa.
Nilai baku mutu Indeks Pinjal Umum adalah <2. Sedangkan Indeks
Pinjal Khusus memiliki satuan ukur yaitu jumlah pinjal Xenopsylla
cheopis dibagi dengan jumlah tikus yang diperiksa. Indeks Pinjal Khusus
memiliki nilai baku mutu <1.10
Rumus :
9
rodentia lain. Infestasi tungau pada tubuh tikus dapat menyebabkan iritasi
dan kegatalan. L. echidninus menyebabkan lesio pada telapak kaki tikus.6
1. Klasifikasi Tungau L. echidninus
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Acariformes
Famili : Laelaptidae
Genus : Laelaps
Spesies : L. echidninus.
2. Morfologi Tungau L. echidninus
Kelompok tungau ini berukuran relatif kecil, memiliki panjang kurang
dari 1 mm. Namun ada pula tungau besar yang dapat mencapai panjang
7 mm. L. echidninus memiliki gnathosoma terdiri dari epistoma,
tritosternum (berfungsi dalam transport cairan tubuh), palpus yang
beruas-ruas, kelisera, kornikuli, dan hipostoma berseta yang masing-
masing sangat beragam dalam hal bentuk dan jumlah ruasnya
tergantung pada kelompoknya. Kelisera pada L. echidninus teradaptasi
untuk menusuk, mengisap atau mengunyah. Tubuh dilindungi oleh
dorsal shield/scutum. L. echidninus memiliki stigma (alat pertukaran O2
dan CO2) yang letaknya bervariasi yaitu di punggung dorsal, antara
pangkal tungkai/koksa ke-2 dan ke-3, di sebelah koksa ke-3 atau di
antara kelisera. Letak stigma menjadi kunci penting untuk membedakan
ordo tungau.6
10
Keterangan Morfologi L. echidninus adalah sebagai berikut.
a. Kelisera
b. Pedipalpus
c. Peritreme
d. Anus
e. Keping anal
f. Seta.11
3. Siklus Hidup L. echidninus
L. echidninus termasuk tungau yang menghabiskan hampir seluruh
hidupnya di tubuh inangnya. Siklus hidup tungau terdiri dari telur,
prelarva, larva, protonimfa, deutronimfa, trinimfa dan dewasa.12
a. Telur
Dalam daur hidupnya, seekor tungau betina dapat
menghasilkan ratusan hingga ribuan telur. Telur-telur berubah
menjadi larva dan sebagian besar bertindak sebagai ektoparasit
pada inangnya.12
b. Larva
L. echidninus betina merupakan tungau yang berkembang biak
secara ovivar. Tungau betina akan memproduksi hexapod larva,
terkadang larva tersebut parthenogenesis dan larva tungau tidak
makan.12
c. Nimfa
Larva berganti kulit (molting) sampai fase pertama dari nimfa
pada 10-13 jam. Perubahan menjadi nimfa fase kedua berlangsung
dalam kurun waktu hingga sebelas hari.12
d. Dewasa
Dalam kurun waktu tiga sampai sembilan hari akan berubah
menjadi fase dewasa. Jadi, seluruh siklus hidup memerlukan waktu
kurang lebih dua puluh hari. Tungau betina dapat hidup selama dua
sampai tiga bulan jika makan, namun hanya mampu bertahan
kurang lebih satu minggu tanpa adanya makanan.12
D. Ixodes sp. (Caplak Keras)
Caplak tergolong ke dalam famili Ixodidae (caplak keras), Di Indonesia
genus Ixodes dilaporkan hanya terdiri dari 4 spesies yaitu I. granulatus, I.
11
spinicoxalis, I. werneri, dan I. kopsteini. Tiga spesies pertama adalah parasit
pada tikus, sedangkan yang terakhir pada kelelawar.
1. Klasifikasi Caplak Ixodes sp.
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Parasitiformes
Famili : Ixodidae
Genus : Ixodes
Spesies : Ixodes. Sp.
2. Morfologi Caplak Ixodes sp.
12
pada betina hanya menutupi sepertiga bagian anterior dari tubuh. Larva
caplak memiliki tiga pasang kaki yang terdapat pada abdomen. Caplak
adalah ektoparasit pengisap darah pada hewan vertebrata. Memiliki
ukuran lebih besar dari pada tungau. Panjang tubuh antara 2 sampai 30
mm. Selain ukurannya, caplak dibedakan dari tungau berdasarkan letak
stigma yang berada di bawah koksa (pangkal tungkai) ke-4. Caplak juga
memiliki karakter-karakter khas tersendiri pada hipostoma, memiliki
oseli/mata, tetapi tidak memiliki epistoma, corniculi, dan tritosternum.6
3. Siklus Hidup Ixodes sp.
13
Larva, nimfa, dan caplak dewasa (betina) biasanya menghisap
darah selama 6–10 hari kemudian melepaskan diri.
c. Dewasa
Dewasa awal memerlukan saat untuk berdiam diri (beberapa
hari) untuk memperkeras tubuhnya dan memakan cadangan
makanan yang dimiliki dari fase sebelumnya. Setelah itu diikuti
dengan tahap pencarian inang, menempel dari tanah atau vegetasi
dengan tipe dan ketinggian tertentu, menghisap darah selama 6–10
hari, melepaskan diri dari inang, mencerna darah selama satu
minggu atau lebih, selanjutnya berubah ke fase berikutnya yang
terbagi menjadi dua fase: (a) lambat dan bertahap (termasuk kawin
pada caplak dewasa); diikuti dengan (b) tahap akhir berupa
pemenuhan darah dengan cepat dan membesar melalui neosomy
(dengan melebarkan integumen dan pertumbuhan integumen yang
baru).
E. Ektoparasit Sebagai Vektor Penyakit
1. Pes (Pinjal)
Penyakit pes merupakan salah satu penyakit zoonosis, yaitu
penyakit yang menyerang hewan rodensia tetapi dapat menular ke
manusia melalui gigitan pinjal yang terinfeksi bakteri Yersinia pestis.13
Penyakit pes termasuk penyakit reemerging diseases, yaitu penyakit
yang dapat sewaktu-waktu muncul kembali sehingga berpotensi untuk
menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB).
Pemerintah Indonesia maupun dunia menetapkan penyakit pes
menjadi salah satu penyakit karantina Terdapat empat wilayah provinsi
di Indonesia yang menjadi daerah pengawasan pes, yaitu di Ciwidey
Kabupaten Bandung (Jawa Barat), Kecamatan Selo dan Cepogo,
Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah), di Kecamatan Tutur, Tosari, Puspo,
dan Pasrepan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur), dan Cangkringan
Kabupaten Sleman (Yogyakarta).13
14
Gambar 2.8 Penularan Penyakit Pes
Sumber: Neal R
2. Murine Typhus (Pinjal)
Ricketsia typhi atau Ricketsia mooseri merupakan agent penyebab
murine typhus ditularkan melalui vektor Xenopsyella cheopis yang hidup
sebagai ektoparasit tikus. Penularan pada manusia biasanya terjadi
melalui luka pada kulit yang tercemar kotoran pinjal atau hancuran tubuh
pinjal yang terhirup.
15
3. Spotted fever group rickettsiae (Caplak)
Penyakit Spotted fever terdiri dari 20 spesies Rickettsia dan
beberapa menyebabkan penyakit pada manusia seperti Rocky Montain
spotted fever yang ditularkan melalui gigitan caplak yang terinfeksi agent
rickettsia conorii. gejala Rocky Mountain spotted fever biasanya dimulai
dalam waktu 2-5 hari setelah digigit. Gejala-gejalanya meliputi: demam
tinggi disertai dengan menggigil, sakit kepala, mual, muntah, dan sesak
napas disertai dengan batuk, ruam kulit terjadi pada pergelangan
tangan, pergelangan kaki, dan menyebar ke telapak, tumit dan akhirnya
ke kaki dan tubuh.15
4. Scrub Typhus (Tungau)
Scrub typhus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
infeksi Orientia tsutsugamushi (Rickettsia tsutsugamushi), hal ini juga
dikenal sebagai penyakit tsutsugamushi.
16
Gambar 2.11 Penularan Penyakit ScrubTyphus
Sumber: Rickettsial Diseases Seminar
17
BAB III
METODE
A. Waktu
Kegiatan praktikum Identifikasi Ektoparasit Tikus dilaksanakan pada
hari Sabtu, 14 September 2019 dan Minggu, 15 September 2019 pukul
10.30 – 13.00 WIB.
B. Tempat
Pelaksanaan kegiatan praktikum Identifikasi Ektoparasit Tikus
dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Gedung D Lantai 3 Fakultas
Kesehatan Masyarakat UNDIP.
C. Alat
Tabel 3.1 Alat Identifikasi Ektoparasit Tikus
NO. ALAT JUMLAH KETERANGAN
1. Mikroskop 1 buah Untuk melihat dan
mengamati ektoparasit
2. Pinset 1 buah Untuk mengambil ektoparasit
3. Nampan 1 buah Untuk meletakkan tikus
4. Sikat/Sisir Kutu 1 buah Untuk menyisir tikus
5. Handscoon 1 pasang/orang Untuk menghindari paparan
langsung antara tangan
dengan tikus
6. Masker 1 buah/orang Untuk menghindari paparan
ektoparasit agar tidak masuk
ke hidung dan mulut
7. Nurse Cap 1 buah Untuk menghindari dari
paparan langsung
ektoparasit agar tidak masuk
ke rambut
8. Botol Vial 1 buah Untuk meletakkan
ektoparasit
9. Cawan Petri 1 buah Untuk meletakkan
ektoparasit agar mudah
dilihat di mikroskop
10. Objek Glass 1 buah Untuk menempatkan objek
18
yang akan dilihat/ dianalisa
dengan menggunakan
mikroskop.
11. Deck Glass 1 buah Untuk menutup obyek glass
pada pemeriksaan
mikroskopis.
12. Label Secukupnya Untuk memberi kode pada
ektoparasit yang telah
dimasukkan dalam botol vial
D. Bahan
Tabel 3.2 Bahan Identifikasi Ektoparasit Tikus
NO. BAHAN JUMLAH KETERANGAN
1. Tikus 10 ekor Sebagai hewan identifikasi
2. Alkohol Secukupnya Untuk mendehidrasikan
ektoparasit
3. Aquades Secukupnya Untuk mensterilkan objek
glass
4. KOH Secukupnya Untuk menipiskan lapisan
kitin pada ektoparasit
5. NaOH Secukupnya Untuk menipiskan lapisan
kitin pada ektoparasit
E. Langkah Kerja
19
Apabila mematikan tikus dengan dimasukkan ke karung goni, maka
juga dilakukan pengambilan ektoparasit yang mungkin menempel
pada karung goni dengan menggunakan pinset
Meletakkan cawan petri atau objek glass yang telah diberi deck glass
ke bawah lensa objektif yang ada pada mikroskop
Mendokumentasikan ektoparasit
20
BAB IV
HASIL
1. Pinjal 29 55,77%
2. Tungau 0 0%
3. Caplak 23 44,23%
4. Kutu 0 0%
Total 52 100%
21
Berdasarkan tabel 4.2 mengenai prosentase ektoparasit diperoleh
bahwa jenis ektoparasit yang paling banyak ditemukan adalah pinjal dengan
prosentase sebesar 55,77%.
NO GAMBAR KETERANGAN
1. Pinjal
22
a. Morfologi Pinjal Jantan
1. Klasper I
2. Klasper II
3. Segmen IX
4. Segmen VIII
5. Segmen VII
6. Mata
7. Alur Antena
2. Caplak Dorsal
1. Hypostoma
2. Chelicera
3. Pedipalpus
4. Kapitulum
5. Poros Area
6. Scutum
7. Kaki Ke-4
8. Kutikula
23
Ventral
1. Organ Haller’s
2. Pedipalpus
3. Hyposptoma
4. Kapitulum
5. Idiosoma
6. Coxa
7. Gonopore
8. Anus
24
BAB V
PEMBAHASAN
25
pinjal dan mengurangi kontak antara tikus beserta pinjalnya dengan
manusia. Misalnya dengan cara fisika yaitu untuk menghindarkan kondisi
rumahyang lembab dengan pemasangan genting kaca, pemasangan
lampuyang terang dan selalu memperhatikan sanitasi rumah dan sekitarnya.
Membuka beberapa buah genting pada siang hari atau memasang genting
kaca sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah sebanyak-
banyaknya.
B. Identifikasi Ektoparasit Pada Tikus
Berdasarkan dari hasil kegiatan praktikum Identifikasi Ektoparasit Tikus
yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 September 2019 dan Minggu, 15
September 2019 pukul 10.30 – 13.00 WIB di Laboratorium Terpadu Gedung
D Lantai 3 Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP, dari 9 jenis tikus dan 1
jenis mencit ditemukan 2 jenis ektoparasit, yaitu pinjal dan caplak.
1. Pinjal
Pinjal adalah serangga dari ordo Shiponeptera berukuran kecil
antara 1,1 – 4mm, berbentuk pipi dibagian samping (dorso lateral),
kepala-dada-perut terpisah dengan jelas. Pinjal tidak bersayap dan
berkaki panjang terutama kaki belakang. Dari hasil praktikum Identifikasi
Ektoparasit Pada Tikus yang telah dilakukan ditemukan 29 pinjal
(55,77%) dari 9 tikus yang diidentifikasi ektoparasitnya. Pinjal adalah
vektor dari beberapa penyakit, yaitu:
a. Murine Typhus (Demam Tikus)
Murine typhus atau demam tikus adalah salah satu dari
penyakit bersumber dari rodensia yang disebabkan oleh Rickettsia
typhi dan diturkan oleh pinjal ektoparasit.
Berbagai gejala demam tikus yang terlihat adalah nyeri perut,
sakit bagian punggung, bercak kemerahan yang dimulai di tengah
tubuh dan meyebar, demamtinggi yang berlangsung sampai dua
minggu, batuk kering, sakit kepala, nyeri persendian, mual dan
muntah. Bercak kemerahan pada awalnya akan hilang bila ditekan,
lebih lanjut kemerahan akan tetap dan pada kasus yang berat
bercak perdarahan (ptechiae) bisa terlihat.
b. Pes
Pes adalah penyakit ditulatkan dari tikus ke manusia melalui
gigitan pinjal yang merupakan vektor Pes, pinjal pada manusia yang
26
berpotensi menularkan pada manusia yaitu Pulex iritan (di tubuh).
Penyebab Pes adalah kuman atau bakteri Yersinia pestis
(Pesteurella pestis). Sesuai dengan namanya kuman penyakit ini
disebut juga pesteurellosis atau yersiniosis.
27
sama dengan caplak jantan, namun setelah menghisap darah, ukuran
caplak betina dapat bertambah besar.6
28
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan survei serta praktikum yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa :
1. Jenis ektoparasit yang ditemukan dari tikus yang tertangkap adalah
pinjal dan caplak dimana jumlah pinjal yang ditemukan (55,77%) lebih
banyak daripada caplak (44,23%).
2. Indeks Umum Pinjal yang dihasilkan sebesar 3,2 dimana angka tersebut
termasuk dalam kategori tinggi karena nilai baku mutu Indeks Umum
Pinjal >2. Hal ini berarti bahwa kepadatan pinjal pada tikus yang
tertangkap adalah tinggi.
B. Saran
Dikarenakan angka indeks umum pinjal dari tikus yang tertangkap di
Pasar Damar dan pemukiman sekitarnya yaitu di RT 02, RT 03 dan RT 04 di
RW 10 dan RT 05 di RW 07, Kelurahan Padangsari, Kecamatan
Banyumanik, Kota Semarang tergolong tinggi, maka perlu dilakukan upaya
pengendalian pinjal untuk mencegah persebaran penyakit pes. Selain itu
juga perlu diupayakan pengendalian dengan memanfaatkan kondisi
temperatur dan kelembaban udara untuk menekan perkembangan populasi
pinjal dan mengurangi kontak antara tikus beserta pinjalnya dengan
manusia.
29
DAFTAR PUSTAKA
30
11. Adiyati PN. Ragam Jenis Ektoparasit Pada Hewan Coba Tikus Putih (Rattus
Norvegicus) Galur Sprague Dawley. Bogor; Institut Pertanian Bogor. 2011.
6–11
12. Mullen G, Mullen GR, & Durden L. Medical and Veterinary Entomology.
London: Academic Press. 2009.
13. Sukendra DM. Resistensi Pinjal Tikus (Xenopsylla Cheopis) Terhadap
Insektisida Dalam Penanggulangan Penyakit Pes. Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Semarang; Universitas Negeri Semarang. 2015. 7(1) : 27-37
14. Gasem MH, Wageenar JFP, Goris MGA, Adi MS, Isbandrio BB, Hartskeerl
RA, et al. Murine Typhus and Leptospirosis as causes of Acute
Undifferentiated Fever, Indonesia [internet]. 2009. Available from:
http://www.cdc.gov/eid/article/15/6/08-1404_article.htm
15. Pramestuti N. RICKETTSIA. BALABA. Litbang P2B2 Banjarnegara. 2011.
7(1) : 29-30
16. Tri Ramadhani, Budi S, Jarohman R. Ektoparasit (Fleas) Pada Reservoir di
Daerah Fokus Pest di Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah. 2012.
11(3) : 202-210
31
LAMPIRAN
Pinset
Mikroskop
32
Nurse Cap
Cawan Petri
Alkohol Tikus
33