Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HUKUM AGRARIA

Dosen : Aloysius Joni Minulyo, S.H., M.Hum.

ANCAMAN DISKRIMINASI HAK TERHADAP PETANI

DALAM UNDANG -UNDANG CIPTA KERJA

Oleh :

VANESSA SHANIA

6051901223 – Kelas A

FAKULTAS ILMU HUKUM

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

2020
DAFTAR ISI

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................1

1.3 Landasan Teori..........................................................................................................2

BAB II.......................................................................................................................................4

PEMBAHASAN.......................................................................................................................4

2.1 Pengertian HPL..............................................................................................................4

2.2 Dampak Perpanjangan HGU Terhadap Hak-Hak Atas Tanah Lainnya.................5

2.3 Ancaman Bagi Petani.....................................................................................................6

KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................10

LAMPIRAN............................................................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduknya
bekerja di sektor pertanian. Oleh sebab itu, eksistensi petani menjadi sangat penting dalam
menunjang perekonomian Indonesia guna tercapainya kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan
catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria/KPA (2019) terjadi 279 letusan konflik
agraria seluas 734.239,3 hektar berdampak pada 109.042 keluarga. Selama lima tahun tahun
terakhir terjadi 2.047 konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir
pulau-pulau kecil, pertanian, infrastruktur dan properti. Ketimpangan penguasaan tanah di
Indonesia mencapai 0.68, 1 % penduduk menguasai 68% tanah. Berbagai upaya terus
dilakukan pemerintah untuk menangani masalah-masalah agraria di Indonesia, salah satunya
melalui peraturan perundang-undangan.

Namun, disahkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020


menuai respon negatif dari berbagai pihak sebab dirasa hanya mewakili suara pembisnis. Kali
ini, penulis menyorot isi UU Cipta Kerja di bidang agraria yang mengadakan perubahan
ketentuan jangka waktu hak atas tanah di atas hak pengelolaan. Hal ini menarik untuk
dibahas karena ketentuan tersebut berdampak pada semakin panjangnya rentetan kemiskinan
dan hilangnya hak atas tanah petani yang memiliki hak atas tanah di Hak Guna Usaha.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan beberapa masalah yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan penguatan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) ?
2. Bagaimana dampak perpanjangan jangka waktu HGU terhadap hak-hak atas tanah
lainnya ?
3. Mengapa penguatan HPL menjadi ancaman diskriminasi hak terhadap petani?

1
1.3 Landasan Teori

Menurut R. Atang Ranoemihardja, Hak Pengelolaan adalah hak atas tanah yang dikuasai
negara dan hanya dapat diberikan kepada badan hukum pemerintah atau pemerintah daerah
baik dipergunakan untuk usahanya sendiri maupun untuk kepentingan pihak ketiga

Menurut Prof. Boedi Harso, Prinsip Reforma Agraria diatur secara tegas di dalam undang
undang pokok agraria tahun 1960 (UUPA) yang menyebutkan bahwa setiap orang dan badan
hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan. Agar asas tersebut dapat diwujudkan, undang-undang menjelaskan perlunya
ketentuan-ketentuan khusus terkait, misalnya ketentuan tentang batas minimum luas tanah
yang harus dimiliki oleh petani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup
layak bagi diri sendiri dan keluarganya, ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang
boleh dipunyai dengan hak milik, agar dicegah tertumpuknya tanah di tangan golongan-
golongan tertentu. UUPA kemudian menjelaskan bahwa pemilikan dan penguasaan tanah
yang melampaui batas tidak diperkenankan, karena hal yang demikian merugikan
kepentingan umum.

Menurut Anggota Komisi II dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo, aturan dalam bab
pertanahan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan merupakan eksploitasi terhadap negara
dan rakyat serta mengabdi kepada kepentingan modal

Menurut Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, Perubahan ketentuan jangka waktu hak
atas tanah di atas hak pengelolaan berdasarkan Pasal 127 ayat (3) hak pengelolaan diberikan
selama 90 tahun. Hak pengelolaan ini dapat berupa hak guna usaha ( HGU), hak guna
bangunan (HGB) dan hak pakai (HP). Sedangkan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) telah mengatur bahwa jangka waktu
HGU diberikan selama 25 atau 35 tahun kepada pemohon yang memenuhi persyaratan. hak
pengelolaan dapat dikonversi menjadi HGU, HGB dan HP bagi kepentingan pemodal. Dewi
menilai, ketentuan ini merupakan bentuk penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN)
dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

2
Landasan Undang-Undang :

Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).

Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak
Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan
Selanjutnya (“Permen Agraria 9/1965”).

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan(“Permen
Argaria 9/1999”).

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP 40/1996”).

Undang-Undang 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (UU
BPHTB).

Pasal 1 Agrarisch Besluit

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian HPL


Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA), Hak Pengelolaan (HPL) tidak disebutkan secara eksplisit, baik dalam
Dictum, Batang tubuh maupun Penjelasannya. Namun secara implisit, pengertian itu
diturunkan dari Pasal 2 Ayat (4) UUPA yang berbunyi sebagai berikut :1

“Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan
pemerintah”.

Sedangkan menurut Pasal 129 Undang-Undang Cipta Kerja menurut pasal 2 ayat 3 huruf
F UU BPHTB Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, perencanaan
peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya,
penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama
dengan pihak ketiga. HPL merupakan sebagian dari tanah negara yang kewenangan
pelaksanaan Hak Menguasai Negara (HMN) yang dilimpahkan kepada pemegang HPL. HPL
juga tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan (HT).

Menurut Undang-Undang 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (UU BPHTB), hak-hak pengelolaan hanya boleh diberikan kepada subjek-subjek
berikut :

a) PL Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah,


b) Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
c) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),

1
Maria S.W. Sumardjono, Kewenangan Negara dalam Penguasaan Tanah: Redistribusi Tanah Untuk Rakyat ,
Jakarta, 2003, hal. 199.

4
d) PT. Persero,
e) Badan Otorita, dan
f) Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.

HPL juga memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a) Merupakan hak atas tanah bukan hak kepemilikan


Tercantum dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996.
b) HPL wajib didaftarkan ke kantor pertanahan Kabupaten/Kota
Pemilik hak mendaftarkan tanah miliknya kemudian mendapatkan sertifikat. Sertifikat
tersebut merupakan bukti hak pertanahan sudah terbit.

c) Apabila HPL tidak digunakan dengan semestinya maka status tanah ditetapkan
sebagai tanah terlantar

2.2 Dampak Perpanjangan HGU Terhadap Hak-Hak Atas Tanah Lainnya


Sejak disahkannya UU Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober 2020, melalui Pasal 129 RUU
Ciptaker, HPL seakan menjadi jenis hak baru yang begitu kuat dan luas. Ditambah lagi, HPL
dapat berlaku 90 tahun, lalu di atas HPL dapat diterbitkan Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) bagi investasi. Ketentuan semacam ini dinilai sebagai
bentuk penyimpangan terhadap Hak Menguasai Negara (HMN) dan berpotensi menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan. Tertera dalam pasal 127 UU Cipta Kerja bahwa badan bank
tanah memiliki hak pengelolaan (HPL) tanah. Bank tanah juga dapat merekomendasikan
penerbitan hak atas tanah seperti HGU, Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Pakai
(HGP). Selain itu, pemegang HPL badan bank tanah juga diberikan beberapa kewenangan
terhadap lahannya. Badan bank tanah berwenang :

1. melakukan penyusunan rencana zonasi,


2. membantu memberikan kemudahan perizinan berusaha atau persetujuan, serta
3. melakukan pengadaan tanah dan menentukan tarif pelayanan.

Masalah lain juga muncul ketika pasal penguatan HPL dalam UU Cipta Kerja
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria Pasal 29 ayat 1 yang menyebutkan, HGU hanya diberikan untuk waktu paling
lama 25 tahun. Kemudian, Pasal 29 ayat 2, untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang
lebih lama dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun. UU Cipta Kerja
dianggap tidak sesuai dengan konstitusi dan mengabaikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

5
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta memicu politik agraria seperti masa
kolonial Belanda terulang lagi.

2.3 Ancaman Bagi Petani


Hak pengelolaan sebagai jenis hak baru yang memiliki kekuatan luar biasa dapat
menyebabkan korporasi besar akan semakin mudah untuk melakukan praktik monopoli
karena jangka waktu hak pengelolaan atas tanah yang sangat lama 2. Jika melihat kembali
putusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PUU-V/2007, isinya membatalkan Pasal 22
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengatur
pemberian HGU selama 95 tahun. Alasan dibatalkannya Pasal 22 tersebut yaitu melanggar
konstitusi. Selain melanggar konstitusi, penguatan HPL juga tidak sejalan dengan tujuan
landreform Indonesia yang terdapat dalam UUPA. Landreform dalam arti sempit merupakan
serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Landreform meliputi
perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum
yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah 3. Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960
merupakan undang-undang landreform Indonesia. Ada tiga soal yang diaturnya, yaitu :

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian,


2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi
bagian-bagian yang terlampau kecil, serta
3. Soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Dengan
demikian sungguh pun Pasal 17 menunjuk pada semua macam tanah, Undang-Undang
No. 56 tersebut baru mengatur soal tanah-pertanian saja. Maksimum luas dan jumlah
tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya akan diatur tersendiri dengan suatu
Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan itu hingga kini belum ada
(Pasal 12).

Tujuan dari landreform yang diadakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi


penghasilan dam taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat
untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai tujuan dimaksud dilakukan dengan mengadakan
pembagian yang adil atas sumber kehidupan rakyat tani yang berupa tanah dan pembagian
2
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/12/05200071/ancaman-terhadap-petani-dan-potensi-konflik-
agraria-dalam-ruu-cipta-kerja?page=all
3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Djambatan,
Jakarta, 2003., hal. 364.

6
hasil yang adil pula, melaksanakan prinsip tanah untuk tani, mengakhiri sistem tuan tanah,
dan perlindungan terhadap ekonomi lemah4. Tujuan ini tidak akan tercapai dengan ketentuan
yang tertera dalam UU Cipta Kerja karena UU Cipta kerja mempercepat alih fungsi tanah
pertanian di Indonesia yang akibatnya adalah tanah pertanian dan jumlah petani di Indonesia
semakin menyusut. Demi investasi non-pertanian UU Cipta Kerja bermaksud melakukan
perubahan terhadap UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan untuk mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian pangan untuk
kepentingan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estate, tol, bandara, sarana
pertambangan dan energi. Kemudahan proses perizinan, seperti dihapusnya keharusan kajian
kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah akan
mempercepat terjadinya perubahan lanskap tanah pertanian di Indonesia5.

Oleh sebab itu, Serikat Petani Indonesia melakukan aksi demonstrasi di berbagai kota di
Indonesia untuk menolak disahkannya UU Cipta Kerja khususnya pada bab mengenai
pertanahan . Penguasaan tanah dalam waktu yang sangat lama bahkan lebih lama dari zaman
kolonial Belanda, memperbesar ketimpangan kesejahteraan sosial bagi pemilik modal dan
bukan pemilik modal. Kemudian timbul pertanyaan, apakah ketentuan ini akan mengulang
kembali “Domein Verklaring” tahun 1870 sebab secara eksplisit terdapat konsep tersebut
dalam UU Cipta Kerja Pasal 46 yang berbunyi6 :

(1) Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia diselenggarakan oleh


Pemerintah.

(2) Pendaftaran Tanah oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan dengan partisipasi masyarakat.

(3) Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan terhadap:

a. Tanah Negara yang dikuasai oleh orang perorangan atau badan hukum;

b. Tanah Ulayat atau yang sejenis dengan itu, yang dikuasai oleh kesatuan masyarakat hukum
adat; dan

c. Tanah yang dimiliki dengan sesuatu hak atas tanah, oleh orang perorangan atau badan
hukum.

4
Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, Yogyakarta : Liberty , 1997 , hal 42-43.
5
Pernyataan Sikap dan Tinjauan Kritis Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) atas RUU Cipta Kerja.
6
https://news.detik.com/berita/d-4717773/bahaya-konsep-domein-verklaring-dalam-ruu-pertanahan/2

7
Jika diperhatikan, apabila pasal ini diberlakukan maka banyak tanah masyarakat adat
yang menjadi milik negara sebab pada kenyataannya masih banyak masyarakat adat yang
tidak memiliki surat-surat tanah. Kondisi tersebut serupa dengan tahun 1870 ketika
“Agrarisch Besluit” dikenal. Dalam Pasal 1 Agrariscch Besluit tersebut dimuat suatu
pernyataan asas yang sangat penting bagi perkembangan dan pelaksanaan Hukum Tanah
Administratif Hindia Belanda. Asas tersebut dinilai sebagai kurang menghargai, bahkan
“memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada Hukum Adat7.

Dinyatakan dalam Pasal 1 tersebut :

“Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaing der voormelde wet, blijft het
beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop net door andersen regt van eigendom
wordt bewezen, domein van de Staat is”.

Atau jika diterjemahkan :

“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische


Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat
membuktikan sebagai hak eigrndomnya, adalah domein (milik) Negara”.

Dengan demikian, UU Cipta Kerja jelas menjadi ancaman diskriminasi hak terhadap
petani, sebab yang terlihat diindahkan kepentingannya hanya kepentingan pemilik modal
saja. Petani yang tidak memiliki modal dapat dieksploitasi pemilik tanah (eksploitasi SDM)
dan tidak dapat berbuat apa-apa karena ketentuan baru tersebut. Ketimpangan sosial antara si
kaya dan si miskin akan lebih jauh lagi dari sebelum disahkannya UU Cipta Kerja ini.

7
Boedi Harsono, op.cit, hlm. 41.

8
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan :

Pasal 127 ayat 3 UU Cipker menyebutkan bahwa jangka waktu hak atas tanah berupa Hak
Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bagunan (HGB), dan Hak Pakai diatas HPL diberikan selama
90 tahun sebagai strategi memikat investor. Namun, penulis berpendapat bahwa pemberian
HPL selama 90 tahun pada kenyataannya bertentangan dengan konstitusi dan justru akan
menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan kesejahteraan yang semakin jauh antara
investor dan petani. Selain itu, ketentuan bahwa diatas HPL dapat diterbitkan HGU, HGB,
dan HP bagi investasi seakan-akan menghidupkan kembali konsep “Domein Verklaring”
zaman kolonial Belanda.

Saran :

Sebaiknya RUU Cipta Kerja yang telah disahkan ini dilakukan Judicial Review ke
Mahkamah Konstitusi sebab banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
sebelumnya , Reforma Agraria, dan tujuannya juga terasa berat sepihak.

9
DAFTAR PUSTAKA

Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, Yogyakarta : Liberty , 1997

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok


Agraria, Djambatan, Jakarta, 2003.

Maria S.W. Sumardjono, Kewenangan Negara dalam Penguasaan Tanah: Redistribusi Tanah
Untuk Rakyat , Jakarta, 2003.

Maria S.W. Sumardjono, Mendesakan HGU 90 Tahun , Opini Kompas, 2020.

Sumber Online :

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/4972/HPL-Bukan-Merupakan-Hak-atas-Tanah-
sebagaimana-HM-HGU-HGB-dan-HP.html

https://properti.kompas.com/read/2020/05/01/193000821/8-pasal-pertanahan-ruu-cipta-kerja-
yang-menyita-perhatian?page=all

https://katadata.co.id/hariwidowati/berita/5e9a4e6d03c98/lima-poin-kontroversial-dalam-ruu-
pertanahan-yang-akan-disahkan-dpr

https://realestat.id/berita-properti/ruu-ciptaker-perkenalkan-aturan-hgu-di-atas-hpl-selama-
90-tahun/

https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-5-1960-peraturan-dasar-pokok-pokok-agraria

https://www.mongabay.co.id/2020/05/10/pandemi-covid-19-masanya-beralih-ke-industri-
berkelanjutan-setop-omnibus-law/

https://ekonomi.bisnis.com/read/20200723/45/1270227/industri-tertentu-bakal-kantongi-hpl-
hingga-90-tahun

https://news.detik.com/berita/d-4717773/bahaya-konsep-domein-verklaring-dalam-ruu-
pertanahan/1

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c9dce5cb5792/bisakah-pemegang-hpl-
mendirikan-bangunan-tanpa-hgb/

10
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/12/05200071/ancaman-terhadap-petani-dan-
potensi-konflik-agraria-dalam-ruu-cipta-kerja?page=all

http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/150/Atas_Nama_Pengadaan_Tanah_Untuk_Kemuda
han_Investasi__Omnibus_Law_Cipta_Kerja_Bahayakan_Petani_dan_Masyarakat_Adat/

11
LAMPIRAN

Sumber berita : https://tirto.id/serikat-tani-ikut-geruduk-dpr-tolak-omnibus-law-fRo1

Massa dari sejumlah organisasi buruh, dan mahasiswa melakukan aksi di depan gedung DPR
RI menolak pengesahan RUU Omnibus Law, Jakarta, Kamis (16/7/2020). tirto.id/Andrey
Gromico Oleh: Mohammad Bernie - 16 Juli 2020 Para petani juga turun ke jalan hari ini,
menolak RUU Cipta Kerja. tirto.id - Demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Cipta
Kerja atau yang biasa disebut RUU Cilaka digelar hari ini, Kamis (16/7/2020). Selain buruh
dan mahasiswa, sejumlah organisasi dan serikat tani pun turut serta. Menurut para petani,
RUU sapu jagat ini juga mengancam penghidupan mereka. Peserta aksi datang dari sejumlah
daerah, di antaranya Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Timur,
Jambi, dan Sumatera Utara. "Omnibus law ini juga mengancam jutaan petani karena telah
memudahkan perampasan tanah dengan dalih menciptakan lapangan kerja," kata Sekretaris
Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika lewat keterangan tertulis yang
diterima reporter Tirto, Kamis (16/7/2020). Dewi mengatakan dalam RUU Cilaka tanah
dilihat sebatas komoditas yang diorientasikan untuk kepentingan badan usaha, baik swasta
atau negara. Dalam RUU Cilaka, misalnya, investor dapat memiliki izin konsesi selama 90
tahun, menghapus sanksi bagi perusahaan yang merampas tanah, menghapus batas
maksimum luas penguasaan tanah, dan sanksi bagi perusahaan yang terbukti menelantarkan
tanah. Muaranya, RUU Cilaka membahayakan hak atas tanah dan keamanan wilayah hidup
petani, masyarakat adat, buruh tani, buruh kebun, nelayan, perempuan, masyarakat miskin di
pedesaan, dan masyarakat miskin di perkotaan. "Berdasarkan hal tersebut, kami menilai
pemerintah dan DPR telah gagal menangkap aspirasi rakyat dan mengabaikan nasib rakyat
yang tengah menghadapi wabah dan krisis berlapis akibat pandemi COVID-19," kata Dewi.
Karenanya, Dewi menuntut agar pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU
Cilaka. Mereka diminta untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria dan melaksanakan
reforma agraria dengan melibatkan masyarakat. Di samping itu, DPR dituntut untuk
menjalankan perintah TAP MPR IX/2001, yakni menyelesaikan tumpang-tindih regulasi di
sektor agraria dan sumber daya alam demi agenda pembaruan agraria. Baca juga: Buntut
Demo Kampus, Universitas Nasional Polisikan Mahasiswa RUU Cilaka: Cara Elite Bawa
Indonesia ke Orde Otoriter Gaya Baru Baca juga artikel terkait RUU CILAKA atau tulisan

12
menarik lainnya Mohammad Bernie (tirto.id - Sosial Budaya) Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie Editor: Rio Apinino

UU Cipta Kerja

Pasal 136

Hak pengelolaan merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.

Pasal 137

(1) Sebagian kewenangan hak menguasai dari negara berupa tanah dapat diberikan hak
pengelolaan kepada:

a. instansi Pemerintah Pusat;

b. Pemerintah Daerah;

c. Badan bank tanah;

d. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah;

e. Badan hukum milik negara/daerah; atau

f. Badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.

(2) Hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan kewenangan untuk:

a. menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana
tata ruang;

b. menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau sebagian tanah hak pengelolaan untuk
digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga; dan

c. menentukan tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan
dari pihak ketiga sesuai dengan perjanjian.

(3) Pemberian hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas tanah
negara dengan keputusan pemberian hak di atas tanah negara.

(4) Hak pengelolaan dapat dilepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat.

13
Pasal 138

(1) Penyerahan pemanfaatan bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) huruf b dilakukan dengan perjanjian pemanfaatan Tanah.

(2) Di atas tanah hak pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak ketiga baik
sebagian atau seluruhnya, dapat diberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan/atau
Hak Pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan
dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya.

(4) Penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.

(5) Dalam hal hak atas tanah yang berada di atas hak pengelolaan telah berakhir, tanahnya
kembali menjadi tanah hak pengelolaan.

Pasal 139

(1) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat membatalkan dan/atau mencabut hak
pengelolaan sebagian atau seluruhnya.

(2) Tata cara pembatalan hak pengelolaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan-
perundang-undangan.

Pasal 140

(1) Dalam hal bagian bidang tanah hak pengelolaan diberikan dengan hak milik, bagian
bidang tanah hak pengelolaan tersebut hapus dengan sendirinya.

(2) Hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya diberikan untuk keperluan rumah
umum dan keperluan transmigrasi.

Pasal 141

Dalam rangka pengendalian pemanfaatan hak atas tanah di atas hak pengelolaan, dalam
waktu tertentu dilakukan evaluasi pemanfaatan hak atas tanah. Pasal 142 Ketentuan lebih
lanjut mengenai hak pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

14

Anda mungkin juga menyukai