Anthony et al. (1998) memberikan arahan bahwa mekanisme yang paling mungkin
bagaimana isoflavon dapat mencegah timbulnya aterosklerosis, adalah sebagai berikut: (a)
mempengaruhi konsentrasi lipida dalam plasma darah, (b) berfungsi sebagai antioksidan, (c)
mencegah set-set otot halus untuk berproliferasi dan bermigrasi (antiproliferative and
antimigratory effects), (d) mencegah terbentuknya trombus, dan (e) memelihara reaktivitas
vaskuler yang normal.
Steinberg et al. (2003) menyimpulkan bahwa protein kedelai yang mengandung isoflavon
memberikan pengaruh yang baik pada fungsi endotelial wanita pasca menopause sehat, yang
bukan akibat pengaruhnya terhadap profit lipida darah maupun karena sifat antioksidannya.
Wiseman et al. (2000) menyimpulkan bahwa konsumsi produk kedelai yang secara alami
mengandung sejumlah isoflavon (fitoestrogen) dapat mengurangi peroksidasi lipida in vivo dan
meningkatkan ketahanan LDL terhadap oksidasi. Efek antioksidatif ini dapat menurunkan risiko
timbulnya aterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler. Zhuo et al. (2004) menyimpulkan bahwa
dengan tingkat konsumsi protein kedelai yang sama, konsumsi isoflavon dalam jumlah tinggi dapat
menurunkan kadar kolesterol LDL dalam serum lebih banyak dibandingkan dengan konsumsi
isoflavon yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa isoflavon kedelai memberikan pengaruh
menurunkan kadar LDL terlepas dari pengaruh protein kedelai.
Taku et al. (2007) menyimpulkan bahwa, isoflavon kedelai secara nyata dapat menurunkan
kolesterol total dan LDL dalam serum, tetapi tidak berpengaruh pada kadar HDL dan trigliserida.
Efek hipokolesterolemik tersebut lebih nyata pada subyek hiperkolesterolemik dibandingkan
dengan subyek normokolesterolemik. Disebutkan pula bahwa, protein kedelai dan isoflavon
memberikan pengaruh sinergistik (aditif) dalam menurunkan kadar kolesterol dalam serum. Akan
tetapi Zhan dan Ho (2005) menyimpulkan bahwa, protein kedelai yang mengandung isoflavon
tidak hanya secara nyata mengurangi kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida dalam
serum, tetapi juga secara nyata meningkatkan kadar kolesterol HDL. Akan tetapi efeknya
tergantung pada dosis dan lamanya konsumsi produk kedelai Berta konsentrasi lipida awal dalam
serum subyek.
Anti-Osteoporosis
Defisiensi estrogen umumnya tidak dimasukkan dalam daftar faktor risiko timbulnya
osteoporosis, akan tetapi estrogen secara tidak langsung berhubungan dengan banyak faktor risiko
osteoporosis yang sudah diketahui, yaitu: wanita, kurus, menderita amenorrhea (siklus menstruasi
yang tidak teratur), berumur lanjut, pasca menopause dan pecandu alcohol (Setchell et al., 2003).
Pada tahun 1940-an Fuller Albright untuk pertama kalinya menyatakan pentingnya estrogen dalam
osteoporosis dan bagaimana estrogen dapat memperbaiki status kalsium, namun baru pada tahun
1970-an dimungkinkan untuk mengukur densitas tulang, sehingga pada waktu itu dapat dilakukan
studi untuk mempelajari peranan estrogen (Setchell et al., 2003). Acute ovarian deficiency dapat
menyebabkan kehilangan massa tulang lebih dari 20% pada masa 5 - 7 tahun pertama periode pasca
menopause (Avioli dan Lindsay, 1990). Konsumsi kalsium dalam jurrdah yang cukup sangat
penting dalam mencegah timbulnya osteoporosis (Dawson-Hughes, 1998; The North American
Menopause Society, 2001).
Banyak penelitian mengungkapkan pentingnya estrogen dalam memperbaiki (remodeling)
tulang, dan hal ini didukung oleh fakta bahwa hormone replacement therapy (HRT) terbukti
efektif dalam mencegah kehilangan massa tulang pada wanita pasca menopause (Lindsay et al.,
1976; Lindsay et al., 1984), serta mengurangi insiden patah tulang (Hutchinson et al., 1979).
Namun disayangkan bahwa hanya sedikit wanita yang memilih HRT untuk pencegahan
osteoporosis, karena adanya perasaan takut akan timbulnya kanker payudara dan endometrium
(Lacey et al., 2002).
Dari sekian banyak alternatif yang sekarang sedang diteliti, nampaknya fitoestrogen
merupakan bahan yang potensial untuk digunakan dalam pencegahan kehilangan massa tulang
(Setchell et al., 2003), yang didukung antara lain oleh hal-hal berikut ini: (1) penelitian in vitro
menunjukkan bahwa isoflavon meningkatkan aktivitas sel-sel tulang yang dikulturkan (Anderson
et al., 1999); (2) bukti epiderniologis rendahnya kasus patah tulang pinggul di negara-negara Asia
di mana produk kedelai banyak dikonsumsi, padahal pada populasi ini konsumsi kalsiumnya rendah
(Ling et al., 1996; Lauderdale et al., 1997); (3) Ditemukannya reseptor estrogen ERa dan ERP dalam
tulang (Arts et al., 1997; Onoe et al., 1997); dan (4) penelitian intervensi pada manusia
membuktikan bahwa produk kedelai kaya isoflavon dapat mengurangi kehilangan massa tulang
seperti ditunjukkan oleh densitas mineral tulang (bone mass density, BMD) (Anderson dan Garner,
1997; Messina, 1998).
Hasil-hasil penelitian mutakhir pada wanita membuktikan bahwa isoflavon kedelai dapat
mencegah kehilangan massa tulang. Alekel et al. (2000) menyimpulkan bahwa isolat protein
kedelai kaya isoflavon dapat memperkecil kehilangan massa tulang pinggul pada wanita
perimenopause, Atkinson et al. (2004) menyimpulkan bahwa dengan cara mengurangi kehilangan
massa tulang, isoflavon kedelai memberikan efek protektif pada tulang pinggul wanita. Ikeda et
al. (2006) menyimpulkan bahwa konsumsi produk fermentasi kedelai tradisional Jepang (natto)
yang banyak mengandung menaquinone-7 (bentuk isoflavon tersedia) dapat mengurangi kehilangan
massa tulang pada wanita Jepang pasca menopause; dan oleh karena itu mempunyai potensi untuk
mencegah timbulnya osteoporosis.
Keamanan
Busby et al. (2002) menyimpulkan bahwa pemberian isoflavon murni tidak terkonjugasi
pada laki-laki dewasa sehat dengan dosis tunggal yang beberapa kali lebih tinggi dari konsumsi
kedelai secara normal, tidak menimbulkan toksisitas klinis. Lebih lanjut disebutkan bahwa
genistein dan daidzein (bebas dan total) dengan cepat dihilangkan (cleared) dari plasma darah dan
diekskresikan bersama urine.
Keamanan produk kedelai dan salah satu komponennya yaitu isoflavon telah dipertanyakan
(Barrett, 1996) meskipun produk pangan ini telah dikonsumsi sejak lama di negara-negara Asia serta
oleh vegetarian di seluruh dunia. Faktor yang menyulut hal ini adalah adanya data dari beberapa
penelitian pada hewan, di mana konsumsi isoflavon dalam jumlah tinggi menyebabkan timbulnya
bermacam-macam masalah reproduksi. Akan tetapi karena pertimbangan terdapatnya perbedaan
dalam metabolisms isoflavon antar spesies, maka setelah datanya diektrapolasikan pada manusia,
pengaruh negatif pada sistem reproduksi tersebut dapat diabaikan (Setchell, 2001).
Sebagai contoh, bungkil kedelai yang diberikan pada cheetah hasil tangkapan di kebun
binatang North American Zoos, membuatnya menjadi infertil dan terserang penyakit hati (Setchell
et al., 1987). Belakangan diketahui bahwa cheetah dan banyak spesies dari keluarga kucing tidak
mempunyaj enzim UDP-glukuroniltransferase vang berfungsi untuk konjugasi hormon steroid dan
isoflavon, sehingga isoflavon tidak dapat dimetabolisme dengan semestinya (Setchell, 2001). Clover
disease pada sapi merupakan akibat dari konsumsi isoflavon dari clover (semanggi) dalam jumlah
sangat banyak, sehingga konsentrasi isoflavon dalam plasma daral-Lnya sangat tinggi, jauh
melebihi kadar isoflavon pada plasma darah manusia yang mengonsumsi kedelai secara wajar
(Setchell, 2001). Spekulasi bahwa isoflavon dapat menimbulkan penyakit tiroid didasarkan atas
penelitian in vitro yang menunjukkan bahwa genistein dapat menghambat enzim tiroid peroksidase
(TFO), enzim kunci dalam produksi hormon tiroid (Divi dan Doerge, 1996), dan bukan alas dasar
penelitian in vivo pada manusia setelah mengonsumsi produk kedelai.
Banyak perhatian ditujukan pada kemungkinan adanya efek hormonal akibat mengonsumsi
kedelai maupun isoflavon, baik pada wanita maupun pada pria. Hasil penelitian Kurzer (2002)
menunjukkan bahwa konsumsi kedelai dan isoflavon tidak mempengaruhi endometrium pada
wanita pra-menopause. Lebih lanjut dinyatakan bahwa meskipun menimbulkan efek estrogenik
yang lemah pada payudara, namun pengaruhnya tidak nyata. Pada pria, konsumsi kedelai
(isoflavon) dikhawatirkan dapat memberikan pengaruh merugikan, misalnya menurunnya kadar
testosteron dan menurunkan kualitas sperma. Hasil penelitian Kurzer (2002) menunjukkan bahwa
pemberian isoflavon sebanyak 40 - 70 mg per hari tidak memberikan pengaruh negatif baik pada
kadar hormon maupun kualitas sperma. Hasil penelitian Dillingham et al. (2005) juga
menyimpulkan bahwa isoflavon kedelai hanya memberikan efek minor terhadap hormon
reproduktif pria muda sehat.
Meskipun kedelai telah sejak lama digunakan pada formula bayi sebagai pengganti susu sapi
untuk mereka yang alergi terhadap susu sapi, penderita intoleransi laktosa, penderita galaktosemia
dan untuk vegetarian, namun tetap ada kekhawatiran tentang keamanannya bagi bayi dan anak
kecil. Merritt dan Jenks (2004) berdasarkan bukti-bukti basil penelitian baik pada manusia dewasa
maupun pada bayi dan anak kecil, menyatakan bahwa isoflavon dalam soy infant formula tidak
memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan dan perkernbangan atau sistem reproduksi bayi
dan anak kecil.
Pertanyaan yang seringkali diajukan adalah apakah wanita penderita kanker payudara atau
yang telah sembuh dari penyakit kanker payudara boleh mengonsumsi produk kedelai. Hasil
penelitian jangka panjang mengindikasikan bahwa suplemen isoflavon tidak mempengaruhi
densitas jaringan payudara pada wanita pra-menopause dan menurunkan densitas jaringan pada
wanita pasca-menopause (Messina dan Loprinzi, 2001). Selanjutnya Messina dan Loprinzi (2001)
berdasarkan data basil-basil penelitian, menyimpulkan bahwa konsumsi kedelai tidak akan
menyebabkan timbulnya kanker payudara dan tidak akan mempengaruhi pasien kanker payudara.
SERAT PANGAN
(DIETARY FIBER)
Polisakarida non- Selulosa Selulosa tanaman (sayuran, bit gula, bermacam-macam dedak)
pati dan
oligosakarida Hemiselulosa Arabinogalaktan, β-glukan, arabinoksilan, glukuronoksilan,
siloiglukan, galaktomanan, senyawa pektik
Analog karbohidrat Pati resisten dan Bermcam-macam tanaman, mislanya jagung, kentang, kacang kapri
maltodekstrin
Polisakarida tidak dapat dicerna (komponen serat-pangan) terdiri dari semua PNP yang
tahan terhadap pencernaan dalam usus halus, tetapi dapat difermentasi dalam usus besar. Polisakarida
tersebut berupa karbohidrat berantai panjang, dapat mengandung sampai lebih dari beberapa ratus ribu
unit monomer. Polisakarida tersebut dibedakan etas jumlah dan jenis monomernya yang terikat satu
same lain, urutan monomer dalam rantai, jenis ikatan antara bermacam-macam monomer, dan terdapat
atau tidaknya percabangan pada “tulang punggung” molekul, serta yang mempunyai grup asam
(contohnya asam uronat dalam pektin).
Polisakarida yang tergolong sebagai PNP antara lain selulosa yang mempunyai ikatan
P-glikosida; gula-gula non-glukosa (hemiselulosa; misalnya arabinoksilan dan
arabinogalaktan); gula asam (pektin); gum dan musilage. Contoh oligosakarida resisten, misalnya
fruktan (inulin dan oligofruktosa atau frukto-oligosakarida, FOS), dikarakterisasi sebagai
karbohidrat dengan derajat polimerisasi (DP) yang rendah dibandingkan dengan PNP. FOS
berbeda dengan fruktopolisakarida (inulin) hanya dalam hal panjang rantainya. Dalam ilmu kimia,
oligosakarida didefinisikan sebagai karbohidrat yang mempunyai DP antara 3 sampai 10 (Englyst et
al., 1995); tetapi berdasarkan konsensus, FOS dan inulin digolongkan sebagai oligosakarida,
walaupun mempunyai DP lebih dari 10. Lignin adalah polimer fenilpropan dan bukan karbohidrat,
yang terikat secara kovalen pada polisakarida fibrous (selulosa) dinding sel tanaman. Komposisi lignin
sangat heterogen, dari mulai satu atau due unit sampai banyak sekali unit fenilpropan yang
dihubung-hubungkan secara siklis.
Kelompok senyawa lain dikenal dengan sebutan karbohidrat analog. Kelompok ini tidak
terdapat secara alami dalam bahan pangan nabati (sayuran, buah-buahan, serealia, biji-bijian dan
kacang-kacangan), tetapi dapat terbentuk selama pengolahan pangan, atau disintesis dengan tujuan
tertentu, atau diisolasi dari bahan nabati. Yang termasuk kelompok karbohidrat analog antara lain hasil
isolasi dari kulit crustacea (udang, lobster, kepiting) atau dari organisme single-cell, polidekstrosa
(hasil sintesis), pati resisten dan maltodekstrin resisten, serta selulosa termodifikasi.
Senyawa lain yang juga digolongkan sebagai serat pangan adalah lilin (waxes) dan kutin
(cutin) tanaman. Komponen tersebut dapat ditemukan sebagai lapisan lilin pada permukaan dinding
sel tanaman, tersusun dari asam lemak hidroksi rantai panjang dan lurus yang bersifat sangat
hidrofobik. Senyawa lainnya yang juga tergolong sebagai serat pangan adalah suberin. Meskipun
belum dikarakterisasi secara lengkap, dipercaya bahwa senyawa ini merupakan molekul sangat
bercabang dengan ikatan menyilang yang mengandung fenolik polifungsional, asam hidroksi
polifungsional dan asam dikarboksilat, dan mempunyai ikatan ester dengan dinding sel tanaman
(Kolattukudy, 1981).
Beberapa macam metode telah dikembangkan untuk menganalisis serat pangan. Dua
metode diantaranya, sekarang digunakan untuk tujuan pelabelan yaitu metode enzimatik
gravimetrik (prosedur AOAC) dan metode kimia enzimatik misalnya prosedur Englyst &
Southgate (Englyst dan Cummings, 1990). Prosedur AOAC terutama mengukur kadar PNP, lignin,
dan sebagian pati resisten. Oleh karena itu diperlukan metode lain untuk mengukur kadar komponen
serat pangan lain seperti inulin, fruktooligosakarida dan pati resisten.
Beberapa sistem klasifikasi telah digunakan untuk menggolongkan komponen serat pangan,
antara lain: berdasarkan fungsinya dalam tanaman, berdasarkan jenis polisakarida, berdasarkan
kelarutan dalam cairan saluran pencernaan, berdasarkan produk hasil pencernaan, dan berdasarkan
fungsi fisiologis. Akan tetapi semuanya dianggap tidak memuaskan, karena selalu terdapat
keterbatasan. Klasifikasi serat pangan yang paling banyak digunakan adalah berdasarkan kelarutan-
nya dalam larutan dapar (buffer) pada pH tertentu, dan/atau dapat atau tidaknya difermentasi secara
in vitro oleh enzim dalam bentuk larutan seperti yang terdapat dalam saluran pencernaan manusia.
Akan tetapi sampai sekarang masih terjadi perdebatan mengenai care mengklasifikasikan
serat pangan. Karma sebagian besar serat pangan dapat difermentasi, paling tidak secara parsial;
make disarankan untuk menggolongkan serat pangan sebagai yang dapat difermentasi secara parsial
atau kurang dapat difermentasi, dan dapat difermentasi dengan baik oleh mikroflora usus. Jenis
serat pangan yang dapat difermentasi dengan baik, antara lain: pektin, gum guar, gum arab, inulin,
polidekstrosa dan oligosakarida. sedangkan yang kurang dapat difermentasi adalah: selulosa, dedak
gandum (wheat bran), dedak jagung (corn bran), dedak oat (oat hull fiber) dan beberapa macam pati
resisten. Secara umum dapat dikatakan bahwa serat yang dapat difermentasi adalah serat pangan
larut, sedangkan yang tidak atau kurang dapat difermentasi adalah serat pangan tidak larut.
Klasifikasi serat pangan berdasarkan dapat atau tidak difermentasi oleh mikroflora usus besar
disajikan pada Tabel 30.
REKOMENDASI KONSUMSI
Butrum et al. (1988) menyatakan bahwa rekomendasi the National Cancer Institute
didasarkan alas data hasil penelitian yang menyebutkan bahwa makanan yang mengandung serat
memberikan perlindungan terhadap timbulnya penyakit kanker usus besar dan kanker rektum.
Untuk itu, direkomendasikan bahwa orang dewasa harus meningkatkan konsumsi serat pangan dari
20 g menjadi 30 g per hari, tetapi jangan melebihi 35 g per hari. Masyarakat Amerika Serikat pada
waktu tersebut mengonsumsi sekitar 10 sampai 15 g serat pangan per hari (Marlett dan Slavin 1997).
Rekomendasi konsumsi serat pangan dari lembagalembaga lain diperlihatkan pada Tabel 31.
Tabel 31. Rekomendasi konsumsi serat pangan
Sumber Tahun Rekomendasi Komentar
USDA % US-FDA 1993 TDF 25 g/hari SDF 0,6 g/sajian 23000 Kkal makanan
Rekomendasi NLFA untuk 1988 TDF 20-30 g/hari Dari biji-bijian utuh, buah-buahan, sayuran
kesehatan kardiovaskuler, National
Cancer Institute
Federation of American Society of 1987 TDF 25-35 g/hari 10-13 g/1000 Kkakl. Konsumsi bermacam-macam
Experimental Biology produk biji-bijian utuh, buah-buahan dan sayuran
IDF 70-75%
SDF 25-30%
Nordisk Ministerrad Standing 1989 12,5 g/kalori Kkal/hari Sekitar 30 g/hari untuk dewasa
Nordic Committee on Food, Dutch
RDA (Voedingsraad)
United Kingdom Department of 1991 18 g NSP / hari Tidak termasuk inulin dan pati resisten
Health
(kisaran 12-24 g/hari)
Expert Advisory Committee on DF- 1985 TDF-current intake Level pada tahun 1985 sekitar 5,8 – 8 g/1000 Kkal
Health & Welfare Canada
German RDA 1991 12,5 g/100 Kkal/hari Sekitar 30 g/hari untuk dewasa
Saluran pencernaan (gastrointestinal tract) merupakan tempat utama di mana serat pangan
memberikan pengaruhnya, terutama dalam usus besar. Efek fisiologis serat pangan dipengaruhi oleh
banyak variabel, tetapi umumnya tergantung pada jenis serat (dapat difermentasi secara parsial
atau dapat difermentasi secara baik, highly fermentable), jumlah atau dosis serat pangan yang
dikonsumsi, komposisi kimia makanan yang mengandung serat pangan, serta kondisi fisiologis
individu yang mengonsumsi makanan mengandung serat pangan tersebut. Tetapi efek fisiologis
utama serat pangan berasal dari interaksinya dengan koloni mikroflora yang memfermentasinya
(Tungland dan Meyer, 2002).
Melalui bermacam-macam sifat fisiko-kimianva, serat pangan yang dikonsumsi
mempengaruhi beberapa proses metabolisme, termasuk penyerapan (absorpsi) zat-zat gizi serta
metabolisme karbohidrat, lemak dan sterol (kolesterol). Selanjutnya serat pangan tersebut akan
mempengaruhi fermentasi oleh koloni mikroflora usus besar dan mempengaruhi produksi feces.
Dalam usus besar, serat pangan mempengaruhi struktur koloni dan fungsi barrier, dan oleh karena
serat pangan “melintasi” sistem imun tubuh manusia, diduga bahwa serat pangan mungkin
mempengaruhi elemen fungsi imun (Tungland dan Meyer, 2002).
Seperti telah diutarakan sebelumnya, serat pangan berbeda dalam hal kelarutannya dalam
air sehingga akan memberikan pengaruh reologi yang berbeda. Serat pangan yang dapat
difermentasi dengan baik akan membentuk larutan kental dalam usus (misalnya gum guar)
terkecuali gum arab dan inulin. Beberapa jenis serat pangan akan membentuk gel (misalnya pektin),
sedangkan yang lainnya mempunyai kapasitas menahan air (water holding capacity, WHC
yang tinggi (misalnya selulosa). Perubahan reologi komponen makanan dalam usus besar dapat
pula memberikan efek fisiologis. Viskositas yang tinggi umumnya berhubungan dengan
perlambatan laju pengosongan perut (lambung) dan peningkatan waktu retensi dalam usus halus.
Serat pangan dengan WHC tinggi (difermentasi secara parsial) dapat secara langsung
mempengaruhi volume dan kekambaan (bulk) isi usus besar (Tungland dan Meyer, 2002).
Sifat yang berhubungan dengan kelarutan serat pangan dalam air adalah dapat atau tidaknva
difermentasi oleh mikroflora usus. Hampir semua serat pangan dari sumber yang berbeda, dapat
difermentasi oleh mikroflora usus besar, tetapi dengan derajat yang berbeda. Kekecualian terdapat
pada, turunan selulosa, yaitu karboksimetilselulosa (carboxymethylcellulose, CMC), yang sifatnya
larut dalam air tetapi tidak dapat difermentasi oleh mikroflora usus besar manusia. (Tungland dan
Meyer, 2002).
Usus besar mempunyai peranan penting dalam hal mengatur dan mempertahankan air
dan elektrolit yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi setelah mengalami pencernaan
dalam usus halus, serta memberi jalan untuk pembuangan komponen makanan yang tidak tercerna
dan senyawa. beracun. Usus besar merupakan bagian saluran pencernaan yang paling banyak dihuni
oleh bakteri anaerob, yaitu mencapai 10 11 - 10 12 per gram isi usus besar (Gibson dan
Roberfroid, 1995). Bakteri tersebut memproduksi enzim yang akan mencerna lebih lanjut protein dan
karbohidrat (termasuk serat) yang belum tercerna dalam usus halus (Nordgaard dan Mortensen,
1995).
Bermacam-macam faktor dapat mempengaruhi luasnya fermentasi serat pangan dalam usus
besar, sehingga bentuk dan jumlah produk akhir yang dihasilkan dari fermentasi tersebut, termasuk
gas (metan, hidrogen, karbon-dioksida), asam lemak berantai pendek (SCFA) dan peningkatan
jumlah (massa) bakteri, akan berbeda. Umumnya proses fermentasi berkisar dari fermentasi
sempurna (misalnya pada serat pangan larut) sampai hanya sebagian kecil dapat difermentasi
(misalnya partikel selulosa) (Tungland dan Meyer, 2002).
Rolland et al. (1995) dalam penelitian mereka menggunakan tikus, mengamati adanya
produksi SCFA dalam jumlah tinggi dari inulin dibandingkan dengan sumber serat lainnya (dedak
gandum, kulit kacang kapri, kulit oat, biji kokoa dan serat wortel). Telung et al. (1987) mengamati
bahwa gum guar meningkatkan produksi asam propionat, sedangkan gum arab meningkatkan
produksi asam asetat dan butirat. Botham et al. (1998) mencatat bahwa derajat fermentasi dan
konsentrasi produk akhir, terutama SCFA, akan berbeda tergantung pada struktur kimia dan sifat-
sifat sumber serat pangan. Selulosa yang terdiri dari unit-unit D-glukosa dihubungkan dengan
ikatan β-1,4, sangat sulit untuk difermentasi; sedangkan pati yang juga terdiri dari unit-unit D--
glukosa tetapi dihubungkan dengan ikatan α-1,4 dan α-1,6, lebih mudah untuk difermentasi. Demikian
juga diamati bahwa amilosa yang membentuk film, lebih sulit untuk difermentasi dibandingkan
dengan yang membentuk gel.
Peningkatan massa mikroba sebagai hasil fermentasi serat, secara langsung akan mempengaruhi
kekambaan dan berat feses. Bakteri mengandung sekitar 80% air dan mempunyai kemampuan
mempertahankan diri terhadap dehidrasi, sehingga akan berkontribusi pada peningkatan
kemampuan menahan air material feses, (Tungland dan Meyer, 2002). Cummings (1984)
melaporkan bahwa jumlah bakteri dalam feses manusia berkisar antara 4 x 1011 sampai 8 x 1011 per
gram feses kering, yang merupakan sekitar 50% padatan feses pada subyek yang mengonsumsi
Western diet. Menurut Tungland dan Meyer (2002) produksi gas sebagai hasil fermentasi dalam
usus besar dapat juga mempengaruhi kekambaan feses. Gas yang “terperangkap” dapat
meningkatkan volume feses serta menurunkan waktu transit feses dalam usus besar.
Kapasitas menahan air (WC) serat pangan pada awalnya diduga sebagai elemen penting
untuk mempertahankan kadar air feses. Tetapi ternyata kadar air feses secara relatif konstan pada
angka 25%, dan kapasitas menahan air serat pangan tidak memberikan pengaruh langsung terhadap
kekambaan feses. Stephen dan Cummings (1979) dan Bourclin et al. (1996) melaporkan bahwa
dispersibilitas dan kapasitas menahan air menentukan kemampuan mikroorganisme untuk melaku-
kan penetrasi terhadap sisa makanan yang tidak dicerna dalam usus kecil dan mendegradasi serat
pangan untuk pertumbuhannya.
Kapasitas menahan air mempunyai hubungan tidak langsung dengan kekambaan feses
melalui pengaruhnya terhadap gum dan pektin, umumnya cenderung letJI-i mudah difermentasi
dibandingkan dengan serat pangan yang mempunyai WHC rendah seperti dedak gandum, yang
mengandung lebih banyak selulosa tidak larut (McIntyre et al., 1991). Serat pangan yang sulit
untuk difermentasi, misalnya selulosa, memberikan pengaruh tidak langsung terhadap kekambaan
feses, melalui cara memperpendek waktu transit feses, meningkatkan massa feses dan memberikan
efek laksatif. Beberapa peneliti yang bekerja dengan bermacam-macam sumber serat, seperti
dedak gandum dan barley, selulosa, serat kedelai dan inulin, memperlihatkan bahwa sumber serat
pangan tersebut memberikan efek laksatif dan meningkatkan kekambaan feses (Wrick et al., 1983;
Slavin et al., 1985; Jenkins et al., 1987, Lupton et al., 1993; - Ouellet et al., 1996; Kleessen et al., 1997;
Schneeman, 1998; Causey et al., 2000).
Sumber serat pangan yang berbeda, menghasilkan produk hasil fermentasi yang berbeda
(yaitu asam lemak berantai pendek: asetat, propionat, butirat atau valerat). Selulosa yang sulit untuk
difermentasi, menghasilkan sangat sedikit asam lemak selama fermentasi dan terutama hanya
terdiri dari asetat; sedangkan serat pangan yang lebih mudah difermentasi, lebih banyak
menghasilkan asam termasuk propionat, butirat dan asetat (Botham et al., 1998; Green et al., 1998;
Green, 2000).
Potensi serat pangan yang berbeda dalam memproduksi SCFA baik jumlah maupun
jenisnya serta tempat produksinya dalam usus besar, memberikan efek fisiologis dan implikasi yang
berbeda terhadap kesehatan. Selain itu, mikroorganisme yang terdapat dalam usus besar mempunyai
spesifisitas terhadap serat dengan struktur kimia tertentu. Sebagai contoh, inulin dapat meningkatkan
jumlah bakteri bifidus, dan secara selektif dapat memodifikasi koloni bakteri agar tercapai kese-
imbangan antara bakteri “baik” dan bakteri “jahat”, sehingga dapat memberikan efek menyehatkan
pada tubuh manusia (Gibson dan Roberfroid, 1995; Van Loo et al., 1999).
Produk akhir fermentasi serat pangan, yaitu gas, SCFA dan meningkatnya jumlah mikroba
dalam usus besar, memberikan pengaruh besar terhadap efek fisiologis serat, baik terhadap usus besar
maupun terhadap tubuh manusia secara keseluruhan. Gas yang diproduksi dari hasil fermentasi serat
pangan oleh mikroba obligat anaerob, misalnya bakteriosida, spesies non-patogen Clostridium dan
khamir, bakteri cocci anaerob dan beberapa spesies Lactobacillus, sebagian besar akan meng-
akibatkan terjadinya flatulensi (kembung perut), tetapi akhimva akan dikeluarkan dari tubuh
melalui dubur atau paru-paru. Akart tetapi sebagian gas hidrogen dan karbondioksida yang
dihasilkan, dapat dimetabolisme lebih lanjut membentuk gas metan (CH4) oleh bakteri
metanogenik (Wolin dan Miller, 1.983), sehingga akan mengurangi tekanan gas di dalam usus.
Clostridium dan Eubacterium serta bakteri cocci ananerob, merupakan mikroba yang paling banyak
menghasilkan gas, sedangkan Bifidobacteria sebagai bakteri yang biasa terdapat dapat usus besar,
tidak menghasilkan gas apapun (Hartemink dan Rombouts, 1997).
SCFA yang diproduksi dari hasil proses fermentasi serat pangan dalam usus besar, dapat
digunakan sebagai sumber energi di dalam hati. Nilai energi serat pangan tergantung pada derajat
fermentasinya dalam usus besar. Oleh karena itu, serat pangan yang tidak dapat difermentasi,
secara teoritis, mempunyai nilai energi mendekati 0 Kkal/g. Akan. tetapi data hasil penelitian
menyebutkan bahwa rata-rata nilai energi serat pangan hasil fermentasi berkisar antara 1,5 - 2,5
Kkal/g (Livesey, 1990; Smith et al., 1998).
Asam lemak berantai pendek yang paling banyak diproduksi dari proses fermentasi serat
pangan adalah asetat, propionat dan butirat, yaitu sekitar 83 sampai 95% dari total konsentrasi
SCFA dalam usus besar yang berkisar antara 60 sampai 150 mmol/liter (Nordgaard dan Mortensen,
1995). Konsentrasi asam-asam lemak tersebut akan tinggi apabila jumlah mikrobiota juga tinggi,
terutama dalam cecum dan transverse colon (lihat Gambar 17). Sejalan dengan meningkatnya
jumlah asam lemak, transverse colon juga mempunyai pH rendah (5,4 - 5,9), yang secara bertahap
akan naik dan dalam distal colon, di mana pH-nya berkisar antara 6,6 - 6,9 (Nordgaard dan
Mortensen, 1995).
Nordgaard dan Mortensen (1995) melaporkan bahwa produksi harian SCFA (termasuk iso-SCFA
sebagai hasil fermentasi protein), pada individu yang mengonsumsi Western diet adalah sekitar
220 - 720 MM, sebagai hasil metabolisme dari sekitar 20 sampai 70 g substrat total per hari. SCFA
yang diserap usus besar dan masuk ke dalam sistem peredaran darah, yang akhirnya sampai ke hati
dan ginjal, dapat mempengaruhi metabolisme dalam tubuh, termasuk misalnya glisemia, lipidemia,
uremia serta keseimbangan nitrogen dalam tubuh, seperti diilustrasikan pada Gambar 18.
Gambar 17. Bagian-bagian usus besar, memperlihatkan cecum dan transverse colon
Gambar 18. Ilustrasi skematik pengaruh koloni bakteri dan SCFA dalam usus besar terhadap
kesehatan tubuh (Tungland dan Meyer, 2002)
EFEK FISIOLOGIS
Uraian mengenai berbagai jenis serta poangan (baik berupoa polisakarida tidak dapat dicerna
maupun oligosakarida tidak dapat dicerna), mengenai struktur dan sifat fisiko-kimianya akan
meniberikan pengertian yang lebih baik tentang kemungkinan efek fisiologis yang dapat
ditimbulkannya, seperti disajikan pads Tabel 32.
Pati Resisters
Pati resisten dapat difermentasi oleh mikrobiota usus besar (Heijnen et al., 1998) dan
percobaan in vitro menggunakan slurry feses manusia mendukung hal tersebut (Botham et al., 1998).
Pati resisten jugs dapat meningkatkan kekambaan feses, yang mungkin sebagai akibat
meningkatnya massa bakteri dalam feses (Botham et al., 1998). Lebih lanjut, konsumsi pati resisten
atau maltodekstrin resisten, dapat menstimulir pertumbuhan bakteri spesifik yang menguntungkan
bagi kesehatan yaitu bakteri Bifidus dan Lactobacillus (Tungland dan Meyer, 2002).
Table 32. Jenis, sumber dan efek fisiologis poli- dan olio-sakarida
yang tidak dapat dicerna.
Curdian (β-glukan tidak larut) Diproduksi dengan cara fermentasi menggunakan Meningkatkan kapasitas menahan air (water
Alcaligenes feacalisvar, myxogenes holding capacity, WHC)
Chitosan Diproduksi dengan cara deasetilasi alkali dari chitin Menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida
kurstase. Ditemukan Zygomycetes sp dalam hati. Meningkatkan ekskresi steroid
netral dalam feses. Menghambat penyerapan
kolesterol dalam usus.
Selulosa mikro Kristal Diekstrak dari tanaman (pulp kayu, bambu, gandum, Meningkatkan WHC, meningkatkan
kulit biji kapas) kekambaan feses, difermentasi secara parsial
dalam kolon
Seluloasa termodifikasi (MC, Reaksi kimia dengan basa, diikuti oleh reaksi dengan Difermentasi secara parsial dalam kolon
CMC, MHPC) pereaksi pensubtitusi
Polidekstrosa Polimerisasi termal vakum glukosa, sorbitol dan asam Difermentasi menghasilkan SCFA,
sitrat meningkatkan jumlah mikrobiota dalam usus
besar serta meningkatkan kekambaan dan
melunakkan feses
Maltodekstrinresisten Diproduksi dengan cara pirolisis pati jagung Dapat dicerna secara parsial, bersifat laksatif
mengguankan HCl kemudian dihidrolisis oleh enzim dan difermentasi dalam usus besar, serta
mempengaruhi kadar lipida darah.
Selobiosa & Selodekstrin Tidak terdapat secara alami, merupakan hasil degradasi Tidak ada hasil penelitian mengenai efek
selulosa prebiotic
Gentio-oligosakari-da (Ge-OS) Tidak terdapat secara alami, di Jepang diproduksi Data jarang diperoleh, tidak ada kesimpulan
melalui transglukosidasi Glu mengenai efek terhadap mikrobiota usus
Gluko-oligosakarida (α-GOS) Reaksi transglukosidasi menggunakan α glukosidase Percobaan pada hewan menunjukkan adanya
dari Leuconastoc mesenteroides pengaruh terhadap mikrobiota usus. Belum
ada data hasil penelitian pada manusia
Isomaltosa, Isomal-totriosa, Terdapat dalam miso, kecap, sake dan madu. Secara Penelitian pada hewan dan manusia
Panosa komersial diproduksi dengan cara transglukosilasi Glu menunjukkan adanya pengaruh terhadap
mengguankan enzim transglukosidase (a-glukosidase) mikribiota usus
Karagenan Diekstraksi dari algae merah (Rhodophy-ceae) Meningkatkan viskositas, menurunkan laju
pengosongan perut dan waktu transit dalam
usus kecil (berasifat hipoglisemik).
Difermentasi dalam usus besar menghjasilakn
SCFA
Agar-agar Diekstraksi dari algae merah Rhodophy-ceae (Gelidium Meningkatkan viskositas, difermentasi dalam
sp dan Gracilaria sp) usus besar menghaslkan SCFA
Acacia (gum Arab) Exudate (getah) kering dari batang dan cabang pohon Difermentasi dalam kolon. Merupakan
Acacia Senegal (Afrika) prebiotic
Pectin Sayuran dan buah-buahan (misalnya apel, jeruk, bunga Menurunkan laju pengosongan perut dan
matahari, git gula) waktu transit dlaam usus kecil (bersifat
hipoglisemik). Difermentasi dalam usus besar,
tidak berpengaruh pada berat feses, dapat
menurunkan kadar kolesterol dartah.
Α-galakto-oligosakarida (rafinosa, Diekstraksi dari kedelai dan kacang-kacangan lain Dapat mempengaruhi komposisi dan aktivitas
stakiosa, oligosakarida kedelai flora usus
lainnya)
β-galakto-oligosaka-rida atau Diproduksi dengan cara transgalaktosilasi dari laktosa Mempengaruhi komposisi dan aktivitas flora
transgalaktooligosakarida usus
Laktulosa Tidak terdapat secara alami, diproduksi denagn cara Produksi gas cukup banyak karena
isomerisasi alkali gugus glukosa dari laktosa menjadi difermentasi oleh Ci pneumonia.
fruktosa. Dipasarkan sebagai laxative dan untuk Mempengaruhi komposisi dan aktivitas
kesehatan usus mikroflora usus besar.
Laktitol oligosaka-rida Tidak terdapat secara alami, diprposukdi denagn cara Hasil penelitian pada tikus menunjukkan
transgalaktosilasio laktitol mengguanbkan β- adanya pengaruh poada komposisi dan
galaktosidase dari Aspergillus aryzae
aktivitas mikroflora usus besar; belum ada
hasil peneltiian pad mam,anusia.
4’-galaktosillaktosa Tidak terdapat secara alami, di Jepang dip[rosukdi dari Tidak dipengaruhi oleh enzim-enzim
laktosa mengguankan Crytococcus laurentii penecernaan manusia. Nampaknya dapat
mempengaruhi kopmposisi dan aktivitas
metabolic mikrobiota kolon manusia.
Galaktooligosakarida sintetik Diproduksi secara kimia melalui reaksi Kunigs-Knorr Tidak terdapat data hasil penelitian pada
(Neogalaktobiosa, hewan maupun manusia, tidak diketahui
Isogalaktobiosa, Galsukrosa, apakah produk ini dapat dicerna dalam saluran
Isolaktosa I, Isolaktosa II, pencernaan bagian atas (upper Gi tract)
Isolaktosa III, α-laktosa trimer)
Fruktan, tipe Levan Diproduksi oleh Bacillus polymyxa dari sukrosa Data menunjukkan bahwa pemberian fruktan
tipe inulin memnpengaruhi komposisi bakteri
Fruktan, tipe Inulin Secara alami terkandung dalam artichoke, chicory. dan pola metabolisme mikrobiota usus besar.
Bawang dsb. Diproduksi dengan cara ekstraksi dari umbi Hasil peenlitian m,enunjukkan adanya
akar chicory produksi SCFA, terutama propionate dan
butirat dalam jumlah tinggi, yang diperlukan
Frukto-oligosakarida Diproduksi denbagn cara tranfuktosilasi menggtunakan untuk kesehatan usus besar, serta dapat
enzim β-fruktosidase Aspergillusniger dari sukrosa. mempengaruhi kadar gula dan lipid darah
Diprosukdi secara degradasari parsial enzimatik dari
inulin
Galaktomanan (gum guar, gum Gum guar (Cyamopsis tetragonolobus) dan gum kacang Dapat segera difermentasi dalam kolon dan
kacang locust) locust (Ceratonia siliqua) memberikan efek bifidogenik, memperbaiki
fungsi kolon, memperlihatkan efek
hipolipidemik, menurunkan kadar glisemia
postprandial
Gum guar oligosa-karida Diproduksi melalui hidrolisi parsial gum Guar Difermentasi oleh mikrobiota kolon, dapat
menurunkan kadar lipid dan glukoasa plasma
darah
Gum karaya Getah kering dari pohon Sterculla urens (India) Meningkatkan viskositas, difermentasi dalam
kolon manusia
Gum tragacanth Getah kering dari pohon Astragallus (A. gummifer) dan Meningkatkan viskositas, difermentasi dalam
Leguminosae (Asia) kolon manusia
Arabinogalaktan Diekstraksi dari pulp tanaman Western Larch Dapat difermentasi dalam kolon,
meningkataknb populasi Lactabasillus,
mempengaruhi sistewm immune
Kulit biji Psyllium Secara alami terdapat dalam kulit biji Psyllium M,engurani resiko penyakit jantug coroner
(klaim kesehatan), menurunkan kadar
kolesterol
Xyloglucan Diekstraksi dari biji buah pohon asam (Tamarindus Difermentasi dalam kolon manusia,
indica) meningfkatakn viskositas dalam usus kecil
Xylo oligosakarida Hidrolisis enzimatik parsial polyxylan oleh xylanasae dari Tidak dihgidrolisis oleh enzim-enzim
Trichoderma sp pencernaam manusia. Mengakibatkan
perubahanm pola metabolic flora usus tikus,
tetapi tidak pada usus manusia.
Memepngfaruhi kadar lipid darah.
Konjac (tepung) mannan Pengeringan dan purifikasi umbi konjac Mempunyai kemapuan untuk menurunkan
(Amorphophallus konjac) kadar klolesterol dan trigliserida serum darah,
serta mempengrauhi respons glukosa dan
insulin.
Alginate Diekstraksi dari algae coklat (Phaeophyceae) Meningkatkan viskositas, difermentasi dalam
kolon menghasilkan SCFA
Alginate oligosakarida Diproduksi dengan cara degradasi enzimatik alginate Mempengarungi komposisi dan metabolism
mikrobiota kolon
Mannan oligfosakarida Diproduksi menggunakan Saccharomyces cerevisiae Tidak terdapat data apakah dapat
dari sukrosa difermenmtasi oleh mikroflora usus besar
Meskipun telah diketahui bahwa pati resisten dapat difermentasi dalam usus besar, namun
pengaruhnya terhadap kesehatan belum jelas. Baghurst et al. (1996) menguraikan kemungkinan
m'anfaat pati resisten untuk kesehatan, misalnya mengontrol kadar gula darah dan kolesterol,
mengontrol berat badan dan manajemen konsumsi energi, mencegah terjadinya kelainan pada usus
serta mencegah timbulnya kanker kolon. Dalam satu penelitian pada manusia, pati resisten tidak
memberikan pengaruh pada kadar lipid serum darah (Heijnen et al., 1996). Hasil penelitian lain
menunjukkan bahwa konsumsi pati resisten tidak meningkatkan penyerapan magnesium, kalsium
dan fosfor dalam usus (Heijnen dan Beynen, 1998).
Selanjutnya penelitian difokuskan pada biomarkers yang berhubungan dengan kanker kolon.
Fermentasi pati resisten dalam usus besar menghasilkan asam butirat dalam jumlah relatif tinggi
(Phillips et al., 1995). Seperti telah diutarakan sebelumnya, asam butirat dapat menghambat
tumorigenesis dan dapat menyehatkan permukaan usus besar.
Akan tetapi, Heijnen dan Beynen (1998) tidak menemukan adanya peningkatan kadar asam butirat
maupun konsentrasi asam empedu dalam feses, sebagai akibat konsumsi pati resisten. Dalam pada
itu, penelitian pada tikus menunjukkan bahwa pati resisten dapat menghambat karsinogenesis pada
usus besar tikus yang diinduksi secara kimia (Caderni et al., 1994; Sakamoto et al., 1996).
Pektin
Penggunaan pektin dalam pengolahan pangan adalah sebagai gelling dan thickening
agents. Sebagian besar pektin yang digunakan berasal dari buah jeruk atau apel. Karena sifatnya
dapat membentuk gel, polisakarida larut air ini dapat menurunkan laju pengosongan perut dan
mempengaruhi waktu transit dalam usus kecil. Hal ini menjelaskan mengapa pektin memberikan
efek hipoglisemik Uenkins et al., 1978). Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pektin
dapat difermentasi dalam usus besar (Cummings et al., 1979; Hillman et al., 1983), tidak berpengaruh
terhadap berat feses (Eastwood et al., 1986), tetapi dapat menurunkan kadar kolesterol dalam serum
darah (Kay dan Truswell, 1977).
Gum Guar
Hidrolisis parsial gum guar oleh enzim menghasilkan suatu produk yang dapat digunakan
sebagai serat pangan laurt, oleh karena itu efek fisiologis gum guar sama dengan serat pangan larut.
Gum guar dapat difermentasi oleh mikrobiota usus besar manusia (Salyers et al., 1977), melalui
enteral feeding terbukti dapat memberikan efek bifidogenik (Okubo et al., 1994). Gum guar dapat
memperbaiki fungsi usus besar dan mengurangi terjadinya diare (Homann et al., 1994), serta
menyembuhkan konstipasi (Takahashi et al., 1994). Guar gum memperlihatkan efek hipolipidemik
pada manusia, yaitu dapat menurunkan baik kadar kolesterol maupun trigliserida (Takahashi et al.,
1994), serta mengurangi glisemia postprandial (Wolever et al., 1979).
Gum Arab
Efek fisiologis gum arab pada manusia termasuk dapat difermentasi secara sempurna dalam
usus besar dan memberikan efek bifidogenik (McLean-Ross et al., 1983; Michel et A., 1998), serta
mampu menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol serum darah (McLean-Ross et al., 1983).
Fruktan
Fruktan dapat dibagi menjadi 2 kelas, yaitu levans dan inulin. Levans tidak dapat diperoleh
secara komersial dan tidak terdapat banyak data yang dapat diperoleh mengenai efek fisiologisnya
pada manusia. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa Levans dapat menurunkan kadar
kolesterol serum (Yamamoto et al., 1999), tetapi tidak ditemukan terjadinya pemecahan oleh bakteri
usus besar. Inulin diproduksi dengan cara ekstraksi umbi akar chicory, sedangkan frukto-
oligosakarida (FOS) diproduksi baik dengan cara hidrolisis enzimatik dari inulin maupun dengan
cara transfruktosilasi dari sukrosa. Efek fisiologis inulin dan FOS identik, karena kedua molekul
tersebut sampai ke usus besar dalam keadaan utuh, yang kemudian difermentasi secara selektif oleh
bakteri bifidus dan laktobasilus (Kruse et al., 1999; Causey et al., 2000).
Inulin dan FOS mungkin merupakan jenis serat pangan yang paling intensif diteliti. Selama
tahun 1980-an penelitian dilakukan di Jepang, yang mengindikasikan efek fisiologis FOS, yaitu:
potensi bifidogenik (Hidaka et al., 1986), efek hipolipidemik (Mitsuoka et al., 1986), dan
memperbaiki fungsi saluran pencernaan (Hidaka et al., 1986). Penelitian selanjutnya yang tidak hanya
menyangkut FOS tetapi juga inulin, menunjukkan bahwa jenis serat pangan tersebut menstimulir
pertumbuhan bakteri bifidus dan laktobasilus, serta memberikan efek laksatif (Gibson dan
Roberfroid, 1995; Kleesen et al., 1997; Kruse et al., 1999); menurunkan kadar lipid dalam serum
(Causey et al., 2000; Kim dan Shin, 1998); menstimulir penyerapan mineral, terutama kalsium dan
magnesium (Coudray et al., 1997, Van den Heuvel et al., 1999; Tahiri et al., 2001); serta menurunkan
aktivitas enzim dalam feses (Buddington et al., 1996). Menurunnya aktivitas enzim P-glukuronidase
mengindikasikan menurunnya potensi untuk terbentuknya karsinogen (Van Dokkum et al., 1999).
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa inulin dapat menghambat perlukaan neoplastik awal
setelah diinduksi oleh suatu karsinogen (Reddy et al., 1997).
Galakto-oligosakarida
Galakto-oligosakarida tidak dapat dicerna dalam saluran pencernaan manusia dan bersifat
sebagai serat pangan larut (soluble dietary fiber, SDF). Dilaporkan bahwa konsumsi galakto-
oligosakarida dapat mengubah komposisi dan aktivitas mikroflora usus besar (Ito et al., 1990; Alles
et al., 1999). Beberapa penelitian pada manusia menunjukkan bahwa galakto-oligosakarida dapat
menyembuhkan konstipasi, meningkatkan penyerapan kalsium, dan hasil penelitian pada tikus
menunjukkan bahwa jenis serat pangan ini dapat menghambat terbentuknya kanker kolon
(Schoterman dan Timmerman, 2000).
Tipe lain galakto-oligosakarida adalah yang terdapat dalam kedelai, yaitu α-galakto-
oligosakarida (galaktosil-sukrosa-oligosakarida), merupakan residu galaktosa yang terikat dengan
ikatan α-1,6 pada gugus glukosa molekul sukrosa; terdiri dari rafinosa, stakiosa dan verbaskosa.
Efek fisiologisnya mirip dengan β-galaktosa oligomer (Oku, 1996), yaitu mereduksi patogen dalam
usus sehingga terjadi perubahan mikrobiota dalam usus besar.
Laktulosa
Laktulosa adalah disakarida yang tidak dapat dicerna dalam saluran pencernaan manusia,
dan dapat meningkatkan jumlah bakteri bifido dalam usus besar (Modler, 1994; Strohmaier, 1996).
Laktulosa terutama digunakan sebagai obat (pharmaceutical) untuk mencegah konstipasi dan
portosystemic encephalopathy. Di Eropa, laktulosa tidak boleh digunakan dalam pangan, karena
digolongkan sebagai obat (Tungland dan Meyer, 2002).
Diabetes Melitus
Hubungan antara kurangnya konsumsi serat pangan dan meningkatnya risiko timbulnya
diabetes telah sejak lama diutarakan (Trowell, 1972; 1974). Meskipun hubungan langsung antara
kurangnya konsumsi serat pangan dan diabetes belum diketahui dengan pasti, namun bukti yang
mengindikasikan bahwa menurunnya risiko timbulnya penyakit tersebut sebagai akibat
meningkatnya konsumsi serat pangan telah diperoleh (Jenkins et al., 1995; Chandalia et al., 2000).
Serat pangan yang dapat difermentasi dengan baik dan memberikan viskositas tinggi dalam
usus besar, mempunyai potensi untuk mengurangi respons glisemik (Jenkins et al., 1977; Anderson
et al., 1987; Jenkins et al., 1990; Wolever, 1990; Wolever dan Jenkins, 1993), serta meningkatkan
sensitivitas insulin (Fukagawa et al., 1990).
Timbulnya efek tersebut di atas, nampaknya berhubungan dengan meningkatnya viskositas
dalam usus kecil sehingga mempengaruhi penyerapan zat-zat gizi, ditambah dengan efek sistemik
yang dapat ditimbulkan oleh SCFA yang diproduksi dalam usus besarUmumnya serat pangan yang
menyebabkan timbulnya kekentalan yang tinggi dalam usus kecil (misalnya gum guar dan pektin),
memberikan pengaruh yang lebih besar Genkins et al., 1978). Sedangkan SCFA, yang diproduksi
dalam usus besar sebagai hasil fermentasi serat pangan (misalnya inulin) akan mempengaruhi
sintesis kolesterol dalam hati, serta produksi dan penggunaan glukosa (Yamashita et al., 1984;
Rumessen et al., 1990; Kim dan Shin, 1998; Luo et al., 1996).
Penyakit Kardiovaskuler
Kadar kolesterol total dan LDL (low density lipoprotein) dalam darah telah diterima
sebagai biomarkers indikatif risiko potensial timbulnya penyakit jantung koroner. Oleh karena itu,
umumnya penelitian difokuskan pada penurunan kadar kolesterol total dan LDL sebagai salah satu
cara untuk mengurangi risiko timbulnya penyakit kardiovaskuler tersebut.
Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kadar kolesterol dalam darah dapat
diturunkan dengan cara meningkatkan konsumsi serat pangan yang dapat difermentasi dan
menimbulkan viskositas tinggi dalam usus (Ripsin et al., 1992; Olson et al., 1997; Anderson et al.,
2000). Demikian pula hasil penelitian epidemiologis mendukung adanya hubungan antara
peningkatan konsumsi serat pangan dan menurunnya risiko timbulnya penyakit kardiovaskuler
(Rimm et al., 1996; Wolk et al., 1999). Ludwig et al. (1999) memperlihatkan data dari CARDIA
Study yang melibatkan 2909 orang dewasa sehat berumur antar 18 sampai 30 tahun, yang
menunjukkan bahwa konsumsi serat pangan dapat menurunkan kadar insulin dalam darah, mencegah
kenaikan berat badan dan menurunkan faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskuler lainnya. Mereka
menyimpulkan konsumsi serat pangan dapat mencegah timbulnya kegemukan dan penyakit kardio-
vaskuler melalui penurunan kadar insulin.
Satu meta-analysis terhadap 67 hasil penelitian terkontrol menggunakan serat pangan yang
dapat difermentasi dan bersifat kental dalam usus (oat-25 studi, psyllium-17 studi, pektin-7 studi
dan gum guar-18 studi), memperlihatkan bahwa konsumsi serat pangan tersebut dapat menurunkan
kadar kolesterol dalam darah (Brown et al., 1999). Sebaliknya, Anderson et al. (1991), dalam suatu
studi intervensi menggunakan dedak gandum, mengobservasi tidak terdapat pengaruh nyata terhadap
kadar kolesterol dalam darah. Perbedaan dalam hal penurunan kadar kolesterol tersebut disebabkan
karena adanya perbedaan dalam hal ekskresi asam empedu. Baik psyllium alami maupun yang
telah mengalami hidrolisis parsial, telah dibuktikan dapat menurunkan kadar kolesterol dalam
darah (Arjmandi et al., 1997).
Nampaknya serat pangan lebih dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah subyek
penderita hiperlipidemik, sedangkan pada subyek normal serat pangan lebih dapat menurunkan kadar
trigliserida (Tungland dan Meyer, 2002). Dalam menilai hasil-hasil penelitian pada manusia,
sejumlah faktor harus dipertimbangkan, misalnya: variasi individual, lamanya pemberian serat
pangan, kecepatan fermentasi serat pangan dalam usus besar dan fraksi serat yang diperoleh, jumlah
dan jenis lemak dan karbohidrat yang dikonsumsi, serta kadar lipid (trigliserida dan kolesterol)
dalam serum sebelum penelitian dilaksanakan (Williams, 1999).
iMekanisme penurunan kadar kolesterol oleh serat pangan yang dapat difermentasi, misalnya
psyllium, oat dan pektin; adalah bahwa serat pangan tersebut dapat mengikat asam empedu
sehingga akan meningkatkan ekskresinya (melalui feses), serta menurunkan sintesis kolesterol
dalam hati (Forman et al., 1968; Stanley et al., 1973; Miettinen dan Tarpila, 1977; Kay dan Truswell,
1977; Stasse-Wolthuis et al., 1980; Anderson et al., 1984; Judd dan Truswell, 1981). Beberapa jenis
serat pangan seperti pektin dan galaktomanan yang mempunyai WHC tinggi dan menimbulkan
viskositas tinggi, juga mempengaruhi penyerapan zat-zat gizi dalam usus.
Efek hipokolesterolemik serat pangan mungkin juga disebabkan oleh karena adanya SCFA
yang dihasilkan dari fermentasi serat. SCFA dapat diserap oleh usus besar; butirat dapat digunakan
oleh sel-sel mukosa usus dan propionat digunakan oleh sel-sel hati, sedangkan asetat akan diangkut
oleh darah ke seluruh tubuh (peripheral circulation). Dilaporkan bahwa propionat dapat
menghambat metabolisms asam lemak, yang mempunyai peranan penting dalam sintesis
kolesterol (Nishina dan Freeland, 1990; Wright et al., 1990; Demigne et al., 1995).
Menurut Kok et al. (1996), propionat yang dibentuk sebagai hasil fermentasi inulm,
menurunkan kapasitas hati untuk sintesis asam lemak dan trigliserida de novo, melalui penghambatan
aktivitas enzim kunci, terutama gliserol-3-fosfat-asetil-transferase dan enzim sintase asam lemak.
Kok et al. (1998) menyatakan bahwa rendahnya kadar glukosa dan insulin dalam darah tikus yang
diberi pakan inulin mempunyai kontribusi pada menurunnya sintesis asam lemak dan trigliserida
dalam hati. Ascherio et al. (1992, 1996) berpendapat bahwa sebagai tambahan pada kandungan lipid
dalam darah, terdapat bukti adanya hubungan terbalik antara konsumsi serat pangan dengan
hipertensi, sedangkan hipertensi merupakan salah satu faktor risiko timbulnya penyakit jantung
koroner.
Ketersediaan Mineral
Serat pangan tertentu yang berasal dari sayuran dan buahbuahan, yang mempunyai kapasitas
menukar kation yaitu residu asam galakturonat tidak termetilasi, dan asam fitat dari serealia dan
kacang-kacangan, ditemukan dapat menurunkan penyerapan beberapa jenis mineral (Greger,
1999). Akan tetapi serat pangan yang mudah difermentasi ternyata dapat meningkatkan penyerapan
beberapa jenis mineral seperti kalsium, magnesium dan zat besi, bahkan ketika terdapat asam fitat
dalam konsentrasi rendah (Baba et al., 1996; Scharrer dan Lutz, 1990; Schulz et al., 1993; Galibois
et al., 1994; Delzenne et al., 1995; Morais et al., 1996; Lopez et al., 1998)., Serat pangan yang
memberi pengaruh positif terhadap penyerapan mineral tersebut, termasuk pektin, bermacam-
macam gum, pati resisters, selulosa, serta oligosakarida tertentu misalnya oligosakarida kedelai,
inulin dan laktulosa.
Umumnya dipercaya bahwa penyerapan mineral yang berlangsung secara difusi (aktif
maupun pasif) terjadi dalam usus halus. Akan tetapi hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa serat
yang dapat difermentasi, seperti inulin dan oligofruktosa, dapat meningkatkan penyerapan mineral
di dalam usus besar. Melalui fermentasi oleh mikrobiota dalam usus besar dan selanjutnya
memproduksi SCFA, komponen serat pangan tersebut menstimulir proliferasi sel-sel epitel usus
besar
(Sakata, 1987) dan menurunkan pH isi usus besar (Remesy et al., 1992; Younes et al., 1996).
Selanjutnya, SCFA dan turunnya pH, dapat melarutkan mineral yang bersifat tidak larut, terutama
kalsium, magnesium dan zat besi dalam isi usus besar, yang kemudian meningkatkan penye-
rapannya secara difusi melalui jalur paracellular.
Akumulasi kalsium fosfat dalam usus besar dan pelarutan mineral- oleh SCFA, berperan
penting pada peningkatan penyerapan mineral dalam usus besar (Remesy et al., 1993; Kashimura et
al., 1996). Penelitian lain menunjukkan bahwa frukto-oligosakarida (inulin) menstimulir jalur
transeluler untuk penyerapan kalsium dalam usus besar (Ohta et al., 1998), yang diindikasikan
oleh meningkatnya konsentrasi calbindin-D9k, suatu protein pengikat kalsium (Ca-binding
protein) yang memegang peranan penting untuk penyerapan kalsium dalam usus.