Anda di halaman 1dari 11

ASUHAN KEPERAWATAN KASUS OSTEOPOROSIS

ANGGOTA KELOMPOK 4

1) Rahma Janeilla Pamungkasih


2) Khoirun Nisak
3) Dian Estika
4) Henandiar Rizky Syaharini
5) Tiwet Ngaida Juliana
6) Naufal Arifianto
7) Sofi Cahyaning Pertiwi
8) Dian Novita
9) Nunuk Kuntari (Tidak Hadir)
10) Siti Latifah (Tidak Hadir)
11) Tofan Baskoro Jati
12) Zetin Nadza
13) Farsya Asyifa Yusfira
14) Cindy Tyas Ayu Agastin (Tidak hadir)
15) Mirda Mastura
BAB I

PEMBAHASAN

DEFINISI

Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah penyakit
skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan
mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas tulang dan
meningkatnya kerentanan terhadap patah tulang. Osteoporosis adalah kelainan di mana
terjadi penurunan massa tulang total.

Menurut konsensus di Kopenhagen 1990, osteoporosis didefinisikan sebagai suatu penyakit


dengan karakteristik massa tulang yang berkurang dengan kerusakan mikroarsitektur jaringan
yang menyebabkan kerapuhan tulang dan risiko fraktur yang meningkat (Gonta P, 1996).

ETIOLOGI

Osteoporosis postmenopause terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada


wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita.
Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai
muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama
untuk menderita osteoporosis postmenopause, pada wanita kulit putih dan daerah timur lebih
mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.

Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang


berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan di antara kecepatan hancurnya tulang dan
pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan massa tulang yang hanya
terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia di atas 70 tahun dan dua kali
lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan
postmenopause.

Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder, yang
disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan
oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan
obat obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang, dan hormon tiroid yang
berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok bisa memperburuk
keadaan ini.

Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak


diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi
hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas
dari rapuhnya tulang.

PATOFISIOLOGI

Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan alkohol). dan aktivitas
memengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan massa tulang mulai terjadi setelah
tercapainya puncak massa tulang. Pada pria massa tulang lebih besar dan tidak mengalami
perubahan hormonal mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat
menopause dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi tulang dan berlangsung
terus selama tahun-tahun pascamenopause.

Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk mempertahankan
remodelling tulang dan fungsi tubuh. Asupan kalsium dan vitamin D yang tidak mencukupi
selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan
osteoporosis. Asupan harian kalsium yang dianjurkan (RDA: recommended daily allowance)
meningkat pada usia 11-24 tahun (adolesen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari,
untuk memaksimalkan puncak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg, tetapi
pada perempuan pascamenopause 1000-1500 mg per hari. Sedangkan pada lansia dianjurkan
mengonsumsi kalsium dalam jumlah tidak terbatas, karena penyerapan kalsium kurang
efisien dan cepat diekskresikan melalui ginjal (Smeltzer, 2002).

Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen dapat
menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang lama, sindrom Cushing,
hipertiroidisme, dan hiperparatiroidisme menyebabkan kehilangan tulang. Obat-obatan
seperti isoniazid, heparin, tetrasiklin, antasida yang mengandung aluminium, furosemid,
antikonvulsan, kortikosteroid, dan suplemen tiroid memengaruhi penggunaan tubuh dan
metabolisme kalsium.
Imobilitas juga memengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi dengan gips,
paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya
sehingga terjadi osteoporosis.

MANIFESTASI KLINIS

Osteoporosis sering kali baru ditemukan pada orang yang mengalami fraktur. Jenis fraktur
yang berbeda memiliki gejala yang berbeda pada tempat yang berbeda. Contohnya deformitas
vertebra torakalis menyebabkan tinggi badan dan juga nyeri dengan atau tanpa fraktur yang
nyata.

KOMPLIKASI

1) Patah tulang
2) Osteoarthtritis
3) Jantung koroner
4) Depresi

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Sejumlah pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada osteoporosis yaitu pemeriksaan sinar
X, CT scan densitas tulang, Rontgen, pemeriksaan laboratorium, dan penilaian massa tulang.

PENATALAKSANAAN OSTEOPOROSIS

Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi medis yang lebih
menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit akibat patah tualng. Selain itu, juga
dilakukan terapi hormone pengganti (THP) atau hormone replacement therapy (HRT) yaitu
menggunakan estrogen dan progresteron. Terapi lainnya yaitu terapi non hormonal antara lain
suplemen kalsium dan vitamin D.

1. Terapi medis.

Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat mengembalikan efek dari
osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan adalah upaya-upaya untuk menekan atau
memperlambat menurunnya massa tulang serta mengurangi rasa sakit.
2. Obat pereda sakit

Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya diperlukan obat pereda sakit
yang kuat, seperti turunan morfin. Namun, obat tersebut memberikan efek samping
seperti mengantuk, sembelit dan linglung. Bagi yang mengalami rasa sakit yang
sangat dan tidak dapat diredakan dengan obat pereda sakit, dapat diberikan suntikan
hormone kalsitonin.

Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti paracetamol atau codein
ataupun kombinasi keduanya seperti co-dydramol, co- codramol, atau co-proxamol
bagi banyak pasien cukup memadai untuk menghilangkan rasa sakit sehingga pasien
dapat melakukan aktivitas sehari-hari.

3. Terapi hormone pada wanita

Osteoporosis memang tidak dapat disembuhkan, semua upaya pengobatan hanya


dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa tulang yang lebih besar. Namun,
demikian, pengobatan masih perlu dilakukan pada kasus osteoporosis berat untuk
mencegah terjadinya patah tulang. Obat-obat untuk mencegah penurunan massa
tulang biasanya bekerja lambat dan efeknya kurang terasa sehingga banyak pasien
penderita osteoporosis merasa putus asa dan menghentikan pengobatan. Hal tersebut
sangat tidak baik karena pengobatan jangka panjang diperlukan untuk dapat secara
maksimal menekan laju penurunan massa tulang dan patah tulang.

Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa pramenopause. Lamanya


pemberian terapi hormone sulit ditentukan. Yang jelas jika ingin terhindar dari
osteoporosis, terapi hormone dapat terus dilakukan. Sebagian dokter menganjurkan
untuk dilakukan terapi hormone seumur hidup semenjak menopause pada wanita yang
mengalami osteoporosis. Namun, sebagian juga berpendapat bahwa penggunaan
terapi hormone sebaiknya dihentikan setelah penggunaan selama 5-10 tahun untuk
menghindari kemungkinan terjadinya kanker.

4. Hormone Replacement Theraphy (HRT)

Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi hormone pengganti (THP)


menggunakan hormone estrogen atau kombinasi estrogen dan progesterone.
Hormone-hormon tersebut sebenarnya secara alamiah diproduksi oleh indung telur,
tetapi produksinya semakin menurun selama menopause sehingga perlu dilakukan
HRT.

Penggunaan estrogen memang efektif  dalam upaya pengobatan dan pencegahan


osteoporosis. Namun, tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya efek samping
berupa munculnya kanker endometrium (dinding rahim). Dengan adanya hormone
tersebut akan merangsang pertumbuhan sel-sel di dinding rahim yang apabila
pertumbuhannya terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker ganas. Oleh karena
itu, penggunaan estrogen biasanya di kombinasikan dengan progesterone untuk
mengurangi resiko tersebut.

Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi hormone, diantaranya adalah
pembesaran payudara, kembung, retensi cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan
pencernaan, dan gangguan emosi. Namun, demikian, efek tersebut biasanya hanya
terjadi pada awal terapi dan kondisi berangsur membaik dengan sendirinya. Dapat
juga dilakukan pemberian hormone estrogen dan progesterone secara bertahap, dosis
kecil diberikan pada awal terapi dilihat dulu reaksinya terhadap tubuh. Bila dosis
dapat diterima tubuh, dosis kemudian dinaikkan secara bertahap.

5. Kalsitonin.

Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain yang biasa digunakan dalam
pencegahan dan pengobatan osteoporosis adalah kalsitonin. Kalsitonin turut menjaga
kestabilan struktur tulang dengan mengaktifkan kerja sel osteoblast dan menekan
kinerja sel osteoclast.

Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang mungkin timbul pada
keadaan patah tulang. Hormone ini secara normal dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang
memiliki sifat meredakan rasa sakit yang cukup ampuh. Kalsitonin biasanya diberikan
dalam bentuk suntikan yang diberikan setiap hari atau dua hari sekali selama dua atau
tiga minggu. Hormone ini juga dapat menimbulkan efek samping  berupa  rasa mual
dan muka merah, mungkin pula terjadi muntah dan diare serta rasa sakit pada bekas
suntikan.

6. Testosterone
Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh tubuh pria. Penggunaan
hormone testosterone pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause mampu
menghambat kehilangan massa tulang. Namun, dapat muncul efek maskulinasi seperti
penambahan rambut secara berlebihan di dada, kaki, tangan, timbulnya jerawat
dimuka dan pembesaran suara seperti yang biasa terjadi pada pria.

7. Terapi non-hormonal

Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan yang paling baik untuk
mengobati osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek samping yang dapat
ditimbulkan  dan tidak dapat diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka
sekarang mulai dikembangkan terapi non-hormonal.

8. Bisfosfonat

Bisfosfonat merupakan golongan obat sintetis yang saat ini sangat dikenal dalam
pengobatan osteoporosis non-hormonal. Efek utama dari obat ini adalah
menonaktifkan sel-sel penghancur tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa
tulang dapat dihindari. Obat-obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah
etidronat dan alendronat.

9. Etidronat.

Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang biasa digunakan dalam
pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis satu
kali sehari selama dua minggu. Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan
konsumsi suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan agar konsumsi suplemen
kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam sebelum dan sesudah mengkonsumsi
etidronat karena dapat mengganggu penyerapannya. Kadang kala konsumsi etidronat
memberikan efek samping,tetapi relative kecil. Misalnya timbul mual, diare, ruam
kulit dan lain-lain.

10. Alendronat

Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan etidronat, perbedaannya
adalah pada penggunaannya tidak perlu dikombinasikan dengan konsumsi suplemen
kalsium, tetapi  bila asupan kalsium masih rendah, pemberian kalsium tetap
dianjurkan. Efek samping yang mungkin ditimbulkan pada konsumsi alendronat
adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung pada perut, serta gangguan pada
tenggorokan.

11. Terapi alamiah

Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati osteoporosis tanpa
menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini berhubungan dengan gaya hidup
dan pola konsumsi. Beberapa pencegahan yang dapat diberikan yaitu dengan
berolahraga secara teratur, hindari merokok, hindari minuman beralkohol dan
menjaga pola makan yang baik.

PATHWAY
DIAGNOSA

1. Nyeri akut b.d Agen cedera fisiologis

2. Gangguan mobilitas fisik b.d Kerusakan integritas struktur tulang

3. Risiko Jatuh b.d kekuatan otot menurun


SKENARIO KASUS OSTEOPOROSIS: Seorang perempuan umur 55tahunseorang guru,
menikah 36 tahun yang lalu dengan 2 orang anak. Tinggi pasien 65cm, pasien mengatakan
jarang melakukan olahraga, menaupose sejak 5 tahun yang lalu. Akhir-akhir ini pasien
mengeluh nyeri tulang belakang, tidak berkurang dengan analgetik, sering terbangun malam
hari karena nyerinya. Seminggu lalu pasien melakukan rontgen didapatkan hasil adanya
fraktur kompresi pada dua tulang vertebra, dokter mendiagnosa pasien mengalami
osteoporosis.

BIODATA PASIEN

Nama : Ny. P

Usia : 55 tahun

Alamat : -

Tinggi badan : 165 cm

Keluhan utama : pasien mengatakan nyeri

Riwayat penyakit sekarang: pasien datang dengan keluhan nyari pada tulang belakang, sering
terbangun pada malam hari karena nyerinya.

Pasien mengatakan jarang melakukan olahraga.

Riwayat penyakit dahulu:

Pasien mengatakan 5 tahun yang lalu mengalami menopause

PEMERIKSAAN FISIK

1. Look : Tidak adanya pemanjangan dan pemendekan tulang

2. Feel : adanya nyeri

3. Move : Normal
DAFTAR PUSTAKA

Butcher, Howard K., Gloria M. Bulechek, Joanne M. Dochterman, &Cheryl M. Wagner.


(2018). Nursing Interventions Classification (NIC). 7th ed. (I. Nurjannah, Penerjemah).
Jakarta: Mocomedia.

Ester, Monica, & Wuri Praptiani, (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan Defenisi Dan
Klasifikasi 2018-2020. (11th ed). Jakarta: EGC.

Haryono, Rudi, &Maria Putri Sari Utami. (2020). Keperawatan Medikal Bedah 2.
Yogyakarta: Pustaka Baru Pres.

Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Moorhead, Sue, Elizabeth Swanson, Marion Johnson, &Meridean L. Maas. (2018). Nursing
Outcomes Classification (NOC). 6th ed. (I. Nurjannah, Penerjemah). Jakarta: Mocomedia.

Ningsih, N. Lukman. (2011). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, Amin Huda, & Hardhi Kusuma.(2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. (Edisi Revisi Jilid 3). Yogyakarta: Mediaction
Publishing

PPNI, T. P. S. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan

PPNI, T. P. S. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan

PPNI, T. P. S. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan

Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Anda mungkin juga menyukai