Anda di halaman 1dari 5

TUGAS ARSITEKTUR NUSANTARA

PAPARAN REFLEKTIF DARI BUKU


“Makna Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 9
1. M. FAUZAN ASHARI 21051010005
2. ARIQAH KHAERUNNISA A 21051010049
3. SITI MAZAYA SALMA 21051010094
4. JASMINE SALSHABILA 21051010121
5. M. ALGHANIY B. 21051010129
6. M. SHAYYID ALFAUZY 21051010131

KELAS : B 051
DOSEN PEMBIMBING : ANAS HIDAYAT, S.T, M.T

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR


TAHUN AJARAN 2022
Pada arsitektur masjid masa kini/sekarang, kira-kira apa yang menjadi acuan lokal
dan non-lokalnya?

· Bentuk Arsitektur Acuan lokal

Bentuk rumah tinggal tradisonal Jawa, pada umumnya meliputi tiga tipe, yaitu kampung,
limasan, dan joglo. Sementara tipe panggang-pe tidak ditemukan pada bentuk rumah tinggal,
dan tipe tajug atau masjid, pada umumnya ditemukan pada bentuk cungkup (bangunan di atas
makam) dan tempat peribadatan kaum muslim (masjid). Bentuk atap limasan, pada beberapa
kasus juga digunakan pada bangunan sacral. Cungkup makam Fatimah binti Maimun,
seorang Muslimah yang hidup pada zaman permulaan Islam pada abad ke- 15 Masehi, di
daerah Gresik, Jawa Timur, memiliki atap bentuk limasan. Bangunan dengan atap bentuk tipe
tajuk dianggap sebagai bangunan suci atau sacral oleh sebagian besar masyarakat Jawa,
sehingga lebih banyak digunakan pada bangunan cungkup makam tokoh-tokoh yang
dihormati dan bangunan masjid. Bangunan bentuk tajuk diduga menjadi acuan sinkretisme
bentuk pada arsitektur masjid-mesjid walisanga.

· Bentuk arsitektur acuan non lokal.

Bentuk-bentuk pada arsitektur masjid-mesjid walisanga, bentuk-bentuk arsitektur bangunan


keagamaan non lokal yang ditengarai menjadi acuan bentuk-bentuk arsitektur masjid-mesjid
walisanga adalah sebagai berikut :

a. Candi Hindu/Budha jawa

Bentuk arsitektur candi Hindu/Budha di Jawa menunjukkan ada penggunaan seni bangunan
India (sebagai negeri asal Hinduisme). Gaya candi India Selatan atap seperti limas ditumpuk,
pada atapnya ada relung-relung atau ceruk-ceruk dan dihias dengan kubah-kubah maupun ada
serambi di depan ruangan. Kompleks percandian Hindu/Budha di Jawa pada umumnya
memiliki pintu gerbang berbentuk gapura paduraksa (tertutup pada bagian atasnya) dan
bentar (terbuka pada bagian atasnya). Gapura memiliki fungsi sebagai pintu masuk ke dalam
kompleks percandian atau pintu masuk ke dalam zona-zona dalam kompleks percandian.

b. Masjid Nabawi pada periode awal

Bangunan masjid Nabawi mula-mula terdiri dari dinding bujur sangkar yang membentuk
lapangan terbuka(sahn), dan serambi sepanjang dinding keliling yang diberi atap
(al-maghatta). Al-maghatta yang berada pada arah kiblat ini dikenal pula dengan zulla.
Mihrab yang jadi tanda arah kiblat terletak di bagian depan, dibuat dari batu (bata); di
sebelahnya terdapat mimbar untuk berkhotbah. Tempat wudlu (bersuci sebelum melakukan
shalat), berupa sumur, terletak di bagian tengah lapangan.

a. Gereja Kolonial

Bangunan gereja banyak dibangun oleh Belanda. Arsitektur gereja Kristen Pasundan
memiliki bentuk khas colonial, yang berbeda dengan bentuk-bentuk gereja pada umumnya,
yaitu berbentuk segi enam dengan penutup atap kerucut segi enam. Gereja Blenduk menjadi
landmark bagi Kawasan kota lama Semarang. Komplek gereja terdiri atas
bangunan-bangunan gereja, pastoran dan Gedung pertemuan. Ciri yang mencolok dari
bangunan gereja adalah bahan bangunannya didominasi bata, dengan lengkungan-lengkungan
lubang jendela pada tembok tebal. Gerej aini memiliki Menara yang dulunya terdapat sebuah
jam dengan lonceng-lonceng kecilnya, yang tiap setengah jam sekali berbunyi. Bangunan
gereja Kepanjen memperlihatkan gaya Eropa neo-gothic. Kekhasan bangunan gereja ini
adalah dindingnya berupa pasangan batu bata tanpa plesteran. Gereja Kristen Indonesia
pregolan bunder Surabaya memiliki fasad bagian depan bangunan yang didominasi oleh
bentuk lengkungan pada tembok tebal. Bentuk lengkungan-lengkungan kubang jendela dan
pintu dalam keadaan tidak berjejer.

b. Masjid Pan Islamisme

Perkembangan arsitektur masjid menunjukkan gejala hadirnya identitas Pan Islamisme


‘Arabia’. Secara Arsitektural, klaim untuk menunjukkan eksistensi suatu komunitas muslim
sebagai bagian dari komunitas dunia Nampak pada pengadopsian bentuk-bentuk arsitektur
yang berbau Islam ‘Internasioanl’. Cukup terwakili oleh atap kubah, bentuk
lengkungan-lengkungan pada bagian ambang atas antar kolom, dan Menara tinggi pada
bangunan-bangunan masjid.

c. Masjid Modern

Konsep masjid modern memperlihatkan ekspresi bentuk kotak (atap datar atau miring),
simple (sederhana), bergaris horizontal maupun vertikal, dan bersih tanpa hiasan dekoratif.

Bagaimana proses sinkretis (percampuran) yang dilakukan pada Mesjid Walisanga bisa
dilakukan pada arsitektur Masjid di masa sekarang?

Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang dihasilkan melalui proses
perbandingan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan bentuk-bentuk
arsitektur acuan berdasarkan pelingkup bentuk arsitekturnya, yaitu terjadi dengan cara
pengubahan bentuk dan adaptasi. Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid
Walisanga terjadi karena menggunakan cara mengubah bentuk arsitektur acuan, yaitu atap
tidak tumpang atau tidak bersusun menjadi atap tumpang.

Pada mesjid Sunan Ampel serta mesjid Sunan Muria, terjadi pengubahan bentuk dari
bentuk arsitektur acuan, yaitu dari bentuk atap tajuk tidak tumpang menjadi bentuk atap tajuk
tumpang dua. Pada mesjid-mesjid Agung Demak, Sunan Giri, Menara Kudus, dan mesjid
Sunan Kalijaga, terjadi perubahan bentuk dari bentuk arsitektur acuan, yaitu dari bentuk atap
tajuk tidak tumpang menjadi bentuk atap tajuk tumpang tiga. Pada mesjid Agung Sang Cipta
Rasa terjadi perubahan bentuk dari bentuk arsitektur acuan, yaitu dari bentuk atap limasan
tidak tumpang menjadi bentuk atap limasan tumpang tiga. Atap tumpang pada desain
mesjid-mesjid Walisanga mengekspresikan bentuk atap bertingkat, yang mengindikasikan
terdapat cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan di bawahnya melalui celah-celah di
antara bagian-bagian atap tumpang.

Diantara seluruh kasus studi, terdapat lima bangunan, yaitu mesjid Sunan Ampel,
Agung Sang Cipta Rasa Sunan Giri, Menara Kudus, dan mesjid Sunan Muria yang memiliki
plafon menutup bidang atap bagian dalam atau bisa dibilang mengikuti bentuk atap tumpang,
sehingga cahaya bisa masuk ke dalam ruangan melalui celah-celah antara bagian-bagian atap
tumpang. Lalu pada mesjid-mesjid Agung Demak serta mesjid Sunan Kalijaga memiliki
plafon yang menutup bidang pamidhangan atau bisa disebut bidang di antara soko guru. Jadi,
ruang di bawah atap tajuk tumpang tidak dapat cahaya matahari secara maksimal, karena
cahaya matahari yang masuk melalui celah di antara bagian-bagian atap tajuk tumpang kedua
dan ketiga tidak dapat masuk ke ruangan.

Adaptasi sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, diseluruh kasus


studi, terjadi pada proses percampuran, bentuk arsitektur lokal, yang direpresentasikan oleh
pelingkup atas (atap), dominan pada bentuk arsitektur non lokal, yang direpresentasikan oleh
pelingkup samping (dinding) serta pelingkup bawah (lantai). Dominasi bentuk atap terhadap
dinding serta lantai ditampilkan juga oleh ekspresi interiornya pada lima kasus studi, yaitu
mesjid Sunan Ampel, Agung Sang Cipta Rasa Sunan Giri, Menara Kudus, dan Sunan Muria,
memiliki plafon yang menutup bidang bawah atap (mengikuti bentuk atap tumpang),
sehingga ruang pada bawahnya mengesankan ketinggian dan keagungan. Ekspresi interior
dominasi bentuk atap dipertegas menggunakan konstruksi penyangga atapnya, yaitu
konstruksi soko guru serta pembalokan blandar – pengerat dan sunduk - kili-kili.

Fenomena menariknya adalah seluruh kasus studi pada mesjid-mesjid walisanga


beratap tumpang, dari yang berbentuk tajuk maupun limasan.

● Alasan penting pertama adalah dalam rangka pengoptimalan sinar matahari


yang masuk ke ruangan. Dapat dilihat dari adanya konstruksi jendela kaca
antara tumpang-tumpangnya.
● Alasan penting kedua adalah pada rangka penerapan teknologi konstruksi
bangunan. Bangunan mesjid merupakan fasilitas peribadatan komunal untuk
masyarakat muslim, sehingga dibutuhkan luasan ruang yang relatif besar.
Struktur bangunan merupakan salah satu faktor penting. Semakin besar luasan
dari ruangan yang dinaungi atap, akan semakin tinggi puncak dari atapnya.
Apalagi sudut kemiringan atap relatif curam. Hal ini pula yang mungkin dapat
menyebabkan konstruksi atap bangunan dibuat berlapis. untuk mengerjakan
lapis atap selanjutnya, para tukang memakai lapis atap di bawahnya sebagai
pijakan. Semua elemen pembentuk struktur bangunan meneruskan gaya pada
tiang utama yang berjumlah empat buah. Tiang-tiang ini yang kemudian
disebut soko guru yang merupakan struktur utama bangunan mesjid. Presisi
sambungan-sambungan kayu pada konstruksi atap telah menjamin
kelangsungan “hidup” mesjid-mesjid Walisanga diwaktu yang lama.
● Alasan penting ketiga adalah dalam mendapatkan simbol ketuhanan. Hal ini
ditunjang dengan fungsi mesjid-mesjid Walisanga. Pada seluruh kasus studi,
bagian-bagian atau ruang-ruang yang dinaungi atap berbentuk tajuk atau
limasan tumpang menempati fungsi-fungsi ritual mesjid serta ritual makam.
Bagi sebagian masyarakat muslim Jawa, kedua fungsi tersebut merupakan
upaya mendekatkan diri kepada serta mendapatkan berkah ketenangan hidup
dari Tuhan. Tuhan selalu disimbolkan menggunakan segala sesuatu yang
mempunyai sifat ketinggian. Di zaman dulu, gunung dianggap sebagai sarana
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kemudian bentuk gunung
direpresentasikan dalam bentuk atap tajuk.

Anda mungkin juga menyukai