Anda di halaman 1dari 2

Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin

Hamalatul Qur’ani

D Khair, 1988. Hukum Kewarisan Islam dalam Pandangan Hazairin, tesis Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A Abubakar. 1986. Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran
Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Hazairin berpandangan bahwa hukum Islam dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai
rahmatan lil alamin ketika penerapannya disesuaikan dengan sosio-kultural masyarakat,
dengan maksud untuk meletakkan keadilan menyeluruh bagi masyarakat.

Menurut Abubakar dalam karyanya “Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan
Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab”, Hazairin mengemukakan
pandangan alternatit. Pertama, ahli waris perempuan dan ahli waris laki-laki sama-sama
dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Kedua, hubungan
kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Ketiga, ahli waris
pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama).

Dalam kerangka pemikiran usul fiqh, Hazairin memisahkan secara jelas antara dalil dan
penalaran. Dalil hanyalah al-Qur’an dan hadits. Pemahaman ini berbeda dari pandangan
sebagian ulama awal yang tak membedakan dalil dan penalaran. Penalaran pada umumnya
dibedakan atas pola bayani (semantic), pola ta’lili (penentuan illat), dan pola ishtishlahi
(pertimbangan kemaslahatan berdasarkan nash umum).

Mengenai dalil, Hazairin menafsirkan ayat-ayat tentang kewarisan sebagai satu kesatuan
yang saling menerangkan. Kedua, Hazairin berusaha menciptakan sebuah sistem yang
bulat, sekaligus melayangkan kritik terhadap kebiasaan yang menerapkan nash secara
langsung kepada kasus, walaupun harus mengubah seluruh adat setempat. Ketiga, konsep-
konsep dalam al-Qur’an dijelaskan berdasarkan temuan ‘ilmu modern’, khususnya
antropologi untuk menguniversalisasi konsepnya. Menurut Hazairin, kegiatannya berada
pada ial-haml (keyakinan yang berarti begitulah penetapan Allah), sedangkan kegiatan
Sunni dan Sahabat berada pada Isti’mal (adat masyarakat adat pada masa Nabi).

Mengenai hadits, Hazairin berpendapat hadits adalah penjelas (suplemen) yang tidak bisa
dipisahkan dari al Qur’an, sehingga hadits tidak boleh bertentangan dengan al Qur’an.
Sedangkan ulama awal menganggap- hadits berhubungan langusng dengan sesuatu ayat,
sehingga melepaskannya dari ayat-ayat lain.

Hazairin berusaha menafsirkan ayat-ayat kewarisan islam dan fokus dalam pemahaman
bilateral –berbeda dari sistem Sunni. Inti kewarisan menurut Hazairin:
1. Anak-anak , baik laki-laki atau perempuan dalam derajat yang sama,
kemampuannya menghijab dalam keadaan yang sama, mereka sebagai dzul furud
dan dzul qarabah.
2. Para cucu laki-laki atau perempuan berkedudukan sebagai mawali, yakni pengganti
dari kedudukan orang tua mereka, sebagaimana juga anak turun mereka, baik
pancar laki-laki maupun perempuan dalam derajat yang sama.
3. Ayah memperoleh wajib 1/6 jika ada anak laki-laki atau perempuan, atau anak-anak
salah satu dari mereka dan segala anak turun mereka seterusnya.
4. Para saudara hanya dapar mewarisi jika tidak ada anak-anak, dan mereka hanya
dihijab secara nuqsan oleh adanya ibu atau ayah.
5. Kakek dan nenek hanya akan mewaris dalam keadaan kalalah yakni tidak adanya
anak turun pewaris, laki-laki atau perempuan beserta mawali bagi anak-anak
tersebut, dan para saudara pewaris, laki-laki atau perempuan dalam berbagai
jurusan,
6. Tidak ada djawahil arham, karena dalam setiap garis memiliki mawali sehingga
ketidakberhakan mereka dalam mewarisi karena adanya hijab dan menghijab di
antara para ahli waris.

Anda mungkin juga menyukai