Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PERPAJAKAN

“Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)”

DOSEN PEMBIMBING:

IWIN ARNOVA S.E., M.Ak

DISUSUN OLEH :

Salsa Billha Sumitha 21040019

Feo Rentina 21040025

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PROF. DR. HAZAIRIN, SH
BENGKULU

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, taufik
serta Hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul tentang “Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)” ini dengan baik, sebagai syarat untuk
memenuhi tugas dalam mata kuliah perpajakan.

Makalah ini kami susun dari berbagai macam referensi dan bantuan dari berbagai
pihak, dan kami juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
mengalami kekurangan.

Oleh karena itu kami mengharapkan kritik serta saran dari semua pembaca agar
terciptanya makalah ini lebih baik lagi. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang sudah membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk,mauapun pedoman bagi pembaca
dalam bidang perpajakan terutama dalam pembahasan BPHTB

Bengkulu, Maret 2023

(penulis)

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
I.1 Latar Belakang.............................................................................................................................4
I.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................4
I.3 Tujuan..........................................................................................................................................4
BAB II...................................................................................................................................................5
II.1 Penerbitan Surat Tagihan SKBKB, SKBKBT, DAN STB..........................................................5
II.2 Pengajuan dan Penyelesaian Permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrai
SKBKB, SKBKBT, dan SBT..........................................................................................................10
II.3 Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHPT.........................................................................16
II.4 Pembagian Hasil BPHTB..........................................................................................................20
II.5 Ketentuan bagi Penjabat............................................................................................................22
BAB III................................................................................................................................................23
III.1 Kesimpulan..............................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur
dalam UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana terakhir diubah dengan UU no. 20 tahun 2000. Undang-undang No. 6 tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UU No. 28 tahun 2007. Pajak adalah iuran atau pungutan wajib yang
dupungut oleh pemerintah dari masyarakat untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan
biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Namun secara
logika pajak yang dibayar oleh masyarakat tersebut mempunyai dampak secara langsung
terhadap kesejahteraan masyarakat seperti pembangunan jalan, jembatan, dan tempat-tempat
umum lainnya.

I.2 Rumusan Masalah


1. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB)

2. Surat ketetapan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan kurang bayar tambahan
(SKBKBT)

3. Surat tagihan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan kurang bayar tambahan (STB)

4. Pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB

5. Ketentuan bagi penjabat dan Pembagian hasil BPHTB

I.3 Tujuan
Dengan adanya makalah ini, pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang SKBKB,
SKBKBT, STB, pengembalian kelebihan pemabayaran BPHTB serta ketentuan bagi penjabat
dam pembagian hasil BPHTB

4
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Penerbitan Surat Tagihan SKBKB, SKBKBT, DAN STB
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 01/PJ.6/1999

TENTANG

TATA CARA PENERBITAN SURAT TAGIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS


TANAH DAN BANGUNAN (STB),
SURAT KETETAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
KURANG BAYAR (SKBKB),
SURAT KETETAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
KURANG BAYAR TAMBAHAN
(SKBKBT), DAN SURAT KEPUTUSAN PEMBETULAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal
14 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, dipandang perlu mengatur tata cara penerbitan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (STB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3266) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3566);

5
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3686)
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3688);
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 633/KMK.04/1997 tanggal 22 Desember 1997
tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan;
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 147/KMK.04/1998 tanggal 27 Pebruari 1998
tentang Penunjukan Pejabat untuk Penagihan Pajak Pusat, Tata Cara dan Jadwal
Waktu Pelaksanaan Penagihan Pajak;
6. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-21/PJ.6/1997 tanggal 24 Desember
1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan dan Bentuk serta Fungsi Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (SSB);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERBITAN
SURAT TAGIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (STB),
SURAT KETETAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
KURANG BAYAR (SKBKB), SURAT KETETAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUNAN KURANG BAYAR TAMBAHAN (SKBKBT), DAN SURAT
KEPUTUSAN PEMBETULAN.

Pasal 1
(1 Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (Kepala KPPBB) atas nama Direktur
) Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (STB) apabila :
a. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
b. dari hasil pemeriksaan kantor ternyata atas Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (SSB) terdapat kekurangan pembayaran pajak karena salah
6
tulis dan atau salah hitung.
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.
(2 Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB sebagaimana
) dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3 Sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
) huruf c, yaitu :
a. sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dalam hal
Wajib Pajak membetulkan sendiri SSB yang mengakibatkan utang pajak menjadi
lebih besar sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan, dihitung sejak berakhirnya
penyampaian SSB sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SSB;
b. sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dalam hal
pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran,
dihitung sejak jatuh tempo sampai dengan diterbitkannya STB untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(4 STB mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga
) dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.

Pasal 2
(1 Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala KPPBB dapat
) melakukan pemeriksaan atas kebenaran data objek pajak yang tertuang dalam SSB.
(2 Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau keterangan lain
) ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar, maka Kepala KPPBB atas nama
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar (SKBKB).
(3 Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB sebagaimana dimaksud pada ayat
) (2) ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya
pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

Pasal 3
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala KPPBB

7
atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan
data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terutang dan sebelumnya telah pernah diterbitkan SKBKB.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT sebagaimana dimaksud pada
(2)
ayat (1) ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
Sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
(3)
dikenakan apabila SKBKBT diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib
Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat belum dilakukan tindakan pemeriksaan.

Pasal 4
(1) Kepala KPPBB atas nama Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan
Wajib Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak atau STB yang dalam
penerbitannya terdapat :
a. kesalahan tulis, antara lain, kesalahan nama, alamat, data objek pajak, nomor
surat ketetapan pajak, dan tanggal jatuh tempo;
b. kesalahan hitung, yaitu kesalahan yang berasal dari penjumlahan, pengurangan,
perkalian, dan atau pembagian; dan atau
c. kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, yaitu kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan
penerapan pengenaan hak pengelolaan dan hibah wasiat, dan penerapan Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP).
(2) Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
menambah, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah pajak terutang dalam surat
ketetapan pajak atau STB.
(3) Apabila setelah diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan ternyata masih terdapat
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi
permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak u.p. Kepala KPPBB atau
Kepala KPPBB atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi
secara jabatan.

8
Pasal 5
(1) SKBKB, SKBKBT, STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3,
dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan
pajak.
(2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang berdasarkan SKBKB,
SKBKBT, STB, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan
sejak diterima oleh Wajib Pajak.
(3) Apabila atas pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak atau kurang
dibayar pada saat jatuh tempo, maka atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
dimaksud dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan,
dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan pembayaran.

Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB),
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB),
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
(SKBKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan dengan penjelasan sebagai berikut :

1. STB diterbitkan untuk menagih utang pajak yang bersifat jelas dan pasti sesuai pengakuan
Wajib Pajak dalam Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) serta
tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Oleh karenanya, terhadap
STB tidak dapat diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.STB dapat digunakan untuk menagih
bunga penagihan dalam hal surat ketetapan pajak atau STB tidak atau kurang dibayar setelah
lewat jatuh tempo.

2. Penerbitan SKBKB hanya dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban
material. Karena SKBKB merupakan surat ketetapan pajak yang ditetapkan secara jabatan,

9
maka terhadap SKBKB dan surat ketetapan pajak lainnya dimungkinkan untuk diajukan
keberatan oleh Wajib Pajak.

3. SKBKBT diterbitkan sebagai koreksi atas SKBKB, dengan demikian SKBKBT diterbitkan
apabila telah pernah diterbitkan SKBKB. Penerbitan SKBKBT dilakukan dengan syarat
adanya data baru (novum) dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan pajak yang terutang dalam SKBKB. Apabila masih ditemukan lagi data yang
semula belum terungkap pada saat diterbitkannya SKBKBT dan atau data baru yang
diketahui kemudian, SKBKBT masih dapat diterbitkan lagi. Yang dimaksud dengan data
baru (novum) adalah data yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SSB, sedangkan
data yang semula belum terungkap adalah data yang sudah dilaporkan oleh Wajib Pajak
dalam SSB namun tidak diungkapkan secara jelas.

4. Surat Keputusan Pembetulan merupakan sarana yang digunakan untuk membetulkan


kesalahan atau kekeliruan dalam penerbitan surat ketetapan pajak atau STB, baik kesalahan
atau kekeliruan yang ditemukan oleh fiskus atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
Pembetulan dimaksud dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang
baik, sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi dalam
surat ketetapan pajak atau STB perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau
kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Ruang
lingkup pembetulan hanya terbatas pada surat ketetapan pajak atau STB yang salah sebagai
akibat kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kekeliruan dalam penerapan peraturan
perundang-undangan.

5. Bentuk dan spesifikasi teknis pencetakan formulir STB, SKBKB, dan SKBKBT yang
diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-219/PJ/1997 tanggal 24
Desember 1997 tentang Pencetakan Formulir BPHTB disesuaikan dengan lampiran
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01/PJ.6/1999 tanggal 6 Januari 1999.

II.2 Pengajuan dan Penyelesaian Permohonan Pengurangan atau Penghapusan


Sanksi Administrai SKBKB, SKBKBT, dan SBT
TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN PENGURANGAN
ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUNAN, DAN PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN SURAT
KETETAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN ATAU

10
SURAT TAGIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, YANG
TIDAK BENAR DIREKTUR JENDERAL PAJAK.

Menimbang :
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
111/PMK.03/2009 tentang Tata cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan
Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan,yang Tidak Benar, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permohonan Pengurangan atau Penghapusan
Sanksi Administrasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pengurangan atau
Pembatalan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau Surat
Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang Tidak Benar;

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan Sebagaimana Telah Beberapa kali Diubah
Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4797);

11
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pengurangan
atau Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan, dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi
dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, atau Surat
Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang Tidak Benar;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGAJUAN
DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN
SANKSI ADMINISTRASI BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN,
DAN PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN SURAT KETETAPAN BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN ATAU SURAT TAGIHAN BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, YANG TIDAK BENAR

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :
1. Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut
dengan Undang-Undang BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000.
2. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar yang
selanjutnya disingkat dengan SKBKB adalah surat ketetapan BPHTB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang BPHTB.
3. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
yang selanjutnya disingkat dengan SKBKBT adalah surat ketetapan BPHTB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang BPHTB.
4.Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar yang
selanjutnya disingkat SKBLB adalah surat ketetapan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) huruf a Undang-Undang BPHTB.

12
5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang selanjutnya
disingkat dengan SKBN adalah surat ketetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1) huruf b Undang-Undang BPHTB.
6. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat
dengan STB adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa
bunga dan/atau denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang
BPHTB.
7. Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang selanjutnya disebut dengan KPP Pratama adalah
Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang menerbitkan SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN,
dan/atau STB.

Pasal 2
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKBKB,
SKBKBT, atau STB, berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang dikenakan karena
kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak; dan/atau
b. mengurangkan atau membatalkan SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB, yang
tidak benar.

Pasal 3
(1) Untuk mendukung permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, permohonan dimaksud dilampiri dengan :
a) fotokopi identitas Wajib Pajak, dan fotokopi identitas kuasa Wajib Pajak dalam hal
dikuasakan;
b) dokumen pendukung yang dapat menunjukkan bahwa sanksi administrasi dikenakan
karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak;
c) fotokopi surat pemberitahuan pengajuan keberatan BPHTB tidak dapat
dipertimbangkan, dalam hal Wajib Pajak pernah mengajukan keberatan atas SKBKB
atau SKBKBT;dan/ataud. dokumen pendukung lainnya.
(2) Untuk mendukung permohonan pengurangan SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau
STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, permohonan dimaksud dilampiri dengan :
a) fotokopi identitas Wajib Pajak, dan fotokopi identitas kuasa Wajib Pajak dalam hal
dikuasakan;

13
b) dokumen pendukung yang dapat menunjukkan bahwa SKBKB, SKBKBT, SKBLB,
SKBN atau STB tersebut tidak benar;
c) fotokopi surat pemberitahuan pengajuan keberatan BPHTB tidak dapat
dipertimbangkan, dalam hal Wajib Pajak pernah mengajukan keberatan atas SKBKB,
SKBKBT, SKBLB atau SKBN; dan/atau
d) dokumen pendukung lainnya.
(3) Untuk mendukung permohonan pembatalan SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau
STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, permohonan dimaksud dilampiri dengan :
a. fotokopi identitas Wajib Pajak, dan fotokopi identitas kuasa Wajib Pajak dalam hal
dikuasakan;
b. dokumen pendukung yang dapat menunjukkan bahwa SKBKB, SKBKBT, SKBLB,
SKBN atau STB tersebut tidak benar;dan/atau
c. dokumen pendukung lainnya.

Pasal 4
(1) Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan kepada Direktur
Jenderal Pajak dan disampaikan ke KPP Pratama :
a. secara langsung; atau
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat.
(2) Atas penyampaian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diberikan tanda bukti penerimaan surat.
(3) Bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau tanda bukti
penerimaan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bukti penerimaan surat
permohonan Wajib Pajak.
Pasal 5
Tanggal bukti penerimaan surat permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) yaitu :
a. tanggal terima yang tercantum pada bukti penerimaan surat, dalam hal surat permohonan
Wajib Pajak disampaikan secara langsung; atau
b. tanggal stempel pos yang tercantum pada bukti pengiriman surat, dalam hal surat
permohonan Wajib Pajak disampaikan melalui pos.

Pasal 6

14
Direktur Jenderal Pajak berwenang memberikan keputusan atas permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

Pasal 7
(1) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ditetapkan berdasarkan hasil penelitian
di kantor, dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan dengan penelitian di lapangan.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat tugas dan
hasilnya dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(3) Dalam hal dilakukan penelitian di lapangan, pejabat serendah-rendahnya setingkat Eselon
III terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis waktu pelaksanaan penelitian di lapangan
kepada Wajib Pajak atau kuasanya.

Pasal 8
(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
bukti penerimaan surat permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, harus
memberi suatu keputusan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2.
(2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat berupa mengabulkan
sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pengurangan SKBKB, SKBKBT,
SKBLB, SKBN, atau STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dapat berupa
mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
(4) Keputusan direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembatalan SKBKB, SKBKBT,
SKBLB, SKBN, atau STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dapat berupa
mengabulkan atau menolak permohonan Wajib Pajak.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan yang diajukan dianggap
dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan keputusan sesuai dengan
permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak
jangka waktu dimaksud berakhir.
(6) Atas permintaan tertulis dari Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak harus memberikan
keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan

15
sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), atau
menolak permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Pasal 9
Bentuk formulir Keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai :
a. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi BPHTB atas SKBKB, SKBKBT, atau
STB sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. pengurangan SKBKB, SKBKBT, SKBLB, atau SKBN, yang tidak benar, sebagaimana
ditetapkan pada Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
c. pengurangan STB yang tidak benar, sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
d. pembatalan SKBKB, SKBKBT, SKBLB, atau SKBN, yang tidak benar, sebagaimana
ditetapkan pada Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
e. pembatalan STB yang tidak benar, sebagaimana ditetapkan pada Lampiran V Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
Pasal 10
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

II.3 Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHPT


Pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah kredit pajak atau
jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau yang telah
dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya terutang dengan catatan wajib pajak tidak
mempunyai catatan utang pajak lain.

a. Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak.

1. Dalam halam hal ini jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang :
a. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan restitusi ke direktorat jenderal pajak
yang terutang;
b. Direktur Jendral Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, menerbitkan surat ketetapan pajak lebih
bayar dalam hal :

16
 Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah
pajak yang terutang;
 Pajak Pertambahan Nilai, apabila jumlah kredit pajak lebih besar dari pada
jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara
jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau;
 Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, apabila jumlah pajak yangdibayar lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang.

c. SKPLB diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 12 (duabelas) bulan
sejak surat permohonan diterima secara lengkap.

 Apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi, Direktur


Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka permohonan dianggap
dikabulkan, dan SKPLB diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan
setelah jangka waktu berakhir.
 Apabila SKPLB terlambat diterbitkan, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka
waktu 1 (satu) bulan tersebut sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar.
2. Dalam hal pembayaran pajak yang seharusnya tidak terhutang: Pajak yang yang
seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh WP yang bukan
merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan pemotongan atau pemungutan
yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar dari pada pajak
yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan perundang-undangan
perpajakan atau bukan merupakan objek pajak.
a. Wajib Pajak (WP orang pribadi dan badan termasuk orang pribadi yang belum
memiliki NPWP) dapat mengajukan permohonan restitusi ke kantor Direktur Jenderal
Pajak melalui KPP tempat WP terdaftar atau berdomisili, apabila terjadi kesalahan
pembayaran pajak atas pajak yang seharusnya tidak terutang. Surat permohonan harus
melampirkan :
 Asli bukti pembayaran pajak;
 Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan

17
 Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yangseharusnya tidak
terutang.

b. WP yang dipotong atau dipungut (PPh, PPN dan PPnBM) dapat mengajukan
permohonan restitusi ke kantor Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP yang
dipotong atau yang dipungut terdaftar atau melalui KPP tempat Pengusaha Kena
Pajak yang dipungut dikukuhkan dengan catatan PPh dan PPN serta PPnBM yang
dipotong atau dipungut belum dikreditkan atau dibiayakan. Surat permohonan harus
melampirkan:

 Asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;


 Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
 Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yangseharusnya tidak
terutang.

c. WP yang melakukan pemotongan atau pemungutan dapat mengajukan permohonan


restitusi ke kantor Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP yang melakukan
pemotongan ataupemungutan terdaftar atau Pengusaha Kena Pajak yang
melakukanpemungutan dikukuhkan, apabila terjadi kesalahan pemotongan atau
pemungutan pajak yang dilakukannya dan pihak yang dipotong atau dipungut adalah :

 Orang pribadi yang belum memiliki NPWP;


 Subjek pajak luar negeri; atau
 Terdapat kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong ataupemungutan
kecuali WP yang melakukan pemotongan ataupemungutan tidak dapat
ditemukan yang disebabkan antara lainkarena pembubaran usaha.

Surat permohonan harus melampirkan :

 Asli bukti pembayaran pajak;


 Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
 Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang; dan
 Surat kuasa dari pihak yangdipotong atau dipungut kepada WP yang
melakukan pemotonganatau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan pemungutan.

18
d. Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap permohonan pengembalian
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) bulan sejak permohonan WP diterima secara lengkap dan menerbitkan SKPLB
bila hasil penelitian tersebut terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang. Apabila hasil penelitian tidak terdapat pajak yang seharusnya tidak terutang,
maka Direktur Jenderal Pajak harus memberitahu secara tertulis kepada WP.

b. Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Kepada Wajib Pajak yang Memenuhi


Persyaratan Tertentu.Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah :

1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh kurang dari Rp1.800.000.000,00
(satu milyar delapan ratus juta rupiah) dan jumlah lebih bayarnya kurang dari
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak 0,5% (setengah persen) dari jumlah
peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh tersebut;

3. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan
PPh paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan jumlah lebih bayarnya
kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); atau

4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak


Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan untuk suatu Masa Pajak paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan jumlah lebih bayarnya paling banyak Rp
28.000.000,00 (dua puluhdelapan juta rupiah). Terhadap permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, Kepala
KPP melakukan penelitian atas :

1. Kelengkapan SPT dan lampiran-lampirannya;

2. Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak

3. Kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh WP; dan

4. Kebenaran alamat yang tercantum dalam SPT tersebut atau dalam SPT perubahan alamat.
dan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3
(tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan dan paling

19
lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan
Nilai. Dalam hal hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar, lampiran SPT tidak lengkap,
pembayaran pajak tidak benar, atau alamat tidak sesuai dengan yang tercantum dalam SPT
atau dengan pemberitahuan perubahan alamat sehingga Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak diterbitkan, maka Kepala KPP harus memberitahu secara
tertulis kepada WP.

II.4 Pembagian Hasil BPHTB


Berdasarkan Keputusan Mentri Keuangan Nomor 519/KMK.04/2000 .

Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBAGIAN HASIL
PENERIMAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
Pasal 1
Hasil penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan penerimaan
Negara.
Pasal 2
(1) Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi untuk Pemerintah
Pusat dan Daerah dengan imbangan sebagai berikut:

a. 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat;


b. 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
(2) Jumlah 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada seluruh
Kabupaten/Kota.

(3) Jumlah 80% (delapan puluh persen) bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, diperinci sebagai berikut:

a. 16% (enam belas persen) untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan dan
disalurkan melalui rekening Kas Umum Daerah Propinsi;
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/ Kota penghasil dan
disalurkan melalui rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Khusus untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam jumlah 80% (delapan puluh persen)

20
bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diperinci sebagai berikut:

a. 16% (enam belas persen) untuk Daerah Propinsi, yang dibagi dengan imbangan:
1) 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
rekening khusus dana pendidikan;
2) 70% (tujuh puluh persen) untuk Daerah Propinsi dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah

b. 64% (enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil, yang
dibagi dengan imbangan:
1) 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
rekening khusus dana pendidikan;
2) 70% (tujuh puluh persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan melalui re
Kabupaten/ Kota.
Pasal 3
(1) Setiap akhir bulan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan/Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Pratama setempat atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan
Penetapan Pembagian Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(KP-PHP-BPHTB).
(2) Berdasarkan KP-PHP-BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama atas nama
Menteri Keuangan menerbitkan Surat Perintah Membayar Pembagian Hasil Penerimaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SPM-PHP-BPHTB) untuk masing-masing
Propinsi dan Kabupaten/ Kota.
Pasal 4
Bentuk KP-PHP-BPHTB dan SPM-PHP-BPHTB adalah sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 5
Khusus untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, bentuk KP-PHP-BPHTB dan SPM-PHP-
BPHTB adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III dan Lampiran IV Peraturan
Menteri Keuangan ini.
Pasal 6
Hasil penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) merupakan
pendapatan Daerah, dan setiap tahun anggaran dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Pasal 7

21
Ketentuan pelaksanaan lebih lanjut mengenai pembagian hasil penerimaan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan bagian Pemerintah Pusat kepada Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bersama
Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku:
1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 519/KMK.04/2000 tentang Tata Cara
Pembagian Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 550/KMK.03/2002 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Peraturan Pelaksanaan yang telah ada di bidang Tata Cara Pembagian Hasil
Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri
Keuangan ini.

Pasal 9
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

II.5 Ketentuan bagi Penjabat


 Pejabat Pembuat Akta Tanah / Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan
hak atas tanah dan atau bangunan pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
 Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak
atas tanah dan bangunan pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa
Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
 Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian
hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan Surat Keputusan yang
dimaksud pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
 Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya
dapat dilakukan oleh Pejabat Pertahanan Kabupaten / Kota pada saat WP
menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.

22
Pejabat yang melanggar akan dikenakan sanksi, berupa :

o Denda sebesar Rp 7.500.000,00 jika penandatanganan akta atau risalah lelang


tanpa SSP.
o Denda sebesar Rp 250.000,00 untuk setiap pelanggaran pembuatan laporan.

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
 Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(STB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
(SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar Tambahan (SKBKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan dengan penjelasan
sebagai berikut :

1. STB diterbitkan untuk menagih utang pajak yang bersifat jelas dan pasti sesuai pengakuan
Wajib Pajak dalam Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) serta
tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Oleh karenanya, terhadap
STB tidak dapat diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.STB dapat digunakan untuk menagih
bunga penagihan dalam hal surat ketetapan pajak atau STB tidak atau kurang dibayar setelah
lewat jatuh tempo.

2. Penerbitan SKBKB hanya dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban
material. Karena SKBKB merupakan surat ketetapan pajak yang ditetapkan secara jabatan,
maka terhadap SKBKB dan surat ketetapan pajak lainnya dimungkinkan untuk diajukan
keberatan oleh Wajib Pajak.

3.SKBKBT diterbitkan sebagai koreksi atas SKBKB, dengan demikian SKBKBT diterbitkan
apabila telah pernah diterbitkan SKBKB. Penerbitan SKBKBT dilakukan dengan syarat
adanya data baru (novum) dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan pajak yang terutang dalam SKBKB. Apabila masih ditemukan lagi data yang
semula belum terungkap pada saat diterbitkannya SKBKBT dan atau data baru yang
diketahui kemudian, SKBKBT masih dapat diterbitkan lagi. Yang dimaksud dengan data
baru (novum) adalah data yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SSB, sedangkan

23
data yang semula belum terungkap adalah data yang sudah dilaporkan oleh Wajib Pajak
dalam SSB namun tidak diungkapkan secara jelas.

4. Surat Keputusan Pembetulan merupakan sarana yang digunakan untuk membetulkan


kesalahan atau kekeliruan dalam penerbitan surat ketetapan pajak atau STB, baik kesalahan
atau kekeliruan yang ditemukan oleh fiskus atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
Pembetulan dimaksud dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang
baik, sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi dalam
surat ketetapan pajak atau STB perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau
kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Ruang
lingkup pembetulan hanya terbatas pada surat ketetapan pajak atau STB yang salah sebagai
akibat kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kekeliruan dalam penerapan peraturan
perundang-undangan.

5. Bentuk dan spesifikasi teknis pencetakan formulir STB, SKBKB, dan SKBKBT yang
diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-219/PJ/1997 tanggal 24
Desember 1997 tentang Pencetakan Formulir BPHTB disesuaikan dengan lampiran
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01/PJ.6/1999 tanggal 6 Januari 1999.

 Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKBKB,
SKBKBT, atau STB, berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang dikenakan karena
kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak; dan/atau
b. mengurangkan atau membatalkan SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB, yang
tidak benar

 Pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah kredit


pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang
atau yang telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya terutang dengan catatan
wajib pajak tidak mempunyai catatan utang pajak lain.

 Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi untuk
Pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan sebagai berikut:

a. 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat;


b. 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.

24
25
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/9876912/pembahasan_bea_perolehan_hak_atas_tanah_dan_bangunan

https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/9865

https://www.pajakku.com/tax-guide/8584/PER_DIRJEN_PJK/PER-6/PJ/2010

https://www.pajakku.com/tax-guide/3223/SE_DIRJEN_PJK/SE-20/PJ.6/1999

https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/1556

26

Anda mungkin juga menyukai