Anda di halaman 1dari 247

MEKANIKA KUANTUM I

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau
Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii
ISBN  978‐602‐99344‐1‐0

MEKANIKA KUANTUM I
Dra. Suparmi, M.A., Ph.D

Editor
Drs. Cari, M.A., Ph.D

Penerbit :
Jurusan Fisika Fakultas MIPA
Universitas Sebelas Maret Surakarta

iii
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Suparmi
Mekanika Kuantum I. Cetakan I . Surakarta . Jurusan Fisika MIPA
Universitas Sebelas Maret Surakarta . 2011
viii + 230 hal; 15,5 x 23 cm
MEKANIKA KUANTUM I
Hak Cipta© Suparmi 2011
Penulis : Dra. Suparmi, M.A., Ph.D
Editor : Drs. Cari, M.A., Ph.D
Ilustrasi Sampul : Tim
Penerbit : Jurusan Fisika Fakultas MIPA
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan, Surakarta 57126
Cetakan I, Juli 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
All Right Reserved
ISBN 978-602-99344-1-0

iv
KATA PENGANTAR

Tidak seperti pada konsep mekanika menurut Newton, atau


listrik dinamika menurut Maxwell, yang mana konsep-konsep
tersebut dirumuskan oleh seorang ahli Fisika saja, namun teori
kuantum tidak ditenmukan oleh satu orang saja. Tidak ada
konsensus umum tentang prinsip-prinsip dasar mekanika kuantum
yang harus diajarkan. Setiap fisikawan menelaah mekanika kuantum
secara berbeda dengan materi atau konsep yang sedikit berbeda.
Seperti yang diungkapkan oleh Fisikawan Richard Feynmann bahwa
tak seorang pun memahami mekanika kuantum.
Tujuan dari buku ini adalah agar para pembaca dapat
memahami mekanika kuantum secara konseptual dan mudah. Pada
buku I, latar belakang munculnya teori kuantum dibahas pada bab I
dan II. Peristiwa radiasi benda hitam untuk seluruh rentang energi
secara klasik tidak bisa dijelaskan dengan satu teori saja, tetapi
dengan kuantum bisa dijelaskan dengan teori Planck saja. Demikian
juga peristiwa efek foto listrik dan hamburan Compton hanya bisa
dijelaskan dengan teori kuantum.
Pada bab III disajikan penjabaran persamaan Schrodinger
dengan menggunakan persamaan gelombang secara fisika klasik dan
hipotesa-hipotesa yang melandasi munculnya teori kuantum secara
sederhana dan dibahas postulat-postulat yang mendasari munculnya
teori kuantum.
Deskripsi gerak partikel dalam potensial sederhana, yaitu
energi potensial yang mempengaruhi gerakan partikel berharga
tetap, didiskusikan secara detail pada bab IV.
Gerak partikel dalam potensial osilator harmonik satu
dimensi dideskripsikan secara memadai, fungsi gelombangnya
dijabarkan dengan menggunakan 3 cara, yaitu penyelesaian
langsung dalam bentuk deret hermit, menggunakan fungsi
pembangkit hermit, dan metode operator. Ditunjukkan bahwa nilai
ekspektasi dapat ditentukan dengan lebih mudah menggunakan
metode operator.
Gerak elektron dalam atom hydrogen dibahas secara detail
baik fungsi gelombang bagian sudut maupun bagian radial dengan

v
beberapa metode pada bab VI. Buku I diakhiri dengan penelaahan
tentang momentum sudut.
Buku II membahas aplikasi teori kuantum dalam zat padat
secara sederhana. Demikian juga penjumlahan momentum sudut dan
teori gangguan tak gayut waktu dibahas dengan contoh-contoh
sederhana. Penyelesaian pendekatan untuk sistem “bound states”
dari persamaan Schrodinger menggunakan pendekatan Semiklasik
WKB dibahas secara memadai yang dilengkapi dengan contoh
sederhana.
Yang menarik pada buku II adalah telah dimasukkannya
konsep supersimetri mekanika kuantum. Dengan menggunakan teori
supersimetri mekanika kuantum berbagai potensial yang cukup
kompleks dalam kelas “Shape invariant potential” dapat diselesaikan
lebih mudah. Supersimetri mekanika kuantum menggunakan model
potensial yang pada awalnya digunakan untuk membahas
mekanisme sistem simetri yang telah rusak bila supersimetri ada di
alam, namun dalam perkembangannya dapat diaplikasikan untuk
penyelesaian persamaan Schrodinger. Dengan menggunakan metode
deret, formula kuantisasi energi pada pendekatan semiklasik dapat
dijabarkan menjadi formula supersimetri WKB atau CBC. Telaah
spektrum energi dan fungsi gelombang yang berbasis SUSY
mekanika kuantum adalah bagian dari desertasi penulis. Disamping
menggunakan SUSY WKB, spectrum energi dan fungsi gelombang
untuk “shape invariant potential” juga ditelaah dengan fungsi
Hypergeometry dan Confluent Hypergeometry.
Penulis menyadari bahwa baik buku Mekanika Kuantum I
dan II jauh dari sempurna. Saran dan kritik dari para pembaca,
penulis terima dengan tangan terbuka untuk penyempurnaan edisi
berikutnya.
Akhir kata, puji syukur penulis panjatkan ke hadlirat Allah
swt. yang telah memberi kekuatan dan ridho Nya kepada penulis
sehingga penulis bisa menyelesaikan buku ini dan semoga buku ini
bermanfaat bagi mahasiswa jurusan Fisika Pendidikan Fisika, dan
Pendidikan Sains. Amien

Surakarta, Juli 2011


Penulis

vi
DAFTAR ISI

BAB I REVIEW DAN BATAS-BATAS FISIKA


KLASIK................................................................... 1
1.1 Pendahuluan...................................................... 1
1.2 Tinjauan Umum Radiasi Benda Hitam .............. 2
1.3 Hukum radiasi Rayleigh- Jeans ........................ 6
1.4 Hukum radiasi menurut Planck ........................ 10
1.5 Radiasi Benda Hitam ........................................ 13
1.6 Hukum Pergeseran Wien .................................. 15
SOAL ....................................................................... 19

BAB II KUANTISASI BESARAN FISIS ........................... 20


2.1 Kuantisasi Cahaya ............................................ 20
2.2 Efek Fotolistrik ................................................. 20
2.3 Efek Compton ................................................... 23
2.4 Difraksi Elektron .............................................. 26
2.5 Model Atom Bohr ............................................. 28
SOAL ....................................................................... 31

BAB III TEORI DASAR KUANTUM DAN


PERSAMAAN SCHRODINGER ........................... 33
3.1 Gelombang De Broglie ..................................... 33
3.2 Diffraksi Gelombang Materi ............................ 41
3.3 Penjabaran Persamaan Schrodinger ................. 43
3.4 Interpretasi Statistika Fungsi Gelombang ........ 49
3.5 Ilustrasi Tentang Prinsip Ketidakpastian
Heisenberg ....................................................... 54
3.6. Superposisi Gelombang Bidang ....................... 59
3.7 Rapat Probabilitas Untuk Pengukuran
Momentum ....................................................... 64
3.8 Operator dan Hasil kali Skalar ......................... 68
3.9 Prinsip Korespondensi ...................................... 70

vii
3.10 Teorema Ehrenfest ............................................ 72
SOAL ....................................................................... 78

BAB IV APLIKASI PERSAMAAN SCHRODINGER


UNTUK SISTEM POTENSIAL SEDERHANA .. 80
4.1 Pendahuluan .................................................... 80
4.2 Partikel Dalam Potensial Kotak ...................... 80
1. Potensial Kotak Satu Dimensi .................... 80
2. Gerak partikel dalam potensial kotak 3
dimensi ...................................................... 88
4.2 Potensial Tangga ............................................. 93
4.4 Potensial sumur ............................................... 97
4.5 Potensial Sumur Delta Ganda ......................... 108
4.6 Potensial Tanggul............................................ 116
SOAL .................................................................... 119

BAB V OSILATOR HARMONIK 1 DIMENSI ................ 121


5.1 Penyelesaian Persamaan Schrodinger
Osilator Harmonik satu dimensi dengan
Metode Analitik ............................................. 123
5.2 Penyelesaian dengan menggunakan Fungsi
Pembangkit...................................................... 132
5.3 Penyelesaian Pers. Schrodinger dengan
menggunakan operator atau metode aljabar.... 147
5.3.1 Penentuan Eigen Fungsi dan Tingkat
Energi Osilator Harmonik dengan
metode Operator .................................... 150
5.3.2 Penyajian Operator Dalam Bentuk
Matriks ................................................... 156
SOAL .................................................................... 160

BAB VI ATOM HIDROGEN .............................................. 162


6.1 Pendahuluan .................................................... 162
6.2 Persamaan Schrodinger Atom Hidrogen......... 162

viii
6.3 Persamaan Azimuth ...................................... 166
6.4 Persamaan Polar ............................................. 167
6.5 Persamaan Schrodinger Bagian Radial .......... 179
6.5 Penyelesaian Fungsi Gelombang Bagian
Radial dengan Fungsi Pembangkit Laguerre . 188
6.6 Penyelesaian PD Laguerre dengan
menggunakan PD Confluent Hypergeometrik 195
SOAL ................................................................... 206

DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 208


GLOSARIUM .......................................................................... 209
LAMPIRAN ............................................................................. 220
DAFTAR INDEX .................................................................... 230

ix
x
BAB I
REVIEW DAN BATAS-BATAS
FISIKA KLASIK

1.1 Pendahuluan
Pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 terjadi krisis
dalam fisika. Serangkaian hasil eksperimen menunjukkan bahwa
konsep –konsep Fisika yang berdasarkan hukum-hukum Newton
tidak bisa digunakan untuk menjelaskan hasil eksperimen sehingga
diperlukan konsep baru yang tidak sama dengan konsep fisika
klasik.
Pengembangan konsep baru ini adalah hasil kerja sama yang
sangat mengagumkan antara dugaan yang radikal yang diusulkan
oleh kelompok teoritis dengan eksperimen yang brilian yang
dilakukan oleh kelompok eksperimen sehingga mendorong
munculnya teori kuantum. Bab ini bertujuan untuk menggambarkan
latar belakang krisis atau pergolakan fisika yang terjadi; walaupun
kurang tepat bila ditinjau dari sejarah pengembangan fisika, namun
pemaparan konsep baru dengan cara ini akan mempermudah para
pembaca untuk melakukan transisi dari mekanika Newton ke
kategori mekanika kuantum sedemikian hingga mekanika kuantum
tidak terlalu misterius. Dengan memperkenalkan konsep baru seperti
sifat radiasi dari partikel, sifat gelombang dari partikel, dan
kuantisasi besaran fisis yang tercakup dalam pembahasan sifat-sifat
partikel yang baru akan didiskusikan pada bab-bab berikut ini.

1
1.2 Tinjauan Umum Radiasi Benda Hitam
Bila sebuah benda dipanaskan, maka akan terlihat
memancarkan radiasi. Dalam keadaan setimbang cahaya yang
dipancarkan meliputi rentang seluruh frekuensi, yang mana
distribusi spektrumnya tergantung pada frekuensi atau panjang
gelombang dan temperatur.
Daya pancaran J (X,T), didefinisikan sebagai energi yang
dipancarkan pada panjang gelombang ( λ ) tertentu persatuan luas,
dan persatuan waktu. Riset secara teoritis dalam bidang radiasi
thermal sudah dimulai sejak tahun 1859, dilakukan oleh Kirchoff,
yang telah menunjukan bahwa untuk λ tertentu, perbandingan daya
pancaran J terhadap absorbsivitas A, yang didefinisikan sebagai
fraksi- radiasi (sinar) datang pada panjang gelombang ( λ ) yang
diabsorbsi oleh benda, adalah sama untuk semua benda.
Dalam menyelidiki emisi dan absorbsi, Kirchhoff
menggunakan dua plat sejajar dan terlihat bahwa dalam keadaan
setimbang besarnya emisi dan absorbsi sama untuk setiap λ , maka
rasio J/A untuk dua plat tersebut harus sama besar. Kemudian ia
mengamati benda hitam, yaitu sebuah benda yang mampu menyerap
semua radiasi yang jatuh padanya, sehingga A = 1 dan J ( λ ,T)
merupakan fungsi yang bersifat universal.
Untuk menyelidiki sifat-sifat J( λ ,T) diperlukan sumber yang
terbaik dari radiasi benda hitam. Solusi praktis untuk keperluan ini
dipilih benda berongga yang pada bagian dindingnya dilubangi
dengan ukuran yang sangat kecil dan seluruh permukaan dindingnya
dicat hitam. Radiasi akan keluar dari lubang kecil tersebut bila benda
berongga tersebut dipanaskan pada suhu T. Bila benda hitam tidak
memancarkan radiasi maka tidak ada apapun yang bearada di dalam
lubang karena bila ada sinar yang masuk ke dalam lubang, sinar
tersebut akan segera terserap, Bila ada berkas cahaya yang jatuh ke
dalam rongga juga tidak punya kesempatan untuk keluar dari rongga
tersebut, karena benda hitam tersebut mengabsorbsi secara total
maka radiasi yang keluar darinya disebut ”Radiasi Benda Hitam”.
Bila lubang rongga cukup kecil maka cahaya yang diabsorbsi sama

2
dengan yang diradiasikan. Maka perlu difahami distribusi radiasi
dalam rongga yang dindingnya bersuhu T.
Rapat energi dari radiasi yang dipancarkan oleh benda hitam
menurut teori secara klasik dideskripsikan dalam dua hukum radiasi
yang saling bertentangan yaitu 1) Hukum radiasi yang diusulkan
oleh Rayleigh –Jeans yang sesuai dengan hasil eksperimen hanya
pada bagian spectrum yang mempunyai panjang gelombang yang
panjang atau pada frekuensi yang rendah, 2) Hukum radiasi menurut
Wien hanya sesuai dengan hasil eksperimen pada spectrum dengan
panjang gelombang pendek atau pada frekuensi yang tinggi. Dengan
munculsuatu konstanta baru yang disebut konstanta Planck, h, yang
terkait dengan energy dari radiasi benda hitam, 3) Planck dapat
menunjukkan bahwa terdapat interpolasi antara spectrum radiasi
benda hitam menurut Rayleigh Jeans dan Wien, bahkan spectrum
yang diusulkan Planck mencakup seluruh rentang frekuensi baik
yang tercakup dalam spectrum Rayleigh-Jeans dan Wien, lihat
skema pada gambar 1.
Kirchhoff menunjukkan bahwa berdasarkan hukum
Thermodinamika ke II, radiasi dalam rongga bersifat isotropis yaitu
fluks radiasi bersifat homogen dalam seluruh bagian rongga dan
dalam semua arah, sehingga besarnya radiasi sama untuk semua
bagian rongga yang suhunya sama, T. Hubungan antara daya
pancaran dan rapat energi dinyatakan sebagai:
4 J (λ , T ) ( 1.1 )
u (λ , T ) =
c
dimana:
u (λ , T ) = rapat energi
J (λ , T ) = daya emisi / pancaran yaitu energy yang
dipancarkan pada panjang gelombang λ per satuan luas, per satuan
waktu.

3
Rapat
Energi R-J

Wien
Planck


Gambar 1. 1 Rapat energy
hω kT
sebagai fungsi
kT

Rapat energi adalah besaran fisis yang hanya berarti secara


teoritis, berdasarkan argumentasi yang sangat umum menurut Wien
adalah:
u (λ , T ) = λ-5 f(λ,T) (1.2)
dimana f ( λ , T ) adalah fungsi dengan variabel tunggal yang belum
diketahui. Untuk memudahkan pembahasan pers (1.2) variabel λ ,
panjang gelombang radiasi, diubah kedalam variabel υ , frekuensi
radiasi, dengan menggunakan fakta bahwa

u(υ , T ) = u (λ , T )

c ( 1.3 )
= u (λ , T ) 2
υ

sehingga hukum radiasi Wien pada persamaan (1.2) dapat ditulis


menjadi;
⎛v⎞ ( 1.4 )
u(υ , T ) = v 3 .g ⎜ ⎟
⎝T ⎠

4
Implikasi dari hukum ini, yang diperkuat oleh hasil
eksperimen yang ditunjukkan pada gambar (1.2) adalah:
1. Dengan diketahuinya distribusi spektrum radiasi benda hitam
pada temperatur tertentu, distribusi spektrum pada
temperatur yang lain dapat ditentukan dengan persamaan
(1.4).
2. bila f ( x) atau g ( x) dari fungsi di atas mempunyai harga
maksimum untuk x > 0, maka λmax yaitu harga λ pada
u (υ , T ) maksimum, dapat dinyatakan sebagai:
b
λmax = , b adalah konstanta umum.
T
⎛υ ⎞
Wien memprediksikan g ⎜ ⎟ mempunyai bentuk
⎝T ⎠
⎛v⎞ −β v ( 1.5 )
g ⎜ ⎟ = ce T
⎝T ⎠

u (λ , T )
T5

λT
u (λ , T )
Gambar 1.2. Bukti hasil eksperimen pers 1.2,
T5
sebagai fungsi λT

5
Pada tahun 1900, Rayleigh mengusulkan hukum radiasi yang
dijabarkannya dalam bentuk persamaan:
8Tυ 2 ( 1.6 )
u (υ , T ) = kT
c 3

k = konstanta Boltzmann = 1,38 x 10-16 erg/derajat.

1.3 Hukum Radiasi Rayleigh- Jeans


Pers (1.6) dapat dijabarkan dengan meninjau rapat radiasi dari
medan radiasi yang dalam keadaan kesetimbangan thermodinamik
dimana rata-rata energi satu gelombang EM setiap satu derajat
1
kebebasan adalah kT. Marilah kita tinjau banyaknya derajat
2
kebebasan medan radiasi yang ditentukan dengan menggunakan
vektor potensial A di dalam kubus yang rusuknya a. Kita juga
menganggap bahwa di dalam kubus tidak terdapat muatan ataupun
arus listrik, dan permukaan dalam dinding kubus bersifat sebagai
pemantul sempurna sehingga kubus disebut sebagai medan radiasi
yang berbentuk rongga dimana penampang rongga dua dimensi
ditunjukkan pada gambar 1.3. Berdasarkan pers d’Alembert:

( ∇ 2 − 12 d 2 )A( r, t ) = 0
2
(1.7)
c dt
Persamaan differensial pada pers. (1.7) dapat diselesaikan dengan
metode pemisahan variabel, yaitu dengan memisalkan
A( r, t ) = A( r )T (t ) dan bila dimasukkan ke dalam pers. (1.7) akan
diperoleh
A( r ) d 2
(T ∇ A( r ) − 2 2 T ) = 0
2
(1.7a)
c dt
Dan bila pers (1.7a) dibagi dengan A(r)T(t) diperoleh
⎛1 2 1 d2 1 2
⎜ ∇ A( r ) − 2 2 T ) = 0 sehingga ∇ A( r ) =
⎝A Tc dt A
1 d2
T = kons tan = −k 2 (1.7b)
Tc dt
2 2

6
Pada pers (1.7b) terdapat dua differensial orde 2 dengan variabel
yang berbeda, posisi dan waktu, maka keduanya harus sama dengan
konstanta, -k2, sehingga diperoleh dua penyelesaian dengan variabel
yang sudah terpisah, yaitu merupakan fungsi posisi dan fungsi waktu
saja,
1 2
(1) ∇ A( r ) = -k2 atau ∇ 2 A( r ) + k 2 A( r ) = 0 (1.7c)
A
yang penyelesaiannya tergantung pada bentuk fungsi vektor medan
A(r), dan
1 d2 d 2T
(2) T = − k 2
atau + k 2 c 2T = 0 yang mempunyai
Tc dt
2 2
dt 2

penyelesaian
T = C exp {ikct} = C exp{ iωt} (1.7d)
Vektor potensial yang merupakan fungsi posisi dan waktu dapat
dituliskan kembali sebagai A(r,t) =A(r) exp(iωt) yang terurai
menjadi dua komponen yaitu
A(r,t) =A(r) cos(ωt) dan A(r,t) =A(r) sin(ωt)
ω
dimana k = dan pers ( 1.7 ) menjadi
c
ω2
( ∇ +
2
)A( r ) = 0 atau ( ∇ 2 + k 2 )A( r ) = 0 (1.8)
c 2

Karena didalam kubus tak ada muatan, maka berdasarkan Coulomb


gauge,
div A = ∇. A = 0 (1.9)
Kondisi yang dideskripsikan menurut persamaan (1.9) ekivalen
dengan arah rambatan gelombang bidang dalam kotak. Untuk setiap
vektor gelombang k, ada dua komponen amplitude A yang saling
tak tergantung (terdapat dua arah polarisasi) dari vektor potensial,
yaitu :
A(r) = A sin (k.r) atau A(r) = A cos (k.r)
dan dari kondisi A.k = 0 diperoleh Ax k x + Ay k y + Az k z = 0

7
ω2
dimana k + k + k = k =
2
x
2
y
2
z
2

c2

k+dk
ky

π
a
(a) π kx (b)
a
Gambar 1.3 (a)Ilustrasi eigenfrekuensiGEM yang digambarkan sebagai titik-
titik dalam bidang dua dimensi. Banyaknya eigenfrekuensi yang terletak
antara dua lingkaran yang berjari-jari k dan k +dk adalah dN b) Medan
radiasi dalam rongga

Dengan menggunakan kondisi bahwa komponen tangensial dari


vektor medan A berharga nol pada permukaan pemantul yaitu
dinding kubus bagian dalam, maka komponen vektor gelombang kx,
ky, dan kz dapat dijabarkan dari komponen vector yang memenuhi
kondisi di atas yaitu
A sin (k.r) =0
yang menghasilkan
sin (kx x) =0, sin (ky y) = 0, sin (kz z) = 0
dan dari masing-masing persamaan memberikan harga
n ny n
kx = x π k y = π k z = z π , dimana nx, ny, nz = 1,2,3,…
a a a
Bilangan nx, ny, nz dibatasi hanya untuk bilangan positif bulat saja
karena kita hanya mendiskusikan gelombang stasioner yang
terkungkung dalam kubus yang berada dikuadran pertama (dibatasi
oleh sumbu-sumbu x, y, dan z positif).

8
Gambar 1.3 menunjukkan titik-titik kisi yang terletak pada kuadran
1
pertama dari koordinat bola yang tidak lain adalah dari bagian
8
volume bola. Setiap titik kisi mewakili satu eigen frekuensi. Dengan
menggunakan geometri bola kita dapat menentukan banyaknya
eigenfrekuensi (gelombang EM) dari vektor medan A(r,t) tersebut
1
yang terletak dalam daerah bagian bola yang jari-jarinya terentang
8
dari n sampai n + dn, yaitu
1
dN’ = .4πn2dn (1.10)
8
n2
Karena k 2 = 2 π 2 , maka
a
a3 π V
dN’ = k 2 dk = ω 2 dω (1.11)
π 2 3
2π c 2 3

dimana V = a3 adalah volume kubus. Untuk setiap satu gelombang


EM mempunyai 2 arah polarisasi dan masing-masing polarisasi
1
mempunyai energy kT , maka banyaknya eigenfrekuensi total dan
2
besarnya energy persatuan volume per satuan sudut ruang adalah
dN V
= 2 3 ω2 (1.12)
dω π c
dan
dE 1 dN kT
= u (ωT) = kT = 2 3 ω 2 (1.13)
Vdω V dω π c
Berdasarkan penjabaran hubungan antara rapat energy u (ωT) dan
intensitas J dapat diperoleh
cu(ωT )
J(ωT) =

kT
= ω2 (1.14)
8π 3 c 2

9
Pers (1.14), merupakan persamaan dari Hukum radiasi menurut
Rayleigh-Jeans, dan sesuai dengan hasil eksperimen hanya untuk
frekuensi ω yang rendah saja karena untuk frekuensi tinggi, yaitu
bila ω mendekati harga ~ (tak terhingga) rapat energy menjadi ~.
Persamaan (1.6) adalah sesuai dengan hasil penjabaran yang
ditunjukkan pada pers (1.13).

1.4 Hukum Radiasi Menurut Planck


Seperti definisi yang telah didiskusikan pada hukum radiasi menurut
Rayleigh-Jeans bahwa
dE E
= u (ω,T) atau = ∫ u (ω , T )dω (1.15)
Vdω V
adalah rapat energy GEM di dalam dari benda berongga yang
dindingnya dipertahankan pada suhu yang tetap dan homogen T
serta radiasinya bersifat isotropic dan tak terpolarisasi. Energi radiasi
dalam benda berongga dapat diinterpretasikan sebagai energy medan
elektromagnetik pada frekuensi resonansi dalam rongga. Bila rongga
tersebut volumenya V, banyaknya gelombang EM yang beresonansi
dalam rentang frekuensi dω adalah dN dan masing –masing GEM
mempunyai energy rata-rata ε (ω, T ) , maka energy total yang
terkandung dalam rongga adalah
dN
V u (ω,T) dω = ε (ω, T ) dω (1.16)

Bila dari pers(1.12) dimasukkan ke dalam (1.16) maka besarnya


rapat energi u (ω,T) adalah
ε (ω, T ) 2
u (ω,T) = ω (1.17)
π 2c3

Karena gelombang EM yang beresonansi (eigenosilasi) adalah


harmonic dan setiap eigenosilasi mempunyai dua arah polarisasi,
dan dengan menerapkan prinsip ekuipartisi energy seperti dalam

10
thermodinamik dinana rerata energy untuk masing-masing eigen
osilasi adalah ε = kT , (1.17a)
maka besarnya rapat energy yang sesuai dengan perumusan
Rayleigh Jeans adalah
kT
u (ω,T) = ω2 (1.18)
π 2c3

Untuk harga yang kecil pers (1.18) sesuai dengan hasil
kT
eksperimen,tetapi bila frekuensi cukup besar maka perumusan
tersebut tidak bisa diaplikasikan.
Kemudian Planck merubah definisi rata-rata energy per eigen
osilasi dari GEM dinyatakan pada pers (1.17a) sebagai
ε = nhω dimana n = 1, 2 , 3, …. (1.17b)
Besarnya energy rata-rata dalam suatu sistem yang berada dalam
kesetimbangan thermodinamik dapat diperoleh dengan statistika
sederhana, yaitu
∑ε e ε n
− n / kT

ε = n

∑e ε n
− n / kT (1.19)

1 −ε β d −ε n β
Kita misalkan = β dan ε ne n = − e , maka besarnya
kT dβ
rata-rata energy di atas dapat dituliskan menjadi

d


∑e ε β − n

ε = n

∑e
n
−ε n β

d
= − ln ∑ e ( − hωβ ) n

11
∑e ( − hωβ ) n 1
karena = maka
1 − e −hωβ

d 1
ε =− ln
dβ 1 − e − hωβ

=−
1 (−1)(hω )e − hωβ
1 (1 − e −hωβ ) 2
1 − e −hωβ
hω hω
ε = hωβ = hω / kT (1.20)
e −1 e −1

Dengan memasukkan pers ( 1.20 ) kedalam pers ( 1.17 ) diperoleh


h ω3
u (ν , T ) = 2 3 hω / kT (1.21)
π c e −1


Untuk harga yang sangat kecil bentuk e kT dapat didekati
kT

dengan harga 1 + sehingga nilai rata-rata energy menjadi
kT
ε = kT yang besarnya sama dengan energy yang ditentukan secara
klasik, yaitu pers (1.21) menjadi pers (1.14).
hω hω

Tetapi bila harga sangat besar maka e kT
-1 = e kT
dan
kT
− hω

ε = hω e kT

Dan diperoleh hukum radiasi menurut Wien sebagai


− hω
h
u (ν , T ) = 2 3 e kT
(1.22)
π c
yang mana persamaan (1.22) sesuai dengan pers (1.5)

12

Faktor ( e kT
-1)-1pada pers (1.20) dapat diinterpretasikan sebagai
banyaknya foton dengan energy per foton sebesar hω dalam sistem
tersebut. Hypotheses Planck tentang energy osilator harmonic yang
besarnya E = nhω bertentangan dengan ide intuitif osilasi. Namun
prediksinya mengenai koreksi kuantisasi energy pada osilator
harmonik dengan memunculkan bilangan kuantum h (yang
merupakan konstanta Planck) pada kuantisasi energy untuk siatem
mikroskopik, dimana h = konstanta Planck = 6,63 x 10-27 erg sec.
mendorong munculnya era teori Fisika Modern yang disebut sebagai
Teori Kuantum.

1.5 Radiasi Benda Hitam


Marilah kita tinjau besarnya distribusi spectral foton (distribusi
1 dE
energy menurut Planck), ( )ω , yang lolos dari celah sempit
V dω
pada sebuah rongga yang berisi foton. Karena foton adalah partikel
yang berspin 1 dan banyaknya foton yang berenergi E pada
temperature T menurut distribusi Bose-Einstain dinyatakan sebagai
ε
f BE = ( e kT
−1 )−1 (1.23)
Besarnya energi untuk satu foton menurut Planck , ε = hω , maka
pers (1.23) dapat ditulis menjadi

f BE = ( e kT
−1 )−1 (1.23a)

Jumlah total foton dalam rongga dalam interval frekuensi dω sama


dengan hasil kali antara jumlah foton untuk energy tertentu fBE
dN
dengan kerapatan states (keadaan ) per interval frekuensi, , yang

dinyatakan sebagai

13
dn dN Vω 2 1
= f BE = 2 3 (1.24)
dω dω π c exp( hω − 1
kT
Dan besarnya energy total dalam rongga sama dengan jumlah total
foton dalam rongga dikalikan dengan energy per foton, yaitu
∞ ∞
dE dn
E= ∫
0

dω = ∫
0


dω (1.25)


Vω 2
1
= ∫0

π c exp( hω ) − 1
2 3

kT

Untuk menyelesaikan integral pada pers (1.25), dimisalkan = x,
kT
kT
sehingga dω = dx dan pers (1.25) dapat ditulis menjadi
h

k 4T 4 x 3 dx Vk 4π 2T 4
E = ∫V = (1.25a)
0
h 3π 2 c 3 e x − 1 15h 3c 3
∞ ∞
x3 dx x 3 e − x dx
dimana ∫
0
e −1
x
= ∫
0
1 − e−x
∞ n =∞

∫ x e ∑ e dx
3 −x − nx
=
0 n =0

n =∞ ∞
1
= ∑
n =0 ( n + 1) 4 ∫
y 3 e − y dy (1.25b)
0

dan integral pada persamaan (1.25b) tidak lain adalah fungsi Γ(3)
1 n =∞
π4
yang besarnya = 3! =6, dan ∑
n = 0 ( n + 1)
4
=
90
(1.25c)

Besarnya rapat energy berdasarkan pers (1.25a) adalah


dE E
= = aT 4 (1.25d)
dV V

14
π 2k 4 4
dimana a = σ
=
15h c 3 3
c
Besarnya radiasi (intensitas) yang dipancarkan dari rongga lewat
celah sempit adalah
c dE
P= = σT 4 (1.26)
4 dV
Persamaan (1.26) merupakan hukum radiasi menurut Stefan-
Boltzmann.

1.6 Hukum Pergeseran Wien


Bila distribusi energy menurut Planck mencapai harga maximum,
maka harga panjang gelombang foton yang energinya maksimum
tersebut dapat ditentukan dengan mengenolkan turunan pertama
terhadap frekuensi dari distribusi energy Planck, pada pers (12.1).
d 1 dE d hω 3 1
( ( )ω ) = { 2 3 } =0 (1.27)
dω V dω dω π c exp( hω ) − 1
kT
h hω
exp( )
3hω 2 1 hω 3
+ (-1) 2 3 kT kT =0
2 3
h ω
π c exp( ) − 1 ω
π c {exp( ) − 1}2
h
kT kT
atau
hω hω
hω 2 1 hω kT
{ 3( e kT − 1) − e } =0 (1.27a)
π c {exp( hω ) − 1}2
2 3
kT
kT
hω hω
hω kT
maka 3( e kT − 1) − e = 0, sehingga diperoleh
kT

hω −1
e kT = (1 − ) (1.27b)
3kT
Untuk memperoleh harga ω maximum, pers (1.27b) harus
diselesaikan secara numerik atau secara grafik. Harga ω maksimum
merupakan titik potong antara grafik

15
x hω
y(x) = e x dan y(x) = (1 − ) −1 dimana x = . Bila harga x
3 kT
hωmaks
maksimum maka harga ω juga maksimum, yaitu xmaks = =
kT
2πc
h
λmaks hc
sehingga besarnya λmaks T = berdasarkan grafik adalah
kT kx maks
λmaksT = 0,3 cm K = konstan (1.28)
Pers (1.28) menunjukkan bahwa panjang gelombang pada saat
intensitas spectrum radiasi benda hitam maksimum, makin tinggi
suhu benda hitam, besarnya panjang gelombang λ maks makin kecil
atau panjang gelombang λ maks berbanding terbalik dengan suhu
benda hitam, dan pers (1.28) disebut hukum Pergeseran Wien.

Contoh Soal
0
1. Energi partikel kuantum untuk cahaya dengan λ = 6000 A , dapat
dihitung dengan menggunakan formula kuantisasi cahaya,
hc 6, 63 × 10−27 ⋅ 3 × 108
ε= =
λ 6 × 10−5
= 3,3 × 10−12 erg .
Untuk sumber cahaya100 watt, maka banyaknya kuanta yang
terkandung adalah:
100 × 107
N= = 3 × 1020 foton
3,3 × 10−12
Dari perhitungan tersebut ditunjukkan bahwa begitu banyak
jumlah foton yang dihasilkan oleh 100 watt lampu maka, tidak
mengherankan bila kita tidak merasakan sifat partikel dari
cahaya.

16
2. Jelaskan hubungan antara radiasi J (intensitas energi yang
dipancarkan persatuan sudut ruang) dan rapat energi u (ω , T )
dari radiasi benda berongga untuk sistem yang dilustrasikan pada
gambar di bawah ini!

l A
Penyelesaian
Terkait dengan energy dan intensitas, untuk gelombang bidang
berlaku :
l P U u 0 lA
t= dan energy E = u 0V = u 0 lA dan J0 = = =
c A At l
A
c
= u0 c
Dimana ρ 0 adalah rapat energy radiasi untuk satu gelombang
bidang dan J0 adalah intensitas yaitu daya pancar yang dipancarkan
per satuan luas untuk satu gelombang bidang., E adalah energy yang
dipancarkan oleh volume V dan satu gelombang bidang.
Misalkan rongga berisi medan elektromagnetik yang isotropic,
intensitas radiasi yang keluar dari lubang yang luasnya A dapat
ditentukan sebagai berikut:

k θ0
A

Gambar 1. Rongga yang berisi


gel EM yang isotropis

Misal di dalam rongga yang berbentuk balok seperti ditunjukkan


pada gambar 1 berisi N gelombang bidang (radiasi elektromagnetik)

17
yang isotropis dan vector pointing k yang sama untuk semua arah,
maka setiap satu gelombang, besarnya intensitas adalah
J0 = u 0 c , bila ni adalah jumlah gelombang yang arahnya menuju
lubang dengan sudut ruang dΩi, maka
ni d Ω i 1
= = sin θ i dθ i
N Ω 2
dθi
dΩi

θi

Besarnya daya pancar yang melalui luasan A untuk setiap satu


gelombang bidang adalah
P0i= 2J0Acos θi
Dimana faktor 2 muncul karena gelombang elektromagnetik
mempunyai dua derajat kebebasan polarisasi yaitu listrik dan
magnet.
Besarnya daya pancar total dari ni gelombang bidang adalah
Ptot = ∑ni P0i = ∑ N 1 sin θ i dθ i 2 J 0 A cosθ i
2
π
Di mana θi dari 0 sampai dan besarnya intensitas total yang
2
melewati luasan A adalah
Ptot π /2
Jtot =
A
= NJ 0 ∫ sin θ cosθdθ
0

18
1
= NJ 0
2
Sedangkan rapat energy total yang mencakup dua derajat polarisasi
adalah u = 2Nu0
1 u c
Karena J0 = u 0 c , maka besarnya Jtot = Nc = u
2 2N 4
Besarnya daya pancar per satuan luas per satuan sudut ruang dimana
besarnya sudut ruang untuk separuh ruang adalah sebesar 2π, maka
J tot c
J= = u
2π 8π

SOAL
1. Dengan menggunakan teori Stefan-Boltzmann, tentukan energy
radiasi total yang dipancarkan matahari yang berjari-jari 0,7 x
1011 cm!
2. Gunakan pers. 1.6 untuk menentukan rapat energi dalam interval
panjang gelombang Δλ . Gunakan pers. rapat energi tersebut
untuk menghitung λ = λ max dimana rapat energinya mencapai
maksimum.
3. Berapa besarnya energi matahari yang dipancarkan dalam
rentang panjang gelombang 4000 A0 – 7000 A0 ?
x
4. Gambarlah grafik y(x) = e x dan y(x) = (1 − ) −1 pada satu
3
system koordinat dan carilah titik potong kedua grafik tersebut!

19
BAB II
KUANTISASI BESARAN FISIS

2.1 Kuantisasi Cahaya


Untuk menjelaskan fenomena fisis yang disebabkan oleh
cahaya, dua sudut pandang cahaya telah menyatu yaitu cahaya
dipandang sebagai corpuscel dan cahaya sebagai gelombang.
Beberapa sifat cahaya seperti cahaya merambat pada garis lurus dan
peristiwa pemantulan dapat dijelaskan dengan teori tersebut, tetapi
gejala interferensi hanya dapat dijelaskan dengan teori gelombang.
Keberhasilan teori elektrodinamik Maxwell, yang
menginterpretasikan cahaya sebagai gelombang elektromagnetik,
memperkuat pandangan bahwa cahaya sebagai gelombang.
Kemudian dengan penemuan efek fotolistrik oleh Heinrich Hertz,
dalam tahun 1887, mendorong munculnya pandangan bahwa cahaya
sebagai partikel atau gelombang, yang mana tergantung pada jenis
eksperimen yang ditinjau. Partikel cahaya adalah kuantum cahaya
atau foton, keberadaan bersama antara gelombang dan partikel
disebut dualisme partikel gelombang.
Berikut ini beberapa hasil eksperimen yang hanya dapat
dijelaskan dengan kuantum cahaya;

2.2 Efek Fotolistrik


Terlemparnya elektron dari permukaan logam yang disinari
dengan cahaya disebut efek fotolistrik.Eksperimen yang dilakukan
oleh Philipp Lenard menunjukkan bahwa energi elektron yang

20
terlempar dari permukaan logam ditentukan oleh frekuensi radiasi
yang jatuh ke logam, lihat gambar 2.1,
Plat kolektor Plat logam

Gambar 2.1 Pengukuran Efek Fotolistrik dengan rangkaian


sederhana Cahaya menyinari permukaan logam sehingga
membebaskan elektron (0 → v) yang bergerak menuju plat kolektor.
-
Bila cahaya monokromatik diradiasikan kepermukaan logam
ditunjukan pada gambar 2.1 maka dihasilkan elektron bebas dengan
energi tertentu.Dengan naiknya intensitas radiasi menyebabkan
naiknya emisi elektron yang dibebaskan dan tak mengubah energi
elektron. Fenomena ini berlawanan dengan teori gelombang klasik,
dimana energi gelombang ditentukan oleh intensitasnya. Bila berkas
foton dengan energy E = ћω jatuh pada permukaan logam sehingga
menyebabkan elektron pada kulit bagian dalam terionisasi, maka
elektron yang terionisasi akan bergerak menuju anoda dengan
kecepatan elektron :
ଶሺ԰ఠି஍ሻ
v=ට (2.1.a)

dimana Φ = fungsi kerja yaitu energy ikat e dengan inti. Besarnya
beda potensial yang menyetop e bergerak
԰ఠି஍
v= (2.1.b)

-19
e = 1,6.10 C
Dari pers (2.1) dapat dilihat bahwa elektron bergerak makin cepat
bila energy foton makin besar.

Bila dilakukan eksperiment dengan gelombang polikromatik yang


bervariasi frekuensinya (cahaya merah, hijau, biru, dll), maka energi

21
elektron yang terbebaskan berbanding lurus dengan frequensi radiasi
foton yang dijatuhkan pada permukaan logam, lihat gambar 2.2,
E

ωa ω
Gambar 2.2 Grafik energi elektron bebas sebagai fungsi
dari frekuensi cahaya yang membebaskan elektron.

Dari gambar 2.2 dapat disimpulkan bahwa,


E ∝ ( a + bω ) (2.2a)

Faktor kesebandingan b yang ditemukan dari percobaan


h
merupakan koonstanta Planck dibagi 2π , b = = h , maka

E = h (ω − ω a ) (2.2b)
= h (υ − υ a )
Einstein menginterpretasikan fenomena ini sebagai postulat
kuantum cahaya diskrit (foton) dengan energi hω . Jumlah foton
yang menyebabkan pula elektron terbebas jumlahnya juga naik.
Dalam percobaan ini, frekuensi batas (ambang) ωa tergantung
pada jenis logam yang disinari. Cahaya yang diradiasikan ke
permukaan logam dengan frekuensi lebih rendah dari frekuensi
ambang tidak menyebabkan elektron terbebas dari permukaan
logam. Dengan demikian diperlukan foton dengan energi tertentu
terkecil yang dapat membebaskan elektron. Energi terkecil dari
foton disebut energi ambang. Kuantum cahaya yang dipostulatkan
untuk memahami fenomena efek fotolistrik bergerak dengan
kecepatan cahaya. Maka menurut teori relativitas Einstein, massa

22
diam foton adalah nol. Dengan demikian diperoleh hubngan untuk
energi total pada efek fotolistrik :

E 2 = ( hω ) = ( mo c 2 ) + p 2 c 2
2
2 (2.3)

ω
Dimana, k = = angka gelombang , dan
c
ω (2.4)
p = hk = h
c
Arah momentum foton searah dengan arah rambatan gelombang
cahaya, maka
v v
p = hk (2.5)

2.3 Efek Compton


Sinar X yang dihamburkan oleh elektron mengalami
perubahan frekuensi bila dibandingkan dengan sinar X yang
dijatuhkan ke permukaan logam dan perubahan ini tergantung pada
sudut hamburan. Efek ini diamati Compton pada tahun 1923 dan
dijelaskan berdasar pada pandangan foton oleh Compton dan Debye
secara serempak.
Gambar 2.3 mengilustrasikan mekanisme hamburan foton yang
menumbuk sebuah elektron. Pada tumbukan antara foton dan
elektron yang di ilustrasikan pada gambar 2.3 berlaku hukum
kekekalan energi,

m0 c 2 (2.6)
hω = hω '+ − m0 c 2
1 − vc2
2

Dan kekekalan momentumnya,


v v m0 v 2 (2.7)
hk = hk '+
1 − vc2
2

23
Hamburan Compton

Gambar 2.3. Hukum kekekalan


momentum pada efek Compton

Untuk memperoleh hubungan antara sudut hamburan θ dengan


pergeseran frekuensi dapat dilakukan dengan cara menguraikan pers
(2.7) ke dalam komponen paralel dan tegak lurus,
m v cos θ (2.8a)
hk = hk ' cos θ + 0 0
v2
1− 2
c
dan
m v sin θ (2.8b)
0 = hk ' sin θ + 0 0
v 2
1− 2
c
Dari persamaan (2.8a) dan (2.8b) diperoleh:
m 2 v 2 cos 2 ϕ
h 2 k 2 = 2h 2 kk ' cosθ + h 2 k ' cos 2 θ = 0
v2
1− 2
c
m0 v sin 2 ϕ
2 2
h k ' sin θ =
2 2 2

v2
1− 2
c
_______________________________________ (+)
m 2v 2 (2.8c)
h 2 k 2 + h 2 k ' 2 −2h 2 kk ' cosθ = 0 2
v
1− 2
c

24
Dari persamaan (2.6) diperoleh,
m0 2 c 4 (2.8d)
h 2 (ω − ω ') + 2h (ω − ω ') m0c 2 + m0 2c 4 =
2

1 − vc2
2

ω
Masukkan k= ke pers. (2.8c) dan kemudian kurangkan pers.
c
(2.8c) dari (2.8d), maka akan diperoleh,
m02c2 2 2
−2h2ωω'+2h(ω−ω') mc 0
2
+ m0 c
2 4
+ 2h2
ωω'cosθ = (
1− vc2
2 )
c −v = m02c4 (2.8e)

2h (ω − ω ') m0 c 2 = 2h (1 − cos θ ) ωω '


(ω − ω ') m0c 2 = h ⋅ 2sin 2 θ2 ⋅ ωω '
: ωω '
⎛ 1 1⎞ 2h
⎜ − ⎟= sin 2 θ2
⎝ ω ' ω ⎠ mo c
2

1 2h 2h sin 2 θ2
( λ '− λ ) = sin 2 ⇒ ( λ '− λ ) =
2 θ
(2.9)
2π c 2π mo c 2 mo c

Persamaan (2.9) menunjukkan bahwa perubahan panjang


gelombang antara foton yang datang dan yang dihamburkan hanya
tergantung pada sudut hamburan θ . Namun sebenarnya sudut
hamburan θ tergantung pada panjang gelombang sinar datang.
Selama proses tumbukan, sebagian energi foton hilang sehingga
foton yang terhambur panjang gelombangnya membesar. Faktor
h
disebut panjang gelombang foton yang terhambur panjang
mo c
gelombang Compton, λ e , dari sebuah partikel degan massa diam
mo, dalam hal ini adalah elektron. Panjang gelombang Compton
dapat digunakan sebagai ukuran dari ukuran partikel. Energi kinetik
elektron yang terhambur adalah,

25
hc ⎛ 1 1 ⎞
T = hω − hω ' = ⎜ − ⎟
2π ⎝ λ λ ' ⎠
2λe sin 2 θ2
= hω (2.10)
λ + 2λe sin 2 θ2

Pers (2.10) menerangkan bahwa energi elektron yang


terhambur berbanding lurus dengan energi foton yang
menumbuknya. Efek compton hanya dapat diamati dalam domamin
panjang gelombang pendek (hanya sinar Χ dan sinar γ). Kalau
dibandingkan dengan elektrodinamika klasik, gelombangnya sama
dengan gelombang EM yang datang, dan hanya mungkin terjadi
pada kuantum cahaya dengan momentum hk dan energi hω .
Dengan demikian ide kuantum cahaya secara eksperimen diperkuat
oleh efek Compton. Spektrum hamburan Compton yang lebar
teramati pada eksperimen disebabkan oleh distribusi mnomentum
elektron dan karena elektron terikat dalam atom. Gambar 2.4
menunjukkan distribusi energi foton dan elektron yang tergantung
pada suatu sudut hamburan.

Gambar 2.4 distribusi foton dan sudut hamburan


(diadopsi dari Greiner, W. Quantum Mechanics An Introduction,
S Springer-Verlag, Berlin Heidilberg, 1989

2.4 Difraksi Elektron


Pada tahun 1933, De Broglie menggunankan analogi dengan
prinsip fermat dalam optika dan prinsip aksi terkecil dalam
mekanika, untuk memunculkan konsep dualisme partikel-

26
gelombang, partikel mempunyai sifat gelombang dalam situasi
tertentu yang dinyatakan sebagai,
h
λ=
p (2.11)
dimana p adalah momentum partikel. Bukti dari kerja De Broglie
dapat diamati dalam peristiwa defraksi elektron. Eksperimen difraksi
elektron dilaksanakan oleh Davidson dan Germer yang menemukan
bahwa dalam hamburan elektron oleh permukaan kristal, hanya ada
arah tertentu bagi elektron yang terhambur. Gambar 2.5 adalah
penyaderhanaan proses hamburan elektron. Ada beda fase antara
gelombang yang dihamburkan dari bidang-bidang kristal yang
⎛ 2π ⎞
berdekatan, yang dinyatakan sebagai ⎜ ⎟ 2a sin θ . interferensi
⎝ λ ⎠
gelombang yang dihamburkan saling konstruktif bila beda fasenya
adalah 2π n , maka
2π (2.12)
2π n = 2a sin θ ⇒ nλ = 2a sin θ
λ

dimana adalah jarak antara kisi kristal , pola interferensi hamburan


elektron diamati oleh Davisson dan Germer dapat dikorelasikan
dengan persamaan (2.12) dan persamaan (2.11). Bukti di atas
menguatkan berkembangnya konsep mekanika gelombang.
Eksperimen difraksi partikel telah menggunakan atom He, H
dan neutron lambat. Difraksi neutron sangat berguna untuk studi
struktur kristal, gambaran kasar tentang difraksi partikel, jarak
0 0
kristal dalam orde A , untuk kristal nikel a = 2,15 A , maka λ nya
h
dalam orde 10-8 cm, dan p = ≅ 6, 6.10−19 gr cm/sec, energi kinetik
λ
p2
elektron tersebut adalah = 2,5 ×10−10 erg. Untuk neutron dengan
2m
p2 me
Ek = = Eke ≈ 1,3 ×10−12 erg
2mo mn

27
Gambar 2.5. Geometri skema difraksi electron

2.5 Model Atom Bohr


Pada tahun 1908 Geiger dan Marsden melakukan percobaan
hamburan partikel x oleh foil tipis menunjukkan sudut hamburan
yang besar, yang mana eksperimen ini berlawanan dengan model
atom Tompson, dan elektron tertanam secara homogen dalam
disbutri muatan positif yang kontinyu. Rutherford mengusulkan
model atom bahwa muatan positif terkonsentrasi pada pusat atom
dan ukurannya sangat kecil dibandingkan dengan dimensi atom dan
disebut inti. Elektron ditarik oleh inti dengan gaya sebanding dengan
1
dan bergerak dalam lintasan seperti lintasan planet-planet yang
r2
mengitari matahari dan bergerak atau getar secara periodik. Model
atom Rutherford ini tidak dapat menjelaskan adanya spektrum yang
dipancarkan oleh atom yang panas yaitu,
1 ⎛ 1 1 ⎞
=C⎜ 2 − 2 ⎟ (2.13)
λ ⎝ n1 n2 ⎠
Namun model yang diusulkan ini juga mempunyai kelemahan
karena electron bergerak mengelilngi inti dengan percepatan maka e
yang di percepat secara terus menerus ini tidak stabil karena akan

28
memancarkan gelombang EM yang lama kelamaan dapat jatuh ke
inti.
Setelah dua tahun teori ini diusulkan, dalam tahun 1913
mengajukan serangkaian postulat yang secara terus menerus dikaji
sehingga akhirnya postulat yang dapat menjelaskan spectrum yang
dipancarkan atom tidak berakar dari fisika klasik. Postulat-postulat
yang diusulkan Bohr antara lain :
1. Elektron yang mengorbit inti memenuhi persyaratan bahwa
momentum sudut electron merupakan kelipatan bilangan bulat
h
dengan h = , yang mana kemudian akan ditunjukkan bahwa

h adalah tetapan Plack, h = 1,0545 x 10-27 erg sekon, maka untuk
electron yang bergerak dalam lintasan berbentuk lingkaran
dengan jari-jari r yang mengelilingi inti dengan kecepatan v
maka besarnya momentum sudut electron dinyatakan sebagai
mvr = nh 2.14
Dalam kondisi ini walaupun elekron dipercepat tetapi tidak
memancarkan energi dan electron berada dalam keadaan
stasioner.

2. Elektron dapat berpindah dari satu lintasan ke lintasan lain dan


perubahan energi yang dialami electron dapat menyebabkan
timbulnya radiasi dengan frekuensi
E − E'
ν= 2.15
h
Bila sebuah atom menyerapradiasi maka electron akan
berpindah ke orbit yang energinya lebih tinggi.

Konskuensi dari pustulat di atas dapat diterapkan secara


sederhana pada atom hydrogen dan atom lain sejenis hydrogen yang
nomor atomnya Z dan dengan menganggap bahwa massa inti sangat
besar, maka gaya Coulomb diimbangi oleh gaya sentripetal yaitu
gaya tarik inti terhadap electron yang mengorbit dalam lintasan
lingkaran sebagai berikut:

29
Ze 2 v2
=m 2.16
r2 r
Bila pers. (2.14) dimasukkan ke pers. (2.16) dapat diperoleh
Ze 2
v=
nh
dan (2.17)
n h
2 2
r=
mZe 2
Besarnya energi total electron yang merupakan jumlah total energi
kinetic dan potensial yang dinyatakan sebagai
1 2 Ze 2 mZ 2 e 4
E = mv − =− 2.18
2 r 2h 2 n 2
Pers. (2.18) ini cocok dengan persamaan panjang gelombang radiasi
yang dipancarkan oleh suatu atom yang dipostulatkan sebelumnya
pada pers. (2.13).
Seperti telah kita ketahui bahwa ω adalah besarnya frekuensi sudut
yang dinyatakan sebagai
ω = 2πν 2.19
dengan memasukkan pers (2.19) ke dalam pers. (2.15) diperoleh
E − E'
ω= (2.20)
h
Dari pers. yang dijabarkan di atas walaupun konsep Fisika
klasik tidak dapat menjelaskan radiasi yang dipancarkan atom
namun beberap konsep Fisika klasik tetap digunakan dengan kondisi
bila ukuran benda yang bersifat mikro menjadi besar sekali, seperti
contohnya massa inti sangat besar sehingga tetap mempertahankan
electron untuk mengorbit inti secara terus- menerus.
Postulat pertama yang diusulkan Bohr kemudian dikenal
sebagai aturan kuantisasi Bohr untuk momentum sudut ;
mvr = nh , n = 1, 2, 3, …
Untuk mempermudah dalam penggunaan selanjutnya, dapat
didefinisikan suatu konstanta yang disebut sebagai konstanta
struktur atom sebagai:

30
e2 1
α= ≅ 2.21
hc 137
dan besarnya kecepatan e,v yang mengorbit inti, jari-jari lintasan e,r
dan energi e,E dapat dinyatakan sebagai
Zαc n2 h 1 ( Zα ) 2
v= , r= dan E = − mc 2 2.22
n Zα mc 2 n2
Keberhasilan teori yang diusulkan oleh Bohr untuk atom-atom
sejenis atom Hydrogen mendorong dilakukan reset lebih jauh
mengenai atom model Bohr. Walaupun teori Bohr luar biasa, namun
teori berlaku dalam kondisi yang terbatas yaitu system periodik.
Hasil riset lebih lanjut yang dilakukan oleh Sommerfeld dan Wilson
untuk system periodic (sistem partikel yang terkungkung dalam
medan potensial tertentu) memberikan hasil yang berlaku lebih
umum untuk aturan kuantisasi sebagai
∫ pdq = nh 2.23
yang mana p adalah momentum yang dinyatakan dalam koordinat q.
Seperti pada Fisika klasik, besarnya momentum linear
p = 2m( E − E p ) 2.24
dimana E adalah energi total suatu partikel, misal untuk e dinyatakan
pada pers.(2.22) dan Ep adalah energi potensial dari partikel.

SOAL
1. Cahaya ultra violet yang panjang gelombangnya 3500 A0 jatuh
pada permukaan potassium (K) dan menyebabkan timbulnya
arus electron dengan energi kinetic maksimum sebeasar 1,6 eV.
Berapakah energi ikat electron atom Pottasium?
2. Photon dengan energi 100 MeV menumbuk sebuah proton yang
diam. Kira-kira berapakah nilai maksimum energi foton yang
hilang dalam tumbukan tersebut?
3. Energi maksimum arus electron yang timbul pada permukaan
aluminium yang dikenai radiasi adalah 2,3 eV untuk radiasi
dengan λ = 2000A 0 dan 0,90 eV untuk radiasi dengan panjang

31
gelombang λ = 3130A 0 . Gunakan data ini untuk menentukan
konstanta Planck dan energi ikat electron dengan inti!
4. Seberkas sinar X dihamburkan oleh electron yang diam. Bila
panjang gelombang sinar X yang dihamburkan pada sudut
hambur 600 adalah 0,035, berapakah energi sinar X yang jatuh
ke electron?
5. Berapakah panjang gelombang de Broglie untuk a) sebuah
electron dengan energi kinetic 1 eV, b). sebuah proton dengan
energi 10 MeV, c). sebuah electron dengan energi 100 MeV
(petunjuk, gunakan energi relativistic), d). neutron panas pada
suhu T=300 K
6. Sebuah kristal mempunyai jarak antar bidang kisi, a = 3,2 A0
Berapakah ukuran energi yang diperlukan bila dalam difraksi
partikel ini menggunakan a. electron, dan b. inti He yang mana
massanya 4 x massa proton agar teramati maksimum interferensi
yang ke 3?
7. Dari pers. (2.22) tunjukkan bahwa e yang mengorbit inti
a. mc 2 ≅ 0,51MeV
h
b. ≅ 3,9.10 −11 cm
mc
h
c. 1,3.10 −21 sekon
mc 2

0,53 0
d. a0 = A dimana r adalah jari-jari e pada lintasan
Z
pertama.
8. Prinsip korespondensi antara klasik dan kuantum menunjukkan
bahwa harga yang diperoleh dari system kuantum dengan
dimana nilai variable kuantum menuju tak hingga. sama besar
dengan harga yang dihitung secara klasik. Tunjukkan prinsip
korespondensi ini berlaku untuk frekuensi electron yang
mengorbit inti pada atom hydrogen sama dengan frekuensi yang
dipancarkan oleh e yang berpindah dari lintasan ke n menuju ke
(n-1) untuk n → ∞ . Diskusikan ini dengan teman-temanmu!

32
BAB III
TEORI DASAR KUANTUM DAN
PERSAMAAN SCHRODINGER

3.1 Gelombang De Broglie


Penyelidikan tentang sifat-sifat cahaya yang telah
ditunjukkan tergantung pada jenis eksperimen yang dilakukan,
cahaya dideskripsikan oleh gelombang elektromagnetik atau
partikel-partikel (foton). Aspek gelombang tampak dalam konteks
gejala difraksi dan interferensi, sedangkan aspek partikel tampak
berbeda pada peristiwa efek fotolistrik. Untuk cahaya, hubungan
yang menggambarkan dualisme gelombang-partikel telah diketahui.
Bagaimana dengan partikel bermateri, sifat partikel sudah jelas,
apakah pertikel bermateri juga bersifat sebagai gelombang?
Melengkapi sifat cahaya sebagai korpuskel (partikel), De
Broglie mengusulkan hypotesis sifat kebalikan yaitu partikel yang
mempunyai sifat sebagai gelombang. Apakah yang berlaku benar
bagi foton (sebagai gelombang dan sebagai partikel) juga berlaku
bagi partikel sembarang? Menurut gambaran partikulat
(kepartikelan), bila kita menunjuk suatu partikel, misal electron,
mempunyai massa m, merambat secara teratur dengan kecepatan v
melalui ruang hampa, mempunyai momentum linear p dan energi E.
Menurut gambaran gelombang, partikel digambarkan sebagai
gelombang dengan frekuensi υ dan vector gelombang k. Karena
mengikuti de Broglie, kita berspekulasi bahwa dua gambaran yang

33
berbeda untuk benda yang sama, maka hubungan antara kuantitas
karakteristik keduanya harus valid, yaitu
E = hω = h υ (3.1)
r
r v h k
dan p = k h = (3.2)
λ |k|
Pers. (3.1) and (3.2) berlaku untuk foton dan juga
dipostulatkan berlaku untuk partikel bebas yang mana fungsi
gelombang yang menggambarkan partikel tersebut adalah fungsi
gelombang bidang yang dinyatakan sebagai
Ψ (r, t) = A exp{i(ωt- k.r)} (3.3)
or
i rr
Ψ (r, t) = A exp{ ( Et − p.r )
h
setelah pers (3.1) dan (3.2) dimasukkan ke dalam pers (3.3). Dan
mengikuti de Broglie, besarnya panjang gelombang partikel
dinyatakan sebagai
λ = 2π/k = h/(mv) (3.4)
dimana m adalah massa diam. Karena besarnya tetapan Planck, h,
sangat kecil, maka diperlukan partikel dengan massa yang sangat
kecil pula agar panjang gelombang partikel dapat terukur.
Berdasarkan alasan inilah panjang gelombang yang terukur adalah
panjang gelombang partikel yang berukuran seorde dengan atom.
Eksponen atau pangkat pada pers (3.3) disebut fase gelombang, α
α = ω t- k. r (3.5)
yang mana cepat rambat gelombang tersebut adalah u = (dr/dt) dan
dapat ditentukan dari kondisi bahwa fase gelombang tersebut
konstan terhadap waktu, yaitu (dα)/dt = 0 dan diperoleh
ω - k. (dr/dt) = 0 atau
|u |= (ω / k) (3.6)
Untuk partikel-partikel atomik yang bergerak dengan kecepatan
mendekati kecepatan relativistik, besarnya energi partikel adalah
E =mc2 = √ (m02c4 + p2 c2), (3.7)

34
bila v<<c, dengan menggunakan deret binomial maka energi partikel
relativistik pers (3.7) dapat dituliskan menjadi

E = m0 c2 {1+(p2)/(2 m02c2)+ …} = m0 c2 + p2/2m0+ (3.8)

Bila pers (3.1) dimasukkan ke dalam pers. (3.8) diperoleh besarnya


frekuensi sudut gelombang dari partikel relativistic tersebut sebagai
m c 2 + p 2 / 2m 0 m 0 c 2 k 2 h
ω ( k) = 0 = + (3.9)
h h 2m0
Dengan menggunakan pers (3.6) dan (3.9) diperoleh besarnya
kecepatan fase gelombang partikel relativistik tersebut sebagai
ω m c2 kh c2 kh
v phase = = 0 + = + (3.10)
k kh 2m0 v 2m0
Bila dibandingkan dengan kecepatan fase dari cahaya yang
merambat dalam ruang hampa,
ω hω E mc 2 c2
vph = = = = = ( 3.11)
k hk p mv v
Karena v << c, kecepatan fase gelombang materi pada pers. (3.10)
selalu lebih besar dari pada kecepatan cahaya dalam ruang hampa.
Tetapi tidak ada benda yang bergerak dengan kecepatan melebihi
kecepatan cahaya, maka kecepatan fase tersebut tidak cocok sebagai
variable dari partikel tersebut, sehingga diperlukan suatu variabel
baru untuk merepresentasikan kecepatan partikel yaitu kecepatan
group, vg, yang didefinisikan sebagai
dω dE
vg = = (3.12)
dk dp
Bila sebuah partikel yang bergerak sepanjang lintasan ds karena
pengaruh gaya F, maka besarnya variasi energi pada partikel
tersebut adalah
dp
dE = F.ds = . ds = vdp,
dt
adi v = dE/dp (3.13)

35
Oleh karena itu kecepatan group dari gelombang materi identik
dengan kecepatan partikel, vg = v.
Cara lain untuk menunjukkan hubungan antara kecepatan
group dan kecepatan partikel adalah dengan cara mendeskripsikan
partikel dengan paket gelombang terbatas dengan menggunakan
integral Fourier yang merupakan superposisi dari gelombang
harmonik yang berbeda panjang gelombang dan kecepatan fasenya,
yang dapat ditulis sebagai
k0 + Δk
Ψ (x, t) = ∫ c(k) exp{i[ω(k)t – kx]}dk (3.14)
k0 - Δk

dimana k0 = (2π)/λ adalah anka gelombang rata-rata dari paket


gelombang dan Δk adalah ukuran dari rentangan ( rentangan
frekuensi) paket gelombang dan dengan anggapan Δk << k0. Dengan
demikian frekuensi sudut ω juga dapat diekspansikan sebagai fungsi
k, dengan menggunakan ekspansi deret Taylor dengan interval Δk
disekitar k = k0 dan dengan mengabaikan suku
(Δk)n = ( k – k0 )n untuk n ≥ 2, yang dapat dituliskan sebagai
ω(k) = ω(k0) + (dω /dk)( k – k0) + (1/2)( d2ω /dk2)( k – k0)2 + … (3.15)

Bila symbol Δk = ( k – k0 ) diganti dengan ξ sehingga ξ merupakan


variable integral yang baru dan bila amplitude c(k) bervariasi secara
lambat terhadap variable k dalam interval integral 2Δk, dan suku
(dω /dk) k = k0 = vg, maka pers (3.14) dapat ditulis menjadi
Δk
Ψ (r, t) = exp{i[ω(k0 )t – k0 x]} ∫ c(k0+ξ ) exp{i[vg t – x] ξ}dξ (3.16)
- Δk
Dengan menggunakan pendekatan c(k0+ξ ) ∼ c(k0), pers (3.16) dapat
diubah menjadi

Ψ (r, t) = C(x, t) exp{i[ω(k0 )t – k0 x]} (3.17 a)

36
dimana C(x, t) = 2 c(k0) {sin( Δk (vg t – x)) / (vg t – x)} (3.17b)
Karena argument fungsi sin mengandung besaran Δk yang harganya
cukup kecil maka C(x, t) bervariasi secara perlahan-lahan terhadap
fungsi waktu t dan posisi x, maka C(x, t) ditinjau sebagai amplitude
gelombang yang hampir monokromatik dan ω(k0 )t – k0 x adalah
fasenya. Dengan mengalikan pembilang dan penyebut pada pers
(3.17b) dengan Δk dan dengan memisalkan Δk (vg t – x) = z,
diperoleh
sin z
lim = 1 untuk z ≠ 0
z →0 z
dan lim sin z = 0 untuk z = ± π, ± 2π, … (3.18)
z →0 z

C(x,t)

Gambar 3.1. Sebuah paket gelombang yang


merupakan superposisi beberapa gelombang
yang berosilasi secara cepat sehingga
menghasilkan kelompok gelombang dalam
interval tertentu

Bila harga mutlak z bertambah terus maka fungsi (sin z) /z akan


berubah dari maksimum ke minimum dan sebaliknya, tetapi nilai
fungsi relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai utama

37
fungsi di titik x = 0 dan kemudian menjadi nol. Maka dapat
disimpulkan bahwa superposisi antara beberapa gelombang
menghasilkan sebuah paket gelombang yang mana amplitudonya
tidak nol hanya pada interval tertentu, lihat gambar 3.1.
Faktor modulasi amplitude, (sin z) /z, mempunyai harga maksimum
untuk z = 0, vg t – x = 0 yang berarti bahwa gelombang dengan
amplitude maksimum tersebut adalah gelombang bidang yang
merambat dengan kecepatan
vg = dx/dt (3.19)
Cepat rambat gelombang bidand yang beramplitudo maksimum ini
harus diidentifikasi sebagai kecepatan group yang tidak lain adalah
kecepatan perpindahan energi. Kecepatan gelombang, kecepatan
group adalah kecepatan seluruh paket gelombang ( group gelombang
materi).
Bila ⎢Ψ (r, t)⎢2 dari pers (3.16) harus konstan maka vg t – x =
konstan, maka dx/dt = vg dan nilai ⎢Ψ (r, t)⎢2 yang konstan bergerak
dengan kecepatan vg, dengan mendiferensialkan pers dispersi (3.9)
terhadap k diperoleh
vg = (dω /dk) k =k0 = (hk)/m0 = (hk0 )/m0 = p/m0 (3.20)
Tetapi tidak semua gelombang materi besarnya kecepatan paket
gelombang sama dengan kecepatan partikel pada mekanika klasik.
Menurut de Broglie, bila setiap partikel yang bergerak secara
teratur sebagai gelombang bidang dengan panjang gelomabang λ
dimana λ = h/p dan bila kecepatan partikel cukup kecil, v<<c, maka
besarnya energi total adalah E = p2 / 2m0 sehingga diperoleh
h
λ= (3.21)
2 m0 E
Contoh: electron yang mempunyai energi 10 keV dan mempunyai
massa (diam),
m0 = 9,1x10-31kg, panjang gelombangnya adalah λe = 0,122 A0.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa besarnya daya resolusi
sebuah mikroskop tergantung pada panjang gelombang cahaya yang
digunakan. Semakin kecil panjang gelombang cahaya yang

38
digunakan, makin pendek jarak antara dua titik yang berbeda yang
dapat dilihat degan mikroskop. Misalnya kita gunakan cahaya
tampak yang panjang gelombangnya sekitar 5000A0, maka
perbesaran yang dihasilkan mikroskop sekitar 2000x. Bila kita
gunakan mikroskop elektron maka mikroskop dapat menghasilkan
perbesaran 500.000x dan resolusi yang dapat dicapai adalah 5-10 A0.
Pada dasarnya cukup sulit untuk membayangkan partikel
yang berperilaku sebagai gelombang, tetapi untuk membayangkan
gelombang yang terlokalisasi lebih mudah karena gelombang yang
terlokalisasi, yang disebut sebagai paket gelombang dapat diperoleh
sebagai hasil superposisi antara beberapa gelombang yang berbeda
frekuensi secara khusus sedemikian hingga superposisi diluar paket
adalah nol. Superposisi antara beberapa gelombang dapat diperoleh
dengan menggunakan deret Fourier.

Contoh
Bila suatu fungsi f(x) didefinisikan sebagai

∫ dk g (k )e
ikx
f(x) = (3.22)
−∞

dan bila g ( k ) = exp{−α ( k − k 0 ) 2 } , (3.22a)


tentukan f(x) dan hasil kali ΔkΔx!
Penyelesaian:

∫ dke exp{−α ( k − k 0 ) 2 }
ikx
f(x) =
−∞

set k = k-k0 ke dalam pers integral sehingga diperoleh

∫ dk exp{−αk ′ }e
ik ′x ik0 x
f ( x) = 2
e
−∞

= e ik0 x ∫ dk ′ exp{−α ( k ′2 ) + ik ′x}
−∞

ix ix 2 − x2
∫ dk ′ exp{−α ( k ′2 − k′ + (
ik 0 x
=e ) }exp{ }
−∞
α 2α 4α

39

ix 2 − x2
∫ dk ′ exp{−α ( k ′2 −
ik 0 x
=e ) }exp{ }
−∞
2α 4α

ik 0 x − x2 π
=e exp{ }
4α α
− x2 π
f(x) = exp{ + ik 0 x} (3.22b)
4α α
− x 2 ixk0 2 π
2 − x2 π
Besarnya |f(x)| = exp{ }e = exp{ } (3.23)
2α α 2α α
2
karena e ixk0 = e ixk0 e − ixk0 = 1
Dari grafik pers (3.23) |f(x)|2 sebagai fungsi posisi, x, dapat dilihat
bahwa nilai maksimum dari |f(x)|2 dicapai pada saat x = 0 yang
berarti bahwa sebaran partikel terlokalisasi ( terkonsentrasi di sekitar
posisi x = 0, dan grafik akan mengalami penurunan drastik sebesar
1 x2
bila harga = 1atau x = ± 2α , maka dapat dikatakan lebar
e 2α
|f(x)|2 adalah 2 2α . Lebar grafik dalam ruang posisi x bersesuaian
dengan lebar grafik dalam ruang k yang lebarnya dapat dicari dari
grafik persamaan |g(k)|2 = exp{−2α ( k − k 0 ) 2 } , |g(k)|2 sebagai fungsi
k. Harga maksimum |g(k)|2 dicapai pada saat − 2α ( k − k 0 ) 2 = 0 atau
k = k0 , ini berarti bahwa distribusi partikel terkonsentrasi disikitar
1
titik k = k0 dan grafik mengalami penurunan secara tajam sebesar
e
±1
bila − 2α ( k − k 0 ) 2 = 1 atau k – k0 = , sehingga lebar grafik

2
|g(k)|2 sebesar . Karena masing-masing fungsi terlokalisasi

2
selebar 2 2α dan , kemudian lebar lokalisasi masing-masing

40
2
fungsi kita definisikan sebagai Δx = 2 2α dan Δk = , maka

diperoleh Δx Δk = 4. Dari gelombang de Broglie diperoleh
Δp Δp
Δk = , maka Δx = 4 atau Δx Δp = 4h
h h
Lebar kuadrat harga mutlak fungsi diinterpretasikan sebagai lebar
kebolehjadian ditemukannya suatu partikel pada posisi tertentu atau
dengan momentum tertentu dalam rentang variasi posisi atau
momentum, maka besaran lebar tersebut merupakan deviasi standard
posisi atau momentum yang harganya bervarisi sejalan dengan
bertambahnya waktu.

3.2 Diffraksi Gelombang Materi


Gejala difraksi dan interferensi adalah bukti unik cahaya
sebagai gelombang. Secara khusus, inerferensi yang saling
memperlemah tidak dapat dijelaskan dengan gambar. Sementara itu
efek fotolistrik dan efek Compton menunjukkan sifat korpuskel dari
cahaya, difraksi berkas electron menunjukkan adanya sifat
gelombang dari materi. Karena panjang gelombang electron adalah
terlalu kecil untuk kisi buatan, maka kisi Kristal digunakan untuk
hamburan elektron. Percobaan difraksi electron oleh kisi Kristal
adalah duplikat dari percobaan penentuan struktur Kristal dengan
sinar X.
Davisson dan Germer menggunakan metoda Laue untuk
difraksi sinar X. Permukaan Kristal tunggal digunakan sebagai
bidang kisi difraksi. Elektron dihamburkan oleh permukaan kristal
dan tidak menembus Kristal. Gambar 3.2 menunjukkan prinsip
lintasan electron yang dihamburkan kisi Kristal. Berdasarkan
gambar 3.2, difraksi maksimum terjadi bila
nλ = d sinθ (3.22)
dimana n adalah bilangan asli, dan d adalah panjang kisi Kristal.

41
C
θ θ
θ
A d B
Gambar 3.2. Prinsip hamburan
gelombang materi pada kristal

Bila electron yang digunakan untuk difraksi Kristal mempunyai


energi eU, U adalah beda potensial listrik yang digunakan untuk
mempercepat electron, maka dari pers (3.21) dan (3.22) diperoleh
hubungan
(nh)/{d √(2m0e)} = √(U) sinθ (3.23)
Difraksi sinar X dengan menggunakan metoda Debye- Scherrer
yaitu dengan meradiasikan sinar X pada bubuk Kristal padat yang
mana Kristal bubuk padat berperan sebagai kisi difraksi spasial.
Gambar 3.3 menunjukkan hamburan dari gelombang (materi) oleh
kisi Kristal. Difraksi maksimum terjadi bila
nλ = 2d sinθ (3.24)

θ
θ
A C d
B
Gambar 3.3 Difraksi sinar x
pada bidang kristal

Karena butir-butir kristal terdistribusi secara acak pada bubuk


Kristal, maka terjadi pola interferensi yang simetrik secara radial
sehingga terlihat lingkaran- lingkaran yang sepusat disekitar titik O

42
pada layar. Bila jarak antara kisi difraksi dengan layar (plat film)
adalah L dan D adalah jari-jari lingkaran yang merupakan tempat
kedudukan hasil interferensi kisi Kristal maka berlaku hubungan tan
2θ = D/2L . Karena besarnya sudut difraksi θ cukup kecil maka
tan 2θ ∼ 2θ dan sinθ ∼ θ dan pers (3.23) dan (3.24) dapat ditulis
menjadi
D√(U) = (2nhL)/{d √(2m0e)} (3.25a)
Dd = 2nλL (3.25b)

Pada percobaan Davisson-Germer, konstanta kisi kristal yang


digunakan sebesar 2,15A0 dan panjang gelombang yang dipakai
berorde 10-8 cm, maka besarnya momentum dan energi kinetic
elektron tersebut adalah p = h/ λ ∼ 6,6x10-19 gr cm/sec, E = p2/2m =
2,5x10-10 erg.

3.3 Penjabaran Persamaan Schrodinger


Pada saat kita membahas sebuah partikel yang bermassa m
dan dipaksa untuk bergerak pada lintasan yang berimpit dengan
sumbu x karena suatu gaya luar tertentu dalam mekanika klasik, kita
dapat menentukan posisi partikel pada suatu saat tertentu. Sekali kita
telah mengetahui posisi partikel, kita dapat menentukan kecepatan,
momentum, energi kinetik, atau besaran – besaran lain yang terkait
dengan partikel yang bergerak tersebut. Posisi partikel dapat
ditentukan dengan menggunakan hukum Newton dan bila gaya yang
bekerja pada partikel adalah gaya konservatif maka gaya tersebut
sama dengan negatif dari turunan pertama energi potensial partikel
terhadap posisi.
Dalam mekanika kuantum, kita menggunakan pendekatan
yang berbeda untuk menentukan besaran-besaran yang terkait
dengan gerak partikel tersebut, yaitu kita menggunakan fungsi
gelombang untuk mempresentasikan dinamika partikel yang
bergerak yang diperoleh dari penyelesaian Persamaan Schrodinger
dari partikel tersebut. Persamaan Schrodinger memainkan peran
yang secara logika analog dengan pernyataan hukum II Newton.

43
Dalam listrik magnet, kita telah mempelajari gelombang
electromagnet (GEM) yang dihasilkan oleh adanya perubahan
medan electromagnet di dalam vakum. GEM merambat dengan
kecepatan cahaya yaitu 3.0 x 108 m/s. Persamaan GEM secara
matematik dinyatakan sebagai
Ψ = Ψo sin (kx –ωt) atau Ψ = Ψo ei (kx- ωt) (3.26)

Persamaan Schrodinger dapat dijabarkan berdasarkan


prinsip-prinsip yang telah kita pelajari sebelumnya :
1) Prinsip dualisme gelombang –partikel yang menyatakan bahwa
perilaku gelombang dari sebuah partikel disajikan dalam bentuk
hubungan antara momentum linear, p, dengan panjang
gelombang
h
p = mv = = kh (3.27)
λ
dimana λ adalah panjang gelombang, h = tetapan Panck, k =
2π h
angka gelombang = vektor gelombang = dan h =
λ 2π
2) Besarnya energi total dari sebuah partikel yang berperilaku
sebagai gelombang dapat dipandang sebagai energi gelombang
EM atau cahaya dimana untuk setiap satu foton energinya
terkuantisasi sebesar E = hν = h ω (3.28)
dimana ν adalah frekuensi dari gelombang, dan ω = 2πν
3) Besarnya energi total E adalah jumlah total energi kinetik (Ek =
p2
T= 2m ) dan energi potensial (Ep = V(r) ) suatu partikel
p2
E = Ek + Ep = 2m + V(r). (3.29)
4) Persamaan Schrodinger dalam Mekanika Kuantum adalah
persamaan energi total seperti yang dinyatakan dalam mekanika
Klasik tetapi variable-variabel dalam mekanika Klasik diubah
menjadi operator dalam mekanika Kuantum. Hubungan antara
variabel dalam Mekanika Klasik dengan operator dalam
Mekanika Kuantum kadang disebut prinsip korespondensi antara

44
Klasik dengan Kuantum dan pers. Schrodinger adalah
Hamiltonian dalam Mekanika Klasik.
5) Pengubahan variabel menjadi operator dilakukan dengan
menggunakan definisi persamaan GEM dan ke 3 definisi
(prinsip) di atas sebagai berikut:
Misalnya kita memilih sistem partikel yang paling sederhana
yaitu sebuah partikel bebas dimana partikel hanya mempunyai
energi kinetik dan energi potensial partikel adalah nol. Jadi
energi total partikel hanya sama dengan energi kinetik partikel,
p2
E= 2m = hν
Karena partikel berperilaku sebagai gelombang, kemudian pers.
GEM kita differensialkan terhadap variabel-variabelnya yaitu
terhadap x dan t sebagai berikut.
dΨ dΨ0 exp(i (kx − ωt ))
= = ik Ψ
dx dx
d 2Ψ
2
= (ik)2 Ψ0 exp(i (kx − ωt ))
dx
= -k2 Ψ0 exp(i (kx − ωt )) = -k2 Ψ (3.30)
p2
Dari pernyataan (1) dapat dituliskan harga –k2 = - , maka
h2
energi total partikel bebas yang besarnya sama dengan energi
kinetik dapat diperoleh bila ruas kiri dan kanan pers (3.30)
h2
dikalikan dengan -
2m
h d Ψ
2 2 2 2
k h
- 2
= Ψ0 exp(i (kx − ωt ))
2m dx 2m
p2 p2
= 2m Ψ0 exp(i (kx − ωt )) = 2m Ψ (3.31)
Dari pers (3.31) dapat ditunjukkan bahwa variabel momentum
linier p dalam Mekanika Klasik diubah menjadi operator
momentum linier, p, dalam Mekanika Kuantum yang dinyatakan
sebagai

45
2 d2 d
p = −h 2
2
= (- i h )2, maka
dx dx
d
p=-i h (3.32)
dx
dan operator energi kinetiknya adalah
h2 d 2
Ek = T = - (3.32a)
2m dx 2
dimana i adalah bilangan imaginer, i = − 1 . Dengan jalan yang
sama bila pers gelombang pada pers (3.26) didiferensialkan
terhadap t diperoleh

= -iω Ψ0 exp(i (kx − ωt )) (3.33)
dt
Dengan menggunakan pers (3.28) dan pers (3.33) dikalikan
dengan i h sehingga diperoleh

ih = h ω Ψ0 exp(i (kx − ωt )) = h ω Ψ = E Ψ (3.34)
dt
Pers (4.9) menunjukkan bahwa
d
E = H = h ω = ih (3.34a)
dt
Yang tidak lain merupakan operator energi total (Hamiltonian
H) dalam Mekanika Kuantum. Dengan demikian kita dapat
menuliskan pers. Schrodinger untuk sebuah partikel bebas dalam
sistem satu dimensi ( arah sumbu x) dalam Mekanika Kuantum
sebagai
h2 d 2Ψ dΨ
- 2
= ih (3.35)
2m dx dt
Untuk partikel yang dipengaruhi oleh suatu medan yang
mempunyai energi potensial V(x), maka pers. Schrodinger yang
p2
merupakan energi total E = + V(x) dapat diperoleh dengan
2m
menambahkan V(x) ke dalam pers (3.35) sehingga pers (3.35)
menjadi

46
h2 d 2Ψ dΨ
- 2
+ V(x) Ψ = i h (3.36)
2m dx dt
Pers (3.36) adalah pers Schrodinger satu dimensi yang
merupakan fungsi posisi dan waktu dan dapat diuraikan menjadi
pers Schrodinger yang merupakan fungsi posisi saja dan waktu
saja dengan cara menyelesaikan persamaan differensial orde dua
tersebut dengan menggunakan metode pemisahan variabel.
Dengan memisalkan Ψ (x,t) = ψ ( x)T (t ) (3.37)
dan kemudian pers (3.37) dimasukkan ke dalam pers (3.36)
diperoleh
h2 d2 d
- T (t ) 2 ψ (x) + V(x)ψ (x)T(x) = ψ (x)ih T(t) : ψ ( x)T (t )
2m dx dt
h2 1 d 2ψ 1 dT
− . + V(x) = ih =E
2m ψ (x) dx 2
T dt
Kedua ruas harus sama dengan konstanta, E, karena kedua ruas
mempunyai variabel yang berbeda tetapi disamakan, dan
konstanta tersebut sama dengan energi total E, maka
ih dT dT i
=E→∫ = − ∫ E dt
T dt T h
i
In T = − Et
h
i
− Et
T = c.e h
(3.38)
dan
h 2 1 d 2ψ
− + V(x) = E yang dapat dituliskan kembali menjadi
2m ψ dx 2
h 2 d 2ψ
− + V(x)ψ = Eψ (3.39)
2m dx 2
Pers (3.39) adalah pers Schrodinger (PS) stasioner satu dimensi.
Untuk selanjutnya pers (3.39) akan kita gunakan untuk
menyelesaikan beberapa contoh sistem partikel yang

47
dipengaruhi oleh suatu medan, misalnya partikel dalam potensial
Kotak, potensial Undak, Sumur, Tanggul, Osilator Harmonik
dan potensial Coulomb untuk atom Hidrogen.
Persamaan Schrodinger pada pers.(3.36) berbeda dengan pers
(3.39) karena pers (3.36) menggambarkan dinamika fungsi
gelombang Ψ (x,t) terhadap waktu sedangkan pers. (3.39)
merupakan persamaan eigenvalue. Secara umum, persamaan
eigen value dideskripsikan sebagai sebuah operator yang
beroperasi (bekerja) pada sebuah fungsi dan memetakan fungsi
menjadi fungsi yang lain. Marilah kita tinjau beberapa contoh
pemetaan fungsi oleh operator Oˆ :
Ô f(x) = f(x) + x2
Ô f(x) = [f(x)]2
Ô f(x) = f(3x2+1 )
Ô f(x) = [df(x)/dx]3
Ô f(x)=df(x)/dx-2f(x) = {(d/dx) – 2}f(x)
Ô f(x)=λf(x) (3.40)
Semua contoh pada pers (3.40) menunjukkan adanya sifat
bersama bila f(x) diketahui terdapat aturan tertentu pada operasi
Ô pada f(x). Suatu operator disebut linear operator L bila
operator tersebut bekerja pada suatu fungsi maka akan
memetakan ke fungsi yang berbanding langsung dengan fungsi
tersebut, seperti terlihat pada contoh (5) dan (6) pada pers (3.40).
Persamaan (3.39) dapat juga ditulis dalam bentuk
H ψE (x) = E ψE (x) (3.41)
dimana operator Hamiltonian bekerja pada fungsi gelombang
tertentu dan menghasilkan kembali fungsi gelombang tersebut
yang dikalikan dengan suatu konstanta E dan konstanta E
disebut sebagai eigenvalue, dan penyelesaian ψE (x) tergantung
pada nilai E yang dapat bernilai diskrit atau kontinyu dan ψE (x)
disebut eigenfunction (fungsi eigen) yang berkorespondensi
dengan eigenvalue E oleh operator H.

48
Dari penjabaran diatas dapat dikatakan bahwa ψ (x,t)= ψE (x)
iEt

e merupakan penyelesaian pers (3.36). Karena operator
h

yang bekerja pada eigen fungsi pada pers (3.36) merupakan


operator linear, maka penyelesaian fungsi eigen yang terkait
dengan eigen nilai yang bisa diskrit atau kontinyu juga
mempunyai bentuk diskrit atau kontinyu yang secara umum
penyelesaiannya ditulis secara lengkap sebagai
iEt

ψ (x,t)= { ∑ + ∫ dE }C(E) ψE (x) e h
(3.42)
iEt

dimana ∑ C(E) ψE e h
adalah penyelesaian bagian diskrit,
iEt

dan ∫ dE C(E) ψE e h
adalah penyelesaian bagian kontinyu,
dan C(E) adalah fungsi sembarang yang tergantung pada nilai E.
Nilai eigen dari operator H disebut sebagai energi eigen nilai.
Operator H dapat ditulis sebagai
h2 d 2
− + V(x) = H, (3.43)
2m dx 2
dimana H merupakan operator Hamiltonian untuk system satu
dimensi yang merupakan jumlah total energi kinetik dan
potensial.(Energi eigen nilai E dapat dianalogikan sebagai energi
gelombang seperti pada gelombang senar, ada nada dasar dan
nada atas, maka pada kuantum terdapat energi tingkat dasar =
energi yang terendah dari suatu system, dan energi tingkat atas
yang biasanya disebut energi yang tereksitasi).

3.4 Interpretasi Statistika Fungsi Gelombang


Berdasarkan usulan de Broglie bahwa partikel dapat
berperilaku sebagai gelombang, apakah sebenarnya fungsi
gelombang yang diperoleh dari penyelesaian pers. Schrodinger?
Kita semua tahu bahwa sebuah partikel pasti akan berada pada suatu
titik tertentu, tetapi gelombang akan menyebar kesegala arah dalam

49
ruangan sebagai fungsi posisi untuk suatu waktu tertentu. ( misalnya
gelombang cahaya) Kalau begitu, bagaimana gelombang dapat
digunakan untuk mendiskripsikan sebuah partikel? Menurut Born,
mengenai interpretasi statistika tentang fungsi gelombang,
2
ψ ( x, t ) merupakan besarnya peluang untuk ditemukannya
partikel pada sebuah titik x pada saat t, atau tepatnya
2
ψ ( x, t ) dx adalah besarnya peluang untuk ditemukannya

partikel dalam interval antara x dan x + dx pada saat t.


(3.44)
2
ψ ( x, t )

A B C
x
Gambar 3.4 Tipe fungsi gelombang

Dari gambar 3.4 dapat dikatakan bahwa peluang yang paling besar
ditemukannya partikel di titik B, dan paling tidak mungkin
ditemukan partikel di titik A atau C. Interpretasi statistika mengenai
fungsi gelombang menunjukkan bahwa kita tidak dapat meramalkan
secara pasti hasil pengukuran , misalnya posisi, walaupun alat yang
dipakai untuk melakukan pengukuran akurat dan tepat karena
pengukuran dalam mekanika kuantum selalu mengandung
ketidakpastian.
Karena interpretasi statistika fungsi gelombang tersebut,
maka probabilitas (peluang) memainkan peran sentral dalam
mekanika kuantum. Kemungkinan ditemukannya partikel dalam
interval tertentu, misalnya antara a dan b dapat diperoleh dengan
mengintegralkan pers (3.44) dengan batas integral dari a sampai b,

50
b

∫ ψ ( x, t )
2
dx (3.45)
a
2
dimana ψ ( x, t ) = P(x) disebut sebagai rapat probabilitas untuk
ditemukannya partikel dititik x pada saat t. Bila pers. (3.41)
diintegralkan dari - ∞ sampai ∞, maka dalam interval tersebut pasti
ditemukan partikel, maka

∫ ψ ( x, t )
2
dx = 1 (3.46)

Fungsi gelombang ψ(x,t) pada pers (3.46) diperoleh dari


penyelesaian pers. Schrodinger dan bila Aψ(x,t) juga merupakan
penyelesaian pers. Schrodinger sedemikian hingga kondisi pada
pers. (3.46) terpenuhi maka dapat dikatakan bahwa fungsi
gelombang tersebut ternormalisasi. Tetapi bila penyelesaian pers
Schrodinger untuk beberapa system, nilai pada pers (3.46) menuju
tak terhingga, maka pada system tersebut tidak ada konstanta
pengali A yang menyebabkan pers. (3.46) berharga 1, dan ψ(x,t)
merupakan fungsi gelombang yang tak ternormalisasi. Bila fungsi
gelombang tak ternormalisasi maka fungsi gelombang tersebut tidak
dapat merepresentasikan sebuah partikel dan kondisi tersebut harus
ditolak. Demikian juga agar fungsi gelombang ternormalisasi maka
fungsi gelombang tersebut menjadi nol dititik x = ±∞.
Apabila pada saat t=0 fungsi gelombang ψ(x,0)
ternormalisasi, apakah fungsi gelombang tersebut tetap
ternormalisasi dengan berubahnya waktu? Salah satu sifat pers.
Schrodinger adalah bahwa penyelesaiannya menghasilkan fungsi
gelombang yang bersifat kekal yaitu sekali ternormalisai akan tetap
ternormalisasi. Dengan demikian dapat ditunjukkan bahwa
∞ ∞
d d
∫ ∫ dt ψ ( x, t )
2 2
ψ ( x, t ) dx = dx = 0 (3.47)
dt −∞ −∞

51
d 2 d dψ * dψ
Karena ψ ( x, t ) = (ψ *ψ ) = ψ +ψ * (3.48)
dt dt dt dt
dan pers Schrodinger yang merupakan fungsi posisi dan waktu pers
(3.36) dapat ditulis
dψ 1 ⎡ h 2 d 2 ψ ⎤ ih d 2ψ i
= ⎢− + V ( x )ψ ⎥ = 2
− Vψ (3.49)
dt ih ⎣ 2m dx 2 ⎦ 2 m dx h
serta Complex conjugate dari pers (4.20 ) adalah
dψ ∗ ih d 2ψ i − ih d 2ψ • i
=( 2
− V ψ ) *
= 2
+ Vψ • (3.50)
dt 2m dx h 2m dx h
maka bila pers (3.49) dan (3.50) dimasukkan kedalam pers ( 4.19 )
diperoleh
dP d ⎛ −ih d2ψ• i ⎞ • ⎛ ih d ψ i
2

2
= ψ ( x, t ) = ⎜⎜ 2
+ V( x)ψ *⎟
⎟ ψ +ψ ⎜
⎜ 2
− V(x)ψ⎟⎟
dt dt ⎝ 2m dx h ⎠ ⎝ 2m dx h ⎠
dP ih d 2ψ d 2ψ •
= (ψ • − ψ ) (3.51)
dt 2m dx 2 dx 2
Dari manipulasi operasi differensial sederhana dapat diperoleh

d 2ψ d ⎛ * dψ ⎞ dψ • dψ
ψ* = ⎜ψ ⎟−
dx 2 dx ⎝ dx ⎠ dx dx
(3.52)
dan
d 2ψ • d ⎛ dψ * ⎞ dψ dψ *
ψ = ⎜ψ ⎟− .
dx 2 dx ⎜⎝ dx ⎟⎠ dx dx
Bila pers (3.52) dimasukkan ke dalam pers (3.51) maka

dP ih ⎡ d ⎛ * d ψ ⎞ d ψ * d ψ ⎤ ⎛ d ⎛ dψ * ⎞ dψ dψ * ⎞
= ⎜ψ ⎟− −⎜ ⎜⎜ψ ⎟⎟ − . ⎟
dt 2 m ⎢⎣ dx ⎝ dx ⎠ dx dx ⎥⎦ ⎜⎝ dx ⎝ dx ⎠ dx dx ⎠
⎟ (3.53)
ih d ⎛ * d ψ dψ * ⎞
= ⎜⎜ψ −ψ ⎟⎟
2 m dx ⎝ dx dx ⎠

dP ih d ⎛ dψ dψ *

∫ dx = ∫ ⎜ψ −ψ ⎟⎟ dx
*

dt 2 m dx ⎜⎝ dx dx ⎠

52

d ih ⎛ * d ψ dψ * ⎞
dt ∫
Pdx = ⎜ψ − ψ ⎟ =0
2 m ⎜⎝ dx dx ⎟⎠ − ∞
Karena ψ harus berharga nol pada saat harga x menuju ±∞, sebab
bila tidak nol fungsi gelombang menjadi tak ternormalisasi, maka

d d
∫ ∫
2
Pdx = ψ ( x, t ) dx = 0
dt dt −∞

Dengan demikian ∫ Pdx berharga konstan dan ψ(x,t) ternormalisasi.

Bila didefinisikan
ih dψ • dψ
J ( x, t ) = (ψ −ψ • ) (3.54)
2m dx dx
didefinisikan sebagai arus probabilitas, maka pers (3.53) dapat
ditulis menjadi
dP − dJ ( x, t )
=
dt dx
atau secara umum dapat ditulis menjadi
dP
+∇ o J = 0 (3.55)
dt
yang tidak lain merupakan persamaan kontinyuitas yang
mencerminkan hukum kekekalan muatan.
Dari diskusi di atas dapat dikatakan bahwa pengukuran
benda-benda dalam skala mikroskopik hasilnya hanya dinyatakan
sebagai peluang, P, dengan demikian hasil pengukuran tersebut
adalah merupakan nilai harap yang analogi dengan rerata yang
diperoleh dari pengukuran berulang kali pada mekanika klasik.
Besarnya simpangan pengukuran yang juga disebut sebagai
ketidakpastian pengukuran posisi didefinisikan sebagai
1
2
Δx = < x 2 > −(< x >) 2 = (x 2 − x ) 2 (3.56)
Dengan jalan yang sama besarnya ketidakpastian pengukuran
momentum yang dilakukan bersamaan dengan pengukuran posisi
dapat dinyatakan sebagai

53
1
dan Δp = < p > −(< p >)
2 2
= (p − p )
2 2 2
(3.57)
Di dalam pengukuran benda-benda yang berukuran atomik
(bersifat mikroskopik) hasil pengukuran yang diperoleh adalah
hanya bersifat probabilistik yang merupakan nilai harap atau dapat
didekati sebagai nilai rerata saja.
<x> = nilai harap ditemukan partikel pada posisi (a, b) didefinisikan
sebagai

< x >=
∫ψ ∗ xψdx
∫ ψ dx
2

b
< x >= ∫ψ • (x)xψ (x)dx
a
(3.58)

karena ∫P(x) dx = ∫ ψ dx = 1 , ψ(x,t) ternormalisasi


2

Nilai harap suatu variabel (besaran fisis) yang diukur secara


mikroskopis, misalnya f dapat dinyatakan sebagai

< fˆ > = ∫ψ ∗ fˆψdx (3.59)

dimana ψ(x,t) adalah fungsi gelombang yang ternormalisasi dan fˆ


adalah operator.

3.5 Ilustrasi Tentang Prinsip Ketidakpastian Heisenberg


Seperti pada sub bab sebelumnya, untuk memberikan
gambaran tentang prinsip ketidakpastian terhadap hasil pengukuran
bila dilakukan pengukuran pada benda-benda yang bersifat
mikroskopik, dapat dilakukan dengan menggunakan eksperimen
bayangan (eksperimen yang hanya di pikiran). Untuk mendeteksi
benda-benda mikroskopik selalu dilakukan dengan cara melakukan
interaksi antara gelombang elektromagnetik (cahaya/sinar) dengan
benda mikroskopik tersebut. Misal untuk mengetahui posisi electron

54
dalam suatu material, maka material tersebut disinari dengan cahaya
yang mempunyai panjang gelombang λ dan citra yang terbentuk
karena penyinaran tersebut diproyeksikan ke layar seperti pada
eksperimen optika. Gambar 3.5 menunjukkan peralatan eksperimen
utama yang disederhanakan Jarak terkecil antara posisi dua benda
mikroskopik yang dapat ditentukan (dideteksi) oleh mikroskop
disebut sebagai daya resolusi mikroskop yang dinyatakan sebagai
λ
d= dan ketidakakuratan lokalisasi electron sebanding dengan
sin ϕ
jarak terkecil yang terdeteksi yaitu,
λ
Δx ≈ d = (3.60a)
sin ϕ
layar

lensa

ϕ
ν ,λ
elektron

x
Gambar 3.5 Penentuan posisi
electron dengan mikroskop

Ketidakpastian pengukuran tergantung pada panjang gelombang EM


atau foton yang digunakan, makin kecil panjang gelombang yang
digunkan makin kecil pula ketidakpastian pengukuran. Bila foton
masuk ke dalam material yang terdiri dari susunan electron, ada
foton menumbuk electron sehingga electron melakukan reaksi,
maka ketidakpastian momentum electron pada arah x dan foton

dapat didekati sebagai Δp x ≈ h sin ϕ (3.60b)
λ

55
Maka Δx Δp x ≈ 2πh
Makin kecil harga Δx atau Δp x makin akurat hasil pengukuran x atau
px. Karena hasil kali keduanya konstan, maka dapat disimpulkan
bahwa tidak dapat dilakukan pengukuran posisi dan momentum
secara serentak yang memberikan hasil pengukuran yang cukup
akurat.

Prinsip ketidakpastian Heisenberg


Dari sifat materi sebagai gelombang dapat dilihat adanya
hubungan langsung antara penentuan posisi dan momentum secara
mikroskopik , yaitu kita tidak dapat menentukan secara eksak posisi
dan momentum yang diukur sec ara serentak. Besarnya
ketidakpastian hasil pengukuran secara serentak momentum dan
posisi disebut prinsip ketidakpastian Heisenberg.
Untuk mendemonstrasikan adanya prinsip ketidakpastian, marilah
kita tinjau paket gelombang
sin( Δk{v g t − x})
ψ ( x, t ) = 2c( k 0 ) exp{i (ω0 t − k 0 x )} (3.61a)
vg t − x
Paket gelombang pada pers (3.61a) diilustrasikan seperti pada
gambar 3.6

ψψ * ( x,0)

Δx x
Gambar 3.6 Rapat probabilitas dari paket
gelombang pada pers (3.17a) pada saat t=0

56
Ekstensi dari gelombang group ditunjukkan dengan Δx yaitu jarak
dari minimum pertama ke titik maksimum. Dan besarnya rapat
probabilitas pada titik minimum adalah nol,
sin 2 ( Δk{v g t − x})
| |ψ ( x, t ) |2 = 4c 2 ( k 0 ) =0 (3.62)
(v g t − x ) 2
Bila vg –x = Δx , dari pers (3.54),
sin Δx Δk =0 = sin n π
Maka diperoleh harga ketidakpastian untuk minimum pertama n=1
Δx Δk ≈ π
Dengan memasukkan harga momentum menurut de Broglie dapat
diperoleh estimasi ketidakpastian Δx Δp ≈ πh .
Prinsip ketidakpastian Heisenberg sebagai konsekuensi sifat materi
sebagai gelomband, hal ini berarti bahwa gelombang sebagai medan
pemandu dari partikel. Dengan menggunakan prinsip superposisi
mpprobabilitas medan adalah paduan paket gelombang dari
gelombang-gelombang yang mempunyai momentum yang definit
(gelombang bidang). Partikel yang dipandu oleh paket gelombang
dapat ditemukan dengan kebolehjadian yang cukup tinggi dalam
rentang Δx karena partikel terlokalissi dalam rentang Δx . Untuk
lokalisasi partikel dalam Δx tersebut, diperlukan sejumlah besar
paket gelombang yang mempunyai momentum mendekati hk 0 yaitu
momentum dari paket gelombang yang lebarnya hΔk .
Untuk menjabarkan prinsip ketidakpastian, perlu
didefinisikan lebih dulu sebuah ukuran deviasi (simpangan) px atau x
terhadap nilai reratanya, <px> atau <x>, yang akan didiskusikan
pada sub bab berikutnya.

∫ dx |ψ ( x, t ) |
2
<x>= x dan kuadrat deviasi

( Δx ) 2 = < ( x − < x > ) 2 > = < x 2 > − ( < x > ) 2


untuk posisi x

57
d
∫ dxψ ( x, t )( −ih )ψ ( x, t )
*
<p>= dan
dx
( Δp ) 2 = < ( p − < p > ) 2 > = < p 2 > − ( < p > ) 2
untuk momentum.
Pada pembahasan penjabaran prinsip ketidakpastian berikut
ini kita pilih sistem koordinat sedemikian hingga titik awal koordinat
adalah titik tetap yang berimpit dengan titik <x> = x yang
merupakan pusat dari distribusi partikel, maka x di set sama
dengan nol , karena kedua titik yang berimpit tersebut selalu
dx
bergerak bersama maka kecepatan pusat distribusi partikel = <p>
dt
= p juga sama dengan nol. Untuk menciptakan hubungan antara
besaran x2 dan ( p x ) 2 , marilah kita tinjau bentuk integral dari
kuadrat suatu fungsi yang mencakup operator posisi x dan operator
d
momentum , yaitu
dx

dψ ( x )
I( α ) = ∫ αxψ ( x, t ) +
2
dx (3.63)
−∞
dx
Fungsi dalam integral pada pers (3.63) merupakan fungsi kuadrat,
maka harga I( α ) selalu positif atau sama dengan nol. Penyelesaian
integral pada pers (3.63) dapat dilakukan dengan menguraikan
bentuk kuadrat dari fungsi menjadi
∞ ∞
dψ*(x) dψ dψ* dψ(x)
I(α ) = ∫ α2x2ψ dx+α ∫ x{ ψ +ψ* }dx+ ∫
2
dx (3.64a)
−∞ −∞
dx dx −∞
dx dx

A -B C


2
A= x 2 ψ dx = <x2> = Δx 2 (3.64b)
−∞

dψ * ( x ) dψ d
B=- −
−∞
∫ x{
dx
ψ +ψ *
dx
}dx = − ∫ x (ψ *ψ )dx
−∞
dx

58

= − x (ψ *ψ ) ∫ ψ ψ )dx =1
*
+ (3.64c)
−∞
−∞
∞ ∞
dψ * dψ ( x) d ∞ d 2ψ ( x )
∫ dx = (ψ * ψ ) - ∫ψ *
C= dx
−∞
dx dx dx −∞
−∞
dx 2
∞ 2
1 −h d2 1 Δp x2
∫ ψ { dx 2 }ψ ( x )dx = h 2 < p x > = h 2
* 2
= 2 (3.64d)
h −∞

dan I( α )= α 2 A - B α + C ≥ 0 (3.64e)
Pertidaksamaan kuadrat pada pers. (3.64e) selalu berharga positif
atau nol , maka harga diskriminan dari persamaan kuadrat dengan
variable α tersebut harus kurang dari nol atau nol,
D=B2-4AC ≤ 0 (3.64f)
maka akar-akar dari pers kuadrat tersebut merupakan bilangan
kompleks.
Kemudian hasil perhitungan pada pers (3.64b), (3.64c) dan (3.64d)
dimasukkan ke dalam pers (3.64a) dan menggunakan kondisi pers
(3.64f) diperoleh
Δp x2 h2
1-4 Δx 2 ≤ 0 atau Δx 2
Δ p 2
x ≥ (3.65)
h2 4
Beberapa contoh ilustrasi prinsip ketidakpastian Heisenberg pada
pengukuran serentak antara posisi dan momentum yang tak akan
mungkin memberikan menghasilkan kedua pengukuran secara tepat.

3.6. Superposisi Gelombang Bidang


Persamaan gelombang bidang yang merepresentasikan
partikel bebas merupakan bentuk khusus dari pers (3.26) dimana
p2
energy total partikel E = + V ( x ) yang terkuantisasi menjadi E =
2m
hω mempunyai energy potensial V(x) =0, sehingga fungsi
gelombang partikel bebas dapat dinyatakan sebagai
i p2 i i p2
ψ ( x, t ) = c exp{ikx − t} = c exp{ px − t} (3.66)
h 2m h h 2m

59
dan rapat probabilitasnya adalah |ψ ( x, t ) |2 = c2 Bila sebuah partikel
yang direpresentasikan oleh ψ ( x, t ) terkungkung dalam volume V,
dan berdasarkan kondisi batas bahwa fungsi gelombang
1
ternormalisasi, maka ∫ d 3 xc 2 = 1 atau Vc2 =1 atau c =
V
Untuk keadaan –keadaan partikel (states ) yang terlokalisasi,
yaitu semua partikel terkonsentrasi pada suatu tempat , fungsi
gelombang sistem partikel tersebut merupakan perpaduan dari
masing-masing gelombang bidang yang dinyatakan sebagai
r d3p i r r i p2
ψ (r , t ) = ∫ ϕ ( p ) exp{ p.r − t} (3.67)
( 2πh) 3 h h 2m

Paket gelombang 3 dimensi

Bentuk persamaan (3.67) menjadi lebih sederhana bila kita hanya


meninjau paket gelombang Gaussian untuk satu dimensi saja, misal
kita pilih komponen arah x, dimana
d2
ϕ ( p ) = A exp{−( p − p0 ) 2 2 (3.68)
h
Merupakan fungsi momentum dalam satu dimensi. Dengan
memasukkan pers (3.68 ) ke dalam pers (3.67) dan dengan
mensubstitusi variable-variabel baru yang berharga konstan dalam
integral pada persamaan tersebut sebagai berikut:
d2 t d 2 p0 ix d 2 p02
a = 2 +i , b= 2 + , c= , (3.69)
h 2 mh h 2h h2
Maka komponen satu dimensi untuk pers (3.67) dapa ditulis menjadi
A b 2 b2
2πh ∫
ψ ( x, t ) = dp exp{ − a ( p − ) + − c} (3.70)
a a
Integral pada pers (3.70) dapat diselesaikan dengan menggunakan
integral Gaussian

60

π
∫e
− ax 2
dx =
−∞
a
A π b2
ψ ( x, t ) = exp{ − c} (3.71)
2πh a a
Rapat probabilitas untuk partikel yang direpresentasikan dengan
fungsi gelombang pada pers (3.71) adalah
A 2π 2
ψ ( x, t ) 2 = ( ) exp{2 Re{b − c} } (3.72)
2πh a a
Faktor normalisasi fungsi gelombang pada pers (3.70) dapat

∫ dxψ ( x, t )ψ ( x, t ) = 1 dan
*
ditentukan dengan menggunakan definisi

dengan memanipulasi variable pada pers (3.72) sedemikian hingga


pers (3.72) secara eksplisit merupakan fungsi x sebagai berikut:
b2 b 2 − ac * ( x − vt ) 2
2 Re{ − c} = 2 Re{ }a = − (3.73)
a | a |2 2d 2 (1 + Δ2 )
p th
dimana v = 0 dan Δ = (3.73a)
m 2md 2
Dengan memasukkan pers. (3.73) ke dalam pers (3.72) dan
diintegralkan terhadap variable x
A 2π ( x − vt ) 2
∫ ψ ( x , t ) 2
dx = (
∫ 2πh a ) exp { − }dx =1
2d 2 (1 + Δ2 )
2
⎛ A ⎞ π
⎜ ⎟ π 2d 2 (1 + Δ2 ) = 1 (3.74)
⎝ 2πh ⎠ a
Dengan memasukkan nilai a pada pers (3.69) dan nilai Δ pada pers
(3.73a) ke dalam pers (3.74) sehingga pers (3.74) menjadi
d2 it d2 it
( 2 + )( 2 − )
h 2 mh h 2 mh 1
A2 = ( 2πh) 2
π t 2h2
πd 2 (1 + )
4m 2 d 4

61
maka harga faktor normalisasi A dapat diperoleh sebagai
A = 4 8πd 2 (3.75)
Dengan memasukkan harga A pada pers (3.75) dan pers (3.75) ke
dalam pers (3.72) maka pers (3.72) menjadi
1 ( x − vt ) 2
| |ψ ( x, t ) |2 = exp { − 2 } (3.76)
d 2π (1 + Δ2 ) 2d (1 + Δ2 )
Pers (3.76) menunjukkan rapat probabilitas yang merupakan fungsi
posisi dengan bentuk fungsi Gaussian. Kecepatan group maksimum
p ∂E
dari paket gelombang , v = 0 = | p , seperti pada mekanika
m ∂p 0
klasik, sedangkan kecepatan fase dari masing-masing individu
gelombang bidang yang merupakan komponen penyusun dari paket
E p
gelombang adalah v ph = = . Karena harga Δ merupakan
p 2m
fungsi waktu yaitu kenaikan Δ sebanding dengan kenaikan waktu,
maka dengan bertambahnya waktu nilai |ψ ( x, t ) |2 menjadi lebih
datar atau lebih menyebar ini berarti partikel-partikel dalam sistem
partikel menjadi lebih menyebar.
Rapat probabilitas pada pers (3.76) sangat bermanfaat untuk
digunakan dalam penentuan nilai rerata posisi suatu partikel dan
deviasi standard dari posisi partikel tersebut. Nilai harap dari posisi
partikel, <x>, dihitung dengan

∫ dx |ψ ( x, t ) |
2
<x>= x (3.77a)

∞ ∞
= ∫ dx |ψ ( x, t ) |2 ( x − vt ) - ∫ dx |ψ ( x, t ) |
2
vt ) = vt (3.77b)
−∞ −∞

Suku pertama pada persamaan (3.77) menjadi nol karena


|ψ ( x, t ) |2 merupakan fungsi genap dari (x-vt).
Sedanngkan deviasi standard dari posisi x didefinisikan sebagai
( Δx ) 2 = < ( x − < x >) 2 > = < x 2 > − < 2( x ) < x >> + << x > 2 >

62
= < x 2 > −( < x > ) 2

Dimana < x 2 > = ∫ dx |ψ ( x, t ) |2 x 2 =


1 ( x − vt ) 2
∫−∞dx d 2π (1 + Δ2 ) exp { − 2d 2 (1 + Δ2 ) } (x-vt)
2


1 ( x − vt ) 2
+2vt ∫ dx exp { − } (x-vt)
−∞ d 2π (1 + Δ2 ) 2d 2 (1 + Δ2 )

1 (x − vt ) 2
+ (vt)2 ∫ dx exp { − } (3.78)
−∞ d 2π (1 + Δ2 ) 2d 2 (1 + Δ2 )
< x > = d 2 (1 + Δ2 ) + ( vt ) 2
2
(3.79)
Hasil integrasi pada pers (3.79) diperoleh dari penyelesaian pers
(3.78) dengan menggunakan integral fungsi Gaussian. Dengan
memasukkan pers (3.77) dan (3.79) kedalam pers (3.80), maka
diperoleh nilai deviasi standard dari posisi partikel yaitu
Δx = d (1 + Δ ) 2 (3.80)

Contoh
1. Sebuah partikel yang bersifat makroskopik, bermassa m= 1023
mp dimana mp adalah massa sebuah proton. Dalam kondisi awal,
besarnya ketidak pastian posisi partikel adalah
Δx = d =10-8 cm dan pada saat 1 = 1010 s dimana besarnya
Δ = 1 , maka besarnya ketidakpastian posisi berubah menjadi
Δx = 2d ( nilai akhir ketidakpastian ini sedikit tak relevan
dengan pertambahan benda makroskopik. Dapat ditunjukkan
bahwa Δ = 1 !

63
t=0

t=t1
t=t2
h he-1

v.t1 v.t2
2d 2(1 + Δ2 )d

Gambar 3. 7 Skema gerak paket gelombang Gaussian ,sebarannya dan lebar


setengah gelombang yang mana fungsi gelombang menurun dengan fraksi
penurunan sebesar e-1

Evolusi paket gelombang Gaussian dari partikel pada contoh


soal diatas ditunjukkan pada gambar 3.7 dimana pada saat t=0 sistem
partikel terdistribusi pada daerah di bawah kurva Gaussian yang
lebarnya lebih kecil yang bearti partikel terkonsentrasi lebih rapat,
dengan bertambahnya waktu, sistem partikel tersebar pada daerah di
bawah kurva yang makin melebar yang berarti probabilitas
ditemukan partikel pada posisi tertentu dibawah kurva mengecil atau
ketidakpastian ditemukannya partikel membesar.

3.7 Rapat Probabilitas Untuk Pengukuran Momentum


Pada bab sebelumnya telah dibahas probabilitas partikel
dapat ditemukan pada suatu posisi tertentu dalam volume yang
sangat kecil, d3x yang sebanding dengan kuadrat harga mutlak dari
fungsi gelombang yang mendeskripsikan partiel tersebut. Analogi
dengan posisi, kebolehjadian ditemukannya partikel yang
mempunyai momentum tertentu , p, dalam d3p , direpresentasikan
sebagai W(x,t) d3p, maka harga total kebolehjadian ditemukan
partikel yang mempunyai momentum p adalah sama dengan 1atau
ternormalisasi,

∫ W ( x, t )d
3
p=1 (3.81)
−∞

Untuk menentukan fungsi gelombang yang merepresentasikan gerak


partikel sebagai fungsi momentum dan waktu, dapat diperoleh

64
dengan transformasi Fourier dari pers (3.67). Pers (3.67) dapat
ditulis dalam bentuk
r d3p i rr
ψ (r , t ) = ∫ ϕ ( p, t ) exp p.r (3.82)
( 2πh) 3
h
i p2
dimana ϕ ( p, t ) = ϕ ( p ) exp{− t}
h 2m
Dengan menggunakan pers (3.82) akan ditentukan W(x,t) menurut
definisi pada pers (3.81), dan dengan menggunakan definisi dV=d3x,
r r
dan r = x = iˆx + ˆjx + kˆx 1 2 3

r 2 d3 p i r r r
∫ ψ ∫ (2πh)6 ∫ d p′ exp{h ( p − p′ ).x} ϕ ( p, t ) ϕ ( p′, t )
3 3 3 *
d x | ( r , t ) | = d x

d 3 p′ 3 r r
= ∫ d3p ∫ (2πh ) 3
δ ( p − p ′ ) ϕ ( p, t ) ϕ * ( p ′, t ) (3.83)

1
= ∫ d3p
(2πh )3
| ϕ ( p , t ) |2 (3.83a)

Di sini kita telah menggunakan definisi fungsi delta Dirac 3 dimensi


x. r v
∞ i ( p − p′)
eh r r
∫ = δ 3 ( p − p′ )
3
d x (3.84a)
−∞
( 2πh) 3

d 3 p′ 3 r r 1
dan ∫ (2πh) 3
δ ( p − p ′ ) ϕ ( p, t ) ϕ * ( p ′, t ) =
(2πh )3
| ϕ ( p, t ) (3.84b)

Bentuk umum fungsi delta Dirac satu dimensi didefinisikan sebagai


p
∞ ∞ i ( x − x′)
e ik ( x − x′) e h


−∞
dk

= δ ( x − x ′) atau ∫
−∞
dp
2πh
= δ ( x − x ′) (3.84c)

dan untuk 3 dimensi adalah


r
r r r p. r r
∞ ∞ i ( x−x′)
ik •( x−x′)
e r r e h

∫ d k (2π ) = δ 3 ( x − x ′) atau ∫ d p (2πh) = δ 3 ( x − x ′)


3 3
3 3
(3.84d)
−∞ −∞

65
Dari pers (3.83a) dapat disimpulkan bahwa rapat probabilitas
untuk penemuan partikel yang mempunyai momentum p dalam
ruang momentum adalah
1 r
W(x,t) = | ϕ ( p , t ) |2 (3.85)
(2πh )3

Pers (3.85) menunjukkan bahwa untuk gelombang bidang dengan


momentum p0, transformasi Fourier berbeda dengan nol hanya untuk
harga p = p0.
Untuk sistem satu dimensi, rapat probabilitas ditemukannya
partikel dengan momentum p dalam interval dp adalah
1 2 d d2
W(x,t) = | ϕ ( p , t ) |2 = exp{−2( p − p0 )2 2 } (3.86)
(2πh ) π h h
Rapat probabilitas pada pers (3.48) tidak tergantung pada waktu
karena kita hanya meninjau partikel bebas. Dengan menggunakan
pers (3.86), besarnya nilai harap momentum dari sebuah partikel
adalah

< p > = ∫ dp W ( x, t ) p= ∫ dp W ( x, t ) (p-p0) + ∫ dp W ( x, t ) p0 (3.87)
−∞

= p0
karena suku kedua ruas terkanan pada pers (3.87) diselesaikan
dengan integral bentuk Gaussian sehingga diperoleh

2d d2
< p > = ∫ dp p0 exp{−2( p − p0 )2 2 }
−∞
πh h
2 d πh 2
= p0 = p (3.87a)
π h 2d 2
Dan integral suku pertamanya sama dengan nol karena fungsi yang
diintegralkan merupakan fungsi genap. Sedangkan besarnya kuadrat
standard deviasi dari momentum yang didefinisikan sebagai ( Δp ) 2
= < ( p − < p >) 2 > = < p 2 > − < 2( p ) < p >> + << p > 2 >
= < p 2 > −( < p > ) 2
dimana < p > = p0 = nilai harap momentum

66

( Δp ) = < ( p − < p >) > = < ( p − p0 ) > = ∫ dp W ( x, t ) ( p − p0 ) 2
2 2 2

−∞

sehingga

2 d d2
( Δp ) 2 = ∫ dp exp{−2( p − p0 ) 2 2 } ( p − p0 ) 2 (3.88)
−∞
π h h
Pers (3.88) dapat diselesaikan dengan menggunakan integral parsiil
terhadap variabel (p-p0),
∞ 2
1 h2 2 d 2 d
= ∫ 2 2d 2 π h
−∞
{− } d [exp{−2 ( p − p 0 )
h2
}] ( p − p0 )

2
h2 2 d 2 d ∞
( Δp ) = {− 2 }
2
[exp{−2( p − p0 ) 2 } ( p − p0 ) +
4d π h h −∞

∞ 2
h2 2 d 2 d

−∞
{ }
4d 2 π h
exp{−2 ( p − p 0 )
h2
} d ( p − p0 ) (3.88a)

dimana suku pertama pada pers (3.88a) bernilai 0 dan suku kedua
tidak lain merupakan integral Gaussian yang hasilnya adalah
h2 2 d πh 2 h2
{ } = , maka
4d 2
π h 2d 2 4d 2
h2 h
( Δp ) 2 = 2
atau Δp = (3.89)
4d 2d
Besarnya Δx Δp dapat diperoleh dari pers (3.80) dan pers (3.89)
sebagai
h h
Δx Δp = d 1 + Δ2 = 1 + Δ2 (3.90)
2d 2
Pers (3.90) merupakan kasus khusus dari hasil kali ketidakpastian
pengukuran posisi dan momentum yang dilakukan secara serentak
yang secara umum dinyatakan sebagai
h
Δx Δp ≥ (3.90a)
2
Dalam pembahasan di atas kita telah mengaplikasikan sifat-sifat
transformasi Fourier.

67
3.8 Operator dan Hasil kali Skalar
Di dalam mekanika klasik kita telah mengukur besaran-
besaran fisika seperti posisi, momentum, enenrgi, gaya dan lain-lain,
dan besaran –besaran fisika tersebut disebut sebagai variable yang
dapat diamati yang diberi istilah sebagai observable. Dalam
mekanika kuantum kita tidak dapat mengukur secara langsung
besaran fisika diatas karena benda yang menjadi obyek dalam
mekanika kuantum berukuran mikroskopik (atomic) dan untuk
pengukuran atau pengamatannya kita perlu menginteraksikan
gelombang elektromagnetik dengan obyek tersebut. Seperti telah
didiskusikan pada sub bab sebelumnya obyek dalam mekanika
kuantum direpresentasikan dengan fungsi gelombang sebagai
pemandu medan, dan besaran fisika dalam kuantum dipandang
sebagai operator yaitu yang beroperasi pada fungsi gelombang.
Contohnya variable posisi x dalam mekanika kuantum menjadi
operator posisi x̂ , variable momentum linier satu dimensi, px
d
menjadi operator pˆ x = −ih , dll
dx
Tinjauan umum mengenai operator sebagai berikut: sebuah
operator A didefinisikan dengan formula bahwa untuk fungsi
gelombang ψ ( x ) ∈ L2 berlaku
Aψ ( x) =∈ L2ϕ ( x) (3.91)
d
Contoh : Aψ ( x ) = ψ 2 + ψ
dxi
Operator A disebut operator linier bila Aψ 1 ( x ) = ϕ1 ( x ) dan
Aψ 2 ( x ) = ϕ 2 ( x ) dimana c1 dan c2 adalah bilangan kompleks, maka
A(c1ψ 1 ( x ) + c2ψ 2 ( x )) = c1ϕ1 ( x ) + c2ϕ 2 ( x ) (3.92)
d d
Contoh : xi, , ∇2 , , dll
dxi dt
Berikut ini beberapa operasi aljabar pada operator :
Perkalian bilangan konstan dengan operator cAψ = A(cψ ) (3.93a)
Penjumlahan antara dua operator : (A + B ) ψ = Aψ + Bψ (3.93b)

68
Hasil kali antara dua operator : AB ψ = A(Bψ ) (3.93c)
Ada dua buah operator khusus yaitu operator satuan dan operator nol
: 1ψ = ψ , 0ψ = 0 (3.93d)
Hubungan komutasi antara dua operator A dan B didefinisikan
sebagai
[A,B] = AB – BA (3.94)
Secara umum dua atau lebih operator tidak komutatif, yaitu AB ≠
BA, bila dua buah operator bersifat komutatif, maka [A,B] = AB –
BA = 0
Berikut ini beberapa formula hubungan komutasi dari beberapa
operator :
[A+B,C] = [A,C] + [B, C] (3.95a)
[AB,C] = A[B,C] + [A,C]B (3.95b)
Contoh aplikasi sifat-sifat hubungan komutasi:

[x, p x ]ψ = ⎡⎢ x,−ih d ⎤⎥ψ = x( −ih d ψ )- ( −ih d ( xψ ) = − ihx d ψ +


⎣ dx ⎦ dx dx dx
d dx
ihx ψ + ih ψ = ihψ
dx dx
Jadi [x, p x ] = ih
[x , p ] = ihδ
i j ij dst
Perkalian scalar antara dua fungsi gelombang didefinisikan sebagai

(ϕ ,ψ ) = ∫ d 3 xϕ * ( x )ψ ( x ) (3.96)

Sifat-sifat perkalian secara scalar antara lain:


1. (ϕ ,ψ ) * = (ψ ,ϕ )
2. (ϕ , c1ψ 1 + c2ψ 2 ) = c1 (ϕ ,ψ 1 ) + c2 (ϕ ,ψ 2 )
3. ( c1ϕ1 + c2ϕ 2 ,ψ ) = c *1 (ϕ1 ,ψ ) + c2* (ϕ 2 ,ψ ) (3.97)
4. (ϕ ,ϕ ) ≥ 0
5. Operator dalam perkalian scalar

(ϕ , Aψ ) = ∫ d 3 xϕ * ( x ) Aψ ( x ) (3.98a)

69
6. Bila A+ adalah adjoint dari operator A maka

( A+ϕ ,ψ ) = (ϕ , Aψ ) , yaitu ∫ d 3 x ( A+ϕ ) * ( x ) Aψ ( x )

= ∫ d 3 xϕ * ( x ) Aψ ( x ) (3.98b)

7. Bila operator A adalah hermitian, maka A+ = A, dan sebagai


konsekwensinya
(AB)+ = B+ A+ dan [A+,B+] = [B,A]+ (3.98c)
8. Identitas Baker Hausdorff: eABe-A = B+ [A,B] +
1
[ A, [ A, B ]] +… (3.98d)
2

A2 A3 An
dimana eA= 1 +A+ + + ……. =∑
2! 3! n =0 n!

3.9 Prinsip Korespondensi


Munculnya teori kuantum karena teori yang dikembangkan
oleh mekanika klasik tidak bisa digunakan untuk menjelaskan hasil
eksperimen. Walaupun begitu, persaman Schrodinger yang
merupakan ruh dari mekanika kuantum dikembangkan berdasarkan
definisi energy total pada mekanika klasik. Kondisi inilah yang
mendorong ide tentang korespondensi antara mekanika klasik
dengan mekanika kuantum. Teori mekanika kuantum dapat berubah
menjadi mekanika klasik bila energy sistem menjadi sangat besar
atau h mendekati nol.

Contoh 1:
Korespondensi antara frekuensi dari radiasi (foton) yang
dipancarkan oleh perpindahan electron dari orbit yang lebih tinggi
ke orbit yang lebih rendah dimana bilangan kuantum utama dari
orbit tersebut sangat besar dengan frekuensi electron yang mengorbit
inti untuk bilangan kuantum yang sama. Dengan kata lain dapat

70
dikatakan bahwa frekuensi radiasi sama dengan frekuensi rotasi
electron.
Frekuensi radiasi menurut model atom Bohr,
mz 2 e 4 mz 2 e 4
− 2 − ( − )
2h ( n + 1) 2 2h 2 n 2
υ rad = (3.99)
h
v
Dan frekuensi rotasi υ rot = yang diperoleh dari hubungan mvr
2πr
ze 2 mv 2
= n h dan 2 =
r r
Dapat ditunjukkan bahwa υ rad = υ rot untuk harga n menuju ∞ .

Contoh 2:
Korespondensi antara variable yang terukur dalam mekanika klasik
dengan operator dalam mekanika kuantum
d
1. momentum linier satu dimensi: p x = −ih
dx
r
2. momentum linier tiga dimensi p = −ih∇
p2 − h2 d 2
3. energy kinetik dalam satu dimensi Ek = = (3.100)
2m 2m dx 2
r
p2 − h2 2
4. Energi kinetic dalam tiga dimensi: Ek = = ∇
2m 2m
5. Energi mekanik = energy kinetic +energy potensial = E
Untuk partikel bebas, energy potensialnya nol, maka
d
Ek =E= energy total,E = ih
dt
d −h d 2 2
maka ih =
dt 2m dx 2

71
Dalam mekanika kuantum, energy total E adalah eigen nilai dari
operator Hamiltonian H, yaitu Hψ n = E nψ n
− h2 d 2
Untuk partikel bebas dalam H= dan untuk partikel
2m dx 2
− h2 d 2
yang dipengaruhi oleh suatu medan (potensial) H = +
2m dx 2
d
V(x) = ih
dt

3.10 Teorema Ehrenfest


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa teori mekanika
kuantum dapat menjelaskan hasil eksperimen benda-benda yang
berukuran subatomic, sedangkan mekanika Newton hanya dapat
menjelaskan benda-benda yang bersifat makroskopik, maka dalam
kasus tertentu dimana ukuran benda menjadi besar prinsip –prinsip
pada mekanika kuantum berlaku dalam mekanika klasik Contoh :
prinsip korespondensi frekuensi radiasi foton yang dipancarkan
sama dengan frekuensi rotasi electron mengorbit inti.
Marilah kita tinjau pers Schrodinger dan complex
conjugatenya
dψ dψ *
ih = Hψ dan cc nya − ih = Hψ * (3.101)
dt dt
Harga ekspektasi sebuah operator linear A didefinisikan sebagai

< A > = ∫ d 3 xψ * ( x, t ) Aψ ( x, t ) (3.102)

Perubahan harga ekspektasi terhadap waktu dapat dituliskan sebagai


d d
< A > = { ∫ d 3 xψ * ( x, t ) Aψ ( x, t ) } (3.103a)
dt dt

72
d *
∫d (ψ ( x, t )) Aψ ( x, t ) +
3
= x
dt
d d
∫d xψ * ( x, t ) ( A)ψ ( x, t ) + ∫ d 3 xψ * ( x, t ) A (ψ ( x, t ))
3
(3.103b)
dt dt

Dengan memasukkan pers (3.101) ke dalam pers (3.103b) diperoleh


i −i
= ∫ d 3 x Hψ * ( x, t ) Aψ ( x, t ) + ∫d
3
xψ * ( x, t ) A( ) Hψ ( x , t ) +
h h
d
∫d xψ * ( x, t ) ( A)ψ ( x, t )
3

dt
i ∂A
=
h ∫ d 3 xψ * ( x, t )( HA − AH )ψ ( x, t ) +
∂t
d i ∂A
A = [H , A] + (3.104)
dt h ∂t

Kesimpulan
1. Efek operator Hamiltonian yang hermitian ( Hermisitas
Hamiltonia) : Bila fungsi gelombang ψ dan ϕ berharga nol
ditak terhingga, setelah diintegralkan parsiil dua kali dapat
ditunjukkan
− h2 2 * − h2 2
∫ d x( ∇ ψ ) ϕ = ∫ d 3 xψ * ( ∇ ϕ)
3
(3.105)
2m 2m
Karena operator energy potensial V(x) hanya tergantung pada
posisi, maka

∫d x (Vψ ) * ϕ = ∫d xψ *Vϕ
3 3
(3.106)

73
2. Pembandingan dengan mekanika klasik didalam mekanika
klasik, koordinat umum posisi dan momentum q, p, persamaan
gerak dinyatakan sebagai
d ∂f
f ( p, q, t ) = {H , f }+ (3.107)
dt ∂t
∂g ∂f ∂f ∂g
dimana {g, f } = - (3.108)
∂p ∂q ∂p ∂q
disebut Poisson Bracket . Poisson Bracket dalam meknika klasik
berkorespondensi dengan hubungan komutasi dikalikan dengan
i i
, yaitu {g, f } = [g , f ] (3.109)
h h
3. Pembahasan operator yang paling penting yaitu operator
Hamiltonian yaitu dengan menyelidiki hubungan komutasi
dengan posisi:
⎡ p2 ⎤
[H , xi ] = ⎢∑ j , xi ⎥ = 1 ∑ p j [p j , xi ] + 1 ∑ [p j , xi ]p j
⎢⎣ j 2m ⎥⎦ 2m 2m
1 1 − ih
=
2m
∑ p j ( −ih )δ ij +
2m
∑ ( −ih ) p j δ ij =
m
pi (3.110)

4. Bila gaya F didefinisikan sebagai F= − ∇V (x ) , dengan


menggunakan sifat=sifat hubungan komutasi antara momentum
p dan posisi x, tunjukkan bahwa
d 1
a) < x> = < p >
dt m
d
dan b) < p> = − ∇V (x ) = < F(x) > (3.111)
dt
Bila kedua pers a) dan b) dipadukan, maka akan diperoleh
persamaan yang analog dengan persamaan Hukum Newton II,
yaitu soal a) dideferensialkan sekali lagi terhadap waktu :
d2 1d 1
2
< x> = < p > = < F ( x) >
dt m dt m
2
d
atau m 2 < x>= < F(x)> (3.112)
dt

74
Persamaan yang terakhir ini merupakan teorema Ehrenfest yang
secara klasik sebagai harga rerata.

Teorema Ehrenfest
(a) Misalkan fungsi gelombang ψ(x, t) merepresentasikan gerak
suatu partikel dan Persamaan Schrodinger untuk partikel tersebut
dapat ditulis:
∂ψ ( x, t ) ih ∂ 2 ψ ( x, t ) i
= − V ( x )ψ ( x , t ) (3.36)
∂t 2m ∂x 2 h
Dan konjugasi persamaan (3.36) adalah
∂ψ * ( x, t ) − ih ∂ 2ψ * ( x, t ) i
= + V ( x )ψ * ( x, t ) (3.113)
∂t 2m ∂x 2 h
Disini kita mengasumsikan bahwa V(x) riil. Integral

∫ | ψ( x, t ) |
2
dx harus tertentu, maka:
−∞

Lim |ψ(x,t)|2 = Lim |ψ(x,t)|2 = 0 dan


x →∞ x →−∞

∂ψ ( x, t ) ∂ψ( x, t )
Lim = Lim =0 (3.113a)
x →∞ ∂x x →−∞ ∂x
Perubahan nilai harap x, <x> terhadap berubahnya waktu atau
derivative pertama <x> terhadap waktu, dimana x adalah
variable yang tidak secara eksplisit merupakan fungsi waktu,
didefinisikan sebagai
dx d ∞
= ∫ ψ * ( x , t ) xψ ( x, t )dx
dt dt −∞
∞ ∂ψ * ( x , t ) ∞ ∂ψ ( x, t )
=∫ xψ ( x, t )dx + ∫ ψ * ( x, t ) x dx (3.114)
−∞ ∂t −∞ ∂t
Dengan subsitusi persamaan Schrodinger dan konjugasi ke
dalam pers (3.114) didapatkan:

75
dx
=
dt
ih ∞ ∂2ψ * ( x, t) i ∞
− ∫
2m −∞ ∂x 2
xψ ( x, t)dx + ∫ ψ * ( x, t ) xV ( x)ψ ( x, t)dx
h −∞


ih ⎡ ∞ ∂2ψ ( x, t) ⎤ i
2m ⎢⎣∫−∞ ⎥ h ∫ψ *( x, t)xV( x)ψ ( x, t)dx
+ ψ * ( x, t ) x dx −
∂x2 ⎦ −∞

ih ⎡ ξ ∂2ψ*(x, t) ξ ∂2ψ(x, t) ⎤
= − lim⎢∫ xψ(x, t)dx− ∫ ψ*(x, t)x dx⎥ (3.115)
2m ξ→∞⎣ −ξ ∂x2 −ξ ∂x2 ⎦

Integrasi dengan bagian memberikan:


dx
=
dt
ih ⎧⎪⎡ ∂ψ * ( x, t ) ⎤
ξ ξ
∂ψ * ( x , t ) ∂
− lim ⎨⎢ xψ ( x , t ) ⎥ − ∫ [xψ( x, t )]dx
2m ξ→∞ ⎪⎩⎣ ∂x ⎦ −ξ − ξ ∂x ∂x

∂ψ(x, t) ⎤
ξ ξ
∂ ⎫

− ⎢ψ * (x, t)x ⎥ + ∫ [ψ *(x, t)x] ∂ψ(x, t) dx⎪⎬ (3.116)
⎣ ∂x ⎦ −ξ −ξ ∂x ∂x ⎪⎭
Menggunakan (3.111a) suku pertama dan ketiga pada pers
(3.116) di atas sama dengan nol, maka kita dapatkan
dx ih ⎡ ξ ∂ψ * (x, t) ξ
∂ψ * (x, t) ∂ψ(x, t)
=− lim⎢− ∫ ψ(x, t)dx − ∫ x dx
dt 2m ⎣⎢ −ξ ∂x
ξ→∞
−ξ
∂x ∂x

∂ψ ( x, t ) ⎤
ξ ξ
∂ψ * ( x, t ) ∂ψ ( x, t )
+ ∫ ∂x x
∂x
dx + ∫ ψ * ( x , t )
∂x
dx ⎥ (3.117)
−ξ −ξ ⎦⎥
Pada pers (3.117), suku ke 2 dan ke 3 saling menghilangkan,
maka diperoleh

dx − ih
= { −ψ * ( x, t )ψ ( x, t ) ∞−∞ + 2 ∫ ψ * ( x, t ) d ψ ( x, t ) }
dt 2m −∞
dx

76

1 h ∂ψ ( x, t ) 1
= ∫
m −∞
ψ * ( x, t )
i ∂x
dx =
m
p

(b) Turunan pertama terhadap waktu dari 〈p〉 dinyatakan sebagai



d p d h ∂ψ ( x, t )
dt
= ∫
dt −∞
ψ * ( x, t )
i ∂x
dx

∞ ∞
h ∂ψ * (x, t) ∂ψ(x, t) h ∂ ∂ψ(x, t)
= ∫
i −∞ ∂t ∂x
dx + ∫ ψ * (x, t)
i −∞ ∂t ∂x
dx (3.118)

Karena ψ(x, t) merupakan fungsi yang smooth, maka direvasi


(turunan) pertama terhadap t dan terhadap x pada suku kedua
pers (3.118) dapat dibalik menjadi

h d ∂ψ ( x, t )

i −∞
ψ * ( x, t )
dx ∂t
dx

Dan dengan menggunakan persamaan Schrodinger pers (3.36),


persamaan (3.118) menjadi:
∞ ∞
d p h 2 ∂ 2ψ * ( x, t ) ∂ψ ( x, t ) ∂ψ ( x, t )
dt
=− ∫
2m −∞ ∂x 2
∂x
dx + ∫ V ( x)ψ * ( x, t )
−∞
∂x
dx

∂ψ ( x, t ) ih ∂ 2 ψ ( x, t ) i
= − V ( x )ψ ( x , t )
∂t 2m ∂x 2 h
∞ ∞
h2 ∂3ψ(x, t) ∂
+ ∫
2m −∞
ψ * ( x, t )
∂x 3
dx − ∫ ψ * (x, t) [V(x)ψ(x, t)]dx
−∞
∂x
(3.119)

Integrasi dengan bagian pola pertama memberikan:



∂ 2ψ * ( x, t ) ∂ψ ( x, t )
I= ∫−∞ ∂x 2 ∂x
dx (3.120)

Dengan menggunakan (3.113a), diperoleh :


⎡ ξ ∂ψ * ( x , t ) ∂ 2 ψ ( x, t ) ⎤
I = lim ⎢− ∫ dx ⎥ (3.121)
ξ→∞
⎢⎣ −ξ ∂x ∂x 2 ⎥⎦

77
Sekali lagi, bila diintegralkan secara parsiil diperoleh:
⎧⎪ ⎡ ∂ 2 ψ( x, t ) ⎤
ξ ξ
∂ 3 ψ ( x, t ) ⎫⎪
∂x 2 ⎦ −ξ −∫ξ
I = lim⎨− ⎢ψ * ( x, t ) ⎥ + ψ * ( x , t ) dx ⎬
ξ→∞
⎪⎩ ⎣ ∂x 3 ⎪⎭
ξ
∂ 3ψ(x, t )
= ∫ ψ * ( x, t )
−ξ
∂x 3
dx (3.122)

Kembali ke (3.119), kita akhirnya mendapatkan:


∞ ∞
dp ∂ψ ( x, t ) dV( x )
= ∫ V ( x )ψ * ( x , t ) dx − ∫ ψ * ( x, t ) ψ ( x, t )dx
dt −∞
∂ x −∞
∂x

∂ψ ( x, t )
− ∫ψ * ( x, t )V ( x ) dx
−∞
∂x

∂ψ ( x, t ) dV
= − ∫ψ * ( x, t )V ( x ) dx = − (3.313)
−∞
∂x dx

SOAL
⎡ h ∂⎤ dV
1. Tunjukkan bahwa [H , pi ] = ⎢V ( x ), ⎥ = ih
⎣ i ∂x ⎦ dxi
2. Sebuah peluru, massa m bergerak dengan kelajuan 108 cm/s dan
ketidakpastian kelajuannya adalah Δv = 10-1 cm/s
Tentukan ketidakpastian posisinya bila dilakukan pengukuran
posisi dan kelajuan secara serentak!
3. Buktikan pers (3.79) dari penyelesaian integral pada pers (3.78)!
4. Buktikan pers (3.99) !
5. Bila contoh 1a) diganti dengan partikel α, Δx = 2d , tentukan
waktu yang diperlukan agar ketidak pastian posisi yang mula-
mula Δx = d =10-11 cm pada saat t=0 sehingga harga
ketidakpastian posisinya berubah menjadi atau harga Δ yang
mula-mula nol menjadi berharga Δ = 1 !

78
6. Buktikan pers (3.111) dan (3.112) !
7. Tentukan ketidakpastian momentum yang besarnya samadengan
momentum electron itu sendiri!
8. Hitung ketidakpastian posisi yang terkait dengan ketidakpastian
momentum bila pengukuran dilakukan secara serentak!

79
BAB IV
APLIKASI PERSAMAAN SCHRODINGER
UNTUK SISTEM POTENSIAL
SEDERHANA

4.1 Pendahuluan
Pada bab sebelumnya telah dibahas tentang argumentasi
munculnya teori kuantum dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk
mendiskripsikan perilaku partikel sub atomik . Prinsip –prinsip yang
dibahas terutama terkait dengan penjabaran persamaan Schrodinger
dan teori kebolehjadian yang sangat berguna untuk mendiskripsikan
dinamika partikel yang bergerak dalam suatu medan potensial.
Berikut ini akan dibahas aplikasi persamaan Schrodinger untuk
sistem potensial sederhana seperti potensial kotak, potensial tangga,
potensial sumur, potensial delta dan potensial tanggul.

4.2 Partikel Dalam Potensial Kotak


1. Potensial Kotak Satu Dimensi
Marilah kita tinjau berkas partikel yang gerakannya
terkungkung di dalam kotak satu dimensi dimana energi
potensialnya
V(x) = 0 o ≤ x ≤ a dan V (x) = ∞ untuk x<0 dan x >a (4.1)

Implikasi dari sistem dengan energi potensial yang dinyatakan pada


pers. (4.31) diatas adalah bahwa fungsi gelombang menjadi nol pada

80
daerah x > a, dan x<0, ψ (a) = ψ (0) = 0. Dengan menggunakan
pers (4.14) untuk daerah dalam interval o ≤ x ≤ a
− h 2 ∂ 2 ψ(x)
+ 0ψ = Eψ
2m ∂x 2
2mE
2
= k2 > 0
h
E>0
d 2ψ
+ k 2ψ = 0 (4.2)
dx 2
yang memberikan penyelesaian dalam bentuk
ψ = A sin kx + B cos kx atau Ψ(x) =A’ e ikx + B’ e ,
-ikx
(4.3)
dimana A, B, A’, B’ adalah konstanta tak tentu
Dengan mengaplikasikan syarat batas bahwa:
Ψ (0) = 0 = Ψ(a), karena gerak partikel terkungkung dalam kotak
sehingga setiap kali partikel menumbuk dinding kotak amplitude
gelombang, yang merepresentasikan partikel, menjadi nol, maka
untuk x = 0 pers (4.3) menjadi 0 = A sin 0 + B cos 0 sehingga B =
0 dan Ψ(x) = A sin kx
dan untuk x = a ; Ψ(a) = A sin ka = 0, atau sin ka = 0 = sin nπ ,
diperoleh nπ = ka ; n = 1, 2, 3, …

Jadi, ψ = A sin x (4.4)
a
Karena partikel terkungkung dalam kotak berarti partikel dapat
ditemukan di dalam kotak maka ψ(x) pada pers (4.4) ternormalisasi.
Dengan demikian konstanta tak tentu A dapat ditentukan dengan
menggunakan syarat normalisasi yaitu

nπ nπ nπ
a a

∫ ψ *ψdx = ∫ A∗ sin x.A sin dx = A ∫ sin 2


2
xdx = 1; (4.5)
−∞ 0
a a 0
a

dimana ψ * adalah complex conjugate dari ψ(x), ψ * = A sin x,
a

81
dan A = konstanta tak tentu yang berharga riel yang disebut juga
sebagai amplitude gelombang. Untuk menentukan A, integral pada
pers (a) dapat diubah menjadi
2 nπ 2 nπ
a a a
1 2 1
∫0 ( 2 )(1 − cos a x)dx = 1 → A ( 2 ){∫0 dx − ∫0 cos a xdx} = 1
2
A

2 nπ 2nπ
a
a
karena ∫ cos
a
xdx = sin x =0
0
a 2nπ a 0

A2 2
maka a = 1 sehingga A =
2 a
Jadi persamaan fungsi gelombang untuk partikel yang terkungkung
dalam potensial kotak satu dimensi yang lebarnya a seperti yang
ditunjukkan pada Gamabar 1 adalah
2 nπ
ψ (x) = sin x (4.6)
a a

Besarnya energi total atau energi eigen value E dengan k =
a
adalah
h 2 n 2π 2
En = (4.7)
2m a 2
Dari persamaan (4.7) dapat ditentukan tingkat-tingkat energi partikel
yang terkungkung untuk selalu bergerak dalam kotak. Partikel
mungkin berada pada tingkat dasar yaitu partikel mempunyai energi
terendah dan dalam keadaan tereksitasi yaitu partikel mempunyai
energi tingkat atas yang lebih tinggi dari energi tingkat dasar. Untuk
h2 π 2
n=1 energi partikel pada tingkat dasar, E1 = , energi tingkat
2m a 2
h 2 4π 2
atas 1 untuk n = 2, E 2 = , dan seterusnya.
2m a 2
Nilai harap atau ekspektasi untuk ditemukan partikel dalam interval
posisi tertentu dan momentumnya dapat dicari sebagai berikut:

82
a. Nilai harap untuk ditemukan partikel pada posisi dari x =0
sampai x=a adalah
a
<x> = ∫ xψ dx
2
0

2 a nπ
=
a ∫0
x sin 2
a
dx

2 ax ⎛ 2nπx ⎞
= ∫ ⎜1 − cos ⎟dx
a 2⎝
0 a ⎠
2 a⎛ x x 2nπx ⎞
= ∫ ⎜ − cos
a ⎝2 2
0 a ⎠
⎟dx
a
⎛ 2nπx ⎞ ⎤
sin⎜ ⎟ ⎥
⎝ a ⎠ } − a . a cos⎛ 2nπx ⎞⎥
2
1 x
=[
x
− ⎜ ⎟
a 2 2q 2. nπ 4nπa 2nπa ⎝ a ⎠⎥
a ⎥⎦
0

1 ⎡a2 ⎤
= ⎢ − 0 − 0⎥
a⎣2 ⎦
a
< x >=
2
Sedangkan besarnya nilai ekspetasi momentum linier satu
dimensi adalah
a
<p> = ∫ ψ * pψ dx
0

a ⎛h d ⎞
= ∫ ψ *⎜ ⎟ψ dx
0
⎝ i dx ⎠
h 2 nπ a nπx nπx
=
i a a 0 ∫ sin
a
cos
a
dx

h 2 nπ a 2nπx a
= . . .( − cos ) 0
i a a 2nπ a
=0

83
Dari pers. (4.6) dapat diperoleh fungsi gelombang tingkat dasar,
n=1, dan fungsi gelombang tingkat yang lebih tinggi (dalam keadaan
tereksitasi) untuk n = 2,3,4,5,…
Fungsi gelombang tingkat dasar (tingkat satu) dan tereksitasi
pertama ( tingkat 2) adalah

0 1/2a a

Gambar 4.2 Ilustrasi fungsi


gelombang tingkat dasar,
n=1 dan tingkat dua, n=2

2 π 2 2π
ψ1 = sin x dan ψ 2 = sin x (4.8)
a a a a
1
Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa Ψ2= 0 untuk x = 0,
a , a.
2
Penyelesaian fungsi gelombang yang merupakan fungsi posisi dan
waktu untuk partikel yang terkungkung dalam potensial kotak
adalah Ψ ( x, t ) = ψ ( x)T (t )
h n 2π 2
2 nπ
− iE n t
2 nπ −i t
x e h =
2
ψ n ( x, t ) = sin sin x e 2m a (4.9)
a a a a
Penyelesaian secara lengkap fungsi gelombang yang hanya
merupakan fungsi posisi adalah
n
2 nπ
ψ ( x ) = ∑ Cn sin
n =1 a a
2⎛ πx 2πx 3πx ⎞
= ⎜ C1 sin + C2 sin + C3 sin + ..... ⎟ (4.10)
a⎝ a a a ⎠
dan yang merupakan fungsi posisi dan waktu adalah

84
− ih n 2π 2
2 n
nπ t

∑ n axe
2 m a2
ψ n ( x) = C sin (4.11)
a n=1

Contoh
1. Tunjukkan bahwa ∫ Ψ*m(x)Ψn(x)dx =0 bila m ≠ n
Penyelesaian:
Misal untuk m=2 dan n=1, maka
a 2 a 2πx 2 πx
∫ψ
0
2 *ψ 1 dx = ∫
0 a
sin
a
.
a
sin dx
a
2 1 a⎛ πx 3πx ⎞
= . ∫ ⎜ cos − cos ⎟dx
a 2 ⎝
0 a a ⎠
1⎧ a πx a 3π ⎫
= ⎨∫ cos dx − ∫ cos dx ⎬
a⎩ 0 a 0 a ⎭
=0
2. Tentukan konstanta Cn pada pers (4.11)!
Konstanta tak tentu Cn pada pers (4.35) dapat ditentukan dengan:
∫ψ n * ( x )ψ ( x )dx = ∫ ψ n * ( x )∑ C m .ψ m ( x )dx

= ΣC m ∫ ψ n * ( x ).ψ m ( x )dx
= Σ C mδ mn
∴ C n = ∫ ψ n *ψ ( x )dx

Bila potensial kotak yang didiskusikan di atas diubah kondisinya,


a a a
V(x) =0 untuk − < x < dan V ( x ) = ∞ untuk x < − atau
2 2 2
a
x > , tunjukkan bahwa fungsi gelombang untuk sistem yang baru
2
ini adalah

85
2 nπ
ψ ( x) = sin x untuk n genap (4.12a)
a a
2 nπ
ψ ( x) = cos x untuk n ganjil (4.12b)
a a

−a a
a
− a
2 2

Gambar 4.3 Ilustrasi fungsi gelombang tingkat dasar


untuk lebar potensial a dan fungsi gelombang tingkat
dasar dan tingkat ke 3 untuk lebar potensial 2a

Contoh soal 3:
Misalnya pengukuran energy partikel yang berada dalam potensial
kotak seperti yang dideskripsikan pada tugas 1) dilakukan dan hasil
h2 π 2
pengukuran tersebut adalah energy tingkat dasar, E1 = .
2m a 2
Dengan demikian diketahui bahwa partikel berada dalam keadaan
tingkat dasar. Kemudian dalam keadaan ini tiba-tiba dinding
potensial yang berisi partikel tersebut ditarik keluar secara cepat
sehingga keadaannya menjadi − a < x < a . Karena penarikan
dinding potensial dilakukan secara cepat maka diharapkan
perubahan ini tidak mengubah kondisi keadaan partikel. Coba
bandingkan fungsi gelombang sebelum dan sesudah lebar energy
potensial diubah dan bagaimana hasil pengukuran energy setelah
potensial diubah?

86
Karena keadaan partikel tidak berubah maka partikel masih berada
pada fungsi gelombang tingkat dasar. Seperti yang akan dibuktikan
untuk tugas 1, fungsi gelombang tingkat dasar, n=1, untuk lebar
potensial sebesar a adalah
2 π
ψ 1i ( x ) = cos x (4.13a)
a a
Analog dengan pers (4.13a), maka fungsi gelombang tingkat dasar
untuk potensial yang lebarnya 2a adalah
1 π
ψ 1 f ( x) = cos x (4.13b)
a 2a
Probabilitas ditemukannya partikel dalam keadaan awal pada lebar
potensial a pada pengukuran sesaat setelah secara cepat potensial
diperlebar menjadi 2a ditentukan oleh amplitude yang didefinisikan
sebagai
a
2
< ψ 1 f ( x ) | ψ 1i ( x ) > = ∫ dxψ
−a
1f ( x ) ψ 1i ( x ) (4.14)
2
a
2
1 π 2 π
= ∫ dx cos x cos x =
−a a 2a a a
2
a

( cos 3π x − cos π x
2
2 1 8
∫ dx )=
−a
2
a 2 2a 2a 3π
2

Besarnya probabilitas ditemukan partikel dalam keadaan awal


berada di dalam keadaan akhir adalah sama dengan kuadrat
64
amplitude, | < ψ 1 f ( x ) | ψ 1i ( x ) > |2 = . Hasil perhitungan ini
9π 2
sesuai dengan ilustrasi fungsi gelombang pada gambar 4.3 dimana
ada bagian fungsi gelombang tingkat dasar pada lebar potensial a
yang tumpang tindih dengan fungsi gelombang tingkat dasar pada
lebar potensial 2a.

87
z
c

b y

a
x Gambar 4.4 Potensial Kotak

2. Gerak partikel dalam potensial kotak 3 dimensi


Perhatikan gerak partikel yang berada di dalam potensial
kotak tiga dimensi yang berukuran a x b x c seperti ditunjukkan pada
Gambar 4.4. Setiap dinding kotak mempunyai energy potensial yang
besar sekali, V → ∝ , sedangkan energy potensial di dalam kotak
sama dengan nol.
Maka persamaan Schrodinger untuk partikel dalam kotak tiga
dimensi tersebut adalah
h2 2 v v
− ∇ ϕ (r ) = E ϕ (r )
2m (4.15a)

h 2 ⎛ ∂ 2ϕ ∂ 2ϕ ∂ 2ϕ ⎞
atau − ⎜ + + ⎟ = Eϕ (4.15b)
2 m ⎜⎝ ∂ x 2 ∂ y 2 ∂ z 2 ⎟⎠
Untuk menyederhanakan penyelesaian pers Schrodinger,
Operator diferensial nabla diuraikan dalam koordinat Cartesian agar
sesuai dengan bentuk potensial yaitu balok .
Penyelesaian persamaan (4.15b) dapat diperoleh dengan
metode separasi variable yaitu variable r diuraikan menjadi variable
x, y, dan z, yaitu ϕ (r ) = X(x) .Y(y).Z(z)
X(x) = bagian fungsi gelombang fungsi x

88
Y(y) = bagian fungsi gelombang fungsi y
Z(z) = bagian fungsi gelombang fungsi z
Bila pemisalan di atas dimasukkan ke dalam pers (4.15b) maka
diperoleh
− h2 ⎡ d2 d2 d2 ⎤
⎢ dx 2 XYZ + 2
XYZ + 2
XYZ ⎥ = EXYZ
2m ⎣ dy dz ⎦
E adalah energi total untuk sistem 3 dimensi
− h2 ⎡ ∂2 X ∂ 2Y ∂2Z ⎤
+ XZ 2 + XY 2 ⎥ = EXYZ : XYZ
2m ⎢⎣
YZ
∂x 2 dy ∂z ⎦

− h2 ⎡ 1 ∂ 2 X 1 ∂ 2Y 1 ∂ 2 Z ⎤
2m ⎢ X ∂x 2 + Y dy 2 + Z ∂z 2 ⎥ = E
⎣ ⎦
Bila diset
h2 d 2 X
− = Ex X
2m d x2
h 2 d 2Y
− = E yY (4.16)
2m d y2
h2 d 2Z
− = Ez Z
2m d z2
dimana E diuraikan menjadi E = Ex + Ey + Ez

Ketiga persamaan pada pers (4.16) tidak lain adalah persamaan


Schrodinger untuk partikel di dalam kotak satu dimensi yang telah di
bahas di atas. Analogi dengan penyelesaian diatas maka
penyelesaian eigenfungsinya adalah
⎛lπ ⎞ ⎛ 1π ⎞
X l ( x ) = Clx sin ⎜ x⎟ X 1 ( x) = C1x sin ⎜ x⎟
⎝ a ⎠ ⎝ a ⎠
⎛ mπ ⎞ ⎛ 1π ⎞
Ym ( y ) = Cmy sin ⎜ y⎟ Y1 ( y ) = C1 y sin ⎜ y⎟ (4.17)
⎝ b ⎠ ⎝ b ⎠
⎛ nπ ⎞ ⎛ 1π ⎞
Z n ( z ) = C nz sin ⎜ z⎟ Z 1 ( z ) = C1z sin ⎜ z⎟
⎝ c ⎠ ⎝ c ⎠

89
dimana l. m. n = 1, 2, 3, 4, ….
Sedangkan besarnya energi E yang terkait dengan masing-masing
fungsi gelombang adalah
π 2h 2 2
Ex = l
2m a2
π 2h 2
Ey = 2
m2 (4.18)
2mb
π 2h 2
Ez = 2
n2
2mc
Masing-masing konstanta normalisasi dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan normalisasi pada masing-masing
komponen fungsi gelombang x, y, dan z sebagai berikut
∝ L lπ lπ
1 = ∫ X l ( x) X l ( x) dx = ∫ (Cl sin x) ∗ Cl sin x dx

−∝ 0 a a
2 a lπ
= Cl ∫ sin 2 ( x ) dx
0 a
2 a 1 2lπ
= Cl ∫ (1 − cos ( x ) )dx
0 2 a
2lπ
a
1a 1
= C l {∫ dx − ∫ cos (
2
x) )dx}
0 2 2 a
0

12 a 2lπ

a
= Cl {x a
sin( x} .........
2lπ
0 0
2 a
1
= C l2 a
2
sehingga diperoleh C1x = 2
a
Secara umum besarnya Cl diperoleh dengan menggunakan formula
normalisasi.
Dengan demikian :
2 lπ
X l ( x) = sin ( x ) (4.19a)
a a

90
dan fungsi gelombang tingkat dasarnya adalah
2 π
X 1 ( x) = sin ( x )
a a
Dengan cara yang sama besarnya normalisasi pada arah
sumbu y dapat diperoleh dari
∝ b mπ ∗ mπ
1 = ∫ ϕ ∗ ( y ) ϕ ( y ) dy = ∫ (C m sin y ) C m sin y dy
−∝ 0 b b
b π

2
= C1 sin 2 ( y ) dy
0 b
1 = C1 2 (b/2)

sehingga C1 = 2
b
Dengan demikian :
2 mπ
Ym ( y ) = sin ( y) (4.19b)
b b
dan fungsi gelombang tingkat dasarnya adalah
2 π
Y1 ( y ) =sin ( y )
b b
Dan untuk arah sumbu z diperoleh
∝ c π π
1 = ∫ ϕ ∗ ( z ) ϕ ( z ) dz = ∫ (C1 sin z ) ∗ C1 sin z dz
−∝ 0 c c
L π

2
= C1 sin 2 ( z ) dz
0 c
1 = C1 2 (c/2)

sehingga C1 = 2 dengan demikian :


c
2 nπ
Z n ( z) = sin ( z) (4.19c)
c c
dan fungsi gelombang tingkat dasarnya adalah

91
2 π
Z1 ( z ) = sin ( z )
c c
sehingga fungsi gelombang untuk partikel yang bergerak dalam
kotak tiga dimensi yang merupakan hasil kali dari pers (4.19a),
(4.19b) dan (4.19c) adalah
v 2 lπ 2 mπ
ϕ ( r ) = ϕ lmn ( x, y , z ) = ( sin ( x ) )( sin ( y) )
a a b b
2 nπ
( sin ( z) )
c c
8 lπ mπ nπ
= sin ( x ) sin ( y ) sin ( z) (4.20)
abc a b c

Sedangkan besarnya energi (E) total adalah Elmn = Ex + Ey + Ez


π 2h 2 2 π 2h 2 2 π 2h 2 2
Elmn = l + m + n
2ma2 2 mb2 2 m c2
π 2h2 ⎛ l 2 m2 n2
= ⎜⎜ 2 + 2 + 2 ) (4.21)
2m ⎝ a b c
Bilangan l, m, n merupakan bilangan kuantum utama untuk sistem
partikel yang bergerak terkungkung dalam kotak.
Bila kotak berupa kubus, maka a = b = c = L dengan V = L3
π 2h 2 2 π 2h 2 2 π 2h 2 2
Elmn = l + m + n
2 m L2 2 m L2 2 m L2
π 2h 2
Elmn = 2
( l 2 + m2 + n2 ) l, n, m = 1, 2, 3, …. (4.22)
2m L
Untuk nilai l, m, dan n yang terendah, l 2 + m2 + n2 = 1 + 1 + 1 = 3,
maka harga
3π 2 h 2
E111 = dan ϕ 111( x, y , z ) =
2 m L2
8 π π π
sin ( x) sin ( y ) sin ( z )
L L L L

92
Dalam keadaan tingkat dasar (l = m = n = 1), energy
berkorespondensi( bersesuaian) hanya dengan satu fungsi
gelombang saja yaitu ϕ 111( x, y , z ) .
Tetapi bila untuk l 2 + m2 + n2 = 6 =1 +1 +4 = 1 + 4 + 1 = 4 + 1 + 1,
maka energy partikel
6π 2 h 2
E112 = E121 = E211 =
2 m L2
dan fungsi gelombang yang terkait dengan energy tersebut adalah
8 π π 2π
ϕ 112( x, y , z ) = sin ( x) sin ( y ) sin ( z)
L L L L
8 π 2π π
ϕ 121( x, y , z ) = sin ( x) sin ( y ) sin ( z )
L L L L
8 2π π π
ϕ 211( x, y , z ) = sin ( x ) sin ( y ) sin ( z )
L L L L
Yang mana ke tiga fungsi gelombang tersebut tidak sama tetapi
semuanya mempunyai energy yang sama, kondisi ini dikatakan
sistem kuantum mengalami degenerasi. Dapat disimpulkan bahwa
bila partikel terkungkung dalam kubus, sistem tak terdegenerasi bila
harga l, n, dan m sama besar dan terdegenerasi bila harga l, n, dan m
tidak sama.

4.3 Potensial Tangga

Potensial tangga dideskripsikan dengan kondisi bahwa


⎧ =0 0> x⎫
V ( x) = ⎨ ⎬ (4.23)
⎩= V0 Θ( x ) x > 0⎭

Θ( x ) = {10untukx
untukx<0
>0

93
V(x)
I II
V0
E

x
Gambar 4. 5 Potensial Tangga

Persamaan Schrodinger untuk potensial tangga di mana besarnya


energy E yang melintasi potensial lebih kecil dari energi potensial
tangga V0, seperti yang ditunjukkan gambar 4.5, maka untuk daerah
II, x>0 berlaku
h 2 d 2ψ ( x)
− + V0ψ ( x) = Eψ 0 (4.24)
2m dx 2
d 2ψ ( x) 2m
− 2 [V0 − E ]ψ ( x) = 0
dx 2 h
2m
ψ 2 ( x) = Ce κ x + D e − κ x = De − Kx κ 2 = 2 (Vo − E ) >0 (4.25)
h
karena untuk x mendekati ∞ harga eksponensial positifnya menuju
tak terhingga, dan tidak diperbolehkan. Sedangkan untuk x < 0,
V(x) = 0, maka
d 2ψ 1 ( x) 2m
+ 2 Eψ 1 ( x) = 0 (4.26)
dx 2 h
2m
ψ 1 ( x) = A e i k x + B e − i k x , k2 = 2 E (4.27)
h
Suku pertama, A e i k x , pada pers (b) merupakan gelombang periodik
yang merambat ke kanan (gelombang datang) dan suku ke
dua, B e − i k x , adalah gelombang periodik yang merambat kekiri
(gelombang yang dipantulkan)
Dengan mengaplikasikan syarat kontinyuitas di titik x = 0
ψ 1 (0) =ψ 2 (0) ; A + B = D (4.28a)

94
ψ 1' (0) =ψ 2 ' (0) ; ikA − ikB = − κD (4.28b)
B dapat dieliminasi dari persamaan (4.28a) dan (4.28b) dengan
mengalikan (4.28a) dengan ik, dan diperoleh
2ik 2k
2ikA = D (ik − K ) atau D = A = A (4.29)
ik − K k + iK
2ik
Sehingga harga B = D − A = A ( − 1)
ik − K
ik + K k − iK
= A( ) =A ( ) (4.30)
ik − K k + iK
Dengan memasukkan harga-harga B dan D kedalam pers (4.25) dan
(4.27) maka diperoleh
ik + K −ikx
ψ 1 ( x ) = A(e ikx + e ) (4.31a)
ik − K
2ikA − Kx
ψ 2 ( x) = e (4.31b)
ik − K
2
D 4k 2
Bila didefinisikan T = = 2 ≠ 0 yang sebanding dengan
A k + K2
2
B
fluks partikel yang ditransmisikan, dan R = = 1, yang sebanding
A
dengan fluks partikel yang direfleksikan. Dari harga R =1
menunjukkan bahwa semua gelombang yang datang dipantulkan
secara sempurna. Namun karena T ≠ 0 maka ada gelombang atau
fluks partikel yang menerobos dinding potensial bila dalamnya
1
potensial tangga V0 ≤ . Namun tidak ada fluks arus partikel yang
K
melewati daerah II (x>0) karena R =1 atau karena j2
h
= (ψ 2*∇ψ 2 − ∇ψ 2*ψ 2 ) = 0
2iM

95
Tugas :
Tunjukkan dari pers (4.31a) dan (4.31b) bahwa fungsi gelombang
yang diperoleh dari penyelesaian di atas sebanding dengan
2
ψ ( x ) ≈ ( cos kx − sin kx )Θ( − x ) + e − Kx Θ( x ) )
K
(4.32)
k K
1+ i
k
b) Untuk energy partikel E > V0
Penyelesaian daerah I , x < 0 , sama dengan kasus sebelumnya
karena V(x) = 0 bila arus partikel berasa dari kiri bergerak ke kanan
(dari daerah satu menuju daerah dua), maka
d 2ψ 1 ( x) 2m
+ 2 Eψ 1 ( x) = 0
dx 2 h
2m
ψ 1 ( x) = A e i k x + B e − i k x , k2 = 2 E (4.33)
h

V(x)

E
V0

I II

x
Gambar 4. 6 Potensial Tangga

2m
Untuk daerah II, x > 0 ψ 2 ( x ) = Ce i q x + D e − i q x , q 2 =
(Vo − E )
h2
Karena pada daerah II hanya ada arus partikel yang mengalir ke
kanan, maka
ψ 2 ( x ) = Ce i q x (4.34)
Bentuk umum penyelesaian nya dapat dinyatakan sebagai
ψ ( x ) =ψ 1 ( x )Θ( − x ) + ψ 2 ( x )Θ( x ) (4.35)
Dengan mengaplikasikan syarat kontinyuitas di titik x=0 diperoleh

96
ψ 1 (0) =ψ 2 (0) ; A+ B =C (4.36a)
ψ 1' (0) =ψ 2 ' (0) ; ikA − ikB = i qC (4.36b)

Dengan mengalikan pers (4.36a) dengan ik, maka dari pers (4.36a)
dan (4.36b) dapat diperoleh 2ikA = i ( k + q )C atau
2kA
C= (4.37)
k+q
2kA (k − q) A
B=C− A= -A= (4.38)
k+q k+q
Interpretasi secara fisis tentang hubungan antara arus partikel
datang, yang direfleksikan dan ditransmisikan, kita bisa
mengaplikasikan persamaan rapat arus (fluks partikel) pada daerah I
dan II dan dengan menngunakan pers (4.33) dan 4.34):
h h
j1= (ψ1*∇ψ1 − ∇ψ1*ψ1 ) dan j2 = (ψ2*∇ψ2 − ∇ψ2*ψ2 ) (4.39)
2iM 2iM
Dengan memasukkan pers (4.37) dan (4.38) ke dalam (4.33) dan
(4.34 ) dan kemudian keduanya dimasukkan ke pers (4.39) akan
diperoleh hasil
2 2
hk B hq C
j1 ( x ) = (1 − ) dan j2 = j2 ( x ) = ( ) (4.40)
M A M A

4.4 Potensial sumur


Ada dua macam pemilihan energi partikel yang bergerak melewati
potensial sumur yaitu :
(a) Partikel mempunyai energy E dimana
E = − Eo < 0 , E o < Vo E0>0 dan V0>0 dan
(b) Untuk partikel yang mempunyai energy positif, E > 0.

Untuk memudahkan pembahasan penentuan fungsi gelombang yang


mendiskripsikan perilaku partikel tersebut dari pengaplikasian
persamaan Schrodinger pada potensial sumur, daerah lintasan
partikel dibagi menjadi 3 bagian yaitu I untuk x < -a dimana V = 0,

97
II untuk –-a < x < a, dimana V = -V0 dan III untuk x>a dan V= 0
seperti ditunjukkan pada Gambar 4.7. Masing-masing persamaan
Schrodinger untuk setiap daerah dituliskan sebagai berikut:
V

-a a
I II III x

E
-V0

Gambar 4.7. Potensial Sumur

h 2 d 2ψ 1
I. − = − Eo ψ 1 (4.41a)
2m dx 2
h 2 d 2ψ 2
II. − − Voψ 2 = − E o ψ 2 (4.41b)
2m dx 2
h 2 d 2ψ 3
III. − = − Eo ψ 3 (4.41c)
2m dx 2
Dengan mengubah persamaan differensial kedalam bentuk standard
yaitu dengan mengubah persamaan sedemikian hingga koefisien
differensial orde duanya adalah satu, maka penyelesaian masing-
masing daerah I, II, dan III adalah
2m E
ψ 1 = A e α x + B e − α x →ψ 1 = A eα x α 2 = 2 o >0, (4.42a)
h
karena di daerah I bila x→-∞, e-αx →∞ dan fungsi gelombang tidak
diperbolehkan untuk mempunyai harga ∞
ψ 2 = C e iβ x + D e − iβ x →ψ 2 = C ' cos β x + D' sin β x
2m (4.42b)
β 2 = 2 (Vo − E0 ) > 0
h
ψ 3 = G e α x + F e −α x →ψ 3 = F e −α x (4.42c)

98
analogi dengan daerah I, di daerah III, bila x→∞, eαx →∞
Dengan menggunakan syarat kontinuitas dititik x = -a dan x = a
untuk fungsi gelombang pada semua pers (4.42) diperoleh:
ψ1(-a) = ψ2(-a A e −α a = C ' cos β a − D' sin β a (4.43a)
dψ 1 (−a) dψ 2 (−a)
= αA e −α a = C ' β sin β a + D' β cos β a (4.43b)
dx dx
ψ2(a) = ψ3(a) F e −α a = C ' cos β a + D' sin β a (4.43c)
dψ 2 (a) dψ 3 (a )
= −αF e−α a =−C' β sinβ a+D' β cosβ a (4.43d)
dx dx
Persamaan (b) dibagi persamaan (a) diperoleh
α A e −α a C ' β sin β a + D' β cos β a
= ⇔
A e −α a C ' cos β a − D' sin β a
β (C ' sin β a + D' cos β a)
α= (4.44a)
C ' cos β a − D' sin β a
Persamaan (d) dibagi persamaan I
− α F e −α a − C ' β sin β a + D' β cos β a
= ⇔
F e −α a C ' cos β a + D' sin β a
β (C ' sin β a − D' cos β a)
α= (4.44b)
C ' cos β a + D' sin β a
dengan menyamakan harga α pada pers (4.44a) dan (4.44b) di atas
diperoleh
C ' sin β a + D' cos β a C ' sin β a − D' cos β a
= ⇔
C ' cos β a − D' sin β a C ' cos β a + D' sin β a
atau C'2 sin βa cosβa + D'2 sin βa cosβa + C' D' (sin2 βa + cos2 βa)
= C'2 cosβa sin βa + D'2 sin βa cosβa − C' D' (sin2 βa + cos2 βa) (45)
Pada pers (45) dapat dilihat bahwa dua suku pertama pada ruas kiri
dan kanan sama besar maka akan saling menghilangkan dan sisa
suku terakhir memberikan hasil C’D’ = - C’D’ maka C’D’ = 0
sehingga dapat disimpulkan bahwa bila C’ = 0 maka D’ ≠0, hal ini
berarti penyelesaian ψ 2 = D ′ sin βx dan penyelesaian ini

99
merupakan penyelesaian ganjil. Tetapi bila D’=0 maka C’≠ 0 dan
penyelesaian ψ 2 = C ′ cos βx yang tidak lain adalah merupakan
penyelesaian genap. Dari kondisi ini dapat disimpulkan bahwa pada
daerah dua, penyelesaian fungsi gelombang terbelah menjadi dua,
genap saja atau ganjil saja. Gambar 4.8a menunjukkan sketsa fungsi
gelombang untuk fungsi genap dan fungsi ganjil pada gambar 4.8b.

-aa a

-a a

Gambar 4.8a Grafik fungsi genap

-a
a

-a
a

Gambar 4. 8b Grafik fungsi ganjil

100
Cara lain untuk menunjukkan bahwa penyelesaian pers Schrodinger
untuk partikel yang berenergi negatif yang bergerak dalam potensial
sumur terbelah menjadi dua penyelesaian, genap dan ganjil, adalah
dengan cara menjumlahkan persamaan-persamaan (a) dan (c), (b)
dan (d), mengurangi pers (a) dengan (c), dan pers (b) dengan (d) dan
diperoleh
e −αa ( A + F ) = 2C ′ cos β a , αe −αa ( A − F ) = 2 D ′β cos βa (4.46a)
e −αa ( F − A) = 2 D ′ sin β a , αe −αa ( A + F ) = 2C ′β sin β a (4.46b)
Bila dari ke empat persamaan (4.46a ) dan (4.46b) dipilih A – F=0
maka D’ =0 sehingga A+F≠0 dan C’≠0 dan memberikan
penyelesaian genap, ψ 2 = C ′ cos β x Tetapi bila dipilih A+F=0
maka C’=0 sehingga A-F≠0 dan D’≠0 dan memberikan penyelesaian
ganjil ψ 2 = D ′ sin βx .

Penyelesaian Genap
Dengan menggunakan kondisi kontinyuitas seperti di atas, baik
untuk x = -a atau x = a, maka untuk penyelesaian genap diperoleh
A e −α a = C ' cos β a (4.47a)
αA e −α a = C ' β sin β a (4.47b)
Dari persamaan pers (4.47a) dan (4.47b) diperoleh α = β tan β a
yang dapat ditulis menjadi
α a = β a tan β a bila α a = y dan β a = ξ (4.48)
maka y=ξ tanξ (4.49)
Penyelesaian fungsi ganjil dapat diperoleh dengan cara seperti pada
penyelesaian fungsi genap, yaitu menggunakan persamaan
kontinyuitas di titik x = -a atau x = a:
A e −α a = − D' sin β a (4.50a)
αA e −α a = D' β cos β a (4.50b)
Dari persamaan pers (4.50a) dan (4.59b) diperoleh
(11) = α = − β cot β a
(10)

101
yang dapat ditulis menjadi
α a = − βa cot β a bila αa= y dan β a = ξ
maka y = − ξ cot ξ (4.51)
Untuk membandingkan penyelesaian fungsi genap dan ganjil, secara
skematik grafik penyelesaian fungsi genap y = ξ tan ξ dan
ganjil y=−ξ cotξ ditunjukkan pada gambar 4.
π 3π 5π
Pada gambar 4, ξ = , , ,........ merupakan asymptot untuk
2 2 2
fungsi genap positif dan ξ = π , 2π ,..... asymptot fungsi ganjil
positif.
Tingkat-tingkat energi partikel yang bergerak dalam potensial sumur
dapat ditentukan dengan menggunakan grafik pada gambar 4.9
dengan cara melukis lingkaran dengan jari-jari r dimana
y2 + ξ 2 = r2 (4.52)
Bila pers (4.48 ) dimasukkan ke dalam pers. (4.52) maka besarnya
jari-jari r dapat ditentukan, yaitu
2 m Eo 2 2m
2
a + 2 (Vo − Eo ) a 2 = r 2
h h
2m
2
Vo a 2 = r 2 (4.53)
h

102
y

ξ tan ξ  
− ξ cot ξ  

A2 
−π 0  A1  π B1  π 3π 2π   5π ξ 
       
2 2 2 2

Gambar 4. sketsa grafik   y = ξ tan ξ dan y = − ξ cot ξ  

Gambar 4.9 Grafik fungsi ξ tan ξ dan − ξ cot ξ pada sumbu ξ =y


digunakan untuk menghitung E secara grafis.

Grafik pada Gambar 4,9 dapat digunakan untuk menentukan


besarnya energi partikel yang diperoleh dengan cara mencari titik
2 m Vo a 2
potong antara lingkaran dengan jari-jari dan dengan
h2
grafik y= ξ tan ξ untuk fungsi genap dan y = − ξ cot ξ untuk
fungsi ganjil pada bidang y- ξ .
Untuk harga V0 sembarang bisa diperoleh energi dari penyelesaian
fungsi genap karena grafik penyelesaian fungsi genap melalui (0,0).
Tetapi untuk energi-energi dari penyelesaian ganjil diperlukan
lingkaran yang jari-jarinya lebih besar yang berarti diperlukan
kedalaman potensial sumur tertentu. Banyaknya tingkat energi

103
meningkat dengan meningkatnya massa partikel, kedalaman
potensial dan lebar potensial.
Sebagai contoh, lingkaran (1) mempunyai jari-jari r = 1 =
2 m Vo a 2 2 h2
atau V0a = hanya memotong satu kali kurva grafik
h2 2m
y= ξ tan ξ maka hanya diperoleh satu tingkat energi dan besarnya
tingkat energi ditentukan dengan memproyeksikan titik potong
tersebut pada sumbu ξ atau juga titik tersebut dapat diproyeksikan
pada sumbu y, misal harga ξ dititik A1 = ξ1
2m
maka ξ1 = β1 a = (Vo + E1 ) a , dim ana − E o = E1 sehingga
h2
h 2ξ12
∴E1 = − Vo (4.54a)
2m a2
Bila grafik pada gambar 4.9 digambar dengan skala yang benar dan
tepat, kita dapat menunjukkan bahwa untuk r = 1 besarnya ξ1 = 0,74
dan kalau diproyeksikan pada sumbu y akan diperoleh harga y =
0,68 (grafik pada gambar 4.9 tidak digambar dengan skala yang
tepat dan benar!)
2mV0 a2
Pada lingkaran (4.52) dimana jari-jarinya r = 2 ⇒ =2 ,
h2
memotong 1 X pada kurva fungsi genap, y = ξtan ξ dan 1 X untuk
fungsi ganjil y = - ξCot ξ , maka diperoleh penyelesaian satu energi
genap dan satu energi ganjil. Penentuan energi juga menggunakan
metode grafik dengan memproyeksikan titik-titik potong antara
lingkaran yang berjari-jari 2 dengan grafik fungsi genap dan ganjil
ke sumbu ξ , misalnya pada titik A2 dan B1 atau y. Dari gambar
dapat dilihat bahwa jari-jari lingkaran sebesar 2 terletak antara
π 2π
<2 < dan banyaknya tingkat energi adalah 2 yaitu satu genap
2 2
dan satu ganjil. Tetapi bila kita pilih jari-jari lingkaran sebesar 4

104
2π 3π
yang terletak dalam interval <2 < , anda dapat menunjukkan
2 2
bahwa lingkaran tersebut akan memotong 2x dengan fungsi genap
dan 1x dengan fungsi ganjil.
Dari contoh-contoh di atas, secara umum dapat disimpulkan
bahwa jumlah penyelesaian (jumlah tingkat energi) ditentukan oleh
besarnya jari-jari lingkaran. Untuk jari-jari lingkaran yang terletak
π 2nπ
dalam interval (2n −1) < r < ,jumlah titik potong dengan
2 2
ξ tan ξ dan - ξ Cot ξ masing-masing sebanyak n buah . Tetapi
2 nπ ⎛ 2n + 1 ⎞
untuk < r <⎜ ⎟π , jumlah titik potong dengan ξ tan ξ
2 ⎝ 2 ⎠
sebanyak (n + 1)buah dan dengan - ξ Cot ξ n buah. Demikian juga
banyaknya penyelesaian fungsi gelombang sesuai dengan jumlah
penyelesaian amper dan juga terbagi menjadi dua jenis yaitu
penyelesaian genap dan ganjil.
Bila Mv0a2 → ∞ , maka lingkaran akan memotong grafik
2n − 1
tanβa → ∞, sehingga diperoleh βa = π dan memotong grafik
2
–cot βa → ∞ sehingga juga diperoleh βa = nπ, dimana n=1,2,3,….
Bila kedua hasil penyelesaian tersebut dikombinasikan maka

diperoleh 2βa = nπ atau , β = , dimana bila nilai n ganjil
2a
memberikan penyelesaian genap dan bila n genap memberikan
penyelesaian ganjil. Tingkat energi terendah (ground state energy)
diperoleh dengan mengambil n=1dan besarnya lebih besar sedikit
dari –V0 (lihat pers.13) Dengan mamasukkan β ke dalam pers
2m(V0 + E )
β= diperoleh persamaan ting-kat-tingkat energi
h2
h 2 nπ 2
sebagai En= ( ) − V0 (4.54b)
2m 2a

105
Bila massa partikel diperbesar atau kedalaman atau lebar
potensial diperbesar maka perbedaan tingkat-tingkat energi yang
berdekatan mengecil
Bagaimanakah penyelesaian fungsi gelombang dan tingkat-
tingkat energinya bila partikel yang melewati potensial sumur
mempunyai energi positif, E = E0, seperti diilustrasikan pada gambar
5! Dengan menerapkan persamaan Schrodinger pada daerah I, II,
dan III diperoleh pers.
h 2 d 2ψ 1 d 2ψ 1 2m
I. − 2
= E ψ 1 atau 2
= − 2 Eψ 1 (4.55a)
2m dx dx h
h 2 d 2ψ 2
II. − − Voψ 2 = Eψ 2 atau
2m dx 2
d 2ψ 2 2m 2m
2
+ 2 V0ψ 2 = − 2 Eψ 2 (4.55b)
dx h h
h 2 d 2ψ 3 d 2ψ 3 2m
III. − 2
= E ψ 3 atau 2
= − 2 Eψ 3 (4.55c)
2m dx dx h
Dari ke tiga persamaan differensial orde dua pada semua pers (4.55)
diperoleh penyelesaian persamaan Schrodinger untuk masing-
masing daerah I, II, dan III sebagai
2m E
ψ 1 = A e iα x + B e − iα x dim ana α 2 = 2 >0 (4.56a)
h
2m
ψ 2 = C e iβ x + D e − iβ x dim ana β 2 = 2 (Vo + E ) > 0 (4.56b)
h
ψ3 = F e iα x +Ge−iα x karena partikel hanya bergerak ke kanan
maka ψ 3 = F e iα x (4.56c)
Bila dibandingkan dengan gerak partikel pada Fisika Klasik, energi
partikel konstan bila partikel lewat diatas suatu lubang dan semua
partikel meneruskan geraknya (semua partikel ditransmisikan),
tetapi dalam tinjauan kuantum, energi partikel berubah bila partikel
melewati lubang potensial dan ada berkas partikel yang di
pantulkan. Sesuai dengan energi kekekalan fluks, dari semua pers
(4.56) dapat dinyatakan bahwa

106
hα 2 2 hβ 2 2 hα 2
(. A − B ) = (. C − D ) = .F (4.57)
m m m
hα 2 hα 2
dimana . A adalah fluks yang amper, . B adalah fluks
m m
hα 2
partikel yang dipantulkan dan . F adalah fluks partikel yang
m
diteruskan atau ditransmisikan.

I III
II
-a a

-V0

Gambar 4.10. Partikel yang berenergi E


bergerak dalam potensial sumur

Dengan menggunakan prinsip kontinyuitas di titik x = -a dan x = a,


untuk fungsi gelombang dan turunan pertama fungsi gelombang dari
persamaan (4.56 a,b, c) dapat diperoleh
Ae −iα a + Be iα a = Ce
−iβ a
+ D e iβ a (4.58a)
−iβ a iβ a
iα(Ae −iα a − Be iα a ) = iβ(C e − De ) (4.58b)
C e iβ a + De −iβ a = F e iα a (4.58c)

iβ(C e iβ a − De −iβ a ) = i α F e iα a (4.58d)


Dengan memanipulasi pers. (4.58a) dengan (4.58) untuk
mengeliminasi D diperoleh pers (4.59a), pers. (4.58c) dengan
(4.58d) untuk mengeliminasi D dan diperoleh pers (4.59b), pers
(4.58a) dengan (4.58c) untuk mengeliminasi D dan diperoleh pers
(4.59c), kemudian parameter C pada pers. (4.59a) dan (4.59c) di

107
F
disubstitusi dengan F sehingga diperoleh persamaan-persamaan
A
B
dan sebagai berikut:
A
F 2αβ
= e − 2 i αa (4.60a)
A 2αβ cos 2β a − i (α 2 + β 2 ) sin 2βa
B − 2 i αa ( β 2 − α 2 ) sin 2β a
dan = ie (4.60b)
A 2αβ cos 2β a − i (α 2 + β 2 ) sin 2β a
Bila E>>V0, amper tidak ada berkas partikel yang direfleksikan
karena ( β 2 − α 2 ) << 2αβ , tetapi bila E mendekati nol, berkas
partikel yang ditransmisikan juga mendekati nol.

4.5 Potensial Sumur Delta Ganda

-a
a

I
II III IV V

ε ε
Gambar 4.11 Potensial Sumur Delta Ganda

1. Partikel yang bergerak melewati potensial sumur delta ganda


mempunyai energy yang positif, E > 0
Potensial sumur delta ganda diilustrasikan pada gambar 4.11
yang mana kedalamannya sebanding dengan V0 dan dinyatakan

108
dalam bentuk persamaan sebagai
− h2
V =− V0 δ ( x + a ) untuk x = − a
2m
− h2
V =− V0 δ ( x − a ) untuk x = a dan V = 0 untuk harga-
2m
harga x yang lain. (4.61)

Beberapa aspek yang menyebabkan terbentuknya molekul


ditunjukkan oleh sebuah partikel yang bergerak di dalam
potensial sumur ganda dengan kedalaman yang sebanding dengan
Vo yang mana jauh lebih besar dari lebar sumur ε, yaitu Vo>> ε,
λ
ε << 1, V0 = , namun hasil kali Vo ε = konstan. Potensial jenis
a
ini disebut potensial delta δ (x) . Bila berkas partikel mempunyai
energi positif E melewati potensial ini, untuk daerah II dan IV
syarat kontinyuitas hanya berlaku untuk fungsi gelombangnya
saja tetapi tidak berlaku untuk turunannya.
Persamaan Schrodinger untuk daerah I, III, dan V sama karena
pada daerah tersebut energy potensialnya nol, yaitu
h 2 d 2ψ 1 2m
− = E ψ 1 dengan memisalkan 2
E = α 2 maka
2m dx h
∴ψ 1 = A e i α x + B e − i α x (4.62a)
h 2 d 2ψ 3
− = Eψ 3
2m dx
analog dengan penyelesaian pada daerah I, maka
∴ψ 3 = C e i α x + D e − i α x (4,62b)
h 2 d 2ψ 5
− = Eψ 5
2m dx
tetapi untuk daerah V arus partikel hanya mengalir ke kanan
karena tidak potensial pemantul lagi di sebelah kanan daerah V,
makaψ 5 = F e i α x (4.62c)

109
Persamaan Schrodinger untuk daerah II :
h 2 d 2ψ 2 h 2 λ
− − δ ( x + a )ψ 2 = E ψ 2
2m dx 2 2m a
yang dapat ditulis menjadi
⎛ dψ 2 ⎞ λ 2m
d⎜ ⎟ + δ ( x + a)ψ 2 dx = − 2 Eψ 2 dx
⎝ dx ⎠ a h
ε ε
Ruas kiri dan kanan diintegralkan dengan batas ( − a − , − a + )
2 2
ε ε ε
−a + −a+ −a+
2
⎛ dψ 2 ⎞ λ 2
2m 2

∫ ε d ⎜⎝ dx ⎟⎠ + a ∫ δε ( x + a)ψ 2 ( x) dx = − h 2 ∫ εEψ 2 ( x) dx
−a− −a− −a−
2 2 2
ε ε
−a + −a +
dψ 2 2 λ 2 2m
+ ψ 2 (−a) = − 2 E ψ 2 ( x).ε
dx −a−
ε a −a −
ε h
2 2

Karena ε sangat kecil fungsi gelombang ψ dan energy partikel E


di dalam sumur delta dianggap konstan yang sama dengan ψ dan
2m
E sehingga − 2 E ψ 2 ( x ). ε = 0
h
dψ 2 ⎛ ε ⎞ dψ 2 ⎛ ε⎞ λ
⎜−a + ⎟− ⎜ − a − ⎟ = − ψ 2 ( −a ) (4.63)
dx ⎝ 2 ⎠ dx ⎝ 2⎠ a
dψ 2 ⎛ ε⎞
Karena ε << 1 , ⎜ − a + ⎟ disubstitusi dengan
dx ⎝ 2⎠
dψ 3 dψ 1 dψ 2 ⎛ ε⎞
( −a ) dan ( −a ) untuk ⎜ − a − ⎟ , sedangkan
dx dx dx ⎝ 2⎠
untuk ψ 2 ( −a ) boleh disubstitusi dengan ψ 1 ( −a ) atau ψ 3 ( −a ) dan
fungsi gelombang yang dipilih biasanya yang lebih sederhana.
Dengan substitusi tersebut maka pers (4.63) berubah menjadi
d ψ 3 ( − a ) dψ 1 ( − a ) λ
− = − ψ 1 ( −a ) (4.64a)
dx dx a

110
d ψ 3 ( − a ) dψ 1 ( − a ) λ
Atau − = − ψ 3 ( −a ) (4.64b)
dx dx a

Cara penyelesaian persamaan Schrodinger pada daerah IV sama


dengan pada daerah II, dan diperoleh
dψ 4 ⎛ ε ⎞ dψ 4 ⎛ ε ⎞ λ
⎜a + ⎟ − ⎜ a − ⎟ = − ψ 4 (a ) (4.65)
dx ⎝ 2 ⎠ dx ⎝ 2⎠ a
Dan setelah dilakukan substitusi seperti pada kasus daerah II,
karena ψ 5 ( x ) lebih sederhana dari ψ 3 ( x ) , maka yang dipilih
ψ 5 ( x ) , sehingga pers (4.65) berubah menjadi
dψ 5 ( a ) dψ 3 ( a ) λ
− = − ψ 5 (a ) (4.66)
dx dx a
Dengan menerapkan syarat kontinyuitas pada pers (4.62a),
(4.62b), dan (4.62c) ditik x= a dan x = -a diperoleh
ψ 1 ( − a ) =ψ 3 ( − a ) (4.67a)
ψ 3 ( a ) =ψ 5 ( a ) (4.67b)
Selanjutnya untuk penentuan koefisien transmisi dan refleksi
diberikan dalam bentuk tugas dengan menggunakan syarat
kontinyuitas.

2. Partikel yang melewati potensial sumur delta ganda mempunyai


energy negative, E < 0, untuk memudahkan pemahaman, E = -E0,
E0 > 0. Persamaan Schrodinger pada daerah I, III, dan V sama
namun mempunyai bentuk penyelesaian yang sedikit berbeda
karena harus memenuhi syarat batas tertentu. Persamaan
Schrodinger pada ke tiga daerah yang energy potensialnya nol
adalah
h2 d ψ
2
d 2ψ 2m
− = − E0 ψ atau − 2 E0 ψ = 0 ,
2m dx dx h
2m
k2 = E0 (4.68)
h2

111
Bentuk penyelesaian umum dari pers (4.68) adalah
ψ ( x ) = A e k x + Be − kx (4.69)
Penyelesaian pada pers (4.69) untuk daerah I hanya bagian
eksponensial yang positif saja, ψ 1 ( x ) = A e k x (4.69a)
karena daerah I mencakup harga x menuju - ∞ , untuk x → −∞
menyebabkan harga e − kx menuju ∞ dan fungsi gelombang tidak
boleh mempunyai harga ∞ .
Untuk daerah III dimana –a < x < a, karena daerah III terbatas
maka kedua bagian eksponensial memenuhi syarat , maka
ψ 3 ( x ) = Ce k x + De − kx (4.69b)
Untuk daerah V, ψ 5 ( x ) = Fe − kx (4.69c)
karena untuk x → ∞ harga e menuju ∞ maka e tidak
kx kx

memenuhi syarat.
Persamaan Schrodinger pada daerah II dapat ditulis dalam bentuk
d 2ψ 2m λ
− 2 E0 ψ = − δ ( x + a )ψ
dx h a
2m d 2ψ λ
Bila k = 2 E0 , maka
2
− k 2 ψ = − δ ( x + a )ψ
h dx a
Seperti pada kasus partikel yang mempunyai energi positif, maka
penyelesaian di daerah II
⎛ dψ 3 ( − a ) ⎞ ⎛ dψ 1 ( − a ) ⎞ λ
⎜ ⎟ −⎜ ⎟ = − ψ ( −a ) (4.70)
⎝ dx ⎠ ⎝ dx ⎠ a
⎛ d ψ 5 ( a ) ⎞ ⎛ dψ 3 ( a ) ⎞ λ
dan ⎜ ⎟ −⎜ ⎟ = − ψ 5 (a ) (4.71)
⎝ dx ⎠ ⎝ dx ⎠ a
untuk daerah IV.
Karena energi potensial merupakan potensial sumur delta ganda
yang simetrik terhadap perubahan dari x → − x , maka
penyelesaian fungsi gelombang untuk daerah –a < x < a terbelah
menjadi dua, fungsi genap dan fungsi ganjil, jadi
ψ 3 ( x ) = Ce k x + De − kx = C(coshkx + sinhkx) + D(coshkx − sinhkx)

112
Atau ψ 3 ( x ) = C’cosh kx + D’sinh kx

⇒ { ψ 3 = C ′ cosh kx ...... untuk .. fungsi .. genap


ψ 3 = D ′ sinh kx ........ untuk .. fungsi .. ganjil (4.72a)
dimana C’ = C + D, dan D’= C-D

(a) Penyelesaian Genap


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyelesaian fungsi
gelombang untuk potensial sumur delta ganda untuk fungsi
genap adalah
⎧ A e kx x>a ⎫
⎪ ⎪
ψ ( x ) ⎨C ′ cosh kx − a < x < a⎬ (4.73)
⎪ Fe − kx
x < a ⎪⎭

Dengan mengaplikasikan syarat batas di titik x = -a pada pers
(4.73), diperoleh
Ae − k a = C ′ cosh ka (4.74a)
λ
− kC ′ sinh ka − kAe −ka = − Ae −ka (4.74b)
a
λ
Dari (4.74a) dan (4.74b) diperoleh tanh ka = −1 (4.74c)
ka
Pers (4.74c) tidak dapat diselesaikan secara analitik, maka
penyelesaian pers (4.74c) untuk menentukan energi partikel
yang bergerak melewati potensial sumur delta ganda digunakan
pendekatan grafik. Gambar 4.12 menunjukkan grafik fungsi
pada pers (4.74c) dengan memisalkan ka = y maka
λ
tanh y = − 1 , nilai y adalah titik potong antara grafik f(y)=
y
λ
tanh y dengan f(y) = − 1 . Dari gambar 4.12 dapat dilihat
y
bahwa kedua fungsi hanya berpotongan di satu titik. Karena
λ
harga tanh y < 1 dan tanh y >0, maka harga 1 < <2
y

113
λ λ
sehingga diperoleh < 2 atau k > . (4.75)
ka 2a

1
tanh y

λ
−1
y
y

Gambar 4.12 Penentuan energy dengan metode grafik

Pers (4.75) menunjukkan bahwa partikel mempunyai energy


negative yang besar yang berarti partikel berenergi rendah.

(b). Penyelesaian Ganjil


Dari uraian di atas penyelesaian ganjil dari fungsi gelombang
adalah
⎧ A e kx x>a ⎫
⎪ ⎪
ψ ( x ) ⎨ D ′ sinh kx − a < x < a⎬ (4.76)
⎪ F e −kx x <a ⎭ ⎪

Dengan aplikasi syarat batas untuk x = a akan diperoleh
Fe − ka = D ′ sinh(ka ) (4.77a)
λ
dan − kFe −ka − kD ′ cosh(ka ) = − Fe ka (4.77b)
a
λ
Dari pers (4.77a) dan (4.77b) diperoleh coth ka = − 1 or
ka
λ
tanh ka = { −1 }−1 (4.77c)
ka

114
1
tanh y

λ
( − 1) −1
y
λ y
2
Gambar 4.13 Penentuan energy dengan metode grafik

Energi sistem dapat ditentukan dari penyelesaian pers (4.77c)


dimana penyelesaian ganjil ini dapat diperoleh seperti cara
penyelesaian fungsi genap yaitu dengan metode grafik. Gambar
4.13 menunjukkan gambar fungsi f(y) = tanh y dan
λ
f ( y) = { −1 }−1
ka
λ
Karena untuk y = harga { λ −1 }−1 =1, maka titik potong
2 ka
grafik tanh y dengan { λ −1 }−1 terletak pada titik dimana
ka
λ λ
harga y titik tersebut harus lebih kecil dari , y< , sehingga
2 2
λ h 2 λ2
diperoleh k < atau E>− . Dengan demikian dapat
2a 8 m a2
disimpulkan bahwa bila pada penyelesaian ganjil terdapat
kondisi bahwa partikel terkungkung (terikat ) namun ikatannya
h 2 λ2
tidak sekuat seperti pada penyelesaian genap, E < − .
8 m a2

115
V0
E

a
I -a II III

Gambar 4.14 Potensial Tanggul

4.6 Potensial Tanggul


Potensial tanggul secara skematik ditunjukkan pada gambar 4.14.
Bila sebuah partikel mempunyai energi E dimana E < Vo melewati
potensial tanggul, maka penyelesaian persamaan Schrodinger untuk
partikel tersebut terbagi menjadi 3 jenis penyelesaian yaitu:
h 2 d 2ψ 1
I. − = Eψ 1 →
2m dx 2
2m E
ψ 1 = A e iα x + B e − iα x → α2 = 2 (4.78a)
h
h 2 d 2ψ 2
II. − + Voψ 2 = E ψ 2 ⇒ ψ 2 = C e β x + D e β x (4.78b)
2m dx 2
2m
dimana β 2 = 2 ( Vo − E )
h
h d ψ3
2 2
III. − 2
=E ψ3 →ψ 3 = F e iα x (4.78c)
2m dx

Dari ketiga penyelesaian diatas dapat dilihat bahwa penyelesaian


daerah I sama dengan penyelesaian daerah III kecuali pada daerah
III fluks partikel hanya mengalir ke kanan sehingga penyelesaiannya
hanya exponensial positif saja.

116
B C D F
Koefisien , , dan dapat ditentukan dengan memasukkan
A A A A
syarat kontinuitas di titik x = -a pada pers (4.78a dan b) dan
turunan pertamanya diperoleh
A e − iα a + B ei α a = C e − β a + D e β a .. (4.79a)
iα ( A e −iα a − B e iα a ) = β (Ce − β a − D e β a ) (4.79b)
dan untuk x = a dimasukkan pada pers (4.78 b dan c) diperoleh
F eiα a = C e β a + D e − β a (4.79c)
iα F e iα a = βCe β a − D e − β a (4.79d)
Variabel D dapat dieliminasi dari pers (4.79a) dan (4.79b) bila
(4.79a) x β ⇒ β ( A e −iα a + B e iα a ) = β ( C e − β a + D e β a )
(4.79b)x 1 ⇒ iα ( A e − iα a − B e iα a ) = β ( Ce − β a − D e β a ) +
maka A e − i α a ( β + iα ) + B e i α a ( β − i α ) = 2 β C e − β a (4.80)
dan bila
(4.79c) x β ⇒ β F e iα a = β ( C e β a + D e − β a )
(4.79d) x 1 ⇒ iα F e iα a = β ( Ce β a − D e − β a ) +
maka F e i α a ( β + iα ) = 2 β C e β a (4.81)
2β C e β a
⇒ F=
(β + i α ) ei α a
(4.79a) x e − β a ⇒ e − β a ( A e − iα a + B e iα a ) = C e −2 β a + D
(4.79c) x e βa ⇒ e β a Fe iα a = Ce 2 β a + D _
e−β a ( Ae−iα a + B eiα a ) − F eβ a+iα a =C (e−2βa − e2βa ) (4.82)

Bila pers (4.80) dimasukkan ke pers (4.82) maka diperoleh


2βC e β a
e − β a ( A e −iα a + B e iα a ) − e β a = C ( e −2 β a − e 2 β a )
β + iα
( β + i α ) ( A e − i α a + B e i α a ) − 2 β C e 3 β a = ( β + iα ) C e β a ( e − 2 β a − e 2 β a )
(β + i α ) ( Ae −i α a + B ei α a ) = 2β C e3β a + ( β + iα ) C e −β a − (β + i α ) Ce3β a )

117
= ( β + iα ) C e − β a + ( β − i α ) Ce 3 β a )

β − iα 3 β a
( A e −i α a + B e i α a ) = C (e − β a + e ) (4.83)
β + iα
(4.80) x 1 → A e −i α a ( β + iα ) + B e i α a ( β − iα ) = 2 β C e − β a
(4.83) x
β −iα 3β a
(β − i α ) → ( β − i α ) ( (Ae−iα a + Beiα a ))= C(β −iα)(e−β a + e )
β +iα

A e −i α a ( 2 i α ) =
C
(β + i α )
{
( β + i α ) 2 e − β a − ( β − iα ) 2 e 3 β a } (4.84)

C 2i α (β +i α ) e−iαa 2i α ( β +i α) e−iα a −β a
= = (4.85)
A (β +i α)2 e−β a −( β −iα)2 e3β a (β +i α)2 e−2β a − ( β −i α)2 e2β a

Bila pers (4.85) dimasukkan ke pers (4.81) diperoleh


F 2 β eβ a C 2 β eβa 2 i α ( β + i α ) e −i α a e − β a
= × =
A ( β + i α )eiαa A ( β + i α ) eiα a ( β + i α ) 2 e − 2 β a − ( β − i α ) 2 e 2 β a
4 β i α e −2 i α a
= 2 −2 β a
β (e − e 2 β a ) − α 2 ( e −2 β a − e 2 β a ) + 2 i αβ ( e −2 β a + e 2 β a )
F 4 β i α e − 2i αa
= (4.86)
A − β 2 . 2 Sinh 2 β a + α 2 . 2 Sinh 2β a + 2 i αβ . 2 Cosh 2 β a

2
Besarnya koefisien transmissi adalah sama dengan F = T=
A
(4 β i α e −2i α a ) (− 4β i α e2i α a )
=
(2 Sinh (2 βa) ( − β 2 + α 2 ) + 4 i α β Cosh 2 β ) ( 2 (−β 2 + α 2 ) Sinh (2 β a) − 4i αβ Cosh2β a)
4β2 α2
T = (4.87)
( β 2 − α 2 ) 2 Sinh 2 ( 2 β a ) + 4 α 2 β 2 Cosh 2 ( 2 β a )
Koefisien transmisi T merupakan kebolehjadian berkas partikel
yang menumbuk potensial tanggul dapat menerobos dinding
potensial tersebut.

118
SOAL
1. Bila potensial tanggul sangat lebar dan tinggi, a) tunjukkan
bahwa βa >> 1 , b) Tentukan nilai T untuk kasus pada soal a)!
2. Jabarkan koefisien transmissi T dan koefisien refleksi R bila
partikel yang melalui potensial tanggul mempunyai energy E >
V0!
B B 2
3. Tentukan dan dengan memasukan pers (4.85) ke
A A
dalam pers (4.83)!
4. Dengan menggunakan perhitungan seperti pada pers (4.14),
tentukan probabilitas ditemukan partikel pada keadaan awal,
ψ 1i ( x ) , di dalam keadaan tingkat ke tiga untuk lebar potensial
2a, ψ 3 f ( x )
5. 5.Buktikan pers (4.40)!
6. Evaluasi T dan R untuk E<<V0 dan untuk E>>V0 untuk
partikel yang bergerak melewati potensial tangga!
7. Sebuah electron bergerak dalam potensial sumur dengan lebar
2a=4,0 x10-8cm dan dengan kedalaman V0 = 24 eV. Gunakan
gambar 4 untuk menentukan energi tingkat terendah dari
electron!
8. Gambar lagi grafik pada gambar 4.9 dengan menggunakan kertas
berskala dan hitunglah ξ tan ξ dan − ξ cot ξ untuk sudut-sudut
: 300, 370, 450, 530, 600, 900 dan sekawannya dalam kuadran II,
III dan IV!
9. a) Coba anda selidiki besarnya energi bila sin2βa = 0! Pada
pers (4.60b)
b) Jabarkan pers (4.60a) dan (4.60b) dengan langkah-langkah
yang telah disebutkan !
10. a) Dengan menggunakan pers (4.64a) atau (4.64b), (4.66) ,
(4.67a) dan (4.67b) tentukan koefisien ( konstanta ) A, B,
C, D, dan F!

119
2 2
B F
b) Dari hasil penyelesaian pada soal a) hitung dan !
A A
11. Tentukan koefisien transmisi bila sebuah partikel bergerak
melewati potensial V ( x ) = −λδ ( x ) !
12. Buatlah sketsa fungsi gelombang untuk potensial sumur delta
ganda yang diuraiakan pada sub bab diatas!

120
BAB V
OSILATOR HARMONIK 1 DIMENSI

Sebuah benda yang melakukan getaran harmonik satu


dimensi secara makroskopik telah didiskusikan secara panjang lebar
pada mekanika klasik, baik yang bergetar sederhana dan yang
bergetar teredam. Dalam sistem mikroskopik, getaran harmonik
terjadi pada tingkat melekul suatu sistem, misalnya molekul gas
karbon dioksida. Pada bab berikut ini akan didiskusikan osilator
harmonik satu dimensi secara mikroskopik atau tinjauan secara
kuantum. Tinjauan osilator harmonik secara kuantum dimulai
dengan menentukan persamaan Schrodinger untuk osilator harmonik
1
satu dimensi dengan energi potensial V(x) = mω2 x 2 . Untuk
2
menentukan fungsi gelombang dan tingkat-tingkat energi dari sistem
partikel yang bergetar secara harmonik, persamaan Schrodinger
untuk osilator harmonik dapat diselesaikan dengan tiga cara, yaitu
(1) diselesaikan secara langsung dengan menggunakan persamaan
differensial khusus fungsi Hermite, yang disebut juga sebagai
penyelesaian secara analitik, (2) diselesaikan dengan fungsi
pembangkit, dan (3) diselesaikan dengan metode operator.
Bila sebuah partikel bergetar secara harmonik pada bidang
satu dimensi maka besarnya energi potensial yang dimiliki oleh
partikel tersebut dinyatakan sebagai
1 1
V(x) = kx 2 = mω2 x 2 (5.1)
2 2

121
dimana ω = ω0 = frekuensi alami dari benda yang melakukan gerak
harmonic tersebut.
v

Persamaan Schrodinger dari partikel yang bergerak harmonic


tersebut adalah
− h 2 d 2ψ ( x) 1
2
+ mω 2 x 2ψ = Eψ (5.2)
2m dx 2
atau
d 2ψ ( x) ⎡ 2mE m 2ω 2 x 2 ⎤
dx 2
+⎢ 2 −
h h 2 ⎥ψ = 0 (5.3)
⎣ ⎦
Persamaan (5.3) dapat disederhanakan dengan memisalkan
mω 2mE 2mE 2E
α2 = dan y = α x dan 2 2 = = =k (5.4)
h h α 2 mω hω
h
h
dy d d dy d
sehingga diperoleh = α dan = . =α
dx dx dy dx dy
d2 d ⎛ d ⎞ d ⎛ d ⎞ dy
= ⎜⎜ α ⎟⎟ = ⎜α ⎟
dx 2
dx ⎝ dy ⎠ dy ⎜⎝ dy ⎟⎠ dx
d2 2 d
2
= α (5.5)
dx 2 dy 2
Persamaan (5.4) dan (5.5) dimasukkan ke dalam persamaan (5.3)
diperoleh
α 2 d 2ψ ( y ) ⎛ 2mE α 2 4 y ⎞
2
+ ⎜
⎜ − α ⎟ψ = 0 : α2
2 ⎟
⎝ h α α ⎠
2 2 2
dy

122
d 2ψ ( y )
2
( )
+ k − y2 ψ = 0 (5.6)
dy

5.1. Penyelesaian Persamaan Schrodinger Osilator Harmonik


satu dimensi dengan Metode Analitik
Penyelesaian persamaan Schrodinger dengan metode analitik
untuk osilator harmonik adalah penentuan persamaan gelombang
dan tingkat-tingkat energi partikel yang bergerak harmonic diperoleh
secara langsung dengan menyelesaikan persamaan diferensial orde
dua yang telah direduksi kedalam PD orde 2 Fungsi Hermite.
Langkah-langkah penyelesaian secara analitik adalah :
1. Persamaan Schrodinger osilator harmonik disederhanakan
dengan melakukan substitusi variabel , seperti ditunjukkan pada
pers (5.4) dan (5.5).
2. Penentuan penyelesaian pendekatan untuk x → ∞ atau
y→∞
3. Penentuan penyelesaian umum untuk PD orde dua yang telah
disederhanakan yang merupakan perkalian antara penyelesaian
pendekatan dengan suatu fungsi baru yang berupa deret pangkat
tinggi yaitu fungsi Hermite dan diperoleh PD fungsi Hermite
4. Penyelesaian PD fungsi Hermite diselesaikan dengan mengacu
penyelesaian PD Frobeneus.
5. Penentuan faktor normalisasi gelombang dengan menggunakan
formula normalisasi.

2. Penentuan penyelesaian pendekatan untuk x → ∞ atau y → ∞


Pertama-tama kita tinjau penyelesaian Persamaan Schrodinger
osilator harmonic satu dimensi di titik tak terhingga.
d 2ψ ( y )
Dari Persamaan ( 5.6 ) : 2
( )
+ k − y2 ψ = 0
dy

123
yaitu untuk y → ∞ maka harga k pada pers (5.6) diabaikan
relative terhadap harga y2, dan pers (5.6) dapat dituliskan sebagai
d 2ψ
2
− y 2ψ = 0 (5.7)
dy
Penyelesaian khusus untuk y → ∞ pada pers (5.7) dimisalkan
dalam bentuk
ay 2
ψ =e (5.8a)
kemudian ψ dideferensialkan dua kali sbb :
dψ 2

(1) = 2aye ay
dy
d 2ψ 2 2 2 2

(2) 2
= 2a.e ay + 2ay.2ay.e ay = 4a 2 y 2 e ay + 2aeay (5.8b)
dy
Bila persamaan (5.8a) dan (5.8b) dimasukkan ke dalam pers (5.7)
dan harga 2a pada pers (5.8b) diabaikan terhadap 4a2 y2 maka
diperoleh :
2
d 2ψ 2 2 2 ay
2
− y 2ψ = 0 4a 2 y 2e ay + 2aeay -y e =0
dy
ay 2
( 2a+ 4a y − y )e = 0 , karena suku kedua yang mengandung
2 2 2

faktor 2a diabaikan maka


2
( 4a
2
y 2 − y 2 )e ay =0

diperoleh 4a 2 y 2 − y 2 = 0 atau ( 4 a
2
− 1) y 2 = 0 karena
y≠0
2
e ay ≠ 0 dan
2 1 1
maka a = atau a = ± sehingg penyelesaian khusus pers
4 2
(5.7) adalah

124
1 2 −1 2
y
ψ ≈ Ae
y
2 2
+ Be (5.9)
Karena y → ∞ maka pada pers (5.9) yang memenuhi syarat batas
penyelesaian di ∞ adalah suku yang mempunyai eksponen negatif
dan penyelesaian umum persamaan Schrodinger pada pers (5.6)
dapat dituliskan sebagai
y2

ψ = H ( y )e 2
(5.10)
dimana H adalah polynom Hermite yaitu H (y) merupakan
polynominal (deret suku banyak) dari yn
3. Penentuan Penyelesaian bentuk Umum dan PD fungsi Hermite
PD orde dua fungsi Hermite dapat diperoleh dari pers (5.10)
dengan cara sebagai berikut:
Kemudian pers (5.10) didifferensialkan dua kali yang hasilnya sbb :
y2 y2
− −
d ⎡ −2 ⎤
2
y

(1) = ⎢He ⎥ = H' e 2
− yHe 2
dy dy ⎢⎣ ⎥⎦

d 2ψ −
y2

y2

y2

y2

y2

(2) 2 = H"e
2
− H' ye − He − yH' e + y He 2
2 2 2 2
dy
d 2ψ −
y2

y2

y2

2 = H" e 2
− 2 yH ' e 2
+ He 2
( y 2 − 1) (5.11)
dy
dH d 2H
dimana ′
= H dan = H ′′ .
dy dy 2
Substitusi (5.11) ke dalam pers. (5.6) diperoleh
y2 y2 y2 − y2
− − −
H" e 2
− 2 yH' e 2
+ He 2
( y 2 − 1) + (k − y 2 ) He 2
= 0
2
y

ingat ψ = H ( y )e 2

125
y2 y2 y2
− − −
0 = H "e − 2 yH ' e
2 2
+ (k − 1) He 2
maka
persamaan dapat ditulis

H" ( y) − 2 yH' ( y) + (k − 1)H = 0 ( 5.12)

disebut PD orde dua fungsi Hermite.


4. Penyelesaian PD fungsi Hermite
Untuk menyelesaikan pers. (5.12) kita tinjau lebih dahulu
pernyelesaian umum ”PD standard”yang dinyatakan dalam bentuk
penyelesaian jumlah deret suku banyak sebagai berikut:

d 2 P( x ) dP
2
+ A( x ) + B( x )P = 0
dx dx
disebut PD Standard PD Frobeneus ( 5.13)

Bila penyelesaian PD disekitar titik x = a dimana titik x = a


menyebabkan harga A(a) atau B(a) finite (tertentu) maka
penyelesaian PD standard tersebut adalah:
n
P( x) = ∑ C n ( x − a ) n = c0 + c1 ( x − a) + c 2 ( x − a) 2 + c3 ( x − a ) 3 +
n =0

c4 ( x − a) 4 + ….. (5.14)
dan titik x = a disebut titik ordinary .
Tetapi bila disekitar titik x = a membuat A(a) → ∞ atau B(a) → ∞
maka titik x = a disebut titik reguler singular dan penyelesaiannya
dinyatakan sebagai:
P ( x) = ( x − a) s ∑ C n ( x − a) n
n →0

= (x-a) { c0 + c1 ( x − a) + c 2 ( x − a) 2 + c3 ( x − a) 3 +
s

c4 ( x − a) 4 + …..} (5.15)

126
Bila pers (5.12) kita tinjau sebagai PD standard seperti pada pers
(5.13), maka A(y) = -2y dan B(y) = k-1, dan bila kita memilih
penyelesaian disekitar titik y =0 maka harga A(y) = -2y = 0 atau B =
k-1, yang mana baik A(y) dan B(y) ke dua berharga tertentu, maka
titik y = 0 merupakan titik ordinary sehingga penyelesaian PD
fungsi Hermite pada pers (5.12) adalah
H( y) = ∑ C n . y n = C0 + C1y + C2y2 + C3y3 + … (5.16)
n =0

Kemudian pers (5.16) dimasukkan ke dalam pers (5.12) dengan cara


sebagai berikut:
( 5.12) Æ H" ( y) − 2 yH' ( y) + (k − 1)H = 0

(k – 1) H = (k – 1) (C0 + C1y + C2y2 + C3y3 + …)


dH
−2y = −2y⎡⎢ d (C0 +C1y+C2y2 +...)⎤⎥ = − 2y[C1 + 2C2 y +3C3 y2 + 4C4 y3 +...)]
dy ⎣dy ⎦
d 2H
= 2C2 + 3.2 C3y + 4.3.C4y2 + 5.4 C5y3 + 6.5 C6 y4…
dy 2
__________________________________________________ +
0 = [(k – 1) C0 + 2C2] + y [(k – 1) C1 – 2C1 + 3.2C3]
+ y2 [(k – 1) C2 – 2.2 C2 + 4.3 C4] + y3 [(k – 1) C3 –
2.2 C3 + 5.4 C5 ] + … (5.17)

Deret pangkat tinggi yang sama dengan nol pada pers (5.17) tersebut
dapat dikatakan sebagai persamaan identitas yang berarti untuk
setiap koefisien dari setiap sukunya sama dengan 0, maka
− ( k − 1)
y0 : (k - 1) C0 + 2C2 = 0 C2 = C0
2
− ( k − 1) + 2.1
y1 : (k - 1) C1 - 2C1 + 3.2C3 = 0 C3 = C1
3 .2
− ( k − 1) + 2.2
y2 : (k - 1) C2 – 2.2C2 + 4.3C4 = 0 C4 = C2
4 .3
− ( k − 1) + 2.3
C5 = C3
5 .4

127
dari uraian di atas dapat digeneralisasikan sebagai :
− ( k − 1 ) + 2 .( n − 2 )
C = C n−2
(5.18)
n ( n − 1)
n

dan berdasarkan hubungan antara koefisien tersebut dapat dilihat


bahwa koefisien genap dinyatakan dalam koefisien genap di
bawahnya, demikian juga untuk yang ganjil, maka penyelesaian PD
fungsi Hermite terbelah menjadi dua bagian yaitu bagian
penyelesaian genap dan ganjil:
− (k − 1) + 2(2n − 2)
Untuk penyelesaian genap: C2n = C 2 n−2
2n(2n − 1)
dan untuk penyelesaian ganjil : C2 n +1 =
− (k − 1) + 2(2n + 1 − 2)
C2 n −1
(2n + 1)(2n + 1 − 1)
∴ Hn = (C0 + C2y2 + C4y4 + … + C2ny2n )+ (C1y + C3y3 + … + C2n+1y2n+1 ) 5.19)

Untuk menentukan tingkat energi maka deret pangkat tinggi harus


terputus pada pangkat tertingginya, misal : n adalah pangkat yang
tertinggi, maka Cn+1 = 0 , Cn+2 = 0 dan juga Cn’ yang lain untuk n′ >
n,
− (k − 1) + 2n
Cn+2 = Cn = 0 , -(k -1) + 2n = 0 → k = 2n + 1 ,
(n + 2)(n + 1)
2E
k= = 2n + 1

1
En = ( n + )hω (5.20)
2
Penentuan hubungan antara koefisien Cn bila pangkat tertinggi telah
ditentukan dapat dilakukan dengan mengganti harga k yang telah
ditentukan dari pangkat tertinggi tersebut, misal disini n, boleh
genap atau ganjil:
− ( k − 1) − (2n + 1 − 1)C 0
C2 = C0 = = -nC0
2 2

128
− ( k − 1) + 2.1 − ( 2n + 1 − 1) + 2.1C1 − n +1
C3 = C1 = = C1
3. 2 6 3
− ( k − 1) + 2.2 − (2n + 1 − 1) + 4 −n+2
C4 = C2 = C2 = C2
4 .3 12 6
dan seterusnya.
Karena penyelesaian akhir hanya boleh genap saja atau ganjil saja,
semua C genap dapat dinyatakan dalam C0 atau semua C ganjil
dapat dinyatakan dalam C1.

Contoh 1 : bila dipilih pangkat tertinggi deret adalah n = 10,


maka C10 tidak nol, tetapi C12 harus nol, karena pangkat tertinggi
adalah 10, sehingga
− ( k − 1) + 2.10
C12 = C10 = 0, diperoleh harga k = 21
12.11
− ( k − 1)C0 − 20
C2 = = C 0 = -10 C0
2 2
− ( k − 1) + 2.2 − 20 + 4 16 40
C4 = C2 = C 2 = − (−10C0 ) = C0
4 .3 12 12 3
− ( k − 1) + 2.4 − 20 + 8 40
C6 = C4 = C0
6.5 30 3
− 12 40 − 16
= C0 = C0
30 3 3
− ( k − 1) + 2.6 − 20 + 12 ⎛ − 32 ⎞
C8 = C6 = ⎜ C0 ⎟
8 .7 8.7 ⎝ 6 ⎠
8 16 16
= C0 = C0
8.7 3 21
− ( k − 1) + 2.8 − 20 + 16 ⎛ 16 ⎞
C10 = C8 = ⎜ C0 ⎟
10.9 10.9 ⎝ 21 ⎠
− 4 16 − 32
= C0 = C0
10.9 21 945
40 4 16 6 16 8 32 10
Jadi H10 (y) = C0 (1-10 y2 + y- y + y - y )
3 3 21 945

129
dan fungsi gelombang osilator harmonik satu dimensi tingkat yang
− y2

ke 10 dinyatakan sebagai ψ 10 = N10 e 2


H 10 ( y)
dimana N10 merupakan faktor normalisasi untuk fungsi gelombang
tingkat ke 10.
Penentuan koefisien C0 atau C1 ditentukan secara
konvensional yaitu bila pangkat tertinggi fungsi Hermite adalah n
maka besarnya koefisien pangkat tertinggi dari y adalah 2n. Sebagai
32
contoh di atas besarnya coefisien dari y10 adalah 210 = - C0 atau
945
945 10
C0 = - 2 = -30240, maka H10 dapat ditulis menjadi
32
40 4 16 6 16 8 32 10
H10 (y) = -30240 (1-10 y2 + y- y + y - y )
3 3 21 945
1209600 4 483840 6 483840 8
= (-3024 +302400 y2 - y+ y- y + 1024 y10)
3 3 21

Contoh – 2 : Bila pangkat tertinggi polynom Hermite adalah 3,


tentukan H3 !
Penyelesaian : Karena pangkat tertinggi dari y adalah 3, maka dari
persamaan C5 = 0 diperoleh
− (7 − 1) + 2.1 −2
k = 2n + 1= 7, C3 = C1 = C1
3 .2 3
2
H3 = C1 y − C1 y3
3
2
Kemudian koefisien dari y3 disamakan dengan 23, yaitu - C1 = 8
3
maka C1 = -12, dan memberikan H3 = - 12y + 8y3.
Secara umum persamaan fungsi gelombang (eigen fungsi) tingkat ke
n, ψn, untuk osilator harmonik satu dimensi dinyatakan sebagai
− y2
ψ n = N ne 2
H n ( y) (5.21)

130
dimana besarnya faktor normalisasi yang akan ditentukan kemudian
dinyatakan sebagai
α mω 4
1
1
Nn = =( ) (5.22)
2 n n! π hπ 2 n n!

Contoh soal-3 Æ untuk penyelesaian genap


Bila dipilih pangkat tertinggi deret adalah n = 4, maka tentukan H4
dan ψ4.
Jawab :
a) Untuk n =4 maka deret fungsi Hermite yang ada C0 , C2 dan C4,
sedangkan C6 = 0
b) Tentukan nilai k yaitu :
k = 2n +1 = 2.4 + 1 = 9
c) Masukkan nilai k dan hitung nilai Cn, diperoleh :
Co
− (9 − 1) + 2.0
C2 = Co = −4C 0
2 .1
− (9 − 1) + 2.2 8 8 32
C4 = C 2 = − C 2 = − ( −4C 0 ) = C0
4 .3 3 3 3
d) Tulis PD Fungsi Hermite :
32 4
H4 (y) = C0 ( 1 – 4y2 + y )
3
e) Tentukan nilai C0 sbb :
32
24 = C 0 Æ C0 = 1,5
3
PD Fungsi Hermite dapat ditulis kembali menjadi H4 (y) =
32 4
1,5 ( 1 – 4y2 + y )
3
Subtitusi y = α x , maka H4 (y) = 1,5 – 6 α 2 x2+ 16 α 4 x4
mω mω 2
Subtitusi α2 = , maka H4 (y) = 1,5 – 6 x + 16
h h
m 2ω 2 4
x
h2

131
f) Penentuan fungsi gelombang osilator harmonic tingkat ke-4,
sbb:
− y2
Bentuk : ψ 4 = N 4e H 4 ( y )
2

Tentukan dulu N4 dengan rumus umum :


α mω
1
1
Nn = =( ) 4

2 n n! π hπ 2 n n!

1
α mω 4 1 mω 4
1 1
1 1
N4 = =( ) = ( )4 =( )
2 .4! π hπ 24.4! hπ 16.24 hπ
4
2 4 24
mω 4 mω 4 1
1 1
1
=) 2 ( = ( )
hπ 2 .2 6 hπ 8 6
g) Jadi fungsi gelombang harmonic osilator dapat ditulis sbb :
mω 2
mω 1
1 −
2h
x
mω 2 m 2ω 2 4
ψ4 = ( ) 4 e (1,5 – 6 x + 16 x)
hπ 8 6 h h2

5.2 Penyelesaian dengan menggunakan Fungsi Pembangkit


Cara lain untuk menentukan penyelesaian PD fungsi
Hermite, kita dapat menggunakan fungsi pembangkit dari PD fungsi
Hermite dinyatakan sebagai
−t 2 + 2 ty tn
e = Σ H n ( y) (5.23)
n!
Pers. (5.23) disebut sebagai Fungsi Pembangkit karena Fungsi ini
dapat menghasilkan (membangkitkan) PD fungsi Hermite dan
Hermite polynomial. Adapun langkah-langkah untuk menjabarkan
PD fungsi Hermite sebagai berikut:
1. diferensialkan ruas kiri dan kanan pers (5.21) terhadap t
d −t 2 + 2ty d tn
(e ) = (Σ H n ( y ))
dt dt n!
− t 2 + 2 ty nt n −1
↔ ( −2t + 2 y )e =Σ H n ( y)
n!

132
tn nt n −1
( −2t + 2 y )Σ H n ( y) = Σ H n ( y)
n! n!
− 2t n+1 2 yt n t n−1
Σ{ H n ( y) + H n ( y)} = Σ H n ( y) (5.24)
n! n! (n −1)!
Kemudian dengan menggunakan logika iterasi untuk suku pertama
ruas kiri yaitu n diubah menjadi n-1 sebagai berikut
n!
t n+1 → t n , n! → (n-1)!, Hn(y) → Hn-1(y) dan (n-1)! = (5.25)
n
dan suku pada ruas kanan n diubah menjadi n+1
n!
t n−1 → t n , n! → (n+1)!, dan Hn(y) → Hn+1(y) dan (n-1)! = (5.26)
n
Kemudian pengubahan pada pers (5.25) dan (5.26) dimasukkan ke
pers (5.24) diperoleh
tn nt n
Σ{−2nH n −1 ( y ) + 2 yH n ( y )} = Σ H n +1 ( y )
n! n!
atau
− 2nH n−1 ( y) + 2 yH n ( y) = H n+1 ( y) (5.27)
Pers (5.27) disebut sebagai formula rekursi, yaitu n bisa diganti
dengan bilangan tertentu, misal untuk n=1, 2,3, maka pers (5.27)
menjadi
− 2H 0 ( y) + 2 yH1 ( y) = H 2 ( y)
− 4H1 ( y) + 2 yH 2 ( y) = H 3 ( y)
− 6H 2 ( y) + 2 yH3 ( y) = H 4 ( y)

2. Ruas kiri dan kanan pers (5.21) dideferensialkan terhadap y yaitu


d −t 2 +2ty d tn
(e ) = (Σ H n ( y))
dy dy n!
−t 2 + 2 ty tn
⇔ 2t (e ) = (Σ H n′ ( y ))
n!

133
tn tn
(2t )Σ H n ( y) = Σ H n′ ( y)
n! n!
Dengan menggunakan langkah seperti pada langkah (1) (mengubah
n dan iterasi logika) diperoleh
2nHn-1(y) = H n′ (y) (5.28)
Bila pers (5.27) dan (5.28) kita kombinasikan maka kita peroleh
H n′ ( y) = 2 yH n ( y) − H n+1 ( y) (5.29a)
Bila pers (5.28) n telah diubah menjadi n+1 dan kemudian
dimasukkan ke persamaan (5.29a) yang telah dideferensialkan ke y
maka diperoleh
H n′′( y ) − 2 yH n′ ( y ) + 2nH n ( y ) = 0 (5.29)
dimana 2n = k-1 seperti yang kita diskusikan pada subbab 5.1 dan
pers (5.29) tidak lain adalah PD orde dua fungsi Hermite seperti
yang ditunjukkan pers (5.12)
Dengan memanipulasi pers (5.23) secara matematik dapat diperoleh
formula (pers.) Polynom Hermite sebagai berikut:
Bila pers (5.23) dideferensialkan n kali terhadap t diperoleh
d n −t 2 + 2ty dn tn
(e ) = n (Σ H n ( y ))
dt n dt n!

dn d n y 2 −( t − y ) 2
S ( y , t ) = n (e ) t =0 = Hn(y) (5.30)
dt n dt
Karena ∂S (t − y) = - ∂S (t − y) maka
∂t ∂y

d n y 2 −( t − y ) 2 y2 ∂
n
2
(e )=e e −( t − y )
dt n
∂t n

2 ∂ n −( t − y ) 2
= e (−1)
y n
e
∂y n t =0

134
d n y 2 −( t − y ) 2 2 ∂ n − y2
= e (−1)
y n
Jadi (e ) t =0
e (5.31)
dt n ∂y n
Bila pers (5.31) dimasukkan ke pers (5.30) dan diambil t=0 maka
pers (5.30) berubah menjadi
∂ n − y2 y2
Hn(y) = (−1) e
n
e (5.32)
∂y n
Pers (5.32) menunjukkan formula polynom Hermite dimana n=0,
1,2,3,4,…..

Sekarang kita akan menentukan faktor normalisasi Nn dari fungsi


gelombang osilator harmonic satu dimensi
− y2
ψ n = N ne 2
H n ( y) (5.33a)
dengan menggunakan formula Polynom Hermite pers (5.32) sebagai
berikut:
∞ 2

∫ψ
−∞
n ( x ) dx = 1

dy
⇔ ∫ψ n• ( y )ψ n ( y ) =1
−∞
α

dy

2

⇔ N n2 e − y H n2 ( y) =1 (5.33)
−∞
α

α

2

atau e − y H n2 ( y)dy =
−∞
N n2
Penentuan harga normalisasi Nn dapat di hitung dengan dua cara
yaitu dengan menggunakan persamaaan fungsi pembangkit dari
fungsi Hermite dan polinom Hermite.
1) Menggunakan persamaan fungsi pembangkit fungsi Hermite
Integral pada pers (5.33) dapat diselesaikan dengan
mengintegralkan hasil kali antara dua fungsi pembangkit dari
fungsi Hermite :

135


2 2
+ 2 ty − y 2
e −s +2 sy e −t e dy =
−∞

∞ ∞ ∞
snt m

n =0
∑ ∫
m=0 n! m! −∞
e − y2
H n ( y ) H m ( y )dy (5.34)

Ruas kiri pers (5.34) dapat diintegralkan dengan cara membuat


eksponen yang merupakan fungsi y dibuat menjadi bentuk kuadrat
sempurna yaitu –s2 + 2sy –t2 +2ty –y2 -2st +2st = - (y-s-t)2 + 2st
sehingga diperoleh
∞ ∞

∫ ∫
−( y − s −t )2 2 st 2
e e dy = e 2 st
e −( y−s−t ) d ( y − s − t )
−∞ −∞

( 2 st ) p
= e
2 st
π = π∑ (5.35)
p =0 p!
Bila pers (5.35) disubstitusikan ke ruas kiri pers (5.34) dan ruas
kanannya di set n = m dan p juga sama dengan n, maka diperoleh

∫ e H n ( y )dy = π 2n n!
2
−y 2
(5.36)
−∞
karena untuk n ≠ m, harga integral pada ruas kanan pers (5.34)
adalah nol. Kemudian nilai integral pada pers (5.36) dimasukkan ke
α
dalam integral pers (5.33) diperoleh π 2n n! =
N n2
1
⎡ α ⎤ 2

Dengan demikian besarnya Nn = ⎢ 1 ⎥ (5.37)


⎢ 2 n ⎥
⎣ π 2 n!⎦
Dan pers gelombang osilator Harmonik dinyatakan sebagai
1
− y2
⎛ mω ⎞ 4 1
ψn = ⎜ ⎟ e 2
H n ( y) (5.37a)
⎝ hπ ⎠ 2n n!

136
Cara II :
Bila salah satu Hn(y) pada pers (5.33) diganti dengan Hn(y) =
2 ∂ n − y2
(−1) n e y e maka pers (5.33) menjadi
∂y n

N n2 d n − y2
∫ H n ( y)(−1) n
e dy = 1
α −∞
dy n

N n2 d n−1 − y 2
<=> (−1) ∫ H n ( y)d ( n−1 e ) = 1
n
(5.38)
α −∞
dy
Kemudian pers (5.38) diintegralkan secara parsiel secara beruntun
untuk bagian yang di dalam integral saja
d n −1 − y 2 ∞

dH n ( y ) d n −1
− ∫
2
H n ( y) e −∞ ( y ) n−1 e − y dy (5.39a)
dy n −1 −∞
dy dy

dH n ( y ) d n−2 − y 2
=- ∫
−∞
dy
( y )d ( n−2 e )
dy

d n −2 − y 2 d 2 H n ( y) d n −2 − y 2
= - H n′ ( y ) n−2 e ∫

−∞ + ( y) n−2 e dy (5.39b)
dy −∞
dy 2 dy
Suku pertama baik pers (5.39a dan 5.39b) berharga nol karena
fungsi gelombang tidak bisa ditemukan di daerah tak terhingga.
Setelah dintegralkan secara parsiel sebanyak n kali diperoleh hasil
∞ ∞
d n − y2 d n H n ( y)
∫ H n ( y) n e dy = (−1) ∫ − y2
n
( y ) e dy (5.40)
−∞
dy −∞
dy n
Karena suku yang pangkatnya tertinggi dari polynom Hn(y) adalah

d n H n ( y)

2
2n yn, maka harga n
= 2 n
n! dan karena e − y dy = √π dan
dy −∞
bila hasil perhitungan ini dimasukkan ke pers (5.40) dan kemudian
pers (5.40) dimasukkan ke pers (5.38) diperoleh
N n2
(−1) n (−1) n 2 n n! π =1 yang memberikan harga Nn sebagai
α

137
α mω 4
1
1
Nn = =( ) (5.37b)
2 n! π
n
hπ 2 n n!

seperti yang ditunjukkan pada pers (5.37). Maka pers fungsi


gelombang untuk partikel yang bergerak dalam medan yang
dipengaruhi oleh potensial osilator harmonik dinyatakan pada pers
(5.37a)

V, En
ψn n=5

n=4

n=3

n=2

n=1

1 n=0
E0= hω
2 x

Gambar 5.2: Energi Potensial, Energi dan ψn OS. Harmonik

138
Contoh : Dengan menggunakan pers (5.32) dapat dihitung polynom
Hermite Hn(y),
misalnya
∂ 3 − y2
y2 y2 ∂
2
− y2
= (−1) e − −
3
H3(y) e = e ( 2 ye )
∂y 3 ∂y 2

y2 ∂ 2 2

=−e (−2e − y + 4 y 2 e − y )
∂y
y2 − y2 2 2
= − e (4 ye + 8 y e − y − 8 y 3e − y )
= (8y3 -12y)
− y2
mω 4
1
1
maka ψ 3 ( y ) = ( ) (8 y 3 − 12 y )e 2
hπ 3
2 .6
− (αx ) 2
mω 4 1
1

atau ψ 3 ( x ) = ( ) (8(αx) 3 − 12αx)e 2


hπ 4 3

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa fungsi pembangkit


hanya digunakan untuk menentukan fungsi gelombang saja,
sedangkan tingkat-tingkat energi tetap ditentukan dengan cara
pertama yaitu penyelesaian langsung pers Schrodinger dengan
metode analitik. Pada gambar 5.2 ditunjukkan energi potensial V =
1
mω 2 x 2 dan tingkat –tingkat energi En = (n+ ½) hω dimana
2
selisih energi antara tingkat energi yang berturutan besarnya adalah
hω dan fungsi gelombang ψn yang terkait untuk partikel yang
bergetar secara harmonic satu dimensi.. Fungsi gelombang yang
ditunjukkan pada gambar 5.2 diperoleh dari pers (5.21), (5.22) dan
(5.32).
Sebagai perbandingan dengan sistem osilator harmonik pada
mekanika klasik dimana partikel berosilasi dengan amplitude
tertentu dan mempunyai karakteristik bahwa energi kinetiknya

139
hilang di titik balik. Karena energi total partikel E =T + V maka
secara klasik partikel berosilasi pada daerah yang dibatasi oleh titik
potong antara energi potensial V(x) yang berbentuk parabola dengan
energi total E yang berupa garis lurus mendatar. Demikian juga
ditunjukkan pada gambar (5.2) nilai ekstrem ψn terlokalisasi dalam
daerah yang dimungkinkan secara klasik, tetapi ekor grafik
diperpanjang menuju tak terhingga.
Penyimpangan perilaku antara klasik dan kuantum semakin
menyolok bila kita membandingkan probabilitas posisi partikel, lihat
gambar 5.3.

ω(x)

ωcl

ωqu

n=1 x

Gambar 5.3. Perbandingan antara secara klasik dan secara


kuantum system osilator harmonic satu dimensi

Misalkan T adalah periode revolusi dari partikel, ωcl atau P adalah


rapat probabilitas ditemukannya partikel dalam interval tertentu
(dx), maka secara klasik kita dapat menyatakan bahwa besarnya
probabilitas ditemukan partikel didefinisikan sebagai
dt 2ω ω dx
ωcldx = P dx = = dt =
T 2π π dx
2 dt

140
Karena persamaan gerak partikel yang berosilasi secara klasik
dinyatakan sebagai
dx x2
x = a sin ωt, → = ωa cos ωt = ωa 1 − 2
dt a
maka besarnya peluang ditemukannya partikel dalam interval (dx , x
+ dx )adalah
1 dx
ωcldx = P dx = (5.41)
πa x2
1− 2
a
Amplitude a dapat ditentukan dari persamaan energi mekanik (total)
1
dari partikel yang bergerak harmonik E = mω2a2 yang
2
2E
memberikan harga a = ±√( )
mω 2
Sebaliknya, besarnya kebolehjadian (peluang) untuk ditemukan
partikel dalam interval (dx , x + dx ) secara kuantum dinyatakan
sebagai
2
ωqudx = P dx = ψ ( x ) dx ,
− mωx 2
mω 4 1
1
x
bila untuk n=1 dimana ψ 1 ( y ) = ( ) 2 2h
e
hπ 2 1

h
− mωx 2
h
maka ωqudx = P dx = 2x e2
dxh
(5.42)
mωπ
Dari pers (5.42) dapat ditunjukkan bahwa besarnya peluang
ditemukan partikel mencapai harga minimum adalah di titik x = 0
h
dan mencapai harga maximum di titik x = ± .

141
Harga minimum dan maximum ini diperoleh dari pernyataan bahwa
d
derevatif pertama dari pers (5.42) sama dengan nol, (ωqudx) =
dx
d
(Pdx) =0
dx
3
Secara klasik untuk n=1, E1 = hω ,
2
3hω 3h
maka besarnya x= ± a =± =±
mω 2 mω

W
ωcl(x

ωqu(x

x
n=

Gambar 5.4. Rapat probabilitas secara klasik, ωcl(x) dan quantum,


ωqu(x) untuk sebuah partikel yang bergerak harmonic dengan energi
E=(15+1/2) hω pada tingkat ke 15, garis putus-putus menunjukkan

Gambar 5.4 menunjukkan probabilitas secara klasik dan


kuantum untuk n=15. Untuk harga n yang cukup tinggi, rata-rata
nilai dari distribusi secara kuantum mendekati harga limit dari
klasik. Dari gambar ditunjukkan bahwa besarnya rapat probabilitas
secara kuantum di luar batas daerah yang dibolehkan secara klasik
tidak nol karena energi kinetic T dan energi potensial V tidak komut,

142
yaitu keduanya tidak mempunyai nilai yang tepat bersamaan karena
T tergantung p dan V tergantung x yang keduanya mengandung
ketidakpastian [ p, x] = −ih . Dapat dilihat bahwa lokalisasi partikel
pada daerah diluar daerah yang dibolehkan oleh klasik
mengimplikasikan terjadinya pelanggaran kekekalan energi. Namun
untuk system kuantum dikatakan tidak melanggar karena bila
partikel dilokalisasikan pada bagian kecil dari ekor gelombang
ketidakpastian momentum meningkat ke suatu titik dimana energi
total yang baru melebihi energi potensial partikel. Maka dalam
kuantum, partikel dibolehkan menerobos daerah yang dilarang oleh
klasik.
Satu hal lagi yang membedakan osilator harmonic menurut kuantum
dan klasik adalah harga energi minimumnya, pada klasik energi
minimumnya dicapai bila x=0, p=0, maka E=0, sedangkan pada
kuantum E0 = ½ hω yang disebut sebagai energi tingkat dasar.
h2
Energi tingkat dasar ini sebagai konsekuensi dari Δx Δp ≥
2 2

4
Karena fungsi gelombang pada system osilator harmonik merupakan
hasil kali antara fungsi eksponensial dari kuadrat variable posisi
dengan polynom Hermite yang merupakan fungsi genap saja atau
ganjil saja, maka nilai harap dari posisi dan momentum

∫ψ ( x ) xψ n ( x) dx = 0

<x> = x = n (5.43)
−∞

karena dalam integral merupakan fungsi ganjil, demikian juga untuk


momentum

d
<p> = p = ∫ ψ n• ( x )( −ih )ψ n ( x )dx = 0 (5.44)
−∞
dx
karena juga fungsi ganjil. Nilai harap posisi dapat dibuktikan dengan
menggunakan pernyataan pada pers (5.34) dengan mengalikan

143
y y
kedua ruas dengan x atau = dan kemusian ruas kiri
α mω
h
diintegralkan
∞ ∞
y ∞ ∞

∫α e
−s2 +2sy −t2 +2ty −y2 s nt m y − y2
e e dy= ∑
n =0
∑ ∫ e H n ( y) H m ( y)dy
m=0 n! m! −∞α
−∞

Dan seperti pada pembahasan sebelumnya, penyelesaian integral


ruas kiri dapat diperoleh dengan manipulasi matematika secara
sederhana
∞ ∞
1 −( y −s−t )2 2 st 2 − 1 −( y−s−t )2
∫−∞ 2α ∫−∞2α e d − ( y − s − t )2
2 st
e e dy = e

1 −( y − s −t ) 2 ∞
= e 2 st e =0
− 2α −∞

Dengan cara yang sama dapat dibuktikan besarnya nilai harap


momentum linear pada pers (5.44)
Dengan demikian besarnya varians momentum linear dan posisi
adalah
Δp 2 = p 2 − p 2 = p 2 dan Δx 2 = x 2 (5.45)
h2 2
sehingga Δ p 2 Δx ≥ (5. 46)
4
Besarnya nilai harap kuadrat momentum linear atau nilai rerata
kuadrat momentum, p 2 = <p2> didefinisikan sebagai

d 2
p = <p > = ∫ ψ n• ( x )( −ih
2 2
) ψ n ( x )dx (5.47a)
−∞
dx

dan x =< x > = ∫ψ ( x ) x 2ψ n ( x )dx
2 2 •
n (5.47b)
−∞

144
Perhitungan nilai harap posisi x, <x>, nilai harap momentum, <p>,
nilai harap kuadrat posisi, < x 2 > dan nilai harap kuadrat
momentum, <p2> , dapat menggunakan pers (5.10), (5.27) dan
(5.28).
Marilah kita simak salah satu contoh perhitungan nilai harap < x 2 >
sebagai berikut :

x =< x > = ∫ψ ( x ) x 2ψ n ( x )dx
2 2 •
n
−∞

− y2 − y2
H n ( y ) x2 ( mω ) 4
1
mω 4
1
1 1
∫ ( ) e 2
e 2
H n ( y ) dx
hπ 2 n n! hπ 2 n n!
− y2 − y2
H n ( y ) x2 ( mω ) 4
1
mω 4
1
1 1
= ∫ ( ) e 2
e 2
H n ( y ) dx
hπ 2 n n! hπ 2 n n!
2 dy
mω 2 1
1 2
=(

) n
2 n!
∫ H n2 ( y ) y 2 e − y
α α
Dengan menggunakan pers (5.27), yHn(y) disubstitusi dengan
2 yH n ( y) = H n+1 ( y ) + 2nHn−1 ( y )
dan diperoleh harga di dalam integral saja sebagai
11
α ∫ 2
{ (3
H n +1 ( y ) + 2 nH n −1 ( y )}2 − y2
e dy

1 1
∫ 4(H ( y ) + 4n 2 H n2−1 ( y ) + 4nH n +1 H n −1 ) e − y dy
2 2
= n +1
α 3

1 2 3

145
Hasil integral untuk suku ke 3 nol karena hasil kali antara H n+1 ( y )
dan H n−1 ( y ) adalah orthogonal, hasil integral untuk suku ke 1
adalah


2 2
1( y) e
−y
H n+ dy = 2 n +1 (n + 1)! π ,

dan untuk suku ke dua


2 2
1( y) e
−y
4n2 H n− dy = 4. 2 n −1 (n − 1)! π

Dengan menjumlahkan hasil integral suku ke 1 dan ke 2 diperoleh


1 1 n +1
{ 2 ( n + 1)! π + 2 n +1 n 2 ( n − 1)! π )
α 4
3

1 1
= 3 2n+1 n! π (n+1 +n)
α 4
mω 2 1
1 1 1 n+1
2
Maka besarnya <x > = ( ) n 2 n! π (n+1 +n)
2 n! α 4
3

1
( n + )h
= 2
mω (5.47c)
Untuk menghitung nilai harap kuadrat momentum pada osilator
harmonik satu dimensi
d2
< p > = < −h > dapat menggunakan pers (5.2) di mana
2 2

dx 2
2
2 d
−h 2
= − m 2ω 2 x 2 + 2mE
dx
1
dimana E = ( n + )hω dan nilai harap <x2> telah dihitung
2
h nω
sebelumnya, dapat ditunjukkan bahwa <p2> =
( n + 12 )

146
Sifat orthogonal dari oleh hasil kali skalar antara dua fungsi
gelombang yang masing-masing terkait dengan nilai energi yang
berbeda dapat ditunjukkan sama dengan nol

∫ψ n ( x )ψ m ( x )dx = δ nm
(5.48)

0 untuk n ≠m
dimana nilai Kronecker delta Dirac δ nm = { 1 untuk n =m

Sifat orthogonal dari fungsi gelombang yang nilai energinya berbeda


akan banyak digunakan dalam menyelesaiakan soal-soal dengan
menggunakan metode operator.

5.3 Penyelesaian Pers. Schrodinger dengan menggunakan


operator atau metode aljabar
Pada diskusi di atas kita telah menjabarkan eigen fungsi osilator
harmonik yang ternormalisasi yang dinyatakan pada pers (5.37a)
sebagai
− mωx 2

1
1 2h
ψ n ( x) = ( ) 4
Hn(x) e (5.37a)
hπ 2 n!
n

∂ n − y2 y2 mω
dimana Hn(y) = (−1) e
n
e dan y = x pada pers
∂y n h
(5.32).

Dengan menggunakan fungsi pembangkit pada pers (5.23)


2
−t + 2 yt tn
S(y,t) = e = ∑ H n ( y)
n!

147
diperoleh hubungan rekursi yang disajikan pada pers (5.27) dan
dH n ( y )
(5.28) sebagai 2 yH n ( y) = H n+1 ( y) + 2nH n−1 ( y) dan =
dy
2nHn-1(y).
Analogi dengan pers (5.37a) dapat dituliskan pers ψ n+1 ( x ) dan
ψ n−1 ( x ) sebagai
− mωx 2

1
1 2h
ψ n+1 ( x ) = ( ) 4
Hn+1(x) e (5.49a)
hπ 2 n +1 (n + 1)!
dan
− mωx 2

1
1 2h
ψ n−1 ( x ) = ( ) 4
Hn-1(x) e (5.49b)
hπ 2 n −1
(n − 1)!
Bila Hn, Hn-1 dan Hn+1 pada pers (5.27) disubstitusi dengan pers
(5.37a), (5.49a), dan (5.49b) diperoleh
n +1 n
yψ n ( y ) = ψ n +1 ( y ) + ψ n −1 ( y ) (5.50a)
2 2
Demikian juga bila pers (5.28) disubstitusi dengan pers. (5.37a) dan
(5.49bb) diperoleh
dψ n ( y ) n
= 2 ψ n−1 ( y ) - yψn (5.50b)
dy 2

Dari pers (5.50a) dan (5.50b) diperoleh


d n +1 n
ψ n ( y) = − ψ n+1 ( y ) + ψ n −1 ( y ) (5.51)
dy 2 2
Bila pers (5.50a) dan (5.50b) dijumlahkan akan diperoleh
d
( y + )ψ n ( y) = 2nψ n−1 ( y) (5.52a)
dy
dan bila dikurangkan diperoleh

148
d
(y − )ψ n ( y) = 2(n + 1)ψ n+1 ( y) (5.52b)
dy
Dengan pers ( 5.52a) dan (5.52b) kita dapat mengevaluasi fungsi
eigen disekitar fungsi eigen ψ n−1 ( y) dan ψ n+1 ( y ) dari fungsi eigen
ψn(y). Untuk mengevaluasi fungsi eigen tersebut, secara singkat kita
definisikan operator differensial yang setara dengan pers (5.52a)
dan (5.52b) yaitu
1 d 1 mω i
a+ = (y − )= ( x− px ) (5.53a)
2 dy 2 h mωh
1 d 1 mω i
a= (y + )= ( x+ px ) (5.53b)
2 dy 2 h mωh
d
dimana px = − ih . Dengan menggunakan definisi (5.53a) dan
dx
(5.53b), pers (5.52a) dan (5.52b) dapat ditulis ulang menjadi
a ψn(y) = n ψ n−1 ( y) dan a+ ψn(y)= √(n+1) ψ n+1 ( y) (5.54)
Dari kondisi pers (5.54) dapat dikatakan bahwa a adalah lowering
operator (ladder down operator = operator penurun) karena setelah
operator a dioperasikan pada eigen fungsi ψn(y) eigen fungsinya
turun menjadi ψ n−1 ( y) , dan a+ adalah raising operator ( ladder up
operator = operator penaik) karena setelah operator a+ dioperasikan
pada ψn(y) eigen fungsinya naik menjadi ψ n+1 ( y) .
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari definisi
fungsi pembangkit fungsi Hermite dapat dijabarkan persamaan
differensial orde dua fungsi Hermite yang tidak lain merupakan
bagian dari penyelesaian persamaan Schrodinger stasioner untuk
osilator harmonik satu dimensi dan juga sepasang operator
differensial orde satu yaitu operator penaik dan penurun. Operator
Hamiltonian dari sistem osilator harmonik satu dimensi dinyatakan
dalam bentuk pernyatan differensial orde dua yang dapat difaktorkan
menjadi dua diferensial orde satu yang masing-masing adalah
operator penaik dan penurun.

149
Pada bab berikut ini kita akan mengaplikasikan operator
penaik dan penurun untuk memperoleh eigen fungsi dan tingkat-
tingkat energi partikel yang bergerak secara harmonik dalam satu
dimensi.

5.3.1 Penentuan Eigen Fungsi dan Tingkat Energi Osilator


Harmonik dengan metode Operator.
Sifat operator a dan a+ adalah saling adjoint satu sama lain ( yaitu
tidak self-adjoint), dimana a* = a+dan sebaliknya, dimana a* disebut
1 mω ( −i )
konjugate a, a* = ( x+ p x ) karena x dan px riel,
2 h mωh
maka berlaku
d d •
∫ψ ( y + dy )ϕdy = . ∫ ( y − dy )ψ ϕdy

(5.55)

Pernyataan (5.55) dapat disingkat dengan bentuk notasi


< ψ|aϕ > = < a+ ψ|ϕ > (5.56)
Fungsi gelombang ψn(y) adalah Eigen fungsi dari a a karena
+

berdasarkan pers. (5.54) dapat ditunjukkan bahwa


(a+a)ψn(y) = n a+ψ n−1 ( y) = nψn(y) (5.57)
dimana n adalah indeks (subscript) dari fungsi gelombang osilator
harmonik ψn(y). Bila kemudian kita definisikan operator bilangan
) )
N = a+a, maka N ψn(y) = nψn(y) (5.58)
)
Pers.(5.58) dapat diartikan bahwa eigen nilai dari operator N yang
dioperasikan pada eigen fungsi ψn(y) adalah n.
Besarnya hubungan komutasi antara dua operator a dan a+ adalah
[a+, a] = -1 yang dapat ditunjukkan dengan menggunakan pers
(5.53a) dan (5.53b), yaitu
[a+, a] ψn(x) = (a+a - aa+ )ψn(x)
= (a+a )ψn(x) – ( aa+ )ψn(x) (5.59)
1 mω
a+ a ψn(x) = { 1 ( mω x −
i
px ) }ψn(x)
i
px ) }{ ( x+
2 h mωh 2 h mωh

150
1 ⎡ 2 d 2ψ ⎛ dψ ⎞ dψ ⎤
= ⎢−h − hmω⎜ψ + x ⎟ + mωxh + m2ω2 x2ψ ⎥
2mhω ⎣ dx2
⎝ dx ⎠ dx ⎦
1 ⎡ h 2 d 2ψ 1 1 ⎤
= ⎢− − hωψ + m ω 2 x 2ψ ⎥
hω ⎣ 2m dx 2
2 2 ⎦
1 ⎡ h2 d 2 1 ⎤ 1 H 1
a+ a = ⎢ − + m ω2 x2 ⎥ − = − (5.59 a)
hω ⎣ 2m dx 2
2 ⎦ 2 hω 2
1 mω i 1 mω i
a a+ ={ ( x+ px ) }{ ( x− p x ) }ψn(x)
2 h mωh 2 h mωh
1 − h2 d 2 1 1 H 1
+
a.a = [ + mω 2 x 2 ] + = + (5.59 b)
hω 2m dx 2
2 2 hω 2

Pers (5.59a) dapat diperoleh dengan cara yang sama untuk


memperoleh hasil pada pers (5.59a). Dengan memasukkan pers.
(5.59 a) dan (5.59b) ke dalam pers. (5.59) diperoleh
[a+, a] = (a+a- aa+ ) = -1 (5.59c)
Dengan menjumlahkan pers (5.59a) dan (5.59b) diperoleh
hω + hω +
H= ( a a + aa + ) = {a , a} (5.59d)
2 2
dimana pers (5.59d) menunjukkan bahwa operator Hamiltonian dari
osilator harmonic satu dimensi yang dinyatakan dalam bentuk
hubungan antikomutasi antara operator penaik dan penurun.
Dengan mengoperasikan a+ secara berturutan pada eigen
fungsi Ψ0, kita dapat menentukan semua eigen fungsi bila eigen
fungsi tingkat dasar sudah diketahui (ditentukan lebih dahulu)
dengan menggunakan pers (5.54) seperti di bawah ini
1 1 1 +n
ψn (x) = a+ψn−1(x)= a+a+ψn−2 (x) =…= (a ) ψ0 (x) (5.60)
n n n −1 n!
Di atas kita telah mendiskusikan perumusan operator penaik dan
penurun berdasarkan hubungan rekursi yang dijabarkan dari fungsi
pembangkit, dan dari definisi di atas maka sifat dari operator yang
dioperasikan pada eigen fungsi memberikan hasil sebagai berikut:

151
a+ Ψmax = 0 dimana Ψmax adalah fungsi gelombang tingkat
tertinggi dan a Ψ0 = 0 karena Ψ0 adalah funsi gelombang tingkat
terendah(ground state atau lowest wave function)
Maka berdasarkan sifat a Ψ0 = 0 akan diperoleh Ψ0 dari
persamaan
1 mω i
( x+ p x ) Ψ0 = 0
2 h mωh
1 mω i mω
( xψ 0 + p xψ 0 ) = 0 → xψ 0 =
2 h mωh h
h d
− ψ0)
mωh dx
− mω 2
dψ 0 mω x
=− xdx → ψ 0 = Ce 2h
(5.61)
ψ0 h
Harga C pada pers (5.61) dapat ditentukan dengan memasukkan
eigen fungsi pada pers. (5.61) ke dalam persamaan normalisasi


1

∫−∞ψ ( x)ψ 0 ( x)dx = 1 sehingga diperoleh C = ( πh ) 4



0 yang sesuai

dengan formula normalisasi Nn yang dinyatakan dalam pers (5.37b).


Dari persamaan (5.59 a), (5.59b) dan (5.59d) dapat dilihat bahwa
operator Hamiltonian untuk partikel yang dipengaruhi oleh potensial
harmonik mempunyai bentuk differensial orde dua yang dapat
difaktorkan menjadi dua differensial orde satu a dan a+ yang saling
adjoint. Sifat ini tidak hanya berlaku untuk sistem potensial
harmonik satu dimensi saja, nanti kita akan mendiskusikan aplikasi
sejenis untuk beberapa potensial satu dimensi atau potensial tiga
dimensi yang dapat direduksi menjadi bentuk potensial satu dimensi,
seperti bagian radial atom Hidrogen dan osilator harmonik satu
dimensi, dll, yang cukup rumit bila diselesaikan dengan
penyelesaian Schrodinger secara langsung tetapi agak sederhana bila
dengan menggunakaqn metode operator, dalam Supersimetri
Mekanika Kuantum.

152
Bagaimanakah penentuan tingkat-tingkat energi partikel yang
bergetar secara harmonic dengan menggunakan metode operator?
Bandingkan dengan penyelesaian secara langsung persamaan
Schrodinger dengan menggunakan PD fungsi Hermite!
Dari kondisi a Ψ0 = 0, maka dapat dinyatakan juga bahwa a+ a Ψ0
)
= 0 dan dari pers (5.50a) dan dengan pers Hψ n ( x) = E nψ n ( x ) dapat
1
diperoleh {hω (a + a + )}ψ 0 ( x ) = E 0ψ 0 →
2
h ω
hωa + aψ 0 ( x ) + ψ 0 ( x) = E0ψ 0
2

sehingga diperoleh E0 = (5.62)
2
E0 merupakan energi tingkat dasar atau energi terendah dari system.
Untuk menentukan tingkat energi yang lebih tinggi (energi yang
tereksitasi), kita dapat menggunakan sifat pada pers (5.54) dimana
a+ψn(x) dianggap sebagai eigen fungsi, sehingga kita dapat
menentukan eigen nilai E n+ dari operator Hamiltonian
)
H yang dioperasikan pada eigen fungsi a+ψn(x) , dimana E n+ adalah
sama dengan En+1
) 1
Ha +ψ n ( x) = E n+ a +ψ n ( x) → {hω (a + a + )}a +ψ n ( x ) = E n+ a +ψ n
2
hω +
hωa + aa +ψ n + a ψ n ( x ) = E n+ a +ψ n
2
)
H 1
+
Kemudian aa pada pers (5.63a) diganti dengan ( + ) pada
hω 2
)
pers (5.61) dan kemudian menggunakan Hψ n = E nψ n , diperoleh
H 1 hω +
→ hω a + ( + )ψ n + a ψ n ( x ) = E n+ a +ψ n
hω 2 2
E 1 hω +
atau hωa + n ψ n + hω a +ψ n + a ψ n ( x ) = E n+ a +ψ n
hω 2 2
( E n + hω )a ψ n = E n a ψ n
+ + +

153
)
Jadi Ha +ψ n ( x) = E n+ a +ψ n ( x) = ( E n + hω )a +ψ n (5.63a)
)
maka Ha +ψ 0 ( x) = E 0+ a +ψ 0 ( x) = ( E0 + hω )a +ψ 0 =

( + hω ) a +ψ n (5.63b)
2

sehingga E1 = E 0+ = ( + hω )
2
Tingkat energi ke 2, E2 = E1+ dapat diperoleh dengan menggunakan
)
pers Ha +ψ 1 ( x) = E1+ a +ψ 1 ( x) = ( E1 + hω )a +ψ 1

= ( + 2hω ) a +ψ 1 (5.63c)
2

E2 = ( + 2h ω )
2
Dengan menggunakan pers (5.60) , (5.64), (5.63a) dan (5.63b) dapat
diperoleh
) )
Hψ n (x) = En ψn → H (a + ) nψ 0 ( x) = ( E 0 + nhω )(a + ) nψ 0 =
( E 0 + nhω ) n!ψ n
1
atau En = (n+ ) hω (5.64)
2
Dengan jalan yang sama kita dapat menunjukkan bahwa
)
Ha ψ n ( x) = ( E n − hω )a ψ n ( x) (5.65a)
1 1
Ha 2ψ n = hω ( aa + − ) aaψ n = hω(aa+ aaψ n − aaψ n ) (5.65b)
2 2
Dengan menggunakan pers (5.63c) dapat diperoleh aa+ aa =
a(aa+-1)a =
)
H 1
+
(aaa a-aa ) = aa( − ) - aa (5.65c)
hω 2
Bila pers (5.65c) dimasukkan ke dalam pers (5.65b) diperoleh
)
H 1 1
Haψn = hω (aa( − ) - aa - aa }ψn = (En – 2 hω )a2ψn
2
(5.66a)
hω 2 2
Pers (5.66a) dapat digeneralisasikan sebagai

154
Ha nψ n = (En – n hω )anψn (5.66b)

Pers (5.54) juga dapat diperoleh dengan menggunakan


kondisi normalisasi dan sifat operator penaik a+ψn(x) = C+ψn+1(x)
sebagai berikut
∫ψ *ψ n +1 dx = ∫ (a + .ψn) + a +ψ n dx
2
C+ n +1

atau ∫ψn * aa +ψndx , dan dengan substitusi


H 1
aa + = + diperoleh
hω 2
H 1 En 1 ⎡ 1 1⎤
∫ψn * ( hω + 2 )ψn dx = ∫ψn * ( hω + 2 )ψn dx = ⎢⎣(n + 2 ) + 2 ⎥⎦
atau ∫ψn * aa +ψndx = (n+1)

∫ψ
2
maka C + n +1 *ψ n +1 dx = (n +1) (5.67)

sehingga n+1= (C+)2 (5.68)


C + = ( n + 1)

a+ (a+ )n+1
Jadi a+ .ψn = (n +1)ψ n+1 atau ψn+1(x) = ψn = ψ0 (5.69a)
n +1 (n +1)!
Dapat ditunjukkan bahwa aψ n = nψ n −1 (5.69b)

Langkah-langkah untuk menentukan fungsi gelombang dengan


metode operator :
1) Dengan menggunakan pernyataan aψ 0 = 0 diperoleh ψ 0
2) Dengan menggunakan pers (5.69a), a +ψ n = n + 1ψ n +1 , untuk
n=0 diperoleh ψ 1 = a +ψ 0
3) Secara berantai diperoleh

155
a÷ a÷ a÷
ψ2 = ψ1; ψ2 = ψ
ψ1; 3= ψ 2 ; .........
2 2 3

1 mω i
Contoh : Dari ( x+ p x ) ψ 0 =0
2 h mωh
1

⎧ mω ⎫ 4 − 2 h x 2
diperoleh ψ 0 = ⎨ ⎬ e
⎩ hπ ⎭
1

1 mω i ⎧ mω ⎫ 4 − 2 h x 2
dan ψ 1 = a +ψ 0 = ( x− px ) ⎨ ⎬ e
2 h mωh ⎩ hπ ⎭
1

⎧ mω ⎫ 4 1 ⎧ mω i 2 h d ⎫ − 2h x2
= ⎨ ⎬ ⎨ x+ ⎬e
⎩ hπ ⎭ 2 ⎩ h mωh dx ⎭
1
⎧ mω ⎫ 4 1 ⎧ mω − h − mω ⎫ − mω x2
= ⎨ ⎬ ⎨ x+ x ⎬e 2 h
⎩ hπ ⎭ 2 ⎩ h mωh h ⎭
3

⎧ mω ⎫ 4 2
2
− x
=⎨ ⎬ x e 2h
⎩ h ⎭ π
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa penentuan fungsi gelombang
hanya melibatkan dua operator dan fungsi gelombang tingkat dasar
dengan menggunakan manipulasi aljabar yang sederhana.

5.3.2 Penyajian Operator Dalam Bentuk Matriks


Penggunaan metode operator untuk menentukan
penyelesaian pers Schrodinger untuk partikel yang bergerak dalam
medan yang dipengaruhi oleh petensial harmonik telah kita bahas
cukup mendalam. Dengan menggunakan operator, perhitungan nilai
harap suatu variabel (observable) dapat dilakukan dengan lebih
sederhana. Dengan menggunakan definisi operator penaik dan
penurun pada pers (5.53a) dan (5.53b) kita dapat menyatakan

156
variabel posisi x dan momentum linear p sebagai berikut: bila pers
(5.53a) dan (5.53b) dijumlahkan akan diperoleh

1 mω i
a+ = ( x− px )
2 h mωh
1 mω i
a= (x+ px )
2 h mωh
________________________ +
mω h
a+ + a = 2 x atau x = (a+ + a) (5.70a)
h 2mω
i
dan bila dikurangkan a+ - a = 2 (− px )
mωh
mωh +
atau px = i ( a - a) (5.70b)
2
Dengan menggunakan sifat-sifat opersai operator pada fungsi
gelombang yang ditunjukkan pada pers (5.69a) dan (5.69b) dan
menggunakan persamaan operator posisi dan momentum yang
dinyatakan pada pers (5.70a) dan (5.70b), nilai harap posisi, kuadrat
posisi, momentum linear, atau kuadrat momentum linear dapat
dihitung dengan lebih sederhana. Besarnya nilai harap posisi partikel
yang dipengaruhi oleh potensial osilator harmonik dapat ditunjukkan
dengan mudah dengan menggunakan sifat a +ψn = ( n + 1)ψ n +1
yang dapat ditulis sebagai a + n >= n + 1 n + 1 >
dan aψn = ( n − 1)ψ n −1 atau a n >= n n − 1 >
h
< x > = ∫ ψ n* ( x ) xψ n dx = < n x n > = <n{ (a+ + a)} n >
2mω
h h
= { < n a+ n > + < n a n >} = {< n
2mω 2mω
n +1n +1 > +< n n n −1 > }

157
h
= { n + 1δ n ,n +1 + nδ n ,n −1 } = 0
2mω
Eigen fungsi dari operator Hermitian membentuk set lengkap eigen
fungsi, yang mana eigen fungsi yang lengkap merupakan superposisi
dari eigen fungsi yang mempunyai eigen energy yang berbeda-beda
dan dinyatakan sebagai

Ψ = ∑ Cnψ n (5.71)
n

dimana harga Cn dapat ditentukan dari persamaan


C n = ∫ ψ n∗ ( x )Ψ ( x ) dx = < ψ n Ψ > (5.72)

∫ψ ( x )Nˆ ψ n ( x ) dx = < ψ n N ψ n >



dan En = n (5.73)
2
Cn disebut sebagai amplitudo probabilitas dimana Cn adalah
probabilitas penemuan eigen nilai En dalam sebuah pengukuran N
dalam sistem yang dideskripsikan dengan Ψ (x ) . Jadi n adalah nilai
harap dari operator N. Bila N adalah operator Hamiltonian H, maka
nilai harap dari operator H adalah eigen nilai sistem tersebut,
menurut pers (5.73) untuk sistem osilator harmonic satu dimensi
diperoleh < ψ n H ψ n > = En = (n + 12 )hω (5.73a)
Bila pada pers (5.73a) ψ n diganti dengan set lengkap eigen fungsi
Ψ maka eigen nilai yang dihasilkan dari pengukuran Hamiltonian H
dalam sistem Osilator Harmonik yang dideskripsikan dengan set
lengkap dapat disajikan dalam bentuk matriks sebagai berikut : dari
pernyataan < Ψ H Ψ > , eigen fungsi yang tersusun pada kolom
mewakili ket Ψ > dan eigen fungsi yang tersusun pada baris
mewakili bra < Ψ

158
ψ0 ψ1 ψ2 ψ3 ψ4 ψ5
⎛1 ⎞
ψ0 ⎜ 0 0 0 . . ⎟ < ψ 2 H ψ 3 >= 0
⎜2 ⎟
⎜0 3
ψ1 0 0 0 . ⎟
⎜ 2 ⎟
⎜ 5 ⎟
ψ2 ⎜0 0 0 0 . ⎟
En = h ω 2 (5.74)
⎜ ⎟
⎜0 7
ψ3 0 0 0 . ⎟
⎜ 2 ⎟
⎜ 9 ⎟
ψ4 ⎜0 0 0 0 . ⎟
⎜ . 2
ψ5 ⎝ . . . . . ⎟⎠

Dengan cara yang sama, besarnya eigen nilai atau nilai harap dari
operator penaik dan penurun dalam sistem osilator harmonik dapat
dinyatakan sebagai

⎛ 0 0 0 0 0 0 ⎞
⎜ ⎟
⎜ 1 0 0 0 0 0 ⎟
⎜ 0 2 0 0 0 0 ⎟
< a + > = hω ⎜ ⎟ (5.75a)
⎜ 0 0 3 0 0 0 ⎟
⎜ 0 0 0 2 0 0 ⎟
⎜ ⎟

⎝ 0 0 0 0 5 0 ⎟⎠

⎛ 0 1 0 0 0 0 ⎞
⎜ ⎟
⎜ 0 0 2 0 0 0 ⎟
⎜ ⎟
0 0 0 3 0 0 ⎟
dan < a > = hω ⎜ (5.75b)
⎜ 0 0 0 0 4 0 ⎟
⎜ ⎟
⎜ 0 0 0 0 0 5⎟

⎝ 0 0 0 0 0 0 ⎟⎠

159
Dengan demikian nilai harap dari beberapa operator yang dapat
dinyatakan sebagai fungsi operator penaik dan penurun dapat
ditentukan dengan representasi matriks diatas yang hanya
memerlukan operasi aljabar sederhana.

SOAL
1. Tentukan Polynom Hermite H0, H1, H2, H4, H5, H6, dan H7
dengan menggunakan cara seperti di atas!
2. Dengan menggunakan pers (5.21) dan (5.22) serta hasil dari
penyelesaian pada soal (1) tentukan ψ0 , ψ1 , ψ2, ψ3, ψ4, ψ5!
3. Tentukan Polynom Hermite H0, H1, H2, H4, H5, H6, dan H7
dengan menggunakan pers (5.32)! dan bandingkan hasilnya
dengan soal pada Tugas I!
4. Hitunglah H3, H4, H5, H6, dan H7 menggunakan pers rekursi
(5.27) bila H1 dan H2 telah diketahui dari perhitungan soal no
(1)!
5. Dengan cara seperti di atas tentukan ψ1, ψ2, ψ4, dan ψ5!
6. Buktikan bahwa <x> =0 untuk ψn dengan n=1 dan n=2!
7. Hitung <p2> dan <x2> dengan menggunakan ψn dengan n=1 dan
n=2!
8. Hitung <p2> dengan menggunanakan petunjuk di atas!

∫ψ ( x )ψ 2 ( x )dx = 0 dimana ψ 1danψ 2



9. Buktikan bahwa 1
−∞
diperoleh dari penyelesaian soal no. 5!
10. Tunjukkan bahwa [a, a+] =1
)
11. Berdasarkan pers (5.2) dimana Hψ n ( x) = E nψ n ( x ) , tunjukkan
bahwa
) 1 1
H = hω ( a + a + ) hω ( a a + − )
2 = 2
berdasarkan pers (5.59a) dan (5.59b)!
12. Dengan menggunakan pers (5.60), (5.61), dan (5.37a) tentukan
ψ 1 ( x),ψ 2 (2),ψ 3 ( x) !

160
13. Dengan menggunakan cara yang sama tunjukkan bahwa
a.ψ n = n ψ n −1 = C-Ψ
n-1

14. Tunjukkan bahwa H ( a ) ψ n = ( E n − nhω )( a ) ψ n


n n

ψ
15. Tentukan fungsi gelombang ψ 2 , 3 , dan ψ 4 dengan metode
operator

∫ψ ψ dx = 0

2 1
16. Tunjukkan bahwa −∞
17. Hitung nilai harap posisi = < x >, kuadrat posisi = <x2>,
2
momentum = <px>, dan kuadrat momentum < p x > untuk
partikel yang bergetar secara harmonic menggunakan eigen
fungsi dan menggunakan operator!
18. Dengan menggunakan representasi matriks, tentukan nilai harap
pisisi x = < x >, kuadrat posisi = <x2>, momentum = <px>, dan
kuadrat momentum < p x2 > untuk partikel yang bergerak dalam
sistem harmonik.

161
BAB VI
ATOM HIDROGEN

6.1 Pendahuluan
Atom hidrogen merupakan atom paling sederhana yang
terdiri dari satu proton sebagai nukleus dan satu elektron yang
mengitarinya. Pada bab ini akan diuraikan penyelesaian persamaan
Schrodinger untuk atom hidrogen dan dan aplikasinya. Persamaan
Schrodinger untuk mendiskripsikan gerak elektron relatif terhadap
proton sehingga energi potensial sistem adalah energi potensial
elektron yang terikat pada inti. Karena elektron mengorbit inti pada
kulit yang berbentuk bola maka fungsi gelombang dan tingkat-
tingkat energi elektron ditentukan berdasarkan penyelesaian
persamaan Schrodinger dengan koordinat bola. Hasil dari
penyelesaian persamaan Schrodinger untuk atom Hidrogen dapat
digunakan untuk menjelaskan teori atom menurut Bohr dan sebagai
dasar teori atom secara umum.

6.2 Persamaan Schrodinger Atom Hidrogen


Persaman Schrodinger untuk atom Hidrogen tidak lain
adalah persamaan Schrodinger untuk sebuah partikel yang berupa
elektron yang bergerak dalam medan potensial Coulomb yang
dihasilkan oleh gaya tarik-menarik antara elektron dengan inti, maka
massa partikel tersebut sebenarnya merupakan massa sistem proton-
m + mp
elektron yang tereduksi, yaitu m = e . Karena m p =1836 m e ,
me m p
maka dalam prakteknya biasanya menggunakan massa elektron saja
karena antara m dan me selisihnya sangat kecil. Untuk

162
penyerdahanaan pembahasan, proton diasumsikan diam di pusat
koordinat dan elektron bergerak mengelilinginya di bawah pengaruh
medan atau gaya coloumb.
z

me
θr

mp y
ϕ
x

Gambar 1.1 Posisi relatif antara proton dan elektron

Karena proton dianggap diam, maka kontribusi energi sistem hanya


diberikan oleh elektron yaitu energi kinetik

r 2
p2 = − h ∇2 (6.1)
Ek =
2 me 2m
dan energi potensial sebuah elektron yang berjarak r dari inti
2
V(r)= − e 1 (6.2)
4πε 0 r

Dengan demikian persamaan schrodinger untuk atom hidrogen dapat


dituliskan sebagai ⎧⎨− h ∇ 2 − e 1 ⎫⎬ψ (rr ) = Eψ (rr )
2 2
(6.3)
⎩ 2me 4πε 0 r ⎭

mengingat sistem atom hidrogen memiliki simetri bola, penyelesaian


pers. Schrodinger menjadi lebih sederhana bila oprator ∇ 2 disajikan
dalam koordinat bola. Di dalam koordinat bola ( r , θ , ϕ ) , persamaan
6.3 menjadi


h2 1 ⎧ ∂ ⎛ 2 ∂ψ ⎞ 1 ∂ ⎛
⎜r ⎟+ ⎜ sinθ
∂ψ ⎞
⎟+ 2
1 ∂ 2ψ ⎫ ⎛ e2 1 ⎞
⎬−⎜ ψ ⎟ = Eψ (6.4)
2 ⎨
2me r ⎩∂r ⎝ ∂r ⎠ sinθ ∂θ ⎝ ∂θ ⎠ sin θ ∂ϕ 2 ⎭ ⎜⎝ 4πε0 r ⎟⎠
karena

163
1 ∂ ⎛ 2 ∂⎞ 1 ∂ ⎛ ∂ ⎞ 1 ∂2
∇2 = ⎜r ⎟+ 2 ⎜ sin θ ⎟+ 2
r ∂r ⎝ ∂r ⎠ r sin θ ∂θ ⎝
2
∂θ ⎠ r sin θ ∂ϕ 2
2

Penentuan fungsi gelombang dan tingkat energi dari PS pada pers


(6.4), dapat dilperoleh dengan menyelesaikan pers (6.4) dengan
r
metode pemisahan variabel ψ (r ) = ψ ( r , θ , ϕ ) sebagai berikut

ψ ( r , θ , ϕ ) = R ( r )Y (θ ,ϕ ) = R ( r )Θ(θ )Φ (ϕ ) (6.5)

Bila persamaan (6.5) disubstitusikan ke dalam persamaan (6.4) dan


kemudian dikalikan ⎛⎜ − 2me r ⎞⎟ maka pers (6.4) menjadi
2

⎜ h2 ⎟
⎝ ⎠
⎧ ∂ ⎛ 2 ∂(RΘΦ) ⎞ 1 ∂ ⎛ ∂(RΘΦ) ⎞ 1 ∂2 (RΘΦ) ⎫ 2mer2 ⎛ e2 ⎞ (6.6a)
⎨ ⎜r ⎟+ ⎜sinθ ⎟+ 2 ⎬ + 2 ⎜⎜ E(RΘΦ) + (RΘΦ)⎟⎟ = 0
⎩∂r ⎝ ∂r ⎠ sinθ ∂θ ⎝ ∂θ ⎠ sin θ ∂ϕ ⎭ h ⎝
2
4πε0 ⎠
Dengan mendiferensialkan secara parsiel pers (6.6a) diperoleh

⎧ ∂ ⎛ 2 ∂(R) ⎞ RΦ ∂ ⎛ ∂(Θ) ⎞ RΘ ∂2 (Φ) ⎫ 2mer2 ⎛ e2 ⎞ (6.6b)


⎨ΘΦ ⎜r ⎟+ ⎜sinθ ⎟+ 2 2 ⎬
+ 2 ⎜⎜E(RΘΦ) + (RΘΦ)⎟⎟ = 0
⎩ ∂r ⎝ ∂r ⎠ sinθ ∂θ ⎝ ∂θ ⎠ sin θ ∂ϕ ⎭ h ⎝ 4πε 0 ⎠

dan bila pers (6.6b) dibagi dengan R( r )Θ(θ )Φ (ϕ ) maka diperoleh


1 d ⎛ 2 dR ⎞ 1 d ⎛ dΘ ⎞ 1 d 2Φ 2me r 2 ⎛ e2 1⎞ (6.7)
⎜r ⎟+ ⎜ sinθ ⎟+ + ⎜ E + ⎟=0
R dr ⎝ dr ⎠ Θ sinθ dθ ⎝ dθ ⎠ Φ sin2 θ dϕ 2 h2 ⎜⎝ 4πε0 r ⎟⎠

Atau 1 d ⎛⎜r2 dR⎞⎟ + 2mer ⎛⎜ E + e 1⎞⎟ = −{ dΘ⎞ 1 d 2Φ


2 2
1 d⎛ (6.7 a)
2 ⎜ ⎟ ⎜sinθ ⎟ + }= λ
R dr ⎝ dr ⎠ h ⎝ 4πε0 r ⎠ Θsinθ dθ ⎝ dθ ⎠ Φsin2 θ dϕ2

Dapat dilihat pada persamaan (6.7) bahwa suku pertama dan


keempat hanya bergantung jari-jari r, suku kedua dan ketiga hanya
bergantung sudut θ dan ϕ , maka kemudian suku yang hanya
merupakan fungsi r saja dipisahkan dari suku yang merupakan
fungsi sudut saja.
Pada pers (6.7a) dapat dilihat bahwa kedua ruas mempunyai
variabel yang berbeda tetapi keduanya identik, maka msing-masing
ruas harus sama dengan konstanta, misalnya λ dan bila kedua ruas
dipisahkan maka diperoleh dua pers diferensial orde dua fungsi
radial dan sudut, yaitu

164
1 d ⎛ 2 dR ⎞ 2me r 2 ⎛ e2 ⎞
⎜r ⎟+ 2
⎜ E + ⎟⎟ = λ

R dr ⎝ dr ⎠ h ⎝ r ⎠
atau
d ⎛ 2 dR ⎞ 2me r 2 ⎛ e2 ⎞ (6.8)
⎜r ⎟+ ⎜⎜ E + ⎟⎟ R = λR
dr ⎝ dr ⎠ h2 ⎝ r ⎠
Dengan substitusi variable yang sesuai pada persamaan (6.8) akan
diperoleh PD. Fungsi Laguerre
Sedangkan suku yang hanya mengandung sudut θ dan ϕ dapat
dinyatakan sebagai
1 d ⎛ dΘ ⎞ 1 d 2Φ (6.9a)
⎜ sin θ ⎟+ = −λ
Θ sin θ dθ ⎝ dθ ⎠ Φ sin 2 θ dϕ 2

setelah dikalikan dengan sin 2 θ , persamaan (6.9a) menjadi

sin θ d ⎛ dΘ ⎞ 1 d 2 Φ
⎜ sin θ ⎟+ + λ sin 2 θ = 0
Θ dθ ⎝ dθ ⎠ Φ dϕ 2
Analogi dengan pemisahan variabel pada pers (6.7) , pers (6.9a)
dapat dipisahkan menjadi

sin θ d ⎛ dΘ ⎞ 1 d 2Φ (6.9b)
⎜ sin θ ⎟ + λ sin θ = − = m2
2

Θ dθ ⎝ dθ ⎠ Φ dϕ 2

Pada persamaan (1.9b) dapat dilihat bahwa ada bagian yang hanya
bergantung pada sudut azimut ϕ dan bagian yang bergantung pada
θ saja sehingga kedua variabel tersebut dapat dipisahkan seperti
pada persamaan (6.7a) dan suku tengah yang merupakan fungsi
azimut saja dimisalkan sama dengan konstanta - m 2 , yaitu.
1 d 2Φ (6.10a)
= −m 2
Φ dϕ 2

atau d Φ2 + m 2 Φ = 0
2
(6.10b)

dan
sin θ d ⎛ dΘ ⎞ (6.11a)
⎟ + λ sin θ = m
2 2
⎜ sin
Θ dθ ⎝ dθ ⎠

165
atau setelah dikalikan Θ diperoleh
sin 2 θ
1 d ⎛ dΘ ⎞ ⎧ m2 ⎫ (6.11b)
⎜ sin θ ⎟ + ⎨λ − 2 ⎬Θ = 0
sin θ dθ ⎝ dθ ⎠ ⎩ sin θ ⎭

Dengan demikian, persamaan (6.4) dipisahkan menjadi tiga


persamaan deferensial orde dua yang hanya bergantung pada satu
variabel saja, dan kemudian kita tentukan solusi masing-masing
persamaan tersebut di bawah ini.

6.3 Persamaan Azimuth


Penyelesaian persamaan Schrodinger untuk atom H kita mulai
dari persamaan yang paling sederhana yaitu pers. (6.10a) yakni
persamaan azimuth yang menggambarkan rotasi elektron terhadap
sumbu z. Rentangan sudut rotasi disekitar sumbu-z ini adalah 0
sampai 2 π , dan kelipatannya. Itulah sebabnya konstanta (6.10a)
dipilih negatif (= − m2 ) agar memberi solusi yang merupakan fungsi
sinusoidal yang bersifat periodik. Bila dipilih positif akan memberi
solusi fungsi exponensial sehingga untuk satu posisi yang sama akan
diberi nilai yang berbeda, misal Φ (π / 6) ∝ eπ / 6 , dan
Φ (2π + π / 6) ∝ e −2π −π / 6
padahal posisi Φ = π / 6 sama dengan posisi
Φ = 2π + π / 6 . Dapat dijelaskan bahwa pemilihan konstanta positif
ini tidak menggambarkan kondisi fisis yang sesungguhnya.
Penyelesaian pers (6.10a) adalah

Φ ≡ Aeimϕ + Be−imϕ (6.12a)

Karena bilangan bulat m dapat berharga positif atau negatif, m= 0,


±1, ±2….. maka persamaan (6.12a) dapat ditulis menjadi

Φ m ≡ Am e imϕ (6.12b)

dengan keunikan Φ untuk setiap harga ϕ yaitu


Φ(ϕ + 2π ) = Φ(ϕ ) atau eim(ϕ + 2π ) = eimϕ ...karena...eim2π = 1 (6.13)

166
Dan A merupakan faktor normalisasi yang dapat diperoleh dari
penersyarat normalisasi

2π ⎧= 1..untuk ..m = n
∫ Φ (ϕ )Φ (ϕ )dϕ = δ

⎨ (6.14)
⎩= 0..untuk ..m ≠ n
m n mn
0

Karena kompleks konjugate dari Φm adalah Φ ∗m ≡ Am• e −imϕ maka


kondisi normalisasi untuk fungsi gelombang azimutal adalah

∫Ae
* −inϕ
Aeinϕ dϕ = 1
0

2
∫ dϕ
2
1 = Am = Am 2π
0

1
Am =
maka 2π adalah faktor normalisasi fungsi gelombang
azimutal.

Bilangan bulat m disebut bilangan kuantum magnetik.


Jadi Φ m ≡ 1 imϕ (6.15)
e

6.4 Persamaan Polar


Bagian persamaan Schrodinger untuk atom hidrogen yang
merupakan fungsi sudut θ disebut persamaan polar dan θ adalah
sudut yang dibuat oleh vektor posisi elektron relatif terhadap titik
awal sistem koordinat yang merupakan posisi proton dengan sumbu
z, jadi θ berharga dari 0 sampai π . Persamaan polar ditunjukkan
oleh pers (6.11b)
1 d ⎛ dΘ ⎞ ⎧ m2 ⎫ (6.11b)
⎜ sin θ ⎟ + ⎨λ − ⎬Θ = 0
sin θ dθ ⎝ dθ ⎠ ⎩ sin 2 θ ⎭

Persamaan diferensial (6.11b) dengan konstanta λ dan m 2 dikenal


sebagai persamaan diferensial Legendre terasosiasi. Solusi dari

167
persamaan ini dapat diperolleh dengan menggunakann metode
Fro
obenius yang dinyatakan dalam bentukk deret pangkkat tinggi
berhingga yangg dikenal seb bagai polinomm Legendre teerasosiasi.
Unntuk menyederrhanakan peny yelesaian perss (6.11b), perttama-tama
dim
misalkan m = 0, dalam kondisi
k ini PDD Legendre associated
a
berubah menjadii PD Legendre seperti ditunjuukkan pada perrs (6.16)
1 d ⎛ dΘ ⎞ (6.16)
⎜ sin θ ⎟ + λΘ = 0
n θ dθ ⎝
sin dθ ⎠

Unntuk memudahhkan penyelesaaian, pers (6.16) disederhanaakan lebih


daahulu dengan m
menggunakan substitusi
s variaable, misal
cos θ = w , maaka sin θ = =
dan (6.17)

Peers (6.17) dimaasukkan ke dalaam pers (6.16) diperoleh


1 d ⎛ dΘ ⎞
( − sin θ )⎜ sin θ {− sin θ }⎟ + λΘ = 0
sinn θ dw ⎝ dw
w ⎠
d ⎛ dΘ ⎞
− ⎜ − sin θ ⎟ + λΘ = 0
2

d ⎝
dw dw
w⎠
d ⎛ 2 dΘ ⎞
⎜ (1 − w ) ⎟ + λΘ = 0
dw
w⎝ dw
w⎠
d 2Θ dΘ
(1 − w )
2
2
− 2w + λΘ = 0 (6.18)
dw dw

Peers (6.18) meruupakan bentuk umum dari perrsmaan differeensial orde


du
ua fungsi Leggendre. Bentu uk penyelesaiaan PD fungsi Legendre
dippilih dalam benntuk deret seperti pada penyyelesaian dengaan metode
Froobenius yang dibahas padaa sistem Osilaator Harmonikk, dimana
bentuk umum PD D orde duanya adalah
+ A(q) + B(q) Q = 0 (6.19)

16
68
Bila
B q = q0 m menyebabkan nilai A(q) ataau B(q0) adalah tertentu,
maka
m q=q0 diseebut titik ordin
nary dan penyeelesaian pers diiff. orde dua
adalah
a merupakkan polynom (deret
( pangkat tinggi) yang dinyatakan
d
Q(q)
Q = (6.20)

Tetapi
T bila unntuk q = q0, harga A(q0) atau B(q0) adalah tak
terhingga,
t makka q = q0 dissebut titik reggular singular dan bentuk
penyelesaian
p uumum nya adallah
Q = (q − q0 ) s
Q(q) (6.21)

Bila
B prinsip di atas diaplikasikan pada PD fungsi legendrre pada pers
(6.18)
(
d 2Θ 2w dΘ λ
− + Θ=0
dw 2
(1 + w)((1 − w) dw (1 + w)(1 − w)
untuk
u w = 0,
= = =0
= =λ

Maka
M untuk w = 0 yang merupakan
m titikk ordinary, benntuk umum
penyelesaian
p P
PD fungsi Legeendre menurut pers (6.18) adaalah
Θ(w) = = c0 + c1w + c2w2 + c3w3 + … (6.22)
Tetapi
T untuk w = 1, yang memberikan
m harga A dan B sebagai
= = =
= = =
maka
m w= 1m merupakan titiik regular singuular yang bentuuk

penyelesaian
p P
PD fungsi Legeendre adalah Θ(w) = ( w ± 1) s ∑ cn ( w ± 1) n
n=0

= ( w ± 1) (c 0 + c1 ( w ± 1) + c 2 ( w ± 1) + c3 ( w ± 1) + c 4 ( w ± 1)
s 2 3 4

+ c5 ( w ± 1) 5 + c6 ( w ± 1) 6 + ... 6.23)

169
Tetapi karena di dalam pembahasan prinsip-prinsip Fisika selalu
dipilih bentuk penyelesaian yang sederhana maka dipilih bentuk
penyelesaian pada pers (6.22), maka kemudian pers (6.22)
dimasukkan ke pers (6.18) yang dijabarkan dengan cara sebagai
berikut

λ Θ(w) = λ (c0 + c1w + c2w2 + c3w3 + c4w4 + c5w5 + … + cnwn)

-2w dΘ = -2w( c1 + 2 c2w + 3c3w2 + 4c4w3 + 5c5w4 + … + ncnwn-1)


dw
(1-w2) d Θ = (1-w2) ( 2c2 + 3.2c3w + 4.3c4w2 + 5.4c5w3 + … + n(n-1)cnwn-2) +
2

dw 2
0 = λc0 + 2c2 + (λc1-2c1+6c3)w + (λc2 - 4c2– 2c2 + 12c4)w2+(λc3-6c3-6c3+20c5)w3 (6.24)

Pers (6.24) adalah pers polynomial atau identitas maka masing-


masing koefisien dari semua pangkat w harus sama dengan nol,
sehingga diperoleh hubungan antara koefisien-koeficien sebagai
berikut:
−λ
w0 Æ λc0 + 2c2 = 0 c2 = c0
2
−λ +2
w1 Æ λc1 - 2c1 + 6c3 = 0 c3 = c1
2 .3
− λ + 2. 3
w2 Æ λc2 - 6c + 12c4 = 0 c4 = c2
4. 3
− λ + 4.3
w3 λc3-12c3+20c5 = 0 c5 = c3
5. 4
Dari beberapa perhitungan di atas dapat digeneralisasikan sebagai
− λ + ( n − 1)( n − 2)
cn = cn − 2 (6.25)
n ( n − 1)
Karena koefisien dari variabel w yang saling berhubungan berbeda
dua angka, maka penyelesaian umum terbelah menjadi dua yaitu
penyelesaian genap dan ganjil
2 4 6 2n 3 5
Θ(w) ={ c0 + c2w + c4w + c6w + … + c2nw }+{ c1w + c3w + c5w
+ c7w7… + c2n-1w2n-1} (6.26)

170
Deret pada pers (6.26), baik yang genap ataupun yang ganjil,
terputus bila pangkat tertinggi dari deret ditentukan, misal pangkat
tertinggi adalah n, maka cn+2 = 0, karena tidak diperbolehkan
variabelnya mempunyai pangkat yang lebih besar dari n, dari cn+2 =
0
− λ + (n +1)(n)
cn+2 = cn = 0 diperoleh λ = n ( n + 1) , n= 0,1,2,3,…. (6.27)
(n + 2)(n + 1)
Pada pers (6.27) n disebut bilangan kuantum orbital. Untuk
konsistensi penggunaan symbol yang mendiskripsikan bilangan
kuantum orbital baik untuk fungsi gelombang atau tingkat-tingkat
energy elektron pada atom biasanya bilangan kuantum n diganti
dengan symbol l sehingga harga λ menjadi
λ = l( l + 1) (6.27a).
Penentuan penyelesaian fungsi Θ(θ) dalam bentuk deret dapat
diperoleh dari pers (6.25), (6.26) dan (6.27) dengan cara pangkat
tertinggi dari deret sudah diketahui, misalnya pangkat tertinggi deret
adalah 4 atau 5, hal ini berarti bahwa l = 4 atau l = 5 . Kemudian
setelah pangkat tertinggi ditentukan, λ dihitung dan digunakan
untuk mencari hubungan antara koefisien c yang berhubungan dan
setelah dimasukkan ke pers (6.26), Θ(θ) masih mengandung
parameter yang harganya belum diketahui yaitu c0 atau c1.
Penentuan harga c0 atau c1 dilakukan dengan kondisi bahwa untuk
harga w=1, masing-masing harga Θ l ( θ ) = Θ l ( w ) harus sama
dengan 1.

Contoh
Marilah kita tentukan Θ 4 ( θ ) dan Θ 5 ( θ ) . Untuk Θ 4 ( θ ) ,
pangkat tertinggi w dari fungsi ini adalah 4, maka c6 harus sama
dengan nol dan Θ 4 ( w ) = c0 + c2w2 + c4w4
− λ + 5. 4
dan dengan menggunakan pers (6.25) c6 = c4 = 0
6. 5

171
sehingga diperoleh λ = 20 karena pembilang persaman di atas
harus sama dengan nol. Dengan menggunakan pers (6.25) diperoleh
− 20
c2 = c0 = −10c0
2 .1
− 20 + 3.2 −7 35
c4 = c2 = c2 = c0
4 .3 6 3
35
dan Θ 4 ( w ) = c 0 − 10 c 0 w 2 + c0w 4
3
untuk w = 1 harga Θ 4 ( w ) =1 sehingga diperoleh

35 3
Θ 4 ( w ) = c 0 − 10 c 0 + c 0 =1 yang memberikan harga c0 =
3 8
1
Jadi Θ 4 ( w ) = 8 { 3 − 30 w + 35 w }
2 4

Sedangkan untuk Θ5(w) = c1w + c3w3 + c5w5, dari kondisi


− λ + 6 .5
c7 = c5 = 0
7 .6
− 30 + 2 14
diperoleh λ = 30 , c3 = c1 = − c1 ,
2 .3 3
− 30 + 12 9 ⎧ 14 ⎫ 21
c5 = c3 = − ⎨− ⎬c1 = c1
5.4 10 ⎩ 3 ⎭ 5
14 21
sehingga Θ( w) = c1w − c1w3 + c1w5
3 5
Karena untuk w = 1 harga Θ 5 ( w ) =1 ,
14 21 15
Θ( w) = c1.1 − c1.1 + c1.1 = 1 maka diperoleh harga c1 =
3 5 8
sehingga
15 35 63
Θ 5 ( w) = w − w3 + w5
8 4 8
Dengan cara di atas penyelesaian persamaan Schrodinger bagian
polar dapat diperoleh dalam bentuk deret yang dinyatakan seperti

172
pada pers (6.26) dimana harga c0 dan c1 diperoleh dari kondisi untuk
harga w=1, masing-masing harga Θ l ( θ ) harus sama dengan 1.
Dengan memasukkan harga λ = l( l + 1) pada pers (6.18) maka PD
fungsi Legendre dapat dituliskan sebagai
d 2Θ dΘ (6.28)
(1 − w 2 ) − 2w + l( l + 1)Θ = 0
dw 2 dw
Bentuk umum penyelesaian pers (6.28) dapat ditentukan dengan
bentuk deret pada pers (6.26) dan jika pangkat tertinggi fungsi juga
sudah ditentukan, kemudian menggunakan pers (6.25) dan (6.27)
untuk menentukan koefisien masing-masing suku dalam deret,
namun biasanya masih tersisa satu parameter yang harus ditentukan
yaitu c0 untuk penyelesaian genap dan c1 untuk penyelesaian ganjil
seperti pada contoh yang telah dibahas diatas.
Disamping penyelesaian bentuk deret, PD fungsi Legendre
dapat diselesaiakan dengan fungsi pembangkit PD legendre, yaitu

g (t, w) = (1 − 2 wt + t 2 )

= ∑ Θl (w)t n
−1 2
(6.29)
l =0

Yang disebut fungsi pembangkit adalah g (t , w ) = (1 − 2 wt + t 2 ) .


−1 2

Dengan mendiferensialkan ruas kiri dan kanan pada pers (6.29),


masing-masing terhadap t dan terhadap w, kita akan memperoleh PD
fungsi Legendre. Dengan mengekspansikan fungsi pembangkit
dengan menggunakan teorema binomial, kita akan memperoleh
Polynom Legendre atau formula Rodrigues yang dinyatakan sebagai
1 d
Θ l ( w) = l ( ) l ( w 2 − 1) l (6.30)
2 l! dw
Pembahasan penjabaran PD fungsi Legendre dan Polinom Legendre
dari fungsi pembangkit dapat di lihat pada lampiran I
Cara ke tiga untuk menyelesaikan PD fungsi Legendre juga
dapat dilakukan dengan mentransformasi PD Legendre menjadi PD
fungsi Hypergeometric dengan substitusi variable yang sesuai.
Penjabaran penyelesaian PD fungsi Hypergeometric dapat dilihat
pada bagian PD fungsi Hypergeometric.

173
Dengan memasukkan nilai λ = l( l + 1) dalam pers (6.11b)
diperoleh
1 d ⎛ dΘ ⎞ ⎧ m2 ⎫ (6.31)
⎜ sin θ ⎟ + ⎨l(l + 1) − 2 ⎬Θ = 0
sin θ dθ ⎝ dθ ⎠ ⎩ sin θ ⎭
Seperti pada PD fungsi Legendre, variabel θ diganti dengan w yaitu
d 2Θ dΘ m2
(1 − w 2 ) − 2w + (l(l + 1) − )Θ = 0 (6.31a)
dw 2
dw 1 − w2
Salah satu cara untuk menyelesaikan persamaan Legendre
associated pada pers (6.31a) adalah pertama-tama dengan
menyelesaiakan PD fungsi Legendre dan kemudian mengubah PD
fungsi legendre menjadi PD fungsi Legendre associated dengan
mendiferensialkan PD fungsi Legendre yang dinyatakan pada pers
(6.28) m kali terhadap w, lihat pers (6.32).
2 d Θ l ( w) d Θ l ( w)
2
dm
m
{(1 − w ) 2
− 2w + l (l + 1)Θ l ( w)} = 0 (6.32)
dw dw dw
Pers (6.32) diselesaikan dengan menggunakan formula Leibnitz’s
yang dinyatakan pada pers (6.33)
n ⎛ n ⎞ ⎛n⎞
dn d n−s ds n!
dx n
[ A( X ) B ( x )] = Σ ⎜



s −0 ⎝ s ⎠ dx n− s
A( x )
dx s
B ( x ), ⎜ ⎟=
⎜ ⎟ ( n − s)!s!
, (6.33)
⎝s⎠
Setelah didiferensialkan m kali terhadap w dengan menggunakan
formula Leibnitz’s, pers (6.32) menjadi
(1 − w 2 )u ′′ − 2 w( m + 1)u ′ − ( m 2 + m )u + l( l + 1)u = 0
atau
(1 − w 2 )u ′′ − 2 w ( m + 1)u ′ + ( l − m )( l + m + 1)u = 0 (6.34)
dm
dimana u ≡ Θ l (w)
dw m
Persamaan (6.34) adalah bukan self adjoint. Untuk membuatnya
menjadi bentuk self-adjoint, kita melakukan substitusi terhadap
fungsi u(w) yang dinyatakan pada pers (6.35)
d m Θl ( w)
v(w)=(1-w2)m/2 u(w) = (1-w2)m/2 (6.35)
dw m
atau u(w) = v(w) (1-w2)-m/2

174
Dengan memasukkan pers (6.35) ke pers (6.34) diperoleh
⎡ m2 ⎤
(1-w2) v′′ -2w v′ + ⎢l( l + 1) − v = 0, (6.36)
⎣ 1 − w 2 ⎥⎦
Pers (6.36) merupakan persamaan yang sama dengan pers
persamaan (6.31a)) yaitu PD Legendre associated dimana
d 2v d Θ l
2 m

= , atau fungsi v(w) = Θlm (w) , yang merupakan fungsi


dw2 dw2
Legendre associated. Penjabaran PD Legendre associated dari PD
Legendre secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.
Jadi penyelesaian umum dari PD fungsi Legendre associated dapat
dinyatakan dalam bentuk polynomial Legendre associated pada pers
(6.37)
d m Θl ( w)
Θml =(1-w2)m/2 u(w) = (1-w2)m/2 (6.37)
dw m
dimana Θ l (w ) dapat diperoleh dalam bentuk deret seperti pada pers
(6.26) atau dalam bentuk polinom Legendre
1 d
Θl ( w) = n ( ) l ( w 2 − 1) l
2 l! dw
Dalam beberapa buku Kuantum, biasanya fungsi legendre atau
Legendre associated dinyatakan dalam istilah Pl (w) = Pl (cos θ )
atau Plm (w) = P m l (cos θ ) , maka jika seandainya dalam uraian di
beberapa bagian penulis mencantumkan istilah yang berbeda, para
pembaca harap maklum.
Penyelesaian fungsi gelombang bagian sudut adalah
Ylm (θ ,ϕ ) ∝ Θml (θ )Φ(ϕ ) = N orbΘml (θ )eimϕ (6.38)
Dengan menggunakan syarat normalisasi untuk fungsi gelombang
bagian sudut
π 2π

∫ ∫
θ ϕ
=0 =0
| Ylm (θ ,ϕ ) |2 sinθdθdϕ = 1 (6.39)

diperoleh faktor normalisasi fungsi gelombang bagian sudut yaitu

175
2l + 1 (l − | m |)!
N orb = ( −1) ( m + | m|) / 2 (6.40)
4π (l + | m |)!
Dan pers (6.38) menjadi
2l + 1 (l − | m |)! m
Ylm (θ , ϕ ) = ( −1) ( m + | m|) / 2 Θl (θ )eimϕ (6.41)
4π (l + | m |)!
Dari pers (6.41) dapat dilihat bahwa harga ( −1) ( m + | m |) / 2 selalu 1 untuk
m genap baik positif maupun negatif dan untuk harga m yang
negative dan ganjil, dan selalu sama dengan -1 untuk harga m yang
positive dan ganjil.

Contoh penentuan fungsi gelombang bagian sudut


Fungsi gelombang bagian sudut ditentukan dengan menggunakan
pers (6.41), yaitu
Ylm (θ ,ϕ ) = (−1) ( m +|m|) / 2 2l + 1
(l − m )! Θ m (cos θ ) e imϕ
4π (l + m )!
l

Mula-mula marilah kita hitung Y00 , Y10 , Y±11 , Y20 :


2.0 + 1 (0 − 0 )! 0 1
Y00 = Θ 0 (cosθ )e i 0ϕ =
4π (0 + 0 )! 4π
untuk Y10
2(1) + 1 (1 − 0 )! 0
Y10 = (−1) 0 Θ1 (cosθ )e i 0ϕ
4π (1 + 0 )!
∂1
Y10 =
3 1
4π 210!
(
1 − cos 2 θ )0/ 2

∂ cosθ 1
( )
cos 2 θ − 1

3
Y10 = cosθ

Untuk lebih mudahnya, kita hitung lebih dahulu polinom Legendre
associated Θ ml (w) = Θ ml (cosθ ) dengan menggunakan persamaan
(6.37), baik untuk harga m positive maupun negative, karena harga
Θ ml (w) = Θ −l m (w) , yaitu.

176
d | m |Θ l ( w)
Θlm = (1 − w2 )|m| / 2 u (w) = (1 − w 2 )| m| / 2 dimana
dw| m|
1 d l 2
Θ l ( w) = l
( ) ( w − 1) l ,
2 l! dw

Misal untuk l = 1 , maka harga m= -1, 0, 1

1 d 1 2
Θ1 ( w) = ( ) ( w − 1)1 = w ,
211! dw
dw
maka Θ1±1 ( w) = (1 − w2 )1 / 2 = (1 − w2 )1 / 2 = sinθ
dw
d 0w
Θ ( w) = (1 − w )
0
1
2 0
= w = cosθ
dw0
Untuk l = 2 , maka harga m= -2, -1, 0, 1,2
1 d 1 3 1
Θ 2 ( w) = 2 ( ) 2 ( w2 − 1) 2 = (12 w2 − 4) = ( w2 − )
2 2! dw 8 2 2
3 1
d 2 ( w2 − )
maka Θ±2 2 ( w) = (1 − w2 )2 / 2 2 2 = (1 − w2 ).3 = 3sin2 θ
2
dw
3 1
d 1 ( w2 − )
Θ ±21 ( w) = (1 − w2 )1 / 2 2 2 = (1 − w2 )1 / 2 3w = 3sinθ cosθ
dw1
3 1
d 0 ( w2 − )
dan Θ02 ( w) = (1 − w2 )0 2 2 = 3 cos2 θ − 1
0
dw 2 2
Setelah Θ l (w) = Θ l (cosθ ) dihitung, kemudian kita hitung Ylm
m m

dengan menggunakan pers (6.39) sebagai berikut:


2.1 + 1 (1 − 1 )! 1 3
Y11 = (−1) 2 / 2 Θ1 (cosθ )e i1ϕ = − (sin θ )e iϕ
4π (1 + 1 )! 8π

dan Y1−1 = (−1) 0 / 2 2.1 + 1


(1 − 1 )!Θ1 (cosθ )ei1ϕ = 3 (sin θ )e −iϕ
4π (1 + 1 )! 8π
1

177
Untuk l = 2 ,
2.2 + 1 (2 − 2 )! 2 5 1
Y22 = (−1) 4 / 2 Θ 2 (cosθ )e i 2ϕ = .3 sin 2 θe i 2ϕ =
4π (2 + 2 )! 4π 4!
15
.sin 2 θe i 2ϕ
32π
2.2 + 1 (2 − 2 )! −2 15
Y2−2 = (−1) 0 / 2 Θ 2 (cos θ )e i.−2ϕ = .sin 2 θe −i 2ϕ
4π (2 + 2 )! 32π

2.2 + 1 (2 − 0 )! ⎛ 1
Y20 =
4π (2 + 0 )! ⎝ 2
2 1 ⎞ i 0ϕ
⎜ 3 cos θ − ⎟e =
2⎠
5
16π
3 cos 2 θ − 1( )
Dengan cara yang sama anda dapat menentukan Y21danY2 −1 .
Beberapa fungsi bola harmonik dituliskan pada tabel 6.1. fungsi
Ylm (θ , ϕ ) disebut fungsi harmonik bola dan memenuhi
ortonormalitas
∫ Y (θ ,ϕ )Y (θ ,ϕ )sinθdθdϕ = δ
li m i lm li l
δm m
i (6.42)

Tabel 6.1 Fungsi Harmonik Bola


1 5
Y00 (θ ,ϕ ) = Y20 (θ , ϕ ) = (3 cos 2 θ − 1)
4π 16π
3 15
Y10 (θ ,ϕ ) = cos θ Y2±1 (θ , ϕ ) = m sin θ cos θe ±iϕ
4π 8π
3 15
Y1±1 (θ , ϕ ) = m sin θe ±iϕ Y2±2 (θ , ϕ ) = sin 2 θe ±2iϕ
8π 32π

Mengingat bentuk eksplisit Φ m sebagai fungsi ϕ saja, maka rapat


probabilitas polar hanya bergantung pada sudut θ saja, yaitu

P(θ ,ϕ ) = Y * lm (θ ,ϕ )Ylm (θ ,ϕ ) ∝ Θ* lm (θ )Θlm (θ ) = P(θ ) (6.43)

178
Grafik fungsi Ylm (θ , ϕ ) dilukiskan
l dalam
m diagram tiiga dimensi
ditunjukkan
d paada gambar 6.2

Gam mukaan Ylm (θ , ϕ )


mbar 6.2 Reprresentasi perm
W Quantum Mecha
(diadopsi dari Greiner, W. anics An Introducction,
S Springer-Verllag, Berlin Heidillberg, 1989)

6.5
6 Persamaaan Schrodingeer Bagian Rad dial
Bagian radial dari persamaan Schrodinger
S u
untuk atom
hidrogen
h telahh dijabarkan pada
p bagian aw wal bab ini seperti
s yang
ditunjukkan
d ppada pers (6.88), dengan mengganti
m λ = l( l + 1) yang
diperoleh
d dalaam pembahasaan persamaann polar fungsii Legendre,
persamaan
p Schhrodinger bagiaan radial dinyaatakan sebagai
1 d ⎛ 2 dR ⎞ 2me r 2 ⎛ e2 ⎞
⎜r ⎟+ ⎜⎜ E + ⎟⎟ = l(l + 1) (6.8)
R dr ⎝ dr ⎠ h2 ⎝ r ⎠

untuk
u sistem C
CGS, atau
1 d ⎛ 2 dR ⎞ 2 m e ⎛ e2 l(l + 1)h 2 ⎞
⎜r ⎟+ ⎜⎜ E + − ⎟⎟ R = 0 (6.8a)
r 2 dr ⎝ dr ⎠ h 2 ⎝ 4πε 0 r 2me r 2 ⎠
untuk
u sistem SI
Karena
K elektroon dalam keaadaan terikat dengan
d inti maka
m energi
elektron
e negattif maka eneergi eigen nillai dapat dituulis menjadi
E = −E .
Dengan
D memissalkan
1/ 2
⎛ 8m E ⎞
1/ 2
⎛ 8m E ⎞
ρ = ⎜⎜ e2 ⎟ r =
⎟ αr dimana
i α = ⎜⎜ e2 ⎟
⎟ = 2γ
⎝ h ⎠ ⎝ h ⎠

179
ρ2
maka r = 2
2
(6.44)
α
2 2
e2 ⎛ me ⎞
1/ 2
e me e me
Dan β = ⎜ ⎟ = = (6.45)
2πε o h ⎜⎝ 8 E ⎟⎠ 2πε 0 h 2α 4πε 0 h 2γ
dan bila pers (6.44) dan (6.45) dimasukkan ke persamaan (6.8a)
maka diperoleh
α 2 ∂ ⎛ 2 ∂R ⎞ α 2 l (l + 1) ⎛β 1⎞ (6.46)
⎜⎜ ρ ⎟⎟ − R + α 2 ⎜⎜ − ⎟⎟ R = 0
ρ ∂ρ ⎝ ∂ ρ ⎠
2
ρ 2
⎝ ρ 4⎠

Kemudian pers (6.46) dibagi dengan α 2 akan diperoleh


1 ∂ ⎛ 2 ∂R ⎞ l (l + 1) ⎛β 1⎞ (6.47)
⎜⎜ ρ ⎟⎟ − R + ⎜⎜ − ⎟⎟ R = 0
ρ ∂ρ ⎝
2
∂ρ ⎠ ρ 2
⎝ ρ 4⎠
Untuk menentukan penyelesaian persamaan (6.47) dicari lebih
dahulu penyelesaian pendekatan untuk daerah di mana jari jari kulit
bola sangat besar dan sangat kecil( di sekitar pusat koordinat).
Sebelum diselesaikan untuk ρ yang sangat besar dan mendekati nol,
pers (6.47) diuraikan terlebih dahulu dalam bentuk
∂ 2 R 2 ∂R l (l + 1) ⎛β 1⎞ (6.47a)
+ − R + ⎜⎜ − ⎟⎟ R = 0
∂ρ 2
ρ dρ ρ 2
⎝ ρ 4⎠
karena
1 ∂ ⎛ 2 ∂R ⎞ 1 ⎛ ∂R ∂2R ⎞
⎜⎜ ρ ⎟⎟ = 2 ⎜⎜ 2 ρ +ρ2 ⎟
ρ 2 ∂ρ ⎝ ∂ρ ⎠ ρ ⎝ ∂ρ ∂ρ 2 ⎟⎠
2 ∂R ∂ 2 R
= +
ρ ∂ρ ∂ρ 2

Pada persamaan (6.47a) untuk daerah di tak berhingga dimana


l( l + 1) λ 2
ρ → ∞ , mengakibatkan , , dan menuju nol, sehingga
ρ 2
ρ ρ
pers (6.47a) berubah menjadi

180
d2R 1
− R =0 (6.48)
dρ 2 4
Pers diferensial orde dua pada pers (6.48) merupakan persamaan
diferensial sederhana yang mempunyai penyelesaian bentuk
eksponensial yang dinyatakan sebagai
R ∝ e−ρ / 2 (6.49)
Sedangkan untuk daerah disekitar titik asal ρ → 0 , fungsi
gelombang R dimisalkan lebih dahulu dengan
U( ρ ) (6.50)
R( ρ ) =
ρ

Pers (6.50) kemudian disubstitusikan ke dalam pers (6.47) sehingga


untuk suku pertama pers (6.47) berubah menjadi
1 ∂ ⎧⎪ 2 ∂ ⎛U ⎞⎫ 1 ∂ ⎧ 2 1 ∂U U ⎫ 1 ⎧∂U ∂2U ∂U ⎫ = ∂ 2U
⎨ρ ⎜ ⎟⎬ = ⎨ρ ( − )⎬ = ⎨ + ρ − ⎬
ρ 2 ∂ρ ⎪⎩ ∂ρ ⎜⎝ ρ ⎟⎠⎭ ρ2 ∂ρ ⎩ ρ ∂ρ ρ2 ⎭ ρ 2 ⎩ ∂ρ ∂ρ 2 ∂ρ ⎭ ρ∂ρ 2
Dan pers (6.47) tereduksi menjadi persamaan deferensial dengan
fungsi gelombang U
d 2 U l( l + 1) ⎛λ 1⎞
− U + ⎜⎜ − ⎟⎟ U = 0 (6.51)
dρ 2
ρ 2
⎝ ρ 4⎠
Penyelesaian pers (6.51) untuk harga ρ → 0
lim ⎧d 2 U l(l +1) ⎛ λ 1 ⎞ ⎫⎪ d 2 U l(l +1)
⎨ − U + ⎜⎜ − ⎟⎟U⎬ = 0. → 2 − U=0 (6.52)
ρ → 0 ⎩ dρ 2 ρ2 ⎝ ρ 4 ⎠ ⎪⎭ dρ ρ2
karena harga ⎛⎜ λ − 1 ⎞⎟ U diabaikan terhadap l( l +2 1) untuk ρ → 0
⎜ρ 4 ⎟⎠ ρ

Kemudian pers (6.52) diselesaikan dengan metode Frobeneus dalam
bentuk deret, karena untuk harga ρ → 0 menyebabkan harga B( ρ )
= l( l +2 1) = ∞ , maka titik ρ = 0 merupakan titik regular singular dan
0
penyelesaian pers (6.52) berbentuk deret yang dinyatakan sebagai

U ≈ ρ s ∑ ck ρ k (6.53)
k =0

181
Pers (6.53) dimasukkan ke dalam pers (6.52)
- l( l +2 1) U = - l( l +2 1) {c0 ρ s + c1 ρ s +1 + c2 ρ s + 2 + c3 ρ s + 3 + ……….}
ρ ρ
∂2U ∂ 2
= { c0 ρ s + c1 ρ s +1 + c2 ρ s + 2 + c3 ρ s + 3 + c4 ρ s + 4 + c5 ρ s + 5 …} +
∂ρ2 ∂ρ 2
0= ρ s − 2c0{−l(l + 1) + s( s − 1)} + ρ s −1{− c1l (l + 1) + s ( s + 1)c1 } +
ρ s c2 {− l( l + 1) + ( s + 2 )( s + 1)} + (6.54)
Dengan mengenolkan koefisien dari suku dengan variabel ρ pangkat
terendah, ρ s − 2 , yaitu − l( l + 1) + s ( s − 1) = 0 merupakan “index
equation” sehingga diperoleh s = −l atau s = l + 1 , dan untuk
penyelesaian pers ( 6.52) dipilih harga s = l + 1 , karena kalau
dipilih harga s = −l , untuk ρ → 0 menyebabkan harga U atau R
menuju tak berhingga sehingga fungsi gelombang tak ternormalisasi.
Untuk s = l + 1 , penyelesaian pendekatan disekitar titik ρ = 0
adalah
U ∝ ρ l +1
Penyelesaian umum untuk U adalah perkalian antara penyelesaian
pendekatan di titik ρ → ∞ dengan penyelesaian untuk ρ → 0 dan
suatu fungsi L( ρ ) yang dinyatakan sebagai
−ρ
U = ρ l +1e 2 L( ρ ) (6.55a)
atau R (ρ ) = ρ l e − ρ / 2 L(ρ ) (6.55b)
Kemudian kita masukkan pers (6.55a) ke dalam persamaan (6.51)
sehingga kita akan memperoleh PD orde dua fungsi Laguerre L
dengan langkah-langkah sebagai berikut:

∂U 1 ∂L(ρ )
= (l + 1)ρ le− ρ / 2 L(ρ ) + ρ l+1. − e−ρ / 2 L(ρ) + ρ l+1.e−ρ / 2 (6.56a)
dρ 2 ∂ρ

A B C

182
Kemudian masing-masing bagian A, B, dan C didefernsialkan sekali lagi untuk
menghitung ∂ L
2

∂ρ 2
∂2U = ∂ { (l+1)ρle−ρ/2L(ρ) }= (l+1)lρl−1e−ρ/2L(ρ) + (l+1)ρl. −1e−ρ/2L(ρ) ∂L(ρ) (b)
+(l+1)ρl.e−ρ / 2
∂ρ A ∂ρ
2
2 ∂ρ
∂2U = ∂ { ρl+1. − 1 e−ρ/2L(ρ) }= l+1 1 −ρ/2 l+1 −1 −ρ / 2 ∂L(ρ)
(l+1)ρl. − e−ρ/2L(ρ) + ρ . e L(ρ) + +ρ
1 (c)
.e
∂ρ B ∂ρ
2
2 2 4 2 ∂ρ

∂2U = ∂ { l+1 −ρ/ 2 ∂L(ρ) }= ∂L(ρ) l+1 −1 −ρ / 2 ∂L(ρ) l+1 −ρ/ 2 ∂ L(ρ) (d)
2
ρ .e (l +1)ρl.e−ρ / 2 +ρ .e +ρ .e
∂ρ C ∂ρ
2
∂ρ ∂ρ 2 ∂ρ ∂ρ2
+
∂ U = (l + 1)lρ l−1e − ρ / 2 L(ρ ) +2
2 1
(l + 1) ρ l . − e −ρ / 2 L(ρ ) +2
∂ρ 2
2
∂L(ρ ) − 1 − ρ / 2 ∂L(ρ )
(l + 1)ρ l .e−ρ / 2 + 2 ρ l+1 .e
∂ρ 2 ∂ρ
1 ∂ 2 L(ρ )
+ ρ l+1 . e − ρ / 2 L(ρ ) + ρ l+1.e −ρ / 2
4 ∂ρ 2
∂ 2U = ρ l +1e − ρ / 2 [ { l(l + 1) (l + 1) 1 2(l + 1) ∂L( ρ )
− + }L( ρ ) +{ − 1}
∂ρ 2
ρ 2
ρ 4 ρ ∂ρ
∂ 2 L(ρ )
+ }] 6.56(e)
∂ρ 2

Masukkan pers (6.55a), dan (6.56e) ke dalam pers (6.51) diperoleh


∂2L ⎧ ∂L
ρ 2 + ⎨2(l + 1) − ρ } + {λ − (l + 1)}L = 0 (6.57)
∂ρ ⎩ ∂ρ
Pada pers (6.57) dapat diselesaikan secara langsung dengan
penyelesaian bentuk deret menggunakan metode Frobeneus. Pada
pers (6.57) dapat dilihat bahwa PD orde dua ini mempunyai titik
ordinary untuk ρ = 2(l + 1) dan titik regular singular untuk ρ = 0 ,
karena ρ = 0 lebih sederhana dari pada ρ = 2(l + 1) , maka dipilih
penyelesaian untuk pers (6.57) dalam bentuk deret di sekitar titik
ρ = 0 , yaitu

183
~
L=ρ s
∑a
k =0
k .ρ k = a0 ρ s + a1 ρ s +1 + a 2 ρ s + 2 + a3 ρ s + 3 + .... (6.58)

Bila pers (6.58) dimasukkan ke dalam pers (6.57) akan diperoleh


rumus rekursi dengan langkah penyelesaian sebagai berikut:
{λ − (l + 1)}L = {λ − (l + 1)}{ a0 ρ s + a1 ρ s +1 + a2 ρ s + 2 + a3 ρ s +3 + .... }

( +1) −ρ} ∂L={2(l +1) − ρ}{ sa0ρs−1 +(s +1)a1ρs +(s+2)a2ρs+1 +(s+3)a3ρs+2 +... }
⎨2l
⎩ ∂ρ
∂2L
=ρ{ s(s −1)a0ρs−2 +(s +1)(s)a1ρs−1 +(s+2)(s+1)a2ρ +(s+3)(s+2)a3ρ +...}
s s+1
ρ
∂ρ2

____________________________________________________ +
0= {2(l + 1)sa0 + s(s − 1)a0 }{ ρ
s −1
}+

{λ − (l +1)}a0 − sa0 + s(s +1)a1 + 2(l +1)(s +1)a1}{ ρ


s
}+[ {λ − (l + 1)}a1 +

{2(l + 1)( s + 2)a2 } − {s + 1}a1 + ( s + 2)( s + 1)a2 ]{ ρ


s +1
}+ ... (6.59)

Bila setiap koefisien dari variabel ρ pada pers (6.59) harus


disamakan dengan nol, maka diperoleh hubungan antara koefisien
dari pangkat yang berturutan sebagai berikut:
Untuk ρs-1: {2(l + 1)s + s ( s − 1)} = 0 s{(2l + 2 ) + ( s − 1)} = 0 yang
merupakan ”index equation” dan diperoleh harga s = 0 atau
s = − ( 2l + 1) . Dari dua macam harga s tersebut dipilih harga s=0
supaya untuk ρ menuju 0 harga fungsi gelombang terdefinisi
ρs : {λ − (l + 1)}a0 − sa 0 + s ( s + 1) a1 + 2(l + 1)( s + 1) a1 = 0
l +1− λ + s
a1 = a0
( s + 1)(2l + 2 + s)
l +1− λ
untuk s = 0 a1 = a0
(2l + 2)
ρs+1 : {λ − (l + 1)}a1 + {2(l + 1)( s + 2)a2 } − {s + 1}a1 + ( s + 2)( s + 1)a2 ] =0

184
l +1− λ + s +1
a2 = a1
( s + 2)(2l + 2 + s + 1)

untuk s = 0 diperoleh
l +1− λ +1
a2 = a1
(2)(2l + 2 + 1)
Untuk ρs+2 : {λ − (l + 1)}a2 + {2(l +1)(s +3)a3} −{s + 2}a2 + (s +3)(s + 2)a3 ] =0
l +1− λ + s + 2
Diperoleh a3 = a1
( s + 3)(2l + 2 + s + 2)
l +1− λ + 2
Di mana untuk s = 0 diperoleh a3 = a2
(3)(2l + 2 + 2)
Dari penjabaran di atas dapat digeneralisasikan untuk nilai ν tertentu
ν + s + l +1− λ
aν +1 = aν (6.60a)
( s + ν + 1)( s + ν + 2l + 2)
dan untuk s=0

ν + l +1− λ
aν +1 = aν (6.60b)
(ν + 1)(ν + 2l + 2)
Pers (6.60b) merupakan rumus rekursi untuk s = 0 yang menentukan
harga koefisien av pada deret dari fungsi L(ρ). Misalkan nilai
koefisien terendah adalah a0 = A dan berharga konstan yang
ditentukan dengan menggunakan kondisi normalisasi fungsi
gelombang, dengan menggunakan pers (6.60b) dapat ditentukan
harga a1 , dan dengan diketahui harga a1 akan dapat juga ditentukan
harga a2, dan seterusnya untuk harga koefisien yang lebih tinggi.
Untuk harga v yang besar yang bersesuaian untuk harga ρ
yang besar juga, dimana deret didominasi oleh pangkat tinggi,
sehingga pers (6.60b) dapat didekati dengan bentuk persamaan
ν
aν +1 = aν = ν 1+1 aν (6.60b)
(ν + 1)(ν )

185
A
Dari rumus rekursi pers (6.60b) diperoleh aν = dan pers (6.58)
ν!
dapat dituliskan menjadi

ρν
L( ρ ) = A∑
ρ
= Ae
ν =0 ν !

Dan fungsi gelombang U(ρ ) pada pers (6.55a) dapat dinyatakan


ρ
U = Aρ l +1e 2 (6.55a1)
Dapat dilihat bahwa fungsi gelombang pada pers. (6.55a1) akan
berharga tak berhingga, yang mana sebelumnya penyelesaian fungsi
gelombang yang merupakan fungsi eksponensial positif sudah tidak
dipilih karena menyebabkan fungsi gelombang berharga tak
berhingga dan tak dapat dinormalisasi. Hanya ada satu cara untuk
menghindari harga fungsi gelombang menuju tak berhingga, yaitu
deret harus terputus dan berhingga untuk harga ν max yang merupakan
bilangan bulat tertentu sehingga aν max +1 = 0 , dan dari pers (6.60a)
diperoleh
ν max + l + 1 − λ = 0 (6.61)
Dengan mendefinisikan ν max + l + 1 = n , maka n juga harus
merupakan bilangan bulat yang nantinya akan disebut sebagai
bilangan kuantum utama, sehingga λ = n dan ν adalah merupakan
bilangan kuantum radial.
Dengan menggunakan pers (6.61) dan (6.45) yang dinyatakan
1/ 2
e2 ⎛ me ⎞
sebagai λ = ⎜ ⎟ maka diperoleh energi dari elektron
2πε o h ⎜⎝ 8 E ⎟⎠
yang mengorbit inti pada kulit n tertentu, yaitu
mee 4
| En |= − En = , atau
(4πε o ) 2 2h 2λ2
mee 4
En = − (6.62)
(4πε o ) 2 2h 2 n 2

186
Pers (6.62) sama dengan formula energi elektron yang diusulkan
oleh Bohr.
4πε 0 h 2
Bila didefinisikan ao = 2
= 0,529 x10−10 m adalah radius bohr,
me e
me2 1
dan γ n = = , maka pers (6.62) dapat ditulis menjadi
4πε0h n na0
2

h2 2
En = − γn (6.62a)
2me

Contoh:
me e 4
untuk n=1, E1 = − = -13,6 eV
(4πε o ) 2 2h 2
Karena n=1, maka l = 0 dan berdasarkan pers (6.61) maka υ = 0
sehingga dengan menggunakan pers (6.55b) diperoleh
R10 (ρ ) ≈ a0 e − ρ / 2

sedangkan untuk n=2, dimana elektron berada pada excited state


yang pertama, energi elektron adalah
me e 4
E2 = − = -3,4 eV
(4πε o ) 2 2h 2 4
Untuk n=2 maka harga l = 0 atau l = 1 . Untuk l = 0 dan harga
υ = 0 diperoleh a1 = −a0 sedangkan untuk υ = 1 maka a2 = 0 dan
diperoleh R20 (ρ ) ≈ a0 (1 − ρ )e − ρ / 2 . Bila l = 1 , maka υ = 0 sehingga
R21 (ρ ) ≈ a0 ρe − ρ / 2 . Masing-masing fungsi gelombang dapat
dinormalisasi dengan menggunakan persamaan

ρ2
∫ |Rnl (ρ ) | dρ = 1
2

0
α3
Dengan substitusi λ = n persamaan (6.57) menjadi
∂2L ⎧ ∂L
ρ + ⎨2(l + 1) − ρ } + {n − (l + 1)}L = 0 (6.63)
∂ρ 2
⎩ ∂ρ

187
persamaan (6.63) ini tidak lain adalah persamaan differensial
Laguerre terasosiasi, yang mempunyai bentuk umum
∂2L ∂Lqp
ρ 2 + {p + 1 − ρ } + {q − p}Lqp = 0 (6.64)
∂ρ ∂ρ
Pers (6.64) equivalen dengan pers (6.63), maka 2(l + 1) = p + 1 atau
2l + 1 = p dan dari n − (l + 1) = q − p diperoleh n + l = q

6.6 Penyelesaian Fungsi Gelombang Bagian Radial dengan


Fungsi Pembangkit Laguerre.

Pers (6.64) dapat diperoleh dengan menggunakan fungsi


pembangkit Laguerre yang dinyatakan dalam persamaan (6.65)
− ρs

e Lq s q
1− s
U ( ρ , s) = =∑ (6.65)
1− s q!
Bila kedua ruas kiri dan kanan pada pers (6.65) didiferensialkan
− ρs

d d e 1− s
d L sq
terhadap ρ diperoleh U ( ρ , s) = { }= {∑ q }
dρ dρ 1 − s dρ q!
atau
− ρs

− s e 1−s Lq′ s q Lq s q +1 Lq′ s q Lq′ s q+1
{ }= ∑ atau − ∑ = ∑{ − } (6.66)
1− s 1− s q! q! q! q!
Bila pangkat s untuk semua suku pada ruas kiri dan kanan
disamakan menjadi sq , yait uuntuk ruas kiri
s q +1 → s q sehingga Lq → Lq−1 dan q!→ ( q − 1)! (6.67a)
dan untuk suku ke dua ruas kanan
s q +1 → s q dan Lq′ → Lq′ −1 dan q!→ ( q − 1)! (6.67b)
maka bila pernyatan (6.67a) dan (6.67b) dimasukkan ke pers (6.66),
pers (6.66) menjadi
Lq′ − qLq′ −1 = −qLq−1 (6.68)

188
Kemudian ruas kiri dan kanan pers (6.65) didiferensialkan terhadap
s dan diperoleh
− ρs

d d e 1− s d Lq s q
U ( ρ , s) = { } = {∑ }⇒
ds ds 1 − s ds q!
− ρs
⎛ − ρ ρs (−1) ⎞
e 1− s ⎜⎜ + ⎟
2 ⎟
− ρs
q −1
⎝ 1 − s (1 − s ) ⎠ − e 1− s ( −1) = Lq qs
1− s (1 − s ) 2
∑ q!
− ρs
e 1−s ⎧ ρs ⎫ Lq qs q−1
(1 − s ) 2
⎨− ρ −

+ 1⎬ =
1− s ⎭
∑ q!

− ρs
e 1−s ⎧ − ρ − s + 1⎫ Lq qs q−1
⎨ ⎬ = ∑ ⇒
(1 − s ) 2 ⎩ 1 − s ⎭ q!
Lq s q L qs q −1
(− ρ − s + 1)∑
q!
= ∑ q
q!
(
1 − 2s + s 2 )

Lqsq Lq s q+1 Lq sq Lqqsq−1 2qLqsq qLq sq+1


atau ∑(−ρ
q!

q!
+
q!
) = ∑(
q!

q!
+
q!
) (6.69)

Dengan menggunakan pengubahan pangkat dari s sedemikian semua


s pangkatnya sama, sq, seperti pada argumentasi (6.67a) dan (6.67b)
pada pers (6.69) akan diperoleh
Lqsq Lq−1sq Lq s q Lq+1(q+1)sq 2qLqsq (q−1)Lq−1sq
∑ q! (q −1)! q! ∑ (q+1)! − q! + (q−1)! ) (6.69a)
(−ρ − + ) = (

Maka pers (6.69a) dapat dituliskan menjadi pers (6.70)


Lq+1 = (2q + 1 − ρ ) Lq − q 2 Lq−1 (6.70)

Bila pers (6.70) didiferensialkan terhadap ρ dieroleh pers (6.70a) dan


kemudian dikurangi dengan pers (6.68) yang telah dikalikan dengan
q yang menghasilkan pers (6.68a) , yaitu

189
Lq′ +1 = (2q + 1 − ρ ) Lq′ − Lq − q 2 Lq′ −1 (6.70a)
− q 2 Lq−1 = qLq′ − q 2 Lq′ −1 (6.68a)
_______________________________ _

Lq′ +1 + q 2 Lq−1 = (q + 1 − ρ ) Lq′ − Lq (6.71)

Bila pada pers (6.68), variabel q diubah menjadi q+1, yaitu


Lq′ +1 − (q + 1) Lq′ = −(q + 1) Lq dan kemudian dimasukkan kedalam
pers (6.71) diperoleh pers (6.72)
− qLq + q 2 Lq−1 = − ρLq′ (6.72)
Kemudian pers (6.72) didiferensialkan terhadap ρ diperoleh
− qLq′ + q 2 Lq′ −1 = − Lq′ − ρLq′′ (6.72a)
Bila pers (6.72) dimasukkan ke pers (6.68a) maka pers (6.68a)
menjadi
− qLq + ρLq′ = qLq′ − q 2 Lq′ −1 atau q 2 Lq′ −1 = qLq − ρLq′ + qLq′ (6.73)

Kemudian pers (6.73) dimasukkan ke pers (6.72a):


− qLq′ + qLq − ρLq′ + qLq′ = − Lq′ − ρLq′′ atau
ρLq′′ + (1 − ρ ) Lq′ + qLq = 0 (6.74)

Persamaan (6.74) disebut pers diferensial orde dua fungsi


Laguerre. Untuk menentukan penyelesaian fungsi gelombang atom
H diperlukan persamaan diferensial fungsi Laguerre terasosiasi yang
dapat diperoleh dengan cara mendiferensialkan PD fungsi Laguerre
terhadap variable ρ sebanyak p kali. Persamaan diferensial orde dua
Laguerre terasosiasi pada pers (6.64) identik dengan persamaan
diferensial pada pers (6.63). Pendiferensialan px di lakukan dengan
langkah sebagai berikut:
Mula-mula pers (6.74) didiferensialkan 1x terhadap ρ sehingga
diperoleh

190
∂ ∂ ∂
Lq′′ + ρ Lq′′ + (1 − ρ ) Lq′ − Lq′ + q Lq = 0
∂ρ ∂ρ ∂ρ (6.74a)
∂ ″ ∂ ′ ″ ∂
Bila Lq′′ = L1q , Lq′ = L1q = Lq dan Lq = L1q = Lq′ , maka
∂ρ ∂ρ ∂ρ
pers (6.74a) ditulis dalam bentuk
″ ′
Lq′′ + ρL1q + (1 − ρ ) L1q − Lq′ + qL1q = 0 atau
″ ′
ρL1q + (1 + 1 − ρ ) L1q + (q − 1) L1q = 0 (6.75)
Bila pers (6.75) didiferensialkan 1x lagi terhadap ρ diperoleh
″ ″ ′ ′
L1q + ρL2q + (1 + 1 − ρ ) L2q − L1q + ( q − 1) L2q = 0
″ ′
Atau ρL2q + (2 + 1 − ρ ) L2q + (q − 2) L2q = 0
(6.75a)
Dari hasil pendiferensialan pers (6.74) terhadap ρ sebanyak 1x, lihat
pers (6.75) dan 2x, lihat pers (6.75a), dapat ditarik generalisasi untuk
pendeferensialan sebanyak px yaitu
″ ′
ρLqp + ( p + 1 − ρ ) Lqp + (q − p ) Lqp = 0 (6.76)
″ ′ ′ ∂p ″
karena Lqp −1 = Lqp , Lqp −1 = Lqp , dan p Lq′′ = Lqp .
∂ρ
Bila pada pers (6.76), harga p = 2l + 1 dan q = λ + l = n + l , maka
pers (6.76) sama dengan pers (6.64) yang merupakan persamaan
Diferensial orde dua fungsi Laguerre terasosiasi.
Penyelesaian pers (6.76) dinyatakan dalam bentuk polinom Laguerre
terasosiasi Lqp yang dinyatakan dalam rumus Rodrigues

Lqp (ρ ) =
q!

(q − p )! dρ q
(e ρ )
d q − ρ q− p
(6.77)

dimana koefisien p dan q merupakan fungsi dari bilangan kuantum


orbital l dan bilangan bulat n yang nantinya disebut bilangan
kuantum utama seperti ditunjukkan pada pers (6.78)
p = 2 l +1

191
q = n +l (6.78)

Jadi penyelesaian pers (6.64) adalah


(n + l)! d n+l
L ≡ Lqp = L2nl++l1 (ρ ) = eρ
(n − (l + 1))! dρ n − ( l +1)
(
e − ρ ρ n −( l +1) ) (6.79)

Dengan demikian penyelesaian fungsi gelombang bagian radial


diberikan oleh pers (6.80)
R ≡ Rnl = N nl ρ l e − ρ / 2 L2nl++l1 (ρ ) (6.80)
dengan Nnl adalah konstanta normalisasi yang ditentukan dengan
prinsip

(R nl , Rnili ) = ∫ R * nl Rni li r 2 dr = δ nni δ lli (6.81)
0

yang memberikan hasil


(n + l)!
3
1 ⎛ 2 ⎞
N nl = ⎜⎜ ⎟⎟ (6.82)
(2l + 1)! ⎝ nao ⎠ 2n(n − l − 1)!
2
dengan ao =
4πε 0h 2 adalah radius bohr dan γ n = me 2 = 1 .
(m e )
e
2
4πε0h n na0
Dengan demikian, solusi lengkap persamaan (6.47) adalah

l
⎧ 1/ 2
1 ⎪⎛ 2 ⎞ (n + l)! ⎫⎪ ⎛ r ⎞ −r / nao 2l+1 ⎛ r ⎞
3

Rnl (r) = ⎨⎜ ⎟ ⎬ ⎜2 ⎟ e Ln+l ⎜⎜ 2 ⎟⎟ (6.83)


(2l +1)!⎪⎜⎝ nao ⎟⎠ 2n(n − l −1)!⎪ ⎜⎝ nao ⎟⎠ ⎝ nao ⎠
⎩ ⎭
atau
l
1 ⎧⎪ (n + l)! ⎫
1/ 2

Rnl (r ) = ⎨(2γ n ) ⎬ (2γ nr ) e n Ln+l (2γ nr )


−γ r 2 l+1
3
(6.83a)
(2l +1)!⎪⎩ 2n(n − l −1)!⎭
Berdasarkan hubungan p,q, n dan l serta penyebut pada pers (6.77)
didapat bahwa q-p harus lebih besar atau sama dengan nol, atau
p≤ q (6.84a)

192
maka (2 l +1) ≤ n+ l , atau lebih tepatnya l ≤ n-1 (6.84b)
jadi untuk n tertentu maka
l = 0,1,2,3,...,n-1 (6.84c)
Contoh : Tentukan R 10 ,R 20 , R 21
Rumus umum fungsi gelombang bagian radial adalah:
l
⎧ 1/ 2
(n + l )! ⎫⎪ ⎛ r ⎞ −r / nao 2 l+1 ⎛ r ⎞
3
1 ⎪⎛ 2 ⎞
Rnl (r ) = ⎨⎜ ⎟ ⎬ ⎜2 ⎟ e Ln+l ⎜⎜ 2 ⎟⎟
(2l + 1)! ⎪⎜⎝ nao ⎟⎠ 2n(n − l − 1)!⎪ ⎜⎝ nao ⎟⎠ ⎝ nao ⎠
⎩ ⎭
Untuk R10, n=1 dan l =0 maka
0
⎧ 1/ 2
⎫⎪ ⎛ r ⎞
(1)!
3
⎪⎛ 2 ⎞ 2.0 +1 ⎛ r ⎞
R10 (r ) = ⎨⎜⎜ ⎟⎟ ⎬ ⎜⎜ 2 ⎟⎟ e −r /1.ao L1+0 ⎜⎜ 2 ⎟⎟
⎪⎩⎝ 1.ao ⎠ 2.1(1 − 0 − 1)!⎪⎭ ⎝ 1.ao ⎠ ⎝ 1ao ⎠
3/ 2
⎛1⎞ 1⎛ r ⎞
R10 (r ) = 2⎜⎜ ⎟⎟ 1.e −r / ao L1 ⎜⎜ 2 ⎟⎟
⎝ ao ⎠ ⎝ ao ⎠

Dan dari persamaan Lqp (ρ ) =


q!

(q − p )! dρ q
(e ρ )
d q −ρ q− p

diperoleh
⎛ 2r ⎞ 1!
2r
d1 ⎛ − 2 r ⎛ 2r ⎞
0

L ⎜⎜
1
⎟⎟ = e 1a 0 ⎜ e 1a 0 ⎜ ⎟⎟ ⎟
⎜ 1a
⎠ (1 − 1)!
1 1 ⎜ ⎟
⎝ 1a 0 ⎛ 2r ⎞ ⎝ ⎝ 0 ⎠ ⎠
d ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ 1a 0 ⎠
⎛ 2r ⎞
L11 ⎜⎜ ⎟⎟ = 1
⎝ a0 ⎠
R10 (r ) = 2(a0 )
−3 / 2
sehingga .e −r / ao
Dengan jalan yang sama untuk R20 diperoleh

193
0
⎧ ⎫
1/ 2
( )
3
⎪ ⎛ 2 ⎞ 2 + 0 ! ⎪ ⎛ r ⎞ −r /1.ao 2.0+1 ⎛ r ⎞
R20 (r ) = ⎨⎜⎜ ⎟⎟ ⎬ ⎜⎜ 2 ⎟⎟ e L2+0 ⎜⎜ 2 ⎟⎟
⎪⎩⎝ 2 ao ⎠ 2.2 ( 2 − 0 − 1)! ⎪
⎭ ⎝
2 ao ⎠ ⎝ 2 ao ⎠

⎧⎪⎛ 1 ⎞3 / 2 1
−r / ao 1 ⎛ r ⎞
3
R20 (r ) = ⎨⎜⎜ ⎟⎟ 1.e L2 ⎜⎜ ⎟⎟ = 2{γ 2 }2 e −γ nr
⎪⎩⎝ a0 ⎠ 2 ⎝ ao ⎠

2! ⎜⎜⎝ a0 ⎟⎟⎠ d 2 ⎛⎜ −⎜⎜⎝ a0 ⎟⎟⎠ ⎛ r ⎞ ⎞⎟


⎛ r ⎞ ⎛ r ⎞ 1 ⎛ r ⎞ ⎛ r ⎞ r
⎛ r ⎞ ⎜⎜ a ⎟⎟ r −⎜⎜ ⎟⎟ −
L ⎜⎜ ⎟⎟ =
1
e e ⎜ ⎟
⎜a ⎟ ⎟ = 2e ⎝ 0 ⎠
( e ⎝ a0 ⎠
− 2e a0
)
⎝ a0 ⎠ (2 − 1)! ⎛ r ⎞ ⎜⎝
2 2
⎝ 0⎠ ⎠ a0
d ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ a0 ⎠
1
2
⎛ r ⎞
⎝ a0 ⎠
r
a0
⎧⎪⎛ 1 ⎞3 / 2
L ⎜⎜ ⎟⎟ = 2( − 2) , maka R20 (r ) = ⎨⎜⎜ ⎟⎟
⎪⎩⎝ a0 ⎠
} 12 .e −r / ao 2(
r
a0
− 2)

1
⎧ ⎫
1/ 2
(2 + 1)! ⎪ ⎛⎜ 2 r ⎞⎟ e− r / 2ao L2.1+1 ⎛⎜ 2 r ⎞⎟
3
1⎪ 2⎛ ⎞
R21 (r ) = ⎨⎜⎜ ⎟⎟ ⎬ 2 +1 ⎜ ⎟
3! ⎪⎝ 2ao ⎠ 2.2(2 − 1 − 1)!⎪ ⎜⎝ 2ao ⎟⎠ ⎝ 2ao ⎠
⎩ ⎭
⎧⎪⎛ 1 ⎞3 / 2 1 1 ⎫⎪⎛ r ⎞
− r / 2 ao 3 ⎛ r ⎞
R21 (r ) = ⎨⎜⎜ ⎟⎟ ⎬⎜⎜ ⎟⎟e L3 ⎜⎜ ⎟⎟
⎪⎩⎝ a0 ⎠ 2 6 ⎪⎭⎝ ao ⎠ ⎝ ao ⎠

⎛ r ⎞ 3!
r
d3 ⎛ − r ⎛ r ⎞0 ⎞
L ⎜⎜ ⎟⎟ =
3
e a0 ⎜ e a0 ⎜ ⎟ ⎟
⎜a ⎟ ⎟
⎝ a0 ⎠ (3 − 3)! ⎛ r ⎞ ⎜⎝
3 3
⎝ 0⎠ ⎠
d ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ a0 ⎠
r r
⎛ r ⎞ −
L ⎜⎜ ⎟⎟ = 3.e a0 e a0
3
3
⎝ a0 ⎠
⎛ r ⎞
L33 ⎜⎜ ⎟⎟ = 3
⎝ a0 ⎠

194
3 ⎛ r ⎞ −r / 2 ao
sehingga R21 (r ) = (a0 )−3 / 2 ⎜⎜ ⎟⎟e
2 6 a
⎝ 0⎠

6.7 Penyelesaian PD Laguerre dengan menggunakan PD


Confluent Hypergeometric
Berbagai persamaan diferensial orde dua dapat diubah
menjadi PD Hypergeometrik atau Confluent Hypergeometric,
misalnya PD fungsi Hermite dan Laguerre dapat diubah menjadi PD
fungsi Confluent Hypergeometrik dengan substitusi variabel yang
tepat, PD fungsi Legendre dapat diubah menjadi PD fungsi
Hypergeometrik. Persamaan diferensial fungsi Hypergeomtrik yang
diusulkan oleh C.F.Gauβ dinyatakan dalam bentuk
∂ 2Φ ∂Φ
z(1 - z) + (c − (a + b + 1)z) - abΦ = 0 (6.85)
∂z 2
∂z
Pers (6.85) dapat diselesaikan dengan bentuk deret di sekitar titik z =
0 yang merupakan titik reguler singuler sehingga bentuk
penyelesaiannya dinyatakan sebagai
Φ = z s ∑ an z n (6.86)

Kemudian pers (6.86) dimasukkan ke dalam pers (6.85) sedemikian


hingga diperoleh suatu persamaan identitas atau polinom pangkat
tinggi di mana semua koefisien dari variabel polinom menjadi nol
dan diperoleh hubungan antara an yang berturutan dari pers (6.86)
dan diperoleh penyelesaian PD Hypergeometric yang dinyatakan
pada pers (6.68) dalam bentuk
(a) n (b) n n (a) (b)
2 F1 (a, b; c; z ) = Φ1 ( z ) = ∑ z = ∑ n n zn (6.87)
n = 0 (1) n (c ) n n =0 n!(c) n

dimana (a)n = a(a + 1)(a + 2)(a + 3)......(a + n − 1) (6.88)


( a) 0 = 1
Penyelesaian di atas mempunyai harga bila semua denominatornya
dari deret tersebut tidak nol, maka c≠ -n, dimana n = 0, 1, 2, 3, 4,

195
...... Bila a = -n atau b = -n, maka bentuk penyelesaian yang berupa
deret menjadi terputus sehingga diperoleh penyelesaian yang
berhingga yaitu polynomial pangkat n. Contoh aplikasi dari
penyelesaian PD Hypergeomtrik adalah penyelesaian Persamaan
diferensial fungsi Legendre
d 2 P( x ) dP
(1 − x 2 ) 2
− 2x + n(n + 1) P = 0 (6.89)
dx dx
Bila x pada pers (6.89) diubah menjadi (1-2x) maka P(x) menjadi
P(1-2x), dx menjadi d(1-2x)=-2dx dan persamaan diatas dapat ditulis
menjadi
d 2P dP
4 x(1 − x) − 2(1 − 2 x) + n(n + 1) P = 0
4dx 2
− 2dx
atau
2
d P( x) dP
x(1 − x) 2
+ (1 − 2 x) + n(n + 1) P = 0 ( 6.90)
dx dx
Dengan membandingkan antara bentuk pers (6.85) dengan pers
(6.90) maka didapat penyelesaian PD fungsi Legendre sama dengan
penyelesaian PD hypergeometric yang ditunjukkan oleh pers (6.91)
Pn (1 − 2 x)=2 F1 (−n, n + 1;1; x) (6.91)
Untuk s =1-c, maka penyelesaian ke 2 dari PD Hypergeometric pada
pers (6.85) adalah
Φ 2 ( z ) = z1− c 2 F1 ( a + 1 − c, b + 1 − c;2 − c; z ) (6.92)
Penyelesaian PD Hypergeometric jenis kedua ini tidak nol bila
c≠ 2,3, .....
Dari penyelesaian bentuk pertama dan kedua PD Hypergeomeric,
maka penyelesaian umum PD Hypergeometric dapat dinyatakan
sebagai
Φ( z) = A2 F1(a, b; c; z) + Bz1−c 2 F1(a + 1 − c, b + 1 − c;2 − c; z) (6.93)

196
Persaman Diferensial Confluent Hypergeometric
Bila disubstitusikan x=bz pada PD Hypergeometric pers (6.85),
diperoleh
x x ∂ 2Φ x ∂Φ (6.85a)
(1 - ) + (c − (a + b + 1) ) - abΦ = 0
b b 1 b 1 ∂x
∂x 2

b2 b
pers (6.68a) dapat disederhanakan menjadi
x ∂ 2Φ x ∂Φ
x(1 - ) 2 + (c − ( a + 1) − x) - aΦ = 0 (6.94)
b ∂x b ∂x
Bila pada pers (6.94) harga b→∞ maka pers (6.94) menjadi
persamaan diferensial Kummer yang dinyatakan sebagai
∂ 2Φ ∂Φ (6.95)
x + (c − x) - aΦ = 0
∂x 2
∂x
c-x −a
Untuk x=0, ≈ ∞..atau ≈ ∞ ,maka titik x=0 disebut titik
x x
regular singuler dan titik x= ∞ disebut sebagai titik ordinary.
Penyelesaian PD Kummer pada pers (6.95) disekitar titik x=0 dapat
dinyatakan sebagai
Φ ( x) = x s ∑ an x n (6.96)

Bila pers (6.96) dimasukkan kedalam pers (6.95) diperoleh


hubungan antara harga an yang berturutan pada pers (6.96), yaitu
s + (n − 1) + a
an = an−1 (6.97)
( s + n)( s + (n − 1) + c)
Karena ada dua macam harga s pada pers (6.96) yang diperoleh
setelah memasukkan pers (6.96), ke dalam pers (6.95), maka juga
diperoleh dua macam bentuk penyelesaian PD Kummer,
penyelesaian bentuk pertama untuk s = 0 yang merupakan fungsi
Confluen Hypergeometrik dan dinyatakan sebagai

197
n =∞
(a ) n x n a a(a + 1) x 2
Φ1 ( x)=1 F1 (a; c; x) = ∑ = 1+ x +
n =0 (c ) n n! c c(c + 1) 2!
a(a + 1)(a + 2) x 3
+ + ……. (6.98)
c(c + 1)(c + 1) 3!
Dan penyelesaian bentuk ke 2 untuk s=1-c adalah
n =∞
(a − c + 1) n x n
Φ 2 ( x)=1 F1 (a − c + 1;2 − c; x) = ∑ (6.99)
n =0 (2 − c) n n!
Dan penyelesaian umum dari PD Kummer adalah jumlah dari
penyelesaian bentuk pertama dan kedua dan dinytatakan sebagai
Φ ( x ) = A1 F1 ( a ; c; x ) + B 1 F1 ( a − c + 1;2 − c; x ) (6.100)
Untuk |x|→∞ , fungsi F1 ( a ; c; x ) dapat didekati dengan bentuk
Γ(c) −iaπ −a Γ(c) x a−c
F1 ( a ; c; x ) ≈ e x + e x (6.101)
Γ (c − a ) Γ( a )
Dengan menyatakan persamaan diferensial atom H bagian radial
dalam bentuk persamaan differensial Confluent Hypergeometrik,
maka fungsi gelombang bagian radial dari atom H dapat diperoleh
dengan sedikit lebih mudah. Dengan membandingkan parameter
persamaan diferensial Confluen Hypergeometrik standard dengan
persamaan diferensial bagian radial atom H sebagai berikut:
∂ 2 L ⎧⎪ ⎫⎪ ∂L
ρ 2 + ⎨2(l + 1) − ρ ⎬ + {λ − (l + 1)}L = 0 (6.63)
∂ρ ⎪⎩ ⎪⎭ ∂ρ
Bentuk umum PD Confluent Hypergeometric yang dinyatakan pada
persamaan (6.95)
∂ 2Φ ∂Φ
x + (c − x ) − aΦ = 0 (6.95)
∂Z 2
∂x
Agar penyelesaian PD berupa polynomial yang berhingga syaratnya:
a= -nr
Dan dengan membandingkan pers. (6.63) dan (6.95) diperoleh
hubungan
c = 2l + 2,...a = l + 1 − k = −nr ,..atau...n = k = nr + l + 1

198
dimana:
n r = bilangan kuantum radial
l = bilangan kuantum orbital
k = n =λ= bilangan kuantum utama

Dengan menggunakan syarat batas untuk penyelesaian PD confluent


Hypergeometric a= -nr, maka diperoleh tingkat-tingkat energi
elektron yang sama dengan penyelesaian secara langsung fungsi
gelombang bagian radial menggunakan deret, yaitu dengan
menggunakan pers (6.45) diperoleh
mee 4 h2 2
En = − = − γn
(4πε o ) 2 2n 2h 2 2me
me2 1
dimana γ n = =
4πε0h n na0 ,
2

Dari pembandingan parameter di atas diperoleh penyelesaian PD


Laguerre yang dinyatakan dalam bentuk Fungsi Confluent
Hypergeometrik
L2nl++l1 (ρ)=1F1(l +1− n;2l + 2; ρ) =1F1(l +1− n;2l + 2;2γ nr) (6.102)
Dari pers (6.63) dan (6.95) diperoleh penyelesaian fungsi gelombang
bagian radial untuk atom H dari penyelesaian cara ke 3 yaitu
R ≡ Rnl = Nnl ρ le−ρ / 2L2nl++l1(ρ ) = N nl ρ l e − ρ / 2 1F1(l+1−n;2l+2;2γnr) (6.103)
Dengan mengaplikasikan kondisi normalisasi diperoleh fungsi
gelombang atom H bagian radial secara lengkap, yaitu
l
1 ⎧⎪ (n + l )! ⎫
1/ 2

Rnl (r ) = ⎨(2γ n ) ⎬ (2γ n r ) e Ln+l (2γ n r )


−γr 2 l +1
3

(2l + 1)! ⎪⎩ 2n(n − l − 1)!⎭


l
1 ⎧⎪ (n + l )! ⎫
1/ 2

Rnl (r ) = ⎨(2γ n ) ⎬ (2γ n r ) e


−γr
3

(2l + 1)! ⎪⎩ 2n(n − l − 1)!⎭

1 F1 (l + 1 − n;2l + 2;2γ n r ) (6.104)

199
Contoh penentuan bilangan kuantum radial nr = n − (l + 1) dan
penentuan fungsi Confluent Hypergeometrik untuk kulit n dengan
nomor kulit
Untuk n = 1, L1 ( ρ ) =1 F1 (0;2;2γ n r ) = 1
1

Untuk n = 4:
n=k l nr
k=4 0 3
1 2
2 1
3 0
untuk harga l =0, nr = 3
L14(2γr)=1F1(−3;2;2γr) = (a)0 (2γr) + (a)1 (2γr) + (a)2 (2γr) + (a)3 (2γr) + ...
0 1 2 3

(c)0 0! (c)11! (c) 2 2! (c)3 3!


= 1 + (−3)(2γr ) + (−3)(−2)(2γr ) + (−3)(−2)(−1)(2γr ) + . (−3)(−2)(−1)(0)(2γr ) + 0..
2 3 4

(2) 1! (2)(3)2! (2)(3)(4)3! (2)(3)(4)(5)4!

L14 (2γr) = 1 − 3 ( 2γr ) + 1 ( 2γr ) 2 − ( 2γr )


3

2 2 24
Untuk l =1, nr = 2, maka diperoleh harga
L35 (2γr )=1 F1 (−2;4;2γr ) = 1+ (−2)(2γr) + (−2)(−1)(2γr) + (−2)(−1)(0)(2γr) + 0..
2 3

(4) 1! (4)(5)2! (4)(5)(6)3!

L35 (2γr ) = 1 − ( 2γr ) + ( 2γr )


2

2 20
Untuk l =2, nr = 1, harga 1 F1 (−1;6;2γr ) adalah
L56 =1 F1 (−1;6;2γr ) = 1 + (−1)(2γr ) + (−1)(0)(2γr ) + ..
2

(6)1! (6)(7)2!
( 2γr )
L56 ( 2γr ) = 1 −
6

200
Dari contoh perhitungan di atas dapat dilihat bahwa untuk setiap
nilai l deret akan terputus dengan sendirinya karena harga suku
tertentu yang menjadi nol.
Untuk n=2; l = 0,1, maka harga bilangan kuantum radial nr = 1, 0
sehingga menghasilkan fungsi
Confluent Hypergeometrik sebagai berikut :
L12 (2γr)=1F1 (−1;2;2γr) = 1 − ( 2γr ) = 1 − γr
2

Dan L3 (2γr)=1F1 (−0;4;2γr) = 1


3

1 ⎧⎪ (n + l )! ⎫
1/ 2

Rnl (r ) = ⎨(2γ n ) ⎬ (2γ n r ) e Ln+l (2γ n r )


3 l −γr 2 l +1

(2l + 1)! ⎪⎩ 2n(n − l − 1)!⎭


⎧⎪ (1 + 0)! ⎫
1/ 2 3
1
R10 (r ) = ⎨(2γ 1 ) ⎬ (2γ 1r ) e L1 (2γ 1r ) = 2(γ1) e
2 −γr
3 0 −γr 1

(2.0 + 1)! ⎪⎩ 2.1(1 − 0 − 1)!⎭


3 1 3 1
1 2! 2 1
R20 (r ) = {(2γ 2 ) ( ) }{(2γ 2r ) e−γr L2 (2γ 2r ) = {(2γ 2 ) 2 ( )2 }e−γr (1− γr)
0 1
2
1! 4(1)! 2
3
= 2(γ 2 ) 2 e−γr (1 − γr )
3 1
1 3! 2
R21 (r ) = {(2γ 2 ) 2 ( ) }{(2γ 2 r ) e −γr L3 (2γ 2 r )
1 3

3! 4(0)!
3
1
R21 (r ) = (γ 2 ) 2 {(2γ 2 r )e −γr
3
Untuk n=3, harga l =0,1,2, maka harga n2 = n - ( l +1) =2, 1, 0
Untuk n=3, l =0, nr = 2, maka
⎧⎪ (3 + 0)! ⎫
1/ 2
1
R30 (r ) = ⎨(2γ n ) ⎬ (2γ n r ) e L3 (2γ n r )
3 0 −γr 1

(2.0 + 1)! ⎪⎩ 2.3(3 − 0 − 1)!⎭

201
(−2) 2γ 3r (−2)(−1) (2γ 3r )2
L13 ( ρ )=1 F1 (−2;2;2γ 3r ) = 1 + + +
(2) 1! (2)(3) 2!
(−2)(−1)(0) (2γ 3r )3
+0
(2)(3)(4) 3!
2
L13 ( ρ )=1 F1 (−2;2;2γ 3r ) = 1 − 2γ 3r + (γ 3r ) 2
3
0
⎧⎪ (3)! ⎫
1/ 2
2
Dan R30 (r ) = ⎨(2γ n ) ⎬ (2γ n r ) e (1 − 2γ 3r + (γ 3r ) )
3 −γr 2

⎪⎩ 2.3(2)!⎭ 3
3
2
R30 (r ) = 2(γ 3 ) 2 e−γr (1 − 2γ 3r + (γ 3r ) 2 )
3
Untuk n=3, l =1, nr =1
1 ⎧⎪ (3 + 1)! ⎫
1/ 2

R31 (r ) = ⎨(2γ 3 ) (2γ 3r )e −γ r L4 (2γ 3r )


3 3

⎬ 3

(3)! ⎪ 2.3(3 − 1 − 1)!⎭



(−1) 2γ 3r (−1)(0) (2γ 3r ) 2
L34 ( ρ )=1 F1 (−1;4;2γ 3r ) = 1 + + +0
(4) 1! (4)(5) 2!
γ r
L34 ( ρ )=1 F1 (−1;4;2γ 3 r ) = 1 − 3
2
2 2 52 −γ r
R31 (r ) = γ 3 re (2 − γ 3 )
3

3
Untuk n=3, l =2, nr=0

Karena
2
⎧⎪ (3 + 2)! ⎫
1/ 2
1
R32 (r ) = ⎨(2γ 3 ) ⎬ (2γ 3r ) e L3+ 2 (2γ 3r )
−γr 2.2+1
3

(2.2 + 1)! ⎪⎩ 2.3(3 − 2 − 1)!⎭

L55 ( ρ )=1 F1 (0;6;2γ 3r ) = 1

202
3 7
1 4
Maka R32 (r ) = γ 32 {(2γ 3 r )2 e −γr = γ 32 r 2 e −γ 3r
3 10 3 10
Hasil ini cocok dengan baris terakhir Tabel 6.2 dengan mengganti
1
γ3 =
3a0
Perhitungan beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa
penyelesaian fungsi gelombang bagian radial dapat dilakukan
dengan lebih mudah menggunakan penyelesaian PD fungsi
Confluent Hypergeometric yang dinyatakan pada pers (6.102 )
Fungsi gelombang bagian radial Rnl (r ) secara jelas tergantung pada
dua bilangan kuantum, n dan l , (atau nr dan l ). Ketergantungan
Rnl (r )
pada sebagai hasil dari penyelesaian persamaan Schrodinger
atom H dengan pemisahan variable seperti yang ditunjukkan pada
pers (6.8 ), dengan dimunculkannya kontribusi dari sumbangan gaya
l(l + 1)
fiktif sentrifugal, yaitu , sedangkan bilangan kuantum
r2
utama, n, muncul dari persamaan eigenvalue, yaitu persyaratan
bahwa supaya fungsi gelombang berhingga.
Beberapa fungsi Rnl dituliskan pada tabel 6.2. Dari tabel 6.1 dan 6.2
dapat disimpulkan fungsi gelombang lengkap
ψ nlm (r,θ ,ϕ ) = Rnl (r )Ylm (θ ,ϕ ) dari elektron atom H yang bergerak
mengorbit inti ditunjukkan pada tabel 6.3.

203
Ta
abel 6.2 Fungssi Radial yang
g dinyatakan sebagai fungsii a0
n l Rnl
1 0 2a o
−3 / 2
e − r / ao
2 0 1 −3 / 2
ao ( 2 − r / a o ) e − r / 2 ao
2 2
2 1 1 −3 / 2
a o ( r / a o ) e − r / 2 ao
2 6
3 0 1 −3 / 2
a o ( 6 − 4 r / a o + 4 r 2 / 9 a 0 ) e − r / 3 ao
2

9 3
3 1 1 −3 / 2
ao ( 2 r / 3ao )(( 4 − 2 r / 3ao )e −r / 3 ao
9 6
3 2 1 −3 / 2
a o ( 2 r / 3a o ) 2 e − r / 3 ao
9 30

gian radial Rnl (r ) ditunjukkkan oleh


Grrafik rapat prrobabilitas bag
gaambar 6.3.

Gamb
bar 6.3 Rapat Probabilitas sebagai fungsi jarak

20
04
Tabel 6.3 Fungsi ψ nlm yang dinyatakan sebagai fungsi a0
n l m ψ nlm
1 0 0 1 −3 / 2 − r / ao
ao e
π
2 0 0 1 −3 / 2
a o ( 2 − r / a o ) e − r / 2 ao
2 8π
2 1 -1 1
ao ( r / ao )e −r / 2 ao 3 sin θe −iϕ
−3 / 2

2 6 8π
2 1 0 1 −3 / 2
ao ( r / ao )e −r / 2 ao 3 cos θ
2 6 4π
2 1 1 1
ao ( r / ao )e −r / 2 ao 3 sinθeiϕ
−3 / 2

2 6 8π
1 −3 / 2
a o ( 6 − 4 r / a o + 4 r 2 / 9 a 0 ) e − r / 3 ao
2

3 0 0 9 12π

3 1 0 1 −3 / 2 3
ao ( 2 r / 3ao )( 4 − 2 r / 3ao )e −r / 3 ao cos θ
9 6 4π
3 2 0 1 −3 / 2 5
a o ( 2 r / 3a o ) 2 e − r / 3 ao (3 cos 2 θ − 1)
9 30 16π

Dari diskusi di atas dapat dijelaskan bahwa nlm eigen fungsi yang
ψ
terkait dengan energi eigen nilai En dimana nilai 0≤ l ≤ (n-1) dan
−l≤ m ≤ l.
Dengan menghitung semua state yang mungkin untuk energi yang
sama, dapat dilihat bahwa setiap eigen value terdegenerasi sebanyak
n2 yaitu :
n −1 l n −1

∑ ∑ m =∑ (2l + 1) = n
l =0 −l l =0
2

205
ψ
Setiap state dengan eigen fungsi nlm ditandai dengan 3 bilangan
kuantum n, l dan m adalah eigen state dari 3 besaran yang terukur
secara serentak yaitu :
4
1) Energi En = − m2l 2
2h n
2) Kuadrat momentum sudut L2 dan
3) Proyeksi momentum sudut pada sumbuz, Lz.

Bilangan kuantum utama n menandai energi lewat En, bilangan


kuantum azimuthal l mengindikasikan besarnya momentum sudut L
dan bilangan kuantum magnetik m menunjukkan besarya komponen
momentum sudut pada

SOAL
6.1 Persamaan gelombang atom H bagian radial dinyatakan sebagai
1 d ⎛ 2 dR ⎞ 2me ⎛ e 2 l(l + 1)h 2 ⎞
⎜r ⎟+ ⎜E + − ⎟R = 0
r 2 dr ⎝ dr ⎠ h 2 ⎜⎝ 2me r 2 ⎟⎠
(1)
r
U nl (r )
Bila Rnl (r ) =
r
a) Tunjukkan persamaan (1) menjadi
d 2U 2me ⎛ e 2 l(l + 1)h 2 ⎞
+ 2 ⎜⎜ E + − ⎟U = 0
2me r 2 ⎟⎠
(2)
dr 2 h ⎝ r
r dimana h2 e 2 maka
b) Bila ρ= aB = dan En = −
aB me 2 2a B n 2
tujukkan pers (2) berubah menjadi
d 2U nl ⎛ 2 1 l(l + 1) ⎞
+ ⎜⎜ − 2 − ⎟⎟U nl = 0 (3)
dr 2 ⎝ ρ n ρ 2

c) Bila pers (3) dikalikan dengan ρ k +1 dU nl − 1 (k + 1) ρ kU nl dan
dρ 2
kemudian diintegralkan secara bagian, tunjukkan hasilnya

206
adalah
(k + 1) k
n 2
k
[ ]
ρ − (2k + 1) ρ k −1 + (2l + 1) 2 − k 2 ρ k −2 = 0 ! (4)
4
1
d) tunjukkan bahwa persamaan (4) : d1) menjadi ρ −1 =
n2
untuk harga k = 0
1
d2) menjadi ρ = (3n 2 − l(l + 1)) untuk harga k = 1 dan
2
2 1
menjadi ρ = (5n 2 + 1 − 3l(l + 1))n 2 untuk harga k = 2
2

6.2 a) Bila pers (1) pada soal 6.1 dibagi dengan U nl kemudian
didiferensialkan ke l, tunjukkan bahwa
d U n′′l d ⎛ 2 1 l(l + 1) ⎞ 2 2l + 1
{ } = − ⎜⎜ − 2 − ⎟= + (5)
dl U nl dl ⎝ ρ n ρ 2 ⎟⎠ n 3 ρ2
b) Bila pers (5) dikalikan dengan U 2 nl dan kemudian
diintegralkan terhadap ρ dari 0 sampai ∞
1
tunjukkan bahwa hasilnya adalah ρ −2 = n −3 (l + ) −1 (6)
2
c) Dengan mengkombinasikan pers (4) dan (6) tunjukkan
1
bahwa ρ −3 = {n 3 (l + )(l + 1)l}−1
2
6.3 Dengan menggunakan penyelesaian dengan PD confluen
Hypergeometrik, tentukan
R40 ,   R41 ,  R42 , dan  R43 !

207
DAFTAR PUSTAKA

1. Winter, Rolf G. Quantum Physics , second edition, Faculty


Publishing inc. Davis California, 1986
2. Gasiorowics, S., Quantum Physics, John Wiley and Son, Inc.,
New York, 1974
3. Park, D., Introduction to Quantum Theory, 2nd edition, McGraw-
Hill Book Company, New York, 1974
4. Mohapatra, Rabindra N. Unification and Supersymmetry, The
Fronties of Quark-Lepton, Second edition, Springer-Verlag, New
York, 1992
5. Schwabl, Franz. Quantum Mechanics, Springer-Verlag, New
York, 1992
6. Townsend, John S. A Modern Approach to Quantum Mechanics,
McGraw-Hill, Inc., New York, 1992
7. Greiner, W. Quantum Mechanics An Introduction,S Springer-
Verlag, Berlin Heidilberg, 1989
8. Schiff, Leonard I. Quantum Mechanics, third edition, McGraw-
Hill Book Company, New York, 1968
9. Flügge, Siegfried. Practical Quantum Mechanics II, Springer-
Verlag, New York, 1987
10. Cohen-Tannoudji C., Diu B., Laloe F. Quantum Mechanics,
volume 1.

208
GLOSARIUM
MEKANIKA KUANTUM I

Bab I Riview Fisika Klasik


Fisika klasik adalah bagian fisika yang telah berkembang sejak
penemuan awal konsep Fisika (Archimedes,…) sampai konsep
Fisika tentang gelombang elektromagnetik yang diusulkan oleh
Maxwell, yang mempelajari perilaku benda yang bersifat
makroskopik
Mekanika Kuantum adalah bagian fisika yang mendeskripsikan
perilaku benda mikroskopik yang berukuran dalam orde atomik
dengan menggunakan mengunakan persamaan gelombang
Schrodinger. Besaran-besaran fisis dalam kuantum dideskripsikan
sebagai operator dan pengukurannya hanya bersifat probabilistic
yang ditentukan dengan menggunakan fungsi gelombang dari
persamaan Schrodinger dan energi total benda mikroskopik bersifat
diskrit yang merupakan kelipatan bilangan bulat dari satuan energi
terendah.
Radiasi benda hitam adalah radiasi yang dipancarkan oleh benda
hitam yang dipanaskan dimana benda hitam dimodelkan sebagai
sebuah kubus berongga yang dindingnya dicat hitam dan pada salah
satu sisinya diberi lubang sangat kecil
Benda hitam akan menyerap semua sinar yang datang padanya dan
meradiasikan semua sinar yang ada di dalam rongga benda hitam
Hukum radiasi menurut Rayleigh –Jeans cocok dengan hasil
eksperimen hanya pada bagian spectrum yang mempunyai panjang
gelombang yang panjang atau pada frekuensi yang rendah
Hukum radiasi menurut Wien hanya cocok dengan hasil
eksperimen pada spectrum dengan panjang gelombang pendek atau
pada frekuensi yang tinggi.

209
Hukum pergeseran Wien menyatakan bahwa panjang gelombang
pada intensitas maksimum dari spectrum radiasi pada suhu yang
lebih tinggi akan bergeser ke panjang gelombang yang lebih pendek
( frekuensi yang tinggi)
Kuantisasi energi menurut Planck menyatakan bahwa radiasi
benda hitam terdiri dari foton-foton dimana setiap foton mempunyai
h
energi sebesar hω dimana h = dan h = konstanta Planck =

6,63 x 10-27 erg sec dan total energi dari benda hitam merupakan
kelipatan bilangan bulat dari energi foton
Hukum radiasi menurut Stefan-Boltzmann adalah bahwa
besarnya radiasi (intensitas) yang dipancarkan dari rongga lewat
celah sempit berbanding lurus dengan pangkat empat dari suhu
benda hitam

Bab II Kuantisasi Besaran Fisis


Cahaya dapat dipandang sebagai corpuscel (partikel) dan cahaya
sebagai gelombang. Beberapa sifat cahaya seperti cahaya merambat
pada garis lurus dan peristiwa pemantulan dapat dijelaskan dari
kedua teori tersebut, tetapi gejala interferensi hanya dapat dijelaskan
bahwa cahaya gelombang.
Maxwell: menginterpretasikan cahaya sebagai gelombang
elektromagnetik yang memperkuat cahaya sebagai gelombang
Benda yang bersifat mikroskopik energinya terkuantisasi secara
diskrit, tetapi benda yang bersifat makroskopik energinya
terkuantisasi secara kontinyu yaitu energi yang mempunyai nilai
sembarang tidak harus merupakan bilangan bulat.
Efek Fotolistrik menunjukan bahwa cahaya terdiri dari foton-foton .
Efek fotolistrik adalah peristiwa dimana berkas cahaya yang
mempunyai energi lebih tinggi sedikit dari energi ionisasi elektron

210
diradiasikan ke permukaan material logam, maka sebagian dari foton
cahaya tersebut menumbuk elektron yang berada pada kulit atom
bagian dalam (n=1, atau 2) dan elektron tersebut akan terionisasi
setelah menyerap energi foton yang menumbuknya. Banyaknya
(intensitas) elektron yang dihasilkan oleh permukaan logam
tergantung pada intensitas cahaya tetapi kelajuan elektron bebas
yang terionisasi tergantung pada energi cahaya yang menumbuk
elektron.
Hamburan Compton adalah peristiwa dimana bila berkas cahaya
diradiasikan ke permukaan material logam, dan bila sebagian dari
foton cahaya tersebut menumbuk elektron pada kulit atom yang agak
luar kemudian elektron tersebut menyerap sebagian energi dari foton
sehingga elektron tersebut terpental dan foton dibelokkan
(dihamburkan) dengan sudut θ terhadap arah foton datang dan
dengan panjang gelombang yang lebih panjang λ’ atau mempunyai
energi yang lebih rendah dari energi radiasi yang datang setelah
menumbuk elektron.
Dualisme Partikel-Gelombang yang diusulkan oleh de Broglie
adalah analogi dengan prinsip Fermat dalam optika dan prinsip aksi
terkecil dalam mekanika, yaitu partikel yang berukuran atomic
mempunyai sifat gelombang atau gelombang mempunyai sifat
sebagai partikel. Sifat partikel sebagai gelombang ditunjukkan oleh
pernyataan bahwa momentum suatu partikel berbanding terbalik
dengan panjang gelombang, makin besar momentum suatu partikel
makin kecil panjang gelombang dari partikel tersebut. Sebuah bola
softball tidak berperilaku sebagai gelombang karena panjang
gelombang dari bola tersebut sangat sangat kecil sehingga tak bisa
diamati.
Difraksi Elektron adalah peristiwa yang menunjukkan bahwa
elektron berperilaku sebagai gelombang karena peristiwa difraksi
hanya bisa dijelaskan bahwa cahaya merupakan gelombang.
Davisson dan Germer melalui eksperimen menemukan bahwa
elektron dihamburkan oleh permukaan Kristal. Peristiwa difraksi

211
elektron menunjukkan bahwa elektron berperilaku sebagai
gelombang. dan Interferensi konstruktif antara elektron yang
dihamburkan kisi Kristal terjadi bila hasil kali antara jarak antar kisi
Kristal yang terdekat dengan sinus sudut hamburan sama dengan
kelipatan bilangan bulat denga panjang gelombang elektron tersebut.
Model Atom Bohr
Asumsi yang diusulkan Bohr
1. Elektron yang mengorbit inti memenuhi persyaratan bahwa
momentum sudut electron merupakan kelipatan bilangan bulat
h
dengan h = , h adalah tetapan Plack, h = 1,0545 x 10-27 erg

sekon. Electron bergerak dalam lintasan berbentuk lingkaran dengan
jari-jari r yang mengelilingi inti dengan kecepatan v maka besarnya
momentum sudut electron sebanding dengan kelipatan bilangan
bulat dari tetapan Planck atau keliling lingkaran dari orbit elektron
sama dengan kelipatan bilangan bulat dari panjang gelombang
elektron pada lingkaran tersebut
Dalam kondisi ini walaupun elekron dipercepat tetapi tidak
memancarkan energi dan electron berada dalam keadaan stasioner.
2. Elektron dapat berpindah dari satu lintasan lebih tinggi ke lintasan
lain yang lebih rendah dan perubahan energi yang dialami electron
dapat menyebabkan timbulnya spectrum radiasi dengan frekuensi
yang berbanding lurus dengan beda energi elektron dari dua lintasan
(kulit) tersebut. Spektrum radiasi yang dipancarkan oleh atom H
yang panas dikelompokkan ke dalam deret Lymann, Balmer, Pascen,
Brackett, Pfund
Bila sebuah atom menyerap radiasi maka electron akan berpindah ke
orbit yang energinya lebih tinggi.
Bila elektron pada atom H tereksitasi dan kemudian terdeeksitasi
maka elektron tersebut kembali ke lintasan semula sambil

212
memancarkan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi yang
sebanding dengan selisih energi kedua lintasan tersebut.
Energi elektron yang mengorbit inti mempunyai energi total yang
berbanding terbalik dengan kuadrat dari nomor kulit tersebut

Bab III : TEORI DASAR KUANTUM DAN PERSAMAAN


SCHRODINGER
Kecepatan fase dari partikel yang berperilaku sebagai gelombang
dan yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan
relativistik dalam ruang hampa besarnya melebihi kecepatan cahaya
dalam ruang hampa yaitu c dan c adalah kecepatan tertinggi yang
tidak boleh dilampaui.
Kecepatan benda mikroskopik yang bergerak harus dinyatakan
dalam kecepatan group yang besarnya sama dengan turunan
pertama dari frekuensi sudut terhadap vector gelombang atau
turunan pertama energi total terhadap momentum.
Besarnya panjang gelombang partikel mikroskopik yang bergerak
dengan kecepatan yang jauh lebih kecil dari kecepatan cahaya dalam
ruang hampa berbanding terbalik denga akar energi total dan massa
diam.
Difraksi sinar X adalah peristiwa difraksi dengan menggunakan
radiasi sinar x yang bertujuan untuk menyelidiki bentuk Kristal dari
suatu material yang berbentuk bubuk Kristal
Persamaan Schrodinger
Persamaan Schrodinger dalam Mekanika Kuantum adalah sama
dengan persamaan energi mekanik atau energi total pada mekanika
klasik yang juga disenbut sebagai Hamiltonian. Persamaan
Schrodinger melibatkan operator mekanika kuantum, eigen fungsi
dan eigen nilai dari operator tersebut.

213
Persamaan Schrodinger suatu partikel bebas dapat dijabarkan dari
asumsi bahwa partikel berperilaku sebagai gelombang
elektromagnetik yang mempunyai momentum yang berbanding
terbalik dengan panjang gelombang de Broglie, energi totalnya
terkuantisasi seperti energi satu foton, dan karena partikel bebas
maka energi totalnya sama dengan energi kinetik saja, maka
persamaan Schrodinger dapat dijabarkan dengan mendiferensialkan
persamaan gelombang elektromagnetik terhadap posisi dan waktu
dan menerapkan asumsi-asumsi di atas.
Prinsip korespondensi antara Klasik dengan Kuantum yaitu
persamaan Schrodinger adalah Hamiltonian dalam Mekanika Klasik,
dan besaran-besaran dalam mekanika klasik yang terukur adalah
merupakan operator dalam mekanika kuantum seperti operator
momentum linear dan sudut, operator posisi, operator energi kinetik
dan energi potensial, dll
Interpretasi Statistika Fungsi Gelombang
Besarnya peluang untuk ditemukannya partikel dalam interval antara
x dan x + dx pada saat t sama dengan kuadrat harga mutlak fungsi
gelombang.
Jumlah semua peluang untuk ditemukannya partikel yang besarnya
sama dengan satu digunakan sebagai analogi untuk kondisi sebagai
syarat bahwa fungsi gelombang ternormalisasi.
Persamaan kontinyuitas yang mencerminkan hukum kekekalan
muatan dalam mekanika kuantum dapat ditunjukkan dari rapat
probabilitas dan arus probabilitas.
Rapat probabilitas sebanding dengan kuadrat harga mutlak fungsi
gelombang.
Ketidakpastian pengukuran posisi dan momentum dalam mekanika
kuantum dapat dianalogikan sebagai simpangan baku dalam
pengukuran besaran fisis dalam mekanika klasik.

214
Nilai ekspektasi atau nilai harap suatu pengukuran dalam mekanika
kuantum analogi dengan nilai rerata pada mekanika klasik.
Besarnya nilai harap suatu operator sama dengan integral dari hasil
kali antara operator tersebut dengan rapat probabilitas.
Prinsip Ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa dalam
pengukuran secara serentak terhadap besaran posisi dan momentum,
makin pasti hasil pengukuran posisi semakin tidak pasti hasil
pengukuran momentum, dan sebaliknya, dan hasil kali antara
ketidak pastian pengukuran momentum linear dan posisi lebih besar
atau sama dengan besaran tetapan Planck dibagi dengan bilangan
konstan .
Prinsip ketidakpastian Heisenberg juga berlaku untuk pengukuran
secara serentak terhadap besaran energi dan waktu, dan momentum
sudut dan simpangan sudut.
Operator dalam Mekanika Kuantum
Operator momentum linier, operator energi kinetik , operator energi
total= operator Hamiltonian, operator momentum sudut, operator
energi potensial
Operator disebut operator Hermitian bila operator tersebut dapat
diukur dalam mekanika klasik. Semua operator mekanika kuantum
yang disebutkan di atas adalah operator Hermitian.
Operator yang tak dapat diukur secara klasik disebut operator
nonhermitian, contoh operator d/dx, d/dy
Hubungan komutasi antara dua operator A dan B didefinisikan
sebagai [A,B] = AB – BA
Teorema Ehrenfest
Menurut teorema Ehrenfest, perubahan harga ekspektasi terhadap
waktu atau derivative harga ekspektasi suatu operator A terhadap
waktu sama dengan hasil dari hubungan komutasi antara operator
Hamiltonian dengan operator yang ditentukan harga ekspektasi

215
tersebut ditambah dengan harga ekspektasi dari turunan operator
tersebut terhadap waktu.

Bab IV Aplikasi persamaan Schrodinger untuk potensial


Sederhana
1. Potensial Kotak Satu Dimensi
Potensial kotak satu dimensi adalah sistem kuantum yang
mempunyai energi potensial nol di dalam kotak satu dimensi, tetapi
diluar kotak energi potensialnya menuju tak terhingga.
Fungsi gelombang yang mendiskripsikan gerak partikel terkungkung
dalam kotak merupakan fungsi sinus atau cosinus dan tingkat –
tingkat energi partikel berbanding lurus dengan kuadrat bilangan asli
dan berbanding terbalik dengan kuadrat lebar kotak.
2. Potensial kotak tiga dimensi
Potensial kotak tiga dimensi digunakan untuk mendiskripsikan gerak
partikel yang terkungkung di dalam ruang tiga dimensi yang
berbentuk kotak dimana energi potensial di dalam kotak nol dan
energi potensial diluar kotak tak terhingga. Persamaan fungsi
gelombang untuk partikel yang terkungkung dalam potensial kotak
tiga dimensi yang lebarnya a, b, c adalah adalah hasil kali fungsi
gelombang untuk masing-masing sistem satu dimensi dan tingkat-
tingkat energinya merupakan jumlah dari energi total dari masing-
masing sistrem satu dimensi.
3. Potensial Tangga
Potensial tangga atau undak adalah bentuk dari suatu fungsi energi
potensial yang grafiknya berbentuk tangga yang akan mempengaruhi
partikel mikroskopik yang melewatinya. Potensial tangga biasanya
digambarkan bahwa suatu daerah yang berdimensi satu dibagi
menjadi dua, satu daerah mempunyai energi potensial nol dan
daerah kedua mempunyai energi potensial yang besarnya konstan.

216
Partikel dengan energi total lebih kecil dari tinggi tangga (kurang
dari energi potensial) yang melewati potensial tangga dipantulkan
secara sempurna namun ada partikel yang menerobos tangga tetapi
tidak sempat mengalir dalam tangga.
4. Potensial Sumur
Potensial sumur adalah bentuk suatu fungsi energi potensial dimana
grafik dari energi potensial sebagai fungsi posisi berbentuk sumur
yaitu mempunyai energi potensial negative untuk interval posisi
tertentu dan nol untuk daerah yang lain.
Berkas partikel yang bergerak melewati atau yang dipengaruhi
potensial sumur, mempunyai penyelesaian gelombang genap dan
ganjil dan energinya ditentukan secara grafik dari grafik fungsi
genap atau ganjil sebagai fungsi posisi.
5. Potensial Delta
Potensial delta adalah energi potensial yang grafiknya berbentuk
fungsi delta baik fungsi delta positif ataupun fungsi delta negative.
Karena grafik fungsi delta mempunyai lebar yang sangat kecil dan
tinggi yang cukup besar maka syarat kontinyuitas untuk turunan
pertama dari fungsi gelombang yang merupakan representasi dari
partikel tidak berlaku.
Potensial delta diaplikasikan sebagai model potensial yeng
mempengaruhi elektron bebas atau Kristal dalam zat padat.
6. Potensial Tanggul
Potensial tanggul dapat dikatakan sebagai kebalikan dari potensial
sumur yaitu untuk interval posisi tertentu energi potensialnya positif
dan untuk daerah yang lain pada umumnya energi potensialnya nol
yang mempengaruhi perilaku partikel mikroskopik yang berada
dalam sistemnya.
Pada potensial tanggul terjadi peristiwa tunneling yaitu peristiwa
terjadinya penerobosan partikel pada tanggul yaitu ada arus partikel
yang melewati tanggul.

217
Bab V: Osilator Harmonik Satu Dimensi
Berkas partikel mikroskopik yang bergerak bolak-balik di dalam
parabola satu dimensi disebut sebagai sistem osilator harmonik satu
dimensi
Perilaku sistem partikel yang bersifat mikroskopik yang dipengaruhi
oleh osilator harmonik satu dimensi dapat ditelaah dengan tiga cara,
yaitu dengan deret fungsi Hermit, fungsi pembangkit Hermit dan
metode operator, yang memberikan penyelesaian fungsi gelomang,
tingkat energi dan nilai harap besaran-besaran fisika dengan cukup
mudah.
Metode operator memberikan cara penentuan nilai harap dari suatu
pengukuran besaran fisis dibanding kedua cara yang lain.

Bab VI: Atom Hidrogen


Gerak elektron yang mengorbit inti pada atom hidrogen yang hanya
dipengaruhi oleh proton pada inti yang tunduk pada hukum
Coulomb disebut sistem atom hidrogen.
Elektron dianggap bergerak pada permukaan bola yang jari-jarinya
bisa berubah dan posisi elektron dalam ruang tiga dimensi
digambarkan dengan koordinat bola, maka fungsi gelombang yang
merepresentasikan elektron merupakan fungsi radial, fungsi sudut
polar dan azimuthal.
Persamaan Diferensial fungsi Legendre Associated digunakan untuk
penyelesaian fungsi gelombang bagian polar baik menggunakan
deret dan fungsi pembangkit. Fungsi pembangkit memberikan
penyelesaian bentuk polynomial.
Persamaan diferensial fungsi Laguerre associated digunakan untuk
penyelesaian fungsi gelombang bagian radial baik menggunakan
deret maupun fungsi pembangkit Laguerre. Fungsi pembangkit
memberikan penyelesaian bentuk polynomial.
Persamaan diferensial Hypergoemetric dan atau confluent
hypergeometric dapat digunakan secara lebih mudah untuk
menyelesaian fungsi gelombang bagian radial.

218
Untuk bilangan kuantum utama n>1, sistem bersifat terdegenerasi
karena setiap kulit hanya mempunyai satu tingkat energi tetapi
menmpunyai beberapa fungsi gelombang

219
Lampiran 1

PENJABARAN FORMULA RODRIGUES


Fungsi pembangkit PD fungsi Legendre dinyatakan sebagai

1
= ∑ Pn ( x)t n t <1 (1)
1 − 2 xt + t 2 n =0

1 −
1

Ruas kiri pada pers (a) = (1 − 2 xt + t 2 ) 2

1 − 2 xt + t 2
1

= {1 − ( 2 xt − t )}
2 2

1 3
( − )( − )
1
1 + ( − ){−( 2 xt − t 2 )} + 2 2 {−( 2 xt − t 2 )}2
2 2!
1 3 5
(− )(− )(− )
+
2 2 2 {−( 2 xt − t 2 )}3 + ….+ ……+
3!
1 3 5 7 2k −1
(− )(− )(− )(− ).......(− )
2 2 2 2 2 {−( 2 xt − t 2 )}k + …..
k!

Koefisien suku terakhir dari deret di atas yang diberi tanda kurung
kurawal dapat disederhanakan menjadi
( −1)( −3)( −5).....{−( 2k − 1)} ( −1) 1.3.5.7.....(2k − 1)
k
=
k!2 k k!2 k
( −1) k 1.2.3.4.5.6.7.8....(2k − 1)(2k ) ( −1) k (2k )!
= =
k!2 k ..2.4.6.8.......2k k!2 k 2 k k!
karena {−(2 xt − t )} = (−) (2 xt − t ) dan dengan mengganti
2 k k 2 k

parameter k dengan n maka

220
1 ∞
(−1) 2 n (2n)!

= ∑ (2 xt − t 2 ) n = ∑
1 − 2 xt + t 2
2n 2
n =0 2 (n!) n =0

(2n)!
2n 2
(2 xt − t 2 ) n (2)
2 (n!)
dengan mengekspansikan secara binomial dari faktor 2 xt − t 2 ( )
n

pada pers (2),

(2 xt − t ) = t (2 x − t )
2 n n n
= t n{(2 x) n + n(2 x) n −1 (−t ) +
n( n − 1)
(2x)n-2(-t)2+ +
2!
n(n − 1)(n − 2)...( n − (k − 1))
(2 x) n − k (−t ) k + ... (3)
k!
Kita dapat menuliskan koefisien dari suku ke k (2x)n-k tn+k
(-1)k pada pers (3) dalam bentuk
n( n − 1)( n − 2)( n − 3)...( n − (k − 1))
=
k!
n(n − 1)(n − 2)(n − 3)...(n − (k − 1))(n − k )(n − (k +))...3.2.1
k!(n − k )(n − (k + 1))...3.2.1
n!
= (4)
k!(n − k )!
Bila pers (3) dan (4) dimasukkan kedalam pers (2) maka akan
diperoleh deret ganda

(1− 2xt + t )
2 −1 2

(2n)! n n
= ∑ 2n 2 t ∑(−1)
k n!
(2x)n−k t k
n=0 2 (n!) k =0 k! (n − k )!
∞ n
=∑∑(−1) 2n
k (2n)! (2x)n−k tn+k
2 n!k!(n−k)!
(5)
n=0 k=0
Dengan menyusun kembali orde penjumlahan pada pers (5) yaitu
dengan mengganti

221
n+k → n atau n → (n-k), maka Pers.(5) menjadi

(1−2xt+t ) =∑∑(−1) 2 k(!2(nn−−k2k)!)(!n−2k)!⋅(2x)


∞ [n 2]
2 −1 2 k n−2k n
2n−2k
t (6)
n=0 k=0
dengan demikian variabel t tidak tergantung dari indeks k .
Dengan menyamakan pers (1) dan (6) maka diperoleh

Pn ( x ) =
[n 2 ]
(2n − 2k )!
∑ (− 1) x n−2k
k
(7)
k =0 2 n
k ! (n − k )!(n − 2k )!
Bentuk deret pangkat tinggi fungsi Legendre ( Persamaan 7 ) dapat
diubah parameternya dari k menjadi r, maka persamaan (7) menjadi
n
2 1 (2n − 2r )! n − 2 r
Pn ( x ) = ∑ ( −1) r x ( 7a)
r =0 2 r! (n − r )! (n − 2r )!
n

Untuk menjabarkan fungsi Legendre Pn(x) dalam bentuk pernyataan


diferensial, maka kita tinjau untuk n bilangan bulat, berlaku
d n 2 n −2 r
n
x = (2n-2r)(2n-2r-1)(2n-2r-2)….(2n-2r-(n-1)) xn-2r
dx
(2n − 2r )! n−2r
= x (8)
(n − 2r )!
Dan bila pers (8) dimasukkan ke dalam pers (7a) diperoleh
n
2 1 d n 2 n −2 r
Pn ( x ) = ∑ ( −1) n r
x
r =0 2 r! ( n − r )! dx n
1 dn n
n!
=
2 n n! dx n
∑ (−1)
r =0
r

r! (n − r )!
x 2 n −2 r (9)

Pers (9) dapat disederhanakan dengan menggunakan bentuk


ekspansi (x2-1)n

222
n( n − 1) 2 n −2
( x 2 − 1) n = x 2 n + n( x 2 ) n −1 (−1) + ( x ) ( −1) 2 + ....
2!
n(n − 1)(n − 2)...(n − k + 1) 2 n − k
+ ( x ) (−1) k
k!
dimana koefisien suku yang ke k dari ekspansi (x2-1)n dapat ditulis
kembali menjadi
n(n − 1)(n − 2)...(n − k + 1) (n − k )(n − (k + 1))...2.1 n!
. = ,
k! (n − k )(n − (k +!))...2.1 k!(n − k )!
maka
n
n!
2
(x-1) n
= ∑
k = 0 k!( n − k )!
x 2 n − 2 k (−1) k (10)

Kemudian bila pers (10) dimasukkan ke dalam pers (9) dan


parameter k diubah menjadi parameter r maka diperoleh
1 dn
n ( x − 1)
2 n
Pn (x ) = (11)
2 n! dx
n

Ini adalah formula Rodrigues yaitu persamaan fungsi Legendre


dalam bentuk diferensial. Ini banyak digunakan pada persamaan
Legendre pangkat tinggi seperti pada ortogonalitas.

12.2 HUBUNGAN PENGULANGAN (Rekursi)


DAN SIFAT-SIFAT KHUSUSNYA
Hubungan Rekursi
Fungsi pembangkit polinomial Legendre memberikan suatu
cara penjabaran hubungan pengulangan (rekursi) dan beberapa sifat
khusus. Jika fungsi pembangkit pada pers. (1) didiferensialkan
terhadap varibel t , kita peroleh
∂ g (t , x ) x−t ∞
= = ∑ n Pn (x )t n −1 (12)
∂t (1 − 2 xt + t )
2 32
n =0

223
Pers.(12) dapat ditulis menjadi
x−t ∞
= (1 − 2 xt + t 2
) ∑ n Pn ( x )t n −1
(1 − 2 xt + t 2 12
) n =0

(1 − 2 xt + t )∑ n P (x )t
∞ ∞
atau 2
n
n −1
+ (t − x )∑ Pn ( x )t n = 0 (13)
n =0 n =0

Ruas kiri pers (13) adalah suatu deret pangkat tinggi dalam t , karena
deret ini nol untuk semua nilai t , kita dapat menyatakan bahwa
koefisien dari masing-masing suku t pangkat tertentu sama dengan
nol, karena deret suku banyak (deret pangkat tinggi) ini adalah unik.
Dengan menguraikan penjumlahan pada ruas kiri
∞ ∞ ∞

∑ n P ( x )t
n =0
n
n −1
− ∑ 2nx Pn ( x )t n + ∑ n Pn ( x )t n +1
n=0 n =0
∞ ∞
+ ∑ Pn (x )t n +1 − ∑ x Pn ( x )t n = 0 (14)
n =0 n=0
∞ ∞ ∞

∑ (n + 1) Pn+1 (x )t n − ∑ 2nx Pn (x )t n + ∑ (n − 1) Pn−1 (x )t n


m =0 n =0 s =0
∞ ∞
+ ∑ Pn −1 ( x )t n − ∑ x Pn ( x )t n = 0 (14a)
s =0 n =0

Setelah substitusi parameter pada pers (14) untuk suku ke 1,


n −1 → n n +1 → n
, serta pada suku ke 3 dan ke 4, , sehingga
Pn → Pn +1 Pn → Pn −1
setelah substitusi semua suku mengandung variabel t yang
mempunyai pangkat yang sama, n, dan untuk harga n tertentu pers
(14a) dapat dituliskan menjadi
(2n + 1) xPn (x ) = (n + 1) Pn +1 (x ) + n Pn −1 (x ) , n = 1, 2, 3, K (15)
misal untuk n=1, pers (15) ditulis menjadi 3 xP1 ( x ) = 2 P2 (x ) + P0 ( x )
dan untuk n=2, pers (15) ditulis menjadi
5 xP2 ( x ) = 3 P3 ( x ) + P1 ( x ) (16)
Dengan hubungan rekursi ini kita dapat dengan mudah merumuskan
polinomial Legendre yang lebih tinggi. Jika kita mengambil n = 1
dan memasukkan nilai P0 ( x ) dan P1 ( x ) yang telah ditentukan

224
dengan mudah dari kondisi P0 (1) = c0 = 1 , P0 ( x ) =1 dan
P1 (x = 1) = c1 x = c1 = 1 , P1 ( x ) =x, maka dapat diperoleh P2(x) dari
3 xP1 (x ) = 2 P2 ( x ) + P0 (x )

P2 ( x ) =
1
2
(3x 2 − 1 ) (17)

Proses ini mungkin diteruskan sampai tak hingga untuk menemukan


polinom Legendre. Beberapa suku pertama Polinomial Legendre
dicantumkan dalam Tabel 1.
Pers.15 ditulis ulang sebagai
Pn +1 ( x ) = 2 xPn ( x ) − Pn −1 ( x ) − [x Pn ( x ) − Pn −1 ( x )] / (n + 1) (12.15a)

TABEL 1. Polinomial Legendre


P0 (x ) = 1
P1 ( x ) = x

P2 ( x ) =
1
2
(
3x 2 − 1 )
1
(
P3 ( x ) = 5 x 3 − 3 x
2
)
1
(
P4 ( x ) = 35 x 4 − 30 x 2 + 3
8
)
1
(
P5 (x ) = 63 x 5 − 70 x 3 + 15 x
8
)
P6 (x ) =
1
16
(
231 x 6 − 315 x 4 + 105 x 2 − 5 )
P7 ( x ) =
1
16
(
429 x 7 − 693 x 5 + 315 x 3 − 35 x )
P8 ( x ) =
1
128
(
6435 x 8 − 12012 x 6 + 6930 x 4 − 1260 x 2 + 35 )

Persamaan Diferensial Fungsi Legendre


Jika kita sekarang mendiferensialkan Pers.(1) terhadap
varibel x ,

225
∂ g (t , x ) ∞
= ∑ Pn' ( x )t n
t
= (18)
∂x (
1 − 2 xt + t 2 ) 32
n =0

atau

(1 − 2 xt + t )∑ P (x )t
∞ ∞
2
n
' n
− t ∑ Pn ( x )t n = 0 (19)
n =0 n =0

Analog dengan pers (13) dan (14), diperoleh


∞ ∞ ∞

∑ P′ (x )t − ∑ 2 x P′(x )t
m =0
n
n

n =0
n
n +1
+ ∑ Pn′(x )t n + 2 -
s =0
∑ P ( x)t
n
n +1
=0 (20)

Setelah substitusi parameter pada pers (20) untuk suku ke 1,


n → n +1 n +1→ n
, serta pada suku ke 3 , , diperoleh
Pn′ → Pn′+1 Pn → Pn −1
∞ ∞ ∞

∑ Pn′+1(x)t n+1 − ∑2x Pn′(x)t n+1 + ∑ Pn′−1(x)t n+1 -


m =0 n =0 s =0
∑ P ( x)t
n
n +1
=0 (20a)

Dan untuk harga n tertentu pada persamaan (20a ) dapat dituliskan


sebagai Pn'+1 ( x ) + Pn'−1 (x ) = 2 xPn' (x ) + Pn ( x ) ( 21)
Dari persamaan rekursi (15) dan (21) dapat dijabarkan PD fungsi
Legendre.
1). Pers (15) didiferensialkan terhadap x dan dikalikan dengan 2,
yaitu
2 x [ { (2 n + 1) xPn ( x ) = (n + 1) Pn +1 ( x ) + n Pn −1 ( x ) }]=
d
dx
2(n + 1) Pn′+1 ( x ) + 2 n Pn′−1 ( x ) = 2( 2n + 1) xPn′( x ) + 2(2n +1) Pn (x) (15a)
2). Pers (21) dikalikan dengan (2n+1)
(2n+1) x { Pn′+1 ( x ) + Pn′−1 (x ) = 2 xPn′( x ) + Pn (x ) }=
(2n + 1) Pn′+1 ( x ) + (2n + 1) Pn′−1 (x ) = 2(2n + 1) xPn′(x ) + (2n + 1) Pn ( x) (21a)
maka (15a)-(21a) Pn′+1 (x ) − Pn′−1 (x ) = (2n + 1) Pn ( x ) (22)
3). Bila pers (21) ditambah dengan pers (22) diperoleh
2Pn′+1(x) = 2(n +1) Pn (x) + 2x Pn′(x) atau Pn′+1(x) = (n +1) Pn (x) + x Pn′(x) (23)

226
4). Dan bila pers (21) dikurangi dengan pers (22) diperoleh
Pn'−1 ( x ) = − n Pn ( x ) + x Pn' ( x ) (24)
Kemudian pers (24) dikalikan dengan x diperoleh
xPn'−1 ( x ) = −nx Pn ( x ) + x 2 Pn' (x ) (25)
Dan bila pers (23) indeks n diubah menjadi n-1 dan suku-
sukunya di susun kembali diperoleh
x Pn' −1 (x ) = Pn' ( x ) − n Pn −1 ( x ) (23a)
5). Maka hasil dari pengurangan dari pers (23a) dengan pers (25)
diperoleh
( )
0 = 1 − x 2 Pn' ( x ) + n x Pn ( x ) − nPn −1 ( x) (26)
6). Bila pers (26) didiferensialkan terhadap x dan kemudian Pn'−1 ( x )
disubstitusi dengan menggunakan pers (24) diperoleh
( )
1 − x 2 Pn′′( x ) − 2 xPn′( x) + n x Pn′( x ) + nP n ( x)
+ n Pn ( x ) − nx Pn' ( x ) = 0
2

atau
( )
1 − x 2 Pn′′( x ) − 2 xPx′( x) + n(n + 1) P n ( x) = 0 (27)

Persamaan (27) merupakan persamaan diferensial orde dua fungsi


Legendre. Kita sekarang dapat melihat bahwa polinomial Pn ( x )
(
yang dihasilkan dari ekspansi 1 − 2 xt + t 2 )−1 2
memenuhi persamaan
diferensial fungsi Legendre sehingga formula Rodrigues atau
polinomial Legendre merupakan bentuk penyelesaian dari PD fungsi
Legendre.

PENYELESAIAN PD LEGENDRE ASSOCIATED


Persamaan diferensial orde dua Fungsi Legendre associated yang
dinyatakan pada pers (6.29)
1 d ⎛ dΘ ⎞ ⎧ m2 ⎫
⎜ sin θ ⎟ + ⎨l( l + 1) − 2 ⎬Θ = 0 (6.29)
sin θ dθ ⎝ dθ ⎠ ⎩ sin θ ⎭
atau pers (6.29a)

227
d 2Θ dΘ m2
(1 − w 2 ) − 2 w + ( l( l + 1) − )Θ = 0 (6.29a)
dw2 dw 1 − w2

Salah satu cara untuk menyelesaikan persamaan Legendre associated


pada pers (6.29a) adalah dengan menyelesaiakan persamaan
Legendre dan kemudian mengubah PD legendre menjadi PD
Legendre associated dengan mendiferensialkan PD fungsi Legendre
yang dinyatakaqn pada pers (28) m kali terhadap w.
d 2Θ dΘ (28)
(1 − w2 ) − 2w + l(l + 1)Θ = 0
dw2 dw
Dan dengan bantuan dari formula Leibnitz’s ,
dn n ⎛ n
⎞ d n−s ds ⎛ n
⎞ n!
dx n
[ A ( X ) B ( x )] = Σ ⎜

s−0 ⎝
⎟ n − s A ( x ) s B ( x ), ⎜
⎟ dx ⎜
⎟=
⎟ ( n − s )! s!
,
s ⎠ dx ⎝ s ⎠
Kita dapat mendiferensialkan pers (28) , mx1 yaitu :
2 d Θ l ( w) dΘ ( w)
2
dm
m
{(1 − w ) 2
− 2w l + l(l + 1)Θ l ( w)} = 0 (29)
dw dw dw
⇔dan bila 1-w2 = B(w), dan Θ′l′ (w) = A(w) maka dengan
menggunakan formula Leibnitz diperoleh

d m m! d Θ′l′ m
m! d 2 d
m−1
( ) {(1 − w 2 )Θ′l′} = (1 − w2 ) + (1 − w ) Θ′l′
dw 0!m! dwm 1!(m −1)! dw dwm−1
m−2
m! d2 2 d
+ (1− w ) Θ′l′
2!(m − 2)! dw2 dwm−2
d m Θ′l′ d m −1 m(m − 1) d m−2
= (1 − w ) 2
+ m(-2w) ′

Θl + ( −2) m − 2 Θ′l′
dwm dwm −1 2 dw
d Θ′l′
m
d m −1
d m−2
= (1 − w2 ) -2mw m −1
Θ′l′ - m(m-1) Θ′l′ (30a)
dw m
dw dwm − 2
d dm d m −1
( ) m {( −2 w)Θ′l } = (-2w) Θ ′ -2m Θ′l (30b)
dwm −1
l
dw dwm
Bila pers (30a)dan (30b) dimasukkan ke dalam pers (29) diperoleh

228
(1 − w 2 )u ′′ − 2 w( m + 1)u ′ − ( m 2 + m )u + l( l + 1)u = 0
atau
(1 − w 2 )u ′′ − 2 w( m + 1)u ′ + ( l − m )( l + m + 1)u = 0 . (31)
dm
dimana u ≡ Θ l (w) (32)
dwm
Persamaan (31) adalah bukan self adjoint. Untuk membuatnya
menjadi bentuk self-adjoint, kita menggantikan u(w) dengan
ekspresi
d m Θl ( w)
v(w)=(1-w2)m/2 u(w) = (1-w2)m/2 (33)
dwm
atau u(w) = v(w) (1-w2)-m/2
Turunan pertama dan kedua u(w) terhadap w dari pers (33) adalah
⎛ mwv ⎞
u'= ⎜ v '+ 2 ⎟
(1 − w 2 ) − m / 2 (34a)
⎝ 1− w ⎠
⎡ 2mwv' mv m( m + 2) w 2 v ⎤
u”= ⎢v"+ + + ⎥.(1 − w2 ) − m / 2 (34b)
⎣ 1− w 2
1− w 2
(1 − w ) ⎦
2 2

Kemudian bila pers (34a) dan (34b) disubstitusikan ke dalam


persamaan (31), maka pers (31) menjadi
⎡ m2 ⎤
(1-w2) v′′ -2w v′ + ⎢l( l + 1) − v = 0, (35)
⎣ 1 − w 2 ⎥⎦
Pers (35) merupakan persamaan yang sama dengan pers persamaan
(6.29a) yaitu PD Legendre associated.
Jadi penyelesaian umum dari PD fungsi Legendre associated dapat
dinyatakan sebagai
d m Θl ( w)
Θml =v(x)=(1-w2)m/2 u(w) = (1-w2)m/2 (36)
dwm
dimana Θl (w) adalah penyelesaian PD Legendre dalam bentuk
deret seperti pada pers (25) atau dalam bentuk polinom Legendre
1 d
Θl ( w) = n ( ) l ( w 2 − 1) l
2 l! dw

229
DAFTAR INDEX

Absorbsivitas 2
Adjoint 72
Arus probabilitas 54
Atom hidrogen 163
Aturan kuantisasi Bohr 31
Benda hitam 3
Berkas partikel 98, 117
Bilangan kuantum magnetik 168
Bilangan kuantum orbital 172
Bilangan kuantum radial 184
Bilangan kuantum utama 192
Bra 160
Cahaya sebagai gelombang 21
Cahaya sebagai partikel 21, 34
Complex conjugate 53
Davidson dan Germer 27
Daya pancaran menurut Rayleigh-Jean 2
Daya pancaran menurut Wien 2
De Broghlie 27
Degenerasi 94
Deret pangkat tinggi 168
Deret terputus 129
Deviasi 59
Deviasi standard 64, 65, 68
Difraksi elektron 27, 44
Difraksi neutron 28
Difraksi sinar X 42

230
Dualisme gelombang partikel 45
Efek Compton 25
Efek foto listrik 21
Eigen fungsi 90
Eigenfungsi tingkat dasar 153
Eigenilai 73
Einstein 27
Emisi 2
Energi foton 23
Energi kuantisasi 45
Energi negatif 98
Energi positif 98
Energi potensial 163
Energi tereksitasi 83
Energi tingkat dasar 83
Energi tingkat ke 2 155
Energi total 73
Faktor normalisasi fungsi gelombang 176
Faktor normalisasi fungsi gelombang azimuth 168
Fase gelombnag 35
Fluks partikel 96, 98, 117
Formula Leibnitz’s 175
Formula Rodrigues 174
Formula Rodrigues untuk fungsi Laguere 192
Asosiasi
Foton 21
Frekuensi gelombang 23
Fungsi delta Dirac 1 dimensi 67
Fungsi delta Dirac 3 dimensi 67
Fungsi gelombang bagian radial 193
Fungsi gelombang bidang 35, 61

231
Fungsi gelombang bola harmonik 179
Fungsi gelombang osilator harmonik tingkat 131
ke n (eigenfungsi)
Fungsi gelombang periodik 95
Fungsi gelombang tereksitasi 85
Fungsi gelombang terlokalisasi 141, 141
Fungsi gelombang tingkat dasar 85
Fungsi gelombang tingkat tertinggi 153
Fungsi Hermite 124, 127
Fungsi Laguerre 166
Fungsi pembangkit Hermite 133
Fungsi pembangkit Laguere 189
Fungsi sinusoidal 167
Hamburan elektron 27, 42
Hermitian 72
Hubungan anti komutasi 152
Hubungan komutasi 71
Hubungan komutasi posisi dan momentum 71
Hubungan rekursi 134, 153
Hukum pergeseran Wien 16
Identitas Baker Housdorff 72
Index equation 183,185
Integral Fourier 37
Integral Gaussian 62, 68, 69
Intensitas radiasi menurut Planck 12
Intensitas radiasi menurut Rayleigh-Jean 10
Intensitas radiasi menurut Stefan Boltzmann 15
Interferensi konstruktif 28
Keadaan partikel (state) 61
Kecepatan fase 36
Kecepatan group 36

232
Ket 160
Ketidakpastian 55
Kirchhoff 2,3
Koefisien pangkat tertinggi variabel fungsi 131
gelombang
Koefisien refleksi 112
Koefisien transmisi 112, 119
Kondisi normalisasi 155
Konjugate 151
Konstanta normalisasi fungsi gelombang 193
bagian radial
Konstanta Planck,h 12
Korespondensi antar mekanika klasik dan 73
kuantum
Kronecker delta dirac 148
Kuadrat amplitude 88
Kuantum cahaya 23, 26
Massa diam foton 23
Matriks eigennilai 159
Medan potensial Coulomb 163
Metode Debye-Schemer 43
Metode Laue 42
Metode operator 148
Metode separase variabel 89
Model atom Bohr 29
Model atom Rutherford 29
Model atom Tompson 28
Momentum 55, 57
Nilai ekspektasi momentum 68, 84
Nilai harap momentum osilator harmonik 144, 145
Nilai harap poisisi osilator harmonik 144, 145

233
Nilai harap posisi 55, 64
Nilai rerata 59
Normalisasi 52, 53, 54
Operator 46, 70
Operator differensial 70, 89, 150
Operator differensial orde 1 151
Operator Hamiltonian 73,76, 150, 153,
159
Operator momentum 70
Operator nol 71
Operator penaik 150
Operator penurun 150
Operator posisi 70
Operator satuan 71
Operetor linear 50, 70
Osilator harmonik 129
Osilator harmonik secara klasik 140
Osilator harmonik1 dimensi 122, 153
Paket gelombang Gaussian 62
Panjang gelombang Compton 26
Panjang gelombang partikel 35
PD standar 127
Peluang 51
Pemisahan variabel 166
Penentuan energi secara grafik 104
Penyelesaian ganjil 102, 104, 114,
115, 129, 171
Penyelesaian genap 102, 104, 114,
116
Penyelesaian pendekatan 124
Penyelesaian umum 126

234
Pergeseran frekuensi 26
Perkalian skalar antar fungsi gelombang 71
Perkalian skalar antar operator 71
Persamaaan Schrodinger bagian sudut polar 168
Persamaan azimuthal 167
Persamaan differensial fungsi Confluent 198, 199
Hypergeometry
Persamaan differensial fungsi Hypergeometrie 196
Persamaan differensial fungsi Laguere 183, 191
Persamaan differensial fungsi laguere 188, 192
terasosiasi
Persamaan differensial fungsi Legendre 169
Persamaan differensial Kummer 198, 199
Persamaan differensial legendre terasosiasi 168
Persamaan kontinyuitas 54
Persamaan Schrodinger 45, 123, 164
Persamaan schrodinger bagian radial 180
Persamaan Schrodinger stationer 49
Persamaan Schrodinger untuk partikel bebas 47
Perubahan panjang gelombang 26
Planck 13
Poisson Bracket 76
Polinom Hermite 131, 136
Polinom laguere terasosiasi 192
Polinom Legendre 174
Polinom legendre terasosiasi 169
Polinom Legendre terisolasi 176
posisi 55,57
Potensial kotak satu dimensi 81
Potensial kotak tiga dimensi 89
Potensial sederhana 81

235
Potensial sumur 98
Potensial sumur delta ganda 109
Potensial tangga 94
Potensial tanggul 119
Prinsip ketidakpastian Heinsberg 56, 57, 61
Prinsip korespondensi 72
Probabilitas posisi partikel secara klasik 142, 143
Probabilitas posisi partikel secara kuantum 142, 143
Radiasi benda hitam 3
Radius Bohr 193
Rapat arus 98
Rapat energi 3
Rapat energi menurut Planck 12
Rapat energi menurut Rayleigh 6
Rapat energi menurut Wien 4,13
Rapat probabilitas 52, 58, 64, 67, 68
Rayleigh-Jeans 3
Refleksi 96,109
Reprentasi matriks 161
Self adjoint 151
Set lengkap eigenfungsi 159
Sifat gelombang 2
Sifat komutatif 71
Sifat operator penurun 156,153
Sifat operetor penaik 156
Sommerfeld dan Wilson 31
Spektrum hamburan Compton 26
Spektrum radiasi 29
Sudut azimuth 166
Sudut hamburan 26

236
Superposisi eigenfungsi 159
Syarat kontinyuitas 97,112
Tak terdegenerasi 94
Teorema Ehrenfest 76
Tingkat-tingkat energi 81, 129
Tingkat-tingkat energi elektron 163, 187
Titik balik 141
Titik ordinary 169, 17, 127
Titik regular singular 127, 170, 184
Transformasi Fourier 66, 69
Transmisi 96, 109
Wien 3

237

Anda mungkin juga menyukai