Anda di halaman 1dari 11

MATERI INISIASI 7

MATAKULIAH : KEBANKSENTRALAN DAN KEBIJAKAN MONETER/

ESPA 4421

MODUL : MD7

JUDUL : KEBIJAKAN MONETER

PENULIS/ : NATRINA UJUNG, S.Stat, M.M.

TUTOR

1. Teori dan Konsep Kebijakan Moneter dan Kaitannya dengan Kebijakan Makro

Peranan uang dalam perekonominian modern sangat penting untuk menunjang

aktifitas para pelaku ekonomi dalam suatu negara. Sesuai dengan teori Keynes,

permintaan akan besarnya jumlah uang yang dibutukan dalam prekonominian tidak

terlepas dari fungsi dan motif masyarakat dalam memegang uang.

Fungsi Uang diantaranya adalah :

1. Fungsi utama uang adalah sebagai alat pembayaran. Dengan menggunakan uang,

transaksi tidak lagi dilakukan dengan menukarkan suatu barang dengan barang yang

lainnya. Cukup dengan memegang uang, maka seseorang dapat membeli barang atau

jasa yang yang dibutuhkan. Dengan demikian, fungsi ini memenuhi motif orang

memegang uang dalam rangka melakukan transaksi.

2. Sebagai media penyimpan kekayaan. Fungsi ini menunjukkan bahwa uang memiliki

nilai yang berharga yang dapat digunakan untuk membeli atau membayar barang

1
atau jasa pada saat diperlukan di masa mendatang. Dengan demikian, fungsi ini

memenuhi motif orang memegang uang dalam rangka berjaga-jaga.

3. Sebagai dasar perhitungan dalam transaksi ekonomi dan keuangan. Fungsi ini

memudahkan seseorang dalam memberikan nilai atas suatu barang atau jasa. Dalam

transaksi barter, seekor kambing mungkindapat ditukar dengan 30 ekor ayam.

Namun, kesulitan akan muncul apabila ukuran besar dan berat kambing atau ayam

yang akan dipertukarkan tidak dapat disepakati oleh pihak-pihak yang melakukan

transaksi. Dalam hal ini, uang dapat berfungsi untuk memberikan nilai yang pasti

atas kambing atau ayam tersebut.

4. Sebagai ukuran yang pasti atas pembayaran yang tertunda. Misalnya apabila

seseorang memperoleh kredit dari bank sejumlah Rp. 1.000.000 dengan suku bunga

terbesar 10% setahun untuk membeli seekor kambing betina, maka pada akhir tahun

pertama jumlah uang plus bunga yang harus dibayarkan adalah sejumlah Rp.

1.100.000. Bandingkan apabila seseorang meminjam seekor kambing betina yang

akan dikembalikan setahun kemudian. Tentu sulit untuk memberikan nilai atas

tingkat pengembalian yang diharapkan karena kambing tersebut mungkin sudah

semakin tidak produktif atau bahkan akan semakin sulit menilainya apabila,

misalnya, kambing tersebut melahirkan anak.

Perkembangan ekonomi pada dasarnya selalu mengalami pasang surut atau

sering dikatakan bahwa terdapat siklus kegiatan ekonomi yang cendrung berulang. Ada

saatnya perekonomian berada dalam kondisi yang sangat baik atau ‘boom’, dalam

pengertian bahwa hampir semua indicator ekonomi makro menunjukkan

perkembangan yang membaik sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi yang

berkelanjutan. Namun, pada saat yang lain perekonomian bisa jadi berada dalam kondisi

‘slump’, dalam pengertian hampir semua indicator ekonomi makro menunjukkan

2
perkembangan yang kurang memuaskan sehingga pertumbuhan ekonomi terhambat.

Dalam kondisi siklus yang berbeda-beda inilah diperlukan kebijakan-kebijakan makro

ekonomi yang tepat untuk mengarahkan perekonomian menuju stabilisasi ekonomi

makro yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Pada

intinya, sisi permintaan dan sisi penawaran agregat harus dikelola sedemikian rupa

sehingga mengarah pada keseimbangan (ekuilibrium).

Dalam melaksanakan kebijakan moneter, bank sentral atau otoritas moneter

mengikuti suatu pola kerangka kerja kebijakan yang terdiri dari :

1. Kerangka operasional dan

2. Kerangka strategis

Pada dasarnya kedua kerangka ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk

dapat mencapai suatu target akhir kebijakan moneter, sasaran operasional yang

merupakan target jangka pendek yang secara langsung ingin dicapai melalui

penggunaan instrument-instrumen moneter tersebut, serta sasaran antara. Sementara

itu, kerangka strategis kebijakan moneter pada dasarnya terkait dengan penetapan

tujuan akhir kebijakan moneter dan strategi untuk mencapainya.

2. Teori dan Konsep Kebijakan Moneter (Kuantitas, Harga, dan Sasaran Akhir

Inflasi/Inflation Targeting Framework-ITF

Kebijakan moneter pada umunya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup

orang banyak untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan moneter berkontribusi dalam

menjaga stabilitas harga. Untuk itu, terdapat dua kerangka kebijakan moneter yang

umum dilakukan yaitu kerangka kebijakan moneter dengan menggunakan pendekatan

harga (suku bunga) dan kuantitas (jumlah uang beredar). Dengan menggunakan

3
kerangka kebijakan moneter tersebut, kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai

target akhir yaitu stabilitas harga yang disebut sebagai Infalation Targeting Framework

(ITF).

Pendekatan Monetary Agregat

Instrumen Instrumen
Instrumen Stabilitas
(OPT, GWM, dll) (OPT, GWM,
(OPT, GWM, dll) Harga
dll)

Pendekatan Haga Secara Umum

Sasaran
Instrumen Stabilitas
Operasional
(OPT, GWM, dll) Harga
(suku bunga) Variabel – variabel informasi

3.Kebijakan Moneter di Indonesia

Kebijakan Moneter Periode 1965-1983

Kebijakan pemerintah dalam menurunkan inflasi sejak 1968 sampai dengan awal 1970-

an telah berhasil dengan sangat baik. Akan tetapi pada 1973 harga minyak meningkat

tajam. Peningkatan harga minyak ini mengakibatkan meningkatnya penerimaan devisa

pemerintah dengan pesat. Peningkatan tersebut khususnya berasal dari minyak bumi.

Peningkatan penerimaan ini kemudian digunakan untuk membiayai berbagai

4
pengeluraran pemerintah. Pembiayaan terhadap pengeluaran yang cukup besar

tersebut kemudian mengakibatkan laju inflasi menigkat menjadi 41% pada tahun 1974.

Untuk menurunkan laju inflasi tersebut, pada april 1974 Bank Indonesia

melaksanakan kebijakan moneter secara kuantitatif sehigga bersifat lansung (non

market based) berupa penetapan pagu aktiva neto dan penetapan suku bunga bank-

bank pemerintah. Penetapan pagu aktiva neto atau lebih populernya pagu kredit

perbankan secara keseluruhan dilakukan pada awal setiap tahun sehigga dapat

diketahui likuiditas dalam perekonomian yang dapat mendukung target pertumbuhan

ekonomi dan tingkat inflasi yang dapat ditoleransi serta dpat menjaga keseimbangan

neraca pembayaran.

Selain kebijakan moneter kuantitatif tersebut, pemerintah juga melakukan

kebijakan pemberian bantuan kredit likuiditas dengan suku bunga yang disubsidi.

Kebijakan inidimaksudkan untuk mengalokasikan kredit sesuai dengan sektor-sektor

yang menjadi program pemerintah dan juga untuk membantu pemerataan usaha

khususnya terhadap golongan lemah.

Kebijakan Monoter Periode 1983-1987

Kebijakan deregulasi 1 juni 1983. Mencakup hal-hal berikut :

1. penghapusan pagu kredit perbankan.

2. pemberian kebebasan kepada kepada bank-bank perintah untuk menetapkan sendiri

kebijakan perkreditan termasuk suku bunganya.

3. pemberian kredit likuiditas bank Indonesia dibatasi hanya untuk sektor-sektor yang

berprioritas tinggi.

Kebijakan moneter periode 1988-1996

5
Kebijakan deregulasi perbankan dilanjutkan dalam paket kebijakan oktober 1988 atau

dikenal pakto 1988. Tujuan kebijaksanaan pakto 1988 antara lain sebagai berikut

(wardhana, 1990):

1. memberikan suasana persaingan yang lebih besar diantara bank-bank agar

pelayanan bank kepada masabah meningkat.

2. memperluas financial services untuk mengantisipasi perkembanggan ekonomi yang

semakin canggih.

3. menyerahkan suku bunga dan nilai tukar ke pasar agar pasar uang berkembang dan

berfungsi dengan baik.

4. meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan melalui prudential

supervision.

Sedangkan isi dari pakto 1988, secara umum mencakup sebagai berikut :

1. Kemudahan pembukaan kantor bank. Kebijakan ini memberikan kemudahan dalam

pembukaan kantor cabang bank dan kantor cabang lembaga keuangan bukan bank

(LKBB), pendirian bank swasta baru, bank campuran, dan bank perkreditan rakyat.

2. Diizinkannya dana BUMN dan BUMD disimpan pada bank swasta, dimana

sebelumnya diharuskan disimpan pada bank pemerintah.

3. Penurunan giro wajib minimum dari 15% menjadi 2%.

Kebijakan Moneter Periode 1997 – 1998

Kebijakan moneter pada 1998 lebih diarahkan pada pengetatan (suku bunga tinggi).

Untuk mencegah terjadinya hiperinflansi (inflansi yang terlalu tinggi). Sejalan dengan

kebijakan pengetatan selama tahun 1998, pengendalian jumlah uang beredar dilakukan

melalui pencapaian sasaran operasional uang primer yang ditetapkan sesuai dengan

program yang disepakati oleh pemerintah dan IMF.

6
Kebijakan Moneter priode 1999 – sekarang

Periode kebijakan moneter dalam kerangka inflation targeting yakni dangan sarana

tunggal kesatabilan harga.

Kerangka Kebijakan Moneter

Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka

kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF) dengan penggunaan suku

bunga sebagai sasaran operasional. Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak 1

Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang

primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter. Berpijak pada pengalaman

krisis keuangan global 2008/2009, salah satu pelajaran penting yang mengemuka

adalah diperlukannya fleksibilitas yang cukup bagi bank sentral untuk merespons

perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang

semakin kuat dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan

perkembangan tersebut, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible

ITF.

Flexible ITF dibangun dengan tetap berpijak pada elemen-elemen penting ITF

yang telah terbangun. Elemen-elemen pokok ITF termasuk pengumuman sasaran inflasi

kepada publik, kebijakan moneter yang ditempuh secara forward looking, dan

akuntabilitas kebijakan kepada publik tetap menjadi bagian inherent dalam Flexible ITF.

Kerangka Flexible ITF dibangun berdasarkan 5 (lima) elemen pokok.

1. Pertama, inflasi tetap merupakan target utama kebijakan moneter.

7
2. Kedua, pengintegrasian kebijakan moneter dengan kebijakan makroprudensial

untuk memperkuat transmisi kebijakan dan mendukung stabilitas

makroekonomi.

3. Ketiga, penguatan kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung

stabilitas makroekonomi.

4. Keempat, penguatan koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dengan

Pemerintah baik untuk pengendalian inflasi maupun stabilitas sistem keuangan.

5. Kelima, penguatan komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen

kebijakan.

Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 mengharuskan bank

sentral untuk melakukan stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan perekonomian.

Kebijakan yang hanya mengedepankan penerapan ITF menunjukkan pelemahan. Hal ini

dikarenakan penerapan ITF secara ketat yang hanya fokus pada mandat kebijakan

moneter untuk menjaga inflasi sesuai dengan targetnya tidak cukup untuk menjaga

stabilitas sistem perekonomian secara keseluruhan.

Seiring dengan semakin besarnya peran sistem keuangan dalam perekonomian, dampak

ketidakstabilan sistem keuangan menjadi semakin signifikan. Hal ini tercermin pada

dari besarnya biaya penyelamatan dan juga beratnya dampak yang ditimbulkan oleh

krisis keuangan global tahun 2008/2009, sehingga menyadarkan pentingnya peran

bank sentral untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan.

Strategi kebijakan moneter pasca krisis keuangan global 2008/2009, bank

sentral dituntut untuk semakin memperkuat stabilitas sistem keuangan untuk

memastikan perekonomian dan sistem keuangan berada dalam kondisi stabil, baik dari

sisi makroekonomi maupun sektor keuangan.Oleh karena itu, Bank Indonesia

8
memperkuat kerangka ITF menjadi flexible ITF dengan semakin memperkuat

mandatnya dalam kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan.

Dalam implementasi kerangka flexible ITF, Bank Indonesia menerapkan bauran

kebijakan (policy mix) dalam rangka menjaga keseimbangan internal dan eksternal.

Terkait dengan strategi penargetan inflasi (inflation targeting), Bank Indonesia

mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Setiap periode Bank

Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran

yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan berbagai informasi

tersedia untuk menggambarkan kondisi inflasi ke depan.

Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai asesmen

terhadap kondisi terkini dan outlook inflasi ke depan, keputusan yang diambil, serta

arah kebijakan ke depan yang akan diambil untuk menjaga inflasi sesuai dengan

sasarannya (forward guidance).

Bersamaan dengan implementasi flexible ITF, Bank Indonesia menjadikan BI 7-

day (Reverse) Repo Rate (BI7DRR) sebagai suku bunga kebijakan yang

merepresentasikan sinyal respons kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi

sesuai dengan sasaran. Penggunaan BI7DRR sebagai suku bunga acuan merupakan

bagian dari reformulasi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Reformulasi memiliki tiga tujuan utama. Pertama, memperkuat sinyal arah kebijakan

moneter. Kedua, memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui

pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan.

Ketiga, mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya transaksi dan pembentukan

struktur suku bunga di PUAB untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan.

Dalam implementasinya, reformulasi memegang empat prinsip. Pertama,

reformulasi tidak mengubah kerangka kebijakan moneter karena Bank Indonesia tetap

9
menerapkan flexible ITF. Kedua, reformulasi tidak untuk mengubah stance kebijakan

moneter yang sedang ditempuh. Ketiga, reformulasi membuat suku bunga kebijakan

terefleksikan di instrumen moneter dan dapat ditransaksikan dengan Bank Indonesia.

Keempat, penentuan suku bunga sasaran operasional berdasarkan pertimbangan dapat

dipengaruhi suku bunga kebijakan. Sesuai dengan prinsip kedua implementasi

reformulasi, perubahan tersebut tidak mengubah stance kebijakan moneter karena

kedua suku bunga kebijakan BI Rate dan BI7DRR berada dalam satu struktur suku

bunga (term structure) yang sama dalam mengarahkan inflasi agar sesuai dengan

sasarannya. Perbedaan hanya terlihat pada tenor instrumen, yakni BI Rate setara

dengan instrumen moneter 12 bulan, sedangkan BI7DRR setara dengan instrumen

moneter 7 hari.

Implementasi flexible ITF juga ditujukan untuk mencapai stabilitas sistem

keuangan. Untuk mencapai tujuan tersebut, implementasi flexible ITF didukung oleh

penerapan kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial merupakan

kebijakan yang difokuskan pada interaksi antar lembaga keuangan, pasar, infrastruktur,

dan ekonomi yang lebih luas, termasuk pengukuran potensi risiko ke depan. Kebijakan

ini bertujuan untuk mencegah risiko sistemik yang berpotensi menimbulkan krisis

sistem keuangan akibat kondisi makroekonomi. Adapun penjelasan lebih lanjut

mengenai kebijakan makroprudensial dapat dilihat pada: (Link ke kebijakan

makroprudensial).

Implementasi flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar.

Kebijakan nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia dalam rangka mengelola stabilitas

nilai tukar rupiah agar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong

bekerjanya mekanisme pasar. Kebijakan nilai tukar dilakukan dalam rangka mengurangi

gejolak yang muncul dari ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar


1
0
valuta asing (valas), melalui intervensi valas dan dual intervention. Strategi dual

intervention dilakukan melalui intervensi jual di pasar valas yang disertai dengan

pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Strategi dual intervention

dilakukan untuk menjaga kestabilan nilai tukar dan sekaligus menjaga kecukupan

likuiditas rupiah.

Berbagai kebijakan tersebut diperkuat oleh koordinasi kebijakan bersama

Pemerintah, khususnya terkait dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah terutama

diarahkan untuk menjaga ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan stabilisasi

harga pangan guna mendukung terkendalinya inflasi. Koordinasi kebijakan

pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah yang semakin kuat

diwujudkan melalui forum Tim Pengendali Inflasi (TPI) baik di pusat maupun daerah.

Salam Tutor.

Selamat Belajar. Tetap Semangat.

1
1

Anda mungkin juga menyukai