Anda di halaman 1dari 3

JUDUL CERITA RAKYAT:

LEGENDA ASAL USUL


SUKU TENGGER DAN GUNUNG BROMO

NAMA PESERTA:

STEFHANI PUTRI DEWI ANGGRAINI


LEGENDA ASAL USUL SUKU TENGGER DAN GUNUNG BROMO

Pada zaman dahulu kala, di sebuah pertapaan hiduplah seorang Brahmana yang
bijak. Istrinya baru saja melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. Bayi
tersebut lahir dengan sehat dan memiliki tangisan yang kencang, maka dari itu diberi nama
Jaka Seger.
Sementara itu di tempat lain, lahirlah seorang bayi yang memiliki paras cantik jelita dari
sepasang suami istri. Bayi perempuan tersebut adalah titisan seorang dewa. Karena ketika lahir
ia hanya diam saja dan begitu tenang, maka diberi nama Rara Anteng.
Kedua bayi tersebut kemudian beranjak dewasa. Rara Anteng tumbuh menjadi seorang
gadis yang begitu cantik dan disukai banyak pemuda. Namun, hatinya sudah tertambat pada
sosok Jaka Seger. Perasaan tersebut nyatanya tak hanya dirasakan sepihak saja. Lelaki
berparas tampan itu juga menyukainya.
Kecantikan Roro Anteng begitu termasyur di mana-mana hingga terdengar oleh seorang
pertapa sakti berwujud raksasa bernama Kyai Bima yang tinggal di lereng Gunung Bromo. Ia
datang menemui keluarga sang gadis dan bermaksud meminangnya. Jika ditolak, ia
mengancam akan menghancurkan desa.
Perempuan cantik itu begitu bimbang. Ia tentu tidak bisa menerima pinangan tersebut
karena mencintai kekasihnya. Namun, di satu sisi, ia juga tak mau kalau desanya
dihancurkan. Sang kekasih pun tak dapat berbuat apa-apa karena Kyai Bima bukanlah
tandingannya.
Karena sang raksasa terus mendesak, akhirnya Rara Anteng memberikan syarat.
Katanya, “Aku mau engkau membuatkanku danau di atas Gunung Bromo. Engkau harus
menyelesaikannya hanya dalam waktu semalam dan sebelum ayam berkokok.” Mendengar hal
tersebut, Kyai Bima hanya tertawa karena baginya itu adalah sebuah hal yang sangat mudah
dilakukan. Kemudian ia pun bergegas pergi ke tempat yang dimaksud dan mulai mengerjakan
danaunya. Sang raksasa yang sakti tersebut begitu percaya diri. Dengan kekuatannya, ia pun
hanya menggunakan batok atau tempurung kelapa untuk mengeruk tanah. Tanpa lelah, ia terus
mengeruk dan mengeruk hingga terbentuklah lubang besar yang telah siap untuk diisi air.
Dari kejauhan, Rara Anteng mengawasinya. Melihat kalau danau hampir selesai dibuat,
ia merasa gusar dan gelisah. Ia tak menyangka kalau pertapa sakti itu bisa melakukannya.
“Aduh, bagaimana ini? Raksasa itu benar-benar sakti. Pasti nanti pagi danau itu sudah selesai.
Bagaimana caranya agar aku dapat menggagalkannya?” katanya dalam hati.
Rara Anteng kemudian mencari cara agar bisa menghentikannya. Ia mengajak semua
perempuan menumbuk padi menggunakan lesung. Sementara itu, para lelaki disuruhnya
membakar jerami di sebelah timur supaya terlihat seperti fajar akan segera terbit. Suara lesung
pun bersahut-sahutan, hal tersebut kemudian membangunkan ayam-ayam jantan milik warga,
hingga semua ayam berkokok.
Di tempat lain, Kyai Bima begitu terkejut mendengar suara kokokan ayam itu. Ia mengira
kalau fajar memang telah tiba. Ia merasa kesal karena gagal memenuhi syarat yang berarti tak
dapat menikahi Rara Anteng. Dengan penuh amarah, ia kemudian melemparkan batok yang di
tangannya lalu pergi begitu saja. Batok yang dilempar tadi pun kemudian jatuh ke tanah dan
membentuk sebuah gunung yang kemudian dinamai Gunung Batok.
Akhirnya Jaka Seger dan Rara Anteng menikah, mereka kemudian mendiami sebuah
kawasan yang diberi nama Tengger. Nama tempat tersebut adalah gabungan dari nama dua
orang itu. “Teng” akhiran nama Roro An-”teng” dan “ger” akhiran nama Joko Se-”ger”.
Nama itu juga bisa diartikan sebagai “tenggering budi luhur” yang berarti bermoral tinggi
dan simbol perdamaian abadi. Suku tengger adalah masyarakat asli yang berada di kawasan
kaki gunung bromo semeru yang berasal dari penduduk pribumi kerajaan majapahit. Jaka
Seger menjadi pemimpin di kawasan tersebut dan hidup tenteram bersama warga yang lain.
Sayangnya, kebahagiaan yang dirasakannya belumlah lengkap tanpa kehadiran
seorang buah hati. Lalu pada suatu hari, pasangan tersebut memutuskan untuk bersemedi di
Gunung Bromo. Dengan melakukan ritual ini, mereka berharap bisa segera mendapatkan
keturunan. Setelah beberapa hari bersemedi, tiba-tiba datanglah suara gaib dari dewa
terdengar yang mengatakan bahwa permohonan pasangan itu untuk mendapatkan anak akan
terkabul. Namun sebagai imbalannya, anak terakhir mereka nantinya harus dikorbankan ke
kawah Gunung Bromo. Rara Anteng dan Jaka Seger pun tanpa pikir panjang menerima
persyaratan yang diberikan. Lalu, di tengah kawah muncullah api membara yang menandakan
kalau doanya akan segera dikabulkan.
Sekembalinya dari bersemedi, Rara Anteng hamil dan melahirkan seorang anak, lalu
mereka akhirnya memiliki 25 orang anak. Beberapa tahun pun berlalu, pasangan tersebut hidup
bahagia dengan anak-anak mereka. Si bungsu yang diberi nama Jaya Kesuma pun tumbuh
menjadi anak yang tampan, cerdas dan tangkas.
Hingga pada satu malam, Jaka Seger bermimpi bertemu dengan seorang dewa, ia
ditegur sang dewa karena lupa menepati janjinya untuk menyerahkan anak bungsunya sebagai
sesajen di kawah Gunung Bromo. Kalau janji tersebut tidak dipenuhi, maka desanya akan
dilanda malapetaka. Pagi harinya ketika bangun, lelaki tersebut merasa begitu sedih. Meskipun
sudah berjanji, ia tetap saja tidak tega menyerahkan anak yang disayanginya itu. Awalnya, ia
mengajak sang istri berunding bagaimana mengatakan hal tersebut pada si bungsu. Dengan
berat hati, mereka kemudian menceritakan semuanya kepada anak lelaki kesayangan tersebut.
Dengan bijak, Jaya Kesuma pun berlapang dada dan bersedia untuk dikorbankan ke
kawah Gunung Bromo. Katanya, “Ayah dan Bunda tak perlu bersedih. Ananda akan melakukan
apa saja termasuk dikorbankan demi keselamatan penduduk TenggerAyahanda, Ibunda, serta
kakak-kakak.” Dengan hati yang begitu kacau, kedua orang tuanya pun menerima keputusan si
bungsu dengan lapang dada.
Pada hari yang telah ditetapkan, tanggal 14 bulan Kasadha, Jaya Kesuma diantar oleh
keluarga dan warga desa untuk pergi ke kawah Bromo. Sesampainya di sana, ia pun berkata,
“Aku akan menceburkan diri ke dalam kawah demi ketenteraman rakyat Tengger di sini.
Kirimkanlah aku hasil ladang pada saat terang bulan, yaitu pada tanggal ke 14 bulan Kasadha.”
Setelah itu, ia menceburkan diri ke dalam kawah dan seketika menghilang tersambar api. Sejak
saat itu, acara yang disebut tradisi Kesada ini selalu dilakukan setiap tahunnya oleh masyarakat
Tengger yang merupakan keturunan dari Rara Anteng dan Jaka Seger.
Berdasarkan cerita sejarah dan legenda, bahwasannya Gunung Bromo berasal dari
nama Brahma yaitu Gunung yang dianggap Suci oleh masyarakat suku Tengger. Brahma
adalah nama Dewa agung nan susi yang beragama Hindu. Kemudian orang jawa menyebutnya
Gunung Bromo.

Anda mungkin juga menyukai