Anda di halaman 1dari 147

ASPEK HUKUM PENUTUPAN ASURANSI

KECELAKAAN BAGI JAMAAH HAJI


INDONESIA DI PT. GARUDA INDONESIA

B. SYARIFUDDIN LATIF

LPU-UNAS 2016
Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Copyright : B. SYARIFUDDIN LATIF

ASPEK HUKUM PENUTUPAN ASURANSI KECELAKAAN


BAGI JAMAAH HAJI INDONESIA DI PT. GARUDA
INDONESIA

ISBN : 978-602-0819-19-8

Editor dan Desain Sampul: Syarif Nur Bienardi


Penata Letak : LPU-UNAS

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak


buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk dan dengan cara
apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronis, termasuk
fotocopi, rekaman dan lain-lain tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Lembaga Penerbitan Universitas-Universitas Nasional (LPU-UNAS)


Alamat : Jl. Sawo Manila, No. 61. Pejaten, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan.12520. Telphon : 021-78837310/
021-7806700 (hunting) ext. 172. Fak : 021-7802718

Cetakan : 2016
Dicetak oleh LPU-UNAS, JAKARTA
KATA PENGANTAR

Keberadaan asuransi kecelakaan bagi jemaah Haji oleh


PT. Garuda Indonesia yang diulas dalam buku ini dari sudut
hukum dan historis diharapkan dapat memenuhi keingintahuan
para pembaca mengenai asuransi perjalanan.
Pengaturan kuota haji terkait dengan banyaknya jumlah
calon haji Indonesia menjadi masalah karena di beberapa daerah
sampai menunggu 20 tahun baru dapat diberangkatkan ke Mekah.
Mencermati hal terbsebut sudah selayaknya kita meninjau
hukum yang ideal mengenai asuransi kecelakaan dalam
perjalanan haji tersebut. Uang yang sudah dibayarkan oleh calon
haji ke Bank dan rencana untuk diberangkatkan menjadi urusan
bersama seluruh pihak yang menjadi stakeholder.
Hukum mengenai penuutupan asuransi bagi jemaah haji
Indonesia ini menjadi sangat penting mengingat semakin hari
semakin bertambah besar minat orang untuk menunaikan rukun
Islam yang ke 5 tersebut.

Jakarta, Agustus 2016


Penulis,

B. Syarifuddin Latif

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................... 1


1. Latar Belakang Masalah ...................................... 1
1.1. Tujuan Kegiatan ................................................ 3
1.2. Ruang Lingkup Kegiatan .................................... 3
1.3. Output Kegiatan.................................................. 4
1.4. Potret Penyelenggaraan Haji ............................. 4
1.5. Masa Penjajahan Belanda ................................... 5
1.6. Masa Setelah Kemerdekaan................................ 7
- Perkembangan Jumlah Jamaah Haji dan
Ongkos Naik Haji 1954-1959 ............................ 8
- Perkembangan Quota Haji Indonesia
1996- 2005 .......................................................... 15
- Jumlah Quota dan Jamaah Haji Menurut
Embarkasi, 1996-2005 ........................................ 16
- Jumlah Kelompok Terbang (Kloter), 2001-2005 ..... 17
- Jumlah Jamaah Haji Menurut 5 Provinsi Tahun
Terbesar, 1996-2005 ........................................... 18
- Quota Haji di 9 Provinsi Tahun 2005-2006…… 19
- Pembagian Quota Jamaah Haji Khusus Per
Perusahaan,2006 ................................................. 20
- Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) ..... 22
- Transportasi Haji ............................................... 31

ii
BAB II ANALISIS REGULASI DAN PRAKTEK DALAM
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI. ............... 39
- RUU Perubahan UU No. 17 Tahun 1999 ............... 42
- Transportasi Angkutan Udara ................................ 48
- Rekomendasi .......................................................... 59

BAB III TINJAUAN TERHADAP PENUTUPAN


ASURANSI ANGKUTAN UDARA ...................... 71
- Objek Asuransi Angkutan Udara ......................... 71
- Unsur-Unsur Perlindungan Konsumen Dalam
Asuransi Angkutan Udara .................................... 80
- Klasifikasi Risiko, Risiko Yang Ditanggung ....... 85

BAB IV ASPEK HUKUM PENERBANGAN HAJI OLEH


PT. GARUDA INDONESIA .................................. 95
- Konsep Penerbangan Non-Reguler Angkutan
Haji .................................................................... 95
- Persiapan Operasional ....................................... 101
- Kendala Dalam Penerbangan Haji ................... 108

BAB V PENUTUPAN ASURANSI BAGI JAMAAH


OLEH PT. GARUDA INDONESIA ........................ 115
- Premi Standar Penerbangan Haji oleh PT.
Garuda Indonesia ............................................... 115
- Prosedur Pertanggungan Asuransi Bagi
Penumpang Dalam Penerbangan Haji ................. 124

iii
- Permasalahan Hukum Dalam Pemberian
Pertanggungan Asuransi oleh PT. Garuda
Indoensia ............................................................. 128

BAB VI PENUTUP .............................................................. 133


SIMPULAN ........................................................... 133

DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 137

iv
Pendahuluan

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalan


Haji adalah rukun Islam kelima yang pelaksanaannya
hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu yaitu antara tanggal 8
sampai dengan 13 Dzulhijah setiap tahunnya. Menunaikan ibadah
haji harus dilakukan oleh setiap muslim yang mampu
mengerjakannya minimal sekali seumur hidup.
Karena tingginya nilai ibadah haji, maka umat Islam
Indonesia tidak segan-segan mengorbankan sebagian harta
kekayaannya, meninggalkan pekerjaan dan keluarganya selama
waktu tertentu dan siap bersusah payah untuk menunaikan rukun
Islam kelima tersebut. Maka tidak heran kalau, seiring dengan
meni ngkatnya kemampuan ekonomi Indonesia, jumlah jamaah
haji Indonesia dari waktu ke waktu mengalami peningkatan dan
bahkan belakangan ini jumlah pendaftarnya melampaui quota
yang telah ditetapkan.
Sejarah telah membuktikan, bahwa sejak zaman dahulu
jauh sebelum kemerdekaan jumlah jamaah haji Indonesia dan
sampai saat ini masih menempati posisi jumlah yang terbesar bila
dibandingkan dengan negara manapun, yaitu selalu berada pada
kisaran 15-25% dari seluruh jumlah jamaah haji di Arab Saudi.
Sebagai konsekuensi dari meningkatnya jumlah jamaah haji,
maka komponen-komponen yang diperlukan untuk
penyelenggaran ibadah tersebut juga semakin meningkat, seperti
transportasi, pemondokan dan katering. Pengadaan komponen-
komponen ini memiliki nilai ekonomi yang cukup besar sehingga

1
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

dapat berubah menjadi lahan bisnis yang sangat menggiurkan,


tidak saja bagi orang Indonesia tapi juga orang Arab Saudi.
Banyak pihak yang ingin mengeruk manfaat dari kegiatan
tersebut. Oleh karena itu, tidak heran kalau terjadi tarik-menarik
kepentingan dalam penyelenggaraan haji ini. Sorotan masyarakat
terhadap penyelenggaraan haji belakangan ini semakin
meningkat.
Sorotan itu tidak saja terbatas pada penanganan dan
penyelenggaraan haji yang dinilai tidak profesional, akan tetapi
juga disertai tuntutan dihapuskannya monopoli penyelenggaraan
haji oleh Pemerintah c.q Departemen Agama karena lembaga
tersebut dinilai tidak mampu dan sudah saatnya untuk diserahkan
kepada swasta atau kepada pihak yang lebih mampu. Persoalan-
persoalan seputar penyelenggaraan ibadah haji senantiasa
menarik perhatian publik karena ibadah haji tidak hanya
berkaitan dengan agama tetapi juga bersentuhan dengan politik
dan bisnis internasional karena pelaksanaannya di luar negeri,
yaitu Arab Saudi.
Dengan kata lain kebijakan haji yang ditetapkan
pemerintah harus pula mempertimbangkan aspek hubungan
bilateral antara Indonesia dan Arab Saudi. Bergulirnya wacana
mengenai pengelolaan haji yang ideal merupakan gejala sangat
positif untuk mendorong Departemen Agama yang selama ini
memegang kendali utama penyelenggaraan ibadah tersebut lebih
mawas diri dan introspeksi.
Oleh sebab itulah, saat ini telah dihasilkan RUU
Perubahan UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Haji yang merupakan hasil penyusunan inisiatif DPR sebagai
upaya penyempurnaan regulasi penyelenggaraan haji. Komisi

2
Pendahuluan

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) selaku institusi pengemban


amanat UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, secara aktif juga mencermati
wacana yang bergulir dalam rangka peningkatan kualitas
penyelenggaraan ibadah haji, terutama dalam kaitannya dengan
internalisasi prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat dalam
segenap proses penyelenggaraan ibadah haji.
Guna memperoleh bahan serta informasi yang
komprehensif mengenai kinerja penyelenggaraan ibadah haji di
Indonesia selama ini serta mencermati ketentuan-ketentuan pasal
yang diatur dalam RUU penyelenggaraan haji maka perlu
dilakukan kegiatan evaluasi kebijakan Pemerintah terkait dengan
RUU Penyelenggaraan Haji.

1.1. Tujuan Kegiatan


Tujuan dari kegiatan evaluasi kebijakan RUU
Penyelenggaraan Haji, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.Mengumpulkan data dan informasi yang dapat menggambarkan
perkembangan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia;
2.Mengidentifikasi perubahan paradigma penyelenggaraan ibadah
haji sebagaimana diusulkan di dalam RUU Perubahan UU No.
17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;
3.Merumuskan pokok-pokok pikiran saran pertimbangan kepada
Pemerintah sebagai masukan guna penyempurnaan regulasi
penyelenggaraan ibadah haji.

1.2. Ruang Lingkup Kegiatan


Evaluasi kebijakan pemerintah RUU penyelenggaraan
haji akan diawali dengan pemetaan ataupun identifikasi pokok-

3
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

pokok ketentuan penyelenggaraan ibadah haji yang diatur di


dalam UU No.17/1999.
Pengumpulan informasi dan keterangan dari pihak terkait
mengenai penyelenggaraan haji menjadi pokok kegiatan dalam
identifikasi kinerja penyelenggaraan haji yang selama ini
dilakukan oleh Pemerintah.
Selanjutnya Tim juga akan mengidentifikasi pokok-pokok
pikiran yang diusulkan dalam ketentuan RUU penyelenggaraan
haji yang telah dihasilkan Pemerintah. Pada akhirnya Tim akan
menganalisis dan menyimpulkan pokok-pokok pikiran yang akan
diusulkan kepada Komisi guna memberikan masukan dalam
penyempuraan ketentuan penyelenggaraan haji untuk masa
mendatang.

1.3. Output Kegiatan


Hasil langsung dari kegiatan ini adalah laporan hasil
evaluasi kebijakan Pemerintah yang komprehensif mengenai
tanggapan KPPU terhadap RUU penyelenggaraan haji di
Indonesia.
Laporan hasil evaluasi kebijakan Pemerintah tersebut
selanjutnya dapat menjadi dasar penyusuanan saran pertimbangan
KPPU kepada Pemerintah terkait dengan penyelenggaraan haji
serta segera dapat disosialisasikan kepada para stakeholders.

1.4. Potret Penyelenggaraan Ibadah Haji


Sejarah Singkat Penyelenggaraan Ibadah Haji umat Islam
di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tapi menurut literatur
sejarah telah dimulai sejak Islam masuk ke Indonesia pada sekitar

4
Pendahuluan

abad 12 M, yang dilaksanakan secara perorangan dan kelompok


dalam jumlah yang kecil serta belum dilaksanakan secara massal.
Sejak berdirinya kerajaan Islam di Indonesia perjalanan
haji mulai dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya dan semakin
meningkat jumlahnya setelah berdirinya kerjaan Pasai di Aceh
pada tahun 1292. Terlepas dari itu, pengaturan penyelenggaraan
ibadah haji di Indonesia telah dilakukan sejak jaman penjajahan
hingga saat ini, yang dapat diuraikan pada bagian sub-sub bab
berikut di bawah ini.

1.5. Masa Penjajahan Belanda


Pada masa penjajahan Belanda, penyelenggaraan ibadah
haji dilakukan untuk menarik hati rakyat sehingga mengesankan
bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak menghalangi umat Islam
melaksanakan ibadah haji meskipun dengan keterbatasan fasilitas
yang sebenarnya kurang bermartabat, dimana pengangkutan haji
dilakukan dengan kapal KONGSI TIGA yaitu kapal dagang yang
biasa digunakan untuk mengangkut barang dagangan, demikian
juga tempat istirahat jamaah haji di kapal sama dengan apabila
kapal tersebut mengangkut ternak.
Faktor yang dominan dalam masalah perjalanan haji pada
masa penjajahan ini, yaitu keamanan di perjalanan dan fasilitas
angkutan jamaah haji masih sangat minim. Namun demikian hal
tersebut tidak mengurangi animo dan keinginan umat Islam untuk
melaksanakan ibadah haji, bahkan jumlahnya mulai meningkat
secara cepat, yang diperkirakan mulai sejak tahun 1910.
Pada tahun 1921 umat Islam mulai bergerak melakukan
upaya perbaikan ibadah haji yang dipelopori KH Ahmad Dahlan,

5
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

dengan menuntut KONGSI TIGA melakukan perbaikan


pelayanan pengangkutan ibadah haji Indonesia. Pada tahun 1922
Volksraad mengadakan perubahan pada pelgrims ordanantie ,
sedangkan Hoofdbestuur Muhammadiyah mengutus anggotanya,
KHM Sudjak dan M Wirjopertomo ke Makkah untuk meninjau
dan mempelajari masalah yang menyangkut perjalanan haji. Hasil
dari upaya-upaya tersebut ditetapkan dalam Ordanansi Haji 1922
Pemerintah Hindia Belanda. Ordonansi tersebut diantaranya
mengatur mengenai angkutan jamaah haji, keamanan dan fasilitas
angkutan selama dalam perjalanan. Karena kedua permasalahan,
yaitu keamanan dan fasilitas angkutan pada dasarnya telah
teratasi, maka dengan sendirinya jumlah jamaah haji Indonesia
pada saat itu terus melonjak.
Pada tahun 1928, Muhammadiyah mengaktifkan
penerangan tentang cita-cita perbaikan perjalanan haji.
Sedangkan Nahdatul Ulama melakukan pendekatan dengan
Pemerintah Saudi Arabia dengan mengirimkan utusan, KH Abdul
Wahab Abdullah dan Syech Ahmad Chainaim Al Amir,
menghadap Raja Saudi Arabia (Ibnu Saud) guna menyampaikan
keinginan untuk memberikan kemudahan dan kepastian tarif haji
(yang ketika itu banyak diselenggarakan oleh syech-syech)
melalui penetapan tarif oleh Baginda Raja. Pada tahun 1930
Kongres Muhammadiyah ke-17 di Minangkabau mencetuskan
pemikiran untuk membangun pelayaran sendiri bagi jamaah haji
Indonesia. Pada tahun 1932, berkat perjuangan anggota
Volskraad, Wiwoho dan kawan-kawan, Pelgrims Ordanantie
1922 dengan Staatblaad 1932 Nomor 544 mendapat perubahan
pada artikel 22 dengan tambahan artikel 22a yang memberikan
dasar hukum atas pemberian ijin bagi organisasi banafide bangsa

6
Pendahuluan

Indonesia (umat Islam Indonesia) untuk mengadakan pelayaran


haji dan perdagangan.

1.6. Masa Setelah Kemerdekaan


Pemerintah Indonesia pada tahun 1948 mengirimkan misi
haji ke Makkah yang beranggotakan: KRH Moh. Adnan, H
Ismail Banda, H Saleh Suady, H Samsir Sultan Ameh, untuk
menghadap Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud dan pada tahun itu juga
bendera Merah-Putih pertama kali dikibarkan di Arafah.
Pada tahun 1949 jumlah jamaah haji yang diberangkatkan
mencapai 9.892 orang dan pada tahun 1950 mencapai angka
10.000 orang ditambah 1.843 orang yang berangkat secara
mandiri. Penyelenggaraan ibadah haji pada masa ini dilakukan
oleh Penyelenggara Haji Indonesia (PHI) yang berada di setiap
Karesidenan.
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk lebih
memberikan kekuatan legalitas penyelenggaraan haji, pada
tanggal 21 Januari 1950 Badan Kongres Muslim Indonesia
(BKMI) mendirikan sebuah yayasan yang secara khusus
menangani kegiatan penyelenggaraan haji, yaitu Panitia
Perbaikan Perjalanan Haji indoensia (PPHI) yang diketuai oleh
KHM Sudjak. Kedudukan PPHI lebih dikuatkan lagi dengan
dikeluarkannya surat dari Kementerian Agama, ditandatangani
oleh Menteri Agama RIS KH Wahid Hasyim, Nomor 3170
tanggal 6 Pebruari 1950, kemudian disusul dengan surat edaran
Menteri Agama RI di Yogyakarta Nomor A.III/I/648 tanggal 9
Pebruari 1950 yang menunjuk PPHI sebagai satu-satunya wadah
yang sah, disamping Pemerintah, untuk mengurus dan
menyelenggarakan perjalanan haji Indonesia. Sejak saat inilah

7
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

dengan berdasarkan legalitas yang kuat,masalah haji ditangani


oleh Pemerintah melalui Kementerian Agama.
Pada tahun 1952 dibentuk perusahaan pelayaran PT
Pelayaran Muslim yang disetujui oleh Menteri Agama sebagai
satu-satunya perusahaan yang menjadi panitia haji. Besarnya
jumlah masyarakat yang berminat untuk menunaikan ibadah haji,
sementara fasilitas yang tersedia sangat terbatas, Menteri Agama
memberlakukan sistem quotum, yaitu jumlah jatah yang telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat ke daerah berdasarkan minat
masyarakat untuk menunaikan ibadah haji dari masing-masing
daerah dengan pertimbangan skala prioritas.
Meski ketika itu kecenderungan terus meningkatnya biaya
haji terjadi, namun tetap saja jumlah masyarakat yang melakukan
ibadah haji tetap juga meningkat. Sebagai informasi, pada tahun
1949 biaya haji sebesar Rp 3.395,14. pada tahun 1950 dan 1951
meningkat dua kali lipat menjadi sebesar Rp 6.487,25. Berikut
ditunjukkan perkembangan jumlah jamaah haji dan ongkos naik
haji dari tahun 1954 sampai dengan 1959:

Perkembangan Jumlah Jama’ah Haji dan Ongkos Naik Haji


(1954-1959)

Tahun Total Lewat Lewat ONH ONH


Jamaah Laut Udara Udara Laut

1954 10.676 10.324 240 23.304 8.000


1955 12.621 12.333 288 22.000 8.200
1956 13,424 13.184 240 25.300 10.000
1957 16,842 16.842 - - 21.071
1958 10,314 10.136 146 59.000 28.200
1959 10,318 10.318 - - 35.000
Sumber : Ahmad Nidjam-A. Latief Hanan (2000)

8
Pendahuluan

Pada tahun 1962, dibentuklah sebuah Panitia yang


mandiri yaitu Panitia Pemberangkatan dan Pemulangan Haji
(PPPH). Panitia ini diberikan kewenangan penuh dalam
menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul dan pengambilan
keputusan dilakukan oleh ketua Panitia atas persetujuan Menteri
Agama, tanpa melibatkan departeman secara langsung. Pada
tahun 1962, biaya haji sebesar Rp. 60.000 dan pada tahun 1963
biaya haji naik signifikan hampir 3,5 kali lipat menjadi Rp
200.000.
Pada tahun 1964 Pemerintah mengambil alih kewenangan
PPPH dengan membubarkannya, selanjutnya kewenangan
tersebut diserahkan kembali kepada Dirjen Urusan Haji (DUHA).
Pada tahun 1964 biaya haji tidak lagi disubsidi Pemerintah
sehingga biayanya meningkat dua kali lipat dimana biaya dengan
kapal laut ditetapkan sebesar Rp 400.000 sedangkan dengan
pesawat udara ditentukan sebesar Rp 1.400.000. Di tahun 1964
juga dibentuklah PT Arafat untuk mengatasi permasalahan
angkutan laut yang sebelumnya tidak menentu, paska peristiwa
G-30S-PKI, berpengaruh terhadap kondisi ekonomi,
mengakibatkan nilai rupiah terhadap mata uang asing mengalami
penurunan yang sangat tajam, sehingga dengan Keputusan
Menteri Urusan Haji Nomor 132/1965 penentuan biaya
perjalanan haji menggunakan kapal laut ditentukan sebesar Rp
2.260.000. jumlah biaya haji yang mengalami kenaikan sangat
drastis ini tidak menurunkan minat calon haji, dimana jumlah
jamaah haji pada tahun bersangkutan mencapai 15.000 orang.
Periode 1966 s.d. 1998 Pada masa ini dilakukan
perubahan struktur dan tata organisasi Menteri Urusan Haji dan
mengalihkan tugas penyelenggaraan haji di bawah wewenang

9
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Direktur Jenderal Urusan Haji, Departemen Agama, termasuk


mengenai penetapan besaran biaya, sistem menejerial dan bentuk
organisasi yang kemudian ditetapkan dalam Keputusan Dirjen
Urusan Haji Nomor 105 Pemerintah kembali mengikutsertakan
pihak swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umroh.
Mulai tahun 1991 pemerintah menyempurnakan peraturan
tentang penyelenggaraan haji dengan peraturan nomor 245 tahun
1991, yang menuangkan penekanan pada pemberian sanksi yang
jelas kepada swasta yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana
ketentuan yang berlaku.
Sentralisasi kebijakan dan monopoli sangat mewarnai
pernyelenggaraan haji pada fase ini, dimana menejemen
penyelenggaraan haji yang diadopsi berbasis sistem birokrasi
tradisional sebagaimana dilakukan pada masa kolonial Belanda.
Periode 1999 s.d. sekarang Sorotan masyarakat terhadap
inefisiensi dan biaya tinggi dalam segenap proses
penyelenggaraan ibadah haji mewarnai perubahan kebijakan pada
tahapan masa/fase ini. Melalui Keputusan Presiden Nomor 119
Tahun 1998,
Pemerintah menghapus monopoli angkutan haji dengan
mengijinkan kepada perusahaan penerbangan asing, Saudi
Arabian Airlines, untuk melaksanakan angkutan haji. Akibat
kebijakan tersebut, biaya angkutan penerbangan dapat ditekan
dari US$ 1.750,- menjadi US$1.200,-. Penurunan tarif ini juga
sebagai imbas dari penghapusan pengenaan royalti per jamaah
haji kepada Pemerintah Arab Saudi yang besarnya US$100,- per
penumpang (sebagai kompensasi atas diikutsertakannya Saudi
Arabian Airlines dalam pengangkutan jamaah haji Indonesia).
Setelah 54 tahun penyelenggaraan ibadah haji, baru pada tahun

10
Pendahuluan

1999 pertama kali diterbitkan Undang-undang Nomor 17 Tahun


1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai pijakan yang
kuat dalam penyelenggaraan haji Indonesia. Sejak keluarnya UU
No. 17 tersebut, penyelenggaraan haji Indonesia bersandar pada
ketentuan perundang-undangan ini.
Sedangkan pelaksanaan haji di Arab Saudi disesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku di negara tersebut sebagaimana
tercantum dalam ‘Taklimatul Hajj’ yang mengatur berbagai aspek
pelaksanaan haji, seperti pemondokan, transportasi, dan
ketentuan teknis pelaksanaan ibadah seperti jadwal waktu
pelemparan jumrah dan transportasi jamaah haji untuk Arafah-
Muzdalifah-Mina dengan sistem taraddudi.
Organisasi Penyelenggaraan Haji Penyelenggaraan haji
menjadi tanggung jawab Menteri Agama yang dalam pelaksanaan
sehari-harinya secara struktural dan teknis fungsional
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Urusan Haji (BIUH).
Ditjen BIUH dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri
Agama Nomor 6 Tahun 1979 (merupakan penggabungan dari
Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Ditjen Urusan Haji),
yang memiliki dua unit teknis yaitu Direktorat Penyelenggaraan
Urusan Haji dan Direktorat Pembinaan Urusan Haji. Ditjen BIUH
merupakan pelaksana teknis penyelenggaraan haji untuk tingkat
Pusat, yang mempunyai tugas dan fungsi menjalankan sebagian
tugas pokok Departemen Agama di bidang bimbingan
masyarakat Islam dan urusan haji serta menyelenggarakan fungsi
perumusan, pelaksanaan dan pengendalian kebijaksanaan teknis
bimbingan masyarakat, penerangan dan urusan haji. Dengan kata
lain, unit teknis yang mempunyai fungsi sebagai penanggung

11
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

jawab (leading sector) dalam penyelenggaraan haji dan telah


mendapat delegasi wewenang dalam hal fungsi perumusan,
pelaksanaan dan pengendalian kebijaksanaan teknis
penyelenggaraan haji diberikan kepada satuan unit kerja Ditgara
Haji dan Ditbina Haji.
Untuk pelaksanaan koordinasi di daerah dan di Arab
Saudi maka masing-masing daerah tersebut ditetapkan struktur
penyelenggaraan haji sebagai berikut:

Pertama,
Koordinator penyelenggaraan ibadah haji Provinsi adalah
gubernur dan pelaksanaan sehari-hari oleh Kepala Kantor
Wilayah (Kakanwil) Depag selaku Kastaf;

Kedua,
Koordinator penyelenggaraan ibadah haji di kabupaten/kota,
adalah bupati/walikota dan pelaksanaan sehari-hari dijalankan
oleh Kakandepag Kabupaten/kota;

Ketiga,
Koordinator penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi adalah
Kepala Perwakilan RI dibantu oleh Konsul Jenderal RI Jeddah
sebagai koordinator harian. Sedangkan pelaksanaan sehari-hari
dijalankan oleh Kepala Bidang Urusan Haji pada Konsulat
Jenderal RI di Jeddah. Organisasi terkecil dalam penyelenggaraan
ibadah haji adalah kelompok terbang (kloter), yaitu sekelompok
jamaah haji yang jumlahnya sesuai dengan jenis dan kapasitas
pesawat yang digunakan. Dalam setiap kloter ditunjuk petugas
operasional yang menyertai jamaah haji sejak di asrama haji, di

12
Pendahuluan

Arab Saudi sampai kembali ketanah air yang terdiri dari unsur
pemandu haji (TPIHI) yang juga berfungsi sebagai ketua
kelompok terbang, pembimbing ibadah (TPIH), kesehatan
(TKHI), ketua rombongan yang membawahi empat regu dan
ketua regu yang membawahi sepuluh orang jamaah haji. Pada
masa operasional haji, meliputi masa pemberangkatan jamaah
haji dari asrama embarkasi ke Arab Saudi sampai dengan
pemulangan haji dari Jeddah dan kedatangannya di embarkasi
asal, dibentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang
berfungsi sebagai pelaksana operasional yang melibatkan instansi
terkait terdiri dari PPIH Pusat, PPIH embarkasi dan PPIH Arab
Saudi. Pengendalian penyelenggaraan haji di tanah air dan di
Arab Saudi dilakukan oleh Menteri Agama sedangkan teknis
pengendalian operasional haji dilakukan oleh PPIH di tingkat
Pusat, sedangkan pelaksanaan operasional di daerah disesuaikan
dengan ruang lingkup daerah tugasnya.
Quota dan Realisasi Pemberangkatan Jamaah Haji Sesuai
dengan hasil keputusan Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi
Konferensi Islam (KTT-OKI) di Amman, Jordania tahun 1987,
jumlah jamaah haji untuk masing-masing negara telah ditetapkan
secara seragam yaitu sebesar satu permil dari jumlah penduduk
suatu negara. Berdasarkan quota yang diberikan dalam KTT OKI,
maka ditetapkan porsi nasional jamaah haji Indonesia, yang
selanjutnya dialokasikan ke masing-masing provinsi di seluruh
Indonesia berdasarkan quota provinsi, BPIH khusus dan Petugas.
Penentuan porsi untuk masing-masing daerah didasarkan pada
perbandingan jumlah jamaah haji tiga tahun terakhir dan prinsip
pemerataan yang berkeadilan.

13
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Dalam sepuluh tahun terakhir penyelenggaraan haji


berlangsung, animo masyarakat yang ingin menunaikan ibadah
haji dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pengecualian terjadi
pada tahun 1999 ketika porsi tersebut tidak terpenuhi akibat krisis
moneter yang sedang mencapai puncaknya. Jumlah jamaah haji
Indonesia ketika pemikiran bahwa alokasi porsi provinsi
ditetapkan berdasarkan jumlah pemeluk agama Islam di suatu
provinsi, sebagaimana rasio quota yang ditetapkanerah ternyata
tidak proporsional. Melihat kenyataan tersebut, akhirnya yang
dijadikan dasar dalam penetapan porsi adalah fluktuasi jumlah
jamaah haji tiga tahun terakhir dari masing-masing provinsi.
Keterbatasan quota jamaah haji Indonesia menimbulkan
konsekwensi tidak semua peminat haji dapat menunaikan ibadah
haji pada tahun yang diinginkan. Oleh karena itu kesempatan
pendaftaran menunaikan ibadah haji diutamakan kepada peminat
yang sehat jasmani dan rohani serta mampu melunasi BPIH
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji
Departemen Agama RI, quota atau jamaah haji yang berangkat
menunaikan ibadah haji terbagi dalam 3 jenis, yaitu jamaah
regular, jamaah khusus (ONH Plus) dan jamaah lain-lain (kloter
maupun non-kloter). Dalam perkembangannya, total quota haji
Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terus mengalami
peningkatan dengan rata-rata kenaikan mencapai 10,27% per
tahun. Namun apabila dilihat dari jenis jamaah atau quota yang
ada, peningkatan yang terjadi tiap tahun hanya terjadi pada
kategori jamaah regular, sedangkan jamaah khusus dan lain-lain
terjadi penurunan (rata-rata per tahun sebesar 6,89% untuk
jamaah khusus dan 11,87% untuk jamaah lain-lain). Bila dilihat

14
Pendahuluan

menurut tahunnya, peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2000


hingga mencapai 147%, sedangkan penurunan terbesar terjadi
pada tahun 1999 hingga mencapai 64,7%. Penurunan yang terjadi
pada tahun 1999 disebabkan adanya imbas krisis moneter yang
terjadi pada tahun 1997/1998 lalu. Namun situasiitu sudah mulai
ada perkembangan ekonomi yang berdampak pada kemampuan
masyarakat untuk menunaikan ibadah haji. Untuk lebih jelasnya
mengenai jumlah quota atau jamaah haji pada tahun 1996-2005,
dapat dilihat pada tabel berikut.

Perkembangan Quota Haji Indonesia, 1996-2005


Tahun Reguler Perubahan Khusus Peruba Lain Peruba Total Perubahan
han han
(%) (%) Lain (%) (%)
1996 181.095 -- --- --- 12.199 --- 193.294 ----
1997 186.538 3,01 --- --- 10.994 -9,88 197.532 2,19
1998 188.318 0,95 7.409 --- 4.367 -60,28 200.094 1,30
1999 67.352 -64,23 --- -100,00 3.290 -24,66 70.642 -64,70
2000 172.151 155,60 --- --- 2.321 -29,45 174.472 146,98
2001 190.388 10,59 --- --- 2.539 9,39 192.927 10,58
2002 179.308 -5,82 14.751 --- 2.754 8,47 196.813 2,01
2003 177.274 -1,13 21.327 44,58 2.718 -1,31 201.319 2,29
2004 190.177 7,28 11.941 -44,01 2.827 4,01 204.945 1,80
2005 187.443 -1,44 15.587 30,53 2.404 -14,96 205.534 0,24
Rata-
Rata Per 10,48 -6,89 -11,87 10,27
Tahun
(%)

Sumber : Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen


Agama.
Catatan : Lain-lain : Jumlah Petugas Kloter maupun Non-Kloter

Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini pemberangkatan


jamaah haji dari Indonesia ke tanah suci Mekkah dilakukan
melalui 11 embarkasi yang terbagi dalam 3 zona, yaitu :
- Zona I : Banda Aceh, Medan, Batam dan Padang
- Zona II : Jakarta, Solo, Surabaya dan Palembang
- Zona III : Balikpapan, Banjarmasin dan Makassar

15
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Apabila dilihat perkembangan jamaah haji menurut zona


embarkasi, ternyata zona I memiliki perkembangan yang terbesar
tiap tahunnya dengan rata-rata mencapai 15,34% sedangkan zona
II sebesar 13,86% dan zona III sebesar 6,22%. Pada tahun 2005,
jumlah jamaah haji yang terbanyak diberangkatkan melalui
mbarkasi Jakarta yaitu mencapai sebesar 43.653 jamaah, kedua
embarkasi Surabaya sebanyak 40.133 jamaah, lalu diikuti oleh
embarkasi Makasar, embarkasi Solo. Untuk lebih jelasnya, lihat
tabel berikut:

Jumlah Quota dan Jamaah Haji Menurut


Embarkasi, 1996 – 2005

Embarkasi 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
ONH Reguler 181.095 186.538 188.318 67.352 172.151 190.388 179.308 177.274 190.177 187.443
Banda Aceh 3.423 3.546 3.757 1.374 3.364 6.215 5.731 4.973 5.906 5.145
Medan 5.489 6.086 6.339 1.907 5.835 6.501 7.801 7.077 7.936 7.460
Batam 4.651 4.789 5.036 2.094 5.265 5.943 6.837 7.344 7.997 7.690
Padang 5.682 5.811 5.865 1.836 5.502 6.030 6.238 6.032 6.644 6.542

Zona I 19.245 20.232 20.997 7.211 19.966 24.689 26.607 25.426 28.483 26.837
Jakarta 67.325 70.440 70.652 12.490 36.461 39.049 42.683 39.942 44.065 43.653
Solo 16.299 21.571 20.666 5.141 17.830 22.015 22.985 20.463 22.325 22.244
Surabaya 36.445 33.847 34.608 13.759 39.350 51.024 40.190 39.549 40.698 40.133
Palembang 5.579 5.960 6.197 3.064 7.167 7.702 6.668 6.309 7.774 8.298
Zona II 125.648 131.818 132.123 34.454 100.808 119.790 112.526 106.263 114.862 114.328

Balikpapan 4.642 4.505 4.541 2.224 5.249 5.651 5.465 7.451 7.017 6.937
Banjarmasin 8.875 8.948 9.021 2.802 8.349 10.404 8.244 8.168 9.128 8.693
Makassar 22.685 21.035 21.636 20.661 37.779 29.854 26.466 29.966 30.687 30.648
Zona III 36.202 34.488 35.198 25.687 51.377 45.909 40.175 45.585 46.832 46.278
ONH Khusus 0 0 7.409 0 0 0 14.751 21.327 11.941 15.587
Lain-Lain 12.199 10.994 4.367 3.290 2.321 2.539 2.754 2.718 2.827 2.404

TOTAL 193.294 197.532 200.094 70.642 174.472 192.927 196.813 201.319 204.945 205.434

Sumber : Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen


Agama
Catatan : Lain-Lain : Jamaah Petugas Kloter maupun non-Kloter

16
Pendahuluan

Jumlah kloter haji dalam periode 2001-2005 berfluktuasi.


Pada tahun 2001 jumlah haji mencapai 487 kloter, menurun
menjadi 467 kloter pada tahun 2002 dan hingga 2005 mencapai
476 kloter. Kloter haji yang telah diberangkatkan melalui
embarkasi yang ada, terbanyak melalui Jakarta, lalu Surabaya dan
embarkasi lainya. Lihat table di bawah ini.

Jumlah Kelompok Terbang (Kloter), 2001-2005

Embarkasi 2001 2002 2003 2004 2005


Balikpapan 38 38 26 23 29
Banda Aceh - - - 27 28
Batam (BTH) 16 17 18 20 22
Jakarta Bekasi 52 60 58 46 74
Jakarta Pondok Gede 57 54 63 75 44
Medan 27 28 26 29 27
Solo (SOC) 67 74 64 58 56
Surabaya (SUB) 116 94 88 92 91
Makasar (UPG) 94 84 95 97 89
Jumlah 487 467 454 486 476
Sumber : Deirektorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Haji Departemen Agama

Perkembangan jamaah haji menurut provinsi dalam


sepuluh ahun terakhir (1996 – 2005) masih didominasi oleh lima
provinsi yang juga memiliki jumlah penduduk besar. Kelima
provinsi itu adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan DKI Jakarta.
Namun bila dilihat dari rata-rata peningkatan terbesar dari
kelima provinsi tersebut, pertama adalah Jawa Tengah (22,54%),
lalu diikuti oleh Jawa Barat (16,05%), Jawa Timur (13,17%),

17
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

DKI Jakarta (8,36%) dan terakhir Sulawesi Selatan (4,57%).


Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut.

Jumlah Jamaah Haji Menurut 5 Provinsi Terbesar, 1996 – 2005


Tahun Jawa A Sulawesi A Jawa A Jawa A DKI A
Timur (%) Selatan (%) Barat (%) Tengah (%) Jakarta (%)
1996 31.274 18.396 44.782 14.743 22.543
1997 28.494 -8,89 16.006 12,99 47.321 5,67 18.969 28,66 23.119 2,56
1998 29.001 1,78 16.183 1,11 47.375 0,11 18.346 -3,28 23.277 0,68
1999 11.404 -60,68 16.246 0,39 6.955 -85,32 4.634 -74,74 5.535 -76,22
2000 32.819 187,78 30.320 86,63 22.643 225,56 16.340 252,61 13.818 149,65
2001 44.878 36,74 24.190 20,22 25.023 10,51 20.340 24,48 14.026 1,51
2002 34.468 -23,20 19.612 18,93 30.802 23,09 20.688 1,71 11.881 -15,29
2003 33.771 -2,02 21.983 12,09 22.092 -28,28 18.229 -11,89 13.496 13,59
2004 34.611 2,49 22.267 1,29 24.125 9,20 19.772 8,46 14.725 9,11
2005 33.824 -2,27 21.455 -3,65 24.119 -0,02 19.648 -0,63 14.428 -2,02
13,17 4,57 16,05 22,54 8,36
Sumber : Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Haji Departemen Agama
Catatan : A (%) = Perkembangan tiap tahun per provinsi

Bila dilihat dari seluruh provinsi, nampak terlihat provinsi


kepulauan Riau belum pernah mengirimkan jamaah haji-nya. Hal
ini disebabkan bahwa selama ini Kep. Riau masih mengirimkan
jamaahnya melalui provinsi Riau, atau dengan ONH Khusus.
Sedangkan Kep. Bangka Belitung baru mulai mengirimkan
jamaahnya atas nama provinsi sendiri karena provinsi ini mulai
ada pada tahun 2002/2003, begitu juga dengan Banten dan
Gorontalo.
Sedangkan Timor Timur sejak tahun 1999 sudah tidak
mendaftarkan jamaahnya di Departemen Agama RI, karena sejak
saat itu Timor Timur sudah melepaskan diri dari bagian provinsi
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan quota per
provinsi, pemerintah telah membuat keputusan pembagian quota

18
Pendahuluan

pada tahun 2006 berdasarkan kebutuhan quota tahun 2005. Untuk


lebih jelasnya, lihat tabel berikut.

Quota Haji di 9 Provinsi Tahun 2005 – 2006

Provinsi 2005 2006


Jawa Barat 24.119 30.000
Sulawesi Selatan 21.445 13.251
Jawa Tengah 19.648 25.000
DKI Jakarta 14.428 9.901
Sumatera Utara 7.460 7.681
Aceh 5.145 4.550
Banten 5.106 7.450
Sumatera Barat 4.567 4.389
Lampung 2.735 4.600
Lain-Lain 100.771 98.178
Jumlah 205.434 205.5000
Sumber : Departemen Agama

Menurut data dari Departemen Agama, calon jamaah haji


pada tahun 2006 berjumlah 205 ribu jamaah yang terdiri dari
189.501 jamaah haji regular dan 15.499 jamaah haji khusus
(ONH Plus). Calon jamaah haji regular terbanyak berasal dari
Jawa Timur lalu disusul oleh Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan, DKI Jakarta dan pr ovinsi lainnya. Sedangkan untuk
calon jamaah haji khusus pada tahun 2006 yang berjumlah
15.499 jamaah telah dibagikan kepada 223 Penyelenggara Umrah
dan Haji Khusus (PUHK). Meski belum didapatkan data pasti
mengenai jumlah jamaah haji yang diberangkatkan menurut

19
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

perusahaan penyelenggara ibadah haji dari instansi terkait, baik


Departemen Agama maupun asosiasi perusahaan penyelenggara
haji Indonesia, namun berdasarkan hasil wawancara dengan
beberapa penyelenggara haji, rata-rata jumlah jamaah haji yang
diberangkatkan tiap perusahaan berkisar antara 100 sampai
dengan 500 jamaah tiap tahunnya. Jumlah jamaah yang
diberangkatkan tiap tahunnya berubah-ubah sesuai jatah yang
dibagikan oleh pemerintah dan asosiasi untuk tiap provinsi.Untuk
lebih jelasnya, lihat tabel berikut:

Pembagian Quota Jamaah Haji Khusus Per Perusahaan, 2006

No. Nama Perusahaan Lokasi Quota


1 Maktour Topur & Travel, PT DKI Jakarta 499
2 Patuna Mekar Jaya, PT DKI Jakarta 386
3 Wisata Rahmah Semesta, PT DKI Jakarta 305
4 Al Haramain Jaya Wisata DKI Jakarta 268
5 Diyo Siba, PT Bengkulu 210
6 Budi Luhur Abadi, PT DKI Jakarta 204
7 Turisna Buana, PT DKI Jakarta 202
8 Tisaga Multazam Utama, PT DKI Jakarta 198
9 Linda Jaya Tours & Travel, PT Surabaya, Jawa 193
Timur
10 Muana Nina Insani, PT N.A. 190
11 Giani Citra Utama, PT DKI Jakarta 189
12 Kopindo Wisata, PT DKI Jakarta 185
13 Al Amin Universrsal, PT DKI Jakarta 182
14 Sari Ramada Arafah, PT DKI Jakarta 174
15 Krisma Tour, PT Cianjur Jawa Barat 170
16 Menan Express Tours, PT DKI Jakarta 156
17 Andromeda Atria Wisata, PT Surabaya, Jawa 151
Timur

20
Pendahuluan

18 Talbia Haji & Umrah, PT DKI Jakarta 149


19 Bayuadji Dunia Wisata, PT DKI Jakarta 148
20 Lamtri Utama, PT DKI Jakarta 142
21 Nur Rima Al-Waali, PT DKI Jakarta 130
22 Armada Safari Suci, PT Bandung, Jabar 128
23 Gema Shafa Marwa Tour, PT DKI Jakarta 128
24 Arminarekaa Perdana, PT Bekasi, Jabar 127
25 Patih Indo Permai, PT DKI Jakarta 125
26 Raudah Eksati Utama, PT DKI Jakarta 124
27 Razek Tours * Travel, PT DKI Jakarta 122
28 Mideast Express, PT DKI Jakarta 121
29 Thayiba Tora, PT DKI Jakarta 118
30 Arrayyan Utama, PT DKI Jakarta 115
31 Wanda Fatimah Zahra, PT DKI Jakarta 114
32 Dena Vistama, PT DKI Jakarta 113
33 Jasa Wisata Nusantara, PT DKI Jakarta 106
34 Penyala Mitra Siena, PT DKI Jakarta 106
35 Gamal Hikmah Pusaka, PT DKI Jakarta 104
36 Pandu Astuti SEntosa, PT DKI Jakarta 103
37 Fath Indah, PT Surabaya Jawa Timur 102
38 Pacto Tours & Travel DKI Jakarta 100
39 Madania Semesta Wisata, PT DKI Jakarta 99
40 Hikmah Perdana Tour, PT Makasar, Sul-Sel 97
41 BS Alkhairaat DKI Jakarta 96
42 Dian Nusa Insani, PT DKI Jakarta 96
43 Riyal Tunggal, PT. Kalimantan 95
Banjarmasin Selatan
44 Menara Suci Sejahtera, PT Jawa Timur 94
Surabaya
45 Madtur Citra Daya, PT DKI Jakarta 93
46 Kharisma Permai Holidaya, PT DKI Jakarta 90
47 Nurul Zahra, PT DKI Jakarta 89
48 Alia Indah Sisata, PT DKI Jakarta 88
49 Tri Mitra Rezeki Wisata, PT Jawa Timur 88

21
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

50 Wisata Titiaan Nusantara, PT DKI Jakarta 88


51 Balda Citra Mandiri, PT DKI Jakarta 86
52 Noorhana Pertiwi, PT DKI Jakarta 86
53 Aurora Arzam DKI Jakarta 84
54 Mega Citra Intina Mandiri, PT Jawa Barat 84
Bandung
55 Panghegar Putra Sapta, PT Jawa Barat 84
Bandung
56 Kamilah Wisata Muslim, PT DKI Jakarta 83
57 Antara Tour & Travel Makasar Sulawesi Selatan 81
58 Mitra Utama Tours, PT DKI Jakarta 79
59 Afiz Nurul Qolbi, PT DKI Jakarta 76
60 Lain-Lain 7.255
Total 15.499

Catatan : N.A. = tidak ada data


Sumber : Visdatin,

Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)


Penyelenggaraan ibadah haji pada dasarnya mencakup
tiga dimensi penting, yaitu Pembinaan, Pelayanan dan
Perlindungan.
Ketiga dimensi tersebut sebagian direpresentasikan ke
dalam bagian dari Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji:
(1). Pembinaan, tugas-tugas yang harus dilakukan meliputi antara
lain:
- Melakukan kerjasama dengan Pemerintah Saudi Arabia
menyangkut berbagai hal antara lain tentang jumlah quota,
keimigrasian dan ijin penerbangan;
- Pembagian jumlah quota untuk setiap propinsi, untuk swasta
dan untuk luar negeri;

22
Pendahuluan

- Menetapkan biaya perjalanan ibadah haji;


- Menetapkan tatacara pendaftaran calon jamaah haji;
- Menetapkan standar pelayanan angkutan haji;
- Menetapkan standar akomodasi untuk calon jamaah haji di
Saudi Arabia

(2). Pelayanan, meliputi kegiatan-kegiatan antara lain:


- Pendaftaran calon jamaah haji
- Pengaturan dan pelaksanaan pembayaran ibadah haji
- Pengurusan dokumen haji (visa, passport, dll)
- Pelayanan manasik haji dan pembekalan calon jamaah haji;
- Melakukan pengelompokan jamaah (kloter)
- Membuat kontrak dengan perusahaan penerbangan;
- Membuat kontrak dengan agen-agen pemondokan di Saudi
Arabia;
- Membuat kontrak dengan perusahaan-perusahaan konsumsi di
Saudi Arabia;
- Pelaksanaan pemberangkatan calon jamaah haji;
- Pengaturan tenaga pendata dari mulai berangkat ke Saudi
Arabia sampai dengan kembali ke tanah air. Pembiayaan
penyelenggaraan haji adalah berasal dari jamaah haji yang
membayar sejumlah dana untuk menunaikan ibadah haji
kepada Menteri Agama melalui bank-bank pemerintah dan
atau swasta yang ditunjuk pemerintah. Penunjukan bank
penerima setoran sejumlah dana untuk menunaikan ibadah haji
dilakukan setelah mendapat pertimbangan Gubernur Bank
Indonesia.

23
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Biaya yang dibayar oleh jamaah inilah yang disebut


dengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), atau dahulu,
sebelum dikeluarkan UU No.17/1999 tentang Penyelenggaraan
Haji dikenal dengan nama ONH (Ongkos Naik Haji). Besarnya
BPIH bervariasi setiap tahunnya sesuai dengann fluktuasi nilai
tukar valuta asing dan konsisi perekonomian. Secara garis besar
mekanisme penyampaian rencana penentuan BPIH dapat
diuraikan sebagai beikut:

I. Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen


Agama, merumuskan konsep rincian pengeluaran selama
operasional haji berdasarkan biaya tahun-tahun sebelumnya,
baik pembiayaan operasional di tanah air maupun operasional
haji di Arab Saudi.
II. Bahan tersebut kemudian dipaparkan dalam rapat terbatas
yang biasanya dilakukan sebanyak 5 sampai 6 kali yang
dihadiri oleh unsur internal Departemen Agama. Rapat
tersebut melibatkan unsur terkait dari Direktorat dan Pihak
Itjen.
III.Hasil rapat tersebut dipresentasikan dalam rapat yang lebih
luas dan melibatkan unsur-unsur bank bersama Bank
Indonesia, Departemen Perhubungan dan penerbangan,
Departemen Kesehatan, dan Penyelenggara Ibadah Haji
Khusus (PIHK). Selanjutnya dibentuk Tim Kecil untuk
mengkaji secara mendalam sehingga menghasilkan draft final
BPIH.
IV.BPIH kemudian diusulkan kepada DPR yang kemudian
dibahas oleh Komisi VI DPR-RI bersama Pemerintah dan

24
Pendahuluan

berlangsung dalam dua tahap,yaitu tahap Rapat Dengar


Pendapat Umum (RDPU) dan tahap Rapat Kerja (RK).
V.Hasil pembahasan Pemerintah bersama DPR tersebut
kemudian diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai
BPIH.
Komponen-komponen yang menjadi tolok ukur BPIH,
antara lain dalam bentuk US$ untuk biaya penerbangan
Indonesia-Arab Saudi (pulang pergi/PP) dan biaya operasional di
Arab Saudi. Sedangkan biaya tambahan dalam bentuk rupiah
adalah untuk operasional dalam negeri. Secara ringkas masing-
masing komponen perhgan BPIH tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:

1. Biaya penerbangan adalah biaya yang harus dibayar oleh


pemerintah kepada pihak penerbangan yang mengangkut
jamaah haji yang dilakukan secara charter. Biaya antara 40
persen sampai dengan 48 persen. Adapun komponen yang
menjadi beban pihak penerbangan adalah seluruh biaya
operasiona angkutan penerbangan haji yang sesuai dengan
spesifikasi yang diminta oleh Departemen Agama, antara lain
free seat 2 persen keperluan petugas haji, pelayanan waktu
pemberangkatan yaitu check in di asrama haji embarkasi di
tanah air termasuk angkutan orang dan barang, pelayanan
pemulangan yaitu check in di Madinatul Hujaj Jeddah
termasuk angkutan orang dan barang bawaan ke Bandara
KAA Jeddah, pemberian gift away berupa koper, tas
tentengan dan air zam-zam sebanyak 5 liter serta angkutan
obat-obatan ke Jeddah untuk keperluan jamaah haji selama di
Arab Saudi.

25
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

2. Biaya Operasional di Arab Saudi merupakan biaya yang


dipergunakan untuk penyelenggaraan operasional di Arab
Saudi dan biaya yang harus dibayarkan oleh Pemerintah
Indonesia kepada penyedia pelayanan haji di Arab Saudi.
Biaya ini dibedakan menjadi biaya wajib dan biaya
operasional. Biaya wajib, meliputi maslahah ammah (general
service), akomodasi di Makkah, Madinah dan Madinatul
Hujjaj, konsumsi dan transportasi. Sedangkan biaya
operasional meliputi belanja pegawai atau barang, belanja
perjalanan, sewa gedung dan pemeliharaan serta biaya hidup
(living cost) bagi jamaah haji selama di Arab Saudi.
3. Biaya operasional dalam negeri merupakan biaya yang
dipergunakan untuk penyelenggaraan operasional haji di
Indonesia yang terdiri dari biaya operasional Pusat, paya
operasional di embarkasi, biaya operasional di daerah, airport
tax dan biaya jasa /”trasi bank. BPIH untuk haji khusus (ONH
plus) ditetapkan Pemerintah lebih tinggi daripada haji reguler
karena terdapat perbedaan signifikan atas fasilitas yang dapat
dinikmati oleh jamaah haji. Untuk penyelenggaraan ibadah
haji khususini Pemerintah bekerjasama dengan swasta yaitu
perusahaan penyelenggaraan haji khusus dan umrah yang
telah mendapatkan ijin dari Departemen Agama. Menurut
data dari Departemen Agama tahun 2006, saat ini di
Indonesia terdapat 223 perusahaan penyelenggara ibadah haji
dan umrah yang telah mendapatkan ijin. Di samping
membayar besarnya BPIH yang telah ditetapkan, jamaah haji
masih harus menanggung biaya lain yang tidak termasuk
dalam komponen BPIH, yaitu biaya pemeriksaan kesehatan,
perjalanan dari daerah asal ke asrama embarkasi dan

26
Pendahuluan

sebaliknya, biaya ziarah di Arab Saudi dan biaya


Dam(kewajiban untuk menyembelih kambing atau unta atau
sapi yang dikenakan kepada jamaah haji yang tidak
melaksanakan salah satu atau lebih kewajiban haji sesuai
dengan ketentuan syariat).

Struktur biaya penyelenggaraan ibadah haji secara


terperinci adalah sebagai berikut:
1. Biaya Langsung:
(1).Maslahah Ammah/General Services:
-Biaya pelayanan Muassasah
-Biaya perkemahan Armina

(2).Akomodasi:
-Sewa rumah Makkah
-Sewa rumah Madinah
-Sewa Madinatul hujjaj
-Sewa kantor sektor Madinah
-Sewa ruang pelayanan kloter di Makkah
-Sewa ruang pelayanan kloter di Madinah

(3).Konsumsi Jamaah Haji:


-Makan masa kedatangan di Airport (1X)
-Makan masa perjalanan Makkah/Madinah (1X)
-Makan masa kedatangan di Terminal Hijrah Madinah (1X)
-Makan selama di Arafah-Mina
-Makan masa kepulangan di Terminal Hijrah Madinah (1X)
-Makan selama di Madinatul Hujjaj (4X)
-Makan masa kepulangan di Airport (1X)

27
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

(4). Angkutan Darat (Naqobah):


-Biaya perjalanan Jeddah-Maakah-Madinah-Armina
-Angkutan Madinatul Hujaj Airport KAA
-Ongkos bongkar muat barang Madinatul Hujaj/Madinah

(5). Living cost


Jamaah:
(6). Pengadaan tambahan obat-obatan

2. Biaya Tidak Langsung


(1).Insentif Petugas Haji:
a.Petugas Non-Kloter
-Perutusan haji Indonesia dan rombongan
b.Petugas Kloter
-ketua kloter
-TPHD
-TKHI (dokter)
-TKHI (paramedis)
-karom
-karu
c. PPIH Arab Saudi
-koordinator (dubes)
-koordinator harian (konjen)
-ketua pelaksana (ka.staf)
-kadaker
-wakil kadaker
-home & local staff -temus
(2). ATK dan Perlengkapan:
-sarana administrasi

28
Pendahuluan

-daker, sector, perkemahan amina dan pos pelayanan


Armina
-langanan daya dan jasa

(3).Perjalanan Petugas Jeddah


-Makkah dan Madinah:
-luar daerah kerja (Jeddah, Makkah, Madinah)
-pendamping jamaah sakit

(4).Sewa Kantor, Wisma dan Pemeliharaan:


-wisma haji Jeddah
-wisma haji Makkah
-wisma haji Madinah
-posko jamarot
-kantor daker Jeddah di airport
-pol/bengkel kendaraan Jeddah
-pemeliharaan kantor dan wisma

(5).Konsumsi Petugas Haji:


-perutusan haji Indonesia dan rombongan
-petugas PPIH Arab Saudi (lanjutan..)
-pelayanan muassasah petugas kloter
-naqobah petugas kloter
-perkemahan petugas kloter di Armina
-siskohat, sarana media, media centre haji
-badah haji, jumrah dan tawaf ifadah pasien
-dana cadangan/kontingen (pelayanan jamaah haji)

29
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Biaya Operasional Di Dalam Negeri


1.Biaya Langsung
(1).Konsumsi Jamaah dan Petugas di Embarkasi
-konsumsi jamaah haji
-konsumsi petugas haji
-konsumsi petugas embarkasi
(2).Belanja Barang
-pencetakan (paspor, manasik, SPPH, SPMA, tanda
pengenal, buku-buku petunjuk dan biaya pengirimannya)
-obat-obatan, alat kesehatan dan vaksin meningitis
-gelang identitas
(3).Kegiatan Penyelenggaraan Haji
-informasi haji/penyuluhan haji
-proses penyelesaian paspor haji di pusat, embarkasi
propinsi dan kab/kota (antar jemput paspor, penelitian,
pemvisaan oleh imigrasi Arab Saudi)
- pengobatan, rujukan jamaah haji embarkasi dan tes
kehamilan
-pembinaan jamaah (pembentukan regu rombongan,
pemantapan manasik, pelatihan karu, karom dan
konsolidasi kloter)
-asuransi jiwa
-penyiapan angkutan haji/penjadwalan di 8 embarkasi
-pemeliharaan siskohat
-penyiapan qur’ah
(4).Airport Tax

2.Biaya Tidak Langsung


(1).Operasional Pusat

30
Pendahuluan

-Belanja Pegawai (ruang makan, transport, rapat-rapat dan


lembur)
-Belanja barang (ATK, inventaris kantor, kendaraan
operasional haji, langganan daya dan jasa komputer)
-Belanja Perjalanan (dalam dan luar negeri)
-Belanja Pemeliharaan (inventaris kantor, kendaraan
operasional haji, pemeliharaan asrama haji)

(2).Operasional Embarkasi
-Belanja pegwai : (honor/uang lelah, transport, rapat-ratap dan
lembur)
-Belanja barang (ATK, keperluan sehari-hari kantor,
langganan daya dan jasa)
-Belanja perjalanan, Kab/Kota ke Propinsi/embarkasi
-Belanja pemeliharaan (inventaris kantor, kendaraan
operasional)
-Peningkatan fasilitas asrama haji embarkasi, rapat-rapat
evaluasi penyelenggaraan haji embarkasi

(3).Operasional Propinsi, Kabupaten/Kota:


-belanja pegawai: (honor/uang lelah, transport, rapat dan
lembur)
-belanja barang (ATK, keperluan sehari-hari kantor, langganan
daya dan jasa)

Transportasi Haji
Kegiatan pelaksanaan transportasi adalah pengangkutan
jamaah haji mulai dari tempat embarkasi, selama berada di Arab
Saudi dan pemulangan kembali ke tempat embarkasi asal

31
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Indonesia. Pengangkutan jamaah haji dengan menggunakan kapal


laut telah dimulai sejak tahun 1947 sampai dengan terakhir tahun
1978. Penyebab pokok dari berakhirnya angkutan haji melalui
angkutan laut adalah minimnya pelayanan dan ketersediaan
armada kapal laut yang akan digunakan untuk mengangkut
jamaah haji yang tidak memadai. Sejak tahun 1979 ditetapkan
bahwa angkutan haji dilaksanakan dengan angkutan udara. Sejak
tahun 1979 sampai tahun 1998, pelaksanaan angkutan haji
melalui pesawat udara dimonopoli oleh perusahaan penerbangan
nasional PT Garuda Indonesia. Baru pada tahun 1999,
pelaksanaan angkutan haji melalui pesawat udara mulai
mengikutsertakan perusahaan penerbangan asing sebagai
pelaksana angkutan haji, yaitu Saudi Arabian Airlines (SV).
Salah satu dampak positif yang cukup signifikan dengan adanya
kebijakan tersebut, adalah tariff angkutan haji dapat ditekan dan
diturunkan sehingga berpengaruh dalam penetapan komponen
biaya perjalanan haji yang sebagian besar merupakan biaya
angkutan udara. Penetapan perusahaan penerbangan sebagai
pelaksana transportasi haji dilakukan oleh
Menteri Agama dengan sistem penunjukan langsung
melalui proses penetapan spesifikasi angkutan haji, penawaran
terbatas dan negosiasi. Dalam operasionalnya penerbangan haji
dilakukan dengan sistem charter, sehingga tarif yang ditetapkan
lebih tinggi dari tarif penerbangan reguler dengan rute yang sama.
Penyelenggaraan angkutan haji, menurut Departemen
Agama merupakan kegiatan yang khusus/spesifik yang ditandai
dengan:
Pertama, keterikatan dengan ketentuan keharusan
melibatkan Saudi Arabian Airlines (SV) dalam angkutan haji atau

32
Pendahuluan

apabila tidak mengikutsertakannya, maka pihak yang


mengangkut diharuskan membayar royalty kepada Saudi Arabian
Airlines (sebesar US$ 100 per penumpang);
Kedua, angkutan haji berbeda dengan angkutan reguler
karena dalam penetapan biaya angkutan haji harus
memperhitungkan adanya 4 kali penerbangan Indonesia-Jeddah
pergi pulang; dan Ketiga, angkutan haji bukan sekedar
mengangkut jamaah haji dan barang bawaan dari bandara asal ke
bandara tujuan, tetapi juga meliputi pelayanan check in di luar
bandara (asrama haji embarkasi dan Madinatul Hujjaj).

Garuda 67%
Saudi Airline33%

Kewajiban bagi pihak penerbangan adalah menyediakan


transportasi darat dari asrama haji embarkasi ke bandar udara
pemberangkatan, transportasi udara dari Indonesia ke Jeddah
pergi pulang, dan di Arab Saudi menyediakan transportasi darat
dari asrama haji Madinatul Hujjaj ke Bandar Udara King Abdul
Aziz Jeddah. Angkutan antar kota perhajian di Arab Saudi yaitu
Jeddah-Makkah-Madinah dan sebaliknya disediakan oleh
organisasi angkutan haji Arab Saudi
-naqobah
-sesuai dengan volume dan arus perpindahan jamaah.

Akomodasi Jamaah Haji


Akomodasi adalah tempat penginapan atau pengasramaan
sebagai penampungan sementara pada waktu jamaah haji di
tempat embarkasidan atau di debarkasi dan pemondokan selama

33
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

berada di Arab Saudi. Akomodasi bagi jamaah adalah kebutuhan


dasar setelah konsumsi dan sandang serta melibatkan dana yang
jumlahnya tidak sedikit, bahkan dalam komponen BPIH
menempati urutan kedua setelah angkutan udara. Sebelum
pemberangkatan ke Arab Saudi, jamaah diasramakan di masing-
masing asrama haji embarkasi maksimal selama 24 jam sebelum
penerbangan ke Arab Saudi. Fungsi asrama haji selain sebagai
tempat pemulihan kesehatan dan istirahat setelah melakukan
perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan dari daerah
asalnya masing-masing, adalah juga sebagai tempat penyelesaian
proses penerbangan untuk perjalanan ke luar negeri (check-in).
Kegiatan selama di asrama haji meliputi penyelesaian dokumen
perjalanan paspor haji oleh imigrasi, pemeriksaan barang bawaan
oleh Bea-Cukai, pemberian bekal hidup (living cost),
pemeriksaan kesehatan akhir dan pemantapan manasik.
Keperluan akomodasi dan konsumsi selama berada di asrama haji
embarkasi ditanggung oleh Pemerintah karena termasuk dalam
komponen BPIH. Keberadaan asrama haji di masing-masing
embarkasi dikelola oleh sebuah Badan Pengelola yang dibentuk
oleh Menteri Agama, dengan melibatkan unsur berbagai unit
terkait. Di luar musim haji, asrama haji embarkasi didayagunakan
untuk keperluan komersiil.
Jumlah jamaah haji dari seluruh dunia yang berjumlah
antara dua juta sampai tiga juta orang setiap tahunnya,
menyebabkan problematika penyediaan pemondokan bagi jamaah
haji di Arab Saudi, terlebih menyangkut kualitas dan jarak
tempuh pemondokan dengan Masjidil Haram atau Masjid
Nabawi. Pemondokan di Arab Saudi diatur sesuai dengan
ketentuan Pemerintah Arab Saudi (Ta’limatul Hajj). Mulai tahun

34
Pendahuluan

1991 sistem penyewaan dilakukan langsung, yaitu para pemilik


rumah atau wakil syar’i berhubungan langsung dengan pihak
penyewa.
Sedangkan posisi pemerintah hanyalah bersifat
mengawasi dan mengontrol proses transaksi melalui lembaga
khusus yang disebut Muassasah Asia Tenggara. Penetapan sistem
dan prosedur tersebut dimaksudkan agar Pemerintah Arab Saudi
mendapatkan informasi tentang data perumahan atau
pemondokan yang ingin disewakan pada musim haji ke pihak
Muassasah sesuai dengan spesifikasi keinginannya. Penyewaan
pemondokan bagi jamaah haji Indonesia di Arab Saudi selama
kurang lebih 15 tahun terakhir sepenuhnya dilakukan langsung
oleh pemerintah. Prosedur penyewaan rumah di Arab Saudi
dimulai dengan pembicaraan antara Misi Haji Indonesia (yaitu
Tim Khusus perumahan yang dibentuk Departemen Agama untuk
berkonsentrasi menangani permasalahan akomodasi di Arab
Saudi) dengan Menteri Haji Arab Saudi yang hasilnya dituangkan
dalam nota kesepakatan yang mengikat antara lain terkait dengan
jumlah jamaah, kesiapan angkutan dan penyediaan pemondokan.
Persyaratan pokok yang menunjukkan bahwa rumah tersebut
telah layak untuk disewakan adalah rumah tersebut sudah
mendapatkan ijin dari instansi yang berwenang mengeluarkan
perijinan di Arab Saudi. Setelah seluruh persyaratan terpenuhi,
dilakukan proses tender guna menyeleksi kriteria kualitas
pemondokan yang sesuai dengan standar yang dikehendaki. Dari
hasil seleksi tersebut, keluarlah pemenang dengan biaya
terjangkau sesuai persyaratan administrasi dan persyaratan teknis.
Selanjutnya status rumah yang telah melalui seleksi dimaksud,
ditingkatkan statusnya menjadi ’siap dan layak sewa’ melalui

35
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

pengajuan perjanjian kontrak yang resmi. Sesuai dengan prosedur


yang berlaku, pada setiap akhir musim haji, BPK melakukan
pemeriksaan detail dan pengecekan langsung di lapangan tentang
proses pengeluaran keuangan, dan kelengkapan setiap dokumen
lelang penyewaan rumah.

Katering Jamaah Haji


Pelayanan konsumsi bagi jamaah haji dengan sistem
katering menjadi tanggung jawab Pemerintah. Namun dalam
pelaksanaannya melibatkan swasta, baik untuk katering di
embarkasi maupun katering untuk di Arab Saudi. Untuk katering
di Arab Saudi dilayani oleh pihak swasta atau perusahaan Arab
Saudi setelah melalui proses tender yang dilaksanakan oleh
Bidang Urusan Haji Jeddah. Selanjutnya perusahaan yang
mendapatkan Surat Perintah Kerja (SPK) merupakan perwujudan
dari mandat Pemerintah Indonesia sesuai aturan yang berlaku.
Proses penunjukkan perusahaan katering sendiri pada dasarnya
sama dengan proses kontrak kerja pada beberapa kegiatan
lainnya, seperti pelaksanaan kontrak penerbangan, angkutan
jamaah, pengadaan dokumen, pencetakan dan lain sebagainya.
Adapun menurut ketentuan yang berlaku di Arab Saudi,
pengusaha atau penyedia layanan katering untuk semua jamaah
haji yang berada ditanah suci adalah perusahaan dalam negeri
(Arab Saudi), sehingga tidak akan dimungkinkan lagi perusahaan
dari luar untuk ikut dalam penyediaan katering. Namun demikian,
dimungkinkan adanya kerjasama antara orang Indonesia yang
berbisnis di Arab Saudi dengan pengusaha Arab Saudi dengan
syarat harus tetap mengatasnamakan perusahaan Arab Saudi.
Pelayanan konsumsi dengan sistem katering selama jamaah haji

36
Pendahuluan

berada di Arab Saudi dilakukan di beberapa lokasi yang


ditentukan: (1) di Bandara King Abdul Aziz Jeddah massa
kedatangan satu kali; (2) dalam perjalanan ke Makkah/Madinah
(masa kedatangan) satu kali; (3) di terminal kedatangan terminal
Hijrah Madinah satu kali; (4) pada masa kepulangan di terminal
Hijrah Madinah satu kali; (5) selama di Madinatul Hujjaj empat
kali; (6) masa kepulangan di bandara Jeddah dan Madinah satu
kali. Demikian juga pada saat puncak pelaksanaan haji di Arafah
dan Mina, pelayanan konsumsi dilakukan sepenuhnya dengan
sistem katering. Diluar pelayanan konsumsi dengan sistem
katering yang dilakukan oleh Pemerintah memang ada pula
pelaksanaan katering yang dilakukan oleh masing-masing kloter
dengan memanfaatkan living cost yang telah dibagikan (Sr. 1,500
equivalen Rp 3.000.000,-). Sebagian jamaah secara mandiri
memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dengan jalan membeli
sendiri kepada pedagang-pedagang di sekitar pemondokan-
pemondokan haji. Sebagian yang lain ada juga yang
memanfaatkan katering yang dikelola oleh para pengusaha
katering Indonesia (pengusaha tidak resmi berdasrkan ketentuan
Pemerintah Arab Saudi) di sekitar pemondokan dan sekaligus
dikoordinasi oleh orang-orang kepercayaan pengurus
pemondokan.

37
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

38
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

BAB II
ANALISIS REGULASI
DAN PRAKTEK DALAM PENYELENGGARAAN
IBADAH HAJI

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang


Penyelenggaraan Ibadah Haji Berdasarkan Undang-undang
Nomor 17 tahun 1999, negara mengakui bahwa ibadah haji
merupakan rukun Islam yang ke-5 yang wajib dilaksanakan oleh
umat Islam yang memenuhi kriteria ‘istitha’ah berupa
kemampuan materi, fisik dan mental. Negara menyatakan bahwa
penyelenggaraan haji merupakan tugas nasional. Dengan UU ini,
pemerintah memiliki landasan hukum yang kuat sebagai pelaku
langsung yang berhak dan berkewajiban memberikan pelayanan
operasional ibadah haji. Pelayanan ini dimaksudkan untuk
menjamin kesejahteraan lahir-bathin jamaah haji serta
memelihara nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar
negeri. Undang-Undang ini juga menetapkan bahwa pemerintah
wajib memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang
sebaik-baiknya terhadap jamaah haji melalui sistem dan
manajemen penyelenggaraan yang baik agar penyelenggaraan
ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan
nyaman sesuai dengan tuntunan agama serta jamaah haji dapat
melaksanakan ibadah secara mandiri, sehingga diperoleh haji
mabrur. Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 terdiri atas 16 bab
dengan 30 pasal. Isinya mengatur soal Ketentuan Umum, Asas
dan Tujuan, Pengorganisasian, Biaya Penyelenggaraan Ibadah
Haji, Pendaftaran, Pembinaan, Kesehatan, Keimigrasian,

39
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Transportasi, Barang Bawaan, Akomodasi, Penyelenggaraan


Ibadah Haji Khusus, Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah,
Ketentuan Pidana, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.
kemelut serta persoalan yang seringkali berulang tanpa
memperoleh solusi yang tuntas dan komprehensif. Munculnya
berbagai persoalan dalam penyelenggaraan ibadah haji selama ini
bukan hanya semata-mata persoalan teknik-kasuistik yang
disebabkan oleh buruknya manajemen penyelenggaraan haji
pemerintah, namun lebih dari itu, UU 17 tahun 1999 ternyata
memiliki banyak kelemahan yang berpotensi melahirkan
kerancuan sistemik yang berdampak pada carut marutnya wajah
penyelenggaraan haji di Indonesia. Sedikitnya terdapat dua
catatan penting yang bisa diuraikan dari persepektif efektifitas
dan efisiensi ekonomi nasional yang tidak lain merupakan akibat
dari kerancuan dalam UU tersebut:

(1). Dalam hal Pengorganisaian; belum mendapatkan perhatian


yang semestinya UU ini sangat jelas memberikan
kewenangan penuh kepada Pemerintah (Depag) dalam
seluruh rangkaian penyelenggaraan haji. Pemerintah
memegang peran sebagai regulator, operator sekaliguas
pengawas. Monopoli kekuasaan dan kewenangan ini
mengakibatkan tidak adanya check and balance dan
berkecenderungan mengakibatkan penyalahgunaan
wewenang yang akan berimbas pada lahirnya perlakuan
ataupun praktek yang tidak fair. Monopoli pemerintah dalam
penyelenggaraan haji menyebabkan kerancuan dalam
pengorganisasian haji. Pemerintah memegang kendali dari
mulai regulasi hingga ke pelaksanaan teknis

40
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

penyelenggaraan. Hal ini mengakibatkan tumpang tindih


antara berbagai kepentingan yang bermuara pada otoritas
tunggal Menteri Agama. Saat ini standar kesuksesan
penyelenggaraan haji bersifat artifisial, yakni berhasilnya
pemerintah dalam memberangkatkan serta memulangkan
kembali jamaah ke embarkasi masing-masing. Aspek
bimbingan, pelayanaan serta perlindungan jamaah yang
semestinya menjadi kunci terlaksanannya ibadah secara baik,
masih
(2). Dalam kaitannya dengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang Nomor 17 tahun 1999 tidak mengatur secara
jelas mana biaya yang harus ditanggung oleh jamaah dan
mana yang harus ditanggung oleh negara. Bahkan menurut
UU ini, seluruh pembiayaan haji dibebankan kepada jamaah
melalui BPIH. Padahal berdasarkan Pasal 3 ditetapkan bahwa
‘pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan
dan perlindungan dengan menyediakan fasilitas, kemudahan,
keamanan dan kenyamanan yang diperlukan oleh setiap
warga negara yang melaksanakan ibadah haji’. Tidak adanya
transparansi dalam porsi penentuan Biaya Penyelenggaraan
Ibadah Haji (BPIH) telah memunculkan kesan kental akan
telah terjadinya praktik pembisnisan haji. Transportasi
merupakan komponen vital dan terbesar dalam pembiayaan
haji. Namun sayangnya, penunjukan pelaksana transportasi
hanya ditentukan oleh kebijakan menteri. Penggunaan Garuda
sebagai satu-satunya flag carriernasional dalam pengangkutan
jamaah haji mengakibatkan tidak adanya kompetisi harga.
Semestinya kesempatan pengangkutan haji ini juga daapt
diberikan kepada perusahaan penerbangan nasional lainnya

41
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

untuk ikut serta bersaing menawarkan kualitas pelayanan dan


tingkat tarif yang rasional melalui proses yang fair ,
profesional dan transparan. Demikian juga untuk penyediaan
akomodasi dan katering untuk jamaah haji, dengan
diterapkanya mekanisme yang transparan dan adil dalam
upaya pemberdayaan pasar, khususnya untuk pelaku usaha
nasional, tentu akan lebih memberikan manfaat bagi
perekonomian nasional sekaligus berdampak pada penentuan
beesaran biaya penyelenggaraan haji yang efisien dan
rasional. Hasil efisiensi BPIH secara langsung yang selama
ini diketahui bersama teralokasikan menjadi account Dana
Abadi Umat sering luput dari perhatian sebagian besar
masyarakat, khususnya jamaah haji. Karena lepas kendali,
maka dana yang dikumpulkan dari hasil efisiensi
penyelenggaraan haji ini tidak terberdayakan secara optimal
untuk menumbuh kembangkan perekonomian umat pada
khususnya maupun perekonomian nasional pada umumnya.

RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999


Timbulnya berbagai permasalahan dalam
penyelenggaraan ibadah haji, secara historis menunjukkan
senantiasa telah secara responsif diatasi oleh Pemerintah
Indonesia. Bahkan tidak berhenti disitu, saat inipun bergulirnya
wacana penyelenggaraan haji yang modern dengan
mengedepankan kualitas pelayanan prima, telah mendorong DPR
RI untuk mengusulkan inisiatif Rancangan Undang-Undang
perubahan UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
Batang tubuh RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun

42
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

1999 memiliki jumlah pasal yang lebih banyak (kurang lebih dua
kali lipat dibandingkan UU No.17/1999), yaitu terdiri dari 17 Bab
dengan 60 Pasal. Di dalam RUU Perubahan UU no 17 tahun
1999, telah diakomodir beberapa tuntutan masyarakat,
diantaranya mengenai pemisahan peran pengawasan yang
selanjutnya diserahkan kepada Badan Pengawas Haji, dan juga
pemisahan pengelolaan Dana Abadi Umat yang selanjutnya
diserahkan kepada Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang
dibentuk untuk maksud tersebut. Namun demikian Pemerintah
(melalui Departemen Agama) tetap memegang peran Regulator
di satu sisi, dan secara bersamaan juga masih memegang peran
sebagai operator/pelaksana penyelenggaraan ibadah haji. Secara
garis besar pokok-pokok pikiran yang diatur di dalam RUU
Perubahan UU Nomor 17 Tahun 1999 yang berhubungan dengan
upaya mendorong terjadinya pemberdayaan pasar dan penciptaan
iklim persaingan usaha yang sehat dapat diuraikan dalam tabulasi
sebagai berikut:
Ketentuan Pasal
Interpretasi arah kebijakan

Pasal 3:
Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan
perlindungan dengan menyediakan fasilitas, kemudahan,
keamanan, dan kenyamanan yang diperlukan oleh setiap warga
negara yang menunaikan ibadah haji Pasal ini mengandung
pengertian bahwa Pemerintah tidak hanya berkewajiban untuk
melakukan pembinaan dan perlindungan (fungsi Regulator),
namun juga berkewajiban untuk melayani penyelenggaraan
ibadah haji dengan menyediakan fasilitas, kemudahan, keamanan

43
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

dan kenyamanannya (fungsi Operator). Dengan kata lain, pasal


ini menegaskan bahwa Pemerintah masih berperan sebagai
Regulator sekaligus Operator.

Pasal 6:
(1).Jamaah haji berhak memperoleh bimbingan, pelayanan,
perlindungan, keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan
ibadah haji, meliputi:
(a) Bimbingan tentang manasik haji dan/atau materi lainnya baik
di tanah air, di pesawat, maupun di Arab Saudi; Pasal ini
menegaskan bahwa hak jamaah haji (atau secara implisit
merupakan kewajiban Pemerintah), adalah menyediakan
pelayanan mengenai pemondokan, akomodasi, konsumsi, dan
kesehatan saat ditanah air, selama pelaksanaan ibadah haji di
Arab Saudi, maupun saat kepulangan ke tanah air dengan
kualitas pelayanan yang nyaman;

Ketentuan Pasal
Interpretasi arah kebijakan
(b) Pelayanan mengenai pemondokan, akomodasi, konsumsi, dan
kesehatan saat ditanah air, selama pelaksanaan ibadah haji di
Arab Saudi, maupun saat kepulangan ke tanah air;
(c) Perlindungan mengenai jamaah haji sebagai warga negara
Republik Indonesia yang harus dilindungi kepentingannya;
(d)Keamanan mengenai keselamatan diri, barang-barang bawaan,
paspor dan berbagai dokumen penting lainnya; dan
(e) Kenyamanan transportasi, penginapan / pemondokan selama
di tanah air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke tanah air

44
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

(2) Jamaah haji berkewajiban memenuhi semua persyaratan yang


berlaku untuk menunaikan ibadah haji

Pasal 7:
(1) Penyelenggaraan ibadah haji meliputi unsur kebijakan,
pelaksanaan, dan pengawasan.
(2) Kebijakan penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan
ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi
anggungjawab Pemerintah.
(3) Pelaksana ibadah haji adalah Pemerintah dan/atau masyarakat
(4) Pengawasan penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas
dan tanggungjawab Badan Pengawas Haji Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah menunjuk Menteri untuk
melakukan koordinasi dan/atau bekerjasama dengan
masyarakat, departemen/instansi terkait, dan Pemerintah
Kerajaan Arab Saudi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penyelenggaraan
dan jenis-jenis kegiatan penyelenggaraan ibadah haji yang
dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat diatur
dengan Peraturan Pemerintah Pasal ini menegaskan bahwa
penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional,
sehingga kebijakannya diatur oleh Pemerintah dan
pelaksanaanya pun dilakukan oleh Pemerintah atau dapat pula
dilakukan oleh swasta (namun terbatas untuk
penyelenggaraan haji khusus/ONH plus saja); Di samping itu,
di dalam pasal ini menegaskan untuk pelaksanaan
pengawasan penyelenggaraan ibadah haji (yang dulu

45
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

diperankan oleh Pemerintah), diserahkan kepada suatu Badan


Pengawas Haji Indonesia;

Pasal 21:
(1) BPIH terdiri dari Biaya Langsung dan Biaya Tidak Langsung
(2) Biaya Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan kepada jamaah haji
(3) Biaya Tidak Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditanggung oleh Negara Pasal ini menegaskan bahwa sebagai
manifestasi tanggung jawab negara, maka biaya-biaya tidak
langsung (yang selama ini menjadi komponen BPIH, tidak
lagi dibebankan kepada jamaah haji, melainkan menjadi
beban negara (APBN);

Ketentuan Pasal
Interpretasi arah kebijakan

Pasal 22:
(1) Besarnya BPIH di tetapkan oleh Presiden atas usul Menteri
setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
(2) BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk
keperluan biaya langsung penyelenggaraan ibadah haji
(3) Pengadministrasian BPIH diatur dengan Peraturan Menteri
Pasal ini menegaskan bahwa kebijakan penetapan harga atau
biaya haji (yaitu biaya langsung), dilakukan oleh Presiden
(atas usul Menteri setelah disetujui DPR)

46
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

Pasal 45:
Penunjukan pelaksana transportasi jamaah haji dilakukan oleh
Menteri dengan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan,
kenyamanan dan efisiensi Pasal ini menegaskan bahwa Penetapan
pelaksana transportasi haji (dari embarkasi ke Arab Saudi)
dilakukan melalui mekanisme penunjukan yang dilakukan oleh
Menteri (Agama) dengan mempertimbangakan aspek keamanan,
keselamatan, enyamanan dan efisiensi;

Pasal 46
Pelaksanaan transportasi jamaah haji dari daerah asal ke
embarkasi dikoordinasikan dan menjadi tanggungjawab
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota bersama DPRD
Pasal ini menegaskan bahwa untuk pelaksanaan transportasi
jamaah haji dari daerah asal ke embarkasi dikoordinasikan dan
menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah Propinsi dan
Kab/Kota bersama DPRD;

Pasal 48
(1). Menteri berkewajiban menyediakan akomodasi bagi jamaah
haji tanpa biaya tambahan di luar BPIH
(2). Pengadaan akomodasi bagi jamaah haji dilakukan dengan
memperhatikan standar pelayanan minimum yang mencakup
kesehatan, kenyamanan, kemudahan dan keamanan jamaah
haji beserta barang bawaannya
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan akomodasi bagi
jamaah haji diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri
Pasal ini menegaskan bahwa pelaksanaan penyediaan
akomodasi haji dilakukan oleh Menteri (Agama) dengan

47
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

memperhatikan standar pelayanan minimum (kesehatan,


kenyamanan, kemudahan dan keamanan jamaah haji beserta
barang bawaannya); Mekanisme pengadaan akomodasi bagi
jamaah haji diatur dengan Peraturan Menteri (Agama);
Mencermati substansi pengaturan sebagaimana diuraikan
pada tabulasi tersebut diatas, maka terdapat beberapa hal
yang patut mendapatkan apresiasi terkait dengan adanya
sebagian perbaikan dalam pengorganisasian
penyelenggaraan haji, dimana untuk pengawasan
penyelenggaraan haji diserahkan kepada lembaga tersendiri
(terpisah dari Pemerintah/Departemen Agama) dan juga
dalam hal pengelolaan dana abadi umat, akan diserahkan
kepada Badan Pengelola Dana Abadi Umat sehingga dapat
dikelola secara optimal untuk kemaslahatan perekonomian
umat pada umumnya oleh pemerintah.

Ketentuan regulasi penyelenggaraan ibadah haji tidak


mengatur mengenai sangsi atas perilaku yang demikian itu.
Dengan tidak dilakukannya pembenahan ataupun perbaikan atas
beberapa potensi inefisiensi dari kebijakan tersebut diatas, maka
esensi kebijakan pengikutsertaan swasta (secara gradual) untuk
membantu Pemerintah dalam penyelenggaraan ibadah haji,
sehingga pada satu saat tertentu dapat mendorong terjadinya
efisiensi penyelenggaraan ibadah haji akan jauh dari tercapai.

Pemberdayaan Pelaku Usaha Nasional


Dinamika pasar dalam industri jasa penerbangan, jasa
perjalanan (tour & travel), dan jasa boga telah demikian
berkembang dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

48
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

Pemberdayaan potensi ekonomi nasional dengan pengikutsertaan


pelaku usaha nasional competition for the marketdiadopsi dalam
kerangka untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang terbaik
dengan harga atau biaya yang rasional. Implementasi competition
for the market yang selama ini dijalankan Pemerintah dalam
segenap pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji masih bersifat
diskriminatif, dan perlu dikritisi secara konstruktif:

1. Transportasi Angkutan Udara


Kekhususan penyelenggaraan angkutan haji, sebagaimana
dipersepsikan oleh Departemen Agama selama ini, tidak cukup
bijak untuk dijadikan alasan untuk tidak dapat membuka
kompetisi dalam penyelenggaraan angkutan udara untuk jamaah
haji Indonesia.
Sebagaimana telah ditunjukkan pada tahun 1999, dampak
pengikutsertaan perusahaan penerbangan selain dari PT Garuda
Indonesia, yaitu Saudi Arabian Airlines, dalam pengangkutan
haji, salahsatunya dapat ditekannya tarif angkutan haji (dari US$
1,750.- menjadi US$ 1,250.- per orang) sehingga signifikan
berpengaruh dalam penetapan komponen biaya perjalanan haji
yang sebagian besar merupakan biaya angkutan udara. Jika
perusahaan penerbangan asing ( yaitu SV) saja telah diberikan
akses untuk melayani angkutan haji Indonesia, kenapa terhadap
perusahaan penerbangan nasional sendiri yang lain, tidak
diberikan kesempatan yang sama? Paradigma pemberdayaan
pasar dengan pengikutsertaan pelaku usaha nasional bukanlah
sesuatu yang dilarang, bahkan menurut hemat kami perlu
dikedepankan.

49
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Pemberdayaan pelaku usaha nasional tidaklah selalu


identik dengan memberikan keistimewaan kepada nama besar
Badan Usaha Milik Negara. Pemberdayaan pelaku usaha nasional
seharusnya bisa direpresentasikan juga melalui perusahaan
nasional dalam arti yang lebih luas, yang mampu menawarkan
kualitas pelayanan yang terbaik dengan harga yang rasional.
Dengan kebijakan penyelenggaraan haji dimana tarif haji
tetap menjadi kewenangan Pemerintah, maka mekanisme
pembentukan besaran tarif dimaksud idealnya melalui mekanisme
competition for the market dengan membuka akses pasar yang
tidak diskriminatif.Apabila pada akhirnya perusahaan BUMN
yang kemudian berhasil memenangkan kompetisi, maka hal
tersebut dapat setidaknya akan menjadi pemicu bagi perusahaan
penerbangan nasional lainnya untuk memperbaiki manejemen
usahanya sehinga dapat lebih efisien lagi untuk dapat
memenangkan kompetisi.
Penyediaan Akomodasi dan Konsumsi (katering) Fasilitas
pemondokan yang sehat, nyaman dan aman serta tidak jauh dari
pusat-pusat peribadatan haji menjadi kondisi yang ideal
diidamkan oleh setiap jamaah haji. Mekanisme penentuan
tempat-tempat pemondokan selama ini, memang telah dilakukan
melalui mekanisme tender (yang dilakukan di Arab Saudi).
Terdapat ketentuan yang mengikat dari Pemerintah Arab
Saudi, dalam hal penyewaan pemondokan ini. Namun,
keterikatan ketentuan tersebut lebih ditekankan pada fungsi
perlindungan kepadajamaah haji itu sendiri, bukan pada model
ataupun mekanisme yang harus dijalankan oleh Pemerintah
dalam menentukan siapakah pihak yang berhak menyediakan
fasilitas pemondokan bagi jamaah haji.

50
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

Kebijakan yang dapat dijalankan oleh Pemerintah


Indonesia dalam menentukan siapakah pihak yang berhak
menyediakan fasilitas pemondokan bagi jamaah haji Indonesia
pada dasarnya dapat dimodifikasi karena tetap menjadi
kewenangan Pemerintah Indonesia. Penyempurnaan dan
pembenahan mekanisme pemenuhan kebutuhan akomodasi
jamaah haji sudah seharusnya dilakukan.Demikian juga halnya
dalam hal pemenuhan kebutuhan konsumsi dengan sistem
katering untuk jamaah haji.
Pendekatan G to G yang selama ini dilakukan Pemerintah
menjadi prakondisi yang baik untuk dijadikan kerangka dasar
pengembangan kelompok kerjasama ekonomi yang bersifat
strategis diantara para swasta nasional dengan para swasta arab
saudi (di bidang jasa akomodasi dan katering). Hal ini merupakan
terobosan kebijakan untuk mendorong terjadinya perluasan skala
ekonomi sebagai insentif ekonomis yang dapat dimanfaatkan oleh
pelaku pasar.
Terbangunnya kerjasama strategis yang saling
menguntungkan akan mendorong terjadinya perbaikan kualitas
pelayanan serta memberikan akses yang lebih terbuka (bagi
Pemerintah Indonesia) untuk menerapkan punishment atas
buruknya pelayanan swasta. Mekanisme competition for the
market tetap menjadi instrument untuk menentukan (kelompok
usaha) kerjasama swasta (nasional-arab saudi) yang terbaik
dengan kualitas pelayanan terbaik dan harga yang kompetitif dan
rasional.
Organisasi Penyelenggaraan Ibadah Haji Perangkapan
peran Pemerintah sebagai Regulator dan Operator, berimbas pada

51
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

kualitas pelayanan yang tidak maksimal karena potensi distorsi


yang tinggi. Hubungan antara Regulator-Operator maupun
Pengawas-Operator bersifat vertical. Secara ideal hubungan antar
fungsi vertical tidak akan efektif dalam upaya efisiensi apabila
dirangkap oleh satu institusi.
Hubungan rangkap antar fungsi vertikal menyulitkan
pengawasan dan penerapan mekanisme reward and punishment.
Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan ibadah haji di
Indonesia selama ini, Departemen Agama tidak perhah
mendapatkan sangsi ataupun ’hukuman’ atas terus terulangnya
berbagai permasalahan di dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Bentuk distorsi akibat dari perangkapan fungsi regulator dan
operator dapat digambarkan beberapa fakta yang didapatkan tim
di lapangan. Misalnya terkait dengan mengenai praktek-praktek
pengadaan katering di embarkasi-embarkasi haji.
Berdasarkan informasi sebagaimana dinyatakan oleh
Asosiasi Jasa Boga Sulawesi Selatan, bahwa penyelenggaraan
tender hanyalah bersifat formalitas belaka. Sudah bertahun-tahun,
pemenang tender penyediaan katering untuk embarkasi Makassar
selalu bergantian diantara dua perusahaan, yang tidak lain karena
salah satunya memiliki hubungan kedekatan dengan salah satu
mantan Gubernur Sulsel, sedangkan satu lainnya merupakan
bisnis dari pejabat Departemen Agama setempat.
Di kota yang lain, Surabaya, tender pengadaan katering jamaah
haji diprotes akibat pengumuman tender yang dicantumkan di
harian Media Indonesia -yang kebetulan bukan merupakan harian
yang sering dibaca di Jawa Timur- sehingga menyebabkan
minimnya informasi dan keikutsertaan pelaku usaha katering di
Jawa Timur.

52
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

Distorsi serupa juga terjadi dalam mekanisme pengadaan


jasa pengangkutan jamaah haji atau transportasi dari daerah asal
ke embarkasi. Bahkan untuk kegiatan pengadaan jasa transportasi
ini, diakui oleh ORGANDA tidak secara transparan
dipublikasikan oleh Pemerintah Daerah sebagai koordinator peny
elenggara ibadah haji di tingkat daerah. Unsur kedekatan
merupakan faktor dominan dalam penentuan pihak yang berhak
untuk menyelenggarakan jasa transportasi jamaah haji dari daerah
asal ke embarkasi. Fasilitasi mekanisme yang fair dalam
penentuan pihak yang berhak untuk menjadi penyedia katering di
embarkasi merupakan pemicu bagi tumbuh dan berkembangnya
usaha kecil katering yang berada di daerah bersangkutan.
Guna menjamin adanya mekanisme yang transparan dan
adil, maka setidaknya perlu juga dieksplisitkan di dalam
ketentuan Undang-Undang, sehingga perbaikan beberapa pasal
ebagaimana terdapat di dalam RUU perubahan UU No.17/1999
tentang Penyelenggaraan Haji dapat diperbaiki sebagai berikut:

RUU Inisiatif DPR Usulan Perbaikan


Pasal 3
Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan
perlindungan dengan menyediakan fasilitas, kemudahan,
kemanana dan kenyamanan yang diperlukan oleh setiap warga
negara yang menunaikan ibdah haji

Pasal 3
Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan dan
perlindungan dengan menentukan standar minimum fasilitas dan

53
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

kenyamanan yang diperlukan oleh setiap warga negara yang


menunaikan ibadah haji

Pasal 7
Ayat (2) Kebijakan penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan
ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi
tanggungjawab Pemerintah.
Ayat(3) Pelaksana ibadah haji adalah Pemerintah dan/atau
masyarakat
Ayat(5) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
menunjuk
Menteri untuk melakukan koordinasi dan/atau
bekerjasama dengan masyarakat, departemen/instansi
terkait, dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi

Pasal 7
Ayat(2)Kebijakan Penyelenggaraan ibadah haji menjadi
tanggungjawab Pemerintah
Ayat (3) Pelaksana ibadah haji adalah badan pelaksana ibadah
haji yang dibentuk oleh Pemerintah untuk maksud
tersebut bekerjasama dengan badan hukum indonesia
yang memiliki kompetensi khusus di bidang yang terkait
dengan penyelenggaraan ibadah haji setelah melalui
mekanisme penunjukan yang transparan dan
memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang
sehat

54
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

Ayat(5) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab


sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
menunjuk Menteri untuk melakukan koordinasi dengan
departemen/instansi terkait, dan Pemerintah Kerajaan
Arab Saudi

Pasal 22
Ayat (1). Besarnya BPIH di tetapkan oleh Presiden atas usul
Menteri setelah mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Pasal 22
Ayat (1). Besarnya BPIH di tetapkan oleh Presiden atas usul
Badan Pelaksana Ibada Haji setelah mendapat
persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Pasal 45
Penunjukan pelaksana transportasi jamaah haji dilakukan oleh
Menteri dengan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan,
kenyamanan dan efisiensi

Pasal 45
Penentuan pelaksana transportasi jamaah haji dilakukan oleh
badan pelaksana ibadah haji dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah
yang meliputi aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan dan
efisiensi melalui mekanisme persaingan usaha yang sehat

55
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Pasal 46
Pelaksanaan transportasi jamaah haji dari daerah asal ke
embarkasi dikoordinasikan dan menjadi tanggungjawab
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota bersama DPRD

Pasal 46
Penentuan pelaksana transportasi jamaah haji dari daerah asal ke
embarkasi dilakukan oleh badan pelaksana ibadah haji daerah
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur lebih
lanjut melalui Peraturan Pemerintah yang meliputi aspek
keamanan, keselamatan, kenyamanan dan efisiensi melalui
mekanisme persaingan usaha yang sehat.

RUU Inisiatif DPR


Usulan Perbaikan
Pasal 48
(1). Menteri berkewajiban menyediakan akomodasi bagi jamaah
haji tanpa biaya tambahan di luar BPIH
(2). Pengadaan akomodasi bagi jamaah haji dilakukan dengan
memperhatikan standar pelayanan minimum yang mencakup
kesehatan, kenyamanan, kemudahan dan keamanan jamaah
haji beserta barang bawaannya
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan akomodasi bagi
jamaah haji diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri

Pasal 48
Penentuan Pelaksana akomodasi jamaah haji dilakukan oleh
badan pelaksana ibadah haji dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah

56
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

yang meliputi aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan dan


efisiensi melalui mekanisme persaingan usaha yang sehat

Penyelenggaraan ibadah haji Indonesia selama 54 tahun


terakhir sebatas diatur melalui kebijakan eksekutif. Baru mulai
tahun 1999, dasar hukum penyelenggaraan ibadah haji diatur
melalui konstitusi negara yaitu UU No.17/1999 tentang
Penyelenggaraan Haji. Meskipun sistem penyelenggaraan haji
telah berkali-kali mengalami perubahan dan penyempurnaan
kebijakan, namun hingga saat ini masih terus bermunculan
permasalahan-permasalahan yang bermuara pada ketidakpuasan
pelayanan penyelenggaraan haji yang diselenggarakan oleh
Pemerintah.
Dalam perkembangannya, total quota haji Indonesia
dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terus mengalami
peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 10,27% per
tahun. Namun bila dilihat dari jenis jamaah atau quota yang ada,
peningkatan yang terjadi tiap tahun hanya terjadi pada kategori
jamaah regular, sedangkan jamaah khusus dan lain-lain terjadi
penurunan (rata-rata per tahun sebesar 6,89% untuk jamaah
khusus dan 11,87% untuk jamaah lain-lain). Apabila dilihat
berdasrkan periodisasi tahunnya, peningkatan jumlah jamaah haji
yang terbesar terjadi pada tahun 2000 yaitu mencapai 147%,
sedangkan penurunan terbesar terjadi pada tahun 1999 hingga
mencapai 64,7%. Penurunan yang terjadi pada tahun 1999
disebabkan adanya imbas krisis moneter yang terjadi pada tahun
1997/1998. Namun situasi ini tidak berlangsung lama, satu tahun
setelah itu sudah mulai ada perkembangan ekonomi yang

57
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

berdampak pada kemampuan masyarakat untuk menunaikan


ibadah haji.
Fenomena menarik ditunjukkan pada tahun 2000, dimana
biaya penyelenggaraan ibadah haji dapat diturunkan signifikan
(dari Rp 27.373.000 pada tahun 1999 menjadi Rp 17.758.000
pada tahun 2000), sebagai bentuk dampak dari kebijakan
Pemerintah (melalui Keputusan Presiden Nomor 119 Tahun
1998) yang pada intinya mengikutsertakan perusahaan
penerbangan Saudi Arabia Airlines (SV), selain dari PT Garuda
Indonesia yang sebelumnya memonopoli, untuk mengangkut
jamaah haji Indonesia ke Arab Saudi. Akibat kebijakan tersebut,
biaya angkutan penerbangan dapat ditekan dariUS$ 1.750,-
menjadi US$ 1.200,-. Namun jangan lupa pula, bahwa penurunan
tarif ini juga sebagai imbas dari penghapusan pengenaan royalti
per jamaah haji kepada perusahaan penerbangan arab saudi
bersangkutan yang besarnya US$100,- per penumpang (yang
tidak lain merupakan kompensasi atas diikutsertakannya Saudi
Arabian Airlines dalam pengangkutan jamaah haji Indonesia).
Dalam perkembangan selanjutnya, biaya penyelenggaraan haji
kembali berkecenderungan meningkat dari tahun ketahun,
meskipun nilai peningkatannya relatif tidak signifikan.
Mekanisme competition for the market yang dilakukan
oleh pemerintah selama ini mungkin telah menemukan
kuantifikasi (baik harga maupun pelayanan) yang baik (good),
tetapi bukan yang terbaik (best). Hal tersebut karena mekanisme
yang dijalankan masih bersifat diskriminatif, tidak
mempertimbangkan informasi (kelembagaan) pasar yang lebih
luas dimana potensi efisiensi penyelenggaraan ibadah haji
diyakini masih dapat dilakukan lebih baik lagi oleh Pemerintah.

58
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

RUU Perubahan Undang-Undang No.17 Tahun 1999


tentang Penyelenggaraan Haji yang saat ini telah dihasilkan DPR
RI melalui Komisi VIII nya, merupakan inisiatif perbaikan
kebijakan yang patut mendapatkan apresiasi dari semua pihak
dalam rangka mewujudkan pelayanan penyelenggaraan ibadah
haji yang optimal sebagai salah satu bentuk manifestasi
pertanggungjawaban negara dalam menjamin kemerdekaan setiap
warganegaranya untuk menjalankan perintah agama dan kepercay
aannya masing-masing, sebagaimana telah diamanatkan melalui
UUD 1945;
Namun demikian ketentuan dalam RUU sebagaimana
telah dihasilkan DPR tersebut masih mempertahankan paradigma
bahwa bentuk jaminan perlindungan negara ‘harus’
termasnifestasikan dalam bentuk perangkapan fungsi regulasi dan
dan fungsi pelaksanaan oleh Pemerintah. Manajemen
monopolistik yang selama ini dijalankan setidaknya cukup
memberikan informasi bahwa pola yang demikian telah
mengakibatkan penyelenggaraan haji tidak optimal.

REKOMENDASI
Mempertimbangkan paparan kesimpulan tersebut di atas,
perbaikan terhadap UU No. 17 tahun 1999 sudah seharusnya
menyentuh pada aspek yang paling mendasar, dengan
memperhatikan prinsip-prinsip profesionalitas, transparansi dan
akuntabilitas. Perubahan ini sejalan dengan konsideran UU 17
tahun 1999: “bahwa upaya penyempurnaan sistem dan
manajemen penyelenggaraan ibadah haji perlu terus ditingkatkan
agar pelaksanaan ibadah haji berjalan aman, tertib, dan lancar
sesuai dengan tuntutan agama.” Atas dasar itulah, beberapa

59
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi kontribusi konstruktif


menuju penyelenggaraan haji yang lebih baik:
Perlu dilakukan penyempurnaan kebijakan pemerintah
dalam penentuan Tarif Haji dengan mengutamakan mberdayakan
potensi pelaku usaha nasional.
Ketetapan Pemerintah mengenai Tarif Haji Reguler
seharusnya diperoleh dari mekanisme persaingan yang tidak
diskriminatif. Mekanisme competition for the market harus
dilakukan dengan mengikutsertakan swasta nasional dalam pasar
bersangkutan yang sama secara luas:
- Dalam penyelenggaraan angkutan jamaah haji perlu diupayakan
pembukaan akses pasar dengan keikutsertaan perusahaan-
perusahaan penerbangan nasional;
- Membenahi dan melaksanakan mekanisme tender sehingga
transparan dan atau mendorong kerjasama ekonomi (swasta
nasional-swasta Arab Saudi) sehingga dapat memperluas peran
serta swasta nasional dalam penyediaan jasa katering baik di
embarkasi maupun di Arab Saudi, begitupun juga halnya dalam
pengadaan jasa pemondokan/akomodasi.

Guna mendorong terjadinya kompetisi di segmen pasar


haji plus, maka Pemerintah dapat menerapkan kebijakan tarif
batas atas dan tidak membatasi ataupun membagi kuota kepada
masin-masing swasta (berdasarkan pemenuhan kuota tahun
sebelumnya) yang berada dalam segmen pasar bersangkutan
dimaksud. Dengan kebijakan ini, diharapkan penawaran tarif oleh
swasta akan mengarah mendekati tarif haji reguler (yang
ditetapkan Pemerintah) dengan kualitas pelayanan haji yang lebih
baik (daripada Pemerintah);

60
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

Efisiensi tarif jasa penyelenggaraan haji (BPIH) secara


gradual perlu didorong dengan instrumen kebijakan cost
reduction yang terprogram secara baik seiring dengan dinamika
dan pertumbuhan pasar;
Perkembangan ekonomi dewasa ini yang mengalami
fluktuasi tidak menyurutkan masyarakat Indonesia yang
beragama islam untuk menunaikan ibadah haji di Arab Saudi.
Adanya perkembangan tersebut di satu sisi, menunjukan
komitmen masyarakat dalam menjalankan ibadaah dirasakan
cukup tinggi. Namun, di sisi lain, perkembangan tersebut harus
diantisipasi Pemerintah dengan berbagai persiapan mulai dari
perencanaannya sampai dengan selesainya ibadah hingga
kembali ke Indonesia. Realitas demikian menyebabkan banyak
instansi yang harus terlibat dalam pelaksanaan pelayanan ibadah
hai, termasuk diantaranya pihak perusahaan penerbangan.
Salah satu perusahaan penerbangan yang diserahkan
tanggung jawab dalam pelaksanaan haji adalah PT. Garuda
Indnesia. Perusahaan maskapai milik Negara ini telah lama
diberikan kepercayaan untuk melakukan penerbangan haji.
Bagi PT.Garuda Indonesia, tugas tersebut mempunyai dua misi
yang penting dan berkaitan, yaitu1
1. Sebagai badan usaha milik Negara (BUMN), maka Garuda
dituntut untuk melaksanakan angkutan haji dengan harga

1
Harliman Sumasaputra, “Penerbangan haji PT Garuda Indonesia:
Antara misi Pemerintah dan Misi Perusahaan,” (Makalah yang disampaikan
pada orientasi Pemberitaan Haji 2001, 6 Agustus 2000), hal.3

61
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

tiket penerbangan yang murah, namun ber kualitas pelayanan


tetap tinggi;
2. Padahal sebagai korprasi, Garuda dituntut untuk mampu
mengelola segala kegiatan operasionalnya secara bisnis agar
mampu meraih keuntungan seerta tidak membebani
keuangan Negara.
Dengan dua misi tersebut, PT. Garuda Indonesia juga
ditutntut untuk menjadi pihak yang harus menjamin adanya
transportasi yang aman dan lancer dalam pelaksanaan haji yang
memegang peranan yang cukup menentukan. Atas dasar
pemahaman tersebut menjadi sangat wajar jika penerbangan haji
juiga diberikan suatu pertanggungan atas perjalanannya. Hal
demikian perlu dilaukan agar ada penggantian yang layak kepada
jemaah haji atas kemungkinan kerugian, kerusakan atau
kehilangan atas diri maupun barang berharga miliknya saat
perjalanan haji. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan asuransi,
pertanggungan tersebut haus dibuat secara tertulis dalam suatu
akta, yang dinamakan polis.2
Dalam konteks ini PT Garuda Indonesia menjadi pihak
penanggung jawab dalam perjanjian asuransi dengan jemaah
haji, sehingga aspek asal usul, kesepakatan, dan pelaksanaannya
perlu mendapat kan perhatian yang cukup signifikan. Apabila
dikaitankan dengan aspek keperdataan, masalah perjanjian
asuransi tersebut menjadi sangat penting mengingat di dalamnya
berlangsung suatu peristiwa di mana seseorang mempunyai
melaksanakan kewajiban dan di lain pihak, seseorang menerima
haknya.

2
Radiks Purba , Mengenal Asuransi Angkutan Darat dan Udara
(Jakarta: Djambatan, 1997), hal.1

62
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

Pada perkembangan selanjutnya sampai sekarang ini,


wajar jika kemudian pertanggungan ini dilakukan PT Garuda,
khususnya perihal jaminan atas keselamatan penumpang “ditututp
asuransinya oleh pengangkut kepada perusahaan sesuai dengan
membayar premi. Dimana premi tersebut dibebankan oleh
pengangkut kepada setiap penumpang.3 Bagi PT Garuda
Indonesia, pembebanan premi tersebut bagi jemaah haji, telah
diakumulasikan dalam biaya tiket. Biaya tersebut termasuk
komponene biaya dalam direct operating cost (DOC) dan
indirect operating cost (IOC), yaitu asuransi penumpang
(asuransi kerugian Jasa Raharja).4 Mengingat pentingnya
kedudukan asuransi bagi jamaah haji, prosedur pemberiannya pun
dilakukan dengan perencanaan yang teliti, sehingga menuntut
adanya kesepakatan para pihak dan tidak memberatkan posisi
para pihak, termasuk pihak ketiga.
Oleh sebab itulah, lazimnya pelaksanaan penerbangan haji
ini melibatkan semua pihak, khususnya dari Departemen Agama,
Departemen Perhubungan, dan Majelis Ulama. Demikian pula
dalam penyusunan subtansi yang diperjanjikan, di dalamnya
dirumuskan asumsi – asumsi dasar untuk mencapai jumlah dan
sasaran yang direncanakan agar sesuai dengan ketentuan syariat
dan peraturan perundang – undangan.
Pentingnya konsep dan proses pertanggungan asuransi
bagi jemaah haji disebabkan implikasinya yang luas terhadap
pelaksanaan pelayanan urusan haji di Indonesia.
Konsekuensinya, para pihak yang terkait dengan pelayanan ini,

3
ibid., hal.240
4
Umasaputa, op.cit., hal. 3.

63
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

khususnya PT Garuda Indonesia, tidak dapat melalaikan


kewajibannya terhadap jamaah haji yang kemungkinan terkena
kecelakaan.
Perlunya proses pertanggungan yang lebih bermakna
dilakukan oleh PT Garuda Indonesia guna menutup tanggung
jawab terhadap penumpeng saat berada di asram haji menuju
bandara. Namun, dewasa ini, asuransi tersebut hanya dikenakan
terhadap penumpang pada waktu menaiki, berada di dalam,
maupun saat turun dari pesawat. Hal demikian sebenarnya perlu
mendapatkan perhatian untuk menghindari kemungkinan dampak
kerugian yang lebih besar bagi jemaah haji yang berada dalam
perjalanan menuju bandara. Begitu pentingnya aspek
pertanggungan angkutan haji ini selayaknya dapat di
informasikan kepada semua pihak, khususnya jamaah haji agar
pelaksanaan ibadahnya dapat dilakukan dengan tenang dan aman.
Dengan memahami ketentuan di atas, dapat ditarik garis
besar bahwa proses pertanggungan angkutan haji oleh PT Garuda
Indonesia dilakukan seiring dengan pembayaran biaya
penerbangan haji. Dengan kata lain, PT Garuda Indonesia
otomatis dibebani kewajiban untuk menanggung biaya perjalanan
haji tersebut. Namun, upaya tersebut kenungkinan akan
menimbulkan permasalahan dalam proses klaimnya, sehingga
jamaah haji juga perlu diberikan penjelasan mengenai hal itu.
Adanya permasalahan hukum yang kemungkinan
dihadapi PT Garuda Indonesia sebagai pelaksanaan penerbangan
haji juga sangat besar. Disamping adanya hambatan dalam
penerbangan haji, permasalahan mengenai klaim pertanggungan
juga harus diperhatikan PT Garuda Indonesia dengan

64
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

mengadakan koordinasi secara terpadu dengan Departemen


Agama dan pihak perusahaan asuransi.
Di samping itu, dengan mempertimbangkan
internasionalisasi pada pelaksanaan ibada haji yang sudah
dilakukan Pemerintah Arab Saudi sudah saatnya Pemerintah
Indonesia, dalam hal ini PT Garuda Indonesia
mempertimbangkan penerapan asuransi yang kredibel bagi
jamaah haji. Hal ini dilakukan sebagai manifestasi dari
profesionalisme PT Garuda Indonesia dalam melayani jasa
angkutan haji. Di sisi lain juga menunjukan perlindungan yang
signifikan dari PT Garuda Indonesia kepada pengguna jasa
transportasi udara.
Bagaimanapun dua manifestasi PT Garuda Indonesia
tersebut bersifat institusional, yaitu dapat dilakukan oleh otoritas
jasa penerbangan tersebut itu saja. Berhasilnya PT Garuda
Indonesia untuk merealisasikan manifestasi tersebut pada
dasarnya akan dijadikan bukti kkeunggulan pelayanan PT
Garuda Indonesia dalam menangani jasa angkutan haji di
Indonesia. Arah perkembangan demikian akan sangat
berpengaruh pada kualitas pemberian pelayanan jasa angkutan
haji yang dilakukan PT Garuda Indonesia. Dengan demikian,
secara langsung juga akan mendukung system pelayanan haji
secara keseluruhan di Indonesia.
Berdasarkan permasalahan yang di jelaskan sebelumnya
dapat dikemukakan secara umum, tujuan yang melandasi
pertanggungan asuransi bagi jamaah haji Indonesia, khususnya
yang dilakukan oleh PT Garuda Indonesia.selain itu, memberikan
penjelasan yang utuh mengenai proses pertanggungan asuransi
bagi jamaah haji di Indonesia. Perlunya pemahaman yang

65
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

mendalam mengenai penutupan asuransi haji ini perlu dilakukan


agar jamaah haji, khususnya dapat menhetahui hak dan
kawajibannya sebatas pertanggungan yang dimilikinya saat
melaksanakan ibadah haji.
Penelitian ini bertitik tolak pada tujuan hukum, khususnya
hukum asuransi mengingat segi manfaat praktisnya masalah
pertanggungan merupakan bagian bidang hukum asuransi. Dalam
pembahasannya dipergunakan beberapa konsep dan istilah
dengan maksud untuk membatasi ruang lingkup pembahasan
mengenai topic ini serta untuk menyatukan pemahaman
mengenai konsep atau istilah yang dipergunakan.
Definisi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
sebagian besar merumuskan aspek dan konsep mengenai hukum
yang termasuk dalam definisi yang bersifat analistis.5
Hal ini dilakukan agar terdapat sinkronisasi dan
keterkaitan dengan topik yang bersifat peninjauan terhadap suatu
masalah berdasarkan dimensi hukum. Adapun definisi pokok
yang disampaikan dalam topik ini, tidak digambarakn seluruhnya,
tetapi dirumuskan istilah yang terpenting dari topik yang
dibahas.5

Berikut istilah pokok yang didefinisikan.


1. Pertanggungan asuransi adalah:
“suatu perjanjian dengan nama seorang penagung
mengikatkan diri kepada yang bergantung, dengan menerima

5
Definisi analistis adalah “ definisi yang ruang lingkupnya luas,
tetapi sekaligus memberikan batas – batas- yang tegas , dengan caa
memberikan cirri- cirri khas dari istilah-istilah yang ingin didefinisikan. lihat
Soerjono Soekanto, pengantar pPenelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI Press,
1996), hal. 135.

66
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya


karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin dideritanya
karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”6

2. Asuransi atau pertanggungan adalah:

“ perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak


penanggung mengingatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hokum kepda pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak
pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meniggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan,”7

3. Tujuan Asuransi adalah:


“meringankan kerugian yang dialami oleh tertanggung
dengan memperoleh ganti rugi dari penanggung sedemikian
rupa, sehingga (1) tertanggung terhinda dari kebangkrutan
sehingga dia masih bisa berdiri seperti sebelum menderita
kerugian, (2) mengembalikan tertanggung kepada posisinya
semula seperti sebelum menderita kerugian”8

6
Purba , op.cit., hal 1.
7
Indonesia (1), Undang – undang tentang usaha Peransuransian, uu
No.2 tahun 1992, LN No. 13 tahun 1992, TLN NO. 1467, ps. 1 butir 1.
8
Purba, op.cit., hal. 3.

67
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

4. Jamaah haji adalah “calon haji yang memiliki kemampuan


niat menunaikan ibadah haji dan memiliki kemampuan untuk
melakukan pembiayaan”9

5. Penerbangan adalah:
“segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah
udara, pesawat udara, Bandar udara, angkutan udara,
keamanan dan keselamatanpenerbangan, serta kegiatan dan
fasilitas penunjang yang terkait.”10

1. Aviation Insurance atau asuransi pengangkutan udara


adalah:
“asuransi yang obyek pertanggungannya adalah pesawat
udara dan muatannya (penumpang dan barang) terhadap
kemungkinan bahaya yangmenimpanya, baik yang terjadi
di Bandar udara (ground risk) maupun dalam
penerbangan (flight risk).”11

Pada dasarnya pembahasan mengenai prosedur


pertanggungan asuransi bagi jamaah haji Indonesia ini akan
dikaitkan pula dengan ketentuan dalam Undang- Undang No.15
tahun 1992 tentang penerbangan, sehingga terlihat bahwa
penelitian ini diarahkan sebagai penelitian kepustakaan yang
bersifat normative. Landasan teori yang dipergunakan
9
Achmad Nidjam dan LAtief Hanan, MAnajemen Haji: Studi Kasus
dan Telaah Implementasi (Jakarta: Zikrul Hakim, 2001), hal. 10.
10
Indonesia (@), Undang-undang tentang Penerbangan, uu No. 15
tahun 1992, LN N0. 53 tahun 1992, TLN No. 2481, ps.1 butir 1.
11
Soeisno Djojosoedarso, Prinsip-prinsip Manajemen Risiko dan
Asuransi (Jakarta: Salemba Empat, 1999) hal. 189

68
Analisis Regulasi dan Praktek Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

sepenuhnya menggunakan data sekunder, yang meliputi bahan


hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Namun , tidak tertutup kemungkinan upaya memperoleh data
dengan melakukan wawancara langsung dengan narasumber
yang ada, baik dari pihak manajemen PT Garuda Indonesia
sebagai institusi yang menjadi obyek penelitian ini atau instansi
lain yang ikut menyelenggarakan pelayanan urusan haji di
Indonesia.
Adapun tipologi penelitian ini ditinjau dari segi sifatnya
adalah deskriptif. Sifat tersebut didasarkan atas penelitian yang
diarahkan guna menjelaskan dan mengemukakan permasalahan
yang akan dikaji. Juga, tipe demikian tepat dipergunakan dalam
penelitian kepustakaan yang bersifat normative seperti
pembahasan topik ini. Setelah data sekunder terkumpul,
kemudian dilakukan pengolahan, analisis, dan konstruksi data
secara kualitaif. Dengan demikian, hasil penelitian akan bersifat
deskriptif–analistis–prekriptif, dimana penelitian selain
menggambarkan permasalahan dan dianalisis, juga diberikan
sarannya.
Dalam mengemukakan topik ini, sistematika penulisan
pembahasan yanag dipergunakan adalah dengan menyampaikan
terlebih dahulu landasan teori yang berkaitan erat dengan aspek
asuransi angkutan udara, khususnya ditinjau dari segi objek dan
risisko yang ditanggung. Pembahasannya pun akan dilakukan
dengan pendekatan hokum, sehingga akan dirumuskan suatu hasil
penelitian hukum, sehingga akan dirumuskan suatu hasil
penelitian hukum yang berbentuk kepustakaan.

69
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

70
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

BAB III
TINJAUAN TERHADAP PENUTUPAN ASURANSI
ANGKUTAN UDARA

Objek Asuransi Angkutan Udara


Pada prinsipnya meskipun terjadi resesi ekonomi dan
ancaman terorisme akibat serangan 11 September 2002 volume
pengguna angkutan udara tetap meningkat. Tidak ada suatu
negara atau kelompok mayarakat ekonomi manapun dapat
melepaskan diri dari ketergantungan terhadap jasa pelayanan
angkutan udara ini yang justru semakin tinggi sesuai dengan
kebutuhan dan kepentingan bisnisnya.
Berdasarkan trend tersebut, angkutan udara sudah
semestinya mengubah tekanan strategi pelayanannya yang hanya
disandarkan pada tujuan kemandirian kolektif usahanya
(business collective self- reliance). Akan tetapai , harus mampu
menigkatkan keunggulan pelayanannya dengan cara
memberikan perlindungan perjalanan udara dan menjamin
kualitas jasa pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen. Kecenderungan ini pada prinsipnya menjadi strategi
penting bagi perusahaan jasa angkuta udara, sehingga tidak
hanya mengandalkan kebijakan proteksi dari pemerintah
maupun kebijakan monopoli tunggal dalam jasa angkutan udara
di suatu negara.
Di antara strategi penting bagi perusahaan jasa angkutan
udara yang terpenting adalah jaminan asuransi. Adanya asuransi
dalam angkutan udara pada prinsipnya untuk meringankan
kerugian yang dialami penumpang udara dengan memperoleh

71
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

ganti rugi dari penanggung hingga penumpang terhindar dari


kerugian yang berat. Perlunya jaminan asuransi bagi penumpang
angkutan udara disebabkanperusahaan jasa angkutan mempunyai
kepentingan untuk melindungi konsumen. Hal ini termasuk pada
prinsip kepentingan yang menegaskan, “bahwa orang yang
menutup asuransi harus mempunyai kepentingan (interest) atas
barang yang dipertanggungkan (insurable) atau orang yang di
tutup asuransi atas barangnya oleh orang lain (yang
dikuasakannya), harus mempunyai kepentingan atas barang itu.”1
Dengan dasar pemahaman tersebut sangat wajar jika
pemberi asuransi kepada pengguna jasa pelayanan angkutan
udara menjadi suatu hal yang harus dilakukan, di samping karean
factor kepentingan yang harus di tanggung perusahaan angkutan,
juga disebabkan karena factor profesionalisme. Maksud
profesionalisme di sini adalah perusahaan jasa angkutan telah
memperhitungkan cara penaggulangan risiko dalam pengolahan
jasa angkutan udara.2
Dengan dasar realitas tersebut, adalah semstinya jika
angkutan tidak hanya merupakan suatu rangkaian struktur,
konsep, dan praktik pelayanan bisnis jasa penerbangan. Akan
tetapi, secara khusus terkait erat dengan system perlindungan
risiko yang pada gilirannya mempengaruhi bisnis jasa angkuta
udara ini. Hal ini berarti pelayanan jasa tersebut interaksinya
1
Purba, op.cit., hal. 4.
2
Kemampuan manejeme perusahaan angkutan udara untuk melakukan
manajemen risiko menunjukan profesionalisme dalam proses pelayanan jasa
angkutn udara. Manajemen perusahaan angkutan udara telah
mempertimbangkan dengan jelas bahwa yang harus ditanggung oleh
penanggung, sehingga jika bahaya itu terjadi dan menimbulkan kerugian,
manajemen harus memberikan ganti rugi, lihat dalam Djojosoedarso, op.cit.,
hal.1.

72
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

harus mencirikan ketepatan dan keamanan (timely and safety)


sebagai cirri yang terdapat pada sebagian besar perusahaan jasa
penerbangan global.3
Dalam etos demikian, sikap manajemen angkutan udara
adalam memahami pentingnya jaminan asuransi sudah
semestinya merupakan suatu kewajiban. Persepsi bisnis angkutan
udara yang mementingkan jaminan perlindungan itulah yang
mendasari interaksinya penyedia jasa angkutan udara dengan
konsumennya. Pelyanan jasa angkutan udara yang lazim
memberikan jaminan asuransi telah dianggap sebagai formalitas
yang harus dilakukan, sehingga telah menjadi pola piker
(mindscapes) konsumen dalam memilih jasa angkutan udara.

Secara umum, adanya asuransi angkutan udara bagi


perusahaan mempunyai nilai ekonomis, yaitu “menghilankan
kerugian- kerugian yang bersifat ekonomis dari suatu risiko.”4 hal
ini khususnya untuk menghindari atau mengurangi nilai dari
kerugian dari terjadinya peristiwa yang merugikan, yang tidak
diharapkan atau tidak dapat dipastikan terjadinya. Peristiwa
demikian layaknya disebut sebagai “peril”5
Adapun secara umum objek asuransi angkutan udara
meliputi tiga hal penting, yaitu:6
1. Jaminan atas keselamatan peumpang;

3
Widyahartono, “Wawasan Bisnis Jasa Angkutan Udara,” Angkas 4
(April 1998):
4
Djojosoedarsono, op.cit., hal. 7.
5
Perial adalah peristiwa atau kejadian yang menimbulkan kerugian,
jadi merupakan kejadian atau perisatiwa sebagai penyebab langsung terjadinya
suatu kerugian. Misalnya, dalam jasa angkutan udara adalah kecelakaan
pesawat.
6
Purba, op.cit., hal. 240.

73
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

2. Jaminan atas barang yang diangkut;


3. Jaminan atas kapal terbang.
Ketiga objek asuransi tersebut pada intinya mempunyai
posisi penting dalam rangka mendukung operasionalisasi jasa
angkutan udara. Upaya memperthankan usaha ini tentu
membutuhkan jaminan atas konsumen, barang yang dimilikinya,
dan sarana angkutannya. Oleh sebab itu, jelas alas an ketiga hal
tersebut menjadi objek asuransi angkutan udara.
Besarnya sumbangan konsumen terhadap kelangsungan
usaha jasa angkutan udara dihasilkan dari pembayaran jasa atau
biaya yang dibayarkan sesuai dengan tariff angkutan. Pentingnya
keberadaan konsumen tersebut tidak diragukan lagi merupakan
salah satu syarat penting untuk keberhasilan usaha jasa angkutan
udara.7 Jaminan perlindungan yang diberikan kepada konsumen
sebagai penumpang angkutan udaradilakuakn dalam bentuk
asuransi oleh perusahaan angkutan yang dibayarkan kepada
perusahaan dengan membayar premi. Lazimnya, premi ini
dibebankan kepada penumpang pada saat membeli tiket.
Tanggungan ini dilakukan hanya untuk satu kali perjalanan dari
Bandar udara pemberangkatan samapi tiba di Bandar udara
tujuan, termasuk di dalamnya transit Bandar udara yang dilalui.8
Pada prinsipnya, asuransi bagi penumpang (legal liability
to passengers) didasarkan atas dua aspek tanggungan, yaitu.9

7
Beberapa pihak memperkirakan nilai belanja konsumen terhadap
penggunaan jasa angkutan udara adalah sebesar 41,6% dari semua jenis
angkutan lainnya seperti kereta api, bus, dan kapal laut. Lihat uraian lebih
lanjut dalam Widyahartono, op. cit., hal. 37
8
Purba, op. cit., hal. 24
9
Ibid., hal. 241- 24

74
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

1. Tanggung jawab atas keselamatan penumpang:


a. Pada waktu menaiki kapal terbang;
b. Selama berada di dalam kapal terbang;
c. Pada waktu turun dari kapal terbang,
dengan ketentuan bahwa penumpang mempunyai tiket yang
sah dikeluarkan oleh pengangkut dan besarnya premi
asuransi setiap penumpang disebutkan di dalam tiket itu.
2. Tanggung jawab atas keselamatan bagasi penumpang (hilang,
rusak, terbakar, dan sebagainya) kecuali bagasi yang dibawa
sendiri oleh penumpang ke dalam kabin,sepanjang kerugian itu
menurut hokum menjadi tanggung jawab pengangkut.
Jaminan atas keselamatan dan bagasi penumpang tersebut
dilakukan oleh perusahaan angkutan udara kepada perusahaan
asuransi. Adapun besarnya premi untuk setiap kali perjalanan
ditetapkan secara secara sepihak oleh perusahaan asuransi
tersebut. Atas dassar besarnya premi tersebut, perusahaan
angkutan udara menambahkannya pada biaya tiket yang dibeli
oleh penumpang.
Dengan kata lain, penumpang selain membeli tiket
perjalanan angkutan udara juga membayar premi asuransinya.
Apabila angkutan udara mengalami kecelakaan yang
berakibat pada penumpang, penanggung memberikan santunan
berupa:10
1. Biaya perawatan dan pengobatan hingga sembuh bagi
penumpang yang menderita luka – luka (tidak sampai
cacat permanen);

10
Ibid., hal. 242.

75
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

2. Biaya perawatan dan pengobatan hingga sembuh serta


sejumlah uang santunan bagi penumpang yang menjadi
cacat permanen;
3. Sejumlah uang santunan bagi penumpang yang meninggal
diberikan kepada ahli warisnya (istri/anak/orangtua).

Dengan demikian, hubungan antara penanggung dan


pengangkut dan tertanggung adalah:11
a. Pengangkut hanya berhubungan dengan tertanggung
dalam rangka memungut premi asuransi dari
penumpang;
b. Penanggung berhubungan langsung dengan
penumpang dalam rangka memberikan santunan
asuransi bila dialami musibah.

Adapun isi polis angkutan udara menurut Pasal 256 dan


Pasal 686 Kitab Undang–Undang Hukum Dagang {KUHD)
adalah:
Hari ditutup asuransi;
(1) Nama orang yang menutup asuransi atas tanggungan
sendiri atau atas tanggungan orang ketiga;
(2) Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang
diasuransikan;
(3) Jumlah uang pertanggungan;
(4) Bahaya – bahaya yang ditanggung oleh si penanggung;
(5) Saat bahaya mulai berlaku untuk tanggungan penanggung
dan saat berakhirnya bahaya ditanggung oleh
penanggung;

11
Ibid., hal. 243

76
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

(6) Premi asuransi;


(7) Semua keadaan yang kiranya penting diketahui oleh
penanggung dan segala syarat yang diperjanjikan antara
pihak – pihak;
(8) Waktu perjalanan harus selesai bila perjalanan ditentukan
dalam waktu pengangkutan;
(9) Harus disebuitkan apakah perjalanan harus tidak terputus
– putus atau sebagian demi sebagian;
(10) Nama juru pengangkut atau ekspeditur yang menerima
pengangutan barang tersebut.

Sementara itu, objek asuransi atas jaminan atas barang


penumpang di tutup asuransinya oleh pemilik barang kepada
peusahaan asuransi yang membayar premi didasarkan kepada
jumlah harga pertanggungan barang (insured value atau agreed
value),12 Sebagaimana jaminan atas penumpang, jaminan atas
barang juga berlaku hanya untuk satu kali perjalanan, yaitu sejak
tempat pemberangkatan sampai tempat tujuan. Namun, apabila
pengiriman dilakukan terus – menerus, misalnya sebagiamana
dilakukan perusahaan jasa pengiriman, asuransi ditutup dengan
polis kontrak (open policy atau open cover policy).13

12
Ibid., hal. 240
13
Ibid., hal. 241. Pembayaran asuransi dapat dilakukan langsung
pemilik barang kepada perusahaan asuransi atau melalui broker (pialang) uang
jasanya dibayar oleh penanggung.

77
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Adapun prosedur yang dilakukan untuk menutup


pertanggungan asuransi pengangkutan barang adalah dengan
mengisi formulir surat permintaan pertanggungan (SPP). Hal ini
dapat dilakukan juga oleh broker untuk mengisi data dan
keterangan barang yang akan diasuransikan. Setelah itu, SPP diisi
oleh diperriksa oleh penanggung, yang dapat dimintakan
perbaikan jika SPP tersebut belum memenuhi syarat. Berdasarkan
data itulah, penanggung kemudian membuat polis.
Polis tersebut diserahkan penanggung kepada tertanggung
setelah tertanggung membayar premi. Sejak pembayaran premi
itulah berlaku jaminan polis atas barang yang bersankutan.
Adapun bahaya yang ditanggung oleh polis ada dua macam,
yaitu:
a. Dijamin penuh (full cover)
1. Menjamin semua kerugian atau kerusakan atas barang
yang disebabkan oleh bahaya yang secara keseluruhan
terjadi (accidentally causedI) yang tidak diketahui
sebelumnya;
2. Tanggung jawab terhadap pihak ketiga bila menurut
hokum tertanggung bertanggung jawab atas kerugian
pihak ketiga yang disebabkan oleh barang yang
ditanggung.

Namun, hal ini dikecualikan pada hal – hal tertentu,


seperti kesalahan dari tertanggung atau pegawai tertanggung,
pembungkusan yang kurang baik atau pemogokan buruh.

b. Dijamin penuh terbatas (restricted full cover)


1. Menjamin kerugian atau kerusakan atas barang dan
biaya yang timbul oleh bahaya berikut:

78
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

a. Akibat dari alat pengangkut mengalami kebakaran,


peledakan, terbalik, tergelincir, terjatuh, tabrakan,
pendaratan darurat;
b. Kerusakan dalam bongkar muat barang;
c. Pembongkaran barang ditempat darurat;
d. Disebabkan oleh gempa bumi, letusan gunung berapi,
samara petir;
e. Disebabkan oleh banjir, air hujan, air hujan/tawar
masuk ke dalam alat pengangkut (tempat barang
timbun).
2. Tanggung jawab terhadap pihak ketiga bila menurut
hokum tertanggung bertanggung
jawab atas kerugian pihak ketiga yang disebabkan oleh
barang yang ditanggung.

Sementara itu, dalam hjal objek asuransi pesawat udara


(aircraft insurance) adlalah pesawat udara itu sendiri. Hal ini
meliputi kerangka/tubuh (hull) pesawat udara, mesin, motor,
baling – baling (jet), semua peralatan yang merupakan bagian
dari pesawat udara, dan semua perlengkapan yang dapat
dilepaskan dari pesawat udara seperti radio, kompas, perlengkapn
kabin, dan sebagainya.14
Adapun kerugian yang harus ditanggung atas pesawat
udara meliputi:15
1. Kehilangan atau kerusakan atas pesawat udara, baik
ketika di udara (terbang) m,aupun ketika di darat;

14
Ibid., hal. 278
15
Ibid.

79
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

2. Kehilangan keuntungan (consequential loss) disebabkan


oleh gangguan atas penerbangan (kebakaran, kerusakan
mesin, dan lain – lain);
3. Kerugian/kerusakan atas pesaawat udara selama dalam
pertunjukan atau demonstrasi penerbangan. Untuk risiko
ini, dikeluarkan polis khusus dengan premi yang lebih
tinggi dari premi biasa.

Unsur Perlindungan Konsumen dalam Asuransi Angkutan


Udara
Keberadaan asuransi angkutan udara pada dasarnya terkait
erat dengan perlindungan yang diberikan kepada penumpang dari
kemungkinan segala kejadian yang menimbulkan kerugian. Tidak
dapat dipungkiri setiap usaha kemungkinan besar akan
menghadapi risiko, sehingga memerlukan tindakan untuk
memberikan keamanan terhadap operasi perusahaan dan
memberikan kedamaian hati serta ketentraman jiwa yang
dibutuhkan. Dalam konsep itulah, penumpang sebagai pihak yang
menggunakan jasa angkutan udara perlu diberikan jaminan
perlindungan konsumen sebagaimana mestinya.
Perlindungan konsumen ini pada prinsipnya sebagaiman
diatur dalam Undang – undang No. 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen. Adapun bentuk konkret hyang diberikan
kepada konsumen penumpang udara meliputi keselamatan
penerbangan, keamanan penerbangan, kenyamanan, pentarifann
dan perjanjian angutan udara.16 Keenam aspek tersbut pada
hakikatnya merupakan salah satu kesatuan utuh dalam
16
E. Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan (Himpunan
Makalah 1961 – 1995) (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 111

80
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

menciptakan konsep pengangkutan udara yang menjamin


keselamatan dan kenyamanan penumpang.
Di antara keenam aspek tersebut, aspek yang terakhir
merupakan bagian yang terkait dengan penelahaan dalam bidang
hokum asuransi. Dalam perjanjian angkutan udara yang dibentuk
oleh perusahaan penerbangan, konsumen tidak dapat melakukan
perubahan terhadap substansi perjanjian. Perjanjian yang
dibentuk secara sepihak ini disebut sebagai perjanjian yang
memuat klausula baku, yaitu:

“setiap aturan atau ketentuan dan syarat – syarat yang


telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihakoleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/ atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen..”17

Dalam pembentukan perjanjian yang memuat klausula


baku pada angkutan penerbangan, tidak dapat dipungkiri ada
kemungkinan kedudukan salah satu pihak, yaitu perusahaan
penerbangan lebih dominan dibandingkan pihak lainnya, yaitu
penumpang sebagai konsumen. Kondisi demikian dapat dianggap
wajar pada tungkatan tertentu dengan melindungi kepentingan
hak perusahaan penerbangan yang lebih besar.
Namun disisi lain, kondisi denikian dapat menyebabkan
perselisihan jika konsumen menganggap dominasi perusahaan
penerbangan dalam perjanjian angkutan udara terlalu merugikan

17
Indonesia, Undang – undang tentang perlindungan Konsumen, UU
No.8 tahun 1999, LN No.42 tahun 1999, TLN No.3793 pasal 1 huruf 10.

81
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

haknya. Akan tetapi, sejauh ini secara mutatis mutandis seringkali


dianggap wajar oleh perusahaan penerbangan dan juiga tidak
terlalu menjadi perhatian penumpang karena pertimbangannya
adalah factor keamanan dan kenyamanan.
Padahal, adanya perjanjian yang memuat klausula baku
akan menyebabkan risiko yang ditanggung salah satu pihak akan
lebih berat daripada pihak lainnya. Misalnya, perusahaan
angkutan udara akan cenderung melepaskan tanggung jawab
yang terlalu besar atas risiko tertentu, yang sebenarnya
seharusnya tanggung jawabnya. Kondisi demikian terjadi
disebabkan konsumen mempunyai posisi tawar yang lemah,
sehingga asas, “setiap orang memikul sendiri risiko atas kerugian
yang menimpa barang miliknya, kecuali kalau kerugian itu dapat
dipersalahkan kepada orang lain,”18 tidak mutlak dijalankan
karena perusahaan penerbangan melepaskan tanggung jawabnya
itu.
Padahal, esensi risiko sebagai “kewajiban memikul
kerugian yang disebabkan karena kejadian di luar kesalahan satu
pihak.”19 harus diikuti dalam perjanjian angkutan udara secara
konsisten. Meskipun perjamjiam itu juga memuat klausula baku,
yaitu aturan yang syarat – syaratnya telah ditentukan oleh
perusahaan angkutan penerbangan, tetapi hak dan kepentingan
penumpang dapat diabaikan.
Ketentuan ini terlihat dengan dicantumkan hak bagi
perusahaan angkutan penerbangan untuk membebaskan dai
tanggung jawab tertentu. Adanya pembebasan tersebut pada

18
.Satrio, Hukum Perjanjian pada Umumnya (Bandung: Citra Aditha
Bakti, 1999), hal. 233.
19
Subekti,Hukum Perikatan

82
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

prinsipnya melanggar asas – asas dalam pematalan perjanjian


sebagaimana diatur dalam pasal 1266 KUHPerdata, yaitu
pertama, perjanjian harus bersifat timbale balik, kedua, Harus ada
wanprestasi, dan ketiga, harus dengan keputusan hakim. Dengan
kata lain, adanya rumusan dalam perjanjian angkutan udara yang
membebaskan perusahaan angkutan udara dalam hal tertentu
dapat dinyatakan “batal demi hukum.”20
Perlunya dikesampingkan berbagai upaya pembebasan
tanggung jawab perusahaan angkutan pada dasarnya
disebabkanbegitu sangat pentingnya perjanjian yang sepadan
antara penumpang angkutan udara yang mempunyai manfaat
hukumbagi dirinya. Manfaat itu adalah mendapatkan
perlindungan hokum dan kedudukan yang sepadan denagn
perusahaan angkutan udara. Manfaat hokum tersebut sangat besar
pengaruhnya bagi terciptanya struktur perjanjian angkutan
udarayang mengandung keadilan (fair contract)21
Dalam hal perlindungan hukum, penumpang sebagai
konsumen akan dihindarkandari kemungkinan pembatalan
penerbangan secara sepihak ayng dilakukan oleh
perusahaanangkutan udara, yang bukan atas dasar gejala alam
dan masalah teknis. Di samping itu, dengan adanya hubungan
hokum yang dibangun atas dasar perjanjian yang disepakati

20
Suherman, op.cit., hal. 134. Pada dasarnya hanya dalam beberapa
hal tertentu undang – undang sendiri yang dapat membebaskanperusahaan
angkutan udara dari tanggung jawab untuk menanggung kerugian yang
ditimbulkan selama pengangkutan udara pada penumpang. Salah satunya ialah
perusahaan angkutan udara telah membuktikan perusahaan sudah melakukan
semua tindkakan yang diperlukan untuk menghindari kerugian.
21
Munir Fuady, Hukum kontrak (dari sudut pandang Hukum Bisnis)
(Bandung: Citra Adity Bakti, 1999) hal. 52

83
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

dengan benar secara bersama oleh kedua belah pihak, posisi


penumpang sebagai konsumen sangat ditentukan posisinya.
Dengan demikian, penumpang sebagai konsumen dapat
mengajukan keberatan atas tindakan pembatalan sepihak atau
wanprestasi yang dilakukan perusahaan angkutan udara dengan
menyatakannya sebagai perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Dengan adanya ketentuan ini, konsumen
mendapatkan hak untuk di dengar (the right to be heard) dalam
pelaksanaan perjanjian angkutan udara, sebaimana diatur dalam
uu No.8 tahun 1999.
Dalam hal ini juga, perusahaan angkutan udara sebagai
pelaku harus memperhatikan tanggung jawabnya sebagaimana
diatur dalam uu No. 8 tahun 1999, khususnya pasal 26 yang
menyatakan kewajibannya memenuhi jaminan dan/atau garansi
yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan. Dengan kata lain,
dalam perjanjian angkutan udara, perusahaan angkutan udara
sebagai pelaku usaha seharusnya tidak” bertindak atas nama diri
dan para pihak yang mengikat di dalamnya menentukan hak dan
kewajiban para pihak dan menawarkan kesepakatan
konsumen.”22

22
Ibid., hal 44

84
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

Klasifikasi Risiko
Risiko yang Ditanggung

Pada prinsipnya pertanggungan risiko yang diberikan


anggkutan udara merupakan “polis gabungan pesawat udara
(comprehensive aircraft policy).”23

Hal itu diberikan karena polis diberikan secara gabungan


dan sekaligus memberikan jaminan atas kehilangan/kerugian
pesawat udara, tanggung jawab terhadap pihak ketiga, dan
tanggung jawab terhadap penumpang.

Lazimnya asutransi yang di tutup oleh angkutan udara


lima jenis. Hal ini ditinjau dari pembuatan samapi dengan
pelaksanaan jasa penerbangan. Adapun asuransi yang risikonya
ditanggung menurut pendapat E. Saefullah Wiradipradja saling
berkaitan dalam rangka mendukung jasa pelayanan angkutan
udara. Keterkaitan ini pada prinsipnya mendukung lancarnya
pelayanan dan penyediaan jasa angkutan udara secara lebih baik.
Adapun asuransi yang ditanggung risikonya meliputi
berikut ini.24 Ditinjau dari segi pengangkut, operator atau
pemilik. Dalam hal ini risiko asuransi yang ditanggung meliputi
penutupan asuransi atas rangka pesawat (hull insurance), yaitu
proteksi atas kerugian – kerugian akibat rusak atau musnahnya
pesawat dalam kecelakaan penerbangan, baik pada waktu in

23
Purba, op.cit., hal 279
24
E. Saefullah Wiradipradja,” Masalah Asuransi Penerbangan di
Indonesia Dewasa ini,” Padjajaran 2 (April – Juni 1981): 27.

85
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

flight,25 taxying,26 mooring,27 atau on grounds.28 Selain itu,


penutupan risiko atas kemungkinan lose of use,yaitu kerugian
akibat hilangnya pendapatan dan keuntungan yang bisa diperoleh
dari pengoprasian pesawat udara. Biasanya proteksi demikian
berlaku bilamana pesawat tersebut mengalami partial loss dan
bukan total loss.
Di samping itu, penutupan risiko atau tanggung jawab
penumpang, cargo, bagasi penumpang, dan pengiriman pos.
Risiko lain yang ditanggung juga meliputi tanggung jawab
menurut hokum kepada pihak ketiga (third party liability), baik
terhadap orang maupun harta benda. Juga, tanggungan risiko atas
tanggung jawab kepada awak pesawat (aircrew) dan tanggungan
risiko atas kemungkinan terjadinya pembajakan (hijacking)
dimana pelakunya minta uang tebusan.

a. Ditinjau dari segi pengelola Bandara (airport


operator/authority)
Pada dasrnya pengelola bandara harus bertanggung jawab
atas semua pemakai jasa bandara, baik manusia, pesawat, dan

25
Artinya selama pesawat udara di udara, yang dimulai sejak
meluncur di landasan pacu untuk tinggal landas (take off) dan berakhir ketika
pesawat udara selesai melakuakn pendaratan (tepat ketika berhenti di landasan
pacu)
26
Maksudnya adalah pesawat udara bergerak di landasan dengan
menggunakan tenaga sendiri atau tanpa menggunakan tenaga sendiri, tetapi di tarik.
27
pengertiannya adalah pesawat udara berada atau tertambat di atas
air seperti pesawat jenis Catalina.
28
Kondisi ini adalah pesawat udara berada di landasan atau di tanah
(kecuali taxying), yaitu ketika pesawat udara tidak bergerak (termasuk di
dalam hangar)

86
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

berbagai benda lainnya yang berada pada lingkungan bandara


yang dinilai berharga. Oleh sebab itulah, adanya kemungkinan
kesalahan pihak menara control yang megakibatkan kecelakaan
pesawat merupakan salah satu kemungkinan yang harus
ditanggung. akan tetapi, asuransi atau risiko yang ditanggung ini
belum sepenuhnya dapat dilakukankarena aturan yang belum ada.

b. Ditinjau dari segi pengusaha pabrik pesawat


(manufacturer) dan bengkel reparasi pesawat.

Risiko yang ditutup dalam hal ini adalah berkaitan dengan


tanggung jawab pengusaha pabrik pesawat atau pengusaha
bengkel reparasi terhadap kemungkinan kecelakaan yang
disebabkan faulty design. Maksudnya adalah kesalahan bahan
yang mengakibatkan kerusakan dan kecelakaan dapa pesawat
digunakan. Asuransi untuk menutup risiko ini adalah product
liability insurance.
Asuransi seperti ini di Indonesia belum berkembangdan
tuntutan asuransi seperti ini juga belum pernah ada. Akan tetapi,
dengan adanya PT Dirgantara Indonesia sebagai perusahaan
pembuat pesawat udara di Indonesia, tampaknya asuransi jenis ini
perlu dipertimbangkan.

c. Ditinjau dari segi penumpang

Pada dasarnya meskipun perusahaan angkutan udara telah


menutup risiko penumpang, tetapi penumpang juga memiliki
sendiri sendiri asuransi untuk menanggung risiko yang dihadapi,
kemungkinannya, penumpang memilki tiga polis asuransi, yaitu

87
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

asuransi jiwa, polis asuransi kecelakaan diri biasa dank upon


asuransi.
Kupon asuransi (insurance coupon) di Indonesia sampai
sekarang belum berkembang. Meskipun ada masih dalam tahapan
penjajakan oleh Departemen Sosial mengingat masih adanya
keberatan dari lembaga keagamaan menigngat kemungkinan
adanya unsur judi di dalamnya.

d. Diitinjau dari segi pemilik cargo dab pospaket.

Dalam hal risiko yang ditanggung pemilik cargo dan


pospaket sebenarnya juga telah ditanggung perusahaan, tetapi
keduanya mengansuransikan secara langsung kepada perusahaan
asuransi dengan menggunakan polis asuransi pengangkutan biasa.
Halini dilakukan karena adanya pembatasan tanggung jawab
pengangkut, baik dalam persyaratan angkutan maupun (terutama)
jumlah ganti ruginya.
Dalam hal ini risiko yang ditanggung dibedakan atas
accompanied baggage, un–accompanied baggage dan
pengiriman barang biasa.
Adanya maksud risiko yang ditanggung secara gabung
dilkuakan dalam kondisi sebagai berikut.29

1. Kehilangan/kerusakan pesawat udara

Dalam hal ini penanggung memberikan ganti rugi kepada


tertanggung atas nama biaya penggantian dan,atau perbaikan atas
pesawat udara serta ganti rugi atas kehilanganppesawat udara,

29
Purba, op.cit., hal. 279

88
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

yang terjadi ketika pesawat udara dalam flight, taxying, on


ground moored.

2. Tanggung jawab terhadap pihak ketiga

Berdasarkan segi hokum, tertanggung bertanggung jawab


untuk membayabiaya sebagai kompensasi berkaitan dengan
kerusakan harta benda atau kecelakaan pesawat udara atau yang
ditimpa oleh pesawat udara atau ditimpa oleh sesuatu benda yang
jatuh dari pesawat udara, biaya atau kerugian yang dibayar oleh
tertanggung kepada pihak ketiga akan diganti oleh penanggung
asalkan biaya atau kerugian itu menurut hukum meliputi
tanggung jawab penanggung. Dengan demikian, jika menurut
hokum penanggung tidak menanggung beban kerugian tersebut,
penanggung tidak wajib menggantikannya.

3. Tanggung jawab terhadap penumpang

Pada dasarnya tanggung jawab terhadap penumpang


menurut hokum (legal liability to passengers) meliputi:
a. Tanggung jawab atas keselamatan penumpang, yaitu pada
saat:
1. Menaiki pesawat;
2. Selama berada di dalam pesawat;
3. Menuruni pesawat

Semuanya ditanggung sepanjang penumpang memiliki


tiket.
b. Tanggung jawab atas keselamatan bagasi penumpang,
kecuali bagasi yang dibawa sendiri oleh penumpang.

89
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Risiko yang Dikecualikan


Dalam melakukan pembahasan mengenai risiko yang
dikecualikan, satu hal pertama yang perlu dipahami dan
dikemukakan adalah apa yang dimaksud dengan risiko yang
dikecualikan? Hal ini perlu diketahui guna mengidentifikasikan
risiko yang menjadi tanggung jawab penanggung dan mana yang
bukan. Dengan demikian, penumpang dan perusahaan Angkutan
udaara dapat mengetahuinya. Sebenarnya adanya konsep risiko
yang tidak ditanggung oleh penanggung harus tetap berlandaskan
pada dasar hokum (legal status) dari lepasnya tanggung jawab
tersebut dan jaminan hokum (legal guarantee) dari kemungkinan
adanya upaya perlindungan atas risiko melalui cara lain.30
Pada dasarnya, risiko yang tidak ditanggung oleh
penanggung adalah bahaya yang tidak termasuk accidentally
caused yang tidak terduga sebelumnya. Hal ini tentu mempunyai
dasar hukum yang harus tegas dinyatakan dalam klasaula
perjanjian asuransi. Namun, sebagai jaminan hokum atas
kemungkinan adanya bahaya itu, “penanggung dapat
menanggungnya asalkan diperoleh tambahan premi yang
pantas.”31
Keterkaitan tidak ditanggungnya kondisi yang bersifat
tidak terduga pada asuransi angkutan udara pada dasarnya
disebabkan “secara hokum risiko demikian dapat diukur
kemungkinan terjadinya, sehingga fungsi dan manfaat asuransi

30
Lihat uraian risiko tidak ditanggung bagi pesawat udara dalam
tulisan Muhamad Putra ALamsyah, “Prospek Peransuransian Trasportasi
udara.” Angkas 8 (Agustus 1998): 34 – 35.
31
Purba, op.cit., hal 240.

90
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

untuk menutup kerugian tersebut menjadi kehilangan


maknyany.”32
Dengan demikian, dengan ditetapkan risiko yang tidak
dapat ditanggung, diharapkan akan memperjelas konsep
perhitungan risikonya secara tepat. Dengan demikian, jika ada
penumpang atau perusahaan angkjutan udara berkeinginan agar
risiko tidak ditanggung, hal demikian tidak terlepas dari
keinginan individu penumpang danperusahaan angkutan udara itu
sendiri untuk tetap termotivasi melindungi dirinya sendiri.33
Adapun risiko yang ditanggung meliputi
kerugian/kerusakan atau biaya yang timbul akibat dari:
a. Wear and tear (aus);
b. Structure defect (karatan);
c. Inherent vice (sifat pembawaan intern);
d. Wilifuln- miscounduct (perbuatan tidak pantas pihak
tertanggung);
e. Keambrukan elektris/mekanis;
f. Peledakan

Di samping itu, risiko lain yang tidak ditanggung adalah


yang berkaitan dengan kecelakaan badaniah/atau kerusakan harta
benda yang dialami oleh orang – orang yang bertindak atas nama
tertanggung.
Selain itu, yang dialami oleh pilot dan semua crew
pesawat udara yang bersangkutan (kecuali bila ditutup

32
Alamsyah, op.cit., hal. 36.
44
Ibid

91
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

pertanggungannya). Juga, terhadap harta benda milik


tertanggung.
Risiko yang tidak ditanggung dalam hal yang berkaitan
dengan kecelakaan badaniah dan atau kerusakan benda adalah
yang disebabkan oleh:
1. Pesawat udara diangkut, kecuali diangkut karena
kecelakaan;
2. Penggunaan landasan yang belum berlisensi (unlicensed
landing areas), kecuali dalam keadaan darurat;
3. Akibat langsung dan tidak langsung dari pemogokan, huru
hara atau kekacauan, kegaduhan sipil, dan lain – lain yang
sejenis, kecuali ditutup asuransinya (SRCC Crissis);
4. Akibat langsung dan tidak langsung dari peperangan atau
bahaya peperangan, pemberontakan, perang saudara, dan
situasi darurat militer lainnya, kecuali ditutup asuransinya
melalui war risk.

Dalam hal ini kerusakan dan kerugian atau kecelakaan


badaniah yang risikonya tidak ditanggung adalah dalam kondisi:
a. Pesawat udara melakuakn penrbangan tanpa laik udara
(air worthy);
b. Pesawat udara nelakukan penerbangan tanpa izin dari
instansi yang berwenang ( Direktorat Kelaikan Udara
Departemen Perhubungan;
c. Pesawat udara digunakan untuk kegiatan yang dilarang
oleh undang – undang yang sah, misalnya menganghkut
barang selundupan dan barang terlarang.

Namun, adanya kesadaran akan kinerja yang lebih baik


biasanya menjadikan penumpang dan perusahaan anngkutan

92
Tinjauan Terhadap Penutupan Asuransi Angkutan Udara

udara menjadikan ridiko yang tidak ditanggung untuk ikut


ditanggung juga. Hal ini kosekuensinya, perlu ada pembayaran
premi tambahan sebagai pemahaman adanya keinginan
menigkatkan dan memperluas ruang gerak perlindungan dalam
menggunakan jasa angkutan udara. Dalam realitasnya, kesadaran
mengenai pentingnya asuransi tambahan disebabkan juga atas
pemahaman mengenai pentingnya jaminan keselamatan.,

93
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

94
Aspek Hukum Pelayanan Penerbangan Haji Oleh PT Garuda Indonesia

BAB IV
ASPEK HUKUM PELAYANAN PENERBANGAN HAJI
OLEH PT GARUDA INDONESIA

Konsep Penerbangan Non – Reguler Angkutan Haji


Berbeda dengan penduduk Negara lainnya yang akan
menjalankan ibadah haji, di Indonesia regulasi perjalanan ibadah
haji ditentukan oleh Pemerintah. Dengan demikian, struktur
pelaksanaan dan perhitungan biayanya ditentukan dalam suatu
kebijakan Pemerintah. Selama ini, kebijakan Pemerintah
mengenai perjalanan ibadah haji ditentukan dengan melibatkan
beberapa badan usaha milik Negara (BUMN), antara lain, adalah
PT Garuda I”ndonesia.1
Sebagai perusahaan angkutan angkutan udara milik
Negara ini, PT Garuda haji dengan menyediakan sarana angkutan
bagi jamaah haji dan barangnya. Harus diakui bahwa adnya misi
ini merupakan salah satu penyumbang laba penting bagi PT
Garuda Indonesia. Hal ini tentu sesuai dengan situasi terakhir ini
di mana pperkmbangan keinginan untuk berangkat menunaikan
ibadah haji di kalangan masyarakat sangant tinggi.
Berdasarkan segi pemasukan bagi PT Garuda Indonesia
dar perjalanan ibadah haji, jumlahnya adalah 40 – 45 persen dari
total biaya perjalanan ibadah haji (BPIH).2 Jumlah tersebut

1
Sejak 1999, Pemerintah juga memutuskan melibatkan angkutan
udara Saudi Arabia Airlines sebagai penyelenggara angkutan udara bagi
jamaah haji Indonesia. Kebijakan ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas
penyelenggaraan ibadah haji dan untuk menutup kurangnya pesawat udara
yang disediakan oleh PT Garuda Indonesia.
2
Sumasaputra, op.cit., hal. 2.

95
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

diperoleh hanya dari pembelian tiket biaya penerbangan yang


merupakan salah satu dari beberapa komponen biaya yang terkait
dengan pelaksanaan haji ada tiga, yaitu:3
1. Direct operating cost (DOC), yang terdiri dari:
a. Fuel (bahan bakar pesawat);
b. Landing fee
c. Ground handling;
d. Over flying (biaya yang harus dibayar karena pesawat
Garuda terbang di atas wilayah lain;
e. Route charges
f. Catering.
g. Maintenance, base maintenance, dan line
maintenance;
h. Crew (hotac crew, crew allowance);
i. Sewa peeawat;
j. Asuransi pesawat, liability insurance (asuransi
penumpang dan barang);
k. Transportasi jamaah di darat ( dari asrama haji menuju
bandara atau sebaliknya)

Keseluruhan biaya ini memberikan kontribusi


sebesar 91 persen dari biaya perjalanan haji, sehingga
sangan mempengaruhi terhadap biaya tiket perjalanan
haji. Hal ini disebabkan adanua komponen biaya sewa
pesawat (aircraft leased) yang memberikan kontribusi 55
persen dan biaya bahan bakar (fuel cost) yanmg
memberikan kontribusi 32 persen terhadap biaya ini.

47
Ibid., hal 3.

96
Aspek Hukum Pelayanan Penerbangan Haji Oleh PT Garuda Indonesia

2. Indirect opedrating cost (IOC), yang terdiri dari:


a. Ground staff salary;
b. Crew recruitment and training;
c. Duty trip and hotac ground staff;
d. Uniform (crew and ground staff);
e. Office/space leased;
f. ground transport;
g. communication;
h. maintenance support;
i. equipment facility
j. city check – in Jeddah (asuransi haji madinatul hujjaj);
k. free ticket operator;
l. asuransi penumpang (termasuk kerugian Jasa
Raharja);
m. general administration;
n. Contingencies.

Keseluruhan biaya ini hanya memberikan


kontribusi tiga persen dari biaya perjalanan haji.

Dalam penyelenggaraan perjalanan ibadah haji ini, sudah


menjadi tanggung jawab PT Garuda Indonesia untuk
menyediakan armada yang tepat dan struktur rute yang tepat.4 Hal
ini pada prinsipnya termasuk syarat penting yang menetukan
sukses tidaknya misi perjalan haji ini. Adapun misi ini diberikan

4
syarat ini dikemukakan Soehodo Soemabaskoro, “ The New
Approach to the Indonesian Air Transportation Policy: Its Strategic Economic
Factore and Pitfalls.,” (Makalah dal;m seminar Kebijakan Penerbangan di
Indonesia, Fakultas Ekonmi Economic Factore and Pitfalls.,” (Makalah dal;m
seminar Kebijakan Penerbangan di Indonesia, Fakultas Ekonmi Universitas
Indonesia, 1978), hal. 4.

97
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

kepada PT Garuda Indonesia yang bertugas menyediakan


penerbangan non – regular bagi angkutan haji merupakan
kebijakan Pemerintah secara keseluruhan. Kebijakan tersebut
adalah PT Garuda Indonesia sebagai perusahaan yang diberi
prioritas dalam segala hal guna menjamin kepentingan umum.
Maksud kepentingan umum ini adalah, antara lain,
penyelenggaraan angkutan haji.5

Maksud penerbangan non – regular pada dasarnya


merupakan penerbangan yang tidak termasuk dalam penerbangan
yang lazim dilakuakn PT Garuda Indonesia untuk mengangkut
penumpang ke rute tertentu sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Dengan kata lain, penerbangan haji termasuk ke dalam
penerbangan khusus dalam waktu tertentu, yang juga harus
memperhatikan syarat penerbangan komersil lainnya, seperti:

1. Pelayanan yang memadai;


2. Pelayannan yang efisien;
3. Perjalanan angkutan yang aman;
4. Harga yang wajar;
5. Kepuasan penumpang yang terjamin.6

Di samping ada penerbangan non – regular, perjalanan


ibadah haji dapat dilakuakan dengan penerbangan regular. Jenis

5
Kebijakan ini pada dasarnya menghendaki PT Garuda Indonesia
diberikan keleluasaan tunggal sebagai penyelenggara haji agar system
perjalanan haji efektif dan efisien dan mudah dievaluasi Pemerintah.
6
Uraian syarat penerbangan udara komersial ini sebagaimana diatur
dalam pedoman penerbangan yang ditulis dalam buku institute of Air and
Space Law.

98
Aspek Hukum Pelayanan Penerbangan Haji Oleh PT Garuda Indonesia

penerbangan regular yang diberikan untuk penyelenggaraan haji


ONH Plus.

Dalam hal; ini, perhitungan tariff penerbangannya tidak


disamakan dengan penerbangan non- regular. Hal ini
disebabkan,”perhitungan tariff didasarkan konsep penerbangan
regular, dan bukan bukan penerbangan charter sebagaimana
dilakukan untuk penerbangannon – regular.”7
Dalam hal penerbangan non- regular yang menggunakan
konsep penerbangan charter tersebut, Department Agama
merupakan pihak yang memesan angkutan udara ini sebagai
penyelenggara perjalanan haji di Indonesia. Berdasarkan
ketentuan penerbangan internasional,” jika suatu airlines dicarter,
tidak diperkenankan untuk penumpang selain penumpang yang
telah diangkut sebelumnya sebaimana ditetapkan dalam kontrak.8
Dengan kondisi demikian, untuk setiap satu kloter Jamaah,
Garuda harus melakukan dua kali penerbangan kosong
penumpang. Akibatnya, load factor (tingkat isian pesawat)
Garuda dalam penerbangan haji hanya sebesar 50 persen.9

7
Dumasaputra, op.cit.,hal. 4.
8
Ibid. Ahl ini berarti PT Garuda Indonesia hanya diperbilehkan
pengangkut penumpangan (jamaah) dari Indonesia ke Saudi Arabia dan
sebaliknya tidak diperbolehkan mengangkut penumpanglain. Hal ini berarti
Garuda harus terbang dengan pesawat tanpa penumpang (kosong) dari Saudi
Arabia ke Indonesia (fase pemberangkatan) atau dari Indonesia Ke Saudi (fase
Pemulanagan).
9
Ibid. Pada dasarnya biaya opersaional; penerbangan yang harus
dikeluarkan perusahaan penerbangan pada umumnya relative sama dalam
kondisi pesawat penuh penumpang atau kosong. Perbedaannya hanya tidak ada
biaya catering, tetapi biaya bahan bakar dan sewa pesawat tetap sama.

99
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Namun, dalam rangka meningkatkan daya saing dan


pelayanan perjalanan haji, salah satu hal yang perlu
dikembangkan adalah kemampuan PT Garuda Indonesia dalam
menerapkan standar pelayanan yang baik. Hal ini dapat dilakukan
dengan Cara, teknik, dan strategi penerbangan haji yang bersifat
non–regular secara tepat. Salah satunya adalah melalui
memberikan armada pesawat yang berkualitas dan terjamin aman.
Di samping itu, PT. Garuda Indonesia juga dengan lebih baik
diberikan fasilitas asuransi armada haji.
Dengan adanya fasilitas armada haji bagi PT Garuda
Indonesia sebenarnya mendorong perubahaan fundamental dalam
penyelenggaraan penerbangan haji. Perubahan tersebut akan jelas
membantu PT Garuda Indonesia untuk mengembangkan armada,
sehingga aspek pelayanan perjalanan ibadah haji akan dijamin
lebih berkualitas. Adanya jaminan ini untuk menghindari
kebijakan monopoli penerbangan kepada PT Garuda Indonesia
akan mengurangi kualitas penerbangan haji karena lebih bersifat
rutinitas tahunan.
Dalam upaya penyebaran manfaat asuransi armada haji
bagi penigkatan kualitas pelayanan kepada para jamaah haji,
perlu ada peranan yang jelas dari asuransi armada haji. Adanya
asuransi armada haji ini sebenarnya berfungso sebagai sarana
penutupan pertanggungan atas kemungkinan terjadinyarisijko
kerusakan pesawat saat perjalanan menuju dan berada di Arab
Saudi. Polis asuransi armada haji diklasifikasikan dapat
menanggung kemungkina terjadinya berbagai jenis risiko
komersial (commercial risks). Dan non komersial

100
Aspek Hukum Pelayanan Penerbangan Haji Oleh PT Garuda Indonesia

(political/country risk ).10 Aspek yang dirasakan penting agar


jaminan armada haji dapat dilaksanakan secara terus – menerus.
Di samping itu juga mengurangi ketergantungan yang besar
dalam menyewa armada pesawat lain yang nilai sewa adalah
dalam mata uang dollar AS per jam.
Namun, adanya asurani armada PT Garuda Indonesia juga
jangan sampai membebankan konsumen dal hal ini para jamaah
haji. Perhitungan dan pembebanan asuransi ini harus menjadi
bagian dari tanggung jawab Pemrintah pula, dalam hal ini
Departemen Perhubungan dan Departemen Agama.
Bagaimanapun, adanya asuransi armada ini mempunyai peranan
penting dalm membantu terlaksannya penyelenggaraan ibadah
haji yang berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan
penerbangan haji, khususnya dalam penerbangan non –
regulernya.

Persiapan Operasional Penerbangan Haji


Pelaksanaan penerbangan haji pada prinsipnya
memerlukan persiapan yang matang dari berbagai seginya,
sehingga tidak ada pihak manapun yang dirugikan. Dalam hal ini
diperlukan perencanaan yang menyeluruh dan melibatkan semua
instansi yang diberikan tanggung jawab dalam pelaksanaan
ibadah haji di Indonesia. Koordinasi juga diperlukan mengingat
penyelenggaraan ibadah haji melibatkan semua bidang, seperti
sosiL, agama, kesehatan, dan transportasi. Adanya realisasi
koordinasi itu bagaimanapun akan mempengaruhi
penyelenggaraan hajio yang dijamin lancer dan aman.

10
Muchtar,” Beberapa manfaat Asuransi dalam Aspek Ekonmi,’
Warta Ekonomi 9 (September 1993):34

101
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Dalam hal ini persiapan penerbangan haji, PT Garuda


Indonesia selalu melakuakan koordinasi terpadu dengan
Pemerintah dalam halini Departemen Agama dan Pemerintah
daerah dimana jamah haji berasal dengan rata – rata jumlah
jamaah haji sebanyak 200.000 ribu orang per tahun, persiapannya
memerlukan penganan yang komprehensif oloeh PT Garuda
Indonesia. Jumlah jamaah tersebut harus dapat diterbangkan ke
Arab Saudi dan dipulangkan ke Indonesia dalam jangka waktu
hanya 23 – 26 hari.11 Waktu yang relative singkat dan inyensitas
kesibukan yang tinggi inilah menuntut PT Garuda Indonesia
harus tetap professional dan aman.
Oleh karena itulah, persiapan operasional penerbangan
haji sudah dilakukan setahun sebelum musim haji dilakukan.
Persiapan diawali dengan penentuan spesifikasi penerbangan haji
oleh Departemen Agama. Spesifikasi dilakukan atas dasar
estimasi jumlah jamaah haji, jenis armada,waktu pemberangkatan
haji, dan kebutuhan lain yang diperlukan saat penerbangan haji.
Bedasarkan spesifikasi tersebut, PT Garuda Indonesia kemudian
melakukan analisis dan mengajukan proposal biaya penerbangan
haji. Analisis yang dilakukan PT Garuda Indonesia pada dasarnya
menyangkut persiapan atas “pengadaan armada, awak pesawat,
catering, persiapan ground handling, dan lainnya yang
dperlukan.”12
Secara lebih mendetail, persiapan yang harus dilakukan
oleh PT Garuda Indonesia dalam melayani penerbangan haji
adalah sebagai berikut

11
Sumasaputra, op.cit., hal. 6.
12
Ibid.,hal . 7

102
Aspek Hukum Pelayanan Penerbangan Haji Oleh PT Garuda Indonesia

1. Pengajuan proposal harga tiket penerbangan haji.


Propoposal harga tiket ini didasarkan pada spesifikasi
penerbangan haji yang telah ditetapkan Departemen
Agama. Dengan demikian, akan dapat menentukan
estimasi biaya per kloter dari setiap embakarsi.
Sebenarnya,
Penentuan biaya tiket ditentukan berdasarkan lokasi
embakarsinya.

Penetapan biaya juga sangat ditentukan oleh factor –


faktor berikut:
a. Jarak dari stasiun embakarsi ke Jeddah;
b. Lama terbang (flight hours)
c. Jenis pesawat yang digunakan di setiap embakarsi.

2. Pengadaan armada haji


Salah satu yang terpentin dalam memperlancar
penyelengaraan haji adalah ketersedian armada haji.
Adanya armada ini juga sangat menentukan perjalanan
haji agar berjalan dengan aman. Oleh sebab itu,
Departmen Agama bersama PT Garuda Indonesia
menentukan secara cermat spesifikasi armada haji,
khususnya menyangkut usia pesawat, jenis pesawat, dan
jumlah tempat duduk dalam pesawat.
Lazimnya , Departemen Agama menentukan jenis
pesawat tertentu yang berbeda di setiap embakarsi.
Misalnya, untuk embakarsi Banda Aceh dan solo, pesawat
yang dioperasikan adalah pesawat jenis B-767 dengan
kapasitas 325 tempat duduk.

103
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Penetuan jenis pesawat pada prinsipnya didasarkan atas


pertimbangan teknis dan jumlah penumpang (jamaah)
yang ada di sauatu embakarsi serta mempertimbangkan
segi praktis – psikologis jamaah itu sendiri dan juga
kemampuan bandara embakarsi.13
Sementara itu, umumnya pesawat yang diminta
Departemen Agama lazimnya yang berjenis Boeimg. Hal
ini tentu tidaak dapat sepenuhnya dapat dipenuhi PT
Garuda Indonesia karena keterbatasan armada. Oleh sebab
itu, PT Garuda Indonesia melakukan tender pengadaan
armada haji di media nasional dan media internasional
seperti The Wallstreet Journal dan The Herald Tribune.14

3. Pengadaan awak pesawat


Selain sangat menggantungkan pada kualitas dan
kuantitas armada haji, penyelenggaraan haji juga sangat
bergantung pada keberadaan awak pesawat sebagai
pelaksana operasional perjalanan haji. Sesuai dengan
standar peraturan penerbangan internasional yang di
tentukan ICAO –FAA, setiap armada penerbangan harus
ditangani awak penerbangan yang kompeten dan
professional sesuai dengan jenus armada yang digunakan.

13
Departemen Agama, Pedoman Penyelenggaran Haji (Jakarta:
Direktorat Jemdearal Bimbingan Maysarakat Islam dan Urusan Haji,2000),
Hal . 45. Maksud dari teknis – psikologis adalah pada umumnya jamaah haji
berasal dari kalangan yang belum atau jarang bepergian dengan pesawat udara,
shingga perlu ada pemgiasaan suasana di dalamnya. Sementara itu,
kemampuan bandara embakarsi adalah mengenai kemampuan panjang
landasan yang dapat di darati pesawat tertentu.
14
Suma saputra, op.ciy., hal. 9

104
Aspek Hukum Pelayanan Penerbangan Haji Oleh PT Garuda Indonesia

Untuk penerbangan haji system yang digunakan adalah


system wet lease, dimana para awaknya (pilot dan co – pilot)
akan menggunakan cockpit crew yang disediakan oleh pihak
yang menyewakan pesawat (leasson). Misalnya, PT Garuda
Indonesia menyewa pesawat milik Singapore Airlines untuk
armada haji, maka pilot dan co – pilotnya telah ada. Dengan
demikian, Garuda tinggal menyiapkan tenaga awak kabin seperti
pramugari/pramugara.
Adapun jumlah awak kabin yang harus disediakan Garuda
adalah sebanyak empat set awak pesawat, yaitu:15
a. Satu set pesawat yang on – board di pesawat;
b. Satu set awak pesawat yang stand – by di bandara
embakarsi (pemberangkatan);
c. Satu set awak pesawat yang berada di bandara destinasi
(tujuan);
d. Satu set awak pesawat cadangan.

Sementara itu, rekruitmen awak armada haji ini


dilakukan jauh sebelum haji dilaksakan. Hal ini dilakukan
menyangkut berbagai aspek kualitas pribadi awak dan
kesiapannya menjalani tugasnya sesuai dengan standar
penerbangan internasional.

15
ibid., hal.10. Penyediaan ini sesuai dengan standar kesehatan awak
pesawa, yaitu setelah satu satuan jam terbang, seorang awak pesawat harus
beristirahat (on ground) dalam jangka waktu tertentu

105
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

4. Catering

Pemberian konsumsi kepada penumpang (jamaah) pada


dasarnya dilakukan Garuda dengan mengutamakan makanan
yang telah di uji oleh suatu tim dan telah mendapatkan
spesifikasi dari Departemen Agama. Menu
makanan/minuman ini sendiri telah ditentukan jauh sebelum
penyelenggaraan haji dilaksanakan. Pemilihan menu selalu
dilaksanakan melalui proses meal test yang melibatkan
berbagai unsur, yaitu Departemen Agama, Pemda setempat,
Majelis Ulama Indonesia, Garuda, dan perusahaan
catering.16dengan demikian, setting menu dapat sesuai dengan
selera penumpang (jamaah).

5. Penmyusunan jadwal penerbangan haji

Pada dasrnya jadwal ini terkait erat dengan penggunaan


armada, jumlah/kloter di setisap embakarsi, kodisai sarana
dan prasana bandara, baik di bandara embakarsi maupun
destinasi. Penusunan jadwal dilakukan dengan menyesuaikan
diri berdasarkan peraturan bandara King Abdul Aziz, Jeddah.
Penyusunan jadawal juga harus mempertimbagkan
jenis pesauntuk peswatnya. Misalnya, untuk pesawat jenis B –
767 yang diberangkatkan dari bandara Hasanudin Makasar
tidak dapat langsung terbang ke Jeddah. Akan tetapi, harus
melakukan satu kali technical landing (pengisian bahan
bakar) di Batam. Hal demikian akan menambah flight hours
dari pesawat, sehingga menjadi biaya yang harus
diperhitungkan. Dalam menentukan waktu jadwal
16
Ibid.,hal. 11

106
Aspek Hukum Pelayanan Penerbangan Haji Oleh PT Garuda Indonesia

penerbangan, kondisi daerah yang rutin mengalami


kemacetan saat jam tertentu. Dengan demikian, diupayakan
penerbangan dilakukan saat jam tidak sibuk.

6. Permintaan izin mendarat (time sloot)


Sudah menjaditelah kebiasaan penerbangan
internasional, setiap pesawat yang mendarat di suatu bandara
untuk mengatur jadwal, parking area, dan peralatan ground
handling. Demikian juga dalam perjalanan haji, PT Garuda
Indonesia telah menyusun jadwal penerbangan haji kepada
Saudi – PCA dan Hajj Control sebagai slots coordinator.
Hal ini d ilakukan agar “pesawat Garuda dapat diberikan
persetujuan arrival times dan departures times di Bandara
King Abdul Aziz.17

Jadwal itu sendiri harus diserahkan dua bulan


sebelumnya penyelenggarakan haji dilakukan. Jika Garuda
tidak memiliki ijin ini, kemungkinan besar pesawat Garuda
akan ditolak oleh Bandara untuk mendarat meskipun
memiliki traffic right (ijin angkut).18

17
Ibid., hal. 12
18
Kondisi penolakan menarat pernah terjadi pada pesawat swasta
nasional ynag mengangkut jamaah haji ONH Plus, dimana pesawat tersebut di
tolak oleh otoritas Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Penolakan ini akhirnya
menuntut campur tangan Departemen Agama Untuk menanaganinya,
sehuingga akhirnya pesawat dapat ijin mendarat di Riyadh dan dikenakan
sanksi denda.

107
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

7. Penanganan ground handling

Hal ini merupakan persiapan pengadaan/prasarana


dan pembentukan perjanjian kerja sama antara operator
penerbangan dan ground handling. Dengan demikian, dapat
memperlancar handling pesawat, jamaah dan bagasi, baik di
bandara embakarsi maupun debarkasi. Diharapkan tingkat
ketepatan jadwal (on time performance) penerbangan haji
akan sesuai dengan harapan.
Selama ini keterbatasan ground handling di bandara
embakarsi menyebabkan PT Garuda Indonesia mengirimkan
peralatan ground handling ke bandara tersebut. Sementara
itu, untuk menangani ground handling di Arab Saudi, PT
Garuda memberlakukan fasilitas city check in di asrama haji
Madinatul Hujajj, Jeddah. Dalam hal bagasi dilakukan di
west Terminal Bandara King Abdul Aziz, Jeddah.

Kendala dalam Penerbangan Haji


Membahas penerbangan haji tidak dapat dilepaskan dari
adanya kendala, baik langsung maupun tidak langsung
menghambat atau mengurangi penyelenggaraan haji. Adanya
hambatanin pada prinsipnya didasarkan atas dua fakta, yaitu
pertama, perkembangan masyarakat untuk melaksanakan ibadah
haji sangat tinggi, sehingga muncul akumulasi jumlah calon
jamaah haji yang harus menunggu musim haji berikutnya agar
dapat bernagkat mengingat keterbatasan kuota haji. Kedua,
kemapuan sarana,prasarana pendukung yang dimiliki instansi
pendukung sangant terbatas, sehingga upaya untuk
memberangkatkan haji kadangkala berjalan kurang lancer.

108
Aspek Hukum Pelayanan Penerbangan Haji Oleh PT Garuda Indonesia

Dengan dasar fakta tersebut, kemungkinan adanya


hambatan terletak pada dua hal yang esensial tersebut. Dalam hal
sarana/prasarana, salah satu aspek penting adalah mengenai
penerbangan haji. Sebenarnya , hambatan dalam secktor ini
sangat menentukan terjaminnya kelancaran penerbangan haji.
Bagi PT Garuda Indonesia, hambatan yang dihadapi
dalam menjalankan misi terkait erat dengan ketebatasan BUMN
itu sendiri. Oleh karena itu, beberapa pihak pada 1995 pernah
mengusulkan Pemerintah agar penerbangan haji tidak hanya
dilakukan oleh PT Garuda Indonesia, teapi dapat dilakukan
semua perusahaan penerbanan nasional. Akan tetapi, usulan
tersebut tidak dapt diterima mengingat sebagian besar
penerbangan nasional ain juga mempunyai keterbatasan yang
justru lebih banyak darpada PT Garuda Indonesia. Sementara itu,
menyerahkan kepada perusahaan penerbangan asing cenderung
akan memperberat biaya haji.19
Secara mendetail, PT Garuda Indonesia
mengidentifikasikan tempat hambatan yang berasal dari operator
penerbangan dan hambatan yang berasal dari jamaah haji.
Hambatan itu dapat diuraikan berikut ini:
Keterbatasan Pesawat
Dengan jumlah jamaah haji sekitar 200.000 setiap
tahunnya, Garuda memrlukan armada pesawat yang
mampu menerbangkan jamaah haji tersebut. Akan tetapi,
pesawat Garuda sendiri mengalami keterbatasan karena
selain telah digunakan untuk penerbangan reguler, juga
karena jumlahnya yang terbatas.

19
Hal ini pernah diungkapkan Menteri Agama dr. M. Tarmizi Taher
dalam rapat dengan Komisi DPR pada 1995.

109
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Dengan situasi demikian, Garuda berupaya mengambil


langkah menyewa pesawat dari perusahaan penerbangan
lainnya. Upaya tersebut tetap menempuh hambatan karena
biaya sewa pesawat yang sangat tinggi akibat kebutuhan
pesawat saat musim haji tidak hanya dibutuhkan oleh
Garuda, tetapi seluruh perusahaan penerbangan lainnya.
Hambatan ini akibtanya menyebabkan biaya sewa
manjadi tinggi, sehingga biaya tiket penerbangan haji
menjadi tinggi pula.

1. Spesifikasi Pesawat
Penetapan spesifikasi pesawat pada dasarnya
ditentukan oleh Departemen Agama, akan tetapi,
pihak PT Garuda indonesia mengalami hambatan
untuk memnuhinya karena “Kondisi pesawat di
pasaran tidak tersedia sesuai dengan spesifikasi
pesawat yang ditetapkan Departemen Agama.”20 Di
samping itu, pesawat yang tersedia juga kadangkjala
tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan.
Misalnya, Departemen Agama meminta 11 armada
pesawat jenis B – 767 dengan kapasitas tempat duduk
325 kursi, padahal di pasaran internasional, jenis yang
tersedia adalah B – 767 dengan tempat duduk
berjumalh 200 – 250 kurs saja. Meskipun ada dua
jenis yang diminta, tetapi jumlahnya tidak sampai
mencapai dua pesawat.

20
Sumasaputra, op.cit., hal 14

110
Aspek Hukum Pelayanan Penerbangan Haji Oleh PT Garuda Indonesia

2. Batasan Masa Operasi Haji


Adan ya batasan operasi haji sebenarnya terkait
dengan musim haji dan BPIH yang harus ditekan agar
tidak membebankan jamaah, oleh sebab itulah,
Departemen Agama menentukan operasi haji hanya
berlangsung 26 hari untuk pemberangkatan dan
pemulangan jamaah.
Situasi demikian pada dasarya mempengaruhi hasil
kinerja yang belum optimal karena hambatan waktu
dan tenaga. Misalnya, pada waktu pemulangan jamaah
haji, Garuda harus menerbangkan 15 kali penerbangan
dari Bandara King Abdul Aziz. Padahal, saat itu,
kondisi di Bandara King Abdul Aziz tidak
memungkinkan jumlah penerbangan sebanyak itu.

3. Keterbatasan Sarana dan Prasarana Bandar


Hambatan yang dihadapi Garuda dalam
menyelenggarakan penerbngan haji juga terletak pada
keterbatasan sarana bandara embakarsi. Keterbatasan
ini seperti panjang landasan pacu yang terbatas,
sehingga tidak memungkinkan pesawat dapat take off
maupun lending dalam keadaan beban maksimum (full
payload).21 Akibatnya, pesawat harus melakuan
penambahan bahan bakar tambahan (technical
landing) di bandara persinggahan.
Hambatan yang terjadi di Bandara King Abdul
Aziz, Jeddah terletak pada terbatasnya gate , yaitu
hanya 12 gate untuk melayani puluhan pesawat yang

21
Ibid., hal. 15

111
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

akan mendarat dari berbagi negara. Hal ini berarti


Bandar King Abdul Aziz hanya mampu menampung
96 flights per hari (12 gate x 24 jam/3 jam).22 Kondisi
inilah yang menyebabkan terlambatnya jadwal
kedatangan atau saat pemulangan yang berada di luar
tangging jawab Garuda. Padahal, keterlambatan ini
dikenakan denda di bandara kedatangan maupun
pemulangan. Oleh sebab itu, mengenai adanya denda
keterlambatan ini, PT Garuda Indonesia berpendapat,
“soal reason of delay, haruslah menjadi
pertimbagan utama, jangan hanya melihat
terjadinya keterlambatan, tetapi perlu member
mendapat perhatian adala mengapa keterlambatan
itu terjadi.”23

Sementara itu hambatan yang dihadapi Garuda juga ada


yang berasal dari jamaah, khususnya saat pemulangan dari Arab
Saudi. Dalam hal ini, jamaah sering kali membawa muatan
barang yang melebihi kapasitas maksimum beban (maximum
payload) yang akan membahayakan keselamatan penerbangan.
Seluru jamaah untuk tidak membawa beban barang yang terlalu
banyak. Bahkan, terpaksa Garuda melakukan pengecekan
terhadap barang yang dibawa jamaah, dengan terus mengingatkan
kemungkinan beban barang yang melebihi batas maksimum.

22
Ibid.
23
Ibid. hal 16

112
Aspek Hukum Pelayanan Penerbangan Haji Oleh PT Garuda Indonesia

Adapun maksimum beban pesawat pada dasarnya


dipengaruhi oleh:24
a. Beban pesawat/konstruksi
b. Berat penumpang;
c. Berat barang
d. Fuel uplift;
e. Kodisi cuaca.

Pembatasan maksimum beban ini dilaukan agar


pesawat dapat terbang dan terjamin keselamatannya. Di
samping pengaruh di atas, maksimum beban juga ditentukan
atas kondisis landasan, baik di bandara embakarsi maupun
destinasi.
Adanya hambatan tersebut pada prinsipnya perlu
dilakukan penelaahaan atas solusinya, sehingga
penyelenggarakan penerbangan haji tetap dapat dijalankan
sebagainmana mestinya. Dengan dasar upaya tersebut,
pelaksanaan ibadah haji pada umumnya akan terselengara
denag baik, danterjamin kualitasnya.

24
bid., hal. 20.

113
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

114
Penutupan Asuransi Bagi Jamaah Haji Indonesia ...

BAB V
PENUTUPAN ASURANSI BAGI JAMAAH HAJI
INDONESIA OLEH PT. GARUDA INDONESIA

Premi Standar Penebangan Haji oleh PT Garuda Indonesia


Asuransi sudah semestinya mempunyai peranan yang
penting dalam penerbangan haji, sehingga mampu pendukung
lancarnya penyelaengaraan haji agar dapat berjalan sebaimana
mestinya. Adanya asuransi dalam penerbangan haji pada
prinsipnya juga menynjukan bahwa penerbangan haji tidak
berbeda dengan penerbangan regular lainnya yang menbutuhkan
asuransi dalam melindungi diri dari kerugian. Lazimnya,
ketersediaan asuransi dalam penerbangan haji wajib disediakan
oleh PT Garuda Indonesia sebagai operator penerbangan haji dan
telah dibebankan dalam biaya perjalanan haji.
Ketersediaan asuransi dalam penerbangan haji oleh PT
Garuda Indonesia sekaligus merupakan perlindungan diri bagi PT
Garuda Indonesia dari risiko tanggung jawab yang nharus
ditanggung jika terjadi kemungkinan risiko tersebut. Dengan
demikian, keberadaan asuransi juga merupkan peluang besar bagi
PT Garuda Indonesia dengan pemberian pelayanan dan
perlindungan yang optimal, sehingga penerbangan haji akan
berjalan dengan lancer. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri
adanya asuransi penerbangan merupakan aspek penting dalam
pemberian perlindungan kepada penumpang barang bagasinya.
Ada beberapa faktor yang perllu di perhatikan dalam
pemberian asuransi pertanggungan kepada penumpang haji dalam
kaitannya dengan peran PT Garuda Indonesia sebagai operator

115
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

penerbangan haji. Factor tersebut adalah pertaama,


asuransidalam pernerbangan haji harus masuk dalam komponen
biaya tiket biaya penerbangan haji, sehungga ada kesan adanya
asuransi merupakan suatu kebutuhan untuk melindungi para
jamaah haji.”sudah harus diperhitungkan saat penetapan biaya
perjalanan haji dengan rincian berapa untuk asuransi jiwa dan
asuransi pesawat serta liability insurance.”1
Kedua jenis asuansi tersebut tentu sama – sama diarahkan
sebagai suatu bentuk perlindungan dari kemungkinan risiko yang
ada dalam penerbangan haji. Dengan demikian, secara langsung
akan mendukung lancarnya penerbangan haji karena telah
dilindungi pertanggungan risiko yang jelas. Adanya dua jenis
premi asuransi dalam penerbangan haji sebenarnya selain bersifat
teknis, juga bersifat praktis bagi kepentinagan semua pihak dalam
penerbangan haji yaitu, PT Garuda Indonesia, penumpang, dan
bagasi barangnya.
Pada dasarnya premi penerbangan haji sama dengan yang
ditetapkan dalam penerbangan umumnya, yaitu premi asaransi
gabungan (comprehensive aircraft policy). Pemberian premi jenis
ini dilakukan pula oleh PT Garuda Indonesia atas dasar
pertimbangan telah sesuai dengan standar penerbangan
internasional. Bagaimanapun, perbedaan antaara penerbangan
haji dan penerbangan regular lainnya hanya terletak pada
pemesan pesawat dalam hal ini penyelengaraan haji adalah
Departemen Agama.

1
M. Fariz Jamil, “ Perhitungan Biaya Perjalanan Haji: Suatu Tinjauan
dari Segi Efektifitas Biaya,” (Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya
Haji di Lembaga Kajian Islam Jakarta,21 Januari 1999), hal 8.

116
Penutupan Asuransi Bagi Jamaah Haji Indonesia ...

Sebenarnya diterangkan premi gabungan dalam


penerbangan haji mempunyai manfaat yang luas bagi jamaah dan
penyelenggara, yaitu: 2
1. Memberikan perlindungan/proteksi kepada penumpang
(jamaah haji) terhadap kemungkinan risiko perjalanan;
2. Memperkuat posisi penyelenggara penerbangan haji
dalam mengurangi risiko penerbangan;
3. Meningkatkan jaminan penyelenggaraan penerbangan
haji secara lebih professional;
4. Menjaga kotinuitas penyelegaraan penerbangan haji.

Secara umum premi penenbangan haji adalah


gabungan untuk:
a. Tanggung jawab pihak ketiga (legal liability to third
parties) yang menderita kerugian akibat aktifitas pesawat
udara (bukan penumpang) seperi berjatuhan benda dari
pesawat;
b. Tanggung jawab terhadap keselamatan penumpang (legal
liability to passenger) ketika naik, berada, dan turun dari
pesawat;
c. Kehilangan/ kerusakan pesawat udara ketika berada di
udara (flight). Bergerak di landasan (taxying), di darat (on
the ground) dan di permukaan air (moored), yang
disebabkan misalnya oleh cuaca, pesawat jatuh, tabrakan
di udara, menabrak benda permanen, misalnya kerusakan
mesin.

2
Muchtar, op.cit., hal 48

117
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Namun berbeda dengan asuransi untuk penerbangan


regular, bagi penerbangan haji asuransi mulai diberlakukan
bagi penumpang ( jamaah haji) saat sudah memasuki asrama
haji. Dengan demikian, jika penumpang (jamaah haji)
mengalami kecelakaan saat berda di asrama haji atau saat n
berangkat menuju bandara mengalami kecelakaan,
penumpang (jamaah haji) berhak mendapatkan
pertanggungan.
Pemberian premi tersebut sesuai dengan pesawat
perjanjian setara PT Garuda Indonesia dan pihak perusahaan
asuransi yang disebut sebagai aviation Hull and space All
Risk and aviation liability. Adanya perjanjian ini sebanarnya
lazim dilakukan perusahaan angkutan untuk melindungi
dirinya dari kerugian yang kemungkinan dialami pesawat dan
juga sebagai pertanggungjawaban atas kemungkinan
membayar ganti rugi kepada penumpang atau ahli warisnya
karena luka – luka atau meninggal.
Dalam perjanjian mengenai penyelenggaraan
perjalanan haji penumpang (jamaah haji) tersebut asuransi
yang diberikan, yaitu saat:
a. Commencing from their check – in by the insured at their
boarding house in Indonesia until their arrival at their
boarding house in Jeddah;
b. Commencing from their check – in by insured at their
boarding house in Jeddah umtill their arrival at their
boarding house in Indonesia.

Adanya ketentuan premi dalam kondisi diatas tidak


menyalahi ketentuan penerbangan karena jenis premi
demikian termasuk pada bentuk premi asuransi

118
Penutupan Asuransi Bagi Jamaah Haji Indonesia ...

pengangkutan terpadu. Jenis asuransi ini adalah,”suatu


system pertanggungan yang memadukan asuransi
pengangkutan darat dan udara.”3 Saat penumpang masih
berada di asrama haji dan menuju bandara embakarsi atau
saat berada di tenda haji dan menuju bandara destinasi.,
penumpang memakai pengangkutan darat. Di samping itu,
pemberian asuransi ini juga disebabkan aktivitas di
asrama haji, baik di Indonesia dan di Arab Saudi termasuk
dalam bagian rangkaian perjanan haji.
Pemberian asuransi dalam rangka perjalanan haji
pada dasarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 43 uu No.
13 tahun 1992 yang menyatakan “Perusahaan angkutan
udara yang melakuakn kegiatan angkutan udara niaga
bertanggung jawab atas:
a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
c. Keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang
yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan
kesalahan pengangkut.”4

Namun, sayangnya, pentingnya asuransi perjalanan


haji khususnya asuransi penerbangan haji ini tidak
disinggung secara tegas dalam UU No. 17 tahun 1998. Di
dalam pasal pasal 20 UU No. 17 tahu 1999 tersebut
hanya ditegaskan ,”penunjukan pelaksana transportasi haji
dilaukukan oleh Menteri dengan memperhatikan
keselamatan, efisiensi, dan kenyamaan.” Di dalam

3
Hal ini dikemukakan oleh Djojosoedarso, op.cit., hal191
4
Indonesia (2), op.cit., Pasal 43 ayat (1)

119
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

penjelasan pasal 20 UU No.17 tahun 1999 ketentuan


tersebut dinyatakan ‘cukup jelas.’

Dalam wawancara dengan staf di Direktorat urusan Haji


Departemen Haji diperoleh jawaban bahwa UU No. 17 tagun
1999 memang tidak secara tegas menentukan adanya asuransi
penrbangan haji. Akan tetapi, UU No.17 tahun 1999 merujuk atau
mengingat ketentuannya dengan subtansi UU No.15 tahun
1999.hal ini berarti kewajiban asuransi penerbngan yang ada di
dalam pasal 43 UU No. 15 tahun 19992 diadptasidalam UU No.
17 tahun 1999. Akantetapi, menurut pengamat pelaksan haji,
akan lebih bauk ketentuan asuransi penerbangan haji diatur secara
tegas gna melindungi kepentingan jamaah haji yang belum tentu
memahami seluk beluk perlindungan asuransi.
Namun, di dalam perjanjian pemberian asuransi
penerbangan haji antara PT Garuda Indonesia dan pihak
perusahaan asuransi, pemberian asuransi tegas dinyatakan dalam
klausula 3.3 Definition Applicable yang isinya pemberian
asuransi bagi penumpang (jamaah haji) dalam kondisi:
1. Loss of a limb, yaitu kondisi penumpang (jamaah
haji)mengalami kecelakaan fisik ringan;
2. Total loss of sight, yaitu kondisi peenumpang (jamaah
haji) mengalami kecelakaan, sehingga membutuhkan
operasi yang khusus;
3. Permanent total disablement, yaitu kondisi penumpang
(jamaah haji) mengalami kecelakaan yang cukup berat,
sehingga menyebabkan ketidakmungkinan fisik (cacat)
melakukan kembali pekerjaan atau aktivitasnya atau
sampai meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara.

120
Penutupan Asuransi Bagi Jamaah Haji Indonesia ...

Sementara itu, polis tidak diberikan dalam situasi


penumpang (jamaah haji)meninggal atau kecelakaan karena dua
hal berikut:
1. Terjadinya tindak kejahatan atau akibat perbuatan
criminal;
2. Disebabkan penumpang (jamaah haji) telah lama
mengidap suatu penyakit yang mengganggu
kesehatannya.

Di lain pihak karena penerbangan haji termasuk sebagai


penerbangan tidak teratur (non – schedule operation), 5maka
ketentuan peransuransian jiwa ditegaskan dalam perjanjian chater
dengan Departemen Agama. Pada perjanjian Charte ini lazimnya
terdapat suatu Standard Charter Agreement yang menentukana
biaya tiket penumpang, biaya bagasi, dan surat muatan udara.6
Namun, sayangnya, pembuatan standar perjanian charter ini
dibuta dalam bahasa Inggris, sehingga menyulitkan penumpang
(jamaah haji) yang belum tentu mampu memahami bahasa
Inggris.
Di samping itu juga, perjanjian penanggungan yang
dilakukan PT Garuda Indonesia dan pihak perusahaan asuransi
ditulis dalam bahsa inggris. Adanya ketentuan ini justru
menulitkan proses sosialisasi asuransi ini kepada penumpang
(jamaah haji). Dengan kata lain, PT Garuda Indonesia atau
Pemerintah seharusnya mengupayakan perjanjian pertanggungan

5
Penerbangan haji yang juga merupakan penerbangan non – regular
termasuk dalam jenis penerbangan charter di mana sebelumnya akan dibentuk
perjanjian antara perusahaan penerbangan dan pemilik pesawat, baik lengkap
dengan awak pesawat (wet lease) atau tanpa awak pesawar (dry lease)
6
Suherman, op. cit., hal.50

121
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indoneisa agar dapat


dipahami penumpang (jamaah haji).
Secara umum, premi standar yang diberikan PT Garuda
Indonesia dalam pelaksanaan haji terbagi atas dua asper, yaitu
pertama, premi untuk asuransi yang dimasukan dalam komponen
biaya dalam direct operating cost (DOC) yaitu berupa asuransi
gabungan pesawat dan liability insurance atas penumpang dan
bagasi. Ketentuan asuransi ini sesuai dengan standainternasional
dalam angkutan udara, dimana polis diberikan dalam hal berikut:7
1. PT Garuda Indonesia dianggap bertanggung jawab untuk
kerugian – kerugian yang ditimbulkan penumpang, barang
atau bagasi (presumption of liability).
2. PT Garuda Indonesia dianggap selalu tidak bertanggung
jawab untuk kerugian yng ditimbulkan oleh bagasi tangan
(presumption of non – liability).

3. PT Garuda Indonesia mempunyai tanggung jawab terbatas


sampai batas tertentu sebagaimana tercantum
dalamperjanjian charter Ilimitation of liability).
4. PT Garuda Indonesia mempunyai tanggung jawab yang
mutlak (strict liability) terhadap kemungkinan kecelakaan
penerbangan haji tanpa dalih apapun, kecuali dalam hal
kerugian disebabkan penumpang (jamaah haji) itu sendiri.

Kedua, premi untuk asuransi yang dimasukan dalam


komponen indirect operating cost (IOC) digunakan untuk
penumpang dengan membayar asuransi kerugian kepada PT Jasa
Raharja. Sebagaimana pula dengan asuransi DOC, asuransi ini

7
Ibid., hal.67

122
Penutupan Asuransi Bagi Jamaah Haji Indonesia ...

preminya dibayar dubebankan kepada penumpang, sedangkan PT


Garuda Indonesia sebagai pemungut premi.8
Dengan berdasarkan pada konsep tersbut,dapat
dikemukakan bahwa konsep premi standar bagi penerbangan haji
yang dilakukan oleh PT Garuda Indonesia adalh untuk bersifat
premi gabungan, yang pembayaran premi untuk asuransi kerugian
sebagai suatu jumlah yang besarnya sama dengan kerugian yang
diterita (contrct of indemnity) dan juga premi untuk asuransi
kecelakaan yang merupakan kombinasi dari asuransi jiwa dan
asuransi kerugian karena pada asuransi ini, para penumpang
(jamaah haji) diperjanjikan jumlah yang pasti apabila penumpang
(jamaah haji) meninggal. Demikian pula jika penumpang (jamaah
haji ) mendapat perawatan dan pengobatan atau mengalami cacat
tetap, akan memperoleh sekurang – kurangnya sama dengan
jumlah yang akan dibayarkan apabila meninggal.

Pada dasarnya kosep premi gabungan yang diterapkan


dalam penerbangan haji oleh PT Garuda Indonesia cukup efektif,
sehingga penumpang (jamaah haji) tidak terlalu mahal.
Perhitungan atas dasar premi gabungan yang diterapkan oleh PT
Garuda Indonesia untuk penerbangan haji adalah sesuai dengan
standar asuransi yang ada, yaitu komponen premi untuk
membayasr kerugian yang kemungkina n terjadi, yang didasarkan
pada probabilitas terjadinya kerugian. Dalam kaitannya
dengankemungkinan kecelakaan pesawat, premi juga
memperhitungkan aspek lain;

8
Ibid., hal. 135.

123
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

1. Frekuensi kecelakaan/klaim pesawat udara yang


digunakan PT Garuda Indonesia;
2. Tipe/jenis umur pesawat udara yang digunakan;
3. Luasnya risiko yang di jamin dan lamanya pertanggungan.

Dalam hal perjalanan haji preni dibayarkan dengan waktu


risiko kemungkinan terjadinya kerugian sejak jamaah haji
memasuki asrama haji sampai kembali ke asrama haji setelah
menunaikan ibadah haji. Konsep pertanggungan ini di lakukan
karena rangkaian pengasramaan merupakan bagian dari
perjalanan ibadah haji juga.

Prosedur Pertangguangan Asuransi bagi Penumpang dalam


Penerbangan haji

Pertanggungan asuransi dalam perjalanan haji pada


dasarnya dilakukan jamaah saat pembayaran biaya perjalanan
ibadah haji (BPIH) ke bank yang ditunjuk oleh Departemen
Agama. Pembayaran asuransi merupakan bagian dari komponen
biaya yang telah diperhitungkan oleh PT Garuda Indonesia.
Dengan demikian, sebenarnya prosedur pertanggungan ini telah
dilakukan sejak jemaah haji dinyatakan terdaftar sebagai jamaah
haji.
Adapun prosedur pertanggungan ini berada dengan
permohonan pertanggungan asuransi liannya. Dalam
pertanggungan penumpang dalam peneerbangan haji, surat
permintaan pertanggungan (SPP) dilakukan bersamaan surat
keberangkatan haji. Hal ini kemudia diolah dan diajukan secara
kolektif oleh PT Garuda Indonesia untuk diansuransikan. Setalah
pembayaran BPIH dilakukan oleh jamaah haji, secara otomatis

124
Penutupan Asuransi Bagi Jamaah Haji Indonesia ...

berarti penumpang (jamaah haji) telah membayar premi, sehingga


mula berlaku jaminan polis atas penumpang.
Adapun dalam surat permintaan pertanggungan hal ini
dalam penerbangan haji ini telah ditentukan periode
pertanggungan adalah sejak penumpang (jamaah haji) memasuki
asrama haji sampai dengan kembali dari Arab Saudidan masuk ke
asrama haji kambali. Dalam perjanjian pertanggungan antara PT
Garuda Indonesia dan perusahaan asuransi ditegaskan risiko yang
ditanggungkan. Di samping itu, pengecualian dan beberapa
kondisi [penumpang yang risikonnya harus ditanggung.
Pada prinsipnya pemberian pertanggungan asuransi yang
dilakukan PT Garuda Indonesia dilakukan atas dasar perwakilan
di mana semua jamaah haji sebagai penumpang penerbangan haji
diwakili pembayaran pertanggungannya kepada pihak
penanggung atau perusahaan asuransi. Oleh sebab itu, penetapan
tariff premi dan klasifikasi asuransi diputuskan sendiri oleh pihak
PT.Garuda Indonesia setelah mandapatkan persetujuan
Departemen Agama. Penetapan tersebut pada dasarnya justru
mengurangi beban jamaah haji untuk tidak terlalu direpotkan oleh
berbagai prosedurbpengadministrasian asuransi. Namun,
meskipun diputuskan sepihak, jenis asuransi yang ditanggungkan
kepada penumpang (jamaah haji) berkaitan dengan jiwa dan
bagasinya.
Sementara itu, mengingat prosedur pertanggungan jamaah
haji sebagi penumpang penerbangan haji telah dilakukan
bersamaan dengan pembayaran BPIH, keputusan untuk
menyetujui jamaah haji tersebut sebagai tertanggung merupakan
bagian dari keputusan Departemen Agama dan PT Garuda
Indonesia.

125
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Secara umum, ada dua fase yang merupakan bagian dari


prosedur pertanggungan asuransi penumpang perjalanan haji,
yaitu pertama, pendaftaran secara langsung (manual) atau melalui
komputerisasi. Kedua, penyetoran BPIH ke Bank yang ditunjuk
yang memberikan kepastian kepada calon haji untuk
mendapatkan nomor porsi dan bukti setor BPIH.9Saat penyetoran
BPIH inilah secara otomatis jamaah haji sebagai penumpang
penerbangan haji sekaligus telah membayar premi pertanggungan
penerbangan haji.
Dalam hal penumpang sebagai jamaah hai sebelum
memasuki asrama haji, telah meniggal dunia atau mengundurkan
diri, berarti yang bersankutan dinyatakan telah mengundurkan
diri dan belum termasuk dalam tempo yang ditanggung. Hal ini
selain disebabkan tempo pertanggungan dimulai sejak jamaah
haji memasuki asrama haji, juga karena BPIH tersebut harus
dikemkarena balikan secara utuh kepada yang bersangkutan.
Adapun periode dimulai pertanggungan sejak berada di
akomodasi10 pada dasarnya juga karena saat itu proses surat atau
check in sudah dilakukan. Hal ini didasarkan alasan efesien,
sehingga ketika kita sudah memasuki bandara, jamaah haji
tinggal menaiki pesawat tanpa perlu menunggu pemeriksaan
dokumen.
Sementara itu, sistem penanggungan yang dianut dalam
penerbangan haji adalah sama dengan sistem pada penerbangan
domestik. Di mana penanggungan dilakukan untuk

9
Nidjam dan Hanan, op.cit.,hal. 70.
10
Akomodasi adalah” tempat penginapan atau pengasramaan sebagai
penempungan sementara pada waktu jamaah haji di tempat embakarsi dan atau
debarkasi dan pemondokan selama berada di Arab Saudi.” Lihat dalam buku
Nidjam dan Hanan, op.cit., hal 76.

126
Penutupan Asuransi Bagi Jamaah Haji Indonesia ...

penumpangan, bagasi tercatat, dan barang. Selain itu juga untuk


bagasi tangan. Untuk penumpang, bagasi tercatat,dan barang,b
terapat klasula penanggung selalu bertanggung jawab untuk
kerugian yang ditimbulkan karena penumpang luka – luka atau
meninggal, karena bagasi tercatat rusak atau hilang. Dengan
demikian, pihak jamaah haji yang dirugikan tidak perlu
membuktikan kesalahan atau kelalaian PT Garuda Indonesia.
Namun, yang dibuktikan adalah sejauhmana kerusakan atau
kerugian itu terjadi.
Dalam hal penanggungan terbatas adalah didasarkan pada
kondisi terjadinya kerugian, tetapi sebenarnya PT Garuda
Indonesia tidak dapt dimintakan pertanggungjawaban. Hal ini
dikecualikan jika kerugian dilakukan jika terbukti dilakukan
kesalahan atau kelalaian berat dari PT Garuda Indonesia.
Pada prinsipnya, adanya dua jenis penaggungan asuransi
penumpang dalam penerbangan haji, yaitu asuransi yang ada
dalam komponen DOC dan IOC, merupakan suatu tambahan,
tetapi bersifat “asuransi wajib.” Menurut konvensi Warsawa,
penerapan sistem kompensasi tambahan tidak melannggar
asalkan:11
a. Sistem tersebut tidak boleh merupakan tambahan
tangggung jawab bagi pengangkut atau pegawainya;
b. Sistem tersebut tidak boleh merupakan beban
administratif atau finansial bagi pengangkut, kecuali
memungut iuran dari penumpang bila diminta;
c. Sistem tersbut tidak boleh mengadakan diskriminasi
antara pengangkut mengenai penumpang yang
diangkutnya dan setiap penumpang harusmempunyai hak

11
Suherman, op.cit., hal.93

127
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

yang sama atas pembayaran kompensasi tambahan, tanpa


membeda – bedakan pengangkut yang mereka gunakan;
d. Bila penumpang telah membayar iuran dan kemudian
menderita kerugian karena meniggal atau luka – luka,
penmpang tersebut berhak atas pembayaran kompensasi
tambahan yang menjadi hak penumpang tersebut.

Permasalahan Hukum dalam Pemberian Pertanggungan


Asuransi oleh PT. Garuda Indonesia

Dalam upaya mendapatkan klaim atas kemungkinan


kecelakaan yang menimpa jamaah haji sebagai penumpang
penerbangan haji,permasalahan yang ditemui adalah mengenai
ketidakmampuan jamaah haji atau ahli warisnya untuk
memperoleh pertanggungan. Kondisi ini disebabkan sebagian
besar jamaah haji adalah berasal dari daerah dengan tingkat
pengetahuan mengenai asuransi yang kurang atau bahkan tidak
paham. Realitas itulah yang menyebabkan posisi jamaah haji
berada pada posisi hukum yang sulit.
Hal ini sebenarnya harus menjadi tugas Departemen
Agama atau Pemerintah daerah asal jamaah haji beruaha untuk
melindungi hak jamaah haji untuk mendapakan klaim. Dengan
demikian, kerugian yang di derita akibat adanya kecelakaan
tersebut dapat dikurangi bebannya, baik secara materil maupun
imateril. Oleh sebab itulah, perlu ada perlindungan hukum yang
jelas kepada jamaah haji yang mengalami kecelakaan, sehingga
penanggung dapat membayar kewajibannya kepada jamaah haji.
Memang harus diakui pembayaran ini juga akan dicek lebih dulu
oleh perusahaan asuransi, tetapi dengan kondisi jamaah haji yang

128
Penutupan Asuransi Bagi Jamaah Haji Indonesia ...

kurang pemahamannya mengenai asuransi, perlu ada percepatan


dalam pembayarannya.
Adanya perlindungan hukum bagi jamaah haji dan tentu
juga pihak penanggung pada prinsipnya menunjukan
diterapkannya “asas pemberian perlindungan yang seimbang bagi
semua pihak yamg terkait dan berkepentingan dengan
penerbangan.”12 Perlu diberikannya perlindungan kepada semua
pihak dalam penerbangan, khususnya dalam penerbangan haji
yang disebabkan pluralnya jamaah haji dari segi pengetahuan
dan pendidikannya,13 sehingga harus diperhatikan.
Bagi jamaah haji sebagai penumpang penerbangan
haji,melakukan perjalan haji yang memenuhi standar keselamatan
dan kepentingannya diperhatikan sudah tidak menjadi
permasalahan baginya. Ada tiga permasalahan hukum yang harus
diperhatikan dalam penerbangan haji yang juga merupakan
kepentingan jamaah haji yang harus di lindungi ketiga hal
tersebut adalah:
1. Tidak adanya permohonan berupa pernyataan yang di
tulis bahwa jamaah haji telah diasuransikan dengan
beberapa kondisi yang ditanggung.
Ketentuan dalam penyelenggaraan haji tidak secara tegas
dan mendetail menguraikan asuransihaji ini. Bahkan
ketentuan dalam UU No.17 tahhun1999 tidak
menyiratkan bahwa begitu biaya pembayaran haji
diserahkan, jamaah menrima asuransi perjalanan haji.

12
E. Suherman (2),,”Perlindungan Hukum bagiPemakai Jasa
Angkutan dalam Hukum Perhubungan Indonesia,”(Makalah yang
disampaikan dalam Lokakarya Permasalahan Hukum dan Perngaturan
Perhubungan, 1981), hal.4.
13
Hal ini diakui oleh Sumasaputra, op.cit., hal. 16.

129
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Ketiadaan ketentuan yang jelas dan tegas sebenarnya


demikian merugikan posisi jamaah haji karena dalam
praktik penebangan biasanya perusahaan penerbangan
harus menguraikan berapa ketentuan asuransi dala suatu
formulir, sehingga tidak hanya diketahui oleh pihak
pencharter, yaitu Departemen Agama.
2. Tidak di jelaskan minimum jumlah klaim yang
dibayarkan saat pembayaran biaya perjalanan haji
ketentuan minimum ini perlu dilakuakan karena karena
sudah di perjanjikan antara pihak PT Garuda Indonesia
dan pihak perusahaan asuransi. Dalam hal ini ada jumlah
minimum jumlah klaim yang harus dibayarkan kepada
jamaah haji sebagai penumpang penerbangan haji jika
mengalami kecelakaan.
3. Tidak adnya penjelasan atas proses klaim asuransi sebagai
perlindungan secara optimal bagi jamaah haji. Sebagai
upaya melindungi jamaah haji dan meringankan
bebannya, ada baiknya jamaah haji dibrikan informasi
seluas – luasnya mengenai tata cara klaim atas
kemungkinan terjadinya kecelakaan dengan maksud agar
jamaah haji dapat mengetahui prosedur klaim, tanpa
menunggu lama. Tentunya prosedur klaim ini dapat
dilakukan jamaah haji dengan syarat:
a. Keadaan telah membayar biaya perjalanan ibadah haji
(BPIH) dan persyaratan lain yang telah ditentukan
dalam perjalanan haji;
b. Jamaah haji tidak mengalami kondisi yang
dikecualikan dalam perjanjian pertanggungan antara
PT Garuda Indonesia dan perusahaan asuransi;

130
Penutupan Asuransi Bagi Jamaah Haji Indonesia ...

Permasalahan hukum lain yang perlu diperhatikan adalah


unsure pentarifan. Dalam hal ini biaya perjalanan ibadah haji
memang dilakukan berdasarkan keputusan Menteri Agama
setelah mengadakan pertimabngan DPR. Namun, sayangnya,
komponen asuransi perjalanan haji kurang mendapatkan
perhatian yang cukup signifikan dari kedua lembaga Negara
tersebut. Komponen ini juga kurang dijelaskan secara mendalam
presentasenya oleh pihak PT Garuda Indonesia, sehimgga sudah
semestinya di jelaskan secara mendetail.
Penyelesaian atas permaslahan hokum dalam
pertanggungan asuransi haji ini pada prinsipnya
perlumendapatkan perhatian PT Garuda Indonesia. Dengan dasar
penyelesaian permasalahan tersebut, diharapkan jamaah haji akan
mampu menjalankan ibadah hajinya dengan baik setelah
mendapaykan perlindungan pertanggungan yang baik, jelas, dan
mudah.
Sebanarnya sebagai badan usaha yang ditugaskan
menangani penerbagan haji ini, PT Garuda Indonesia memang
menjalankan misi ini berlandaskan pada idealism medukung
program pemerintah dalam pembangunan Agama, namun,
Pemerintah juga dituntut untuk membantu PT Garuda Indonesia
untuk menghadapi situasi dan kondisi yang rumit dalam upaya
melakukan jasa penerbangan haji. Permasalahan mengenai kliam
yang terlalu sulit tentu akan menjadi beban PT Garuda
Indonesia,, sehingga diperlukan bantuan Pemerintah untuk
menangani secara terkoordinasi.14

14
sebagai badan usaha yang sama dengan badan usaha liannya, PT
Garuad Indonesia wajib menjalankan tugas yang ditugaskan Pemerintah
kepadanya. Oleh sebab itu, penyerahan tugas ini seharusnya dipahami PT
Garuda Indonesia semata –mata karena diwjibkan sesuai dengan ketentuan –

131
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

ketentuan normtif yang formalistic dalam peraturan perundang undangan dan


kebijakan pemerintah. Akan tetapi, kesiapan dan kemudahan yang diberikan
PT Garuda Indonesia juga sebenarnya lebih merupakan keharusan ekonomis
dan alamiah karena kenyataan empiris emang menunjukan bahwa pemberian
pelayanan yang baik harus menjadi bagian dari cita BUMN.

132
Penutup

BAB VI
PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan dalam bab sebelumnya,


daptlah diambil simpulan sebagai brikut.
1. Bentuk premi standar dalam penerbangan haji yang
diterapkan oleh PT Garuda Indonesia adalah sesuai
dengan standar premi yang diterpkan dalam penerbangan
umum, yaitu berbentu premi asuransi gabungan
(comprehensive aircraft policy). Secara umum,premi
standar yang diberikan PT Garuda Indonesia dalam
pelaksanaan haji terbagi atas premi untuk asuransi yang
dimasukan dalam komponen biaya dalam direct operating
cost (DOC) berupa asuransi gabungan pesawat dan
liability insurance atas penumpang dan bagasi dan premi
untuk asuarnsi yang dimasukan dalam indirect operatig
cost (IOC) dan digunakan untuk penumpang dengan
membayar asransi kerugian kepada PT Jasa Raharja.
2. Prosedur pertanggungan asuransi bagi penumpang dalam
penerbangan haji dimulai saat jamaah haji sebagai
penumpang telah membayar dan melunasi biaya
perjalanan ibadah haji (BPIH) ke Bank yang ditunjuk oleh
Departemen Agama karena pembayaran pertanggungan
merupakan bagian dari komponen biaya yang telah
diperhitungkan oleh PT Garuda Indonesia. Adapun
periode pertanggungan efektif berlaku saat jamaah haji

133
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

masuk asran haji saat fasepemberangkatan dan berakhir


saat keluar asrama haji saat fase pemulangan. Adapun
prosedur pertanggungan jika terjadi risiko daalm
perjalanan haji, hal itu dilakukan setelahadanya keputusan
PT Garuda Indonesia untuk menyatakan klaimnya atas
risiko yang mrnimpa penumpang bagasi barangnya.
3. Permasalahan hukum yang mungkin muncul dalam
pertanggunagn asuransi bagi jamaah haji yang krusial
adalah dalam hal pengajuan klaim atau tuntutan atas
pertanggungan asuransi ini. Hal itu kemumgkinan terjadi
karena minimnya informasi mengenai prosedur pengajuan
tuntutan/klaim asuransi jika jamaah haji mengalami risiko
dalam perjalanan hajinya. Untuk mengatasi permasalahan
hukkum ini akan lebih baik sejak awal PT Garuda
Indonesia menjelaskan prosedur klaim yang dilkukan
bersamaan dengan penjelasan mengenai asuransi
penerbangan haji secara keselurN.

Saran
Ada beberapa saran yang perlu penulis sampaikan sebagai
bahan masukan dalam penyelenggaraan haji. Khususnya
berkaitan dengan asuransi penerbangan haji, khususnya berkaitan
dengan asuransi penerbangan haji. Saran tersebut adalah sebagi
berikut:
1. Departemen Agama dalam menentukan spesifikasi
penerbangan haji seharusnya menerapkan dan
menentukan bentuk dan jenis pertanggungan asuransi
yang harus ada dalam penerbangan haji dan juga
mensosialisasikan adanya pertanggungan asuransi kepada
jamaah haji akan lebih bauk Departeman Agama meminta

134
Penutup

pertimbangan dari Dewan Asuransi Indonsia untuk


mendapatkan masukan dan saran
2. Agar PT Garuda Indonesia mensosialisasikan dan
menjelaskan komponen asuransi dalam niaya tariff haji
seara mendetail. Di samping itu, harus dijelaskan
persentase biaya asuransi, pertanggungan yang diberikan,
danprosedur klaim/ tuntutannta. Sementara itu, jamaah
haji sebagai penumpang penerbangan haji sudah
selayaknya diberikan informasi yang seluas – luasnya
mengenai asuransi haji yang telah ada dalam komponen
BPIH. Hal ini dimaksudkan agar jamaah haji memahami
adaya sarana perlindungan dari kemungkinan risiko saat
melaksanakan ibadah haji.
3. Pemberian premi bagi asuransi penerbangan haji
seharusnya lebih baik dari pada asuransi penerbangan
regular. Hal ini disebabkan adanya perbedaan risiko yang
ditanggung dalam perjalan haji.

135
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

136
Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Muhamad Putra. “Prospek Peransuransian Tranportasi


Udara.” Angkasa 8 (Agustus 1998).

“Asuransi Umum Terimpit, Asuransi Jiwa Selamat.” Kompas (23


April 2002)

Departemen Agama. Pedoman Penyelenggaraan Haji. Jakarta:


Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Urusan Haji, 2000.

Djojosoedarso, Soeisno. Prinsip – Prinsip Manajemen Risiko dan


Asuransi. Jakarta: Salemba Empat, 1999.

El Din, Abdel Saleh. Aviation Insurance Practice: Law and


Reinsurance. London: William Clovers & Sons Ltd.,
1971.

Fuady, Munir. Hokum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum


Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999

Purba, Radiks. Mengenal Asuransi Angkutan Darat dan Udara.


Jakarta: Djambatan, 1997.

Hartono, Sri Redjeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi.


Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

137
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

Hasymi, Ali. Pengantar Asuransi. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Indonesia. Undang – undang tentang Usaha Peransuransian.


UU No. 2 tahun 1992 LN. No. 13 tahun 1992, TLN No.
1467.

_______. Undang – undang tentang Penerbangan. UU No. 15


tahun 1992. LN No. 53 tahun 1992, TLN No. 3481.

_______. Undang – undang tentang Perindungan Konsumen. UU


No. 8 tahun 1999. LN No. 42 tahun1999, TLN No. 3793.

Jamil, M. Faridz. “Perhitungan Biaya Perjalanan Ibadah Haji:


Suatu Tinjauan dari Segi EFektivitas Biaya.”(Makalah
yang disampaikan dalam Lokakarya Haji di Lembaga
Kajian Islam Jakarta, 21 Januari 1999)

Ndjam, Achmad; dan Latief Hanan. Manjemen haji: Studi kasus


dan Telaah Implementasi. Jakarta: Zikrul Hakim, 2001.

Mamudji, Sri dan Hnag Rahardjo. “Teknis Penulisan Ilmiah.”


(Pra – cetak, Bahan Perkuliahan Metode Penelitian
Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000).

Muchtar. “Bebrapa manfaat Asuransi dalam Aspek Ekomomi.”


Warta Ekonomi 9 (September 1993): 34 – 37.

138
Daftar Pustaka

Sastrawidjaja , M. Suparman. Aspek – aspek Hukum Asuransi dan


Surat Berharga.Bandung: Alumni,1997

Satrio, J. Hukum Perjanjian pada Umumnya. Bandung: Citra


Aditya Bakti,1999.

Simatupang,Dian Puji N. “Bahasa Penelitaian Hukum.” (cetak


Biru Bahan Perkuliahan Metode Penelitian Hukum di
Fakultas Hukum Universita Indonesia, 2000).

Soekanto, Soerjono. “Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3.


Jakarta: UI Press, 1986

_________. dan Sri Mamudji. Penelitain Hukum Normatif: Suatu


Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press, 2001

Soekarto. Dasar –dasar Asuransi, Jakarta : Universitas Terbuka,


1987.

Soemobaskoro, Soehodo. “The New Approach to the Indonesian


Air Transportation Policy: Its Strategic Economic Factors
and Pitfalls.” (makalah dalam Seminar Kebijakan
Penerbangan di Indonesia, Fakultas Ekonomi Univeritas
Indonesia, 1978)

Subekti. Hukum Perikatan. Jakarta: Intermasa, 1988.

Suherman, E. “Perlindungan Hukum Bagi Pemakai Jasa


Angkutan dalam Hukum Perhubungan Indonesia.”

139
Aspek Hukum Penutupan Asuransi Kecelakaan Bagi Jamaah Haji
Indonesia di PT. Garuda Indonesia

(Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya


Permasalahan Hukum dan Pengaturan Perhubungan,
1981).

______.Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan (Himpunan


Makalah 1961 – 1995). Bandung: Mandar Maju, 2000.

Sumasaputra, Harliman. “Penerbangan Haji PT Garuda


Indonesia: Antara Misi Pemerintah dan Misi Perusahaan.”
(Makalah yang disampaikan pada Orientasi Pemberitaan
Haji 2001, 6 Agustus 2000).

Widyahartono. “Wawasan Bisnis Jasa Angkutan udara.” Angkasa


4 (Apri 1998):33 -34.

Wiradipradja, E. Saefullah, “Masalah Asuransi Penerbangan di


Indonesia Dewasa ini.”Padjadjaran 2 (April – Juni 1981):
26 – 33.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia,


Laporan Akhir, Evaluasi Kebijakan PemerintahTerkait
Dengan Persaingan Usaha Dalam Rancangan Perubahan
Undang Undang No.17/1999Tentang Penyelenggaraan
Haji

140

Anda mungkin juga menyukai