IOM/KKP/Coventry University
1
LAPORAN MENGENAI
PERDAGANGAN ORANG, PEKERJA
PAKSA, DAN KEJAHATAN
PERIKANAN DALAM INDUSTRI
PERIKANAN DI INDONESIA
3
International Organization for Migration (IOM)
Misi di Indonesia
Sampoerna Strategic Square, North Tower, 12A Floor
Jl. Jend. Sudirman Kav. 45-46, Jakarta Selatan 12930
Phone: +62 21 5795 1275; Fax: +62 21 5795 1274
IOM berkomitmen pada prinsip bahwa migrasi secara tertib dan manusiawi membawa
keuntungan bagi para migran dan masyarakat. Sebagai badan antar-pemerintah, IOM
bekerjasama dengan masyarakat internasional untuk membantu menjawab tantangan-
tantangan operasional migrasi, memajukan pemahaman tentang isu-isu migrasi, mendorong
pembangunan sosial dan ekonomi melalui migrasi, dan berupaya menciptakan penghormatan
yang efektif terhadap martabat kemanusiaan dan kesejahteraan hidup para migran.
Pendapat yang dikemukakan dalam laporan berikut adalah opini penulis dan tidak
mencerminkan pandangan dari International Organization for Migration (IOM). Penggunaan
istilah dan pemaparan materi sepanjang laporan ini tidak mewakili pendapat apapun dari
IOM sehubungan dengan status hukum dari negara, wilayah, kota atau daerah manapun,
atau terkait dengan pihak berwenangnya, maupun sehubungan dengan perbatasan yang
dimilikinya.
Tidak diperkenankan untuk menerbitkan ulang bagian apapun dari buku ini, menyimpannya
dalam sebuah sistem penyimpanan, atau dikirimkan secara elektronik, mekanik, fotokopi,
merekam atau sebaliknya, tanpa izin tertulis lebih dahulu dari penerbit.
Introduction ............................................................................................................ 7
Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing and
Maritime Security ....................................................................................... 8
The Fishing industry in Indonesia ......................................................... 12
Minister of Marine Affairs and Fisheries Policy in Releasing
Moratorium on Fishing Vessels ............................................................... 15
Enforcement of Criminal, Administrative and Civil Law ................ 23
The Relationship Between Market Demand, Overfishing,
Illegal Fishing, and Human Trafficking. ................................................ 25
Human Trafficking in the Fishing Industry ................................................. 28
Historical Background of Trafficking and Forced Labour
in the Fishing Industry, Case Study: The Jermal Case ..................... 32
7
Age .................................................................................................................. 65
Family Situation ............................................................................................ 66
Educational Level ........................................................................................ 67
Economic Status .......................................................................................... 68
Place of Origin ............................................................................................... 69
Recruitment and Movement .......................................................................... 71
Foreign Victims of Trafficking in Indonesia: Pre-Departure .......... 71
Control Mechanisms ........................................................................................... 81
Crimes Against the Person ....................................................................... 81
Working Conditions and Exploitation ................................................. 84
Assistance for Victims and the Legal Process ......................................... 89
Return Assistance ........................................................................................ 89
Return Assistance for Victims to Countries of Origin ...................... 90
Provision of Food and Non-Food Assistance .................................... 91
Health Assistance ......................................................................................... 92
Shelter Assistance ........................................................................................ 93
Reintegration Assistance .......................................................................... 95
Legal Assistance .......................................................................................... 96
Salary Settlement ........................................................................................ 97
Analysis ..................................................................................................................... 99
Overlapping Authority .............................................................................. 99
Lack of Strong International Legal Framework ................................ 101
References ............................................................................................................... 103
8
KATA SAMBUTAN
Susi Pudjiastuti,
Menteri Kelautan dan Perikanan
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga Penelitian Bersama tentang Kejahatan
Perikanan, Perdagangan Orang dan Pekerja Paksa pada Industri Perikanan
ini dapat tersusun. Penyusunan laporan yang merupakan kerjasama antara
Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115),
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan International Organization
for Migration (IOM Indonesia), patut diapresiasi, menginat laporan ini
merupakan laporan pertama dan satu-satunya yang secara lengkap dan
kritis dalam menggambarkan situasi perdagangan orang dan pekerja paksa
pada industri perikanan di Indonesia.
9
dengan kasus Ambon, merupakan temuan perbudakan pada industri
perikanan yang menurut laporan tersebut sebagai kasus perbudakan
terbesar pada abad 21. Upaya hukum dan non hukum telah dilakukan,
agar pelaku mendapatkan hukuman setimpal, korban mendapatkan
hak remediasi, restitusi dan repatriasi ke negara asal. Pada Maret 2016, 8
(delapan) terdakwa telah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Tual dan
atas bantuan IOM Indonesia, 1500 korban telah kembari ke negara asal.
10
Kedepannya, melalui laporan ini, dengan menggandeng kementerian
dan lembaga lain, perlu dilakukan pembahasan bersama menyelesaikan
permasalahan perdagangan orang yang melibatkan ABK Indonesia pada
kapal ikan asing. Saya berharap, Penelitian Bersama tentang Kejahatan
Perikanan, Perdagangan Orang dan Pekerja Paksa pada Industri Perikanan ini
menjadi rujukan pemangku kepentingan lintas sektoral, dalam membangun
sistem dan regulasi, dalam mencegah dan memberantas perdagangan
orang pada industri perikanan.
Susi Pudjiastuti
11
12
KATA SAMBUTAN
13
tragedi bahwa di abad ke-21 penyelundupan manusia, perdagangan orang
dan kerja paksa masih terus berlangsung.
Coventry University’s Centre for Trust, Peace and Social Relations (CTPSR)
bekerja erat dengan International Organization for Migration (IOM) Indonesia
dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) beberapa tahun terakhir, untuk
peningkatan kesadaran, pengembangan kapasitas di Indonesia, berkontribusi
pada peningkatan pemahaman bersama tentang keamanan maritim melalui
lensa keamanan manusia, serta menyebar luaskan hasil temuan penelitian
yang dapat mendukung upaya bersama ini. Saya yakin bahwa laporan ini
dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam menempatkan isu ini
secara kokoh dalam agenda internasional.
Namun tanggung jawab kami yang paling utama adalah tetap kepada
masyarakat dan komunitas yang rentan dan dalam mendukung pengentasan
kesengsaraan manusia dan eksploitasi individual yang rentan oleh kegiatan
tidak sah yang dilakukan oleh kejahatan transnasional terorganisir.
14
FOREWORD
KATA SAMBUTAN
Mark Getchell
Kepala Misi IOM Indonesia
Pada tahun 2015, IOM Indonesia bekerja erat dengan Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi, dan
instansi pemerintahan lainnya dalam operasi penyelamatan, pemberian bantuan,
dan pemulangan nelayan asing di Benjina dan Ambon. Skala eksploitasi dan
kesewenang-wenangan yang terjadi membuat kejadian tersebut sebagai salah
satu kasus perdagangan orang bertujuan eksploitasi tenaga kerja terbesar yang
pernah terungkap.
Kolaborasi unik antara IOM, pemerintah Indonesia dan Universitas Coventry telah
membawa isu perdagangan orang, kerja paksa, kejahatan perikanan dan IUU
Fishing dipandang dari perspektif multi-disiplin. Laporan ini menyajikan sebuah
wawasan tentang industri perikanan, para nelayan, dan pelaku eksploitasi.
15
Sebagai Kepala Misi IOM Indonesia, saya mendapatkan banyak kesempatan untuk
bertemu dengan para nelayan dan pergi ke tempat-tempat dimana eksploitasi
terjadi. Saya juga mendapatkan kehormatan bekerja erat dengan Menteri Susi
Pudjiastuti dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menjelajahi sejumlah
cara untuk memberantas perdagangan orang dalam industri perikanan dan
mempromosikan hak asasi manusia pra nelayan.
Penting agar kejadian-kejadian tragis ini tidak dilupakan dan laporan ini digunakan
oleh pemerintah untuk membantu kegiatan penegakan hukum dan penyusunan
kebijakan. Laporan ini juga berguna bagi sektor sosial untuk mendorong
penyediaan bantuan layanan bagi korban perdagangan orang dan kepada sektor
swasta dan konsumen dalam rangka mengangkat isu tentang kegiatan kriminal
dan eksploitasi yang bisa jadi menodai keuntungan yang mereka dapat atau ikan
yang mereka makan.
Saya berharap laporan ini dapat menjadi sebuah katalis bagi pemerintahan,
organisasi non-pemerintah, sektor swasta, dan konsumen untuk mengambil
langkah-langkah terpadu melawan perdagangan orang di industri perikananan.
Kasus-kasus perdagangan orang yang terdokumentasi di Benjina dan Ambon,
walaupun jumlahnya cukup signifikan, sebenarnya hanya potret kecil dari
eksploitasi berskala global dan perlakuan sewenang-wenang terhadap nelayan.
Skala eksploitasi yang demikian besar itulah yang membuat kita perlu menjalin
kerjasama yang luas agar bisa memberantasnya secara efektif.
MARK GETCHELL
16
Ringkasan Pelaksana
P
ada tahun 2015 penyelamatan besar-besaran terhadap nelayan asing
yang dieksploitasi sebagai tenaga kerja bagi kapal penangkap ikan yang
terlibat dalam penangkapan ikan yang illegal, tidak dilaporkan dan belum
diatur (IUU Fishing) mencerminkan adanya kebijakan yang kurang memadai
dari industri perikanan dan kurangnya perlindungan atas kondisi kerja di kapal
dan di pabrik pengolahan ikan.
Situasi di Benjina dan Ambon adalah dampak dari perdagangan orang yang
semakin meluas dan berbahaya, tidak hanya di industri perikanan Indonesia
dan Thailand, tapi juga secara global.
17
Perdagangan Orang dan Kerja Paksa dalam industri perikanan Indonesia
dicirikan oleh:
Penangkapan Ikan secara ilegal, tidak dilaporkan dan belum diatur dicirikan
oleh:
• Peraturan pemerintah Indonesia yang tumpang tindih dan undang-
undang yang menyebabkan kebingungan atas tanggung jawab
pemerintah dalam pengawasan penerimaan tenaga kerja, kondisi dan
pemantauan industri perikanan, agen pengawakan kapal, dan kapal
penangkap ikan;
• Perpaduan lebih dari 2 orang: kapal berbendera ganda terdaftar di dua
negara yang berbeda. Tindakan memalsukan sertifikat penghapusan
setidaknya dilakukan oleh pemilik kapal, para pendukung dan pelaku
langsung di lapangan;
• Dugaan tindak pidana pelanggaran serius: banyaknya nelayan ilegal
yang melanggar hukum, dari menonaktifkan pemancar, menggunakan
alat penangkap yang terlarang dan alat penangkap yang merusak,
pengalihmuatan ilegal, pemalsuan dokumen kapal dan buku catatan;
• Nakhoda asing yang bekerja secara ilegal dalam jangka waktu
tak tertentu: walaupun telah ada hukum nasional yang melarang
penggunaan awak kapal asing, masih ada banyak pawang laut (fishing
master) yang bekerja di atas kapal yang melakukan pelayaran panjang.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya perencanaan yang cukup matang
untuk melakukan tindak kejahatan;
18
• Mengejar keuntungan dan/atau kekuasaan: alasan utama adanya
kejahatan perikanan adalah untuk mendapatkan untung dan manfaat
finansial yang besar dengan usaha yang minim dan memanfaatkan
kecenderungan sejumlah pejabat tingkat tinggi dan para politisi untuk
melakukan korupsi;
• Operasi pada tingkat internasional: nelayan ilegal beroperasi di beberapa
negara, menangkap ikan di berbagai daerah, dengan menggunakan
bendara kapal yang tidak sesuai dan menurunkan hasil tangkapannya
langsung ke Negara lain, dan menjual ikan di pasar internasional dengan
harga yang tinggi;
• Penggunaan struktur komersial atau bisnis: operasi penangkapan ikan
ilegal dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar, seringkali didirikan
oleh investasi asing, memiliki izin beroperasi, namun mereka melanggar
hukum dan menghindari pajak.
19
20
Saran - Saran
21
22
Persembahan
L
aporan ini adalah hasil penelitian bersama oleh Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP), Satuan Tugas Kepresidenan dalam Memerangi
Penangkapan Ikan Ilegal, bersama dengan the International Organization
for Migration (IOM) Indonesia, dan Universitas Coventry.
Para pengarang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Satuan
Tugas Kepresidenan untuk Memerangi Penangkapan Ikan Ilegal termasuk Dr.
Mas Achmad Santosa, Dr. Yunus Husein, dan Pahrur Roji Dalimunthe dan Maria
Anindita Nareswari.
Tim penulis dari IOM Indonesia termasuk Nurul Qoiriah, Dr. Peter Munro, Among
Resi, Ricky Ramon, Gema Bastari, Justitia Veda, Dr. Wayne Palmer dan Elise Caron.
Terima kasih juga untuk Shafira Ayunindya untuk bimbingan dan dukungan
yang diberikan kepada tim anti perdagangan orang selama proses penulisan,
dan Diah Zahara untuk pendalaman proses wawancara dengan para korban.
Beberapa penulis IOM juga terlibat dalam usaha penyelamatan, wawancara,
dan pemulangan nelayan. Terima kasih kepada Mr. Mark Getchell, Kepala Misi
IOM Indonesia, yang telah memenangkan perjuangan nasib nelayan secara
berkesinambungan dan dikelola tim anti perdagangan orang melalui proses
penulisan utuh dan Menteri Susi Pudjiastuti untuk dukungan penekanan usaha
memerangi penangkapan ikan secara illegal dan pelanggaran hak azasi manusia
terhadap industri perikanan Indonesia dan dukungan tindak tegas pemerintah
untuk membebaskan, menyelamatkan dan memulihkan korban dari Benjina
dan Ambon.
23
Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada Mr. Steve Hamilton, Wakil
Kepala Misi IOM Indonesia, yang berperan penting dalam menyelamatkan
korban perdagangan di Benjina dan Ambon dan bersikeras agar penelitian ini
dapat dijangkau oleh khalayak luas dalam rangka mencegah eksploitasi nelayan,
baik di Indonesia mapun secara internasional, di masa mendatang.
24
Daftar Istilah
25
UN United Nations
UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea
UNODC United Nations Office on Drugs and Crime
UPI Unit Pengolah Ikan
VMS Vessel Monitoring System
VoT Victims of Trafficking
ZEE Zona Ekonomi Ekslusif
26
metodologi dan Batas-Batasan Riset
L
aporan ini didasarkan pada penyelidikan yang dilakukan oleh Kementrian
Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Satuan Tugas Kepresidenan dalam
Memerangi Penangkapan Ikan secara Ilegal (IUU Fishing) bersama
dengan penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi
(IOM) Indonesia terhadap nelayan dan awak kapal, baik yang berkebangsaan
asing maupun Indonesia, yang teridentifikasi sebagai korban perdagangan
manusia dan menerima bantuan IOM.
27
28
pendahuluan
S
elama tahun 2015 Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia
dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Indonesia merespon
ulasan investigatif Associated Press (AP) tentang perdagangan orang
dengan bekerja sama dalam operasi penyelamatan nelayan asing yang
diperdagangkan dan dieksploitasi dalam industri penangkapan ikan Indonesia
di Benjina dan Ambon. Para nelayan direkrut dari Kamboja, Myanmar, Thailand,
dan Republik Demokratik Rakyat Laos dan bekerja di dalam kondisi yang
eksploitatif di perairan Indonesia. Ulasan AP tersebut mengidentifikasi nelayan
yang diyakini merupakan korban perdagangan orang. Ketika KKP, Kepolisian
Republik Indonesia (Polri) dan IOM tiba di lokasi, lebih banyak nelayan
berdatangan dari daerah sekitar, semuanya mengakui telah dieksploitasi dan
diperlakukan tidak pantas. Diperkirakan sekitar 1.342 orang nelayan meminta
bantuan. Sayangnya perusahaan penangkap ikan yang terlibat eksploitasi
pekerja telah memulangkan sebagian besar warga Kamboja dan Thailand
sebelum mereka diwawancarai oleh polisi.
29
Kasus ini menyoroti luasnya ruang lingkup kejahatan lintas negara. Korban
yang direkrut berasal dari berbagai negara dan dipaksa bekerja secara ilegal
di Indonesia. Hukum dan peraturan perundang-uandangan dilanggar dan
perjanjian internasional diabaikan. Perusahaan kedok (front company) didirikan
dan ikan yang ditangkap secara illegal dipindahmuatkan ke kapal lain di
wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia, sehingga mencegah penangkapan
oleh pihak-pihak berwenang Indonesia. Pada akhirnya tangkapan memasuki
rantai pasokan global dan ditangani oleh pemasok ikan yang sah, tidak
mengetahui sumber asal dan korban manusia di balik tangkapan tersebut.
Perdagangan manusia dalam industri penangkapan ikan bukan hal yang baru
namun seringkali berlalu tanpa hukuman dalam waktu yang lama. Situasi di
Benjina dan Ambon menunjukkan adanya gejala perdagangan manusia yang
jauh lebih luas, tersembunyi dan membahayakan, tidak hanya dalam industri
penangkapan ikan Indonesia dan Thailand, melainkan secara global.
30
Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam laporannya pada
tahun 2008 kepada Majelis Umum, dengan judul “Samudera dan hukum
kelautan” membahas tentang keamanan laut.1 Setelah menjelaskan bahwa
tidak ada definisi yang diterima secara universal, tetapi bahwa terdapat
sejumlah versi dan arti yang tergantung pada konteks dan penggunanya,
beliau menyebutkan tujuh ancaman serius terhadap keamanan laut:
Perompakan dan perampokan bersenjata di laut; aksi teroris yang melibatkan
pelayaran; instalasi lepas laut dan kepentingan maritim lainnya; perdagangan
gelap senjata api dan senjata perusak massal; perdagangan narkoba
dan obat-obat psikotropika terlarang; penyelundupan dan perdagangan
manusia di laut; penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur;
perusakan lingkungan laut yang disengaja dan melanggar hukum.2
1 UN (2008). Samudera dan Hukum Kelautan. Laporan Sekretaris Jenderal PBB kepada Majelis Umum. A/63/63.
2 UN. (2008). Op Cit,hal.33.
3 UN. (2008). Op Cit.
31
internasional adalah refleksi dari sifat multidisiplin isu keamanan laut, serta
beragamnya pemangku kepentingan yang terlibat. 4
Strategi keamanan laut yang ada dan digunakan saat ini mengkonsepkan dan
mendekati isu keamanan maritim dengan sebuah lensa khusus, didasarkan
pada kekhususan lokal/regional, prioritas kepentingan, dan signifikansi tiap
ancaman dalam konteks tertentu.5 Meskipun sebagian besar ancaman yang
terpetakan memiliki posisi tertentu dalam kajian strategis, namun prioritasnya
berbeda-beda. Tiap aktor akan mempertimbangkan tingkat ancaman yang
berbeda, memperluas atau memperdalam konsep ancaman sesuai dengan
ulasan risiko masing-masing, aktor yang terlibat, dan ancaman yang muncul.6
Dalam kerangka pikir tersebut, isu IUU Fishing tetap menempati posisi teratas
daftar ketidakamanan maritim, dan melibatkan jaringan tindakan dan entitas
yang kompleks, yang bertentangan dengan upaya pelestarian dan pengelolaan
internasional.7
4 Chapsos, I. (2016). Apakah keamanan Maritim Merupakan Tantangan Keamanan Tradisional? Penjelajahan Wawasan
Keamanan: Tantangan Keamanan Tidak Tradisional. A. J. Masys, (ed). Switzerland, Springer International Publishing. hal.74
5 Uni Afrika (2014). 2050 Strategi Africa’s Kelautan Terpadu (AIM), Uni Afrika; Uni Eropa (2014). Strategi Keamanan Maritim
Uni Eropa, Uni Eropa. 11205/14; and UK (2014). Stretegi Nasional UK Keamanan Maritim untuk London.
6 Chapsos, I. (2016). Op Cit. hal74.
7 Komite Perikanan (2007). Pemberantasan penangkapan ikan illegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur tanpa Pemantauan,
Pengendalian dan Pengawasan. Langkah-langkah Pelabuhan pada Negara dan sarana lainnya, Twenty Seventh Session
edn., Translated by FAO. COFI/2007/7.
8 Bondaroff, P., et al. (2015). The Illegal Fishing and Organised Crime Nexus: Penangkapan Ikan Ilegal sebagai Kejahatan
Lintas Negara, Inisiatif Memerangi Kejahatan Transnasional scara Global dan The Black Fish. hal12.
9 Ibid.
32
pada sebuah Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional10 (Regional Fisheries
Management Organization-RFMO), atau secara umumnya penangkapan ikan
dengan cara yang bertentangan dengan peraturan-peraturan RFMO, […] atau
dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggung jawab konservasi sumber
daya laut hayati berdasarkan hukum internasional”. 11
10 Lihat Komisi Eropa, ‘Regional fisheries management organisations (RFMOs), available online from http:// ec.europa.eu/
fisheries/cfp/international/rfmo/index_en.htm [accessed March 2016].
11 Bondaroff, P., et al. (2015). Op Cit.
12 Chapsos, I. (2016). Op Cit.p67
33
ikan dalam bidang kelautan dan merekrut mereka untuk meluaskan kegiatan-
kegiatan kriminalnya. Kapal-kapal penangkap ikan yang sah sering digunakan
sebagai kedok untuk memfasilitasi penyelundupan migran, dan perdagangan
obat-obatan dan senjata.13 Laporan lain dari UNODC tentang kejahatan lintas
Negara di Asia Tenggara menyingkap sejauh mana perdagangan manusia,
penyelundupan migran, kerja paksa dan eksploitasi seksual secara langsung
dan/atau tidak langsung memiliki kaitan dengan industri penangkapan ikan.14
13 UNODC (2011). Transnational Organised Crime in the Fishing Industry. Vienna, United Nations Office on Drugs and
Crime.
14 UNODC (2013). Transnational Organized Crime in East Asia and the Pacific: A Threat Assessment, United Nations
Office on Drugs and Crime. Hal 6,7,9,16.
15 Palma Robles, M. (2014). “Fisheries crime: bridging the gap.” Retrieved 17 March, 2016, from http://cimsec.org/fisheries-
crime-bridging-conceptual-gap-practical-response/12338.
16 Witbooi, E. (2015). “Towards a new ‘fisheries crime’ paradigm: challenges and opportunities with reference to South Africa
as an illustrative African example.” Marine Policy 55: pp43-44
34
bahkan terhadap kapal-kapal yang mengibarkan bendera mereka. Kesulitan
menangani IUU Fishing juga bertambah rumit dikarenakan praktik sejumlah
kapal penangkap ikan yang terdaftar di negara-negara yang berbeda
dengan negara pemilik kapal, lazim dikenal sebagai negara-negara anggota
Bendera Kemudahan (Flag of Convenience/FOCs – atau pendaftaran terbuka).
Sebagaimana dilaporkan oleh Federasi Serikat Pekerja Transportasi Global
(International Transport Workers Federation17 - ITF), para pemilik kapal
terdorong untuk mendaftarkan kapal-kapal mereka menjadi anggota FOC
oleh karena biaya pendaftaran yang murah, pajak rendah atau bahkan bebas
pajak, dan kemudahan untuk mempekerjakan tenaga kerja murah. Beberapa
negara anggota memiliki standar keselamatan dan pelatihan yang rendah
dan tidak memiliki batasan terkait kebangsaan awaknya, yang dari sudut
pandang keamanan menciptakan kesenjangan keamanan. Oleh karenanya,
kendali yang lebih efektif dari negara-negara yang memiliki bendera dan
negara-negara pelabuhan, serta langkah-langkah terkait pasar, dapat secara
signifikan membantu menghilangkan fenomena ini.
35
garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Indonesia memiliki
wilayah laut yang sangat luas yaitu 5.193.250 km2 atau 75% dari keseluruhan
wilayah Indonesia. 65% dari keseluruhan 467 kabupaten/kota di Indonesia
berlokasi di pesisir. Melihat konteks geografis ini, dapat disimpulkan bahwa
kekuatan utama Indonesia adalah kelautan.
Wilayah laut Indonesia yang sangat luas memberikan insentif dalam bentuk
sumber daya laut dan perikanan yang berlimpah dan menjanjikan untuk
dieksplorasi dan dieksploitasi untuk mendukung pembangunan nasional.
Kekayaan laut Indonesia antara lain adalah keanekaragaman hayati lautnya
yang sangat kaya yang terbesar di dunia dengan 8.500 spesies ikan, 555 spesies
rumput laut dan 950 spesies biota yang terhubung dengan terumbu karang.
Indonesia memiliki potensi untuk membangun industri ikan tangkapnya. Data
FAO dalam The State of World Fisheries and Aquaculture (Kondisi Perikanan
dan Budidaya Perairan Dunia)18 menunjukkan bahwa Indonesia adalah
penghasil penangkapan ikan terbesar kedua di dunia setelah Cina dengan
jumlah produksi ikan mencapai 5.420.247 ton pada tahun 2012 (7,3% dari
produksi ikan dunia).
Ilustrasi 1. Rantai Nilai Sektor Perikanan
(Source: “Evading the Net: Tax Crime in the Fisheries Sector”, OECD 2013)
36
Tabel 1. Marine capture fisheries: major producer countries
2012 Variasi
2003 2011 2012
Peringkat Negara Benua 2003-2012 2012-2012
(per ton) (Persentase)
1 China Asia 12.212.188 13.536.409 13.869.604 13.6 2.4
2 Indonesia Asia 4.275.115 5.332.862 5.420.247 27.0 1.7
3 United States of America Americas 4.912.627 5.131.087 5.107.559 4.0 -0.5
4 Peru Americas 6.053.120 8.211.716 4.807.923 -20.6 -41.5
5 Russian Federation Asia/Europe 3.090.798 4.005.737 4.068.850 31.6 1.6
6 Japan Asia 4.626.904 3.741.222 3.611.384 -21.9 -3.5
7 India Asia 2.954.796 3.250.099 3.402.405 15.1 4.7
8 Chile Americas 3.612.048 3.063.467 2.572.881 -28.8 -16.0
37
9 Viet Nam Asia 1.647.133 2.308.200 2.418.700 46.8 4.8
10 Myanmar Asia 1.053.720 2.169.820 2.332.790 121.4 7.5
11 Norway Europe 2.548.353 2.281.856 2.149.802 -15.6 -5.8
12 Philippines Asia 2.033.325 2.171.327 2.127.046 4.6 -2.0
13 Republic of Korea Asia 1.649.061 1.737.870 1.660.165 0.7 -4.5
14 Thailand Asia 2.651.223 1.610.418 1.612.073 -39.2 0.1
15 Malaysia Asia 1.283.256 1.373.105 1.472.239 14.7 7.2
16 Mexico Americas 1.257.699 1.452.970 1.467.790 16.7 1.0
17 Iceland Europe 1.986.314 1.138.274 1.449.452 -27.0 27.3
18 Morocco Africa 916.988 949.881 1.158.474 26.3 22.0
Total 16 negara utama 58.764.668 63.466.320 60.709.384 3.3 -4.3
Jumlah di dunia 79.674.875 82.609.926 79.705.910 0.0 -3.5
Membagi 18 negara utama (persentase) 73.8 76.8 76.2
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Analisis Data
Pokok Kelautan dan Perikanan 2014, produksi perikanan tangkapan mencapai
6,20 juta ton, yang tertinggi di Asia Tenggara. Produksi ini memberikan kontribusi
terhadap pendapatan negara dalam bentuk ekspor perikanan senilai US$4,64
miliar.19 Dari sudut pandang tenaga kerja, diperkirakan 3,8 juta penduduk
Indonesia bekerja dalam industri perikanan hilir ke hulu. Jenis-jenis usaha
perikanan meliputi kegiatan di laut (menangkap ikan), kegiatan di pelabuhan
penangkapan ikan (melabuhkan, memroses dan menjual ikan) dan mengekspor
ikan ke luar negeri (transportasi dan konsumsi).
Dari 3,8 juta tenaga kerja, sebanyak 2.641.967 tenaga kerja bekerja sebagai
nelayan (awak kapal/Kapten kapal/pawang laut) di laut dalam 550.000 kapal
penangkap ikan, dan sisanya 913.788 tenaga kerja bekerja dalam industri
perikanan lainnya seperti Unit Pengolahan Ikan (UPI). 20
IUU Fishing juga mengganggu usaha para nelayan kecil karena mengurangi
stok yang tersedia bagi mereka secara signifikan. Karena IUU Fishing prospek
nelayan Indonesia jatuh, dan profesi menangkap ikan tidak lagi dapat dijalankan
sebagaimana sebelumnya. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
bahwa berdasarkan data Sensus periode 2003-2013, jumlah nelayan tradisional
telah berkurang dari 1,6 juta menjadi 864.000 orang keluarga. Menurut BPS, 0,9
juta penduduk (18%) dari 47,3 juta penduduk miskin bekerja sebagai nelayan.
Sebagai produsen penangkap ikan terbesar kedua di dunia, Indonesia pada
kenyataannya berada di luar dari sepuluh eksportir penangkap ikan terbesar di
dunia oleh karena kegiatan-kegiatan IUU Fishing.
19 Pusat data dan Indormasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Analisis Data Pokok Kelautan dan Perikanan 2014..
20 Greenpeace, 2013, Laut Indonesia dalam Krisis, hal. 2.
21 Sri Mulyani Indrawati, The Case for Inclusive Green Growth (2015). source: http://www.worldbank.org/en/news/
speech/2015/06/09/the-case-for-inclusive-green-growth
22 ibid.
38
Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan
dalam Penghentian Sementara (Morotarium)
Kapal-Kapal Penangkap Ikan
Sejak diangkat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada bulan Oktober
2014, Susi Pudjiastuti telah memperkenalkan visi dari kebijakan kelautan
dan perikanan Indonesia yang berfokus pada kedaulatan, kelestarian dan
kemakmuran. Visi ini telah dirumuskan ke dalam berbagai kebijakan strategis
termasuk kebijakan penghentian sementara bagi eks-kapal-kapal asing23
yang diperkenalkan sejak Oktober 2014 sampai dengan April 2015. Kebijakan
penghentian sementara tersebut kemudian diperpanjang sampai dengan
Oktober 2015. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut, moratorium
terhadap eks-kapal-kapal asing tersebut merupakan penghentian sementara
terhadap penerbitan dan perpanjangan izin-izin usaha bagi penangkapan ikan
tangkap di dalam Wilayah Pengelolaan Penangkapan Ikan Negara Republik
Indonesia yang dikenakan terhadap eks-kapal-kapal asing.24
23 Eks kapal asing adalah kapal penangkap ikan yang dibuat di luar negeri menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan No. 56 Tahun 2014.
24 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan
Usaha Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Pasal 1 Ayat (1)
39
Di samping pelaksanaan kebijakan penghentian sementara (moratorium),
Menteri Kelautan dan Perikanan juga memberlakukan larangan terhadap
pemindahkapalan (transshipment) dalam Keputusan Menteri dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan No. 57/PERMEN-KP/2014 tentang Usaha Perikanan
Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
(Permen KP 57/2014). Larangan ini telah melarang kapal-kapal memindahkan
tangkapan mereka di laut ke kapal-kapal transshipment.
40
Kebijakan penghentian sementara mengamanatkan untuk dilaksanakannya
analisis kepatuhan dan evaluasi kapal dan perusahaan penangkap ikan yang
menggunakan kapal-kapal yang dibuat di luar negeri. Berdasarkan data
perijinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan tertanggal 3 November
2014 ketika penghentian sementara dimulai, terdapat 1.132 eks kapal asing
yang beroperasi di Indonesia (Grafik 1).
Grafik 1
Negara Asal
USA
Origin Country Australia (25)
2%
(1) Vietnam (1)
0% 0% Belize (5)
0%
Thailand (280)
25%
China (374)
33%
Taiwan (216)
19%
Japan (104)
9%
Honduras (4)
0%
Cambodia (1)
Singapore (2) Panama 0%
0% (8) Korea (10)
Philippines (98) Mexico (1) Malaysia (2)
1% 1%
9% 0% 0%
41
4. Kewajiban aktivasi sistem pemantauan kapal (vessel monitoring
system – VMS) / sistem informasi otomatis (automatic information
system – AIS)
5. Kepatuhan dalam memiliki/bermitra dengan unit pengolahan ikan
6. Pendaratan tangkapan yang tidak sah
7. Pelanggaran pemindahmuatan kapal di laut
8. Menggunakan awak kapal dan kapten asing
9. Menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang
10. Pelanggaran wilayah penangkapan ikan
11. Kepatuhan pembayaran pajak
12. Kepatuhan pelaporan pajak
13. Kapal-kapal dan perusahaan-perusahaan terindikasi melakukan
kejahatan perikanan dan kejahatan terkait perikanan
42
Selain pelanggaran terhadap perundang-undangan perikanan, terdapat
kejahatan terkait perikanan meliputi:
1. Korupsi;
2. Pencucian uang;
3. Pelanggaran pajak;
4. Kejahatan terkait bea cukai;
5. Kejahatan terkait imigrasi;
6. Perdagangan gelap obat-obatan; dan
7. Pelanggaran hak-hak asasi manusia (perdagangan manusia, kerja
paksa dan tenaga kerja anak-anak)
43
Gambar 2: Kapal untuk Pemindahmuatan (Sumber: KKP).
Transport barang menuju dan dari wilayah Indonesia tanpa melalui otoritas bea
cukai
Pemindah muatan tangkapan ikan bukan aktivitas satu-satunya. 55%
nelayan pernah melihat pemindahan barang antara kapal yang lebih besar
dengan kapal penangkap ikan. Termasuk dalam barang yang dipindahkan
adalah rokok, barang-barang elektronik, makanan, minuman dan peralatan
penangkap ikan.
44
Ilustrasi 3. Modus Operandi Kejahatan Perikanan (IUU Fishing)
2. Immigration
related crime 6. Corruption
3. Customs related
crime, (incl. smuggling 7. Labour related crimes
of drugs, protected (modern slavery, human
species, vessel spare trafficking and child Labour)
parts and other goods)
45
terhadap hak-hak asasi manusia di Ambon.25 Temuan-temuan tersebut tidak
hanya menyingkap pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak tenaga kerja,
tetapi juga pelanggaran-pelanggaran terhadap kebebasan pribadi dan hak
untuk hidup (Ilustrasi 3 & Ilustrasi 4).
Ilustrasi 5.
NO WORKING
PHYSICAL AND AGREEMENT
MENTAL ABUSE
Ilustrasi 6.
Poor Work
Condition
Worker
Exploitation
Child Labour
25Berdasarkan temuan-temuan audit sedikitnya 168 dari 1132 (14,8%) eks-kapal asing terlibat dalam perdagangan
manusia
46
Berdasarkan analisis lingkungan hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
melakukan investigasi di Benjina dan kemudian Ambon, Maluku. Investigasi oleh KKP
dan Satuan Kerja Pencegahan dan Pemberantasan IUU Fishing ini menyimpulkan
bahwa ribuan tenaga kerja migran asal Myanmar, Kamboja dan Republik Demokratik
Rakyat Laos di Benjina dan Ambon merupakan korban perdagangan manusia.
Hasil investigasi mendorong KKP untuk mengevakuasi sekitar 700 awak kapal
Myanmar dari Benjina ke Pelabuhan Penangkap Ikan Nusantara Tual secara bertahap
antara bulan April dan Mei 2015. Tindakan ini disusul oleh evakuasi 400 awak
kapal Myanmar dari berbagai wilayah di Ambon untuk berlindung di Pelabuhan
Penangkapan Ikan Nusantara Ambon. Berdasarkan wawancara-wawancara dan
verifikasi-verifikasi yang dilakukan oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi,
terdapat 682 awak kapal Myanmar di Benjina, dan 391 awak kapal Myanmar di
Ambon yang ditaksir sebagai korban perdagangan manusia.
Laporan tersebut disampaikan oleh Menteri Susi Pudjiastuti kepada Presiden Joko
Widodo yang selanjutnya mengambil tindak lanjut pada tanggal 7 April 2015 di
Istana Negara dengan memerintahkan kepala Kepolisian Republik Indonesia yang
menjabat saat itu, Jenderal Sutarman, untuk membentuk Satuan Kerja khusus untuk
memberantas perdagangan manusia di Benjina. 26
26 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150407172900-20-44867/usut-kasus-benjina-jokowi-minta-polri-bentuk-satgas-
terpadu/ (accessed on 16 Februari 2015).
27 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150513172949-12-53149/polisi-bakal-ada-tersangka-baru-kasus-perbudakan-
benjina/ (diakses pada tanggal 16 Februari 2015).
28 http://news.liputan6.com/read/2287325/45-abk-asal-myanmar-diringkus-jajaran-bareskrim-polri (accessed on 16 Februari
2015).
47
pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Menteri Susi Pudjiastuti, Kementerian
terkait melakukan beberapa upaya penegakan hukum administratif dan pidana.
Grafik 2
1
SIKPI 26
31
47
SIPI 35
245
0
SIUP 0
15
48
TOTAL 61
291
48
Sebagai tindak lanjut pelaksanaan audit lingkungan, para pejabat pemeriksa
dari Angkatan Laut, Kepolisian Perairan dan PPNS PSDKP melakukan penegakan
hukum pidana. Beberapa dari kasus-kasus terkait masih dalam investigasi
dan sisanya telah diputuskan oleh pengadilan. Kasus-kasus tersebut meliputi
kasus MV. Kasus Hai Fa dan kasus Silver Sea 2. Beberapa perusahaan masih
dalam investigasi dengan jumlah keseluruhan kapal 324 dari 15 perusahaan.
Sementara itu, untuk melaksanakan eksekusi pengadilan dan perintah
pengadilan terhadap kapal-kapal penangkap ikan ilegal, pemerintahan Joko
Widodo telah menghancurkan 176 kapal penangkap ikan sampai dengan
Agustus 2016.
1 Filipina 43
2 Vietnam 46
3 Thailand 21
4 Malaysia 16
5 Indonesia 18
6 Cina 1
7 Papua Nugini 2
8 Belize 1
TOTAL 148
29 Environmental Justice Foundation, 2015, Pirates and Slaves: How Overfishing in Thailand Fuels Human Trafficking and
the Plundering of Our Oceans. p5.
49
Produk-produk perikanan adalah komoditas yang paling banyak diperdagangkan
di dunia. Pada tahun 2010 terdapat 57 juta ton ikan memasuki pasar global dengan
nilai eksport sebesar US$ 125 miliar.30 Permintaan pasar atas produk-produk
perikanan meningkat, khususnya dalam sepuluh tahun terakhir. Sayangnya,
peningkatan permintaan pasar tidak diikuti oleh ketersediaan sumber daya
perikanan yang memadai. Sektor penangkapan ikan tangkap (selain dari budidaya
perairan) menurun. Jumlah ikan di laut terus menurun, bahkan habis di beberapa
wilayah penangkapan ikan.
30 FAO, 2012, Guidance on Addressing Child Labour in Fisheries and Aquaculture (Rome and Geneva), p. 49.
31 FAO, Ibid, p. 53.
32 ILO, Caught at Sea, Loc Lit, p. 5.
50
Hal ini menyebabkan para nelayan tradisional yang tidak memiliki keterampilan
menangkap ikan profesional menjadi para pekerja migran. Upah para pegawai
dalam bisnis perikanan dengan wilayah penangkapan ikan yang jauh dapat
mencapai 30-50% dari biaya penangkapan ikan operasional. 33 Untuk menjaga
agar harga produk tetap bersaing, perusahaan-perusahaan menggunakan tenaga
kerja yang murah tanpa asuransi kecelakaan kerja dan perlindungan keselamatan
apa pun. Riset dari FAO dan United States Institute for Occupational Safety and
Health (Instansi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Amerika Serikat) menemukan
bahwa para nelayan memiliki risiko keselamatan kerja lebih besar dalam perikanan
kompetitif daripada dalam perikanan berbasis kuota.34
Hal ini menjelaskan apa yang terjadi dalam kasus Benjina. Perusahaan investasi
asing di Benjina merupakan perusahaan asing yang berbasis di British Virgin Islands
(BVI) (Terdaftar di BVI dengan kepemilikan di Thailand merupakan salah satu dari
karakteristik utama para penyelenggara penangkapan ikan ilegal lintas negara
terorganisir di Indonesia). Kapal-kapal penangkapan ikan umumnya eks kapal
Thailand dan beberapa negara pendaftaran terbuka seperti Panama (beroperasi
jauh dari negara-negara asal mereka), dan para nelayannya berasal dari Myanmar,
Kamboja dan Republik Demokratik Laos (para tenaga kerja migran).
33 Agnew & Barens, 2004, Economic Aspects and Drivers of IUU Fishing: Building Framework, 180-181.
34 FAO, 2012, Guidance on Addressing Child Labour in Fisheries and Aquaculture, Ibid, 154-155.
51
menjadi bendera Indonesia. Proses ini dijelaskan oleh Associated Press dalam
investigasi mereka:
Para nelayan dan awak kapal diperlakukan tidak manusiawi dengan bekerja
selama bertahun-tahun tanpa pembayaran, terbelit hutang, tidak dipulangkan,
ditempatkan di wilayah-wilayah yang jauh dengan pengawasan yang ketat
sehingga tidak memungkinkan mereka untuk meloloskan diri, dan lingkungan
kerja di mana mereka rentan mengalami kecelakaan. Menanggapi kasus-kasus
perdagangan manusia dalam bidang perikanan dalam wawancara AP, Patima
Tungpuchayakul, manajer Labor Rights Promotion Network Foundation,
sebuah organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam bidang perlindungan
tenaga kerja menyatakan:
“Para pemberi kerja mungkin lebih kuatir terhadap ikan daripada hidup
para tenaga kerja,” Beliau mengatakan. “Mereka mendapatkan banyak
uang dari jenis usaha ini.” 37
35 http://bigstory.ap.org/article/98053222a73e4b5dab9fb81a116d5854/ap-investigation-slavery-taints-global-supply-seafood
(diakses pada 13 Februari 2016).
36 http://bigstory.ap.org/article/98053222a73e4b5dab9fb81a116d5854/ap-investigation-slavery-taints-global-supply-seafood
(diakses on 13 Februari 2016).
37 http://bigstory.ap.org/article/98053222a73e4b5dab9fb81a116d5854/ap-investigation-slavery-taints-global-supply-seafood
(diakses tanggal 13 Februari 2016).
52
Perdagangan Manusia dalam Industri Perikanan
Industri penangkapan ikan merupakan lingkungan kerja yang keras yang
menuntut ketahanan fisik dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah-
wilayah yang jauh secara geografis. Pada dasarnya, industri perikanan menuntut
pengorbanan fisik dan psikologis para nelayan dan awak kapal yang bekerja di
dalamnya. Apa yang kemudian membedakan lingkungan yang keras ini dengan
yang dialami oleh para nelayan dan awak kapal asing dan Indonesia dalam kajian
ini? Perbedaan-perbedaan utamanya adalah cara mereka direkrut (melalui tipu
daya) dan kondisi kerjanya (eksploitatif dan kurangnya pembayaran). Para nelayan
dan awak kapal dalam kajian ini diperdagangkan untuk dieksploitasi sebagai
tenaga kerja di kapal-kapal penangkap ikan dan di pelabuhan-pelabuhan serta
pabrik-pabrik pengolahan ikan.
53
atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau
manfaat untuk memperoleh persetujuan dari pihak yang memegang kendali atas
pihak lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup, setidaknya, eksploitasi
prostitusi pihak lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa
atau jasa, perbudakan atau praktik-praktik yang serupa dengan perbudakan, kerja
paksa atau pemindahan, penyalahgunaan atau implantasi organ”
Definisi perdagangan manusia terdiri atas tiga aspek berbeda. Pertama, adalah
aspek tindakan yang berfokus pada perekrutan, pemindahan dan penyembunyian
korban. Kedua adalah sarana yang menyebabkan korban berakhir pada situasi
eksploitatif. Ketiga adalah tujuan dari eksploitasi. Di Indonesia, kejahatan
perdagangan manusia diatur oleh Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Kejahatan Perdagangan Manusia.
54
kendaraan dan kapal laut tidak berpindah, yang digunakan atau mampu
digunakan sebagai cara transportasi di air, kecuali suatu kapal perang, armada
angkatan laut, atau kapal lain yang dimiliki atau dioperasikan oleh pemerintah
dan digunakan, yang pada saat itu, hanya untuk layanan pemerintah non-
komersial.”
55
baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Definisi perdagangan orang tersebut terdiri dari tiga aspek yang berbeda.
Pertama, adalah aspek tindakan yang terfokus pada perekrutan, pergerakan,
dan penyembunyian korban. Kedua, adalah aspek cara, dimana korban
ditempatkan dalam situasi yang eksploitatif. Ketiga, adalah aspek tujuan
yang eskploitatif. Di Indonesia, tindak pidana perdagangan orang diatur
dalam Undang-undang No.21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
56
Konvensi dan Perjanjian Internasional
Konvensi Pekerja Maritim Internasional ditetapkan pada tahun 2006 dan mulai
diterapkan pada tahun 2013. Dikenal juga dengan nama “Seafarer’s Bill of Rights”
(Nota Hak – Hak Pelaut), konvensi tersebut menetapkan berbagai standar tetap
dan spesifik dan juga petunjuk detail mengenai pembentukan kondisi pekerjaan
dan penghidupan yang layak di atas kapal. Konvensi ini juga mendorong pemilik
kapal untuk bersaing secara sehat. Pasal 3 mewajibkan pemerintah menerbitkan
peraturan domestik yang sesuai dan dan untuk menghormati hak – hak
mendasar atas kebebasan berasosiasi dan hak tawar menawar secara kolektif.
Pihak pemerintah juga harus mengupayakan penghapusan segala bentuk kerja
paksa atau wajib kerja, penghapusan efektif terhadap buruh anak dan eliminasi
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Pasal 4 dalam konvensi tersebut
menyatakan bahwa pemilik kapal harus menyediakan tempat bekerja yang
aman dan nyaman, syarat – syarat pekerjaan yang adil, perlindungan kesehatan,
perawatan medis, jaminan kesejahteraan, dan bentuk – bentuk jaminan social
lainnya.
Konvensi ini pertama ditandatangani pada tahun 1978 di London, dan diratifikasi
dan diterapkan pada tahun 1984. Konvensi ini mengalami perubahan besar pada
tahun 1995 dan 2010 (Amandemen Manila). Tujuan utama konvensi ini adalah
57
mengatur persyaratan dasar, aspek teknis sebuah kapal, dan standar minimum
pelatihan, sertifikasi, dan pengawasan bagi para pelaut, yang harus dipatuhi oleh
negara – negara penandatangan. Indonesia meratifikasi konvensi tersebut melalui
Keputusan Presiden tahun 1986.
Protokol ini pertama kali ditetapkan pada tahun 1977 sebagai konvensi
untuk mengatur keselamatan kapal ikan. Konvensi ini memuat persyaratan
keamanan untuk “konstruksi dan perlengkapan kapal penangkap ikan
bergeladak”. Konvensi tersebut belum pernah diratifikasi dan pada tahun
1993 diubah menjadi Protokol Torremolines. Protokol tersebut berfokus
pada “… tren umum dalam desain kapal ikan modern, agar menguntungkan
secara ekonomis, harus memuat fitur – fitur keamanan secara menyeluruh
dan perbaikan kondisi bekerja para nelayan”. Perjanjian Cape Town yang
ditandatangani pada tahun 2012 mengisi celah – celah dalam Protokol dan
mengarah pada ratifikasi protokol tersebut. Walaupun demikian, protokol
tersebut belum diratifikasi oleh sejumlah negara, dan sebagai konsekuensinya,
penerapannya belum ditetapkan.
Konvensi ILO atas Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (ILO Work in Fishing
Convention)
58
Konvensi Kerja Paksa ILO (ILO Forced Labour Convention)
Kovensi Kerja Paksa ILO tahun 1930 yang diratifikasi Indonesia melalui Undang
– Undang Nomor 19 Tahun 1999, menetapkan bahwa semua pihak harus
menekan penggunaan tenaga kerja paksa atau wajib kerja dalam bentuk
apapun di waktu yang sesingkat – singkatnya. Alih-alih memberikan lingkup
definisi tenaga kerja paksa, konvensi ini memberikan definisi terbuka bagi
kerja paksa tanpa menyebutkan larangan spesifik. Dalam hal pencegahan,
konvensi ini mewajibkan pemerintah untuk tidak menerbitkan ijin atas tenaga
kerja paksa atau wajib kerja bagi kepentingan individual, perusahaan, ataupun
asosiasi. Konvensi ini juga mendorong pihak negara untuk melakukan segala
bentuk upaya mengeliminasi kerja paksa. Senada dengan konvensi ini, Protokol
dan Rekomendasi terhadap kerja paksa diadopsi. Protokol Konvensi 29 secara
eksplisit menghubungkan antara kerja paksa dan perdagangan manusia. Ini
menyatakan bahwa “… konteks dan bentuk kerja paksa atau wajib kerja telah
berubah dan perdagangan orang untuk tujuan kerja paksa ataupun wajib kerja,
yang mungkin melibatkan eksploitasi seksual, merupakan subjek keprihatinan
internasional dan membutuhkan aksi cepat dalam pemberantasannya yang
efektif…”; dan “langkah – langkah yang dirujuk oleh Protokol tersebut harus
mengikutsertakan tindakan spesifik demi melawan perdagangan orang
untuk tujuan kerja paksa atau wajib kerja”. Protokol ini juga mengidentifikasi
sejumlah celah dalam pengimplementasian Konvensi 29 atas “pencegahan,
perlindungan, dan perbaikan”. Protokol ini mendemonstrasikan kerja paksa
sebagai bentuk eksploitasi yang terjadi saat seseorang diperdagangkan.
59
Peran Organisasi Maritim Internasional
60
perairan di laut, atau penangkapan sumber daya laut dari rakit, kapal atau
anjungan penangkapan ikan. Contoh-contoh kegiatan operasi berbasis darat
meliputi pekerjaan di galangan kapal, pekerjaan di pelabuhan (memperbaiki
jala atau tali pancing, memilih ikan atau kerang), pemanenan sumber daya
laut berbasis darat, dan pekerjaan di pabrik-pabrik pengolahan ikan.40 Konteks
kedua melibatkan perdagangan orang (perempuan dan anak-anak) untuk
tujuan eksploitasi seksual terorganisir oleh nelayan dan awak kapal.
40 Elaine Pearson, “Chapter 3: Fisheries” dalam Mekong Challenge: Underpaid, Overworked and Overlooked: The Realities
of Young Migrant Workers in Thailand (Volume 2), ILO, 2006, hal. 122, diambil dari http://www.no-trafficking.org/content/pdf/
ilo-fishing-vol2-eng.pdf.
41 Melalui “Yeji Trafficked Children Project (YTCP)” IOM Ghana telah menyelamatkan sampai dengan 700 anak yang
diperdagangkan ke dalam industri selama tahun 2002-2011, diambil dari https://www.iom.int/files/live/sites/iom/files/ What-
We-Do/docs/IOM-Ghana-CT-2013-Update.pdf.
42 Brian O’Riordan, “ Senegal: Child Labour: Growing Pains”, dalam Samudra Report No.44 2006, International Collective
in Support of Fishworker (ICSF), hal. 12-13, diambil dari http://www.icsf.net/images/samudra/ pdf/english/issue_44/2527_
art02.pdf; See Rebecca Surtees, “Child Trafficking in Sierra Leone”, UNICEF, 2005, hal. 38, diambil dari http://www.
childtrafficking.com/Docs/unicef_05_ctsl_ 0108.pdf.
43 Lihat Pearson, Op cit.
44 Surtees, R. (2012). Trafficked at Sea. The Exploitation of Ukrainian Seafarers and Fishers. IOM & Nexus Institute:
Jenewa.
45 UNODC, “Trafficking in Persons: Global Patterns”, 2006, hal. 57, diambil dari http://www.unodc.org/ mwg-internal/
de5fs23hu73ds/progress?id=jhXdQH69GO.
61
Para korban perdagangan orang dalam industri penangkapan ikan dikenakan
beban kerja berlebihan dan kondisi kerja tidak manusiawi, menjadi para
nelayan dan awak kapal migran, dan mengalami lingkungan hidup yang keras.
Ini termasuk ditempatkan di ruang tidur bersama, seringkali tanpa tempat
tidur, fasilitas memasak yang kurang higienis, dan sumber daya pangan yang
tidak memadai.46 Sebagai akibatnya, banyak di antara mereka menjadi sakit
dan sangat kekurangan gizi oleh karena kurangnya makanan dipadukan
dengan pekerjaan berlebih dan jam tidur tidak teratur.47 Tidak adanya kerangka
kerja hukum yang mengatur dan menentukan standardisasi kondisi hidup
dan kerja di atas kapal-kapal penangkapan ikan, sebagaimana pada kapal-
kapal pedagang, oleh Pengawas Negara Pelabuhan (Port State Control – PSC),
diduga merupakan satu dari faktor-faktor utama yang meningkatkan tingkat
eksploitasi para korban perdagangan orang.48
46 Yayasan Keadilan Lingkungan (Environmental Justice Foundation – EJF), “All at Sea: The Abuse of Human Rights
Aboard Illegal Fishing Vessels, EJF, 2010, hal. 10, diambil dari http://ejfoundation.org/mwg-internal/de5fs23hu73ds/
progress?id=oWH3hWfU/Q.
47 Rosenberg (Ed.), Op cit, hal. 111.
48 John Withlow, “The Social Dimension of IUU Fishing”, OECD, 2004, hal. 5 par. 8, diambil dari http://www.oecd.org/
greengrowth/fisheries/31492524.PDF.
49 Sebagai contoh kasus pelaut Kamboja yang diperdagangkan dan dieksploitasi dalam industri penangkapan ikan Thailand,
dalam UNIAP, “Exploitation of Cambodian Men at Sea: Facts About the Trafficking of Cambodian Men on Thai Fishing Boats,
2009, hal. 5, diambil dari http://www.no-trafficking.org/mwg-internal/de5fs23hu73ds/progress? id=oqi2gz1brQ.
50 Lihat laporan-laporan oleh International Transport Worker’s Federation (ITF), “Out Sight, Out of Mind: Seafarers, Fishers &
Human Rights, 2006, p. 22, diambil dari http://www.itfseafarers.org/files/extranet/-1/2259/HumanRights.pdf.
51 Jon Gorvett “Traffickers Prey on Cambodian Men” The New York Times, 12 Januari 2009, diambil dari http://www.nytimes.
com/2009/01/12/world/asia/12iht-traffic.1-405492.html?_r=0.
52 UNIAP, Op cit.
62
Untuk memperpanjang situasi eksploitatif dan memaksimalkan penggunaan
tenaga para korban, para pelaku perdagangan manusia umumnya menerapkan
beberapa alat kendali. Pertama, ancaman-ancaman kekerasan, umumnya
dalam bentuk penyiksaan fisik dan psikologis. Kedua, kekerasan dalam bentuk
kurungan fisik dan penyitaan dokumen yang membatasi kebebasan bergerak
korban. Ketiga, penipuan atau tipu daya yang menghalangi para korban untuk
mengetahui pada awalnya situasi sebenarnya pekerjaan dan pembayaran gaji
mereka. Terakhir, jeratan hutang yang menjebak para korban perdagangan
manusia dalam pusaran hutang.
Para korban menganggap diri mereka tidak berdaya karena tidak ada jalan untuk
meloloskan diri ketika mereka terjebak di tengah laut, sebagaimana dinyatakan
oleh seorang korban: “kami selalu berpikir untuk meloloskan diri… namun tidak
ada jalan. Kami tidak berdaya. Laut sendiri menjadi penjara bagi kami.”54
63
Benjina. Mereka diperdagangkan dari negara asal mereka, sebagian besar
dengan diperdaya, dan dipaksa untuk bekerja lebih dari 20 jam per hari di atas
kapal di tengah laut, dan hampir mustahil untuk meloloskan diri.
64
pada anjungan-anjungan penangkapan ikan jermal telah berkurang secara
signifikan.59 Perdagangan manusia pada jermal hanya mewakili salah satu
komponen dari perdagangan manusia dalam industri penangkapan ikan
Indonesia dan perdagangan manusia berlanjut di wilayah-wilayah lain dengan
tingkat pengamatan terhadap penegakan hukum yang lebih rendah atau
dengan kepentingan dari organisasi-organisasi internasional yang lebih sedikit.
Jumlah nelayan yang menjadi korban perdagangan manusia yang dibantu oleh
IOM Indonesia tetap stabil dari tahun 2011 sampai dengan 2014, berkisar 124
korban per tahun. Pada tahun 2015, jumlah tersebut tiba-tiba meledak menjadi
1222 (Grafik 3). Peningkatan yang tiba-tiba dalam jumlah korban penerima
bantuan disebabkan oleh terbitnya artikel liputan investigatif yang dilakukan oleh
59 Sebastian Mathew, “Children’s Work and Child Labour in Fisheries: A Note on Principles and criteria for employing
children and policies and action for progressively eliminating the Worst Forms of Child Labour in fisheries and aquaculture”
(makalah yang dipresentasikan pada Lokakarya FAO: Child Labour in Fisheries and Aquaculture, Rome, 14-16 April 2010),
diambil dari http://www.faoilo.org/fileadmin/user_upload/fao_ilo/pdf/WorkshopFisheries2010/WFPapers/MathewICSFChildLa
bourFisheriesFinalNote.pdf.
60 Kapal yang dipermasalahkan adalah sebuah kapal penangkap ikan asal Thailand tetapi mereka mengubah bendera
mereka menjadi bendera Indonesia ketika tiba di Indonesia
65
Associated Press. Berita bertajuk “Slaves may have caught the fish you bought”
(“Para budaklah yang mungkin menangkap ikan yang Anda beli”) menjadi
pemberitaan global. Pemerintah Indonesia, diwakili oleh Menteri Perikanan
Indonesia, Susi Pudjiastuti, mengambil tindakan cepat untuk menanggapi
situasi tersebut.61 Dengan komitmen yang kuat dari Pemerintah Indonesia, IOM
berupaya untuk mengidentifikasi ribuan korban perdagangan manusia di Benjina
dan Ambon dan memulangkan mereka kembali ke negara asal mereka.
Grafik 3. Tren Nelayan Asing yang Menjadi Korban Perdagangan
Manusia yang Dibantu oleh IOM (2011-2015)
1500
1000
500
0
2011 2012 2013 2014 2015
66
Industri penangkapan ikan telah menjadi salah satu dari industri-industri utama
Thailand (Grafik 4). Sebagaimana dapat dilihat dari data statistik, Thailand merupakan
negara pengekspor ikan dan produk-produk perikanan terbesar ketiga pada tahun
2012. Banyak penduduk Thailand bergantung pada industri ini.
China 18,228
Norway 8,912
Thailand 8,079
Vietnam 6,278
Chile 4,386
Canada 4,213
65 Ibid.
67
Menanggapi hal tersebut, Thailand mulai mengadakan pengaturan usaha
patungan dengan negara-negara dalam wilayah tersebut selama akhir
tahun 1990an agar armada kapalnya dapat menangkap ikan secara legal di
ZEE mereka. Namun demikian, penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan,
dan tidak diatur (IUU fishing) di perairan luar negeri tetap lazim dijumpai.
Praktik-praktik tersebut dipicu oleh ketidakmampuan pihak-pihak berwenang
Thailand untuk mengendalikan jumlah kapal yang menangkap ikan di perairan
teritorial mereka sendiri, yang mendorong kapal-kapal Thailand untuk
mencari tangkapan yang lebih besar di luar wilayah kekuasaan penangkapan
ikan mereka. IUU fishing dan kegiatan-kegiatan terkait dengan demikian
terus menjadi ancaman serius terhadap upaya-upaya nasional, regional, dan
internasional untuk memastikan kelangsungan jangka panjang perikanan.66
Situasi tersebut menjadi semakin rumit oleh karena tumpang tindih dengan
ZEE dari negara-negara tetangga maritimnya, yang menciptakan kekisruhan
yang wajar di kalangan para nelayan terkait di mana batas-batas ZEE telah
ditetapkan.67 Indonesia, sebagai salah satu dari sumber-sumber penangkapan
ikan yang penting, merupakan target yang mudah bagi para operator ilegal
selama bertahun-tahun.
66 Ibid.
67 Ibid.
68
Profil dan Data Korban
Tabel 3 menunjukkan perbandingan PDB (Paritas Daya Beli) Per Kapita antara
Thailand dan negara-negara tetangganya.69 Tabel menggambarkan adanya
kesenjangan yang signifikan antara PDB Thailand dengan negara-negara
tetangganya, dengan PDB Thailand lebih dari empat kali lebih besar daripada PDB
Kamboja dan tiga kali lebih besar daripada PDB Republik Demokratik Laos dan
Myanmar. Thailand menarik bagi para tenaga kerja migran yang ingin memperoleh
keuntungan dari perekonomiannya.
69
Selain dari kesulitan ekonomi dan kemiskinan, beberapa kajian menunjukkan
bahwa faktor-faktor nonekonomi juga dapat mendorong migrasi penduduk
keluar negara mereka masing-masing. Dalam tahun-tahun terakhir, para migran
meninggalkan Myanmar disebabkan konflik dan pertumbuhan ekonomi yang
lamban (oleh karena sanksi-sanksi ekonomi sebelum tahun 2012), tetapi juga
untuk menghindari kerja paksa dalam proyek-proyek pembangunan yang
dilakukan oleh Pemerintahan Myanmar sebelumnya.70 Kelompok-kelompok
lain, sebagian besar mereka yang tinggal dekat perbatasan, datang ke Thailand
untuk memperoleh akses layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik
serta untuk kesempatan kerja.
70 Supang Chantavanich, “Myanmar Migrants to Thailand and Implications to Myanmar Development”, dalam Policy Review
Series on Myanmar Economy No. 7 October 2012, Bangkok Research Center IDE-JETRO, hal. 1, diambil dari http://www.ide.
go.jp/English/Publish/Download/Brc/PolicyReview/07 .html.
70
Berbagai alasan yang mendorong para korban asing perdagangan manusia
untuk meninggalkan negara asal mereka dan menuju ke Thailand sejak awal
digambarkan dalam Grafik 5. Data tersebut dikumpulkan oleh IOM Indonesia
selama wawancara dengan para korban perdagangan manusia asal Kamboja,
Myanmar, dan Republik Demokratik Laos (1718 individu) di Indonesia sejak tahun
2011 sampai dengan 2015. Alasan utama migrasi dalam 74,8% kasus adalah
untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Para korban perdagangan manusia
yang memilih alasan ini sebagai motivasi utama mereka meninggalkan negara
asal mereka dideskripsikan sebagai para korban yang sebelumnya pernah
bekerja dalam sektor apa pun, terkait dengan penangkapan ikan atau pun
tidak sebelum pekerjaan mereka dalam industri penangkapan ikan di Thailand.
Mereka memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan mereka di negara mereka
masing-masing untuk memperoleh pekerjaan lain di luar negeri, yang dapat
memberikan kepada mereka bayaran yang lebih baik.
Grafik 5.
Alasan untuk Meninggalkan Negara Asal (Migrasi)
1500
1200
1000
800
600
400
200
0
b
es
ce
ce
m
en
jo
le
le
le
is
ra
en
m
ob
ob
ob
r
om
tte
ol
,
oy
ct
pr
pr
pr
Vi
be
Pr
fli
pl
ic
ily
ily
on
tic
m
e
g
om
ne
m
ls
m
in
es
;c
Fa
Fa
Fa
ek
U
on
om
em
n/
Se
nd
Ec
D
bl
io
la
o
t
ep
pr
a
on
ec
l
ca
D
rs
iti
Pe
olp
al
ci
So
Alasan kedua migrasi dalam 22,4% kasus adalah permasalahan ekonomi. Para
korban diasumsikan memiliki kesulitan ekonomi dalam keluarga mereka dan
karena situasi tersebut mereka terdorong untuk meninggalkan Myanmar untuk
71
mencari penghasilan yang lebih tinggi guna menyokong keluarga mereka di
negara asal. Sebagian besar korban yang masuk dalam kategori ini adalah
kepala keluarga (menikah) atau tulang punggung dalam keluarga mereka
(tidak menikah). Banyak responden yang diwawancarai oleh IOM Indonesia
memiliki harapan yang sama yaitu tingkat upah yang tinggi di Thailand
dibandingkan dengan tingkat upah di negara mereka masing-masing. Dengan
demikian, anak-anak muda yang tidak berpendidikan terdorong untuk bekerja
di Thailand untuk meringankan beban finansial keluarga mereka. Maka tidak
mengejutkan bahwa ketika para perekrut datang ke desa-desa mereka dengan
tawaran pekerjaan yang menggiurkan, para penduduk desa akan menerima
tawaran tersebut.
Grafik 6.
Status Ekonomi Korban Asing Perdagangan Manusia
di Indonesia Tahun 2011-2015
0,06% 3,38%
Poor
Standar
95,52% Very Poor
72
Sebagai konsekuensi dari ledakan ekonomi tahun 1980an dan 1990an, Thailand
mulai mengalami kekurangan tenaga kerja dalam jumlah besar dan kebutuhan
tenaga kerja kasar yang semakin besar dalam sejumlah sektor intensif tenaga
kerja pada awal tahun 1990an, termasuk industri penangkapan ikannya.71
Pertumbuhan ekonomi yang pesat juga mempengaruhi preferensi para tenaga
kerja Thailand dalam memilih pekerjaan mereka. Selama dua dekade terakhir,
sejumlah besar tenaga kerja Thailand telah meninggalkan industri penangkapan
ikan dan semakin banyak tenaga kerja Thailand lainnya menganggap industri
penangkapan ikan kurang menarik oleh karena tingkat upahnya yang rendah
(dibandingkan dengan sektor-sektor lain), kondisi kerja yang keras, dan risiko-
risiko yang bersangkutan dengan pekerjaan tersebut. Sangat langkanya tenaga
kerja lokal dalam pekerjaan kotor, bahaya, dan sulit (dirty, dangerous, and difficult
– 3D), seperti industri penangkapan ikan, telah membuka peluang bagi para
tenaga kerja migran asal Myanmar, Kamboja dan Republik Demokratik Laos. Hal
ini memberikan peluang bagi para tenaga kerja untuk meloloskan diri dari situasi
sulit di negara masing-masing dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja tidak
terampil dalam pasar tenaga kerja Thailand.73
71 Supang Chantavanich, “Factors Affecting Thailand Immigration Policies During 1992-2004”, ISS, 2007, diambil dari http://
www.iss.nl/content/download/8391/81651/file/Panel%205_Supang.pdf.
72 Pearson, Op Cit, hal. 113.
73 Supang Chantavanich dan Premjai Vungsiriphisal, “Myanmar Migrants to Thailand Economic Analysis and Implications to
Myanmar Development,” dalam Hank Lim dan Yasuhiro Yamada, Economic Reforms in Myanmar: Pathways and Prospects,
BRC, 2012, 214-215, diambil dari http://www.ide.go.jp/English/ Publish/Download/Brc/pdf/10_06.pdf.
73
dari industri penangkapan ikan dan keuntungan kompetitifnya baik di pasar
nasional maupun tentunya internasional. Sementara elemen tenaga kerja
umumnya merupakan bagian kecil dalam biaya produksi keseluruhan, untuk
industri-industri intensif tenaga kerja kecil dan menengah, seperti industri
penangkapan ikan, biaya tenaga kerja menjadi faktor penting dalam menekan
biaya produksi.74 Selama beberapa dekade terakhir, perekonomian Thailand
semakin bergantung pada pasokan tenaga kerja migran dengan upah relatif
rendah dari negara-negara tetangganya yang kurang berkembang. Hal ini
disebabkan oleh penyebaran tenaga kerja asing, baik ilegal maupun legal.
Pada tahun 2008, Kementerian Tenaga Kerja Thailand mengakui kebutuhan
untuk mempekerjakan 1,2 juta tenaga kerja asing kurang terampil dalam
pasar tenaga kerja Thailand. 75
Grafik 7.
Pekerjaan yang Dijanjikan
Waiter 1
Tourist 1
Domestic Worker 2
Shopkeeper 3
Service provider 3
Factory Worker 16
Other types of labour 17
Plantation Worker 22
Construction/Labourer 75
Any job/Unknown 87
Fisherman 1478
74 Dennis Arnold and Kevin Hewison, “Exploitation in Global Supply Chains: Burmese Migrant Workers in Mae Sot,
Thailand”, dalam Journal of Contemporary Asia Vol. 35 No 3, 2005, hal. 3, diambil dari http://www.burmalibrary.org/docs3/
EXPLOITATION_IN_GLOBAL_SUPPLY_CHAINS.pdf.
75 Boot, W. 2008 dalam Khen Suan Khai, “Thailand’s Policy towards Irregular Migration: Situation Analysis of Burmese
Migrant Workers under Thailand’s Migration Policy”, MFU, hal. 3, diambil dari http://connexion.mfu.ac.th/2015/ejournal/
Vol.1%20No.1%202012/125%20Thailand%E2%80%99s%20policy%20towards%20Irregular%20 Migration.pdf.
74
dari mereka yang bekerja dalam industri penangkapan ikan (86%), merasa
bahwa pekerjaan yang dijanjikan kepada mereka di awa serupa dengan
pekerjaan yang mereka peroleh pada kenyataannya. Hanya sebagian kecil dari
para korban yang menganggap diri mereka dibohongi karena perbedaan jenis
pekerjaan antara yang dijanjikan dan yang sebenarnya. Di antara mereka yang
menganggap diri mereka menjadi korban penipuan saat perekrutan, lebih
dari setengahnya tidak menerima informasi yang jelas tentang jenis pekerjaan
yang akan mereka lakukan (masuk dalam kategori “tidak mengetahui”).
75
Sebagian besar korban adalah orang muda dan orang dewasa berumur
antara 20 sampai 34 tahun (Grafik 8). Sebabnya adalah bahwa para pelaku
perdagangan manusia lebih memilih untuk menargetkan orang-orang
muda yang mudah dipengaruhi dengan pengalaman hidup terbatas yang
menjadikan mereka lebih mudah untuk diperdaya. Sebagian besar korban
asing memiliki tingkat pendidikan yang rendah (Grafik 10). Semakin rendah
pendidikan, semakin tinggi jumlah korban. Eligibilitas pekerjaan yang
menguntungkan di Asia Tenggara sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan.
Sebagian besar peluang kerja dengan bayaran yang baik hanya tersedia bagi
mereka yang berpendidikan tinggi, dengan menutup pintu terhadap mereka
yang berpendidikan rendah. Pasar tenaga kerja yang membatasi opsi-opsi
bagi penduduk berpendidikan dasar menjadikan mereka target ideal bagi
para pelaku perdagangan manusia.
Grafik 8.
Kebangsaan dari Warga Negara Asing yang menjadi Korban
Perdagangan Manusia di Indonesia (2011-2015)
1328
1400
1200
1000
800
600
299
400
78
200 13
0
Myanmar Cambodia Thailand Lao PDR
76
Grafik 9.
Usia Warga Negara Asing yang menjadi Korban Perdagangan
Manusia di Indonesia
500
400
300
200
100
0
Under 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69
15
Grafik 10.
Tingkat Pendidikan Warga Negara Asing yang menjadi Korban
Perdagangan Manusia di Indonesia
500
400
300
200
100
0
ry
ol
ry
ity
ity
ig
ig
ig
ig
ho
ta
ta
rs
rs
H
H
en
en
ve
ve
sc
or
or
or
or
em
em
ni
ni
o
ni
ni
ni
ni
U
N
Ju
Ju
Se
Se
El
El
O
O
D
O
D
memiliki kemungkinan lebih kecil untuk pergi ke luar negeri karena tanggung
jawab mereka tidak hanya terbatas pada orang tua dan saudara kandung
mereka, melainkan juga atas pasangan dan anak-anak mereka.
Faktor yang lazim bagi sebagian besar korban adalah keadaan ekonomi
mereka. Sebagian besar korban menyatakan bahwa mereka miskin atau
sangat miskin ketika mereka diperdagangkan untuk dieksploitasi sebagai
nelayan (Grafik 12). Di bawah satu persen menyatakan memiliki kondisi hidup
sesuai standar. Data yang dibagikan ini menunjukkan bahwa penduduk
miskin dan sangat miskin merupakan sasaran utama bagi para pelaku
perdagangan manusia, karena mereka memiliki pilihan lapangan pekerjaan
yang terbatas.
77
Grafik 11. Grafik 12.
Status Pernikahan Warga Status Ekonomi Warga Negara
Negara Asing yang menjadi Asing yang menjadi Korban
Korban Perdagangan Manusia di Perdagangan Manusia di in
Indonesia Indonesia
1% 4%
0,06% 3,38%
27%
66%
1% 95,52%
Divorced
Poor
Married
Standar
Separated
Very Poor
Single
Widow/er
78
Ilustrasi 6.
Pola Perekrutan dan Pergerakan Korban Asal Indonesia
di Luar Negeri
AGENT/
VICTIM BROKER
SLAVE
BOAT
FRIEND/
NEIGHBOUR/ EMPLOYER
RELATIVE
Sebagian besar kapal yang termasuk dalam jenis penempatan ini beroperasi
di luar perairan Taiwan (termasuk Trinidad dan Tobago, Pantai Gading, dan
Afrika Selatan). Sebagai akibat dari ketidakhadiran pemerintah dan lokasi
kegiatan penangkapan ikan yang terpencil, para nelayan Indonesia yang
bekerja dengan tipe penempatan ini, lebih rentan dan menghadapi potensi
penyalahgunaan dan penyiksaan yang lebih besar. Sebagian besar nelayan
Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang, yang dibantu oleh IOM
Indonesia, masuk dalam kategori ini.
79
Sebagian besar nelayan dan awak kapal Indonesia yang diperdagangkan,
yang dibantu oleh IOM Indonesia dari tahun 2011 sampai dengan 2015
merasa enggan mencari informasi tentang peluang-peluang pekerjaan
penangkapan ikan atau melamar secara langsung kepada majikan atau
perekrutan melalui agen perekrutan. Mereka cenderung mempercayai
orang-orang yang telah mereka kenal sebelumnya (bukan hanya kenalan
baru) yang memiliki pengalaman kerja dalam industri penangkapan ikan luar
negeri. Pada awalnya agen-agen perekrutan harus melakukan pendekatan
terhadap target untuk mendapatkan kepercayaan mereka sebelum adanya
bujukan atau diperdayakan agar masuk dalam industri ini. Di samping itu,
pada tahap awal perekrutan, semua korban asal Indonesia yang diwawancarai
telah memiliki sedikit informasi dasar tentang jenis pekerjaan (sektor) yang
akan mereka lakukan. Para korban perdagangan manusia asal Myanmar,
Kamboja, dan Republik Demokratik Laos tidak memiliki pengetahuan
tersebut tentang pekerjaan-pekerjaan yang mereka lamar. Agen-agen
perekrutan tidak menyediakan pilihan ragam pekerjaan kepada para korban
asal Indonesia. Mereka hanya menyebutkan jenis pekerjaan dan informasi
tentang tempat (negara atau wilayah penangkapan ikan) yang akan dituju
oleh para korban tersebut untuk bekerja.
80
Grafik 13.
Alasan untuk Bekerja ke Luar Negeri (Korban Perdagangan
Manusia Asal Indonesia dalam Industri-Industri Penangkapan Ikan
Luar Negeri Tahun 2011-2015)
3% 1%
7%
28%
61%
Setelah proses perekrutan, korban akan masuk dalam fase pergerakan dan
pemindahan. Meskipun semua korban perdagangan manusia asal Indonesia
pada kapal-kapal penangkap ikan asing memiliki dokumen-dokumen resmi
dan dokumen-dokumen perjalanan yang masih berlaku (paspor dan visa),
masih ada sejumlah kecil awak kapal Indonesia dengan dokumen-dokumen
kerja yang dipalsukan, sebagian besar oleh agen-agen jasa penerimaan kerja.
Wawancara-wawancara dengan para nelayan dan awak kapal hanya akan
dilakukan pada dua titik keberangkatan yang digunakan dalam proses
perpindahan. Kedua titik tersebut adalah Jakarta dan Medan (Grafik 34).
Grafik 14.
Kota-Kota Keberangkatan ke Luar Negeri dari Korban Perdagangan
Manusia Asal Indonesia
0,40%
Jakarta
Medan
99,6%
81
Grafik 15.
Nama Pelabuhan Udara Keberangkatan
0,4%
99,6%
Di samping itu, hanya dua titik pintu keluar bagi para korban asal Indonesia
untuk mencapai majikan mereka di luar negeri (Grafik 15). Individu-individu
akan menggunakan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Jakarta
untuk berangkat menuju tempat mereka bekerja atau pergi ke Medan, sebelum
menumpang kapal menuju Penang di Malaysia tempat mereka dijemput oleh
kapal-kapal majikan atau perantara mereka. Setelah dimulainya perjalanan
menuju tempat kerja, para korban harus melalui antara satu hingga tiga tahap
titik pemeriksaan (checkpoint) internasional sebelum tiba di tempat kerja
(Grafik 16 & 17).
Grafik 16.
Jumlah Total Titik Pemeriksaan yang Dilalui Selama Perpindahan
4%
26%
70%
One Checkpoint
Two Checkpoints
Three Checkpoints
82
Grafik 17.
Nama Titik Pemeriksaan yang Dilalui selama Perpindahan
Caracas, Venezuela
Frankfurt, Germany
Singapore
Dakkar, Senegal
Mauritius
Ghana
Dubai
Uruguay
Qatar
Akibat keterpencilan tempat kerja, para korban diangkut dengan berbagai cara
menuju wilayah-wilayah penangkapan ikan (Grafik 38). Sebagian besar korban
asal Indonesia diangkut ke lokasi kerja mereka dengan menggunakan kapal
penangkap ikan. Sebagian kecil dipindahkan dengan menggunakan kapal
penjemput. Hanya sedikit korban yang dipindahkan dengan menggunakan
pesawat udara.
Grafik 18.
Metode Transportasi
Fishing Boat
Collecting Vessel
Airplane
83
Berbeda dengan situasi para nelayan asing yang berada di Indonesia,
perekrutan tenaga kerja dari luar negeri diatur oleh Pemerintah Indonesia.
Penempatan para nelayan Indonesia di luar negeri diatur melalui beberapa
peraturan (Tabel 7).
Table 4.
Peraturan-Peraturan Pemerintah Indonesia Terkait Perekrutan
Bidang Perikanan di Luar Negeri
Berdasarkan data statistik tenaga kerja (Grafik 19), penempatan para nelayan
Indonesia di luar negeri menurun pada tahun 2014 dan 2015. Penurunan ini
84
dapat dikaitkan dengan pengkajian ulang kebijakan baru penempatan para
nelayan Indonesia di luar negeri. Kebijakan ini dipengaruhi oleh tingginya
jumlah kasus eksploitasi yang dihadapi oleh para nelayan di luar negeri.
Sebagai contoh pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia membantu 27 orang
nelayan Indonesia yang dipekerjakan di Korea Selatan sebagai nelayan kapal
penangkap ikan Melilla 203. Setelah mereka tiba di Korea Selatan, 27 orang
nelayan Indonesia tersebut diserahkan kepada Melilla 203 yang bergerak
menuju perairan Selandia Baru. Kondisi kerja pada Melilla 203 sangat buruk
dan para nelayan dipaksa untuk bekerja dengan jam kerja berlebihan dan
diperlakukan seumpama budak. Selain itu, beberapa nelayan juga mengalami
penyiksaan seksual dan fisik pada kapal berbendera Korea ini.76 Kasus ini
menjadi pusat perhatian baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah
Selandia Baru.
Grafik 19.
Jumlah Nelayan Indonesia di Luar Negeri Tahun 2011 – 2015
5559
5213
4852
4371
1866
390
*Source: BNP2TKI data on Placement and Protection of Indonesian Worker Overseas 2010 – 2015
Pada bulan Juli 2012, sebanyak 203 orang nelayan Indonesia kembali diselamatkan
dari kegiatan-kegiatan perdagangan manusia di perairan teritorial Trinidad dan
Tobago. Para nelayan ini bekerja untuk Perusahaan Kwo Jeng Trading Co. Ltd
di Taiwan. Para nelayan ini dijanjikan pekerjaan di Taiwan dan terbujuk dengan
penawaran gaji yang besar. Namun pada kenyataannya mereka diangkut ke
76 Hamish Clark, - Nelayan mengklaim upah yang tidak dibayar, pelecehan seksual,‖ http://www.3news.co.nz/Fishermen-
claim-unpaid-wages-sexualabuse/tabid/421/articleID/232989/Default.aspx
85
Trinidad dan Tobago dan mengalami penyiksaan fisik dan psikologis. Mereka
bekerja dengan jam kerja berlebihan, mendapatkan makanan tidak layak, bantuan
medis yang tidak sewajarnya, dan tidak diberikan kebebasan bergerak. Dokumen-
dokumen identitas mereka disita oleh kapten dan mereka terlilit hutang. Kasus-
kasus serupa juga terjadi pada tahun 2013, di mana 119 orang nelayan Indonesia di
negara-negara Afrika juga menjadi korban Perdagangan Manusia. Pada tahun 2015
terdapat 26 orang nelayan Indonesia di Angola dan 55 orang nelayan Indonesia di
Peru yang mengalami situasi eksploitasi.77
Para nelayan Indonesia yang bekerja di luar negeri kerap terlibat dalam
permasalahan tenaga kerja, IUU fishing, dan kejahatan-kejahatan lainnya di laut
(Grafik 20). Menurut Kementerian Luar Negeri, selama jangka waktu 2012-2015,
pemerintah Indonesia telah membantu 2368 orang nelayan Indonesia di luar
negeri yang mengalami kejahatan-kejahatan terkait IUU. Kasus-kasus utama yang
dialami oleh Para Nelayan Indonesia adalah permasalahan tenaga kerja (1148
kasus), penyelundupan manusia (833 kasus), Perdagangan Manusia (287 kasus),
penangkapan ikan ilegal (94 kasus) dan penyalahgunaan obat-obatan (6 kasus).78
Grafik 20.
Jumlah Nelayan Indonesia yang Mengalami Kasus Kejahatan
Terkait IUU di Luar Negeri
3,97% 0,25%
12,12%
48,48%
35,18%
Di antara 2368 orang nelayan yang mengalami masalah-masalah terkait IUU, 12,12%
atau 287 orang nelayan mengalami kasus perdagangan manusia. Sebagian besar
77 Akibat Dualisme Aturan, Banyak ABK TKI di Luar Negeri Jadi Budak, http://buruh-online.com/2015/07/akibat-dualisme-
aturan-banyak-tki-abk-di-luar-negeri-jadi-budak.html
78 Rekapitulasi Kasus ABK 2012-2015, Kompilasi Data Penanganan WNI di Luar Negeri, Direktorat Perlindungan Warga
Negara dan Bantuan Hukum Internasional, Kementerian Luar Negeri.
86
dari mereka diperdagangkan ke Asia Timur dan Asia Tenggara (97 orang nelayan),
Afrika Selatan (135 orang nelayan), Timur Tengah (25 orang nelayan), Oceania (26
orang nelayan), Eropa Tengah dan Timur (3 orang nelayan) dan Amerika Selatan
(1 orang nelayan). IOM Indonesia telah membantu para nelayan kita di luar negeri
yang menjadi korban perdagangan manusia. Kasus pertama yang diperoleh dari
Kepolisian Republik Indonesia diberikan kepada IOM pada bulan Oktober 2005.
Seorang nelayan berumur 27 tahun dipekerjakan oleh agen tunggal di Malaysia
sebagai buruh bangunan. Dia dibawa dari Nanggroe Aceh Darussalam melalui
beberapa mode transportasi menuju Malaysia. Setibanya di sana, dia dikirim ke
kapal dan dipekerjakan sebagai nelayan. Ia bekerja selama 3 bulan tanpa menerima
gaji, makanan serta minuman yang cukup. Ia mengalami penyiksaan fisik dan
psikologis.
Kasus kedua yang diterima oleh IOM pada tahun 2006 melibatkan seorang nelayan
dari Sambas. Dia dijual ke Malaysia oleh sebuah agen jasa, mengalami penyiksaan
psikologis, dipekerjakan secara berlebihan melebihi jam kerja dan tidak diberikan
bantuan medis serta makanan yang cukup. Dia diselamatkan oleh Polisi dan dirujuk
kepada IOM oleh Kedutaan Besar Indonesia. Pada tahun 2007 IOM menerima
rujukan 9 orang nelayan berasal dari Kalimantan Barat yang diperdagangkan
sebagai nelayan melalui agen resmi ke Malaysia.
Jumlah nelayan Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2013, IOM
Indonesia menerima rujukan 114 orang nelayan Indonesia yang diperdagangkan
di luar negeri. Grafik (22) menggambarkan jumlah nelayan Indonesia yang dibantu
oleh IOM selama tahun 2005-2015.
Grafik 21.
Para Nelayan yang Diperdagangkan di Wilayah-Wilayah Tujuan
1,05%
8,71% 0,35%
South Africa
East and South
East Asia
9,06%
Oceania
87
Grafik 22.
Jumlah Nelayan Indonesia yang Dibantu oleh
IOM Selama Tahun 2005 - 2015
120
114
100
80 81
66
60
40 Number of
Assisted
Fishermen
20
1 1 9 10
0 0 0 0 1
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Grafik 23.
Perbandingan Jumlah Penempatan dan Kasus Perdagangan
Manusia yang Dihadapi oleh Nelayan Indonesia
5559
5213
4852
4371
1866
390
0 0 66 114 81 1
88
Pendidikan
Hubungan antara tingkat pendidikan dan jumlah korban perdagangan
manusia adalah negatif. Hal ini berarti bahwa semakin rendah tingkat
pendidikan, semakin tinggi pula jumlah korban.
Grafik 24.
Latar Belakang Pendidikan Para Nelayan Indonesia Korban
Perdagangan Manusia (2011-2015)
100
95
90
80
80
70
65
60
50
40
30
18
20
12 10
10
2 1
0
Senior Elementary Junior DO DO DO University No
High School High Elementary Senior Junior School
High High
89
Promised Jobs
Perekrut umumnya menjanjikan korban akan mendapatkan pekerjaan dalam
industri penangkapan ikan, menurut pengakuan 98 persen korban. Dua persen
korban melaporkan bahwa perekrut menawarkan diri untuk mencarikan mereka
pekerjaan tetapi tidak menyebutkan secara spesifik jenis pekerjaan yang dimaksud.
Dalam kedua kasus tersebut, perekrut tidak memperdaya para korban tentang jenis
kegiatan, karena mereka tahu atau tidak memiliki informasi bahwasanya mereka
akan bekerja dalam industri penangkapan ikan. Meskipun 98 persen korban telah
mendapatkan informasi tentang pekerjaan sebagai nelayan, mereka akhirnya akan
dimanipulasi di negara-negara tujuan, di mana kondisi dan jangka waktu kerja
tidak sebagaimana yang dijanjikan pada awalnya.
G st
Ta na
ne n
ni S al
S n
au s
al s
N on ia
rla ia
st s
So Pan lia
ne an
a
om i
a
ol Fij
M tate
M ritiu
Au nd
ut ag
Se wa
d ai
ut am
re
el
bi
oa
In ays
he s
ra
ha
or fr
et e
te p
zu
So Tob
i
C
C
d
an
U
ad
id
in
Tr
90
Biaya Perekrutan
Grafik 26.
Biaya Perekrutan
29%
71%
Paid No
Proses Pemindahan
Metode transportasi dapat menunjukkan tentang bagaimana para korban
bisa berakhir di kapal tempat terjadinya eksploitasi. Dua per tiga dari para
korban melaporkan bahwa jaringan perdagangan manusia menggunakan
perpaduan metode transportasi berbasis darat, udara dan laut. Secara umum,
para korban dipindahkan dari desa asal mereka ke ibukota melaui transportasi
darat. Selanjutnya, para korban dipindahkan melalui transportasi udara ke
lokasi pesisir di negara tujuan yang dijanjikan, kemudian diangkut melalui
kapal di laut.
91
Grafik 27.
Sarana Pemindahan
5%
95%
Grafik 28.
Pembayaran Perpindahan
28%
72%
92
Kontrak Kerja
Kajian menemukan bahwa 263 orang korban dipekerjakan berdasarkan
kontrak kerja dan hanya 20 orang korban yang tidak memiliki kontrak. Dari
263 orang korban yang memiliki kontrak, 95% di antaranya direkrut oleh agen
perekrutan resmi dan kurang dari 5% atau 12 orang di antaranya direkrut oleh
perantara perseorangan. Di samping itu, perekrutan anggota keluarga hanya
dilaporkan dalam satu kasus saja.
Dua puluh orang nelayan yang dipekerjakan tanpa kontrak kerja, direkrut
melalui perantara perorangan atau teman. Hanya ada sedikit nelayan yang
melaporkan bahwa mereka direkrut oleh agen perekrutan resmi. Agen
resmi cenderung mempersiapkan kontrak sementara dengan perekrut atau
perantara perorangan.
Grafik 29.
Ketersediaan Kontrak Kerja
7%
93%
Work Contract No
Pemalsuan Dokumen
Dokumen utama para korban adalah buku pelaut, dan dikonfirmasikan oleh
275 orang korban bahwa mereka memiliki dokumen tersebut dan hal tersebut
telah diurus melalui agen perekrutan. Delapan orang korban melaporkan bahwa
mereka tidak pernah memiliki buku pelaut, meskipun buku tersebut merupakan
dokumen perjalanan pokok bagi para awak kapal yang berlabuh atau beroperasi
dalam wilayah negara asing. Di samping itu, dari 275 orang korban yang memiliki
buku pelaut, 96 orang di antaranya melaporkan bahwa dokumen mereka
dipalsukan, seperti tanggal lahir atau nama dan alamat mereka.
93
Grafik 30.
Keaslian Dokumen
35%
65%
Original Forged
Kualitas Hidup
Para korban melaporkan bahwa kualitas hidup mereka di tempat eksploitasi
umumnya tergolong buruk. Sebagian besar korban menganggap bahwa
tempat tinggal mereka tidak bersih dan bahwa mereka tidak diberi makanan,
minuman dan perawatan medis yang layak.
Grafik 31.
Kualitas Hidup
300
263
248 243
250
200
150
100
35 40
50 20
0
Food and Medical Sanitation and
Water Treatment Living Condition
Average Poor
94
Mekanisme Pengendalian
Para pelaku perdagangan manusia menggunakan berbagai cara untuk
mencegah para korban meninggalkan tempat eksploitasi apabila terdapat
peluang untuk melakukannya. Hampir 96 persen korban melaporkan bahwa
pelaku perdagangan manusia membatasi pergerakan mereka.
Grafik 32.
Sarana Kendali
300 273
249
250
200
200 182
150
100
34
50
0
Partially Totally Denied Seizure of Debt
witholding witholding Freedom of document bondage
wages wages Movement
Lebih dari 88% korban melaporkan bahwa pemberi kerja menahan gaji
mereka dan tidak mengijinkan mereka untuk mengambil uang mereka sendiri
sama sekali, sementara 12% korban melaporkan bahwa sebagian gaji mereka
ditahan oleh pemberi kerja atau pelaku perdagangan manusia. Dokumen
identitas 71% nelayan, termasuk tetapi tidak terbatas pada buku pelaut
mereka, disita oleh pelaku perdagangan manusia. Hutang juga digunakan
sebagai alat kendali dengan 64% korban melaporkan bahwa mereka memiliki
hutang kepada pelaku perdagangan manusia.
Penyiksaan
Lebih dari 83 persen korban melaporkan bahwa pelaku perdagangan manusia
menyiksa mereka secara psikologis. Di samping itu, 94 persen korban mengalami
penyiksaan psikologis. Para korban lazim mengalami baik penyiksaan psikologis
maupun fisik dengan 82% telah mengalami keduanya. Tidak ada korban asal
Indonesia yang melaporkan telah mengalami penyiksaan seksual.
95
Grafik 33.
Jenis Penyiksaan
Both Psychological
and Physical Abuse
32%
Grafik 34.
Paksaan untuk Mengkonsumsi Alkohol/Obat-Obatan
281 281
300
250
200
150
100
2 2
50
0
Forced to consume alcohol Forced to consume drug
Yes No
96
Eksploitasi Tenaga Kerja
Eksploitasi melibatkan penyalahgunaan hak-hak tenaga kerja. 88% atau 249
korban melaporkan bahwa mereka tidak dibayar untuk pekerjaan yang telah
mereka lakukan. 12% lainnya, atau 34 korban, melaporkan bahwa mereka
hanya dibayar sebagian. Hanya 7 korban diijinkan untuk menyimpan upah
mereka. Sisanya sebanyak 27 nelayan menegaskan bahwa sebagian gaji
mereka diambil oleh Kapten Kapal.
Grafik 35.
Waktu Kerja
31%
65%
Umur
Data IOM menunjukkan bahwa dari 283 korban perdagangan manusia asal
Indonesia, 5% di antaranya atau 14 nelayan berusia di bawah umur, sementara
proporsi terbesarnya yaitu 23% (atau 65 nelayan) masuk ke dalam kategori umur
97
21-23. Kemudian menyusul kelompok umur 27-29 tahun (18% atau 50 nelayan);
kelompok umur 18-20 tahun dan 24-26 tahun (masing-masing 16% atau 45
nelayan); dan kelompok umur 30-32 tahun dengan 13% atau 37 nelayan. Terdapat
jauh lebih sedikit nelayan dan awak kapal yang berumur 33 tahun ke atas.
Grafik 36.
Umur Nelayan Korban Perdagangan
Manusia Asal Indonesia (2011-2015)
70
60
50
40
30
20
10
0
Under 18-20 21-23 24-26 27-29 30-32 33-35 36-38 39-41 42-44 45-48
18
Situasi Keluarga
Sebagian besar korban melaporkan bahwa mereka belum menikah, sementara
20% dari mereka telah menikah, 2% bercerai dan 2% duda. Dari 76% atau 215
nelayan berstatus belum menikah, 190 di antaranya berada dalam kelompok
umur 18-30 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa para pelaku perdagangan
manusia menargetkan laki-laki muda dengan situasi keluarga yang mudah
untuk dieksploitasi. Para korban berstatus belum menikah yang lebih muda
98
dapat ditargetkan karena pengalaman hidup mereka yang terbatas, sementara
para korban yang telah menikah menjadi target karena harapan mereka untuk
memberikan kontribusi finansial yang lebih besar.
Grafik 37.
Status Pernikahan Para Nelayan Korban
Perdagangan Manusia Asal Indonesia (2011-2015)
6% 5%
Single
57%
Married
215% Divorced
Widow/er
Tingkat Pendidikan
Satu alasan menarik yang memotivasi para korban Indonesia berkaitan dengan
‘masalah pendidikan’. Berbeda halnya dengan korban asing perdagangan manusia
dalam industri penangkapan ikan Indonesia yang tidak menyatakan hal ini sebagai
faktor pendorong. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam latar belakang
pendidikan para korban asing dibandingkan dengan para korban perdagangan
manusia asal Indonesia di luar negeri.
Grafik 38.
Latar Belakang Pendidikan Para Korban Perdagangan Manusia
(Kedua Kategori)
40%
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
ity
ol
ry
ry
ol
o
Ig
Ig
ho
ho
ho
ta
ta
rs
rH
en
en
ve
Sc
Sc
Sc
or
o
em
em
ni
ni
ni
h
o
U
ig
Ig
N
Se
Ju
El
El
H
rH
O
O
O
or
D
D
D
ni
ni
Se
Ju
99
Sebagian besar korban perdagangan manusia asal Indonesia telah lulus sekolah
menengah (Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas) (Grafik
38). Situasi ini berlawanan dengan para korban asing perdagangan manusia di
Indonesia. Munculnya pertimbangan pendidikan sebagai alasan untuk bekerja di
luar negeri dianggap masuk akal dan logis. Para individu yang masuk dalam kategori
ini menjelaskan bahwa dengan bekerja di luar negeri, mereka dapat memperoleh
upah yang lebih tinggi, yang pada akhirnya akan digunakan untuk membiayai studi
mereka lebih lanjut atau studi yang tertunda. Jelas bahwa para korban pada awalnya
melihat keuntungan ekonomi dan manfaat dari bekerja dalam industri-industri
penangkapan ikan luar negeri dibandingkan dengan bekerja dalam industri yang
serupa di dalam negeri. Meskipun pendidikan nampaknya memainkan peranan
yang sangat penting dalam mencegah penduduk diperdagangkan, dalam hal
korban perdagangan manusia asal Indonesia, hal tersebut tidak mencegah para
korban asal Indonesia masuk ke dalam siklus perdagangan manusia.
Status Ekonomi
Terkait status ekonomi, tidak terdapat perbedaan signifikan antara para
korban asing perdagangan manusia dan para korban perdagangan manusia
asal Indonesia. Sebagian besar korban menyebut diri mereka sendiri kurang
beruntung secara ekonomi (Grafik 39). Sebagian kecil yaitu kurang dari satu
persen korban menyatakan memiliki kedudukan ekonomi rata-rata. Data ini
mendukung asumsi bahwa individu-individu yang memiliki status ekonomi
kurang beruntung lebih rentan diperdagangkan daripada mereka yang berada
dalam kelompok beruntung secara ekonomi. Demikian pula para korban yang
memiliki kekayaan rata-rata juga diyakini terdorong oleh keinginan untuk
memperoleh pekerjaan yang lebih baik dalam hal posisi dan tingkat gaji.
Graph 39.
Status Ekonomi Korban Perdagangan
Manusia Asal Indonesia (2011-2015)
0,71%
Poor
Average
99,29%
100
Tempat Asal
Para nelayan dari Jawa Tengah, umumnya berasal dari bagian utara dan selatan
Jawa Tengah seperti Pemalang, Tegal, Pekalongan, Batang, Brebes, Cilacap,
Purworejo, Pati, Rembang. Wilayah-wilayah ini dikenal sebagai sumber nelayan
karena berlokasi di pesisir Jawa. Hanya 8 nelayan direkrut dari Jawa Tengah
pedalaman seperti Wonosobo, Banyumas dan Klaten. Kebanyakan korban dari
Jawa Barat, 56% di antaranya (36 korban) berasal dari wilayah-wilayah pesisir,
seperti Indramayu, Subang, Cirebon dan Ciamis. Sulawesi Selatan juga terkenal
sebagai sumber nelayan yang diperdagangkan. Hal ini mungkin disebabkan
oleh fakta bahwa penduduk Sulawesi Selatan terkenal sebagai awak kapal
yang baik, dapat membaca peta-peta navigasi, dan memiliki pengetahuan
yang baik tentang laut, penangkapan ikan dan kapal.
101
102
Perekrutan dan Pemindahan
103
mereka penghasilan lebih dari 300$ per bulan. Ini cukup untuk menarik para
tenaga kerja. Dalam beberapa kasus, penduduk muda segera meminta ijin
kepada orang tua mereka untuk pergi ke Thailand bersama dengan perekrut.
Persentase yang lebih kecil (kurang dari empat persen) memfasilitasi proses
sendiri, atau dengan bantuan dari anggota keluarga, sanak saudara, teman,
tetangga, atau kenalan baru mereka. Persentase kecil (kurang dari satu persen)
direkrut secara paksa.
Grafik 40.
Bagaimana Para Korban Direkrut
Individual Recruiter
1600 1491
Self-Contact
1400
1200 Friend
1000 Family Member
800 Neighbour
600 New Acquaintance
400
139 Police Officer
200 38 18 13 11 6 2
Kidnapped
0
ct
nd
r
r
ur
ce
d
be
ce
ite
pe
ta
bo
an
ie
ffi
ru
em
on
ap
Fr
gh
O
nt
ec
dn
M
ai
ei
e
R
lf-
lic
qu
N
Ki
ily
Se
al
Po
m
Ac
du
Fa
vi
ew
di
N
In
Para perekrut terutama berasal dari negara asal para korban kecuali untuk
kasus para perekrut dari Thailand. Sejumlah perekrut Thailand didapatkan
berhasil merekrut penduduk di luar Thailand. Sementara bahasa merupakan
elemen yang sangat penting, kebangsaan juga menentukan keberhasilan
proses perekrutan. Penduduk Thailand dengan kemampuan berbicara dalam
bahasa setempat, memiliki peluang yang besar untuk membuat penduduk
setempat percaya akan cerita-cerita mereka; bukan karena bahasanya
104
melainkan karena kebangsaan para perekrut sebagai sebuah negara yang
lebih berkembang daripada negara tempat mereka mengatur perekrutan.
Nampaknya penduduk dari wilayah-wilayah yang kurang berkembang
lebih mudah untuk mempercayai mereka yang berasal dari wilayah-wilayah
yang lebih berkembang dibandingkan dengan mereka yang berasal dari
kedudukan sosial ekonomi yang sama. Dalam kasus Republik Demokratik
Laos, rendahnya jumlah perekrut Laos mungkin disebabkan oleh kemiripan
bahasa yang digunakan baik di Republik Demokratik Laos maupun Thailand.
Kemiripan bahasa ini juga menurunkan kemungkinan para perekrut Laos
terlibat dalam proses tersebut karena para perekrut Thailand dapat melakukan
perekrutan secara langsung. Kemiripan bahasa di kedua negara tersebut
juga dapat menyebabkan rendahnya jumlah korban dari Laos dalam industri
penangkapan ikan Indonesia, karena sebagian besar penduduk Laos telah
pergi ke Thailand secara langsung untuk mencari pekerjaan.
Grafik 41.
Kebangsaan Para Perekrut di Desa Asal
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
Thailand Myanmar Cambodia Laos
105
kerja sebenarnya di Thailand dapat mencegah calon korban diperdagangkan
oleh para pemberi kerja atau perekrut.
Grafik 42.
Pengalaman Kerja Sebelumnya di Thailand
30%
70% Yes
No
Bagi para korban yang pernah memiliki pengalaman kerja sebelumnya di Thailand,
sebagian besar dari mereka sebelumnya pernah bekerja dalam industri serupa
(Grafik 43). Sebagian besar tenaga kerja yang sebelumnya pernah bekerja dalam
industri penangkapan ikan Thailand mendapati diri mereka sendiri dalam siklus
yang sama ketika kontrak mereka dengan pemberi kerja mereka yang sebelumnya
berakhir. Melalui hubungan pribadi dengan para pemberi kerja baru atau teman
yang bekerja dalam perusahaan serupa, mereka memperoleh informasi tentang
lowongan pada kapal-kapal penangkap ikan yang akan berlayar ke Indonesia,
termasuk gaji yang akan mereka peroleh dari operasi tersebut.
106
aman ke Thailand dapat diberikan kepada para migran yang hendak memasuki
Thailand untuk tujuan pekerjaan.79
Grafik 43.
Pengalaman Kerja Sebelumnya di Thailand (Sektor)
157
83 80
67
35
23
14
1 7 2 2 7 3 4
g
or
lie
er
ke
te
ke
ne
te
or
rit
in
in
io
io
nd
riv
oo
ai
ut
cu
sh
rm
ct
at
ct
or
or
de
W
D
Ve
C
ru
C
Fa
St
w
Se
Fi
Fa
ar
xi
st
d
n
as
G
ce
od
oo
Ta
on
tio
G
ffi
Fo
W
C
ta
e
O
cl
an
cy
Pl
or
ot
M
Tabel 4 menunjukkan lintasan perbatasan yang digunakan oleh semua
korban asing yang diperdagangkan ke Indonesia dan diwawancarai oleh IOM
Indonesia (2011-2015). Dalam beberapa kasus, para korban diharuskan untuk
melalui beberapa pelintasan perbatasan (Grafik 44).
Tabel 4.
Nama Perbatasan yang Digunakan oleh Para Migran untuk
Memasuki Thailand
107
Name of Border Percentage of Crossing
Myanmar – Myawaddy 5.76%
Myanmar - Rakhine State 0.26%
Thailand - Bang Trakouen 1.31%
Thailand – Liem 0.65%
Thailand - Mae Sot 4.45%
Thailand - Nong Khai 0.13%
Thailand - Phaya Tone Zu 14.92%
Thailand - Preah Vihear 0.13%
Thailand – Ranong 3.93%
Thailand - Than Phyu Zayat 2.49%
Grafik 44.
Jumlah Titik Pemeriksaan Selama Pemindahan
4%
26%
One Checkpoint
Two Checkpoints
70% Three Checkpoints
Sebagian besar tenaga kerja migran tidak secara langsung diserahkan kepada
para pemberi kerja melainkan diserahkan kepada satu agen atau lebih
sebelum mencapai tujuan akhir mereka. Grafik 45 memberikan informasi
tentang jumlah orang yang diperdagangkan yang diserahkan kepada agensi
lain sebelum mereka dipekerjakan dalam industri penangkapan ikan Thailand.
Lebih dari 60 persen responden mengaku dipindahkan ke agensi perekrutan
yang berbeda setelah mencapai Thailand, sementara kurang dari 40 persen
menyatakan bahwa mereka secara langsung diserahkan kepada para pemberi
kerja segera setelah tiba di Thailand.
108
Grafik 45.
Penyerahan Kepada Agensi Lain Setelah Tiba di Thailand
37%
Yes
No
63%
80 Philip Robertson, “Trafficking of Fishermen in Thailand”, IOM Thailand, 2011, p. 26, retrieved from http://www.iom.int/
jahia/webdav/shared/shared/mainsite/activities/countries/docs/thailand/Trafficking-of-Fishermen-Thailand.pdf.
109
2. Bagi para korban perdagangan manusia asal Kamboja, rute yang paling
sering digunakan oleh para pelaku perdagangan manusia adalah
mencapai Aranyaprathet dengan melakukan pelintasan di Poipet. Dari
Aranyaprathet, para korban dipindahkan ke Pak Nam daerah Samut
Prakan, Chonburi, atau Rayong. Kelompok lain dari orang-orang yang
diperdagangkan diangkut dari Battambang ke Chantaburi dan dari Koh
Kong ke Trat, dengan tujuan serupa ke Prakan, Rayong atau Chonburi.
Dalam beberapa kasus, para korban diserahterimakan antar kapal
yang beroperasi di luar pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir bagian
timur Thailand (misalnya Trat dan Rayong) ke kapal-kapal penangkap
ikan yang beroperasi di luar Pattani, menuju Malaysia dan Indonesia
mengikuti pola cuaca musiman.
Perjalanan para nelayan dan awak kapal menuju perairan Indonesia dimulai
dari beberapa pelabuhan di sekitar Thailand (Grafik 41). Pelabuhan Mahachai
Port, di Propinsi Samut Sakhon, telah menjadi pelabuhan utama yang
digunakan untuk memberangkatkan para nelayan dan awak kapal migran ke
Indonesia. Samut Sakhon dikenal sebagai salah satu tujuan utama bagi para
tenaga kerja asing tidak terampil atau kurang terampil yang ingin bekerja di
Thailand, khususnya para tenaga kerja asing asal Myanmar.
Grafik 46.
Pelabuhan Keberangkatan Sebelum Tiba di Perairan Indonesia
Songkhla Port
Khanom Port
Phuket Port
Kawthaung Port
Pattani Port
Ranong Port
Paknam Port
Mahachai Port
110
Grafik 47.
Metode Transportasi ke Indonesi
1,19%
9,61%
Tidak semua nelayan dan awak kapal asing yang diperdagangkan menggunakan
kapal penangkap ikan untuk mencapai Indonesia. Sejumlah kecil datang ke
Indonesia melalui kapal kargo atau ekspor dan kapal pengumpul. Menarik untuk
dicatat bahwa para individu asing dapat menghindari pemeriksaan imigrasi dan
proses pemantauan para pihak berwenang pantai Indonesia ketika memasuki
Indonesia menggunakan kapal kargo (atau kapal pengumpul) meski mereka
tidak diijinkan masuk secara hukum oleh karena status mereka sebagai nelayan.
Grafik 48.
Titik Kedatangan di Indonesia
Ambon
Natuna
Aceh
Pontianak
Belawan
Merauke
Batam
Tanjung Pinang
Medan
Kupang
Tanjung Balai, Kepri
Padang
Nias
Bangka Belitung
111
Para korban perdagangan manusia tiba di beberapa pelabuhan Indonesia (Grafik
42). Berdasarkan data, Ambon merupakan Pelabuhan Masuk utama bagi para
korban perdagangan manusia di sektor penangkapan ikan. Terdapat dua alasan
khusus yang dapat menjelaskan mengapa Ambon lebih disukai oleh para pelaku
perdagangan manusia. Pertama, Ambon adalah kota di mana sebagian besar
perusahaan Indonesia yang memiliki usaha patungan bersama perusahaan-
perusahaan penangkapan ikan Thailand berkedudukan. Untuk mempermudah
pengelolaan dan koordinasi di tingkat operasional, memindahkan seluruh
nelayan yang diperdagangkan ke Ambon adalah opsi terbaik bagi perusahaan-
perusahaan penangkap ikan. Kedua, lokasi geografis Ambon menempatkannya
dekat dengan target wilayah-wilayah penangkapan ikan mereka – sebagian
besar di Laut Arafura dan laut-laut lain di bagian timur Indonesia.
Singkatnya, terdapat lebih dari satu cara bagi para korban asing perdagangan
manusia dalam industri penangkapan ikan untuk diperdagangkan ke wilayah
Indonesia. Berdasarkan temuan-temuan selama jangka waktu kajian, jelas bahwa
cara perekrutan sendiri, melalui teman, kenalan, sanak saudara, perantara, atau
agen-agen perekrutan digunakan dan semuanya dapat menyebabkan seorang
individu diperdagangkan ke dalam industri penangkapan ikan. Ilustrasi 5
menggambarkan keseluruhan proses perekrutan dan pemindahan para korban
asing perdagangan manusia asal Myanmar, Kamboja, dan Republik Demokratik
Laos untuk diperdagangkan oleh para pelaku perdagangan manusia dari
Thailand ke dalam industri penangkapan ikan Indonesia.
Ilustrasi 10.
Proses Perekrutan dan Pemindahan Pihak-Pihak Asing yang
Diperdagangkan ke Indonesia
FRIEND/
NEIGHBOUR/ SLAVE
TRANSPORTER BOAT
RELATIVE
112
Mekanisme Pengawasan
Pembunuhan
Terdapat banyak bukti anekdot pembunuhan para nelayan oleh para kapten
atau para anggota awal kapal lain dalam riset sebelumnya. Selain sedikit laporan
pembunuhan yang tidak terkonfirmasi, hanya ada sedikit kesaksian langsung
saksi mata. Kasus-kasus Benjina dan Ambon khususnya mengungkap kisah
pembunuhan awak kapal dengan sejumlah korban perdagangan manusia
memberikan laporan kesaksian yang jelas atas pembuangan tubuh-tubuh
korban dalam persekongkolan dengan para pejabat setempat.
“Di pelabuhan Benjina, setiap saat kapal saya berlabuh, saya melihat
1-2 mayat mengapung di laut, saya bahkan pernah membantu dan
mengangkat salah satunya yang ternyata seorang berkebangsaan
Birma. Petugas pelabuhan akan mengangkat, mengeringkan di tepi
pantai, membungkus dengan plastik, dan membakar mayat-mayat
tersebut di pulau Benjina. Sebagian besar mayat tersebut berkebangsaan
Birma dan Thailand”. (nelayan laki-laki asal Kamboja, a)
113
di sebuah pulau di seberang pulau Benjina”. (nelayan laki-laki asal
Kamboja, b)
“Ketika berada di atas kapal, saya sering mendengar berita dari radio
kapal bahwa beberapa awak kapal telah meninggal dunia, karena
jatuh ke laut, berkelahi atau dibunuh oleh awak kapal yang lain. Ketika
saya bekerja di atas kapal, saya melihat dengan mata kepala saya
sendiri lebih dari 7 mayat mengapung di laut. Sebelum meninggalkan
Benjina, saya juga melihat 2 mayat, mereka adalah awak kapal asal
Thailand, mengapung di laut”. (nelayan laki-laki asal Kamboja, b)
“Saya tidak cukup berani untuk pulang ke negara asal dengan kapal
ekspor karena saya dengar bahwa mereka membuang para nelayan
asal Myanmar ke laut setelah mereka berada di tengah laut.” (Nelayan)
114
Laporan UNIAP bersama dengan 49 nelayan Kamboja pada kapal-kapal
Thailand menyatakan bahwa 59% dari para korban yang diwawancarai
menyatakan bahwa mereka telah menyaksikan kapten kapal membunuh
seorang anggota awak kapal82. Ini termasuk seorang saksi yang menyatakan
bahwa ia telah melihat dua orang dipenggal kepalanya oleh dua orang
kapten83.
Wawancara yang dilakukan oleh IOM di Thailand dengan para nelayan asal
Myanmar dan Kamboja menemukan bahwa mereka pernah menyaksikan
pembunuhan kolega mereka oleh para kapten, terutama, ‘… ketika mereka
terlalu lemah atau sakit untuk bekerja’ .84
Gambar 5: Part of the cemetary in Benjina used to bury victims of trafficking (Source: KKP)
81 Environmental Justice Foundation. (2013). Sold to the Sea: Human Trafficking in Thailand’s Fishing Industry. EJF:
London. hal9.
82 UNIAP. (2009). Op Cit. hal5.
83 Ibid.
84 IOM Thailand. (2011). Trafficking of Fishermen in Thailand. IOM: Bangkok. hal25.
115
manusia yang tidak sesuai hukum baik di darat maupun laut. Nampak seperti
tidak ada tanggung jawab atas hilangnya nyawa nelayan dan awak kapal yang
bekerja dalam IUU fishing di perairan Indonesia. Tidak dilakukan pemeriksaan
paska kematian atau investigasi terkait apakah orang tersebut dibunuh atau
meninggal karena kecelakaan atau sebab-sebab yang wajar. Keluarga terdekat
dan anggota keluarga lainnya mungkin tidak pernah menerima informasi
terkait kematiannya.
Percobaan Pembunuhan
Nampak dari kesaksian saksi bahwa beberapa nelayan dan awak kapal juga
hampir dibunuh oleh Kapten kapal atau para anggota awal kapal lainnya.
Bentuk percobaan pembunuhan yang paling sering dijumpai adalah
membuang awak kapal ke laut agar mereka tenggelam.
116
“…Saya berjumpa dengan salah satu kolega lama saya yang
memperingatkan saya tentang kapten kapal saya bahwa ia berusaha
untuk membunuh kolega saya dengan menempatkannya dalam
kurungan dan menguncinya lalu melemparkannya ke laut karena
kolega saya memintanya untuk mengizinkannya pulang. Beruntung
kolega saya berhasil membuka kurungan tersebut dan lolos tetapi
beberapa orang lain telah meninggal karena kapten kapal tersebut….
Suatu hari saya berkelahi dengan kapten kapal tersebut dan ia
berusaha untuk menembak saya dengan senjata dan saya melarikan
diri dari kapalnya”. (Nelayan Laki-Iaki Asal Myanmar (a))
19%
80%
96%
Yes Yes
No No
117
Grafik 51. Grafik 52.
Dokumen Dipalsukan Pemegang Dokumen
1,2%
0,2%
7,2%
11%
88% 90%
Yes Employer
No Victim
Agent/Recruiter
Undocumented
Sebagian besar korban yang memiliki buku pelaut melaporkan bahwa buku
tersebut berisi data yang salah. Proporsi tertinggi korban yang memiliki
dokumen tersebut adalah mereka yang berkebangsaan Kamboja (78 persen)
dan Myanmar (77 persen). Dari 12 korban asal Thailand, 67 persen di antaranya
memiliki buku pelaut yang berisi data yang tidak benar. Para korban yang
melaporkan memegang dokumen mereka sendiri hanya berjumlah kurang dari
satu persen. 90,9% korban mengidentifikasi pemberi kerja sebagai pihak yang
memegang dokumen-dokumen mereka. Para agen perekrutan memegang
dokumen dalam 20 persen kasus, dan 3 persen korban melaporkan bahwa
perekrut lain memegang dokumen-dokumen mereka. Kurang dari 1 persen
korban menyatakan bahwa dokumen-dokumen mereka dipegang oleh
petugas polisi.
118
Para pelaku perdagangan manusia menggunakan berbagai cara untuk
mencegah para korban meninggalkan tempat eksploitasi. Penyitaan dokumen-
dokumen identitas korban adalah salah satunya. Cara lain melibatkan hutang.
9 persen korban melaporkan bahwa mereka memiliki hutang kepada pelaku
perdagangan manusia. Sebagian besar korban melaporkan bahwa hutang
tersebut adalah untuk melunasi biaya perekrutan. Proporsi yang jauh lebih
kecil menyatakan bahwa hutang tersebut berkaitan dengan biaya transportasi.
Fakta bahwa para korban bekerja di laut dan jauh dari negara asal mereka cukup
untuk membuat gagasan untuk meloloskan diri menjadi tidak mungkin bagi
sebagian besar dari mereka. Jauhnya lingkungan kerja dan ketidakmampuan
untuk meloloskan diri selanjutnya diperburuk oleh para pelaku perdagangan
manusia yang membatasi kebebasan bergerak para korban dengan berbagai
tingkat yang berbeda. Katika kapal ditambatkan di pelabuhan, beberapa
penjaga ditempatkan di sekitar kapal untuk mencegah para korban meloloskan
diri. Lebih dari tiga per empat korban melaporkan bahwa kebebasan bergerak
mereka dibatasi sebagian di atas kapal ketika berada di laut dan di pelabuhan.
Dalam 14 persen kasus, para korban menyatakan bahwa pelaku perdagangan
manusia sama sekali tidak memilki kebebasan bergerak.
Grafik 53. Graph 54.
Hutang kepada Pemberi Kerja Tidak Diberinya
Kebebasan Bergerak
2%
14%
9%
91% 84%
Yes No restriction
No Partially Denied
Totally Denied
119
Penanda utama perdagangan manusia dalam industri penangkapan ikan
global adalah eksploitasi tenaga para korban. 99 persen korban melaporkan
bahwa pelaku perdagangan manusia mengharuskan mereka untuk bekerja
dengan jam kerja berlebih. Wawancara mendalam dengan 285 korban di
satu lokasi menyingkap lebih banyak detail tentang lama pekerjaan dan
pengaturan waktu kerja. Hampir 78 persen korban menyatakan bahwa
mereka bekerja antara 16 sampai dengan 24 jam per hari. Hal ini terjadi karena
sebagian besar kapal menebar jala ikan mereka empat kali sehari, secara efektif
menggandakan kapasitas penghasilan mereka dan juga meningkatkan beban
kerja korban mereka.
Grafik 55.
Jenis-Jenis Eksploitasi
120
30 persen korban yang mengalami penyiksaan psikologis juga mengalami
penyiksaan fisik. Penyiksaan fisik berkisar dari dipukuli, dicambuk dengan ekor
ikan pari beracun, dilempari balok es, dan ditembak. Para korban umumnya
mengalami penyiksaan fisik ketika mereka mengeluh sakit. Permintaan untuk
meninggalkan kapal dikenakan hukuman mati bagi beberapa korban menurut
kesaksian saksi. Laporan menunjukkan bahwa mereka yang melakukannya
mendapati diri mereka dirantai di dek kapal pada tengah hari atau dikunci di
dalam lemari pendingin.
94 persen korban melaporkan bahwa kondisi hidup di atas kapal sangat buruk. Para
korban tidur di kamar yang kecil, sempit, berlangit-langit rendah bersama-sama
tanpa matras atau bantal. Beberapa kapal memiliki ruang tidur dekat ruang mesin,
yang menjadikannya panas. Kemudian beban kerja terlalu besar sehingga mereka
tidak sempat makan. Makanan jauh dari memadai sebagaimana dilaporkan oleh
84 persen korban. Makanan terutama terdiri atas ikan dan air setiap hari.
121
122
Bantuan bagi Para Korban dan Proses Hukum
Assistance for Victims and the Legal Process
Bantuan Pemulangan
IOM Indonesia telah menerima rujukan dan memberikan bantuan bagi para
nelayan yang diperdagangkan, yang terdampar di perairan Indonesia sejak
tahun 2005 melalui Unit Anti Perdagangan Manusia IOM (IOM-Counter-
Trafficking Unit). Secara keseluruhan, 2.001 nelayan telah mendapatkan
bantuan dari IOM Indonesia. Diantara para korban tersebut, 283 di antaranya
berkebangsaan Indonesia dan 1718 berkebangsaan asing.
Antara tahun 2011 dan 2015 jumlah kasus perdagangan manusia yang
melibatkan para nelayan, sebagian besar berkebangsaan asing, terus
meningkat. Jumlah kasus terbesar adalah pada tahun 2015. Para korban
dirujuk kepada IOM Indonesia, menyusul pelaksanaan penghentian sementara
atas kapal-kapal penangkap ikan asing oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
Indonesia pada akhir tahun 2014. Sejak itu IOM Indonesia telah bekerja sama
erat dengan Kementerian tersebut untuk membantu para nelayan yang
membutuhkan.
Pada tahun 2015 saja, IOM Indonesia mengidentifikasi dan membantu sebanyak
1.342 nelayan, 77% di antaranya berkebangsaan Myanmar, 10% berkebangsaan
Kamboja, 11% berkebangsaan Thailand dan 1 % berkebangsaan Laos. Para
nelayan ini terdampar di sembilan wilayah di seluruh Indonesia (Tabel 5).
123
Tabel 6.
Para Nelayan Asing yang Mendapatkan Bantuan
dari Tanggal 7 April 2015 sampai dengan 31 Januari 2016
Nationalities Fishermen
Screened Returned Who Remaining
No Location Fishermen Fishermen Passed Fishermen
MM KH LO TH Away
1 Ambon 383* 3 6 80 472 421 2 49
2 Tarempa 44 33 0 30 107 105 0 2
3 Belawan 23 0 0 0 23 21 0 2**
4 Pontianak 35 2 0 0 37 36 0 1
Tanjung
5 4 0 0 0 4 4 0 0
Balai
Tanjung
6 38 3 0 0 41 29 0 12
Pinang
7 Benjina 508 96 8 42 656 654 0 2***
8 Kupang 2 0 0 0 2 2 0 0
9 Bau Bau**** 1**** 0 0 0 1**** 1**** 0 0
Total 1037 137 14 152 1342 1272 2 68
* 383 Myanmar nationals including 2 Myanmar national referred from Benjina Case.
** 2 remain fishermen in Belawan, one run away from Belawan Immigration and one refused to return and has
been referred to UNHCR for asylum seeker.
*** 2 remain fishermen in Benjina refused to return home and went missing
**** Upon an in-depth interview, the fisherman who was originally from the Ambon case, in this regard the number
is not counted
124
mengeluarkan Surat Identitas atau Dokumen Perjalanan untuk setiap nelayan
untuk membantu kantor imigrasi di Indonesia mengeluarkan dokumen resmi
untuk meninggalkan Indonesia. Misi IOM di negara asal nelayan berkoordinasi
erat dengan pemerintah di negara asal untuk memberi bantuan di bandara
udara, pengaturan transportasi selanjutnya ke desa-desa asal para nelayan,
serta memberikan bantuan reintegrasi bagi mereka yang membutuhkan. IOM
Indonesia masih dalam perundingan untuk menemukan cara pemulangan bagi
para nelayan korban perdagangan yang tersisa, ke negara-negara asal mereka.
Selama jangka waktu bantuan, IOM memberikan bantuan makanan kepada 978
nelayan dan non-makanan kepada 1050 nelayan yang terdampar di Benjina dan
Ambon. Tabel 6 memberikan informasi rinci tentang distribusi makanan dan
non- makanan kepada para nelayan dan awak kapal.
Tabel 7.
Jumlah Nelayan yang Menerima Bantuan
Makanan dan Non-Makanan
Hygiene Daily Meals
Location Clothing
Supplies (3 times a day)
Ambon Port of Fishery 392 392 320
Tual Port of Fishery 658 658 658
125
Para nelayan dan awak kapal dari Benjina diberikan perlengkapan kebersihan,
pakaian dan makanan harian, sementara bagi mereka yang berada di Ambon,
bantuan tersebut hanya diberikan kepada mereka yang tinggal di Pelabuhan
Perikanan Ambon.
Bantuan Kesehatan
Sampai dengan 31 Januari 2016, IOM Indonesia terus memberikan bantuan
perawatan kesehatan kepada para nelayan yang membutuhkan. Para nelayan
menerima bantuan perawatan kesehatan, dan satu nelayan menerima
perawatan rawat inap. Beberapa nelayan juga menerima perawatan kesehatan
tambahan, termasuk ijin medis sebelum keberangkatan mereka ke negara-
negara asal.
126
Grafik 56.
Masalah-Masalah Kesehatan yang Dialami oleh Para Nelayan
24%
250
200
150
10%
100
5% 4% 3% 3%
50 3% 2% 1% 1% 1% 1% 1%
0
n
ia
ion
itis
ria
itis
ea
on
Gi is
tis
oid
ve
tie
tio
it
ps
ivi
ala
cti
str
at
ch
ns
ph
Fe
en
ec
rh
e
ng
m
fe
on
Ga
sp
rte
Ty
ar
nf
D
d
r
l In
De
an
Br
Dy
Di
I
pe
es
ct
ra
Hy
ic
i
ld
ra
r
Vi
Ca
at
Co
yT
m
th
or
As
at
pir
es
rR
pe
Up
Infeksi Saluran Pernafasan Atas adalah masalah kesehatan yang paling banyak
dialami oleh para nelayan, disusul oleh gangguan pencernaan, hipertensi
dan malaria. Kondisi kerja dan hidup yang tidak sehat dapat menyebabkan
sejumlah besar nelayan mengalami infeksi saluran pernafasan atas. Beberapa
nelayan juga mengalami multi-infeksi dan penyakit.
Bantuan Penampungan
Penampungan sementara disediakan bagi para nelayan di Ambon.
Dalam menyediakan penampungan sementara, IOM bekerja erat dengan
pemerintah baik di tingkat nasional maupun daerah termasuk Kementerian
Sosial (Kemensos) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kemensos secara
aktif terlibat dalam menyediakan bantuan penampungan, sementara IOM
membantu Kemensos dengan melakukan renovasi kecil terhadap rumah–
rumah penampungan, menyediakan biaya untuk layanan kebersihan, dan
menyediakan petugas keamanan. Pemerintah berkoordinasi dengan Otoritas
Pelabuhan Perikanan Ambon dan Tual dalam menyediakan tempat dan/
atau komplek penampungan bagi para korban, sementara IOM memberikan
dukungan.
127
IOM terus memberikan bantuan kepada para nelayan yang berada di
penampungan sementara. Jumlah penampungan berkurang seiring dengan
dipulangkannya para korban ke negara-negara asal mereka. Pada awal
tahun 2016, terdapat 154 nelayan yang diberikan penampungan sementara
di Ambon dan Jakarta, dengan 109 di antaranya tinggal di penampungan-
penampungan sementara di komplek Pelabuhan Perikanan Ambon. 45 di
antaranya dipindahkan dari Ambon ke Jakarta secara ‘ilegal’ oleh perusahaan
dan diselamatkan oleh Kepolisian Republik Indonesia. Setelah penyelamatan
dilakukan mereka kemudian ditampung di RPTC (Rumah Perlindungan Trauma
Center – penampungan yang dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos))
di Jakarta sampai mereka kembali ke negara asal mereka pada tanggal 21
Oktober 2015.
Secara keseluruhan 978 nelayan dari kasus Benjina dan Ambon mendapatkan
bantuan fasilitas-fasilitas penampungan sementara, dengan 826 di antaranya
berkebangsaan Myanmar, 96 berkebangsaan Kamboja, 42 berkebangsaan
Thailand, dan 14 berkebangsaan Laos. Para nelayan dari kasus Benjina
yang diselamatkan dan ditampung di Pelabuhan Perikanan Tual kemudian
dipindahkan ke penampungan yang dikelola oleh Kemensos di Ambon
sementara mereka menunggu penerbangan internasional menuju negara
asal mereka.
Grafik 57.
Para Nelayan yang Dibantu dengan
Fasilitas Penampungan di Setiap Lokasi
514
267 254
94 94
42 46
8 2 0 6 0 0 0 0 0
128
Bantuan Reintegrasi
Bantuan IOM kepada para korban tidak berhenti setelah mereka dipulangkan.
Setelah mereka kembali ke negara asal mereka, IOM Kamboja membantu 84
nelayan asal Kamboja dengan bantuan penghidupan. 41 di antaranya dibantu
untuk beternak, 18 untuk memelihara babi, 7 untuk membeli motor untuk
menjadi pengemudi taksi motor, dan 6 dibantu untuk membuka warung
bahan makanan tradisional. Di samping itu, 5 orang nelayan memutuskan
untuk mengambil kursus pelatihan keterampilan seperti kursus menyetir
dan kursus montir.
Proses reintegrasi bagi para korban asal Indonesia juga telah dilaksanakan
dengan baik. 3 orang korban melanjutkan studi mereka dan berupaya untuk
menyediakan bantuan hukum serta advokasi untuk keadilan bagi para
korban perdagangan manusia di masa mendatang. 18 orang korban dibantu
dalam kegiatan peternakan ikan dan telah menabung sebagian pendapatan
mereka untuk membeli ikan baru beserta makanannya sebanyak 9 ton dan
juga menggunakan pendapatan tersebut untuk pemeliharaan selanjutnya.
10 orang korban dibantu membangun usaha fotokopi dan percetakan di
Jakarta dan menerima pendapatan sebesar kurang lebih 104$ per bulan.
27 orang korban dibantu dalam mengembangkan kapal penangkap ikan
mereka sendiri yang memberikan mereka penghasilan sebesar 1324$ per
bulan dengan menangkap ikan untuk dijual kepada para pelanggan lokal.
129
anggaran, dan menyatakan komitmen mereka terhadap rencana usaha
terkait untuk menerima bantuan dari IOM. IOM mendukung para nelayan
melalui bantuan langsung dalam membeli kebutuhan-kebutuhan usaha
kecil mereka dan menyerahkan kebutuhan-kebutuhan tersebut kepada
mereka. IOM juga terus mendukung kegiatan tersebut dengan memantau
perkembangan usaha setiap nelayan.
Bantuan Hukum
Kasus Benjina diserahkan oleh Kejaksaan kepada Pengadilan Negeri Kepulauan
Aru di Tual. Polri bekerja erat dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) serta Kejaksaan Agung untuk menuntut para tersangka dari perusahaan
PT. Pusaka Benjina Resource (PBR).
130
Pelunasan Gaji
Sebuah upaya juga dilakukan untuk melakukan negosiasi atas nama para
korban untuk upah yang tidak diterima oleh para korban. Proses negosiasi
gaji tersebut hanya dilakukan untuk para nelayan dari Ambon karena para
nelayan dari Benjina berada dalam proses dipulangkan kembali ke negara-
negara asal mereka setelah penyelamatan dilakukan. Pemerintah Indonesia,
secara khusus KKP melalui Satuan Kerja IUUF-nya dan pemerintah dari masing-
masing korban memulai proses negosiasi gaji antara para nelayan dengan 3
perusahaan besar di Ambon yang bertanggung jawab atas para nelayan yang
telah mereka perkerjakan.
Di antara 487 nelayan di Ambon, 373 nelayan asal Myanmar dan satu nelayan
asal Kamboja berhasil mencapai kesepakatan dan menerima sisa gaji mereka
dari perusahaan. 87 nelayan tidak mengajukan tuntutan gaji, 12 nelayan tidak
dapat melakukannya karena perusahaan mereka berlokasi di Benjina, dan 7
nelayan lainnya tidak dapat melakukannya karena mereka tidak mengetahui
nama kapal mereka. Masih terdapat 4 nelayan asal Myanmar yang masih
menunggu pembayaran gaji mereka dan 3 nelayan asal Myanmar yang
tuntutan gajinya ditolak oleh perusahaan mereka.
131
132
Analisis
133
Fishing Vessel Personnel – STCW-F) dari IMO diyakini kuat menjadi faktor yang
menyebabkan kurangnya perlindungan terhadap para nelayan dan awak
kapal.
Masalah yang dihadapi oleh para tenaga kerja Indonesia pada kapal-kapal
angkutan atau pedagang asing sebagian besar berkaitan dengan perselisihan
tenaga kerja, yang dapat diselesaikan sendiri oleh Kesatuan Pelaut Indonesia
(KPI). Namun demikian, para tenaga kerja pada kapal-kapal penangkap ikan
asing harus menghadapi masalah-masalah yang jauh lebih besar meliputi:
upah yang secara komparatif lebih kecil (dibandingkan dengan jenis-jenis
pekerjaan berbasis laut lainnya) yang sebagian besar dibayarkan tidak
secara teratur; kontrak kerja eksploitatif; dan keterlibatan secara paksa dalam
kegiatan-kegiatan penangkapan ikan ilegal.
134
dengan pemilik kapal tersebut. Undang-Undang tahun 2013 mengatur bahwa
setiap penempatan tenaga kerja Indonesia pada kapal penangkap ikan asing
harus dilakukan melalui badan hukum yang dikenal sebagai Pos Pelayanan
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (P4TKI). Selanjutnya,
para tenaga kerja Indonesia pada kapal-kapal penangkap ikan asing juga harus
membuat Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), untuk memastikan adanya
pemantauan dari BNP2TKI. Beberapa penempatan antar Pemerintah juga
diatur oleh BNP2TKI, paling jelas terlihat dengan Taiwan dan Korea Selatan, di
mana BNP2TKI mengawasi seluruh proses perekrutan dan penempatan.
135
agen tenaga kerja. Ketika biasanya mereka hanya perlu melakukan proses
administrasi dibawah BNP2TKI, penetapan Peraturan Baru Kementerian
Perhubungan menciptakan proses administrasi tambahan yang
memperpanjang waktu pemrosesan dan meningkatkan biaya administrasi.
Pada akhirnya, banyaknya halangan yang mereka harus lalui untuk memenuhi
aplikasi klien mereka untuk bekerja sebagai seorang nelayan di kapal asing,
memaksa agen tenaga kerja tersebut untuk menemukan alternatif lain dan
jalan pintas untuk mempercepat proses.
Beberapa agen tenaga kerja memilih untuk mengambil jalan lobi, dengan
membayar sejumlah uang tunai kepada pejabat pemerintah, supaya
mendapatkan prioritas. Jalan ini menyebabkan peningkatan biaya administrasi
bagi pemohon. Agen lain memilih untuk mempertahankan biaya semurah
mungkin tetapi dengan cara pemalsuan dokumen pemohon, seperti sertifikat
Keamanan Dasar dan buku pelaut. Tidak ada jalan yang ideal. Calon pekerja
migran Indonesia terjebak dalam posisi untuk memilih antara pekerjaan resmi
yang mahal atau pekerjaan yang tidak resmi tapi murah. Kalau tidak, mereka
harus menunggu untuk waktu yang lama (paling tidak setahun) sebelum
akhirnya bisa dikirim kerja diluar negeri.
136
Kementerian Tenaga Kerja memiliki kewenangan untuk menyusun kebijakan
dan peraturan tentang penempatan dan perlindungan bagi pekerja migran
Indonesia, sedangkan BNP2TKI berfungsi sebagai implementator kebijakan
yang dibuat oleh Kementerian Tenaga Kerja. Pada kenyataannya, pemisahan
kewenangan antara kedua lembaga ini tidak jelas, sebagai akibat dari tumpang
tindih kebijakan dan hal ini mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum.
• Sumber Kewenangan
• Pendaftaran dan Perizinan Agen Tenaga Kerja
• Pembentukan Kantor Cabang Agen Tenaga Kerja
• Penunjukkan Kepala Pelabuhan
• Pengawasan Kegiatan
• Izin Operasi Kapal
• Penerimaan Kru
• Perekrutan Kru
• Perjanjian Kerja Pelaut
• Sistem Pengawasan
• Tanggung jawab penalty
137
Table 8
Scheme of Overlapping Authority of Institutions Related to Trafficking in Persons in IUU Fishing
138
Placement License (SIPP)
for Seafarer Recruitment and
Placement Services (P5) (Article 3
and 4 Section III Chief Regulation
of BNP2TKI No. 12/KA/IV/2013
Registering The Ship Manning
Issuing the approval of the Company (P2K) in di BNP2TKI
establishment of crew’s agency to become the authority of the
Establishment of branch office of (does not regulate) branch offices (Article 9 (9) Ministry (does not regulate) company to establish a branch
the Fishing Vessel Company of Transportation Regulation No. office (Article 6 Section II Chief
84/2013) Regulation of BNP2TKI No. 12/KA/
IV/2013)
Appointing a Port Master in a Assigning a Port Master (Article
Appointment of a Port Master Fishing Port (Article 42 Law No. (does not regulate) (does not regulate)
207 (2) Law No. 17/2008)
45/2009)
Monitoring the operation of the
Through a Port Master, monitoring
Monitoring the Activities of the vessel and its crew (Article 5
the activities of the vessel (Article (does not regulate) (does not regulate)
vessel at Sea Ministry of Transport Regulation
42 law No. 45/2009) 70/ 2013)
National Authority for the
Ministry of Marine Affairs Ministry of Manpower and Placement and Protection
Category Ministry of Transportation
and Fisheries Transmigration of Indonesian Overseas
Workers (BNP2TKI)
Operation License for the Fishing Responsible for registration Requiring the completed
Vessel related matters and Fishing documents of seaworthiness for
Vessel Operation License, both the issuance of Port Clearance
Indonesian-flagged and ex- (Article 7 jo. Article 5 Government
foreign-flagged vessel (Law No. Regulation No. 51/2002)
45 Year2009 jo. Law No. 31/2004,
Article 3 Ministry of Maritime and
Fisheries Affairs No. 35/2015)
Through a Port Master, issuing the
Port Clearance (Article 44 (1) Law
No. 45/2009 Law No. 31/2004)
Through fisheries inspector, issuing (does not regulate) (does not regulate)
the Warrant of Operation (SLO)
(Article 44 (2) Law No. 45/2009
Law No. 31/2004, Ministry of
Maritime and Fisheries Affairs
Regulation No. 45/2014)
139
Issuing and/ or revoking the Fishery
Business License (SIUP), Fishing
License (SIPI), and Shipping
Vessel License (SIKPI) (Article
32 Law No. 45 Year 2009 jo. UU
31/2004, Ministry of Maritime and
Fishery Affairs Regulation 45/2014)
Mustering the obligatory Seaman’s Issuing the Overseas Worker’s ID
book (Article 25 (3) Ministry of
The Required Documents of the Card (KTKLN) (Article 10 Section
Transportation Regulation No.
Crew III Chief Regulation of BNP2TKI
84/2013, article 224 Law No.
(does not regulate) (does not regulate) No. 12/KA/IV/2013)
17/2008)
Issuing the obligatory Certificate Of
Competency (Article 4 Government
Regulation No. 7/2000)
Determining the requirement for Determining the requirement for Determining the requirement for
the recruitment system of fishing fishing vessel’s crew recruitment fishing vessel’s crew recruitment
Determining the Recruitment vessel’s workers and crew (Article and its method (Article 13 Ministry (does not regulate) and its method (Article 6 Section III
System of the Vessel’s Crew 6 Ministry of Maritime and Fisheries of Transportation Regulation No. Chief Regulation of BNP2TKI No.
Affairs Regulation No. 35/2015) 84/2013) 12/KA/IV/2013)
National Authority for the
Ministry of Marine Affairs Ministry of Manpower and Placement and Protection
Category Ministry of Transportation
and Fisheries Transmigration of Indonesian Overseas
Workers (BNP2TKI)
Seafarer’s Employment Agreement Through a Port Master, ratifying the Monitoring the agreement of the Through the Agency for the
Seafarer’s Employment Agreement vessel’s owner and the agency, as Service, Placement and Protection
(PKL) (Ministry of Maritime and well as working contract between of Indonesian Overseas Workers
Fisheries Regulation No. 35/2015) the agency and the crews (Article (BP3TKI) knowing the Placement
21 Ministry of Transportation Agreement of Seafarer between
regulation No. 84/2013) the Seafarer Recruitment and
Placement Services (P5) and the
fisherman. (Article 7 Section III
Chief Regulation of BNP2TKI No.
12/KA/IV/2013)
(does not regulate)
Ratifying the Seafarer’s
Employment Agreement (PKL)
(article 25 (3), Ministry of
Transportation Regulation No.
84/2013)
Monitoring the fulfillment of the
welfare of the crew as stipulated
in the Seafarer’s Employment
140
Agreement (PKL) (Article 151 Law
No. 17/2008)
Determining the system and issuing
the Certificate of Human Rights in Evaluating the performance of the
Monitoring the Activities of the fishery for the fishing vessel (Article crew agency (Article 12 Ministry (does not regulate) (does not regulate)
Vessel and Agency 4 and Article 8 Ministry of Maritime of Transportation Regulation No.
and Fisheries Affairs Regulation 84/2013)
No. 35/2015)
Withholding the Business License
for Crew Recruitment and
Issuing and/ or revoking the license Placement (SIUPPAK) in a case
issued by the Minister (Article 41
Imposition of Penalty of the legal violation of an agency (does not regulate) (does not regulate)
(4) Law No.45/2009 jo. Law No. company (article 33 Ministry of
31/2004) Transportation regulation No.
84/2013)
Kerangka Hukum Internasional yang Lemah
Perdagangan nelayan dan awak kapal telah menjadi isu besar selama
beberapa tahun belakangan ini karena meningkatnya jumlah kasus yang
muncul ke permukaan. Situasi terpencil di laut, kontak terbatas dengan pihak-
pihak berwenang di darat dan laut, dan identitas kepemilikan kapal-kapal
penangkap ikan yang tidak jelas memungkinkan terjadinya perdagangan
manusia dan kejahatan-kejahatan lain. Di Indonesia, Undang-Undang Anti
Perdagangan Manusia Tahun 2007 mengatur mekanisme bagi pihak-pihak
berwenang untuk memberantas perdagangan manusia namun demikian
banyak kesulitan muncul dalam investigasi dan pengusutan kejahatan-
kejahatan di laut karena sifat keterasingan dari kejahatan-kejahatan tersebut.
Situasi para nelayan dan awak kapal semakin buruk karena Indonesia belum
menjadi pihak penandatangan pada beberapa konvensi internasional yang
menyeluruh.
141
142
Conclusionsdan
Kesimpulan andRekomendasi
Recommendations
143
negara pelabuhan dan negara pengirim tenaga kerja. Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa kabsahan status hukum pekerja bukan jaminan penuh
atas keselamatan dari bahaya eksploitasi di negara tujuan, meskipun hal
tersebut dapat mengecilkan kemungkinan eksploitasi yang lebih parah. Dari
kesimpulan di atas, beberapa poin berikut merupakan hasil rekomendasi:
• Dalam masalah kondisi kerja, hal ini harus ditangani oleh kedua
Kementerian Tenaga Kerja Indonesia dan Thailand. Saat ini merupakan
saat yang tepat untuk merevisi Undang-Undang Perlindungan Buruh
untuk memastikan bahwa pekerja yang bekerja di kapal penangkap
ikan mendapatkan perlindungan sepenuhnya, layaknya seperti pekerja
di sektor lain. Selain itu, harus ada pengawasan lebih dekat atas
144
agen perekrutan di Indonesia dan Thailand. Hal ini bertujuan untuk
membatasi jasa pelayanan administrasi palsu dan jaminan sosial yang
tidak ada namun pekerja tetap dituntut untuk membayar di awal jika
tidak menginginkan gaji mereka dipotong kemudian. Harus ada diskusi
lebih lanjut untuk membahas standar upah minimum bagi semua
pekerja. Dialog rutin perlu dilakukan di antara para pengusaha untuk
menemukan strategi dalam rangka menyelesaikan masalah lembur yang
dipaksakan dan memastikan adanya mekanisme pembayaran untuk
kerja lembur yang sesuai dengan undang undang tenaga kerja.
• Masalah lain adalah tempat kerja yang tidak dapat diakses yang
membuat kapal kapal nelayan tersebut jarang sekali diperiksa. Nelayan
dan pelaut yang bekerja di atas kapal bahkan lebih rentan karena mereka
berada di lautan besar dengan tidak adanya tempat untuk melarikan
diri jika ada tanda-tanda kekerasan atau eksploitasi. Disarankan bahwa
Kementerian Tenaga Kerja dari kedua negara menjalin kerjasama yang
erat dengan masing-masing kementerian, pemerintah daerah, dan juga
organisasi non-pemerintah (NGO) untuk mengembangkan strategi
praktis agar pengawas lokal dapat mengakses pabrik pengolahan kecil
atau rumahan, terutama jika ada indikasi bahwa eksploitasi tenaga kerja
mungkin terjadi.
145
• Disarankan bahwa pihak Kepolisian mengadakan dialog tingkat tinggi
dengan Kementerian Tenaga Kerja untuk memastikan para majikan yang
menahan dokumen asli pekerja-nya diberikan hukuman atau merancang
mekanisme di mana para pekerja yang memegang salinan dokumen
status kerja mereka bisa diverifikasi pada majikan mereka
146
• Otoritas Pelabuhan melalui kemitraan dengan Kementerian Tenaga Kerja
dan Kementerian Sosial dapat mendirikan pusat migran dan pelaut di
pelabuhan-pelabuhan. Pusat-pusat ini akan menginformasikan kepada
awak kapal atas hak-hak mereka dan memberikan bantuan dalam
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Keberadaan dari pusat-
pusat migran dan pelaut di pelabuhan akan lebih efektif jika Indonesia
meratifikasi Perjanjian tentang Tindakan Negara Pelabuhan dalam
Mencegah, Menangkal dan Menghapuskan Kegiatan Perikanan Ilegal,
Unreported and Unregulated (PSMA). Perjanjian PSMA ini terdiri atas
ketentuan-ketentuan yang secara tidak langsung bisa mengidentifikasi
dan mencegah perdagangan orang di kapal penangkap ikan. Hal
mendasar di dalam ketentuan tersebut adalah: Pemberitahuan awal
ketika kapal memasuki pelabuhan (Pasal 8); inspeksi di pelabuhan (pasal
12); persyaratan pendaratan ikan di pelabuhan (Pasal 7); dan daftar
black-list kapal pada Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional. Saat
ini Indonesia berada dalam proses ratifikasi PSMA melalui Peraturan
Presiden.
85 One form of partnership in preventing trafficking in persons is The ITF Blue Certificate. ITF has 600,000 seafarers as
members, dan one quarter of Flag of Convenience (FOC) Vessels are covered by ITF agreements which signifies the ITF’s
acceptance of the wages and working conditions on board. Certification compliance is monitored by a network of over 130 ITF
inspectors in ports throughout the globe. Read Fish Wise, 2014, Trafficked II: An Updated Summary of Human Rights Abuses
in the Seafood Industry, p. 33.
86 Logan Kock, VP of responsible sourcing for Santa Monica Seafood menyebutkan bahwa “Rantai pasokan cukup kabur,
terutama jika suplai berasal dari laut lepas.” - lihat : http://www.seafoodsource.com/news/supply-trade/27883- associated-
press-links-slave-fishing-labor-to-thai-union-prominent-u-s-firms#sthash.fXMFHACt.dpuf.
147
• Ada kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran konsumen tentang
betapa pentingnya untuk produk perikanan untuk mematuhi
penghormatan atas hak asasi manusia87. “Uang mungkin dapat membeli
banyak hal, tetapi seharusnya tidak bisa membeli manusia lain“88.
Konsumen juga harus mengetahui pesan yang disebutkan oleh salah
satu korban perdagangan Benjina:
“Jika Amerika dan Eropa sedang makan ikan ini, mereka harus ingat
pada kita, “kata Hlaing Min, 30, seorang korban yang melarikan diri dari
Benjina. “Terdapat gunung tulang di bawah laut. Tulang tulang manusia
yang bisa menjadi sebuah pulau, sebanyak itulah.89
85 One form of partnership in preventing trafficking in persons is The ITF Blue Certificate. ITF has 600,000 seafarers as
members, dan one quarter of Flag of Convenience (FOC) Vessels are covered by ITF agreements which signifies the ITF’s
acceptance of the wages and working conditions on board. Certification compliance is monitored by a network of over 130 ITF
inspectors in ports throughout the globe. Read Fish Wise, 2014, Trafficked II: An Updated Summary of Human Rights Abuses
in the Seafood Industry, p. 33.
86 Logan Kock, VP of responsible sourcing for Santa Monica Seafood menyebutkan bahwa “Rantai pasokan cukup kabur,
terutama jika suplai berasal dari laut lepas.” - lihat : http://www.seafoodsource.com/news/supply-trade/27883- associated-
press-links-slave-fishing-labor-to-thai-union-prominent-u-s-firms#sthash.fXMFHACt.dpuf.
148
REFERENSI
Asis, M.M.B. (2008). ‘Human trafficking in East and South-East Asia: Searching
for structural factors’. In Cameron, S. & Newman, E. (Eds). Trafficking in Humans:
Social, Cultural and Political Dimensions. United Nations University Press: Tokyo.
Bondaroff, P., et al. (2015). The Illegal Fishing and Organised Crime Nexus:
Illegal Fishing as Transnational Organised Crime, Global Initiative Against
Transnational Organized Crime and The Black Fish.
149
Elliott, L. (2007). ‘Transnational environmental crime in the Asia Pacific: an
‘un(der)securitized’ security problem?’. The Pacific Review. 20:4.
Feingold, D.A. (2003) noted in Feingold, D.A. (2013). ‘The Burmese traffic-jam
explored: Changing dynamics and ambiguous reforms’. Cultural Dynamics.
25:2.
Griggs, L. & Lugten, G. (2007). ‘Veil over the nets (unraveling corporate liability
for IUU fishing offences)’. Marine Policy. 31:2.
ILO. (2013). Caught at Sea: Forced Labour and Trafficking in Fisheries. International
Labour Organization: Geneva.
Jacquet, J.L. and Pauly, D. (2008) ‘Trade secrets: renaming and mislabeling of
seafood’. Marine Policy. 32:3. pp309–318.
Le Gallic, B. & Cox, A. (2006). ‘An economic analysis of illegal, unreported and
unregulated (IUU) fishing: Key drivers and possible solutions’. Marine Policy.
30:2.
150
Murray, J. (2013). ‘Enhancing responsible fishing practices in South East Asia to
combat Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing’. Australian Journal
of Maritime and Ocean Affairs. 5(3). pp112-119
Ogden, R. (2008). ‘Fisheries forensics: the use of DNA tools for improving
compliance, traceability and enforcement in the fishing industry’. Fish and
Fisheries. 9:4. pp462-472.
Osterblom, H., Constable, A. & Fukumi, S. (2011). ‘Illegal fishing and the
organized crime analogy’. Trends in Ecology and Evolution. 26:6.
PalmaRobles, M. (2014). “Fisheries crime: bridging the gap.” Retrieved 17
March, 2016, from http://cimsec.org/fisheries-crime-bridging-conceptual-
gap-practical-response/12338.
Rose, G. (2014). ‘Forests, fish and filthy lucre’. In Gergory Rose (ed). Following
the Proceeds of Environmental Crime: Fish, Forests and Filthy Lucre. Routledge:
Abingdon.
151
Sylwester, J.G. (2014). ‘Fishers of men: The neglected effects of environmental
depletion on labour trafficking in the Thai fishing industry’. Pacific Rim Law &
Policy Journal. 23:2.
152
153
154