DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………….....................…………………………………………….... i
RINGKASAN EKSEKUTIF............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.1.1 Kondisi Geografis, Topografi, Administrasi Kabupaten Karangasem 3
1.1.2 Sejarah Kota Karangasem................................................................................. 5
1.2 Tujuan RAKP...................................................................................................... 6
1.3 Landasan Hukum ............................................................................................... 7
1.4 Sistematika RAKP ............................................................................................. 7
iii
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
5.1 Visi....................................................................................................................... 76
5.2 Misi .....................................................................................................................
iv
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas Rahmat dan Karunia yang
diberikan, sehingga penyusunan Rencana Aksi Kota Pusaka (RAKP) Karangasem dapat diselesaikan dengan
baik tepat pada waktunya. Rencana Aksi Kota Pusaka ini disusun sebagai tindak lanjut dari serangkaian
kegiatan fasilitasi dan sosialisasi Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) yang diselenggarakan
oleh Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang & Badan Pelestarian Pusaka Indonesia
(BPPI) yang berlangsung di beberapa tempat yaitu University Centre Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, fasilitasi di Kota Solo, Jakarta, Kota Sawahlunto dan Kota Banjarmasin.
Rencana Aksi Kota Pusaka Karangasem ini berisikan kebijakan Tata Ruang Wilayah yang tentunya
sudah memayungi keberadaan aset-aset pusaka yang ada di Kabupaten Karangasem. Kabupaten Karangasem
yang keberadaannya secara geografis diujung timur Bali dengan panjang pantai 87 km dan kondisi alam
berbukit dan lembah melahirkan beragam keindahan alam yang berpotensi menjadi pusaka bagi Karangasem
maupun Indonesia bahkan dunia. Karangasem kalau dilihat dari historis pemerintahan memiliki sejarah yang
cukup panjang dengan meninggalkan aset pusaka baik sosial maupun budaya yang sampai saat ini menjadi
aikon bagi Kabupaten Karangasem. Aset-aset pusaka tersebut diharapkan dapat dikelola dan dipelihara secara
baik sehingga dapat bermanfaat bagi kemajuan Karangasem.
Demikian Rencana Aksi Kota Pusaka Karangasem ini disusun sekiranya bisa menjadi salah satu
nominasi Kota Pusaka di Indonesia di Tahun 2015 dan Kota Pusaka Dunia di tahun 2020 dan selanjutnya
berharap adanya program dan kegiatan yang riil dari pemerintah pusat untuk menyelamatkan dan memulihkan
serta memelihara keberadaan pusaka-pusaka khususnya di Kabupaten Karangasem sehingga keberadaanya
bisa lestari, berkelanjutan dan dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Semoga Ida Sang Hayang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan Rahmat dan
KaruniaNYA.
BUPATI KARANGASEM
I WAYAN GEREDEG,SH
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam,
budaya baik ragawi maupun tak ragawi, pusaka saujana serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh
sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola
secara efektif.
Kabupaten Karangasem yang berada di wilayah timur Bali secara geografis memiliki wilayah berbukit,
sebagian besar lahan kering, sebagian kecil lahan basah persawahan namun dapat memberikan keindahan
dengan karakteristik tersendiri. Aset pusaka alam yang dimiliki oleh Karangasaem diantaranya: Pusaka Bukit
Jambul berupa perpaduan bukit dengan persawahan, Aset Pusaka Tulamben berupa biota bawah laut dengan
species yang langka, Aset Pusaka Putung berupa bentang alam perbukitan dengan agro salaknya, Aset Pusaka
Iseh berupa terasering persawahan, Pohon Kepel berupa sebuah pohon yang berumur sangat tua dengan
legenda dan sekaliogus sebagai maskot plora Kabupaten Karangasem. Aset Pusaka Alam ini keberadaanya
menyebar.
Aset Pusaka Budaya Ragawi Kabupaten Karangasem diantaranya: Aset Pusaka Pura Besakih, Aset
Pusaka Puri-Puri di Karangasem diantaranya Puri Agung Karangasem, Puri Gede Karangasem, Puri Kelodan
Karangasem, Aset Pusaka Taman Soekasada Oejoeng, Aset Pusaka Tirta Gangga. Antara Puri dengan Taman
Soekasada Ujung dan Taman Tirtagangga yang ketiganya merupakan satu kesatuan didalam pembangunannya
di masa Kerajaan Karangasem. Ketiga aset pusaka ini menjadi ciri khas Kabupaten Karangasem oleh karena
terdapat arsitektur yang khas di Bali dan sangat dominan mempengaruhi perkembangan Kota Amlapura sebagai
Kota Kabupaten Karangasem. Pada Bangunan Taman Sukasada Ujung terlihat adanya akulturasi Budaya Dunia
yaitu arsitektur Lokal, Eropa, Cina dan Timur Tengah. Secara lokasi Ketiga Pusaka Budaya ini menjadi satu
kawasan yang terhubung baik secara fisik maupun historis. Secara fisik Puri Agung sebagai sentral
pemerintahan ada di tengah-tengah sedangkan di sisi utara ke arah pegunungan terdapat Taman Tirtagangga
dan di sisi selatan kearah pantai terdapat Taman Soekasada Oejoeng. Puri selain sebagai tempat pemerintahan
juga merupakan tempat intraksi sosial budaya yang mana Puri-Puri di Karangasem dikelilingi oleh pemukiman
dengan multi etnis yaitu Hindu,Cina dan Muslim. Desa desa dan Kampung-kampung ini memiliki peran masing-
masing dalam kehidupan masyarakat dengan melahirkan budaya yang beragam. Aset Pusaka Budaya
Tak Ragawi di Kabupaten Karangasem keberadaanya menyebar dan berada di tengah-tengah masyarakat Desa
Adat. Adapun aset pusaka tersebut diantaranya : Cekepung, Gebung Ende, Tari Gambuh, Tari Sanghyang,
Selonding, Penting, Rudat, Burdah dan masih banyak yang masih perlu diinventaeisasi dan dipetakan.
Sedangkangkan aset pusaka Saujana yang ada yaitu di Desa Tenganan Pageringsingan sebuah desa
Bali Aga (Bali Asli) yang terletak di tengah atau dikelilingi perbukitan dengan pemandangan alam, memiliki tradisi
dan aturan khusus, memiliki bangunan-bangunan dengan tata letak dan arsitektur tersendiri serta kehidupan
masyarakat yang unik yang tidak dimiliki desa lainnya di Bali.
Kekayaan aset pusaka alam, budaya dan saujana di Karangasem tertuang dalam Taman ujung yang begitu
beragam arsitektur yang ada baik arsitektur lokal, cina, eropa dan timur tengah. Demikian juga nama-nama
bangunan di lingkungan Puri karangasem banyak mengambil nam-nama selain lokal juga diambil dari nama
jawa, cina dan eropa. Dengan demikian di dalam Program Pelestarian Kota Pusaka ini Kabupaten Karangasem
mengedepankan “Puri dengan Kehidupan Sosial Budaya yang Multi Etnik dan Taman Soekasada Oejoeng
Sebagai Kawasan Heritage Akulturasi Arsitektur Dunia” dengan harapan di Tahun 2015 bisa menjadi Kota
Pusaka Indonesia dan Kota Pusaka Dunia di tahun 2020.
BAB I
PENDAHULUAN
Secara geografis Kabupaten Karangasem berada pada posisi 8 00’00’ - 841’37,8” Lintang
Selatan dan 11535’9,8”-11554’8,9” Bujur Timur. Luas Kabupaten Karangasem adalah 839,54 Km² atau
14,90 % dari luas Propinsi Bali (5.632,86 Km²). Keadaan topografi wilayah Kabupaten Karangasem
beraneka ragam dan merupakan wilayah yang dinamis terdiri dari : daerah dataran, perbukitan hingga
daerah pegunungan. Selain itu wilayah Kabupaten Karangasem juga memiliki bentangan pantai
sepanjang 87 km. Secara Administrasi Kabupaten Karangasem terdiri dari 8 Kecamatan, 3 Kelurahan,
75 desa, 581 Banjar Dinas/Lingkungan, 190 Desa Adat dan 605 Banjar Adat.
bangunan di Bali biasanya terlihat berbentuk empat sudut Selain pengaruh Eropa, sentuhan oriental Cina bisa
dilihat pada bentuk jembatan dan puncak angkul-angkul sepanjang jembatan. Bentuknya yang meruncing di
ujung dan mirip mahkota diadaptasi dari model struktur bangunan di Cina. Sedangkan atap yang dibangun lebih
mirip masjid. "Bisa jadi saat itu beliau memang terpengaruh Timur Tengah,"
1) Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah
Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1655);
2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4247);
3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168);
7) Peraturan Dareha Kabupaten Karangasem Nomor 11 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Karangasem;
8) Peraturan Dareha Kabupaten Karangasem Nomor 7 Tahun 2003 tentang RDTR Kawasan Pariwisata
Ujung;
9) Peraturan Dareha Kabupaten Karangasem Nomor 17 tahun 2006 tentang RDTR Kota Amlapura.
BAB IV Berisikan beragam tantangan dan permasalahan yang sangat krusial yang dihadapi oleh
beragam aset termasuk juga aktor2 nya dalam melakukan pelestarian pusaka diantaranya:
Bcana Alam, Ulah Manusia, Desakan Pembangunan Kota (Transportasi, Pariwisata, desakan
ekonomi), Tata Kelola Pemerintah, Keterbatasan Pendidikan dan SDM Pelestarian
BAB V Berisikan Visi Kota Pusaka terkelola “keunggulannya” , Misi : Melakukan aksi yang terdiri dari
mengelola manajemen pusaka dan olah disain pusaka
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
7
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
BAB VI Berisikan Manajemen Kota Pusaka menyangkut Kelembagaan dan Peran Pemangku
Kepentingan, Inventarisasi, Analisis dan Penetapan Pusaka, Informasi, Edukasi dan Promosi,
Pengelolaan resiko bencana untuk pusaka /PRBP, Perencanaan dan Olah Disain Kota
Pusaka, Pengembangan karakter dan kehidupan, Pengembangan ekonomi pusaka, Olah
Disain Bangunan dan Ruang Terbuka,dan Rencana Tata Ruang dan Lingkungan Alam
menyangkut Rencana Perlindungan,Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan,Rencana
Tata Ruang dan Rencana Pengembangan Kelembagaan dan Kemitraan
BAB VII Berisikan Manajemen Kota Pusaka diantaranya :Kelembagaan dan Peran Pemangku
Kepentingan, Inventarisasi, Analisis dan Penetapan Pusaka , Informasi, Edukasi dan Promosi,
Pengelolaan resiko bencana untuk pusaka /PRBP. Juga berisikan Perencanaan dan Olah
Disain Kota Pusaka diantarnya Pengembangan karakter dan kehidupan, Pengembangan
ekonomi pusaka,Olah Disain Bangunan dan Ruang Terbuka dan Rencana Tata Ruang dan
Lingkungan Alam
BAB II
PROFIL KOTA PUSAKA KARANGASEM
Terbatasnya dokumen terkait dengan peta kota maupun Wilayah Kabupaten Karangasem
mengakibatkan pendeskrifisan ataupun gambaran perkembangan kota secara spasial yang dapat memberikan
gambaran tentang morfologi kota mengalami kesulitan. Untuk itu pendeskrifsian morfologi kota ini Kami Tim
Pusaka masih mengupayakan dengan terus melakukan penelusuran dokumen-dokumen khsusunya peta lama
ataupun dokumen secara visual yang dapat memberikan gambaran perkembangan kota lama sampai saat ini.
Namun demikian dari kondisi lapangansaat ini dan pengamatan yang ada menggambarkan Kota
Amlapura dengan Puri sebagai pusat pemerintahan masa lalu sama halnya dengan kota-kota lama lainnya
khususnya di jawa dengan sistem kerajaan maka Puri Agung maupun Puri Gede Karangasem sebagai pusat
pemerintahan, berdampingan dengan alun-alun Amlapura sebagai tempat/space bagi masyarakat berinteraksi,
berdekatan dengan Pasar Amlapura sebagai pusat perdagangan, serta pura Meru sebagai tempat
persembahyangan baik raja maupun masyarakat. Empat Elemen inilah penanda bahwa Kota Amlapura
merupakan kota lama. Sekitaran Puri menyebar perkampungan yang dihuni oleh beberapa etnis diantaranya
Bali dengan agama Hindunya, Cina dengan agama dan keyakinan Budhanya, Sasak/Lombok dengan agama
Muslim. Penempatan kampung ini terlihat berpola mengelilingi Puri. Kampung atau banjar-banjar ini memiliki
nama yang khas dan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan puri sebagai pusat kerajaan.
Namun di era kemerdekaan pusat pemerintahanpun bergeser demikian juga permukiman mulai
berkembang dan menyebar menysuaikan dengan perkembangan dan ketersediaan lahan dengan pemanfaatan
baik berdagang maupun hunian tetap. Jadi secara fiksik kota terlihat bahwa Kota lama masih terlihat jika
dilakukan deliniasi. Kedepan akan terus diupayakan mencari dan melakukan kajian terhadap perkembangan
kota dari sisi morfologi kota.
Bukit Jambul terletak di desa tradisional Pesaban, Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Bali. Objek
wisata Bukit Jambul terletak 8 km dari Kabupaten Klungkung, 51 km dari Denpasar atau 15 km dari Pura
Besakih. Tempat ini berada di perbatasan antara Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Karangasem, maka bila
kita hendak mengunjungi atau tour ke Pura Besakih melalui Kabupaten Klungkung, otomatis kita akan melewati
Bukit Jambul. DTW Bukit Jambul dikenal sebagai tujuan wisata yang mengagumkan karena kombinasi harmonis
antara perbukitan, persawahan, lembah, dan panorama laut yang indah. Dari ketinggian bukit kita bisa
menyaksikan keindahan alam di bawahnya. Sebagai objek wisata persinggahan, yang berada pada ketinggian
500m diatas permukaan laut, Bukit Jambul memiliki hawa yang cukup sejuk, serta menyajikan pemandangan
alam yang sangat indah. Dari atas kita dapat menyaksikan hamparan bukit serta lembah
dengan perpaduan areal sawah teraseringnya. Mata kita juga dimanjakan dengan pemandangan laut lepas yang
terlihat dari atas. Dan dari kejauhan akan tampak gugusan pulau Nusa Penida.
Pusaka Bukit Jambul merupakan salaha satu persinggahan wisatawan khususnya wisata alam yang
dimiliki Kabupaten Karangasem, yang terletak di atas bukit sehingga udara di sekitarnya terasa sejuk dan
nyaman. Seperti pemandangan alam lainnya di kabupaten Karangasem, daya tarik wisata dari Bukit Jambul juga
terdapat pada pemandangan alam di antara perpaduan panorama perbukitan, persawahan, lembah-lembah, dan
panorama laut. Dari tempat ketinggian di Bukit Jambul ini, wisatawan dapat menyaksikan keindahan
pemandangan alam yang sangat menawan dan mempesona. Di pinggir jalan yang menanjak dan berliku-liku
dapat kita saksikan petak-petak sawah yang bertingkat (terasiring) dan pohon-pohon cengkeh yang subur
tumbuh di kawasan perbukitan ini. Di sebelah timur akan tampak terlihat perbukitan yang menjulang tinggi yang
berada di wilayah Sidemen dan di sebelah selatan akan tampak persawahan yang berada di wilayah kabupaten
Klungkung dan sekitarnya serta di kejauhan terlihat pemandangan laut lepas di selatan kabupaten Klungkung.
Sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW), Bukit Jambul sudah dilengkapi dengan areal parkir yang luas dan
terdapat sebuah rumah makan (restaurant) yang cukup bagus dan besar serta mampu menampung kapasitas
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
10
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
untuk wisatawan yang singgah dalam bentuk grup ataupun rombongan. Bukit Jambul juga merupakan sebagai
tempat peristirahatan (stopover) sehingga seringkali disinggahi oleh wisatawan baik mancanegara maupun
nusantara yang akan berwisata ke DTW Pura Besakih ataupun pada saat mereka kembali dari Besakih. Pada
umumnya para wisatawan yang singgah di sini untuk makan siang dan minum, sambil beristirahat melepas lelah
mereka juga dapat menikmati panorama alam Bukit Jambul yang suasananya tenang dan sejuk. Sering pula
wisatawan yang singgah mengabadikan dengan kameranya pemandangan alam Bukit Jambul.
Menurut keterangan dari orang-orang tua desa Pesaban, nama Bukit Jambul baru ada dan dikenal sejak
pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, di mana pada saat itu nama Bukit Jambul tersebut diberikan oleh
para wisatawan yang berkunjung. Nama Bukit Jambul diambil dari bukit yang menjulang tinggi yang berada di
sebelah selatan jalan jurusan antara Klungkung dengan Besakih. Di atas bukit tersebut terdapat sebuah pura
yang bernama Pura Puncak Sari. Di sekitar area Pura Puncak Sari ditumbuhi oleh pepohonan yang besar-besar
dan sangat lebat. Sedangkan di bawah komplek pura tersebut terdapat persawahan penduduk sehingga puncak
bukit yang berhutan lebat itu tampak kelihatan seperti "Jambul". Dan pura yang berada di puncak bukit tersebut
sekarang adalah Pura Ulun Carik yang diemongi oleh para petani setempat. Sebelum bernama Bukit Jambul,
lingkungan persawahan yang ada di sebelah selatan jalan raya disebut dengan nama Babad Kelod. Sedangkan
daerah tegalan dan persawahan yang berada di sebelah utara jalan raya disebut dengan nama Babakan Kaja.
Oleh karena itu, dengan terdapatnya bukit yang terlihat seperti berjambul dan yang sekarang ini menjadi daya
tarik wisatawan maka lama kelamaan kawasan tersebut dikenal dengan nama Bukit Jambul. Secara geografis
deliniasi dari DTW Bukit jambul adalah secara pokal point berada di Desa Pesaban Kecamatan Rendang dan
sisi timur sejauh hamparan persawahan sampai kecapatan Sidemen dan perbatasan Kabupaten Kelungkung.
Pusaka alam DTW Iseh sudah terkenal sejak sebelum perang kemerdekaan. Dahulu pernah tinggal
seorang pelukis terkenal dari Jerman bernama Walter Spies yang hidup antara tahun 1895 hingga tahun 1942.
Di kawasan Iseh Walter Spies membangun sebuah gubuk kecil yang dijadikan sanggar untuk tempat melukisnya
dan di tempat inilah dia menghasilkan lukisan-lukisan terbaiknya. Di samping sebagai pelukis, Walter Spies juga
tertarik pada kesenian gamelan Bali. Pergaulannya dengan masyarakat setempat sangat erat, khususnya
dengan para seniman-seniman. Bahkan Walter Spies menjadi penyokong dana untuk dua sekeha gamelan yang
ada di Iseh. Pada bulan Januari 1942 menjelang beberapa hari sebelum Jepang menyerang pulau Jawa, Walter
Spies dengan beberapa warga negara Jerman lainnya diungsikan ke India. Namun kapal yang ditumpanginya
diserang oleh pesawat pembom Jepang sehingga tenggelam dan Walter Spies ikut tenggelam menjadi korban.
Selain Walter Spies, di Iseh juga pernah tinggal pelukis terkenal lainnya berwarga negara Swiss yang bernama
Theo Meier yang lahir di Bale, Swiss pada tanggal 31 Maret 1908. Theo Meier juga tinggal menetap di Iseh dan
banyak melukis tentang pemandangan alam desa Iseh dengan latar belakang Gunung Agung. Obyek-obyek
lukisannya mengenai kehidupan sehari-hari penduduk setempat, para penari, dan juga upacara-upacara adat
setempat. Atas jasa-jasa kedua pelukis tersebut, melalui lukisan-lukisannya yang membuat keindahan alam Iseh
menjadi dikenal hingga saat ini.
Sebagai pusaka alam, DTW Iseh terdapat beberapa fasilitas untuk penginapan dan beberapa buah
berada di desa Sidemen. Desa Sidemen juga memiliki pemandangan alam yang tidak kalah menariknya dengan
di Iseh. Selain itu, sarana penunjang wisata lainnya yaitu industri kecil masyarakat setempat berupa tenunan
kain Endek dan Songket yang dibuat dengan menggunakan alat-alat yang masih tradisional. Wilayah deliniasi
Pusaka alam Iseh yaitu Iseh sebagai pokal pint dengan jarak sejauh hamparan sawah dan perbukitan yang ada
disekitarnya.
Putung terletak di desa Duda Timur, kecamatan Selat, Karangasem. Jaraknya sekitar 64 km dari kota
Denpasar, ±19 km dari kota Amlapura ibukota Kabupaten Karangasem. Putung di dalam RTRW Kabupaten
Karangasem ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Strategis Kabupaten dari sisi karena memiliki potensi
keindahan alam yang cukup potensial. Putung letaknya di daerah pegunungan yang dikelilingi oleh perkebunan
salak. Daya tarik utama DTW Putung adalah keindahan alam yang merupakan perpaduan antara panorama
perbukitan, lembah, laut, hutan, dan perkebunan salak dengan hawa sejuk menyegarkan.
Dari tempat ketinggian dapat dilihat petak-petak sawah milik penduduk di desa Buitan Kecamatan
Manggis, Labuhan Amuk dan Pelbuhan Cruise Tanahampo dengan lautnya yang membentang luas membiru
dengan perahu-perahu ( jukung ) nelayan yang sedang berlayar, kapal pesiar ( cruise ) yang kebetulan datang
bersandar, dan dikejauhan Pulau Nusa Penida nampak jelas terlihat. Obyek wisata Putung berdekatan
lokasinya dengan DTW Agrowisata Salak Sibetan di Kecamatan Bebandem. Putung menjadi terkenal dengan
keindahan panorama alamnya berkat lukisan Mr. Christiano, seorang pelukis asal Italia yang tinggal beberapa
lama di Putung dan memperistri seorang wanita Karangasem dari Desa Manggis.
Wilayah Deliniasi Pusaka DTW Putung mencakup Desa Duda Timur Kecamatan Selat dan Desa
Manggis Kecamatan Manggis.
Tulamben sudah sangat terkenal di kalangan penyelam domestik maupun mancanegara. Pusaka
Tulamben berada di Desa Tulamben Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. Jarak Tulamben dari Kota
Amlapura sekitar 40 Km ke arah utara. Di perairan Tulamben terdapat Bangkai Kapal USS Liberty yang karam
di tahun 1945. Kawasan perairan Tulamben yang terletak di Kecamatan Kubu ini kaya akan biota laut. Ditambah
dengan bangkai Kapal USS Liberty yang sangat mudah diakses dan menyajikan berbagai mahluk bawah laut
mulai dari yang kecil seperti siput laut, kepiting dan udang, ghost pipefish dan pygmy seahorse sampai yang
besar seperti hiu, ikan Mola mola, dan lain lain. Saat ini pemerintah Kabupaten Karangasem bekerjasama
dengan pihak swasta menetapkan kawasan perairan Tulamben sebagai “Kubu Marin Park”. Berikut adalah
beberapa situs penyelaman yang ada di Tulamben:
Terkenal sebagai salah satu tempat menyelam di bangkai kapal yang paling mudah diakses di dunia.
Akses dari pantai dan USS Liberty hanya 30 meter dari pantai dengan kedalaman maksimum sekitar 30 meter.
Penyelaman diawali dengan sambutan surgeonfish yang sangat jinak dan tak jarang di tengah penyelaman
ditemukan segerombolan bumphead parrotfish, seekor great barracuda dan berbagai siput laut yang warnanya
sangat cantik.
Gambar
2.6 Pusaka Alam Tulamben Wall (Drop Off)
c. Paradise Reef
Penyelaman biasanya dimulai di sebelah utara dari Resor Paradise, di kedalaman 3-4 meter akan
ditemukan terumbu karang buatan yang kerangkanya berbentuk pesawat. Beberapa pemandu selam
menyebutnya sebagai Aeroplane Wreck. Di sini seringkali ditemukan berbagai siput laut, shell dan berbagai jenis
kepiting dan udang. Tempat yang ideal untuk penyelaman malam karena dangkal dan kehidupan malam bawah
airnya cukup beragam.
d. Matahari Reef
Persis di depan Matahari Tulamben Resort, ternyata di setiap gugusan terumbu karang kecil (patch)
selalu ditemukan beraneka ragam mahluk langka. Merupakan tempat yang baik untuk berlatih fotografi bawah
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
14
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
air. Safety stop di daerah dangkal merupakan tempat yang menarik untuk melihat keindahan dan warna warni
terumbu karang serta berbagai jenis ikan yang cocok untuk dipakai sebagai objek foto wide angle.
e. Seraya
Surga bagi para fotografer makro bawah air. Harlequin shrimp dan kuda laut merupakan bagian dari
objek foto sehari-hari. Di samping itu banyak sekali objek makro yang langka yang ditemukan di sini seperti
berbagai jenis siput laut dan mimic octopus serta berbagai kepiting dan udang yang cantik dan langka. Dapat
diakses dari Tulamben dengan jukung (perahu nelayan tradisional) atau dengan jalan darat sekitar 5 menit ke
arah selatan.
f. Kubu
Sekitar 15 menit perjalanan darat ke arah utara dari Tulamben, belok ke arah kanan, akan ditemui
sebuah situs penyelaman yang cukup menarik. Terumbu karang cukup sehat dan banyak jenis ikan ditemui.
Pada tahun 2003, pernah ditemukan sekitar 8-10 pygmy seahorse hidup di dalam 1 sea fan.
Wilayah deliniasi pusaka bawah laut Tulamben membentang sepanjang pantai Desa Bunutan, Desa
Purwakerti, Desa Datah, Desa Tulamben, Desa Kubu dan Desa Baturinggit Kecamatan Kubu Kabupaten
Karangasem.
Gambar 2.10 Pusaka Alam 8-10 pygmy seahorse hidup di dalam 1 sea fan
Filosofi , Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat bersemayamnya
Tuhan, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki
keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang
dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk
wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan
untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-unsur
kebudayaan yang meliputi:
1. Sistem pengetahuan,
2. Peralatan hidup dan teknologi,
3. Organisasi sosial kemasyarakatan,
4. Mata pencaharian hidup,
5. Sistem bahasa,
6. Religi dan upacara, dan
7. Kesenian.
Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud
budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami
perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.
Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari
kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang berkembang
menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa
Hindu. Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat
ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi. Pada
tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai
budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan
dengan ajaran Agama Hindu.
Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari
perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan
unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga memengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya
aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut
tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan
ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada
TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu Dharma di
Bali. Deliniasi Pusaka Kawasan Suci Besakih yaitu dengan titik tengahnya Pura Besakih sejauh 5 Km.
2. Aset Pusaka Budaya Ragawi Puri Agung Kanginan Karangasem
Puri Agung Karangasem terdiri atas tiga bagian, yakni Bencingah, Jaba Tengah, dan maskerdam.
Bencingah merupakan bagian depan dari Puri, dimana kesenian tradisional sering dipentaskan. Jaba Tengah
yang menjadi kebun puri dengan kolam. Di tengah kolam terdapat sebuah bangunan yang disebut “Balai Gili”
atau gedung mengambang. Bagian ketiga adalah Maskerdam, yang diberikan setelah nama kota Amsterdam,
sebuah kota di Belanda. Bangunan ini dibangun pada awal Raja Karangasem memulai hubungan dengan
Pemerintah Belanda. Arsitektur Bali, bisa kita lihat dari ukiran-ukiran hindu dan relief-relief yang ada di dinding.
Pengaruh Eropa bisa terlihat dari bangunan utama dengan serambi atau beranda yang luas.
Arsitektur China terlihat pada jendela, pintu dan ornamen-ornamen lainnya. Di Puri Agung Karangasem,
Keunikan arsitektur dalam bangunan peninggalan itu, karena kekhasannya di mana arsitektur Bali dipadukan
dengan arsitektur Cina bahkan Belanda. Barang antik perabotan rumah tangga atau perlengkapan kerajaan
tempo dulu, juga masih terpelihara dengan baik.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa di lingkungan Puri Agung ini ada bangunan yang dinamai
Maskerdam, mirip dengan nama ibu kota Kerajaan Belanda, Amsterdam. Biasanya raja-raja Karangasem zaman
dulu menggunkan bangunan ini untuk menerima tamu-tamu pentingnya. Di sisi selatan juga ada balai gili (pulau
kecil), yakni sebuah bangunan yang dikelilingi kolam dengan tumbuhan bunga tunjungnya.
b. Pola dan Arsitektur Puri
Puri Agung Kanginan memiliki dua pola yaitu pola tradisional dan pola modern. Ada beberapa hal yang
menarik dari puri Kanginan baik ditinjau dari segi pola maupun arsitekturnya. Pada bagian yang mengikuti pola
tradisional terdapat beberapa nama petak yang tidak ditemukan pada pola Puri Gede Karangasem dan pola
sanga mandala walaupun nama-nama petak dari pola tradisional ada beberapa yang berbeda dalam istilah
namun fungsinya tetap sama. Nama-nama petak tersebut diantaranya Jontail, tempat keluarga raja, keramen,
tempat orang bekerja untuk keperluan pesta, pamlesatan adalah pintu keluar untuk menyelamatkan diri bila ada
serangan mendadak.
Dari segi arsitektur beberapa bangunan mempunyai gaya dan corak hiasan yang menunjukkan kena
pengaruh kebudayaan Cina dan kebudayaan Eropa. Pada masa pemerintahan I Gusti Gede Jelantik di
karangasem tercatat sembilan belas orang Cina diantaranya ada yang pandai di bidang bangunan dan seorang
bernama Yap Sian Liat diangkat sebagai syah bandar di Pasir Putih. Di Puri Agung Kanginan sebagaiman telah
diuraikan diatas juga terdapat beberapa bangunan bercorak Eropa dan Cina (Tiongkok). Demikian juga nama-
nama bangunan seperti Maskerdam, Gedong Betawi, Gedong Yogya, Londen, nama-nama ini menyerupai nama
kota-kota di Jawa maupun Eropa. Yang pling unik adalah adanya Bangunan sebuah Gili (balai kambang) sebuah
bangunan di tengah-tengah Kolam disebelah Bale Pepelik, yang digemari oleh raja-raja Karangasem pada
umumnya baik di Bali maupun di Lombok. Selain itu juga terdapat bangunan tinggi yang terdapat disudut
bencingah di sebut lembu agung atau balai tengah yang diperuntukkan sebagai tempat raja melepaskan lelah.
Disekitar puri terdapat tempat tinggal roban dan parekan yang bertugas sebagai abdi dan menjaga keselamatan
puri.
menjadi ulasan khusus pula didalam Rencana Aksi Kota Pusaka ini. Selain kedua taman tersebut sebenarnya
dulu juga dibangun Taman Sata Srengga dan Taman Sekuta namun keberadaanya saat ini sudah tidak utuh
lagi. Selain peninggalan aset-aset yang luar biasa tersebut juga terdapat aset budaya lain diantaranya :
Maskerdam
Maskerdam adalah sebuah bangunan dengan tiga pintu masuk dengan ciri khas Karangasem yang dibangun
tahun 1900 yang berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu sekaligus sebagai tempat tinggal
raja.
Balai Tegeh
Bale Tengah adalah sebuah bale yang tinggi dengan akulturasi atau perpaduan arsitektur cina dan tetap
menonjolkan ciri arsitektur Bali yang dibangun oleh orang-orang Cina yang menjadi syah bandar di pasir
Putih pada tahun 1870.
Bale Gili
Bale Gili yaitu Bangunan yang difungsikan untuk menerima tamua ataupun tempat istirahat keluarga raja
yang terletak di sisi selatan Puri tepatnya di tengah kolam sehingga disebut “Balai Gili” atau gedung
mengambang yang dikelilingi kolam dengan tumbuhan bunga tunjungnya.
dari Klungkung. Corak arsitektur Klungkung terlihat pada salah satu unit bangunan puri, yakni unit
pengaruman yang bernama gedong (tempat pemereman) pada langit-langitnya terdapat lukisan
wayang yang agak kabur yang menggambarkan (1) cerita Sang Garuda mencari tirta amerta ke sorga,
(2) cerita tentang atma-atma di neraka, dan (3) cerita tentang perbintangan. Kesemua lukisan tersebut
sangat mirip dengan lukisan wayang yang ada di Kertagosa, klungkung. Sedangkan pada tahap kedua
pembangunan puri Gde Karangasem yang dilaksanakan oleh I Gusti Anglurah Gde Karangasem
(Dewata di Tohpati) setelah menang melawan kerajaan Buleleng mendatangkan undagi Buleleng dan
ukiran-ukiran style Buleleng terlihat pada unit Pemerajan. Selanjutnya pada tahap ketiga pembangunan
puri Gde Karangasem terlihat pengaruh arsitektur Cakranegara, Lombok yang bernuansa arsitektur
Majapahit di bawa oleh I Gusti Gde Putu, dengan meniru bentuk dan pola puri Cakranegara, antara lain
Taman Gili, kolam dan permandian, kuri agung dan sebagainya.
Disamping ketiga jenis arsitektur tersebut, juga pembangunan puri Gde Karangasem
memasukkan unsur-unsur arsitektur Cina dan Belanda. Misalnya, seorang arsitektur Cina yang
bernama Lo To Ang ikut membantu pembangunan puri, antara benerapa unit bangunan puri
menggunakan tata rias bahan-bahan keramik dari Cina, disamping satu banguanan unit rangki yang
bernama bale Mas menggunakan kontruksi Cina dengan bahan dari kayu serta tiang-tiang dibuat dari
besi yang terlihat pada unit Kawi sunia. Sedangkan Professor Belanda yang bernama Van der Heutz
ikut membantu dalam pembuatan puri, seperti adanya hiasan-hiasan cetak beton pada unit bangunan
di Kertasura, bangunan Bale Tengah (unit rangki), adanya unit Room/Rome adalah pengaruh nama
Belanda untuk pemereman.
Puri Kelodan yang dianggap sebagai cikal bakal kerajaan Karangasem yang disebut puri Amlaraja.
Di puri ini banyak terdapat beberapa peninggalan bersejarah sebagai warisan bagi generasi sekarang
(2003). Peninggalan bersejarah yang yang terdapat di puri ini dalam bentuk bangunan menggunakan
konsep nawa mandala, benda-benda pusaka seperti keris, tombak dan lain-lain, termasuk juga
peninggalan karya sastra berupa lontar-lontar.
Beberapa peninggalan bersejarah yang terdapat di Puri Kelodan, antara lain : (a) Petandakan
adalah sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tidur raja Karangasem I, dimana didalam
bangunan ini dijumpai batu datu sebagai singasana raja. (b) Pesaren Dangin dimana didalam
bangunan ini dijumpai tempat lahirnya Ida Bhatara Alit Sakti.
Dusamping peninggalan bersejarah berupa bangunan, juga ada peninggalan pusaka-pusaka.
Menurut informasi yang dihimpun oleh I Gusti Agung Putu Agung, diinformasikan bahwa di Puri
Kelodan ada beberapa buah pusaka puri dari peninggalan leluhur beliau, antara lain : berupa empat
bilah keris, sebuah pedang, sebuah tombak tanpa tangkai, dan empat buah tombak lengkap. Nama –
nama pusaka peninggalan bersejarah tersebut tidak ada informasi yang menjelaskan nama dan kasiat
pusaka peninggalan tersebut. Di samping itu, juga dijumpai peninggalan pakaian raja, pecanangan
perak, dan pewiduhan Perak.
a.Gambaran Umum
Taman Soekasada Oejoeng lebih dikenal dengan sebutan Taman Ujung. Pada abad ke 16 Bali yang
berada dibawah kekuasaan kerajaan Gelgel dengan kepeminpinan Raja Agung ke 4 Dalem Batu Renggong
kehidupan beragama dan seni yang berhubungan dengan keagamaan berkembang di Bali. Saat itu kalender
Hindu Bali dan Hindu Jawa bergabung menjadi satu kalender, ini mencerminkan ketaatan umat hindu dan saat
ini dalam menjalankan ritual keagamaan yang kompleks.
Ketika kekuasaan kerajaan Gelgel berkurang banyak kerajaan kecil muncul di Bali. Selama 300 tahun
kerajaan-kerajaan kecil tersebut menikmati kehidupan menyendiri sedangkan masyarakatnya lebih
mengembangkan diri dalam tarian tradisional,musik,melukis,seni pahat,puisi, drama dan arsitektur. Setelah
invasi Belanda pada tahun 1908 beberapa raja memperoleh status menjadi Bupati yang berada dibawah
pemerintahan kol dan kekayaannya. Raja Karangasem juga mendapat kekuasaan untuk mengatur daerahnya
raja terakhir yaitu Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem (1909-1945). Beliau dikenal memiliki nilai
budaya tinggi salah satu hasil karyanya yaitu Taman Soekasada Oejoeng yang pembangunannya mulai tahun
1919 sampai tahun 1925 namun upacara pembukaannya dilaksanakan tahun 1921.
Di taman ini terdapat tiga buah kolam besar dan luas, di tengah kolam paling utara terdapat bangunan
utama yang dihubungkan oleh dua buah jembatan. Di sebelah kolam terdapat taman dan pot bunga serta
patung-patung. Bentuk bangunan sangat megah dan khas karena perpaduan antara arsitektur Eropah dan Bali.
Di sebelah Barat kolam di tempat yang agak tinggi terdapat sebuah bangunan yang berbentuk bundar disebut
"Bale Bengong" tempat untuk menikmati keindahan taman dan sekitarnya. Untuk mencapai puncak perbukitan
sebelah Barat Taman dibuat undak-undakan yang tinggi dan lebar. Di sebelah Utara taman di atas bukit terdapat
patung Warak yang besar di bawahnya patung banteng dan dari mulut kedua patung ini air memancur keluar
menuju kolam.
Dari puncak bukit ini kita dapat menyaksikan pemandangan alam yang betul-betul indah dan
mengagumkan. Jauh di sebelah Timur Laut terlihat bukit Bisbis yang hutannya subur menghijau, di arah Selatan
terlihat laut luas membentang dan di sekitar Taman terlihat petak-petak sawah menghijau perpaduan alam
pegunungan dan alam laut inilah yang merupakan daya tarik taman ini bagi para wisatawan. Sayang
peninggalan budaya yang megah ini telah hancur akibat gempa bumi yang terjadi pada waktu Gunung Agung
meletus, terutama sekali akibat gempa yang terjadi tahun 1979.
c.Arsitektur Taman Soekasada Ujung.
Berdasarkan hasil-hasil penyelidikan arkeologis-historis dapat diketahui bahwa taman ini adalah sebuah
contoh hasil akulturasi budaya yang serasi antara arsitektur tradisional lokal (Bali) dengan arsitektur Eropa,
Cina dan Timur Tengah. Arsitektur Bali terlihat jelas pada motif dekorasinya berupa cerita-cerita wayang serta
motif patra lainnya, arsitektur Belanda terlihat pada bentuk bangunannya yang memiliki gaya indis, dan arsitektur
Cina terlihat pada pembuatan gapura masuk, kolam segidelapan, dan Bale Bundar (bale bengong).
Ragam arsitektur bertebaran di Taman Gili. "Campursari" itu terlihat jelas pada bagian pilar- pilar Pilar itu
sangat khas Portugis," Pengaruh Eropa lainnya terlihat pada kubah bentuk setengah lingkaran yang
memperlihatkan konsep dome meski dalam skala kecil. Kubah ini berbentuk delapan sudut. "Padahal atap
bangunan di Bali biasanya terlihat berbentuk empat sudut Selain pengaruh Eropa, sentuhan oriental Cina bisa
dilihat pada bentuk jembatan dan puncak angkul-angkul sepanjang jembatan. Bentuknya yang meruncing di
ujung dan mirip mahkota diadaptasi dari model struktur bangunan di Cina. Sedangkan atap yang dibangun lebih
mirip masjid. "Bisa jadi saat itu beliau memang terpengaruh Timur Tengah," Sang pendiri taman, dengan
kemampuan teknis- arsitektural, estetik dan kasat mata menggunakan konsepsi kosmologi masyarakat Bali
sebagai landasan ideologis, telah berhasil memanfaatkan bentang alam dan lingkungan di sekitarnya yang
berteras-teras dengan gunung-gunung sebagai latar belakang alami, sumber air, sungai-sungai danpesisir
Pantai Ujung. Relief-relief Taman Sukasada Ujung, yang ada pada dinding bangunan, pada Pilar, itu
menceritakan epos Ramayana dan Mahabharata, seperti kesukaan Djelantik pada sastra," kata Anak Agung.
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
26
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Sistem pertukangan yang digunakan sudah modern, yakni pengecoran serta penggunaaan cetakan untuk
membuat relief di dinding bangunan. Ketika itu, cara semacam itu baru dan langka.
1) Gapura (Gerbang)
Gapura ini terletak dibagian barat dan merupakan pintu masuk utama menuju taman dan disebut
dengan nama gerbang Utama. Gapura ini mempergunakan desain dan langgam arsitektur yang merupakan
perpaduan antara arsitektur Eropa dan Bali. Adapun elemen arsitekturnya adalahmempergunakan dua buah
pilar beton yang tersambung dengan pelengkungan besi dan sebuah portal kayu sebagai penguatnya. Semua
sisi portal memiliki relief wayang dari tokoh Ramayana dan Bharatayudha. Sedangkan di bagian depan gapura
terdapat dua buah arca penjaga (Dwarapala). Bangunan gapura ini diapit dengan pagar keliling yang penuh
dengan jeuji yang berbentuk bunga-bungaan dan sulur-suluran.
2) Gapura II
Terletak di bagian selatan bentuk bangunan Gerbang ini berupa candi Bentar dan disebut pula Gerbang
Service. Bangunan ini menggunakan ciri khas desain dan langgam arsitektur tradisional Bali
3) Gapura III
Gapura ini terletak dibagian barat dan merupakan pintu masuk utama menuju taman dan disebut dengan
nama gerbang Utama. Gapura ini mempergunakan desain dan langgam arsitektur yang merupakan perpaduan
antara arsitektur Eropa dan Bali. Adapun elemen arsitekturnya adalahmempergunakan dua buah pilar beton
yang tersambung dengan pelengkungan besi dan sebuah portal kayu sebagai penguatnya. Semua sisi portal
memiliki relief wayang dari tokoh Ramayana dan Bharatayudha. Candi ini jika di lihat ada kemiripan dengan
Gerbang utama dari sisi barat.
4) Gapura IV
Gapura ini terletak dibagian timur, berdasarkan fungsinya gapura ini disbut pula Gerbang Ceremonial.
Elemen arsitekturnya sebagaimana layaknya Candi Bentar yang terdiri dari bagian bawah, bagian atas dan
bagian tengah serta mempergunakan langgam desain arsitektur tradisional Bali.
untuk menjamu Para tetamu Raja, yang merupakan Tamu Kehormatan Raja. Pasca bencana Gunung Agung
meletus tahun 1963 Taman Ujung baru dilakukan Revitalisasi tahun 1995 oleh Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Bali NTB NTT. Kegiatan pemugaran tersebut dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan dan studi
teknis yang telah dilaksanakan pada tahun 1994-1995. Revitalisasi dilakukan bertahap dan berlangsung sampai
tahun 2000 dan telah berhasil mengembalikan dua buah bangunan kanopi dan jembatan menuju Balai Gili.
Sejak tahun 2001 sampai 2003 kegiatan revitalisasi Taman ujung dilakukan oleh bantuan Bank Dunia.
Sejak Deliniasi Kawasan Pusaka Taman Soekasada Ujung jika mengacu pada Perda RDTR Kawasan
Pariwisata Ujung yaitu Perda No 7 tahun 2003 diatur Zona Inti Taman Soekasada Ujung selebar 500 meter
dengan pokal point Taman Ujung.
7) Balai Kapal
Bangunan Balai Kapal terletak sejajar dengan Balai Lunjuk dibagian barat taman, yaitu pada areal
terasering paling atas. Bentuk denah bangunan Balai kapal adalah segi empat sama sisi (bujur sangkar) dan
berukuran 5x5 meter. Berdasarkan hasil analisa visualisasi melalui poto bagian atas/atap berbentuk pelana dan
pada sisi depan dan belakangnya ditutup oleh semacam cornice. Bagian dinding berupa 12 kolam tiang
penyangga yang dirangkai oleh relungan dinding bagian atasnya yang dilengkapi dengan hiasan kala yang
distilir dari bentuk mahkota raja. Bangunan Balai Kapal didesain dan langgam arsitekturnya merupakan
perpaduan antara Eropa dan Bali.
8) Kolam I-V
Kolam I berada disebelah utara Kolam II berukuran 120 Meter dan lebar 87 meter, ditengah terdapat
Balai Gili. Kolam II terletak disebelah selatan kolam dengan ukuran 105x93 meter ditengah-tengah kolam
terdapat bangunan Balai Kambang.Kolam III terletak disebelah timur kolam II, berbentuk persegi panjang
dengan ukuran 65x26 meter, menurut cerita kolam ini disebut kolam Dirah sebagai tempat pembuangan atau
hukuman orang-orang yang bersalah dan merupakan kolam pertama yang dibuat oleh Raja Karangasem. Kolam
IV terletak di sebelah utara kolam I dan berada di timur Balai Warak dengan ukuran 260x125 meter. Kolam V
terletak di utara kolam IV atau tenggara Pura Manikan dengan ukuran 50x8 meter, kolam ini memiliki nilai makna
sebagai kolam suci dan sebagai tempat untuk metirta yatra.
9) Balai Bundar
Balai Bundar yang terletak di sisi sebelah barat kolam I, balai ini berbentuk bundar mulai darai lantai
sampai dengan atapnya, balai Bundar ini memiliki makna sebagai tempat sakral yaitu tempat manakala sang
Raja melakukan yoga semadhi.
12) Terasering
Terasering berada pada barat Taman Ujung dibuat dengan bentuk berteras, saat ini teras sudah
dibuatkan secara permanen untuk menahan tanah dan ditanami pepohonan perindang disamping masih
dimanfaatkan untuk tanaman pala wija. Jumlah terasering yaitu sepuluh buah atau tingkatan.
Balai Gili terletak ditengah-tengah kolam, Balai ini dihubungkan oleh dua buah jembatan yang dapat
diakses dari utara dan selatan. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan keluarga raja atau tamu
raja. Selain dikelilingi kolam disekitarnya juga dikelilingi taman dan pot bunga serta patung-patung. Bentuk
bangunan sangat megah dan khas karena perpaduan antara arsitektur Eropah dan Bali.
Betapa Karangasem kaya akan Peninggalan karya Arsitektur yang bersejarah , seperti Taman Ujung,
Puri Agung dan Taman Air Tirtagangga, yang merupakan satu kesatuan Perencanaan yang mana Puri
Karangasem sebagai Sentral dari kedua Taman tersebut diatas. Jelas kedua Taman ini menggunakan Air
sebagai elemen utama Perwujudan kedua taman tersebut yang ditunjang keindahan Alam sekitarnya.
Taman seluas 1,2 hektar ini dibangun sebetulnya untuk dam pertanian di daerah sekitarnya. Taman air
ini memanfaatkan mata air yang muncul dari kaki bukit di desa Ababi. Dulunya warga sekitar menamakan
daerah ini sebagai embukan yang dalam bahasa Bali berarti mata air. Raja Karangasem membangun Taman Air
ini sebagai pemenuhan kebutuhan warga bagi air bersih dan juga bagi air suci untuk pembersihan dewa atau Ida
Betara. Warga sekitar menganggap air dari mata air di Taman Air Tirtagangga ini sebagai air suci.
Raja Karangasem sendiri dulu kabarnya sering memanfaatkan tempat ini sebagai olah kanuragannya
dan tempat menyepi mencari inspirasi. Raja Karangasem Sang Aristek Otodiak ini juga melihat, fungsi mata air
yang diolah menjadi taman air bisa menjaga kelestarian alam. Air bersih yang mengalir bisa mendinginkan
daerah sekitar dan juga memberikan alternatif wisata bagi warga Bali dan akhirnya turis mancanegara pada
masa kini.
Taman Tirta Gangga merupakan sebuah taman yang lebih diutamakan untuk tempat permandian
karena air yang keluar dari mata air yang sangat jernih dan dingin, menyebabkan para wisatawan yang
berenang di kolam itu menjadi segar. Di samping memiliki air yang jernih dan dingin, juga udara yang sejuk
menyebabkan Taman Tirta Gangga ini sangat mempesona para wisatawan. Beberapa bangunan dan hiasan
sengaja dibuat sesuai dengan spirit dari Puri Agung Karangasem, sehingga antara Taman Tirta Gangga maupun
Taman Sukasada yang terletak di desa Ujung menjadi suatu kesatuan, Perencanaan yang memadukan konsep
Arsitektur Eropah, Cina dan Arsitektur Lokal.
Desa Budakeling di Dalam RTRW Kabupaten Karangasem ditetapkan sebagai salah satu Desa
Trdisional dan Perlindungan Sosial Budaya. Desa Budakeling terletak di Kecamatan Bebandem dengan jarak
sekitar 2 km dari Amlapura. Desa Budakeling merupakan satu-satunya desa Siwa-Budha di Bali. Desa
Budakeling adalah suatu desa yang kental dengan budaya dengan suasana perdesaan dengan pemandangan
Gunung Agung. Di Desa Budakeling rumah-rumah penduduk sekaligus sebagai akomodasi pariwisata dengan
konsep kerakyataan, tiap rumah penduduk di desa Budakeling menyediakan satu hingga dua kamar menjadi
home stay bagi wisatawan. Selama berwisata, wisatawan akan mengikuti kehidupan di rumah warga dan
beradaptasi dengan budaya di Desa Budakeling. Dari penelitian tahun 2001, potensi yang sudah ada di Desa
Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem mulai digali, dan dikembangkan. Kini, desa ini menjadi salah
satu desa wisata di Bali dan mengembangkan potensi bersama warganya dalam konsep pengelolaan desa
wisata yang merupakan konsep berbasis masyarakat. Konsep desa wisata, mengintegrasikan potensi yang ada,
oleh dan untuk warga. Sejarah memperlihatkan desa Budakeling memiliki potensi itu, seperti banyak seniman
asal Karangasem lahir dari desa ini, yang tiap tahun langganan mewakili Karangasem dalam Pesta Kesenian
Bali, para pengerajin perak yang menghasilkan produk-produk kesenian. Dalam membentuk desa wisata
masyarakat desa setempat sangat berperan aktif mereka yang membangun dan mengelola sendiri. Hal ini akan
membangkitkan perekonomian masyarakat. Untuk memberdayakan masyarakat, pihak desa melalui Tim
Pengelola Kegiatan Desa Wisata memberikan pelatihan kepada warga dari masing-masing dusun di Desa
Budakeling agar siap menjadi pendukung sumber daya manusia sebagai tour guide dalam konsep desa wisata.
Desa Budakeling memiliki jumlah penduduk 6.400 jiwa atau sekitar 1124 KK. Konsep desa wisata mulai
dikembangkan di desa ini tahun 2008. Tahun 2009 sudah ada regulasi tamu,dan sepanjang tahun 2011 ada
mulai ada kunjungan wisatawan. Untuk tahun 2012, April sudah mulai ada pesanan dari wisatawan. Sebanyak
21 unit rumah warga pun sudah siap ditempati. “Untuk layanan makanan dan minuman, berusaha menunjukan
kearifan lokal di Desa Budakeling. Budakeling juga merupakan salah satu tempat sentra produksi ikan air tawar
di Karangasem. Untuk minuman pun tidak menyediakan alkohol, Budakeling punya minuman khas yang diberi
mana “terbat”, campuran dari gula merah, jahe, cengkeh, daun jeruk, dan sereh, kemudian direbus, itulah
minuman khasnya. Selain itu juga berbagai jenis sayuran yang dihasilkan petani di Desa Budakeling bisa diolah
dan disajikan. Selama berada ke Desa Budakeling wisatawan diarahkan ke beberapa tempat di desa, seperti
pasar tradisional, sekolah, banjar, kantor perbekel, hingga tempat para pengrajin, seperti pengrajin perak dan
kain tenun. Di pasar tradisional wisatawan bertransaksi dengan pedagang, otomatis akan terjadi tawar-menawar
harga, yang jarang dilakukan wisatawan. Di banjar, wistawan akan diajak untuk mengenal sistem komunikasi
yang ada di Bali yang sering ditandai dengan suara kulkul dan pesangkepan. Di sekolah, wisatawan akan
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
39
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
diminta untuk mengajar bahasa, atau membantu dengan memberikan buku pelajaran dan alat tulis kepada
siswa. Kemudian di kantor Perbekel, wisatawan akan diajak untuk mengenal sistem pemerintahan, sehingga
tahu bagaimana sistem pemerintahan berjalan di desa. Wisatawan juga akan diajak untuk melihat para pengrajin
perak dan tenun. Desa Budakeling juga menyediakan jalur tracking, untuk menikmati suasana perdesaan
bekerja sama dengan desa lain seperti Desa Macang dan Sibetan untuk menikmati potensi kebun salak.
Sebagai penunjang pariwisata, Desa Budakeling juga punya kegiatan dua tahunan, yaitu Pesta Kesenian Bali
(PKB) mini, Pekan Olahraga Seni dan Budaya (Porsenibud). Saat kegiatan ini berlangsung diadakan berbagai
pertandingan olahraga, dan pagelaran seni seperti tarian dan pameran hasil kerajinan dengan membuka stand-
stand pameran di Desa Budakeling. Deliniasi wilayah Pusaka Desa Budakeling meliputi Desa Budakeling dan
desa Sibetan dan Desa Macang.
1. Cakepung
Cakepung adalah teater bertutur Bali yang bernuansa Sasak (Lombok), terutama jika dilihat dari
sumber sastra yang dipergunakan. Lontar Monyeh yang menjadi orientasi satu-satunya kesenian ini memang
berbahasa Sasak. Diduga kesenian ini merupakan sebuah akulturasi seni budaya Bali dengan pulau di
seberangnya itu. Di Lombok kembaran cakepung disebut cepung. Ditaklukkannya Lombok pada tahun 1760 oleh
Raja Karangasem diperkirakan menjadi awal bersemainya kesenian ini, terutama di Lombok Bagian Barat. Dari
Lombok kemudian berkembang ke Bali khususnya di Karangasem. Pada tahun 1920-an, desa-desa seperti ,
Karangasem, Jasi dan Budakeling, sangat menggandrungi Cepung atau Cekepung.
Sejarah seni Cakepung dimulai ketika terdapat kontak antara Bali dan Lombok dimana kekuasaan
dinasti Raja-Raja Karangasem sempat memerintah di Lombok. Intervensi Kerajaan Karangasem terjadi saat
Kerajaan Selaparang Lombok Timur dan Kerajaan Pejanggik Lombok Tengah mengalami kekacauan pasca
kekuasaan Gelgel pada tahun 1640. Saat itu kerajaan karangasem diperintah oleh Raja Tri Tunggal I (I Gusti
Anglurah Ktut Karanagasem dan kedua saudaranya), semenjak diperintah oleh Raja Tri Tunggal I, seluruh
wilayah Lombok berada di bawah pengaruh kekuasaan Karangasem. Kejadian tersebut ada pada tahun 1629M.
Mobilisasi besar-besaran ke wilayah Lombok oleh Laskar Bali (Karangasem) menyebabkan akulturasi
sosial dan budaya sehingga masing-masing suku membuat penyesuaian dengan suku lain yang sangat dekat
jaraknya yang bersifat saling menguntungkan. Adaptasi antara orang Bali dan Sasak di Lombok dikatakan
berhasil dengan harmonis dilihat dari budaya yang berkembang di sana, masing-masing suku melindungi
kebudayaan dan kesenian suku lain sehingga berkembang dengan baik di wilayah Lombok. Salah satu produk
kesenian yang dikembangkan bersama antara suku Bali dengan Hindu-nya dan suku sasak dengan Islam-nya
adalah Cepung.
Kesenian Cepung merupakan adaptasi dari tarian, nyanyian dan pantun yang dimainkan secara
spontan dari para prajurit Bali yang menetap di Lombok sebagai hiburan segar. Seniman Lombok melihat
potensi yang besar untuk dikembangkan di wilayahnya dengan menambahkan instrumen seperti suling dan
rebana sekaligus membuang hal yang dianggap kurang cocok dengan budaya islam di Lombok. Cakepung lahir
pada masa istirahat perang sewaktu Raja Salaparang Lombok menghendaki perdamaian dengan kerajaan
Karangasem. Dilihat dari tekstualnya, Cakepung merupakan kegiatan dimana para prajurit bersenang-senang,
menari sambil duduk bersila mengitari sajian minuman tuak sambil bernyanyi seusai pesta perdamaian.
Kedua statement di atas merupakan persamaan antara Cepung dengan Cakepung, dimana keduanya
memiliki tekstual musikal yang hampir sama namun memiliki latar belakang yang berbeda. Pengaruh
kemenangan kerajaan Karangasem di Lombok membuat banyak masyarakat Lombok hijrah ke Bali sebagai
Tetadtadan atau pengiring Raja. Masyarakat tersebut terbagi menjadi 25 kelompok, beberapa kelompok
masyarakat tersebut masih memeluk agama islam sekaligus melestarikan kebudayaan tradisional asal mereka.
Salah satu kelompok yang berada di perkampungan Tukad Nyuling memiliki kesenian tradisional Rebana Lima
yang sistem permainannya mengadopsi sistem kotekan Bali.
Puri atau Istana sebagai pusat orientasi kebudayaan memiliki peran yang sangat besar perihal
perkembangan budaya yang dimiliki suku Sasak di Bali. Salah satunya adalah dengan menghadirkan seniman
suku Sasak ketika ada pesta atau upacara di Kerajaan dengan menampilkan berbagai kesenian yang mereka
miliki. Kesenian yang paling menonjol untuk ditampilkan adalah Memaos Lontar maupun ber-Cakepung.
Bunyi cek dan pung begitu menonjol dalam kesenian ini. Mungkin dari sinilah muncul nama cakepung
yang hingga kini belum diketahui arti katanya secara pasti. Ritme cek biasanya dipakai dalam tari Kecak,
sedangkan pung merupakan peniruan bunyi terhadap salah satu instrumen gamelan Bali. Kecuali instrumen
rebab dan suling, cakepung memang mengumandangkan sastra dengan iringan musik dari ocehan pemain
dengan menirukan instrumen gamelan.
Lontar Monyeh yang dijadikan acuan teater ini merupakan salah satu versi cerita Panji. Karya sastra
yang ditulis di atas daun lontar ini bertutur tentang kisah cinta asmara, patriotisme, dan heroisme kaum
bangsawan. Kisah Diah Winangsia, seorang putri yang amat cantik dan berperilaku santun, merupakan bagian
inti kandungan dongeng Monyeh. Raden Witara Sari yang menyamar sebagai seekor monyet (monyeh), di akhir
cerita menjadi penyelamat kesengsaraan yang dialami oleh Winangsia. Saudara sepupu ini kawin dan
berbahagia. Dengan tiupan seruling dan gesekan rebab, kisah itu disuguhkan dengan sungguh menarik. Para
pemain duduk setengah lingkaran. Seorang pemain membaca lontar Monyeh dalam wujud nyanyian yang
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
41
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
diterjemahkan oleh pemain di sampingnya. Suling mengikuti melodi lagu dan rebab mempermanis lekukan-
lekukannya. Sementara tembang mengalir, para pemain lain memberi ornamentasi dengan olah vokal peniruan
bunyi gamelan sembari menggerak-gerakkan badan dan tangan. Isi syair-syair lagu itu sesekali diinterpretasikan
dengan dramatisasi. Ruang improvisasi mononjol sekali.
Kesenian cakepung kini masih eksis di beberapa desa di sekitar kaki Gunung Agung, Bali Timur. Di
Karangasem, seperti misalnya di Desa Budakeling.Cakepung di Budhakeling berkembang sejak tahun 1920
dengan tokohnya Ida Wayan Tangi sebagai seniman yang mengumpulkan orang-orang untuk diajarkan seni
Cakepung. Namun penyebaran ini dilakukan secara spontan atau hanya dilakukan saat ada upacara tertentu
saja. Ida Wayan Tangi juga menciptakan lagu-lagu Cakepung, hal ini yang membedakan Cakepung Bali dengan
Cepung Lombok. Sejak tahun 1928 Cakepung lebih berkembang lagi sejak Ida Wayan Padang sebagai
generasi kedua yang menyebarkan kesenian Cakepung kepada masyarakat Budhakeling. Ida Wayan Padang
merupakan putra dari Ida Wayan Tangi. Cakepung sebenarnya bukan seni tontonan. Ia merupakan arena
pengupasan isi sastra dalam suasana komunal adat atau ritual agama. Spontanitas gerak tari dari para peserta
mengemuka untuk merespons berbagai watak tembang macapat. Debat serius atas kontekstualisasi dari
penapsiran isi sastra menambah kenikmatan. Cakepung lebih beraksentuasi pada isi sastra dalam suasana
komunal adat atau ritual agama. Spontanitas gerak tari dari para peserta mengemuka untuk merespons
berbagai watak tembang macapat. Debat serius atas kontesktualisasi dari penapsiran isi sastra menambah
masyuknya atmosfir teater tutur ini.
Ada banyak budaya dan tradisi unik warisan leluhur di Bali, dan beberapa ada di Kabupaten
karangasem seperti yang satu ini adalah Gebug Ende atau Gebug Seraya. Seperti namanya tradisi ini berasal
dari Desa Seraya, sedangkan Gebug berarti memukul dengan sekuat tenaga dengan tongkat rotan (penyalin)
sepanjang 1,5 – 2 meter dan Ende berarti tameng yang digunakan untuk menangkis pukulan. Gebug Ende ini
ada unsur seni, seperti seni tari yang dipadukan dengan ketangkasan para penarinya memainkan tongkat dan
tameng, dimana saat atraksi ini dilakukan, diiringi dengan iringan musik gamelan, yang memacu semangat para
penari untuk saling memukul, menhindar dan menangkis.
Pada zaman dahulu masyarakat desa Seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang
ditugaskan untuk menggempur atau menyerang sebuah kerajaan di Lombok Barat yaitu Kerajaan Seleparang.
Karena pada waktu itu orang” asli Seraya kebal (kuat) sehingga dijadikan benteng oleh raja Karangasem
sehingga Kerajaan Seleparang takluk terhadap Kerajaan Karangasem. Belum puas berperang menghadapi
musuh dan smangat ksatria masih berkobar maka bertarunglah dengan teman-temannya sendiri ,saling
menyerang (memukul dan menangkis dengan alat yang dibawa).Seiring perkembangan zaman maka terciptalah
tarian/permainan Gebug Ende yang secara turun temurun dapat dimainkan dan disaksikan hingga kini.Tombak,
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
42
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
pedang dan tameng yang digunakan pada zaman dahulu diganti dengan peralatan rotan dan ende. Selain itu Di
Desa Seraya merupakan daerah kering dan disertai dengan musim kemarau yang tak kunjung berahir. Hujan
yang dinanti oleh masyarakat setempat belum juga menunjukkan tanda-tanda akan turun.Sehingga dari hasil
parum desa tercetuslah untuk melaksanakan ritual memohon turunnya hujan yakni dengan mengadakan Gebug
Ende.Menurut Kepercayaan masyarakat tarian ini dianggap suci atau sakral, lebih-lebih disaat tarian/permainan
berlangsung salah seorang bisa memukul bagian tubuh lawan hingga mengeluarkan darah maka akan cepat
turun hujan.
Saat Gebug Ende berlangsung bukan hanya untuk memperlihatkan ketangkasan saja, tapi ada nilai-
nilai sakralnya yang dikeramatkan penduduk setempat, tarian Gebug merupakan kesenian klasik yang digelar
setiap musim kemarau dengan tujuan untuk mengundang turunnya hujan, ritual ini yang diyakini dapat
menurunkan hujan, dimainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama
membawa ende dan penyalin. Sebelum Gebug Ende berlangsung terlebih dahulu diadakan ritual dengan banten
atau sesaji, agar permohoanan terkabul. Setelah siap dua pemain yang dilakukan oleh anak-anak maupun lelaki
dewasa, dengan pakaian adat Bali tanpa memakai baju, akan saling serang yang dipimpin oleh wasit (saye),
antara dua penari di tengah-tengah di batasi oleh tongkat rotan. Sebelumnya wasit memberi petunjuk dan
ketentuan daerah mana saja yang bisa diserang.
Tradisi Gebug Ende merupakan warisan budaya leluhur yang memang diyakini dapat menurunkan
hujan. Menurut kepercayaan setempat, hujan akan turun apabila pertandingan mampu memercikan darah.
Semakin banyak maka akan semakin cepat hujan akan turun. Tidak ada waktu tertentu dalam permainan
tersebut. Yang jelas permainan akan berakhir bila salah satu permainan telah terdesak. Tidak ada kata dendam
setelah itu. Gebug Ende adalah salah satu tradisi yang unik dan diyakini oleh masyarakat sekitar dapat
membantu masalah mereka mengatasi masalah kemarau yang berkepanjangan,tentunya tradisi ini sudah
berjalan lama secara turun temurun dan menjadi kepercayaan masyarakat setempat.
3. Tari Gambuh
Gambuh adalah tarian dramatari Bali yang dianggap paling tinggi mutunya dan juga merupakan
dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari, sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis
tari klasik Bali. Diperkirakan Gambuh muncul sekitar abad ke-15 dengan lakon bersumber pada cerita Panji.
Gambuh berbentuk teater total karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama dan tari, seni
rupa, seni sastra, dan lainnya. Gambuh dipentaskan dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan,
upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain
sebagainya. Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu, tokoh-tokoh yang biasa
ditampilkan dalam Gambuh adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya/Kadean-kadean, Panji (Patih Manis),
Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar, dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh
tersebut semua penari berdialog umumnya menggunakan bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan
Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya, atau kasar.
Gamelan Gambuh (Tabuh Pagambuhan; Pegambuhan) merupakan jenis Instrumen music yang
biasanya di Bali dipergunakan untuk mengiringi tarian atau tari gambuh memiliki peralatan gamelan yang terdiri
dari :
Rebab (satu buah),
Suling berukuran besar (dua atau tiga buah),
Kendang (sepasang),
Kajar, (satu buah),
Klenang (satu buah),
Ricik atau cengceng kecil (satu buah),
Kenyir (satu tungguh),
Gentorang atau ogar (satu atau dua buah),
gumanak (dua buah), Kangsi (sebuah).
Gambelan gambuh juga termasuk golongan gambelan madya yang lebih muda dari gambang, saron,
selonding, gong besi, gong luang, selonding besi, angklung klentangan, dan gender wayang kulit. Tetapi
Gambelan dramatari Gambuh lebih tua dari gambelan Arja, gong kebyar, gambelan janger, angkung bilah 7,
gambelan joged bumbung, gong suling.
Satu diantara dramatari klasik Bali yang dianggap bermutu tinggi oleh para budayawan asing adalah
Gambuh. Kesenian ini mengingatkan akan kebangkitan kerajaan Bali masa lampau dan merupakan warisan
budaya yang paling indah dari semua teater Bali. Di atas segalanya Gambuh adalah tarian luar biasa, terkadang
lucu dan keras, terkadang kasar dan sengit, terkadang dilakonkan oleh penari lanjut usia dengan keanggunan
yang menghanyutkan, namun terkendali.
Pada jaman kerajaan, peranan puri / raja dalam kehidupan seni budaya sangat besar. Raja merupakan
pengayom, pembina, dan pemelihara kehidupan seni budaya, termasuk tari pada khususnya. Sebagai teater
istana, hampir setiap puri memiliki bangunan yang disebut Bale Pegambuhan. Namun kini kesenian Gambuh
telah menjadi milik desa yang tetap dipertahankan untuk kepentingan upacara.
Dilihat dari wujud seni yang membangunnya, Gambuh merupakan seni pentas yang berbentuk total
teater. Di samping unsur seni tari yang dominan, terdapat juga unsur-unsur seni lainnya seperti seni tabuh, seni
sastra, seni vocal / dialog, seni rupa, dan seni rias yang terpadu secara harmonis dan indah. Demikian pula
Gambuh didukung oleh berbagai karakter, seperti karakter halus (tokoh Rangkesari dan Panji), karakter keras
para patih Arya dan Prabangsa karakter lucu Demang Tumenggung dan lainnya. Masing-masing tokoh memiliki
gending iringan tersendiri yang dipimpin oleh suling panjang hingga 90 cm dengan karakter agung, dinamis dan
manis. Di samping itu ditengah-tengah penabuh duduk satu atau dua orang juru tandak yang berfungsi untuk
menghidupkan suasana dalam dramatisasi pertunjukan seperti sedih, gembira, marah, lucu dan sebagainya.
Sebagai dramatari tertua, setiap tokoh karakter putra maupun putri memiliki tatanan busana tersendiri.
Perpaduan seni yang kompleks itulah membangkitkan inspirasi empu-empu seni berikutnya untuk
mentransformasikan ke dalam bentuk tari-tarian baru yang lahir belakangan.
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
44
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Bila dihubungkan dengan peristiwa sejarah dikala Majapahit runtuh pada pertengahan abad XV dimana
khasanah sastra Jawa termasuk ceritra Panji diboyong ke Bali, maka kesenian Gambuh diperkirakan muncul di
Bali sekitar abad XV. Gambuh merupakan tarian yang sulit dipelajari karena memerlukan penghayatan
dramatisasi, perbendaharaan gerak tari, maupun ucapan yang telah dipolakan. Setiap tokoh utama harus
mampu berbahasa kawi atau Jawa kuno yang akan diterjemahkan oleh para panakawan. Di samping itu
Gambuh sangat ekspresiv karena mengutamakan ekspresi muka dan banyak memakai gerakan mata yang
disebut nelik, nyureng, gagilehan, nyerere dan sebagainya. Tanpa ekspresi utama ini, dramatari Gambuh tidak
akan kelihatan hidup. Hal ini akan memberikan kendala pada generasi muda, bila diarahkan untuk mempelajari
kesenian yang sulit dan kurang menarik baginya. Pementasan Gambuh terbatas untuk kepentingan Yadnya
yang besar, seperti Tawur Agung / Ngenteg Linggih pada pura Kahyangan Jagat dan upacara Maligia.. Saat ini
seka Gambuh yang masih aktif di Karangasem, antara lain dari Gambuh Budakeling, Gambuh Jungsri (
Kecamatan Bebandem ), dan Padangaji (Kecamatan Selat). Di daerah lain sesungguhnya pernah juga ada seka
Gambuh, namun yang tersisa kini hanya beberapa instrument gamelan dan kostum tari yang tidak lengkap.
Lakon utama Gambuh adalah cerita Panji yang mengisahkan kehidupan, romantika dan peperangan
dari kerajaan di Jawa Timur pada abad XII – XIV. Di Bali cerita itu disebut Malat sesuai dengan nama tokoh
sentral yakni Panji Amalat Rasmi. Cerita Panji merupakan kisah yang sangat populer dalam masyarakat
Indonesia, khususnya Bali. Cerita ini adalah karya cipta asli budaya Nusantara, bukan import seperti
Mahabharata dan Ramayana. Episod-episod ceritranya sangat menarik dengan struktur naratif yang memikat
atau struktur dramatik yang memukau, bila disajikan dalam bentuk seni pertunjukan. Di Bali ceritra Panji memiliki
pengaruh yang sangat luas dan menunjukkan perkembangan yang amat kompleks karena cerita itu berkembang
dalam berbagai jalur dan kreativitas seni. Misalnya dijumpai pada seni sastra berbentuk gaguritan / kidung, seni
pertunjukan yang bersumber pada Gambuh. Dalam seni rupa berwujud relief dan lukisan yang berkisah tentang
Panji sebagai tokoh utama dalam berbagai versi.
4. Tari Sanghyang
Masyarakat Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu sangat percaya adanya roh halus dan
jahat serta alam yang mengandung kekuatan magis. Untuk mengimbangi dan menetralisir keadaan tersebut
masyarakat mengadakan upacara yang dilengkapi dengan tari-tarian yang bersifat religius. Salah satu dari
sekian banyak tarian religius yang ada pada masyarakat Bali adalah Tari Sanghyang.
Tari sanghyang adalah suatu tarian sakral yang berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk mengusir
wabah penyakit yang sedang melanda suatu desa atau daerah. Selain untuk mengusir wabah penyakit, tarian ini
juga digunakan sebagai sarana pelindung terhadap ancaman dari kekuatan jahat (black magic). Tari yang
merupakan sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu ini biasanya ditarikan oleh dua gadis yang masih kecil (belum
dewasa) dan dianggap masih suci. Sebelum dapat menarikan sanghyang calon penarinya harus menjalankan
beberapa pantangan, seperti: tidak boleh lewat di bawah jemuran pakaian, tidak boleh berkata jorok dan kasar,
tidak boleh berbohong, dan tidak boleh mencuri.
Ada satu hal yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu pemainnya akan mengalami trance pada
saat pementasan. Dalam keadaan seperti inilah mereka menari-nari, kadang-kadang di atas bara api dan
selanjutnya berkeliling desa untuk mengusir wabah penyakit. Biasanya pertunjukan ini dilakukan pada malam
hari sampai tengah malam. Tarian sanghyang yang menjadi asset pusaka budaya Karangasem ini sebenarnya
terdiri dari beberapa macam, yaitu:
Sanghyang Dedari, adalah tarian yang dibawakan oleh satu atau dua orang gadis kecil. Sebelum
mereka mulai menari, diadakan upacara pedudusan (pengasapan) yang diiringi dengan nyanyian, hingga
mereka menjadi trance. Dalam keadaan tidak sadar itu, penari Sanghang diarak memakai peralatan yang
lazimnya disebut joli (tandu). Di Desa Seraya penari sanghyang menari diatas pundak seseorang sedangkan di
desa Jangu,Selat, Karangasem, penari sanghyang menari di atas sepotong bambu yang dipikulJenis tari
Sanghyang seperti ini juga dikenal dengan nama tari Sanghyang Dewa.
Sanghyang Penyalin, adalah tarian yang dibawakan oleh seorang laki-laki sambil mengayun-ayunkan
sepotong rotan panjang (penyalin) dalam keadaan tidak sadar (trance). Di Karangasem tarian ini ada di Banjar
Tinjalas, Desa Seraya Timur, Kecamatan Karangasem.
Sanghyang Jaran, adalah tarian yang dimainkan oleh dua orang laki-laki sambil menunggang kuda-
kudaan yang terbuat dari rotan dan atau kayu dengan ekor yang terbuat dari pucuk daun kelapa. Di
Karangasem, sanghyang jaran ini disebut sanghyang jaran putih, terdapat di Banjar Kaler Seraya, Kecamatan
Karangasem, sering ditarikan sebagai kaul setelah sembuh dari suatu penyakit.
Disamping itu masih banyak terdapat jenis tari sanghyang seperti misalnya yang terdapat di desa
Jangu, Selat Karangasem. Kesenian ini ditarikan secara turun-temurun ketika sehari setelah perayaan Hari Raya
Nyepi. Sanghyang sebagai tarian, jika dicermati, tidak hanya mengandung nilai estetika (keindahan)
sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-gerakan tubuh para penarinya. Akan tetapi, juga nilai ketakwaan
kepada Sang Penciptanya. Hal itu tercermin dari asal-usulnya yang bertujuan untuk mengusir wabah penyakit
yang menurut kepercayaan mereka disebabkan oleh ganggungan roh jahat. (gufron). Di dalam Tarian ini selalu
ada tiga unsur penting yaitu asap/ api, Gending Sanghyang dan medium (orang atau boneka).
Penyelenggaraannya melalui tiga tahap penting yaitu: nusdus adalah upacara penyucian medium dengan asap/
api, masolah adalah tahapan ketika penari yang sudah kemasukan roh mulai menari dan ngalinggihang adalah
tahapan mengembalikan kesadaran medium dan melepas roh yang memasuki dirinya untuk kembali ke asalnya.
5. Selonding
Gambelan Salonding adalah gambelan Kuno yang paling sakral dalam melengkapi upacara keagamaan
(Hindu) di Bali yang berlaras pelog Sapta Nada, Sejarah Gamelan Selonding di Bali pada umumnya dapat
ditelusuri dengan berbagai media seperti melalui prasasti-prasasti, tinggalan benda-benda arkeologi, karya
sastra dan lainnya. Gamelan Selonding merupakan obyek dan sekaligus subyek. Sebagai obyek, sejarah
Gamelan Selonding belum terungkapkan dan menarik untuk ditelusuri, sedangkan disisi lain Gamelan Selonding
sebagai material historiografi, merupakan subyek yang mengikat tata nilai dan norma-norma dalam masyarakat
pendukungnya. Tata nilai dan norma-norma yang dimaksud adalah : Aspek Sosial, sebagai: pengikat adat yang
kuat dari masa lampau sampai kini. Aspek seni budaya sebagai sumber inspirasi pangrawit dan pujangga.
Aspek religi, sebagai pamuput wali, masih eksis dari jaman Bali Kuna sampai kini. Aspek filosofi agama
berlandaskan pada ajaran Hindu.
Gamelan Selonding yang ada banyak sebarannya terdapat di Kabupaten Karangasem seperti, di
Bugbug, Prasi, Tumbu, Seraya, Timbrah, Asak,Tenganan, Ngis Selumbung, Bungaya, Bebandem, Besakih,
Batusesa, Selat, Kedampal, dan lain-lainnya. Dalam konteks Desa Adat, Selonding ini selalu mengiringi prosesi
upacara besar di Pura-pura desa adat bersangkutan, seperti Usaba Sumbu, Usaba Dangsil, Usaba Sri, Usaba
Manggung dan lain-lain sesuai dengan tradisi setempat. Pada umumnya diketemukan gamelan Selonding itu
ada pada desa-desa tua yang berbasis desa Bali kuna.
Bila ditelusuri lebih jauh tentang keberadaan Gamelan Salonding dari masa ke masa, ternyata konteks
penggunaannya tidak pernah lepas dari kegiatan-kegiatan keagamaan masyarakat Bali, baik dari kebesaran
Jaman Bali kuno, sampai pada akhir abad XX ini gambelan Salonding itu tetap mendapat tempat yang paling
sakral dalam upacara agama. Berbicara dengan Hinduisme, tidak bisa kita mengabaikan keterkaitannya dengan
Weda karena Weda yang diyakini sebagai sabda Suci Tuhan yang bersifat Anadi, Ananta dan Nirwikalpa yang
telah diterima oleh Maha Rsi dan menjadi sumber ajaran Agama Hindu memberikan vitalitas, yang mengaliri dan
meresapi seluruh aspek Hinduisme bila diibaratkan sebagai Api Hindu adalah sebagai wujud yang menyala dan
Weda itulah panasnya.
Menurut Lontar Prekempa bahwa semua tetabuhan atau gambelan lahir dari suaraning Genta Pinara
Pitu, Suaraning Genta Pitara Pitu adalah suara sejati yang berasal dari suaranya alam semesta atau bhuana,
suara suara yang utama yang berasal dari suaranya semesta itu ada tujuh suara banyaknya yang disebut
dengan sapta suara. Suara ini berasal dari Akasa disebut Byomantara Gosa. Ada pula suara yang disebut
Arnawa Srutti yaitu suara yang keluar dari unsur Apah. Yang lain ada disebut dengan Agosa, Anugosa,
Anumasika dan Bhuh Loko Srutti. Yang terakhir disebutkan suara yang keluar dari unsur Pertiwi. Sapta suara
yang merupakan inti dijadikan sebagai sumber yang dihimpun oleh Bhagawan Wismakarma menjadi Dasa
Suara, yaitu lima suara Patut Pelog sebagai Sangyang Panca Tirta dan lima Suara Patut Selendro sebagai
Pralingga Sangyang Hyang Panca Geni. Unsur Dewata yang merupakan Prabawa dari Yang Maha Tunggal
yang melingga pada Dasa Suara yang dihimpun menjadi Gegambelan.
Selonding merupakan gamelan Bali yang usianya lebih tua dari gamelan-gamelan yang kini populer
dipakai dalam kesenian maupun dalam upacara adat dan agama. Tidak semua desa di Bali memiliki budaya
yang dekat dengan jenis gamelan ini, kecuali beberapa desa tua sebagaimana disebutkan diatas. Tidak seperti
gamelan lainnya yang bilah-bilah perunggu digantung dengan tali sapi pada badan gamelan, pada salonding
bilah-bilah perunggu bahkan yang lebih tua bilah bilah besi diletakkan dengan pengunci secukupnya di atas
badan gamelan tanpa bilah resonan (bambu resonan) seperti jenis gamelan saat ini. Dengan suara yang khas,
salonding dengan nada klasiknya mengiringi penari rejang dalam “mesolah” persembahan tari dalam upacara
yadnya.
Gamelan Selonding adalah gamelan sakral yang terbuat dari bahan besi yang hanya terdapat didaerah
Karangasem, yaitu desa Tenganan Pegringsingan dan desa Bongaya. Diduga juga ada gamelan selonding yang
terbuat dari kayu, namun sampai sekarang ini instrumen itu belum ditemukan. Nama lengkap dari gamelan
selonding besi yang di Tengan pagringsingan adalah Batara Bagus Selonding. Yang berarti selonding adalah
leluhur yang maha kuasa.
Kata Selonding diduga berasal dari kata Salon dan Ning yang berarti tempat suci. Dilihat dari fungsinya
Selonding adalah sebuah gamelan yang dikeramatkan atau disucikan.Mngenai sejarah gamelan selonding ini
belum diketahui orang. Ada sebuah metologi yang menyebutkan bahwa pada zaman dahulu orang-orang
Tengan Pagringsingan mendengar suara gemuruh dari angkasa dan datang suara itu datangnya bergelombang.
Pada gelombang pertama suara itu turun di Bungaya (sebelah timurlaut Tenganan) dan pada gelombang kedua,
turun di Tenganan pagringsingan. Setelah sampai dibumi ditemukan gamelan selonding yang berjumlah tiga
bilah. Bilah-bilah itu dikembangkan sehingga menjadi gamelan selonding seperti sekarang yang memiliki tujuh
nada. Ditenganan pagringsingan gamelan selonding terdiri dari 40 ( empat puluh) bilah, 6 (enam) tungguh
masing-masing berisi 4 (empat) bilah dan yang 2 (dua) tungguh berisikan 8 (delapan) bilah.Gamelan ini
dimainkan untuk mengiringi berbagai upaya adat Bali Aga yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan
untuk mengiringi Rejang, Abuang, Perang Pandan (Mekare-karean) dan kegiatan ritual lainnya..
6. Gambang
Kesenian gambang, salah satu jenis kesenian langka yang terancam punah di Bali memiliki cara
memainkan yang cukup unik dan khas. Keunikan itu mampu memberikan warna tersendiri di tengah-tengah
keberagaman warisan seni budaya Pulau Dewata. Gambang merupakan sebuah gamelan klasik Bali yang
memiliki perjalanan sejarah cukup panjang di tengah perubahan dan perkembangan yang sangat pesat. Jenis
kesenian gambang sesuai kepercayaan masyarakat Bali berfungsi sesuai dengan konsep "Desa Mawa Cara"
dan "Desa Kala Patra", yakni tempat, waktu dan keadaan.
Dalam pelaksanaan ritual upacara salah satu kesenian yang menonjol penggunaannya adalah seni
karawitan. Bunyi gamelan yang digunakan untuk mengiringi ritual keagamaan adalah untuk membimbing pikiran
agar terkosentrasi pada kesucian, sehingga pada saat persembahyangan pikiran dapat diarahkan atau
dipusatkan kepada Tuhan. Pandangan ini relevan dengan realita kesakralan, karena bunyi gamelan secara
psikologis dipandang mampu menciptakan suasana relegius secara sakral. Selain dari pada itu, keterpaduan
antara tabuh yang dimainkan dengan pelaksanaan upacara dapat menciptakan suatu keharmonisan atau
keseimbangan dalam hidup. Terciptanya keseimbangan ini, dapat dilihat bagaimana penganut agama Hindu
menggunakan nilai-nilai estetika untuk menciptakan suatu keharmonisan dan keseimbangan hidup guna
mencapai sesuatu yang bersifat religius.
Dipergunakannya gamelan sebagai sarana pengiring upacara karena esensinya adalah untuk
membimbing pikiran umat ketika sedang mengikuti prosesi agar terkonsentrasi pada kesucian sehingga pada
saat persembahyangan pikiran terfokus kepada keberadaan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Jadi jelas bahwa
dalam konteks tersebut gamelan memiliki nilai religius dimana keberadaan gamelan sebagai pengiring upacara
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
49
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
keagamaan di suatu wilayah suci hal tersebut dapat menambah religiusitas sebuah prosesi keagamaan. Nilai
religius yang dimaksud adalah bahwa gamelan khususnya repertoar-repertoar yang dimainkan memiliki nilai
yang sangat penting dalam pelaksanaan aktivitas keagamaan. Hampir tidak ada satupun pelaksanaan upacara
keagamaan yang dilakukan tanpa diiringi oleh bunyi-bunyi gamelan.
Dimanfaatkannya Gamelan Gambang sebagai musik pengiring upacara Dewa Yadnya secara umum
dapat dimaknai bahwa, gamelan Gambang memiliki makna religius.Terkait dengan fungsi gamelan Gambang
dalam konteks upacara Dewa Yadnya, di wilayah Kabupaten Karangasem Gambang dipergunakan sebagai
musik pengiring upacara Dewa Yadnya. Sesuai dengan kenyataan di masyarakat, gamelan Gambang yang
tersimpan di pura biasanya dipergunakan untuk mengiringi piodalan atau upacara keagamaan yang
dilangsungkan diwilayah kahyangan desa pakraman Bahkan gamelan ini dimainkan berturut-turut selama tiga
hari selama Ida Betara di Pura tersebut Nyejer. Keberadaannya sangat disakralkan sehingga tidak pernah
dipergunakan untuk mengiringi upacara pitra yadnya (ngaben) karena pelaksanaan upacara tersebut dianggap
sebel dan dapat mengurangi kesucian dari gamelan tersebut. Sedangkan untuk kegiatan atma wedana seperti
mamukur, maligya dan sejenisnya justru gamelan Gambang banyak dimanfaatkan serta difungsikan untuk
melengkapi kegiatan ritual dimaksud.
Gambar Gamelan Gambang terdapat pada relief candi Penataran, Jawa Timur (abad XV) dan istilah
gambang disebut-sebut dalam cerita Malat dari zaman Majapahit akhir. Hal ini menunjukan bahwa Gamelan
Gambang sudah cukup tua umurnya. Walaupun demikian, kapan munculnya Gambang di Bali, atau adakah
Gambang yang disebut dalam Malat sama dengan Gamelan Gambang yang kita lihat di Bali sekarang ini
nampaknya masih perlu penelitian yang lebih mendalam.
Gamelan Gambang, berlaras Pelog (tujuh nada), dibentuk oleh 6 buah instrumen berbilah. Yang paling
dominan adalah 4 buah instrumen berbilah bambu yang dinamakan gambang yang terdiri dari (yang paling kecil
ke yang paling besar) pametit, panganter, panyelad, pamero dan pangumbang.
Setiap instrumen dimainkan oleh seorang penabuh yang mempergunakan sepasang panggul bercabang dua
untuk memainkan pukulan kotekan atau ubit-ubitan, dan sekali-kali pukulan tunggal atau kaklenyongan.
Instrumen lainnya adalah 2 tungguh saron krawang yang terdiri dari saron besar (demung) dan kecil (penerus
atau kantil), kedua saron biasanya dimainkan oleh seorang penabuh dengan pola pukulan tunggal
kaklenyongan.Gamelan gambang, salah satu instrumen musik tradisional yang diwarisi masyarakat Bali secara
turun temurun memiliki ratusan gending (pupuh), namun sebagian besar tanpa disertai teks.
7. Genggong
Genggong juga termasuk gamelan langka. Barungan gamelan Genggong biasanya terdiri dari 4 - 6
buah genggong, 2 buah suling, sepasang kendang kecil, klenang dan sebuah gong pulu (guntang).
Kesederhanaan bentuk dan musik yang ditimbulkan oleh barungan ini mengingatkan kita kepada musik dari
kalangan masyarakat petani. Genggong pada umumnya hanya memainkan lagu-lagu yang berlaras Slendro.
Untuk membunyikannya, genggong dipegang dengan tangan kiri dan menempelkannya ke bibir. Tangan kanan
memetik "lidah"nya dengan jalan menarik tali benang yang diikatkan pada ujungnya. perubahan nada dalam
melodi genggong dilakukan dengan mengolah posisi atau merubah rongga mulut yang berfungsi sebagai
resonator. Teknik permainan genggong yang khas adalah ngoncang dan ngongkeknya (menirukan suara katak).
Genggong merupakan salah satu instrumen getar yang unik yang semakin jarang dikenal orang. Keunikannya
terletak pada suara yang ditimbulkannya yang bila dirasakan memberi kesan mirip seperti suara katak sawah
yang riang gembira bersahut-sahutan di malam hari. Keunikannya yang lain adalah memanfaatkan rongga mulut
orang yang membunyikannya sebagai resonator. Di Kabupaten Karangasem, kesenian Genggong ini sebagai
asset pusaka hidup dan berkembang di desa pakraman Jungsri, Kecamatan Bebandem.
Bahan untuk membuat genggong adalah pelepah pohon enau yang di Bali disebut “pugpug”. Dipilih
yang cukup tua dan kering, lebih diutamakan yang mengering di batangnya sendiri. Dipilih kulit luarnya, dibuat
irisan penampang segi empat panjang dengan ukuran lebih kurang dua cm lebar dan dua puluh cm panjangnya.
Bagian dalam yang lunak dibersihkan hingga tinggal luarnya yang keras setebal kira-kira seperempat cm.
Palayah atau bagian instrumen yang bergetar terletak di tengah-tengah irisan yang kedua ujungnya berjarak dua
cm dari batas ujung penampang irisan. Lebar palayah setengah cm. Palayah terdiri dari badan palayah dan
ujung palayah yang berada atau mengarah ke bagian kiri irisan. Ujung palayah ini diusahakan setipis mungkin
dengan lebar kira-kira sepuluh mm. Demikian pula bagian badan palayah dibuat tipis, kira-kira 2 cm di bagian
atasnya dibuat tetap tebal, yaitu setebal irisan keseluruhan penampang irisan. Selanjutnya pada ujung kanan
irisan penampang dibuat lobang tempat tali benang, yang kira-kira panjangnya 5 cm. Benang itu diikatkan pula
pada setangkai bambu bundar yang kecil, sepanjang sepuluh cm. Waktu membunyikan genggong tangan kanan
memegang tangkai tersebut secara vertikal untuk menarik benang hingga palayahnya tergetar. Kadang-kadang
dalam satu ensembel ada dua buah instrumen genggong atau lebih dalam ukuran yang agak besar dan tanpa
tali. Membunyikannya dengan cara menggetarkan palayahnya dengan jari-jari tangan. Jenis genggong tersebut
disebut Slober yang kini masih banyak didapatkan di Desa Sakra, Kabupaten Lombok Timur. Jumlah tungguhan
dalam satu perangkat gambelan genggong, pada masing-masing sekha didapatkannya adanya jumlah maupun
jenis tungguhan yang berbeda-beda. Perbedaan penggunaan tungguhan-tungguhan dalam satu perangkat
merupakan hal yang umum di kalangan karawitan bali.
8. Penting
Kesenian “Penting “ adalah satu-satunya seni gamelan khas dan langka yang tumbuh dan berkembang
di Karangasem. Penting adalah alat musik yang tergolong sapta nada sehingga dapat memainkan lagu-lagu baik
dengan dasar pelog maupun selendro, bahkan gabungan diantara keduanya. Dengan demikian Penting dapat
memainkan gending-gending pegongan, peangklungan dan pejogedan, dan dapat difungsikan dalam berbagai
upacara yadnya.
Cara memainkan alat ini yaitu dengan menggesek/menyentil berbalas naik dan turun secara berulang-
ulang pentang (dawai) menggunakan alat yang disebut pengotek (vics) yang terbuat dari kulit penyu atau lembu.
Untuk menghasilkan nada yang diinginkan harus menekan pengonjet/pekocet (tuts) terlabih dahulu. Ketika
pertama kali diciptakan, alat ini hanya bisa dimainkan dengan duduk bersila yang diletakkan di atas kedua paha.
Tapi kini setelah diinovasi alat ini bisa dimainkan sambil berjalan kaki.
Gambelan penting yang ada di Karangasem ini sudah muncul sejak jaman penjajahan Belanda. Pada
saat Pemerintah Belanda menyelenggarakan sebuah perhelatan kesenian yang diberi nama Ngeraja Kuning,
semacam pawai kesenian, mirip Pesta Kesenian Bali, ditujukan untuk menghormati Ratu Belanda. Pada saat
itulah kesenian ini muncul, bersama dengan kesenian Rebana. Kesenian ini juga pernah dipentaskan, pada saat
Raja Karangasem menyelenggarakan Karya Ligia tahun 1930 lalu bersama kesenian Rebana dan Tari Rudat.
Oleh karena itu diperkirakan sejak jaman penjajahan Belanda Penting berkembang dari Lombok, NTB dan
masuk ke Karangasem bersamaan dengan seni Cakepung, Rebana dan Wayang Sasak.
9. Burdah
Boudah atau burdah adalah bahasa yang paling akrab dimasyarakat Saren Jawa, Desa Budakeling,
Kecamatan Bebandem yang merupakan salah satu tradisi kesenian masyarakat Saren Jawa.. Alat musik yang
digunakan untuk boudah ini adalah bobano yang bentuknyan bulat besar melebihi ukuran kompang. Bobano ini
terbuat dari kulit hewan seperti kulit kambing dan sapi yang fungsinya untuk dipukul dan menghasilkan bunyi
yang nyaring. Boudah ini sudah sering dipertunjukan,dan ini merupakan tradisi kesenian Banjar Saren Jawa.
Pertunjukan boudah ini biasanya dimainkan pada acara pesta pernikahan,pemberian nama anak,dan
khitanan. Pertunjukan boudah pada acara pesta pernikahan dimainkan pada malam hari ditempat kediaman
mempelai perempuan. Pada acara pemberian nama anak boudah ini dimainkan pada malam masak-
memasakditempat kediaman ahli rumah. Pemain boudah ini biasanya mencapai enam atau delapan orang yang
kesemuanya memegang bobano dan mereka selalu aktif dalam memukul bobanonya sambil mengikuti syair
yang dibacakan.
Kemudian boudah ini juga disaksikan dirumah adat atau acara adat lainnya. Syair yang dibacakan oleh
anggota bobano tersebut berupa penyanjungan dan menjunjung kerasulan rosulluah SAW dan boleh dikatakan
syair tersebut merupakan kata-kata yang bercerita dalam menggunakan bahasa arab dengan irama
tersendiri.Pertunjukan burdah ini sudah dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat Br. Saren Jawa..
Anggota pemain burdah ini terdiri dari oranga tua,dan kalangan muda (laki-laki) yang selalu ikut serta dalam
mamainkan burdah. Dalam memainkan musik burdah dibutuhkan kelincahan dan ketangkasan tangan dalam
memukul Bobano tersebut.Karena disaat memukul bobano,diikuti dengan membaca syair yang beriringan.
Jadi bagi kalangan muda sangat perlu sekali belajar dalam memainkan bobano sebagai generasi penerus
kesenian burdah.
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
52
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
10. Rudat
Seni Rudat adalah salah satu jenis kesenian yang di dalamnya terdapat tari-tarian engan iringan
terbangan. Jenis tarian dalam seni Rudat mengandung gerakan-gerakan bela diri dan seni suara. Kata
rudat berasal dari bahasa Arab, yaitu rudatun yang berarti "taman bunga". Personifikasi ini akhirnya memberi
makna kepada kata rudat dalam bentuk kesenian berarti "bunganya pencak". Dalam hal ini, gerakan-gerakan
silat yang ditampilkan lewat tarian Rudat dikonotasikan pada sifat umum bunga, indah. Seni Rudat tumbuh dan
berkembang di lingkungan pesantren. Oleh karena itu, kesenian ini sangat terpengaruh oleh budaya
pesantren, di antaranya kebiasaan Alunkan puji-pujian yang ditujukan kepada Allah swt. dan Nabi
Muhammad saw. Dalam seni Rudat kebiasaan para santri tersebut dipadukan dengan kesenian yang
didukung oleh masyarakat sekitar yakni kesenian Sunda. Dengan demikian, Seni Rudat merupakan jenis
kesenian yang mengandung berbagai unsur, yaitu dakwah agama Islam dan hiburan berupa kesenian
tradisional setempat, dalam hal ini pencak silat.
Seni Rudat turnbuh seiring dengan upaya penyebaran agama Islam oleh para wali (Wali Sanga). Alat
musik tersebut dikembangkan dari satu jenis menjadi lima jenis yang mengandung makna lima rukun Islam. Seni
Rudat telah ada sejak abad XVI, yaitu masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, kemudian berkembang
di pesantren-pesantren. Ketika itu, seni Rudat berfungsi sebagai sarana hiburan atau media pergaulan
para santri di waktu senggang. Pada kesempatan tersebut para santri bernyanyi yang isinya memuji kebesaran
Allah swt. Sambil menari dengan gerakan pencak silat. Seni Rudat mengalami pergeseran fungsi. Semula, Seni
Rudat berfungsi sebagai syiar agama Islam dari para ulama dan santri kepada masyarakat, kemudian
berkembang menjadi sarana hiburan. Seni Rudat yang berfungsi sebagai syiar agama Islam ditampilkan pada
acara-acara yang berkaitan dengan keagamaan (Islam), seperti : Mauludan, yaitu memperingati hari kelahiran
Nabi Muhammad saw. Rajaban, yaitu memperingati peristiwa Isra Miraj, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul
Adha. Namun demikian, perwujudan kerukunan umat beragama Hindu dan Islam di Desa Budakeling
dapat dilihat dari harmonisasi kesenian yang ditampilkan dalam acara ritual Hindu seperti ketika upacara
Pelebon/ Pitra Yajna ditampilkan kesenian rudat ini. Disamping itu juga ditampilkan dalam perayaan hari -
hari nasional.
Dewasa ini, Seni Rudat mengalami perkembangan, baik jumlah pemainnya maupun waditranya.
Jumlah pemain yang terlibat dalam Seni Rudat berkisar antara 12 sampai 24 orang. Para pemain tersebut di
antaranya sebagai penabuh waditra, penari dan penyanyi. Waditra yang digunakan dalam Seni Rudat terdiri atas
ketimpring, tojo, nganak, gendrung dan jidor. Masing-masing waditra dimainkan oleh seorang penabuh. Adapun
bahan pembuatan waditra dari kayu dan kulit kerbau. Bentuk, ukuran dan cara memainkan waditra
tersebut seperti berikut:
Ketimpring, berbentuk bulat dengan diameter muka 36 cm dan diameter belakang 26 cm, tinggi 18 cm dan
ketebalan kayu 1 cm. Ketimpring memiliki kencringan berjumlah 2 sampai 3 buah. Cara memainkan alat ini
dengan dipukul.
Tojo, bentuknya sama dengan ketimpring yakni bulat. Bagian muka berdiameter 37 cm, diameter belakang
26 cm, tingginya 18 cm dan ketebalan kayu 1 cm. Tojo memiliki pula kencringan yang berjumlah 2 sampai 3
buah. Dalam pertunjukan, alat ini dimainkan dengan cara dipukul dan berfungsi sebagai pokok lagu atau melodi.
Perbedaan alat ini dengan ketimpring terletak pada diameter muka yang lebih besar.
Nganak, berbentuk bulat dengan diameter muka 36 cm, diameter belakang 26 cm, tinggi 18 cm dan ketebalan
kayu 1 cm. Alat ini dimainkan dengan cara dipukul dan fungsinya untuk mengiringi bunyi waditra lain.
Jidor, berbentuk bulat seperti bedug dengan diameter 44 cm dan tingginya 47 cm. Cara memainkannya dengan
dipukul dengan pemukul khusus terbuat dari kayu.
Seni Rudat tariannya berpola pada gerakan pencak silat. Akan tetapi, gerakan pencak silat pada Seni
Rudat tidak menggunakan tenaga. Tarian dalam Seni Rudat diiringi lagu-lagu yang sebagian besar bertema
keagamaan atau memuji kebesaran Sang Pencipta. Adapun gerakannya bertumpu pada gerakan kaki,
seperti melangkah dengan serempak ke depan, ke belakang dan ke samping. Gerakan melangkah dengan
serempak melambangkan perlunya kesamaan dan keserasian dalam melangkah. Busana penari dalam
pertunjukan Seni Rudat dibuat seragam yang melambangkan kerukunan. Adapun penari dalam pertunjukan
Seni Rudat terdiri atas para wanita dan pria. Baik penari wanita maupun penari pria masing-masing memakai
busana yang sama menurut kelompoknya. Busana yang dikenakan oleh penari pria terdiri atas celana pangsi
hitam, baju berwarna putih, kopiah dan kain samping pendek dari bahan batik. Adapun busana yang dikenakan
oleh penari wanita terdiri atas celana pangsi hitam, baju putih, selendang, kain samping pendek dari batik dan
tutup kepala.
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
53
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Gambar.2.46. Letak Desa Adat Tenganan Pegringsingan dalam konteks Kerajaan Bedahulu/Bedulu di
Kabupaten Gianyar
Setelah kemenangan Dewa Indra melawan Maya Denawa, sebuah upacara harus dilakukan untuk
membersihkan/penyucian bekas perang baik terhadap Dewa Indra maupun terhadap dunia yang leteh/kotor
akibat peperangan. Upacara ini dinamakan Asvameda Yadnya. Asvameda Yadnya berarti upacara dengan
korban kuda, itu versi yang berkembang di Bali. Tetapi kalau di India ada yang mengatakan bahwa setiap raja
yang baru menang perang diharuskan melakukan upacara Asvameda Yadnya yaitu upcara melepaskan kuda
dan kemanapun kuda itu pergi , dan kalau sepanjang wilayah yang dilewati kuda tersebut dan tidak ada orang
berani menangkap kuda itu, maka daerah yang dilewati kuda itu menjadi wilayah kekuasaan raja yang baru. Lain
halnya dengan di Bali, khususnya Tenganan sendiri, upacara Asvameda yadnya adalah upacara korban kuda.
Artinya kuda ini disembelih dijadikan sarana upacara. Dan untuk Asvameda Yadnya yang di Bedahulu
digunakan kuda yang dinamakan Oncesrawa dalam versi Bali, tapi kalau dalam bahasa sankekertanya disebut
Ucaesrava. Kuda Oncesrawa ini adalah kuda putih, berekor hitam sampai menyentuh tanah, telinganya panjang
melibihi kuda biasa, dan kalau meringkik, suaranya kedengaran sampai ke surga. Karena kuda itu sakti dan
muncul dari laut, merupakan kuda tunggagan Dewa Indra, diketahui dirinya akan disembelih, maka kuda ini
melarikan diri dan akhirnya kuda itu hilang.
Gambar.2.47. Fragmen gambar menunjukkan proses pencarian dan penemuan kuda sang raja yang hilang
(sumber : Spirit of Journey Tenganan Pegringsingan)
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
55
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Dewa Indra mengutus Wong Peneges untuk mencari kuda tersebut yang didampingi oleh Pekatik
(pengembala kuda). Lalu Wong Peneges ini menmbagi diri menjadi dua kelompok, satu kearah Singaraja dan
satunya lagi kearah Karangasem. Dan yang kearah Karangasem ini yang menemukan bangkai kuda tersebut
disebelah utara desa Tenganan dilereng bukit. Tempat ditemukan bangkai kuda itu disebut Batu Jaran. Saking
cintanya Wong Paneges ini pada kuda tersebut lalu dia ingin tinggal disekitar bangkai kuda tersebut. Menurut
cerita, Dewa Indra mengijinkan Wong Peneges tinggal disekitar tempat tersebut. Dari usaha Wong Paneges
menemukan kuda tersebut maka dia diberikan hadiah dengan syarat sejauh mana bau kuda itu tercium sejauh
itulah luas wilayah kekuasannya. Orang-orang tersebut kemudian memotong bankai kuda tersebut dan dibawa
berjalan sejauh mungkin. Hal ini diketahui oleh Dewa Indra dan datanglah beliau sampai di Batu Madeg, yang
sekarang adalah Pura Batu Madeg dan orang-orang Wong Paneges ini sudah sampai di Macang. Dari tempat
(Batu Madeg) itulah Dewa Indra melambaikan tangan memberitahukan bahwa wilayah yang ingin dikuasai
sudah cukup luas. Tempat berhentinya mereka itu disebut Pura Pengulap-ulapan. Dan sekarang tempat-tempat
bangkai kuda itu ditempatkan diberi nama seperti, pahanya dibagi dua yang disebut Penimbalan Kauh dan
Kangin, rambutnya kuda disebut Rambut Pule, kotoran kuda disebut Taikik, perut kuda itu bernama batu Keben
dan kemaluan kuda (jantan) disebut Kaki Dukun. Tempat ini menyebar disekeliling desa Tenganan. Dan saat ini
menjadi wilayah Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Karena ini adalah hadiah dari Dewa Indra maka agama
yang dianut masyarakat Tenganan adalah Hindu beraliran Indra. Dan Dewa Indra sendiri adalah Dewa perang
sehingga struktur desa Tenganan pun dipercaya seperti benteng dan adat istiadat, sosial budayanya,
upacaranya semuanya ada unsur perang dan mempertahankan diri.
Gambar. 2.48. Wilayah Desa Adat Tenganan Pegringsingan yang terletak dalam sebuah lembah perbukitan
yang subur, terlindungi secara alami oleh “benteng” Bukit Kangin, Bukit Kaja dan Bukit Kauh.
Adapun versi yang lain menyebutkan bahwa menurut Usana Bali, prasasti Ujung bahwa Tenganan itu
pada mulanya ada di daerah pesisi pantai ujung. Karena terdesak oleh ikan hiu maka rakyat Tenganan terus ke
tengah sampai di desa Tenganan sekarang. Sehingga sampai saat ini Tenganan masih ada hubungan dengan
pura Segara Ujung. Nama Tenganan Pegringsingan sendiri tidak diketahui jelas dan tidak ada dokumen /
prasasti menunjukan kenapa disebut Tenganan Pegringsingan. Namun ada dua versi yang mengatakan bahwa
pertama Tenganan berasal dari kata Ngetengahang artinya bergerak ke tengah dan semakin ke dalam karena
ada serangan ikan. Sedangkan kata Pegringsingan sendiri berasal dari kata gringsing yang merupakan kain ciri
khas Tenganan yang hanya ada di Tenganan.
Gambar. 2.49. Batu Peninggalan Legenda Kuda yaitu Pura Kaki Dukun yang dipercaya merupakan kemaluan
atau alat kelamin sang kuda.
Versi lain mengatakan bahwa Tenganan itu berasal dari kata Tengen yang berarti tangan kanan, yang
menurut orang Bali tangan kanan itu berarti bersifat baik dan merupakan orang kepercayaan. Seperti cerita
munculnya desa Tenganan tadi karena Wong Paneges yang berasal dari kata wong (orang) dan peneges berarti
pasti/penengen (tangan kanan), Panengen juga bisa berarti ilmu yang baik-baik. Makanya upacara yang
diterapkan selalu yang baik-baik, dan diperkirakan dari sinilah muncul kata Tenganan. Dan sampai saat ini
masih banyak yang menyebut/ mengatakan Tenganan itu Tengenan.
c. Sistem Pemerintahan
Sistem Pemerintahan yang ada di Tenganan Pegringsingan adalah sistem pemerintahan adat yang
disebut desa adat/banjar dan sistem pemerintahan dinas yang disebut desa dinas/dusun. Desa adat oleh
masyarakat Tenganan diartikan sebagai tempat untuk melakukan upacara-upacara dan kegiatan sosial lainnya
secara bersama-sama dalam satu sistem budaya dan awig yang ada. Sedangkan desa dinas/dusun menurut
pandangan masyarakat Tenganan hanya sebagai perpanjangan tangan dari pemerintahan yang ada diatasnya
yang bertugas menjalankan adminitrasi desa/dusun dan untuk memungut pajak dan retribusi dari pariwisata.
Desa Dinas Tenganan dipimpim oleh seorang perbekel yang dipilih melalui pemungutan suara dan
berkedudukan di kantor desa yang terletak di wilayah Desa Adat Tenganan Pegeringsingan. Dalam
melaksanakan tugas sehari-hari, perbekel Tenganan berkoordinasi dengan lima (5) kepala dusun/banjar dinas
yang ada di wilayah administrasi Desa Tenganan yaitu Banjar Dinas Tenganan Pegeringsingan, Banjar Dinas
Bukit Kangin, Banjar Dinas Bukit Kauh, Banjar Dinas Gumung, dan Banjar Dinas Dauh Tukad. Perbekelan
Tenganan meliputi tiga(3) Desa Adat yaitu Tenganan Pegeringsingan, Dauh Tukad dan Gumung. Wilayah Desa
Adat Tenganan Pegeringsingan meliputi wilayah administratif Banjar Dinas Bukit Kangin dan Banjar Dinas Bukit
Kauh. Hal tersebut terjadi karena umumnya dan sebagian besar penduduk di kedua banjar dinas tersebut adalah
petani penyakap tanah yang dimiliki baik secara kolektif maupun individu warga Desa Adat Tenganan
Pegeringsingan.
Gambar. 2.50. Hubungan dan keterkaitan antara pemerintahan adat dan dinas di Desa Tenganan
Gambar.2.52 Struktur Pemerintahan Desa Adat dan Foto salah satu kegiatan pesangkepan di Bale Agung oleh
anggota Krama Desa
Secara sosial masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan memiliki sistem kelompok sosial yang
mencerminkan tugas dan fungsi yang diemban oleh masing-masing anggotanya. Kelompok pertama adalah
Krama Desa, mereka yang duduk dalam lembaga desa adat kemudian warga yang sudah berhenti menjadi
Krama Desa akan tergabung dalam kelompok warga yang disebut Gumi Pulangan kemudian warga pendatang
yang menetap di Banjar Kangin bersama warga Gumi Pulangan disebut Gumi atau dalam kata lain seluruh
warga desa. Sementara kalangan pemuda dan pemudi dari Banjar Adat Kauh dan Banjar Adat Tengah
tergabung dalam kelompok Daha untuk Pemudi dan Teruna untuk Pemuda. Kegiatan ritual dan upacara dalam
kelompok Daha-Teruna ini merupakan pendidikan persiapan bagi mereka sebelum duduk dalam lembaga Krama
Desa nanti.
Gambar.2.53 Sistem struktur sosial kemasyarakatan yang secara turun-temurun diterapkan di Desa Adat
Tenganan Pegringsingan yang sekaligus juga merupakan komponen pelaku dalam setiap ritual upacara dan
adat-istiadat yang ada.
Ruang wilayah Desa Adat Tenganan Pegringsingan dengan karakternya khasnya secara umum dapat
dikategorikan terdiri dari tiga struktur utama yaitu Area Sawah, Area Tegal/Bet dan Area Peumahan/Pemukiman.
Ketiga struktur tersebut secara tegas diatur dengan aturan pengelolaan yang secara jelas tertuang dalam awig-
awig desa. Seperti misalnya dalam hal tata kelola area persawahan, aturan awig-awig dengan jelas
menyebutkan bahwa sawah dan tegalan yang ada di dalam wilayah desa tidak boleh diperjualbelikan kepada
pihak luar/warga dari luar Desa Tenganan Pegringsingan sehingga dapat dikatakan bahwa aturan ini adalah
sebuah bentuk perlindungan yang luar biasa terhadap keutuhan aset wilayah desa yang mana jika kita
bandingkan dengan kondisi di Bali pada umumnya saat ini sungguh sangat memprihatinkan alih fungsi dan
pemilikan lahan yang terjadi.
Terkait dengan aturan pengelolaan hutan dalam struktur Bet/Tegalan, Desa Adat Tenganan
Pegringsingan secara tegas melarang penebangan pohon pada lahan dalam klasifikasi Bet (lahan yang ditanami
pohon Jaka/aren) terkecuali pohon tersebut betul-betul telah mati. Disamping itu aturan juga menerangkan
bahwa terdapat empat jenis pohon buah yaitu Kemiri, Durian, Pangi/Keluwak, dan Tehep dimana ketika
berlangsung musim berbuah, warga desa pemilik lahan tidak diperbolehkan memetik buahnya dan memberikan
kesempatan kepada setiap warga desa yang rajin untuk memungut buah yang telah jatuh. Hal ini merupakan
perwujudan keadilan sosial bagi warga desa yang kurang mampu tetapi mau berusaha untuk tetap bisa
menikmati manfaat hasil hutan.
Gambar.2.55 Siteplan area pemukiman Desa Adat Tenganan Pegringsingan dengan pola rumah yang linier
memanjang arah utara-selatan
Wilayah Pemukiman Desa Adat Tenganan Pegringsingan memiliki pola penataan yang sangat unik dan
khas. Hal ini merupakan wujud konsepsi keruangan yang dianut. Secara umum pola pemukiman di Desa Adat
Tenganan Pegringsingan tertata secara linier memanjang dari utara ke selatan. Rumah-rumah penduduk secara
tradisional terdiri dari enam deret yang dibagi oleh tiga jalan utama. Jalan-jalan utama yang memanjang sejajar
deret perumahan adalah halaman depan yang dalam istilah lokalnya disebut Awangan dimana Awangan
masing-masing rumah adalah menyatu satu dan yang lainnya sebagai wujud kebersamaan/komunalitas. Setiap
rumah akan menhadap kesetiap awangan sehingga bagian belakang rumah akan saling bertemu. Secara teknis
dan aspek perencanaan sanitasi, pola yang sedemikian akan memungkinkan adanya efektifas dalam
pengelolaaan saluran air limbah rumah tangga karena seluruh limbah rumah tangga akan dialirkan kebelakang
menyatu dalam sebuah saluran utama. Konsepsi orientasi perumahan dan jalan-jalan utama ini sangat erat
kaitannya dengan ritual dan upacara yang dilaksanakan dimana Awangan atau halaman depan masing-masing
rumah yang sekaligus juga adalah jalan utama merupakan Area Suci yang secara nyata tidak boleh dikotori
dengan limbah rumah tangga. Disepanjang Awangan ini terdapat beberapa bangunan suci dan umum yang
dapat dimanfaatkan oleh seluruh warga desa.
Gambar.2.56 Suasana pemukiman Tenganan Pegringsingan, Awangan/halaman yang menyatu dan deretan
rumah yang juga seolah-olah satu-bersambung merupakan cermin sosial masyarakat yang memiliki
kebersamaan yang tinggi.
Wilayah pemukiman desa dari keempat penjuru mata angin memiliki gerbang yang dalam istilah
lokalnya disebut Lawangan. Lawangan merupakan pintu keluar-masuk area pemukiman yang secara filosofis
berfungsi sebagai gerbang desa.
2) Bangunan Suci dan Struktur Desa : Pura Puseh, Bale Agung, Bale Petemu, Lawangan
1. Pura Puseh
Pura Puseh merupakan salah satu pura utama yang ada di Desa Adat Tenganan Pegringsingan.
Upacara yang dilangsungkan di pura ini setiap satu tahun sekali. Karakter arsitektur yang khas dari bangunan
pura ini adalah pola tata bangunan yang sederhana dengan orientasi timur-barat dan tembok serta pondasi
bangunan yang terbuat dari pasangan batu kosong. Pura ini terdiri dari tiga bangunan utama dan satu buah
pelinggih dari pohon kamoja/jepun tua.
2. Bale Agung
Bale Agung merupakan bangunan suci yang dimiliki oleh Krama Desa. Bale Agung merupakan institusi
tertinggi yang secara harfiah diartikan sebagai tedung/pelindung jagat atau wilayah Tenganan Pegringsingan.
Bangunan Bale Agung merupakan bangunan bale panjang dengan jumlah kolom sebanyak 28 buah dengan
atap berbahan ijuk dan pondasi atau bataran berupa pasangan batu kosong. Bale Agung merupakan tempat
bagi warga desa untuk mengadukan permasalahan dan mencari keadilan dalam setiap permasalahan yang
dihadapi khususnya yang menyangkut adat.
Gambar.2.58 Bale Agung dengan deretan pedagang souvenir kerajinan lontar didepannya.
3. Bale Petemu
Bale Petemu merupakan bale tempat bertemu atau berkumpul bagi para Teruna (pemuda). Terdapat
tiga buah Bale Petemu yaitu Petemu Kelod, Petemu Tengah dan Petemu Kaja. Bale Petemu memiliki ciri khas
Bale Panjang dengan bahan atap ijuk, struktur bangunan kayu dan pondasi atau bataran dari batu bata merah.
Seluruh aktifitas Teruna dipusatkan di Bale Petemu dan masing-masing Bale Petemu memiliki perangkat
gamelan suci yang disebut Selonding.
Gambar.2.59 Bale Petemu sebagai Bale Suci organisasi Teruna atau pemuda.
4. Lawangan
Lawangan merupakan pintu gerbang keluar-masuk area pemukiman desa. Terdapat empat buah
lawangan namun secara fisik hanya terdapat tiga buah yaitu arah selatan, utara dan timur. Lawangan berbentuk
angkul-angkul dalam ukuran yang lebih besar dengan pintu berdaun ganda. Bahan bangunan lawangan adalah
bata citakan yaitu batu bata yang belum dibakar dengan bahan atap ijuk.
Gambar.2.60 Salah satu Lawangan yang ada di Desa Adat Tenganan Pegringsingan yaitu Lawangan Kelod
(selatan) di Pura Batan Cagi.
rumah yang kosong dan membangun rumah barunya disana. Bagi mereka yang baru membentuk keluarga oleh
desa adat diberikan hak Tumapung yaitu hak untuk menebang pohon meskipun pohon tersebut masih hidup
yang terletak ditanah milik sendiri sejumlah kebutuhan untuk membuat satu unit bangunan saja. Dengan sistem
yang ada maka setiap rumah di Desa Adat Tenganan Pegringsingan adalah untuk satu kepala keluarga saja.
Gambar.2.61. Pola sebuah rumah tinggal tradisional Tenganan pegringsingan yang selalu terdiri dari empat unit
bangunan
Gambar.2.62 Pola hubungan antara rumah tinggal yang dihubungkan oleh halaman depan yang menyatu.
Gambar.2.63. Sistem kalender lokal Tenganan Pegringsingan yang menganut sistem siklus tiga tahunan
Gambar.2.64. Ritual Perang Pandan dari masa kemasa, sebuah bentuk persembahan kepada Dewa Indra
sebagai dewa peperangan.
3) Tari Abuang
Tari Abuang merupakan tari pergaulan bagi muda-mudi Desa Tenganan Pegringsingan dimana yang
menjadi peserta utama ritual ini adalah mereka yang masih tergabung dalam organisasi Daha-Teruna. Tari
Abuang dilangsungkan pada sasih Kasa yaitu bulan pertama pada kalender Tenganan. Tarian ini ditarikan oleh
Daha-Teruna secara berpasangan dengan diringi gamelan Selonding.
Gambar.2.65. Ritual Tari Abuang, ritual pergaulan muda-mudi oleh para Daha dan Teruna Desa Tenganan
Pegringsingan.
4) Upacara Maling-malingan
Ritual Malingan-Malingan merupakan sebuah ritual unik yang melibatkan para Teruna dari Petemu
Kelod dan anggota Krama Desa. Secara filosofis ritual upacara ini mengandung pesan sosial dan pembelajaran
budi pekerti bagi warga desa yaitu bahwa mencuri (memaling) adalah sebuah perbuatan tercela akan
mendapatkan hukuman yang setimpal yang dalam ritual ini bagi “pencuri” yang tertangkap akan diarak keliling
desa dengan wajah dan badan yang dihias dengan daging dan riasan yang akan menimbulkan rasa malu.
Maling-malingan dilaksanakan pada sasih kelima pada rangkaian usaba Sambah.
Gambar.2.66. Sebuah ritual yang sarat dengan pembelajaran yaitu berani berbuat harus siap dengan akibat.
Gambar.2.67. Teruna Nyoman, sekolah kehidupan bagi para calon Teruna di Desa Tenganan Pegringsingan
Gambar.2.68. Tenun Geringsing, sebuah karya budaya yang sarat dengan makna dan pesan-pesan kehidupan
dan kebijaksanaan.
Saat ini karena pengaruh pariwisata, kain Tenun Geringsing telah mengalami pergesaran dari yang
pada mulanya adalah kain yang dibuat sebagai bagian dari sebuah kebanggaan dan harga diri sehingga khusus
dibuat untuk kebutuhan sendiri sekarang menjadi sebuah komoditas sebuah barang dagangan. Kiranya usaha-
usaha yang serius kedepan diperlukan dalam rangka melindungi kekayaan masyarakat ini dari upaya
komodifikasi dengan aneka cara dan teknologi yang ada saat ini seperti misalnya yang paling mutakhir yaitu
teknik printing.
h. Siteplan Desa
BAB III
SIGNIFIKANSI KOTA PUSAKA
c. Nilai Budaya
Aset-aset pusaka yang ada di Karangasem sebagai sebuah produk hasil cipta karya masnusia baik
budaya ragawi maupun tak ragawi merupakan suatu warisan atau aset pusaka yang tak ternilai yang ada saat ini
dan menjadi kebanggaan masyarakat.
d. Nilai Kelangkaan
Bahwa aset-aset pusaka yanga ada di Karangasem keberadaannya sebagaimana diuraikan pada Bab
sebelumnya merupakan aset pusaka yang mempunyai nilai originalitas dan keunikan tersendiri khsusunya aset
pusaka alam dan budaya ragawi.
e. Nilai Fungsional
Bahwa aset-aset pusaka yang ada di Karangasem khususnya aset pusaka budaya ragawi maupun tak
ragawi memiliki fungsi dan peran yang berbeda dalam suatu rangkaian kegiatan budaya maupun adat dan
agama.
f. Nilai Ekonomi
Budaya tercermin dari pengetahuan, perilaku dan benda yang dihasilkan melalui kreatifitas manusia.
Aset-aset budaya dan alam maupun saujan yang ada di Karangasem mempunyai nilai ekonomi yang sangat
tinggi jika dikelola dengan baik dasn sebaliknya jika salah dalam pengelolaan maka aset aset pusaka tersebut
akan sirna dan hancur di gerus oleh tuntutan ekonomi saat ini.
g. Nilai Sosial
Kota Karangasem sebagai salah satu cikal bakal kota Pusak di Indonesia tentunya dari aset-aset pusaka
yang dimiliki sangat kental dengan nilai sosial yang ada. Kehidupan bermasyarakat di pedesaan maupun di
sekitar puri sebagai pusat kota dengan multi etnik yang ada maka memperlihatkan nilai sosial yang sangat
tinggi, ada kehidupan atau nilai lokal seperti “ngejot “ yaitu saling bersedekah berupa makanan disaat hari-hari
besar agama yang berbeda demikina juga kehidupan sosial lainnya yang masih perlu digali dan ditelusuri.
h. Nilai Integritas
Bahwa aset-aset pusaka yang ada di Karangasem dapat memunculkan rasa persatuan dan kebersamaan
bahkan mempersatukan masyarakat menjadi satu-kesatuan dalam wilayah adat tertentu.
i. Nilai Identitas
Bahwa aset-aset pusaka yang ada di Karangasem dapat memunculkan corak dan karakter masyarakat yang
menjadi identitas.
j. Nilai Ekologis
Dengan adanya aset-aset pusaka di karangasem baik alam maupun budaya mempunyai peranan penting
dalam pendidikan bagi pelajar dan generasi muda, terutama dalam menanamkan rasa bangga terhadap
kebesaran bangsa dan tanah air.
Kekayaan aset pusaka alam, budaya dan saujana di Karangasem tertuang dalam Taman ujung yang
begitu beragam arsitektur yang ada baik arsitektur lokal, cina, eropa dan timur tengah. Demikian juga nama-
nama bangunan di lingkungan Puri karangasem banyak mengambil nam-nama selain lokal juga diambil dari
nama jawa, cina dan eropa. Dengan demikian di dalam Program Pelestarian Kota Pusaka ini Kabupaten
Karangasem mengedepankan “Puri dengan Kehidupan Sosial Budaya yang Multi Etnik dan Taman
Soekasada Oejoeng Sebagai Kawasan Heritage Akulturasi Arsitektur Dunia” dengan harapan di Tahun
2015 bisa menjadi Kota Pusaka Indonesia dan Kota Pusaka Dunia di tahun 2020
Kekayaan dan keberadaan aset pusaka alam, aset pusaka budaya ragawi serta aset pusaka saujana
yanga ada di Karangasem diyakini memiliki keunikan dan tidak dimiliki oleh daerah lain. Namun aset budaya tak
ragawi ada kemiripan dibeberapa daerah khsusnya di Bali hal ini dikarenakan keterkaitan budaya dengan agama
yang ada didalam pelaksanaan acara-acara adat maupun keagamaan. Namun demikian secara detail jika di
lihat ada perbedaan.
BAB IV
TANTANGAN DAN PERMASALAHAN
DIDALAM MELESTARIKAN KEUNGGULAN
Dalam pelestarian aset-aset pusaka yang ada di Kabupaten Karangasem mengalami beberapa
tantangan dan permasalahan beberapa diantaranya:
BAB V
VISI DAN MISI
Penjabaran makna dari Visi tersebut adalah seperti diuraikan dibawah ini :
Jagadhita artinya kondisi masyarakat yang berada pada keadaan ekonomi yang sejahtera dengan
ukuran menurut terminologi ilmiah, yang selama ini dijadikan indikator oleh pemerintah.
Ya Ca Iti Dharma artinya bahwa dasar filosofi yang dijadikan kerangka di dalam berinteraksi sosial
adalah nilai-nilai kebenaran universal yang menurut terminologi agama dan hukum positif.
Batasan-batasan:
1. Batasan sejahtera yaitu adanya penurunan secara signifikan terhadap angka kemiskinan secara bertahap
dan komprehensif.
2. Nilai-nilai kebenaran terminologi agama yang dijadikan acuan secara khusus adalah Agama Hindu
dengan nafas budaya Bali dan Undang-Undang Negara.
5.2 Misi
RPJMD Kabupaten Karangasem 2010-2015 yang merupakan tujuan kedua dari RPJPD Kabupaten
Karangasem 2006-2025 adalah dalam rangka untuk membuat karangasem kedepan menjadi lebih baik dengan
mencermati isu-isu strategis, baik yang bersifat internal (kekuatan dan kelemahan) maupun bersifat eksternal
(peluang dan tantangan). Globalisasi dalam pasar bebas merupakan peluang bagi sumber daya manusia
karangasem untuk dapat berkiprah, baik ditingkat daerah, nasional maupun ditingkat global. Globalisasi
merupakan peluang untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja sekaligus menurunkan tingkat pengangguran.
Dalam rangka mewujudkan ” Karangasem Jagadhita Ya Ca Iti Dharma Periode ll “ akan dapat dicapai
dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan
masyarakat, pengembangan kepariwisataan yang berkualitas dan berkelanjutan. Mengembangkan ekonomi
kerakyatan, meningkatkan peran sektor pertanian, memantapkan pengembangan koperasi dan lembaga
ekonomi kerakyatan lainnya, mengembangkan industri kecil dan industri menengah lainnya, serta memperkuat
lembaga tradisional kemasyarakatan, mewujudkan ketentraman, kedamaian serta kerukunan hidup
bermasyarakat dalam kemajemukan, mengembangkan sistem keamanan yang berstandar internasional.
Dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi juga diberikan dengan pengembangan sarana dan
prasarana publik yang memadai terutama pada wilayah karangasem utara, barat, dan timur, memperbaiki
infrastruktur penunjang pariwisata, mensinergikan pembangunan pertanian dengan sektor pariwisata dan
mewujudkan ekonomi kerakyatan yang tangguh. Misi ini dicapai dengan tetap memelihara serta menjaga
keberlangsungan aset-aset pusaka yang ada.
Untuk dapat mengantisipasi kondisi dan permasalahan yang ada serta memperhatikan tantangan ke
depan dengan mempertimbangkan peluang yang dimiliki, untuk menuju “ Karangasem Jagadhita Ya Ca Iti
Dharma Periode ll “ maka rumusan Misi Kabupaten Karangasem dalam pencapaian Visi Karangasem 2010-2015
ditetapkan dalam 3 Misi yaitu:
Misi Pertama : Penyelenggaraan Tugas Umum Pemerintah Bebas KKN
Misi Kedua : Peningkatan dan Penyelarasan Pembangunan
Misi Ketiga : Penyelenggaraan Tugas Fungsi Sosial Kemasyarakatan
Pemerintah Kabupaten Karangasem
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
76
Program Penataan Dan
KARANGASEM KOTA PUSAKA
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
BAB VI
RENCANA AKSI
Informasi, edukasi dan Promosi Kota Pusaka kabupaten Karangasem bertujuan untuk mendorong
pemahaman tentang pusaka.
Resiko bencana yang terjadi di Kota Pusaka karangasem terdiri dari kebakaran dan gunung berapi, adapun
rencana aksi dalam pengelolaan resiko bencana adalah sebagai berikut ;
(Catatan : untuk olah desain bangunan akan dilakukan pada kajian berikutnya)
Tabel 6.7
Rencana Aksi Kota Pusaka Karangaasem Tahun 2012-2015
BAB VII
PENCAPAIAN PELAKSANAAN AKSI HINGGA TAHUN 2012
Pencapaian pelaksanaan aksi pusaka hingga tahun 2012 untuk Kabupaten Karangasem masih sangat
minim, hal ini dikarenakan keikutsertaan dan perhatian pemerintah daerah khsusunya terhadap program Kota
Pusaka baru di mulai tahun 2012. Aksi atau kegiatan secara khusus menyangkut manajemen pusaka,
kelembagaan, inventarisasi, pengelolaan resiko bencan, analisis , desain maupun lainnya belum secara khsusu
dilakukan namun demikian dilekatkan pada kegiatan atau aktifitas lain yang sebenarnya juga bertujuan untuk
pelestarian pusaka. Secara tidak langsung kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan diberbagai sektor terkait
pelestarian aset pusaka sebagiman diuraikan dalam tabel berikut.
Tabel 7.1
Kegiatan Mendukung Rencana Aksi Kota Pusaka Tahun 2006- Tahun 2012
II KAWASAN BESAKIH
LAMPIRAN
Hasil Inventarisasi
1) Tabel 2.1 Daftar Aset Pusaka Alam di Kabupaten Karangasem berdasarkan kronologi
2) Tabel Tabel 2.2 Daftar Pusaka Budaya Ragawi dan Tak Ragawi di Kabupaten Karangasem
berdasarkan kronologi
3) Tabel 2.3 Daftar Pusaka Saujana Desa Tenganan
4) Peta Persebaran Aset-Aset Pusaka Karangasem
Daftar Pustaka
Aset Pusaka
4 Alam Tahun 1945 Desa Tulamben
Tulamben Kec.Kubu
Nama Pusaka:
Bangkai Kapal
USS Liberty
86
5 Pusaka Alam
Tulamben Wall
(Drop Off)
Pusaka Alam
6 Paradise Reef
Pusaka Alam
Matahari Reef
7
Pusaka Alam
Seraya
8
Pusaka Alam
9 8-10 pygmy
seahorse hidup
di dalam 1 sea
fan
87
Aset Pusaka Ditanam Pada Desa Bukit
10 Alam masa Kerajaan Kec.Karangasem
Karangasem
Nama Pusaka: Tahun 1909
Punyan Kepel
88
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Tabel 2.2
Daftar Pusaka Budaya Ragawi dan Tak Ragawi di Kabupaten Karangasem
berdasarkan kronologi
Aset Pusaka
Pura Besakih
2 Aset Pusaka
Budaya
Ragawi
Dibangun Tahun Kelurahan
Aset Pusaka 1909 Karangasem
Puri Agung Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Candi Puri
Kangingan)
Aset Pusaka
3 Ragawi
Nama :
(Angkil-angkul
Puri Kangingan)
Aset Pusaka
4. Budaya
Ragawi
Nama :
(Bale Kambang
Puri Kanginan)
89
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
5
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Ragawi Puri 1909 Karangasem
Gede Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Bale
Pemandesan
Puri Kanginan)
Nama :
(Maskerdam
Puri Kanginan)
Nama :
(Bencingah Puri
Gede)
8
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Ragawi Puri 1909 Karangasem
Gede Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Lembu Agung
Puri Gede)
Nama :
(Bale
Pesandekan
Puri Gede)
90
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
10
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Ragawi Puri 1909 Karangasem
Gede Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Gapura Puri
Gede)
11.
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Ragawi Puri 1909 Karangasem
Gede Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Rangki/tempat
tidur raja Puri
Gede)
12
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Ragawi Puri 1909 Karangasem
Gede Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Bale Delod
masih satu
areal dengan
Rangki/tempat
tidur raja Puri
Gede)
13.
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Ragawi Puri 1909 Karangasem
Gede Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Bale
Penyimpanan
senjata Puri
Gede)
14.
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Ragawi Puri 1909 Karangasem
Gede Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Bale
Dauh/tempat
putri raja Puri
Gede)
91
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
15.
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Ragawi Puri 1909 Karangasem
Gede Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Bale Dangin
tempat istirahat
raja Puri Gede)
16.
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Ragawi Puri 1909 Karangasem
Gede Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Permandian
raja Puri Gede)
17.
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Ragawi Puri 1909 Karangasem
Gede Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Kolam
/Permandian
raja Puri Gede)
Nama :
(Merajan raja
Puri Gede)
92
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
19.
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Ragawi Puri 1909 Karangasem
Gede Kec.Karangasem
Karangasem
Nama :
(Bale Gong
Merajan raja
Puri Gede)
Nama :
(Bale Kul-kul
Merajan raja
Puri Gede)
Nama :
(Bale Pesantian
Merajan raja
Puri Gede)
22.
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Budaya 1909 Karangasem
Ragawi Puri Kec.Karangasem
Gede
Karangasem
Nama :
(Anngkul-angkul
belakang Puri
Gede)
93
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Nama :
(Anngkul-angkul
belakang Puri
Gede)
24.
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Budaya 1909 Karangasem
Ragawi Puri Kec.Karangasem
Gede
Karangasem
Nama :
(Lorong Puri
Gede)
23.
Aset Pusaka Dibangun Tahun Kelurahan
Budaya 1909 Karangasem
Ragawi Puri Kec.Karangasem
Gede
Karangasem
Nama :
(Anngkul-angkul
belakang Puri
Gede)
94
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
25. - Kelurahan
Aset Pusaka Karangasem
Budaya Kec.Karangasem
Ragawi Puri
Gede
Karangasem
Nama :
(Peralatan
Upacara Puri
Gede)
Nama :
(Peralatan
Upacara Puri
Gede)
Nama :
(Piringan hitam
Puri Gede)
Nama :
(Beraneka
senjata pusaka
Puri Gede)
Nama :
(Ranjang
Tempaat Tidur
Raja Puri Gede)
Aset Puri Masih dalam Masih dalam Masih dalam Proses Pendataan...........................
30 Kelodan Proses Proses
Karangasem Pendataan........ Pendataan.....
95
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Aset Pusaka
32 Budaya Dibangun Tahun Desa Tumbu Kec.
Ragawi Taman 1919 Karangasem
Soekasada
Oejoeng
Di Revitalisasi tahun
Gapura Sisi 1995-2003
Barat Taman
Soekasada
Ujung
96
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Aset Pusaka
36. Budaya Dibangun Tahun Desa Tumbu Kec.
Ragawi Taman 1919 Karangasem
Soekasada
Oejoeng
Aset Pusaka
37. Budaya Dibangun Tahun Desa Tumbu Kec.
Ragawi Taman 1919 Karangasem
Soekasada
Oejoeng
Nama Pusaka:
Balai Kapal
Taman
Soekasada
Oejoeng
97
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Nama Pusaka:
Empat Buah
Kolam Taman
Soekasada
Oejoeng
Nama Pusaka:
Patung Warak
Taman
Soekasada
Oejoeng
98
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
99
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Pesanggrahan
51 Keluarga Raja Masih Dalam pendataan
100
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
56 Aset Pusaka Desa Masih dalam proses Masih dalam inventarisasi aset
Budaya Bungaya
101
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Aset Budaya
Tak ragawi
Cekepung
102
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
103
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
104
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Tabel 2.3
Daftar Pusaka Saujana Desa Tenganan
No Nama Pusaka Tahun Letak
1 Batu Desa Tenganan
Peninggalan Pagringsingan
Legenda Kuda
105
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Bale Agung
dengan deretan
pedagang
souvenir
kerajinan lontar
didepannya.
Bale Petemu
sebagai Bale
Suci organisasi
Teruna atau
pemuda
Salah satu
Lawangan yang
ada di Desa Adat
Tenganan
Pegringsingan
yaitu Lawangan
Kelod (selatan) di
Pura Batan Cagi
9 Pola sebuah Desa Tenganan
rumah tinggal Pagringsingan
tradisional
Tenganan
pegringsingan
yang selalu terdiri
dari empat unit
bangunan
106
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
10 Pusaka Budaya
Tak Ragawi
Ritual Upacara
Tahun I Tahun II Tahun II
(Pusaka Non- (Sambah Muran)
Ragawi) 12 Bulan (30 12 Bulan (30
hari/bulan) hari/bulan kecuali 12 Bulan + 1
Kalender Lokal bulan ke-11 & 12 bulan yaitu bulan
Tenganan 1 Tahun = 360 yaitu 26 ke-4 kedua (30
Hari hari/bulan) hari/bulan kecuali
bulan ke-4 kedua
1 Tahun = 352 Hari = 27 hari/bulan,
bulan ke-11 & 12
11 Pusaka Budaya Desa Tenganan yaitu 28
Tak Ragawi Pagringsingan hari/bulan)
1 Tahun = 383
Ritual Perang Hari
Pandan dari
masa kemasa,
sebuah bentuk
persembahan
kepada Dewa
Indra sebagai
dewa
peperangan
Ritual Tari
Abuang, ritual
pergaulan muda-
mudi oleh para
Daha dan Teruna
Desa Tenganan
Pegringsingan.
Ritual Malingan-
Malingan
107
KARANGASEM KOTA PUSAKA Program Penataan Dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Upacara Teruna
Nyoman, sekolah
kehidupan bagi
para calon
Teruna di Desa
Tenganan
Pegringsingan
Tenun
Geringsing,
sebuah karya
budaya yang
sarat dengan
makna dan
pesan-pesan
kehidupan dan
kebijaksanaan
108