(Litopenaeus vannamei)
TEKNOLOGI
EKSTENSIF PLUS
diterbitkan oleh :
Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah
Provinsi Sulawesi Tengah
2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas berkah dan rakhmat-Nya maka
buku tentang “Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Teknologi Ekstensif Plus”
dapat diselesaikan. Penyusunan buku ini merupakan bagian dari upaya pengembangan
komoditas udang di Provinsi Sulawesi Tengah. Sasaran pengembangan adalah: (1) peningkatan
produksi dan nilai ekspor; (2) pemenuhan konsumsi ikan masyarakat; (3) peningkatan
kesejahteraan pembudidaya; (4) peningkatan mutu hasil dengan memperhatikan aspek
keamanan pangan (food safety); (5) pengembangan kegiatan budidaya yang ramah lingkungan
dan berkelanjutan.
Provinsi Sulawesi Tengah mempunyai areal potensi pengembangan udang sekitar
42.095 Ha. Pemanfaatan potensi tersebut baru berkisar 10.339 ha dengan produktifitas tahun
2007 berkisar 5.381,65 ton. Luasan tersebut didominasi oleh tambak ekstensif (tradisional) yang
tersebar di 9 Kabupaten, sedangkan tambak semi intensif dan intensif berada di Kabupaten
Banggai dengan jumlah lebih kurang 10%. Komoditas yang paling banyak dibudidayakan oleh
pembudidaya ekstensif adalah udang windu, sedangkan udang vaname baru beberapa tahun
tahun terakhir dikembangkan. Kendala bagi pengembangan udang udang vaname umumnya
adalah disain dan tata letak, sarana produksi pertambakan yang belum standar serta minimnya
pengetahuan tentang teknologi budidaya. Dengan demikian, strategi yang akan diterapkan adalah
pengembangan berbasis kawasan budidaya, permodalan kerja serta program pendampingan
teknis budidaya udang berkelanjutan di masyarakat.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang telah
diberikan banyak pihak selama penyusunan buku ini. Namun kami juga sadar sepenuhnya bahwa
kandungan materi di dalamnya masih mempunyai banyak keterbatasan. Oleh karena itu,
dukungan dan partisipasi semua pihak sangat dinantikan demi perbaikan di masa datang.
i
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 01
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 01
1.1. Latar Belakang
BAB II TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS ......................................................................... 03 Upaya untuk terus membangun perekonomian Indonesia pasca krisis moneter beberapa
tahun silam terus diupayakan terutama melalui peningkatan devisa negara. Salah satu cara upaya
2.1. Bioekologi ...................................................................................................... 03
tersebut adalah melalui ekspor hasil perikanan. Potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia
2.2. Pengertian Ekstensif Plus .............................................................................. 06
diperkirakan mencapai 6,4 juta ton ikan per tahun. Beberapa komoditas perikanan yang
mempunyai nilai ekspor tinggi adalah udang, ikan tuna dan cakalang, ikan kerapu, mutiara,
BAB III PENGELOLAAN BUDIDAYA TAMBAK ............................................................... 08 abalone, teripang dan lain-lain. Harga udang Indonesia yang berukuran besar (> 30g/ekor)
3.1. Persiapan Lahan ........................................................................................... 08 mencapai > US $ 10.00/kg di pasaran luar negeri.
3.2. Penataan Sarana dan Fasilitas Tambak ........................................................ 12 Produksi udang di Indonesia berasal dari hasil tangkapan di laut dan hasil budidaya di
3.3. Penyiapan Media Air ..................................................................................... 12 tambak. Pada tahun 2000, produksi udang nasional mencapai 679.049 ton yang terdiri dari
249.032 ton hasil tangkapan dan 430.017 ton hasil budidaya dengan volume ekspor 116.200 ton
3.4. Pemilihan dan Penebaran Benih ................................................................... 13
senilai + US $ 1,000,000,000.00. Negara-negara tujuan ekspor udang Indonesia antara lain
3.5. Masa Pemeliharaan ...................................................................................... 15
adalah Jepang, Amerika Serikat, Hongkong, Singapore, Taiwan, China, Korea Selatan, Thailand,
3.6. Pengamatan Kondisi dan Pertumbuhan Udang ............................................ 17
Filipina dan Korea Utara. Secara global ekspor hasil perikanan Indonesia menduduki peringkat ke
tujuh dan ke delapan. Hingga saat ini komoditas udang masih merupakan penyumbang terbesar
BAB IV PENGELOLAAN KESEHATAN UDANG .............................................................. 18 devisa yang berasal dari komoditas perikanan. Data statistik menunjukkan bahwa komoditas
udang memberikan kontribusi sebesar 60% dari total nilai ekspor hasil perikanan.
BAB V PEMANENAN HASIL ........................................................................................... 21 Akhir-akhir ini produksi udang di Indonesia mengalami penurunan yang drastis akibat
kematian masal yang disebabkan karena berjangkitnya wabah penyakit white spot virus yang
menyerang budidaya udang windu di tambak. Berkembangnya white spot virus diduga
Lampiran ANALISIS USAHA .............................................................................................. 22
disebabkan karena lingkungan perairan tambak udang yang tercemari oleh limbah organik yang
Referensi ............................................................................................................................ 26
berasal dari kegiatan budidaya itu sendiri. Penumpukan bahan organik mempersubur
perkembangan mikroorganisme patogen.
Sejalan dengan upaya untuk meminimalkan kegagalan panen dan sekaligus
meningkatkan produksi dan ekspor udang dari Indonesia, maka Departemen Kelautan dan
Perikanan RI pada tahun 2000 telah merekomendasikan pembudidayaan udang vaname sebagai
salah satu alternatif. Udang tersebut bukanlah merupakan udang asli Indonesia, namun cukup
baik untuk dibudidayakan di Indonesia. Evaluasi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa
telah terjadi peningkatan produksi dan ekspor Nasional menjadi 300 ton pada tahun 2005 dan
sekitar 70% adalah kontribusi dari udang vaname yang umumnya diproduksi dengan penerapan
teknologi Semi Intensif dan Intensif.
Budidaya udang vaname tidak harus menggunakan teknologi Semi Intensif dan Intensif
yang tentunya padat modal. Pembudidaya tambak udang tradisional (ekstensif) juga dapat
BAB II
melakukan budidaya udang vaname menggunakan teknologi ekstensif plus, sesuai dengan
karakter lahan, kemampuan modal dan wawasan pengetahuan yang dimiliki. Hasil ujicoba
TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
budidaya udang vaname menggunakan di Tambak Percontohan Tindaki Kecamatan Parigi
Selatan Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah telah menunjukkan hasil yang cukup 2.1. Bioekologi
memuaskan. Pada luasan lahan 0,3 Ha mampu menghasilkan sekitar 1,25 ton dengan ukuran Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis udang yang memiliki
(size) 40 - 50/kg selama masa budidaya 125 hari. pertumbuhan cepat dan nafsu makan tinggi. Bila dibanding dengan Udang Windu (Penaeus
Teknologi tradisional (ekstensif) plus tetap menjadi perhatian bagi instansi terkait, mengingat monodon), maka ukuran yang dicapai pada saat dewasa relatif lebih kecil. Habitat asli Udang
bahwa budidaya udang Sulawesi Tengah didominasi oleh tambak ekstensif. Sebagai gambaran, Vaname adalah di perairan laut Amerika terutama di sekitar Samudera Pasifik. Warna Udang
hasil dari tambak udang ekstensif hanya berkisar 80 - 100 Kg/Ha/musim tanam. Produksi tersebut Vaname relatif putih transparan dengan warna biru yang terdapat dekat dengan bagian telson dan
masih dapat ditingkatkan melalui penggunaan teknologi ekstensif plus. Kisaran produktifitas uropoda. Oleh sebab itu, Udang Vaname sering juga disebut sebagai American Western Shrimp,
menggunakan ekstensif plus untuk Udang Windu berkisar 300 Kg/Ha/Musim Tanam. Produktifitas Mexican White Shrimp atau Pacific White Shrimp. Meski merupakan spesies introdusir, pada
ekstensif plus dengan komoditas udang Vaname dapat berkisar 500 - 2.500 Kg/Ha/musim tanam, kenyataannya mampu hidup dan tumbuh dengan baik di Negara Asia termasuk Indonesia.
tergantung dari penggunakan kategori teknologi. Permasalahan utama dalam penerapan Alasan umum pemilihan komoditas Udang Vaname adalah : (1) sangat diminati di pasar
teknologi ekstensif plus adalah keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan pembudidaya. Amerika, (2) lebih tahan terhadap penyakit dibanding udang putih lainnya, (3) pertumbuhan lebih
Dengan demikian, dalam rangka peningkatan produktifitas pada penerapan teknologi ekstensif cepat dalam budidaya, (4) mempunyai toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan. Hawai
plus maka diperlukan suatu acuan agar pada pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. merupakan tempat yang pertama kali mengembangkan udang vaname melalui kegiatan
budidaya. Keberhasilan tersebut kemudian disusul oleh beberapa negara di Amerika Selatan dan
Tengah, selanjutnya diikuti oleh Negara di Asia seperti Taiwan, China, Thailand, Vietnam dan
Indonesia. Budidaya Udang Vaname di Indonesia pertama kali dilakukan di Jawa Timur dengan
mengintorodusir benih dari Taiwan dan di pelihara di pertambakan intensif kabupaten Situbondo.
Udang Vaname termasuk genus penaeus, namun yang membedakan dengan genus
paneus lain adalah mempunyai sub genus litopenaeus yang dicirikan oleh bentuk thelicum
terbuka tetapi tidak ada tempat untuk penyimpanan sperma. Ada dua spesies yang termasuk sub
genus Litopenaeus yakni Litopenaeus vannamei dan Litopenaeus stylirostris. Litopenaeus
vannamei lebih dikenal dengan nama Udang Vaname sedangkan Litopenaeus stylirostris dikenal
sebagai Udang Rostris.
Taksonomi Udang Vaname menurut Wiban dan Sweeney (1991), secara lengkap
sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Crutacea
Sub class : Malacostraca
Series : Eumalacostraca
Super Ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Dendrobrachiata
2 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 3
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
Infra Ordo : Penaeidea macam, yaitu mulai dari phytoplankton, plankton, benthik algae, detritus dan bahan organik
Super Famili : Penaeioidea lainnya. Berdasarkan analisis alat pencernaan, 85% makanan udang penaeid terdiri dari
Famili : Penaeidae crustacea dan molusca serta 15 % terdiri dari invertebrata benthis kecil dan detritus. Sebagaimana
Genus : Penaeus golongan udang penaeid, maka Udang Vaname juga bersifat nocturnal, artinya aktif mencari
Sub Genus : Litopenaeus makan pada malam hari atau apabila intensitas cahaya berkurang. Perbedaan yang sangat
Species : Vannamei mencolok dengan udang windu berdasarkan aspek feeding dan food habit adalah udang vaname
lebih rakus, namun membutuhkan protein yang lebih rendah sekitar 28 - 30% untuk pertumbuhan
Udang Vaname termasuk genus penaeus dicirikan oleh adanya gigi pada rostrum bagian optimalnya. Hal ini sangat berbeda dengan udang windu yang membutuhkan sekitar 38 - 40%
atas dan bawah. Mempunyai dua gigi di bagian ventral dari rostrum dan gigi 8-9 di bagian dorsal protein untuk pertumbuhan optimalnya. Keadaan tentu saja sangat berpengaruh signifikan
serta mempunyai antena panjang. Tubuh udang secara morfologis dapat dibedakan menjadi dua terhadap biaya pakan untuk budidaya udang vaname.
bagian yaitu cepalothorax (bagian kepala dan dada) serta bagian abdomen (perut). Cephalothorax
terlindungi oleh kulit yang terbuat dari chitin tebal yang disebut carapace. Cephalotorax dan Tabel 1. Perbandingan Komponen Dasar Pakan antara Udang Windu dan Vaname
abdomen, terdiri dari segmen-segmen atau ruas-ruas, masing-masing mempunyai fungsi sendiri-
Komponen Pakan Udang Windu Udang Vanme
sendiri. Kulit chitin pada udang penaidae akan mengelupas (ecdysis) atau berganti kulit (moulting) Udang (Penaeus monodon) (Litopenaeus vannamei)
setiap kali terjadi penambahan pertumbuhan tubuh.
Protein 38 – 40% 28 – 30%
Udang Vaname mempunyai carapace yang transparan, sehingga warna dari
Lemak 6 – 8% 6 – 8%
perkembangan ovarinya jelas terlihat. Pada udang betina, gonad pada awal perkembangannya
berwarna keputih-putihan, berubah menjadi coklat keemasan atau hijau kecoklatan pada saat hari Serat (maksimal) 3% 4%
pemijahan. Setelah perkawinan induk betina akan mengeluarkan telur yang disebut dengan Kelembaban (maksimal) 11% 11%
pemijahan (spawning). Perkawinan lebih bersifat open thelicum, yaitu setelah gonad mengalami Kalsium (Ca) 1.5 – 2% 1.5 – 2%
matang telur. Cara ini berbeda dengan Udang Windu yang merupakan close thelicum, yaitu Fosfor (Phosphorus) 1 – 1.5% 1 – 1.5%
perkawinan terjadi sebelum gonad udang betina berkembang atau matang.
Saat pemijahan terjadi, maka dalam keadaan normal telur tersebut secara otomatis akan
dibuahi oleh sperma. Bila pemijahan dan pembuahan telah dilakukan, maka induk betina akan Lingkungan optimal untuk menunjang pertumbuhan dan sintasan spesies ini juga identik
segera ganti kulit (moulting). Telur-telur yang telah dibuahi akan terdapat pada bagian dasar atau dengan udang windu. Hanya saja, udang vaname mempunyai toleransi yang lebih lebar terhadap
melayamg-layang di air. Telur jenis udang ini tergantung dari ukuran individu, untuk udang dengan perubahan lingkungan, seperti salinitas (kadar garam) dan temperature (suhu). Pada beberapa
berat 30 gram sampai dengan 45 gram telur yang di hasilkan 100.000 sampai 250.000 butir telur. negara Amerika Selatan dan Tengah serta Cina, spesies ini juga telah dipelihara pada lingkungan
Pada telur yang mempunyai diameter 0,22 mm, proses cleaveage pada tingkat nauplius terjadi air tawar, namun tidak menunjukkan perbedaan produktifitas yang signifikan dibanding jika
kira-kira 14 jam setelah proses bertelur. dipelihara pada kondisi seperti habitatnya.
Habitat yang disukai oleh udang adalah dasar laut yang lunak (soft), umumnya Udang vaname juga dapat diserang penyakit seperti jamur, protozoa, bakteri dan virus.
merupakan campuran lumpur dan pasir. Induk udang sering ditemukan di perairan lepas pantai Diantara organisme penyebab penyakit yang telah disebutkan, virus yang dianggap paling
pada kedalaman berkisar antara 70-72 meter (235 kaki). Udang ini bersifat catadromous, stadia berbahaya. Virus spesifik yang menyerang udang ini adalah Taura Syndrome Virus (TSV), dan
dewasa akan memijah di laut terbuka. Setelah menetas, larva dan juwana akan bermigrasi ke pertama kali ditemukan tahun 1992 di muara sungai Taura, Guayaquil, Equador. Virus ini sangat
pesisir pantai atau mangrove yang biasa disebut daerah estuarine. Stadia larva Udang Vaname mematikan dan menyerang benih di hatchery maupun di tambak pembesaran dan umumnya
memiliki enam stadia naupli, tiga stadia zoea dan tiga stadia mysis dalam daur hidupnya. Saat terjadi pada akhir moulting dengan kondisi kulit berwarna kemerahan. Dampak dari serangan ini
telah dewasa akan bermigrasi kembali ke laut untuk pemijahan seperti pematangan gonad pada saat itu menyebabkan produksi dan ekspor dari negara Amerika tengah dan selatan
(maturasi) dan perkawinan. menurun drastis.
Kebiasaan makan dan cara makan (feeding and food habit) juga identik dengan udang Akan tetapi berkat riset dan kajian yang dikembangkan sejak tahun 1992, maka pada
windu. Udang vaname termasuk jenis hewan “omnivorous scavengger” yaitu pemakan segala tahun 1996 Hawai dan Equador telah berhasil melakukan produksi induk udang massal yang
4 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 5
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
bebas penyakit, Specifik Phatogen Free (SPF) dan tahan penyakit, Specifik Phatogen Resistant namun pada jarak yang terpisah, jauh dari penghisapan. Pompa tersebut digunakan terutama
(SPR). Dari hasil penemuan ini menunjang diproduksinya benih yang yang bebas dan tahan pada saat titik kritis oksigen, biasanya antara pukul 01.00 - 05.00 dini hari atau saat tidak ada angin
penyakit, sehingga alir penyebaran penyakit secara vertikal dapat dieliminir. Lebih lanjut bertiup.
penemuan ini berdampak terhadap peningkatan produksi dan volume ekspor udang dari Amerika, Berdasarkan padat tebar, maka teknologi ekstensif plus budidaya udang vaname adalah
terutama Hawai dan Honduras kembali meningkat. sebagai berikut :
2.2. Pengertian Ekstensif Plus Tabel 2. Sifat Teknis pada Teknologi Ekstensif Plus
Teknologi ekstensif plus adalah budidaya udang dengan menggunakan kepadatan
Tek nologi Ekstensif Plus
tebar antara 4 - 20 ekor /m2 dengan tambahan masukan (input) produksi berupa pakan, pompa air No Karakteristik Kategori I Kategori II Kategori III
serta kincir. Penggunaan kincir dilakukan untuk penerapan padat tebar lebih dari 8 ekor/m2. 1 Padat Tebar (ek or/m2) 4-8 8 - 12 12 - 20
2 Luas Petakan (ha) 1,0 – 2,0 0,60 – 1,0 0,3 – 0,60
Penggunaan kincir dimaksudkan untuk menambah suplai oksigen ke dalam media budidaya
3 Level air (cm) Min 60 Min 80 Min 100
melalui pergerakan air yang ditimbuklan oleh kincir tersebut. Tujuan lain penggunaan kincir adalah 4 Pergantian air (%/hari) 10 -15 15 - 20 20 - 25
mengumpulkan bahan-bahan organik seperti kotoran udang, sisa pakan serta bahan endapan lain 5 Central Drain Tidak ada Tidak ada dianjurkan
pada sudut yang dikehendaki agar dapat dikeluarkan dengan mudah. 6 Tandon Tidak ada Tidak ada dianjurkan
7 Probiotik dianjurkan dianjurkan mutlak
Pada tambak-tambak ekstensif dengan kepadatan berkisar 10 ekor /m2, dapat pula 8 Makanan alami pellet pellet
digunakan pompa air bermesin diesel dengan ukuran 3 - 4 inchi. Fungsi pompa tersebut dapat 9 Pompa Air dianjurkan Mutlak Mutlak
dijadikan untuk menimbulkan pergerakan air. Ujung pompa penghisapan dimasukkan dalam 10 Kincir (daun ) - 2–4 4-8
9 Produksi (ton/ha) 0,5 – 0,8 0,9 – 1,3 1,4 – 2,5
petakan tambak, kemudian ujung pengeluaran dimasukkan kembali ke petak pemeliharaan, 10 Sintasan (%) 60 - 70 70 - 80 > 80
Putaran kincir : 100 110 rpm
6 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 7
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
BAB III
PENGELOLAAN BUDIDAYA TAMBAK
Sasaran akhir yang ingin dicapai pada usaha budidaya udang vaname adalah produksi
yang menguntungkan dan berkelanjutan. Oleh karena itu, sasaran antara yang harus dicapai
adalah mampu mempertahankan kondisi mutu media budidaya selama proses budidaya, agar
tetap layak menunjang pertumbuhan, kelangsungan hidup dan menekan berkembangnya
patogen atau agen penyakit. Menurut Chanratchakool et al. (1998 ), secara teknis urutan kegiatan
pengelolaan tambak udang secara berturut-turut adalah:
(1) Persiapan lahan tambak, meliputi : pengeringan tanah dasar tambak, perbaikan
konstruksi, menaikkan lumpur, pembalikan tanah dan pencucian;
(2) Pemberantasan hama;
(3) Pengapuran dan pemupukan; Gambar 2. Gambaran Tambak Tradisional di Desa Tindaki
Kec. Parigi Selatan Kab. Parimo Sulawesi Tengah
(4) Pemasukan air dan penumbuhan pakan alami;
(5) Penebaran benih;
(6) Manajemen pakan;
(7) Manajemen air;
(8) Monitoring mutu media lingkungan dan penyakit;
(9) Panen.
8 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 9
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
10 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 11
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
persyaratan tumbuh dan kelangsungan hidup udang. Tahapan dan proses penyiapan media air
Pengamatan parameter kualitas tanah diupayakan agar tetap pada kisaran optimal, yaitu pH : 6,5 -
budidaya bagi udang vaname adalah sebagai berikut :
7,5; redoks potensial : maksimal 50 meV; dan bahan organik : 8-10%. Tujuan dari pengamatan
a. Pengisian air pada petakan tambak hingga mencapai ketinggian yang optimal (1,2 - 1,4 m),
parameter kualitas tanah ini adalah untuk memastikan agar kondisi tanah tersebut sudah layak
dilakukan pada saat kondisi air laut sedang pasang tinggi. Air yang telah ada dibiarkan 2-5
sebagai habitat untuk kebutuhan udang yang akan dipelihara.
hari, dengan tujuan untuk mengetahui tingkat porositas tanah dan tingkat evaporasi
Setelah Persiapan lahan dan pengisian air kedalam petak tambak dilakukan
(penguapan) air pada petakan tambak yang akan dioperasionalkan;
pemberantasan hama terutama ikan liar dan crustacea yang masuk secara bersama dengan aliran
b. Sterilisasi media air menggunakan kaporit 30 ppm pada intensitas matahari rendah dan
air. Pemberantasan hama ikan liar digunakan bahan yang mudah terdegradasi dan tidak merusak
disebar secara merata, kemudian di aerasi yang kuat selama 1 jam. Pengadukan dengan
lingkungan, misalnya saponin sebanyak 15-40 ppm. Sebelum diaplikasikan, bahan aktifnya
kincir bertujuan supaya kaporit yang diaplikasikan tersebar secara merata hingga kedasar
diekstrak dengan cara perendaman terlebih dahulu selama 12-24 jam. Selanjutnya saponin
tambak;
diperas ( ampas dibuang ), kemudian ekstrak saponin ditebar merata diseluruh kolam air pada saat
c. Pengamatan parameter kualitas air, seperti pH (7,5-8,5), suhu (28-31 °C), salinitas (15-35
intensitas cahaya matahari cukup tinggi, dengan kondisi ketinggian air berkisar 15-30 cm. Air yang
ppt), DO 3-5 serta parameter air lainnya. Pengukuran parameter kualitas air bertujuan untuk
telah diberi saponin tidak perlu dibuang kembali, namun hanya tinggal menambah hingga
mengetahui kondisi kualitas air secara awal, sehingga pada saat penebaran benur dapat
ketinggian hingga di atas 80 cm.
disesuaikan
Dapat juga dilakukan pemberantasan ikan liar dan jenis crustacea (kepiting dan udang
d. Setelah media air netral, maka dilakukan pemupukan awal dengan aplikasi jenis pupuk urea
liar) menggunakan kaporit (Hypochlorine > 60%). Air pada petakan di usahakan pada ketinggian
5-10 ppm, SP36 2-4 ppm dan pupuk organik 150-300 kg/ha pada intensitas sinar matahari
sekitar 20 cm pada saat intensitas sinar matahari cukup kuat, kemudian diberi kaporit dengan dosis
cukup tinggi, kemudian diaerasi dengan penempatan kincir secara merata. Aplikasi pupuk
30 ppm. Apabila didasar tambak banyak terdapat hama trisipan, dapat dilakukan dengan cara
anorganik terhadap media air diencerkan, karena untuk mempercepat reaktifitas bahan,
mekanik, yaitu mengumpulkannya dan diangkat dengan petakan. Cara lain adalah dengan
sedangkan aplikasi pupuk organik dilakukan dengan cara di masukkan ke kantong dan
mengupas tanah dasar sedalam 5 cm dan mengangkatnya ke atas pematang. Hal ini dilakukan
digantungkan. Tujuan dari pemupukan media air untuk menyediakan unsur hara (nutrien)
sekaligus bersamaan dengan kegiatan persiapan dasar tambak.
bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup pakan alami yang berupa plankton dan
Penggunaan Brestan 60 EC sebagai bahan pemberantas yang cukup efektif namun
mikroorganisme lainnya.
sangat berbahaya. Akumulasi bahan aktif brestan dan residu yang ditinggalkan sangat berdampak
e. Pemberian inokulan (bibit) plankton 10% dari total volume media air petakan, yaitu jenis
terhadap kerusakan lingkungan dan tanah dasar tambak. Saat ini banyak bahan desinfektan atau
fitoplankton Skeletonema sp,Chlorella sp, Tetraselmis sp, Dunaliella sp. Distribusi inokulan
anti crustacea yang direkomendasikan dan telah beredar di pasaran untuk pemberantasan hama
fitoplankton dapat dilakukan satu hari setelah pemupukan pada intensitas sinar yang cukup
dan penyakit.
dan disebar secara merata, kemudian kincir air dihidupkan hingga plankton tumbuh dan
berkembang stabil hingga menjelang penebaran benur;
3.2. Penataan sarana dan Fasilitas tambak
f. Adaptasi media air untuk parameter kestabilan plankton berkisar antara (7-10 hari) dengan
Kegiatan ini dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengeringan, pengolahan tanah
tingkat kelimpahan plankton yang diukur dengan kecerahan air awal berkisar 40-45 cm.
dan lainnya, meliputi :
Apabila selama kurun waktu tersebut di atas belum tumbuh plankton yang optimal, maka
a. Penataan dan pemasangan pompa air;
perlu dilakukan kembali pemberian pupuk dan inokulan fitoplankton susulan hingga
b. Pemasangan kincir air;
mencapai kondisi kelimpahan plankton yang stabil.
c. Pemasangan PVC sentral drain dan saringan pembuangan air;
d. Pemasangan jembatan pakan dan kontrol anco;
3.4. Pemilihan dan Penebaran Benih.
e. Pembuatan rakit untuk pemberian pakan ke tengah tambak;
Penebaran benih dilakukan adaptasi dengan terhadap parameter media air yang sesuai
f. Pemasangan sarana dan fasilitas lainnya.
pada tingkat kelangsungan hidup udang L. Vannamei. Adapun stándar mutu benih udang vaname
sebagai berikut :
3.3. Penyiapan Media Air
a. Gerakan lincah dan menantang arus;
Penyiapan kualitas air tambak mutlak dilakukan sesuai dengan stándar baku mutu
b. Respon terhadap gerakan dan kejutan;
12 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 13
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
14 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 15
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
Aplikasii feed additive berupa vitamin C atau vitamin lainnya dimulai sejak bulan pertama
dan diberikan secara periodik, hingga menjelang pemanenan hasil (atau diberikan pada kondisi
nafsu makan udang menurun). Dosis yang yang diberikan berkisar antara 3-4 gram per kg pakan
dan diberikan setiap 3-4 hari sekali serta dengan frekuensi pemberian 1-2 kali per hari. Jenis feed
additive yang lain (multi vitamin) yang berupa cairan atau emulsi dapat diaplikasikan langsung
dicampurkan dengan pakan buatan dengan dosis sesuai aturan. Contoh teknik aplikasi feed
additive melalui ikan cumi adalah sebagai berikut :
1. Daging cumi diiris kecil atau disesuaikan dengan kemampuan udang menangkap (ukuran
udang)
2. Daging dicuci hingga bersih (buang kotoran yang berwarna hitam)
3. Menyiapkan larutan aquadest sebanyak 50 cc yang dicampur dengan vitamin C sebanyak 2-3
gram dan vitamin E sebanyak 2/3 gram
Gambar 8. Kelekap yang sudah tumbuh hasil dari reklamasi 4. Merendam irisan cumi pada larutan aquadest yang sudah dicampur vitamin selama 30-60
menit
5. Pemberian kepada udang yang dipelihara dan frekuensii pemberian pagi hari.
16 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 17
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
BAB IV
PENGELOLAAN KESEHATAN UDANG
Selama masa pemeliharaan udang vaname, dilakukan pengamatan dan monitoring
kesehatan dengan indikator pengamatan visual sebagai berikut :
a. Jenis bakteri Zoothanium sp dan jenis lainnya menempel pada insang dan tubuh udang;
b. Karapas (kepala) dan kulit abdomen (badan) berlumut;
c. Ekor geripis (tidak rata), insang kotor, antena putus;
d. Daging udang keropos, warna tubuh dan ekor kemerahan
Udang yang sehat mempunyai ciri fisik dapat terlihat dari hal sebagai berikut : (1) nafsu
makan baik; (2) pertumbuhan normal; (3) kelengkapan organ; (4) kelengkapan jaringan tubuh.
Beberapa kegiatan monitoring kesehatan dan perlakuan udang selama masa pemeliharaan,
diantaranya sebagai berikut :
a). Pengamatan Rutin, meliputi pengamatan dilakukan di anco setiap saat untuk melihat populasi
dan abnormalitas udang, meliputi :
1. Gerakan aktif, berenang normal dan melompat bila anco diangkat; Gambar 10. Pemeriksaan Kesehatan Udang
18 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 19
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
6. Keringkan tambak hingga tanah retak-retak, kemudian tanah dikupas dan dibalik
(proses oksidasi tanah). BAB V
c). Perlakuan pada Abnormalitas non Patogenik, meliputi : PEMANENAN HASIL
1. Kulit kotor/insang kotor- sebagai akibat parasit, dasar kotor oleh sisa pakan, air diganti
50-70 % dan dasar dibersihkan melalui sentral drain, menambah jumlah kincir, udang Pada umumnya pemanenan udang vaname dilakukan setelah umur pemeliharaan > 100
akan moulting; hari, namun tetap memperhatikan serta harga udang di pasaran. Perlakuan dan tehnik yang
2. Anggota tubuh tidak lengkap- akibat terlalu padat, kurang makan, bila menghantam dilakukan sebelum panen hasil adalah pengapuran dengan dosis 10-20 ppm (dilakukan 2-3 hari
mengakibatkan terserang bakteri. Tingkatkan kemampuan teknis tambak : air, kincir sebelum panen), serta memperhatikan volume air (tidak ada pergantian air) selama 2-4 hari.
frekuensi dan jumlah pakan dan penambahan feed additive (Vitamin C); Tujuan tidak dilakukan penggantian air menjelang panen adalah supaya udang tidak mengalami
3. Udang keropos, kurang makan, kualitas pakan kurang, kualitas air memburuk, kurang moulting (ganti kulit) secara massal menjelang dan pada saat pemanenan.
kalsium dan tidak ganti kulit. Pengobatan : perbaikan kualitas dan dasar air, perbaikan Alat yang digunakan dalam pemanenan hasil adalah jaring kantong yang dipasang pada
perhitungan populasi evaluasi perbaikan bila nafsu makan masih rendah, pemberian pintu monik, jaring udang (krikit), branjang (left net), sodo dan jala tebar (falling gear) serta alat
atraktan/feed additive; lainnya. Tehnik panen yang sering dilakukan adalah dengan cara menurunkan volume air secara
4. Udang berenang abnormal- insang merah jambu (kurang oksigen); bila berbuih, ganti air bertahap dengan menggunakan pompa air, bersamaan dengan itu dilakukan penangkapan udang
lalu menambah jumlah kincir minimal 4 ppm pada pagi hari. Insang kotor permanen secara bertahap sesuai dengan kemampuan peralatan yang tersedia. Adapun jika dasar tambak
coklat (protozoa), pergantian air dan perbaikan kualitas dasar bila tidak ada pergantian tidak kering maka dilakukan secara manual. Pemanenan dilakukan pagi hari atau malam hari,
kulit tambahkan kaporit 1,5 ppm. Insang temporer hitam, tutup insang terkontaminasi yang bertujuan untuk mengurangi resiko kerusakan mutu udang. Hasil udang tangkapan tersebut
racun fitoplankton bentik (anabaena sp ), Dinoflagellata Psecothrixcolapergantian air harus dicuci bersih dan direndam dengan es (minus 18- 20 oC).
dan perbaikan dasar;
5. Usus dan hepatopancreas (HP) abnormalUsus isi kosong dan terputus, air kurang
oksigen, jenis pakan tidak sesuai, pakan rusak atau nafasu makan hilang karena dasar
kotor. Kotoran berupa lendir kosong, disebabkan karena memakan bangkai, terjadi
karena tingkat populasi yang tinggi. Kotoran putih dan mengapung, HP putih/hijau muda
karena vibriosis (bakteri)
20 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 21
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
22 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 23
BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS
Biaya tersebut cukup menguntungkan karena R/C > 1. Rp 156.250.000 - Rp 129.725.000 = Rp 26.525.000
8. Masa Pengembalian Modal Investasi (Pay Back Period).
3. Imbangan Penerimaan biaya (R- C Ratio)
(PBP) = Investasi = 26.000.000 x 1 thn = 0,27 Penerimaan ( R ) = Rp 156.250.000 = 1,20
Profit 96.471.000
Biaya ( Cost ) Rp 129.725.000
Artinya dengan keuntungan sebesar Rp 96.471.000, modal investasi dapat kembali dalam
waktu 1 musim tanam. Biaya tersebut cukup menguntungkan karena R/C > 1
NILAI SUMBER PEMBIAYAAN PETANI
NO URAIAN (Rp) BANK (Rp) (Rp)
1. INVESTASI
- Perbaikan lahan 1.500.000 - 1.500.000
- Kincir 4 Unit @ Rp .5000.000 20.000.000 20.000.000
- Genset 30 KVA 50.000.000 50.000.000
- Pompa 8 inchi 10.000.000 10.000.000
JUMLAH 81.500.000 80.000.000 1.500.000
2. OPERASIONAL
- Benur 500.000 ekor @ Rp 50 25.000.000 25.000.000
- Pakan 10.000 kg @ Rp 8.000 80.000.000 80.000.000
- Pupuk
a. TSP 100 Kg x Rp 2.000 200.000 200.000
b. Urea 150 Kg x Rp 1.500 225.000 225.000
- Kapur 4.000 kg @ Rp 1.000 4.000.000 4.000.000
- Saponin 400 kg @ Rp 4.000 1.600.000 1.600.000
- Probiotik 1 Paket 3.000.000 3.000.000
- Multi vitamin 1 paket 1.000.000 1.000.000
- Solar 5.000 liter @ Rp 1.650 8.250.000 8.250.000
- Olie 150 liter @ Rp 11.000 1.650.000 1.650.000
- Tenaga kerja 1 org @ 400.000 4.800.000 - 4.800.000
JUMLAH 129.725.000 124.925.000 4.800.000
TOTAL 211.225.000 20.925.000 6.300.000
24 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 25
REFERENSI
Akiyama, D., 2005. World Shrimp Production and Current Issues. Seminar Sehari CP Prima di Hotel
Sahid Makassar, 2 Mei 2005.
Atmomarsono, M., 2004. Pengelolaan Kesehatan dan Lingkungan pada Budidaya Udang Windu.
Ekspose Hasil kajian Teknologi BBAP Takalar. Imperial Aryaduta Hotel, 16 Desember
2004.
Chanratchakool, P., Turnbull, J.F., Gunge-Smith, S.J., MacRae, I. H., Limsuwan, C., 1998. Health
Management in Shrimp Ponds. Aquatic Animal Health Research Institute. Dept. Of
Fisheries Kasetsart University Campus, Jatujak - Bangkok, Thailand.
Danakusumah, E., dan Putro, S., 2003. Pedoman Investasi Komoditas Udang di Indonesia.
Direktorat Sistem Permodalan dan Investasi, Direktorat Jenderal Peningkatan
Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran Departemen Kelautan dan Perikanan.
Elovoora A.K, 2001. Shrimp Forming Manual. Practical Technology Intensive Commercial Shrimp
Production. United States Of Amerika, 2001.
FAO/NACA, 2004. Introductions and Movement of Penaeus Vannamei and Penaeus Stylirostris in
Asia and the Pasific. NACA Bangkok.
Fegan, D., 2006. Can we take advantage of recent advances in shrimp culture technology?.
Konferensi Akuakultur di Graha Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Surabaya, 6-8 Juni 2006.
Halim, Rubiyanto Widodo dan Dian Adijaya S. Udang Vannamei. Jakarta: Penebar Swadaya 2006.
Lightner D.V. 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Prosedures for Diseases of
Cultured Penaeid Shrimp. Baton Rouqe, Louisiana, USA. The World Aquaculture
Society.
PT. SHS, 2002. Budidaya Vaname. SHS Aquatic Marketing Service. PT SHS.
Sukardi, M.F, 2004. Vannamei, Fenomena Baru dalam Bisnis Budidaya Udang Buletin Departemen
Kelautan dan Perikanan. Mina Bahari. Agustus 2004.
Suriakusumah, I. D., 2005. Biosecurity Budidaya udang L. Vannamei dan Informasi Beberapa
Penyakit. Seminar Sehari CP Prima di Hotel Sahid Makassar, 2 Mei 2005.
Wyban, J.A dan Sweeney, J. 1991 Intensif Shrimp Production Tecnology. Honolulu Hawaii, USA.
UDANG
VANAME
TEKNOLOGI
EKSTENSIF PLUS