Anda di halaman 1dari 17

Strategi Intervensi Untuk Pemulihan Matapencaharian Berkelanjutan

1.1.

Strategi Intervensi Intervensi harus berdasarkan pada pemahaman menyeluruh mengenai

permasalahan, tujuan program yang jelas dan analisa dari opsi-opsi respon dan risiko yang menyertainya. Keputusan untuk meyediakan makanan, uang, kombinasi dari keduanya atau dalam bentuk lain harus didasarkan pada analisis permasalahan yang obyektif dan tujuan yang jelas. Titik awal untuk intervensi harus merupakan pemahaman yang lebih jelas mengenai matapencaharian dari rumah tangga dan bagaimana hal ini bisa didukung. Area yang dekat dengan matapencaharian masyarakat miskin -seperti upah buruh pertanian, akses terhadap sumber daya alam dan aset-aset produksi, dan akses terhadap kreditkredit non profit- bisa menjadi titik awal yang bermanfaat. Laporan dari Bureau for Crisis Prevention and Recovery (BCPR) menyatakan bahwa intervensi yang dapat mengurangi kemiskinan dan kerentanan bencana pada saat bersamaan adalah Perkuatan dan diversifikasi matapencaharian. Mendorong investasi asing yang menciptakan lapangan pekerjaan. Pendekatan yang partisipatif dan fleksibel terhadap perencanaan urban/urban planning. Membangun keamanan sosial/social security termasuk akses terhadap kesehatan dan pendidikan. Membantu menyediakan mekanisme tanggung renteng risiko/risk spreading mechanism bagi mereka yang diabaikan oleh perusahaan asuransi. yang bertanggung jawab dan

A.

Lapangan Pekerjaan Suatu keharusan untuk mengembalikan masyarakat pada pekerjaannya

secepat mungkin untuk menghindari kondisi kemiskinan kronis yang ada dan memburuk di banyak daerah yang terdampak bencana. Sebagai tambahan, kami juga khawatir akan masa depan dari pengangguran berkepanjangan yang menuju kepada kemunduran jangka panjang terhadap pembangunan. (Juan Somavia, Direktur ILO, 2005) Beragam pengalaman mengenai pemulihan pascabencana di masa lalu menunjukkan bahwa build back better berarti kembali bekerja. Bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan, bencana berarti matapencaharian mereka dirampas, mereka kehilangan pekerjaan, kesempatan mendapat penghasilan, dan bila mereka bergerak di bidang pertanian berarti kehilangan tanaman pertanian, panen, peralatan dan hasil. Bagi mereka bekerja bukan merupakan sekedar pre-eksisting destination tetapi sebagai alat-alat

penghidupan yang harus dipulihkan. Pekerjaan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi adalah multi-dimensi, tantangannya pada berbagai tingkatan baik secara institusi dan individu. Beragam intervensi diperlukan untuk pekerjaan di sektor formal dan informal agar dapat mengakomodir berbagai kelompok pekerja. Bencana sering kali menambah jumlah pekerja rentan yang masuk kembali ke bursa kerja dan membutuhkan bantuan khusus. Karena alasan ini intervensi lapangan pekerjaan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi harus dimasukka dalam penyusunan kebijakan dan perkuatan melalui pemberdayaan institusi/institutional capacity building dan rancangan program yang peduli. Inisiatif yang paling umum mengenai kebutuhan khusus yang berhubungan dengan dunia kerja (Lazarte 2008) : 1. Skema perlindungan sosial untuk kondisi darurat/emergensi Pemberdayaan pengangguran dan cacat secara reguler. Skema pekerjaan dalam kondisi darurat temporer.

2. Pemulihan pekerjaan dan matapencaharian Mengarusutamakan pemulihan pekerjaan dalam investasi

rehabilitasi dan rekonstruksi. Pusat pelayanan pekerjaan dalam kondisi darurat/emergensi. Membuka lapangan pekerjaan dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi melalui kegiatan pelatihan khusus jangka pendek. Mencanangkan bantuan pemulihan baku, bisnis dll) (konstruksi, SIYB,

perdagangan, produksi

bahan

termasuk

pembiayaan mikro/micro finance, BDS, dll. Perbaikan kapasitas institusi bursa kerja.

Cash for Work Cash for work/CFW merupakan bagian tetap dari pemulihan awal tsunami di Aceh. Program CFW ikut andil dalam pemulihan komunitas melalui proyekproyek pembersihan dan rekonstruksi. CFW menyediakan pendapatan/income sementara bagi masyarakat untuk memulai ekonomi lokal dan menyediakan dukungan bagi pasar. CFW menyediakan sumber pendapatan essensial bagi banyak partisipan program dan rumah tangganya, CFW merupakan satu-satunya pendapatan pada bulan-bulan pertama setelah tsunami. CFW memberikan sumber uang tunai bagi korban tsunami dam membantu pemberdayaan populasi terdampak untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Laporan lain menyatakan bahwa CFW memberikan keuntungan secara psikososial dengan cara memberikan aktivitas produktif bagi korban tsunami dan memberikan komunitas kesempatan untuk bekerja secara gotong royong.

Tantangan Kekurangan tenaga ahli teknis, perlengkapan, dan pengiriman alat dan bahan yang tidak terjadwal merupakan faktor pembatas dalam suksesnya CFW. Pengiriman upah yang sesuai jadwal seringkali sulit, terutama dalam beberapa bulan pertama program CFW ketika mekanisme pendukung masih disiapkan. Basis pembayaran CFW pada awalnya adalah jam kerja tetap yang biasanya selama delapan jam per hari, dan tidak ada fleksibilitas dalam sistem kompensasinya, lebih disebabkan oleh kurangnya personil dan kesulitan yang diantisipasi dalam mengatur hari kerja dengan jam kerja yang berbeda. Ketika dilakukan sidak, ternyata banyak pekerja yang datang telat dan pulang awal sehingga mempengaruhi kemajuan proyek CFW.

B.

Bantuan Pangan/Food Aid Contoh bantuan berlandaskan pangan adalah food for work, food for

training, dll. Unsur-unsur penting dari pendekatan matapencaharian berdasarkan bantuan pangan Bantuan pangan bisa menyelamatkan hidup (Steering Committee, 2004;WFP, 2006c; C-SAFE, 2007), umumnya ketika distribusi makanan secara umum seimbang baik dalam gizi(termasuk nutrisi mikro) maupun kalori(lebih dari 2000kcal). (Duffel et al, 2004) Bantuan pangan juga bisa mendukung matapencaharian, pemberian makanan tambahan di sekolah, food for work, bahkan distribusi makanan secara gratis, bisa digunakan untuk melindungi atau menciptakan asetaset matapencaharian yang bisa diandalkan: pendidikan anak, tanah subur, jalan aspal dll. Distribusi makanan gratis harus mulai di awal, bertahan lama, dan bisa diandalkan, dan cukup banyak (seperti bantuan matapencaharian lainnya) untuk berlaku sebagai pengganti

penghasilan/transfer income selama bencana/krisis pangan. (DFID, 2006a)

Ada kekhawatiran bahwa bantuan pangan bisa memiliki dampak penting pada pasar, menyebabkan penurunan harga. Salah satu hasilnya merugikan petani yang menjual hasil panennya dengan harga tinggi. Sektor swasta juga terpengaruh, tanpa bantuan pangan, impor, proses, perdagangan dan menjual lebih banyak makanan. Tetapi, tidak cukup banyak bukti untuk mendukung pendapat ini (Maunder, 2006). Jelas bahwa sangat penting bagaimana bantuan pangan dirancang dan dimana bahan pangan itu di beli. Distribusi bantuan makanan harus benar-benar sesuai target -the right people in the right way- dan memiliki tenggat waktu yang baik agar tidak bentrok dengan panen raya (Jere, 2007; Hammond et al, 2002). Pembelian bantuan pangan secara lokal maupun regional mengurangi ongkos dan waktu pengiriman, juga bisa membantu petani atau supplier lokal. Koordinasi mengurangi risiko dimana pembelian besar-besaran akan menaikkan harga bahan pangan. (REDSO, 2004 WFP, 2003a)

Ketika terjadi kelambatan dalam respon matapencaharian dan situasi memburuk, sistem bantuan kemanusiaan cenderung mengandalkan bantuan pangan, ini akan berubah apabila bantuan kemanusiaan menjadi lebih baik dalam melidungi matapencaharian selama kondisi darurat dan seiring pengalaman dengan bentuk bantuan lain juga meningkat.

C.

Dana Bantuan Matapencaharian/Livelihood Relief Fund (LRF) Pelayanan finansial dalam hal ini pembiayaan mikro membantu

masyarakat miskin korban bencana untuk mempercepat proses membangun kembali perikehidupan dan matapencaharian mereka. Unsur-unsur penting dalam pembiayaan mikro/micro-finance menurut UNISDR 2005 : (1) Melalui dampak jangka panjang dari LRF dalam mengurangi kemiskinan dan mendukung pembangunan berkelanjutan, pembiayaan mikro mengurangi kerentanan masyarakat miskin terhadap bencana.

(2) Pembiayaan mikro tidak bisa secara mandiri memberikan perlindungan terhadap bencana. Sehingga harus menjadi bagian dari strategi yang lebih besar dalam Pengurangan Risiko Bencana. (3) Setelah terjadinya bencana, pembiayaan mikro bisa secara cepat menyediakan bantuan/relief, dan kemudian mendorong pemulihan dan rehabilitasi yang berkelanjutan. Institusi pembiayaan mikro bisa membantu komunikasi dan koordinasi pasca bencana melalui jaringan komunitas yang mereka miliki. (4) Pembiayaan mikro membutuhkan taraf self-management oleh kliennya dan biasanya berbasis komunitas, kemudian membantu pemulihan kepemilikan, martabat dan kohesi dari komunitas pascabencana. (5) Pembiayaan mikro bisa mengurangi biaya keuangan pemulihan pasca bencana, sambil mengurangi ketergantungan terhadap bantuan dari luar. Pada waktu yang sama, ternyata bantuan pasca bencana bisa menggangu pasar, yang pada akhirnya berpotensi menggangu performa pembiayaan mikro. (6) Institusi pembiayaan mikro harus memiliki kesiapsiagaan terhadap bencana dengan mengembangkan rencana menghadapi bencana yang menjamin daya tahan institusi pembiayaan mikro dan tetap melanjutkan pelayanannya. Aktifitas pasca bencana harus secara hati-hati

dipertimbangkan untuk mencegah dampak jangka panjang terhadap pasar lokal dan institusi pembiayaan mikro itu sendiri. (7) Untuk megurangi secara signifikan dampak dari bencana terhadap komunitas, institusi pembiayaan mikro harus menawarkan seperangkat produk yang fleksibel untuk beradaptasi terhadap kebutuhan dan situasi khusus. (8) Jaringan dan/atau kerjasama dengan sektor finansial formal dibutuhkan dan merangsang likuiditas dan mendukung kapasitas institusional dan manajerial.

(9) Pembiayaan mikro harus dihubungkan dengan mitigasi bencana, terutama selama tahap rehabilitasi ketika hubungan antara pemulihan dan kesiapsiagaan tampak jelas. (10) Pendidikan mengenai pembiayaan mikro dan mitigasi bencana

diperlukan untuk suksesnya pengentasan kemiskinan dan pengurangan dampak bencana. Perluasan efektifitas pembiayaan mikro dan mengembangkan menjadi produk berkelanjutan dari Pengurangan Risiko Bencana Pelayanan pembiayaan mikro belum mencapai hingga area perdesaan terpencil dan rentan. Ada kebutuhan mendesak untuk segera melakukan replikasi, pengembangan dan pembuatan produk-produk inovatif dan menyiapkan jaringan yang berfungsi ketika dibutuhkan. Produk-produk pembiayaan mikro dianggap berkelanjutan dari sudut pandang Pengurangan Risiko Bencana adalah ketika pembiayaan mikro dipertimbangkan sebagai investasi transfer risiko dan berpadu dengan mitigasi mikro juga asuransi mikro agar bisa menapis lebih banyak risiko dan mengembangkan lebih banyak inisiatif pemulihan. Mengembangkan dana stabilisasi bagi institusi pembiayaan mikro untuk membantu mereka tanggap terhadap permintaan pinjaman dan pelayanan yang membludak segera setelah terjadi bencana juga mengembangkan pendekatan berbasis permintaan/demand-driven serta membuat mereka mandiri. Menghubungkan masyarakat miskin dan institusi pembiayaan mikro dengan sistem finansial formal. Program-program pembiayaan mikro harus menggabungkan kebutuhan pembangunan dan pemulihan masyarakat miskin (Mihir R. Bhatt, ISDR 2005).

Contoh dari respon berbasis uang tunai/cash based responses termasuk di dalamnya Bantuan Langsung Tunai/BLT, Cash for work/CFW, menyediakan uang tunai bagi institusi pembiayaan mikro untuk pinjaman dengan bunga rendah, dan kupon untuk kebutuhan benih atau ternak. Berikut adalah beberapa temuan dari hasil evaluasi respon-respon berbasis bantuan tunai terutama yang berhubungan dengan bencana slow onset/perlahan dan rawan pangan/food insecurity (ALNAP 2007) Ketika pasar bisa menyediakan cukup pangan, rawan pangan berarti akibat tidak adanya daya beli. Selama masa krisis dari kondisi darurat, uang tunai berikut bahan makanan merupakan kombinasi yang baik. Bantuan langsung tunai lebih sesuai untuk kelompok tertentu, seperti kelompok penggembala/pastoralis. Analisis pasar yang akurat dan monitoring sangat penting untuk memastikan bahwa uang tunai yang disediakan bisa memenuhi kebutuhan seperti yang diperuntukkan. (Oxfam, 2006b; World Bank, 2006a) Harus ada pengkajian yang realisitis mengenai kapasitas untuk distribusi bantuan tunai, dan dana yang cukup untuk capacity buiding. Monitoring dampak disitribusi bantuan langsung tunai harus

memasukkan aspek gender.

Pembiayaan Mikro/Micro-finance Pembiayaan mikro terbukti sebagai solusi anti-kemiskinan yang bisa membantu masyarakat miskin meningkatkan kondisi sosial ekonominya melalui kewirausahaan. Merupakan alat yang sangat berguna dalam membantu masyarakat miskin untuk mandiri setelah bencana. Pada umumnya, disarankan bahwa dana untuk dipinjamkan kepada nasabah disediakan sebagai pinjaman kepada institusi pembiayaan mikro, dan dana untuk pelatihan, pemberdayaan,

instalasi perangkat lunak, dan transfer aset disediakan sebagai hibah. akses berkelanjutan kepada pembiayaan mikro membantu pengentasan kemiskinan dengan cara memberikan penghasilan, menciptakan lapangan pekerjaan, mengijinkan anak-anak untuk bersekolah, membuat keluarga-keluarga mampu memperoleh perawatan kesehatan, dan memberdayakan masyarakat untuk

membuat pilihan-pilihan sesuai kebutuhannya (Kofi Annan, Sekretaris jendral PBB). Pendekatan dasar akan mengikuti panduan sebagai berikut Implementasi sistem standar asuransi mikro. Mengarahkan dana awal untuk digunakan mendampingi lembaga yang dipilih dalam pengembangan sistem dan sumberdaya manusia yang diperlukan. Menyimpang dari panduan pembiayaan institusi pembiayaan mikro secara normal dengan mau menyediakan sebagian pembiayaan bagi LSM sebagai bantuan. Menyimpang dari praktik terbaik pembiayaan mikro yang normal dengan memperbolehkan partner institusi pembiayaan mikro untuk memberikan bantuan keuangan kepada nasabah yang mengkombinasikan trasfer aset (bantuan), pinjaman yang disubsidi dan pinjaman dengan bunga pasar untuk peroide waktu tertentu, selama masih berada dalam rencana jangka menengah agar bisa berkelanjutan dan mengikuti praktik terbaik yang diakui secara umum. Mengkoordinasikan usaha-usaha diantara para partner dan pemangku kepentingan yang potensial dalam melaksanakan inisiatif (AIDMI workshop). Grameen Foundation di Amerika percaya bahwa pembiayaan mikro memiliki potensi yang sangat besar, dan masih belum dimanfaatkan, untuk memainkan peranan penting dalam membantu masyarakat dan komunitas pulih dari bencana tsunami

Nelayan membutuhkan pinjaman untuk membangun kembali kapal dan perlengkapan mereka yang rusak atau hilang; Petani membutuhkan dana untuk menggarap kembali lahan yang terendam banjir dan membeli ternak serta perlengkapan saprotan; Pemilik kios dan pedagang perlu mengganti barang dagangan yang hancur; membeli bahan-bahan dagangan;

Perajin memerlukan uang untuk membeli bahan-baku kerajinan dan alatalat produksi. Melalui Strategi Nasional bagi Pembiayaan Mikro dan perangkat hukum

yang menyertainya, apa yang organisasi inti lakukan dalam bidang kredit mikro ketika kebijakan-kebijakan berikut digulirkan (Chakrabarti, Kull, Mihir R. Bhatt, 2005) 1. Peranan yang lebih besar dari institusi pembiayaan mikro-swasta dalam pemberian pelayanan keuangan. 2. Kebijakan keuangan dan kredit yang lebih berorientasi pasar. 3. Tidak adanya partisipasi dari jajaran pemerintahan dalam implementasi program-program kredit. 4. Penciptaan dan pemberdayaan lingkungan kebijakan yang akan memfasilitasi meningkatnya partisipasi dari sektor swasta dalam pembiayaan mikro.

D.

Model Kelompok Swadaya/Self Help Group(SHG) dan Model Bank Swadaya/Self Help Bank Ini merupakan model pembiayaan mikro yang paling banyak digunakan

dan berkembang. SHG adalah grup informal dari masyarakat yang biasanya kaum perempuan yang memiliki kesamaan nasib atau keahlian yang kemudian bergabung membentuk kelompok. Dukungan jejaring dan tekanan rekan untuk membayar hutang adalah keuntungan utama dalam model SHG yang esensial untuk pembangunan ekonomi lokal dan perkembangan modal sosial. Model

program linkage Bank SHG adalah Bank Pertanian Nasional dan pembangunan pedesaan model keuangan mikro (UNISDR 2005).

E.

Pertanian Pemulihan sektor pertanian pascabencana nasional adalah perlombaan

melawan seiring musim tanam sudah ditentukan waktunya. Petani harus panen dan menanam tanaman baru. Tetapi kondisi tanah bisa berubah karena bencana. Kesulitan-kesulitan berkisar pada memperoleh tenaga ahli yang dibutuhkan untuk melakukan pengkajian kerusakan, penggantian aset, pengadaan saprotan dan asistensi teknis bagi petani. Program pemulhan dini/early recovery secara lokal lokal untuk petani telah terbukti efisien dalam menangani kebutuhan mereka akan pendapatan dan segera kembali mengolah lahan pertanian. Petani harus menunggu berbulanbulan setelah musim tanam sebelum memperoleh hasil dari panen. Dalam jangka waktu ini kegiatan pemulihan dini bisa mulai dilakukan (Rajendra Aryal, FAO).

F.

Konseling Matapencaharian Merupakan salah satu bentuk pelayanan yang dibutuhkan, terutama bagi

kaum perempuan, yang belum tahu bagaimana memutuskan bagaimana mereka akan bertahan hidup. Ini berarti harus bahu-membahu dengan konseling psikologi - trauma yang mereka alami tampaknya ikut menambah ketidakjelasan pilihan matapencaharian.

G.

Pengembangan Bisnis Non-Finansial Pelayanan yang tampaknya diperlukan termasuk asistensi dalam

pengembangan

rencana

bisnis/business

plan

(terutama

ketika

kredit

dibutuhkan), konseling bisnis, masukan teknologi, dan hubungan kepada penyedia dan pasar. Kelompok kecil yang akan memulai usaha untuk pertama

kali akan mendapatkan keuntungan dari pelatihan keahlian bisnis dan bantuan untuk mengembangkan rencana bisnis.

1.2.

Strategi Keluar/exit strategy dalam Pemulihan Matapencaharian Tanpa strategi keluar, pergeseran dari krisis ke kegiatan pemulihan lebih

sulit dilakukan. Strategi keluar harus didasarkan pada pemahaman mengenai kondisi yang berubah-ubah dan bukan merupakan jadwal asl-asalan. Mengetahui kapan untuk mengakhiri fase tanggap darurat bisa merupakan hal penting seperti mengetahui kapan unutk memulai respon tanggap darurat (WFP, 2004b). ini biasanya benar dimana respon pemulihan selesai, tetapi masalah yang menyebabkan kerentanan tetap ada (DES, 2004). Banyak intervensi tanggap darurat tidak menyertakan strategi keluar (ECHO, 2004; DFID, 2004). Poin-poin utama agar strategi keluar berhasil (a). Dikaitkan dengan berbagai tujuan, apabila pemulihan merupakan tujuan, penting untuk jelas dari awal mengenai makna pemulihan. Pemulihan sebanyak 25 kali bisa kembali ke tarap ketahanan pangan atau matapencaharian yang sama dengan sebelum krisis, atau menuju kemampuan lebih meningkat menghadapi bencana. (b). Pilih indikator yang merefleksikan perubahan dalam matapencaharian, dan menyertakan ini dalam monev, pilihan indikator harus merefleksikan tujuan program, membutuhkan komitmen jelas bagi baseline studies dan monitoring. (c). Mulai pada tahap perencanaan proyek dan melibatkan masyarakat, awal implementasi yang telat berisiko implementasi yang ceroboh dari strategi keluar. Melibatkan kelompok masyarakat dalam perencanaan,

implementasi dan monitoring dari strategi membantu mereka memahami dari awal kondisi untuk keluar. Partisipasi juga mnyumbang pada pemilihan indikator strategi keluar yang lebih sesuai.

(d). Pemetaan

strategi

bagi

pengembangan

kerjasama

lokal,

untuk

memfasilitasi peralihan ke perencanaan jangka panjang ketika lembaga bantuan selesai beroperasi (ECHO,2005). C-SAFE Zimbabwe (CARE) mengembangkan ikatan kuat dengan pemuka suku dan komite aksi untuk terus mendukung keluarga-keluarga yang terdampak penyakit HIV/AIDS. Pelayanan pemerintah mengenai ekstensi pertanian melanjutkan pendampingan teknis mengenai produksi sayur dan buah-buahan, penyediaan benih dal saprotan setelah kegiatan CARE selesai (C-SAFE, 2005). (e). Terkoordinasi, selama transisi dari bantuan/relief hingga kegiatan pemulihan atau bahkan selesai, penting untuk berkoordinasi dengan lembaga lainnya dan tidak melakukan implementasi strategi keluar dalam isolas/sendiri. Lembaga-lembaga yang terlibat bisa melakukan analisa bersama mengenai kegiatan apa yang tidak terlalu penting dilakukan.

1.3

Beberapa Studi Kasus Pemulihan yang cepat dan efektif dari dampak bencana banjir sangat

tergantung

kepada

seberapa

cepat

pemulihan

matapencaharian

bisa

dilaksanakan. Tidak ada cara tunggal

melindungi matapencaharian dalam

konteks pasca banjir. Seringkali layak dan disukai untuk mengkombinasikan bantuan dan pmulihan pasca banjir karena pemulihan bisa mulai sesaat setelah banjir surut (WFP, 2000). Tetapi, mengadopsi pendekatan matapencaharian dalam praktiknya lebih sulit untuk diimplementasikan dimana lembaga-lembaga yang terlibat memiliki keterbatasan sumberdaya di daerah terdampak bencana (Oxfam, 1999).

A.

Pendampingan Matapencaharian Setelah Bencana Banjir Diadopsi sesuai keperluan, pendekatan-pendekatan berikut bisa menjadi

model acuan untuk perkuatan matapencaharian tangguh/resilience Pertanian : Metode pengeringan dan pengawetan benih bisa membantu

berlanjutnya kegiatan pertanian (ITDG). Promosi varietas tanaman pangan tahan banjir dan praktik budidaya serte penyediaan stok benih bisa memperkuat ketangguhan/resilience. Sistem asuransi tanaman pangan bisa membantu petani melakukan transfer risiko (Hellmouth, 2007). Pengadaan fodder, vaksinasi dan deworming bisa menjamin daya tahan ternak (ITDG). Perikanan budidaya : Karamba dan bubu bisa membantu menahan ikan ketika terjadi banjir (ITDG). Usaha kecil dan matapencaharian alternatif : Perbaikan jalan dan infrastruktur lainnya, peningkatan akses terhadap kredit dan dukungan bagi kegiatan peningkatan keahlian bisa menyediakan landasan untuk pengembangan kesempatan pemasaran atau sumber pendapatan alternatif yang kurang terancam bahaya banjir (World Bank, 2005b).

B.

Perlindungan Aset/Asset Protection Membantu masyarakat untuk melindungi kepemilikan mereka selama

dan setelah bencana banjir bukan saja membuat mereka lebih mudah pulih tetapi juga mengurangi kerentanan dan kemiskinan di masa akan datang. Tetapi, menurut laporan evaluasi masyarakat sering terpaksa menjual aset rumah tangga dan produksi untuk bertahan karena dukungan pasca banjir sering diabaikan.

Banjir juga menghancurkan aset produktif atau aset matapencaharian. studi yang dilakukan oleh International Food Policy Research Institute/IFPRI (2001) pascabencana banjir Bangladesh tahun 1998 menemukan bahwa 55 persen rumah tangga kehilangan aset, setara dengan 16 persen dari total aset mereka sebelum banjir. Di Mozambique Bank Dunia mencatat bahwa selama masa pemulihan aset-aset ini pada umumnya tidak tergantikan sehingga menyebabkan rumah tangga lebih rentan terhadap bencana susulan (World Bank, 2005b). Tetapi praktik terbaik tetap ada, banyak kegiatan lembagalembaga bantuan mempraktikkan perlindungan aset sebagai bagian penting dari respon terhadap bencana banjir di Asia dan Afrika. Termasuk di dalamnya penyediaan Fodder ternak, restocking ternak, restrukturisasi aset komunitas dan rumah tangga juga distribusi saprotan (ActionAid, 2002; DEC, 2000a; DFID, 2001a; WFP,2000; Oxfam, 1999; World Bank, 2005b).

C.

Ketahanan Pangan Rumah Tangga/Household Food Security Bagaimana banjir mempengaruhi ketahanan pangan merupakan masalah

kompleks dimana tidak ada respon langsung yang dapat dilakukan. Banjir menghancurkan bakal panen. Banjir berkepanjangan sering membatasi kemampuan masyarakat untuk mendapatkan uang dan melakukan penanaman ulang segera setelah banjir red,a karena akibat musim tanam telah usai atau dukungan terhadap pemulihan pertanian tidak ada. Masyarakat rentan harus diberikan beragam pilihan keuangan dan materi, sehingga mereka bisa memilih apa yang terbaik bagi mereka. Keputusan untuk menyediakan bantuan makanan, uang tunai, atau kombinasi dari keduanya atau lainnya harus didasarkan pada analisis permasalahan secara obyektif dan tujuan yang jelas dan tidak berdasarkan sumberdaya seadanya, tidak berdasarkan apa yang lembaga mampu distribusikan atau berdasarkan keinginan donor (ALNAP dan ProVention, 2007).

D.

Rehabilitasi Pertanian Banyak daerah rawan banjir yang juga kaya akan lahan pertanian.

Pendampingan dalam bentuk saprotan sebagai contoh, bisa membantu masyarakat untuk memulihkan kegiatan pertanian. Tren banjir adalah berubahubah dan banjir yang semakin sering terjadi berdampak terhadap musim tanam, membuat ketahanan pangan dan matapencaharian terancam. Dalam kasus semacam ini, respon yang mungkin dilakukan adalah mendistribudikan varietas benih alternatif yang tahan dan bergizi (DEC, 2000b; Oxfam, 2003).

Referensi
Nivaran Duryog and practical action. Disaster Resistant Sustainable Livelihoods-A Framework for South Asia. 2005. Adapted from Rehabilitation of Fisheries and Aquaculture in Tsunami Affected Countries in Asia. RAP Publication. 2005. http://irp.onlinesolutionsltd.net/outfile.php?id=451&href=http://irp.onlinesolutionsltd.n et/assets/publication/Tsunami%20Reocvery/rehab%20of%20fisheries%20-%20FAO%20%20tsunami.pdf. Aryal Rajendra. FAO. http://www.un.org.cn/public/resource/87a0628665436838243ac649612bf9d6.pdf. Beck Tony. Learning Lessons from Disaster Recovery: The Case of Bangladesh. http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/05/ 05/000012009_20050505121919/Rendered/PDF/321970HMU0110bangladesh.pdf,: World Bank, 2005. Chakrabarti Dhar P.G, Kull Daniel, , Mihir R. Bhatt. Humanitarian Policies: Disaster Mitigation at theInstitutional Level. International Workshop on Disaster Mitigation: Potential of Micro Finance forTsunami Recovery. 2005. 8. China People's Republic of. Beijing. Workshop Synthesis on International Workshop on PostEarthquake Reconstruction Experiences. United Nation in China and the Ministry of Commerce ofPeople's Republic of China, 2008. Hedlund Kerren. Slow-onset Disasters: Drought and Food and Livelihoods Insecurity Learningfrom Previous Relief and Recovery Responses.2007. http://irp.onlinesolutionsltd.net/outfile.php?id=317&href=http://irp.onlinesolutionsltd.n et/assets/submissions/200909010615_general_drought_livelihood.pdf , October 10, 2009 accessed. Lazarte Alfredo. Post-earthquake Livelihoods Recovery: Employment and SocialProtection Dimensions. July 14, 2008 http://www.un.org.cn/public/resource/786d047e4a7f031929612f12256fff7f.pdf .October 10, 2009 accessed Nakagawa Yuko, Shaw Rajib. Social Capital: A missing link to disaster recovery. International Journal of Mass Emergency and Disaster, Volume 22, no. 1. 2004. 5-34. Nvaran Duryog. Disaster Risk and Poverty in South Asia, A Contribution to the 2009 ISDR Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction, . DURYOG NIVARAN, 27 March 2009.

Padiyar A.P., Phillips J.M., Subasinghe P.R., Raharjoh S., Hasanuddin, Sammut J. 15 Steps for Aquaculture Farm Rehabilitation in Aceh, Indonesia. FAO and Regional Brackish Water Aquaculture Development Center. 7. Poverty Reduction and Sustainable Development through Microfinance Special Report. May 26, 2005.http://irp.onlinesolutionsltd.net/assets/publication/Tsunami%20Reocvery/tsunami %20recovery%20and%20microfinance.pdf October 10, 2009 accessed. Reducing Disaster Risk: A challenge for development. A Global Report. UNDP, BCPR , 2004. Regional Workshop: One Year Later-The Rehabilitation of Fisheries and Aquaculture in Tsunami Affected Countries in Asia. Worldfish. 2008 August . http://irp.onlinesolutionsltd.net/assets/publication/Tsunami%20Reocvery/rehab%20of% 20fisheries%20-%20FAO%20-%20tsunami2.pdf , October 10, 2009 accessed. Shannon Doocy, Michael Gabriel, Collins Sean, Courtland Robin, , Stevenson Peter. The Mercy Corps Cash for Work Program in Post-Tsunami Aceh. 2005. http://irp.onlinesolutionsltd.net/outfile.php?id=316&href=http://irp.onlinesolutionsltd.n et/assets/submissions/200909010620_indonesia_tsunami_livelihood.pdf [October 10, 2009 accessed]. What are livelihoods approaches? ELDIS. http://www.eldis.org/go/topics/dossiers/livelihoodsconnect/what-are-livelihoodsapproaches [October 10, 2009 accessed]. Worrell Jennifer. Jennifer Worrell, Chief, Early Recovery Team, Bureau of Crisis Prevention and Recovery, UNDP,. The ProVention CRA toolkit includes livelihoods tools. www.proventionconsortium.org/CRA_toolkit Young, H. et al. (2001). Food Security Assessments in Emergencies: A Livelihoods Approach. www.forcedmigration.org/sphere/pdf/food/odi/food-security-and-livelihoods.pdf Flood disasters: Learning from previous relief and recovery operations, ProVention and ALNAP; January

Anda mungkin juga menyukai